Anda di halaman 1dari 28

Nama : Annisa savitri

NIM : 1184010024
Kelas : BKI 3 A
Matakuliah : Sejarah Dakwah – UTS

POLA DAKWAH
Sejarah Dakwah Di kampung BANJARAN

(Studi Deskriptif di Kotabanjaran RT/RW 03/02 Desa sindang panon


KecamatanTanjungsari Kabupaten Bandung-Jawa Barat)

‫بسم اللة الر حمن الر حيم‬


A. Kata pengantar

Bismillahirahmanirrahiim.
Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh…
Alhamdulillah puji syukur atas kehadirat Allah SWT, karena berkat
rahmatnya penyusun dapat menyelesaikan makalah Penelitian , dalam mata kuliah
Sejarah Dakwah ini. Kami ucapkan rasa terima kasih kepada dosen pengampuh,
karena dengan adanya tugas ini mampu menambah ilmu serta wawasan
khususnya bagi penyusunya, dan kepada semua pihak yang telah
membantusehingga makalah ini dapat di selesaikan tepat pada waktunya.Makalah ini
masih jauh lebih sempurna, oleh karena itu, kritik dan saran yang bersifatmembangun
sangat kami harapkan demi sempurnanya makalah ini. Semoga makalah
inimemberikan informasi dan bermanfaat untuk pengembangan wawasan dan
peningkatan ilmuilmu pengetahuan bagi kita semua.Wassalamualaikum
warahmatullahi wabarakaatuh…Bengkulu , Oktober 2018Penyusunii

B. Latar belakang

Kegiatan wawancara ini merupakan salah satu tugas mata kuliah Sejarah Dakwah
yang bertujuan untuk memperoleh informasi dari narasumber tentang pola
dakwah di suatu daerah. Saya memilih tema yaitu Pola Dakwah Di Daerah Buah
Dua Rancaekek.

Dengan terlaksananya kegiatan wawancara ini, maka saya berharap telah


memenuhi tugas Sejarah Dakwah dan mendapatkan nilai yang baik. Serta
bermamfaat bagi teman-teman sekalian.

C. Maksud dan Tujuan


1. Memenuhi tugas Sejarah Dakwah
2. Memperoleh informasi
3. Memahami pola dakwah yang berlaku di daerah tersebut

BAB II

Pembahasan

Dakwah sebagai sebuah kegiatan yang sudah menjadi kewajiban bagi umat Islam,
dengan segenap dimensi sosial yang mendasarinya, tentu juga membuat dakwah
sebagai sebuah aksi dengan pola beragam dalam pelaksanaannya. Dalam kajian
sosiologi, adalah dua teori yakni teori Fungsionalisme Struktural dan teori Konflik
yang biasanya digunakan sebagai media untuk mencoba menggali dan mengetahui
tentang bagaimana pola-pola Dakwah yang di lakukan masyarakat dalam rangka
mencapai tujuan mereka yang berlandaskan ajaran keagamaan. Namun kali ini kami
hanya akan memakai teori Konflik sebagai sebuah paradigma yang akan menggali
keberagaman pola dakwah di masyarakat. Meski begitu, sebelumnya akan kami
sampaikan mengenai sekilas tentang kedua teori tersebut.

Teori Fungsionalisme Struktural. Teori ini menekankan kepada keteraturan (order)


dan mengabaikan konflik serta perubahan dalam masyarakat. Konsep-konsep
utamanya adalah: fungsi, disfungsi, fungsi laten, fungsi manifest, dan keseimbangan
(equilibrium). Artinya Teori ini lebih memandang positif bahwa struktur masyarakat
yang ada itu berperan sesuai dengan fungsinya masing-masing. Dan adanya
perbedaan justru dianggap sebagai hal yang memang diperlukan untuk stabilitas
dinamika sosial.

Jika menurut Teori Fungsionalisme Struktural masyarakat berada dalam kondisi statis
atau tepatnya bergerak dalam kondisi keseimbangan, maka menurut Teori Konflik
malah sebaliknya. Teori Konflik ini cenderung mengabaikan keteraturan dan stabilitas
yang memang ada dalam masyarakat dalam masyarakat di samping konflik itu
sendiri. Masyarakat selalu dipandangnya dalam kondisi konflik. Mengabaikan norma-
norma dan nilai-nilai yang berlaku umum yang menjamin terciptanya keseimbangan
dalam masyarakat. Masyarakat seperti tidak pernah aman dari pertikaian dan
pertentangan. Maka, teori ini kami anggap paling sesuai untuk menggali beberapa
pola dakwah yang ada dalam masyarakat Islam itu sendiri.

1. Metode Dakwah Rasulullah


i. Bil hikmah wal mauizah
‫ك إباِحلإححكسمإة سواحلسمحوإعظسإة احلسحسسنسإة ِ سوسجاِإدحلهنحم إباِلنإتي إهسي أسححسسنن ُ إإنن‬
‫ع إإلسىى سسإبيإل سربب س‬
‫احد ن‬
‫ضنل سعحن سسإبيلإإه ِ سوهنسو أسحعلسنم إباِحلنمحهتسإديِسن‬
‫ك هنسو أسحعلسنم بإسمحن س‬ ‫سربن س‬
" Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik
dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang
lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih
mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.”

Hikmah ialah perkataan yang tegas dan benar yang dapat membedakan antara yang
hak dengan yang bathil. Oleh sebab itulah Allah Ta’ala meletakkan al-Qur’an dan as-
Sunnah sebagai asas pedoman dakwah bagi Rasulullah dan juga bagi tiap umat yang
bertugas meneruskan dakwah beliau hingga akhir zaman. Pada ayat tersebut diatas
dapat dipahami bahwa cara berdakwah yang diperintah Allah Ta’ala adalah sebagai
berikut :
a. Dakwah bil hikmah, yaitu metode dakwah dengan memberi perhatian yang teliti
terhadap keadaan dan suasana yang melingkungi para mad’u (orang-orang yang
didakwahi), juga memperhatikan materi dakwah yang sesuai dengan kadar
kemampuan mereka dengan tidak memberatkan mereka sebelum mereka bersedia
untuk menerimanya.

Metode ini juga membutuhkan cara berbicara dan berbahasa yang santun dan
lugas. Sikap ghiroh yang berlebihan serta terburu-buru dalam meraih tujuan
dakwah sehingga melampaui dari hikmah itu sendiri, lebih baik dihindari oleh
seorang pendakwah.

b. Dakwah dengan cara mau’izhah al-hasanah, yaitu metode dakwah dengan


pengajaran yang meresap hingga ke hati para mad’u. Pengajaran yang
disampaikan dengan penuh kelembutan akan dapat melunakkan kerasnya jiwa
serta mencerahkan hati yang kelam dari petunjuk dien. Pada beberapa da’i, ada
yang masih saja menggunakan metode dakwah yang berseberangan dengan hal
ini, yaitu dengan cara memaksa, sikap yang kasar, serta kecaman-kecaman yang
melampaui batas syar’i.

c. Dakwah dengan perdebatan yang baik, yaitu metode dakwah dengan


menggunakan dialog yang baik, tanpa tekanan yang zalim terhadap pihak yang
didakwahi, tanpa menghina dan tanpa memburuk-burukkan mereka. Hal ini
menjadi penting karena tujuan dakwah adalah sampai atau diterimanya materi
dakwah tersebut dengan kesadaran yang penuh terhadap kebenaran yang haq dari
objek dakwah. Metode ini menghindari dari semata karena ingin memenangkan
perdebatan dengan para mad’u.

ii. Benar dan tegas tanpa kompromi


Sesungguhnya dakwah Rasulullah merupakan dakwah yang tegas tanpa
kompromi. Perkara yang beliau saw sentuh dalam dakwahnya adalah perkara
yang paling pokok dan paling mendasar, laa ilaaha illallah, Muhammadur
rasulullah.

Beliau saw menyeru bahwa tidak ada yang wajib diagungkan, diibadahi, ditaati
dan dicintai kecuali Allah Ta’ala. Begitu juga terhadap perkara hukum, tidak ada
hukum yang wajib diterapkan dan dilaksanakan, kecuali hukum-Nya.

Oleh karenanya perkara ini menjadi sangat penting dan oleh karena sifat
pembangkangan umat kafir serta muslim yang munafik, maka dakwah ini juga
akan menimbulkan kecaman, kemarahan, dan permusuhan.

Namun perkara yang tidak menyenangkan hati ini tidak menurunkan semangat
beliau saw untuk tetap berjuang menyampaikan yang haq. Dengan penuh
kesabaran dan sifat welas-asihnya, beliau saw beristiqomah membimbing
umatnya yang keliru kepada jalan yang lurus.

Di samping itu, ketegasan pun beliau saw tampakkan sehingga kebenaran yang
hakiki tidak bercampur dengan kebatilan. Beliau saw juga tidak melazimkan hal-
hal diluar syari’at yang akan menimbulkan ‘kecintaan’ dari umat yang dengan itu
beliau saw akan memperoleh dukungan yang besar.

iii. Tidak menambah dan mengurangi satu huruf pun dari materi dakwah

Orang-orang kafir semasa Rasulullah senantiasa mencari jalan untuk


menyelewengkan Rasulullah dari sifat dan karakter dakwahnya yang benar dan
tegas.

Mereka menginginkan agar Rasulullah mengikuti kehendak hawa-nafsu mereka


dengan mengemukakan segala janji dan tipu-muslihat agar beliau saw
meninggalkan prinsip dan bergeser dari jalan yang telah ditetapkan-Nya.
Dalam al-Qur’an, sifat keengganan mereka mengikuti al-Qur’an dan sikap
mereka yang berupaya agar Rasulullah mengganti petunjuk yang haq dengan
yang mereka kehendaki yaitu pada firman-Nya.

