Anda di halaman 1dari 12

Pemikiran Hadis KH.

Hasyim Asyari
(Konsep Sunnah dan Bid’ah dalam kitab Risalah Ahlussunnah Wa al-
Jama’ah)
Oleh : Izza Royyani (18205010025)
Program Magister Konsentrasi Studi Qur’an dan Hadis
Jurusan Aqidah ddan Filsafat Islam
Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Islam
UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Abstrak
Tulisan ini membahas salah satu pemikir hadis di Indonesia yang
terkemuka yakni Hadratussyaikh KH. Hasyim Asy’ari. Dalam tulisan ini, penulis
menggunakan metode deskriptif untuk menjelaskan pemikiran beliau yang
terwujud dalam karya risalah ahlussunnah wal jama’ah yang menambah
khazanah kajian hadis di Indonesia. dalam tulisan ini akan dibahas tentang
sunnah dan bid’ah yang terdapat dalam kitab risalah aswaja sebagai respon
terhadap perbedaan yang terjadi dalam umat Islam.

A. Pendahuluan

Pergulatan pemikiran hadis di Indonesia mengalami perkembangan yang


cukup pesat. Dari era klassik yang dituangkan oleh para pemikir hadis yang juga
sebagai kebanyakan sebagai pemrakarsa sebuah gerakan dan semakin berkembang
dengan munculnya para pemikir hadis masa kini dari kalangan akademisi.
Pemikiran para ulama’ terdahulu di Indonesia penting untuk dikaji untuk melihat
kembali argumen-agumen yang telah dibangun pada masa lalu, dan kemudian
masih dibutuhkan untuk menjawan beberapa persoalan yang masih terjadi masa
kini, khususnya peikiran dalam bidang hadis. salah satunya adalah pemikiran
hadis dari Hadratussyaikh KH. Hasyim Asy’ari sebagai tokoh yang benar-benar
sangat berpengaruh di Indonesia sejak masa penjajahan. Beliau telah
menunjukkan kontribusinya melalui perjuangannya pada masa penjajahan,
pendidikan pesantren dan ormas yang masih eksis hingga kini, Nahdlatul Ulama’.
Adapun salah satu karya monumentalnya adalah kitab Risalah Ahlussunnah Wal

1
Jama’ah, dalam karya ini beliau menuangkan pemikirannya mengenai hadis,
terdapat satu bab yang khusus membahas tentang sunnah dan bid’ah. Pembahasan
tersebut merupakan reson atas realitas yang terjadi ketika pemahaman tentang
bid’ah masuk ke Indonesia dan diterima oleh masyarakat umum.

Oleh karena itu, dalam tulisan ini difokuskan pada masalah sunnah
bid’ah, bagaimana KH. Hasyim Asy’ari menjelaskan tentang sunnah dan bid’ah
yang mana pada masa itu adalah sebuah respon terhadap perbedaan pemahaman di
kalangan umat Islam mengenai pemahaman agama.

B. Biografi : Sekilas tentang KH. Hasyim Asy’ari

Nama lengkap beliau adalah Muhammad Hasyim Asyari bin abd al-Wahid
bin Abd al-Halim. Beliau dilahirkan di desa Gedang, Jombang, Jawa Timur, 24
Dzulqo’dah 1287 H (14 Februari 1871 M). Ayahnya Asy’ari pendiri pesantren
keras, sementara kakeknya, Kyai Usman merupakan seorang pendiri pesantren
Gedang pda tahu 1950-an. adapun dari piha ibu, masih keturunan raja Brawijaya.
Dipercaya bahwa beliau merupakan keturuan raja jawa yakni jaka tingkir dan
Hindu Majapahit. Pada masa kecil hingga remaja, beliau berada dalam radisi
pesantrren. Beliaujuga tercatat telah mengembara ilmu ke beberapa pesantren
diantaranya yakni Pesantren Wonokoyo (Probolinggo), psantren Langitan
(Tuban), Pesantren Trenggalis dan Kademangan (Bangkalan, Madura) dan
pesantren lainnya.

