Anda di halaman 1dari 47

keterangan dari Imam Ghozali di kitab ihya'ulumuddien , yang telah saya olah menjadi

penjelasan yang mudah di pahami :



(

) 51 / 2
Dan tidak seyogyanya bagi seseorang untuk mencukur rambut, memotong kuku, memotong bulu
kemaluan, mengeluarkan darah (semisal dengan cara berbekam) ataupun memotong sebagian
anggota tubuhnya pada saat dirinya sedang dalam keadaan junub. Dikarenakan, kelak di akhirat
seluruh anggota tubuhnya akan dikembalikan lagi, maka kondisinya pun dalam keadaan junub.
Seraya dikatakan bahwa sesungguhnya setiap helai rambut menuntut dirinya akan status
jinabatnya.

Rambut atau kuku atau anggota tubuh lain nya yang belum sempat ikut dimandikan besar
(junub) suatu saat nanti di akhirat kelak akan di panggil oleh Allah dan akan menuntut si
empunya dan menanyak perihal kenapa dulu ia ( kuku/ rambut dll ) tidak ikut dimandikan
junub?.

Boleh saja memotong kuku/rambut dll, asalkan dikumpulkan lalu ikut di mandikan saat
mandi besar ( junub ), bahkan seorang wanita yang mengalami menstruasi diwajibkan
mengumpulkan helaian rambutnya yang rontok lho, nanti saat mandi junub di ikut sertakan
dibasuh,

Keterangan dari kitab Kifayathul akhyar : I'anatuttalibien :


Ada dalil yang di gunakan oleh sebagian ulama dalam membenarkan persoalan tsb sehingga
dalam mandi wajib, wanita haid diharuskan meratakan air ke seluruh tubuh hingga rambut,
termasuk rambut yang rontok sebelum seseorang mandi wajib (Kifayatul Akhyar, I/39;
Inatuth Thalibin, I/75).
Dalilnya adalah hadis Nabi saw.,Barangsiapa meninggalkan tempat (selubang) rambut dari
mandi janabah yang tidak dibasuh, maka akan diberlakukan begini begini di neraka. (HR
Abu Dawud).

Karena itu, rambut termasuk yang harus dibasuh dalam mandi wajib. Termasuk yang rontok
sebelum mandi wajib.

Sebagian ulama menganggap hadis ini dhaif (lemah) sehingga tidak layak menjadi hujjah dan
sementara itu sebagian ulama lainnya menganggap hadis itu bukan hadis dhaif.

Kemungkinan perbedaan pendapat bisa saja muncul karena sebab-sebab seperti yang
diterangkan di atas. Yaitu karena berbeda penilaian terhadap hadis, atau berbeda dalam
memahami pengertian hadis.

Teks teks kitab yang redaksinya serupa dengan redaksi kitab Ihya al-Ulm ad-Dien.
a) Kitab Asna al-Mathlib Syarh Raudl at-Thlib (juz: 01, hal: 284)


: ) (
) 284 / 1 : (
[ cabang masalah] Imam al-Ghazali berkata: tidak seyogyanya bagi orang junub untuk
menghilangkan (dengan cara mencukur, memotong, dll. pen-) sebagian dari anggota
tubuhnya, atau mengeluarkan darah (semisal dengan cara berbekam) sebelum mandi besar
(junub). Dikarenakan, kelak di akhirat akan dikembalikan lagi, maka kondisinya pun dalam
keadaan junub. Seraya dikatakan bahwa sesungguhnya setiap helai rambut menuntut dirinya
akan status jinabatnya. (Asna al-Mathlib Syarh Raudl at-Thlib. Juz: 01, hal: 284)

b) Kitab Mughni al-Muhtj (juz: 01, hal: 75)


:
( )

)75 / 1 : (

(faidah) telah berkata di dalam kitab Ihya: tidak seyogyanya bagi seseorang untuk
memotong kuku, mencukur rambut, memotong bulu kemaluan, mengeluarkan darah (semisal
dengan cara berbekam) ataupun memotong sebagian anggota tubuhnya pada saat dirinya
sedang dalam keadaan junub. Dikarenakan, kelak di akhirat seluruh anggota tubuhnya akan
dikembalikan lagi, maka kondisinya pun dalam keadaan junub. Seraya dikatakan bahwa
sesungguhnya setiap helai rambut menuntut dirinya akan status jinabatnya. (Mughni al-
Muhtj. Juz: 01, hal: 75)

c) Kitab Hsiyah al-Qolyubi (juz: 01, hal: 78)






: ( )

:


)78 / 1 :(
(faidah) telah berkata di dalam kitab Ihya: tidak seyogyanya bagi seseorang untuk
menghilangkan (mencukur) sebagian rambutnya, memotong kuku-kukunya, mengeluarkan
darah (semisal dengan cara berbekam) ataupun memotong sebagian anggota tubuhnya pada
saat dirinya sedang dalam keadaan junub. Dikarenakan, kelak di akhirat seluruh anggota
tubuhnya akan dikembalikan lagi, maka kondisinya pun dalam keadaan junub. Seraya
dikatakan bahwa sesungguhnya setiap helai rambut menuntut dirinya akan status
jinabatnya. (Hsiyah al-Qolyubi. Juz: 01, hal: 78)

d) Kitab Hsiyah al-Jamal (juz: 01, hal: 486)





:




)486 / 1 : (
Telah berkata di dalam kitab Ihya: dan seyogyanya bagi seseorang agar supaya tidak
menghilangkan (mencukur) sebagian bulu-bulu tubuh, memotong kuku-kukunya, mencukur
rambut kepala atau bulu kemaluan, mengeluarkan darah (semisal dengan cara berbekam)
ataupun memotong sebagian anggota tubuhnya pada saat dirinya sedang dalam keadaan
junub. Dikarenakan, kelak di akhirat seluruh anggota tubuhnya akan dikembalikan lagi,
dibangkitkan kembali, maka kondisinya pun dalam keadaan junub. Seraya dikatakan bahwa
sesungguhnya setiap helai rambut menuntut dirinya akan status jinabatnya. (Hsiyah al-
Jamal. juz: 01, hal: 486)

e) Kitab Fath al-Mun (hal: 11)



)11 : (
)
(
[ cabang masalah] dan seyogyanya mereka (orang junub, wanita haid dan nifas) agar
supaya tidak menghilangkan rambut, kuku, juga darah, sebelum mandi wajib. Oleh karena,
kesemuanya itu kelak akan dikembalikan lagi di akhirat dalam keadaan junub. (Fath al-
Mun. hal: 11)
2. Teks teks kitab yang redaksinya berbeda dengan redaksi kitab Ihya al-Ulm ad-
Dien.
Berikut ini adalah kutipan masing-masing dari teks-teks kitab ulama madzhab Syafii
yang menyatakan kesunahan, dan redaksi yang di pakai adalah ( yang
atau
artinya: di sunnahkan), tidak lagi menggunakan kata ( la yanbaghi). Kesunahan yang
dikehendaki adalah kesunahan untuk supaya tidak menghilangkan sebagian anggota tubuh di
waktu sedang berhadats besar, baik penghilangan tersebut dengan semisal mencukur rambut
kepala, bulu kumis, berbekam, memotong kuku ataupun dengan cara yang lain.
Adapun penyebutan kutipan-kutipan ini, adalah kami maksudkan untuk memperoleh
sebuah gambaran dari ketegasan atau kemantapan hukum, dan agar supaya redaksinya
kitab Ihya yang menyatakan ( la yanbaghi) tidak dipahami sebagai hukum
keharaman secara mutlak.
a) Kitab Hsiyah as-Syarqwi (juz: 01, hal: 74)


: (

) 74 / 1
Dan disunahkansebagaimana telah dikatakan di dalam kitab Ihyabagi orang
berkewajiban mandi besar, agar supaya tidak menghilangkan sebagian dari anggota
tubuhnya, walaupun berupa darah, rambut, dan kuku, sehingga dirinya mandi wajib terlebih
dulu. Sebab, kelak di akhirat seluruh bagian anggota tubuhnya akan dikembalikan lagi, maka
kondisinya pun dalam keadaan junub, untuk mengecam dengan keras dirinya. Lantas organ-
organ tubuh tersebut yang tersisa hanyalah organ yang asli. Seraya dikatakan bahwa
sesungguhnya setiap helai rambut menuntut akan status jinabatnya. (Hsiyah as-Syarqwi.
Juz: 01, hal: 74)
b) Kitab Fathu al-Allm (juz: 01, hal: 349)
.

















.















.


: . :
)349 / 1 : ( .

Bagi orang-orang yang telah disebutkan (yakni orang junub, wanita haid dan nifas), agar
supaya tidak menghilangkan sebagian dari anggota tubuhnya, walaupun berupa darah,
rambut, atau kuku, sebelum melaksanakan mandi wajib. Dikarenakan, semua anggota
tubuhnya akan dikembalikan lagi kepadanya, di akhirat kelak. Akan tetapi, anggota tubuh
yang asli, yang masih utuh semenjak permulaan kelahiran sampai meninggal, dikembalikan
lagi dalam keadaan tersambung. Sedangkan semisal rambut dan kuku, yang sempat ia
potong sebelum meninggal, dikembalikan lagi dalam keadaan terpisah dari tubuhnya. Jadi,
andaikan ia hilangkan (potong) sebelum mandi wajib, maka akan dikembalikan lagi dalam
kondisi menanggung hadats besar, untuk mengecam dengan keras dirinya, karena telah
ceroboh melanggar perintah supaya tidak menghilangkannya (memotongnya) pada saat
jinabat. Seraya dikatakan, sesungguhnya setiap helai rambut menuntut akan status
jinabatnya. Seyogyanyasebagaimana dikatakan oleh Imam as-Syubromulsibahwa
kecaman keras tersebut berlaku bagi orang yang ceroboh, sebagaimana waktu sholat telah
masuk dan dirinya belum mandi wajibdan jika tidak ceroboh, maka tidak dikecamlantas
ajal menjemput secara mendadak. (Fathu al-Allm .juz: 01, hal: 349)
c) Kitab Busyro al-Karim (juz: 01, hal: 39)



)39 / 1 : ( .


Dan disunahkan bagi semisal orang yang sedang junub agar supaya tidak menghilangkan
sebagian dari anggota tubuhnya kecuali setelah selesai mandi wajib. Sebab, kelak di akhirat
seluruh bagian anggota tubuhnya akan dikembalikan lagi, maka kondisinya pun dalam
keadaan junub, untuk mengecam dengan keras dirinya. Lantas organ-organ tubuh tersebut
yang tersisa hanyalah organ yang asli. Seraya dikatakan, sesungguhnya setiap helai rambut
menuntut akan status jinabatnya. (Busyro al-Karm. Juz: 01, hal: 39)

d) Kitab Nihayah az-Zain (hal: 31)





)31 : ( .







Barangsiapa berkewajiban mandi besar, maka disunahkan agar supaya tidak
menghilangkan sebagian dari anggota tubuhnya walaupun berupa darah, rambut, atau pun
kuku, kecuali setelah selesai mandi besar. Oleh karena setiap anggota tubuhnya akan
dikembalikan lagi kelak di akhirat. Jadi, andaikan ia hilangkan sebelum mandi besar maka
kembali pula hadats besarnya, untuk mengecam dengan keras dirinya. (Nihayah az-Zain.
Hal: 31)

KESIMPULAN-KESIMPULAN ( Saya ambil dari situs PP.MUS Sarang )


1-Setelah menelusuri beberapa refrensi utama kitab-kitab Syafiiyyah sebagaimana yang
telah penulis kelompokkan di ataswalaupun sebenarnya masih banyak kitab-kitab
Syafiiyyah yang belum penulis telaahpenulis belum memukan satu pun pendapat yang
menghukumi haram pemotongan kuku atau mencukur rambut di saat seseorang dalam
kondisi hadats besar
.
2-Redaksi kitab Ihya yang berbunyi yakni, sighot yang dalam
penggunaannya memiliki dua kemungkinan arti, bisa berarti haram ataupun makruh tinggal
melihat indikasi (qorinah) yang ada, sejauh pengamatan penulis dari refrensi-refrensi yang
kami sebutkan sebelumnya, belum penulis temukan tafsiran sighot tersebut yang diartikan
haram.

3-Dalam kitab Nihayah az-Zain, Fathu al-Allam dan Busyro al-Karim redaksi yang ada
justru menjelaskan bahwa pemotongan semisal kuku, rambut atau mengeluarkan darah dalam
kondsi junub (hadats besar) hukumnya adalah sunnah. Dengan demikian, bila hal itu tetap
dilakukan tentunya tidak sampai pada tataran hukum haram. Lebih terang lagi redaksi yang
dipakai oleh kitab as-Syarqawi, redaksi kitab Ihya yang berbunyi diartikan
dengan
... disunnahkan ..., atau sebagaimana redaksinya kitab Busyro al-Karm yang
artinya juga ...disunnahkan. Ketegasan pernyataan sunnah agar supaya tidak mencukur
rambut dan memotong kuku sebelum mandi wajib, juga kami temukan di dalam kitab al-
Fiqh ala al-Madzhib al-Arbaah, pada saat memaparkan pendapat ulama Syafiiyyah
tentang kesunahan-kesunahan mandi.

