Assalamu'alaikum Wr Wb
Hai kawan, ini adalah sekilas Biografi Syekh Muhammad Yasin Bin Muhammad Isa AlFadani
Nama lengkap beliau adalah Abu al-Faydl Alam al-Din Muhammad Yasin
ibn Muhammad Isa al-Fadani. Ulama keturunan Padang. Mufti (pemberi
fatwa) mazhab Syafii di Mekah, dan penulis beberapa literature
khazanaha keislaman. Lahir pada tahun 1335 H./ 1915 M. di Makkah.
Menimba ilmu, mula-mula dari ayahnya sendiri; Syaikh Isa al-Fadani, lalu
kepada bapa saudaranya, Syaikh Mahmud al-Fadani.
Setelah itu melanjutkan pendidikannya di Madrasah Shawlahiyyah
(1346H) dan akhirnya di Dar al-Ulum al-Diniyyah, Makkah (tamat 1353H).
selain pendidikan formal, Syeikh Yasin juga banyak berguru kepada
ulama-ulama besar Timur Tengah. Diantaranya beliau belajar ilmu Hadist
pada syeikh Umar Hamdan, pada Syeikh Muhammad Ali bin Husain alMaliki, Syeikh Umar Ba junaid, mufti Syafiiyyah Makkah, lalu pada Syeikh
Said bin Muhammad al-Yamani, dan Syeikh Hassan al-Yamani. Dalam
disiplin ilmu Ushul fiqh, beliau menimba ilmu diantaranya pada Syeikh
Muhsin bin Ali al-Palimbani al-Maliki (ulama keturunan Palembang yang
tinggal di Mekah), Sayyid Alwi bin Abbas al-Maliki al-Makki (ayah
kandung Sayyid Muhammad ulama Sunni Kontemporer dari Arab Saudi)
dan banyak ulama berpengaruh lainnya. Bahkan disebutkan bahawa
jumlah gurunya mencapai kisaran 700 orang, lelaki mahupun perempuan.
Selama bertahun-tahun Syeikh Yasin aktif mengajar dan memberi kuliah di
Masjidil Haram dan dar al-Ulum al-Diniyyah, Makkah, terutama pada mata
kuliah ilmu Hadits. Pada tiap-tiap bulan Ramadhan selalu membaca dan
mengijazahkan salah satu diantara Kutub al-Sittah (6 kitab utama ilmu
Hadits). Hal itu berlangsung lebih kurang 15 tahun. Syeikh yasin juga
menulis hingga mencapai lebih dari 60 buah, diantaranya Al-Durr alMandlud Syarh Sunan Abi Dawud 20 Juz, Fath al-Allam syarh Bulugh alMaram 4 jilid, Nayl al-Mamul ala Lubb al-Ushul wa Ghayah al-wushul, AlFawaiad al-Janiyyah dan sebagainya, termasuk tulisnya tentang ilmu
periwayatan hadits. Syeikh yasin wafat pada hari Jumat 28 Dzul al-Hijjah
1410 H. dan dimakamkan selepas solat Jumat di permakaman Mala ,
Makkah Al-Mukarramah.
KARYA TULIS & MURID
Jumlah karya beliau mencapai 97 Kitab, di antaranya 9 kitab tentang Ilmu
Hadits, 25 kitab tentang Ilmu dan Ushul fiqih, 36 buku tentang ilmu Falak,
dan sisanya tentang Ilmu-ilmu yang lain
Di antara murid-murid yang pernah berguru dan mengambil Ijazah sanadsanad Hadits dari beliau adalah Al-Habib Umar bin Muhammad (Yaman),
Syekh M. Ali Asshabuni (Syam), Doctor M. Hasan Addimasyqi, Syekh
Ismail Zain Alyamani, Doctor Ali Jumah (Mesir), Syekh Hasan Qathirji,
Tuan Guru H. M. Zaini Abdul-Ghani (Kalimantan) dll
Dan di antara murid-murid beliau yang di samping mengambil Sanad
Hadits, mendapatkan Ijazah Ammah dan Khasshah, juga diberi izin untuk
mengajar di Madrasah Darul-Ulum adalah: H. Sayyid Hamid Al-Kaff, Dr.
Muslim Nasution, H.Ahmad Damanhuri, H.M.Yusuf Hasyim, H.M. Abrar
Dahlan, Dr. Sayyid Aqil Husain Al Munawwar, Ustaz Sukarnawadi, KH.
Husnudduat dll
Ustaz Sukarnawadi salah satu dari muridnya pernah bercerita, seseorang
bernama H.Abdul-Aziz asal Jeruwaru Lombok NTB pernah mendatangi
Syekh Yasin untuk meminta baiat, izin serta restu untuk menjadi Mursyid
Thariqat Naqsyabandiyyah ketika itu Syekh Yasin memberi satu syarat,
yaitu, saya juga harus turut dibaiat, karena saya di samping menjadi
Guru yang lama mengajar di Madrasah Darul-Ulum, (dari tahun 1978
sampai 1990) juga sebagai salah satu dari sekian murid yang selalu
diberikan bimbingan dan perhatian khusus maka yang mendapat izin
dari beliau untuk menjadi Mursyid Thariqat Naqsyabandiyyah yang
berasal dari Lombok saat itu hanyalah saya (Ustaz Sukarnawadi) dan
H.Abdul Aziz
Saya (Ustaz Sukarnawadi) sebagai warga, bahkan tokoh Nahdlatul Wathan
(ketika pulang ke lombok) menceritakan hal itu kepada pendiri Nahdlatul
Wathan, yaitu Syekh M. Zainuddin, dan beliaupun tidak mengingkari hal
tersebut, bahkan beliau merestui, memberikan Ijazah dan doa yang
khusus serta harapan agar di samping itu tetap berjuang membela
Nahdlatul Wathan.
KEKERAMATAN BELIAU
Seseorang bernama Zakariyya Thalib asal Syiria pernah mendatangi
rumah Syekh Yasin Pada hari jum'at, Ketika Adzan jum'at
dikumandangkan, Syekh Yasin masih saja di rumah, ahirnya Zakariyya
keluar dan solat di masjid terdekat. Seusai solat jumat, ia menemui
seorang kawan, Zakariyyapun bercerita pada temannya bahwa Syekh
Yasin ra. tidak solat Jumat. Namun dibantah oleh temannya karena kata
temannya, kami sama-sama Syekh solat di Nuzhah, yaitu di Masjid Syekh
Hasan Massyat ra. yang jaraknya jauh sekali dari rumah beliau.
H.M. Abrar Dahlan bercerita, suatu hari Syekh Yasin pernah menyuruh
saya membikin Syai (teh) dan Syesah (yang biasa diisap dengan
tembakau dari buah-buahan/rokok tradisi bangsa arab). Setelah saya
buatkan dan syekh mulai meminum teh, saya keluar menuju MasjidilHaram. Ketika kembali, saya melihat Syekh Yasin baru pulang mengajar
dari Masjid Al-Haram dengan membawa beberapa kitab,.. saya menjadi
heran, anehnya tadi di rumah menyuruh saya bikin teh, sekarang beliau
baru pulang dari masjid.
Dikisahkan ketika KH. Abdul Hamid sedang mengajar dalam ilmu fiqih
bab diyat, beliau menemukan kesulitan dalam suatu hal sehingga
pengajian terhenti karenanya, malam hari itu juga, beliau menerima
sepucuk surat dari Syekh Yasin, ternyata isi surat itu adalah jawaban
kesulitan yang dihadapinya. ia pun merasa heran, dari mana Syekh Yasin
tahu? Sedangkan K.H. Abdul Hamid sendiri tidak pernah menanyakan
kepada siapapun tentang kesulitan ini..!
H. Mukhtaruddin asal Palembang bercerita, pernah ketika pak Soeharto
sedang sakit mata, beliau mengirim satu pesawat khusus untuk
menjemput Syekh Yasin. Ahirnya pak Soeharto pun sembuh berkat doa
beliau. Kisah ini selanjutnya didengar sendiri oleh ayah saya dari Syekh
Yasin. Semoga Allah swt. merahmati beliau, Amin ya Rabbal-Alamin.
LEGALITAS
LEMBAGA KEUANGAN GADAI SYARIAH di INDONESIA
Posted on January 23, 2013 by supriyadi515
1. I.
2. A.
PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah
Islam merupakan jalan hidup bagi pemeluknya (umat Islam). ia tidak hanya sekedar agama
yang menuntun umatnya menuju kebahagiaan akhirat tapi juga menuntun menuju
kebahagiaan dunia melalui aturan-aturan yang telah di cantumkan dalam syariah yang
mencakup segala aspek kehidupan khususnya ekonomi. Misalnya setiap orang butuh
berinteraksi dengan lainnya untuk saling menutupi kebutuhan dan saling tolong menolong
diantara mereka, di situlah kedudukan Islam sebagai way of life yang lengkap dan sempurna.
Kesempurnaannya ada pada kaedah-kaedah dasar dan aturan yang selaras dengan kehidupan
manusia. Dengan meletakkan kaedah-kaedah dasar dan aturan dalam semua sisi kehidupan
manusia baik dalam ibadah dan juga muamalah (hubungan antar makhluk) maka semua
pemeluk Islam diwajibkan untuk mentaatinya ataupun mempraktikkan dalam praksis
kehidupan. Sehingga sangat wajar bila interaksi umat Islam antara muslim dan non muslim
pun selalu di dasarkan pada kaidah syariah.
Syariah sebagai jalan hidup memerintahkan umat Islam untuk mencapai kesuksesan dan
kemakmuran dengan bekerja. Kerja keras dan usaha dalam memperoleh kemakmuran dan
kesejahteraan sangat tergantung pada etos kerja. Sebuah penelitian tentang keterkaitan antara
penghayatan dan kegairahan dalam kehidupan ekonomi oleh Sunyoto Usman (1998:99)
menghasilkan adanya keterkaitan yang signifikan antara keduanya. Bahwa kelompokkelompok tertentu yang tergolong menjalankan syariat Islam dengan lebih sungguh-sungguh
dalam kehidupan sosial dan kepribadiannya, kelihatan lebih mampu beradaptasi dalam
kehidupan ekonomi. Catatan sejarah memperlihatkan bahwa zaman kolonial Belanda
pengusaha-pengusaha industri rokok kretek di Jawa Tengah pada umumnya berasal dari
kalangan santri. Begitu pula halnya dengan pengusaha-pengusaha batik dan perak di
Yogyakarta dari kalangan santri.
Perkembangan rahn sebagai produk di perbankan syariah belum begitu baik, hal ini
disebabkan oleh keberadaan komponen-komponen pendukung produk rahn yang terbatas,
seperti sumberdaya penaksir, alat untuk mentaksir, dan gudang penyimpanan barang jaminan.
Oleh karena itu tidak semua bank mampu memfasilitasi keberadaan rahn ini, tetapi jika
keberadaan rahn sangat dibutuhkan dalam sistem pembiayaan bank, maka bank tersebut
memiliki ketentuan sendiri mengenai rahn, misalnya dalam hal barang jaminana terbatas
(Heri Sudarsono, 2004:156). Rahn dipraktikkan di perbankan syariah hanyalah sebagai aturan
tambahan untuk mengikat jaminan berupa benda bergerak atas pembiayaan nasabah.
Walaupun di bank syariah kurang menyentuh rakyat kecil, realitas menunjukkan bahwa
ternyata pegadaian konvensional mampu memberikan kontribusi aktif dalam membantu
masyarakat kecil. Melihat realitas tersebut, keberadaan pegadaian syariah sangat di butuhkan
rakyat muslim.
Sekarang telah ada PERUM pegadaian syariah yang bergerak di bidang jasa keuangan
dengan bentuk Badan Usaha Milik Negara. Sebagai perusahaan yang di miliki oleh negara, ia
harus tunduk terhadap perundang-undangan yang mengatur tentang PERUM.
Pegadaian Syariah merupakan salah satu unit layanan syariah yang dilaksanakan oleh
Perusahaan Umum (Perum) pegadaian di samping unit layanan konvensional. Berdirinya unit
layanan syariah ini didasarkan atas perjanjian bagi hasil antara Bank Muamalat Indonesia
(BMI) dengan Perum Pegadaian dengan prinsip musyarakah. Di dalam perjanjian
musyarakah Nomor 446/SP300.233/2002 dan nomor 015/BMI/PKS/XII/2002 tanggal 20
Desember 2002, BMI sebagai pemilik modal memberikan dana kepada Perum Pegadaian
untuk pendirian Pegadaian Syariah di seluruh Indonesia dan mengelolanya. Sedangkan hasil
pendapatan di bagi dua 45,5% untuk BMI dan 54,5 % untuk perum pegadaian (Adul Ghofur
Anshori, 2006:5).
Pegadaian syariah yang telah beroperasi ini membutuhkan kajian aspek legalitas menurut
Peraturan Pemerintah Nomor 103 Tahun 2000 tentang Perusahaan Umum PERUM
Pegadaian, karena keberadaannya tidak lepas dari perundang-undangan di Indonesia.
1. B.
Rumusan Masalah
Atas dasar latar belakang tersebut di ambi rumusan masalah bagaimana legalitas Pegadaian
Syariah menurut Peraturan Pemerintah Nomor 103 Tahun 2000 tentang Perusahaan Umum
PERUM Pegadaian ?
1. C.
1). Penelitian ini untuk mengetahui aspek legalitas operasional Pegadaian Syariah di
Indonesia menurut Peraturan Pemerintah Nomor 103 Tahun 2000 tentang Perusahaan Umum
PERUM Pegadaian.
2). Hasil penelitian ini dapat dijadikan rujukan dan dasar bagi manajer untuk
pengembangan Pegadaian Syariah di Indonesia.
1. D.
Metode Penelitian
Penelitian yang berjudul legalitas pegadaian syariah adalah Penelitian mengenai operasional
Pegadaian Syariah yang merupakan penelitian deskriptif kualitatif. Untuk menyelesaikan
rumusan masalah, peneliti menggunakan pendekatan yuridis untuk menemukan gambaran
yang komprehensip mengenai legalitas Pegadaian Syariah.
Obyek penelitian ini adalah operasional Pegadaian Syariah dan subyeknya adalah seluruh
pegawai atau karyawan di Pegadaian Syariah Kudus. Data yang diperoleh berupa data primer
yang dikumpulkan dengan metode wawancara dan observasi. Wawancara untuk menggali
data, dilakukan kepada manajer dan karyawan di Pegadaian Syariah, kemudian dianalisis
dengan menggunakan pendekatan yuridis.
Laporan hasil penelitan ini berupa data sekunder dan data primer yang dikumpulkan dan
dianalisis secara kualitatif kemudian disajikan dalam bentuk deskriptif yaitu laporan yang
memberikan gambaran secara menyeluruh dan sistematis.
1. II.
Kegiatan pegadaian syariah merupakan bagian obyek kajian dari ekonomi syariah. Kegiatan
ini di zaman Rarulullah telah dipraktikkan oleh Nabi Muhammad SAW. Sebagaimana dalam
sejarah nabi pernah membeli makanan dengan menggadaikan baju besinya kepada orang
Yahudi.
Walaupun kegiatan ini sudah lama ada, namun karena kurang digali oleh para ilmuan,
sehingga kesulitan untuk mendefinisikannya dalam Bahasa Indonesia. Bahkan kegiatan ini
dalam term fiqih sering ada tapi untuk mempraktikkan belum bisa memasyarakat seperti
sekarang ini.
Pemahaman tentang pegadaian syariah dapat dilihat dari dua sisi, yaitu dari sisi pegadaian
syariah sebagai lembaga perum dan juga pegadaian syariah dari sisi komersial atau
menjalankan produk-produk yang dikeluarkan oleh lembaga tersebut. Tapi pembahasan ini
nanti padaaspek lembaga Pegadaian Syariah.
Pegadaian syariah diterjemahkan dari kata ar-rahn dalam kitab-kitab fiqih (pemikiran hukum
Islam) seperti dalam bidayah al-mujtahid. Ar-Rahn artinya secara terminologi adalah jaminan
hutang atau gadai (Atabik Ali dan A. Zuhdi Muhdhor,1998:996), begitu juga dalam kamus
Hans Wehr (1980:363) bahwa ar-rahn is deposit as security. Atas dasar dua pengertian secara
terminologi itu dapat di simpulkan bahwa ar-rahn adalah pegadaian atau jaminan hutang. ArRahn pengertian secara bahasa artinya tetap, berlangsung, dan menahan (Wahbah
Zuhaili, 2002:4202).
Adapun pengertian ar-rahn yang dimaksud adalah menahan harta yang dimiliki oleh
peminjam uang sebagai jaminan atas pinjaman yang diterimanya Barang
yang dijadikan jaminan tersebut haruslah punya nilai jual atau yang memiliki nilai ekonomis,
sehingga pihak yang menahan barang memperoleh kepastian jaminan bahwa peminjam akan
melunasi pinjamannya dan bila tidak dapat melunasinya pihak penerima gadai dapat menjual
barang jaminan sebagai pembayaran atas piutang nasabah (Sayyid Sabiq,1987:169).
Karena itu gadai syariah perlu dicermati unsur-unsur yang ada dalam setiap kegiatannya.
Menurut peneliti bahwa gadai itu ada karena adanya suatu hubungan antara satu orang atau
lebih dengan seorang atau lebih dalam lingkup menjadikan barang sebagai jaminan atas
pembiayaan yang diberikan oleh murtahin. Dikatakan satu orang bila yang bertemu hanya
pihak rahin dan murtahin saja. Tapi bila barang yang digadaikan (marhun) itu milik
saudaranya, maka pihak yang bertemu tidak hanya dua orang tetapi tiga orang. Hubungan
antara mereka tidak hanya sekedar hubungan tetapi merupakan hubungan hukum, karena
hubungan yang di lakukan oleh para pihak akan menimbulkan akibat hukum. Sedangkan
hubungan hukum yang dimaksud adalah melakukan kesepakatan bahwa pihak rahin sepakat
menyerahkan barang untuk ditahan oleh murtahin dan membayar biaya perawatan dan sewa
tempat penyimpanan serta asuransi sedangkan murtahin sepakat untuk memberikan pinjaman
uang.
Atas keterangan tersebut menurut peneliti bahwa gadai syariah adalah hubungan hukum
antara satu orang atau lebih dengan seorang atau lebih dengan kata sepakat untuk
mengikatkan dirinya bahwa di satu pihak (rahin) bersedia menyerahkan barang untuk ditahan
oleh murtahin dan membayar biaya perawatan dan sewa tempat penyimpanan serta asuransi
sedangkan murtahin sepakat untuk memberikan pinjaman uang tertentu sebesar nilai taksir.
Pengertian tersebut perlu juga memperhatikan pengertian-pengertian yang diuraikan oleh
para ahli hukum Islam antara lain :
Rahn menurut Ahmad Azhar Basyir (1983:50) perjanjian menahan suatu barang sebagai
tanggungan utang. Karena itu perbuatan yang dilakukan adalah menjadikan sesuatu benda
bernilai menurut pandangan syariah sebagai tanggungan utang.
Rahn menurut Sulaiman Rasjid (1976:295) adalah menjadikan suatu barang sebagai jaminan
dalam utang piutang untuk memberikan kepercayaan dan keyakinan bahwa hutang itu akan ia
bayar, dan bila ia tidak bisa membayar, barang tersebut bisa di jual oleh pemberi hutang.
Menurut pemahaman Fadly rahn berarti pemenjaraan. Misalnya perkataan mereka (orang
Arab), rahanasy syai-a artinya apabila sesuatu itu terus menerus dan menetap. Allah
berfirman: Tiap-tiap diri bertanggung jawab atas perbuatannya. (QS Al-Muddatsir: 38).
Adapun menurut istilah syara, kata rahn ialah memperlakukan harta sebagai jaminan atas
hutang yang dipinjam, supaya dianggap sebagai pembayaran manakala yang berhutang tidak
sanggup melunasi hutangnya. (Fathul Bari V: 140 dan Manarus Sabil I: 351).
Atas dasar pengertian-pengertian di atas perlu diambil satu pemahaman sebagai patokan
dalam pengertian gadai syariah yang mencakup unsur-unsur antara lain :
(a) Ada syarat subyek yaitu : orang yang menggadaikan (rahin) dan orang yang menerima
gadai (murtahin) keduanya ada syarat-syarat tertentu :
1. Telah dewasa menurut hukum
2. Berakal
3. Mampu atau cakap berbuat hukum
(b) Ada syarat obyek yaitu : barang yang dapat di gadaikan (marhun) dengan syarat-syarat
tertentu antara lain:
1. Benda yang mengandung nilai ekonomis
2. Dapat di perjual belikan dan tidak melanggar undang-undang.
3. 3.
4. Benda bergerak
(c) Adanya kata sepakat (sighot) yaitu : kata sepakat setelah negosiasi antara rahin dan
murtahin yang kemudian di implementasikan dalam perjanjian.
1. b.
Pembentukan Pegadaian Syariah di awali tahun 1998 ketika beberapa general manajer dari
pegadaian melakukan studi banding ke Malaysia. Setelah melakukan studi banding, mulai
dilakukan perencanaan untuk pendirian Pegadaian Syariah. Tapi ketika itu dalam lembaga
internal pegadaian ada kendala sehingga bahan-bahan itu terabaikan. Pada tahun 2000 Bank
Muamalat Indonesia (BMI) mempunyai program yang berkaitan dengan Ar-Rahn, sehingga
BMI mencari partner untuk mengaplikasikan agenda tersebut. Kemudian menawarkan
program tersebut kepada pegadaian konvensional dan di sambut dengan baik. Kerjasama ini
bunyinya bahwa BMI siap membantu untuk melaksanakan ar-Rahn baik secara pembiayaan
maupun pengembangan. Pada tahun 2002 mulai diterapkan sistem pegadaian syariah dan
pada tahun 2003 pegadaian syariah resmi beroperasi di Indonesia dan sebagai kantor
pegadaian syariah yang pertama dibuka yaitu pegadaian cabang Dewi Sartika yang
menerapkan sistem pegadaian syariah (Adul Ghofur Anshori, 2006:5).
Ide pembentukan pegadaian syariah selain karena tuntutan idealisme juga dikarenakan
keberhasilan terlembaganya bank dan asuransi syariah. Setelah terbentuknya bank, BMT,BPR
dan asuransi syariah maka pegadaian syariah mendapat perhatian oleh beberapa praktisi dan
akademisi untuk dibentuk di bawah suatu lembaga sendiri. Keberadaan pegadaian syariah
atau gadai syariah atau rahn lebih dikenal sebagai bagian produk yang ditawarkan oleh bank
syariah, dimana bank menawarkan kepada masyarakat bentuk penjaminan barang guna
mendapatkan pembiayaan (Heri Sudarsono, 2008:156).
Namun trend dari perkembangan rahn sebagai produk perbankan syariah belum begitu baik,
hal ini disebabkan oleh keberadaan komponen-komponen pendukung produk rahn yang
terbatas, seperti sumberdaya penaksir, alat untuk mentaksir, dan gudang penyimpanan barang
jaminan. Oleh karena itu tidak semua bank mampu memfasilitasi keberadaan rahn ini, tetapi
jika keberadaan rahn sangat dibutuhkan dalam sistem pembiayaan bank, maka bank tersebut
memiliki ketentuan sendiri mengenai rahn, misalnya dalam hal barang jaminana terbatas
(Heri Sudarsono, 2004:156). Rahn dipraktikkan di perbankan syariah hanyalah sebagai aturan
tambahan untuk mengikat jaminan berupa benda bergerak atas pembiayaan nasabah.
Pegadaian Syariah merupakan salah satu unit layanan syariah yang dilaksanakan oleh
Perusahaan Umum (Perum) pegadaian di samping unit layanan konvensional. Berdirinya unit
layanan syariah ini didasarkan atas perjanjian bagi hasil antara Bank Muamalat Indonesia
(BMI) dengan Perum Pegadaian dengan prinsip musyarakah. Di dalam perjanjian
musyarakah Nomor 446/SP300.233/2002 dan nomor 015/BMI/PKS/XII/2002 tanggal 20
Desember 2002, BMI sebagai pemilik modal memberikan dana kepada Perum Pegadaian
untuk pendirian Pegadaian Syariah di seluruh Indonesia dan mengelolanya. Sedangkan hasil
pendapatan dibagi dua 45,5% untuk BMI dan 54,5 % untuk perum pegadaian (Adul Ghofur
Anshori, 2006:5).
Pegadaian Syariah di masyarakat operasionalnya mengalami banyak kendala walaupun sudah
didukung oleh pegawai, manajemen dan operasioanal dari BMI namun perkembangannya
belum juga bagus. Hal itu disebabkan karena masyarakat belum begitu mengenal gadai
syariah (rahn) sebagai suatu lembaga keuangan mandiri. Namun di lain pihak realitas
menunjukkan bahwa ternyata pegadaian konvensional mampu memberikan kontribusi aktif
dalam membantu masyarakat. Melihat realitas tersebut, keberadaan pegadaian syariah tidak
bisa ditunda-tunda lagi sehingga pada tahun berikutnya didirikan pegadaian syariah.
1. c.
2. 1.
PERUM pegadaian syariah merupakan perusahaan yang bergerak di bidang jasa keuangan
dengan bentuk Badan Usaha Milik Negara. Sebagai perusahaan yang di miliki oleh negara, ia
harus tunduk terhadap perundang-undangan yang mengatur tentang PERUM. Perundangundangan yang mengatur tentang PERUM (Perusahaan Umum) adalah Undang-Undang
Nomor 9 Tahun 1969 dan Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 1998 tentang tata cara
pembinaan dan pengaturan PERUM.
Bentuk hukum Perusahaan Umum (PERUM) diatur dalam Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang
Nomor 9 Tahun 1969 tentang Bentuk-Bentuk Usaha Negara. Undang-undang ini dimasukkan
dalam Lembaran Negara Nomor 40 Tahun 1969. Pegadaian Syariah sebagai PERUM
merupakan perusahaan Negara yang didirikan dan diatur berdasarkan ketentuan-ketentuan
yang ada di dalam Undang-Undang Nomor 19/Prp Tahun 1960 hal ini menurut Pasal 2 ayat
(2) Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1969. sedangkan tata cara pembinaan dan pengaturan
PERUM diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 1983 kemudian di cabut dengan
diberlakukannya Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 1998 dalam Lembaran Negara
Nomor 16 Tahun 1998 tentang Perusahaan Umum (PERUM) Tanggal 17 Januari 1998
kemudian di berlakukan juga Peraturan Pemerintah Nomor 103 Tahun 2000 tentang
Perusahaan Umum (PERUM) Pegadaian.
Pegadaian Syariah merupakan bagian dari pegadaian umum yang secara kelembagaan
merupakan perusahaan milik negara yang didirikan dengan Peraturan Pemerintah dan ia
sebagai badan hukum Peraturan Pemerintah yang menerangkan tentang Pegadaian yaitu
Peraturan Pemerintah Nomor 103 Tahun 2000 tentang Perusahaan Umum (PERUM)
Pegadaian. Status ini di peroleh dengan mengacu pada Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 19/Prp Tahun 1960. Menurut Pasal 1 angka (1) Peraturan Pemerintah Nomor 13
Tahun 1998 Perusahaan Umum yang selanjutnya disebut PERUM adalah Badan Usaha Milik
Negara sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1969 yang seluruh
modalnya di miliki oleh negara berupa kekayaan negara yang dipisahkan dan tidak terbagi
atas saham. Jadi di sini Pegadaian Syariah merupakan badan hukum yang di miliki oleh
negara dan modal seluruhnya milik negara dan tidak terbagi atas saham.
Lebih jelas lagi diatur dalam Pasal 7 PP Nomor 13 Tahun 1998 bahwa PERUM adalah badan
usaha milik Negara yang didirikan dengan peraturan pemerintah. Peraturan pemerintah
tentang pendirian PERUM sekaligus menetapkan keputusan untuk melakukan penyertaan
modal negara ke dalam PERUM (AbdulKadir Muhammad, 1999:99). Dengan ketentuan ini
PERUM memperoleh status badan hukum setelah peraturan pemerintah tentang pendirian
PERUM berlaku. Peraturan pemerintah tersebut sekurang-kurangnya memuat (Pasal 8 PP
Nomor 13 Tahun 1998):
1. Penetapan pendirian PERUM;
2. Penetapan besarnya kekayaan negara yang di pisahkan untuk penyertaan
ke dalam modal PERUM;
3. Anggaran Dasar PERUM;
4. Penunjukan Menteri keuangan selaku wakil pemerintah dan pendelegasian
wewenang Menteri Keuangan kepada Menteri dalam pelaksanaan
pembinaan sehari-hari PERUM.
Peraturan pemerintah tersebut diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 103 Tahun 2000
tentang Perusahaan Umum (PERUM) Pegadaian yang isinya : Pasal 4 Perusahaan
berkedudukan dan berkantor pusat di Jakarta. Pasal 5 Perusahaan didirikan untuk jangka
waktu yang tidak ditentukan. Pasal 6 mencakup sifat, maksud dan tujuan. Sifat usaha dari
Perusahaan Pegadaian adalah menyediakan pelayanan bagi kemanfaatan umum dan sekaligus
memupuk keuntungan berdasarkan prinsip pengelolaan Perusahaan. Pasal 7 berisi maksud
dan tujuan pegadaian. Maksud dan tujuan Perusahaan pegadaian adalah:
Kegiatan usaha pegadaian diatur dalam Pasal 8 yaitu maksud dan tujuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 7, Perusahaan pegadaian menyelenggarakan usaha:
1. penyaluran uang pinjaman atas dasar hukum gadai;
2. penyaluran uang pinjaman berdasarkan jaminan fidusia, pelayanan jasa
titipan, pelayanan jasa sertifikasi logam mulia dan batu adi, unit toko
emas, dan industri perhiasan emas serta usaha-usaha lainnya yang dapat
menunjang tercapainya maksud dan tujuan Perusahaan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 7, dengan persetujuan Menteri Keuangan.
Sebagai perusahaan milik negara yang seluruh kekayaannya dimiliki oleh Negara, maka
tujuan pendiriannya adalah untuk menyelenggarakan usaha yang berorientasi pada
kemanfaatan umum berupa penyediaan barang dan jasa yang bermutu tinggi dan juga untuk
mendapatkan keuntungan berdasarkan prinsip pengelolaan perusahaan menurut ketentuan
Pasal 2 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 1998. PERUM tidak terbagi atas
saham karena itu berbeda dengan Perusahaan Terbatas (PT) dari sisi usahanya. Sifat usaha
PERUM lebih berat pada pelayanan umum baik dalam penyediaan barang maupun jasa.
Supaya perusahaan ini tetap berjalan dengan baik, maka boleh mendapatkan keuntungan agar
bisa hidup terus berkesinambungan.
