Disusun Oleh:
i
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas
limpahan rahmatnya penyusun dapat menyelesaikan makalah ini tepat waktu
tanpa ada halangan yang berarti dan sesuai dengan harapan.
Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada Bapak Achmad Abdul Aziz
M.Pd sebagai dosen pengampu mata kuliah an Ke-NU-yang telah membantu
memberikan arahan dan pemahaman dalam penyusunan makalah ini.
Kami menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih banyak
kekurangan karena keterbatasan kami. Maka dari itu penyusun sangat
mengharapkan kritik dan saran untuk menyempurnakan makalah ini. Semoga apa
yang ditulis dapat bermanfaat bagi semua pihak yang membutuhkan.
Penulis
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ahlussunah Wal Jamaah (ASWAJA) adalah salah satu aliran teologis
(Aqidah) Islam. Pemahaman teologi Aswaja ini diyakini sebagian besar umat
Islam sebagai pemahaman yang benar yang telah diajarkan oleh Nabi
Muhammad SAW kepada para sahabatnya. Kemudian secara turun-temurun
faham Aswaja diajarkan kepada generasi berikutnya (Tabi’in-Tabi’it Tabi’in)
dan selanjutnya diteruskan oleh generasi-generasi berikutnya sehingga sampai
kepada kita.
Perlu untuk diketahui bahwa mayoritas umat Islam di dunia ini adalah
berfaham Aswaja (kaum Sunni). Dalam berfiqih mereka (kaum Sunni)
menjadikan empat mujtahid besar, Imam Maliki, Imam Hanafi, Imam Syafi‟i
dan Imam Hanbali RA sebagai rujukan utamanya. Karena mayoritas ulama
Asia Tenggara bermazhab Syafi‟i, maka umat Islam di Indonesia, termasuk
kaum Nahdliyyin, mengikuti mazhab Syafi‟i.
iii
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana latar belakang Ahlussunah Wal Jamaah jika dilihat dari sudut
sejarah dan tokoh-tokoh pendirinya?
2. Apa hakikat dan dinamika Ahlussunah Wal Jamaah?
C. Tujuan Penulisan
1. Agar mengetahui latar belakang Ahlussnah Wal Jamaah jika dilihat dari
sudut sejarah dan tokoh-tokoh pendirinya.
2. Agar mengetahui hakikat dan dinamika Ahlussunah Wal Jamaah.
D. Manfaat Penulisan
1. Mengetahui latar belakang Ahlussunah Wal Jamaah jika dilihat dari sudut
sejarah dan tokoh-tokoh pendirinya.
2. Mengetahui hakikat dan dinamika Ahlussunah Wal Jamaah.
E. Metode Penulisan
Dalam penulisan makalah ini metode yang digunakan adalah library
research. Metode library research adalah adalah penelitian yang dilaksanakan
dengan menggunakan literatur (kepustakaan), baik berupa buku, catatan,
maupun informasi dari internet.
iv
BAB
PEMBAHASAN
Ada dua pemahaman terkait istilah aswaja. Pertama, dari sisi sejarah
islam istilah aswaja merujuk pada reaksi terhadap paham mu‟tazilah yang
1
Khusnul Khotimah, “ASWAJA (Ahlussunah Wal Jama’ah)”, 2016, Hal. 3.
2
Subaidi, Pendidikan Islam Risalah Ahlussunnah Wal Jama’ah An-Nahdliyah, (Jepara:
UNISNU PRESS, 2019), Hal. 13.
1
dikenal sebagai “kaum rasionalis Islam” yang ekstrim. Kelompok ini
mengedepankan pemahaman teologi Islam yang bersifat rasionalis (‘aqli) dan
liberalis. Pada akhir abad ke-3 Hijriyah, hampir bersamaan dengan masa
berkuasanya khalifah Al-Mutawakkil, muncul dua orang tokoh Islam terkenal
yaitu Abu Hasan Al-Asy‟ari di Bashrah dan Abu Manshur Al-Maturidi di
Samarkand. Mereka secara bersama-sama bersatu membendung kuatnya
gejala paham mu‟tazilah yang dilancarkan para tokoh mu‟tazilah dan
pengikutnya. Dari kedua pemikir ulama ini, selanjutnya lahir kecenderungan
baru yang banyak mewarnai pemikiran umat Islam waktu itu. Bahkan, hal ini
menjadi mainstream (arus utama) pemikiran keagamaan di dunia Islam yang
kemudian mengkristal menjadi sebuah gelombang pemikiran keagamaan
sering dinisbatkan pada sebutan Ahlussunnah Wal Jama'ah, yang kemudian
popular Aswaja3.
3
Subaidi, Pendidikan Islam Risalah Ahlussunnah Wal Jama’ah An-Nahdliyah, (Jepara:
UNISNU PRESS, 2019), Hal. 15.
2
ajaran islam murni sebagaimana yang diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW
dan para sahabatnya.