Pola dakwah

Bandung adalah suatu kotadi mana penulis lahir dan merupakan tempat yang
akan menjadi suatu objek penelitian mengenai Sejarah Dakwah. Sejarah dakwah di
Bandung Kecamatan Tanjungsari Kabupaten Bandungmerupakan sejarah yang
berkaitan dengan perkembangan Islam di daerah itu sendiri. Dakwah memiliki arti
sejarah sebagai proses perjalanan dan perkembangan islam di suatu daerah. Sebelum
penulis lebih spesifik membahas mengenai studi deskriptif sejarah dakwah di
Bandung, penulis akan mengulas terlebih dahulu bagaimana gambaran Bandungbaik
kota ataupun kabupaten agar mendapatkan gambaran secara menyeluruh namun
singkat mengenai Islam dan dakwah yang akan dibahas dalam karya ini.

Sejarah Dakwah di Kabupaten Bandung1


KotaBandung terletak di Kabupaten Bandung. Kabupaten Bandungadalah
sebuah kabupaten di provinsi Jawa Barat, Indonesia. Pada tahun 1745, cikal bakal
masyarakat Bandungsemula berasal dari sembilan kelompok pemukiman
digabungkan oleh Gubernur Baron Van Inhof menjadi inti kesatuan masyarakat
Kabupaten Bandung. Pada waktu itu Bupati Demang Wartawangsa berupaya
meningkatkan kualitas lingkungan hidup dan kesejahteraan rakyat yang berbasis
pertanian dengan menggali terusan dari Ciliwung ke Cimahpar dan dari Nanggewer
sampai ke Kalibaru/Kalimulya. Penggalian untuk membuat terusan kali dilanjutkan di
sekitar pusat pemerintahan, namun pada tahun 1754 pusat pemerintahannya terletak
di Tanah Baru kemudian dipindahkan ke Sukahati (KotaEmpang sekarang).
Terdapat berbagai pendapat tentang lahirnya nama Bandungitu sendiri. Salah
satu pendapat menyatakan bahwa nama Bandungberasal dari kata Bahai atau Baqar
yang berarti sapi dengan alasan terdapat bukti berupa patung sapi di Kebun Raya
Bandung.
Pendapat lainnya menyebutkan bahwa nama Bandungberasal dari kata Bokor
yang berarti tunggul pohon enau (kawung). Pendapat di atas memiliki dasar dan
alasan tersendiri diyakini kebenarannya oleh setiap akhlinya. Namun berdasarkan

1 Portal Resmi Kabupaten Bandung. 2019. Sejarah Kota Bandung. Tersedia di:
https://bandungkab.go.id/pages/sejarah-kabupaten-bandung. Diakses pada 20 Oktober 2019
catatan sejarah bahwa pada tanggal 7 April 1752 telah muncul kata Bandungdalam
sebuah dokumen dan tertulis Hoofd Van de Negorij Bandung, yang berarti kepala
kotaBandung. Pada dokumen tersebut diketahui juga bahwa kepala kotaitu terletak di
dalam lokasi Kebun Raya itu sendiri mulai dibangun pada tahun 1817.
Perjalanan sejarah Kabupaten Bandungmemiliki keterkaitan yang erat dengan
zaman kerajaan yang pernah memerintah di wilayah tersebut. Pada empat abad
sebelumnya, Sri Baduga Maharaja dikenal sebagai raja yang mengawali zaman
kerajaan Pajajaran, raja tersebut terkenal dengan ‘ajaran dari leluhur yang dijunjung
tinggi yang mengejar kesejahteraan’. Sejak saat itu secara berturut-turut tercatat
dalam sejarah adanya kerajaan-kerajaan yang pernah berkuasa di wilayah tersebut,
yaitu:
Kerajaan Taruma Negara, diperintah oleh 12 orang raja. Berkuasa sejak tahun
358 sampai dengan tahun 669.
Kerajaan Galuh, diperintah oleh 14 raja. Berkuasa sejak 516 hingga tahun 852.
Kerajaan Sunda, diperintah oleh 28 raja. Bertahta sejak tahun 669 sampai
dengan tahun 1333. Kemudian dilanjutkan Kerajaan Kawali yang diperintah oleh 6
orang raja berlangsung sejak tahun 1333 hingga 1482.
Kerajaan Pajajaran, berkuasa sejak tahun 1482 hingga tahun 1579. Pelantikan
raja yang terkenal sebagai Sri Baduga Maharaja, menjadi satu perhatian khusus. Pada
waktu itu terkenal dengan upacara Kuwedabhakti, dilangsungkan tanggal 3 Juni
1482. Tanggal itulah kiranya yang kemudian ditetapkan sebagai hari Jadi
Bandungyang secara resmi dikukuhkan melalui sidang pleno DPRD Kabupaten
Daerah Tingkat II Bandungpada tanggal 26 Mei 1972.
Pada tahun 1975, Pemerintah Pusat(dalam hal ini Menteri Dalam Negeri)
menginstruksikan bahwa Kabupaten Bandungharus memiliki Pusat Pemerintahan di
wilayah Kabupaten sendiri dan pindah dari Pusat Pemerintahan Kotamadya Bandung.
Atas dasar tersebut, pemerintah daerah Tingkat II Bandungmengadakan penelitian
dibeberapa wilayah Kabupaten Daerah Tingkat II Bandunguntuk dijadikan calon ibu
kota sekaligus berperan sebagai pusat pemerintahan. Alternatif lokasi yang akan
dipilih diantaranya adalah wilayah Kecamatan Ciawi (Rancamaya), Leuwiliang,
Parung dan Kecamatan Cibinong (Desa Tengah).
Hasil penelitian lebih lanjut menunjukkan bahwa yang diajukan ke pemerintah
Pusat untuk mendapat persetujuan sebagai calon ibu kota adalah Rancamaya wilayah
Kecamatan Ciawi. Akan tetapi pemerintah Pusat menilai bahwa Rancamaya masih
relatif dekat letaknya dengan pusat pemerintahan Kotamadya Bandungdan
dikhawatirkan akan masuk ke dalam rencana perluasan dan pengembangan wilayah
Kotamadya Bandung.
Oleh karena itu atas petunjuk pemerintah Pusat agar pemerintah daerah Tingkat
II Bandungmengambil salah satu alternatif wilayah dari hasil penelitian lainnya.
Dalam sidang Pleno DPRD Kabupaten Daerah Tingkat II Bandungtahun 1980,
ditetapkan bahwa calon ibu kota Kabupaten Daerah Tingkat II Bandungterletak di
Desa Tengah Kecamatan Cibinong.
Penetapan calon ibu kota ini diusulkan kembali ke pemerintah Pusatdan
mendapat persetujuan serta dikukuhkan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun
1982, yang menegaskan bahwa ibu kota pusat pemerintahan Kabupaten Daerah
Tingkat II Bandungberkedudukan di Desa Tengah Kecamatan Cibinong. Sejak saat
itu dimulailah rencana persiapan pembangunan pusat pemerintahan ibu kota
Kabupaten Daerah Tingkat II Bandungdan pada tanggal 5 Oktober 1985 dilaksanakan
peletakan batu pertama oleh Bupati Kepala Daerah Tingkat II Bandungpada saat itu
Dari sisi sejarah, Kabupaten Bandungmerupakan salah satu wilayah yang
menjadi pusat kerajaan tertua di Indonesia. Catatan Dinasti Sung di Cina dan prasasti
yang ditemukan di Tempuran sungai Ciaruteun dengan sungai Cisadane,
memperlihatkan bahwa setidaknya pada paruh awal abad ke 5 M di wilayah ini telah
ada sebuah bentuk pemerintahan. Sejarah lama Dinasti Sung mencatat tahun 430,
433, 434, 437, dan 452 Kerajaan Holotan mengirimkan utusannya ke Cina. Sejarawan
Prof. Dr Slamet Muljana dalam bukunya Dari Holotan ke Jayakarta menyimpulkan
Holotan adalah transliterasi Cina dari kata Aruteun, dan kerajaan Aruteun adalah
salah satu kerajaan Hindu tertua di Pulau Jawa. Prasasti Ciaruteun merupakan bukti
sejarah perpindahan kekuasaan dari kerajaan Aruteun ke kerajaan Tarumanagara
dibawah Raja Purnawarman, sekitar paruh akhir sabad ke-5.
Prasasti-prasasti lainnya peninggalan Purnawarman adalah prasasti Kebon Kopi
di Kecamatan Cibungbulang, Prasasti Jambu di Bukit Koleangkak (Pasir Gintung,
Kecamatan Leuwiliang), dan prasasti Lebak (di tengah sungai Cidanghiyang, Propinsi
Banten). Pada abad ke 6 dan ke 7 Kerajaan Tarumanagara merupakan penguasa
tunggal di wilayah Jawa Barat. Setelah Tarumanagara, pada abad-abad selanjutnya
kerajaan terkenal yang pernah muncul di Tanah Pasundan (Jawa Barat) adalah Sunda,
Pajajaran, Galuh, dan Kawali. Semuanya tak terlepas dari keberadaan wilayah
Bandungdan sekitarnya. Sejarah awal mula berdirinya Kabupaten Bandung,
ditetapkan tanggal 3 Juni yang diilhami dari tanggal pelantikan Raja Pajajaran yang
terkenal yaitu Sri Baduga Maharaja yang dilaksanakan pada tanggal 3 Juni 1482
selama sembilan hari yang disebut dengan upacara “Kedabhakti”.
Nama Bandungmenurut berbagai pendapat bahwa kata Bandungberasal dari
kata “Buitenzorg” nama resmi dari Penjajah Belanda. Pendapat lain berasal dari kata
“Bahai” yang berarti Sapi, yang kebetulan ada patung sapi di Kebun Raya Bandung.
Sedangkan pendapat ketiga menyebutkan Bandungberasal dari kata “Bokor” yang
berarti tunggul pohon enau (kawung). Dalam versi lain menyebutkan nama Bandung
telah tampil dalam sebuah dokumen tanggal 7 April 1952, tertulis “Hoofd Van de
Negorij Bandung” yang berarti kurang lebih Kepala KotaBandung, yang menurut
informasi kemudian bahwa KotaBandungitu terletak di dalam lokasi Kebun Raya
Bandung yang mulai dibangun pada tahun 1817. Asal mula adanya masyarakat
Kabupaten Bandung, cikal bakalnya adalah dari penggabungan sembilan Kelompok
Pemukiman oleh Gubernur Jendral Baron Van Inhof pada tahun 1745, sehingga
menjadi kesatuan masyarakat yang berkembang menjadi besar di waktu kemudian.
Kesatuan masyarakat itulah yang menjadi inti masyarakat Kabupaten Bandung.
Pusat Pemerintahan Bandungsemula masih berada di wilayah Kota
Bandungyaitu tepatnya di Panaragan, kemudian berdasarkan Peraturan Pemerintah
Nomor 6 Tahun 1982, Ibu Kota Kabupaten Bandungdipindahkan dan ditetapkan di
Cibinong. Sejak tahun 1990 pusat kegiatan pemerintahan menempati Kantor
Pemerintahan di Cibinong.
1. Para Bupati Bandung
2. Ipik Gandamana (1948-1949)
3. R.E. Abdoellah (1550-1958)
4. Raden Kahfi (1958-1961)
5. Karta Dikaria (1961-1967)
6. Wisatya Sasmita (1967-1973)
7. Raden Mochamad Muchlis (1973-1976)
8. H. Ayip Rughby (1975-1982)
9. Soedrajat Nataatmaja (1982-1988)
10. H. Eddie Yoso Martadipura (1988-1998)
11. Kol. H. Agus Utara Effendi (1998-2008)
12. Drs. H. Rahmat Yasin (2008-2014)
13. Hj. Nurhayanti (2014-2019)
14. Hj. Ade Munawaroh Yasin (2019-sekarang)

