Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH

LIVING QUR’AN SEBAGAI FENOMENA SOSIAL


KEAGAMAAN
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Ujian Akhir Semester
Mata Kuliah: Living Qur’an

Dosen Pengampu:
H. Abu Nasir, M. Pd

Disusun oleh:

Nur Muhammad Ridwan

PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR


FAKULTAS USHULUDIN ADAB DAN DAKWAH
INSTITUT AGAMA ISLAM (IAI) CIREBON
TAHUN 2022
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan nikmat iman, islam serta
kesehatan sehingga kami bisa menyelesaikan makalah ini. Shalawat serta salam tidak
lupa kami sampaikan kepada baginda Nabi Muhammad SAW yang senantiasa
menjadi suri tauladan yang cahayanya tidak akan padam kapanpun. Atas berkat
rahmat Allah, akhirnya saya dapat menyusun makalah dengan judul “Living Qur’an
sebagai fenomena sosial keagamaan”. Juga tak lupa kami mengucapkan banyak
terimakasih kepada dosen pengampu mata kuliah Living Qur’an. Bapak H. Abu
Nasir, M. Pd yang telah membimbing saya dalam penyusunan makalah ini.

Saya menyadari bahwasanya dalam penyusunan makalah ini terdapat banyak


kekurangan, baik dalam segi penyusunan maupun pengolahan materi. Untuk itu saya
meminta kritik dan saran yang membangun dari seluruh pihak agar saya dapat
menyusun makalah yang lebih baik lagi di kemudian hari. Semoga Allah SWT
senantiasa memberikan limpahan keberkahan dalam hidup kita semua. Aamiin ya
rabbal’aalamiin.

Cirebon, 24 Juni 2022

Penulis

i
DAFTAR ISI

Halaman
KATA PENGANTAR ....................................................................................... i

DAFTAR ISI ...................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN .................................................................................. 1

A. Latar Belakang Masalah .................................................................... 1

B. Rumusan Masalah ............................................................................ 2

C. Tujuan Masalah ................................................................................. 2

BAB II LANDASAN TEORI ........................................................................... 3

A. Pengertian Living Qur’an.................................................................. 3

B. Arti Penting Kajian Living Qur’an ................................................... 5

C. Resepsi Masyarakat Terhadap Living Qur’an................................... 7

BAB III PENUTUP ........................................................................................... 12

A. Simpulan ........................................................................................... 12

B. Saran .................................................................................................. 12

DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Al-Quran merupakan kitab suci umat Islam yang mempunyai daya tarik
untuk dibahas, banyak ruang yang menjadi lahan kajian dalam Al-Qur’an. Kajian
tersebut tiap tahun terus berkembang, hasil tulisan tersebut yang bersifat ilmiah
bisa berupa skripsi, tesis, ataupun tulisan lain yang membahasa tentang al-
Qur’an. Akan tetapi, secara general pembahasan tentang AlQur’an bisa didekati
dengan tawaran yang dilakukan oleh Amin al-Khuli (w. 1976) yang dikutip oleh
Nur Kholis Setiawan, yaitu, dirasah mahawl al-Qur’an dan dirasah fial-Qur’an
nafsih.1
Penulis mencatat, tawaran yang diberikan oleh Amin al-Khuli terlalu
melangit. Dengan bahasa yang sederhana, pembahasan tentang hal itu mungkin
sudah banyak yang membahas dan kurang relevan ketika disandingkan dengan
realitas masyarakat sekarang, ketika menilai dan memandang ajaran yang
terkandung dalam al-Qur’an. Dengan tanpa menyingkirkan kajian tersebut yang
juga mengandung nilai ilmiah, tetapi keadaan menyatakan bahwa ada perbedaan
antara kondisi sosial waktu al-Qur’an diturunkan dan keadaan masyarakat masa
kini.
Dengan demikian, untuk mengisi kekosongan kajian yang berhubungan
dengan realitas masyarakat yang berinteraksi dengan al-Qur’an dengan persepsi
yang berbeda-beda, dibutuhkan arah baru atau tawaran metodis. Atas dasar
tersebut, ditawarkan arah baru kajian al-Qur’an yang disebut dengan Living
Qur’an Implementasi nilai-nilai dan norma-norma yang terdapat dalam setiap
symbol sila Pancasila menunjukan jati diri bangsa Indonesia Nilai-nilai dan

