Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH

“Mengenal tokoh orientalis Gauthier H. A. Juynboll”

Disusun Oleh :

 Lina Hardianti

 Wildan Hayadi

PROGRAM STUDI SOSIOLOGI AGAMA

FAKULTAS USHULUDDIN DAN STUDI AGAMA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MATARAM

2021/2022
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Orientalisme yang pada awalnya adalah salah satu kajian keilmuan


yang tergabung di dalam ilmu Antropologi, memiliki tujuan yang sama dengan
ilmu induknya tersebut yaitu untuk mempelajari kebudayaan lain agar bisa
menemukan kebudayaan terbaik yang bisa dijadikan kebudayaan pilot
project bagi seluruh dunia.Namun pada perkembangan lebih lanjut,
antropologi kemudian berubah menjadi sebuah kajian keilmuan dari sebuah
bangsa Eshtablished terhadap kebudayaan yang outsiders. Karena masyarakat
merasa mereka lebih berbudaya daripada masyarakat oriental (timur), baik itu
timur jauh, timur tengah, timur selatan. Meliputi semua hal budaya, adat,
norma dan juga agama-agama masyarakat timur.

Di dalam salah satu bukunya, Orientalism, Edward Said mengatakan


bahwa kegiatan yang dilakukan oleh para orientalis dalam meneliti agama
Islam, khususnya hadis, bukanlah pekerjaan yang non profit oriented, artinya
mereka memiliki tujuan tertentu dengan meneliti agama Islam sedemikian
rupa. Tujuan itu antara lain adalah mencari kelemahan Islam dan kemudian
mencoba menghancurkannya pelan-pelan dari dalam. Walaupun tidak semua
orientalis memiliki tujuan seperti itu paling tidak itu adalah sebuah anomali
dari sekelompok orang yang boleh dikata memiliki persentase sangat kecil. Hal
inilah yang menjadi alasan bagi Hasan Hanafi cs untuk membalas perlakuan
mereka dengan giliran balik menyerang kebudayaan Barat dengan cara
mempelajarinya dan kemudian juga dengan cara yang sistematis mencoba
menggerogotinya dari dalam.

Mereka memilih hadis dalam upayanya untuk menyerang umat Islam


karena kedudukan hadis yang sangat penting dalam kehidupan kaum muslim.
Hadis adalah sumber hukum kedua setelah al Quran sekaligus juga sebagai
penjelas dari al Quran itu sendiri. Mereka lebih memilih menyerang hadis
ketimbang al Quran, karena hadis hanyalah perkataan manusia yang bisa saja
mengandung kesalahan dan unsur-unsur negatif lainnya. Mereka sulit untuk
mencoba mendistorsikan al-Quran karena al-Quran adalah sumber
transendental dari tuhan yang telah terjamin dari semua unsur negatif.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Biografi dan Karya-karya G.H.A. Juynboll

Gautier H.A. Juynboll yang lahir di Leiden Belanda pada 1935


adalah seorang pakar di bidang sejarah perkembangan awal hadits selama tiga
puluh tahun lebih ia secara serius mencurahkan perhatiannya untuk
melakukan penelitian hadits dari persoalan klasik hingga kontemporer.
Juynboll yang dalam beberapa kesempatan sering mengatakan “Seluruhnya
akan kupersembahkan untuk hadits Nabi”, ia juga mengajar diberbagai
Universitas di Belanda.

Sebagian seorang ilmuan dan peneliti dalam bidang studi


Hadits, Juynboll dalam pemikirannya terutama yang terkait dengan studi
hadts dan teori common link di elaborasikan dalam tiga bukunya : The
Authenticity of the Tradition Literature : Discussion in Modern Egypt,
Muslim Tradition : Studies and Cronology, Provenence and Autochip of
Early Hadits, dan Studies on the Orgins and Uses of Islamic Hadits.