Pasal 2 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 1998 mengatur tentang usaha
PERUM yaitu dengan persetujuan Menteri Keuangan yang sekarang Kementrian Keuangan
PERUM dapat melakukan kegiatan tertentu yang berkaitan dengan bidang usahanya dan atau
melakukan penyertaan modal dalam badan usaha lain. Dalam hal penyertaan modal diatur
dalam Pasal 3 PP Nomor 13 Tahun 1998 yaitu penatausahaan penyertaan modal Negara dan
kebijakan pengembangan usaha PERUM dilakukan oleh Dirjen Pembinaan Badan Usaha
Milik Negara. Pasal ini berarti mengatur bahwa Kementrian keuangan menyelenggarakan
penatausahaan setiap enyertaan modal negara ke dalam PERUM. Kemudian Kementrian
keuangan mendelegasikan kewenangannya tentang pembinaan sehari-hari pelaksanaan
kebijakan tersebut kepada Dirjen. Pembinaan sehari-hari yang di berikan adalah tentang
pedoman kegiatan operasional PERUM baik yang dilakukan oleh Direksi maupun Dewan
Pengawas berdasarkan kebijakan pengembangan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan
dengan maksud agar PERUM dapat melaksanakan tugas dan fungsinya secara berdaya guna
serta dapat berkembang dengan baik.
Menurut penjelasan Pasal 3 bahwa sebagai suatu badan usaha maka Menteri Keuangan sangat
berkepentingan dengan modal negara yang tertanam di PERUM untuk dapat dikembangkan,
karena itu masalah investasi, pembiayaan serta pemanfaatan hasil usaha PERUM perlu
Organisasi PERUM
Pendirian PERUM di dasarkan pada Pasal 7 PP Nomor 13 Tahun 1998 bahwa PERUM
adalah badan usaha milik negara yang didirikan dengan Peraturan Pemerintah. Peraturan
Pemerintah tentang pendirian PERUM menetapkan juga keputusan untuk melakukan
penyertaan modal Negara ke dalam PERUM. Dengan ketentuan ini PERUM memperoleh
status badan hukum setelah peraturan pemerintah tentang pendirian PERUM berlaku. Bahkan
termasuk perubahan penyertaan modal Negara juga ditetapkan dengan peraturan pemerintah,
hal ini diatur dalam Pasal 9 PP Nomor 13 Tahun 1998 bahwa perubahan penyertaan modal
negara tersebut meliputi penambahan dan pengurangan penyertaan modal negara.
Organisasi PERUM terdiri dari Direksi dan dewan pengawas PERUM. Kepengurusan
PERUM dilakukan oleh Direksi. Kepengurusan Direksi meliputi kegiatan pengelolaan
PERUM dalam upaya mencapai tujuan perusahaan sebagai suatu badan usaha. Para Direksi
berjumlah paling banyak 5 (lima) orang dan salah seorang diantaranya diangkat sebagai
Direktur Utama. Penambahan jumlah anggota Direksi bila melebihi jumlah yang ditetapkan
tersebut harus dilakukan dengan persetujuan Presiden.
Struktur organisasi PERUM dapat di lihat dalam gambar berikut ini:
Siapakah yang dapat diangkat menjadi anggota Direksi? Mereka adalah orang perorangan
yang memenuhi kriteria keahlian, integritas, kepemimpinan, pengalaman dan berkelakuan
baik serta memiliki dedikasi untuk mengembangkan usaha guna kemajuan perusahaan. Selain
persyaratan tersebut yang dapat diangkat sebagai anggota Direksi adalah orang perorangan
yang mampu melaksanakan perbuatan hukum dan tidak pernah dinyatakan pailit atau menjadi
anggota Direksi atau komisaris atau dewan pengawas yang dinyatakan bersalah menyebabkan
suatu perseroan atau PERUM dinyatakan pailit.
Anggota Direksi diangkat dan diberhentikan oleh Menteri Keuangan berdasarkan usul dari
Menteri. Adapun lama masa jabatan anggota Direksi 5 (lima) tahun dan dapat di angkat
kembali (Pasal 17 PP No. 13 Tahun 1998). Sedangkan cara pemberhentian sebelum masa
jabatan berakhir di atur dalam Pasal 18 PP No. 13 Tahun 1998 bahwa Menteri Keuangan
PERUM Pegadaian secara umum di atur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 1998
tetapi dalam operasionalnya diatur secara khusus dalam Peraturan Pemerintah Nomo103
Tahun 2000. Peraturan Pemerintah tersebut mengatur pendirian pegadaian, Anggaran Dasar,
tempat dan kedudukan, sifat, tujuan dan maksud pegadaian, kegiatan dan pengembangan
usaha, modal pegadaian, pembianaan, direksi perusahaan pegadaian, dewan pengawas
pegadaian, satuan pengawas intern, sisten akuntansi dan pelaporan, pegawai perusahaan dan
penggunaan laba perusahaan. Hal tersebut secara lengkap perlu dijabarkan.
Pasal 1 dalam Peraturan Pemerintah Nomor 103 Tahun 2000 mengatur bahwa yang dimaksud
dengan Perusahaan Umum (PERUM) Pegadaian, yang selanjutnya dalam Peraturan
Pemerintah ini disebut Perusahaan, adalah Badan Usaha Milik Negara sebagaimana diatur
dalam Undang-undang Nomor 9 Tahun 1969, yang bidang usahanya berada dalam lingkup
tugas dan kewenangan Menteri Keuangan, dimana seluruh modalnya dimiliki Negara berupa
kekayaan Negara yang dipisahkan dan tidak terbagi atas saham. Hal ini sudah ada di dalam
lembaga Pegadaian Syariah di Indonesia yang merupakan lembaga PERUM milik negara dan
seluruh modalnya merupakan kekayaan negara yang dipisahkan dan tidak terbagi atas saham.
Pasal 2 tentang pendirian perusahaan pegadaian. Perusahaan pegadian didirikan dengan
Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1969 sebagai PERJAN Pegadaian sebagaimana diubah
dengan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1990, dilanjutkan berdirinya dan meneruskan
usaha-usaha selanjutnya berdasarkan ketentuan-ketentuan dalam Peraturan Pemerintah ini.
Pasal 3 mencakup Anggaran Dasar Perusahaan Pegadaian yaitu:
(1)
Perusahaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 adalah Badan Usaha Milik Negara
yang diberi tugas dan wewenang untuk menyelenggarakan kegiatan usaha menyalurkan uang
pinjaman atas dasar hukum gadai;
(2)
Perusahaan melakukan usaha-usaha berdasarkan ketentuan-ketentuan dalam
Peraturan Pemerintah ini dan peraturan perundang-undangan lainnya yang berlaku;
(3)
Dengan tidak mengurangi ketentuan dalam Peraturan Pemerintah ini, terhadap
Perusahaan berlaku Hukum Indonesia.
Pasal 4 memuat tempat kedudukan dan jangka waktu, bahwa PERUM Pegadaian adalah
Perusahaan yang berkedudukan dan berkantor pusat di Jakarta. Pasal 5 bahwa Perusahaan
Pegadaian didirikan untuk jangka waktu yang tidak ditentukan. Pasal 6 memuat sifat,
maksud dan tujuan bahwa sifat usaha dari Perusahaan Pegadaian adalah menyediakan
pelayanan bagi kemanfaatan umum dan sekaligus memupuk keuntungan berdasarkan prinsip
pengelolaan Perusahaan. Pasal 7 bahwa maksud dan tujuan Perusahaan Pegadaian adalah:
a). Turut meningkatkan kesejahteraan masyarakat terutama golongan menengah ke bawah
melalui penyediaan dana atas dasar hukum gadai, dan jasa di bidang keuangan lainnya
berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
b). Menghindarkan masyarakat dari gadai gelap, praktek riba dan pinjaman tidak wajar
lainnya.
Bagian ke-empat dari Peraturan Pemerintah Nomor 103 Tahun 2000 mengatur tentang
Kegiatan dan Pengembangan Usaha. Pasal 8 menerangkan bahwa untuk mencapai maksud
dan tujuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7, Perusahaan Pegadaian menyelenggarakan
usaha:
a).
b). Penyaluran uang pinjaman berdasarkan jaminan fidusia, pelayanan jasa titipan,
pelayanan jasa sertifikasi logam mulia dan batu adi, unit toko emas, dan industri perhiasan
emas serta usaha-usaha lainnya yang dapat menunjang tercapainya maksud dan tujuan
Perusahaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7, dengan persetujuan Menteri Keuangan.
Pasal 9 menerangkan bahwa untuk mendukung pembiayaan kegiatan dalam rangka mencapai
maksud dan tujuan Perusahaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7, dengan persetujuan
Menteri Keuangan Perusahaan dapat:
1. melakukan kerjasama usaha dengan badan usaha lain;
2. membentuk anak Perusahaan;
3. melakukan penyertaan modal dalam badan usaha lain.
Bagian ke-lima dari Peraturan Pemerintah Nomor 103 Tahun 2000 mengatur tentang modal.
Pasal 10 menjelaskan bahwa modal perusahaan Pegadaian merupakan kekayaan Negara yang
dipisahkan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan tidak terbagi atas sahamsaham. Besarnya modal Perusahaan pada saat Peraturan Pemerintah ini diundangkan adalah
sebesar seluruh nilai penyertaan modal Negara yang tertanam dalam Perusahaan, berdasarkan
penetapan Menteri Keuangan.
Pasal 11 Peraturan Pemerintah Nomor 103 Tahun 2000 menerangkan bahwa setiap
penambahan dan pengurangan penyertaan modal Negara yang tertanam dalam Perusahaan
ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 12 mengatur tentang penerbitan obligasi dalam rangka pengerahan dana masyarakat
yaitu penerbitan obligasi dalam rangka pengerahan dana masyarakat oleh Perusahaan
ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. Sedangkan rencana penerbitan obligasi
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), harus diberitahukan oleh Perusahaan kepada para
kreditor tertentu. Pasal 13 menerangkan lebih lanjut bahwa dalam hal Perusahaan
menerbitkan obligasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) dan Negara melakukan
pengurangan penyertaan modal pada Perusahaan, maka rencana pengurangan modal Negara
tersebut harus diberitahukan kepada kreditur sebelum ditetapkan dengan Peraturan
Pemerintah. Sedangkan pengurangan penyertaan modal Negara sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) tidak boleh merugikan kepentingan pihak ketiga. Pasal 14 mengatur bahwa
semua alat-alat likuid yang tidak segera diperlukan oleh Perusahaan disimpan dalam bank
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Bagian ke-enam Peraturan Pemerintah Nomor 103 Tahun 2000 mengatur tentang Pembinaan.
Dalam hal pembinaan ini Pasal 15 menjelaskan bahwa :
(1)
Pembinaan dan pelaksanaan pembinaan sehari-hari Perusahaan dilakukan oleh
Menteri Keuangan;
(2)
Pembinaan Perusahaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dengan
menetapkan kebijakan pengembangan usaha;
(3)
Kebijakan pengembangan usaha merupakan arah dalam mencapai tujuan
Perusahaan, baik menyangkut kebijakan investasi, pembiayaan usaha, sumber
pembiayaannya, penggunaan hasil usaha Perusahaan dan kebijakan pengembangan lainnya;
(4)
Pembinaan sehari-hari sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dengan
memberikan pedoman bagi Direksi dan Dewan Pengawas dalam menjalankan kegiatan
operasional Perusahaan;
(5)
Pedoman sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) disusun berdasarkan kebijakan
pengembangan usaha sebagaimana dimaksud dalam ayat (2);
(6)
Dalam rangka memantapkan pembinaan dan pengawasan Perusahaan, Menteri
Keuangan sewaktu-waktu apabila diperlukan dapat meminta keterangan dari Direksi dan
Dewan Pengawas.
Pasal 16 Menteri Keuangan tidak bertanggung jawab atas segala akibat perbuatan hukum
yang dilakukan Perusahaan dan tidak bertanggung jawab atas kerugian perusahaan melebihi
nilai kekayaan negara yang telah dipisahkan ke dalam perusahaan, kecuali apabila:
1. Menteri Keuangan baik langsung maupun tidak langsung dengan itikad
buruk memanfaatkan Perusahaan semata-mata untuk kepentingan
pribadi;
2. Menteri Keuangan terlibat dalam perbuatan melawan hukum yang
dilakukan Perusahaan; atau
3. Menteri Keuangan langsung maupun tidak langsung secara melawan
hukum menggunakan kekayaan Perusahaan.
Bagian ke-tujuh Peraturan Pemerintah Nomor 103 Tahun 2000 mengatur tentang Direksi
Perusahaan. Dalam hal Direksi Perusahaan Pegadaian Pasal 17 mengatur bahwa
kepengurusan Perusahaan dilakukan oleh Direksi. Sedangkan jumlah anggota Direksi paling
banyak 5 (lima) orang, dan seorang diantaranya diangkat sebagai Direktur Utama. Adapun
penambahan jumlah anggota Direksi melebihi jumlah sebagaimana dimaksud dalam ayat (2),
dilakukan dengan persetujuan Presiden.
Pasal 18 tentang pengangkatan anggota Direksi bahwa yang dapat diangkat menjadi anggota
Direksi adalah orang perorangan yang:
1. memenuhi kriteria keahlian, integritas, kepemimpinan, pengalaman dan
berkelakuan baik serta memiliki dedikasi untuk mengembangkan usaha
guna kemajuan Perusahaan;
2. mampu melaksanakan perbuatan hukum dan tidak pernah dinyatakan
pailit atau menjadi anggota Direksi atau Komisaris atau Dewan Pengawas
yang dinyatakan bersalah menyebabkan suatu perseroan atau PERUM
dinyatakan pailit; dan
3. berkewarganegaraan Indonesia.
Pasal 19 mengatur bahwa antara anggota Direksi dilarang memiliki hubungan keluarga
sampai derajat ketiga baik menurut garis lurus maupun garis ke samping, termasuk hubungan
yang timbul karena perkawinan. Jika hubungan keluarga sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) terjadi sesudah pengangkatan anggota Direksi, maka anggota Direksi tersebut harus
mengajukan permohonan kepada Menteri Keuangan untuk dapat melanjutkan jabatannya;
(1)
Permohonan kepada Menteri Keuangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)
diajukan dalam jangka waktu paling lambat 1 (satu) bulan sejak terjadinya hubungan
keluarga;
(2)
Anggota Direksi sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), dapat melanjutkan
jabatannya sampai dikeluarkannya keputusan Menteri Keuangan bagi anggota Direksi
tersebut mengenai dapat atau tidak dapat melanjutkan jabatan;
(3)
Keputusan Menteri Keuangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) diberikan
dalam jangka waktu paling lambat 2 (dua) bulan terhitung sejak permohonan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2) diajukan;
(4)
Dalam hal keputusan Menteri Keuangan belum dikeluarkan dalam jangka waktu
sebagaimana dimaksud dalam ayat (5), Menteri Keuangan dianggap memberikan keputusan
bahwa anggota Direksi dapat melanjutkan jabatannya.
Pasal 20 mengatur bahwa anggota Direksi dilarang memangku jabatan rangkap:
1. Direktur Utama atau Direktur pada Badan Usaha Milik Negara, Daerah dan
Swasta atau jabatan lain yang berhubungan dengan kepengurusan
perusahaan;
2. jabatan struktural dan fungsional lainnya dalam instansi/lembaga
Pemerintah Pusat atau Daerah;
3. jabatan lainnya sesuai dengan ketentuan dalam peraturan perundangundangan yang berlaku.
Sedangkan Pasal 21 mengatur bahwa anggota Direksi diangkat dan diberhentikan oleh
Menteri Keuangan. Anggota Direksi diangkat untuk masa jabatan 5 (lima) tahun, dan dapat
diangkat kembali.
Pasal 22 mengatur bahwa:
(1)
Anggota Direksi dapat diberhentikan sebelum habis masa jabatannya oleh Menteri
Keuangan apabila berdasarkan kenyataan anggota Direksi:
1. tidak melaksanakan tugasnya dengan baik;
2. tidak melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan dan atau
ketentuan Peraturan Pemerintah ini;
3. terlibat dalam tindakan yang merugikan Perusahaan;
4. dipidana penjara karena dipersalahkan melakukan perbuatan pidana
kejahatan dan atau kesalahan yang bersangkutan dengan kepengurusan
perusahaan.
(2)
Keputusan pemberhentian karena alasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
diambil setelah yang bersangkutan diberi kesempatan membela diri;
(3)
Pembelaan diri sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dilakukan secara tertulis dan
disampaikan kepada Menteri Keuangan dalam jangka waktu 1 (satu) bulan terhitung sejak
anggota Direksi yang bersangkutan diberitahu secara tertulis oleh Menteri Keuangan tentang
rencana pemberhentian tersebut;
(4)
Selama rencana pemberhentian sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) masih dalam
proses, maka anggota Direksi yang bersangkutan dapat melanjutkan tugasnya;
(5)
Jika dalam jangka waktu 2 (dua) bulan terhitung sejak tanggal penyampaian
pembelaan diri sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) Menteri Keuangan tidak memberikan
keputusan pemberhentian anggota Direksi tersebut, maka rencana pemberhentian tersebut
menjadi batal;
(6)
Pemberhentian karena alasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf d,
merupakan pemberhentian tidak dengan hormat;
(7)
Kedudukan sebagai anggota Direksi berakhir dengan dikeluarkannya keputusan
pemberhentian oleh Menteri Keuangan.
Pasal 23 juga mengatur bahwa:
(1) Direksi diberi tugas dan mempunyai wewenang untuk:
1. memimpin, mengurus dan mengelola Perusahaan sesuai dengan tujuan
Perusahaan dengan senantiasa berusaha meningkatkan daya guna dan
hasil guna Perusahaan;
2. menguasai, memelihara dan mengurus kekayaan Perusahaan;
3. mewakili Perusahaan di dalam dan di luar pengadilan;
4. melaksanakan kebijakan pengembangan usaha dalam mengurus
Perusahaan yang telah digariskan Menteri Keuangan;
5. menetapkan kebijakan Perusahaan sesuai dengan pedoman kegiatan
operasional yang ditetapkan Menteri Keuangan;
6. menyiapkan Rencana Jangka Panjang dan Rencana Kerja dan Anggaran
Perusahaan;
7. mengadakan dan memelihara pembukuan dan administrasi Perusahaan
sesuai dengan kelaziman yang berlaku bagi suatu perusahaan;
8. menyiapkan struktur organisasi dan tata kerja Perusahaan lengkap dengan
perincian tugasnya;
9. melakukan kerjasama usaha, membentuk anak Perusahaan dan
melakukan penyertaan modal dalam badan usaha lain dengan persetujuan
Menteri Keuangan;
10.mengangkat dan memberhentikan pegawai Perusahaan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
11.menetapkan gaji, pensiun/jaminan hari tua dan penghasilan lain bagi para
pegawai Perusahaan serta mengatur semua hal kepegawaian lainnya,
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
12.menyiapkan Laporan Tahunan dan laporan berkala.
(2)
Untuk menyelenggarakan tugas dan wewenang sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1), Direksi berwenang menetapkan kebijaksanaan teknis dan non teknis sesuai dengan
kebijakan Perusahaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf e.
Sedangkan Pasal 24 mengatur bahwa dalam menjalankan tugas-tugas Perusahaan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23, Direktur Utama dapat bertindak atas nama Direksi
berdasarkan persetujuan para anggota Direksi lainnya dan para Direktur berhak dan
berwenang bertindak atas nama Direksi, masing-masing untuk bidang yang menjadi tugas
dan wewenangnya. Dan apabila salah satu atau beberapa anggota Direksi berhalangan tetap
menjalankan pekerjaannya atau apabila jabatan itu terluang dan penggantinya belum diangkat
atau belum memangku jabatannya, maka jabatan tersebut dipangku oleh anggota Direksi
lainnya yang ditunjuk sementara oleh Menteri Keuangan. Dalam jangka waktu paling lambat
2 (dua) bulan terhitung sejak terjadinya keadaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2),
Menteri Keuangan menunjuk anggota Direksi yang baru untuk memangku jabatan yang
terluang sebagaimana dimaksud dalam ayat (2). Dan apabila semua anggota Direksi
berhalangan tetap menjalankan pekerjaannya atau jabatan Direksi terluang seluruhnya dan
belum diangkat, maka sementara waktu pengurusan Perusahaan dijalankan oleh Dewan
Pengawas; Dalam menjalankan tugas dan kewenangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
23 ayat (1) huruf c, Direksi dapat melaksanakan sendiri atau menyerahkan kekuasaan tersebut
kepada:
1. seorang atau beberapa orang anggota Direksi; atau
2. seorang atau beberapa orang pegawai Perusahaan baik sendiri maupun
bersama-sama; atau
3. orang atau badan lain yang khusus ditunjuk untuk hal tersebut.
Pasal 25 mengatur dalam melaksanakan tugasnya Direksi wajib mencurahkan perhatian dan
pengabdiannya secara penuh pada tugas, kewajiban dan pencapaian tujuan Perusahaan. Pasal
26 menerangkan bahwa Anggota Direksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (5)
huruf a tidak berwenang mewakili Perusahaan apabila:
1. terjadi perkara di depan pengadilan antara Perusahaan dengan anggota
Direksi yang bersangkutan;
2. anggota Direksi yang bersangkutan mempunyai kepentingan yang
bertentangan dengan kepentingan Perusahaan.
Pasal 27 mengatur besar dan jenis penghasilan Direksi ditetapkan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Pasal 28 mengatur tentang rapat direksi adalah:
(1)
(2)
Dalam rapat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibicarakan hal-hal yang
berhubungan dengan Perusahaan sesuai dengan tugas, kewenangan dan kewajibannya;
(3)
(4)
Dalam hal tidak tercapai kata mufakat, maka keputusan diambil berdasarkan suara
terbanyak;
(5)
Pasal 29 mengatur tentang rencana jangka panjang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23
ayat (1) huruf f, sekurang-kurangnya memuat:
1. evaluasi pelaksanaan Rencana Jangka Panjang sebelumnya;
2. posisi Perusahaan pada saat penyusunan Rencana Jangka Panjang;
3. asumsi-asumsi yang dipakai dalam penyusunan Rencana Jangka Panjang;
4. penetapan sasaran, strategi, kebijakan dan program kerja Rencana Jangka
Panjang beserta keterkaitan antara unsur-unsur tersebut.
Kemudian rancangan rencana jangka panjang yang telah ditandatangani bersama dengan
Dewan Pengawas disampaikan kepada Menteri Keuangan, untuk disahkan.
Pasal 30 mengatur isi dari rencana kerja dan anggaran perusahaan pegadaian yaitu:
(1)
Rencana Kerja dan Anggaran Perusahaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23
ayat (1) huruf f sekurang-kurangnya memuat:
1. Rencana Kerja Perusahaan;
2. Anggaran Perusahaan;
3. Proyeksi Keuangan Pokok Perusahaan;
4. hal-hal lain memerlukan pengesahan oleh Menteri Keuangan.
(2)
Rencana Kerja dan Anggaran Perusahaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
diajukan kepada Menteri Keuangan, paling lambat 60 (enam puluh) hari sebelum tahun
anggaran dimulai, untuk memperoleh pengesahan;
(3)
Rencana Kerja dan Anggaran Perusahaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
disahkan oleh Menteri Keuangan selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah tahun
anggaran berjalan;
(4)
Dalam hal Rencana Kerja dan Anggaran Perusahaan belum disahkan oleh Menteri
Keuangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), maka Rencana Kerja dan Anggaran
Perusahaan tersebut dianggap sah untuk dilaksanakan sepanjang telah memenuhi ketentuan
tata cara penyusunan Rencana Kerja dan Anggaran Perusahaan.
Bagian ke-delapan Peraturan Pemerintah Nomor 103 Tahun 2000 mengatur tentang Dewan
Pengawas. Pasal 31 mengatur bahwa pada perusahaan pegadaian dibentuk Dewan Pengawas.
Adapun jumlah anggota Dewan Pengawas disesuaikan dengan kebutuhan Perusahaan paling
sedikit 2 (dua) orang dan paling banyak 5 (lima) orang, seorang diantaranya diangkat sebagai
Ketua Dewan Pengawas. Dalam hal ini Dewan Pengawas dengan itikad baik dan penuh
tanggung jawab menjalankan tugas untuk kepentingan dan tujuan Perusahaan.
Pasal 32 mengatur bahwa yang dapat diangkat sebagai Dewan Pengawas adalah orang
perorangan yang:
1. memiliki dedikasi, memahami masalah-masalah manajemen perusahaan
dan dapat menyediakan waktu yang cukup untuk melaksanakan tugasnya;
dan
2. mampu melaksanakan perbuatan hukum dan tidak pernah dinyatakan
pailit atau menjadi anggota Direksi, Komisaris atau Dewan Pengawas yang
dinyatakan bersalah menyebabkan suatu perseroan atau PERUM
dinyatakan pailit.
Pasal 33 mengatur bahwa Anggota Dewan Pengawas tidak dibenarkan memiliki kepentingan
yang bertentangan dengan atau mengganggu kepentingan Perusahaan.
Pasal 34 mengatur bahwa Dewan Pengawas terdiri dari unsur-unsur pejabat Departemen
Keuangan dan departemen/instansi lain yang kegiatannya berhubungan dengan Perusahaan,
atau pejabat lain yang ditetapkan Menteri Keuangan.
Pasal 35 mengatur bahwa :
(1) Anggota Dewan Pengawas diangkat dan diberhentikan oleh Menteri Keuangan;
(2) Anggota Dewan Pengawas diangkat untuk masa jabatan yang sama dengan anggota
Direksi dan dapat diangkat kembali;
(3) Pengangkatan anggota Dewan Pengawas tidak bersamaan waktunya dengan
pengangkatan anggota Direksi.
Pasal 36 mengatur tentang pemberhentian Dewan Pengawas bahwa:
(1)
Anggota Dewan Pengawas dapat diberhentikan sebelum habis masa jabatannya oleh
Menteri Keuangan, apabila berdasarkan kenyataan anggota Dewan Pengawas:
1. tidak melaksanakan tugasnya dengan baik;
(2)
Keputusan pemberhentian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ditetapkan setelah
yang bersangkutan diberi kesempatan membela diri;
(3)
Pembelaan diri sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dilakukan secara tertulis dan
disampaikan kepada Menteri Keuangan dalam jangka waktu 1 (satu) bulan terhitung sejak
anggota Dewan Pengawas yang bersangkutan diberitahu secara tertulis oleh Menteri
Keuangan tentang rencana pemberhentian tersebut;
(4)
Selama rencana pemberhentian sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) masih dalam
proses, maka anggota Dewan Pengawas yang bersangkutan dapat melanjutkan tugasnya;
(5)
Jika dalam jangka waktu 2 (dua) bulan terhitung sejak tanggal penyampaian
pembelaan diri sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) Menteri Keuangan tidak memberikan
keputusan pemberhentian anggota Dewan Pengawas tersebut, maka rencana pemberhentian
tersebut menjadi batal;
(6)
Pemberhentian karena alasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf d,
merupakan pemberhentian tidak dengan hormat;
(7)
Kedudukan sebagai anggota Dewan Pengawas berakhir dengan dikeluarkannya
keputusan pemberhentian oleh Menteri Keuangan.
Pasal 37 mengatur tentang tugas Dewan Pengawas antara lain:
(1)
(2)
Pengawasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a termasuk pengawasan
terhadap pelaksanaan:
1. Rencana Kerja dan Anggaran Perusahaan;
2. ketentuan-ketentuan dalam Peraturan Pemerintah ini;
(2)
Dewan Pengawas melaporkan pelaksanaan tugasnya sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) kepada Menteri Keuangan secara berkala dan sewaktu-waktu apabila diperlukan.
Pasal 39 mengatur tentang tugas dan kewanangan Dewan Pengawas yaitu: dalam
melaksanakan tugas dan kewajibannya, Dewan Pengawas mempunyai wewenang sebagai
berikut:
1. melihat buku-buku, surat-surat serta dokumen-dokumen lainnya,
memeriksa kas untuk keperluan verifikasi dan memeriksa kekayaan
Perusahaan;
2. memasuki pekarangan, gedung dan kantor yang dipergunakan oleh
Perusahaan;
3. meminta penjelasan dari Direksi dan atau pejabat lainnya mengenai
segala persoalan yang menyangkut pengelolaan Perusahaan;
4. meminta Direksi dan atau pejabat lainnya dengan sepengetahuan Direksi
untuk menghadiri rapat Dewan Pengawas;
5. menghadiri rapat Direksi dan memberikan pandangan-pandangan
terhadap hal-hal yang dibicarakan;
6. berdasarkan ketentuan Peraturan Pemerintah ini, memberikan persetujuan
atau bantuan kepada Direksi dalam melakukan perbuatan hukum tertentu;
7. berdasarkan ketentuan Peraturan Pemerintah ini atau keputusan rapat
pembahasan bersama, melakukan tindakan pengurusan Perusahaan
dalam hal Direksi tidak ada; dan
Pasal 40 mengatur bahwa untuk membantu kelancaran pelaksanaan tugas Dewan Pengawas,
Menteri Keuangan dapat mengangkat seorang Sekretaris Dewan Pengawas atas beban
Perusahaan.
Pasal 41memuat bahwa jika dianggap perlu Dewan Pengawas dalam melaksanakan tugasnya
dapat memperoleh bantuan tenaga ahli yang diikat dengan kontrak untuk waktu tertentu atas
beban Perusahaan.
Sedangkan Pasal 42 mengatur semua biaya yang diperlukan dalam rangka pelaksanaan tugas
Dewan Pengawas dibebankan kepada Perusahaan dan secara jelas dimuat dalam Rencana
Kerja dan Anggaran Perusahaan.
Pasal 43 tentang rapat Dewan Pengawas, yaitu:
(1)
(2)
Dalam rapat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dibicarakan hal-hal yang
berhubungan dengan Perusahaan sesuai dengan tugas, kewenangan dan kewajiban Dewan
Pengawas;
(3)
Keputusan rapat Dewan Pengawas diambil atas dasar musyawarah untuk mufakat;
(4)
Dalam hal tak tercapai kata mufakat, maka keputusan diambil berdasarkan suara
terbanyak;
(5)
Pegadaian Syariah juga mengikuti aturan Pasal 46 bahwa direksi wajib memperhatikan dan
segera mengambil langkah-langkah yang diperlukan atas segala sesuatu yang dikemukakan
dalam setiap laporan hasil pemeriksaan yang dibuat oleh Satuan Pengawasan Intern.
Pasal 47 atas permintaan tertulis Dewan Pengawas, Direksi memberikan keterangan hasil
pemeriksaan atau hasil pelaksanaan tugas Satuan Pengawasan Intern sebagaimana dimaksud
dalam pasal 45 huruf b.
