Anda di halaman 1dari 15

SEJARAH MUNCULNYA ASWAJA

DALAM DUNIA ISLAM

Makalah Ini Disusun Guna Memenuhi Tugas


Mata Kuliah: Ke-NU-an
Dosen Pengampu: Achmad Abdul Azis, M.Pd.

Disusun Oleh:

1. Siti Nur Suci Lestari (2120130974)


2. Zahrotul Miskiyah (2120150983)
3. Alfiatun Ni‟mah (2120130929)
4. Rohma Rianti (2120130971)

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM KHOZINATUL ‘ULUM BLORA


FAKULTAS TARBIYAH
SEMESTER II
2022

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas
limpahan rahmatnya penyusun dapat menyelesaikan makalah ini tepat waktu
tanpa ada halangan yang berarti dan sesuai dengan harapan.
Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada Bapak Achmad Abdul Aziz
M.Pd sebagai dosen pengampu mata kuliah an Ke-NU-yang telah membantu
memberikan arahan dan pemahaman dalam penyusunan makalah ini.
Kami menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih banyak
kekurangan karena keterbatasan kami. Maka dari itu penyusun sangat
mengharapkan kritik dan saran untuk menyempurnakan makalah ini. Semoga apa
yang ditulis dapat bermanfaat bagi semua pihak yang membutuhkan.

Blora,06 Maret 2022

Penulis

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Ahlussunah Wal Jamaah (ASWAJA) adalah salah satu aliran teologis
(Aqidah) Islam. Pemahaman teologi Aswaja ini diyakini sebagian besar umat
Islam sebagai pemahaman yang benar yang telah diajarkan oleh Nabi
Muhammad SAW kepada para sahabatnya. Kemudian secara turun-temurun
faham Aswaja diajarkan kepada generasi berikutnya (Tabi’in-Tabi’it Tabi’in)
dan selanjutnya diteruskan oleh generasi-generasi berikutnya sehingga sampai
kepada kita.

Menurut telaah sejarah, istilah Aswaja muncul sebagai reaksi terhadap


faham kelompok Mu‟tazilah, yang dikenal sebagai “kaum rasionalis Islam”
yang ekstrim. Kelompok ini mengedepankan pemahaman teologi Islam yang
bersifat rasionalis (‘aqli) dan liberalis. Aswaja juga berusaha mengatasi suatu
faham ekstrim yang lain, yang berlawanan faham secara total dengan kaum
Mu‟tazilah, yaitu faham kaum Jabariyah, di mana mereka berpendapat bahwa
manusia tidak mempunyai kemerdekaan atau kuasa dalam berkehendak dan
berbuat. Kehendak (iradah) dan perbuatan manusia terikat dengan kehendak
mutlak Tuhan. Jadi segala perbuatan manusia itu dilakukan dalam keadaan
terpaksa (mujbar).

Perlu untuk diketahui bahwa mayoritas umat Islam di dunia ini adalah
berfaham Aswaja (kaum Sunni). Dalam berfiqih mereka (kaum Sunni)
menjadikan empat mujtahid besar, Imam Maliki, Imam Hanafi, Imam Syafi‟i
dan Imam Hanbali RA sebagai rujukan utamanya. Karena mayoritas ulama
Asia Tenggara bermazhab Syafi‟i, maka umat Islam di Indonesia, termasuk
kaum Nahdliyyin, mengikuti mazhab Syafi‟i.

iii
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana latar belakang Ahlussunah Wal Jamaah jika dilihat dari sudut
sejarah dan tokoh-tokoh pendirinya?
2. Apa hakikat dan dinamika Ahlussunah Wal Jamaah?

C. Tujuan Penulisan
1. Agar mengetahui latar belakang Ahlussnah Wal Jamaah jika dilihat dari
sudut sejarah dan tokoh-tokoh pendirinya.
2. Agar mengetahui hakikat dan dinamika Ahlussunah Wal Jamaah.

D. Manfaat Penulisan
1. Mengetahui latar belakang Ahlussunah Wal Jamaah jika dilihat dari sudut
sejarah dan tokoh-tokoh pendirinya.
2. Mengetahui hakikat dan dinamika Ahlussunah Wal Jamaah.

