Anda di halaman 1dari 15

PENGUJIAN HADIS AHAD DENGAN

AL-QURAN
(Versi Fuqahak)
Yulia Rahmi, M.Ag.
Abstract
Pengujian hadis Ahad dengan al-Quran
merupakan salah satu langkah pengujian matan
hadis untuk melihat ada atau tidaknya cacat pada
matan hadis. Semua ulama sepakat bahwa hadis
nabi tidak mungkin bertentangan dengan alQuran. Untuk hadis Ahad yang tampak
bertentangan dengan al-Quran, Ulama Hanafiyah
menolak mengamalkannya, begitu pula dengan
Ulama Malikiyah, mereka menolak setiap hadis
Ahad yang dinilai bertentangan dengan al-Quran
kecuali didukung oleh amalan penduduk Madinah.
Sedangkan Syafiiyah menyelesaikan hadis yang
tampak pertentangan dengan menggunakan metode
takhshis am, muthlaq muqayyad maupun dengan
metode nasikh mansukh.
Key Word
Hadis Ahad, Hanafiyah, Malikiyah, Syafiiyah
PENDAHULUAN
Kritik matan hadis telah berlangsung semenjak
zaman Nabi, dimana para shahabat mengkonfirmasikan
kembali hadis yang diterimanya kepada Rasul. Kondisi
Pengujian Hadis Ahad dengan Al-Quran [51]

seperti ini terus berlangsung sampai kepada masa


setelahnya.
Upaya kritik hadis terus berkembang, para ulama
hadis mulai merumuskan kaidah-kaidah pokok
keshahihan suatu hadis muttashil sanad, periwayat
adalah orang yang adil lagi dhabit, tidak mengandung
syadz dan illat mencakup pengujian terhadap sanad dan
matan hadis. Maka suatu hadis diterima bila telah
memnuhi kaidah-kaidah pokok tersebut.
Pada prinsipnya pengujian keshahihan matan sangat
terkait erat dengan terpenuhinya syarat-syarat hadis
shahih, bukan hanya berlandaskan kepada shahih sanad
saja. Pengujian matan hadis pada dasarnya bertumpu
pada 2 hal pokok yaitu terhindar dari syadz dan illat.
Untuk mengetahui dan menguji apakah matan
tersebut memiliki syadz dan illat atau tidak, para ulama
terlebih dahulu akan melakukan pengujian hadis dengan
al-Quran, karena al-Quran adalah rujukan pertama
dalam Islam
PENGUJIAN HADIS AHAD DENGAN AL-QURAN
Pada pengujian hadis ahad dengan al-Quran, ulama
hadis berpegang pada prinsip bahwa hadis nabi tidak
mungkin bertentangan dengan al-quran, karena apa yang
dikemukakan nabi baik berupa hadis maupun al-quran
berasal dari Allah. (Ismail,1992:142)
Hadis bertugas menjelaskan dan memperinci alQuran, berfungsi sebagai penjelas teoritis dan
implementasi praktis terhadap al-Quran.(al-Qardhawi
[52] Ulunnuha, Vol. 2, No.1, Juni 2010

1990 : 148) Oleh karena itu perkataan rasul merupakan


suatu hal yang mesti diikuti, sesuai dengan banyak ayatayat al-Quran yang memerintahkan untuk mentaati
Allah dan rasul-Nya.

Namun pada kenyataannya ada hadis-hadis yang


secara tekstual tampak tidak sejalan atau tampak
bertentangan dengan al-Quran. Bila suatu hadis
bertentangan dengan al-Quran tidak mungkin diterima,
karena al-Quran memiliki posisi yang lebih tinggi
dibandingkan dengan hadis nabi.
Dari segi periwayatan, al-Quran diriwayatkan secara
mutawattir, sedangkan hadis ada yang mutawattir dan
kebanyakan adalah riwayat ahad, dimana al-Quran yang
berstatus qathi lebih didahulukan dibandingkan hadis
yang ahad yang berstatus zhanny.
Maka dalam hal ini para ulama hadis tidak langsung
menolak keberadaan hadis-hadis yang tampak
bertentangan dengan al-Quran, mereka berpegang dengan
pendapat bahwa penjelasan yang datang dari rasul tidak
mungkin bertentangan dengan al-quran dengan alasan
bahwa nabi tidak akan mungkin menyalahi al-Quran
berdasarkan pemahaman mereka terhadap firman Allah
dalam surat al-Haqqah ayat 44-49 :

