Anda di halaman 1dari 19

Accelerat ing t he world's research.

PEMIKIRAN KH. M. HASYIM


ASY'ARI TENTANG AHL AL-
SUNNAH WA AL-JAMA'AH Oleh:
Zaenal Abidin
zaenal abidin abdiee

Related papers Download a PDF Pack of t he best relat ed papers 

Syaikh Hasyim Asy'ari T hought on Akidah Ahlussunnah


Kholili Hasib

GENEOLOGI PAHAM FIKIH TAWASUT H KH MOH ZUHRI ZAINI


Jurnal Mizani

ahlussunnah wal jamaah


Ardani FF
PEMIKIRAN KH. M. HASYIM ASY’ARI TENTANG AHL AL-SUNNAH
WA AL-JAMA’AH
Oleh: Zaenal Abidin

A. Pendahuluan
Islam adalah agama rahmatan lil alamin (rahmat bagi semua alam) baik
dia menganut teologi Qhadariah,Jabariah, Syi’ah, Murji’ah, Mu’tazillah, Sunni,
Khawarij, dari kepeluralan pemahaman keagamaan yang ada menciptakan ciri
khas tersendiri bagi pemeluknya terutama di Indonesia.
Teologi Asy’ari yang disusun oleh Abu Hasan Al-Asy’ari (953 M), pada
awalnya Asy’ari sendiri adalah sorang yang menganut teologi Mu’tazilah dalam
riwayatnya ketika beliau bermimpi ajaran-ajaran Mu’tazilah adalah ajaran yang
dicap oleh Nabi Muhammad sebagai ajaran yang sesat.1
Adapun perbedaan mendasar pemikiran Al-Asy’ari dan Muktazilah adalah
terletak pada kekuatan akal. Sebagaimana kita ketahui bahwa Muktazilah sangat
mengagung-agungkan akal, dan berpendapat bahwa ‘akal’ manusia dapat sampai
kepada dua ajaran dasar dalam agama, yaitu adanya Tuhan dan masalah kebaikan
dan kejahatan. Setelah sampai kepada adanya Tuhan, dan apa yang disebut dengan
baik dan jahat. ‘Akal’ manusia dapat pula mengetahui kewajibannya terhadap
Tuhan, dan kewajibannya untukberbuat baik dan kewajiban untuk menjahui dari
perbuatanjahat. Adapun status wahyu dalam ‘empat’ hal ini hanya untuk
memperkuat pendapat ‘akal’ dan untuk memberi perincian tentang apa-apa yang telah
diketahuinya itu.
Al-Asy’ari beserta pengikutnya (Asy’ariyyah), berpendapat bahwa ‘akal’
tidak begitu besar daya kekuatannya. Dan dalam ‘empat’ masalah di atas, ‘akal’
hanya sampai kepada adanya Tuhan. Sedangkan masalah kewajiban manusia
terhadap Tuhan, perbuatan baik dan jahat, kewajiban berbuat baik dan kewajiban
menjahui perbuatan jahat, itu diketahui manusia dengan melalui ‘wahyu’ yang
diturunkan Tuhan melalui para Nabi dan Rasul.
Sehingga dapat disimpulkan, kalau Muktazilah banyak percaya pada
kekuatan akal, sedangkan kaum Asy’ariyyah banyak bergantung pada wahyu. Sikap
yang dipakai Muktazilah adalah mempergunakan akal dan kemudian memberi
interpretasi pada teks atau nas ‘wahyu’ sesuai dengan pendapat akal. Sedangkan
Asy’ariyyah sebaliknya. Mereka lebih mendahulukan ‘wahyu’ dan kemudian
membawanya kepada argumen-argumen yang rasional untuk teks wahyu tersebut.
Sedangkan golongan teologi Asy’ari kecendrungan bersifat tradisional
yang dimana akal memiliki pengaruh yang lemah memberikan interpretasi harfi
atau dekat dengan arti harfi dari teks al-Qur’an dan Hadis.2Dalam teologi

1
Harun Nasution, Teologi Islamn Aliran-Aliran Sejrah Analisa Perbandingan (Jakarta: UI
Press, 1986), hlm, 11.
2
Ibid, hlm, 150.
tradisional para penganutnya kurang mempunyai ruang gerak karena terikat tidak
hanya pada dogma-dogma, tetapi juga pada ayat yang mengandung arti zanni,
yaitu ayat yang boleh mengandung arti lain dalam arti letterlek yang terkandung
didalamnya.
Pemahaman teologi yang bersifat tradisional inilah ciri khas dari teologi
Asy’ari yang di susun Abu Hasan al-Asy’ari.kemudian di adopsi oleh Kyai
HasyimAsy’ari dari Indonesia, tetapi dengan dengan proses yang sangat panjang
ketika KH. M. Hasyim Asy’ari melanjutkan pendidikannya ke Makkah beliau
sangat disegani dengan kecerdasannya dan keilmua agamanya beliau dipercaya
sebagai pengajar di Masjidil Haram dan memiliki murid yang banyak menjadi
ulama terkenal dari berbagai negara diantaranya Shaykh Sa’ad Allah Al-
Maymani (mufti di Bombai India), Shaykh Umar Hamdan (ahli hadith di
Makkah), Al-Shihab Ahmad Bin Abdullah (Syiria), dan bebrapa ulama dari
Indonesia. Ini tidak lepas dari bimbingan seorang guru yakni Shayh Khatib. Posisi
Shayh Khatib sangat istimewa bagi santri-santri nusantara selain beliau menjabat
sebagai mufti Madhab Syafi’i di Masjidil Haram beliau juga adalah ulama Jawa
yang pertama kali mendapatkan ijazah (sertifikasi, kewenangan) untuk mengajar
di Masjidil Haram sekaligus menjadi imam di Masjidil Haram. Sekembalinya
dari MakkahKyai HasyimAsy’arimengajarkan pemahaman teologiAhlussunnah
Wal Jama’ahpersi Asy’ari dan mendirikan organisasi NU yang bernaung pada
konteks Ahlussunnah Wal Jama’ah.3
Dalam sebuah risalah karangan KH.Hasyim Asy`ari yang berjudul Risalah
Ahlis Sunnah wal Jamaah, dan diterbitkan ulang oleh salah seorang cucu beliau,
Almarhum Gus M. Ishom Hadziq Tebuireng Jombang, dengan gamblang
diterangkan didalammnya tentang perbedaan paham-paham serta perilaku umat
Islam yang berkembang di Indonesia. Dalam menilai suatu paham atau perilaku
umat Islam, KH. Hasyim Asy’ari menggunakan paham Ahlus Sunnah Wal
Jamaah sebagai barometer, yaitu faham aqidah yang dianut oleh mayoritas dunia
Islam, dengan menganut empat madzhab dalam berfiqih, yaitu madzhab Hanafi,
Maliki, Syafi`i, dan Hanbali. Sedangkan khusus bagi warga Nahdlatul Ulama,
Syekh Hasyim sendiri adalah mengikuti madzhab Syafi’i dalam bidang fikih,
dalam bidang aqidah(teologi) mengikut Abul Hasan al-Asy’ari dan Maturidi
sedangkan dalam tasawuf mengikuti Imam al-Ghazali.4
Dua Imam yang agung ini (Al-Asy’ari dan Al-Maturidi), telah menjelaskan
ajaran ‘aswaja’ yang diyakini para sahabat Nabi SAW dan orang-orang yang
mengikuti mereka, dengan mengemukakan dalili-dalil naqli (Al-Qur’an dan Al-
Hadits) dan aqli (dalil rasional) dengan bantahan-bantahan terhadap syubhah-syubhah
(sesuatu yang dilontarkan untuk mengaburkan hal yang sebenarnya) golongan