E. Metode Penulisan
Dalam penulisan makalah ini metode yang digunakan adalah library
research. Metode library research adalah adalah penelitian yang dilaksanakan
dengan menggunakan literatur (kepustakaan), baik berupa buku, catatan,
maupun informasi dari internet.

iv
BAB
PEMBAHASAN

A. Sejarah Munculnya ASWAJA


Ahlussunah Wal Jama’ah merupakan kepanjangan dari ASWAJA.
Ahlussunah berarti orang-orang yang menganut atau mengikuti sunah Nabi
Muhammad SAW, dan Wal Jama’ah berarti mayoritas umat atau mayoritas
sahabat Nabi Muhammad SAW. Dengan demikian Ahlussunah Wal Jama’ah
dapat diartikan sebagai orang-orang yang mengikuti Nabi Muhammad SAW
dan mayoritas sahabat (maa ana alaihi waashhabi), baik di dalam syariat
(hukum Islam) maupun akidah dan tasawuf1.

Istilah Aswaja tidak dikenal pada zaman Nabi Muhammad dan


Khulafaur Rasyidin bahkan istilah Aswaja juga tidak dikanal pada zaman
Bani Umayah. Pemakaian Ahlussunnah Wal Jama'ah sebagai sebutan bagi
kelompok keagamaan justru diketahui lebih belakangan, sewaktu Az-Zabidi
menyebutkan dalam Itḫaf Sadatul Muttaqin, penjelasan dari Ihya’
‘Ulumuddin Al-Ghazali yaitu jika disebutkan ahlussunnah, maka yang
dimaksud adalah pengikut Al-Asy‟ari dan Al-Maturidi2.

Aswaja yang merupakan aliran teologi (Aqidah) Islam kemudian


berkembang dalam bidang-bidang lain seperti dalam bidang aqidah
menggunakan metode Asy‟ariyah dan Maturidiyah, bidang tasawuf mengikuti
Imam al-Ghazali dan Imam Junaid al-Baghdadi, dan dalam bidang syari‟ah
paham aswaja menganut madzhab Hanafi, Maliki, Syafi‟i, dan Hambali.

Ada dua pemahaman terkait istilah aswaja. Pertama, dari sisi sejarah
islam istilah aswaja merujuk pada reaksi terhadap paham mu‟tazilah yang

1
Khusnul Khotimah, “ASWAJA (Ahlussunah Wal Jama’ah)”, 2016, Hal. 3.
2
Subaidi, Pendidikan Islam Risalah Ahlussunnah Wal Jama’ah An-Nahdliyah, (Jepara:
UNISNU PRESS, 2019), Hal. 13.

1
dikenal sebagai “kaum rasionalis Islam” yang ekstrim. Kelompok ini
mengedepankan pemahaman teologi Islam yang bersifat rasionalis (‘aqli) dan
liberalis. Pada akhir abad ke-3 Hijriyah, hampir bersamaan dengan masa
berkuasanya khalifah Al-Mutawakkil, muncul dua orang tokoh Islam terkenal
yaitu Abu Hasan Al-Asy‟ari di Bashrah dan Abu Manshur Al-Maturidi di
Samarkand. Mereka secara bersama-sama bersatu membendung kuatnya
gejala paham mu‟tazilah yang dilancarkan para tokoh mu‟tazilah dan
pengikutnya. Dari kedua pemikir ulama ini, selanjutnya lahir kecenderungan
baru yang banyak mewarnai pemikiran umat Islam waktu itu. Bahkan, hal ini
menjadi mainstream (arus utama) pemikiran keagamaan di dunia Islam yang
kemudian mengkristal menjadi sebuah gelombang pemikiran keagamaan
sering dinisbatkan pada sebutan Ahlussunnah Wal Jama'ah, yang kemudian
popular Aswaja3.

Kedua, istilah aswaja cukup terkenal dikalangan umat islam, terutama


didasarkan pada sebuah hadis yang artinya: “Kaum Yahudi bergolong-golong
menjadi 71 golongan dan kaum Nasrani bergolong-golong menjadi 72
golongan dan umat-Ku (umat Islam) akan bergolong-golong menjadi 73
golongan. Semua di neraka, kecuali yang satu. Para sahabat bertanya: Siapa
yang satu yang selamat itu? Rasulullah SAW menjawab: Mereka adalah
Ahlussunnah Wal Jama’ah (penganut ajaran Ahlussunnah Wal Jama’ah).
Apakah ajaran Ahlussunnah Wal Jama’ah itu?. (ajaran) Ahlussunnah Wal
Jama’ah ialah Mâ Anâ ‘Alaîhi Wa Ash-Hâbî (apa yang aku berada di atasnya
bersama sahabatku)."