Sejarah Dakwah di Kota Bandung2


Tak lengkap rasanya meneliti Kabupaten Bandungjika tidak dengan Kota
Bandungnya. Hampir secara umum penduduk Bandungmempunyai keyakinan bahwa
Kota Bandungmempunyai hubungan lokatif dengan Kota Pakuan, ibukota Pajajaran.
Asal-usul dan arti Pakuan terdapat dalam berbagai sumber. Di bawah ini adalah hasil

2 Diskominfostandi Kota Bandung. 2016. Sejarah Bandung. Tersedia di:


https://kotabandung.go.id/index.php/page/detail/5/sejarah-bandung. Diakses pada: 20 Oktober 2019.
penelusuran dari sumber-sumber tersebut berdasarkan urutan waktu: Naskah Carita
Waruga Guru (1750-an). Dalam naskah berbahasa Sunda Kuna ini diterangkan bahwa
nama Pakuan Pajajaran didasarkan bahwa di lokasi tersebut banyak terdapat pohon
Pakujajar.
K.F. Holle (1869). Dalam tulisan berjudul De Batoe Toelis te Buitenzorg
(Batutulis di Bandung), Holle menyebutkan bahwa di dekat Kota Bandungterdapat
kotabernama Cipaku, beserta sungai yang memiliki nama yang sama. Di sana banyak
ditemukan pohon paku. Jadi menurut Holle, nama Pakuan ada kaitannya dengan
kehadiran Cipaku dan pohon paku. Pakuan Pajajaran berarti pohon paku yang berjajar
(“op rijen staande pakoe bomen”).
G.P. Rouffaer (1919) dalam Encyclopedie van Niederlandsch Indie edisi Stibbe
tahun 1919. Pakuan mengandung pengertian “paku”, akan tetapi harus diartikan
“paku jagat” (spijker der wereld) yang melambangkan pribadi raja seperti pada gelar
Paku Buwono dan Paku Alam. “Pakuan” menurut Fouffaer setara dengan
“Maharaja”. Kata “Pajajaran” diartikan sebagai “berdiri sejajar” atau “imbangan”
(evenknie). Yang dimaksudkan Rouffaer adalah berdiri sejajar atau seimbang dengan
Majapahit. Sekalipun Rouffaer tidak merangkumkan arti Pakuan Pajajaran, namun
dari uraiannya dapat disimpulkan bahwa Pakuan Pajajaran menurut pendapatnya
berarti “Maharaja yang berdiri sejajar atau seimbang dengan (Maharaja) Majapahit”.
Ia sependapat dengan Hoesein Djajaningrat (1913) bahwa Pakuan Pajajaran didirikan
tahun 1433.
R. Ng. Poerbatjaraka (1921). Dalam tulisan De Batoe-Toelis bij Buitenzorg
(Batutulis dekat Bandung) ia menjelaskan bahwa kata “Pakuan” mestinya berasal dari
bahasa Jawa kuno “pakwwan” yang kemudian dieja “pakwan” (satu “w”, ini tertulis
pada Prasasti Batutulis). Dalam lidah orang Sunda kata itu akan diucapkan “pakuan”.
Kata “pakwan” berarti kemah atau istana. Jadi, Pakuan Pajajaran, menurut
Poerbatjaraka, berarti “istana yang berjajar”(aanrijen staande hoven).
H. Ten Dam (1957). Sebagai Insinyur Pertanian, Ten Dam ingin meneliti
kehidupan sosial-ekonomi petani Jawa Barat dengan pendekatan awal segi
perkembangan sejarah. Dalam tulisannya, Verkenningen Rondom Padjadjaran
(Pengenalan sekitar Pajajaran), pengertian “Pakuan” ada hubungannya dengan
“lingga” (tonggak) batu yang terpancang di sebelah prasasti Batutulis sebagai tanda
kekuasaan. Ia mengingatkan bahwa dalam Carita Parahyangan disebut-sebut tokoh
Sang Haluwesi dan Sang Susuktunggal yang dianggapnya masih mempunyai
pengertian “paku”.
Ia berpendapat bahwa “pakuan” bukanlah nama, melainkan kata benda umum
yang berarti ibukota (hoffstad) yang harus dibedakan dari keraton. Kata “pajajaran”
ditinjaunya berdasarkan keadaan topografi. Ia merujuk laporan Kapiten Wikler (1690)
yang memberitakan bahwa ia melintasi istana Pakuan di Pajajaran yang terletak
antara Sungai Besar dengan Sungai Tanggerang (disebut juga Ciliwung dan
Cisadane). Ten Dam menarik kesimpulan bahwa nama “Pajajaran” muncul karena
untuk beberapa kilometer Ciliwung dan Cisadane mengalir sejajar. Jadi, Pakuan
Pajajaran dalam pengertian Ten Dam adalah Pakuan di Pajajaran atau “Dayeuh
Pajajaran”. Sebutan “Pakuan”, “Pajajaran”, dan “Pakuan Pajajaran” dapat ditemukan
dalam Prasasti Batutulis (nomor 1 & 2) sedangkan nomor 3 bisa dijumpai pada
Prasasti Kebantenan di Bekasi.
Dalam naskah Carita Parahiyangan ada kalimat berbunyi “Sang Susuktunggal,
inyana nu nyieunna palangka Sriman Sriwacana Sri Baduga Maharajadiraja Ratu Haji
di Pakwan Pajajaran nu mikadatwan Sri Bima Punta Narayana Madura Suradipati,
inyana pakwan Sanghiyang Sri Ratu Dewata” (Sang Susuktunggal, dialah yang
membuat tahta Sriman Sriwacana (untuk) Sri Baduga Maharaja Ratu Penguasa di
Pakuan Pajajaran yang bersemayam di keraton Sri Bima Punta Narayana Madura
Suradipati, yaitu pakuan Sanghiyang Sri Ratu Dewata). Sanghiyang Sri Ratu Dewata
adalah gelar lain untuk Sri Baduga. Jadi yang disebut “pakuan” itu adalah “kadaton”
yang bernama Sri Bima dan seterunya. “Pakuan” adalah tempat tinggal untuk raja,
biasa disebut keraton, kedaton atau istana. Jadi tafsiran Poerbatjaraka lah yang sejalan
dengan arti yang dimaksud dalam Carita Parahiyangan, yaitu “istana yang berjajar”.
Tafsiran tersebut lebih mendekati lagi bila dilihat nama istana yang cukup panjang
tetapi terdiri atas nama-nama yang berdiri sendiri. Diperkirakan ada lima (5)
bangunan keraton yang masing-masing bernama: Bima, Punta, Narayana, Madura
dan Suradipati. Inilah mungkin yang biasa disebut dalam peristilahan klasik “panca
persada” (lima keraton). Suradipati adalah nama keraton induk. Hal ini dapat
dibandingkan dengan nama-nama keraton lain, yaitu Surawisesa di Kawali,
Surasowan di Banten dan Surakarta di Jayakarta pada masa silam.
Karena nama yang panjang itulah mungkin orang lebih senang meringkasnya,
Pakuan Pajajaran atau Pakuan atau Pajajaran. Nama keraton dapat meluas menjadi
nama ibukota dan akhirnya menjadi nama negara. Contohnya : Nama keraton
Surakarta Hadiningrat dan Ngayogyakarta Hadiningrat, yang meluas menjadi nama
ibukota dan nama daerah. Ngayogyakarta Hadiningrat dalam bahasa sehari-hari
cukup disebut Yogya.Pendapat Ten Dam (Pakuan = ibukota ) benar dalam
penggunaan, tetapi salah dari segi semantik. Dalam laporan Tome Pires (1513)
disebutkan bahwa bahwa ibukota kerajaan Sunda itu bernama “Dayo” (dayeuh) dan
terletak di daerah pegunungan, dua hari perjalanan dari pelabuhan Kalapa di muara
Ciliwung. Nama “Dayo” didengarnya dari penduduk atau pembesar Pelabuhan
Kalapa. Jadi jelas, orang Pelabuhan Kalapa menggunakan kata “dayeuh” (bukan
“pakuan”) bila bermaksud menyebut ibukota. Dalam percakapan sehari-hari,
digunakan kata “dayeuh”, sedangkan dalam kesusastraan digunakan “pakuan” untuk
menyebut ibukota kerajaan. Untuk praktisnya, dalam tulisan berikut digunakan
“Pakuan” untuk nama ibukota dan “Pajajaran” untuk nama negara, seperti kebiasaan
masyarakat Jawa Barat sekarang ini.
Tanjungsari adalah sebuah kecamatan di Kabupaten Bandung, Provinsi Jawa
Barat, Indonesia, merupakan pemekaran dari Kecamatan Cariu pada tahun 2006,
kecamatan ini diwacanakan akan bergabung dengan Kabupaten BandungTimur.3

