Anda di halaman 1dari 32

WALI SONGO DAN PERAN PENGEMBANGAN BUDAYA ISLAM

NUSANTARA

MAKALAH
UNTUK MEMENUHI TUGAS MATAKULIAH
Islam Nusantara
Yang dibina oleh Bapak Izzuddin, M.pd.I

Oleh :
Ismail Nur Khasan (1786206173)
Eva Rahma Zubaidah (1721201046)
Mahmudah Agustianingrum (1786206063)

UNIVERSITAS NAHDLATUL ULAMA BLITAR


FEBRUARI 2018
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wrohmatullahi Wabarokatuh

Puji sukur kami panjatkan kehadiran Allah SWT , yang telah memberikan
taufik serta hidayah-Nya sehingga penyusun dapat menyelesaikan makalah yang
berjudul “WALI SONGO DAN PERANANNYA DALAM
PENGEMBANGAN ISLAM NUSANTARA” tepat pada waktunya. Sholawat
serta salam semoga tetap tercurahkan kepada junjungan kita nabi besar
Muhammad SAW, yang akan kita nantikan syafa’atnya, min yaumil hadza ila
yaumil qiyamah, aamiin.

Dalam makalah ini, penyusun tentu tidak terlepas dari bantuan dan
bimbingan dari berbagai pihak, untuk itu kami ingin menyampaikan terima kasih
kepada yang terhormat:

1. Ahmad Izzuddin, M.Pd.I. selaku dosen pengampu mata kuliah Pendidikan


Agama Islam
2. Serta semua pihak yang turut membantu dalam penyelesaian makalah ini
Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Dan apabila ada
salah kata dalam penulisan makalah ini, kami mohon maaf sebesar-besarnya.
Kami mengharapkan kritik dan saran agar kekurangan dan kelemahan yang ada
tidak sampai terulang dalam pembuatan makalah selanjutnya.

Wassalamu’alaikum Warohmatullahi Wabarokatuh.

Blitar, 9 Maret 2018

Penulis

i
Contents
BAB I PENDAHULUAN........................................................................................................4
A.Latar Belakang.........................................................................................................4
B.Rumusan Masalah...................................................................................................4
C.Tujuan Pembahasan................................................................................................4
BAB II..................................................................................................................................5
1. DEFINISI WALI DAN BUDAYA.....................................................................5

1.1 Siapakah Wali Allah ‘azza wa jalla?......................................................................5


1.2 Definisi Budaya.....................................................................................................7
2. DEFINISI TERM WALI SONGO....................................................................9
3. PERIODE WALI SONGO..............................................................................15

3.1 Walisongo Periode Kedua...................................................................................17


3.2 Walisongo Periode Ketiga...................................................................................17
3.3 Walisongo Periode Keempat..............................................................................18
3.4 Walisongo Periode Kelima..................................................................................18
4. BIOGRAFI WALISONGO.............................................................................19

4.1. Biografi Sunan Gresik (Maulana Malik Ibrahim)................................................19


4.2. Biografi Sunan Ampel (Raden Rahmat)..............................................................20
4.3. Biografi Sunan Bonang (Makhdum Ibrahim)......................................................21
4.4. Biografi Sunan Drajat.........................................................................................21
4.5. Biografi Sunan Kudus.........................................................................................22
4.6. Biografi Sunan Giri.............................................................................................22
4.7. Biografi Sunan Kalijaga......................................................................................23
4.8. Biografi Sunan Muria (Raden Umar Said)..........................................................23
4.9. Biografi Sunan Gunung Jati (Syarif Hidayatullah)...............................................23
5. STRATEGI DAKWAH WALI SONGO.........................................................24

BAB III PENUTUP..............................................................................................................30


A. Kesimpulan......................................................................................................30
B. Saran.................................................................................................................30

DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................................31

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A.Latar Belakang
Dalam Ajaran Islam,menjelaskan keberadaan Islam sebagai agama yang
menjunjung tingi kebersamaan dan kerukunan sebagai syarat terbentuknya
kedamaian. Predikat rahmatan lil ’alamin agama Islam akan dieksplor, terutama
kaitannya dengan jalinan ukhuwah Islamiyah dan Insaniyah sebagai sarana
terwujudnya toleransi antaragama dalam masyarakat Indonesia yang multikultur.

B.Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan di atas, rumusan masalah yang
didapat adalah sebagai berikut :

a. Bagaimana Definisi Wali, Budaya?


b. Bagaimana Definisi Term Wali Songo?
c. Bagaimana Upaya Periodesasi Wali Songo?
d. Bagaimana Strategi Dakwah Wali Songo?
C.Tujuan Pembahasan
Adapun Tujuan penyusun dalam menyusun makalah ini tiada lain adalah sebagai
berikut :

a. Mengetahui Definisi Wali, Budaya.


b. Mengetahui Definisi Term Wali Songo.
c. Mengetahui Upaya Periodesasi Wali Songo.
d. Mengetahui Strategi Dakwah Wali Songo.

1
BAB II

1. DEFINISI WALI DAN BUDAYA

Kata “wali” bila ditinjau dari segi bahasa berasal dari kata “al-wilayah”
yang artinya adalah kekuasaan dan daerah sebagaimana dikatakan oleh Ibnu
Sikkit rahimahullah. Atau terambil dari kata “al-walayah” yang berarti
pertolongan.
Menurut syariat, wali (wilayah, walayah) artinya kedudukan yang tinggi di dalam
agama yang tidak akan dicapai kecuali oleh orang-orang yang melaksanakan
tuntunan agama baik secara lahir maupun batin.

Dari sini, wilayah (kewalian) memiliki dua sisi pandang:


1. Sisi yang terkait dengan hamba, yaitu melaksanakan segala perintah dan
menjauhi segala larangan, kemudian secara bertahap dia meningkatkan
ubudiyahnya kepada Allah ‘azza wa jalla dengan amalan-amalan sunnah.
2. Sisi yang terkait dengan Allah ‘azza wa jalla, yaitu Allah ‘azza wa
jalla akan mencintainya, menolongnya, dan mengokohkannya di atas sikap
istiqamah. (Madkhal Syarh Ushul I’tiqad, 9/7)

1.1 Siapakah Wali Allah ‘azza wa jalla?


Al-Imam ath-Thabari rahimahullah mengatakan, “Wali Allah ‘azza wa
jalla adalah orang yang memiliki sifat seperti yang telah disebutkan Allah ‘azza
wa jalla yaitu beriman dan bertakwa.” (Tafsir ath-Thabari, 11/132)

Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan, “Wali-wali-Nya adalah mereka yang


beriman dan bertakwa sebagaimana telah dijelaskan oleh Allah ‘azza wa
jalla tentang mereka sehingga setiap orang yang bertakwa adalah wali-Nya.”
(Tafsir Ibnu Katsir, 2/422)

2
Al-Baidhawi rahimahullah berkata, “Wali Allah ‘azza wa jalla adalah orang-
orang yang mewujudkan ketaatan kepada Allah ‘azza wa jalla dan orang-orang
yang diberikan segala bentuk karamah.” (Tafsir al-Baidhawi, hlm. 282)

Ibnu Rajab al-Hambali rahimahullah mengatakan, “Wali Allah ‘azza wa


jalla adalah orang-orang yang mendekatkan diri kepada Allah ‘azza wa
jalla dengan berbagai amalan yang bisa mendekatkan diri kepada-Nya.” (Jami’
al-‘Ulum wal Hikam, hlm. 262)

Ibnu Abil ‘Izzi rahimahullah berkata, “Wali Allah ‘azza wa jalla adalah orang
yang selalu melaksanakan segala yang dicintai Allah ‘azza wa jalla dan selalu
mendekatkan diri kepada-Nya dengan segala perkara yang diridhai-Nya.” (Syarah
al-‘Aqidah ath-Thahawiyyah, hlm. 360)

Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah mengatakan, “Wali Allah ‘azza wa


jalla adalah orang yang berilmu tentang Allah ‘azza wa jalla dan terus-menerus di
atas ketaatan kepada-Nya dengan mengikhlaskan peribadatan.” (Fathul Bari,
11/342)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Wali Allah ‘azza wa


jalla adalah orang yang beriman dan bertakwa.” Dalam kesempatan lain, beliau
berkata, “Mereka adalah orang-orang yang beriman dan ber-wala’ (loyal) kepada
Allah ‘azza wa jalla. Mereka mencintai segala yang dicintai-Nya, membenci
segala yang dibenci-Nya, ridha terhadap segala yang diridhai-Nya, murka
terhadap segala yang dimurkai-Nya, memerintahkan kepada segala yang
diperintahkan-Nya, mencegah segala yang dicegah-Nya, memberi kepada orang
yang Dia cintai untuk diberi, dan tidak memberi kepada siapa yang Dia larang
untuk diberi.” (al-Furqan dalam kitab Majmu’atut Tauhid, hlm. 329)

Asy-Syaikh Hafizh Ibnu Ahmad al-Hakami rahimahullah mengatakan, “Wali


Allah ‘azza wa jalla adalah setiap orang yang beriman kepada Allah ‘azza wa

3
jalla, bertakwa kepada-Nya, dan mengikuti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam.” (A’lamus Sunnah al-Mansyurah, hlm. 192)

Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Wali


Allah ‘azza wa jalla adalah orang-orang yang telah dijelaskan dalam firman-
Nya (Yunus: 62—63).” Beliau menukilkan ucapan Ibnu
Taimiyah rahimahullah, “Barang siapa yang beriman dan bertakwa, dia adalah
wali Allah ‘azza wa jalla.” (Syarah al-‘Aqidah al-Wasithiyyah hlm. 626)

Dari beberapa ucapan ulama di atas, sangat jelas bagi kita siapa yang dimaksud
dengan wali Allah ‘azza wa jalla. Semua ucapan ulama tersebut tidak saling
bertentangan walaupun ungkapannya berbeda-beda. Semua pendapat mereka
bermuara pada firman Allah ‘azza wa jalla:

‫أننل إهلن أنحولهنياَنء ٱلله نل نخحوُ ف‬


٦٣ ‫ ٱللهذينن نءانمننوُاا نونكاَننوُاا ينتلنقوُنن‬٦٢ ‫ف نعلنحيهه حم نونل نه حم ينححنزننوُنن‬

“Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu tidak ada kekhawatiran pada mereka
dan tidak pula mereka bersedih hati. Yaitu orang-orang yang beriman dan
mereka selalu bertakwa.” (Yunus: 62—63) [al-Furqan dalam kitab Majmu’atut
Tauhid hlm. 339]

1.2 Definisi Budaya


Budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama
oleh sebuah kelompok orang dan diwariskan dari generasi ke generasi. Budaya
terbentuk dari banyak unsur yang rumit, termasuk sistem agama dan politik, adat
istiadat, bahasa, perkakas, pakaian, bangunan, dan karya seni. Bahasa,
sebagaimana juga budaya, merupakan bagian tak terpisahkan dari diri manusia
sehingga banyak orang cenderung menganggapnya diwariskan secara genetis.
Ketika seseorang berusaha berkomunikasi dengan orang-orang yang berbada
budaya dan menyesuaikan perbedaan-perbedaannya, membuktikan bahwa budaya
itu dipelajari.
Budaya adalah suatu pola hidup menyeluruh. budaya bersifat kompleks,
abstrak, dan luas. Banyak aspek budaya turut menentukan perilaku komunikatif.

4
Unsur-unsur sosio-budaya ini tersebar dan meliputi banyak kegiatan sosial
manusia.
Beberapa alasan mengapa orang mengalami kesulitan ketika berkomunikasi
dengan orang dari budaya lain terlihat dalam definisi budaya: Budaya adalah suatu
perangkat rumit nilai-nilai yang dipolarisasikan oleh suatu citra yang mengandung
pandangan atas keistimewaannya sendiri.”Citra yang memaksa” itu mengambil
bentuk-bentuk berbeda dalam berbagai budaya seperti “individualisme kasar” di
Amerika, “keselarasan individu dengan alam” d Jepang dan “kepatuhan kolektif”
di Cina. Citra budaya yang brsifat memaksa tersebut membekali anggota-
anggotanya dengan pedoman mengenai perilaku yang layak dan menetapkan
dunia makna dan nilai logis yang dapat dipinjam anggota-anggotanya yang paling
bersahaja untuk memperoleh rasa bermartabat dan pertalian dengan hidup mereka.
Dengan demikian, budayalah yang menyediakan suatu kerangka yang koheren
untuk mengorganisasikan aktivitas seseorang dan memungkinkannya meramalkan
perilaku orang lain.

1.3 Definisi Walisongo


Ada beberapa pendapat mengenai arti atau pengertian dari Walisongo,
berikut dibawah ini adalah diantaranya :

 Pengertian Pertama adalah wali yang sembilan, yang menandakan jumlah


wali yang ada sembilan, atau sanga dalam bahasa Jawa.
 Pengertian Kedua menyebutkan bahwa kata songo/sanga berasal dari kata
tsana yang dalam bahasa Arab berarti mulia.
 Pengertian Ketiga menyebut kata sana berasal dari bahasa Jawa, yang
berarti tempat.
 Pengertian Keempat Pendapat lain yang mengatakan bahwa Walisongo
adalah sebuah majelis dakwah yang pertama kali didirikan oleh Sunan
Gresik (Maulana Malik Ibrahim) pada tahun 1404 Masehi (808 Hijriah).
Saat itu, majelis dakwah Walisongo beranggotakan Maulana Malik
Ibrahim sendiri, Maulana Ishaq (Sunan Wali Lanang), Maulana Ahmad
Jumadil Kubro (Sunan Kubrawi); Maulana Muhammad Al-Maghrabi
(Sunan Maghribi); Maulana Malik Isra’il (dari Champa), Maulana
Muhammad Ali Akbar, Maulana Hasanuddin, Maulana ‘Aliyuddin, dan
Syekh Subakir.

5
 Para Walisongo adalah intelektual yang menjadi pembaharu masyarakat
pada masanya. Pengaruh mereka terasakan dalam beragam bentuk
manifestasi peradaban baru masyarakat Jawa, mulai dari kesehatan,
bercocok-tanam, perniagaan, kebudayaan, kesenian, kemasyarakatan,
hingga ke pemerintahan.

Dari nama para Walisongo tersebut, pada umumnya terdapat sembilan nama yang
dikenal sebagai anggota Walisongo yang paling terkenal, yaitu:
1. Sunan Gresik atau Maulana Malik Ibrahim
2. Sunan Ampel atau Raden Rahmat
3. Sunan Bonang atau Raden Makhdum Ibrahim
4. Sunan Drajat atau Raden Qasim
5. Sunan Kudus atau Ja’far Shadiq
6. Sunan Giri atau Raden Paku atau Ainul Yaqin
7. Sunan Kalijaga atau Raden Said
8. Sunan Muria atau Raden Umar Said
9. Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah

2. DEFINISI TERM WALI SONGO

Pada umumnya, masyarakat Indonesia cenderung memahami bahwa


Walisongo berarti ‘Sembilan Wali’ – dari kata Wali dan Songo dalam bahasa Jawa.
Dalam buku-buku sejarah kanon yang dipakai di sekolah-sekolah SD sampai
SMA, Walisongo biasanya didefinisikan sebagai kelompok “sembilan wali” yang
terdiri atas Maulana Malik Ibrahim (Sunan Gresik), Syekh Ahmad Rahmatullah
(Sunan Ampel), Syekh Ainul Yakin (Sunan Giri), Maulana Mahdum Ibrahim
(Sunan Bonang), Qasim Syaifudin (Sunan Dradjad), Raden Joko Said (Sunan
Kalijaga), Syaikh Jaffar Shaddiq (Sunan Kudus), Maulana Ishak (Sunan Muria),
dan Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati).

6
Istilah Walisongo dan definisinya sebagai ‘sembilan wali’ baru muncul dan
dikemukakan pada abad ke-19 oleh Pujangga Jawa, Ronggowarsito. Sementara
para Sunan yang sering disebut-sebut sebagai Walisongo yang saya sebut di atas
hanya hidup sampai maksimal Abad ke-16. Tetapi ada lebih dari sembilan orang
yang disebut-sebut sebagai anggota Walisongo. Ini sebenarnya menunjukkan
definisi Walisongo sebagai ‘sembilan wali’ tidak terlalu kuat.

Faktanya, di zaman para Sunan itu hidup tidak ada istilah ‘Walisongo.’
Satu-satunya kaitan dengan istilah Walisongo adalah sebuah kitab berjudul Serat
Walisana yang ditulis oleh Sunan Giri II.

