Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH

AHLI SUNNAH WALJAMA’AH

Diajukan untuk memenuhi salah salah satu tugas Kelompok Ilmu Kalam

Dosen pembimbing: H. Bahrum Mutakin, M.Pd

DISUSUN OLEH:

1. Rahma Masrurotul Jannah


2. Sita Andrayani
3. Siti Asiah
4. Siti Shofia
5. Siti Nafisa
6. Siti Mulya
7. Venny Veronika

FAKULTAS TARBIYAH

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

INSTITUT AGAMA ISLAM CIPASUNG

TASIKMALAYA

2020
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT Karena atas rahmat dan karunia – Nya kami dapat
menyelesaikan tugas makalah yang bejudul “ ahlussunnah waljama’ah” tepat waktu.

Adapun tujuan pembuatan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas kelompok
mata kuliah Ilmu Kalam, kami mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang
membantu menyelesaikan tugas makalah ini.

kami menyadari makalah ini banyak sekali kekukarangannya oleh karena itu berilah
kritik dan saran untuk membangun motivasi agar kami bisa membuat makalah yang lebih
baik lagi

Tasikmalaya, 20 maret 2021

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ......................................................................................................i


DAFTAR ISI......................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN..................................................................................................1
A. Latar belakang.........................................................................................................1
B. Rumusan masalah....................................................................................................1
C. Tujuan .....................................................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN...................................................................................................2
A. Pengertian................................................................................................................2
B. Akidah.....................................................................................................................3
C. Tokoh - tokoh..........................................................................................................6
D. Fikih ........................................................................................................................8
E. Tassawuf .................................................................................................................11
BAB III PENUTUP............................................................................................................15
A. Kesimpulan...............................................................................................................15
B. Saran.........................................................................................................................15
DAFTAR PUSTAKA.........................................................................................................17

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang
Dalam kajian akidah/ilmu kalam istilah Ahlussunnah wal Jama’ah dinisbatkan
pada paham yang diusung oleh Abu Hasan al-Asy’ari dan Abu Mansur al-Maturidi, yang
menentang paham Khawarij dan Jabariyah (yang cenderung tekstual) dan paham
Qadariyah dan Mu’tazilah (yang cenderung liberal).
Dalam kajian fikih, istilah Ahlussunnah wal Jama’ah disisbatkan pada paham
Sunni yaitu merujuk pada fikih 4 (empat) madzhab (Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali)
yang berbeda dengan paham fikih Syi’iy, Dzahiriy, Ja’fariy.
Dari situlah kemudian NU menjadikan Ahlussunnah wal Jama’ah sebagai asas
oraganisasi, yaitu dalam bidang aqidah mengikuti Abu Hasan Asy’ari dan Abu Mansur
al-Maturidi. Sedangkan dalam bidang fikih mengikuti salah satu dari fikih 4 (empat)
madzhab yaitu madzhab Syafi’i (Syafi’iyyah).
Kemudian, pengertian Ahlussunnah wal Jama’ah dalam bidang tashawwuf, NU
mengikuti Imam al-Junaidi al-Bagdadi (w. 297 H/ 910 M) dan Imam al-Ghazali at-Thusi
(w,505 H/ 1111M)

B. Rumusan masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, penulis dapat menyimpulkan rumusan masalah sebagai berikut :

1. Apa pengertian Ahlussunnah wal Jama’ah?

2. Bagaimana akidah Ahlussunnah wal Jama’ah?

3. Apa fikih dan tassawuf Ahlussunnah wal Jama’ah?

C. Tujuan

1. Mengetahui pengertian Ahlussunnah wal Jama’ah .

2. Mengetahui akidah Ahlussunnah wal Jama’ah.

3. Mengetahui fikih dan tassawuf Ahlussunnah wal Jama’ah.

1
BAB II

PEMBAHASAN

Ahlussunnah wal Jama’ah (ASWAJA)

A. Pengertian Ahlussunnah wal Jama’ah (ASWAJA)


Kata atau istilah Ahlussunnah wal Jama’ah diambil dari hadis Imam Thabrani
sebagai berikut:

‫تفترق‬LL‫ وس‬، ‫ وافترقت النصارى على إحدى أو اثنتين وسبعين فرقة‬، ‫افترقت اليهود على إحدى أو اثنتين وسبعين فرقة‬
:‫ قيل‬.‫ أهل السنة والجماعة‬:‫ ومن الناجية ؟ قال‬:‫ قيل‬.‫ الناجية منها واحدة والباقون هلكى‬،‫أمتي على ثالث وسبعين فرقة‬
‫ ما انا عليه اليوم و أصحابه‬:‫وما السنة والجماعة؟ قال‬
“orang-orang Yahudi bergolong-golong terpecah menjadi 71 atau 72 golongan, orang
Nasrani bergolong-golong menjadi 71 atau 72 golongan, dan umatku (kaum muslimin)
akan bergolong-golong menjadi 73 golongan. Yang selamat dari padanya satu golongan
dan yang lain celaka. Ditanyakan ’Siapakah yang selamat itu?’ Rasulullah SAW
menjawab, ‘Ahlusunnah wal Jama’ah’. Dan kemudian ditanyakan lagi, ‘apakah assunah
wal jama’ah itu?’ Beliau menjawab, ‘Apa yang aku berada di atasnya, hari ini, dan
beserta para sahabatku (diajarkan oleh Rasulullah SAW dan diamalkan beserta para
sahabat).