Sumber: Wikipedia
Sirnasari adalah desa di kecamatan Tanjungsari, Bandung, Jawa
Barat, Indonesia. Siranasari adalah tempat di mana penulis lahir dan menetap. Desa
inilah yang akan menjadi fokus penelitian mengenai studi deskriptif sejarah dakwah
pada tulisan ini.4

3 Wikipedia Ensiklopedia Bebas. 2019. Kecamatan Tanjungsari. Tersedia di:


https://id.wikipedia.org/wiki/Tanjungsari,_Bandung. diakses pada 22 Oktober 2019.
4 Wikipedia Ensiklopedia Bebas. 2019. Desa Sirnasari. Tersedia di:
https://id.wikipedia.org/wiki/Sirnasari,_Tanjungsari,_Bandung. Diakses pada 22 Oktober 2019.
Sumber: Wikipedia
Sejarah perkembagan atau sejarah dakwah di Bandung merupakan gambaran
kecil sejarah dakwah di indonesia. Jika indonesia sejarah dakwah di awali oleh
masukanya islam dari timur tengah pada abad ke 7, lalu terinternalisasikan pada
kerajaan-kerajaan islam, kemudian diteruskan oleh 9 wali atau akrab dikenal dengan
sebutan wali songo dan kemudian diteruskan oleh para tokoh ulama, kiai. Maka
begitupun terjadi hal serupa di Bandung.
Sejarah dakwah di bandung pertama kali masuk pada kawasan padat penduduk
di Jalan tanjungsari yang berbatasan sama cianjur Ujung Kota Bandungrupanya
menyimpan banyak cerita bersejarah. Kawasan yang dulunya bernama KotaBaru itu
memiliki sejarah panjang tentang tokoh-tokoh penyebaran agama Islam di Kota
Hujan.
Ada tiga tokoh agama yang dahulu tinggal di kawasan Bantasjati Kaum,
dipimpin olehn Saefuloh H. Abdul khobir mendirikan sebuah masjid pada 8 Februari
1307 Masehi atau 2 Ramadhan 728 Hijriah yang diberi nama Masjid Al-Fatta.
Ketika itu Saefuloh H. Abdul khobir dibantu tiga sahabatnya, yaitu Raden
mukhlis (kemudian menjadi besannya),dan Rhojak, dan juga Ace sholihin / Sholihin
yang juga ikut dalam menyebarkan agama Islam “Jadi beliau beliau itu sebenarnya
berbeda asalnya, yaitu dari Cianjur dan ada yang dari jakarta, namun saat dalam
perjalanan mereka bertemu hingga akhirnya singgah di KotaBantarjati Kaum yang
dulunya bernama KotaBaru,” ujar Mukti Natsir ketua DKM Masjid Al-Mustofa.
Mukti menjelaskan bahwa saat menyebarkan agama Islam di kawasan tersebut
Tubagus Al-Mustofa bersama tiga orang sahabatnya memiliki banyak murid . Setelah
mereka wafat, Para santri atau murid dari Tubagus Mustofa pun ikut dimakamkan di
komplek makam sesepuh kotabersama Raden Dita Manggala dan dua makam
keturunan keluarga K.H.Tubagus Mustofa Bakri. Sedangkan K.H.Tubagus Mustofa
Bakri sendiri dimakamkan di Mekkah karena wafat ketika sedang berada di tanah
suci. “Nama Masjid Al-Mustofa diambil dari nama pendirinya, pendiri makam dan
para santri beliau pun dimakamkan disini, namun Tubagus Al Mustofa dimakamkan
di Mekkah,” tuturnya. Karena pendiri mesjid tersebut berasal dari kawasan Cirebon
dan Banten, sering kali banyak warga yang datang untuk berziarah. Mukti pun tidak
mengetahui dari mana para peziarah tersebut mengetahui tentang masjid yang
didirikan oleh penyebar agama Islam asal Banten dan Cirebon.

