Anda di halaman 1dari 9

Hukum Potong Kuku Dan Rambut ketika Haid dan Nifas

Soal: Bolehkah seorang wanita memotong kuku atau rambut pada saat haid atau nifas ?
Haruskah rambut dan kuku yang dipotong saat haidh, nifas atau janabah dikumpulkan untuk
dicuci bersamaan saat mandi?

Jawab:

Memotong kuku demikian pula membersihkan rambut di sekitar kemaluan atau mencabut
bulu ketiak termasuk fitrah, disyareatkan dalam islam sebagaimana disebutkan dalam riwayat
shahih dari Rasulullah saw.

Syareat ini berlaku umum bagi laki-laki atau wanita dalam segala keadaan baik suci atau
tidak. Kecuali jika seorang dalam keadaan ihram (haji atau umrah) ketika itu dilarang –baik
lelaki atau wanita, suci atau berhadats- dengan sengaja menggunting kuku atau mencukur
rambut.

Walhasil, seorang wanita dalam keadaan haidh, nifas atau hadats besar tidak ada halangan
untuk melaksanakan sunah fitrah ini, tidak ada dalil yang melarang. Silahkan menggunting
kuku atau membersihkan rambut walaupun masih dalam keadaan haidh, nifas atau hadats
akbar.

Tidak terdapat riwayat yang melarang wanita haid untuk memotong kuku maupun rambut.
Demikian pula, tidak terdapat riwayat yang memerintahkan agar rambut wanita haid yang
rontok untuk di cuci bersamaan dengan mandi besar.

Bahkan sebaliknya, Rasulullah saw membolehkan wanita haid menyisir rambutnya, padahal
bisa dipastikan adanya rambut yang rontok saat wanita menyisir. Disebutkan dalam hadis dari
A’isyah, bahwa ketika Aisyah mengikuti haji bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
sesampainya di Mekkah beliau mengalami haid. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda kepadanya,

‫دعي عمرتك وانقضي رأسك وامتشطي‬

“Tinggalkan umrahmu (yakni niatkanlah haji qiran), lepas ikatan rambutmu dan ber-sisir-
lah…” (HR. Bukhari 317 & Muslim 1211)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan A’isyah yang sedang haid untuk
menyisir rambutnya. Padahal beliau baru saja datang dari perjalanan. Sehingga kita bisa
menyimpulkan dengan yakin, pasti akan ada rambut yang rontok. Namun Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menyuruh A’isyah untuk menyimpan rambutnya yang
rontok untuk dimandikan setelah suci haid.

Hadis ini menunjukkan bahwa rambut rontok atau potong kuku ketika haid hukumnya sama
dengan kondisi suci. Artinya, tidak ada kewajiban untuk memandikannya bersamaan dengan
mandi haid. Jika hal ini disyariatkan, tentu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam akan jelaskan
kepada A’isyah agar menyimpan rambutnya dan memandikannya bersamaan dengan mandi
haidnya, karena tidak boleh bagi Rasulullah saw mengakhirkan penjelasan di saat dibutuhkan
sebagaimana kaedah ini disebutkan oleh para ulama: “Ta`khirul Bayan ‘Inda waqtil Hajah
Laa Yajuz/Mumtani’.

Dalam Fatawa Al-Kubra, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah terdapat pertanyaan, “Ketika
seorang sedang junub, kemudian memotong kukunya, atau kumisnya, atau menyisir
rambutnya. Apakah dia salah dalam hal ini? Ada sebagian orang yang mengatakan bahwa
orang yang memotong rambutnya atau kukunya ketika junub maka semua bagian tubuhnya
ini akan kembali pada hari kiamat dan menuntut pemiliknya untuk memandikannya, apakah
ini benar?”

Syaikhul Islam memberi jawaban

‫ أنه لما ذكر له الجنب‬: ‫قد ثبت عن النبي صلى هللا عليه و سلم من حديث حذيفة ومن حديث أبي هريرة رضي هللا عنهما‬
‫ حيا وال ميتا وما أعلم على كراهية إزالة شعر الجنب وظفره دليال شرعيا‬: ‫ وفي صحيح الحاكم‬.‫ إن المؤمن ال ينجس‬: ‫فقال‬
‫ فأمر الذي أسلم أن يغتسل ولم يأمره بتأخير االختتان وإزالة‬.‫ ألق عنك شعر الكفر واختتن‬: ‫بل قد قال النبي للذي أسلم‬
‫الشعر عن االغتسال فإطالق كالمه يقتضي جواز األمرين‬

“Terdapat hadis shahih dari Hudzifah dan Abu Hurairah radliallahu ‘anhuma, bahwa Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya tentang orang yang junub, kemudian beliau bersabda,
‘Sesungguhnya orang mukmin itu tidak najis.’ Dalam shahih Al-Hakim, ada tambahan, ‘Baik
ketika hidup maupun ketika mati.’

