Istilah intertekstual pada umumnya dipahami sebagai hubungan suatu teks dengan teks
lain.1 Intertekstualitas pertamakali ditemukan oleh seorang filsuf Rusia Mikhail Bakhtin2
dalam bukunya, The Dialog Imagination. Ia mengatakan bahwa karya sastra dilahirkan
diantara teks yang satu dengan teks yang lain.
Membahas tentag relasi maka ditemuka dua istilah, pertama Intratekstual; studi filologi,
yang menitikberatkan pada kritik teks untuk mencari keaslian, sumber naskah, sumber tema.
kedua, Intertekstual; antara dua kurun waktu dan dua sastra yang berbeda, sinkronik, dan
ataupun diakronik. kajian inteteks dapat dilakukan terhadap beberapa karya sastra antar
daerah, negara, genre, konteks, atau pengarang yang diperkirakan ada keterkaitan.3
Teori intertekstualitas kemudian dikembangkan oleh Julia Kristeva dan Roland Barthes.
Menurut Kristeva, setiap teks, termasuk teks sastra merupakan mozaik dari kutipan-kutipan
dan merupakan tanggapan atau penyerapan teks-teks lain. Menurut Riffaterre, teks tertentu
yang menjadi latar penciptaan teks baru itu disebut hipogram. Sedangkan teks yang menyerap
hipogram itu disebut teks transformasi. Hubungan antara teks yang terdahulu dengan teks
1
Dalam perkembangannya, kajian intertekstualitas tidak dapat dilepaskan dari pertentangan dua paham:
strukturalisme dan post-srukturalisme. Strukturalisme sendiri adalah cara berpikir tentang dunia yang secara
khusus memperhatikan persepsi dan deskripsi terhadap struktur. Strukturalisme dapat diidentifikasi dengan
beberapa prinsip yang salah satunya adalah imanensi (kehadiran). Seorang strukturalis menganalisis struktur
dalam sebuah sistem. Sistem itu tidak terkait dengan dunia di sekitarnya. Dengan demikian, teks sebagai suatu
sistem hanya dikaji dengan menganalisis unsur-unsur di dalam teks itu sendiri. Zayad Abd. Rahman, “Angelika
Neuwirth: Kajian Intertekstualitas Dalam QS. al-Rahman dan Mazmur 136”, Jurnal Empirisma Vol. 24 No. 1
Januari 2015, 111-120,114.
2
Suripan Sadi Hutomo, Merambah Matahari; Sastra Dalam Perbandingan, (Surabaya; Gaya Masa,
1993), 13-14.
3
Suwardi Endraswarara, Metodolog Penelitian Satstra Bandingan, (Jakarta; Bukupop, 2011), 198-199.
Penelitian intertekstualitas, ada yang bersifat sinkronik dan diakronik. Sinkronik adalah kajian yang hanya
terpaku pada satu zaman dan bersifat horisontal. Adapun diakronik adalah kajian yang mengikutkan sastra dari
priodisasi yang berbeda. Kedua bagian dari intertekstualitas ini memiliki tujuan untuk memahami relasi
antardua karya sastra atau menemukan apa saja yang berguna bagi pengembangan sastra itu sendiri. Ibid.202.
yang kemudian itu disebut hubungan intertekstual. Intertekstual adalah fenomena resepsi
pengarang terhadap teks-teks yang pernah dibacanya dan dilibatkan dalam ciptaanya.4
Sewaktu pengarang menulis, pengarang akan mengambil komponen-komponen teks yang
lain sebagai bahan dasar untuk penciptaan karyanya. Semua itu disusun dan diberi warna
dengan penyesuaian, dan jika perlu, mungkin ditambah supaya menjadi sebuah karya yang
utuh.5
Alasan julia Kristeva dalam memberikan definisi terhadap interteks adalah pertama,
Pengarang adalah seorang pembaca teks sebelum menulis teks. Proses penulisan karya oleh
seorang pengarang tidak bisa dihindarkan dari berbagai jenis rujukan, kutipan, dan pengaruh.
Kedua, Sebuah teks tersedia hanya melalui proses pembacaan. Kemungkinan adanya
penerimaan atau penentangan terletak pada pengarang melalui proses pembacaan.