Menurut Hadratusy Syaikh KH. Muhammad Hasyim Asy’ari dalam ktabnya


Ziyadah at-Ta’liqat, Ahlussunnah wal Jama’ah adalah :

‫اء‬LL‫لم والخلف‬LL‫ه وس‬LL‫أما أهل السنة فهم أهل التفسير و الحديث و الفقه فإنهم المهتدون المتمسكون بسنة النبي صلى هللا علي‬
‫الكيون‬LL‫افعيون و الم‬LL‫ون والش‬LL‫ة الحنفي‬LL‫ذاهب أربع‬LL‫وم في م‬LL‫د اجتمعت الي‬LL‫الوا وق‬LL‫ة ق‬LL‫ة الناجي‬LL‫دين وهم الطاءف‬LL‫بعده الراش‬
‫والحنبليون‬

“Adapun Ahlussunnah wal Jama’ah adalah kelompok ahli tafsir, ahli hadis, dan ahli fikih.
Merekalah yang mengikuti dan berpegang teguh dengan sunnah Nabi dan sunnah
khulafaurrasyidin setelahnya. Mereka adalah kelompok yang selamat. Ulama mengatakan

2
: Sungguh kelompok tersaebut sekarang ini terhimpun dalam madzhab yang empat yaitu
madzhab Hanafi, Syafi’i, Maliki, dan Hanbali.”
Dalam kajian akidah/ilmu kalam istilah Ahlussunnah wal Jama’ah dinisbatkan
pada paham yang diusung oleh Abu Hasan al-Asy’ari dan Abu Mansur al-Maturidi, yang
menentang paham Khawarij dan Jabariyah (yang cenderung tekstual) dan paham
Qadariyah dan Mu’tazilah (yang cenderung liberal).
Dalam kajian fikih, istilah Ahlussunnah wal Jama’ah disisbatkan pada paham
Sunni yaitu merujuk pada fikih 4 (empat) madzhab (Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali)
yang berbeda dengan paham fikih Syi’iy, Dzahiriy, Ja’fariy.
Dari situlah kemudian NU menjadikan Ahlussunnah wal Jama’ah sebagai asas
oraganisasi, yaitu dalam bidang aqidah mengikuti Abu Hasan Asy’ari dan Abu Mansur
al-Maturidi. Sedangkan dalam bidang fikih mengikuti salah satu dari fikih 4 (empat)
madzhab yaitu madzhab Syafi’i (Syafi’iyyah).
Kemudian, pengertian Ahlussunnah wal Jama’ah dalam bidang tashawwuf, NU
mengikuti Imam al-Junaidi al-Bagdadi (w. 297 H/ 910 M) dan Imam al-Ghazali at-Thusi
(w,505 H/ 1111M)

B. Aqidah Ahlussunnah wal Jama’ah


Mempelajari ilmu aqidah wajib hukumnya bagi setiap Muslim. Penjelasan akan
hukum tersebut sudah banyak kita dengar; entah dari pelajaran di pesantren, atau dari
penjelasan para ulama di sekitar kita ketika pengajian. Sejak kecil kita sudah ditempa
dengan dasar-dasar ilmu keimanan, tentunya tanpa melibatkan pemikiran teologis yang
kompleks dan berbelit, seperti pengenalan sifat-sifat wajib dan mustahil serta jaiz bagi
Allah, nama-nama malaikat, adanya surga neraka dan sebagainya, meskipun kewajiban
mempelajari ilmu aqidah dimulai sejak adanya taklif. Mengenai kewajiban di atas,
Syekh Ahmad al-Dardîri menyebutkan dalam karyanya, Kharîdah al-Bahiyyah:

ِ ‫ْرفَةُ هللاِ ْال َعلِ ِّي فَا ْع ِر‬


‫ف‬ ِ َّ‫َو َوا ِجبٌ شَرْ عًا َعلَى ْال ُم َكل‬
ِ ‫ف َمع‬
Dan wajib secara syara’ bagi seorang mukalaf mengetahui Allah Yang Maha
Tinggi, maka ketahuilah! (Syekh Ahmad al-Dardîr, Kharîdah al-Bahiyyah, Rembang: al-
Maktabah al-Anwariyyah Belajar ilmu aqidah haruslah memiliki seorang guru, karena

3
tanpa adanya pembimbing yang mengarahkan kepada pemahaman yang benar akan
menyebabkan kekeliruan yang fatal. Kondisi demikian membuat kalangan santri sangat
beruntung karena difasilitasi secara lengkap: ada guru yang mumpuni dan juga referensi
yang mencukupi, sehingga ilmu aqidah atau sering disebut juga ilmu tauhid dapat diserap
dengan mudah oleh mereka.
Beda halnya dengan orang yang mengenyam pendidikan di sekolah umum yang minim
mendapatkan pelajaran keislaman secara mendalam, atau para pekerja yang waktu-waktunya
sudah disibukkan dengan pekerjaannya. Bagi mereka mempelajari ilmu aqidah menjadi lebih
sulit, pun halnya mencari guru serta waktu luang untuk mempelajarinya. Keadaan itu membuat
para santri, harus membuka mata dan berusaha semaksimal mungkin untuk tetap menghidupkan
dan menyebarkan aqidah Ahlussunnah wal Jama’ah di tengah-tengah masyarakat dengan
menyesuaikan kondisi yang ada. Salah satu cara yang dapat ditempuh untuk memudahkan
sebagian orang yang waktu ngajinya tidak sebanyak para santri ialah dengan menuliskan tentang
aqidah dengan bahasa Indonesia, atau menerjemahkan kitab-kitab aqidah Ahlussunnah wal
Jama’ah dengan bahasa yang mudah, benar dan tepat, sehingga dapat dibaca khalayak banyak.
Salah satu karya tentang itu yang menarik disinggung adalah buku Akidah Salaf Imam Al-
Ṭahawi, Ulasan dan Terjemahan.
Imam Abu Ja’far al-Thahawi (238-321 H.) merupakan salah satu imam dalam ilmu aqidah
yang hidup semasa dengan dua imam besar dalam ilmu aqidah Ahlussunnah wal Jama’ah, Imam
Abû al-Hasan al-Asy’arî (w. 324 H) dan Abû Manshûr al-Mâtûridî (w.333 H.). Nama lengkapnya
adalah Ahmad ibn Muhammad ibn Salâmah ibn ‘Abd al-Malik ibn Salâmah ibn Abû Ja’far al-
Thahâwi al-Azdî al-Mishrî (‘Ali Ridha & Ahmad Thaurân, Mu’jam al-Târîkh, Kayseri: Dar
el-‘Aqabah, cetakan pertama, 2001, h. 467). Dilihat dari tahun Imam Abû Ja’far hidup, maka
beliau dapat digolongkan kepada ulama salaf. Imam Abû Ja’far antara lain berguru kepada ‘Abd
al-Ghanî ibn Abû Rifâ’ah, Hârûn ibn Sa’îd al-Aylî, Yûnus ibn ‘Abd al-A’lâ, Bahr ibn Nashr al-
Khawlânî, Muhammad ibn ‘Abdullah ibn ‘Abd al-Hakam,’Isâ Ibn Matsrûd, Ibrâhîm ibn
Munqidz, al-Rabî’ ibn Sulaiman al-Murâdî, Abû Ibrâhîm al-Muzanî, dan yang lainnya. Pada
awalnya Imam Abû Ja’far al-Thahâwî berguru kepada murid-murid Imam al-Syâfi’i dalam ilmu
fiqih, yaitu al-Rabî’ ibn Sulaiman dan al-Muzanî, namun Abû Ja’far muda merasa pernah
diremehkan oleh al-Muzanî daam bidang fiqih, sehingga ia pun berguru kepada Imam Ahmad ibn
Abû ‘Imrân, tokoh besar mazhab Hanafi di Mesir pada masanya. Pada umur 30 tahun Imam Abû
Ja’far rihlah ke wilayah Syam dan berguru kepada Qâdi Abû Hazim al-Bashrî. Dan pada masa-
masa itulah beliau menjadi pakar dalam fiqih mazhab Hanafi yang dihormati di wilayah Mesir.
(Dr. Arrazy Hasyim, Akidah Salaf Imam al-Ṭahawi,Ulasan dan Terjemahan, Ciputat: Maktabah