Dalam karya orginalnya The Authenticity of the Tradition


Literature Juynboll mengambil dari sumber klasik dan kontemporer,
mengkaji tentang pendapat-pendapat para teolog mesir tentang kesahihan
hadits nabi. Muslim Tradition merupakan karyanya yang lain dimana didalam
buku ini ia ingin membuktikan bahwa standarisasi hadits mulai diberlakukan
tidak lebih awal daripada dipenghujung abad hijriah atau abad ketujuh
masehi. Dengan demikian ia memilih jalan tengah antara kepercayaan orang-
orang muslim kepada asal usul hadits Nabi dan pikiran para sarjana barat yang
lebih awal, seperti Gozdziher dan Schacht yang berasumsi bawa hadits telah
dipalsukan secara masal.

Studies on the Orgins merupakan Karya Juynboll selanjutnya yang


berasal dari kumpulan-kumpulan artikel yang dihimpun secara kronologis
yang mana dalam karya ini ia dapat mengungkapkan perkembangan
pemikiran dan ketertarikannya pada berbagai persoalan mengenai jalur-jalur
periwayatan hadits, termasuk perhatiannya pada Common link (periwayat
yang menjadi titik temu pada periwayat lainnya).

Selain dari ketiga buku tersebut, Juynbollpun banyak menerbikan


artikel-artikel yang tak kalah menariknya dalam sudut kajian hadits,
diantaranya adalah : Pertama; The Hadits in The Discussion on Brid
Control. Kedua; Ahmad Muhammad Sakir and His Edition of ibn Hanbal
Musnad. Dalam tulisan ini ia mengkaji tulisan musnad Ahmad dalam karya
Muhammad Syakir. Ketiga Menterjemahkan pengantar muslim bin Alhajjaj
terhadap kitab Sahihnya “Muslim in Troduction to His Shahih Trasslated and
annotated with an Excersus on Cronology of fina and bid’a”.

B. Teory Common Link G.H.H Juynball


G.H.A Juynboll bukanlah orang pertama yang membicarakan
phenomena Common link dalam periwayatan hadits. Dia mengakui dirinya
sebagai pengembang dan bukan penemu dari teori tersebut. Adapun
pengagas teori Common link adalah Schacht. Sejak awal phenomena Common
link sudah dikenal oleh para ahli hadits dikalangan Islam. At-tirmdzi dalam
koleksi haditsnya menyebut hadits-hadits yang menunjukan adanya seorang
periwayat tertentu, si A misalnya, sebagai common link dalam isnad-nya,
dengan “hadits-hadits si A.” istilah teknis yang dipakai at-tirmidzi
mengga,barkan gejala seperti itu adalah masdar (poros) hadits itu membentuk
sebagian besar hadits gharib.

Menurut Schacht asumsi dasar dalam teori ini adalah jika terdapat
hadits yang memiliki isnad yang berbeda, namun dalam satu matan yang
terkait erat dan hal itu menunjukakan gejala common link maka dapat
disimpulkan bahwa hadits itu bersumbur dari seorang periwayat yang
menjadi common link yang disebut dalam isnad hadits. Disamping itu Schacht
mengatakan bahwa teori common link dapat dipakai untuk memberikan
penanggalan terhadap hadits-hadits dan doktrin-doktrin para ahli fiqih.

Dalam beberapa tulisannya, Juynboll sering kali mengemukakan


asumsi dasar yang menjadi pijakannya dalam meneliti hadits serta
memperkenalkan beberapa istilah teknis yang relatif baru, yang berhubungan
erat dengan teori common link. Juynboll mengatakan bahwa semakin banyak
jalur periwayatan yang bertemu, baik yang menuju kepadanya atau yang
meninggalkan, maka semakin besar pula seorang periwayat dan
periwayatannya memiliki klaim kesejarahan.

Jika sebuah hadits berdasarkan dari nabi hanya melalui seorang


sahabat kapada seorang tabi’in, lalu kepada soerang tabi’an lain yang pada
gilirannya sampai kepada common link, dan sesudah itu jalur periwayatannya
mulai tersebar dan terpancar keluar maka kesejarahan jalur periwayatan
tunggal dari nabi hingga common link tersebut tidak dapat dipertahankan.
Disini, yang manjdi persoalan adalah mengapa nabi manyamp[aikan
haditsnya hanya kepeda seorang sahabat, begitu pula sahabat hanya kepada
seorang tabi’in dan seterusnya sehingga sampai kepada common link.