1
Nur Kholis Setiawan, Pribumisasi al-Qur’an: Tafsir Berwawasan Keindonesiaan (Yogyakarta:
Kaukaba Dipantara, 2012), hlm. 17-18; Aksin Wijaya, Menggugat Otentisitas Wahyu Tuhan
(Yogyakarta: Magnum, 2011), hlm. x

1
norma-norma tersebut menjadi salah satu pendorong munculnya pandangan
positif dunia internasional kepada bangsa Indonesia. Mereka memandang bahwa
bangsa Indonesia mampu memberikan pandangan positif terhadap keragaman
yang ada dalam masyarakat. Oleh karena itu, bangsa Indonesia sudah
sepantasnya bangga dengan Pancasila dan mengimplementasikan nilai-nilai dan
norma-norma Pancasila secara murni dan konsekuen.
Atas dasar pemikiran di atas, penulis ingin mengangkat tema yang
berkaitan erat dengan Al-Qur’an yang menjadi kajian konsens Living Qur’an,
khususnya yang berkaitan dengan fenomena sosial keagamaan.

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian living Al-Qur’an dan urgensinya?
2. Apa arti penting kajian living Al-Qur’an?
3. Bagaiamana resepsi masyarakat terhadap living al-qur’an ?

C. Tujuan Masalah
1. Menjelaskan pengertian living Al-Qur’an dan urgensinya
2. Mengetahui arti penting kajian living Al-Qur’an
3. Mengetahui resepsi masyarakat terhadap living al-qur’an

2
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Pengertian Living Al-Qur’an dan Urgensinya
Banyak definisi yang ditawarkan untuk menentukan arah kajian Living
Qur’an, salah satunya datang dari Sahiron Syamsuddin yang menyatakan, “Teks
Al-Qur’an yang ‘hidup’ dalam masyarakat itulah yang disebut Living Qur’an,
sedangkan manifestasi teks yang berupa pemaknaan Al-Qur’an disebut dengan
Living Tafsir. Adapun yang dimaksud dengan teks Al-Qur’an yang hidup ialah
pergumulan teks Al-Qur’an dalam ranah realitas yang mendapat respons dari
masyarakat dari hasil pemahaman dan penafsiran. Termasuk dalam pengertian
‘respons masyarakat’ adalah resepsi mereka terhadap teks tertentu dan hasil
penafsiran tertentu. Resepsi sosial terhadap Al-Qur’an dapat ditemui dalam
kehidupan sehari-hari, seperti pentradisian bacaan surat atau ayat tertentu pada
acara dan seremoni sosial keagamaan tertentu. Sementara itu, resepsi sosial
terhadap hasil penafsiran terjelma dalam dilembagakannya bentuk penafsiran
tertentu dalam masyarakat, baik dalam skala besar maupun kecil.2
"Model penelitian living al-Qur'an dapat disebut sebagai penelitian
keagamaan (religious research) yang menempatkan agama sebagai sistem
keagamaan, yakni sistem sosiologis, suatu aspek organisasi sosial dan hanya
dapat dikaji secara tepat jika karakteristik itu diterima sebagai titik tolak. Jadi,
bukan Meletakan agama sebagai doktrin, tapi agama sebagai gejela sosial.3
Kehadiran Al-Qur'an telah melahirkan beragam bentuk respon dan
peradaban yang begitu kaya, apapun model pembacaannya. Nasr Hamid
mengistilahkan Al-Qur'an menjadi muntij ats tsaqafah (produsen peradaban). Al-
Qur'an telah direspon dan diapresiasi sedemikian rupa sejak kehadirannya,
pertama: bagaimana cara membaca dan ragamnya sehingga lahirlah ilmu Tajwid,
2
Sahiron Syamsuddin, “Ranah-ranah dalam Penelitian Al-Qur’an dan Hadis”, Kata Pengantar,
dalam Metodologi Penelitian Living Qur’an dan Hadis (Yogyakarta: Teras, 2007), hlm. xviii-xiv
3
Lihat John Middelton, The Religious System' dalam A. Handbook of Method in Cultural Anthropolgy,
Ed. Raul Naroll, (New York: Columbia University Press, 1973), hlm 502