Pasal 48 dalam pelaksanaan tugasnya, Satuan Pengawasan Intern wajib menjaga kelancaran
pelaksanaan tugas satuan organisasi lainnya dalam Perusahaan sesuai dengan tugas dan
tanggung jawabnya masing-masing.
Bagian Ke-sepuluh tentang Sistem Akuntansi dan Pelaporan
Pasal 49
Tahun buku Perusahaan adalah tahun takwim, kecuali jika ditetapkan lain oleh Menteri
Keuangan.
Pasal 50
Perhitungan Tahunan dibuat sesuai dengan Standar Akuntansi Keuangan yang berlaku.
Pasal 51
Dalam waktu 5 (lima) bulan setelah tahun buku Perusahaan ditutup, Direksi wajib
menyampaikan Laporan Tahunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) huruf l
kepada Menteri Keuangan, yang memuat sekurang-kurangnya:
1. Perhitungan Tahunan yang terdiri dari neraca akhir tahun buku yang baru
lampau dan perhitungan laba rugi dari tahun buku yang bersangkutan
serta penjelasan atas dokumen tersebut;
2. laporan mengenai keadaan dan jalannya Perusahaan serta hasil yang
telah dicapai;
3. kegiatan utama Perusahaan dan perubahan selama tahun buku;
4. rincian masalah yang timbul selama tahun buku yang mempengaruhi
kegiatan Perusahaan;
5. nama anggota Direksi dan Dewan Pengawas; dan
6. gaji dan tunjangan lain bagi anggota Direksi dan Dewan Pengawas.
Pasal 52
(1)
Laporan Tahunan ditandatangani oleh semua anggota Direksi dan Dewan Pengawas
serta disampaikan kepada Menteri Keuangan;
(2)
Dalam hal ada anggota Direksi atau Dewan Pengawas tidak menandatangani
Laporan Tahunan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), harus disebutkan alasannya secara
tertulis.
Pasal 53
(1)
Perhitungan Tahunan disampaikan oleh Direksi kepada Badan Pengawasan
Keuangan dan Pembangunan untuk diperiksa;
(2)
Pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat dilakukan oleh Akuntan
Publik yang ditunjuk oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan dengan ketentuan
bahwa hasil pemeriksaannya disetujui oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan;
(3)
Apabila Perusahaan mengerahkan dana masyarakat, pemeriksaan Perhitungan
Tahunan dilakukan oleh Akuntan Publik;
(4)
Laporan hasil pemeriksaan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan atau
Akuntan Publik sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) disampaikan
secara tertulis oleh Direksi kepada Menteri Keuangan untuk disahkan;
(5)
Perhitungan Tahunan sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) diumumkan dalam
surat kabar harian.
Pasal 54
(1)
Pengesahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 ayat (4) membebaskan Direksi
dari tanggung jawab terhadap segala sesuatunya yang termuat dalam Perhitungan Tahunan
tersebut;
(2)
Dalam hal dokumen Perhitungan Tahunan yang diajukan dan disahkan tersebut
ternyata tidak benar dan atau menyesatkan maka anggota Direksi dan Dewan Pengawas
secara tanggung renteng bertanggung jawab terhadap pihak ketiga yang dirugikan;
(3)
Anggota Direksi dan Dewan Pengawas dibebaskan dari tanggung jawab
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) apabila terbukti bahwa keadaan tersebut bukan karena
kesalahannya.
Pasal 55
(1)
Laporan berkala baik laporan triwulan, laporan semester maupun laporan lainnya
tentang kinerja Perusahaan disampaikan kepada Dewan Pengawas;
(2)
Tembusan laporan berkala sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) disampaikan
kepada Menteri Keuangan.
Pasal 56
Laporan tahunan, Perhitungan Tahunan, laporan berkala dan laporan lainnya sebagaimana
dimaksud dalam Bagian ini, disampaikan dengan bentuk, isi dan tata cara penyusunan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Bagian Ke-sebelas mengatur tentang Pegawai Perusahaan.
Pasal 57
Pengadaan, pengangkatan, penempatan, pemberhentian, kedudukan, kepangkatan, jabatan,
gaji/upah, kesejahteraan dan penghargaan kepada pegawai Perusahaan diatur dan ditetapkan
oleh Direksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 58
(1) Segala ketentuan eselonisasi jabatan yang berlaku bagi Pegawai Negeri tidak berlaku
bagi pegawai Perusahaan;
(2) Direksi dapat mengatur dan menetapkan ketentuan eselonisasi jabatan tersendiri bagi
pegawai Perusahaan.
Bagian Ke-duabelas tentang Penggunaan Laba
Pasal 59
(1)
Setiap tahun buku, Perusahaan wajib menyisihkan jumlah tertentu dari laba bersih
untuk cadangan tujuan, penyusutan dan pengurangan lainnya yang wajar;
(2)
Empat puluh lima persen (45%) dari sisa penyisihan laba bersih sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1), dipakai untuk:
1. cadangan umum yang dilakukan sampai cadangan mencapai sekurangkurangnya 2 (dua) kali lipat dari modal yang ditempatkan;
2. sosial dan pendidikan;
3. jasa produksi;
4. sumbangan dana pensiun; dan
(3)
Penetapan persentase pembagian laba bersih Perusahaan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (2) ditetapkan lebih lanjut oleh Menteri Keuangan.
Pasal 60
(1)
Seluruh laba bersih setelah dikurangi penyisihan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 59 disetorkan sebagai Dana Pembangunan Semesta;
(2)
Dana Pembangunan Semesta yang menjadi hak Negara wajib disetorkan ke
Bendahara Umum Negara segera setelah Laporan Tahunan disahkan sesuai ketentuan
sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah ini.
Bagian Ke-tigabelas Mengatur tentang ketentuan lain-lain.
Pasal 61
Tata cara penjualan, pemindahtanganan atau pembebanan atas aktiva tetap Perusahaan serta
penerimaan pinjaman jangka menengah/panjang dan pemberian pinjaman dalam bentuk dan
cara apapun serta tidak menagih lagi dan menghapuskan dari pembukuan piutang dan
persediaan barang oleh Perusahaan ditetapkan oleh Menteri Keuangan.
Pasal 62
Pengadaan barang dan jasa Perusahaan yang menggunakan dana langsung dari Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara dilaksanakan sesuai dengan ketentuan pelaksanaan Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara.
Pasal 63
(1)
Selain organ Perusahaan, pihak lain manapun dilarang turut mencampuri
pengurusan Perusahaan;
(2)
Organ Perusahaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah Direksi dan Dewan
Pengawas;
(3)
Departemen/instansi Pemerintah tidak dibenarkan membebani Perusahaan dengan
segala bentuk pengeluaran;
(4)
Perusahaan tidak dibenarkan membiayai keperluan pengeluaran
Departemen/instansi Pemerintah.
Pasal 64
(1)
Direksi hanya dapat mengajukan permohonan ke Pengadilan Negeri agar
Perusahaan dinyatakan pailit berdasarkan persetujuan Menteri Keuangan;
(2)
Dalam hal kepailitan terjadi karena kesalahan atau kelalaian Direksi dan kekayaan
Perusahaan tidak cukup untuk menutup kerugian akibat kepailitan tersebut, maka setiap
anggota Direksi secara tanggung renteng bertanggung jawab atas kerugian tersebut;
(3)
Anggota Direksi yang dapat membuktikan bahwa kepailitan bukan karena kesalahan
atau kelalaiannya, tidak bertanggung jawab secara tanggung renteng atas kerugian tersebut.
Pasal 65
(1)
Anggota Direksi dan semua pegawai Perusahaan yang karena tindakan-tindakan
melawan hukum menimbulkan kerugian bagi Perusahaan, diwajibkan mengganti kerugian
tersebut;
(2)
Ketentuan ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) terhadap anggota
Direksi diatur oleh Menteri Keuangan, sedangkan terhadap pegawai Perusahaan diatur oleh
Direksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 66
Semua surat dan surat berharga yang termasuk kelompok pembukuan dan administrasi
Perusahaan disimpan di tempat Perusahaan atau tempat lainnya sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 67
(1)
Pembubaran Perusahaan dan penunjukan likuidaturnya ditetapkan dengan Peraturan
Pemerintah;
(2)
(3)
(4)
Menteri Keuangan memberi pembebasan tanggung jawab tentang pekerjaan yang
telah diselesaikan likuidatur.
Pasal 68
Pimpinan satuan organisasi dalam Perusahaan bertanggung jawab melakukan pengawasan
melekat dalam lingkungan tugasnya masing-masing.
BAB IV
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 69 mengatur tentang Perlihan. Pada saat berlakunya Peraturan Pemerintah ini, semua
ketentuan pelaksanaan yang telah ditetapkan dan diberlakukan berdasarkan Peraturan
Pemerintah Nomor 10 Tahun 1990, masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dan
belum diganti dengan ketentuan baru yang ditetapkan dan diberlakukan berdasarkan
Peraturan Pemerintah ini.
III. ANALISIS
Pegadaian Syariah dapat dilihat dari sisi lembaga dan dari sisi bisnis, dari sisi lembaga ia
merupakan perusahaan yang bergerak di bidang jasa keuangan dengan bentuk Badan Usaha
Milik Negara. Sebagai perusahaan yang di miliki oleh negara, ia harus tunduk terhadap
perundang-undangan yang mengatur tentang PERUM.
Bentuk hukum Perusahaan Umum (PERUM) diatur dalam Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang
Nomor 9 Tahun 1969 tentang Bentuk-Bentuk Usaha Negara. Undang-undang ini dimasukkan
dalam Lembaran Negara Nomor 40 Tahun 1969. Pegadaian Syariah sebagai PERUM
merupakan perusahaan Negara yang didirikan dan diatur berdasarkan ketentuan-ketentuan
yang ada di dalam Undang-Undang Nomor 19/Prp Tahun 1960 hal ini menurut Pasal 2 ayat
(2) Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1969. sedangkan tata cara pembinaan dan pengaturan
PERUM diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 1983 kemudian di cabut dengan
diberlakukannya Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 1998 dalam Lembaran Negara
Nomor 16 Tahun 1998 tentang Perusahaan Umum (PERUM) Tanggal 17 Januari 1998
kemudian di berlakukan juga Peraturan Pemerintah Nomor 103 Tahun 2000 tentang
Perusahaan Umum (PERUM) Pegadaian.
Pengertian Pegadaian Syariah yang mencakup unsur-unsur antara lain :
(a) Ada syarat subyek yaitu : orang yang menggadaikan (rahin) dan orang yang menerima
gadai (murtahin) keduanya ada syarat-syarat tertentu :
1. Telah dewasa menurut hukum
2. Berakal
3. Mampu atau cakap berbuat hukum
(b) Ada syarat obyek yaitu : barang yang dapat di gadaikan (marhun) dengan syarat-syarat
tertentu antara lain:
1. Benda yang mengandung nilai ekonomis
2. Dapat di perjual belikan dan tidak melanggar undang-undang.
3. 6.
4. Benda bergerak
(c) Adanya kata sepakat (sighot) yaitu : kata sepakat setelah negosiasi antara rahin dan
murtahin yang kemudian di implementasikan dalam perjanjian.
Atas dasar pemaparan tersebut bahwa aspek legal perusahaan Pegadaian Syariah mempunyai
legalitas yang sangat kuat karena Peraturan Pemerintah Nomor 103 Tahun 2000 tentang
Perusahaan Umum (PERUM) Pegadaian, tidak ada yang bertentangan dengan syariah Islam.
Bahkan bila Pegadaian Syariah itu dijalankan secara konsisten berdasarkan PP tersebut, ia
akan mempunyai kepastian hukum.
Selain itu Pegadaian Syariah juga mempunyai aspek legalitas dari hukum Islam berupa
putusan Dewan Syariah Nasional tentang Qardh yang berbunyi:
Menetapkan : FATWA TENTANG AL-QARDH
Pertama : Ketentuan Umum al-Qardh
1. Al-Qardh adalah pinjaman yang diberikan kepada nasabah (muqtaridh)
yang memerlukan.
1. Nasabah al-Qardh wajib mengembalikan jumlah pokok yang diterima pada
waktu yang telah disepakati bersama.
2. Biaya administrasi dibebankan kepada nasabah.
3. LKS dapat meminta jaminan kepada nasabah bilamana dipandang perlu.
4. Nasabah al-Qardh dapat memberikan tambahan (sumbangan) dengan
sukarela kepada LKS selama tidak diperjanjikan dalam akad.
5. Jika nasabah tidak dapat mengembalikan sebagian atau seluruh
kewajibannya pada saat yang telah disepakati dan LKS telah memastikan
ketidakmampuannya, LKS dapat:
a).
b).
Kedua : Sanksi
1. Dalam hal nasabah tidak menunjukkan keinginan mengembalikan
sebagian atau seluruh kewajibannya dan bukan karena ketidakmampuannya, LKS dapat menjatuhkan sanksi kepada nasabah.
2. Sanksi yang dijatuhkan kepada nasabah sebagaimana dimaksud butir 1
dapat berupa dan tidak terbatas pada penjualan barang jaminan.
3. Jika barang jaminan tidak mencukupi, nasabah tetap harus memenuhi
kewajibannya secara penuh.
Lembaga lain atau individu yang mempercayakan penyaluran infaqnya kepada LKS.
Keempat :
1. Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi
perselisihan di antara para pihak, maka penyelesaiannya dilakukan
melalui Badan Arbitrasi Syariah setelah tidak tercapai kesepakatan
melalui musyawarah.
2. Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan dengan ketentuan jika di
kemudian hari ternyata terdapat kekeliruan, akan diubah dan
disempurnakan sebagaimana mestinya.
Selain legalitas Pegadaian Syariah yang kuat, ia juga mempunyai peluang besar di masyarkat
karena telah mendapatkan ijin dari pemerintah. Ini merupakan peluang yang memberikan
suatu harapan bahwa Pegadaian Syariah akan berkembang pesat dan menjadi lembaga yang
banyak diminati oleh masyarakat muslim.
Beradasarkan penelitian tim peneliti dan Pengembangan Bank Syariah-DPNP tahun 2005
yang di kutip oleh Abdul Ghofur Anshori (2006:35) menghasilkan kesimpulan sebagai
berikut:
Berdasarkan analisis SWOT (1) kekuatan (Strength) (2) kelemahan (Weakness), (3) peluang
(oportunity) dan (4) ancaman (Threat) (Tim Peneliti dan Pengembangan Bank Syariah-DPNP,
2005) di lembaga Pegadaian Syariah dapat ditemukan:
(1).
a)
Pegadaian Syariah sangat di dukung oleh umat Islam di Indonesia yang merupakan
penduduk mayoritas dengan jumlah yang sangat besar di banding dengan negara lain.
b) Adanya dukungan dari lembaga keuangan Islam dunia. Pegadaian Syariah yang
menggunakan prinsip-prinsip syariah adalah mitra utama bagi bank Islam Dunia (IDB). Hal
ini dapat di pahami dari konferensi ke-2 Menteri-Menteri Luar Negeri negera muslim di
seluruh dunia bulan Desember 1970 di Karachi, Pakistan yang telah menghasilkan
kesepakatan untuk tahap pertama mendirikan Islamic Development Bank (IDB) yang
dioperasikan sesuai denga prinsip-prinsip syariah.
c)
Sebagian besar penduduk Indonesia berekonomi lemah yang sulit mendapat pinjaman
dari bank karena persyaratan yang rumit dan sulit.
d) Produk Pegadaian Syariah yang punya nilai kompetitif. Pegadaian Syariah saat ini
mengeluarkan beberapa produk antara lain: gadai syariah, logam mulia dan ar-ruum.
(2).
a)
Kurangnya sarana dan prasarana yang di miliki oleh Pegadaian Syariah untuk
menyimpan barang. Gedung yang kecil kurang mencukupi untuk tempat barang-barang yang
digadaikan karena itu perlu ada penambahan sarana dan prasarana sebagaimana pegadaian
konvensional.
b)
Masyarakat yang kurang memahami tentang Pegadaian Syariah. Masyarakat masih
berpola pikir pegadaian konvensional dan belum banyak yang berpikir sisi syariah. Hal itu
membuat para pegawai harus menjelaskan berulang-ulang kepada para nasabah.
c)
Kurangnya pegawai di bidang gadai syariah yang mempunyai kabapiliti dari sisi syariah
dan juga dari sisi gadai. Belum banyak sarjana yang menggeluti di bidang gadai syariah,
sehingga sulit mendapatkan pegawai yang profesional di bidang syariah dan juga di bidang
gadai. Karena itu dalam hal syariah di perlukan Dewan Pengawas Syariah.
(3).
Pegadaian Syariah sebagai lembaga yang berbasis syariah dalam mengaplikasikan gadai
syariah memiliki ancaman antara lain:
a)
Persaingan dengan rentenir yang terkadang masyarakat masih percaya kepadanya
karena peminjaman uang tanpa menggunakan jaminan atau gadai apapun.
b)
Pemahaman masyarakat yang masih berpikir gadai konvensional sehingga Pegadaian
Syariah belum bisa di percaya oleh masyarakat secara penuh.
IV. SIMPULAN
PERUM pegadaian syariah merupakan perusahaan yang bergerak di bidang jasa keuangan
dengan bentuk Badan Usaha Milik Negara. Sebagai perusahaan yang di miliki oleh negara, ia
harus tunduk terhadap perundang-undangan yang mengatur tentang PERUM. Perundangundangan yang mengatur tentang PERUM (Perusahaan Umum) adalah Undang-Undang
Nomor 9 Tahun 1969 dan Peraturan Pemerintah Nomor 103 Tahun 2000 tentang Perusahaan
Umum (PERUM) Pegadaian.
Pegadaian Syariah sebagai perusahaan milik Negara berbadan hukum artinya memiliki modal
sendiri. seluruh modalnya di miliki oleh negara berupa kekayaan negara yang dipisahkan dan
tidak terbagi atas saham.
Organisasi PERUM terdiri dari Direksi dan dewan pengawas PERUM. Kepengurusan
PERUM dilakukan oleh Direksi. Kepengurusan Direksi meliputi kegiatan pengelolaan
PERUM dalam upaya mencapai tujuan perusahaan sebagai suatu badan usaha. Para Direksi
berjumlah paling banyak 5 (lima) orang dan salah seorang diantaranya diangkat sebagai
Direktur Utama. Penambahan jumlah anggota Direksi bila melebihi jumlah yang ditetapkan
tersebut harus dilakukan dengan persetujuan PresidenOrganisasi PERUM terdiri dari Direksi
dan dewan pengawas PERUM. Kepengurusan PERUM dilakukan oleh Direksi.
Kepengurusan Direksi meliputi kegiatan pengelolaan PERUM dalam upaya mencapai tujuan
perusahaan sebagai suatu badan usaha. Para Direksi berjumlah paling banyak 5 (lima) orang
dan salah seorang diantaranya diangkat sebagai Direktur Utama. Penambahan jumlah anggota
Direksi bila melebihi jumlah yang ditetapkan tersebut harus dilakukan dengan persetujuan
Presiden.
Dalam operasional, Pegadaian Syariah di awasi oleh Dewan Pengawas Syariah sehingga
produk-produk yang di operasionalkan benar-benar sesuai syariah.
REFERENSI
Abduk Kadir Muhammad, 1998, Hukum Perusahaan Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti,
Bandung.
Abdul Ghofur Anshori, 2006, Gadai Syariah di Indonesia Konsep, Implementasi dan
institusionalisasi, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Abdul mannan,1995, Islamic economic, Theory and Practice, terjemahan oleh M. Nastangin,
Teori dan Praktik Ekonomi Islam,Penerbit PT. Dana Bhakti Wakaf, Yogyakarta.
Abdullah bin Abdulmuhsin Alturki dan Abdulfatah Muhammad Al Hulwu, Mughni, Ibnu
Qudamah Tahqiq, cetakan kedua tahun 1412H, penerbit hajar, Kairo, Mesir.
Abdullah bin Muhammad Al Thoyaar, Abdullah bin Muhammad Al Muthliq dan Muhammad
bin Ibrohim Alumusa, cetakan pertama tahun1425H Kitab Al Fiqh Al Muyassarah, Qismul
Muamalah, Madar Al Wathoni LinNasyr, Riyadh, KSA hal. 115
Abu Abdillah al-Maghribi, Mawhib al-Jall, V/2, Dar al-Fikr, Beirut, cet.II. 1398.
Abu Bakr Jabr Al Jazairi, 2005, Ensiklopedia Muslim, Minhajul Muslim, Penerbit Buku Islam
Kaffah, Edisi Revisi.
Adiwarman A. Karim,2006, Bank Islam Analisis Fiqih dan Keuangan, PT. Raja Grafindo,
Jakarta.
Ahmad Azhar Basyir, 1983, Hukum Islam tentang Riba, Utang-Piutang Gadai, al-Maarif,
Bandung.
Al Jawi, Shiddiq. Kerjasama Bisnis (Syirkah) Dalam Islam. Majalah Al Waie 57
Al-Amaanah al Aamah Lihaiat Kibar Al Ulama, 1422H, Abhaats Haiat Kibaar Al Ulama
Bil Mamlakah Al Arabiyah Al Suudiyah, Cetakan I.
Ali Anwar Yusuf,2002, Wawasan Islam, Setia Pustaka,Bandung.
Ali Athwa / SHW, Majalah suara Hidayatullah, edisi 10 / XV / Dzulqadah-Dzulhijjah, 1423
An Nabhani, Taqiyuddin. 1996. Membangun Sistem Ekonomi Alternatif Surabaya: Risalah
Gusti.
Ari Agung Nugraha, 2004, Gambaran Umum Kegiatan Usaha Pegadaian Syariah,
http://ulgs.tripod.com.
Atabik Ali dan A. Zuhdi Muhdhor,1998, Kamus Kontemporer Arab Indonesia, Penerbit Multi
Karya Grafika, Yogyakarta.
Biro Perbankan Syariah, Produk Perbankan Syariah, Karim Business consulting dan Bank
Indonesia, Jakarta.
Choiruman Pasaribu dan Suharawardi K. Lubis, Hukum Perjanjian dalam Islam, Sinar
Grafika, Jakarta, 2004.
Dewan Syariah Nasional, Fatwa Tentang Hawaluh, No. 12 / DSN MUI / IV / 2000, Majelis
Ulama Indonesia
Djuhaendah Hasan,1999, Analisis Hukum Ekonomi Terhadap Hukum Pegadaian syariah di
Indonesia, Magister Hukum Bisnis Pasca Sarjana UGM, Yogyakarta.
Emmy Pangaribuan S., 1999, Analisis Hukum Ekonomi Terhadap Hukum Persaingan,
Makalah penataran hukum perdata dan ekonomi, UGM, Yogyakarta.
Ghazali, al-Mustasyfa, dikutip oleh Umar Chapra,2000, Islam dan tantangan Ekonomi,
Penerjemah Ichwan Abidin, Penerbit Gema insani Press bekerja sama dengan tazkia Institut,
Jakarta.
Hans Wehr, 1980, A Dictionary of Modern Written Arabic, Libanon Beirut.
Heri Sudarsono,2008, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah, Penerbit Ekonosia,Yogyakarta.
Hikmanto Juwono, 1998, Analisa Ekonomi Atas Hukum Pegadaian syariah. Makalah
disampaikan dalam seminar tentang Pendekatan ekonomi dalam pengembangan sistem
hukum nasional dalam rangka globalisasi, diselenggarakan oleh Fakultas Hukum UNPAD
bekerjasama dengan BAPENAS, 30 April 1998, Bandung.
Menimbang :
a. bahwa pembangunan nasional merupakan upaya pembangunan yang berkesinambungan
dalam rangka mewujudkan masyarakat Indonesia yang adil dan makmur berdasarkan
Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 ;
9. Tabungan adalah simpanan yang penarikannya hanya dapat dilakukan menurut syarat
tertentu yang disepakati, tetapi tidak dapat ditarik dengan cek, bilyet giro, dan atau alat
lainnya yang dipersamakan dengan itu ;
10. Surat Berharga adalah surat pengakuan utang, wesel, saham, obligasi, sekuritas kredit, atau
setiap derivatifnya, atau kepentingan lain, atau suatu kewajiban dari penerbit, dalam bentuk
yang lazim diperdagangkan dalam pasar modal dan pasar uang ;
11. Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu,
berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain
yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu
dengan pemberian bunga ;
12. Pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah adalah penyediaan uang atau tagihan yang
dipersamakan dengan itu berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara bank dengan
pihak lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai untuk mengembalikan uang atau tagihan
tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan atau bagi hasil ;
13. Prinsip Syariah adalah aturan perjanjian berdasarkan hukum Islam antara bank dengan pihak
lain untuk menyimpan dana dan atau pembiayaan kegiatan usaha, atau kegiatan lainnya
yang dinyatakan sesuai dengan syariah, antara lain pembiayaan berdasarkan prinsip bagi
hasil (mudharabah), pembiayaan berdasarkan prinsip penyertaan modal (musharakah),
prinsip jual beli barang dengan memperoleh keuntungan (murabahah), atau pembiayaan
barang modal berdasarkan prinsip sewa murni tanpa pilihan (ijarah), atau dengan adanya
pilihan pemindahan kepemilikan atas barang yang disewa dari pihak bank oleh pihak lain
(ijarah wa iqtina) ;
14. Penitipan adalah penyimpanan harta berdasarkan perjanjian atau kontrak antara Bank Umum
dengan penitip, dengan ketentuan Bank Umum yang bersangkutan tidak mempunyai hak
kepemilikan atas harta tersebut ;
15. Wali Amanat adalah kegiatan usaha yang dapat dilakukan oleh Bank Umum dengan penitip,
dengan ketentuan Bank Umum yang bersangkutan tidak mempunyai hak kepemilikan atas
harta tersebut ;
16. Nasabah adalah pihak yang menggunakan jasa bank ;
17. Nasabah Penyimpan adalah nasabah yang menempatkan dananya di bank dalam bentuk
simpanan berdasarkan perjanjian bank sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang yang
berlaku ;
21. Pimpinan Bank Indonesia adalah pimpinan sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang
yang berlaku ;
22. Pihak Terafiliasi adalah :
a. anggota Dewan Komisaris, pengawas, Direksi atau kuasanya, pejabat, atau karyawan
bank ;
b. anggota pengurus, pengawas, pengelola atau kuasanya, pejabat, atau karyawan bank,
khusus bagi bank yang berbentuk hukum koperasi sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku ;
c. pihak yang memberikan jasanya kepada bank, antara lain akuntan publik, penilai,
konsultan hukum dan konsultan lainnya ;
d. pihak yang menurut penilaian Bank Indonesia turut serta mempengaruhi pengelolaan
bank, antara lain pemegang saham dan keluarganya, keluarga Komisaris, keluarga
pengawas, keluarga Direksi, keluarga pengurus ;
23. Agunan adalah jaminan tambahan yang diserahkan Nasabah Debitur kepada bank dalam
rangka pemberian fasilitas kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah ;
24. Lembaga Penjamin Simpanan adalah badan hukum yang menyelenggarakan kegiatan
penjaminan atas simpanan Nasabah Penyimpan melalui skim asuransi, dan penyangga, atau
skim lainnya;
25. Merger adalah penggabungan dari dua bank atau lebih, dengan cara tetap mempertahankan
berdirinya salah satu bank dan membubarkan bank-bank lainya dengan atau tanpa
melikuidasi;
26. Konsolidasi adalah penggabungan dari dua bank atau lebih, dengan cara mendirikan bak
baru dan membubarkan bank-bank tersebut dengan atau tanpa likuidasi;
27. Akuisisi adalah pengambilalihan kepemilikan suatu bank;
28. Rahasia bank adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan keterangan mengenai
nasabah penyimpan dan simpanannya."
BAB II
ASAS, FUNGSI, DAN TUJUAN
Pasal 2
Perbankan Indonesia dalam melakukan usahanya berasaskan demokrasi ekonomi dengan
menggunakan prinsip kehati-hatian.
Pasal 3
Fungsi utama perbankan Indonesia adalah sebagai penghimpun dan penyalur dana masyarakat.
Pasal 4
Perbankan Indonesia bertujuan menunjang pelaksanaan pembangunan nasional dalam rangka
meningkatkan pemerataan, pertumbuhan ekonomi, dan stabilitas nasional ke arah peningkatan
kesejahteraan rakyat banyak.
BAB III
JENIS DAN USAHA BANK
Bagian Pertama
Jenis Bank
Pasal 5
1. Menurut jenisnya, bank terdiri dari :
a. Bank Umum ;
b. Bank Perkreditan Rakyat.
2. Bank Umum dapat mengkhususkan diri untuk melaksanakan kegiatan tertentu atau
memberikan perhatian yang lebih besar kepada kegiatan tertentu.
Bagian Kedua
Usaha Bank Umum
Pasal 6
Usaha Bank Umum meliputi :
a. menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan berupa giro, deposito berjangka,
sertifikat deposito, tabungan, dan/atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu ;
b. memberikan kredit ;
c. menerbitkan surat pengakuan hutang ;
d. membeli, menjual atau menjamin atas risiko sendiri maupun untuk kepentingan dan atas
perintah nasabahnya :
1. surat-surat wesel termasuk wesel yang diakseptasi oleh bank yang masa berlakunya tidak
lebih lama daripada kebiasaan dalam perdagangan surat-surat dimaksud ;
2. surat pengakuan hutang dan kertas dagang lainnya yang masa berlakunya tidak lebih
lama dari kebiasaan dalam perdagangan surat-surat dimaksud ;
3. kertas perbendaharaan negara dan surat jaminan pemerintah ;
4. Sertifikat Bank Indonesia (SBI) ;
5. obligasi ;
6. surat dagang berjangka waktu sampai dengan 1 (satu) tahun ;
7. instrumen surat berharga lain yang berjangka waktu sampai dengan 1 (satu) tahun ;
e. memindahkan uang baik untuk kepentingan sendiri maupun untuk kepentingan nasabah ;
f. menempatkan dana pada, meminjam dana dari, atau meminjamkan dana kepada bank lain,
baik dengan menggunakan surat, sarana telekomunikasi maupun dengan wesel unjuk, cek
atau sarana lainnya ;
g. menerima pembayaran dari tagihan atas surat berharga dan melakukan perhitungan dengan
antar pihak ketiga ;
h. menyediakan tempat untuk menyimpan barang dan surat berharga ;
i. melakukan kegiatan penitipan untuk kepentingan pihak lain berdasarkan suatu kontrak ;
j. melakukan penempatan dana dari nasabah kepada nasabah lainnya dalam bentuk surat
berharga yang tidak tercatat di bursa efek ;
k. dihapus ;
l. melakukan kegiatan anjak piutang, usaha kartu kredit dan kegiatan wali amanat ;
m. menyediakan pembiayaan dan atau melakukan kegiatan lain berdasarkan Prinsip Syariah,
sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia ;
n. melakukan kegiatan lain yang lazim dilakukan oleh bank sepanjang tidak bertentangan
dengan Undang-undang ini dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 7
Selain melakukan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, Bank Umum dapat pula :
a. melakukan kegiatan dalam valuta asing dengan memenuhi ketentuan yang ditetapkan oleh
Bank Indonesia ;
b. melakukan kegiatan penyertaan modal pada bank atau perusahaan di bidang keuangan,
seperti sewa guna usaha, modal ventura, perusahaan efek, asuransi, serta lembaga kliring
penyelesaian dan penyimpanan, dengan memenuhi ketentuan yang ditetapkan oleh Bank
Indonesia ;
c. melakukan kegiatan penyertaan modal sementara untuk mengatasi akibat kegagalan kredit
atau kegagalan pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah, dengan syarat harus menarik
kembali penyertaannya, dengan memenuhi ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia ;
dan
d. bertindak sebagai pendiri dana pensiun dan pengurus pensiun sesuai dengan ketentuan
dalam peraturan perundang-undangan dana pensiun yang berlaku.