KH. A. Mustofa Bisri dalam kata pengantar buku Hadratussyaikh


Muhammad Hasyim Asyari:Perintis Kemerdekaan Indononesia, yang ditulis oleh
Muhammad Asad Syihab, menegaskan bahwa KH. Hasyim Asyari merupakan
mahakiai. Syihab menyebut beliau dengan al-‘Allamah yang dalam tradisi arab
merrupakan pangkat yang diberikan kepada orang yang telah memiliki keilmuan
yang tinggi. Gus Mus menambahkan KH. Hasyim Asyari adalah sseorang
mahakiai sekaligus pejuang kemerdekaan karena kedalaman ilmu dan kesawaban
ajarannya. Oleh karena itu, beliau dipanggil Hadratussyaikh, karena ia

2
mempunyai keutamaan ilmiah dan keutamaan. Ia merupakan ulama’ besar yang
pernah dimiliki bangsa ini, yang pengaruhnya tidak hanya kepada masyarakat
Indonesia, tetapi juga bagi kalangan muslim Asia Tenggara, bahkan di dunia
Internasional.
KH. Hasyim Asy’ari merupakan tokoh terkemuka sekaligus sosok yang
penting karena beberapa hal, yakni pertama, beliau merupakan ulama’ yang secara
konsisten mengusung paham AhlussunnahWal Jama’ah;1 kedua, KH. Hasyim
Asy’ari merupakan tokoh yang sangat penting karena merupakan salah satu
pendiri organisasi NU, bersama sejumah ulama’ pesntren alinnya.

Pada tahun 1983, KH. Hasyim Asyari melanjutkan pendidikan di Makkah


selama tujuh tahun di bawah bimbingan Syaikh Mahfudz Termas. Dari beliaulah
KH. Hasim Asyari mrendapatkan ijazah mengajar shahih bukhari yang merupakan
penerima terakhir dari 23 generasi penerima karya ini.2 Selain itu beliau juga
belajar mahdzab syafi’i kepada syaikh Ahmad Khatib. Ketika menempuh
pendidikan di Timur Tengah, bertepatan dengan adanya perkembangan Islam
yang menimbulkan pegerakan untuk kemajuan untuk kemajuan dunia. Semangat
pembaharuan ini mengajarkan semangat anti imperialise, kolonialisme dan anti
penjajah. Sementara d Hijaz, KH. Hasyim Asy’ari mendapatkanpengaruh anti-
kolonial dan kolonialisme, dengan beeberrapa pengaruh ini ternyata memberikan
semangat persatuan melawan penjajah dan mewujudkan persatuan umat Islam.
Setelah itu, beliau kembalike Indonesia dan mendirikan Pesantren Tebu Ireng di
Jombang pada tahun 1899. Selain pada pendidikan pesantren, beliau juga telah
memprakarsai lahirnya ormas yang sampai saat ini masih eksis yakni Nahdlatul
Ulama’ (NU) pada tahun 1921. Menurut berbagai sumber, KH. Hasyim Asy’ari

1
Ahlussunnah Wal Jama’ah yaitu paham keagamaan yang dalam aqidah berpegang pada
teologi al-Asy’ariyyah dan al-Maturidiyah, dalam fikih pada empatmahdzab yang empat ( Syafi’i,
Maliki, Hambali dan Hanafi), dan dalam ranah tasawuf bersandar kepada Imam al-Ghazali dan
Imam Junaid al-Baghdadi. KH. Hasyim Asy’ari dalam kapasitasnya sebagai penjaga gawang dan
pengawal telah menyumbangkan pemikiran keislaman yang sangat berharga. Sebab, pemikiran
tersebut telah membuka cakrawala umat Islam terhadap khazanah keislaman klassik yang amat
luas dan kaya.setidaknya beliau telah menyelamatkan umat dari cara pandang hitam –putih yang
menghiasi keragaman. Lihat Zuhair Misrawi, Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari: Moderasi,
Keumatan dan Kebangsaan”, (Jakarta: Kompas, 2010), hlm. 6-7
2
Afriadi Putra, Pemikiran Hadis KH. Hasyim Asyari an Kontribusinya Terhadap Kajian
Hadis di Indonesia, Jurnal Wawasan I, No. 1 , Januari 2016, hlm. 48-49