3
ilmu Qira'at, kedua: bagaimana menulisnya dan lahirlah ilmu Rasm Utsmani,
seni kaligrafi, ketiga: bagaimana cara melagukannya dan lahirlah seni baca Al-
Qur'an, keempat: bagaimana memahami isi kandungannya yang melahirkan ilmu
tafsir, dan seterusnya.4
Kajian di bidang Living Qur'an memperlihatkan kontribusinya bagi
pengembangan wilayah kajian Al-Qur'an yang sangat signifikan. Di mana tafsir
selama ini dipahami hanya berupa teks grafis (kitab atau buku), padahal makna
tafsir bisa dikembangakan dan diperluas. Seperti tafsir yang berupa praktek
prilaku atau respon masyarakat yang inspirasinya berangkat dari kehadiran Al
Qur'an.5
Kemudian, kajian Living Qur'an merupakan ranah baru yang relatif
belum banyak disentuh. Bisa terlihat dari skripsi yang hanya terbatas pada kajian
teks, jadi melalui kajian ini dapat memperluas ranah penelitian, sehingga tidak
akan ada lagi alasan kehabisan bahan penelitian. Kajian ini pula dimanfaatkan
untuk kepentingan dakwah serta pemberdayaan masyarakat, di mana diharapkan
hasilnya akan tampak lebih maksimal ketika mengapresiasi Al-Qur'an.
Definisi yang ditawarkan di atas semuanya sudah memenuhi ruang
lingkup yang berhubungan dengan Living Qur’an. Dengan bahasa yang
sederhana, dapat dikatakan bahwa Living Qur’an adalah interaksi, asumsi,
justifikasi, dan perilaku masyarakat yang didapat dari teks-teks Al-Qur’an. Lebih
jauh lagi, melalui kajian ini memberikan arti penting dalam memberi paradigma
baru bagi berkembangnya kajian Al-Qur'an di era kontemporer, agar dalam studi
Al-Qur'an tidak berhenti hanya pada kajian teks saja. Tetapi, akan lebih banyak
mengapresiasi respon dari tindakan masyarakat terhadap Al-Qur'an yang
menghadirkan partisipasi masyarakat.

4
Abdul Mustaqim, Metode Penelitian Al-Qur'an dan Tafsir, (Yogyakarta: Idea Press Yogyakarta,
2019), Cet. Ke-1, hlm 104
5
Abdul Mustaqim, Metode Penelitian Al-Qur'an dan Tafsir, hlm 107

4
B. Arti penting kajian living Qur’an
Dadan Rusmana menyampaikan dalam tulisannya yang berjudul Metode
Penelitian Al-Qur'an dan Tafsir bahwa "Al-Qur'an bisa berfungsi sebagai
pembela kaum tertindas, pengerem tindakan zalim, penyemangat perubahan,
penentram hati, bahkan obat (syifa') atau penyelamat dari malapetaka. Mereka
mentransformasikan teks Al-Qur'an menjadi sebuah obyek yang bernilai dengan
sendirinya dan hidup."6
Penelitian ilmiah tentang Livimg Qur`an dirasa perlu dikemukakan
untuk menghindari dimasukkannya tendensi keagamaan yang tentu
dengan tendensi ini berbagai peristiwa tersebut akan dilihat dengan
kacamata ortodoksi yang ujung-ujungnya berupa vonis “hitam –putih”,
“sunnah –bid‟ah”, “syari‟ah –ghairu syari‟ah” atau yang lainnya7.
Kajian di bidang Living Qur`an memberikan sumbangsih yang cukup
penting dan berarti untuk pengembangan wilayah objek kajian al-Qur`an.
Sebagai paradigma baru bagi pengembangan kajian qur‟an dewasa ini,
sehingga studi qur`an tidak hanya berkutat pada wilayah kajian teks saja.8
Abdul Mustaqim dalam bukunya Metode Penelitian al-Qur`an dan Tafsir
menyebutkan:
“Jika selama ini ada kesan bahwa tafsir dipahami harus berupa teks
grafis (kitab atau buku), maka makna tafsir sebenarnya bisa diperluas.
Tafsir dapat berupa respon atau praktik perilaku suatu masyarakat yang
diinspirasi oleh kehadiran al-Qur`an.”9

