Anda di halaman 1dari 153

Biografi Syekh Muhammad Yasin Bin

Muhammad Isa Al-Fadani


Diposting oleh rizki pada 11:17, 11-Peb-15

Assalamu'alaikum Wr Wb
Hai kawan, ini adalah sekilas Biografi Syekh Muhammad Yasin Bin Muhammad Isa AlFadani

Biografi Syekh Muhammad Yasin Bin Muhammad Isa Al-Fadani

Nama lengkap beliau adalah Abu al-Faydl Alam al-Din Muhammad Yasin
ibn Muhammad Isa al-Fadani. Ulama keturunan Padang. Mufti (pemberi
fatwa) mazhab Syafii di Mekah, dan penulis beberapa literature
khazanaha keislaman. Lahir pada tahun 1335 H./ 1915 M. di Makkah.
Menimba ilmu, mula-mula dari ayahnya sendiri; Syaikh Isa al-Fadani, lalu
kepada bapa saudaranya, Syaikh Mahmud al-Fadani.
Setelah itu melanjutkan pendidikannya di Madrasah Shawlahiyyah
(1346H) dan akhirnya di Dar al-Ulum al-Diniyyah, Makkah (tamat 1353H).
selain pendidikan formal, Syeikh Yasin juga banyak berguru kepada
ulama-ulama besar Timur Tengah. Diantaranya beliau belajar ilmu Hadist
pada syeikh Umar Hamdan, pada Syeikh Muhammad Ali bin Husain alMaliki, Syeikh Umar Ba junaid, mufti Syafiiyyah Makkah, lalu pada Syeikh
Said bin Muhammad al-Yamani, dan Syeikh Hassan al-Yamani. Dalam
disiplin ilmu Ushul fiqh, beliau menimba ilmu diantaranya pada Syeikh
Muhsin bin Ali al-Palimbani al-Maliki (ulama keturunan Palembang yang
tinggal di Mekah), Sayyid Alwi bin Abbas al-Maliki al-Makki (ayah
kandung Sayyid Muhammad ulama Sunni Kontemporer dari Arab Saudi)
dan banyak ulama berpengaruh lainnya. Bahkan disebutkan bahawa
jumlah gurunya mencapai kisaran 700 orang, lelaki mahupun perempuan.
Selama bertahun-tahun Syeikh Yasin aktif mengajar dan memberi kuliah di
Masjidil Haram dan dar al-Ulum al-Diniyyah, Makkah, terutama pada mata
kuliah ilmu Hadits. Pada tiap-tiap bulan Ramadhan selalu membaca dan
mengijazahkan salah satu diantara Kutub al-Sittah (6 kitab utama ilmu
Hadits). Hal itu berlangsung lebih kurang 15 tahun. Syeikh yasin juga
menulis hingga mencapai lebih dari 60 buah, diantaranya Al-Durr alMandlud Syarh Sunan Abi Dawud 20 Juz, Fath al-Allam syarh Bulugh alMaram 4 jilid, Nayl al-Mamul ala Lubb al-Ushul wa Ghayah al-wushul, AlFawaiad al-Janiyyah dan sebagainya, termasuk tulisnya tentang ilmu
periwayatan hadits. Syeikh yasin wafat pada hari Jumat 28 Dzul al-Hijjah
1410 H. dan dimakamkan selepas solat Jumat di permakaman Mala ,
Makkah Al-Mukarramah.
KARYA TULIS & MURID
Jumlah karya beliau mencapai 97 Kitab, di antaranya 9 kitab tentang Ilmu
Hadits, 25 kitab tentang Ilmu dan Ushul fiqih, 36 buku tentang ilmu Falak,
dan sisanya tentang Ilmu-ilmu yang lain
Di antara murid-murid yang pernah berguru dan mengambil Ijazah sanadsanad Hadits dari beliau adalah Al-Habib Umar bin Muhammad (Yaman),
Syekh M. Ali Asshabuni (Syam), Doctor M. Hasan Addimasyqi, Syekh
Ismail Zain Alyamani, Doctor Ali Jumah (Mesir), Syekh Hasan Qathirji,
Tuan Guru H. M. Zaini Abdul-Ghani (Kalimantan) dll
Dan di antara murid-murid beliau yang di samping mengambil Sanad

Hadits, mendapatkan Ijazah Ammah dan Khasshah, juga diberi izin untuk
mengajar di Madrasah Darul-Ulum adalah: H. Sayyid Hamid Al-Kaff, Dr.
Muslim Nasution, H.Ahmad Damanhuri, H.M.Yusuf Hasyim, H.M. Abrar
Dahlan, Dr. Sayyid Aqil Husain Al Munawwar, Ustaz Sukarnawadi, KH.
Husnudduat dll
Ustaz Sukarnawadi salah satu dari muridnya pernah bercerita, seseorang
bernama H.Abdul-Aziz asal Jeruwaru Lombok NTB pernah mendatangi
Syekh Yasin untuk meminta baiat, izin serta restu untuk menjadi Mursyid
Thariqat Naqsyabandiyyah ketika itu Syekh Yasin memberi satu syarat,
yaitu, saya juga harus turut dibaiat, karena saya di samping menjadi
Guru yang lama mengajar di Madrasah Darul-Ulum, (dari tahun 1978
sampai 1990) juga sebagai salah satu dari sekian murid yang selalu
diberikan bimbingan dan perhatian khusus maka yang mendapat izin
dari beliau untuk menjadi Mursyid Thariqat Naqsyabandiyyah yang
berasal dari Lombok saat itu hanyalah saya (Ustaz Sukarnawadi) dan
H.Abdul Aziz
Saya (Ustaz Sukarnawadi) sebagai warga, bahkan tokoh Nahdlatul Wathan
(ketika pulang ke lombok) menceritakan hal itu kepada pendiri Nahdlatul
Wathan, yaitu Syekh M. Zainuddin, dan beliaupun tidak mengingkari hal
tersebut, bahkan beliau merestui, memberikan Ijazah dan doa yang
khusus serta harapan agar di samping itu tetap berjuang membela
Nahdlatul Wathan.
KEKERAMATAN BELIAU
Seseorang bernama Zakariyya Thalib asal Syiria pernah mendatangi
rumah Syekh Yasin Pada hari jum'at, Ketika Adzan jum'at
dikumandangkan, Syekh Yasin masih saja di rumah, ahirnya Zakariyya
keluar dan solat di masjid terdekat. Seusai solat jumat, ia menemui
seorang kawan, Zakariyyapun bercerita pada temannya bahwa Syekh
Yasin ra. tidak solat Jumat. Namun dibantah oleh temannya karena kata
temannya, kami sama-sama Syekh solat di Nuzhah, yaitu di Masjid Syekh
Hasan Massyat ra. yang jaraknya jauh sekali dari rumah beliau.
H.M. Abrar Dahlan bercerita, suatu hari Syekh Yasin pernah menyuruh
saya membikin Syai (teh) dan Syesah (yang biasa diisap dengan
tembakau dari buah-buahan/rokok tradisi bangsa arab). Setelah saya
buatkan dan syekh mulai meminum teh, saya keluar menuju MasjidilHaram. Ketika kembali, saya melihat Syekh Yasin baru pulang mengajar
dari Masjid Al-Haram dengan membawa beberapa kitab,.. saya menjadi
heran, anehnya tadi di rumah menyuruh saya bikin teh, sekarang beliau
baru pulang dari masjid.
Dikisahkan ketika KH. Abdul Hamid sedang mengajar dalam ilmu fiqih
bab diyat, beliau menemukan kesulitan dalam suatu hal sehingga
pengajian terhenti karenanya, malam hari itu juga, beliau menerima
sepucuk surat dari Syekh Yasin, ternyata isi surat itu adalah jawaban

kesulitan yang dihadapinya. ia pun merasa heran, dari mana Syekh Yasin
tahu? Sedangkan K.H. Abdul Hamid sendiri tidak pernah menanyakan
kepada siapapun tentang kesulitan ini..!
H. Mukhtaruddin asal Palembang bercerita, pernah ketika pak Soeharto
sedang sakit mata, beliau mengirim satu pesawat khusus untuk
menjemput Syekh Yasin. Ahirnya pak Soeharto pun sembuh berkat doa
beliau. Kisah ini selanjutnya didengar sendiri oleh ayah saya dari Syekh
Yasin. Semoga Allah swt. merahmati beliau, Amin ya Rabbal-Alamin.

LEGALITAS
LEMBAGA KEUANGAN GADAI SYARIAH di INDONESIA
Posted on January 23, 2013 by supriyadi515

LEGALITAS LEMBAGA KEUANGAN GADAI SYARIAH di INDONESIA

(Studi Peraturan Pemerintah Nomor 103 Tahun 2000 tentang


Perusahaan Umum PERUM Pegadaian )
Oleh: Ahmad Supriyadi*
ABSTRAK
Sekarang telah ada PERUM Pegadaian Syariah yang bergerak di bidang jasa keuangan
dengan bentuk Badan Usaha Milik Negara. Sebagai perusahaan yang di miliki oleh negara, ia
harus tunduk terhadap perundang-undangan yang mengatur tentang PERUM. Pegadaian
syariah yang telah beroperasi ini membutuhkan kajian aspek legalitas menurut Peraturan
Pemerintah Nomor 103 Tahun 2000 tentang Perusahaan Umum PERUM Pegadaian, karena
keberadaannya tidak lepas dari perundang-undangan di Indonesia. Karena itu bagaimana
legalitas operasional Pegadaian Syariah di Indonesia. Untuk menemukan jawaban perlu
penelitian lapangan dengan memperoleh data kualitatif dan di analisis induktif. PERUM
pegadaian syariah merupakan perusahaan yang bergerak di bidang jasa keuangan dengan
bentuk Badan Usaha Milik Negara. Sebagai perusahaan yang di miliki oleh negara, ia harus
tunduk terhadap perundang-undangan yang mengatur tentang PERUM. Perundang-undangan
yang mengatur tentang PERUM (Perusahaan Umum) adalah Undang-Undang Nomor 9
Tahun 1969 dan Peraturan Pemerintah Nomor 103 Tahun 2000 tentang Perusahaan Umum
(PERUM) Pegadaian. Pegadaian Syariah sebagai perusahaan milik Negara berbadan hukum
artinya memiliki modal sendiri. seluruh modalnya di miliki oleh negara berupa kekayaan
negara yang dipisahkan dan tidak terbagi atas saham. Organisasi PERUM terdiri dari Direksi
dan dewan pengawas PERUM. Kepengurusan PERUM dilakukan oleh Direksi.
Kepengurusan Direksi meliputi kegiatan pengelolaan PERUM dalam upaya mencapai tujuan
perusahaan sebagai suatu badan usaha. Para Direksi berjumlah paling banyak 5 (lima) orang
dan salah seorang diantaranya diangkat sebagai Direktur Utama. Penambahan jumlah anggota
Direksi bila melebihi jumlah yang ditetapkan tersebut harus dilakukan dengan persetujuan
PresidenOrganisasi PERUM terdiri dari Direksi dan dewan pengawas PERUM.
Kepengurusan PERUM dilakukan oleh Direksi. Kepengurusan Direksi meliputi kegiatan
pengelolaan PERUM dalam upaya mencapai tujuan perusahaan sebagai suatu badan usaha.
Para Direksi berjumlah paling banyak 5 (lima) orang dan salah seorang diantaranya diangkat
sebagai Direktur Utama. Penambahan jumlah anggota Direksi bila melebihi jumlah yang
ditetapkan tersebut harus dilakukan dengan persetujuan Presiden. Dalam operasional,
Pegadaian Syariah di awasi oleh Dewan Pengawas Syariah sehingga produk-produk yang di
operasionalkan benar-benar sesuai syariah.
Kata Kunci: Legalitas, Lembaga Keuangan, Gadai, Syariah Indonesia

1. I.
2. A.

PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah

Islam merupakan jalan hidup bagi pemeluknya (umat Islam). ia tidak hanya sekedar agama
yang menuntun umatnya menuju kebahagiaan akhirat tapi juga menuntun menuju
kebahagiaan dunia melalui aturan-aturan yang telah di cantumkan dalam syariah yang
mencakup segala aspek kehidupan khususnya ekonomi. Misalnya setiap orang butuh
berinteraksi dengan lainnya untuk saling menutupi kebutuhan dan saling tolong menolong
diantara mereka, di situlah kedudukan Islam sebagai way of life yang lengkap dan sempurna.
Kesempurnaannya ada pada kaedah-kaedah dasar dan aturan yang selaras dengan kehidupan
manusia. Dengan meletakkan kaedah-kaedah dasar dan aturan dalam semua sisi kehidupan
manusia baik dalam ibadah dan juga muamalah (hubungan antar makhluk) maka semua
pemeluk Islam diwajibkan untuk mentaatinya ataupun mempraktikkan dalam praksis
kehidupan. Sehingga sangat wajar bila interaksi umat Islam antara muslim dan non muslim
pun selalu di dasarkan pada kaidah syariah.
Syariah sebagai jalan hidup memerintahkan umat Islam untuk mencapai kesuksesan dan
kemakmuran dengan bekerja. Kerja keras dan usaha dalam memperoleh kemakmuran dan
kesejahteraan sangat tergantung pada etos kerja. Sebuah penelitian tentang keterkaitan antara
penghayatan dan kegairahan dalam kehidupan ekonomi oleh Sunyoto Usman (1998:99)
menghasilkan adanya keterkaitan yang signifikan antara keduanya. Bahwa kelompokkelompok tertentu yang tergolong menjalankan syariat Islam dengan lebih sungguh-sungguh
dalam kehidupan sosial dan kepribadiannya, kelihatan lebih mampu beradaptasi dalam
kehidupan ekonomi. Catatan sejarah memperlihatkan bahwa zaman kolonial Belanda
pengusaha-pengusaha industri rokok kretek di Jawa Tengah pada umumnya berasal dari
kalangan santri. Begitu pula halnya dengan pengusaha-pengusaha batik dan perak di
Yogyakarta dari kalangan santri.
Perkembangan rahn sebagai produk di perbankan syariah belum begitu baik, hal ini
disebabkan oleh keberadaan komponen-komponen pendukung produk rahn yang terbatas,
seperti sumberdaya penaksir, alat untuk mentaksir, dan gudang penyimpanan barang jaminan.
Oleh karena itu tidak semua bank mampu memfasilitasi keberadaan rahn ini, tetapi jika
keberadaan rahn sangat dibutuhkan dalam sistem pembiayaan bank, maka bank tersebut
memiliki ketentuan sendiri mengenai rahn, misalnya dalam hal barang jaminana terbatas
(Heri Sudarsono, 2004:156). Rahn dipraktikkan di perbankan syariah hanyalah sebagai aturan
tambahan untuk mengikat jaminan berupa benda bergerak atas pembiayaan nasabah.
Walaupun di bank syariah kurang menyentuh rakyat kecil, realitas menunjukkan bahwa
ternyata pegadaian konvensional mampu memberikan kontribusi aktif dalam membantu
masyarakat kecil. Melihat realitas tersebut, keberadaan pegadaian syariah sangat di butuhkan
rakyat muslim.
Sekarang telah ada PERUM pegadaian syariah yang bergerak di bidang jasa keuangan
dengan bentuk Badan Usaha Milik Negara. Sebagai perusahaan yang di miliki oleh negara, ia
harus tunduk terhadap perundang-undangan yang mengatur tentang PERUM.

Pegadaian Syariah merupakan salah satu unit layanan syariah yang dilaksanakan oleh
Perusahaan Umum (Perum) pegadaian di samping unit layanan konvensional. Berdirinya unit
layanan syariah ini didasarkan atas perjanjian bagi hasil antara Bank Muamalat Indonesia
(BMI) dengan Perum Pegadaian dengan prinsip musyarakah. Di dalam perjanjian
musyarakah Nomor 446/SP300.233/2002 dan nomor 015/BMI/PKS/XII/2002 tanggal 20
Desember 2002, BMI sebagai pemilik modal memberikan dana kepada Perum Pegadaian
untuk pendirian Pegadaian Syariah di seluruh Indonesia dan mengelolanya. Sedangkan hasil
pendapatan di bagi dua 45,5% untuk BMI dan 54,5 % untuk perum pegadaian (Adul Ghofur
Anshori, 2006:5).
Pegadaian syariah yang telah beroperasi ini membutuhkan kajian aspek legalitas menurut
Peraturan Pemerintah Nomor 103 Tahun 2000 tentang Perusahaan Umum PERUM
Pegadaian, karena keberadaannya tidak lepas dari perundang-undangan di Indonesia.
1. B.

Rumusan Masalah

Atas dasar latar belakang tersebut di ambi rumusan masalah bagaimana legalitas Pegadaian
Syariah menurut Peraturan Pemerintah Nomor 103 Tahun 2000 tentang Perusahaan Umum
PERUM Pegadaian ?
1. C.

Tujuan dan Kegunaan

1). Penelitian ini untuk mengetahui aspek legalitas operasional Pegadaian Syariah di
Indonesia menurut Peraturan Pemerintah Nomor 103 Tahun 2000 tentang Perusahaan Umum
PERUM Pegadaian.
2). Hasil penelitian ini dapat dijadikan rujukan dan dasar bagi manajer untuk
pengembangan Pegadaian Syariah di Indonesia.
1. D.

Metode Penelitian

Penelitian yang berjudul legalitas pegadaian syariah adalah Penelitian mengenai operasional
Pegadaian Syariah yang merupakan penelitian deskriptif kualitatif. Untuk menyelesaikan
rumusan masalah, peneliti menggunakan pendekatan yuridis untuk menemukan gambaran
yang komprehensip mengenai legalitas Pegadaian Syariah.
Obyek penelitian ini adalah operasional Pegadaian Syariah dan subyeknya adalah seluruh
pegawai atau karyawan di Pegadaian Syariah Kudus. Data yang diperoleh berupa data primer
yang dikumpulkan dengan metode wawancara dan observasi. Wawancara untuk menggali
data, dilakukan kepada manajer dan karyawan di Pegadaian Syariah, kemudian dianalisis
dengan menggunakan pendekatan yuridis.
Laporan hasil penelitan ini berupa data sekunder dan data primer yang dikumpulkan dan
dianalisis secara kualitatif kemudian disajikan dalam bentuk deskriptif yaitu laporan yang
memberikan gambaran secara menyeluruh dan sistematis.

1. II.

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN


1. a.

Pengertian Pegadaian Syariah

Kegiatan pegadaian syariah merupakan bagian obyek kajian dari ekonomi syariah. Kegiatan
ini di zaman Rarulullah telah dipraktikkan oleh Nabi Muhammad SAW. Sebagaimana dalam
sejarah nabi pernah membeli makanan dengan menggadaikan baju besinya kepada orang
Yahudi.
Walaupun kegiatan ini sudah lama ada, namun karena kurang digali oleh para ilmuan,
sehingga kesulitan untuk mendefinisikannya dalam Bahasa Indonesia. Bahkan kegiatan ini
dalam term fiqih sering ada tapi untuk mempraktikkan belum bisa memasyarakat seperti
sekarang ini.
Pemahaman tentang pegadaian syariah dapat dilihat dari dua sisi, yaitu dari sisi pegadaian
syariah sebagai lembaga perum dan juga pegadaian syariah dari sisi komersial atau
menjalankan produk-produk yang dikeluarkan oleh lembaga tersebut. Tapi pembahasan ini
nanti padaaspek lembaga Pegadaian Syariah.
Pegadaian syariah diterjemahkan dari kata ar-rahn dalam kitab-kitab fiqih (pemikiran hukum
Islam) seperti dalam bidayah al-mujtahid. Ar-Rahn artinya secara terminologi adalah jaminan
hutang atau gadai (Atabik Ali dan A. Zuhdi Muhdhor,1998:996), begitu juga dalam kamus
Hans Wehr (1980:363) bahwa ar-rahn is deposit as security. Atas dasar dua pengertian secara
terminologi itu dapat di simpulkan bahwa ar-rahn adalah pegadaian atau jaminan hutang. ArRahn pengertian secara bahasa artinya tetap, berlangsung, dan menahan (Wahbah
Zuhaili, 2002:4202).
Adapun pengertian ar-rahn yang dimaksud adalah menahan harta yang dimiliki oleh
peminjam uang sebagai jaminan atas pinjaman yang diterimanya Barang
yang dijadikan jaminan tersebut haruslah punya nilai jual atau yang memiliki nilai ekonomis,
sehingga pihak yang menahan barang memperoleh kepastian jaminan bahwa peminjam akan
melunasi pinjamannya dan bila tidak dapat melunasinya pihak penerima gadai dapat menjual
barang jaminan sebagai pembayaran atas piutang nasabah (Sayyid Sabiq,1987:169).
Karena itu gadai syariah perlu dicermati unsur-unsur yang ada dalam setiap kegiatannya.
Menurut peneliti bahwa gadai itu ada karena adanya suatu hubungan antara satu orang atau
lebih dengan seorang atau lebih dalam lingkup menjadikan barang sebagai jaminan atas
pembiayaan yang diberikan oleh murtahin. Dikatakan satu orang bila yang bertemu hanya
pihak rahin dan murtahin saja. Tapi bila barang yang digadaikan (marhun) itu milik
saudaranya, maka pihak yang bertemu tidak hanya dua orang tetapi tiga orang. Hubungan
antara mereka tidak hanya sekedar hubungan tetapi merupakan hubungan hukum, karena
hubungan yang di lakukan oleh para pihak akan menimbulkan akibat hukum. Sedangkan
hubungan hukum yang dimaksud adalah melakukan kesepakatan bahwa pihak rahin sepakat
menyerahkan barang untuk ditahan oleh murtahin dan membayar biaya perawatan dan sewa

tempat penyimpanan serta asuransi sedangkan murtahin sepakat untuk memberikan pinjaman
uang.
Atas keterangan tersebut menurut peneliti bahwa gadai syariah adalah hubungan hukum
antara satu orang atau lebih dengan seorang atau lebih dengan kata sepakat untuk
mengikatkan dirinya bahwa di satu pihak (rahin) bersedia menyerahkan barang untuk ditahan
oleh murtahin dan membayar biaya perawatan dan sewa tempat penyimpanan serta asuransi
sedangkan murtahin sepakat untuk memberikan pinjaman uang tertentu sebesar nilai taksir.
Pengertian tersebut perlu juga memperhatikan pengertian-pengertian yang diuraikan oleh
para ahli hukum Islam antara lain :
Rahn menurut Ahmad Azhar Basyir (1983:50) perjanjian menahan suatu barang sebagai
tanggungan utang. Karena itu perbuatan yang dilakukan adalah menjadikan sesuatu benda
bernilai menurut pandangan syariah sebagai tanggungan utang.
Rahn menurut Sulaiman Rasjid (1976:295) adalah menjadikan suatu barang sebagai jaminan
dalam utang piutang untuk memberikan kepercayaan dan keyakinan bahwa hutang itu akan ia
bayar, dan bila ia tidak bisa membayar, barang tersebut bisa di jual oleh pemberi hutang.
Menurut pemahaman Fadly rahn berarti pemenjaraan. Misalnya perkataan mereka (orang
Arab), rahanasy syai-a artinya apabila sesuatu itu terus menerus dan menetap. Allah
berfirman: Tiap-tiap diri bertanggung jawab atas perbuatannya. (QS Al-Muddatsir: 38).
Adapun menurut istilah syara, kata rahn ialah memperlakukan harta sebagai jaminan atas
hutang yang dipinjam, supaya dianggap sebagai pembayaran manakala yang berhutang tidak
sanggup melunasi hutangnya. (Fathul Bari V: 140 dan Manarus Sabil I: 351).
Atas dasar pengertian-pengertian di atas perlu diambil satu pemahaman sebagai patokan
dalam pengertian gadai syariah yang mencakup unsur-unsur antara lain :
(a) Ada syarat subyek yaitu : orang yang menggadaikan (rahin) dan orang yang menerima
gadai (murtahin) keduanya ada syarat-syarat tertentu :
1. Telah dewasa menurut hukum
2. Berakal
3. Mampu atau cakap berbuat hukum

(b) Ada syarat obyek yaitu : barang yang dapat di gadaikan (marhun) dengan syarat-syarat
tertentu antara lain:
1. Benda yang mengandung nilai ekonomis
2. Dapat di perjual belikan dan tidak melanggar undang-undang.

3. 3.

Barang milik rahin

4. Benda bergerak

(c) Adanya kata sepakat (sighot) yaitu : kata sepakat setelah negosiasi antara rahin dan
murtahin yang kemudian di implementasikan dalam perjanjian.
1. b.

Ide Pembentukan Pegadaian Syariah

Pembentukan Pegadaian Syariah di awali tahun 1998 ketika beberapa general manajer dari
pegadaian melakukan studi banding ke Malaysia. Setelah melakukan studi banding, mulai
dilakukan perencanaan untuk pendirian Pegadaian Syariah. Tapi ketika itu dalam lembaga
internal pegadaian ada kendala sehingga bahan-bahan itu terabaikan. Pada tahun 2000 Bank
Muamalat Indonesia (BMI) mempunyai program yang berkaitan dengan Ar-Rahn, sehingga
BMI mencari partner untuk mengaplikasikan agenda tersebut. Kemudian menawarkan
program tersebut kepada pegadaian konvensional dan di sambut dengan baik. Kerjasama ini
bunyinya bahwa BMI siap membantu untuk melaksanakan ar-Rahn baik secara pembiayaan
maupun pengembangan. Pada tahun 2002 mulai diterapkan sistem pegadaian syariah dan
pada tahun 2003 pegadaian syariah resmi beroperasi di Indonesia dan sebagai kantor
pegadaian syariah yang pertama dibuka yaitu pegadaian cabang Dewi Sartika yang
menerapkan sistem pegadaian syariah (Adul Ghofur Anshori, 2006:5).
Ide pembentukan pegadaian syariah selain karena tuntutan idealisme juga dikarenakan
keberhasilan terlembaganya bank dan asuransi syariah. Setelah terbentuknya bank, BMT,BPR
dan asuransi syariah maka pegadaian syariah mendapat perhatian oleh beberapa praktisi dan
akademisi untuk dibentuk di bawah suatu lembaga sendiri. Keberadaan pegadaian syariah
atau gadai syariah atau rahn lebih dikenal sebagai bagian produk yang ditawarkan oleh bank
syariah, dimana bank menawarkan kepada masyarakat bentuk penjaminan barang guna
mendapatkan pembiayaan (Heri Sudarsono, 2008:156).
Namun trend dari perkembangan rahn sebagai produk perbankan syariah belum begitu baik,
hal ini disebabkan oleh keberadaan komponen-komponen pendukung produk rahn yang
terbatas, seperti sumberdaya penaksir, alat untuk mentaksir, dan gudang penyimpanan barang
jaminan. Oleh karena itu tidak semua bank mampu memfasilitasi keberadaan rahn ini, tetapi
jika keberadaan rahn sangat dibutuhkan dalam sistem pembiayaan bank, maka bank tersebut
memiliki ketentuan sendiri mengenai rahn, misalnya dalam hal barang jaminana terbatas
(Heri Sudarsono, 2004:156). Rahn dipraktikkan di perbankan syariah hanyalah sebagai aturan
tambahan untuk mengikat jaminan berupa benda bergerak atas pembiayaan nasabah.
Pegadaian Syariah merupakan salah satu unit layanan syariah yang dilaksanakan oleh
Perusahaan Umum (Perum) pegadaian di samping unit layanan konvensional. Berdirinya unit
layanan syariah ini didasarkan atas perjanjian bagi hasil antara Bank Muamalat Indonesia
(BMI) dengan Perum Pegadaian dengan prinsip musyarakah. Di dalam perjanjian
musyarakah Nomor 446/SP300.233/2002 dan nomor 015/BMI/PKS/XII/2002 tanggal 20
Desember 2002, BMI sebagai pemilik modal memberikan dana kepada Perum Pegadaian

untuk pendirian Pegadaian Syariah di seluruh Indonesia dan mengelolanya. Sedangkan hasil
pendapatan dibagi dua 45,5% untuk BMI dan 54,5 % untuk perum pegadaian (Adul Ghofur
Anshori, 2006:5).
Pegadaian Syariah di masyarakat operasionalnya mengalami banyak kendala walaupun sudah
didukung oleh pegawai, manajemen dan operasioanal dari BMI namun perkembangannya
belum juga bagus. Hal itu disebabkan karena masyarakat belum begitu mengenal gadai
syariah (rahn) sebagai suatu lembaga keuangan mandiri. Namun di lain pihak realitas
menunjukkan bahwa ternyata pegadaian konvensional mampu memberikan kontribusi aktif
dalam membantu masyarakat. Melihat realitas tersebut, keberadaan pegadaian syariah tidak
bisa ditunda-tunda lagi sehingga pada tahun berikutnya didirikan pegadaian syariah.
1. c.

Legalitas Pegadaian Syariah

2. 1.

Aspek Legalitas PERUM

PERUM pegadaian syariah merupakan perusahaan yang bergerak di bidang jasa keuangan
dengan bentuk Badan Usaha Milik Negara. Sebagai perusahaan yang di miliki oleh negara, ia
harus tunduk terhadap perundang-undangan yang mengatur tentang PERUM. Perundangundangan yang mengatur tentang PERUM (Perusahaan Umum) adalah Undang-Undang
Nomor 9 Tahun 1969 dan Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 1998 tentang tata cara
pembinaan dan pengaturan PERUM.
Bentuk hukum Perusahaan Umum (PERUM) diatur dalam Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang
Nomor 9 Tahun 1969 tentang Bentuk-Bentuk Usaha Negara. Undang-undang ini dimasukkan
dalam Lembaran Negara Nomor 40 Tahun 1969. Pegadaian Syariah sebagai PERUM
merupakan perusahaan Negara yang didirikan dan diatur berdasarkan ketentuan-ketentuan
yang ada di dalam Undang-Undang Nomor 19/Prp Tahun 1960 hal ini menurut Pasal 2 ayat
(2) Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1969. sedangkan tata cara pembinaan dan pengaturan
PERUM diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 1983 kemudian di cabut dengan
diberlakukannya Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 1998 dalam Lembaran Negara
Nomor 16 Tahun 1998 tentang Perusahaan Umum (PERUM) Tanggal 17 Januari 1998
kemudian di berlakukan juga Peraturan Pemerintah Nomor 103 Tahun 2000 tentang
Perusahaan Umum (PERUM) Pegadaian.
Pegadaian Syariah merupakan bagian dari pegadaian umum yang secara kelembagaan
merupakan perusahaan milik negara yang didirikan dengan Peraturan Pemerintah dan ia
sebagai badan hukum Peraturan Pemerintah yang menerangkan tentang Pegadaian yaitu
Peraturan Pemerintah Nomor 103 Tahun 2000 tentang Perusahaan Umum (PERUM)
Pegadaian. Status ini di peroleh dengan mengacu pada Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 19/Prp Tahun 1960. Menurut Pasal 1 angka (1) Peraturan Pemerintah Nomor 13
Tahun 1998 Perusahaan Umum yang selanjutnya disebut PERUM adalah Badan Usaha Milik
Negara sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1969 yang seluruh
modalnya di miliki oleh negara berupa kekayaan negara yang dipisahkan dan tidak terbagi

atas saham. Jadi di sini Pegadaian Syariah merupakan badan hukum yang di miliki oleh
negara dan modal seluruhnya milik negara dan tidak terbagi atas saham.
Lebih jelas lagi diatur dalam Pasal 7 PP Nomor 13 Tahun 1998 bahwa PERUM adalah badan
usaha milik Negara yang didirikan dengan peraturan pemerintah. Peraturan pemerintah
tentang pendirian PERUM sekaligus menetapkan keputusan untuk melakukan penyertaan
modal negara ke dalam PERUM (AbdulKadir Muhammad, 1999:99). Dengan ketentuan ini
PERUM memperoleh status badan hukum setelah peraturan pemerintah tentang pendirian
PERUM berlaku. Peraturan pemerintah tersebut sekurang-kurangnya memuat (Pasal 8 PP
Nomor 13 Tahun 1998):
1. Penetapan pendirian PERUM;
2. Penetapan besarnya kekayaan negara yang di pisahkan untuk penyertaan
ke dalam modal PERUM;
3. Anggaran Dasar PERUM;
4. Penunjukan Menteri keuangan selaku wakil pemerintah dan pendelegasian
wewenang Menteri Keuangan kepada Menteri dalam pelaksanaan
pembinaan sehari-hari PERUM.

Di dalam peraturan pemerintah juga dicantumkan Anggaran Dasar PERUM. Menurut


ketentuan Pasal 10 PP Nomor 13 Tahun 1998 Anggaran Dasar PERUM memuat sekuarangkurangnya:
1. nama dan tempat kedudukan PERUM;
2. Maksud dan tujuan serta kegiatan usaha PERUM;
3. Jangka waktu berdirinya PERUM;
4. Susunan dan jumlah anggota Direksi dan jumlah anggota Dewan
Pengawas; dan
5. Penetapan tatacara penyelenggaraan rapat Direksi, rapat Dewan
Pengawas, rapat Direksi dan atau Dewan Pengawas dengan Menteri
Keuangan dan Menteri.

Peraturan pemerintah tersebut diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 103 Tahun 2000
tentang Perusahaan Umum (PERUM) Pegadaian yang isinya : Pasal 4 Perusahaan
berkedudukan dan berkantor pusat di Jakarta. Pasal 5 Perusahaan didirikan untuk jangka
waktu yang tidak ditentukan. Pasal 6 mencakup sifat, maksud dan tujuan. Sifat usaha dari
Perusahaan Pegadaian adalah menyediakan pelayanan bagi kemanfaatan umum dan sekaligus
memupuk keuntungan berdasarkan prinsip pengelolaan Perusahaan. Pasal 7 berisi maksud
dan tujuan pegadaian. Maksud dan tujuan Perusahaan pegadaian adalah:

1. turut meningkatkan kesejahteraan masyarakat terutama golongan


menengah ke bawah melalui penyediaan dana atas dasar hukum gadai,
dan jasa di bidang keuangan lainnya berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku;
2. menghindarkan masyarakat dari gadai gelap, praktek riba dan pinjaman
tidak wajar lainnya.

Kegiatan usaha pegadaian diatur dalam Pasal 8 yaitu maksud dan tujuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 7, Perusahaan pegadaian menyelenggarakan usaha:
1. penyaluran uang pinjaman atas dasar hukum gadai;
2. penyaluran uang pinjaman berdasarkan jaminan fidusia, pelayanan jasa
titipan, pelayanan jasa sertifikasi logam mulia dan batu adi, unit toko
emas, dan industri perhiasan emas serta usaha-usaha lainnya yang dapat
menunjang tercapainya maksud dan tujuan Perusahaan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 7, dengan persetujuan Menteri Keuangan.

Sebagai perusahaan milik negara yang seluruh kekayaannya dimiliki oleh Negara, maka
tujuan pendiriannya adalah untuk menyelenggarakan usaha yang berorientasi pada
kemanfaatan umum berupa penyediaan barang dan jasa yang bermutu tinggi dan juga untuk
mendapatkan keuntungan berdasarkan prinsip pengelolaan perusahaan menurut ketentuan
Pasal 2 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 1998. PERUM tidak terbagi atas
saham karena itu berbeda dengan Perusahaan Terbatas (PT) dari sisi usahanya. Sifat usaha
PERUM lebih berat pada pelayanan umum baik dalam penyediaan barang maupun jasa.
Supaya perusahaan ini tetap berjalan dengan baik, maka boleh mendapatkan keuntungan agar
bisa hidup terus berkesinambungan.
Pasal 2 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 1998 mengatur tentang usaha
PERUM yaitu dengan persetujuan Menteri Keuangan yang sekarang Kementrian Keuangan
PERUM dapat melakukan kegiatan tertentu yang berkaitan dengan bidang usahanya dan atau
melakukan penyertaan modal dalam badan usaha lain. Dalam hal penyertaan modal diatur
dalam Pasal 3 PP Nomor 13 Tahun 1998 yaitu penatausahaan penyertaan modal Negara dan
kebijakan pengembangan usaha PERUM dilakukan oleh Dirjen Pembinaan Badan Usaha
Milik Negara. Pasal ini berarti mengatur bahwa Kementrian keuangan menyelenggarakan
penatausahaan setiap enyertaan modal negara ke dalam PERUM. Kemudian Kementrian
keuangan mendelegasikan kewenangannya tentang pembinaan sehari-hari pelaksanaan
kebijakan tersebut kepada Dirjen. Pembinaan sehari-hari yang di berikan adalah tentang
pedoman kegiatan operasional PERUM baik yang dilakukan oleh Direksi maupun Dewan
Pengawas berdasarkan kebijakan pengembangan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan
dengan maksud agar PERUM dapat melaksanakan tugas dan fungsinya secara berdaya guna
serta dapat berkembang dengan baik.
Menurut penjelasan Pasal 3 bahwa sebagai suatu badan usaha maka Menteri Keuangan sangat
berkepentingan dengan modal negara yang tertanam di PERUM untuk dapat dikembangkan,
karena itu masalah investasi, pembiayaan serta pemanfaatan hasil usaha PERUM perlu

diarahkan dengan jelas dalam suatu kebijakan pengembangan perusahaan. Kementrian


keuangan selaku pengelola kekayaan Negara menetapkan kebijakan pengembangan PERUM
yang bertujuan menetapkan arah dalam mencapai tujuan perusahaan baik dalam kebijakan
investasi, pembiayaan usaha, sumber pembiayaan, pengembangannya, penggunaan hasil
usaha perusahaan dan kebijakan pengembangan lainnya (AbdulKadir Muhammad, 1999:99).
PERUM sebagai badan usaha milik Negara diberi hak untuk menerbitkan obligasi dalam
rangka pengerahan dana masyarakat. Penerbitan obligasi tersebut ditetapkan dengan
peraturan pemerintah dan PERUM wajib memberitahukan rencara penerbitan obligasi itu
kepada para kreditur tertentu seperti perbankan dan lembaga pembiayaan tertentu. Begitu
juga apabila PERUM akan melakukan pengurangan penyertaan modal negara, ia wajib
memberitahukan kepada kreditur sebelum hal itu di lakukan.
1. 2.

Organisasi PERUM

Pendirian PERUM di dasarkan pada Pasal 7 PP Nomor 13 Tahun 1998 bahwa PERUM
adalah badan usaha milik negara yang didirikan dengan Peraturan Pemerintah. Peraturan
Pemerintah tentang pendirian PERUM menetapkan juga keputusan untuk melakukan
penyertaan modal Negara ke dalam PERUM. Dengan ketentuan ini PERUM memperoleh
status badan hukum setelah peraturan pemerintah tentang pendirian PERUM berlaku. Bahkan
termasuk perubahan penyertaan modal Negara juga ditetapkan dengan peraturan pemerintah,
hal ini diatur dalam Pasal 9 PP Nomor 13 Tahun 1998 bahwa perubahan penyertaan modal
negara tersebut meliputi penambahan dan pengurangan penyertaan modal negara.
Organisasi PERUM terdiri dari Direksi dan dewan pengawas PERUM. Kepengurusan
PERUM dilakukan oleh Direksi. Kepengurusan Direksi meliputi kegiatan pengelolaan
PERUM dalam upaya mencapai tujuan perusahaan sebagai suatu badan usaha. Para Direksi
berjumlah paling banyak 5 (lima) orang dan salah seorang diantaranya diangkat sebagai
Direktur Utama. Penambahan jumlah anggota Direksi bila melebihi jumlah yang ditetapkan
tersebut harus dilakukan dengan persetujuan Presiden.
Struktur organisasi PERUM dapat di lihat dalam gambar berikut ini:
Siapakah yang dapat diangkat menjadi anggota Direksi? Mereka adalah orang perorangan
yang memenuhi kriteria keahlian, integritas, kepemimpinan, pengalaman dan berkelakuan
baik serta memiliki dedikasi untuk mengembangkan usaha guna kemajuan perusahaan. Selain
persyaratan tersebut yang dapat diangkat sebagai anggota Direksi adalah orang perorangan
yang mampu melaksanakan perbuatan hukum dan tidak pernah dinyatakan pailit atau menjadi
anggota Direksi atau komisaris atau dewan pengawas yang dinyatakan bersalah menyebabkan
suatu perseroan atau PERUM dinyatakan pailit.
Anggota Direksi diangkat dan diberhentikan oleh Menteri Keuangan berdasarkan usul dari
Menteri. Adapun lama masa jabatan anggota Direksi 5 (lima) tahun dan dapat di angkat
kembali (Pasal 17 PP No. 13 Tahun 1998). Sedangkan cara pemberhentian sebelum masa
jabatan berakhir di atur dalam Pasal 18 PP No. 13 Tahun 1998 bahwa Menteri Keuangan

setelah mendengar pertimbangan Menteri dapat memberhentikan anggota Direksi sebelum


habis masa jabatannya apabila berdasarkan kenyataan anggota Direksi:
1. tidak melaksanakan tugasnya dengan baik;
2. tidak melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan dan atau
ketentuana peraturan pendirian PERUM;
3. terlibat dalam tidakan yang merugikan PERUM;
4. dipidana penjara karena dipersalahkan melakukan perbuatan pidana
kejahatan dan atau kesalahan yang bersangkutan dengan kepengurusan
perusahaan.

Keputusan pemberhentian tersebut dilakukan setelah yang bersangkutan diberi kesempatan


membela diri. Dengan keputusan tersebut, kedudukan anggota Direksi berakhir.
1. 3.

Aspek Legal Pegadaian

PERUM Pegadaian secara umum di atur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 1998
tetapi dalam operasionalnya diatur secara khusus dalam Peraturan Pemerintah Nomo103
Tahun 2000. Peraturan Pemerintah tersebut mengatur pendirian pegadaian, Anggaran Dasar,
tempat dan kedudukan, sifat, tujuan dan maksud pegadaian, kegiatan dan pengembangan
usaha, modal pegadaian, pembianaan, direksi perusahaan pegadaian, dewan pengawas
pegadaian, satuan pengawas intern, sisten akuntansi dan pelaporan, pegawai perusahaan dan
penggunaan laba perusahaan. Hal tersebut secara lengkap perlu dijabarkan.
Pasal 1 dalam Peraturan Pemerintah Nomor 103 Tahun 2000 mengatur bahwa yang dimaksud
dengan Perusahaan Umum (PERUM) Pegadaian, yang selanjutnya dalam Peraturan
Pemerintah ini disebut Perusahaan, adalah Badan Usaha Milik Negara sebagaimana diatur
dalam Undang-undang Nomor 9 Tahun 1969, yang bidang usahanya berada dalam lingkup
tugas dan kewenangan Menteri Keuangan, dimana seluruh modalnya dimiliki Negara berupa
kekayaan Negara yang dipisahkan dan tidak terbagi atas saham. Hal ini sudah ada di dalam
lembaga Pegadaian Syariah di Indonesia yang merupakan lembaga PERUM milik negara dan
seluruh modalnya merupakan kekayaan negara yang dipisahkan dan tidak terbagi atas saham.
Pasal 2 tentang pendirian perusahaan pegadaian. Perusahaan pegadian didirikan dengan
Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1969 sebagai PERJAN Pegadaian sebagaimana diubah
dengan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1990, dilanjutkan berdirinya dan meneruskan
usaha-usaha selanjutnya berdasarkan ketentuan-ketentuan dalam Peraturan Pemerintah ini.
Pasal 3 mencakup Anggaran Dasar Perusahaan Pegadaian yaitu:
(1)
Perusahaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 adalah Badan Usaha Milik Negara
yang diberi tugas dan wewenang untuk menyelenggarakan kegiatan usaha menyalurkan uang
pinjaman atas dasar hukum gadai;

(2)
Perusahaan melakukan usaha-usaha berdasarkan ketentuan-ketentuan dalam
Peraturan Pemerintah ini dan peraturan perundang-undangan lainnya yang berlaku;
(3)
Dengan tidak mengurangi ketentuan dalam Peraturan Pemerintah ini, terhadap
Perusahaan berlaku Hukum Indonesia.
Pasal 4 memuat tempat kedudukan dan jangka waktu, bahwa PERUM Pegadaian adalah
Perusahaan yang berkedudukan dan berkantor pusat di Jakarta. Pasal 5 bahwa Perusahaan
Pegadaian didirikan untuk jangka waktu yang tidak ditentukan. Pasal 6 memuat sifat,
maksud dan tujuan bahwa sifat usaha dari Perusahaan Pegadaian adalah menyediakan
pelayanan bagi kemanfaatan umum dan sekaligus memupuk keuntungan berdasarkan prinsip
pengelolaan Perusahaan. Pasal 7 bahwa maksud dan tujuan Perusahaan Pegadaian adalah:
a). Turut meningkatkan kesejahteraan masyarakat terutama golongan menengah ke bawah
melalui penyediaan dana atas dasar hukum gadai, dan jasa di bidang keuangan lainnya
berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
b). Menghindarkan masyarakat dari gadai gelap, praktek riba dan pinjaman tidak wajar
lainnya.
Bagian ke-empat dari Peraturan Pemerintah Nomor 103 Tahun 2000 mengatur tentang
Kegiatan dan Pengembangan Usaha. Pasal 8 menerangkan bahwa untuk mencapai maksud
dan tujuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7, Perusahaan Pegadaian menyelenggarakan
usaha:
a).