4-Dari data-data yang kami kumpulkan, sebagaimana yang telah kami paparkan di atas,
belum kami temukan keterangan yang menyatakan keharaman pemotongan semisal kuku,
rambut atau mengeluarkan darah dalam kondsi junub (hadats besar). Sebaliknya, yang kami
temukan adalah keterangan-keterangan yang menjelaskan hukum makruhsebagaimana
dalam pandangan ulama madzhab

Hanafiatau boleh (mubah) secara mutlaksebagaimana pandangan ulama madzhab


Hambali dan fatwa-fatwa ulama kontemporerdengan memandang hukum asalnya.
Atau redaksi-redaksi yang menyatakan ke-sunahan untuk tidak melakukan pemotongan
semisal kuku, rambut atau mengeluarkan darah dalam kondsi junub (hadats besar),
sebagaimana kami temukan dalam kitab Hsiyah as-Syarqwi (juz: 01, hal: 79), Fathu al-
Allm (juz: 01, hal: 339), Busyro al-Karm (juz: 01, hal: 39), dan Nihyah az-Zain (hal: 31).
Data-data yang kami suguhkan dari selain madzhab Syafii memang harus kami akui bila
tidak seberapa. Dengan begitu, kesimpulan yang kami ambil tentunya masih membuka pintu
dan ruang lebar adanya diskusi berkelanjutan ke depan.

5-Walaupun kesimpulan kajian kita ini tidak sampai menyatakan keharaman dari tindakan
tersebut, adalah bijaksana bila kita mengambil sikap kehati-kehatian dalam hal ini. Dalam arti
mencukur rambut, atau memotong kuku atau yang semisalnya, selagi masih dimungkinkan
untuk dilakukan sehabis mandi besar adalah lebih baik untuk ditunda terlebih dulu. Lain
halnya menyisir rambut yang kusam, tentu untuk yang satu ini tanpa harus menunggu sehabis
mandi besar.

6-Keterangan yang disampaikan oleh Imam al-Ghazali dalam kitab Ihyanya memang tidak
sedikit yang menyangsikannya atau mengkritiknya. Memang, bila ditinjau dari kajian ilmiyah
kontemporer pernyataan semacam itu rentan dari kritikan, karena memang tidak disertai
dengan dalil pijakan yang menguatkannya (melegitimasi). Dan bila dilacak sumber-sumber
hadits yang menjelaskannya, yang ada justru hadits-hadits yang dloif atau bahkan dinilai
maudlu. Kendatipun demikian, kita tidak dibenarkan bersikap tidak sopan pada sosok ulama
seperti beliau Imam al-Ghazali, dengan mencemooh atau sikap-sikap kurang ajar lainnya.
Sebab sikap buruk ini di samping kontrproduktif dan tidak ilmiyah di satu sisi, juga
merupakan prilaku yang tidak selaras dengan budi pekerti mulia (akhlak karimah) di sisi yang
lain.

Terimakasih untuk refrensi nya :


-PP.MUS
-Ustadz
-Teman
-dan situs website lain nya

Semoga bermanfaat :)
HUKUM MEMOTONG KUKU ATAU
RAMBUT BAGI ORANG
YANG HAID/JUNUB
Agustus 28, 2010 syukrillah20 Komentar

10 Votes

Asslm. Afwan da yg tnya k a ttng blh tdknya mmotong rmbt& ku2 saat haid. Kemudian a jwb
boleh brdsr kitab fiqh wanita. Tp kmudian d bantah, cz ktnya d kitab fathul qorib g boleh?!
Kr2 pndpt antm bgmn? Jzkllh.. k lbs a mnta argument logisnya.. syukrn (26 Des 2008,
21:45:43)

Penjelasan: [1]

Pendapat yang tidak memperbolehkan memotong kuku dan rambut pada saat haid bagi
wanita atau juga umumnya bagi laki-laki dalam keadaan junub adalah pendapat yang muncul
di antara ulama dalam madzhab SyafiI mutaakhirin (generasi belakangan). Sementara
dalam madzhab yang lainsetahu penulistidak menyinggung atau membahas masalah ini,
kecuali dalam kitab Ghiza al-Albab dalam madzhab Hanbali, juga kitab Majmu Fatawa
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah yang justru tidak setuju terhadap larangan tersebut.[2]

Dalam Madzab Syafii sendiri, jika dilacak, sama sekali tidak disinggung atau dibahas oleh
Imam al-Syafii dalam Kitabnya al-Umm. Pendapat tersebut baru muncul atau bersumber dari
pernyataan Imam al-Ghozali. Imam Al-Ghozali dalam kitab beliau Ihya ulum al-Din
sebagaimana dikutip dalam Mughni al-Muhtaj (1/72 al-Maktabah as-Syamilah) dan dalam
Syarh al-Iqna li Matn Abi Syuja (1/60)berpendapat:

- - - -
:
- - .

Artinya : Dinyatakan dalam al-Ihya : Tidak semestinya memotong (rambut) atau


menggunting kuku atau memotong ari-ari, atau mengeluarkan darah atau memotong sesuatu
bagian tubuh dalam keadaan junub, mengingat seluruh anggota tubuh akan dikembalikan
kepada tubuh seseorang. Sehingga (jika hal itu dilakukan) maka bagian yang terpotong
tersebut kembali dalam keadaan junub. Dikatakan: setiap rambut dimintai
pertanggungjawaban karena janabahnya.

Apakah semua ulama Syafiiyah sepakat dengan pendapat al-Ghozali di atas?


Dari beberapa kitab dalam madzbab Syafii sendiri, diketahui bahwa para ulama madzhab
SyafiI tidak semuanya sepakat dengan pendapat Imam Ghozali tersebut, sebagaimana
diisyaratkan dalam kitab Ianat Tholibin (1/96 Maktabah syamilah) dengan pernyataan:

Tentang akan kembalinya (anggota tubuh) semisal darah, pendapat ini perlu diselidiki lagi.
Demikian pula (bagian tubuh) yang lainnya. Karena (bagian tubuh) yang kembali
(dibangkitkan bersama dengan pemilik bagian tubuh itu) adalah bagian-bagian tubuh yang
pemilik tubuh itu mati bersamanya (ada pada saat kematian orang tersebut)

Dalam kitab Syafii yang lain yaitu Niyatul Muhtaj Syarh al-Minhaj disebutkan:



(

) : .


:
:



) : (

) .. : (

Sikap kritis yang lebih jelas lagi terdapat dalam kitab dalam Madzab Syafii yang lain yaitu
Hasyiah al-Bujairimi ala al-Khotib (2/335 al-Maktabah as-Syamilah). Penulis kitab tersebut
mengkritisi pendapat Imam al-Ghozali di atas yang intinya menyatakan bahwa pendapat
Imam al-Ghozali tersebut perlu dikaji lagi sebab bagian tubuh yang kembali adalah yang ada
disaat kematian pemiliknya dan bagian badan asli yang pernah terpotong, bukan seluruh kuku
dan rambut yang pernah dipotong selama hidupnya. Beliau membawakan perkataan Ibnu
Hajar untuk menguatkan pendapatnya. Disebutkan dalam kitab tersebut:



)
( :

.



. .

.

:

: {



} .

Bagaimana Pendapat Mazhab yang lain?

Masalah tersebut pernah ditanyakan kepada Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan beliau
jelaskan dalam Majmu Fatawa, intinya bahwa sepengetahuan beliau, tidak ada dalil syari
yang menunjukkan makruhnya memotong rambut dan kuku bagi orang yang sedang junub,
bahkan terdapat hadis shohih riwayat Bukhari-Muslim yang menegaskan bahwa (tubuh)
seorang mukmin itu tidak najis. Apalagi dengan tambahan riwayat dari Shohih al-Hakim:
baik dalam keaadan hidup ataupun mati. Demikian pula adanya hadis tentang perintah bagi
yang haid untuk menyisir rambut pada waktu mandi, padahal sisiran bisa menyebabkan
rontoknya rambut. Berikut petikan pendapat Ibnu Taimiyah:

: {

:

:
[} 3] .

. } { :


:
[} { 4]


.
.


.
.

Bagaimana pendapat Ulama Kontemporer?

Salah satu yang bisa disebut di sini adalah Fatwa Ketua Lajnah Fatwa ulama al-Azhar,
Syaikh Atiyah Shaqr yang menyebutkan bahwa pernyataan yang melarang memotong kuku
dan rambut ketika dalam keadaan junub tidak berdasarkan dalil. Beliau membawakan
penjelasan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah di atas dan menambahkan: (dengan hadis
tersebut) kita ketahui bahwa hal demikian tidaklah dimakruhkan. Pendapat yang menyatakan
makruh adalah pendapat yang la ashla lahu (tidak ada dasarnya). Athoyaitu Atho bin Abi
robah ra, seorang tabiin seniormenyatakan:

Seorang yang junub (diperbolehkan) melakukan hijamah (pengobatan dengan cara


mengeluarkan darah kotor) dan memotong kuku dan menggunting rambutnya, walaupun ia
belum berwudhu (Shohih al-Bukhari 1/496 al-Maktabah al-Syamilah bab al-Junubu
yakhruju wayamsyi fis suq waghairihi)

Berdasarkan dalil ini maka tidak dimakruhkan untuk memotong rambut dan kuku ketika
janabah. Adapun hukum menimbun potongan kuku dan rontokan rambut dari sisir ada dalam
bahasan lain (tidak termasuk dalam bahasan ini) (Fatwa Mei 1997 al-Maktabah as-
Syamilah).

Dalam Fath al-Bari Syarah Shohih al-Bukhari oleh Ibnu Rajab 2/54 menjelaskan perkataan
Atho di atas dan menyebutkan bahwa Imam Ahmad bin Hanbal menyatakan la basa (tidak
mengapa) untuk mengeluarkan darah (hijamah) atau memotong kuku dan rambut ketika
junub.

Ibnu Rajab al-Hanbali menyatakan: Tidak ada khilaf tentang bolehnya ini di antara ashabina
(ulama mazhab Hanbali) kecuali Abu al-Farj al-Syirozi yang memakruhkan untuk mengambil
kuku dan rambut dari orang yang junub, dan menyebutkan hadis yang marfu dengan Isnad
yang dhoif jiddan riwayat al-Ismaily dalam Musnad Ali yang melarang seseorang
memotong kukunya dan mengunting rambutnya kecuali dia dalam keadaan suci:

(( )) [ ]

. . )) (( : :
.

Ibnu Rajab menjelaskan bahwa hadis tersebut di atas adalah hadis yang Munkar jiddan
bahkan secara eksplisit (nyata) menunjukkan kualitas hadisnya maudhu (palsu).
Demikian pula, berdasarkan penelitian penulis, hadis tersebut di atas tidak ditemukan dalam
al-kutub at-tisah (9 Kitab Induk yaitu Sahih al-Bukhari, Sahih Muslim, Sunan Abu Dawud,
Sunan At-Tirmidzi, Sunan An-Nasai, Sunan Ibnu Majah, Musnad Imam Ahmad, Muwatho
Imam Malik, dan Sunan ad-Darimy), bahkan kitab-kitab hadis selain itu di lebih dari 200
kitab hadis dalam Maktabah Syamilah.

Kesimpulan bahasan di atas:

1. Tidak ada dalil baik dari Al-Quran maupun Sunnah yang shohih yang menjadi dasar
hukum larangan bagi orang yang memotong kuku dan rambut bagi orang yang sedang
junub khususnya wanita yang haid.
2. Adapun munculnya Pendapat tersebut ternyata bersumber dari pendapat Imam al-
Ghozali . Imam al-Ghozali sendiri tidak menyatakan larangan itu dengan kalimat yang
tegas yang menunjukkan hukum haram. Beliau menggunakan lafadz: la yanbaghi
yang artinya tidak semestinya, tidak seharusnya atau tidak seyogyanyadst
3. Sementara itu tidak semua ulama madzhab SyafiI sepakat dengan Imam al-Ghozali
dalam masalah tersebut (sebagaimana disebutkan tentang khilaf itu dalam beberapa
kitab mazhab SyafiI, antara lain Nihayat al-Muhtaj di atas).
4. Adapun yang menjadi alasan Imam al-Ghozali adalah bahwa setiap bagian tubuh yang
terpotong akan dikembalikan pada pemilik tubuh tersebut. Maka jika dipotong pada
keadaan junub maka pada hari kiamat akan dikembalikan lagi dalam keadaan junub.
Namun alasan atau argument ini tidaklah sepenuhnya tepat. Sebab, jumhur ulama
menyatakan bahwa bagian tubuh yang dikembalikan adalah (a) bagian-bagian tubuh
lengkap yang ada pada waktu kematian pemiliknya, dan (b) bagian-bagian tubuh yang
asli (al-ajza al-ashliyah) yang pernah terpotong sewaktu pemiliknya masih hidup
seperti kaki dan/atau tangan yang terpotong). Bagian-bagian itulah yang akan
dikembalikan secara sempurna pada hari kiamat. Adapun kuku atau rambut yang
disunnahkan untuk dipotong tidak termasuk bagian yang dikembalikan tersebut.
5. Secara logika, argumen al-Imam al-Ghozali tersebut sulit diterima. Pertanyaaannya :
Apakah logis jika seluruh kuku dan rambut yang pernah tumbuh pada tubuh seseorang
di dunia dikembalikan pada saat bangkitnya di hari kiamat? Seberapa panjang kuku
dan rambut manusia jika seluruh rambut dan kuku mereka yang pernah tumbuh dan
dipotong selama hidupnya akan dikembalikan lagi kepada tubuh pemiliknya?
6. Apalagi, perlu kita ingat bahwa berdasarkan hadis Rasulullah riwayat Bukhari dan
Muslim, tubuh orang mukmin yang junub tidaklah najis. ( )
7. Janganlah mempersulit diri dengan sesuatu yang tidak jelas atau tidak kuat dasar
hukumnya. Islam itu agama yang mudah. Ia diturunkan dengan sempurna sesuai
dengan fitrah dan kemampuan manusia; Kita menjalankan Islam sesuai karakternya
yang mudah dan tidak mempersulit diri. Rasulullah SAW bersabda:




Dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah SAW bersabda, Sesungguhnya agama itu mudah.
Tidaklah seseorang mempersulit (berlebih-lebihan) dalam agama melainkan ia akan
dikalahkan. Oleh karena itu kerjakanlah dengan semestinya, atau mendekati semestinya dan
bergembiralah (dengan pahala Allah) ..
(HR. Bukhari)
Wallahu Alam bi as-Showab

[1] Penulis telah menjawab secara singkat lewat sms dan makalah ini merupakan
pengembangannya. Harapannya agar pertanyaan dan jawaban tersebut tidak hanya
bermanfaat bagi yang bertanya tapi bagi ikhwah dan akhwat semuanya. Amin.. Dengan
berharap agar dengan sedikit ilmu yang dimiliki tapi menjadi amal jariyah karena yuntafau
bihi.