6
Dadan Rusmana, Metode Penelitian Al-Qur'an dan Tafsir, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2015), Cet
ke-1, hlm 294
7
M. Mansur, “Living Qur‟an dalam Lintasan Sejarah Studi Qur‟an “, dalam Syahiron
Syamsuddin (ed.), Metodologi Penelitian Living Qur’an dan Hadis, (Yogyakarta: Teras, 2007), 8
8
Abdul Mustaqim, “Metode Penelitian Living Qur’an” dalam Sahiron Syamsuddin (ed.),
Metodologi Penelitian Living Qur’an dan Hadis,(Yogyakarta: Teras, 2007), 70.
9
Abdul Mustaqim, Metode Penelitian Al-Qur`an dan Tafsir, (Yogyakarta: Idea Press Yogyakarta,
2017), cet. ke-3, 107.

5
Kemudian di sisi lain, kajian Living Qur`anjuga dapat
dimanfaatkan untuk kepentingan dakwah dan pemberdayaan masyarakat,
sehingga masyarakat dapat lebih maksimal dalam mengapresiasi al-
Qur`an,“
... Kajian living Qur’an juga dapat dimanfaatkan untuk
kepentingan dakwah dan pemberdayaan masyarakat, sehingga mereka
lebih maksimal dalam mengapresiasi al-Qur‟an. Sebagai contoh, apabila di
masyarakat terdapat fenomena menjadikan ayat-ayat al-Qur`an „hanya‟
sebagai „jimat‟ atau jampi-jampi untuk kepentingan supranatural, sementara
mereka sebenarnya kurang memahami apa pesan-pesan dari kandungan al-
Qur`an, maka kita dapat mengajak dan menyadarkan mereka bahwa al-
Qur`an diturunkan fungsi utamanya adalah untuk hidayah. Dengan begitu,
maka cara berpikir “klenik” sedikit demi sedikit dapat digeser menuju cara
berpikir yang lebih akademik yaitu misalnya dengan mengenalkan kajian
tafsir. Lebih dari itu, masyarakat yang tadinya hanya mengapresiasi al-Qur`an
sebagai jimat, bisa disadarkan agar al-Qur`an dijadikan sebagai „ideologi
transformatif‟ untuk kemajuan peradaban.”
Peran dari adanya kajian Living Qur`anyang selanjutnya yakni
menurut pandangan masyarakat yang sedang diteliti, kajian atau riset Living
Qur`an dimaksudkan untuk memahami cara berpikir dan tingkah laku
mereka. Mencari jawaban dari apa sebenarnya yang mendorong mereka me-
resepsi(baca: respon dan apresiasi) al-Qur`an seperti itu, dan apa makna yang
terkandung bagi mereka dalam kehidupan. Dan yang terpenting, peneliti
dapat mencari dan menemukan relasi antara teks (baik ayat, hadits, atau
maqo>lah) yang menjadi dasar dari model resepsimereka terhadap Al-Qur`an.
Yang tentunya dalam hal ini terdapat proses „penafsiran kreatif‟ masyarakat,
yang bisa jadi sebagian orang akan menilainya sebagai penyimpangan atau
“bid’ah”, tetapi bagi sosiolog, antropolog, maupun masyarakat yang

6
menjunjung tinggi budaya setempat akan menilai praktik tersebut merupakan
proses kreatif dalam merespon dan mengapresiasi kehadiran al-Qur`an.
Berikutnya, arti penting kajian Living Qur`an adalah sebagai paradigma
baru bagi pengembangan kajian qur`an kontemporer, sehingga studi Qur`an
tidak hanya pada wilayah kajian teks. Pada wilayah Living Qur`an, kajian
tafsir akan lebih banyak mengapresiasi respon dan tindakan masyarakat
terhadap kehadiran al-Qur`an.