Pasal 8
1. Dalam memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah, Bank Umum wajib
mempunyai keyakinan berdasarkan analisis yang mendalam atau itikad baik dan kemampuan
serta kesanggupan Nasabah Debitur untuk melunasi utangnya atau mengembalikan
pembiayaan dimaksud sesuai dengan yang diperjanjikan.
2. Bank Umum wajib memiliki dan menerapkan pedoman perkreditan dan pembiayaan
berdasarkan Prinsip Syariah, sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
Pasal 9
1. Bank Umum yang menyelenggarakan kegiatan penitipan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 6 huruf i, bertanggung jawab untuk menyimpan harta milik penitip, dan memenuhi
kewajiban lain sesuai dengan kontrak.
2. Harta yang dititipkan wajib dibukukan dan dicatat secara tersendiri.
3. Dalam hal bank mengalami kepailitan, semua harta yang dititipkan pada bank tersebut tidak
dimasukkan dalam harta kepailitan dan wajib dikembalikan kepada penitip yang
bersangkutan.
Pasal 10
Bank Umum dilarang :
a. melakukan penyertaan modal kecuali sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf b dan
huruf c ;
b. melakukan usaha perasuransian ;
c. melakukan usaha lain di luar kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dan
Pasal 7
Pasal 11
1. Bank Indonesia menetapkan ketentuan mengenai batas maksimum pemberian kredit atau
pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah, pemberian jaminan, penempatan investasi surat
berharga atau hal lain yang serupa, yang dapat dilakukan oleh bank kepada peminjam atau
sekelompok peminjam yang terkait termasuk kepada perusahaan-perusahaan dalam
kelompok yang sama dengan bank yang bersangkutan.
2. Batas maksimum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak boleh melebihi 30 % (tiga
puluh perseratus) dari modal bank yang sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank
Indonesia.
3. Bank Indonesia menetapkan ketentuan mengenai batas maksimum pemberikan kredit, atau
pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah, pemberian jaminan, penempatan investasi surat
berharga, atau hal lain yang serupa yang dapat dilakukan oleh bank kepada :
a. pemegang saham yang memiliki 10 % (sepuluh perseratus) atau lebih dari modal disetor
bank ;
b. anggota Dewan Komisaris ;
c. anggota Direksi ;
d. keluarga dari pihak sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c ;
e. pejabat bank lainnya ; dan
f.
4.
1.
2.
1.
2.
Bagian Ketiga
Usaha Bank Perkreditan Rakyat
Pasal 13
Usaha Bank Perkreditan Rakyat meliputi :
a. menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan berupa deposito berjangka,
tabungan, dan/atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu ;
b. memberikan kredit ;
c. menyediakan pembiayaan dan penempatan dana berdasarkan Prinsip Syariah, sesuai
dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia ;
d. menempatkan dananya dalam bentuk Sertifikat Bank Indonesia (SBI), deposito berjangka,
sertifikat deposito, dan/atau tabungan pada bank lain.
Pasal 14
Bank Perkreditan Rakyat dilarang :
a. menerima simpanan berupa giro dan ikut serta dalam lalu lintas pembayaran ;
b. melakukan kegiatan usaha dalam valuta asing ;
c. melakukan penyertaan modal ;
d. melakukan usaha perasuransian ;
e. melakukan usaha lain di luar kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13.
Pasal 15
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 dan Pasal 11 berlaku juga bagi Bank Perkreditan
Rakyat.
BAB IV
PERIZINAN, BENTUK HUKUM
DAN KEPEMILIIKAN
Bagian Pertama
Perizinan
Pasal 16
1. Setiap pihak yang melakukan kegiatan menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk
simpanan wajib terlebih dahulu memperoleh izin usaha sebagai Bank Umum atau Bank
Perkreditan Rakyat dari Pimpinan Bank Indonesia, kecuali apabila kegiatan menghimpun
dana dari masyarakat dimaksud diatur dengan Undang-undang tersendiri.
2. Untuk memperoleh izin usaha Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1), wajib dipenuhi persyaratan sekurang-kurangnya tentang :
a. susunan organisasi dan kepengurusan ;
b. permodalan ;
c. kepemilikan ;
d. keahlian di bidang Perbankan ;
e. kelayakan rencana kerja.
3. Persyaratan dan tata cara perizinan bank sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) ditetapkan
oleh Bank Indonesia.
Pasal 17
Dihapus
Pasal 18
1. Pembukaan kantor cabang Bank Umum hanya dilakukan dengan izin Pimpinan Bank
Indonesia.
2. Pembukaan kantor cabang, kantor perwakilan, dan jenis-jenis kantor lainnya di luar negeri
dari Bank Umum hanya dapat dilakukan dengan izin Pimpinan Bank Indonesia.
3. Pembukaan kantor di bawah kantor cabang Bank Umum wajib dilaporkan terlebih dahulu
kepada Bank Indonesia.
4. Persyaratan dan tata cara pembukaan kantor Bank Umum dilaporkan terlebih dahulu kepada
Bank Indonesia.
Pasal 19
1. Pembukaan kantor cabang Bank Perkreditan Rakyat hanya dapat dilakukan dengan izin
Pimpinan Bank Indonesia.
2. Persyaratan dan tata cara pembukaan kantor Bank Perkreditan Rakyat sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan oleh Bank Indonesia.
Pasal 20
1. Pembukaan kantor cabang, kantor cabang pembantu, dan kantor perwakilan dari suatu bank
yang berkedudukan di luar negeri, hanya dapat dilakukan dengan izin Pimpinan Bank
Indonesia.
2. Pembukaan kantor di bawah kantor cabang pembantu dari bank sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) wajib dilaporkan kepada Bank Indonesia.
3. Persyaratan dan tata cara pembukaan kantor-kantor sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Kedua
Bentuk Hukum
Pasal 21
1. Bentuk hukum suatu Bank Umum dapat berupa :
a. Perseroan Terbatas ;
b. Koperasi ; atau
c. Perusahaan Daerah.
2. Bentuk hukum suatu Bank Perkreditan Rakyat dapat berupa salah satu dari :
a. Perusahaan Daerah ;
b. Koperasi ;
c. Perseroan Terbatas ;
d. Bentuk lain yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
3. Bentuk hukum dari kantor perwakilan dan kantor cabang bank yang berkedudukan di luar
negeri mengikuti bentuk hukum kantor pusatnya.
Bagian Ketiga
Kepemilikan
Pasal 22
1. Bank Umum hanya dapat didirikan oleh :
a. Warga negara Indonesia dan atau badan hukum Indonesia ; atau
b. Warga negara Indonesia dan atau badan hukum Indonesia dengan warga negara asing
dan atau badan hukum asing secara kemitraan.
2. Ketentuan mengenai persyaratan pendirian yang wajib dipenuhi pihak-pihak sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan oleh Bank Indonesia.
Pasal 23
Bank Perkreditan Rakyat hanya dapat didirikan dan dimiliki oleh warga negara Indonesia yang
seluruh pemiliknya warga negara Indonesia, pemerintah daerah, atau dapat dimiliki bersama di antara
ketiganya.
Pasal 24
Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat yang berbentuk hukum koperasi, kepemilikannya diatur
berdasarkan ketentuan dalam Undang-undang tentang perkoperasian yang berlaku.
Pasal 25
Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat yang berbentuk hukum perseroan terbatas, sahamnya
hanya dapat diterbitkan dalam bentuk saham atas nama.
Pasal 26
1. Bank Umum dapat melakukan emisi saham melalui bursa efek.
2. Warga negara Indonesia, warga negara asing, badan hukum Indonesia dan atau badan
hukum asing dapat membeli saham Bank Umum, baik secara langsung dan atau melalui
bursa efek.
3. Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diatur lebih lanjut dengan
Peraturan Pemerintah.
Pasal 27
Perubahan kepemilikan bank wajib :
a. memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (3), Pasal 22, Pasal 23,
Pasal 24, Pasal 25, dan Pasal 26 ; dan
b. dilaporkan kepada Bank Indonesia.
Pasal 28
1. Merger, konsolidasi, dan akuisisi wajib terlebih dahulu mendapat izin Pimpinan Bank
Indonesia.
2. Ketentuan mengenai merger, konsolidasi, dan akuisisi ditetapkan dengan Peraturan
Pemerintah.
BAB V
PEMBINAAN DAN PENGAWASAN
Pasal 29
1. Pembinaan dan pengawasan bank dilakukan oleh Bank Indonesia.
2. Bank wajib memelihara tingkat kesehatan bank sesuai dengan ketentuan kecukupan modal,
kualitas aset, kualitas manajemen, likuiditas, rentabilitas, solvabilitas, dan aspek lain yang
berhubungan dengan usaha bank, dan wajib melakukan kegiatan usaha sesuai dengan
prinsip kehati-hatian.
3. Dalam memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah dan melakukan
kegiatan usaha lainnya, bank wajib menempuh cara-cara yang tidak merugikan bank dan
kepentingan nasabah yang mempercayakan dananya kepada bank.
4. Untuk kepentingan nasabah, bank wajib menyediakan informasi mengenai kemungkinan
timbulnya risiko kerugian sehubungan dengan transaksi nasabah yang dilakukan melalui
bank.
5. Ketentuan yang wajib dipenuhi oleh bank sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), ayat (3),
dan ayat (4) ditetapkan oleh Bank Indonesia.
Pasal 30
1. Bank wajib menyampaikan kepada Bank Indonesia, segala keterangan, dan penjelasan
mengenai usahanya menurut tata cara yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
2. Bank atas permintaan Bank Indonesia, wajib memberikan kesempatan bagi pemeriksaan
buku-buku dan berkas-berkas yang ada padanya, serta wajib memberikan bantuan yang
diperlukan dalam rangka memperoleh kebenaran dari segala keterangan, dokumen dan
penjelasan yang dilaporkan oleh bank yang bersangkutan.
3. Keterangan tentang bank yang diperoleh berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) dan ayat (2) tidak diumumkan dan bersifat rahasia.
Pasal 31
Bank Indonesia melakukan pemeriksaan terhadap Bank, baik secara berkala maupun setiap waktu
apabila diperlukan.
Pasal 31 A
Bank Indonesia dapat menugaskan Akuntan Publik untuk dan atas nama Bank Indonesia
melaksanakan pemeriksaan terhadap bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31.
Pasal 32
Dihapus
Pasal 33
1. Laporan pemeriksaan bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 dan Pasal 31 A bersifat
rahasia.
2. Persyaratan dan tata cara pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 dan Pasal
31 A ditetapkan oleh Bank Indonesia.
Pasal 34
1. Bank wajib menyampaikan kepada Bank Indonesia neraca dan perhitungan laba/rugi tahunan
serta penjelasannya, serta laporan berkala lainnya, dalam waktu dan bentuk yang ditetapkan
oleh Bank Indonesia.
2. Neraca serta perhitungan laba/rugi tahunan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib
terlebih dahulu diaudit oleh akuntan publik.
3. Tahun buku bank adalah tahun takwim.
Pasal 35
Bank wajib mengumumkan neraca dan perhitungan laba/rugi dalam waktu dan bentuk yang
ditetapkan oleh Bank Indonesia.
Pasal 36
Bank Indonesia dapat menetapkan pengecualian dari ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
34 ayat (2) bagi Bank Perkreditan Rakyat.
Pasal 37
1. Dalam hal suatu bank mengalami kesulitan yang membahayakan kelangsungan usahanya,
Bank Indonesia dapat melakukan tindakan agar :
a. pemegang saham menambah modal ;
b. pemegang saham menganti Dewan Komisaris dan atau Direksi bank ;
c. bank menghapusbukukan kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah yang
macet dan memperhitungkan kerugian bank dengan modalnya ;
d. bank melakukan merger atau konsolidasi dengan bank lain ;
e. bank dijual kepada pembeli yang bersedia mengambil alih seluruh kewajiban ;
f. bank menyerahkan pengelolaan seluruh atau sebagian kegiatan bank kepada pihak lain ;
g. bank dijual sebagian atau seluruh harta dan atau kewajiban bank kepada bank atau pihak
lain.
2 Apabila :
a. tindakan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) belum cukup untuk mengatasi kesulitan
yang dihadapi bank ; dan
b. menurut penilaian Bank Indonesia keadaan suatu bank dapat membahayakan sistem
Perbankan, Pimpinan Bank Indonesia dapat mencabut izin usaha bank dan
memerintahkan Direksi bank untuk segera menyelenggarakan Rapat Umum Pemegang
Saham guna membubarkan badan hukum bank dan membentuk tim likuidasi.
3. Dalam hal Direksi bank tidak menyelenggarakan Rapat Umum Pemegang Saham
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), Pimpinan Bank Indonesia meminta kepada
pengadilan untuk mengeluarkan penetapan yang berisi pembubaran badan hukum bank,
penunjukan tim likuidasi, dan perintah pelaksanaan likuidasi sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 37 A
1. Apabila menurut penilaian Bank Indonesia terjadi kesulitan Perbankan yang membahayakan
perekonomian nasional, atas permintaan Bank Indonesia, Pemerintah setelah berkonsultasi
kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dapat membentuk badan khusus yang
bersifat sementara dalam rangka penyehatan Perbankan.
2. Badan khusus sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) melakukan program penyehatan
terhadap bank-bank yang ditetapkan dan diserahkan kepada badan dimaksud.
3. Dalam melaksanakan program penyehatan terhadap bank-bank khusus sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) mempunyai wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37
ayat (1) serta wewenang lain yaitu :
a. mengambil alih dan menjalankan segala hak dan wewenang pemegang saham termasuk
hak dan wewenang Rapat Umum Pemegang Saham ;
b. mengambil alih dan melaksanakan segala hak dan wewenang Direksi dan Komisaris Bank
;
c. menguasai, mengelola dan melakukan tindakan kepemilikan atas kekayaan milik atau
yang menjadi hak-hak bank, termasuk kekayaan bank yang berada pada pihak manapun,
baik di dalam maupun di luar negeri, baik secara langsung maupun melalui penawaran
umum ;
d. meninjau ulang, membatalkan, mengakhiri, dan atau mengubah kontrak yang mengikat
bank dengan pihak ketiga, yang menurut pertimbangan badan khusus merugikan bank ;
e. menjual atau mengalihkan kekayaan bank, Direksi, Komisaris, dan pemegang saham
tertentu di dalam negeri ataupun di luar negeri, baik secara langsung maupun melalui
penawaran umum ;
f.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
1.
2.
3.
4.
1.
2.
1.
2.
1.
menjual atau mengalihkan tagihan bank dan atau menyerahkan pengelolaannya kepada
pihak lain, tanpa memerlukan persetujuan Nasabah Debitur ;
g. mengalihkan pengelolaan kekayaan dan atau manajemen bank kepada pihak lain ;
h. melakukan penyertaan modal sementara pada bank, secara langsung atau melalui
pengonversian tagihan badan khusus menjadi penyertaan modal pada bank ;
i.melakukan penagihan piutang bank yang sudah pasti dengan menerbitkan Surat paksa ;
j.melakukan pengosongan atas tanah dan atau bangunan milik atau yang menjadi hak bank
yang dikuasai oleh pihak lain, baik sendiri maupun dengan bantuan alat negara penegak
hukum yang berwenang ;
k. melakukan penelitian dan pemeriksaan untuk memperoleh segala keterangan yang
diperlukan dari dan mengenai bank dalam program penyehatan, dan pihak manapun yang
terlibat atau patut terlibat, atau mengetahui kegiatan yang merugikan bank dalam program
penyehatan tersebut ;
l.menghitung dan menetapkan kerugian yang dialami bank dalam program penyehatan dan
membebankan kerugian tersebut kepada modal bank yang bersangkutan, dan bilamana
kerugian tersebut terjadi karena kesalahan atau kelalaian Direksi, Komisaris, dan atau
pemegang saham, maka kerugian tersebut akan dibebankan kepada yang bersangkutan ;
m. menetapkan jumlah tambahan modal yang wajib disetor oleh pemegang saham bank
dalam program penyehatan ;
n. melakukan tindakan lain yang diperlukan untuk menunjang pelaksanaan wewenang
sebagaimana dimaksud dalam huruf a sampai dengan huruf m.
Tindakan penyehatan Perbankan oleh badan khusus sebagaimana dimaksud dalam ayat (3)
adalah sah berdasarkan Undang-undang ini.
Atas permintaan badan khusus sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), bank dalam program
penyehatan wajib memberikan segala keterangan dan penjelasan mengenai usahanya
termasuk memberikan kesempatan bagi pemeriksaan buku-buku dan berkas yang ada
padanya, dan wajib memberikan bantuan yang diperlukan dalam rangka memperoleh
keterangan, dokumen, dan penjelasan yang diperoleh bank dimaksud.
Pihak-pihak sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) huruf k wajib memberikan keterangan
dan penjelasan yang diminta oleh badan khusus.
Badan khusus sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib menyampaikan laporan kegiatan
kepada Menteri Keuangan.
Apabila menurut penilaian Pemerintah, badan khusus telah menyelesaikan tugasnya,
Pemerintah menyatakan berakhirnya badan khusus tersebut ;
Ketentuan yang diperlukan bagi pelaksanaan Pasal ini diatur lebih lanjut dengan Peraturan
Pemerintah.
Pasal 37 B
Setiap bank wajib menjamin dana masyarakat yang disimpan pada bank yang bersangkutan.
Untuk menjamin simpanan masyarakat pada bank sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dibentuk Lembaga Penjamin Simpanan.
Lembaga Penjamin Simpanan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) berbentuk badan
hukum Indonesia.
Ketentuan mengenai penjaminan dana masyarakat dan Lembaga Penjamin Simpanan, diatur
lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
BAB VI
DEWAN KOMISARIS, DIREKSI
DAN TENAGA ASING
Pasal 38
Pengangkatan keanggotaan dewan komisaris dan direksi bank, wajib memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (6) dan Pasal 17.
Perubahan keanggotaan dewan komisaris dan direksi bank sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) wajib dilaporkan kepada Bank Indonesia.
Pasal 39
Dalam menjalankan kegiatannya, bank dapat menggunakan tenaga asing.
Persyaratan mengenai penggunaan tenaga asing sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 40
Bank wajib merahasiakan keterangan mengenai Nasabah Penyimpan dan simpanannya,
kecuali dalam hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41, Pasal 41 A, Pasal 42, Pasal 43,
Pasal 44, dan Pasal 44 A.
2. Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku pula bagi Pihak Terafiliasi.
Pasal 41
1. Untuk kepentingan perpajakan, Pimpinan Bank Indonesia atas permintaan Menteri Keuangan
berwenang mengeluarkan perintah tertulis kepada bank agar memberikan keterangan dan
memperlihatkan bukti-bukti tertulis serta surat-surat mengenai keadaan keuangan nasabah
penyimpan tertentu kepada pejabat pajak.
2. Perintah tertulis sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) harus menyebutkan nama
pejabat pajak dan nama nasabah wajib pajak yang dikehendaki keterangannya.
Pasal 41 A
1. Untuk penyelesaian piutang bank yang sudah diserahkan kepada Badan Urusan Piutang dan
Lelang Negara / Panitia Urusan Piutang Negara, Pimpinan Bank Indonesia memberikan izin
kepada pejabat Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara / Panitia Urusan Piutang Negara
untuk memperoleh keterangan dari bank mengenai simpanan Nasabah Debitur.
2. Izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diberikan secara tertulis atas permintaan tertulis
dari Kepala Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara / Ketua Panitia Urusan Piutang
Negara.
3. Permintaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) harus menyebutkan nama dan jabatan
pejabat Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara / Panitia Urusan Piutang Negara, nama
Nasabah Debitur yang bersangkutan dan alasan diperlukannya keterangan.
Pasal 42
1. Untuk kepentingan peradilan dalam perkara pidana, Pimpinan Bank Indonesia dapat
memberikan izin kepada polisi, jaksa atau hakim untuk memperoleh keterangan dari bank
mengenai simpanan tersangka atau terdakwa pada bank.
2. Izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diberikan secara tertulis atas permintaan tertulis
dari Kepala Kepolisian Republik Indonesia, Jaksa agung, atau Ketua Mahkamah Agung.
3. Permintaan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (2) harus menyebutkan nama dan
jabatan polisi, jaksa atau hakim, nama tersangka /terdakwa, alasan diperlukannya keterangan
dan hubungan perkara pidana yang bersangkutan dengan keterangan yang diperlukan.
Pasal 42 A
Bank wajib memberikan keterangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41, Pasal 41 A dan Pasal
42.
Pasal 43
Dalam perkara perdata antar bank dengan nasabahnya, Direksi bank yang bersangkutan dapat
menginformasikan kepada pengadilan tentang keadaan keuangan nasabah yang bersangkutan dan
memberikan keterangan lain yang relevan dengan perkara tersebut.
Pasal 44
1. Dalam tukar menukar informasi antar bank, Direksi bank dapat memberitahukan keadaan
keuangan nasabahnya kepada bank lain.
2. Ketentuan mengenai tukar menukar informasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur
lebih lanjut oleh Bank Indonesia.
Pasal 44 A
1. Atas permintaan, persetujuan atau kuasa dari Nasabah Penyimpan yang dibuat secara
tertulis, bank wajib memberikan keterangan mengenai simpanan Nasabah Penyimpan pada
bank yang bersangkutan kepada pihak yang ditunjuk oleh Nasabah Penyimpan tersebut.
2. Dalam hal Nasabah Penyimpan telah meninggal dunia, ahli waris yang sah dari Nasabah
Penyimpan yang bersangkutan berhak memperoleh keterangan mengenai simpanan
Nasabah Penyimpan tersebut.
Pasal 45
Pihak yang merasa dirugikan oleh keterangan yang diberikan oleh bank sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 41, Pasal 42, Pasal 43 dan Pasal 44, berhak untuk mengetahui isi keterangan tersebut
dan meminta pembetulan jika terdapat kesalahan dalam keterangan yang diberikan.
BAB VIII
KETENTUAN PIDANA
DAN SANKSI ADMINISTRATIF
Pasal 46
1. Barang siapa menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan tanpa izin usaha
dari Pimpinan Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16, diancam dengan
pidana penjara sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun
serta denda sekurang-kurangnya Rp. 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) dan paling
banyak Rp. 20.000.000.000,00 (dua puluh miliar rupiah).
2. Dalam hal kegiatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan oleh badan hukum yang
berbentuk perseroan terbatas, perserikatan, yayasan atau koperasi, maka penuntutan
terhadap badan-badan dimaksud dilakukan baik terhadap badan-badan dimaksud dilakukan
baik terhadap mereka yang memberikan perintah melakukan perbuatan itu atau yang
bertindak sebagai pimpinan dalam perbuatan itu atau terhadap kedua-duanya.
Pasal 47
1. Barang siapa tanpa membawa perintah tertulis atau izin dari Pimpinan Bank Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41, Pasal 41 A, dan Pasal 42, dengan sengaja
memaksa bank atau Pihak Terafiliasi untuk memberikan keterangan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 40, diancam dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun dan
paling lama 4 (empat) tahun serta denda sekurang-kurangnya Rp. 10.000.000.000,00
(sepuluh miliar rupiah) dan paling banyak Rp. 200.000.000.000,00 (dua ratus miliar rupiah).
2. Anggota Dewan Komisaris, Direksi, pegawai bank atau Pihak Terafiliasi lainnya dengan
sengaja memberikan keterangan yang wajib dirahasiakan menurut Pasal 40, diancam
dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun serta denda sekurang-kurangnya
Rp. 4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah) dan paling banyak Rp. 8.000.000.000,00 (delapan
miliar rupiah).
Pasal 47 A
Anggota Dewan Komisaris, Direksi, atau pegawai bank yang dengan sengaja tidak memberikan
keterangan yang wajib dipenuhi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 A dan Pasal 44 A, diancam
dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun serta
denda sekurang-kurangnya Rp. 4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah) dan paling banyak Rp.
15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah).
Pasal 48
1. Anggota Dewan Komisaris, Direksi, atau pegawai bank yang dengan sengaja tidak
memberikan keterangan yang wajib dipenuhi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1)
dan ayat (2) dan Pasal 34 ayat (1) dan ayat (2), diancam dengan pidana penjara sekurangkurangnya 2 (dua) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun serta denda sekurangkurangnya Rp. 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp.
100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah).
2. Anggota Dewan Komisaris, Direksi, atau pegawai bank yang dengan lalai memberikan
keterangan yang wajib dipenuhi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1) dan ayat (2)
dan Pasal 34 ayat (1) dan ayat (2), diancam dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 1
(satu) tahun dan paling lama 2 (dua) tahun dan atau denda sekurang-kurangnya Rp.
1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp. 2.000.000.000,00 (dua miliar
rupiah).
Pasal 49
1. Anggota Dewan Komisaris, Direksi, atau pegawai bank yang dengan sengaja :
a. membuat atau menyebabkan adanya pencatatan palsu dalam pembukuan atau dalam
proses laporan, maupun dalam dokumen atau laporan kegiatan usaha, laporan transaksi
atau rekening suatu bank ;
b. menghilangkan atau tidak memasukkan atau menyebabkan tidak dilakukannya pencatatan
dalam pembukuan atau dalam laporan, maupun dalam dokumen atau laporan kegiatan
usaha, laporan transaksi atau rekening suatu bank ;
c. mengubah, mengaburkan, menyembunyikan, menghapus, atau menghilangkan adanya
suatu pencatatan dalam pembukuan atau dalam laporan, maupun dalam dokumen atau
laporan kegiatan usaha, laporan transaksi atau rekening suatu bank, atau dengan sengaja
mengubah, mengaburkan, menghilangkan, menyembunyikan atau merusak catatan
pembukuan tersebut, diancam dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun
dan paling lama 15 (lima belas) tahun serta denda sekurang-kurangnya Rp.
10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) dan paling banyak Rp. 200.000.000.000,00 (dua
ratus miliar rupiah).
2. Anggota Dewan Komisaris, Direksi, atau pegawai bank yang dengan sengaja :
a. meminta atau menerima, mengizinkan atau menyetujui untuk menerima suatu imbalan,
komisi, uang tambahan, pelayanan, uang atau barang berharga, untuk keuntungan
pribadinya atau untuk keuntungan keluarganya, dalam rangka mendapatkan atau
berusaha mendapatkan bagi orang lain dalam memperoleh uang muka, bank garansi, atau
fasilitas kredit dari bank, atau dalam rangka pembelian atau pendiskontoan oleh bank atas
surat-surat wesel, surat promes, cek, dan kertas dagang atau bukti kewajiban lainnya,
ataupun dalam rangka memberikan persetujuan bagi orang lain untuk melaksanakan
penarikan dana yang melebihi batas kreditnya pada bank ;
b. tidak melaksanakan langkah-langkah yang diperlukan untuk memastikan ketaatan bank
terhadap ketentuan dalam Undang-undang ini dan ketentuan peraturan perundangundangan lainnya yang berlaku bagi bank, diancam dengan pidana penjara sekurangkurangnya 3 (tiga) tahun dan paling lama 8 (delapan) tahun serta denda sekurangkurangnya Rp. 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp.
100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah).
Pasal 50
Pihak Terafiliasi yang dengan sengaja tidak melaksanakan langkah-langkah yang diperlukan untuk
memastikan ketaatan bank terhadap ketentuan dalam Undang-undang ini dan peraturan perundangundangan lainnya yang berlaku bagi bank, diancam dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 3
(tiga) tahun dan paling lama 8 (delapan) tahun serta denda sekurang-kurangnya Rp.
5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp. 100.000.000.000,00 (seratus miliar
rupiah).
Pasal 50 A
Pemegang saham yang dengan sengaja menyuruh Dewan Komisaris, Direksi, atau pegawai bank
untuk melakukan atau tidak melakukan tindakan yang mengakibatkan bank tidak melaksanakan
langkah-langkah yang diperlukan untuk memastikan ketaatan bank terhadap ketentuan dalam
Undang-undang ini dan ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya yang berlaku bagi bank,
diancam dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 7 (tujuh) tahun dan paling lama 15 (lima belas)
tahun serta denda sekurang-kurangnya Rp. 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) dan paling
banyak Rp. 200.000.000.000,00 (dua ratus miliar rupiah).
Pasal 51
1. Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46, Pasal 47, Pasal 47 A, Pasal 48 ayat
(1), Pasal 49, Pasal 50, dan Pasal 50 A adalah kejahatan.
2. Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 ayat (2) adalah pelanggaran.
Pasal 52
1. Dengan tidak mengurangi ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47, Pasal
47 A, Pasal 48, Pasal 49, dan Pasal 50 A, Bank Indonesia dapat menetapkan sanksi
administratif kepada bank yang tidak memenuhi kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam
Undang-undang ini, atau Pimpinan Bank Indonesia dapat mencabut izin usaha bank yang
bersangkutan.
2. Sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), antara lain adalah :
a. denda uang ;
b. teguran tertulis ;
c. penurunan tingkat kesehatan bank ;
d. larangan untuk turut serta dalam kegiatan kliring ;
e. pembekuan kegiatan usaha tertentu, baik untuk kantor cabang tertentu maupun untuk
bank secara keseluruhan ;
f. pemberhentian pengurus bank dan selanjutnya menunjuk dan mengangkat pengganti
sementara sampai Rapat Umum Pemegang Saham atau Rapat Anggota Koperasi
mengangkat pengganti yang tetap dengan persetujuan Bank Indonesia ;
g. pencantuman anggota, pengurus, pegawai bank, pemegang saham dalam daftar orang
tercela di bidang Perbankan.
