Anda di halaman 1dari 320

ISLAMIC STUDIES

Pendekatan dan Metode


Zakiyuddin Baidhawy

Pengertian dan Metodologi Studi Islam 


Islamic Studies Pendekatan dan Metode

Penulis
Zakiyuddin Baidhawy
Editor
Arifin
Rancang Sampul
M. Taufik N.H.
Tata Letak
Darwoko



Cetakan Pertama, April 2011

Jl. Kenanga, Maguwoharjo, Depok, Sleman, Yogyakarta 55282


Telp. 0274-4332394, 4332397, Fax. 0274-4332395
Email : redaksi@insanmadani.com
Website : www.insanmadani.com

Didistribusikan oleh
PT Bintang Pustaka Abadi (BiPA)
Jl. Kapas No. 14 Yogyakarta
Telp. 0274-4332398, Fax. 0274-4332395

Hak cipta dilindungi undang-undang, 2011 pada Zakiyuddin Baidhawy dan


hak penerbitan pada PT Pustaka Insan Madani (anggota IKAPI)

ii Zakiyuddin Baidhawy
Prakata

M inat terhadap Studi Islam (Islamic Studies) mengalami


peningkatan cukup pesat pada beberapa tahun terakhir,
meskipun tidak selalu memiliki alasan-alasan yang tepat. Pada
abad 19 hingga awal abad 20 kita dapat menyaksikan bahwa
disiplin Studi Islam bangkit dimotivasi oleh keinginan para
penguasa kolonial untuk memahami sumber-sumber rujukan
dan praktik-praktik keagamaan dari negeri-negeri jajahan mereka.
Karenanya kajian dan penelitian dalam disiplin lebih ditujukan
untuk kebutuhan khusus, yaitu menentukan nilai-nilai dan
praktik-praktik dari negeri-negeri terjajah itu. Mereka memiliki
hasrat untuk menguasai secara penuh wilayah jajahan dengan
berbagai macam cara sehingga mereka dapat menjalankan
misi memperadabkan negeri-negeri terjajah dan mendorong
mereka memperoleh kemajuan dalam hal pengetahuan tentang
negeri-negeri terjajah serta memanfaatkan kaum terpelajarnya
untuk mendapatkan legitimasi atas kekuasaan mereka.
Kini, Studi Islam sudah mengalami perkembangan cukup
mengesankan, meskipun masih ada minat yang dikendalikan

Model Kajian Tasawuf iii


oleh kepentingan diri. Studi Islam berkaitan dengan data-data
yang jauh lebih konkret dan berinteraksi dengan metode-metode
yang kompleks dan lebih mencakup. Hal ini bukan hanya terjadi
di negeri-negeri Muslim sendiri, bahkan juga di negara-negara
Barat. Masyarakat Barat mengalami tiga fenomena berbeda yang
memperlihatkan perhatian mereka pada perluasan riset tentang
Islam: semakin meningkatnya visibilitas generasi-generasi baru
Muslim di Barat; arus migrasi yang terus mengalir yang tampak
terus mengalami percepatan; dan terorisme yang dipandang
sebagai ancaman baik bagi Barat maupun dunia Muslim sendiri.
Persoalan-persoalan domestik dunia Muslim juga merupakan
realitas yang mesti dipertimbangkan dalam politik internasional,
seperti problem konflik Israel-Palestina, perang di Afghanistan
dan Irak, kasus Iran, persoalan Turki dalam keanggotaan Uni
Eropa. Dalam semua kasus ini, Studi Islam secara langsung
maupun tidak langsung terlibat sebagai bagian dari cara untuk
memahami dan mencegah, melindungi diri kita sendiri,
mendominasi, dan bahkan berperang melawan kekerasan yang
dilakukan kaum fundamentalis Islam. Akibatnya, banyak pakar
sosiolog, ilmuwan politik, pakar terorisme dan lain-lain terlibat
dalam sejumlah penelitian mengenai Islam, Muslim, identitas,
imigrasi, fundamentalisme, radikalisasi, kekerasan, terorisme,
dan sebagainya.
Tentu saja perkembangan kontemporer ini mengandung
sisi negatif dan positifnya. Intinya, kita perlu mensyukuri
bahwa disiplin Studi Islam semakin memperoleh tempat luas
di kalangan pengkaji Muslim maupun non-Muslim, dengan
spektrum wilayah dan spesialisasi kajian yang makin beragam dan
kaya. Karena itu, penting kiranya perkembangan-perkembangan
ini ditulis dan dibaca di kalangan para mahasiswa dan dosen

iv Zakiyuddin Baidhawy
Studi Islam di negeri ini sebagai negeri dengan penduduk
Muslim terbesar di dunia agar mereka bukan hanya menjadi
penonton dan penikmat hasil kajian keislaman, namun mereka
juga berperan sebagai pelaku dari perkembangan itu. Buku ini
merupakan satu upaya untuk menyajikan perkembangan Studi
Islam yang dimaksud. Mudah-mudahan karya ini bermanfaat
bagi mahasiswa dan dosen di perguruan tinggi Islam, dan para
peminat kajian keislaman di perguruan tinggi umum serta
masyarakat luas pada umumnya.

Omah Nderes, Soditan Sukoharjo


10 Februari 2011

Zakiyuddin Baidhawy

Prakata 
vi Zakiyuddin Baidhawy
Daftar Isi

Prakata..................................................................................iii
Daftar Isi.............................................................................. vii
BAB 1 PENGERTIAN DAN METODOLOGI STUDI
ISLAM.......................................................... 1
A. Pengertian Studi Islam.................................... 1
B. Metodologi Studi Islam: Dimensi Keilmuan
dan Keagamaan............................................... 6
BAB 2 RUANG LINGKUP OBJEK KAJIAN STUDI
ISLAM........................................................ 23
A. Pengalaman Keagamaan dan Ekspresinya...23
B. Dimensi-dimensi Agama..............................28
C. Cara Beragama...............................................35
BAB 3 SEJARAH PERKEMBANGAN STUDI
ISLAM........................................................ 39
A. Studi Islam dan Orientalisme......................46
B. Studi Islam sebagai Disiplin Mandiri .........53
C. Studi Islam dan Oksidentalisme..................55

Pengertian dan Metodologi Studi Islam vii


BAB 4 MODEL PENDEKATAN KAJIAN TEKS-TEKS
ISLAM: STUDI AL-QURAN....................... 67
A. Pendekatan I`jaz Klasik.................................68
B. Pendekatan Sastra Modern...........................72
C. Pendekatan Tajdid.........................................75
D. Pendekatan Tahlili.........................................77
E. Pendekatan Semantik...................................80
F. Pendekatan Tematik . ...................................90
BAB 5 MODEL KAJIAN TEKS-TEKS KEISLAMAN:
STUDI HADIS........................................... 99
A. Kajian Orientalis tentang Hadis................. 101
B. Perbedaan Metodologi Kajian Hadis:
Sarjana Barat dan Sarjana Muslim............. 103
C. Kajian Sarjana Muslim Modern...................110
D. Pendekatan Revolusioner: al-Albani.......... 115
BAB 6 MODEL KAJIAN ILMU KALAM................ 119
A. Kemunculan Ilmu Kalam............................122
B. Definisi dan Bahasan Ilmu Kalam.............124
C. Metodologi Ilmu Kalam.............................125
D. Mazhab-mazhab Ilmu Kalam.....................128
E. Metodologi Kalam Syiah............................ 131
A. Mistisisme: Fenomena Universal...............139
BAB 7 MODEL KAJIAN TASAWUF..................... 139
B. Spirit: Domain Ketiga Ajaran Islam........... 141
C. Perspektif Memahami Tasawuf . ................145
D. Tasawuf dan Modernitas: Pendekatan
Fathullah Gulen..........................................148

viii Zakiyuddin Baidhawy


BAB 8 MODEL KAJIAN USUL FIKIH DAN
FIKIH....................................................... 155
A. Definisi dan Ruang Lingkup.......................155
B. Dua Pendekatan: Teoretis-Rasional dan
Deduktif.......................................................159
BAB 9 MODEL KAJIAN HERMENEUTIKA: Studi
Hermeneutika Pembebasan Farid Esack 167
A. Sekilas tentang Farid Esack.........................169
B. Metode Hermeneutika Pembebasan.......... 171
C. Al-Quran Bicara: Kunci Hermeneutika
Pembe-basan...............................................179
D. Simpulan.....................................................183
BAB 10 MODEL KAJIAN FILSAFAT: Studi
Hibrida Filsafat Fondasionalisme dan
Hermeneutika......................................... 185
A. Gagap Paradigma Fondasionalisme . ........187
B. Pendekatan Hermeneutika: Pintu Keragaman
danRelativisme ...........................................189
C. Menuju Hibrida Paradigmatik...................193
D. Tafsir Multikultural, Sebuah Alternatif......196
E. Simpulan ....................................................203
BAB 11 MODEL KAJIAN PENDIDIKAN:
Pendekatan Multikultural terhadap
Pendidikan Agama...................................205
A. Pendidikan Agama sebagai Aparatus
Ideologis......................................................208
B. Basis Teologi Pendidikan Multikultural..... 212

Daftar Isi ix
C. Pendidikan Agama untuk Perdamaian
dan Harmoni............................................... 215
D. Simpulan ....................................................224
BAB 12 MODEL KAJIAN PEMIKIRAN ISLAM: Kajian
tentang Islam Liberal.............................. 229
A. Beberapa Pendekatan Mengkaji
Islam Liberal................................................230
B. Latar Sosial Islam Liberal............................236
C. Tantangan Islam Liberal.............................. 241
D. Simpulan ....................................................245
BAB 14 MODEL KAJIAN POLITIK....................... 247
A. Pendekatan Keamanan (Security)..............250
B. Pendekatan Demokrasi...............................253
C. Pendekatan Globalisasi...............................257
BAB 15 METODOLOGI ILMIAH MODERN DAN
STUDI ISLAM...........................................261
A. Pendekatan Ilmu Sejarah............................ 261
B. Pendekatan Sosiologis................................264
C. Pendekatan Antropologi dan Etnografi..... 271
D. Pendekatan Fenomenologi.........................278
E. Pendekatan Arkeologi.................................288

Daftar Pustaka...................................................................295
Biografi Penulis................................................................. 307

 Zakiyuddin Baidhawy
BAB 1

PENGERTIAN DAN
METODOLOGI STUDI ISLAM

A. Pengertian Studi Islam

I stilah Islamic Studies atau Studi Islam kini telah diperguna-


kan dalam jurnal-jurnal profesional, departemen akademik,
dan lembaga-lembaga perguruan tinggi yang mencakup bidang
pengkajian dan penelitian yang luas, yakni seluruh yang
memiliki dimensi Islam dan keterkaitan dengannya. Rujukan
pada Islam, apakah dalam pengertian kebudayaan, peradaban,
atau tradisi keagamaan, telah semakin sering dipakai dengan
munculnya sejumlah besar literatur dalam berbagai bahasa Eropa
atau Barat pada umumnya yang berkenaan dengan paham Islam
politik, atau Islamisme. Literatur-literatur tersebut berbicara
tentang perbankan Islam, ekonomi Islam, tatanan politik Islam,
demokrasi Islam, hak-hak asasi manusia Islam, dan sebagainya.
Sejumlah buku-buku terlaris sejak 1980-an berhubungan dengan

Pengertian dan Metodologi Studi Islam 


judul-judul Islam dan hal-hal yang berkaitan dengan kata sifat
Islami, yang menunjukkan betapa semua itu telah diistilahkan
dengan sebutan Islamic Studies di dunia akademik.
Kita dapat mengemukakan dua pendekatan mendasar
mengenai definisi Islamic Studies, yaitu definisi sempit dan
definisi yang lebih luas (Suleiman & Shihadeh, 2007: 6-7).
Pendekatan pertama melihat Islamic Studies sebagai suatu
disiplin dengan metodologi, materi dan teks-teks kuncinya
sendiri; bidang studi ini dapat didefinisikan sebagai studi tentang
tradisi teks-teks keagamaan klasik dan ilmu-ilmu keagamaan
klasik; memperluas ruang lingkupnya berarti akan mengurangi
kualitas kajiannya. Di samping itu, Islamic Studies berbeda
dari ilmu-ilmu humaniora dan ilmu-ilmu sosial dan akan
diperlemah bila pendidikan berbasis kepercayaan tentang Islam
dan studi tentang Islam lintas disiplin berdasarkan kepada dua
disiplin tersebut. Mesti ada perbedaan nyata antara antropologi
dan ilmu-ilmu sosial lainnya, dan Islamic Studies hanya sebagai
distingsi yang dibuat dalam hubungannya dengan disiplin-
disiplin lainnya seperti Christian Studies.
Menurut definisi ini, Islamic Studies mengimplikasikan:
Pertama, studi tentang disiplin dan tradisi intelektual-
keagamaan klasik menjadi inti dari Islamic Studies, karena
ada di jantung kebudayaan yang dipelajari dalam peradaban
Islam dan agama Islam, dan karena banyak Muslim terpelajar
masih memandangnya sebagai persoalan penting. Pengertian
Islamic Studies sebagai studi tentang teks-teks Arab pra-modern
utamanya karena itu mesti dipertahankan. Keterampilan utama
yang dibutuhkan adalah bahasa Arab.
Kedua, Islamic Studies adalah suatu bidang yang sempit.
Upaya-upaya untuk memperluas bidang kajiannya dapat me-

 Zakiyuddin Baidhawy
ngakibatkan berkurangnya kualitas kajian. Namun demikian,
bidang ini terus menghadapi tekanan komersial untuk mem-
perluas ruang lingkupnya, dengan memasukkan misalnya, studi
tentang pengobatan dan keuangan Islam. Namun, imperatif
utamanya adalah mempertahankan kualitas hasilnya. Penelitian
dan pengajaran dalam wilayah-wilayah yang berada di luar defi-
nisi Islamic Studies yang sempit mesti diupayakan secara kola-
boratif dengan kalangan spesialis luar yang berkualitas.
Ketiga, pendidikan berbasis keimanan bagi Muslim menge-
nai Islam, dan studi lintas disiplin tentang Islam yang bersandar
kepada ilmu-ilmu humaniora dan ilmu-ilmu sosial, keduanya
memberikan tujuan yang bermanfaat. Namun, Islamic Studies
bagaimanapun berbeda dari keduanya dan jangan dipertipis garis
batasnya. Yang diharapkan ialah upaya memperkaya dua bidang
lainnya. Minat ilmu antropologi dan ilmu-ilmu sosial terhadap
Islam memang dapat dibenarkan, namun jangan dipaksa untuk
diistilahkan sebagai Islamic Studies.
Pendekatan kedua mendefinisikan Islamic Studies berdasar-
kan pada pernyataan bahwa Islam perlu dikaji dalam konteks
evolusi Islam modern yang penuh teka-teki. Juga adanya kebu-
tuhan untuk memahami apa yang dimaksudkan oleh teks-teks
tentang cara orang-orang mengalami dan menjalankan kehi-
dupan mereka. Membatasi bidang kajian pada studi teks saja
akan berisiko memberikan kesan yang salah tentang seperang-
kat praktik keagamaan Islam, sehingga menutupi realitas yang
lebih kompleks. Islam mesti diajarkan baik sebagai tradisi teks
maupun sebagai realitas sosial. Islamic Studies harus memiliki
inti wilayah-wilayah dan teks-teks yang definitif; pada hakikat-
nya ini mesti terdiri dari ilmu-ilmu keislaman klasik. Meskipun
demikian, di sekitar inti ini ada wilayah-wilayah lain yang dapat

Pengertian dan Metodologi Studi Islam 


dimasukkan, seperti antropologi dan ilmu-ilmu sosial. Dalam
definisi ini, bidang Islamic Studies perlu juga memasukkan
pendekatan sosiologis dan studi tentang dunia modern.
Mengajarkan Islamic Studies di perguruan tinggi mesti
menjembatani kesenjangan antara pendekatan tekstual dan
pendekatan etnografi, karena mahasiswa seringkali berminat
pada teks-teks tradisional, meskipun studi teks dapat mencakup
berbagai tradisi yang berbeda-beda. Artinya membatasi diri pada
bidang kajian teks semata berisiko memberikan pengertian yang
keliru tentang Islam dan masyarakat Islam.
Teks-teks dari tradisi klasik besar telah dihasilkan dan diper-
gunakan oleh kaum Muslim dalam konteks sosial tertentu. Islam
harus diajarkan baik sebagai tradisi tekstual dengan seluruh ke-
satuan sejarahnya, dan sebagai realitas sosial yang dinamis dan
terus berubah. Keduanya saling berhubungan, yakni tradisi teks
menunjukkan bahwa Islam, di samping merupakan seperangkat
ajaran keagamaan, adalah cara mendekati tantangan-tantangan
ekonomi dan sosial praktis dalam kehidupan ini.
Islamic Studies bukanlah sebuah disiplin, namun ia lebih
merupakan kesalinghubungan antara beberapa disiplin. Dalam
bahasa metodologi, para peneliti meminjam serangkaian disi-
plin termasuk ilmu-ilmu sosial. Kurang tegasnya batasan-ba-
tasan ini justru menyediakan peluang untuk memperkaya studi
interdisipliner yang beragam.
Banyak pertanyaan dapat diajukan tentang dua pendekatan
di atas, barangkali yang paling relevan adalah, apakah kebutu-
han untuk mengkaji Islamic Studies hanya berangkat dari kebu-
tuhan diplomatik dan bisnis, atau apakah ia lebih jauh untuk
memasukkan ruang lingkup yang luas seperti studi dan peneli-
tian guna memperoleh kearifan dan pengetahuan utama.

 Zakiyuddin Baidhawy
Islam kini sedang menjadi fenomena universal di dunia
ini. Ini memunculkan satu pertanyaan lain, yakni apakah
fungsi universitas diharapkan dapat menyediakan kebutuhan-
kebutuhan bagi komunitas-komunitas minoritas untuk mema-
hami keimanan mereka di dalam identitas lokal yang melekat
dan konteks multikulturalnya. Jika kebutuhan semacam ini tidak
dicapai secara mapan, akankah ia membuka pintu luas bagi eks-
tremisme untuk menawarkan jasanya yang mematikan? Salah
satu isu yang muncul dalam perbincangan mengenai Islam di
kampus adalah bahwa Islamic Studies merupakan suatu wilayah
kontestasi sebagian karena Islam itu sendiri adalah sesuatu
yang dikontestasikan. Persoalan ini membawa pada pertanyaan:
adakah suatu wilayah, apa pun namanya, yang dipikirkan
oleh akal manusia yang tidak dikontestasi? Nilai keimanan
atau kebudayaan apa pun berangkat dari komitmen para
pemeluknya. Untuk mencapai masyarakat multikultural yang
homogen, ada suatu kebutuhan untuk menerapkan metodologi
serupa pada semua keimanan. Dengan kata lain, definisi tentang
iman merupakan fenomena sosial yang berhubungan dengan
bagaimana keimanan itu sendiri melihat dirinya.
Dengan mempergunakan pendekatan intensional, maka
dapat dikatakan lebih layak jika kita memerhatikan dua hal, yai-
tu antara studi tentang Islam atau Islamic Studies yang me-
miliki makna lebih khusus. Kita dapat pula mengatakan bahwa
kesulitan dalam mendefinisikan Islamic Studies mencerminkan
kebutuhan akan perdebatan lebih lanjut tentang masalah ini.
Pada masa lampau, Islamic Studies diajarkan di dalam departe-
men-departemen yang berhubungan secara luas dengan lokasi
geografis, seperti Studi Kawasan Timur, Studi Kawasan Timur
Tengah dan Studi Kawasan Timur Dekat.

Pengertian dan Metodologi Studi Islam 


Ini memunculkan masalah terminologi dan judul, bahkan
persoalan konteks yang tetap valid khususnya pada periode
kolonial, yang mempersepsi Islam sebagai salah satu dorongan
utama bagi kohesi sosial dan dialog antariman. Barangkali satu
proposal yang bisa diajukan ialah pengembangan suatu bentuk
studi tentang Islam yang memasukkan pendekatan tradisional
dan pendekatan luas, serta kombinasi dari keduanya dalam
rangka memperluas disiplin daripada membingungkan antara
keduanya.

B. Metodologi Studi Islam: Dimensi Keilmuan dan


Keagamaan
Masalah utama yang menopang definisi Islamic Studies tampak-
nya muncul dari metodologi bagaimana Islam dikaji dan kemu-
dian bagaimana diajarkan. Di negara-negara Barat umumnya,
kajian tentang Islam mengikuti metodologi Barat, ini berten-
tangan dengan kajian Islam di dalam suatu lingkungan yang ti-
dak mengkontestasi agama tersebut.
Kajian Islam di Barat, Inggris misalnya, memberikan ma-
hasiswa strata satu berbagai materi yang relevan dengan Islam
dengan mempergunakan metodologi pengajaran yang dilan-
daskan pada objektivitas dan integritas. Pendekatan atas Islamic
Studies di sini sering didasarkan atas pandangan akademik Barat
tentang Islam yang terpusat pada berbagai metodologi ilmiah
seperti orientalisme, ilmu sosial atau antropologi kontemporer.
Sering dijumpai mahasiswa Muslim di sini akan menghadapi
tantangan nyata di mana pengetahuan dasar mereka tentang
agama dan sejarahnya sendiri diuji secara kritis. Pada tingkat
pasca sarjana, masalahnya lebih kompleks dan seringkali keti-
daksepakatan mengenai pendekatan pada apa yang dapat dan

 Zakiyuddin Baidhawy
tidak dapat mencapai kebenaran membawa pada perubahan
dalam subjek yang dikaji mahasiswa. Salah satu topik favorit
adalah studi kritis dan penyuntingan manuskrip-manuskrip
berbahasa Arab. Cukup mengagumkan melihat bagaimana ada
kemauan para pengkaji tersebut untuk menerima studi kritis itu
dan mereka menyatakan bahwa pendekatan semacam ini tidak
perlu kompromi dengan masalah keimanan mereka.
Hal serupa juga sering muncul ketika menguji ide-ide
para pemikir Muslim modern tentang Islam dan pendekatan
Barat terhadap pengetahuan. Ketakutan bukan datang dari
Barat, melainkan dari sains yang dapat menjadi pendekatan
yang salah arah jika dipercaya sebagai satu-satunya jalan
menuju kebenaran. Pandangan ini juga digaungkan oleh para
sarjana Barat sendiri. Salah satu kritik paling umum terhadap
pendekatan sains diungkapkan oleh Stephen R. Sterling ketika
ia menguji pendekatan sains terhadap subjek dari studi tentang
alam. Mengutip Werner Heisenberg, ia mengatakan: Melalui
intervensinya, sains mengubah dan membentuk kembali
objek.
Berikut ini adalah beberapa perdebatan seputar metodologi
dalam Islamic Studies. M. Izzi Dien (2003: 243-255) secara
gamblang menggambarkan perdebatan metodologi tersebut
mencakup kritik akademisi Muslim atas metodologi Barat,
pendekatan apologetik Muslim terhadap metodologi penelitian,
pendekatan radikal Muslim terhadap metodologi Barat, dan
kritik metodologi Muslim dari dalam.
1. Kritik atas Metodologi Barat
Kritik akademisi Muslim atas metodologi Barat muncul baik
dalam bentuk kritik seimbang maupun kritik radikal. Pendekat-
an intelektual Barat terhadap pengetahuan dan pembelajaran

Pengertian dan Metodologi Studi Islam 


ditegakkan di atas hukum pertentangan antara dua hal yang
bersebrangan yang bertabrakan dengan filsafat Islam tentang
kehidupan yang berdasarkan pada apa yang disebut teori fusi
dua hal yang bersebrangan. Suatu teori yang juga disebut sebagai
teori wasathiyyah (teori jalan tengah). Teori ini didasarkan atas
Al-Quran surat al-Baqarah/2: 143 yang berbicara tentang um-
mah wasath, yang mampu merekonsiliasi dua hal yang berten-
tangan dengan tujuan untuk meraih harmoni sosial.
Mutakallim abad pertengahan Islam, Abu Hamid al-Ghazali
mengatakan bahwa wasathiyyah adalah berdiri di tengah-tengah
antara dua ujung yang saling berlawanan. Karena itu, dalam ma-
salah keuangan misalnya, ia berarti berdiri di antara berlebih-
lebihan dan serba kekurangan, atau antara sembrono dan terlalu
hati-hati. Filsafat Barat menemukan akar-akarnya dalam kebu-
dayaan Yunani-Romawi yang memotong keimanan orang-orang
Timur yang asli terhadap Yesus dan mengkombinasikannya de-
ngan jiwa dan tubuh.
Pandangan dunia Islam berbeda dari pendekatan Barat ter-
hadap pengetahuan ilmiah. Faruqi (1995) memaparkan bahwa
ilmu-ilmu sosial memperoleh posisi mandiri di universitas-uni-
versitas satu abad yang lalu, padahal akal yang telah membawa
pada penemuan dan keberhasilan kembali pada dua abad lebih;
pembentukan metodologi skeptis kembali pada revolusi Prancis
yang berusaha melawan kendali gereja. Kemenangan metodolo-
gi skeptis telah memberikan otoritas yang memperkenankannya
menolak metodologi alternatif, bahkan metodologi ilmu-ilmu
alam yang tergantung hanya pada apa yang dapat dilihat dan
dirasakan.
Salah satu hasil dari metodologi skeptis di atas adalah ke-
simpulan bahwa seluruh dunia ini tunduk pada penafsiran, dan

 Zakiyuddin Baidhawy
karenanya, penemuan apa pun oleh akal yang membawa pada
kejadian fenomena tertentu dipandang sebagai sebentuk penaf-
siran. Penafsiran semacam ini, secara inheren akan membawa
pada pengendalian dan pengarahan terhadap apa yang didefi-
nisikan. Ilmu-ilmu alam akan membawa pada kontrol atas selu-
ruh alam, akibatnya apa pun dapat diberlakukan pada alam dan
ilmu-ilmu alam dapat diterapkan pada pemahaman manusia
dan perilakunya dengan tujuan untuk menggunakannya demi
mencapai tujuan-tujuan yang diinginkan.
Apa yang luput dari analogi semacam ini adalah kenyataan
bahwa manusia dan perilakunya secara keseluruhan tidaklah
tunduk pada aturan-aturan dan prinsip-prinsip yang sama
yang dapat dipergunakan untuk menafsirkan fenomena alam.
Perbedaan antara fenomena alam dan fenomena kemanusiaan
adalah bahwa manusia mengandung komponen-komponen
lain serta mengikuti sistem dan pola eksistensi yang berbeda
secara keseluruhan. Dengan kata lain, bila materi seperti metal,
kayu, dan komponen-komponen alam lainnya dapat diukur
secara fisik, hanya sebagian saja dari manusia yang dapat diukur
secara empirik. Masih ada bagian-bagian lain dari manusia dan
alam ini yang melampaui sains dan di sini bukan hanya jiwa
dan sentimen manusia, bahkan juga pola-pola perilaku yang
dipandang sebagai kebudayaan, agama, dan tradisi individual.
Keseluruhan nilai ini tidak akan mungkin tanpa kehendak
pengamat untuk melihatnya. Semua ini tidak akan tercapai
tanpa simpati pengamat sembari mempertimbangkan nilai
dari apa yang ia saksikan dan memasukkan amatan tersebut ke
dalam hasil-hasil penemuan. Inilah salah satu alasan mengapa
pendekatan dalam mengkaji manusia yang disediakan oleh Barat
pada umumnya gagal menyediakan paradigma yang valid untuk

Pengertian dan Metodologi Studi Islam 


mengkaji Muslim dan masyarakat Islam. Ini sejalan dengan
pernyataan Smart (1989: 11) bahwa sejarah agama-agama mesti
lebih dari mengurutkan peristiwa-peristiwa: ia harus berupaya
untuk masuk ke dalam makna peristiwa-peristiwa itu sendiri.
Jadi, kunci untuk masuk ke dalam makna peristiwa-peristiwa
Islam ada dalam pemahaman tentang kepasrahan individu
kepada Tuhan atau Islam yang dijalani oleh para pengikutnya
selama perjalanan hidup mereka. Kini, dalam Islamic Studies
di Barat, para sarjana Barat perlu mengapresiasi metodologi
kajian Islami dalam rangka memahami bagaimana cara Muslim
berpikir. Dengan definisi metodologi semacam ini maka
dimensi spiritual sekaligus dimensi ilmiah dapat dijangkau
secara bersamaan.
2. Pendekatan Apologetik Insider
Pendekatan lain yang muncul dalam persoalan metodologi
kajian keislaman ialah pendekatan apologetik. Bila sains mo-
dern berdasarkan atas dunia fisik dan pedoman objektif, Islam
tidak berusaha membatasi pemikiran manusia atau mencegah
kajian ilmiah mandiri. Islam sebagai keimanan memiliki sedikit
reservasi dalam memandang fakta-fakta ilmiah yang abstrak
dan itulah yang memotivasi perluasan metodologi eksperimen
yang dikembangkan dalam lingkungan Islam sebelum ditrans-
fer ke Barat. Pendekatan apologetik menyatakan bahwa Islam
mengadopsi pencarian pengetahuan dan tidak membatasi diri
sumber pengetahuan hanya pada pemahaman dunia materi ma-
nusia. Penting juga untuk dicatat, bukan dalam rangka menyifati
Islam dengan keterbelakangan sosial, bahwa Islam merupakan
hasil dari suatu akumulasi persoalan dan situasi, seperti kolo-
nialisme Barat, perbudakan, dan praktik-praktik sosial yang ti-

10 Zakiyuddin Baidhawy
dak ada hubungannya sama sekali dengan jiwa Islam (al-Umari,
1987: 110).
Argumen semacam ini sering dinyatakan oleh kalangan
Muslim dan membawa pada persoalan apakah mungkin atau
tidak memisahkan Islam sebagai teori dari praktik aktualnya
sebagaimana teramati dalam realitas dunia Islam. Realitas yang
salah arah ini rupanya melahirkan dekadensi dan kemunduran
pada semua tingkatan dan kita dapat mempertanyakan apakah
Islam merupakan pandangan hidup yang gagal dalam masyara-
kat kontemporer. Jika benar, maka akan ada kebutuhan untuk
mengadopsi metodologi berpikir yang lebih sejalan dengan ma-
syarakat modern sebagai sarana untuk mencapai apa yang dise-
but kebudayaan yang lebih maju. Ini penting setidaknya bagi
mereka yang hidup di Barat dan membutuhkan Islam pribumi
yang berdasarkan atas nilai-nilai asli dan Islam tentang sains dan
pengetahuan kehidupan. Metodologi semacam ini membutuh-
kan bahan-bahan sebagai berikut:
Pertama, faktor manusia. Setidaknya diperlukan jumlah
yang cukup sumber daya manusia yang dapat membawa pesan
pemahaman keagamaan yang layak. Dapat dinyatakan bahwa
hal ini mungkin dicapai meskipun pada kenyataannya tidak
semua tingkatan masyarakat memiliki disiplin keislaman yang
sama sehingga tersedia sejumlah orang yang mampu memimpin
lainnya untuk meraih tujuan yang benar. Untuk mencapai tu-
juan ini, Islam menyandarkan diri pada sedikit kaum terpelajar,
yang mendorong upaya-upaya keilmuan dan peningkatan kaum
Muslim yang berpengetahuan. Dan hendaklah kamu menjadi
orang-orang yang berorientasi ketuhanan (rabbaniyun) dalam
apa yang kamu ajarkan dan apa yang kamu pelajari (QS. Ali
Imran (3): 79).

Pengertian dan Metodologi Studi Islam 11


Kedua, upaya mempopulerkan tujuan Islam dalam men-
ciptakan banyak masyarakat dan kebudayaan sehingga Islam
berhasil sebagai fenomena kebudayaan sekaligus fenomena ke-
agamaan. Dua hal ini setidaknya dapat diidentifikasi, jika tidak
dikatakan sebagai pemisahan. Pemahaman tentang Islam seba-
gai agama akan lebih baik dipahami jika dilihat dari dalam, se-
bagaimana disebut oleh Smart sebagai dimensi-dimensi agama
(akan dijelaskan pada bab II). Lebih lanjut, ada kebutuhan un-
tuk mengidentifikasi hubungan integral antara hakikat Islam se-
bagai agama yang diwahyukan Tuhan dan sebagai fleksibilitas
kultural yang membuatnya dapat diterima. Jika Islam dipahami
murni sebagai agama, ini akan membuatnya seperti sel yang ko-
song dan akan kehilangan kekuatan dan kemampuan dinamis-
nya untuk melahirkan hasrat dan visi kemanusiaan.
Pada titik ini penting untuk mencatat perbedaan antara
agama Islam sebagai sel dalam pengertian metaforis dan
dimensi mistiknya. Menurut Dien (2003), Islam dapat menjadi
agama yang terfosilkan jika ia dikaji dengan menghilangkan
unsur-unsur kultural yang integral atau unsur-unsur ketaatannya.
Metodologi kajian Islam berangkat dari sini, jadi bukan semata
sebagai agama, melainkan juga sebagai hakikat kehidupan yang
memandang semua aspek hidup ini dalam keseluruhannya
sebagai unit yang lengkap. Prinsip dari kesatuan realitas
(haqiqah) penting di sini. Metodologi penelitian menyangkut
semua pencarian atas realitas yang diderivasi eksistensinya dari
Tuhan, dan derivasi maknanya dari Kehendak-Nya. Dengan
memahami hal ini, pemahaman Islam tentang realitas dapat
menjadi lebih dekat kepada pendekatan model kontemporer vis
a vis pengetahuan, yang seringkali gagal menerima pandangan
Islam bahwa potongan-potongan realitas akan bersama-sama

12 Zakiyuddin Baidhawy
seperti jigsaw yang membentuk gambar utuh. Pada akhirnya,
konsep tentang realitas yang dipahami sebagai wujud yang
diderivasi dari kesadaran Tuhan yang Maha Esa, patut dipahami
dengan cara seperti di bawah ini.
Berbagai posisi tentang realitas Islam, seperti dipahami
kaum Sufi adalah fenomena yang divergen yang dapat
dipahami menurut berbagai perspektif dan aspek, meskipun
sumber dan tujuannya serupa. Ada kontradiksi yang muncul,
namun salah antara mistisisme/sufisme dan arus utama Islam.
Padahal sufisme adalah sisi paling dalam dari struktur realitas
Islam sepanjang ia dipahami dari sumber dan tujuan Tuhan.
Tuhan dalam Islam adalah Pencipta dan Pemelihara dan
hubungan antara Dia dan manusia itulah yang dimaksud Sufi.
Jika dikotomi ini dipahami, maka hasilnya tidak kontradiksi;
sebaliknya kesalahpahaman mengenai hal ini mengarah pada
penyimpangan dan penghargaan Islam atas jiwa manusia akan
disalahmengerti. Hubungan spiritual antara Tuhan dan manusia
memiliki aspek sosial, yang dalam dunia Sufi disebut sebagai
jalan kolektif dan jalan individual menuju Tuhan, tariqah.
Tariqah berarti menerima banyak jalan dalam keimanan Islam.
Sayangnya, ada ketidakseimbangan di mana ortodoksi Islam
telah menuduh heterodoksi sebagai bidah. Salah satu alasan
mengapa Islam menolak individu-individu seperti al-Husayn
ibn Mansur al-Hallaj (858-922) adalah karena ia memahami
dirinya sendiri sebagai bagian dari wujud Tuhan, daripada
sebagai wujud bersama Tuhan.
Di sinilah letak pentingnya epistemologi dalam Islam, dan
istilah-istilah yang digunakan dapat memiliki kekuatan dalam
menyampaikan gambaran yang memadai. Ini merupakan salah
satu sumber utama kesepakatan antara metode penelitian Islam

Pengertian dan Metodologi Studi Islam 13


dan metode penelitian objektif. Contoh yang relevan mengenai
hal ini dapat dilihat pada berbagai isu yang dihadapi para sarjana
Barat dan Islam ketika mengutip Al-Quran. Sarjana non-Muslim
berasumsi bahwa Al-Quran bukan firman Tuhan; dalam banyak
tulisan kaum orientalis awal digambarkan bahwa Al-Quran
merupakan perkataan Muhammad. Di sisi lain, sarjana Muslim
percaya bahwa Al-Quran adalah wahyu Tuhan sehingga mereka
memulai kutipan dengan Tuhan berfirman, sementara sarjana
non-Muslim memulainya dengan Muhammad berkata. Kita
menghadapi masalah nyata di sini. Bila kita menerima pandangan
sarjana non-Muslim itu berarti akan menyakiti keimanan
Muslim atau para mahasiswa Muslim yang datang ke Barat
untuk memperluas pengetahuan mereka. Barangkali kompromi
terbaik adalah menganjurkan kepada mereka agar memulai
dengan ungkapan Al-Quran mengatakan, atau dinyatakan
dalam Al-Quran. Mesikpun ini juga dikritik sebagai penegasian
aspek ketuhanan, namun sudah merupakan solusi terbaik untuk
mendamaikan masalah di atas.
3. Kritik Radikal atas Metodologi Barat
Dalam bahasan ini menarik untuk mencatat komentar-
komentar yang sering muncul dari kalangan fundamentalis
Islam mengenai metodologi Barat. Komentar-komentar mereka
sering mempertanyakan secara radikal: Apakah para mahasiswa
atau pengkaji di universitas-universitas Barat mampu memenuhi
tantangan untuk mengintegrasikan keilmuan Islam dan setia
dengan prinsip-prinsip yang diterima secara mapan dalam
ilmu-ilmu keislaman? Temukan apa yang Islam katakan tentang
peristiwa baru merupakan satu hal, dan merusak Islam adalah
hal lain. Metodologi apa yang digunakan untuk menafsirkan
teks-teks sumber Islam dan kepada siapa Anda mempelajarinya?

14 Zakiyuddin Baidhawy
Jika Anda menggunakan teknik-teknik Barat, maka Anda akan
menafsirkan Islam sesuai dengan kritik Heidegger dan kritik
sastra yang banyak digunakan Nietzsche dan Foucault. Jika
Anda melakukan studi bahasa, maka Anda akan bersandar pada
antropologi dan kritik sastra, hal ini juga berarti Anda kembali
kepada Levi Straus dan lain-lain dan problem relativitas. Kini,
satu pertanyaan muncul ketika Anda menerapkan apa pun
teknik-teknik ini adalah bagaimana Anda akan melihat Al-
Quran dan Sunnah? Akankan Anda memandangnya hanya
sebagai teks-teks sejarah? Jika Anda mengatakan demikian,
maka Anda telah membuat kesalahan besar dalam bidang
Akidah. Inilah masalah-masalah yang muncul dalam Islamic
Studies di Barat, menentang namun tidak memiliki basis yang
nyata dalam sumber-sumber Islam. Jadi, kita bukan Barat secara
keseluruhan dan bukan pula Muslim secara keseluruhan dalam
hal pemikiran. Komentar mereka juga menyatakan, mungkin
ada manfaat melakukan penelitian di Barat dalam Islamic
Studies, namun karena kami adalah Muslim, kami harus setia
kepada agama kami (Ahl-Hadith, 2006).
4. Kritik Metodologi dari Dalam (from within)
Identitas Islam kontemporer, baik pada tingkat individu
maupun kolektif, mengalami kekurangan intelektual dan psi-
kologis yang paralel dengan kemampuannya untuk bertindak
dan melakukan. Dua kekurangan ini banyak dipengaruhi oleh
pendekatan metodologis dalam mengkombinasikan teori dan
praktik (Malkawi, 2002: 31-36). Kekeliruan metodologis dalam
komunitas Muslim dapat disimpulkan sebagai berikut: Pertama,
kesalahpahaman tentang realitas dan bagaimana berhubungan
dengannya disebabkan mengabaikan sepenuhnya apa yang nya-
ta dan apa yang merupakan ideal-ideal abstrak tanpa berupaya

Pengertian dan Metodologi Studi Islam 15


menerapkan yang nyata kepada yang ideal dalam kehidupan
keseharian. Ini seringkali tampak ketika ideal-ideal historis
menjadi sebentuk pelarian dari tanggung jawab sosial untuk
membenarkan kegagalan hidup mereka. Kedua, kesalahan dalam
memahami hubungan antara sebab dan akibat, khususnya
dalam kesalahpahaman tentang doktrin tentang ketergantungan
kepada Tuhan dimaknai sebagai penghapusan peran sebab
dalam penciptaan dan akibatnya. Ketiga, kekeliruan memahami
pandangan komprehensif Islam tentang alam. Ini dapat dilihat
pada hubungan antara komponen-komponen yang nyata dan
yang gaib dalam kosmos ini atau dengan melihat pada bagian
parsial dari masalah ini atau faktor waktu.
Lebih jauh kita dapat menambahkan bahwa pendekatan
Islam terhadap pengetahuan menerima dua macam kebenaran,
yaitu yang berhubungan dengan pertanyaan-pertanyaan yang
tidak dapat dijawab oleh rasio manusia (seperti nasib, kehendak,
kehidupan/kematian) dan kebenaran yang berkaitan dengan
fakta-fakta empirik dalam kehidupan. Jadi, tanpa rasio manusia,
ilham Tuhan tidak dapat diterima dan diverifikasi, dan keiman-
an Islam tidak dapat ditegakkan sebagai sistem kepercayaan
berdasarkan atas konsep benar dan salah. Teori tentang Islam
hanya dapat dianggap benar jika ia dilihat sebagai fusi dari
unsur-unsur Islam yang tidak dapat dipisahkan teologi, hukum,
dan etika. Menurut Sardar (1985), kompartementalisasi antara
hukum dan etika dalam tradisi intelektual dan keagamaan
Barat tidak memiliki tempat dalam Islam. Pada praktiknya,
Muslim kontemporer berhadapan dengan realitas yang berbe-
da. Realitas itu adalah bahwa Muslim kontemporer diarahkan
oleh kebudayaan Barat yang sering mengalami pemisahan
antara tubuh dan jiwa. Pemisahan ini lambat laun merusaknya.

16 Zakiyuddin Baidhawy
Peradaban Barat telah membuktikan kekuatan dan supremasi-
nya terhadap peradaban-peradaban lain melalui peran mereka
dalam sains, teknologi dan industri. Inilah peradaban yang
mempergunakan metodologi empirik dan organisasi untuk
mendekati fenomena alam untuk melayani kebutuhan manusia.
Dengan mengkombinasikan peradaban instrumental ini dengan
paham Islam tentang nilai, kemajuan yang berarti bisa diraih di
dunia Muslim khususnya dan menyebar ke seluruh dunia pada
umumnya.
5. Problem Pendekatan Emik dan Pendekatan Etik
Problem metodologis juga muncul berkenaan dengan sia-
pakah yang dipandang lebih otoritatif dalam melakukan kajian
Islam, apakah mereka yang menjadi orang dalam atau mereka
yang disebut sebagai orang luar. Problem serupa sesungguhnya
pernah dialami juga dalam disiplin Sejarah Agama-agama (The
History of Religions). Pada akhir abad ke-20, Belanda telah mem-
berikan kontribusi terhadap studi akademik agama-agama yang
berupaya mengembangkan suatu metode empirik bagi Religious
Studies baik dalam hal klasifikasi wacana maupun istilah-istilah
yang dipinjam dari kosakata teknis dari ilmu-ilmu bahasa yang
mereka transformasikan ke dalam Antropologi Budaya. Dalam
karya-karya mereka tampak usaha untuk membedakan antara
dua tipe berbeda tentang perbincangan mengenai agama, yakni
pendekatan emik yang menyajikan pola-pola pemikiran dan aso-
siasi simbolik yang diungkap dari perspektif kaum beriman, dan
pendekatan ilmiah etik yang melibatkan analisis historis menge-
nai hubungan antara ide dan masyarakat sembari membatasi
dari pelibatan klaim kebenaran emik tentang realitas meta-em-
pirik (Feener, 2007: 264-282).

Pengertian dan Metodologi Studi Islam 17


Memang ada kesulitan berkaitan dengan dua model kajian
semacam itu, khususnya pada masa modern ketika diterapkan
pada Studi Islam. Ada pertentangan antara pendekatan akademik
yang mendorong peneliti dan pengkaji memosisikan diri seo-
lah-olah sebagai orang luar (outsider) dan pendekatan konfen-
sional yang hanya menerima perspektif orang dalam (insider);
antara pengkaji Muslim dan pengkaji Barat. Suatu perdebatan
yang sering kali menjadi hambatan dalam wacana publik ten-
tang identitas dan politik kekuasaan. Mempertimbangkan reali-
tas historis tersebut, pemikiran kembali tentang bidang sejarah
intelektual Muslim harus dimulai dari pengakuan mengenai
fakta bahwa lebih dari satu abad hingga kini, kita masih diha-
dapkan dengan wacana pendekatan emik dan pendekatan etik
tentang Islam, dan persoalan ini mengandung dinamika yang
kompleks dan kreatif dalam pemikiran Islam. Barangkali con-
toh yang paling menonjol dalam interaksi polemik intelektual
antara sarjana Barat modern dan sarjana Muslim dapat dijumpai
pada perdebatan di akhir abad ke-19 antara Jamal al-Din al-Af-
ghani dan Ernst Renan tentang hubungan Islam dan sains dan
kemajuan yang dipandang mencakup modernitas pada masa
itu. Perdebatan ini memunculkan kontroversi yang berlanjut
sepanjang abad ke-20 sebagaimana dikemukakan oleh karya-
karya para pemikir seperti Muhammad Abduh, Ameer Ali, dan
Sayyid Ahmad Khan, dan belakangan Sayyid Qutb, Abul Ala al-
Maududi, Ismail Raji al-Faruqi dan lain-lain.
Seluruh dunia Muslim pada periode modern menyaksikan
pengaruh yang kompleks dari kemajuan ilmiah Barat atas per-
kembangan perdebatan di kalangan internal sarjana Muslim.
Kita bisa melihat bagaimana pengaruh penemuan-penemuan
orientalis modern terhadap karya Ibnu Khaldun atas ilmuwan

18 Zakiyuddin Baidhawy
sosial Muslim di Afrika Utara, dan pengaruh karya Geertz atas
perdebatan yang terjadi di kalangan Muslim Indonesia. Karya-
karya semacam ini mendapatkan tempat di kalangan Muslim
di mana pendekatan eklektik lebih tampak dalam karya-karya
itu daripada pendekatan yang mengkombinasikan antara para
penulis Barat yang sering dikutip dalam literatur Islam modern
dengan karya-karya klasik era kolonial, seperti penggambaran
Carlyle tentang Muhammad dalam On Heroes, Hero-Worship, dan
The Heroic in History serta karya Lothrop Stoddard New World of
Islam secara bertahap memberikan arah bagi karya-karya seperti
Maurice Bucaille La Bible, Le Coran, et la Science, dan karya Samuel
Huntington Clash of Civilizations.
Dalam menilai perkembangan tersebut, tugas yang paling
penting bukanlah menemukan bibliografi dengan judul-judul
yang popular, namun lebih dari itu ialah melakukan evaluasi
kritis terhadap karya-karya semacam itu yang sesuai dengan
kebudayaan intelektual dan kebudayaan popular masyarakat
Muslim modern.
Selama abad ke-20, karya-karya sarjana Barat tentang Islam
mulai memperoleh tempat dan sebagai sumber rujukan dalam
retorika para sarjana Muslim modern dari Afrika, Timur Te-
ngah, dan Asia, yang telah melahirkan banyak pemikir Muslim
modern, dari M. Iqbal hingga Agus Salim. Contoh-contoh se-
rupa sangat berlimpah dalam berbagai literatur Arab modern
dan bahasa-bahasa Muslim mayoritas, di mana kecenderungan
mulai mengarah pada meningkatnya keterbukaan terhadap pe-
ngaruh para pemikir Barat atas mereka yang melakukan kajian
Islam dan masyarakat Muslim yang sedang berkembang. Penga-
ruh pertama yang paling umum datang dari ilmu-ilmu sosial,
seperti terlihat bagaimana pengaruh ilmu sosial modern atas

Pengertian dan Metodologi Studi Islam 19


karya Ziya Golkap di Turki, Ali Shariati di Iran, Nurcolish Madjid
dan Ahmad Syafii Maarif di Indonesia. Yang lebih baru adalah
perkembangan hermeneutics dan bidang-bidang kelimuan Hu-
maniora yang juga mencerminkan perkembangan lebih jauh
dalam karya-karya para pemikir seperti Muhammad Arkoun dan
Nasr Hamid Abu Zayd.
Sedikit contoh dari Indonesia pada pertengahan abad ke-20
juga dapat disebutkan di sini. Dalam karyanya tentang sejarah
sufi, Hamka memuji Louis Massignon sebagai pilar utama kaum
orientalis dan mengutip secara positif karyanya tentang al-Hallaj,
sekaligus teorinya tentang peran kaum sufi Irak abad ke-10 bagi
perkembangan Islam di kepulauan Indonesia (Hamka, 1952:
116). Karya HAR. Gibb yang memberikan gambaran holistik
tentang hakikat Islam menjadi dominan dalam ceramah-
ceramah umum dan karya-karya M. Natsir yang dipublikasikan
sepanjang pertengahan abad ke-20. Bahkan, pengaruh konsepsi
tentang Islam yang asalnya berkembang di Barat pun terjadi pada
pemahaman kaum fundamentalis modern tentang Islam sebagai
sistem dan pandangan hidup menyeluruh, dan ini diakui lebih
luas dalam berbagai analisis tentang masa depan intelektualisme
Muslim modern.
Penting untuk dicatat, situasi ini bukan merupakan akibat
dari perkembangan pada tingkat intelektual murni, melainkan
lebih dari itu adalah situasi yang muncul dalam lingkungan
historis tertentu di dalam konteks kolonialisme dan sistem
kekuasaan dan pengetahuan yang tidak simetris antara Islam
dan Baratkonteks yang sangat disadari dan menjadi sasaran
kritik para pemikir Muslim modern-. Dengan kata lain, bagi para
sejarawan, perkembangan modern semacam ini, baik dalam
bidang politik, ekonomi dan sosial, mesti dipertimbangkan

20 Zakiyuddin Baidhawy
ketika menjelaskan penggunaan simbolisme keagamaan dan
kultural sebagai alat analisis untuk memikirkan kembali dan
merekonseptualisasi pemikiran dan praktik-praktik dalam ma-
syarakat Muslim modern.[]

Pengertian dan Metodologi Studi Islam 21


22 Zakiyuddin Baidhawy
BAB 2

RUANG LINGKUP OBJEK


KAJIAN STUDI ISLAM

A. Pengalaman Keagamaan dan Ekspresinya

S etiap kajian ilmiah menghendaki objek sebagai prasyarat


utama. Kejelasan objek memudahkan para pengkaji mem-
buat batasan akan ruang lingkup suatu studi. Studi Islam sebagai
kajian ilmiah pada intinya adalah upaya mencari pemahaman
mengenai hakikat agama, bukan sekadar fungsi agama. Hakikat
agama itu terletak pada pengalaman keagamaan.
Joachim Wach (1958) menjelaskan beberapa kriteria menge-
nai pengalaman keagamaan. Pertama, pengalaman keagamaan
merupakan suatu respon terhadap apa yang dialami sebagai Re-
alitas Ultim (the Ultimate Reality). Realitas Ultim di sini artinya
sesuatu yang mengesankan dan menantang kita. Pengalaman
ini melibatkan empat hal, yaitu asumsi tentang adanya kesadar-
an, yakni pemahaman dan konsepsi; respon dipandang sebagai

Ruang Lingkup Objek Kajian Studi Islam 23


bagian dari perjumpaan; pengalaman tentang Realitas Ultim
mengimplikasikan relasi dinamis antara yang mengalami dan
yang dialami; dan kita perlu memahami karakter situasional
dari pengalaman keagamaan itu sendiri dalam suatu konteks
tertentu.
Kedua, pengalaman keagamaan itu harus dipahami sebagai
suatu respon menyeluruh terhadap Realitas Ultim, yaitu pribadi
yang utuh yang melibatkan jiwa, emosi dan kehendak sekaligus.
Karenanya, pengalaman keagamaan terdiri dari suatu hirarki tiga
unsur, yaitu intelektual, afeksi, dan kesukarelaan.
Ketiga, pengalaman keagamaan menghendaki intensitas,
yaitu suatu pengalaman yang sangat kuat, komprehensif, dan
mendalam. Para tokoh pembawa agama sepanjang masa dan
di manapun telah memberikan kesaksian tentang intensitas ini
baik dalam pikiran, ucapan maupun tindakan. Dalam Islam
misalnya, antusiasme yang bergairah terhadap Allah telah mem-
bangkitkan spiritualitas Nabi Muhammad, dan para tokoh
lainnya seperti Rabiah al-Adawiyah, al-Hallaj, Ibnu Taimiyah,
Ibnu Hanbal, al-Afghani, dan sebagainya.
Keempat, pengalaman keagamaan sejati selalu berujung
pada tindakan. Ia melibatkan imperatif, sumber motivasi dan
tindakan yang kuat. Praktik-praktik dan tindakan-tindakan kita
dalam keseharian merupakan bukti nyata bahwa kita seorang
yang beragama sejati.
Empat kriteria tersebut menggarisbawahi bahwa pengalam-
an agama sejati merupakan pengalaman batin dari perjumpaan
manusia dan pikiran manusia dengan Tuhan. Karena pengalam-
an batiniah itu sifatnya personal dan unik, maka pengalaman
keagamaan itu sendiri sulit untuk dijadikan sebagai objek lang-

24 Zakiyuddin Baidhawy
sung dari kajian ilmiah dalam Studi Islam. Meskipun demiki-
an, para pengkaji agama-agama tidak perlu khawatir, karena
pengalaman keagamaan bisa dipelajari melalui bentuk-bentuk
ekspresinya yang meliputi tiga hal sebagaimana akan dijelaskan
di bawah ini.
Ekspresi dalam Pikiran
Ekspresi pengalaman keagamaan dalam pikiran ialah ung-
kapan intelektual orang yang mengalami perjumpaan dengan
Tuhannya. Ekspresi teoretis dari pengalaman keagamaan ini
yang utama berbentuk mitos. Mitos adalah cara yang unik dan
primitif untuk memahami realitas. Di dalam realitas mitos yang
agung, konsepsi manusia tentang ketuhanan benar-benar dapat
diartikulasikan. Simbol adalah cara atau wahana untuk mengar-
tikulasikan konsepsi manusia tentang relitas Tuhan.
Ekspresi kedua dari pengalaman keagamaan dalam pikiran
ialah doktrin dan atau dogma. Doktrin atau ajaran berfungsi
untuk: mengeksplikasi dan mengartikulasikan keimanan; meru-
pakan aturan normatif bagi kehidupan dalam ibadah dan peng-
hambaan; untuk mempertahankan keimanan dan mendefinisi-
kan hubungannya dengan pengetahuan lain. Dalam pengertian
ini, doktrin bersifat mengikat dan bermakna hanya bagi komu-
nitas orang-orang yang mengimaninya, dan bukan orang lain.
Ekspresi teoretis dari pengalaman keagamaan dapat juga
dalam bentuk lain yang disampaikan secara oral maupun ter-
tulis. Firman-firman suci, hadis-hadis, karya-karya tafsir agama,
dan bentuk-bentuk lirik, epik, dan karya-karya lainnya, kredo ke-
agamaan, dan kesaksian imani, juga merupakan ekspresi penga-
laman keagamaan dalam bentuk pikiran. Pemikiran keagamaan
yang utama meliputi teologi, kosmologi dan antropologi.

Ruang Lingkup Objek Kajian Studi Islam 25


Ekspresi dalam Tindakan
Ekspresi pengalaman keagamaan dalam tindakan ialah tin-
dakan-tindakan keagamaan yang menjadi sarana bagi perjum-
paan manusia dengan Tuhannya. Dua bentuk ekspresi tindakan
yang utama ialah ketaatan dan penghambaan. Keduanya ber-
hubungan erat. Realitas Maha Agung disembah dalam suatu tin-
dakan pemujaan dan diabdikan untuk untuk merespons pang-
gilan dan kewajiban untuk menyatu dengan Tuhan. Maka, dalam
setiap tingkatan, ibadah itu selalu bermakna (menghamba ke-
pada) Tuhan. Disibukkan dengan kemahasucian dan keagungan
Tuhan, ibadah yang dilakukan oleh manusia adalah upaya un-
tuk menetralisasi kekurangan hakikat keprofanannya.
Ibadah adalah tindakan tertinggi dari manusia dalam ke-
hidupan ini. Ia merupakan respons atas Realitas Ultim. Ia juga
merupakan pemujaan dan rasa syukur kemahaagungan dan ke-
mahasucian Tuhan.
Jadi, Studi Islam mempunyai suatu wilayah kajian yang
menyangkut seluruh tindakan ibadah dan penghambaan dalam
Islam, yang terungkap dalam rukun Islam yang lima syahadat,
shalat, zakat, puasa dan haji, dan tindakan-tindakan lain yang
menyertainya dalam kerangka pengabdian dan penghambaan
kepada Allah.
Ekspresi dalam Jamaah
Ekspresi pengalaman keagamaan dalam jamaah ialah pe-
ngelompokan-pengelompokan pemeluk agama dalam komuni-
tas dan masyarakat keagamaan. Dalam dan melalui tindakan-tin-
dakan keagamaan atau ibadah, kelompok keagamaan dibentuk.
Tak ada satu pun agama di dunia ini yang tidak melibatkan
jamaah keagamaan. Jamaah atau kelompok keagamaan meru-
pakan kelanjutan dari upaya eksperimentasi dari kebenaran dan

26 Zakiyuddin Baidhawy
cara menjalankan kebenaran itu. Yang dimaksud kelompok atau
komunitas keagamaan itu lebih dari sekadar asosiasi atau per-
kumpulan, namun juga menghadirkan dirinya sendiri sebagai
mikrokosmos dengan seluruh hukum-hukumnya, pandangan-
nya tentang kehidupan, sikap dan atmosfer kehidupan.
Integrasi kelompok keagamaan telah menjadi subjek banyak
studi dalam Sosiologi Agama. Salah satu subjek penting dalam
kajian ini ialah struktur kelompok keagamaan. Struktur ini
ditentukan oleh dua perangkat faktor, yaitu faktor keagamaan
dan faktor di luar keagamaan. Anugerah-anugerah spiritual
seperti penyehatan dan pengajaran adalah contoh-contoh
faktor keagamaan; sementara umur, posisi sosial, etika dan latar
belakang merupakan faktor non-keagamaan.
Ada empat faktor yang menentukan diferensiasi dalam ke-
lompok atau komunitas keagamaan: Pertama, diferensiasi dalam
fungsi. Meskipun di dalam kelompok kecil yang hanya terdiri
dari beberapa anggota saja yang diikat dengan ikatan pengala-
man keagamaan bersama, kita mesti dapat menemukan pem-
bagian fungsi. Misalnya, anggota-anggota kelompok yang senior
dan lebih berpengalaman biasanya akan menjadi pemimpin
dalam ibadah atau pemujaan, sementara yang lebih muda ber-
tugas mempersiapkan alat-alat atau benda-benda yang dibutuh-
kan dalam ibadah qurban misalnya.
Kedua, diferensiasi atas dasar karisma. Dalam kelompok ke-
agamaan yang paling egalitarian sekalipun, ada pengakuan ten-
tang keragaman anugerah yang menjelaskan perbedaan dalam
otoritas, prestise, dan posisi dalam komunitas. Max Weber mem-
perluasnya menjadi karisma personal dan karisma resmi.
Ketiga, diferensiasi atas dasar pembagian secara alami menu-
rut umur, jenis kelamin, dan keturunan. Orang tua dan orang

Ruang Lingkup Objek Kajian Studi Islam 27


muda biasanya memainkan peran berbeda dalam kehidupan
komunitas keagamaan baik secara individual maupun kolektif.
Perempuan dan lelaki seringkali dipisahkan dalam kultus atau
fungsi-fungsi tertentu, sementara di lain aktivitas mereka dapat
bercampur baur. Keempat, diferensiasi atas dasar status.

B. Dimensi-dimensi Agama
Islam adalah salah satu dari agama-agama yang hidup di du-
nia. Karena itu, untuk dapat mengkaji Islam sebagai bagian dari
agama, para pengkaji perlu memahami dan memikirkan tentang
agama. Ada beberapa esensi yang dapat dijumpai dalam keselu-
ruhan agama-agama. Meskipun berbeda tradisi dan kebudayaan,
sangat mungkin untuk menemukan beberapa dimensi-dimensi
agama. Dari sini mereka dapat melihat dimensi-dimensi Islam
yang dapat dijadikan objek studi ilmiah. Menurut Smart (1989),
semua agama-agama yang hidup di dunia ini memiliki tujuh di-
mensi sebagaimana akan dijelaskan sebagai berikut.
Dimensi Praktik dan Ritual
Setiap tradisi agama-agama memiliki beberapa praktik ke-
agamaan yang dilakukan oleh para pemeluknya, seperti ibadah
yang teratur, berdoa, persembahan, dan seterusnya. Praktik-
praktik ini biasa juga disebut sebagai ritual-ritual keagamaan.
Dimensi praktik dan ritual ini khususnya dipandang penting
dalam agama-agama yang memiliki praktik sakramen, seperti
Kristen Ortodoks Timur yang telah mempunyai tradisi panjang
yang dikenal sebagai liturgi. Tradisi biara Yahudi kuno terbiasa
dengan praktik pengorbanan. Demikian pula ritual-ritual pe-
ngorbanan dianggap penting dalam tradisi Hindu Brahmin.
Di sisi lain, ada pula pola-pola perilaku yang tidak dapat
dipandang sebagai ritual dalam pengertian baku, namun ber-

28 Zakiyuddin Baidhawy
fungsi untuk meningkatkan kesadaran spiritual atau ketajaman
etis: praktik-praktik seperti Yoga dalam tradisi Hindu dan Budha,
meditasi yang dapat menolong orang meningkatkan rasa cinta
dan kesabaran, dan sebagainya. Praktik-praktik ini dapat dikom-
binasikan dengan ritual-ritual persembahan.
Dalam konteks Islam, dimensi-dimensi praktik dan ritual ke-
agamaan berupa rukun Islam yang lima: syahadat, shalat, puasa,
zakat, dan haji. Lima rukun menjadi kategori utama ri-tual Islam
dan peristiwa-peristiwa yang lebih kurang tersusun di bawahnya
dalam bentuk yang teratur. Misalnya, Idul Adha/Qurban bera-
kar dalam haji; Idul Fitri berperan sebagai penutup puasa Ra-
madan. Salat khusus pada saat terjadi gerhana mata-hari atau
bulan. Semuanya dilakukan secara teratur. Empat dari lima ru-
kun mempunyai rujukan komunal dan dibuat untuk mengeks-
presikan dan menyalurkan kekuatan rukun pertama syahadat
yang secara implisit mengandung gambaran iman Muslim yang
sempurna. Dua dari rukun ini juga mempunyai rujukan tempat
yang kuat karena salat dan haji dipusatkan pada Kabah di Mek-
kah. Salat, puasa dan haji juga mempunyai waktu tertentu se-
hingga Islam memiliki serangkaian ritual yang berkaitan dengan
ruang dan waktu suci (Denny dalam Martin, 1985).
Karena itu, Studi Islam dapat mempelajari dan mengkaji
semua bentuk praktik dan ritual atau ibadah dalam Islam, baik
ritual kenosis (pengosongan diri) seperti puasa Ramadan, mau-
pun ritual plerosis (pengisian diri) seperti zakat, dan qurban.
Dimensi Pengalaman dan Emosional
Kita tidak dapat mengabaikan barang sejenak pun dalam
mengkaji agama, termasuk Islam, untuk melihat dan memer-
hatikan vitalitas puncak dan pengalaman penting dalam pem-
bentukan tradisi-tradisi keagamaan. Sebagai contoh ialah visi-

Ruang Lingkup Objek Kajian Studi Islam 29


visi yang diperlihatkan oleh Nabi Muhammad atau pencerahan
yang dialami Budha Gautama. Ini jelas menggambarkan ten-
tang emosi-emosi dan pengalaman-pengalaman para pemeluk
agama-agama. Dimensi ini merupakan makanan bagi dimensi-
dimensi agama lainnya. Ritual tanpa emosi terasa dingin; ajaran
tanpa cinta itu kering. Jadi, sedemikian penting dalam mema-
hami suatu tradisi kita berusaha untuk masuk ke dalam per-
asaan-perasaan untuk merasakan kesakralan, kedamaian, dan
dinamika batiniah, sensasi harapan, persepsi kekosongan, dan
rasa syukur yang mendalam.
Rudolf Otto (1860-1937) melukiskan dengan tepat ten-
tang dimensi ini dengan kata numinous, yang artinya spirit.
Dari kata ini, ia menjelaskan suatu pengalaman, perasaan yang
dibangkitkan oleh suatu misteri yang menggetarkan, menakut-
kan, mendebarkan (mysterium tremendum), dan sekaligus misteri
yang mempesona, menarik penghambaan (mysterium fascinans).
Inilah yang dalam konteks Islam dapat dimengerti bahwa yang
pertama merupakan manifestasi Allah sebagai al-Jalal, dan yang
kedua sebagai al-Jamal. Ini semacam pengalaman mistik yang
mudah dijumpai dalam semua agama tak terkecuali Islam.
Dimensi pengalaman dan emosi dari para pemeluk Islam
mengenai Tuhan Allah, apakah kehadiran-Nya dirasakan oleh
hamba-Nya sebagai Yang Maha Agung, atau sebagai Yang Maha
Indah dan Mempesona, dapat menjadi bagian dari objek kajian
ilmiah dari Studi Islam.
Dimensi Naratif dan Mitos
Seringkali pengalaman disalurkan dan diungkapkan bukan
hanya melalui ritual bahkan juga narasi-narasi dan mitos suci.
Dimensi ini disebut sebagai dimensi naratif dan mitos, semacam
sisi kisah, cerita dalam agama-agama. Kisah, cerita adalah tipikal

30 Zakiyuddin Baidhawy
dari semua keimanan untuk menyampaikan suatu kisah-kisah
penting. Sebagian kisah itu bersifat historis, terjadi dalam di-
mensi ruang dan waktu nyata; dan sebagian lainnya berkenaan
dengan waktu primordial yang misterius ketika dunia belum
muncul dalam waktu yang belum dapat dinamakan; sebagian
tentang segala hal yang datang dan berakhir pada suatu waktu;
sebagian tentang kisah para pahlawan dan orang-orang suci; se-
bagian tentang para pendiri dan pembawa agama-agama, seperti
Musa, Isa, Muhammad, dan lain sebagainya.
Dalam Islam kita dapat menjumpai kisah-kisah tentang
penciptaan alam semesta sebelum masa sejarah, penciptaan
Adam dan Hawa dalam surga dan akhirnya terhempas ke muka
bumi. Ini merupakan contoh kisah-kisah yang terjadi dalam
waktu primordial yang misterius, tidak historis. Di sisi lain,
terdapat kisah-kisah dan peristiwa-peristiwa historis tentang
kehidupan Nabi Muhammad, para sahabatnya, para pejuang
Muslim, dan sebagainya. Yang tidak historis itulah yang disebut
sebagai mitos; dan yang historis disebut sebagai narasi.
Studi Islam memiliki bahan yang sangat kaya dengan men-
jadikan kisah-kisah yang naratif maupun mitos ini sebagai ob-
jek kajiannya. Kajian tentang kisah-kisah bisa bersumber dari
Al-Quran, hadis nabi, kitab-kitab sirah yang tertulis, maupun
kisah-kisah yang hanya ditransmisi secara oral dari mulut ke
mulut, dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Dimensi Doktrin dan Filosofis
Tiang penyangga dimensi naratif adalah dimensi doktrin
atau ajaran. Dalam banyak peristiwa, ajaran-ajaran memainkan
peran penting dalam keseluruhan agama-agama, sebagian kare-
na cepat atau lambat keimanan harus beradaptasi dengan reali-
tas sosial dan dengan fakta bahwa kebanyakan kepemimpinan

Ruang Lingkup Objek Kajian Studi Islam 31


agama dipegang oleh mereka yang terpelajar dan berusaha men-
cari dasar-dasar intelektual/filosofis sebagai basis dari iman.
Wajar terjadi dalam sejarah agama-agama kecenderungan
mementingkan kitab suci dan doktrin. Ini tidak mengherankan
karena banyak pengetahuan yang kita miliki tentang agama-
agama terdahulu berasal dari dokumen-dokumen keagamaan
yang dipelajari oleh kaum elite mereka.
Dalam konteks Islam, dimensi ajaran tentu saja sangat
mudah ditemukan dalam dua sumber utama tertulisnya, yaitu
Al-Quran dan Hadis. Di balik ajaran-ajaran itu para pemeluk
Islam dan bahkan para pengkaji Islam pun dapat menemukan
muatan-muatan filosofis dari agama/Islam. Dalam haji, kita
jumpai ajaran tentang rukun, kewajiban dan larangan di dalam-
nya. Ajaran tentang ihram (berpakaian putih-putih) selama
melaksanakan haji atau umrah, secara filosofis mengandung
pesan egalitarianisme, kesetaraan manusia di hadapan Allah.
Tawaf penuh dengan muatan filosofis bahwa beribadah bukan
semata menciptakan harmoni dengan Tuhan Allah di mana
Kabah menjadi pusat, bahkan juga melukiskan harmoni dalam
makrokosmos di mana selalu ada benda-benda yang menjadi
satelit dan mengelilingi pusatnya.
Studi Islam dapat membuat salah satu fokus perhatiannya
pada dimensi ajaran dan filosofis dari Islam itu sendiri. Kajian-
kajian bisa menitikberatkan pada ajaran-ajaran di satu sisi, dan
ada pula yang menekankan pada dimensi filosofis dalam Islam
yang tak kurang-kurangnya terus digali oleh para mahasiswa,
dosen, dan pembelajar lainnya.
Dimensi Etika dan Hukum
Dimensi ajaran dan narasi berpengaruh pada nilai-nilai dari
suatu tradisi dengan cara membentuk pandangan dunia dan

32 Zakiyuddin Baidhawy
menjawab persoalan tentang pembebasan dan penyelamatan
utama. Hukum terkait dengan sumber yang melahirkannya
yang disebut sebagai dimensi etika dari suatu agama. Dalam
Budha misalnya, terdapat lima kebenaran utama yang mengikat
secara universal, yang bersamaan dengan seperangkat aturan
lainnya mengendalikan kehidupan para rahib dan pendeta dan
komunitas biara. Dalam Yahudi terdapat 10 perintah Tuhan,
bahkan lebih dari 600 aturan yang diturunkan oleh Tuhan
kepada komunitas mereka.
Dalam konteks Islam, kita mengenal kehidupan yang di-
pandu oleh sistem hukum yang disebut syariah. Dimensi ini
membentuk masyarakat baik sebagai masyarakat keagamaan
maupun masyarakat politik, sekaligus kehidupan moral indivi-
dual yang menjelaskan kewajiban beribadah salat lima waktu
sehari semalam, memberi makan fakir miskin dan zakat, dan
seterusnya.
Tradisi yang lebih kurang terkait dengan masalah hukum ini
adalah etika. Misalnya sikap etis dalam agama Kristen adalah
cinta. Sumber cinta bukan hanya perintah Yesus kepada para
pengikutnya untuk mencintai Tuhan dan para tetangganya,
ia juga bersumber dari kisah tentang Yesus itu sendiri yang
memberikan cintanya kepada umat manusia.
Studi Islam dapat mengkaji baik dimensi hukum maupun
etika ini. Kajian-kajian mengenai hukum Islam tentu saja sangat
kaya, karena kekayaan pemikiran hukum Islam merentang da-
lam bentuk berbagai mazhab, seperti empat mazhab terkenal,
yakni Syafii, Maliki, Hanbali dan Hanafi. Meskipun harus diakui
bahwa kajian tentang etika Islam terbilang kurang berkembang
pada masa modern dan kontemporer. Beberapa kajian etika Islam
dapat disebut di sini adalah oleh Majid Khadduri (1984) dan

Ruang Lingkup Objek Kajian Studi Islam 33


Majid Fakhry (1991). Yang pertama mengkaji teologi keadilan,
dan yang terakhir menstudi teori-teori etika dalam Islam.
Dimensi Sosial dan Institusional
Dimensi-dimensi yang sudah dipaparkan di muka ritual,
pengalaman, narasi, doktrin dan etika, merupakan dimensi-di-
mensi yang abstrak tanpa memiliki perwujudannya dalam ben-
tuk eksternal. Dimensi sosial dan institusional bicara tentang
manifestasi eksternal dari agama. Setiap gerakan keagamaan
terbentuk dalam kelompok pemeluk yang seringkali diorganisir
secara formal seperti gereja, sangha atau ummah. Untuk mema-
hami agama kita perlu melihat bagaimana agama itu bekerja di
kalangan pemeluknya. Inilah alasan mengapa diperlukan suatu
alat untuk menyelidiki agama, yakni suatu disiplin yang dikenal
sebagai sosiologi agama. Kadang-kadang, aspek sosial dari suatu
pandangan dunia identik dengan masyarakat itu sendiri, yang
dalam bentuk terkecil adalah suku misalnya. Di sana terdapat
berbagai relasi antara agama-agama formal dan masyarakat luas:
suatu keimanan mungkin menjadi agama resmi, atau ia hanya
menjadi satu denominasi saja, atau mungkin bisa mengasing-
kan diri dari kehidupan sosial seperti sekte.
Dalam Studi Islam, dimensi-dimensi sosial, seperti penge-
lompokkan keagamaan Syiah dan Sunni, organisasi sosial-
keagamaan ala Muhammadiyah, NU, Ahmadiyah, Persis, dan
sebagainya, bisa menjadi bahan kajian yang menarik. Dalam ka-
jian atas dimensi ini juga bisa diungkap bagaimana peran orang-
orang karismatik, orang-orang suci seperti guru, wali, mursyid,
dan mistikus sufi dalam memengaruhi dan mengendalikan an-
tusiasme kehidupan jamaahnya.

