Hasyim Asyari
(Konsep Sunnah dan Bid’ah dalam kitab Risalah Ahlussunnah Wa al-
Jama’ah)
Oleh : Izza Royyani (18205010025)
Program Magister Konsentrasi Studi Qur’an dan Hadis
Jurusan Aqidah ddan Filsafat Islam
Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Islam
UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Abstrak
Tulisan ini membahas salah satu pemikir hadis di Indonesia yang
terkemuka yakni Hadratussyaikh KH. Hasyim Asy’ari. Dalam tulisan ini, penulis
menggunakan metode deskriptif untuk menjelaskan pemikiran beliau yang
terwujud dalam karya risalah ahlussunnah wal jama’ah yang menambah
khazanah kajian hadis di Indonesia. dalam tulisan ini akan dibahas tentang
sunnah dan bid’ah yang terdapat dalam kitab risalah aswaja sebagai respon
terhadap perbedaan yang terjadi dalam umat Islam.
A. Pendahuluan
1
Jama’ah, dalam karya ini beliau menuangkan pemikirannya mengenai hadis,
terdapat satu bab yang khusus membahas tentang sunnah dan bid’ah. Pembahasan
tersebut merupakan reson atas realitas yang terjadi ketika pemahaman tentang
bid’ah masuk ke Indonesia dan diterima oleh masyarakat umum.
Oleh karena itu, dalam tulisan ini difokuskan pada masalah sunnah
bid’ah, bagaimana KH. Hasyim Asy’ari menjelaskan tentang sunnah dan bid’ah
yang mana pada masa itu adalah sebuah respon terhadap perbedaan pemahaman di
kalangan umat Islam mengenai pemahaman agama.
Nama lengkap beliau adalah Muhammad Hasyim Asyari bin abd al-Wahid
bin Abd al-Halim. Beliau dilahirkan di desa Gedang, Jombang, Jawa Timur, 24
Dzulqo’dah 1287 H (14 Februari 1871 M). Ayahnya Asy’ari pendiri pesantren
keras, sementara kakeknya, Kyai Usman merupakan seorang pendiri pesantren
Gedang pda tahu 1950-an. adapun dari piha ibu, masih keturunan raja Brawijaya.
Dipercaya bahwa beliau merupakan keturuan raja jawa yakni jaka tingkir dan
Hindu Majapahit. Pada masa kecil hingga remaja, beliau berada dalam radisi
pesantrren. Beliaujuga tercatat telah mengembara ilmu ke beberapa pesantren
diantaranya yakni Pesantren Wonokoyo (Probolinggo), psantren Langitan
(Tuban), Pesantren Trenggalis dan Kademangan (Bangkalan, Madura) dan
pesantren lainnya.
2
mempunyai keutamaan ilmiah dan keutamaan. Ia merupakan ulama’ besar yang
pernah dimiliki bangsa ini, yang pengaruhnya tidak hanya kepada masyarakat
Indonesia, tetapi juga bagi kalangan muslim Asia Tenggara, bahkan di dunia
Internasional.
KH. Hasyim Asy’ari merupakan tokoh terkemuka sekaligus sosok yang
penting karena beberapa hal, yakni pertama, beliau merupakan ulama’ yang secara
konsisten mengusung paham AhlussunnahWal Jama’ah;1 kedua, KH. Hasyim
Asy’ari merupakan tokoh yang sangat penting karena merupakan salah satu
pendiri organisasi NU, bersama sejumah ulama’ pesntren alinnya.
