Pendahuluan
Menafsirkan al-Qur’an berarti berupaya untuk menjelaskan dan mengungkap bagaimana
makna yang terkandung didalam al-Qur’an. Maka sebab itu, obyek tafsir adalah al-Qur’an yang
mana ia merupakan sumber dari penafsiran pertama ajaran islam sekaligus sebagai petunjuk bagi
umat manusia itu sendiri. Maka penafsiran terhadap al-Qur’an bukan hanya merupakan hal yang
diperbolehkan bahkan lebih dari itu. Yakninya merupakan keharusan bagi orang-orang yang
memenuhi kualifikasi untuk melakukan hal tersebut.
Sejalan dengan kebutuhan manusia terutama umat islam untuk mengetahui seluruh
kandungan al-Qur’an serta perhatiannya terhadap tafsir al-Qur’an, maka tafsir al-Qur’an terus
berkembang baik itu dimasa klasik, modren hingga masa kontemporer dewasa ini. Pada tahap-
tahap tertentu perkembangannya ini kita bisa melihat adanya karakteristik yang berbeda-beda
dari satu generasi ke generasi lain.
Sebut saja, Mesir. Bisa dikatakan negara tersebut memiliki intelektual umat islam pada
abad ke – 19. Dari negara inilah muncul para cendikiawan muslim yang kemudian
mengembangkan pengetahuan mereka lewat pena dan lisan mereka. Muhammad abduh,
Muhammad Rasyid Ridha, Thanthawi Jauhari, Bint al-Syathi, sampai pada Ahmad Musthofa al-
Maraghi adalah potret-potret cendikiawan Muslim yang sukses pada masanya. Minimalnya
adalah dengan telah menumbuhkan kesadaran umat islam akan pentingnya berkaca pada al-
Qur’an dan Hadits Nabi, yang sebanrnya keduanya merupakan sumber dan pegangan yang tidak
terelakkan bagi seluruh umat manusia.
Sekalipun tidak se-fenomenal Muhammad Abduh, Ahmad Musthofa al-Maraghi adalah
tokoh yang memiliki andil besar dalam mewujudkan pemikiran umat manusia, islam khususnya
dalam bidang tafsir, yang kemudian mendapatkan tempat dihati kebanyakan masyarakat muslim.
Dalam makalah yang sangat sederhana ini, pemakalah berusaha untuk menguak
sekelumit tentang tafsir yang terdiri dari 10 jilid ini, latar belakang hingga bagaimana metodologi
penulisan tafsir tersebut.
KESIMPULAN
Berdasarkan uraian pembahasan di atas, maka penulis merumuskan kesimpulan sebagai berikut:
Al-Maraghi menuliskan tafsirannya adalah tentang bagaimana kegelisahannya ketika
dihadapkan pada kondisi dimana kebanyakan tafsir yang beredar dalam masyarakat masih sulit
dipahami, apalgi ketika diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Menurutnya masyarakat
islam tidaklah boleh menerima secara mentah istilah-istilah yang ketika disampaikan justru akan
memunculkan keruwetan. Bahasa yang disajikan seharusnya adalah bahasa yang sederhana,
sehingga memudahkan pembacanya dalam memahami maksud dari ayat-ayat al-Qur’an tersebut
dengan cepat dan tepat.
Ketika menafsirkan ayat tentang syukur, beliau menafsirkan syukur cukup mendalam
sehingga para pembaca dapat memahami dengan jelas apa yang terkandung dalam ayat syukur
tersebut.Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, bahwa lewat tafsirnya, Ahmad Mustafa al-
Maraghi berusaha memberikan nuansa yang berbeda, yakni dengan mengesampingkan
pembahasan-pembahasan yang rumit dan bahasa-bahasa yang sulit dimengerti oleh awam. Ia
berusaha memberikan apa-apa yang dibutuhkan oleh masyarakat kontemporer, sehingga lahirlah
tafsir al-Maraghi tersebut. Adapun kontribusi nyata al-Maraghi dalam dunia tafsir tidak lain
adalah berupa karya tafsir moderen yang ditulis dengan sangat sistematis namun dengan bahasa
yang simpel dan efektif, sehingga mudah dipahami.Ide pembaharuan dalam tafsir al-Maraghi
juga bisa terlihat pada penggabungan beberapa metode tafsir sekaligus dalam proses penafsiran
dengan tidak melupakan pada sumber-sumber terdahulu.
Dari sisi metodologi, al-Maraghi juga bisa disebut mengembangkan metode baru. Bagi
sebagian pengamat tafsir, al-Maraghi adalah mufasir yang pertama kali memperkenalkan metode
tafsir yang memisahkan antara “uraian global” dan “uraian rincian”. Sehingga, penjelasan ayat-
ayat didalamnya dibagi menjadi dua ketegori, yaitu ma’na ijmali dan ma’na tahlili.
DAFTAR PUSTAKA