[2] Dengan bantuan fasilitas penelusuran kitab di Maktabah Syamilah, penulis telah mencari
materi bahasan ini dalam kitab-kitab madzhab Hanafi sekitar 30 kitab, madzhab Syafii
sekitar 35 kitab, madhab Maliki sekitar 20 kitab dan Madzhab Hanbali sekitar 30 kitab,
ditambah kitab-kitab fatwa dan masail fiqhiyah dalam maktabah tersebut di lebih dari 160
kitab. Tentu dengan keterbatasan penulis dan alat, boleh jadi ada yang terlewatkan oleh
penulis. Namun, Insya Allah kajian ini mencukupi untuk menjawab pertanyaan di atas.
Dalam hal ini, penulis tidak berijtihad apalagi berfatwa tapi hanya sekedar mengutip dan
mengumpulkan pendapat para ulama. Karena itulah batasan kemampuan penulis. Semoga
bermanfaat.Amin..dan Wallahu Alam bi as-Showab.

[3] 121( )371( )285 283( : ) :


)122 /1( )231( : .)534( )145 /1(
535( ) 145 /1( ) 122 /1( )230( )372( ).

[4] Menurut al-Mundziri hadis ini Dhoif. Lihat pula komentar al-Mubarakfuri dalam Tuhfat
al-Ahwadzi 2/140 (Syamilah)

Haruskah wanita haid mengumpulkan rambutnya yang jatuh?

Posted Juni 20, 2013 by iankusuma2 in Tanya Jawab. 27 Komentar

Dari: +628965798xxxx
Pertanyaan: Apakah ada hadits yang menerangkan bahwa seorang wanita yang sedang haid
itu harus mengumpulkan rambutnya yang jatuh sampai selesai masa haidnya?

Jawab:
Wallohu Alam, saya belum menemukan adanya hadits yang shahih tentang perintah bagi
wanita haid untuk mengumpulkan rambutnya yang rontok/terjatuh ataupun larangan tentang
wanita memotong kukunya ketika haid. Secara logika dapat kita ketahui bahwa hal tersebut
bukanlah bagian dari ajaran Islam karena beberapa hal, yaitu:
1. Tidak adanya dasarnya dari Al Quran dan Sunnah mengenai larangan bagi orang yang
memotong kuku dan rambut bagi orang yang sedang junub khususnya wanita yang haid
2. Islam adalah agama yang mudah, mengumpulkan rambut yang rontok ketika haid adalah
sesuatu yang sulit dilaksanakan karena rambut manusia setiap harinya ada puluhan rambut
yang rontok

3. Pendapat tersebut bersumber dari pendapat Imam al-Ghozali dalam madzhab Syafii.
Imam al-Ghozali sendiri tidak menyatakan larangan itu dengan kalimat yang tegas yang
menunjukkan hukum haram. Beliau menggunakan lafadz: la yanbaghi yang artinya tidak
semestinya, tidak seharusnya atau tidak seyogyanyadst
4. Sementara itu tidak semua ulama madzhab SyafiI sepakat dengan Imam al-Ghozali
dalam masalah tersebut (sebagaimana disebutkan tentang khilaf itu dalam beberapa kitab
mazhab SyafiI, antara lain Nihayat al-Muhtaj di atas).
5. Alasan Imam al-Ghozali bahwa bagian tubuh yang terpotong tersebut akan dikembalikan
pada pemilik tubuh tersebut, yang jika dipotong pada keadaan junub maka pada hari kiamat
akan dikembalikan lagi dalam keadaan junub. Alasan atau argument ini tidak tepat, sebab
jumhur ulama menyatakan bahwa bagian tubuh yang dikembalikan adalah (a) bagian-bagian
tubuh lengkap yang ada pada waktu kematian pemiliknya, dan (b) bagian-bagian tubuh yang
asli (al-ajza al-ashliyah) yang pernah terpotong sewaktu pemiliknya masih hidup seperti kaki
dan/atau tangan yang terpotong). Bagian-bagian itulah yang akan dikembalikan secara
sempurna pada hari kiamat. Adapun kuku atau rambut yang disunnahkan untuk dipotong
tidak termasuk bagian yang dikembalikan tersebut.
6. Logika untuk menolak alasan al-Imam al-Gozali tersebut dalam bentuk pertanyaan:
apakah logis jika seluruh kuku dan rambut yang pernah tumbuh pada tubuh seseorang di
dunia dikembalikan pada saat bangkitnya di hari kiamat? Seberapa panjang kuku dan rambut
manusia jika seluruh rambut dan kuku mereka yang pernah tumbuh dan dipotong selama
hidupnya akan dikembalikan lagi kepada tubuh pemiliknya?
7. Perlu diingat, berdasarkan hadis Rasulullah riwayat Bukhari dan Muslim, dll, bahwa
tubuh orang mukmin yang junub tidaklah najis.

Jika alasannya bahwa wanita pada saat sedang Haid tubuhnya adalah najis sehingga jika ada
bagian tubuh yang terpotong maka bagian tersebut harus disucikan, adalah alasan yang tidak
bisa diterima karena seorang mukmin itu suci, dan tidak Najis baik dalam keadaan hidup
maupun mati.
Dari Abu Hurairah berkata, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam berjumpa dengan aku
padahal aku dalam keadaan junub. Beliau menggandeng tanganku hingga aku pun berjalan
bersama beliau hingga beliau duduk. Aku lantas pergi diam-diam kembali ke rumah untuk
mandi. Kemudian kembali lagi dan beliau masih duduk. Beliau lalu bertanya: Kemana saja
kamu tadi wahai Abu Hurairah? Maka aku ceritakan pada beliau. Beliau lalu bersabda:
Subhanallah! Wahai Abu Hurairah, seorang Muslim itu tidaklah najis.(H.R.Bukhari)

Alasan bahwa wanita pada saat sedang Haid tubuhnya terkena Janabah sehingga jika ada
bagian tubuh yang terpotong maka bagian tersebut tetap dihukumi tubuh yang Junub yang
harus disucikan juga tidak bisa diterima karena alasan ini adalah penetapan hukum Syara
dengan logika, bukan pengambilan hokum berdasarkan dalil. Hukum Syara tidak boleh
ditetapkan dengan logika, tetapi harus ditetapkan dengan dalil yang Syari.

Adapun larangan memotong rambut atau kuku dengan alasan bahwa orang yang Junub jika
memotong rambutnya atau kukunya, maka di akhirat seluruh bagian tubuhnya akan kembali
kepadanya, dan pada hari Kiamat dia akan berdiri dalam keadaan tubuhnya mengandung
Janabah dengan kadar sesuai dengan bagian tubuh yang dihilangkan dalam kondisi Junub
ketika di dunia, dan setiap rambut akan mengandung Janabah sesuai dengan kadar rambut
yang dihilangkan dalam keadaan Junub di dunia yang mana rambut berjanabah tersebut akan
menuntut pemiliknya,misalnya seperti rekomendasi Al-Ghazzali dalam kitab Ihya
Ulumiddin;

Tidak seyogyanya mencukur rambut,memotong kuku, mencukur bulu kemaluan,


mengeluarkan darah, atau memisahkan anggota tubuh dalam keadaan Junub, karena seluruh
anggota tubuh akan dikembalikan di akhirat, sehingga kembalinya dalam keadaan junub.
Konon, setiap satu rambut kan menuntut hamba karena Janabahnya itu (Ihya Ulumuddin,
vol.2 hlm 51)

Maka keyakinan ini adalah keyakinan yang tidak bisa dipegang. Kepercayaan ini tidak
didasarkan pada riwayat yang shahih dan tidak dinyatakan dalam Al-Quran dan Assunnah
baik secara eksplisit maupun implisit. Imam Al-Ghazzali sendiri mengutip statemen tersebut
tanpa menjelaskan asal-usul riwayat berikut sanadnya. Ibnu Utsaimin dalam Fatawa Nur
Ala Ad-Darbi berpendapat bahwa larangan bersisir saat Haid, atau memotong kuku hanya
dinyatakan dalam kitab-kitab Ahli Bidah seperti Muhammad Yusuf Al-Ibadhy dalam
kitabnya Syarhu An-Nail Wa Syifa-u Al-Alil.

Adapun hadits-hadits mengenai masalah ini adalah sebagai berikut:


Telah menceritakan kepada kami Nashr bin Ali berkata, telah menceritakan kepada kami Al
Harits bin Wajih berkata; telah menceritakan kepada kami Malik bin Dinar dari Muhammad
bin Sirin dari Abu Hurairah dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, beliau bersabda: Di
bawah setiap lembar rambut adalah junub, maka basuhlah rambut dan bersihkanlah kulit.
(H.R. Tirmidzi No. 99)

Tirmidzi berkata : Dalam bab ini juga ada riwayat dari Ali dan Anas yaitu hadits berikut ini :
Telah menceritakan kepada kami Nashr bin Ali telah menceritakan kepada saya Al-Harits bin
Wajih telah menceritakan kepada kami Malik bin Dinar dari Muhammad bin Sirin dari Abu
Hurairah dia berkata; Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda; Sesungguhnya di
bawah setiap rambut ada junub, maka basuhlah rambut dan cucilah kulit. (H.R. Abu Daud
No. 216)

Abu Isa berkata; Hadits Al Harits bin Wajih adalah hadits gharib (diriwayatkan dari satu
jalur saja) yang kami tidak mengetahui kecuali darinya, sedangkan ia adalah seorang syaikh
yang lemah.

Abu Isa mengatakan : Tidak sedikit para ulama yang meriwayatkan darinya, namun ia
meriwayatkan hadits ini dengan sendirian, dari Malik bin Dinar. Terkadang ia disebut dengan
nama Al Harits bin Wajih dan kadang dengan nama Ibnu Wajbah.

Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Adam telah menceritakan kepada kami Syarik
dari Khasif berkata; telah menceritakan kepadaku seorang lelaki semenjak tiga puluh tahun
yang lalu dari Aisyah berkata; Ketika saya menganyam rambutku, lalu Rasulullah
Shallallahu Alaihi wa Sallam berkata kepadaku: Wahai Aisyah, apakah engkau tahu bahwa
setiap rambut itu ada junubnya. (H.R. Ahmad No. 24970)

Ini adalah hadits dhaif/lemah (yaitu satu atau dua perawinya dlaif) Abu Dawud berkata; Al-
Harits bin Wajih haditsnya munkar dan dia dhaif.

Telah menceritakan kepada kami Nashr bin Ali Al Jahdlami berkata, telah menceritakan
kepada kami Al Harits bin Wajih berkata, telah menceritakan kepada kami Malik bin Dinar
dari Muhammad bin Sirin dari Abu Hurairah, ia berkata; Rasulullah Shallallahu Alaihi wa
Sallam bersabda: Sesungguhnya di bawah setiap rambut itu terdapat janabah, maka basuhlah
rambut dan bersihkan kulit wajah kalian. (H.R. Ibnu Majah No. 589)

Hadits di atas juga hadits dhaif karena perawinya bernama Harits bin Wajih dinyatakan
sebagai perawi dlaif oleh Abu Daud, Nasaiy, Ibnu Hajar Asqolani dan Adz Dzahabi.
Andai katapun hadits-hadits di atas ini kita ambil sebagai dalil (walaupun dlaif) maka
maksud dari perkataan di bawah setiap rambut terdapat janabat bukanlah seperti yang
disangkakan orang bahwa harus mengumpulkan dan mencuci rambut yang rontok. Jika
konsekuen dengan penafsiran dan persangkaan seperti di atas, maka tidak hanya rambut dan
kuku, melainkan kulit pun tidak boleh rontok. Padahal menurut ilmu pengetahuan setiap hari
ada 3 juta sel kulit kita yang rontok dan berganti sel kulit baru. Bagaimana mungkin agama
Islam menjadi agama yang menyulitkan bagi umatnya seperti disangkakan oleh mereka?

Selain itu dalam sebuah hadits shahih diceritakan bahwa Aisyah r.a. ketika melaksanakan haji
lalu tiba-tiba datang haid malah disuruh menyisir rambutnya oleh Rasulullah Shallallahu
Alaihi wa Sallam
Telah menceritakan kepada kami Ismail bin Abdullah Telah menceritakan kepada kami
Malik dari Ibnu Syihab dari Urwah bin Jubair dari Aisyah radliallahu anha dia berkata;
Kami keluar bersama Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam pada haji wada`, kami
bertalbiyah dengan umrah, . Lalu saya masuk Makkah dalam keadaan haid, saya tidak
thawaf di Ka`bah dan tidak juga melakukan sai antara shofa dan marwah. Lalu saya
melaporkan hal tersebut kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, beliau bersabda:
lepaskan ikatan rambut kepalamu, bersisirlah, dan niatkanllah untuk berhaji, serta tinggalkan
umrah. Aisyah berkata; Saya melakukannya hingga ketika kami selesai berhaji. (H.R.
Bukhari No. 4044 Muslim No. 2108, Abu Daud No. 1515, Ahmad No. 24269, Muwatha
Imam Malik No. 820)

Makna dari di bawah setiap rambut terdapat janabat/junub, adalah pada keterangan kalimat
selanjutnya Maka basuhlah rambut itu dan bersihkan kulit wajah kalian adalah agar ketika
mandi janabat atau mandi wajib (baik setelah junub karena senggama atau karena selesai
haid) agar menyeka semua bagian tubuh dengan seksama termasuk ke sela-sela rambut dan
mencuci muka. Hal ini sebagai penegasan agar hal itu tidak terlewatkan.