Pengujian Hadis Ahad dengan Al-Quran [53]

---
- -

Seandainya dia (Muhammad) mengada-adakan sebagian


perkataan atas (nama) Kami - Niscaya benar-benar kami
pegang dia pada tangan kanannya.- Kemudian benar-benar
Kami potong urat tali jantungnya. Maka sekali-kali tidak ada
seorang pun dari kamu yang dapat menghalangi (Kami), dari
pemotongan urat nadi itu.- Dan sesungguhnya Al Qur'an itu
benar-benar suatu pelajaran bagi orang-orang yang
bertakwa. Dan sesungguhnya kami benar-benar mengetahui
bahwa di antara kamu ada orang yang mendustakan (nya).

Maka dalam menghadapi hadis yang tampak


bertentangan dengan al-Quran, para ahli hadis berusaha
untuk menyelesaikan pertentangan tersebut. Adakalanya
dengan menggunakan metode takhshish terhadap ayatayat yang umum, metode muthlaq muqayyad, maupun
metode nasikh mansukh.
Setelah dilakukan metode-metode penyelesaian
tersebut dan ternyata pertentangan tidak dapat
diselesaikan, maka hadis tersebut dinilai sebagai hadis
yang mardud dengan status sebagai hadis dhaif atau
mauhu.
Dengan demikian dapat dipahami bahwa hadis ahad
yang tampak tidak sejalan dengan al-Quran tidak dapat
langsung ditolak sebelum diteliti dan diselesaikan dengan
berbagai metode penyelesaian yang ditawarkan oleh
ulama hadis tersebut. Jika ternyata dapat diselesaikan
maka hadis tersebut dapat diterima, namun jika
[54] Ulunnuha, Vol. 2, No.1, Juni 2010

pertentangan tidak dapat diselesaikan barulah dapat


ditetapkan sebagai hadis dhaif atau mauhu. (AdDamini, 1984 : 118-119)
Berbeda halnya dengan ulama hadis, para fuqaha
berbeda pendapat dalam menyikapi pertentangan antara
hadis ahad dengan al-Quran.
1. Golongan Hanafiyah
Ulama hanafiyah menolak setiap hadis ahad yang
bertentangan dengn al-Quran, karena nabi tidak akan
mungkin mengucapkan atau memperbuat hal-hal
yang bertentangan dengan ayat al-Quran. Pendapat
tersebut didasarkan kepada adanya hadis-hadis yang
menyatakan ketidakmungkinan pertentangan antara
hadis dan al-Quran, sebagai berikut:

Berdasarkan
dalil-dalil
tersebut
mereka
memahami bahwa setiap hadis ahad yang
bertentangan dengan al-Quran menjadi dalil
ketidakshahihan suatu hadis, dimana hadis tersebut
Pengujian Hadis Ahad dengan Al-Quran [55]

dinilai sebagai hadis munqathi bathin dengan arti


hadis tersebut tidaklah diyakini berasal dari rasul,
karena rasul tidak mungkin menyatakan hal-hal yang
bertentangan dengan al-Quran (Abdul Muthalib,
1981: 290-289).
Pada sisi lain hadis ahad tersebut ditolak karena
pertentangan tersebut menunjukkan bahwa hadis
memiliki syadz dan gharib.
Salah satu contoh hadis yang ditolak oleh ulama
Hanafiyah adalah hadis yang membolehkan memakan
daging yang disembelih tanpa menyebut nama Allah :
dengan alasan
bahwa hadis tersebut bertentangan dengan ayat 121
surat al-Anam :

Dan janganlah kamu memakan binatang-binatang yang


tidak disebut nama Allah ketika menyembelihnya.
Sesungguhnya perbuatan yang semacam itu adalah suatu
kefasikan. Sesungguhnya setan itu membisikkan kepada
kawan-kawannya agar mereka membantah kamu; dan jika
kamu menuruti mereka, sesungguhnya kamu tentulah
menjadi orang-orang yang musyrik

Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa dilalah alQuran adalah qathi, sedangkan hadis tersebut
adalah hadis ahad yang hanya bernilai zhanny, maka
hadis tidak dapat mentakhshish keumuman ayat. Oleh
sebab itu hukum memakan sembelihan yang