C. Resepsi Masyarakat terhadap Living Al-Qur’an


Fathurrosyid dalam Tipologi Ideologi Resepsi Al-Qur'an di Kalangan
Masyarakat Sumenep Madura menyebutkan tiga unsur yang harus dipenuhi agar
dianggap sebagai sebuah karya sastra, antara lain: "Pertama, Estetika rima dan
irama, Kedua, Defamiliarisasi yakni ketakjuban atau kekaguman yang secara
psikologis dirasakan oleh pembaca setelah mengkonsumsi karya tersebut, ketiga,
reinterpretasi, yakni rasa ingin tahu atau kuriositas pembaca dalam
menginterpretasi ulang karya yang telah dibaca.10
Lebih rinci bahwa dalam unsur yang pertama dapat dilihat pada surah al-
Falaq dan an-Nâs (mu'awwidzatain) yang keindahannya nampak mempengaruhi
pembaca maupun pendengarnya secara tidak langsung.11 Untuk unsur yang
kedua (defamiliarisasi) dalam hal ini pembaca secara otomatis dibuat takjub oleh
Al-Qur'an yang berisikan ayat-ayat Al-Qur'an, baik redaksi ataupun makna yang
dimiliki Al-Qur'an.
Sedangkan untuk unsur ketiga adanya tindakan merespon dari pembaca
kepada Al-Qur'an, dilanjutkan dengan meneliti aspek aspek yang berkaitan, baik
estetika, retorika maupun aspek lain. Tindakan tersebut melahirkan berbagai
respon yang merupakan wujud nyata pemahaman muslim terhadap "Al-Qur'an.
10
Fathurrosyid, "Tipologi Ideologi Resepsi Al-Qur'an di Kalangan Masyarakat Sumenep Madura",
(t.t.p.: El Harakah Jurnal Budaya Islam, 2016), Vol. 7, No 3 hlm 28-39
11
Nur Huda, "Uslub At-Tikrar fi Surat Al-Mu'awwidzatain", (Indonesia Jurnal of Islamic Literature
and Muslim Society, 2020), Vol. 5, No 1 hlm 1-13

7
Nur Kholis Setiawan menyebutkan bahwa secara teoritis, resepsi
masyarakat terhadap Al-Qur'an ada tiga bentuk: 12
a. Bentuk pertama adalah resepsi kultural, resepsi ini mecoba menunjukkan
pengaruh Al-Qur'an dan perannya dalam membentuk budaya masyarakat.
b. Bentuk kedua yaitu resepsi hermeneutik, resepsi ini memaparkan semua
yang berkaitan dengan perkembangan perkembangan studi interpretasi teks
dan aktivitas interpretasi teks itu.
c. Bentuk terakhir adalah resepsi estetik, di mana proses penerimaan dengan
dua panca indera (mata atau telinga). pengalaman tentang seni, serta cita rasa
akan sebuah objek atau penampakan. Jadi, kajian Living Qur'an terletak
kepada resepsi kultural dan estetik.
Sedang Ahmad Rafiq mengatakan bahwa kajian resepsi termasuk kajian
fungsi, antara lain adalah fungsi informatif dan fungsi performatif. Adapun
fungsi informatif mengungkapkan bahwa Al Qur'an adalah kitab yang tidak
hanya dibagn, tetapi juga dipahami dan diterapkan. Sedangkan fungsi performatif
lebih kepada tindakan, di mana pertanyaan bagaimana akan muncul di benak
pembaca untuk mengetahui cara memberlakukan Al-Qur'an dengan berbagai
bentuk, baik berupa wirid, suwuk, deresan, dan lain-lain.13
Ahmad Rafiq menambahkan dalam tulisannya Pembacaan yang
Atomistik terhadap Al-Qur'an: Antara Penyimpangan dan Fungsi bahwa kajian
Al-Qur'an yang performatif lebih sering dilakukan di pondok pesantren, dalam
hal ini bisa dikaji dalam tiga tipologi, yaitu: 14
a. Resepsi Exegesis