3
meninggal dunia pada tanggal 27 Juli 1947 karena penyakit darah tinggi dan
stroke setelah menerima kabar bahwa penjajah belanda telah mengalahkan
pejuang Indonesia dan menguasai Singosari (Malang).3

KH. Hasyim Asy’ari termasuk ulama’ yang produktif, hal tersebut


dibuktikan dengan banyaknya karya yang beliau tulis seperti dalam bidang
tasawuf, fikih dan hadis. Adapun beberapa karya beliau yakni sebagai berikut.

1. Adab al-‘Ilmu Wa al-Muta’allim, yaitu kitab yang berisi tentang


akhlak guru dan murid
2. Risalah Ahlussunnah wal jama’ah fi hadis mawta wa Ashrat al-Sa’ah
wa bayan Mafhum al-Sunnah wa al-Bid’ah.
3. Ziyadah al-Ta’liqat ‘ala Manzumat al-Syaikh Abdullah Ibn Yasin al-
Fansuri.
4. Al-Tanbihat al-Wajibah
5. Al-Risalah al-Aqa’id
6. Al-Hadith al-Mawta Wa Asrah al-Sa’ah dan lain sebagainya.

C. Pemikiran Hadis KH. Hasyim Asy’ari : Tentang Sunnah dan Bid’ah

Wacana Seputar Sunnah dan Bid’ah

Sunnah dalam istilah ulama’ ushul adalah segala sesuatu yang


diriwayatkan dari Nabi Muhammad saw., baik dalam bentuk ucapan, perbuatan
maupun pengakuan dan sifat nabi. Sedangkan menurut ulama’ fiqh, sunnah adalah
sifat hukum bagi suatu perbuatan yang dituntun melakukannya dalam bentuk
tuntunan yang tidak pasti, dengan pengertian diberi pahala bagi bagi orang yang
melakukannya dan tidak dosa bagi yang meninggalkannya.4 Adapun pembagian
sunnah, dibagi menjadi tiga yaitu qauliyah, fi’liyah dan takriryah.

3
4
Rahman Dahlan, Ushul Fiqh, (Jakarta: Amzah, 2016), hlm. 16

4
Sedangkan bid’ajh didefinisikan sebagai segala sesuatu yang baru. Bid’ah
dibagi menjadi dua macam, yakni bid’ah hasanah dan bid’ah dhalalah. Berikut
merupakan pendapat para ulama’ mengenai bid’ah, anatara lain:

1. Imam Syafi’i
Menurut imama syafi’i, bid’ah dibagi menjadi dua yakni bid’ah
hasanah dan bid’ah madzmudah. Bid’ah hasanah dibagi menjadi dua,
yakni wajib seperti kodifikasi al-Qur’an pada masa utsman bin affan.
Dan bid’ah sunnah seperti sholat tarawih sebanyak dua puluh raka’at.
2. Imam baihaqi
Menurut Imam Baihaqi, bid’ah dibagi menjadi dua, yakni bid’ah
mahmudah dan ghairu mahmudah. Setiap bid’ah yangtidak menyalahi
al-Qur’an, sunnah, dan ijma’ adalah bid’ah mahmudah. Sedangkan
bid’ah ghairumahmudah adalah bid’ah yang sama sekali tidak
memiliki dasar syar’i.
3. Imam Nawawi
Bid’ah menurut imam Nawawi dibagi menjadi dua, yakni bid’ah
hasanah dan bid’ah qabihah.
4. Imam al-Hafidz Ibn Atsir
Hampir sama dengan beberapa penpat diatas, Imam ibn Atsir
membagi bid’ah menjadi dua yakni bid’ahyangsesuai dengan petunjuk
nash dan bid’ah yang menyalahi nash atau tidak sesuai dengan nash.