3
Achmand Muhibbin Zuhri, Pemikiran KH. M. Hasyi Asy’ari Tentang Ahl Al-Sunnah Wa
Al-Jama’ah (Surabaya:Khalista, 2010), hlm. 73.
4
Sirrajuddin Abbas, I’itiqad Ahlussunnah Wal Jama’ah(Jakarta: Pencetak Radar Jaya,
1994), hlm.16.
Muktazilah. Jalan yang ditempuh oleh Al-Asy’ari dan Al- Maturidi dalam pokok-
pokok akidah adalah sama dan satu, sehingga ahlusunnah waljama’ah dinisbatkan
terhadap keduanya. Mereka (kelompok ahlusunnah) akhirnya dikenal dengan nama
Asy’ariyyah (para pengikut Al-Asy’ari), dan Maturidiyyah (para pengikut Al-
Maturidi). Dan mereka adalah ratusan juta umat, golongan mayoritas. Pengikutnya
banyak dari kalangan madzhab Syafi’i, Maliki, Hanafi, dan orang-orang utama dari
kalangan madzhab Hanbali (Fudhala’ al-Hanabilah). Sementara Rasulullah SAW
sendiri telah memberitahukan bahwa mayoritas umatnya tidak akan sesat. 5
B. Sejarah Hidup dan Biografi KH. M. Hasyim Asy’ari.
Dari jalur Bapak Kyai Hasyim memiliki nama lengkap Muhammad Hasyim
Bin Asy’ariBin Abdul Wahid Bin Abdul Halim atau yang populer dengan nama
pangeran Benawa Bin Abdurrahman yang juga dikenal dengan julukan Jaka
Tingkir (Sultan Hadiwijaya) Bin Abdullah Bin Abdul Aziz Bin Abdul Fatah Bin
Maulana Ishak Bin Ainul yakin yang populer dengan sebutan Sunan Giri. Dari
Jalur Ibu Akarhanaf dan Kkhuluq menyebut Muhammad Hasyim Binti Halimah
Binti Layyinah Binti Sihan Bin Abdul Jabbar Bin Ahmad Bin Pangeran Sambo
Bin Pangeran Benawa Bin Jaka Tingkir atau juga dikenal dengan nama Mas
Karebet Bin Lembu Peteng (Prabu Brawijaya VI). 6
Jika dilihat dari kedua silsilah di atas Kyai Hasyim mewakili dua trah
sekaligus, arsitokrat atau bangsawan Jawa dan elit agama (Islam). Dari jalur ayah,
mata rantai genetisnya bertemu langsung dengan bangsawan muslim Jawa (Sultan
Hadiwijaya atau Joko Tingkir)dan sekaligus elit agama Jawa (sunan giri).
Sementara dari jalur ibu Kyai Hasyimmasih keturunan langsung Raja Brawijaya
VI (Lembu Peteng) yang berlatar belakang bangsawan Hindu Jawa.
Kyai Hasyimlahir pada hari selasa kliwon tanggal 14 feruari tahun 1871 M,
betepatan dengan 12 dzulqa’dah tahun 1287 H, lahir dari pasangan kyai Asy’ari
dan Halimah yang berada 2 kilometer kearah utara kota Jombang, tepat di
Pesantren Gedang, Dusun dari Desa Tambakrejo Kecamatan Jombang.7
Pada masa kanak-kanak Kyai Hasyim hidup dalam lingkungan pesantren
muslim tradisional Gedang. Ayahnya sendiri sebagai pendiri pondok pesantren
keras (Jombang). Pada umur lima tahun Kyai Hasyim berpindah dari Desa
Gedang ke Desa Keras, sebuah Desa disebelah selatan Kota Jombang karena
mengikuti ayah dan ibunya yang sedang membangun pesantren baru. Di sini,
Kyai Hasyim menghabiskan masa kecilnya hingga berumur 15 tahun, sebelum
akhirnya meninggalkan keras dan menjelajahi berbagi pesantren yang ternama
saat itu hingga ke Makkah.