Islam di Bandung Pada Masa Kerajaan


Napak Tilas Islam di Bandungmenjadi tema besar pembicaraan oleh Majelis
Nadhatul Ulama Kabupaten Bandung. Budayawan Sunda Eman Sulaeman sangat
mengapresiasi itikad baik NU yang mengangkat tema Sejarah Islam di Padjajaran.
Karena belum pernah ada sebelumnya seminar yang membahas hal tersebut secara
spesifik. Alhasil, masyarakat lebih percaya kepada Mitos dan Cerita Legenda bahwa
yang menyebarkan Islam untuk pertama kalinya di Tatar Sunda adalah Prabu Walang
Sungsang, anak dari Sri Baduga Maharaja Prabu Siliwangi, padahal Islam telah
diterima di tanah Sunda puluhan tahun lebih awal.
Berbicara mengenai Sejak Kapan dan Siapa Tokoh yang mengembangkan
Ajaran Rasullulah Muhammad di Kerajaan Sunda Pakuan Pajajaran tentunya tidak
akan tuntas dalam sehari, namun Abah Eman berusaha menyampaikan sejarah
tersebut dengan ringkas dan menarik antusias hadirin yang datang. Diakui oleh
Budayawan Sunda Abah Eman Sulaeman bahwa untuk mendapatkan kajian
keterangan yang otentik tentang Sejarah suatu daerah, tidak dapat hanya menggali
dari opini masyarakatnya atau kirata (kira-kira nyata).
Sejarah Sunda, seperti uraian perjalanan sejarah Kerajaan Pakuan Padjajaran
khususnya,telah berbaur dengan berbagai bentuk cerita dan pendapat yang kirata,
seperti Cerita Rakyat, Legenda, Cerita Pantun, Wawacan, Dongeng, yang semuanya
memiliki Pesona Cerita atau Penggambaran Konotatif yang tentunya tidak sebenarnya
terjadi dan perlu diterjemahkan kembali makna kejadian sebenarnya yang hendak
disampaikan si pengarang cerita agar memiliki bobot, setidaknya secara otentik dapat
diterima.
Perjalanan panjang sejarah Islam di Padjajaran tidak terlepas dengan Sistem
Agama dan Pemerintahan yang berlaku sebelumnya. Kerajaan Sunda Pakuan
Padjajaran merupakan kerajaan paling berpengaruh di tanah Sunda kala Agama Islam
masuk ke Nusantara. Mengacu kepada Prasasti Batutulis, Kabantenan, dan Kawali,
Kerajaan Tarumanagara sebagai penguasa Tatar Sunda sebelumnya mengalami
kemunduran di akhir abad ke-7 M. Inilah yang mengakibatkan lahirnya kerajaan-
kerajaan kecil yang memisahkan diri dari Tarumanagara, yaitu Kerajaan Kuningan,
Galuh, dan Sunda.
Kerajaan Sunda didirikan sejak tahun 669 Masehi oleh Maharaja Tarusbawa
dan pada saat diwastunya Sri Baduga Maharaja Ratu Haji di Pakuan Pajajaran Sri
Sang Ratu Dewata atau Ratu Dewataprana, atau Pamanahrasa, yang lebih dikenal
sebagai Sri Baduga Maharaja Prabu Siliwangi, kerajaan-kerajaan kecil tersebut
menyatu menjadi satu pemerintahan Kerajaan Sunda Pakuan Padjajaran yang
beribukota di Bandung.
39 tahun lamanya masa pemerintahan Prabu Siliwangi (1482 – 1521), dan
selama itu Kerajaan Sunda Pakuan Padjajaran memiliki 6 buah Pelabuhan, yaitu
Banteun, Pontang, Cigeude, Tangerang, Kalapa, dan Cimanuk. Sistem kerajaan
Agraris-Maritim yang diterapkan pada masa itu menyebabkan kemajuan pesat di
bidang Perdagangan Internasional.
Lembaga pengajaran keagaamaan ada dua yaitu Kabuyutan dan Kapendetaan.
Ditetapkan pula lahan-lahan khusus yang disebut Lemah Larangan, Jayagiri, dan
Nusa Sembada. Lemah Larangan adalah tempat pengajaran Keagamaan tapi
keamanannya langsung di bawah tanggung jawab Raja. Oleh Prabu Siliwangi, Ajaran
dari leluhur dijunjung tinggi sehingga tidak pernah kedatangan musuh, baik berupa
laskar maupun penyakit batin atau isu-isu yang mengoncangkan kewibawaan
kerajaan. Senang sejahtera di utara, barat dan timur.
Dalam masa itu, dikenal kepercayaan sinkretisme Syiwa, Budha, dan Sunda
Wiwitan sebagai kepercayaan yang dominan di masyarakat Sunda. Prabu Siliwangi
pada Tahun 1337 M di Sunda Sembawa, selain membangun kabuyutan juga
mendirikan Binayapanti, tempat para wiku serta putra-putri raja dan petinggi kerajaan
mempelajari ilmu Sanghiyang Siksa (perundangan), Sanghiyang Darma
(kepemimpinan), dan Jati Sunda (kepribadian bangsa serta etika moral).
Kemudian Sang Maharaja membangun Gugunungan dekat Bukit Samaya
sebagai tempat penyelenggaraan upacara keagamaan. Gugunungan itu adalah Bukit
Badigul, dan Bukit Samaya adalah gunung Gadung (Samaya=Gadung), kedua lokasi
tersebut kini berada di daerah Rancamaya Bandung. Bukit Badigul menjadi tempat
perabuan raja-raja Sunda Pakuan Padjajaran, Bukit Badigul menjadi tempat perabuan
Prabu Siliwangi pada akhir hayatnya (di sinilah nilai khusus Rancamaya). Mengingat
kebesaran nama Siliwangi dan ketaatan beliau pada ajaran leluhur, maka Prabu
Siliwangi adalah sosok pemimpin yang memiliki etika moral yang tinggi. Etika moral
Jati Sunda yang dijiwai oleh etnis Sunda selama ratusan tahun sebelumnya
menjadikan etnis Sunda sebagai etnis yang jujur, terbuka, dan cinta damai.
Budayawan Sunda Eman Sulaeman membuka tabir masuknya Islam ke
Padjajaran, tidaklah melalui peperangan, seperti paham sebagian mitos yang tersebar.
Adalah salah bahwa Penyerbuan Pasukan Cirebon, Demak, dan Bantenlah awal
masuknya Islam ke Padjajaran. Atau legenda tentang pengejaran Walang Sungsang
(Kian Santang) yang ingin mengislamkan ayahandanya, Prabu Siliwangi.
Agama Islam masuk ke Tatar Pasundan pada abad ke-13, Islam masuk ke Tatar
Pasundan diterima dengan terbuka oleh Prabu Siliwangi. Beliau merestui Agama
Islam berkembang di Padjajaran dan mengizinkan bagi masyarakat Padjajaran yang
meyakininya untuk menganut ajaran Islam. Ajaran baru tersebut masuk pertama
kalinya ke Tatar Sunda oleh Ki Brata Legawa seorang Pangeran Kerajaan Sunda
Galuh yang kaya raya dan berprofesi sebagai saudagar. Yang mana beliau telah
melakukan banyak perjalanan ke Mancanegara di antaranya adalah : Maladewa,
India,sampai akhirnya Tanah Suci Mekkah. Sebutan terkenalnya untuk sawaka Sunda
saat itu adalah Haji Purwa Galuh. Selain berdakwah Ki Brata Legawa juga sering
menyedekahkan hartanya sehingga menarik simpati masyarakat. Keturunan Ki Brata
Legawa salah satunya adalah Syekh Quro yang mendirikan pesantren di Karawang
pada abad ke 15 M, pesantren yang mengajarkan dasar-dasar Islam serta ilmu Al-
Quran.5
Nyatalah bahwa masuknya Islam ke Tatar Pasundan tidak dengan kekerasan.
Selain itu pula, salah satu tonggak sejarah bagi Islam di Tanah Pasundan adalah saat
Prabu Siliwangi memperistri Subang Larang yang beragama Islam, putri dari Ki
Gedeng Tapa, juga santri dari Pesantren Syekh Quro, sebagai Ratu Padjajaran. Dari
Permasuri Subanglarang lahirlah Walang Sungsang, Raja Sangara, dan Rara Santang.
Walang Sungsang sendiri pada akhirnya menjadi mubaligh dan memimpin kadatuan
di Cirebon.

Menurut pemaparan Budayawan Sunda Eman Sulaeman, Penerimaan Ajaran


Islam tidaklah mengakibatkan kemunduran kejayaan Padjajaran pada masa itu.
Bahkan kerajaan Padjajaran sempat pula menjalin hubungan bilateral dengan bangsa
Portugis dibidang politik, ekonomi, dan pertahanan pada tahun 1521 dengan
Surawisesa (Putra Prabu Siliwangi dari Permaisuri Kentringmanik) yang oleh
Portugis disebut Ratu Samiam (Ratu Sanghiyang). Yang memperkuat kedaulatan
Kerajaan Sunda Pakuan Padjajaran secara Internasional.Demikian pentingnyalah
Sejarah Islam digali dan dipelajari oleh para mubaligh, umat muslim masa kini.
Ketua PCNU Kabupaten Bandung, Doni Romdoni menyatakan, agar NU
Bandungbisa menjadi Islam yang sebenarnya, harus mengetahui dulu sejarah Islam.
Salah satu upayanya yakni dengan NAPAK TILAS.
Tentu yang dimaksud dengan Napak Tilas tersebut secara batin adalah dengan
mengadakan seminar dan diskusi sejarah perkembangan Islam khususnya di
Bandung, sedangkan secara lahiriah adalah melakukan sowan atau ziarah ke tempat-
tempat suci dari tokoh mubaligh Islam itu sendiri kelak setelah mengetahui kiprahnya
dalam sejarah perkembangan Islam. Napak tilas diadakan untuk meredam isu
keberadaan Islam radikal yang makin marak. NU ingin meluruskan itu semua, agar
masyarakat kembali ke ajaran Islam yang diterima dan diyakini para orangtua dahulu,
yaitu Ajaran Islam yang Menghargai BUDAYA LOKAL dengan tanpa meninggalkan
inti ajaran Islam itu sendiri. Kesadaran akan sejarah pulalah, Seperti ucapan Bung
Karno “…Jangan Lupakan Sejarah…”, yang turut mengilhami terselenggaranya

5 Wawancara dengan Bapak H. Ajid (Warga KotaBandung) Sabtu, 02 November 2019. Pukul 13.00
WIB.
kegiatan ini. Budayawan Sunda Eman Sulaeman sendiri menganjurkan agar orangtua
menanamkan kecintaan pada Sejarah sejak dini. Bagi Anak – anak berikanlah
pengertian tentang Sejarah yang mudah-mudah, seperti sejarah nama tempat tinggal
mereka, maka dengan sendirinya mereka akan belajar mencintai lingkungannya.
Acara ditutup dengan doa dan Ramah Tamah. Kelompok Marawis TPA Nurul
Huda turut memeriahkan acara Seminar Napak Tilas Islam di Bandungini. Dengan
penuh semangat mereka membawakan lagu-lagu bernuansa Islami mengiringi para
hadirin yang beramah tamah.
Pihak NU menjelaskan bahwa acara Seminar ini tidak akan selesai untuk saat
ini saja namun mereka akan rutin menyelenggarakan diskusi-diskusi dan akan
mengundang Budayawan Sunda Eman Sulaeman untuk turut mengisi acara diskusi
tersebut. Yang sekarang ini secara rutin dilaksanakan setiap Jumat Malam
berbarengan dengan acara pengajian dan ceramah Islami yang dipimpin oleh para
Ulama NU di Sekretariat NU cabang Kabupaten Bandung, Cibinong – Bandung.
Kerajaan Islam Pakuan
Pakuan Pajajaran atau Pakuan (Pakwan) atau Pajajaran (adalah ibu kota
(Dayeuh dalam Bahasa Sunda Kuno) Kerajaan Sunda Galuh yang pernah berdiri pada
tahun 1030-1579 M di Tatar Pasundan, wilayah barat pulau Jawa. Lokasinya berada
di wilayah Bandung, Jawa Barat sekarang. Pada masa lalu, di Asia Tenggara ada
kebiasaan menyebut nama kerajaan dengan nama ibu kotanya sehingga Kerajaan
Sunda Galuh sering disebut sebagai Kerajaan Pajajaraan.
Lokasi Pajajaran pada abad ke-15 dan abad ke-16 dapat dilihat pada peta
Portugis yang menunjukkan lokasinya di wilayah Bandung, Jawa Barat. Sumber
utama sejarah yang mengandung informasi mengenai kehidupan sehari-hari di
Pajajaran dari abad ke 15 sampai awal abad ke 16 dapat ditemukan dalam naskah
kuno Bujangga Manik. Nama-nama tempat, kebudayaan, dan kebiasaan-kebiasaan
masa itu digambarkan terperinci dalam naskah kuno tersebut.