34 Zakiyuddin Baidhawy
Dimensi Material
Dimensi material ialah segala manifestasi agama yang
bersifat kebendaan, seperti bangunan-bangunan peribadatan
(masjid, pura, wihara, klenteng, sinagog), tempat-tempat suci,
pekerjaan tangan atau seni keagamaan, dan kreasi-kreasi material
lainnya. Simbol-simbol keagamaan seperti salib, bulan bintang,
dan sebagainya, juga termasuk dimensi material.
Studi Islam dapat mengkaji aspek material dalam agama Is-
lam. Ketika salat, kita menjumpai benda-benda yang dipergu-
nakan dalam peribadatan ini, mulai dari sajadah, peci, muke-
nah, tasbih, masjid, mimbar. Ketika salat, Muslim menghadap
Kabah sebagai kiblat. Ketika haji, Muslim mengelilingi Kabah,
mengusap hajar aswad, di dalamnya juga ada hijr Ismail, mas-
jid haramain, makam nabi Muhammad dan Ibrahim, dan seba-
gainya. Semua itu adalah dimensi kebendaan yang digunakan
dalam peribadatan dan ritual-ritual lainnya. Benda-benda ke-
agamaan yang dipandang suci bukan semata menjadi objek ka-
jian ilmiah, bahkan seringkali menjadi objek ziarah atau wisata
agama bagi para pemeluknya. Bahkan kita juga menjumpai satu
benda keagamaan yang dianggap suci oleh beberapa pemeluk
agama sekaligus, seperti Masjid al-Aqsa yang dianggap suci dan
menjadi kiblat bagi kaum Yahudi, Nasrani dan Muslim.

C. Cara Beragama
Agama pada hakikatnya adalah jalan menuju Tuhan. Cara-
cara yang ditempuh setiap pemeluk agama dalam pengembara-
annya menuju Tuhan bisa berbeda-beda satu dengan yang lain,
sesuai dengan pemahaman, penghayatan, dan pengamalannya
masing-masing. Setiap orang membutuhkan cara beragama (be-

Ruang Lingkup Objek Kajian Studi Islam 35


ing religious) atau bentuk penghayatan yang selaras dengan ke-
peribadiannya dan situasi dalam kehidupan.
Dale Cannon (2002) menjelaskan tentang enam cara
beragama yang dapat dijumpai hampir di semua agama-agama
yang hidup di dunia, tak terkecuali Islam. Enam cara beragama
itu adalah sebagai berikut: Pertama, jalan menuju Tuhan melalui
pelaksanaan kewajiban tanpa pamrih, termasuk sejumlah
ritual dan perbuatan baik. Cara beragama semacam ini disebut
juga cara perbuatan benar (way of right action). Tujuannya ialah
memenuhi peran dalam hidup ini sebagai sebuah kemestian
Ilahi, menunaikan semuanya dengan kesadaran bahwa peran
seseorang telah ditetapkan oleh Tuhan sejak zaman azali.
Cara beragama ini dalam konteks Islam memusatkan per-
hatian pada perbuatan dan tingkah laku yang benar. Itulah etika
atau akhlak, baik yang sifatnya individual maupun kolektif. Ia
mencakup prinsip-prinsip moral yang mendasar, aturan-aturan
kelembagaan dan kewajiban-kewajiban khusus.
Kedua, jalan menuju Tuhan melalui pemujaan dan ketaatan.
Ini biasa disebut cara ketaatan (way of devotion). Tujuan ketaatan
adalah menjadikan perasaan seseorang terbakar oleh cinta
kepada Tuhan (mahabbah) semata, meniadakan semua perasaan
yang lain dalam merespons karunia-Nya yang penuh kasih dan
sayang.
Ketiga, jalan menuju Tuhan melalui disiplin ruhani dan
asketik yang dirancang untuk menarik keluar seseorang dari
kesadaran duniawi (isolasi diri dari dunia) yang berpusat pada
ego, menuju ke subjek dalam jiwa yang tak terbatas dan Ilahi.
Inilah yang disebut sebagai cara pencarian mistik (way of mystical
quest). Tujuan dari cara beragama ini ialah kesatuan mistik antara
Tuhan dan hamba-Nya.

36 Zakiyuddin Baidhawy
Dalam Islam, cara pencarian mistik dikenal dengan tradisi
tasawuf dan tarekat. Para mistikus atau sufi berupaya melalui
disiplin mujahadah melampaui maqam-maqam zuhud dan
zikir untuk meraih dan merasakan hakikat Yang Maha Mutlak,
Allah swt. Untuk mencapai ini para pencari (salik) biasanya
membutuhkan bimbingan spirtual dari guru, wali, mursyid atau
qutub.
Keempat, jalan menuju Tuhan melalui kegiatan rasional,
argumentatif, dan pemahaman intelektual. Cara beragama ini
bertujuan untuk meraih perubahan pandangan hidup menuju
dasar mutlak segala sesuatu; supaya akal manusia mencapai
perspektif dan pengetahuan akal absolut. Cara beragama ini
disebut cara penelitian akal (way of reasoned inquiry).
Dalam sejarah Islam, kita menjumpai ada sebagian indivi-
du dan kelompok Muslim yang mementingkan upaya pencarian
petunjuk-petunjuk untuk memahami masalah-masalah kognitif
kehidupan, bayang-bayang argumentasi rasional dan pandangan
dunia yang komprehensif serta sistematik sebagai sarana menuju
Tuhan. Individu ataupun kelompok semacam ini dalam lintasan
sejarah Islam dikenal dengan kelompok Mutazilah dan Qada-
riah misalnya. Juga para filosof yang mengedepankan penelitian
intelektual untuk memahami fenomena kehidupan.
Kelima, jalan menuju Tuhan melalui partisipasi dalam pelak-
sanaan ritual-ritual yang telah ditetapkan (ibadah mahdah, me-
minjam istilah dalam Islam), yang menjanjikan tata tertib dan
vitalitas dengan mengantarkan seseorang masuk ke dalam pola-
pola Ilahiah yang orisinal dari kehidupan yang penuh makna
melalui sakramen. Ini disebut sebagai cara ritus suci (way of sacred
rite).

Ruang Lingkup Objek Kajian Studi Islam 37


Ritus suci dalam Islam adalah semua bentuk ibadah mahdah
yang telah ditetapkan cara-caranya, waktu-waktunya, maupun
tempat-tempatnya. Dalam ritus suci ini juga termasuk ritus
peralihan (rites de passage) seperti upacara kelahiran, aqiqah,
pernikahan, dan kematian; upacara-upacara peneguhan dan
pembatalan, seperti pernikahan, perceraian, adopsi, kontrak,
persetujuan; dan ritual-ritual suci yang mengakui hal-hal yang
suci dan menjaganya agar terpisah dari yang profan.
Keenam, jalan menuju Tuhan dengan membuka hubungan
ke sumber-sumber supranatural dari imajinasi dan kekuatan,
seperti peminjaman kekuatan ilahiah (kesurupan), lupa daratan,
meracau, dan pengembaraan spiritual. Ini disebut sebagai cara
mediasi samanik (way of shamanic mediation).
Dalam konteks Islam, kita bisa menyaksikan bagaimana
sebagian orang memanfaatkan perantara orang-orang suci
(shaman: wali, mursyid, dukun, guru) untuk menyampaikan
hajatnya kepada Tuhan. Ini yang dikenal dengan tawasul.
Termasuk dalam tradisi ini pula ialah orang-orang yang
mempergunakan kekuatan supranatural (melalui mantra, aji-
aji, jimat, doa-doa tertentu) untuk meraih tujuan-tujuan yang
sifatnya natural.
Enam cara beragama di atas, dalam komunitas Islam dapat
menjadi objek kajian Studi Islam. Ada kemungkinan melalui
penelitian dan kajian lebih lanjut dan serius, akan dijumpai
cara beragama lain yang belum disebutkan dalam kajian Dale
Cannon di atas. Ini tentu saja memberikan manfaat besar bagi
pemahaman kita tentang perbedaan dan keanekaragaman cara
berislam di kalangan Muslim, dan menjadi bahan perbandingan
pula dengan cara beragama non-Muslim dalam kerangka dialog
antar agama.[]

38 Zakiyuddin Baidhawy
BAB 3

SEJARAH PERKEMBANGAN
STUDI ISLAM

S tudi Islam mulai muncul pada abad ke-9 di Irak, ketika


ilmu-ilmu agama Islam mulai memperoleh bentuknya dan
berkembang di dalam sekolah-sekolah hingga terbentuknya
tradisi literer di kawasan Arab masa pertengahan. Studi Islam
bukan hanya berjalan di dalam peradaban Islam itu sendiri
bahkan juga menjadi fokus diskusi di negara-negara Barat.
Bahkan, sebelum kemunculan Islam pada abad ke-7, orang-
orang Arab sudah dikenal oleh bangsa Israel dan Yunani Kuno
serta para pendiri gereja. Pandangan orang-orang Eropa tentang
Islam sepanjang masa pertengahan diambil dari konstruk Injili
dan teologis. Mitologi, teologi, dan missionarisme menyediakan
formulasi utama tentang apa yang diketahui gereja mengenai
Muslim sekaligus alasan-asalan bagi perkembangan wacana
resmi tentang Islam. Secara mitologis, Muslim dipandang

Sejarah Perkembangan Studi Islam 39


sebagai orang Arab, Sarasen, yang merupakan keturunan Ibrahim
melalui Siti Hajar dan putranya Ismail.
Richard C. Martin dengan gamblang menjelaskan fase-fase
perkembangan Studi Islam, antara lain sebagai berikut:
Fase Pertama (800-1100), masa di mana banyak bermunculan
polemik teologis antara Muslim, Kristen dan Yahudi. Mitos
dan legenda Yahudi-Kristen menyebutkan kemunculan kaum
monoteistik Arab non-Yahudi dan Kristen pada abad ke-7.
Polemik teologis sering terjadi dalam ruang publik atau dalam
audiensi Khalifah atau pejabat remi negara, yang dilakukan oleh
para mutakallimun. Kaum Yahudi dan Kristen sebagai kelompok
atau ahlu zimmi berpartisipasi dalam ritual-ritual sosial diskur-
sus dan perdebatan publik dengan kaum Muslim. Ini semua
membutuhkan banyak pengetahuan tentang ajaran-ajaran Is-
lam, dengan tujuan hanya untuk menolak ajaran tersebut.
Orang-orang Yahudi dan Kristen Eropa berupaya untuk
mengkonstruk pemahaman mereka sendiri tentang Islam.
Karena kurangnya pengalaman kerjasama dan perjumpaan di
kalangan mereka ketika hidup di bawah kekuasaan Islam di
Timur, Gereja Romawi memandang Islam sebagai yang lain,
asing, musuh Kristen yang harus dikonversi melalui kampanye
militer dan missionaris.
Selama empat abad kemudian hingga awal Perang Salib,
orang-orang Eropa hidup dalam kebodohan tentang agama dan
penduduk yang hidup bersebelah dengan mereka di Spanyol.
Suku-suku Jerman, orang Slavia, Magyar, dan gerakan-gerakan
bidah seperti Manicheanisme, melihat Islam sebagai salah satu
musuh yang mengancam kerajaan Kristen. Sejak awal Perang
Salib hingga abad ke-11, nama Muhammad dikenal negatif di
kalangan Eropa. Tafsir-tafsir keagamaan Kristen mengidentikkan

40 Zakiyuddin Baidhawy
bangsa Sarasen dengan bangsa Ismail, keturunan Ibrahim dari
Hajar.
Fase Perang Salib dan Kesarjanaan Cluny (1100-1500). Studi
Islam untuk tujuan-tujuan misionaris mulai pada abad ke-12
pada masa Peter Agung (1094-1156), seorang Biarawan Cluny di
Prancis. Ini adalah masa awal Perang Salib sekaligus reformasi
besar kehidupan biara, yang kemudian menjadi lembaga utama
pendidikan Kristen. Para pasukan Perang Salib dan rahib-rahib
yang menerjemahkan Al-Quran dan teks-teks Islam berperan
sebagai pihak-pihak yang menyerang peradaban Islam, yang
membentuk batas-batas di sebelah selatan dan timur dari
Kerajaan Kristen Barat. Pada masa ini, Peter Agung membentuk
komisi penerjemahan dan penafsiran teks-teks Islam berbahasa
Arab. Banyak karya mereka yang memahami Muhammad
sebagai dewa bagi kaum Muslim, penyuka perempuan, penipu,
orang Kristen yang murtad, ahli ilmu sihir, dan seterusnya.
Korpus Cluny dikenal sebagai permulaan kanon kesarjanaan
Barat tentang Islam. Peter juga memerintahkan para penerjemah
untuk menerjemahkan Al-Quran, hadis, dan sirah Muhammad,
serta teks-teks Arab lainnya.
Dalam surat-suratnya kepada para pemimpin Perang Salib
I, Peter menjelaskan bahwa misi gereja adalah kepeduliannya
yang utama dan bahwa Kristen dapat dan harus menang atas
Islam. Namun demikian, ia juga kritis atas kesalahan fatal
pandangan para penulis Kristen tentang Muhammad dan Al-
Quran, dan kritis atas kampanye dan cemooh militer yang
mengatasnamakan Kristen. Peter berusaha menyediakan bagi
orang Eropa pandangan-pandangan otentik tentang teks-teks
dari ajaran Islam.

Sejarah Perkembangan Studi Islam 41


Terjemahan paling berpengaruh adalah Apologi al-Kindi.
Karya ini beredar dan populer di kalangan sarjana Kristen pada
masa pertengahan karena karya ini menyediakan argumentasi
menentang Islam. Serangan-serangan mereka ditujukan pada
kenabian Muhammad, Al-Quran, dan jihad. Tiga tema besar ini
membentuk topik-topik utama kesarjanaan Kristen pada masa
pertengahan. Akhir abad 12 koleksi karya Ibnu Sina muncul
dan beredar di Eropa. Sejalan dengan banyak terjemahan karya-
karya filsafat dan keilmuan dari Arab ke dalam bahasa Latin,
para sarjana Eropa mulai melihat dunia Muslim saat itu sebagai
peradaban kaum terpelajar dan filosof, sangat berlawanan de-
ngan pandangan negatif tentang Muhammad dan praktik-prak-
tik keagamaan Islam. Keberhasilan militer dan diplomasi Sala-
huddin al-Ayyubi (1138-1193) terkenal dalam legenda Eropa.
Fase Reformasi (1500-1650). Sejalan dengan Eropa memasuki
periode perubahan keagamaan, politik dan intelektual pada
abad ke-16, pengetahuan dan Studi Islam juga terpengaruh.
Pada abad ke-14 dan 15, Eropa Timur mengganti Spanyol dan
Palestina sebagai front utama antara Kerajaan Kristen Romawi
Barat dan Islam. Pada pertempuran Kosovo pada 1389, Ottoman
mengontrol Balkan Barat. Pada 1454, Ottoman mengambil alih
Constantinopel. Banyak Kristen Ortodoks di wilayah taklukan
ini masuk ke dalam militer dan pemerintahan Ottoman, yang
menciptakan pluralisme keagamaan yang didominasi Islam.
Gereja-gereja Ortodoks dilindungi oleh hukum Islam dan
Ottoman mengakui hirarki dan tidak ikut campur dalam urusan-
rusuan lokal gereja, inilah yang membuat Ottoman memperoleh
dukungan dari gereja.
Pada fase ini kaum reformis memandang Sarasen Turki,
bersama-sama Gereja Roma sebagai anti-Kristus. Bibliande

42 Zakiyuddin Baidhawy
menganggap Muhammad sebagai kepala dan Islam sebagai
tubuh anti-Kristus. Kaum Protestan membandingkan Roma dan
Islam, melihat Islam sebagai bidah, bukan sebagai agama lain
yang mempunyai haknya sendiri. Jadi, patut dicatat bahwa kaum
reformis telah menghasilkan kesarjanaan tentang Islam yang
tidak berbeda dari masa sebelumnya. Pada abad ke-16, edisi-
edisi Al-Quran dan teks-teks Islam lainnya yang diterbitkan
di Eropa cenderung mengikuti korpus Cluny pada empat abad
sebelumnya.
Fase Penemuan dan Pencerahan (1650-1900). Kesarjanaan
Eropa yang baru dan orisinal tentang Islam berkembang pada
akhir abad ke-16 dan 17 karena beberapa alasan. Pertama, realitas
politik baru agresi Ottoman. Ancaman Ottoman terhadap Eropa
tidak berkurang hingga abad ke-18, ketika kerajaan Ottoman
mengalami kemunduran dan keseimbangan kekuasaan bergerak
ke Eropa. Faktor lain yang mendorong bangkitnya kesadaran
Eropa tentang dunia Islam adalah tumbuhnya pelayaran dan
ekspansi perdagangan melampaui Mediterania. Ekspansi pasar
dan militer merupakan awal dari kolonialisme dan imperialisme.
Eropa membuat pakta-pakta dengan negara-negara Muslim,
misalnya Prancis dan Ottoman untuk melawan bangsa Hapsburg.
Di sisi lain, alasan Eropa mempelajari Islam tidak lain adalah
untuk membatasi perdebatan teologis seputar Al-Quran, nabi,
dan penaklukan Muslim awal.
Secara umum, agama mulai dipandang dengan cara berbeda
pada masa Pencerahan di Eropa. Pengakuan atas pemeluk agama
lain yang tidak lagi dianggap sebagai bidah oleh Kristen meru-
pakan suatu aspek penting dari konsep baru tentang agama. Teori
baru tentang agama-agama manusia mengundang metode baru
untuk mengkaji Islam dan agama-agama lain yang melampaui

Sejarah Perkembangan Studi Islam 43


perdebatan teologis meskipun tidak menghilangkannya. Pada
akhir abad ke-16, kajian bahasa Arab diperkenalkan di Collge
de France dan pada 1635 diajarkan di Leiden dan Cambridge
serta Oxford di Inggris. Karya-karya sarjana ahli bahasa Arab di
universitas-universitas ini merupakan kesarjanaan Eropa perta-
ma yang luas dan serius sejak korpus Cluny pada abad ke-12.
Akibat dari perkembangan ini ialah perubahan cara pandang
tentang kehidupan dan misi Nabi Muhammad. Pada akhir abad
ke-18, beberapa sarjana melihat Muhammad sebagai seorang
dai agama yang lebih alami dan rasional daripada Kristen. Seba-
gian lainnya masih memandang Muhammad sebagai ekstremis
seksual dan politik. Minat mengkaji kehidupan Muhammad dan
aspek-aspek lain dari sejarah Islam telah melahirkan para spesi-
alis. Edmund Gibbon (1737-1794) menulis bab khusus tentang
kehidupan Muhammad dan tahap-tahap sejarah Islam awal. Ia
menyajikan Muhammad sebagai manusia spiritual jenius yang
dalam pengasingannya (khalwat) di Mekkah, menerima wahyu
suci monotheisme. Setelah hijrah dari Mekkah ke Madinah, Is-
lam mulai memperoleh kemenangan dan kekuasaan militer.
Namun, secara keseluruhan Gibbon menyajikan Muhammad
secara positif. Karenanya, abad ke-18 ini diakhiri dengan suatu
proyek kajian Islam yang lebih menyeluruh daripada korpus
Cluny. Pada 1798, Napoleon menginvasi Mesir dengan kekua-
tan militer, yang dibarengi oleh tim besar sarjana yang ditugasi
untuk mengkaji dan mendokumentasikan bahasa, kebudayaan,
dan agama penduduk Mesir. Hubungan yang tampak antara
sarana-sarana ilmiah dan tujuan-tujuan politik adalah untuk
menggantikan tujuan-tujuan Injili dari Studi Islam di Eropa.
Abad ke-19 ditandai dengan semakin pudarnya isolasi Timur
Tengah dan bagian dunia Islam lainnya. Dunia Islam mudah

44 Zakiyuddin Baidhawy
dikunjungi dan dihubungi melalui berbagai sarana komuni-
kasi dan transportasi. Banyak kesempatan bagi para sarjana,
misionaris, pengusaha dan wisatawan Eropa berjumpa dengan
masyarakat Islam saat itu. Kesempatan untuk mendiskusikan
Islam dengan Muslim masih sering terjadi dalam bentuk
perdebatan antara agamawan dan pemimpin Kristen dan Muslim,
namun istilah polemik telah berubah, yakni merefleksikan ide-
ide baru tentang agama dan evolusi penemuan ilmiah dalam
ilmu-ilmu kemanusiaan.
Satu perkembangan menarik bagi Studi Islam ialah muncul-
nya historisisme, suatu gagasan bahwa peristiwa seperti kemun-
culan agama baru dapat dijelaskan sebagai suatu peristiwa yang
tergantung dengan peristiwa-peristiwa sebelumnya. Implikasi-
nya adalah penolakan atas orisinalitas mutlak terhadap femone-
ma sejarah yang dijelaskan. Implikasi lainnya ialah bahwa hanya
kaum orientalis, ahli bahasa Arab yang mengkhususkan kajian
teks-teks Islam, yang dianggap sebagai memiliki keterampilan
ilmiah untuk mengkaji Islam. Sejarah Islam, agama, sains, seni,
dan topik-topik lainnya menjadi domain yang hampir eksklusif
milik orientalis daripada sejarawan atau spesialis dalam bidang
agama, sains, dan seni.
Bagi kebanyakan sarjana Barat sejak abad ke-19 ini, otentisi-
tas agama harus diuji dan dinilai dalam hubungannya dengan
lingkungan intelektual dan kulturalnya sendiri. Dalam sebuah
kuliah tentang Nabi Muhammad, Thomas Carlyle misalnya, ber-
pendapat bahwa Muhammad adalah seorang nabi yang otentik
menurut sudut pandangnya sendiri, meskipun Carlyle sendiri
kurang jujur terhadap analisisnya mengenai Al-Quran dan res-
pons Muslim terhadap resitasi Al-Quran. Kuliahnya kemudian
diterbitkan dengan judul The Hero as Prophet (1841).

Sejarah Perkembangan Studi Islam 45


Pembahasan tentang manusia sebagai makhluk beragama
secara naluriah telah memberikan pengaruh atas studi-studi
agama dan atas Studi Islam. Hampir seluruh masa pertengah-
an abad ke-19 dan awal abad ke-20 menyaksikan upaya-upaya
untuk membangun sains tentang studi agama (Religionswissen-
schaft). Karakteristik Studi Agama ini tergantung pada filologi
sebagai metode utama dalam memahami peradaban lain, per-
adaban kuno utamanya. Friedrich Max Mller (18231900) ya-
kin bahwa siapa pun belum benar-benar memahami agama,
jika ia hanya mengetahui agamanya sendiri, yang dikenal de-
ngan ungkapan Inggrisnya he who knows one, knows none. Is-
lam dapat dan harus dikaji sebagai agama menurut karakternya
sendiri menjadi mungkin dilakukan oleh sains filologi. Mller
mensupervisi the Sacred Books of the East Series pada 1870-an,
yang 50 volumenya merupakan teks-teks dan terjemahan kitab-
kitab suci Asia ke dalam bahasa Inggris. Volume 6 dan 9 memuat
terjemahan Al-Quran oleh E.H. Palmer. Dengan menempat-
kan edisi Al-Quran dalam seri teks tentang agama-agama Asia,
kaum orientalis berhubungan dengan usaha-usaha yang telah
dilakukan oleh berbagai universitas di Eropa untuk menemukan
metode ilmiah mengkaji agama-agama.

A. Studi Islam dan Orientalisme


Studi Islam sebagai sebuah disiplin, sebagaimana banyak disi-
plin keilmuan di universitas modern, juga muncul pada abad
19. Disiplin ini disebut Orientalisme. Humanisme klasik de-
ngan minatnya terhadap penemuan khazanah capaian-capaian
manusia pada masa lampau melalui catatan teks, sejalan dengan
bergulirnya semangat Pencerahan, secara mendalam memenga-
ruhi orientalisme. Filologi abad ke-19 lebih diwarnai dengan

46 Zakiyuddin Baidhawy
pandangan dunia Romantisisme dan pencarian terhadap apa
yang berharga pada masa lalu dan dunia liyan yang eksotik.
Karya manuskrip berbahasa Arab banyak dikaji oleh
utamanya para sarjana yang dikenal luas dalam bidang
studi Injili dan filologi klasik. Islam masa pertengahan telah
meninggalkan sejumlah khazanah karya-karya tertulis yang
sangat kaya dalam bentuk manuskrip di antara peradaban-
peradaban besar dunia lainnya. Ribuan manuskrip dalam
koleksi di seluruh Timur Tengah, Eropa dan Amerika Utara
disunting dan dikaji secara kritis dan serius. Tugas menemukan
tradisi literer Islam kuno yang menghasilkan penerbitan-
penerbitan teks-teks kuno yang masih dalam bentuk manuskrip
merupakan capaian penting pada abad ke-19, abad orientalis.
Pendidikan kesarjanaan di dunia Muslim sekaligus di Eropa dan
Amerika Utara telah menghasilkan karya penting yang secara
keseluruhan masih berkembang hingga pertengahan terakhir
abad ke-20. Sebagaimana dalam kritik Injili dan karya sejarah
tentang asal-usul dan periode awal Agama Yahudi dan Kristen,
kaum orientalis telah mencoba merekonstruksi pandangan
kritis mengenai asal-usul dan kebangkitan Islam. Para sejarawan
abad ke-19 cenderung melihat tujuan mereka ialah menemukan
dan merekonstruksi suatu gambaran tentang masa lalu secara
akurat.
Sebagian sejarawan Studi Islam mencatat bahwa kaum ori-
entalis Barat dan para sarjana Muslim ortodoks cenderung mem-
perlihatkan konservatisme dalam pendekatan mereka terhadap
historiografi. Orientalisme menerima secara luas pandangan
tradisional tentang kehidupan Muhammad, artikulasi Al-Quran
pada periode Mekkah dan Madinah, dan pembentukan awal
komunitas Muslim. Sementara perdebatan-perdebatan tentang

Sejarah Perkembangan Studi Islam 47


masa, asal-usul yang akurat, otentisitas banyak hadis yang disan-
darkan kepada Muhammad telah diperdebatkan di antara kaum
orientalis dan para sarjana Muslim modern, kritik radikal atas
sumber-sumber Al-Quran dan teks-teks Islam awal lainnya telah
diupayakan bukan oleh para sarjana Muslim dan sangat sedikit
oleh sarjana Barat.
Meskipun ada semacam konservatisme dalam historiografi
di kalangan orientalis dan para sarjana Muslim tradisional, ada
kritik besar yang ditujukan kepada orientalisme pada abad ke-20
dalam karya Edward Said Orientalism (1979). Salah satu kritik
paling penting terhadap orientalisme adalah bahwa disiplin ini
telah melayani desain kepentingan imperial atas kebanyakan du-
nia Islam: dari masa invasi Napoleon ke Mesir hingga muncul-
nya negara-negara Muslim merdeka, orientalisme dibebani de-
ngan ambisi-ambisi ekonomi dan politik bangsa-bangsa Eropa.
Faktor lain yang mempunyai kecenderungan lebih luas dalam
kesarjanaan posmodern adalah mendekonstruksi sains dan di-
siplin yang dilahirkan oleh Pencerahan. Akibatnya, hingga akhir
abad ke-20, banyak sarjana Barat memilih mengganti label de-
partemen akademik dari Oriental Studies menjadi label Islamic
Studies misalnya, yang dirasa kurang bersifat eurosentris.
Perkembangan keilmuan yang merupakan tanda bagi abad
ke-20 di Amerika Serikat sejak Perang Dunia II adalah studi-studi
kawasan (area studies). Melalui bantuan pemerintahan Amerika
Serikat atas lembaga-lembaga pendidikan tinggi terpilih, tujuan
dari studi-studi kawasan ini ialah melatih orang-orang Amerika
dalam bahasa dan kebudayaan masyarakat-masyarakat non-
Amerika. Studi Islam banyak mengkaji utamanya tentang Timur
Tengah pada pusat-pusat studi kawasan, bahkan juga pada pusat-
pusat studi Asia Selatan dan Asia Tenggara.

48 Zakiyuddin Baidhawy
Sebagian sarjana memandang bahwa orientalisme meru-
pakan suatu kerangka berpikir, sebentuk wacana keilmuan ten-
tang realitas timur Islam yang dikonstruksi di bawah kesadaran
Barat sejak masa-masa kolonialisme Eropa. Orientalisme
mengemban tugas berat membaca dan menafsirkan teks-teks
Islam. Ia bersifat politis sekaligus romantis. Teks-teks yang pa-
ling banyak diminati oleh kaum orientalisme adalah teks-teks
keagamaan dan kebudayaan Islam. Karenanya dapat dikatakan
bahwa kejatuhan orientalisme identik dengan mundurnya
kemampuan studi-studi linguistik tentang teks-teks keagamaan
dan kebudayaan lainnya yang dilakukan oleh para sarjana Barat.
Sebaliknya, Studi Kawasan lebih fokus kepada studi tentang
masyarakat-masyarakat Islam pada masa modern, khususnya
isu-isu kebijakan publik, sains politik, sains sosial, ekonomi dan
pembangunan, serta antropologi sosial. Studi tentang bahasa-
bahasa dan literatur Islam dilihat lebih sebagai sarana untuk
tujuan-tujuan yang lain, bukan tujuan-tujuan humanistik atau
tujuan keilmuan itu sendiri.
Pandangan lain tentang Studi Islam disuarakan oleh seba-
gian sarjana yang mengkritik kegagalan orientalisme dan stu-
di-studi kawasan. Para penganjur pandangan ini menyatakan
bahwa riset tentang Islam produksi pengetahuan tentangnya
merupakan suatu wilayah disiplin ilmiah, bukan pusat-pusat
yang diorganisir dan dibiayai oleh kepentingan-kepentingan
khusus di kalangan pemerintahan maupun agama-agama resmi.
Menurut pandangan ini, kualitas apa yang kita ketahui tentang
sejarah Islam harus dinilai oleh sejarawan akademis dan bukan
oleh para pengkaji Arab; geografi kebudayaan penduduk Mus-
lim harus dilakukan oleh para sarjana geografer, sejarah sains
Islam diuji oleh sejarawan sains, dan seterusnya. Pada abad

Sejarah Perkembangan Studi Islam 49


ke-20, pandangan ini nampaknya mengundang domestikasi
Studi Islam di dalam kerangka universitas modern, daripada
mengisolasi diri sebagai subjek khusus yang tidak begitu sesuai
bagi departemen-departemen dan disiplin-disiplin konvension-
al. Universitas-universitas modern terus terlibat dalam upaya
merekonstruksi pengetahuan ilmiah di bawah suatu disiplin.
Perkembangan mutakhir dalam mengkaji Islam menunjukkan
minat terhadap studi perbandingan dalam sejarah dunia, yang
diwakili oleh karya Marshall Hodgson The Venture of Islam (3 ji-
lid, 1974) dan menjadi tengara bagi arah Studi Islam pada abad
berikutnya. Semakin meningkatnya partisipasi para sarjana Mus-
lim dan kerjasama antara sarjana Muslim dan non-Muslim juga
penting dari aspek kecenderungan mutakhir dalam Studi Islam.
Karya-karya orientalis tradisional tentang Islam mendefi-
nisikan Islam sebagai korpus kepercayaan dan norma-norma
abstrak yang menentukan berbagai ruang yang menengarai
suatu kebudayaan. Karya Ira M. Lapidus A History of Islamic
Societies (1988) dan beberapa karta Bernard Lewis utamanya
The Political Language of Islam (1988) merupakan contoh karya-
karya yang telah diterjemahkan secara luas ke dalam seluruh
bahasa Eropa, dan mengemukakan visi tertentu dan penggunaan
istilah Islam. Kita tidak hanya perlu memikirkan judul-judul
yang dipilih oleh para Islamisis utama lainnya, seperti Gustave
von Grunebaum dengan karya-karyanya antara lain Modern
Islam: The Search for Cultural Identity (1962), Medieval Islam:
A Study in Cultural Orientation (1946), and Classical Islam: A
History, 6001258 (1970) untuk mulai terlibat dalam wacana
akademik tentang peradaban dan kebudayaan Islam. Karya-karya
ini menggambarkan penciptaan disiplin keilmuan yang secara
luas diterima oleh sarjana-sarjana orientalis tentang Islam: suatu

50 Zakiyuddin Baidhawy
studi tentang Islam dalam sejarah yang menyandarkan pada
kajian-kajian mengenai hukum Islam, sistem politik, dan seni
serta arsitektur Islam.
Dalam memperlakukan Islam, karya-karya ilmiah orientalis
sedikit atau bahkan tidak memberi perhatian intelektual sama
sekali dalam generalisasi berlebihan terhadap data-data tentang
Islam. Generalisasi semacam itu rupanya problematik karena
kebanyakan monograf fokus pada satu kebudayaan atau satu
aspek, teks, masa, atau pengarang. Istilah filsafat Islam yang
digunakan beberapa sejarawan termasuk figur-figur seperti Henry
Corbin, Majid Fakhry, dan Oliver Leaman, tidak menunjukkan
semacam perdebatan teoretik yang dihadapkan oleh filsafat
Kristen, suatu paham yang ditolak oleh mile Brhier pada
1930-an ketika tienne Gilson mencoba memperkenalkannya.
Judul-judul terkait dengan Islam yang telah disebutkan di
atas sama sekali tidak serius sebagaimana yang tampak dalam
kajian tentang agama Kristen. Wacana akademik tentang Studi
Islam sebagai dilakukan oleh para praktisi mutakhirnya, yaitu
para Islamisis, masih belum mampu menawarkan penjelasan
mengenai seberapa banyak bidang, teori, ruang budaya, disiplin,
dan konsep-konsep yang dapat dihubungkan dengan kata
tunggal Islam dan mengapa diskusi-diskusi yang berkembang
tetap bersifat satu dimensi tentang Islam.
Penjelasan standar yang muncul dalam perdebatan muta-
khir tentang pendekatan monolitik yang berdasarkan pada
studi-studi filologi melukiskan repetisi tentang dogma atau
penekanan pada teks-teks suci Islam. Sejauh Islam dianggap
sebagai tradisi keagamaan, metode filologi memiliki kekurang-
an terus diminimalisir atau ditolak oleh para penganjurnya di
kalangan Islamisis. Pada hakikatnya, filologi menolak seluruh

Sejarah Perkembangan Studi Islam 51


legenda, mitologi, dan materi-materi mitos. Bahkan setelah para
antropolog memandang mitos sebagai sumber yang kaya den-
gan informasi historis-psikologis, kaum orientalis tetap melihat
dan menulis sejarah secara linear, faktual dengan kronologis
yang ketat, yang membagi periode-periode sejarah menurut di-
nasti-dinasti politik yang berkesinambungan.
Karya-karya orientalis cenderung mengabaikan realitas
komunitas Muslim dengan membatasi diri mereka pada teks-
teks tertulis dan pada perbandingan peradaban dan budaya
politik Islam dengan Kristen. Mereka menganggap Islam
sebagai objek studi, topik wacana ilmiah, yang sama sekali tidak
berpartisipasi dalam tradisi Islam yang hidup, mempertahankan
alibi peneliti yang netral untuk menjaga jarak. Maka dalam
studi tentang hukum Islam misalnya, orientalis memperlakukan
perkembangan sejarah hukum sebagai penjelasan atas fakta-
fakta tentang Islam. Padahal hukum itu lebih jauh dapat
dipahami sebagai praktik daripada sekadar fakta yang tertuang
dalam teks-teks teoretik. Hukum adalah upaya di mana manusia
terlibat di dalamnya. Memahami suatu praktik menghendaki
partisipasi. Untuk memahami hukum Islam kita harus dibekali
pemahaman mengenai apa maknanya berpikir seperti seorang
Muslim yang terlibat di dalam pelaksanaan hukum Islam.
Tradisi orientalis menunjukkan keterbatasan kehendak untuk
melakukan hal semacam ini; ia hanya mencari aman. Mencari
aman semacam ini sering membawa pada kesalahan substantif,
karena penolakan mereka untuk mengakui kehadiran unsur-
unsur kebudayaan yang diremehkan oleh skema politik mereka
sendiri. Artinya, menggunakan cara pandang eksternal untuk
melihat hukum telah menciptakan penyimpangan pemahaman.
Hal ini mulai berubah pada akhir abad ke-20, dengan penekanan

52 Zakiyuddin Baidhawy
pada pengambilan keputusan yuridis sebagaimana ditekankan
dalam fatwa-fatwa, bahkan fondasi-fondasi disiplin yang integral
di dalamnya.
Satu dari sedikit sarjana yang berusaha mengartikulasikan
visi menyeluruh tentang Studi Islam dan agenda-agendanya ia-
lah Mohammed Arkoun. Ia mendiskusikan sistem yang implisit
dan eksplisit yang menggarisbawahi pemahaman tentang disi-
plin Studi Islam dalam arti dimensi kognitif tentang pengala-
man manusia lengkap dengan seluruh konteks sosialnya. Tujuan
Arkoun untuk menggaungkan pendekatan metodologis tertentu
yang ia pandang tidak dapat dipisahkan dari teori-teori episte-
mologis sehingga membuatnya mungkin untuk menyatukan Is-
lam dan kebudayaan-kebudayaan Muslim ke dalam teori kritis
global pengetahuan dan nilai.

B. Studi Islam sebagai Disiplin Mandiri


Pada awal abad ke-20, Studi Islam telah menjadi suatu disiplin
keilmuan mandiri selama dua dekade pertama dan seterusnya,
tak satupun wakil-wakil terkemuka dari disiplin baru berasal
dari kaum teolog Protestan. Disiplin baru ini mencari orientasi
dalam sejarah sains, dalam sosiologi Weberian yang fokus
pada peran sosial agama dalam sejarah sosial. Para wakilnya
mencari pertukaran dengan para spesialis di bidang ini. Kembali
kepada pernyataan Said: mereka tidak berminat membuat Islam
Timur Tengah sebagai kebudayaan asing yang harus dipelajari
seseorang dengan maksud untuk menguasainya. Ernst Troeltsh
(1865-1923) misalnya, memperbaiki pemahaman tentang
lingkaran kultural dan mencoba mendasarkan karya tentang
sejarah dunia pada hubungan antara berbagai lingkaran kultural
yang bermacam-macam. Ia mencatat banyak lingkaran kultural

Sejarah Perkembangan Studi Islam 53


yang sangat penting mencakup kebudayaan India, Cina, Mesir
masa Firaun, Asia Barat Islam, dan lingkaran Mediterania-
Eropa-Amerika. Masing-masing lingkaran ini memiliki sejarah
maknanya sendiri dan rasa bahasa dan tindakan yang secara
kultural diperantarai oleh yang lainnya: mereka yang tidak
memiliki lingkaran kultural tidak dapat memahami rasa bahasa
dan tindakan yang lahir dalam kebudayaan tersebut. Di antara
lingkaran-lingkaran kultural, lingkaran Mediterania-Eropa-Ame-
rika adalah satu-satunya lingkaran kultural yang dilengkapi
dengan kapasitas untuk terlibat dalam refleksi sejarah tentang
kebudayaan. Namun, para pendukungnya tidak memiliki akses
sama sekali kepada makna lingkaran-lingkaran kultural lainnya.
Oleh karena itu, mereka hanya mampu menulis sejarah diri me-
reka sendiri, karena objek penelitian sejarah hanya ada sejauh
keberadaan mereka secara bersama-sama yang dipersatukan oleh
kebudayaan dan makna, dan perkembangannya hanya ada sejauh
ada makna dan pikiran kultural bersama yang menjadi basisnya.
Maka Studi Islam pada dekade 2000-an mengalami pem-
batasan-pembatasan yang dilakukan oleh nalar saintifik Barat
(sebagaimana terlihat dalam filologi) ketika diterapkan untuk
kebudayaan-kebudayaan atau konsep-konsep asing di luar reali-
tas Eropa Kristen dan peradaban Barat sekuler. Disiplin Studi Is-
lam tetap hegemonik: ia selalu menekankan klasifikasi, kategori,
definisi, distingsi, konsep-konsep, dan teori-teori tentang kebu-
dayaan lain tanpa ketakutan akan kritik atau penolakan, kecuali
barangkali tentang landasan-landasan polemik atau ideologis.
Ini menjadi mungkin karena pada awal abad ke-21, dunia Mus-
lim yang menjadi objek dari penelitian Studi Islam memproduksi
pandangan konseptualnya sendiri tentang sejarah, kebudayaan,
dan agama sehingga akan menentang perspektif hegemonik

54 Zakiyuddin Baidhawy
yang inheren dalam Studi Islam dan memaksanya untuk meng-
akui penafsiran alternatif. Tulisan ilmiah tentang Goethe, Kant,
Cervantes, atau Dante menjadi rujukan bagi karya-karya ilmiah
dalam bahasa Jerman, Spanyol, dan Itali. Namun, ketika karya-
karya mereka diterjemahkan ke dalam bahasa Arab, Persia, atau
Turki, seringkali terlalu diabaikan. Dalam ungkapan yang lebih
buruk, katakanlah para sarjana Studi Islam telah membentuk
suatu kelompok tertutup; mereka membaca dan saling meng-
kritik karya satu dengan lainnya tanpa merasakan risiko dini-
lai oleh para peneliti dalam disiplin-disiplin keilmuan lainnya
yang teknik-teknik mereka harus digunakan untuk menganalisis
Islam. Dengan kata lain, faktor kunci dalam pendekatan multi-
disiplin yang berhasil adalah latar belakang pendidikan peneliti
sekaligus kemauan dan usahanya untuk mencari pandangan-
pandangan para koleganya yang dikenal karena perspektif-pers-
pektif mereka yang inovatif.

C. Studi Islam dan Oksidentalisme


Ketika Barat diserang, seperti pada peristiwa 11 September,
seringkali disumsikan bukan hanya Amerika, dalam arti Barat
sebagai Amerika Serikat. Ini terjadi diyakini karena kebijakan
luar negeri AS (imperialisme) dan kekuatan-kekuatan korporasi
(globalisasi) telah melahirkan banyak bom-bom bunuh diri dan
pejuang-pejuang suci atas Amerika yang telah memarjinalisasi
dan melakukan kekerasan terhadap jutaan penduduk yang ga-
gal memperoleh keuntungan dari tatanan dunia kapitalis. Bah-
kan, serangan itu juga dipercaya kaum konservatif, yang berpikir
bahwa radikalisme Islam, seperti komunisme pada dekade yang
lalu, sebagai serangan atas nilai-nilai Barat, pandangan hidup
orang Amerika.

Sejarah Perkembangan Studi Islam 55


Ada beberapa bukti menguatkan klaim tersebut. Jangkauan
mendunia dari Wall Street, Hollywood dan pasukan-pasukan
tentara Amerika mengundang kebencian. Dalam hal tertentu, in-
stitusi-institusi tersebut menyajikan pandangan hidup Amerika,
sehingga mereka menjadi target dari jihad kaum Islamis. Juga
benar bahwa kebijakan luar negeri Amerika seringkali salah arah
bahkan brutal. Kapitalisme global dapat melakukan tindakan-
tindakan perusakan skala besar sekaligus perbaikan. Akhirnya,
Amerika Serikat, satu-satunya negara superpower Barat, seperti
mewakili Barat secara keseluruhan.
Bagaimanapun, kekerasan semacam ini kini diarahkan
langsung pada target yang berhubungan dengan Barat, dari
WTC hingga diskotik di Bali, dan itu bukan semata Barat dalam
arti Amerika Serikat. Kekerasan semacam ini juga tidak dapat
direduksi menjadi semata-mata persoalan ekonomi global.
Bahkan mereka yang memiliki alasan bagus untuk memahami
kemiskinan, mereka pun melakukan bentuk-bentuk kekerasan
terhadap AS, yang mendukung kapitalisme sehingga berjalan
tidak normal dan membawa korban-korbannya untuk melakukan
pembunuhan besar-besaran terhadap masyarakat sipil di ruang-
ruang publik.
Sesuatu yang lain di sini sedang terjadi. Inilah yang disebut
oleh Margalith dan Buruma (2004) sebagai Oksidentalisme,
yakni suatu perang melawan gagasan tertentu dari Barat, yang
bukan merupakan hal baru atau unik bagi kaum ekstremis
Islamis. Kaum Jihadi kini melihat melihat Barat sebagai sesuatu
yang tidak manusiawi, harus dihancurkan, seperti halnya
penyakit kanker. Gagasan oksidentalisme ini memiliki akar
sejarah panjang mendahului berbagai bentuk apa pun dari
imperalisme Amerika. Kebencian serupa, meskipun tidak selalu

56 Zakiyuddin Baidhawy
mematikan, telah diarahkan kepada Inggris dan Prancis pada
masa lalu, serupa dengan kebencian terhadap Amerika. Lalu apa
yang dimaksud dengan gagasan oksidentalis tentang Barat?
Inilah problem yang mendorong sejumlah intelektual ter-
kemuka Jepang yang berkumpul dalam sebuah konferensi di
Kyoto pada 1942. Serangan atas Pearl Harbor bukanlah alasan
bagi konferensi itu sendiri, namun gagasan utamanya ialah un-
tuk menemukan pembenaran ideologis bagi misi Jepang guna
memukul dan mengenyahkan kerajaan Barat di Asia. Topik dis-
kusinya adalah bagaimana mengatasi dunia modern. Moderni-
tas dikaitkan dengan Barat dan khususnya imperialisme Barat.
Westernisasi, menurut seorang intelektual, adalah seperti
penyakit yang menginfeksi semangat orang-orang Jepang. Se-
suatu yang modern, kata yang lain, adalah sesuatu yang ber-
bau Eropa. Sebagian lainnya percaya bahwa Amerikanisme
adalah musuh, dan Jepang harus membuat alasan bersama
dengan orang-orang Eropa untuk mempertahankan peradaban
kuno dari Dunia Baru. Ada banyak perbincangan yang tidak se-
hat, yang telah memfragmentasi keseluruhan kebudayaan spiri-
tual dunia Timur. Sains telah disalahkan. Demikian juga kapital-
isme, resapannya ke dalam masyarakat Jepang berupa teknologi
modern, dan paham-paham tentang kebebasan individual serta
demokrasi. Semua ini harus diatasi.
Semua sepakat bahwa kebudayaan maksudnya kebudayaan
Jepang tradisional bersifat mendalam dan spiritual, sedangkan
peradaban Barat modern bersifat permukaan, tanpa dasar, dan
merupakan kekuatan pencipta destruksi. Barat, utamanya AS,
adalah peradaban mekanik yang dingin, peradaban mesin tanpa
ruh atau jiwa, suatu tempat di mana orang-orang bercampur
untuk memproduksi ras-ras bangsat.

Sejarah Perkembangan Studi Islam 57


Istilah yang sama tepatnya digunakan oleh sebagian lain,
di lain tempat, dan pada masa yang lain. Darah, tanah, dan
semangat kaum Romatik Jerman pada abad 18 dan awal 19
untuk menentang klaim universalis Pencerahan Prancis, Revolusi
Prancis, dan invasi pasukan Napoleon. Paham tentang jiwa
nasional ini diambil alih oleh bangsa Slavia pada abad 19, yang
menggunakannya untuk menyerang kaum yang melakukan
pembaratan (westernizers), yaitu orang-orang Rusia yang mem-
bela reformasi liberal. Istilah ini juga sering digunakan pada
dekade 1930-an, ketika kaum fasis Eropa dan sosialis nasional
berusaha untuk memukul Amerikanisme, liberalisme ala Anglo
Saxon, dan kosmopolitanisme tanpa akar (yaitu kaum Yahudi).
Aurel Kolnai menulis buku pada 1930-an tentang ideologi fasis
di Austria dan Jerman. Ia menyebutnya Perang Melawan Barat.
Komunisme khususnya di bawah Stalin, yang juga merupakan
anak haram dari Pencerahan dan Revolusi Prancis, menyatakan
diri sebagai musuh liberalisme Barat dan kosmopolitan tanpa
akar. Banyak kaum radikal Islam meminjam konsep-konsep
anti-Barat dari Rusia dan Jerman. Para pendiri partai Baath di
Syria merupakan para pembaca teori-teori ras Jerman sebelum
masa perang. Jalal al-Ahmad, seorang intelektual Iran 1960-
an, menggunakan istilah westoxification untuk menjelaskan
pengaruh yang membius dari peradaban Barat terhadap
kebudayaan-kebudayaan lain. Ia juga merupakan pengikut ide-
ide Jerman tentang darah dan tanah.
Jelas bahwa gagasan tentang Barat sebagai kekuatan yang
berbahaya bukan hanya berasal dari Timur atau Timur Tengah,
bahkan juga berakar Eropa sendiri. Mendefinisikannya dalam
istilah historis bukan persoalan sederhana. Oksidentalisme
merupakan bagian dari tandingan atas Pencerahan, bahkan juga

58 Zakiyuddin Baidhawy
reaksi terhadap industrialisasi. Sebagian Marxis tertarik pada
oksidentalisme. Oksidentalisme adalah pemberontakan atas
rasionalisme, peradaban Barat yang dingin, mekanis, dan mesin,
dan sekularisme, bahkan individualisme. Kolonialisme Eropa
mendorong oksidentalisme dan demikian pula kapitalisme
global saat ini. Kita dapat bicara tentang oksidentalisme hanya
ketika pemberontakan atas Barat menjadi sebentuk destruksi
murni, ketika Barat dituduh sebagai kurang dari manusia, ketika
pemberontakan bermakna pembubuhan.
Apa pun yang terjadi, oksidentalisme didukung oleh rasa
terhina, kalah. Isaiah Berlin menjelaskan pemberontakan Jerman
atas Napoleon sebagai contoh asli dari reaksi atas banyaknya
masyarakat yang terbelakang, terekspolitasi, yang membuat
mereka inferior, dan dibangkitkan oleh imajinasi kerajaan dan
kejayaan pada masa lampau, atau sifat-sifat baik dari bangsa atau
watak kulturalnya sendiri. Hal serupa terjadi pada Jepang pada
1930-an, setelah hampir satu abad merasa terhina dan hanya
menjadi patron bagi Barat.
Keterhinaan dapat dengan mudah menjadi kultus atas ke-
murnian dan keaslian. Di banyak kalangan kebencian atas Barat
muncul karena klaim universalisme Barat. Napoleon adalah
seorang universalis yang percaya pada kode sipil bersama un-
tuk seluruh manusia yang ditaklukkannya. Keyakinan bahwa
Amerika Serikat menyajikan nilai-nilai universal dan mempu-
nyai kewajiban yang diembankan oleh Tuhan padanya untuk
menyebarkan demokrasi adalah sama dengan klaim universalis.
Sebagian dari nilai-nilai ini boleh jadi memang universal. Kita
dapat berpikir bahwa semua manusia dapat mengambil untung
dari demokrasi atau penggunaan rasio. Kode Napoleon telah
membawa banyak keuntungan. Namun, ketika solusi universal

Sejarah Perkembangan Studi Islam 59


dipaksakan melalui kekuatan dan kekuasaan, atau ketika rakyat
merasa terancam atau terhina atau tidak mampu berkompetisi
dengan kekuatan-kekuatan yang mempromosikan solusi terse-
but, itulah saatnya kita melihat bahaya kembali kepada mimpi-
mimpi tentang kemurnian.
Tidak semua mimpi tentang keaslian lokal dan keunikan
kultural adalah racun, atau salah. Sebagaimana Isaiah Berlin
tunjukkan, kayu kemanusiaan yang terbakar tidak dapat secara
paksa diarahkan dengan standar-standar universal sejajar dengan
kekebalan. Eksperimen tentang jiwa manusia oleh komunisme
menunjukkan bagaimana mimpi-mimpi kaum universalis yang
berdarah dapat terjadi. Romantisisme puisi pada kaum idealis
Jerman abad 19 sering membuka diri bagi rasionalisme dogmatis
yang datang bersama Pencerahan.
Pada saat kemurnian atau keaslian iman atau ras membawa
pada pengusiran apa yang diduga tidak asli/murni, di sinilah
pembunuhan massal mulai terjadi. Fakta menunjukkan bahwa
anti-Amerikanisme, anti-Zionisme, anti-Semitisme, permusuhan
pada umumnya terhadap Barat seringkali tumpang tindih.
Bahkan, di Jepang, di mana kaum Yahudi tidak memainkan
peran apa pun dalam kehidupan nasional, salah satu partisipan
pada konferensi Kyoto 1942 menyatakan bahwa perang melawan
Barat merupakan perang menentang peradaban materialis
yang membahayakan yang dibangun di atas kekuatan kapitalis
finansial Yahudi. Pada saat yang sama, anti-Semit di Eropa,
bukan hanya dalam gerakan Nazi Jerman, menyalahkan orang-
orang Yahudi demi Bolshevisme.
Baik Bolshevisme maupun kapitalisme merupakan sistem
universalis dalam arti bahwa mereka tidak mengakui batasan-
batasan nasional, rasial, atau kultural. Sejak Yahudi secara

60 Zakiyuddin Baidhawy
tradisional dianggap oleh para penganjur kemurnian sebagai
orang luar, kosmopolitan tanpa akar, tidak aneh bahwa mereka
juga tampak sebagai pengusung utama virus universalis. Dapat
dipastikan orang-orang Yahudi memiliki alasan yang masuk
akal tertarik pada paham-paham seperti persamaan di hadapan
hukum, politik sekular, dan internasionalisme, apakah dengan
cap sosialis maupun kapitalis. Eksklusivisme, apakah dalam
bentuk rasial, keagamaan, atau kebangsaan, tidak pernah
memberikan kebaikan bagi kaum minoritas. Hanya di Timur
Tengah orang-orang Yahudi menyandang eksklusivisme dan
nasionalismenya sendiri. Zionisme berasal dari Barat. Dan
Israel, di mata para musuhnya, merupakan kekuatan kolonial
yang menyebarkan westoxification. Keberhasilan material Israel
hanya menambah kebencian Arab terhadap mereka.
Anggapan tentang orang-orang Yahudi sebagai manusia
tanpa jiwa jauh lebih tua umurnya daripada pendirian negara
Israel itu sendiri. Inilah salah satu kebencian anti-Semit yang
paling umum. Karl Marx yang merupakan cucu dari seorang
rabbi misalnya, menyebut orang-orang Yahudi sebagai parasit
yang rakus, yang jiwanya tercipta dari uang. Hal serupa sering
dikatakan oleh orang-orang Eropa abad 19 tentang orang Inggris.
Novelis Prusia Theodore Fontane yakin bahwa masyarakat Inggris
akan dihancurkan oleh warna kuning emas, warna kuning emas
telah membinasakan jiwa-jiwa mereka yang menghamba pada
kejahatan. Banyak hal serupa juga dikatakan tentang orang-
orang Amerika.
Kalkulasi menghitung-hitung uang, riba, bukti-bukti il-
miah, dan seterusnya dipandang sebagai tanpa jiwa. Keas-
lian/kemurnian terletak pada puisi, intuisi, dan keimanan buta.
Pandangan kaum oksidentalis tentang Barat adalah sebagai ma-

Sejarah Perkembangan Studi Islam 61


syarakat borjuis, yang mabuk kesenangan, nafsu kebinatangan,
kepentingan diri, dan kenyamanan. Para pejuang Taliban selama
masa perang di Afghanistan mengatakan bahwa Amerika tidak
akan pernah menang karena mereka menyukai Pepsi-Cola, se-
mentara para pejuang mencintai kematian. Ungkapan serupa
juga dikatakan oleh kaum fasis Spanyol selama perang sipil,
para ideolog Nazi, dan pilot bunuh diri Jepang.
Pahlawan adalah orang yang beraksi tanpa memperhitung-
kan kepentingannya sendiri. Ia melakukan aksi tanpa menghi-
raukan keamanannya sendiri, ia selalu siap mengorbankan diri
untuk suatu tujuan. Pahlawan oksidentalis, apakah ia Nazi atau
Islamis, hanya siap untuk menghancurkan mereka yang telah
menodai kemurnian/keaslian ras atau kredonya. Bahkan, itu
merupakan kewajiban baginya. Ketika Barat dipandang sebagai
ancaman bagi keaslian, adalah kewajiban para pejuang suci un-
tuk membinasakan apa pun yang berkaitan dengan kaum Zio-
nis, apakah pasukan Amerika, kedutaan Inggris, kuburan orang
Yahudi, atau diskotik di Bali. Nilai simbolik dari serangan-se-
rangan ini setidaknya sama pentingnya dengan kerusakan yang
diakibatkannya.
Jadi, apa yang baru dengan perang suci kaum Islamis ter-
hadap Barat? Barangkali ini merupakan totalitas visi mereka.
Islamisme, sebagai solusi bagi westoxification adalah sebuah
campuran aneh antara universalitas dan kemurnian: universali-
tas karena semua orang dapat, dan di mata orang-orang beri-
man harus, menjadi Muslim ortodoks; keaslian karena mereka
yang menolak panggilan bukan sekadar kehilangan jiwa bahkan
orang biadab yang harus dimusnahkan dari bumi ini.
Hitler mencoba untuk membinasakan Yahudi, namun tidak
memandang semua Barat dengan permusuhan. Faktanya, ia

62 Zakiyuddin Baidhawy
ingin membangun aliansi dengan Inggris dan bangsa-bangsa
Arya lainnya, dan merasa terkhianati ketika mereka tidak
mempedulikan caranya. Kaum Stalinis dan Maois membunuh
musuh-musuh kelas dan menentang kapitalisme. Namun,
mereka tidak pernah melihat dunia Barat sebagai kurang
manusiawi dan yang secara fisik harus dimusnahkan. Kaum
militaris Jepang pergi berperang melawan kerajaan Barat, namun
tidak memandang segala tentang peradaban Barat sebagai
barbar. Kontribusi Islamis pada sejarah panjang oksidentalisme
adalah visi keagamaan tentang kemurnian di mana Barat yang
diidolakan harus dihancurkan.
Beribadah kepada tuhan-tuhan palsu merupakan dosa pa-
ling besar dalam Islam dan kepercayaan Yahudi kuno. Barat,
di mata kaum Islamis, menyembah tuhan-tuhan palsu seperti
uang, seks, dan hasrat-hasrat kebinatangan. Dalam dunia bar-
bar, pikiran-pikiran, hukum-hukum, dan nafsu manusia telah
menggantikan kerajaan Tuhan. Kata yang tepat untuk masalah
ini adalah jahiliyah, yang berarti kebodohan: orang menyembah
tuhan-tuhan lain karena ia tidak memiliki pengetahuan. Jahili-
yah modern berarti barbarisme dan ada di mana saja dari Las Ve-
gas dan Wall Street hingga istana-istana di Riyadh. Bagi Islamis,
apa pun yang tidak murni, yang bukan milik kerajaan Tuhan,
adalah jahiliyah, barbar, dan harus dienyahkan. Itulah sebabnya
perang suci atas Barat dideklarasikan.
Karena target perang suci itu sedemikian luas, maka cara
mengalahkannya juga bukan persoalan mudah. Perang Irak
bukanlah cara paling efektif untuk memerangi jihad Islamis.
Rezim Baath Saddam Hussein merupakan kediktatoran
pembunuh yang harus diakhiri, namun itu tidak sejalan
dengan revolusi suci. Tidak ada bukti bahwa Saddam ingin

Sejarah Perkembangan Studi Islam 63


menghancurkan Barat. Osama bin Laden jelas melakukannya
secara luas. Sementara Muslim moderat di mana pun dipaksa
membisu terhadap aksi-aksi agresif Amerika.
Meskipun Presiden Bush menyatakan bahwa perang me-
lawan terorisme bukanlah perang melawan Islam atau agama,
namun upaya-upaya kekerasan untuk memaksakan sekularisme
terhadap masyarakat-masyarakat Muslim pada masa lalu telah
mengundang masalah ekstremisme agama, dan harus dilihat
bukan sebagai solusi untuk saat ini. Fanatisme adalah bagian
dari reaksi atas sekularisme agresif rezim-rezim seperi Reza Shah
di Iran selama dekade 1930-an. Jika kebebasan politik dijamin
di dunia Muslim melalui kedaulatan rakyat, agama akan diper-
hitungkan. Kesempatan terbaik bagi demokrasi untuk berhasil
di negara-negara seperti Indonesia, Turki, dan Irak adalah jika
Muslim moderat dapat dimobilisasi dengan baik. Namun, itupun
harus datang dari negara-negara itu sendiri. Sekalipun pemerin-
tahan Barat harus mendukung kekuatan-kekuatan yang membela
demokrasi, perjuangan politik yang sulit tidak dapat dimenang-
kan di Washington, atau melalui kekuatan militer Amerika.
Di Barat sendiri kita harus mempertahankan kebebasan dari
pasukan perang suci yang berusaha menghancurkan mereka.
Bahkan, kita juga harus hati-hati dalam melakukannya. Dalam
keseimbangan antara keamanan dan kebebasan sipil, yang
terakhir tidak pernah boleh dikorbankan demi yang pertama.
Kita juga mesti mencegah upaya-upaya memerangi api dengan
api, melawan Islamisme dengan bentuk-bentuk intoleransi.
Kebebasan kita akan tetap terjaga tergantung kehendak untuk
mempertahankannya dari musuh-musuh luar, bahkan juga
nafsu para pemimpin kita untuk mempergunakan ketakutan kita
dengan tujuan untuk memusnahkan kebebasan kita sendiri.

64 Zakiyuddin Baidhawy
Jadi, menurut Buruma (2004), oksidentalisme bukan bicara
tentang kebencian terhadap kebijakan-kebijakan Barat, namun
tentang kebencian atas ide-ide Barat itu sendiri. Perasaan negatif
berkaitan dengan kolonialisme, kapitalisme, globalisasi, dan
westoxification digali melalui banyak tokoh klasik dan empat
konsep utama: kota, perdagangan, teknologi, dan agama.
Oksidentalisme, serupa dengan kapitalisme, Marxisme, dan
banyak isme modern lainnya, lahir di Eropa, namun cabang-
cabangnya tersebar di Asia dan Timur Tengah.
Kota oksidental mulai dengan serangan 11 September atas
WTC di New York. Ia bicara tentang kota metropolis sebagai sundal
di mana segala sesuatu dan semua manusia diperjualbelikan. Ia
juga berbicara tentang ketiadaan jiwa dan ketakterhubungan,
citra negatif tentang kota yang sering dilukiskan. Kota-kota di
Barat juga merupakan simbol ketamakan yang jahat, tanpa
tuhan, dan kosmopolitanisme tanpa akar.
Perdagangan di mata kaum oksidentalis adalah gambaran
negatif tentang prinsip kaum merkantilis di Barat. Ia bicara bu-
kan hanya tentang pasar bebas di Barat, namun juga ide tentang
demokrasi itu sendiri sebagai pasar bebas ide. Teknologi adalah
gambaran pikiran Barat yang mampu mencapai keberhasilan
ekonomi dan mampu mengembangkan dan mempromosikan
teknologi maju, namun gagal meraih hal-hal tertinggi dalam
hidup ini. Agama adalah ilustrasi kaum oksidentalis tentang pe-
rang suci terhadap Barat sebagai kejahatan absolut. Ketika kebe-
basan politik, keagamaan, dan intelektual telah mapan, ia harus
dipertahankan dengan kekuatan, jika perlu, bahkan juga dengan
keyakinan.[]

Sejarah Perkembangan Studi Islam 65


66 Zakiyuddin Baidhawy
BAB 4

MODEL PENDEKATAN
KAJIAN TEKS-TEKS ISLAM:
STUDI AL-QURAN

S tudi Islam dalam pengertiannya yang sempit, sebagaimana


telah dijelaskan dalam bab I, adalah suatu disiplin intelek-
tual dan keagamaan tradisional. Mengikuti pengertian ini, maka
kajian-kajian atas teks-teks keislaman membentuk ruang ling-
kup inti dari Studi Islam. Kajian-kajian berbasis pada teks-teks,
sebagaimana dikenal dalam tradisi bayani, menekankan prisma
teks sebagai cara untuk memahami hakikat Islam. Karena itu,
kajian semacam ini menekankan perhatian pada teks-teks suci
keislaman utamanya Al-Quran dan hadis, juga karya-karya in-
telektual klasik yang berhubungan erat dengan dua sumber ajar-
an tersebut.
Dalam sejarah perkembangan peradaban dan pemikiran Is-
lam, dikenal sejumlah cabang keilmuan tradisional Islam yang
meliputi antara lain ulum al-Quran dengan seluruh ramifikasi-
nya, tafsir al-Quran, ulum al-hadis lengkap dengan semua perca-

Model Pendekatan Kajian Teks-teks Islam: Studi Al-Quran 67


bangannya, ilmu kalam, tasawuf, fikih, dan usul fikih, dan lain-
lain. Cabang-cabang keilmuan ini merupakan jasa para pengkaji
Muslim atas tradisi tekstual keagamaan mereka dan telah mela-
hirkan khazanah intelektual yang sangat kaya. Karena objek
kajian studi Islam tradisional ini adalah teks-teks keagamaan
dan karya-karya yang berkaitan dengannya, maka metode dan
pendekatan yang dipergunakan oleh komunitas ilmiah di ka-
langan mereka pun meliputi metode dan pendekatan tekstual
(bayani). Berikut ini adalah paparan beberapa model metode
dan pendekatan yang biasa digunakan untuk melahirkan karya-
karya dalam Studi Islam tradisional.

A. Pendekatan I`jaz Klasik


Al-Quran sebagai sumber pertama dan utama ajaran Islam su-
dah sejak awal kelahirannya memperoleh perhatian luas di ka-
langan para sarjana Muslim. Kalangan sahabat besar dan kecil,
dilanjutkan oleh generasi berikutnya menyediakan waktu yang
sangat memadai untuk menuliskan, mengkodifikasi, mener-
bitkan, mempelajari, dan mengkajinya secara ilmiah sehingga
melahirkan ilmu-ilmu yang berhubungan dengan Al-Quran.
Salah satu fokus perhatian mereka adalah pada aspek
keindahan dan kemukjizatan Al-Quran yang tiada tertandingi
oleh kitab suci mana pun. Di sinilah kemudian beberapa studi
berusaha memanfaatkan pendekatan sastra untuk mengkaji Al-
Quran, baik yang dikenal pada masa klasik dan orisinal dari
kalangan Muslim maupun pendekatan sastra modern. Memang
ada banyak keberatan atas pendekatan sastra modern dalam
mengkaji Al-Quran di kalangan para pemikir modernis dan
tradisionalis, di satu sisi, dan antara sarjana Muslim dan sarjana
non-Muslim Barat di sisi lain. Para sarjana Muslim tradisionalis

68 Zakiyuddin Baidhawy
selalu menolak peran yang terbuka bagi semua sarjana untuk
mengkaji Al-Quran.
Satu di antara pendekatan klasik yang sering dipergunakan
dalam studi Al-Quran ialah pendekatan i`jaz. Pendekatan ini se-
sungguhnya sudah muncul sejak abad ke-3 hijrah atau abad ke-9
masehi dalam sejarah kebudayaan Islam. Ia muncul dari diskusi
mengenai persoalan ketidaktertirukannya Al-Quran, i`jaz, yang
menjadi ajaran hakiki dalam teologi. Memang benar bahwa Al-
Quran sejak permulaan pewahyuannya menangkap imajinasi
bangsa Arab yang melukiskan keunikan bahasanya. Para pen-
dengar berusaha memberikan penjelasan terbaik tentang penga-
ruhnya pada mereka dalam arti teks-teks Al-Quran menyerupai
syair dan puisi yang sangat indah. Semua penjelasan ini telah
disebut dan sekaligus ditolak oleh Al-Quran sendiri (QS. Yasin
(36): 9). Banyak kisah yang diceritakan dalam literatur Islam
yang menggambarkan betapa orang-orang beriman sekalipun
merasa terpesona oleh pengaruh puitis dari bahasa Al-Quran.
Paham tentang keunggulan Al-Quran yang membuatnya tidak
dapat ditiru, dikembangkan belakangan dan dijelaskan dalam
gambaran retorik. Banyak teori diperkenalkan dalam teologi
Islam untuk menjelaskan gambaran-gambaran yang menggaris-
bawahi ketidaktertirukannya teks-teks Al-Quran. Setidaknya ada
dua persoalan besar di sini. Pertama, apa yang dimaksud dengan
tantangan Al-Quran untuk melahirkan sesuatu yang menyeru-
pai Al-Quran? Kedua, mengapa bangsa Arab gagal melahirkan
sesuatu yang menyerupai teks Al-Quran dengan cara meniru
gayanya?
Ibrahim ibn Sayyar al-Nazzam (d. 232/846), seorang teolog
Mutazilah, memperkenalkan teori sarfah. Teori ini mengatakan
bahwa Tuhan secara sengaja melakukan intervensi dan mence-

Model Pendekatan Kajian Teks-teks Islam: Studi Al-Quran 69


gah bangsa Arab dari menghasilkan teks serupa Al-Quran. Tanpa
intervensi semacam ini, bangsa Arab dapat dengan mudah men-
jawab tantangan tersebut. Intervensi Tuhan ini adalah mukjizat,
yang membuat mereka yang dipandang sangat mampu dalam
membuat puisi atau syair sekalipun menjadi tidak mampu. Se-
bagai sebuah teks, tidak ada hal yang aneh tentangnya. Keung-
gulan Al-Quran karena informasi yang terkandung di dalamnya,
apakah berkenaan dengan peristiwa-peristiwa masa lalu yang ti-
dak diketahui atau peristiwa masa depan. Al-Quran dapat ditiru
sebagai sebuah teks Arab, namun wahyu Tuhan yang mengan-
dung pengetahuan ketuhanan tidak dapat ditiru. Keunggulan-
nya terletak pada isi, bukan gayanya. Teori sarfah yang meng-
hubungkan kegagalan bangsa Arab (untuk menghasilkan teks
menyerupai Al-Quran) dengan intervensi Tuhan ini, sebenarnya
memandang Al-Quran sebagai mukjizat yang melampaui ke-
mampuan manusia. Ia berkaitan dengan kategori mukjizat yang
sama yang pernah diterima oleh para nabi terdahulu, seperti
Musa yang mengubah tali menjadi ular, dan Isa yang mengo-
bati orang sakit dan membuat orang mati hidup kembali. Al-
Quran adalah mukjizat yang menjadi sandaran bagi kebenaran
Muhammad dan otentisitas Al-Quran. Namun, paham bahwa
isi Al-Quran, yang berbicara tentang sesuatu yang tak diketahui
dan tentang masa depan, adalah satu-satunya tantangan yang
memunculkan kesulitan teologis dari perspektif Mu`tazilah mi-
salnya. Karena pengetahuan Tuhan itu mutlak, sementara pe-
ngetahuan manusia terbatas, tidaklah mungkin bahwa Tuhan
yang keadilannya mutlak, menantang manusia dengan sesuatu
yang melampaui kapasitas kemanusiaannya. Keadilan Tuhan
merupakan prinsip kedua setelah Tauhid dalam teologi rasional
Mu`tazilah; ia hanya memperbolehkan tantangan yang berada

70 Zakiyuddin Baidhawy
dalam jangkauan kemampuan manusia. Bukti-bukti yang mere-
ka kemukakan untuk memperkuat argumen tentang mukjizat
ini dengan menyebutkan Musa dan Isa. Mukjizat Musa berkait-
an dengan magis, suatu bidang aktivitas yang menjadi keung-
gulan bangsa Mesir, demikian pula dengan mukjizat Isa. Karena
bangsa Arab adalah bangsa yang penguasaan puisi dan syairnya
unggul, maka mukijizat Islam adalah Al-Quran yang melukis-
kan keunggulan satrawi. Patut dicatat bahwa dikotomi antara
isi dan bentuk, lafaz dan makna, yang ada dalam kritik sastra
Arab, memiliki akarnya dalam diskusi awal tentang apakah ba-
hasa didasarkan pada tradisi sosial kemanusiaan (muwada`ah)
atau wahyu Tuhan. Diskusi ini fokus pada ayat Al-Quran: Dan
Ia mengajarkan Adam seluruh nama benda dan kemudian ber-
tanya kepada para malaikat dengan mengatakan, Berilah Aku
informasi tentang nama-nama semua itu jika kamu memiliki
pengetahuan (QS. Al-Baqarah (2): 31).
Tokoh Mu`tazilah al-Qadi `Abd al-Jabbar (w. 415/1025),
dalam pembahasannya tentang i`jaz, menekankan bahwa kefa-
sihan ungkapan, fashahah, tidak hanya berhubungan dengan isi
semata atau gaya semata. Dengan mengelaborasi teori al-Jubba`i
tentang sintesis isi dan gaya, ia menghubungkan fashahah de-
ngan struktur atau syntaks yang memasukkan posisi dan fungsi
gramatika dari suatu leksikon. Keunggulan intrinsik Al-Quran
khususnya terletak pada kualitas fashahahnya yang menakjub-
kan. Dengan menjelaskan gagasan al-Jubba`i tentang keniscaya-
an isi dan gaya, ia menghubungkan fashahah dengan nazm, kom-
posisi, struktur atau syntaks. Fashahah mengandung tiga unsur
sekaligus, yaitu makna leksikal suatu kata, al-muwada`ah, dan
posisinya dalam struktur dan fungsi grammatikanya. Karena itu,
kesempurnaan syntaks Al-Quran mencegah bangsa Arab dari

Model Pendekatan Kajian Teks-teks Islam: Studi Al-Quran 71


upaya menjawab tantangan untuk membuat teks yang serupa
Al-Quran. Jadi, menurut al-Qadi (1960: 247, 264), tidak ada
campur tangan Tuhan, seperti yang digambarkan dalam teori
sarfah, yang mencegah bangsa Arab pagan dari upaya melakukan
tindakan tersebut.

B. Pendekatan Sastra Modern


Apa yang dikemukakan di atas adalah sekadar contoh bagai-
mana perdebatan tentang kemukijzatan Al-Quran telah dimu-
lai sejak awal. Pendekatan i`jaz adalah salah satu cara yang di-
pergunakan oleh para sarjana Muslim awal untuk membuktikan
kebenaran al-Quran.
Pada masa modern, pendekatan kesusastraan terhadap al-
Quran juga berkembang bahkan lebih kompleks dari yang su-
dah ada. Misalnya, Muhammad Abduh menggunakan me-tode
sastra ini untuk menafsirkan al-Quran yang sangat erat hubun-
gannya dengan pemahaman rasionalnya tentang Islam. Namun
pertanyaan-pertanyaan Abduh bukan semata terbatas pada per-
soalan i`jaz. Ia mengajukan beberapa pertanyaan: tentang mo-
dernitas, apakah Islam sesuai dengan modernitas atau tidak?
Bagaimana seorang Muslim yang taat dapat hidup di lingkun-
gan sosial-politik modern tanpa kehilangan identitasnya seb-
agai Muslim? Apakah Islam mengakomodasi sains dan filsafat?
Tentang ketidakselarasan antara syariah yang menjadi dasar
masyarakat tradisional dan hukum positif yang merupakan lan-
dasan bagi masyarakat modern: apakah lembaga-lembaga poli-
tik modern seperti demokrasi, pemilu, dan parlemen diterima
oleh Islam, dan dapatkah lembaga-lembaga itu menggantikan
lembaga-lembaga tradisional syura dan ulama (ahl al-hall wa al-
`aqd)?