5
Ali Khaidar, Nahdlatul Ulama dan Islam Indonesia; Pendekatan Fiqih dalam Politik,
(Jakarta: Gramedia, 1995), hlm. 69-70.
6
Achmad Muhibbin Zuhri, Op, Cit, hlm. 67.
7
Syamsul Kurniawan, Erwin Mahrus, Jejak Pemikiran Tokoh Pendidikan Isalam
(Jogjakarta: Ar-Ruz Media, 2011), hlm.203.
Pada usia 21 tahun Kyai Hasyim menikah dengan Nafisah salah satu putri
dari seorang kyai Ya’qub (Siwalan Panji Soedarjo), pada tahun 1892 M/1308 H.
Tidak lama kemudian kyai hasyim bersama istrinya dan mertuanya berangkat ke
Makkah untuk menunaikan ibadah haji, dengan istrinya Kyai Hasyim melanjutkan
tinggal di Makkah untuk menuntut ilmu. Tujuh bulan kemudian istrinya
meninggal dunia setelah melahirkan seorang putra bernama Abdullah. Empat
puluh hari kemudian, Abdullah menyusul Ibunya kealam baka, kematian dua
orang yang sangat dicintainya membuatnya sangat terpukul akhirnya Kyai
Hasyim memutuskan tidak berlama-lama tinggal di Makkah dan setahun
kemudian beliau kembali ke Indonesia.
Setelah lama menduda, Kyai Hasyimmenikah lagi dangan seorang gadis
putri dari seorang kyai romli dari desa karangketes (kediri) bernama khadijah
acara pernikahannya berlangsung pada tahun 1899 M/1315 H, tapi sayang
pernikaha yang keduanya pun tidak berlangsung lama karena dua tahun kemudian
Kyai Hasyim ditinggalkan oleh istrinya keduanya ke alam baka pada tahun (1901
M).
Untuk kali ketiga Kyai Hasyim menikah lagi dengan putri seorang Kiyai
Ilyas yang bernama nafiqah pengasuh Pesantren Swulun Madiun. Dari hasil
perkawinannya dengan Nafiqah Kyai Hasyim mendapat sepuluh oran anak, yaitu;
Hannah, Khoiriyah, Aisyah, Azzah, Abdul Wahid, Abdul Hakim (Abdul Kholik),
Abdul Karim, Ubaidillah, Mashuroh, dan Muhammad Yusuf. Perkawinannya
dengan Nafiqah juga berhenti ditengah jalan karena Nafiqah meninggal duni pada
tahun 1920 M.
Sepeninggal Nafiqah, Kyai Hasyim menikah lagi dengan Masrurah, putri
Kyai Hasan yang juga pengasuh Pesantren Kapurejo, Pagu (Kediri) dari hasil
perkawinan keempatnya Kyai Hasyim memiliki empat orang anak; Abdul Qadir,
Fatimah, Khodijah, dan Muhammad Ya’kub. Perkawianannya dengan Nafiqah ini
merupakan perkawinan yang terakhir hingga akhir hayatnya. Kyai Hasyim
meniggal dunia pada pukul 03.00 dini hari bertepatan dengan tanggal 25 juli 1947
atau 7 ramadhan 1366 H, akibat penyakit darah tinggi atau stroke setelah
menerima kabar tentang kondisi republik saat itu.
C. Karya-Karya Kyai HasyimAsy’ari.
Salah satu karya kiyai Hasim Asy’ari yang populer di duni pendidikan
hingga saat ini adalah, adab al-alim wa al-mutaallim fi ma yakhtaj ilayh al-
muta’allim fi ahwal ta’allum ma yatawaqqf alaih al-mu’allim fi makamat al-
ta’lim (etika pengajar dan pelajar tentang hal yang diperlukan oleh pelajar dalam
kegiatan belajar serta hal-hal yang berhubungan dengan pengajar dalam dalam
kegiatan pembelajaran), al tibyan fi al-nahy’an muqata’at al-arham wa al-aqarib
wa al-ikhwan (penjelasan mengenai larangan memutuskan hubungan keluarga,
kerabat dan persahabatan), muqaddimah al-qanun al-asasi li jam’iyat nadhat al-
ulama (pembukaan anggaran dasar organisasi nahdlatul ulama), arba’in hadithan
tata allaq bi mabadi’ jam’iyat nahdat al-ulama’ (empat puluh hadis yang terkait
dengan berdirinya organisasi Nahdlatul Ulama), risalah fi ta’kid al-akhdh bi ahad
al-madhahib al-a’immah al-arba’ah (risalah tentang argumentasi kepengikutan
terhadap empat madhab), risalah ini lebih menitikberatkan uraian mengenai arti
penting bermadhab dalam fiqh. Selain itu Kyai Hasyimjuga menekankan betapa
pentingnya berpegan kepada satu madhab di antara empat madhab (Hanafi,
Maliki, Shafi’i, dan Hanbali), al-Nur al Mubin fi Mahabbat Sayyid al-Mursalin
(cahaya yang jelas menerangkan cinta kepada pemimpin para rasul), al-tanbihat
al-wajibat liman yasna’ al mawlid bi al-munkarat (peringatan untuk orang-orang
yang melaksanakan mawlid nabi dengan cara-cara kemungkaran), risalah
ahlussunnah waljama’ah fi hadithal-mawta wa ashrat alsa’ah wa bayan mafhum
al-sunnah wa al-bid’ah (risalah ahlussunnah wal jama’ah: mengenai hadith-hadith
tentang kematian dan tanda-tanda hari kiamat serta penjelasan mengenai sunnah
dan bid’ah), dhaw al-misbah fi bayan ahkam al-nikah (cahaya lampu yang
benderang menerangkan hukum-hukum nikah), ad-durrat al-muntashiroh fi
masa’il tis’a asharah (mutiara yang memancar dalam penjelasan 19 masalah), al
risalah fi al aqa’id (risalah tentang keimanan), risalah fi at-tasawuf (risalah
tentang tasawuf)dan banyak lagi kitab yang belum diterbitkan hannya manuskrip
seperti;hasyiah ala-fath al-rahman bi sharh risalah al-wali ruslan li shaykh al-
Islam zakaria al-anshari (penjelasan atas kitab fath al-rahman yang merupakan
penjelasan risalah wali ruslan karangan shaykh Zakaria Al-Anshari), al-risalah at-
tawhidiyah (risalah tentang tawhid), al-qala’id fi bayan fi mayajib min al-aqa’id
(penjelasan mengenai hal-hal yang diwajibkan dalam masalah keimanan), al-
risalah al-jama’ah (risalah tentang jama’ah) al-jasus fi ahkam al-nuqus , dan
manasik sughra (tata cara perjlalanan ibadah haji).
D. Pemikiran Kyai HasyimAsy’ari Tentang Ahl Al-Sunnah Wal Al-Jama’ah.
Secara organisator, Ahlussunnah wal-jama’ah mengalami pelembagaan
ditengah-tengah Muslim Nusantara sejak kehadiran KH. M. Hasyim Asy’ari
dengan generasi muslim pada zamannya. Bersama dengan tman-temannya, KH.
M. Hasyim berhasil memimpin berdirinya organisasi Islam Nahdhatul Ulama
(NU) yang secara legal berbasis pada Ahlussunnah wal-Jama’ah. 8
Pembentukan Jami’iyah Nadlatul Ulama dilatar belakangi oleh dua faktor
dominan yaitu; pertama, adanya kehawatiran dari sebagian umat Islam yang
berbasis pesantren terhadap gerakan kaum modernis yang meminggirkan mereka.
Kedua, sebagai respon ulama-ulama berbasis pesantren terhadap pertarungan
ideologis yang terjadi di dunia Islam setelah penghapusan kehalifahan Turki,
munculnya gagasan pan-islamisme yang dipelopori oleh Jamaluddin al-Afgani
dangerakan kaum Wahabi di Hijaz. Gerakan orang yang mencanangkan gerakan
repormasi yang mengusung isu-isu pembaruan dan pembersihan membuat ulama

8
Abdurrhman Navis, Risalah Aslussunnah Wal-Jama’ah Dari Pembiasan Menuju
Pemahaman Dan Pembelaan Akidah Amaliah NU (Surabaya: Khalista, 2012), hlm. 161.
yang berbasis pesantren melakukan pengkajian untuk melindungi dan memelihara
niali-nilai tradisional yang telah menjadi karakter kehidupan mereka. 9
Pada tanggal 31 januari 1926 M (16 rajab 1344 H) para ulama yang berbasis
pesantren memutuskan untuk membentuk organisasi ke masyarakatan Islam ‘ala
Ahlussunnah wal-Jama’ah yang bernama Nahdlotoel Oelama’ yang bertujuan
untuk mengimbangi gerakan kaum reformis yang sering kali tidak memperhatikan
tradisi-tradisi yang sudah tidak dapat dipisahkan dari kehidupan masyarakat . 10
Dalam anggaran dasar hasil muktamarnya yang ketiga pada tahun 1928 M,
secara tegas dinyatakan bahwa NU membentengi artikulasi fiqh empat mazhab di
tanah air. Sebagai tercantum danlam pasal 2 Qanun Asasi li Jam’iyat Nahdhat Al
Ulama (Anggaran Dasar NU) yaitu:
a. Memegang teguh pada salah satu dari madzhab empat (yaitu madzhabnya
Imam Muhammad bin Idris al-Syafi’I, Imam Malik bin Anas, Imam Abu
Hanifah an-Nu’man, dan Imam Ahmad bin Hanbal)
b. Menyelenggarakan apa saja yang menjadikan kemaslahatan agama Islam. 11
Doktrin dalam anggaran NU tersebut, tidak telepas dari pemikiran
pendirinya, yaitu KH. M. Hasyim Asy’ari. Baginya menganut paham
Ahlussunnah wal-jama’ah, sebuah pola pikir yang mengambil jalan tengah antara
kaum Mu’tazilah dengan kaum Salafi/Wahabi. Oleh karena itu sumber
pemikiran bagi KH. M. Hasyim Asy’ari tidak hannya al-Qur’an dan as-Sunnah,
tetapi juga menggunakan kemampuan akal ditambah dengan realitas empirik.
Selanjutnya, KH. M. Hasyim Asy’ari menyoroti kemunculan kelompok-
kelompok lain yang dinilainya “saling bersebrangan dan beraneka ragam”. KH.
M. Hasyim Asy’ari menjelaskna:
“Kemudian pada tahun 1330 H muncul kelompok, pandangan, ucapan dan
tokoh-tokoh yang saling bersebrangan dan beraneka ragam. Di antara mereka
adalah kaum salaf yang memgang teguh teradisi para tokoh pendahulu mereka
dengan bermadzhab dengan satu madzhab dengan kitab-kitab mu’tabar,
kecintaan kepada Ahlul Bait Nabi, para wali dan orang-orang salih, selain itu
juga tabarruk dengan mereka baik ketika masih hidup maupun setelah wafat,
ziarah kubur, mentalqin mayit, bersedekah untuk mayit, meyakini syafa’at,
manfaat doa dan tawassul serta lain sebagainya.
Di antara mereka ada juga yang mengikuti pendapat Muhammad Abduh dan
Rasyid Ridha. Mereka mengambil dari bid’ah Muhammad bin Abdul Wahhab
dan Ibnu Adil Hadi. Sehingga mereka mengharamkan suatu yang disepakati
kesunatannya oleh kaum Muslimin, yaitu bepergian untuk berziarah ke makam
Rasulullah Saw, golongan ini menyalahi kaum Muslimin dalam masalah
tersebut dan lainnya.