Penyaluran uang pinjaman atas dasar hukum gadai;

b). Penyaluran uang pinjaman berdasarkan jaminan fidusia, pelayanan jasa titipan,
pelayanan jasa sertifikasi logam mulia dan batu adi, unit toko emas, dan industri perhiasan
emas serta usaha-usaha lainnya yang dapat menunjang tercapainya maksud dan tujuan
Perusahaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7, dengan persetujuan Menteri Keuangan.
Pasal 9 menerangkan bahwa untuk mendukung pembiayaan kegiatan dalam rangka mencapai
maksud dan tujuan Perusahaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7, dengan persetujuan
Menteri Keuangan Perusahaan dapat:
1. melakukan kerjasama usaha dengan badan usaha lain;
2. membentuk anak Perusahaan;
3. melakukan penyertaan modal dalam badan usaha lain.

Bagian ke-lima dari Peraturan Pemerintah Nomor 103 Tahun 2000 mengatur tentang modal.
Pasal 10 menjelaskan bahwa modal perusahaan Pegadaian merupakan kekayaan Negara yang
dipisahkan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan tidak terbagi atas sahamsaham. Besarnya modal Perusahaan pada saat Peraturan Pemerintah ini diundangkan adalah

sebesar seluruh nilai penyertaan modal Negara yang tertanam dalam Perusahaan, berdasarkan
penetapan Menteri Keuangan.
Pasal 11 Peraturan Pemerintah Nomor 103 Tahun 2000 menerangkan bahwa setiap
penambahan dan pengurangan penyertaan modal Negara yang tertanam dalam Perusahaan
ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 12 mengatur tentang penerbitan obligasi dalam rangka pengerahan dana masyarakat
yaitu penerbitan obligasi dalam rangka pengerahan dana masyarakat oleh Perusahaan
ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. Sedangkan rencana penerbitan obligasi
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), harus diberitahukan oleh Perusahaan kepada para
kreditor tertentu. Pasal 13 menerangkan lebih lanjut bahwa dalam hal Perusahaan
menerbitkan obligasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) dan Negara melakukan
pengurangan penyertaan modal pada Perusahaan, maka rencana pengurangan modal Negara
tersebut harus diberitahukan kepada kreditur sebelum ditetapkan dengan Peraturan
Pemerintah. Sedangkan pengurangan penyertaan modal Negara sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) tidak boleh merugikan kepentingan pihak ketiga. Pasal 14 mengatur bahwa
semua alat-alat likuid yang tidak segera diperlukan oleh Perusahaan disimpan dalam bank
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Bagian ke-enam Peraturan Pemerintah Nomor 103 Tahun 2000 mengatur tentang Pembinaan.
Dalam hal pembinaan ini Pasal 15 menjelaskan bahwa :
(1)
Pembinaan dan pelaksanaan pembinaan sehari-hari Perusahaan dilakukan oleh
Menteri Keuangan;
(2)
Pembinaan Perusahaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dengan
menetapkan kebijakan pengembangan usaha;
(3)
Kebijakan pengembangan usaha merupakan arah dalam mencapai tujuan
Perusahaan, baik menyangkut kebijakan investasi, pembiayaan usaha, sumber
pembiayaannya, penggunaan hasil usaha Perusahaan dan kebijakan pengembangan lainnya;
(4)
Pembinaan sehari-hari sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dengan
memberikan pedoman bagi Direksi dan Dewan Pengawas dalam menjalankan kegiatan
operasional Perusahaan;
(5)
Pedoman sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) disusun berdasarkan kebijakan
pengembangan usaha sebagaimana dimaksud dalam ayat (2);
(6)
Dalam rangka memantapkan pembinaan dan pengawasan Perusahaan, Menteri
Keuangan sewaktu-waktu apabila diperlukan dapat meminta keterangan dari Direksi dan
Dewan Pengawas.

Pasal 16 Menteri Keuangan tidak bertanggung jawab atas segala akibat perbuatan hukum
yang dilakukan Perusahaan dan tidak bertanggung jawab atas kerugian perusahaan melebihi
nilai kekayaan negara yang telah dipisahkan ke dalam perusahaan, kecuali apabila:
1. Menteri Keuangan baik langsung maupun tidak langsung dengan itikad
buruk memanfaatkan Perusahaan semata-mata untuk kepentingan
pribadi;
2. Menteri Keuangan terlibat dalam perbuatan melawan hukum yang
dilakukan Perusahaan; atau
3. Menteri Keuangan langsung maupun tidak langsung secara melawan
hukum menggunakan kekayaan Perusahaan.

Bagian ke-tujuh Peraturan Pemerintah Nomor 103 Tahun 2000 mengatur tentang Direksi
Perusahaan. Dalam hal Direksi Perusahaan Pegadaian Pasal 17 mengatur bahwa
kepengurusan Perusahaan dilakukan oleh Direksi. Sedangkan jumlah anggota Direksi paling
banyak 5 (lima) orang, dan seorang diantaranya diangkat sebagai Direktur Utama. Adapun
penambahan jumlah anggota Direksi melebihi jumlah sebagaimana dimaksud dalam ayat (2),
dilakukan dengan persetujuan Presiden.
Pasal 18 tentang pengangkatan anggota Direksi bahwa yang dapat diangkat menjadi anggota
Direksi adalah orang perorangan yang:
1. memenuhi kriteria keahlian, integritas, kepemimpinan, pengalaman dan
berkelakuan baik serta memiliki dedikasi untuk mengembangkan usaha
guna kemajuan Perusahaan;
2. mampu melaksanakan perbuatan hukum dan tidak pernah dinyatakan
pailit atau menjadi anggota Direksi atau Komisaris atau Dewan Pengawas
yang dinyatakan bersalah menyebabkan suatu perseroan atau PERUM
dinyatakan pailit; dan
3. berkewarganegaraan Indonesia.

Pasal 19 mengatur bahwa antara anggota Direksi dilarang memiliki hubungan keluarga
sampai derajat ketiga baik menurut garis lurus maupun garis ke samping, termasuk hubungan
yang timbul karena perkawinan. Jika hubungan keluarga sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) terjadi sesudah pengangkatan anggota Direksi, maka anggota Direksi tersebut harus
mengajukan permohonan kepada Menteri Keuangan untuk dapat melanjutkan jabatannya;
(1)
Permohonan kepada Menteri Keuangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)
diajukan dalam jangka waktu paling lambat 1 (satu) bulan sejak terjadinya hubungan
keluarga;
(2)
Anggota Direksi sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), dapat melanjutkan
jabatannya sampai dikeluarkannya keputusan Menteri Keuangan bagi anggota Direksi
tersebut mengenai dapat atau tidak dapat melanjutkan jabatan;

(3)
Keputusan Menteri Keuangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) diberikan
dalam jangka waktu paling lambat 2 (dua) bulan terhitung sejak permohonan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2) diajukan;
(4)
Dalam hal keputusan Menteri Keuangan belum dikeluarkan dalam jangka waktu
sebagaimana dimaksud dalam ayat (5), Menteri Keuangan dianggap memberikan keputusan
bahwa anggota Direksi dapat melanjutkan jabatannya.
Pasal 20 mengatur bahwa anggota Direksi dilarang memangku jabatan rangkap:
1. Direktur Utama atau Direktur pada Badan Usaha Milik Negara, Daerah dan
Swasta atau jabatan lain yang berhubungan dengan kepengurusan
perusahaan;
2. jabatan struktural dan fungsional lainnya dalam instansi/lembaga
Pemerintah Pusat atau Daerah;
3. jabatan lainnya sesuai dengan ketentuan dalam peraturan perundangundangan yang berlaku.

Sedangkan Pasal 21 mengatur bahwa anggota Direksi diangkat dan diberhentikan oleh
Menteri Keuangan. Anggota Direksi diangkat untuk masa jabatan 5 (lima) tahun, dan dapat
diangkat kembali.
Pasal 22 mengatur bahwa:
(1)
Anggota Direksi dapat diberhentikan sebelum habis masa jabatannya oleh Menteri
Keuangan apabila berdasarkan kenyataan anggota Direksi:
1. tidak melaksanakan tugasnya dengan baik;
2. tidak melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan dan atau
ketentuan Peraturan Pemerintah ini;
3. terlibat dalam tindakan yang merugikan Perusahaan;
4. dipidana penjara karena dipersalahkan melakukan perbuatan pidana
kejahatan dan atau kesalahan yang bersangkutan dengan kepengurusan
perusahaan.

(2)
Keputusan pemberhentian karena alasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
diambil setelah yang bersangkutan diberi kesempatan membela diri;
(3)
Pembelaan diri sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dilakukan secara tertulis dan
disampaikan kepada Menteri Keuangan dalam jangka waktu 1 (satu) bulan terhitung sejak
anggota Direksi yang bersangkutan diberitahu secara tertulis oleh Menteri Keuangan tentang
rencana pemberhentian tersebut;

(4)
Selama rencana pemberhentian sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) masih dalam
proses, maka anggota Direksi yang bersangkutan dapat melanjutkan tugasnya;
(5)
Jika dalam jangka waktu 2 (dua) bulan terhitung sejak tanggal penyampaian
pembelaan diri sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) Menteri Keuangan tidak memberikan
keputusan pemberhentian anggota Direksi tersebut, maka rencana pemberhentian tersebut
menjadi batal;
(6)
Pemberhentian karena alasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf d,
merupakan pemberhentian tidak dengan hormat;
(7)
Kedudukan sebagai anggota Direksi berakhir dengan dikeluarkannya keputusan
pemberhentian oleh Menteri Keuangan.
Pasal 23 juga mengatur bahwa:
(1) Direksi diberi tugas dan mempunyai wewenang untuk:
1. memimpin, mengurus dan mengelola Perusahaan sesuai dengan tujuan
Perusahaan dengan senantiasa berusaha meningkatkan daya guna dan
hasil guna Perusahaan;
2. menguasai, memelihara dan mengurus kekayaan Perusahaan;
3. mewakili Perusahaan di dalam dan di luar pengadilan;
4. melaksanakan kebijakan pengembangan usaha dalam mengurus
Perusahaan yang telah digariskan Menteri Keuangan;
5. menetapkan kebijakan Perusahaan sesuai dengan pedoman kegiatan
operasional yang ditetapkan Menteri Keuangan;
6. menyiapkan Rencana Jangka Panjang dan Rencana Kerja dan Anggaran
Perusahaan;
7. mengadakan dan memelihara pembukuan dan administrasi Perusahaan
sesuai dengan kelaziman yang berlaku bagi suatu perusahaan;
8. menyiapkan struktur organisasi dan tata kerja Perusahaan lengkap dengan
perincian tugasnya;
9. melakukan kerjasama usaha, membentuk anak Perusahaan dan
melakukan penyertaan modal dalam badan usaha lain dengan persetujuan
Menteri Keuangan;
10.mengangkat dan memberhentikan pegawai Perusahaan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;

11.menetapkan gaji, pensiun/jaminan hari tua dan penghasilan lain bagi para
pegawai Perusahaan serta mengatur semua hal kepegawaian lainnya,
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
12.menyiapkan Laporan Tahunan dan laporan berkala.

(2)
Untuk menyelenggarakan tugas dan wewenang sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1), Direksi berwenang menetapkan kebijaksanaan teknis dan non teknis sesuai dengan
kebijakan Perusahaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf e.
Sedangkan Pasal 24 mengatur bahwa dalam menjalankan tugas-tugas Perusahaan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23, Direktur Utama dapat bertindak atas nama Direksi
berdasarkan persetujuan para anggota Direksi lainnya dan para Direktur berhak dan
berwenang bertindak atas nama Direksi, masing-masing untuk bidang yang menjadi tugas
dan wewenangnya. Dan apabila salah satu atau beberapa anggota Direksi berhalangan tetap
menjalankan pekerjaannya atau apabila jabatan itu terluang dan penggantinya belum diangkat
atau belum memangku jabatannya, maka jabatan tersebut dipangku oleh anggota Direksi
lainnya yang ditunjuk sementara oleh Menteri Keuangan. Dalam jangka waktu paling lambat
2 (dua) bulan terhitung sejak terjadinya keadaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2),
Menteri Keuangan menunjuk anggota Direksi yang baru untuk memangku jabatan yang
terluang sebagaimana dimaksud dalam ayat (2). Dan apabila semua anggota Direksi
berhalangan tetap menjalankan pekerjaannya atau jabatan Direksi terluang seluruhnya dan
belum diangkat, maka sementara waktu pengurusan Perusahaan dijalankan oleh Dewan
Pengawas; Dalam menjalankan tugas dan kewenangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
23 ayat (1) huruf c, Direksi dapat melaksanakan sendiri atau menyerahkan kekuasaan tersebut
kepada:
1. seorang atau beberapa orang anggota Direksi; atau
2. seorang atau beberapa orang pegawai Perusahaan baik sendiri maupun
bersama-sama; atau
3. orang atau badan lain yang khusus ditunjuk untuk hal tersebut.

Pasal 25 mengatur dalam melaksanakan tugasnya Direksi wajib mencurahkan perhatian dan
pengabdiannya secara penuh pada tugas, kewajiban dan pencapaian tujuan Perusahaan. Pasal
26 menerangkan bahwa Anggota Direksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (5)
huruf a tidak berwenang mewakili Perusahaan apabila:
1. terjadi perkara di depan pengadilan antara Perusahaan dengan anggota
Direksi yang bersangkutan;
2. anggota Direksi yang bersangkutan mempunyai kepentingan yang
bertentangan dengan kepentingan Perusahaan.

Pasal 27 mengatur besar dan jenis penghasilan Direksi ditetapkan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Pasal 28 mengatur tentang rapat direksi adalah:

(1)

Rapat Direksi diselenggarakan sekurang-kurangnya 1 (satu) bulan sekali;

(2)
Dalam rapat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibicarakan hal-hal yang
berhubungan dengan Perusahaan sesuai dengan tugas, kewenangan dan kewajibannya;
(3)

Keputusan rapat Direksi diambil atas dasar musyawarah untuk mufakat;

(4)
Dalam hal tidak tercapai kata mufakat, maka keputusan diambil berdasarkan suara
terbanyak;
(5)

Untuk setiap rapat dibuatkan risalah rapat.

Pasal 29 mengatur tentang rencana jangka panjang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23
ayat (1) huruf f, sekurang-kurangnya memuat:
1. evaluasi pelaksanaan Rencana Jangka Panjang sebelumnya;
2. posisi Perusahaan pada saat penyusunan Rencana Jangka Panjang;
3. asumsi-asumsi yang dipakai dalam penyusunan Rencana Jangka Panjang;
4. penetapan sasaran, strategi, kebijakan dan program kerja Rencana Jangka
Panjang beserta keterkaitan antara unsur-unsur tersebut.

Kemudian rancangan rencana jangka panjang yang telah ditandatangani bersama dengan
Dewan Pengawas disampaikan kepada Menteri Keuangan, untuk disahkan.
Pasal 30 mengatur isi dari rencana kerja dan anggaran perusahaan pegadaian yaitu:
(1)
Rencana Kerja dan Anggaran Perusahaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23
ayat (1) huruf f sekurang-kurangnya memuat:
1. Rencana Kerja Perusahaan;
2. Anggaran Perusahaan;
3. Proyeksi Keuangan Pokok Perusahaan;
4. hal-hal lain memerlukan pengesahan oleh Menteri Keuangan.

(2)
Rencana Kerja dan Anggaran Perusahaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
diajukan kepada Menteri Keuangan, paling lambat 60 (enam puluh) hari sebelum tahun
anggaran dimulai, untuk memperoleh pengesahan;
(3)
Rencana Kerja dan Anggaran Perusahaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
disahkan oleh Menteri Keuangan selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah tahun
anggaran berjalan;

(4)
Dalam hal Rencana Kerja dan Anggaran Perusahaan belum disahkan oleh Menteri
Keuangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), maka Rencana Kerja dan Anggaran
Perusahaan tersebut dianggap sah untuk dilaksanakan sepanjang telah memenuhi ketentuan
tata cara penyusunan Rencana Kerja dan Anggaran Perusahaan.
Bagian ke-delapan Peraturan Pemerintah Nomor 103 Tahun 2000 mengatur tentang Dewan
Pengawas. Pasal 31 mengatur bahwa pada perusahaan pegadaian dibentuk Dewan Pengawas.
Adapun jumlah anggota Dewan Pengawas disesuaikan dengan kebutuhan Perusahaan paling
sedikit 2 (dua) orang dan paling banyak 5 (lima) orang, seorang diantaranya diangkat sebagai
Ketua Dewan Pengawas. Dalam hal ini Dewan Pengawas dengan itikad baik dan penuh
tanggung jawab menjalankan tugas untuk kepentingan dan tujuan Perusahaan.
Pasal 32 mengatur bahwa yang dapat diangkat sebagai Dewan Pengawas adalah orang
perorangan yang:
1. memiliki dedikasi, memahami masalah-masalah manajemen perusahaan
dan dapat menyediakan waktu yang cukup untuk melaksanakan tugasnya;
dan
2. mampu melaksanakan perbuatan hukum dan tidak pernah dinyatakan
pailit atau menjadi anggota Direksi, Komisaris atau Dewan Pengawas yang
dinyatakan bersalah menyebabkan suatu perseroan atau PERUM
dinyatakan pailit.

Pasal 33 mengatur bahwa Anggota Dewan Pengawas tidak dibenarkan memiliki kepentingan
yang bertentangan dengan atau mengganggu kepentingan Perusahaan.
Pasal 34 mengatur bahwa Dewan Pengawas terdiri dari unsur-unsur pejabat Departemen
Keuangan dan departemen/instansi lain yang kegiatannya berhubungan dengan Perusahaan,
atau pejabat lain yang ditetapkan Menteri Keuangan.
Pasal 35 mengatur bahwa :
(1) Anggota Dewan Pengawas diangkat dan diberhentikan oleh Menteri Keuangan;
(2) Anggota Dewan Pengawas diangkat untuk masa jabatan yang sama dengan anggota
Direksi dan dapat diangkat kembali;
(3) Pengangkatan anggota Dewan Pengawas tidak bersamaan waktunya dengan
pengangkatan anggota Direksi.
Pasal 36 mengatur tentang pemberhentian Dewan Pengawas bahwa:
(1)
Anggota Dewan Pengawas dapat diberhentikan sebelum habis masa jabatannya oleh
Menteri Keuangan, apabila berdasarkan kenyataan anggota Dewan Pengawas:
1. tidak melaksanakan tugasnya dengan baik;

2. tidak melaksanakan ketentuan perundang-undangan dan atau ketentuan


Peraturan Pemerintah ini;
3. terlibat dalam tindakan yang merugikan Perusahaan; atau
4. dipidana penjara karena dipersalahkan melakukan perbuatan pidana
kejahatan dan atau kesalahan yang berkaitan dengan tugasnya
melaksanakan pengawasan dalam perusahaan.

(2)
Keputusan pemberhentian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ditetapkan setelah
yang bersangkutan diberi kesempatan membela diri;
(3)
Pembelaan diri sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dilakukan secara tertulis dan
disampaikan kepada Menteri Keuangan dalam jangka waktu 1 (satu) bulan terhitung sejak
anggota Dewan Pengawas yang bersangkutan diberitahu secara tertulis oleh Menteri
Keuangan tentang rencana pemberhentian tersebut;
(4)
Selama rencana pemberhentian sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) masih dalam
proses, maka anggota Dewan Pengawas yang bersangkutan dapat melanjutkan tugasnya;
(5)
Jika dalam jangka waktu 2 (dua) bulan terhitung sejak tanggal penyampaian
pembelaan diri sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) Menteri Keuangan tidak memberikan
keputusan pemberhentian anggota Dewan Pengawas tersebut, maka rencana pemberhentian
tersebut menjadi batal;
(6)
Pemberhentian karena alasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf d,
merupakan pemberhentian tidak dengan hormat;
(7)
Kedudukan sebagai anggota Dewan Pengawas berakhir dengan dikeluarkannya
keputusan pemberhentian oleh Menteri Keuangan.
Pasal 37 mengatur tentang tugas Dewan Pengawas antara lain:
(1)

Dewan Pengawas bertugas untuk:


1. melaksanakan pengawasan terhadap pengurusan Perusahaan yang
dilakukan oleh Direksi;
2. memberi nasihat kepada Direksi dalam melaksanakan kegiatan
pengurusan Perusahaan.

(2)
Pengawasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a termasuk pengawasan
terhadap pelaksanaan:
1. Rencana Kerja dan Anggaran Perusahaan;
2. ketentuan-ketentuan dalam Peraturan Pemerintah ini;

3. kebijakan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan;


4. ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 38 mengatur tentang kewajiban Dewan Pengawas dalam melaksanakan tugas:


(1)

Dewan Pengawas dalam melaksanakan tugasnya berkewajiban:


1. memberikan pendapat dan saran kepada Menteri Keuangan mengenai
Rencana Kerja dan Anggaran Perusahaan yang diusulkan Direksi;
2. mengikuti perkembangan kegiatan Perusahaan, memberikan pendapat
dan saran kepada Menteri Keuangan mengenai setiap masalah yang
dianggap penting bagi pengurusan Perusahaan;
3. melaporkan dengan segera kepada Menteri Keuangan apabila terjadi
gejala menurunnya kinerja Perusahaan;
4. memberikan nasihat kepada Direksi dalam melaksanakan pengurusan
Perusahaan.

(2)
Dewan Pengawas melaporkan pelaksanaan tugasnya sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) kepada Menteri Keuangan secara berkala dan sewaktu-waktu apabila diperlukan.
Pasal 39 mengatur tentang tugas dan kewanangan Dewan Pengawas yaitu: dalam
melaksanakan tugas dan kewajibannya, Dewan Pengawas mempunyai wewenang sebagai
berikut:
1. melihat buku-buku, surat-surat serta dokumen-dokumen lainnya,
memeriksa kas untuk keperluan verifikasi dan memeriksa kekayaan
Perusahaan;
2. memasuki pekarangan, gedung dan kantor yang dipergunakan oleh
Perusahaan;
3. meminta penjelasan dari Direksi dan atau pejabat lainnya mengenai
segala persoalan yang menyangkut pengelolaan Perusahaan;
4. meminta Direksi dan atau pejabat lainnya dengan sepengetahuan Direksi
untuk menghadiri rapat Dewan Pengawas;
5. menghadiri rapat Direksi dan memberikan pandangan-pandangan
terhadap hal-hal yang dibicarakan;
6. berdasarkan ketentuan Peraturan Pemerintah ini, memberikan persetujuan
atau bantuan kepada Direksi dalam melakukan perbuatan hukum tertentu;
7. berdasarkan ketentuan Peraturan Pemerintah ini atau keputusan rapat
pembahasan bersama, melakukan tindakan pengurusan Perusahaan
dalam hal Direksi tidak ada; dan

8. memberhentikan sementara Direksi, dengan menyebutkan alasannya.

Pasal 40 mengatur bahwa untuk membantu kelancaran pelaksanaan tugas Dewan Pengawas,
Menteri Keuangan dapat mengangkat seorang Sekretaris Dewan Pengawas atas beban
Perusahaan.
Pasal 41memuat bahwa jika dianggap perlu Dewan Pengawas dalam melaksanakan tugasnya
dapat memperoleh bantuan tenaga ahli yang diikat dengan kontrak untuk waktu tertentu atas
beban Perusahaan.
Sedangkan Pasal 42 mengatur semua biaya yang diperlukan dalam rangka pelaksanaan tugas
Dewan Pengawas dibebankan kepada Perusahaan dan secara jelas dimuat dalam Rencana
Kerja dan Anggaran Perusahaan.
Pasal 43 tentang rapat Dewan Pengawas, yaitu:
(1)

Rapat Dewan Pengawas diselenggarakan sekurang-kurangnya 3 (tiga) bulan sekali;

(2)
Dalam rapat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dibicarakan hal-hal yang
berhubungan dengan Perusahaan sesuai dengan tugas, kewenangan dan kewajiban Dewan
Pengawas;
(3)

Keputusan rapat Dewan Pengawas diambil atas dasar musyawarah untuk mufakat;

(4)
Dalam hal tak tercapai kata mufakat, maka keputusan diambil berdasarkan suara
terbanyak;
(5)

Untuk setiap rapat dibuat risalah rapat.

Bagian Ke-sembilan tentang Satuan Pengawasan Intern


Bahwa Pasal 44 mengatur bagi Pegadaian Syariah bahwa:
(1)
Satuan Pengawasan Intern melaksanakan pengawasan intern keuangan dan
operasional Perusahaan;
(2)
Satuan Pengawasan Intern sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dipimpin oleh
seorang Kepala yang bertanggung jawab kepada Direktur Utama.
Sedangkan Pasal 45 mengatur bahwa Satuan Pengawasan Intern bertugas:
1. membantu Direktur Utama dalam melaksanakan pemeriksaan intern
keuangan dan operasional Perusahaan, menilai pengendalian, pengelolaan
dan pelaksanaannya pada Perusahaan serta memberikan saran-saran
perbaikannya;

2. memberikan keterangan tentang hasil pemeriksaan atau hasil


pelaksanaan tugas Satuan Pengawasan Intern sebagaimana dimaksud
dalam huruf a kepada Direksi.

Pegadaian Syariah juga mengikuti aturan Pasal 46 bahwa direksi wajib memperhatikan dan
segera mengambil langkah-langkah yang diperlukan atas segala sesuatu yang dikemukakan
dalam setiap laporan hasil pemeriksaan yang dibuat oleh Satuan Pengawasan Intern.
Pasal 47 atas permintaan tertulis Dewan Pengawas, Direksi memberikan keterangan hasil
pemeriksaan atau hasil pelaksanaan tugas Satuan Pengawasan Intern sebagaimana dimaksud
dalam pasal 45 huruf b.
Pasal 48 dalam pelaksanaan tugasnya, Satuan Pengawasan Intern wajib menjaga kelancaran
pelaksanaan tugas satuan organisasi lainnya dalam Perusahaan sesuai dengan tugas dan
tanggung jawabnya masing-masing.
Bagian Ke-sepuluh tentang Sistem Akuntansi dan Pelaporan
Pasal 49
Tahun buku Perusahaan adalah tahun takwim, kecuali jika ditetapkan lain oleh Menteri
Keuangan.
Pasal 50
Perhitungan Tahunan dibuat sesuai dengan Standar Akuntansi Keuangan yang berlaku.
Pasal 51
Dalam waktu 5 (lima) bulan setelah tahun buku Perusahaan ditutup, Direksi wajib
menyampaikan Laporan Tahunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) huruf l
kepada Menteri Keuangan, yang memuat sekurang-kurangnya:
1. Perhitungan Tahunan yang terdiri dari neraca akhir tahun buku yang baru
lampau dan perhitungan laba rugi dari tahun buku yang bersangkutan
serta penjelasan atas dokumen tersebut;
2. laporan mengenai keadaan dan jalannya Perusahaan serta hasil yang
telah dicapai;
3. kegiatan utama Perusahaan dan perubahan selama tahun buku;
4. rincian masalah yang timbul selama tahun buku yang mempengaruhi
kegiatan Perusahaan;
5. nama anggota Direksi dan Dewan Pengawas; dan
6. gaji dan tunjangan lain bagi anggota Direksi dan Dewan Pengawas.

Pasal 52
(1)
Laporan Tahunan ditandatangani oleh semua anggota Direksi dan Dewan Pengawas
serta disampaikan kepada Menteri Keuangan;
(2)
Dalam hal ada anggota Direksi atau Dewan Pengawas tidak menandatangani
Laporan Tahunan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), harus disebutkan alasannya secara
tertulis.
Pasal 53
(1)
Perhitungan Tahunan disampaikan oleh Direksi kepada Badan Pengawasan
Keuangan dan Pembangunan untuk diperiksa;
(2)
Pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat dilakukan oleh Akuntan
Publik yang ditunjuk oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan dengan ketentuan
bahwa hasil pemeriksaannya disetujui oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan;
(3)
Apabila Perusahaan mengerahkan dana masyarakat, pemeriksaan Perhitungan
Tahunan dilakukan oleh Akuntan Publik;
(4)
Laporan hasil pemeriksaan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan atau
Akuntan Publik sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) disampaikan
secara tertulis oleh Direksi kepada Menteri Keuangan untuk disahkan;
(5)
Perhitungan Tahunan sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) diumumkan dalam
surat kabar harian.
Pasal 54
(1)
Pengesahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 ayat (4) membebaskan Direksi
dari tanggung jawab terhadap segala sesuatunya yang termuat dalam Perhitungan Tahunan
tersebut;
(2)
Dalam hal dokumen Perhitungan Tahunan yang diajukan dan disahkan tersebut
ternyata tidak benar dan atau menyesatkan maka anggota Direksi dan Dewan Pengawas
secara tanggung renteng bertanggung jawab terhadap pihak ketiga yang dirugikan;
(3)
Anggota Direksi dan Dewan Pengawas dibebaskan dari tanggung jawab
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) apabila terbukti bahwa keadaan tersebut bukan karena
kesalahannya.
Pasal 55

(1)
Laporan berkala baik laporan triwulan, laporan semester maupun laporan lainnya
tentang kinerja Perusahaan disampaikan kepada Dewan Pengawas;
(2)
Tembusan laporan berkala sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) disampaikan
kepada Menteri Keuangan.
Pasal 56
Laporan tahunan, Perhitungan Tahunan, laporan berkala dan laporan lainnya sebagaimana
dimaksud dalam Bagian ini, disampaikan dengan bentuk, isi dan tata cara penyusunan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Bagian Ke-sebelas mengatur tentang Pegawai Perusahaan.
Pasal 57
Pengadaan, pengangkatan, penempatan, pemberhentian, kedudukan, kepangkatan, jabatan,
gaji/upah, kesejahteraan dan penghargaan kepada pegawai Perusahaan diatur dan ditetapkan
oleh Direksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 58
(1) Segala ketentuan eselonisasi jabatan yang berlaku bagi Pegawai Negeri tidak berlaku
bagi pegawai Perusahaan;
(2) Direksi dapat mengatur dan menetapkan ketentuan eselonisasi jabatan tersendiri bagi
pegawai Perusahaan.
Bagian Ke-duabelas tentang Penggunaan Laba
Pasal 59
(1)
Setiap tahun buku, Perusahaan wajib menyisihkan jumlah tertentu dari laba bersih
untuk cadangan tujuan, penyusutan dan pengurangan lainnya yang wajar;
(2)
Empat puluh lima persen (45%) dari sisa penyisihan laba bersih sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1), dipakai untuk:
1. cadangan umum yang dilakukan sampai cadangan mencapai sekurangkurangnya 2 (dua) kali lipat dari modal yang ditempatkan;
2. sosial dan pendidikan;
3. jasa produksi;
4. sumbangan dana pensiun; dan

5. sokongan dan sumbangan ganti rugi.

(3)
Penetapan persentase pembagian laba bersih Perusahaan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (2) ditetapkan lebih lanjut oleh Menteri Keuangan.
Pasal 60
(1)
Seluruh laba bersih setelah dikurangi penyisihan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 59 disetorkan sebagai Dana Pembangunan Semesta;
(2)
Dana Pembangunan Semesta yang menjadi hak Negara wajib disetorkan ke
Bendahara Umum Negara segera setelah Laporan Tahunan disahkan sesuai ketentuan
sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah ini.
Bagian Ke-tigabelas Mengatur tentang ketentuan lain-lain.
Pasal 61
Tata cara penjualan, pemindahtanganan atau pembebanan atas aktiva tetap Perusahaan serta
penerimaan pinjaman jangka menengah/panjang dan pemberian pinjaman dalam bentuk dan
cara apapun serta tidak menagih lagi dan menghapuskan dari pembukuan piutang dan
persediaan barang oleh Perusahaan ditetapkan oleh Menteri Keuangan.
Pasal 62
Pengadaan barang dan jasa Perusahaan yang menggunakan dana langsung dari Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara dilaksanakan sesuai dengan ketentuan pelaksanaan Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara.
Pasal 63
(1)
Selain organ Perusahaan, pihak lain manapun dilarang turut mencampuri
pengurusan Perusahaan;
(2)
Organ Perusahaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah Direksi dan Dewan
Pengawas;
(3)
Departemen/instansi Pemerintah tidak dibenarkan membebani Perusahaan dengan
segala bentuk pengeluaran;
(4)
Perusahaan tidak dibenarkan membiayai keperluan pengeluaran
Departemen/instansi Pemerintah.
Pasal 64

(1)
Direksi hanya dapat mengajukan permohonan ke Pengadilan Negeri agar
Perusahaan dinyatakan pailit berdasarkan persetujuan Menteri Keuangan;
(2)
Dalam hal kepailitan terjadi karena kesalahan atau kelalaian Direksi dan kekayaan
Perusahaan tidak cukup untuk menutup kerugian akibat kepailitan tersebut, maka setiap
anggota Direksi secara tanggung renteng bertanggung jawab atas kerugian tersebut;
(3)
Anggota Direksi yang dapat membuktikan bahwa kepailitan bukan karena kesalahan
atau kelalaiannya, tidak bertanggung jawab secara tanggung renteng atas kerugian tersebut.
Pasal 65
(1)
Anggota Direksi dan semua pegawai Perusahaan yang karena tindakan-tindakan
melawan hukum menimbulkan kerugian bagi Perusahaan, diwajibkan mengganti kerugian
tersebut;
(2)
Ketentuan ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) terhadap anggota
Direksi diatur oleh Menteri Keuangan, sedangkan terhadap pegawai Perusahaan diatur oleh
Direksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 66
Semua surat dan surat berharga yang termasuk kelompok pembukuan dan administrasi
Perusahaan disimpan di tempat Perusahaan atau tempat lainnya sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 67
(1)
Pembubaran Perusahaan dan penunjukan likuidaturnya ditetapkan dengan Peraturan
Pemerintah;
(2)

Semua kekayaan Perusahaan setelah diadakan likuidasi, menjadi milik Negara;

(3)

Likuidatur mempertanggungjawabkan likuidasi kepada Menteri Keuangan;

(4)
Menteri Keuangan memberi pembebasan tanggung jawab tentang pekerjaan yang
telah diselesaikan likuidatur.
Pasal 68
Pimpinan satuan organisasi dalam Perusahaan bertanggung jawab melakukan pengawasan
melekat dalam lingkungan tugasnya masing-masing.
BAB IV
KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 69 mengatur tentang Perlihan. Pada saat berlakunya Peraturan Pemerintah ini, semua
ketentuan pelaksanaan yang telah ditetapkan dan diberlakukan berdasarkan Peraturan
Pemerintah Nomor 10 Tahun 1990, masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dan
belum diganti dengan ketentuan baru yang ditetapkan dan diberlakukan berdasarkan
Peraturan Pemerintah ini.
III. ANALISIS
Pegadaian Syariah dapat dilihat dari sisi lembaga dan dari sisi bisnis, dari sisi lembaga ia
merupakan perusahaan yang bergerak di bidang jasa keuangan dengan bentuk Badan Usaha
Milik Negara. Sebagai perusahaan yang di miliki oleh negara, ia harus tunduk terhadap
perundang-undangan yang mengatur tentang PERUM.
Bentuk hukum Perusahaan Umum (PERUM) diatur dalam Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang
Nomor 9 Tahun 1969 tentang Bentuk-Bentuk Usaha Negara. Undang-undang ini dimasukkan
dalam Lembaran Negara Nomor 40 Tahun 1969. Pegadaian Syariah sebagai PERUM
merupakan perusahaan Negara yang didirikan dan diatur berdasarkan ketentuan-ketentuan
yang ada di dalam Undang-Undang Nomor 19/Prp Tahun 1960 hal ini menurut Pasal 2 ayat
(2) Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1969. sedangkan tata cara pembinaan dan pengaturan
PERUM diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 1983 kemudian di cabut dengan
diberlakukannya Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 1998 dalam Lembaran Negara
Nomor 16 Tahun 1998 tentang Perusahaan Umum (PERUM) Tanggal 17 Januari 1998
kemudian di berlakukan juga Peraturan Pemerintah Nomor 103 Tahun 2000 tentang
Perusahaan Umum (PERUM) Pegadaian.
Pengertian Pegadaian Syariah yang mencakup unsur-unsur antara lain :
(a) Ada syarat subyek yaitu : orang yang menggadaikan (rahin) dan orang yang menerima
gadai (murtahin) keduanya ada syarat-syarat tertentu :
1. Telah dewasa menurut hukum
2. Berakal
3. Mampu atau cakap berbuat hukum

(b) Ada syarat obyek yaitu : barang yang dapat di gadaikan (marhun) dengan syarat-syarat
tertentu antara lain:
1. Benda yang mengandung nilai ekonomis
2. Dapat di perjual belikan dan tidak melanggar undang-undang.
3. 6.

Barang milik rahin

4. Benda bergerak

(c) Adanya kata sepakat (sighot) yaitu : kata sepakat setelah negosiasi antara rahin dan
murtahin yang kemudian di implementasikan dalam perjanjian.
Atas dasar pemaparan tersebut bahwa aspek legal perusahaan Pegadaian Syariah mempunyai
legalitas yang sangat kuat karena Peraturan Pemerintah Nomor 103 Tahun 2000 tentang
Perusahaan Umum (PERUM) Pegadaian, tidak ada yang bertentangan dengan syariah Islam.
Bahkan bila Pegadaian Syariah itu dijalankan secara konsisten berdasarkan PP tersebut, ia
akan mempunyai kepastian hukum.
Selain itu Pegadaian Syariah juga mempunyai aspek legalitas dari hukum Islam berupa
putusan Dewan Syariah Nasional tentang Qardh yang berbunyi:
Menetapkan : FATWA TENTANG AL-QARDH
Pertama : Ketentuan Umum al-Qardh
1. Al-Qardh adalah pinjaman yang diberikan kepada nasabah (muqtaridh)
yang memerlukan.
1. Nasabah al-Qardh wajib mengembalikan jumlah pokok yang diterima pada
waktu yang telah disepakati bersama.
2. Biaya administrasi dibebankan kepada nasabah.
3. LKS dapat meminta jaminan kepada nasabah bilamana dipandang perlu.
4. Nasabah al-Qardh dapat memberikan tambahan (sumbangan) dengan
sukarela kepada LKS selama tidak diperjanjikan dalam akad.
5. Jika nasabah tidak dapat mengembalikan sebagian atau seluruh
kewajibannya pada saat yang telah disepakati dan LKS telah memastikan
ketidakmampuannya, LKS dapat:

a).

memperpanjang jangka waktu pengembalian, atau

b).

menghapus (write off) sebagian atau seluruh kewajibannya.

Kedua : Sanksi
1. Dalam hal nasabah tidak menunjukkan keinginan mengembalikan
sebagian atau seluruh kewajibannya dan bukan karena ketidakmampuannya, LKS dapat menjatuhkan sanksi kepada nasabah.
2. Sanksi yang dijatuhkan kepada nasabah sebagaimana dimaksud butir 1
dapat berupa dan tidak terbatas pada penjualan barang jaminan.
3. Jika barang jaminan tidak mencukupi, nasabah tetap harus memenuhi
kewajibannya secara penuh.

Ketiga : Sumber Dana


Dana al-Qardh dapat bersumber dari:
(a)

Bagian modal LKS;

(b) Keuntungan LKS yang disisihkan; dan


(c)

Lembaga lain atau individu yang mempercayakan penyaluran infaqnya kepada LKS.

Keempat :
1. Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi
perselisihan di antara para pihak, maka penyelesaiannya dilakukan
melalui Badan Arbitrasi Syariah setelah tidak tercapai kesepakatan
melalui musyawarah.
2. Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan dengan ketentuan jika di
kemudian hari ternyata terdapat kekeliruan, akan diubah dan
disempurnakan sebagaimana mestinya.

Selain legalitas Pegadaian Syariah yang kuat, ia juga mempunyai peluang besar di masyarkat
karena telah mendapatkan ijin dari pemerintah. Ini merupakan peluang yang memberikan
suatu harapan bahwa Pegadaian Syariah akan berkembang pesat dan menjadi lembaga yang
banyak diminati oleh masyarakat muslim.
Beradasarkan penelitian tim peneliti dan Pengembangan Bank Syariah-DPNP tahun 2005
yang di kutip oleh Abdul Ghofur Anshori (2006:35) menghasilkan kesimpulan sebagai
berikut:
Berdasarkan analisis SWOT (1) kekuatan (Strength) (2) kelemahan (Weakness), (3) peluang
(oportunity) dan (4) ancaman (Threat) (Tim Peneliti dan Pengembangan Bank Syariah-DPNP,
2005) di lembaga Pegadaian Syariah dapat ditemukan:
(1).

Kekuatan (Strength) terhadap Pegadaian Syariah

a)
Pegadaian Syariah sangat di dukung oleh umat Islam di Indonesia yang merupakan
penduduk mayoritas dengan jumlah yang sangat besar di banding dengan negara lain.
b) Adanya dukungan dari lembaga keuangan Islam dunia. Pegadaian Syariah yang
menggunakan prinsip-prinsip syariah adalah mitra utama bagi bank Islam Dunia (IDB). Hal
ini dapat di pahami dari konferensi ke-2 Menteri-Menteri Luar Negeri negera muslim di
seluruh dunia bulan Desember 1970 di Karachi, Pakistan yang telah menghasilkan
kesepakatan untuk tahap pertama mendirikan Islamic Development Bank (IDB) yang
dioperasikan sesuai denga prinsip-prinsip syariah.

c)
Sebagian besar penduduk Indonesia berekonomi lemah yang sulit mendapat pinjaman
dari bank karena persyaratan yang rumit dan sulit.
d) Produk Pegadaian Syariah yang punya nilai kompetitif. Pegadaian Syariah saat ini
mengeluarkan beberapa produk antara lain: gadai syariah, logam mulia dan ar-ruum.
(2).

Kelemahan (Weakness) terhadap Pegadaian Syariah

a)
Kurangnya sarana dan prasarana yang di miliki oleh Pegadaian Syariah untuk
menyimpan barang. Gedung yang kecil kurang mencukupi untuk tempat barang-barang yang
digadaikan karena itu perlu ada penambahan sarana dan prasarana sebagaimana pegadaian
konvensional.
b)
Masyarakat yang kurang memahami tentang Pegadaian Syariah. Masyarakat masih
berpola pikir pegadaian konvensional dan belum banyak yang berpikir sisi syariah. Hal itu
membuat para pegawai harus menjelaskan berulang-ulang kepada para nasabah.
c)
Kurangnya pegawai di bidang gadai syariah yang mempunyai kabapiliti dari sisi syariah
dan juga dari sisi gadai. Belum banyak sarjana yang menggeluti di bidang gadai syariah,
sehingga sulit mendapatkan pegawai yang profesional di bidang syariah dan juga di bidang
gadai. Karena itu dalam hal syariah di perlukan Dewan Pengawas Syariah.
(3).

Peluang (oportunity) terhadap Pegadaian Syariah

Berdirinya Pegadaian Syariah di Indonesia mempunyai peluang yang menguntungkan


karena :
a)
Belum banyak lembaga keuangan yang menerapkan gadai syariah. Bila melihat
lembaga-lembaga keuangan yang membuka produk gadai syariah masih terlalu sedikit.
Bahkan kalaupun ada biasanya yang mengeluarkan produk itu adalah bank syariah. Produk
gadai kalau di lakukan oleh bank, tidak akan menyentuh rakyat kecil karena untuk
mendapatkan pinjaman uang di bank memerlukan persyaratan yang banyak dan persyaratan
itu biasanya masyarakat kecil tidak mampu memenuhinya, sehingga Pegadaian Syariah yang
menjadi penolong bagi ekonomi lemah.
b)
Banyaknya penduduk yang mayoritas beragama Islam dan dalam Islam melarang
pemeluknya untuk bertransaksi yang mengandung riba. Islam melarang riba dalam transaksi
ekonomi, sehingga penduduk Indonesia yang mayoritas muslim akan lebih percaya kepada
Pegadaian Syariah di banding dengan pegadaian konvensional.
c)
Prinsip Pegadaian Syariah yang melayani dengan proses cepat dan biaya ringan. Prinsip
ini di terapkan di Pegadaian Syariah dengan harapan sesuai dengan karakter nasabah yang
menginginkan dana dengan cepat dan proses yang tidak rumit serta jaminan yang sederhana.
(4).