[56] Ulunnuha, Vol. 2, No.1, Juni 2010

disembelih tanpa menyebut nama Allah adalah


haram. (Ad-Damini, 1984 : 311-312)
Ulama Hanafiyah tidak menerima adanya
penyelesaian antara ayat dan hadis ahad yang
bertentangan dengan menggunakan metode takhshish,
am,
muthlaq
muqayyad
ataupun
dengan
menggunakan metode nasakh. Hal ini berdasarkan
kepada alasan bahwa mukhashish haruslah lebih kuat
dari muthlaqnya.(Ad-Damini, 1984 : 319) Sedangkan
hadis ahad hanyalah berstatus zhanny tidak mungkin
menjadi mukhashish atau muqayyid dari al-Quran
yang berstatus qathi.
2. Golongan Malikiyah
Ulama Malikiyah tidak menolak seluruh hadis
ahad yang bertentangan dengan al-Quran. Terhadap
hadis yang bertentangan mereka menggunakan
penyelesaian dengan menggunakan takhshish dan
taqyid dengan syarat didukung oleh amalan ahli
Madinah atau sesuai tidak sesuai dengan qiyas. .(AdDamini, 1984:268)
Ulama Malikiyah menerima hadis
Hadis tersebut dipahami sebagai takhshish
surat al-Anam ayat 145:

Pengujian Hadis Ahad dengan Al-Quran [57]

Katakanlah: "Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang


diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi
orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan
itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi,
karena sesungguhnya semua itu kotor atau binatang yang
disembelih atas nama selain Allah. Barang siapa yang
dalam
keadaan
terpaksa
sedang
dia
tidak
menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka
sesungguhnya Tuhanmu Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang."

Walaupun hadis tersebut tampak bertentangan


dengan ayat tersebut, namun hadis tersebut tetap
diterima karena didukung oleh amalan ahli Madinah.
Berbeda halnya dengan hadis
... Ulama Malikiyah tidak menerima
hadis tersebut karena bertentangan dengan ayat :

Selain itu, hadis tersebut tidak didukung oleh


amalan ahli Madinah ataupun Qiyas, sehingga
konsekwensinya mereka berpendapat jilatan anjing
tidak najis, bahkan boleh berwudhu dengan air bekas
jilatan anjing. .(Ad-Damini, 1984:446)
Dari hal tersebut dapat dipahami ulama
Malikiyah menjadikan dukungan amalan ahli
Madinah adalah salah satu patokan bagi diterimanya
hadis ahad yang tampak tidak sejalan dengan ayat alQuran. Mungkin hal ini melihat kepada amalan ahli
Madinah sebagai komunitas yang secara langsung
[58] Ulunnuha, Vol. 2, No.1, Juni 2010

menyaksikan ritual rasul dn shahabat


dipraktekkan turun temurun secara amali.

yang

3. Golongan Syafiiyah
Ulama Syafiiyah tidak menerima adanya
pertentangan antara hadis ahad dengan al-Quran dan
mensifati pengujian hadis ahad dengan al-Quran
dengan perbuatan jahil, karena Allah telah
menetapkan bahwa Nabi berkewajiban untuk
menjelaskan al-Quran dengan cara mentakhshishkan
keumuman ayat dan dengan cara/ metode lainnya.
Penolakan mereka tersebut didasarkan kepada
lemahnya
riwayat-riwayat
yang
menyatakan
ketidakmungkinan adanya pertentangan antara hadis
dengan al-Quran yang dijadikan dalil oleh ulama
Hanafiyah bahkan Syafiiyah menjelaskan dengan
terinci letak cacat dari riwayat-riwayat tersebut
seperti sanadnya munqathi, rawinya tertuduh zindiq
dan alasan lainnya. (Abdul Muthalib, 1981: 298-299)
Untuk
menguatkan
pendapatnya
Syafii
mengambil dalil dari suatu hadis yang dinilainya
shahih- yang menjelaskan menolak hadis ahad berarti
menolak
hukum
syariah,
karena
Allah
memerintahkan untuk mentaati Nabi. (Abdul
Muthalib, 1981: 291)

Pengujian Hadis Ahad dengan Al-Quran [59]