9
Ibid., hlm. 167-168.
10
Asep Saipudin Chalim, Membumikan Aswaja Pegangan Guru NU (Surabaya: Khalista,
2012), hlm. 2.
11
Abdurrhman Navis, Risalah Aslussunnah….., hlm. 161.
Di antara mereka ada juga golongan Rafidah yang suka mencaci Sayidina Abu
Bakr dan ‘Umar RA., membenci para sahabat Nabi dan berlebihan dalam
mencintai Sayidina Ali dan anggota keluarganya, semoga Allah meridhoi
mereka semua. Berkata Sayyid Muhammad dalam Syarah Qamus, sebagian
mereka bahkan sampai dalam tingkatan kafir dan zindiq, semoga Allah
meridhoi kita dan umatIslamdari aliran ini”. 12

Pengistilahan Ahlussunnah wal-Jama’ah oleh Jamiyah, ini suatu


pembaharuan yang perlu mendapat dukungan yang serius sebab hal ini adalah
suatu keberanian yang menentang arus yang selama ini suadah dijadikan semacam
“mitos” keagamaan didalam NU. 13
Sedikit menginformasikan istilah Ahlussunan wal-Jama’ah dalam arti
gerakan adalah upaya pembaharuan pemahaman akidah yang dipelopori oleh Abu
Hasan al-Asy’ari dan Abu Mansur al-Maturidi, sebagai penyelamat dari
kebingungan umat akibat indoktrinisasi14, paham Mu’tazilah secara tidak ada
tenggang rasa atau toleran pada pemahan yang lain.15
Jadi penamaan Ahlussunan oleh NU ini perlu mendapat penjelasan ulang apa
yang dimaksud ahlussunnah oleh NU. Sebab jikalau tidak, NU, juga seperti
golongan lainnya, akan terjebak pada pembenaran golonannya sendiri tanpa mau
mengadakan pengecekan ulang terhadap pemahaman keagamaan yang
dikembangkan selama ini. 16
Menurut pandangan KH. Hasyim Asy’ari, umat Islam Tanah Air di masa
lampau adalah mempunyai kesamaan aqidah dan kesamaan dalam memahami dan
menjalankan syariat Islam. Mereka mempelajari Islam dari dari sumber yang
sama. Semuanya berhukum fiqih menganut madzhab Imam Syafi’i, dan beraqidah
tauhid mengikuti madzhab Imam Abu Hasan Al-Asy’ari, sedangkan berakhlaq
tashawwuf berkiblat kepada Imam Ghazali dan Imam Abu Hasan As-syadzili.
Sebagai mana terlihat dari karya-karyanya, corak pemikiran ahl al-sunnah wa
al-jama’ah Kyai Hasyimtampaknya sangat dipengaruhi oleh tradisi intelektual
Islam abad pertengahan. Teologi ahlussunnah wal-jama’ah adalah mereka yang
selalu berpegang teguh kepada madhab Asy’ariyah sedangkan dalam konteks fiqh
berpegang teguh dalam empat madhab. Pengambilan rujukan-rujukan dalam kaya-
karyanya menjadi petunjuk awal pengaruh abad pertengahan dan pemikiran
keagaan, terutama ahl al-sunnah wa al-jama’ah kelekatannya dengan tradisi
intelektual Islam abad pertengahan bukan berarti menegasikan munculnya
kreativitas Kyai Hasim.Dalam teks-teks yang berhasil dikodifikasi Kyai

12
Ibid., hlm. 164-165.
13
Imam Baehaqi, Kontrovesi Aswaja (Yogyakarta: LKiS Yogyakarta, 2000), hlm. 94.
14
R. Suyoto Bakir, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia (Tangerang: Karisma Publishing
Group, 2009), h.222. Pemberian paham secara mendalam tanpa keritik dengan melihat suatu
kebenaran dari arah tertentu saja.
15
Imam Baehaqi, Kontrovesi Aswaja…, hlm. 99.
16
Ibib., hlm. 100.
Hasyimmenganggap penting basis argumentasi berdasarkan teks-teks paling
otoritatif dalam Islam (al-Qur’an dan al-Sunnah). Hal ini tentu berbeda dengan
kebanyakan kitab kuning yang selama ini berkembang luas dikalangan Pesantren.
Karena, kitab kuning terutama yang berhubungan dengan yurispundensi Islam dan
dikarang oleh ulama Islam abad pertengahan, terutama generasi setelah imam al-
Nawawi dan Imam Al-Rafi’i cukup kering dan secara pintas, kurang menganggap
penting teks-teks paling otoritatif (al-Qur’an dan al-Hadis) sebagai sumber
rujukan. Hal ini dapat dilihat dari berbagai kitab dari generasi tersebut yang justru
lebih banyak mengutip dan mengedeankan pendapat intelektual dari pada merujuk
langsung kepada al-Qur’an dan Hadis.
Dalam memahami teologi ahlussunnah wal jama’ahKyai HasyimAsy’ari
mengajukan proposisi menarik tentang ahlussunnah wal jama’ah istilah tersebut
lebih dikaitkan dengan diskursus teoligi Islam maka dalam kitab ziadat Kyai
Hasyimlebih mengaitkannya dengan disiplin fiqh dimana beliau menegaskan:
“Adapun ahlussunnah wal-jama’ah maka mereka adalah ahli tafsir hadits dan
fiqh maka mereka adalah orang-orang yang mendapat petunjuk yang selalu
berpegang teguh kepada sunnah nabi dan khulafa al-rashidin mereka dalah
kelompok yang selamat. Para ulama mengatakan bahwa pada masa sekarang,
mereka telah berkumpul di dalam madhab empat; madhab hanafi, Shafi’i,
maliki dan hanbali dan barang siapa yang keluar dari empat madhab tersebut
pada masa ini, maka termasuk golongan ahli bid’ah”.