Sunnah dan Bid’ah Menurut KH. Hasyim Asy’ari

Banyak karya dalam bidah hadis yang telah beliau tulis, salah satunya
seperti kitab Risalah ahlussunnah wal Jama’ah. Hal ini tidak bisa terlepas dari
pengaruh gurunya ketika beliau menggali ilmu di Makkah. Kitab ini menjadi
rujukan ketika mempelajari pemikiran hadis beliau. Secara implisit, tidak
diketahui latar belakang penulisan kitab tersebut. akan tetapi, dengan melihat
konteks yang terjadi massa itu yakni terdapat keberagaman umat Islam bertepatan
dengan masuknya semangat pembaharuan Islam dari timur tengah yag tentunya

5
mempengaruhi umat Islam di Indonesia. namuan, tidak semua pemabaharuan
terssebut sesuai dengan konteks masayarakat Indonesia, salah satunya yakni
amalan yang telah menjadi tradisi masyarakat Indonesia yang dianggap bid’ah.

Dengan konteks tersebut, sebagai seorang yang menjadi rujukan dalam


bidang agama sekaligus termasuk modernis dari kalangan dalam, beliau merasa
terpanggil untuk memberikan pencerahan terhadap persoalan yang dihadapi
masyarakat. Kapasitasnya yang mumpuni dalam bidang hadis pun mendorongnya
untuk meresspon keadaan tersebut.

Sunnah dan Bid’ah

Lafadz sunnah sebagaimana yang dikatakan oleh Abu al-Baqa dalam kitab
“kuliyyat” secara bahasa adalah suatu jalan walaupun tidak direstui. Sedangkan
secara syara’, sunnah adalah jalan yang diridlai (allah) yang ditempuh dalam
agama yaitu yang ditempuh oleh rasulullah saw., dan yang lainnya yang faham
dengan agama, dari kalangan para sahabat karena ada hadis yang menyatakan :

‫عليكم بسنتي و سنة الخلفآء الراشدين من بعد‬

“ hendaklah kalian berpegang padaku dan sunnah khulafaurrosyidin setelahku”

Sedangkan secara ‘urf (tradisi), sunnah adalah suatu ajaran yang diikuti
secara konsisten para pengikut nabi maupun wali dan istilah sunni adalah nisbat
dari sunnah.5 Sedangkan menurut ahli hadis, Sunnah adalah segala sesuatu yang
berasal dai rasulullah saw. baik berupa perkataan, perbuatan, ketetapan, sifat-sifat
fisik maupun akhlak beliau, serta sejarah perjalanan hidup beliau, baik sebelum
diutus menjadi rasul beliau maupun sesudahnya. Pada umumnya, sunnah terbagi
menjadi tiga bagian yakni:6

5
Muhammad Hasyim Asyari., Risalah ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah: fi hadits al-Mauta
wa Asyrath al-As’at wa al-Bayan Mafhum al-Sunnah wa al-Bid’ah terj. Ngabdurrohman al-Jawi,
(Jakarta: LTM PBNU, 2010), hlm. 3

6
Muhammad Hasyim Asyari., Risalah Aswaja: Dari Pemikiran, Doktrin, Hingga Model
Ideal Gerakan Keagamaan, (Yogyakarta: ar-Ruzz Media, 20105, hlm. 31-32

6
1. Sunnah Qauliyah, yakni hadis-hadis rasulullah saw. yang disabdakan
beliau untuk berbagai tujuan dan sebab, misalnya hadis tetang akidah
dan syari’at, akhlaq dan lain-lain.
2. Sunnah fi’liyah, yaitu perbuatan-perbuatan rasulullah saw. yang telah
diberitakan kepada kita olehpara sahabat. Sunnah fi’liyah ini bisa
berupa penjelasan praktis terhadap peraturan-peraturan syari’at yang
belum jelas tata pelakasanaannya. Seperti, wudhu, shalat dan ibadah
haji.
3. Sunnah taqririyah, yaitu segala sesuatu yang ditetapkan oleh rasulullah
saw. terhadap perkataan dan perbuatan yang dilakukan oleh sahabat.
Akan tetapi, ada lagi yang menamahkan satu jenis al-Sunnah, yaitu:
4. Sifat-sifat, keadaan-keadaan, an keinginan rasulullah saw. sifat-sifat
dan keadaan beliau yang termasuk unsur sunnah adalah pertama, sifat-
sifat fisik rasulullah saw yang dilukiskan oleh para sahabat dan ahli
sejarah. kedua, silsilah, nama-nama dan tahun kelahiran beliau
yangtelah ditetapkan oleh para sahabat r.a maupun sejawarawan.
Ketiga, keinginan beliau yang belum sempat terealisasikan.