Sementara saya belum pernah mengetahui adanya dalil syariat yang memakruhkan potong
rambut dan kuku, ketika junub. Bahkan sebaliknya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
menyuruh orang yang masuk islam, “Hilangkan darimu rambut kekufuran dan berkhitanlah.”
Beliau juga memerintahkan orang yang masuk islam untuk mandi. Dan beliau tidak
memerintahkan agar potong rambut dan khitannya dilakukan setelah mandi. Tidak adanya
perintah, menunjukkan bolehnya potong kuku dan berkhitan sebelum mandi…’” (Fatawa Al-
Kubra, 1:275) Allahu a’lam.

Diskusi Pendapat Yang Melarang Dalam Madzhab Syafi’i,

Pendapat yang tidak memperbolehkan memotong kuku dan rambut pada saat haid bagi
wanita atau juga umumnya bagi laki-laki dalam keadaan junub adalah salah satu pendapat
dalam madzhab Syafi’I (bukan kesepakatan dalam madzhab Syafi’i) sebagaimana disebutkan
dalam kitab I’anat at-Tholibin, dan sumber lain dari kitab-kitab syafi’iyyah

Pendapat ini bersumber dari pernyataan Imam al-Ghozali dalam Ihya’ ’ulum al-Din
sebagaimana dikutip dalam Mughni al-Muhtaj (1/72 al-Maktabah as-Syamilah) dan dalam
Syarh Al-Iqna li Matni Abi Syuja’ (1/60),

‫ أو‬، ‫أو يخرج دما‬- ‫يحلق عانته‬-‫ ال ينبغى أن يحلق أو يقلم أو يستحد‬-‫أى إحياء علوم الدين لألمام الغزالى‬-‫قال فى اإلحياء‬
‫ إن كَل شعرة تطالبه بجنابتها‬: ‫ ويقال‬، ‫ إذْ ترد سائر أجزائه فى اآلخرة فيعود جنبا‬، ‫جزا وهو جنب‬
ً ‫من نفسه‬- ‫يقطع‬- ‫ يُبين‬.
Berkata Al-Ghazali dalam al-Ihya’: Tidak semestinya memotong (rambut) atau menggunting
kuku atau memotong ari-ari, atau mengeluarkan darah atau memotong sesuatu bagian tubuh
dalam keadaan junub, mengingat seluruh anggota tubuh akan dikembalikan kepada tubuh
seseorang. Sehingga (jika hal itu dilakukan) maka bagian yang terpotong tersebut kembali
dalam keadaan junub. Dikatakan: setiap rambut dimintai pertanggungjawaban karena
janabahnya.

Dari beberapa kitab dalam madzbab Syafi’i sendiri, diketahui bahwa para ulama madzhab
Syafi’I tidak semuanya sepakat dengan pendapat Imam Ghozali tersebut, sebagaimana
diisyaratkan dalam kitab I’anat Tholibin (1/96 Maktabah syamilah) dengan pernyataan:

‫ الن العائد هو االجزاء التي مات عليها‬،‫ وكذا في غيره‬،‫وفي عود نحو الدم نظر‬.

“Tentang akan kembalinya (anggota tubuh) semisal darah, pendapat ini perlu diselidiki lagi.
Demikian pula (bagian tubuh) yang lainnya. Karena (bagian tubuh) yang kembali
(dibangkitkan bersama dengan pemilik bagian tubuh itu) adalah bagian-bagian tubuh yang
pemilik tubuh itu mati bersamanya (ada pada saat kematian orang tersebut)”

Dalam kitab Syafi’i yang lain yaitu Niyatul Muhtaj Syarh al-Minhaj disebutkan:

ْ َ ‫اء ْاأل‬
‫ص ِل َّي ِة َو ِفي ِه ِخ َالف‬ ِ َ‫صا ِب ْاألَجْ ز‬ َّ ‫ي َعلَى أ َ َّن‬
َ ‫الردَّ لَي‬
ًّ ‫ْس خَا‬ ٌّ ‫ ت ُ َردُّ إلَ ْي ِه ِفي ْاآل ِخ َر ِة ( َهذَا َم ْب ِن‬: ُ‫ ) قَ ْولُه‬.