Ancaman (Threat) terhadap Pegadaian Syariah

Pegadaian Syariah sebagai lembaga yang berbasis syariah dalam mengaplikasikan gadai
syariah memiliki ancaman antara lain:
a)
Persaingan dengan rentenir yang terkadang masyarakat masih percaya kepadanya
karena peminjaman uang tanpa menggunakan jaminan atau gadai apapun.
b)
Pemahaman masyarakat yang masih berpikir gadai konvensional sehingga Pegadaian
Syariah belum bisa di percaya oleh masyarakat secara penuh.
IV. SIMPULAN
PERUM pegadaian syariah merupakan perusahaan yang bergerak di bidang jasa keuangan
dengan bentuk Badan Usaha Milik Negara. Sebagai perusahaan yang di miliki oleh negara, ia
harus tunduk terhadap perundang-undangan yang mengatur tentang PERUM. Perundangundangan yang mengatur tentang PERUM (Perusahaan Umum) adalah Undang-Undang
Nomor 9 Tahun 1969 dan Peraturan Pemerintah Nomor 103 Tahun 2000 tentang Perusahaan
Umum (PERUM) Pegadaian.
Pegadaian Syariah sebagai perusahaan milik Negara berbadan hukum artinya memiliki modal
sendiri. seluruh modalnya di miliki oleh negara berupa kekayaan negara yang dipisahkan dan
tidak terbagi atas saham.
Organisasi PERUM terdiri dari Direksi dan dewan pengawas PERUM. Kepengurusan
PERUM dilakukan oleh Direksi. Kepengurusan Direksi meliputi kegiatan pengelolaan
PERUM dalam upaya mencapai tujuan perusahaan sebagai suatu badan usaha. Para Direksi
berjumlah paling banyak 5 (lima) orang dan salah seorang diantaranya diangkat sebagai
Direktur Utama. Penambahan jumlah anggota Direksi bila melebihi jumlah yang ditetapkan
tersebut harus dilakukan dengan persetujuan PresidenOrganisasi PERUM terdiri dari Direksi
dan dewan pengawas PERUM. Kepengurusan PERUM dilakukan oleh Direksi.
Kepengurusan Direksi meliputi kegiatan pengelolaan PERUM dalam upaya mencapai tujuan
perusahaan sebagai suatu badan usaha. Para Direksi berjumlah paling banyak 5 (lima) orang
dan salah seorang diantaranya diangkat sebagai Direktur Utama. Penambahan jumlah anggota
Direksi bila melebihi jumlah yang ditetapkan tersebut harus dilakukan dengan persetujuan
Presiden.
Dalam operasional, Pegadaian Syariah di awasi oleh Dewan Pengawas Syariah sehingga
produk-produk yang di operasionalkan benar-benar sesuai syariah.

REFERENSI
Abduk Kadir Muhammad, 1998, Hukum Perusahaan Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti,
Bandung.

Abdul Ghofur Anshori, 2006, Gadai Syariah di Indonesia Konsep, Implementasi dan
institusionalisasi, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Abdul mannan,1995, Islamic economic, Theory and Practice, terjemahan oleh M. Nastangin,
Teori dan Praktik Ekonomi Islam,Penerbit PT. Dana Bhakti Wakaf, Yogyakarta.
Abdullah bin Abdulmuhsin Alturki dan Abdulfatah Muhammad Al Hulwu, Mughni, Ibnu
Qudamah Tahqiq, cetakan kedua tahun 1412H, penerbit hajar, Kairo, Mesir.
Abdullah bin Muhammad Al Thoyaar, Abdullah bin Muhammad Al Muthliq dan Muhammad
bin Ibrohim Alumusa, cetakan pertama tahun1425H Kitab Al Fiqh Al Muyassarah, Qismul
Muamalah, Madar Al Wathoni LinNasyr, Riyadh, KSA hal. 115
Abu Abdillah al-Maghribi, Mawhib al-Jall, V/2, Dar al-Fikr, Beirut, cet.II. 1398.
Abu Bakr Jabr Al Jazairi, 2005, Ensiklopedia Muslim, Minhajul Muslim, Penerbit Buku Islam
Kaffah, Edisi Revisi.
Adiwarman A. Karim,2006, Bank Islam Analisis Fiqih dan Keuangan, PT. Raja Grafindo,
Jakarta.
Ahmad Azhar Basyir, 1983, Hukum Islam tentang Riba, Utang-Piutang Gadai, al-Maarif,
Bandung.
Al Jawi, Shiddiq. Kerjasama Bisnis (Syirkah) Dalam Islam. Majalah Al Waie 57
Al-Amaanah al Aamah Lihaiat Kibar Al Ulama, 1422H, Abhaats Haiat Kibaar Al Ulama
Bil Mamlakah Al Arabiyah Al Suudiyah, Cetakan I.
Ali Anwar Yusuf,2002, Wawasan Islam, Setia Pustaka,Bandung.
Ali Athwa / SHW, Majalah suara Hidayatullah, edisi 10 / XV / Dzulqadah-Dzulhijjah, 1423
An Nabhani, Taqiyuddin. 1996. Membangun Sistem Ekonomi Alternatif Surabaya: Risalah
Gusti.
Ari Agung Nugraha, 2004, Gambaran Umum Kegiatan Usaha Pegadaian Syariah,
http://ulgs.tripod.com.
Atabik Ali dan A. Zuhdi Muhdhor,1998, Kamus Kontemporer Arab Indonesia, Penerbit Multi
Karya Grafika, Yogyakarta.
Biro Perbankan Syariah, Produk Perbankan Syariah, Karim Business consulting dan Bank
Indonesia, Jakarta.

Choiruman Pasaribu dan Suharawardi K. Lubis, Hukum Perjanjian dalam Islam, Sinar
Grafika, Jakarta, 2004.
Dewan Syariah Nasional, Fatwa Tentang Hawaluh, No. 12 / DSN MUI / IV / 2000, Majelis
Ulama Indonesia
Djuhaendah Hasan,1999, Analisis Hukum Ekonomi Terhadap Hukum Pegadaian syariah di
Indonesia, Magister Hukum Bisnis Pasca Sarjana UGM, Yogyakarta.
Emmy Pangaribuan S., 1999, Analisis Hukum Ekonomi Terhadap Hukum Persaingan,
Makalah penataran hukum perdata dan ekonomi, UGM, Yogyakarta.
Ghazali, al-Mustasyfa, dikutip oleh Umar Chapra,2000, Islam dan tantangan Ekonomi,
Penerjemah Ichwan Abidin, Penerbit Gema insani Press bekerja sama dengan tazkia Institut,
Jakarta.
Hans Wehr, 1980, A Dictionary of Modern Written Arabic, Libanon Beirut.
Heri Sudarsono,2008, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah, Penerbit Ekonosia,Yogyakarta.
Hikmanto Juwono, 1998, Analisa Ekonomi Atas Hukum Pegadaian syariah. Makalah
disampaikan dalam seminar tentang Pendekatan ekonomi dalam pengembangan sistem
hukum nasional dalam rangka globalisasi, diselenggarakan oleh Fakultas Hukum UNPAD
bekerjasama dengan BAPENAS, 30 April 1998, Bandung.

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 10 TAHUN 1998
TENTANG
PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1992 TENTANG PERBANKAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA


PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang :
a. bahwa pembangunan nasional merupakan upaya pembangunan yang berkesinambungan
dalam rangka mewujudkan masyarakat Indonesia yang adil dan makmur berdasarkan
Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 ;

b. bahwa dalam menghadapi perkembangan perekonomian nasional yang senantiasa bergerak


cepat, kompetitif, dan terintegrasi dengan tantangan yang semakin kompleks serta sistem
keuangan yang semakin maju, diperlukan penyesuaian kebijakan di bidang ekonomi,
termasuk Perbankan ;
c. bahwa dalam memasuki era globalisasi dan dengan telah diratifikasi beberapa perjanjian
internasional di bidang perdagangan barang dan jasa, diperlukan penyesuaian terhadap
peraturan perundang-undangan di bidang perekonomian khususnya sektor Perbankan ;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut pada huruf a, huruf b, dan huruf c di atas,
dipandang perlu mengubah Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
dengan Undang-undang ;
Mengingat :
1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1), Pasal 23, dan Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 ;
2. Undang-undang Nomor 13 Tahun 1968 tentang Bank Sentral (Lembaran Negara Tahun 1963
Nomor 63, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2865) ;
3. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Tahun 1992
Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3472) ;
Dengan Persetujuan
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN :
Menetapkan :
UNDANG-UNDANG TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1992
TENTANG PERBANKAN
Pasal I
Mengubah beberapa ketentuan dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
sebagai berikut:
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan :
1. Perbankan adalah segala sesuatu yang menyangkut tentang bank, mencakup kelembagaan,
kegiatan usaha, serta cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan usahanya ;
2. Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan
dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya
dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak ;
3. Bank Umum adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional dan atau
berdasarkan Prinsip Syariah yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas
pembayaran ;
4. Bank Perkreditan Rakyat adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara
konvensional atau berdasarkan Prinsip Syariah yang dalam kegiatannya tidak memberikan
jasa dalam lalu lintas pembayaran ;
5. Simpanan adalah dana yang dipercayakan oleh masyarakat kepada bank berdasarkan
perjanjian penyimpanan dana dalam bentuk giro, deposito, sertifikat deposito, tabungan dan
atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu ;
6. Giro adalah simpanan yang penarikannya dapat dilakukan setiap saat dengan menggunakan
cek, bilyet giro, sarana perintah pembayaran lainnya, atau dengan pemindahbukuan ;
7. Deposito adalah simpanan yang penarikannya hanya dapat dilakukan pada waktu tertentu
berdasarkan perjanjian Nasabah Penyimpan dengan bank ;
8. Sertifikat Deposito adalah simpanan dalam bentuk deposito yang sertifikat bukti
penyimpannya dapat dipindahtangankan ;

9. Tabungan adalah simpanan yang penarikannya hanya dapat dilakukan menurut syarat
tertentu yang disepakati, tetapi tidak dapat ditarik dengan cek, bilyet giro, dan atau alat
lainnya yang dipersamakan dengan itu ;
10. Surat Berharga adalah surat pengakuan utang, wesel, saham, obligasi, sekuritas kredit, atau
setiap derivatifnya, atau kepentingan lain, atau suatu kewajiban dari penerbit, dalam bentuk
yang lazim diperdagangkan dalam pasar modal dan pasar uang ;
11. Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu,
berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain
yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu
dengan pemberian bunga ;
12. Pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah adalah penyediaan uang atau tagihan yang
dipersamakan dengan itu berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara bank dengan
pihak lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai untuk mengembalikan uang atau tagihan
tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan atau bagi hasil ;
13. Prinsip Syariah adalah aturan perjanjian berdasarkan hukum Islam antara bank dengan pihak
lain untuk menyimpan dana dan atau pembiayaan kegiatan usaha, atau kegiatan lainnya
yang dinyatakan sesuai dengan syariah, antara lain pembiayaan berdasarkan prinsip bagi
hasil (mudharabah), pembiayaan berdasarkan prinsip penyertaan modal (musharakah),
prinsip jual beli barang dengan memperoleh keuntungan (murabahah), atau pembiayaan
barang modal berdasarkan prinsip sewa murni tanpa pilihan (ijarah), atau dengan adanya
pilihan pemindahan kepemilikan atas barang yang disewa dari pihak bank oleh pihak lain
(ijarah wa iqtina) ;
14. Penitipan adalah penyimpanan harta berdasarkan perjanjian atau kontrak antara Bank Umum
dengan penitip, dengan ketentuan Bank Umum yang bersangkutan tidak mempunyai hak
kepemilikan atas harta tersebut ;
15. Wali Amanat adalah kegiatan usaha yang dapat dilakukan oleh Bank Umum dengan penitip,
dengan ketentuan Bank Umum yang bersangkutan tidak mempunyai hak kepemilikan atas
harta tersebut ;
16. Nasabah adalah pihak yang menggunakan jasa bank ;
17. Nasabah Penyimpan adalah nasabah yang menempatkan dananya di bank dalam bentuk
simpanan berdasarkan perjanjian bank sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang yang
berlaku ;
21. Pimpinan Bank Indonesia adalah pimpinan sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang
yang berlaku ;
22. Pihak Terafiliasi adalah :
a. anggota Dewan Komisaris, pengawas, Direksi atau kuasanya, pejabat, atau karyawan
bank ;
b. anggota pengurus, pengawas, pengelola atau kuasanya, pejabat, atau karyawan bank,
khusus bagi bank yang berbentuk hukum koperasi sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku ;
c. pihak yang memberikan jasanya kepada bank, antara lain akuntan publik, penilai,
konsultan hukum dan konsultan lainnya ;
d. pihak yang menurut penilaian Bank Indonesia turut serta mempengaruhi pengelolaan
bank, antara lain pemegang saham dan keluarganya, keluarga Komisaris, keluarga
pengawas, keluarga Direksi, keluarga pengurus ;
23. Agunan adalah jaminan tambahan yang diserahkan Nasabah Debitur kepada bank dalam
rangka pemberian fasilitas kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah ;
24. Lembaga Penjamin Simpanan adalah badan hukum yang menyelenggarakan kegiatan
penjaminan atas simpanan Nasabah Penyimpan melalui skim asuransi, dan penyangga, atau
skim lainnya;
25. Merger adalah penggabungan dari dua bank atau lebih, dengan cara tetap mempertahankan
berdirinya salah satu bank dan membubarkan bank-bank lainya dengan atau tanpa
melikuidasi;
26. Konsolidasi adalah penggabungan dari dua bank atau lebih, dengan cara mendirikan bak
baru dan membubarkan bank-bank tersebut dengan atau tanpa likuidasi;
27. Akuisisi adalah pengambilalihan kepemilikan suatu bank;
28. Rahasia bank adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan keterangan mengenai
nasabah penyimpan dan simpanannya."

BAB II
ASAS, FUNGSI, DAN TUJUAN
Pasal 2
Perbankan Indonesia dalam melakukan usahanya berasaskan demokrasi ekonomi dengan
menggunakan prinsip kehati-hatian.
Pasal 3
Fungsi utama perbankan Indonesia adalah sebagai penghimpun dan penyalur dana masyarakat.
Pasal 4
Perbankan Indonesia bertujuan menunjang pelaksanaan pembangunan nasional dalam rangka
meningkatkan pemerataan, pertumbuhan ekonomi, dan stabilitas nasional ke arah peningkatan
kesejahteraan rakyat banyak.
BAB III
JENIS DAN USAHA BANK
Bagian Pertama
Jenis Bank
Pasal 5
1. Menurut jenisnya, bank terdiri dari :
a. Bank Umum ;
b. Bank Perkreditan Rakyat.
2. Bank Umum dapat mengkhususkan diri untuk melaksanakan kegiatan tertentu atau
memberikan perhatian yang lebih besar kepada kegiatan tertentu.
Bagian Kedua
Usaha Bank Umum
Pasal 6
Usaha Bank Umum meliputi :
a. menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan berupa giro, deposito berjangka,
sertifikat deposito, tabungan, dan/atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu ;
b. memberikan kredit ;
c. menerbitkan surat pengakuan hutang ;
d. membeli, menjual atau menjamin atas risiko sendiri maupun untuk kepentingan dan atas
perintah nasabahnya :
1. surat-surat wesel termasuk wesel yang diakseptasi oleh bank yang masa berlakunya tidak
lebih lama daripada kebiasaan dalam perdagangan surat-surat dimaksud ;
2. surat pengakuan hutang dan kertas dagang lainnya yang masa berlakunya tidak lebih
lama dari kebiasaan dalam perdagangan surat-surat dimaksud ;
3. kertas perbendaharaan negara dan surat jaminan pemerintah ;
4. Sertifikat Bank Indonesia (SBI) ;
5. obligasi ;
6. surat dagang berjangka waktu sampai dengan 1 (satu) tahun ;
7. instrumen surat berharga lain yang berjangka waktu sampai dengan 1 (satu) tahun ;
e. memindahkan uang baik untuk kepentingan sendiri maupun untuk kepentingan nasabah ;
f. menempatkan dana pada, meminjam dana dari, atau meminjamkan dana kepada bank lain,
baik dengan menggunakan surat, sarana telekomunikasi maupun dengan wesel unjuk, cek
atau sarana lainnya ;
g. menerima pembayaran dari tagihan atas surat berharga dan melakukan perhitungan dengan
antar pihak ketiga ;
h. menyediakan tempat untuk menyimpan barang dan surat berharga ;
i. melakukan kegiatan penitipan untuk kepentingan pihak lain berdasarkan suatu kontrak ;
j. melakukan penempatan dana dari nasabah kepada nasabah lainnya dalam bentuk surat
berharga yang tidak tercatat di bursa efek ;
k. dihapus ;
l. melakukan kegiatan anjak piutang, usaha kartu kredit dan kegiatan wali amanat ;
m. menyediakan pembiayaan dan atau melakukan kegiatan lain berdasarkan Prinsip Syariah,
sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia ;

n. melakukan kegiatan lain yang lazim dilakukan oleh bank sepanjang tidak bertentangan
dengan Undang-undang ini dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 7
Selain melakukan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, Bank Umum dapat pula :
a. melakukan kegiatan dalam valuta asing dengan memenuhi ketentuan yang ditetapkan oleh
Bank Indonesia ;
b. melakukan kegiatan penyertaan modal pada bank atau perusahaan di bidang keuangan,
seperti sewa guna usaha, modal ventura, perusahaan efek, asuransi, serta lembaga kliring
penyelesaian dan penyimpanan, dengan memenuhi ketentuan yang ditetapkan oleh Bank
Indonesia ;
c. melakukan kegiatan penyertaan modal sementara untuk mengatasi akibat kegagalan kredit
atau kegagalan pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah, dengan syarat harus menarik
kembali penyertaannya, dengan memenuhi ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia ;
dan
d. bertindak sebagai pendiri dana pensiun dan pengurus pensiun sesuai dengan ketentuan
dalam peraturan perundang-undangan dana pensiun yang berlaku.
Pasal 8
1. Dalam memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah, Bank Umum wajib
mempunyai keyakinan berdasarkan analisis yang mendalam atau itikad baik dan kemampuan
serta kesanggupan Nasabah Debitur untuk melunasi utangnya atau mengembalikan
pembiayaan dimaksud sesuai dengan yang diperjanjikan.
2. Bank Umum wajib memiliki dan menerapkan pedoman perkreditan dan pembiayaan
berdasarkan Prinsip Syariah, sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
Pasal 9
1. Bank Umum yang menyelenggarakan kegiatan penitipan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 6 huruf i, bertanggung jawab untuk menyimpan harta milik penitip, dan memenuhi
kewajiban lain sesuai dengan kontrak.
2. Harta yang dititipkan wajib dibukukan dan dicatat secara tersendiri.
3. Dalam hal bank mengalami kepailitan, semua harta yang dititipkan pada bank tersebut tidak
dimasukkan dalam harta kepailitan dan wajib dikembalikan kepada penitip yang
bersangkutan.
Pasal 10
Bank Umum dilarang :
a. melakukan penyertaan modal kecuali sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf b dan
huruf c ;
b. melakukan usaha perasuransian ;
c. melakukan usaha lain di luar kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dan
Pasal 7
Pasal 11
1. Bank Indonesia menetapkan ketentuan mengenai batas maksimum pemberian kredit atau
pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah, pemberian jaminan, penempatan investasi surat
berharga atau hal lain yang serupa, yang dapat dilakukan oleh bank kepada peminjam atau
sekelompok peminjam yang terkait termasuk kepada perusahaan-perusahaan dalam
kelompok yang sama dengan bank yang bersangkutan.
2. Batas maksimum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak boleh melebihi 30 % (tiga
puluh perseratus) dari modal bank yang sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank
Indonesia.
3. Bank Indonesia menetapkan ketentuan mengenai batas maksimum pemberikan kredit, atau
pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah, pemberian jaminan, penempatan investasi surat
berharga, atau hal lain yang serupa yang dapat dilakukan oleh bank kepada :
a. pemegang saham yang memiliki 10 % (sepuluh perseratus) atau lebih dari modal disetor
bank ;
b. anggota Dewan Komisaris ;
c. anggota Direksi ;
d. keluarga dari pihak sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c ;
e. pejabat bank lainnya ; dan

f.
4.

1.
2.
1.

2.

perusahaan-perusahaan yang di dalamnya terdapat kepentingan dari pihak-pihak


sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e.
Dalam memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah, bank dilarang
melampaui batas maksimum pemberian kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah
sebagaimana diatur dalam ayat (1), ayat (2), ayat (3) dan ayat (4).
Pasal 12
Untuk menunjang pelaksanaan program peningkatan taraf hidup rakyat banyak melalui
pemberdayaan koperasi, usaha kecil dan menengah, Pemerintah bersama Bank Indonesia
dapat melakukan kerjasama dengan Bank Umum.
Ketentuan mengenai kerjasama dengan Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 12 A
Bank Umum dapat membeli sebagian atau seluruh agunan, baik melalui pelelangan maupun
di luar pelelangan berdasarkan penyerahan secara sukarela oleh pemilik agunan atau
berdasarkan kuasa untuk menjual di luar lelang dari pemilik agunan dalam hal Nasabah
Debitur tidak memenuhi kewajibannya kepada bank dengan ketentuan agunan yang dibeli
tersebut wajib dicairkan secepatnya.
Ketentuan mengenai tata cara pembelian agunan dan pencairannya sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Bagian Ketiga
Usaha Bank Perkreditan Rakyat
Pasal 13
Usaha Bank Perkreditan Rakyat meliputi :
a. menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan berupa deposito berjangka,
tabungan, dan/atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu ;
b. memberikan kredit ;
c. menyediakan pembiayaan dan penempatan dana berdasarkan Prinsip Syariah, sesuai
dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia ;
d. menempatkan dananya dalam bentuk Sertifikat Bank Indonesia (SBI), deposito berjangka,
sertifikat deposito, dan/atau tabungan pada bank lain.
Pasal 14
Bank Perkreditan Rakyat dilarang :
a. menerima simpanan berupa giro dan ikut serta dalam lalu lintas pembayaran ;
b. melakukan kegiatan usaha dalam valuta asing ;
c. melakukan penyertaan modal ;
d. melakukan usaha perasuransian ;
e. melakukan usaha lain di luar kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13.
Pasal 15
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 dan Pasal 11 berlaku juga bagi Bank Perkreditan
Rakyat.
BAB IV
PERIZINAN, BENTUK HUKUM
DAN KEPEMILIIKAN
Bagian Pertama
Perizinan
Pasal 16
1. Setiap pihak yang melakukan kegiatan menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk
simpanan wajib terlebih dahulu memperoleh izin usaha sebagai Bank Umum atau Bank
Perkreditan Rakyat dari Pimpinan Bank Indonesia, kecuali apabila kegiatan menghimpun
dana dari masyarakat dimaksud diatur dengan Undang-undang tersendiri.
2. Untuk memperoleh izin usaha Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1), wajib dipenuhi persyaratan sekurang-kurangnya tentang :
a. susunan organisasi dan kepengurusan ;
b. permodalan ;
c. kepemilikan ;
d. keahlian di bidang Perbankan ;
e. kelayakan rencana kerja.

3. Persyaratan dan tata cara perizinan bank sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) ditetapkan
oleh Bank Indonesia.
Pasal 17
Dihapus
Pasal 18
1. Pembukaan kantor cabang Bank Umum hanya dilakukan dengan izin Pimpinan Bank
Indonesia.
2. Pembukaan kantor cabang, kantor perwakilan, dan jenis-jenis kantor lainnya di luar negeri
dari Bank Umum hanya dapat dilakukan dengan izin Pimpinan Bank Indonesia.
3. Pembukaan kantor di bawah kantor cabang Bank Umum wajib dilaporkan terlebih dahulu
kepada Bank Indonesia.
4. Persyaratan dan tata cara pembukaan kantor Bank Umum dilaporkan terlebih dahulu kepada
Bank Indonesia.
Pasal 19
1. Pembukaan kantor cabang Bank Perkreditan Rakyat hanya dapat dilakukan dengan izin
Pimpinan Bank Indonesia.
2. Persyaratan dan tata cara pembukaan kantor Bank Perkreditan Rakyat sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan oleh Bank Indonesia.
Pasal 20
1. Pembukaan kantor cabang, kantor cabang pembantu, dan kantor perwakilan dari suatu bank
yang berkedudukan di luar negeri, hanya dapat dilakukan dengan izin Pimpinan Bank
Indonesia.
2. Pembukaan kantor di bawah kantor cabang pembantu dari bank sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) wajib dilaporkan kepada Bank Indonesia.
3. Persyaratan dan tata cara pembukaan kantor-kantor sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Kedua
Bentuk Hukum
Pasal 21
1. Bentuk hukum suatu Bank Umum dapat berupa :
a. Perseroan Terbatas ;
b. Koperasi ; atau
c. Perusahaan Daerah.
2. Bentuk hukum suatu Bank Perkreditan Rakyat dapat berupa salah satu dari :
a. Perusahaan Daerah ;
b. Koperasi ;
c. Perseroan Terbatas ;
d. Bentuk lain yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
3. Bentuk hukum dari kantor perwakilan dan kantor cabang bank yang berkedudukan di luar
negeri mengikuti bentuk hukum kantor pusatnya.
Bagian Ketiga
Kepemilikan
Pasal 22
1. Bank Umum hanya dapat didirikan oleh :
a. Warga negara Indonesia dan atau badan hukum Indonesia ; atau
b. Warga negara Indonesia dan atau badan hukum Indonesia dengan warga negara asing
dan atau badan hukum asing secara kemitraan.
2. Ketentuan mengenai persyaratan pendirian yang wajib dipenuhi pihak-pihak sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan oleh Bank Indonesia.
Pasal 23
Bank Perkreditan Rakyat hanya dapat didirikan dan dimiliki oleh warga negara Indonesia yang
seluruh pemiliknya warga negara Indonesia, pemerintah daerah, atau dapat dimiliki bersama di antara
ketiganya.
Pasal 24
Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat yang berbentuk hukum koperasi, kepemilikannya diatur
berdasarkan ketentuan dalam Undang-undang tentang perkoperasian yang berlaku.
Pasal 25

Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat yang berbentuk hukum perseroan terbatas, sahamnya
hanya dapat diterbitkan dalam bentuk saham atas nama.
Pasal 26
1. Bank Umum dapat melakukan emisi saham melalui bursa efek.
2. Warga negara Indonesia, warga negara asing, badan hukum Indonesia dan atau badan
hukum asing dapat membeli saham Bank Umum, baik secara langsung dan atau melalui
bursa efek.
3. Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diatur lebih lanjut dengan
Peraturan Pemerintah.
Pasal 27
Perubahan kepemilikan bank wajib :
a. memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (3), Pasal 22, Pasal 23,
Pasal 24, Pasal 25, dan Pasal 26 ; dan
b. dilaporkan kepada Bank Indonesia.
Pasal 28
1. Merger, konsolidasi, dan akuisisi wajib terlebih dahulu mendapat izin Pimpinan Bank
Indonesia.
2. Ketentuan mengenai merger, konsolidasi, dan akuisisi ditetapkan dengan Peraturan
Pemerintah.
BAB V
PEMBINAAN DAN PENGAWASAN
Pasal 29
1. Pembinaan dan pengawasan bank dilakukan oleh Bank Indonesia.
2. Bank wajib memelihara tingkat kesehatan bank sesuai dengan ketentuan kecukupan modal,
kualitas aset, kualitas manajemen, likuiditas, rentabilitas, solvabilitas, dan aspek lain yang
berhubungan dengan usaha bank, dan wajib melakukan kegiatan usaha sesuai dengan
prinsip kehati-hatian.
3. Dalam memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah dan melakukan
kegiatan usaha lainnya, bank wajib menempuh cara-cara yang tidak merugikan bank dan
kepentingan nasabah yang mempercayakan dananya kepada bank.
4. Untuk kepentingan nasabah, bank wajib menyediakan informasi mengenai kemungkinan
timbulnya risiko kerugian sehubungan dengan transaksi nasabah yang dilakukan melalui
bank.
5. Ketentuan yang wajib dipenuhi oleh bank sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), ayat (3),
dan ayat (4) ditetapkan oleh Bank Indonesia.
Pasal 30
1. Bank wajib menyampaikan kepada Bank Indonesia, segala keterangan, dan penjelasan
mengenai usahanya menurut tata cara yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
2. Bank atas permintaan Bank Indonesia, wajib memberikan kesempatan bagi pemeriksaan
buku-buku dan berkas-berkas yang ada padanya, serta wajib memberikan bantuan yang
diperlukan dalam rangka memperoleh kebenaran dari segala keterangan, dokumen dan
penjelasan yang dilaporkan oleh bank yang bersangkutan.
3. Keterangan tentang bank yang diperoleh berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) dan ayat (2) tidak diumumkan dan bersifat rahasia.
Pasal 31
Bank Indonesia melakukan pemeriksaan terhadap Bank, baik secara berkala maupun setiap waktu
apabila diperlukan.
Pasal 31 A
Bank Indonesia dapat menugaskan Akuntan Publik untuk dan atas nama Bank Indonesia
melaksanakan pemeriksaan terhadap bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31.
Pasal 32
Dihapus
Pasal 33
1. Laporan pemeriksaan bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 dan Pasal 31 A bersifat
rahasia.
2. Persyaratan dan tata cara pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 dan Pasal
31 A ditetapkan oleh Bank Indonesia.
Pasal 34

1. Bank wajib menyampaikan kepada Bank Indonesia neraca dan perhitungan laba/rugi tahunan
serta penjelasannya, serta laporan berkala lainnya, dalam waktu dan bentuk yang ditetapkan
oleh Bank Indonesia.
2. Neraca serta perhitungan laba/rugi tahunan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib
terlebih dahulu diaudit oleh akuntan publik.
3. Tahun buku bank adalah tahun takwim.
Pasal 35
Bank wajib mengumumkan neraca dan perhitungan laba/rugi dalam waktu dan bentuk yang
ditetapkan oleh Bank Indonesia.
Pasal 36
Bank Indonesia dapat menetapkan pengecualian dari ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
34 ayat (2) bagi Bank Perkreditan Rakyat.
Pasal 37
1. Dalam hal suatu bank mengalami kesulitan yang membahayakan kelangsungan usahanya,
Bank Indonesia dapat melakukan tindakan agar :
a. pemegang saham menambah modal ;
b. pemegang saham menganti Dewan Komisaris dan atau Direksi bank ;
c. bank menghapusbukukan kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah yang
macet dan memperhitungkan kerugian bank dengan modalnya ;
d. bank melakukan merger atau konsolidasi dengan bank lain ;
e. bank dijual kepada pembeli yang bersedia mengambil alih seluruh kewajiban ;
f. bank menyerahkan pengelolaan seluruh atau sebagian kegiatan bank kepada pihak lain ;
g. bank dijual sebagian atau seluruh harta dan atau kewajiban bank kepada bank atau pihak
lain.
2 Apabila :
a. tindakan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) belum cukup untuk mengatasi kesulitan
yang dihadapi bank ; dan
b. menurut penilaian Bank Indonesia keadaan suatu bank dapat membahayakan sistem
Perbankan, Pimpinan Bank Indonesia dapat mencabut izin usaha bank dan
memerintahkan Direksi bank untuk segera menyelenggarakan Rapat Umum Pemegang
Saham guna membubarkan badan hukum bank dan membentuk tim likuidasi.
3. Dalam hal Direksi bank tidak menyelenggarakan Rapat Umum Pemegang Saham
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), Pimpinan Bank Indonesia meminta kepada
pengadilan untuk mengeluarkan penetapan yang berisi pembubaran badan hukum bank,
penunjukan tim likuidasi, dan perintah pelaksanaan likuidasi sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 37 A
1. Apabila menurut penilaian Bank Indonesia terjadi kesulitan Perbankan yang membahayakan
perekonomian nasional, atas permintaan Bank Indonesia, Pemerintah setelah berkonsultasi
kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dapat membentuk badan khusus yang
bersifat sementara dalam rangka penyehatan Perbankan.
2. Badan khusus sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) melakukan program penyehatan
terhadap bank-bank yang ditetapkan dan diserahkan kepada badan dimaksud.
3. Dalam melaksanakan program penyehatan terhadap bank-bank khusus sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) mempunyai wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37
ayat (1) serta wewenang lain yaitu :
a. mengambil alih dan menjalankan segala hak dan wewenang pemegang saham termasuk
hak dan wewenang Rapat Umum Pemegang Saham ;
b. mengambil alih dan melaksanakan segala hak dan wewenang Direksi dan Komisaris Bank
;
c. menguasai, mengelola dan melakukan tindakan kepemilikan atas kekayaan milik atau
yang menjadi hak-hak bank, termasuk kekayaan bank yang berada pada pihak manapun,
baik di dalam maupun di luar negeri, baik secara langsung maupun melalui penawaran
umum ;
d. meninjau ulang, membatalkan, mengakhiri, dan atau mengubah kontrak yang mengikat
bank dengan pihak ketiga, yang menurut pertimbangan badan khusus merugikan bank ;
e. menjual atau mengalihkan kekayaan bank, Direksi, Komisaris, dan pemegang saham
tertentu di dalam negeri ataupun di luar negeri, baik secara langsung maupun melalui
penawaran umum ;

f.

4.
5.

6.
7.
8.
9.
1.
2.
3.
4.

1.
2.
1.
2.
1.

menjual atau mengalihkan tagihan bank dan atau menyerahkan pengelolaannya kepada
pihak lain, tanpa memerlukan persetujuan Nasabah Debitur ;
g. mengalihkan pengelolaan kekayaan dan atau manajemen bank kepada pihak lain ;
h. melakukan penyertaan modal sementara pada bank, secara langsung atau melalui
pengonversian tagihan badan khusus menjadi penyertaan modal pada bank ;
i.melakukan penagihan piutang bank yang sudah pasti dengan menerbitkan Surat paksa ;
j.melakukan pengosongan atas tanah dan atau bangunan milik atau yang menjadi hak bank
yang dikuasai oleh pihak lain, baik sendiri maupun dengan bantuan alat negara penegak
hukum yang berwenang ;
k. melakukan penelitian dan pemeriksaan untuk memperoleh segala keterangan yang
diperlukan dari dan mengenai bank dalam program penyehatan, dan pihak manapun yang
terlibat atau patut terlibat, atau mengetahui kegiatan yang merugikan bank dalam program
penyehatan tersebut ;
l.menghitung dan menetapkan kerugian yang dialami bank dalam program penyehatan dan
membebankan kerugian tersebut kepada modal bank yang bersangkutan, dan bilamana
kerugian tersebut terjadi karena kesalahan atau kelalaian Direksi, Komisaris, dan atau
pemegang saham, maka kerugian tersebut akan dibebankan kepada yang bersangkutan ;
m. menetapkan jumlah tambahan modal yang wajib disetor oleh pemegang saham bank
dalam program penyehatan ;
n. melakukan tindakan lain yang diperlukan untuk menunjang pelaksanaan wewenang
sebagaimana dimaksud dalam huruf a sampai dengan huruf m.
Tindakan penyehatan Perbankan oleh badan khusus sebagaimana dimaksud dalam ayat (3)
adalah sah berdasarkan Undang-undang ini.
Atas permintaan badan khusus sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), bank dalam program
penyehatan wajib memberikan segala keterangan dan penjelasan mengenai usahanya
termasuk memberikan kesempatan bagi pemeriksaan buku-buku dan berkas yang ada
padanya, dan wajib memberikan bantuan yang diperlukan dalam rangka memperoleh
keterangan, dokumen, dan penjelasan yang diperoleh bank dimaksud.
Pihak-pihak sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) huruf k wajib memberikan keterangan
dan penjelasan yang diminta oleh badan khusus.
Badan khusus sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib menyampaikan laporan kegiatan
kepada Menteri Keuangan.
Apabila menurut penilaian Pemerintah, badan khusus telah menyelesaikan tugasnya,
Pemerintah menyatakan berakhirnya badan khusus tersebut ;
Ketentuan yang diperlukan bagi pelaksanaan Pasal ini diatur lebih lanjut dengan Peraturan
Pemerintah.
Pasal 37 B
Setiap bank wajib menjamin dana masyarakat yang disimpan pada bank yang bersangkutan.
Untuk menjamin simpanan masyarakat pada bank sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dibentuk Lembaga Penjamin Simpanan.
Lembaga Penjamin Simpanan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) berbentuk badan
hukum Indonesia.
Ketentuan mengenai penjaminan dana masyarakat dan Lembaga Penjamin Simpanan, diatur
lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
BAB VI
DEWAN KOMISARIS, DIREKSI
DAN TENAGA ASING
Pasal 38
Pengangkatan keanggotaan dewan komisaris dan direksi bank, wajib memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (6) dan Pasal 17.
Perubahan keanggotaan dewan komisaris dan direksi bank sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) wajib dilaporkan kepada Bank Indonesia.
Pasal 39
Dalam menjalankan kegiatannya, bank dapat menggunakan tenaga asing.
Persyaratan mengenai penggunaan tenaga asing sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 40
Bank wajib merahasiakan keterangan mengenai Nasabah Penyimpan dan simpanannya,
kecuali dalam hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41, Pasal 41 A, Pasal 42, Pasal 43,
Pasal 44, dan Pasal 44 A.

2. Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku pula bagi Pihak Terafiliasi.
Pasal 41
1. Untuk kepentingan perpajakan, Pimpinan Bank Indonesia atas permintaan Menteri Keuangan
berwenang mengeluarkan perintah tertulis kepada bank agar memberikan keterangan dan
memperlihatkan bukti-bukti tertulis serta surat-surat mengenai keadaan keuangan nasabah
penyimpan tertentu kepada pejabat pajak.
2. Perintah tertulis sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) harus menyebutkan nama
pejabat pajak dan nama nasabah wajib pajak yang dikehendaki keterangannya.
Pasal 41 A
1. Untuk penyelesaian piutang bank yang sudah diserahkan kepada Badan Urusan Piutang dan
Lelang Negara / Panitia Urusan Piutang Negara, Pimpinan Bank Indonesia memberikan izin
kepada pejabat Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara / Panitia Urusan Piutang Negara
untuk memperoleh keterangan dari bank mengenai simpanan Nasabah Debitur.
2. Izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diberikan secara tertulis atas permintaan tertulis
dari Kepala Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara / Ketua Panitia Urusan Piutang
Negara.
3. Permintaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) harus menyebutkan nama dan jabatan
pejabat Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara / Panitia Urusan Piutang Negara, nama
Nasabah Debitur yang bersangkutan dan alasan diperlukannya keterangan.
Pasal 42
1. Untuk kepentingan peradilan dalam perkara pidana, Pimpinan Bank Indonesia dapat
memberikan izin kepada polisi, jaksa atau hakim untuk memperoleh keterangan dari bank
mengenai simpanan tersangka atau terdakwa pada bank.
2. Izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diberikan secara tertulis atas permintaan tertulis
dari Kepala Kepolisian Republik Indonesia, Jaksa agung, atau Ketua Mahkamah Agung.
3. Permintaan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (2) harus menyebutkan nama dan
jabatan polisi, jaksa atau hakim, nama tersangka /terdakwa, alasan diperlukannya keterangan
dan hubungan perkara pidana yang bersangkutan dengan keterangan yang diperlukan.
Pasal 42 A
Bank wajib memberikan keterangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41, Pasal 41 A dan Pasal
42.
Pasal 43
Dalam perkara perdata antar bank dengan nasabahnya, Direksi bank yang bersangkutan dapat
menginformasikan kepada pengadilan tentang keadaan keuangan nasabah yang bersangkutan dan
memberikan keterangan lain yang relevan dengan perkara tersebut.
Pasal 44
1. Dalam tukar menukar informasi antar bank, Direksi bank dapat memberitahukan keadaan
keuangan nasabahnya kepada bank lain.
2. Ketentuan mengenai tukar menukar informasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur
lebih lanjut oleh Bank Indonesia.
Pasal 44 A
1. Atas permintaan, persetujuan atau kuasa dari Nasabah Penyimpan yang dibuat secara
tertulis, bank wajib memberikan keterangan mengenai simpanan Nasabah Penyimpan pada
bank yang bersangkutan kepada pihak yang ditunjuk oleh Nasabah Penyimpan tersebut.
2. Dalam hal Nasabah Penyimpan telah meninggal dunia, ahli waris yang sah dari Nasabah
Penyimpan yang bersangkutan berhak memperoleh keterangan mengenai simpanan
Nasabah Penyimpan tersebut.
Pasal 45
Pihak yang merasa dirugikan oleh keterangan yang diberikan oleh bank sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 41, Pasal 42, Pasal 43 dan Pasal 44, berhak untuk mengetahui isi keterangan tersebut
dan meminta pembetulan jika terdapat kesalahan dalam keterangan yang diberikan.
BAB VIII
KETENTUAN PIDANA
DAN SANKSI ADMINISTRATIF
Pasal 46
1. Barang siapa menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan tanpa izin usaha
dari Pimpinan Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16, diancam dengan
pidana penjara sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun

serta denda sekurang-kurangnya Rp. 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) dan paling
banyak Rp. 20.000.000.000,00 (dua puluh miliar rupiah).
2. Dalam hal kegiatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan oleh badan hukum yang
berbentuk perseroan terbatas, perserikatan, yayasan atau koperasi, maka penuntutan
terhadap badan-badan dimaksud dilakukan baik terhadap badan-badan dimaksud dilakukan
baik terhadap mereka yang memberikan perintah melakukan perbuatan itu atau yang
bertindak sebagai pimpinan dalam perbuatan itu atau terhadap kedua-duanya.
Pasal 47
1. Barang siapa tanpa membawa perintah tertulis atau izin dari Pimpinan Bank Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41, Pasal 41 A, dan Pasal 42, dengan sengaja
memaksa bank atau Pihak Terafiliasi untuk memberikan keterangan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 40, diancam dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun dan
paling lama 4 (empat) tahun serta denda sekurang-kurangnya Rp. 10.000.000.000,00
(sepuluh miliar rupiah) dan paling banyak Rp. 200.000.000.000,00 (dua ratus miliar rupiah).
2. Anggota Dewan Komisaris, Direksi, pegawai bank atau Pihak Terafiliasi lainnya dengan
sengaja memberikan keterangan yang wajib dirahasiakan menurut Pasal 40, diancam
dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun serta denda sekurang-kurangnya
Rp. 4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah) dan paling banyak Rp. 8.000.000.000,00 (delapan
miliar rupiah).
Pasal 47 A
Anggota Dewan Komisaris, Direksi, atau pegawai bank yang dengan sengaja tidak memberikan
keterangan yang wajib dipenuhi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 A dan Pasal 44 A, diancam
dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun serta
denda sekurang-kurangnya Rp. 4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah) dan paling banyak Rp.
15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah).
Pasal 48
1. Anggota Dewan Komisaris, Direksi, atau pegawai bank yang dengan sengaja tidak
memberikan keterangan yang wajib dipenuhi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1)
dan ayat (2) dan Pasal 34 ayat (1) dan ayat (2), diancam dengan pidana penjara sekurangkurangnya 2 (dua) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun serta denda sekurangkurangnya Rp. 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp.
100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah).
2. Anggota Dewan Komisaris, Direksi, atau pegawai bank yang dengan lalai memberikan
keterangan yang wajib dipenuhi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1) dan ayat (2)
dan Pasal 34 ayat (1) dan ayat (2), diancam dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 1
(satu) tahun dan paling lama 2 (dua) tahun dan atau denda sekurang-kurangnya Rp.
1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp. 2.000.000.000,00 (dua miliar
rupiah).
Pasal 49
1. Anggota Dewan Komisaris, Direksi, atau pegawai bank yang dengan sengaja :
a. membuat atau menyebabkan adanya pencatatan palsu dalam pembukuan atau dalam
proses laporan, maupun dalam dokumen atau laporan kegiatan usaha, laporan transaksi
atau rekening suatu bank ;
b. menghilangkan atau tidak memasukkan atau menyebabkan tidak dilakukannya pencatatan
dalam pembukuan atau dalam laporan, maupun dalam dokumen atau laporan kegiatan
usaha, laporan transaksi atau rekening suatu bank ;
c. mengubah, mengaburkan, menyembunyikan, menghapus, atau menghilangkan adanya
suatu pencatatan dalam pembukuan atau dalam laporan, maupun dalam dokumen atau
laporan kegiatan usaha, laporan transaksi atau rekening suatu bank, atau dengan sengaja
mengubah, mengaburkan, menghilangkan, menyembunyikan atau merusak catatan
pembukuan tersebut, diancam dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun
dan paling lama 15 (lima belas) tahun serta denda sekurang-kurangnya Rp.
10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) dan paling banyak Rp. 200.000.000.000,00 (dua
ratus miliar rupiah).
2. Anggota Dewan Komisaris, Direksi, atau pegawai bank yang dengan sengaja :
a. meminta atau menerima, mengizinkan atau menyetujui untuk menerima suatu imbalan,
komisi, uang tambahan, pelayanan, uang atau barang berharga, untuk keuntungan
pribadinya atau untuk keuntungan keluarganya, dalam rangka mendapatkan atau
berusaha mendapatkan bagi orang lain dalam memperoleh uang muka, bank garansi, atau
fasilitas kredit dari bank, atau dalam rangka pembelian atau pendiskontoan oleh bank atas

surat-surat wesel, surat promes, cek, dan kertas dagang atau bukti kewajiban lainnya,
ataupun dalam rangka memberikan persetujuan bagi orang lain untuk melaksanakan
penarikan dana yang melebihi batas kreditnya pada bank ;
b. tidak melaksanakan langkah-langkah yang diperlukan untuk memastikan ketaatan bank
terhadap ketentuan dalam Undang-undang ini dan ketentuan peraturan perundangundangan lainnya yang berlaku bagi bank, diancam dengan pidana penjara sekurangkurangnya 3 (tiga) tahun dan paling lama 8 (delapan) tahun serta denda sekurangkurangnya Rp. 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp.
100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah).
Pasal 50
Pihak Terafiliasi yang dengan sengaja tidak melaksanakan langkah-langkah yang diperlukan untuk
memastikan ketaatan bank terhadap ketentuan dalam Undang-undang ini dan peraturan perundangundangan lainnya yang berlaku bagi bank, diancam dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 3
(tiga) tahun dan paling lama 8 (delapan) tahun serta denda sekurang-kurangnya Rp.
5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp. 100.000.000.000,00 (seratus miliar
rupiah).
Pasal 50 A
Pemegang saham yang dengan sengaja menyuruh Dewan Komisaris, Direksi, atau pegawai bank
untuk melakukan atau tidak melakukan tindakan yang mengakibatkan bank tidak melaksanakan
langkah-langkah yang diperlukan untuk memastikan ketaatan bank terhadap ketentuan dalam
Undang-undang ini dan ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya yang berlaku bagi bank,
diancam dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 7 (tujuh) tahun dan paling lama 15 (lima belas)
tahun serta denda sekurang-kurangnya Rp. 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) dan paling
banyak Rp. 200.000.000.000,00 (dua ratus miliar rupiah).
Pasal 51
1. Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46, Pasal 47, Pasal 47 A, Pasal 48 ayat
(1), Pasal 49, Pasal 50, dan Pasal 50 A adalah kejahatan.
2. Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 ayat (2) adalah pelanggaran.
Pasal 52
1. Dengan tidak mengurangi ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47, Pasal
47 A, Pasal 48, Pasal 49, dan Pasal 50 A, Bank Indonesia dapat menetapkan sanksi
administratif kepada bank yang tidak memenuhi kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam
Undang-undang ini, atau Pimpinan Bank Indonesia dapat mencabut izin usaha bank yang
bersangkutan.
2. Sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), antara lain adalah :
a. denda uang ;
b. teguran tertulis ;
c. penurunan tingkat kesehatan bank ;
d. larangan untuk turut serta dalam kegiatan kliring ;
e. pembekuan kegiatan usaha tertentu, baik untuk kantor cabang tertentu maupun untuk
bank secara keseluruhan ;
f. pemberhentian pengurus bank dan selanjutnya menunjuk dan mengangkat pengganti
sementara sampai Rapat Umum Pemegang Saham atau Rapat Anggota Koperasi
mengangkat pengganti yang tetap dengan persetujuan Bank Indonesia ;
g. pencantuman anggota, pengurus, pegawai bank, pemegang saham dalam daftar orang
tercela di bidang Perbankan.
3. Pelaksanaan lebih lanjut mengenai sanksi administratif ditetapkan oleh Bank Indonesia.
Pasal 53
Dengan tidak mengurangi ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50, Bank Indonesia
dapat menetapkan sanksi administratif kepada pihak terafiliasi yang tidak memenuhi kewajibannya
sebagaimana ditentukan dalam Undang-undang ini atau menyampaikan pertimbangan kepada
instansi yang berwenang untuk mencabut izin yang bersangkutan.
BAB IX
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 54
1. Dengan berlakunya Undang-undang ini :
a. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 21 Tahun 1960 tentang Bank
Pembangunan Indonesia (Lembaran Negara Tahun 1960 Nomor 65, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 1996) ;

b. Undang-undang Nomor 13 Tahun 1962 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Bank