72 Zakiyuddin Baidhawy
Minat utama Abduh ialah membuka kembali pintu ijtihad dalam
semua aspek kehidupan sosial dan intelektual. Karena agama
merupakan bagian utama dari eksistensi manusia, maka satu-
satunya reformasi yang nyata adalah reformasi pemikiran Islam.
Apa yang dibawa Jamal al-Din al-Afghani ke Mesir ialah gagasan
tentang panfsiran modern tentang Islam yang kemudian menjadi
perhatian penuh Abduh. Kombinasi antara rasionalisme klasik
dan kesadaran sosial-politik modern diadopsi oleh Abduh.
Kombinasi ini membuatnya mungkin untuk memperkenalkan
penafsiran semi rasional atas Al-Quran. Kontribusi Abduh yang
paling penting adalah pernyataannya bahwa Al-Quran tidak
dimaksudkan untuk menjadi kitab sejarah. NarasiAal-Quran
karena itu, tidak mesti dipandang sebagai dokumen sejarah.
Peristiwa-peristiwa sejarah yang disebut dalam narasi Al-Quran
disajikan dalam gaya sastra untuk menyampaikan pelajaran
tentang peringatan dan nasihat. Berkenaan dengan kisah-kisah
dalam Al-Quran, Abduh, dengan sangat jelas membedakan
antara historiografi kisah-kisah Al-Quran. Historiografi adalah
bidang ilmiah yang didasarkan atas pencarian dan penyelidikan
kritis terhadap data yang tersedia, seperti laporan-laporan,
kesaksian, ingatan, dan buktik-bukti geografis atas material
(Abduh, tth. Vol. 5: 30). Dengan kata lain, kisah-kisah Al-
Quran adalah sarana untuk menyampaikan tujuan-tujuan etis,
spiritual dan keagamaan. Kisah-kisah bisa berdasarkan pada
peristiwa sejarah, namun tujuannya bukan untuk menyediakan
pengetahuan tentang sejarah.
Abduh jelas menentang metode tafsir klasik yang menjelas-
kan tentang hal-hal yang mubhamat. Pentingnya sebuah kisah
tidak tergantung pada pengetahuan tentang kisah itu sendiri,
namun pada pelajaran yang dapat diambil darinya. Semua ayat-

Model Pendekatan Kajian Teks-teks Islam: Studi Al-Quran 73


ayat dalam Tafsir al-Manar kemudian dikutip oleh Khalafallah
dengan maksud untuk memperkuat argumentasinya dalam per-
soalan berikut ini.
Khalafallah, dengan bersandar pada perbedaan dalam
teori sastra antara sejarah dan kesusastraan, mengembangkan
pembedaan yang jelas antara sejarah dan Al-Quran. Yaitu fakta
bahwa Al-Quran berhadapan dengan bangsa Arab pagan pada
abad ke-7. Apa pun yang tampak irasional dan bertentangan
dengan logika dan sains dalam Al-Quran dipahami sebagai
refleksi visi bangsa Arab tentang dunia. Figur-figur dalam sastra
yang berbicara dengan menggunakan metafora dan alegori
sebagaimana digunakan dalam Tafsir al-Manar, adalah untuk
menyajikan penjelasan rasional bagi seluruh peristiwa dan
tindakan mukjizat yang disebut dalam Al-Quran. Semua ayat Al-
Quran yang merujuk kepada takhayul seperti sihir, mata syetan,
atau sentuhan syetan, adalah untuk menjelaskan ekspresi bangsa
Arab tentang apa yang mereka percayai. Ayat-ayat Al-Quran
yang bicara tentang mengirim malaikat turun dari surga untuk
melawan kekafiran dijelaskan oleh Abduh sebagai ungkapan
dukungan bagi orang-orang beriman agar mereka berjuang
memperoleh kemenangan (Tafsir al-Manar, vol. 1, 19-21, 210-11,
215). Apa yang sudah dikemukakan oleh Abduh ini, kemudian
dikembangkan oleh Taha Husayn dan Amin al-Khuli.
Taha Husayn sangat menekankan dimensi estetika gaya al-
Quran yang sangat unik dan asing; i`jaznya menampilkan genre
sastra itu sendiri. Sebagai seorang sejarawan sastra dan kritikus
sastra, ia mengklaim bahwa al-Quran bukanlah puisi maupu
prosa; ia adalah al-Quran. Lebih lanjut, Husayn memahami
kisah al-Quran berkaitan dengan kedatangan Ibrahim, istrinya
Hajar, dan anaknya Ismail ke Mekkah, sebagai suatu narasi

74 Zakiyuddin Baidhawy
oral yang telah ada sebelum wahyu al-Quran turun. Husayn
(1996: 33-35) menyatakan bahwa kisah ini telah ditemukan
jauh-jauh hari sebelum wahyu al-Quran. Kisah ini bertujuan
untuk menghapuskan ketegangan antara bangsa Arab pagan,
penduduk pribumi Yathrib, dan suku-suku Yahudi yang datang
untuk bermukim di kota ini. Al-Quran mempergunakan kisah
bukan hanya mensituasikan Islam dalam konteks tradisi Yahudi-
Kristen, bahkan juga untuk memapankan prioritasnya sebagai
agama monoteistik. Pandangan Husayn di sini menekankan
bahwa kisah tersebut tidak harus dipahami sebagai sarana
menyampaikan realitas historis sesuai dengan asumsi-asumsi
tentang situasi kebahasaan di semenanjung Arabia telah diterima
tanpa persoalan.
Karya-karya Ahmad Amin tentang sejarah perdaban Islam
merupakan contoh lain kecenderungan baru kesarjanaan dalam
institusi akademik. Mempertimbangkan kembali sejarah Islam
secara keseluruhan, biografi Nabi khususnya, dari perspektif
kritis secara terbatas dipengaruhi oleh minat sejarah abad ke-19,
khususnya sejarah Islam dan kehidupan Nabi. Biografi Nabi yang
ditulis oleh Muhammad Husayn Haykal (1888- 1956) dan Taha
Husayn dipandang sebagian sarjana Muslim salah satu alasan di
balik perubahan besar dalam level diskusi tentang kehidupan
Nabi. Diskusi ini berpindah secara signifikan dari konfrontasi
menuju dialog.

C. Pendekatan Tajdid
Model pendekatan sastra lain diperkenalkan oleh Amin al-Khuli
(1995). Ketika ia memulai karirnya, angin perubahan mulai
tampak dalam kehidupan Mesir. Ia menerapkan metode tajdid
untuk studi bahasa (nahw) dan retorika (balaghah), tafsir al-

Model Pendekatan Kajian Teks-teks Islam: Studi Al-Quran 75


Quran, dan sastra (adab). Bukan hal mudah untuk menentukan
mana dari empat bidang keilmuan yang menyajikan model ideal
dari metodologi tajdid al-Khuli. Namun ia memandang bahwa
angin perubahan selalu bergerak sebagaimana dibuktikan se-
jarah oleh penemuan dalam bidang seni dan sastra. Penemuan
dalam bidang sastra dan seni ini vital untuk mengembangkan
kesadaran intelektual dan estetik penduduk Mesir dengan tujuan
agar mampu mencapai pencerahan Mesir secara menyeluruh.
Sastra baru membutuhkan metode sastra baru pula yang dapat
menggali strukturnya dan menjelaskan bagaimana ia berfungsi.
Metode semacam ini mengandung kajian tentang bahasa dan
retorika yang menyegarkan, karenanya diperlukan tajdid dalam
dua disiplin ini. Sepanjang pencerahan atau tajdid terus bergerak
dan hidup, ia mesti mulai dengan studi intensif dan menyeluruh
tentang tradisi lama dalam setiap bidang pengetahuan.
Motto al-Khuli adalah langkah pertama bagi penemuan
nyata adalah menganalisis tradisi secara total. Jika studi tentang
sastra di masa lalu, sekaligus studi tentang bahasa dan retorika,
dijalankan untuk memenuhi tujuan-tujuan keagamaan, maka
tajdid tidak akan mungkin dilakukan. Studi sastra tentang al-
Quran, bagi al-Khuli, bukan persoalan pilihan, karena peneri-
maan bangsa Arab terhadap al-Quran berdasarkan pada kekuat-
an dan keunggulan sastra al-Quran. Karena itu, metode sastra
mesti menggantikan pendekatan teologis, filosofis, etis, mistik
atau yudisial. Dengan cara ini teori al-Khuli mengembangkan
hubungan antara studi tentang bahasa, retorika, dan sastra di
satu sisi, dan tafsir al-Quran di sisi lain. Jika teori i`jaz klasik
didasarkan pada paham klasik tentang balaghah, maka paham
ini harus diganti dengan teori balaghah modern yang mema-
pankan hubungan dengan kritik sastra. Hubungan ini menuntut

76 Zakiyuddin Baidhawy
hubungan dengan psikologi, suatu hubungan yang paralel den-
gan relasi antara kritik sastra dan estetik. Maka studi balaghah
mesti fokus pada studi tentang gaya sastra dan pengaruh emo-
sionalnya terhadap pemirsa/pembacanya. Tujuannya adalah
untuk mengembangkan kesadaran estetik baik pada penulis
maupun pembaca, inilah yang disebut sebagai seni wacana.
Hanya pendekatan sastra terhadap al-Quran, melalui teori sas-
tra modern, yang dapat menyingkap i`jaz al-Quran yang pada
dasarnya bersifat ekspresif dan provokatif secara emosional. Di
samping isterinya Bint al-Shati, dua pengikut al-Khuli yang men-
jadi mahasiswanya langsung, yang menerapkan metode sastra
dalam studi al-Quran menjadi sangat terkenal. Mereka adalah
Khalafallah dan Shukri Ayyad. Perlu juga disebutkan bahwa
Sayyid Qutb, seorang ideolog terkenal fundamentalisme Islam,
memulai karya-karyanya tentang al-Quran dengan menerapkan
metode serupa meskipun lebih impresionistik. Ini bias dilihat
dalam karyanya Fi Zhilal al-Quran.

D. Pendekatan Tahlili
Maksud tafsir tahlili atau ijmali atau juzi adalah metode kajian
al-Quran dengan menganalisis secara kronologis dan memapar-
kan berbagai aspek yang terkandung dalam ayat-ayat al-Quran
sesuai dengan urutan bacaan yang terdapat dalam urutan mu-
shaf Uthmani. Ternyata menurut sejumlah ilmuwan, metode
yang sebagian ilmuan menyebutnya dengan metode kajian at-
omistik atau metode kajian yang bersifat parsial ini memiliki
beberapa kelemahan. Quraish Shihab berpendapat, satu akibat
dari pemahaman al-Quran berdasar ayat demi ayat secara ter-
pisah adalah al-Quran terlihat seolah sebagai petunjuk yang ter-
pisah-pisah (Shihab, 1996: 112).

Model Pendekatan Kajian Teks-teks Islam: Studi Al-Quran 77


Tafsir ini juga sering disebut sebagai pendekatan analitik.
Yaitu suatu pendekatan tafsir ayat demi ayat, sesuai dengan
urutan surat al-Quran. Pendekatan ini mengikuti teks al-Quran
dan memaparkannya dalam pengalan-pengalan ayat, serta men-
jelaskannya atas dasar makna literal/harfiah, tradisi, atau ayat-
ayat lain yang memiliki makna atau kata serupa dengan ayat
yang sedang dibahas. Metode analitik ini telah menciptakan
kemajuan historis secara bertahap sebelum mencapai bentuknya
yang sekarang. Metode ini dimulai sejak masa sahabat dan
tabiin, dan memperoleh bentuk final dan luasnya pada karya
Ibnu Majjah, al-Tabari dan lainnya.
Tujuan metode analitik adalah memahami makna firman
Tuhan yang bermanfaat bagi banyak orang pada permulaan
masa Islam. Sejalan dengan waktu dan semakin jauh dari
periode turunnya wahyu, dengan seluruh perkembangan dan
perubahan lingkungan, makna kata-kata dari firman menjadi
sulit untuk dipahami. Perkembangan metode analitik mengikuti
pertumbuhan ketidakpastian dalam memahami teks al-Quran
dan keraguan dalam menentukan maksud Tuhan, sehingga
pada akhirnya metode ini memperoleh bentuknya yang paling
akhir dalam bentuk tafsir ensiklopedik yang dimulai dari surat
al-Fatihah dan diakhir dengan surat al-Nas, yang memaparkan
ayat demi ayat. Ini karena makna-makna harfiah dari banyak
ayat perlu penjelasan, analisis, da penekanan sesuai dengan
perjalanan waktu.
Metode analitik pada hakikatnya tidak bermaksud menaf-
sirkan suatu ayat dengan mengabaikan ayat-ayat lainnya, dan
tidak bermaksud menolak bantuan ayat lain dalam memahami
ayat yang sedang dibahas. Metode ini mempergunakan ayat lain
untuk menafsirkan suatu ayat tertentu, dan untuk itu juga diper-

78 Zakiyuddin Baidhawy
lukan hadis-hadis. Penggunaan ayat lain hanya untuk memaha-
mi makna harfiah dari kata-kata dalam ayat. Akibatnya, penaf-
siran berhenti setelah pemahaman atas makna dari bagian ayat
tertentu dalam al-Quran, tanpa dapat melampaui batasan dari
ayat yang dibahas.
Hasil-hasil dari metode analitik dalam tafsir ini adalah
kumpulan makna-makna al-Quran yang sangat luas namun
terpisah-terpisah satu sama lain. Inilah yang membuat kita sadar
bahwa banyak gagasan dan ajaran al-Quran yang tidak saling
berhubungan dan berdiri sendiri sehingga tidak memungkinkan
bagi kita untuk mengidentifikasi hubungan antara ayat-ayat
atau menemukan pola pemahaman. Dengan metode ini pula,
kita tidak mungkin memahami pandangan al-Quran tentang
berbagai lapisan aktivitas manusia. Jadi, apa yang kita hadapi
ialah sekumpulan fakta yang sangat luas sehingga kita sulit
membuat hubungan dan jalinan antara fakta-fakta itu, yang
dapat membawa kita pada formasi gagasan-gagasan yang
tersusun guna menangkap pandangan al-Quran mengenai
beragam bidang dan lapisan kegiatan manusia. Tafsir analitik/
tahlili tidak dapat mencapai tujuan ini, dan jika dapat tercapai,
namun itu bukan tujuan utamanya (al-Shadr, 1989).
Pemahaman sepotong-potong yang dihasilkan oleh kecen-
derungan tafsir analitik ini tentu saja dapat membawa pada
berkembangnya beberapa konflik keagamaan dalam Islam,
karena tafsir ini mendorong individu atau kelompok Muslim
tertentu menemukan dan menggunakan ayat tertentu untuk
membenarkan posisi mereka, mengklaimnya benar dan meng-
kristalkan pengelompokkan di antara mereka sendiri. Ini terjadi
dalam banyak persoalan kalam (teologi) seperti masalah kebe-
basan dan nasib manusia. Kekurangan-kekurangan ini melahir-

Model Pendekatan Kajian Teks-teks Islam: Studi Al-Quran 79


kan ketidakpuasan di kalangan sebagian penafsir, dan inilah
yang mendorong lahirnya tafsir tematik atau mawdhui, yang
akan dibahas kemudian.

E. Pendekatan Semantik
Pendekatan semantik dalam ilmu bahasa dimanfaatkan oleh
para pengkaji Islam untuk mempelajari teks-teks keislaman,
terutama al-Quran. Bagian ini mencoba untuk mengelaborasi
bagaimana pendekatan semantik digunakan untuk mempelajari
struktur dan ketepatan sejumlah istilah kunci dan konsep dalam
al-Quran yang pernah dilakukan oleh dua sarjana kontemporer,
yaitu Toshihiko Izutsu (1914-1993) dan Syed Muhammad Naquib
al-Attas (1931--), dan membandingkannya dengan al-Raghib
al-Isfahani (w. ca 443/1060), penulis karya Kitab al-Mufradat fi
Gharib al-Quran. Istilah-istilah kunci dan konsep-konsep yang
dimaksud di sini adalah kata-kata yang digunakan al-Quran
yang memainkan peran menentukan dalam menghiasi struktur
konseptual dasar dari pandangan dunia al-Quran. Bagian ini
berusaha menunjukkan bagaimana al-Quran telah mengubah
secara mendalam dan karenanya juga mengubah makna istilah-
istilah dalam bahasa Arab yang mapan, khususnya istilah-istilah
kunci yang berhubungan dengan agama dan etika, dan menyoroti
suatu kenyataan bahwa analisis semantik kontemporer terhadap
kosa kata al-Quran telah memiliki akar sejak abad ke-11.
Toshihiko Izutsu adalah sarjana pertama yang akan diulas
dalam bagian ini. Menurut Izutsu, al-Quran melalui keselu-
ruhan kosa katanya memberikan ungkapan mengenai ontologi
konkret dan dinamis, lebih dari sekadar pandangan abstrak dan
metafisik tentang alam semesta. Ia menunjukkan hal ini melalui
hasil kajiannya yang menggunakan pendekatan semantik dan

80 Zakiyuddin Baidhawy
telah diterbitkan pada 1960-an. Ia telah meletakkan skema kon-
septual terhadap apa yang ia sebut sebagai pandangan dunia al-
Quran, dan inilah yang membedakannya dari pandangan dunia
jahiliyah.
Menurut Izutsu (1964; 1965; 1966; 1959), al-Quran adalah
suatu bidang semantik yang sangat luas, yang telah mengintegra-
sikan seluruh sistem kata-kata, darimana pun asalnya, ke dalam
suatu interpretasi sistematik baru yang menyeluruh. Ia menjelas-
kan metodenya sebagai studi analitik terhadap kata-kata kunci
dari suatu bahasa dengan memerhatikan kandungan konseptu-
alnya yang mencerminkan pandangan dunia suatu masyarakat
yang menggunakan bahasa tersebut sebagai alat bukan semata
untuk bicara dan berpikir, namun lebih penting dari itu adalah
untuk mengkonseptualisasi dan menafsirkan dunia di sekitar
mereka. Istilah pandangan dunia memberikan kunci bagi
pemahaman Izutsu tentang semantik sebagai studi tentang haki-
kat dan struktur pandangan dunia suatu bangsa pada suatu peri-
ode sejarahnya yang signifikan, yang dilakukan dengan menggu-
nakan sarana analisis metodologis atas konsep-konsep kultural
yang dihasilkan oleh bangsa itu sendiri dan terkristalisasi dalam
kata-kata kunci bahasanya (Izutsu, 1964: 11; 1966: 7-9).
Dengan menganalisis lebih dari dua lusin kata kunci seperti
Allah, islam, iman, kufr, nabi, wahy, karim, taqwa, dan seterus-
nya (Izutsu, 1964: 25), Izutsu bukan hanya mampu mengkon-
traskan teologi dan etika Jahiliyah dan al-Quran, bahkan juga
memaparkan jaringan konseptual yang menggarisbawahi pan-
dangan dunia semantik al-Quran. Ia menunjukkan misalnya,
bagaimana istilah Allah telah mengalami perubahan seman-
tik radikal dan transformasi konseptual. Pada masa pra Islam,
kata Allah dipahami oleh orang Arab sebagai merujuk kepada

Model Pendekatan Kajian Teks-teks Islam: Studi Al-Quran 81


tuhan tertentu dari sejumlah tuhan, kadang-kadang juga iden-
tik dengan tuhan yang bertanggung jawab atas penciptaan dan
pemeliharaan langit dan bumi. Allah hanyalah salah satu tu-
han yang disembah oleh bangsa Arab pagan. Dengan kedatan-
gan Islam, suatu perubahan mendalam terjadi dalam konsep
tentang Allah dengan segala akibatnya. Al-Quran memperke-
nalkan Allah sebagai Yang Maha Tinggi (ala) dan unik (ahad),
yaitu satu-satunya Tuhan yang ada, yang mengeliminir semua
tuhan-tuhan lain sebagai palsu dan tuhan-tuhan palsu itu sama
sekali tidak memiliki relitas dan kekuasaan (asma sammaytu-
muha antum wa abaukum ma anzala Allah biha min sultan), dan
tidak lain adalah produk dari imajinasi manusia (zann wa ma
tahwa al-anfus) (Izutsu, 1964: 13-15 dan 40-42). Lebih penting
dari itu, sebagaimana terbukti dalam beberapa ayat pertama ke-
pada Muhammad, al-Quran menyatakan bahwa Allah adalah
sumber utama pengetahuan dan guru bagi manusia (allama al-
insan ma lam yalam).
Perubahan yang sama terjadi pada banyak istilah-istilah eti-
ka dalam bahasa Arab. Kata karim pada masa pra Islam berarti
kehormatan warisan dan kebaikan yang terwujud melalui ke-
murahan yang berlebihan. Dalam al-Quran kata ini bermakna
lain, utamanya ketika dihubungkan denga kata taqwa, suatu
kata yang pada awalnya tidak memiliki konotasi keagamaan
pada masa pra Islam. Taqwa, sebelum masa al-Quran bermakna
semacam sikap pertahanan diri yang dikendalikan oleh rasa ta-
kut yang dijumpai pada binatang. Al-Quran menggunakan kata
taqwa dengan makna ketakutan dan kebaktian kepada Tuhan.
Maka kata karim diterapkan pada siapa pun yang membe-
lanjakan kekayaannya di jalan Allah dan dalam rangka kebak-

82 Zakiyuddin Baidhawy
tian, bukan untuk menghambur-hamburkannya atau untuk riya
(Izutsu, 1966: 43-45; 234-239).
Singkatnya, Izutsu menyimpulkan bahwa meskipun banyak
kata yang digunakan al-Quran sama dengan yang digunakan
dalam bahasa Arab, namun kata-kata itu tidak memiliki peran
yang sama atau merujuk pada konsep yang sama. Kedermawanan/
kemurahan ditunjukkan dengan tindakan berinfak di jalan Allah;
keberanian diubah dari egoisme buta ke kesadaran berkorban
di jalan Allah; solidaritas kesukuan telah digantikan dengan
kekeluargaan berdasarkan iman, dst.
Hasil kajian yang paling diminati oleh para sejarawan
agama-agama adalah pandangan Izutsu mengenai agama Arab
pra Islam. Izutsu secara tegas menolak istilah agama pada masa
pra Islam. Ia tidak memandang agama Arab pra Islam sebagai
agama, karena istilah ini tidak pernah muncul melampaui
tingkat polydaemonisme yang telah menghasilkan banyak bidah,
kebiasaan dan hal-hal duniawi, dan bangsa Arab khususnya
Badui, pada umumnya kurang memiliki perhatian keagamaan
yang serius. Menurutnya, solidaritas kesukuan (ashabiyyah) jauh
lebih kokoh dibandingkan dengan agama (Izutsu, 1966: bab
V). Ia juga menolak teori Arthur Jeffery and Wilfred Cantwell
Smith tentang kata din dalam bahasa Arab berasal dari bahasa
Persia. Ia menyatakan bahwa kata din dalam bahasa Arab
yang digunakan al-Quran memiliki dua makna, sebagaimana
pada masa Jahiliyyah. Din berarti agama baik sebagai keimanan
personal maupun sistem kredo dan ritual formal yang dilakukan
bersama oleh sebuah komunitas (Izutsu, 1964: 219-229).
Akibatnya, jika Islam diklaim al-Quran sebagai satu-satunya
agama yang diterima Allah, ini harus dipahami dalam arti Islam
sebagai agama yang telah direifikasi dan tidak direifikasi.

Model Pendekatan Kajian Teks-teks Islam: Studi Al-Quran 83


Kepeloporan studi semantik Izutsu telah memberikan
pengaruh luas atas Studi Islam kontemporer, khususnya di
bidang studi al-Quran dan Bahasa Arab. Beberapa sarjana lain
yang juga berpengaruh ialah Noldeke, Jeffery, dan Wansbrough.
Izutsu telah membuat analisis semantik menjadi metodologi
dominan dalam bidang kajian ini. Karya-karya berikutnya seperti
Fazlur Rahman dalam Major Themes of the Quran, Nasr Hamid
Abu Zayd dalam Mafhum al-Nass, dan Daniel A. Madigan dalam
The Qurans Self-Image, memiliki kesamaan dengan karya-karya
Izutsu.
Sarjana Muslim lain yang menggunakan analisis semantik
adalah Naquib al-Attas. Al-Attas mengikuti kuliah-kuliah Izutsu
di McGill University pada musim semi 1962 dan 1963, dan ia
banyak mengambil manfaat dari kuliah-kuliah tersebut. Al-At-
tas juga menggunakan analisis semantik dalam beberapa karya-
nya. Ia sepakat dengan pandangan Izutsu bahwa penggunaan
al-Quran atas sejumlah kata dala bahasa Arab memiliki ske-
ma konseptual yang baru dan ini menunjukkan suatu revolusi
dalam sejarah pemikiran keagamaan dan moral bangsa Arab,
yang menekankan bahwa transformasi semantik secara radikal
atas kata-kata kunci dalam pandangan dunia mereka merupak-
an salah satu alasan mengapa Nabi Muhammad dituduh oleh
bangsa Arab pagan sebagai seorang tukang sihir, penyair, orang
gila. Revolusi dan penggantian pandangan dunia Jahiliyyah den-
gan pandangan dunia Islam disebut al-Attas sebagai proses is-
lamisasi.
Dalam karya tentang Hamzah Fansuri, al-Attas (1970:
163-169) menjelaskan perubahan semantik yang diprakarsai
Hamzah dalam menggunakan kata Melayu ada dan titah,
yang menunjukkan adalah perubahan drastis dan radikal dalam

84 Zakiyuddin Baidhawy
konsepsi Melayu mengenai hakikat wujud atau eksistensi, yang
secara keseluruhan menggambarkan visi tentang alam semesta.
Kata ada, menurut al-Attas, yang pada masa pra Islam berarti
menjadi dan mengandung konsep ada secara material dan
fisik, banyak keserupaan dengan makna kata mawjud dalam
bahasa Arab, mengandung makna baru yang mencerminkan
pandangan dunia baru. Kata ada yang digunakan Hamzah
untuk menunjuk konsep metafisika seperti jadi, menjadi,
dan yang dijadikan (yang umumnya untuk terjemahan kana
dan derivasinya dalam bahasa Arab), sekaligus mengandung
konsep mawjud baik dalam arti zahir maupun batin. Kata ini
juga bermakna dzat, mahiyyah, diri, dan akhirnya digunakan
untuk menggambarkan konsep abstrak tentang wujud (being
qua being).
Kata titah dalam bahasa Melayu berarti perintah yang
biasanya digunakan oleh raja. Oleh Hamzah kata ini menghendaki
makna relasional yang bukan semata mengandung arti posisi
wewenang karismatik namun juga posisi wewenang ketuhanan
sekaligus. Perubahan semantik atas kata titah terjadi sebagai
akibat penggunaan Hamzah atas kata ini untuk menerjemahkan
kata amr dalam bahasa Arab, yang dalam al-Quran dikaitkan
dengan perintah Tuhan (al-Attas, 1970: 145-146).
Contoh lain dari kajian al-Attas atas kata-kata kunci Islam
dengan analisis semantik dijumpai dalam kuliahnya tentang
Islam: the Concept of Religion and the Foundation of Ethics
and Morality, yang disampaikan di sebuah konferensi Islam
internasional di London 1976. Ia mengatakan bahwa istilah
din dalam bahasa Arab digunakan al-Quran dengan merujuk
kepada al-Islam (QS. Ali Imran/3:19, 85; al-Maidah/5:3). Kata
ini mengungkapkan konsep agama yang secara hakiki berbeda

Model Pendekatan Kajian Teks-teks Islam: Studi Al-Quran 85


dari apa yang umum dipahami dan diterjemahkan dalam
keseluruhan sejarah keagamaan di Barat. Al-Attas menunjukkan
hal ini dengan menganalisis konotasi dasar dari kata din. Dari
kata d-y-n lahir kata din yang artinya mencakup: 1) dana
(menaati, melayani, bertindak; juga menjadi ketundukan,
ketaatan, penghambaan kepada sesuatu, dan membayar hutang;
juga berarti aturan, pengelolaan, memiliki, dan menunjukkan
wewenang atas seseorang atau sesuatu; menjadi terbiasa dengan
sesuatu); 2) iddana, 3) istadana, 4) tadayyana (yang semuanya
berarti mencari hutangan atau menjadi berhutang; 5) adana
(memberikan pinjaman untuk jangka waktu tertentu, memberi
kredit, atau menjual sesuatu untuk membayar pada waktu yang
dijanjikan; dan 6) dayyana (mempercayai kesaksian seseorang di
pengadilan; menyetujui seseorang sebagai penguasa, pemerintah
atau pengatur bagi urusan-urusan publik). Kata benda dari akar
kata yang sama adalah dayn, diyanah, din, dan daynunah. Semua
bentuk derifasi dari akar kata d-y-n ini menunjukkan kepada
kita semua kemungkinan makna yang relevan yang ada dalam
istilah din.
Menurut al-Attas, semua makna ini dapat direduksi menjadi
empat unsur: hutang, tunduk, kekuasaan pengadilan, dan kecen-
derungan alamiah (al-Attas, 2001: 42). Dapat dikatakan bahwa
konsep agama sebagaimana terungkap dalam kata din dan se-
bagai diterapkan dalam kata al-Islam jauh lebih komprehen-
sif dan mendalam daripada yang dipahami di kalangan bangsa
Arab pagan (yang meliputi kebiasaan, ketaatan, keimanan per-
sonal, dan praktik ritual) dan tidak sama dengan yang dipahami
dalam istilah agama di Barat. Istilah din mengandung konsep
kefakiran manusia di hadapan Tuhan, ketundukan total manu-
sia kepada Tuhan, kekuasaan pengadilan, dan merefleksikan

86 Zakiyuddin Baidhawy
kecenderungan alamiah manusia (fitrah) kepada kebaikan dan
keadilan. Yang paling menarik dari analisis semantiknya adalah
kesimpulan bahwa Islam sebagai al-din merupakan agama
subjektif, agama personal dari individu dan sekaligus agama ob-
jektif yang meresap ke dalam kehidupan komunitas sehingga
kata al-din sebagai agama individual merupakan entitas yang
sama dengan agama masyarakat yang terdiri dari sekumpulan
entitas-entitas tersebut. Dengan demikian, pandangannya mem-
perkuat teori Izutsu dan menentang teori Jeffrey dan Smith.
Al-Husyan ibn Muhammad ibn al-Mufaddal, yang lebih
dikenal dengan al-Raghib al-Isfahani adalah salah satu ahli bahasa
paling dikenal selama masa Abasiyah. Ia memberikan kontribusi
dalam bidang tafsir, etika, teologi, mistisisme, dan sastra.
Karyanya Al-Mu`jam al-Mufradat Alfaz al-Quran mencerminkan
analisis semantik dan menjadi tengara kemajuan bagi studi
sistemtik tentang al-Quran. Karya ini memberikan pengaruh
besar pada sarjana-sarjana kemudian termasuk al-Fairuzabadi
(w. 817/1415), penulis al-Qamus al-Muhit, dan Murtada al-
Zabidi (w. 1205/1791) penulis leksikon Taj al-Arus. Sayangnya
karya al-Isfahani dilupakan oleh para sarjana kontemporer yang
berminat dengan semantik al-Quran.
Dalam Al-Mu`jam al-Mufradat Alfaz al-Quran, al-Isfahani
menggunakan prosedur sebagai berikut: Pertama, ia menjelas-
kan makna leksikal kosa kata, menganalisis morfologi dan
menelusuri etimologinya. Kedua, ia memberikan contoh-con-
toh pengunaannya dalam berbagai konteks dengan mengutip
al-Quran, tradisi, dan puisi. Ketiga, ia menjelaskan makna is-
tilah yang ada dalam al-Quran dalam kaitannya dengan ayat-
ayat lain dengan menggunakan pendekatan al-Quran dengan
al-Quran. Di samping itu ia juga mengutip pendapat-pendapat

Model Pendekatan Kajian Teks-teks Islam: Studi Al-Quran 87


sahabat Nabi, filosof, dan orang-orang bijak. Ia selalu memberi
prioritas pada sumber-sumber agama daripada sumber-sumber
filsafat. Berikut ini adalah beberapa contoh kajian al-Isfahani.
Kata Allah adalah suatu kata yang diberi imbuhan marifah
al- di depan kata benda ilah yang artinya tuhan. Empat
teori bicara tentang morofologi Allah antara lain: teori yang
menyatakan bahwa kata ini berasal dari alaha-yaluhu, artinya
beribadah; teori yang mengatakan bahwa kata ini berasal dari
aliha-yalihu, artinya sesuatu yang mengagumkan, mempesona;
teori yang menjelaskan bahwa kata ini berasal dari wilah, huruf
waw kemudian diubah menjadi hamzah, artinya sesuatu yang
dipuji dan dicintai; dan teori bahwa kata ini berasal dari laha-
yaluhu-liyahan, artinya sesuatu yang tertutup atau tetap tersem-
bunyi. Dalam tradisi Arab pagan, kata Allah digunakan seba-
gai nama bagi setiap berhala atau objek sesembahan (ism li kulli
ma`bud), baik yang maskulin maupun feminin. Jadi, matahari
disebut ilahah, dewa-dewa, dan sejumlah dewa merujuk kepa-
da bentuk pluralnya alihah. Kemudian al-Isfahani menyatakan
bahwa penggunaan kata semacam ini tidak benar dan karena itu
dikoreksi oleh al-Quran (al-Isfahani, tth.: 82-83).
Kata kerja dana-yadinu berarti berhutang atau memiliki
sesuatu yang diambil dari orang lain, dan adana-yudanu berarti
memberikan pinjaman kepada seseorang. Kata din digunakan
dengan arti ketaatan dan balasan, yaitu sesuatu yang diberikan
atau diterima sebagai kompensasi/balasan bagi perilaku yang
bernilai atau sebagai ganjaran bagi tindakan kejahatan. kata ini
kemudian digunakan secara metaforis untuk hukum-hukum
Tuhan. Kata din serupa dengan millah, yang mengandung
gagasan tentang ketaatan dan kepasrahan kepada hukum-hukum
Tuhan, seperti dalam ayat: Sungguh, agama yang diterima

88 Zakiyuddin Baidhawy
di sisi Allah adalah Islam (QS. Ali Imran/3:19). Ketika kata
din disebut dalam al-Quran bersamaan dengan Allah atau
Kebenaran (al-haqq), maka agama Islam yang dimaksud oleh
ungkapan tersebut. Seperti contoh dalam ayat: Dan barangsiapa
mencari agama selain dari Islam, maka Allah tidak akan pernah
menerimanya (QS. Ali Imran3/85) (al-Isfahani, tth.: 323).
Penjelasan tentang perubahan-perubahan semantik mem-
bawa kita pada pemahaman tentang sejarah bahasa Arab yang
lebih bernuansa. Tidak ada persoalan bahwa semua bahasa
tentu saja berubah dari waktu ke waktu dan bahkan terus me-
ngalir sejalan dengan perubahan konotasi yang terjadi pada teks.
Perubahan-perubahan ini dapat berupa perubahan grammatika
(yang melibatkan morfologi dan syntaks, perubahan semantik
makin luas atau menyempit maknanya, berubah maknanya atau
ganda maknanya), dan seringkali terjadi sebagai akibat kontak
kultural. Bahasa Arab tanpa kecuali. Penjelasan tentang perubah-
an-perubahan semantik akan menyingkap tirai-tirai yang selama
ini dipertahankan selama berabad-abad, karena alasan bahwa
bahasa Arab adalah bahasa wahyu Islam. Karena perubahan-
perubahan semacam ini, maka para filolog dan orientalis Barat
mengklasifikasikan bahasa Arab ke dalam masa klasik, perte-
ngahan, dan modern. Namun demikian, bahasa Arab modern
yang tertulis sangat sulit dibedakan dari tulisan-tulisan bahasa
Arab pertengahan. Hal ini bisa dilihat melalui studi perbanding-
an semantik. Berdasarkan kajian tiga sarjana di muka, mereka
menyatakan bahwa ada banyak kata kunci dan istilah kunci yang
pada hakikatnya masih tidak berubah meskipun terjadi peru-
bahan lingkungan historis dan tanpa memandang konteks ke-
budayaan yang bervariasi.

Model Pendekatan Kajian Teks-teks Islam: Studi Al-Quran 89


F. Pendekatan Tematik
Pendekatan tematik (mawdhui) tidak menafsirkan al-Quran ayat
demi ayat. Pendekatan ini berusaha mengkaji al-Quran dengan
cara mengambil tema tertentu dari berbagai tema ajaran, sosial
dan kosmologi yang ada dalam al-Quran. Pendekatan tematik
mengkaji dan membahas, misalnya ajaran tauhid dalam al-
Quran, konsep kenabian dalam al-Quran, pendekatan al-
Quran dalam masalah perekonomian, kosmologi al-Quran,
dsb. Dalam kajian semacam ini, pendekatan tematik berusaha
menentukan pandangan al-Quran dan memahami keseluruhan
pesan al-Quran dalam satu masalah tertentu di antara berbagai
persoalan yang berkaitan dengan kehidupan dan alam semesta.
Pendekatan tematik secara umum dapat dibagi menjadi
dua, yaitu: (1) tematik berdasar surah al-Quran; dan (2) tematik
berdasar subjek. Tematik berdasarkan surah al-Quran adalah
menafsirkan al-Quran dengan cara membahas satu surah
tertentu dari al-Quran dengan mengambil bahasan pokok dari
surat dimaksud. Sementara tematik subjek adalah menafsirkan
al-Quran dengan cara menetapkan satu subjek tertentu untuk
dibahas. Misalnya ingin mengetahui bagaimana konsep zakat
menurut Islam, metode tematik ini dapat digunakan.
Menurut catatan, tafsir tematik berdasarkan surah digagas
pertama kali oleh seorang guru besar jurusan Tafsir, fakultas
Ushuluddin Universitas al-Azhar, Syaikh Mahmud Syaltut, pada
Januari 1960. Karya ini termuat dalam kitabnya, Tafsir al-Quran
al-Karim. Sedangkan tafsir mawdhui berdasarkan subjek digagas
pertama kali oleh Prof. Dr. Ahmad Sayyid al-Kumiy, seorang guru
besar di institusi yang sama dengan Syaikh Mahmud Syaltut,
jurusan Tafsir, fakultas Ushuluddin Universitas al-Azhar, dan
menjadi ketua jurusan Tafsir sampai tahun 1981. Model tafsir

90 Zakiyuddin Baidhawy
ini digagas pada tahun seribu sembilan ratus enam puluhan
(Shihab, 1999: 114). Buah dari tafsir model ini menurut Quraish
Shihab di antaranya adalah karya-karya Abbas Mahmud al-Aqqad
al-Insan fi al-Quran, dan al-Marah fi al-Quran, dan karya Abul
Ala al-Maududi, al-Riba fi al Quran. Kemudian tafsir model ini
dikembangkan dan disempurnakan lebih sistematis oleh Abdul
Hay al-Farmawi, pada tahun 1977, dalam kitabnya al-Bidayah fi
al-Tafsir al-Mawdhui: Dirasah Manhajiyah Mawdhuiyah.
Namun kalau merujuk pada catatan lain, kelahiran tafsir
tematik jauh lebih awal dari apa yang dicatat Quraish Shihab,
baik tematik berdasar surah maupun berdasarkan subjek. Kait-
annya dengan tafsir tematik berdasar surah al-Quran, Zarkashi
(745-794/1344-1392), dengan karyanya al-Burhan, misalnya
adalah salah satu contoh yang paling awal yang menekankan
pentingnya tafsir yang menekankan bahasan surah demi surah.
Demikian juga Suyuti (w. 911/1505) dalam karyanya al-Itqan.
Karena itu, meskipun tidak fenomena umum, tafsir tematik su-
dah diperkenalkan sejak sejarah awal tafsir. Lebih jauh, perumu-
san konsep ini secara metodologis dan sistematis berkembang
di masa kontemporer. Demikian juga jumlahnya semakin ber-
tambah di awal abad ke-20, baik tematik berdasarkan surah al-
Quran maupun tematik berdasar subyek/topik.
Langkah-langkah untuk menerapkan metode tafsir tematik,
menurut Abdul Hay Al-Farmawiy (1996), ada tujuh langkah
sebagai berikut:
1. Menetapkan masalah yang akan dibahas ( topik );
2. Menghimpun ayat-ayat yang berkaitan dengan masalah
tersebut;
3. Menyusun runtutan ayat sesuai masa turunnya.disertai
pengetahuan tentang asbabun nuzulnya;

Model Pendekatan Kajian Teks-teks Islam: Studi Al-Quran 91


4. Memahami kolerasi ayat-ayat tersebut dalam surahnya
masing-masing;
5. Menyusun pembahasan dalam kerangka yang sempurna;
6. Melengkapi pembahasan dengan hadis-hadis yang relevan
dengan pokok pembahasan;
7. Mempelajari ayat-ayat tersebut secara keseluruhan dengan
jalan menghimpun ayat-ayatnya yang mempunyai penger-
tian yang sama, atau mengkompromikan antara yang am
(umum) dan yang khash (khusus), muthlaq dan muqayyad,
atau yang pada lahirnya bertentangan, sehingga kesemua-
nya bertemu dalam satu muara, tanpa perbedaan.
Sementara menurut M.Quraish Shihab (1999:115) ada be-
berapa catatan yang perlu diperhatikan dalam menerapkan
metode tematik ini antara lain:
1. Penetapan masalah yang dibahas. Walaupun metode ini
dapat menampung semua masalah yang diajukan namun
akan lebih baik apabila permasalahan yang dibahas itu
diproritaskan pada persoalan yang langsung menyentuh
dan dirasakan oleh masyarakat. Dengan demikian, metode
penafsiran semacam ini langsung memberi jawaban terhadap
problem masyarakat tertentu di tempat tertentu pula.
2. Menyusun runtutan ayat sesuai dengan masa turunnya.
Bagi mereka yang bermaksud menguraikan suatu kisah atau
kejadian maka runtutan yang dibutuhkan adalah runtutan
kronologis peristiwa.
3. Kesempurnaan metode tematik dapat dicapai apabila sejak
dini sang mufassir berusaha memahami arti kosakata ayat
dengan merujuk kepada penggunaan al-Quran sendiri. Hal
ini dapat dinilai sebagai pengembangan dari tafsir bi al-

92 Zakiyuddin Baidhawy
matsur yang pada hakikatnya merupakan benih awal dari
metode tematik.
Dari uraian di atas, baik yang dikemukakan Abdul Hay Al-
farmawiy maupun M.Quraish Shihab sama-sama sependapat
bahwa langkah awal yang ditempuh dalam mempergunakan
metode tafsir tematik adalah menetapkan topik atau masalah
yang akan dibahas kemudian menghimpun ayat-ayat yang
mempunyai pengertian yang sama dengan topik dan dilengkapi
dengan hadis-hadis yang relevan dengan pokok bahasan
dan yang perlu dicatat topik yang dibahas diusahakan pada
persoalan yang langsung menyentuh kepentingan masyarakat,
agar al-Quran sebagai petunjuk hidup dapat memberi jawaban
terhadap problem masyarakat itu.
Dari paparan di atas dapat diketahui bahwa tafsir tematik
mempunyai keistimewaan di dalam menuntaskan persoalan-
persoalan masyarakat dibandingkan metode lainnya, antara
lain:
1. Menafsirkan ayat dengan ayat atau dengan hadis Nabi adalah
suatu cara terbaik di dalam menafsirkan al-Quran,
2. Kesimpulan yang dihasilkan oleh metode tematik mudah
dipahami. Hal ini disebabkan ia membawa pembaca kepada
petunjuk al-Quran tanpa mengemukakan berbagai pemba-
hasan terperinci dalam satu disiplin ilmu. Dengan demikian
ia dapat membawa kita kepada pendapat al-Quran tentang
berbagai problem hidup disertai dengan jawaban-jawaban-
nya. Hal ini membuktikan bahwa al-Quran adalah petun-
juk hidup.
3. Metode ini memungkinkan seseorang untuk menolak
anggapan adanya ayat-ayat yang bertentangan dalam al-

Model Pendekatan Kajian Teks-teks Islam: Studi Al-Quran 93


Quran, sekaligus membuktikan bahwa al-Quran sejalan
dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan masyarakat
(Shihab, 1999: 117).
Karena tafsir tematik merupakan jawaban atas kekurangan-
kekurangan yang terdapat dalam tafsir atau pendekatan tahlili/
analitik, maka perlu dijelaskan mengenai perbedaan antara
keduanya (al-Shadr: 1989). Pertama, peran penafsir dalam
metode analitik pada umumnya bersifat pasif. Penafsir selalu
memulai dengan memerhatikan teks al-Quran, ayat atau
pesannya, tanpa memformulasi premis atau rencana apa pun
sebelumnya. Ia membatasi diri pada paparan teks al-Quran,
sehingga peran teks di sini sama dengan peran si pembicara,
dan penafsir secara pasif bertugas untuk mendengarkan dengan
penuh perhatian. Sebaliknya dalam tafsir tematik, penafsir tidak
memulai aktivitasnya dari teks al-Quran, namun dari realitas
kehidupan. Ia fokus pada persoalan tertentu dan beragam ma-
salah yang berhubungan dengan aspek-aspek ideologis, sosial
dan kosmologis dalam kehidupan, mempergunakan hasil-hasil
pikiran dan pengalaman manusia tentang masalah tertentu,
persoalan-persoalan yang muncul dan solusi atas persoalan
tersebut. Kemudian penafsir kembali kepada teks al-Quran,
bukan sebagai pendengar dan perekam pasif. Ia menempatkan
di hadapan al-Quran topik dan problem tertentu yang ada
dalam gagasan dan pandangan manusia. Lalu ia mulai berdialog
dengan al-Quran; penafsir bertanya, al-Quran menjawab.
Kedua, metode tematik satu langkah lebih maju daripada
metode analitik/tahlili. Metode analitik membatasi diri upaya
mengungkapkan makna detail dari ayat-ayat, sementara metode
tematik bertujuan melebihi dari ini dan mempunyai ruang ling-
kup pencarian yang lebih luas. Metode tematik berupaya me-

94 Zakiyuddin Baidhawy
ngetahui hubungan antara berbagai ayat sehingga memperoleh
pandangan al-Quran yang utuh yang di dalamnya setiap ayat
memperoleh tempat yang layak.
Metode tematik berusaha mencari pandangan al-Quran
tentang kenabian misalnya, pandangan tentang teori ekonomi,
hukum, kosmologi dll. Jadi, dengan cara ini tafsir tematik satu
langkah melampaui tafsir tahlili/analitik, dan bermaksud untuk
menyusun suatu pandangan yang menyajikan wawasan al-
Quran mengenai isu tertentu dari berbagai macam isu ideologi,
sosial dan kosmologi.
Inilah dua perbedaan prinsip antara metode analitik dan
metode tematik dalam tafsir. Kita juga dapat menyebutkan
bahwa metode tematik diterapkan di bidang fikih, jadi bukan
hanya di bidang tafsir semata, sementara metode analitik hanya
di bidang tafsir. Kini studi fikih perlu memanfaatkan potensi
metode tematik untuk memperluas ruang lingkupnya secara
horizontal sekaligus vertikal, karena metode tematik memulai
dari realitas dan kembali kepada syariah. Ini mendorong
para ulama dan ahli fikih memerhatikan berbagai aspek dan
situasi kehidupan nyata, seperti persoalan-persoalan kontrak
jualah, mudarabah, muzaraah, musaqat, dan perkawinan, untuk
menghubungkannya dengan sumber-sumber syariah dalam
rangka mendeduksi aturan-aturan syariah bagi semua aktivitas
tersebut.
Adalah suatu keniscayaan bahwa studi hukum memperluas
ruang lingkupnya lebih jauh secara horizontal karena para
sarjana yang berkontribusi bagi perkembangan metode tematik
selama beberapa abad adalah mereka yang selalu peka untuk
menangkap realitas kontemporer dan mengkaitkannya dengan
syariah, dengan maksud untuk mendeduksi hukum-hukum yang

Model Pendekatan Kajian Teks-teks Islam: Studi Al-Quran 95


dapat diterapkan pada realitas tersebut. Namun karena aktivitas
manusia terus menerus dalam proses perubahan dan perluasan,
dengan wilayah-wilayah aktivitas baru, maka diperlukan agar
penerapan metode ini dilakukan secara berkesinambungan
dengan mengharmonikan semua aspek baru dari aktivitas
manusia dengan syariah.
Sebagai contoh, pada masa-masa awal Islam, transaksi
seperti tijarah, mudarabah, muzaraah, dan musaqat merupakan
gambaran tentang perdagangan pada masa itu. Namun kini
serangkaian transaksi ekonomi telah semakin luas dan menjadi
lebih rumit. Karena itu, sangat penting bagi para ahli fikih
masa kini untuk selalu menghubungkan kehidupan nyata
dengan syariah. Maka metode tematik dapat membantu untuk
memperluas fikih secara horizontal. Pun perlu dicatat bahwa
metode ini digunakan dalam fikih secara vertikal. Maksud dari
perluasan vertikal di sini ialah upaya untuk menjangkau sudut
pandang fundamental yang mewujudkan diri dalam pandangan
Islam yang menjadi sandaran bagi legislasi dan suprastruktur
hukum yang lebih terperinci. Ini disebabkan kita tahu bahwa
setiap perangkat hukum berkaitan dengan bidang tertentu
dari aktivitas manusia, yang di satu sisi berhubungan dengan
konsep-konsep dasar, dan dengan perkembangan utama yang
berhubungan dengannya di sisi lain. Misalnya, hukum ekonomi
dalam syariah didasarkan pada pandangan Islam tentang
ekonomi; hukum-hukum tentang perkawinan, perceraian, dan
yang berkaitan dengan hubungan antara lelaki dan perempuan
disandarkan pada pandangan dasar syariah tentang lelaki dan
perempuan serta peran mereka.
Kata tematik di sini digunakan dalam arti bermula dari
suatu tema yang diangkat dari realitas kehidupan dan kembali

96 Zakiyuddin Baidhawy
kepada al-Quran. Kita juga dapat menyebutnya dengan metode
sintetik karena ia berusaha menyatukan pengalaman manusia
dengan al-Quran. Namun ini bukan berarti bahwa metode ini
bermaksud menundukkan al-Quran di hadapan pengalaman
manusia. Metode ini menyatukan keduanya dalam konteks
pencarian yang bertujuan untuk menderifasi dari kesatuan
konteks ini pemahaman al-Quran yang mampu menentukan
pandangan Islam berkenaan dengan pengalaman manusia
tertentu atau berkaitan dengan ide tertentu yang dibawa
penafsir ke dalam konteks pencariannya. Metode ini menyeleksi
sekelompok ayat terkait tema tertentu, kemudian menyintesis
ayat-ayat dan maknanya ke dalam suatu pandangan yang utuh.
Meski metode tematik tampak lebih baik daripada metode tafsir
tahlili/analitik, namun bukan berarti kita tidak membutuhkan
tafsir tahlili. Metode tematik juga tidak dimaksudkan untuk
mengganti kedudukan tafsir tahlili. Namun keduanya bisa saling
mengisi. Keduanya penting dalam tradisi tafsir al-Quran dan
tidak saling meniadakan satu dengan yang lain.[]

Model Pendekatan Kajian Teks-teks Islam: Studi Al-Quran 97


98 Zakiyuddin Baidhawy
BAB 5

MODEL KAJIAN TEKS-TEKS


KEISLAMAN: STUDI HADIS

H adis merupakan sumber utama Islam kedua setelah Al-


Quran. Karena itu, perdebatan tentang hadis bukanlah
suatu yang mengejutkan hingga saat ini terus terjadi. Pada akhir
abad ke-20, studi hadis mencatat kemajuan yang berarti dan
semakin banyak memperoleh perhatian dari kalangan dunia
Islam dan Barat. Ini disebabkan penemuan-penemuan banyak
sumber baru dan perkembangan dalam bidang metodologi.
Banyak manuskrip hadis pada masa-masa awal diterbitkan
dan memperoleh bahasan dari para sarjana. Beberapa sumber
hadis yang baru mencakup kitab Musannaf (11 volumes, Beirut
1391/1972) karya `Abdur-Razzaq ibn Hammam As-San`ani (w.
211/827), Al-Kitab al-Musannaf fi al-Ahadith wa al-Athar (15
volumes, Hyderabad 1386/1983) karya Ibn Abi Shaybah (w.
235/849), dan Tarikh al-Madinah al-Munawwarah (4 volumes.,
Jeddah, tth.) karya `Umar ibn Shabba.

Model Kajian Teks-teks Keislaman: Studi Hadis 99


Tiga sumber ini dan banyak lainnya dipandang sebagai
temuan penting dalam bidang wacana hadis. Di antara
metodologi baru yang berkembang dalam studi hadis adalah
dua pendekatan yang dapat dibedakan: Pertama, analisis isnad
terhadap hadis-hadis ahad, demikian Harald Motzki (1992)
menyebutnya, yang terbukti menjadi alat penelitian yang sangat
kuat. Metodologi ini secara luas telah diterapkan oleh sarjana
Belanda GHA. Juynboll (1989). Kedua, pendekatan yang fokus
pada analisis teks (matn) hadis yang dikembangkan melalui
penyelidikan varian teks-teks hadis, dan kombinasi pendekatan
analisis teks dan analisis isnad. Beberapa di antara yang meng-
gunakan pendekatan ini ialah Gregor Schoeler dan Motzki
(1992).
Wael B. Hallad dari McGill University menyatakan bahwa
sejak Joseph Schacht menerbitkan karya monumentalnya
pada 1950, wacana ilmiah tentang masalah ini (persoalan
otentisitas hadis) telah tersebar luas. Tiga kelompok sarjana
dapat diidentifikasi di sini antara lain: mereka yang berusaha
untuk menguatkan analisis Schacht dan melampaui analisisnya;
mereka yang berupaya menolak analisis Schacht; dan mereka
yang berupaya mencari jalan tengah, membuat sintesis antara
dua pendapat di atas. Dalam kelompok pertama antara lain John
Wansbrough dan Michael Cook; kelompok kedua antara lain
Nabia Abbott, F. Sezgin, M. Azami, Gregor Schoeler dan Johann
Fck; dan kelompok ketiga yang mengambil jalan tengah antara
lain Motzki, D. Santillana, G.H. Juynboll, Fazlur Rahman dan
James Robson (Hallaq, 1999).
Dari sini kita mengetahui problem otentisitas hadis telah
menjadi perbincangan di kalangan sarjana modern. Masalah ini
juga telah menjadi bahan perdebatan di kalangan sarjana Muslim

100 Zakiyuddin Baidhawy


klasik. Para sarjana Barat pun memberikan perhatian intensif
mengenai masalah ini. Gustav Weil sejak 1848 telah menyatakan
bahwa jumlah yang sangat besar dari hadis perlu dilihat secara
mencurigakan. Aloys Sprenger pada 1861 juga menyatakan hal
serupa. Ignaz Goldziher mengatakan bahwa kebanyakan hadis
muncul pada periode-periode belakangan. Dengan pandangan
serupa, Joseh Schacht berpendapat bahwa sejauh hadis-hadis
yang sah diperhatikan, hadis-hadis itu diasumsikan merupakan
hadis palsu kecuali jika kita dapat membuktikan kebalikannya.
Tidak bermaksud untuk terpaku pada masalah ini, kita harus
sepakat dengan Hallaq ketika ia berargumen bahwa hasil-hasil
kajian ilmiah berkenaan dengan otentisitas hadis telah muncul
sejak Weil mempelopori persoalan ini satu setengah abad lampau
(Hallaq, 1999). Karena itu, studi hadis tidak akan pernah lepas
dari studi tentang kritik hadis.

A. Kajian Orientalis tentang Hadis


Kajian orientalis tentang hadis dapat dilihat pada studi yang
dilakukan oleh Ignaz Goldziher. Pandangan-pandangannya
banyak diikuti oleh kebanyakan kaum orentalis seperti Leone
Caetani, T. W. Juynboll, Gaston Wiet, Joseph Schacht, N. J.
Coulson, Alfred Guillaume, dan H. A. R. Gibb. Dalam karyanya
Muslim Studies dan dalam sebuah bab berjudul Reaksi terhadap
Pemalsuan Hadis, Goldziher membahas bagaimana metode
kritik dari sarjana Muslim terhadap fenomena pemalsuan hadis.
Ia menyimpukan tanda-tanda dan ungkapan-ungkapan dalam
reaksi ini ke dalam tiga cara berbeda dan menyimpulkan bahwa
ada bahaya yang sangat nyata dari tindakan penyelundupan
hadis. Bahaya itu mengancam seluruh bidang Sunnah dalam
agama dan kehidupan publik. Lingkaran-lingkaran yang hen-

Model Kajian Teks-teks Keislaman: Studi Hadis 101


dak melindungi hadis dari pemalsuan harus memberikan
perhatian khusus pada karakter otoritas dan informan tentang
klaim otentisitas bagi setiap hadis. Hanya hadis-hadis yang
dapat diterima karena mengungkapkan semangat keagamaan
sesungguhnya dari keseluruhan komunitas yang disampaikan
oleh mereka jujur dan tulus, sekaligus mereka yang berpegang
pada kepercayaan ortodoks yang tidak diragukan. Perhatian
kurang diberikan pada muatan hadis itu sendiri daripada otoritas
dalam isnad (Goldziher, 1971: 134).
Lebih lanjut Goldziher (1971: 140-141) menyatakan bahwa
kritik sarjana Muslim berangkat dari satu titik tolak yang for-
mal. Titik tolak ini menentukan untuk menilai kredibilitas dan
otentisitas, atau kesahihan hadis. Hadis-hadis hanya diselidiki
dengan melihat bentuk luarnya dan penilaian terhadap muat-
annya tergantung pada penilaian tentang kesahihan isnad. Jika
isnad tidak mungkin mengandung kontradiksi lahir dan batin
setelah diteliti melalui kritik formal hadis, jika kesinambungan
sanadnya yang terpercaya tertulis lengkap, jika terjadi komuni-
kasi antarsanad satu dengan yang lain, maka hadis yang ber-
sangkutan dipandang sebagai sahih. Tak seorang pun dapat me-
nyatakan: karena matan memuat kandungan yang rancu baik
secara historis maupun logis, maka saya meragukan kesahihan
isnadnya. Selama ini para kritikus hadis dari kalangan Muslim
tidak menyentuh kritik atas matan hadis.
Berangkat dari paradigma umum studi Barat tentang hadis,
kita mencatat beberapa sikap netral berkenaan dengan kritik teks
hadis. R. Marston Speight mengakui kontribusi para muhadisin
awal untuk meneliti otentisitas hadis. Dalam tulisannya tentang
hadis dalam entri The Oxford Encyclopaedia of Modern Islamic
World, Speight memandang bahwa teks hadis membutuhkan

102 Zakiyuddin Baidhawy


kriteria lain untuk menguji otentisitas materinya di samping
kritik sanad. John L. Esposito mempunyai sikap serupa. Ia
setuju dengan kebanyakan pandangan Muslim bahwa penilaian
tentang hadis fokus isnad periwayat dan matannya.
Sejalan dengan Julius Wellhausen (18441918), Harald
Motzki dari University of Nijmegen mencoba menentang
pandangan merendahkan dari Goldziher dan Schacht
berkaitan dengan masalah isnad dengan berupaya menjawab
masalah ini melalui pendekatan sejarah hadis yang disebut
berlieferungsgeschichtlich. Motzki menyunting sebuah buku
tentang biografi nabi. Ia mengumpulkan beberapa artikel
dari sebuah colloquium yang diselenggarakan pada ulang tahu
ke-50 Department of Languages and Cultures of the Middle
East di University of Nijmegen, Netherlands, pada 1997. Ia
menyajikan sebuah artikel di mana ia menerapkan metodologi
analisis isnad-cum-matn. Motzki, di samping sarjana-sarjana
lainnya, mengedepankan pendekatan kritik hadis ini untuk
mengemukakan suatu tesis bahwa analisis isnad semata atau
analisis matan saja tidaklah cukup untuk memisahkan hadis-
hadis yang otentik dari hadis-hadis yang meragukan.

B. Perbedaan Metodologi Kajian Hadis: Sarjana


Barat dan Sarjana Muslim
Perbedaan antara pendekatan sarjana hadis Muslim dan sarjana
hadis Barat bersandar pada perbedaan fundamental pendekatan
terhadap tradisi Islam secara keseluruhan. Sikap Muslim
tradisional terhadap hadis dapat dilihat sebagai berikut:

...Sunnah, atau hadis Nabi...merupakan sumber utama


kedua dalam hukum Islam, benar selamanya, dan

Model Kajian Teks-teks Keislaman: Studi Hadis 103


kehidupan nabi merupakan teladan yang harus diikuti
oleh Muslim tanpa memandang waktu dan ruang.
Untuk alasan ini, para sahabat, bahkan yang hidup
pada masa nabi, mulai mengembangkan pengetahuan
tentang sunnah dan hal ini dianjurkan oleh nabi
sendiri. (Azami, 1977: 46).

Dengan kata lain, hadis memiliki peran utama dalam Islam.


Inilah yang sejak awal mendorong Muhammad saw. dan para
sahabatnya untuk mulai memelihara hadis secara akurat demi
keterjagaannya. Pandangan tradisional mengenai cara-cara untuk
memelihara hadis oleh komunitas awal dijelaskan oleh Anas bin
Malik, seorang pembantu Nabi, bahwa mereka duduk bersama
nabi, mungkin 60 orang dan Nabi mengajarkan hadis. Ketika
nabi pergi untuk suatu keperluan, mereka biasanya menghafalkan
hadis hingga benar-benar tertanam dalam jiwa. Bagi para sarjana
Muslim yang yakin bahwa Islam telah ditegakkan oleh Allah
yang Maha Mengetahui melalui seorang nabi yang ma`sum,
secara keseluruhan dapat diterima akal bahwa Muhammad saw.
sangat memerhatikan bentuk agamanya yang akan dielaborasi
secara penuh beberapa abad kemudian. Ia juga dapat melihat
pentingnya hadis bagi agama Islam, dan karena itu mengambil
langkah dari awal untuk membentuk suatu badan otoritatif
hadis. Pandangan semacam ini memperoleh dukungan dari
hadis itu sendiri: Sampaikanlah apa-apa yang berasal dariku
meskipun hanya satu ayat (HR. Bukhari), dan Allah menyinari
orang yang mendengarkan hadis dariku, jagalah ia dengan hati-
hati, dan sampaikanlah kepada yang lain (HR. Ibn Hanbal).
Bagi para sarjana Barat, tidaklah masuk akal bahwa hadis,
cerita-cerita dan perkataan-perkataan Muhammad saw. diakui

104 Zakiyuddin Baidhawy


dan dikumpulkan sebagai hadis dalam arti teknis sudah ada
pada masa Nabi hidup. Mereka lebih percaya bahwa Muhammad
saw. bicara dan berbuat secara sadar, dan mungkin ia menjadi
teladan bagi komunitasnya, namun tak seorang pun yang
dapat mencatat tindakan-tindakan dan perkataan-perkataannya
dengan sangat detail selama berabad-abad. Setelah kematian
Muhammad saw., anggota komunitas masa awal mencari
petunjuk dalam menghadapi situasi baru, seperti perluasan
wilayah Islam. Di samping itu, orang-orang yang konversi ke
Islam dari agama-agama lain mencari petunjuk bagi keimanan
mereka yang baru, kadang-kadang dengan mempertanyakan
pertanyaan-pertanyaan yang muncul dari tradisi kebudayaannya
sendiri yang tidak pernah terjadi sebelumnya. Untuk menjawab
pertanyaan-pertanyaan ini, contoh-contoh dari kehidupan
Muhammad saw. dilihat kembali dan tidak selalu akurat. Upaya
mengumpulkan jawaban dari kehidupan nabi ini kemudian
diformalkan menjadi sunnah atau hadis yang terdiri dari ribuan
hadis, yang sebagian benar-benar menjelaskan kata-kata dan
perbuatan Nabi dan sebagian lainnya tidak.
Bagi para sarjana Barat, ungkapan hadis Allah menyinari
orang yang mendengarkan hadis dariku, menjaganya dengan
hati-hati, dan menyampaikannya kepada yang lain, adalah
bukti bahwa hadis ini merupakan salah satu hadis yang tidak
pernah diucapkan oleh Muhammad saw. Bagi mereka, hadis
ini dibuat setelah kehidupan Nabi dengan tujuan untuk men-
dukung upaya-upaya pengumpulan hadis. Bukan hanya sarjana
Barat yang mempersoalkan tentang otentisitas sebagian hadis.
Ada banyak hadis palsu adalah suatu fakta yang juga diakui baik
oleh sarjana Muslim maupun sarjana Barat.

Model Kajian Teks-teks Keislaman: Studi Hadis 105


Pendekatan mereka atas persoalan hadis yang mana
yang dapat diakui sebagai otentik berbeda. Berikut ini adalah
penjelasan singkat mengenai perbedaan pendekatan antara
sarjana Muslim dan sarjana Barat.
Di kalangan sarjana Muslim, Ibn Qutaybah (w.889) me-
nyampaikan pernyataan banyak sarjana hadis tentang masalah
penyebaran hadis-hadis palsu. Ia menunjukkan satu contoh
hadis yang banyak disampaikan oleh para pendakwah yang me-
nyatakan bahwa kadal adalah orang-orang Yahudi yang telah
dikutuk oleh Tuhan, bahwa serigala masuk di surga untuk me-
makan para pengumpul pajak.
Tentu saja para pengumpul hadis bertujuan lebih dari seka-
dar menghargai hadis. Dalam persoalan hadis asli dan hadis pal-
su, mereka memutuskan untuk memisahkan antara yang otentik
dari yang tidak otentik. Karena ada ratusan ribu hadis yang terse-
bar pada masa itu, tentu saja tugas ini menjadi berat. Upaya ini
melibatkan kajian tentang detail biografi para periwayat hadis
yang jumlahnya ribuan yang terdapat dalam isnad dan meng-
hafal puluhan jika bukan ratusan ribu hadis lengkap dengan is-
nadnya. Kaum Muslim saat ini mengenal orang-orang yang telah
melakukan tugas tersebut seperti Malik bin Anas, Ibn Hanbal,
Bukhari, Muslim, dll dengan penghargaan yang sangat tinggi,
dan tidak mengherankan jika sarjana Muslim kini melakukan
serangan atas sebagian sarjana Barat bahwa metodologi mereka
itu payah, bahkan sebagian lebih ekstrem lagi bahwa tidaklah
mungkin metodologi Barat mengetahui mana hadis yang oten-
tik dari yang tidak. Ilmu hadis itu benar-benar canggih. Menurut
Ibn al-Mullaqin (w. 1400), seorang sarjana agama dari Mesir,
ilmu hadis terbagi dalam 200 sub bidang. Kriteria utama untuk
menentukan keaslian hadis adalah penilaian terhadap isnad. Is-

106 Zakiyuddin Baidhawy


nad dinilai melalui dua kriteria utama. Pertama, apakah seluruh
rantainya saling berhubungan. Tidak boleh ada periwayat yang
tidak punya nama, dan semua periwayat harus hidup bersing-
gungan dengan waktu hidup periwayat lainnya, atau dalam satu
tempat bersama dengan periwayat lainnya ketika mereka men-
dengarkan hadis dan menyampaikannya. Kedua, karakter moral
dari rantai periwayat, apakah mereka semuanya jujur, secara
moral tidak pernah berdusta dan membuat hadis palsu. Meto-
dologi untuk menilai biografi para periwayat hadis dikenal se-
bagai `ilm al-rijal. Ilmu ini berusaha mengetahui para periwayat
dalam isnad, siapa guru dan murid-muridnya, sehingga diketa-
hui tahun kelahiran dan kematiannya. Tentu saja krieteria ini
bisa diterapkan secara lebih kurang ketat.
Bukhari menuntut perlunya bukti bahwa dua orang
periwayat benar-benar pernah bertemu, sementara Muslim
hanya mempertanyakan adanya bukti bahwa mereka pernah
bertemu. Persoalan kejujuran seorang periwayat merupakan
masalah subjektif. Seorang muhadis pada masa awal Ibn
Mubarak (w. 797) menetapkan 4 (empat) kriteria bagi seorang
periwayat yang berperilaku benar (`adl): ia harus beribadah
secara berjamaah, tidak minum anggur, tidak berkata bohong,
dan tidak menderita penyakit mental. Sangat mungkin muhadis
lain berbeda pandangan mengenai periwayat yang sama. Ibn
Qutaybah misalnya, telah dinilai oleh beberapa muhadis. As-
Suyuti memandangnya sebagai orang yang jujur dan pembe-
lajar. Al-Baiyhaqi menilainya sebagai penganut sekte bidah al-
Karamiyyah. Al-Hakim mengklaimnya sebagai pembohong, dan
az-Zahabi menilainya sebagai seorang antropomorfis (orang
yang memandang manusia sebagai gambaran dari Tuhan yang
transenden).

Model Kajian Teks-teks Keislaman: Studi Hadis 107


Sebagian sarjana Muslim memberikan perhatian kepada
muatan suatu hadis sekaligus. Sebagaimana disebut di muka,
Ibn Qutaybah menolak hadis masyhur yang beredar saat itu atas
dasar kerancuan muatannya. Ibn Qayyim (w. 1350) menulis
proses penolakan hadis berdasarkan muatannya. Menurutnya,
sebuah hadis yang menyatakan Tidak ada Tuhan selain Allah,
bagian pertama dari syahadat, Tuhan menciptakan dari kalimat
ini seekor burung dengan 70.000 bahasa, adalah hadis yang
rancu, dan kontradiksi dengan Sunnah, bertentangan dengan
Al-Quran. Hadis ini lebih mnenyerupai perkataan para mistikus
(Garden, 2005:16-17).
Pada akhirnya standar yang ditetapkan untuk menilai peri-
wayat hadis ada sekitar 12, sejak siqatun sabitun hingga kazzab.
Berdasarkan kriteria ini, hadis dibagi ke dalam dua kelompok:
hadis maqbul dan hadis mardud, dengan masing-masing kategori
terbagi ke dalam beberapa tingkatan. Berdasarkan pada sistem
kritik hadis yang mapan ini, para kritikus hadis Muslim mampu
mengkodifikasi hadis-hadis shahih yang terkumpul dalam kitab
Bukhari dan Muslim, dan banyak hadis lainnya yang tidak di-
pandang sahih, namun memiliki keaslian yang dapat diterima
sehingga dapat digunakan untuk tujuan-tujuan hukum dan iba-
dah.
Sementara itu, para sarjana Barat tidak terkesan dengan ke-
canggihan metode-metode untuk menentukan otentisitas hadis
berdasarkan isnad. Mereka ingin kembali kepada matan atau
muatan dari hadis. Mereka memiliki alasan untuk meragukan
adanya hadis-hadis yang tidak berasal dari masa nabi karena
hadis-hadis itu bicara tentang persoalan-persoalan yang muncul
setelah kematian nabi. Asumsi ini didukung oleh fakta bahwa
sebagian kaum Muslim belakangan berusaha untuk menemu-

108 Zakiyuddin Baidhawy


kan dukungan bagi kelompok atau ajaran mereka engan me-
nyandarkan pandangan mereka kepada perkataan Muhammad
saw. Sebagai contoh adalah masalah suksesi kepemimpinan.
Ada sebagian kelompok yang merasa bahwa Ali bin Abi Tha-
lib adalah orang yang tepat untuk menggantikan Nabi sebagai
khalifah pertama, bukan sebagai khalifah keempat. Dari kelom-
pok ini muncul Syiah. Jadi, para sarjana Barat menjumpai suatu
hadis yang mengatakan: Ketika Nabi masih hidup di antara
kami, kami tidak membandingkan seorang pun dengan Abu
Bakar, sesudahnya dengan Umar dan kemudian Usman. Kami
tidak membeda-bedakan antara sahabat-sahabat Nabi yang ada
(HR. Abu Dawud). Mereka berpendapat bahwa hadis ini bere-
dar setelah nabi wafat dengan tujuan untuk melegitimasi klaim
Ali sebagai khalifah. Juga ada hadis yang memiliki pesan berten-
tangan, bahwa Muhammad saw. bermaksud agar Ali yang men-
jadi penggantinya. Muhammad saw. dikatakan telah bersabda:
Barangsiapa yang ingin menjadi patronku, maka Ali juga pa-
tronnya (HR. Ahmad Ibn Hanbal). Dari contoh ini, jelas bahwa
metode kritik isnad belumlah cukup.
Banyak sarjana Barat melihat matan dan sekaligus isnad
untuk menentukan keaslian suatu hadis, begitu pula mereka
menemukan bukti ketidakaslian suatu hadis berdasarkan isnad
dan matannya. Sebagian mereka memandang bahwa isnad
kadang-kadang tumbuh belakangan. Artinya, pada sumber-
sumber awal, suatu hadis dijumpai dengan isnad yang luas
hingga awal abad ke-8. Pada sumber-sumber berikutnya hadis
yang sama dapat dijumpai namun dengan isnad yang sampai
ke sahabat nabi. Masih pada sumber-sumber kemudian,
hadis yang sama dijumpai dengan isnad yang sampai kepada
Nabi sendiri. Asumsi para sarjana Barat adalah bahwa karena

Model Kajian Teks-teks Keislaman: Studi Hadis 109


pentingnya pertumbuhan hadis dan ilmu kritik hadis menjadi
lebih canggih, yang menuntut suatu hadis memiliki asal-usul
dari Nabi sendiri, hadis dihiasi dengan isnad yang pada akhirnya
tersambung kepada Muhammad saw. Perbedaan-perbedaan da-
lam mendekati hadis ini berangkat dari berbagai pendekatan
fundamental kepada tradisi keagamaan secara keseluruhan.