Islam di Bandung Pada Awal sampai Sekarang


6
Perdagangan
KotaBandung merupakan daerah yang juga bagian Indonesia yang tersentuh
Islam perdagangan. Pada abad ke-7 M, bangsa Indonesia kedatangan para pedagang
Islam dari Gujarat/India, Persia, dan Bangsa Arab. Saat berdagang terjadilah
komunikasi antara penjual dan pembeli, atas interaksi ini maka terjadilah penyebaran
agama Islam. Sebagai seorang muslim mempunyai kewajiban berdakwah maka para
pedagang Islam juga menyampaikan dan mengajarkan agama dan kebudayaan Islam
kepada orang lain, akhirnya banyak pedagang Indonesia memeluk agama Islam dan
merekapun menyebarkan agama Islam dan budaya Islam yang baru dianutnya kepada
orang lain. Secara bertahap agama dan budaya Islam tersebar dari pedagang
Gujarat/India, Persia, dan Bangsa Arab kepada bangsa Indonesia. Proses penyebaran
Islam melalui perdagangan sangat menguntungkan dan lebih efektif dibanding
cara lainnya.
PADA dasarnya sifat orang Indonesia itu toleran, ramah, senang berkawan
sebagaimana sifat pedagang. Dan pada awalnya Islam yang berkembang juga lebih
menekankan dimensi tassawuf yang menekankan keluhuran budi pekerti sehingga
lebih mudah bergaul dan berkomunikasi dengan pemeluk Hindu-Budha kala itu. Baru
belakangan saja muncul gerakan radikalisme-terorisme dan dakwah agama yang
keras yang dengan mudah mengkafirkan dan menjelekkan orang lain, bahkan

6 Wawancara dengan Bapak H. Ajid (Warga KotaBandung) Sabtu, 02 November 2019. Pukul 13.20
WIB.
terhadap umat Islam sendiri. Andaikan dulu para pembawa Islam sikapnya seperti itu,
pasti nusantara ini tidak menjadi kantong umat Islam seperti sekarang ini.
Sejarah telah mencatat bahwa Islam Indonesia yang datang dan berkembang
tanpa melalui peperangan. Melainkan lewat perdagangan dan penyebaran secara
damai. Perang muncul belakangan ketika penjajah Barat datang. Keberagaman
seseorang dan masyarakat dipengaruhi oleh banyak faktor. Indonesia sebagai negara
kepulauan yang tanahnya amat subur tentu watak masyarakatnya berbeda dari
penduduk Arabia yang dikelilingi padang pasir yang dalam sejarahnya senang
berperang antarsuku memperebutkan sumber air dan padang rumput.
Masyarakat nusantara hidup terpencar ke dalam ribuan pulau yang subur,
sehingga ikatan suku dan daerah begitu kuat, namun tidak perlu berebut sumber air
atau padang rumput. Hubungan perdagangan antar pulau sudah lama terjalin.
Kehadiran pedagang Arab dan China ke nusantara turut memajukan perdagangan
dengan pusat di kota-kota pantai. Dulu kota pantai merupakan pusat perdagangan dan
sekaligus juga pusat penyebaran Islam dan bahasa Melayu. Ikatan keislaman dan
peran bahasa Melayu ini pada urutannya menjadi pengikat kohesi ke-Indonesiaan.
Dengan berkembangnya zaman, peran kota pantai merosot. Pusat perdagangan
dan keislaman serta industri tumbuh pesat di kota pedalaman. Terlebih dengan
kemajuan transportasi pesawat terbang, maka perkembangan kota pantai jauh
ketinggalan. Pengaruh Islam mudah dijumpai sejak dari dari Aceh sampai Papua.
Namun sebaliknya, ekspressi keislaman di Indonsia juga sangat dipengaruhi dan
diperkaya oleh sekian ragam adat, tradisi dan bahasa yang berkembang di Indonesia.
Fakta ini membuat muslim di Indonesia menjadi unik dan memiliki karakter
tersendiri. Antara lain keberagamaan yang toleran dan menghargai tradisi lokal.
Sebagian orang mengatakan itu bid’ah dan pendangkalan agama, namun sebagian lagi
mengatakan itulah kekayaan budaya muslim Indnesia yang mampu mengakomodasi
tradisi lokal tanpa merusak prinsip-prinsip dasar ajaran Islam.
Yang paling fenomenal dan historis adalah pembentukan negara Republik
Indonesia yang berdasarkan Pancasila. Sebuah pertemuan dan kompromi antara
Islamisme, nasionalisme dan modernisme. Meski umat Islam sebagai warga negara
mayoritas, dan sederet nama pejuang kemerdekaan adalah tokoh-tokoh Islam tapi
Indonesia menganut paham demokrasi (republik), bukan negara Islam (Islamic State)
di mana negara tetap peduli terhadap pembinaan kehidupan beragama yang dipayungi
oleh Pancasila dan dilindungi oleh UU.
Ini merupakan jalan tengah (middle path), sebuah ijtihad dan eksperimentasi
sejarah yang tidak memperhadapkan antara keislaman dan kebangsaan, antara
Islamisme dan nasionalisme. Pancasila merupakan landasan bersama (kalimatun
sawa’) untuk mengakomodasi dan melindungi keragaman etnis, agama dan
kepercayaan penduduk nusantara yang sangat plural ini, dimana semua warga negara
memiliki kedudukan sama di depan hukum.
Secara normatif-ideologis nilai-nilai luhur bangsa Indonesia tercantum dalam
Pancasila, yang memiliki akar kultural-filosofis ke masa lalu dan hidup dalam
masyarakat, namun sekaligus juga visioner menatap dan menjangkau masa depan.
Lebih dari itu, Pancasila juga memiliki rujukan atau sumber transendental,
sebagaimana tertera dalam sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa.
Kebertuhanan merupakan fondasi dan kesadaran awal yang mesti ditanamkan
pada warga negara melalui berbagai jalur pendidikan sejak dini, baik di rumah tangga
maupun sekolah. Yaitu kebertuhanan yang menumbuhkan rasa cinta pada nilai-nilai
kemanusiaan, keadilan dan keadaban. Bukan kebertuhanan yang bersikap eskapis, lari
dari kepedulian terhadap agenda kemanusiaan. Bukan kebertuhanan yang anti-
kemanusiaan dan peradaban.

Perkawinan7
Tidak semua umat atau penduduk Islam di Bandung menikah dengan sesama
penduduk kampung, maelainkan juga dengan campur dari berbagai daerah dan
terdapat pula dari yang awalnya berbeda agama. Sebagian para pedagang Islam ada
yang menetap di Indonesia dan para pedagang ini menikah dengan wanita Indonesia,
terutama putri raja atau bangsawan. Karena pernikahan itulah, maka banyak keluarga
raja atau bangsawan masuk Islam. Ketika keluarga raja dan bangsawan memeluk
agam islam, akhirnya diikuti oleh rakyatnya. Dengan demikian Islam cepat
berkembang.

Pendidikan8
Perkembangan Islam yang cepat menyebabkan muncul tokoh ulama yang
menyebarkan Islam melalui pendidikan dengan mendirikan pondok-pondok
pesantren. Pesantren adalah tempat pemuda pemudi menuntut ilmu yang
berhubungan dengan agama Islam. Setelah para pelajar tersebut selesai dalam
menuntut ilmu mengenai agama Islam, mereka mengajarkan kembali ilmu yang
diperolehnya kepada masyarakat sekitar, hingga akhirnya masyarakat sekitar menjadi
pemeluk agama Islam.

7 Wawancara dengan Bapak H. Ajid (Warga KotaBandung) Sabtu, 02 November 2019. Pukul 13.50
WIB.
8 Wawancara dengan Bapak H. Ajid (Warga KotaBandung) Sabtu, 02 November 2019. Pukul 14.01
WIB.
Politik9
Seorang raja mempunyai kekuasaan dan pengaruh yang besar dan memegang
peranan penting dalam proses penyebaran agama Islam tersebut. Jika raja sebuah
kerajaan memeluk agama Islam, maka rakyatnya akan memeluk agama Islam juga.
Alasannya karena masyarakat Indonesia memiliki kepatuhan yang tinggi terhadap
rajanya. Demi kepentingan politik maka Raja akan mengadakan perluasan wilayah
kerajaan, yang diikuti dengan penyebaran agama Islam.

Melalui Dakwah di Kalangan Masyarakat10


Masyarakat Bandung sendiri memilki para pendakwah yang menyebarkan
Islam di lingkungannya, seperti K.H Aep Saepulloh Gojali menyebarkan agama Islam
di daerah Bandung, Bandung. Ia menyebarkan Islam di daerah Bandung. Dakwahnya
berupa ceramah-cermah di kalangan masyarakat baik dalam acara pengajian biasa
maupun dalam acara-acara tertentu seperti misalnya Khutbah Jumat, acara
pernikahan, sudatan dan lain sebagainya. Isi dakwahnya juga bervariasi baik tetnang
fikih, aqidah dan lain sebagainya.

Seni Budaya11
Perkembangan Islam atau dakwah di Bandung juga melalui seni budaya, seperti
bangunan (masjid), seni pahat, seni tari, seni musik, dan seni sastra. Beberapa seni ini
banyak dijumpai di Jogjakarta, Solo, dan Cirebon. Seni ini dibuat dengan cara
mengakrabkan budaya daerah setempat dengan ajaran Islam yang disusupkan ajaran
tauhid yang dibuat sederhana, sehalus dan sedapat mungkin memanfaatkan tradisi
lokal.
Kata dakwah berasal dari bahasa Arab yaitu da’aa – yad’u – da’watan yang
artinya mengajak atau menyeru. Syekh Ali Mahfudz dalam kitabnya Hidayatul
Mursyidin, menyebutkan bahwa dakwah adalah mengajak manusia untuk melakukan
kebaikan dan mencegah manusia untuk berbuat kemungkaran agar mendapatkan
kebahagiaan di dunia dan di akhirat.
Oleh karena itu, dakwah merupakan suatu aktivitas yang mempunyai tujuan
mengajak manusia untuk menjadi pribadi yang lebih baik. Ajakan tersebut dilakukan
agar manusia tidak terjerumus atau tersesat ke jalan yang salah. Manusia pada
9 Wawancara dengan Bapak H. Ajid dan H. Aep Saepulloh Gojali (Warga KotaBandung) Sabtu, 02
November 2019. Pukul 14.14 WIB.
10 Wawancara dengan Bapak H. Ajid dan H. Aep Saepulloh Gojali (Warga KotaBandung) Sabtu, 02
November 2019. Pukul 14.20 WIB.