‫ص ِليَّةُ ْال َبا ِق َيةُ ِم ْن‬


ْ َ ‫ َوذَلِكَ ِأل َ َّن ْال َم َعادَ إ َّن َما ه َُو ْاألَجْ زَ ا ُء ْاأل‬: ‫ َردًّا َع َلى ْالفَ َال ِسفَ ِة‬: ‫ص َها‬ ُّ َ‫ِّين ِفي ْال َع َقا ِئ ِد ن‬
ِ ‫س ْع ِد ال ِد‬ َّ ‫ارة ُ ال‬
َ ِ‫شيْخ‬ َ ‫َو ِع َب‬
‫سا ِل َال ت َْرت َ ِف ُع َجنَا َبت ُ َها ِبغَ ْس ِل َها‬ َ ِ‫صلة قَ ْب َل ِاال ْغت‬َ َ ْ َ ْ َ
ِ َ‫صنِيعِ أ َّن األجْ زَ ا َء ال ُم ْنف‬ َ ُ
َّ ‫ فَيَعُود ُ ُجنُبًا ( ظاه ُِر َهذَا ال‬: ُ‫آخ ِر ِه ) قَ ْوله‬ ِ ‫أ َ َّو ِل ْالعُ ُم ِر إلى‬
َ
َ‫إلَ ْخ ( فَائِدَتُهُ الت َّ ْو ِبي ُخ َواللَّ ْو ُم َي ْو َم ْال ِق َيا َم ِة ِلفَا ِع ِل ذَلِك‬.. ٍ‫ش ْع َرة‬ َّ ‫ َويُقَا ُل‬: ُ‫ سم َعلَى َح ِّج ) قَ ْولُه‬،
َ ‫إن ُك َّل‬

Lebih jelas lagi dalam kitab Hasyiah al-Bujairimi ’ala al-Khotib (2/335 al-Maktabah as-
Syamilah), mengkritisi pendapat Imam al-Ghozali tersebut yang intinya menyatakan bahwa
pendapat Imam al-Ghozali tersebut perlu dikaji lagi sebab bagian tubuh yang kembali adalah
yang ada disaat kematian pemiliknya dan bagian badan asli yang pernah terpotong, bukan
seluruh kuku dan rambut yang pernah dipotong selama hidupnya. Beliau membawakan
perkataan Ibnu Hajar untuk menguatkan pendapatnya. Disebutkan dalam kitab tersebut:

ُ ‫ار ِه الَّ ِتي َقلَّ َم َها ِفي‬


، ‫ع ُم ِر ِه‬ ْ َ‫ ِأل َ َّن ا َّلذِي ي َُردُّ إ َل ْي ِه َما َماتَ َعلَ ْي ِه َال َج ِمي ُع أ‬، ‫ظر‬
ِ َ‫ظف‬ َ َ‫سا ِئ ُر أَجْ زَ ا ِئ ِه ( ِفي ِه ن‬
َ ‫ ) إذْ ي َُردُّ إلَ ْي ِه‬: ُ‫قَ ْولُه‬
ُ ْ
‫َت ِخلقَتُهُ ِم ْن طو ِل َها‬ ْ ‫َّت إلَ ْي ِه َج ِميعُ َها لَتَش ََّوه‬ َ
ْ ‫ي ِألنَّ َها لَ ْو ُرد‬ َ
ْ ‫ أ‬. ‫ق ل‬. ‫ا هـ‬. ُ‫اج ْعه‬ ِ ‫ش ْع ِر ِه َكذَلِكَ فَ َر‬
َ ‫ َو َال‬.