3. Pelaksanaan lebih lanjut mengenai sanksi administratif ditetapkan oleh Bank Indonesia.
Pasal 53
Dengan tidak mengurangi ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50, Bank Indonesia
dapat menetapkan sanksi administratif kepada pihak terafiliasi yang tidak memenuhi kewajibannya
sebagaimana ditentukan dalam Undang-undang ini atau menyampaikan pertimbangan kepada
instansi yang berwenang untuk mencabut izin yang bersangkutan.
BAB IX
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 54
1. Dengan berlakunya Undang-undang ini :
a. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 21 Tahun 1960 tentang Bank
Pembangunan Indonesia (Lembaran Negara Tahun 1960 Nomor 65, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 1996) ;
Gadai emas syariah saat ini tengah menjadi primadona bagi masyarakat yang memerlukan
dana segar dengan cepat. Masyarakat juga memiliki pilihan tempat untuk melakukan gadai
emas syariah karena selain di Pegadaian Syariah, yang bekerjasama dengan Bank Muamalat,
kini banyak bank-bank syariah yang membuka unit gadai syariah, seperti Bank Syariah
Mandiri, Bank Danamon Syariah, BNI Syariah, Bank BRI Syariah, dan Bank Jabar Syariah.
Gadai emas di pegadaian syariah atau bank syariah memiliki kelebihan, seperti persyaratan
mudah, proses cepat dan mudah, jaminan keamanan standar bank, pencairan dana cepat, dan
jangka waktu peminjaman yang dapat diperbarui. Segala kelebihan di atas menjadi
pendorong bagi masyarakat atau wirausahawan untuk melakukan gadai emas syariah.
A. Pendahuluan
Gadai emas syariah saat ini tengah menjadi primadona bagi masyarakat yang memerlukan
dana segar dengan cepat. Masyarakat juga memiliki pilihan tempat untuk melakukan gadai
emas syariah karena selain di Pegadaian Syariah, yang bekerjasama dengan Bank Muamalat,
kini banyak bank-bank syariah yang membuka unit gadai syariah, seperti Bank Syariah
Mandiri, Bank Danamon Syariah, BNI Syariah, Bank BRI Syariah, dan Bank Jabar Syariah.
Gadai emas di pegadaian syariah atau bank syariah memiliki kelebihan, seperti persyaratan
mudah, proses cepat dan mudah, jaminan keamanan standar bank, pencairan dana cepat, dan
jangka waktu peminjaman yang dapat diperbarui. Segala kelebihan di atas menjadi
pendorong bagi masyarakat atau wirausahawan untuk melakukan gadai emas syariah.
Bagi lembaga keuangan syariah, khususnya bank syariah, produk gadai emas juga memiliki
beberapa keuntungan. Menurut Direktur Utama Karim Business Consulting, Adiwarman A.
Karim, ada tiga keuntungan yang diperoleh bank syariah dari produk gadai emas, yaitu 1.)
profitabilitas tinggi, margin tebal karena masyarakat kecil mau bayar mahal, 2.) bagi bank
aman karena ini ibarat seperti Kredit Tanpa Agunan (KTA), tapi kalau KTA tidak ada
jaminan, ini ada jaminan dan likuid, 3.) tidak ada Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif.
Keuntungan dan kelebihan yang dapat diberikan oleh gadai emas syariah baik bagi
masyarakat maupun bank syariah menjadikan produk pembiayaan ini memiliki prospek yang
bagus untuk mendorong partisipasi masyarakat dalam aktivitas ekonomi Islam dan ikut serta
dalam memperluas penerapan ekonomi Islam di Indonesia.
Sistem gadai emas syariah yang saat ini sedang booming di pegadaian syariah dan bank
syariah ini tentu perlu untuk diketahui landasan syariah dan fiqh muamalahnya agar
masyarakat mendapat informasi dan edukasi yang cukup tentang sistem ini. Selain itu, agar
masyarakat mengetahui dan memahaminya sehingga ekonomi Islam menjadi semakin akrab
di tengah-tengah masyarakat Indonesia.
B. Fiqh Muamalah
Fiqh muamalah terdiri dari kata fiqh dan muamalah. Kata fiqh secara bahasa berasal dari kata
faqiha-yafqahu yang berarti faham atau mengerti. Sedangkan dalam istilahnya fiqh berarti
ilmu tentang hukum-hukum syariah yang bersumber dari Al-Quran dan Sunnah. Kata
muamalah dari segi bahasa berasal dari kata amla-yuamilu yang berarti saling bertindak,
saling berbuat atau saling mengamalkan. Sedangkan menurut istilah muamalah adalah adalah
peraturan-peraturan Allah yang wajib ditaati yang mengatur hubungan manusia dengan
manusia dalam kaitannya dengan cara memperoleh dan mengembangkan harta benda.
Dari pengertian masing-masing kata fiqh dan muamalah di atas, dapat disimpulkan bahwa
fiqh muamalah adalah ilmu tentang aturan-aturan atau hukum Allah untuk mengatur
hubungan antar manusia agar tercipta kehidupan yang lebih baik. Fiqh muamalah merupakan
salah satu cabang dari ilmu fiqh yang lebih fokus terhadap hal-hal yang berkaitan dengan
hubungan sesama manusia. Sebagaimana ilmu fiqh, fiqh muamalah digunakan sebagai
pedoman setiap muslim dalam menjalankan kegiatan sehari-hari dengan manusia lain, baik
hubungan personal ataupun hubungan kerja atau bisnis.
Adapun alat yang digunakan dalam menyimpulkan hukum-hukum yang terdapat dalam fiqh
muamalah adalah kaidah-kaidah ushul fiqh. Kaidah-kaidah ushul fiqh bersumber dari AlQuran dan Sunnah yang disimpulkan oleh para ulama-ulama fiqh. Salah satu kaidah ushul
fiqh yang terdapat dalam beberapa kajian fiqh muamalah adalah al-ashlu fil muamalat alibhah illa ma dalla ad-dalillu ala tahriimiha (asal hukum muamalah adalah boleh kecuali
ada dalil yang melarangnya). Artinya, segala sesuatu yang dilakukan oleh manusia yang
berhubungan dengan manusia lainnya adalah diperbolehkan, kecuali yang dilarang dalam AlQuran, Sunnah dan sumber hukum lainnya.
Ruang lingkup fiqh muamalah dapat dibedakan menjadi dua bagian. Pertama, ruang lingkup
yang bersifat adabiyah (adab dan akhlak) seperti ijab dan Kabul, saling meridhai, hak dan
kepada barang gadai tersebut. Sedangkan Imam Syafii dan Ibnu Hazm dan yang
menyepakatinya memandang, pertambahan atau pertumbuhan bukan ikut barang gadai, tetapi
menjadi milik orang yang menggadaikannya. Hanya saja Ibnu Hazm berbeda dengan Syafii
menyangkut barang gadai yang berupa kendaraan dan hewan menyusui. Ibnu Hazm
berpendapat, dalam kendaraan dan hewan yang menyusui, (pertambahan dan
pertumbuhannya) milik yang menafkahinya [Abhats Haiat Kibar Ulama 6/134-135.].
C. 5. 2. Pembiayaan, Pemeliharaan, Pemanfaatan Barang Gadai
Pada asalnya barang, biaya pemeliharaan dan manfaat barang yang digadaikan adalah milik
orang yang menggadaikan (Rahin). Adapun Murtahin, ia tidak boleh mengambil manfaat
barang gadaian tersebut, kecuali bila barang tersebut berupa kendaraan atau hewan yang
diambil air susunya, maka boleh menggunakan dan mengambil air susunya apabila ia
memberikan nafkah (dalam arti pemeliharaan barang tersebut).
Pemanfaatan barang gadai tesebut, tentunya sesuai dengan besarnya nafkah yang dikeluarkan
dan memperhatikan keadilan. Hal ini di dasarkan sabda Rasululloh Shallallahu alaihi wa
sallam Hewan yang dikendarai dinaiki apabila digadaikan dan susu (dari hewan) diminum
apabila hewannya digadaikan. Wajib bagi yang mengendarainya dan yang minum, (untuk)
memberi nafkahnya. [Hadits Shahih riwayat At-Tirmidzi.
Menurut Syaikh Al Basaam, ulama sepakat bahwa biaya pemeliharaan barang gadai
dibebankan kepada pemiliknya. Demikian juga pertumbuhan dan keuntungan barang tersebut
juga menjadi miliknya, kecuali pada dua hal, yaitu kendaraan dan hewan yang memiliki air
susu yang diperas oleh yang menerima gadai. [Lihat pembahsannya dalam Taudhih Al Ahkam
4/462-477].
Penulis kitab Al-Fiqhul Muyassarah mengatakan, manfaat dan pertumbuhan barang gadai
menjadi hak pihak penggadai, karena barang itu merupakan miliknya. Orang lain tidak boleh
mengambilnya tanpa seizinnya. Bila ia mengizinkan Murtahin (pemberi hutang) untuk
mengambil manfaat barang gadainya tanpa imbalan, dan hutang gadainya dihasilkan dari
peminjaman maka tidak boleh, karena itu berarti peminjaman hutang yang menghasilkan
manfaat. Akan tetapi, bila barang gadainya berupa kendaraan atau hewan yang memiliki susu
perah, maka Murtahin mengendarainya dan memeras susunya, sesuai besarnya nafkah tanpa
izin dari penggadai karena sabda Rasulullah Ar-Rahn (Gadai) ditunggangi dengan sebab
nafkahnya, apabila digadaikan dan susu hewan menyusui diminum dengan sebab nafkah,
apabila digadaikan. Dan wajib bagi menungganginya dan meminumnya (untuk) memberi
nafkah [HR Al Bukhori no. 2512].
Demikian madzhab Hanabilah. Adapun mayotitas ulama fiqih dari Hanafiyah, Malikiyah dan
Syafiiyah mereka memandang Murtahin tidak boleh mengambil manfaat barang gadai.
Pemanfaatan hanyalah hak penggadai dengan dalil sabda Rasulullah Shallallahu alaihi wa
sallam Ia yang berhak memanfaatkannya dan wajib baginya biaya pemeliharaannya [HR Al
daraquthni dan Al Hakim]
Ibnul Qayyim rahimahullah memberikan komentar terhadap hadits pemanfaatan kendaraan
gadai, bahwa hadits ini dan kaidah dan ushul syariat menunjukkan, hewan gadai dihormati
karena hak Allah. Pemiliknya memiliki hak kepemilikan, dan Murtahin (yang memberikan
hutang) memiliki atasnya sebagai hak jaminan. Bila barang gadai tersebut ditangannya, lalu
tidak dinaiki dan tidak diperas susunya, tentu kemanfaatannya akan hilang secara sia-sia.
Sehingga tuntutan keadilan, analogi (qiyas) dan kemaslahatan penggadai, pemegang barang
gadai (Murtahin) dan hewan tersebut, ialah Murtahin mengambil manfaat mengendarai dan
memeras susunya, dan menggantikannya dengan menafkahi (hewan tersebut). Bila Murtahin
menyempurnakan pemanfaatannya dan menggantinya dengan nafkah, maka dalam hal ini
terdapat kompromi dua kemaslahatan dan dua hak. [Dinukil dari Taudhih Al Ahkaam 4/462].
Pendapat yang rajih (jelas), pemerintah menjual barang gadainya dan melunasi hutangnya
dengan hasil penjualan tersebut tanpa memenjarakan sang penggadai tersebut, karena
tujuannya adalah membayar hutang, dan tujuan itu terwujud dengan menjual barang gadai
tersebut. Juga untuk mencegah adanya dampak negative di masyarakat dan lainnya, jika
diberlakukan penjara. Apabila barang gadai tersebut dapat menutupi seluruh hutangnya, maka
selesailah hutang tersebut. Namun bila tidak dapat menutupinya, maka penggadai tersebut
tetap memiliki hutang sisa, antara nila barang gadai denan hutangnya dan ia wajib
melunasinya.
Demikianlah keindahan Islam dalam permasalah gadai. Penyelesaian dan pelunasan hutang
dilakukan secara adil. Tidak seperti yang dilakukan di tengah masyarakat kebanyakan. Yakni
terjadinya tindak kezhaliman yang dilakukan pemilik piutang, dengan cara menyita barang
gadai, walau nilainya lebih besar dari hutangnya, bahkan mungkin berlipat-lipat. Perbuatan
semacam ini, sangat jelas merupakan perbuatan Jahiliyah dan perbuatan zhalim yang harus
dihilangkan. Semoga kita terhindar dari perbuatan ini.
D. Gadai Emas
Gadai Emas di perbankan syariah merupakan produk pembiayaan atas dasar jaminan berupa
emas dalam bentuk lantakan ataupun perhiasan sebagai salah satu alternatif memperoleh uang
tunai dengan cepat, aman dan mudah. Cepat dari pihak nasabah dalam mendapatkan dana
pinjaman tanpa prosedur yang panjang di bandingkan dengan produk pembiayaan lainnya.
Aman dari pihak bank, karena bank memiliki barang jaminan yaitu emas yang bernilai tinggi
dan relatif stabil bahkan nilainya cenderung bertambah. Mudah berarti pihak nasabah dapat
kembali memiliki emas yang digadaikannya dengan mengembalikan sejumlah uang pinjaman
dari bank, sedangkan mudah dari pihak bank yaitu ketika nasabah tidak mampu
mengembalikan pinjamannya (utang) maka bank dengan mudah dapat menjualnya dengan
harga yang bersaing karena nilai emas yang stabil bahkan bertambah.
Prinsip yang digunakan dalam gadai emas syariah baik di bank syariah ataupun di pegadaian
syariah tidak berbeda dengan prinsip gadai pada umumnya. Mulai dari persyaratan, biaya
(ongkos) administrasi, biaya pemeliharaan/ penyimpanan, hingga mekanisme penjualan
barang gadaian ketika pihak yang menggadaikan tidak dapat melunasi utangnya.
Gadai emas memiliki keistimewaan tersendiri dibandingkan dengan barang gadaian lainnya.
Emas merupakan logam mulia yang bernilai tinggi dan harganya relative stabil bahkan selalu
menunjukkan tren yang positif setiap tahunnya. Emas juga merupakan barang atau harta yang
dapat dengan mudah dimiliki oleh setiap orang khususnya emas dalam bentuk perhiasan.
Ketika seseorang membutuhkan uang tunai, maka ia dapat dengan mudah menggadaikan
perhiasaannya kepada lembaga penggadaian atau bank syariah. Setelah ia dapat melunasi
utangnya, ia dapat memiliki kembali perhiasannya. Artinya, seseorang dengan mudah
mendapatkan uang tunai tanpa harus menjual emas atau perhiasan yang dimilikinya.
Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam gadai emas syariah baik di bank syariah
maupun di lembaga yang menawarkan produk gadai emas syariah. Hal yang dimaksud adalah
biaya administrasi dan biaya pemeliharaan.
Biaya administrasi
Biaya administrasi adalah ongkos atau pengorbanan materi yang dikeluarkan oleh bank
dalam hal pelaksanaan akad gadai dengan penggadai (rahin). Para ulama sepakat bahwa
segala biaya yang bersumber dari barang yang digadaikan adalah menjadi tanggungan
penggadai. Oleh karena itu, biaya administrasi gadai dibebankan kepada penggadai.
Karena biaya administrasi merupakan ongkos yang dikeluarkan bank, maka pihak bank yang
lebih mengetahui dalam menghitung rincian biaya administrasi. Setelah bank menghitung
total biaya administrasi, kemudian nasabah atau penggadai mengganti biaya administrasi
tersebut.
Namun, tidak banyak atau bahkan sangat jarang nasabah yang mengetahui rincian biaya
administrasi tersebut. Bank hanya menginformasikan total biaya administrasi yang harus
ditanggung oleh nasabah atau penggadai tanpa menyebutkan rinciannya. Keterbukaan dalam
menginformasikan rincian biaya administrasi tersebut sangat penting dalam rangka
keterbukaan yang kaitannya dengan ridha bi ridha, karena biaya administrasi tersebut
dibebankan kepada nasabah atau penggadai.
Dewan Syariah Nasional dalam Fatwa No. 26/ DSN-MUI/ III/2002 menyebutkan bahwa
biaya atau ongkos yang ditanggung oleh penggadai besarnya didasarkan pada pengeluaran
yang nyata-nyata diperlukan. Artinya, penggadai harus mengetahui besar rincian dan
pengeluaran apa saja yang dikeluarkan oleh bank untuk melaksanakan akad gadai, seperti
biaya materai, jasa penaksiran, formulir akad, foto copy, print out, dll. Hal tersebut diatas
yang juga menyebabkan biaya administrasi harus dibayar di depan.
Intinya adalah pihak bank tidak diperbolehkan untuk mengambil keuntungan dari akad gadai
syariah. Karena pada dasarnya akad gadai adalah transaksi pinjam-meminjam (qardh) yang
bersifat tabarru yang berarti kebaikan atau tolong menolong. Sehingga tidak diperkenankan
untuk mengambil keuntungan atau manfaat dari kegiatan pinjam-meminjam (qardh) karena
sifatnya adalah tabarru. Sesuai dengan hadits tentang pinjaman (qard) berikut:
Rasul bersabda : kullu qardhin jarra manfaatan fahuwa wajhun min wujhi ar-rib (Setiap
pinjaman yang menarik suatu manfaat maka itu termasuk salah satu bentuk riba.) [HR alBaihaqi]
Biaya pemeliharaan
Biaya pemeliharaan atau penyimpanan merupakan biaya yang dibutuhkan untuk merawan
barang gadaian selama jangka waktu pada akad gadai. Sesuai dengan pendapat para jumhur
ulama biaya pemeliharaan atau penyimpanan menjadi tanggungan penggadai (rahin). Karena
pada dasarnya penggadai (rahin) masih menjadi pemilik dari barang gadaian tersebut,
sehingga dia bertanggungjawab atas seluruh biaya yang dikeluarkan dari barang gadai
miliknya.
Akad yang digunakan untuk penerapan biaya pemeliharaan atau penyimpanan adalah akad
ijarah (sewa). Artinya, penggadai (rahin) menyewa tempat di bank untuk menyimpan atau
menitipkan barang gadainya, kemudian bank menetapkan biaya sewa tempat. Dalam
pengertian lainnya, penggadai (rahin) menggujakan jasa bank untuk menyimpan atau
memelihara barang gadainya hingga jangka waktu gadai berakhir. Biaya pemeliharaan/
penyimpanan ataupun biaya sewa tersebut diperbolehkan oleh para ulama dengan merujuk
kepada diperbolehkannya akad ijarah.
Biaya pemeliharaan/ penyimpanan/ sewa dapat berupa biaya sewa tempat SDB (Save Deposit
Box), biaya pemeliharaan, biaya keamanan, dan biaya lainnya yang diperlukan untuk
memelihara atau menyimpan barang gadai tersebut.
Dengan akad ijarah dalam pemeliharaan atau penyimpanan barang gadaian bank dapat
memperoleh pendapatan yang sah dan halal. Bank akan mendapatkan fee atau upah atas jasa
yang diberikan kepada penggadai atau bayaran atas jasa sewa yang diberikan kepada
penggadai.
Oleh karena itu, gadai emas syariah sangat bermanfaat bagi penggadai yang membutuhkan
dana tunai dengan cepat dan bagi pihak bank yang menyediakan jasa gadai emas syariah
karena bank akan mendapatkan pemasukan atau keuntungan dari jasa penitipan barang
gadaian dan bukan dari kegiatan gadai itu sendiri.
Kesimpulan
Secara prinsip, gadai emas syariah pada dasarnya sama dengan gadai pada umumnya.
Produk-produk gadai emas syariah yang terdapat pada berbagai bank syariah secara konsep
sesuai dengan prinsip-prinsip gadai yang terdapat dalam fiqh muamalah. Namun, dalam
prakteknya perlu dipertahikan hal-hal seperti keterbukaan dalam penetapan biaya
administrasi, kewajaran biaya pemeliharaan atau penyimpanan dan proses penjualan barang
gadai ketika penggadai tidak mampu menebus atau membayar utangnya.
Setiap bank syariah menawarkan keunggulan dan fasilitas dari masing-masing produk gadai
emas syariah yang dimiliki. Biaya dari produk yang ditawarkan sangat beragam dan cukup
bersaing, mulai dari maksimal dana pinjaman yang dapat diperoleh penggadai dari taksiran
(80%-90%), besarnya biaya administrasi dan biaya penyimpanan. Oleh karena itu, nasabah
atau penggadai diharap untuk lebih selektif dalam memilih produk yang tidak hanya sesuai
dengan kebutuhannya akan tetapi juga sesuai dengan syariah.
Referensi
Ath-Thayyar, Abdullah bin Muhammad., 2004, Ensiklopedia Fiqh Muamalah dalam
Pandangan 4 Madzhab (terjemahan), edisi pertama, Maktabah Al-Hanif, Yogyakarta.
Bassam Al, Abdullah bin Abdurrahman. 1997. Taudhihu-l-al-Alkam min Bulughu-lMaram. Jilid IV. Muassasah al-Khidmaat at-Thibaiyah. Beirut.
Dewan Syariah Nasional MUI dan Bank Indonesia, 2006, Himpunan Fatwa Dewan Syariah
Nasional MUI, Cet 3, CV. Gaung Persada, Ciputat-Jakarta
http://jacksite.wordpress.com/2007/07/03/hukum-gadai-agunan-dalam-islam/.
Sabiq, Sayyid., 1985, Fiqh As-Sunnah, Muhammad Saeed Dabas, Jamal al-Din M.
Zarabozo, translators, , American Trust Publications. Indianapolis.
Suhendi, Hendi., 2008, Fiqh Muamalah, edisi pertama, cetakan keempat, Rajawali Press,
Jakarta.
Zuhaili, Wahbah. 1985. Fiqh Al Islam Wa Adilatuhu. Volume 181. Damaskus.
Akad yang objeknya menahan harga terhadap sesuatu hak yang mungkin
diperoleh bayaran
d. Sesuatu yang diletakkan pada seseorang yaitu sesuatu barang yang diganti dengan barang
yang lain.[7]
e.
f.
g. Suatu barang yang dijadikan peneguhan atau penguat kepercayaan dalam hutang-piutang.[9]
h. Menjadikan suatu benda bernilai menurut pandangan syara sebagai tanggungan hutang,
dengan adanya benda yang menjadi tanggungan itu seluruh atau sebagian hutang dapat
diterima.[10]
Dalam Islam, rahn merupakan sarana saling tolong-menolong bagi umat Islam, tanpa
adanya imbalan jasa. Rahn hukumnya jaiz (boleh) menurut Al-Quran, as-sunnah dan ijma.
[11] Adapun dasar hukum pegadaian syariah ini yaitu:
1.
Al-Quran
{ : }...
Artinya: Jika kamu dalam perjalanan (dan bermuamalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak
memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh
yang menghutangkan). Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain,
maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanat (hutang)iya dan hendaklah dia
bertakwa kepada Allah Tuhannya... (QS. Al-Baqarah: 283)
Dalam ayat di atas dijelaskan, bahwa apabila sesorang berada dalam keadaan
bepergian dan hendak melakukan suatu tindakan bermuamalah ataupun suatu transaksi
hutang-piutang, kemudian ia tidak mendapatkan seseorang yang adil dan pandai dalam hal
penulisan transaksi hutang, maka hendaklah meminta kepadanya suatu bukti lain sebagai
bukti kepercayaan atau penguat, yaitu dengan menyerahkan sesuatu berupa benda atau barang
yang berharga sebagai jaminan yang dapat dipegang atau hutang.[12] Hal ini dipandang perlu
karena untuk menjaga agar kedua belah pihak yang melakukan perjanjian gadai itu timbul
rasa saling mempercayai antara satu sama lainnya, sehingga dalam transaksi gadai tersebut
tidak menimbulkan kecurigaan yang kemungkinan akan terjadi suatu perselisihan antara para
pihak yang bersangkutan.
Jaminan yang ada di tangan pihak piutang adalah amanah dan si piutang tidak
memiliki hak untuk memanfaatkan atau menggunakannya di jalan yang tidak benar,
melainkan ia harus berupaya memelihara dan menjaganya agar ketika orang yang berhutang
membayar pinjamannya, maka jaminannya itu dikembalikan kepadanya secara utuh. Orang
yang berhutang pada hakikatnya dianggap sebagai orang yang amanah sehingga diberikan
pinjaman, maka ia harus membayar hutangnya itu tepat pada waktunya, agar orang yang
memberikan pinjaman tidak memperoleh kerugian. Khususnya di tempat di mana orang yang
berpiutang kepercayaannya kepada yang berhutang sedemikian besarnya sehingga tidak
meminta jaminan, maka dalam kondisi seperti ini, pihak yang berhutang harus ingat kembali
kepada ketentuan dasar yang diatur dalam hukum Islam dan tidak menzalimi orang lain
dengan memakan hartanya secara batil.[13]
2.
Hadits
:
[14] {} .
Artinya: Dari Aisyah ra. berkata: Rasulullah pernah membeli makanan dari orang Yahudi dan
beliau menggadaikan kepadanya baju besi beliau. (HR. Bukhari)
3. Ijma
Para ulama telah bersepakat bahwa rahn/gadai itu boleh dan mereka tidak pernah
mempermasalahkan kebolehannya, demikian pula dengan landasan hukumnya.[15] Di
samping itu, berdasarkan fatwa Dewan Syariah Nasional No. 25/DSN-MUI/III/2002, tanggal
26 Juni 2002 dinyatakan bahwa, pinjaman dengan menggadaikan barang sebagai jaminan
hutang dalam bentuk rahn dibolehkan. Jumhur ulama berpendapat bahwa rahn disyariatkan
pada waktu tidak bepergian maupun pada waktu bepergian.[16]
1.1.2. Rukun dan Syarat-syarat Rahn
a.
1)
2)
3)
4)
b.
Rukun Rahn
Sebelum melakukan transaksi gadai atau rahn, maka harus diketahui terlebih dahulu
apa saja yang termasuk ke dalam rukun rahn. Menurut jumhur ulama, rukun rahn ada empat
yaitu:
Shigat (lafal ijab dan qabul).
Orang yang berakad (al-rahin dan al-murtahin).
Harta yang dijadikan agunan (al-marhun).
Hutang (ar-marhun bih). [17]
Syarat-syarat Rahn
Menurut jumhur ulama, ada beberapa syarat sahnya akad rahn yaitu berakal, baligh
(dewasa), wujudnya marhun yang dipegang sebagai jaminan oleh murtahin.[18] Di samping
syarat-syarat sah rahn, juga terdapat syarat-syarat lain dari rahn atau gadai yang harus
dipenuhi secara hukum fiqh, di antaranya yaitu:
1) Cakap bertindak hukum. Kecakapan bertindak hukum diwajibkan kepada orang yang telah
baligh dan berakal.
2) Syarat sighat (lafal), yaitu ucapan/lafal yang dibarengi dengan syarat tertentu. Misalnya,
orang yang berhutang mensyaratkan apabila tenggang waktu hutang telah habis dan hutang
belum terbayar, maka rahn itu di perpanjang selama satu bulan atau memberi hutang serta
mensyaratkan harta agunan itu boleh ia manfaatkan. Untuk sahnya rahn, pihak pemberi
hutang harus disaksikan oleh dua orang saksi. Apabila agunan dijual ketika rahn jatuh tempo
dan orang yang berhutang tidak mampu membayar hutangnya, maka syarat tersebut batal.
[19]
3) Syarat marhun bih (hutang) yaitu: pertama, merupakan hak yang wajib dikembalikan kepada
orang tempat berhutang. Kedua, hutang itu boleh dilunasi dengan agunan dan ketiga, hutang
itu jelas dan tertentu.[20]
4) Beberapa hal yang menjadi syarat marhun (barang yang dijadikan agunan), di antaranya,
yaitu: pertama, barang jaminan (agunan) itu boleh dijual dan nilainya seimbang dengan
hutang. Kedua, barang jaminan itu dinilai harta dan boleh dimanfaatkan. Sebagai contoh,
khamar tidak boleh dijadikan barang jaminan dan khamar tidak termasuk ke dalam harta
bernilai, juga tidak bermanfaat dalam Islam, maka khamar tidak sah bila dijadikan barang
jaminan. Ketiga, barang jaminan itu jelas. Keempat, agunan itu milik sah orang yang
berhutang. Kelima, barang jaminan itu tidak terkait dengan orang lain. Keenam, barang
jaminan itu merupakan harta yang utuh, tidak bertebaran dalam beberapa tempat dan ketujuh,
barang jaminan itu boleh diserahkan, baik materinya maupun manfaatnya.[21] Apabila
barang yang digadaikan itu secara hukum telah berada di tangan pemberi hutang dan uang
yang dibutuhkan telah diterima peminjam hutang. Apabila barang jaminan itu berupa benda
tidak bergerak seperti rumah dan tanah, maka tidak harus rumah dan tanah yang diberikan,
tetapi cukup surat jaminan tanah dan surat-surat rumah yang dipegang oleh pemberi hutang.
Syarat terakhir yang merupakan kesempurnaan rahn yang disebut sebagai qabdh almarhun (barang jaminan dikuasai secara hukum oleh pemberi piutang). Syarat ini menjadi
sangat penting sebagaimana dinyatakan oleh Allah SWT dalam surat al-Baqarah ayat 283
yang telah disebutkan dalam pembahasan sebelumnya.
Apabila barang jaminan itu telah dikuasai oleh pemberi hutang, maka akad rahn
bersifat mengikat bagi kedua belah pihak. Oleh sebab itu, hutang tersebut terkait dengan
barang jaminan, sehingga apabila hutang tidak dapat dilunasi, maka barang jaminan dapat
dijual dan uang itu dibayar. Apabila dalam penjualan barang jaminan ada kelebihan uang,
maka wajib dikembalikan kepada pemiliknya (rahin).
Mengenai al-qabdh juga terdapat beberapa syarat yang harus dipenuhi, yaitu:
pertama, al-qabdh harus ada izin dari orang yang menggadaikan (rahin). Kedua, pihak yang
melakukan akad rahn cakap bertindak hukum ketika terjadinya al-qabdh.[22] Syarat tersebut
sesuai dengan tuntutan surat al-Baqarah ayat 283 sebagaimana telah disebutkan di atas.
Dalam pemahaman mazhab Syafii, ketetapan mengenai syarat-syarat sah gadai
adalah sebagai berikut:
a.
Syarat luzum (tetap), yaitu syarat serah terima barang gadaian. Jadi bila barang gadaian itu
belum diterima oleh penerima gadai, maka bagi pemberi gadai masih berhak menarik
kembali perjanjiannya.
:
{} .