12
M. Nur Kholis Setiawan, Al-Qur'an Kitab Sastra Terbesar, hlm 68
13
Akhmad Roja Zaman, "Resepsi Al-Qur'an di Pondok Pesantren Al-Hidayah Karangsuci
Purwokerto", (Maghza: Jurnal IAT, 2019), Vol. 4, No. 1, h. 15-31 dalam Nurul Huda dan Athiyyatus
Sa'adah Albadriyah, "Living Qur'an: Resepsi Al-Qur'an Di Pondok Pesantren Al-Husna Desa Sidorejo
Pamot Rembang",
https://scholar.google.co.id/scholar?hl=id&as_sdt=0,5&q=resepsi+al+qur 9%
27an&oq=resepsi+Al#d=gs_qabs&u=#p=BjtcUSGheeUJ , diakses tanggal 25 Juni 2022 jam 01.18
14
Ahmad Rafiq. "Pembacaan yang Atomistik terhadap Al-Qur'an: antara Penyimpangan dan Fungsi",
(Jurnal Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur'an dan Hadis. 2004), Vol. 5, No. 1, h.

8
Masyarakat dalam hal ini menerima Al-Qur'an sebagai teks yang
bermakna tekstual yang dilalui dengan proses penafsiran. Resepsi ini
menghasilkan 2 bentuk praktik, yaitu penafsiran melalui lisan (kajian kitab
tafsir) dan penafsiran melalui tulisan (karya-karya tafsir).
b. Resepsi Estetis
Proses penerimaan Al-Qur'an dengan menunjukkan keindahan yang
dapat dilihat di dalam Al-Qur'an. Al-Qur'an dipandang sebagai teks yang
memiliki keindahan atau nilai estetis di dalamnya. Hal ini diartikan bahwa
Al-Qur'an adalah karya sastra yang tak tertandingi yang mengandung butir-
butir melodik dan puitik. Jadi, Al-Qur'an ini diresepsi secara estetis, yaitu
dengan dibaca, ditulis, disuarakan serta ditampilkan pula secara estetis.
c. Resepsi Fungsional
Bentuk resepsi ini ingin memperlihatkan bahwa Al-Qur'an diposisikan
sebagai kitab yang disuguhkan kepada manusia untuk dipergunakan dalam
mencapai tujuan tertentu. Manusia menggunakannya baik untuk tujuan
normatik ataupun praktik. Hal tersebut adalah akibat manusia sebagai
subyek merespon kitab yang mengarahkannya untuk melahirkan suatu sikap
bahkan prilaku.
Pada akhirnya, fenomena sosial budaya yang ada di masyarakat akan
terwujud melalui resepsi fungsional. Perealisasiannya terlihat dari adanya
tindakan membaca, menyuarakan, menulis, memakai, serta Al-Qur'an
diletakkan ditempat-tempat tertentu. Hal ini bisa dilakukan baik individu,
kelompok, rutin bahkan menjadi adat, hukum dan politik. Misalnya sima'an
dan kegiatan santri lainnya di Pondok Pesantren yang merupakan proses
resepsi Al-Qur'an,15

15
Nurul Huda dan Athiyyatus Sa'adah Albadriyah, "Living Qur'an: Resepsi Al-Qur'an Di Pondok
Pesantren Al-Husna Desa Sidorejo Pamot Rembang", h. 362

9
Resepsi Al-Qur'an berdasarkan pemaknaan Nur Kholis Setiawan
adalah interaksi antara pendengar serta teks bacaan (Al-Qur'an).16 Jadi, Al-
Qur'an diresepsi dengan cara diterima, direspon, dimanfaatkan, digunakan
baik sebagai mushaf yang memiliki makna sendiri atau kumpulan lepas kata-
kata yang memiliki makna tertentu, dengan kata lain bagaimana orang
merespon dan bereaksi terhadap Al-Qur'an.17
Al-Qur'an sebagai karya sastra mempunyai daya pengaruh estetis dan
emosional terhadap kaum muslimin yang sangat kuat melalui membaca dan
mendengarkannya, karena tidak sedikit orang meneteskan dan berlinang air
mata. Sayyid Quthub (w. 1386 H) memberikan istilah Mashûrun bi Al-
Qur'an, yaitu orang-orang yang tersihir dengan keindahan Al-Qur'an dari
redaksi maupun isi dan makna, seperti yang pernah dialami Khalifah Umar
bin Khaththab ketika mendengarkan salah satu surah Al-Qur'an yang dibaca
oleh adik beliau.18 Hal ini terjadi karena adanya nilai estetis yang terkandung
dalam bacaan Al-Qur'an. Al-Qur'an menghadirkan reaksi dan membangun
energi kejiwaan bagi pembaca ataupun pendengar untuk memberikan
tanggapan yang bermacam-macam.19
Resepsi pembaca pada dasarnya berasas pada pemikiran Hans Robert
Jauss dan Wolfgang Iser sebagai peletak dasar tentang resepsi pembaca.
Pandangan yang dimiliki keduanya adalah terhadap proses penerimaan yang
diadakan pembaca.20
Pendekatan yang dimiliki antara Wolfgang Iser dan Hans Robert Jauss
agak berbeda, terlihat pada konsep dari keduanya dalam fokus penelitiannya.