‫ص ًال‬ ُّ ‫ش ْع ِر َو‬
ِ َ‫ فَإِنَّهُ يَعُودُ إلَ ْي ِه ُم ْنف‬، ‫الظ ْف ِر‬ َّ ‫ف نَحْ ِو ال‬ ِ ‫طو َع ِة بِ ِخ َال‬ ُ ‫ط ك َْاليَ ِد ْال َم ْق‬ ْ َ‫ص ِليَّةُ فَق‬
ْ َ ‫ي ْاأل‬
ْ َ ‫سائِ ُر أَجْ زَ ائِ ِه أ‬
َ ‫ارة ُ م د إذْ ي َُردُّ إلَ ْي ِه‬
َ َ‫َو ِعب‬
‫ْث أ ُ ِم َر ِبأ َ ْن َال ي ُِزيلَهُ َحالَةَ ْال َجنَا َب ِة أَ ْو نَحْ ِوهَا ا هـ‬
ُ ‫يخ ِه َحي‬ِ ‫ي ت َْو ِب‬ْ َ ‫أ‬ ‫ه‬
ِ ‫ت‬
ِ ‫ي‬‫ك‬ِ ‫ب‬
ْ َ ‫ت‬‫ل‬ِ ‫ه‬
ِ ‫ن‬
ِ َ ‫د‬ ‫ب‬ ْ
‫ن‬
َ َ ‫ع‬ .

‫ َوفِي‬. ‫يرونَ ِط َو ًاال‬ ُ ‫ص‬ِ ‫اح ٍد ِم ْن ُه ْم َي ُكونُ َعلَى َما َماتَ َعلَ ْي ِه ث ُ َّم ِع ْندَ دُ ُخو ِل ْال َج َّن ِة َي‬
ِ ‫إن ُك َّل َو‬
َّ : ‫ظ ا ْبنُ َح َج ٍر‬ُ ِ‫َوقَا َل ْال َحاف‬
ْ َ ُّ
ِ ‫اح ٍد ِمن ُه ْم ِستونَ ِذ َراعًا فِي َع ْر‬ ْ ُ ُ
ِ ‫ورةِ آد َ َم َوطو ُل ك ِِّل َو‬ َ َّ َّ ْ َ
ُ ‫ { إن ُه ْم َعلى‬: ‫صفَ ِة أ ْه ِل ال َجن ِة‬ ِ ‫ْال َحدِي‬
ٍ‫س ْبعَ ِة أذ ُرع‬
َ ‫ض‬ َ ‫ص‬ ِ ‫ص ِحيحِ فِي‬ َّ ‫ث ال‬
‫سنَةً َو ِإنَّ ُه ْم ُج ْرد ُم ْرد‬
َ َ‫ث َوث َ َالثِين‬ ٍ ‫ { أ َ ْبنَا ُء ث َ َال‬.

Masalah ini pernah ditanyakan kepada Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan beliau jelaskan
dalam Majmu’ Fatawa, intinya: setahu beliau tidak ada dalil syar’i yang menunjukkan
makruhnya memotong rambut dan kuku bagi orang yang sedang junub, bahkan terdapat hadis
shohih riwayat Bukhari-Muslim yang menegaskan bahwa (tubuh) seorang mukmin itu tidak
najis. Dengan tambahan riwayat dari Shohih al-Hakim: ”baik dalam keadan hidup ataupun
mati”. Demikian pula adanya hadis tentang perintah bagi yang haid untuk menyisir rambut
pada waktu mandi, padahal sisiran bisa menyebabkan rontoknya rambut. Berikut petikannya:

ُ‫ أَنَّهُ لَ َّما ذَك ََر لَه‬: { ‫َّللاُ َع ْن ُه َما‬ َّ ‫ي‬ َ ‫ض‬ ِ ‫ث أَبِي ه َُري َْرة َ َر‬ ِ ‫ث ُحذَ ْيفَةَ َو ِم ْن َحدِي‬ ِ ‫سلَّ َم ِم ْن َحدِي‬ َّ ‫صلَّى‬
َ ‫َّللاُ َعلَ ْي ِه َو‬ َ ‫ي‬ ِِّ ِ‫ قَدْ ثَبَتَ َع ْن النَّب‬: ‫اب‬ َ ‫فَأ َ َج‬
‫ش ْع ِر‬ َ ‫ َو َما أَ ْعلَ ُم َعلَى ك ََرا ِه َي ِة إزَ الَ ِة‬. } ‫ { َحيًّا َو َال َم ِِّيتًا‬: ‫ص ِحيحِ ْال َحا ِك ِم‬ َ ‫ َوفِي‬. ]3[}‫س‬ ُ ‫إن ْال ُمؤْ ِمنَ َال َي ْن ُج‬ َّ : ‫ب قَا َل‬ َ ُ‫ْال ُجن‬
]4[} ‫اختَتِ ْن‬ ْ ْ
ْ ‫ش ْع َر ال ُكف ِر َو‬ َ ‫ق َع ْنك‬ ْ َ َ َ َّ
ِ ‫ أل‬: ‫سل َم ِللذِي أ ْسل َم‬ َّ َ
َ ‫عل ْي ِه َو‬ َّ ‫صلى‬
َ ُ‫َّللا‬ َّ َ ‫ي‬ ً
ُّ ِ‫ب َوظف ِر ِه دَ ِليال ش َْر ِعيًّا بَ ْل قَدْ { قَا َل النَّب‬ ْ ُ ِ ُ‫ْال ُجن‬
. ‫َضي َج َوازَ ْاأل َ ْم َري ِْن‬ ِ ‫ط َال ُق ك ََال ِم ِه َي ْقت‬ ْ ِ ‫سا ِل فَإ‬
َ ِ‫ش ْع ِر َع ْن ِاال ْغت‬ َّ ‫ َو ِإزَ الَ ِة ال‬. ‫َان‬
ِ ‫ير ِاال ْختِت‬ ْ ْ
ِ ‫فَأ َ َم َر الَّذِي أَ ْسلَ َم أ َ ْن َي ْغت َ ِس َل َولَ ْم َيأ ُم ْرهُ ِبت َأ ِخ‬
َ‫َّللاُ أَ ْعل ُم‬
ََّ ‫ َو‬. ‫ش ْع ِر‬ َّ ‫ض ال‬ ْ َ َ
ِ ‫غ ْس ِل َها َم َع أ َّن ِاال ْمتِشَاط يَذهَبُ بِبَ ْع‬ ُ ‫َاط فِي‬ ِ ‫ض بِ ِاال ْمتِش‬ ْ
ُ ِ‫ َو َكذَلِكَ تُؤْ َم ُر ال َحائ‬.

Dalam Fatwa ketua lajnah Fatwa ulama al-Azhar, Syaikh ’Atiyah Shaqr (Fatwa Mei 1997 al-
Maktabah as-Syamilah) menyebutkan bahwa pernyataan yang melarang memotong kuku dan
rambut ketika dalam keadaan junub tidak berdasarkan dalil. Beliau membawakan penjelasan
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah di atas dan menambahkan:

(dengan hadis tersebut) kita ketahui bahwa hal demikian tidaklah dimakruhkan. Pendapat
yang menyatakan makruh adalah pendapat yang la ashla lahu (tidak ada dasarnya). ’Atho—
yaitu ’Atho bin Abi robah ra, seorang tabi’in senior—menyatakan:

ْ ‫ َوإِ ْن لَ ْم يَت ََوضَّأ‬، ُ‫سه‬


َ ْ‫ َويَحْ ِل ُق َرأ‬، ُ‫اره‬ ْ َ ‫طاء يَحْ ت َِج ُم ْال ُجنُبُ َويُقَ ِلِّ ُم أ‬
َ َ‫ظف‬ َ ‫ َوقَا َل َع‬.

Seorang yang junub (diperbolehkan) melakukan hijamah (pengobatan dengan cara


mengeluarkan darah kotor) dan memotong kuku dan menggunting rambutnya, walaupun ia
belum berwudhu” (Shohih al-Bukhari 1/496 al-Maktabah al-Syamilah babal-Junubu yakhruju
wayamsyi fis suq waghairihi)

Berdasarkan dalil ini maka tidak dimakruhkan untuk memotong rambut dan kuku ketika
janabah. Adapun hukum menimbun potongan kuku dan rontokan rambut dari sisir ada dalam
bahasan lain (tidak termasuk dalam bahasan ini)”.

Dalam Fath al-Bari Syarah Shohih al-Bukhari oleh Ibnu Rajab 2/54 terhadap perkataan ‘Atho
di atas menyebutkan bahwa Imam Ahmad bin Hanbal menyatakan la ba’sa (tidak mengapa)
untuk mengeluarkan darah (hijamah) atau memotong kuku dan rambut ketika junub. Ibnu
Rajab al-Hanbali menyatakan: tidak ada khilaf tentang bolehnya ini di antara ashabina (ulama

mazhab Hanbali) kecuali Abu al-Farj al-Syirozi yang memakruhkan untuk mengambil kuku
dan rambut dari orang yang junub, dan menyebutkan hadis yang marfu’ riwayat al-Isma’ily
dalam Musnad ‘Ali dengan Isnad yang dho’if jiddan dari ‘Ali :