Artinya: Gadaian itu tidak menutup akan yang punya dari manfaat barang itu, faedahnya kepunyaan
dia, dan dia wajib mempertanggungjawabkan segala nya (kerusakan dan biaya). (HR. AsySyafii dan Daruquthny).[26]
Bagaimanapun mereka tidak sependapat mengenai jenis perbelanjaan yang mesti
ditanggung oleh rahin. Ulama Hanafiah berpendapat bahwa tagihan pembelanjaan yang mesti
ditanggung oleh rahin, sebagai pemilik barang gadai dan oleh murtahin sebagai orang yang
bertanggungjawab menjaganya adalah sebagai berikut: segala perbelanjaan yang diperlukan
untuk kepentingan barang gadai hendaklah ditanggung oleh rahin, karena barang tersebut hak
miliknya dan segala perbelanjaan untuk memelihara barang gadaian hendaklah ditanggung
oleh pegadai (murtahin), karena ia yang berhak memegangnya maka ia terikat dengan
perkara-perkara yang berkaitan.[27]
Dalam hal ini penggadai bertanggung jawab untuk menyediakan atau membayar biaya
makanan, minuman dan penggembala jika barang jaminannya berupa binatang ternak dan
juga bertanggungjawab atau membayar biaya penyiraman, pembersihan, perparitan dan cukai
jika barang jaminan berupa tanah karena semua itu merupakan biaya dan perbelanjaan harta
yang mesti ditanggung oleh pemilik barang.
Pegadai juga bertanggung jawab menyediakan atau membayarkan biaya upah
menjaga dan tempat pemeliharaan, seperti sewa kandang, sewa tempat simpanan karena sewa
pemeliharaan barang gadaian adalah tanggung jawabnya. Berdasarkan tanggung jawab
tersebut, pegadai tidak ada hak untuk mengenakan syarat dalam aqad gadaian bayaran upah
mesti kepadanya untuk memelihara barang gadaian, karena tanggung jawab tersebut adalah
kewajibannya. Tidak ada bayaran upah dikenakan pada perkara yang diwajibkan. Ulama
Maliki, Syafii dan Hanbali, (jumhur) berpendapat bahwa semua perbelanjaan dan bayaran
perkara-perkara yang berkaitan barang gadaian mestilah ditanggung oleh penggadai (rahin).
[28]
1.1.4. Pemanfaatan Objek Gadai Menurut para Fuqaha
Pada dasarnya barang gadai tidak boleh diambil manfaatnya, baik oleh pemiliknya
maupun oleh penerima gadai. Hal ini disebabkan status barang tersebut hanya sebagai
jaminan hutang dan sebagai amanat bagi penerimanya. Namun apabila mendapat izin dari
masing-masing pihak yang bersangkutan, maka menurut para fuqaha barang gadai atau
jaminan boleh dimanfaatkan. Murtahin hanya berhak menahan barang gadai, tetapi tidak
berhak menggunakan atau memanfaatkan hasilnya, sebagaimana pemilik barang gadai tidak
berhak menggunakan barangnya itu. Tetapi sebagai pemilik marhun (rahin), apabila barang
gadainya itu mengeluarkan hasil, maka hasil itu menjadi milik rahin.[29]
Para ulama fiqh juga sepakat bahwa barang yang dijadikan jaminan itu tidak boleh
dibiarkan begitu saja tanpa menghasilkan sama sekali. Sebab tindakan tersebut termasuk
menyia-nyiakan harta yang dilarang oleh Rasul SAW. Tetapi mengenai boleh tidaknya pihak
pemegang barang jaminan memanfaatkan barang jaminan meskipun mendapat izin dari
pemilik barang jaminan, dalam hal ini terjadi perbedaan pendapat para ulama fiqh.
Jumhur ulama fiqh selain ulama Hanabilah berpendapat bahwa pemegang barang
jaminan tidak boleh memanfaatkan barang jaminan karena barang itu bukan miliknya secara
penuh. Hak pemegang barang jaminan terhadap barang itu hanyalah sebagai jaminan piutang
yang ia berikan. Apabila orang yang berhutang tidak mampu melunasi hutangnya, maka
barulah ia boleh menjual atau menghargai barang tersebut untuk melunasi piutangnya.[30]
Jika pemilik barang mengizinkan pemegang barang jaminan memanfaatkan barang
tersebut selama berada di tangannya, maka sebagian ulama Hanafiyah membolehkan. Karena
dengan adanya izin, maka tidak ada halangan bagi pemegang barang jaminan untuk
memanfaatkannya. Namun sebagian ulama Hanafiyah lainnya, ulama Malikiyah dan ulama
Syafiiyah berpendapat bahwa meskipun pemilik barang mengizinkannya, pemegang barang
jaminan tidak boleh memanfaatkan barang jaminan itu. Apabila barang jaminan itu
dimanfaatkan, maka hasil pemanfaatan tersebut merupakan riba yang dilarang syara
sekalipun diizinkan dan diridai pemilik barang. Bahkan menurut mereka, ridha dan izin
dalam hal ini lebih cenderung dalam keadaan terpaksa, karena khawatir tidak akan
mendapatkan uang yang akan dipinjam. Selain itu dalam masalah riba, izin dan ridha tidak
berlaku.[31] Berkaitan dengan hal di atas, Rasul SAW bersabda sebagai berikut:
.
[32]{}
Artinya: Dari Abu Hurairah r.a., bersabda Rasul SAW: binatang tunggangan boleh ditunggangi
sebagai imbalan atas nafkahnya (makanannya) bila sedang digadaikan, dan susu binatang
yang diperah boleh diminum sebagai imbalan atas makanannya bila sedang digadaikan.
Orang yang menunggangi dan meminum susu berkewajiban untuk memberikan makanan.
(HR. Bukhari)
Oleh karena itu, diusahakan agar dalam perjanjian gadai itu dicantumkan ketentuan
jika penggadai atau penerima gadai meminta izin untuk memanfaatkan barang gadai, maka
hasilnya menjadi milik bersama.[33] Ketentuan itu dimaksudkan untuk menghindari tidak
berfungsinya harta benda atau mubazir.
1.2. Ijarah dalam Perspektif Fiqh Muamalah
1.2.1. Pengertian dan Dasar Hukum Ijarah
Dalam fiqh muamalah, sewa-menyewa disebut dengan kata ijarah. Ijarah berasal dari
kata "al-ajru" yang secara bahasa berarti "al-'iwadhu" yaitu ganti. Sedangkan menurut istilah
syara', ijarah ialah suatu jenis akad untuk mengambil manfaat dengan jalan penggantian.[34]
Lafal ijarah dalam bahasa Arab berarti upah, sewa, jasa atau imbalan. Dalam arti yang luas,
ijarah bermakna suatu akad yang berisi penukaran manfaat dengan jalan memberikan
imbalan dalam jumlah tertentu. Ijarah merupakan salah satu bentuk kegiatan muamalah
dalam memenuhi keperluan hidup manusia, seperti sewa-menyewa, kontrak atau menjual jasa
perhotelan dan lain-lain.[35]
Selain pengertian di atas, para ulama mazhab juga memberikan definisi terhadap
ijarah. Kelompok Hanafiyah mengartikan ijarah dengan menggunakan akad yang berisi
pemilikan manfaat tertentu dari suatu benda yang diganti dengan pembayaran dalam jumlah
yang disepakati.[36] Definisi lain menurut ulama Hanafiyah yaitu transaksi terhadap suatu
manfaat dengan imbalan.[37] Ulama Syafi'iyah mendefinisikan ijarah sebagai transaksi
terhadap suatu manfaat yang dituju, tertentu, bersifat mubah dan boleh dimanfaatkan dengan
imbalan tertentu.[38] Sedangkan ulama Malikiyah dan Hanabilah mendefinisikannya dengan
pemilikan manfaat sesuatu yang dibolehkan dalam waktu tertentu dengan suatu imbalan.[39]
Dari pengertian di atas, dapat dipahami bahwa ijarah adalah pengambilan manfaat
suatu benda, dalam hal bendanya tidak berkurang sama sekali. Dengan perkataan lain, dalam
praktik sewa-menyewa yang berpindah hanyalah manfaat dari benda yang disewakan,
sedangkan kepemilikan tetap pada pemilik barang. Sebagai imbalan pengambilan manfaat
dari suatu benda, penyewa berkewajiban memberikan bayaran. Dengan demikian dapat
disimpulkan, bahwa ijarah merupakan suatu kesepakatan yang dilakukan oleh satu atau
beberapa orang yang melaksanakan kesepakatan yang tertentu dan mengikat, yaitu dibuat
oleh kedua belah pihak untuk dapat menimbulkan hak serta kewajiban antara keduanya.
Dalam hukum Islam, orang yang menyewakan diistilahkan dengan "muajjir",
sedangkan penyewa disebut "mustajir" dan benda yang disewakan disebut "majur". Imbalan
atas pemakaian manfaat disebut "ajran" atau "ujrah".[40] Perjanjian sewa-menyewa
dilakukan sebagaimana perjanjian konsensual lainnya, yaitu setelah berlangsung akad, maka
para pihak saling serah terima. Pihak yang menyewakan (muajjir) berkewajiban
menyerahkan barang (majur) kepada penyewa (mustajir) dan pihak penyewa berkewajiban
memberikan uang sewa (ujrah).
Adapun dasar hukum dari ijarah terdapat dalam Al-Qur'an dan sunnah Rasulullah
SAW. Dalam Al-Qur'an surat al-Baqarah ayat 233 Allah SWT berfirman:
...
{233 : }.
Artinya: ...Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu
apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertakwalah kepada Allah dan
ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.(QS. al-Baqarah: 233)
Dengan demikian surat al-Baqarah ayat 233 merupakan dasar yang dapat dijadikan
landasan hukum dalam persoalan sewa-menyewa. Sebab pada ayat tersebut diterangkan
bahwa memakai jasa juga merupakan suatu bentuk sewa-menyewa, oleh karena itu harus
diberikan upah atau pembayarannya sebagai ganti dari sewa terhadap jasa tersebut. [41]
Dalam periwayatan hadits-hadits tentang al-ijarah, sering kali terkait dengan
beberapa aspek hukum muamalah lainnya seperti jual beli (buyu'), musyarakah dan lain
sebagainya. Karena hal tersebut berkenaan dengan hukum perjanjian (akad). Unsur yang
terpenting untuk diperhatikan yaitu kedua belah pihak cakap bertindak dalam hukum yaitu
punya kemampuan untuk dapat membedakan yang baik dan yang buruk (berakal/tidak gila).
Dengan demikian terjadi perjanjian sewa-menyewa yang kontras dan transparan dan tidak
ada saling merugikan di antara kedua belah pihak.
Adapun dasar hukum dari hadits adalah:
:
}.
[42]{
Artinya: Dari Aisyah r.a, beliau mengabarkan: Rasulullah SAW dan Abu Bakar menyewa seorang
penunjuk jalan yang ahli dari Bani ad-Dail dan orang itu memeluk agama kafir Quraisy,
kemudian beliau membayarnya dengan kendaraannya kepada orang tersebut dan
menjanjikannya di Gua Tsur sesudah tiga malam dengan kendaraan keduanya (HR.
Bukhari).
Pada hadits di atas dijelaskan bahwa Rasul SAW sendiri telah melakukan praktik
ijarah, yaitu dengan menyewa seseorang guna dipakai jasanya menunjukkan jalan ke tempat
yang dituju dan beliau membayar orang yang disewanya tersebut dengan memberikan
kendaraannya. Dalam hal ini, Rasul tidak membeda-bedakan dari segi agama terhadap orang
yang disewa atau dipakai jasanya.
Dalam hadits yang lain, Rasulullah SAW bersabda:
:
, } .
[43]{
Artinya: Dari Saad bin Abi Waqqash sesungguhnya Rasul SAW bersabda: dahulu kami menyewa tanah dengan
(jalan membayar dari) tanaman yang tumbuh. Lalu Rasulullah melarang kami cara itu dan
memerintahkan kami agar membayarnya dengan uang emas dan perak. (HR. Ahmad, Abu Daud dan
Nasa'i).
Hadits tersebut menerangkan bahwa pada zaman dahulu praktik sewa-menyewa tanah
pembayarannya dilakukan dengan mengambil dari hasil tanaman yang ditanam di tanah yang
disewa tersebut. Oleh Rasul SAW, cara seperti itu dilarang dan beliau memerintahkan agar
membayarkan upah sewa tanah tersebut dengan uang emas dan perak.
Diriwayatkan oleh Ibnu Majah, bahwa Rasulullah SAW, bersabda:
} . :
[44]{
Artinya: Dari Abi Hurairah sesungguhnya Rasul SAW bersabda: berikanlah olehmu upah orang
sewaan sebelum keringatnya kering. (HR. Ibnu Majah).
Hadits di atas menjelaskan bahwa, dalam persoalan sewa-menyewa, terutama yang
memakai jasa manusia untuk mengerjakan suatu pekerjaan, upah atau pembayaran harus
segera diberikan sebelum keringatnya kering. Maksudnya, pemberian upah harus segera dan
langsung, tidak boleh ditunda-tunda pembayarannya.
Dari semua ayat dan hadits di atas, Allah menegaskan kepada manusia bahwa apabila
seseorang telah melaksanakan kewajiban, maka mereka berhak atas imbalan dari pekerjaan
yang telah dilakukan secara halal sesuai dengan perjanjian yang telah mereka perjanjikan.
Allah juga menegaskan bahwa sewa-menyewa dibolehkan dalam ketentuan Islam, karena
antara kedua belah pihak yang melaksanakan perjanjian (akad) sama-sama mempunyai hak
dan kewajiban yang harus mereka terima.
Dengan demikian, dalam ijarah pihak yang satu menyerahkan barang untuk
dipergunakan oleh pihak yang lainnya dalam jangka waktu tertentu dan pihak yang lain
mempunyai keharusan untuk membayar harga sewa yang telah mereka sepakati bersama.
Dalam hal ini, ijarah benar-benar merupakan suatu perbuatan yang sama-sama
menguntungkan antara kedua pihak yang melakukan perjanjian (akad).
Sayyid Sabiq menambahkan landasan ijma' sebagai dasar hukum berlakunya sewamenyewa dalam muamalah Islam. Menurutnya, dalam hal disyari'atkan ijarah, semua umat
bersepakat dan tidak seorang ulama pun yang membantah kesepakatan ini.[45] Para ulama
menyepakati kebolehan sewa-menyewa karena terdapat manfaat dan kemaslahatan yang
sangat besar bagi umat manusia.
1.2.2. Rukun dan Syarat-syarat Ijarah
Ijarah merupakan bagian dari muamalah yang sering diaplikasikan dalam kehidupan
sehari-hari. Pengertian muamalah adalah hubungan antara sesama manusia, maksudnya di
sini adalah hubungan antara penyewa dengan orang yang menyewakan harta benda dan
lainnya. Di mana dalam kehidupan, manusia tidak dapat terlepas dari manusia lainnya untuk
saling melengkapi dan membantu serta bekerja sama dalam suatu usaha.[46] Oleh sebab itu,
muamalah menyangkut hubungan sesama manusia dan kemaslahatannya, keamanan serta
ketenteraman, maka pekerjaan ini harus dilakukan dengan tulus dan ikhlas oleh penyewa dan
yang menyewakan.
Rukun merupakan hal yang sangat esensial artinya bila rukun tidak terpenuhi atau
salah satu di antaranya tidak sempurna (cacat), maka suatu perjanjian tidak sah (batal).
Para ulama telah sepakat bahwa yang menjadi rukun ijarah adalah:
1. Aqid (pihak yang melakukan perjanjian atau orang yang berakad).
2. Ma'qud 'alaihi (objek perjanjian atau sewa/imbalan).
3. Manfaat.
4. Sighat.[47]
Aqid adalah para pihak yang melakukan perjanjian, yaitu pihak yang menyewakan
atau pemilik barang sewaan yang disebut "muajjir" dan pihak penyewa yang disebut
"mustajir" yaitu pihak yang mengambil manfaat dari suatu benda.[48]
Para pihak yang mengadakan perjanjian haruslah orang yang cakap hukum artinya
mampu. Dengan kata lain, para pihak hendaklah yang berakal dan dapat membedakan mana
yang baik dan mana yang tidak baik. Jika salah seorang yang berakal itu gila atau anak-anak
yang belum dapat membedakan, maka akad itu tidak sah. Mazhab Imam Syafii dan Hanbali
bahkan menambahkan satu syarat lagi yaitu, baligh (sampai umur dewasa). Menurut mereka,
akad anak kecil sekalipun sudah dapat membedakan, dinyatakan tidak sah.[49]
Ma'qud 'alaihi adalah barang yang dijadikan objek sewa, berupa barang tetap dan
barang bergerak yang merupakan milik sah pihak muajjir. Kriteria barang yang boleh
disewakan adalah segala sesuatu yang dapat diambil manfaatnya secara agama dan
keadaannya tetap utuh selama masa persewaan.[50]
Rukun ijarah yang terakhir adalah sighat. Sighat terdiri dari dua yaitu ijab dan qabul.
Ijab merupakan pernyataan dari pihak yang menyewakan dan qabul adalah pernyataan
penerimaan dari penyewa. Ijab dan qabul boleh dilakukan secara sharih (jelas) dan boleh pula
secara kiasan (kinayah).[51]
Dewasa ini perjanjian ijarah lazimnya dilakukan dalam bentuk perjanjian tertulis,
oleh karenanya ijab dan qabul tidak lagi diucapkan, tetapi tertuang dalam surat perjanjian.
Tanda tangan dalam surat perjanjian berfungsi sebagai ijab dan qabul dalam bentuk kiasan
(kinayah).[52]
Di samping rukun yang telah disebutkan di atas, ijarah juga mempunyai syarat-syarat
tertentu, yang apabila syarat-syarat ini tidak terpenuhi, maka ijarah menjadi tidak sah.
Syarat-syarat tersebut adalah:
a.
{29 :}...
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan
jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di
antara kamu ... (QS. An-Nisa: 29).
Berdasarkan ayat ini dapat dijelaskan bahwa ijarah yang dilakukan secara paksaan
ataupun dengan jalan yang batil, maka akad ijarah tersebut tidak sah, kecuali apabila
dilakukannya secara suka sama suka di antara kedua belah pihak.
Imam Syafi'i berpendapat bahwa ijarah tidak sah menurut syari'at kecuali bila disertai
dengan kata-kata yang menunjukkan persetujuan. Sedangkan Imam Malik, Hanafi dan Imam
Ahmad cukup dengan serah terima barang yang bersangkutan karena sudah menandakan
persetujuan dan suka sama suka.[53]
b. Segala hal yang berhubungan dengan objek sewa-menyewa harus jelas dan transparan
Layaknya suatu perjanjian, para pihak yang terlihat dalam perjanjian sewa-menyewa
haruslah merundingkan segala sesuatu tentang objek sewa, sehingga dapat tercapai suatu
kesepakatan. Mengenai objek haruslah jelas barangnya (jenis, sifat serta kadar) dan
hendaknya si penyewa menyaksikan dan memilih sendiri barang yang hendak disewanya. Di
samping itu, harus jelas tentang masa sewa dan saat lahirnya kesepakatan sampai saat
berakhirnya. Besarnya uang sewa sebagai imbalan pengambilan manfaat barang sewaan
harus jelas diketahui oleh kedua belah pihak artinya bukan kesepakatan di satu pihak.
Di samping hal yang tersebut di atas tata cara pembayaran uang sewa haruslah jelas
dan harus berdasarkan kesepakatan kedua pihak.
c.
Hendaklah barang yang menjadi objek transaksi (akad) dapat dimanfaatkan kegunaannya
menurut kriteria, realita dan syara'
Sebagian di antara para ulama ahli fiqh ada yang membebankan persyaratan ini.
Menyewakan barang yang tidak dapat dibagi kecuali dalam keadaan lengkap (seperti
kendaraan) hukumnya tidak boleh, sebab manfaat kegunaannya tidak dapat ditentukan.
Pendapat ini adalah pendapat mazhab Abu Hanifah. Akan tetapi jumhur ulama (mayoritas
para ulama ahli fiqh) menyatakan bahwa menyewakan barang yang tidak dapat dibagi dalam
keadaan utuh secara mutlak diperbolehkan, apakah dari kelengkapan aslinya atau bukan.
Sebab barang dalam keadaan tidak lengkap itu termasuk juga dapat dimanfaatkan dan
penyerahan dilakukan dengan mempraktikkan atau dengan cara mempersiapkannya untuk
kegunaan tertentu, sebagaimana hal ini juga diperbolehkan dalam masalah jual beli. Transaksi
sewa-menyewa itu sendiri adalah salah satu di antara kedua jenis transaksi jual beli dan
apabila manfaat barang tersebut masih belum jelas kegunaannya, maka transaksi sewamenyewa tidak sah atau batal.
ramal atau tukang hitung-hitung dan semua pemberian dalam rangka peramalan dan
berhitung-hitungan, karena upah yang ia berikan adalah sebagai pengganti dari hal yang
diharamkan dan termasuk dalam kategori memakan uang manusia dengan batil. Tidak sah
pula ijarah puasa dan shalat, karena ini termasuk fardhu 'ain yang wajib dikerjakan oleh
orang yang terkena kewajiban.[54]
Dalam buku Fath al-Qarib, dijelaskan bahwa untuk sahnya ijarah sebagai berikut:
[55]
1. Untuk sahnya ijarah bahwa setiap benda dapat diambil manfaat serta tahan keadaannya tetapi
jika tidak kuat, maka tidak sah sewa-menyewa.
2. Harus adanya ucapan ijab kabul antara kedua belah pihak, lafadznya yaitu: "Saya
menyewakan rumah ini kepadamu" dan jawabannya: "saya terima rumah ini".
Namun untuk tercapainya akad-akad yang sah dan mengikat bagi mereka yang
mengadakan akad tersebut secara keseluruhan dapat dilihat berikut:
1) Tidak menyalahi hukum syariat
Hal ini adalah suatu akad (perjanjian) yang telah disepakati oleh para pihak dan bukan
suatu perbuatan yang bertentangan dengan syariat. Sebab perjanjian (akad) yang bertentangan
dengan hukum syariat bagi masing-masing pihak untuk menempati atau melaksanakan
perjanjian (akad) yang bertentangan dengan ketentuan hukum syariat, maka perjanjian
tersebut dengan sendirinya batal demi hukum.
2) Harus sama ridha dan ada pilihan
Maksudnya apa yang telah diakadkan para pihak haruslah didasarkan oleh
kesepakatan para pihak, yaitu masing-masing pihak harus ridha akan isi perjanjian tersebut
atau dengan perkataan lain harus merupakan kehendak bebas masing-masing pihak.
Dalam hal ini berarti tidak boleh ada paksaan dari pihak yang satu kepada pihak yang
lainnya, dengan sendirinya perjanjian (akad) yang diadakan tidak didasarkan kepada
kehendak bebas para pihak yang mengadakan perjanjian.[56]
Ijarah yang bersifat pribadi, seperti menggaji seorang pembantu rumah tangga.
b. Ijarah yang bersifat serikat yaitu, seseorang atau sekelompok orang yang menjual jasanya
untuk kepentingan orang banyak, seperti tukang sepatu, buruh pabrik dan tukang jahit.
Kedua bentuk ijarah terhadap pekerjaan ini (buruh, tukang dan pembantu), menurut
para ulama fiqh hukumnya boleh.[58]
2. Ijarah bil manfaat, yaitu sewa-menyewa yang bersifat manfaat. Ijarah yang bersifat manfaat
contohnya adalah:
a.
Sewa-menyewa rumah.
b. Sewa-menyewa toko.
c.
Sewa-menyewa kendaraan.
d. Sewa-menyewa pakaian.
e.
{90 : }...
Artinya: Sesungguhnya Allah menyuruh kamu berlaku adil dan berbuat kebaikan... (QS. An-Nahl: 90)
Selain itu, tidak saling menzalimi antara kedua belah pihak (penyewa dan yang
menyewakan), sesuai dengan firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 279:
{279 : }. ...
Artinya: ...Kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) teraniaya. (QS. Al-Baqarah: 279)
Berlaku adil dan berbuat kebajikan menjadi kewajiban setiap muslim dalam segala
aktivitas kehidupan, begitu pula dengan perintah Allah untuk tidak saling menyakiti dan
menganiaya orang lain. Dalam hubungannya dengan sewa-menyewa merupakan suatu
bentuk transaksi bisnis yang melibatkan banyak pihak, sehingga dituntut untuk berlaku adil
dan saling menghormati.
[2] Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, Jilid 12, Cet. VIII, (Terj. Kamaruddin A. Marzuki
dkk.), (Bandung: Al-Maarif, 1987), hlm. 139.
Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, Cet. I, 2002), hlm. 105.
[4] T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Pengantar Muamalah, (Jakarta: Bulan Bintang, 1984),
hlm. 86-87.
[3]
[8]
Imam Bukhari, Shahih Bukhari, (Beirut: Dar al-Shabi, t.t.), hlm. 132.
[15]
hlm. 52.
[16]
[17]
[18]
[19]
[20]
254.
Ibid.
Ibid.
Muslim Ibrahim Abdurrauf, Nadhariyah al-Iqalah fi al-Fiqh al-Mukarran,
(Mesir: Jamiaah al-Azhar, 1983), hlm. 328-329.
[24] Ahmad Azhar Basyir, Riba Utang Piutang dan Gadai, hlm. 53.
[21]
[22]
[23]
[26] Wahbah
[34]
[35]
[36]
[37] Al-Kasani, Al-Bada'i ash-Shana'i, Jilid IV, (Beirut: Dar al-Fikr, t.t.), hlm. 174.
[38]Asy-Syarbaini al-Khathib, Mughniy al-Muhtaj, Jilid II, (Beirut: Dar al-Fikr, 1978),
hlm. 233.
Ibnu Qudamah, Al- Mughniy, Jilid V, (Mesir: Riyadh al-Haditsah, t.t.), hlm. 398.
Chairuman Pasaribu dan Suhrawardi, Hukum Perjanjian Islam, Cet. I, (Jakarta:
Sinar Grafika, 1994), hlm. 92.
[39]
[40]
hlm. 271.
Ibid.
[51]
[52] Abdul Rahman Al-Jaziry, Al-Fiqh 'ala Mazahib al-Arba'ah, Juz III, hlm. 101.
[53] Salem Bahreisy dan Said Bahreisy, Terjemahan Singkat Tafsir Ibnu Katsir, Jilid
[56] Chairuman Pasaribu dan Suhrawardi K. Lubis, Hukum Perjanjian Islam, hlm. 3.
[57] Wahbah az-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, Jilid IV, (Beirut: Dar al-Fikr,
Ibid.
Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, Jilid 13, hlm. 30.
Ibid.
STIKAP
Belajar dan berbagi untuk mewujudkan generasi yang berilmu amaliah, beramal ilmiah dan
berakhlaqul karimah
BAB I
PENDAHULUAN
(UP)
mempunyai
tujuan
yang
berbeda-beda
misalnya
untuk
pinjaman.
Sedangkan
Akad
Sewa
Tempat
(ijarah)
merupakan
dengan sebutan Gadai Gabah. Program ini diluncurkan atas landasan pemikiran
bahwa dalam rangka mengurangi kerugian petani akibat perbedaan harga jual
gabah pada saat panen raya. Sasaran utama program ini adalah membantu
petani agar bisa menjual gabah yang dimilikinya sesuai dengan harga dasar
yang ditetapkan oleh pemerintah. Pengalaman selama ini ketika terjadi panen
raya, petani selalu menjadi pihak yang dirugikan. Untuk mencegah kerugian
yang diderita oleh petani pada saat musim panen akibat anjloknya harga gabah,
Perum Pegadaian
meluncurkan gadai
gabah.
petani
menggadaikan gabahnya pada musim panen, untuk ditebus dan dijual ketika
harga gabah kembali normal. Dengan adanya gadai gabah, petani bisa tidak
menjual semua gabahnya pada saat musim panen (harga murah) melainkan
menyimpannya dulu di gudang milik agen yang menjadi mitra pegadaian. Petani
menggadaikan sebagian gabahnya pada musim panen pada Perum Pegadaian
dengan harga yang berlaku saat itu. Setelah harga gabah kembali normal, petani
dapat menebusnya dengan harga yang sarna ketika menggadaikan gabahnya
ditambah dengan sewa modal sebesar 3,5 persen per bulan. Jika selama batas
waktu empat bulan (masa jatuh tempo kredit) petani tidak dapat menebusnya,
gabah akan dilelang oleh Perum Pegadaian. Kelebihan harga gabah akan
diberikan kepada petani. Gabah yang diterima sebagai barang jaminan adalah
Gabah Kering Giling (GKG). Bila gabah petani bukan gabah kering giling maka
petani akan dikenakan proses penanganan (handling) sebesar Rp 10 per
kg.
BAB II
RAHN
2.1 DEFINISI RAHN
Menurut
bahasa, rahn
berarti
tetap,
kekal
dan
yang
dikemungkakan
oleh
Ulama
Syafiiyah
dalam
Fatwa
Fatwa
DSN
MUI
nomor
nomor
25/DSN-MUI/III/2002
26/DSN-MUI/III/2002
1.
Firman Allah :
Q.S. Al-Baqoroh 283. Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu'amalah tidak secara tunai)
sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, Maka hendaklah ada barang
tanggungan yang dipegang[180] (oleh yang berpiutang). akan tetapi jika sebagian kamu
mempercayai sebagian yang lain, Maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan
amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya; dan
janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan persaksian. dan barangsiapa yang
menyembunyikannya, Maka Sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya; dan
Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.
[180] barang tanggungan (borg) itu diadakan bila satu sama lain tidak percaya
mempercayai.
seorang
Yahudi,
dan Nabi
menggadaikan
sebuah
baju
besi
2.3.
Ulama Hanfiyah berpendapat bahwa rukun rahn hanya sighat ijab dan
qabul, sedangkan 3 (tiga) lainnya bukan merupakan rukun dari akad rahn. Di
samping itu, menurut mereka, untuk sempurna dan mengikatnya akad rahn ini,
maka diperlukan al-qabdh (penyerahan barang) oleh pemberi utang. [8]
2.4.
Cakap hukum ( Baligh & Berakal ), anak yang tergolong mumayyiz & tidak
dalam keadaan gila.
ii. Tidak sepihak, khusus untuk akad rahn dalam konteks perwalian.
iii. Sukarela (ridha), tidak dalam keadaan dipaksa / terpaksa /dibawah tekanan.
2. Syarat Obyek yang diagunkan [10]:
i.
Barang
itu
bernilai
harta
dan
boleh
dimanfaatkan
dalam
Islam
(ml
mutaqawwim)
ii. Barang itu ada pada waktu akad[11].
iii.
Barang itu milik sah & sempurna dari rhin (milk al-tm) atau Barang itu tidak
terkait dengan hak orang lain.
ii.
Utang itu boleh dilunasi dengan barang yang diagunkan, sebab barang itu
merupakan jaminan atas utang.
iii. Utang itu jelas diketahui oleh kedua pihak yang berakad.