Dalam hal meneladani sunnah, terdapat dua kemungkinan makna uswah,


pertama, kepribadian beliau secara total adalah taladan. Kedua, dalam kepribadian
tersebut terdapathal-hal yang perlu diteladani. Jika mengacu pada makna pertama,
berati terakit dengan batas-batas ishmah (pemeliharaan) allah swt. Terhadap nabi
yang menjadikan beliau sebagai manusia yang tidak akan berbuat salah. Dan bagi
yang berpendapat bahwa nabi mendapat ishmah dari segala sesuatu, maka segala
sesutau yang ada pada nabi perlu diteladani. Imam al-Qarafi membagi ucapan atau
sikap beliau berdasarkan kedudukan rasulullah, yakni:

1. Rasul. Ucapan dan sikapnya pasti benar karena bersumber dari allah
swt.
2. Mufti. Sama pada poin pertama, karena fatwa beliau berdasakan
pemahaman teks agama yang bersumber dari allah swt.

7
3. Hakim. Ketetapan hukumya secara formal benar, akan tetapi secara
mateerial adakalanya keliru.
4. Pemimpin masyarakat tertentu, maka kepemimpinan dan petunjuk-
petunjuk beliau dalam hal kemasyarakatan disesuaikan dengan kondisi
masyarakat tertentu, yang dapat berbeda dengan kondisi lain. termasuk
sesuatu yang beliau peragakan ketika beliau hidup.
5. Pribadi. Dalam hal ini ada dua macam yakni kekhususan beliau yang
tidak boleh ditiru dan sebagai manusia terlepas dari kerasulannya.

Dalam mengemukakan pengertian bid’ah, KH. Hasyim Asyari mengutip


pendapat syaikh Zaruq yang tertuang dalam kitab “ Uddatul Murid”, secara
syari’at bid’ah adalah memperbaharui perkara dalam agama yang menyerupai
ajaran agama itu sendiri, padahal bukan bagian dari agama. Baik bentuk maupun
hakikatnya. Sebagaimana yang tercantuk dalam hadis nabi:

. ‫من احدث فى امرنا هذا ما ليس منه فهو رد‬

yakni barang siapa yang memunculkan perkara baru dalam urusan kami
(agama) yang tidak merupakan bagian dari agama itu, maka perkara tersebut
ditolak. (HR. Bukhari Muslim)

‫كل محد ثة بدعة‬

“dan setiap hal yang dibuat-buat (dalam agama) adalah bid’ah. (al-Nasa’i,
Ibnu Majah)”.

Para ulama telah menjelaskan bahwa pengertian kedua hadis di atas adalah
dikembalikan pada masalah hukum meyakini suatu amalan yang tidak bisa
mendekatkan diri kepada allah, bukan mutlak semuanya pembaharuan dalam
agama. Karena mungkin saja pembaharuan tersebut terdapat landasan ushulnya,
atau terdapat contoh furu’iyahnya, maka di qiyaskanlah terhadapnya.

