Penulis
Zakiyuddin Baidhawy
Editor
Arifin
Rancang Sampul
M. Taufik N.H.
Tata Letak
Darwoko
Cetakan Pertama, April 2011
Didistribusikan oleh
PT Bintang Pustaka Abadi (BiPA)
Jl. Kapas No. 14 Yogyakarta
Telp. 0274-4332398, Fax. 0274-4332395
ii Zakiyuddin Baidhawy
Prakata
iv Zakiyuddin Baidhawy
Studi Islam di negeri ini sebagai negeri dengan penduduk
Muslim terbesar di dunia agar mereka bukan hanya menjadi
penonton dan penikmat hasil kajian keislaman, namun mereka
juga berperan sebagai pelaku dari perkembangan itu. Buku ini
merupakan satu upaya untuk menyajikan perkembangan Studi
Islam yang dimaksud. Mudah-mudahan karya ini bermanfaat
bagi mahasiswa dan dosen di perguruan tinggi Islam, dan para
peminat kajian keislaman di perguruan tinggi umum serta
masyarakat luas pada umumnya.
Zakiyuddin Baidhawy
Prakata
vi Zakiyuddin Baidhawy
Daftar Isi
Prakata..................................................................................iii
Daftar Isi.............................................................................. vii
BAB 1 PENGERTIAN DAN METODOLOGI STUDI
ISLAM.......................................................... 1
A. Pengertian Studi Islam.................................... 1
B. Metodologi Studi Islam: Dimensi Keilmuan
dan Keagamaan............................................... 6
BAB 2 RUANG LINGKUP OBJEK KAJIAN STUDI
ISLAM........................................................ 23
A. Pengalaman Keagamaan dan Ekspresinya...23
B. Dimensi-dimensi Agama..............................28
C. Cara Beragama...............................................35
BAB 3 SEJARAH PERKEMBANGAN STUDI
ISLAM........................................................ 39
A. Studi Islam dan Orientalisme......................46
B. Studi Islam sebagai Disiplin Mandiri .........53
C. Studi Islam dan Oksidentalisme..................55
Daftar Isi ix
C. Pendidikan Agama untuk Perdamaian
dan Harmoni............................................... 215
D. Simpulan ....................................................224
BAB 12 MODEL KAJIAN PEMIKIRAN ISLAM: Kajian
tentang Islam Liberal.............................. 229
A. Beberapa Pendekatan Mengkaji
Islam Liberal................................................230
B. Latar Sosial Islam Liberal............................236
C. Tantangan Islam Liberal.............................. 241
D. Simpulan ....................................................245
BAB 14 MODEL KAJIAN POLITIK....................... 247
A. Pendekatan Keamanan (Security)..............250
B. Pendekatan Demokrasi...............................253
C. Pendekatan Globalisasi...............................257
BAB 15 METODOLOGI ILMIAH MODERN DAN
STUDI ISLAM...........................................261
A. Pendekatan Ilmu Sejarah............................ 261
B. Pendekatan Sosiologis................................264
C. Pendekatan Antropologi dan Etnografi..... 271
D. Pendekatan Fenomenologi.........................278
E. Pendekatan Arkeologi.................................288
Daftar Pustaka...................................................................295
Biografi Penulis................................................................. 307
Zakiyuddin Baidhawy
BAB 1
PENGERTIAN DAN
METODOLOGI STUDI ISLAM
Zakiyuddin Baidhawy
ngakibatkan berkurangnya kualitas kajian. Namun demikian,
bidang ini terus menghadapi tekanan komersial untuk mem-
perluas ruang lingkupnya, dengan memasukkan misalnya, studi
tentang pengobatan dan keuangan Islam. Namun, imperatif
utamanya adalah mempertahankan kualitas hasilnya. Penelitian
dan pengajaran dalam wilayah-wilayah yang berada di luar defi-
nisi Islamic Studies yang sempit mesti diupayakan secara kola-
boratif dengan kalangan spesialis luar yang berkualitas.
Ketiga, pendidikan berbasis keimanan bagi Muslim menge-
nai Islam, dan studi lintas disiplin tentang Islam yang bersandar
kepada ilmu-ilmu humaniora dan ilmu-ilmu sosial, keduanya
memberikan tujuan yang bermanfaat. Namun, Islamic Studies
bagaimanapun berbeda dari keduanya dan jangan dipertipis garis
batasnya. Yang diharapkan ialah upaya memperkaya dua bidang
lainnya. Minat ilmu antropologi dan ilmu-ilmu sosial terhadap
Islam memang dapat dibenarkan, namun jangan dipaksa untuk
diistilahkan sebagai Islamic Studies.
Pendekatan kedua mendefinisikan Islamic Studies berdasar-
kan pada pernyataan bahwa Islam perlu dikaji dalam konteks
evolusi Islam modern yang penuh teka-teki. Juga adanya kebu-
tuhan untuk memahami apa yang dimaksudkan oleh teks-teks
tentang cara orang-orang mengalami dan menjalankan kehi-
dupan mereka. Membatasi bidang kajian pada studi teks saja
akan berisiko memberikan kesan yang salah tentang seperang-
kat praktik keagamaan Islam, sehingga menutupi realitas yang
lebih kompleks. Islam mesti diajarkan baik sebagai tradisi teks
maupun sebagai realitas sosial. Islamic Studies harus memiliki
inti wilayah-wilayah dan teks-teks yang definitif; pada hakikat-
nya ini mesti terdiri dari ilmu-ilmu keislaman klasik. Meskipun
demikian, di sekitar inti ini ada wilayah-wilayah lain yang dapat
Zakiyuddin Baidhawy
Islam kini sedang menjadi fenomena universal di dunia
ini. Ini memunculkan satu pertanyaan lain, yakni apakah
fungsi universitas diharapkan dapat menyediakan kebutuhan-
kebutuhan bagi komunitas-komunitas minoritas untuk mema-
hami keimanan mereka di dalam identitas lokal yang melekat
dan konteks multikulturalnya. Jika kebutuhan semacam ini tidak
dicapai secara mapan, akankah ia membuka pintu luas bagi eks-
tremisme untuk menawarkan jasanya yang mematikan? Salah
satu isu yang muncul dalam perbincangan mengenai Islam di
kampus adalah bahwa Islamic Studies merupakan suatu wilayah
kontestasi sebagian karena Islam itu sendiri adalah sesuatu
yang dikontestasikan. Persoalan ini membawa pada pertanyaan:
adakah suatu wilayah, apa pun namanya, yang dipikirkan
oleh akal manusia yang tidak dikontestasi? Nilai keimanan
atau kebudayaan apa pun berangkat dari komitmen para
pemeluknya. Untuk mencapai masyarakat multikultural yang
homogen, ada suatu kebutuhan untuk menerapkan metodologi
serupa pada semua keimanan. Dengan kata lain, definisi tentang
iman merupakan fenomena sosial yang berhubungan dengan
bagaimana keimanan itu sendiri melihat dirinya.
Dengan mempergunakan pendekatan intensional, maka
dapat dikatakan lebih layak jika kita memerhatikan dua hal, yai-
tu antara studi tentang Islam atau Islamic Studies yang me-
miliki makna lebih khusus. Kita dapat pula mengatakan bahwa
kesulitan dalam mendefinisikan Islamic Studies mencerminkan
kebutuhan akan perdebatan lebih lanjut tentang masalah ini.
Pada masa lampau, Islamic Studies diajarkan di dalam departe-
men-departemen yang berhubungan secara luas dengan lokasi
geografis, seperti Studi Kawasan Timur, Studi Kawasan Timur
Tengah dan Studi Kawasan Timur Dekat.
Zakiyuddin Baidhawy
tidak dapat mencapai kebenaran membawa pada perubahan
dalam subjek yang dikaji mahasiswa. Salah satu topik favorit
adalah studi kritis dan penyuntingan manuskrip-manuskrip
berbahasa Arab. Cukup mengagumkan melihat bagaimana ada
kemauan para pengkaji tersebut untuk menerima studi kritis itu
dan mereka menyatakan bahwa pendekatan semacam ini tidak
perlu kompromi dengan masalah keimanan mereka.
Hal serupa juga sering muncul ketika menguji ide-ide
para pemikir Muslim modern tentang Islam dan pendekatan
Barat terhadap pengetahuan. Ketakutan bukan datang dari
Barat, melainkan dari sains yang dapat menjadi pendekatan
yang salah arah jika dipercaya sebagai satu-satunya jalan
menuju kebenaran. Pandangan ini juga digaungkan oleh para
sarjana Barat sendiri. Salah satu kritik paling umum terhadap
pendekatan sains diungkapkan oleh Stephen R. Sterling ketika
ia menguji pendekatan sains terhadap subjek dari studi tentang
alam. Mengutip Werner Heisenberg, ia mengatakan: Melalui
intervensinya, sains mengubah dan membentuk kembali
objek.
Berikut ini adalah beberapa perdebatan seputar metodologi
dalam Islamic Studies. M. Izzi Dien (2003: 243-255) secara
gamblang menggambarkan perdebatan metodologi tersebut
mencakup kritik akademisi Muslim atas metodologi Barat,
pendekatan apologetik Muslim terhadap metodologi penelitian,
pendekatan radikal Muslim terhadap metodologi Barat, dan
kritik metodologi Muslim dari dalam.
1. Kritik atas Metodologi Barat
Kritik akademisi Muslim atas metodologi Barat muncul baik
dalam bentuk kritik seimbang maupun kritik radikal. Pendekat-
an intelektual Barat terhadap pengetahuan dan pembelajaran
Zakiyuddin Baidhawy
karenanya, penemuan apa pun oleh akal yang membawa pada
kejadian fenomena tertentu dipandang sebagai sebentuk penaf-
siran. Penafsiran semacam ini, secara inheren akan membawa
pada pengendalian dan pengarahan terhadap apa yang didefi-
nisikan. Ilmu-ilmu alam akan membawa pada kontrol atas selu-
ruh alam, akibatnya apa pun dapat diberlakukan pada alam dan
ilmu-ilmu alam dapat diterapkan pada pemahaman manusia
dan perilakunya dengan tujuan untuk menggunakannya demi
mencapai tujuan-tujuan yang diinginkan.
Apa yang luput dari analogi semacam ini adalah kenyataan
bahwa manusia dan perilakunya secara keseluruhan tidaklah
tunduk pada aturan-aturan dan prinsip-prinsip yang sama
yang dapat dipergunakan untuk menafsirkan fenomena alam.
Perbedaan antara fenomena alam dan fenomena kemanusiaan
adalah bahwa manusia mengandung komponen-komponen
lain serta mengikuti sistem dan pola eksistensi yang berbeda
secara keseluruhan. Dengan kata lain, bila materi seperti metal,
kayu, dan komponen-komponen alam lainnya dapat diukur
secara fisik, hanya sebagian saja dari manusia yang dapat diukur
secara empirik. Masih ada bagian-bagian lain dari manusia dan
alam ini yang melampaui sains dan di sini bukan hanya jiwa
dan sentimen manusia, bahkan juga pola-pola perilaku yang
dipandang sebagai kebudayaan, agama, dan tradisi individual.
Keseluruhan nilai ini tidak akan mungkin tanpa kehendak
pengamat untuk melihatnya. Semua ini tidak akan tercapai
tanpa simpati pengamat sembari mempertimbangkan nilai
dari apa yang ia saksikan dan memasukkan amatan tersebut ke
dalam hasil-hasil penemuan. Inilah salah satu alasan mengapa
pendekatan dalam mengkaji manusia yang disediakan oleh Barat
pada umumnya gagal menyediakan paradigma yang valid untuk
10 Zakiyuddin Baidhawy
dak ada hubungannya sama sekali dengan jiwa Islam (al-Umari,
1987: 110).
Argumen semacam ini sering dinyatakan oleh kalangan
Muslim dan membawa pada persoalan apakah mungkin atau
tidak memisahkan Islam sebagai teori dari praktik aktualnya
sebagaimana teramati dalam realitas dunia Islam. Realitas yang
salah arah ini rupanya melahirkan dekadensi dan kemunduran
pada semua tingkatan dan kita dapat mempertanyakan apakah
Islam merupakan pandangan hidup yang gagal dalam masyara-
kat kontemporer. Jika benar, maka akan ada kebutuhan untuk
mengadopsi metodologi berpikir yang lebih sejalan dengan ma-
syarakat modern sebagai sarana untuk mencapai apa yang dise-
but kebudayaan yang lebih maju. Ini penting setidaknya bagi
mereka yang hidup di Barat dan membutuhkan Islam pribumi
yang berdasarkan atas nilai-nilai asli dan Islam tentang sains dan
pengetahuan kehidupan. Metodologi semacam ini membutuh-
kan bahan-bahan sebagai berikut:
Pertama, faktor manusia. Setidaknya diperlukan jumlah
yang cukup sumber daya manusia yang dapat membawa pesan
pemahaman keagamaan yang layak. Dapat dinyatakan bahwa
hal ini mungkin dicapai meskipun pada kenyataannya tidak
semua tingkatan masyarakat memiliki disiplin keislaman yang
sama sehingga tersedia sejumlah orang yang mampu memimpin
lainnya untuk meraih tujuan yang benar. Untuk mencapai tu-
juan ini, Islam menyandarkan diri pada sedikit kaum terpelajar,
yang mendorong upaya-upaya keilmuan dan peningkatan kaum
Muslim yang berpengetahuan. Dan hendaklah kamu menjadi
orang-orang yang berorientasi ketuhanan (rabbaniyun) dalam
apa yang kamu ajarkan dan apa yang kamu pelajari (QS. Ali
Imran (3): 79).
12 Zakiyuddin Baidhawy
seperti jigsaw yang membentuk gambar utuh. Pada akhirnya,
konsep tentang realitas yang dipahami sebagai wujud yang
diderivasi dari kesadaran Tuhan yang Maha Esa, patut dipahami
dengan cara seperti di bawah ini.
Berbagai posisi tentang realitas Islam, seperti dipahami
kaum Sufi adalah fenomena yang divergen yang dapat
dipahami menurut berbagai perspektif dan aspek, meskipun
sumber dan tujuannya serupa. Ada kontradiksi yang muncul,
namun salah antara mistisisme/sufisme dan arus utama Islam.
Padahal sufisme adalah sisi paling dalam dari struktur realitas
Islam sepanjang ia dipahami dari sumber dan tujuan Tuhan.
Tuhan dalam Islam adalah Pencipta dan Pemelihara dan
hubungan antara Dia dan manusia itulah yang dimaksud Sufi.