Dapat dipahami bahwa Ahlussunah Wal Jama’ah adalah golongan


orang yang berpegang teguh pada perbuatan Nabi Muhammad SAW dan
perbuatan para sahabatnya. Pada hakikatnya Ahlussunah Wal Jama’ah adalah

3
Subaidi, Pendidikan Islam Risalah Ahlussunnah Wal Jama’ah An-Nahdliyah, (Jepara:
UNISNU PRESS, 2019), Hal. 15.

2
ajaran islam murni sebagaimana yang diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW
dan para sahabatnya.

B. Pendiri Aliran Ahlussunah Wal Jama’ah


1. Abu Hasan Al-Asy’ari
Nama lengkapnya adalah „Ali ibnu Isma‟il ibnu Ishâq ibnu Sâlim
ibnu Ismâ‟il ibnu „Abdullah bin Musa ibnu Bilal ibnu Abi Burdah ibnu
Abi Musa Al-Asy‟ari atau sering disebut Abu Hasan Al-Asy‟ari. Imam
Abu Hasan al-Asy‟ari lahir di Bashrah pada tahun 260 H/873 M dan wafat
di Bagdad pada ahun 324H/ 935M, disemayamkan diantara Karkh dan
pintu Basrah4.

Ia dibesarkan di Basrah dan dididik dari kecil dengan berbasis ilmu


agama, bahasa Arab dan seni orasi. Ia belajar hadis dari Al-Hafidz ibn
Yahya Al-Sa‟aji, Abi Khalifah Al-Jauhi, Sahl ibn Nuh, Muhammad ibn
Ya‟kub Al-Mukril, dan Abdurrahman bin Khalaf Al-Dabhi. Sementara itu
ia mempelajari ilmu kalam dari tokoh-tokoh Mu‟tazilah, seperti Abu Ali
Al-Juba‟i (235 H/ 303 H), Saham dan Al-Thawi5.

Ia sering mewakili gurunya Al-Juba‟i dalam kesempatan diskusi


(perdebatan mengenai kalam). Meskipun demikian, dalam perkembangan
selanjutnya, Al-Asy`ari justru menjauhi paham Mu‟tazilah, bahkan lebih
condong kepada pemikiran fuqaha‟ dan ahli Hadis. Di usia 40 tahun, Al-
Asy‟ari meninggalkan paham Mu‟tazilah.

Al-Asy‟ari menolak faham Mu‟tazilah kemudian ia mengadakan


pengasingan diri selama 15 hari. Setelah itu, ia pergi ke masjid Basrah

4
Aceng Abdul Aziz, M.Harfin Zuhdi, Zamzami, Afwan Faizin, Sulthon Fathoni, Sulthonul
Huda, Islam Ahlussunnah Wal Jama’ah, Sejarah ,Pemikiran, dan Dinamika NU di Indonesia,
(Jakarta: Pengurus Lembaga Pendidikan Ma’arif Nahdlatul Ulama Pusat, 2015), hlm. 64.
5
Aceng Abdul Aziz, M.Harfin Zuhdi, Zamzami, Afwan Faizin, Sulthon Fathoni, Sulthonul
Huda, Islam Ahlussunnah Wal Jama’ah, Sejarah ,Pemikiran, dan Dinamika NU di Indonesia,
(Jakarta: Pengurus Lembaga Pendidikan Ma’arif Nahdlatul Ulama Pusat, 2015), hlm. 65.