4
Aceng Abdul Aziz, M.Harfin Zuhdi, Zamzami, Afwan Faizin, Sulthon Fathoni, Sulthonul
Huda, Islam Ahlussunnah Wal Jama’ah, Sejarah ,Pemikiran, dan Dinamika NU di Indonesia,
(Jakarta: Pengurus Lembaga Pendidikan Ma’arif Nahdlatul Ulama Pusat, 2015), hlm. 64.
5
Aceng Abdul Aziz, M.Harfin Zuhdi, Zamzami, Afwan Faizin, Sulthon Fathoni, Sulthonul
Huda, Islam Ahlussunnah Wal Jama’ah, Sejarah ,Pemikiran, dan Dinamika NU di Indonesia,
(Jakarta: Pengurus Lembaga Pendidikan Ma’arif Nahdlatul Ulama Pusat, 2015), hlm. 65.
3
pada hari jum‟at. Ia naik mimbar dan berkata: “Hadirin sekalian, setelah
saya melakukan penelitian nyata dalil-dalil yang dikemukakan oleh
masing-masing pendapat, ternyata dalil-dalil tersebut menurut hemat saya
sama kuatnya. Saya memohon kepada Allah agar diberikan petunjuk yang
benar. Maka, atas petunjuk-Nya, saya sekarang meninggalkan keyakinan-
keyakinan lama dan menganut keyakinan baru yang saya tulis dalam buku
ini. Keyakinan lama yang saya lepaskan sebagaimana saya melepaskan
baju yang saya kenakan ini”. Satu hal yang tidak boleh diabaikan adalah
ketika Al-Asy‟ari meninggalkan faham Mu‟tazilah, golongan ini sedang
berada dalam fase kemunduran dan kelemahan. Ini indikasi dari sikap
penghargaan dan penghormatan Khalifah Al-Mutawakkil kepada Ibnu
Hanbal.
4
Muhammad AlMuqatil Al-Razi meninggal tahun 247 H. Abu Ayyub Ali
memperkirakan, bahwa penentangan Maturidi terhadap Mu‟tazilah telah
dilakukan sebelumnya oleh Asy‟ari. Karena pada saat Asy‟ari berusia 40
tahun (sekitar 913 M), Asy‟ari masih menganut dan mengembangkan
paham Mu‟tazilah, sedangkan Maturidi ketika itu berusia 40 tahun6.
6
Aceng Abdul Aziz, M.Harfin Zuhdi, Zamzami, Afwan Faizin, Sulthon Fathoni, Sulthonul
Huda, Islam Ahlussunnah Wal Jama’ah, Sejarah ,Pemikiran, dan Dinamika NU di Indonesia,
(Jakarta: Pengurus Lembaga Pendidikan Ma’arif Nahdlatul Ulama Pusat, 2015), hlm. 75-76.
7
Aceng Abdul Aziz, M.Harfin Zuhdi, Zamzami, Afwan Faizin, Sulthon Fathoni, Sulthonul
Huda, Islam Ahlussunnah Wal Jama’ah, Sejarah ,Pemikiran, dan Dinamika NU di Indonesia,
(Jakarta: Pengurus Lembaga Pendidikan Ma’arif Nahdlatul Ulama Pusat, 2015), hlm. 171.
5
b) Perbuatan Manusia
Menurut Al-Maturidi perbuatan manusia adalah ciptaan Allah
karena segala sesuatu dalam wujud ini adalah ciptaan-Nya, khususnya
mengenai perbuatan manusia, kebijakan dan keadilan kehendak Allah
mengharuskan manusia memiliki kemampuan berbuat (ikhtiar) dan
kebijakan.
d) Sifat Allah
Berkaitan dengan sifat Allah, terdapat persamaan antara
pemikiran Al-Maturidi dan Al-Asy‟ari, keduanya berpendapat bahwa
Allah mempunyai sifat-sifat, seperti sama’, bashar, dan sebagainya.
Pengertian Al-Maturidi tentang sifat Allah berbeda dengan Al-
Asy‟ari. Al-Asy‟ari mengartikan sifat Allah sebagai sesuatu yang
bukan Żat, melainkan melekat dengan Żat itu sendiri, sedang Al-
Maturidi berpendapat bahwa sifat itu tidak di katakan sebagai esensi-
Nya dan bukan lain pula dari esensi-Nya.
e) Melihat Allah
Al-Maturidi mengatakan bahwa Allah kelak di akhirat dapat di
lihat dengan mata, karena Allah mempunyai wujud walaupu Dia
immaterial. Yang tidak dapat dilihat adalah yang tidak berwujud.