] ‫هو جنب كانَ [ علته‬


َ ‫ ومن اطلى َو‬، ‫هو طاهر‬ َ ‫ إال َو‬، ً ‫ وال يقص شعرا‬، ً‫ )) ال يقلمن أحد ظفرا‬: – ً ‫َعن علي – مرفوعا‬
ً‫ وهذا منكر جدا‬. (( ‫هو طاهر‬ َ ‫ )) ألنه ال ينبغي أن يلقي الشعر إال َو‬: ‫ لَم يا رسول هللا ؟ قا َل‬: ُ‫ قيل لَه‬، ً ‫ وذكر كالما‬، (( ‫علي ِه‬
، ‫ وهللا أعلم‬. ‫ بل الظاهر أنَّهُ موضوع‬.
Ibnu Rajab menjelaskan bahwa hadis tersebut adalah hadis yang Munkar jiddan bahkan
secara eksplisit menunjukkan kualitasnya maudhu’ (palsu).

Kesimpulan bahasan di atas:

Tidak dalil dari Al-Qur’an maupun Sunnah yang shohih yang menjadi dasar hukum larangan
bagi orang yang memotong kuku dan rambut bagi orang yang sedang junub khususnya
wanita yang haid. Hal ini sebagaimana dinyatakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah..
Pendapat tersebut bersumber dari pendapat Imam al-Ghozali dalam madzhab Syafi’i. Imam
al-Ghozali sendiri tidak menyatakan larangan itu dengan kalimat yang tegas yang
menunjukkan hukum haram. Beliau menggunakan lafadz: “la yanbaghi” yang artinya “tidak
semestinya, tidak seharusnya atau tidak seyogyanya…”dst
Sementara itu tidak semua ulama madzhab Syafi’I sepakat dengan Imam al-Ghozali dalam
masalah tersebut (sebagaimana disebutkan tentang khilaf itu dalam beberapa kitab mazhab
Syafi’I, antara lain Nihayat al-Muhtaj di atas). Wallahu A’lam bi as-Showab
Hukum Semir Rambut Warna Hitam Menurut
Islam
Mempercantik penampilan adalah keinginan semua insan manusia tak terkecuali para
muslim dan muslimah. Islam adalah agama yang menyukai kecantikan dan tidak melarang
umatnya untuk mempercantik dan memperindah diri selama masih mengikuti kaidah-kaidah
dalam hukum islam. Rambut adalah salah satu bagian tubuh yang penting dan ikut
menentukan penampilan seseorang. Bagi wanita rambut bahkan dianggap sebagai
mahkotanya, memiliki rambut yang indah adalah kebanggaan bagi sebagian orang.

Rambut manusia memiliki berbagai warna alami seperti hitam, pirang maupun coklat.
Terkadang seseorang juga melakukan perubahan pada rambutnya dengan cara memotong
ataupun mewarnainya. Lain halnya dengan beberpa orang yang sudah matang usianya atau
menginjak usia tua, uban atau rambut berwarna putih mulai muncul dan dapat mengganggu
penampilan seseorang. Untuk menutupi uban tersebut biasanya seseorang akan menyemirnya
sesuai dengan warna rambut yang asli. Lalu bagaimakah islam memandang perilaku
menyemir rambut dengan warna hitam misalnya untuk menwarnai uban tersebut? Simak
penjelasannya berikut ini.

Merubah Warna Rambut dan Uban


Hal yang sering kita jumpai di masyarakat saat ini adalah mereka yang yang mewarnai
rambutnya, sebagaimana para kaum muda mewarnai rambutnya agar tampil lebih menarik,
para orang tua juga melakukan hal yang sama yakni mewarnai rambut mereka dengan
menggunakan semir berwarna hitam. Semir tersebut memang mudah dikenakan, beberapa
produk hanya perlu diaplikasikan pada rambut seperti saat ssedang keramas. Menyemir
rambut atau uban memang terkadang menjadi pertanyaan, bolehkan mewarnai uban atau
haruskan kita membiarkannya begitu saja.Uban adalah rambut putih yang biasanya muncul
saat seseorang menginjank usia yang sudah tidak muda lagi, meskipun tidak menutup
kemungkinan seseorang yang masih muda juga bisa memiliki uban. Saat seseorang tua,
rambut kehilangan fungsinya untuk menghasilkan zat warna rambut sehingga rambut tumbuh
memutih. Untuk menutupi warna rambut tersebut maka uban dapat diwarnai dengan pewarna
rambut.