3
pada hari jum‟at. Ia naik mimbar dan berkata: “Hadirin sekalian, setelah
saya melakukan penelitian nyata dalil-dalil yang dikemukakan oleh
masing-masing pendapat, ternyata dalil-dalil tersebut menurut hemat saya
sama kuatnya. Saya memohon kepada Allah agar diberikan petunjuk yang
benar. Maka, atas petunjuk-Nya, saya sekarang meninggalkan keyakinan-
keyakinan lama dan menganut keyakinan baru yang saya tulis dalam buku
ini. Keyakinan lama yang saya lepaskan sebagaimana saya melepaskan
baju yang saya kenakan ini”. Satu hal yang tidak boleh diabaikan adalah
ketika Al-Asy‟ari meninggalkan faham Mu‟tazilah, golongan ini sedang
berada dalam fase kemunduran dan kelemahan. Ini indikasi dari sikap
penghargaan dan penghormatan Khalifah Al-Mutawakkil kepada Ibnu
Hanbal.

Pokok-Pokok Pikiran Al-Asy‟ari (Asy‟ariyah) antara lain:


a) Allah memiliki 20 sifat.
b) Al-Qur‟an adalah kalâmullah bukan makhluk dalam arti diciptakan.
c) Manusia bisa melihat Allah besuk di akhirat.
d) Perbuatan manusia diciptakan oleh Allah, namun manusia mempunyai
kasab (ikhtiyar). Dengan konsep kasab ini aqidah asy’ariyah
menjadikan manusia selalu berusaha secara kreatif dalam
kehidupannya.
e) Orang mukmin melakukan dosa besar masih tetap mukmin.
f) Keadilan Allah: Allah memiliki kekuasaan mutlak atas ciptaan-Nya.

2. Abu Manshur Al-Maturidi


Al-Maturidi dilahirkan di Maturid, sebuah kota kecil di
Samarkand, wilayah Transoxiana Asia Tengah. Daerah tersebut sekarang
di sebut Uzbekistan. Nama lengkap Abu Mansur Muhammad ibn Mahmud
ibn Mahmud Al-Hanafi Al-Mutakallim Al-Maturidi Al-Samarkandi.
Tahun kelahiranya tidak di ketahui secara pasti, hanya perkiraan sekitar
tahun 238 H/853 M. Pertimbangannya, salah satu guru Maturidi, yaitu

4
Muhammad AlMuqatil Al-Razi meninggal tahun 247 H. Abu Ayyub Ali
memperkirakan, bahwa penentangan Maturidi terhadap Mu‟tazilah telah
dilakukan sebelumnya oleh Asy‟ari. Karena pada saat Asy‟ari berusia 40
tahun (sekitar 913 M), Asy‟ari masih menganut dan mengembangkan
paham Mu‟tazilah, sedangkan Maturidi ketika itu berusia 40 tahun6.

Karir pendidikan Al-Maturidi lebih cenderung untuk menekuni


bidang teologi (ke-Allah-an) daripada fiqih (hukum Islam). Ini dilakukan
untuk memperkuat pengetahuan dalam menghadapi faham-faham teologi
yang banyak berkembang pada masyarakat Islam, yang ia pandang tidak
sesuai dengan pemikiran atau kaidah yang benar menurut akal dan syara‟7.

Berikut ini merupakan pemikiran Teologi Al-Maturidi:


a) Akal dan Wahyu
Terkait dengan pemikiran teologi, Al-Maturidi mendasarkan
pada Al-Qur‟an dan akal. Akan tetapi bagi Al-Maturidi, akal sebagai
panca -indera memiliki keterbatasan yang tidak dapat dielakkan.
Karenanya, manusia masih memerlukan bimbingan wahyu Allah.
Dalam Al-Qur‟an tidak terdapat ayat-ayat yang berlawanan antara satu
dengan lainnya. Kalaupun ada, ayatayat tersebut haruslah diberikan
ta‟wil yang pengertiannya diserahkan kepada Allah sendiri. Jika akal
bertentangan dengan hukum syara‟, maka akal harus tunduk kepada
hukum syara‟, bukan sebaliknya. Akal tidak berstatus sebagai
penguasa terakhir untuk menetapkan kewajiban manusia dan agama.
Dasar kewajiban haruslah berasal dari wahyu dan bukan dari akal.