Selain ‘sembilan wali,’ Pendapat lain menyebutkan bahwa


kata songo/sanga berasal dari kata tsana yang dalam bahasa Arab berarti mulia.
Jadi Walisongo artinya ‘Wali yang Mulia.’ Pendapat lainnya lagi menyebut
kata sana berasal dari bahasa Jawa, yang berarti tempat. Jadi Walisongo artinya
‘Wali tempat.’

Berdasarkan catatan Kanzul Ulum, karena prihatin dengan dakwah yang


stagnan itu, sekelompok pedagang Muslim asal Gujarat (Sebuah kawasan di India
selatan) menemui Sultan Muhammad I. Muhammad I atau Mehmet I ini dikenal
dengan nama Muhammad Chalabi (Muhammad the Restorer) di Barat, dia adalah
Sultan Ottoman yang naik tahta menggantikan ayahnya, Bayazid I (selengkapnya
silakan googling sendiri).

Kelompok pedagang Muslim asal Gujarat itu lalu menceritakan keadaan


Pulau Jawa kepada Sultan Muhammad I. Muhammad I merasa tertantang setelah
mendengar penjelasan para pedagang itu. Ia ingin memperluas kekuatan
politiknya hingga ke Jawa. Pada zaman tersebut, Imperium Ottoman sedang
mencoba memperkuat eksistensinya dan mengklaim posisi sebagai pemimpin
dunia Islam (Khalifah). Apalagi, Muhammad I juga mendapat laporan bahwa
keadaan politik di Pulau Jawa saat itu sedang tidak stabil akibat Perang Paregreg,
perebutan posisi Raja Majapahit antara Wikramawardhana dan Suhita.

7
Berdasarkan laporan para saudagar Gujarat itu, Sultan Muhammad I lalu
mengirim surat kepada para Amir (Gubernur) di Afrika Utara dan Timur Tengah,
isinya meminta agar mereka, masing-masing, mengirim seorang ulama yang
mempunyai karomah. Definisi karomah di sini adalah kelebihan yang diberikan
Allah kepada orang saleh seperti ulama atau wali. Seringkali orang salah
menafsirkan karomah dan hanya memandangnya dalam konteks mistik, seolah
kelebihan itu setara dengan mukjizat nabi. Padahal ilmu (pengetahuan) yang
tinggi pun sesungguhnya bisa dianggap sebagai karomah.

Dari surat-menyurat itu, ternyata hanya sembilan Gubernur yang dapat


memenuhi permintaan Muhammad I. Muhammad I kemudian memilih sembilan
orang yang paling linuwih di antara semua kandidat. Akhirnya, Muhammad I
membentuk sebuah tim yang beranggotakan sembilan orang tersebut. Sembilan
orang itu dipilih dan disyaratkan memiliki kemampuan di berbagai bidang, tidak
hanya bidang ilmu agama saja, tapi juga bidang-bidang lain seperti
kemasyarakatan, pertanian, astronomi, dan bangunan. Maka pada tahun 1404, tim
tersebut diberangkatkan ke Pulau Jawa. ‘Timnas’ Dakwah Ottoman yang akan
‘bertanding’ di Pulau Jawa itu ‘dikapteni’ oleh Maulana Malik Ibrahim,
beranggotakan:

1. Maulana Malik Ibrahim, dari Turki, ahli tatanegara.


2. Maulana Ishaq, dari Samarkand, Uzbekistan, ahli pengobatan.
3. Maulana Ahmad Jumadil Kubro, dari Mesir.
4. Maulana Muhammad Al Maghrabi, berasal dari Maroko.
5. Maulana Malik Isra’il, dari Turki, ahli kemasyarakatan.
6. Maulana Muhammad Ali Akbar, dari Persia (Iran), ahli pengobatan.
7. Maulana Hasanudin, dari Palestina.
8. Maulana Aliyudin, dari Palestina.
9. Syekh Subakir, dari Persia, ahli rukyah.

8
Setiba di Pulau Jawa, kesembilan orang anggota tim itu sepakat untuk
berpencar menurut arah mata angin. Delapan orang berpencar menurut arah mata
angin, sementara satu yang tersisa diam di tengah pulau. Filosofi dakwah menurut
mata angin ini kemudian terabadikan dalam ungkapan idiomatik Jawa dengan
istilah keblat papat limo pancer.

Dalam perkembangan selanjutnya, tim ini bersifat fix. Setiap kali satu
anggota tim ini meninggal, maka satu anggota lain akan masuk menggantikan,
sehingga jumlahnya tetap sembilan orang. Masing-masing dari mereka, kemudian
menjadi semacam pengasuh untuk wilayah dakwahnya. Kemungkinan, dari
sinilah istilah Wali muncul –ingat istilah Wali Nangroe di Aceh, wali berarti wakil,
dalam hal ini orang yang mewakili suatu wilayah (kewalian).

Dalam catatan Prof. Hasanu Simon, inilah formasi tim sembilan wali ini,
selepas generasi pertama yang tiba tahun 1404.

Periode kedua, tahun 1435 – 1463 M, setelah wafatnya Maulana Malik


Ibrahim terdiri atas:

1. Bong Swi Hoo (Sunan Ampel), berdarah Hui, Cina, namun lahir di Campa
(Kamboja), menggantikan Maulana Malik Ibrahim
2. Maulana Ishaq
3. Maulana Ahmad Jumadil Kubro
4. Maulana Muhammad Al-Maghrabi
5. Syekh Jafar Shadiq (Sunan Kudus), asal Palestina, menggantikan Maulana
Malik Isra’il tahun 1435
6. Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati), asal Palestina, menggantikan
Maulana Muhammad Ali Akbar
7. Maulana Hasanuddin
8. Maulana ‘Aliyuddin
9. Syekh Subakir

Tim Sembilan Wali periode ketiga, 1463 – 1466 M, terdiri atas

9
1. Sunan Ampel
2. Syekh Ainul Yaqin (Sunan Giri), menggantikan Maulana Ishaq (ayahnya)
3. Maulana Ahmad Jumadil Kubro
4. Maulana Muhammad Al-Maghrabi
5. Sunan Kudus
6. Sunan Gunung Jati
7. Maulana Makhdum Ibrahim (Sunan Bonang), ialah putra Sunan Ampel,
lahir di Surabaya, menggantikan Maulana Hasanuddin
8. Qasim Syarifuddin (Sunan Drajat), ialah putra Sunan Ampel, lahir di
Surabaya, menggantikan Maulana ‘Aliyyuddin
9. Raden Syahid (Sunan Kalijaga), asal Tuban, menggantikan Syaikh Subakir
yang pulang ke Persia. Beliau ialah orang jawa asli pertama yang
bergabung dalam tim ini.

Tim Wali periode keempat, 1466 – 1513 M, terdiri atas:

1. Sunan Ampel
2. Sunan Giri
3. Raden Fattah, Putra Raja Brawijaya V dari Majapahit, menggantikan
Maulana Ahmad Jumadil qubra. Di kemudian hari, beliau didorong para
wali yang lain untuk mengambil alih kepemimpinan Majapahit dari
ayahnya, hingga melahirkan Kerajaan Islam pertama di Jawa: Demak.
4. Fathullah Khan, asal Gujarat, menggantikan Maulana Muhammad Al-
Maghrabi. Beliau adalah menantu Sunan Gunung Jati, di kemudian hari
menjadi sangat terkenal di kalangan orang Portugis yang menyebut
namanya Falatehan. Beliau juga dikenal dengan nama Fatahillah.
5. Sunan Kudus
6. Sunan Gunung Jati
7. Sunan Bonang
8. Sunan Drajat
9. Sunan Kalijaga

Tim wali periode kelima, 1513 – 1533 M, terdiri atas

10
1. Syaikh Siti Jenar, asal Persia, Iran, menggantikan Sunan Ampel. DI
kemudian hari, orang ini menjadi sangat terkenal karena filsafatnya
tentang makrifat dan hakikat. Sekaligus pemicu intrik besar pertama di
antara para wali.
2. Raden Faqih (Sunan Ampel II) menggantikan kakak iparnya, yaitu Sunan
Giri
3. Raden Fattah
4. Fathullah Khan (Falatehan)
5. Sunan Kudus
6. Sunan Gunung Jati
7. Sunan Bonang
8. Sunan Drajat
9. Umar Syahid (Sunan Muria), dari Muria, menggantikan ayahnya yaitu
Sunan Kalijaga.