Perbedaan Pendapat Mengenai Uban


Ada beberapa ulama yang juga berpendapat bahwa lebih utama membiarkan uban tumbuh
dengan alami dengan warnanya dan sebaiknya tidak mengubah warna uban tersebut, namun
pendapat tersebut dikatakan sebagai pendapat yang lemah karena Rasul sendiri terkadang
menyemir rambutnya untuk menjaga penampilan.

Larangan mencabut uban

Uban atau rambut yang berwarna putih tidak boleh dicabut dalam islam karena dapat
merubah ciptaan Allah SWT dan Allah tidak menyukai hal-hal yang dapat mengubah fitrah
seorang manusia misalnya mencabut uban agar terlihat muda. Sebagaimana yang disebutkan
dalam Alqur’an surat An nur ayat 30 yang bunyinya

ِ َّ‫َّللاِ ۚ َٰذَلِكَ ال ِدِّينُ ْالقَيِِّ ُم َو َٰلَ ِك َّن أَ ْكثَ َر الن‬


َ‫اس َال َي ْعلَ ُمون‬ َّ ‫ق‬ ِ ‫اس َعلَ ْي َها ۚ َال تَ ْبدِي َل ِلخ َْل‬ َ َ‫َّللاِ الَّتِي ف‬
َ َّ‫ط َر الن‬ ْ ِ‫ِين َحنِيفًا ۚ ف‬
َّ َ‫ط َرت‬ ِ ِّ‫فَأَقِ ْم َوجْ َهكَ ِللد‬

“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah
yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada peubahan pada fitrah Allah.
(Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui,” (QS Ar rum ayat
30)

 Pembeda dari dari Yahudi dan Nasrani

Untuk mempertahankan penampilan, mewarnai uban adalah sah-sah saja dan untuk
membedakannya dari kaum yahudi dan nasrani sebagaimana yang diriwayatkan oleh Abu
Hurairah RA dalam hadits berikut ini

‫صبُغُونَ فَخَا ِلفُو ُه ْم‬


ْ َ‫ارى َال ي‬
َ ‫ص‬َ َّ‫إِ َّن ْاليَ ُهودَ َوالن‬

“Sesungguhnya orang-orang Yahudi dan Nashrani tidak menyemir uban mereka, maka
selisilah mereka.” (Muttafaqun ‘alaihi, HR. Bukhari dan Muslim)

Dari hadits diatas maka dapat kita ketahui bahwa kita sebagai umat islam boleh saja
menyemir rambut terutama untuk menutupi uban akan tetapi dengan syarat dan ketentuan
yang harus dipenuhi semestinya.

Hukum Menyemir Rambut dengan Warna Hitam


Meskipun diperbolehkan mewarnai rambut atau uban dengan warna hitam, seseorang tidak
diperbolehkan atau haram hukumnya untuk mewarnai rambutnya dengan menggunakan
warna hitam. Adapun larangan tersebut adalah didasari pada dalil-dalil berikut ini mengenai
hukum semir rambut warna hitam :

 Rasul menyuruh Ayah Abu Bakar RA untuk menyemir ubannya

Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Jabir Ra disebutkan bahwa

”Pada hari penaklukan Makkah, Abu Quhafah (ayah Abu Bakar) datang dalam keadaan
kepala dan jenggotnya telah memutih (seperti kapas, artinya beliau telah beruban). Lalu
Rasulullah SAW bersabda,

َ ِ‫َغيِِّ ُروا َهذَا ب‬


َ‫ش ْيءٍ َواجْ تَنِبُوا الس ََّواد‬

“Ubahlah uban ini dengan sesuatu, tetapi hindarilah warna hitam.” (HR. Muslim)

Tidak akan mencium bau surga orang yang menyemir rambut dengan warna hitam
Sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas RA menyebutkan bahwa Rasulullah SAW
bersabda

‫اص ِل ْال َح َم ِام َال يَ ِريحُونَ َرائِ َحةَ ْال َجنَّ ِة‬
ِ ‫ان بِالس ََّوا ِد َك َح َو‬ َّ ‫آخ ِر‬
ِ ‫الز َم‬ ِ ‫َي ُكونُ قَ ْوم يَ ْخ‬
ِ ‫ضبُونَ فِي‬