Jika dikotomi ini dipahami, maka hasilnya tidak kontradiksi;
sebaliknya kesalahpahaman mengenai hal ini mengarah pada
penyimpangan dan penghargaan Islam atas jiwa manusia akan
disalahmengerti. Hubungan spiritual antara Tuhan dan manusia
memiliki aspek sosial, yang dalam dunia Sufi disebut sebagai
jalan kolektif dan jalan individual menuju Tuhan, tariqah.
Tariqah berarti menerima banyak jalan dalam keimanan Islam.
Sayangnya, ada ketidakseimbangan di mana ortodoksi Islam
telah menuduh heterodoksi sebagai bidah. Salah satu alasan
mengapa Islam menolak individu-individu seperti al-Husayn
ibn Mansur al-Hallaj (858-922) adalah karena ia memahami
dirinya sendiri sebagai bagian dari wujud Tuhan, daripada
sebagai wujud bersama Tuhan.
Di sinilah letak pentingnya epistemologi dalam Islam, dan
istilah-istilah yang digunakan dapat memiliki kekuatan dalam
menyampaikan gambaran yang memadai. Ini merupakan salah
satu sumber utama kesepakatan antara metode penelitian Islam
14 Zakiyuddin Baidhawy
Jika Anda menggunakan teknik-teknik Barat, maka Anda akan
menafsirkan Islam sesuai dengan kritik Heidegger dan kritik
sastra yang banyak digunakan Nietzsche dan Foucault. Jika
Anda melakukan studi bahasa, maka Anda akan bersandar pada
antropologi dan kritik sastra, hal ini juga berarti Anda kembali
kepada Levi Straus dan lain-lain dan problem relativitas. Kini,
satu pertanyaan muncul ketika Anda menerapkan apa pun
teknik-teknik ini adalah bagaimana Anda akan melihat Al-
Quran dan Sunnah? Akankan Anda memandangnya hanya
sebagai teks-teks sejarah? Jika Anda mengatakan demikian,
maka Anda telah membuat kesalahan besar dalam bidang
Akidah. Inilah masalah-masalah yang muncul dalam Islamic
Studies di Barat, menentang namun tidak memiliki basis yang
nyata dalam sumber-sumber Islam. Jadi, kita bukan Barat secara
keseluruhan dan bukan pula Muslim secara keseluruhan dalam
hal pemikiran. Komentar mereka juga menyatakan, mungkin
ada manfaat melakukan penelitian di Barat dalam Islamic
Studies, namun karena kami adalah Muslim, kami harus setia
kepada agama kami (Ahl-Hadith, 2006).
4. Kritik Metodologi dari Dalam (from within)
Identitas Islam kontemporer, baik pada tingkat individu
maupun kolektif, mengalami kekurangan intelektual dan psi-
kologis yang paralel dengan kemampuannya untuk bertindak
dan melakukan. Dua kekurangan ini banyak dipengaruhi oleh
pendekatan metodologis dalam mengkombinasikan teori dan
praktik (Malkawi, 2002: 31-36). Kekeliruan metodologis dalam
komunitas Muslim dapat disimpulkan sebagai berikut: Pertama,
kesalahpahaman tentang realitas dan bagaimana berhubungan
dengannya disebabkan mengabaikan sepenuhnya apa yang nya-
ta dan apa yang merupakan ideal-ideal abstrak tanpa berupaya
16 Zakiyuddin Baidhawy
Peradaban Barat telah membuktikan kekuatan dan supremasi-
nya terhadap peradaban-peradaban lain melalui peran mereka
dalam sains, teknologi dan industri. Inilah peradaban yang
mempergunakan metodologi empirik dan organisasi untuk
mendekati fenomena alam untuk melayani kebutuhan manusia.
Dengan mengkombinasikan peradaban instrumental ini dengan
paham Islam tentang nilai, kemajuan yang berarti bisa diraih di
dunia Muslim khususnya dan menyebar ke seluruh dunia pada
umumnya.
5. Problem Pendekatan Emik dan Pendekatan Etik
Problem metodologis juga muncul berkenaan dengan sia-
pakah yang dipandang lebih otoritatif dalam melakukan kajian
Islam, apakah mereka yang menjadi orang dalam atau mereka
yang disebut sebagai orang luar. Problem serupa sesungguhnya
pernah dialami juga dalam disiplin Sejarah Agama-agama (The
History of Religions). Pada akhir abad ke-20, Belanda telah mem-
berikan kontribusi terhadap studi akademik agama-agama yang
berupaya mengembangkan suatu metode empirik bagi Religious
Studies baik dalam hal klasifikasi wacana maupun istilah-istilah
yang dipinjam dari kosakata teknis dari ilmu-ilmu bahasa yang
mereka transformasikan ke dalam Antropologi Budaya. Dalam
karya-karya mereka tampak usaha untuk membedakan antara
dua tipe berbeda tentang perbincangan mengenai agama, yakni
pendekatan emik yang menyajikan pola-pola pemikiran dan aso-
siasi simbolik yang diungkap dari perspektif kaum beriman, dan
pendekatan ilmiah etik yang melibatkan analisis historis menge-
nai hubungan antara ide dan masyarakat sembari membatasi
dari pelibatan klaim kebenaran emik tentang realitas meta-em-
pirik (Feener, 2007: 264-282).
18 Zakiyuddin Baidhawy
sosial Muslim di Afrika Utara, dan pengaruh karya Geertz atas
perdebatan yang terjadi di kalangan Muslim Indonesia. Karya-
karya semacam ini mendapatkan tempat di kalangan Muslim
di mana pendekatan eklektik lebih tampak dalam karya-karya
itu daripada pendekatan yang mengkombinasikan antara para
penulis Barat yang sering dikutip dalam literatur Islam modern
dengan karya-karya klasik era kolonial, seperti penggambaran
Carlyle tentang Muhammad dalam On Heroes, Hero-Worship, dan
The Heroic in History serta karya Lothrop Stoddard New World of
Islam secara bertahap memberikan arah bagi karya-karya seperti
Maurice Bucaille La Bible, Le Coran, et la Science, dan karya Samuel
Huntington Clash of Civilizations.
Dalam menilai perkembangan tersebut, tugas yang paling
penting bukanlah menemukan bibliografi dengan judul-judul
yang popular, namun lebih dari itu ialah melakukan evaluasi
kritis terhadap karya-karya semacam itu yang sesuai dengan
kebudayaan intelektual dan kebudayaan popular masyarakat
Muslim modern.
Selama abad ke-20, karya-karya sarjana Barat tentang Islam
mulai memperoleh tempat dan sebagai sumber rujukan dalam
retorika para sarjana Muslim modern dari Afrika, Timur Te-
ngah, dan Asia, yang telah melahirkan banyak pemikir Muslim
modern, dari M. Iqbal hingga Agus Salim. Contoh-contoh se-
rupa sangat berlimpah dalam berbagai literatur Arab modern
dan bahasa-bahasa Muslim mayoritas, di mana kecenderungan
mulai mengarah pada meningkatnya keterbukaan terhadap pe-
ngaruh para pemikir Barat atas mereka yang melakukan kajian
Islam dan masyarakat Muslim yang sedang berkembang. Penga-
ruh pertama yang paling umum datang dari ilmu-ilmu sosial,
seperti terlihat bagaimana pengaruh ilmu sosial modern atas
20 Zakiyuddin Baidhawy
ketika menjelaskan penggunaan simbolisme keagamaan dan
kultural sebagai alat analisis untuk memikirkan kembali dan
merekonseptualisasi pemikiran dan praktik-praktik dalam ma-
syarakat Muslim modern.[]
24 Zakiyuddin Baidhawy
sung dari kajian ilmiah dalam Studi Islam. Meskipun demiki-
an, para pengkaji agama-agama tidak perlu khawatir, karena
pengalaman keagamaan bisa dipelajari melalui bentuk-bentuk
ekspresinya yang meliputi tiga hal sebagaimana akan dijelaskan
di bawah ini.
Ekspresi dalam Pikiran
Ekspresi pengalaman keagamaan dalam pikiran ialah ung-
kapan intelektual orang yang mengalami perjumpaan dengan
Tuhannya. Ekspresi teoretis dari pengalaman keagamaan ini
yang utama berbentuk mitos. Mitos adalah cara yang unik dan
primitif untuk memahami realitas. Di dalam realitas mitos yang
agung, konsepsi manusia tentang ketuhanan benar-benar dapat
diartikulasikan. Simbol adalah cara atau wahana untuk mengar-
tikulasikan konsepsi manusia tentang relitas Tuhan.
Ekspresi kedua dari pengalaman keagamaan dalam pikiran
ialah doktrin dan atau dogma. Doktrin atau ajaran berfungsi
untuk: mengeksplikasi dan mengartikulasikan keimanan; meru-
pakan aturan normatif bagi kehidupan dalam ibadah dan peng-
hambaan; untuk mempertahankan keimanan dan mendefinisi-
kan hubungannya dengan pengetahuan lain. Dalam pengertian
ini, doktrin bersifat mengikat dan bermakna hanya bagi komu-
nitas orang-orang yang mengimaninya, dan bukan orang lain.
Ekspresi teoretis dari pengalaman keagamaan dapat juga
dalam bentuk lain yang disampaikan secara oral maupun ter-
tulis. Firman-firman suci, hadis-hadis, karya-karya tafsir agama,
dan bentuk-bentuk lirik, epik, dan karya-karya lainnya, kredo ke-
agamaan, dan kesaksian imani, juga merupakan ekspresi penga-
laman keagamaan dalam bentuk pikiran. Pemikiran keagamaan
yang utama meliputi teologi, kosmologi dan antropologi.
26 Zakiyuddin Baidhawy
cara menjalankan kebenaran itu. Yang dimaksud kelompok atau
komunitas keagamaan itu lebih dari sekadar asosiasi atau per-
kumpulan, namun juga menghadirkan dirinya sendiri sebagai
mikrokosmos dengan seluruh hukum-hukumnya, pandangan-
nya tentang kehidupan, sikap dan atmosfer kehidupan.
Integrasi kelompok keagamaan telah menjadi subjek banyak
studi dalam Sosiologi Agama. Salah satu subjek penting dalam
kajian ini ialah struktur kelompok keagamaan. Struktur ini
ditentukan oleh dua perangkat faktor, yaitu faktor keagamaan
dan faktor di luar keagamaan. Anugerah-anugerah spiritual
seperti penyehatan dan pengajaran adalah contoh-contoh
faktor keagamaan; sementara umur, posisi sosial, etika dan latar
belakang merupakan faktor non-keagamaan.
Ada empat faktor yang menentukan diferensiasi dalam ke-
lompok atau komunitas keagamaan: Pertama, diferensiasi dalam
fungsi. Meskipun di dalam kelompok kecil yang hanya terdiri
dari beberapa anggota saja yang diikat dengan ikatan pengala-
man keagamaan bersama, kita mesti dapat menemukan pem-
bagian fungsi. Misalnya, anggota-anggota kelompok yang senior
dan lebih berpengalaman biasanya akan menjadi pemimpin
dalam ibadah atau pemujaan, sementara yang lebih muda ber-
tugas mempersiapkan alat-alat atau benda-benda yang dibutuh-
kan dalam ibadah qurban misalnya.
Kedua, diferensiasi atas dasar karisma. Dalam kelompok ke-
agamaan yang paling egalitarian sekalipun, ada pengakuan ten-
tang keragaman anugerah yang menjelaskan perbedaan dalam
otoritas, prestise, dan posisi dalam komunitas. Max Weber mem-
perluasnya menjadi karisma personal dan karisma resmi.
Ketiga, diferensiasi atas dasar pembagian secara alami menu-
rut umur, jenis kelamin, dan keturunan. Orang tua dan orang
B. Dimensi-dimensi Agama
Islam adalah salah satu dari agama-agama yang hidup di du-
nia. Karena itu, untuk dapat mengkaji Islam sebagai bagian dari
agama, para pengkaji perlu memahami dan memikirkan tentang
agama. Ada beberapa esensi yang dapat dijumpai dalam keselu-
ruhan agama-agama. Meskipun berbeda tradisi dan kebudayaan,
sangat mungkin untuk menemukan beberapa dimensi-dimensi
agama. Dari sini mereka dapat melihat dimensi-dimensi Islam
yang dapat dijadikan objek studi ilmiah. Menurut Smart (1989),
semua agama-agama yang hidup di dunia ini memiliki tujuh di-
mensi sebagaimana akan dijelaskan sebagai berikut.
Dimensi Praktik dan Ritual
Setiap tradisi agama-agama memiliki beberapa praktik ke-
agamaan yang dilakukan oleh para pemeluknya, seperti ibadah
yang teratur, berdoa, persembahan, dan seterusnya. Praktik-
praktik ini biasa juga disebut sebagai ritual-ritual keagamaan.
Dimensi praktik dan ritual ini khususnya dipandang penting
dalam agama-agama yang memiliki praktik sakramen, seperti
Kristen Ortodoks Timur yang telah mempunyai tradisi panjang
yang dikenal sebagai liturgi. Tradisi biara Yahudi kuno terbiasa
dengan praktik pengorbanan. Demikian pula ritual-ritual pe-
ngorbanan dianggap penting dalam tradisi Hindu Brahmin.
Di sisi lain, ada pula pola-pola perilaku yang tidak dapat
dipandang sebagai ritual dalam pengertian baku, namun ber-
28 Zakiyuddin Baidhawy
fungsi untuk meningkatkan kesadaran spiritual atau ketajaman
etis: praktik-praktik seperti Yoga dalam tradisi Hindu dan Budha,
meditasi yang dapat menolong orang meningkatkan rasa cinta
dan kesabaran, dan sebagainya. Praktik-praktik ini dapat dikom-
binasikan dengan ritual-ritual persembahan.
Dalam konteks Islam, dimensi-dimensi praktik dan ritual ke-
agamaan berupa rukun Islam yang lima: syahadat, shalat, puasa,
zakat, dan haji. Lima rukun menjadi kategori utama ri-tual Islam
dan peristiwa-peristiwa yang lebih kurang tersusun di bawahnya
dalam bentuk yang teratur. Misalnya, Idul Adha/Qurban bera-
kar dalam haji; Idul Fitri berperan sebagai penutup puasa Ra-
madan. Salat khusus pada saat terjadi gerhana mata-hari atau
bulan. Semuanya dilakukan secara teratur. Empat dari lima ru-
kun mempunyai rujukan komunal dan dibuat untuk mengeks-
presikan dan menyalurkan kekuatan rukun pertama syahadat
yang secara implisit mengandung gambaran iman Muslim yang
sempurna. Dua dari rukun ini juga mempunyai rujukan tempat
yang kuat karena salat dan haji dipusatkan pada Kabah di Mek-
kah. Salat, puasa dan haji juga mempunyai waktu tertentu se-
hingga Islam memiliki serangkaian ritual yang berkaitan dengan
ruang dan waktu suci (Denny dalam Martin, 1985).