Teks dalam pengertian umum bukan hanya teks tertulis atau teks lisan, tetapi juga adat-
istiadat, budaya, agama, bahkan seluruh alam semesta adalah teks. Oleh sebab itu, hipogram
yang menjadi latar penciptaan teks baru itu, bukan hanya teks tertulis atau teks lisan saja.
Kemudian hipogram tersebut direspon atau ditanggapi oleh teks baru. Tanggapan tersebut
dapat berupa penerusan, penentangan tradisi, atau konvensi.7
Perkembangan Interteks sebagai sebuah teori dalam pembacaan teks dapat dilihat juga
dalam kaitannya dengan kitab suci. Dalam semua kitab suci, terdapat ayat-ayat yang bukan
saja menggambarkan ajaran agama yang dibawanya sebagai superior dan jalan keselamatan
4
Alfiyan Rokhmansyah, Studi Dan Pengkajian Sastra; Perkenalan Awal Terhadap Ilmu Sastra
(Yogyakarta; Graha Ilmu, 2014), 121.
5
Alfiyan Rokhmansyah, Studi Dan Pengkajian Sastra, 119.
6
Suwardi Endraswarara, Metodolog Penelitian Satstra Bandingan, 201.
7
Alfiyan Rokhmansyah, Studi Dan Pengkajian Sastra, 122.
tertinggi, melainkan juga mendiskreditkan dan mengkrtik agama-agama lain. Namun tak
jarang juga ditemukan pertautan dan persamaan dalam masing-masing kitab tersebut.
Philip K. Hitti menyebutkan bahwa al-Qur’an dan Bibel memiliki beberapa pertautan
seperti dari segi kisah, hukum, eskatologis, perumpamaan, dan lainnya.8 Pertautan dari segi
konten dan ajaran ini menjadi salah satu alasan yang mengundang para sarjana untuk
melakukan kajian antara keduanya. Dilihat dari sisi ini, studi perbandingan antara kitab suci
dengan kitab suci lain atau tradisi lain sebenarnya bukanlah satu-satunya studi yang
diterapkan ke dalam al-Qur’an. Sarjana Yahudi dan Kristen pun juga memiliki tradisi ini. Ini
berangkat dari kenyataan bahwa agama baru sering lahir dalam nuansa polemis. Dia lahir
sebagai respon dari realitas yang ada, melakukan revisi, penafsiran ulang terhadap apa yang
dipegangi oleh masyarakat itu. Kedatangan agama baru ini karenanya pasti menghadapi
resistensi dari pemeluk agama yang telah dipegangi oleh masyarakat sebelumnya. Kemudian,
sebagai bentuk dari upaya sang agama baru ini untuk meyakinkan masyarakat, dia akan
melakukan dakwah, mengkritik yang telah ada dan menunjukkan kemuliaan ajarannya. Islam
juga lahir dalam suasana demikian merespon Yahudi dan Kristen sebagaimana jauh
sebelumnya Yahudi mengkritik tradisi dan agama kaum Kanaa dan Kristen mengkritik
kekurangan dalam agama kaum Yahudi dan Romawi-Yunani. Bekas-bekas ini terlihat jelas
dalam masing-masing kitab suci mereka.9 Singkat kata, tradisi studi perbandingan dan
interteks semacam ini sudah lazim dan tidak serta merta dialamatkan kepada al-Qur’an
semata.10
Islam, al-Qur’an dan Hadis itu satu tradisi dengan Yahudi dan Nasrani, sama-sama dari
Timur Tengah, dan satu tradisi monoteisme Semitik. al-Qur’an dan hadis dalam masa awal
dan perkembangan selanjutnya terkait erat dengan tradisi dua yang mendahuluinya. al-Qur’an
menyitir dan menghadirkan kembai kisah-kisah dan narasi biblikal. Demikian pula hadis dan
tafsir al-Qur’an yang terkenal dengan istilah israiliyat (serita dan tradisi dari ajaran Yahudi
dan Kristiani). Membandingkan Islam dengan kedua agama pendahulunya itu wajar, dan
mungkin cara termudah untuk menerangkan apa yang terjadi dengan agama yang dianggap
8
Philip K. Hitti, History of the Arabs, terj. R. Cecep Lukman Yasin dan dedi Slamet Riyadi (Jakarta:
Serambi, 2010). 156- 1578.