Maka konteks waktu dan situasi dari perkataan di bawah setiap rambut terdapat
janabat/junub, adalah ketika mandi junub dan bukan ketika sebelum mandi atau selama haid.
Inilah yang dimaksud oleh Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam

Para Ulama Fiqh (Imam yang berempat, Hanafi, Maliki, Syafi'i, dan
Hambali ) dan pendapat mereka dalam hal boleh tidaknya membaca shalawat atau disebut
sebagai at-tarqiyyah (dengan cara meninggikan suara bagi muroqi untuk membaca
shalawat) ketika Khatib sedang duduk di antara dua khotbah.

Pada prinsipnya berbicara atau meninggikan suara bagi muroqi baik membaca do'a atau
shalawat kepada Nabi di antara khutbah pertama dan khutbah ke dua adalah tidak
diperbolehkan karena dalil sharieh (Hadits Shahih) yang mengatakan:

Apabila engkau berkata kepada teman engkau sedangkan Imam (maksudnya Khotib)
sedang berkhotbah di hari Jum'at : Hai tenanglah kamu! maka kamu telah berbuat sia-
sia.( Hadits diriwayatkan dari Bukhari dan Muslim dalam Kitab Jum'ah).

Ulama Fiqh menyebutkan Bid'ah (mengada-ada) hukumnya sebagian manusia berbicara


ketika Khatib berkhutbah di hari Jum'ah dengan pengertian berbicara dalam Masjid ketika
Khatib berkhotbah adalah bid'ah, tercela dan makruh, tidak boleh (dilarang). Jama'ah shalat
Jum'at wajib tenang/diam mendengarkan. Ini pendapat Imam Maliki (Malikiyah), sedang
Imam Abu Hanifah (Hanafiyah) berpendapat at-tarqiyyah "makruh" yang mendekati
"haram" (dilarang keras) baik itu hanya sekedar membaca do'a atau shalawat kepada Nabi,
ataupun percakapan tentang urusan dunia dan dapat merusak ibadah Jum'at. Pendapat ini
adalah yang terkuat. Boleh meng-amin-kan do'a Khatib tetapi dengan sier (tidak terdengar
oleh orang lain). Adapun Imam Syafi'i berpendapat bahwa membaca do'a dan shalawat di
Masjid sudah dikenal sejak lama (boleh/jaiz), tidak salah kalau berdo'a dan membaca
shalawat kepada Nabi, tetapi tidak berlebihan dengan mengeraskan suara, tidak dengan
suara keras (jahar), sebaiknya tidak terdengar bagi orang disampingnya (bacaan sier :pen).
Imam Syafi'i tidak menyebutnya sebagai sunnah, cuma diperbolehkan saja.

Memang banyak terjadi dibeberapa Masjid ketika Khatib duduk antara dua khutbah,
muadzin atau muroqi membaca shalawat kepada Nabi, dengan suara keras bahkan
agar lebih keras mereka memakai mikrofon. Di antaranya mereka di beberapa masjid ada
yang membaca bacaan seperti ini : Allahumma Shalli wasallim wazid wa an 'im watafadhal
wabaarik bijalaalika wa kamaalika alaa asyrafi ibadika, sayyidina wa maulana
Muhammadin wa 'an kulii shahaabati Rasulillahi ajma'iin..

Bacaan ini digolongkan kepada bid'ah. Tentang bid'ah, Hadist Nabi mengatakan:

"Setiap yang baru dalam hal agama (tidak ada perbutan itu dimasa Nabi) adalah bid'ah dan
setiap bid'ah adalah sesat, setiap yang sesat itu tempatnya neraka.

Tidaklah seseorang mandi dan bersuci semampunya pada hari Jumat, memakai
minyak rambut atau memakai minyak wangi di rumahnya kemudian keluar lalu dia
tidak memisahkan antara dua orang (dalam shaff) kemudian mengerjakan shalat dan
selanjutnya dia diam (tidak berbicara) jika khatib berkhutbah, melainkan akan
diberikan ampunan kepadanya (atas kesalahan yang terjadi) antara Jumatnya itu
dengan Jumat yang berikut-nya. (HR. Bukhari No. 883)

Cara Khatib Mengangkat Tangan Ketika Membaca Doa Pada Akhir khutbah Ke dua
Berdoa sambil mengangkat tangan merupakan sunnah Nabi . Telah diriwayatkan bahwa
khatib apabila berdoa di mimbar pada khutbah kedua, hendaklah menggunakan jari
telunjuknya dan bukannya mengangkat kedua tangan. Malah salah seorang sahabat
('Umran ibn Ru'aibah) telah mengutuk seorang khatib (Bishr ibn Marwan) yang berdo'a
sambil mengangkat tangan dan berkata:

"Semoga Allah memburukkan kedua-dua tangannya. Aku melihat Rasulullah


Shallallahu Alaihi Wasallam melainkan tidak lebih dari ini dengan tangannya: dan dia
mengisyaratkan dengan jari telunjuknya [dalam berdo'a]" (Hadith Riwayat Muslim, no.
874 dan Abu Daud, no. 1104)

Imam Al-Nawawi rahimahullah ketika mengulas hadits ini didalam Syarah Shahih Muslim
menyatakan bahwa ini menunjukkan bukanlah menjadi sunnah mengangkat kedua tangan
bagi khatib ketika sedang membaca doa didalam khutbah jumaat.

Maksud amalan mengisyaratkan jari telunjuk itu adalah ditujukan kepada khatib yang sedang
membaca do'a ketika menyampaikan khutbah; dimana khatib cuma perlu mengisyaratkan saja
jarinya tanpa mengangkat kedua tangannya. Makmum tidak perlu melakukannya, sekadar
meng'amin'kan dengan suara perlahan.

____________________________________________________

LBM MWC NU WIRADESA


(Lembaga Bahtsul Masail Majelis Wilayah Cabang Nahdatul Ulama Pekalongan)
INILAH BLOG MILIK LBM MWC NU WIRADESA PEKALONGAN
JAWA TENGAH INDONESIA

Membaca Sholawat Diantara Dua Khutbah.

Deskripsi masalah :
Sebagaimang kita ketahui diantara dua khutbah adalah waktu mustajab untuk berdoa dimana
kalau kita berdoa insya Allah akan dikabulkan oleh Allah SWT . Tetapi biasanya pada saat
itu Muroqi membaca sholawat Nabi sehingga para jamaah harus menjawab sholawat Nabi
tersebut.

Pertanyaan :
1. Sebetulnya adakah anjuran membaca sholawat Nabi pada waktu diantara dua khutbah ?
2. Manakah yang lebih utama membaca sholawat Nabi dan berdoa ? (PP.Asma'Chusna Kranji
Kedungwuni)

Jawaban untuk pertanyaan nomor satu (Sebetulnya adakah anjuran membaca sholawat Nabi
pada waktu diantara dua khutbah ?

Jawab :
Secara spesifik memang tidak ada , bahkan Nabi sendiri tidak berbicara ketika beliau
duduk diantara dua khutbah (lihat SUNAN ABU DAWUD I/245 cet Darul fikri thn 1410
H , SUNAN NASAI III/191 cet Thoha Putera Semaramg tahun 1348 H , MUSHONNAF
'ABDURROZZAAQ hadits roqm 5257/www.islamweb.net) , namun hal tersebut tidak
menafikan untuk berdzikir ataupun berdoa pada waktu tersebut dengan suara lirih ,
sebagaimana diterangkan oleh Al Hafidh Ibnu Hajar al Asqolani dalam kitab "FATHUL
BARI" II/576-577 cet Dar Mishr thn 1421 H ,

: {
} ( : )
... "
"
. ... .

Kita sudah mengetahui bahwa khutbah Jumat terdapat dua kali khutbah dan imam akan
duduk di antara dua khutbah tersebut. Kita sering saksikan pula bahwa ketika imam duduk,
sebagian jamaah mengangkat tangan dan berdoa. Namun mungkin sebagian orang yang
melakukannya tidak mengetahui dalil akan hal ini. Bagaimana tinjauan Islam, apakah
mengangkat tangan seperti itu dalam rangka berdoa benar dituntunkan?

Dalil bahwsanya shalat Jumat memiliki dua khutbah ditunjukkan dari perbuatan Nabi
shallallahu alaihi wa sallam sendiri. Beliau berkhutbah dua kali di mimbar dan memisahkan
dengan duduk yang singkat. Dari Abdullah bin Umar radhiyallahu anhuma, beliau berkata,




Nabi shallallahu alaihi wa sallam dahulu berkhutbah dua kali dan duduk antara
keduanya. (HR. Bukhari no. 928)

Doa Mustajab di Hari Jumat

Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam menyebutkan tentang hari
Jumat, lantas beliau bersabda,






Di hari Jumat terdapat suatu waktu yang tidaklah seorang hamba muslim yang ia berdiri
melaksanakan shalat lantas ia memanjatkan suatu doa pada Allah bertepatan dengan waktu
tersebut melainkan Allah akan memberi apa yang ia minta. (HR. Bukhari no. 935 dan
Muslim no. 852)

Ada hadits lain yang secara sanad shahih menyebutkan tentang kapan waktu mustajab di hari
Jumat yang dimaksud. Hadits tersebut adalah hadits Jabir bin Abdillah radhiyallahu anhu,
dari Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, beliau bersabda,



.


.

(Waktu siang) di hari Jumat ada 12 (jam). Jika seorang muslim memohon pada Allah azza
wa jalla sesuatu (di suatu waktu di hari Jumat) pasti Allah azza wa jalla akan
mengabulkannya. Carilah waktu tersebut yaitu di waktu-waktu akhir setelah Ashar.[1] Kata
Syaikh Musthofa, Walaupun sanadnya shahih, namun hadits tersebut memiliki illah
(cacat). Karena hadits dikatakan shahih tidak semata-mata dilihat dari sanadnya yang
selamat, namun juga dilihat adakah illah (cacat) dalam hadits tersebut ataukah tidak.
Demikianlah yang dapat dipahami dari ilmu mustholah hadits.

Pendapat yang disebut dari hadits terakhir, itulah yang lebih mendekati tentang maksud
waktu di hari Jumat. Kata Syaikh Musthofa Al Adawi rahimahullah, Namun demikian,
sudah sepantasnya seorang muslim berusaha untuk memperbanyak doa di hari Jumat di
waktu-waktu yang ada secara umum.

Jadi secara ringkas, berdoa di hari Jumat tidak khusus saat imam duduk di antara dua
khutbah.

Baca secara lengkap pembahasan: Doa di Hari Jumat.

Bagaimana hukum berdoa di antara dua khutbah saat imam duduk?

:

.
.)163/ (

Syaikh Abdullah bin Abdirrahman Aba Bathin rahimahullah berkata, Doa ketika duduk
antara dua khutbah, aku tidak tahu sama sekali tentang ajaran tersebut. Namun jangan
mengingkari orang yang melakukan hal itu karena boleh jadi ia sengaja mencari waktu
mustajabnya doa di hari Jumat. (Rosail wa Fatawa Asy Syaikh Abdullah Aba Bathin, hal.
163).

:

.
:
:





. .
( 6/792).

Syaikh Muhammad Rosyid Ridho rahimahullah berkata, Adapun mengangkat kedua tangan
dan bersuara saat berdoa ketika imam duduk di antara dua khutbah, aku sendiri tidak
mengetahui bahwa hal itu bagian dari ajaran Rasul shallallahu alaihi wa sallam. Namun
tidak mengapa jika ia berdoa dengan syarat tidak memberikan was-was pada jamaah yang
lain dan doa pada waktu tersebut tidak dijadikan rutinitas.

Ketika imam naik mimbar, jamaah hendaknya diam. Oleh karena itu kami mengatakan, tidak
mengapa jika seseorang berdoa di selain waktu mendengar khutbah, namun dengan suara
yang lirih dan tidak mengganggu yang lain. Ketika itu pun tidak perlu mengangkat tangan
saat berdoa. Karena jika dilakukan seperti itu, tidak ada dalil yang mendukungnya. Bahkan
perbuatan seperti menyelisihi ajaran Rasul shallallahu alaihi wa sallam. Karena ada
sebagian yang masih berdoa ketika imam sudah mulai khutbah kedua. Yang tepat adalah
para jamaah hendaknya mendengar dan merenungi khutbah yang disampaikan. Lalu ia
memikirkan dan mengambil pelajaran ketika imam istirahat (di antara dua khutbah).
Seringan-ringan perbuatan yang mereka lakukan termasuk bidah makruhah. (Majallatul
Manar, 6: 792)

Sebagian ulama ada yang membolehkan berdoa kala imam duduk di antara dua khutbah
Jumat dan bahkan dibolehkan pula mengangkat tangan sebagaimana dikemukakan oleh
Syaikh Muhammad bin Sholeh Al Utsaimin rahimahullah. Beliau membolehkan hal ini
karena waktu tersebut termasuk dalam waktu ijabahnya doa di hari Jumat.

Namun kami lebih tentram dengan pendapat yang menyatakan tidak perlu mengkhususkan
doa tatkala imam duduk di antara doa khutbah Jumat. Boleh sekali-kali berdoa kala itu,
namun tidak jadi kebiasaan dan dengan suara yang lirih yang tidak mengganggu jamaah lain.