Karena itu, Studi Islam dapat mempelajari dan mengkaji
semua bentuk praktik dan ritual atau ibadah dalam Islam, baik
ritual kenosis (pengosongan diri) seperti puasa Ramadan, mau-
pun ritual plerosis (pengisian diri) seperti zakat, dan qurban.
Dimensi Pengalaman dan Emosional
Kita tidak dapat mengabaikan barang sejenak pun dalam
mengkaji agama, termasuk Islam, untuk melihat dan memer-
hatikan vitalitas puncak dan pengalaman penting dalam pem-
bentukan tradisi-tradisi keagamaan. Sebagai contoh ialah visi-
30 Zakiyuddin Baidhawy
dari semua keimanan untuk menyampaikan suatu kisah-kisah
penting. Sebagian kisah itu bersifat historis, terjadi dalam di-
mensi ruang dan waktu nyata; dan sebagian lainnya berkenaan
dengan waktu primordial yang misterius ketika dunia belum
muncul dalam waktu yang belum dapat dinamakan; sebagian
tentang segala hal yang datang dan berakhir pada suatu waktu;
sebagian tentang kisah para pahlawan dan orang-orang suci; se-
bagian tentang para pendiri dan pembawa agama-agama, seperti
Musa, Isa, Muhammad, dan lain sebagainya.
Dalam Islam kita dapat menjumpai kisah-kisah tentang
penciptaan alam semesta sebelum masa sejarah, penciptaan
Adam dan Hawa dalam surga dan akhirnya terhempas ke muka
bumi. Ini merupakan contoh kisah-kisah yang terjadi dalam
waktu primordial yang misterius, tidak historis. Di sisi lain,
terdapat kisah-kisah dan peristiwa-peristiwa historis tentang
kehidupan Nabi Muhammad, para sahabatnya, para pejuang
Muslim, dan sebagainya. Yang tidak historis itulah yang disebut
sebagai mitos; dan yang historis disebut sebagai narasi.
Studi Islam memiliki bahan yang sangat kaya dengan men-
jadikan kisah-kisah yang naratif maupun mitos ini sebagai ob-
jek kajiannya. Kajian tentang kisah-kisah bisa bersumber dari
Al-Quran, hadis nabi, kitab-kitab sirah yang tertulis, maupun
kisah-kisah yang hanya ditransmisi secara oral dari mulut ke
mulut, dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Dimensi Doktrin dan Filosofis
Tiang penyangga dimensi naratif adalah dimensi doktrin
atau ajaran. Dalam banyak peristiwa, ajaran-ajaran memainkan
peran penting dalam keseluruhan agama-agama, sebagian kare-
na cepat atau lambat keimanan harus beradaptasi dengan reali-
tas sosial dan dengan fakta bahwa kebanyakan kepemimpinan
32 Zakiyuddin Baidhawy
menjawab persoalan tentang pembebasan dan penyelamatan
utama. Hukum terkait dengan sumber yang melahirkannya
yang disebut sebagai dimensi etika dari suatu agama. Dalam
Budha misalnya, terdapat lima kebenaran utama yang mengikat
secara universal, yang bersamaan dengan seperangkat aturan
lainnya mengendalikan kehidupan para rahib dan pendeta dan
komunitas biara. Dalam Yahudi terdapat 10 perintah Tuhan,
bahkan lebih dari 600 aturan yang diturunkan oleh Tuhan
kepada komunitas mereka.
Dalam konteks Islam, kita mengenal kehidupan yang di-
pandu oleh sistem hukum yang disebut syariah. Dimensi ini
membentuk masyarakat baik sebagai masyarakat keagamaan
maupun masyarakat politik, sekaligus kehidupan moral indivi-
dual yang menjelaskan kewajiban beribadah salat lima waktu
sehari semalam, memberi makan fakir miskin dan zakat, dan
seterusnya.
Tradisi yang lebih kurang terkait dengan masalah hukum ini
adalah etika. Misalnya sikap etis dalam agama Kristen adalah
cinta. Sumber cinta bukan hanya perintah Yesus kepada para
pengikutnya untuk mencintai Tuhan dan para tetangganya,
ia juga bersumber dari kisah tentang Yesus itu sendiri yang
memberikan cintanya kepada umat manusia.
Studi Islam dapat mengkaji baik dimensi hukum maupun
etika ini. Kajian-kajian mengenai hukum Islam tentu saja sangat
kaya, karena kekayaan pemikiran hukum Islam merentang da-
lam bentuk berbagai mazhab, seperti empat mazhab terkenal,
yakni Syafii, Maliki, Hanbali dan Hanafi. Meskipun harus diakui
bahwa kajian tentang etika Islam terbilang kurang berkembang
pada masa modern dan kontemporer. Beberapa kajian etika Islam
dapat disebut di sini adalah oleh Majid Khadduri (1984) dan
34 Zakiyuddin Baidhawy
Dimensi Material
Dimensi material ialah segala manifestasi agama yang
bersifat kebendaan, seperti bangunan-bangunan peribadatan
(masjid, pura, wihara, klenteng, sinagog), tempat-tempat suci,
pekerjaan tangan atau seni keagamaan, dan kreasi-kreasi material
lainnya. Simbol-simbol keagamaan seperti salib, bulan bintang,
dan sebagainya, juga termasuk dimensi material.
Studi Islam dapat mengkaji aspek material dalam agama Is-
lam. Ketika salat, kita menjumpai benda-benda yang dipergu-
nakan dalam peribadatan ini, mulai dari sajadah, peci, muke-
nah, tasbih, masjid, mimbar. Ketika salat, Muslim menghadap
Kabah sebagai kiblat. Ketika haji, Muslim mengelilingi Kabah,
mengusap hajar aswad, di dalamnya juga ada hijr Ismail, mas-
jid haramain, makam nabi Muhammad dan Ibrahim, dan seba-
gainya. Semua itu adalah dimensi kebendaan yang digunakan
dalam peribadatan dan ritual-ritual lainnya. Benda-benda ke-
agamaan yang dipandang suci bukan semata menjadi objek ka-
jian ilmiah, bahkan seringkali menjadi objek ziarah atau wisata
agama bagi para pemeluknya. Bahkan kita juga menjumpai satu
benda keagamaan yang dianggap suci oleh beberapa pemeluk
agama sekaligus, seperti Masjid al-Aqsa yang dianggap suci dan
menjadi kiblat bagi kaum Yahudi, Nasrani dan Muslim.
C. Cara Beragama
Agama pada hakikatnya adalah jalan menuju Tuhan. Cara-
cara yang ditempuh setiap pemeluk agama dalam pengembara-
annya menuju Tuhan bisa berbeda-beda satu dengan yang lain,
sesuai dengan pemahaman, penghayatan, dan pengamalannya
masing-masing. Setiap orang membutuhkan cara beragama (be-
36 Zakiyuddin Baidhawy
Dalam Islam, cara pencarian mistik dikenal dengan tradisi
tasawuf dan tarekat. Para mistikus atau sufi berupaya melalui
disiplin mujahadah melampaui maqam-maqam zuhud dan
zikir untuk meraih dan merasakan hakikat Yang Maha Mutlak,
Allah swt. Untuk mencapai ini para pencari (salik) biasanya
membutuhkan bimbingan spirtual dari guru, wali, mursyid atau
qutub.
Keempat, jalan menuju Tuhan melalui kegiatan rasional,
argumentatif, dan pemahaman intelektual. Cara beragama ini
bertujuan untuk meraih perubahan pandangan hidup menuju
dasar mutlak segala sesuatu; supaya akal manusia mencapai
perspektif dan pengetahuan akal absolut. Cara beragama ini
disebut cara penelitian akal (way of reasoned inquiry).
Dalam sejarah Islam, kita menjumpai ada sebagian indivi-
du dan kelompok Muslim yang mementingkan upaya pencarian
petunjuk-petunjuk untuk memahami masalah-masalah kognitif
kehidupan, bayang-bayang argumentasi rasional dan pandangan
dunia yang komprehensif serta sistematik sebagai sarana menuju
Tuhan. Individu ataupun kelompok semacam ini dalam lintasan
sejarah Islam dikenal dengan kelompok Mutazilah dan Qada-
riah misalnya. Juga para filosof yang mengedepankan penelitian
intelektual untuk memahami fenomena kehidupan.
Kelima, jalan menuju Tuhan melalui partisipasi dalam pelak-
sanaan ritual-ritual yang telah ditetapkan (ibadah mahdah, me-
minjam istilah dalam Islam), yang menjanjikan tata tertib dan
vitalitas dengan mengantarkan seseorang masuk ke dalam pola-
pola Ilahiah yang orisinal dari kehidupan yang penuh makna
melalui sakramen. Ini disebut sebagai cara ritus suci (way of sacred
rite).
38 Zakiyuddin Baidhawy
BAB 3
SEJARAH PERKEMBANGAN
STUDI ISLAM
40 Zakiyuddin Baidhawy
bangsa Sarasen dengan bangsa Ismail, keturunan Ibrahim dari
Hajar.
Fase Perang Salib dan Kesarjanaan Cluny (1100-1500). Studi
Islam untuk tujuan-tujuan misionaris mulai pada abad ke-12
pada masa Peter Agung (1094-1156), seorang Biarawan Cluny di
Prancis. Ini adalah masa awal Perang Salib sekaligus reformasi
besar kehidupan biara, yang kemudian menjadi lembaga utama
pendidikan Kristen. Para pasukan Perang Salib dan rahib-rahib
yang menerjemahkan Al-Quran dan teks-teks Islam berperan
sebagai pihak-pihak yang menyerang peradaban Islam, yang
membentuk batas-batas di sebelah selatan dan timur dari
Kerajaan Kristen Barat. Pada masa ini, Peter Agung membentuk
komisi penerjemahan dan penafsiran teks-teks Islam berbahasa
Arab. Banyak karya mereka yang memahami Muhammad
sebagai dewa bagi kaum Muslim, penyuka perempuan, penipu,
orang Kristen yang murtad, ahli ilmu sihir, dan seterusnya.
Korpus Cluny dikenal sebagai permulaan kanon kesarjanaan
Barat tentang Islam. Peter juga memerintahkan para penerjemah
untuk menerjemahkan Al-Quran, hadis, dan sirah Muhammad,
serta teks-teks Arab lainnya.
Dalam surat-suratnya kepada para pemimpin Perang Salib
I, Peter menjelaskan bahwa misi gereja adalah kepeduliannya
yang utama dan bahwa Kristen dapat dan harus menang atas
Islam. Namun demikian, ia juga kritis atas kesalahan fatal
pandangan para penulis Kristen tentang Muhammad dan Al-
Quran, dan kritis atas kampanye dan cemooh militer yang
mengatasnamakan Kristen. Peter berusaha menyediakan bagi
orang Eropa pandangan-pandangan otentik tentang teks-teks
dari ajaran Islam.
42 Zakiyuddin Baidhawy
menganggap Muhammad sebagai kepala dan Islam sebagai
tubuh anti-Kristus. Kaum Protestan membandingkan Roma dan
Islam, melihat Islam sebagai bidah, bukan sebagai agama lain
yang mempunyai haknya sendiri. Jadi, patut dicatat bahwa kaum
reformis telah menghasilkan kesarjanaan tentang Islam yang
tidak berbeda dari masa sebelumnya. Pada abad ke-16, edisi-
edisi Al-Quran dan teks-teks Islam lainnya yang diterbitkan
di Eropa cenderung mengikuti korpus Cluny pada empat abad
sebelumnya.
Fase Penemuan dan Pencerahan (1650-1900). Kesarjanaan
Eropa yang baru dan orisinal tentang Islam berkembang pada
akhir abad ke-16 dan 17 karena beberapa alasan. Pertama, realitas
politik baru agresi Ottoman. Ancaman Ottoman terhadap Eropa
tidak berkurang hingga abad ke-18, ketika kerajaan Ottoman
mengalami kemunduran dan keseimbangan kekuasaan bergerak
ke Eropa. Faktor lain yang mendorong bangkitnya kesadaran
Eropa tentang dunia Islam adalah tumbuhnya pelayaran dan
ekspansi perdagangan melampaui Mediterania. Ekspansi pasar
dan militer merupakan awal dari kolonialisme dan imperialisme.
Eropa membuat pakta-pakta dengan negara-negara Muslim,
misalnya Prancis dan Ottoman untuk melawan bangsa Hapsburg.
Di sisi lain, alasan Eropa mempelajari Islam tidak lain adalah
untuk membatasi perdebatan teologis seputar Al-Quran, nabi,
dan penaklukan Muslim awal.
Secara umum, agama mulai dipandang dengan cara berbeda
pada masa Pencerahan di Eropa. Pengakuan atas pemeluk agama
lain yang tidak lagi dianggap sebagai bidah oleh Kristen meru-
pakan suatu aspek penting dari konsep baru tentang agama. Teori
baru tentang agama-agama manusia mengundang metode baru
untuk mengkaji Islam dan agama-agama lain yang melampaui
44 Zakiyuddin Baidhawy
dikunjungi dan dihubungi melalui berbagai sarana komuni-
kasi dan transportasi. Banyak kesempatan bagi para sarjana,
misionaris, pengusaha dan wisatawan Eropa berjumpa dengan
masyarakat Islam saat itu. Kesempatan untuk mendiskusikan
Islam dengan Muslim masih sering terjadi dalam bentuk
perdebatan antara agamawan dan pemimpin Kristen dan Muslim,
namun istilah polemik telah berubah, yakni merefleksikan ide-
ide baru tentang agama dan evolusi penemuan ilmiah dalam
ilmu-ilmu kemanusiaan.