Pembangunan Daerah (Lembaran Negara Tahun 1962 Nomor 59, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 2490) ;
c. Undang-undang Nomor 17 Tahun 1968 tentang Bank Negara Indonesia 1946 (Lembaran
Negara Tahun 1968 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2870) ;
d. Undang-undang Nomor 18 Tahun 1968 tentang Bank Dagang Negara (Lembaran Negara
Tahun 1968 Nomor 71, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2871) ;
e. Undang-undang Nomor 19 Tahun 1968 tentang Bank Bumi Daya (Lembaran Negara
Tahun 1968 Nomor 72, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2872) ;
f. Undang-undang Nomor 20 Tahun 1968 tentang Bank Tabungan Negara (Lembaran
Negara Tahun 1968 Nomor 73, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2873) ;
g. Undang-undang Nomor 21 Tahun 1968 tentang Bank Rakyat Indonesia (Lembaran Negara
Tahun 1968 Nomor 74, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2874) ;
h. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1968 tentang Bank Ekspor Impor Indonesia (Lembaran
Negara Tahun 1968 Nomor 75, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2875) ;
2. Dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), bank yang didirikan berdasarkan
Undang-undang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib memenuhi ketentuan dalam
Undang-undang ini.
3. Dalam hal bank sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) telah menyesuaikan dengan
ketentuan dalam Undang-undang ini lebih awal dari jangka waktu sebagaimana dimaksud
dalam dalam ayat (1), maka Undang-undang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), menjadi
tidak berlakul lagi.
Pasal 55
Bank yang telah memiliki izin usaha pada saat Undang-undang ini mulai berlaku, dinyatakan telah
memperoleh izin usaha berdasarkan Undang-undang ini.
Pasal 56
Ketentuan batas maksimum pemberian kredit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) dan
ayat (4), wajib dipenuhi oleh bank selambat-lambatnya dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sejak mulai
berlakunya Undang-undang ini.
Pasal 57
Lembaga Keuangan Bukan Bank yang telah memiliki izin usaha dari Menteri pada saat Undangundang ini mulai berlaku, dapat menyesuaikan kegiatan usahanya sebagai bank berdasarkan
ketentuan dalam Undang-undang ini, selambat-lambatnya dalam jangka waktu 1 (satu) tahun sejak
mulai berlakunya Undang-undang ini.
Pasal 58
Bank Desa, Lumbung Desa, Bank Pasar, Bank Pegawai, Lumbung Pitih Nagari (LPN), Lembaga
Perkreditan Desa (LPD), Badan Kredit Desa (BKD), Badan Kredit Kecamatan (BKK), Kredit Usaha
Rakyat Kecil (KURK), Lembaga Perkreditan Kecamatan (LPK), Bank Karya Produksi Desa (BKPD)
dan / atau lembaga-lembaga lainnya yang dipersamakan dengan itu diberikan status sebagai Bank
Perkreditan Rakyat berdasarkan Undang-undang ini dengan memenuhi persyaratan tata cara yang
ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 59
Peraturan perundang-undangan yang telah dikeluarkan sebelum berlakunya Undang-undang ini
sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-undang ini, dinyatakan tetap berlaku sampai dengan
dicabut, diganti atau diperbaharui.
Pasal 59 A
Badan khusus yang melakukan tugas penyehatan Perbankan yang telah ada sebelum berlakunya
Undang-undang ini dinyatakan tetap berlaku.
BAB X
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 60
Dengan berlakunya Undang-undang ini maka :
1. Staatsblad Tahun 1929 Nomor 357 tanggal 14 September 1929 tentang Aturan-aturan
mengenai Badan-badan Kredit Desa dalam propinsi-propinsi di Jawa dan Madura di luar
wilayah-wilayah kotapraja-kotapraja ;
2. Undang-undang Nomor 12 Tahun 1962 tentang Bank Pembangunan Swasta (Lembaran
Negara Tahun 1962 Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2489) ;

3. Undang-undang Nomor 14 Tahun 1967 tentang Pokok-pokok Perbankan (Lembaran Negara


Tahun 1967 Nomor 34, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2842), dinyatakan tidak berlaku
lagi.
Pasal II
1. Dengan berlakunya Undang-undang ini, Peraturan tentang Usaha Perkreditan Yang
Diselenggarkan Oleh Kelurahan Di Daerah Kadipaten Paku Alaman (Rijksblaad Dari Daerah
Paku Alaman Tahun 1937 Nomor 9), dinyatakan tidak berlaku.
2. Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta
pada tanggal 10 Nopember 1998
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
BACHARUDDIN JUSUF HABIBIE
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 10 Nopember 1998
MENTERI NEGARA SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
AKBAR TANJUNG

Gadai emas syariah saat ini tengah menjadi primadona bagi masyarakat yang memerlukan
dana segar dengan cepat. Masyarakat juga memiliki pilihan tempat untuk melakukan gadai
emas syariah karena selain di Pegadaian Syariah, yang bekerjasama dengan Bank Muamalat,
kini banyak bank-bank syariah yang membuka unit gadai syariah, seperti Bank Syariah
Mandiri, Bank Danamon Syariah, BNI Syariah, Bank BRI Syariah, dan Bank Jabar Syariah.
Gadai emas di pegadaian syariah atau bank syariah memiliki kelebihan, seperti persyaratan
mudah, proses cepat dan mudah, jaminan keamanan standar bank, pencairan dana cepat, dan
jangka waktu peminjaman yang dapat diperbarui. Segala kelebihan di atas menjadi
pendorong bagi masyarakat atau wirausahawan untuk melakukan gadai emas syariah.
A. Pendahuluan
Gadai emas syariah saat ini tengah menjadi primadona bagi masyarakat yang memerlukan
dana segar dengan cepat. Masyarakat juga memiliki pilihan tempat untuk melakukan gadai
emas syariah karena selain di Pegadaian Syariah, yang bekerjasama dengan Bank Muamalat,
kini banyak bank-bank syariah yang membuka unit gadai syariah, seperti Bank Syariah
Mandiri, Bank Danamon Syariah, BNI Syariah, Bank BRI Syariah, dan Bank Jabar Syariah.
Gadai emas di pegadaian syariah atau bank syariah memiliki kelebihan, seperti persyaratan
mudah, proses cepat dan mudah, jaminan keamanan standar bank, pencairan dana cepat, dan
jangka waktu peminjaman yang dapat diperbarui. Segala kelebihan di atas menjadi
pendorong bagi masyarakat atau wirausahawan untuk melakukan gadai emas syariah.

Bagi lembaga keuangan syariah, khususnya bank syariah, produk gadai emas juga memiliki
beberapa keuntungan. Menurut Direktur Utama Karim Business Consulting, Adiwarman A.
Karim, ada tiga keuntungan yang diperoleh bank syariah dari produk gadai emas, yaitu 1.)
profitabilitas tinggi, margin tebal karena masyarakat kecil mau bayar mahal, 2.) bagi bank
aman karena ini ibarat seperti Kredit Tanpa Agunan (KTA), tapi kalau KTA tidak ada
jaminan, ini ada jaminan dan likuid, 3.) tidak ada Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif.
Keuntungan dan kelebihan yang dapat diberikan oleh gadai emas syariah baik bagi
masyarakat maupun bank syariah menjadikan produk pembiayaan ini memiliki prospek yang
bagus untuk mendorong partisipasi masyarakat dalam aktivitas ekonomi Islam dan ikut serta
dalam memperluas penerapan ekonomi Islam di Indonesia.
Sistem gadai emas syariah yang saat ini sedang booming di pegadaian syariah dan bank
syariah ini tentu perlu untuk diketahui landasan syariah dan fiqh muamalahnya agar
masyarakat mendapat informasi dan edukasi yang cukup tentang sistem ini. Selain itu, agar
masyarakat mengetahui dan memahaminya sehingga ekonomi Islam menjadi semakin akrab
di tengah-tengah masyarakat Indonesia.

B. Fiqh Muamalah
Fiqh muamalah terdiri dari kata fiqh dan muamalah. Kata fiqh secara bahasa berasal dari kata
faqiha-yafqahu yang berarti faham atau mengerti. Sedangkan dalam istilahnya fiqh berarti
ilmu tentang hukum-hukum syariah yang bersumber dari Al-Quran dan Sunnah. Kata
muamalah dari segi bahasa berasal dari kata amla-yuamilu yang berarti saling bertindak,
saling berbuat atau saling mengamalkan. Sedangkan menurut istilah muamalah adalah adalah
peraturan-peraturan Allah yang wajib ditaati yang mengatur hubungan manusia dengan
manusia dalam kaitannya dengan cara memperoleh dan mengembangkan harta benda.
Dari pengertian masing-masing kata fiqh dan muamalah di atas, dapat disimpulkan bahwa
fiqh muamalah adalah ilmu tentang aturan-aturan atau hukum Allah untuk mengatur
hubungan antar manusia agar tercipta kehidupan yang lebih baik. Fiqh muamalah merupakan
salah satu cabang dari ilmu fiqh yang lebih fokus terhadap hal-hal yang berkaitan dengan
hubungan sesama manusia. Sebagaimana ilmu fiqh, fiqh muamalah digunakan sebagai
pedoman setiap muslim dalam menjalankan kegiatan sehari-hari dengan manusia lain, baik
hubungan personal ataupun hubungan kerja atau bisnis.
Adapun alat yang digunakan dalam menyimpulkan hukum-hukum yang terdapat dalam fiqh
muamalah adalah kaidah-kaidah ushul fiqh. Kaidah-kaidah ushul fiqh bersumber dari AlQuran dan Sunnah yang disimpulkan oleh para ulama-ulama fiqh. Salah satu kaidah ushul
fiqh yang terdapat dalam beberapa kajian fiqh muamalah adalah al-ashlu fil muamalat alibhah illa ma dalla ad-dalillu ala tahriimiha (asal hukum muamalah adalah boleh kecuali
ada dalil yang melarangnya). Artinya, segala sesuatu yang dilakukan oleh manusia yang
berhubungan dengan manusia lainnya adalah diperbolehkan, kecuali yang dilarang dalam AlQuran, Sunnah dan sumber hukum lainnya.
Ruang lingkup fiqh muamalah dapat dibedakan menjadi dua bagian. Pertama, ruang lingkup
yang bersifat adabiyah (adab dan akhlak) seperti ijab dan Kabul, saling meridhai, hak dan

kewajiban, kejujuran pedagang, penipuan, pemalsuan, dan penimbunan. Kedua, ruang


lingkup yang bersifat madiyah (materi) seperti jual beli, gadai, jaminan, pengalihan utang,
kerjasama, bagi hasil, sewa, titipan, upah, pemberian, perdamaian, bunga bank, asuransi,
kredit dan masalah-masalah turunannya.
C. Gadai (Rahn)
C. 1. Pengertian Gadai (Rahn)
Gadai (Rahn) secara etimologis berarti tsubut (tetap), dawam (terus-menerus) dan habs
(menahan). Adapun rahn secara terminologis adalah menjadikan harta benda sebagai jaminan
hutang agar hutang itu dilunasi (dikembalikan) atau dibayarkan harganya jika tidak dapat
mengembalikan hutangnya. (At-Thayyar, 2004).
Rahn juga dapat diartikan dengan menjadikan suatu benda yang mempunyai nilai dalam
pandangan hukum untuk kepercayaan suatu utang, sehingga memungkinkan mengambil
seluruh atau sebagian utang dari benda itu (Sabiq, 1985).
Istilah rahn menurut Imam Ibnu Mandzur diartikan apa-apa yang diberikan sebagai jaminan
atas suatu manfaat barang yang diagunkan (Ibn Mandzur, 1999: hal. 347). Ulama Mazhab
Maliki mendefinisikan rahn sebagai harta yang dijadikan pemiliknya sebagai jaminan utang
yang bersifat mengikat. Ulama Mazhab Hanafi mendefinisikannya dengan menjadikan
suatu barang sebagai jaminan terhadap hak (piutang) yang mungkin dijadikan sebagai
pembayar hak tersebut, baik seluruhnya maupun sebagiannya. Ulama Syafii dan Hambali
dalam mengartikan rahn dalam arti akad yakni menjadikan materi (barang) sebagai jaminan
utang, yang dapat dijadikan pembayar utang apabila orang yang berhutang tidak bisa
membayar hutangnya (Hope, 1996: hal. 1480).
Berdasarkan beberapa pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa gadai (rahn) dalam
pandangan Islam adalah harta yang dijadikan oleh pemiliknya sebagai jaminan utang dan
kepercayaan terhadap utang, yang dapat dijadikan (seluruh atau sebagiannya) untuk
pembayaran utang apabila orang yang berhutang tidak dapat membayar hutangnya.
C. 2. Hukum Gadai
Hukum asal dari gadai adalah boleh berdasarkan nash Quran, Sunnah, Ijma Ulama.
1. Al Quran; surat Al Baqarah ayat 283 yang artinya Jika kamu dalam perjalanan (dan
bermuamalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis,
maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang).
2. Sunnah; Dari Aisyah RA, sesungguhnya Rasulullah S.a.w. pernah membeli makanan
dengan berhutang dari seorang Yahudi, dan Nabi menggadaikan sebuah baju besi
kepadanya (HR. Bukhari Muslim). Dari Abu Hurairah RA, Rasulullah S.a.w.
bersabda: tunggangan (kendaraan) yang digadaikan boleh dinaiki dengan
menanggung biayanya, binatang ternak yang digadaikan dapat diperah susunya
dengan menanggung biayanya. Bagi yang menggunakan kendaraan dan memerah
susu wajib menanggung biaya perawatan dan pemeliharaan (HR. Jamaah kecuali
Muslim dan An Nasai). Dari Abu Hurairah RA, Nabi s.a.w. bersabda: tidak terlepas
kepemilikan barang gadai dari pemilik yang menggadaikannya. Ia memperoleh

manfaat dan menanggung resikonya (HR. Al Syafii, Al Daruquthni, dan Ibnu


Majjah).
3. Ijma Ulama; para ulama sepakat membolehkan akad rahn seperti dalam al Fiqh al
Islam wa Adillatuhu (al Zuhaili, 1985: volume 181), Al Mughni ( Ibn Quddamah,
volume 4: 362).
C. 3. Hikmah Gadai
Dalam gadai terdapat hikmah atau manfaat bagi pihak yang menggadaikan (rahin) maupun
bagi pihak yang menerima gadai (murtahin), yaitu:
a)
Bagi Rahin (yang menggadaikan), sebagai pihak yang membutuhkan dana dengan jalan
pinjaman kebajikan, sebab adakalanya pihak atau orang yang meminjamkan uang harus
disertai dengan jaminan.
b)
Bagi Murtahin (yang menerima gadai), memberikan ketenangan sebagai jaminan atas
dana yang dikeluarkan.
C. 4. Syarat Gadai
Gadai memiliki beberapa persyaratan yang menjadikan gadai tersebut sah atau diperbolehkan
dalam hukum syariah. Menurut At-Thayyar (2004) syarat-syarat gadai adalah sebagai berikut:
1. Masing-masing dari dua pihak yang melakukan transaksi adalah mereka yang
termasuk orang yang boleh membelanjakan harta, yakni baligh, berakal sehat, dan
dapat membedakan yang baik dan yang buruk. Menurut Syafiiyyah, kedua belah
pihak tidak dapat diwakilkan.
2. Gadai dilakukan dengan utang yang wajib.
3. Barang yang digadaikan dapat dinilai dengan uang, sehingga dapat digunakan/ dijual
untuk membayar utang jika orang yang menggadaikannya tidak dapat membayar
utangnya. Barang gadaian juga harus halal dalam syariat Islam dan diketahui oleh
kedua pihak.
4. Barang yang digadaikan adalah milik orang yang menggadaikan atau orang yang
mendapat izin untuk menggadaikannya.
C. 5. Beberapa Hal yang Berkaitan dengan Gadai
C. 5. 1. Pertumbuhan Barang Gadai
Pertumbuhan atau pertambahan barang gadai setelah digadaikan adakalanya bergabung dan
adakalanya terpisah. Bila tergabung seperti, (bertambah) gemuk, maka ia masuk dalam
barang gadai dengan kesepakatan ulama. Sedangkan jika terpisah, maka dalam hal ini terjadi
perbedaan pendapat di kalangan ulama.
Imam Abu Hanifah, Imam Ahmad dan yang menyepakatinya memandang pertambahan atau
pertumbuhan barang gadai yang terjadi setelah barang gadai ditangan Murtahin, maka ikut

kepada barang gadai tersebut. Sedangkan Imam Syafii dan Ibnu Hazm dan yang
menyepakatinya memandang, pertambahan atau pertumbuhan bukan ikut barang gadai, tetapi
menjadi milik orang yang menggadaikannya. Hanya saja Ibnu Hazm berbeda dengan Syafii
menyangkut barang gadai yang berupa kendaraan dan hewan menyusui. Ibnu Hazm
berpendapat, dalam kendaraan dan hewan yang menyusui, (pertambahan dan
pertumbuhannya) milik yang menafkahinya [Abhats Haiat Kibar Ulama 6/134-135.].
C. 5. 2. Pembiayaan, Pemeliharaan, Pemanfaatan Barang Gadai
Pada asalnya barang, biaya pemeliharaan dan manfaat barang yang digadaikan adalah milik
orang yang menggadaikan (Rahin). Adapun Murtahin, ia tidak boleh mengambil manfaat
barang gadaian tersebut, kecuali bila barang tersebut berupa kendaraan atau hewan yang
diambil air susunya, maka boleh menggunakan dan mengambil air susunya apabila ia
memberikan nafkah (dalam arti pemeliharaan barang tersebut).
Pemanfaatan barang gadai tesebut, tentunya sesuai dengan besarnya nafkah yang dikeluarkan
dan memperhatikan keadilan. Hal ini di dasarkan sabda Rasululloh Shallallahu alaihi wa
sallam Hewan yang dikendarai dinaiki apabila digadaikan dan susu (dari hewan) diminum
apabila hewannya digadaikan. Wajib bagi yang mengendarainya dan yang minum, (untuk)
memberi nafkahnya. [Hadits Shahih riwayat At-Tirmidzi.
Menurut Syaikh Al Basaam, ulama sepakat bahwa biaya pemeliharaan barang gadai
dibebankan kepada pemiliknya. Demikian juga pertumbuhan dan keuntungan barang tersebut
juga menjadi miliknya, kecuali pada dua hal, yaitu kendaraan dan hewan yang memiliki air
susu yang diperas oleh yang menerima gadai. [Lihat pembahsannya dalam Taudhih Al Ahkam
4/462-477].
Penulis kitab Al-Fiqhul Muyassarah mengatakan, manfaat dan pertumbuhan barang gadai
menjadi hak pihak penggadai, karena barang itu merupakan miliknya. Orang lain tidak boleh
mengambilnya tanpa seizinnya. Bila ia mengizinkan Murtahin (pemberi hutang) untuk
mengambil manfaat barang gadainya tanpa imbalan, dan hutang gadainya dihasilkan dari
peminjaman maka tidak boleh, karena itu berarti peminjaman hutang yang menghasilkan
manfaat. Akan tetapi, bila barang gadainya berupa kendaraan atau hewan yang memiliki susu
perah, maka Murtahin mengendarainya dan memeras susunya, sesuai besarnya nafkah tanpa
izin dari penggadai karena sabda Rasulullah Ar-Rahn (Gadai) ditunggangi dengan sebab
nafkahnya, apabila digadaikan dan susu hewan menyusui diminum dengan sebab nafkah,
apabila digadaikan. Dan wajib bagi menungganginya dan meminumnya (untuk) memberi
nafkah [HR Al Bukhori no. 2512].
Demikian madzhab Hanabilah. Adapun mayotitas ulama fiqih dari Hanafiyah, Malikiyah dan
Syafiiyah mereka memandang Murtahin tidak boleh mengambil manfaat barang gadai.
Pemanfaatan hanyalah hak penggadai dengan dalil sabda Rasulullah Shallallahu alaihi wa
sallam Ia yang berhak memanfaatkannya dan wajib baginya biaya pemeliharaannya [HR Al
daraquthni dan Al Hakim]
Ibnul Qayyim rahimahullah memberikan komentar terhadap hadits pemanfaatan kendaraan
gadai, bahwa hadits ini dan kaidah dan ushul syariat menunjukkan, hewan gadai dihormati
karena hak Allah. Pemiliknya memiliki hak kepemilikan, dan Murtahin (yang memberikan
hutang) memiliki atasnya sebagai hak jaminan. Bila barang gadai tersebut ditangannya, lalu
tidak dinaiki dan tidak diperas susunya, tentu kemanfaatannya akan hilang secara sia-sia.

Sehingga tuntutan keadilan, analogi (qiyas) dan kemaslahatan penggadai, pemegang barang
gadai (Murtahin) dan hewan tersebut, ialah Murtahin mengambil manfaat mengendarai dan
memeras susunya, dan menggantikannya dengan menafkahi (hewan tersebut). Bila Murtahin
menyempurnakan pemanfaatannya dan menggantinya dengan nafkah, maka dalam hal ini
terdapat kompromi dua kemaslahatan dan dua hak. [Dinukil dari Taudhih Al Ahkaam 4/462].

C. 5. 3. Perpindahan Kepemilikan dan Pelunasan Utang dengan Barang Gadai


Barang gadai tidak berpindah kepemilikannya kepada Murtahin apabila telah selesai masa
perjanjiannya, kecuali dengan izin orang yang menggadaikannya (Rahin), dan rahin tidak
mampu melunasinya.
Pada zaman jahiliyah dahulu apabila telah jatuh tempo pembayaran hutang dan orang yang
menggadaikan belum melunasi hutangnya kepada pihak yang berpiutang, maka pihak yang
berpiutang menyita barang gadai tersebut secara langsung tanpa izin orang yang
menggadaikannya. Lalu Islam membatalkan cara yang dzalim ini dan menjelaskan bahwa
barang gadai tersebut adalah amanat pemiliknya ditangan pihak yang berpiutang, tidak boleh
memaksa orang yang menggadaikannya menjualnya kecuali dalam keadaan tidak mampu
melunasi hutangnya tesebut. Bila tidak mampu melunasi saat jatuh tempo, maka barang gadai
tersebut dijual untuk membayar pelunasan hutang tersebut. Apa bila ternyata ada sisanya
maka sisa tersebut menjadi hak pemilik barang gadai tersebut (orang yang menggadaikan
barang tersebut). Sebaliknya, bila harga barang tersebut belum dapat melunasi hutangnya,
maka orang yang menggadaikannya tersebut masih menanggung sisa hutangnya. [Taudhih Al
Ahkaam 4/467].
Kesimpulannya, barang gadai adalah milik orang yang menggadaikannya. Namun bila telah
jatuh tempo, maka penggadai meminta kepada Murtahin untuk menyelesaikan permasalah
hutangnya, dikarenakan hutangnya yang sudah jatuh tempo, harus dilunasi seperti hutang
tanpa gadai. Bila Rahin dapat melunasi seluruhnya tanpa (menjual atau memindahkan
kepemilikian) barang gadainya, maka Murtahin harus melepas barang tersebut. Adapun bila
Rahin tidak mampu melunasi seluruhnya atau sebagiannya, maka wajib bagi orang yang
menggadaikan (Ar-Rahin) menjual sendiri barang gadainya atau melalui wakilnya, dengan
izin dari Murtahin, dan dalam pembayaran hutnganya didahulukan Murtahin atas pemilik
piutang lainnya. Apabila penggadai tersebut enggan melunasi hutangnya dan tidak mau
menjual barang gadainya, maka pemerintah boleh menghukumnya dengan penjara, agar ia
menjual barang gadainya tersebut. Apabila tidak juga menjualnya maka pemerintah menjual
barang gadai tersebut dan melunasi hutang tersebut dari nilai hasil jualnya. Demikianlah
pendapat madzhab Syafiiyah dan Hambaliyah.
Adapun Malikiyah, mereka memandang pemerintah boleh menjual barang gadainya tanpa
memenjarakannya dan melunasi hutang tersebut dengan hasil penjualannya. Sedangkan
Hanafiyah memandang, Murtahin boleh menagih pelunasan hutang kepada penggadai dan
meminta pemerintah untuk memenjarakannya, bila tampak pada Ar-Rahin tidak mau
melunasinya. Pemerintah (pengadilan) tidak boleh menjual barang gadainya, namun
memenjarakannya saja, sampai ia menjualnya dalam rangka menolak kedzoliman. [Al Fiqh
Al Muyassar hal 119]

Pendapat yang rajih (jelas), pemerintah menjual barang gadainya dan melunasi hutangnya
dengan hasil penjualan tersebut tanpa memenjarakan sang penggadai tersebut, karena
tujuannya adalah membayar hutang, dan tujuan itu terwujud dengan menjual barang gadai
tersebut. Juga untuk mencegah adanya dampak negative di masyarakat dan lainnya, jika
diberlakukan penjara. Apabila barang gadai tersebut dapat menutupi seluruh hutangnya, maka
selesailah hutang tersebut. Namun bila tidak dapat menutupinya, maka penggadai tersebut
tetap memiliki hutang sisa, antara nila barang gadai denan hutangnya dan ia wajib
melunasinya.
Demikianlah keindahan Islam dalam permasalah gadai. Penyelesaian dan pelunasan hutang
dilakukan secara adil. Tidak seperti yang dilakukan di tengah masyarakat kebanyakan. Yakni
terjadinya tindak kezhaliman yang dilakukan pemilik piutang, dengan cara menyita barang
gadai, walau nilainya lebih besar dari hutangnya, bahkan mungkin berlipat-lipat. Perbuatan
semacam ini, sangat jelas merupakan perbuatan Jahiliyah dan perbuatan zhalim yang harus
dihilangkan. Semoga kita terhindar dari perbuatan ini.

D. Gadai Emas
Gadai Emas di perbankan syariah merupakan produk pembiayaan atas dasar jaminan berupa
emas dalam bentuk lantakan ataupun perhiasan sebagai salah satu alternatif memperoleh uang
tunai dengan cepat, aman dan mudah. Cepat dari pihak nasabah dalam mendapatkan dana
pinjaman tanpa prosedur yang panjang di bandingkan dengan produk pembiayaan lainnya.
Aman dari pihak bank, karena bank memiliki barang jaminan yaitu emas yang bernilai tinggi
dan relatif stabil bahkan nilainya cenderung bertambah. Mudah berarti pihak nasabah dapat
kembali memiliki emas yang digadaikannya dengan mengembalikan sejumlah uang pinjaman
dari bank, sedangkan mudah dari pihak bank yaitu ketika nasabah tidak mampu
mengembalikan pinjamannya (utang) maka bank dengan mudah dapat menjualnya dengan
harga yang bersaing karena nilai emas yang stabil bahkan bertambah.
Prinsip yang digunakan dalam gadai emas syariah baik di bank syariah ataupun di pegadaian
syariah tidak berbeda dengan prinsip gadai pada umumnya. Mulai dari persyaratan, biaya
(ongkos) administrasi, biaya pemeliharaan/ penyimpanan, hingga mekanisme penjualan
barang gadaian ketika pihak yang menggadaikan tidak dapat melunasi utangnya.
Gadai emas memiliki keistimewaan tersendiri dibandingkan dengan barang gadaian lainnya.
Emas merupakan logam mulia yang bernilai tinggi dan harganya relative stabil bahkan selalu
menunjukkan tren yang positif setiap tahunnya. Emas juga merupakan barang atau harta yang
dapat dengan mudah dimiliki oleh setiap orang khususnya emas dalam bentuk perhiasan.
Ketika seseorang membutuhkan uang tunai, maka ia dapat dengan mudah menggadaikan
perhiasaannya kepada lembaga penggadaian atau bank syariah. Setelah ia dapat melunasi
utangnya, ia dapat memiliki kembali perhiasannya. Artinya, seseorang dengan mudah
mendapatkan uang tunai tanpa harus menjual emas atau perhiasan yang dimilikinya.
Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam gadai emas syariah baik di bank syariah
maupun di lembaga yang menawarkan produk gadai emas syariah. Hal yang dimaksud adalah
biaya administrasi dan biaya pemeliharaan.
Biaya administrasi

Biaya administrasi adalah ongkos atau pengorbanan materi yang dikeluarkan oleh bank
dalam hal pelaksanaan akad gadai dengan penggadai (rahin). Para ulama sepakat bahwa
segala biaya yang bersumber dari barang yang digadaikan adalah menjadi tanggungan
penggadai. Oleh karena itu, biaya administrasi gadai dibebankan kepada penggadai.
Karena biaya administrasi merupakan ongkos yang dikeluarkan bank, maka pihak bank yang
lebih mengetahui dalam menghitung rincian biaya administrasi. Setelah bank menghitung
total biaya administrasi, kemudian nasabah atau penggadai mengganti biaya administrasi
tersebut.
Namun, tidak banyak atau bahkan sangat jarang nasabah yang mengetahui rincian biaya
administrasi tersebut. Bank hanya menginformasikan total biaya administrasi yang harus
ditanggung oleh nasabah atau penggadai tanpa menyebutkan rinciannya. Keterbukaan dalam
menginformasikan rincian biaya administrasi tersebut sangat penting dalam rangka
keterbukaan yang kaitannya dengan ridha bi ridha, karena biaya administrasi tersebut
dibebankan kepada nasabah atau penggadai.
Dewan Syariah Nasional dalam Fatwa No. 26/ DSN-MUI/ III/2002 menyebutkan bahwa
biaya atau ongkos yang ditanggung oleh penggadai besarnya didasarkan pada pengeluaran
yang nyata-nyata diperlukan. Artinya, penggadai harus mengetahui besar rincian dan
pengeluaran apa saja yang dikeluarkan oleh bank untuk melaksanakan akad gadai, seperti
biaya materai, jasa penaksiran, formulir akad, foto copy, print out, dll. Hal tersebut diatas
yang juga menyebabkan biaya administrasi harus dibayar di depan.
Intinya adalah pihak bank tidak diperbolehkan untuk mengambil keuntungan dari akad gadai
syariah. Karena pada dasarnya akad gadai adalah transaksi pinjam-meminjam (qardh) yang
bersifat tabarru yang berarti kebaikan atau tolong menolong. Sehingga tidak diperkenankan
untuk mengambil keuntungan atau manfaat dari kegiatan pinjam-meminjam (qardh) karena
sifatnya adalah tabarru. Sesuai dengan hadits tentang pinjaman (qard) berikut:
Rasul bersabda : kullu qardhin jarra manfaatan fahuwa wajhun min wujhi ar-rib (Setiap
pinjaman yang menarik suatu manfaat maka itu termasuk salah satu bentuk riba.) [HR alBaihaqi]
Biaya pemeliharaan
Biaya pemeliharaan atau penyimpanan merupakan biaya yang dibutuhkan untuk merawan
barang gadaian selama jangka waktu pada akad gadai. Sesuai dengan pendapat para jumhur
ulama biaya pemeliharaan atau penyimpanan menjadi tanggungan penggadai (rahin). Karena
pada dasarnya penggadai (rahin) masih menjadi pemilik dari barang gadaian tersebut,
sehingga dia bertanggungjawab atas seluruh biaya yang dikeluarkan dari barang gadai
miliknya.
Akad yang digunakan untuk penerapan biaya pemeliharaan atau penyimpanan adalah akad
ijarah (sewa). Artinya, penggadai (rahin) menyewa tempat di bank untuk menyimpan atau
menitipkan barang gadainya, kemudian bank menetapkan biaya sewa tempat. Dalam
pengertian lainnya, penggadai (rahin) menggujakan jasa bank untuk menyimpan atau
memelihara barang gadainya hingga jangka waktu gadai berakhir. Biaya pemeliharaan/
penyimpanan ataupun biaya sewa tersebut diperbolehkan oleh para ulama dengan merujuk
kepada diperbolehkannya akad ijarah.

Biaya pemeliharaan/ penyimpanan/ sewa dapat berupa biaya sewa tempat SDB (Save Deposit
Box), biaya pemeliharaan, biaya keamanan, dan biaya lainnya yang diperlukan untuk
memelihara atau menyimpan barang gadai tersebut.
Dengan akad ijarah dalam pemeliharaan atau penyimpanan barang gadaian bank dapat
memperoleh pendapatan yang sah dan halal. Bank akan mendapatkan fee atau upah atas jasa
yang diberikan kepada penggadai atau bayaran atas jasa sewa yang diberikan kepada
penggadai.
Oleh karena itu, gadai emas syariah sangat bermanfaat bagi penggadai yang membutuhkan
dana tunai dengan cepat dan bagi pihak bank yang menyediakan jasa gadai emas syariah
karena bank akan mendapatkan pemasukan atau keuntungan dari jasa penitipan barang
gadaian dan bukan dari kegiatan gadai itu sendiri.
Kesimpulan
Secara prinsip, gadai emas syariah pada dasarnya sama dengan gadai pada umumnya.
Produk-produk gadai emas syariah yang terdapat pada berbagai bank syariah secara konsep
sesuai dengan prinsip-prinsip gadai yang terdapat dalam fiqh muamalah. Namun, dalam
prakteknya perlu dipertahikan hal-hal seperti keterbukaan dalam penetapan biaya
administrasi, kewajaran biaya pemeliharaan atau penyimpanan dan proses penjualan barang
gadai ketika penggadai tidak mampu menebus atau membayar utangnya.
Setiap bank syariah menawarkan keunggulan dan fasilitas dari masing-masing produk gadai
emas syariah yang dimiliki. Biaya dari produk yang ditawarkan sangat beragam dan cukup
bersaing, mulai dari maksimal dana pinjaman yang dapat diperoleh penggadai dari taksiran
(80%-90%), besarnya biaya administrasi dan biaya penyimpanan. Oleh karena itu, nasabah
atau penggadai diharap untuk lebih selektif dalam memilih produk yang tidak hanya sesuai
dengan kebutuhannya akan tetapi juga sesuai dengan syariah.
Referensi
Ath-Thayyar, Abdullah bin Muhammad., 2004, Ensiklopedia Fiqh Muamalah dalam
Pandangan 4 Madzhab (terjemahan), edisi pertama, Maktabah Al-Hanif, Yogyakarta.
Bassam Al, Abdullah bin Abdurrahman. 1997. Taudhihu-l-al-Alkam min Bulughu-lMaram. Jilid IV. Muassasah al-Khidmaat at-Thibaiyah. Beirut.
Dewan Syariah Nasional MUI dan Bank Indonesia, 2006, Himpunan Fatwa Dewan Syariah
Nasional MUI, Cet 3, CV. Gaung Persada, Ciputat-Jakarta
http://jacksite.wordpress.com/2007/07/03/hukum-gadai-agunan-dalam-islam/.
Sabiq, Sayyid., 1985, Fiqh As-Sunnah, Muhammad Saeed Dabas, Jamal al-Din M.
Zarabozo, translators, , American Trust Publications. Indianapolis.
Suhendi, Hendi., 2008, Fiqh Muamalah, edisi pertama, cetakan keempat, Rajawali Press,
Jakarta.
Zuhaili, Wahbah. 1985. Fiqh Al Islam Wa Adilatuhu. Volume 181. Damaskus.

KONSEP AKAD RAHN DAN IJARAH DALAM FIQH MUAMALAH


1.1. Rahn dalam Perspektif Fiqh Muamalah
1.1.1. Pengertian dan Dasar Hukum Rahn
Dalam bahasa Arab, gadai diistilahkan dengan rahn yang secara etimologi
mengandung pengertian menggadaikan, merungguhkan.[1] Namun demikian, ada juga
pengertian lain dari kata rahn yang menurut istilah bahasa (lughah) berarti tetap, kekal dan
jaminan.[2] Dalam definisi lainnya, rahn atau gadai menurut bahasa disebut dengan al-tsubut
( )dan al-habs ( )yaitu penetapan dan penahanan. Ada pula yang menjelaskan rahn
adalah terkurung atau terjerat.[3]
Menurut istilah syara, yang dimaksud dengan rahn adalah:
a.

Akad yang objeknya menahan harga terhadap sesuatu hak yang mungkin

diperoleh bayaran

dengan sempurna darinya.[4]


b. Menjadikan suatu benda berharga dalam pandangan syara sebagai jaminan atas hutang
selama ada dua kemungkinan, untuk mengembalikan uang atau untuk mengambil sebagian
uang itu.[5]
c.

Akad perjanjian pinjam-meminjam dengan menyerahkan barang sebagai tanggungan hutang.


[6]

d. Sesuatu yang diletakkan pada seseorang yaitu sesuatu barang yang diganti dengan barang
yang lain.[7]
e.

Menjadikan zat suatu benda jaminan hutang.[8]

f.

Menjadikan harta benda sebagai jaminan hutang.

g. Suatu barang yang dijadikan peneguhan atau penguat kepercayaan dalam hutang-piutang.[9]
h. Menjadikan suatu benda bernilai menurut pandangan syara sebagai tanggungan hutang,
dengan adanya benda yang menjadi tanggungan itu seluruh atau sebagian hutang dapat
diterima.[10]

Dalam Islam, rahn merupakan sarana saling tolong-menolong bagi umat Islam, tanpa
adanya imbalan jasa. Rahn hukumnya jaiz (boleh) menurut Al-Quran, as-sunnah dan ijma.
[11] Adapun dasar hukum pegadaian syariah ini yaitu:
1.

Al-Quran



{ : }...
Artinya: Jika kamu dalam perjalanan (dan bermuamalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak
memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh
yang menghutangkan). Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain,
maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanat (hutang)iya dan hendaklah dia
bertakwa kepada Allah Tuhannya... (QS. Al-Baqarah: 283)
Dalam ayat di atas dijelaskan, bahwa apabila sesorang berada dalam keadaan
bepergian dan hendak melakukan suatu tindakan bermuamalah ataupun suatu transaksi
hutang-piutang, kemudian ia tidak mendapatkan seseorang yang adil dan pandai dalam hal
penulisan transaksi hutang, maka hendaklah meminta kepadanya suatu bukti lain sebagai
bukti kepercayaan atau penguat, yaitu dengan menyerahkan sesuatu berupa benda atau barang
yang berharga sebagai jaminan yang dapat dipegang atau hutang.[12] Hal ini dipandang perlu
karena untuk menjaga agar kedua belah pihak yang melakukan perjanjian gadai itu timbul
rasa saling mempercayai antara satu sama lainnya, sehingga dalam transaksi gadai tersebut
tidak menimbulkan kecurigaan yang kemungkinan akan terjadi suatu perselisihan antara para
pihak yang bersangkutan.
Jaminan yang ada di tangan pihak piutang adalah amanah dan si piutang tidak
memiliki hak untuk memanfaatkan atau menggunakannya di jalan yang tidak benar,
melainkan ia harus berupaya memelihara dan menjaganya agar ketika orang yang berhutang
membayar pinjamannya, maka jaminannya itu dikembalikan kepadanya secara utuh. Orang
yang berhutang pada hakikatnya dianggap sebagai orang yang amanah sehingga diberikan
pinjaman, maka ia harus membayar hutangnya itu tepat pada waktunya, agar orang yang
memberikan pinjaman tidak memperoleh kerugian. Khususnya di tempat di mana orang yang
berpiutang kepercayaannya kepada yang berhutang sedemikian besarnya sehingga tidak
meminta jaminan, maka dalam kondisi seperti ini, pihak yang berhutang harus ingat kembali
kepada ketentuan dasar yang diatur dalam hukum Islam dan tidak menzalimi orang lain
dengan memakan hartanya secara batil.[13]
2.

Hadits

:

[14] {} .
Artinya: Dari Aisyah ra. berkata: Rasulullah pernah membeli makanan dari orang Yahudi dan
beliau menggadaikan kepadanya baju besi beliau. (HR. Bukhari)
3. Ijma
Para ulama telah bersepakat bahwa rahn/gadai itu boleh dan mereka tidak pernah
mempermasalahkan kebolehannya, demikian pula dengan landasan hukumnya.[15] Di
samping itu, berdasarkan fatwa Dewan Syariah Nasional No. 25/DSN-MUI/III/2002, tanggal
26 Juni 2002 dinyatakan bahwa, pinjaman dengan menggadaikan barang sebagai jaminan
hutang dalam bentuk rahn dibolehkan. Jumhur ulama berpendapat bahwa rahn disyariatkan
pada waktu tidak bepergian maupun pada waktu bepergian.[16]
1.1.2. Rukun dan Syarat-syarat Rahn
a.

1)
2)
3)
4)
b.