4
Darus-Sunnah, cetakan pertama, 2020, halaman 2-3). Imam Abû Ja’far al-Thahâwî memiliki
banyak karya, di antara yang paling fenomenal dan banyak dipelajari dalam bidang aqidah
Ahlussunnah wa Jama’ah ialah Matn al-‘Aqîdah al-Thahâwiyyah. Kitab ini tipis sekali, namun
isinya padat dan tidak terlalu rumit. Dr. Arrazy Hasim, dosen Pesantren Luhur Ilmu Hadis
Darus-Sunnah, Ciputat, menyebutkan bahwa kitab ini memiliki beberapa keistimewaan. Pertama,
kitab ini merupakan salah satu kitab ilmu aqidah tertua dalam khazanah Ulama Salaf. Meski
Imam al-Thahâwî belum pernah bertemu dengan Imam al-Asy’arî, namun secara ajaran keduanya
tidak jauh berbeda. Kendati demikian secara sanad keilmuan, Imam Abû Ja’far lebih tinggi
sanadnya (‘âli). Secara tahun kelahiran pun lebih dulu Imam Abû Ja’far ketimbang Imam
al-‘Asy’arî. Namun dilihat dari sisi popularitas, Imam al-Asy’arî tentu lebih populer sebab Imam
Abû Ja’far tidak tinggal di kota metropilitan sebagaimana Imam al-Asy’arî yang tinggal di kota
Baghdad.
Kedua, secara manhaj kitab ini tidak berbeda dengan aqidah Imam Abû Hasan al-Asy’arî.
Ketiga, ajaran yang terkandung di dalamnya merupakan ajaran aqidah yang diwariskan oleh
Imam Abû Hanîfah dan kedua muridnya, Muhammad ibn Hasan al-Syaibâni dan Abû Yusûf al-
Anshârî. Keempat, sosok Abû Ja’far al-Thahâwî “diperebutkan” oleh aliran-aliran setelahnya, hal
ini tidak heran jika kitab Matn al-‘Aqîdah al-Thahâwiyyah disyarah oleh aliran salafi. Kelima,
kitab ini dapat dijadikan acuan untuk menimbang kevalidan aliran mana pun yang mengaku
bermanhaj Salaf. Keenam, kitab ini membuktikan bahwa aqidah Salaf Salih tidak hanya satu
manhaj, akan tetapi mempunyai sistem berpikir yang beragam dan masih dalam lingkaran
Ahlussunnah (Dr. Arrazy Hasyim, Akidah Salaf Imam al-Ṭahawi,Ulasan dan Terjemahan, h. 6-
7).
Meski buku ini berbahasa Arab, kita tidak perlu khawatir karena sekarang kitab ini sudah
diterjemahkan, salah satunya oleh Dr. Arrazy Hasyim sendiri. Sebab yang melatarbelakangi
diterjemahkan dan disusunnya buku ini ialah ketika penulis buku ini (Dr. Arrazy Hasyim)
mengajar Matn al-‘Aqîdah al-Thahâwiyyah di Darus Sunnah cabang Malaysia pada tahun 2014.
Beberapa mahasiswa di sana saat itu menggunakan buku terjemah yang diimpor dari penerbit di
Indonesia. Setelah memerhatikan isi buku tersebut, ternyata banyak bagian yang menyalahi
kaidah yang diajarkan oleh penulis kitab aslinya sendiri, Imam Abû Ja’far al-Thahâwî. Hal
demikian dapat dilihat dari sanggahan si penerjemah buku-buku terjemahan tersebut akan
ungkapan Imam al-Thahâwî bahwa Allah Maha Suci dari batas (hudûd), ujung (ghâyât), dan arah
(jihât). Yang lebih parah tambahan penjelasan si penerjemah yang mengatakan bahwa kalam
Allah berhuruf dan bersuara yang qadîm, padahal Imam al-Thahâwî sendiri dalam kitab aslinya
tidak mengatakan demikian. Sebab itulah yang mendorong penerjemahan kembali kitab ini,