Satu perkembangan menarik bagi Studi Islam ialah muncul-
nya historisisme, suatu gagasan bahwa peristiwa seperti kemun-
culan agama baru dapat dijelaskan sebagai suatu peristiwa yang
tergantung dengan peristiwa-peristiwa sebelumnya. Implikasi-
nya adalah penolakan atas orisinalitas mutlak terhadap femone-
ma sejarah yang dijelaskan. Implikasi lainnya ialah bahwa hanya
kaum orientalis, ahli bahasa Arab yang mengkhususkan kajian
teks-teks Islam, yang dianggap sebagai memiliki keterampilan
ilmiah untuk mengkaji Islam. Sejarah Islam, agama, sains, seni,
dan topik-topik lainnya menjadi domain yang hampir eksklusif
milik orientalis daripada sejarawan atau spesialis dalam bidang
agama, sains, dan seni.
Bagi kebanyakan sarjana Barat sejak abad ke-19 ini, otentisi-
tas agama harus diuji dan dinilai dalam hubungannya dengan
lingkungan intelektual dan kulturalnya sendiri. Dalam sebuah
kuliah tentang Nabi Muhammad, Thomas Carlyle misalnya, ber-
pendapat bahwa Muhammad adalah seorang nabi yang otentik
menurut sudut pandangnya sendiri, meskipun Carlyle sendiri
kurang jujur terhadap analisisnya mengenai Al-Quran dan res-
pons Muslim terhadap resitasi Al-Quran. Kuliahnya kemudian
diterbitkan dengan judul The Hero as Prophet (1841).
46 Zakiyuddin Baidhawy
pandangan dunia Romantisisme dan pencarian terhadap apa
yang berharga pada masa lalu dan dunia liyan yang eksotik.
Karya manuskrip berbahasa Arab banyak dikaji oleh
utamanya para sarjana yang dikenal luas dalam bidang
studi Injili dan filologi klasik. Islam masa pertengahan telah
meninggalkan sejumlah khazanah karya-karya tertulis yang
sangat kaya dalam bentuk manuskrip di antara peradaban-
peradaban besar dunia lainnya. Ribuan manuskrip dalam
koleksi di seluruh Timur Tengah, Eropa dan Amerika Utara
disunting dan dikaji secara kritis dan serius. Tugas menemukan
tradisi literer Islam kuno yang menghasilkan penerbitan-
penerbitan teks-teks kuno yang masih dalam bentuk manuskrip
merupakan capaian penting pada abad ke-19, abad orientalis.
Pendidikan kesarjanaan di dunia Muslim sekaligus di Eropa dan
Amerika Utara telah menghasilkan karya penting yang secara
keseluruhan masih berkembang hingga pertengahan terakhir
abad ke-20. Sebagaimana dalam kritik Injili dan karya sejarah
tentang asal-usul dan periode awal Agama Yahudi dan Kristen,
kaum orientalis telah mencoba merekonstruksi pandangan
kritis mengenai asal-usul dan kebangkitan Islam. Para sejarawan
abad ke-19 cenderung melihat tujuan mereka ialah menemukan
dan merekonstruksi suatu gambaran tentang masa lalu secara
akurat.
Sebagian sejarawan Studi Islam mencatat bahwa kaum ori-
entalis Barat dan para sarjana Muslim ortodoks cenderung mem-
perlihatkan konservatisme dalam pendekatan mereka terhadap
historiografi. Orientalisme menerima secara luas pandangan
tradisional tentang kehidupan Muhammad, artikulasi Al-Quran
pada periode Mekkah dan Madinah, dan pembentukan awal
komunitas Muslim. Sementara perdebatan-perdebatan tentang
48 Zakiyuddin Baidhawy
Sebagian sarjana memandang bahwa orientalisme meru-
pakan suatu kerangka berpikir, sebentuk wacana keilmuan ten-
tang realitas timur Islam yang dikonstruksi di bawah kesadaran
Barat sejak masa-masa kolonialisme Eropa. Orientalisme
mengemban tugas berat membaca dan menafsirkan teks-teks
Islam. Ia bersifat politis sekaligus romantis. Teks-teks yang pa-
ling banyak diminati oleh kaum orientalisme adalah teks-teks
keagamaan dan kebudayaan Islam. Karenanya dapat dikatakan
bahwa kejatuhan orientalisme identik dengan mundurnya
kemampuan studi-studi linguistik tentang teks-teks keagamaan
dan kebudayaan lainnya yang dilakukan oleh para sarjana Barat.
Sebaliknya, Studi Kawasan lebih fokus kepada studi tentang
masyarakat-masyarakat Islam pada masa modern, khususnya
isu-isu kebijakan publik, sains politik, sains sosial, ekonomi dan
pembangunan, serta antropologi sosial. Studi tentang bahasa-
bahasa dan literatur Islam dilihat lebih sebagai sarana untuk
tujuan-tujuan yang lain, bukan tujuan-tujuan humanistik atau
tujuan keilmuan itu sendiri.
Pandangan lain tentang Studi Islam disuarakan oleh seba-
gian sarjana yang mengkritik kegagalan orientalisme dan stu-
di-studi kawasan. Para penganjur pandangan ini menyatakan
bahwa riset tentang Islam produksi pengetahuan tentangnya
merupakan suatu wilayah disiplin ilmiah, bukan pusat-pusat
yang diorganisir dan dibiayai oleh kepentingan-kepentingan
khusus di kalangan pemerintahan maupun agama-agama resmi.
Menurut pandangan ini, kualitas apa yang kita ketahui tentang
sejarah Islam harus dinilai oleh sejarawan akademis dan bukan
oleh para pengkaji Arab; geografi kebudayaan penduduk Mus-
lim harus dilakukan oleh para sarjana geografer, sejarah sains
Islam diuji oleh sejarawan sains, dan seterusnya. Pada abad
50 Zakiyuddin Baidhawy
studi tentang Islam dalam sejarah yang menyandarkan pada
kajian-kajian mengenai hukum Islam, sistem politik, dan seni
serta arsitektur Islam.
Dalam memperlakukan Islam, karya-karya ilmiah orientalis
sedikit atau bahkan tidak memberi perhatian intelektual sama
sekali dalam generalisasi berlebihan terhadap data-data tentang
Islam. Generalisasi semacam itu rupanya problematik karena
kebanyakan monograf fokus pada satu kebudayaan atau satu
aspek, teks, masa, atau pengarang. Istilah filsafat Islam yang
digunakan beberapa sejarawan termasuk figur-figur seperti Henry
Corbin, Majid Fakhry, dan Oliver Leaman, tidak menunjukkan
semacam perdebatan teoretik yang dihadapkan oleh filsafat
Kristen, suatu paham yang ditolak oleh mile Brhier pada
1930-an ketika tienne Gilson mencoba memperkenalkannya.
Judul-judul terkait dengan Islam yang telah disebutkan di
atas sama sekali tidak serius sebagaimana yang tampak dalam
kajian tentang agama Kristen. Wacana akademik tentang Studi
Islam sebagai dilakukan oleh para praktisi mutakhirnya, yaitu
para Islamisis, masih belum mampu menawarkan penjelasan
mengenai seberapa banyak bidang, teori, ruang budaya, disiplin,
dan konsep-konsep yang dapat dihubungkan dengan kata
tunggal Islam dan mengapa diskusi-diskusi yang berkembang
tetap bersifat satu dimensi tentang Islam.
Penjelasan standar yang muncul dalam perdebatan muta-
khir tentang pendekatan monolitik yang berdasarkan pada
studi-studi filologi melukiskan repetisi tentang dogma atau
penekanan pada teks-teks suci Islam. Sejauh Islam dianggap
sebagai tradisi keagamaan, metode filologi memiliki kekurang-
an terus diminimalisir atau ditolak oleh para penganjurnya di
kalangan Islamisis. Pada hakikatnya, filologi menolak seluruh
52 Zakiyuddin Baidhawy
pada pengambilan keputusan yuridis sebagaimana ditekankan
dalam fatwa-fatwa, bahkan fondasi-fondasi disiplin yang integral
di dalamnya.
Satu dari sedikit sarjana yang berusaha mengartikulasikan
visi menyeluruh tentang Studi Islam dan agenda-agendanya ia-
lah Mohammed Arkoun. Ia mendiskusikan sistem yang implisit
dan eksplisit yang menggarisbawahi pemahaman tentang disi-
plin Studi Islam dalam arti dimensi kognitif tentang pengala-
man manusia lengkap dengan seluruh konteks sosialnya. Tujuan
Arkoun untuk menggaungkan pendekatan metodologis tertentu
yang ia pandang tidak dapat dipisahkan dari teori-teori episte-
mologis sehingga membuatnya mungkin untuk menyatukan Is-
lam dan kebudayaan-kebudayaan Muslim ke dalam teori kritis
global pengetahuan dan nilai.
54 Zakiyuddin Baidhawy
yang inheren dalam Studi Islam dan memaksanya untuk meng-
akui penafsiran alternatif. Tulisan ilmiah tentang Goethe, Kant,
Cervantes, atau Dante menjadi rujukan bagi karya-karya ilmiah
dalam bahasa Jerman, Spanyol, dan Itali. Namun, ketika karya-
karya mereka diterjemahkan ke dalam bahasa Arab, Persia, atau
Turki, seringkali terlalu diabaikan. Dalam ungkapan yang lebih
buruk, katakanlah para sarjana Studi Islam telah membentuk
suatu kelompok tertutup; mereka membaca dan saling meng-
kritik karya satu dengan lainnya tanpa merasakan risiko dini-
lai oleh para peneliti dalam disiplin-disiplin keilmuan lainnya
yang teknik-teknik mereka harus digunakan untuk menganalisis
Islam. Dengan kata lain, faktor kunci dalam pendekatan multi-
disiplin yang berhasil adalah latar belakang pendidikan peneliti
sekaligus kemauan dan usahanya untuk mencari pandangan-
pandangan para koleganya yang dikenal karena perspektif-pers-
pektif mereka yang inovatif.
56 Zakiyuddin Baidhawy
mematikan, telah diarahkan kepada Inggris dan Prancis pada
masa lalu, serupa dengan kebencian terhadap Amerika. Lalu apa
yang dimaksud dengan gagasan oksidentalis tentang Barat?
Inilah problem yang mendorong sejumlah intelektual ter-
kemuka Jepang yang berkumpul dalam sebuah konferensi di
Kyoto pada 1942. Serangan atas Pearl Harbor bukanlah alasan
bagi konferensi itu sendiri, namun gagasan utamanya ialah un-
tuk menemukan pembenaran ideologis bagi misi Jepang guna
memukul dan mengenyahkan kerajaan Barat di Asia. Topik dis-
kusinya adalah bagaimana mengatasi dunia modern. Moderni-
tas dikaitkan dengan Barat dan khususnya imperialisme Barat.
Westernisasi, menurut seorang intelektual, adalah seperti
penyakit yang menginfeksi semangat orang-orang Jepang. Se-
suatu yang modern, kata yang lain, adalah sesuatu yang ber-
bau Eropa. Sebagian lainnya percaya bahwa Amerikanisme
adalah musuh, dan Jepang harus membuat alasan bersama
dengan orang-orang Eropa untuk mempertahankan peradaban
kuno dari Dunia Baru. Ada banyak perbincangan yang tidak se-
hat, yang telah memfragmentasi keseluruhan kebudayaan spiri-
tual dunia Timur. Sains telah disalahkan. Demikian juga kapital-
isme, resapannya ke dalam masyarakat Jepang berupa teknologi
modern, dan paham-paham tentang kebebasan individual serta
demokrasi. Semua ini harus diatasi.
Semua sepakat bahwa kebudayaan maksudnya kebudayaan
Jepang tradisional bersifat mendalam dan spiritual, sedangkan
peradaban Barat modern bersifat permukaan, tanpa dasar, dan
merupakan kekuatan pencipta destruksi. Barat, utamanya AS,
adalah peradaban mekanik yang dingin, peradaban mesin tanpa
ruh atau jiwa, suatu tempat di mana orang-orang bercampur
untuk memproduksi ras-ras bangsat.
58 Zakiyuddin Baidhawy
reaksi terhadap industrialisasi. Sebagian Marxis tertarik pada
oksidentalisme. Oksidentalisme adalah pemberontakan atas
rasionalisme, peradaban Barat yang dingin, mekanis, dan mesin,
dan sekularisme, bahkan individualisme. Kolonialisme Eropa
mendorong oksidentalisme dan demikian pula kapitalisme
global saat ini. Kita dapat bicara tentang oksidentalisme hanya
ketika pemberontakan atas Barat menjadi sebentuk destruksi
murni, ketika Barat dituduh sebagai kurang dari manusia, ketika
pemberontakan bermakna pembubuhan.
Apa pun yang terjadi, oksidentalisme didukung oleh rasa
terhina, kalah. Isaiah Berlin menjelaskan pemberontakan Jerman
atas Napoleon sebagai contoh asli dari reaksi atas banyaknya
masyarakat yang terbelakang, terekspolitasi, yang membuat
mereka inferior, dan dibangkitkan oleh imajinasi kerajaan dan
kejayaan pada masa lampau, atau sifat-sifat baik dari bangsa atau
watak kulturalnya sendiri. Hal serupa terjadi pada Jepang pada
1930-an, setelah hampir satu abad merasa terhina dan hanya
menjadi patron bagi Barat.
Keterhinaan dapat dengan mudah menjadi kultus atas ke-
murnian dan keaslian. Di banyak kalangan kebencian atas Barat
muncul karena klaim universalisme Barat. Napoleon adalah
seorang universalis yang percaya pada kode sipil bersama un-
tuk seluruh manusia yang ditaklukkannya. Keyakinan bahwa
Amerika Serikat menyajikan nilai-nilai universal dan mempu-
nyai kewajiban yang diembankan oleh Tuhan padanya untuk
menyebarkan demokrasi adalah sama dengan klaim universalis.
Sebagian dari nilai-nilai ini boleh jadi memang universal. Kita
dapat berpikir bahwa semua manusia dapat mengambil untung
dari demokrasi atau penggunaan rasio. Kode Napoleon telah
membawa banyak keuntungan. Namun, ketika solusi universal
60 Zakiyuddin Baidhawy
tradisional dianggap oleh para penganjur kemurnian sebagai
orang luar, kosmopolitan tanpa akar, tidak aneh bahwa mereka
juga tampak sebagai pengusung utama virus universalis. Dapat
dipastikan orang-orang Yahudi memiliki alasan yang masuk
akal tertarik pada paham-paham seperti persamaan di hadapan
hukum, politik sekular, dan internasionalisme, apakah dengan
cap sosialis maupun kapitalis. Eksklusivisme, apakah dalam
bentuk rasial, keagamaan, atau kebangsaan, tidak pernah
memberikan kebaikan bagi kaum minoritas. Hanya di Timur
Tengah orang-orang Yahudi menyandang eksklusivisme dan
nasionalismenya sendiri. Zionisme berasal dari Barat. Dan
Israel, di mata para musuhnya, merupakan kekuatan kolonial
yang menyebarkan westoxification. Keberhasilan material Israel
hanya menambah kebencian Arab terhadap mereka.