Kyai Hasyim menegaskan bahwa pilihan tersebut didasarkan atas


pertimbangan ideal, dimana keempat merupakan representasi dari generasi
terdahulu (salaf-al-shalih) dan kelompok mayoritas (al-sawad al-a’zam).
Sebaliknya diluar keempat madhab tidak memiliki otoritas sebagai rujukan dan
bahkan madhab syi’ah iamamiyah dan zaydiyah misalnya harus ditolak dengan
alasan “para ulama menolak kebaradaan mazhab tersebut karena tidak ada
penyandaran kepada para pemdiri madhab tidak apat dipertanggung Jawabkan
karena tidak adanya mata rantai yang dapat mencegah dari peyimpangan dan
perubahan berbeda dengan empat madhab, yang para pemimpin dan tokoh-
tokohnya mencurahkan segala upaya untuk menyusun pendapat-pendapat yang di
anutnya, menjelaskan apa yang telah, menjelaskan apa yang telah ditetapkan oleh
pendiri madhab dan sebalinya meniggalkan apapun yang bukan ketetapan bagi
madhab. Maka penganut madhab empat terhindarkan dari setiap perubahan dan
peyimpangan serta mengetahui pendapat yang benar dan lemah.
Menurut Kyai Hasyim kepengikutan terhadap empat madzhab tidak boleh
disertai sikap panatik (ta’assub) dalam hal ini Kyai Hasyim menegaskan:
“Wahai para ulama berijtihadlah dan jangan kalian fanatik karena fanatisme
kalian dalam hal-hal furu’ serta usaha kalian untuk mengarahkan orang-
orang pada satu madhab dan pendapat tertentu saja adalah perbuatan yang
tidak diterima oleh allah dan tidak di ridhai oleh rasul allah”.
Sebagai bentuk dari konsekuensi bermadhab Kyai Hasyim mengajukan tiga
rumusan yakni; ijtihad, taqlid, dan talfiq. Munculnya rumusan tersebut menjadi
indikasi bahwa bermadhab dalam perakteknya harus menyertakan atuaran main
yang cukup ketat. Muslim yang mengakui madhab Shafi’i misalnya, bukan berarti
memiliki kebebasan sepenuhnya melakukan inisiatif berijtihad secara mandiri,
meskipun dengan menggunakan prosedur atau mekanisme yang berlaku umum
dalam tradisi fiqh Shafi’i.
Secara umum Kyai Hasyim hanya membagi dua derajat ulama mujtahid
yakni mandiri (mustaqil) dan ghairu mustaqil (tidak madiri), yang diperbolehkan
bertaqlid kepada semua ulama selama masih berpegang dalam empat madhab
sebagaimana yang dijelaskan dan tidak wajib seorang awam berpegang teguh
pada madhab tertentu dalam setiap perkara yang baru datang dan jika seorang
berpegang teguh dalam madhab tertentu, Shafi’i minsalnya, maka tidak wajib
baginya untuk selalu demikian, sebaliknya boleh baginya berpindah ke madhab
selain Shafi’i. Orang awam yang tiadak memiliki kemampuan menelusuri secara
mendalam dan mencari dalil, serta tidak mampu membaca buku yang berkenaan
dengan fiqh madhab, maka ketika ia mengatakan: saya adalah penganut Shafi’i
maka tidak tidak secara otomatis menjadi bermadhab Shafi’i hanya karena ucapan
tersebut. Tetapi jika ada yang mengatakan:
“Jika seorang awam berpegang teguh kepada madhab tertentu, dan secara
konsisten dilakukannya, karena diyakini bahwa madhab tersebut adalah benar,
maka hal itu tetap dibenarkan demi mempertahankan keyakinan (bukan kerena
keharusan memegang satu madhab tertentu)”.

Misalkan dalam satu ruangan terdapat perkumpulan lelaki dan wanita dalam
sebagian ulama Jawa mempertegas bahwa percampuran antara laki dan
perempuan adalah haram tetapi dengan konteks sosial Kyai Hasyim mebolehkan
karena pendapat tersebut diper bolehkan dalam madhab lain.
“sesungguhnya para ulama kita yang bermadhab Shafi’i menyajikan
beragam alternatif dalam lingkungan madhab Shafi’i keragaman ini muncul
dari berbagai kesulitan dan ketidak mungkinan untuk hanya berpaku kepada
kepada pendapat imam Shafi’i semata. Alternatif itu jumlahnya banyak dan
populer, tetapi tidak keluar dari madhab Shafi’i. Keragaman (pendapat)
tersebut terkait perbedaan dalam istimbat hukum; penggunaan analogi
(qiyas), pilihan terhadap kaidah-kaidah yang berlaku umum dikalangan
Shafi’i atau, pilihan terhadap terdahulu dari Shafi’i (qawl qadim), atau
karena ditemukannya dalil yang sahih, berdasarkan prinsip Shafi’i “apabila
ditemukan sebuah hadis yang shahih maka itu adalah madhabku” (termsuk
juga bagian dari pilihan-pilihan) adalah menggunakan madhab imam malik
dalam hal air yang tiak na’jis secara mutlak kecuali ada perubahan padanya,
mencukupkan niat shalat bersamaan dengan mengangkat tangan dengan
bersandar kepada kebiasaan yang berlaku (dan lain-lain).
Dan ketahuilah bahwa mengamalkan pendapat yang berbeda-beda itu
merupakan keleluasaan bagi mereka yang bertaqlid. Kepada mereka,
hendaknya diberikan penjelasan mengenai syarat-syaratnya berdasarkan
firman allah: “allah tidak menjadikan bagi kalian kesempitan dalam
beragama” dan didalam hadits nabi “sesungguhnya aku diutus dengan
agama yang mudah dan penuh suri tauladan”.
Terdapat dalam satu kaidah “sesungguhnya kesulitan mendatangkan
kemudahan”, dan kaidah “jika perkara menjadi rumit maka mendatangkan
kemudahan bagi seorang”. Dan juga sebagian yang ditetapkan adalah, jika
dalam suatu masalah ditemukan dua pendapat atau dua wajah, maka tidak
harus memilih secara sangat hati-hati dan yang lebih berat karena dimasing-
masing pendapat tetap ada kebenaran dan syari’at. Kesemuanya ini berlaku
atau menjadi hak bagi semua masyarakat awab.

Hasyim Asy’ari juga menanggapi pemikiran reformasi Muhammad Abduh


pada wahtu itu Di Timur Tengah, gerakan pembaharuan Islam di pelopori
Muhammad Abduh, yang dikenal dengan gerakan reformasi Islam. Saat itu, KH.
Hasyim masih berada di Mekkah menyelesaikan pendidikannya. Inti gagasan
reformasi Muhammad Abduh adalah: Mengajak umat Islam kembali pada ajaran
Islam yang murni lepas dari pengaruh dan praktek luar; Reformasi pendidikan
islam di tingkat universitas; Mengkaji dan merumuskan kembali doktrin Islam;
Mempertahankan Islam. 17
KH. Hasyim Asy’ari setuju dengan gagasan Muhammad Abduh tersebut guna
membangkitkan semangat Islam, tetapi ia tidak setuju dengen pelepasan diri dari
mazhab. K.H. Hasyim berkeyakinan bahwa kita semua tidak mungkin memahami
maksud sebenarnya dari al-Qur’an dan hadits tanpa mempelajari pendapat-
pendapat para ulama besar yang tergabung dalam sistem mazhab. Menafsirkan al-
Qur’an dan hadits tanpa mempelajari dan meneliti pemikiran para ulama mazhab
hanya akan menghasilkan pemutar balikan ajaran Islam yang sebenarnya.
K.H Hasyim menyatakan bahwa tidak semua tarekat salah dan bertentangan
dengan ajaran Islam. Ada tarekat yang benar dan sesuai ajaran Islam, yakni
tarekat yang mengarah pada pendekatan diri kepada Allah. K.H. Hasyim
menjelaskan detail-detail tarekat dan bimbingnan praktis dalam memasukinya
dalam buku yang berjudul,”al-Durar al-Muntasyirah fi Masail al-Tis’a’asyarah”.18
E. Peranan K.H. Hasyim Asy’ari Dalam Bidang Politik
Pesantren Tebuireng memainkan peran penring dalam perjuangan, sehingga
diawasi Belanda. Pada tahun 1913, sepasukan penjajah pernah datang ke