1
Ahlussunnah Wal Jama’ah yaitu paham keagamaan yang dalam aqidah berpegang pada
teologi al-Asy’ariyyah dan al-Maturidiyah, dalam fikih pada empatmahdzab yang empat ( Syafi’i,
Maliki, Hambali dan Hanafi), dan dalam ranah tasawuf bersandar kepada Imam al-Ghazali dan
Imam Junaid al-Baghdadi. KH. Hasyim Asy’ari dalam kapasitasnya sebagai penjaga gawang dan
pengawal telah menyumbangkan pemikiran keislaman yang sangat berharga. Sebab, pemikiran
tersebut telah membuka cakrawala umat Islam terhadap khazanah keislaman klassik yang amat
luas dan kaya.setidaknya beliau telah menyelamatkan umat dari cara pandang hitam –putih yang
menghiasi keragaman. Lihat Zuhair Misrawi, Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari: Moderasi,
Keumatan dan Kebangsaan”, (Jakarta: Kompas, 2010), hlm. 6-7
2
Afriadi Putra, Pemikiran Hadis KH. Hasyim Asyari an Kontribusinya Terhadap Kajian
Hadis di Indonesia, Jurnal Wawasan I, No. 1 , Januari 2016, hlm. 48-49
3
meninggal dunia pada tanggal 27 Juli 1947 karena penyakit darah tinggi dan
stroke setelah menerima kabar bahwa penjajah belanda telah mengalahkan
pejuang Indonesia dan menguasai Singosari (Malang).3
3
4
Rahman Dahlan, Ushul Fiqh, (Jakarta: Amzah, 2016), hlm. 16
4
Sedangkan bid’ajh didefinisikan sebagai segala sesuatu yang baru. Bid’ah
dibagi menjadi dua macam, yakni bid’ah hasanah dan bid’ah dhalalah. Berikut
merupakan pendapat para ulama’ mengenai bid’ah, anatara lain:
1. Imam Syafi’i
Menurut imama syafi’i, bid’ah dibagi menjadi dua yakni bid’ah
hasanah dan bid’ah madzmudah. Bid’ah hasanah dibagi menjadi dua,
yakni wajib seperti kodifikasi al-Qur’an pada masa utsman bin affan.
Dan bid’ah sunnah seperti sholat tarawih sebanyak dua puluh raka’at.
2. Imam baihaqi
Menurut Imam Baihaqi, bid’ah dibagi menjadi dua, yakni bid’ah
mahmudah dan ghairu mahmudah. Setiap bid’ah yangtidak menyalahi
al-Qur’an, sunnah, dan ijma’ adalah bid’ah mahmudah. Sedangkan
bid’ah ghairumahmudah adalah bid’ah yang sama sekali tidak
memiliki dasar syar’i.
3. Imam Nawawi
Bid’ah menurut imam Nawawi dibagi menjadi dua, yakni bid’ah
hasanah dan bid’ah qabihah.
4. Imam al-Hafidz Ibn Atsir
Hampir sama dengan beberapa penpat diatas, Imam ibn Atsir
membagi bid’ah menjadi dua yakni bid’ahyangsesuai dengan petunjuk
nash dan bid’ah yang menyalahi nash atau tidak sesuai dengan nash.
Banyak karya dalam bidah hadis yang telah beliau tulis, salah satunya
seperti kitab Risalah ahlussunnah wal Jama’ah. Hal ini tidak bisa terlepas dari
pengaruh gurunya ketika beliau menggali ilmu di Makkah. Kitab ini menjadi
rujukan ketika mempelajari pemikiran hadis beliau. Secara implisit, tidak
diketahui latar belakang penulisan kitab tersebut. akan tetapi, dengan melihat
konteks yang terjadi massa itu yakni terdapat keberagaman umat Islam bertepatan
dengan masuknya semangat pembaharuan Islam dari timur tengah yag tentunya
5
mempengaruhi umat Islam di Indonesia. namuan, tidak semua pemabaharuan
terssebut sesuai dengan konteks masayarakat Indonesia, salah satunya yakni
amalan yang telah menjadi tradisi masyarakat Indonesia yang dianggap bid’ah.