Anggapan tentang orang-orang Yahudi sebagai manusia
tanpa jiwa jauh lebih tua umurnya daripada pendirian negara
Israel itu sendiri. Inilah salah satu kebencian anti-Semit yang
paling umum. Karl Marx yang merupakan cucu dari seorang
rabbi misalnya, menyebut orang-orang Yahudi sebagai parasit
yang rakus, yang jiwanya tercipta dari uang. Hal serupa sering
dikatakan oleh orang-orang Eropa abad 19 tentang orang Inggris.
Novelis Prusia Theodore Fontane yakin bahwa masyarakat Inggris
akan dihancurkan oleh warna kuning emas, warna kuning emas
telah membinasakan jiwa-jiwa mereka yang menghamba pada
kejahatan. Banyak hal serupa juga dikatakan tentang orang-
orang Amerika.
Kalkulasi menghitung-hitung uang, riba, bukti-bukti il-
miah, dan seterusnya dipandang sebagai tanpa jiwa. Keas-
lian/kemurnian terletak pada puisi, intuisi, dan keimanan buta.
Pandangan kaum oksidentalis tentang Barat adalah sebagai ma-
62 Zakiyuddin Baidhawy
ingin membangun aliansi dengan Inggris dan bangsa-bangsa
Arya lainnya, dan merasa terkhianati ketika mereka tidak
mempedulikan caranya. Kaum Stalinis dan Maois membunuh
musuh-musuh kelas dan menentang kapitalisme. Namun,
mereka tidak pernah melihat dunia Barat sebagai kurang
manusiawi dan yang secara fisik harus dimusnahkan. Kaum
militaris Jepang pergi berperang melawan kerajaan Barat, namun
tidak memandang segala tentang peradaban Barat sebagai
barbar. Kontribusi Islamis pada sejarah panjang oksidentalisme
adalah visi keagamaan tentang kemurnian di mana Barat yang
diidolakan harus dihancurkan.
Beribadah kepada tuhan-tuhan palsu merupakan dosa pa-
ling besar dalam Islam dan kepercayaan Yahudi kuno. Barat,
di mata kaum Islamis, menyembah tuhan-tuhan palsu seperti
uang, seks, dan hasrat-hasrat kebinatangan. Dalam dunia bar-
bar, pikiran-pikiran, hukum-hukum, dan nafsu manusia telah
menggantikan kerajaan Tuhan. Kata yang tepat untuk masalah
ini adalah jahiliyah, yang berarti kebodohan: orang menyembah
tuhan-tuhan lain karena ia tidak memiliki pengetahuan. Jahili-
yah modern berarti barbarisme dan ada di mana saja dari Las Ve-
gas dan Wall Street hingga istana-istana di Riyadh. Bagi Islamis,
apa pun yang tidak murni, yang bukan milik kerajaan Tuhan,
adalah jahiliyah, barbar, dan harus dienyahkan. Itulah sebabnya
perang suci atas Barat dideklarasikan.
Karena target perang suci itu sedemikian luas, maka cara
mengalahkannya juga bukan persoalan mudah. Perang Irak
bukanlah cara paling efektif untuk memerangi jihad Islamis.
Rezim Baath Saddam Hussein merupakan kediktatoran
pembunuh yang harus diakhiri, namun itu tidak sejalan
dengan revolusi suci. Tidak ada bukti bahwa Saddam ingin
64 Zakiyuddin Baidhawy
Jadi, menurut Buruma (2004), oksidentalisme bukan bicara
tentang kebencian terhadap kebijakan-kebijakan Barat, namun
tentang kebencian atas ide-ide Barat itu sendiri. Perasaan negatif
berkaitan dengan kolonialisme, kapitalisme, globalisasi, dan
westoxification digali melalui banyak tokoh klasik dan empat
konsep utama: kota, perdagangan, teknologi, dan agama.
Oksidentalisme, serupa dengan kapitalisme, Marxisme, dan
banyak isme modern lainnya, lahir di Eropa, namun cabang-
cabangnya tersebar di Asia dan Timur Tengah.
Kota oksidental mulai dengan serangan 11 September atas
WTC di New York. Ia bicara tentang kota metropolis sebagai sundal
di mana segala sesuatu dan semua manusia diperjualbelikan. Ia
juga berbicara tentang ketiadaan jiwa dan ketakterhubungan,
citra negatif tentang kota yang sering dilukiskan. Kota-kota di
Barat juga merupakan simbol ketamakan yang jahat, tanpa
tuhan, dan kosmopolitanisme tanpa akar.
Perdagangan di mata kaum oksidentalis adalah gambaran
negatif tentang prinsip kaum merkantilis di Barat. Ia bicara bu-
kan hanya tentang pasar bebas di Barat, namun juga ide tentang
demokrasi itu sendiri sebagai pasar bebas ide. Teknologi adalah
gambaran pikiran Barat yang mampu mencapai keberhasilan
ekonomi dan mampu mengembangkan dan mempromosikan
teknologi maju, namun gagal meraih hal-hal tertinggi dalam
hidup ini. Agama adalah ilustrasi kaum oksidentalis tentang pe-
rang suci terhadap Barat sebagai kejahatan absolut. Ketika kebe-
basan politik, keagamaan, dan intelektual telah mapan, ia harus
dipertahankan dengan kekuatan, jika perlu, bahkan juga dengan
keyakinan.[]
MODEL PENDEKATAN
KAJIAN TEKS-TEKS ISLAM:
STUDI AL-QURAN
68 Zakiyuddin Baidhawy
selalu menolak peran yang terbuka bagi semua sarjana untuk
mengkaji Al-Quran.
Satu di antara pendekatan klasik yang sering dipergunakan
dalam studi Al-Quran ialah pendekatan i`jaz. Pendekatan ini se-
sungguhnya sudah muncul sejak abad ke-3 hijrah atau abad ke-9
masehi dalam sejarah kebudayaan Islam. Ia muncul dari diskusi
mengenai persoalan ketidaktertirukannya Al-Quran, i`jaz, yang
menjadi ajaran hakiki dalam teologi. Memang benar bahwa Al-
Quran sejak permulaan pewahyuannya menangkap imajinasi
bangsa Arab yang melukiskan keunikan bahasanya. Para pen-
dengar berusaha memberikan penjelasan terbaik tentang penga-
ruhnya pada mereka dalam arti teks-teks Al-Quran menyerupai
syair dan puisi yang sangat indah. Semua penjelasan ini telah
disebut dan sekaligus ditolak oleh Al-Quran sendiri (QS. Yasin
(36): 9). Banyak kisah yang diceritakan dalam literatur Islam
yang menggambarkan betapa orang-orang beriman sekalipun
merasa terpesona oleh pengaruh puitis dari bahasa Al-Quran.
Paham tentang keunggulan Al-Quran yang membuatnya tidak
dapat ditiru, dikembangkan belakangan dan dijelaskan dalam
gambaran retorik. Banyak teori diperkenalkan dalam teologi
Islam untuk menjelaskan gambaran-gambaran yang menggaris-
bawahi ketidaktertirukannya teks-teks Al-Quran. Setidaknya ada
dua persoalan besar di sini. Pertama, apa yang dimaksud dengan
tantangan Al-Quran untuk melahirkan sesuatu yang menyeru-
pai Al-Quran? Kedua, mengapa bangsa Arab gagal melahirkan
sesuatu yang menyerupai teks Al-Quran dengan cara meniru
gayanya?
Ibrahim ibn Sayyar al-Nazzam (d. 232/846), seorang teolog
Mutazilah, memperkenalkan teori sarfah. Teori ini mengatakan
bahwa Tuhan secara sengaja melakukan intervensi dan mence-
70 Zakiyuddin Baidhawy
dalam jangkauan kemampuan manusia. Bukti-bukti yang mere-
ka kemukakan untuk memperkuat argumen tentang mukjizat
ini dengan menyebutkan Musa dan Isa. Mukjizat Musa berkait-
an dengan magis, suatu bidang aktivitas yang menjadi keung-
gulan bangsa Mesir, demikian pula dengan mukjizat Isa. Karena
bangsa Arab adalah bangsa yang penguasaan puisi dan syairnya
unggul, maka mukijizat Islam adalah Al-Quran yang melukis-
kan keunggulan satrawi. Patut dicatat bahwa dikotomi antara
isi dan bentuk, lafaz dan makna, yang ada dalam kritik sastra
Arab, memiliki akarnya dalam diskusi awal tentang apakah ba-
hasa didasarkan pada tradisi sosial kemanusiaan (muwada`ah)
atau wahyu Tuhan. Diskusi ini fokus pada ayat Al-Quran: Dan
Ia mengajarkan Adam seluruh nama benda dan kemudian ber-
tanya kepada para malaikat dengan mengatakan, Berilah Aku
informasi tentang nama-nama semua itu jika kamu memiliki
pengetahuan (QS. Al-Baqarah (2): 31).
Tokoh Mu`tazilah al-Qadi `Abd al-Jabbar (w. 415/1025),
dalam pembahasannya tentang i`jaz, menekankan bahwa kefa-
sihan ungkapan, fashahah, tidak hanya berhubungan dengan isi
semata atau gaya semata. Dengan mengelaborasi teori al-Jubba`i
tentang sintesis isi dan gaya, ia menghubungkan fashahah de-
ngan struktur atau syntaks yang memasukkan posisi dan fungsi
gramatika dari suatu leksikon. Keunggulan intrinsik Al-Quran
khususnya terletak pada kualitas fashahahnya yang menakjub-
kan. Dengan menjelaskan gagasan al-Jubba`i tentang keniscaya-
an isi dan gaya, ia menghubungkan fashahah dengan nazm, kom-
posisi, struktur atau syntaks. Fashahah mengandung tiga unsur
sekaligus, yaitu makna leksikal suatu kata, al-muwada`ah, dan
posisinya dalam struktur dan fungsi grammatikanya. Karena itu,
kesempurnaan syntaks Al-Quran mencegah bangsa Arab dari
72 Zakiyuddin Baidhawy
Minat utama Abduh ialah membuka kembali pintu ijtihad dalam
semua aspek kehidupan sosial dan intelektual. Karena agama
merupakan bagian utama dari eksistensi manusia, maka satu-
satunya reformasi yang nyata adalah reformasi pemikiran Islam.
Apa yang dibawa Jamal al-Din al-Afghani ke Mesir ialah gagasan
tentang panfsiran modern tentang Islam yang kemudian menjadi
perhatian penuh Abduh. Kombinasi antara rasionalisme klasik
dan kesadaran sosial-politik modern diadopsi oleh Abduh.
Kombinasi ini membuatnya mungkin untuk memperkenalkan
penafsiran semi rasional atas Al-Quran. Kontribusi Abduh yang
paling penting adalah pernyataannya bahwa Al-Quran tidak
dimaksudkan untuk menjadi kitab sejarah. NarasiAal-Quran
karena itu, tidak mesti dipandang sebagai dokumen sejarah.
Peristiwa-peristiwa sejarah yang disebut dalam narasi Al-Quran
disajikan dalam gaya sastra untuk menyampaikan pelajaran
tentang peringatan dan nasihat. Berkenaan dengan kisah-kisah
dalam Al-Quran, Abduh, dengan sangat jelas membedakan
antara historiografi kisah-kisah Al-Quran. Historiografi adalah
bidang ilmiah yang didasarkan atas pencarian dan penyelidikan
kritis terhadap data yang tersedia, seperti laporan-laporan,
kesaksian, ingatan, dan buktik-bukti geografis atas material
(Abduh, tth. Vol. 5: 30). Dengan kata lain, kisah-kisah Al-
Quran adalah sarana untuk menyampaikan tujuan-tujuan etis,
spiritual dan keagamaan. Kisah-kisah bisa berdasarkan pada
peristiwa sejarah, namun tujuannya bukan untuk menyediakan
pengetahuan tentang sejarah.
Abduh jelas menentang metode tafsir klasik yang menjelas-
kan tentang hal-hal yang mubhamat. Pentingnya sebuah kisah
tidak tergantung pada pengetahuan tentang kisah itu sendiri,
namun pada pelajaran yang dapat diambil darinya. Semua ayat-
74 Zakiyuddin Baidhawy
oral yang telah ada sebelum wahyu al-Quran turun. Husayn
(1996: 33-35) menyatakan bahwa kisah ini telah ditemukan
jauh-jauh hari sebelum wahyu al-Quran. Kisah ini bertujuan
untuk menghapuskan ketegangan antara bangsa Arab pagan,
penduduk pribumi Yathrib, dan suku-suku Yahudi yang datang
untuk bermukim di kota ini. Al-Quran mempergunakan kisah
bukan hanya mensituasikan Islam dalam konteks tradisi Yahudi-
Kristen, bahkan juga untuk memapankan prioritasnya sebagai
agama monoteistik. Pandangan Husayn di sini menekankan
bahwa kisah tersebut tidak harus dipahami sebagai sarana
menyampaikan realitas historis sesuai dengan asumsi-asumsi
tentang situasi kebahasaan di semenanjung Arabia telah diterima
tanpa persoalan.
Karya-karya Ahmad Amin tentang sejarah perdaban Islam
merupakan contoh lain kecenderungan baru kesarjanaan dalam
institusi akademik. Mempertimbangkan kembali sejarah Islam
secara keseluruhan, biografi Nabi khususnya, dari perspektif
kritis secara terbatas dipengaruhi oleh minat sejarah abad ke-19,
khususnya sejarah Islam dan kehidupan Nabi. Biografi Nabi yang
ditulis oleh Muhammad Husayn Haykal (1888- 1956) dan Taha
Husayn dipandang sebagian sarjana Muslim salah satu alasan di
balik perubahan besar dalam level diskusi tentang kehidupan
Nabi. Diskusi ini berpindah secara signifikan dari konfrontasi
menuju dialog.