C. Kajian Sarjana Muslim Modern


Beberapa contoh model kajian yang dilakukan oleh sarjana
Muslim modern, utamanya di Mesir, dapat disajikan berikut
ini (Haredy, 2001). Kajian-kajian mereka berkaitan dengan
persoalan kritik teks yang pada akhirnya dapat meragukan
beberapa catatan tentang hadis. Di antara mereka adalah M.
Rashid Ridha, Mahmoud Abu Rayyah, Ahmad Amin, dan Ismail
Ahmad Adham.
Rashid Ridha (1865-1935) membahas kritik matan. Ia
mempersoalkan beberapa hadis yang tercantum dalam kitab
Bukhari dan Muslim. Menurutnya, pada ahli hadis (muhadisun)
jarang meneliti dan mencermati matan hadis dengan melihat
maknanya. Mereka lebih memfokuskan diri pada isnad dan
konteks dari matan. Ia mengatakan bahwa banyak hadis yang
tampak kokoh isnadnya mesti dikritik dari segi muatannya.
Berdasarkan pandangan ini, ia menolak hadis-hadis jika hadis-
hadis itu baginya tidak dapat diterima secara rasional maupun
teologis, atau jika hadis-hadis itu bertentangan dengan prinsip-
prinsip syariah yang lebih luas (Ridha, 1928: 40).
Mahmoud Abu Rayyah (18891970) mengemukakan banyak
argumen dari berbagai sumber untuk menantang posisi literatur
hadis yang ada selama ini. Hasil penelitiannya menyimpulkan
bahwa hadis-hadis yang disampaikan oleh Abu Hurairah dan

110 Zakiyuddin Baidhawy


hadis-hadis pada umumnya perlu dikaji secara luas agar dapat
dpertanggungjawabkan reliabilitas teksnya. Dalam bukunya
Adwa `ala as-Sunnah al-Muhammadiyyah, Abu Rayyah menyatakan
bahwa metode penelitian dan kajian hadis tidak dapat berubah.
Para muhadisun awal memformulasikan metode-metode yang
membuat mereka membatasi diri untuk mengetahui sebanyak
mungkin karakter periwayat dan biografinya. Mereka tidak
peduli apakah yang mereka riwayatkan itu benar atau tidak,
rasional atau tidak. Lebih lanjut, ia menyatakan bahwa kaum
muhadisun tidak melampaui isnad, teks bukanlah sesuatu
yang sangat penting. Para muhadisun belakangan juga tidak
melampaui batasan-batasan yang dibuat oleh para muhadisun
awal. Akibat dari komitmen pada kriteria awal untuk menguji
otentisitas hadis adalah bahwa ilmu riwayat menjadi kaku sejak
awal-awal Islam dan tidak mau berubah.
Ahmad Amin (18861954) dalam bukunya Fajr al-Islam,
menulis satu bab berkaitan dengan studi hadis. Amin me-
nyatakan bahwa para sarjana meletakkan berbagai aturan yang
sangat hati-hati untuk mengkritik dan menilai hadis yang ter-
lampau rinci. Namun, intinya metode mereka lebih memerha-
tikan untuk menilai periwayat daripada riwayatnya itu sendiri.
Sangat jarang di kalangan mereka yang berpandangan bahwa
apa yang disandarkan kepada Nabi Muhammad saw. tidak dapat
dinilai asli jika tidak rasional karena mempertimbangkan ling-
kungan pada masa itu, atau apa yang dikatakan Nabi tentang ini
dan itu bertentangan dengan fakta-fakta yang populer dan tak
terbantahkan, atau merupakan sesuatu yang asing berhubungan
dengan latar belakang dan karakter Nabi. Sangat sedikit argu-
men semacam ini digunakan.

Model Kajian Teks-teks Keislaman: Studi Hadis 111


Sementara itu, Isma`il Ahmad Adham (19111940) yang
menerbitkan karyanya Min Masadir at-Tarikh al-Islami (1935) di
Mesir, mengatakan bahwa para sarjana hadis dan kritik mereka
tidak mengarahkan pada kritik teks yang dilakukan secara
ilmiah. Pernyataan ini berangkat dari kenyataan bahwa kritik
semacam itu bertentangan dengan prinsip-prinsip utama mereka
dan dengan realitas-realitas yang sudah mapan tentang hadis.
Ini juga, menurut Adham, menggambarkan keraguan tentang
karakter para periwayat hadis termasuk sahabat.
Kajian-kajian dari empat sarjana Muslim di atas memperoleh
respon dan reaksi dari beberapa sarjana Muslim lainnya.
Muhammad Abdur Rauf (1983) misalnya, menyatakan bahwa
penjelasan-penjelasan tentang karya-karya klasik hadis dan para
periwayat yang terhormat telah dilakukan oleh penulis modern
Abu Rayyah. Ratusan halaman ditulis untuk mempertahankan
sunnah dari para penolaknya, khususnya berkaitan dengan
persoalan kritik matan. Kebanyakan karya-karya yang dirujuk
untuk mempertahankan sunnah antara lain karya as-Siba`i
As-Sunnah wa Makanatuha fi at-Tashri` al-Islami dan karya Abu
Syuhbah Difa` `an As-Sunnah wa Radd Syubah al-Mustasyriqin wa
al-Kuttab al-Mu`asirin. Karya as-Siba`i dipandang sebagai karya
terbaik tentang sunnah dan hadis. Mereka menyatakan bahwa
para muhadisun tidak mengabaikan kritik atas muatan hadis di
samping rantai isnad.
As-Siba`i menyebutkan misalnya, 15 kriteria yang dikemu-
kakan oleh para kritikus hadis awal untuk memisahkan hadis-
hadis otentik dari yang palsu dengan memerhatikan muatannya.
Misalnya, hadis tidak boleh bertentangan dengan prinsip-prin-
sip fundamental akal, prinsip-prinsip umum kearifan dan mo-
ralitas, fakta-fakta yang diketahui melalui pengamatan langsung,

112 Zakiyuddin Baidhawy


atau prinsip-prinsip fundamental pengobatan. Hadis-hadis ti-
dak boleh berisi pernyataan-pernyataan yang rancu atau berten-
tangan dengan ajaran dari sumber-sumber yang lebih otoritatif
seperti Al-Quran. Hadis-hadis mesti bersebelahan dengan kon-
disi historis selama masa Nabi, dan riwayat-riwayat tentang ber-
bagai peristiwa yang dikenal luas harus ditolak jika hanya ada
satu saksi yang melaporkannya. Akhirnya, hadis-hadis tidak bo-
leh mengandung kontradiksi secara rasional atau premis-premis
yang bertentangan dengan fakta-fakta sesungguhnya.
Abu Syuhbah mengkritik Abu Rayyah dan Ridha yang
telah memberikan alasan tentang pengabaian kritik muatan
hadis karena fakta bahwa tugas kritik semacam itu bukan
merupakan tanggung jawab teolog dan ahli fuqaha. Muhadisun
awal mengetahui dengan cermat baik riwayah maupun dirayah.
Kenyataan adanya sebagian fuqaha menyerang beberapa hadis
dan menolaknya bukan karena mereka lebih diakui daripada
muhadisun, namun karena mereka kurang mengetahui tentang
ilmu riwayah dan kriteria-kriterianya serta sedikitnya mereka
mempraktikkan kriteria tersebut. Menurut Abu Syuhbah,
jika ada sebagian periwayat yang lebih peduli dengan upaya
mengumpulkan dan menghafal hadis-hadis daripada memahami
muatannya, jumlah mereka sangat sedikit dan para muhadisun
pun memaki mereka karena melakukan hal tersebut.
Abdur Rauf (1986: 558) juga mengkritik klaim kaum
orientalis dan menyatakan bahwa tujuan utama meneliti
isnad adalah memelihara kredibilitas matan. Karena itu, para
muhadisun awal mengumpulkan hadis-hadis otentik dengan
sangat hati-hati dan menolak untuk menerima hadis-hadis yang
bertentangan dengan akal.

Model Kajian Teks-teks Keislaman: Studi Hadis 113


Subhi as-Salih menulis sebuah bab yang menarik tentang
kajian hadis, terkait dengan bentuk dan muatan hadis. Ia
menekankan bahwa para kritikus hadis masa awal percaya
bahwa kajian mereka tentang muatan hadis dan upaya mereka
memelihara koleksi hadis menjadi tidak bermakna jika mereka
tidak diperkokoh dengan ilmu dirayah. Ilmu dirayah ialah
ilmu yang memuat studi analitik dan sejarah perkataan dan
perbuatan Nabi. Ilmu ini bermaksud untuk menyelidiki syarat-
syarat periwayat (rawi) dan apa yang diriwayatkan (marwi). Ia
menolak pandangan yang menyatakan bahwa para peneliti
hadis masa awal lebih cenderung mengkaji isnad daripada
matan. Ia mengklasifikasikan hadis ke dalam beberapa kategori
berdasarkan isnad dan matannya. Ia merujuk pada peran matan
untuk mengeliminir hadis-hadis palsu, karena hadis-hadis palsu
biasanya memiliki bahasa yang lemah, bertentangan dengan
akal dan hati, dan merupakan perkataan-perkataan yang terjadi
pada periode-periode pasca Nabi wafat.
Sementara itu, Syekh Muhammad Al-Ghazali (19171996),
seorang juru bicara utama revivalisme Islam moderat Mesir,
menerbitkan buku tentang sunnah berjudul As-Sunnah an-
Nabawiyyah bayna Ahl al-Fiqh wa Ahl al-Hadis (1989). Untuk
menunjukkan komitmennya pada kritik hadis klasik, al-Ghazali
mencatat dua prinsip kritik matan hadis sebagai berikut: Perta-
ma, matan harus bebas dari syuzuz, yakni bertentangan dengan
sumber-sumber yang lebih terpercaya. Kedua, matan harus be-
bas dari cacat serius (`illah qabihah). Dua syarat ini, menurutnya,
menjamin secara terpercaya tentang kebenaran suatu hadis jika
diterapkan dengan sebenar-benarnya.
Dengan demikian, dari bahasan di muka tentang banyaknya
kaum orientalis dan beberapa sarjana dan kritikus Muslim

114 Zakiyuddin Baidhawy


modern bahwa muhaddisun masa awal telah memberikan
tekanan pada isnad pada saat melakukan kritik hadis, dan
bahwa mereka telah mengabaikan kritik atas muatan hadis itu
sendiri, tidak dapat diterima dan keliru. Karena pada faktanya
para muhaddisun telah mengupayakan kritik hadis baik dari sisi
isnad maupun matannya.

D. Pendekatan Revolusioner: al-Albani


Syekh Muhammad Nasir ad-Din al-Albani dikenal sebagai mu-
hadis kontemporer. Ia memperkenalkan pendekatan revolu-
sioner dalam studi hadis, dan jalannya ini diikuti oleh para
pengikutnya. Masyarakat umum mengetahuinya sebagai salah
seorang pendukung Wahhabi, padahal ia tidak setuju dengan
pandangan-pandangan Wahhabi, utamanya dengan wakil-wakil
mereka yang berasal dari kaum ulama Saudi, berkaitan dengan
persoalan hukum. Al-Albani menunjukkan kontradiksi funda-
mental dengan tradisi Wahhabi yang menjadi pembela eksklusif
Al-Quran, Sunnah dan ijma as-salaf as-salih utamanya mereka
bersandar kepada mazhab fikih Hanbali bagi fatwa-fatwa me-
reka. Menurut al-Albani, hal serupa berlaku bagi Muhammad
bin Abdul Wahhab yang disebut sebagai salafi dalam kredo, na-
mun bukan salafi dalam fikih.
Bagi al-Albani, menjadi salafi yang layak di bidang fikih
mengimplikasikan penempatan hadis sebagai pilar utama
dalam proses yuridis, karena hadis menyediakan jawaban atas
persoalan-persoalan yang tidak ditemukan dalam Al-Quran
tanpa bersandar kepada mazhab fikih yang ada. Karena itu,
ibu kandung seluruh ilmu keagamaan adalah ilmu hadis, yang
bertujuan untuk mengevaluasi kembali oetntisitas hadis-hadis
yang diketahui. Menurutnya, penalaran secara independen

Model Kajian Teks-teks Keislaman: Studi Hadis 115


harus dikeluarkan dari proses ini: kritik matan harus benar-
benar menjadi ilmu formal, maksudnya ilmu gramatika atau
linguistik; hanya sanad yang layak dipertanyakan. Akibatnya,
fokus utama ilmu hadis adalah pada `ilm al-rijal yang juga dikenal
dengan sebutan `ilm al-jarh wa al-ta`dil, yang menilai moralitas
sanad. Pada saat yang sama dan ini bertentangan dengan yang
pertama, al-Albani menyatakan bahwa ruang lingkup penilaian
kembali hadis harus mencakup semua hadis yang ada meskipun
hadis itu sudah termaktub dalam buku-buku hadis Bukhari
dan Muslim, yang menurut al-Albani sebagian dari hadis-hadis
dalam dua kitab ini dinyatakan lemah (Lacroix, 2008: 6).
Sebagai akibat dari metodenya, al-Albani menghasilkan
fatwa-fatwa yang bertentangan dengan ijma Islam umumnya,
dan khususnya dengan mazhab fikih Hanbali/Wahhabi. Misal-
nya, ia menulis sebuah buku di mana ia meredefinisi formula
tentang ibadah yang sesuai dengan praktik Nabi dan berten-
tangan dengan batasan-batasan yang telah dijelaskan oleh se-
luruh mazhab fikih. Ia menyatakan bahwa mihrab yang ada di
masjid yang menunjukkan arah Mekkah adalah bidah, dan ia
menyatakan kebolehan salat di masjid dengan menggunakan
sepatu. Pandangan lainnya yang kontroversial adalah anjuran-
nya bagi bangsa Palestina untuk meninggalkan wilayah yang
dijajah/diduduki karena, menurutnya, mereka tidak dapat men-
jalankan keimanan mereka sebagaimana yang seharusnya se-
suatu yang jauh lebih penting daripada sejengkal tanah. Akhir-
nya al-Albani mengambil posisi menentang terlibat dalam ma-
salah politik dan berulang-ulang ia nyatakan bahwa kebijakan
yang baik adalah menjauhi politik. Ia lebih memilih Persauda-
raan Islam, suatu pandangan yang terus menerus ia gaungkan.

116 Zakiyuddin Baidhawy


Kehadiran al-Albani di Saudi Arabia, ketika ia diundang pada
1961 oleh sahabatnya Syekh `Abd al-Aziz bin Baz untuk mengajar
di Universitas Islam Madinah memperoleh reaksi dari kaum
Wahhabi yang tidak setuju dengannya bahkan menyerangnya.
Kontroversi muncul dari bukunya berjudul Jilbab Perempuan
Muslim, di mana ia berargumen bahwa perempuan Muslim
tidak harus menutupi wajah mereka suatu pandangan yang jelas
berlawanan dengan pandangan Wahhabi dan pada akhirnya
memberikan justifikasi bagi Wahhabi untuk mengeluarkannya
dari Kerajaan Saudi Arabia pada 1963. Ia kemudian kembali
ke kampung halamannya Syiria sebelum tinggal di Yordan
pada 1979. Bagaimanapun, penentangan al-Albani terhadap
pandangan keagamaan Wahhabi bukan sekadar persoalan
intelektual. Dengan mempersoalkan landasan metodologis
yang menjadi dasar legitimasi Wahhabi, ia juga menentang
posisi Wahhabi dalam bidang keagamaan. Dari awal Wahhabi
memapankan dirinya sebagai tradisi keagamaan baik dalam
masalah kredo maupun hukum. Tradisi ini telah dimonopoli
oleh sekelompok kecil aristokrat dari Najd, yang hidup di sekitar
Muhammad bin Abdul Wahhab dan pengikutnya. Setelah
kerajaan Saudi terbentuk, para anggota aritokrat ini menjadi
satu-satunya pewaris sah tradisi Wahhabi. Dalam konteks ini,
banyak ulama independen yang dikeluarkan karena mereka
tidak menerima ilmu yang layak dari ulama yang berkualitas.
Ilmu, menurut tradisi Wahhabi, adalah hasil dari proses
warisan dan tergantung pada sejumlah ijazah yang diberikan
seorang ulama kepada muridnya. Menurutnya, warisan semacam
ini tidak penting sama sekali, karena setiap hadis terbuka untuk
dikritik dan suatu hadis yang diriwayatkan oleh ulama terhormat
sekalipun tidak menjamin keasliannya. Sebaliknya, proses yang

Model Kajian Teks-teks Keislaman: Studi Hadis 117


penting adalah akumulasi. Artinya, seorang ulama hadis adalah
orang yang menghafal sejumlah besar hadis dan lebih penting
lagi adalah biografi sejumlah besar periwayat. Jadi, ilmu hadis
dapat diukur menurut kriteria objektif yang tidak berhubungan
dengan keluarga, suku, atau keturunan, yang mengesampingkan
meritokrasi.[]

118 Zakiyuddin Baidhawy


BAB 6

MODEL KAJIAN ILMU KALAM

I stilah kalam biasanya diterjemahkan sebagai kata atau


firman, namun kata ini menjadi lebih layak maknanya jika
diterjemahkan diskusi atau argumen atau perdebatan.
Mereka yang terlibat dalam diskusi atau perdebatan disebut
sebagai mutakallimun (orang-orang yang mempraktikan kalam
atau perdebatan). Istilah ini memiliki kedudukan khusus ketika
para muhadisun melarang perdebatan semacam ini, karena
kaum Muslim masa awal tidak pernah mengenal dan tak pernah
terlibat dalam perdebatan tersebut. Mereka yang berpartisipasi
dalam perdebatan semacam itu dikatakan berbicara tentang atau
mendiskusikan topik-topik yang terlarang. Para penganjur kalam
juga suka menyebutnya sebagai `ilm al-usul atau `ilm at-tawhid,
dan dengan sebutan tersebut banyak topik terus diajarkan dan
didiskusikan di lembaga-lembaga pendidikan Islam hingga saat
ini.

Model Kajian Ilmu Kalam 119


Kemunculan ilmu kalam adalah akibat dari banyak kon-
troversi yang telah memecah belah komunitas Muslim pada
masa-masa awal. Meskipun kemunculan Islam ditandai dengan
polemik dengan kaum musyrik dan pengikut wahyu-wahyu ter-
dahulu, kontroversi tentang persoalan-persoalan keagamaan
fundamental tidak disukai oleh kaum Muslim awal, khususnya
selama masa hidup Nabi. Namun, perselisihan, utamanya dalam
masalah politik, pecah segera setelah wafatnya Nabi, dan diikuti
dengan tragedi yang membawa pada pembunuhan khalifah Us-
man pada tahun 656, masa di mana perpecahan dalam sistem
politik terjadi setelah kematian Nabi.
Dalam suatu komunitas yang mendefinisikan dirinya ber-
dasarkan identitas keagamaan, perselisihan politik pada akhir-
nya tak terelakkan membawa kepada perselisihan teologis. Per-
selisihan politik di kalangan mereka yang berkehendak untuk
menjadi pemimpin komunitas terbagi ke dalam tiga kelompok:
Khawarij yang menentang khalifah Ali; Murjiah yang berusaha
tetap netral; dan Syiah yang mendukung Ali. Kelompok-kelom-
pok ini berusaha memengaruhi komunitas Muslim secara luas
yang selama ini didominasi oleh mazhab-mazhab arus utama,
utamanya kaum konservatif dan tradisionalis, yang dikenal den-
gan sebutan ahl as-sunnah wa al-jamaah.
Istilah Khawarij berarti pemberontak, kali pertama meru-
juk kepada sekelompok orang yang menentang kepemimpinan
Ali yang diikuti dengan perang Siffin pada tahun 658 antara Ali
dan para pengikutnya berhadapan dengan Muawiyah. Khawarij
tidak memiliki kepemimpinan maupun doktrin sendiri, ia ha-
nyalah merupakan kecenderungan politik militan dengan sikap
yang tidak mudah kompromi. Inti pandangan mereka berkisar
pada masalah kepemimpinan yang absah dan syarat-syarat ke-

120 Zakiyuddin Baidhawy


selamatan. Meskipun pandangan-pandangan Khawarij mem-
buat mereka sendiri terpinggirkan, pengaruh mereka pada ke-
seluruhan komunitas Muslim cukup signifikan. Kebanyakan
mazhab pemikiran yang muncul merespons satu atau lebih pan-
dangan-pandangan Khawarij, khususnya berkaitan dengan isu
kepemimpinan dan status orang berdosa.
Tidak seperti Khawarij, para pengikut Ali yang dikenal
sebagai kelompok Syiah mempercayai akan otoritas ketuhanan
yang tidak perlu diperdebatkan yang diwariskan kepada para
imam. Posisi Ali sebagai imam dan penerus Nabi dikokohkan
oleh wahyu dan bukan sekadar opini. Setiap imam akan
menentukan penerusnya melalui otoritas ketuhanan yang
ada dalam dirinya. Secara teori, Syiah mesti tidak melahirkan
banyak spekulasi teologis, karena ia berupaya untuk mencapai
dan mereproduksi otoritas Nabi dan menanamkannya dalam
diri imam yang hidup, yang memiliki akses langsung pada
kebenaran Tuhan. Secara praktik, Syiah terlibat dalam spekulasi
teologis, khususnya dengan kemunculan doktrin imam yang
tersembunyi, yang merujuk pada perlunya mencari kebenaran
yang dibebankan kepada komunitas.
Dalam dua ekstrem ini, sejumlah besar pandangan tengah-
tengah muncul, khususnya dari kelompok Murjiah. Kelompok
ini menolak untuk mengutuk para pelaku dosa besar (efemisme
untuk perebut kekuasaan) sebagai orang tak beriman, namun
ia juga tidak hendak mengampuni kesalahan mereka, berpan-
dangan agar masalah ini dikembalikan saja kepada Tuhan untuk
memutuskannya kelak di hari akhir. Murjiah juga berasosiasi
dengan netralitas politik dan pendukung status quo.
Di samping tiga kelompok di muka yang berangkat dari
persoalan politik pada awalnya, kemudian mereka mengambil

Model Kajian Ilmu Kalam 121


argumen-argumen teologis untuk mendukung posisi politik
mereka, juga terdapat kelompok-kelompok yang memang fokus
pada persoalan teologi. Kelompok pertama adalah Qadariyyah.
Mazhab ini mendukung kebebasan mutlak kehendak manusia.
Tuhan tidak mungkin memberikan beban kewajiban kepada
manusia untuk bertindak yang benar jika manusia tidak me-
miliki kekuasaan untuk memilih arah bagi tindakan mereka
sendiri. Pandangan mereka berbeda dengan Jabariyyah. Jahm ibn
Safwan (w. 746) sebagai juru bicara kelompok ini memandang
bahwa tak ada sifat-sifat yang dapat disandarkan kepada
Tuhan melainkan Ia maha pencipta, berkuasa dan bertindak,
karena sifat apa pun yang disandarkan kepada makhluk tidak
cocok untuk disandarkan kepada Tuhan. Karena Tuhan adalah
Pencipta dan Pelaku inti, tindakan-tindakan manusia juga telah
diskenariokan oleh Pencipta sendiri. Karena itu, kita sebagai
pribadi tidak memiliki kendali atas tindakan-tindakan kita dan
tidak ada kehendak bebas. Jahm juga mengatakan bahwa karena
Tuhan tidak dapat dipandang sebagai pembicara, Al-Quran
tidak dapat dikatakan sebagai firman-Nya, kecuali dalam arti
telah diciptakan oleh-Nya.

A. Kemunculan Ilmu Kalam


Mazhab-mazhab terdahulu merupakan kelompok-kelom-
pok yang tidak memiliki bentuk, sangat cair baik dalam ke-
anggotaan maupun ajaran. Dengan perkecualian Syiah, yang
kemudian mengembangkan sejumlah sekte di dalamnya, kecen-
derungan-kecenderungan ini muncul dalam kecenderungan-ke-
cenderungan lainnya. Munculnya wacana teologi sistematis baru
terjadi setelah kemunculan Mu`tazilah. Hubungan kalam de-
ngan Mu`tazilah yang digambarkan sebagai rasionalis militan,

122 Zakiyuddin Baidhawy


menentukan wacana dan nasibnya. Mu`tazilah berusaha untuk
mensistemastisasi ajaran agama dalam skema rasional yang ber-
pusat pada penegasan keesaan Tuhan dan keadilan-Nya yang
mutlak.
Elitisme Mu`tazilah dan pencarian mereka akan nalar bagi
segala sesuatu, menurut asy-Syahrastani, telah mengalienasi ke-
cenderungan-kecenderungan arus utama yang lebih konservatif.
Kaum konservatif sering mempersoalkan wacana teologis yang
dibela oleh Mu`tazilah tanpa mendalami terlebih dahulu mua-
tannya, dan mereka sering menuduh mazhab ini sebagai bidah.
Sikap ini diungkapkan secara jelas oleh Malik ibn Anas (w. 795)
ketika ia diminta untuk menjelaskan bagaimana Tuhan dapat
dikatakan berdiri dengan dirinya sendiri sebagaimana disebut
dalam Al-Quran. Berdiri dengan dirinya sendiri adalah sesuatu
yang diketahui, asal muasalnya tidak diketahui, kewajiban kita
adalah mempercayainya dan bertanya mengenainya adalah bi-
dah. Berkaitan dengan keadilan Tuhan, para muhadisun me-
nolak upaya Mu`tazilah mengedepankan konsep manusia dan
konsep rasional tentang keadilan. Tidaklah bermakna berbicara
tentang keadilan dalam konteks ini, karena Tuhan adalah pe-
nguasa mutlak atas segala ciptaan-Nya, yang artinya apa pun
yang Ia lakukan adalah keadilan.
Pertentangan antara dua aliran ini juga menyentuh masalah
penciptaan Al-Quran yang muncul pada pertengahan pertama
abad ke-9. Inkuisisi yang dilakukan oleh Mu`tazilah dengan
bantuan dari penguasa pada masa itu Khalifah al-Mamun (813-
833) untuk memaksakan ajaran-ajarannya telah membahaya-
kan bukan semata bagi Mu`tazilah sendiri bahkan juga disiplin
ilmu kalam. Meskipun ilmu kalam kemudian dibangkitkan
oleh ortodoksi yang dilakukan oleh Abu al-Hasan al-Asyari

Model Kajian Ilmu Kalam 123


dan tokoh lainnya, ilmu dan seni berargumentasi mengenai
masalah keimanan ini dengan tanpa bantuan akal manusia akan
mengalami kejatuhan dan kemunduran yang dimulai pada abad
ke-6.

B. Definisi dan Bahasan Ilmu Kalam


Ilmu kalam adalah suatu ilmu yang mengkaji ajaran-ajaran
dasar keimanan Islam (usuluddin). Ilmu ini mengidentifikasi
ajaran-ajaran dasar dan berupaya membuktikan validitasnya
dan menjawab setiap keraguan terhadapnya.
Dalam teks-teks tentang logika dan filsafat disebutkan
bahwa setiap ilmu memiliki subjek khusus, dan bahwa berbagai
ilmu dibedakan satu dari yang lain karena perbedaan subjeknya.
Tidak ada yang salah jika kita membentuk suatu disiplin yang
menyatukan subjek bahasan dan problem-problem yang
dicakupnya baik secara arbitrer maupun konvensional, dalam
arti ia mencakup subjek-subjek yang berbeda dan saling
berhubungan, dan menjadi kesatuan karena memiliki tujuan dan
capaian yang sama. Dalam ilmu-ilmu yang subjeknya memiliki
kesatuan esensial, tidak ada kemungkinan terjadinya tumpang
tindih. Namun, dalam ilmu-ilmu yang di dalamnya terdapat
kesatuan konvensional berkenaan dengan persoalan-persoalan
yang dibahas, tidaklah salah jika ada tumpang tindih persoalan.
Kesamaan problem antara filsafat dan kalam, psikologi dan
kalam, atau sosiologi dan kalam, disebabkan oleh masalah ini.
Sebagian sarjana Muslim telah berusaha mendefinisikan
dan mengambarkan garis besar subjek bahasan ilmu kalam,
dan mereka mengungkapkan banyak pendapat. Titik lain
mengapa disiplin ini disebut ilmu kalam dan kapan nama ini
dimunculkan. Sebagian mereka mengatakan bahwa ilmu ini

124 Zakiyuddin Baidhawy


disebut ilmu kalam karena ia memberikan kekuatan ekstra pada
perdebatan dan argumen pada orang yang terlibat di dalamnya.
Sebagian lain mengatakan bahwa penamaan ilmu kalam berasal
dari kebiasaan-kebiasaan para pakarnya yang selalu memulai
pernyataan mereka dengan ungkapan al-kalamu fi kaza. Sebagian
lain menjelaskan bahwa ia disebut kalam karena mendiskusikan
isu-isu yang selama ini tidak dibahas oleh ahli hadis. Menurut
sebagian lainnya, penamaan ini muncul ketika ada isu berkaitan
dengan apakah Al-Quran (kalamullah) itu merupakan makhluk
atau bukan, menjadi bahan perdebatan panas di kalangan
Muslim, suatu kontroversi yang membawa pada perselisihan
antara dua kelompok yang berlawanan dan banyak pertumpahan
darah. Ini juga merupakan alasan mengapa masa itu diingat
sebagai masa mihnah (Mutahhari, 1985). Demikianlah karena
kebanyakan perdebatan tentang ajaran-ajaran keimanan berada
di seputar hadis atau qidamnya firman atau kalam Allah, disiplin
yang membahas ajaran-ajaran pokok keimanan ini disebut
sebagai ilmu kalam.

C. Metodologi Ilmu Kalam


Kalam pada umumnya berkaitan dengan upaya untuk men-
justifikasi kepercayaan keagamaan melalui akal, atau dengan
mempergunakan akal guna menghasilkan kesimpulan dan aki-
bat-akibat baru dari kepercayaan-kepercayaan tersebut. Doktrin-
doktrin kalam meliputi tiga komponen besar: artikulasi tentang
apa yang dipandang oleh suatu mazhab pemikiran sebagai ke-
percayaan-kepercayaan fundamental; konstruksi kerangka spe-
kulatif di mana kepercayaan-kepercayaan tersebut harus dipa-
hami; dan upaya merasionalisasi pandangan-pandangan ini di
dalam kerangka spekulatif yang diterima.

Model Kajian Ilmu Kalam 125


Berbagai mazhab kalam sepakat dengan para muhadisun
dalam menerima otoritas teks sebagai basis untuk komponen
pertama. Namun, mereka tidak sepakat tentang sejauh mana
teks-teks ini mesti tunduk di bawah analisis rasional. Para
muhadisun selalu menyangka bahwa rasio merujuk pada
intelek yang dituduh melakukan bidah; mengapa pula seorang
beriman hendak menggali persoalan-persoalan iman di hadapan
pengadilan rasio manusia yang bisa salah dan terbatas itu?
Kecurigaan para muhadisun terhadap pengaruh dari luar Islam
di balik setiap bidah yang dilakukan oleh kaum kalam telah
direproduksi oleh para peneliti modern, yang berusaha mencari
unsur asing bagi setiap gagasan yang dikemukakan dalam kalam
(Haleem, 1996). Pengaruh non-Islam atas evolusi mazhab-
mazhab kalam, meskipun tak dapat ditolak, mudah menjadi
berlebih-lebihan. Banyak tema kalam masa awal, seperti status
orang berdosa atau persoalan legitimasi politik, muncul dari
konteks Islam sendiri.
Berkaitan dengan komponen kedua kerangka spekulatif,
kelompok-kelompok kalam awal tidak menghasilkan sistem
yang mapan. Kemunculan Mu`tazilah merupakan upaya awal
untuk mengkonstruk sistem tersebut berdasarkan pada lima
prinsip (keesaan Tuhan, keadilan Tuhan, peringatan Tuhan,
manzilah bayn manzilatayn, dan amar ma`ruf nahy munkar).
Mu`tazilah juga membawa pengaruh keyakinan penuh pada
rasio manusia dan akibatnya kurang merujuk pada otoritas teks
yang sering mereka tentang.
Komponen ketiga rasionalisasi atau keselarasan pandang-
an dengan kerangka spekulatif, juga memperoleh tampat de-
ngan munculnya Mu`tazilah yang mencoba mensistematisasi
kerangka kepercayaan keagamaan dan mengharmonikan kom-

126 Zakiyuddin Baidhawy


ponen-komponennya, yang memprovokasi kontroversi men-
dalam karena mereka berusaha menafsirkan kembali unsur-
unsur kunci ortodoksi dalam rangka mencapai tujuan tersebut.
Upaya sistematisasi tak terelakkan membawa pada munculnya
persoalan-persoalan filosofis. Pemikir Mu`tazilah belakangan,
seperti al-`Allaf dan Ibrahim al-Nazzam (w. 846), merefleksikan
dalam tesis-tesis mereka pengaruh teks-teks dan pandangan du-
nia filsafati Yunani yang dipengaruhi oleh spekulasi Hellenistik.
Mazhab Asyariyah khususnya al-Juwayni dan al-Ghazali, secara
formal memperkenalkan alat-alat logika Aristotelian dalam me-
todologi kalam (Pavlin, 1996).
Pengenalan tema-tema dan metode-metode filsafati serta
penggunaan logika formal dalam tradisi Aristotelian menyajikan
perkembangan signifikan dalam kalam. Sebelum itu, argumen-
argumen kalam mempergunakan analisis teks dan linguistik
sebagai alat utama. Meskipun ada pengaruh spekulasi filsafati
dan penggunaan logika Aristotelian, kalam tetap kokoh
bersandar dalam kerangka Islam khususnya. Teks-teks otoritatif
secara rutin dikutip untuk memperkuat argumen, sementara
tuduhan bidah dipandang sebagai cara menolak argumen apa
pun (Watt, 1962).
Meski tanpa bantuan filsafat, Asyariyah memperkenalkan
dalam kalam skeptisisme yang tajam sehingga berdampak pada
bidang argumen rasional. Skeptisisme ini diperkenalkan secara
panjang lebar oleh al-Ghazali (1985) yang menggunakannya
untuk menggusur Neoplatonisme dari para filosof yang telah
dipengaruhi Hellenisme. Pendekatan ini berpotensi memberi-
kan kontribusi jauh lebih banyak pada kemajuan pengetahuan
daripada replikasi dogmatis dari tesis-tesis filsafati, sayangnya
potensi ini tidak terwujud karena para praktisi kalam lebih ber-

Model Kajian Ilmu Kalam 127


minat pada upaya menghancurkan arugumen-argumen lawan
mereka daripada membangun alternatif-alternatif yang mung-
kin.

D. Mazhab-mazhab Ilmu Kalam


Kaum Muslim berbeda-beda dalam masalah hukum atau
fikih, mengikuti berbagai mazhab dan terbagi ke dalam berbagai
kelompok, seperti Jafari, Zaydi, Hanafi, Shafii, Maliki and
Hanbali, yang masing-masing memiliki fikih sendiri-sendiri.
Hal yang sama terjadi dalam masalah ajaran. Mereka terbagi-
bagi ke dalam berbagai mazhab, dan masing-masing memiliki
seperangkat ajarannya sendiri. Mazhab-mazhab terpenting di
antaranya adalah Syiah, Mutazilah, Asyariyah, dan Murjiah.
Sangat mungkin muncul pertanyaan tentang alasan-alasan
di balik terpecahnya kaum Muslim ke dalam berbagai mazhab
ini berkaitan dengan masalah kalam dan fikih, dan mengapa
mereka tidak dapat mempertahankan kesatuan mereka.
Perbedaan dalam masalah kalam menyebabkan keterpecahan
dalam masalah ajaran Islam dan ketidaksepakatan dalam fikih
membuat mereka terpecah dalam aksi mereka. Dua pertanyaan
ini dapat dibenarkan. Karena itu kita perlu memberika perhatian
kepada dua hal berikut ini.
Pertama, ketidaksepakatan dalam persoalan-persoalan fikih
di kalangan Muslim tidak begitu merusak fondasi kesatuan
pandangan doktrinal dan praktik keagamaan. Ada kesamaan
dalam persoalan doktrin dan praktik sehingga perbedaan dapat
dihadapi dan tidak membawa persoalan serius.
Kedua, perbedaan teoretis dan divergensi pandangan tidak
terelakkan dalam kehidupan masyarakat Muslim meskipun
mereka dapat bersatu dan sepakat dalam hal-hal prinsip, dan

128 Zakiyuddin Baidhawy


sejauh akar perbedaan ini terletak pada metode penyimpulan,
dan bukan pada kelompok kepentingan, mereka tetap
memperoleh keuntungan dari perbedaan itu; karena perbedaan
dan keragaman mendorong mobilitas, dinamika, diskusi,
pengetahuan, dan kemajuan. Hanya ketika perbedaan dikaitkan
dengan prasangka dan perlakuan emosional dan tidak logis, dan
membawa individu untuk saling memfitnah, memojokkan, dan
mengancam, maka ini sangat merugikan.
Menurut keyakinan Syiah, orang diwajibkan untuk meniru
mujtahid yang hidup, dan mujtahidun diwajibkan untuk secara
independen memikirkan tentang persoalan-persoalan dan
membentuk pandangan bebas mereka dan tidak bertentangan
dengan apa yang telah ditangani oleh para pendahulu mereka.
Ijtihad dan pemikiran bebas secara inheren membawa perbedaan
pandangan; namun perbedaan pandangan ini membuat hidup
dan dinamis fikih Syiah. Karena itu, perbedaan di dalam
dirinya sendiri tidak perlu dicaci. Apa yang harus dikutuk adalah
perbedaan yang berasal dari niat jahat dan kepentingan sendiri,
seperti soal imamah dan kepemimpinan, bukan perbedaan
dalam masalah-masalah sekunder.
Sebelum kita membicarakan tentang mazhab-mazhab ka-
lam, penting ditunjukkan bahwa ada sekelompok sarjana di
dunia Islam yang secara mendasar menentang setiap gagasan
dalam ilmu kalam dan perdebatan rasional tentang ajaran-ajaran
Islam, memandangnya sebagai tabu dan bidah bagi keimanan.
Mereka dikenal sebagai ahl al-hadis. Ahmad ibn Hanbal, salah
seorang imam fikih dalam ahl-as-sunnah, adalah salah satunya
dari mereka.
Hanbali secara total menolak kalam, Mutazilah maupun
Asyariyah, apalagi bicara tentang kalam Syiah. Pada faktanya

Model Kajian Ilmu Kalam 129


mereka benar-benar menentang logika dan filsafat. Ibn
Taymiyyah, yang merupakan salah seorang sarjana Muslim
terkemuka dalam Sunni, melontarkan tuduhan yang nyaring
bahwa kalam dan logika itu haram. Jalal al-Din al-Suyuti, figur
lain dari kelompok ahl al-hadis, menulis buku Sawn al-mantiq wa
al-kalam an al-mantiq wa al-kalam. Malik ibn Anas merupakan
imam Sunni yang memandang perdebatan apa pun tentang
masalah-masalah doktrin itu haram hukumnya (Hallaq, 1993).
Mazhab-mazhab kalam yang penting seperti disebut di
muka adalah Syiah, Mu`tazilah, Asyariyah, dan Murjiah.
Beberapa sekte Khawarij dan Batiniyyah, seperti Ismailiyyah, juga
dipandang sebagai mazhab kalam Islam. Namun, dua mazhab
terakhir tidak dapat dianggap sebagai mazhab kalam. Khawarij,
meskipun mazhab ini memiliki kepercayaan-kepercayaan spe-
sifik dalam masalah doktrin, dan barangkali merupakan yang
pertama memunculkan problem doktrin dengan mengemuka-
kan kepercayaan-kepercayaan tertentu tentang imamah, kufr, fasiq,
dan memandang orang tidak beriman sebagai murtad, namun
mereka tidak menciptakan mazhab rasionalis di dunia Islam, dan
pemikiran mereka banyak menyimpang dari padangan Syiah
maupun Sunni. Batiniyyah terlalu liberal dalam bicara tentang
ide-ide Islam berdasarkan esoterisme sehingga sangat mungkin
mereka dituduh telah membuat Islam keluar dari bentuknya dan
inilah mengapa dunia Islam tidak siap menerimanya sebagai
bagian dari mazhab Islam.
Sekitar 40 tahun yang lalu ketika Dar at-Taqrib Bayna al-
Mazahib al-Islamiyyah didirikan di Kairo, mazhab Syiah
Imamiyyah, Zaydiyyah, Hanafi, Syafii, Maliki dan Hanbali,
masing-masing mereka memiliki wakil di dalamnya. Ismailiy-
yah berusaha keras untuk mengirim wakil mereka; namun

130 Zakiyuddin Baidhawy


tidak diterima oleh kelompok Muslim yang lain. Sebaliknya,
Khawarij yang tidak memiliki sstem pemikiran, dan kaum
Batiniyyah yang sangat menyimpang dari atus utama itu, justru
mempunyai mazhab kalam dan filsafat yang signifikan. Mereka
muncul berkat kalangan para pemikir penting mereka yang
telah menulis sejumlah karya. Salah seorang tokoh Ismailiyyah
terkenal adalah Nasir Khusrow al-Alawi (w. /1437-38), seorang
penyair dan penulis Persian dengan karya terkenal seperti Jami
al-hikmatayn, Kitab Wajh ad-Din, dan Khuwan al-Ikwan; Abu
Hatam al-Razi (w. 943-44) dengan karya Alam an-Nubuwwah;
Abu Yaqub al-Sijistani penulis Kashf al-Mahjub; Hamid al-Din
al-Kirmani, murid Abu Yaqub as-Sijistani menulis sejumlah
buku tentang kepercayaan Ismailiyyah; Abu Hanifah Numan
ibn Thabit penulis Daaim al-Islam (Al-Affendi, 1998).

E. Metodologi Kalam Syiah


Jarang kajian Studi Islam menyentuh masalah perkembangan
aliran kalam dalam Syiah. Kalam dalam pengertian argument
rasional dan logis tentang doktrin-doktrin pokok Islam, memiliki
tempat khusus dan unik dalam tradisi Syiah. Kalam Syiah di
satu sisi muncul dari inti hadis-hadis Syiah, dan di sisi lain
bercampur dengan filsafat Syiah. Sekarang kita menyaksikan
pada abad-abad awal bagaimana kalam dipandang bertentangan
dengan sunnah dan hadis oleh Ahl as-Sunnah. Namun, kalam
Syiah bukan semata konflik dengan sunnah dan hadis, ia juga
berakar kuat dalam sunnah dan hadis. Alasan adalah hadis-hadis
Syiah, yang bertentangan dengan korpus hadis menurut Ahl al-
Sunnah, terdiri dari sejumlah tradisi di mana problem-problem
metafisika dan sosial dibahas secara logika dan dianalisis secara
rasional. Namun, dalam korpus Sunni, perlakuan analisis

Model Kajian Ilmu Kalam 131


semacam ini tidak dikehendaki. Misalnya, jika kita menyebut
masalah apa pun seperti qada dan qadar Tuhan, Kehendak
Tuhan Yang Maha Kuasa, Nama-nama Tuhan, Sifat-sifat-Nya,
atau topik semisal masalah ruh, hidup sesudah mati, hisab hari
akhir, sirath al-mustaqim, timbangan/pengadilan hari akhir,
atau persoalan tentang imamah, khilafah, dan semisalnya, maka
tidak ada tempat untuk penjelasan atau argumen rasio mengenai
tema-tema tersebut. Namun dalam korpus hadis Syiah, semua
isu seperti di atas berhubungan dengan penjelasan rasional dan
wacana.
Karena itu, kalam dalam pengertian perlakuan rasional
dan analitik terhadap berbagai problem, telah dijumpai dalam
hadis-hadis Syiah. Inilah mengapa Syiah tidak terbagi menjadi
dua kelompok sebagaimana terjadi dalam Sunni antara Ahl al-
Hadis dan Ahl al-Kalam.
Atas dasar sumber-sumber teks Sunni sebagaimana dikemu-
kakan di atas, nyata bahwa isu doktrin pertama yang muncul
adalah kontroversi mengenai kafir atau fasiq, yang telah dibawa
oleh kelompok Khawarij selama pertengahan pertama abad per-
tama. Kemudian muncul problem kebebasan dan takdir, yang
dimunculkan dan dibahas oleh Mabad al-Juhani and Ghaylan
ad-Dimashqi. Kepercayaan mereka bertentangan dengan keya-
kinan para penguasa Umayyah. Selanjutnya, selama pertengah-
an pertama abad kedua, paham tentang kesatuan Sifat-sifat dan
Hakikat Tuhan dikemukakan oleh Jahm ibn Safwan. Wasil ibn
Ata dan Amr ibn Ubayd, pendiri Mutazilah, mengadopsi keya-
kinan mengenai kehendak bebas dari Mabad dan Ghaylan dan
ajaran kesatuan Hakikat dan Sifat Tuhan dari Jahm ibn Safwan,
dan mereka berdua mengemukakan ajaran baru tentang man-
zilah bayna al-manzilatayn dalam masalah keimanan atau ke-

132 Zakiyuddin Baidhawy


fasikan yang telah mendorong perdebatan dalam isu-isu lainnya
sehingga lahirlah aliran kalam pertama dalam Islam.
Demikianlah cara kaum orientalis dan sarjana Studi Islam
di Barat dan Timur menjelaskan dan menafsirkan asal-usul
spekulasi dan perdebatan rasional di dunia Islam. Kelompok ini
secara sengaja atau tidak telah mengabaikan argumen rasional
dan demonstratif yang pernah dikemukakan kali pertama oleh
Amir al-Muminin Ali. Kebenaran yang merupakan pendekatan
rasional dalam ajaran-ajaran Islam kali pertama diprakarsai
oleh Ali bin Abi Thalib dalam ceramah-ceramah dan diskusinya.
Dialah yang pertama mempelopori pembahasan secara men-
dalam tentang Hakikat dan Sifat Tuhan, kebaruan (hudus)
dan keabadian (qidam), kesederhanaan (basatah) dan susunan
(tarkib), kesatuan (wahdah) and keragaman (kathrah), dst. Semua
ini tercatat dalam Nahj al-Balaghah dan teks-teks otentik hadis-
hadis Syiah. Pembahasan ini memiliki warna dan semangat yang
berbeda sama sekali dari pendekatan Mu`tazilah dan Asyariyah
terhadap kalam, atau dari para sarjana Syiah yang dipengaruhi
oleh kalam pada zamannya.
Para sejarawan Sunni menyaksikan bahwa sejak masa-masa
awal pemikiran Syiah telah mempergunakan pendekatan filsa-
fat. Pendekatan intelektual dan teoretis Syiah tidak hanya ber-
tentangan dengan pemikiran Hanbali yang secara fundamental
menolah gagasan tentang penggunaan nalar diskursif dalam
kepercayaan agama, dan pendekatan Asyariyah yang menolak
kebebasan rasio dan mensubordinasi akal di bawal pendekatan
harfiah, bahkan juga bertentangan dengan pemikiran Mu`tazilah
dengan seluruh preferensinya atas rasio. Karena, meskipun pe-
mikiran Mu`tazilah itu rasional, namun pemikiran mereka lebih

Model Kajian Ilmu Kalam 133


merupakan dialektik atau polemik (jadali), bukan diskursif atau
demonstratif (burhani) (Mutahhari, 1985).
Dalam Filsafat Islam, kita dapat membedakan antara filsafat
peripatetik (hikmat al-masysya) dan filsafat illuminasionis (hik-
mat al-ishraq), perbedaan antara pendekatan kalam dialektik
(Mutazilah dan Asyariyah) dan pendekatan mistik atau intuitif
terhadap isu-isu filsafat. Inilah mengapa mayoritas filosof Islam
adalah Syiah. Syiah telah memelihara dan menjaga filsafat Is-
lam agar tetap hidup, karena mereka lekat dengan semangat dari
para imam mereka Ali.
Para filosof Syiah, tanpa hendak memasukkan filsafat
dalam kalam dan tanpa mentransformasi filsafat rasional dalam
filosofisasi dialektik, telah mengkonsolidasi basis ajaran Islam
di bawah ilham dari wahyu Al-Quran dan prinsip-prinsip
utama dari para pemimpin mereka. Jika kita hendak mendaftar
para mutakallimun Syiah yang telah menerapkan pemikiran
rasional pada doktrin tentang keimanan, maka kita dapat
mengelompokkannya ke dalam kelompok muhadisun sekaligus
kelompok filosof Syiah di kalangan mereka. Karena baik hadis
Syiah maupun filsafat Syiah keduanya menjalankan fungsi dari
ilmu kalam yang lebih luas daripada kalam itu sendiri.
Jika kita meninggalkan ucapan-ucapan Imam Ali mengenai
berbagai ajaran yang disampaikan dalam bentuk ceramah, cerita,
atau doa, maka penulis Syiah pertama yang mengumpulkan
doktrin-doktrin imam adalah Ali bin Ismail bin Mitham at-
Tammar. Mitham at-Tammar sendiri adalah seorang orator, ahli
debat, dan salah satu sahabat terdekat Ali bin Abi Thalib. Ali
ibn Ismail adalah cucunya. Ia hidup sezaman dengan Amr ibn
Ubayd dan Abu al-Hudhayl al-Allaf, tokoh-tokoh terkemuka

134 Zakiyuddin Baidhawy


kalam selama pertengahan pertama abad kedua, yang berasal
dari generasi pertama para pendiri kalam Mu`tazilah.
Di kalangan sahabat Ali bin Abi Thalib, ada sekelompok in-
dividu yang disebut sebagai mutakallim oleh Ali sendiri, seperti
Hisyam ibn al-Hakam, Hisyam ibn Salim, Humran ibn Ayan,
Abu Jafar al-Ahwal, Qays ibn Masar, dll. Al-Kafi menghubung-
kan suatu kisah tentang perdebatan antara kelompok ini dengan
penentangnya tentang kehadiran Imam Ali. Kelompok ini hidup
selama pertengahan pertama abad kedua dan dididik dalam ma-
zhab Imam Ali. Ini menunjukkan bahwa para imam ahl al-bayt
bukan hanya terlibat langsung dalam diskusi dan analisis ten-
tang masalah-masalah kalam, mereka juga mendidik murid-mu-
rid untuk menjadi ahli debat dan berargumen. Di kalangan me-
reka, Hisyam ibn al-Hakam mengkhususkan diri dalam bidang
ilm al-kalam, bukan tafsir, fikih atau hadis. Ali sendiri memper-
lakukannya dengan rasa hormat lebih dari yang lain meskipun
ia masih muda saat itu dan sering mempersilahkan dia untuk
duduk.
Dengan sikap Ali yang lebih memilih Hisyam sebagai
mutakallim daripada murid-muridnya yang lain yang ahli
hadis dan fikih, Ali bin Abi Thalib sesungguhnya hendak me-
nunjukkan status kalam sebagai bertentangan dengan hadis
dan fikih. Jelas, sikap Ali ini memainkan peran menentukan
dalam mempromosikan ilmu kalam dan akibatnya mewarnai
pemikiran Syiah dengan karakter dialektik dan filosofik.
Sayangnya, kaum orientalis lebih banyak membisu tentang
semua peristiwa tersebut yang menggambarkan tentang upaya
Ali dan mengabaikan perannya dalam kebangkitan pencarian
rasio dalam persoalan-persoalan ajaran agama.

Model Kajian Ilmu Kalam 135


Keluarga Nawbakht telah menghasilkan banyak pribadi
terkemuka yang kebanyakan adalah mutakllimun. Fadl ibn Abi
Sahl ibn an-Nawbakht sangat dekat dengan perpustakaan Bayt
al-Hikmah dan terkenal sebagai penerjemah dari bahasa Persia
ke Arab. Ishaq ibn Abi Sahl ibn an-Nawbakht, putranya Ismail
ibn Ishaq ibn Sahl ibn an-Nawbakht, putranya yang lain Ali ibn
Ishaq, cucunya Abu Sahl Ismail ibn Ali ibn Ishaq ibn Abi Sahl ibn
an-Nawbakht, yang dikenal sebagai shaykh al-mutakallimin
Syiah, Hasan ibn Musa al-Nawbakht keponakan Ismail ibn Ali,
dan beberapa anggota keluarga lainnya, semuanya adalah para
mutaklallimun.
Ibn Qubbah al-Razi pada abad ke-9 dan Abu Ali ibn
Miskawayh, doktor bidang kesehatan yang sangat terkenal dan
penulis Tahzib al-Akhlaq wa Tathir al-Araq, juga merupakan se-
orang mutakallim Syiah. Mutakkalimun Syiah cukup banyak.
Khwajah Nasir ad-Din at-Tusi, seorang filosof terkenal, ahli
matematika dan penulis Tajrid al-Itiqad, dan al-Allamah al-
Hilli, seorang fakih dan pensyarah terkenal karya Tajrid al-Itiqad,
adalah seorang mutakallim pada abad ke-13.
Khwajah Nasir ad-Din at-Tusi sendiri merupakan filosof
ternama yang telah menciptakan karya kalam yang sangat
kokoh berjudul Tajrid al-Itiqad. Sejak karya kompilasi ini, Tajrid
menarik perhatian semua mutakallimun baik Syiah maupun
Sunni. Al-Tusi dalam banyak hal telah membawa kalam keluar
dari labirin dialektik dan membuatnya lebih dekat dengan
filsafat rasional. Selama masa-masa berikutnya, kalam hampir
benar-benar kehilangan bentuk dialektiknya. Semua pemikir
menjadi pengikut filsafat rasional/diskursif, dan meninggalkan
filsafat dialektik.

136 Zakiyuddin Baidhawy


Para filosofi Syiah setelah al-Tusi membawa problem-
problem esensial kalam ke dalam filsafat, dan menerapkan
metode pencarian untuk studi dan analisis atas problem-
problem tersebut dengan keberhasilan yang lebih besar daripada
yang pernah dicapai oleh mutakkalimun yang menggunakan
metode lain. Misalnya, Mulla Sadra dan Mulla Hadi Sabzawari,
meskipun mereka biasanya tidak dikenal sebagai mutakallimun,
namun mereka jauh lebih berpengaruh dalam pemikiran Islam
daripada mutakallimun mana pun.
Jelas bahwa jika kita membandingkan pendekatan mereka
terhadap teks-teks Islam, seperti Al-Quran, Nahj al-Balaghah,
dan doa-doa serta tradisi yang ditransformasi dari Ahl al-Bayt,
kita akan menemukan pendekatan dan gaya bernalar yang lebih
dekat dengan para guru iman yang asli.[]

Model Kajian Ilmu Kalam 137


138 Zakiyuddin Baidhawy
BAB 7

MODEL KAJIAN TASAWUF

A. Mistisisme: Fenomena Universal

T asawuf atau dikenal sebagai mistisisme Islam adalah feno-


mena universal yang menggambarkan upaya manusia untuk
meraih kebenaran. Tasawuf juga dikenal sebagai pengetahuan
intuitif tentang Tuhan atau Realitas Ultim yang diraih melalui
pengalaman keagamaan personal. Yakni kesadaran akan realitas
transenden atau Tuhan melalui meditasi atau kontemplasi
batin. Atau disebut juga sebagai sesuatu yang memiliki makna
tersembunyi atau makna simbolik yang mengilhami pencarian
atas sesuatu yang misteri dan dahsyat. Sedangkan sufi ialah
orang yang berusaha mencapai kesatuan dengan Tuhan melalui
kontemplasi spiritual.
Dalam buku Sufism: An Account of the Mystics of Islam, A.
J. Arberry (1950: 11) menyatakan bahwa kaum orientalis dan

Model Kajian Tasawuf 139


sejarawan agama melihat tasawuf dengan cara seragam. Tasawuf
dipandang sebagai fenomena dunia yang permanen dan tunggal.
Arberry menegaskan bahwa pengamatan atas fenomena tasawuf
atau mistisisme sebagai tunggal dan serupa, apa pun agama yang
dianut oleh seorang sufi/mistikus, adalah suatu pemahaman
yang banal.
Para sarjana kontemporer berjuang untuk memahami
keragaman dan dinamika yang ada dalam fenomena mistik
sebagaimana termanifestasi dalam berbagai tradisi. Mereka
berupaya menelusuri berbagai makna dan ragam kesimpulan
tentang tasawuf yang diambil dari berbagai konteks. Clifford
Geertz (1971: 23-24) menyatakan bahwa penggunaan konsep-
konsep tentang tasawuf/mistisisme harus berdasarkan pada
studi mengenai keragaman sebagaimana yang kita jumpai,
bukan memformulasi generalisasi yang seragam dan definisi
yang berlaku untuk semua. Dengan cara demikian, konsep-
konsep seperti mistisisme dan mistikus, tasawuf dan sufi men-
jadi sangat kaya dan berakar. Kita perlu menganalisis hakikat
keragaman sebagaimana adanya, kemudian menelusuri berba-
gai makna dan konseo-konsep itu. Karena itu kajian semacam
ini setidaknya akan mempelajari fakta-fakta yang ada dalam
keragaman itu. Sementara sarjana lain seperti Rhys Davids yang
ahli dalam kajian Budha, kebingungan dengan kompleksitas
dan keragaman dalam konsep-konsep mistikus atau mistisisme
sehingga ia berkesimpulan bahwa menggunakan istilah-istilah
tersebut lebih banyak membingungkan daripada membantu
(Awn, 1983).
Perdebatan semacam ini muncul dari dua mazhab pemikir-
an yang berbeda, antara mereka yang cenderung melakukan
generalisasi dan esensialisasi. Jika kita menggeneralisir maka

140 Zakiyuddin Baidhawy


kita akan terperangkap dalam marjinalisasi, jika bukan pe-
ngabaian atas idiosinkresi dan partikularitas konsep yang ada
dalam berbagai konteks dan tradisi. Jika kita tidak melakukan
generalisasi, lalu terjebak pada esensialisasi, maka kita tidak
akan menemukan kesamaan landasan di mana agama-agama
dan tradisi-tradisi besar berjumpa. Jadi perlu dinyatakan
secara lantang bahwa esensialisasi dan generalisasi, keduanya
merupakan alat analisis perbandingan yang tidak terelakkan.
Kemanusiaan tidak dapat berkomunikasi tanpa generalisasi, dan
tidak dapat berada tanpa esensialisasi. Keduanya bukan hanya
alat analisis yang diperkenankan bahkan juga penting dan tak
mungkin dihindarkan.

B. Spirit: Domain Ketiga Ajaran Islam


Untuk dapat memahami tasawuf sebagai sebuah kajian keis-
laman, kita perlu menelusuri ajaran-ajaran yang dikemukakan
oleh Al-Quran dan Sunnah. Seperti kita ketahui bersama, Islam
mengemukakan tiga domain utama kepedulian manusia. Tiga
domain tersebut yaitu tubuh, pikiran, dan jiwa; atau perbuatan,
pengetahuan, dan wujud. Tubuh merupakan realitas aktivitas,
ketaatan ritual, dan hubungan sosial; pikiran adalah realitas
persepsi, kepercayaan, pengetahuan dan pemahaman; dan jiwa
adalah wilayah kesadaran terdalam tentang diri dan komunika-
si langsung dengan Realitas Ultim yang disebut Tuhan, Wujud
yang sesungguhnya dan nyata.
Barangkali Al-Quran merupakan satu-satunya kitab suci yang
unik dalam arti ia menekankan pentingnya pengetahuan dan
pemahaman. Banyak perkataan Muhammad saw. menguatkan
pentingnya mengetahui sesuatu dengan benar. Karena penekanan
atas pengetahuan ini, peradaban Islam ditandai dengan tingkat

Model Kajian Tasawuf 141


belajar dan keilmuan yang tinggi. Sejak awal Islam merupakan
kebudayaan buku yang sangat kaya. Ini merupakan salah satu
poin utama dari studi klasik yang dilakukan oleh orientalis
Franz Rosenthal berjudul Knowledge Triumphant: The Concept of
Knowledge in Medieval Islam.
Sejak peradaban Islam berkembang, banyak Muslim meng-
abdikan diri untuk mencari ilmu. Mereka bukanlah kaum pen-
deta ataupun para menteri, karena Islam tidak mengenal kelas
pendeta. Mereka adalah orang-orang biasa yang secara serius
mengkaji Al-Quran dan Sunnah Nabi untuk memperoleh pe-
ngetahuan.
Karena pengabdian kepada ilmu dan pemahaman, kaum
Muslim mengkaji dan mengasimilasi kebijaksanaan suci yang
diletakkan oleh Al-Quran dan Nabi dengan perhatian lebih pada
analisis, penjelasan, dan sistematisasi. Banyak orang berminat
untuk mempelajari segala hal dengan tujuan untuk mengetahui
tentang cara-cara yang pantas untuk memperlakukan tubuh
yakni aktivitas-aktivitas personal, sosial, dan ritual. Apa yang
sesungguhnya diperintahkan Al-Quran agar dilakukan oleh
manusia? Bagaimana Muhammad saw. melakukan perintah-
perintah Al-Quran dalam praktik? Bagaimana kita melaksanakan
lima rukun Islam syahadat, salat, zakat, puasa, dan haji?
Bagaimana cara yang baik untuk pergi ke toilet, mensucikan
diri, dan makan makanan? Apa aturan-aturan yang benar untuk
aktivitas antarpersonal, perkawinan, warisan, perdagangan? Jadi,
mereka berusaha untuk mencari jawaban atas semua pertanyaan
yang berkaitan dengan aktivitas tubuh.
Sebagian Muslim lain lebih banyak memerhatikan ba-
gaimana memahami apa yang mesti diimani, yang mencakup
iman kepada Allah swt., kitab-kitab suci, malaikat, nabi-nabi,

142 Zakiyuddin Baidhawy


hari akhir, dan ketentuan Tuhan. Kaum Muslim yang fokus pada
upaya memahami masalah keimanan ini yakin bahwa keiman-
an seseorang tergantung pada pengetahuannya. Pernyataan
keimanan kepada Allah swt. dari orang yang bodoh dipandang
sebagai kebodohan. Tidak seorang pun percaya kepada Allah swt.
tanpa mengetahui siapa Tuhan sesungguhnya dan apa realitas-
Nya? Sama halnya, tidak seorang pun dapat mengklaim percaya
kepada objek-objek keimanan yang lain tanpa pengetahuan.
Semua orang yang ingin mencapai pemahaman memadai
mengenai objek-objek keimanan harus mengabdikan diri
mereka untuk mempelajari wahyu Allah swt. dalam Al-Quran
dan perkataan-perkataan Nabi. Belajar dan ilmu sangat esensial
dalam Islam.
Sedangkan sebagian kelompok Muslim lainnya lebih me-
merhatikan bukan pada aktivitas atau pemahaman, namun
pada pengembangan cinta, ketulusan, kehormatan, keadilan,
dan kejujuran yang diperintahkan oleh Al-Quran dan dicon-
tohkan oleh Muhammad saw., baik berkaitan dengan hubung-
an hamba-Tuhan maupun antarsesama manusia. Bagi mereka
pertanyaan yang mendasar adalah: Bagaimana seseorang dapat
menjadi pribadi yang baik? Bagaimana ia dapat mengembang-
kan seluruh karakter dan kebaikannya sebagaimana dijumpai
pada diri Muhammad saw. dan nabi-nabi lain dan para kekasih-
Nya?
Orang lain boleh jadi bertanya mengapa kebanyakan
sarjana Muslim menjadi spesialis dalam satu dari tiga domain
ini daripada berupaya mencakup ketiganya. Pertama, pada
umumnya mereka mencoba merengkuh ketiga domain itu,
namun melakukan pekerjaan ini merupakan tugas berat yang
melampaui kebanyakan orang, meskipun ada perkecualian

Model Kajian Tasawuf 143


pada sebagian kecil orang. Para sarjana biasanya akan memilih
mengetahui secara mendalam tentang satu dari ketiganya.
Spesialisasi merupakan gambaran umum semua orang yang
ingin mengetahui sesuatu secara penuh dan menyeluruh.
Masing-masing dari tiga domain pengetahuan Islam ini aktivitas
manusia yang benar, pemahaman yang benar tentang Tuhan dan
dunia, dan aktualisasi kebajikan dan kebaikan dapat dianalisis
dan dikaji secara terus menerus.
Kedua, spesialisasi dipilih karena setiap manusia memiliki
kecenderungan, keterbatasan, dan kelebihan sendiri-sendiri.
Fakta bahwa seseorang memperoleh anugerah lihai bersepak
bola bukan berarti bahwa ia mesti akan mahir juga dalam
bidang matematika, melukis atau main musik. Orang yang
memiliki pemahaman tinggi mengenai hukum agama karena
kemampuannya menurunkan aturan-aturan yang benar dari
perintah dan prinsip-prinsip wahyu, belum tentu ia mempunyai
kelebihan dalam bidang teologi, atau menjadi orang yang lebih
berbakti.
Sejak permulaan Islam, menjadi seorang Muslim berarti
mengakui bahwa Al-Quran dan Nabi Muhammad saw.
memberikan petunjuk dan bimbingan bagi tubuh, pikiran dan
jiwa agar selaras dengan tujuan Tuhan dalam menciptakan dunia.
Namun demikian, setiap orang memiliki pandangan berbeda-
beda berkaitan dengan apa yang paling penting dan bagaimana
mereka mempraktikkannya. Sebagian Muslim secara alamiah
cenderung menempatkan prioritas utama pada tubuhnya,
sebagian lain lebih mementingkan perhatiannya pada pikiran
dan memperluas pemahamannya tentang Tuhan dan ciptaan-
Nya, dan sebagian lainnya lagi percaya bahwa keseluruhan
eksistensi manusia adalah mengkaitkan tubuh dan pikiran

144 Zakiyuddin Baidhawy


dengan maksud untuk memperkuat jiwa dan untuk mencapai
kesatuan dengan Realitas Ultim.
Spesialisasi dalam mengkaji Islam belum jelas hingga abad
ke-9. Sebelum masa itu, kebanyakan sarjana lebih banyak ber-
minat untuk mentransmisi semua yang diterima dari Allah swt.
dan Muhammad saw. Sedikit demi sedikit mereka yang mende-
dikasikan banyak upaya untuk memberikan petunjuk bagi akti-
vitas yang layak lebih dikenal sebagai para fukaha. Mereka me-
nyibukan diri dengan pemahaman tentang prinsip-prinsip dan
aturan-aturan dalam aktivitas Islam berdasarkan pada Al-Quran,
perkataan dan tindakan Muhammad saw., pendapat para sahabat
Nabi, dan pandangan-pandangan Muslim generasi awal.
Para sarjana yang fokus untuk memahami objek-objek
keimanan telah terbagi ke dalam beberapa mazhab pemikiran.
Teolog dogmatik mengatakan bahwa cara terbaik memahami
Tuhan adalah dengan penafsiran rasional atas Al-Quran. Para
filosof menyatakan bahwa rasio manusia merupakan petunjuk
yang cukup menuju kebenaran sesuatu dan bahwa wahyu
Tuhan dapat dilepaskan dari pemahaman tentang kebenaran
itu. Sementara kaum sufi memandang cara terbaik dan jalan
paling bertanggung jawab menunju pemahaman ialah kesatuan
langsung dengan Tuhan. Kaum sarjana yang bergabung dengan
tasawuf mengembangkan metodologi tersendiri.

C. Perspektif Memahami Tasawuf


Kosakata tasawuf dan sufi telah luas dipergunakan di kalang-
an akademisi maupun kalangan awam khususnya di Baghdad
dan Khurasan pada pertengahan kedua abad ke-9, meskipun ada
sebagian kritikus tidak bersepakat tentang asal-usul kata terse-
but.

Model Kajian Tasawuf 145


Sebagian sejarawan mengatakan bahwa sebutan sufi di-
tujukan kepada mereka yang menggunakan pakaian dari wol.
Sebagian lain menyatakan kata sufi berasal dari tahapan spiritual
pertama (saff awwal), dan yang lain mengatakan demikian
karena sufi mengklaim diri sebagai ashab al-suffah, yakni orang-
orang yang suka berkumpul dan duduk-duduk di sekitar masjid
Nabawi, dan sebagian lain menyebutnya berasal dari kata shafa,
yang artinya bersih, murni.
Penting untuk dicatat bahwa sufisme sebagai suatu gerakan
pada masa-masa awal perkembangannya tidak lain merupakan
upaya interiorisasi Islam, sebagaimana dikemukakan oleh
Annemarie Schimmel, yang menekankan Al-Quran, Sunnah
dan pelaksanaan syariah. Orientalis Perancis Louis Massignon
(1954) menyatakan bahwa sufisme berasal dari Al-Quran yang
secara terus-menerus dibaca, direnungkan, dan dialami, dan
itulah yang kemudian menjadi asal-usul dan berkembangnya
sufisme. Memegang teguh Al-Quran dan Sunnah merupakan
pemahaman sejati tentang sufisme atau tasawuf.
Sufisme atau mistisisme Islam dipandang dan dibahas oleh
kaum orientalis sekaligus kebanyakan sarjana Barat melalui
kacamata Kristen. Ia dipandang sebagai gerakan spiritual
Islam, yang memisahkan gerakan dari esensi praktiknya, yang
menggambarkan pendekatan bipolar. Meskipun mistisisme
diakui sebagai fenomena dunia dan menjadi bagian dari
tradisi semua agama seperti Kristen, Yahudi, Hindu, Budha, dll,
menariknya pendekatan terhadap mistisisme bersandar pada
paham dan konsepsi Kristen. Sufisme lalu disajikan sebagai
mistisisme versi Islam. Tidak mengherankan jika para pembaca
segera menilai pengaruh Kristen atas sufisme Islam. Sufisme
menjadi bahan pembicaraan yang ramai, namun menurut

146 Zakiyuddin Baidhawy


pemahaman Kristen dan melalui jiwa Kristen. Pengalaman
pantheistik dari tokoh-tokoh sufi seperti Abu Mansur al-Hallaj
dan Abu Yazid al-Bistami menjadi kuat disoroti dalam kajian-
kajian tentang tasawuf, karena mereka menyentuh paham
Kristen tentang kesatuan dengan Tuhan. Tarekat-tarekat sufi
dipandang sebagai komunitas biara seperti Gereja pada abad
pertengahan. Lebih penting dari semua itu, sufisme dipahami
sebagai sekadar gerakan spiritual sehingga selalu didiskusikan
secara terpisah dari syariah. M. Hodgson dalam the Venture of
Islam membedakan antara apa yang disebut individu yang
berorientasi sufi dan individu yang berorientasi syariah, karena
baginya mentalitas Kristen memiliki dua kecenderungan yang
tidak selaras.
Pendekatan Islam adalah bipolar. Kesatuan bipolar, seba-
gaimana dikemukakan oleh Ali Izet Begovic (1994: 203-205),
merupakan kenyataan bahwa Islam adalah agama yang menyatu-
kan jalan spiritual dan jalan material, individu dan sosial, jiwa
dan tubuh. Tidak seperti agama-agama lainnya semisal Kristen
atau Hindu yang hanya menekankan pada aspek spiritual dan
non-material. Menurut logika tarekat-tarekat biara dalam dua
agama tersebut, pengabaian terhadap tubuh akan memperkuat
spiritualitas. Dua agama tersebut mengasumsikan semakin ke-
pentingan fisik kurang diperhatikan maka kepentingan spiritual
makin ditekankan.
Dalam Islam, tubuh dan jiwa, fisik dan spiritual, individu
dan sosial, bersatu dalam pandangan hidup Muslim. Menger-
jakan salat misalnya, memerlukan kebersihan fisik sekaligus ke-
bersihan spiritual. Salat menjadi tidak berguna tanpa bersuci.
Karena itu salat bukan semata ibadah bahkan juga disiplin dan
kesehatan sekaligus. Ia bukan semata mistisisme namun juga

Model Kajian Tasawuf 147


praktik. Dualitas ini terus diulang-ulang. Pernyataan bahwa ke-
bersihan fisik adalah salah satu aspek dari iman hanya dijumpai
dalam Islam. Dalam semua agama-agama lain, tubuh bukanlah
anugerah. Kenyataan bahwa salat berkaitan dengan waktu ter-
tentu dan arah tertentu berarti bahwa salat itu terikat dengan
hakikat dan gerakan-gerakannya. Tindakan individu dalam salat
juga bersandingan dengan kehidupan sosial. Kecenderungan so-
sial dari salat ditunjukkan dalam praktik salat berjamaah. Salat
berjamaah termasuk suatu bentu perkumpulan jamaah dan
sosialisasi di antara mereka. Jadi, bertentangan dengan paham
bahwa ibadah merupakan ritual individu semata, di sini kita
menyaksikan di mana kehidupan seringkali memisah-misahkan
manusia, justru salat menyatukannya kembali. Dalam kerangka
inilah sufisme berada.