Wali Songo periode keenam, 1479 M, terdiri atas

1. Syaikh Abdul Qahhar (Sunan Sedayu), asal Sedayu, menggantikan


ayahnya, yaitu Syaikh Siti Jenar yang dihukum mati karena filsafatnya
yang nyleneh.
2. Raden Zainal Abidin (Sunan Demak), menggantikan kakaknya, yaitu
Sunan Ampel II.
3. Sultan Trenggana, menggantikan ayahnya yaitu Raden Fattah.
4. Fathullah Khan (Falatehan).
5. Sayyid Amir Hasan, menggantikan ayahnya, yaitu Sunan Kudus.
6. Sunan Gunung Jati.
7. Raden Husamuddin (Sunan Lamongan), asal Lamongan, menggantikan
kakaknya, yaitu Sunan Bonang.
8. Musa bin Qasim (Sunan Pakuan), asal Surabaya, menggantikan ayahnya,
yaitu Sunan Drajat.
9. Sunan Muria.

Mengacu kepada kronologi ini, maka pendapat yang kuat kemungkinan


ialah pendapat yang menyatakan bahwa Walisongo atau Walisana kemungkinan
berasal dari kata Wali Tsana, artinya ‘wali yang mulia’. Soal penyimpangan
pelafalan dari Wali Tsana keWalisongo ini bisa dijelaskan dengan fenomena lain

11
yang serupa. Di dalam bahasa Jawa, ada beberapa kata yang pada mulanya adalah
pionjaman dari bahasa Arab. Berikut ini contohnya.

1.Sekaten, dari Syahadatain.


2.Kalimosodo, dari kalimah syahadah

Walisongo ini tergolong sukses dalam tugasnya gitu loh. Mereka


menciptakan semacam big bang dalam menarik minat penduduk Jawa untuk
masuk Islam. Lompatan besar dalam jumlah penganut Islam. Pada enam periode
Walisongo inilah penduduk Jawa beralih total, hingga mayoritas memeluk agama
Islam.

Para anggota Walisongo adalah para intelektual yang menjadi pembaharu


masyarakat pada zamannya. Mereka mengenalkanpelbagai bentuk peradaban baru
–mulai dari kesehatan, bercocok tanam, niaga, kebudayaan dan kesenian,
kemasyarakatan, hingga pemerintahan. Semua ini bisa terwujud karena
kedudukan para Wali ini yang dimuliakan masyarakat sekitarnya, di-
suhun sebagai parasusuhunan (sunan-sunan) yang dicintai.

3. PERIODE WALI SONGO

Walisongo Periode Pertama


Pada waktu Mehmed I Celeby memerintah kerajaan Turki, beliau
menanyakan perkembangan agama Islam kepada para pedagang dari Gujarat. Dari
mereka Sultan mendapat kabar berita bahwa di Pulau Jawa ada dua kerajaan
Hindu yaitu Majapahit dan Pajajaran. Di antara rakyatnya ada yang beragama
Islam tapi hanya terbatas pada keluarga pedagang Gujarat yang kawin dengan
para penduduk pribumi yaitu di kota-kota pelabuhan.
Sang Sultan kemudian mengirim surat kepada pembesar Islam di Afrika
Utara dan Timur Tengah. Isinya meminta para ulama yang mempunyai karomah
untuk dikirim ke pulau Jawa. Maka terkumpullah sembilan ulama berilmu tinggi
serta memiliki karomah. Menurut buku Haul Sunan Ampel Ke-555 yang ditulis
oleh KH. Mohammad Dahlan, majelis dakwah yang secara umum dinamakan

12
Walisongo, sebenarnya terdiri dari beberapa angkatan. Para Walisongo tidak hidup
pada saat yang persis bersamaan, namun satu sama lain mempunyai keterkaitan
erat, baik dalam ikatan darah atau karena pernikahan, maupun dalam hubungan
guru-murid. Bila ada seorang anggota majelis yang wafat, maka posisinya
digantikan oleh tokoh lainnya. Pada tahun 808 Hijrah atau 1404 Masehi para
ulama itu berangkat ke Pulau Jawa. Mereka adalah:
1. Maulana Malik Ibrahim atau Sunan Gresik, berasal dari Turki ahli mengatur
negara. Berdakwah di Jawa bagian timur. Wafat di Gresik pada tahun 1419
M. Makamnya terletak satu kilometer dari sebelah utara pabrik Semen
Gresik.
2. Maulana Ishaq berasal dari Samarkand dekat Bukhara-uzbekistan/Rusia.
Beliau ahli pengobatan. Setelah tugasnya di Jawa selesai Maulana Ishak
pindah ke Samudra Pasai dan wafat di sana.
3. Syekh Jumadil Qubro, berasal dari Mesir. Beliau berdakwah keliling.
Makamnya di Troloyo Trowulan, Mojokerto Jawa Timur.
4. Maulana Muhammad Al Maghrobi, berasal dari Maroko, beliau berdakwah
keliling. Wafat tahun 1465 M. Makamnya di Jatinom Klaten, Jawa Tengah.
5. Maulana Malik Isroil berasal dari Turki, ahli mengatur negara. Wafat tahun
1435 M. Makamnya di Gunung Santri.
6. Maulana Muhammad Ali Akbar, berasal dari Persia Iran. Ahli pengobatan.
Wafat 1435 M. Makamnya di Gunung Santri.
7. Maulana Hasanuddin berasal dari Palestina Berdakwah keliling. Wafat pada
tahun 1462 M. Makamnya disamping masjid Banten Lama.
8. Maulana Alayuddin berasal dari Palestina. Berdakwah keliling. Wafat pada
tahun 1462 M. Makamnya disamping masjid Banten Lama.
9. Syekh Subakir, berasal dari Persia, ahli menumbali (metode rukyah) tanah
angker yang dihuni jin-jin jahat tukang menyesatkan manusia. Setelah para
Jin tadi menyingkir dan lalu tanah yang telah netral dijadikan pesantren.
Setelah banyak tempat yang ditumbali (dengan Rajah Asma Suci) maka
Syekh Subakir kembali ke Persia pada tahun 1462 M dan wafat di sana. Salah
seorang pengikut atau sahabat Syekh Subakir tersebut ada di sebelah utara
Pemandian Blitar, Jawa Timur. Disana ada peninggalan Syekh Subakir berupa
sajadah yang terbuat dari batu kuno.

13
3.1 Walisongo Periode Kedua
Pada periode kedua ini masuklah tiga orang wali menggantikan tiga wali
yang wafat. Ketiganya adalah:
1. Raden Ahmad Ali Rahmatullah, datang ke Jawa pada tahun 1421 M
menggantikan Malik Ibrahim yang wafat pada tahun 1419 M. Raden
Rahmat atau Sunan Ampel berasal dari Champa, Muangthai Selatan
(Thailand Selatan).
2. Sayyid Ja’far Shodiq berasal dari Palestina, datang di Jawa tahun 1436
menggantikan Malik Isro’il yang wafat pada tahun 1435 M. Beliau tinggal
di Kudus sehingga dikenal dengan Sunan Kudus.
3. Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati, berasal dari Palestina. Datang
di Jawa pada tahun 1436 M. Menggantikan Maulana Ali Akbar yang wafat
tahun 1435 M. Sidang walisongo yang kedua ini diadakan di Ampel
Surabaya.
Para wali kemudian membagi tugas. Sunan Ampel, Maulana Ishaq dan Maulana
Jumadil Kubro bertugas di Jawa Timur. Sunan Kudus, Syekh Subakir dan
Maulana Al-Maghrobi bertugas di Jawa Tengah. Syarif Hidayatullah, Maulana
Hasanuddin dan Maulana Aliyuddin di Jawa Barat. Dengan adanya pembagian
tugas ini maka masing-masing wali telah mempunyai wilayah dakwah
sendirisendiri, mereka bertugas sesuai keahlian masing-masing.