“Pada akhir zaman nanti akan muncul suatu kaum yang bersemir dengan warna hitam
seperti tembolok merpati. Mereka itu tidak akan mencium bau surga.” (HR. Abu Daud, An
Nasa’i, Ibnu Hibban)

 Pendapat Ulama Nawawi

An Nawawi, seorang ulama besar dari mahzab Syafii menyebutkan tafsir mengenai hadits
Rasulullah SAW diatas dalam salah satu bab kitabnya yang berjudul “Dianjurkannya
menyemir uban dengan shofroh (warna kuning), hamroh (warna merah) dan diharamkan
menggunakan warna hitam”. An Nawawi menyatakan bahwa menyemir rambut dengan
warna hitam adalah haram hukumnya bagi wanita dan laki-laki-laki. Adapun muslim boleh
saja mewarnai rambutnya namun sebaiknya menggunakan warna kuning (pirang) atau warna
merah.

Menyemir Rambut Sesuai Kaidah Islam


Telah disebutkan sebelumnya bahwa islam melarang umatnya baik laki-laki atau perempuan
untuk mengubah warna rambutnya dengan menggunakan hitam. Hal ini kadang dianggap
sepele oleh beberapa manusia dan mereka biasa menyemir rambutnya dengan warna hitam
karena memang pada dasarnya warna rambut mereka adalah hitam. Yang demikian tidak
dibenarkan dalam ajaran agama islam karena hal tersebut tentunya dapat menutupi tanda-
tanda dan fitrah seseorang misalnya saja jika ia beruban dan menandakan bahwa dirinya
sudah tua.

Meskipun demikian, sebagai umat islam kita diperbolehkan menyemir rambut dengan warna
lain misalnya merah,coklat ataupun kuning. Rasul sendiri terbiasa menyemir rambutnya
dengan warna-warna tersebut.

Menyemir rambut dengan inai

Sebaiknya gunakan pewarna rambut yang berbahan dasar alami seperti inai dan sebagaimana
disebutkan dalam hadits, inai atau pacar adalah pewarna rambut terbaik

‫ْب ْال ِحنَّا ُء َو ْال َكتَ ُم‬ َ ْ‫ِإ َّن أَح‬


َّ ‫سنَ َما َغي َّْرت ُ ْم ِب ِه ال‬
َ ‫شي‬

“Sesungguhnya bahan yang terbaik yang kalian gunakan untuk menyemir uban adalah
hinna’ (pacar) dan katm (inai).” (HR. Abu Daud, Tirmidzi, Ibnu Majah, dan An Nasa’i.

 Menyemir rambut dengan Hinaa’ atau pacar

Disebutkan dalam hadits lainnya yang diriwayatkan oleh Al Hakam bin Amr menyebutkan
tentang bagaimana menyemir rambut sesuai dengan kaidah islam
ِ َّ‫ َوأَنَا َم ْخضُوب ِب ْال ِحن‬، ‫ع َم َر‬
ُّ ‫ َوأَ ِخي َم ْخضُوب ِبال‬، ‫اء‬
ُ ‫ فَقَال‬، ِ‫ص ْف َرة‬
‫ َهذَا‬: ‫ع َم ُر‬ ُ َ‫ير ْال ُمؤْ ِمنِين‬
ِ ‫دَخ َْلتُ أَنَا َوأ َ ِخي َرافِع َعلَى أ َ ِم‬
‫ان‬ ْ
ِ ‫ضابُ اإل ِِي َم‬ َ
َ ‫ َهذا ِخ‬: ٍ‫ َوقَال ِألَِ ِخي َرافِع‬. ‫إل ِِ ْسالَ ِم‬ ْ ‫ضابُ ا‬ َ ‫ِخ‬

“Aku dan saudaraku Rofi’ pernah menemui Amirul Mu’minin ‘Umar (bin Khaththab). Aku
sendiri menyemir ubanku dengan hinaa’ (pacar). Saudaraku menyemirnya dengan shufroh
(yang menghasilkan warna kuning). ‘Umar lalu berkata: Inilah semiran Islam. ‘Umar pun
berkata pada saudaraku Rofi’: Ini adalah semiran iman.” (HR. Ahmad)

Demikianlah pandangan islam mengenai hukum semir rambut warna hitam dan dapat
disimpulkan bahwa menyemir rambut dengan warna hitam adalah haram hukumnya. Semoga
bermanfaat.

Anda mungkin juga menyukai