9
Reuven Firestone, “The Qur’an and the Bible: Some Modern Studies of Their Relationship” dalam John
C. Reeves, Bible and the Qur’an: Essays in Scriptural Intertextuality (Atlanta: Society of Biblical Literature,
2003). 2.
10
Lien Iffah Naf ’atu Fina, “Survei Awal Studi Perbandingan Al-Qur’an danBibel dalam Kesarjanaan
Barat; Sebuah Perjalanan Menuju Intertekstualitas”, Suhuf, Vol. 8, No. 1, Juni 2015. 122.
baru tersebut.11 Oleh sebab itu, sebagai agama termuda dari tiga agama besar Ibrahimi, tidak
mengherankan jika jejak polemik anti Yahudi dan Kristen dapat kita jumpai dalam al-Qur’an.
ada juga sejumlah polemik anti penyembahan berhala dalam al-Qur’an, yang melukiskan
persinggungan antara orang-orang beriman (Muslim) dengan komunitas keagamaan yang
berbeda dimana al-Qur’an itu muncul.12
Islam menempatkan semua agama yang telah diturunkan Allah kepada para nabi-Nya
dalam kerangka proses perkembangan petunjuk Tuhan yang evolusionistik, kecuali dalam
bidang akidah. Proses ini memuncak dan berahir dengan diutusnya nabi Muhammad saw.
Menurut al-Qur’an dan kepercayaan umat Islam secara umum, semua nabi adalah muslim,
dan semua agama yang diturunkan Allah kepada para nabi adalah Islam, karena agama yang
berasal dari-Nya hanya satu, yaitu Islam. Sejalan dengan ajaran tentang kesatuan agama ini,
11
Al-Makin, Antara Barat Dan Timur; Batasan, Dominasi, Relasi, Dan Globalisasi, (Jakarta; Serambi
Ilmu Semesta, 2015), 86.
12
Mun’im Sirry, Polemik Kitab Suci: Tafsir Reformasi Atas Kritik Al-Qur’an Terhadap Agama Lain,
Terj. R. Cecep Lukman Yasin (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2013), Xxii.
13
Dimaksud dengan istilah Kristen di sini adalah sapa yang dalam bahasa Inggris disebut dengan
Christianity, atau yang dalam al-Qur’an disebut al-Nasara, agama Nasrani. Jadi bukan Kristen dalam pengertian
Protestan, salah satu Sekte dalam agama Kristen yang biasa dihadapkan dengan Katolik, seperti umum dipahami
di Indonesia.
14
Agama Hanif adalah agama yang dibawa Nabi Ibrahim as, yang oleh sementara ahli dianggap sebagai
bentuk monoteisme murni.
15
Djam’annuri, “Ibn Hazm (994-1064 M) Tentang Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru; Studi Kitab al-
Fas{l fi al-Mila>l wa al-Ahwal wa al-Nih{al”, Desertasi Uin sunan Kalijaga, 1996, 2.
16
Ibid, 2-3. Ayat-ayat al-Qur’an yang mendukung peryataan ini banyak sekali; sebagai misal, QS, 3:18-
19; 2:128; 22:8; 2:131-133 dan 3: 79-80.
al-Qur’an menjadikan kepercayaan terhadap kitab-kitab tuhan, termasuk semua kitab yang
telah diturunkan sebelum al-Qur’an, sebagai salah satu pokok keislaman.17
Dari segi sejarah, Islam dan kaum Muslimin senantiasa tumbuh dan berkembang dalam
sebuah lingkungan masyarakat dengan pluralitas dan diversitas budaya dan agama yang
sangat komplek. Dalam priode pra Hijrah misalnya, selama kurang lebih sepuluh tahun, nabi
Muhammad dan kaum Muslimin berada dalam kontak langsung atau tidak langsung dengan
berbagai keyakinan dan peribadatan agama-agama yang berbeda.18 Demikian pula halnya
selama periode Madinah seperti tampak jelas dari Piagam Madinah. Ketika wilayah Islam
telah meluas melampau batas-batas geografis semenanjung Arabia, pertemuan Kaum
Muslimin dengan agama-agama lain juga semakin bertambah luas dan intens.19
Sebagaimana dinyatakan di depan, Islam, sebagaimana Yahudi dan Kristen, lahir dan
berkembang menjadi sebuah agama yang besar dalam suasana polemis. Dalam masa
kelahirannya, Islam, terkhusus al-Qur’an, menerima, meluruskan sekaligus memberikan
kritik terhadap ajaran Yahudi dan Kristen.20
Bell melalui karyanya The Origin of Islam in Its Christian Environment: the Gunning
Lecture juga menekankan bahwa, tidak hanya Yahudi, tapi Kristen juga memberikan
pengaruh yang signifikan kepada ajaran Muhammad. Gagasannya ini dibangun dengan
menunjukkan hubungan antara Kristen dengan masyarakat Arab sebelum dan setelah Islam.