C. Pendekatan Tajdid
Model pendekatan sastra lain diperkenalkan oleh Amin al-Khuli
(1995). Ketika ia memulai karirnya, angin perubahan mulai
tampak dalam kehidupan Mesir. Ia menerapkan metode tajdid
untuk studi bahasa (nahw) dan retorika (balaghah), tafsir al-
76 Zakiyuddin Baidhawy
hubungan dengan psikologi, suatu hubungan yang paralel den-
gan relasi antara kritik sastra dan estetik. Maka studi balaghah
mesti fokus pada studi tentang gaya sastra dan pengaruh emo-
sionalnya terhadap pemirsa/pembacanya. Tujuannya adalah
untuk mengembangkan kesadaran estetik baik pada penulis
maupun pembaca, inilah yang disebut sebagai seni wacana.
Hanya pendekatan sastra terhadap al-Quran, melalui teori sas-
tra modern, yang dapat menyingkap i`jaz al-Quran yang pada
dasarnya bersifat ekspresif dan provokatif secara emosional. Di
samping isterinya Bint al-Shati, dua pengikut al-Khuli yang men-
jadi mahasiswanya langsung, yang menerapkan metode sastra
dalam studi al-Quran menjadi sangat terkenal. Mereka adalah
Khalafallah dan Shukri Ayyad. Perlu juga disebutkan bahwa
Sayyid Qutb, seorang ideolog terkenal fundamentalisme Islam,
memulai karya-karyanya tentang al-Quran dengan menerapkan
metode serupa meskipun lebih impresionistik. Ini bias dilihat
dalam karyanya Fi Zhilal al-Quran.
D. Pendekatan Tahlili
Maksud tafsir tahlili atau ijmali atau juzi adalah metode kajian
al-Quran dengan menganalisis secara kronologis dan memapar-
kan berbagai aspek yang terkandung dalam ayat-ayat al-Quran
sesuai dengan urutan bacaan yang terdapat dalam urutan mu-
shaf Uthmani. Ternyata menurut sejumlah ilmuwan, metode
yang sebagian ilmuan menyebutnya dengan metode kajian at-
omistik atau metode kajian yang bersifat parsial ini memiliki
beberapa kelemahan. Quraish Shihab berpendapat, satu akibat
dari pemahaman al-Quran berdasar ayat demi ayat secara ter-
pisah adalah al-Quran terlihat seolah sebagai petunjuk yang ter-
pisah-pisah (Shihab, 1996: 112).
78 Zakiyuddin Baidhawy
lukan hadis-hadis. Penggunaan ayat lain hanya untuk memaha-
mi makna harfiah dari kata-kata dalam ayat. Akibatnya, penaf-
siran berhenti setelah pemahaman atas makna dari bagian ayat
tertentu dalam al-Quran, tanpa dapat melampaui batasan dari
ayat yang dibahas.
Hasil-hasil dari metode analitik dalam tafsir ini adalah
kumpulan makna-makna al-Quran yang sangat luas namun
terpisah-terpisah satu sama lain. Inilah yang membuat kita sadar
bahwa banyak gagasan dan ajaran al-Quran yang tidak saling
berhubungan dan berdiri sendiri sehingga tidak memungkinkan
bagi kita untuk mengidentifikasi hubungan antara ayat-ayat
atau menemukan pola pemahaman. Dengan metode ini pula,
kita tidak mungkin memahami pandangan al-Quran tentang
berbagai lapisan aktivitas manusia. Jadi, apa yang kita hadapi
ialah sekumpulan fakta yang sangat luas sehingga kita sulit
membuat hubungan dan jalinan antara fakta-fakta itu, yang
dapat membawa kita pada formasi gagasan-gagasan yang
tersusun guna menangkap pandangan al-Quran mengenai
beragam bidang dan lapisan kegiatan manusia. Tafsir analitik/
tahlili tidak dapat mencapai tujuan ini, dan jika dapat tercapai,
namun itu bukan tujuan utamanya (al-Shadr, 1989).
Pemahaman sepotong-potong yang dihasilkan oleh kecen-
derungan tafsir analitik ini tentu saja dapat membawa pada
berkembangnya beberapa konflik keagamaan dalam Islam,
karena tafsir ini mendorong individu atau kelompok Muslim
tertentu menemukan dan menggunakan ayat tertentu untuk
membenarkan posisi mereka, mengklaimnya benar dan meng-
kristalkan pengelompokkan di antara mereka sendiri. Ini terjadi
dalam banyak persoalan kalam (teologi) seperti masalah kebe-
basan dan nasib manusia. Kekurangan-kekurangan ini melahir-
E. Pendekatan Semantik
Pendekatan semantik dalam ilmu bahasa dimanfaatkan oleh
para pengkaji Islam untuk mempelajari teks-teks keislaman,
terutama al-Quran. Bagian ini mencoba untuk mengelaborasi
bagaimana pendekatan semantik digunakan untuk mempelajari
struktur dan ketepatan sejumlah istilah kunci dan konsep dalam
al-Quran yang pernah dilakukan oleh dua sarjana kontemporer,
yaitu Toshihiko Izutsu (1914-1993) dan Syed Muhammad Naquib
al-Attas (1931--), dan membandingkannya dengan al-Raghib
al-Isfahani (w. ca 443/1060), penulis karya Kitab al-Mufradat fi
Gharib al-Quran. Istilah-istilah kunci dan konsep-konsep yang
dimaksud di sini adalah kata-kata yang digunakan al-Quran
yang memainkan peran menentukan dalam menghiasi struktur
konseptual dasar dari pandangan dunia al-Quran. Bagian ini
berusaha menunjukkan bagaimana al-Quran telah mengubah
secara mendalam dan karenanya juga mengubah makna istilah-
istilah dalam bahasa Arab yang mapan, khususnya istilah-istilah
kunci yang berhubungan dengan agama dan etika, dan menyoroti
suatu kenyataan bahwa analisis semantik kontemporer terhadap
kosa kata al-Quran telah memiliki akar sejak abad ke-11.
Toshihiko Izutsu adalah sarjana pertama yang akan diulas
dalam bagian ini. Menurut Izutsu, al-Quran melalui keselu-
ruhan kosa katanya memberikan ungkapan mengenai ontologi
konkret dan dinamis, lebih dari sekadar pandangan abstrak dan
metafisik tentang alam semesta. Ia menunjukkan hal ini melalui
hasil kajiannya yang menggunakan pendekatan semantik dan
80 Zakiyuddin Baidhawy
telah diterbitkan pada 1960-an. Ia telah meletakkan skema kon-
septual terhadap apa yang ia sebut sebagai pandangan dunia al-
Quran, dan inilah yang membedakannya dari pandangan dunia
jahiliyah.
Menurut Izutsu (1964; 1965; 1966; 1959), al-Quran adalah
suatu bidang semantik yang sangat luas, yang telah mengintegra-
sikan seluruh sistem kata-kata, darimana pun asalnya, ke dalam
suatu interpretasi sistematik baru yang menyeluruh. Ia menjelas-
kan metodenya sebagai studi analitik terhadap kata-kata kunci
dari suatu bahasa dengan memerhatikan kandungan konseptu-
alnya yang mencerminkan pandangan dunia suatu masyarakat
yang menggunakan bahasa tersebut sebagai alat bukan semata
untuk bicara dan berpikir, namun lebih penting dari itu adalah
untuk mengkonseptualisasi dan menafsirkan dunia di sekitar
mereka. Istilah pandangan dunia memberikan kunci bagi
pemahaman Izutsu tentang semantik sebagai studi tentang haki-
kat dan struktur pandangan dunia suatu bangsa pada suatu peri-
ode sejarahnya yang signifikan, yang dilakukan dengan menggu-
nakan sarana analisis metodologis atas konsep-konsep kultural
yang dihasilkan oleh bangsa itu sendiri dan terkristalisasi dalam
kata-kata kunci bahasanya (Izutsu, 1964: 11; 1966: 7-9).
Dengan menganalisis lebih dari dua lusin kata kunci seperti
Allah, islam, iman, kufr, nabi, wahy, karim, taqwa, dan seterus-
nya (Izutsu, 1964: 25), Izutsu bukan hanya mampu mengkon-
traskan teologi dan etika Jahiliyah dan al-Quran, bahkan juga
memaparkan jaringan konseptual yang menggarisbawahi pan-
dangan dunia semantik al-Quran. Ia menunjukkan misalnya,
bagaimana istilah Allah telah mengalami perubahan seman-
tik radikal dan transformasi konseptual. Pada masa pra Islam,
kata Allah dipahami oleh orang Arab sebagai merujuk kepada
82 Zakiyuddin Baidhawy
tian, bukan untuk menghambur-hamburkannya atau untuk riya
(Izutsu, 1966: 43-45; 234-239).
Singkatnya, Izutsu menyimpulkan bahwa meskipun banyak
kata yang digunakan al-Quran sama dengan yang digunakan
dalam bahasa Arab, namun kata-kata itu tidak memiliki peran
yang sama atau merujuk pada konsep yang sama. Kedermawanan/
kemurahan ditunjukkan dengan tindakan berinfak di jalan Allah;
keberanian diubah dari egoisme buta ke kesadaran berkorban
di jalan Allah; solidaritas kesukuan telah digantikan dengan
kekeluargaan berdasarkan iman, dst.
Hasil kajian yang paling diminati oleh para sejarawan
agama-agama adalah pandangan Izutsu mengenai agama Arab
pra Islam. Izutsu secara tegas menolak istilah agama pada masa
pra Islam. Ia tidak memandang agama Arab pra Islam sebagai
agama, karena istilah ini tidak pernah muncul melampaui
tingkat polydaemonisme yang telah menghasilkan banyak bidah,
kebiasaan dan hal-hal duniawi, dan bangsa Arab khususnya
Badui, pada umumnya kurang memiliki perhatian keagamaan
yang serius. Menurutnya, solidaritas kesukuan (ashabiyyah) jauh
lebih kokoh dibandingkan dengan agama (Izutsu, 1966: bab
V). Ia juga menolak teori Arthur Jeffery and Wilfred Cantwell
Smith tentang kata din dalam bahasa Arab berasal dari bahasa
Persia. Ia menyatakan bahwa kata din dalam bahasa Arab
yang digunakan al-Quran memiliki dua makna, sebagaimana
pada masa Jahiliyyah. Din berarti agama baik sebagai keimanan
personal maupun sistem kredo dan ritual formal yang dilakukan
bersama oleh sebuah komunitas (Izutsu, 1964: 219-229).
Akibatnya, jika Islam diklaim al-Quran sebagai satu-satunya
agama yang diterima Allah, ini harus dipahami dalam arti Islam
sebagai agama yang telah direifikasi dan tidak direifikasi.
84 Zakiyuddin Baidhawy
konsepsi Melayu mengenai hakikat wujud atau eksistensi, yang
secara keseluruhan menggambarkan visi tentang alam semesta.
Kata ada, menurut al-Attas, yang pada masa pra Islam berarti
menjadi dan mengandung konsep ada secara material dan
fisik, banyak keserupaan dengan makna kata mawjud dalam
bahasa Arab, mengandung makna baru yang mencerminkan
pandangan dunia baru. Kata ada yang digunakan Hamzah
untuk menunjuk konsep metafisika seperti jadi, menjadi,
dan yang dijadikan (yang umumnya untuk terjemahan kana
dan derivasinya dalam bahasa Arab), sekaligus mengandung
konsep mawjud baik dalam arti zahir maupun batin. Kata ini
juga bermakna dzat, mahiyyah, diri, dan akhirnya digunakan
untuk menggambarkan konsep abstrak tentang wujud (being
qua being).
Kata titah dalam bahasa Melayu berarti perintah yang
biasanya digunakan oleh raja. Oleh Hamzah kata ini menghendaki
makna relasional yang bukan semata mengandung arti posisi
wewenang karismatik namun juga posisi wewenang ketuhanan
sekaligus. Perubahan semantik atas kata titah terjadi sebagai
akibat penggunaan Hamzah atas kata ini untuk menerjemahkan
kata amr dalam bahasa Arab, yang dalam al-Quran dikaitkan
dengan perintah Tuhan (al-Attas, 1970: 145-146).
Contoh lain dari kajian al-Attas atas kata-kata kunci Islam
dengan analisis semantik dijumpai dalam kuliahnya tentang
Islam: the Concept of Religion and the Foundation of Ethics
and Morality, yang disampaikan di sebuah konferensi Islam
internasional di London 1976. Ia mengatakan bahwa istilah
din dalam bahasa Arab digunakan al-Quran dengan merujuk
kepada al-Islam (QS. Ali Imran/3:19, 85; al-Maidah/5:3). Kata
ini mengungkapkan konsep agama yang secara hakiki berbeda
86 Zakiyuddin Baidhawy
kecenderungan alamiah manusia (fitrah) kepada kebaikan dan
keadilan. Yang paling menarik dari analisis semantiknya adalah
kesimpulan bahwa Islam sebagai al-din merupakan agama
subjektif, agama personal dari individu dan sekaligus agama ob-
jektif yang meresap ke dalam kehidupan komunitas sehingga
kata al-din sebagai agama individual merupakan entitas yang
sama dengan agama masyarakat yang terdiri dari sekumpulan
entitas-entitas tersebut. Dengan demikian, pandangannya mem-
perkuat teori Izutsu dan menentang teori Jeffrey dan Smith.
Al-Husyan ibn Muhammad ibn al-Mufaddal, yang lebih
dikenal dengan al-Raghib al-Isfahani adalah salah satu ahli bahasa
paling dikenal selama masa Abasiyah. Ia memberikan kontribusi
dalam bidang tafsir, etika, teologi, mistisisme, dan sastra.
Karyanya Al-Mu`jam al-Mufradat Alfaz al-Quran mencerminkan
analisis semantik dan menjadi tengara kemajuan bagi studi
sistemtik tentang al-Quran. Karya ini memberikan pengaruh
besar pada sarjana-sarjana kemudian termasuk al-Fairuzabadi
(w. 817/1415), penulis al-Qamus al-Muhit, dan Murtada al-
Zabidi (w. 1205/1791) penulis leksikon Taj al-Arus. Sayangnya
karya al-Isfahani dilupakan oleh para sarjana kontemporer yang
berminat dengan semantik al-Quran.