Lafadz sunnah sebagaimana yang dikatakan oleh Abu al-Baqa dalam kitab
“kuliyyat” secara bahasa adalah suatu jalan walaupun tidak direstui. Sedangkan
secara syara’, sunnah adalah jalan yang diridlai (allah) yang ditempuh dalam
agama yaitu yang ditempuh oleh rasulullah saw., dan yang lainnya yang faham
dengan agama, dari kalangan para sahabat karena ada hadis yang menyatakan :
Sedangkan secara ‘urf (tradisi), sunnah adalah suatu ajaran yang diikuti
secara konsisten para pengikut nabi maupun wali dan istilah sunni adalah nisbat
dari sunnah.5 Sedangkan menurut ahli hadis, Sunnah adalah segala sesuatu yang
berasal dai rasulullah saw. baik berupa perkataan, perbuatan, ketetapan, sifat-sifat
fisik maupun akhlak beliau, serta sejarah perjalanan hidup beliau, baik sebelum
diutus menjadi rasul beliau maupun sesudahnya. Pada umumnya, sunnah terbagi
menjadi tiga bagian yakni:6
5
Muhammad Hasyim Asyari., Risalah ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah: fi hadits al-Mauta
wa Asyrath al-As’at wa al-Bayan Mafhum al-Sunnah wa al-Bid’ah terj. Ngabdurrohman al-Jawi,
(Jakarta: LTM PBNU, 2010), hlm. 3
6
Muhammad Hasyim Asyari., Risalah Aswaja: Dari Pemikiran, Doktrin, Hingga Model
Ideal Gerakan Keagamaan, (Yogyakarta: ar-Ruzz Media, 20105, hlm. 31-32
6
1. Sunnah Qauliyah, yakni hadis-hadis rasulullah saw. yang disabdakan
beliau untuk berbagai tujuan dan sebab, misalnya hadis tetang akidah
dan syari’at, akhlaq dan lain-lain.
2. Sunnah fi’liyah, yaitu perbuatan-perbuatan rasulullah saw. yang telah
diberitakan kepada kita olehpara sahabat. Sunnah fi’liyah ini bisa
berupa penjelasan praktis terhadap peraturan-peraturan syari’at yang
belum jelas tata pelakasanaannya. Seperti, wudhu, shalat dan ibadah
haji.
3. Sunnah taqririyah, yaitu segala sesuatu yang ditetapkan oleh rasulullah
saw. terhadap perkataan dan perbuatan yang dilakukan oleh sahabat.
Akan tetapi, ada lagi yang menamahkan satu jenis al-Sunnah, yaitu:
4. Sifat-sifat, keadaan-keadaan, an keinginan rasulullah saw. sifat-sifat
dan keadaan beliau yang termasuk unsur sunnah adalah pertama, sifat-
sifat fisik rasulullah saw yang dilukiskan oleh para sahabat dan ahli
sejarah. kedua, silsilah, nama-nama dan tahun kelahiran beliau
yangtelah ditetapkan oleh para sahabat r.a maupun sejawarawan.
Ketiga, keinginan beliau yang belum sempat terealisasikan.
1. Rasul. Ucapan dan sikapnya pasti benar karena bersumber dari allah
swt.
2. Mufti. Sama pada poin pertama, karena fatwa beliau berdasakan
pemahaman teks agama yang bersumber dari allah swt.
7
3. Hakim. Ketetapan hukumya secara formal benar, akan tetapi secara
mateerial adakalanya keliru.
4. Pemimpin masyarakat tertentu, maka kepemimpinan dan petunjuk-
petunjuk beliau dalam hal kemasyarakatan disesuaikan dengan kondisi
masyarakat tertentu, yang dapat berbeda dengan kondisi lain. termasuk
sesuatu yang beliau peragakan ketika beliau hidup.
5. Pribadi. Dalam hal ini ada dua macam yakni kekhususan beliau yang
tidak boleh ditiru dan sebagai manusia terlepas dari kerasulannya.
yakni barang siapa yang memunculkan perkara baru dalam urusan kami
(agama) yang tidak merupakan bagian dari agama itu, maka perkara tersebut
ditolak. (HR. Bukhari Muslim)
“dan setiap hal yang dibuat-buat (dalam agama) adalah bid’ah. (al-Nasa’i,
Ibnu Majah)”.
Para ulama telah menjelaskan bahwa pengertian kedua hadis di atas adalah
dikembalikan pada masalah hukum meyakini suatu amalan yang tidak bisa
mendekatkan diri kepada allah, bukan mutlak semuanya pembaharuan dalam
agama. Karena mungkin saja pembaharuan tersebut terdapat landasan ushulnya,
atau terdapat contoh furu’iyahnya, maka di qiyaskanlah terhadapnya.