Secara ideal, seharusnya mayoritas jalur isnad dalam


berbagai koleksi hadits menunjukkan jalur-jalur periwayatan yang
berkembang sejak dari nabi, dan kemudian memancar kepada sejumlah besar
sahabat, yang pada gilirannya para sahabat juga menyampaikannya kepada
sejumlah besar tabi’in dan seterusnya hingga sampai kepada para kolektor
hadits, dengan demikian, jalur periwayatan itu sejak awal. Akan tetapi, dalam
kenyataanya, sebagian besar jalur isnad baru berkembang pada common link,
seorang periwayat hadits dari generasi kedua dan ketiga sesudah nabi.

Menurut analisis Juynboll isnad hadits dalam berbagai koleksi hadits


kanonik, memilki cirri yang sangat mengejutkan, yakni “isnad-isnad itu
hanya terdiri dari satu jalur tunggal pada tiga, empat, atau lima periwayat
sesudah nabi sebelum jalur periwayatan itu mulai bercabang ke berbagai jalur
yang berbeda.

Menurut Juynboll mengenai hal ini bahwa single straend (jalur


tunggal) yang merentang dari common link kebawah hingga nabi, tidak
merepresentasikan jalur periwayatan sebuah hadits nabi, dan sebagai
akibatnya tidak memenuhi ukuran kesejarahan. Istilah teknis lain yang
diperkenankan oleh Juynboll adalah partiel common link (sebagian periwayat
bersama yang selanjutnya disebut pcl) seorang periwayat yang dapat
dikatagorikan sebagai pcl adalah periwayata yang menerima hadits dari
seorang (atua lebih) guru, yang berstatus sebagai cl atau yang alin, dfan
kemudian menyampaikannya kepada dua orang murid atau lebih. Semakin
banyak pcl memiliki murid yang menerima hadits darinya maka semakin kuat
pula hubungan guru dengan murid dapat dipertahankan sebagai hubungan
yang historis. Dalam hal ini, pcl bertanggung jawab atas perubahan yang
terjadi pada teks asli (matan hadits). Singkatnya, periwayat yang menajdi pcl
memainkan peran yang prusial dalam perubahan matan hadits asli menjadi
persi yang pada akhirnya terhimpun dalam berbagai koleksi hadits.

Istilah kebalikan dari pcl adalah inventerted partial common


link (ipcl), yakni periwayat yang menerima laporan lebih dari seorang guru
dan kemudian menyampaikannya kepada (jarang lebih dari) seorang murid.
Sebagian besar ipcl muncul pada level yang lebih belakangan dalam
bindel isnad tertentu dan dalam bindel isnad yang lain terkadang mereka
berganti peran sebagai pcl.

Masih ada istilah satu lagi dalam teori common link yang merupakan
kebalikan dari cl yaitu inverted common link (icl).Terdapat perbadaan yang
jelas antara cl dan icl. Jika dalam cl terdapat satu jalur tunggal yang
merentang dari nabi hingga cl, yang terdiri dari tiga sampai lima periwayat
dan kemudian baru menyebar ke beberapa jalur pada level cl maka dalam icl
terdapat berbagaijalur tunggal yang berasal dari saksi mata yang berbeda-
beda dan pada gilirannya masing-masing dari mereka manyampaikannya
kepaada seorang murid hingga pada akhirnya bersatu dalam icl.

C. Cara kerja Teory Common Link


Secara umum dalam seiap hadits terdapat dua bagian yaitu sanad dan
matan. Matan hadits dapat dinyatakan otentik jika rangkaian periwayat dalam
memenuhi kriteria yang telah ditetapkan dalam metode kritik hadits. Oleh
karena itu, para ulama hadits lebih menekankan penelitian isnad dari pada
matan. Jika isnad sebuah hadits terdiri dari oarng-orang yang dapr dipercaya
maka hadits itu dinyatakan shahih, dan sebaliknya, jika isnad hadits terdapat
oarang0orang yang tidak dapat dipercaya maka hadits itu tidak diterima
dalam sejarah periwayatan hadits memang telah terjadi pemalsuan hadits.
Akan tetapi, hadits-hadits yang dianggap palsu dan lemah telah dipisahkan
dari yang otentik oleh para ahli hadits dengan menggunakan metode
kritik isnad. Dengan demikian, proses penyeleksian antara hadits palsu dan
otentik menurut para ahli hadits sudah dianggap final.