D. Tasawuf dan Modernitas: Pendekatan Fathullah


Gulen
Banyak sudah sarjana yang hendak mengkaji apa hakikat
dari sufisme atau tasawuf itu, lebih-lebih bila dikaitkan dengan
relevansi tasawuf dengan modernitas dan zaman modern. Di
satu sisi kaum sufi sendiri pada umumnya menerima istilah
tradisi mistik Islam untuk tasawuf, belum dikatakan sebagai
sebuah gerakan keagamaan, namun lebih merupakan jejaring
gagasan dan praktik keagamaan yang saling berkaitan, yang
bertujuan untuk memahami secara mendalam dan menggapai
keimanan dari pesan-pesan Al-Quran. Sementara itu, kaum
sarjana non-Muslim, sekaligus kaum sufi sendiri, ada yang
mencoba memberikan definisi yang lebih singkat dan padat
tentang tasawuf sehingga tak terelakkan membuat mereka mesti
mengeluarkan unsur-unsur tertentu dan menekankan apa yang

148 Zakiyuddin Baidhawy


dipandang utama di kalangan kaum sufi selama berabad-abad
(Schimmel, 1972: 3-22).
Bagi banyak kalangan sufi awal, tasawuf merupakan sejenis
asketisme dan kesederhanaan hidup yang menjadi kunci menu-
ju Islam sejati. Sebagian lain menekankan cinta sebagai gagasan
utama dan memahami bahwa jalan sufi adalah menuju kesa-
tuan cinta dengan Tuhan. Bagi sebagian lain, tasawuf merupa-
kan jalan kaum sukarelawan yang diambil orang beriman de-
ngan menekankan pada kebajikan dan perilaku moral, sehingga
menuju kesatuan kehendak dengan Tuhan, suatu keadaan di
mana seorang sufi memiliki kehendak sendiri, namun ia ha-
nya berusaha melakukan apa yang menjadi kehendak Tuhan.
Banyak pula kaum mistik melihat jalan sebagai pengetahuan,
menjadi sadar tentang Kebenaran Abadi, kebijaksanaan abadi
dari hati yang hanya menjadi benar di hadapan pandangan
yang benar. Sementara, yang lain menguatkan pentingnya kesa-
tuan seluruh eksistensi sehingga jalan mistik menjadi gerakan
psikologis menuju kesadaran bahwa kita adalah wujud tempo-
ral dari Wujud Abadi yang hadir dalam kosmos. Sebagian sufi
lain menekankan pengalaman mistik luar biasa yang terungkap
dalam keadaan syatahat, yang mengilhami ucapan-ucapan, visi,
dan mimpi-mimpi, sementara yang lain memandang jalan se-
bagai perjalanan kontemplatif menuju Tuhan dalam kesunyian
hati.
Kaum skeptis sering bertanya, bagaimana tasawuf dan
sufi semacam ini benar-benar dapat efektif dan bekerja dalam
dunia modern? Apakah tasawuf mampu membentuk karakter
dan moral individu yang baik sehingga mereka aktif bekerja
untuk mengubah masyarakat dan membuat dunia menjadi
lebih baik? Namun, sejarah telah membuktikan bahwa upaya

Model Kajian Tasawuf 149


mengintegrasikan nilai-nilai tradisional dan keagamaan dengan
wacana modernitas dan sains Barat telah tercatat. Setidaknya
fenomena ini dapat dilihat pada gerakan intelektual sufi selama
lebih dari satu abad di Turki, yang bertujuan untuk menciptakan
keseimbangan antara tatanan sekular dan tatanan keagamaan
di negeri ini. Gerakan ini dikenal sebagai Fathullah Gulen
Movement.
Gerakan Gulen berusaha berintegrasi dengan dunia
modern dengan mendamaikan nilai-nilai tradisional dan
modern. Gerakan ini mencoba menciptakan sintesis gagasan
yang melukiskan upaya-upaya para pemikir nasionalis di
Kerajaan Ottoman terakhir. Misalnya, Ziya Gokalp menekankan
keharusan menciptakan sintesis berdasarkan kombinasi unsur-
unsur yang berasal dari kebudayaan Turki dan dari peradaban
dan teknologi Barat. Gulen dan para pengikutnya melangkah
lebih jauh menerima peradaban Barat sebagai fondasi yang
cocok untuk kehidupan material sementara peradaban Islam
cocok untuk kehidupan spiritual. Patut dicatat bahwa karena
gerakan ini berkarakter konservatif, ia berhasil mengundang
mereka yang melihat sistem politik Turki sebagai sistem yang
terlalu menekankan sekularisme dan modernisasi (Blent Aras
and Omer Caha, 2000).
Karakter unik dari gerakan Gulen terletak pada upayanya
untuk merevitalisasi nilai-nilai tradisional sebagai bagian dari
usaha modernisasi seperti program modernisasi pemerintah
Turki. Sejauh ini, gerakan tersebut memperoleh keberhasilan
dalam upaya mengharmonikan dan mengintegrasikan secara
historis berbagai wilayah Turki dan mendamaikan ratusan
tradisi lama dengan tuntutan modernitas. Singkatnya, Gulen
berusaha membangun Islam gaya Turki, mengingat Otoman

150 Zakiyuddin Baidhawy


masa lalu, mengislamisasi nasionalisme Turki, menciptakan
kembali hubungan absah antara negara dan agama, menekankan
demokrasi dan toleransi, dan mendorong hubungan dengan
Republik Turki.
Tasawuf harus menjadi gerakan toleransi dalam arti luas
sehingga membuat kita dapat menutup mata kita atas kesalahan
orang lain, menunjukkan penghargaan atas perbedaan gagasan,
dan memaafkan segala hal yang dapat dimaafkan. Bahkan, ketika
hak-hak asasi kita yang tidak dapat dipisahkan telah dilanggar,
kita harus menghargai nilai-nilai kemanusiaan dan mencoba
untuk menegakkan keadilan. Juga ketika kita berhadapan dengan
gagasan-gagasan yang paling kasar dan tidak senonoh pun,
dengan memerhatikan teladan Nabi dan tanpa mengabaikan
keharusan kita meresponsnya dengan kata-kata yang lembut,
sebagaimana dinyatakan dalam Al-Quran dengan qawlan
layyinan (Horkuc, 2002: catatan kaki no. 62).
Kita juga dapat menemukan gambaran ideal yang dikemu-
kakan oleh Gulen dalam The Mission Statement of the Journal-
ists and Writers Foundation, sebuah organisasi yang didirikan
oleh asosiasi Fathullah Gulen untuk mempromosikan dialog
dan kerjasama antaragama. Menurutnya, dunia modern akan
dibentuk oleh sistem dan pendekatan yang menghargai nilai-
nilai universal yang mempertimbangkan cinta, toleransi, pema-
haman dan kesatuan sebagai dasar-dasar yang memilih untuk
mengatasi semua permusuhan, kebencian dan perselisihan me-
lalui persahabatan, toleransi dan rekonsiliasi; yang mengasum-
sikan misi menyampaikan kebudayaan dan pengetahuan bagi
kemanfaatan semua manusia; yang dapat menciptakan keseim-
bangan antara individu dan masyarakat tanpa mengorbankan
satu sama lain; yang memiliki visi besar tanpa terjebak di dalam

Model Kajian Tasawuf 151


perangkap utopia dan tidak mengabaikan realitas; yang percaya
pada perlunya menjaga faktor-faktor determinan seperti agama,
bahasa, ras yang bebas dari berbagai macam tekanan (Michel,
2005).
Tempat-tempat yang tepat untuk menelusuri jejak-jejak
pemikiran Gulen adalah sekolah-sekolah yang didirikan oleh
gerakan yang menggunakan namanya ini. Penting kiranya me-
nampilkan sedikit filosofi dan capaian-capaian dari sekolah-
sekolah ini di mana pun berdiri. Sebagaimana dikatakan oleh
Elizabeth Ozdalga (1999) bahwa sekolah-sekolah Gulen tidak
peduli dengan upaya-upaya proselitisasi atau cuci otak, namun
lebih menekankan pentingnya mengajarkan nilai-nilai dengan
teladan. Ia juga menyatakan bahwa tujuan utama pendidikan
Gulen dalam sekolah-sekolah ini adalah memberikan siswa
pendidikan yang baik, tanpa menekankan orientasi ideologi apa
pun. Satu gagasan mendasar dari para pengikut Gulen adalah
bahwa nila-nilai etika tidak ditransmisikan secara terbuka
melalui persuasi dan pelajaran-pelajaran melainkan melalui
pemberian teladan yang baik dalam perilaku keseharian.
Sekolah-sekolah Gulen menggambarkan suatu paduan
harmonis antara spiritualitas dan modernitas. Di dalamnya,
dengan mudah kita jumpai pegawai administrasi, staf pengajar,
siswa-siswi Muslim dan non-Muslim, para pendidik dan orang
tua siswa. Mereka mencerminkan warga modern, terdidik dalam
ilmu-ilmu sekular, namun memiliki kepedulian sejati atas
nilai-nilai spiritual dan kemanusiaan. Nilai-nilai inilah yang
mereka usahakan untuk dikomunikasikan kepada para siswa
dengan cara mereka sendiri. Mereka menawarkan pendidikan
pada tingkat pertama yang membawa kemajuan bersama dalam
bidang teknologi dengan pembentukan karakter dan ideal-ideal

152 Zakiyuddin Baidhawy


yang luhur. Mereka menyajikan suatu integrasi dan keselarasan
antara modernitas dan nilai-nilai spiritual. Mereka merupakan
salah satu upaya pendidikan yang paling menyenangkan dan
menjanjikan di dunia saat ini.[]

Model Kajian Tasawuf 153


154 Zakiyuddin Baidhawy
BAB 8

MODEL KAJIAN
USUL FIKIH DAN FIKIH

A. Definisi dan Ruang Lingkup

U sul fikih dan fikih mempunyai hubungan yang sangat


erat. Yang pertama merupakan akar dari hukum Islam
yang membahas indikasi-indikasi dan metode-metode di
mana aturan-aturan fikih dideduksi dari sumber-sumbernya.
Indikasi-indikasi ini dijumpai utamanya dalam Al-Quran dan
Sunnah yang merupakan sumber utama syariah. Aturan-aturan
fikih berasal dari Al-Quran dan Sunnah yang sejalan dengan
sejumlah prinsip dan metode yang secara kolektif dikenal
dengan sebutan usul fikih. Sebagian sarjana menjelaskan usul
fikih sebagai metodologi hukum, suatu penjelasan yang akurat
namun tidak lengkap. Meskipun metode-metode penafsiran
dan deduksi merupakan perhatian utama bagi usul fikih namun
ia bukan semata diperuntukkan pada metodologi. Katakanlah

PengantarPengertian
Penulis dan Metodologi Studi Islam 155
bahwa usul fikih merupakan ilmu mengenai sumber-sumber
dan metodologi hukum yang akurat dalam arti bahwa Al-Quran
dan Sunnah merupakan sumber sekaligus materi bahasan di
mana metodologi usul fikih diterapkan. Al-Quran dan Sunnah
sendiri mengandung sangat sedikit metodologi, namun lebih
menyediakan inidikasi-indikasi di mana aturan-aturan syariah
dapat dideduksi. Metodologi usul fikih sesungguhnya merujuk
kepada metode-metode penalaran seperi analogi/qiyas, istihsan,
istishab, dan aturan-aturan penafsiran dan deduksi. Semua ini
didesain untuk berperan sebagai alat bantu menuju pemaham-
an yang benar tentang sumber-sumber dan ijtihad.
Mendeduksi aturan-aturan fikih dari indikasi-indikasi yang
tersedia dalam sumber-sumber merupakan tujuan dari usul
fikih. Fikih pada dasarnya merupakan hasil atau produk dari
usul fikih, dan keduanya merupakan disiplin yang terpisah
meskipun saling berkaitan. Perbedaan utama antara fikih dan
usul fikih ialah bahwa fikih berkaitan dengan pengetahuan
tentang aturan-aturan rinci dalam hukum Islam dalam berbagai
percabangannya, dan usul fikih berkaitan dengan metode-meto-
de yang diterapkan dalam mendeduksi aturan-aturan itu dari
sumbernya. Fikih, dengan kata lain, merupakan hukum itu sen-
diri sementara usul fikih ialah metodologi hukum. Hubungan
antara kedua disiplin ini seperti ikatan antara tata bahasa dengan
bahasa, atau antara logika dengan filsafat. Usul fikih dalam
pengertian ini menyediakan kriteria standar untuk mendeduksi
secara benar aturan-aturan fikih dari sumber-sumber syariah.
Pengetahuan memadai tentang fikih menghendaki hubungan
erat dengan sumber-sumbernya. Inilah yang membawa kita pada
suatu pengertian bahwa fikih merupakan ilmu tentang aturan-
aturan praktis syariah yang diperoleh dari bukti-bukti rinci dari

156 Zakiyuddin Baidhawy


sumber-sumbernya (Amidi, Ihkam, I, 6; Syawkani, Irsyad, P. 3).
Pengetahuan tentang aturan-aturan fikih, dengan kata lain,
harus diperoleh secara langsung dari sumber-sumbernya, suatu
persyaratan yang mengimplikasikan agar seorang fakih mesti
melakukan kontak dengan sumber-sumber fikih. Akibatnya,
seseorang yang mempelajari fikih yang terpisah dari sumber-
sumbernya bukanlah seorang fakih (Cf. Abu Zahrah, Usul,
p. 6). Fakih harus mengetahui bukan hanya aturan bahwa
melanggar hak milik orang lain itu dilarang namun juga bukti
rinci mengenainya dari sumber-sumbernya, yaitu ayat Al-Quran
(2): 188: Janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian
lainnya dengan jalan yang batil.
Tujuan utama usul fikih adalah mengatur ijtihad dan
membimbing fukaha dalam upaya mendeduksi hukum dari
sumber-sumbernya. Kebutuhan akan metodologi usul fikih
merupakan keharusan ketika orang biasa berusaha untuk
melakukan ijtihad, dan risiko kesalahan dan kebingungan dalam
perkembangan syariah menjadi sumber kekhawatiran ulama.
Tujuan usul fikih ialah membantu fukaha untuk memperoleh
pengetahuan memadai tentang sumber-sumber syariah dan
tentang metode-metode deduksi dan inferensi fikih. Usul fikih
juga mengatur penerapan qiyas, istihsan, istishab, istislah, dst, yang
pengetahuannya membantu fukaha untuk membedakan metode
deduksi mana yang paling sesuai untuk memperoleh hukum
syar`i dalam masalah tertentu. Lebih jauh, usul fikih membantu
fukaha untuk menentukan dan membandingkan kekuatan dan
kelemahan dalam ijtihad dan memberikan preferensi dalam
memilih ijtihad yang selaras dengan nash.
Pada dasarnya fikih memang lebih dulu daripada usul fikih
karena usul fikih baru berkembang pada abad kedua hijrah.

PengantarPengertian
Penulis dan Metodologi Studi Islam 157
Selama abad pertama hijrah belum ada kebutuhan akan usul
fikih. Ketika nabi masih hidup, petunjuk dan solusi untuk setiap
masalah yang dihadapi dapat diperoleh dari Nabi langsung
melalui wahyu atau melalui perintahnya. Selama periode itu pula
para sahabat berhubungan erat dengan ajaran-ajaran Nabi dan
keputusan-keputusan sahabat yang diilhami oleh peristiwa yang
sudah ada. Kedekatan pada sumber dan pengetahuan yang lekat
tentang peristiwa-peristiwa membuat para sahabat memiliki
otoritas untuk menjawab masalah praktis tanpa membutuhkan
metodologi (Khallaf, Ilm, p. 16; Abu Zahrah, Usul, pp. 16-17).
Namun, bersamaan dengan semakin luasnya wilayah Islam, para
sahabat mulai tersebar dan akses langsung pada mereka semakin
sulit. Dengan demikian, kemungkinan terjadi kebingungan dan
kekeliruan dalam memahami sumber-sumber teks menjadi
lebih tampak. Perselisihan dan keragaman pemikiran fikih di
berbagai wilayah berbeda menekankan perlunya metodologi
usul fikih. Asy-Syafii datang pada saat kontroversi fikih telah
terjadi antara fukaha Madinah dan Irak, yang dikenal sebagai
ahl al-hadis dan ahl ar-ray. Pada masa ini pula para ulama hadis
berhasil mengumpulkan dan mendokumentasi hadis. Pada
akhirnya para fukaha menjamin keberadaan Sunnah, dan mereka
mulai mengelaborasi hukum, dan karenanya membutuhkan
metodologi untuk mengatur ijtihad menjadi semakin penting.
Konsolidasi usul fikih sebagai disiplin syariah merupakan
kesimpulan logis dari kompilasi sejumlah besar literatur hadis.
Beberapa Contoh Perbedaan antara Fikih dan Usul Fikih
Fikih mengajarkan Usul Fikih mengajarkan
Beribadah hanya wajib Bicara tentang apa arti haram, apa
jika seseorang telah cukup itu mustahab, dst.
kesadarannya (aqil) dan telah
mencapai umur (baligh)

158 Zakiyuddin Baidhawy


Jika seseorang bicara Bagaimana menurunkan aturan
dalam salat, maka ia telah dari sumber yang secara Islam
membatalkan salatnya dapat diterima (bagaimana kita
memahami berbagai perintah
sebagai sunnah yang bertentangan
dengan fardu)
Haram hukumnya makan Siapa yang memiliki otoritas untuk
babi mempersoalkan masalah hukum
dan mendeduksi aturan-aturan
hukum Islam dari sumber-sumber
hukum Islam. Dengan kata lain, apa
syarat-syarat seorang mujtahid dan
apa yang harus ia lakukan ketika
sumber-sumber legislasi tampak
kontradiksi
Mengeluarkan zakat adalah Apa yang dapat digunakan sebagai
kewajiban bukti untuk fatwa (mufti dapat
menggunakan Al-Quran atau mufti
tidak dapat menggunakan horoskop
masa kini)
Jika seseorang kentut maka ia Bagaimana mendamaikan antara
batal wudhu dua bukti yang tampak saling
bertentangan
Salat hanya diwajibkan ketika Bagaimana menafsirkan kode-kode
waktunya tiba bahasan yang bermacam-macam
Wajib hukumnya salat lima Bagaimana mendeduksi aturan baru
waktu sehari berdasarkan aturan yang sudah
ada dalam sumber-sumber hukum
Islam

B. Dua Pendekatan: Teoretis-Rasional dan Deduktif


Seiring dengan lahirnya mazhab-mazhab fikih, berbagai ulama
dari mazhab-mazhab itu mengadopsi dua pendekatan berbeda
dalam mengkaji usul fikih, yakni pendekatan teoretis dan

PengantarPengertian
Penulis dan Metodologi Studi Islam 159
pendekatan deduktif. Pendekatan teoretis atau rasional hanya
digunakan oleh penduduk Hijaz. Setelah menderivasi prinsip-
prinsip dari Al-Quran dan Sunnah, para sarjana mencoba
menyesuaikan pandangan-pandangan mazhab mereka dengan
prinsip-prinsip itu. Jika tidak sesuai, pandangan-pandangan itu
akan dimodifikasi. Ketika menderivasi hukum Islam mereka
bersandar pada taklid, dalam arti membatasi diri mereka hanya
pada teks apa pun yang mereka punyai, dan karena itu dikenal
juga sebagai kaum literalis. Para penduduk Hijaz mengikuti
pendekatan ini karena mereka memiliki akses lebih banyak
kepada hadis-hadis. Ciri-ciri dari pendekatan ini ialah: bebas dari
pendapat-pendapat imam terdahulu; tidak melihat pendapat-
pendapat fikih; terlibat dalam konflik teori dan filsafat tanpa
alasan, yaitu kemaksuman Nabi sebelum kenabian. Tidak wajib
untuk mengikuti tindakan-tindakannya sebelum ia menjadi
Nabi; para pengikut mazhab ini mengembangkan prinsip-
prinsip.
Pendekatan deduktif atau tradisional digunakan oleh pen-
duduk Irak yang melukiskan kebudayaan Persia, yang menekan-
kan penalaran rasional. Pendekatan ini disebut tradisional karena
prinsip-prinsip usul diderivasi berdasarkan atas pandangan-
pandangan imam Abu Hanifah tentang persoalan-persoalan
fikih. Jika salah satu pandangannya kontradiksi dengan prinsip
usul, prinsip itu sendiri yang harus dimodifikasi. Inilah mengapa
sulit bagi mazhab Hanafi untuk mengatakan imam salah. Imam
Karkhi mengatakan: jika prinsip-prinsip bertentangan dengan
pernyataan syekh, maka mungkin sumber dapat dipahami
dengan dua cara dan pandangan ini lebih baik. Ketika berupaya
untuk menderivasi hukum Islam, Abu Hanifah menggunakan
ijtihad bila ia tidak mempunyai sumber yang tersedia (meskipun

160 Zakiyuddin Baidhawy


mungkin ada sumber namun ia tidak mengetahuinya). Karena
itu, mazhab rasionalnya berupaya agar hukum Islam menjadi
praktis dan mudah dipahami. Ciri-cirinya antara lain: sejumlah
prinsip terbatas karena Hanafi hanya mengikuti contoh imam.
Umumnya mazhab ini diikuti oleh penduduk di India, Pakistan,
Turki, Irak, dan kebanyakan negara Islam di dunia. Sementara
itu, mazhab Hanbali diikuti penduduk Saudi Arabia; Maliki
diikuti di Afrika Utara dan Spanyol; Syafii diikuti penduduk
Yaman, Afrika Timur, Indonesia dan Malaysia.
Perbedaan utama antara dua pendekatan ini lebih pada
orientasi dan bukan pada substansi. Pendekatan teoretis sangat
peduli dengan penjelasan ajaran-ajaran teoretis; pendekatan
kedua bersifat pragmatis dalam arti bahwa teori diformulasi
dengan memerhatikan terapannya dalam persoalan-persoalan
yang relevan. Perbedaan antara dua pendekatan ini lebih meng-
gambarkan kerja para pembuat draf hukum dibandingkan de-
ngan kerja seorang hakim. Yang pertama sangat peduli dengan
penjelasan prinsip-prinsip, sementara yang kedua cenderung
mengembangkan sintesis antara prinsip dan persyaratan-per-
syaratan dari kasus tertentu. Pendekatan teoretis dalam kajian
usul fikih diadopsi oleh Mazhab Syafii dan mutakallimun,
yakni ulama kalam dan Mu`tazilah. Pendekatan deduktif sangat
dekat dengan Hanafi. Yang pertama dikenal sebagai usul asy-
Syafiiyyah atau tariqah al-mutakallimun, sementara yang kedua
dikenal sebagai usul al-Hanafiyyah atau tariqah al-fuqaha.
Syafii sendiri sangat peduli dengan artikulasi prinsip-prinsip
teoretik usul fikih tanpa berupaya menghubungkannya dengan
fikih itu sendiri. Sebagai seorang metodolog, ia menetapkan
seperangkat kriteria standar yang diharapkan diikuti dalam
upaya pembentukan aturan-aturan fikih secara terperinci.

PengantarPengertian
Penulis dan Metodologi Studi Islam 161
Penjelasan teoretiknya tentang usul fikih dengan kata lain
tidak mempertimbangkan penerapan praktisnya di wilayah
cabang (furu`). Di samping itu, Syafiiyyah dan mutakallimun
cenderung terlibat dalam isu-isu kompleks yang filosofis yang
boleh jadi memberikan atau tidak memberikan kontribusi
bagi perkembangan aturan-aturan praktis fikih. Dengan cara
ini, bahasan mengenai kemaksuman Nabi sebelum misi
kenabiannya misalnya, dan masalah perolehan status individu
atau wewenangnya sebelum turunnya wahyu syariah, dan juga
persoalan logika dan bahasa yang jauh relevansinya dengan
aturan-aturan praktis fikih cenderung lebih banyak muncul
dalam karya-karya Syafiiyyah dan mutakalllimun daripada
Hanafiyyah. Hanafiyyah telah berupaya menjelaskan prinsip-
prinsip usul fikih dalam kaitannya dengan fikih itu sendiri dan
cenderung lebih pragmatis dalam pendekatan mereka terhadap
masalah ini. Pendek kata, pendekatan teoretik condong meman-
dang usul fikih sebagai disiplin mandiri di mana fikih harus me-
nguatkannya, sementara pendekatan deduktif berusaha meng-
hubungkan usul fikih lebih dekat dengan isu-isu terperinci
dalam wilayah furu` dalam fikih. Misalnya, ketika Hanafiyyah
menemukan prinsip usul bertentangan dengan prinsip fikih
yang mapan, mereka cenderung menyesuaikan teori sehingga
dalam banyak hal konflik yang sedang dihadapi dihilangkan,
atau mereka mencoba membuat pengecualian untuk mencapai
kompromi. Tiga karya penting yang mempergunakan pendekatan
teoretik atas usul fikih adalah Al-Mutamad fi Usul al-Fiqh karya
tokoh Mutazilah Abu al-Husayn al-Basri (w. 436), Kitab al-
Burhan karya Syafiiyyah Imam al-Haramayn al-Juwayni (w.
487) dan Al-Mustasfa karya Imam Abu Hamid al-Ghazali (w.
505). Tiga karya ini kemudian diringkas oleh Fakhr ad-Din ar-

162 Zakiyuddin Baidhawy


Razi (w. 606) dalam bukunya Al-Mahsul. Sayf Ad-Din al-Amidis
menulis karya besar Al-Ihkam fi usul al-Ahkam yang merupakan
ringkasan dengan catatan atas tiga karya di atas.
Karya Hanafi paling awal tentang usul fikih adalah Kitab fi
al-Usul karya Abu al-Hasan al-Karkhi (w. 340) yang diikuti oleh
Usul al-Jassas karya Abu Bakr ar-Razi al-Jassas (w. 370). Fakhr
al-Islam al-Bazdawi (w. 483) menulis karya terkenal Usul al-
Bazdawi, yang ditulis sejalan dengan pendekatan Hanafiyyah.
Karya ini diikuti oleh karya besar lainnya oleh Syams ad-Din as-
Sarakhsi (w. 490) dengan judul Usul al-Sarakhsi.
Fase berikutnya dalam perkembangan literatur usul fikih
ditandai oleh upaya untuk mengkombinasikan pendekatan
teoretik dan deduktif menjadi integral dan tercermin dalam
karya-karya ulama Syafii dan Hanafi pada periode berikutnya.
Kombinasi antara karya al-Bazdawi dan al-Amidi diusahakan
oleh Muzaffar ad-Din as-Saati (w. 694) berjudul Badi an-Nizam
al-Jami Bayn Usul al-Bazdawi wa al-Ihkam. Karya lain yang sama
pentingnya adalah Sadr asy-Syariah Abd Allah bin Masud al-
Bukhari (w. 747) berjudul At-Tawdih yang merupakan ringkasan
dari Usul al-Bazdawi, Al-Mahsul, dan Mukhtasar al-Muntaha karya
fakih Maliki, Abu Umar Usman bin al-Hajib (w. 646). Tiga karya
lain yang terkenal mengkombinasikan dua pendekatan ini ialah
Jam al-Jawami karya fakih Syafii, Taj ad-Din as-Subki (w. 771),
At-Tahrir karya Kamil ad-Din bin al-Humam al-Hanafi (w. 860),
dan Musallam as-Subut karya fakih Hanafi, Muhibb ad-Din bin
Abd asy-Syakur (w. 1119). Akhirnya, daftar karya ini kurang
mantap tanpa menyebutkan karya Abu Ishaq Ibrahim asy-Syatibi
Al-Muwafaqat, yang komprehensif dan barangkali unik dalam
memperhatikan filsafat (hikmah) tasyri dan tujuan-tujuan yang
telah dicapai melalui aturan-aturan syariah yang terperinci.

PengantarPengertian
Penulis dan Metodologi Studi Islam 163
Dua Pendekatan Klasik Usul Fikih
Pendekatan teoretik Pendekatan deduktif
membentuk fikih secara dibentuk dalam sorotan
independen fikih
Nama mazhab Tariqah Al- Tariqah Al-Fuqaha, Usul
Mutakallimin, Usul Al-Hanafiyyah
al-Syafiiyyah
Mazhab Maliki, Syafii, Hanbali, Hanafi terbatas
pemikiran dan Mutazilah (Usul pada bahasa dan
Asy-Syafiyyah) sangat praktis. Mereka
mengikuti para imam.
Pendekatan 1. Menjelaskan doktrin 1. Teori dibentuk
utama teoretik lebih dulu dalam sorotan
dari penerapannya penerapannya pada
pada masalah fikih. persoalan fikih yang
2. Mengartikulasikan relevan.
prinsip-prinsip 2. Dalam pendekatan
teoretik usul fikih pragmatis, prinsip-
secara independen prinsip usul fikih
tanpa harus dijelaskan dalam
menghubungkannya kaitannya dengan
dengan fikih itu fikih itu sendiri (jika
sendiri (seperti ia tidak memberi
membahas sifat fisik pengaruh pada
malaikat). fikih, maka ia tidak
dibahas dengan
tujuan untuk
menderivasi prinsip-
prinsip usul fikih).

164 Zakiyuddin Baidhawy


3. Terlibat dalam 3. Suatu prinsip
isu-isu kompleks usul yang tampak
yang berkarakter bertentangan dengan
filosofis yang dapat prinsip fikih yang
atau tidak dapat mapan menghendaki
berkontribusi pada penyesuaian teori
perkembangan dengan berbagai cara.
aturan-aturan Pembahasan teoretik
praktik fikih. Seperti tidak dijumpai dalam
isu kemaksuman mazhab ini. Karena
Nabi sebelum ia tidak peduli
misi kenabiannya. dengan praktikalitas
Mereka hanya dari sebuah teori.
mendiskusikan Seperti kita tidak
semua ini dengan akan peduli dengan
tujuan untuk kamaksuman
menyempurnakan Nabi sebelum
teori. kenabiannya.
Karya-karya 1. Al-Mutamad oleh 1. Hassan Al-Karhi 340H
besar Abdul Hussayn Al- (951).
Bassri 436H (1044). 2. Usul Abu Bakr Ar-Razi
2. Al-Burhan oleh Al-Jassas 370H (980).
Imam Al-Haramayn 3. Tasis An-Nadhar oleh
Al-Juwayni 487H Ad-Dabbussi 430H
(1094). (1038).
3. Al-Mustasfa oleh 4. Usul Al-Bazdawi 482H
Al-Ghazali 505H (1089).
(1111). 5. Usul As-Sarakhsi
4. Al-Mahsoul oleh 490H (1096).
Fakhruddin Ar-Razi
606H (1209).
5. Al-Ihkaam Fi Usul
Al-Ahkam oleh
Al-Aamidi 713H
(1314).

PengantarPengertian
Penulis dan Metodologi Studi Islam 165
166 Zakiyuddin Baidhawy
BAB 9

MODEL
KAJIAN HERMENEUTIKA:
Studi Hermeneutika
Pembebasan Farid Esack

S ebagai firman Allah swt., Al-Quran sesungguhnya merupa-


kan bentuk nyata campur tangan Tuhan dalam sejarah ma-
nusia. Namun, ia tidak bermakna tanpa campur tangan pikiran
dan kesadaran manusia itu sendiri. Oleh karena itu, cara ma-
nusia mendekati Al-Quran sangat berperan dalam menafsir-
kannya dan menghasilkan makna. Sudah banyak kita jumpai
warisan tradisional tafsir Al-Quran yang berlimpah dalam Is-
lam, sebagaimana telah disebut pada bab terdahulu. Sebagai
akibat perkembangan baru kajian Islam di dunia dan pengaruh
perkembangan ilmu-ilmu sosial dan humaniora yang semakin
canggih pada umumnya, kajian Al-Quran semakin membuka
diri terhadap pertumbuhan metodologi dan pendekatan kon-
temporer.

MODEL KAJIAN HERMENEUTIKA:


Studi Hermeneutika Pembebasan Farid Esack
167
Hermeneutika kontemporer, terutama productive hermeneu-
tics ala Gadamer atau al-Qiraah al-muntijah menurut Nasr Hamid
Abu Zayd (1994:144), membuka pengakuan terhadap cara baru
pembacaan Al-Quran yang menerima fakta adanya prasangka-
prasangka yang sah (Gadamer, 1992: 261). Metode ini ternyata
mengilhami sejumlah sarjana Muslim untuk melakukan inter-
pretasi terhadap fenomena Al-Quran, dapat disebutkan misal-
nya Fazlur Rahman, Mohammed Arkoun, Hassan Hanafi dan
Farid Esack.
Bahasan ini berupaya menyajikan gagasan-gagasan dan
metode Farid Esack dalam menafsirkan Al-Quran melalui
metode hermeneutika. Melalui metode ini, Esack telah mem-
berikan kontribusi kontemporer berjudul Quran, Liberation, and
Pluralism: An Islamic Perspective of Interreligious Solidarity Againts
Oppression (1997). Buku ini bertujuan untuk menunjukkan bah-
wa ada kemungkinan untuk hidup dalam kepercayaan penuh
terhadap Al-Quran dan konteks kehidupan sekarang yang ber-
sama-sama kepercayaan-kepercayaan lain, bekerjasama untuk
membangun masyarakat yang lebih manusiawi; mengembang-
kan gagasan hermeneutika Al-Quran sebagai kontribusi bagi
pengembangan pluralisme teologi dalam Islam; menguji cara
Al-Quran mendefinisikan diri (Muslim) dan orang lain (non-
Muslim) dengan tujuan untuk menciptakan ruang bagi kebena-
ran dan keadilan orang lain dalam teologi pluralisme untuk
pembebasan; dan menggali hubungan antara eksklusivisme ke-
agamaan dan satu bentuk konservatisme politik (yang mendu-
kung apartheid) di satu sisi, dan inklusivisme keagamaan dan
satu bentuk politik progresif (yang mendukung perjuangan-per-
juangan pembebasan) di sisi lain, serta memberinya dukungan
rasional yang bersifat qurani (Esack, 1997: 14).

168 Zakiyuddin Baidhawy


A. Sekilas tentang Farid Esack
Afrika Selatan, tempat Farid Esack dilahirkan dan dibesarkan,
adalah wilayah dengan pluralitas agama. Di Wynberg dan
Bouteheuwel banyak ia jumpai tetangga Kristen di rumah dan
di sekolah. Ia juga bertemu dengan seorang Yahudi bernama
Frank dan Tahirah, perempuan Bahai ketika di sekolah dasar.
Di wilayah ini pula kelompok-kelompok suku asli Khoikhoin,
Nguni, San dan lain-lain, dikenal mempunyai kepercayaan
berbeda-beda, di samping penduduk Muslim asli dan pendatang
dari Indonesia pada pertengahan abad 17. Ada juga Hindu dan
Yahudi yang sudah masuk pada pertengahan kedua abad 19.
Sejak kecil Farid Esack sudah bersentuhan dengan tetangga-
nya yang plural secara agama. Ketika masih kecil, ia telah men-
jadi sekretaris masyarakat yang bertugas mengatur masjid dan
sebagai guru madrasah. Ia adalah orang yang sangat beragama
dengan perhatian besar pada penderitaan yang ia alami dan
saksikan di sekitarnya. Sampai-sampai ia yakin bahwa karena
Tuhan menjadi Tuhan, Tuhan harus berbuat adil dan berada di
sisi orang yang marginal. Ia percaya bahwa firman Allah swt.:
Jika engkau menolong Allah, Allah akan menolongmu dan
mengokohkan langkah-langkahmu (QS. (47): 7), berarti bahwa
ia harus berpartisipasi dalam perjuangan untuk kebebaan dan
keadilan, jika saya ingin agar Tuhan menolong, maka saya harus
menolong-Nya. Menolong-Nya ia maksudkan sebagai me-
nolong agama-Nya dan inilah yang mendorongnya bergabung
dengan Tablighi Jamaah, sebuah gerakan revivalis Muslim inter-
nasional, pada umur 9 tahun.
Ia masih sekolah ketika ditahan oleh Special Branch, polisi
keamanan, karena aktivitasnya dalam National Youth Movement
dan the South African Black Scholars Association. Dua organisasi

MODEL KAJIAN HERMENEUTIKA:


Studi Hermeneutika Pembebasan Farid Esack
169
ini setia pada perubahan sosial-politik dan bermarkas di
gedung Institut Kristen sebelum akhirnya dilarang pada 1973.
Ia merasakan solidaritas yang hangat dari direktur institut
ini Reverend Theo Kotze dan para stafnya. Theo menawarkan
Muslim dalam organisasi ini fasilitas ibadah dan memastikan
perlindungan istimewa.
Setelah lulus sekolah, ia menghabiskan waktu selama
8 tahun untuk mengikuti scholarship di Pakistan, di mana ia
mengikuti pendidikan teologi. Ia mulai mencintai Pakistan,
karena kedatangannya dari keluarga Muslim dalam situasi
minoritas membuatnya waspada terhadap penganiayaan agama
dan sosial dari Kristen dan komunitas minoritas Hindu.
Di sini ia pernah dikunjungi Derrick Dean, seorang aktivis
muda Kristen yang meminta agar dibimbing membaca kalimat
syahadat. Ia berkesimpulan, inilah logika sederhana jika eng-
kau menolong Allah, Ia akan menolongmu. Kesenjangan antara
teologi konservatifnya dengan praksis progresif menjadi tampak
dan mendorongnya membuat pilihan. Ia sering berdiskusi de-
ngan Student Christian Movement yang mencoba bagaimana
memaknai hidup mereka sebagai Kristen dalam masyarakat ti-
dak adil dan eksploitatif. Inilah yang kemudian mendorong
Esack mengulangi semua pelajaran yang ia terima untuk menga-
winkan iman dan praksis di Afrika Selatan.
Di Pakistan juga ia menjadi semakin sadar terhadap kemi-
ripan antara penindasan wanita dalam masyarakat Muslim dan
wanita kulit hitam pada masa regim apartheid Afrika Selatan.
Konvergensi antara wacana seksis dan rasis membuatnya komit-
men dan peduli dengan masalah ini.
Setelah kembali ke Afrika pada 1982, Esack diberitahu oleh
saudaranya Omar bahwa masyarakat Afrika Selatan telah men-

170 Zakiyuddin Baidhawy


stigma wanita hamil di luar nikah. Pada 1984, ia mempelopori
pendirian Call of Islam yang berafiliasi dengan United Demo-
cratic Front (UDF) yang didirikan pada 1983, sebuah gerakan
pembebasan Muslim paling aktif memobilisasi penduduk mela-
wan apartheid, ketidakadilan gender, ancaman-ancaman terha-
dap lingkungan dan kerjasama antariman.

B. Metode Hermeneutika Pembebasan


Masyarakat plural, apartheid dan keterbelakangan di Afrika
Selatan, telah menyusun apa yang disebut hermeneutical circle
dalam teologi pembebasan. Juan Luis Segundo mendefinisikan
hermeneutical circle sebagai perubahan terus menerus dalam
melakukan interpretasi terhadap kitab suci yang dipandu oleh
perubahan-perubahan berkesinambungan dalam realitas masa
kini, baik individu maupun masyarakat (Segundo, 1991: 9). Ia
mengemukakan dua syarat untuk menciptakan hermeneutical
circle: persoalan-persoalan yang mendalam dan kaya serta
keraguan terhadap situasi yang nyata; dan interpretasi baru
terhadap kitab suci yang juga mendalam dan kaya.
Perbedaan fundamental antara lingkaran Segundo dan me-
todologi Fazlur Rahman adalah keputusan secara sadar untuk
memasuki lingkaran hermeneutika dari sudut praksis pembe-
basan yang ditentukan secara politik. Segundo menyatakan,
lingkaran hermeneutika didasarkan atas fakta bahwa pilihan
politik untuk perubahan pembebasan adalah unsur intrinsik
dari iman (Segundo, 1991: 97). Sementara Rahman menyatakan
bahwa metode hermeneutika yang memadai berkaitan khusus
dengan aspek-aspek kognitif dari wahyu (Rahman, 1982a: 4).
Kunci hermeneutika untuk upaya-upaya kognitif ini adalah iman
dan kemauan untuk dibimbing. Tafsir kontemporer memfokus-

MODEL KAJIAN HERMENEUTIKA:


Studi Hermeneutika Pembebasan Farid Esack
171
kan pada lingkungan historis wahyu sebagai alat paling berhar-
ga dalam memahami (Rahman, 1982a: 1-11). Ia mengusulkan
proses interpretasi yang melibatkan gerakan ganda (double move-
ment); dari masa kini ke periode Al-Quran dan kembali ke masa
kini (lihat skema I, Rahman, 1982a: 20; Esack, 1997:66).

Skema I
Hermeneutika double movement Fazlur Rahman

Situasi historis respons Al-Quran

Generalisasi jawaban-jawaban spesifik

Menentukan tujuan-tujuan moral-sosial Al-Quran

Situasi kontemporer nilai-nilai Al-Quran

Masyarakat Islam

Di samping Rahman, Mohammed Arkoun juga menawarkan


pendekatan hermeneutika kontemporer. Ia memandang krisis
legitimasi bagi agama saat ini memaksa para sarjana untuk bi-
cara tentang cara pemikiran yang heuristik (Arkoun, 1987b: 10).
Ia sangat menekankan pendekatan historis-sosiologis-antropo-
logis, tetapi juga tidak menolak pendekatan filsafat dan teologi.
Bahkan, ia ingin memperkayanya dengan memasukkan kondisi
historis dan sosial konkret di mana Islam dipraktikkan. Arkoun

172 Zakiyuddin Baidhawy


menyajikan garis-garis pemikiran heuristik fundamental un-
tuk merekapitulasi pengetahuan Islam dan memperhadapkan-
nya dengan pengetahuan kontemporer. Garis-garis pemikiran itu
mencakup: Pertama, manusia muncul dalam masyarakat melalui
kegunaan yang berubah-ubah (aktivitas, pengalaman, sensasi,
observasi, dst.). Setiap kegunaan (use) dikonversi dalam ben-
tuk tanda dan realitas yang diungkapkan melalui bahasa sebagai
sistem tanda (Arkoun, 1987b: 8). Ini terjadi sebelum interpre-
tasi wahyu. Kitab Suci dikomunikasikan melalui bahasa alam
yang menggunakan sistem tanda dan setiap tanda adalah lokus
operasi konvergen (persepsi, ekspresi, interpretasi, terjemahan)
yang menandai adanya hubungan antara bahasa dan pikiran.
Konsekuensinya bagi pemikiran tradisional tentang wahyu dan
bahasa: paham tentang kesucian bahasa Arab tak dapat diper-
tahankan; dan inti pemikiran Islam terwakili sebagai persiapan
bahasa dan semantik.
Kedua, semua tanda dan simbol adalah produk manusia
(produksi semiotik) dalam proses sosial dan budaya yang tak
terpisah dari historisitas. Historisitas adalah satu dimensi dari
kebenaran (Arkound, 1987b: 8), kebenaran yang dibentuk oleh
alat-alat, konsep-konsep, definisi-definisi dan postulat yang
selalu berubah. Ketiga, keimanan tidak ada pada independensi
manusia sendiri, tidak pula berasal dari kehendak atau karunia
Tuhan, tetapi ia dibentuk, diungkapkan dan diaktualisasikan da-
lam dan melalui wacana. Keempat, sistem legitimasi tradisional
yang diwakili pemikiran teologi Islam klasik dan yurisprudensi
Islam dan perbendaharaan katanya tidak mempunyai relevansi
epistemologis. Disiplin-disiplin itu terlalu kompromi dengan
bias-bias ideologi yang ditekankan oleh kelas penguasa dan para
intelektual tukangnya (Arkoun, 1988: 64-65).

MODEL KAJIAN HERMENEUTIKA:


Studi Hermeneutika Pembebasan Farid Esack
173
Aplikasi gagasan-gagasan Arkoun dapat dilihat pada analisis
tentang proses wahyu dan cara teks ditulis menjadi kitab yang
otoritatif dan suci. Ia membedakan tiga level firman Allah swt.: 1)
firman Allah swt. sebagai transenden, tak terbatas dan tak dikenal
oleh manusia sebagai suatu keseluruhan yang diwahyukan
melalui nabi. Hal ini diungkapkan dalam bahasa Al-Quran
sebagai al-lawh al-mahfuz (QS. (85): 22) atau umm al-kitab (QS.
(43): 4; 2) manifestasi historis firman Allah swt. melalui nabi-
nabi Israel (dalam bahasa Ibrani), Yesus (bahasa Aram), dan
Muhammad (bahasa Arab). Ia dihafal dan ditransmisikan secara
oral selama periode sebelum ditulis (Arkoun, 1987b: 16; dan 3)
objektifikasi teks dari firman Allah swt. telah terjadi (Al-Quran
menjadi mushaf) dan kitab ini tersedia bagi orang beriman
hanya melalui versi tertulis yang terpelihara dalam kanon resmi
tertutup.
Arkoun menjelaskan proses gerak penurunan wahyu dan
gerak mendaki komunitas yang menafsirkan menuju kese-
lamatan sesuai dengan perspektif vertikal tentang semua kreasi
sebagaimana ditekankan oleh wacana quran. Komunitas yang
menafsirkan adalah subject-actan dari keseluruhan sejarah dunia
yang diwakili, diinterpretasi dan digunakan sebagai tahapan su-
lit untuk mempersiapkan penyelamatan sesuai dengan sejarah
Penyelamatan yang dikisahkan Tuhan sebagai bagian dari wa-
hyu yang mendidik (Arkoun, 1987a: 16). Hubungan individu
dengan kitab sebagai firman Allah swt. sama dengan hubungan
sosial-politik dengan komunitas yang menafsirkan (lihat skema
II).

174 Zakiyuddin Baidhawy


Skema II
Metode hermeneutika Mohammed Arkoun

Firman Allah swt. Sejarah Penyelamatan

Peristiwa pembuka komunitas Muslim



Transmisi

Korpus resmi tertutup

Korpus tertafsir

Tradisi hafalan kolektif, seleksi, pengumpulan,


eliminasi, kristalisasi, mitologisasi, sakralisasi

Masyarakat
Angan-angan sosial
Muncul kritik rasionalitas

Esack melihat ada kekurangan pada dua pendekatan di


atas Rahman dan Arkoun. Pendekatan Rahman, menurutnya,
kurang apresiasi atas kompleksitas tugas hermeneutika dan
pluralisme intelektual yang intrinsik di dalamnya. Rahman
lebih menyesalkan ketundukan Islam pada politik daripada
nilai-nilai Islam sejati yang mengendalikan politik, tanpa
mengakui dialektika antara keduanya. Ia terlalu menekankan
kriteria kognisi dan mengabaikan hubungan antara kognisi dan

MODEL KAJIAN HERMENEUTIKA:


Studi Hermeneutika Pembebasan Farid Esack
175
praksis. Ketika Rahman mengklaim elan moral dasar Al-Quran
kesadaran akan Tuhan dan keadilan sosial ia lupa akan sebab-
sebab struktural dari ketidakadilan itu (Esack, 1997: 67-68).
Sementara itu, kritik Esack pada Arkoun lebih ditujukan ke-
pada pendapatnya yang menyatakan bahwa pengetahuan seba-
gai lapisan otoritas diterima dan dihargai, pengetahuan terlepas
dari ideologi, mampu menjelaskan formasi dan menguasai pe-
ngaruhnya. Menurut Esack, pengetahuan sebagaimana alat so-
sial lainnya, di samping dapat dikritik, juga tidak pernah dapat
netral. Setiap hermeneutika membutuhkan partisipasi secara
sadar ataupun tidak (Esack, 1997: 72-73).
Tampaknya Esack ingin menutupi kekurangan-kekurangan
Rahman dan Arkoun, dengan menawarkan hermenetiks pembe-
basannya. Ia yakin bahwa tugas Muslim memahami Al-Quran
dalam konteks penindasan ada dua hal: untuk memaparkan cara
interpretasi tradisional dan kepercayaan-kepercayaan tentang
fungsi teks sebagai ideologi dengan tujuan untuk melegitimasi
tatanan yang tidak adil; untuk mengakui kesatuan umat manu-
sia, menggali dimensi-dimensi keagamaan dalam situasi keti-
dakadilan dari teks dan mempergunakannya untuk melakukan
pembebasan (misalnya hubungan Tuhan dengan orang lapar
dan eksploitasi). Dimensi teologis ini secara simultan mem-
bentuk dan dibentuk oleh aktivitas islamisis dalam perjuangan
demi keadilan dan kebebasan (Esack, 1997: 11).
Untuk mencari dimensi-dimensi keagamaan dalam situasi
sosio-ekonomi tertentu dan menyorotinya membuka kemung-
kinan bagi kita untuk menekankan penghargaan atas teks-teks
tertentu secara selektif dan arbitrer dan mengeluarkan teks-teks
lainnya. Anda tidak dapat benar-benar taat kepada Allah swt. jika
anda dalam keadaan lapar. Ketaatan semacam ini adalah bentuk

176 Zakiyuddin Baidhawy


pemaksaan. Hadis Nabi, Saya yang berada di bawah lindun-
gan Allah swt. sangat memerhatikan kefakiran dan kekufuran
(Ibn Hanbal, 1978, 2: 101) adalah indikator hubungan antara
kurangnya iman dan kemiskinan. Al-Quran juga menyebutkan
klaim Firaun sebagai Tuhan dan melahirkan konsekuensi poli-
tik atas perbudakan bangsa Israel (QS. (10): 83-85, 90).
Kedua, respons bahwa mencari dimensi teologis dalam
konteks politik tertentu tidak mengimplikasikan agar kita
memandang politik sebagai satu-satunya dimensi iman dan
bahwa teks bernilai hanya jika berkaitan langsung dengan
kepentingan politik (Esack, 1997: 12).
Esack melihat ada 3 unsur instrinsik dalam proses mema-
hami teks. Pertama, masuk dalam pikiran pengarang. Dalam
kasus Al-Quran, Tuhan dipandang sebagai pengarang. Muslim
perlu masuk ke dalam pikiran Tuhan. Dalam tradisi mistik
Islam, terdapat metodologi kesalehan yang dikombinasikan
dengan keilmuan untuk melahirkan makna. Oleh karena itu,
Tuhan berperan langsung dalam pemahaman teks; yang lain
menjadikan Muhammad sebagai kunci dalam melahirkan
makna. Bagi Rahman dan kaum tradisionalis, makna terletak di
dalam teks dan digali oleh pikiran murni. Inilah yang disebut
pendekatan personal. Problem sebenarnya adalah bagaimana
menerapkan pendekatan ini secara sadar pada arena sosio-
politik atau domain moralitas publik dengan cara tertentu.
Kedua, penafsir adalah makhluk dengan banyak beban.
Partisipasi aktif penafsir dalam melahirkan makna meng-
implikasikan bahwa menerima teks dan mengeluarkan makna
darinya tidak ada pada dirinya sendiri. Menerima dan menafsir,
dan makna adalah selalu parsial. Setiap penafsir memasuki
proses interpretasi dengan pra pemahaman tentang persoalan

MODEL KAJIAN HERMENEUTIKA:


Studi Hermeneutika Pembebasan Farid Esack
177
yang dikemukakan teks. Makna selalu berada dalam struktur
pemahaman itu sendiri. Jadi, tak ada interpretasi tak berdosa,
tak ada penafsir tak berdosa, dan tak ada teks tak berdosa (Tracy,
1987: 79). Pra pemahaman adalah syarat hidup dalam sejarah.
Kita perlu membedakan antara diri dengan kondisi di mana diri
itu berada. Mengabaikan ambiguitas bahasa dan sejarah serta
impaknya pada interpretasi, menyebabkan tak ada perbedaan
antara Islam normatif dan apa yang dipikirkan orang beriman
(Esack, 1997: 75).
Ketiga, interpretasi tidak lari dari bahasa, sejarah dan tradisi.
Masa lalu adalah masa kini. Siapa pun yang menggunakan
bahasa memikul pra pemahaman yang sebagian sadar dan
lebih sering tidak sadar akan sejarah dan tradisi bahasa tersebut
(Tracy, 1987: 16). Kita tidak bisa lari dari semua ini. Makna kata
selalu dalam proses. Menurut Cantwell Smith, menggunakan
suatu kata berarti berpartisipasi dalam proses sejarah maknanya
yang terus menerus (1980: 501). Makna literal dari suatu ucapan
selalu problematik dan tidak pernah bebas nilai. Ini khususnya
berkaitan dengan ucapan simbolik dan suci. Pluralitas bahasa
dan ambiguitas sejarah tak dapat dihindarkan dalam upaya
memahami. Problem bahasa tak terbatas pada penafsir tetapi
juga meluas pada tradisi atau teks yang ditafsirkan. Tindakan
menafsirkan apa pun adalah partisipasi dalam proses linguistik-
historis. Pembentukan tradisi dan partisipasi ini terjadi dalam
ruang dan waktu tertentu. Perlakuan kita terhadap Al-Quran
juga terjadi dalam batasan-batasan ini; kita tidak dapat keluar
dari dan menempatkan diri di atas bahasa, budaya dan tradisi
(Esack, 1997: 76).

178 Zakiyuddin Baidhawy


C. Al-Quran Bicara: Kunci Hermeneutika Pembe-
basan
Bicara dalam konteks pembebasan dari seluruh bentuk rasisme
dan eksploitasi ekonomi selama masa apartheid, Esack berusaha
mengeksplorasi retorika pembebasan Al-Quran dalam suatu
teori teologi dan hermeneutika pluralisme agama untuk pembe-
basan yang lebih koheren. Teologi pembebasan Al-Quran beker-
ja menuju pembebasan agama dari struktur sosial, politik dan
agama serta ide-ide yang didasarkan atas kepatuhan tanpa kritik
dan pembebasan seluruh penduduk dari semua bentuk ketidak-
adilan dan eksploitasi termasuk ras, gender, kelas, dan agama.
Teologi pembebasan semacam ini berusaha mencapai tujuannya
melalui partisipasi dan pembebasan. Ia juga mengambil inspi-
rasi dari Al-Quran dan perjuangan nabi-nabi.
Untuk itu, kunci hermeneutika pembebasan dimunculkan
dari perjuangan Afrika Selatan demi kebebasan dan dari Al-
Quran. Dalam hal ini Esack mencoba mengelaborasi kata-kata
kunci takwa, tawhid, an-nas, mustadh`afin, `adl, dan qist, serta
jihad (1997: 83).
1. Takwa: adalah terma yang paling komprehensif, inklusif
dan aplikatif meliputi tanggung jawab di hadapan Tuhan
dan manusia (QS. (92): 4-10 dan (49): 13). Dengan takwa,
individu dan komunitas memikul tugas kenabian dalam
transformasi dan pembebasan (QS. (3): 102-105; (8): 29).
Menerima takwa sebagai kunci hermeneutika memiliki
implikasi penting bagi penfsir dan tindakan menafsir:
a) penafsir harus bebas dari prasangka (zhann) dan nafsu
(hawa). Hermeneutika pembebasan Al-Quran, dengan

MODEL KAJIAN HERMENEUTIKA:


Studi Hermeneutika Pembebasan Farid Esack
179
takwa sebagai kunci, memastika interpretasi bebas dari
obskurantisme teologi dan reaksi politik serta spekulasi
subjektif; b) takwa memfasilitasi keseimbangan estetika dan
spiritual dalam kehidupan penafsir; c) takwa mendorong
komitmen penafsir pada proses dialektika personal dan
transformasi sosio-politik. Keterlibatan Al-Quran dalam
proses perjuangan revolusi juga berarti keterlibatan diri
penafsir dalam revolusi tersebut (Esack, 1997: 88-89).
2. Tawhid: kesatuan Tuhan untuk kesatuan kemanusiaan.
Tawhid adalah fondasi, pusat dan tujuan dari keseluruhan
tradisi Islam. Ia adalah jantung pandangan dunia sosio-
politik, dan tumbuh secara meyakinkan dalam revolusi
Iran pada 1979. Ali Syariati adalah cendekiawan yang me-
nyatakan tawhid adalah pandangan dunia yang bertujuan
merealisasikan kesatuan Tuhan dalam relasi manusia dan
sistem sosio-ekonomi. Tawhid oleh para penafsir di Afrika
Selatan digunakan untuk melawan pemisahan antara
agama dan politik, dan apartheid sebagai ideologi. Tawhid
adalah sumber ideologi dan kerangka rujukan suci. Ia punya
dua implikasi dalam konteks Afrika Selatan: a) pada level
eksistensial, ia berarti penolakan atas dualisme konsepsi
tentang eksistensi manusia di mana perbedaan dibuat
antara sekular dan spiritual, suci dan profan; b) pada level
sosio-politik, ia menentang masyarakat yang menjadikan ras
sebagai objek alternatif bagi pemujaan dan membedakan
penduduk atas dasar etnisitas. Pembedaan semacam ini ada-
lah syirik, antitesis tawhid. Apartheid adalah syirik (Esack,
1997: 92).
3. An-nas: manusia sebagai khalifah Tuhan di bumi bagi ma-
syarakat Afrika Selatan mempunyai dua implikasi hermeneu-

180 Zakiyuddin Baidhawy


tika: a) ia menjadi esensi bahwa Al-Quran ditafsir dengan
cara yang memberikan dukungan bagi kepentingan rakyat
secara keseluruhan yang mayoritas daripada minoritas; b)
interpretasi harus dibentuk oleh pengalaman dan aspirasi
kemanusiaan sebagai pembeda dari dan sering bertentang-
an dengan minoritas istimewa. Paham kemanusiaan seba-
gai kunci hermeneutika juga mempunyai dua implikasi: a)
rakyat sebagai ukuran kebenaran; humanum adalah suara
kebenaran yang identik dengan kebenaran Tuhan, vox populi
vox dei; b) setiap orang mempunyai hak yang sama untuk
memasuki teks suci. Ide hermeneutika Al-Quran menen-
tang konsep tradisional tentang kesucian teks yang hanya
dapat disentuh individu tertentu (Esack, 1997: 96-97).
4. Al-mustadh`afin, fuqara, masakin dan aradhil: adalah kelas
marjinal, tertindas. Lawan mereka adalah mutrafun dan
mustakbirun. Nabi Muhammad berasal dari keluarga petani
dan kelas pekerja; demikian juga nabi-nabi Abrahamik
berasal dari keluarga petani dan penggembala domba.
Mereka mempunyai tujuan menciptakan tatanan sosial
egaliter; mereka menghapuskan ketidakadilan sosio-eko-
nomi seperti rente, bunga dan semua praktik ekonomi
spekulatif dan eksploitatif. Al-Quran melarang akumulasi
kekayaan dan memerintahkan pembebasan wanita dan
budak. Banyak ayat yang menghubungkan iman dan agama
dengan humanisme dan keadilan sosio-ekonomi. Penafsir
perlu menempatkan dirinya di tengah-tengah kaum marjinal
dan dalam perjuangan mereka sekaligus menafsirkan teks
dari bagian bawah sejarah, didasarkan atas paham pilihan
Tuhan dan kenabian atas orang-orang tertindas (Esack,
1997: 98-103).

MODEL KAJIAN HERMENEUTIKA:


Studi Hermeneutika Pembebasan Farid Esack
181
5. `Adl dan qist: keadilan dibangun atas dasar tawhid, dan
jalan menuju takwa. Keadilan adalah alasan utama bagi
tegaknya agama. Masyarakat Islam diharapkan berpegang
kepada keadilan sebagai basis kehidupan sosio-ekonomi.
Lawannya adalah zulm dan `udwan. Keadilan ialah ukuran
untuk melakukan perjuangan pembebasan. Visi keadilan
Al-Quran harus mensuplai gagasan visioner terhadap
perjuangan ini. Konteks perjuangan pembebasan tidak
hanya memiliki sesuatu untuk dikatakan pada teks; teks
juga memiliki sesuatu untuk dikatakan kepada konteks
(ketidakadilan dan penindasan di Afrika Selatan). Dalam
situasi ketidakadilan, Al-Quran dipaksa menjadi alat
ideologis bagi perlawanan atas penindasan dalam seluruh
manifestasinya. Ini mempunyai dua implikasi: a) kita
harus mencari jalan mendekati Al-Quran untuk digunakan
melawan ketidakadilan; netralitas dan objektivitas dalam
konteks ini adalah dosa; b) pendekatan terhadap Al-Quran
sebagai alat perlawanan menghendaki komitmen ideologis
dan teologis sekaligus afinitas atas nilai-nilai yang dikandung
dalam kunci-kunci hermeneutika di atas (Esack, 1997: 103-
106).
6. Jihad: adalah perjuangan dan praksis. Praksis artinya tin-
dakan sadar oleh komunitas manusia yang mempunyai
tanggung jawab atas determinasi politik yang didasarkan
atas realisasi bahwa manusia menciptakan sejarah (Chopp,
1989: 137). Dalam konteks Afrika Selatan, jihad adalah
paradigma perjuangan pembebasan dalam Islam; jihad
di jalan Allah swt. adalah bagian dari iman; jihad untuk
kebebasan dan keadilan di Afrika Selatan adalah suci (Esack,
1997: 106-108).

182 Zakiyuddin Baidhawy


D. Simpulan
Dari paparan di atas, tampak ada kaitan antara jalan Tuhan
mengidentikkan diri dengan kemanusiaan (an-nas); hubungan
antara jalan Tuhan dan jalan kemanusiaan; pilihan-Nya atas
manusia tertindas dan marjinal dan pentingnya menegakkan
keadilan (`adl dan qist) atas dasar tawhid dan takwa melalui
jihad. Melibatkan diri dalam hermeneutika pembebasan Al-
Quran dalam situasi ketidakadilan adalah melakukan teologi
dan mengalami iman sebagai solidaritas terhadap masyarakat
tertindas dan marjinal dalam perjuangan untuk pembebasan.
Jadi, hermeneutika pembebasan Al-Quran berbeda dari
teologi tradisional dan modern dalam tiga aspek: 1) perbedaan
terpenting ada pada tempat penafsir; penafsir menentang
pendekatan yang lebih religius atau akademik terhadap teologi.
Artinya, Islam hanya dapat menjadi sejati jika dialami sebagai
praksis solidaritas untuk pembebasan; bertentangan dengan
teologi tradisional yang mereduksi Islam menjadi ritus formal;
dan teologi modern yang berada dalam dunia sekular. Teologi
pembebasan berada dalam dan dialamatkan pada dunia
marjinal; 2) Teologi pembebasan hidup dala dunia kekerasan
dan harapan, refleksi dan tindakan, spiritualitas dan politik; dan
3) Kebenaran bagi penafsir yang terlibat, tidak pernah dapat
menjadi mutlak. Gerak hermeneutika secara terus menerus
mencari kebenaran yang pada akhirnya membawa pada praksis
pembebasan yang lebih besar.[]

MODEL KAJIAN HERMENEUTIKA:


Studi Hermeneutika Pembebasan Farid Esack
183
184 Zakiyuddin Baidhawy
BAB 10

MODEL KAJIAN FILSAFAT:


Studi Hibrida Filsafat
Fondasionalisme dan
Hermeneutika

P ergumulan otoritarianisme, otoritatif dan otoritas di dunia


Islam, sebagaimana telah dipaparkan oleh Khaled Abou al-
Fadl dalam karyanya Speaking in the Gods Name, merupakan fakta
sejarah yang tak terelakkan dan mungkin akan terus berjalan.
Munculnya fatwa mutakhir dari MUI mengenai Ahmadiyah
sebagai aliran sesat dan menyesatkan dan pengharaman atas
paham-paham sekularisme, pluralisme dan liberalisme,
adalah contoh betapa sebuah lembaga keagamaan otoritatif
telah menjerumuskan diri dalam kubangan otoritarianisme
religius. Disebut otoritarianisme karena MUI secara terbuka
telah memasuki wilayah hak prerogatif Tuhan dan mencurinya
atas nama kepentingan agama. Belum dibuka kesempatan
dialog secara terbuka dengan berbagai elemen atau kelompok
masyarakat Muslim yang menjadi sasaran fatwa tersebut.

MODEL KAJIAN FILSAFAT:


Studi Hibrida Filsafat Fondasionalisme dan Hermeneutika
185
Fatwa MUI dan tertutupnya pintu dialog di kalangan internal
Muslim, memperlihatkan ada upaya-upaya sistematis hegemoni
tafsir tertentu tentang apa, siapa, dan bagaimana Islam. Perlu
disadari bahwa tafsir1 bukanlah agama, ia produk akal pikiran
sesuai dengan ruang dan waktu dan tingkat pemahaman
intelektual manusia. Meskipun sumbernya adalah kitab suci
dan sunnah, tafsir dapat salah, ia dapat berubah sesuai dengan
semangat zamannya (zeitgeist). Oleh karena itu, tafsir menjadi
asing jika horizon perbendaharaan kata dan rumusannya tak
berdialektika dan bercermin pada perubahan pengalaman
kognitif, kultural dan spiritual. Sebab temuan-temuan ilmiah
yang bersifat empirik, sosial, maupun humaniora berpengaruh
besar membentuk pengalaman keberagamaan manusia, karena
keberagamaan bukan wilayah yang terpisah dari struktur dasar
kehidupan. Jika semua itu diabaikan, pemikiran keagamaan
hanya bersifat reaktif, bukan diskursif dan makin jauh dari
kenyataan empirik (Dewey, 1960: 161-186).
Dengan demikian, kritik keagamaan sangat diperlukan jika
diakui bahwa tidak ada lembaga keagamaan, tafsir, teologi atau
kepercayaan yang tidak dapat salah. Tuntutan akan kebenaran
final yang melekat pada institusi agama dan sistem tafsir yang
sudah mapan, perlu dipersoalkan kembali agar manusia terhindar
dari pemutlakan terhadap yang relatif. Karena itu gabungan serasi
antara kesetiaan atas fundamental tafsir dan pemikiran kritis

1 Istilah tafsir dalam paper ini bukanlah tafsir Al-Quran dalam kategori cabang
keilmuan Islam tradisional. Tafsir di sini lebih merujuk pada segala upaya
pemahaman intelektual manusia terhadap sumber-sumber keilmuan, baik yang
berasal dari realitas kawniyyah dan realitas qawliyyah atau gabungan antara
keduanya, karena itu tafsir di sini dapat mencakup berbagai aspek keilmuan
seperti teologi/kalam, fiqh-usul fiqh, tasawuf, filsafat, ilmu-ilmu alam, ilmu-ilmu
sosial, dan ilmu-ilmu humaniora.

186 Zakiyuddin Baidhawy


akan menghantarkan pada kematangan beragama (Barbour,
1980: 39). Keduanya dapat berfungsi secara bergantian dalam
satu kesatuan utuh. Kenyataan sosiologis menunjukkan bahwa
tafsir yang bersifat partikularis dan eksklusif akan menghadapi
dua kesulitan dalam berhadapan dengan realitas kontemporer.
Pertama, ketidakmampuan tafsir untuk secara sistematis
menyesuaikan bahasan dengan perkembangan ilmu-ilmu
modern empiris dan menjadikan tafsir kurang relevan dengan
perkembangan zaman. Tafsir tidak mampu melakukan otokritik
dan tidak vokal dalam menghadapi isu-isu global. Kedua, ketika
berhadapan dengan globalisasi budaya, tafsir terpaksa membuat
konsesi-konsesi psikologis, namun ini sulit dilakukan oleh tafsir
otoritarian yang partikularis dan foundational. Di sini tafsir perlu
melampaui batasan-batasan tradisionalnya tanpa kehilangan
jati diri pengemban misi spiritual keagamaan (Abdullah, 1996:
53-57).
Dalam konteks dan kesempatan ini, penulis menimbang
perlunya memaparkan sketsa mengenai jebakan foundasional
dari logika modernisme yang mengurung penafsir pada satu
titik kebenaran, benturan antara fondasionalisme dengan
hermeneutika yang membuka peluang ragam tafsir atas realitas
dan alternatif untuk mengatasi benturan di muka.

A. Gagap Paradigma Fondasionalisme


Kerancuan fondasionalisme dalam sistem epistemologi penge-
tahuan menghantarkan kita pada kebutuhan akan horizon baru
yang lebih kaya dan beragam. Fondasionalisme tradisional
adalah suatu pandangan bahwa pengetahuan dapat dimulai
atau memulai kembali dari ketiadaan (nothing) dengan mene-
mukan kepingan-kepingan pengetahuan yang pasti (certainity)

MODEL KAJIAN FILSAFAT:


Studi Hibrida Filsafat Fondasionalisme dan Hermeneutika
187
dan tidak dapat salah (infallible). Yakni suatu fondasi terhadap
mana semua pengetahuan lain dapat dikonstruksi. Fondasio-
nalisme klasik telah dimulai dari Rene Descartes (1596-1650),
yang meyakini jika ia dapat memahami apapun secara jelas dan
terang, maka ia dapat memandangnya sebagai sesuatu yang
benar dan membangun pengetahuan atas dasar pemahaman
tersebut. Keyakinan semacam ini membuatnya dikenal sebagai
rasionalis yang mendasarkan sistemnya atas apa yang mereka
sebut sebagai prinsip pertama pembuktian diri melalui metode
demonstrasi, yang pada awalnya telah ditawarkan oleh Aristo-
teles. Sesuatu dipandang sebagai self-evident jika kita mengeta-
huinya benar dengan cara memahaminya. Proyek rasionalisme
bagaimanapun terjebak pada klaim subjektif tentang kepastian.
Fondasionalisme serupa terjadi pada penentang rasional-
isme, yakni empirisme. Kaum empirisis memiliki klaim tentang
sesuatu yang dianggap benar dengan sendirinya. Kebanyakan
mereka memandang pengalaman sebagai menyediakan ke-
pingan-kepingan pengetahuan yang fondasional. Pernyataan-
pernyataan tentang pengalaman tidak sendirinya dianggap benar
dalam arti dipahami, namun pernyataan-pernyataan itu dapat
dipandang benar secara intuitif sebagai bagian dari pengamatan
empirik. Fondasionalisme semacam ini serupa dengan kebenar-
an rasionalistik, karena pada akhirnya ketidaksepakatan dan
kesalahan yang muncul terjadi dalam pengamatan empirik secara
langsung. Kepingan-kepingan pengetahuan yang foundasional
ini tidak pasti dan dapat salah. Kesulitan serupa juga menimpa
pada intuisionisme, yang berkeyakinan bahwa kebenaran
apapun tidak dapat dengan sendirinya terbukti melainkan jika
pengetahuan itu didasarkan pada intuisi.

188 Zakiyuddin Baidhawy


Tidak satupun pengetahuan sepenuhnya dapat dipandang
tidak salah, semua pengetahuan dapat salah dan dapat diperbaiki,
dan ini membuktikan kesalahan fatal fondasionalisme.
Jika fondasionalisme adalah suatu tesis bahwa kita dapat
mengkonstruk pengetahuan dengan kepastian mutlak berangkat
dari ketiadaan, maka penolakan atas tesis ini dapat memberikan
kita berbagai kemungkinan tesis alternatif, yaitu: 1) pengetahuan
selalu dapat didekonstruksi, 2) tidak ada kepastian mutlak, dan
3) pengetahuan tidak dapat berawal dari ketiadaan.

B. Pendekatan Hermeneutika: Pintu Keragaman dan


Relativisme
Tesis pertama menyangkut gagasan tentang dekonstruksi untuk
menjelaskan dan menyimbolkan kegagalan proyek-proyek
fondasionalisme. Tesis kedua kita tidak dapat memiliki
kepastian mutlak kini diterima oleh seluruh orang kecuali
sedikit kaum Aristotelian. Tesis ketiga merupakan kunci utama
untuk teori alternatif: jika pengetahuan tidak dapat berangkat
dari ketiadaan, lalu berangkat dari apa? Dengan pengetahuan
terdahulu (previous knowledge) tentu saja. Tapi apa yang di-
maksud dengan pengetahuan terdahulu? Mengapa? Jika tidak
ada kepastian tentang pengetahuan, tidak ada sistem yang tetap
dan permanen yang dapat dikonstruk, maka pengetahuan baru
akan menjadi apa yang kita pikir kita tahu hingga sesuatu yang
lain terjadi untuk mengubah pikiran kita lagi. Proses ini pada
akhirnya dapat dijelaskan oleh siklus hermeneutika (hermeneutic
cycle).
Hermeneutika berarti menafsir atau menerjemah.Ia
merupakan teori dan praktek menafsir, awalnya menafsir teks
khususnya teks-teks keagamaan. Siklus hermeneutika adalah

MODEL KAJIAN FILSAFAT:


Studi Hibrida Filsafat Fondasionalisme dan Hermeneutika
189
proses melalui mana kita kembali pada teks, atau pada dunia,
dan melakukan interpretasi baru barangkali interpretasi baru
untuk setiap masa atau interpretasi baru untuk setiap penafsir.
Jadi, jelas bahwa menafsir terjadi sepanjang masa. Kita dapat
memahami sebuah buku, film dan sebagainya dengan sedikit
perbedaan pada setiap saat kita membaca atau menontonnya
sepanjang masa.
Ini merupakan persoalan serius pada masa pertengahan,
di mana setiap kali ada perbedaan interpretasi atas kitab suci
dipandang sebagai bentuk heresi, skisma, perang, dan sebagainya.
Sebagian soal penting yang muncul adalah berkenaan dengan
pertanyaan siapa yang memiliki otoritas untuk menafsir kitab suci
dan apakah menafsir adalah sesuatu yang dapat dilakukan oleh
semua orang atau apakah menafsir menghendaki kemampuan-
kemampuan atau inspirasi tertentu. Salah satu perbedaan antara
Sunni dan Syiah adalah bahwa yang pertama memandang pada
asalnya setiap Muslim dapat menafsir Al-Quran dan Sunnah,
sementara yang kedua meyakini bahwa tafsir yang layak hanya
diberikan oleh seseorang yang memiliki percikan ketuhanan
yang berasal dari Ali. Gereja Katholik terkenal dengan otoritas
doktrin seorang Paus, namun Kristen masa awal menyandarkan
otoritas doktrin pada Dewan Gereja.
Pada masa ini, minat terhadap hermeneutika tumbuh perla-
han dalam tradisi filsafat Kontinental tanpa banyak memperoleh
perhatian di dunia Anglo-Amerika, hingga Thomas Kuhn mem-
publikasikan karyanya The Structure of Scientific Revolutions
(1970) pada tahun 1962. Sejalan dengan semakin terhuyung-
nya fondasionalisme (empirisis) dari logika positivistik, Kuhn
menyediakan visi alternatif yang sangat kokoh: pengetahuan
ilmiah dapat berubah bukan melalui konfrontasi dengan fakta-

190 Zakiyuddin Baidhawy


fakta keras, namun dengan perjuangan sosial antara penafsiran-
penafsiran yang secara intrinsik bersifat ambigu. Seiring dengan
tumbangnya positivisme, kekuatan alternatif muncul melalui
Feyeraband, Habermas, Derrida, Foucault dan sebagainya. Se-
mentara, The Structure of Scientific Revolutions menyebut secara
lugas kebenaran sebagai kepedulian sains, banyak kaum herme-
neutik baru secara positif menolak kemungkinan kebenaran ob-
jektif. Semuanya adalah hasil interpretasi. Realitas hanya dapat
diakses oleh kita dalam arti bagaimana kita memahami dan menaf-
sirkannya. Jadi, jika tidak ada realitas yang secara indepen-
den dapat dibandingkan dengan pengetahuan yang kita miliki,
semua yang kita dapat lakukan adalah memperhadapkan satu
penafsiran dengan penafsiran lain, dan masing-masing penaf-
siran akan berjalan sejauh didukung oleh fakta-fakta. Tidak ada
kepingan-kepingan pengetahuan yang bersifat foundasional.
Teori semacam ini disebut dekonstruksi. Karena tidak
ada fondasi untuk mengkonstruk sebuah sistem pengetahuan,
cara terbaik yang dapat kita lakukan adalah tugas teurape-
tik untuk mengambil sistem pengetahuan yang bertujuan dan
mendekonstruksinya dengan menunjukkan asumsi-asumsi
atau interpretasi-interpretasi arbitrer terhadap mana pengeta-
huan itu dibangun. Sejauh tidak ada batasan-batasan dalam
realitas atas interpretasi, siklus hermeneutik, merupakan spiral
yang keluar dari kontrol. Proyek yang berada di balik semua ini
secara moral sering dibingungkan dan disamakan dengan rela-
tivisme. Padahal, pada faktanya kebanyakan eksponen herme-
neutika dan dekonstruksi, seperti Heidegger dan Foucault, me-
miliki sedikit simpati terhadap demokrasi borjuis, toleransi dan
komersialisme. Secara logis dan politis, doktrin ini disebut se-
bagai relativisme moralistik.