Berbeda dengan kalangan yang menganggap bahwa seluruh perkara baru


adalah bid’ah dan sekaligus sesat tanpa terkecuali, bagi Hasyim Asyari tidak

8
semua muhadathat adalah bid’ah, atau dengan kata lain tidak semua muhadathat
itu bid’ah, meskipun tidak ada dalil yang menyatakannya secara jelas (sarih),
namun bisa jadi tetap bersandar pada syariat. Sandaran yang di maksud dapat
dengan menggunakan berbagai pendekatan metodologis yang ada, misalnya
melalui mekanisme penganalogian (qiyas). Hal ini berarti, penerjemahan terhadap
teks-teks otoritatif (hadis) tentang bid’ah harus menggunakan pendekatan yang
lebih menyeluruh atau tidak hanya tekstual semata.7

Adapun mengenai pembagian bid’ah, KH. Hasyim Asyari mengutip


pendapat syaikh Zaruq bahwa bid’ah terbagi menjadi tiga macam, yakni sebagai
berikut:

1. bid’ah sarih (bid’ah yang jelas dan terang), yaitu bid’ah sesuatu yang
ditetapkan tanpa memiliki landasan syari’at, baik yan wajib, yang
sunnah dan yang lainnya. Hal ini bisa memadamkan sunnah dan
membatilkan yang haq. Ini adalah seburuk-buruknya bid’ah, walaupun
misalnya disandarkan kepada seriu dalil ushul dan furu’. Maka hal ini
sama sekali tidak menjadi pertimbangan sama sekali.
2. Kedua, bid,’ah idlafiyyah (relasional), yaitu bid’ah yang disandarkan
pada suatu praktik tertentu walaupun terbebas dari unsur bid’ah, maka
tidak memperdebatkan apakah praktik tersebut tergolong sunnah atau
bukan bid’ah.
3. Ketiga, bid’ah khilafiyyah (yang diperselisihkan), yaitu yaitu bid’ah
yang memiliki dua sandaran yang argumentasinya sama-sama kuat.
Salah satu pihak akan mengataknnya sebagai bid’ah, sedang yang lain
mengatakan sunnah.

Selain itu, beliau mengutip pandangan Ibn abd al-Salam yang membagi
bid’ah menjadi enam hukum.

1. Bid’ah yang wajib, seperti belajar ilmu nahwu, ilmu gharib al-Qur’an
dan sunnah yang bisa membantu pemahaman agama.

7
Afriadi Putra, hlm. 53

9
2. Bid’ah yang haram, seperti aliran Qadariyah, Jabariyah dan
Mujassimah.
3. Bid’ah yang sunnah, seperti membangun pesantren dan madrasah dan
tiap-tiap hal baik yang belum pernah ada pada generasi awal Islam.
4. Bid’ah yang makruh seperti menghias masjid secara berlebihan dan
menyobek-nyobek mushaf.
5. Bid’ah yang mubah, seperti berjabat tangan setelah sholat,
melonggarkan baju dan lain-lain.

Dari pembagian bid’ah tersebut, dapat dipahami bahwa beliau memahami


makna bid’ah secara umum, yaitu segala hal baru yang diadakan sesudah nabi,
baik masalah ibadah maupun adat. Sedangkan dalam menentukan apakah suatu
perkara agama dapat disebut bid’ah atau tidak, hasyim asyari tidak serta
mengeneralisasi perkara tersebut, akan tetapi memberikan aturan-aturan dalam
menetapkannya sehingga dapat ditetapkan apakah perkara tersebut dapat
dikatakan bid’ah atau tidak. Adapun dalam menetapkan sesuatu tersebut bid’ah
atau tidak, diberlakukan aturan sebagai berikut:

1. Mempertimbangkan hal baru tersebut. jika perkara tersebut sebagian


besar didukung oleh dalil-dalil syar’i yang kuat, maka perkara tersebut
tidak dapat di nilai bid’ah. Begitu pula sebaliknya jika tidak didukung
oleh dalil syari’at, maka perkara tersebut dianggap sesat dan bathil.
2. Mempertimbangkan legalitas kaidah-kaidah para imam dan ulama
salaf yang mempraktikkan sunnah. Jika suatu perkara baru tersebut ada
dasarnya namun tidak ada informasi mengenai praktik para ulama’
salaf, maka perkara baru tersebut ditolak.
3. Norma perbedaan berdasarkan bukti-bukti hukum, yakni sunnah,
haram, makruh, menyalahi kautamaan dan mubah. Jika suatu perkara
yang sesuai dengan hukum asal tersebut dan jelas dasarnya maka tidak
dapat dikatakan bid’ah.