3.2 Walisongo Periode Ketiga


Pada tahun 1463 M. Masuklah menjadi anggota Walisongo yaitu:
1. Sunan Giri kelahiran Blambangan Jawa Timur. Putra dari Syekh Maulana
Ishak dengan putri Kerajaan Blambangan bernama Dewi Sekardadu atau
Dewi Kasiyan. Raden Paku ini menggantikan kedudukan ayahnya yang
telah pindah ke negeri Pasai. Karena Raden Paku tinggal di Giri maka
beliau lebih terkenal dengan sebutan Sunan Giri. Makamnya terletak di
Gresik Jawa Timur.
2. Raden Said, atau Sunan Kalijaga, kelahiran Tuban Jawa Timur. Beliau
adalah putra Adipati Wilatikta yang berkedudukan di Tuban. Sunan
Kalijaga menggantikan Syekh Subakir yang kembali ke Persia.
3. Raden Makdum Ibrahim, atau Sunan Bonang, lahir di Ampel Surabaya.
Beliau adalah putra Sunan Ampel, Sunan Bonang menggantikan

14
kedudukan Maulana Hasanuddin yang wafat pada tahun 1462. Sidang
Walisongo yang ketiga ini juga berlangsung di Ampel Surabaya. ‘

3.3 Walisongo Periode Keempat


Pada tahun 1466 diangkat dua wali menggantikan dua yang telah wafat
yaitu Maulana Ahmad Jumadil Kubro dan Maulana Muhammad Maghrobi. Dua
wali yang menggantikannya ialah:
Raden Patah adalah murid Sunan Ampel, beliau adalah putra Raja
Brawijaya Majapahit. Beliau diangkat sebagai Adipati Bintoro pada tahun 1462
M. Kemudian membangun Masjid Demak pada tahun 1465 dan dinobatkan
sebagai Raja atau Sultan Demak pada tahun 1468.Setelah itu Fathullah Khan,
putra Sunan Gunungjati, beliau dipilih sebagai anggota Walisongo menggantikan
ayahnya yang telah berusia lanjut.

3.4 Walisongo Periode Kelima


Dapat disimpulkan bahwa dalam periode ini masuk Sunan Muria atau
Raden Umar Said-putra Sunan Kalijaga menggantikan wali yang wafat.
Konon Syekh Siti Jenar atau Syekh Lemah Abang itu adalah salah satu
anggota Walisongo, namun karena Siti Jenar di kemudian hari mengajarkan ajaran
yang menimbulkan keresahan umat dan mengabaikan syariat agama maka Siti
Jenar dihukum mati. Selanjutnya kedudukan Siti Jenar digantikan oleh Sunan
Bayat – bekas Adipati Semarang (Ki Pandanarang) yang telah menjadi murid
Sunan Kalijaga.
Walisongo atau Walisanga dikenal sebagai penyebar agama Islam di tanah
Jawa pada abad ke 14. Mereka tinggal di tiga wilayah penting pantai utara Pulau
Jawa, yaitu Surabaya-Gresik-Lamongan di Jawa Timur, Demak-Kudus-Muria di
Jawa Tengah, dan Cirebon di Jawa Barat.
Era Walisongo adalah era berakhirnya dominasi Hindu-Budha dalam
budaya Nusantara untuk digantikan dengan kebudayaan Islam. Mereka adalah
simbol penyebaran Islam di Indonesia, khususnya di Jawa. Tentu banyak tokoh
lain yang juga berperan. Namun peranan mereka yang sangat besar dalam
mendirikan Kerajaan Islam di Jawa, juga pengaruhnya terhadap kebudayaan

15
masyarakat secara luas serta dakwah secara langsung, membuat para Walisongo
ini lebih banyak disebut dibanding yang lain.

4. BIOGRAFI WALISONGO

4.1. Biografi Sunan Gresik (Maulana Malik Ibrahim)


Maulana Malik Ibrahim adalah keturunan ke-22 dari Nabi Muhammad. Ia
disebut juga Sunan Gresik, atau Sunan Tandhes, atau Mursyid Akbar Thariqat
Wali Songo . Nasab As-Sayyid Maulana Malik Ibrahim Nasab Maulana Malik
Ibrahim menurut catatan Dari As-Sayyid Bahruddin Ba’alawi Al-Husaini yang
kumpulan catatannya kemudian dibukukan dalam Ensiklopedi Nasab Ahlul Bait
yang terdiri dari beberapa volume (jilid).
Dalam Catatan itu tertulis: As-Sayyid Maulana Malik Ibrahim bin As-
Sayyid Barakat Zainal Alam bin As-Sayyid Husain Jamaluddin bin As-Sayyid
Ahmad Jalaluddin bin As-Sayyid Abdullah bin As-Sayyid Abdul Malik
Azmatkhan bin As-Sayyid Alwi Ammil Faqih bin As-Sayyid Muhammad Shahib
Mirbath bin As-Sayyid Ali Khali’ Qasam bin As-Sayyid Alwi bin As-Sayyid
Muhammad bin As-Sayyid Alwi bin As-Sayyid Ubaidillah bin Al-Imam Ahmad
Al-Muhajir bin Al-Imam Isa bin Al-Imam Muhammad bin Al-Imam Ali Al-
Uraidhi bin Al-Imam Ja’far Shadiq bin Al-Imam Muhammad Al-Baqir bin Al-
Imam Ali Zainal Abidin bin Al-Imam Al-Husain bin Sayyidah Fathimah Az-
Zahra/Ali bin Abi Thalib, binti Nabi Muhammad Rasulullah
Ia diperkirakan lahir di Samarkand di Asia Tengah, pada paruh awal abad
ke-14. Babad Tanah Jawi versi Meinsma menyebutnya Asmarakandi, mengikuti
pengucapan lidah orang Jawa terhadap As-Samarqandy. [2] Dalam cerita rakyat,
ada yang memanggilnya Kakek Bantal.
Isteri Maulana Malik Ibrahim Maulana Malik Ibrahim memiliki, 3 isteri
bernama: 1. Siti Fathimah binti Ali Nurul Alam Maulana Israil (Raja Champa
Dinasti Azmatkhan 1), memiliki 2 anak, bernama: Maulana Moqfaroh dan
Syarifah Sarah 2. Siti Maryam binti Syaikh Subakir, memiliki 4 anak, yaitu:
Abdullah, Ibrahim, Abdul Ghafur, dan Ahmad 3. Wan Jamilah binti Ibrahim
Zainuddin Al-Akbar Asmaraqandi, memiliki 2 anak yaitu: Abbas dan Yusuf.

16
Selanjutnya Sharifah Sarah binti Maulana Malik Ibrahim dinikahkan dengan
Sayyid Fadhal Ali Murtadha [Sunan Santri/ Raden Santri] dan melahirkan dua
putera yaitu Haji Utsman (Sunan Manyuran) dan Utsman Haji (Sunan Ngudung).
Selanjutnya Sayyid Utsman Haji (Sunan Ngudung) berputera Sayyid Ja’far
Shadiq [Sunan Kudus].
Maulana Malik Ibrahim umumnya dianggap sebagai wali pertama yang
mendakwahkan Islam di Jawa. Ia mengajarkan cara-cara baru bercocok tanam dan
banyak merangkul rakyat kebanyakan, yaitu golongan masyarakat Jawa yang
tersisihkan akhir kekuasaan Majapahit. Malik Ibrahim berusaha menarik hati
masyarakat, yang tengah dilanda krisis ekonomi dan perang saudara. Ia
membangun pondokan tempat belajar agama di Leran, Gresik. Pada tahun 1419,
Malik Ibrahim wafat. Makamnya terdapat di desa Gapura Wetan, Gresik, Jawa
Timur.

4.2. Biografi Sunan Ampel (Raden Rahmat)


Sunan Ampel bernama asli Raden Rahmat, keturunan ke-22 dari Nabi
Muhammad, menurut riwayat ia adalah putra Ibrahim Zainuddin Al-Akbar dan
seorang putri Champa yang bernama Dewi Condro Wulan binti Raja Champa
Terakhir Dari Dinasti Ming. Nasab lengkapnya sebagai berikut: Sunan Ampel bin
Sayyid Ibrahim Zainuddin Al-Akbar bin Sayyid Jamaluddin Al-Husain bin Sayyid
Ahmad Jalaluddin bin Sayyid Abdullah bin Sayyid Abdul Malik Azmatkhan bin
Sayyid Alwi Ammil Faqih bin Sayyid Muhammad Shahib Mirbath bin Sayyid Ali
Khali’ Qasam bin Sayyid Alwi bin Sayyid Muhammad bin Sayyid Alwi bin
Sayyid Ubaidillah bin Sayyid Ahmad Al-Muhajir bin Sayyid Isa bin Sayyid
Muhammad bin Sayyid Ali Al-Uraidhi bin Imam Ja’far Shadiq bin Imam
Muhammad Al-Baqir bin Imam Ali Zainal Abidin bin Imam Al-Husain bin
Sayyidah Fathimah Az-Zahra binti Nabi Muhammad Rasulullah.
Sunan Ampel umumnya dianggap sebagai sesepuh oleh para wali lainnya.
Pesantrennya bertempat di Ampel Denta, Surabaya, dan merupakan salah satu
pusat penyebaran agama Islam tertua di Jawa. Ia menikah dengan Dewi
Condrowati yang bergelar Nyai Ageng Manila, putri adipati Tuban bernama Arya
Teja dan menikah juga dengan Dewi Karimah binti Ki Kembang Kuning.