Syaikh Sholeh Al Munajjid hafizhohullah berkata, Pendapat yang lebih kuat wallahu
alam- tidak ada ajaran khusus dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam yang mengajarkan
doa khusus tatkala imam duduk di antara dua khutbah. Jika ada yang berkeinginan
menyibukkan diri dengan doa, dizikir atau membaca ayat Quran tatkala imam diam sejenak
kala itu, maka silakan, dengan syarat tidak memberikan was-was pada jamaah lainnya.
(Fatwa Al Islam Sual wa Jawab no. 111936)

Wallahu waliyyut taufiq was sadaad.

227. UNGKAPAN MUADZDZIN DIWAKTU KHUTBAH

Selasa, 06 Maret 20120 komentar

PERTANYAAN :

Ipnu-ippnu Tlanakan Pamekasan-Jatim

Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Ada sebagian Masjid, tiap jum'at MC khotbah/ bilal membaca lafal ini

__________

yang kami tanyakan apa benar lafal diatas adalah hadits, & kami mohon sanadnya ?...Mohon dengan
sangat pencerahannya. Wassalamu'alaikum.
SALAM PISS KTB.

JAWABAN :

>> Raden Mas NegeriAntahberantah

http://solusinahdliyin.net/ibadah/226-muraqqi-khutbah.html

>> Timur Lenk

sudah kulihat di http://www.solusinahdliyin.net/ibadah/226-muraqqi-khutbah.html

isinya sbb:

Muraqqi Khutbah

Jumat, 10 Desember 2010 09:11

Hasil Bahts Masail PWNU Jatim 2009 di Gresik

Deskripsi Masalah

Lazim kita saksikan praktek sholat jum'ah dimasyarakat ketika khotib duduk diantara dua khutbah
biasanya muraqqi langsung membacakan sholawat. Fenomena ini menimbulkan kebingungan, sebab
disatu sisi kita dianjurkan menjawab sholawat, namun dalam kesempatan yang sama ketika khotib
duduk diantara dua khutbah merupakan saat yang mustajabah yang semestinya harus kita gunakan
untuk khusuk berdoa.

Pertanyaan :

a. Adakah dalil yang menganjurkan muraqqi membaca sholawat ketika khotib duduk diantara
dua khutbah?

Belum ditemukan dalil


?b. Manakah yang harus diprioritaskan antara membaca sholawat dan berdoa

Jawaban :

Khotib dianjurkan membaca surat ikhlas, untuk hadirin disunnahkan berdoa.

Dasar Hukum

Mughni al Muhtaj 1 halaman 557

) ( ) (

. : :
. :

Fatawi al Kubro 1 252

)
) .

(
: )

































.

Bujairimi ala al Khatib

{ :





{ :
} }
:


{ : } :


:

}
{
.

c. Bagaimana sighat yang sesuai dengan tuntunan ulama' salaf bagi seorang muraqqi ? (PCNU
)Kota Kediri

Jawaban

Pada saat khatib naik mimbar, muraqqi bisa membaca




sebagaimana telah lazim dilakukan. Meskipun hal ini termasuk bidah, namun bisa dikatagorikan
bidah hasanah, hal ini tidak diharamkan karena dibaca sebelum khatib berkhutbah. Untuk bacaan
muraqqi saat khatib duduk diantara dua khutbah bisa dengan shalawat sebagaimana biasa
dilakukan, tasbih, tahlil ataupun istighfar.

Dasar Pengambilan Hukum

Al Fawakih ad Diwani III halaman 190

( ) :

{ :
" . " : }










Fatawa al Romli 2 halaman 172

(
{
)


}



(

)
{






}








:



.
"" "" ,
,
()

:

: :

.

.

=======================

>> Masaji Antoro

Wa'alaikumsalam wa rohmatullaahi wa barakaatuh.

Ungkapan MUADZDZIN dalam pertanyaan diatas tidak terdapat dalam satu hadits secara
keseluruhan.

:

. ()

:
: :
.
.

PERTANYAAN :

Bagaimana pendapat anda semoga anugerah selalu bersama anda tentang ucapan seorang
muadzdzin dihadapan seorang khothib dihari jumah :

? Apakah ini sebuah hadits ? Ataukah semua redaksinya dalam satu hadits
JAWAB :

Redaksi tersebut tidak terdapat keseluruhannya dalam satu hadits. Sedang ungkapan Muadzdzin
hingga lafadz selaras dengan yang tertera dalam kitab al-
Muwattha dari sebuah hadits yang panjang....Sedang ungkapan Muadzdzin
bukanlah sebuah hadits.

Dan ketahuilah bahwa ungkapan Muadzdzin dihadapan khothib tersebut adalah BIDAH SAYYIAH
memandang dua alasan :

1. Tergolong penambahan hukum syara atas diperlakukannya penambahan khutbah dalam dua
khutbah dan menjadikannya menduduki dua rakaat.

2. Seperti halnya menambahkan satu rakaat dalam shalat jumahDan dalam dua alasan tersebut tidak
terdapati kepentingan dalam tingkat darurat hingga ditemukan pemerkenannya bahkan
memungkinkan yang mereka ungkapkan masuk dalam rangkaian sebuah khutbah.

Fatawa al Romli II/172

YANG TERBAIK UNGKAPAN MUADZDZIN DIWAKTU KHUTBAH

Pada saat khatib naik mimbar, muraqqi bisa membaca :

sebagaimana telah lazim dilakukan. Meskipun hal ini termasuk bidah, namun bisa dikatagorikan
bidah hasanah, hal ini tidak diharamkan karena dibaca sebelum khatib berkhutbah. Untuk bacaan
muraqqi saat khatib duduk diantara dua khutbah bisa dengan shalawat sebagaimana biasa
dilakukan, tasbih, tahlil ataupun istighfar.

REFERENSI :

( : )
" " : . } { :










































PERINGATAN

Dapat diketahui dari keterangan yang telah lewat akan haramnya berbicara saat khutbah
berlangsung serta tidak haramnya ucapan Muraqqi saat naiknya khothib pada mimbar dengan
mengambil hadits Nabi Muhammad SAW :



Dan ungkapannya :

Karena kesemuanya dilaksanakan sebelum khutbah, namun bila dikerjakan dihadapan khothib maka
bidah yang dimakruhkan, al-Ajhuury memberi alasan tentang kemakruhannya Karena yang
demikian tidak pernah dinuqil dari nabi dan seorang sahabatpun dari sahabat-sahabat beliau, yang
demikian adalah kebiasaan yang dilakukan oleh orang-orang Syam.

Sedang pendapat lain menyatakan menghukuminya makruh perlu dikaji ulang karena yang
dilakukan Muraqqi tersebut adalah bentuk peringatan untuk tidak mengerjakan hal-halyang
diharamkan saat khutbah berlangsung, kiranya dapat tergolong tergolong bidah yang hasanah,
hadits yang tertutur diatas juga bukan hagits maudhu.

Sedang yang diucapkan Muaddzin saat khothib duduk antara dua khutbah diperbolehkan seperti
bilehnya membaca tasbih, tahlil, istighfar dan shalawat nabi saat adanya hal yang mendorongnya.

Al Fawakih ad Diwani III/190.

{
)
}


(


)
{





}










Imam ar-Romli ditanya atas ucapan yang dilakukan oleh Muraqqi didepan khothib :

Adakah yang demikian terdapat dalil asalnya dalam sunnah nabi ?Apakah yang demikian dikerjakan
dihadapan nabi SAW, para sahabat dan Tabiin sebagaimana yang sekarang dikerjakan oleh banyak
orang ?

Imam ar-Romli menjawab :Yang demikian tidakterdapat dalil sunnahnya, tidak terdapati hadits
ataupun dasarnya ataupun dikerjakan dihadapan Nabi, dan para khulafaaur rasyidiin.Adalah nabi
menunda-nunda dihari jumah hingga orang-orang berkumpul, saat mereka berkumpul, beliau keluar
dengan sendirinya tanpa komando yang menyeru dihadapannya, saat beliau memasuki masjid
terlebih dahulu memulai salam pada mereka, saat beliau naik mimbar beliau menghadap pada
mereka dengan muka beliau, kemudian beliau duduk dan sahabat Bilal mengumandangkan adzan,
setelah adzan usai, nabi langsung memulai khutbahnya tanpa terdapati pemisah antara adzan dan
khutbah beliau.

Maka dapat diketahui yang demikian adalah BIDAH hanya saja tergolong HASANAH sebab dalam
pembacaan ayat diatas mengandung peringatan dan anjuran untuk bershalawat pada Nabi
Muhammad SAW dihari jumah yang memang terdapat anjuran memperbanyak membacanya, dalam
pembacaan hadits diatas seusai adzan dan sebelum khutbah memberikan kesadaran pada orang
mukallaf agar meninggalkan pembicaraan yang diharamkan atau dimakruhkan diwaktu khutbah
berlangsung (terdapat perbedaan antara ulama tentang hukum berbicara saat khutbah
berlangsung), dan adalah baginda Nabi membaca hadits tersebut diatas mimbar saat khutbahnya.
Fatawa al Romli 2 halaman 172.

Wallaahu A'lamu Bis Showaab

HUkum muroqqi membaca sholawat diantara dua khutbah

Deskripsi Masalah

Lazim kita saksikan praktek sholat jum'ah dimasyarakat ketika khotib duduk diantara dua
khutbah biasanya muraqqi langsung membacakan sholawat. Fenomena ini menimbulkan
kebingungan, sebab disatu sisi kita dianjurkan menjawab sholawat, namun dalam kesempatan
yang sama ketika khotib duduk diantara dua khutbah merupakan saat yang mustajabah yang
semestinya harus kita gunakan untuk khusuk berdoa.

Pertanyaan :

a. Adakah dalil yang menganjurkan muraqqi membaca sholawat ketika khotib duduk diantara
dua khutbah?

Belum ditemukan dalil

b. Manakah yang harus diprioritaskan antara membaca sholawat dan berdoa?

Jawaban

Khotib dianjurkan membaca surat ikhlas, untuk hadirin disunnahkan berdoa.


Dasar Hukum
Mughni al Muhtaj 1 halaman 557
( ) ( )

. : :
: .
Fatawi al Kubro 1 252
) )

)
(



.

:





















.
Bujairimi ala al Khatib
{ :

}




{ :
}

:



:
}


{ :




}
{


:
.
c. Bagaimana sighat yang sesuai dengan tuntunan ulama' salaf bagi seorang muraqqi ? (LBM
)NU
Jawaban
Pada saat khatib naik mimbar, muraqqi bisa membaca




sebagaimana telah lazim dilakukan. Meskipun hal ini termasuk bidah, namun bisa
dikatagorikan bidah hasanah, hal ini tidak diharamkan karena dibaca sebelum khatib
berkhutbah. Untuk bacaan muraqqi saat khatib duduk diantara dua khutbah bisa dengan
shalawat sebagaimana biasa dilakukan, tasbih, tahlil ataupun istighfar.
Dasar Pengambilan Hukum
Al Fawakih ad Diwani III halaman 190
( ) :

} . " :


{ :
















"














Fatawa al Romli 2 halaman 172
( } { )













) (
{



}











































:

.
"" "" , ,
()
:
: :
.

.
1264. DEFINISI WATHI SYUBHAT

Rabu, 14 Maret 20120 komentar


PERTANYAAN :

Muchammad Khusain
Asslamualaikum. .
!Mao tnya,yg dsbut wathi syubhat itu wathi yg bgemana to?mhon pnjlsnya

JAWABAN :

>> Mbah Jenggot


Wa`alaikum salam



) ( 3 337

Keterangan :wathi syubhat terbagi tiga :

>>Syubhatul fail(pelaku), semisal orang yang menjima perempuan yang dianggap isterinya, namun
kenyataannya bukan.
>>Syubhatul machal(perempuannya), semisal orang yang menjima budak perempuan yang
musytarokah(milik bersama).
>>Syubhatut thoriq, semisal jima dari pernikahan tanpa wali (karena ada ulama yang
memperbolehkannya).

I`anah Juz 3 Hal 337


>>Awan As-Safaritiyy Asy-syaikheriyy

wathi' syubhat adlah wathi' yg tdk d sifati dng kebolehan dan keharoman.seperti ia menyangka
bhwa wanita lain itu adlah istriya kmudian ia menjima'y. tdk ada had dlm wathi syubhat.
kasyifatus saja 27

>>Toni Imam Tontowi

seperti seorang suami yang menggauli wanita yang disangka istrinya ternyata bukan maka wajib bagi
suami tadi mengeluarkan mahar mitsil.

>> Link Diskusi


http://www.facebook.com/groups/piss.ktb/permalink/323572130998935/
=======================

>> Coungkriyng CihUy

Assalamu'alaikum warohmatulloohi wabarokaatuh .


Afwan asatidz/asatidzah ,yang mau saya tanyakan jima' syubhat itu maksudnya bagaimana ? Soalnya
saya baru dengar pertama kali ..Mohon penjelasannya ..

>> Masaji Antoro

Wa'alaikum salam Warohmatullahi Wabarokaatuh

Wathi SYUBHAT adalah perbuatan senggama seseorang atas wanita yang dalam prasangkaanya halal
baginya.Menurut Syafiiyyah Wathi syubhat terbagi atas tiga macam :
SYUBHAT HUKMIYYAH/MAHAL
SHUBHAT FIIL/ISYTIBAAH
SHUBHAT THORIIQ

- 3: .
. .
.
. : .
. :
.
. :
. :
. .

. . (
) ) 1( .
__________
(1) 90 / 4 304 / 7 81 / 2 153 - 151 / 3 .

Al-Mausuuah al-Fiqhiyyah 25/341

8 - . :
:

:
.