16
M. Nur Kholis Setiawan, Al-Qur'an Kitab Sastra Terbesar, h. 68
17
Ahmad Rofiq, dkk., Islam. Tradisi dan Peradaban, (Yogyakarta: Bina Mulia Pres, 2012), h. 73
18
Al-Baihaqi, Dalail an-Nubuwwah. (Kairo: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1968). h. 199 dalam Nurul
Huda dan Athiyyatus Sa'adah Albadriyah, "Living Qur'an: Resepsi Al-Qur'an Di Pondok Pesantren
Al-Husna Desa Sidorejo Pamot Rembang", h. 362
19
Ahmad Rofiq, dkk., Islam, Tradisi dan Peradaban, h. 69
20
Imas Lu'ul Jannah, "Resepsi Estetik terhadap Al-Qur'an pada Lukisan Kaligrafi Syaiful Adnan".
(Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga, 2017), Vol. 3. No. 1. h. 27

10
Hans Robert Jauss mengkaji bagaimana seorang pembaca mengolah dengan
menerima dan memahami teks. Achmad Yafik Mursyid menyebutkan Hans
Robert Jauss di awal tulisan bukunya Toward an Aesthetic of Reception21
telah mengisyaratkan bahwa yang akan menentukan penerimaan teks
pembaca adalah cakrawala harapan pembaca yang berkembang dalam suatu
peristiwa historis.22
Adapun cakrawala harapan yang dimaksudkan oleh Jauss terbagi atas
tiga dasar faktor, antara lain sebagai berikut:
a. Norma-norma genre terkenal teks yang diresepsi.
b. Relasi implisit dengan teks yang telah dikenal dari periode sejarah sastra
yang sama.

21
Hans Robert Jauss, Toward an Aesthetic of Reception, (Minneapolis: University of Minnesota,
1982), h. 4
22
Achmad Yafik Mursyid, "Resepsi Estetis terhadap Al-Qur'an (Implikasi Teori Resepsi Estetis Navid
Kermani terhadap Dimensi Musikalitas Al Qur'an)". h. 58

11
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan tentang living qur’an sebagai fenomena sosial
keagamaan dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Living Qur’an adalah interaksi, asumsi, justifikasi, dan perilaku masyarakat
yang didapat dari teks-teks Al-Qur’an. Lebih jauh lagi, melalui kajian ini
memberikan arti penting dalam memberi paradigma baru bagi
berkembangnya kajian Al-Qur'an di era kontemporer.
2. Arti penting kajian Living Qur`an adalah sebagai paradigma baru bagi
pengembangan kajian qur`an kontemporer, sehingga studi Qur`an tidak
hanya pada wilayah kajian teks. Pada wilayah Living Qur`an, kajian
tafsir akan lebih banyak mengapresiasi respon dan tindakan
masyarakat terhadap kehadiran al-Qur`an.
3. Dalam resepsi masyarakat terhadap living qur’an memiliki pendapat yang
berbeda-beda salah satunya menurut Ahmad Rafiq adalah resepsi exsegesis,
resepsi estetis, dan resepsi fungsional.
B. Saran
Penulis menyadari masih terdapat banyak kekurangan dalam makalah ini.
Kekurangan tersebut baik dari segi penulisan atau lainnya. Penulis berharap
mendapatkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca. Sehingga dapat
memperbaiki makalah berikutnya. Penulis juga berharap makalah ini dapat
bermanfaat untuk setiap pembaca.