Rukun Rahn
Sebelum melakukan transaksi gadai atau rahn, maka harus diketahui terlebih dahulu
apa saja yang termasuk ke dalam rukun rahn. Menurut jumhur ulama, rukun rahn ada empat
yaitu:
Shigat (lafal ijab dan qabul).
Orang yang berakad (al-rahin dan al-murtahin).
Harta yang dijadikan agunan (al-marhun).
Hutang (ar-marhun bih). [17]
Syarat-syarat Rahn
Menurut jumhur ulama, ada beberapa syarat sahnya akad rahn yaitu berakal, baligh
(dewasa), wujudnya marhun yang dipegang sebagai jaminan oleh murtahin.[18] Di samping
syarat-syarat sah rahn, juga terdapat syarat-syarat lain dari rahn atau gadai yang harus
dipenuhi secara hukum fiqh, di antaranya yaitu:

1) Cakap bertindak hukum. Kecakapan bertindak hukum diwajibkan kepada orang yang telah
baligh dan berakal.
2) Syarat sighat (lafal), yaitu ucapan/lafal yang dibarengi dengan syarat tertentu. Misalnya,
orang yang berhutang mensyaratkan apabila tenggang waktu hutang telah habis dan hutang
belum terbayar, maka rahn itu di perpanjang selama satu bulan atau memberi hutang serta

mensyaratkan harta agunan itu boleh ia manfaatkan. Untuk sahnya rahn, pihak pemberi
hutang harus disaksikan oleh dua orang saksi. Apabila agunan dijual ketika rahn jatuh tempo
dan orang yang berhutang tidak mampu membayar hutangnya, maka syarat tersebut batal.
[19]
3) Syarat marhun bih (hutang) yaitu: pertama, merupakan hak yang wajib dikembalikan kepada
orang tempat berhutang. Kedua, hutang itu boleh dilunasi dengan agunan dan ketiga, hutang
itu jelas dan tertentu.[20]
4) Beberapa hal yang menjadi syarat marhun (barang yang dijadikan agunan), di antaranya,
yaitu: pertama, barang jaminan (agunan) itu boleh dijual dan nilainya seimbang dengan
hutang. Kedua, barang jaminan itu dinilai harta dan boleh dimanfaatkan. Sebagai contoh,
khamar tidak boleh dijadikan barang jaminan dan khamar tidak termasuk ke dalam harta
bernilai, juga tidak bermanfaat dalam Islam, maka khamar tidak sah bila dijadikan barang
jaminan. Ketiga, barang jaminan itu jelas. Keempat, agunan itu milik sah orang yang
berhutang. Kelima, barang jaminan itu tidak terkait dengan orang lain. Keenam, barang
jaminan itu merupakan harta yang utuh, tidak bertebaran dalam beberapa tempat dan ketujuh,
barang jaminan itu boleh diserahkan, baik materinya maupun manfaatnya.[21] Apabila
barang yang digadaikan itu secara hukum telah berada di tangan pemberi hutang dan uang
yang dibutuhkan telah diterima peminjam hutang. Apabila barang jaminan itu berupa benda
tidak bergerak seperti rumah dan tanah, maka tidak harus rumah dan tanah yang diberikan,
tetapi cukup surat jaminan tanah dan surat-surat rumah yang dipegang oleh pemberi hutang.
Syarat terakhir yang merupakan kesempurnaan rahn yang disebut sebagai qabdh almarhun (barang jaminan dikuasai secara hukum oleh pemberi piutang). Syarat ini menjadi
sangat penting sebagaimana dinyatakan oleh Allah SWT dalam surat al-Baqarah ayat 283
yang telah disebutkan dalam pembahasan sebelumnya.

Apabila barang jaminan itu telah dikuasai oleh pemberi hutang, maka akad rahn
bersifat mengikat bagi kedua belah pihak. Oleh sebab itu, hutang tersebut terkait dengan
barang jaminan, sehingga apabila hutang tidak dapat dilunasi, maka barang jaminan dapat
dijual dan uang itu dibayar. Apabila dalam penjualan barang jaminan ada kelebihan uang,
maka wajib dikembalikan kepada pemiliknya (rahin).
Mengenai al-qabdh juga terdapat beberapa syarat yang harus dipenuhi, yaitu:
pertama, al-qabdh harus ada izin dari orang yang menggadaikan (rahin). Kedua, pihak yang
melakukan akad rahn cakap bertindak hukum ketika terjadinya al-qabdh.[22] Syarat tersebut
sesuai dengan tuntutan surat al-Baqarah ayat 283 sebagaimana telah disebutkan di atas.
Dalam pemahaman mazhab Syafii, ketetapan mengenai syarat-syarat sah gadai
adalah sebagai berikut:
a.

Syarat luzum (tetap), yaitu syarat serah terima barang gadaian. Jadi bila barang gadaian itu
belum diterima oleh penerima gadai, maka bagi pemberi gadai masih berhak menarik
kembali perjanjiannya.

b. Syarat sah gadai yaitu:


1. Syarat yang berhubungan dengan akad. Hal ini hendaknya jangan dikaitkan dengan syarat
yang tidak sesuai dengan akad itu sendiri, karena yang demikian itu akan membatalkan akad
gadai.
2. Syarat yang berhubungan dengan para pihak, misalnya kedua belah pihak sudah cakap dalam
bertindak, sampai umur, berakal sehat dan tidak dalam pengampuan.
3. Syarat yang berhubungan dengan barang gadai adalah:
a) Barang gadaian itu haru hak milik sempurna.
b)
c)
d)
4.

Barang gadaian itu harus benda yang tahan lama.


Barang gadaian itu harus benda yang suci.
Barang gadaian itu harus bermanfaat dan bernilai menurut pandangan syara.
Syarat yang berhubungan dengan marhun bih yaitu:

a) Gadai itu harus disebabkan hutang yang pasti.


b) Hutangnya sudah tetap seketika atau masa yang akan datang.
c) Hutang itu sudah diketahui benda, jumlah dan sifat-sifatnya.[23]
Berdasarkan dari beberapa uraian yang telah disebutkan tentang syarat sahnya gadai,
maka dapatlah dipahami bahwa syarat merupakan suatu yang harus dipenuhi sebelum
melaksanakan perjanjian gadai, sehingga perjanjian gadai tersebut sah menurut ketentuan
syara.
1.1.3. Pemeliharaan Objek Gadai dan Biayanya Menurut para Fuqaha
Selama barang gadai ada di tangan pemegang gadai, maka kedudukannya hanya
merupakan suatu amanat yang dipercayakan kepadanya oleh pihak penggadai. Sebagai
pemegang amanat, murtahin berkewajiban memelihara kemaslahatan barang gadai yang
diterimanya sesuai dengan keadaan barang. Untuk menjaga keselamatan barang gadai
tersebut dapat diadakan persetujuan penyimpanannya. Kemudian barulah persetujuan
diadakan setelah perjanjian gadai terjadi.[24]
Mengenai biaya perawatan atau pemeliharaan barang gadai, pada prinsipnya fuqaha
sepakat bahwasanya segala risiko atau biaya yang timbul untuk pemeliharaan menjadi
tanggung jawab pemilik barang, yaitu rahin.[25] Karenanya setiap manfaat atau keuntungan
yang ditimbulkannya menjadi hak pemilik barang. Hal ini berdasarkan sabda Nabi SAW
berikut:


:
{} .
Artinya: Gadaian itu tidak menutup akan yang punya dari manfaat barang itu, faedahnya kepunyaan
dia, dan dia wajib mempertanggungjawabkan segala nya (kerusakan dan biaya). (HR. AsySyafii dan Daruquthny).[26]
Bagaimanapun mereka tidak sependapat mengenai jenis perbelanjaan yang mesti
ditanggung oleh rahin. Ulama Hanafiah berpendapat bahwa tagihan pembelanjaan yang mesti
ditanggung oleh rahin, sebagai pemilik barang gadai dan oleh murtahin sebagai orang yang
bertanggungjawab menjaganya adalah sebagai berikut: segala perbelanjaan yang diperlukan
untuk kepentingan barang gadai hendaklah ditanggung oleh rahin, karena barang tersebut hak
miliknya dan segala perbelanjaan untuk memelihara barang gadaian hendaklah ditanggung
oleh pegadai (murtahin), karena ia yang berhak memegangnya maka ia terikat dengan
perkara-perkara yang berkaitan.[27]
Dalam hal ini penggadai bertanggung jawab untuk menyediakan atau membayar biaya
makanan, minuman dan penggembala jika barang jaminannya berupa binatang ternak dan
juga bertanggungjawab atau membayar biaya penyiraman, pembersihan, perparitan dan cukai
jika barang jaminan berupa tanah karena semua itu merupakan biaya dan perbelanjaan harta
yang mesti ditanggung oleh pemilik barang.
Pegadai juga bertanggung jawab menyediakan atau membayarkan biaya upah
menjaga dan tempat pemeliharaan, seperti sewa kandang, sewa tempat simpanan karena sewa
pemeliharaan barang gadaian adalah tanggung jawabnya. Berdasarkan tanggung jawab

tersebut, pegadai tidak ada hak untuk mengenakan syarat dalam aqad gadaian bayaran upah
mesti kepadanya untuk memelihara barang gadaian, karena tanggung jawab tersebut adalah
kewajibannya. Tidak ada bayaran upah dikenakan pada perkara yang diwajibkan. Ulama
Maliki, Syafii dan Hanbali, (jumhur) berpendapat bahwa semua perbelanjaan dan bayaran
perkara-perkara yang berkaitan barang gadaian mestilah ditanggung oleh penggadai (rahin).
[28]
1.1.4. Pemanfaatan Objek Gadai Menurut para Fuqaha
Pada dasarnya barang gadai tidak boleh diambil manfaatnya, baik oleh pemiliknya
maupun oleh penerima gadai. Hal ini disebabkan status barang tersebut hanya sebagai
jaminan hutang dan sebagai amanat bagi penerimanya. Namun apabila mendapat izin dari
masing-masing pihak yang bersangkutan, maka menurut para fuqaha barang gadai atau
jaminan boleh dimanfaatkan. Murtahin hanya berhak menahan barang gadai, tetapi tidak
berhak menggunakan atau memanfaatkan hasilnya, sebagaimana pemilik barang gadai tidak
berhak menggunakan barangnya itu. Tetapi sebagai pemilik marhun (rahin), apabila barang
gadainya itu mengeluarkan hasil, maka hasil itu menjadi milik rahin.[29]
Para ulama fiqh juga sepakat bahwa barang yang dijadikan jaminan itu tidak boleh
dibiarkan begitu saja tanpa menghasilkan sama sekali. Sebab tindakan tersebut termasuk
menyia-nyiakan harta yang dilarang oleh Rasul SAW. Tetapi mengenai boleh tidaknya pihak
pemegang barang jaminan memanfaatkan barang jaminan meskipun mendapat izin dari
pemilik barang jaminan, dalam hal ini terjadi perbedaan pendapat para ulama fiqh.
Jumhur ulama fiqh selain ulama Hanabilah berpendapat bahwa pemegang barang
jaminan tidak boleh memanfaatkan barang jaminan karena barang itu bukan miliknya secara
penuh. Hak pemegang barang jaminan terhadap barang itu hanyalah sebagai jaminan piutang
yang ia berikan. Apabila orang yang berhutang tidak mampu melunasi hutangnya, maka
barulah ia boleh menjual atau menghargai barang tersebut untuk melunasi piutangnya.[30]
Jika pemilik barang mengizinkan pemegang barang jaminan memanfaatkan barang
tersebut selama berada di tangannya, maka sebagian ulama Hanafiyah membolehkan. Karena
dengan adanya izin, maka tidak ada halangan bagi pemegang barang jaminan untuk
memanfaatkannya. Namun sebagian ulama Hanafiyah lainnya, ulama Malikiyah dan ulama
Syafiiyah berpendapat bahwa meskipun pemilik barang mengizinkannya, pemegang barang
jaminan tidak boleh memanfaatkan barang jaminan itu. Apabila barang jaminan itu
dimanfaatkan, maka hasil pemanfaatan tersebut merupakan riba yang dilarang syara
sekalipun diizinkan dan diridai pemilik barang. Bahkan menurut mereka, ridha dan izin
dalam hal ini lebih cenderung dalam keadaan terpaksa, karena khawatir tidak akan
mendapatkan uang yang akan dipinjam. Selain itu dalam masalah riba, izin dan ridha tidak
berlaku.[31] Berkaitan dengan hal di atas, Rasul SAW bersabda sebagai berikut:

.
[32]{}
Artinya: Dari Abu Hurairah r.a., bersabda Rasul SAW: binatang tunggangan boleh ditunggangi
sebagai imbalan atas nafkahnya (makanannya) bila sedang digadaikan, dan susu binatang
yang diperah boleh diminum sebagai imbalan atas makanannya bila sedang digadaikan.
Orang yang menunggangi dan meminum susu berkewajiban untuk memberikan makanan.
(HR. Bukhari)
Oleh karena itu, diusahakan agar dalam perjanjian gadai itu dicantumkan ketentuan
jika penggadai atau penerima gadai meminta izin untuk memanfaatkan barang gadai, maka
hasilnya menjadi milik bersama.[33] Ketentuan itu dimaksudkan untuk menghindari tidak
berfungsinya harta benda atau mubazir.
1.2. Ijarah dalam Perspektif Fiqh Muamalah
1.2.1. Pengertian dan Dasar Hukum Ijarah
Dalam fiqh muamalah, sewa-menyewa disebut dengan kata ijarah. Ijarah berasal dari
kata "al-ajru" yang secara bahasa berarti "al-'iwadhu" yaitu ganti. Sedangkan menurut istilah
syara', ijarah ialah suatu jenis akad untuk mengambil manfaat dengan jalan penggantian.[34]
Lafal ijarah dalam bahasa Arab berarti upah, sewa, jasa atau imbalan. Dalam arti yang luas,
ijarah bermakna suatu akad yang berisi penukaran manfaat dengan jalan memberikan
imbalan dalam jumlah tertentu. Ijarah merupakan salah satu bentuk kegiatan muamalah
dalam memenuhi keperluan hidup manusia, seperti sewa-menyewa, kontrak atau menjual jasa
perhotelan dan lain-lain.[35]
Selain pengertian di atas, para ulama mazhab juga memberikan definisi terhadap
ijarah. Kelompok Hanafiyah mengartikan ijarah dengan menggunakan akad yang berisi
pemilikan manfaat tertentu dari suatu benda yang diganti dengan pembayaran dalam jumlah
yang disepakati.[36] Definisi lain menurut ulama Hanafiyah yaitu transaksi terhadap suatu
manfaat dengan imbalan.[37] Ulama Syafi'iyah mendefinisikan ijarah sebagai transaksi
terhadap suatu manfaat yang dituju, tertentu, bersifat mubah dan boleh dimanfaatkan dengan
imbalan tertentu.[38] Sedangkan ulama Malikiyah dan Hanabilah mendefinisikannya dengan
pemilikan manfaat sesuatu yang dibolehkan dalam waktu tertentu dengan suatu imbalan.[39]

Dari pengertian di atas, dapat dipahami bahwa ijarah adalah pengambilan manfaat
suatu benda, dalam hal bendanya tidak berkurang sama sekali. Dengan perkataan lain, dalam
praktik sewa-menyewa yang berpindah hanyalah manfaat dari benda yang disewakan,
sedangkan kepemilikan tetap pada pemilik barang. Sebagai imbalan pengambilan manfaat
dari suatu benda, penyewa berkewajiban memberikan bayaran. Dengan demikian dapat
disimpulkan, bahwa ijarah merupakan suatu kesepakatan yang dilakukan oleh satu atau
beberapa orang yang melaksanakan kesepakatan yang tertentu dan mengikat, yaitu dibuat
oleh kedua belah pihak untuk dapat menimbulkan hak serta kewajiban antara keduanya.
Dalam hukum Islam, orang yang menyewakan diistilahkan dengan "muajjir",
sedangkan penyewa disebut "mustajir" dan benda yang disewakan disebut "majur". Imbalan
atas pemakaian manfaat disebut "ajran" atau "ujrah".[40] Perjanjian sewa-menyewa
dilakukan sebagaimana perjanjian konsensual lainnya, yaitu setelah berlangsung akad, maka
para pihak saling serah terima. Pihak yang menyewakan (muajjir) berkewajiban
menyerahkan barang (majur) kepada penyewa (mustajir) dan pihak penyewa berkewajiban
memberikan uang sewa (ujrah).
Adapun dasar hukum dari ijarah terdapat dalam Al-Qur'an dan sunnah Rasulullah
SAW. Dalam Al-Qur'an surat al-Baqarah ayat 233 Allah SWT berfirman:

...

{233 : }.
Artinya: ...Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu
apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertakwalah kepada Allah dan
ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.(QS. al-Baqarah: 233)
Dengan demikian surat al-Baqarah ayat 233 merupakan dasar yang dapat dijadikan
landasan hukum dalam persoalan sewa-menyewa. Sebab pada ayat tersebut diterangkan
bahwa memakai jasa juga merupakan suatu bentuk sewa-menyewa, oleh karena itu harus
diberikan upah atau pembayarannya sebagai ganti dari sewa terhadap jasa tersebut. [41]
Dalam periwayatan hadits-hadits tentang al-ijarah, sering kali terkait dengan
beberapa aspek hukum muamalah lainnya seperti jual beli (buyu'), musyarakah dan lain
sebagainya. Karena hal tersebut berkenaan dengan hukum perjanjian (akad). Unsur yang
terpenting untuk diperhatikan yaitu kedua belah pihak cakap bertindak dalam hukum yaitu

punya kemampuan untuk dapat membedakan yang baik dan yang buruk (berakal/tidak gila).
Dengan demikian terjadi perjanjian sewa-menyewa yang kontras dan transparan dan tidak
ada saling merugikan di antara kedua belah pihak.
Adapun dasar hukum dari hadits adalah:

:


}.
[42]{
Artinya: Dari Aisyah r.a, beliau mengabarkan: Rasulullah SAW dan Abu Bakar menyewa seorang
penunjuk jalan yang ahli dari Bani ad-Dail dan orang itu memeluk agama kafir Quraisy,
kemudian beliau membayarnya dengan kendaraannya kepada orang tersebut dan
menjanjikannya di Gua Tsur sesudah tiga malam dengan kendaraan keduanya (HR.
Bukhari).
Pada hadits di atas dijelaskan bahwa Rasul SAW sendiri telah melakukan praktik
ijarah, yaitu dengan menyewa seseorang guna dipakai jasanya menunjukkan jalan ke tempat
yang dituju dan beliau membayar orang yang disewanya tersebut dengan memberikan
kendaraannya. Dalam hal ini, Rasul tidak membeda-bedakan dari segi agama terhadap orang
yang disewa atau dipakai jasanya.
Dalam hadits yang lain, Rasulullah SAW bersabda:


:

, } .
[43]{
Artinya: Dari Saad bin Abi Waqqash sesungguhnya Rasul SAW bersabda: dahulu kami menyewa tanah dengan
(jalan membayar dari) tanaman yang tumbuh. Lalu Rasulullah melarang kami cara itu dan
memerintahkan kami agar membayarnya dengan uang emas dan perak. (HR. Ahmad, Abu Daud dan
Nasa'i).
Hadits tersebut menerangkan bahwa pada zaman dahulu praktik sewa-menyewa tanah
pembayarannya dilakukan dengan mengambil dari hasil tanaman yang ditanam di tanah yang

disewa tersebut. Oleh Rasul SAW, cara seperti itu dilarang dan beliau memerintahkan agar
membayarkan upah sewa tanah tersebut dengan uang emas dan perak.
Diriwayatkan oleh Ibnu Majah, bahwa Rasulullah SAW, bersabda:


} . :
[44]{
Artinya: Dari Abi Hurairah sesungguhnya Rasul SAW bersabda: berikanlah olehmu upah orang
sewaan sebelum keringatnya kering. (HR. Ibnu Majah).
Hadits di atas menjelaskan bahwa, dalam persoalan sewa-menyewa, terutama yang
memakai jasa manusia untuk mengerjakan suatu pekerjaan, upah atau pembayaran harus
segera diberikan sebelum keringatnya kering. Maksudnya, pemberian upah harus segera dan
langsung, tidak boleh ditunda-tunda pembayarannya.
Dari semua ayat dan hadits di atas, Allah menegaskan kepada manusia bahwa apabila
seseorang telah melaksanakan kewajiban, maka mereka berhak atas imbalan dari pekerjaan
yang telah dilakukan secara halal sesuai dengan perjanjian yang telah mereka perjanjikan.
Allah juga menegaskan bahwa sewa-menyewa dibolehkan dalam ketentuan Islam, karena
antara kedua belah pihak yang melaksanakan perjanjian (akad) sama-sama mempunyai hak
dan kewajiban yang harus mereka terima.
Dengan demikian, dalam ijarah pihak yang satu menyerahkan barang untuk
dipergunakan oleh pihak yang lainnya dalam jangka waktu tertentu dan pihak yang lain
mempunyai keharusan untuk membayar harga sewa yang telah mereka sepakati bersama.
Dalam hal ini, ijarah benar-benar merupakan suatu perbuatan yang sama-sama
menguntungkan antara kedua pihak yang melakukan perjanjian (akad).
Sayyid Sabiq menambahkan landasan ijma' sebagai dasar hukum berlakunya sewamenyewa dalam muamalah Islam. Menurutnya, dalam hal disyari'atkan ijarah, semua umat
bersepakat dan tidak seorang ulama pun yang membantah kesepakatan ini.[45] Para ulama
menyepakati kebolehan sewa-menyewa karena terdapat manfaat dan kemaslahatan yang
sangat besar bagi umat manusia.
1.2.2. Rukun dan Syarat-syarat Ijarah
Ijarah merupakan bagian dari muamalah yang sering diaplikasikan dalam kehidupan
sehari-hari. Pengertian muamalah adalah hubungan antara sesama manusia, maksudnya di
sini adalah hubungan antara penyewa dengan orang yang menyewakan harta benda dan
lainnya. Di mana dalam kehidupan, manusia tidak dapat terlepas dari manusia lainnya untuk
saling melengkapi dan membantu serta bekerja sama dalam suatu usaha.[46] Oleh sebab itu,
muamalah menyangkut hubungan sesama manusia dan kemaslahatannya, keamanan serta

ketenteraman, maka pekerjaan ini harus dilakukan dengan tulus dan ikhlas oleh penyewa dan
yang menyewakan.
Rukun merupakan hal yang sangat esensial artinya bila rukun tidak terpenuhi atau
salah satu di antaranya tidak sempurna (cacat), maka suatu perjanjian tidak sah (batal).
Para ulama telah sepakat bahwa yang menjadi rukun ijarah adalah:
1. Aqid (pihak yang melakukan perjanjian atau orang yang berakad).
2. Ma'qud 'alaihi (objek perjanjian atau sewa/imbalan).
3. Manfaat.
4. Sighat.[47]
Aqid adalah para pihak yang melakukan perjanjian, yaitu pihak yang menyewakan
atau pemilik barang sewaan yang disebut "muajjir" dan pihak penyewa yang disebut
"mustajir" yaitu pihak yang mengambil manfaat dari suatu benda.[48]
Para pihak yang mengadakan perjanjian haruslah orang yang cakap hukum artinya
mampu. Dengan kata lain, para pihak hendaklah yang berakal dan dapat membedakan mana
yang baik dan mana yang tidak baik. Jika salah seorang yang berakal itu gila atau anak-anak
yang belum dapat membedakan, maka akad itu tidak sah. Mazhab Imam Syafii dan Hanbali
bahkan menambahkan satu syarat lagi yaitu, baligh (sampai umur dewasa). Menurut mereka,
akad anak kecil sekalipun sudah dapat membedakan, dinyatakan tidak sah.[49]
Ma'qud 'alaihi adalah barang yang dijadikan objek sewa, berupa barang tetap dan
barang bergerak yang merupakan milik sah pihak muajjir. Kriteria barang yang boleh
disewakan adalah segala sesuatu yang dapat diambil manfaatnya secara agama dan
keadaannya tetap utuh selama masa persewaan.[50]
Rukun ijarah yang terakhir adalah sighat. Sighat terdiri dari dua yaitu ijab dan qabul.
Ijab merupakan pernyataan dari pihak yang menyewakan dan qabul adalah pernyataan
penerimaan dari penyewa. Ijab dan qabul boleh dilakukan secara sharih (jelas) dan boleh pula
secara kiasan (kinayah).[51]
Dewasa ini perjanjian ijarah lazimnya dilakukan dalam bentuk perjanjian tertulis,
oleh karenanya ijab dan qabul tidak lagi diucapkan, tetapi tertuang dalam surat perjanjian.
Tanda tangan dalam surat perjanjian berfungsi sebagai ijab dan qabul dalam bentuk kiasan
(kinayah).[52]

Di samping rukun yang telah disebutkan di atas, ijarah juga mempunyai syarat-syarat
tertentu, yang apabila syarat-syarat ini tidak terpenuhi, maka ijarah menjadi tidak sah.
Syarat-syarat tersebut adalah:
a.

Adanya kerelaan para pihak dalam melakukan perjanjian sewa-menyewa


Maksudnya bila di dalam perjanjian sewa-menyewa itu terdapat unsur pemaksaan,
maka sewa-menyewa itu tidak sah. Hal ini senada dengan firman Allah SWT dalam surat AnNisa' ayat 29:


{29 :}...
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan
jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di
antara kamu ... (QS. An-Nisa: 29).
Berdasarkan ayat ini dapat dijelaskan bahwa ijarah yang dilakukan secara paksaan
ataupun dengan jalan yang batil, maka akad ijarah tersebut tidak sah, kecuali apabila
dilakukannya secara suka sama suka di antara kedua belah pihak.
Imam Syafi'i berpendapat bahwa ijarah tidak sah menurut syari'at kecuali bila disertai
dengan kata-kata yang menunjukkan persetujuan. Sedangkan Imam Malik, Hanafi dan Imam
Ahmad cukup dengan serah terima barang yang bersangkutan karena sudah menandakan
persetujuan dan suka sama suka.[53]
b. Segala hal yang berhubungan dengan objek sewa-menyewa harus jelas dan transparan
Layaknya suatu perjanjian, para pihak yang terlihat dalam perjanjian sewa-menyewa
haruslah merundingkan segala sesuatu tentang objek sewa, sehingga dapat tercapai suatu
kesepakatan. Mengenai objek haruslah jelas barangnya (jenis, sifat serta kadar) dan
hendaknya si penyewa menyaksikan dan memilih sendiri barang yang hendak disewanya. Di
samping itu, harus jelas tentang masa sewa dan saat lahirnya kesepakatan sampai saat
berakhirnya. Besarnya uang sewa sebagai imbalan pengambilan manfaat barang sewaan
harus jelas diketahui oleh kedua belah pihak artinya bukan kesepakatan di satu pihak.

Di samping hal yang tersebut di atas tata cara pembayaran uang sewa haruslah jelas
dan harus berdasarkan kesepakatan kedua pihak.
c.

Hendaklah barang yang menjadi objek transaksi (akad) dapat dimanfaatkan kegunaannya
menurut kriteria, realita dan syara'
Sebagian di antara para ulama ahli fiqh ada yang membebankan persyaratan ini.
Menyewakan barang yang tidak dapat dibagi kecuali dalam keadaan lengkap (seperti
kendaraan) hukumnya tidak boleh, sebab manfaat kegunaannya tidak dapat ditentukan.
Pendapat ini adalah pendapat mazhab Abu Hanifah. Akan tetapi jumhur ulama (mayoritas
para ulama ahli fiqh) menyatakan bahwa menyewakan barang yang tidak dapat dibagi dalam
keadaan utuh secara mutlak diperbolehkan, apakah dari kelengkapan aslinya atau bukan.
Sebab barang dalam keadaan tidak lengkap itu termasuk juga dapat dimanfaatkan dan
penyerahan dilakukan dengan mempraktikkan atau dengan cara mempersiapkannya untuk
kegunaan tertentu, sebagaimana hal ini juga diperbolehkan dalam masalah jual beli. Transaksi
sewa-menyewa itu sendiri adalah salah satu di antara kedua jenis transaksi jual beli dan
apabila manfaat barang tersebut masih belum jelas kegunaannya, maka transaksi sewamenyewa tidak sah atau batal.

d. Dapat diserahkan sesuatu yang disewakan berikut kegunaan (manfaat)


Tidak sah penyewaan binatang buron dan tidak sah pula binatang yang lumpuh,
karena tidak dapat diserahkan. Begitu juga tanah pertanian yang tandus dan binatang untuk
pengangkutan yang lumpuh, karena tidak mendatangkan kegunaan yang menjadi objek dari
akad itu.
e.

Bahwa manfaat adalah hal yang mubah, bukan diharamkan


Tidak sah sewa-menyewa dalam hal maksiat, karena maksiat wajib ditinggalkan.
Orang yang menyewa seseorang untuk membunuh seseorang atau menyewakan rumah
kepada orang yang menjual khamar atau digunakan untuk tempat main judi atau dijadikan
gereja, maka ia termasuk ijarah fasid (rusak). Demikian juga memberi upah kepada tukang

ramal atau tukang hitung-hitung dan semua pemberian dalam rangka peramalan dan
berhitung-hitungan, karena upah yang ia berikan adalah sebagai pengganti dari hal yang
diharamkan dan termasuk dalam kategori memakan uang manusia dengan batil. Tidak sah
pula ijarah puasa dan shalat, karena ini termasuk fardhu 'ain yang wajib dikerjakan oleh
orang yang terkena kewajiban.[54]
Dalam buku Fath al-Qarib, dijelaskan bahwa untuk sahnya ijarah sebagai berikut:
[55]
1. Untuk sahnya ijarah bahwa setiap benda dapat diambil manfaat serta tahan keadaannya tetapi
jika tidak kuat, maka tidak sah sewa-menyewa.
2. Harus adanya ucapan ijab kabul antara kedua belah pihak, lafadznya yaitu: "Saya
menyewakan rumah ini kepadamu" dan jawabannya: "saya terima rumah ini".
Namun untuk tercapainya akad-akad yang sah dan mengikat bagi mereka yang
mengadakan akad tersebut secara keseluruhan dapat dilihat berikut:
1) Tidak menyalahi hukum syariat
Hal ini adalah suatu akad (perjanjian) yang telah disepakati oleh para pihak dan bukan
suatu perbuatan yang bertentangan dengan syariat. Sebab perjanjian (akad) yang bertentangan
dengan hukum syariat bagi masing-masing pihak untuk menempati atau melaksanakan
perjanjian (akad) yang bertentangan dengan ketentuan hukum syariat, maka perjanjian
tersebut dengan sendirinya batal demi hukum.
2) Harus sama ridha dan ada pilihan
Maksudnya apa yang telah diakadkan para pihak haruslah didasarkan oleh
kesepakatan para pihak, yaitu masing-masing pihak harus ridha akan isi perjanjian tersebut
atau dengan perkataan lain harus merupakan kehendak bebas masing-masing pihak.
Dalam hal ini berarti tidak boleh ada paksaan dari pihak yang satu kepada pihak yang
lainnya, dengan sendirinya perjanjian (akad) yang diadakan tidak didasarkan kepada
kehendak bebas para pihak yang mengadakan perjanjian.[56]

3) Harus jelas dan gamblang


Maksudnya apa yang diperjanjikan para pihak harus terang tentang apa yang menjadi
isi perjanjian (akad), sehingga tidak mengakibatkan kesalahpahaman di antara para pihak
tentang apa yang telah mereka perjanjikan di kemudian hari.
Dengan demikian semua perjanjian yang telah dibuat oleh para pihak harus sama
dengan apa yang telah mereka perjanjikan. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam surat
Al-Isra ayat 34:

{34 :}. ...


Artinya: ...Dan tepatilah janji sesungguhnya janji itu diminta pertanggungjawaban. (QS. Al-Isra: 34).
Demikianlah pembahasan mengenai rukun dan syarat ijarah sebagaimana telah diatur
menurut ketentuan hukum Islam.
1.2.3. Macam-macam Ijarah
Dilihat dari segi objeknya, para ulama fiqh membagi akad ijarah kepada dua macam:
[57]
1. Ijarah bil 'amal, yaitu sewa-menyewa yang bersifat pekerjaan/jasa. Ijarah yang bersifat
pekerjaan/jasa ialah dengan cara mempekerjakan seseorang untuk melakukan suatu
pekerjaan. Menurut para ulama fiqh, ijarah jenis ini hukumnya dibolehkan apabila jenis
pekerjaan itu jelas, seperti buruh bangunan, tukang jahit, buruh pabrik dan tukang sepatu.
Ijarah seperti ini terbagi kepada dua yaitu:
a.

Ijarah yang bersifat pribadi, seperti menggaji seorang pembantu rumah tangga.

b. Ijarah yang bersifat serikat yaitu, seseorang atau sekelompok orang yang menjual jasanya
untuk kepentingan orang banyak, seperti tukang sepatu, buruh pabrik dan tukang jahit.
Kedua bentuk ijarah terhadap pekerjaan ini (buruh, tukang dan pembantu), menurut
para ulama fiqh hukumnya boleh.[58]
2. Ijarah bil manfaat, yaitu sewa-menyewa yang bersifat manfaat. Ijarah yang bersifat manfaat
contohnya adalah:
a.

Sewa-menyewa rumah.

b. Sewa-menyewa toko.
c.

Sewa-menyewa kendaraan.

d. Sewa-menyewa pakaian.
e.

Sewa-menyewa perhiasan dan lain-lain.


Apabila manfaat dalam penyewaan sesuatu barang merupakan manfaat yang
dibolehkan syara' untuk dipergunakan, maka para ulama fiqh sepakat menyatakan boleh
dijadikan objek sewa-menyewa.[59]
Dalam pembahasan lain, menurut ketentuan fiqh muamalah, ijarah dibagi kepada 3
macam yaitu:

1). Sewa-menyewa tanah


Melihat betapa pentingnya keberadaan tanah, Islam sebagai agama yang luwes
membolehkan persewaan tanah dengan prinsip kemaslahatan dan tidak merugikan para pihak,
artinya antara penyewa yang menyewakan sama-sama diuntungkan dengan adanya
persewaan tersebut. Sebagai agama yang mencintai perdamaian dan persatuan, Islam
mengatur berbagai hal mengenai persewaan tanah agar terhindar dari kesalahpahaman dan
perselisihan di antara para pihak yang melakukan perjanjian sewa-menyewa.
Dalam suatu perjanjian persewaan tanah, haruslah disebutkan secara jelas tujuan
persewaan tanah tersebut, apakah untuk pertanian, mendirikan tempat tinggal atau
mendirikan bangunan lainnya yang dikehendaki penyewa.
Bila persewaan tanah dimaksudkan untuk pertanian, maka penyewa harus
menyebutkan jenis tanaman yang akan ditanaminya kecuali pemilik tanah memberikan
kebebasan kepada penyewa untuk menanam sesuai dengan yang diinginkannya. Menurut
Sayyid Sabiq, jika syarat yang tersebut di atas tidak terpenuhi, maka rusaklah sewamenyewa tersebut, karena pada dasarnya kegunaan tanah sangatlah beragam.[60]
Dengan tidak jelasnya penggunaan tanah dalam perjanjian dikhawatirkan akan
melahirkan persepsi yang berbeda antara pemilik tanah dengan penyewa dan pada hakikatnya
akan menimbulkan persengketaan antara kedua pihak. Di samping itu penyebutan jenis
tanaman yang akan ditanam akan berpengaruh terhadap waktu sewa dan dengan sendirinya
berpengaruh pula terhadap jumlah uang sewa.
2). Sewa-menyewa binatang

Dalam perjanjian sewa-menyewa binatang, hendaklah disebutkan dengan jelas jangka


waktu penyewaan, kegunaan atau tujuan penyewaan, apakah untuk alat pengangkutan atau
untuk kepentingan lainnya.
Sebagaimana halnya dengan persewaan lainnya maka persewaan binatang juga
mengandung resiko. Resiko dalam persewaan binatang adalah terjadinya kecelakaan atau
matinya binatang sewaan. Bila binatang sewaan sejak awal sudah mempunyai cacat atau aib
kemudian mati ketika dalam tanggungan penyewa maka persewaan menjadi batal. Tetapi bila
binatang tersebut tidak cacat kemudian terjadi kecelakaan dan mati ketika berada dalam
tanggungan penyewa maka persewaan itu tidak batal dan orang yang menyewakan wajib
menggantinya.[61]
3). Sewa-menyewa toko dan rumah
Toko merupakan tempat seseorang menjalankan usahanya dengan cara berdagang.
Tidak semua orang bisa mempunyai toko pribadi, tetapi bila seseorang berkeinginan untuk
meningkatkan taraf hidupnya dengan cara berdagang. Islam memberikan kemudahan dengan
membolehkan persewaan toko atau rumah untuk dijadikan tempat usaha atau sebagai tempat
tinggal.
Ulama fiqh yang sangat populer pembahasannya tentang persewaan toko dan rumah
adalah ulama Hanafiyah. Mereka memasukkan persewaan toko dan rumah ke dalam
pembahasan barang-barang yang sah disewakan, di samping persewaan tanah, binatang,
tenaga manusia dan pakaian. Menurut beliau toko-toko dan rumah-rumah boleh disewakan
tanpa disertai dengan penjelasan tentang tujuan penyewaan.[62]
Berdasarkan pendapat ulama Hanafiyah tersebut di atas dapat dipahami, bahwa
penyewa mempunyai kebebasan untuk melakukan segala sesuatu yang dikehendakinya dalam
batas-batas yang wajar, artinya tidak mengakibatkan kerusakan pada bangunan yang disewa.
Namun wajib menggantikannya apabila terjadi kerusakan terhadap rumah atau toko yang
dikhususkan untuk didiami namun dipergunakan untuk kepentingan lain.
Pada dasarnya Islam membolehkan persewaan berbagai barang yang mempunyai
manfaat dan memberikan keuntungan kepada manusia. Islam hanya memberikan batasanbatasan agar terciptanya kerja sama yang baik antar berbagai pihak dan terlaksananya prinsip
sewa-menyewa itu sendiri yaitu "keadilan" dan "kemurahan hati", sesuai dengan firman Allah
dalam surat An-Nahl ayat 90:

{90 : }...
Artinya: Sesungguhnya Allah menyuruh kamu berlaku adil dan berbuat kebaikan... (QS. An-Nahl: 90)
Selain itu, tidak saling menzalimi antara kedua belah pihak (penyewa dan yang
menyewakan), sesuai dengan firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 279:

{279 : }. ...
Artinya: ...Kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) teraniaya. (QS. Al-Baqarah: 279)
Berlaku adil dan berbuat kebajikan menjadi kewajiban setiap muslim dalam segala
aktivitas kehidupan, begitu pula dengan perintah Allah untuk tidak saling menyakiti dan
menganiaya orang lain. Dalam hubungannya dengan sewa-menyewa merupakan suatu
bentuk transaksi bisnis yang melibatkan banyak pihak, sehingga dituntut untuk berlaku adil
dan saling menghormati.

Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia, Cet. I, (Jakarta: Yayasan Penyelenggara


Al-Quan, 1983), hlm. 148.
[1]

[2] Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, Jilid 12, Cet. VIII, (Terj. Kamaruddin A. Marzuki
dkk.), (Bandung: Al-Maarif, 1987), hlm. 139.

Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, Cet. I, 2002), hlm. 105.
[4] T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Pengantar Muamalah, (Jakarta: Bulan Bintang, 1984),
hlm. 86-87.

[3]

Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, hlm. 187.


Masyfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyah, (Jakarta: Haji Masagung, 1998), hlm. 153.
Jamaluddin Muhammad Ibnu Mandhur, Lisan al-Araby, Jilid XIII, (Beirut: Dar alShadri, t.t.), hlm. 188.
[5]
[6]
[7]

[8]

Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, hlm. 106.

[9] Ibid., hlm. 106.


[10] Ahmad Azhar Basyir, Riba Utang Piutang dan Gadai, (Bandung: Al-Maarif,

1983), hlm. 50.


[11] Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, hlm. 139.
[12]Ahmad Mustafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi,

Jilid III, (Terj. Bahrun Abu Bakar


dan Hery Noer Aly), (Semarang: Toha Putra, 1993), hlm. 98.
[13] Ibid., hlm. 99.
[14]

Imam Bukhari, Shahih Bukhari, (Beirut: Dar al-Shabi, t.t.), hlm. 132.

[15]

M. Sholekul Hadi, Pegadaian Syariah, Cet. I, (Jakarta: Selemba Diniyah, 2003),

hlm. 52.
[16]
[17]

Ibid., hlm. 52.


Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2000), hlm.

[18]
[19]

M. Sholekul Hadi, Pegadaian Syariah , hlm. 53.


Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah, hlm. 254.

[20]

Ibid., hlm. 255.

254.

Ibid.
Ibid.
Muslim Ibrahim Abdurrauf, Nadhariyah al-Iqalah fi al-Fiqh al-Mukarran,
(Mesir: Jamiaah al-Azhar, 1983), hlm. 328-329.
[24] Ahmad Azhar Basyir, Riba Utang Piutang dan Gadai, hlm. 53.
[21]
[22]
[23]

[25] Ghufron A. Masadi, Fiqh Muamalah Kontekstual, (Jakarta: Raja Grafindo


Persada, 2002), hlm. 178.

[26] Wahbah

az-Zuhaily, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, Jilid V, (Beirut: Dar al-Fikr,

1984), hlm. 182.


[27] Ibid.
[28]Ibid., hlm. 221-222.
[29] Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah, hlm 55.
[30] Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, Jilid III, (Semarang: Asy-Syifa, 1996), hlm. 272.
[31]

Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah, hlm. 257.

Imam Bukhari, Shahih Bukhari, Juz II, hlm. 78.


Khalil Umam, Agama Menjawab tentang Berbagai Masalah Abad Modern,
(Surabaya: Ampel Suci, 1994), hlm. 19.
[32]
[33]

[34]

Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, Jilid 13, hlm. 15.

[35]
[36]

Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah, hlm. 228.


Helmi Karim, Fiqh Mu'amalah, (Bandung: Al-Ma'arif, 1997), hlm. 73.

[37] Al-Kasani, Al-Bada'i ash-Shana'i, Jilid IV, (Beirut: Dar al-Fikr, t.t.), hlm. 174.
[38]Asy-Syarbaini al-Khathib, Mughniy al-Muhtaj, Jilid II, (Beirut: Dar al-Fikr, 1978),

hlm. 233.
Ibnu Qudamah, Al- Mughniy, Jilid V, (Mesir: Riyadh al-Haditsah, t.t.), hlm. 398.
Chairuman Pasaribu dan Suhrawardi, Hukum Perjanjian Islam, Cet. I, (Jakarta:
Sinar Grafika, 1994), hlm. 92.
[39]
[40]

[41] Ahmad Mustafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, hlm. 67.


[42] Imam Bukhari, Shahih Bukhari, hlm. 332.
[43] Imam Nasaiy, Sunan Nasaiy, (Beirut: Dar al-Fikr, 1994),
[44] Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, (Kairo: Darul
[45] Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, Jilid 13, hlm. 18.
[46]Ibid., hlm. 19.
[47]

hlm. 271.

Fikri, t.t.), hlm. 87.

Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah, hlm. 231.

[48] Abdul Rahman Al-Jaziry, Al-Fiqh

'ala Mazahib al-Arba'ah, Juz III, (Beirut: Dar

al-Fikr, t.t.), hlm. 100.


[49] Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, Jilid 13, hlm. 19.
[50]

Ibid.

[51]

Ibid., hlm. 101.

[52] Abdul Rahman Al-Jaziry, Al-Fiqh 'ala Mazahib al-Arba'ah, Juz III, hlm. 101.
[53] Salem Bahreisy dan Said Bahreisy, Terjemahan Singkat Tafsir Ibnu Katsir, Jilid

II, (Surabaya: Bina Ilmu, 1989), hlm. 361.


[54] Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, Jilid 13, hlm. 20.
[55] Syekh Muhammad bin Qasim Asy-Syafi'i, Fath al-Qarib, (Terj. Imran Abu
Umar), Jilid I, (Surabaya: Menara Kudus, 1992), hlm. 298.

[56] Chairuman Pasaribu dan Suhrawardi K. Lubis, Hukum Perjanjian Islam, hlm. 3.
[57] Wahbah az-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, Jilid IV, (Beirut: Dar al-Fikr,

1984), hlm. 759-761.


[58] Ibid.
[59]
[60]
[61]

Ibid.
Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, Jilid 13, hlm. 30.
Ibid.

[62] Abdul Rahman Al-Jaziry, Al-Fiqh

'ala Mazahib al-Arba'ah, Juz III, hlm. 129.