Sementara itu, junyboll mengatakan kita tidak pernah menemukan


metode yang sukses secara moderat untuk membuktikan kesejarahan
penisbatan hadits kepada nabi. Selaian itu menurutnya, metode
kritik isnad memiliki babarapa kelemahan: pertama, metode kritik isnad baru
berkemabang pada priode yang relative sangat lambat. Kedua, isnad hadits,
sekalipun shahih, dapat di palsukan secara keseluruhan dengan mudah.
Ketiga, tidak diterapannya kriteria yang tepat untuk memeriksa matan hadits.
Oleh karena itu Juynboll mengajukan solusi dengan menggunakan
metode common link dan metode analisis isnad dengan langkah-langkah
sebagai berikut: pertama, menentukan hadits yang akan diteliti. Kedua,
menelusuri hadits dalam berbagai koleksi hadits. Ketiga, menghimpun
seluruh isnad hadits. Keempat, menyusun dan merekonstruksi seluruh
jalur isnad dalam satu bundel isnad. Kelima, mendeteksi common link,
periwayat yang bertanggung jawab atas penyebaran hadits.
Selain menggunakanmetode analisis isnad, Juynboll juga melakukan
analisis matan guna menguji otentisitas dan kesejarahan hadits nabi. Secara
umum langkah-langkah metode analisis matan yang diajukannya adalah : (1).
Mencari matan yang sejalan. (2). Mengidentifikasi common link yang
terdapat pada matan yang sejalan. (3). Menentukan common link yang tertua.
(4). Menentukan bagian teks yang sama dalam semua hadits yang sejalan.

Dalam menanggapi metode analisis isnad Juynboll motzki


mengajukan suatu metode yang disebut dengan metode analisis isnad-cum-
matn. Metode ini bertujuan untuk menulusuri sejarah periwayatan hadits
dengan cara membandingkan varian-varian yang terdapat dalam berbagai
kompilasi yang berbeda-beda. Metode ini berangkat dari asumsi dasar bahwa
sebagai varian dari sebuah hadits, setidak-tidaknya sebagiannya, merupakan
akibat dari prose periwayatan dan juga bahwa isnad dari varian-varian itu,
sekurang-kurangnya sebagiannya, merepleksikan jalur-jalur periwayatan
yang sebenarnya.

Metode analisis isnad-cum-matn menurut Motzki terdiri dari beberapa


langkah:

1. Mengumpulkan sebanyak mungkin varian yang dilengkapi dengan isnad

2. Menghimpun seluruh jalur isnad untuk mendeteksi common link dalam


generasi periwayat yang berbeda-beda

3. Membandingkan teks-teks dari berbagai varian itu untuk mencari


hubungan dan perbedaan, baik dalam struktur maupun susunan katanya.

4. Membandingkan analisis isnad dan matan.

Dengan membandingkan hasil analisi isnad dan matan maka akan


dapat diambil kesimpulan tentang kapan hadits tersebut mulai disebarkan,
siapa saja yang menjadi periwayat hadits tertua, sebagaimana teks-teks itu
dapat mengalami perubahan pada jalur periwayatan tertentu dan siapa yang
bertanggung jawab atas periwayatan itu. Jika kita mencermati dengan sesama
dua langkah pertama dari metode analisis isnad-cum-matn motzki tampaknya
tidak jauh berbeda dengan metode analisis isnad Juynboll. Yang berbeda
adalah dua langkah terakhir yang memusatkan perhatian pada matan hadits,
khususnya pada struktur dan susunan katanya.

D. Implikasi Teory Common Link Terhadap Asal Usul dan Pekembangan


Hadits

Implikasi dan konsekwensi ketika menggunakan teori ini adalah sbb :

1. Menyangkut sumber dan Asal usul Hadits

Pertama dan utama dalam teori common link adalah menyangkut


sumber hadits, siapa yang menjadi sumber hadits yang terhimpun dalam
berbagai koleksi hadits, khususnya koleksi hadits konanik; apakah nabi,
sahabat, tabiin, tabiit tabiin. Mayoritas para ulama hadits sepakat bahwa
semua hadis yang terdapat dalam koleksi kitab konanik adalah otentik,
dan dengan demikian, bersumber dari Nabi.