17
Pernikahan Sunan Ampel dengan Dewi Condrowati alias Nyai Ageng Manila binti
Aryo Tejo, berputera: Sunan Bonang,Siti Syari’ah,Sunan Derajat,Sunan
Sedayu,Siti Muthmainnah dan Siti Hafsah. Pernikahan Sunan Ampel dengan
Dewi Karimah binti Ki Kembang Kuning, berputera: Dewi
Murtasiyah,Asyiqah,Raden Husamuddin (Sunan Lamongan,Raden Zainal Abidin
(Sunan Demak),Pangeran Tumapel dan Raden Faqih (Sunan Ampel 2. Makam
Sunan Ampel teletak di dekat Masjid Ampel, Surabaya.

4.3. Biografi Sunan Bonang (Makhdum Ibrahim)


Sunan Bonang adalah putra Sunan Ampel, dan merupakan keturunan ke-
23 dari Nabi Muhammad. Ia adalah putra Sunan Ampel dengan Nyai Ageng
Manila, putri adipati Tuban bernama Arya Teja. Sunan Bonang banyak berdakwah
melalui kesenian untuk menarik penduduk Jawa agar memeluk agama Islam. Ia
dikatakan sebagai penggubah suluk Wijil dan tembang Tombo Ati, yang masih
sering dinyanyikan orang. Pembaharuannya pada gamelan Jawa ialah dengan
memasukkan rebab dan bonang, yang sering dihubungkan dengan namanya.
Universitas Leiden menyimpan sebuah karya sastra bahasa Jawa bernama Het
Boek van Bonang atau Buku Bonang. Menurut G.W.J. Drewes, itu bukan karya
Sunan Bonang namun mungkin saja mengandung ajarannya. Sunan Bonang
diperkirakan wafat pada tahun 1525.

4.4. Biografi Sunan Drajat


Sunan Drajat adalah putra Sunan Ampel, dan merupakan keturunan ke-23
dari Nabi Muhammad. Ia adalah putra Sunan Ampel dengan Nyai Ageng Manila,
putri adipati Tuban bernama Arya Teja. Sunan Drajat banyak berdakwah kepada
masyarakat kebanyakan. Ia menekankan kedermawanan, kerja keras, dan
peningkatan kemakmuran masyarakat, sebagai pengamalan dari agama Islam.
Pesantren Sunan Drajat dijalankan secara mandiri sebagai wilayah perdikan,
bertempat di Desa Drajat, Kecamatan Paciran, Lamongan. Tembang macapat
Pangkur disebutkan sebagai ciptaannya. Gamelan Singomengkok peninggalannya
terdapat di Musium Daerah Sunan Drajat, Lamongan. Sunan Drajat diperkirakan
wafat wafat pada 1522.

18
4.5. Biografi Sunan Kudus
Sunan Kudus adalah putra Sunan Ngudung atau Raden Usman Haji,
dengan Syarifah Ruhil atau Dewi Ruhil yang bergelar Nyai Anom Manyuran binti
Nyai Ageng Melaka binti Sunan Ampel. Sunan Kudus adalah keturunan ke-24
dari Nabi Muhammad. Sunan Kudus bin Sunan Ngudung bin Fadhal Ali Murtadha
bin Ibrahim Zainuddin Al-Akbar bin Jamaluddin Al-Husain bin Ahmad Jalaluddin
bin Abdillah bin Abdul Malik Azmatkhan bin Alwi Ammil Faqih bin Muhammad
Shahib Mirbath bin Ali Khali’ Qasam bin Alwi bin Muhammad bin Alwi bin
Ubaidillah bin Ahmad Al-Muhajir bin Isa bin Muhammad bin Ali Al-Uraidhi bin
Ja’far Shadiq bin Muhammad Al-Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Al-Husain bin
Sayyidah Fathimah Az-Zahra binti Nabi Muhammad Rasulullah. Sebagai seorang
wali, Sunan Kudus memiliki peran yang besar dalam pemerintahan Kesultanan
Demak, yaitu sebagai panglima perang, penasehat Sultan Demak, Mursyid
Thariqah dan hakim peradilan negara. Ia banyak berdakwah di kalangan kaum
penguasa dan priyayi Jawa. Di antara yang pernah menjadi muridnya, ialah Sunan
Prawoto penguasa Demak, dan Arya Penangsang adipati Jipang Panolan. Salah
satu peninggalannya yang terkenal ialah Mesjid Menara Kudus, yang
arsitekturnya bergaya campuran Hindu dan Islam. Sunan Kudus diperkirakan
wafat pada tahun 1550.

4.6. Biografi Sunan Giri


Sunan Giri adalah putra Maulana Ishaq. Sunan Giri adalah keturunan ke-
23 dari Nabi Muhammad, merupakan murid dari Sunan Ampel dan saudara
seperguruan dari Sunan Bonang. Ia mendirikan pemerintahan mandiri di Giri
Kedaton, Gresik; yang selanjutnya berperan sebagai pusat dakwah Islam di
wilayah Jawa dan Indonesia timur, bahkan sampai ke kepulauan Maluku. Salah
satu keturunannya yang terkenal ialah Sunan Giri Prapen, yang menyebarkan
agama Islam ke wilayah Lombok dan Bima.

19
4.7. Biografi Sunan Kalijaga
Sunan Kalijaga adalah putra adipati Tuban yang bernama Tumenggung
Wilatikta atau Raden Sahur atau Sayyid Ahmad bin Mansur (Syekh Subakir). Ia
adalah murid Sunan Bonang. Sunan Kalijaga menggunakan kesenian dan
kebudayaan sebagai sarana untuk berdakwah, antara lain kesenian wayang kulit
dan tembang suluk. Tembang suluk Ilir-Ilir dan Gundul-Gundul Pacul umumnya
dianggap sebagai hasil karyanya. Dalam satu riwayat, Sunan Kalijaga disebutkan
menikah dengan Dewi Saroh binti Maulana Ishaq, menikahi juga Syarifah Zainab
binti Syekh Siti Jenar dan Ratu Kano Kediri binti Raja Kediri.

4.8. Biografi Sunan Muria (Raden Umar Said)


Sunan Muria atau Raden Umar Said adalah putra Sunan Kalijaga. Ia
adalah putra dari Sunan Kalijaga dari isterinya yang bernama Dewi Sarah binti
Maulana Ishaq. Sunan Muria menikah dengan Dewi Sujinah, putri Sunan
Ngudung. Jadi Sunan Muria adalah adik ipar dari Sunan Kudus.

4.9. Biografi Sunan Gunung Jati (Syarif Hidayatullah)


Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah adalah putra Syarif Abdullah
Umdatuddin putra Ali Nurul Alam putra Syekh Husain Jamaluddin Akbar. Dari
pihak ibu, ia masih keturunan keraton Pajajaran melalui Nyai Rara Santang, yaitu
anak dari Sri Baduga Maharaja. Sunan Gunung Jati mengembangkan Cirebon
sebagai pusat dakwah dan pemerintahannya, yang sesudahnya kemudian menjadi
Kesultanan Cirebon. Anaknya yang bernama Maulana Hasanuddin, juga berhasil
mengembangkan kekuasaan dan menyebarkan agama Islam di Banten, sehingga
kemudian menjadi cikal-bakal berdirinya Kesultanan Banten.