5
dengan usaha agar dapat memperbaiki kesalahan dan penyimpangan, serta mengembalikan
maksud asli dari teks sebagaimana yang dimaksud oleh Imam al-Thahâwî.
Kelebihan buku Matn al-‘Aqîdah al-Thahâwiyyah yang diterjemahkan oleh Dr. Arrazy ini
di antaranya adalah ketepatan memilih diksi untuk ungkapan-ungkapan dalam istilah ilmu aqidah
ِ ‫اح ٌد اَل ش‬
َ ‫َر ْي‬
dari bahasa Arab ke bahasa Indonesia. Misalnya: ‫ك‬ ِ ‫إن هللاَ َو‬ ِ ِ‫نَقُو ُل فِي تَوْ ِحي ِد هللاِ ُم ْعتَقِ ِدينَ بِتَوْ ف‬
َّ ِ‫يق هللا‬
ُ‫ه‬L َ‫“ ل‬Kami menegaskan tentang pengesaan Allah (tawhīd Allᾱh) dengan hidayah dari Allah,
mempercayai bahwa: Allah itu Satu, tiada sekutu bagi-Nya." ُ‫َي َء ِم ْثلُه‬
ْ ‫َواَل ش‬ "Tiada sesuatu pun
yang seperti-Nya." ُ‫َي َء يُ ْع ِج ُزه‬
ْ ‫" َواَل ش‬Tiada sesuatu pun yang dapat melemahkan-Nya." ُ‫َواَل إِلهَ َغ ْي ُره‬
"Tiada sesuatu ilᾱh (Tuhan yang berhak disembah) selain-Nya." ‫" قَ ِد ْي ٌم بِاَل ا ْبتِدَا ٍء دَائِ ٌم بِاَل ا ْنتِهَا ٍء‬Qadīm
(Maha Awal) tanpa permulaan, Maha Abadi tanpa akhir." Buku ini sangat cocok dibaca dan
diajarkan kepada orang-orang yang baru menempuh pelajaran ilmu aqidah. Ia terdiri dari 5 Bab.
Bab pertama membahas biografi singkat Imam al-Thahâwî, keutamaan, dan seputar pematenan
istilah Salaf hingga sanggahan bagi aliran yang mengaku mengikuti ajaran Salaf. Bab kedua
menerangkan tentang urgensi sanad sekaligus pemaparan sanad kitab ini dari penulis (Dr. Arrazy
Hasyim) hingga muallif (Imam al-Thahâwî). Dari sini terlihat penulis meriwayatkan Matn
al-‘Aqîdah al-Thahâwiyyah dari beberapa Masyâikh, di antara mereka adalah Syekh ‘Abdul
Mun’im al-Ghummârî, Syekh Zakariyâ al-Halabi al-Makkî, KH. Ahmad Marwazi al-Batawî,
ketiganya meriwayatkan dari musnid al-dunyâ, Syekh Yasin al-Fâdânî al-Makkî hingga kepada
muallif kitab, Imam al-Thahâwî. Bab selanjutnya, terjemahan Matn al-‘Aqîdah al-Thahâwiyyah
dan terakhir, yaitu bab keempat berisi penutup. Buku-buku dan kitab-kitab tentang aqidah
Aswaja—apalagi dalam bentuk terjemah—penting sekali disebar dalam jumlah banyak di
masyarakat. Lebih-lebih pada saat yang sama, kelompok anti-Asy’ariyah dan Maturidiyah
semacam Wahabi terlebih dahulu menyebarkan paham mereka, termasuk dengan wakaf buku ke
masjid-masjid atau lainnya. Hal itu sebagai ikhtiar melestarikan aqidah Ahlussunnah wal
Jama’ah, tanpa mengabaikan bahwa mempelajari ilmu aqidah tidak cukup dengan otodidak tanpa
guru.

C. Tokoh Ahlussunnah wal Jama’ah


1. Imam abu abdillah sufyan bin said bin masruq ast tsauri (wafat : 161 H.)8)
aqidah dan madzhab sunnahnya telah dinampakan dan “diimlakan” pada abu sholeh
syuaib bin harb al baghdadi (wafat : 197 H.)9)
2. Imam Abu Muhammad Sufyan bin Uyainah Al-Hilali.

6
Beliau telah membeberkan aqidah – aqidahnya ketika ditanya soal itu, sebagaimana telah
diriwayatkan oleh abu abdillah muhammad bin ishaq ats – tsaqofi (wafat : 236 H.)10)
3. Imam Abu Amr Abdurrohman bin Amr Al – Auza’i.
Imam daerah syam ang telah menampakan aqidah – aqidahnya pada saat bid’ah telah
merebak. Hal ini telah diriwayatkan oleh ibrohim bin muhammad bin abdilah bin ishaq al
– fazari (wafat : 250 H.)11)
4. Imam Abu Abdirrohman ibn Mubaraok, imam daerah Khurasan.
5. Imam Abul Ali Frdloil bin ‘Iyadl, seorang zahid, tsiqoh, wira’I (wafat; 86 H.)12)
6. Imam Waqi’ bin Jarrah.
7. Imam Yusuf bin Asbat.
8. Imam Suraik bin Abdillah an-Nakha’i.
9. Imam Abu Said Yahya bin Said al-Qaththan (wafat; 197). 13)
10. Imam Abu Ishaq al-Fazazi.
11. Imam Abu Abdillah Malik bin Anas al-Asbihani al-Madani, Imam “Dar al-Hijrah wa
Faqih al-Haromain” (wafat: 79 H).14)
12. Imam Abu Abdillah Muhammad bin Idris as-Syafi’I al-Muttholibi. Sayyidul fuqaha’
fi zamanihi.
13. Imam Abu Ubaid al-Qasim bin Salam.
14. Imam Abu Hasan Nadlr bin Syummail an-Nahwi al-Bisri (wafat; 203H).15)
15. Imam Abu Ya’qub Yusuf bin Yahya al-Buwaithi al-Mishri. Murid Imam Syafi’I
(wafat;232 H), telah menampakkan aqidah “keqadiman al-Qur’an” pada saat terjadi
fitnah kubro dari kekhalifahan al-Ma’mun.16)
16. Imam Abu Abdillah Ahmad bin Hambal. Telah menampakkan aqidahnya, mengajak
umat menetapinya, serta tabah menghadapi siksaan demi memegang “al-Qur’an Qadim”.
17. Imam Abu Abdirrahman Zahir bin Nu’aim al-Baby as-Sijistani. (wafat pada masa
Kholifah al-Ma’mun). 17)
18. Imam Abu Yahya Zakariya bin Yahya as-Saaji. 18)
19. Imam Abu Raja’ Quthaibah bin Sa’id ats-Tsaqafi al-Baghdadi. Rawi terakhir yang
meriwayatkan hadits dari Abu Abbas Muhammad bin Ishaq as-Sarraj (wafat; 240 H). 19)
20. Imam Husain bin Abdirrahman al-Ihtiyathi. Tentang aqidahnya, telah diriwayatkan
oleh Ahmad bin Musa al-Bishri. 20)