6
Setiap yang berwujud pasti dapat dilihat, dank arena Allah berwujud
maka Allah pasti dapat dilihat. Namun melihat Allah, kelak di akhirat
tidak dalam bentuk-Nya, karena keadaan di akhirat tidak sama dengan
keadaan di dunia.
f) Kalam Allah
Al-Maturidi membedakan antara kalam yang tersusun dengan
huruf dan bersuara dengan kalam nafsi (sabda yang sebenarnya atau
makna abstrak). Kalam nafsi adalah sifat qadim bagi Allah, sedangkan
kalam yang tersusun dari huruf dan suara adalah baru (hadis). Al-
Qur‟an dalam arti kalam yang tersusun dari huruf dan kata-kata adalah
baru. Kalam nafsi tidak dapat di ketahui hakikatnya dan bagaimana
Allah bersifat dengan-Nya, tidak dapat diketahui, kecuali dengan
suatu perantara.
g) Tentang Hikmah
Maturidi menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan hikmah
adalah kebijaksanaan Allah, dalam arti perpaduan dua keadaan yang
disebut „Adil (justice), Rahmat, dan utama (fadl). Allah memiliki
kekuasaan absolute, namun ke-absolute-an-Nya itu bukanlah yang
berada di luar, melainkan berada pada kebijaksaan-Nya sendiri. Allah
menciptakan segala sesuatu termasuk didalamnya manusia.
h) Sunnah Rasul
Pandangan Al-Maturidi terkait dengan Sunnah Rasul, ia
mengakui sebagai salah satu sumber pengetahuan, akan tetapi ia juga
menekankan sikap kritis terhadap isi (matan) dan rangkaian
periwayatan sanad sunnah Rasul tersebut.
7
i) Pelaku Dosa Besar
Allah telah menjajikan akan memberikan balasan kepada
manusia sesuai dengan perbuatanya. Kekal di dalam neraka adalah
balasan untuk orang yang berbuat dosa syirik. Terkait dengan dosa
besar Maturidi berpendapat, bahwa orang yang beriman dan yang
berdosa besar tetap dinyatakan sebagai orang mukmin. Adapun
bagaimana nasibnya kelak di akhirat, terserah kepada kehendak Allah.
Dengan demikian berbuat dosa besar selain syirik tidak akan
menyebabkan pelakunya kekal di dalam neraka.
8
saat forum ia menyarankan agar perundingan dimulai dengan pemerintahan
yang kosong. Maksud dari Amru bin Ash ia menginginkan kubu Ali secara
simbolik meletakkan jabatannya terlebih dahulu. Abu musa yang notabene
adalah ulama langsung mengiyakan tawaran dari Amru bin Ash. Dengan
cerdik Amru bin Ash mempersilahkan Abu Musa untuk mendeklarasikan
peletakan jabatan karena dirasa ia lebih tua dan alim.
Efek dari peristiwa itu umat islam terpecah menjadi 3 kubu. Kubu Ali
terbelah menjadi 2: kubu Syiah dan Khawarij. Dan satu lagi adalah kubu
Muawiyah. Kelompok Syiah adalah pendukung Ali, kelompok Muawiyah
pendukung Muawiyah, dan kelompok Khawarij yakni kubu yang tidak pada
pihak Ali maupun Muawiyah. Kelompok menilai kesepakatan yang dibuat
oleh kedua belah pihak tidak sah karena tidak menggunakan hukum Allah
atau Al-Qur'an sehingga mereka memutuskan Khawarij (Kharaja: keluar).
9
Muawiyah dapat mengambil kekuasaan dari tangan Ali itu juga kehendak
Allah.
8
Moch. Ari Nasichuddin, “Aswaja Sejarah Dinamika Umat Islam Dan Analisis Sosial”
http://www.kmnu.or.id/konten-291-aswaja-sejarah-dinamika-umat-islam-dan-analisis-
sosial.html, diakses pada Juma’at, 04 Maret 2022 Pukul 01.30 WIB.
10
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Jika dilihat dari sudut sejarah dan tokoh-tokoh pendirinya, latar
belakang munculnya Ahlussunah Wal Jama’ah merujuk pada reaksi terhadap
paham mu‟tazilah yang dikenal sebagai “kaum rasionalis Islam” yang
ekstrim. Kelompok ini mengedepankan pemahaman teologi Islam yang
bersifat rasionalis (‘aqli) dan liberalis. Pada akhir abad ke-3 Hijriyah, hampir
bersamaan dengan masa berkuasanya khalifah Al-Mutawakkil, muncul dua
orang tokoh Islam terkenal yaitu Abu Hasan Al-Asy‟ari di Bashrah dan Abu
Manshur Al-Maturidi di Samarkand. Mereka secara bersama-sama bersatu
membendung kuatnya gejala paham mu‟tazilah yang dilancarkan para tokoh
mu‟tazilah dan pengikutnya. Dari kedua pemikir ulama ini, selanjutnya lahir
paham Ahlussunah Wal Jama’ah.
B. Saran
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini terdapat
banyak sekali kekurangan. Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan
kritik dan saran guna menyempurnaan makalah selanjutnya.
11