5. STRATEGI DAKWAH WALI SONGO

trategi Dakwah Wali Sanga Dalam Islamisasi Di Jawa. Peran Wali Sanga
dalam penyebaran Islam di Indonesia, terutama di Jawa nampaknya tidak dapat di

20
sangkal lagi. Besarnya jasa mereka dalam mengislamkan tanah Jawa telah
menjadi catatan yang masyhur dalam kesadaran masyarakat Islam Jawa. Ada yang
menganggap “Wali Songo” lah perintis awal gerakan dakwah Islam di Indonesia.
Karena jika dilihat pada fase sebelumnya, Islamisasi di Nusantara lebih
dilaksanakan oleh orang-perorangan tanpa manajemen organisasi. Tetapi dalam
kasus Wali Sanga ini, aspek manajemen keorganisasian telah mereka fungsikan.
Yakni, mereka dengan sengaja menempatkan diri dalam satu kesatuan organisasi
dakwah yang diatur secara rasional, sistematis, harmonis, tertentu dan kontinyu
serta menggunakan strategi, metode dan fasilitas dakwah yang betul-betul efektif.
Widji Saksono dalam bukunya “Mengislamkan Tanah Jawa..” mengisyaratkan
bahwa apabila berita tentang Wali Sanga dikumpulkan dan dipelajari, antara lain
dari serat Wall Sanga dan dari Primbon milik Prof. K.H.R. Moh. Adnan, maka
didapati suatu kesimpulan, bahwa secara keseluruhan -kecuali Syeik Siti Jenar-
Wali Sanga merupakan satu kesatuan organisasi. Yaitu organisasi yang dapat
diidentikkan sebagai panitia ad hoc atau kanayakan (kabinet) urusan
mengislamkan masyarakat Jawa.

Dalam hal ini, setiap orang dari mereka memegang peranan dan
bertanggungjawab sebagai ketua bagian, seksi atau nayaka (menteri) dan
sebagainya dalam organisasi dakwah Wali Sanga itu. Dan mereka sering
berkumpul bersama, mengadakan sesuatu, merundingkan berbagai hal yang
berkenaan dengan tugas dan perjuangan mereka. Bukti lain yang menunjukkan
Wali Sanga sebagai kesatuan organisasi, adalah peristiwa pembangunan masjid
Demak, dimana dalam peristiwa itu tercermin sebuah kerjasama dan gotong
royong tmtuk kepentingan dan tujuan yang lama; yaitu untuk kepentingan syiar
agama Islam.
Untuk menunjukkan bahwa lembaga dakwah Wali Sanga bersifat teratur dan
kontinyu, Saudi Berlian dalam menyunting bukunya Widji Saksono, menunjukkan
paling tidak lembaga Wali Sanga telah mengalami empat kali periode sidang
penggantian `pengurus’.

21
Periode I: Malik Ibrahim, Ishaq, Ahmad Jumad al-Kubra, Muhammad al-
Maghribi, Malik Israil, Muhammad al-Akbar, Hasanuddin, Aliyuddin dan Subakir.
Periode II: Komposisi kepengurusan dilengkapi oleh Raden Rahmad Al
Rahmatullah (Sunan Ampel) menggantikan Malik Ibrahim yang telah wafat, Ja’far
Shadiq (Sunan Kudus) menggantikan Malik Israil yang telah wafat, Syaril
Hidayatullah menggantikan Al-Akbar yang telah wafat.
Periode III:, masuk Raden Paku (Sunan Girl) menggantikan Ishaq yang pindah ke
Pasai, Raden Said (Sunan Kalijaga) menggantikan Syeikh Subakir yang kembali
ke Persia, Raden Makdum Ibrahim (Sunan Bonang) menggantikan Maulana
Hasanuddin yang telah Wafat, Raden Qasim (Sunan Drajat) menggantikan
Aliyuddin yang telah wafat.

Periode IV: masuk Raden Hasan (Raden Fatah) dan Fathullah Khan,
keduanya menggantikan Ahmad Jumad al-Kubra dan Muhammad al-Maghribi.
Periode V: masuk Sunan Muria. Tidak dijelaskan tokoh Ini menggantikan siapa,
tetapi besar kemungkinan menggantikan Raden Fatah yang naik tahta sebagai
Sultan I Demak
Selanjutnya, dalam menyebarkan Islam di tanah Jawa, Wali Sanga telah
menggunakan beberapa strategi dan metode dakwah. Di antaranya adalah dengan
memobilisasi semua alat ta’tsir psikologis yang berupa sensasi, conciliare, sugesti,
hipnotis sampai de cere. Karena sensasi inilah, masyarakat awam dipaksa secara
halus untuk menaruh perhatian kepada para Wali dan mengesampingkan yang
lainnya. Karena conciliare, publik akhirnya mengganggap penting apa saja yang
datang dari para Wali.

Karena sugesti, rakyat didorong berbuat sesuatu sehingga bergerak tanpa


banyak tanya. Karena hipnotis, rakyat terpukau akan segala sesuatu yang bermerk
para Wall tanpa banyak selidik dan kritik. Selanjutnya karma de cere,-para Wali
dapat mengendalikan dan mengarahkan awam sebagai obyek dakwahnya ke mana
raja yang mereka kehendaki. Selain strategi yang bersifat psikilogis, Wali Sanga
juga menerapkan strategi (pendekatan) politis. Ini tercermin dalam langkah-

22
langkah yang diambil terutama oleh Raden Patah ketika mendirikan Kerajaan
Demak (Sofwan, 2000: 258).

Widji Saksono mencatat, bahwa Wali Sanga meneladani pendekatan


Rasulullah SAW. dalam berdakwah, yaitu Bil Khikmati wal maudzotil khasanati
wa jaadilhum billatii hiya akhsan. Wali Sanga memperlakukan sasaran dakwah,
terutama tokoh khusus, dengan profesional dan istimewa, langsung pribadi
bertemu pribadi. Kepada mereka diberikan keterangan, pemahaman dan
perenungan (tazkir) tentang Islam, peringatan-peringatan dengan lemah lembut,
bertukar pikiran dari hati ke hati, penuh toleransi dan pengertian. Metode Ini dapat
dilihat pada kasus Sunan Ampel ketika mengajak Ariya Damar dari Palembang
masuk Islam. Juga pada Sunan Kalijaga ketika mengajak Adipati Pandanarang di
Semarang untuk masuk Islam.

Dalam pendekatan Bil Hikmah, Wall Sanga menggunakannya dengan


jalan kebijaksanaan yang diselenggarakan secara populer, atraktif dan sensasional.
Pendekatan Ini mereka pergunakan terutama dalam menghadapi masyarakat
awam. Dalam rangkaian Ini kita dapati kisah Sunan Kalijaga dengan gamelan
Sekaten-nya. Atas usul Sunan Kalijaga, maka dibuatlah keramaian Sekaten atau
Syahadatainyang diadakan di Masjid Agung dengan memukul gamelan yang
sangat unik, baik dalam hal langgam dan lagu maupun komposisi instrumental
yang telah lazim selama ini. Begitu juga dakwah Sunan Kudus dengan lembut
yang dihias secara unik dan nVentrik. Apabila kedua pendekatan ini tidak berhasil,
barulah mereka menempuh jalan lain yaitu Al-Mujadalah billati hiya ahsan.
Pendekatan ini terutama diterapkan terhadap tokoh yang secara terus terang
menunjukkan sikap kurang setuju terhadap Islam.
Wali Sanga juga memakai strategi tarbiyyah al-‘ummah, terutama sebagai
upaya pembentukan dan penanaman kader, serta strategi penyebaran juru dakwah
ke berbagai daerah. Sunan Kalijaga misalnya, mengkader Kiai Gede Adipati
Pandanarang (Sunan Tembayat) dan mendidik Ki Cakrajaya dari Purworejo,
kemudian mengirimnya ke Lowanu untuk mengislamkan masyarakat di sana.