Berbeda dengan Juynboll dengan tegas mengungkapkan hasil


temuannya bahwa setiap hadits yang terdapat dalam koleksi hadits yang
konanik sekalipun, tidak bersumber dari sahabat atau nabi sekalipun,
sahabat dan nabi tidak bertanggungjawab atas dimasukannya nama-nama
mereka kedalam isnad hadits. Adapun yang bertanggung jawab atas
matan hadis dan juga isnad adalah seorang periwayat hadits yang
berperan sebagai common link dalam suatu bundel hadits.

2. Menyangkut metode kritik hadits konvensional


Dalam rangka menghadapi gerakan pemalsuan hadits para
ulama ahli hadits telah mengembangkan sebuah metode kritik hadits
untuk mebedakan atara hadits otentik dan hadits lemah bahkan palsu.
Metode tersebut berpijak pada lima kriteria, (1) Sanadnya bersambung,
(2). Diriwayatkan oleh orang yang adil (3). Diriwayatkan oleh orang
yang dhabit, (4). Terhidar dari syudzudz, (5). Terhindar dari ‘ilat.
Metode ini menurut mereka telah terbukti kehandalannya dan mampu
menyingkirkan hadits-hadits palsu dan lemah sehingga metode kritik
hadits ini telah dianggap baku oleh para ulama hadits.

Berbeda dengan Juynboll, ia mengamati ada kelemahan yang


terdapat dalam metode konvensional, metode itu menurutnya masih
menimbulkan kontroversi jika digunakan untuk membuktikan
kesejarahan penisbatan hadits kepada nabi. Menurutnya ada bebrapa
titik kelemahan dalam metode itu; (1). Kemunculannya dianggap
terlambat, (2). Isnad dapat sipalsukan secara keseluruhan, (3). Tidak
diterapkan keritik matan yang tepat. Berangkat dari kenyataan ini
Juynboll menawarkan metode common link sebagai ganti dari metode
kritik hadits konvensional. Metode common link ternyata tidak hanya
berimflikasi merevisi metode kritik konvensional, tetapi juga menolak
seluruh asumsi dasar yang menjadi pijakan bagi metode itu. Jika metode
kritik hadits konvensional berpijak pada kualitas periwayat, maka
metode common link tidak hasa berpijak pada kualitas periwayat namun
berpijak pula pada kuantitasnya. Ini berarti Juynboll secara tidak
langsung menolak seluruh hadits ahad mengharapkan bahwa seluruh
hadis seharusnya diriwayatkan secara mutawatir dari masa yang sangat
awal hingga masa akhir (kolektor).

Dalam menyikapi pendapat Juynboll ini kita tidak perlu heran,


jika kita memahami metode yang dikembangkannya adalah metode
yang dibangun diatas dasar-dasar prinsip kritik teks historis-filologis.
Prinsip dasar ini menuntut bahwa ketika otentitas menuntut laporan
yang terdapat dalam sebuah teks (dalam hal ini matan hadits), belum
terbukti secara pasti maka kekosongan yang ada dalam deskrifsi harus
diakui dan dipertimbangkan dalam setiap langkau untuk membangun
sebuah rekonstruksi sejarah yang lebih lengkap.

E. Berbagai Interpretasi Terhadap Teori Common Link


Juynball dalam mengemukakan teorinya tidak serta merta mendapat
dukungan sepenuhnya dari berbagai kalangan, tetapi juga mendapat kecaman
dan menganggap teori ini hanya sebatas khayalan juynball. Diantara
komentar dari beberapa kalangan tentang teori ini adalah :

1. H.H. Motzki: Common link Sebagai kolektor Sistematis Pertama


Ketika mengkaji beberapa asumsi-asumsi dari method
analisis isnad, Motzki menyadari bahwa fenomena beberapa jalur
tunggal dibawah common link dan observasi yang menyatakan sebagian
besar common link terjadi pada masa generasi ketiga dan keempat
Hijriah, hal itu membutuhkan interprestasi dan jawaban yang tepat.