17
Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren, (Jakarta: LP3ES,1982), hlm. 94.
18
Tamyiz Burhanudin, Akhlak Pesantren Pandangan KH. Hasyim Asy’ari, (Yogyakarta:
Ittaqa Press, 2001), hlm. 24-25.
Tebuireng dan memporakporandakan bangunan pesantren, merampas dan
membakar kitab-kitab. Bahkan, karena dianggap sebagai pusat perjuangan, pada
tahun 1948 pesantren Tebuireng dibombardir Belanda.”Semua itu harus
menambah semangat perjuangan demi menegakkan Islam dan kemedekaan.”. 19
Diceritakan H. Abu Bakar Atjeh dalam Sejarah Hidup K.H Wahid Hasyim
bahwa apda tahun 1937 datang seorang amtenar tinggi penguasa Belanda
menjumpai K.H. hasyim untuk menyampaikan tanda kehormatan pemerintah
Belanda berupa bintang Emas. Dengan tegas beliau menolak pemberian itu karena
khawatir keikhlasan hatinya beramal akan ternoda hal-hal yang sifatnya materiil.
Pada masa revolusi fisik melawan Belanda, beliau dikenal karena
ketegasannya terhadap penjajah dan seruan jihadnya yang menggelorakan para
santri dan masyarakat Islam. Ia mengajak mereka untuk berjihad melawan
penjajah dan menolak bekerja sama dengan penjajah.
Demikian pula pada masa pendudukan jepang. Tahun 1942, ketika penguasa
Jepang menduduki Jombang, K.H.Hasyim ditangkap dan di asingkan ke
Mojokerto untuk ditawan bersama serdadu-serdadu sekutu. Berbulan-bulan ia
mendekam tanpa tahu kesalahan yang dituduhkan padanya. 20
Pada masa perang kemerdekaan, KH. Hasyim memainkan peran penting.
Diungkapkan bahwa pangima besar Jenderal Sudirman dan ung Tomo beberapa
kali datang ke rumah beliau untuk meminta nasehat. Menyikapi keadaan genting
saat menghadapi belanda yang ingin kembali ke Indonesia, beliau mengeluarkan
fatwa sebagai berikut: ”Bagi umat Islam yang telah dewasa, berjuang melawan
Belanda adalah fardlu ’ain; dan mati di medan perang dalam rangka memerangi
musuh Islam adalah syahid dan masuk surga”. 21
KH. Hasyim yang juga pernah menjabat sebagai ketua Besar Masyumi ketika
NU menjadi anggota. Dalam satu kesempatan pidato di hadapan ulama seluruh
Jawa tanggal 30 Juli 1946 di Bandung beliau mengkritik tajam kekejaman
Belanda dan mengimbau agar tetap waspada pada politik bangsa Jepang. Kedua
bangsa itu dicap kafir dan umat islam dilarang mempercayai orang-orang kafir.
Nama K.H. Hasyim diabadikan menjadi universitas (1969) dalam lingkungan
Pondok Pesantren Tebuireng. 22
Perjuangan NU dengan salah satu pendirinya K.H. Hasyim Asy’ari d ibidang
politik kenegaraan juga banyal. Ulama-ulama NU banyak yang aktif dalam
pemerintahan. Pada masa pendudukan jepang para kiai NU membentuk Hizbullah
dengan slogannya” Hidup mulia atau mati syahid.” Selain itu, para ulama dalam

19
Ibid, 28.
20
Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve,
cet-3,1994,), hlm. 103.
21
Tamyiz Burhanudin, Op, Cit, hlm. 28.
22
Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Op, Cit, hlm. 103.
pemerintahan masa pendudukan Jepang menempati pos Shumubu,23 salah seorang
yang menjadi kepalanya adalah K.H. Hasyim Asy’ari. 24
F. Nahi Munkar KH. Hasyim Asy’ari
Hadratus Syekh Hasyim Asyari, pernah menceritakan tentang keadaan
pemikiran kaum Muslimin di pulau Jawa. Cerita itu kemudian ditulis dalam salah
satu kitabnya, Risalah Ahl al-Sunnah wal Jamaah. Selain dalam kitab tersebut,
juga diuraikan dalam karya-karya lain, tentang ajaran-ajaran yang menyimpang
yang harus diluruskan.
Sejak NU didirikan pertama kali pada 31 Januari 1926, Syeikh Hasyim
Asy’ari sudah mengeluarkan rambu-rambu peringatan terhadap paham nyeleneh.
Peringatan tersebut dikeluarkan agar warga NU ke depan hati-hati menyikapi
fenomena perpecahan akidah.
Pada sekitar tahun 1330 H terjadi infiltrasi beragam ajaran dan tokoh-tokoh
yang membawa pemikiran yang tidak sesuai dengan mainstream Muslim Jawa
waktu, yakni berakidah Ahlussunnah wal Jama’ah. 25
Kyai Hasyim mengkritik orang-orang yang mengaku-ngaku pengikut
Muhammad bin Abdul Wahhab, dengan menggunakan paradigma takfir terhadap
madzhab lain, penganut aliran kebatinan, kaum Syiah Rafidhah, pengikut
tasawwuf menyimpang yang menganut pemikiran manunggaling kawulo gusti. 26
Organisasi yang beliau dirikan, NU, bertujuan memperbaiki keislaman
kaum Muslim nusantara dengan cara membangkitkan kesadaran ulama-ulama’
Nusantara akan pentingnya amar ma’ruf nahi munkar. Diharapkan dengan wadah
organisasi ini, para ulama’ bersatu padu membela akidah Islam.
Paradigma takfir, dalam bidan furu’, tidaklah tepat karena akan memcah
belah kaum Ahlussunnah wal Jama’ah. Dalam menyikapi perbedaan furuiyah,
Kyai Hasyim melarang untuk bersikap fanatik buta. Ia mendorong keras kepada
para ulama’ untuk bersama-sama membela akidah Islam. Maka, seruan untuk
tidak fanatik buta terhadap pendapat ijtihad merupakan salah satu cara untuk
menggalang kekuatan pemikiran dalam satu barisan.
Jika berdakwah dengan orang yang berbeda madzhab fikihnya, ia melarang
untuk bertindak keras dan kasar, tapi harus dengan cara yang lembut. Sebaliknya,
orang-orang yang menyalahi aturan qath’i tidak boleh didiamkan. Semuanya
harus dikembalikan kepada akidah yang benar.
Aliran Syiah yang mencaci sahabat Abu Bakar dan Umar adalah aliran yang
dilarang untuk diikuti. Bagaimana bermuamalah dengan penganut Rafidhah?
Beliau mengutip penjelasan Qadhi Iyadh tentang hadis orang yang mencela