7
D. FIQH AHLUSSUNAH WAL JAMAAH

Hukum syariat islam bersumber dari Al-Quran dan al-Sunnah yang mana keduanya
turun beangsur-angsur berdasarkan kebutuhan masyarakat ketika itu. Ketika Rasulullah
masih hidup jika ada permasalahan agama bisa langsung diselesaikan dihadapan Rasulullah.
Setelah Rasulullah wafat, banyak terdapat permasalahan yang belum dijelaskan secara tegas
dalam al-Quran dan al-Sunnah, untuk memecahkan persoalan tersebut perlulah dilakukan
ijtihad untuk istimbath hukum. Orang yang mampu berijtihad biasa disebut mujtahid,
seorang yang mampu berijtihad secara mandiri dan mampu mempolakan pemahaman
(manhaji) tersendiriterhadap sumber pokok islam, yakni al-Quran dan al-Sunnah disebut
mujtahid muthlaq mustaqil. Pola pemahaman ajaran islam dengan melalui ijtihad para
mujtahid lazim disebut madzhab.pola pemahaman dengan metode, prosedur, dan produk
ijtihad itu juga diikuti oleh umat Islam yang tidak mampu melaksanakan ijtihad sendiri
karena keterbatasan ilmu dan syarat-syarat yang dimiliki. Orang yang mengikuti hasil ijtihad
para mujtahid muthlaq disebut bermadzhab atau taqlid[47]. Dengan sistem bermadzhab ini
ajaran Islam dapat terus dikembangkan, disebarluaskan dan diamalkan dengan mudah oleh
semua lapisan masyarakat.

Dalam bidang fiqih dan amaliyah faham Aswaja mengikutipola bermadzhab dengan
mengikuti salah satu madzhab fiqih yang di deklarasikan oleh para ulama’ yang mencapai
tingkatan mujtahid mutlaq. Beberapa madzhab fiqih yang pernah eksis dan diikuti oleh
kaum muslim Aswaja ialah madzhab Hanafi, Maliki, Syafi’i, Hanbali, Sufyan al-Tsauri,
Sufyan bin Uyainah, Ibn Jarir, Dawud al-Zahiri, al-Laits bin Sa’ad, al-Auza’i, Abu Tsaur
dan lain-lain[48]. Akan tetapi seiring perkembangan zaman, dari sekian banyak madzhab
fiqih hanya empat yang tetap eksis digunakan oleh aliran Aswaja, yaitu madzhab Imam
Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali. Alasan kenapa empat madzhab ini yang tetap dipilih
oleh Aswaja yaitu:

Kualitas pribadi dan keilmuan mereka sudah masyhur.

8
Keempat Imam Madzhab tersebut merupakan Mujtahid Muthlaq Mustaqil, yaitu Imam
mujtahid yang mampu secara mandiri menciptakan Manhaj al-fikr, pola, metode, proses dan
proses istinbath dengan seluruh perangkat yang dibutuhkan.

Para Imam tersebut mempunyai murid yang secara konsisten mengajar dan mengembangkan
madzhabnya yang didukung dengan buku induk yang masih terjamin keasliana.

Keempat Imam Madzhab itu mempunyai mata rantai dan jaringan intelektual diantara
mereka[49].

Berikut penjelasan singkat mengenai empat madzhab tersebut:

Hanafiyah

Madzhab Hanafi didirikan oleh al-Imam Abu Hanifah al-Nu’man bin Tsabit al-Kufi.
Beliau lahir pada tahun 80 H, dan wafat pada 150 H di Baghdad. Abu Hanifah berdarah
Persia. Imam Hanifah digelari al-Imam al-A’zham (Imam Agung), Beliau menjadi tokoh
panutan di Iraq. Menganut aliran ahl al-ra’yi dan menjadi tokoh sentralnya. Diantara manhaj
istinbathnya yang terkenal adalah Istihsan. Fiqih Abu hanifah yang menjadi rujukan
Madzhab Hanafiyah ditulis oleh dua orang murid utamanya, yitu Abu Yusuf Ibrahim dan
Imam Muhammad bin Hasan al-Syaibani[50]. Pada mulanya madzhab ini diikuti oleh kaum
muslim yang tinggal di Irak, daerah tempat kelahiran Imam Abu Hnifah. Setelah muridnya,
Abu Yusuf menjabat sebagai hakim agung pada masa Daulah Abasiyyah, madzhab Hanafi
menjadi populer di negara-negara Persia, Mesir, Syam, dan Maroko. Dewasa ini, madzhab
Hanafi diikuti oleh kaum Muslim di negara-negara Asia Tengah, yang dalam refrensi klasik
dikenal dengan negri sebrang Sungai Jihun (Sungai Amu Daria dan Sir Daria), negara
Pakistan, Afganistan, India, Banglades, Turki, Albania, Bosnia dan lain-lain. Dalam bidang
teologi mayoritas pengikut madzhab Hanafi mengikuti madzhab al-Maturidi.[51]

Malikiyah

Madzhab maliki dinisbatkan kepada pendirinya, yaitu al-Imam Malik bin al-
Ashbahi[52]. Beliau lahir pada tahun 93 H, dan wafat pada 173 H di madinah. Imam Malik
dikenal sebagai “Imam Dar al-Hijrah”. Imam Malik adalah seorang ahli hadits sangat
terkenal, sehingga kitab monumentalnya yang berjudul al-Muwatha’ dinilai sebagai kitab

9
hadits hukum yang paling shahih sebelum adanya kitab Shahih Bukhari dan Muslim. Imam
Malik juga mempunyai manhaj istinbath yang berpengaruh sampai sekarang, Kitabnya
berjudul al-Mahlahah al-Mursalah dan ‘Amal al-Ahl al-Madinah[53]. Madzhab ini diikuti
mayoritas kaum Muslim di negara-negara Afrika seperti Libia, Tunisia, Maroko, Aljazair,
Sudan, Mesir dan lain-lain. Dalam bidang teologi seluruh Madzhab Maliki mengikuti faham
al-Asyari, tanpa terkecuali. Berdasarkan penelitian al-Imam Tajuddin al-Subki[54].