Asumsi Motzki terhadap teori common link Juynboll, paling


tidak ada dua hal yang harus diperhatikan : (1) banyak bukti menunjukan
bahwa berbagai pusat pembelajaran hadits mengadopsi isnad dengan
cepat. (2) klaim Juynboll bahwa hanya beberapa tabiin jika tidak ada
samasekali, yang benar sebagai common link merupakan dari
analisi isnad-nya, yang mengabaikan jalur-jalur tunggal. Disamping itu
menurut Motzki, Juynboll salah menafsirkan bundel isnad hadits dari
bawah bukan dari atas. Bundel isnad menjelaskan berbagai jalur yang
ditemukan dalam karya-karya para kolektor belakang. Oleh karena itu ia
harus ditelusuri dari atas, dari para kolektor hadits, bukan dari bawah,
dari common link, jika seseorang menganalisisnya dari atas maka jelas
baginya bundel isnad itu menujukan bahwa seorang kolektor hadits
mendapatkan haditsnya dari tiga orang guru yang pada gilirannya
memperoleh dari guru-guru mereka dan seterusnya. Sebagai
konsekuensinya jalur tunggal muncul hanya ketika para kolektor lain
memiliki jalan-jalan periwayatan (thuruq) yang berbeda dan tidak
bertemu dengan kolektor lain yang diketahui.

2. Michael A. Cook : Common link sebagai akibat dari Proses


penyebaran Isnad
Untuk mengkritik metode common link Cook mengembangkan
dan memperluas dari Schacht yang lain, yaitu teori penyebaran isnad (the
spead of isnad). Teori ini mengatakan bahwa para periwayat hadits
terbiasa menciptakan isnad-isnad tambahan untuk mendukung sebuah
matan yang sama. Menurut Cook, munculnya fenomena common
link adalah akibat dari proses penyebaran isnad dalam skala besar.
Fenomena common link tidak menunjukan bahwa sebuah hadits benar-
benar bersumber dari seorang periwayat kunci. Oleh karena itu
metode common link yang dikembangkan oleh Juynboll tidak dapat
dipakai untuk menelusuri unsur-unsur sumber dan kepengarangannya.

Proses penyebaran isnad paling tidak dapat terjadi dalam tiga


cara. (1) melompat periwayat sezaman. (2) menyandarkan hadits pada
guru yang berbeda. (3) mengatasi persoalan hadits-hadits yang
“terisolir”.

Jadi tentang penyebaran isnad dalam pandangan Cook


sebenarnya telah merusak teori common link dan membuatnya tidak
dapat diproses lagi. Jika tiga skenario diatas terjadi dalam sekala luas
maka dengan sendirinya skenario itu meruntuhkan upaya apapun untuk
menggunakan isnad sebagai alat untuk menelusuri asal-usul hadits. Cook
menyatakan bahwa upaya untuk menyelidiki kronologi hadits dengan
metode common link seperti dilakukan Van Ess dan Juynboll adalah
salah. Baginya, interpretasinya mengenai fenomena common link lebih
merupakan penghancuran informasi daripada memberikan informasi.
3. Noran Calder : Common Link Sebagai Tokoh yang Kebal dari Kritik
Sama dengan macheal Cook, norman calder juda meragukan
paliditas metode common link dan informasi sejarah yang didapatkan
melaluinya. Dalam studies in early muslim jurisprudece Calder mengkaji
6 teks hukum dari tiga aliran hukum Islam teks-teks itu adalah
mudawwanah Sahnun, Almuaththa Malik, beberapa teks Hanafi, al-Um,
Mukhtashar Muzani, dan al-Kharaz Abu Yusuf. Kajian Cader dalam
buku ini terutama berpijak pada analisis sastra atas beberapa teks fikih
yang paling pokok dan dilanjutkan dengan diskusi umum mengenai
yuriprudensi Islam pada abad awal tahun hijriah. Ketika menilai bentuk
sastra dari karya-karya tersebut pada saat kemunculannya Calider
menyatakan bahwa dikotomi tradisinal antara periwayat lisan (oral) dan
tertulis (wraiten) seharusnya tidak digabarkan sedemikian tajam.