Ulama Usshul Fiqh berbeda pendapat dalam menshifati kehalalan atau keharaman pelaku tindakan
kriminal akibat lupa.al-Asnawi berkata setelah menguraikan keterangan bahwa hukum adalah
ketetapan Allah yang berlaku pada tindakan-tindakan seorang mukallaf dalam kondisi ia berbuat dan
sadar/bukan dipaksa.
Wathi subhat yakni perbuatan senggama oleh seseorang atas wanita dengan berprasangka ia
istrinya misalnya, apakah perbuatannya dapat dikatakan halal atau haram ?

Apakah tidak berakibat dosa ? atau tidak berpautan dengan hukum apapun ?
Dalam hal ini memang terdapat tiga pendapat ulama namun yang paling shahih adalah pendapat
ketiga sebagaimana ungkapan an-Nawawy pada fatwanya dalam kitab an-Nikah Bahwa hukum halal
dan haram adalah bagian dari ketentuan-ketentuan syariat yang berkaitan khithabnya dengan
tindakan-tindakan orang mukallaf sedang orang lupa, salah dan sejenis bukanlah kategori orang
mukallaf.
Al-Mausuuah al-Fiqhiyyah 19/132

. - 4:
.
:
. .

HUKUM PELAKU TINDAKAN SYUBHAT

Kalangan Syafiiyyah menilai akan keharaman tindakan subhat Machal seperti menggauli wanita
sahaya yang dimiliki secara bersamaan karena terdapatnya ijma ulama akan keharaman kepemilikan
dan perbuatan semacam ini.

Sedang dalam SYUBHAT FILI maka tidak dapat dihukumi akan halal atau haramnya seperti bila
seseorang menggauli wanita yang ia sangka istrinya karena kondisi lalai secara kesepakatan ulama
bukanlah termasuk mukallaf.
Oleh karena Ijma Ulama menyatakan tidak terdapati dosa didalamnya, bila ketaklifan seseorang
tiada, tiada pulalah ketentuan hukum halal dan haram padanya, ini yang dimaksud pendapat ulama
Wathi Syubhat tiada dihukumi halal atau haram

Dalam masalah SYUBHAT THORIQ kalangan syafiiyyah menilai hukumnya tergantung pada pendapat
yang ia anut, bila ia menganut pendapat ulama yang mengharamkan maka haramlah perbuatannya,
bila tidak maka tidak haram.
Al-Mausuuah al-Fiqhiyyah 25/341

>> Coungkriyng CihUy Iyya

ko bisa ,,mngkin contoh k'adaanya sprt yg d.blg Muhammad Fatkhurozi Rozidiatas !!Klo si suami jelas
tidak tahu klo yg d.wathi' itu trnyta bkn istrinya , tpi teman si istri sudah tau itu suami temannya tpi
msi d.teruskan ,, (maaf sblmnya) ..Apa masi d.bilang syubhat ?Dosakah teman si istri ?Afwan kalau
terlalu banyak tanya ...

>> Masaji Antoro

Yups,, masih dihukumi Wathi Syubhat juga bila suami yang menggauli tersebut benar-benar tidak
tahu kalau yang digauli bukan istrinya

2 -
.
: :
.

Dan diwajibkan IDDAH juga akibah perpisahan sebab wathi syubhat seperti perempuan yang diwathi
akibat pernikahan yang rusak karena wathi syubhat dan pernikahan yang rusak seperti wathi dalam
pernikahan yang shahih dalam hal telah terpakainya rahim dan bertemunya nasab pada si penggaul
maka sama hukumnya dalam hal harus disterilkannya rahim agar tidak terjadi pencampuran nasab
dan sperma.Contoh wathi Syubhat : Bila seorang wanita menjalani malam pengantin pada lelaki
selain suaminya, dan para wanita berkata pada si lelaki sesungguhnya ia istrimu, kemudian si lelaki
pun menggauli wanita tersebut atas dasar ucapan para wanita tadi dan ternyata diketahui si wanita
memang bukan istrinya.
Al-Fiqh al-Islaam IX/594
Wallaahu A'laamu Bis Showaab

Secara etimologis pengertian wathi, memiliki makna memijak. Ada yang mengartikan wathi
dengan bersetubuh dengan perempuan. Adapun subhat secara etimologis adalah keraguan,
kebimbangan, tiada tentu.
Adapun pengertian wathi subhat secara istilah antara lain:
Menurut syara, wathi subhat adalah suatu perbuatan yang bisa mengugurkan seseorang
terhadap hukum (had). Contoh persetubuhan yang dilakukan laki-laki terhadap perempuan
karena menyangka bahwa yang disetubuhi adalah istrinya sendiri.
Menurut hukum normative, wathi subhat adalah hubungan batin antara laki-laki dan
perempuan tanpa adanya unsur kesengajaan. Kealpaan merupakan bentuk kesalahan yang
lebih ringan dari pada kesengajaan, akan tetapi juga bukan kesengajaan yang ringan. Contoh
seorang laki-laki dan perempuan yang sedang asyik mabuk-mabukan kemudian tanpa sadar
dan disengaja keduanya tidur bersama.
Menurut para fuqaha, di antaranya Madzhab al-Arbaah. Pada umumnya sama dalam
memberikan pengertin wathi subhat yakni sesuatu perbuatan yang mewajibkan seseorang
untuk membayar mahar dan sepadannya.
Kemudian dalam hal mahar dan had ini oleh Syafiiyah, Hanafiah, Malikiyah, dan
Hambaliyah memberikan ketentuan (tafsir) yang agak berbeda.
Dari berbagai pengertian wathi subhat, dapat dibedakan dua macam bentuk pengertian:
Subhat akad adalah manakala seorang laki-laki melaksanakan akad nikah dengan seorang
perempuan seperti halnya dengan akad nikah sah lainnya, tapi kemudian ternyata bahwa akad
nikah tersebut fasid karena satu dan lain alasan. Contoh, akad nikah non muslim terhadap
perempuan muslimah.
Subhat perbuatan adalah manakala seorang laki-laki mencampuri perempuan tanpa adanya
akad antara mereka berdua baik sah maupun fasid, karena tidak sadar atau dia meyakini
bahwa yang dia campuri itu halal baginya, tapi ternyata perempuan itu adalah haram
dicampuri. Contoh, seorang laki-laki menyetubuhi perempuan karena menyangka istrinya,
tapi ternyata yang disetubuhi itu bukan istrinya yang halal baginya.
Dari dua bentuk pengertian ini, oleh Abu Hanifah beliau memperjelas dan memperluas
pengertian subhat bentuk fili ini dengan pengertian yang sangat luas sekali ketika beliau
mengatakan, kalau ada seorang laki-laki mengambil seorang perempuan menjadi orang
upahannya, lalu dia menzinainya, atau mengupahinya untuk melakukan zina dengannya, lalu
dia benar-benar melakukan perbuatan itu, maka tidak ada had (hukuman zina atas keduanya).
Sebab pemilikan pemanfaatan atas perempuan itu merupakan sesuatu yang subhat.
Pada umumnya para ulama Sunni dan Syiah sependapat, bahwa manakala salah satu
pengertian di atas (subhat akad dan fili) telah terjadi maka si perempuan harus menjalani
iddah sebagaimana layaknya perempuan yang dicerai. Sama halnya dengan kewajiban
membayar mahar secara penuh kepadanya oleh seorang laki-laki serta perempuan tersebut
dihukumi sebagaimana halnya seorang istri (yang sah) dalam hal iddah, mahar dan penentuan
nasab.
Jika subhat tersebut terjadi kepada kedua belah pihak (laki-laki dan perempuan), maka anak
yang dihasilkan dari hubungan tersebut dikaitkan (nasabnya pada keduanya). Sedangkan bila
hanya terjadi pada salah satu pihak, maka anak tersebut dikaitkan nasabnya hanya pada orang
yang menjalani kesubhatan dan ditiadakan dari yang tidak mengalaminya.
Iddah Wati' Syubhat Menurut Imam Syafi'i dan Imam Maliki
BAB IV
ANALISI IDDAH WANITA YANG DISETUBUHI SECARA SYUBHAT MENURUT
IMAM SYAFII DAN IMAM MALIKI
A. Pendapat Imam SyafiI Mengenai Iddah Wanita Yang Disetubuhi Secara Syubhat.
.
.]1[ .

2[.]
Di atas telah disebutkan bahwa Imam Syafii mengartikan iddah sebagai masa untuk
menunggu bagi seorang wanita untuk mengetahui kesucian rahimnya, untuk bertaabud
(beribadah) atau untuk berduka karena ditinggal mati suaminya. Imam Syafii berpendapat
bahwa diwajibkannya iddah ialah untuk menghormati ( sperma dari suami yang
telah berubah menjadi darah bakal calon anak).
Imam Syafii mewajibkan iddah bagi wanita yang telah disetubuhi, baik dengan akad shaheh,
yaitu pernikahan yang sah, akad fasid (rusak), yaitu pernikahan tanpa wali, tanpa saksi dan
pernikahan yang berstatus sebagai muhrimnya dan persetubuhan yang terdapat syubhat di
dalamnya.
Imam Syafii mensyaratkan untuk selesainya iddah dengan kelahiran, agar anak yang
dikandungnya bernasab kepada laki-laki yang mempunyai hak dalam beriddah. Imam Syafii
mengkategorikan laki-laki yang mempunyai hak dalam beriddah bagi persetubuhan dengan
akad shaheh, akad fasid (rusak) dan persetubuhan yang terdapat syubhat di dalamnya.
a. Implementasi Iddah Wanita yang Disetubuhi Secara Syubhat
Iddah menurut Imam Syafii adalah

Iddah adalah masa menunggu seorang wanita untuk mengetahui kesucian atau kekosongan
rahimnya, bertabud (beribadah) atau untuk berduka karena ditinggal mati suaminya.

Dari definisi tersebut, Imam Syafii mewajibkan iddah bagi wanita yang disetubuhi secara
syubhat melalui perkataannya . Dari alasan tersebut, Imam Syafii
menyamakan iddah persetubuhan syubhat ini dengan iddah talak dalam keadaan hamil.
Karena hal tersebut mempunyai kesamaan, yaitu adanya persetubuhan (wati) yang telah
dilakukan oleh laki-laki dan perempuan tersebut sebagaimana terjadi antara suami dan istri.
b. Dasar hukum iddah persetubuhan syubhat
Persetubuha syubhat menurut Imam Syafii adalah persetubuhan yang dilakukan antara laki-
laki dan perempuan, yang mereka menyangka bahwa itu adalah pasangannya tetapi
sebenarnya bukan. Persetubuhan syubhat bukan termasuk zina menurut Imam Syafii, karena
di antara keduanya mempunyai keyakinan bahwa itu adalah pasangannya dan berada pada tali
pernikahan yang sah.
Apabila terjadi persetubuhan syubhat, Imam Syafii mewajibkan iddah kepada wanita
tersebut untuk memastikan kesucian pada rahimnya. Hal ini berdasarkan perkataan Imam
Syafii mengenai definisi iddah

Artinya: Iddah adalah masa menunggunya seorang wanita untuk mengetahui kesucian
rahimnya.
Dari pernyataan di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa iddah wanita yang disetubuhi secara
syubhat disamakan dengan wanita yang ditalak dalam keadaan hamil. Sebagaimana firman
Allah SWT:
4 Ms9'r&ur A$uHqF{$# `g=y_r& br& z`t `gn=Hxq
Artinya :Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu adalah sampai
mereka melahirkan kandungannya. (QS. Al-Thalaq: 4)

Jika laki-laki yang menyetubuhinya meninggal dunia, maka sang wanita harus menjalani dua
iddah (iddah hamil dan iddah ditinggal mati suaminya). Sebagaimana firman Allah SWT:
t%!$#ur tbquqtF N3ZB tbr x t ur %[`urr& z`-/u tIt
`gRr'/ spyt/ r& 9k-r& #Z tur ( #s*s z`n=t/ `gn=y_r& xs
yy$oY_ /3 n=t $yJ z`=ys `gRr& $ryJ9$$/ 3 !$#ur $yJ/
tbq=yJs? 6yz
Artinya :Dan orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan istri-
istri (hendaklah para istri) menangguhkan dirinya (beriddah) empat bulan sepuluh hari. (QS.
Al Baqarah: 234)

Dan perkataan Imam Syafii mengenai syarat iddah wanita yang hamil:
3[]
Artinya: Agar ada yang dikandungnya bernasab kepada laki-laki yang mempunyai hak
dalam beriddah.

c. Syarat-syarat iddah persetubuhan syubhat


Dalam setiap pekerjaan dan perbuatan pasti memiliki syarat-syarat yang perlu dipenuhi yang
akan menentukan sah tidaknya suatu pekerjaan. Karena makna syarat adalah:
4[]
Artinya: Sesuatu yang menentukan sah tidaknya pekerjaan dan sesuatu tersebut bukan
bagian dari pekerjaan tersebut.

Kemudian penulis mengkaitkan hal tersebut dengan iddah persetubuhan syubhat yang
pastinya harus memiliki persyaratan-persyaratan, dalam artian apabila syarat tersebut tidak
ada, maka sang wanita tidak diwajibkan untuk menjalani masa iddah.
Adapun syarat- syarat iddah persetubuhan syubhat menurut Imam Syafii adalah:
1) Terjadinya persetubuhan (wati) di antara keduanya.
2) Adanya kesyubhatan dalam persetubuhan (wati) yang dilakukan, baik dalam bentuk
objek, dugaan pelaku, jihat dan aspek hukum.
3) Keduanya harus dalam keadaan berakal, karena orang yang gila tidak dibebankan
hukum walaupun ia melakukan kesalahan. Rasulullah SAW bersabda:
(
5[)]
Artinya: Diangkatnya pena (untuk tidak mencatat kesalahan) dari tiga golongan, dari orang
yang tidur sampai ia bangun, dari anak kecil sampai ia mimpi (baliq) dan dari orang gila
sampai ia sembuh (HR. Abu Dawud dan Thirmidzi).