10
Adapun mengenai contoh bid’ah, berikut merupakan perkara-perkara
dalam masyarakat yang sering dianggap sebagai bid’ah adalah penggunaan tasbih,
melafadzkan niyat, tahlilan atau mendo’akan orang yang telah meninggal tanpa
s4uatu apapun yang menghalangi termasuk ziarah kubur dan lain-lain. hal tersebut
menurut beliau tidak dapat dikatakan sebagai bid’ah. Sedangkan yang dapat
dikatakan dengan bid’ah buruk yang terjadi dalam masyarakat seperti, mencuri
harta masyarakat melalui bujukan konsumerisme melalui wisata belanja ataupun
melalui keramaian pasar malam seperti perjudian dan lain-lain.

D. Kesimpulan

KH. Hasyim Asy’ari merupakan tokoh terkemuka sekaligus sosok yang


penting karena beberapa hal, yakni pertama, beliau merupakan ulama’ yang secara
konsisten mengusung paham AhlussunnahWal Jama’ah; kedua, KH. Hasyim
Asy’ari merupakan tokoh yang sangat penting karena merupakan salah satu
pendiri organisasi NU, bersama sejumah ulama’ pesantren alinnya. Beliau
menuntut ilmu ke Mekkah kepada Mahfudz al-Tirmasy beliau belajar hadis.
Perjalanan kelimuannya di Mekkah memberikan dampak semangat persatuan dan
pemabaharuan sekembalinya ke tanah air. Menghadapi banyak perbedaan di
masyarakat mengenai pemahaman Islam, beliau merasa bertanggung jawab untuk
merespon hal tersebut, yang beliau tuangkan dalam karyanya yang berjudul
Risalah ahlussunnah wal jama’ah.

Dalam kitab tersebut beliau mengemukakan gagasan tentang sunnah dan


bid’ah. Mengenai sunnah, pengertian yag dikemukakan tidak jauh berbeda dengan
pengertian sunnah secara konvensional. Sunnah berarti suatu perkataan, perbuatan
dan ketetapan, serta akhlaq dan sejarah hidup beliau yang dilakukan sebelum
maupun setelah diangkat menjadi rasul.

Adapun mengenai bid’ah, beliau mengutip pendapat syaikh Zaruq yakni


memperbaharui perkara dalam agama yang menyerupai ajaran agama itu sendiri,
padahal bukan bagian dari agama. Lebih lanjut, bid’ah dibagi menjadi tiga yakni
bid’ah sarih, bid’ah idhofiyyah dan bid’ah khilafiyyah. Sedangkan dari segi

11
hukum, bid’ah dibagi menjadi lima, yakni bid’ah wajib, sunnah, mubah, makruh
dan haram. Adapun parameter yang digunakan dalam menilai bid’ah atau tidak
ada tiga, yakni melihat perkara yang baru tersebut; mempertimbangkan kaidah
ulama’ salaf dan menggunakan dalil-dalil hukum.

E. Referensi

Asyari, Muhammad Hasyim. 2011. Risalah ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah: fi


hadits al-Mauta wa Asyrath al-As’at wa al-Bayan Mafhum al-Sunnah wa
al-Bid’ah terj. Ngabdurrohman al-Jawi. Jakarta: LTM PBNU.

Asy’ari, Hassyim. 2015. Risalah Aswaja: dari pemikiran, Doktrin, hingga Model
Ideal Gerakan Keagamaan. Yogyakarta: ar-Ruzz Media.

Afriadi Putra, Pemikiran KH. M. Hasyim Asyari dan kontribusinya terhadap


kajian Hadis di Indonesia, Jurnal Wawasan: Jurnal Ilmiah Ilmu Agama
dan Sosial Budaya I, I (Januari, 2016).

Wahid , Abdurrahman dkk. 1995. Biografi 5 Rais ‘Am Nahdlatul Ulama.


Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Misrawi, Zuhair. 2010. Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari: Moderasi, Keumatan,


dan kebangsaan. Jakarta: Kompas.

12

Anda mungkin juga menyukai