23
Shumubu adalah semacam Kantor Urusan Agama
24
Abdul Sani, Lintasan Sejarah Pemikiran Perkembangan Modern Dalam Islam, (Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada, 1998), hlm. 220.
25
Hasyim ‘Asy’ari, Risalah Ahl al-Sunnah wal Jamaah, (Jombang: Maktabah al-Turats al-
Islamiy,), hlm. 9.
26
Ibid, hlm. 10.
sahabat, bahwa ada larangan untuk shalat dan nikah dengan pencaci maki sahabat
tersebut. Karena mereka sesungguhnya menyakiti Rasulullah saw.
Meski pada masa itu aliran Syi’ah belum sepopuler sekarang, akan tetapi
Hasyim Asya’ari memberi peringatan kesesatan Syi’ah melalui berbagai
karyanya. Antara lain; “Muqaddimah Qanun Asasi li Jam’iyyah Nahdlatul
Ulama’, “Risalah Ahlu al-Sunnah wal Jama’ah,al-Nur al-Mubin fi Mahabbati
Sayyid al-Mursalin” dan “al-Tibyan fi Nahyi ‘an Muqatha’ah al-Arham wa al-
Aqrab wa al-Akhwan”.
Hasyim Asy’ari, dalam kitabnya “Muqaddimah Qanun Asasi li Jam’iyyah
Nahdlatul Ulama’” memberi peringatan kepada warga Nahdliyyin agar tidak
mengikuti paham Syi’ah.Menurutnya, madzhab Syi’ah Imamiyyah dan Syi’ah
Zaidiyyah bukan madzhab sah. Madzhab yang sah untuk diikuti adalah Hanafi,
Maliki, Syafi’i dan Hambali. 27
Beliau mengatakan: “Di zaman akhir ini tidak ada madzhab yang memenuhi
persyaratan kecuali madzhab yang empat (Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali).
Adapun madzhab yang lain seperti madzhab Syi’ah Imamiyyah dan Syi’ah
Zaidiyyah adalah ahli bid’ah. Sehingga pendapat-pendapatnya tidak boleh
diikuti.28
Syeikh Hasyim Asy’ari mengemukakan alasan mengapa Syi’ah Imamiyyah
dan Zaidiyyah termasuk ahli bid’ah yang tidak sah untuk diikuti. Dalam kitab
Muqaddimah Qanun Asasi halaman 7 mengecam golongan Syi’ah yang mencaci
bahkan mengkafirkan sahabat Nabi saw.
Mengutip hadis yang ditulis Ibnu Hajar dalam Al-Shawa’iq al-Muhriqah,
Syeikh Hasyim Asy’ari menghimbau agar para ulama’ yang memiliki ilmu untuk
meluruskan penyimpangan golongan yang mencaci sahabat Nabi saw itu.
Hadis Nabi saw yang dikuti itu adalah: “Apabila telah Nampak fitnah dan
bid’ah pencacian terhadap sahabatku, maka bagi orang alim harus menampakkan
ilmunya. Apabila orang alim tersebut tidak melakukan hal tersebut (menggunakan
ilmu untuk meluruskan golongan yang mencaci sahabat) maka baginya laknat
Allah, para malaikat dan laknat seluruh manusia”.
Peringatan untuk membentengi akidah umat itu diulangi lagi oleh Syeikh
Hasyim dalam pidatonya dalam muktamar pertama Jam’iyyah Nahdlatul Ulama’,
bahwa madzhab yang sah adalah empat madzhab tersebut, warga NU agar berhati-
hati menghadapi perkembangan aliran-aliran di luar madzhab Ahlussunnah wal
Jama’ah tersebut.
Dalam Qanun Asasi itu, Syeikh Hasyim Asy’ari menilai fenomena Syi’ah
merupakan fitnah agama yang tidak saja patut diwaspadai, tapi harus diluruskan.

27
Ibid, hlm. 14. Lihat juga Keputusan Muktamar NU I di Surabaya pada 21 Oktober 1929
dalam Ahkamul Fukoha’ Solusi Problematika Aktual Hukum Islam, (Surabaya; Diantama dan LT
NU Jawa Timur), hlm. 3
28
Hasyim ‘Asy’ari, Op, Cit, hlm. 9.
Pelurusan akidah itu menurut beliau adalah tugas orang berilmu, jika ulama’ diam
tidak meluruskan akidah, maka mereka dilaknat Allah swt.
Kitab “Muqaddimah Qanun Asasi li Jam’iyyah Nahdlatul Ulama’” sendiri
merupakan kitab yang ditulis oleh Syeikh Hasyim Asy’ari, berisi pedoman-
pedoman utama dalam menjalankan amanah keorganisasian Nahdlatul Ulama.
Peraturan dan tata tertib Jam’iyyah mesti semuanya mengacu kepada kitab
tersebut.
Sikap tegas juga ditunjukkan Syeikh Hasyim dalam karyanya yang lain.
Antara lain dalam “Risalah Ahlu al-Sunnah wal Jama’ah” dan “al-Nur al-Mubin
fi Mahabbati Sayyid al-Mursalin” dan “al-Tibyan fi Nahyi ‘an Muqatha’ah al-
Arham wa al-Aqrab wa al-Akhwan”, di mana cacian Syi’ah dijawab dengan tuntas
oleh Syeikh Hasyim dengan mengutip hadis-hadis Nabi SAW tentang laknat bagi
orang yang mencaci sahabatnya.
Hampir setiap halaman dalam kitab “al-Tibyan” tersebut berisi kutipan-
kutipan pendapat parra ulama salaf salih tentang keutamaan sahabat dan laknat
bagi orang yang mencelanya. Diantara ulama’ yang banyak dikutip adalah Ibnu
Hajar al-Asqalani, dan al-Qadli Iyadl.
Hadis-hadis Nabi saw yang dikutip dalam dua kitab tersebut antara lain
berbunyi:”Janganlah kau menyakiti aku dengan cara menyakiti ‘Aisyah”.
“Janganlah kamu caci maki sahabatku. Siapa yang mencaci sahabat mereka, maka
dia akan mendapat laknat Allah swt, para malaikat dan sekalian manusia. Allah
tidak akan menerima semua amalnya, baik yang wajib maupun yang sunnah”.
Pada masa lalu di Jawa juga telah muncul ajaran ibahiyyah. Kelompok ini
mengajarakan pengguguran kewajiban syariah. Dijelaskannya, jika seseorang
telah mencapai puncak mahabbah (cinta), hatinya ingat kepada Sang Maha
Pencipta, maka kewajiban menjalan syariat menjadi gugur. Ibadah cukup hanya
dengan mengingat Allah saja. Kyai Hasyim menyebut mereka sebagai kelompok
sesat dan zindiq. 29
Ajaran-ajaran lain yang menyusup merusak tasawwuf adalah ajaran inkarnasi,
dan manunggaling kawula gusti. Menurut beliau orang yang meyakini inkarnasi
telah mendustakan firman Allah swt dan sabda Rasulullah saw. Ajaran
manunggaling kawula gusti merusak telah merusak ajaran tasawwuf. Ajaran ini
menyimpangkan karena mengajarkan panteisme.
Menurut Kyai Hasyim, konsep penyatuan wujud yang ada pada para ulama’
sufi dahulu bukanlah panteisme bukan pula pluralisme, tapi penyatuan itu hanya
dalam konteks hierarki wujud, antara wujud makhluk dan wujud Allah. Tidak
dipungkiri ajaran tersebut sengaja dirusak untuk menyimpangkan ajaran tasawwuf
para ulama’-ulama’ terdahulu. Mereka ini disebut orang jahil yang sok
bertasawwuf.

29
Hasyim ‘Asy’ari, Op, Cit, hlm, 11.
Dalam kitab Al-Dhurar al-Muntastiro fi Masa’ili al-Tis’i ‘Asyarah Syekh
Hasyim memberi penjelasan-penjelasan ringkas dan padat tentang konsep-konsep
kewalian dan tasawwuf. Di situ, terdapat penjelasan penting. Bahwasannya, jika
ada seorang mengaku wali lantas melakukan hal-hal ‘aneh’, namun mengingkari
syariat maka menurut beliau dia bukan wali, tapi sedang ditipu setan.
Beliau mengatakan bahwa, siapapun diwajibkan untuk melaksanakan syariat.
Tidak ada perbedaan antara seorang santri, kyai, orang awam dan wali, semuanya
sama diwajibkan menjalankan perintah syariah. Beliau mengatakan, “Tidak ada
namanya wali yang meninggalkan kewajiban syariat. Apabila ada yang
mengingkari syariat maka ia sesungguhnya mengikuti hawa nafsunya saja dan
sedang tertipu setan”. 30
Penjelasan-penjelasan tersebut merupakan usaha Kyai Hasyim untuk
membendung keyakinan yang mendekonstruksi akidah Ahlussunnah wal Jama’ah
di kalangan jam’iyah NU secara khusus dan umat Islam di Nusantara secara
umum. Bahkan menurutnya, kelompok-kelompok yang menyimpang tersebut
lebih berbahaya bagai kaum Muslimin daripada kekufuran lainnya. Sebab,
kalangan Muslim awam mudah terkecoh dengan penampilan mereka, apalagi bagi
kalangan yang awam dalam bahasa arab dan syariat.
Mereka wajib dibendung. Tapi beliau mengingatkan, bahwa nahi munkar
terhadap aliran ‘nyeleneh’ tersebut harus dilakukan sesuai petunjuk syariat. Tidak
boleh nahi munkar dengan cara munkar pula atau menimbulkan fitnah baru.
Sehingga tidak menyudahi kemungkaran namun akan menambah kemungkaran
itu sendiri, yakni menambah umat Islam makin menyimpang akidahnya.
Sebagaimana dilarangnya sedekah dengan harti hasil curian. Tapi di sini bukan
larangan nahi mungkar dengan ‘tangan’, namun yang dilarang adalah yang
melanggar syariat. Inilah karakter Syekh Hasyim Asy’ari yang patut diteladani
umat. Tegas terhadap penyimpangan Islam, teduh dalam menyikapi perbedaan
furu’.
Ia salah satu tokoh nasional pejuang syari’ah. Ia adil. Kepada pengikutnya
yang salah, ia tak segan membenahi, dan terhadap kelompok lain yang
menyimpang, tanpa sungkan ia mengkritik. Semuanya demi Islam, demi
keagungan Allah, bukan demi manusia tertentu.
Dalam kitabnya Al-Tasybihat al-Wajibat Li man Yashna’ al-Maulid bi al-
Munkarat mengisahkan pengalamannya. Tepatnya pada Senin 25 Rabi’ul Awwal
1355 H, Kyai Hayim berjumpa dengan orang-orang yang merayakan Maulid Nabi
saw. Mereka berkumpul membaca Al-Qur’an, dan sirah Nabi. 31