4) Baligh.

d. Tujuan iddah persetubuhan syubhat


Seperti halnya iddah-iddah yang lain, iddah persetubuhan syubhat juga memiliki tujuan.
Karena tidak mungkin Allah SWT mewajibkan atas suatu perkara namun tidak memiki tujuan
tersendiri. Adapun tujuan iddah persetubuhan syubhat adalah:
1) Untuk menjaga dan memelihara jika terdapat bayi di dalam kandungannya.
2) Menunaikan ibadah yang telah disyariatkan Allah SWT. Sebagaimana yang telah
dipaparkan oleh Imam Syafii tentang definisi iddah ( untuk
mengetahui kesucian rahimnya atau untuk menunaikan ibadah).
3) Untuk menghormati persetubuhan yang dilakukan walaupun terdapat kekeliruan.

B. Pendapat Imam Maliki Mengenai Iddah Wanita Yang Disetubuhi Secara Syubhat.
.

6[]
Kalau Imam Syafii mendefinisikan iddah sebagai masa menunggu, Imam Maliki
mengartikannya sebagai masa yang mencegah wanita untuk melangsungkan sebuah
pernikahan setelah terjadinya talak, rusaknya pernikahan atau ditinggal mati suaminya.
Dari hal tersebut dapat disimpulkan bahwa Imam Maliki tidak mewajibkan iddah bagi wanita
yang melakukan persetubuhan dengan akad yang fasid, adanya syubhat dan perzinahan.
Imam Maliki mengibaratkan syubhat sebagai sesuatu yang tidak disengaja. Apabila seseorang
melakukan sesuatu dengan tidak sengaja, seperti seorang suami yang telah menceraikan
istrinya dengan talak bain kemudian ia menyetubuhinya dalam keadaan lupa atau seorang
suami yang hendak melakukan ritual bersama istrinya (jima) kemudian ia salah menyetubuhi
dan seseorang yang baru masuk Islam yang belum mengerti bahwa berzina itu haram. Itu
semua masuk ke dalam golongan syubhat menurut Imam Maliki.
a. Implementasi iddah wanita yang disetubuhi secara syubhat
Menurut Imam Malik iddah adalah

Artinya: Masa yang mencegah seorang wanita untuk melangsungkan pernikahan dengan
sebab talak, ditinggal mati suami atau rusaknya pernikahan.

Dari definisi yang dikemukakan di atas, Imam Maliki tidak mewajibkan iddah bagi wanita
yang disetubuhi (wati) secara syubhat dan Imam Maliki mewajibkan iddah kepada seorang
wanita yang sudah berada dalam tali pernikahan sehingga persetubuhan syubhat tidak
terdapat tali pernikahan di dalamnya. Oleh karena itu, Imam Maliki menyamakan
persetubuhan syubhat dengan zina. Wanita tersebut harus mensucikan dirinya dalam waktu
yang sama dengan iddah.
Apabila wanita yang bezina terkena hukuman had, maka wanita yang disetubuhi secara
syubhatpun harus melaksanakan hukuman had. Akan tetapi, karena persetubuhan syubhat
adalah persetubuhan yang keliru gugurlah hukuman hadd dengan alasan ketidak tahuan dari
kedua belah pihak dan keyakinan yang ada dalam hati mereka bahwa itu adalah pasangannya.
b. Dasar hukum iddah persetubuhan syubhat
Imam Maliki dalam kasus iddah persetubuhan syubhat tidak mewajibkan kepada sang wanita
untuk menjalani masa iddah, akan tetapi ia harus menunggu seukuran iddah. Sebagaimana
perkataan Imam Maliki.

7[]
Artnya: Dan dengan hal tersebut (definisi iddah di atas), diketahui bahwasannya
persetubuhan (wati) dengan akad yang rusak, persetubuhan syubhat dan persetubuhan zina
tidak diwajibkan untuk beriddah dengan makna ini (definisi iddah di atas), akan tetapi salah
satu dari setiap persetubuhan tersebut harus mensucikan rahimnya seperti ukuran iddah.
Imam Maliki menyamakan iddah persetubuhan syubhat dengan zina sebagaimana yang
dikemukakan Syeikh Kamil Muhammad Uwaidah:
Zina adalah hubungan badan yang dilakukan antara laki-laki dan perempuan tanpa melalui
pernikahan yang sah, baik melalui alat kelamin atau dubur[8]
c. Syarat-syarat iddah persetubuhan syubhat
Adapun syarat-syarat iddah persetubuhan syubhat menurut Imam Maliki adalah seperti yang
dikemukakan menurut Imam Syafii, antara lain:
1) Terjadinya persetubuhan (wati) di antara keduanya.
2) Adanya kesyubhatan dalam persetubuhan (wati) yang dilakukan, baik dalam bentuk
objek, dugaan pelaku, jihat dan aspek hukum.
3) Berakal, dan
4) Baliq

d. Tujuan iddah persetubuhan syubhat


Karena Imam Maliki tidak mewajibkan iddah bagi wanita yang disetubuhi secara syubhat dan
beliau hanya mengharuskan kepadanya untuk menunggu seukuran iddah, hal ini bertujuan
untuk ( mensucikan rahimnya). Karena persetubuhan adalah penyabab
terbentuknya janin di dalam rahim seorang wanita, hal itu mengharuskan kepada sang wanita
untuk menunggu seukuran iddah agar tidak terjadi ketidak jelasan nasab apabila ia ingin
menikah.
C. Analisis Penulis Mengenai Pendapat Imam Syafii dan Imam Maliki Tentang Iddah
Wanita Yang Disetubuhi Secara Syubhat.
Berdasarkan hasil penelitian mengenai iddah persetubuhan syubhat yang telah dikemukakan
oleh Imam syafii dan Imam Maliki di atas, penulis menemukan beberapa perbedaan di antara
keduanya.
Imam Syafii mewajibkan iddah bagi wanita yang disetubuhi secara syubhat dengan
berdasarkan dalil mengenai salah satu tujuan dan hikmah diwajibkannya iddah kepada
wanita, yaitu untuk mengetahui kesucian rahim dari sang wanita. Apabila hal tersebut
dijalankan oleh sang wanita, maka hal itu dapat menghindari dari ketidak jelasan nasab bagi
janin yang dikandungnya. Selain itu, Imam Syafii menyamakan iddah persetubuhan syubhat
disini seperti halnya iddah wanita yang ditalak suaminya dalam keadaan hamil.
Sedangkan Imam Maliki tidak mewajibkan beriddah bagi wanita yang disetubuhi secara
syubhat, karena menurut beliau hal tersebut sama seperti zina dan seharusnya hukuman hadd
harus diberikan kepada sang pelaku, karena ada faktor kesyubhatanlah hukuman hadd dapat
terlepas darinya. Namun Imam Maliki masih tetap mengharuskan menunggu kepada sang
wanita sampai rahimnya benar-benar bersih dari janin.
Menurut pengamatan penulis Imam Syafii dan Imam Maliki sama-sama mengharuskan
beriddah bagi wanita yang disetubuhi secara syubhat, tetapi Imam Sayfii lebih tegas dalam
menghukumi permasalahan ini dengan mewajibkan menjalankan iddah bagi wanita yang
disetubuhi secara syubhat dan itu merupakan pendapat yang paling rajeh (kuat).
Sedangkan Imam Maliki hanya mengharuskan menunggu seukuran iddah baginya dengan
alasan untuk memastikan kebersihan rahim wanita tersebut. Menurut penulis pendapat Imam
Maliki kurang rajeh (kuat), karena kalau hanya diharuskan saja kemungkinan untuk
dijalankan sangat kecil sekali. Apalagi hal tersebut berhubungan dengan sunnah Rasulullah
SAW, yaitu pernikahan. Rasululllah SAW bersabda

Nikah adalah sunnahku, maka barangsiapa yang enggan akan sunnahku maka ia tidak
termasuk golonganku.

Pernikahan ialah jalan yang diperbolehkan oleh Islam untuk dapat melakukan hubungan
seksual antara laki-laki dan perempuan. Oleh karenanya, kalau seorang wanita yang
disetubuhi secara syubhat hanya diharuskan saja untuk menunggu seukuran iddah hal ini agak
sulit. Mungkin kita tahu bahwa wanita diberikan nafsu oleh Allah SWT lebih banyak dari
pada laki-laki. Jadi apabila nafsu tersebut tidak dilampiaskan di jalan yang benar, maka akan
berakibat pada sesuatu yang memudhorotkan.
Untuk syarat-syarat dari iddah persetubuhan syubhat menurut padangan Imam SayfiI dan
Imam Maliki tidak ada perbedaan sedikitpun. Adapun syarat-syaratnya ialah:
1) Terjadinya persetubuhan (wati) di antara keduanya.
2) Adanya kesyubhatan dalam persetubuhan (wati) yang dilakukan, baik dalam bentuk
objek, dugaan pelaku, jihat dan aspek hukum.
3) Berakal, dan
4) Baliq.
Mengenai relevansi iddah persetubuhan syubhat dari pandangan dua Imam ini, penulis lebih
condong pada pendapat Imam Syafii sebab apabila hal tersebut diterapkan pada zaman
sekarang yang rata-rata penduduknya ingin serba cepat dan instan serta ditambah kurangnya
pengetahuan agama mereka, pendapat Imam Syafii sangatlah tepat dengan mewajibkan
iddah bagi wanita yang disetubuhi secara syubhat. Dari kata wajib itulah yang membuat
penulis sangat setuju, karena sesuatu yang wajib apabila tidak dilaksanakan, maka akan wajib
pula hukuman bagi yang tidak melaksanakannya. Sebagaimana arti dari kata wajib:


Artinya: Wajib adalah suatu perkara yang diberikan pahala atas pelaksanaannya dan
diberikan hukuman atas ditinggalkannya.

Iddah persetubuhan syubhat yang telah dipaparkan Imam Syafii dan Imam Maliki
mempunyai beberapa kontribusi, baik bagi sang wanita itu sendiri, laki-laki ataupun janin
yang ada dalam rahimnya, di antaranya:
i. Seorang laki-laki dan perempuan dapat memahami betapa tegasnya ajaran
Islam, hingga masalah yang tidak disengaja dan tidak diketahui seperti persetubuhan syubhat
harus mendapatkan hukuman berupa iddah.
ii. Dengan adanya iddah (masa menunggu) terhadap seorang wanita yang
disetubuhi secara syubhat dapat menghindari ketidak jelasan nasab bagi anak yang ada dalam
rahimnya.
iii. Menjadikan suatu ladang amal bagi sang wanita ketika ia menjalani iddah,
sebagaimana yang diutarakan oleh Imam Syafii.
ASAKH DALAM HUKUM ISLAM
A. Pengertian Fasakh Nikah
Arti fasakh menurut bahasa ialah rusak atau putus. Fasakh berarti memutuskan pernikahan,
perkara ini hanya diputuskan apabila pihak isteri membuat pengaduan kepada Mahkamah dan
hakim. Menurut pendapat yang lain fasakh adalah rusak atau putusnya perkawinan melalui
pengadilan yang hakikatnya hak suami-istri di sebabkan sesuatu yang diketahui setelah akad
berlangsung. misalnnya suatu penyakit yang muncul setelah akad yang menyebabkan pihak lain
tidak dapat merasakan arti dan hakikat sebuah perkawinan. Fasakh disyariatkan dalam rangka
menolak kemudaratan dan diperbolehkan bagi seorang istri yang sudah mukallaf atau baligh dan
berakal.1[1]

Suami memiliki hak menalak, sedangkan bagi pihak istri disediakan lembaga fasakh. Dengan
demikian, keduanya memiliki hak yang sama dalam upaya menghapus atau mencabut suatu ikatan
rumah tangga karena adanya penyebab tertentu yang dibenarkan menurut hukum. Fasakh bisa
terjadi karena tidak terpenuhinya syarat-syarat ketika akad berlangsung akad nikah atau hal-hal lain
yang datang kemudian dan membatalkan kelangsungan perkawinan.2[2]
1. Fasakh karena syarat syarat yang tidak terpenuhi ketika akad nikah
a. Setelah akad nikah, ternyata diketahui bahwa istrinya adalah saudara kandung atau saudara
sesusuan pihak suami.
b. Suami istri masih kecil, dan diadakan akad nikah oleh selain ayah atau datuknya. Kemudian setelah
dewasa dia berhak meneruskan ikatan perkawinannya yang dahulu atau mengakhirinya. Cara seperti
ini disebut khiyar baligh. Jika yang dipilih mengakhiri ikatan suamu istri, maka hal ini disebut fasakh
bailgh.

2. Fasakh karena hal hal yang datang setelah akad


a. Bila dari salah satu suami istri murtad atau keluar dari agama islam dan tidak mau kembali sama
sekali, maka akadnya batal (fasakh) karena kemurtadannya belakangan.
b. Bila suami yang tadinya kafir maka masuk islam, tapi istri masih tetap dalam kekafirannya yaitu tetap
menjadi musrik, maka akadnya batal (fasakh). Lain hal kalau istri orang ahli kitab, maka akadnya
akan tetap sah seperti semula. Sebab perkawinannya dengan ahli kitab dari semuanya dipandang
sah.

Pisahnya suami istri sebab fasakh berbeda dengan pisahnya karena talak. Sebab talak ada talak
raji dan talak bain. Talak raji tidak mengakhiri ikatan suami istri dengan seketika, sedangkan talak
bain mengakhirinya seketika itu juga. Adapun fasakh, baik yang terjadi belakangan ataupun karena
adanya syarat-syarat yang tidak terpenuhi, ia mengakhiri perkawinan seketika itu.