Syafi’iyah

Madzhab ini didirikan oleh al-Imam Abu ‘Abdillah muhammad bin Idris al-Syafi’i.
Lahir pada 150 H di Gaza, dan wafat pada tahun 204 H di Mesir. Imam Syafi’i mempunyai
latar belakang keilmuan yang memadukan antara Ahl al-hadits dan Ahl al-Ra’yi. Karena
cukup lama menjadi murid Imam Maliki dan Imam Muhammad bin Hasan (Murid besar
Imam hanafi) di Baghdad. Metodologi istinbathnya ditulis menjadi buku pertama dalam
bidang Ushul al-Fiqh yang berjudul al-Risalah. Pendapat Imam Syafi’i ada dua macam, yang
disampaikan selama di Baghdad disebut al-Qoul al-Qadim (pendapat lama), dan yang
disampaikan di mesir disebut al-qaul al-Jadid (pendapat baru)[55]. Madzhab Syafi’i diakui
sebagai madzhab fiqih terbesar jumlah pengikutnya diseluruh dunia, yang diikuti oleh
mayoritas kaum muslim Asia Tenggara, seperti Indonesia, India bagian selatan seperti
daerah Kirala dan Kalkutta, mayoritas negara syam seperti Siria, Yordania, Lebanon,
Palestina, sebagian besar penduduk Yaman, mayoritas penduduk Kurdistan, kaum Sunni
Iran, mayoritas penduduk mesir dan lain-lain. Dalam bidang teologi mayoritas pengikut
madzhab Syafi’i mengikuti al-Asyari, sebagaimana yang ditegaskan oleh al-Imam Tajuddin
al-Subki[56].

Hanabali

Imam Ahmad ibn Hambal, biasa disebut Imam Hambali, lahir pada tahun 164 H, di
Baghdad. Imam Hambali terkenal sebagai tokoh Ahl al-Hadits. Beliau merupakan murid
Imam Syafi’i selama di Baghdad, dan sangat menghormati Imam Syafi’i. Imam Hambali
mewariskan sebuah kitab hadist yang terkait dengan hukum Islam berjudul Musnad
Ahmad[57]. Madzhab ini paling sedikit pengikutnya, karena tersebarnya madzhab ini
berjalan setelah madzhab-madzhab lain tersosialisasi dan mengakar di tengah masyarakat.

10
Madzhab ini diikuti oleh mayoritas penduduk Najd dan sebagian kecil penduduk Mesir dan
Syam[58]. Dalam bidang teologi mayoritas ulama’ Hambali mengikuti aliran al-Asyari.

E. TASAWUF AHLUSSUNAH WAL JAMAAH

Dalam bidang tasawuf Aswaja memiliki prinsip untuk dijadikan pedoman bagi
kaumnya. Sebagaimana dalam masalah akidah dan fiqih, dimana Aswaja mengambil posisi
yang moderat, tasawuf Aswaja juga demikian adanya.

Manusia diciptakan Allah semata-mata untuk beribadah, tetapi bukan berarti


meninggalkan urusan dunia sepenuhnya. Akhirat memang wajib diutamakan ketimbang
kepentingan dunia, namun kehidupan dunia juga tidak boleh disepelekan. Dalam emenuhi
urusan dunia dan akhirat mesti seimbang dan proporsional.

Dasar utama tasawuf Aswaja tidak lain adalah Al-Qur’an dan Sunnah. Oleh karena itu,
jika ada orang yang mengaku telah mencapai derajat Makrifat namun meninggalkan al-Qur’an
dan sunnah, maka ia bukan termasuk golongan Aswaja. Meski Aswaja mengakui tingkatan-
tingkatan kehidupan rohani para sufi, tetapi Aswaja menentang jalan rohani yang
bertentangan dengan al-Qur’an dan as-Sunnah.

Imam Malik pernah mengatakan, “Orang yang bertasawuf tanpa mempelajari fikih
telah merusak imannya, sedangkan orang yang memahami fikih tanpa menjalankan tasawuf
telah merusak dirinya sendiri. Hanya orang yang memadukan keduanyalah yang akan
menemukan kebenaran.”[59]

Sudah sepantasnya, para sufi harus selalu memahami dan menghayati pengalaman-
pengalaman yang pernah dilalui oleh Nabi Muhammad selama kehidupannya. Demikian juga
pengalaman-pengalaman para sahabat yang kemudian diteruskan oleh tabi’in, tabi’ut
tabi’insampai pada para ulama sufi hingga sekarang. Memahami sejarah kehidupan (suluk)
Nabi Muhammad hingga para ulama waliyullah itu, dapat dilihat dari kehidupan pribadi dan
sosial mereka. Kehidupan individu artinya, ke-zuhud-an (kesederhanaan duniawi), wara’
(menjauhkan diri dari perbuatan tercela) dan dzikir yang dilakukan mereka.[60] Kehidupan
sosial, yakni bagaimana mereka bergaul dan berhubungan dengan sesama manusia. Sebab

11
tasawuf tercermin dalam akhlak; bukan semata hubungan manusia dengan Tuhan, tetapi juga
hubungan manusia dengan manusia lainnya.

Jalan sufi yang telah dicontohkan oleh Nabi Muhammad dan para pewarisnya adalah
jalan yang tetap memegang teguh perintah-perintah syari’at. Karena itu, kaum Aswaja An-
Nahdliyah tidak dapat menerima jalan sufi yang melepaskan diri dari kewajiban-kewajiban
syari’at, seperti praktik tasawuf al-Hallaj (al-hulul) dengan pernyataannya “ana al-haqq” atau
tasawuf Ibnu ‘Arabi (ittihad; manunggaling kawula gusti).[61]

Kaum Aswaja An-Nahdliyah hanya menerima ajaran-ajaran tasawuf yang moderat,


yakni tasawuf yang tidak meninggalkan syari’at dan aqidah sebagaimana sudah dicontohkan
al-Ghazali, Junaid al-Baghdadi, juga Syekh Abdul Qadir al-Jailani.