Diposkan oleh Anisy Kurlillah di 01.54


Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Berbagi ke TwitterBerbagi ke FacebookBagikan ke
Pinterest
1 komentar:
1.
hariyanton27 Juli 2012 21.58
mohon maaf ana skilas mncritakan,,,,,
assalam ustad
dikampung saya ada sebuah akad gadai dengan sistem matean atau istilah bahasa
indonesianya mati
contohnya: si A =punya sawah dan si B= pemberi pinjaman
si A lagi butuh uang untuk keperluan sesuatu dan menggadaikan sawahnya kepada si
B dengan jumlah uang tunai sbsar 30 juta. dan si A menerima uang dan si B menerima
sawah untuk digarap, tetapi dalam akad gadai tersebut si A mempunyai syarat untuk si
B yaitu syarat matean artinya si A mensyaratkan si B menggararap sawahnya
dengan syarat si B membayar setiap tahunya sebanyak 2 juta rupiah,,dan
kesepakatanpun terjadi.
keuntungan adanya sistem matean untuk:
si A adalah mendapatkan uang tunai setiap tahunnya dari si penggarap sawahnya
sebesar 2 juta sehinggga mengurangi beban pengembaalian pinjaman dari si B
sedangkan si B adalah dapat menggarap sawah si A sebebas mungkin keuntungan dan
kerugian sudah menjadi tanggungan penggarap atau si B
JADI, yang menjadi pertanyaanya disini adalah bagaimana hukum gadai sawah
tersebut, dan bagaimana sebaiknya dilakukan?
mohon jawabannya asaalamwrwb.
Balas

STIKAP

Belajar dan berbagi untuk mewujudkan generasi yang berilmu amaliah, beramal ilmiah dan
berakhlaqul karimah

Jumat, 21 Oktober 2011


KONSEP AKAD RAHN DALAM PEGADAIAN SYARIAH (TINJAUAN FIQH MUAMALAH)

KONSEP AKAD RAHN DALAM PEGADAIAN SYARIAH


(TINJAUAN FIQH MUAMALAH)

BAB I
PENDAHULUAN

Perkembangan produk-produk berbasis syariah kian marak di Indonesia,


tidak terkecuali pegadaian. Perum pegadaian mengeluarkan produk berbasis
syariah yang disebut dengan pegadaian syariah. Pada dasarnya, produk-produk
berbasis syariah memiliki karakteristik seperti, tidak memungut bunga dalam
berbagai bentuk karena riba, menetapkan uang sebagai alat tukar bukan sebagai
komoditas yang diperdagangkan, dan melakukan bisnis untuk memperoleh
imbalan atas jasa dan atau bagi hasil. Pegadaian syariah atau dikenal dengan
istilah rahn, dalam pengoperasiannya menggunakan metode Fee Based Income
(FBI) atau Mudharobah (bagi hasil). Karena nasabah dalam mempergunakan
marhumbih

(UP)

mempunyai

tujuan

yang

berbeda-beda

misalnya

untuk

konsumsi, membayar uang sekolah atau tambahan modal kerja, penggunaan


metode Mudharobah belum tepat pemakaiannya. Oleh karenanya, pegadaian
menggunakan metode Fee Based Income (FBI).
Sebagai penerima gadai atau disebut Mutahim, penggadaian akan
mendapatkan Surat Bukti Rahn (gadai) berikut dengan akad pinjam-meminjam
yang disebut Akad Gadai Syariah dan Akad Sewa Tempat (Ijarah). Dalam akad
gadai syariah disebutkan bila jangka waktu akad tidak diperpanjang maka
penggadai menyetujui agunan (marhun) miliknya dijual oleh murtahin guna
melunasi

pinjaman.

Sedangkan

Akad

Sewa

Tempat

(ijarah)

merupakan

kesepakatan antara penggadai dengan penerima gadai untuk menyewa tempat


untuk penyimpanan dan penerima gadai akan mengenakan jasa simpan.
Salah satu inovasi produk yang diluncurkan oleh pagadaian adalah
Program Kredit Tunda Jual Komoditas Pertanian yang saat ini lebih dikenal

dengan sebutan Gadai Gabah. Program ini diluncurkan atas landasan pemikiran
bahwa dalam rangka mengurangi kerugian petani akibat perbedaan harga jual
gabah pada saat panen raya. Sasaran utama program ini adalah membantu
petani agar bisa menjual gabah yang dimilikinya sesuai dengan harga dasar
yang ditetapkan oleh pemerintah. Pengalaman selama ini ketika terjadi panen
raya, petani selalu menjadi pihak yang dirugikan. Untuk mencegah kerugian
yang diderita oleh petani pada saat musim panen akibat anjloknya harga gabah,
Perum Pegadaian

meluncurkan gadai

gabah.

Dengan sistem ini,

petani

menggadaikan gabahnya pada musim panen, untuk ditebus dan dijual ketika
harga gabah kembali normal. Dengan adanya gadai gabah, petani bisa tidak
menjual semua gabahnya pada saat musim panen (harga murah) melainkan
menyimpannya dulu di gudang milik agen yang menjadi mitra pegadaian. Petani
menggadaikan sebagian gabahnya pada musim panen pada Perum Pegadaian
dengan harga yang berlaku saat itu. Setelah harga gabah kembali normal, petani
dapat menebusnya dengan harga yang sarna ketika menggadaikan gabahnya
ditambah dengan sewa modal sebesar 3,5 persen per bulan. Jika selama batas
waktu empat bulan (masa jatuh tempo kredit) petani tidak dapat menebusnya,
gabah akan dilelang oleh Perum Pegadaian. Kelebihan harga gabah akan
diberikan kepada petani. Gabah yang diterima sebagai barang jaminan adalah
Gabah Kering Giling (GKG). Bila gabah petani bukan gabah kering giling maka
petani akan dikenakan proses penanganan (handling) sebesar Rp 10 per
kg.

BAB II
RAHN
2.1 DEFINISI RAHN
Menurut

bahasa, rahn

berarti

tetap,

kekal

dan

berkesinambungan. Rahn juga bermakna al-habsu yang berarti menahan atau


jaminan[1].
Akad rahn dalam istilah terminologi positif disebut dengan barang
jaminan, agunan dan runggahan. Dalam islam rahn merupakan sarana saling
tolong-menolong bagi umat Islam, tanpa adanya imbalan.[2]

Secara terminologi ada beberapa defenisi rahn yang dikemungkakan oleh


ulama fiqh : Pertama, Ulama Malikiyah mendefenisikannya dengan [3] :
Harta yang dijadikan pemiliknya sebagai jaminan utang yang bersifat
mengikat
Menurut mereka, yang dijadikan barang jaminan bukan hanya harta yang
bersifat materi, tetapi juga bersifat manfaat tertentu.
Kedua, Ulama Hanfiyah mendefenisikannya dengan[4] ;
Menjadikan sesuatu (barang) sebagai jaminan terhadap hak (piutang) yang
mungkin dijadikan sebagai pembayar hak (piutang) itu, baik seluruhnya maupun
sebagian dari barang tersebut
Ketiga, Ulama Syafiiyah dan Hanbilah mendefenisikannya dengan [5];
Menjadikan materi (barang) sebagai jaminan utang, yang dapat dijadikan
pembayaran utang apabila orang yang berutang tidak bisa membayar utang
Defenisi

yang

dikemungkakan

oleh

Ulama

Syafiiyah

dan Hanbilah mengandung pengertian bahwa barang yang boleh dijadikan


jaminan utang hanyalah yang bersifat materi; tidak termasuk manfaatnya,
sekalipun manfaat itu menurut mereka termasuk dalam pengertian harta[6].
Ke-empat,
tentang Rahn dan

dalam

Fatwa
Fatwa

DSN

MUI
nomor

nomor

25/DSN-MUI/III/2002
26/DSN-MUI/III/2002

tentang Rahn Emas, rahn didefenisikan dengan :


Menahan barang sebagai jaminan atas utang
Ke- lima, merujuk pada Buku 2 Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah Bab I
tentang Ketentuan Umum pasal 20 ayat 14 dinyatakan bahwa Rahn/gadai adalah
:
Penguasaan barang milik peminjam oleh pemberi pinjaman sebagai jaminan.

2.2. DASAR HUKUM

1.

Firman Allah :


Q.S. Al-Baqoroh 283. Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu'amalah tidak secara tunai)
sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, Maka hendaklah ada barang
tanggungan yang dipegang[180] (oleh yang berpiutang). akan tetapi jika sebagian kamu
mempercayai sebagian yang lain, Maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan
amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya; dan
janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan persaksian. dan barangsiapa yang
menyembunyikannya, Maka Sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya; dan
Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.
[180] barang tanggungan (borg) itu diadakan bila satu sama lain tidak percaya
mempercayai.

2. Hadits Nabi SAW :


Sesungguhnya Rasulullah s.a.w. pernah membeli makanan dengan berutang
dari

seorang

Yahudi,

dan Nabi

menggadaikan

sebuah

baju

besi

kepadanya. {HR. Bukhri dan Muslim dari Aisyah r.a }

2.3.

RUKUN AKAD RAHN


Para ulama fiqh berbeda pendapat dalam menetapkan rukun rahn.

Menurut Jumhur Ulama rukun rahn ada empat, yaitu[7] ;


1. Pihak yang berakad : yang menggadaikan/pemberi gadai (rhin) & yang
menerima gadai (murtahin)
2. Objek yang digadaikan (marhun)
3. Hutang (marhun bih)
4. Ijab qabul (sighat)

Ulama Hanfiyah berpendapat bahwa rukun rahn hanya sighat ijab dan
qabul, sedangkan 3 (tiga) lainnya bukan merupakan rukun dari akad rahn. Di
samping itu, menurut mereka, untuk sempurna dan mengikatnya akad rahn ini,
maka diperlukan al-qabdh (penyerahan barang) oleh pemberi utang. [8]
2.4.

SYARAT SAH AKAD RAHN


Agar pelaksanaan akad rahn sempurna, berikut beberapa syarat dari

sahnya akad rahn :


1. Syarat Pihak yang berakad[9] :
i.

Cakap hukum ( Baligh & Berakal ), anak yang tergolong mumayyiz & tidak
dalam keadaan gila.

ii. Tidak sepihak, khusus untuk akad rahn dalam konteks perwalian.
iii. Sukarela (ridha), tidak dalam keadaan dipaksa / terpaksa /dibawah tekanan.
2. Syarat Obyek yang diagunkan [10]:
i.

Barang

itu

bernilai

harta

dan

boleh

dimanfaatkan

dalam

Islam

(ml

mutaqawwim)
ii. Barang itu ada pada waktu akad[11].
iii.

Barang itu milik sah & sempurna dari rhin (milk al-tm) atau Barang itu tidak
terkait dengan hak orang lain.

iv. Barang itu jelas dan tertentu.


v. Barang itu dapat diserahkan baik materi maupun manfaatnya
3. Syarat Utang (marhun bih)[12]:
i.

Merupakan hak yang wajib dikembalikan kepada pemberi utang, meliputi


hutang uang atau hutang barang.

ii.

Utang itu boleh dilunasi dengan barang yang diagunkan, sebab barang itu
merupakan jaminan atas utang.

iii. Utang itu jelas diketahui oleh kedua pihak yang berakad.
4. Syarat Akad /sighot :

i.

Tidak dikaitkan dengan syarat tertentu atau dikaitkan dengan masa yang akan
datang.

UlamaHanfiyah menyatakan

bahwa

apabila

akad rahn dibarengi

dengan syarat tertentu, atau dikaitkan dengan dengan masa yang akan datang,
maka syaratnya batal sedangkan akad rahn-nya sah. Misalnya, orang yang
berutang mensyaratkan apabila tenggang waktu utang telah habis dan utang
belum dibayar, maka akad rahn diperpanjang 1 (satu) bulan ; atau pemberi
utang mensyaratkan harta agunan itu boleh ia manfaatkan. Sedangkan,
Ulama Hanbilah, Malikiyah dan Syafiiyah menyatakan bilamana syarat itu
adalah syarat yang mendukung kelancaran akad maka syarat itu diperbolehkan,
tetapi apabila syarat itu bertentangan dengan tabiat akad rahn maka syaratnya
batal. Kedua syarat dalam contoh di atas (perpanjangan rahn 1 (satu) bulan dan
agunan

boleh

dimanfaatkan),

tidak

boleh

menjual

agunan

jika

masa

akad rahn telah jatuh tempo, dan orang yang berutang tidak mampu bayar
merupakan syarat yang tidak sesuai dengan tabiat akad rahn, karenanya syarat
tersebut batal. Syarat yang dibolehkan itu, misalnya : pemberi utang meminta
agar akad disaksikan oleh 2 (dua) orang saksi.[13]
ii.

Merujuk pada Buku 2 Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah Bab XIII tentang Rahn
pasal 329 ayat 2 dinyatakan : Akad (yang dimaksud dalam ayat (1) di atas harus
dinyatakan oleh para pihak dengan cara lisan, tulisan, atau isyarat.
Di samping syarat-syarat di atas, para ulama fiqh sepakat menyatakan
bahwa akad rahn baru dianggap sempurna apabila marhun secara hukum sudah
ada di tangan pemberi utang. Syarat yang terakhir ini disebut sebagai qabdh almarhun.[14] Terdapat 2 (dua) syarat dari qabdh al-marhun, yaitu : mendapat
izin dari rhin dan dipegang atau telah dipindahtangakan kemurtahin.[15] Hal
ini sesuai dengan firman Allah SWT :

Dan apabila kamu dalam perjalanan sedang kamu tidak memperoleh seorang
juru tulis maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang.... { QS. AlBqarah [2] : 283}
Ulama Malikiyah menganggap bahwa marhun tidak harus diserahkan
secara

aktual,

tetapi

boleh

juga

penyerahaanya

secara

hukum,

seperti

menjadikan sawah sebagai jaminan, maka yang diserahkan adalah surat jaminan
atau sertifikat tanah.[16]
Imam Syafii melihat bahwa Allah tidak menetapkan satu hukum kecuali
dengan jaminan yang memiliki kriteria jelas dalam serah terima. Apabila kriteria
tersebut tidak ada maka hukumnya juga tidak ada. Mazhab Maliki berpendapat
bahwa gadai wajib dengan akad dan bagi orang yang menggadaikan diharuskan
menyerahkan barang jaminan untuk dikuasai oleh (murtahin).[17]
Merujuk pada Buku 2 Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah Bab XIII tentang
Rahn pasal 331 dinyatakan : Akad gadai sempurna bila harta gadai (selanjutnya
dibaca

: marhun) telah

dikuasai

oleh

penerima

gadai (selanjutnya

dibaca : murtahin). Pada pasal 332 ayat 1 dinyatakan : Harta gadai harus
bernilai dan dapat diserahkan-terimakan. Sedangkan, pada pasal Apabila harta
gadai belum diserah-terimakan kepada murtahin maka akad rahn yang telah
disepakati dapat dibatalkan.
2.5.

JENIS AKAD RAHN


Terdapat 2 (dua) jenis akad rahn yang umumnya dikenal di dalam

khazanah

Islam

Untuk rahn jenis

yaitu
kedua

: rahn
lebih

hiyzi dan rahn


familiar

disebut

takmny atau rahn


denganrahn

rasmy.

tashjly. Rahn

hiyzi adalah akad penyerahan atas hak kepemilikan barang dalam penguasaan
pemberi utang. Artinya, posisi marhun dalam rahn hiyzi berada di tangan
pemberi utang. Sedangkan, rahn takmny atau rahn rasmy adalah akad (rahn)
atas barang bergerak dimana pemberi hutang hanya menguasai hak kepemilikan
sedangkan fisik barang masih berada dalam penguasaan rhin sebagai penerima
hutang.[18]
2.6. SIFAT HUKUM AKAD RAHN
Menurut Fathi ad-Duraini hakikat rahn dalam Islam adalah akad yang
dilaksanakan tanpa imbalan jasa dan tujuannya hanya sekedar tolong menolong.
[19] Akad rahn termasuk ke dalam akadtabarru, sebab murtahin tidak menerima
suatu tambahan apapun dari rhin.[20]
Sesuai

dengan

Fatwa

DSN

MUI

nomor

25DSN-MUI/III/2002

tentang Rahn serta Buku 2 Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah Bab XIII tentang
Rahn pasal 343, bahwa murtahin selaku peneriman harta gadai mempunyai hak
untuk menahan marhun sampai semua utang rhin dilunasi. Oleh sebab itu,

apabila barang jaminan telah dikuasai oleh murtahin selaku pemberi utang maka
akad rahn bersifat mengikat [21] serta tidak dapat dibatalkan secara sepihak
oleh rhin.
2.7. PEMANFAATAN MARHUM
Akad rahn dimaksudkan sebagai bentuk kepercayaan dan jaminan atas
pemberian utang, bukan mencari keuntungan dan hasil darinya. Apabila
demikian yang berlaku, debitor (murtahin) tidak berhak memanfaatkan barang
yang digadaikan sekalipun diizinkan oleh rahin. Memanfaatkan barang gadaian
tak ubahnya seperti qirdh yang menguntungkan dan setiap bentuk qirdh yang
menguntungkan adalah riba. [22]
Jumhur Ulama, selain Ulama Hanbilah, menyatakan bahwa pemegang
barang jaminan tidak boleh memanfaatkan barang jaminan karena itu bukan
miliknya secara penuh. Hak pemegang barang jaminan terhadap barang itu
hanyalah sebagai jaminan atas piutangnya, dan apabila orang yang berutang
tidak mampu melunasi utangnya, barulah ia boleh menjual atau menghargai
barang itu untuk melunasi piutangnya. Hal ini didasari dari hadits :
Tidak terlepas kepemilikan barang gadai dari pemilik yang menggadaikannya.
Ia memperoleh manfaat dan menanggung resikonya. { HR. al-SyafiI, alDaruqutni dan Ibnu Majah }
Dalam

konteks,

izin

dari

pemilik,

sebagian

Ulama Hanfiyah membolehkan pemegang barang untuk memanfaatkan barang


tersebut selama ada di tangannya jika telah memperoleh izin dari pemilik
barang.

Namun,

Ulama

Ulama Hanfiyahlainnya

Malikiyah,
berpendapat

Ulama

Syafiiyah

sekalipun

pemilik

dan

sebagian

barang

itu

mengizinkannya, pemegang jaminan tidak boleh memanfaatkan barang jaminan


itu. Apabila barang jaminan itu dimanfaatkan, maka hasil pemanfaatan itu
merupakan rib. Dalam masalah rib, perizinan dan ridha tidak berlaku. [23]
Berbeda dengan paragraf di atas, apabila barang yang dijadikan jaminan
adalah

binatang

ternak,

maka

sebagian

Ulama Hanfiyah membolehkan

pemanfaat barang jaminan berupa ternak tersebut jika mendapat izin dari
pemilik ternak. Namun, Ulama Malikiyah, Ulama Syafiiyah dan sebagian
Ulama Hanfiyah lainnya berpendirian bahwa apabila hewan itu dibiarkan saja,
tanapa diurus oleh pemiliknya, maka murtahin boleh memanfaatkannya, baik

seizin pemiliknya atau pun tidak, karena membiarkan hewan itu tersia-sia,
dilarang dalam Islam.
Ulama Hanbilah, berpendapat bahwa apabila yang dijadikan barang
jaminan itu adalah hewan, maka pemegang barang jaminan berhak untuk
mengambil susunya dan mempergunakannnya, sesuai dengan jumlah biaya
pemeliharaan yang dikeluarkan pemegang barang jaminan.
"Tunggangan (kendaraan) yang digadaikan boleh dinaiki dengan menanggung
biayanya dan binatang ternak yang digadaikan dapat diperah susunya dengan
menanggung biayanya. Orang yang menggunakan kendaraan dan memerah
susu

tersebut

wajib

menanggung

biaya

perawatan

dan

pemeliharaan."
{ HR. Bukhri, Tirmidzi, Abu Daud }
Para ulama fiqh juga berbeda pendapat dalam pemanfaatan marhun
oleh pemilik barang. UlamaHanfiyah dan Hanbilah menyatakan pemilik barang
boleh memanfaatkan barang miliknya selama ada izin dari murtahin. Namun,
Ulama Syafiiyah berpendapat pemanfaatan marhun olehrhin sebagai pemilik
barang tidak perlu ada izin dari murtahin. Alasannya, marhun adalah tetap
menjadi milik rhin dan seorang pemilik tidak boleh dihalang-halangi untuk
memanfaatkan hak miliknya.[24]
Berdasarkan

Fatwa

tentang Rahn dinyatakan


dimanfaatkan

MUI

bahwa Pada

dan

nomor

25DSN-MUI/III/2002

prinsipnya, marhun tidak

boleh

seizin rhin, dengan

tidak

oleh murtahin kecuali

mengurangi nilai marhun dan


pemeliharaan

DSN

pemanfaatannya
perawatannya.

itu

sekedar

Hal

pengganti biaya

tersebut

terjadi

mengingat marhun dan manfaatnya tetap merupakan milikrhin.


Merujuk pada Buku 2 Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah Bab XIII tentang
Rahn pasal 357 dinyatakan : Penerima gadai tidak boleh menggunakan harta
gadai tanpa seizin pemberi gadai(selanjutnya dibaca : rhin) .
2.8. BIAYA PERAWATAN DAN PEMELIHARAAN MARHUM
Berdasarkan

Fatwa

DSN

MUI

nomor

25DSN-MUI/III/2002

tentang Rahn dinyatakan bahwa Pemeliharaan dan penyimpanan marhun pada


dasarnya

menjadi

kewajiban rhin, namun

dapat

dilakukan

juga

oleh murtahin, sedangkan biaya dan pemeliharaan penyimpanan tetap menjadi


kewajiban rhin.

Adapun

Besaran

biaya

pemeliharaan dan

penyimpanan marhun tidak boleh ditentukan berdasarkan jumlah pinjaman.


Dalam fatwa berbeda, yaitu Fatwa DSN MUI nomor 26/DSN-MUI/III/2002
tentang Rahn Emas dinyatakan bahwa ongkos dan biaya penyimpanan barang
(marhun) ditanggung oleh penggadai (rhin). Dewan Syariah Nasional Majelis
Ulama Indonesia membuat ketentuan bahwa besaran ongkos yang dimaksud
didasarkan pada pengeluaran yang nyata-nyata diperlukan sedang pengenaan
biaya penyimpanan barang (marhun) dilakukan berdasarkan akad Ijarah.
Merujuk pada Buku 2 Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah Bab XIII tentang
Rahn pasal 362 dinyatakan : Pemberi gadai bertanggung jawab atas biaya
penyimpanan dan pemeliharaan harta gadai, kecuali ditentukan lain dalam
akad.
2.9.

BERAKHIRNYA AKAD RAHN

Akad Rahn akan berakhir apabila[25] :


1. Marhun diserahkan kepada rhin sebagai pemilik barang. Pendapat ini
adalah menurut Jumhur Ulama selain, Ulama Syafiiyah dikarenakan bagi
mereka rahn adalah jaminan atas utang.
2. Hutang rhin telah lunas seluruhnya.
3. Penjualan marhun.
4. Murtahin melakukan pengalihan utang rhin kepada pihak lain.
5. Karena

pembatalan

disertai qabul dari rhin,

oleh murtahin walaupun

dikarenakan

pembatan

itu

tanpa
adalah

hak

dari murtahin.
6. 6. Meninggalnya rhin atau murtahin sebelum marhun diserahkan.
Pendapat ini adalah dari Ulama Hanfiyah. Sedangkan, menurut Ulama
Syafiiyah dan Hanbilah hal tersebut tidak menyebabkan batalnya akad.
Merujuk pada Buku 2 Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah Bab XIII tentang
Rahn pasal 348 ayat 1 dinyatakan : Ahli waris yang memiliki kecakapan

hukum

dapat

menggantikan

pemberi

gadai

(baca

: rhin) yang

meninggal
7. Musnahnya marhun (di tangan murtahin). Menurut Ulama Hanfiyah, atas
perkara tersebut murtahin dapat dikenakan denda sebesar harga barang
minimum atau sebesar utang rhin, sebab hakikatnya marhun adalah
amanah yang diberikan kepada murtahin.[26]
8. Apabila marhun disewakan, dihibahkan dan atau disedekahkan atas seizin
pemilik barang.

BAB III
KONSEP AKAD RAHN DALAM PEGADAIAN SYARIAH

1.

Lahirnya Pegadaian Syariah


Terbitnya PP/10 tanggal 1 April 1990 dapat dikatakan menjadi tonggak

awal kebangkitan Pegadaian, satu hal yang perlu dicermati bahwa PP10
menegaskan misi yang harus diemban oleh Pegadaian untuk mencegah praktik
riba, misi ini tidak berubah hingga terbitnya PP103/2000 yang dijadikan sebagai
landasan kegiatan usaha Perum Pegadaian sampai sekarang. Banyak pihak
berpendapat bahwa operasionalisasi Pegadaian pra Fatwa MUI tanggal 16
Desember 2003

tentang Bunga Bank, telah sesuai dengan konsep syariah

meskipun harus diakui belakangan bahwa terdapat beberapa aspek yang


menepis anggapan itu. Berkat Rahmat Allah SWT dan setelah melalui kajian
panjang, akhirnya disusunlah suatu konsep pendirian unit Layanan Gadai
Syariah

sebagai langkah awal pembentukan divisi khusus yang menangani

kegiatan usaha syariah.

Konsep operasi Pegadaian syariah mengacu pada sistem administrasi


modern yaitu azas rasionalitas, efisiensi dan efektifitas yang diselaraskan
dengan nilai Islam. Fungsi operasi Pegadaian Syariah itu sendiri dijalankan oleh
kantor-kantor Cabang Pegadaian Syariah/ Unit Layanan Gadai Syariah (ULGS)
sebagai satu unit organisasi di bawah binaan Divisi Usaha Lain Perum Pegadaian.
ULGS ini merupakan unit bisnis mandiri yang secara struktural terpisah
pengelolaannya dari usaha gadai konvensional. Pegadaian Syariah pertama kali
berdiri di Jakarta dengan nama Unit Layanan Gadai Syariah ( ULGS) Cabang
Dewi Sartika di bulan Januari tahun 2003. Menyusul kemudian pendirian ULGS di
Surabaya, Makasar, Semarang, Surakarta, dan Yogyakarta di tahun yang sama
hingga September 2003. Masih di tahun yang sama pula, 4 Kantor Cabang
Pegadaian di Aceh dikonversi menjadi Pegadaian Syariah.

2.

Operasionalisasi Pegadaian Syariah


Implementasi operasi Pegadaian Syariah hampir bermiripan dengan

Pegadaian konvensional. Seperti halnya Pegadaian konvensional , Pegadaian


Syariah juga menyalurkan uang pinjaman dengan jaminan barang bergerak.
Prosedur untuk memperoleh kredit gadai syariah sangat sederhana, masyarakat
hanya menunjukkan bukti identitas diri dan barang bergerak sebagai jaminan,
uang pinjaman dapat diperoleh dalam waktu yang tidak relatif lama (kurang
lebih 15 menit saja). Begitupun untuk melunasi pinjaman, nasabah cukup
dengan menyerahkan sejumlah uang dan surat bukti rahn saja dengan waktu
proses yang juga singkat.
Di samping beberapa kemiripan dari beberapa segi, jika ditinjau dari
aspek landasan konsep; teknik transaksi; dan pendanaan, Pegadaian Syariah
memilki ciri tersendiri yang implementasinya sangat berbeda dengan Pegadaian
konvensional. Lebih jauh tentang
uraian berikut.

3.

Teknik Transaksi

ketiga aspek tersebut,

dipaparkan dalam

Sesuai dengan landasan konsep di atas, pada dasarnya Pegadaian


Syariah berjalan di atas dua akad transaksi Syariah yaitu :

1.

Akad Rahn. Rahn yang dimaksud adalah menahan harta milik si peminjam
sebagai jaminan atas pinjaman yang diterimanya, pihak yang menahan
memperoleh

jaminan

untuk

mengambil

kembali

seluruh

atau

sebagian

piutangnya. Dengan akad ini Pegadaian menahan barang bergerak sebagai


jaminan atas utang nasabah.
2. Akad Ijarah. Yaitu akad pemindahan hak guna atas barang dan atau jasa melalui
pembayaran upah sewa, tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan atas
barangnya sendri. Melalui akad ini dimungkinkan bagi Pegadaian untuk menarik
sewa atas penyimpanan barang bergerak milik nasabah yang telah melakukan
akad.

Rukun dari akad transaksi tersebut meliputi :


a.

Orang yang berakad :

1) Yang berhutang (rahin) dan


2) Yang berpiutang (murtahin).
b.

Sighat (ijab qabul)

c.

Harta yang dirahnkan (marhun)

d.

Pinjaman (marhun bih)


Dari landasan Syariah tersebut maka mekanisme operasional Pegadaian
Syariah dapat digambarkan sebagai berikut : Melalui akad rahn, nasabah
menyerahkan barang bergerak dan kemudian Pegadaian menyimpan dan
merawatnya di tempat yang telah disediakan oleh Pegadaian. Akibat yang timbul
dari proses penyimpanan adalah timbulnya biaya-biaya yang meliputi nilai
investasi tempat penyimpanan, biaya perawatan dan keseluruhan proses
kegiatannya. Atas dasar ini dibenarkan bagi Pegadaian mengenakan biaya sewa
kepada nasabah sesuai jumlah yang disepakati oleh kedua belah pihak.

Pegadaian Syariah akan memperoleh keutungan hanya dari bea sewa


tempat yang dipungut bukan tambahan berupa bunga atau sewa modal yang
diperhitungkan dari uang pinjaman.. Sehingga di sini dapat dikatakan proses
pinjam meminjam uang hanya sebagai lipstick yang akan menarik minat
konsumen untuk menyimpan barangnya di Pegadaian.

Adapun ketentuan atau persyaratan yang menyertai akad tersebut


meliputi :
1.

Akad.

Akad

tidak

mengandung

syarat

fasik/bathil

seperti

murtahin

mensyaratkan barang jaminan dapat dimanfaatkan tanpa batas.


2.

Marhun Bih ( Pinjaman). Pinjaman merupakan hak yang wajib dikembalikan


kepada murtahin dan bisa dilunasi dengan barang yang dirahnkan tersebut.
Serta, pinjaman itu jelas dan tertentu.

3.

Marhun (barang yang dirahnkan). Marhun bisa dijual dan nilainya seimbang
dengan pinjaman, memiliki nilai, jelas ukurannya, milik sah penuh dari rahin,
tidak terkait dengan hak orang lain, dan bisa diserahkan baik materi maupun
manfaatnya.

4.

Jumlah maksimum dana rahn dan nilai likuidasi barang yang dirahnkan serta
jangka waktu rahn ditetapkan dalam prosedur.

5.

Rahin dibebani jasa manajemen atas barang berupa : biaya asuransi,biaya


penyimpanan,biaya keamanan, dan biaya pengelolaan serta administrasi.
Untuk dapat memperoleh layanan dari Pegadaian Syariah, masyarakat
hanya cukup menyerahkan harta geraknya ( emas, berlian, kendaraan, dan lainlain) untuk dititipkan disertai dengan copy tanda pengenal. Kemudian staf
Penaksir akan menentukan nilai taksiran barang bergerak tersebut yang akan
dijadikan sebagai patokan perhitungan pengenaan sewa simpanan (jasa simpan)
dan plafon uang pinjaman yang dapat diberikan. Taksiran barang ditentukan
berdasarkan nilai intrinsik dan harga pasar yang telah ditetapkan oleh Perum
Pegadaian. Maksimum uang pinjaman yang dapat diberikan adalah sebesar 90%
dari nilai taksiran barang.

Setelah melalui tahapan ini, Pegadaian Syariah dan nasabah melakukan


akad dengan kesepakatan :
1.

Jangka

waktu

penyimpanan

barang

dan

pinjaman

ditetapkan

selama

maksimum empat bulan.


2.

Nasabah bersedia membayar jasa simpan sebesar Rp 90,- (sembilan puluh


rupiah) dari kelipatan taksiran Rp 10.000,- per 10 hari yang dibayar bersamaan
pada saat melunasi pinjaman.

3.

Membayar biaya administrasi yang besarnya ditetapkan oleh Pegadaian pada


saat pencairan uang pinjaman.

Nasabah dalam hal ini diberikan kelonggaran untuk :

melakukan penebusan barang/pelunasan pinjaman kapan pun sebelum jangka


waktu empat bulan,

mengangsur uang pinjaman dengan membayar terlebih dahulu jasa simpan


yang sudah berjalan ditambah bea administrasi,

atau hanya membayar jasa simpannya saja terlebih dahulu jika pada saat jatuh
tempo nasabah belum mampu melunasi pinjaman uangnya.

Jika nasabah sudah tidak mampu melunasi hutang atau hanya


membayar jasa simpan, maka Pegadaian Syarian melakukan eksekusi barang
jaminan dengan cara dijual, selisih antara nilai penjualan dengan pokok
pinjaman, jasa simpan dan pajak merupakan uang kelebihan yang menjadi hak
nasabah. Nasabah diberi kesempatan selama satu tahun untuk mengambil Uang
kelebihan, dan jika dalam satu tahun ternyata nasabah tidak mengambil uang
tersebut, Pegadaian Syariah akan menyerahkan uang kelebihan kepada Badan
Amil Zakat sebagai ZIS.

4.

Pendanaan

Aspek syariah tidak hanya menyentuh bagian operasionalnya saja,


pembiayaan kegiatan dan pendanaan bagi nasabah, harus diperoleh dari sumber
yang benar-benar terbebas dari unsur riba. Dalam hal ini, seluruh kegiatan
Pegadaian syariah termasuk dana yang kemudian disalurkan kepada nasabah,
murni berasal dari modal sendiri ditambah dana pihak ketiga dari sumber yang
dapat dipertanggungjawabkan. Pegadaian telah melakukan kerja sama dengan
Bank Muamalat sebagai fundernya, ke depan Pegadaian juga akan melakukan
kerjasama dengan lembaga keuangan syariah lain untuk memback up modal
kerja.
Dari uraian ini dapat dicermati perbedaan yang cukup mendasar dari
teknik

transaksi

Pegadaian

Syariah

dibandingkan

dengan

Pegadaian

konvensional, yaitu :
1.

Di Pegadaian konvensional, tambahan yang harus dibayar oleh nasabah yang


disebut sebagai sewa modal, dihitung dari nilai pinjaman.

2.

Pegadaian konvensional hanya melakukan satu akad perjanjian : hutang


piutang dengan jaminan barang bergerak yang jika ditinjau dari aspek hukum
konvensional, keberadaan barang jaminan dalam gadai bersifat acessoir,
sehingga Pegadaian konvensional bisa tidak melakukan penahanan barang
jaminan atau dengan kata lain melakukan praktik fidusia. Berbeda dengan
Pegadaian syariah yang mensyaratkan secara mutlak keberadaan barang
jaminan untuk membenarkan penarikan bea jasa simpan.

5.

Contoh Perjanjian Akad Rahn


Pasal 1
DEFINISI
Dalam perjanjian ini yang dimaksud dengan :

1.

Rahn

adalah akad menggadaikan barang dari Nasabah kepada PEGADAIAAN


SYARIAH .... sehubungan dengan utang yang diterima Nasabah dari
PEGADAIAAN SYARIAH .....
2.

Perjanjian Utang

adalah surat perjanjian utang yang dibuat antara Nasabah dengan PEGADAIAAN
SYARIAH .... pada tanggal . berikut perubahan-perubahan dan

dokumen-dokumen yang melekat pada dan merupakan bagian perjanjian utang


tersebut.
3.

Debitur

adalah Nasabah sebagai pihak yang berutang kepada PEGADAIAAN SYARIAH ....
berdasarkan Per-janjian Utang.
4.

Rahin

adalah Nasabah sebagai pihak yang menggadaikan barang.


5.

Murtahin

adalah PEGADAIAAN SYARIAH .... sebagai pihak yang menerima gadai.


6.

Marhun

adalah barang yang digadaikan, yaitu berupa barang-barang yang akan


diuraikan dalam pasal 2 Rahn ini.
7.

Marhun bih

adalah utang Nasabah kepada PEGADAIAAN SYARIAH .... sebagaimana


dinyatakan dalam Perjan-jian Utang, yang dijamin dengan Rahn ini.
Pasal 2
POKOK PERJANJIAN
Nasabah dengan ini menggadaikan barang bergerak sebagaimana jenis, kualitas
dan kuantitasnya dinyatakan dalam Daftar yang dilampirkan pada dan
karenanya menjadi satu kesatuan yang tidak terpisahkan dari Surat Perjanjian ini
kepada PEGADAIAAN SYARIAH ...., sebagaimana PEGADAIAAN SYARIAH ....
menerima gadai tersebut dari Nasabah.

Pasal 3
KEPEMILIKAN BARANG DAN JAMINAN NASABAH
Nasabah selaku Rahin menjamin bahwa seluruh barang marhun yang dijadikan
jaminan atas utang Nasabah kepada PEGADAIAAN SYARIAH .... benar-benar milik
Nasabah (Rahin) yang tidak tersangkut sengketa atau perkara, bebas dari
pembebanan apa pun, sehingga oleh karena itu Nasabah berjanji dan dengan ini
mengikatkan diri untuk menjamin PEGADAIAAN SYARIAH .... dibebaskan dari
segala bentuk tuntutan atau gugatan apa pun dan dari pihak manapun juga.
Pasal 4
PENGGUNAAN MARHUN SEBAGAI PELUNAS UTANG
1.

Ayat 1 ini berisi substansi kekuasaan PEGADAIAAN SYARIAH .... atas marhun

substansi kekuasaan PEGADAIAAN SYARIAH .... terhadap marhun perlu


didiskusikan dulu, agar rumusannya benar-benar dapat menggambarkan adanya
kesetaraan antara kedudukan PEGADAIAAN SYARIAH .... sebagai Murtahin dan
Nasabah sebagai Rahin.
2.

Ayat 2 ini berisi substansi penggunaan uang hasil penjualan marhun sebagai
pelunas utang.
Pasal 5
BIAYA, POTONGAN DAN PAJAK-PAJAK

1. Nasabah berjanji dan dengan ini mengikatkan diri untuk menanggung segala
biaya yang diperlukan berkenaan dengan pelaksanaan Perjanjian ini, termasuk
jasa Notaris dan jasa lainnya, sepanjang hal itu diberitahukan PEGADAIAAN
SYARIAH .... kepada Nasabah sebelum ditandatanganinya Perjanjian ini, dan
Nasabah menyatakan persetujuannya.
2. Dalam hal Nasabah cedera janji tidak menyerahkan barang kepada
PEGADAIAAN SYARIAH ...., sehingga PEGADAIAAN SYARIAH .... perlu
menggunakan jasa Penasihat Hukum/Kuasa untuk menagihnya, maka Nasabah
berjanji dan mengikatkan diri untuk membayar kembali seluruh biaya jasa
Penasihat Hukum, jasa penagihan, dan jasa-jasa lainnya yang dapat dibuktikan
secara syah menurut ketentuan hukum.
3. Setiap menyerahkan barang kembali/pelunasan utang sehubungan dengan
Perjanjian ini dan Perjanjian lainnya yang mengikat Nasabah dan PEGADAIAAN
SYARIAH ...., dilakukan oleh Nasabah kepada PEGADAIAAN SYARIAH .... tanpa
potongan, pungutan, bea, pajak dan/atau biaya-biaya lainnya, kecuali jika
potongan tersebut diharuskan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
4. Nasabah berjanji mengikatkan diri, bahwa terhadap setiap potongan yang
diharuskan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku, akan dilakukan
pembayarannya oleh Nasabah melalui PEGADAIAAN SYARIAH .....

Pasal 6
ASURANSI ATAS MARHUN
Hal-hal berikut perlu didiskusikan :
a. Demi keadilan dan kesetaraan kedua pihak, perlu dipertimbangkan siapa
yang harus menanggung pembayaran premi asuransi. (Harus diingat, karena
sifatnya gadai, maka marhun yang merupakan benda bergerak harus diserahkan
oleh Nasabah kepada dan berada dalam kekuasaan fisik PEGADAIAAN
SYARIAH .....

b. Karena marhun secara fisik berada dalam kekuasaan PEGADAIAAN


SYARIAH ...., maka semestinya PEGADAIAAN SYARIAH .... untuk dan atas nama
Nasabah lebih berkewajiban untuk mengajukan klaim bila terjadi sesuatu
terhadap marhun dari pada Nasabah sendiri.
Bila pemberi pekerjaan sepakat dengan pola pikir tersebut, maka rumusan ayat
1, 2 dan 3 pada draft perlu disempurnakan secara mendasar hingga berbunyi
sebagai berikut :
1. PEGADAIAAN SYARIAH .... dan Nasabah sepakat dan dengan ini saling
mengikatkan diri untuk meng-asuransikan barang yang digadaikan (marhun)
pada perusahaan asu-ransi syariah yang ditetapkan PEGADAIAAN SYARIAH ....
dengan jumlah uang pertanggungan sampai sebesar Rp.....
(..) untuk masa selama utang Nasabah belum
dilunasi, dengan premi asuransi yang ditanggung bersama oleh kedua belah
pihak sama besar, dan yang dalam setiap polis asuransinya mencantumkan
ketentuan PEGADAIAAN SYARIAH ....ers clause.
2. Bila menurut pertimbangan PEGADAIAAN SYARIAH ...., Nasabah dianggap lalai
tidak memenuhi ke-wajibannya tersebut pada ayat 1 pasal ini, maka tanpa
mengurangi kewajiban Nasabah, PEGADAIAAN SYARIAH .... berhak sepenuhnya
untuk dan atas nama serta mewakili Nasabah meng-asuransikan barang yang
digadaikan (marhun) sesuai dengan ketentuan ayat 1 pasal ini serta mendebit
rekening Nasabah sejumlah bagian pembayaran premi yang menjadi kewajiban
Nasabah.
3. Bila terjadi sesuatu peristiwa yang diperjanjikan dalam perjanjian asuransi
atas barang yang digadaikan (marhun) yang dapat mendatangkan risiko bagi
PEGADAIAAN SYARIAH .... dan/atau Na-sabah, maka tanpa mengurangi
kewajiban Nasabah untuk menanggung seluruh bia-yanya, PEGADAIAAN
SYARIAH .... berhak mengajukan klaim terhadap perusahaan asuransi yang bersangkutan, termasuk, namun tidak terbatas pada pengurusan surat-surat
dan/atau dokumen-dokumen yang diperlukan sehubungan dengan pengajuan
klaim tersebut, dan Nasabah berjanji dan dengan ini mengikatkan diri untuk
menyerahkan segala surat dan/ atau dokumen terkait kepada PEGADAIAAN
SYARIAH .....
4. Untuk melaksanakan tindakan hukum yang perlu dilakukan oleh PEGADAIAAN
SYARIAH .... sebagaimana ter-sebut pada ayat 2 dan 3 pasal ini, maka
berdasarkan kesepakatan dalam perjanjian ini yang tidak dapat dibatalkan tanpa
persetujuan kedua belah pihak, Nasabah dengan ini memberi kuasa penuh
kepada PEGADAIAAN SYARIAH .... dengan kuasa yang tidak dapat berakhir
berda-sarkan Pasal 1813 KUH Perdata, sebagaimana Surat Kuasa yang
dilampirkan pada dan karenanya merupakan satu kesatuan yang tidak
terpisahkan dari Surat Perjanjian ini.

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Perkembangan produk-produk berbasis syariah kian marak di Indonesia,
tidak terkecuali pegadaian. Perum pegadaian mengeluarkan produk berbasis
syariah yang disebut dengan pegadaian syariah. Pada dasarnya, produk-produk
berbasis syariah memiliki karakteristik seperti, tidak memungut bunga dalam
berbagai bentuk karena riba, menetapkan uang sebagai alat tukar bukan sebagai
komoditas yang diperdagangkan, dan melakukan bisnis untuk memperoleh
imbalan atas jasa dan atau bagi hasil. Pegadaian syariah atau dikenal dengan
istilah rahn, dalam pengoperasiannya menggunakan metode Fee Based Income
(FBI) atau Mudharobah (bagi hasil). Karena nasabah dalam mempergunakan
marhumbih

(UP)

mempunyai

tujuan

yang

berbeda-beda

misalnya

untuk

konsumsi, membayar uang sekolah atau tambahan modal kerja, penggunaan


metode Mudharobah belum tepat pemakaiannya. Oleh karenanya, pegadaian
menggunakan metode Fee Based Income (FBI).
Sebagai penerima gadai atau disebut Murtahim, penggadaian akan
mendapatkan Surat Bukti Rahn (gadai) berikut dengan akad pinjam-meminjam
yang disebut Akad Gadai Syariah dan Akad Sewa Tempat (Ijarah). Dalam akad
gadai syariah disebutkan bila jangka waktu akad tidak diperpanjang maka
penggadai menyetujui agunan (marhun) miliknya dijual oleh murtahin guna
melunasi

pinjaman.

Sedangkan

Akad

Sewa

Tempat

(ijarah)

merupakan

kesepakatan antara penggadai dengan penerima gadai untuk menyewa tempat


untuk penyimpanan dan penerima gadai akan mengenakan jasa simpan.
1.2 Rumusan Masalah
Dengan melihat latar belakang di atas maka yang akan menjadi pokokpoko permasalahan yang akan dibahas dalamn esai ini adalah:

4.