12
DAFTAR PUSTAKA

Abdul Mustaqim, (2019). Metode Penelitian Al-Qur'an dan Tafsir, Yogyakarta: Idea
Press, Cet. Ke-1
Abdul Mustaqim, (2017) “Metode Penelitian Living Qur’an” dalam Sahiron
Syamsuddin (ed.), Metodologi Penelitian Living Qur’an dan Hadis,
Yogyakarta: Teras
Ahmad Rafiq. (2004) "Pembacaan yang Atomistik terhadap Al-Qur'an: antara
Penyimpangan dan Fungsi", (Jurnal Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur'an dan Hadis,
Vol. 5, No. 1
Ahmad Rofiq, dkk.,(2012) Islam. Tradisi dan Peradaban, Yogyakarta: Bina Mulia
Pres
Akhmad Roja Zaman, "Resepsi Al-Qur'an di Pondok Pesantren Al-Hidayah
Karangsuci Purwokerto", (Maghza: Jurnal IAT, 2019), Vol. 4, No. 1, h. 15-31
dalam Nurul Huda dan Athiyyatus Sa'adah Albadriyah, "Living Qur'an:
Resepsi Al-Qur'an Di Pondok Pesantren Al-Husna Desa Sidorejo Pamot
Rembang",https://scholar.google.co.id/scholar?hl=id&as_sdt=0,5&q=resepsi+
al+qur9%27an&oq=resepsi+Al#d=gs_qabs&u=#p=BjtcUSGheeUJ,(diakses
tanggal 25 Juni 2022) Pukul 01.18 WIB
Aksin Wijaya, (2011). Menggugat Otentisitas Wahyu Tuhan. Yogyakarta: Magnum
Al-Baihaqi, Dalail an-Nubuwwah.(1968). Kairo: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, dalam
Nurul Huda dan Athiyyatus Sa'adah Albadriyah, "Living Qur'an: Resepsi Al-
Qur'an Di Pondok Pesantren Al-Husna Desa Sidorejo Pamot Rembang",
Dadan Rusmana, (2015). Metode Penelitian Al-Qur'an dan Tafsir, Bandung: CV
Pustaka Setia, Cet ke-1
Fathurrosyid, "Tipologi Ideologi Resepsi Al-Qur'an di Kalangan Masyarakat
Sumenep Madura", (t.t.p.: El Harakah Jurnal Budaya Islam, 2016), Vol. 7, No
3 hlm 28-39
Hans Robert, (1982). Jauss, Toward an Aesthetic of Reception, Minneapolis:
University of Minnesota.
Imas Lu'ul Jannah, (2017). "Resepsi Estetik terhadap Al-Qur'an pada Lukisan
Kaligrafi Syaiful Adnan". Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga, Vol. 3. No. 1.
Lihat John Middelton, (1973). The Religious System' dalam A. Handbook of Method
in Cultural Anthropolgy, Ed. Raul Naroll, New York: Columbia University
Press.
M. Mansur, (2007). “Living Qur‟an dalam Lintasan Sejarah Studi Qur‟an “,
dalam Syahiron Syamsuddin (ed.), Metodologi Penelitian Living Qur’an
dan Hadis, Yogyakarta: Teras
Nur Huda, (2020) "Uslub At-Tikrar fi Surat Al-Mu'awwidzatain", (Indonesia Jurnal of
Islamic Literature and Muslim Society, Vol. 5, No 1 hlm 1-13
Nur Kholis Setiawan, (2012). Pribumisasi al-Qur’an: Tafsir Berwawasan
Keindonesiaan Yogyakarta: Kaukaba Dipantara
Sahiron Syamsuddin, (2007). “Ranah-ranah dalam Penelitian Al-Qur’an dan
Hadis”, Kata Pengantar, dalam Metodologi Penelitian Living Qur’an dan
Hadis Yogyakarta: Teras

Anda mungkin juga menyukai