Bell menyatakan bahwa meskipun kaum Kristen tidak bertempat tinggal di Mekah akan tetapi
gagasannya sudah sampai kepada masyarakat Mekah, apalagi dengan bukti hijrahnya umat
Muhammad ke Habsyi. Menurutnya, ¡ābi’ūn merujuk kepada umat Kristen di Arab Selatan
dan na¡ārā (Nazarenes) merujuk kepada kaum Kristen atau Jewish-Christian di utara.21
17
Sebagaimana disebutkan dalam al-Qur’an QS, 2:285.
18
Jacques waardenburg menyebutkan empat kelompok masyarakat agama yang telah berinteraksi dengan
kaum muslimin di zaman Nabi, yaitu (1) kaum musyrikin Mekah (the Meccan Polytheists); (2) orang-orang
Yahudi (the Jews), terutama setelah hijrah; (3) orang-orang Kristen (the Christians) yang banyak tersebar di
semenanjung Arabia; dan (4) millat Ibrahim, yang biasa disebut agama hanif. Djam’annuri, “Ibn Hazm (994-
1064 M); Tentang Perjanjian Lama, 4.
19
Ibid, 7.
20
Beberapa Kritik yang diberikan al-Qur’an misalnya tentang konsep teologis Kristen dan sikap umat
Yahudi terhadap kitab mereka, tentu juga kritikan sikap dan prilaku mereka terhadap diri dan agama mereka
serta sikap mereka kepada umat Islam.
21
Sebagaimana disarikan dari The Origin of Islam in Its Christian Environment: the Gunning Lecture
oleh Reuven, “The Qur’an and the Bible”. 13-16.
Zayad Abd. Rahman dalam artikelnya menyebutkan tentang pengaruh-pengaruh al-
Qur’an yang di anggap oleh Geiger.22 Grieger menetapkan keterpengaruhan al-Qur’an
terhadap agama Yahudi dalam beberapa hal. Pertama, ayat yang berkaitan dengan doktrin
dan keimanan. Kedua, kisah-kisah yang terdapat dalam al-Qur’an. Ketiga, pandangan tentang
kehidupan. Keempat, ayat-ayat peraturan hukum. Menurutnya juga, cara shalat yang
diajarkan Muhammad berupa berdiri dan duduk, ‘iddah bagi perempuan adalah bagian dari
tradisi yang sengaja diplagiasi oleh Muhammad. Pernyataan ini menunjukan sisi polemis
anatara kedua agama dan kitab suci ini. Namun terlepas dari semua itu, bahwa terbenturnya
nilai, budaya dan ajaran yang menjadi banyak perhatian ini merupakan bahan mentah dari
kajian intertekstual.
Terjadinya silang teks antara berbagai kitab suci, bukanlah sebuah peristiwa yang terjadi
secara spontanitas, melainkan setelah terjadinya dialog sejarah. Fakta pertama dari kajian
interteks dalam kitab suci adalah karena itu merupakan kitab suci. Kitab suci adalah sebuah
teks yang bersisi tuntunan baik berupa undang-undang, peringatan, arahan dan berbagai
kebaikan lainnya yang diyakini oleh agama-agama tertentu, terlepas dari perbedaan dan sikap
truth claim terhadap kitab suci masing-masing dan penolakan terhadap kitab suci agama lain.
Beberapa persamaan yang dapat diterima secara umum adalah keberadaan suatu agama
dengan kitab suci mereka memiliki kedudukan yang sama sebagai panduan. Kedua adalah
sejarah telah membuktikan bahwa agama itu ada dan bukan satu. Lalu kemudian antara satu
agama dan agama lainnya, tidak hadir dalam ruang yang kosong, tidak hadir secara
bersamaan, melainkan saling mendahului satu dengan yang lain. Maka terjadinya
persinggungan antara kitab yang satu dengan kitab yang lainnya adalah sebuah keniscayaan.