Pendapat lain mengatakan fasakh artinya merusak akad nikah bukan meninggalkannya. Pada
hakikatnya fasakh ini lebih keras dari pada khulu, dan ubahnya seperti melakukan khulu pula.
Artinya dilakukan oleh piha perempuan disebabkan beberapa hal. Perbadaannya adalah, khulu
diucapkan oleh suami sendiri, sedangkan fasakh diucapkan oleh qadi nikah setelah istri mengadu
kepadanya dengan memulangkan maharnya kembali.3[3]

3. Sebab-sebab terjadinya fasakh.


Disamping fasakh terjadi karena kedua syarat-syarat tersebut di atas, maka ada beberapa hal
yang menyebabkan juga terjadinya fasakh, yaitu sebagai berikut:
a. Karena ada balak (penyakit belang kulit)
Rasulullah SAW bersabda :
Dari kaab bin Zaid ra. bahwasannya Rosulullah saw. telah menikahi salah seoranng perempuan
bani Gafar. Maka tatkala ia akan besetubuh dan perempuan itu telah meletakan kainnya, dan ia
duduk di atas pelaminan, kelihatanlah putih (balak) di lambungnya lalu beliau berpaling (pergi dari
pelaminan itu) seraya berkata, ambillah kain engkau, tutuplah badan engkau, dan beliau tidak
meyuruh mengambil kembali barang yang telah diberikan kepada perempuan itu. (H.R. Ahmad dan
Baihaqi)
Menurut keterangan disebutkan bahwa hadits tersebut adalah dhaif. Dalam hal ini pengarang
kitab sabulussalam berkata, mengenai hal-hal yang membolehkan berpalingnya seseorang (suami
atau istri) dalam perkawinan timbul perbedaan pendapat di kalangan ulama.

Ibnu Qayyim mengatakan bahwa, tiap-tiap aib menyebabkan berpalingnya suami atau istridan
tidak tercapainya hubungan harmonis dalam perkawinan ini dibolehkannya khiyar (memilih atau
meneruskan perkawinan itu stau tidak). Dan inilah khiyar yang utama daripada khiyar dalam jual
beli.

Sebagaimana halnya syarat-syarat yang disebutkan dalam perkawinan adalah lebih utama
disempurnakan daripada syarat-syarat yang disebutkan dalam jual beli.4[4]

b. Karena gila.
c. Karena canggu (penyakit kusta).
Nabi Muhammad SAW bersabda :
Dari Umar r.a berkata, bilamana seorang laki-laki menikahi seorang perempuan, lalu dari
perempuan itu terdapat tanda-tanda gila, atau kusta, atau balak, lalu disetubuhinya perempuan itu,
maka hak baginya menikahinya dengan sempurn. Dan demikian itu hak bagi suaminya hutang bagi
walinya. (H.R. Malik dan Asy Syafii)
d. Karena ada penyakit menular padanya, seperti sipilis, TBC, dan lain-lain.
Di jelaskan dalam suatu riwayat :
Dari syaid bin Musayyabah r.a berkata, barang siapa diantara laki-laki yang menikah dengan
seorang perempuan, dan pada laki-laki ini ada tanda-tanda gila, atgau ada tanda-tanda yang dapat
membahayakan, sesungguhnya perempuan itu boleh memilih. Jika dikehendakinya boleh bercerai
(H.R. Malik)
e. Karena ada daging tumbuh pada kemaluan perempuan yang menghambat maksud perkawinan
(bersetubuh)
Dari Ali r.a beliau berkata, Barang siapa laki-laki yang mengawini perempuan lalu dukhul dengan
perempuan itu, maka diketahuinya perempuan itu terkena balak, gila, atau berpenyakit kusta, maka
hak baginya maskawinnya dengan sebab menyentuh (mencampuri) perempuan itu, dan mas kawin
itu hak bagi suami (supaya dikembalikan) dan utang di atas orang yang telah menipunya dari
perempuan itu. Dan kalau didapatinya ada daging tumbuh (di farjinya, hingga menghalangi jima)
suami itu boleh khiyar. Apabila ia telah menyentuhnya, maka hak baginya mas kawin sebab barang
yang telah dilakukannya dengan farjinya. (H.R. Said bin Mansur)
f. Karena unah, yaitu zakar atau impoten (tidak hidup untuk jima), sehingga tidak dapat mencapai
apa yang dimaksud dengan nikah.
Dari Said bin Musayyad r.a berkata, Umar bin Khatab telah memutuskan bahwasannya laki-laki
yang unah diberi janji satu tahun. (H.R. Said bin Mansur)
Fasakh artinya merusak akad nikah, bukan meninggalkan pada hakikatnya fasakh ini lebih keras
daripada khuluk, dan tidak ubahnya seperti melakukan khuluk juga. Artinya dilakukan oleh pihak
perempuan disebabkan oleh beberapa hal. Perbedaannya adalah khuluk diucapkan oleh suami
sendir, sedangkan fasakh diucapkan oleh qadi nikah setelah istri mengadu kepadanya, dengan
memulangkan maharnya kembali.5[5]
Disamping itu fasakh juga bisa terjadi karena sebab-sebab sebagai berikut:

a. Perkawinan yang dilakukan oleh wali dengan laki-laki yang bukan jodohnya, umpamanya; budak
dengan merdeka, orang pezina dengan orang terpelihara, dan sebagainya.
b. Suami tidak mau memulangkan istrinya, dan tidak pula memberikan brlanja sedang istrinya itu tidak
rela.
c. Suami miskin, setelah jelas kemiskinannya itu oleh beberapa orang saksi yang dapat dipercaya,
sehingga ia tidak sanggup lagi memberi nafkah, baik pakaian yang sederhana, tempat ataupun
karena mas kawinya belum dibayarkannya sebelum campur.

B. Pelaksanaan Fasakh
Apabila terdapat hal-hal atau kondisi penyebab fasakh itu jelas, dan dibenarkan syara, maka
untuk menetapkan fasakh tidak diperlukan putusan pengadilan. Misalnya, terbukti bahwa suami istri
masih saudara kandung, saudara susuan, dan sebaginya.
Akan tetapi, bila terjadi hal-hal seperti berikut, maka pelaksanaanya adalah:

1. Jika suami tidak memberi nafkah bukan karena kemiskinannya sedang hakim telah pula memaksa ia
untuk itu. Dalam hal ini hendaklah diadukan terlebih dahulu kepada pihak yang berwenang, seperti;
Qadi nikah di Pengadilan Agama, supaya yang berwenang dapat menyelesaikannya sebagaimana
mestinya, seperti dijelaskan dalam riwayat berikut:

Artinya:

Dari Umar r.a bahwa ia pernah berkirim surat kepada pembesar-pembesar tentara, tentang laki-
laki yang telah jauh dari isteri-isteri mereka supaya pemimpin-pemimpin itu menangkap merekaagar
mereka mengirimkan nafkah, atau menceraikan isterinya. Maka bila mmreka telah menceraikannya,
hendaklah mereka kirim semua nnafkah yang telah mereka tahan.

(H.R. Asy-Syafii dan Al-Baihaqi)

2. Setelah hakim memberi janji kepadanya sekurang-kurangnya tigan hari mulai dari hari istri mengadu.
Bila masa perjanjiann itu telah habis, sedangkan si suami tidak juga dapat menyelesaikannya,
barulah hakim memfasakhkan nikahnya. Atau dia sendiri yang memfasakhkan di muka hakim setelah
diizinkan olehnya.
Rosulullah SAW bersabda :

Dari Abu Hurairah r.a Rosulullah Saw. bersabda tentang yang tidak memperoleh apa yang telah
dinafkahkannya kepada isterinya, bolehlah keduanya bercerai.

(H.R. Darutqutni dan Al-Baihaqi)

Di kalangan ulama terjadi perbedaan pendapat mengenai waktu pelaksanaannya fasakh akad
nikah. Abdurrahman Al-Zajiri mengemukakan pendapat ulama Hanabilah bahwa apabila suami
murtad bersama-sama setelah dukhul atau sebelum dukhul, nikahnya batal dan harus diceraikan.
Dan tidak putus nikahnya sebelum masa iddahnya habis, sehingga diantara masih ada waktu untuk
bertobat. Apabila masih tetap dalam kemurtadannya pernikahannya fasakh.6[6]
Ulama Hanafiyah, Malikiyah, dan Hanabilah menurut Hasbi Ash-Shidiqie dalam suatu riwayat
mengatakan jika dari salah satu suami atau istri murtad, perceraiannya harus disegerakan demi
menjaga tauhid dari salah satunya. Jika yang murtad adalah suaminya yang lebih kuat mengajak
mengajak istrinya untuk ikut murtad. Perceraian disebabkan oleh alasan kemurtadan tersebut dan
bukan alasan lainnya.

Dalam penyelesaian proses penyelesaian masalah fasakh terdapat persyaratan persyaratan tertentu
yaitu7[7]:

Mengajukan perkara kepada hakim atau pengadilan.


Keadaan suami sudah mukallaf.
Pihak istri keberatan dengan keadaan suaminya yang mengalami impoten atau murtad, demikian
pula pihak suami merasa kemurtadan istri dan berbagai penyakit yang dideritanya.
Di Indonesia, masalah pembatalan perkawinan diatur dalam kompilasi hukum islam (KHI) sebagai
berikut8[8]:
1. Seorang suami dan isteri dapat mengajukan permohonan pembatalan pernikahan apabila
pernikahan dilangsungkan di bawah ancaman yeng melanggar hukum.
2. Seorang suami dan istri dapat mengajukan permohonan pembatalan pernikahan apabila pada waktu
berlangsungnya pernikahan terjadi penipuan atau salah sangka mengenai diri suami atau isteri.
3. Apabila ancaman telah berhenti, maka bersalah sangka itu menyadari keadaannya, dan dalam jangka
waktu enam bulan setelah itu masih tetap hidup sebagai suami isteri, dan tidak menggunakan
haknya untuk mengajukan permohonan pembatalan, maka haknya gugur.
Adapun yang berhak mengajukan permohonan pembatalan pernikahan adalah:
a) Para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dan ke bawah dari suami atau isteri.
b) Suami dan istri.
c) Pejabat yang berwenang mengatasi pelaksanaan pernikahan menurut undang-undang.
d) Para pihak yang berkepentingan yang mengetahui adanya cacat dalam rukun dan syarat pernikahan
menurut hukum Islam dan Peraturan Perundang-Undangan.

Selanjutnya dalam Kompilasi Hukum Islam juga dijelaskan hal-hal sebagai berikut:
1. Permohonan pembatalan pernikahan dapat diajukan kepada Pengadilan Agama yang mewilayahi
tempat tinggal suami atau isteri, atau tempat pernikahan dilangsungkan.
2. Batalnya suatu pernikahan dimulai setelah Putusan Pengadilan Agama mempunyai kekuatan hukum
yang tetap dan berlaku sejak berlangsungnya pernikahan.

C. Akibat Hukum Fasakh


Pisahnya suami isteri akibat fasakh berbeda dengann yang diakibatkan oleh talak. Sebab ada
talak bain dan talak raji. Talak raji tidak mengakhiri ikatan suami isteri dengan seketika. Sedangkan
talak bain mengakhirinya seketika itu juga.9[9]
Adapun fasakh, baik karena hal-hal yang datang belakangan ataupun karena adanya syarat-syarat
yang tidak terpenuhi, maka ia mengakhiri ikatan pernikahan seketika itu.
Selain itu, pisahnya suami isteri yang diakibatkan talak dapat mengurangi bilangan talak itu
sendiri. Jika suami menalak isterinya dengan talak raji, kemudian kembali pada masa iddahnya, atau
akad lagi setelah habis masa iddahnya dengan akad baru, maka perbuatannya terhitung satu talak,
yang berarti ia masih ada kesempatan dua kali talak lagi.

Sedangkan pisahnya suami isteri karena fasakh, hal ini tidak berarti mengurangi bilangan talak,
meskipun terjadinya fasakh karena khiyar baligh, kemudian kedua suami isteri tersebutmenikah
dengan akad baru lagi, maka suami tetap memiliki kesempatan tiga kali talak.

Ahli fiqih golongan Hanafi membuat rumusan umum untuk membedakan pengertian pisahnya
suami isteri sebab talak dan sebab fasakh. Mereka berkata Pisahnya suami isteri karena suami, dan
sama sekali tidak ada penngaruh isteri disebut talak. Dan setiap perpisahan suami isteri karena
isteri, bukan karena suami, atau karena suami tetap dengan pengaruh dari isteri disebut fasakh.

Mengenai masa pelaksanaan fasakh, terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama.

Imam Syafii berkata, Harus menunggu selama tiga hari. Sedangkan Imam Malik mengatakan,
Harus menunggu selama satu bulan. Dan Imam Hambali mengatakan Harus menunggu selama
satu tahun.

Semua itu maksudnya adalah selama masa tersebut laki-laki boleh mengambil keputusan akan
bercerai atau memberikan nafkah bila isteri tidak rela lagi.
Kalau si isteri mau menunggu, dan rela dengan ada belanja dari suaminya, maka tidak perlu
difasakhkan sebab nafkah itu adalah haknya.

Bunyi lafal fasakh itu umpamanya: Aku fasakhkan nikahmu dari sujamimu yang bernama ... bin
... pada hari ini

Kala fasakh itu dilakukan oleh isteri sendiri di muka hakim, maka ia berkata: Aku fasakhkan
nikahku dari suamiku yang bernama ... bin ... pada hari ini. Setelah fasakh itu dilakukan, maka
perceraian itu dinamakan talak bain. Kalau suami hendak kembali kepadanya, maka harus dengan
nikah lagidengan akad baru. Sedang iddahnya sebagai iddah talak biasa.

Anda mungkin juga menyukai