Dari argument yang dikemukakan tersebut


terlihat bahwa Syafiiyah menerima hadis yang
tampak tidak sejalan dengan al-Quran asalkan telah
memenuhi syarat-syarat pokok keshahihan hadis.
Pada prinsipnya ulama Syafiiyah tidak
mengakui adanya hadis yang bertentangan dengan alQuran, karena hadis memiliki kemungkinan untuk
menjadi takhshish bagi ayat al-Quran, hal ini dapat
dipahami dari penolakan mereka terhadap kriteria
pengujian hadis ahad dengan al-Quran.
Berbeda dengan ulama Hanafiyah, ulama
Syafiiyah menerima penyelesaian hadis ahad dengan
cara yang ditawarkan oleh ulama hadis dengan
memandang bahwa ayat yang datang secara umum,
ataupun yang datang secara muthlaq berstatus zhanny
dengan arti zhanny dari segi dalalah, maka ayat
tersebut sama kedudukannya dengan hadis ahad,
sehingga hadis ahad bisa menjadi mukhashish
ataupun muqayyid dari ayat al-Quran.
Pendapat-pendapat yang dikemukakan oleh fuqaha
tersebut menggambarkan adanya dua kubu dalam
menyikapi pertentangan antara hadis ahad dengan ayat
al-Quran, dimana di satu pihak menolak hadis-hadis
yang tampak bertentangan atau tidak sejalan dengan alQuran dan di pihak lain tetap menerima hadis ahad
walaupun tampak tidak sejalan dengan al-Quran.
Dimana golongan Hanafiyah sebagai pihak yang
menolak dan golongan Syafiiyah sebagai pihak yang

[60] Ulunnuha, Vol. 2, No.1, Juni 2010

menerima. Sementara golongan Malikiyah berada di


antara kedua pihak tersebut.
Golongan Syafiiyah seolah-olah merupakan oposisi
bagi pendapat-pendapat yang dilontarkan oleh Golongan
Hanafiyah. Namun demikian dapat dipahami bahwa
perbedaan pendapat tersebut berasal dari perbedaan
pemahaman mereka terhadap tidak mungkinnya nabi
menyalahi al-Quran, dimana golongan Hanafiyah
memahami hal tersebut dengan tidak mungkinnya Nabi
menyalahi al-Quran, sehingga hadis-hadis yang tampak
bertentangan tersebut diselesaikan dengan berbagai cara
pendekatan, sehingga pertentangan tersebut menjadi
hilang.
CONTOH-CONTOH PENYELESAIAN
PERTENTANGAN ANTARA HADIS AHAD
DENGAN AYAT-AYAT AL-QURAN
Ulama hadis memberikan beberapa metode
penyelesaian terhadap pertentangan antara hadis ahad
dengan al-Quran. Jika ayat-ayat al-Quran dating
sebagai am dan sebagai muthlaq dan hadis ahad tampil
sebagai khas atau sebagai muqayyad. Maka keumuman
atau kemuthlaqan al-Quran ditakhshih atau ditaqyid oleh
hadis ahad tersebut. Bila pertentangan tidak dapat
diselesaikan dengan cara tersebut, dan tidak mungkin
mengamalkan hadis dan al-Quran secara bersamaan
maka dalam hal ini digunakanlah metode nasakh (dalam
penggunaan metode nasakh hadis ahad dengan al-Quran
ini tidak ada kesepakatan ulama hadis dalam
Pengujian Hadis Ahad dengan Al-Quran [61]

menerapkannya). Kemudian bila dengan nasakh tidak


dapat diterapkan maka ditempuhlah metode takwil dalam
menyelesaikan pertentangan tersebut. .(Ad-Damini,
1984:303)
Bila metode-metode yang ditawarkan tersebut tidak
dapat menyelesaikan pertentangan antara ayat dengan
hadis ahad, maka hadis tersebut dihukum sebagai hadis
dhaif atau maudhu.
Berikut ini beberapa contoh penyelesaian hadishadis ahad yang tampak tidak sejalan dengan al-Quran.
1. Hadis tentang larangan memadu seroang wanita
dengan bibi dari pihak ayah atau ibu.