11 Wawancara dengan Bapak Abah Ikong (Warga KotaBandung) Sabtu, 02 November 2019. Pukul
14.32 WIB
dasarnya memiliki dua sifat, yaitu baik dan buruk. Dengan adanya dakwah, dapat
menuntun manusia untuk berbuat lebih baik dan meninggalkan kebiasaan yang buruk.
Hal tersebut dilakukan agar mendapatkan kebahagiaan di dunia dan di akhirat.
Sejarah dakwah melalui penyebaran agama Islam di Nusantara tidak lepas dari
peran Walisongo. Dalam menyebarkan agama Islam, banyak metode yang dapat
digunakan seperti lisan, tulisan, atau melalui seni dan budaya. Walisongo melakukan
aktivitas dakwah melalui seni dan budaya karena masyarakat pada saat itu mayoritas
menganut agama Hindu yang masih kental dengan adat dan budaya nenek
moyangnya. Pertunjukan wayang merupakan pertunjukkan ritual keagamaan
masyarakat Jawa sebelum datangnya agama Islam.
Masyarakat Jawa meyakini bahwa dengan mengadakan pertunjukan wayang
maka akan terhindar dari bencana yang bersifat ghaib. Karena pertunjukkan wayang
ini bersifat keagamaan, maka Walisongo mengadakan pertunjukkan wayang sebagai
metode atau cara untuk menyebarkan agama Islam. Seiring berjalannya waktu,
Walisongo berdakwah tidak hanya melalui pertunjukkan wayang, akan tetapi
berkembang menjadi seni lukis, seni suara, seni musik, dan lain sebagainya.
Sunan Kalijaga adalah salah satu Walisongo yang menggunakan metode seni
dan budaya dalam menyebarkan agama Islam. Sunan Kalijaga menggunakan
kesenian wayang dan suara (musik) dalam menyebarkan dakwah Islam. Sunan
Kalijaga memasukkan nilai-nilai Islam ke dalam cerita wayangnya dan beberapa lagu
yang beliau ciptakan. Salah satu lagu yang beliau ciptakan adalah lagu Lir Ilir.
Meskipun ada beberapa perbedaan pendapat tentang siapa pencipta asli lagu ini, akan
tetapi Sunan Kalijaga dikenal sebagai waliyullah yang menggunakan lagu Lir-Ilir
untuk berdakwah.
Lir-ilir, Lir-ilir, tandure wes sumilir
Sing ijo royo-royo, tak sengguh kemanten anyar
Cah angon-cah angon, penekno blimbing kuwi
Lunyu-lunyu penekno kanggo basuh dodotiro
Dodotiro-dodotiro, kumintir bedah ing pinggir
Dondomono, jlumotono, kanggo sebo mengko sore
Mumpung gedhe rembulan e, mumpung jembar kalangan e
Dak soraka sorak hore
Tembang atau lagu Lir-ilir yang diciptakan oleh Sunan Kalijaga mengandung
makna ajakan untuk masuk agama Islam. Lagu tersebut menjelaskan bahwa kita
sebagai pemeluk agama Islam harus memperkuat iman kita kepada Allah SWT. Pada
lagu tersebut, iman diibaratkan sebagai tanaman.
Jika kita terus memupuk tanaman dengan melakukan amal sholeh, maka iman
kita akan semakin kuat. Begitu juga sebaliknya, jika kita tetap membiarkan
tanamannya layu maka iman kita akan semakin lemah. Ketika iman sudah mulai kuat,
maka kita akan mendapatkan kebahagiaan seperti rasa bahagianya pengantin baru.
Setelah iman bertambah dan semakin kuat, sebagai orang muslim hendaknya
bisa menjaga atau mengendalikan hawa nafsunya. Walaupun dirasa susah, kita
sebagai muslim harus berusaha menahan godaan untuk berbuat munkar dan tetap
berusaha mengerjakan amal sholeh. Selama kita masih sehat dan memiliki waktu
luang, memperbaiki diri adalah hal yang harus dilakukan. Sebagai manusia biasa, kita
harus saling mengingatkan satu sama lain. Karena dakwah adalah kewajiban bagi
setiap orang muslim, wajib bagi laki-laki maupun perempuan.
Dakwah Walisongo berselang masa berabad-abad lamanya, maka di era ini kita
mengenal Sujiwo Tejo. Sujiwo Tejo adalah salah satu budayawan dan seniman yang
menyampaikan pesan dakwah melalui seni dan budaya dengan tetap menanamkan
nilai-nilai religius di dalam karyanya. Sujiwo Tejo adalah seorang seniman yang
memegang teguh budaya-budaya Indonesia terutama budaya Jawa. Sugih Tanpo
Bondo adalah salah satu lagu yang dibawakan oleh Sujiwo Tejo. Lagu Sugih Tanpo
Bondo berisi tentang kesederhanaan dan kepasrahan kepada Allah SWT.
Pencipta bait-bait lagu Sugih Tanpo Bondo adalah Raden Mas Panji
Sosrokartono, yaitu kakak dari Raden Ajeng Kartini. Kemudian Sujiwo Tejo
menyanyikan bait-bait yang disusun oleh Raden Mas Panji Sosrokartono dengan
mengolah melodinya dari Banyuwangi. Bait-bait yang terdapat dalam lagu Sugih
Tanpo Bondo digunakan oleh Sujiwo Tejo dalam menyiarkan dakwah Islam. Berikut
lirik dari lagu Sugih Tanpo Bondo:
Sugih tanpo bondo (kaya tanpa harta)
Digdoyo tanpo aji (kekuatan tanpa mantra)
Trima mawih pasrah (ikhlas dengan apa yang sudah kamu miliki)
Sepi pamrih tepi ajrih (tidak perlu takut jika tidak berbuat jahat)
Langgeng tanpo susah tanpo seneng (tetap tenang dalam keadaan susah maup senang)
Anteng menteng sugeng jeneng (diam sungguh-sungguh maka akan selamat sentosa)

Maksud dari lagu Sugih Tanpo Bondo adalah bahwa sebagai manusia ciptaan-
Nya, kita tidak perlu merasa kaya dengan memiliki banyak harta. Dengan hidup
sederhana kita sudah bisa merasa bahagia. Karena ukuran kebahagiaan tidak dihitung
berdasarkan materi atau kekayaan yang dimiliki. Dengan mensyukuri nikmat yang
telah Allah berikan, maka Allah akan menambah nikmat kepada kita.
Dalam kondisi apapun baik suka maupun duka, kita harus tetap tenang karena
Allah bersama kita dan Allah tidak akan memberikan cobaan kepada hamba-Nya
melebihi batas kemampuan yang dimiliki oleh hamba-Nya.
Dari cara berdakwah yang dilakukan Sunan Kalijaga dan Sujiwo Tejo dapat
diambil kesimpulan bahwa kegiatan dakwah tidak hanya sebatas berbicara di depan
mimbar. Akan tetapi melalui seni dan budaya kita dapat mengajak manusia untuk
melakukan kebaikan.

Dakwah Media Massa12


Di era sekarang ini termasuk di Bandung, tidak menutup kemungkinan untuk
berdakwah melalui seni suara. Karena dengan seni suara dapat untuk membantu da’i
dalam proses syi’ar Islam. Apalagi didukung dengan semakin canggihnya teknologi,
akan mempermudah da’i dalam penyampaian pesan dakwahnya kepada mad’u seperti
lagu yang diciptakan kemudian di unggah melalui media sosial.
Perkembangan dan kemajuan media massa dari tahun ke tahun semakin
meningkat seiring dengan kemajuan teknologi komunikasi. Sebagai alat komunikasi
massa, media massa mempunyai peranan yang signifikan sebagai agen perubahan
sosial (agent of change). Dengan kemajuan yang dicapai peranan media massa sat ini
bukan hanya terbatas pada alat komunikasi massa, penyampai berita dan hiburan saja,
akan tetapi sebagian media massa telah menggunakan acara siaran yang
diprogramkan untuk menyampaikan pesan agama, khususnya media televisi. Dalam
program acara disebuah stasiun televisi berbagai kemasan acara yang disusun untuk
menyampaikan pesan agama, baik itu melalui sinetron, acara siraman rohani, dan lain
sebagainya. Dengan demikian media massa telah ambil bagian untuk
mengkomunikasikan penyampaian pesan agama pada masyarakat luas.
Apapun bentuknya, aktivitas dakwah mutlak menggunakan media (channel)
dakwah. Jika dakwah dilaksanakan dalam ruangan, maka media yang paling
sederhana dapat menggunakan mimbar ataupun penggunaan multimedia proyektor.
Perkembangan dan kemajuan teknologi media massa khususnya televisi dapat
dimanfaatkan sebagai media dakwah. Pada dasarnya media dakwah yang digunakan
mengacu pada siapa objek dakwah yang dihadapi, kepandaian subjek dakwah
menggunakan media dakwah dapat mempengaruhi berhasil tidaknya pelaksanaan
dakwah Islamiyah. Sebaliknya, keahlian subjek dakwah meramu materi dakwah
dengan kesesuaian media yang digunakan, dapat menjadi faktor penunjang