8
semua muhadathat adalah bid’ah, atau dengan kata lain tidak semua muhadathat
itu bid’ah, meskipun tidak ada dalil yang menyatakannya secara jelas (sarih),
namun bisa jadi tetap bersandar pada syariat. Sandaran yang di maksud dapat
dengan menggunakan berbagai pendekatan metodologis yang ada, misalnya
melalui mekanisme penganalogian (qiyas). Hal ini berarti, penerjemahan terhadap
teks-teks otoritatif (hadis) tentang bid’ah harus menggunakan pendekatan yang
lebih menyeluruh atau tidak hanya tekstual semata.7
1. bid’ah sarih (bid’ah yang jelas dan terang), yaitu bid’ah sesuatu yang
ditetapkan tanpa memiliki landasan syari’at, baik yan wajib, yang
sunnah dan yang lainnya. Hal ini bisa memadamkan sunnah dan
membatilkan yang haq. Ini adalah seburuk-buruknya bid’ah, walaupun
misalnya disandarkan kepada seriu dalil ushul dan furu’. Maka hal ini
sama sekali tidak menjadi pertimbangan sama sekali.
2. Kedua, bid,’ah idlafiyyah (relasional), yaitu bid’ah yang disandarkan
pada suatu praktik tertentu walaupun terbebas dari unsur bid’ah, maka
tidak memperdebatkan apakah praktik tersebut tergolong sunnah atau
bukan bid’ah.
3. Ketiga, bid’ah khilafiyyah (yang diperselisihkan), yaitu yaitu bid’ah
yang memiliki dua sandaran yang argumentasinya sama-sama kuat.
Salah satu pihak akan mengataknnya sebagai bid’ah, sedang yang lain
mengatakan sunnah.
Selain itu, beliau mengutip pandangan Ibn abd al-Salam yang membagi
bid’ah menjadi enam hukum.
1. Bid’ah yang wajib, seperti belajar ilmu nahwu, ilmu gharib al-Qur’an
dan sunnah yang bisa membantu pemahaman agama.
7
Afriadi Putra, hlm. 53
9
2. Bid’ah yang haram, seperti aliran Qadariyah, Jabariyah dan
Mujassimah.
3. Bid’ah yang sunnah, seperti membangun pesantren dan madrasah dan
tiap-tiap hal baik yang belum pernah ada pada generasi awal Islam.
4. Bid’ah yang makruh seperti menghias masjid secara berlebihan dan
menyobek-nyobek mushaf.
5. Bid’ah yang mubah, seperti berjabat tangan setelah sholat,
melonggarkan baju dan lain-lain.
10
Adapun mengenai contoh bid’ah, berikut merupakan perkara-perkara
dalam masyarakat yang sering dianggap sebagai bid’ah adalah penggunaan tasbih,
melafadzkan niyat, tahlilan atau mendo’akan orang yang telah meninggal tanpa
s4uatu apapun yang menghalangi termasuk ziarah kubur dan lain-lain. hal tersebut
menurut beliau tidak dapat dikatakan sebagai bid’ah. Sedangkan yang dapat
dikatakan dengan bid’ah buruk yang terjadi dalam masyarakat seperti, mencuri
harta masyarakat melalui bujukan konsumerisme melalui wisata belanja ataupun
melalui keramaian pasar malam seperti perjudian dan lain-lain.
D. Kesimpulan
11
hukum, bid’ah dibagi menjadi lima, yakni bid’ah wajib, sunnah, mubah, makruh
dan haram. Adapun parameter yang digunakan dalam menilai bid’ah atau tidak
ada tiga, yakni melihat perkara yang baru tersebut; mempertimbangkan kaidah
ulama’ salaf dan menggunakan dalil-dalil hukum.
E. Referensi
Asy’ari, Hassyim. 2015. Risalah Aswaja: dari pemikiran, Doktrin, hingga Model
Ideal Gerakan Keagamaan. Yogyakarta: ar-Ruzz Media.
12