30
Hasyim Asy’ari, Al-Dhurar al-Muntastiro fi Masa’ili al-Tis’i ‘Asyarah, (Kediri: PP.
Lirboyo Kediri, tanpa tahun), hlm. 4 dan 6.

31
Hasyim Asy’ari, Al-Tasybihat al-Wajibat Li man Yashna’ al-Maulid bi al-
Munkarat,(Jombang: Maktabah al-Turast al-Islamiy,tanpa tahun), hlm. 9
Akan tetapi, perayaan itu disertai aktivitas dan ritual-ritual yang tidak sesuai
syari’at. Misalnya, ikhtilath (laki-laki dan perempuan bercampur dalam satu
tempat tanpa hijab), menabuh alat-alat musik, tarian, tertawa-tawa, dan
permainanan yang tidak bermanfaat. Kenyataan ini membuat Kyai Hasyim geram.
Kyai Hasyim pun melarang dan membubarkan ritual tersebut.
Syekh Hasyim Asy’ari tidak pernah mengajarkan paham liberalisme,
pluralisme, dan sekularisme. Fatwa-fatwanya cukup tegas. Tidak abu-abu. Beliau
mengatakan bahwa agama Yahudi dan Kristen telah menyimpang. Hanya Islam
lah agama wahyu yang orisinil, yang harus tetap dijaga dan dipeluk.
Sebab, liberalisasi dan pluralisasi agama jelas menyalahi tradisi NU, apalagi
melawan perjuangan KH. Hasyim Asy’ari. ”Liberalisme ini mengancam akidah
dan syariah secara bertahap,”. KH. Hasyim Asy’ari sangat menentang ide
penyamaan agama, dan memerintahkan untuk melawan terhadap orang yang
melecehkan Al-Qur’an, dan menentang penggunaan ra’yu mendahului nash dalam
berfatwa (lihat Risalah Ahlu Sunnah wa al-Jama’ah). Dalam Muqaddimah al-
Qanun al-Asasi li Jam’iyati Nadlatu al-‘Ulama, Syekh Hasyim mewanti agar
berhati-hati jangan jatuh pada fitnah yakni orang yang tenggelam dalam laut
fitnah, bid’ah, dan dakwah mengajak kepada Allah, padahal mengingkari-Nya.
G. Kesimpulan
K.H. Hasyim Asy’ari dilahirkan dalam lingkungan yang taat beragama dan
berada di lingkungan pesantren pada 14 Februari 1871M di Jombang Jawa Timur.
Suasana kehidupan pesantren sangat mempengaruhi karakter beliau yang
sederhana, cerdas dan sopan. Ia belajar dari awal pesantren ayahnya sendiri, ke
pesantren-pesantren lain di jawa dan sampai ke Hijaz.
Sebagai pendidik ia telah mengajar sejak muda. Kemudian mendirikan
pesantren sendiri yaitu pesantren Tebuireng tahun 1899 di Jombang Jawa Timur.
Pemikirannya lebih menekankan pada masalah etika dala pendidikan,
pembaharuan madrasah baik dalam pengajaran maupun kurikulumnya
K.H. Hasyim mempunyai peran besar pada berdirinya Nahdhatul Ulama yang
berorientasi pada pemurnian ajran Islam dan tetap mengunakan salah satu mazhab
dari empat mazhab. Dan dalam bidang politik, beliau juga berperan membantu
bangsa dalam melawan penjajah dan kolonialisme dengan memberikan semangat
dan seruan jihad pada santri dan masyarakat untuk memperjuagkan Islam dan
kemerdekaan. Beliau adalah salah satu pahlawan kemerdekaan bangsa yang
pemikirannya sampai sekarang masih terus dikembangkan oleh para penerus-
penerusnya.
Daftar Pustaka
Abdul Sani, Lintasan Sejarah Pemikiran Perkembangan Modern Dalam Islam,
Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1998.

Abdurrhman Navis, Risalah Aslussunnah Wal-Jama’ah Dari Pembiasan Menuju


Pemahaman Dan Pembelaan Akidah Amaliah NU, Surabaya: Khalista,
2012.

Achmand Muhibbin Zuhri, Pemikiran KH. M. Hasyi Asy’ari Tentang Ahl Al-
Sunnah Wa Al-Jama’ah, Surabaya:Khalista, 2010.

Ali Khaidar, Nahdlatul Ulama dan Islam Indonesia; Pendekatan Fiqih dalam
Politik, Jakarta: Gramedia, 1995.

Asep Saipudin Chalim, Membumikan Aswaja Pegangan Guru NU, Surabaya:


Khalista, 2012

Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, Jakarta: Ichtiar Baru Van
Hoeve, cet-3,1994.

Harun Nasution, Teologi Islamn Aliran-Aliran Sejrah Analisa Perbandingan,


Jakarta: UI Press, 1986.

Hasyim ‘Asy’ari, Risalah Ahl al-Sunnah wal Jamaah, Jombang: Maktabah al-
Turats al-Islamiy.

Hasyim Asy’ari, Al-Dhurar al-Muntastiro fi Masa’ili al-Tis’i ‘Asyarah, Kediri:


PP. Lirboyo Kediri, tanpa tahun.

Hasyim Asy’ari, Al-Tasybihat al-Wajibat Li man Yashna’ al-Maulid bi al-


Munkarat,Jombang: Maktabah al-Turast al-Islamiy,tanpa tahun.

Imam Baehaqi, Kontrovesi Aswaja, Yogyakarta: LKiS Yogyakarta, 2000.

R. Suyoto Bakir, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Tangerang: Karisma


Publishing Group, 2009.
Sirrajuddin Abbas, I’itiqad Ahlussunnah Wal Jama’ah, Jakarta: Pencetak Radar
Jaya, 1994.

Syamsul Kurniawan, Erwin Mahrus, Jejak Pemikiran Tokoh Pendidikan Isalam,


Jogjakarta: Ar-Ruz Media, 2011.

Tamyiz Burhanudin, Akhlak Pesantren Pandangan KH. Hasyim Asy’ari,


Yogyakarta: Ittaqa Press, 2001.

Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren, Jakarta: LP3ES,1982.

Anda mungkin juga menyukai