1.

Apa definisi dari gadai menurut konvensional dan syariat Islam?

2.

Apa yang menjadi dasar hukum gadai konvensional dan syariah?

3.

Apa yang menjadi tujuan dan manfaat pegadaian?

Bagaimana yang menjadi rukun, syarat dan akad dalam pegadaian syariah?

5.

Apa saja yang menjadi jaminan dalam barang gadai/

6.

Bagaimana mekanisme produk gadai?

7.

Asal sumber pendanaan pegadaian?

8.

Bagaimana persamaan dan perbedaan pegadaian konvensional dan


pegadaian syariah?

1.3 Tujuan Pembahasan


Maksud dari penulisan makalah yang berjudul Pegadaian Syariah
adalah untuk memenuhi persyaratan tugas yang diberikan agar mendapatkan
penilaian yang bagus dalam mata kuliah Lembaga Perekonomian Umat di
bidang softskill.
Tujuan dalam pemilihan judul makalah Pegadaian Syariah untuk
menyesuaikan

dengan pembagian tema makalah yang telah di tentukan

dalam mata kuliah ini yakni tentang Lembaga Perekonomian Umat. Dan untuk
pembelajaran bagi para mahasiswa yang membutuhkan ilmu pengetahuan
dari makalah ini. Serta tujuan dari pembahasan materi ini adalah untuk
mengetahui dan mengenal pegadaian syariah serta sejauh mana peran dan
sistematika pegadaian syariah berperan melayani umat/ masyarakat.

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Gadai Konvensional dan Gadai Syariah.


2.1.1 Pengertian Gadai Konvensional
Mengutip pendapat Susilo (1999), pengertian pegadaian adalah suatu hak
yang diperoleh seseorang yang mempunyai piutang atas suatu barang bergerak.
Barang bergerak tersebut diserahkan kepada orang yang berpiutang oleh
seorang yang mempunyai utang atau oleh orang lain atas nama orang yang
mempunyai utang. Seseorang yang berutang tersebut memberikan kekuasaan
kepada orang yang berpiutang untuk menggunakan barang bergerak yang telah
diserahkan untuk melunasi utang apabila pihak yang berutang tidak dapat
melunasi kewajibannya pada saat jatuh tempo.
Jadi dapat disimpulkan bahwa gadai adalah suatu hak yang diperoleh oleh
orang yang berpiutang atas suatu benda bergerak yang diberikan oleh orang
yang berpiutang sebagai suatu jaminan dan barang tersebut bisa dijual jika
orang yang berpiutang tidak mampu melunasi utangnya pada saat jatuh
tempo.Sedangkan pengertian Perusahaan Umum Pegadaian adalah suatu badan
usaha di Indonesia yang secara resmi mempunyai izin untuk melaksanakan
kegiatan lembaga keuangan berupa pembiayaan dalam bentuk penyaluran dana
ke masyarakat atas dasar hukum gadai.

2.1.2 Pengertian Gadai Syariah


Gadai Syariah sering diidentikkan dengan Rahn yang secara bahasa
diartikan al-tsubut wa al-dawam (tetap dan kekal) sebagian Ulama Luhgat
memberi arti al-hab (tertahan). Sedangkan definisi al-rahn menurut istilah yaitu
menjadikan suatu benda yang mempunyai nilai harta dalam pandangan syara
untuk kepercayaan suatu utang, sehingga memungkinkan mengambil seluruh
atau sebagaian utang dari benda itu.

Istilah rahn menurut Imam Ibnu Mandur diartikan apa-apa yang diberikan
sebagai jaminan atas suatu manfaat barang yang diagunkan. Dari kalangan
Ulama Mazhab Maliki mendefinisikan rahn sebagai harta yang dijadikan
pemiliknya sebagai jaminan hutang yang bersifat mengikat, ulama Mazhab
Hanafi mendefinisikannya dengan menjadikan suatu barang sebagai jaminan
terhadap hak (piutang) yang mungkin dijadikan sebagai pembayar hak tersebut,
baik seluruhnya maupun sebagiannya. Ulama Syafii dan Hambali dalam
mengartikan rahn dalam arti akad yakni menjadikan materi (barang) sebagai
jaminan utang, yang dapat dijadikan pembayar utang apabila orang yang
berhutang tidak bisa membayar hutangnya.
Dalam bukunya: Pegadaian Syariah, Muhammad Sholikul Hadi (2003)
mengutip pendapat Imam Abu Zakariya al-Anshari dalam kitabnya Fathul
Wahhab yang mendefenisikan rahn sebagai: menjadikan benda bersifat harta
sebagai kepercayaan dari suatu utang yang dapat dibayarkan dari (harga) benda
itu bila utang tidak dibayar. Sedangkan menurut Ahmad Baraja, rahn adalah
jaminan bukan produk dan semata untuk kepentingan sosial, bukan kepentingan
bisnis, jual beli mitra.
Adapun pengertian rahn menurut Imam Ibnu Qudhamah dalam kitab AlMughni adalah sesuatu benda yang dijadikan kepercayaan dari suatu hutang
untuk

dipenuhi

dari

harganya,

apabila

yang

berhutang

tidak

sanggup

membayarnya dari yang berpiutang.


Dari ketiga defenisi tersebut dapat disimpulkan bahwa rahn merupakan
suatu akad utang piutang dengan menjadikan barang yang mempunyai nilai
harta

menurut

pandangan

syara

sebagai

jaminan,

hingga

orang

yang

bersangkutan boleh mengambil utang.

2.1.3 Pengertian Gadai Menurut Undang-Undang


Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Pasal 1150, gadai adalah
hak yang diperoleh sesorang yang mempunyai piutang atas suatu barang
bergerak. Barang bergerak tersebut diserahkan kepada orang yang berpiutang
oleh seorang yang mempunyai
yang

mempunyai

utang.

utang atau oleh orang lain atas nama orang

Seorang

yang

berutang

tersebut

memberikan

kekuasaan kepada orang berpiutang untuk menggunakan barang bergerak yang

telah diserahkan untuk melunasi utang apabila pihak yang berutang tidak dapat
memenuhi kewajibannya pada saat jatuh tempo.

2.2 Sejarah Berdirinya Pegadaian


Perkembangan lembaga pegadaian dimulai dari Eropa, yaitu negaranegara Iltalia, Inggris dan Belanda. Pengenalan usaha pegadaian di Indonesia
diawali pada masa awal masukknya kolonial Belanda, yaitu sekitar akhir abad ke19, oeh sebuah Bank Van Lening. Bank tersebut memberikan jasa pinjaman dana
dengan syarat penyeraha barang bergerak, sehingga Bank ini pada hakikatnya
telah memberikan jasa pegadaian. Pada awal abad ke-20 pemerintah Hindia
Belanda berusaha mengambil alih usaha pegadaian dan memonopolinya dengan
cara mengeluarkan Staatsblad No. 131 tahun 1901. Peraturan tersebut diikuti
dengan

pendirian rumah gadai resmi milik pemerintah dan statusnya diubah

menjadi Dinas Pegadaian sejak berlakunya Staatsblad 266 tahun 1960.


Pada masa selanjutnya, pegadaian milik pemerintah tetap diberi fasilitas
monopoli atas kegiatan pegadaian di Indonesia. Dinas Pegadaian mengalaimi
beberapa kali bentuk badan hukum sehingga akhirnya pada tahun 1990 menjadi
Perusahaan Umum (Perum). Pada tahun 1960 Dinas Pegadaian berubah menjadi
Perusahaan Negara (PN) Pegadaian, pada tahun 1969 Perusahaan Negara
Pegadaian berubah menjadi Perusahan Jawatan (Perjan) Pegadaian, dan pada
tahun 1990 Perusahaan Jawatan Pegadaian berubah menjadi Perusahaan Umum
(Perum) Pegadaian melalui Peratuan Pemerintah No. 10 Tahun 1990 Tanggal 10
April 1990. Pada waktu pegadaian masih berbentuk Perusahaan Jawatan, misi
nasional dari pegadaian merupakan satu-satunya acuan yang digunakan oleh
manajemen dalam mengelola pegadaian.
Pad saat ini pegadaian syariah sudah terbentuk sebagai sebuah lembaga.
Faktor pembentukan pegadaian syariah selain karena tuntutan idealisme juga
dikarenakn keberhasilan terlembaganya bank dan asuransi syariah. Setelah
terbentuknya bank, BMT, BPR dan asuransi syariah maka pegadaian syariah
mendapat perhatian oleh beberapa praktsi dan akademisi untuk dibentuk
dibawah suatu lembaga sendiri. Keberadaan pegadaian syariah atau gadai
syariah atau rahn lebih dikenal sebagai bagian produk yang ditawarkan oleh
bank

syariah,

dimana

bank

menawarkan

kepada

peminjaman barang guns mendapatkan pembiayaan.

massyarakat

bentuk

Namun trend dari perkembangan rahn sebgai produk perbankan srayiah


belum begitu baik, hal ini disebabkan oleh keberadaan komponen-komponen,
alat untuk menaksir, dan gudang penyimpanan barang jaminan. Oleh karena itu
tidak semua bank mampu memfasilitasi keberadaan rahn ini, tetapi jika
keberadaan rahn sangat dibutuhkan dalam sistem pembiayaan bank, maka bank
tersebut memiliki kententuan sendiri mengenai rahn, misalnya dalam hal barang
jaminan ukurannya dibatasi karena alasan kapasitas gudang penyimpanan
barang jaminan terbatas.
Sebap lain menngapa perkembangan pegadaian syariah kurang baik,
sebap masyarakat belum begitu mengenal gadai syariah (rahn) sebagai suatu
lembaga keuanga mandiri. Namun dilain pihak realitas menunjukkan bahwa
ternyata pegadaiancontohnya pegadaian konvensionalmampu memberikan
kontribusi

aktif

dalam

mambantu

masyarakat.

Melihat

realitas

tersebut,

keberadaan pegadaian syariah tidak bisa ditunda-tunda lagi sehingga pada


tahun 2003 didirikan pegadaian syariah.

2.3 Landasan Hukum Gadai Konvensional dan Gadai Syariah


2.3.1 Landasan Hukum Gadai Konvensional
Dalam Undang-undang Nomor 9 Tahun 1969 pasal 6, dijelaskan bahwa
sifat usaha pegadaian adalah menyediakan pelayanan bagi kemanfaatan umum
dan

sekaligus

perusahaan.

memupuk

Sedangkan

keuntungan
isi

pasal

berdasarkan

7,dijabarkan:(1)

prinsip
Turut

pengelolaan
meningkatkan

kesejahteraan masyarakat terutama golongan menengah ke bawah melalui


penyediaan dana atas dasar hukum gadai, dan jasa di bidang keuangan lainnya
berdasarkan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.(2) Menghindarkan
masyarakat dari gadai gelap,praktek riba dan pinjaman tidak wajar.
2.3.2 Landasan Hukum Gadai Syariah
Dasar hukum yang digunakan para ulama untuk membolehkannya rahn
yakni bersumber pada al-Quran (2): 283 yang menjelaskan tentang diizinkannya
bermuamalah tidak secara tunai.

Dan Hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Aisiyah binti
Abu Bakar, yang menjelaskan bahwa Rasulullah Saw pernah membeli makanan
dari seorang Yahudi dengan menjadikan baju besinya sebagai jaminan.
Berdasarkan dua landasan hukum tersebut ulama bersepakat bahwa rahn
merupakan transaksi yang diperbolehkan dan menurut sebagian besar (jumhur)
ulama, ada beberapa rukun bagi akad rahn yang terdiri dari, orang yang
menggadaikan (ar-rahn), barang-barang yang digadai (marhun), orang yang
menerima gadai (murtahin) sesuatu yang karenanya diadakan gadai, yakni
harga, dan sifat akad rahn. Sedangkan untuk sahnya akad rahn, ada beberapa
syarat yang harus dipenuhi oleh para pihak yang terlibat dalam akad ini yakni:
berakal, baligh, barang yang dijadikan jaminan ada pada saat akad, serta barang
jaminan dipegang oleh orang yang menerima gadai (marhun) atau yang
mewakilinya.
Dengan terpenuhinya syarat-syarat di atas maka akad rahn dapat dilakukan
karena kejelasan akan rahin, murtahin dan marhun merupakan keharusan dalam
akad rahn. Sedangkan mengenai saat diperbolehkan untuk menggunaan akad
rahn, al-Quran dan al-Sunah serta ijma ulama tidak menetapkan secara jelas
mengenai akad-akad atau transaksi jual beli yang diizinkan untuk menggunakan
akad rahn.
Sebagian kecil ulama, sebagaimana yang dikemukakan Ibn Rusdy bahwa mazhab
Maliki beranggapan bawa gadai itu dapat dilakukan pada segala macam harga
dan pada semua macam jual beli, kecuali jual beli mata uang, dan pokok modal
pada akad salam yang berkaitan dengan tanggungan, hal ini disebabkan karena
pada shaf pada salam disyaratkan tunai, begitu pula pada harta modal.
Sedangkan kelompok Fuqaha Zahiri berpendapat bahwa akad gadai (rahn) tidak
boleh selain pada salam yakni pada salam dalam gadai, hal ini berdasar pada
ayat yang berkenaan dengan gadai yang terdapat dalam masalah hutang
piutang barang jualan, yang diartikan mereka sebagai salam.
Dari bebrapa pendapat di atas dapat diartikan bahwa sebagian ulama
beranggapan bahwa rahn dapat digunakan pada transaksi dan akad jual beli
yang bermacam-macam, walaupun ada perbedaan ulama mengenai waktu dan
pemanfaatan dari barang yang dijadikan jaminan tersebut.
Sedangkan benda Rahn yang digadai, dalam konsep fiqh merupakan amanat
yang ada pada murtahin yang harus selalu dijaga dengan sebaik-baiknya, dan

untuk menjaga serta merawat agar benda (barang) gadai tersebut tetap baik,
kiranya diperlukan biaya, yang tentunya dibebankan kepada orang yang
menggadai atau dengan cara memanfaatkan barang gadai tersebut. Dalam hal
pemanfaatan barang gadai, beberapa ulama berbeda pendapat karena masalah
ini sangat berkaitan erat dengan hakikat barang gadai, yang hanya berfungsi
sebagai jaminan utang pihak yang menggadai.

2.4 Tujuan dan Manfaat Pegadaian


Sifat usaha pegadaian pada prinsinya menyediakan pelayanan
bagi

kemanfaatan

masyarakat

umum

dan

sekaligus

memupuk

keuntungan berdasarkan prinsip pengelolaan yang baik. Oleh karna itu,


Perum Pegadaian bertujuan sebagai berikut:

Turut melaksanakan dan menunjan gpelaksaan kebijaakan dan program


pemerintah

dibidang

ekonomi

dan

pembangunan

nasional

pada

umumnya melalui penyaluran uang pembiayaan/pinjaman atas dasar


hukum gadai.

Pencegah praktik ijon, pegadaian gelap, dan pinjaman tidak wajar


lainnya.

Pemanfaatan gadai bebas bunga pada gadai syariah memiliki efek


jaringan

pengaman

sosial

kerena

masyarakat

yang

butuh

dana

mendesak tidak lagi dijerat pinjamam/pembiayaan berbasis bunga.

Membantu orang-orang yang membutuh kan pinjaman dengan syarat


mudah.

Adapaun manfaat pegaadaian, antara lain:

Bagi nasabah; tersedianya dana dengan prosedur yang relatif lebih


sederhana dan dalam waktu yang lebih cepat dibandingkan dengan
pembiayaan/kredit perbankan. Disamping itu, nasabah juga mendapat
manfaat penaksiran nilai suatu barang bergerak secara profesional.
Mendapat fasilitas penitipan barang bergerak yang aman dan dapat
dipercaya.

Bagi perusahaan pegadaian;

1.

Penghasilan yang bersumber dari sewa modal yang dibayarkan oleh


peminjam dana.

2.

Pengahasilan yang bersumber dari ongkos yang dibayarkan oleh


nasabah

memperoleh

jasa

tertentu.

Bagi

bank

syariah

yang

mengeluarkan produk gadai syariah dapat mendapat keuntungan dari


pembebanan biaya administrasi dan biaya swa tempatpenyimpanan
emas.

3.

Pelaksanaan misi perum pegadaian sebagai BUMN yang bergerak


dibidan

pembiayaan

harus

berupa

peberian

bantuan

kepada

masyarakat yang memerlukan dana dengan prosedur yang relatif


sederhana.

4.

Berdasarkan PP No. 10 Tahun 1990, laba yang di peroleh digunakan


untuk:

a.

Dana pembangunan semesta (55%)

b.

Cadanga umum (20%)

c.

Cadangan tujuan (5 %)

d.

Dana soial (20%)

2.5 Rukun Gadai Syariah

Dalam

menjalankan

pegadaian

syariah,

pegadaian

harus

memenuhi rukun gadai syariah. Rukun gadai tersebut antara lain:

Ar-Rahim (yang menggadaikan)

Orang yang telah dewasa, berakal, bisa dipercaya, dan memiliki barang
yang akan digadaikan.

Al-Murtahin (yang menerima gadai)

Orang,

bank,

atau

lembaga

yang

di

percaya

oleh

rahin

untuk

mendapatkan modal dengan jaminan barang (gadai)

Al-Marhun / rahn (barang yang digadaikan)

Barang

yang

digunakan

mendapatkan uang.

Al-Marhun bih (utang)

rahin

untuk

dijadikan

jaminan

dalam

Sejumlah dana yang diberikan murtahin kepada rahin atas dasar


besarnya tafsiran marhun.

Sighat, ijab dan qabul

Kesepakatan antara

rahin dan

murtahini dalam melakukan transaksi

gadai.

2.6 Syarat Gadai Syariah

Rahin dan Murtahin

Pihak-pihak yang melakukan perjanjian rahn, yakni rahin dan murtahin


harus mengikuti syarat-syarat berikut kemampuan, yaitu berakal sehat.
Kemampuan

juga

berarti

kelayakan

seseorang

untuk

melakukan

transaksi pemilikan.

a.

Sighat

Sighat tidak boleh terikat dengan syarat tertentu dan juga dengan
suatu waktu dimasa depan.

b.

Rahn mempunyai sisi pelepasan barang dan pemberian utang seperti


halnya akad juabeli. Maka tidak boleh diikat dengan syarat tertentu
denga suatu waktu di masa depan.

Marhun bih (utang)

a.

Harus merupakan hak yang wajib di berikan / diserahkan kepada


pemiliknya.

b.

Memungkinkan pemanfaatan. Bila sesuatu terjadi utang tidak bisa


dimanfaatkan, maka tidak sah

c.

Harus dikuantifikasi atau dapat dihitung jumlahnya. Bila tidaka dapat


diukur atau tidak dikualifikasikan rahni itu tidak sah.

Marhun (barang)

Secara umum barang gadai harus memenuhi bebearapa syarat, antara


lain:

a.

Harus diperjualbelikan

b.

Harus berupa harta yang bernilai

c.

Marhun harus bisa dimanfaatkan secara syariah.

d.

Harus diketahui keadaan fisiknya, maka piutang tidak sah untuk


digadaikan harus berupa barang yang diterima secar langsung

e.

Harus dimiliki oleh rahin (peminjam atau pegadai) setidaknya harus


seizin pemiliknya.

2.7 Akad Perjanjian Gadai

Ulama

Syafiiyah

berpendapat

bahwa

pegadaian

bisa

sah

bila

memenuhi tiga syarat:

1.

Harus berupa barang, karena uang tidak bisa digadaiakn

2.

Penetapan kepemilikan pegadaian atas barang yang digunakan tidak


tehalang.

3.

Barang yang digadaikan bisa di jual manakala sudah masa pelunasan


utang gadai.

Berdasarka tiga syarat di atas, maka dapat diambil alternatif


dalam mekanisme perjanjian gadai, yaitu dengan menggunakan tiga
akad perjanjian. Ketiga akad perjanjian tersebut adalah:

1.

Akad Al-Qardul Hasan

Akad ini dilakukan pada kasuss nasabah yang menggadaikan barangnya


unuk keperluan konsumtif. Dengan demkian nasabah (rahin) akan
memberikan biaya upah atau fee kepada pegadaian (martuhin) yng
telah menjaga atau merawat barang gadaian (marhum).

2.

Akad Al-Mudharabah

Akad dilakukan untuk nasabah yang menggadaikan jaminannya untuk


menambah modal usaha (pembiayaan investasi dan modal kerja).
Dengan demikian , rahin akan memberikan bagi hasil (berdasarkan

keuntungan) kepada martahin sesuai dengan kesepakatan, sampai


modal yang dipinjam terlunasi.

3.

Akad Bai Al-Muqayadah

Untuk

sementara

akad

ini

dapat

dilakukan

jika

rahin

yang

menginginkan menggadaikan barangnya untuk keperluan produktif,


artinya dalam mengadaikan, rahin tersebut menginginkan modal kerja
berupa

pembeli

dijaminkan

barang.

untuk

dimanfaatkanatau

akad
tidak

Sedangkan
ini

barang

adalah

dimanfaatkan

jaminan

barang-barang
oleh

rahin

yang

dapat

yang

dapat

atau

murtahin.

Dengan demikian, murtahin akan membelikan barang yang sesuai


dengan keinginan rahin atau rahin akan memberikan mark-up kepada
murtahin sesuai dengan kesepakatan pada saat berlangsung sampai
batas waktu yang tealah ditentukan.

2.8 Barang Jaminan

Jenis barang yang adpat diterima sebagai barang jaminan pada


prinsipnya adalah barang bergerak, antara lain:

Barang-barang perhiasan: yaitu semua perhiasan yang dibuat dari


emas, perhiasan perak, platin, baik yan berhiaskan intan, mutiara.

Barang-barang elektronik: laptop, TV, kulkas, radio, tape recorder,


vcd/dvd, radio kaset.

Kendaraan: sepeda, sepeda motor, mobil

Barang-barang rumah tangga

Mesin: mesin jahit, mesin motor kapal.

Tekstil

Barang-barang

lain

yang

dianggapbernilai

seperti

surat-surat

berharga baik dalam bentuk saham, obligasi, maupun surat-surat


berharga lainnya.

2.9 Mekanisme Produk Gadai Syariah

2.9.1 Produk Gadai ( Ar-Rahn)

Untuk mengajukan permohonan permintaan gadai, calon nasabah


harus terlebihdahulu memenuhi ketentuan berikut:

1. membawa fotokopi KTP atau identitas lainnya (SIM, Paspor, dan lainlain)

2. mengisi formulir permintaa rahn

3. menyerahkan barang jaminan (marhun) bergerak, seperti: perhiasan


emas, berlian, kendaraan bermotor, barang-barang elektronik.

Selnjutnya, prosedur pemberian jaminan (marhun bih) dilakukan


melalui tahapan berikut:
1. nasabah mengisi formulir permintaan rahn
2. nasabah menyerahkan formulir permintaan rahn yang dilampiri dengan fotokopi;
identitas serta barang jaminan ke loket
3. petugas pegadaian menaksir (marhun) anggunan yang diserahkan.
4. besarnya pinjaman/ marhun bih adalah sebesar 90% dari taksiran marhun
5. apabila disepakati besaranya pinjaman, nasabah menandatangani akad dan
menerim auang pinjaman.

2.9.2 Produk ARRUM


Arrum merupakan singkatan dari Ar-Rahn untuk Usaha Mikro Kecil yang
merupakan pembiayaan bagi para pengusaha mikro kecil, untuk pengembangan
usaha dengan berprinsip syariah.
Produk ini memiliki beberapa keunggulan, yaitu:
1. persayaratan yang mudah, proses yang cepat ( 3 hari), serta biaya-biaya yang
kompetitif dan relatif murah.
2. jangka waktu pembiayaan yang fleksibel, mulai dari 12 bulan, 18 bulan, 24
bulan, hingga 36 bulan.
3. jaminan berupa BPKB kendaraan bermotor ( mobil ataupun motor) sehingga fisik
kendaraan tetap berada di tangan nasabah untuk kebutuhan oprasional usaha.
4. Nilai pembiayaan dapat mencapai hingga 70% dari nilai taksiran anggunan
5. pelunasan di lakukan secar angsuran tiap bulan dengan jumlah tetap
6. didukung oleh staf yang berpengalaman serta ramah dan santun dalam
memberikan pelayanan.
Untuk memperoleh pembiayaan dari ARRUM ini, calon nasabah harus
memenuhi beberapa persyaratan:

1. calon nasabah merupakan pengusaha Mikro Kecil dimana usahanya telah


berjalam minimal 1 tahun
2. memiliki kendaraan bermotor (mobil/motor) sebagai anggunan pembiayaaan.
3. calon nasabah harus melampirkan:
a. fotokopi KTP dan Kartu Keluaraga
b. fotokopi KTP suami/istri
c. fotokopi surat nikah
d. fotokopi dokumen usaha yang sah ( bagi pengusaha informasl cukup
menyerahkan surat keterangan usaha dari keluarahan atau dians terkait)
e. asli BPKB kendaraan bermotor
f. fotokopi rekening koran/ tabungan jika ada
g. fotokopi pembiayaan listrik dan telepon
h. fotokopi pembayaran PBB; dan
i. fotokopi laporan keuangan usaha
4. memenuhi kriteria kelayakan usaha
Apabila persyaratan di atas telah terpenuhi, maka proses memperoleh
pembiayaan ARRUM selanjutnya dapat dilakukan dengan:
1. mengisi formulir aplikasi pembiayaan ARRUM
2. melampirkan dokumen-dokumen usaha, anggunan, serta dokumen pendukung
lainnya yang terkait
3. petugas pegadaian memeriksa keabsahan dokumen-dokumen yang terlampir
4. petugas pegadaian melakukan survei analisis kelayakan usaha serta menaksir
anggunan
5. penandatanganan akad embiayaan
6. pencairan pembiayaan.

2.9.3 Produk Gadai Emas di Bank Syariah


Gadai emas merupakan produk pembiayaan atas dasar jaminan berupa
emas sebgai salah satu alternatif memperoleh pembiayaan secara capat.
Pinjaman gadai emas merupakan fasilitas pinjaman tanpa imbalan dengan
jaminan emas dengan kewajiban pinjaman secara sekaligus atau cicilan dalam
jangka waktu

tertentu.

Jamianan

emas

yang

diberikan

disimpan

dalam

enguasaan atau pemeliharaan bank atas dasar penyimpanan dalam melakukan


tersebut nasabah diwajibkan membayar biaya sewa. Bank syariah dalma
melaksanakan

produk

ini

harus

memerhatikan

unsur-unsur

kepercayaan,

kesepakatan, jangka waktu, dan risiko.


Bagi

calon

nasabah

yang

ingin

mengajukan

permohonan

dapat

mendatangi bank-bank syariah yang menyediakan fasilitas pembiayaan gadai


emas dengan memenuhi persyaratan:
1. identitas diri KTP/SIM yang masih berlaku
2. perorangan WNI
3. cakap secara hukum
4. mempunyai rekening giro atau tabungan di bank syariah tersebut. \
5. menyampaikan NPWP (untuk pembiayaan tertentu sesuai dengan
aturan yang berlaku)
6. adanya barang jaminan berupa emas. Bentuk dapat emas batangan,
emas perhiasan atau emas koin dengan kemurnian minimal 18 karat atau kadar
emas 75%. Sedangkan jenisnya adalah emas merah dan kuning.
7. memberikanketerangan yang di perlukan dengan benar mengenai
alamat, data penghasilan dan atau lainnya.
Selanjutnya pihak bank syariah akan melakukan analisis pinjaman yang
meliputi pemeriksaan kelengkapan dan kebanaran syarat-syarat calon pemohon
pinjaman, menaksir dan menganalisis data keasliandan karatase jaminan emas.
Apabila menurut analisis data pemohon layak maka bank akan menerbitkan
realisasi pinjaman (qardh) dengan gadai emas yang kemudian dapat dicairkan
setelah akad pinjaman (qardh) sesuai dengan ketentuan bank.

2.10 Sumber Pendanaan


Pegadaiaan sebagai lembaga keuangan tidak diperkenankan menghimpun
dana secara langsung dari masyarakat dalam bentuk simpanan, misalnya giro,
deposito dan tabungan. Untuk memenuhi kebutuhan dananya, Perum Pegadaian
memiliki sumber-sember dana sebagai berikut:
1. modal sendiri
2. penyertaan modal pemerintah
3. pinjaman jangka pendek dari perbankan
4. pinjaman jangka panjang yang berasal dari Keredit Lunak Bank Indonesia.
5. dari masyarakat melalui penerbitan obligasi.
Aspek

syariah

tidak

hanya

menyentuh

bgian

oprasionalnya

saja,

pembiayaan kegiatan dan pendanaan bagi nasabah, harus diperoleh dari sumber
yang benar-benarterbatas dari unsur riba. Dalam hal ini, seluruh kegiatan dan
pendanaan bagi nasabah, murni berasal dari modal sendiri ditambah dana pihak
ketiga dari sumber yang dapat di pertanggung jawabkan. Pegadaian telah
melakukan kerja sama dengan Bank Muamalat sebagai fundernya, ke depan
Pegadaian juga akan melakukan kerja sama dengan lembaga kuangan syariah
lain untuk mem-back up modal kerja.

2.11 Persamaan dan Perbedaan.


Perbedaan antara gadai syariah dengan gadai konvensional dapat di buat
dalam sebuah tabel berikut:
Tabel perbedaan dan persamaan gadai syariah dan konvensional.

persamaan

perbedaan

hak gadai atas pinjaman uang

rahn dalam hukum islam dilakukan


secra suka rela atas dasar tolong
menolong tanpa mencari keuntungan
sedangkan gadai menurut hukum
perdata di samping berprinsip tolong
menolong juga menarik keuntungan
dengan cara menarik bunga atau
sewa modal.

adanya anggunan sebagai jaminan

dalam hukum perdata hak gadai

utang

hanya berlaku pada benda yang


bergerak pada yang bergerak
sedangkan dalam hukum islam, rahn
berlaku pada seluruh benda, baik
harus yang bergerak maupun yang
tidak bergerak.

tidak boleh mengambil manfaat

dalam rahn tidak ada istilah bunga

barang yang digadai


biaya barang yang digadaikan

gadai menurut hukum perdata

ditanggung oleh para pemberi gadai

dilaksanakan melalui seuatu lembaga

apabila batas waktu pinjaman uang

yang di indonesia disebut Perum

habis barang yang digadaikan boleh

Pegadaian, rahn menurut hukum islam

dijual atau dilelang.

dapat dilaksanakan tanpa melalui


suatu lembaga.

BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dari pembahasan yang telah diuraikan maka dapat ditarik kesimpulan
yakni:
1. Gadai adalah suatu hak yang diperoleh seseorang berpiutang atas
suatu barang bergerak, yang diserahkan kepadanya oleh seorang berutang atau
oleh orang lain atas namanya, dan yang memberikan kekuasaan kepada orang
yang berpiutang itu untuk mengambil pelunasan dari barang tersebut secara
didahulukan daripada orang berpiutang llainnya, dengan pengecualian biaya
untuk melelang barang ersebut dan biaya yang

telah dikeluarkan untuk

menyelamatkannya setelah barang itu digadaikan, biaya-biaya mana harus


didahulukan.
2. pegadaian syariah adalah pegadaian yang dalam menjalankan
oprasionalnya berpegang kepada prinsip syariah.
3. jenis barang yang dapat diterima sebagai barang jaminan pada
prinsipnya adalah barang bergerak.
4. Produk dan jasa pegadaian syariah antara lain: Gadai Syariah (rahn),
ARRUM dan produk gadai emas pada bank syariah.
5. Serta dalam oprasionalnya sumber dana pegadaian syariah dapat
berasal dari; modal sendiri, penyertaan modal pemerintah, pinjaman jangka
pendek dari perbankan, pinjaman jangka panjang yang berasal dari kredit Lunak
Bank Indonesia dan dari masyarakat melalui penerbitan obligasi.

DAFTAR PUSTAKA
Soemitra, Andri. 2014. Bank dan Lembaga Keuangan Syariah, Jakarta: Kencana Prenada
Group.
Sudarsono, Heri. 2007. Bank & Lembaga Keuangan Syariah Deskripsi dan Ilustrasi.
Yogyakarta: Ekonisa.
R. Latumaerisa, Julius. 2011. Bank dan Lembaga Keuangan Lain. Jakarta: Salemba Empat
Triandaru, Totok Budisantoso, Sigit. 2007. Bank dan Lembaga Keuangan Lain. Jakarta:
Salemba Empat.
Hadi, Muhammad Sholikul. 2003. Pegadaian Syariah. ____:____
____. 2011. Konsep Gadai Syariah (ar-Rahn) Dalam Perspektif Ekonomi Islam dan Fiqh
Muamalah.

http://mujahidinimeis.wordpress.com/2011/01/24/konsep-gadai-

syariah-ar-rahn-dalam-perspektif-ekonomi-islam-dan-fiqh-muamalah/.

Tanggal

akses 21 November 2014.


Eko marwanto. 2011. Penerapan Teori Aplikasi Pegadaian Syariah Produk Ar-Rahn Pada
Perum

Pegadaian

di

http://www.ekomarwanto.com/2011/11/penerapan-teori-dan-aplikasipegadaian.html. Tanggal akses 21 November 2014.

MAKALAH FIQH MUAMALAH GADAI (RAHN)

GADAI

Indonesia.

OLEH :
RIA SAIDAH
05120130003

PRODI HUKUM KELUARGA


JURUSAN SYARIAH
FAKULTAS AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
MAKASSAR
2014

Kata pangantar
Bismillaahirrohmanirroiim
Segala puji bagi Allah SWT, Tuhan Semesta Alam yang telah mengajarkan manusia
tentang apa yang tidak diketahuinya. Salawat dan Salam kepada junjungan Rasulullah
Muhammad SAW sebagai teladan dalam kehidupan sekaligus sebagai rahmatan lilalamin.
Kehadiran sebuah makalah sebagai pegangam bagi mahasiswa sangatlah berarti
dalam proses belajar mengajar, karena itu melalui makalah tentang Pinjaman dan Jaminan
ini diharapkan dapat mengantar dan membantu mahasiswa di Jurusan Syariah Prodi

Hukum Keluarga Universitas Muslim Indonesia dalam pencapaian kurikulum yang


diinginkan.
Dalam penyusunan isi makalah ini dirasakan masih jauh dari sempurna, karena itu
kami sangat mengharapkan kritik dan saran dari pembaca.
Akhir kata saya sangat berharap buku ini kiranya dapat menjadi bahan untuk saling
mengisi bagi para mahasiswa.
Makassar, 24 oktober 2014

Ria saidah

DAFTAR ISI
Kata Pengantar..
Daftar isi ..
I Pendahuluan
A. Latar Belakang..
B. Rumusan Masalah ...
C. Tujuan..
II Pembahasan
A.
B.
C.
D.
E.
F.
G.
H.

Pengertian Rahn...
Sifat Rahn. .......................
Dasar Hukum Rahn..
Rukun dan Syarat Gadai ..
Pengambilan Manfaat Barang Gadai...
Pandangan Ulama Mengenai RukunGadai......................
Perbedaan dan Persamaan Gadai Syariah dan Gadai Konvensional
Perlakuan Bunga dan Riba dalam Perjanjian Gadai.
III Penutup

A. Kesimpulan..............................................................................................
Daftar Pustaka........

I.
A.

PENDAHULUAN

Latar Belakang Masalah


Dalam segenap aspek kehidupan bisnis dan transaksi, ada bermacam-macam cara
untuk mencari uang dan salah satunya dengan cara gadai / rahn(). Para ulama
berpendapat bahwa gadai boleh dilakukan dan tidak termasuk riba apabila memenuhi syarat
dan rukunnya. Akan tetapi banyak sekali orang yang melalaikan masalah tersebut, sehingga
tidak sedikit dari mereka yang melakukan gadai asal-asalan tanpa mengetahui hukum dasar
gadai tersebut. Dalam syariat bermuamalah, seseorang tidaklah selamanya mampu
melaksanakan syariat tersebut secara tunai dan lancar sesuai dengan syariat yang
ditentukan. Ada kalanya suatu misal ketika sedang dalam perjalanan jauh seseorang
kehabisan bekal, sedangkan orang tersebut tidaklah mungkin kembali ke tempat tinggalnya
untuk

mengambil

perbekalan

demi

perjalanan

selanjutnya.

Dalam kehidupan bisnis baik Klasik dan Modern, masalah penggadaian tidak terlepas dari
masalah perekonomian. Untuk mengetahui lebih dalam mengenai pnggadaian dijelaskan
sebagai berikut .Selain daripada itu, keinginan manusia untuk memnuhi kebutuhannya,
cenderung membuat mereka untuk saling bertransaksi walaupun dengan berbagai kendala,
misalnya saja kekurangan modal, tenaga dsb. maka dari itu, dalam islam diberlakukan
syariat gadai.
Gadai secara umum berupa transaksi peminjaman sejumlah uang dengan memberikan
jaminan berupa perhiasan (emas, perak platina), barang elektronik (TV, kulkas, radio, tape,
video), kendaraan (sepeda, motor, mobil), barang-barang pecah belah, mesin jahit, mesin
motor kapal, tekstil (kain batik, permadani) dan barang lainnya yang dianggap bernilai.
Adapun pengertian hukum dan syaratnya akan dibahas dalam makalah ini.

B.

Rumusan Masalah
1.
Apa Hakekat / pengertian rahn ?
2.
Bagaimana sifat rahn ?

7.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.

3.
Apa yang mendasari diadakannya rahn ?
4.
Apa rukun dan syarat rahn?
5.
Bagaimana cara mengambil manfaat rahn ?
6.
Bagaimana pandangan Ulama tentang rahn?
Apa perbedaan dan persamaan antara gadai syariah dengan gadai konvensional?
C.
Tujuan Makalah
Untuk mengetahui hakekat dari rahn
Untuk mengetahui sifat rahn
Untuk mengetahui dasar hukum rahn
Untuk mengetahui rukun dan syarat rahn
Untuk mengetahui cara pengambilan manfaat dari rahn
Untuk mengetahui pandangan-pandangan ulama terhadap rahn
Untuk mengetahui persamaan dan perbedaan gadai syariah dan gadai konvensional

II. PEMBAHASAN
A.

Pengertian Rahn
Menurut bahasa, gadai/ ar-rahn ( )berarti al-stubut dan al-habs yaitu penetapan

dan penahanan. Ada pula yang menjelaskan bahwa rahn ( )adalah terkurung atau terjerat.
[1]
Menurut istilah syara, yang dimaksut dengan rahn adalah:
1. Akad yang objeknya menahan harga terhadap sesuatu hak yang mungkin

diperoleh bayaran

dengan sempurna darinya.[2]


2. Menjadikan suatu benda berharga dalam pandangan syara sebagai jaminan hutang selama
ada dua kemungkinan, untuk mengembalikan uang itu atau mengambil sebagian benda itu.[3]
3. Gadai adalah suatu barang yang dijadikan peneguhan atau penguat kepercayaan dalam
hutang-piutang.[4]
4. Gadai ialah menjadikan suatu benda bernilai menurut pandangan syara sebagai tanggungan
hutang, dengan adanya benda yang menjadi tanggungan itu seluruh atau sebagian hutang
dapat diterima.[5]
Ulama fiqih berbeda pendapat dalam mendefinisikan rahn :
1. Menurut ulama Syafiiyah:

Menjadikan suatu benda sebagai jaminan hutang yang dapat dijadikan pembayar ketika
berhalangan dalam membayar hutang.
2. Menurut ulama Hanabilah :
Harta yang dijadikan jaminan hutang sebagai pembayar harga (nilai) hutang ketika yang
berutang berhalangan (tidak mampu membayar) hutangnya kepada pemberi pinjaman.[6]
B.
Sifat Rahn
Secara umum rahn dikatagorikan sebagai akad yang bersifat derma sebab apa yang
diberikan penggadai (rahin) kepada penerima gadai (murtahin) tidak ditukar dengan sesuatu.
Yang diberikan murathin kepada rahn adalah uang. Bukan penukar atas barang yang
digadaikan.
Rahn juga termasuk akad yang bersifat ainiyah, yaitu dikatakan sempurna apabila
sudah menyerahkan benda yang dijadikan akad, seperti hibah, pinjam meminajam, titipan dan
qirad.[7]
C.

Dasar Hukum Rahn


Sebagai referensi atau landasan hukum pinjam-meminjam dengan jaminan (brog)

adalah firman Allah Swt.







Jika kamu dalam perjalanan (dan bermuamalah secara tidak tunai) sedang kamu tidak
memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang ( oleh
berpiutang). Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka
hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia
bertaqwa kepada Allah Tuhannya ( Al-Baqarah 283).
Syaikh Muhammad Ali as-sayis berpendapat, bahwa ayat Al-Quran tersebut adalah
petunjuk untuk menerapkan prinsip kehati-hatian bila seseorang hendak melakukan transaksi
utang-piutang yang memakai jangka waktu dengan orang lain, dengan cara menjaminkan
sebuah barang kepada orang yang berpiutang rahn ().
Diriwayatkan oleh Ahmad, Bukhari, Nasai, dan Ibnu Majah dari Anas r.a berkata:
:

Rasullah Saw, telah meruguhkan baju besi beliau kepada seorang Yahudi di Madinah,
sewaktu beliau menghutang syair (gandum) dari orang Yahudi itu untuk keluarga itu untuk
keluarga beliau. (HR. Ahmad, Bukhari, Nasai, dan Ibnu Majah).
Dari hadist tersebut dapat dipahami bahwa bermualah dibenarkan juga dengan
non-muslim dan harus ada jaminan sebagai pegangan, sehingga tidak ada ke khawatiran bagi
yang memberi piutang.
Para ulama semua berpendapat, bahwa perjanjian gadai hukumnya mubah (boleh).
Dan itu termuat dalam DNS Nomor: 25/DSN-MUI/III/2002, Namun ada yag berpegang pada
zahir ayat, yaitu gadai hanya diperbolehkan dalam keadaan berpergian saja, seperti paham
yang di anut oleh Madhab Zahiri, Mujahid dan al-Dhahak. Sedangkan jumhur (kebanyakan
ulama) membolehkan gadai, baik dalam keadaan berpergian maupun tidak, seperti yang
pernah dilakukan oleh Rasulullah di Madinah, seperti telah disebutkan dalam hadist di atas.
[8]
D.

Rukun dan Syarat Gadai


Gadai atau pinjaman dengan jaminan suatu benda memiliki beberapa rukun, antara

lain yaitu:
1. Akad dan ijab Kabul
2. Aqid, yaitu orang yang menggadaikan (rahin) dan yang menerima gadai (murtahin). Adapun
syarat yang berakad adalah ahli tasyarruf, yaitu mampu membelanjakan harta dan dalam hal
ini memahami persoalan-persoalan yang berkaitan dengan gadai. Menurut ulama Syafiiyah
ahliyah adalah orang yang telah sah untuk jual beli, yakni berakal dam mumyyis, tetapi tidak
3.

disyaratkan harus baligh.[9]


Barang yang dijadikan jaminan (borg), syarat pada benda uyang dijadikan jaminan ialah
keadaan barang itu tiddak rusak sebelum janji utang harus dibayar. Rosul bersabda: Setiap

barang yang boleh diperjual belikan boleh dijadikan barang gadai


4. Ada hutang, disyaratkan keadaan hutang telah tetap.
Menurut ulam Hanafiyah mensyaratkan marhun, antara lain:[10]
a)
b)
c)
d)
e)
f)

Dapat diperjual belikan


Bermanfaat
Jelas
Milik rahin
Bisa diserahkan
Tidak bersatu dengan harta lain

g) Dipegang oleh rahin


h) Harta yang tetap atau dapat dipindahkan.
Menurut Sayyid Sabiq bahwa gadai itu baru dianggap sah apabila memenuhi empat
syarat, yaitu:
1) Orangnya sudah dewasa.
2) Berpikiran sehat.
3) Barang yang akan digadaikan sudah ada pada saat terjadi akad gadai dan barang gadaian itu
dapat diserahkan/diserahkan kepada penggadai.
4) Barang atau benda yang dapat dijadikan jaminan itu dapat berupa emas, berlian dan benda
bergerak lainnya dan dapat pula surat-surat berharga ( surat tanah atau surat rumah).[11]
E.
Pengambilan Manfaat Barang Gadai
Dalam pengambilan manfaat barang-barang yang digadaikan para ulama berbeda
pendapat, diantara jumhur fuqaha dan ahmad.
Jumhur fuqoha berpendapat bahwa murtahin tidak boleh mengambil suatu manfaat
barang-barang gadaian tersebut, sekalipun rahin mengizinkannya, karena hal ini termasuk
kepada utang yang terdapat menarik manfaat, sehingga bila dimanfaatkan termasuk riba.
Rasul bersbada:
Setiap orang yang menarik manfaat adalah termasuk riba ( riwayat Harits bin Abi
Usamah).
Menurut Imam Ahmad, Ishak, al-Laits, dan al-Hasan, jika barang gadaian berupa
kendaraan yang dapat dipergunakan atau binatang ternak yang dapat diambil susunya, maka
penerima gadai dapat mengambil manfaat dari kedua benda tersebut disesuaikan dengan
biaya pemeliharaan yang dikeluarkan selama kendaraaan atau binatang itu ada padanyaJika
dia dibiayai oleh pemiliknya, maka pemilik uang tetap tidak boleh menggunakan barang
gadai tersebut.
Rasul bersabda:


Binatang tunggangan boleh ditunggangi karena pembiyayaannya apabila digadaikan,
binatang boleh diambil susunya untuk diminum karena pembiyayaannya, bila digadaikan
bagi orang yang memegang dan meminumnya wajib memberikan biaya.[12]
Pengambilan manfaat pada benda-benda gadai tersebut ditekankan pada biaya atau
tenaga untuk pemeliharaan sehingga bagi yang memegang barang-barang gadai punya
kewajiban tambahan. Pemegang barang gadai berkewajiban memberikan makanan bila
barang gadaian itu adalah hewan. Harus membelikan bensin bila pemegang barang gadaian
berupa kendaraan. Jadi yang di bolehkan disini adalah adanya upaya pemeliharaan terhadap
barang gadaian yang ada pada dirinya.[13]

F.