1. Abdl Qadir al-Jailani

Beliau lahir pada 470 H. (1077-1078) di al-Jil (disebut juga Jailan dan Kilan), kini
termasuk wilayah Iran. Ibunya, Ummul Khair Fatimah bint al-Syekh Abdullah Sumi
merupakan keturunan Rasulullah Saw., melalui cucu terkasihnya Husain. Suatu ketika Ibunya
berkata, “Anakku, Abdul Qadir, lahir di bulan Ramadhan pada siang hari bulan Ramadhan,
bayiku itu tak pernah mau diberi makan.”[62]

Ketika berusia 18 tahun, beliau pergi meninggalkan kota kelahirannya menuju


Baghdad. Di Baghdad beliau belajar kepada beberapa orang ulama, antara lain Ibnu Aqil,
Abul Khatthat, Abul Husein al Farra’ dan juga Abu Sa’ad al Muharrimiseim. Beliau menimba
ilmu pada ulama-ulama tersebut hingga mampu menguasai ilmu-ilmu ushul dan juga
perbedaan-perbedaan pendapat para ulama. Selanjutnya, pada tahun 521 H/1127 M, Syekh
Abdul Qadir al-Jailani mengajar dan menyampaikan fatwa-fatwa agama kepada masyarakat.
Tidak butuh waktu lama beliau segera dikenal masyarakat luas. Selama 25 tahun, beliau
menghabiskan waktunya sebagai pengembara di Padang Pasir Iraq dan akhirnya dikenal oleh
dunia sebagai tokoh sufi yang masyhur.[63]

Syaikh Abdul Qadir al-Jailani dikenal sebagai pendiri Tarekat Qodiriyah, sebuah
istilah yang tidak lain berasal dari namanya. Tarekat ini terus berkembang dan banyak

12
diminati oleh kaum muslimin. Meski Irak dan Syiria disebut sebagai pusat dari pergerakan
Tarekat tersebut, namun pengikutnya berasal dari belahan negara muslim lainnya, seperti
Yaman, Turki, Mesir, India, hingga sebagian Afrika dan Asia, termasuk Indonesia.

2. Abu al-Qosim Al-Junaidi Al-Baghdadi

Nama lengkap beliau adalah Abu al-Qosim al-Junaid bin Muhammad bin al-Junaid al-
Khazzaz al-Qowariri al-Nahawandi al-Baghdadi. Beliau dilahirkan di kota Baghdad tanpa
diketahui secara pasti tahun kelahirannya. Ayahnya seorang pedagang barang pecah belah,
sementar Ibunya merupakan saudara kandung Sari bin al-Mughallis al-Saqathi (w.235
H/867M), seorang tokoh sufi terkemuka yang kelak menjadi gurunya. Al-Junaid dikenal
cerdas, dan pada usia dua puluh tahun bela telah mampu mengeluarkan fatwa. Semua
kalangan menerima madzhab yang dibangunnya, dan beliau disepakati sebagai penyandang
gelar “Syekh al-Thaiifah al-Shufiyyah wa Sayyiduha” (Tuan Guru dan Pemimpin kaum sufi).

Abdul Wahhab al-Sya’rani, sebagaimana dikutip Dr. K.H Saefuddin Chalim,[64]


mengungkapkan paling tidak ada empat faktor yang mengantarkan al-Junaid menjadi satu-
satunya figur yang berhak menyandang gelar tersebut sehingga diakui sebagai acuan dan
standar dalam tasawuf Ahlussnah wal Jama’ah.

Konsistensi terhadap al-Kitab dan Sunnah. Penguasaan al-Junaid terhadap al-Qur’an


dan Sunnah membawa pengaruh positif terhadapnya dalam membangun madzhabnya di atas
fondasi Islam yang kuat dan shahih. Beribadah tanpa adanya pengetahuan yang memadai
dianggap bisa membawa seseorang ke dalam kesesatan. Oleh karenanya, al-Junaid begitu
mengedepankan ilmu agama sebagai pegangan kaum sufi dalam menempuh jalan suluk.

konsistensi terhadap syari’ah. Para ulama mengakui bahwa belum pernah ditemukan
di antara isyarat-isyarat al-Junaid dalam bidang tasawuf yang bertentangan dengan syari’ah.
Syariah adalah rel yang jika seorang sufi keluar dari jalurnya maka pintu kebaikan akan
tertutup baginya.

Kebersihan dalam akidah. Al-Junaid membangun madzhabnya di atas fondasi akidah


yang bersih, yaitu akidah Ahlussunah wal Jama’ah.

13
Ajaran tasawuf yang moderat. Ajaran tasawuf yang moderat merupakan ciri-ciri
tasawuf Ahlussunah wal Jama’ah. Al-Junaid memandang bahwa orang yang baik bukanlah
orang yang berkonsentrasi melakukan ibadah saja, sementara ia tidak ikut berperan aktif
dalam memberikan kemanfaatan kepada manusia. Pandangan tasawuf yang demikian
mematahkan tasawuf ekstrem yang beranggapan bahwa jika seseorang sudah sampai pada
derajat makrifatatau wali, maka pengamalan terhadap ajaran-ajaran agama tidak diperlukan
lagi baginya.