Dalam Al-Mu`jam al-Mufradat Alfaz al-Quran, al-Isfahani
menggunakan prosedur sebagai berikut: Pertama, ia menjelas-
kan makna leksikal kosa kata, menganalisis morfologi dan
menelusuri etimologinya. Kedua, ia memberikan contoh-con-
toh pengunaannya dalam berbagai konteks dengan mengutip
al-Quran, tradisi, dan puisi. Ketiga, ia menjelaskan makna is-
tilah yang ada dalam al-Quran dalam kaitannya dengan ayat-
ayat lain dengan menggunakan pendekatan al-Quran dengan
al-Quran. Di samping itu ia juga mengutip pendapat-pendapat
88 Zakiyuddin Baidhawy
di sisi Allah adalah Islam (QS. Ali Imran/3:19). Ketika kata
din disebut dalam al-Quran bersamaan dengan Allah atau
Kebenaran (al-haqq), maka agama Islam yang dimaksud oleh
ungkapan tersebut. Seperti contoh dalam ayat: Dan barangsiapa
mencari agama selain dari Islam, maka Allah tidak akan pernah
menerimanya (QS. Ali Imran3/85) (al-Isfahani, tth.: 323).
Penjelasan tentang perubahan-perubahan semantik mem-
bawa kita pada pemahaman tentang sejarah bahasa Arab yang
lebih bernuansa. Tidak ada persoalan bahwa semua bahasa
tentu saja berubah dari waktu ke waktu dan bahkan terus me-
ngalir sejalan dengan perubahan konotasi yang terjadi pada teks.
Perubahan-perubahan ini dapat berupa perubahan grammatika
(yang melibatkan morfologi dan syntaks, perubahan semantik
makin luas atau menyempit maknanya, berubah maknanya atau
ganda maknanya), dan seringkali terjadi sebagai akibat kontak
kultural. Bahasa Arab tanpa kecuali. Penjelasan tentang perubah-
an-perubahan semantik akan menyingkap tirai-tirai yang selama
ini dipertahankan selama berabad-abad, karena alasan bahwa
bahasa Arab adalah bahasa wahyu Islam. Karena perubahan-
perubahan semacam ini, maka para filolog dan orientalis Barat
mengklasifikasikan bahasa Arab ke dalam masa klasik, perte-
ngahan, dan modern. Namun demikian, bahasa Arab modern
yang tertulis sangat sulit dibedakan dari tulisan-tulisan bahasa
Arab pertengahan. Hal ini bisa dilihat melalui studi perbanding-
an semantik. Berdasarkan kajian tiga sarjana di muka, mereka
menyatakan bahwa ada banyak kata kunci dan istilah kunci yang
pada hakikatnya masih tidak berubah meskipun terjadi peru-
bahan lingkungan historis dan tanpa memandang konteks ke-
budayaan yang bervariasi.
90 Zakiyuddin Baidhawy
ini digagas pada tahun seribu sembilan ratus enam puluhan
(Shihab, 1999: 114). Buah dari tafsir model ini menurut Quraish
Shihab di antaranya adalah karya-karya Abbas Mahmud al-Aqqad
al-Insan fi al-Quran, dan al-Marah fi al-Quran, dan karya Abul
Ala al-Maududi, al-Riba fi al Quran. Kemudian tafsir model ini
dikembangkan dan disempurnakan lebih sistematis oleh Abdul
Hay al-Farmawi, pada tahun 1977, dalam kitabnya al-Bidayah fi
al-Tafsir al-Mawdhui: Dirasah Manhajiyah Mawdhuiyah.
Namun kalau merujuk pada catatan lain, kelahiran tafsir
tematik jauh lebih awal dari apa yang dicatat Quraish Shihab,
baik tematik berdasar surah maupun berdasarkan subjek. Kait-
annya dengan tafsir tematik berdasar surah al-Quran, Zarkashi
(745-794/1344-1392), dengan karyanya al-Burhan, misalnya
adalah salah satu contoh yang paling awal yang menekankan
pentingnya tafsir yang menekankan bahasan surah demi surah.
Demikian juga Suyuti (w. 911/1505) dalam karyanya al-Itqan.
Karena itu, meskipun tidak fenomena umum, tafsir tematik su-
dah diperkenalkan sejak sejarah awal tafsir. Lebih jauh, perumu-
san konsep ini secara metodologis dan sistematis berkembang
di masa kontemporer. Demikian juga jumlahnya semakin ber-
tambah di awal abad ke-20, baik tematik berdasarkan surah al-
Quran maupun tematik berdasar subyek/topik.
Langkah-langkah untuk menerapkan metode tafsir tematik,
menurut Abdul Hay Al-Farmawiy (1996), ada tujuh langkah
sebagai berikut:
1. Menetapkan masalah yang akan dibahas ( topik );
2. Menghimpun ayat-ayat yang berkaitan dengan masalah
tersebut;
3. Menyusun runtutan ayat sesuai masa turunnya.disertai
pengetahuan tentang asbabun nuzulnya;
92 Zakiyuddin Baidhawy
matsur yang pada hakikatnya merupakan benih awal dari
metode tematik.
Dari uraian di atas, baik yang dikemukakan Abdul Hay Al-
farmawiy maupun M.Quraish Shihab sama-sama sependapat
bahwa langkah awal yang ditempuh dalam mempergunakan
metode tafsir tematik adalah menetapkan topik atau masalah
yang akan dibahas kemudian menghimpun ayat-ayat yang
mempunyai pengertian yang sama dengan topik dan dilengkapi
dengan hadis-hadis yang relevan dengan pokok bahasan
dan yang perlu dicatat topik yang dibahas diusahakan pada
persoalan yang langsung menyentuh kepentingan masyarakat,
agar al-Quran sebagai petunjuk hidup dapat memberi jawaban
terhadap problem masyarakat itu.
Dari paparan di atas dapat diketahui bahwa tafsir tematik
mempunyai keistimewaan di dalam menuntaskan persoalan-
persoalan masyarakat dibandingkan metode lainnya, antara
lain:
1. Menafsirkan ayat dengan ayat atau dengan hadis Nabi adalah
suatu cara terbaik di dalam menafsirkan al-Quran,
2. Kesimpulan yang dihasilkan oleh metode tematik mudah
dipahami. Hal ini disebabkan ia membawa pembaca kepada
petunjuk al-Quran tanpa mengemukakan berbagai pemba-
hasan terperinci dalam satu disiplin ilmu. Dengan demikian
ia dapat membawa kita kepada pendapat al-Quran tentang
berbagai problem hidup disertai dengan jawaban-jawaban-
nya. Hal ini membuktikan bahwa al-Quran adalah petun-
juk hidup.
3. Metode ini memungkinkan seseorang untuk menolak
anggapan adanya ayat-ayat yang bertentangan dalam al-
94 Zakiyuddin Baidhawy
ngetahui hubungan antara berbagai ayat sehingga memperoleh
pandangan al-Quran yang utuh yang di dalamnya setiap ayat
memperoleh tempat yang layak.
Metode tematik berusaha mencari pandangan al-Quran
tentang kenabian misalnya, pandangan tentang teori ekonomi,
hukum, kosmologi dll. Jadi, dengan cara ini tafsir tematik satu
langkah melampaui tafsir tahlili/analitik, dan bermaksud untuk
menyusun suatu pandangan yang menyajikan wawasan al-
Quran mengenai isu tertentu dari berbagai macam isu ideologi,
sosial dan kosmologi.
Inilah dua perbedaan prinsip antara metode analitik dan
metode tematik dalam tafsir. Kita juga dapat menyebutkan
bahwa metode tematik diterapkan di bidang fikih, jadi bukan
hanya di bidang tafsir semata, sementara metode analitik hanya
di bidang tafsir. Kini studi fikih perlu memanfaatkan potensi
metode tematik untuk memperluas ruang lingkupnya secara
horizontal sekaligus vertikal, karena metode tematik memulai
dari realitas dan kembali kepada syariah. Ini mendorong
para ulama dan ahli fikih memerhatikan berbagai aspek dan
situasi kehidupan nyata, seperti persoalan-persoalan kontrak
jualah, mudarabah, muzaraah, musaqat, dan perkawinan, untuk
menghubungkannya dengan sumber-sumber syariah dalam
rangka mendeduksi aturan-aturan syariah bagi semua aktivitas
tersebut.
Adalah suatu keniscayaan bahwa studi hukum memperluas
ruang lingkupnya lebih jauh secara horizontal karena para
sarjana yang berkontribusi bagi perkembangan metode tematik
selama beberapa abad adalah mereka yang selalu peka untuk
menangkap realitas kontemporer dan mengkaitkannya dengan
syariah, dengan maksud untuk mendeduksi hukum-hukum yang
96 Zakiyuddin Baidhawy
kepada al-Quran. Kita juga dapat menyebutnya dengan metode
sintetik karena ia berusaha menyatukan pengalaman manusia
dengan al-Quran. Namun ini bukan berarti bahwa metode ini
bermaksud menundukkan al-Quran di hadapan pengalaman
manusia. Metode ini menyatukan keduanya dalam konteks
pencarian yang bertujuan untuk menderifasi dari kesatuan
konteks ini pemahaman al-Quran yang mampu menentukan
pandangan Islam berkenaan dengan pengalaman manusia
tertentu atau berkaitan dengan ide tertentu yang dibawa
penafsir ke dalam konteks pencariannya. Metode ini menyeleksi
sekelompok ayat terkait tema tertentu, kemudian menyintesis
ayat-ayat dan maknanya ke dalam suatu pandangan yang utuh.
Meski metode tematik tampak lebih baik daripada metode tafsir
tahlili/analitik, namun bukan berarti kita tidak membutuhkan
tafsir tahlili. Metode tematik juga tidak dimaksudkan untuk
mengganti kedudukan tafsir tahlili. Namun keduanya bisa saling
mengisi. Keduanya penting dalam tradisi tafsir al-Quran dan
tidak saling meniadakan satu dengan yang lain.[]
MODEL KAJIAN
USUL FIKIH DAN FIKIH
PengantarPengertian
Penulis dan Metodologi Studi Islam 155
bahwa usul fikih merupakan ilmu mengenai sumber-sumber
dan metodologi hukum yang akurat dalam arti bahwa Al-Quran
dan Sunnah merupakan sumber sekaligus materi bahasan di
mana metodologi usul fikih diterapkan. Al-Quran dan Sunnah
sendiri mengandung sangat sedikit metodologi, namun lebih
menyediakan inidikasi-indikasi di mana aturan-aturan syariah
dapat dideduksi. Metodologi usul fikih sesungguhnya merujuk
kepada metode-metode penalaran seperi analogi/qiyas, istihsan,
istishab, dan aturan-aturan penafsiran dan deduksi. Semua ini
didesain untuk berperan sebagai alat bantu menuju pemaham-
an yang benar tentang sumber-sumber dan ijtihad.
Mendeduksi aturan-aturan fikih dari indikasi-indikasi yang
tersedia dalam sumber-sumber merupakan tujuan dari usul
fikih. Fikih pada dasarnya merupakan hasil atau produk dari
usul fikih, dan keduanya merupakan disiplin yang terpisah
meskipun saling berkaitan. Perbedaan utama antara fikih dan
usul fikih ialah bahwa fikih berkaitan dengan pengetahuan
tentang aturan-aturan rinci dalam hukum Islam dalam berbagai
percabangannya, dan usul fikih berkaitan dengan metode-meto-
de yang diterapkan dalam mendeduksi aturan-aturan itu dari
sumbernya. Fikih, dengan kata lain, merupakan hukum itu sen-
diri sementara usul fikih ialah metodologi hukum. Hubungan
antara kedua disiplin ini seperti ikatan antara tata bahasa dengan
bahasa, atau antara logika dengan filsafat. Usul fikih dalam
pengertian ini menyediakan kriteria standar untuk mendeduksi
secara benar aturan-aturan fikih dari sumber-sumber syariah.
Pengetahuan memadai tentang fikih menghendaki hubungan
erat dengan sumber-sumbernya. Inilah yang membawa kita pada
suatu pengertian bahwa fikih merupakan ilmu tentang aturan-
aturan praktis syariah yang diperoleh dari bukti-bukti rinci dari
PengantarPengertian
Penulis dan Metodologi Studi Islam 157
Selama abad pertama hijrah belum ada kebutuhan akan usul
fikih. Ketika nabi masih hidup, petunjuk dan solusi untuk setiap
masalah yang dihadapi dapat diperoleh dari Nabi langsung
melalui wahyu atau melalui perintahnya. Selama periode itu pula
para sahabat berhubungan erat dengan ajaran-ajaran Nabi dan
keputusan-keputusan sahabat yang diilhami oleh peristiwa yang
sudah ada. Kedekatan pada sumber dan pengetahuan yang lekat
tentang peristiwa-peristiwa membuat para sahabat memiliki
otoritas untuk menjawab masalah praktis tanpa membutuhkan
metodologi (Khallaf, Ilm, p. 16; Abu Zahrah, Usul, pp. 16-17).
Namun, bersamaan dengan semakin luasnya wilayah Islam, para
sahabat mulai tersebar dan akses langsung pada mereka semakin
sulit. Dengan demikian, kemungkinan terjadi kebingungan dan
kekeliruan dalam memahami sumber-sumber teks menjadi
lebih tampak. Perselisihan dan keragaman pemikiran fikih di
berbagai wilayah berbeda menekankan perlunya metodologi
usul fikih. Asy-Syafii datang pada saat kontroversi fikih telah
terjadi antara fukaha Madinah dan Irak, yang dikenal sebagai
ahl al-hadis dan ahl ar-ray. Pada masa ini pula para ulama hadis
berhasil mengumpulkan dan mendokumentasi hadis. Pada
akhirnya para fukaha menjamin keberadaan Sunnah, dan mereka
mulai mengelaborasi hukum, dan karenanya membutuhkan
metodologi untuk mengatur ijtihad menjadi semakin penting.
Konsolidasi usul fikih sebagai disiplin syariah merupakan
kesimpulan logis dari kompilasi sejumlah besar literatur hadis.
Beberapa Contoh Perbedaan antara Fikih dan Usul Fikih
Fikih mengajarkan Usul Fikih mengajarkan
Beribadah hanya wajib Bicara tentang apa arti haram, apa
jika seseorang telah cukup itu mustahab, dst.
kesadarannya (aqil) dan telah
mencapai umur (baligh)
PengantarPengertian
Penulis dan Metodologi Studi Islam 159
pendekatan deduktif. Pendekatan teoretis atau rasional hanya
digunakan oleh penduduk Hijaz. Setelah menderivasi prinsip-
prinsip dari Al-Quran dan Sunnah, para sarjana mencoba
menyesuaikan pandangan-pandangan mazhab mereka dengan
prinsip-prinsip itu. Jika tidak sesuai, pandangan-pandangan itu
akan dimodifikasi. Ketika menderivasi hukum Islam mereka
bersandar pada taklid, dalam arti membatasi diri mereka hanya
pada teks apa pun yang mereka punyai, dan karena itu dikenal
juga sebagai kaum literalis. Para penduduk Hijaz mengikuti
pendekatan ini karena mereka memiliki akses lebih banyak
kepada hadis-hadis. Ciri-ciri dari pendekatan ini ialah: bebas dari
pendapat-pendapat imam terdahulu; tidak melihat pendapat-
pendapat fikih; terlibat dalam konflik teori dan filsafat tanpa
alasan, yaitu kemaksuman Nabi sebelum kenabian. Tidak wajib
untuk mengikuti tindakan-tindakannya sebelum ia menjadi
Nabi; para pengikut mazhab ini mengembangkan prinsip-
prinsip.