Pandangan Ulama Mengenai Rukun gadai


Rukun gadai menurut Abd al-Rahman al-Jaziri ada tiga yaitu Aqid, Maqud alaih (yang

diakadkan), Shighat (akad gadai). Ibnu Rusyd dalam kitabnya menjabarkan secara detil
mengnai rukun gadai beserta pendapat para imam madzhab. Ia mengatakan rukun gadai
terdiri dari tiga bagian:
Pertama: Orang yang menggadaikan
Tidak ada perselsihan bahwa di antara sifat-sifat orang yang menggadaikan adalah
mahjur alaih dan dikenal sebagai biasa melunasi hutang. Washi (orang yang dipesan untuk
mengurus wasiat) boleh menggadaikan untuk kepentingan orang yang berada dalam
kekuasaanya manakala tindakan tersebut untuk melunasi hutang dan memang diperlukan,
pendapat ini dikemukakan oleh imam Malik.
Menurut Syafii, washi dibolehkan menggadaikan karena ada kepentingan yang jelas.
Menurut Malik, budak mukatab (budak yang berupaya memerdekakan dirinya dengan cara
mencicil) dan orang yang diberi izin boleh menggadaikan. Menurut Sahnun, jika seseorang
menerima gadai karena harta yang dihutangkan maka hal itu tidak boleh, maka dalam hal ini
Syafii juga mengemukakan pendapat yang sama.
Malik dan Syafii sependapat bahwa orang bangkruttidak boleh menggadaikan,
namun Abu Hanifah membolehkan bersamaan dengan itu tidak ada pendapat yang tegas dari
Malik berkenaan dengan orang yang habis hartanya karena hutang, apakah ia boleh
menggadaikan? Dalam arti, apakah perbuatannya itu mengikat atau tidak? Menurut pendapat
Malik yang terkenal ia tidak boleh menggadaikan, yakni sebelum ia menjadi bangkrut.
Kedua: Akad gadai
Ulama Syafiiyah berpendapat bahwa transaksi gadai itu bisa sah dengan memenuhi
tiga syarat. Pertama, harus berupa barang, karena hutang tidak bisa digadaikan. Kedua,
kepemilikan barang yang digadaikan tidak terhalang, seperti mushaf. Malik membolehkan
penggadaikan mushaf, tetapi penerima gadai dilarang membacanya. Perselisihan dalam hal
ini berpangkal pada jual beli. Ketiga, barang yang digadaikan bisa dijual manakala pelunasan
hutang itu sudah jatuh tempo.
Menurut imam Malik menggadaikan barang yang tidak boleh dijual, itu boleh, seperti
tanaman tani dan buah-buahan yang belum layak dipetik. Jika sudah layak dipetik, maka
menurut Malik boleh dijual untuk melunasi hutang yang sudah jatuh tempo. Tentang

penggadaian buah yang belum layak dipanen, dari Syafii ada dua pendapat, boleh
menggadaikan, dan jika masa hutang sudah jatuh tempo, maka buah tersebut bisa dijual
dengan syarat dipetik. Menurut Abu Hamid, pendapat yang paling benar adalah yang
membolehkan. Bagi Malik menggadaikan barang yang belum jelas nilainya seperti dinar dan
dirham yang sudah dicetak, itu boleh.
Menurut Malik dan Syafii, kepemilikan penggadai atas barang yang digadaikan tidak
menjadi syarat gadai. Bahkan keduanya membolehkan barang gadaian itu berstatus pinjaman.
Para fuqaha sepakat bahwa di antara syarat gadai adalah ikrar penggadaian bahwa barang
gadaian harus berada di tangan penerima gadaian. Kemudian mereka berselisih pendapat
apabila penerima gadai menerima barang tersebut dengan cara merampas, kemudian orang
yang dirampas barangnya itu menyatakan barang tersebut sebagai barang gadai an yang ada
di tangannya. Dalam hal ini imam Malik membolehkan pemindahan barang yang dirampas
itu dari tanggungan ghashab menjadi tanggungan gadai. Orang yang dirampas barangnya itu
menganggap barangnya tersebut sebagai barang gadai di tangan perampas, sebelum ia
menerima barang itu.
Berbeda dengan Malik, maka menurut Syafii, tidak boleh, bahkan barang itu tetap
berada dalam tanggungan ghashab, kecuali jika orang yang dirampas menerima kembali
barangnya. Dalam kaitan ini pula fuqaha pun berselisih pendapat tentang penggadaian bagian
barang dari milik bersama. Menurut Abu Hanifah tidak boleh, tetapi menurut Malik dan
Syafii boleh.
Ketiga: Barang yang digadaikan
Aturan pokok dalam madzhab Maliki bahwa gadai itu dapat dilakukan untuk semua
barang yang berharga dan dapat diperjual belikan kecuali jual beli mata uang itu harus tunai.
Karena itu, sharf tidak bisa menjadi transaksi gadai. Begitu pula modal salam, meski pun
menurut Malik, lebih ringan dibanding sharf.
Sekelompok fuqaha zahiri berpendapat bahwa akad gadai hanya berlaku pada barang
pesanan. Demikian itu karena ayat yang berkenaan dengan gadai itu menjelaskan posisi utang
piutang barang dagangan, dan menurut mereka, itu transaksi pesanan.
Menurut madzhab Maliki dibolehkan mengambil gadai pada salam hutang, ghashab
harga barang-barang konsumsi, denda tindak kriminal pada harta benda, serta pada tindak
penganiayaan secara sengaja yang tidak ada qishashnya, seperti al-Mamumah dan al-Jaifah.

Gadai juga dibolehkan pada barang pinjaman yang diboleh tanggungan dan tidak
dibolehkan pada barang pinjaman yang tidak di bawah tanggungan. Gadai juga di bolehkan
pada sewa menyewa. Dibolehkan pula pada upah jasa sesudah bekerja, bukan sebelumnya.
Demikian pula gadai bisa diadakan pada mas kawin tetapi tidak boleh pada hudud, qishash
atau proses kemerdekaan budak.
Dalam hubungan ini menurut pendapat ulama Syafiiyah, barang yang digadaikan itu
memiliki tiga syarat. Pertama, berupa hutang karena barang hutangan itu tidak dapat
digadaikan. Kedua, menjadi tetap, karena sebelum tetap tidak dapat digadaikan, seperti jika
seseorang menerima gadai dengan imbalan sesuatu dengan yang dipinjamnya. Tetapi Malik
membolehkan hal ini. Ketiga, barang yang digadaikan tidak sedang dalam proses pembayaran
yang akan terjadi, baik wajib atau tidak seperti gadai dalam kitabah. Pendapat ini mirip
dengan madzab Maliki.[14]
G.

Perbedaan dan Persamaan Gadai Syariah dan Gadai Konvesonal

1. pengertian
a. Pegadaian Syariah
Gadai dalam fiqh gadai (rahn) adalah prjanjian suatu barang sebagai tanggungan
hutang, atau menjadikan suatu benda bernilai menutrut pandangan syara sebagai tanggungan
pinjaman, sehingga dengan adanya tanggungan utang ini seluruh atau sebagian utang dapat
diterima.[15]
b. Pegadaian Konvensional
Pegadaian Konvensional (Umum) adalah suatu hak yang diperbolehkan seseorang
yang mempunyai pitutang atas suatu barang bergerak, yang diserahkan kepadanya oleh
seorang yang berutang atau oleh orang lain atas nama orang yang mempunyai utang, dan
yang memberikan kekuasaan kepada orang yang berpiutang itu untuk mengambil pelunasan
dari barang tersebut secara didahulukan daripada orang yang berpiutang lainnya, dengan
pengecualian biaya yang telah dikeluarkan untuk menyelematankanya setelah barang itu
digadaikan.[16]
2. Persamaan Gadai Konvensional dengan Gadai Syariah
Persamaan gadai konvensional dengan gadai syariah adalah seperti berikut:

1. Hak gadai berlaku atas pinjaman uang;


2. Adanya agunan (barang jaminan) sebagai jaminan utang;
3. Barang yang digadaikan di tanggung pemberi gadai;
4. Apabila batas waktu pinjaman uang telah habis , barang yang di gadaikan bole di jual
atau di lelang
3. Perbedaan gadai syariah dengan gadai konvensiaonal
Perbedaan gadai syariah dengan gadai konvensional adalah sebagai berikut:
1. Gadai syariah dilakukan secara suka rela tanpa mecari keuntungan, seadangakn gadai
konvensional dilakukan dengan prinsip tolong- menolong tetapi juga menarik
keuntungan.
2. Hak gadai syariah berlaku pada seluruh harta (beda bergerak dan benda tidak
bergerak)
3. Gadai syariah dilaksanakan melakukan suatu lembaga, sedangkan gadai konvensional
dilaksanakan melalui suatu lembaga (perum pegadaian)[17]
H.

Perlakuan Bunga dan Riba dalam Perjanjian Gadai


Aktivitas perjanjian gadai yang selama ini telah berlaku, yang pada dasranya adalah

perjanjian utang-piutang, dimungkinkan terjadi riba yang dilarang oleh syara. Riba terjadi
apabila dalam perjanjian gadai ditemukan bahwa harus memberikan tambahan sejumlah uang
atau prosentase tertentu dari pokok utang, pada waktu membayar utang atau pada waktu lain
yang telah ditentukan oleh murtahin ( ) . Hal ini lebih sering disebut bunga gadai dan
perbuatan yang dilarang syara. Karena itu aktivitas perjajian gadai dalam Islam tidak
membenarkan adanya praktik pemungutan bunga karena larangan syara, dan pihak yang
terbebani, yaitu pihak penggadai akan merasa dianiaya dan tertekan, karena selain harus
mengembalikan utangnya, dia juga masih berkewajiban untuk membayar bunganya.[18]
Kondisi saat ini, gadai sudah menjadi lembaga keuangan formal yang telah diakui
oleh pemerintah. Mengenai fungsi dari penggadaian tersebut tentu sudah bersifat komersil.
Artinya pegadaian harus memperoleh pendapatan guna menggantikan biaya-biaya yang telah

dikeluarkan, sehingga pegadaian mewajibkan menambahkan sejumlah uang tertentu kepada


nasabah sebagai imbalan jasa.[19] Minimal biaya itu dapat menutupi biaya operasional gadai.
Gadai yang ada saat ini, dalam praktiknya menunjukkan adanya beberapa hal yang dipandang
memberatkan dan mengarahkan kepada suatu persoalan riba, yang dilarang oleh syara
menurut A.A. Basyir. [20]
Mengenai riba itu, Afzalurahman dalam Muhammad Skholikhul Hadi, memberikan
pedoman bhwa yang dikatakan riba, di dalamnya terdapat tiga unsur berikut
1) Kelebihan dari pokok pinjaman
2) Kelebihan pembayaran itu sebagai imbalan tempo pembayaran;
3)

Sejumlah

tambahan

itu

di

syaratkan

dalam

transaksi

[21]

III. PENUTUP

Kesimpulan
Rahn adalah Menjadikan suatu benda sebagai jaminan hutang yang dapat dijadikan
pembayar ketika berhalangan dalam membayar hutang,
Rahn termasuk akad yang bersifat ainiyah, yaitu dikatakan sempurna apabila sudah
menyerahkan benda yang dijadikan akad, seperti hibah, pinjam meminajam, titipan dan qirad.
Dalam dasar hukum gadai, ada dalil-dalil yang melandasi di perbolehkannya gadai
yang bersal dari Al-Quran dan hadis.
Rukun gadai yaitu akad dan ijab Kabul, akid, barang yang di jadikan jaminan (borg).
Syarat gadai Orangnya sudah dewasa, berpikiran sehat, barang yang akan digadaikan sudah
ada pada saat terjadi akad, barang yang dapat dijadikan jaminan.
Pengambilan manfaat pada barang-barang gadai seperti hewan dan kendaraan
ditekankan pada biaya atau tenaga untuk pemeliharaan sehingga bagi yang memegang
barang-barang gadai seperti diatas punya kewajiban tambahan.
Menurut pendapat ulama Syafiiyah, barang yang digadaikan itu memiliki tiga syarat.
Pertama, berupa hutang karena barang hutangan itu tidak dapat digadaikan. Kedua, menjadi
tetap, karena sebelum tetap tidak dapat digadaikan, seperti jika seseorang menerima gadai
dengan imbalan sesuatu dengan yang dipinjamnya. Tetapi Malik membolehkan hal ini.

Ketiga, barang yang digadaikan tidak sedang dalam proses pembayaran yang akan terjadi,
baik wajib atau tidak seperti gadai dalam kitabah. Pendapat ini mirip dengan madzab Maliki.
Perbedaan rahn dengan gadai yaitu gadai syariah dilakukan secara suka rela tanpa
mecari keuntungan, seadangakn gadai konvensional dilakukan dengan prinsip tolongmenolong tetapi juga menarik keuntungan. Dan persamaan rahn dengan gadai yaitu adanya
agunan (barang jaminan) sebagai jaminan utang.

DAFTAR PUSTAKA
Hendi Suhendi Fiqih Muamalah, Cet.I, PT Raja Grafindo Persada. Jakarta.2005
Rahmat Syafei, Fiqih Muamalah, Pustaka Setia. Bandung. 2006
Adrian Sutedi, Hukum Gadai Syariah.Cet.I, Alfabeta. Bandung. 2011
Ibnu Rusyd, Bidayah al-Mujtahid wa Nihaya al-Muqtashid, Dar al-Jiil. Birut. 1990
Ahmad Azhar Basyir, Riba,Utang-piutang dan Gadai,cet. Ke II, Al- Maarif. Bandung. 1983
Sulaiman Rasyid. Fiqh islam, Al-Tahiriyah. Jakarta. 1973

[1]Sayyid

Sabiq, Fiqh al-Sunnah al-Majadallad al-Tsalis, (Kairo: Dar al-fath lil Ilam
al-Arabi, 1990), h. 123
[2]Hasbi Ash-Shiddieqy, Pengantar fiqh muamalah, (Jakarta: Bulan Bintang 1984), h.
86-87
[3]Sayyid Sabiq dalam fiqih al- sunnah, Op.Cit, h. 187
[4]Sulaiman Rasyid. Fiqh islam, (Jakarta: al-Tahiriyah, 1973), h. 295.
[5]Ahmad Azhar Basyir, Riba,Utang-piutang dan Gadai,cet. Ke II, (Bandung:AlMaarif,1983), h. 50
[6]Syafei Rachmat, Fiqih Muamalah, (Bandung: Pustaka Setia, 2006), h. 159-160.
[7]Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, Cet. 1, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), h.
105.
[8] Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, (Jakarta: PT Grafindo Persada, 2001), h. 139.
[9]Ibid, h. 162
[10]Ibid, h. 164
[11]Ibid, h.256
[12] al-kahlani,subul al-salam, h. 51
[13]Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, Cet. 1, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), h.
108-109
[14]Ibnu Rusyd, Bidayah al-Mujtahid wa Nihaya al-Muqtashid, (Bairut: Dar al-Jiil, 1990), h. 204
[15]Adrian

Sutedi, Hukum Gadai Syariah, (Bandung: Alfabeta, 2011), h. 78

[16]Ibid h. 78
[17]Ibid h. 78
[18]Muhammad Skholikhul Hadi,
[19]Ibid h. 61
[20]A.A. Basyir. Op. cit, h. 55
[21]Muhammad Skholikhul Hadi,

Pegadaian Syariah, Salemba Diniyah. 2003, h. 3


Op, cit, h. 64

TINJAUAN HUKUM ISLAM TENTANG GADAI DAN PENETAPAN BIAYA SEWA (UJRAH)

1.1. Pengertian, Dasar Hukum, Rukun dan Syarat Gadai


1.1.1 Pengertian gadai
Gadai dalam perspektif Islam disebut dengan istilah rahn. Secara bahasa
rahn (gadai) bermakna ketetapan dan kelanggengan, disebut juga dengan alhabsu yang artinya menahan.[1] Sedangkan menurut istilah syara yang
dimaksud dengan rahn (gadai) adalah:
a.

Akad yang objeknya menahan harga terhadap sesuatu hak yang mungkin
diperoleh bayaran dengan sempurna darinya.[2]

b.

Menjadikan suatu benda berharga dalam pandangan syara sebagai jaminan


atas utang selama ada dua kemungkinan, untuk mengembalikan uang itu atau
mengambil sebagian benda itu.[3]

c.

Akad perjanjian pinjam-meminjam dengan menyerahkan barang sebagai


tanggungan utang.[4]

d.
e.

Menjadikan harta sebagai harta benda sebagai jaminan atas utang.[5]


Suatu barang yang dijadikan peneguhan atau penguat kepercayaan dalam
utang-piutang. [6]

f.

Menjadikan

suatu

benda

bernilai

menurut

pandangan

syara

sebagai

tanggungan utang, dengan adanya benda yang menjadi tanggungan itu seluruh
atau sebagian utang dapat diterima.[7]
Gadai menurut ulama Syafiiyah yaitu menjadikan sesuatu (harta)
pegangan (jaminan) bagi sesuatu utang yang boleh digunakan untuk melunasi
jika pengutang gagal melunasinya. Sedangkan definisi gadai menurut ulama
Maliki adalah sesuatu barang yang bernilai yang diambil dari pemiliknya sebagai
pegangan atau jaminan bagi sesuatu utang yang lazim yaitu suatu akad yang
membolehkan memegang harta seperti harta tak alih, binatang, barang
dagangan, atau manfaat (yang boleh diambil tempo atau pekerjaan) mengaitkan
dengan utang. Ulama Hanabilah mendefinisikan bahwa gadai merupakan harta
yang dijadikan pegangan bagi sesuatu utang, dan dengan itu ia boleh digunakan
untuk membayar jika pengutang gagal membayar utangnya.[8] Sedangkan
menurut Imam Ibnu Qudamah, salah seorang pakar fiqh mazhab Hanbali,
menyatakan

rahn

(gadai)

adalah

sesuatu

benda

yang

dapat

dijadikan

kepercayaan dari suatu utang untuk dipenuhi dari harganya, apabila yang
berutang tidak sanggup membayarnya dari orang yang berpiutang.[9]
1.1.2. Dasar hukum gadai
Pada dasarnya gadai menurut Islam, hukumnya adalah boleh (jaiz). Hal ini
berdasarkan firman Allah SWT yang berbunyi:


: .....

Artinya: Jika kamu dalam perjalanan (dan bermuamalah tidak secara tunai) sedang kamu
tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan
yang dipegang (oleh yang berpiutang). Akan tetapi jika sebagian kamu
mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu
menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertaqwa kepada Allah
Tuhannya... (QAl- Baqarah : 283).[10]

Berdasarkan ayat di atas dapat disimpulkan bahwa bagi yang memberi


utang dan yang berutang dalam bepergian dan tidak mendapatkan juru tulis
(notaris), maka untuk memudahkan jalannya muamalah ini yang disertai dengan
adanya jaminan kepercayaan, dalam hal ini Islam memberikan keringanan dalam
melakukan transaksi lisan dan juga harus menyerahkan barang tanggungan
kepada yang memberi utang sebagai jaminan bagi utang tersebut. Barang
jaminan tersebut harus dipelihara dengan sempurna oleh pemberi utang. Dalam
hal ini orang yang berutang adalah memegang amanat berupa utang sedangkan
yang berpiutang memegang amanat yaitu barang jaminan. Maka kedua-duanya
harus menunaikan amanat masing-masing sebagai tanda taqwa kepada Allah
SWT.
Sedangkan kebolehan gadai berdasarkan hadist yaitu berpegang pada
hadist Nab saw:


[11]( ) .
Artinya: Dari Aisyah ra, bahwa Nabi Saw pernah membeli makanan dari orang Yahudi
dan ia menggadaikan baju besinya.( HR. Bukhari )
Dari hadist di atas dapat dipahami bahwa bermuamalah dibenarkan juga
dengan non-muslim dan harus ada jaminan sebagai pegangan, sehingga tidak
ada

kekhawatiran bagi yang memberi pinjaman.[12] Sedangkan kebolehan

gadai yang terakhir yaitu berdasarkan ijma yang menyatakan bahwa gadai

hukumnya boleh dan tidak pernah mempertentangkan tentang hukum mubah


gadai dan landasan hukumnya. Di samping itu, berdasarkan fatwa Dewan
Syariah Nasional No. 25/DSN-MUI/III/2002, Tanggal 26 Juni 2002 dinyatakan
bahwa, pinjaman dengan menggadaikan barang sebagai jaminan hutang dalam
bentuk rahn dibolehkan. Jumhur ulama berpendapat bahwa rahn disyariatkan
pada waktu tidak bepergian maupun pada waktu bepergian.[13]
Mayoritas ulama berpendapat bahwa syarat tersebut diberlakukan bagi
orang yang tidak bepergian dan bepergian, dengan dalil perbuatan Rasulullah
Saw terhadap orang Yahudi tersebut yang berada di Madinah. Jika bepergian,
sebagaimana dikaitkan pada ayat di atas.[14]

2.1.3. Rukun dan syarat gadai


Sebelum dilakukan rahn, terlebih dahulu dilakukan akad. Akad menurut
Mustafa az-Zarqa (pakar fiqh Yordania asal Syiria) adalah ikatan secara hukum
yang dilakukan oleh 2 pihak atau beberapa pihak yang berkeinginan untuk
mengikatkan

diri.

Kehendak

pihak

yang

mengikatkan

diri

itu

sifatnya

tersembunyi dalam hati. Karena itu, untuk menyatakan keinginan masing-masing


diungkapkan dalam suatu akad.[15] Ulama fiqh berbeda pendapat dalam
menetapkan rukun rahn. Menurut jumhur ulama, rukun rahn itu ada 4 (empat),
yaitu
a.

Shigat (lafadz ijab dan qabul)

b.

Orang yang berakad (rahin dan murtahin)

c.

Harta yang dijadikan marhun, dan

d.

Utang (marhum bih).

Ulama Hanafiyah berpendapat, rukun rahn itu hanya ijab (pernyataan


menyerahkan barang sebagai jaminan pemilik barang) dan qabul (pernyataan
kesediaan memberi utang dan menerima barang jaminan itu). Menurut mereka,
agar lebih sempurna dan mengikat akad rahn, maka diperlukan qabdh
(penguasaan barang) oleh pemberi utang. Adapun rahin, murtahin, marhun, dan
marhun bih itu termasuk syarat-syarat rahn, bukan rukunnya.[16]
Sedangkan syarat rahn, ulama fiqh mengemukakannya sesuai dengan rukun
rahn itu sendiri, yaitu:
a.

Syarat yang terkait dengan orang yang berakad, adalah cakap bertindak
hukum. Kecakapan bertindak hukum menurut jumhur ulama adalah orang yang
telah baligh dan berakal. Ulama Hanafiyah hanya mensyaratkan cukup berakal
saja. Karenanya, anak kecil yang mumayyiz (dapat membedakan antara yang
baik dan buruk) boleh melakukan akad rahn, dengan syarat mendapatkan
persetujuan dari walinya[17]. Menurut Hendi Suhendi (salah seorang pakar
dalam bidang fiqh muamalah) menyatakan bahwa, syarat bagi yang berakad
adalah ahli tasharuf, artinya mampu membelanjakan harta dan dalam hal ini
memahami persoalan yang berkaitan dengan gadai.[18]

b.

Syarat sight (lafadz). Ulama Hanafiyah mengatakan dalam akad rahn tidak
boleh dikaitkan dengan syarat tertentu atau dengan masa yang akan datang,
karena akad rahn itu sama dengan akad jual-beli. Apabila akad itu dibarengi
dengan syarat tertentu atau dikaitkan dengan masa yang akan datang, maka
syaratnya batal, sedangkan akadnya sah. Misalnya, rahin mensyaratkan apabila
tenggang waktu marhun bih telah habis dan marhun bih belum terbayar, maka
rahn itu diperpanjang 1 bulan, mensyaratkan marhun itu boleh murtahin
manfaatkan. Ulama Malikiyah, Syafiiyah, dan Hanabilah mengatakan apabila
syarat itu adalah syarat yang mendukung kelancaran akad itu, maka syarat itu

dibolehkan, namun apabila syarat itu bertentangan dengan tabiat akad rahn,
maka syaratnya batal. Kedua syarat dalam contoh tersebut, termasuk syarat
yang tidak sesuai dengan tabiat rahn, karenanya syarat itu dinyatakan batal.
Syarat yang dibolehkan itu misalnya, untuk sahnya rahn itu, pihak murtahin
minta agar akad itu disaksikan oleh 2 orang saksi, sedangkan syarat yang batal,
misalnya, disyaratkan bahwa marhun itu tidak boleh dijual ketika rahn itu jatuh
tempo, dan rahin tidak mampu membayarnya.[19] Sedangkan Hendi Suhendi
menambahkan, dalam akad dapat dilakukan dengan lafadz, seperti penggadai
rahin berkata; Aku gadaikan mejaku ini dengan harga Rp 10.000 dan murtahin
menjawab; Aku terima gadai mejamu seharga Rp 10.000. Namun, dapat pula
dilakukan seperti: dengan surat, isyarat atau lainnya yang tidak bertentangan
dengan akad rahn.[20]
c. Syarat marhun bih, adalah: pertama, merupakan hak yang wajib dikembalikan
kepada murtahin. Kedua, marhun bih boleh dilunasi dengan marhun itu dan
yang ketiga, marhun bih itu jelas/ tetap dan tertentu.[21]
d. Syarat marhun, menurut pakar fiqh, jenis barang yang dijadikan agunan adalah:
pertama, barang jaminan (agunan) itu boleh dijual dan nilainya seimbang
dengan utang. Kedua, barang jaminan itu dinilai harta dan boleh dimanfaatkan.
Karena khamar tidak boleh dijadikan barang jaminan dan khamar tidak termasuk
ke dalam harta bernilai, juga tidak bermanfaat dalam Islam, maka khamar tidak
sah bila dijadikan barang jaminan. Ketiga, barang jaminan itu jelas. Keempat,
agunan itu milik sah orang yang berutang. Kelima, barang jaminan itu tidak
terkait dengan orang lain. Keenam, barang jaminan itu merupakan harta yang
utuh, tidak bertebaran dalam beberapa tempat dan ketujuh, barang jaminan itu
boleh diserahkan baik materinya maupun manfaatnya.[22]

2.2. Hak dan Kewajiban Pihak yang Beraqad serta Biaya Pemeliharaan
Barang
Gadai

2.2.1. Hak dan kewajiban pihak yang beraqad


Para pihak (pemberi dan penerima gadai) masing-masing mempunyai hak
dan kewajiban yang harus dipenuhi. Adapun hak dan kewajibannya adalah
sebagai berikut:
2.2.1.1. Hak dan kewajiban murtahin
1). Hak pemegang gadai
a). Pemegang gadai berhak menjual marhun, apabila rahin pada saat jatuh tempo
tidak dapat memenuhi kewajibannya sebagai orang yang berhutang. Sedangkan
hasil penjualan marhun tersebut diambil sebagian untuk melunasi marhun bih
dan sisanya dikembalikan kepada rahin.
b).

Pemegang

gadai

berhak

mendapatkan

penggantian

biaya

yang

telah

dikeluarkan untuk menjaga keselamatan marhun.


c). Selama marhun bih belum dilunasi, maka murtahin berhak untuk menahan
marhun yang diserahkan oleh pemberi gadai (hak retentie).
2). Kewajiban pemegang gadai
a).

Pemegang

gadai

berkewajiban

bertanggung

jawab

atas

hilangnya

atau

merosotnya harga marhun, apabila hal itu atas kelalainnya.


b). Pemegang gadai tidak dibolehkan menggunakan marhun untuk kepentingan
sendiri
c). Pemegang gadai berkewajiban untuk memberi tahu kepada rahin sebelum
diadakan pelelangan marhun.

2.2.1.2. Hak dan kewajiban rahin


1). Hak pemberi gadai
a). Pemberi gadai berhak untuk mendapatkan kembali marhun, setelah pemberi
gadai melunasi marhun bih;
b). Pemberi gadai berhak menuntut ganti kerugian dari kerusakan dan hilangnya
marhun, apabila hal itu disebabkan oleh kelalaian murtahin.
c). Pemberi gadai berhak untuk mendapatkan sisa dari penjualan marhun setelah
dikurangi biaya pelunasan marhun bih, dan biaya lainnya.
d). Pemberi gadai berhak meminta kembali marhun apabila murtahin telah jelas
menyalahgunakan marhun.
2). Kewajiban pemberi gadai
a). Pemberi gadai berkewajiban untuk melunasi marhun bih yang telah diterimannya
dari murtahin dalam tenggang waktu yang telah ditentukan, termasuk biaya lain
yang telah ditentukan murtahin;
b). Pemberi gadai berkewajiban merelakan penjualan atas marhun miliknya, apabila
dalam jangka waktu yang telah ditentukan rahin tidak dapat melunasi marhun
bih kepada murtahin.[23]

2.2.2. Biaya pemeliharaan barang gadai


Para fuqaha sepakat mengatakan bahwa segala perbelanjaan atau biaya
yang dikeluarkan untuk perkara-perkara yang berhubungan dengan gadaian
ditanggung oleh pemilik barang jaminan (penggadai), karena syara telah

menetapkan segala untung rugi menjadi tanggungan penggadai. Hal ini


berdasarkan sabda nabi yang berbunyi:

:
[24]( ).
Artinya: Dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah Saw bersabda: gadaian itu tidak menutup
akan yang punya dari manfaat barang itu, faedahnya kepunyaan dia, dan dia
wajib mempertanggungjawabkan segala nya (kerusakan dan biaya). (HR. Ibnu
Majah).
Bagaimanapun mereka tidak sependapat mengenai jenis perbelanjaan
yang mesti ditanggung oleh rahin. Ulama Hanafiah berpendapat bahwa tagihan
perbenlanjaan yang mesti ditanggung oleh rahin, sebagai pemilik barang gadai
dan oleh murtahin sebagai orang yang bertanggungjawab menjaganya adalah
sebagai berikut: segala perbelanjaan yang diperlukan untuk kepentingan barang
gadai hendaklah ditanggung oleh rahin, karena barang tersebut hak-milliknya
dan

segala

perbelanjaan

untuk

memelihara

barang

gadaian

hendaklah

ditanggung oleh pegadai (murtahin), karena ia yang berhak memegangnya maka


ia terikat dengan perkara-perkara yang berkaitan.
Dalam hal ini penggadai (rahin) bertanggungjawab untuk menyediakan
atau membayar biaya makanan, minuman dan pengembala jika barang
jaminannya berupa binatang ternak dan juga bertanggungjawab atau membayar
biaya penyiraman, pembersihan, perparitan dan cukai jika barang jaminan
berupa tanah karena semua itu merupakan biaya dan perbelanjaan harta yang
mesti ditanggung oleh pemilik barang.
Pegadai juga bertanggungjawab menyediakan atau membayarkan biaya
upah menjaga, dan tempat pemeliharaan, seperti sewa kandang, sewa tempat

simpanan karena sewa pemiliharaan barang gadaian adalah tanggung jawabnya.


Berdasarkan

tanggung

jawab

tersebut,

pegadai

tidak

ada

hak

untuk

mengenakan syarat dalam aqad gadaian bayaran upah mesti kepadanya untuk
memelihara

barang

gadaian,

karena

tanggung

jawab

tersebut

adalah

kewajibannya. Tidak ada bayaran upah dikenakan pada perkara yang diwajibkan.
Ulama Maliki, SyafiI, dan Hanbali, (jumhur) berpendapat bahwa semua
perbelanjaan dan bayaran perkara-perkara yang berkaitan barang gadaian
mestilah ditanggung oleh penggadai (rahin).[25]

2.3. Pemanfaatan, Penjualan Objek Gadai serta Berakhirnya Akad Gadai


2.3.1. Pemanfaatan barang gadai
Pada dasarnya, marhun tidak boleh diambil manfaatnya, baik oleh rahin
maupun murtahin, kecuali apabila mendapat izin masing-masing pihak yang
bersangkutan. Hak murtahin terhadap marhun hanya sebatas menahan dan
tidak berhak menggunakan atau mengambil hasilnya, dan selama marhun ada di
tangan murtahin sebagai jaminan marhun bih, rahin tidak berhak menggunakan
marhun, terkecuali apabila kedua rahin dan murtahin ada kesepakatan.[26]
Adapun mengenai boleh atau tidaknya marhun diambil manfaatnya, beberapa
ulama berbeda pendapat. Menurut Syafii dari beberapa perbedaan pendapat
ulama yang tergabung dalam 4 madzhab tersebut, yaitu Malikiyyah, Syafiiyyah,
Hanabilah, dan Hanafiyyah, sebenarnya ada titik temu. Inti dari kesamaan
pendapat 4 madzhab tersebut, terletak pada pemanfaatan marhun pada
dasarnya tidak diperbolehkan oleh syara, namun apabila pemanfaatan marhun
tersebut sudah mendapatkan izin dari, baik rahin maupun murtahin, maka
pemanfaatan marhun itu diperbolehkan. Penjelasan pendapat 4 madzhab itu,
tentang pemanfaatan marhun adalah sebagai berikut :[27]

Imam Syafii mengatakan bahwa manfaat dari marhun adalah rahin, tidak
ada sesuatu pun dari marhun bagi murtahin. Menurut ulama Syafiiyyah bahwa
rahin lah, yang mempunyai hak atas manfaat marhun, meskipun marhun itu ada
di bawah kekuasaan murtahin. Kekuasaan murtahin atas marhun tidak hilang,
kecuali ketika mengambil manfaat atas marhun tersebut. Berdasarkan ketentuan
tersebut, bahwa yang berhak mengambil manfaat dari marhun adalah rahin
tersebut, bukan murtahin, walaupun marhun berada di bawah kekuasaan
murtahin. Alasan yang digunakan ulama as-Syafiiyyah yaitu berdasarkan hadist
sebelumnya yang artinya:
Gadaian itu tidak menutup akan yang punya dari manfaat barang itu,
faedahnya kepunyaan dia, dan dia wajib mempertanggungjawabkan segala nya
(kerusakan dan biaya).[28]
Hadist tersebut menjelaskan bahwa rahin berhak mengambil manfaat dari
marhun

selama

pihak

rahin

menanggung

segalanya.

Ulama

Malikiyyah

berpendapat hasil dari marhun dan segala sesuatu yang dihasilkan dari padanya,
adalah termasuk hak rahin. Hasil gadaian itu adalah bagi rahin, selama murtahin
tidak mensyaratkan. Apabila murtahin mensyaratkan bahwa hasil marhun itu
untuknya, maka hal itu dapat saja dengan beberapa syarat, yaitu:
1. Utang disebabkan karena jual beli, bukan karena mengutangkan. Hal ini dapat
terjadi, seperti orang menjual barang dengan harga tangguh (tidak dibayar
kontan), kemudian orang tersebut meminta gadai dengan suatu barang sesuai
dengan utangnya, maka hal ini dibolehkan.
2. Pihak murtahin mensyaratkan bahwa manfaat dari marhun adalah untuknya

3. Jangka waktu mengambil manfaat yang telah disyaratkan harus ditentukan,


apabila tidak ditentukan dan tidak diketahui batas waktunya, maka menjadi batal
atau tidak sah.
Alasan ulama Malikiyah sama dengan alasan ulama Syafiiyah,. Mengenai
hak murtahin hanya menahan marhun yang berfungsi sebagai barang jaminan.
Sedangkan apabila membolehkan murtahin mengambil manfaat dari marhun,
berarti membolehkan mengambil manfaat dari barang yang bukan miliknya,
sedangkan hal itu dilarang oleh syara. Selain itu, apabila murtahin mengambil
manfaat dari marhun, sedangkan marhun itu sebagai jaminan utang, maka hal
ini juga tidak dibolehkan. Adapun pendapat ulama Malikiyah tersebut, menurut
Syafii bahwa yang berhak mengambil manfaat dari marhun adalah pihak rahin,
namun pihak murtahin pun dapat mengambil manfaat dari marhun itu dengan
syarat yang telah disebutkan di atas.[29]
Ulama Hanabilah lebih memperhatikan marhun itu sendiri, yaitu hewan
atau bukan hewan, sedangkan hewan pun dibedakan pula antara hewan yang
dapat diperah atau ditunggangi dan hewan yang tidak dapat diperah atau
ditunggangi. Pendapat yang dikemukakan ulama Hanabillah adalah marhun ada
kalanya hewan yang dapat ditunggani dan diperah, dan ada kalanya bukan
hewan, maka apabila marhun berupa hewan yang dapat ditunggangi, pihak
murtahin dapat mengambil manfaat marhun tersebut dengan menungganginya
dan memerah susunya tanpa seizin yang menggadaikan. Adapun jika marhun itu
tidak dapat ditunggangi dan diperah susunya, maka dalam hal ini dibolehkan
bagi murtahin untuk mengambil manfaat marhun tersebut dengan seizin dari
rahin, dengan catatan marhun itu bukan disebabkan utang.[30]
Dalam kondisi sekarang, maka akan lebih tepat apabila marhun berupa
hewan itu di-qiyas-kan dengan kendaraan. Illat-nya yang disamakan adalah

hewan dan kendaraan sama-sama memiliki fungsi yang dapat dinaiki. dan
diperah susunya dapat di-illat-kan dengan digunakannya kendaraan itu untuk hal
yang menghasilkan, dengan syarat tidak merusak kendaraan itu. Hal yang
dapat dipersamakan illat-nya adalah hasilnya, yaitu apabila hewan hasilnya
susu, maka kendaraan hasilnya uang. Selanjutnya syarat bagi murtahin untuk
mengambil manfaat marhun yang bukan berupa hewan yaitu, adanya izin dari
penggadai rahin dan adanya gadai bukan sebab mengutangkan. Sedangkan
apabila marhun itu tidak dapat diperah dan tidak dapat ditunggangi, maka
barang tersebut dibagi menjadi 2 bagian:[31]
1. Apabila marhun berupa hewan, maka boleh menjadikannya sebagai khadam
2. Apabila marhun bukan hewan, seperti rumah, kebun, sawah dan sebagainya,
maka tidak boleh mengambil manfaatnya.[32]
Kebolehan

murtahin mengambil

manfaat dari

marhun yang

dapat

ditunggangi dan diperah ialah berdasarkan hadist Nabi yang berbunyi:

: :

[33 ]( ).
Artinya:Dari Abu Hurairah ra, dia berkata: Rasulullah Saw bersabda,Punggung hewan
ditunggangi sesuai dengan biayanya apabila digadaikan. Air susu hewan
diminum sesuai biayanya apabila digadaikan. Bagi yang menunggang dan
meminum wajib menanggung biayanya. (HR. Bukhari)
Hadist lain yang dijadikan alasan murtahin dapat mengambil manfaat dari
marhun adalah Hadist Nabi yang diriwayatkan oleh Hammad:


[34] .

Artinya: Apabila seekor kambing digadaikan, maka yang menerima gadai boleh
meminum susunya sesuai dengan kadar memberi makannya, apabila meminum
susu itu melebihi harga memberi nafkahnya, maka termasuk riba. (HR. Hammar
bin Salamah)
Hadist tersebut membolehkan murtahin untuk memanfaatkan marhun
atas seizin dari pihak rahin, dan nilai pemanfaatannya harus disesuaikan dengan
biaya yang telah dikeluarkannya untuk marhun tersebut.
Adapun alasan tidak bolehnya murtahin mengambil manfaat marhun
selain dari barang yang dapat ditunggangi dan diperah susunya adalah sesuai
dengan hadist berikut:

:
[35]( ).
Artinya: Dari Abu Hurairah ra, bahwa Rasulullah Saw bersabda: Gadaian itu tidak
menutup

akan

yang

punyanya

dari

manfaat

barang

itu,

faedahnya

kepunyaannya dia dan dia wajib mempertanggungjawabkan segala nya (HR.


Ibnu Majah)
Alasan ketidakbolehan mengambil manfaat marhun oleh murtahin dalam
Hadist tersebut, adalah sama dengan alasan yang dikemukakan Imam as-Syafii,
Imam Maliki, dan ulama lainnya. Menurut ulama Hanafiyah tidak ada bedanya
antara pemanfaatan marhun yang mengakibatkan kurangnya harga atau tidak,
maka apabila rahin memberi izin, maka murtahin sah mengambil manfaat dari
marhun oleh rahin. Adapun alasan ulama Hanafiyah bahwa yang berhak
mengambil manfaat dari marhun adalah sebagai berikut :[36]
Pertama, Hadist Rasulullah Saw:

:

[37 ]( ).
Artinya:Dari Abu Hurairah ra berkata: Rasulullah Saw bersabda,Punggung hewan
ditunggangi sesuai dengan biayanya apabila digadaikan. Air susu hewan
diminum sesuai biayanya apabila digadaikan. Bagi yang menunggang dan
meminum wajib menanggung biayanya. (HR. Bukhari)
Nafkah marhun itu adalah kewajiban murtahin, karena marhun tersebut
berada di kekuasaan murtahin. Oleh karena yang memberi nafkah adalah
murtahin, maka para ulama Hanafiyah berpendapat bahwa yang berhak
mengambil manfaat dari marhun tersebut adalah pihak murtahin.
Kedua, menggunakan alasan dengan akal. Sesuai dengan fungsinya
marhun sebagai barang jaminan dan kepercayaan bagi murtahin, maka marhun
dikuasai murtahin. Dalam hal ini, ulama Hanafiyah berpendapat, yaitu apabila
marhun dikuasai rahin, berarti keluar dari tangannya dan marhun menjadi tidak
ada artinya. Sedangkan apabila marhun dibiarkan atau tidak dimanfaatkan
murtahin, maka berarti menghilangkan manfaat dari barang tersebut, apabila
barang tersebut

memerlukan biaya untuk pemeliharaannya. Kemudian, jika

setiap saat rahin harus datang kepada murtahin untuk memelihara dan
mengambil manfaatnya. Hal ini akan mendatangkan madharat bagi kedua belah
pihak, terutama bagi pihak rahin. Demikian pula, apabila setiap kali murtahin
harus memelihara dan menyerahkan manfaat barang gadaian kepada rahin, ini
pun sama madharat-nya, maka dengan demikian, murtahin yang berhak
mengambil manfaat dari marhun tersebut, karena murtahin pulalah yang
memelihara dan menahan barang tersebut sebagai jaminan. Pendapat ulama
Hanafiyah tersebut, menunjukkan bahwa yang berhak memanfaatkan marhun

adalah pihak murtahin. Hal ini disebabkan karena marhun tersebut yang telah
dipelihara pihak murtahin dan ada di bawah kekuasaannya.[38]
2.3.2. Penjualan objek gadai
Upaya pelelangan barang gadai dilakukan jika nasabah atau rahin tidak
dapat melunasi pinjaman sampai batas waktu yang telah ditentukan. Barang
yang digadaikan adalah jaminan dari utang dan dijual ketika utangnya tidak
dapat dilunasi pada saat jatuh tempo. Apabila hasil dari penjualan barang
jaminan lebih dari beban utang yang harus ditangggung oleh rahin maka
kelebihan itu adalah milik rahin sebagai pemilik barang jaminan dan murtahin
harus mengembalikan kepadanya sebagai hartanya. Dan apabila hutang itu
tersisa karena tidak terbayar dengan harga barang yang digadaikan, maka sisa
itu adalah tanggungan orang yang menggadaikan barang dan wajib baginya
untuk menanggung dan melunasi sisa utang tersebut.[39]
Diposkan oleh Anisy Kurlillah di 23.36

Anda mungkin juga menyukai