23
Sunan Ampel mengkader Raden Patah kemudian menyuruhnya berhijrah ke hutan
Bintara, membuat perkampungan dan kota baru dan mengimami masyarakat yang
baru terbentuk itu. untuk penyebaran juru dakwah dan pembagian wilayah kerja
Wali Sanga, digambarkan oleh Mansur Suryanegara, mempunyai dasar
pertimbangan geostrategis yang mapan sekali. Pembagian itu memakai rasio 5:3:1
Jawa Timur mendapat perhatian besar dari para Wali. Di sini ditempatkan 5 Wall
dengan pembagian teritorial dakwah yang berbeda. Maulana Malik Ibrahim,
sebagai Wali perintis, mengambil wilayah dakwahnya di Gresik. Setelah wafat,
wilayah ini diambil alih oleh Sunan Girl. Sunan Ampel mengambil posisi
dakwahnya di Surabaya. Sunan Bonang sedikit ke utara di Tuban. Sedangkan
Sunan Drajat di Sedayu. Berkumpulnya kelima Wali di Jawa Timur adalah karna
kekuasaan politik saat itu berpusat di wilayah ini. Kerajaan Kediri di Kediri dan
Majapahit di Mojokerto.
Di Jawa Tengah, para Wali mengambil posisi di Demak, Kudus dan Muria.
Sasaran dakwah para Wali di Jawa Tengah tentu berbeda dengan yang di Jawa
Timur. Di Jawa Tengah, dapat dikatakan bahwa pusat kekuasaan Hindu dan Budha
sudah tidak berperan, tetapi realitas masyarakatnya masih banyak dipengaruhi
oleh budaya Hindu dan Budha. Sehingga dalam berdakwah, Wali Sanga di Jawa
Tengah ini banyak menggunakan instrumen budaya lokal, seperti wayang, gong
gamelan dan lain-lain, untuk dimodifikasi sesuai dengan ajaran Islam.
Saat berlangsung aktivitas ketiga Wali tersebut, pusat kekuasaan politik
dan ekonomi beralih ke Jawa Tengah, ditandai dengan runtuhnya Kerajaan
Majapahit dan munculnya Kerajaan Demak, yang disusul kemudian dengan
lahirnya Kerajaan Pajang dan Mataram II. Perubahan kondisi politik seperti ini,
memungkinkan ketiga tempat tersebut mempunyai arti geostrategis yang
menentukan.
Sedangkan di Jawa Barat, proses islamisasinya hanya ditangani oleh
seorang Wali, yaitu Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati. Dengan
pertimbangan saat itu penyebaran ajaran Islam di Indonesia Barat, terutama di
Sumatera dapat dikatakan telah merata bila dibandingkan dengan kondisi
Indonesia Timur. Adapun pemilihan kota Cirebon sebagai pusat aktivitas dakwah

24
Sunan Gunung Jati, hal itu tidak bisa dilepaskan hubungannya dengan jalan
perdagangan rempah-rempah sebagai komoditi yangberasal dari Indonesia Timur.
Dan Cirebon merupakan merupakan pintu perdagangan yang mengarah ke
Jawa Tengah, Indonesia Timur dan Indonesia Barat. Oleh karna itu, pemilihan
Cirebon dengan pertimbangan sosial politik dan ekonomi saat itu, mempunyai
nilai geostrategis, geopolitik dan geoekonomi yang menentukan keberhasilan
Islam selanjutnya.
Demikianlah beberapa strategi dan pendekatan yang dipakai oleh Wali
Sanga dalam menyebarkan Islam di tanah Jawa. Dan apabila dikaji lebih
mendalam, maka akan didapati beberapa bentuk metode dakwah Wali Sanga, di
antaranya:
Pertama, melalui perkawinan. Diceritakan dalam Babad Tanah Jawi di antaranya
bahwa Raden Rahmad (Sunan Ampel ) dalam rangka memperkuat dan
memperluas dakwahnya, salah satunya, dengan menjalin hubungan geneologis.
Beliau menekankan putrinya, Dewi Murthosiah dengan Raden Ainul Yakin dari
Giri. Dewi Murthosimah dengan Raden Patah. Alawiyah dengan Syarif
Hidayatullah. Dan putrinya yang lain, Siti Sarifah dengan Usman Haji dari
Ngudung.
Kedua, dengan mengembangkan pendidikan pesantren. Langkah persuasif
dan edukatif ini mula-mula dipraktekkan oleh Syeikh Maulana Malik Ibrahim di
Gresik, kemudian dikembangkan dan mencapai kemajuannya oleh Sunan Ampel
di desa Ampel Denta, Surabaya.
Ketiga, mengembangkan kebudayaan Jawa dengan memberi muatan nilai-
nilai keislaman, bukan saja pada pendidikan dan pengajaran tetapi juga meluas
pada bidang hiburan, tata sibuk, kesenian dan aspek-aspek lainnya. Seperti
Wayang, Sekatenan, Falasafah wluku lan pacul Sunan Kalijaga.
Keempat, metode dakwah melalui sarana prasarana yang berkaitan dengan
masalah perekonomian rakyat. Seperti tampilnya Sunan Majagung sebagai nayaka
(mentri) unison ini. Beliau memikirkan masalah halal-haram, masak-memasak,
makan-makanan dan lain-lain. Untuk efesiensi kerja, beliau berijtihad dengan
menyempurnakan alat-alat pertanian, perabot dapur, barang pecah-belah. Begun

25
juga Sunan Drajat tampil dengan menyempurnakan alat transportasi dan bangun
perumahan.
Kelima, dengan sarana politik. Dalam bidang politik kenegaraan Sunan
Girl tampil sebagai ahli negara Wali Sanga, yang menyusun peraturan-peraturan
ketataprajaan dan pedoman tata cara keraton. Begitu juga Sunan Kudus yang ahli
dalam perundang-undangan, pengadilan dan mahkamah. Sebagai penutup untuk
pembahasan tentang islamisasi Jawa oleh Wali Sanga, setidaknya ada dua faktor
elementer yang menopang keunggulan don keistimewaan dakwah para Wali.
Pertama, inklusivitas para Wali dalam melihat ajaran Islam. Kedua, potensi dan
keunggulan vang dimiliki oleh para Wali. -Mereka telah membuktikan diri sebagai
mujtahid yang memahami Islam tidak saja sebagai teori abstrak, tetapi juga
sebagai realitas historic kemanusiaan. (ISNA)

26
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Teori masuknya islam ke nusantara itu mungkin masih belum bayak orang
yang mengetahui dan juga banyak di pengaruhi oleh peranan Persoalan mengenai
di mana Islam pertama kali masuk. Masuknya Islam Ke Indonesia dan Bukti
Pendukungnya tiga Teori Masuknya Islam Ke Indonesia dan Bukti Pendukungnya
di Indonesia, Teori Masuknya Islam Ke Indonesia Hal ini tentu tidak terlepas
dari peran para pedagang muslim yang berasal dari Gujarat (India), Persia,dan
Arab terdapat pula Cara penyebaran Islam di Nusantara dilakukan melewati
berbagai jalan diantaranya adalah melalui perdagangan, sosial, dan pengajaran..
Hubungan erat antar pedagang muslim dan pedagang Nusantara di masa silam
menimbulkan pengaruh terhadap masuknya agama Islam di Indonesia.

B. Saran
Untuk mendapatkan informasi yang kongkrit, literature atau sumber-
sumber sejarah tentang Islamisasi di Nusantara kita sarankan supaya menanyakan
islam nusantara ini kepasa ahlinya,karena takutnya nanti jika banyak teori yang
masih simpang siur malah menjadikan informasi itu tidak bisa di percaya atau di
anut di karenakan Cukup sulit menentukan kapan dan di mana pertama kali Islam
masuk di Nusantara

27
DAFTAR PUSTAKA

Admin 2015. Definisi Budaya dan Pengertian Kebudayaan. ( Online)

(http://duniabaca.com/definisi-budaya-pengertian-kebudayaan.html ), diakses 02
Maret 2018.

Asy Syariah 2011. Meluruskan Makna Wali Allah dan Mengenal Wali Syaithan. (Online).
(https://asysyariah.com/meluruskan-makna-wali-allah-dan-mengenal-wali-

syaithan/), diakses 02 Maret 2018.

http://www.masuk-islam.com/pembahasan-walisongo-lengkap-arti-walisongo-
sejarah-biografi-dan-silsilah-walisongo.html

Mahardhika Zifana 2013. Sunan dan Walisongo: Secuil Jelajah Etimologi-

Linguistik-Historis. (Online). (https://www.kompasiana.com/mahardhika. zifana/sunan-


dan-walisongo-secuil-jelajah-etimologi-linguistik-historis_55201789813311eb719de18b),
diakses 02 Maret 2018.

http://www.masuk-islam.com/pembahasan-walisongo-lengkap-arti-
walisongo-sejarah-biografi-dan-silsilah-walisongo.html

http://islamnusantara.com/strategi-dakwah-wali-songo-dalam-islamisasi-di-jawa/

28

Anda mungkin juga menyukai