4. Syarat Akad /sighot :
i.
Tidak dikaitkan dengan syarat tertentu atau dikaitkan dengan masa yang akan
datang.
UlamaHanfiyah menyatakan
bahwa
apabila
dengan syarat tertentu, atau dikaitkan dengan dengan masa yang akan datang,
maka syaratnya batal sedangkan akad rahn-nya sah. Misalnya, orang yang
berutang mensyaratkan apabila tenggang waktu utang telah habis dan utang
belum dibayar, maka akad rahn diperpanjang 1 (satu) bulan ; atau pemberi
utang mensyaratkan harta agunan itu boleh ia manfaatkan. Sedangkan,
Ulama Hanbilah, Malikiyah dan Syafiiyah menyatakan bilamana syarat itu
adalah syarat yang mendukung kelancaran akad maka syarat itu diperbolehkan,
tetapi apabila syarat itu bertentangan dengan tabiat akad rahn maka syaratnya
batal. Kedua syarat dalam contoh di atas (perpanjangan rahn 1 (satu) bulan dan
agunan
boleh
dimanfaatkan),
tidak
boleh
menjual
agunan
jika
masa
akad rahn telah jatuh tempo, dan orang yang berutang tidak mampu bayar
merupakan syarat yang tidak sesuai dengan tabiat akad rahn, karenanya syarat
tersebut batal. Syarat yang dibolehkan itu, misalnya : pemberi utang meminta
agar akad disaksikan oleh 2 (dua) orang saksi.[13]
ii.
Merujuk pada Buku 2 Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah Bab XIII tentang Rahn
pasal 329 ayat 2 dinyatakan : Akad (yang dimaksud dalam ayat (1) di atas harus
dinyatakan oleh para pihak dengan cara lisan, tulisan, atau isyarat.
Di samping syarat-syarat di atas, para ulama fiqh sepakat menyatakan
bahwa akad rahn baru dianggap sempurna apabila marhun secara hukum sudah
ada di tangan pemberi utang. Syarat yang terakhir ini disebut sebagai qabdh almarhun.[14] Terdapat 2 (dua) syarat dari qabdh al-marhun, yaitu : mendapat
izin dari rhin dan dipegang atau telah dipindahtangakan kemurtahin.[15] Hal
ini sesuai dengan firman Allah SWT :
Dan apabila kamu dalam perjalanan sedang kamu tidak memperoleh seorang
juru tulis maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang.... { QS. AlBqarah [2] : 283}
Ulama Malikiyah menganggap bahwa marhun tidak harus diserahkan
secara
aktual,
tetapi
boleh
juga
penyerahaanya
secara
hukum,
seperti
menjadikan sawah sebagai jaminan, maka yang diserahkan adalah surat jaminan
atau sertifikat tanah.[16]
Imam Syafii melihat bahwa Allah tidak menetapkan satu hukum kecuali
dengan jaminan yang memiliki kriteria jelas dalam serah terima. Apabila kriteria
tersebut tidak ada maka hukumnya juga tidak ada. Mazhab Maliki berpendapat
bahwa gadai wajib dengan akad dan bagi orang yang menggadaikan diharuskan
menyerahkan barang jaminan untuk dikuasai oleh (murtahin).[17]
Merujuk pada Buku 2 Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah Bab XIII tentang
Rahn pasal 331 dinyatakan : Akad gadai sempurna bila harta gadai (selanjutnya
dibaca
: marhun) telah
dikuasai
oleh
penerima
gadai (selanjutnya
dibaca : murtahin). Pada pasal 332 ayat 1 dinyatakan : Harta gadai harus
bernilai dan dapat diserahkan-terimakan. Sedangkan, pada pasal Apabila harta
gadai belum diserah-terimakan kepada murtahin maka akad rahn yang telah
disepakati dapat dibatalkan.
2.5.
khazanah
Islam
yaitu
kedua
: rahn
lebih
disebut
rasmy.
tashjly. Rahn
hiyzi adalah akad penyerahan atas hak kepemilikan barang dalam penguasaan
pemberi utang. Artinya, posisi marhun dalam rahn hiyzi berada di tangan
pemberi utang. Sedangkan, rahn takmny atau rahn rasmy adalah akad (rahn)
atas barang bergerak dimana pemberi hutang hanya menguasai hak kepemilikan
sedangkan fisik barang masih berada dalam penguasaan rhin sebagai penerima
hutang.[18]
2.6. SIFAT HUKUM AKAD RAHN
Menurut Fathi ad-Duraini hakikat rahn dalam Islam adalah akad yang
dilaksanakan tanpa imbalan jasa dan tujuannya hanya sekedar tolong menolong.
[19] Akad rahn termasuk ke dalam akadtabarru, sebab murtahin tidak menerima
suatu tambahan apapun dari rhin.[20]
Sesuai
dengan
Fatwa
DSN
MUI
nomor
25DSN-MUI/III/2002
tentang Rahn serta Buku 2 Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah Bab XIII tentang
Rahn pasal 343, bahwa murtahin selaku peneriman harta gadai mempunyai hak
untuk menahan marhun sampai semua utang rhin dilunasi. Oleh sebab itu,
apabila barang jaminan telah dikuasai oleh murtahin selaku pemberi utang maka
akad rahn bersifat mengikat [21] serta tidak dapat dibatalkan secara sepihak
oleh rhin.
2.7. PEMANFAATAN MARHUM
Akad rahn dimaksudkan sebagai bentuk kepercayaan dan jaminan atas
pemberian utang, bukan mencari keuntungan dan hasil darinya. Apabila
demikian yang berlaku, debitor (murtahin) tidak berhak memanfaatkan barang
yang digadaikan sekalipun diizinkan oleh rahin. Memanfaatkan barang gadaian
tak ubahnya seperti qirdh yang menguntungkan dan setiap bentuk qirdh yang
menguntungkan adalah riba. [22]
Jumhur Ulama, selain Ulama Hanbilah, menyatakan bahwa pemegang
barang jaminan tidak boleh memanfaatkan barang jaminan karena itu bukan
miliknya secara penuh. Hak pemegang barang jaminan terhadap barang itu
hanyalah sebagai jaminan atas piutangnya, dan apabila orang yang berutang
tidak mampu melunasi utangnya, barulah ia boleh menjual atau menghargai
barang itu untuk melunasi piutangnya. Hal ini didasari dari hadits :
Tidak terlepas kepemilikan barang gadai dari pemilik yang menggadaikannya.
Ia memperoleh manfaat dan menanggung resikonya. { HR. al-SyafiI, alDaruqutni dan Ibnu Majah }
Dalam
konteks,
izin
dari
pemilik,
sebagian
Namun,
Ulama
Ulama Hanfiyahlainnya
Malikiyah,
berpendapat
Ulama
Syafiiyah
sekalipun
pemilik
dan
sebagian
barang
itu
binatang
ternak,
maka
sebagian
pemanfaat barang jaminan berupa ternak tersebut jika mendapat izin dari
pemilik ternak. Namun, Ulama Malikiyah, Ulama Syafiiyah dan sebagian
Ulama Hanfiyah lainnya berpendirian bahwa apabila hewan itu dibiarkan saja,
tanapa diurus oleh pemiliknya, maka murtahin boleh memanfaatkannya, baik
seizin pemiliknya atau pun tidak, karena membiarkan hewan itu tersia-sia,
dilarang dalam Islam.
Ulama Hanbilah, berpendapat bahwa apabila yang dijadikan barang
jaminan itu adalah hewan, maka pemegang barang jaminan berhak untuk
mengambil susunya dan mempergunakannnya, sesuai dengan jumlah biaya
pemeliharaan yang dikeluarkan pemegang barang jaminan.
"Tunggangan (kendaraan) yang digadaikan boleh dinaiki dengan menanggung
biayanya dan binatang ternak yang digadaikan dapat diperah susunya dengan
menanggung biayanya. Orang yang menggunakan kendaraan dan memerah
susu
tersebut
wajib
menanggung
biaya
perawatan
dan
pemeliharaan."
{ HR. Bukhri, Tirmidzi, Abu Daud }
Para ulama fiqh juga berbeda pendapat dalam pemanfaatan marhun
oleh pemilik barang. UlamaHanfiyah dan Hanbilah menyatakan pemilik barang
boleh memanfaatkan barang miliknya selama ada izin dari murtahin. Namun,
Ulama Syafiiyah berpendapat pemanfaatan marhun olehrhin sebagai pemilik
barang tidak perlu ada izin dari murtahin. Alasannya, marhun adalah tetap
menjadi milik rhin dan seorang pemilik tidak boleh dihalang-halangi untuk
memanfaatkan hak miliknya.[24]
Berdasarkan
Fatwa
MUI
bahwa Pada
dan
nomor
25DSN-MUI/III/2002
boleh
tidak
DSN
pemanfaatannya
perawatannya.
itu
sekedar
Hal
pengganti biaya
tersebut
terjadi
Fatwa
DSN
MUI
nomor
25DSN-MUI/III/2002
menjadi
dapat
dilakukan
juga
Adapun
Besaran
biaya
pemeliharaan dan
pembatalan
dikarenakan
pembatan
itu
tanpa
adalah
hak
dari murtahin.
6. 6. Meninggalnya rhin atau murtahin sebelum marhun diserahkan.
Pendapat ini adalah dari Ulama Hanfiyah. Sedangkan, menurut Ulama
Syafiiyah dan Hanbilah hal tersebut tidak menyebabkan batalnya akad.
Merujuk pada Buku 2 Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah Bab XIII tentang
Rahn pasal 348 ayat 1 dinyatakan : Ahli waris yang memiliki kecakapan
hukum
dapat
menggantikan
pemberi
gadai
(baca
: rhin) yang
meninggal
7. Musnahnya marhun (di tangan murtahin). Menurut Ulama Hanfiyah, atas
perkara tersebut murtahin dapat dikenakan denda sebesar harga barang
minimum atau sebesar utang rhin, sebab hakikatnya marhun adalah
amanah yang diberikan kepada murtahin.[26]
8. Apabila marhun disewakan, dihibahkan dan atau disedekahkan atas seizin
pemilik barang.
BAB III
KONSEP AKAD RAHN DALAM PEGADAIAN SYARIAH
1.
awal kebangkitan Pegadaian, satu hal yang perlu dicermati bahwa PP10
menegaskan misi yang harus diemban oleh Pegadaian untuk mencegah praktik
riba, misi ini tidak berubah hingga terbitnya PP103/2000 yang dijadikan sebagai
landasan kegiatan usaha Perum Pegadaian sampai sekarang. Banyak pihak
berpendapat bahwa operasionalisasi Pegadaian pra Fatwa MUI tanggal 16
Desember 2003
2.
3.
Teknik Transaksi
dipaparkan dalam
1.
Akad Rahn. Rahn yang dimaksud adalah menahan harta milik si peminjam
sebagai jaminan atas pinjaman yang diterimanya, pihak yang menahan
memperoleh
jaminan
untuk
mengambil
kembali
seluruh
atau
sebagian
c.
d.
Akad.
Akad
tidak
mengandung
syarat
fasik/bathil
seperti
murtahin
3.
Marhun (barang yang dirahnkan). Marhun bisa dijual dan nilainya seimbang
dengan pinjaman, memiliki nilai, jelas ukurannya, milik sah penuh dari rahin,
tidak terkait dengan hak orang lain, dan bisa diserahkan baik materi maupun
manfaatnya.
4.
Jumlah maksimum dana rahn dan nilai likuidasi barang yang dirahnkan serta
jangka waktu rahn ditetapkan dalam prosedur.
5.
Jangka
waktu
penyimpanan
barang
dan
pinjaman
ditetapkan
selama
3.
atau hanya membayar jasa simpannya saja terlebih dahulu jika pada saat jatuh
tempo nasabah belum mampu melunasi pinjaman uangnya.
4.
Pendanaan
transaksi
Pegadaian
Syariah
dibandingkan
dengan
Pegadaian
konvensional, yaitu :
1.
2.
5.
1.
Rahn
Perjanjian Utang
adalah surat perjanjian utang yang dibuat antara Nasabah dengan PEGADAIAAN
SYARIAH .... pada tanggal . berikut perubahan-perubahan dan
Debitur
adalah Nasabah sebagai pihak yang berutang kepada PEGADAIAAN SYARIAH ....
berdasarkan Per-janjian Utang.
4.
Rahin
Murtahin
Marhun
Marhun bih
Pasal 3
KEPEMILIKAN BARANG DAN JAMINAN NASABAH
Nasabah selaku Rahin menjamin bahwa seluruh barang marhun yang dijadikan
jaminan atas utang Nasabah kepada PEGADAIAAN SYARIAH .... benar-benar milik
Nasabah (Rahin) yang tidak tersangkut sengketa atau perkara, bebas dari
pembebanan apa pun, sehingga oleh karena itu Nasabah berjanji dan dengan ini
mengikatkan diri untuk menjamin PEGADAIAAN SYARIAH .... dibebaskan dari
segala bentuk tuntutan atau gugatan apa pun dan dari pihak manapun juga.
Pasal 4
PENGGUNAAN MARHUN SEBAGAI PELUNAS UTANG
1.
Ayat 1 ini berisi substansi kekuasaan PEGADAIAAN SYARIAH .... atas marhun
Ayat 2 ini berisi substansi penggunaan uang hasil penjualan marhun sebagai
pelunas utang.
Pasal 5
BIAYA, POTONGAN DAN PAJAK-PAJAK
1. Nasabah berjanji dan dengan ini mengikatkan diri untuk menanggung segala
biaya yang diperlukan berkenaan dengan pelaksanaan Perjanjian ini, termasuk
jasa Notaris dan jasa lainnya, sepanjang hal itu diberitahukan PEGADAIAAN
SYARIAH .... kepada Nasabah sebelum ditandatanganinya Perjanjian ini, dan
Nasabah menyatakan persetujuannya.
2. Dalam hal Nasabah cedera janji tidak menyerahkan barang kepada
PEGADAIAAN SYARIAH ...., sehingga PEGADAIAAN SYARIAH .... perlu
menggunakan jasa Penasihat Hukum/Kuasa untuk menagihnya, maka Nasabah
berjanji dan mengikatkan diri untuk membayar kembali seluruh biaya jasa
Penasihat Hukum, jasa penagihan, dan jasa-jasa lainnya yang dapat dibuktikan
secara syah menurut ketentuan hukum.
3. Setiap menyerahkan barang kembali/pelunasan utang sehubungan dengan
Perjanjian ini dan Perjanjian lainnya yang mengikat Nasabah dan PEGADAIAAN
SYARIAH ...., dilakukan oleh Nasabah kepada PEGADAIAAN SYARIAH .... tanpa
potongan, pungutan, bea, pajak dan/atau biaya-biaya lainnya, kecuali jika
potongan tersebut diharuskan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
4. Nasabah berjanji mengikatkan diri, bahwa terhadap setiap potongan yang
diharuskan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku, akan dilakukan
pembayarannya oleh Nasabah melalui PEGADAIAAN SYARIAH .....
Pasal 6
ASURANSI ATAS MARHUN
Hal-hal berikut perlu didiskusikan :
a. Demi keadilan dan kesetaraan kedua pihak, perlu dipertimbangkan siapa
yang harus menanggung pembayaran premi asuransi. (Harus diingat, karena
sifatnya gadai, maka marhun yang merupakan benda bergerak harus diserahkan
oleh Nasabah kepada dan berada dalam kekuasaan fisik PEGADAIAAN
SYARIAH .....
BAB I
PENDAHULUAN
(UP)
mempunyai
tujuan
yang
berbeda-beda
misalnya
untuk
pinjaman.
Sedangkan
Akad
Sewa
Tempat
(ijarah)
merupakan
4.
1.
2.
3.
Bagaimana yang menjadi rukun, syarat dan akad dalam pegadaian syariah?
5.
6.
7.
8.
dalam mata kuliah ini yakni tentang Lembaga Perekonomian Umat. Dan untuk
pembelajaran bagi para mahasiswa yang membutuhkan ilmu pengetahuan
dari makalah ini. Serta tujuan dari pembahasan materi ini adalah untuk
mengetahui dan mengenal pegadaian syariah serta sejauh mana peran dan
sistematika pegadaian syariah berperan melayani umat/ masyarakat.
BAB II
PEMBAHASAN
Istilah rahn menurut Imam Ibnu Mandur diartikan apa-apa yang diberikan
sebagai jaminan atas suatu manfaat barang yang diagunkan. Dari kalangan
Ulama Mazhab Maliki mendefinisikan rahn sebagai harta yang dijadikan
pemiliknya sebagai jaminan hutang yang bersifat mengikat, ulama Mazhab
Hanafi mendefinisikannya dengan menjadikan suatu barang sebagai jaminan
terhadap hak (piutang) yang mungkin dijadikan sebagai pembayar hak tersebut,
baik seluruhnya maupun sebagiannya. Ulama Syafii dan Hambali dalam
mengartikan rahn dalam arti akad yakni menjadikan materi (barang) sebagai
jaminan utang, yang dapat dijadikan pembayar utang apabila orang yang
berhutang tidak bisa membayar hutangnya.
Dalam bukunya: Pegadaian Syariah, Muhammad Sholikul Hadi (2003)
mengutip pendapat Imam Abu Zakariya al-Anshari dalam kitabnya Fathul
Wahhab yang mendefenisikan rahn sebagai: menjadikan benda bersifat harta
sebagai kepercayaan dari suatu utang yang dapat dibayarkan dari (harga) benda
itu bila utang tidak dibayar. Sedangkan menurut Ahmad Baraja, rahn adalah
jaminan bukan produk dan semata untuk kepentingan sosial, bukan kepentingan
bisnis, jual beli mitra.
Adapun pengertian rahn menurut Imam Ibnu Qudhamah dalam kitab AlMughni adalah sesuatu benda yang dijadikan kepercayaan dari suatu hutang
untuk
dipenuhi
dari
harganya,
apabila
yang
berhutang
tidak
sanggup
menurut
pandangan
syara
sebagai
jaminan,
hingga
orang
yang
mempunyai
utang.
Seorang
yang
berutang
tersebut
memberikan
telah diserahkan untuk melunasi utang apabila pihak yang berutang tidak dapat
memenuhi kewajibannya pada saat jatuh tempo.
syariah,
dimana
bank
menawarkan
kepada
massyarakat
bentuk
aktif
dalam
mambantu
masyarakat.
Melihat
realitas
tersebut,
sekaligus
perusahaan.
memupuk
Sedangkan
keuntungan
isi
pasal
berdasarkan
7,dijabarkan:(1)
prinsip
Turut
pengelolaan
meningkatkan
Dan Hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Aisiyah binti
Abu Bakar, yang menjelaskan bahwa Rasulullah Saw pernah membeli makanan
dari seorang Yahudi dengan menjadikan baju besinya sebagai jaminan.
Berdasarkan dua landasan hukum tersebut ulama bersepakat bahwa rahn
merupakan transaksi yang diperbolehkan dan menurut sebagian besar (jumhur)
ulama, ada beberapa rukun bagi akad rahn yang terdiri dari, orang yang
menggadaikan (ar-rahn), barang-barang yang digadai (marhun), orang yang
menerima gadai (murtahin) sesuatu yang karenanya diadakan gadai, yakni
harga, dan sifat akad rahn. Sedangkan untuk sahnya akad rahn, ada beberapa
syarat yang harus dipenuhi oleh para pihak yang terlibat dalam akad ini yakni:
berakal, baligh, barang yang dijadikan jaminan ada pada saat akad, serta barang
jaminan dipegang oleh orang yang menerima gadai (marhun) atau yang
mewakilinya.
Dengan terpenuhinya syarat-syarat di atas maka akad rahn dapat dilakukan
karena kejelasan akan rahin, murtahin dan marhun merupakan keharusan dalam
akad rahn. Sedangkan mengenai saat diperbolehkan untuk menggunaan akad
rahn, al-Quran dan al-Sunah serta ijma ulama tidak menetapkan secara jelas
mengenai akad-akad atau transaksi jual beli yang diizinkan untuk menggunakan
akad rahn.
Sebagian kecil ulama, sebagaimana yang dikemukakan Ibn Rusdy bahwa mazhab
Maliki beranggapan bawa gadai itu dapat dilakukan pada segala macam harga
dan pada semua macam jual beli, kecuali jual beli mata uang, dan pokok modal
pada akad salam yang berkaitan dengan tanggungan, hal ini disebabkan karena
pada shaf pada salam disyaratkan tunai, begitu pula pada harta modal.
Sedangkan kelompok Fuqaha Zahiri berpendapat bahwa akad gadai (rahn) tidak
boleh selain pada salam yakni pada salam dalam gadai, hal ini berdasar pada
ayat yang berkenaan dengan gadai yang terdapat dalam masalah hutang
piutang barang jualan, yang diartikan mereka sebagai salam.
Dari bebrapa pendapat di atas dapat diartikan bahwa sebagian ulama
beranggapan bahwa rahn dapat digunakan pada transaksi dan akad jual beli
yang bermacam-macam, walaupun ada perbedaan ulama mengenai waktu dan
pemanfaatan dari barang yang dijadikan jaminan tersebut.
Sedangkan benda Rahn yang digadai, dalam konsep fiqh merupakan amanat
yang ada pada murtahin yang harus selalu dijaga dengan sebaik-baiknya, dan
untuk menjaga serta merawat agar benda (barang) gadai tersebut tetap baik,
kiranya diperlukan biaya, yang tentunya dibebankan kepada orang yang
menggadai atau dengan cara memanfaatkan barang gadai tersebut. Dalam hal
pemanfaatan barang gadai, beberapa ulama berbeda pendapat karena masalah
ini sangat berkaitan erat dengan hakikat barang gadai, yang hanya berfungsi
sebagai jaminan utang pihak yang menggadai.
kemanfaatan
masyarakat
umum
dan
sekaligus
memupuk
dibidang
ekonomi
dan
pembangunan
nasional
pada
pengaman
sosial
kerena
masyarakat
yang
butuh
dana
1.
2.
memperoleh
jasa
tertentu.
Bagi
bank
syariah
yang
3.
pembiayaan
harus
berupa
peberian
bantuan
kepada
4.
a.
b.
c.
Cadangan tujuan (5 %)
d.
Dalam
menjalankan
pegadaian
syariah,
pegadaian
harus
Orang yang telah dewasa, berakal, bisa dipercaya, dan memiliki barang
yang akan digadaikan.
Orang,
bank,
atau
lembaga
yang
di
percaya
oleh
rahin
untuk
Barang
yang
digunakan
mendapatkan uang.
rahin
untuk
dijadikan
jaminan
dalam
Kesepakatan antara
rahin dan
gadai.
juga
berarti
kelayakan
seseorang
untuk
melakukan
transaksi pemilikan.
a.
Sighat
Sighat tidak boleh terikat dengan syarat tertentu dan juga dengan
suatu waktu dimasa depan.
b.
a.
b.
c.
Marhun (barang)
a.
Harus diperjualbelikan
b.
c.
d.
e.
Ulama
Syafiiyah
berpendapat
bahwa
pegadaian
bisa
sah
bila
1.
2.
3.
1.
2.
Akad Al-Mudharabah
3.
Untuk
sementara
akad
ini
dapat
dilakukan
jika
rahin
yang
pembeli
dijaminkan
barang.
untuk
dimanfaatkanatau
akad
tidak
Sedangkan
ini
barang
adalah
dimanfaatkan
jaminan
barang-barang
oleh
rahin
yang
dapat
yang
dapat
atau
murtahin.
Tekstil
Barang-barang
lain
yang
dianggapbernilai
seperti
surat-surat
1. membawa fotokopi KTP atau identitas lainnya (SIM, Paspor, dan lainlain)
tertentu.
Jamianan
emas
yang
diberikan
disimpan
dalam
produk
ini
harus
memerhatikan
unsur-unsur
kepercayaan,
calon
nasabah
yang
ingin
mengajukan
permohonan
dapat
syariah
tidak
hanya
menyentuh
bgian
oprasionalnya
saja,
pembiayaan kegiatan dan pendanaan bagi nasabah, harus diperoleh dari sumber
yang benar-benarterbatas dari unsur riba. Dalam hal ini, seluruh kegiatan dan
pendanaan bagi nasabah, murni berasal dari modal sendiri ditambah dana pihak
ketiga dari sumber yang dapat di pertanggung jawabkan. Pegadaian telah
melakukan kerja sama dengan Bank Muamalat sebagai fundernya, ke depan
Pegadaian juga akan melakukan kerja sama dengan lembaga kuangan syariah
lain untuk mem-back up modal kerja.
persamaan
perbedaan
utang
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dari pembahasan yang telah diuraikan maka dapat ditarik kesimpulan
yakni:
1. Gadai adalah suatu hak yang diperoleh seseorang berpiutang atas
suatu barang bergerak, yang diserahkan kepadanya oleh seorang berutang atau
oleh orang lain atas namanya, dan yang memberikan kekuasaan kepada orang
yang berpiutang itu untuk mengambil pelunasan dari barang tersebut secara
didahulukan daripada orang berpiutang llainnya, dengan pengecualian biaya
untuk melelang barang ersebut dan biaya yang
DAFTAR PUSTAKA
Soemitra, Andri. 2014. Bank dan Lembaga Keuangan Syariah, Jakarta: Kencana Prenada
Group.
Sudarsono, Heri. 2007. Bank & Lembaga Keuangan Syariah Deskripsi dan Ilustrasi.
Yogyakarta: Ekonisa.
R. Latumaerisa, Julius. 2011. Bank dan Lembaga Keuangan Lain. Jakarta: Salemba Empat
Triandaru, Totok Budisantoso, Sigit. 2007. Bank dan Lembaga Keuangan Lain. Jakarta:
Salemba Empat.
Hadi, Muhammad Sholikul. 2003. Pegadaian Syariah. ____:____
____. 2011. Konsep Gadai Syariah (ar-Rahn) Dalam Perspektif Ekonomi Islam dan Fiqh
Muamalah.
http://mujahidinimeis.wordpress.com/2011/01/24/konsep-gadai-
syariah-ar-rahn-dalam-perspektif-ekonomi-islam-dan-fiqh-muamalah/.
Tanggal
Pegadaian
di
GADAI
Indonesia.
OLEH :
RIA SAIDAH
05120130003
Kata pangantar
Bismillaahirrohmanirroiim
Segala puji bagi Allah SWT, Tuhan Semesta Alam yang telah mengajarkan manusia
tentang apa yang tidak diketahuinya. Salawat dan Salam kepada junjungan Rasulullah
Muhammad SAW sebagai teladan dalam kehidupan sekaligus sebagai rahmatan lilalamin.
Kehadiran sebuah makalah sebagai pegangam bagi mahasiswa sangatlah berarti
dalam proses belajar mengajar, karena itu melalui makalah tentang Pinjaman dan Jaminan
ini diharapkan dapat mengantar dan membantu mahasiswa di Jurusan Syariah Prodi
Ria saidah
DAFTAR ISI
Kata Pengantar..
Daftar isi ..
I Pendahuluan
A. Latar Belakang..
B. Rumusan Masalah ...
C. Tujuan..
II Pembahasan
A.
B.
C.
D.
E.
F.
G.
H.
Pengertian Rahn...
Sifat Rahn. .......................
Dasar Hukum Rahn..
Rukun dan Syarat Gadai ..
Pengambilan Manfaat Barang Gadai...
Pandangan Ulama Mengenai RukunGadai......................
Perbedaan dan Persamaan Gadai Syariah dan Gadai Konvensional
Perlakuan Bunga dan Riba dalam Perjanjian Gadai.
III Penutup
A. Kesimpulan..............................................................................................
Daftar Pustaka........
I.
A.
PENDAHULUAN
mengambil
perbekalan
demi
perjalanan
selanjutnya.
Dalam kehidupan bisnis baik Klasik dan Modern, masalah penggadaian tidak terlepas dari
masalah perekonomian. Untuk mengetahui lebih dalam mengenai pnggadaian dijelaskan
sebagai berikut .Selain daripada itu, keinginan manusia untuk memnuhi kebutuhannya,
cenderung membuat mereka untuk saling bertransaksi walaupun dengan berbagai kendala,
misalnya saja kekurangan modal, tenaga dsb. maka dari itu, dalam islam diberlakukan
syariat gadai.
Gadai secara umum berupa transaksi peminjaman sejumlah uang dengan memberikan
jaminan berupa perhiasan (emas, perak platina), barang elektronik (TV, kulkas, radio, tape,
video), kendaraan (sepeda, motor, mobil), barang-barang pecah belah, mesin jahit, mesin
motor kapal, tekstil (kain batik, permadani) dan barang lainnya yang dianggap bernilai.
Adapun pengertian hukum dan syaratnya akan dibahas dalam makalah ini.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa Hakekat / pengertian rahn ?
2.
Bagaimana sifat rahn ?
7.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
3.
Apa yang mendasari diadakannya rahn ?
4.
Apa rukun dan syarat rahn?
5.
Bagaimana cara mengambil manfaat rahn ?
6.
Bagaimana pandangan Ulama tentang rahn?
Apa perbedaan dan persamaan antara gadai syariah dengan gadai konvensional?
C.
Tujuan Makalah
Untuk mengetahui hakekat dari rahn
Untuk mengetahui sifat rahn
Untuk mengetahui dasar hukum rahn
Untuk mengetahui rukun dan syarat rahn
Untuk mengetahui cara pengambilan manfaat dari rahn
Untuk mengetahui pandangan-pandangan ulama terhadap rahn
Untuk mengetahui persamaan dan perbedaan gadai syariah dan gadai konvensional
II. PEMBAHASAN
A.
Pengertian Rahn
Menurut bahasa, gadai/ ar-rahn ( )berarti al-stubut dan al-habs yaitu penetapan
dan penahanan. Ada pula yang menjelaskan bahwa rahn ( )adalah terkurung atau terjerat.
[1]
Menurut istilah syara, yang dimaksut dengan rahn adalah:
1. Akad yang objeknya menahan harga terhadap sesuatu hak yang mungkin
diperoleh bayaran
Menjadikan suatu benda sebagai jaminan hutang yang dapat dijadikan pembayar ketika
berhalangan dalam membayar hutang.
2. Menurut ulama Hanabilah :
Harta yang dijadikan jaminan hutang sebagai pembayar harga (nilai) hutang ketika yang
berutang berhalangan (tidak mampu membayar) hutangnya kepada pemberi pinjaman.[6]
B.
Sifat Rahn
Secara umum rahn dikatagorikan sebagai akad yang bersifat derma sebab apa yang
diberikan penggadai (rahin) kepada penerima gadai (murtahin) tidak ditukar dengan sesuatu.
Yang diberikan murathin kepada rahn adalah uang. Bukan penukar atas barang yang
digadaikan.