MODEL KAJIAN FILSAFAT:


Studi Hibrida Filsafat Fondasionalisme dan Hermeneutika
191
Sebagai bagian dari kritik sains, pandangan-pandangan
dekonstruksionis, mulai dari Kuhn, pada akhirnya didukung
oleh seorang sejarahwan populer dan komentator sains dan
teknologi bernama James Burke dalam berbagai seri televisinya
seperti The Day the Universe Changed. Karena tidak ada realitas
yang bebas dari penafsiran, alam semesta kapanpun seperti apa
yang anda katakan tentangnya sebagaimana adanya. Seri ini
berakhir dengan ide bahwa Budhisme adalah sebaik interpretasi
sains modern tentang dunia, karena di sana ada banyak orang
yang mengatakan alam semesta dengan cara tersebut.
Maka, mengapa Budhisme tidak membangun, atau bahkan
memahami, tungku microwave, adalah pertanyaan yang baik
tentang tatanan serupa sebagaimana pertanyaan mengapa
mekanika kuantum tidak mengantarkan seseorang dari siklus
kelahiran dan kematian. Kaum Budhis semacam itu biasanya
sangat senang untuk mengkaji sains Barat dan membangun alat-
alat elektroniknya sendiri, yang tidak didasarkan atas doktrin
Budha, yang menyediakan kunci bahwa mekanika kuantum dan
Budhisme mungkin tidak bicara tentang hal yang sama, apakah
kita memahaminya sebagai bagian dari alam semesta yang sama
atau tidak meskipun banyak literatur mutakhir (misalnya The
Tao of Physics) yang menyatakan bahwa penemuan-penemuan
terbaru dalam sains sekedar mengulang kembali kebenaran-
kebenaran kuno dalam Filsafat Timur. Kebenaran-kebenaran
kuno dalam Filsafat Timur memang tidak menemukan telegraf,
sementara kebenaran-kebenaran terbaru sains tidak memiliki
apapun yang menyerupai tujuan-tujuan soteriologis Budha,
Hindu, dan Jainism, atau tujuan-tujuan moral dan estetika
Konfusianisme dan Taoisme.

192 Zakiyuddin Baidhawy


C. Menuju Hibrida Paradigmatik
Relativisme atau gagasan bahwa alam semesta seperti apapun
yang anda pikirkan, meskipun menarik orang seperti James Burke,
nampaknya tidak menyerupai sesuatu yang direkomendasikan
oleh pengetahuan ilmiah secara keseluruhan. Bahkan banyak
eksponen dekonstruksi atau penerusnya posmodernisme tidak
memusuhi sains. Semua capaian sains tunduk pada interpretasi
dekonstruktif. Inilah rupanya yang menekan perempuan
tertindas dari Dunia Ketiga untuk memiliki ways of knowing,
kebenarannya sendiri yang tidak rasis, seksis, klasis dan lebih
bersahabat dengan bumi.
Banyak ilmuwan ternama yang tidak sabar dengan hal
semacam ini. Roger Penrose (1989: 299), matematikawan
dan penafsir sains, pernah berkata dalam karya besarnya The
Emperors New Mind:
I have taken for granted that any serious philosophical
viewpoint should contain at least a good measure of
realism. It always surprises me when I learn of apparently
serious-minded thinkers, often physicists concerned with
the implications of quantum mechanics, who take the
strongly subjective view that there is, in actuality, no real
world out there at all! The fact that I take a realistic line
wherever possible is not meant to imply that I am unaware
that such subjective views are often seriously maintained
-- only that I am unable to make sense of them.

Jadi, keseluruhan ide sains dan pengetahuan menjadi tidak


bermakna, kecuali ada beberapa cara bagi realitas eksternal un-
tuk memengaruhi dan membatasi interpretasi kita, sebagaimana
diapresiasi dalam konteks hermeneutika oleh Richard J. Bern-

MODEL KAJIAN FILSAFAT:


Studi Hibrida Filsafat Fondasionalisme dan Hermeneutika
193
stein (1983) dalam Beyond Objectivism and Relativism: Science,
Hermeneutics, and Praxis. Kebenaran hermeneutika (diungkap-
kan oleh Bernstein sebagai relativisme) adalah bahwa berba-
gai tafsir sangat dimungkinkan karena setiap teks, data empirik,
atau apapun harus diinterpretasi. Kebenaran fondasionalisme
(diungkapkan oleh Bernstein sebagai objektivisme) di sisi lain
adalah bahwa teks atau data mengharuskan adanya batasan bagi
interpretasi.
Jika rangkaian interpretasi hermeneutika dibatasi oleh teks,
atau oleh bukti empirik, atau oleh sesuatu yang lain, adalah
mungkin bagi siklus hermeneutika untuk mempersempit
gerak spiral yang diluar kontrol. Batas spiral adalah prinsip
objektivitas dan realitas. Sebagaimana dalam mekanika kuantum,
ada serangkaian ketidakpastian besar atau kecil, namun itu
semua sekedar rangkaian bukan ketakterbatasan kemungkinan
yang tidak dapat dibatasi.
Interaksi hermeneutika dan fondasionalisme serupa dengan
interaksi penafsiran dan realitas. Hubungan kita dengan reali-
tas menentukan penafsiran, meninggalkan serangkaian kemung-
kinan, bahkan menentukan suatu batasan atas interpretasi yang
menentukan rangkaian kepastian. Apa yang disajikan oleh her-
meneutika dan fondasionalisme sesungguhnya adalah sesuatu
yang lebih mendekati secara logika. Hermeneutika berkenaan
dengan interpretasi, berkenaan dengan makna (meaning), ber-
kaitan dengan apa yang dipahami. Fondasionalisme berkaitan
dengan realitas, tentang apa yang diketahui. Kaum foundasio-
nalis dan dekonstruksionis tradisional cenderung menukarkan
makna dengan kebenaran, dan pemahaman dengan pengeta-
huan. Jadi, dalam bentuknya yang sangat klasik, kaum positivis
logis menolak bahwa pernyataan-pernyataan dapat menjadi ber-

194 Zakiyuddin Baidhawy


makna (meaningful) jika tidak dapat diverifikasi secara empirik.
Positivisme logis itu sendiri tidak dapat diverifikasi sehingga ti-
dak bermakna. Agaknya mereka sendiri meninggalkan paham
ini selama beberapa dekade meskipun Wittgenstein telah meli-
hat problem ini melalui karyanya Tractatus Logico Philosophus. Di
sisi lain, dekonstruksi menyatakan bahwa interpretasi apapun
tentang makna adalah benar, sehingga kebenaran dapat ber-
makna apapun. Jadi, makna dan kebenaran adalah sesuatu yang
dapat diproduksi. Dua ekstrem ini sangat ganjil karena bisa beru-
jung pada reduksionisme dan kerancuan.
Jika makna dan kebenaran itu berbeda dan terpisah, maka
kita membutuhkan suatu dualisme epistemik dan bahkan
dualisme ontologis, antara pemahaman dan pengetahuan, atau
antara pemikiran dan intuisi. Dualisme ini selalu cenderung
untuk berpisah (sebagaimana rasionalis mengasimilasi persepsi
pada pikiran dan empirisis mengasimilasi pikiran pada persepsi).
Dan hal semacam ini pada akhirnya tidak dapat dihindari
dalam common sense dan secara teoretik dipegangi oleh Kant.
Bahkan, ada kebenaran-kebenaran makna (truths of meaning),
kebenaran-kebenaran analitik (analytic truths), dan makna
kebenaran-kebenaran (meaning of truths), karena tidak ada satu
proposisi pun yang dapat diekspresikan tanpa makna menurut
istilah itu sendiri; namun interaksi dan interdependensi makna
dan kebenaran ini, cenderung membingungkan orang tentang
pentingnya perbedaan.
Jadi jelas bahwa sangat mungkin untuk memahami sesuatu
meskipun ia tidak mungkin benar, dan juga mungkin untuk
mengetahui sesuatu itu benar tanpa memahaminya secara baik.
Sejalan dengan pemahaman dan pengetahuan dapat bervariasi
secara independen, adalah penting dalam kehidupan dan dalam

MODEL KAJIAN FILSAFAT:


Studi Hibrida Filsafat Fondasionalisme dan Hermeneutika
195
filsafat untuk memperoleh kesadaran bahwa berbagai persoalan,
yang bersifat hermeneutika dan foundasional, terlibat dalam
banyak persoalan.

D. Tafsir Multikultural, Sebuah Alternatif


Melalui kerangka teoretik di atas, kita bisa melihat bagaimana
posisi pemahaman tafsir tunggal berada dalam perangkap
epistemologis fondasionalisme, yang juga bias dialami oleh
MUI. Sebagaimana kebingungan kaum rasionalis, empirisis
dan intuisionis, tafsir tunggal memandang Al-Quran dan atau
Sunnah misalnya, sebagai satu-satunya sumber pengetahuan
yang benar.
Tafsir tunggal merupakan refleksi gagap paradigmatik lama
(baca: modernisme) yang telah membakukan diri menjadi se-
bentuk fondasionalisme tradisional. Perkembangan ruang dan
waktu (time-space factor) membenturkan mereka pada kebuntuan
epistemologis. Logika positivistik mengakui hanya ada satu sum-
ber kebenaran, pemahaman dan penempatan realitas dalam dua
sisi yang saling bertentangan. Suatu pendekatan oposisi biner
yang menyederhanakan Islam dan realitas keber-islam-an ke
dalam dua polar: Islam murni yang bersumber dari Al-Quran
(dan atau Sunnah) versus bukan Islam murni karena ada un-
sur asing (lihat tabel I).
Bertolak dari klaim ortodoksi ini, tafsir tunggal merasa
memiliki legitimasi untuk menghegemoni tafsir-tafsir lain.
Slogan sesat menyesatkan (dhall wa mudhill) yang berlaku
di kalangan mereka telah bermetamorfosis menjadi klaim
kebenaran dan keselamatan (truth and salvation claim), yang
diikuti. kegairahan para penganjurnya untuk mendiskriminasi
tafsir dan praktek Islam lain apapun namanya.

196 Zakiyuddin Baidhawy


Tabel I
Paradigma Modernisme dan Tafsir Islam

Dualisme Modernisme
objek pengetahuan Realisme versus Subjek pengetahuan
sama dengan realitas idealisme fakta sama dengan pikiran
res extensa versus mental res cogitans
Dualisme Tafsir Islam
Kontekstualisme
versus tekstualisme
Konteks Teks
Islam lain versus
Islam Murni

Dalam tubuh tafsir tunggal dapat dijumpai kesan


kristalisasi ideologis sebagai arena propagand yang berusaha
membentuk opini tentang isu-isu tertentu yang boleh dan
tidak boleh diperdebatkan, absah dan tidak absah untuk
dikritik dan diubah. Tafsir tunggal adalah beton ortodoksi bagi
pembacaan kontemporer atas teks-teks kitab suci dan sunnah
serta realitasbeton ortodoksi itu lebih cenderung muncul dalam
bentuk fondasionalisme bayani, meskipun sangat mungkin juga
kita temukan fondasionalisme burhani dan `irfani. Kecenderungan
fondasionalisme bayani adalah kebingungan menerima burhani,
dan menolak sama sekali `irfani.2
Berangkat dari kenyataan dominasi tafsir tunggal di muka,
kita perlu mengambil keuntungan dari perkembangan muta-

2 Salah satu ayat Al-Quran yang bisa dirujuk secara jelas dan menunjukkan ada
tiga model epistemologi bayani, burhani, dan `irfani adalah al-Araf (7): 179.
Ayat ini menyatakan relasi: 1) al-qulub sebagai instrumen untuk memperoleh
pemahaman (tafaqquh), dan ini dapat dijadikan rujukan bagi keabsahan
`irfani sebagai sumber pengetahuan; 2) al-a`yun atau indera manusia sebagai
insturmen manusia untuk memperoleh pengetahuan inderawi atau empirik,
dan ini menjadi sandaran bagi burhani sebagai sumber pengetahuan; dan 3) al-
adzan sebagai instrumen bagi pengetahun sima`i, yakni pengetahuan bayani.

MODEL KAJIAN FILSAFAT:


Studi Hibrida Filsafat Fondasionalisme dan Hermeneutika
197
khir wacana dan gerakan pascamodernisme. Ada ide-ide posi-
tif dari perkembangan tersebut yang dapat dimanfaatkan untuk
pengembangan pemikiran Islam. Pascamodernisme merupakan
gerakan kultural yang memayungi wacana gerakan feminis dan
poskolonialisme dengan kepedulian bersama untuk membong-
kar pusat-pusat kekuasaan atas nama apapun seperti gender, ras,
warna kulit, sosial-budaya, ekonomi, politik dan agama.
Dalam konteks terakhir, spirit mendekonstruksi pusat tafsir
Islam menjadi perhatian utama. Semangat ini pada akhirnya
melegitimasi ragam-tafsir Islam yang selama ini dipandang oleh
tafsir arus utama sebagai marginal atau pinggiran (baca: sesat dan
menyesatkan). Jadi, intinya paradigma baru menolak otoritas
pada umumnya termasuk di dalamnya pusat-pusat kebudayaan
atau wacana hegemoni tafsir Islam.
Beberapa ide positif dalam filsafat pascamodernisme yang
bisa diadopsi untuk mengatasi kebuntuan dualisme tafsir dan
fondasionalisme bayani, dan menawarkan alternatif ragam-
tafsir adalah sebagai berikut: perlunya mengesampingkan narasi
besar (grand narrative) kebenaran dan tatanan Islam tunggal;
dekonstruksi atas otoritas kanon literer tafsir Islam tunggal dan
kekuasaannya untuk menghegemoni dan mengontrol tafsir-
tafsir Islam lainnya yang juga berkembang di dalam komunitas
Muslim; keruntuhan konsep tunggal dan tafsir Islam status quo;
kehancuran hiperrealitas tafsir Islam tunggal yang mengabaikan
pluralitas tafsir Islam di dunia senyatanya; kelahiran komunitas-
komunitas penafsir yang multisuara dan poli-vokal; karenanya
tidak membedakan antara apa yang sering disebut dengan tafsir
Islam tunggal sebagai high culture dan tafsir-tafsir populer/
lain sebagai low culture, dalam mana tafsir ideal merupakan
hibrida dari keduanya.

198 Zakiyuddin Baidhawy


Hibrida dalam tafsir adalah hal biasa dalam sejarah
pemikiran keislaman. Ada fakta menarik bahwa terdapat
upaya-upaya sejumlah sarjana Muslim dari berbagai kalangan
untuk proses hibridasi dengan mengacu pada tiga epistemologi
bayani, burhani dan `irfani yang kini masih kontroversial.
Hibrida dalam tafsir dapat mengambil beberapa bentuk yakni:
Pertama, hibrida yang terjadi pada tingkat pembentukan dengan
mengambil salah satu unsur untuk memperkaya bangunan
pemikiran Islam. Inilah yang disebut Muhammad Abid al-Jabiri
(1990a; 1990b) sebagai at-tadakhul at-takwini. Beberapa contoh
bentuk ini dapat dilihat antara lain: al-Haris al-Muhasibi telah
mengupayakan hibrida antara bayan dan `irfan, di mana bayan
berada di bawah payung `irfan yang kemudian melahirkan
tasawwuf sunni; al-Kindi berhasil menghibrida unsur bayan ke
dalam burhan, dan menjadi cikal bakal berkembangnya falsafah
kalam; Ibn Sina mempertautkan antara kalam dan falsafah, dan
falsafah dengan tasawuf, yang tujuannya untuk menegakkan
pendekatan burhani pada setiap aspek dalam ilmu kalam dan
keputusan-keputusan ilmu tasawuf, serta memerankan fungsi
falsafah dan mantiq pada setiap keputusan kalam dan tasawuf;
Ikhwan ash-Shafa dan Falsafah Ismailiyah telah memasukkan
unsur burhan ke dalam `irfan; falsafah agama aliran Hermes
menjadikan falsafah Aristoteles sebagai inti dan mengadopsi
pendapat-pendapat dan banyak falsafah lainnya; dan burhan
pada al-Farabi dihibrid dengan `irfan aliran Hermes.
Kedua, hibrida antara berbagai bangunan pemikiran yang
bermacam-macam, dan mengumpulkan serta menyusun ba-
gian-bagiannya dalam satu bangunan yang sempurna. Upaya ini
disebut sebagai at-tadakhul at-talfiqi. Usaha ini ditandai oleh ke-
berhasilan al-Ghazali. Untuk mempertahankan bayani, ia meng-

MODEL KAJIAN FILSAFAT:


Studi Hibrida Filsafat Fondasionalisme dan Hermeneutika
199
gantikan qiyas burhani dengan qiyas bayani pada ma`qulat; ia juga
mengganti `irfan sufi dengan suluk fiqhi-ruhi, dan membangun
kalam dengan syiyagh burhani dan membuang unsur falsafah. Se-
mentara, Ibn `Arabi mengupayakan `irfan menjadi bagian dari
bayan; Suhrawardi al-Halabi membangun pemikiran Islam anta-
ra Ibn `Arabi dan `Irfan sufi; dan `Irfan Ismailiyah dibangun atas
dasar `irfan dan burhan. Pada periode tajdid muncul kreasi dari
beberapa tokoh terkemuka seperti Ibn Rusyd dengan hibrida
burhan dan bayan; Ibn Hazm di bidang ushuluddin menawarkan
manahij al-adillah; asy-Syatibi di bidang usul fikih muncul dengan
tawaran maqasid asy-syariah melalui pendekatan istiqrama`nawi
(induksi-tematik); dan Ibn Taimiyah menegakkan salafi baru di
bidang fikih Hanbali dengan pendekatan hikmah.
Didorong oleh dukungan data sejarah dalam pemikiran
keislaman, dan situasi dan kondisi kontemporer yang jauh
lebih kompleks, kebutuhan akan tafsir multikultural tidak
dapat dihindarkan. Dalam kesempatan ini, penulis mengajukan
beberapa asumsi penting yang menjadi dasar pengembangan
tafsir multikultural meliputi:
1. Wacana dalam mana tafsir diabadikan atau dibakukan perlu
ditolak tanpa menegasikan keabadian itu sendiri;
2. Fokus pada pendekatan rasionalitas yang pluralistik, falli-
bilistik, dan multidisipliner sebagai pengganti model berdi-
mensi tunggal (one-dimensional interpretation/exegesis);
3. Menghindari visi tafsir di mana ketunggalan tafsir Islam
ketika mengakui banyak cara untuk mengorganisir
masyarakat ditekankan;
4. Menghindari pendekatan foundasional dalam mana tafsir
yang benar memiliki cukup alasan/landasan dari sisi tekstu-
alitas semata;

200 Zakiyuddin Baidhawy


5. Mengkonfirmasi teori Piaget bahwa perkembangan kognitif
(baca: tafsir) adalah hasil dari konflik dan dialog konseptual
(antara individu-individu intelektual) daripada keserupaan
konseptual (antara individu-individu);
6. Tafsir Islam membutuhkan berbagai pendekatan terhadap
realitas: reality-for-me (pendekatan personal) yang dapat dik-
etahui melalui pengalaman dan konseptualisasi unsur-unsur
pokok dari pengalaman personal; reality-for-us (pendekatan
intersubjektif) yang dapat diketahui melalui konseptualisasi
unsur-unsur pokok dari pengalaman tentang realitas yang
juga dialami orang lain melalui dialog; dan reality-as-such
(pendekatan transendental) yang harus dipostulatkan se-
bagai sesuatu yang dapat diketahui tanpa kita secara mental
mampu menjangkaunya menurut pernyataan-pernyataan
empirik-formal, yang mengimplikasikan bahwa fakta-fakta
(yang dipandang mengungkapkan hakekat realitas ini dan
itu atau realitas senyatanya);

Tabel II
Paradigma Pascamodernisme dan Tafsir Multikultural
Paradigma Pascamodernisme
Objek pengetahuan Subjek pengetahuan
Dunia Realitas Realitas Teori Teori Teori
nyata kami ku ku kami Ideal
Tafsir Multikultural
Objek pengetahuan Subjek pengetahuan
Dunia Realitas Realitas Islam Islam Islam
nyata kami ku ku kami Ideal

MODEL KAJIAN FILSAFAT:


Studi Hibrida Filsafat Fondasionalisme dan Hermeneutika
201
Sedangkan organisasi Tafsir Multikultural yang secara khusus
berkaitan dengan pengembangan pemikiran keislaman adalah
sebagai berikut:
1. Kitab: adalah a body of texts baik al-kitabah maupun at-takwin
(al-Maraghi, 1944); yang pertama berkaitan dengan teks
tertulis (written texts), dan yang terakhir berkenaan dengan
teks terhampar. Dengan demikian pengertian kitab meliputi
sabda dan fakta, kalam dan alam.
2. Al-Qiraah al-Muntijah: dekonstruksi atas teks yang beroperasi
paralel dengan (dan dalam) teks, berbagai pendekatan atas
problem kritik teks dapat digunakan secara bersama-sama;
mendayagunakan kekayaan epistemologis metode dan
pendekatan untuk memproduksi meaning dalam sinaran
fusi horizon dalam rangka merespon episteme atau zeitgeist
zaman.
3. Nafs: konfrontasi antara teks dan teks hasil dekonstruksi
dengan audiens pada berbagai level lokal, nasional,
regional dan global yang plural dan multikultural;
4. Natijah: simbol perkembangan pengetahuan dan inferensial
yang merupakan hasil dari partisipasi keseluruhan, dialog
dan harmonisasi para penafsir/tafsir-tafsir. Karenanya tidak
ada hegemoni tafsir di sini.

202 Zakiyuddin Baidhawy


Bagan Organisasi Tafsir Multikultural

KITAB
Sabda & fakta

NATIJAH
Partisipasi,
Dialog,
Harmonisasi
Para penafsir/
tafsir
AL-QIRA`AH NAFS audiens
AL-MUNTIJAH lokal, nasional,
regional, global

E. Simpulan
Tantangan-tantangan kontemporer pascamodernisme telah
mengejutkan konvensi-konvensi sosial dan kultural, sistem-
sistem kepercayaan, statisme dan fondasionalisme dalam
pemikiran, kebudayaan dan pandangan-pandangan yang
selama ini dianggap suci oleh masyarakat Muslim. Dalam
rangka keluar dari krisis pemikiran keislaman dan praksis sosial,
tafsir multikultural merupakan alternatif yang dibutuhkan
dalam strategi dan implementasi Dakwah Islam rahmatan lil
`alamin. Tafsir multikultural adalah upaya mempertahankan
kontinuitas sejarah pemikiran dan kritisisme (baca: tajdid) di
mana sejarah gagasan, atau dalam istilah Kuntowijoyo periode
ilmu, menyediakan batu loncatan bagi ide-ide dan gerakan

MODEL KAJIAN FILSAFAT:


Studi Hibrida Filsafat Fondasionalisme dan Hermeneutika
203
kultural baru. Semua gerakan dalam pemikiran, penulisan
dan kritisisme akan memberikan kontribusi bagi kontinuum
pemikiran tekstual dan kultural sehingga diharapkan membuka
tumbuhkembangnya oposisi atas pikiran-pikiran konvensional
yang sudah out of date, dan sekaligus memproduksi gagasan
dan praksisnya yang menyegarkan. Ini adalah saatnya bahwa
kontinuum ide dan pencerahan intelektual serta nurani
membuka horizon di mana kita harus memulai dari sini dan
kini.[]

204 Zakiyuddin Baidhawy


BAB 11

MODEL KAJIAN PENDIDIKAN:


Pendekatan Multikultural
terhadap Pendidikan Agama

K ekayaan akan keanekaragaman Nusantara agama, etnik,


dan budaya ibarat pisau bermata dua. Di satu sisi, kekayaan
ini merupakan khazanah yang patut dipelihara dan memberikan
nuansa dan dinamika bagi bangsa. Di sisi lain, ia dapat pula
merupakan titik pangkal perselisihan, konflik vertikal dan
horizontal. Krisis multidimensi yang berawal sejak pertengahan
1997 dan ditandai dengan kehancuran perekonomian nasional,
sulit dijelaskan secara mono-kausal. Faktor-faktor yang terlibat
terlalu kompleks dan saling terkait: ada faktor kepentingan
internasional dan kepentingan nasional, sejarah kolonial,
sumber daya alam yang tersedia, keragaman etnik, iklim, agama-
agama, tradisi, dan globalisasi. Cukup banyak konflik komunal
terjadi sepanjang krisis, dan diperparah konflik elite politik yang
membuang-buang waktu dan mengarahkan negara pada perang

MODEL KAJIAN PENDIDIKAN:


Pendekatan Multikultural terhadap Pendidikan Agama
205
sipil (Bamualim dkk, ed., 2002). Sebuah permulaan yang sangat
buruk bagi bangsa Indonesia dalam menyambut abad 21. Krisis
moneter dan politik yang berlarut-larut bergerak dalam suatu
proses interrelasi yang sangat kompleks telah menghasilkan
kekacauan yang sulit diprediksi. Berbagai ragam kekerasan
bersilang sengkarut dengan proses demokratisasi yang mandul
dan kebebasan tanpa kesadaran dan penerapan hukum yang
berwibawa.
Sementara itu, economic recovery berjalan lambat karena re-
orientasi ekonomi pasca era konglomerat masih terbuka untuk
dipersoalkan; karena aparat negara yang berkuasa gagal ketika
monopoli kekuasaan terdesentralisir melalui kebijakan otono-
misasi daerah yang berjalan tanpa skenario yang jelas. Tiga rang-
kaian Undang-undang otonomi daerah dan penanggulangan
korupsi UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah,
UU No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara
Pemerintah Pusat dan Daerah, serta UU No.28 Tahun 1999 ten-
tang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN
masih mengandung banyak celah untuk korupsi. Semua ben-
tuk korupsi di atas disebabkan oleh penyalahgunaan kekuasaan
untuk meraih keuntungan pribadi yang berhubungan dengan
merembesnya insentif, minimnya informasi dan transparansi
kepada publik, dan kurangnya akuntabilitas publik.
Otonomi daerah yang tak terkendali telah melahirkan raja-
raja kecil dengan chauvinisme etnik yang memperparah situasi
konflik dan ketegangan. Para elite anti demokrasi seringkali me-
manipulasi sentimen etnik dengan maksud untuk melemahkan
tuntutan akan demokratisasi. Demokratisasi nampaknya gagal di
bawah lingkungan di mana institusi-institusi demokrasi lemah
dan para elitenya tidak dapat mengadopsi demokrasi. Agaknya,

206 Zakiyuddin Baidhawy


masyarakat Indonesia sedang memetik akibat politisasi etnisitas
yang dieksploitasi secara semena-mena oleh para elite lokal yang
cenderung mengedepankan ikatan primordial di mana etnisitas
hanya dimaknai sebagai realitas nenek moyang dan fundamen-
tal (Nordoholt & Abdullah, 2002: 67-106).
Perbedaan kelompok-kelompok keagamaan, kelompok
etnik, dan kelompok sosio-kultural yang semakin meningkat
dari segi ukuran dan signifikansi politiknya dalam beberapa
tahun terakhir, telah melahirkan tuntutan agar kebijakan dan
program-program sosial responsif terhadap kebutuhan dan
kepentingan keragaman tersebut. Memenuhi tuntutan ini akan
menghendaki lebih kepekaan kultural (cultural sensitivity),
koalisi pelangi dan negosiasi-kompromi secara pluralistik pula.
Ketegangan etnik dan kelompok-kelompok kepentingan tertentu
dapat diakselerasi, dan akibatnya terjadi persaingan terhadap
berbagai sumber daya yang terbatas seperti lapangan pekerjaan,
perumahan, kekuasaan politik, dan sebagainya.
Semua persoalan krusial tersebut tidak akan terpecahkan
tanpa meninggalkan konsep masyarakat majemuk atau plural
dan beralih ke konsep masyarakat multikultural. Seluruh defi-
nisi, konsepsi, praktek sosial dan kebijakan politik pada sistem
masyarakat majemuk sudah tidak lagi memadai untuk mewa-
dahi dan memecahkan persoalan-persoalan kebudayaan, yang
selama ini lebih sering melahirkan proses marginalisasi terha-
dap kebudayaan-kebudayaan tertentu. Ketika keran demokrati-
sasi dan kebebasan semakin terbuka lebar, sistem sosial-politik
yang dipaksakan oleh negara tidak mendapatkan tempat di hati
rakyat sebagai pemilik kedaulatan sepenuhnya. Demokratisasi
dan globalisasi telah mempecundangi kendali negara, rakyat
tidak lagi memandang negara sebagai agen yang dominan, se-

MODEL KAJIAN PENDIDIKAN:


Pendekatan Multikultural terhadap Pendidikan Agama
207
hingga peluang untuk menjadi berbeda sangat terbuka. Untuk
kepentingan ini, kita perlu memiliki pengetahuan fundamen-
tal tentang, kepekaan terhadap, dan penghargaan atas berbagai
pengalaman, perspektif, masyarakat yang beragam secara etnik
maupun kultural, dan kebijakan multikulturalisme yang meli-
puti power sharing serta cultural recognition (Lijphart, 1977; Tay-
lor, 1992) di antara kelompok-kelompok yang terlibat.
Pendidikan multikultural diharapkan sebagai salah satu
instrumen paling efektif untuk dapat mempertemukan kebutu-
han-kebutuhan tersebut. Karena itu, masa depan bangsa Indo-
nesia tergantung pada pendidikan untuk saling memahami dan
pendidikan tentang pluralisme kultural sangat berhubungan
erat.

A. Pendidikan Agama sebagai Aparatus Ideologis


Selama Orde Baru, suasana hubungan antar umat beragama
di Indonesia ditengarai banyak pengamat sebagai terbaik kala
itu. Pancasila sebagai ideologi juga dinilai berhasil menjadi sa-
rana pemersatu negara-bangsa (Taher, 1997: 13-20). Sayangnya,
suasana itu dibangun melalui pendekatan top-down yang pada
gilirannya menemukan kegagalan bersamaan dengan jatuhnya
rezim Orde Baru. Ini ditandai dengan semaraknya skala aksi ke-
kerasan, kerusuhan dan konflik antaragama, antaretnik, antarke-
lompok masyarakat, dan konflik politik yang terjadi di mana-
mana di Indonesia belakangan ini. Merentang dari Aceh, Timor
Timur, Sanggau Ledo, Situbondo, Jakarta, Solo, Sampit, Maluku,
dan Poso. Semua rentetan kejahatan terhadap kemanusiaan yang
sangat memprihatinkan ini terjadi dalam satu dekade terakhir.
Semua ini merupakan indikator nyata terabaikannya hak-
hak dan eksistensi kebudayaan-kebudayaan lokal di antara

208 Zakiyuddin Baidhawy


ratusan kelompok etnik dan kelompok sosial di seluruh negeri
oleh negara. Selama lebih dari tiga dekade, peningkatan efisiensi
dan produktivitas program pembangunan pemerintah dilakukan
melalui berbagai upaya penyeragaman aneka kebudayaan di
Indonesia. Kecenderungan ini dimotivasi oleh kebutuhan
untuk mempertahankan stabilitas sebagai salah satu modal
pembangunan utama. Pemerintahan yang otoriter dan totaliter,
dan persaingan yang tidak seimbang dalam pemanfaatan sumber
daya ekonomi dan politik, telah melahirkan kecemburuan dan
kesenjangan sosial yang cukup lebar dalam pembagian kue
pembangunan, yang pada gilirannya membuat keadilan dalam
berbagai bentuknya jauh dari harapan rakyat banyak. Nyata
sudah bahwa konstruk harmoni yang selama ini dibanggakan
lebih merupakan sarang laba-laba yang rapuh dan mudah hancur.
Teologi kerukunan yang telah ditegakkan rezim lama bersifat
pasif dan tidak dinamis sehingga gagal menangkap gejala-gejala
akan runtuhnya harmoni kehidupan berbangsa dan bernegara.
Selama itu pula, pendidikan di Indonesia sedikit menyen-
tuh persoalan bagaimana menghargai kepercayaan-kepercayaan
keagamaan dan keragaman kultural yang sangat kaya. Ada ke-
cenderungan homogenisasi yang diintrodusir secara sistematik
melalui dunia pendidikan di bawah payung kebudayaan nasi-
onal, hegemoni kebudayaan Jawa sebagai pusat dan kebudaya-
an lain sebagai pinggiran, dan pemiskinan budaya dengan me-
ringkas keragaman identitas kultural sejumlah propinsi. Proses
homogenisasi, hegemoni dan pemiskinan budaya itu diajarkan
dalam civic education, seperti Pendidikan Pancasila, Pendidikan
Sejarah dan Perjuangan Bangsa, Kewiraan, Penataran P4 dan
bahkan Pendidikan Agama (religious education).

MODEL KAJIAN PENDIDIKAN:


Pendekatan Multikultural terhadap Pendidikan Agama
209
Sebagai konsekuensi dari kebijakan pemerintah Orde Baru
tentang pentingnya mempertahankan stabilitas, kebebasan
beragama (freedom of religion) mengalami pembatasan secara
politik. Agama-agama yang berhak hidup adalah yang diakui
secara resmi oleh pemerintah Islam, Katholik, Kristen, Budha
dan Hindu. Salah satu tujuan pembangunan nasional di bidang
pengembangan kehidupan beragama adalah untuk menegakkan
kehidupan harmoni komunitas-komunitas keagamaan. Upaya
ini dilakukan oleh Pemerintah sekaligus para pemimpin
agama untuk mencapai tujuan tersebut. Upaya ini termasuk
mengkondisikan dialog antara pemimpin-pemimpin agama,
diskusi informal, konferensi dan seminar yang diikuti oleh para
pemuka dan sarjana dari semua komunitas keagamaan yang
ada.1
Sangat disesali bahwa inisiatif pemerintah tidak diimbangi
dengan kebebasan masyarakat sipil untuk mengorganisir diri
membentuk lembaga-lembaga volunter serupa atas prakarsa
mereka sendiri. Lembaga-lembaga keagamaan seperti tersebut

1 Termasuk di antara berbagai upaya menuju harmoni kehidupan beragama adalah


pendirian forum-forum komunikasi dan konsultasi kerukunan umat beragama di
mana pemerintah sebagai motornya dengan representasi dari seluruh dewan
agama-agama yang diakui. Forum semacam ini didirikan sejak 1980 dan disebut
Wadah Musyawarah Antar Umat Beragama. Forum ini beranggotakan MUI,
PGI, KWI, Walubi dan Parisada Hindu Dharma. Tiga belas tahun kemudian,
pemerintah juga memprakarsai Musyawarah Nasional I tentang Agama-agama
di Indonesia pada 11-12 Oktober 1993, dan menghasilkan deklarasi Lembaga
Pengkajian Kerukunan Umat Beragama (LPKUB). Upaya penyebaran gagasan
tentang kerukunan antarumat beragama versi pemerintah melalui corong-corong
kekuasaan mereka MUI, PGI, KWI, Walubi dan Parisada Hindu Dharma pernah
dilakukan pada masa Departemen Agama dipimpin oleh Tarmizi Taher. Salah
satu hasil kerja mereka adalah risalah The Theological Frame of Harmonious
Life of Religious Communities in Indonesia (Jakarta: Balitbang Agama DEPAG RI,
1997) yang dipublikasikan dalam dua bahasa Inggris dan Indonesia.

210 Zakiyuddin Baidhawy


di atas dipandang yang paling berhak membicarakan kepentin-
gan umat-umat beragama di Indonesia, sementara kekuatan ma-
syarakat madani tidak memperoleh tempat untuk menyuarakan
kepentingan dan aspirasi mereka.
Untuk tujuan ini, pemerintah mempergunakan segala cara,
termasuk memanfaatkan Pendidikan Agama sebagai aparatus
ideologis negara untuk mengindoktrinasi kebebasan beragama
sebagaimana yang dikehendakinya. Agama yang secara kebetulan
memiliki hubungan ideologi dengan komunisme Kong Hucu
tidak diakui sebagai agama yang sah.
Model Pendidikan Agama (religious education) semacam
ini menyembunyikan secara sistemik nilai saling menghargai
(mutual respect) dari berbagai jalan hidup, dan mengabaikan
kontribusi kelompok-kelompok minoritas terhadap kebudayaan
masyarakat Indonesia.
Pendidikan Agama di sekolah-sekolah umum maupun
keagamaan lebih bercorak eksklusifis mengajarkan sistem
agamanya sendiri sebagai benar dan satu-satunya jalan kesela-
matan (salvation and truth claim) sembari merendahkan agama
orang lain. Pendidikan Agama melibatkan indoktrinasi dogma-
tik terhadap siswa. Pendekatan ini tidak mampu menyediakan
sarana yang memadai untuk menentukan materi pelajaran
agama mana yang dapat diterima dan mana yang harus ditolak.
Pendidikan Agama pada masa lampau sebenarnya juga
menyinggung masalah pentingnya kerukunan antar umat be-
ragama, namun lebih bersifat permukaan. Istilah kerukunan
yang diintrodusir lewat indoktrinasi sangat artifisial, karena ti-
dak mencerminkan dialektika, dinamika, apalagi kerjasama.
Selama masa Orde Baru, kerukunan merupakan suatu konfigu-
rasi relasi harmoni dalam pengertian pasif, karena cara-cara dan

MODEL KAJIAN PENDIDIKAN:


Pendekatan Multikultural terhadap Pendidikan Agama
211
skenario perjumpaan agama-agama (religious encounters) berada
dalam satu framework yang telah didesain sedemikian rupa oleh
pemerintah, tanpa melibatkan partisipasi kekuatan sipil dari
para pemeluk agama-agama.
Ketika negara atau sekolah mengajarkan pada rakyatnya ten-
tang agama-agama resmi, itu artinya pendidikan gagal mengajar-
kan nilai-nilai tentang pluralisme demokratis. Tanpa mengajar-
kan nilai-nilai demokrasi, negara dan sekolah telah mengurangi
peran keragaman dan membatasi diri pada alternatif politik se-
cara tidak bebas pada siswa dan masyarakat.

B. Basis Teologi Pendidikan Multikultural


Multikulturalisme biasa didefinisikan sebagai gerakan sosial-
intelektual yang mendorong nilai-nilai keberagaman (diversity)
sebagai prinsip inti dan mengukuhkan pandangan bahwa
semua kelompok budaya diperlakukan setara (equal) dan sama-
sama dihormati. Isu multikulturalisme di Indonesia semakin
terasa signifikan dan memperoleh tempat dalam kehidupan
kontemporer saat ini, bersamaan dengan munculnya kesadaran
perlunya memperbaiki tatanan dan harmoni dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara yang telah rusak oleh tindakan-tindakan
kekerasan dengan berbagai macam alasan dan bentuk.
Dalam konteks Pendidikan Agama, paradigma multikultural
perlu menjadi landasan utama penyelenggaraan proses belajar-
mengajar. Pendidikan Agama sangat membutuhkan lebih dari
sekedar reformasi kurikulum, namun juga perubahan perspektif
keagamaan dari pandangan eksklusif menuju pandangan multi-
kulturalis, atau setidaknya dapat mempertahankan pandangan
inklusif dan pluralis.

212 Zakiyuddin Baidhawy


Dengan memperhatikan persoalan-persoalan di muka, cukup
alasan bagi kita bahwa pemecahan masalah atas perkembangan
kontemporer sebagaimana telah dipaparkan tersebut tidak
dapat didekati secara permukaan semata. Pemecahan masalah
ini perlu menyentuh aspek-aspek yang lebih fundamental, yakni
merumuskan basis teologi multikulturalis.
Islam sebagai agama, kebudayaan dan peradaban besar di
dunia sudah sejak awal masuk ke nusantara pada abad 7 dan te-
rus berkembang hingga kini. Ia telah memberi sumbangsih bagi
keanekaragaman kebudayaan lokal nusantara. Islam tidak saja
hadir dalam bentuk tradisi agung (great tradition) bahkan mem-
perkaya pluralitas dengan islamisasi kebudayaan dan pribumi-
sasi Islam yang pada gilirannya banyak melahirkan tradisi-tra-
disi kecil (little traditions) Islam. Berbagai warna Islam dari Aceh
dan Melayu, Jawa, Sunda, Sasak, Bugis, dan sebagainya riuh
rendah memberi corak tertentu kemajemukan, yang akibatnya
dapat berwajah ambigu. Di satu sisi dengan keragamannya Is-
lam berjasa bagi penciptaan landasan kehidupan bersama
dalam konteks bermasyarakat, berbangsa dan bernegara; Islam
menawarkan norma-norma, sikap, dan nilai-nilai yang dapat
memperluas relasi damai di antara komunitas-komunitas etnik,
budaya dan agama. Sejumlah kajian sosiologis dan antropolo-
gis telah menunjukkan potensi pandangan dunia agama (baca
Islam) untuk mereduksi ketegangan dan menyediakan solusi
nirkekerasan terhadap konflik dalam berbagai setting kultural.
Dan secara langsung maupun tidak langsung keragaman Islam
juga dapat menyumbang potongan-potongan kayu dalam koba-
ran api konflik, ketegangan dan friksi antar kelompok yang terus
membesar di sisi lain.

MODEL KAJIAN PENDIDIKAN:


Pendekatan Multikultural terhadap Pendidikan Agama
213
Dalam situasi konflik komunal yang berkepanjangan inilah,
Islam merasa perlu meredefinisi kehadirannya dalam konteks
keragaman agama dan budaya, sekaligus menawarkan suatu
harapan dan perspektif keagamaan baru bahwa Islam adalah
seraut wajah yang tersenyum (smiling face of Islam), damai dan
nirkekerasan. Islam perlu memberi nuansa paradigmatik bagi
rekonstruksi dan pembangunan karakter bangsa (nation and
character building) pada umumnya. Ia perlu membangkitkan
kembali idealisasi sebagai agama non-sentralistik, kebalikan
dari sifat indoktriner dan otoriter. Tanpa mengabaikan ajaran-
ajaran teologis yang dipahami untuk memperkuat keimanan
dan pencapaian nilai-nilai eskatologis, Islam mengiringinya de-
ngan kesadaran berdialog dan kesiapan untuk berjumpa dengan
siapapun, kapan dan di manapun dikehendaki. Dengan cara ini,
Islam mempunyai kesempatan berharga untuk tampil sebagai
agama publik sekaligus agama profetik yang menjanjikan dengan
perspektif khas multikulturalis untuk membedakan dan sebagai
perluasan dari dua pandangan keagamaan inklusifis dan pluralis.
Dalam kegagalan politik penguasa mengelola masyarakat
multikultural, paradigma moral dan etis Islam multikulturalis
sudah saatnya menjadi sumber kehidupan berbangsa dan ber-
negara. Islam multikulturalis adalah sebentuk perspektif teolo-
gis tentang penghargaan terhadap keragaman dan sang lain
(the other); suatu assessment teologis mengenai agama lain, kul-
tur lain, dan etnik lain, dan penempatannya secara layak dalam
wilayah tatanan publik etis; sebuah teologi qurani yang mem-
bolehkan sang lain menjadi yang lain sebagai realitas yang
secara etis diperkenankan atau bahkan keniscayaan. Inilah pers-
pektif teologis abad 21 yang berkomunikasi melampaui bahasa
dan tradisi partikular. Meminjam istilah Abdulaziz Sachedina,

214 Zakiyuddin Baidhawy


ini merupakan sensibilitas ekumene (ecumenical sensibility)
(Sachedina, 2001: 7) dari teologi multikulturalis yang meng-
gambarkan perhatian dan kepedulian terhadap penduduk du-
nia, mempengaruhi kehidupan mereka melampaui batas-batas
komunitas-komunitas keagamaan dan kultural. Tujuan luhur te-
ologi multikulturalis (summum bonum) adalah pembebasan dari
belenggu kebodohan, kemiskinan, keterbelakangan, kezaliman,
dan ketidakadilan sebagai akibat dari relasi kolonial atas-bawah,
dominasi-subordinasi, superior-inferior, menindas-tertindas ba-
ik dalam hubungan antaragama, antaretnik dan antarbudaya.
Untuk mengatasi kebuntuan konseptual masyarakat plural yang
pernah menjadi slogan pembangunan dan telah melahirkan
budaya diskriminasi, dominasi dan rawan konflik, Islam mul-
tikulturalis berpotensi untuk menawarkan tata nilai (value sys-
tem) baru melalui pola relasi masyarakat yang setara dan saling
menghargai perbedaan.

C. Pendidikan Agama untuk Perdamaian dan Har-


moni
Mendasarkan diri pada disposisi dan perspektif di atas, Pendi-
dikan Agama dirancang untuk menjadi instrumen penting guna
mengimplementasikan kerangka kerja perspektif teologi mul-
tikulturalis. Pendidikan Agama pada era di mana intensifikasi
dan akselerasi pluralitas semakin terbuka, harus berani dan aser-
tif menyatakan selamat tinggal pada pendekatan dogmatik dan
strategi indoktirinasi dalam proses belajar mengajar. Sebagai
gantinya, Pendidikan Agama mengusung pendekatan dialogis,
muatan material yang berlimpah dengan memanfaatkan kera-
gaman agama-agama yang hidup dan menjadi keyakinan siswa
dan guru.

MODEL KAJIAN PENDIDIKAN:


Pendekatan Multikultural terhadap Pendidikan Agama
215
Sebagai sebuah pembaruan, Pendidikan Agama Berbasis
Teologi Multikulturalis memiliki karakteristik khas meliputi
hal-hal sebagai berikut:
1. Belajar Hidup Bersama (How to Live and Work Together)
Dalam praktek pendidikan, ia meliputi proses:
a. Pengembangan sikap toleran, empati, dan simpati yang
merupakan prasyarat esensial bagi keberhasilan koeksistensi
dan proeksistensi dalam keragaman agama. Toleransi adalah
kesiapan dan kemampuan batin untuk kerasan bersama
orang lain yang berbeda secara hakiki meskipun terdapat
konflik dengan pemahaman Anda tentang apa yang baik dan
jalan hidup yang layak (von Thun dalam Ali, 2002: 84-85).
Kerasan lebih dari sekedar menerima sesuatu, namun juga
yakin bahwa ada banyak jalan menuju Roma dan bahwa ti-
dak semua orang hendak menuju ke Roma. Toleransi adalah
konsep yang ambivalen. Di satu sisi, ia mengundang dialog
untuk mengkomunikasikan dan menjelaskan perbedaan
serta ada saling pengakuan. Inilah toleransi dalam bentuknya
yang solid. Toleransi dekoratif tidak memuat komitmen dan
hanya puas dengan dirinya sendiri dan bersamaan dengan
itu pasif dalam mempertemukan kebaikan milik mereka
dan kita (Goeudevert dalam Ali, 2002: 44-52). Pendidikan
Agama berbasis teologi multikulturalis dirancang untuk
menanamkan sikap toleran dari tahap yang minimalis
hingga maksimalis, dari yang dekoratif hingga solid.
b. Klarifikasi nilai-nilai kehidupan bersama menurut perspek-
tif agama-agama. Agama-agama saling berdiskusi dan me-
nawarkan suatu perspektif nilai masing-masing yang dapat
dipertemukan dengan kepentingan serupa dari agama lain.
Nilai-nilai ini pada akhirnya disepakati bersama dan me-

216 Zakiyuddin Baidhawy


ngalami proses objektivikasi membumi dan menjadi milik
bersama seluruh penganut agama tanpa memandang perbe-
daan ras dan warna kulit serta berlanjut pada komitmen
untuk dipelihara dan diimplementasikan dalam kehidupan
bersama. Etika Global (global ethic) sebagaimana terumus
dalam Deklarasi Parlemen Agama-agama Dunia (The Par-
liament of the Worlds Religions 1993) merupakan salah satu
perjumpaan nilai untuk kepentingan bersama umat manu-
sia secara mendunia dalam rangka memecahkan problem
bersama ekologis dan kemanusiaan mondial. Dalam kon-
teks abad 21 yang diawali beberapa tragedi kemanusiaan
yang mencengangkan mulai dari penghancuran Gedung
Menara Kembar WTC 911, perang Afganistan, pemboman
Legian, Bali, Thailand, Philipina dan beberapa tempat lain,
sudah saatnya agama-agama menunjukkan kembali komit-
mennya untuk mengutuk semua bentuk perjuangan demi
kepentingan dan atas nama apa pun dengan menggunakan
instrumen kekerasan untuk menimbulkan ketakutan dan
menumpahkan darah mereka yang tak berdosa. Nilai-nilai
kebersamaan secara religius perlu memperoleh penguatan
kembali, dan pendidikan agama merupakan sarana paling
efektif untuk melakukan tugas ini demi masa depan bumi
yang lebih manusiawi.
c. Pendewasaan emosional. Kebersamaan dalam perbedaan
bukanlah hal mudah. Kebersamaan membutuhkan kebe-
basan dan keterbukaan terhadap orang luar (outsiders). Tan-
pa kebebasan dan keterbukaan, kebersamaan dapat menje-
rumuskan pada simbiosis yang membelenggu; sebaliknya
kebebasan dan keterbukaan tanpa merasakan kebersamaan
akan menimbulkan keretakan dan perselisihan. Kebersa-

MODEL KAJIAN PENDIDIKAN:


Pendekatan Multikultural terhadap Pendidikan Agama
217
maan, kebebasan dan keterbukaan harus tumbuh bersama
menuju pendewasaan emosional dalam relasi antar dan in-
tra agama-agama.
d. Kesetaraan dalam partisipasi. Pengakuan atas kehadiran
dan hak hidup agama-agama memang penting, namun
belum cukup untuk memenuhi pilar hidup dan bekerja
bersama orang lain. Pengakuan semata masih membuka
kemungkinan adanya superioritas dan inferioritas, dominasi
dan subordinasi, tekanan dan ketertindasan. Dengan kata
lain, dominasi atau supremasi atas nama agama tertentu
terhadap agama lain, misalnya agama-agama monoteistik
terhadap agama-agama Timur. Untuk menutup jalan bagi
dominasi dan supremasi atas nama agama ini, agama-agama
perlu diletakkan dalam suatu relasi dan kesalingtergantungan,
dan karenanya bersifat setara. Setiap agama memiliki
kesempatan untuk hidup sekaligus memberikan kontribusi
bagi kesejahteraan kemanusiaan universal.
e. Kontrak sosial baru dan aturan main kehidupan bersama
antaragama. Biarkan kenangan konflik agama-agama pada
masa lampau berlalu bersama bergulirnya waktu. Konflik
agama-agama ada hanya sebagai kaca spion yang sesekali
boleh dilihat dan dilirik kembali agar jalan kendaraan yang
kita kemudikan menjadi lurus dan tidak melanggar marka
lalu lintas dan pembatas jalan. Kebutuhan kekinian dan
kedisinian mengajak semua pemeluk agama yang berbeda-
beda berjabat tangan untuk memulai hidup baru dengan
sebuah permulaan yang positif, yakni kesepakatan bersama
tentang hidup bersama yang lebih sehat dan bervisi ke depan.
Untuk kepentingan ini, mendesak kiranya agar pendidikan
memberi bekal ketrampilan komunikasi (communication

218 Zakiyuddin Baidhawy


skills) pada siswa dalam membuat perjumpaan pandangan
dan rekonsiliasi secara kreatif melalui berbagai sarana yang
memungkinkan.
Adapun hasil yang diharapkan dari lima proses tersebut
adalah: tumbuh dan berkembangnya keterampilan berpikir
(thinking skills) dalam memecahkan problem baru yang mung-
kin belum pernah atau tidak mungkin diperoleh secara formal
di bangku sekolah/kuliah; kemampuan mengembangkan relasi
antarpersonal dan intrapersonal antarpenganut dan intrapenga-
nut agama-agama; kapasitas dalam mengatasi isu-isu kontrover-
sial yang disebabkan faktor sentimen, dan atau picu keagamaan
(religious trigering) secara kreatif; dan mengembangkan empati,
kesepahaman, serta kerjasama (kolaborasi) antaragama yang
sinergis dan dinamis.
2. Membangun Rasa Saling Percaya (Mutual Trust)
Saling percaya adalah salah satu modal sosial (social capital)
terpenting dalam penguatan kultural masyarakat madani (Fuku-
yama, 2000: 98-111). Norma-norma yang memproduksi modal
sosial secara substantif harus menonjolkan kebaikan-kebaikan
seperti menyampaikan kebenaran, mempertemukan kewajiban-
kewajiban, dan resiprositas. Modal sosial adalah sumbangan-
sumbangan kultural akumulatif yang memudahkan dukungan
terhadap tugas-tugas sosial tertentu dalam pembentukan ma-
syarakat madani. Di samping rasa saling percaya, sumber-sum-
ber non material di dalam masyarakat ini bisa berupa status,
niat baik, kemerdekaan warga negara, toleransi, dan penghor-
matan pada aturan hukum norma-norma, jaringan-jaringan,
yang dapat meningkatkan efesiensi sosial dengan memudahkan
tindakan-tindakan yang terkoordinasi yang bisa diakumulasikan

MODEL KAJIAN PENDIDIKAN:


Pendekatan Multikultural terhadap Pendidikan Agama
219
oleh agen-agen sosial. Modal sosial ini merupakan fondasi bagi
terbangunnya sikap rasional, tidak mudah curiga, bebas dari
prasangka dan stereotif baik yang dikonstruksi secara sosial-kul-
tural maupun secara politik. Agama diyakini sebagai faktor pent-
ing dalam pembentukan budaya dan etnisitas. Karena proses in-
ternalisasi dan eksternalisasi yang berjalan dalam jangka waktu
lama, sering terjadi identifikasi kultural dan etnisitas atas nama
agama, dan sebaliknya. Ini bisa menjadi penyebab tumbuh dan
berkembangnya prasangka tertentu antar kelompok agama,
yang mungkin ditanamkan dan diwariskan secara sadar maupun
tidak sadar dari satu generasi ke generasi berikutnya. Pendidikan
Agama menggaribawahi perlunya pencerahan melalui penana-
man mutual trust antaragama, antarkultur dan antaretnik.
3. Memelihara Saling Pengertian (Mutual Understanding)
Memahami bukan serta merta berarti menyetujui. Sebagian
orang merasa takut jika mereka mencoba secara jantan dan
cinta untuk memahami sudut pandang orang lain, itu artinya
mereka telah menciptakan kesan yang salah bahwa memahami
sama dengan bersimpati pada sesuatu/seseorang. Saling me-
mahami adalah kesadaran bahwa nilai-nilai mereka dan kita
dapat berbeda dan mungkin saling melengkapi serta memberi
kontribusi terhadap relasi yang dinamis dan hidup, sehingga
oposan merupakan mitra yang saling melengkapi dan kemitraan
menyatukan kebenaran-kebenaran parsial dalam suatu relasi.
Kawan sejati adalah lawan dialog yang senantiasa setia untuk
menerima perbedaan dan siap pada segala kemungkinan untuk
menjumpai titik temu di dalamnya, serta memahami bahwa
dalam perbedaan dan persamaan, ada keunikan-keunikan
yang tidak dapat secara bersama-sama oleh partisipan dalam
kemitraan. Untuk itu, Pendidikan Agama mempunyai tanggung

220 Zakiyuddin Baidhawy


jawab membangun landasan etis kesaling sepahaman antara
entitas-entitas agama dan budaya yang plural, sebagai sikap dan
kepedulian bersama.
4. Menjunjung Sikap Saling Menghargai (Mutual Respect)
Sikap ini mendudukan semua manusia dalam relasi keseta-
raan, tidak ada superioritas maupun inferioritas. Menghormati
dan menghargai sesama manusia adalah nilai universal yang
dikandung semua agama di dunia. Pendidikan Agama Berwa-
wasan Multikultural menumbuhkembangkan kesadaran bahwa
kedamaian mengandaikan saling menghargai antarpenganut
agama-agama, yang dengannya kita dapat dan siap untuk men-
dengarkan suara dan perspektif agama lain yang berbeda; meng-
hargai signifikansi dan martabat semua individu dan kelompok
keagamaan yang beragam. Untuk menjaga kehormatan dan
harga diri tidak harus diperoleh dengan mengorbankan kehor-
matan dan harga diri orang lain apalagi dengan menggunakan
sarana dan tindakan kekerasan. Saling menghargai membawa
pada sikap saling berbagi di antara semua individu dan kelom-
pok.
5. Terbuka dalam Berpikir
Kematangan berpikir merupakan salah satu tujuan penting
pendidikan. Pendidikan seyogianya memberi pengetahuan baru
tentang bagaimana berpikir dan bertindak, bahkan mengadop-
si dan mengadaptasi sebagian pengetahuan baru itu pada diri
siswa. Sebagai akibat perjumpaan dengan dunia lain agama-
agama dan kebudayaan-kebudayaan yang beragam siswa me-
ngarah pada proses pendewasaan dan memiliki sudut pandang
dan banyak cara untuk memahami realitas. Dengan horizon
baru inilah siswa terbuka untuk memikirkan kembali bagaima-
na ia melihat diri, orang lain dan dunia. Siswa menemukan diri

MODEL KAJIAN PENDIDIKAN:


Pendekatan Multikultural terhadap Pendidikan Agama
221
dan kultur baru dengan pikiran baru yang terbuka. Pendidikan
Agama Berwawasan Multikultural mengkondisikan siswa untuk
berjumpa dengan pluralitas pandangan dan perbedaan radikal
yang menantang identitas lama dan segalanya mulai tampak
dalam sinar baru. Hasilnya adalah kemauan untuk memulai
pendalaman tentang makna diri, identitas, dunia kehidupan,
agama dan kebudayaan diri sendiri dan orang lain.
6. Apresiasi dan Interdependensi
Kehidupan yang layak dana manusiawi hanya mungkin
tercipta dalam sebuah tatanan sosial yang care, di mana semua
anggota masyarakatnya dapat saling menunjukkan apresiasi dan
memelihara relasi, keterikatan, kohesi dan kesalingkaitan sosial
yang rekat. Sebagai makhluk sosial (homo socius), manusia dari
jenis kelamin dan ras manapun bahkan mereka yang mengklaim
penganut setia individualisme sejati, tidak akan dapat survival
tanpa ikatan sosial.
Banyak sisi kehidupan manusia yang tidak dapat diatasi
secara material oleh limpahan harta, uang, tahta dan kekayaan.
Ada kebutuhan untuk saling menolong atas dasar kecintaan
dan ketulusan terhadap sesama manusia, untuk mengatasi
ketidakberdayaan (powerlessness), ketidakpastian (contingency),
dan kelangkaan (scarcity). Perlu tanggung jawab untuk mencipta
bersama sebuah masyarakat yang membantu semuanya. Tatanan
sosial yang harmoni dan dinamis yang saling terkait mendukung
individu-individu dan bukan memecah belah mereka. Tatanan
ini melihat kerjasama sebagai hal penting bagi kesehatan
masyarakat yang pada gilirannya memberi kesejahteraan bagi
individu. Dengan demikian, Pendidikan Agama perlu membagi
kepedulian tentang apresiasi dan interdependensi umat manusia
dari berbagai tradisi agama-agama.

222 Zakiyuddin Baidhawy


7. Resolusi Konflik dan Rekonsiliasi Nirkekerasan
Konflik antaragama adalah kenyataan yang tak terbantahkan
dari masa lalu dan masa kini. Namun konflik ini harus dikurangi
sedemikian rupa karena dengan satu atau lain alasan, konflik
berarti mengangkangi nilai-nilai agama tentang persaudaraan
universal umat manusia (unity of humankind). Dalam situasi
konflik, Pendidikan Agama harus hadir untuk menyuntikan
spirit dan kekuatan spiritual sebagai sarana integrasi dan
kohesi sosial, ia juga menawarkan angin segar bagi kedamaian
dan perdamaian. Dengan kata lain, Pendidikan Agama perlu
memfungsikan agama sebagai satu cara dalam resolusi konflik.
Resolusi konflik belum cukup tanpa rekonsiliasi, yakni upaya
perdamaian melalui sarana pengampunan atau memaafkan
(forgiveness). Pemberian ampun atau maaf dalam rekonsiliasi
adalah tindakan tepat dalam situasi konflik. Pendidikan
Agama perlu meyakinkan bahwa agama-agama sesungguhnya
mengajarkan bahwa balasan untuk suatu kejahatan adalah
kejahatan yang serupa dengannya. Tetapi jika seseorang
memberi maaf dan melakukan rekonsiliasi, balasannya adalah
dari Tuhan. Memaafkan berarti melupakan semua serangan,
kejahatan, perbuatan salah dan dosa yang dilakukan orang lain
secara sengaja maupun tidak sengaja, seperti mencerca melalui
lisan, mengambil atau merampas hak milik anda. Memaafkan
itu ada dua macamnya: memaafkan ketika kita tidak mempunyai
kekuatan untuk melakukan pembalasan. Memaafkan semacam
ini pada dasarnya serupa dengan kesabaran dan menahan diri,
dan bukan memberikan maaf. Dan memaafkan ketika kita
memiliki kekuatan dan kekuasaan untuk melakukan balas
dendam. Memaafkan semacam inilah yang dikehendaki agama
manapun di dunia.

MODEL KAJIAN PENDIDIKAN:


Pendekatan Multikultural terhadap Pendidikan Agama
223
Berangkat dari paparan enam konsep kunci di atas, dapat
ditarik benang merah bahwa Pendidikan Agama Berbasis Teologi
Multikulturalis adalah gerakan pembaharuan dan inovasi pendidikan
agama dalam rangka menanamkan kesadaran pentingnya hidup
bersama dalam keragaman dan perbedaan agama-agama, dengan
spirit kesetaraan dan kesederajatan, saling percaya, saling memahami
dan menghargai persamaan, perbedaan dan keunikan agama-agama,
terjalin dalam suatu relasi dan interdependensi dalam situasi saling
mendengar dan menerima perbedaan perspektif agama-agama dalam
satu dan lain masalah dengan pikiran terbuka, untuk menemukan jalan
terbaik mengatasi konflik antaragama dan menciptakan perdamaian
melalui sarana pengampunan dan tindakan nirkekerasan.

D. Simpulan
Sejauh kita memandang ke masa depan, Pendidikan Agama
Berbasis Teologi Multikulturalis harus terus diupayakan secara
kolaboratif dengan institusi-institusi pendidikan dan para pe-
ngambil kebijakan serta organisasi-organisasi pemerintah mau-
pun non-pemerintah lain yang berkaitan, untuk menciptakan
suatu visi baru bagi peran Pendidikan Agama dalam masyara-
kat. Pendidikan Agama didesain untuk menawarkan nilai-nilai
saling pengertian, interdependensi, dan perdamaian. Orientasi
dan imperatif ini sangat jelas. Bila Pendidikan Agama hendak
memainkan peran positif dalam membangun masyarakat yang
damai dan harmoni dalam konteks global, ia perlu dirancang
lebih dari sekedar melatih para guru dalam penguasaan teknik-
teknik mengintrodusir gagasan-gagasan baru tentang multikul-
turalisme sebagai seni mengelola keragaman dan politik pe-
ngakuan akan perbedaan. Institusi-institusi pendidikan bahkan
harus menjadi tempat terjadinya transformasi pada diri siswa,

224 Zakiyuddin Baidhawy


lingkungan sekolah, dan masyarakat atau dunia secara keselu-
ruhan, suatu proses yang mengalir dari tempat yang terdalam
dari diri kita masing-masing. Kita perlu berupaya menggagas
suatu tempat baru dan tempat bagi spiritualitas baru dalam
dunia pendidikan, bukan sebagai gerak terisolasi pada margin
akademik, bukan pula sebagai bentuk represi dan kontrol so-
sial baru, namun sebagai unsur esensial dari suatu tugas besar
untuk mereorientasi institusi pendidikan guna merespon secara
memadai tantangan-tantangan dunia yang ada dihadapan kita:
tantangan bagi pengajaran, pembelajaran dan kehidupan kita.
Untuk itu, ada beberapa tugas baru yang sedang dan akan
menunggu kontribusi kita untuk mencari berbagai pendekatan
multikultural. Pertama, pendekatan terhadap sistem Pendidikan
Agama menolak dominasi sistem tertentu sembari menerima ke-
ragaman pendekatan. Ini dimaksudkan agar Pendidikan Agama
dapat membantu memperlakukan setiap agama yang hidup di
negeri ini menurut bahasa mereka sendiri dan sebagai suatu
sistem keimanan dan praktek keagamaan. Pendekatan sistem
memperoleh nilainya dalam kaitan dengan dimensi-dimensi
universal agama-agama, dimensi-dimensi yang tentu saja cukup
nyata dan terus mempertegas diri. Bagaimanapun jika seseorang
memahami seluruh fakta perbedaan antar dan intraagama, seka-
ligus hubungan saling pengaruh yang berkesinambungan antara
agama-agama dan kebudayaan-kebudayaan, maka pendekatan
sistem jelas akan dimodifikasi oleh pendekatan-pendekatan al-
ternatif dan partikular.
Kedua, tugas berikutnya adalah keharusan untuk menye-
diakan pendekatan sistem yang transendental. Tidak ada suatu
tradisi pun yang mempunyai eksistensi terisolir. Semua tradisi
agama-agama terbentuk dalam dialog dan kompetisi dengan

MODEL KAJIAN PENDIDIKAN:


Pendekatan Multikultural terhadap Pendidikan Agama
225
tradisi-tradisi lain. Dalam desa buana, agama-agama dunia terus
mempengaruhi dan mentransformasi satu dengan yang lain. Ini
memunculkan dua tantangan bagi dialog antaragama termasuk
dalam konteks sekolah atau akademik. Pertama, teologi perlu
mengakui kepercayaan-kepercayaan dan agama-agama lain ti-
dak hanya sebagai tetangga yang harus dihormati, bahkan se-
bagai partner dialog. Kini, semua agama harus diakui sebagai
partner yang penting dan setara dalam dialog, baik dalam bi-
dang teologi maupun etika. Kedua, Pendidikan Agama perlu ter-
us mengembangkan metode yang sesuai dengan apa yang terjadi
di antara agama-agama dengan tujuan untuk memahami relasi
antaragama dan proses transformasi intraagama.
Tantangan besar bagi tradisi Pendidikan Agama dalam kon-
teks multireligi saat ini adalah pengembangan metode pengajar-
an dan pembelajaran yang dapat mengakomodir interaksi anta-
ra agama-agama sekaligus transformasi mutual di antara mereka
secara serius. Dialog sebagai tantangan perlu mendorong Pen-
didikan Agama untuk mentransfer teologi yang lebih terbuka.
Teologi yang diajarkan perlu mengakui dirinya sendiri sebagai
representasi dari tradisi tertentu. Berdasarkan landasan ini, Pen-
didikan Agama dapat memasuki wilayah dialog dengan agama-
agama dan teologi-teologi lain, serta melakukan studi bersama
tentang apa yang terjadi di antara tradisi-tradisi yang hidup dan
berinteraksi secara erat, seperti Kristen dan Islam.
Ketiga, tugas menghadirkan pendekatan kontekstual atas
Pendidikan Agama dan teologi agama-agama. Pendekatan dialo-
gis harus mewaspadai esensialisme pada sebagian partner dalam
dialog. Untuk memahami agama dalam fungsinya, pendekatan
yang cenderung melakukan universalisasi terhadap Pendidikan
Agama dan teologi harus dimodifikasi oleh teologi kontekstual

226 Zakiyuddin Baidhawy


dan sedikit antropologi agama. Perlu diadopsi antropologi sos-
ial sebagai basis pendekatan interpretatif terhadap Pendidikan
Agama yang akan dikembangkan. Agama dipelajari dalam sua-
tu konteks. Pendidikan Agama perlu mempertimbangkan dan
memperhatikan isu-isu kultural, perbedaan intraagama, dan in-
teraksi berbagai level dalam agama dan tradisi-tradisi keagamaan
yang dipraktekan dalam kawasan tertentu.
Keempat, memahami lebih jauh pluralitas pada tingkat
individu. Ada kebutuhan untuk mengakui identitas-identitas
yang plural. Sejalan dengan tiadanya tradisi yang memiliki
eksistensi terisolir, Pendidikan Agama tidak perlu mensyaratkan
identitas keagamaan yang koheren pada sebagian peserta didik.
Dalam kehidupan nyata, upaya untuk membangun kembali
identitas-identitas eksklusif sering berkompetisi dengan
kecenderungan untuk membentuk identitas yang lebih plural.
Pada tingkat masyarakat, tradisi-tradisi yang jelas berbeda-beda
biasanya memberi kontribusi terhadap apa yang disebut identitas
nasional. Pada tingkat personal, orang-orang sering menjaga
jarak dengan sumber-sumber spiritual yang berbeda. Jika kita
hendak menerima bahwa tak satu pun tradisi yang eksklusif
memiliki komunitas iman tertentu, dan bahwa orang-orang
mampu membiarkan diri mereka terinspirasi oleh lebih dari
satu sumber kepercayaan atau agama, Pendidikan Agama perlu
membuka pendekatan yang lebih berperan dan eksperimental
terhadap tradisi-tradisi keagamaan.
Terakhir, mengupayakan agar Pendidikan Agama mengkom-
binasikan teologi dan kajian ilmiah. Artinya, Pendidikan Agama
perlu mengakomodir perspektif insider dan outsider, atau de-
ngan kata lain membuka peluang untuk saling pengaruh antara
memasuki dan mengambil jarak terhadap agama. Pendidikan

MODEL KAJIAN PENDIDIKAN:


Pendekatan Multikultural terhadap Pendidikan Agama
227
Agama merupakan kombinasi antara karakter tradisi dan kritik,
normativitas dan netralitas, pandangan partikular dan univer-
sal. Inilah dialektika antara perspektif penganut dan pengamat,
orang dalam dan orang luar. Untuk mencapai tujuan ini, Pendi-
dikan Agama perlu mendekati agama-agama dari dua sisi, yakni
dari sisi dalam seperti sumber-sumber yang hidup bagi iman,
moral dan orientasi hidup dan dari sisi luar sebagai objek in-
vestigasi kritis. Jika teologi didefinisi sebagai representasi siste-
matis dari perspektif orang dalam dari keimanan tertentu, maka
setiap komunitas imani dalam masyarakat multireligi harus me-
miliki kesempatan untuk mempertegas diri sebagai teologi siste-
matis, dan hak untuk didengar kapasitasnya. Perspektif orang
luar yang relatif netral dan kritis juga harus mengakui nilai dari
perspektif orang dalam dengan tujuan untuk mengatasi tradisi
tertentu. Ini mengimplikasikan keterlibatan simpatetik dengan
orang-orang beriman sekaligus kehendak untuk dialog dengan
orang lain yang juga beriman. Dengan demikian, Pendidikan
Agama membutuhkan dialektika antara perspektif orang dalam
dan orang luar. Dialektik semacam ini dapat dijadikan etos baik
dalam teologi dan Pendidikan Agama, sekaligus kendaraan bagi
kerjasama interdisipliner antara tradisi-tradisi keagamaan dan
kesarjanaan.
Atas dasar ini, bentuk-bentuk baru kerjasama institusional
dapat diupayakan, dan proyek interdisipliner dapat diraih. Kunci
seperti saling pengaruh antara teks-teks suci dan konteks sosial
yang berubah, ketegangan antara agama normatif dan agama
populer, tantangan untuk menghubungkan perbandingan agama
dengan praktek-praktek dialog, akan cukup untuk mencerahkan
otak dalam rangka mencari proyek kerjasama multidimensional
dan interdisipliner sejati.[]

228 Zakiyuddin Baidhawy


BAB 12

MODEL KAJIAN
PEMIKIRAN ISLAM:
Kajian tentang Islam Liberal

T erlepas dari pro dan kontra, dalam konteks Indonesia,


perkembangan wacana Islam liberal dalam satu dekade
terakhir semakin memperoleh tempat. Meski terasa baru,
sesungguhnya Islam liberal adalah the new wine in the old bottle.
Sosok yang disebut Islam liberal telah memiliki sejarah panjang.
Menurut Charles Kurzman, Islam liberal berakar pada Syah
Waliyullah (1703-1762) di India dan muncul di antara gerakan-
gerakan pemurnian Islam ala Wahabi pada abad ke-18. Bersama
dengan berkembangnya Islam liberal, muncul tokoh-tokohnya
pada tiap zaman. Jamaluddin al-Afghani di Afganistan, Sayyid
Ahmad Khan di India, dan Muhammad Abduh di Mesir --
ketiganya hidup pada abad ke-19. Adapun pada abad 20 terdapat
antara lain Abdullah Ahmed an-Naim, Mohammad Arkoun,
Fazlur Rahman, dan Fatima Memissi. Nurcholish Madjid,

MODEL KAJIAN PEMIKIRAN ISLAM:


Kajian tentang Islam Liberal
229
cendekiawan Indonesia yang mengibarkan teologi inklusif, juga
disebut.
Istilah liberal antara lain bermakna pembebasan dari cara
berpikir dan berperilaku keberagamaan yang menghambat
kemajuan. Islam liberal tidak bisa dipertentangkan dengan
Islam model lama semacam Islam tradisionalis, revivalis,
atau modernis, juga dengan model baru seperti neomodernis
dan posmodemis. Sebab, gagasan Islam liberal sesungguhnya
kombinasi unsur-unsur liberal yang ada dalam kelompok-
kelompok pemikiran modern itu. Perhatian Islam liberal adalah
pada hal-hal yang prinsip. Adapun hal prinsip misalnya negara
demokrasi, emansipasi wanita, dan kebebasan berpikir.