Bagaimanapun misi dari suatu agama adalah penyebaran, lalu salah satu bentuk
penyebarannya adalah dengan membacakan kitab suci mereka. Dengan objek yang sama,
sehingga untuk mendekati suatu kaum, maka disinggunglah kitab suci dan ajaran agama
mereka terdahulu. Untuk tujuan inilah, masing-masing kitab suci banyak meminjam materi
22
Zayad Abd. Rahman, Angelika Neuwirth: Kajian Intertekstualitas Dalam QS. al-Rahman dan Mazmur
136, Dalam Jurnal Empirisma Vol. 24 No. 1 Januari 2015, 111-120, Hal 112.
terdahulu dan menyesuaikannya dengan masyarakat yang dihadapi agar dia bisa dipahami
dan diterima oleh mereka seperti yang terjadi dalam al-Qur’an misalnya, dalam
persandingaanya dengan kitab Yahudi dan Nasrani.
Persinggungan awal yang telah terjadi antara al-Qur’an dan Bibel tidak bisa tidak
mmberikan pengaruh terhadap keadaan umat beragama. Dalam sudut pandang yang lain, ini
bisa menjadi sebuah polemik, namun dalam sudut yang lain pula menjadi titik temu antara
kedua kitab suci . Oleh sebab itu, perkembangan tafsir melalui pengutipan Bibel begitupun
sebaliknya adalah hal yang lumrah. Namun bagaimana sudut pandang yang digunakan dalam
pengutipan inilah yang menjadi perhatian dalam kajian Interteks.
Al-Makin, Antara Barat Dan Timur; Batasan, Dominasi, Relasi, Dan Globalisasi. Jakarta;
Serambi Ilmu Semesta, 2015.
Djam’annuri, Ibn Hazm (994-1064 M); Tentang Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru (Studi
Kitab al-Fasl fi al-Milal wa al-Ahwal wa al-Nihal, Desertasi.
Fatoohi, Louay. The Mysteri of Historical Jesus: Sang Mesias Menurut al-Qur’an, Alkitab,
dan Sumber-Sumber Sejarah, terj. Yuliani Liputo. Bandung: Mizan, 2013.
Firestone, Reuven. “The Qur’an and the Bible: Some Modern Studies of Their Relationship”
dalam John C. Reeves, Bible and the Qur’an: Essays in Scriptural Intertextuality.
Atlanta: Society of Biblical Literature, 2003.
Haleem, M.A.S. Abdel. “Context and Internal Relationships: Keys to Qur’anic Exegesis”
dalam G.R. Hawting dan Abdul-Kader A. Shareef, Approaches to the Qur’an. London
and New York: Routlegde, 1993.
Hitti, Philip K. History of the Arabs, terj. R. Cecep Lukman Yasin dan dedi Slamet Riyadi.
Jakarta: Serambi, 2010.
Hutomo, Suripan Sadi. Merambah Matahari; Sastra Dalam Perbandingan. Surabaya: Gaya
Masa, 1993.
Neuwirth, “Qur’anic Reading of the Psalms”, ed. Angelika Neuwirth, Nicolai Sinai dan
Michael Marx , The Qur’an in Context: Historical and Literary Investigations into the
Qur’anic Milieu. London: E.J. Brill, 2010.
Nicolai Sinai, “The Qur’an as Process”, ed. Angelika Neuwirth, Nicolai Sinai dan Michael
Marx , The Qur’an in Context: Historical and Literary Investigations into the
Qur’anic Milieu. London: E.J. Brill, 2010.
Rahman, Zayad Abd. Angelika Neuwirth: Kajian Intertekstualitas Dalam QS. al-Rahman
dan Mazmur 136, Jurnal Empirisma Vol. 24 No. 1 Januari 2015.
Rokhmansyah, Alfiyan. Studi Dan Pengkajian Sastra; Perkenalan Awal Terhadap Ilmu
Sastra. Yogyakarta: Graha Ilmu, 2014.
Sirry, Mun’im. Polemik Kitab Suci: Tafsir Reformasi Atas Kritik Al-Qur’an Terhadap Agama
Lain, Terj. R. Cecep Lukman Yasin. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2013.