3. Muhammad Ibn Muhammad al-Ghazali

Al-Ghazali memiliki nama lengkap Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin
Muhammad al-Ghazali Al-Thusi. Beliau dilahirkan di kota Thus (daerah Khurasan) tahun 450
H/1058M. Beliau dikenal dengan al-Ghazali karena berasal dari desa Ghazalah, atau ada yang
menganggap bahwa sebutan al-Ghazali melekat karena ayahnya bekerja sebagai pemintal
tenun wol. Masa kecil dan masa muda al-Ghazali dipenuhi dengan belajar ilmu agama, dari
satu tempat ke tempat lain dan dari satu guru ke guru lain. Ia pernah belajar kepada Ahmad
bin Muhammad al-Radzikani al-Thusi, Imam Abu Nashr al-Isma’ili, Syekh Yusuf al-Nassaj,
Imam Abu al-Ma’ali Abdul Malik bin Abdllah al-Juwaini yang merupakan ulama terkemuka
Madzhab Syafi’i.

Imam al-Ghazali sebagai pelopor sufi mengembangkan tasawuf kepada dasar aslinya
seperti yang diamalkan oleh para sahabat Rasulullah Saw. Ia telah menulis puluhan kitab, dan
yang paling terkenal adalah Ihya Ulumiddin (Menghidupkan kembali ajaran Islam). Melalui
kitab tersebut al-Ghazali memberikan pegangan dan pedoman perkembangan tasawuf Islam,
dan menjadi rujukan bagi mereka dalam mengembangkan paham positifisme yang sesusi
dengan akidah dan syariah.[65]

Dengan tasawuf al-Ghazali, Syekh Abdul Qadir al-Jailani, dan Junaid al-Baghdadi,
kaum Aswaja An-Nahdliyah diharapkan menjadi umat yang selalu dinamis dan dapat
menyandingkan antara tawaran-tawaran kenikmatan bertemu dengan Tuhan dan sekaligus
dapat menyelesaikan persoalan-persoalan yang dihadapi oleh umat. Hal semacam ini pernah
ditunjukkan oleh para penyebar Islam di Indonesia, Walisongo. Secara individu, para wali itu
memiliki kedekatan hubungan dengan Allah dan pada saat yang sama mereka selalu

14
membenahi akhlaq masyarakat dengan penuh kebijaksanaan. Dan akhirnya ajaran Islam dapat
diterima oleh seluruh lapisan masyarakat dengan penuh kaikhlasan dan ketertundukan.

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Dalam kajian akidah/ilmu kalam istilah Ahlussunnah wal Jama’ah dinisbatkan
pada paham yang diusung oleh Abu Hasan al-Asy’ari dan Abu Mansur al-Maturidi, yang
menentang paham Khawarij dan Jabariyah (yang cenderung tekstual) dan paham
Qadariyah dan Mu’tazilah (yang cenderung liberal).
Dalam kajian fikih, istilah Ahlussunnah wal Jama’ah disisbatkan pada paham
Sunni yaitu merujuk pada fikih 4 (empat) madzhab (Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali)
yang berbeda dengan paham fikih Syi’iy, Dzahiriy, Ja’fariy.
Dari situlah kemudian NU menjadikan Ahlussunnah wal Jama’ah sebagai asas
oraganisasi, yaitu dalam bidang aqidah mengikuti Abu Hasan Asy’ari dan Abu Mansur
al-Maturidi. Sedangkan dalam bidang fikih mengikuti salah satu dari fikih 4 (empat)
madzhab yaitu madzhab Syafi’i (Syafi’iyyah).

ِ ‫ْرفَةُ هللاِ ْال َعلِ ِّي فَا ْع ِر‬


‫ف‬ ِ َّ‫َو َوا ِجبٌ شَرْ عًا َعلَى ْال ُم َكل‬
ِ ‫ف َمع‬
Dan wajib secara syara’ bagi seorang mukalaf mengetahui Allah Yang Maha Tinggi,
maka ketahuilah! (Syekh Ahmad al-Dardîr, Kharîdah al-Bahiyyah, Rembang: al-
Maktabah al-Anwariyyah Belajar ilmu aqidah haruslah memiliki seorang guru, karena
tanpa adanya pembimbing yang mengarahkan kepada pemahaman yang benar akan
menyebabkan kekeliruan yang fatal. Kondisi demikian membuat kalangan santri sangat
beruntung karena difasilitasi secara lengkap: ada guru yang mumpuni dan juga referensi
yang mencukupi, sehingga ilmu aqidah atau sering disebut juga ilmu tauhid dapat diserap
dengan mudah oleh mereka.
1. Imam abu abdillah sufyan bin said bin masruq ast tsauri (wafat : 161 H.)8)

15
aqidah dan madzhab sunnahnya telah dinampakan dan “diimlakan” pada abu sholeh
syuaib bin harb al baghdadi (wafat : 197 H.)9)
2. Imam Abu Muhammad Sufyan bin Uyainah Al-Hilali.
Beliau telah membeberkan aqidah – aqidahnya ketika ditanya soal itu, sebagaimana telah
diriwayatkan oleh abu abdillah muhammad bin ishaq ats – tsaqofi (wafat : 236 H.)10)
3. Imam Abu Amr Abdurrohman bin Amr Al – Auza’i.
Imam daerah syam ang telah menampakan aqidah – aqidahnya pada saat bid’ah telah
merebak. Hal ini telah diriwayatkan oleh ibrohim bin muhammad bin abdilah bin ishaq al
– fazari (wafat : 250 H.)11)
4. Imam Abu Abdirrohman ibn Mubaraok, imam daerah Khurasan.
5. Imam Abul Ali Frdloil bin ‘Iyadl, seorang zahid, tsiqoh, wira’I (wafat; 86 H.)12)

B.Saran
Disarankan bagi teman-teman semua untuk membaca dan memahami isi makalah ini,
khususnya bagi teman-teman yang ingin memahami tentang ahlussunnah waljama’ah.

16
DAFTAR PUSTAKA

https://unupurwokerto.ac.id/pengertian-dan-metode-berpikir-ahlussunnah-wal-jamaah

https://aceh.tribunnews.com/2012/11/23/siapa-yang-merumuskan-ahlussunnah-wal-jamaah

https://www.nu.or.id/post/read/121555/belajar-aqidah-ahlussunnah-wal-jamaah-dari-imam-al-thahawi

https://ayulweb.wordpress.com/2018/04/17/doktrin-aqidah-fiqih-dan-tasawuf-ahlussunah-wal-jamaah/

17

Anda mungkin juga menyukai