A. Beberapa Pendekatan Mengkaji Islam Liberal


Islam liberal lebih bisa menerima bentuk negara sekular
yang dipandang lebih unggul dari bentuk negara ala kaum
fundamentalis. Nomenclature Islam liberal sebagai sebuah
penanda (signifier) bagi aliran pemikiran Islam modern, kali
pertama dipopulerkan oleh seorang intelektual Muslim India Asaf
Ali Asghar Fyzee (1963) pada 1950-an. Fyzee memperkenalkan
istilah Islam liberal sebagai sebuah upaya mendekati Islam
melalui berbagai pendekatan modern dan melakukan refleksi
historis-kritis terhadap berbagai wacana keagamaan kontempo-
rer yang berkembang. Setidaknya ada enam tema utama yang
menjadi perhatian Fyzee sebagai basis tinanda (signified) bagi
Islam liberal. Yakn: 1) kajian kritis atas sejarah agama-agama
(the history of religions), 2) kajian perbandingan agama-agama
semitik (the comparative study of Semitic religions), 3) studi bahasa-
bahasa semitik dan filologi, 4) pemisahan hukum dan agama
(secularization), 5) menguji kembali syariat dan pemikiran

230 Zakiyuddin Baidhawy


kalam/teologi Islam, dan 6) menafsir ulang kosmologi dan sains.
Apa yang dikemukakan Fyzee lebih merupakan kajian ilmiah
dan intelektual yang membuka sedikit akses bagi pemahaman
keagamaan banyak orang.
Berbeda dengan Fyzee, Leonard Binder (1988) menawarkan
pendekatan lain terhadap Islam liberal. Menurutnya, Islam
liberal adalah sebuah gagasan dan gerakan keagamaan dalam
Islam modern yang menjadi subordinat dari gagasan-gagasan
dan gerakan serupa di Barat. Islam liberal tidak lain merupakan
bagian dari Liberalisme Barat. Muslim liberal adalah manusia
yang pikiran-pikirannya dipengaruhi oleh Barat dan menjadi
penyambung lidah tema-tema modernitas di dunia ketiga
termasuk dunia Islam di satu sisi. Meskipun demikian, aliran
pemikiran Islam ini mengusung berbagai agenda aksi global
yang sangat fundamental, memberikan respon dan kritik ter-
hadap berbagai wacana Barat modern yang dalam hal tertentu
dipaksakan di dunia Islam di sisi lain. Islam liberal dalam konteks
ini dapat dipandang sebagai berwajah ganda --menerima ide-ide
Barat sekaligus mengeliminasi dampak buruk modernisme demi
kemajuan dunia Islam-- dalam menanggapi berbagai isu antara
lain: 1) ideologi liberalisme, 2) wacana dan tafsir orientalisme
terhadap Islam (dan dunia Timur pada umumnya), 3) ideologi
sosialisme-marxisme, 4) developmentalisme dan modernisasi
serta ketimpangannya dalam aplikasi di dunia ketiga, 5) ideologi
nasionalisme, 6) ideologi pragmatisme, dan 7) sekularisme
politik global.
Meskipun karya ini patut dipuji sebagai salah satu studi yang
paling signifikan tentang Islam liberal hingga sekarang, kerang-
ka berpikir yang disodorkan Leonard Binder merupakan konsep
yang sulit secara inheren untuk digunakan dalam konteks Islam,

MODEL KAJIAN PEMIKIRAN ISLAM:


Kajian tentang Islam Liberal
231
ini karena liberalisme memperlakukan agama sebagai opini
dan mentoleransi agama secara tepat sebagai keanekaan dalam
wilayah opini. Islam dan liberalisme muncul sebagai hal yang
saling bertentangan.
Pendekatan ketiga memahami Islam liberal bukan sebagai
bagian dari liberalisme Barat. Pendekatan yang ditawarkan oleh
Charles Kurzman (1998) ini hendak menguji pemikiran Muslim
liberal dari sudut pandang tradisi Islam, dan Muslim liberal
dipandang sebagai bagian dari Islam itu sendiri.
Kurzman dalam hal ini memandang Islam liberal sebagai
the third tradition yang sering diabaikan dalam perdebatan dan
diskusi tentang Islam. Dua tradisi interpretasi sosio-religius
lainnya yang meramaikan perbincangan tentang Islam adalah:
Islam adat (customary Islam) yang ditandai oleh kombinasi
kebiasaan kedaerahan dan kebiasaan yang juga umum dilakukan
di seluruh dunia Islam; dan Islam revivalis (revivalist Islam,
juga biasa disebut dengan Islamisme, Fundamentalisme atau
Wahhabisme) yang menjadi antitesis bagi Islam adat karena
dipandang kurang memperhatikan inti doktrin Islam. Sebagai
tradisi ketiga, Islam liberal mendefinisikan diri sebagai berbeda
secara kontras dengan Islam adat dan menyerukan keutamaan
periode Islam awal untuk menegaskan ketidakabsahan praktik-
praktik keagamaan masa kini. Namun, pada saat yang sama, Islam
liberal menghadirkan kembali masa lalu untuk kepentingan
modernitas, suatu posisi yang berlawanan dengan Islam revivalis
yang menegaskan modernitas atas nama masa lalu.
Menurut Kurzman, Islam liberal memiliki tiga model dalam
mendekati dan memahami syariat, syariat liberal (liberal syari-
at). Bagi para pendukung syariat liberal, wahyu Al-Quran dan
praktik-praktik Nabi memerintahkan/menghendaki Muslim un-

232 Zakiyuddin Baidhawy


tuk mengambil posisi liberal. Secara eksplisit syariat itu send-
iri menekankan sikap liberal. Misalnya dalam kasus Ali Bula, ia
mengutip al-Kafirun (109): 6: Untukmu agamamu dan untuk-
ku agamaku. la kemudian menjelaskan secara detail mengenai
Piagam Madinah, suatu pakta yang ditandatangani Nabi Mu-
hammad saw. dengan suku-suku Yahudi di Madinah pada awal
era Islam. Problem utama masa ini adalah mengakhiri konflik
dan menemukan formulasi koeksistensi damai dalam segala
sisi sesuai dengan prinsip keadilan dan kebenaran. Dalam hal
ini, dokumen Madinah adalah suatu proyek ideal yang meng-
hargai keadilan, hukum dan kebenaran yang bertujuan untuk
menegakkan perdamaian dan stabilitas di kalangan masyarakat
atas dasar kontrak di antara berbagai kelompok agama, politik
dan budaya. Inilah kekayaan keragaman dalam kesatuan, suatu
pluralisme yang nyata (Kurzman, 1998:170-174). Chandra Mu-
zaffar mengutip al-Hujurat (49):13 sebagai bentuk nyata posisi
liberal syariat dalam hal pluralisme dan multikulturalisme. Se-
mentara itu, Mohamed Taibi dengan mengutip al-Maidah (5):48
menyatakan bahwa permusuhan dan bentuk-bentuk diskrimi-
nasi dalam relasi antaragama adalah tidak islami.
Kedua, syariat bisu (silent syariat). Para pendukungnya me-
nyakini bahwa koeksistensi itu tidak dikehendaki oleh syariat
tetapi diperbolehkan/dibiarkan. Model ini berpendapat bahwa
syariat itu diam pada masalah-masalah tertentu bukan karena
wahyu Allah tidak sempurna dan keliru, tapi karena wahyu
berniat membiarkan isu-isu tertentu agar manusia memilih.
Humayun Kabir misalnya, berpendapat bahwa preseden pada
awal periode Islam tidak dapat diterapkan secara otomatis
pada periode berikutnya. Situasi telah berubah sejalan dengan
kekuasaan Islam menyebar secara cepat ke wilayah Asia dan

MODEL KAJIAN PEMIKIRAN ISLAM:


Kajian tentang Islam Liberal
233
banyak penduduknya merasa berada dalam posisi terjepit.
Praktik yang muncul dan pemikiran politik Islam menemukan
tempat bagi orang-orang non-Muslim di negara Islam. Di India
misalnya, kaum Muslim mengutuk pemaksaan dalam agama
dan menghendaki agar semua agama diberi penghargaan.
Ketiga, syariat tertafsir (interpreted syariat). Penganjurnya
yakin bahwa agama itu sakral, tapi interpretasi tentang agama
bersifat manusiawi dan duniawi. Teks tidak berdiri sendiri, ia
tidak memikul makna di atas pundaknya sendiri. la perlu di-
tafsirkan dalam suatu konteks. la memuat teori, interpretasinya
mengalir dan praduga-praduganya bersifat aktif di sini dan di
tempat manapun dalam wilayah pemahaman. Teks-teks ke-
agamaan tanpa kecuali. Oleh karena itu, interpretasi apapun
terhadap teks wahyu tunduk pada perluasan dan penyempitan
sesuai dengan asumsi yang mendahului penafsir. Kita melihat
wahyu dalam cermin tafsir, sama seperti seorang ilmuwan me-
lihat kreasi dalam cermin alam, sehingga jalan bagi demokrasi
dan kesatuan transendental agama-agama yang diprediksi atas
dasar pluralisme agama akan selalu terbuka.
Farid Esack (1997) mengutip pendapat Ali bin Abi Thalib:
Ini adalah Al-Quran yang ditulis secara mendatar dalam garis
lurus, di antara dua dinding; ia tidak bicara melalui lidah; ia
butuh penafsir dan penafsir itu adalah manusia. Esack mener-
jemahkan ungkapan Ali ini menjadi: Setiap penafsir mema-
suki proses interpretasi dengan prakonsepsi tentang persoalan
yang ditunjukkan oleh teks dan penafsir membawa prakonsepsi
dalam penafsirannya. Esack sendiri mempunyai prakonsepsi
yang muncul dari perjuangan multiagama menentang rezim
apartheid di Afrika Selatan (Esack, 1997).

234 Zakiyuddin Baidhawy


Kajian lain yang berkenaan dengan gagasan Islam liberal
dalam konteks keindonesiaan adalah karya Greg Barton (1999).
Karya ini secara spesifik menelusuri ikatan historis antara Islam
liberal dengan aliran neomodemis yang digagas oleh Fazlur Rah-
man. Paradigma neomodemisme sebagaimana digambarkan
Rahman melukiskan gerakan pemikiran Islam liberal dan pro-
gresif yang muncul setelah modernisme klasik dan merupakan
sintesis antara wawasan Islam tradisional dengan penekanan
modernisme atas rasionalitas dan ijtihad (interpretasi individu
Al-Quran) yang komprehensif, kontekstual dan terus menerus,
dan dengan pemikiran Barat modern (Fazlur Rahman, dalam Al-
ford T. Welch dan Pierre Cachia (ed.), 1979: 324-325).
Melalui kajian mendalam terhadap empat tokoh utama --
Nurcholish Madjid, Abdurrahman Wahid, Djohan Effendi dan
Ahmad Wahib--, Barton menangkap prinsip-prinsip sentral Is-
lam liberal dan progresif antara lain: suatu komitmen terhadap
rasionalitas dan pembaruan; suatu keyakinan akan pentingnya
kontekstualisasi ijtihad; suatu penerimaan terhadap pluralisme
sosial dan pluralisme dalam agama-agama; dan pemisahan
agama dari partai politik dan posisi non-sektarian dari negara.
Jadi, gerakan pemikiran Islam liberal dan progresif yang berkem-
bang di Indonesia merupakan pertumbuhan lebih lanjut dari
gagasan-gagasan neomodernisme.
Perdebatan tentang Islam liberal di Indonesia yang kini
sedang menjamur dan banyak mendapat pro kontra baik dari
kalangan tradisionalis, postradisionalis, maupun revivalis dan
modernis sendiri, lebih merupakan representasi dari pendekatan
ketiga yang ditawarkan Kurzman utamanya, dan sedikit dari
Barton. Jaringan Islam Liberal (JIL) yang berawal dari dan
didukung Komunitas Utan Kayu (KUK) berada dalam kerangka

MODEL KAJIAN PEMIKIRAN ISLAM:


Kajian tentang Islam Liberal
235
Kurzman, dan Barton dengan pengecualian bahwa JIL tidak
begitu concern terhadap wawasan Islam tradisional. Jaringan ini
sedang giat menyebarluaskan gagasan, gerakan dan agenda aksi
Islam liberal melalui berbagai program, mulai dari rekonstruksi
tafsir liberal hingga program advokasi berkaitan dengan isu-
isu: 1) menentang teokrasi yang menjadi cita-cita sosial-politik
kaum revivalis, 2) memaknai dan membangun demokrasi, 3)
menggagas kesetaraan gender dan kritik atas relasi kuasa antara
pria dan wanita, serta pemberian hak-hak bagi kaum perempuan,
4) kebebasan beragama dan perlindungan atas hak-hak non-
Muslim, 5) kebebasan berpikir dan mengeluarkan pendapat
secara lisan maupun tulisan, dan 6) pentingnya progresifitas
bagi kaum Muslim.

B. Latar Sosial Islam Liberal


Pandangan-pandangan Islam liberal yang telah dipaparkan se-
bagian di muka, muncul secara independen hampir di seluruh
dunia Islam. Kemunculannya secara simultan adalah karena
didukung tiga faktor perubahan sejarah selama tiga dekade
yang lalu. Pertama, semakin meluasnya institusi pendidikan
tinggi (higher education) di dunia Islam yang telah memecah-
kan kejumudan dan monopoli institusi-institusi keagamaan
tradisional dalam ilmu-ilmu keislaman, seperti madrasah, za-
wiyah dan pesantren. Berjuta-juta kaum terpelajar secara otodi-
dak maupun formal, kini telah mengakses teks-teks dan tafsir-
tafsir mengenai berbagai persoalan agama dan hubungannya
dengan problem kontemporer. Sebagian mereka bukan berasal
dari latar-belakang ilmu-ilmu keislaman/ seperti Muhammad
Shahrour (Syria) dan Mehdi Bazargan (Iran); filosof seperti Mo-
hammed Arkoun (Aljazair-Perancis) dan Rachid Ghannouchi

236 Zakiyuddin Baidhawy


(Tunisia); dan sosiolog seperti Ali Syariati (Iran) dan Chandra
Muzaffar (Malaysia). Fatima Mernissi, seorang tokoh feminis,
sesungguhnya lebih terdidik dalam bidang sosiologi daripada
teologi. Namun, karena kepeduliannya terhadap masalah relasi
kuasa antara pria dan wanita, ia mempergunakan analisis gen-
der untuk mendekati hadis-hadis mysoginis. la pernah mengutip
sebuah hadis: Suatu kaum yang mempercayakan urusan-uru-
san mereka kepada kaum perempuan, pasti mereka tidak akan
pernah berjaya (al-Asqalani, 1928: 46). Melalui penelitian ter-
hadap berbagai sumber periwayatan hadis, ia menemukan bah-
wa hadis ini disandarkan pada Abu Bakrah (w. kira-kira 671),
seorang yang terlahir sebagai budak dan dibebaskan oleh Ra-
sulullah. Kemudian ia menjadi orang yang memiliki keduduk-
an penting di kota Basrah. la adalah satu-satunya sumber dari
hadis tersebut, dan meriwayatkan hadis ini kepada umat Islam
25 tahun setelah Nabi wafat. Dengan penemuan ini, Mernissi
menyimpulkan bahwa meskipun terdapat dalam kitab hadis
Muhammad Ibn Ismail al-Bukhari dan sangat banyak dikutip di
dunia Islam, hadis tersebut mengandung keraguan karena dua
alasan. Pertama, Abu Bakrah meriwayatkan hadis ini seorang
diri (ahad). la telah berusaha menyelamatkan hidupnya setelah
Perang Jamal (Desember 656), ketika semua orang yang tidak
memilih bergabung dengan kelompok Ali mencari justifikasi
atas tindakan mereka sendiri. Ini dapat menjelaskan mengapa
seorang Abu Bakrah perlu mengambil hadis yang menguntung-
kannya. Catatannya jauh dari memuaskan karena ia menolak
untuk ambil bagian dalam perang saudara ini. Meskipun banyak
sahabat dan penduduk Basrah memilih sikap netral dalam kon-
flik ini, hanya Abu Bakrah yang menjustifikasinya karena fakta
bahwa salah satu kelompok yang bertentangan adalah perem-

MODEL KAJIAN PEMIKIRAN ISLAM:


Kajian tentang Islam Liberal
237
puan. Kedua, Abu Bakrah telah mendapatkan hukuman cambuk
karena pernah memberikan kesaksian palsu dalam sebuah ka-
sus peradilan. Menurut aturan-aturan mengenai keahlian dalam
hadis yang ditetapkan oleh Imam Malik bin Anas (710-796),
salah seorang pendiri ilmu hadis, Abu Bakrah termasuk orang
yang didiskualifikasi sebagai sumber dari transmisi hadis yang
dapat dipertanggungjawabkan. Bila kita mengikuti prinsip-prin-
sip fikih Maliki, Abu Bakrah juga harus ditolak sebagai sumber
hadis (Mernissi dalam Kurzman, 1998: 116-119).
Jadi, melalui dunia CD-ROM dan akses internet, siapa pun
yang melek huruf Arab dan mempunyai personal computer
seperti Mernissi, dapat menyelidiki sumber-sumber hukum
Islam yang mengundang reinterpretasi.
Kedua, meningkatnya komunikasi internasional. Teknologi
kemunikasi internasional seperti surat kabar, telegraf dan
perdagangan bebas lainnya seperti radio, televisi, telpon, dan
internet, telah membawa orang-orang terpelajar dari berbagai
dunia ke dalam suatu kontak yang sangat dekat. Ideal-ideal
liberalisme Barat dan paham-paham lainnya seperti sosialisme
dan nasionalisme, telah masuk ke dalam rumah-rumah dunia.
Masyarakat di Gabon, Afrika Barat menyaksikan jatuhnya
komunisme di Eropa Timur dan mulai menuntut demokrasi
(Decalo, 1992: 7).
Sebagai contoh, Nurcholish Madjid mempertahankan kebe-
basan berpikir dengan mengutip pidato seorang jaksa terkemu-
ka Amerika Serikat Oliver Wendell Holmess (1809-1894): The
ultimate good desired is better reached by free trade in ideas that
the best test of truth of market... Nurcholish mengatakan lebih
lanjut bahwa di antara berbagai kebebasan yang dimiliki indi-
vidu, kebebasan berpikir dan mengeluarkan pendapat adalah

238 Zakiyuddin Baidhawy


yang paling berharga. Kita punya keyakinan kuat bahwa semua
gagasan dan bentuk pemikiran yang paling asing sekalipun,
harus diberi sarana ekspresi. Karena boleh jadi gagasan-gagas-
an dan pikiran-pikiran semacam itu yang pada awalnya diang-
gap salah, suatu saat mempunyai kemungkinan untuk menjadi
benar. Dalam konfrontasi gagasan-gagasan dan pikiran-pikiran,
meski salah pasti dapat diambil hikmahnya, karena hanya de-
ngan cara ini kebenaran akan dapat mengungkapkan dirinya
dan memperoleh daya dukung dan kekuatan yang besar (Madjid
dalam Kurzman/1998: 287).
Barangkali ini sesuai dengan sabda Nabi saw.: Perbedaan
pendapat di kalangan umatku adalah rahmat dari Allah. Con-
toh lain bahwa teknologi telah mendorong perubahan di dunia
Islam adalah meningkatnya aktivitas internet yang berkisar pada
isu-isu mantan deputi Perdana Menteri Malaysia Anwar Ibrahim,
yang mempunyai pengalaman karir dari gerakan pemuda Islam
militan hingga reformis liberal yang diperkaya dengan berbagai
sumber intelektual lintas kultural. Karir politik Awnar Ibrahim
dimulai dari islamisme komunalis yang menjadi kambing hitam
orang-orang Cina Malaysia. Dalam beberapa tahun terakhir, ia
menjadi juru bicara utama koeksistensi multireligi baik di Malay-
sia maupun pada tingkat global. la mengatakan bahwa pengala-
man kontemporer Islam di Asia Tenggara telah banyak memberi
kontribusi tidak hanya bagi Muslim di kawasan-kawasan lain,
tapi juga bagi dunia secara luas. Ini disebabkan oleh kenyataan
bahwa Muslim Asia Tenggara yang bertakwa telah mempraktikan
agamanya dalam konteks dunia multikultural sejati. Khususnya
di Malaysia, seorang Muslim tidak pernah tidak sadar akan keha-
diran penganut agama-agama lain, baik sebagai teman, kolega,
kolaborator, partner bahkan sahabat (Ibrahim, 1995: 4).

MODEL KAJIAN PEMIKIRAN ISLAM:


Kajian tentang Islam Liberal
239
Banyak websites yang menjadi pendukung gerakan Anwar
Ibrahim dan membuatnya menjadi gerakan berskala dunia.
Meskipun sebagian negara seperti Arab Saudi dan Iran telah
mencoba menutup gagasan-gagasan asing agar tidak masuk ke
negara mereka karena takut terhadap dampak interaksi lintas
kultural ini. Menutup jalan bagi ide-ide asing seperti halnya
menggunakan sapu untuk menghentikan banjir bandang,
demikian kata Woodrow Wilson (Mayer, 1967:602).
Faktor ketiga dalam kebangkitan Islam liberal adalah kega-
galan ideologi-ideologi altematif. Ini khususnya semakin tim-
bulnya keraguan terhadap regim-regim Islam yang tidak dapat
memenuhi janji-janji mereka. Sudan dan Pakistan misalnya,
terbukti tidak kurang korupnya setelah melakukan islamisasi
pemerintahan daripada masa sebelumnya. Pemerintahan Tali-
ban di Afghanistan menakutkan bagi kebanyakan Muslim. Keti-
dakpuasan paling utama atas Muslim fundamentalis adalah
Iran. Revolusi Iran pada 1979 telah memunculkan harapan be-
sar dikalangan islamis di Malaysia, Afrika, dan seluruh dunia Is-
lam. Iran adalah sebuah pertunjukan dan teladan utama bagi
gerakan islamis. Sejak abad 7, sebuah masyarakat Islam sejati
telah berupaya dibangun. Tapi sangat menyakitkan ketika me-
reka mendapatkan impian mereka tak terpenuhi.
Berbagai contoh ilusi yang menyakitkan ini telah melahirkan
pandangan-pandangan liberal. Misalnya Abdul Karim Soroush,
orang yang pada tahun-tahun awal sangat mendukung Republik
Islam Iran. Soroush berpartisipasi aktif dalam melakukan
reorganisasi revolusi di berbagai universitas di Iran yang me-
libatkan banyak profesor atas nama pemurnian ideologi.
Namun, pada akhirnya para pendukung setia Republik Islam ini
mengalami keraguan sebagaimana Soroush. Hingga pertengahan

240 Zakiyuddin Baidhawy


1980-an ia mulai mengambil jarak dengan komite di mana
ia berperan. Pada akhir 1980-an ia mulai menyatakan bahwa
Republik Islam tidak memberi pelayanan terhadap keadilan dan
kebenaran. Soroush mulai mengkritik pemerintah dan terus
mengumandangkan pentingnya reinterpretasi hukum Islam
dan menyerukan kebebasan akademik dan intelektual, sehingga
universitas-universitas yang pernah direorganisasinya tidak lagi
diakui. Tema-tema ini sejalan dengan intelektualitasnya yang
mengesankan dan kecakapannya berbicara di depan publik.
Tema-tema ini pula yang membuat Soroush sebagai salah seorang
pembicara publik yang paling populer di Iran pada 1990-an. la
bicara di masjid-masjid dan berbagai universitas serta radio dan
selalu memperoleh banyak pendengar. Pemerintah Iran khawatir
akan pidato-pidatonya yang pedas dan mengancam, sejak saat itu
pula Soroush dilarang berbicara di depan publik Iran. la sekarang
bicara di luar Iran, ketika ia diperbolehkan melakukan perjalanan
keluar negeri, utamanya di Amerika dan Eropa. Kekecewaannya
terhadap Republik Islam Iran telah memupus harapan dan
aspirasinya. Dalam sebuah wawancara, Soroush menolak bahwa
dirinya terlibat aktif dalam reorganisasi universitas-universitas di
Iran. Republik Islam Iran tampaknya tidak saja membelenggu
ideal-ideal liberal, bahkan juga membabat memori ideal-ideal
kaum islamis.

C. Tantangan Islam Liberal


Meskipun ada sebagian Muslim yang mempunyai dasar-dasar
pijakan yang sama dengan kaum liberal Barat, Islam liberal
bukan berarti tanpa celaan. Sebagian mengklaim bahwa Islam
liberal tidak otentik, ia merupakan kreasi Barat dan tidak
mencerminkan tradisi Islam yang sejati. Gerakan otentisitas

MODEL KAJIAN PEMIKIRAN ISLAM:


Kajian tentang Islam Liberal
241
semakin meningkat secara global lebih dari seperempat abad
yang lalu, dari gerakan-gerakan otentisitas keagamaan seperti
Islamisme atau Bharata Janata Party di India, hingga gerakan-
gerakan otentisitas etnik seperti kebencian suku yang banyak
terjadi di Afrika Tengah. Penekanan pada otentisitas tidak
terbatas pada dunia Islam.
Salah satu karakteristik penting dari persoalan mengenai
otentisitas adalah gagasan bahwa kita dapat mengambil sebuah
budaya dan meletakkannya dalam sebuah kotak. Artinya, budaya
dapat didefinisikan sebagai entitas yang mempunyai ciri-ciri
tersendiri, terpisah dari budaya-budaya lain dengan ikatan-ikatan
yang sangat ketat. Dalam realitas, ikatan-ikatan tersebut sama
sekali tidak seketat yang diperkirakan. Di Uzbekistan misalnya,
pemerintah menyatakan bahwa perayaan Tahun Baru Now Ruz
ditemukan di Asia Tengah, bukan di Iran, sehingga seolah-olah
praktik-praktik kultural menjadi kurang berharga bila diimpor
dari tempat lain.
Bagian lain dari semakin meningkatnya kebutuhan akan
pemilikan budaya ini adalah kebingungan kritik terhadap
sesuatu atau orang-orang yang tidak cukup otentik. Karena Islam
liberal berbagi kepedulian dengan liberalisme Barat, sebuah
kritik mengklaim bahwa Islam liberal bukanlah interpretasi
yang valid tentang agama Islam, karena jika ia Barat, maka
ia tidak dapat dikatakan islami. Oposisi biner semacam ini
mengabaikan keberlimpahan historis muatan-muatan pengaruh
dan pinjaman kultural yang membuka batas-batas negara.
Bila keberatan pertama bahwa Islam liberal itu tidak otentik
dan karenanya salah, keberatan kedua menyatakan bahwa Islam
liberal tidak bisa ditolerir meskipun ia benar atau salah. Gai Eaton

242 Zakiyuddin Baidhawy


(1985: 2), seorang Muslim Inggris, menyebut Muslim liberal
sebagai Paman Toms. Sebutan Paman Toms adalah istilah
cibiran yang digunakan oleh orang-orang Afro-Amerika untuk
menjelaskan orang kulit hitam yang sangat merendahkan kulit
putih. Pada hakikatnya, Eaton menyebut Islam liberal sebagai
pengkhianatan terhadap Islam. Menurut cara berpikir Eaton,
pandangan-pandangan Islam liberal tidak hanya salah, baik
benar maupun salah, bahkan pandangan Islam liberal secara
publik telah melemahkan dunia Islam dalam perjuangannya
melawan Barat.
Di Iran misalnya, perasaan terkepung oleh pihak asing,
Amerika khususnya dan kebencian sedemikian kuat sehingga
agar tetap survival, para politisi harus membuktikan diri
bahwa mereka tidak bersikap lunak terhadap The Great
Satan (Kurzman, 1998b: 63-72). Para politisi Iran yang ingin
bernegosiasi dengan Barat, atau mengembangkan gagasan
tentang demokrasi, HAM, dan isu-isu lain, akan segera dilabeli
oleh para politisi oposan sebagai soft on Satan. Pola semacam
ini sudah biasa dan merusak pandangan-pandangan liberal.
Bahkan presiden Iran yang moderat sekalipun, Mohammad
Khatami, yang memojokkan kaum liberal dalam kampanye
1997, barangkali bertujuan untuk menghindarkan diri dari kri-
tik serupa atas dirinya. Dalam sebuah pidatonya di Tehran Uni-
versity pada 4 Mei 1997, Khatami mengemukakan tema-tema
liberal seperti: Pemerintah harus menyediakan lingkungan
yang aman bagi rakyat sehingga mereka dapat mengeluarkan
pendapat tentang isu-isu internal dan urusan-urusan ekonomi.
Kita harus mempelajari Barat, sumber dari seluruh transforma-
si. Pada saat yang sama ia menuduh kaum liberal yang menjadi

MODEL KAJIAN PEMIKIRAN ISLAM:


Kajian tentang Islam Liberal
243
oposisinya sebagai telah terjerumus dalam kubangan orang
asing, dan partai politik mereka dipandang tidak absah karena
tidak datang dari dalam masyarakat.
Kebodohan Barat juga merupakan tantangan lain bagi Islam
liberal. Selama berabad-abad Barat membangun citra Islam
sebagai the other (orang lain), mengidentikan Islam dengan
anasir yang paling eksotik (baca: primitif). Agama Islam sama
dengan fanatisme, menurut Voltaire. Otoritas Islam disamakan
dengan despotisme, sebagaimana pandangan Montesqieu
dengan sebutan oriental despotism. Tradisi Islam disamakan
dengan keterbelakangan dan primitif dalam bahasa Ernest
Renan:
Islam adalah negasi paling sempurna atas Eropa... Islam
adalah penghinaan atas sains, menekan civil society. Ia
merupakan penyederhanaan yang paling menggusarkan
atas semangat semitik, membatasi pikiran manusia,
menutup diri dari gagasan-gagasan yang cemerlang, dari
seluruh sentimen pemamahan, dari semua penelitian
ilmiah, dengan tujuan untuk menjaga tautologi abadi
bahwa Tuhan adalah Tuhan (Renan 1947: 333).
Di samping bias, kebijakan Barat harus memahami lebih
baik distingsi dalam gerakan-gerakan Islam. Sebagai contoh
adalah kasus Aljazair. Front de Salvation Islamique (FIS) terbagi
dalam dua fraksi --liberal dan radikal. Selama pemilihan umum
akhir 1991 dan awal 1992, sayap liberal memperoleh pengaruh
besar. Para pemimpinnya mengendalikan kebijakan-kebijakan
kelompok, para kandidatnya berpengalaman dan mempunyai
peluang besar untuk berkuasa. Abbasi Madani, pemimpin fraksi
liberal, membuat sejumlah pernyataan yang bertujuan untuk

244 Zakiyuddin Baidhawy


meredam ketakutan penduduk Aljazair dan orang-orang Barat
terhadap niat FIS, seperti Pluralisme adalah suatu jaminan
terhadap kekayaan kultural, dan keragaman dibutuhkan demi
pembangunan. Kami adalah Muslim, tapi kami bukan Islam itu
sendiri... Kami tidak memonopoli agama. Demokrasi menurut
pemahaman kami berarti pluralisme, pilihan dan kebebasan
(Brumberg, 1991: 64).
FIS memenangkan 81 suara pada putaran pertama pemilu
1991 dan menduduki tempat yang hampir sama baiknya pada
putaran kedua awal Januari 1992. Seketika itu pula Militer
Aljazair yang didukung Perancis dan USA membatalkan hasil
pemilu, melarang FIS dan memenjarakan para pemimpinnya.
Akibatnya, kaum liberal dalam gerakan Islam secara keseluruh-
an telah dipojokkan karena dipandang telah mengupayakan
kemenangan di dalam aturan-aturan demokrasi. Sayap radikal
menang dan membunuh para aktivis Islam liberal yang keberatan
terhadap kekerasan, seperti Muhammad Said dan Abderrazak
Redjam yang terbunuh pada 1995. Ketidakmampuan Barat me-
yakini adanya Islam liberal telah membuktikan ramalan yang
dibuatnya sendiri.

D. Simpulan
Kajian-kajian tentang Islam liberal membawa pada suatu
pemahaman bahwa kelompok ini datang sebagai protes dan
perlawanan terhadap dominasi Islam ortodoks. Islam liberal
yang dimaksud adalah kecenderungan pemikiran Islam modern
yang kritis, progresif dan dinamis. Dalam pengertian ini, Islam
liberal bukan suatu yang baru, akarnya sudah ada sejak abad 19.
Tema dan tesis yang dikampanyekan meminjam kategorisasi isu
yang dikemukakan oleh Charles Kurzman.

MODEL KAJIAN PEMIKIRAN ISLAM:


Kajian tentang Islam Liberal
245
Dengan demikian, apa yang dilakukan Islam liberal saat
ini adalah upaya memperkuat basis dan saf mereka sebagai
counter discourse dari gerakan pemberlakuan syariat Islam yang
menjadi cita-cita Islam revivalis. Terlepas dari counter Islam
liberal, bagaimanapun, gagasan pemberlakuan syariat Islam
di Indonesia, yang mayoritas penduduknya Muslim, dapat
dibenarkan tapi dengan beberapa prasyarat yang tidak boleh
diabaikan. Pertama, dalam konvensi internasional syariat Islam
itu dilindungi dan dapat diberlakukan hanya untuk komunitas
Muslim dengan memberikan perlindungan terhadap kaum
minoritas non-Muslim. Dalam konteks ini, secara konseptual
Islam telah memberi alternatif ahl az-zimmi, tapi bukan sebagai
kelas kedua (second class).
Kedua, dalam konteks kebangsaan dan kenegaraan, pember-
lakuan syariat Islam harus memperoleh dukungan masyarakat
luas. Perlu dicatat bahwa sepanjang sejarah pemilu dari 1955-
1999, belum pernah koalisi partai-partai Islam memperoleh
suara mayoritas. Penelitian Eep Syaifullah Fattah membuktikan
tidak ada korelasi antara semakin Muslimnya seseorang, se-
makin tinggi kecenderungannya untuk memilih partai Islam.
Banyak di antara mereka yang semakin Muslim tetapi memilih
partai nasionalis seperti PDIP dan Golkar, dan kini Partai De-
mokrat. Dalam kasus ini, kita bisa melihat perbandingan antara
Indonesia dan Aljazair. Kedua negara ini sama-sama mengalami
kebebasan politik setelah lepas dari rezim otoriter. Perbedaan
signifikannya adalah bahwa yang pertama tidak dapat meman-
faatkan kebebasan tersebut untuk mendapatkan kemenangan
politik. Pendeknya, mereka menjadi pecundang. Sementara itu,
yang kedua mampu memanfaatkan momentum kebebasan poli-
tik untuk memenangkan suara mayoritas tunggal lewat FIS.[]

246 Zakiyuddin Baidhawy


BAB 13

MODEL KAJIAN POLITIK

T indakan-tindakan yang dilakukan oleh kaum Muslim selalu


merupakan objek kajian dan berita baik bagi Studi Islam.
Para spesialis di bidang politik utamanya merasa tertarik untuk
mengkaji perilaku-perilaku politik kaum Muslim. Hal ini ditun-
jukkan oleh makin meningkatnya minat para mahasiswa dan
pengkaji untuk mendaftarkan diri pada kuliah, maupun undang-
an-undangan komunitas akademi, komunitas, media dan fo-
rum-forum pemerintah. Subjek tentang Islam mulai dipandang
sebagai bagian dari isu-isu suatu disiplin inti lebih dari sekadar
pertunjukan sampingan dari disiplin kajian kawasan. Tuntutan
ini mendorong melonjaknya penerbitan sejumlah buku dan ar-
tikel yang bertujuan untuk memberikan pemahaman singkat
tentang Islam (Geertz, 2003: 27).

Model Kajian Politik 247


Banyak mahasiswa dan pengkaji yang memilih mempelajari
subjek-subjek tentang Islam sebelum tahun 2001 mengalami
perasaan campur aduk dengan munculnya minat besar yang
tiba-tiba ini. Secara alamiah, kita memiliki kesempatan me-
ningkatkan kajian Islam yang lebih serius dan kita juga
menyambut prospek kajian keislaman yang makin membaik.
Di samping itu, hal ini selalu membuka bacaan-bacaan favorit
yang direkomendasikan untuk dibaca. Beberapa di antaranya
adalah karya Carl Ernst tentang praktik Islam kontemporer
berjudul Following Muhammad (2003); tentang sejarah Islam
karya Marshall Hodgson The Venture of Islam (1974), yang terdiri
dari 3 jilid; karya Michael Sells tentang terjemahan Al-Quran
yang menyampaikan tampilan teks yang menarik perhatian bagi
Muslim, berjudul Approaching the Quran (1999); karya Mansoor
Moaddel yang berkaitan dengan analisis sosial-ilmiah tentang
Islam dalam Annual Review of Sociology (2002); dan karya Juan
Cole tentang analisis mengenai peristiwa-peristiwa kini dalam
weblog yang cukup impresif http://www.juancole.com.
Pada saat yang sama, kita mengalami kekecewaan ketika
melihat karya berkualitas tinggi tentang Islam justru melorot
dalam peringkat perjualan, kupasan media, dan pengaruh aka-
demiknya di balik para penulisnya yang sensasional seperti Ste-
ven Emerson, yang melihat potensi bagi terorisme tersembunyi
di dalam setiap tampilan keimanan Islam; atau Bernard Lewis,
yang karena penelitian-penelitiannya kurang orisinal sejak awal
1970-an, tidak mencegahnya dari daur ulang materi-materi yang
sudah ketinggalan zaman yang dikemas dalam judul-judul baru
setiap setahun atau dua tahun.
Barangkali yang paling perlu diwaspadai adalah temuan-
temuan baru yang berhubungan dengan masalah-masalah pen-

248 Zakiyuddin Baidhawy


ting dalam Studi Islam, namun membawa pada citra Islam yang
kurang menguntungkan. Banyak orang setelah tahun 2001 takut
kepada Islam, Islam lebih dipandang sebagai ancaman bagi ke-
amanan, meski pada saat yang sama perhatian pada Studi Islam
memperoleh tempat yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Kajian-kajian keislaman seperti memperoleh hujan untung bu-
kan hanya dari kekerasan-kekerasan yang dilakukan oleh Mus-
lim sendiri, bahkan juga dari apatisme dan sikap paranoid non-
Muslim terhadap Islam. Akibatnya, para sarjana yang bergelut
dengan Studi Islam mempergunakan banyak waktu mereka un-
tuk memberikan perhatian pada upaya mengeliminir setiap ste-
reotipe sehingga menolong membawa mereka pada citra Islam
yang positif.
Karena usaha-usaha mereka, Studi Islam dan kajian Timur
Tengah memperoleh serangan dari para pemikir sayap kanan
seperti Washington Institute for Near East Policy, yang telah
menerbitkan karya Martin Kramer Ivory Towers on Sand: The
Failure of Middle Eastern Studies in America (2001); dan Daniel
Pipess Middle East Forum yang menjadi tuan rumah bagi website
Campus Watch. Para sarjana Studi Islam mengungkapkan
kemarahan dalam masalah ini, namun mereka juga merasakan
bangga utamanya ketika Islam dipandang cukup penting,
dan sejak kritik-kritik yang terlontar mengenai Islam hampir
seluruhnya terbukti keliru sejauh ini. Tak seorang pun dari
spesialis di bidang Timur Tengah atau Islam merasa kebakaran
jenggot sebagai akibat kritikan-kritikan tersebut, dan bahkan
pemerintahan federal memberikan dana bagi kajian-kajian ini
dengan tujuan untuk meluruskan kesalahan-kesalahan politik
yang meningkat. Salah satu titik fundamental dari kritik-kritik
ini adalah bahwa kajian ilmiah Studi Islam di Amerika Serikat

Model Kajian Politik 249


secara sistematis mengurangi ancaman yang ditunjukkan oleh
Islam politik (yang kadang-kadang dilabeli dengan Islamisme).
Kritik-kritik ini pada akhirnya lebih banyak mempergunakan
ungkapan hiperbola (terlalu dilebih-lebihkan), yang menuduh
bidang Studi Islam ini telah mendukung terorisme karena kajian
ini mengkritik kebijakan luar negeri AS (Horowitz and Johnson,
2004).
Namun, beberapa kritik lainnya memang akurat: bahwa
bidang kajian Studi Islam tidak membahayakan, tidak seberbahaya
sebagaimana yang digaung-gaungkan oleh kelompok-kelompok
garis keras. Bahkan, ada kesekapatan di bidang kajian ini bahwa
ancaman fundamentalisme, mengutip pendapat ilmuwan politik
John Mueller (2006), terlampau dibesar-besarkan.
Buku-buku yang dibahas dalam bab ini berisi empat analisis
mengenai masa depan Islam politik, dan keempat analisis itu
tidak menemukan konsensus tentang masalah serupa. Semua
dari empat buku ini dilahirkan oleh para spesialis bidang Islam
politik. Keempat buku tersebut mempergunakan perspektif global
dan sampai pada kesimpulan serupa, dengan berbagai bukti dan
argumentasi: bahwa gerakan-gerakan Islam revolusioner sedang
mengalami kemunduran.

A. Pendekatan Keamanan (Security)


Karya yang paling menyentuh perspektif keamanan adalah buku
Ray Takeyh and Nikolas K. Gvosdev The Receding Shadow of
the Prophet: The Rise and Fall of Radical Political Islam. Penulis
buku ini tidak dapat dikatakan sebagai ekstremis anti-Amerika,
karena mereka adalah partisipan aktif dalam dunia kebijakan
keamanan Amerika dengan identitas sayap kanan mereka.
Takeyh yang memiliki kepakaran tentang Iran dan Mesir, adalah

250 Zakiyuddin Baidhawy


seorang anggota pada Washington Institute for Near East Policy,
kemudian mengajar di National War College and the National
Defense University sebelum posisi terbarunya sebagai anggota
Council on Foreign Affairs. Gvosdev, yang kepakaran utamanya
di bidang Eropa Timur, bekerja di Nixon Center, lembaga
pemikir konservatif yang mengabdikan diri pada prinsip-prinsip
kebijakan luar negeri Presiden Ricahrd Nixon.
Takeyh dan Gvosdev memulai bukunya dengan sekilas pan-
dang tentang kecenderungan pertengahan dekade 90-an, ketika
gerakan-gerakan Islam bersenjata berjuang untuk kekuasaan di
Aljazair, Bosnia, Chechnya, Mesir, dan Tajikistan, dan kemudian
meluas. Sebaliknya, hanya beberapa tahun kemudian, tantang-
an-tantangan revolusioner ini mengalami pasang surut. Dua
penulis ini (2004: 1-2) menyampaikan pandangan mereka yang
menyatakan bahwa Islam politik radikal di mana pun mengala-
mi kemunduran sebagai ideologi yang memerintah. Bahkan ke-
marahan serangan al-Qaedah, khususnya serangan mereka yang
ditujukan langsung ke jantung Amerika, merupakan manifestasi
dari keputusasaan para kaum fundamenatalis Islam karena keti-
dakmampuan mereka untuk memperbesar kekuasaan di dunia
Islam.
Kita bisa saja mengangkat isu tentang ideologi yang meme-
rintah, di mana Islam merupakan dan masih terus memperluas
diri ke berbagai negara sekuler yang terus menerus memasukkan
simbol-simbol Islam ke dalam sistem pendidikan dan hukum,
sebagaimana dikaji dalam studi kasus oleh Starret (1998), Nasr
(2001) dan Lombardi (2006). Ungkapan bayang-bayang Nabi
dalam sebuah judul buku boleh jadi dipandang tidak sensitif,
karena Muslim cenderung menjauhi metafora bayang-bayang
dan sedikit dari sahabat Nabi Muhammad saw. yang pernah

Model Kajian Politik 251


meriwayatkan bahwa ia tidak mempunyai bayang-bayang sama
sekali. Pengaruh Muhammad saw. diulang kembali jika kita me-
masukkan kebangkitan gerakan-gerakan ketaatan di banyak ma-
syarakat Muslim.
Namun demikian, Takeyh dan Gvosdev telah membuat
pembedaan yang jelas antara gerakan-gerakan ketaatan dan
kaum revolusioner Islam yang ingin mengambil alih Negara.
Kaum revolusioner yang tampak memiliki momentumnya pada
pertengahan 1990-an, gagal untuk mengambil alih wilayah
penting mana pun antara tahun 1996 ketika Taliban menguasai
banyak wilayah Afghanistan, dan tahun 2006 ketika Dewan
Pengadilan Islam (Council of Islamic Courts) dalam waktu
singkat mengambil alih banyak wilayah Somalia baik dalam
kasus mengalahkan dan mengkooptasi para pejabat lokal ketika
Negara-bangsa mereka tidak berfungsi.
Apa pertimbangan-pertimbangan bagi kemunduran se-
cara menyeluruh gerakan-gerakan fundamentalisme di banyak
tempat? Takeyh dan Gvosdev kembali kepada studi kasus. Di
Aljazair dan Mesir, pemberontakan kelompok sempalan Islam
terjadi berada di bawah represi Negara yang kuat, dengan unsur-
unsur perubahan penting dari ideologi revolusi ke pluralisme
demokratis. Di Bosnia dan Kosovo, partai-partai Islam menu-
runkan tuntutan dan aspirasi mereka akan Negara Islam de-
ngan tujuan untuk menarik lapisan-lapisan masyarakat Muslim
yang lebih besar. Di Tajikistan, kaum Islamis menandatangani
sebuah pakta dengan Komunis dan masuk ke dalam sistem poli-
tik sebagai partai oposisi. Di Chechnya, sebuah Republik Islam
dihancurkan oleh invasi Rusia. Di Afghanistan, Iran dan Sudan,
rezim Islam dipandang gagal oleh kebanyakan Muslim dunia
karena problem salah kelola dan intoleransi. Di Iran, kegagal-

252 Zakiyuddin Baidhawy


an ini telah mendorong lahirnya gerakan pro demokrasi yang
membiarkan para jin keluar dari botol.

B. Pendekatan Demokrasi
Takeyh dan Gvosdev menawarkan penjelasan-penjelasan
kasus spesifik untuk setiap negara dengan menambahkan se-
dikit hipotesis analitik dalam bab simpulan yang pendek. Ber-
beda dari dua penulis di atas, karya Graham Fuller sepenuhnya
hampir berisi analisis. Fuller adalah seorang mantan analis dari
badan CIA Amerika Serikat di mana ia membidangi masalah
masyarakat Muslim dan meramal kondisi pada skala nasional.
Sejak ia meninggalkan CIA sebelum berakhirnya Perang Dingin,
ia merupakan penulis prolifik mengenai Timur Tengah dan ma-
salah-masalah Islam dan sering menjadi kritikus atas kegagalan
pemerintahan AS untuk memahami pandangan dunia Muslim.
Pandangan dunia yang sering dikeluhkan oleh dunia justru
karena ketidakseriusan untuk memahaminya sehingga seringka-
li melahirkan ketidakadilan dalam memperlakukan Islam baik
pada skala lokal maupun global. Pada saat yang sama dukungan
Barat yang hipokrit bagi otokrasi di masyarakat-masyarakat Mus-
lim yang bertanggung jawab telah melahirkan banyak konflik
berbahaya. Fuller mengkaji masalah ini dengan perbandingan
antara apa yang terjadi pada masa kini dan yang akan datang.
Ia yakin bahwa kebangkitan kembali Islam akan bergandengan
tangan dengan norma-norma Barat untuk menghadapi persoal-
an-persoalan global abad 21, termasuk degradasi lingkungan,
pertumbuhan dan distribusi ekonomi serta partisipasi demokra-
si. Meskipun identitas keagamaan dan etnik masih tegak berdiri
sebagai produk dari universalisme modernis lama, namun iden-
titas ini merupakan cara yang signifikan untuk mengungkapkan

Model Kajian Politik 253


perlawanan modernitas atas keunikan setiap individu dan ke-
lompok. Identitas keislaman dan identitas lainnya secara me-
nyeluruh membentuk kembali diri mereka sebagai akibat kon-
tak dengan pencerahan dan imperialisme Barat. Peneguhan
politik keagamaan boleh jadi terdengar seperti prognosis yang
tidak menyenangkan, namun bagi Fuller ini bukan sesuatu yang
mesti buruk. Ia berpendapat bahwa Islam politik tidak memi-
liki muatan substantif yang inheren, dengan perkecualian iden-
tifikasi simbolik sebagai Islami, dan mungkin suatu trik peng-
gunaan klaim otentisitas keagamaan untuk menciptakan suatu
versi modernitas yang akan lebih luas diterima oleh kalangan
Muslim daripada gerakan-gerakan sekuler.
Jika Islamisme akan tetap dipandang penting dalam
masyarakat Muslim untuk masa depan yang dapat diprediksi,
bagi Fuller Islamisme tetap dilihat dari segi keberhasilannya.
Menurutnya, dua identitas modern sedang bertarung demi
masa depan Islam politik: yaitu identitas liberal-kosmopolitan
yang berupaya mengkombinasikan keimanan dan warisan
dengan institusi-institusi dan ideal-ideal global, dan identitas
radikal-eksklusif yang selalu memandang sesuatu secara negatif
dan tidak menyenangkan, hitam-putih (Fuller, 194). Secara
umum, kekuatan-kekuatan global cenderung pada kaum liberal.
Kegagalan hirarki keagamaan tradisional telah membawa pada
pluralisme defacto dalam otoritas keislaman, yang oleh sebagian
pemikir Muslim dimasukkan ke dalam teori-teori normatif mereka
sekaligus. Pengaruh-pengaruh multikultural sedang menyebar
dengan individualisasi agama yang menciptakan pasar agama
di mana seseorang dapat memilih ajaran-ajaran yang menarik
dan mengabaikan yang lain (Fuller, 174). Perdagangan dan
migrasi global tidak terelakkan akan membutuhkan kompromi

254 Zakiyuddin Baidhawy


kultural dan politik. Politik itu sendiri seperti gerakan-gerakan
Islam yang memperoleh suara dalam pemerintahan tanpa
melalui kudeta dan revolusi, namun melalui keterbukaan
demokratis akan membawa gerakan-gerakan Islam berhadapan
dengan kebutuhan akan konstituen.
Tidak semua masyarakat Muslim akan memperoleh
keuntungan dari kekuatan-kekuatan global ini. Kaum liberal
sepertinya kurang berhasil di negara-negara di mana kaum
Islamis dilarang berpartisipasi secara politik; di mana Muslim
dibelenggu dari perdagangan dan komunikasi dunia baik
melalui embargo maupun oleh penguasa mereka sendiri; di
mana batasan-batasan komunal Muslim bersebelahan dengan
garis konflik etnik dan sektarian yang dapat dieksploitasi oleh
para pengusaha keagamaan. Di wilayah-wilayah semacam
ini yang diproteksi dari tanggung jawab pemerintahan, kaum
Islamis tidak akan memiliki rangsangan sama sekali untuk
mengembangkan program-program politik substantif yang
melampaui frase seperti Islam adalah solusi. Dalam beberapa
hal, kebijakan AS untuk mendukung sekutu mereka yang otoriter
dalam perang global atas terorisme, justru telah memperkuat
musuh-musuh mereka.
Karya Gilles Kepel The War for Muslim Minds mendekati
beberapa isu serupa melalui kisah-kisah. Kepel, ketua kajian
Timur Tengah pada Lembaga Ilmu Politik (Science Po) di Paris,
memulai kisahnya dari Kesepakatan-kesepakatan Oslo yang
mengulur waktu guna mencari solusi dua negara bagi Israel dan
Palestina. Proses kesepakatan yang diselingi dengan provokasi
dan permusuhan yang meningkat selama 2000-2001 ini berja-
lin kelindan dengan kisah neo-konservatif dalam pemerintahan
Bush di Washington dan koalisi jihad global di kalangan

Model Kajian Politik 255


kaum radikal Islamis yang gagal mengganti rezim di negara-
negara mereka. Kepel adalah seorang pencerita yang ulung,
sama dengan Philip Zelikow seorang sejarawan yang menjadi
penulis utama Laporan Komisi 9/11 (2004), meskipun tidak
sekelas dengan Lawrence Wright seorang reporter yang menulis
buku tentang al-Qaedah the Looming Towers (2006). Namun,
jika Zelokow dan Wright mengakhiri kisah-kisah mereka pada
peristiwa September 2001, Kepel bercerita lebih jauh dari
itu, hingga transformasi al-Qaedah dari pusat pelatihan ke
jaringan virtual, suatu kebangkitan berskala kecil namun cukup
memperlihatkan penentangan mereka atas monarki Saudi
Arabia dan kegagalan AS menaklukan Irak. Kumpulan cerita ini
menggambarkan perkembangan yang lebih menjanjikan seperti
yang telah dicakup oleh Kepel dalam buku sebelumnya berjudul
Jihad (2000) yang berkisah seputar ekspansi dan kemunduran
Islamisme. Buku ini secara bebas merangkai kisah-kisah yang
membawa pada kesimpulan umum bahwa kekerasan kaum
Islamis merupakan pertanda akhir dari gerakan yang frustasi.
Sebaliknya, buku The War for Muslim Minds mengkerangka
perkembangan dalam masyarakat mayoritas Muslim sebagai
politik yang berakhir dengan kematian dan menempatkan
gelombang masa depan di Eropa: Pertempuran yang paling
penting selama dekade mendatang tidak ditemukan di Palestina
atau Irak namun di komunitas-komunitas kaum beriman di
wilayah-wilayah pinggiran London, Paris, dan kota-kota Eropa
lainnya (Kepel, 8). Jika Islam Eropa dapat diintegrasikan ke
dalam politik demokratis, generasi muda Muslim Eropa dapat
menjadi garda depan dekade mendatang (p. 9), dan ideologi
demokrasi mereka dapat diekspor ke dunia Muslim (p. 266).
Jika Muslim Eropa terjebak di dalam ideologi kaku, agresif yang

256 Zakiyuddin Baidhawy


berasal dari kawasan lain Mediterania, maka semuanya akan
kehilangan (p. 266).
Eurosentrisme biner semacam ini merupakan teka-teki,
karena karya Kepel yang lain menunjukkan bahwa ia sangat
sadar dengan gerakan reformis dan kosmopolitan di seluruh
dunia Muslim. Juga tidak jelas apakah gerakan-gerakan Islam
dipandang Kepel berpotensi untuk menjadi garda depan de-
mokrasi, karena bab mengenai masalah ini bersifat sarkastik ter-
hadap setiap kecenderungan pada Islam Eropa yang ia cakup:
kaum integrasionis Islam yang beraliansi dengan sayap kanan
pribumi, cabang-cabang Persaudaraan Muslim yang berusaha
memperkuat penampilan iman mereka di ghetto Muslim Eropa,
dan bahkan Islam Eropa modernis seperti Tariq Ramadhan, di-
pandang secara berlebihan oleh Kepel merentang antara pembi-
caraan hak-hak universalis dan prasangka-prasangka anti-persa-
maan dari konstituen yang lebih konservatif. Kepel menawarkan
bukti yang relatif sedikit dalam bukunya atas kesimpulan opti-
mistiknya bahwa Muslim Eropa sedang menaklukan Islamisme
global.

C. Pendekatan Globalisasi
Bukti ini disediakan oleh Olivier Roy dalam buku Globalized
Islam. Ia mengajar pada akademi Paris elit, yakni The School
for Advance Study in Social Science (EHESS), dan merupakan
spesialis tentang Iran dan Asia Tengah pada the National Center
for Scientific Research (CNRS), di mana ia menjalankan program
tentang dunia Turki. Ia merupakan penulis terkenal karena
karyanya The Failure of Political Islam (1992) yang berpendapat
bahwa gerakan revolusioner Islamis sudah menurun pada akhir
1980an, yang menjadi landasan awal bagi gerakan yang disebut

Model Kajian Politik 257


neo-fundamentalisme. Perbedaan antara dua gerakan ini adalah
bahwa kaum neo-fundamentalis menolak aktivisme politik
sebagai selingan dari reformasi diri. Roy menekankankan jalan
oposisi kaum revolusioner yang kecewa yang ingin kembali
kepada keimanan personal mereka. Sayangnya, Roy menyebut
al-Qaedah sebagai neo-fundamentalis, bukan Islamis, dengan
alasan bahwa gerakan ini jarang terlibat dengan politik negara-
negara para anggotanya, meskipun revolusi Islam di negara-
negara itu merupakan tujuan utama kelompok ini.
Komunitas-komunitas Muslim di Eropa dan Amerika
Utara yang jarang dibahas oleh Kepel, merupakan paling
penting bagi masa depan Islam, menurut Roy, karena mereka
membentuk pusat percontohan dalam globalisasi kehidupan
Muslim, bukan karena mereka terpisah dan berbeda dari dunia
Muslim. Misalnya, Roy mengemukakan bahwa Muslim di Barat
mengalami proses intens rekonstruksi identitas, menciptakan
subkultur, kelompok-kelompok non-etnik, dan solidaritas ke-
agamaan yang menentang tradisi warisan para pendahulunya
seperti halnya migrasi di dalam masyarakat mayoritas Muslim
yang memisahkan identitas dari wilayah, dengan jutaan pe-
ngungsi Afghanistan di Iran, Palestina di Kuwait, para pekerja
Muslim Afrika dan Asia di Gurun Persia, dsb. Muslim di Barat
memegangi agama yang telah terprivatkan, karena mereka dapat
memilih kredo dari sejumlah besar otoritas Islam termasuk yang
mereka peroleh dari internet. Muslim di mana pun kini dapat
memilih juru dai dan mufti dari pasar agama yang diintensifkan
oleh media. Muslim di Barat dan dunia menanamkan kedirian
yang terinvidualisasikan melalui penanda simbolik keimanan
dan kebudayaan. Muslim di Barat sedang mengarah pada
upaya untuk meredefinisi keimanan sebagai nilai-nilai (yang

258 Zakiyuddin Baidhawy


bertentangan dengan otoritas atau hukum), mendorong cinta
perkawinan, melahirkan persaudaraan Muslim Sufi generasi
New-Age.
Kecenderungan-kecenderungan pembaratan ini tidak mesti
mencerabut Islam dari kehidupan kaum Muslim dalam banyak
hal keimanan dan identitas menjadi lebih penting bagi individu
modern, individu refleksif dan mereka tidak mesti mengarah
pada liberalisme atau toleransi multikulturalisme. Namun,
neo-fundamentalisme pada umumnya anti-kekerasan, menurut
Roy, dan tidak menunjukkan ancaman yang sama seperti yang
ditunjukkan oleh kaum revolusioner Islamis. Bin Laden telah
memanggil jihad dan ia telah gagal (Roy, 325). Persepktif ini
meskipun tersebar luas di bidang Studi Islam, namun baru mulai
digunakan di luar bidang itu sendiri dan jarang digunakan pada
seluruh bidang akademik.[]

Model Kajian Politik 259


260 Zakiyuddin Baidhawy
BAB 14

METODOLOGI ILMIAH
MODERN DAN STUDI ISLAM

A. Pendekatan Ilmu Sejarah

S tudi tentang agama-agama pada masa modern dan kon-


temporer banyak mengambil manfaat dari perkembangan
metodologi dalam ilmu-ilmu sosial dan humaniora. Pengaruh
kedua disiplin keilmuan ini cukup besar bagi perkembangan
studi agama dan khususnya Studi Islam. Mengkaji Islam belum
sampai pada kesimpulan yang komprehensif bila semata me-
ngandalkan metode dan pendekatan yang sifatnya sui generis
berasal dari ilmu keislaman itu sendiri sebagaimana dalam
percabangan kajian Islam tradisional. Suatu kebutuhan yang
sangat mendesak untuk memahami fenomena Islam historis
dari sudut pandang yang empiris dan historis pula. Penerapan
pendekatan dan metode keilmuan modern dan kontemporer
dalam Studi Islam ini bukan bermaksud untuk menggantikan

Metodologi Ilmiah Modern dan Studi Islam 261


apalagi menyingkirkan kajian Islam tradisional, namun lebih
merupakan melihat dari perspektif lain yang dipercaya dapat
memperkaya tentang pemahaman Islam dan masyarakat
Muslim. Cabang-cabang kajian Islam tradisional lebih fokus
pada pemahaman mengenai Islam secara tekstual. Historisitas
dan pengalaman empirik luput dari kajian mendalam tentang
Islam.
Untuk itu, salah satu pendekatan dalam ilmu humaniora,
tepatnya ilmu sejarah telah dan masih akan terus digunakan
oleh para sarjana Muslim dan Barat untuk mengkaji dimensi
historis dari Islam. Pendekatan historis adalah suatu upaya
untuk menelusuri asal-usul dan pertumbuhan ide-ide dan
lembaga-lembaga keagamaan melalui periode-periode waktu
tertentu dalam perkembangan historis dan untuk menilai peran
faktor-faktor yang berinteraksi dengan agama dalam periode
tersebut. Yang utama dari analisis historis adalah penggunaan
bukti-bukti pertama baik berupa sumber-sumber dokumenter
maupun benda-benda yang masih dapat dijumpai/diwariskan.
Bukti dokumen khususnya literatur barangkali merupakan tipe
analisis historis yang lebih umum dan memerlukan perhatian
khusus dalam mengkaji agama-agama.
Sejalan dengan upaya sejarawan menguji reliabilitas sumber-
sumber dengan harapan mengungkap data historis tertentu, ia
juga harus mengakui bahwa aspek-aspek tertentu dari tradisi
keagamaan tidak rentan atas penyelidikan sejarah. Misalnya,
masalah mukjizat yang tidak dapat dinalar oleh rasio tidak
membutuhkan penelitian historis. Hal serupa juga terjadi pada
kajian tentang Islam.
Kajian historis tentang Islam bisa saja dibagi-bagi lagi dalam
kajian yang lebih spesifik. Yang jelas ada tiga kecenderungan

262 Zakiyuddin Baidhawy


para sarjana dalam mengkaji aspek historis Islam. Pertama,
kecenderungan para pengkaji untuk mempelajari sejarah Islam
dengan pendekatan krononologis. Pendekatan ini bermaksud
untuk menelusuri perkembangan Islam dalam lintasan sejarah.
Ciri utama dari pendekatan ini adalah upaya para sejarawan
untuk melakukan periodisasi perkembangan Islam. Setelah
periodisasi dilakukan, mereka menjelaskan urutan-urutan peris-
tiwa yang terjadi. Kecenderungan kajian sejarah semacam ini
merupakan tipikal para sarjana Muslim.
Kedua, pendekatan kawasan yang berusaha untuk memeta-
kan sejarah perluasan dan perkembangan Islam berdasarkan
teritorial atau wilayah tertentu. Islam historis diteropong per-
tumbuhannya berdasarkan wilayah di mana kaum Muslim tum-
buh dan berkembang pesat serta menjadi penduduk mayoritas
di kawasan tersebut. Wajar apabila di sini kita akan menjumpai
berkembangnya departemen-departemen kajian kawasan di ber-
bagai universitas di Barat, departemen kajian kawasan Timur
Tengah, kajian kawasan Asia Tenggara, dsb. Karena ini juga yang
menjadi kecenderungan kajian sarjana Barat tentang sejarah Is-
lam.
Ketiga, pendekatan fenomenologis. Pendekatan ini bermak-
sud untuk menutupi kekurangan-kekurangan yang ada pada
dua pendekatan lain pendekatan kronologis dan kawasan. Dua
pendekatan ini tidak mampu menonjolkan fenomena sejarah
peradaban Islam dengan memadai. Pendekatan fenomenologis,
karena itu, berusaha untuk menelaah inti, semangat dan esensi
dari peradaban Islam itu sendiri, sehingga pesan dan kesan ter-
dalamnya dapat diungkap dan dipahami. Visi kajian semacam
ini adalah dalam rangka agar Muslim menjadi pengarah ge-
rak sejarah Islam pada masa yang akan datang. Tipikal kajian

Metodologi Ilmiah Modern dan Studi Islam 263


semacam ini dipelopori oleh Ismail Raji al-Faruqi dan isterinya
Louis Lamya al-Faruqi (2001).

B. Pendekatan Sosiologis
Beberapa pendekatan modern yang digunakan oleh para sarjana
dalam mengkaji agama-agama termasuk Islam adalah pende-
katan sosiologis. Pada awalnya, penerapan metode sosiologis
mengikuti model sosiologi umumnya seperti yang dikemukakan
oleh A. Comte dan L. Von Stein, yang berkaitan erat dengan
penafsiran ekonomi yang diusulkan oleh Lasalle dan Marx.
Pendekatan ini kemudian dikoreksi oleh para pendiri sosiologi
agama modern: Fustel de Coulanges dan Emile Durkheim, Max
Weber dan Ernst Troeltsch, Werner Sombart and Max Scheler.
Pendekatan sosiologis memang penting untuk mengkaji
agama-agama, namun juga salah jika kita memandang bahwa
pendekatan ini diyakini dapat menyajikan kunci universal untuk
memahami fenomena keagamaan. Para ideolog seperti Comte,
Marx, dan Spencer adalah contoh sarjana yang menganut
keyakinan tersebut. Banyak para pengikut mereka cenderung
menggantikan persoalan tentang makna, nilai dan kebenaran,
dengan persoalan mengenai asal-usul sosial, struktur sosiologis,
manfaat sosial dari kelompok atau gerakan keagamaan. Para
ilmuwan sosial Amerika sangat condong bekerja mengikuti
garis ini. William James telah menentang bahwa asal-usul suatu
fenomena tidak otomatis membawa nilai-nilainya dan karena-
nya usulannya untuk penyelidikan psikologis juga diperlukan
bagi pendekatan sosiologis.
Meskipun demikian, pendekatan sosiologis untuk meng-
kaji agama-agama telah memberikan jasa besar. Sesudah ber-
lalunya masa individualisme agama, kita dihadapkan pada

264 Zakiyuddin Baidhawy


suatu agama komunal yang juga penting. Agama komunal
membantu mengoreksi prasangka rasionalistik yang hanya
mempertimbangkan ekspresi intelektual dari pengalaman
keagamaan. Penemuan kembali tempat pusat peribadatan da-
lam setiap agama membutuhkan penamaan yang hanya dapat
dijawab oleh kajian sosiologi. Bila para sejarawan cenderung
untuk memfokuskan perhatian mereka pada lingkungan sebagai
yang utama atau bahkan faktor utama yang penting dalam
perkembangan historis, maka jasa para peneliti sosoiologis telah
membuka bidang yang cukup luas mengenai pengelompokkan
sosial, kesepakatan sosial, dan asosiasi di mana motivasi
keagamaan memainkan peran penting. Tentu saja, pengaruh
ide-ide, praktik-praktik, dan institusi-institusi keagamaan atas
masyarakat selalu menggugah minat para sejarawan, bahkan ia
dapat diakses lebih baik dari masa di mana organisasi-organisasi
masyarakat, meminjam istilah Dilthey, lebih jelas berbeda dari
sistem objektifikasi kultural (hukum, seni, ilmu). Namun, ini
hanya sementara sebelum peran salah satu organisasi-organisasi
ini, yaitu organisasi ekonomi dalam masyarakat, jelas-jelas
diakui dan didefinisikan.
Liston Pope telah menulis tentang Religion and the Class
Structure dalam Annals of the American Academy, vol 91: Agama,
meskipun erat hubungan kelembangaannya dengan struktur
kelas, bukanlah suatu produk atau sebab, sanksi atau musuh
dari stratifikasi sosial. Ia selalu ada dalam berbagai masyarakat
pada berbagai waktu. Di sinilah letak pentingnya karya Max
Weber dan Ernst Troeltsch yang mengoreksi pendekatan tunggal
teori Marxis. Landasan baru, yang belum benar-benar dicakup
baik oleh sejarawan maupun teolog sebelumnya, telah muncul
ketika para sosiolog agama ditanya tentang pengaruh faktor-

Metodologi Ilmiah Modern dan Studi Islam 265


faktor masyarakat atas agama. Karena kontribusinya dalam hal
ini sering tidak dirujuk dalam literatur tentang masalah ini,
Joachim Wach menyebut pentingnya kuliah yang diberikan oleh
Jacob Burckhardt, yang diterjemahkan di bawah judul Force and
Freedom, dengan pandangan mereka tentang interaksi agama,
kebudayaan, dan negara.
Kajian tentang pengaruh stratifikasi sosial atas pengelom-
pokan sosial dan atas struktur dan pembentukan komunitas
keagamaan kini mendapat dukungan dari upaya-upaya yang di-
lakukan oleh sejarawan dan ahli hukum. Kajian ini terjadi di Jer-
man, Perancis, dan Amerika yang telah menghasilkan temuan-
temuan menarik. Emile Durkheim, Max Weber, Howard Becker,
dan lain-lain, merupakan pelopor dalam bidang ini. Sama pent-
ingnya adalah pendekatan sosiologis untuk mengkaji kelom-
pok keagamaan yang diorganisir secara sistematis dan tipologis,
sehingga melengkapi penelitian sejarah dan psikologi. Dalam
agama-agama Kristen dan non-Kristen salah satu kepedulian
utama adalah komuni, jamaah. Definisi tentang jamaah menu-
rut penafsiran masing-masing kelompok keagamaan merupakan
salah satu dari ajaran utama keimanan.
Pengalaman keagamaan itu sendiri pada umumnya meng-
ungkapkan diri dalam tiga cara: dalam pemikiran, tindakan dan
perkumpulan/jamaah. Tiga bentuk ekspresi ini menyatu dan
hanya dalam ekspresi perkumpulan/jamaah inilah dua hal yang
lain ekspresi intelektual dan praktikal memperoleh makna
sejatinya. Mitos atau doktrin merupakan artikulasi pemikiran
tentang apa yang dialami dalam berhadapan dengan Realitas
Ultim; dan kultus merupakan hidup di luar konfrontasi ini
dalam bentuk tindakan. Keduanya memberikan arah bagi
komunitas, yang dibentuk oleh mereka yang bersatu dalam

266 Zakiyuddin Baidhawy


pengalaman keagamaan, dan komunitas ini aktif membentuk
dan mengembangkan pengalaman keagamaannya dalam pe-
mikiran dan tindakan.
Di dalam dan melalui tindakan keagamaan, kelompok ke-
agamaan terbentuk. Tidak ada agama yang tidak melibatkan
perkumpulan keagamaan. Joachim Wach (1988) menekankan
hubungan ganda yang menandai kelompok keagamaan yang
membedakannya dari pengelompokkan lainnya: Pertama, hu-
bungan para anggotanya kolektif maupun individu dengan
Tuhan (numen); dan kedua, hubungan para anggota kelompok
satu dengan yang lain. Bila dalam pengalaman personal hubun-
gan yang kedua mungkin bertemu dengan yang pertama, yang
secara ontologis terlepas dari yang pertama orientasi kepada
Tuhan. Dalam konteks lain, kita mengatakan bahwa hakikat,
intensitas, durasi, dan organisiasi kelompok keagamaan ter-
gantung pada cara di mana para anggotanya mengalami Tuhan,
bagaimana mereka menerima dan berkomunikasi dengan-Nya,
dan bagaimana mereka mengalami perkumpulan, menerima-
nya, dan mempraktikannya. Lebih dari tipe-tipe perkumpulan
lainnya, kelompok keagamaan menyajikan diri sebagai mikro-
kosmos dengan hukum-hukumnya sendiri, pandangan tentang
hidup, sikap dan lingkungan.
Joachim Wach telah melakukan kajian tentan integrasi ke-
lompok keagamaan secara agak panjang lebar dalam buku So-
ciology of Religion. Di muka kita telah melihat bahwa ekspresi
simbolik dipandang sebagai sarana utama di mana para anggota
komunitas keagamaan dipersatukan. Sejauh berbagai bentuk
ekspresi intelektual seperti mitos dan doktrin diperhatikan, kita
mencatat dua akibat yang berbeda: keduanya dapat meningkat-
kan perasaan solidaritas mereka yang terikat dengannya, namun

Metodologi Ilmiah Modern dan Studi Islam 267


keduanya juga dapat memecah belah. Sebagian kelompok ke-
agamaan lebih memilih pernyataan doktrin yang tepat dengan
tujuan untuk memperluas kohesi para anggotanya, dan mereka
hanya berkaitan dengan akibat pengaturan atas spontanitas.
Komunitas lainnya menilai otonomi tanpa diributkan dengan
kesamaran dan atomisme yang merupakan akibat dari ukuran
yang berlebihan.
Dengan mempertimbangkan ekspresi praktis dari pengala-
man keagamaan, kita mencatat bahwa tindakan-tindakan keta-
atan bersama dan penghambaan menyediakan ikatan kesatuan
antara anggota-anggota kelompok kultus. Beribadah bersama
merupakan simbol komuni spiritual terdalam. Bergabung de-
ngan tindakan ketaatan tertentu dapat membentuk suatu per-
kumpulan permanen. Persaudaraan berkembang di luar pemu-
jaan umum atas nabi atau orang suci di kalangan banyak ma-
syarakat. Tindakan pengorbanan merupakan contoh bagi banyak
tindakan kultus lainnya, tampilan yang secara sosial dapat mela-
hirkan efek integrasi. Perayaan dan haji menghadirkan sesuatu
yangi indah karena di sini kita menemukan hubungan erat anta-
ra berbagai aktivitas kultus seperti penyucian, ibadah, sumpah,
bantuan, perngorbanan, dan prosesi seluruh yang merupakan
minat partikular dari para sejarawan dan sosiolog agama (Wach,
1988: 42). Jadi, pada tingkat pengelompokan sosial dalam ke-
luarga atau rumah tangga, dalam perkawinan atau pertemanan,
dalam kekerabatan atau kelompok regional, di pedesaan atau
perkotaan, dalam bangsa atau komunitas keagamaan khusus
kita menyaksikan penguatan kohesi. Penguatan ini menggam-
barkan fungsi integrasi dari pengalaman keagamaan bersama.
Sangat penting mengkaji struktur kelompok-kelompok ke-
agamaan. Struktur ini ditentukan oleh dua faktor, yaitu faktor

268 Zakiyuddin Baidhawy


keagamaan dan faktor di luar keagamaan. Anugerah spiritual
seperti penyembuhan dan pengajaran merupakan contoh-
contoh faktor keagamaan; umur, kedudukan sosial, etika, dan
latar belakang merupakan faktor non keagamaan. Pola atau
struktur ini bisa mengikuti tatanan alamiah: di mana keluarga
atau suku atau penduduk berfungsi sebagai kelompok kultus,
tatanan alamiah dan tatanan keagamaan itu identik. Atau pola
ini mandiri sepenuhnya dan dapat berkembang secara minimal
maupun maksimal. Dalam kasus terakhir struktur kelompok
keagamaan akan berada pada titik yang bersebelahan dengan
tatanan lainnya seperti sosial, ekonomi atau politik. Akan banyak
variasi dijumpai ketika kita melihat durasi dan perbedaan antara
berbagai kelompok keagamaan. Dari audiens yang ad hoc, audiens
yang cepat berkumpul, dan audiens yang cepat tersebar hingga
institusi-institusi yang solid dan abadi yang hidup hingga satu
milenium, kita menemukan lebih kurang perkumpulan/jamaah
yang temporal, lebih kurang perkumpulan yang terikat ketat.
Ada empat faktor yang membuat perbedaan di dalam
komunitas keagamaan. Pertama, diferensiasi fungsi. Bahkan
dalam kelompok kecil yang hanya terdiri dari sedikit anggota
yang disatukan oleh pengalaman keagamaan yang sama, tingkat
pembagian fungsi akan ada. Anggota yang lebih tua atau lebih
berpengalaman biasanya akan menjadi imam dalam ibadah
atau dzikir; yang muda-muda bertugas menyediakan kebutuhan
untuk perngorbanan. Seseorang berfungsi sebagai guru, dan
yang lain adalah murid. Di Meksiko dan Polynesia kuno,
di Afrika Barat, Mesir, Roma, Babylonia, dan Israel, di Hindu
dan Konfusianisme, di Budha Mahayana dan Katholik, kita
menemukan contoh-contoh diferensiasi dalam fungsi-fungsi
kultus sekaligus diferensiasi sosial.