Teks-teks yuristik dalam bahasa yang dipakai untuk


mengungkapkan periwayatan hadits, seperti hadatsta, qala, dan akhbara,
membuktikan adannya aktipitas lisan yang signifikan yakni kreatifitas
dan periwayatan. Lingkungan arab Islam hingga awal dekade abad ketiga
hijriah adalah lingkungan yang sangat produktif baik bagi literatur lisan
maupuntertulis. Literatur lisan, setidaknya dalam kontek yuristik,
seringkali merupakan produk dari sebuah proses diskursif. Sedangkan
literatur tulis memperlihatkan adanya aktifitas lisan ini dan tampaknya
mereka juga berupaya menciptakannya kembali. Buku-buku merupakan
literatur kedua setelah periwayatan secara lisan dan pada awalnya ada
dalam bentuk buku-buku catatan pribadi.

4. David Power dan Upaya Mencari the real common link


David S. Power, seoranag pakar hukum waris dari cornell
univerciti ithaca, new rok, juga menggunakan metode common
link dalam penelitiannya tentang waris dimasa Islam awal dan secara
tidak langsung berbicar, walaupun tidak begitu mendalam, mengenai
upaya mencari the real common link dan membedakannya dengan the
seeming atau the artificial common link.

Ada dua hal pandangan Power tehadap common link yang perlu
diperhatikan dari salah satu argumennya : (1) dia tidak mempersoalkan
apakah common link harus didukng oleh beberapa partial common
link dari generasi berikutnya atau tidak. Baginya, periwayat yang
menduduki posisi cl tidak harus didukung oleh periwayat belakangan
yang berstatus sebagai pcl yang meriwayatkannya kepada pcl berikutnya
hingga pada para kolektor hadits, sebagaimana kriteria yang ditetapkan
oleh Juynboll. Bisa saja cl hanya didukung oleh jalur-jalur tunggal yang
menerima hadits darinya dan pad gilirannya menyampaikannya kepa
seorang atau dua orang muridnya. (2) Power mengakui, untuk
mengidentifikasi the real common link sesorang seharusnya menerima
asumsi bahwa isnad telah menebar seperti yang dijelaskan oleh tradisi
Islam sendiri. dengan demikian, ia mempercayai jalur-jalur isnad,
termasuk jalur tungga, asalkan jalur-jalur tersebut bersambung dan terdiri
dari para periwayat yang bisa diterima.

5. M.M. Azami (Common Link Hanya Imajinasi)


M.M. Azami pengkaji Hadits dari Universitas King Sa’ud, tidak
hanya mempertanyakan teori common link dan single strand, tetapi
meragukan validitas teori tersebut. Azami menyatakan teori common
link dan semua kesimpulan yang dicapainya dengannya tidak relevan dan
tidak berdasar. Bahkan menurut Azami teori tersebut hanya sebagai
imajinasi dari Schacht yang tidak ada dalam kenyataannya. Menurut
Azami, jika memang ditemukan seorang periwayat (al-Zuhri misalnya)
yang menjadi satu-satunya yang menyampaikan hadits, namun apabila
telah dinyatakan ke-tsiqah-annya oleh para ahli hadits maka tidak ada
alasan untuk mencurigai atau menuduhnya sebagai pemalsu hadits.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

G.H.A Juynboll telah menggunakan teori common link untuk


menyelidiki asal usul dan sejarah awal periwayatan hadits selama dua puluh
tahun terakhir ini. Teori ini berpijak pada asumsi dasar bahwa semakin besar
seorang periwayat dan jalur periwayatannya memiliki klaim kesejarahan.
Dengan kata lain, jalur periwayatan yang dipercaya secara historis adalah jalur
yang bercabang kelebih dari satu jalur. Sementara jalur yang berkembang
kesatu jalur saja tidak dapat dipercaya kesejarahannya. Akan tetapi hasil riset
ini menunjukan bahwa asumsi ini tampaknya kurang menyakinkan.