6
Aceng Abdul Aziz, M.Harfin Zuhdi, Zamzami, Afwan Faizin, Sulthon Fathoni, Sulthonul
Huda, Islam Ahlussunnah Wal Jama’ah, Sejarah ,Pemikiran, dan Dinamika NU di Indonesia,
(Jakarta: Pengurus Lembaga Pendidikan Ma’arif Nahdlatul Ulama Pusat, 2015), hlm. 75-76.
7
Aceng Abdul Aziz, M.Harfin Zuhdi, Zamzami, Afwan Faizin, Sulthon Fathoni, Sulthonul
Huda, Islam Ahlussunnah Wal Jama’ah, Sejarah ,Pemikiran, dan Dinamika NU di Indonesia,
(Jakarta: Pengurus Lembaga Pendidikan Ma’arif Nahdlatul Ulama Pusat, 2015), hlm. 171.

5
b) Perbuatan Manusia
Menurut Al-Maturidi perbuatan manusia adalah ciptaan Allah
karena segala sesuatu dalam wujud ini adalah ciptaan-Nya, khususnya
mengenai perbuatan manusia, kebijakan dan keadilan kehendak Allah
mengharuskan manusia memiliki kemampuan berbuat (ikhtiar) dan
kebijakan.

c) Kekuasaan dan Kehendak Mutlak Allah


Telah diuraikan di atas bahwa perbuatan manusia dan segala
sesuatu dalam wujud ini, yang baik atau yang buruk adalah ciptaan
Allah. Akan tetapi pernyataan ini menurut Al-Maturidi bukan berarti
bahwa Allah berbuat dan berkehendak dengan sewenang-wenang serta
sekehendak-Nya semata. Hal ini karena kodrat Allah tidak sewenang-
wenang (absolut), tetapi perbuatan dan kehendak-Nya berlangsung
sesuai dengan hikmah dan keadilan yang sudah ditetapkan-Nya
sendiri.

d) Sifat Allah
Berkaitan dengan sifat Allah, terdapat persamaan antara
pemikiran Al-Maturidi dan Al-Asy‟ari, keduanya berpendapat bahwa
Allah mempunyai sifat-sifat, seperti sama’, bashar, dan sebagainya.
Pengertian Al-Maturidi tentang sifat Allah berbeda dengan Al-
Asy‟ari. Al-Asy‟ari mengartikan sifat Allah sebagai sesuatu yang
bukan Żat, melainkan melekat dengan Żat itu sendiri, sedang Al-
Maturidi berpendapat bahwa sifat itu tidak di katakan sebagai esensi-
Nya dan bukan lain pula dari esensi-Nya.

e) Melihat Allah
Al-Maturidi mengatakan bahwa Allah kelak di akhirat dapat di
lihat dengan mata, karena Allah mempunyai wujud walaupu Dia
immaterial. Yang tidak dapat dilihat adalah yang tidak berwujud.

6
Setiap yang berwujud pasti dapat dilihat, dank arena Allah berwujud
maka Allah pasti dapat dilihat. Namun melihat Allah, kelak di akhirat
tidak dalam bentuk-Nya, karena keadaan di akhirat tidak sama dengan
keadaan di dunia.

f) Kalam Allah
Al-Maturidi membedakan antara kalam yang tersusun dengan
huruf dan bersuara dengan kalam nafsi (sabda yang sebenarnya atau
makna abstrak). Kalam nafsi adalah sifat qadim bagi Allah, sedangkan
kalam yang tersusun dari huruf dan suara adalah baru (hadis). Al-
Qur‟an dalam arti kalam yang tersusun dari huruf dan kata-kata adalah
baru. Kalam nafsi tidak dapat di ketahui hakikatnya dan bagaimana
Allah bersifat dengan-Nya, tidak dapat diketahui, kecuali dengan
suatu perantara.

g) Tentang Hikmah
Maturidi menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan hikmah
adalah kebijaksanaan Allah, dalam arti perpaduan dua keadaan yang
disebut „Adil (justice), Rahmat, dan utama (fadl). Allah memiliki
kekuasaan absolute, namun ke-absolute-an-Nya itu bukanlah yang
berada di luar, melainkan berada pada kebijaksaan-Nya sendiri. Allah
menciptakan segala sesuatu termasuk didalamnya manusia.

h) Sunnah Rasul
Pandangan Al-Maturidi terkait dengan Sunnah Rasul, ia
mengakui sebagai salah satu sumber pengetahuan, akan tetapi ia juga
menekankan sikap kritis terhadap isi (matan) dan rangkaian
periwayatan sanad sunnah Rasul tersebut.