Rahn juga termasuk akad yang bersifat ainiyah, yaitu dikatakan sempurna apabila
sudah menyerahkan benda yang dijadikan akad, seperti hibah, pinjam meminajam, titipan dan
qirad.[7]
C.
Rasullah Saw, telah meruguhkan baju besi beliau kepada seorang Yahudi di Madinah,
sewaktu beliau menghutang syair (gandum) dari orang Yahudi itu untuk keluarga itu untuk
keluarga beliau. (HR. Ahmad, Bukhari, Nasai, dan Ibnu Majah).
Dari hadist tersebut dapat dipahami bahwa bermualah dibenarkan juga dengan
non-muslim dan harus ada jaminan sebagai pegangan, sehingga tidak ada ke khawatiran bagi
yang memberi piutang.
Para ulama semua berpendapat, bahwa perjanjian gadai hukumnya mubah (boleh).
Dan itu termuat dalam DNS Nomor: 25/DSN-MUI/III/2002, Namun ada yag berpegang pada
zahir ayat, yaitu gadai hanya diperbolehkan dalam keadaan berpergian saja, seperti paham
yang di anut oleh Madhab Zahiri, Mujahid dan al-Dhahak. Sedangkan jumhur (kebanyakan
ulama) membolehkan gadai, baik dalam keadaan berpergian maupun tidak, seperti yang
pernah dilakukan oleh Rasulullah di Madinah, seperti telah disebutkan dalam hadist di atas.
[8]
D.
lain yaitu:
1. Akad dan ijab Kabul
2. Aqid, yaitu orang yang menggadaikan (rahin) dan yang menerima gadai (murtahin). Adapun
syarat yang berakad adalah ahli tasyarruf, yaitu mampu membelanjakan harta dan dalam hal
ini memahami persoalan-persoalan yang berkaitan dengan gadai. Menurut ulama Syafiiyah
ahliyah adalah orang yang telah sah untuk jual beli, yakni berakal dam mumyyis, tetapi tidak
3.
F.
diakadkan), Shighat (akad gadai). Ibnu Rusyd dalam kitabnya menjabarkan secara detil
mengnai rukun gadai beserta pendapat para imam madzhab. Ia mengatakan rukun gadai
terdiri dari tiga bagian:
Pertama: Orang yang menggadaikan
Tidak ada perselsihan bahwa di antara sifat-sifat orang yang menggadaikan adalah
mahjur alaih dan dikenal sebagai biasa melunasi hutang. Washi (orang yang dipesan untuk
mengurus wasiat) boleh menggadaikan untuk kepentingan orang yang berada dalam
kekuasaanya manakala tindakan tersebut untuk melunasi hutang dan memang diperlukan,
pendapat ini dikemukakan oleh imam Malik.
Menurut Syafii, washi dibolehkan menggadaikan karena ada kepentingan yang jelas.
Menurut Malik, budak mukatab (budak yang berupaya memerdekakan dirinya dengan cara
mencicil) dan orang yang diberi izin boleh menggadaikan. Menurut Sahnun, jika seseorang
menerima gadai karena harta yang dihutangkan maka hal itu tidak boleh, maka dalam hal ini
Syafii juga mengemukakan pendapat yang sama.
Malik dan Syafii sependapat bahwa orang bangkruttidak boleh menggadaikan,
namun Abu Hanifah membolehkan bersamaan dengan itu tidak ada pendapat yang tegas dari
Malik berkenaan dengan orang yang habis hartanya karena hutang, apakah ia boleh
menggadaikan? Dalam arti, apakah perbuatannya itu mengikat atau tidak? Menurut pendapat
Malik yang terkenal ia tidak boleh menggadaikan, yakni sebelum ia menjadi bangkrut.
Kedua: Akad gadai
Ulama Syafiiyah berpendapat bahwa transaksi gadai itu bisa sah dengan memenuhi
tiga syarat. Pertama, harus berupa barang, karena hutang tidak bisa digadaikan. Kedua,
kepemilikan barang yang digadaikan tidak terhalang, seperti mushaf. Malik membolehkan
penggadaikan mushaf, tetapi penerima gadai dilarang membacanya. Perselisihan dalam hal
ini berpangkal pada jual beli. Ketiga, barang yang digadaikan bisa dijual manakala pelunasan
hutang itu sudah jatuh tempo.
Menurut imam Malik menggadaikan barang yang tidak boleh dijual, itu boleh, seperti
tanaman tani dan buah-buahan yang belum layak dipetik. Jika sudah layak dipetik, maka
menurut Malik boleh dijual untuk melunasi hutang yang sudah jatuh tempo. Tentang
penggadaian buah yang belum layak dipanen, dari Syafii ada dua pendapat, boleh
menggadaikan, dan jika masa hutang sudah jatuh tempo, maka buah tersebut bisa dijual
dengan syarat dipetik. Menurut Abu Hamid, pendapat yang paling benar adalah yang
membolehkan. Bagi Malik menggadaikan barang yang belum jelas nilainya seperti dinar dan
dirham yang sudah dicetak, itu boleh.
Menurut Malik dan Syafii, kepemilikan penggadai atas barang yang digadaikan tidak
menjadi syarat gadai. Bahkan keduanya membolehkan barang gadaian itu berstatus pinjaman.
Para fuqaha sepakat bahwa di antara syarat gadai adalah ikrar penggadaian bahwa barang
gadaian harus berada di tangan penerima gadaian. Kemudian mereka berselisih pendapat
apabila penerima gadai menerima barang tersebut dengan cara merampas, kemudian orang
yang dirampas barangnya itu menyatakan barang tersebut sebagai barang gadai an yang ada
di tangannya. Dalam hal ini imam Malik membolehkan pemindahan barang yang dirampas
itu dari tanggungan ghashab menjadi tanggungan gadai. Orang yang dirampas barangnya itu
menganggap barangnya tersebut sebagai barang gadai di tangan perampas, sebelum ia
menerima barang itu.
Berbeda dengan Malik, maka menurut Syafii, tidak boleh, bahkan barang itu tetap
berada dalam tanggungan ghashab, kecuali jika orang yang dirampas menerima kembali
barangnya. Dalam kaitan ini pula fuqaha pun berselisih pendapat tentang penggadaian bagian
barang dari milik bersama. Menurut Abu Hanifah tidak boleh, tetapi menurut Malik dan
Syafii boleh.
Ketiga: Barang yang digadaikan
Aturan pokok dalam madzhab Maliki bahwa gadai itu dapat dilakukan untuk semua
barang yang berharga dan dapat diperjual belikan kecuali jual beli mata uang itu harus tunai.
Karena itu, sharf tidak bisa menjadi transaksi gadai. Begitu pula modal salam, meski pun
menurut Malik, lebih ringan dibanding sharf.
Sekelompok fuqaha zahiri berpendapat bahwa akad gadai hanya berlaku pada barang
pesanan. Demikian itu karena ayat yang berkenaan dengan gadai itu menjelaskan posisi utang
piutang barang dagangan, dan menurut mereka, itu transaksi pesanan.
Menurut madzhab Maliki dibolehkan mengambil gadai pada salam hutang, ghashab
harga barang-barang konsumsi, denda tindak kriminal pada harta benda, serta pada tindak
penganiayaan secara sengaja yang tidak ada qishashnya, seperti al-Mamumah dan al-Jaifah.
Gadai juga dibolehkan pada barang pinjaman yang diboleh tanggungan dan tidak
dibolehkan pada barang pinjaman yang tidak di bawah tanggungan. Gadai juga di bolehkan
pada sewa menyewa. Dibolehkan pula pada upah jasa sesudah bekerja, bukan sebelumnya.
Demikian pula gadai bisa diadakan pada mas kawin tetapi tidak boleh pada hudud, qishash
atau proses kemerdekaan budak.
Dalam hubungan ini menurut pendapat ulama Syafiiyah, barang yang digadaikan itu
memiliki tiga syarat. Pertama, berupa hutang karena barang hutangan itu tidak dapat
digadaikan. Kedua, menjadi tetap, karena sebelum tetap tidak dapat digadaikan, seperti jika
seseorang menerima gadai dengan imbalan sesuatu dengan yang dipinjamnya. Tetapi Malik
membolehkan hal ini. Ketiga, barang yang digadaikan tidak sedang dalam proses pembayaran
yang akan terjadi, baik wajib atau tidak seperti gadai dalam kitabah. Pendapat ini mirip
dengan madzab Maliki.[14]
G.
1. pengertian
a. Pegadaian Syariah
Gadai dalam fiqh gadai (rahn) adalah prjanjian suatu barang sebagai tanggungan
hutang, atau menjadikan suatu benda bernilai menutrut pandangan syara sebagai tanggungan
pinjaman, sehingga dengan adanya tanggungan utang ini seluruh atau sebagian utang dapat
diterima.[15]
b. Pegadaian Konvensional
Pegadaian Konvensional (Umum) adalah suatu hak yang diperbolehkan seseorang
yang mempunyai pitutang atas suatu barang bergerak, yang diserahkan kepadanya oleh
seorang yang berutang atau oleh orang lain atas nama orang yang mempunyai utang, dan
yang memberikan kekuasaan kepada orang yang berpiutang itu untuk mengambil pelunasan
dari barang tersebut secara didahulukan daripada orang yang berpiutang lainnya, dengan
pengecualian biaya yang telah dikeluarkan untuk menyelematankanya setelah barang itu
digadaikan.[16]
2. Persamaan Gadai Konvensional dengan Gadai Syariah
Persamaan gadai konvensional dengan gadai syariah adalah seperti berikut:
perjanjian utang-piutang, dimungkinkan terjadi riba yang dilarang oleh syara. Riba terjadi
apabila dalam perjanjian gadai ditemukan bahwa harus memberikan tambahan sejumlah uang
atau prosentase tertentu dari pokok utang, pada waktu membayar utang atau pada waktu lain
yang telah ditentukan oleh murtahin ( ) . Hal ini lebih sering disebut bunga gadai dan
perbuatan yang dilarang syara. Karena itu aktivitas perjajian gadai dalam Islam tidak
membenarkan adanya praktik pemungutan bunga karena larangan syara, dan pihak yang
terbebani, yaitu pihak penggadai akan merasa dianiaya dan tertekan, karena selain harus
mengembalikan utangnya, dia juga masih berkewajiban untuk membayar bunganya.[18]
Kondisi saat ini, gadai sudah menjadi lembaga keuangan formal yang telah diakui
oleh pemerintah. Mengenai fungsi dari penggadaian tersebut tentu sudah bersifat komersil.
Artinya pegadaian harus memperoleh pendapatan guna menggantikan biaya-biaya yang telah
Sejumlah
tambahan
itu
di
syaratkan
dalam
transaksi
[21]
III. PENUTUP
Kesimpulan
Rahn adalah Menjadikan suatu benda sebagai jaminan hutang yang dapat dijadikan
pembayar ketika berhalangan dalam membayar hutang,
Rahn termasuk akad yang bersifat ainiyah, yaitu dikatakan sempurna apabila sudah
menyerahkan benda yang dijadikan akad, seperti hibah, pinjam meminajam, titipan dan qirad.
Dalam dasar hukum gadai, ada dalil-dalil yang melandasi di perbolehkannya gadai
yang bersal dari Al-Quran dan hadis.
Rukun gadai yaitu akad dan ijab Kabul, akid, barang yang di jadikan jaminan (borg).
Syarat gadai Orangnya sudah dewasa, berpikiran sehat, barang yang akan digadaikan sudah
ada pada saat terjadi akad, barang yang dapat dijadikan jaminan.
Pengambilan manfaat pada barang-barang gadai seperti hewan dan kendaraan
ditekankan pada biaya atau tenaga untuk pemeliharaan sehingga bagi yang memegang
barang-barang gadai seperti diatas punya kewajiban tambahan.
Menurut pendapat ulama Syafiiyah, barang yang digadaikan itu memiliki tiga syarat.
Pertama, berupa hutang karena barang hutangan itu tidak dapat digadaikan. Kedua, menjadi
tetap, karena sebelum tetap tidak dapat digadaikan, seperti jika seseorang menerima gadai
dengan imbalan sesuatu dengan yang dipinjamnya. Tetapi Malik membolehkan hal ini.
Ketiga, barang yang digadaikan tidak sedang dalam proses pembayaran yang akan terjadi,
baik wajib atau tidak seperti gadai dalam kitabah. Pendapat ini mirip dengan madzab Maliki.
Perbedaan rahn dengan gadai yaitu gadai syariah dilakukan secara suka rela tanpa
mecari keuntungan, seadangakn gadai konvensional dilakukan dengan prinsip tolongmenolong tetapi juga menarik keuntungan. Dan persamaan rahn dengan gadai yaitu adanya
agunan (barang jaminan) sebagai jaminan utang.
DAFTAR PUSTAKA
Hendi Suhendi Fiqih Muamalah, Cet.I, PT Raja Grafindo Persada. Jakarta.2005
Rahmat Syafei, Fiqih Muamalah, Pustaka Setia. Bandung. 2006
Adrian Sutedi, Hukum Gadai Syariah.Cet.I, Alfabeta. Bandung. 2011
Ibnu Rusyd, Bidayah al-Mujtahid wa Nihaya al-Muqtashid, Dar al-Jiil. Birut. 1990
Ahmad Azhar Basyir, Riba,Utang-piutang dan Gadai,cet. Ke II, Al- Maarif. Bandung. 1983
Sulaiman Rasyid. Fiqh islam, Al-Tahiriyah. Jakarta. 1973
[1]Sayyid
Sabiq, Fiqh al-Sunnah al-Majadallad al-Tsalis, (Kairo: Dar al-fath lil Ilam
al-Arabi, 1990), h. 123
[2]Hasbi Ash-Shiddieqy, Pengantar fiqh muamalah, (Jakarta: Bulan Bintang 1984), h.
86-87
[3]Sayyid Sabiq dalam fiqih al- sunnah, Op.Cit, h. 187
[4]Sulaiman Rasyid. Fiqh islam, (Jakarta: al-Tahiriyah, 1973), h. 295.
[5]Ahmad Azhar Basyir, Riba,Utang-piutang dan Gadai,cet. Ke II, (Bandung:AlMaarif,1983), h. 50
[6]Syafei Rachmat, Fiqih Muamalah, (Bandung: Pustaka Setia, 2006), h. 159-160.
[7]Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, Cet. 1, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), h.
105.
[8] Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, (Jakarta: PT Grafindo Persada, 2001), h. 139.
[9]Ibid, h. 162
[10]Ibid, h. 164
[11]Ibid, h.256
[12] al-kahlani,subul al-salam, h. 51
[13]Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, Cet. 1, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), h.
108-109
[14]Ibnu Rusyd, Bidayah al-Mujtahid wa Nihaya al-Muqtashid, (Bairut: Dar al-Jiil, 1990), h. 204
[15]Adrian
[16]Ibid h. 78
[17]Ibid h. 78
[18]Muhammad Skholikhul Hadi,
[19]Ibid h. 61
[20]A.A. Basyir. Op. cit, h. 55
[21]Muhammad Skholikhul Hadi,
TINJAUAN HUKUM ISLAM TENTANG GADAI DAN PENETAPAN BIAYA SEWA (UJRAH)
Akad yang objeknya menahan harga terhadap sesuatu hak yang mungkin
diperoleh bayaran dengan sempurna darinya.[2]
b.
c.
d.
e.
f.
Menjadikan
suatu
benda
bernilai
menurut
pandangan
syara
sebagai
tanggungan utang, dengan adanya benda yang menjadi tanggungan itu seluruh
atau sebagian utang dapat diterima.[7]
Gadai menurut ulama Syafiiyah yaitu menjadikan sesuatu (harta)
pegangan (jaminan) bagi sesuatu utang yang boleh digunakan untuk melunasi
jika pengutang gagal melunasinya. Sedangkan definisi gadai menurut ulama
Maliki adalah sesuatu barang yang bernilai yang diambil dari pemiliknya sebagai
pegangan atau jaminan bagi sesuatu utang yang lazim yaitu suatu akad yang
membolehkan memegang harta seperti harta tak alih, binatang, barang
dagangan, atau manfaat (yang boleh diambil tempo atau pekerjaan) mengaitkan
dengan utang. Ulama Hanabilah mendefinisikan bahwa gadai merupakan harta
yang dijadikan pegangan bagi sesuatu utang, dan dengan itu ia boleh digunakan
untuk membayar jika pengutang gagal membayar utangnya.[8] Sedangkan
menurut Imam Ibnu Qudamah, salah seorang pakar fiqh mazhab Hanbali,
menyatakan
rahn
(gadai)
adalah
sesuatu
benda
yang
dapat
dijadikan
kepercayaan dari suatu utang untuk dipenuhi dari harganya, apabila yang
berutang tidak sanggup membayarnya dari orang yang berpiutang.[9]
1.1.2. Dasar hukum gadai
Pada dasarnya gadai menurut Islam, hukumnya adalah boleh (jaiz). Hal ini
berdasarkan firman Allah SWT yang berbunyi:
: .....
Artinya: Jika kamu dalam perjalanan (dan bermuamalah tidak secara tunai) sedang kamu
tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan
yang dipegang (oleh yang berpiutang). Akan tetapi jika sebagian kamu
mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu
menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertaqwa kepada Allah
Tuhannya... (QAl- Baqarah : 283).[10]
[11]( ) .
Artinya: Dari Aisyah ra, bahwa Nabi Saw pernah membeli makanan dari orang Yahudi
dan ia menggadaikan baju besinya.( HR. Bukhari )
Dari hadist di atas dapat dipahami bahwa bermuamalah dibenarkan juga
dengan non-muslim dan harus ada jaminan sebagai pegangan, sehingga tidak
ada
gadai yang terakhir yaitu berdasarkan ijma yang menyatakan bahwa gadai
diri.
Kehendak
pihak
yang
mengikatkan
diri
itu
sifatnya
b.
c.
d.
Syarat yang terkait dengan orang yang berakad, adalah cakap bertindak
hukum. Kecakapan bertindak hukum menurut jumhur ulama adalah orang yang
telah baligh dan berakal. Ulama Hanafiyah hanya mensyaratkan cukup berakal
saja. Karenanya, anak kecil yang mumayyiz (dapat membedakan antara yang
baik dan buruk) boleh melakukan akad rahn, dengan syarat mendapatkan
persetujuan dari walinya[17]. Menurut Hendi Suhendi (salah seorang pakar
dalam bidang fiqh muamalah) menyatakan bahwa, syarat bagi yang berakad
adalah ahli tasharuf, artinya mampu membelanjakan harta dan dalam hal ini
memahami persoalan yang berkaitan dengan gadai.[18]
b.
Syarat sight (lafadz). Ulama Hanafiyah mengatakan dalam akad rahn tidak
boleh dikaitkan dengan syarat tertentu atau dengan masa yang akan datang,
karena akad rahn itu sama dengan akad jual-beli. Apabila akad itu dibarengi
dengan syarat tertentu atau dikaitkan dengan masa yang akan datang, maka
syaratnya batal, sedangkan akadnya sah. Misalnya, rahin mensyaratkan apabila
tenggang waktu marhun bih telah habis dan marhun bih belum terbayar, maka
rahn itu diperpanjang 1 bulan, mensyaratkan marhun itu boleh murtahin
manfaatkan. Ulama Malikiyah, Syafiiyah, dan Hanabilah mengatakan apabila
syarat itu adalah syarat yang mendukung kelancaran akad itu, maka syarat itu
dibolehkan, namun apabila syarat itu bertentangan dengan tabiat akad rahn,
maka syaratnya batal. Kedua syarat dalam contoh tersebut, termasuk syarat
yang tidak sesuai dengan tabiat rahn, karenanya syarat itu dinyatakan batal.
Syarat yang dibolehkan itu misalnya, untuk sahnya rahn itu, pihak murtahin
minta agar akad itu disaksikan oleh 2 orang saksi, sedangkan syarat yang batal,
misalnya, disyaratkan bahwa marhun itu tidak boleh dijual ketika rahn itu jatuh
tempo, dan rahin tidak mampu membayarnya.[19] Sedangkan Hendi Suhendi
menambahkan, dalam akad dapat dilakukan dengan lafadz, seperti penggadai
rahin berkata; Aku gadaikan mejaku ini dengan harga Rp 10.000 dan murtahin
menjawab; Aku terima gadai mejamu seharga Rp 10.000. Namun, dapat pula
dilakukan seperti: dengan surat, isyarat atau lainnya yang tidak bertentangan
dengan akad rahn.[20]
c. Syarat marhun bih, adalah: pertama, merupakan hak yang wajib dikembalikan
kepada murtahin. Kedua, marhun bih boleh dilunasi dengan marhun itu dan
yang ketiga, marhun bih itu jelas/ tetap dan tertentu.[21]
d. Syarat marhun, menurut pakar fiqh, jenis barang yang dijadikan agunan adalah:
pertama, barang jaminan (agunan) itu boleh dijual dan nilainya seimbang
dengan utang. Kedua, barang jaminan itu dinilai harta dan boleh dimanfaatkan.
Karena khamar tidak boleh dijadikan barang jaminan dan khamar tidak termasuk
ke dalam harta bernilai, juga tidak bermanfaat dalam Islam, maka khamar tidak
sah bila dijadikan barang jaminan. Ketiga, barang jaminan itu jelas. Keempat,
agunan itu milik sah orang yang berutang. Kelima, barang jaminan itu tidak
terkait dengan orang lain. Keenam, barang jaminan itu merupakan harta yang
utuh, tidak bertebaran dalam beberapa tempat dan ketujuh, barang jaminan itu
boleh diserahkan baik materinya maupun manfaatnya.[22]
2.2. Hak dan Kewajiban Pihak yang Beraqad serta Biaya Pemeliharaan
Barang
Gadai
Pemegang
gadai
berhak
mendapatkan
penggantian
biaya
yang
telah
Pemegang
gadai
berkewajiban
bertanggung
jawab
atas
hilangnya
atau
:
[24]( ).
Artinya: Dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah Saw bersabda: gadaian itu tidak menutup
akan yang punya dari manfaat barang itu, faedahnya kepunyaan dia, dan dia
wajib mempertanggungjawabkan segala nya (kerusakan dan biaya). (HR. Ibnu
Majah).
Bagaimanapun mereka tidak sependapat mengenai jenis perbelanjaan
yang mesti ditanggung oleh rahin. Ulama Hanafiah berpendapat bahwa tagihan
perbenlanjaan yang mesti ditanggung oleh rahin, sebagai pemilik barang gadai
dan oleh murtahin sebagai orang yang bertanggungjawab menjaganya adalah
sebagai berikut: segala perbelanjaan yang diperlukan untuk kepentingan barang
gadai hendaklah ditanggung oleh rahin, karena barang tersebut hak-milliknya
dan
segala
perbelanjaan
untuk
memelihara
barang
gadaian
hendaklah
tanggung
jawab
tersebut,
pegadai
tidak
ada
hak
untuk
mengenakan syarat dalam aqad gadaian bayaran upah mesti kepadanya untuk
memelihara
barang
gadaian,
karena
tanggung
jawab
tersebut
adalah
kewajibannya. Tidak ada bayaran upah dikenakan pada perkara yang diwajibkan.
Ulama Maliki, SyafiI, dan Hanbali, (jumhur) berpendapat bahwa semua
perbelanjaan dan bayaran perkara-perkara yang berkaitan barang gadaian
mestilah ditanggung oleh penggadai (rahin).[25]
Imam Syafii mengatakan bahwa manfaat dari marhun adalah rahin, tidak
ada sesuatu pun dari marhun bagi murtahin. Menurut ulama Syafiiyyah bahwa
rahin lah, yang mempunyai hak atas manfaat marhun, meskipun marhun itu ada
di bawah kekuasaan murtahin. Kekuasaan murtahin atas marhun tidak hilang,
kecuali ketika mengambil manfaat atas marhun tersebut. Berdasarkan ketentuan
tersebut, bahwa yang berhak mengambil manfaat dari marhun adalah rahin
tersebut, bukan murtahin, walaupun marhun berada di bawah kekuasaan
murtahin. Alasan yang digunakan ulama as-Syafiiyyah yaitu berdasarkan hadist
sebelumnya yang artinya:
Gadaian itu tidak menutup akan yang punya dari manfaat barang itu,
faedahnya kepunyaan dia, dan dia wajib mempertanggungjawabkan segala nya
(kerusakan dan biaya).[28]
Hadist tersebut menjelaskan bahwa rahin berhak mengambil manfaat dari
marhun
selama
pihak
rahin
menanggung
segalanya.
Ulama
Malikiyyah
berpendapat hasil dari marhun dan segala sesuatu yang dihasilkan dari padanya,
adalah termasuk hak rahin. Hasil gadaian itu adalah bagi rahin, selama murtahin
tidak mensyaratkan. Apabila murtahin mensyaratkan bahwa hasil marhun itu
untuknya, maka hal itu dapat saja dengan beberapa syarat, yaitu:
1. Utang disebabkan karena jual beli, bukan karena mengutangkan. Hal ini dapat
terjadi, seperti orang menjual barang dengan harga tangguh (tidak dibayar
kontan), kemudian orang tersebut meminta gadai dengan suatu barang sesuai
dengan utangnya, maka hal ini dibolehkan.
2. Pihak murtahin mensyaratkan bahwa manfaat dari marhun adalah untuknya
hewan dan kendaraan sama-sama memiliki fungsi yang dapat dinaiki. dan
diperah susunya dapat di-illat-kan dengan digunakannya kendaraan itu untuk hal
yang menghasilkan, dengan syarat tidak merusak kendaraan itu. Hal yang
dapat dipersamakan illat-nya adalah hasilnya, yaitu apabila hewan hasilnya
susu, maka kendaraan hasilnya uang. Selanjutnya syarat bagi murtahin untuk
mengambil manfaat marhun yang bukan berupa hewan yaitu, adanya izin dari
penggadai rahin dan adanya gadai bukan sebab mengutangkan. Sedangkan
apabila marhun itu tidak dapat diperah dan tidak dapat ditunggangi, maka
barang tersebut dibagi menjadi 2 bagian:[31]
1. Apabila marhun berupa hewan, maka boleh menjadikannya sebagai khadam
2. Apabila marhun bukan hewan, seperti rumah, kebun, sawah dan sebagainya,
maka tidak boleh mengambil manfaatnya.[32]
Kebolehan
murtahin mengambil
manfaat dari
marhun yang
dapat
: :
[33 ]( ).
Artinya:Dari Abu Hurairah ra, dia berkata: Rasulullah Saw bersabda,Punggung hewan
ditunggangi sesuai dengan biayanya apabila digadaikan. Air susu hewan
diminum sesuai biayanya apabila digadaikan. Bagi yang menunggang dan
meminum wajib menanggung biayanya. (HR. Bukhari)
Hadist lain yang dijadikan alasan murtahin dapat mengambil manfaat dari
marhun adalah Hadist Nabi yang diriwayatkan oleh Hammad:
[34] .
Artinya: Apabila seekor kambing digadaikan, maka yang menerima gadai boleh
meminum susunya sesuai dengan kadar memberi makannya, apabila meminum
susu itu melebihi harga memberi nafkahnya, maka termasuk riba. (HR. Hammar
bin Salamah)
Hadist tersebut membolehkan murtahin untuk memanfaatkan marhun
atas seizin dari pihak rahin, dan nilai pemanfaatannya harus disesuaikan dengan
biaya yang telah dikeluarkannya untuk marhun tersebut.
Adapun alasan tidak bolehnya murtahin mengambil manfaat marhun
selain dari barang yang dapat ditunggangi dan diperah susunya adalah sesuai
dengan hadist berikut:
:
[35]( ).
Artinya: Dari Abu Hurairah ra, bahwa Rasulullah Saw bersabda: Gadaian itu tidak
menutup
akan
yang
punyanya
dari
manfaat
barang
itu,
faedahnya
:
[37 ]( ).
Artinya:Dari Abu Hurairah ra berkata: Rasulullah Saw bersabda,Punggung hewan
ditunggangi sesuai dengan biayanya apabila digadaikan. Air susu hewan
diminum sesuai biayanya apabila digadaikan. Bagi yang menunggang dan
meminum wajib menanggung biayanya. (HR. Bukhari)
Nafkah marhun itu adalah kewajiban murtahin, karena marhun tersebut
berada di kekuasaan murtahin. Oleh karena yang memberi nafkah adalah
murtahin, maka para ulama Hanafiyah berpendapat bahwa yang berhak
mengambil manfaat dari marhun tersebut adalah pihak murtahin.
Kedua, menggunakan alasan dengan akal. Sesuai dengan fungsinya
marhun sebagai barang jaminan dan kepercayaan bagi murtahin, maka marhun
dikuasai murtahin. Dalam hal ini, ulama Hanafiyah berpendapat, yaitu apabila
marhun dikuasai rahin, berarti keluar dari tangannya dan marhun menjadi tidak
ada artinya. Sedangkan apabila marhun dibiarkan atau tidak dimanfaatkan
murtahin, maka berarti menghilangkan manfaat dari barang tersebut, apabila
barang tersebut
setiap saat rahin harus datang kepada murtahin untuk memelihara dan
mengambil manfaatnya. Hal ini akan mendatangkan madharat bagi kedua belah
pihak, terutama bagi pihak rahin. Demikian pula, apabila setiap kali murtahin
harus memelihara dan menyerahkan manfaat barang gadaian kepada rahin, ini
pun sama madharat-nya, maka dengan demikian, murtahin yang berhak
mengambil manfaat dari marhun tersebut, karena murtahin pulalah yang
memelihara dan menahan barang tersebut sebagai jaminan. Pendapat ulama
Hanafiyah tersebut, menunjukkan bahwa yang berhak memanfaatkan marhun
adalah pihak murtahin. Hal ini disebabkan karena marhun tersebut yang telah
dipelihara pihak murtahin dan ada di bawah kekuasaannya.[38]
2.3.2. Penjualan objek gadai
Upaya pelelangan barang gadai dilakukan jika nasabah atau rahin tidak
dapat melunasi pinjaman sampai batas waktu yang telah ditentukan. Barang
yang digadaikan adalah jaminan dari utang dan dijual ketika utangnya tidak
dapat dilunasi pada saat jatuh tempo. Apabila hasil dari penjualan barang
jaminan lebih dari beban utang yang harus ditangggung oleh rahin maka
kelebihan itu adalah milik rahin sebagai pemilik barang jaminan dan murtahin
harus mengembalikan kepadanya sebagai hartanya. Dan apabila hutang itu
tersisa karena tidak terbayar dengan harga barang yang digadaikan, maka sisa
itu adalah tanggungan orang yang menggadaikan barang dan wajib baginya
untuk menanggung dan melunasi sisa utang tersebut.[39]
Diposkan oleh Anisy Kurlillah di 23.36