12 Wawancara dengan Bapak Maman dan Ibu Siti Maemunah (Warga KotaBandung) Sabtu, 02
November 2019. Pukul 14.41 WIB
keberhasilan dakwah. Perlu diingat adalah, materi dakwah ada kalanya memerlukan
media tertentu dalam pelaksanaanya.
Media massa merupakan sumber informasi utama mengenai kejahatan dan
sistem peradilan, termasuk televisi memberikan sumbangan yang relatif besar dalam
membentuk kesan (impression) terhadap kenyataan kejahatan di tengah masyarakat2 .
positif media massa terhadap masyarakat, masyarakat dapat menerima siaran berita
dan informasi, dapat menambah wawasan pengentahuan, unsur hiburan yang
dibutuhkan masyarakat dapat terpenuhi melalui siaran televisi, maupun berita di
koran ataupun majalah. Sedangkan unsur negatif dapat berupa pengurangan budaya
dan moral, dalam acara televisi banyak kita temukan perkara-perkara sihir, yang
biasanya ditampilkan dalam bentuk sinetron-sinetron mistik yang menampilkan
kebolehan pemerannya yang mempunyai kekuatan sihir luar biasa dalam setiap
adegan pertempuran. Dengan memanfaatkan peranan media massa yang dapat
menjangkau semua lapisan masyarakat secara cepat dan akurat, diharapkan
penyampaian pesan agama yang difasilitasi oleh media massa dapat berhasil dengan
baik.
Agama Islam mengajarkan kepada umatnya untuk saling mengasihi dan
menyayangi, serta bersatu padu membina kerukunan hidup. Sehingga kebahagiaan
dunia akhirat dapat tercapai. “agama mempersatukan kelompoknya sendiri sehingga
apabila tidak dianut oleh seluruh atau sebagian anggota masyarakat, ia bisa menjadi
kekuatan yang mencerai beraikan, memecah-belah dan bahkan menghancurkan”.
Perintah Allah untuk selalu bersatu dan menjaga keutuhan umat, terdapat dalam Al-
Quran Surah Ali Imran ayat 103 : “Dan berpegang teguhlah kamu kepada tali
(Agama) Allah dan janganlah kamu bercerai berai…”.
Asmuni Syukir mengelompokkan macam-macam masyarakat menjadi tiga
kelompok, yaitu: “masyarakat primitif, masyarakat desa, dan masyarakat kota.
Masyarakat desa lebih religius dan masih sangat patuh pada agama dan kepercayaan
yang dianutnya”.
Mencermati pendapat Syukir tersebut di atas, tidak dapat dipungkiri bahwa
masyarakat desa secara realitas memang cenderung lebih religius di bandingkan
dengan masyarakat desa dan masyarakat primitif. Suasana religius di desa lebih terasa
dengan adanya kebersamaan dalam mengamalkan ajaran agama, hal ini terlihat masih
banyaknya masyarakat desa yang mengaji, shalat berjamaah secara bersama-sama.
Walaupun demikian, masyarakat kota juga melakukan hal yang sama dengan
masyarakat desa dalam kegiatan keagamaan, namun karena pengaruh pekerjan dan
kesibukan serta waktu sajalah maka masyarakat kota cenderung mengamalkan ajaran
agama lebih sedikit secara bersama-sama seperti masyarakat desa pada umumnya.
Menurut Maftuh yang dikutip oleh Muhyidin21, karakter masyarakat desa dan
metode dakwah yang dapat digunakan pada mereka adalah sebagai berikut :
1. Komunitas desa relatif sederhana, taat pada tradisi dan agama.
2. Adanya kontrol sosial yang kuat.
3. Menggunakan pendekatan bahasa, struktur, dan kultur yang relevan dengan
masyarakat pedesaan (bilisani qaumihi), sederhana, dapat dipahami, dan sesuai
dengan kebutuhan.
4. Melalui pendekatan dan kerjasama dengan tokoh panutannya
5. Menggunakan bahasa lisan yang komunikatif dalam penjelasan tentang sesuatu
untuk terciptanya kondisi pemahaman, persepsi, dan sikap.
6. Menggunakan metode pendekatan karya nyata (amal) dengan memprioritaskannya
kebutuhan yang mendesak dan menyentuh kebutuhan real masyarakat secara
umum.
7. Melalui pemanfaatan sikap dan karakteristik yang positif yang dimiliki masyarakat
pedesaan, yaitu ketaatan, gotong royong, dan kepedulian.
8. Membantu dalam mencari solusi dari problema sosial, budaya, dan ekonomi yang
sedang dihadapi.
Bangsa Indonesia dikenal dengan masyarakat Islam yang terbesar di dunia.
Namun walaupun demikian bukan berarti dengan besarnya jumlah penganut agama
tidak ada masalah yang di hadapi. Masalah yang ada pada masyarakat memerlukan
dakwah sebagai filterisasi dan sarana terciptanya kerukunan ukhuwah Islamiah.
Masyarakat sebagai sub system dari suatu negara, dijamin dalam menganut
agama dan kepercayaannya. Di Indonesia kebebasan menganut suatu agama oleh
masyarakat dijamin oleh undang-undang. Dalam UUD 1945 ayat 29 dikemukakan
dengan jelas bahwa negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk
memeluk agamanya masing-masing.
Televisi dapat menjadi alat propaganda dan mempengaruhi sikap, dan opini
publik melalui acara siaran yang ditayangkan. Pengaruh media massa cukup
signifikan terhadap perilaku dan sikap orang yang mengkonsumsi produk media
massa tersebut. Berita, film, dan sinetron dapat mempengaruhi opini dan sikap
khalayak. Pengaruh tayangan film dan sinetron yang tayang di setiap stasiun televisi
mempunyai muatan misi tertentu, misalnya ; hampir disetiap stasiun televisi
khususnya televisi swasta memberikan hiburan film dan sinetron yang berbau mistik,
animisme yang dapat mengurangi keyakinan terhadap kekuasaan Tuhan. Sebuah
film/sinetron yang ditayangkan adakalanya hanya menceritakan perilaku hidup
mewah dan konsumtif, pertengkaran keluarga, perebutan harta warisan dan lain
sebagainya yang kesemuanya itu disadari atau tidak dapat mempengaruhi orang yang
menyaksikan acara tersebut.
Pemanfaatan televisi sebagai media dakwah di antaranya telah di lakukan oleh
beberapa stasiun televisi baik televisi pemerintah maupun televisi swasta. Bentuk
pemanfatan media televisi tersebut dibuktikan dengan adanya beberapa acara sinetron
yang bernuansa Islam yang sebagian ceritanya diangkat dari kisah nyata dalam
kehidupan sehari-hari.
Sinetron merupakan singkatan dari sinema elektronik yang berarti sebuah karya
cipta seni budaya, yang merupakan media komunikasi audio visual yang dibuat
berdasarkan sinematografi dengan direkam pada pita video, melalui proses elektronik
lalu ditayangkan melalui stasiun penyiaran televisi. Sebagai media komunikasi massa,
sinetron memiliki ciri-ciri, di antaranya bersifat satu arah serta terbuka untuk publik
secara luas dan tidak terbatas.
Pesan-pesan dakwah yang disampaikan melalui sinetron lebih mudah sampai
kepada mad’u (masyarakat). Selain itu, pesan verbal yang digunakan dalam sinetron
dapat diimbangi dengan pesan dakwah visual yang memiliki efek sangat kuat
terhadap pendapat, sikap dan perilaku mad’u. Hal ini sangat mungkin terjadi karena
dalam sinetron, selain pikiran, perasaan pemirsa pun dilibatkan dalam penyampaian
pesannya. Dalam sinetron juga terdapat kekuatan dramatik dan hubungan logis
bagian-bagian cerita yang tersaji dalam alur cerita, kekuatan yang dibangun akan
diterima mad’u secara penghayatan, sedangkan hubungan logis diterima mad’u secara
pengetahuan.

REFERENSI
Diskominfostandi Kota Bandung. 2016. Sejarah Bandung. Tersedia di:
https://kotabandung.go.id/index.php/page/detail/5/sejarah-bandung. Diakses pada: 20 Oktober
2019.
Portal Resmi Kabupaten Bandung. 2019. Sejarah Kota Bandung. Tersedia di:
https://bandungkab.go.id/pages/sejarah-kabupaten-bandung. Diakses pada 20 Oktober 2019
Wikipedia Ensiklopedia Bebas. 2019. Desa Sirnasari. Tersedia di:
https://id.wikipedia.org/wiki/Sirnasari,_Tanjungsari,_Bandung. Diakses pada 22 Oktober 2019.
Wikipedia Ensiklopedia Bebas. 2019. Kecamatan Tanjungsari. Tersedia di:
https://id.wikipedia.org/wiki/Tanjungsari,_Bandung. diakses pada 22 Oktober 2019.

SUMBER WAWANCARA
Kiai dan Ulama KotaBandung. Diambil pada , 02 November 2019.
Wawancara dengan Bapak Abah Ikong (Warga KotaBandung) Sabtu, 02 November 2019. Pukul 14.32
WIB
Wawancara dengan Bapak H. Ajid (Warga KotaBandung) Sabtu, 02 November 2019.
Wawancara dengan Bapak H. Ajid dan H. Aep Saepulloh Gojali (Warga KotaBandung) Sabtu, 02
November 2019.
Wawancara dengan Bapak Maman dan Ibu Siti Maemunah (Warga KotaBandung) Sabtu, 02 November
2019. Pukul 14.41 WIB

Anda mungkin juga menyukai