Metodologi Ilmiah Modern dan Studi Islam 269


Kedua, dalam kelompok-kelompok keagamaan terdapat
diferensiasi menurut karisma. Bahkan, komunitas paling egali-
tarian sekalipun mengakui keragaman anugerah yang berguna
untuk membuat diferensiasi dalam otoritas, prestise, dan posisi
dalam komunitas. Max Weber telah bicara tentang hirarki, dan
ia memperkenalkan perbedaan antara karisma personal dan
karisma resmi. Karisma tertinggi yang dapat diterima oleh sese-
orang dapat dipandang konstan dan erat hubungannya dengan
Tuhan, dewa. Kekuasaan yang luar biasa dapat meningkatkan
berkah. Harga diri orang semacam itu tercermin dalam penga-
ruhnya baik dalam hal kekuasaan, kekayaan, atau sebaliknya
justru ia mencerminkan ketiadaan sifat-sifat yang sempurna se-
perti lemah, miskin. Setelah jenis karisma utama ini, ada karisma
turunannya: mereka yang dengan beberapa kali kontak, mung-
kin lama dan erat, dengan sahabat Tuhan akan memperoleh
karisma yang menempatkannya dalam kategori yang berbeda
dari orang biasa dalam komunitas: seperti para rasul, sahabat,
pengikut awal dari orang karismatik yang agung.
Ketiga, diferensiasi dalam kelompok-kelompok keagamaan
terjadi karena pembagian secara alamiah berdasarkan usia, je-
nis kelamin dan keturunan. Pemuda sekaligus yang tua dengan
alasan yang berbeda-beda akan memainkan peran dan fungsi
sendiri-sendiri baik secara individual maupun kolektif dalam ke-
hidupan komunitas keagamaan. Tahap persiapan untuk menuju
keanggotaan dengan hak-hak penuh dimulai dari tahap inisasi
terlebih dahulu sampai tepat waktunya untuk partisipasi penuh.
Berbagai kelompok pemuda diorganisir sesuai dengan umurnya
anak-anak, remaja dan dewasa awal. Fungsi-fungsi senat diberi-
kan kepada mereka yang cukup umur, lebih tua; mereka yang

270 Zakiyuddin Baidhawy


tua ini memerankan sebagai guru, nabi, dan penguasa yang me-
mainkan peran penting dalam kelompok.
Keempat, komunitas keagamaan terdiferensiasi menurut sta-
tus. Prinsip ini dipandang sebagai kombinasi sejumlah faktor
yang dibuat untuk keragaman. Paham demokratis tentang kese-
taraan semua orang beriman hanya terjadi pada masa belakang-
an dalam sejarah agama-agama. Di mana tidak ada perbedaan
berdasarkan atas tiga kriteria di muka, perbedaan-perbedaan
dengan kelompok non-keagamaan tidak mudah dilihat. Ada
perbedaan-perbedaan dalam kekayaan, alam fungsinya di ma-
syarakat luas, dan dalam tingkatan. Diferensiasi dalam komuni-
tas keagamaan yang mengikuti faktor-faktor ini tentu saja lebih
sering terjadi daripada bukan tak resmi: ia ada secara de facto
daripada secara de jure.

C. Pendekatan Antropologi dan Etnografi


Antropologi adalah suatu cabang keilmuan yang peduli
dengan upaya mendokumentasikan organisasi hubungan-
hubungan sosial dan pola-pola praktik kebudayaan di tempat-
tempat tertentu, dan mengembangkan lebih kurang teori-teori
berkenaan dengan keserupaan-keserupaan dan perbedaan-
perbedaan dalam kehidupan manusia. Dalam konteks Studi
Islam dan masyarakat Muslim, karya-karya etnografi yang me-
rupakan tipikal dari karya para antropologis bertujuan untuk
menunjukkan bagaimana Islam telah dipribumikan (Eickel-
man, 1981: 201), bagaimana tradisi-tradisi dominan dan lebih
menonjol dipraktikkan, diinstitusionalisasikan, ditransmisikan,
tumbuh bersama dan dikontestasikan dalam berbagai kawasan
sekaligus, baik di lokasi-lokasi pedesaan maupun perkotaan.

Metodologi Ilmiah Modern dan Studi Islam 271


Agama dan ritual disituasikan dalam kaitannya dengan kategori-
kategori lain seperti kekerabatan dan etnisitas, ekonomi dan
teknologi, politik dan ideologi. Dalam pengertian yang lebih
teoretis, para antropolog berusaha menilai seberapa besar
kemungkinan untuk menggeneralisasi tentang masyarakat-
masyarakat dan kebudayaan-kebudayaan Muslim dalam
rentangan tempat (dan dalam beberapa hal dalam rentangan
waktu). Bagaimana hubungan antara yang satu dan yang jamak,
yang universal dan yang partikular, Islam dan keragaman empirik
dari Islam yang majemuk (El-Zein, 1977).
Tentu saja, semua metode ilmiah memiliki keterbatasan-
keterbatasan dan ambiguitas-ambiguitas sekaligus kemung-
kinan, sementara kebanyakan antropolog kini membutuhkan
disiplin-disiplin dan sumber-sumber lain, pengamatan parti-
sipan di bidang ini selama berbulan-bulan, dan kadang-kadang
bertahun-tahun, tetap menjadi jantung kepedulian disiplin
antropologi. Pada tingkat terbaiknya, etnografi dapat diandal-
kan untuk mengurangi reduksi, lebih melihat dari bawah,
mempertimbangkan bagaimana Islam dan Muslim disituasi-
kan dan dinegosiasikan secara kreatif dalm suatu kompleksitas
dan seringkali kontradiksi dengan kehidupan orang-orang
lain yang sangat berbeda. Sementara identitas Muslim dalam
modernitas global dibentuk oleh wacana negara-bangsa yang
menghegemoni dan menyeragamkan, lembaga-lembaga pendi-
dikan mereka sekaligus media elektronik transnasional, proses
migrasi internasional dan gerakan-gerakan kebangkitan agama
yang tidak mengenal batas teritorial, metode thick description
(deskripsi mendalam) yang dikontekstualisasikan dapat mem-
buka kemungkinan bagi akses pada kemanusiaan pihak lain
(Fisher & Abedi, 1990: xix). Sementara para kritikus poskolonial

272 Zakiyuddin Baidhawy


tetap khawatir dengan patologi esensi kebudayaan yang terbatas
yang diasosiasikan dengan antropologi pada periode kolonial,
sejak 1980-an khususnya, seorang posmodernis yang akhirnya
terjun ke dalam disiplin ini telah mempromosikan agenda-
agenda yang lebih kosmopolitan bagi kebudayaan menulis.
Upaya melahirkan fiksi-fiksi sejati yang lebih bersifat temporal
dan dialogis daripada pendekatan-pendekatan ilmiah dan
positivistik lama, kini telah terbuka lebar (Clifford & Marcus,
1986: 6). Etnografi baru juga mendorong antropologi sebagai
kritik refleksif atas penyajian-penyajian yang simplistik mengenai
orang lain yang dipandang eksotik dalam kacamata wacana Barat
yang hegemonik (Marcus & Fisher, 1986: x).
Dalam konflik dan krisis lokal-global saat ini, di mana
Islamofobia dan kontestasi klaim-klaim Muslim atas nama
Islam seringkali muncul, maka agenda-agenda antropologi dan
etnografi memiliki kontribusi penting untuk membuat Studi
Islam diterima lebih luas. Dalam suatu laporan akhir tentang
Islam di Universitas-universitas di Inggris, definisi Studi Islam,
tempat dan peran studi etnografi dan sosiologi tentang Muslim
terdaftar sebagai tema penting yang dibahas dengan para ahli
(Siddiqui, 2007: 4). Beberapa pakar menghendaki agar muncul
suatu bidang baru Studi Islam dan Muslim yang dikaji melalui
pendekatan etnografi dan sosiologi sebagaimana kajian Studi
Islam yang berbasis pada teks. Siddiqui (2007: 7) menyatakan
bahwa kelayakan teknik-teknik ilmiah sosial untuk Studi Islam
perlu lebih dipersoalkan secara energetik daripada sebelumnya.
Implikasinya studi semacam ini perlu meletakkan seorang
peneliti sebagai orang dalam. Selama ini Studi Islam di sebagian
universitas di Barat yang mengajarkan semua aspek keislaman
disampaikan di bawah sosiologi atau antropologi, sejarah atau

Metodologi Ilmiah Modern dan Studi Islam 273


politik, namun para pengajarnya gagal menggambarkan dimen-
si-dimensi keimanan yang utama dan menyatu.
Siddiqui benar dalam menyinari kesenjangan signifikan,
antara lain: a) projek yang mapan dalam kajian tentang
sumber-sumber utama sejarah penyelamatan Islam sekaligus
berbagai genre tradisi intelektual klasik, dan b) minat keilmuan
sosial yang kurang mapan terhadap apa yang disebut studi
tentang masyarakat Muslim. Problem utamanya barangkali
adalah sedikitnya pengkaji memiliki kesempatan untuk me-
ngembangkan kepakaran baik dalam kajian teks yang sangat
spesifik yang biasa diasosiasikan dengan Studi Islam maupun
studi tentang masyarakat dan kebudayaan Muslim kontemporer.
Juga benar bahwa ideologi sekuler dari ilmu sosial seringkali
gagal melakukan kajian tentang agama secara serius, meskipun
ada banyak bahaya juga dalam esensialisme yang diilhami secara
teologis sebagaimana kritik fenomenologi dalam Studi Agama
(Flood, 1999; Fitzferald, 2000). Bagaimanapun, dalam upaya
menekankan dimensi-dimensi keimanan yang utama dan
menyatukan, Siddiqui (2007: 36) memperkuat hegemoni Islam
normatif, yang menghilangkan belitannya yang tak terelakkan
dengan relasi-relasi sosial dan pola-pola kultural tertentu.
Sebagaimana telah dikemukakan di atas, studi tentang Islam
dan Muslim kontemporer harus menguji hubungan antara yang
universal dan yang partikular, daripada menekankan satu atas
yang lain. Menulis kembali Studi Islam yang berpusat pada teks
dari pinggiran etnografi dan sosiologi, maka perlu ada perubahan
Studi Islam dan Muslim yang dilakukan dalam antropologi, dari
etnografi kolonial melalui fungsionalisme ke relasi antara tradisi
besar dan tradisi kecil, sebagaimana ditekankan oleh Geertz

274 Zakiyuddin Baidhawy


dalam Islam Observed (1968) dan perdebatan-perdebatan yang
terus menerus tentang Islam dan islam yang plural.
Edward Said (1978) telah mendekonstruksi wacana
paradigma dominan dalam Studi Islam di Barat modern, sebuah
kritik yang sangat berpengaruh dalam memperkuat signifikansi
perspektif poskolonial dan posstrukturalis dalam antropologi
dan etnografi, sekaligus kajian Timur Tengah. Tentu saja,
sebagaimana dikatakan Clifford (1988), ada krisis representasi
dalam antropologi sebelum masa Said. Hingga 1960-an dan
awal 1970-an, disiplin ini ditantang oleh kritik dari kalangan
dalam, sebagian berhubungan dengan perbandingan langsung
antara orientalisme dan antropologi (Asad, 1973). Deskripsi
yang agak skematik tentang asal-usul kolonial antropologi dapat
menelusuri semakin banyak digunakannya ide-ide evolusionis
abad 19 untuk melegitimasi kontrol atas penduduk primitif,
sementara dokumentasi karya-karya fungsionalisme tentang
masyarakat belakangan mendukung manajemen mereka
oleh rezim Eropa yang lebih mapan. Peran antropolog (yang
lebih menyerupai orientalis) dalam pemerintahan kolonial
sesungguhnya relatif kecil dan tidak merefleksikan ideologi
imperial dalam arti sempit sekalipun. Seorang antropolog dan
kritikus poskolonial Talal Asad (1973: 18), yang barangkali
lebih jelas daripada Said berkenaan dengan kesadaran borjuis
di kalangan antropolog sosial, mengatakan bahwa di dalam
disiplin ini selalu terkandung suatu kontradiksi dan ambiguitas
yang mendalam. Di lain tempat, ia juga menyatakan bahwa fakta
kekuasaan Eropa dalam wacana dan praktik, selalu menjadi
bagian dari realitas yang hendak dipahami oleh para antropolog,
dan cara yang ingin mereka mengerti (Asad, 1991: 315). Di

Metodologi Ilmiah Modern dan Studi Islam 275


Timur Tengah, invasi singkat Napoleon atas Mesir (1798-1801)
dan surveynya tentang negara itu menggambarkan suatu arah
baru pengetahuan etnografi di bawah kekuasaan kolonial (Said,
1978: 87).
Dari pertengahan abad ke-19 khususnya, kontrol Eropa
juga membuat perjalanan ke kota-kota besar di dunia Mus-
lim dan aman bagi para pelancong, penulis dan sarjana Barat.
Lancar berbahasa Arab dan bahasa Islam lainnya, dan sering
mengadopsi pekaian dan nama-nama pribumi, para orientalis
terdidik termasuk sebagian yang dibahas oleh Said, telah mem-
perlama periode pendudukan di Timur Tengah, dan melahirkan
deskripsi-deskripsi yang dikonsumsi oleh publik Barat. Meski-
pun demikian, ada juga karya-karya yang sangat berminat untuk
menteoretisasi masyarakat Arab dengan penghargaan tinggi atas
tradisi kesarjanaan Muslim.
Apa pun kontestasi yang terjadi dalam sejarah kajian ini,
pandangan-pandangan proto-antropologis abad ke-19 dan awal
abad ke-20 memahami betapa tidak pentingnya perbedaan
antara filologi dan etnografi, kajian teks dan konteks kultural.
Hanya sedikit orientalis yang berminat pada folklor dan ke-
biasaan-kebiasaan serta kultur orang suci, menginginkan agar
kajian ini menjadi lebih profesional dan peduli dengan teori,
dan kajian antropologi tentang masyarakat Muslim masih sangat
jarang hingga 1960-an. Pembagian kerja menjadi terlembagakan
di mana kaum orientalis tidak berminat pada kajian tentang
suku-suku atau penduduk yang hidup, sementara antropolog
menjauhi kota-kota dan jarang membaca teks. Yang terakhir
ini melahirkan akibat praktis berupa pengabaian atas teks di
kalangan antropolog. Orientalis mengkaji tradisi-tradisi elite

276 Zakiyuddin Baidhawy


dan istimewa, sementara antropolog mengkaji kebudayaan oral
dari masa yang buta huruf.
Sebagai suatu disiplin yang memperoleh bentuk modern-
nya pada akhir periode kolonial, sejarah wacana antropologi
tentang Islam dan masyarakat Muslim relatif singkat. Pende-
katan holistik fungsionalisme mendominasi antropologi dari
1920an-1950an dan pada masa-masa inilah ada tumbuh minat
terhadap Timur Tengah dan dunia Muslim sebagai peradaban
yang kompleks dan berskala besar lengkap dengan berbagai
tradisi kesusastraannya. Setelah Franz Boas dan Bronislaw Ma-
linowski yang menekankan metodologi kerja lapangan yang
ketat sekaligus relativisme kultural atau partikularisme histo-
ris dan fungsionalitas institusi-institusi sosial, para antropolog
lebih memilih melakukan penelitian mereka tentang suku-suku
atau desa-desa kecil, relatif terisolasi dan secara sosial tertutup.
Relatif sedikit minat pada perubahan dan transformasi sosial,
misalnya dalam masalah hubungan komunitas manusia de-
ngan ekonomi dunia atau dengan gerakan-gerakan untuk ke-
merdekaan politik.
Karena kekurangan dalam ketrampilan berbahasa untuk
mengkaji teks-teks Islam yang biasanya menjadi keahlian
para orientalis, jika mereka menyebut Islam dalam gambaran
yang rinci, para antropolog Barat yang bekerja di masyarakat-
masyarakat Muslim cenderung mencatat apa yang komunitas
tertentu terima dari tradisi besar, misalnya rukun Islam yang
lima, dan apa yang telah diasimilasi melalui tradisi kecil,
misalnya pemujaan orang suci dan ziarah ke makam mereka.
Memerhatikan masalah ini yang jarang dikaji dalam literatur
antropologi, wajar bila Islam tidak dipandang penting dan tidak
pula kontroversi dalam disiplin antropologi.

Metodologi Ilmiah Modern dan Studi Islam 277


D. Pendekatan Fenomenologi
Ada premis dalam fenomenologi agama bahwa manusia
secara fitrah beragama dan fenomena keagamaan sama kom-
pleksnya dengan manusia itu sendiri. Premis ini membawa para
sarjana untuk bersimpati dan rendah hati ketika mereka men-
coba menjelaskan fenomena keagamaan. Dalam konteks Studi
Islam, sejak pertengahan kedua abad 20, pandangan simpatetik
telah menjadi kecenderungan umum sebagai lawan dari pra-
sangka dan miskonsepsi sarjana Barat yang dikritik oleh Nor-
man Daniel dalam Islam and the West dan Edward Said dalam
Orientalism (1978). Jadi pendekatan fenomenologi berusaha
untuk menengahi antara sikap yang kering dan tidak simpati
dari pendekatan positivistik terhadap agama dengan teologi
konservatif. Tidak persis betul sebagai jalan tengah karena ba-
nyak sarjana mengusulkan berbagai cara di ruang yang sempit
ini. Ada beberapa studi yang berupaya untuk menjelaskan haki-
kat fenomenologi agama. Arvind Sharma adalah salah seorang
sarjana yang mencoba mendefinisikan metode fenomenologi
dengan menganalisis definisi-definisi yang diusulkan oleh pra
fenomenolog agama seperti Brede Kristensen (18671953) dan
Gerardus van der Leeuw (18901950). Dari kajiannya, Sharma
(1975: 95) mendefinisikan bahwa fenomenologi agama adalah
suatu metode kajian agama yang ditandai dengan upaya men-
cari struktur yang mengarisbawahi data keagamaan yang dapat
diperbandingkan sehingga tidak menyalahi pemahaman orang-
orang beriman itu sendiri. Paralelitas antara berbagai tradisi
keagamaan tidak muncul dari luar dinamika interaksi historis,
namun muncul dari keserupaan-keserupaan proses struktural.
Inilah yang membuat fenomenologi agama berbeda dari sejarah
agama. Beberapa contoh kajian di bawah ini adalah gambaran

278 Zakiyuddin Baidhawy


tentang bagaimana mengkaji Islam berdasarkan pendekatan
fenomenologi.
Willem A. Bijlefeld (1972) membahas fenomenologi agama
mulai dengan merujuk langsung pada artikel Adams tentang
The History of Religions and the Study of Islam. Ia mengatakan
bahwa Adams tampak melakukan kajian serius dalam fenome-
nologi agama. Namun, pendekatan fenomenologinya berbeda
dari Adams dan Bausani. Ia memberikan catatan atas pendekat-
an Bausani tentang kajian histories-religius Islam. Metode ini
mencoba mengintegrasikan perspektif fenomenologi ke dalam
disiplin sejarah. Menurut Bijlefeld (1972: 1), ini mengundang
perdebatan karena membutuhkan tipologi fungsional perban-
dingan. Tipologi fungsional adalah usaha untuk menemukan
fenomena yang paralel dari berbagai tradisi keagamaan dan
menafsirkannya dari dalam struktur (historis) luas yang dimi-
liki agama-agama dan dengan mempertimbangkan bagaimana
tradisi itu berfungsi dalam konteks tipologis yang ada. Baginya,
tipologi fungsional ini akan mereduksi fenomenologi menjadi
kajian perbandingan semata. Kritiknya atas Bausani mengim-
plikasikan dirinya ditempatkan dalam posisi yang bertentangan
dengan Adams dan fenomenologi klasik, khususnya tipe histo-
ris-tipologis yang mencoba mengeksplorasi data yang saling ber-
hubungan melampaui berbagai tradisi keagamaan.
Bijlefeld (1972: 4) mengusulkan pendekatan fenomenologis
total terhadap sejarah di mana penyelidikan secara sengaja dan
konsisten untuk mempersoalkan apa itu tradisi keagamaan dan
data spesifik yang di dalamnya terkandung makna dan sarana
bagi komunitas keagamaan dan individu orang beriman. Jadi,
pendekatan fenomenologi adalah upaya menggali perspektif
orang dalam (insider). Semua perspektif orang dalam mesti

Metodologi Ilmiah Modern dan Studi Islam 279


dipertimbangkan tanpa memandang tingkat intelektual
mereka.
Bijlefeld menyebut dua wilayah spesifik Studi Islam yang
paling sesuai dengan pendekatan fenomenologi: studi tentang
Al-Quran dan Muhammad saw. Menurutnya, banyak kajian
Barat tentang dua hal ini menghasilkan kesimpulan yang sama
sekali bertentangan dengan tradisi Muslim karena perbedaan
sikap sarjana Barat terhadap tradisi Islam. Melalui pendekatan
fenomenologi, ia mengusulkan perspektif alternatif yang me-
ngakui Al-Quran dan Muhammad saw. sebagaimana adanya
dan seperti yang dipahami oleh Muslim sendiri.
James E. Royster secara khusus menggunakan pendekatan
fenomenologi untuk mengkaji tema Muhammad saw. Roys-
ter (1972: 49-63) telah melakukan survei terhadap berbagai
pendekatan untuk mengkaji Muhammad saw. yang dilakukan
Barat. Ia menyatakan bahwa kajian-kajian ini dapat diklasifikasi-
kan ke dalam tiga tipe: normatif, deskriptif dan fenomenologis.
Pendekatan normatif adalah kajian yang menggunakan norma-
norma eksternal untuk menilai sejarah. Dalam hal ini, ada dua
posisi ekstrem: apologetik yang hanya menyajikan pandangan
yang positif; dan polemik yang hanya mengungkapkan yang
negatif. Pendekatan deskriptif bersandar hanya pada bukti em-
pirik dalam upaya menggambarkan apa yang sebenarnya terjadi.
Pendekatan ini miskin data primer dan seringkali jatuh pada
generalisasi tak terkendali. Pendekatan ini sering mereduksi
tafsir sejarah, reduksionisme alamiah yang berupaya menjelas-
kan mukjizat Nabi sebagai fenomena alamiah; reduksionisme
psikologis yang menafsirkan keberhasilan Muhammad saw. atas
dasar kepribadiannya; reduksionsme kultural yang menempat-
kan Muhammad saw. dalam konteks sosio-ekonomi lebih luas

280 Zakiyuddin Baidhawy


sehingga mengabaikan karakter transendentalnya; dan reduk-
sionisme eksordial yang menemukan pengaruh Yahudi dan
kristen atas Muhammad dengan maksud untuk membuktikan
kepalsuannya.
Pendekatan fenomenologis bersandar utamanya pada
pandangan-pandangan orang beriman. Jadi, ia menghindari
subjektivisme dari pendekatan normatif dan reduksionisme
dari pendekatan yang murni deskriptif. Bagi Royster (1972:
69-70), alternatif terbaik adalah: Pertama, fenomenolog mesti
menghindari nafsu menghegemoni perspektif Muslim. Tujuan
fenomenolog ialah memahami kepercayaan semua orang
termasuk tafsir yang paling kontroversial di dalam suatu
tradisi. Seorang fenomenolog tidak boleh memilih satu tafsir
atas tafsir yang lain. Kedua, Royster secara langsung menjawab
masalah perbedaan antara apa yang sebenarnya terjadi dan
apa seharusnya terjadi. Baginya, pendekatan fenomenologi
tidak memandang penting perbedaan dua hal ini. Menurutnya,
sejarah dapat dikonseptualisasikan sebagai mitos, yaitu citra,
makna, pemahaman, kepercayaan dari pengikut suatu tradisi
keagamaan tanpa memandang bukti histositasnya. Tugas
fenomenolog adalah bukan untuk menemukan apa yang
sebenarnya terjadi sebagai lawan dari apa yang seharusnya
terjadi, namun melampaui itu semua, yaitu memahami makna
mitos bagi orang beriman.
Ronald L. Nettler (1973) berusaha mengembangkan pen-
dekatan fenomenologi terhadap teologi Islam. Ia mengatakan
bahwa minat utama sejarawan agama-agama adalah fenomena
keagamaan yang non-rasional, karena itu pemikiran rasional
seperti teologi dan hukum suci yang telah banyak dikaji dalam
Islam tidak perlu dipertimbangkan. Nettler terdorong untuk

Metodologi Ilmiah Modern dan Studi Islam 281


mengisi kesenjangan ini dan mencoba mengadaptasi pendekatan
fenomenologi atas rasionalisme skolastik dalam teologi Islam. Ia
mengklaim bahwa pendekatan ini merupakan kombinasi antara
orientalisme klasik dan sejarah agama-agama. Maksudnya, ia
menerapkan metode analisis teks orientalis atas teks-teks teologi
Islam dan kemudian menafsirkannya sesuai dengan kerangka
pendekatan fenomenologi yang dikenal dalam sejarah agama-
agama. Melalui kombinasi ini, ia yakin bahwa para sarjana akan
terhindar dari kajian yang kering, sikap yang kurang spiritual
dari kaum orientalis atas teks-teks teologi Islam.
Hermann Landolt (1991) memandang bahwa teori al-Ghaza-
li tentang agama serupa dengan pendekatan fenomenologi yang
dijelaskan Adams. Konsep Adams tentang epoche, menunda
penilaian kita tentang agama yang hendak kita pahami, sama
dengan sikap al-Ghazali dalam pencariannya menuju kebena-
ran. Dalam karya al-Ghazali al-Munqidh Min ad-Dalal, menurut
Landolt, al-Ghazali menjelaskan bahwa ia telah berhadapan
dengan masalah bagaimana manusia mencapai kebenaran:
yakni perbedaan antara praktik berbagai tradisi keagamaan den-
gan kapasitas manusia atau fitrah untuk mengetahui kebenaran
sebagaimana adanya. Ghazali mengklaim bahwa ia membebas-
kan dirinya dari ikatan-ikatan imitasi yang membutakan dan
menjalankan pencarian tanpa lelah akan kebenaran di mana-
pun ia jumpai. Landolt memandang bahwa problem al-Ghazali
sebenarnya adalah problem yang paling penting dalam ilmu
agama-agama. Sikap terbuka al-Ghazali sangat selaras dengan
pendekatan irenic model Adams dalam mendekati keimanan
orang lain, inilah aspek pertama dari pendekatan fenomenologi
Adams.

282 Zakiyuddin Baidhawy


Pendekatan fenomenologi Adams dalam mengklasifikasi
fenomena keagamaan ke dalam skema taksonomi yang
melampaui batas-batas berbagai agama dan kebudayaan juga
serupa dengan al-Ghazali. Menurut Landolt (1991: 31-33), pen-
dekatan Adams sangat paralel dengan teori al-Ghazali tentang
agama, khususnya dalam bahasan mengenai hijab dalam kitab
Mishkat al-Anwar. Menurut al-Ghazali, ada tiga macam atau
kelas manusia yang dikelompokkan secara hirarki. Pada tingkat
bawah adalah mereka yang dihijab oleh kegelapan secara total,
kemudian mereka yang dihijab oleh cahaya yang bergabung
dengan kegelapan, dan pada tingkat atas adalah mereka yang
dihijab oleh cahaya murni. Mereka yang dihijab oleh kegelapan
total adalah kaum atheis (al-mulhidun) atau materialis yang
tidak mengakui sebab alam semesta ini. Ia memasukkan
kaum hedonis dalam kategori ini. Mereka yang dihijab oleh
cahaya dan kegelapan adalah kaum politheis, penyembah
berhala, penyembah api, penyembah bintang, penyembah ma-
tahari, dan kaum dualis yang dihijab oleh persepsi inderawi.
Kategori ini juga memasukkan kaum monotheis korporealis (al-
mujassimah) yang dihijab oleh citra ruang. Kelompok ini terdiri
dari kaum sifatiyyah yang dihijab oleh nalar analogis yang salah,
termasuk kaum mutakallimun yang mengkonseptualisasikan
sifat-sifat Tuhan dengan menggambarkan analogi dengan sifat-
sifat mereka sendiri seperti mendengar, bicara, dst. Akhirnya,
pada hirarki teratas adalah mereka yang dihijab oleh cahaya
murni, yaitu mereka yang menyatakan bahwa sifat-sifat Tuhan
tidak analog dengan sifat-sifat manusia, namun menjelaskan
Tuhan dalam kaitannya dengan makhluk; mereka yang berpikir
bahwa Tuhan itu Esa yang menggerakkan tubuh yang mencakup
seluruh lapisan; dan mereka yang berpikir bahwa gerak tubuh

Metodologi Ilmiah Modern dan Studi Islam 283


alam menghendaki kepatuhan kepada para pembantu-Nya, para
malaikat, karena gerak tidak secara langsung disebabkan oleh
Tuhan. Menurut Landolt, tiga kelas ini oleh al-Ghazali terdiri dari
mutakallimun, al-batiniyyah, dan filosof. Pada tingkat tertinggi
hanya terdiri sedikit orang yang benar-benar tidak terhijab. Al-
Ghazali menyebut mereka adalah para sufi.
Karya Annemarie Schimmel menunjukkan pendekatan
simpatetik, pendekatan fenomenologinya terhadap Islam. Fakta
ini diakui baik oleh Islamicis Muslim maupun non-Muslim,
seperti Adams dan Nasr. Di samping itu, kuliahnya yang berjudul
Deciphering the Signs of God, A Phenomenological Approach to Islam
(1994) barangkali merupakan karya terpenting tentang Islam
yang menggunakan pendekatan fenomenologi.
Karya Schimmel merupakan kombinasi antara kajian atas
teks-teks Islam/kanon dan Islam sebagai agama yang hidup
yang dialami oleh Muslim. Ia juga secara implisit merasa bah-
wa tidak perlu membedakan antara Muslim terdidik dan tidak
terdidik. Ini jelas berbeda dari karya Adams dan juga gurunya
Friederich Heiler (1892-1967). Meksipun pendekatan Schimmel
fokus pada eksplorasi pengalaman orang dalam, ia tidak ber-
pikir bahwa dirinya dapat mengkaji Islam secara objektif karena
implikasi dari prinsip epoche. Ia mengatakan, Secara personal,
saya kagum bahwa kajian agama yang dilakukan secara objek-
tif penuh adalah mungkin ketika kita menghargai wilayah Nu-
minous... dan bias personal dari peneliti tidak dapat menjadi
namun terefleksi dalam kajian bias yang tentu saja cenderung
lebih menuju kecenderungan-kecenderungan mistik dan puitik
di dalam Islam daripada ke aspek legalistik (Schimmel, 1994:
xi-xii).

284 Zakiyuddin Baidhawy


Dalam kuliah-kuliahnya, di samping menunjukkan ciri khas
fenomenologis dalam menilai perspektif orang dalam, Schimmel
menerapkan setidaknya tiga macam pendekatan fenomenologi
atas Islam. Pertama, ia menggunakan model yang diusulkan oleh
gurunya Friedrich Heiler, untuk mengorganisir dan menafsirkan
fenomena keagamaan Islam sebagai manifestasi Numinous.
Kedua, ia mencoba menemukan struktur Islam sebagai agama
yang hidup yang menyediakan makna bagi kehidupan. Ketiga, ia
mencoba menjelaskan aspek-aspek Islam dalam suatu tipologi
yang awalnya diusulkan Van der Leeuw.
Sembari sepenuhnya sadar atas subjektifitas, Schimmel
mengorganisir dan menafsirkan fenomena Islam yang tercermin
dalam teks-teks keagamaan dan kehidupan keseharian Muslim
melalui tiga tipe pendekatan fenomenologi. Pertama, ia men-
coba menjelaskan fenomena ini dengan menggunakan model
Heiler tentang wilayah-wilayah Numinous. Prosedur dari model
Heiler adalah dengan mengkaji pertama fenomena dan kemu-
dian lapisan-lapisan terdalam dari respon manusia atas Tuhan
hingga ia mencapai inti kesucian yang paling dalam dari agama,
pusat, Numinous. Schimmel menemukan pendekatan ini sa-
ngat membantu dalam menjelaskan fenomena Islam, khususnya
karena afinitasnya dengan konsep sufi tentang berbagai lapisan
keberagamaan. Dalam hal ini, pemahaman Muslim bahwa se-
gala sesuatu adalah tanda Tuhan merupakan titik kunci bagi
Schimmel untuk mengeksplorasi semua fenomena keislaman.
Enam bagian dari bukunya mencerminkan gerakan dari mani-
festasi paling lahiriah dari Numinous ke bagian paling inti dari
misteri Tuhan: 1) aspek-aspek suci dari alam dan kebudayaan;
2) ruang dan waktu suci; 3) tindakan suci; 4) firman dan kitab;

Metodologi Ilmiah Modern dan Studi Islam 285


5) individu dan masyarakat; dan 6) eskatologi. Dalam bagian es-
katologi, ia menyatakan bahwa Tuhan dalam Islam merupakan
deus absconditus, misteri yang hanya diketahui oleh Tuhan dan
Tuhan sendiri (Schimmel, 1994).
Pendekatan keduanya berkaitan dengan struktur Islam
sebagai agama yang hidup. Ia mengatakan, sebagai agama yang
hidup, Islam mengalami ketegangan yang konstan antara dua
sisi: Islam normatif yang disajikan oleh kaum teolog dan ahli
fikih dan Islam rakyat yang didukung oleh sufi. Dinamika Islam
terletak pada kesalingpengaruhan secara terus menerus antara
dua sisi ini. Dialektika tercipta antara sunnah dan bidah, antara
kebiasaan dan hukum-hukum syariah, antara zahir dan batin,
antara eksoterik dan esoterik. Kesalingpengaruhan antara Islam
normatif dan Islam rakyat idealnya melahirkan posisi tengah,
sepertihalnya posisi Muhammad saw. yang terletak antara
legalisme kaku Musa dan asketisme Isa. Schimmel kemudian
berpendapat bahwa kaum sufi yang sederhana sering berusaha
untuk merusak keseimbangan antara dua aspek tersebut dan
menunjukkan bahwa setiap kemajuan atau peristiwa spiritual
yang luar biasa bertentangan dengan keseimbangan Hukum.
Dengan kata lain, kaum sufi lebih inklusif karena mereka
berorientasi cinta sebagai lawan dari orientasi nomos/hukum
dari Islam normatif. Di samping itu, kredo sufi adalah tidak
ada wujud kecuali Allah (the mystical No), sementara kaum
kredo teolog adalah Tidak ada Tuhan kecuali Allah (the prophetic
No). Kredo yang pertama inklusif karena kredo ini memasukkan
segala sesuatu sementara kredo yang terakhir adalah eksklusif
karena ia berarti apa pun yang bertentangan dengan kebenaran
mutlak adalah bahaya, berdosa, dan sebagai Muslim kita harus
mengatakan la (tidak) (Schimmel, 1994: 245-249).

286 Zakiyuddin Baidhawy


Pendekatan ketiga Schimmel menggunakan tipologi yang
kali pertama diusulkan oleh Van der Leeuw. Ia berpendapat bah-
wa sebagai ganti dari pilihan atas tipologi keagamaan tunggal,
Islam cocok untuk semua tipologi. Islam adalah agama peng-
abdian karena menurut Al-Quran kita harus menjadi khalifah-
Nya. Abdullah, hamba Allah adalah tingkatan tertinggi yang
dapat dicapai manusia. Islam juga agama perjanjian karena Al-
Quran menyebutkan perjanjian primordial antara manusia dan
Tuhan. Manusia berjanji untuk mengakui Tuhan sebagai Pen-
cipta. Lebih jauh, Islam adalah agama tanpa istirahat karena
dalam Islam, Tuhan sebagai Tuhan Maha Hidup selalu sibuk.
Kaum Muslim harus meniru Tuhan dengan tujuan agar dekat
dengan-Nya. Islam juga agama Kemuliaan dan Rendah Hati,
karena Islam sendiri secara harfiah berarti berserah diri kepada
Yang Maha Mulia yang mengatasi semua kemuliaan. Akhirnya,
Schimmel berpendapat bahwa sejarawan agama-agama mung-
kin terkejut melihat bahwa Muslim selalu memandang Islam se-
bagai agama cinta. Al-Quran (3: 31) jelas menyatakan bahwa
jika orang beriman cinta Allah, mereka harus mengikuti Nabi
karena Allah memandangnya sebagai kekasih-Nya (Schimmel,
1994: 252-255).
Poin paling penting dari pendekatan Schimmel adalah pan-
dangan historisnya. Ini tidak umum di kalangan fenomenolog,
namun ini menjelaskan bahwa posisinya signifikan. Ketika ia
bicara tentang fenomena Islam apa pun utamanya dalam hal ke-
serupaannya dengan tradisi-tradisi agama lain, ia menghindari
penjelasan kaum difusionis yang biasa diagunakan oleh sejara-
wan Islam. Ini bukan berarti bahwa ia mengabaikan kenyataan
bahwa Muslim dipengaruhi oleh tradisi-tradisi agama lain, na-
mun ia menyatakan bahwa pengaruh-pengaruh ini bukanlah

Metodologi Ilmiah Modern dan Studi Islam 287


nilai yang mutlak: suatu agama mengambilnya hanya sebagai
ide, kebiasaan dan kecenderungan yang dengan satu atau lain
cara sesuai dengan hakikat batiniahnya (Schimmel, 1994: viii,
xiii). Pandangan tentang keunikan setiap tradisi keagamaan
mungkin tampak paradoks dengan pahamnya tentang Numi-
nous yang bukan hanya misterius bahkan juga universal.

E. Pendekatan Arkeologi
Studi Islam yang berkaitan dengan perkembangan Islam di
berbagai kawasan juga berkembang. Dalam waktu yang cukup
lama, Studi Islam lebih terfokus pada kajian Islam di kawasan
Timur Tengah. Padahal, banyak kawasan lain di luar Timur Tengah
menjadi tempat berkembangnya kebudayaan dan peradaban
Muslim, seperti Afrika dan Asia Selatan, dan Asia Tenggara di
mana Islam tumbuh. Khususnya kawasan Asia Tenggara di mana
Indonesia sebagai Negara berpenduduk Muslim terbesar dunia
berada, adalah suatu kawasan yang lebih banyak didominasi
oleh kajian para sejarawan dan antropolog. Meskipun demikian,
kajian para sarjana Barat itu mengungkapkan berbagai persoalan
yang berhubungan dengan Islam Asia Tenggara dan relevan
untuk kajian arkeologi. Kajian arkeologi ini akan memberikan
jawaban atas apa yang belum disentuh secara memadai oleh
kalangan sejarawan dan antropolog.
Persoalan yang diajukan oleh arkeologi terhadap kajian
Islam di Asia Tenggara terkait dengan masalah: kapan Islam
kali pertama datang di kawasan ini, di mana pintu masuknya,
siapa yang membawanya dan dari mana dibawa. Banyak
pengunjung Asia Tenggara yang kesan-kesan tercatat mereka
diabadikan dalam bentuk tulisan juga menggambarkan tentang
bagaimana dan kapan Islam muncul di kawasan ini. Para

288 Zakiyuddin Baidhawy


pengunjung dari Eropa biasanya berkaitan dengan masalah: para
pedagang Portugis kali pertama mencapai India Timur selalu
mencatat bahwa pembawanya adalah orang-orang Moor. Para
pengunjung Eropa Kristen lainnya berminat atas persoalan ini
karena perjalanan mereka sebagian dimotivasi oleh persaingan
baik atas alasan ekonomi maupun ideologis dengan Muslim.
Para pengamat Eropa yang tulisan-tulisannya cukup banyak
tentang dokumen-dokumen lama yang tersedia tentang Islam
Asia Tenggara berspekulasi bahwa Islam telah dibawa ke wilayah
ini oleh para pedagang daripada para agamawan. Dokumen-
dokumen ini merupakan catatan para pengamat yang secara
ideologis, bias dan tidak selalu menyediakan informasi yang
akurat. Pertanyaan tentang asal-usul Islam Asia Tenggara terus
menjadi minat utama baik bagi sarjana Asia maupun non-Asia.
Menariknya, teori-teori yang ada tentang kronologi konversi
dan para pembawa ide Islam ke wilayah ini belum beranjak dari
spekulasi orang-orang Portugis awal. Secara umum, teori-teori
ini menyatakan bahwa Islam dibawa ke Asia Tenggara utamanya
oleh para pedagang daripada agamawan atau misionaris dan para
pedagang ini berasal dari Asia Selatan daripada Timur Tengah.
Masa kali pertama pengaruh Islam atas kepulauan ini juga lebih
disandarkan atas bukti dari catatan-catatan tentang nisan-nisan
di pemakaman Muslim, yang paling awal ditemukan di Sumatra
pada abad ke-12. Ada sebagian bukti dari teks-teks Arab bahwa
Muslim Arab telah mengunjungi wilayah ini lebih awal, dan
tampaknya ide-ide Islam telah diperkenalkan ke wilayah ini
pada abad ke-10 dan ke-11 (Tibbetts 1979).
Persoalan islamisasi berkaitan dengan bagaimana Islam
diterima dan dipraktikan oleh para pemimpin politik dan
sejumlah besar pengikut mereka. Hal ini didasarkan pada bukti

Metodologi Ilmiah Modern dan Studi Islam 289


kronologi dan konteks kebudayaan yang diyakini para sarjana
membawa ide-ide Muslim ke kawasan ini. Dua pendekatan
teoretis mendasar membimbing persoalan ini. Pertama adalah
konversi dari atas ke bawah, di mana para pemimpin politik
mengendalikan konversi skala besar para pengikut mereka;
kedua adalah bahwa islamisasi merupakan proses dari bawah,
di mana para pemimpin politik konversi hanya ketika pengikut
mereka dalam jumlah yang cukup telah menjadi Muslim.
Dalam dua kerangka teoretik ini, muncul perdebatan tentang
peran relatif Islam politik dan kaum sufi yang dalam tingkatan
tertentu keterkaitannya dengan ide-ide Muslim dapat dipahami
dan dilihat pada bangsa-bangsa Asia Tenggara dan sistem-sistem
kepercayaan yang sudah ada sebelumnya (Reid, 1995).
Mempertimbangkan kurangnya teks-teks dari periode-
periode paling awal dan terbatasnya teks-teks dari periode
belakangan, kita berpikir bahwa pra arkeolog perlu mengisi
kekosongan ini. Meskipun ada peluang yang cukup besar bagi
data arekologi untuk membuat sesuatu yang lain, sayangnya
penelitian arkeologi dalam masalah ini relatif masih sedikit
yang berkaitan dengan jawaban atas masalah asal-usul dan
adaptasi Islam di Asia Tenggara. Baik para sarjana Asia Tenggara
maupun sarjana Barat nampaknya tidak berminat pada periode
ini. Misalnya, survei terhadap tesis-tesis dan disertasi-disertasi
arkeologi Indonesia menyatakan hanya dua dari 26 tulisan dalam
dua dekade lalu yang fokus mengkaji periode Islam (Tanudirjo,
1995). Kebanyakan arkeologi pada periode Islam adalah tradisi
arkeologi klasik yang berorientasi untuk menjelaskan makam-
makam dan monumen-monumen periode Islam daripada
menjawab persoalan perubahan sosial (Ambary, 1980). Mereka
yang mempergunakan pendekatan antropologi sangat sedikit.

290 Zakiyuddin Baidhawy


Dari Malaka dan Jawa, Allen misalnya, menggunakan perspektif
geoarkeologis dalam kajiannya tentang situs-situs Semenanjung
Melayu. Dengan menggunakan catatan dokumenter sebagai titik
berangkat, Allen mempertanyakan apakah pendudukan dan
enklave Muslim asing tampak serupa. Ia menyimpulkan bahwa
progradasi wilayah pantai yang meluas telah mengubah lanskap
dalam kawasan ini sepanjang 600 tahun lalu, dan kita dapat
mencari situs-situs ini di tempat-tempat yang salah: yaitu yang
mungkin terdapat di pedalaman daripada di sepanjang garis
pantai (Allen, 1998). Penelitian Miksic menentang pendekatan
arkeologis konvensional. Dalam mencari penanda tradisional
dari pendudukan urban yang berbeda karakteristiknya dari
negara-negara Melayu awal abad 10 dan berkembang hingga
periode Islam, Miksic menyatakan bahwa pusat-pusat urban
Asia Tenggara benar-benar berbeda dari kota-kota di bagian lain
di dunia ini. Barangkali karena problem logistik yang berkaitan
dengan pasokan air di wilayah tropis yang basah, ia menyatakan
bahwa pusat-pusat urban menjadi lebih cair dan kurang padat
penduduknya daripada yang kita harapkan, yang jika benar akan
memiliki implikasi penting bagi karya-karya survei masa depan
di kawasan ini (Miksic, 2000).
Para arkeolog lainnya menentang sumber-sumber teks secara
lebih langsung. Ketika mengkaji Sulawesi Selatan, Bullbeck
menggunakan teks-teks yang ditulis oleh para pemimpin agama
dan politik sebagai titik awal untuk mempersoalkan catatan
arkeologis (Caldwell 1995; Cummings 2001). Ia menemukan
bahwa kisah-kisah tentang asal-usul Luwu tidak sejalan dengan
data arkeologisnya; kisah-kisah ini tampak terlalu segera
menyimpulkan kecepatan perubahan sosial, padahal data
arkeologis memerlukan kontinuitas dalam waktu yang panjang.

Metodologi Ilmiah Modern dan Studi Islam 291


Meskipun wilayah ini berada di luar kawasan pengaruh Islam
langsung, penelitian Junker (1999) di Piliphina menunjukkan
bagaimana teks-teks, dalam hal ini teks-teks berhasa China dan
Spanyol, sering mempertentangkan masa lalu yang direkonstruksi
dengan penggunaan data arekologis.
Pendekatan ini dalam keilmuan global cukup menjanjikan
untuk menambah pemahaman kita tentang asal-usul dan
perkembangan Islam Asia Tenggara. Dengan memfokuskan pada
skala kecil, skala lokal dan pengunaan bukti-bukti dokumenter
sebagai sumber persoalan penelitian daripada jawaban-jawaban,
ada potensi untuk menghasilkan capaian yang mengejutkan. Ini
merupakan kawasan paling produktif dalam arkeologi sejarah
secara umum, dan merupakan satu metode untuk menggerakkan
penelitian arkeologi dari periode historis yang keluar dari
peran sekundernya menuju sejarah di mana data arkeologi
sekadar menggambarkan atau mengisi kekosongan penelitian
berdasarkan dokumen.
Peter Lape memilih pendekatan ini untuk penelitian di
kepulauan Banda di Indonesia Timur. Pulau-pulau kecil yang
merupakan salah satu sumber utama pala ini berada pada
perbatasan timur sistem dunia Islam pada masa Portugis
pertama kali datang pada 1512. Para sejarawan, utamanya yang
bekerja dengan dokumen-dokumen Eropa, menyimpulkan
bahwa orang-orang Banda konversi ke Islam pada pertengahan
abad ke-15 (Abdurrahman, 1978). Kisah tentang penaklukan
Banda oleh kekuatan Belanda pada awal abad ke-17 cenderung
mengurangi peran signifikan agen-agen Banda. Banda sekadar
suatu setting eksotik bagi pertempuran antara Portugis, Inggris,
dan para pedagang Belanda.

292 Zakiyuddin Baidhawy


Data arkeologi perdahuluan menunjukkan kisah yang agak
berbeda. Dengan mempertimbangkan babi sebagai penanda
keberagamaan, Lape memetakan pola-pola pemanfaatan
babi di 21 situs di tiga pulau. Peneliti lain menyimpulkan
bahwa menjauhi babi adalah penanda paling penting bagi
identitas keislaman di kepulauan Asia Tenggara. Banyak situs
yang dianalisis untuk proyek ini bersebelahan secara spasial
dengan desa-desa yang dipetakan dan dicatat secara historis,
yang sebagiannya berlimpah pada periode penjajahan pasca
Belanda. Dua kesimpulan mengejutkan ditemukan di sini. Jika
kita berasumsi bahwa orang-orang Banda konversi ke Islam
sekitar 1450, kita berharap dapat melihat penurunan tajam
permintaan daging babi yang ditemukan dalam data-data
arkeologis sesudah masa itu, dan sebenarnya ini merupakan
kasus bagi beberapa situs Banda yang telah dieskavasi, dengan
dua pengecualian penting. Dalam satu pendudukan, babi tetap
absen dari penjajahan awal pada 1200, 250 tahun lebih awal
dari yang diharapkan. Kesimpulan ini rupanya bersebelahan
secara spasial dengan enklave Jawa yang telah dijelaskan oleh
para pengunjung Portugis dan Belanda awal. Kesimpulan kedua
yang nampak anomali berasal dari pendudukan yang berlokasi
sekitar 1 km dari yang pertama di atas. Pada situs ini, babi
merupakan hewan yang dominan (sekitar 500-1650), suatu
bukti bahwa orang-orang yang tinggal di situs ini makan babi
sekitar 100 tahun kemudian dari yang kita duga berdasarkan
bukti-bukti dokumenter.
Ketika Lape (2000) kembali pada catatan dokumen dalam
rangka mendamaikan kontradiksi ini, pola-pola baru muncul.
Dengan mengkaji lebih rinci dari sisi politik, Lape mencatat per-

Metodologi Ilmiah Modern dan Studi Islam 293


bedaan penting antara dua pendudukan yang tampak anomali.
Misalnya, para pemimpin politik pada pendudukan kedua tidak
pernah mempergunakan gelar-gelar seperti imam, sementara
semua desa-desa lainnya menggunakan gelar-gelar itu. Meski-
pun para peneliti Eropa tidak pernah mengakui perbedaan-
perbedaan ini berdasarkan atas identitas Muslim, perbedaan
identitas Muslim dapat menjelaskan dua perangkat data. Lape
menyimpulkan bahwa Banda memiliki pengalaman jauh lebih
lama dengan Islam dari yang diasumsikan, bahkan juga kon-
versi terjadi secara bertahap, dan pada kontak Eropa, perbedaan
dalam kepercayaan dan perilaku merupakan sumber signifikan
ketegangan sosial, ketegangan yang boleh jadi membuat Banda
khususnya rentan dengan penaklukan Eropa.[]

294 Zakiyuddin Baidhawy


DAFTAR PUSTAKA

Abdel Haleem, M. (1996) Early Kalam, in S.H. Nasr and O.


Leaman (eds) History of Islamic Philosophy, London: Routledge,
ch. 5, 71-88.
Abduh, Muhammad. Al-Amal al-Kamilah. ed. Muhammad
Imara. Beirut: Al-Muasasa al-Arabiyyah li al-Dirasat wa al-
Nashr, tth.
Abdullah, M. Amin. Studi Agama: Normativitas dan Historisitas.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996.
Abdurachman, P.R. Moluccan responses to the first intrusions of
the west, in H. Soebadio & C.A. du Marchie (ed.) Dynamics
of Indonesian history: New York: North Holland, 1978: 161-
88.
El-Affendi, Abdel Wahab. Islamic Theology. London: Routledge,
1998.

Daftar Pustaka 295


Ahl al-Hadith (2006) Where is Islamic Studies in the West
going? Available online at: http://shaukani.wordpress.
com/2006/03/29/where-is-islamic-Studies-in-the-west-
going/ (accessed June 2007).
Ali, Muhammad et.al. The End of Tolerance. London: Nicholas
Brealy Publishing, 2002.
Allen, J. History, archaeology, and the question of foreign control
in early historic-period peninsular Malaysia, International
Journal of Historical Archaeology 2, 4 (1998): 261-89.
Ambary, H.M. Some notes on the discovery of archaeological
evidence at Ternate, Aspek-aspek Arkeologi Indonesia 10
(1980): 1-25.
Arberry, A. J. Sufism: An Account of the Mystics of Islam. London:
George Allen and Unwin, 1950.
Arif, Syamsuddin. Preserving the semantic structure of Islamic
key terms and concepts: Izutsu, al-Attas, and al-Raghib al-
Isfahani, Islam & Science, Winter, 2007.
Arkoun, Mohammed. Rethinking Islam: Common Questions,
Uncommon Answers. Translated and edited by Robert D. Lee.
Boulder, Colo., 1994.
________. The Concept of Revelation: From the People of the Book
to the Society of the Book. Claremont: Claremont Graduate
School, 1987a.
________. Rethinking Islam Today. Washington: Center for
Contemporary Arab Studies, 1987b.
________. The Concept of Authority in Islamic Thought: La
Hukma Illa li Allah in Islam, State and Society. Ed, K. Ferdinand
dan M. Mozaffer. London: Curzon Press, 1988:53-73.
Asad, T. (Ed.) Anthropology and the Colonial Encounter. London:
Ithaca, 1973.
Al-Attas, SMN. The Mysticism of Hamzah Fansuri. Kuala Lumpur:
University of Malaya Press, 1970.

296 Zakiyuddin Baidhawy


________. Kata Pengantar dalam Metaphysics of Islam. Kuala
Lumpur: ISTAC, 2001.
________. The Concept of Religion and the Foundation of Ethics and
Morality. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1992.
________. The Concept of Education in Islam: A Framework for an
Islamic Philosophy of Education. Kuala Lumpur: Muslim Youth
Movement Malaysia [ABIM], 1980.
Awn, Peter. Satans Tragedy and Redemption: Iblis in Sufi Psychology.
Leiden: E. J. Brill, 1983.
Azami, M. M. Studies in Hadith Methodology and Literature.
Indianapolis: American Trust Publications: 1977.
Bamualim, Chaider S. et.al. eds. Communal Conflicts in
Contemporary Indonesia. Jakarta: Pusat Bahasa dan Budaya
IAIN Syarif Hidayatullah dan The Konrad Adenauer
Foundation, 2002.
Barbour, Ian G. Paradigms in Science and Religion. Netherland:
University of Notredame Press, 1980.
Bernstein, Richard J. Beyond Objectivism and Relativism: Science,
Hermeneutics, and Praxis. University of Pennsylvania, 1983.
Bijlefeld, Willem A. Islamic Studies Within the Perspective of
the History of Religions, The Muslim World 62 (1972).
Binder, Leonard ed. The Study of the Middle East: Research and
Scholarship in the Humanities and the Social Sciences. New
York, 1976.
Blent Aras and Omer Caha, Fethullah Glen and His
Liberal Turkish Islam Movement, Middle East Review of
International Affairs Journal, Vol. 4, no. 4 (December 2000).
Buruma, Ian. The Origins of Occidentalism, Chronicle of Higher
Education, Vol.50 No.22 pg.B10, 6 February 2004.
Caldwell, I. Power, state and society among the pre-Islamic
Bugis, in Bijdragen tot de Taal- Land- en Volkenkunde 151, 3
(1995): 394-421.

Daftar Pustaka 297


Cannon, Dale. Enam Cara Beragama. Terj. Djamannuri dkk.
Yogyakarta: DIKTIS Depag RI dan CIDA, 2002.
Chittick, William C. Mysticism in Islam, A lecture delivered
at the David M. Kennedy Center for International Studies,
Brigham Young University, May 2003.
Chopp, Rebecca S. The Praxis of Suffering. New York: Orbis Books,
1989.
Clifford, J. & Marcus, G. E. (Eds) Writing Culture: the Poetics and
Politics of Ethnography. Berkeley, CA: University of California
Press, 1986.
Clifford, J. The Predicament of Culture: Twentieth-Century
Ethnography, Literature and Art. Cambridge, Harvard
University Press, 1988.
Cummings, W. Scripting Islamization: Arabic texts in early
modern Makassar in Ethnohistory 48, 4 (2001): 559-86.
Denny, Frederick M. Ritual Islam: Perspektif dan Teori, dalam
Richard C, Martin. Pendekatan Kajian Islam dalam Studi
Agama. Terj. Zakiyuddin Baidhawy. Surakarta: UM Press,
2001: 85-108.
Dewey, John. Reconstruction in Philosophy. Boston: the Beacon
Press, 1960.
Dien, Mawil Izzi. Islamic Studies or the Study of Islam?: from
Parker to Rammell, Journal of Beliefs & Values, Vol. 28, No.
3, December 2007: 243255.
Eickelman, D. F. The Middle East: an Anthropological Approach (1st
edn). Englewood Cliffs: NJ, Prentice Hall, 1981.
Ernst, Carl W. Following Muhammad. Chapel Hill: University of
North Carolina Press, 2003.
Esack, Farid. Quran, Liberation, and Pluralism: An Islamic
Perspective of Interreligious Solidarity againts Oppression.
Oxford: Oneworld, 1997.
El-Zein, A. H. Beyond ideology and theology: the search for

298 Zakiyuddin Baidhawy


the anthropology of Islam, Annual Review of Anthropology,
6 (1977): 227254.
Fakhry, Majid. Ethical Theories in Islam. Kobenhaven: E.J. Brill,
1991.
Al-Faruqi, I. The Rewriting of Social Sciences with an Islamic Outlook.
Jeddah: International Islamic Publishing House, 1995.
Al-Faruqi, Islamil Raji dan Louis Lamya al-Faruqi. The Cultural
Atlas of Islam. New York: Macmillan Publishing Company;
terjemahnya Atlas Budaya Menjelajah Khazanah Peradaban
Gemilang. Bandung: Mizan, 2001.
Feener, R. Michael. Cross-Cultural Context of Modern Muslim
Intellectualism, Die Welt des Islams 47, no. 3-4, 2007: 264-
282.
Fischer, M. M. J. & Abedi, M. Debating Muslims: cultural dialogues
in postmodernity and tradition. Madison, WI: University of
Wisconsin Press, 1991.
Fitzgerald, T. The Ideology of Religious Studies. New York: Oxford
University Press, 2000.
Flood, G. Beyond phenomenology: rethinking the study of religion.
London: Cassell, 1999.
Fukuyama, Francis. Social Capital, dalam Lawrence E. Harrison
dan Samuel P. Huntington, eds. Culture Matters: How Values
Shape Human Progress. New York: Basic Books, 2000: 98-
111.
Gadamer, HS. The Historicity of Understanding, in The
Hermeneutics Reader. Ed. K. Mueler Volmer. New York:
Continuum, 1992: 261-267.
Garden, Kenneth. Library Research Guide on The Koran &
Hadith, The Middle East Institute George Camp Keiser Library,
June 2005.
Geertz, Clifford. Islam Observed. Chicago: University of Chicago
Press, 1971.

Daftar Pustaka 299


Geertz, C. Islam observed. Chicago: University of Chicago Press,
1968.
Geertz, c. Which Way to Mecca? New York Review of Books, July
3 (2003):3639.
Al-Ghazali, Sheikh Muhammad. Al-Sunnah an-Nabawiyyah bayna
Ahl al-Fiqh wa Ahl al-Hadith. Cairo: Dar ash-Shuruq, 1989.
_______. Iljam al-awam an ilm al-kalam (Restraining Commoners
from Kalam), ed. M. al-Baghdadi, Beirut: Dar al-Kitab al-
Arabi, 1985
Goldziher, Ignaz. Muslim Studies, vol. 2, tr. C. R. Barber and S. M.
Stern. London, 1971.
Hallaq, Wael B. The Authenticity of Prophetic Hadith: A Pseudo-
problem, in Studia Islamica, 89 (1999).
_______. Ibn Taymiyya Against the Logicians, Oxford: Clarendon
Press, 1993.
Hamka. Perkembangan Tasauf dari Abad ke-Abad. Jakarta: Pustaka
Keluarga, 1952.
Haredy, Mohsen. Hadith Textual Criticism: A Reconsideration,
Shari`ah Editor, English IslamOnline.net, Leiden, 2001.
Hodgson, Marshall W. The Venture of Islam. 3 volumes. Chicago:
University of Chicago Press, 1974.
Horkuc, Hasan. New Muslim Discourses on Pluralism in
the Postmodern Age: Nursi on Religious Pluralism and
Tolerance, American Journal of Islamic Social Sciences, Spring
2002, 19 (2).
Horowitz, David, and Ben Johnson, eds. Campus Support for
Terrorism. Los Angeles: Center for the Study of Popular
Culture, 2004.
Husayn, Taha. Fi al-Shir al-Jahili. Cairo: al-Nahr li al-Nashr wa
al-Tawzi, 1996.
Ibn Hanbal, Ahmad. Musnad. Mecca: Dar al-Baz li al-Nashr wa
al-Tawzi, 1978.

300 Zakiyuddin Baidhawy


Al-Isfahani, al-Raghib. Al-Mu`jam al-Mufradat Alfaz al-Quran,
Beirut: Dar al-Fikr, t.th.
Izetbegovic, Alija Ali. Islam Between East and West. Indiana:
American Trust Publications, 1994.
Izutsu, Toshihiko. God and Man in the Koran: Semantics of the
Koranic Weltanschauung. Tokyo: Keio Institute of Cultural
and Linguistic Studies, 1964.
________. The Concept of Belief in Islamic Theology. Tokyo: Keio
Institute of Cultural and Linguistic Studies, 1965.
________. Ethico-Religious Concepts in the Quran. Montreal:
McGill University Press, 1966.
Al-Jabbar, al-Qadi Abd. Al-Mughni fi Abwab al-Tawhid wa al-Adl.
ed. Amin al-Khuli. Cairo: Wizarat al-Thaqafah, 1960.
Al-Jabiri, Mohammed Abid. Takwin al-`Aql al-`Araby. Beirut:
Markaz al-Thaqafi al-`Arabi, 1990a.
_______. Bunyah al-`Aql al-`Arabi: Dirasah Tahlilaiyyah naqdiyah
li Nuzhumi al-Ma`rifah fi al-Thaqafah al-`Arabiyah. Beirut:
Markaza Dirasah al-Wihdah al-`Arabiyah, 1990b.
Johansen, Baber. Islamic studies: The intellectual and political
conditions of a discipline, in Signaler ce document. http://
ifpo.revues.org/index195.html.
Junker, L. Raiding. Trading, and Feasting: the political economy of
Philippine chiefdoms. Honolulu: University of Hawaii Press,
1999.
Juynboll, GHA. Some isnad-Analytical Methods Illustrated on
the Basis of Several Women Demeaning Sayings from Hadith
Literature, in al-Qantara, 10 (1989), pp. 343-384.
Kepel, Gilles. 2000. Jihad: Expansion et dclin de lislamisme. Paris:
Gallimard. Translated as Jihad: The Trail of Political Islam.
London: I. B. Tauris, 2004.
Kerr, Malcolm H. ed. Islamic Studies: A Tradition and Its Problems.
Malibu, California, 1980.

Daftar Pustaka 301


Khaddury, Majid. The Islamic Conseption of Justice. Baltimore: The
John Hopkins Press, 1984.
Al-Khuli, Amin. Manahij al-Tajdid fi al-Nahwu wa al-Balaghah wa
al-Tafsir wa al-Adab. Cairo: GEBO, 1995.
Kuhn, Thomas S. The Structure of Scientific Revolutions. Chicago:
The University of Chicago Press, 1970.
Kurzman, Charles. Islamic Studies and the Trajectory of Political
Islam in Contemporary Sociology 36, 6 (2009): 519-524.
Lacroix, Stephane. Al-Albanis Revolutionary Approach to
Hadith in Isim Review 21 (Spring 2008): 6-7.
Landolt, Hermann. Ghazali and Religionswissenschaft: Some
Notes on the Mishkat al-Anwar for Professor Charles J.
Adams, Asiatische Studien 65.1 (1991): 1972.
Lape, P.V. Political dynamics and religious change in the late
pre-colonial Banda Islands, Eastern Indonesia, World
Archaeology 32, 1 (2000): 138-55.
Lijphart, Arend. Democracy in Plural Societies. New Haven: Yale
University Press, 1977.
Lombardi, Clark B. State Law as Islamic Law in Modern Egypt: The
Incorporation of the Sharia into Egyptian Constitutional Law.
Leiden, Netherlands: Brill, 2006.
Malkawi, F. H. Al tafkir al manhaji wa daruratuh, Islamiyyat Al
Marifa Journal, 28(7), 2002: 1553.
Al-Maraghi, Ahmad Mustafa. Tafsir al-Maraghi. Beirut: Dar al-
Fikr, 1944.
Marcus, G. E. & Fischer, M. M. J. Anthropology as cultural critique:
an experimental moment in the human sciences. Chicago:
University of Chicago Press, 1986.
Martin, Richard C. Mohammed Arkoun, Andrew Rippin. Islamic
Studies, The Oxford Encyclopedia of the Islamic World.
Martin, Richard C. ed. Approaches to Islam in Religious Studies.
Tucson, Arizona, 1985.

302 Zakiyuddin Baidhawy


Michel, Thomas S.J., Sufism and Modernity in the Thought of
Fethullah Glen, The Muslim World, Special Issue, July 2005
- Vol. 95 Issue 3: 325-471.
Miksic, J. Heterogenetic cities in premodern Southeast Asia,
World Archaeology 32, 1 (2000): 106-20.
Moaddel, Mansoor. The Study of Islamic Culture and Politics:
An Overview and Assessment, Annual Review of Sociology
28(2002):359386.
Montgomery Watt, W. Islamic Philosophy and Theology, Edinburgh:
Edinburgh University Press, 1962.
Motzki, Harald. The Collection of the Quran: A Reconsideration
of Western Views in the Light of Recent Methodological
Developments in Arabica, Leiden: E. J. Brill, 39 (1992).
Mutahhari, Murtada. An Introduction to Ilm al-Kalam,
translated from Persian by Ali Quli Qarai, in al-Tawhid Vol.
II No. 2, January 1985.
Nasr, Seyyed Vali Reza. Islamic Leviathan: Islam and the Making of
State Power. Oxford, UK: Oxford University Press, 2001.
Nordoholt Henk Schulte, dan Irwan Abdullah, eds. Indonesia in
Search of Transition. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002.
Otto, Rudolf. The Idea of the Holy. London, 1950.
Ozdalga, Elisabeth. Entrepreneurs with a Mission: Turkish
Islamists Building Schools along the Silk Road, unpublished
paper delivered at the Annual Conference of the North
American Middle East Studies Association, Washington, D.
C., November 19-22, 1999.
Pavlin, J. (1996) Sunni Kalam and Theological Controversies, in
S.H. Nasr and O. Leaman (eds.) History of Islamic Philosophy.
London: Routledge, ch. 7, 105-18.
Penrose, Roger. The Emperors New Mind. Oxford University Press,
1989.
Rahman, Fazlur. Islam and Modernity: Transformation of an

Daftar Pustaka 303


Intellectual Tradition. Chicago: Chicago University Press,
1982a.
________. Approaches to Islam in Religious Studies, in Richard
Martin ed. Berkeley: University of Berkeley Press, 1982b:
189-202.
Rashid Ridha, Al-Ahadith as-Sahiha allati Zhahara Ghalatu ar-
Ruwati fiha, in Al-Manar, 29/1 (1928).
Rauf, Muhammad Abdul. Al-Mustashriqun wa al-Wahy al-
Muhammadi, in Muslim World, 58 (1986).
Reid, A. Continuity and change in the Austronesian transition
to Islam and Christianity, in P. Bellwood, J. Fox & D. Tryon
(ed.) The Austronesians: historical and comparative perspectives.
Canberra: Australian National University1995: 314-31.
Rippin, Andrew ed. Defining Islam: A Reader. London and
Oakville: Conn. 2007.
Ronald L. Nettler, A Controversy on the Problem of Perception:
Two Religious Outlooks in Islam, Humaniora Islamica I
(1973).
Royster, James E. The Study of Muhammad: A Survey of
Approaches from the Perspective of the History and
Phenomenology of Religion, The Muslim World 62 (1972):
4963.
Roy, Olivier. The Failure of Political Islam. Cambridge, MA: Harvard
University Press, 1994.
al-Sadr, Muhammad Baqir. Thematic Approach to Quranic
Exegesis (1), al-Tawhid, Vol.VI, No.3 Rajab - Ramadhan,
1409, March - May, 1989.
Said, Edward W. Orientalism. New York, 1978.
Sachedina, Abdulaziz. The Islamic Roots of Democratic Pluralism.
Oxford, New York: Oxford University Press, 2001.
Sardar, Z. Islamic Futures: the shape of ideas to come. London and
New York, Mansell, 1985.

304 Zakiyuddin Baidhawy


Schimmel, Annemarie. Mystical Dimensions of Islam. Chapel Hill:
University of North Carolina Press, 1975.
Schimmel, Annemarie. Deciphering the Signs of God, a
Phenomenological Approach to Islam. Albany: State University
of New York, 1994.
Sells, Michael. Approaching the Quran: The Early Revelations.
Ashland, OR: White Cloud Press, 1999.
Sharma, Arvind. An Inquiry into the Nature of the Distinction
between the History of Religion and the Phenomenology of
Religion, Numen 22 (1975).
Shihab, M. Quraish. Wawasan Al-Quran: Tafsir Maudhu`i atas
Pelbagai Persoalan Ummat. Bandung: Mizan, 1996.
________. Membumikan Al-Quran, cet. Ke xix. Bandung: Mizan,
1999.
Siddiqui, A. Islam at Universities in England. London: Department
for Education and Skills, 2007.
Smart, Ninian. The Worlds Religions: Old Traditions and Modern
Transformations. Cambridge: Cambridge University Press,
1989.
Starrett, Gregory. Putting Islam to Work: Education, Politics, and
Religious Transformation in Egypt. Berkeley: University of
California Press, 1998.
Suleiman, Y. & Shihadeh. A. Islam on Campus: Teaching Islamic
Studies at Higher Education Institutions in the UK. Edinburgh:
Edinburgh University Press, 2007.
Taher, Tarmizi. Aspiring for the Middle Path: Religious Harmony in
Indonesia. Jakarta: Censis, 1997.
Tanudirjo, D.A. Theoretical trends in Indonesian archaeology,
in P.J. Ucko (ed.) Theory in archaeology: a world perspective.
London: Routledge, 1995; 61-75.
Taylor, Charles. Multiculturalism and the Politics of Recognition.
Princeton: Princeton University Press, 1992.

Daftar Pustaka 305


Tibbetts, G.R. A study of the Arabic texts containing material on
Southeast Asia, Vol. 44. Leiden: E.J. Brill for the Royal Asiatic
Society, 1979.
Tracy, David. Plurality and Ambiguity: Hermeneutics, Religion, Hope.
San Francisco: Harper & Row, 1987.
Al-Umari, A. Al-Islam wal Wai al-Hadari . Jeddah: Dar al-Manara
Publishers, 1987.
Wach, Joachim. The Comparative Study of Religions. New York,
London: Columbia University Press, 1958.
Wach, Joachim. Sociology of Religion. New York: Macmillan
Publishing Company, 1988.
Wright, Lawrence. The Looming Tower: Al-Qaeda and the Road to
9/11. New York: Knopf, 2006.
Zayd, Nasr Hamid Abu. Naqd al-Khitab al-Diny. Kairo: Sina li al-
Nashr, 1994.

306 Zakiyuddin Baidhawy


BIOGRAFI PENULIS

Zakiyuddin Baidhawy lahir di Indramayu, Jawa Barat. Kini


tinggal di Solo. Menyelesaikan studi S-1 pada Fakultas Agama
Islam (Perbandingan Agama) Universitas Muhammadiyah
Surakarta (1994). Pernah nyantri di Pondok Hajjah Nuriyah
Shabran (1990-1994). Studi S-2 pada Pascasarjana UIN Sunan
Kalijaga Yogyakarta (1999), dan S-3 pada Universitas yang
sama (2007). Staf Edukatif pada Sekolah Tinggi Agama Islam
Negeri (STAIN) Salatiga, Peneliti pada Pusat Studi Budaya dan
Perubahan Sosial UMS, Associate pada Maarif Institute for
Culture and Humanity.
Aktivitas dan pengalaman internasional beberapa di
antaranya adalah partisipan Academic Short Course at Leiden
University, 1-15 December 2009; Copenhagen Conference, 21-
22 Oktober 2008; International Seminar on Religious Education

Pengertian dan Metodologi Studi Islam 307


and Values, Ankara-Turki 25 Juli-1 Agustus 2008; Australian-
Indonesian Young Muslim Leader Exchange 21 Mei-14 Juni
2007; The 19th World Congress of the International Association
for the History of Religions, Tokyo, 23-30 Maret 2005; partisipan
pada The Ohio University Dialogue Project and Exchange
Program, Chicago, Illinois; Athens, Ohio; Washington D.C;
Lancaster, Pennsylvania; Manhattan, New York, diselenggarakan
oleh Center for International Studies, Ohio University, Athens,
bekerjasama dengan US State Department, 22 September-13
Oktober 2004; partisipan dan presenter pada the Global Meeting
of Expert on Teaching For Tolerance, Respect, and Recognition,
diselenggarakan oleh The Oslo Coalition on Freedom of Religion
or Belief bekerjasama dengan UNESCO, Oslo, 2-5 September
2004; dan partisipan dan presenter pada International Interfaith
Peace Forum and Asian Muslim Action Network (AMAN)
Assembly, Bangkok, 9-14 Desember 2003.
Aktif menulis di berbagai media dan jurnal ilmiah. Karya-
karya yang sudah diterbitkan antara lain: Etika dalam Islam
(1996); Wacana Teologi Feminis (1997); Menapak Jalan
Revolusi (2000); Pendekatan Kajian Islam dalam Studi Agama
(2001); Dialog Global dan Masa Depan Agama (2001); dan
Agama dan Pluralitas Budaya Lokal (2002); dan Ambivalensi
Agama, Konflik dan Nirkekerasan (2002), Reinvensi Islam
Multikultural (2005), Menyulam Ragam Merajut Harmoni:
Kisah-kisah tentang Toleransi untuk Siswa dan Pendidik (2005),
Pendidikan Agama Berwawasan Multikultural (2005), dan
Kredo Kebebasan Beragama (2006); Islam Melawan Kapitalisme
(2007); Etika Bisnis Syariah I (2007); Etika Bisnis Syariah II
(2008); Al-Islam dan Kemuhammadiyahan Berwawasan HAM:
Buku Panduan untuk Guru (2008); Al-Islam Berwawasan HAM:

308 Zakiyuddin Baidhawy


Buku Ajar Pendidikan Islam untuk SMA, MA, SMK (2008);
Kemuhammadiyahan Berwawasan HAM (2008); Rekonstruksi
Keadilan (2008); Teologi Neo Al-Ma`un (2009); Benih-benih
Islam Radikal di Masjid (dkk, 2010).

Biografi Penulis 309


310 Zakiyuddin Baidhawy

Anda mungkin juga menyukai