7
i) Pelaku Dosa Besar
Allah telah menjajikan akan memberikan balasan kepada
manusia sesuai dengan perbuatanya. Kekal di dalam neraka adalah
balasan untuk orang yang berbuat dosa syirik. Terkait dengan dosa
besar Maturidi berpendapat, bahwa orang yang beriman dan yang
berdosa besar tetap dinyatakan sebagai orang mukmin. Adapun
bagaimana nasibnya kelak di akhirat, terserah kepada kehendak Allah.
Dengan demikian berbuat dosa besar selain syirik tidak akan
menyebabkan pelakunya kekal di dalam neraka.

C. Hakikat Dan Dinamika Ahlussunah Wal Jama’ah


Pada hakikatnya, Ahlus sunnah wal Jama’ah, adalah ajaran Islam
yang murni sebagaimana diajarkan dan diamalkan oleh Rasulullah SAW
bersama para sahabatnya. Ketika Rasulullah saw. menerangkan bahwa
umatnya akan tergolong menjadi banyak sekali (73) golongan, beliau
menegaskan bahwa yang benar dan selamat dari sekian banyak golongan itu
hanyalah Ahlus sunnah wa Jama’ah. Ahlus sunnah wal Jama’ah adalah
golongan pengikut setia pada Al-Sunnah Wa Aljamaah, yaitu ajaran Islam
yang diajarkan dan diamalkan oleh Rasulullah SAW. bersama para
sahabatnya pada zamannya itu.

Kemunculan pemikiran Aswaja tidak lepas dari dinamika pendapat


umat Islam itu sendiri. Dimulai ketika zaman pemerintahan Ali bin Abi
Thalib, adalah Muawiyah bin Abi Sufyan, Gubernur Syiria waktu itu
melakukan manuver untuk menggoyang pemerintahan Ali. Alhasil, perang
pun terjadi. Beberapa kali perang kubu Muawiyah mengalami kekalahan.
Hingga pada akhirnya diputuskan mengakhiri perselisihan dengan melakukan
suatu kesepakatan.

Kubu Muawiyah mendelegasikan Amru bin Ash dan kubu Ali


diwakili Abu Musa al Asy'ari. Amru bin Ash adalah seorang politisi, pada

8
saat forum ia menyarankan agar perundingan dimulai dengan pemerintahan
yang kosong. Maksud dari Amru bin Ash ia menginginkan kubu Ali secara
simbolik meletakkan jabatannya terlebih dahulu. Abu musa yang notabene
adalah ulama langsung mengiyakan tawaran dari Amru bin Ash. Dengan
cerdik Amru bin Ash mempersilahkan Abu Musa untuk mendeklarasikan
peletakan jabatan karena dirasa ia lebih tua dan alim.

Setelah Abu Musa memproklamirkan peletakan jabatan Ali, Amru bin


Ash bukannya malah bergantian mengatakan sama, tetapi malah menyatakan
jabatan yang dilepas dari kubu Ali kini menjadi milik Muawiyah. "Saudara-
saudara kaum muslimin yang berbahagia, Abu Musa al Asyari mewakili
khalifah Ali telah meletakan jabatan. Maka dengan ini jabatan khalifah saya
ambil untuk diserahkan pada Muawiyah bin Abu Sofyan". Maka pada detik
itu Muawiyah yang kalah perang fisik dengan kubu Ali, giliran menang
ketika taktik politik. Kekhalifahan Ali pun berpindah ke tangan Muawiyah.

Efek dari peristiwa itu umat islam terpecah menjadi 3 kubu. Kubu Ali
terbelah menjadi 2: kubu Syiah dan Khawarij. Dan satu lagi adalah kubu
Muawiyah. Kelompok Syiah adalah pendukung Ali, kelompok Muawiyah
pendukung Muawiyah, dan kelompok Khawarij yakni kubu yang tidak pada
pihak Ali maupun Muawiyah. Kelompok menilai kesepakatan yang dibuat
oleh kedua belah pihak tidak sah karena tidak menggunakan hukum Allah
atau Al-Qur'an sehingga mereka memutuskan Khawarij (Kharaja: keluar).