Hadis tersebut tampak bertentangan dengan ayat 2324 surat an-nisa :

Pada ayat tersebut, yang diharamkan adalah


memadu antara seorang perempuan dengan
saudaranya, bukan dengan bibi dari pihak bapak atau
pihak ibu seperti yang diinformasikan oleh hadis.
Pertentangan antara hadi dengan ayat tersebut
diselesaikan
dengan
menggunakan
metode
takhshsish, dimana lafaz wa uhilla lakum ma wara-a
dzalikum dipandang sebagai lafaz umum yang
kemudian ditakhsish oleh hadis tersebut.
[62] Ulunnuha, Vol. 2, No.1, Juni 2010

Ulama Hanafiyah yang menolak menggunakan


hadis ahad yang tidak sejalan dengan al-Quran
ternyata pada hadis ini mereka menerimanya karena
mereka memandang hadis tersebut bukan hadis ahad
melainkan hadis masyhur. .(Ad-Damini, 1984:310)
2. Hadis tentang jumlah susuan yang menyebabkan
terjadinya hubungan mahram

Hadis tersebut tampak tidak sejalan dngan ayat 23


surat an-Nisa :

Ayat tersebut tidak menjelaskan jumlah susuan


yang menyebabkan haramnya menkahi saudara
sepersusuan. Maka ulama hadis menjadikan hadis
tersebut sebagai taqyid dari ayat, dengan demikian
keharaman menikahi baru berlaku setelah lima kali
susuan.
Sedangkan ulama Hanafiyah dan Malikiyah
menolak adanya batasan jumlah susuan, menurut
mereka sedikit atau pun banyak telah menyebabkan
keharaman. Berbeda halnya dengan Syafiiyah
Pengujian Hadis Ahad dengan Al-Quran [63]

walaupun menerima hadis tersebut namun hadis tidak


dipandang sebagai taqyid, tetapi merupakan ziyadah
ala an-nash. .(Ad-Damini, 1984:320)
PENUTUP
Para ulama berbeda pendapat dalam menyikapi hadis yang
tampak bertentangan dengan al-Quran, Hanafiyah menolak
setiap hadis yang tampak bertentangan dengan al-Quran,
karena menurut mereka Nabi tidak mungkin menyampaikan
hal-hal yang bertentangan dengan al-Quran. Begitu juga
Malikiyah menolak setiap hadis yang tampak bertentangan
dengan al-Quran, kecuali hadis tersebiut didukung oleh
amalan ahli Madinah, karena menurut mereka ahli Madinah
melihat langsung tradisi keagamaan nabi dan Shahabat.
Sedangkan Syafiiyah menerima penyelesaian pertentangan
antara hadis dan al-Quran dengan metode-metode yang
digunakan oleh ulama Hadis, karena menurut merekaNabi
tidak mungkin menyalahi al-Quran oleh sebab itu jika ada
hadis yang tampak bertentangan, maka pertentangan harus
diselesaikan terlebih dahulu, jika pertentangan tidak dapat
diselesaikan maka hadis tersebut tertolak.

DAFTAR KEPUSTAKAAN
Al-Quran dan Terjemahnya, Depag RI
Al-Idhlibi, Shalahuddin bin Ahmad, Manhaj Naqdi alMatn inda Ulama al-Hadis an-Nabawi, Beirut :
Dar al-Afaq al-Jadidah, 1983
Ad-Damini, Masfar Gharimillah, Maqayis Naqd Mutun
as-Sunnah, Riyadh : t.p, 1984
Al-Khalaf, Abdul Wahab, Ilmu Ushul al-Fiqh, Jakarta :
al-Majlis alAla al Indonesia, 1972
[64] Ulunnuha, Vol. 2, No.1, Juni 2010

Ismail, M.Syuhudi, Metodologi Penelitian Hadis Nabi,


Jakarta : Bulan Bintang, 1992
_______, Hadis Nabi Menurut Pembela, Pengingkar dan
Pemalsunya, Jakarta : Gema Insani Press, 1995
Muthalib, Rifat Fauzi Abdul, Tautsiq as-Sunnah fi alQarni ats-Tsani al-Hijry, Kairo : Maktabah alKhanaij, 1981
Al-Qardhawi, Yusuf, Metode Memahami as-Sunnah
dengan Benar judul asli : Kaifa Nataamal maa
sunnah an-Nabawiyah : pent. Syaifullah Kamalie,
Jakarta : Media Dakwah, t.th

Pengujian Hadis Ahad dengan Al-Quran [65]

Anda mungkin juga menyukai