Secara praktis, asumsi tersebut diterapkan oleh Juynboll melalui


method analisis isnad yang terdiri atas beberapa langkah sebagai berikut; (1).
Menentukan Hadis yang diteliti (2) menelusuri hadits dari berbagai sumbernya.
(3) menghimpun seluruh isnad Hadits. (4) merekonstruksi seluruh
jalur isnad dalamsebuah bundel isnad. (5) mendeteksi seorang periwayat
yangm menduduki posisi common link. Juynboll mengembangkan teri common
link setelah mengetahi bahwa metode krituk hadis yang ditawarkan oleh para
ahli hadits masih controversial karena memiliki beberapa kelemahan yang
cukup mendasar dan tidak memberikan kepastian mengenai sejarah
periwayatan hadits.

Dalam kenyataanya, teori common link dengan methode


analisi isnadnya berbeda dengan method kritik hadits dikalangan muhaditsuun,
karena keduanya berpijak kepada premis-premis yang berbeda. Akibatnya,
teori tersebut mengakibatkan implikasi dan konsekuensi yang juga berbeda
yang mengejutkan ahli-ahli hadis pada khususnya, dan umat Islam pada
umumnya. Diantara implikasi dan konsekuensi dari teori Juynboll tersebut
adalah : pertama, banyak materi hadis yang terdapat dalam berbagai koleksi
hadis dianggap tidak bersumber dari nabi. Kedua. Munculnya anggapan
metode kritik hadits konvensional terdapat banyak kelemahan. Ketiga, teori
mutawatir lafzi dalam hadits tidak pernah

Namun, ada beberapa kesimpulan yang dapat diambil dalan kajian buku
Teori Common link Juynboll yang merupakan sebuah tanggapan dan kritikan,
diantaranya adalah : masa peralihan antara priode periwayatan secara individu
kepriode periwayatan secara publik pada perkembangannya menjadi titik tolak
bagi perkembangan awal isnad dan jalur tunggal kebeberapa cabang atau jalur
dimasa belakang.

Untuk menduduki common link periwayat hadits tidak harus didukung


oleh dua orang periwayat yang sama-sama memainkan sebagai peran
partial common link, tetapi iajuga hanya dapat didukung oleh beberapa jalur
tunggal yang dapat dipercaya. Untuk memastikan sebuah jalur tunggal dapat
dianggap sebagai jalur historis atau tidak, seseorang seharusnya meneliti jarak
hidup seorang murid dengan masa hidup seorang gurunya dan selanjutnya
mencari bukti-bukti tentang kemungkinan tentang perjumpaannya. Begitupun
dengan jalur penyelam (jalur penyelam adalah jalur seorang kolektor hadits
yang tidak bertemu dengan jalur kolektor lainnya), menyatakan bahwa jalur
penyelam adalah palsu hasya karena ia merupakan jalur tunggal juga tidak
dapat dibenarkan. Menolak sebuah jalur isnad harus didasarkan kepada bukti-
bukti yang lebih kuat. Dan, sampai sekarang tidak ada bukti yang lebih kuat
daripada kembali kepada sumber-sumber biografi para periwayat yang terdapat
pada kitab-kitab ahli hadis yang berhubungan dengan biografi seorang
periwayat.

Dari beberapa bukti tersebut, adalah tepat jika disimpulkan bahwa


teori common link yang dikembangkan oleh Juynboll dapat diterima
validitasnya sebagai sebuah methode untuk menelusuri asal usul hadits. Teori
tersebut paling tidak dapat memberikan jawaban yang lebih akurant dan
memadai mengenai kapan, dimana, dan oleh siapa sebuah hadits disebarkan
secara publik. Meskipun demikian, beberapa intervestasi Juynboll atas
fenomana common link, jalur tunggal (single srand), dan jalur penyelam
(daiving strand) tampaknya tidak meyakinkan dan patut dipertanyakan serta
direvisi karena mengandung banyak anomaly. Intervestasi tentang
fenomena common link, jalur tunggal dan jalur menyelam yang ditawarkan
dalam studi ini berbeda dengan intervestasi Juynboll dan sangat berbeda
dengan intervestasi Michael Cook dan Norman Calder. Intervestasi semacam
itu lebih dekat dengan kesimpulan Motzki dan David S. Power .

Anda mungkin juga menyukai