Sebagian besar masyarakat saat itu (kecuali kelompok Muawiyah)


menilai perpindahan kekuasan dari Ali ke Muawiyah berjalan dengan tidak
sah dan licik. Untuk mengatasi pandangan itu maka khalifah membuat aliran
bernama Jabariyah. Kemunculan aliran ini dalam rangka melegitimasi
kekuasaan Muawiyah yang menyatakan bahwa manusia tidak punya
kekuasaan untuk berkehendak. Inti dari aliran Jabariyah, semua yang
dilakukan oleh manusia sudah dikehendaki oleh Allah. Termasuk ketika

9
Muawiyah dapat mengambil kekuasaan dari tangan Ali itu juga kehendak
Allah.

Setelah itu selama masa pemerintahan Bani Umayah muncul aliran


bernama Qodariyah yang diusung oleh Muhammad bin Ali bin Muhammad
bin Ali bin Abi Thalib (cucu Ali bin Abi Thalib). Aliran ini mengajarkan
sebaliknya dari aliran Jabariyah. Bahwa ketika manusia berkehendak, Allah
tidak ikut campur, maka manusia harus bertanggungjawab atas perbuatannya.
Ketika masa Bani Umayah paham ini hanya sebagai kritik atas paham
Jabariyah. Namun ketika memasuki pemerintahan Bani Abasiyah, paham
Qadariyah dijadikan spirit pembangunan. Kemudian turunan dari paham ini
dengan sedikit modifikasi mengatasnamakan paham Mu'tazilah.

Pada akhirnya lahirlah ulama bernama Abu Hasan al Asyari. Ia


sebelumnya pengikut Mu'tazilah setelah itu keluar. Abu Hasan menyatakan
tidak mengikuti kedua kubu ekstrem dan berdiri di tengah-tengah. Ia
memproklamirkan paham dimana Rasulullah dan sahabat berada di
dalamnya, dan menyebut paham dengan sebutan Ahlus sunnah wal
Jama’ah. Titik tekan pada paham ini yakni manusia berkehendak tetapi
kehendak itu diketahui Allah. Manusia mempunyai kehendak tapi kehendak
itu dibatasi dengan takdir Allah8.

8
Moch. Ari Nasichuddin, “Aswaja Sejarah Dinamika Umat Islam Dan Analisis Sosial”
http://www.kmnu.or.id/konten-291-aswaja-sejarah-dinamika-umat-islam-dan-analisis-
sosial.html, diakses pada Juma’at, 04 Maret 2022 Pukul 01.30 WIB.

10
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Jika dilihat dari sudut sejarah dan tokoh-tokoh pendirinya, latar
belakang munculnya Ahlussunah Wal Jama’ah merujuk pada reaksi terhadap
paham mu‟tazilah yang dikenal sebagai “kaum rasionalis Islam” yang
ekstrim. Kelompok ini mengedepankan pemahaman teologi Islam yang
bersifat rasionalis (‘aqli) dan liberalis. Pada akhir abad ke-3 Hijriyah, hampir
bersamaan dengan masa berkuasanya khalifah Al-Mutawakkil, muncul dua
orang tokoh Islam terkenal yaitu Abu Hasan Al-Asy‟ari di Bashrah dan Abu
Manshur Al-Maturidi di Samarkand. Mereka secara bersama-sama bersatu
membendung kuatnya gejala paham mu‟tazilah yang dilancarkan para tokoh
mu‟tazilah dan pengikutnya. Dari kedua pemikir ulama ini, selanjutnya lahir
paham Ahlussunah Wal Jama’ah.

Pada hakikatnya, Ahlus sunnah wal Jama’ah, adalah ajaran Islam


yang murni sebagaimana diajarkan dan diamalkan oleh Rasulullah saw.
bersama para sahabatnya.

Dinamika Aswaja, pada akhirnya karena lahirnya ulama bernama Abu


Hasan al Asyari. Ia sebelumnya pengikut Mu'tazilah setelah itu keluar. Ia
memproklamirkan paham dimana rasulullah dan sahabat berada di dalamnya,
dan menyebut paham dengan sebutan Ahlus sunnah wal Jama’ah.

B. Saran
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini terdapat
banyak sekali kekurangan. Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan
kritik dan saran guna menyempurnaan makalah selanjutnya.

11

Anda mungkin juga menyukai