Pendekatan deduktif atau tradisional digunakan oleh pen-
duduk Irak yang melukiskan kebudayaan Persia, yang menekan-
kan penalaran rasional. Pendekatan ini disebut tradisional karena
prinsip-prinsip usul diderivasi berdasarkan atas pandangan-
pandangan imam Abu Hanifah tentang persoalan-persoalan
fikih. Jika salah satu pandangannya kontradiksi dengan prinsip
usul, prinsip itu sendiri yang harus dimodifikasi. Inilah mengapa
sulit bagi mazhab Hanafi untuk mengatakan imam salah. Imam
Karkhi mengatakan: jika prinsip-prinsip bertentangan dengan
pernyataan syekh, maka mungkin sumber dapat dipahami
dengan dua cara dan pandangan ini lebih baik. Ketika berupaya
untuk menderivasi hukum Islam, Abu Hanifah menggunakan
ijtihad bila ia tidak mempunyai sumber yang tersedia (meskipun
PengantarPengertian
Penulis dan Metodologi Studi Islam 161
Penjelasan teoretiknya tentang usul fikih dengan kata lain
tidak mempertimbangkan penerapan praktisnya di wilayah
cabang (furu`). Di samping itu, Syafiiyyah dan mutakallimun
cenderung terlibat dalam isu-isu kompleks yang filosofis yang
boleh jadi memberikan atau tidak memberikan kontribusi
bagi perkembangan aturan-aturan praktis fikih. Dengan cara
ini, bahasan mengenai kemaksuman Nabi sebelum misi
kenabiannya misalnya, dan masalah perolehan status individu
atau wewenangnya sebelum turunnya wahyu syariah, dan juga
persoalan logika dan bahasa yang jauh relevansinya dengan
aturan-aturan praktis fikih cenderung lebih banyak muncul
dalam karya-karya Syafiiyyah dan mutakalllimun daripada
Hanafiyyah. Hanafiyyah telah berupaya menjelaskan prinsip-
prinsip usul fikih dalam kaitannya dengan fikih itu sendiri dan
cenderung lebih pragmatis dalam pendekatan mereka terhadap
masalah ini. Pendek kata, pendekatan teoretik condong meman-
dang usul fikih sebagai disiplin mandiri di mana fikih harus me-
nguatkannya, sementara pendekatan deduktif berusaha meng-
hubungkan usul fikih lebih dekat dengan isu-isu terperinci
dalam wilayah furu` dalam fikih. Misalnya, ketika Hanafiyyah
menemukan prinsip usul bertentangan dengan prinsip fikih
yang mapan, mereka cenderung menyesuaikan teori sehingga
dalam banyak hal konflik yang sedang dihadapi dihilangkan,
atau mereka mencoba membuat pengecualian untuk mencapai
kompromi. Tiga karya penting yang mempergunakan pendekatan
teoretik atas usul fikih adalah Al-Mutamad fi Usul al-Fiqh karya
tokoh Mutazilah Abu al-Husayn al-Basri (w. 436), Kitab al-
Burhan karya Syafiiyyah Imam al-Haramayn al-Juwayni (w.
487) dan Al-Mustasfa karya Imam Abu Hamid al-Ghazali (w.
505). Tiga karya ini kemudian diringkas oleh Fakhr ad-Din ar-
PengantarPengertian
Penulis dan Metodologi Studi Islam 163
Dua Pendekatan Klasik Usul Fikih
Pendekatan teoretik Pendekatan deduktif
membentuk fikih secara dibentuk dalam sorotan
independen fikih
Nama mazhab Tariqah Al- Tariqah Al-Fuqaha, Usul
Mutakallimin, Usul Al-Hanafiyyah
al-Syafiiyyah
Mazhab Maliki, Syafii, Hanbali, Hanafi terbatas
pemikiran dan Mutazilah (Usul pada bahasa dan
Asy-Syafiyyah) sangat praktis. Mereka
mengikuti para imam.
Pendekatan 1. Menjelaskan doktrin 1. Teori dibentuk
utama teoretik lebih dulu dalam sorotan
dari penerapannya penerapannya pada
pada masalah fikih. persoalan fikih yang
2. Mengartikulasikan relevan.
prinsip-prinsip 2. Dalam pendekatan
teoretik usul fikih pragmatis, prinsip-
secara independen prinsip usul fikih
tanpa harus dijelaskan dalam
menghubungkannya kaitannya dengan
dengan fikih itu fikih itu sendiri (jika
sendiri (seperti ia tidak memberi
membahas sifat fisik pengaruh pada
malaikat). fikih, maka ia tidak
dibahas dengan
tujuan untuk
menderivasi prinsip-
prinsip usul fikih).
PengantarPengertian
Penulis dan Metodologi Studi Islam 165
166 Zakiyuddin Baidhawy
BAB 9
MODEL
KAJIAN HERMENEUTIKA:
Studi Hermeneutika
Pembebasan Farid Esack
Skema I
Hermeneutika double movement Fazlur Rahman
Masyarakat Islam
Korpus tertafsir
Masyarakat
Angan-angan sosial
Muncul kritik rasionalitas
1 Istilah tafsir dalam paper ini bukanlah tafsir Al-Quran dalam kategori cabang
keilmuan Islam tradisional. Tafsir di sini lebih merujuk pada segala upaya
pemahaman intelektual manusia terhadap sumber-sumber keilmuan, baik yang
berasal dari realitas kawniyyah dan realitas qawliyyah atau gabungan antara
keduanya, karena itu tafsir di sini dapat mencakup berbagai aspek keilmuan
seperti teologi/kalam, fiqh-usul fiqh, tasawuf, filsafat, ilmu-ilmu alam, ilmu-ilmu
sosial, dan ilmu-ilmu humaniora.
Dualisme Modernisme
objek pengetahuan Realisme versus Subjek pengetahuan
sama dengan realitas idealisme fakta sama dengan pikiran
res extensa versus mental res cogitans
Dualisme Tafsir Islam
Kontekstualisme
versus tekstualisme
Konteks Teks
Islam lain versus
Islam Murni
2 Salah satu ayat Al-Quran yang bisa dirujuk secara jelas dan menunjukkan ada
tiga model epistemologi bayani, burhani, dan `irfani adalah al-Araf (7): 179.
Ayat ini menyatakan relasi: 1) al-qulub sebagai instrumen untuk memperoleh
pemahaman (tafaqquh), dan ini dapat dijadikan rujukan bagi keabsahan
`irfani sebagai sumber pengetahuan; 2) al-a`yun atau indera manusia sebagai
insturmen manusia untuk memperoleh pengetahuan inderawi atau empirik,
dan ini menjadi sandaran bagi burhani sebagai sumber pengetahuan; dan 3) al-
adzan sebagai instrumen bagi pengetahun sima`i, yakni pengetahuan bayani.
Tabel II
Paradigma Pascamodernisme dan Tafsir Multikultural
Paradigma Pascamodernisme
Objek pengetahuan Subjek pengetahuan
Dunia Realitas Realitas Teori Teori Teori
nyata kami ku ku kami Ideal
Tafsir Multikultural
Objek pengetahuan Subjek pengetahuan
Dunia Realitas Realitas Islam Islam Islam
nyata kami ku ku kami Ideal
KITAB
Sabda & fakta
NATIJAH
Partisipasi,
Dialog,
Harmonisasi
Para penafsir/
tafsir
AL-QIRA`AH NAFS audiens
AL-MUNTIJAH lokal, nasional,
regional, global
E. Simpulan
Tantangan-tantangan kontemporer pascamodernisme telah
mengejutkan konvensi-konvensi sosial dan kultural, sistem-
sistem kepercayaan, statisme dan fondasionalisme dalam
pemikiran, kebudayaan dan pandangan-pandangan yang
selama ini dianggap suci oleh masyarakat Muslim. Dalam
rangka keluar dari krisis pemikiran keislaman dan praksis sosial,
tafsir multikultural merupakan alternatif yang dibutuhkan
dalam strategi dan implementasi Dakwah Islam rahmatan lil
`alamin. Tafsir multikultural adalah upaya mempertahankan
kontinuitas sejarah pemikiran dan kritisisme (baca: tajdid) di
mana sejarah gagasan, atau dalam istilah Kuntowijoyo periode
ilmu, menyediakan batu loncatan bagi ide-ide dan gerakan
D. Simpulan
Sejauh kita memandang ke masa depan, Pendidikan Agama
Berbasis Teologi Multikulturalis harus terus diupayakan secara
kolaboratif dengan institusi-institusi pendidikan dan para pe-
ngambil kebijakan serta organisasi-organisasi pemerintah mau-
pun non-pemerintah lain yang berkaitan, untuk menciptakan
suatu visi baru bagi peran Pendidikan Agama dalam masyara-
kat. Pendidikan Agama didesain untuk menawarkan nilai-nilai
saling pengertian, interdependensi, dan perdamaian. Orientasi
dan imperatif ini sangat jelas. Bila Pendidikan Agama hendak
memainkan peran positif dalam membangun masyarakat yang
damai dan harmoni dalam konteks global, ia perlu dirancang
lebih dari sekedar melatih para guru dalam penguasaan teknik-
teknik mengintrodusir gagasan-gagasan baru tentang multikul-
turalisme sebagai seni mengelola keragaman dan politik pe-
ngakuan akan perbedaan. Institusi-institusi pendidikan bahkan
harus menjadi tempat terjadinya transformasi pada diri siswa,
MODEL KAJIAN
PEMIKIRAN ISLAM:
Kajian tentang Islam Liberal
D. Simpulan
Kajian-kajian tentang Islam liberal membawa pada suatu
pemahaman bahwa kelompok ini datang sebagai protes dan
perlawanan terhadap dominasi Islam ortodoks. Islam liberal
yang dimaksud adalah kecenderungan pemikiran Islam modern
yang kritis, progresif dan dinamis. Dalam pengertian ini, Islam
liberal bukan suatu yang baru, akarnya sudah ada sejak abad 19.
Tema dan tesis yang dikampanyekan meminjam kategorisasi isu
yang dikemukakan oleh Charles Kurzman.
B. Pendekatan Demokrasi
Takeyh dan Gvosdev menawarkan penjelasan-penjelasan
kasus spesifik untuk setiap negara dengan menambahkan se-
dikit hipotesis analitik dalam bab simpulan yang pendek. Ber-
beda dari dua penulis di atas, karya Graham Fuller sepenuhnya
hampir berisi analisis. Fuller adalah seorang mantan analis dari
badan CIA Amerika Serikat di mana ia membidangi masalah
masyarakat Muslim dan meramal kondisi pada skala nasional.
Sejak ia meninggalkan CIA sebelum berakhirnya Perang Dingin,
ia merupakan penulis prolifik mengenai Timur Tengah dan ma-
salah-masalah Islam dan sering menjadi kritikus atas kegagalan
pemerintahan AS untuk memahami pandangan dunia Muslim.
Pandangan dunia yang sering dikeluhkan oleh dunia justru
karena ketidakseriusan untuk memahaminya sehingga seringka-
li melahirkan ketidakadilan dalam memperlakukan Islam baik
pada skala lokal maupun global. Pada saat yang sama dukungan
Barat yang hipokrit bagi otokrasi di masyarakat-masyarakat Mus-
lim yang bertanggung jawab telah melahirkan banyak konflik
berbahaya. Fuller mengkaji masalah ini dengan perbandingan
antara apa yang terjadi pada masa kini dan yang akan datang.
Ia yakin bahwa kebangkitan kembali Islam akan bergandengan
tangan dengan norma-norma Barat untuk menghadapi persoal-
an-persoalan global abad 21, termasuk degradasi lingkungan,
pertumbuhan dan distribusi ekonomi serta partisipasi demokra-
si. Meskipun identitas keagamaan dan etnik masih tegak berdiri
sebagai produk dari universalisme modernis lama, namun iden-
titas ini merupakan cara yang signifikan untuk mengungkapkan
C. Pendekatan Globalisasi
Bukti ini disediakan oleh Olivier Roy dalam buku Globalized
Islam. Ia mengajar pada akademi Paris elit, yakni The School
for Advance Study in Social Science (EHESS), dan merupakan
spesialis tentang Iran dan Asia Tengah pada the National Center
for Scientific Research (CNRS), di mana ia menjalankan program
tentang dunia Turki. Ia merupakan penulis terkenal karena
karyanya The Failure of Political Islam (1992) yang berpendapat
bahwa gerakan revolusioner Islamis sudah menurun pada akhir
1980an, yang menjadi landasan awal bagi gerakan yang disebut
METODOLOGI ILMIAH
MODERN DAN STUDI ISLAM
B. Pendekatan Sosiologis
Beberapa pendekatan modern yang digunakan oleh para sarjana
dalam mengkaji agama-agama termasuk Islam adalah pende-
katan sosiologis. Pada awalnya, penerapan metode sosiologis
mengikuti model sosiologi umumnya seperti yang dikemukakan
oleh A. Comte dan L. Von Stein, yang berkaitan erat dengan
penafsiran ekonomi yang diusulkan oleh Lasalle dan Marx.
Pendekatan ini kemudian dikoreksi oleh para pendiri sosiologi
agama modern: Fustel de Coulanges dan Emile Durkheim, Max
Weber dan Ernst Troeltsch, Werner Sombart and Max Scheler.
Pendekatan sosiologis memang penting untuk mengkaji
agama-agama, namun juga salah jika kita memandang bahwa
pendekatan ini diyakini dapat menyajikan kunci universal untuk
memahami fenomena keagamaan. Para ideolog seperti Comte,
Marx, dan Spencer adalah contoh sarjana yang menganut
keyakinan tersebut. Banyak para pengikut mereka cenderung
menggantikan persoalan tentang makna, nilai dan kebenaran,
dengan persoalan mengenai asal-usul sosial, struktur sosiologis,
manfaat sosial dari kelompok atau gerakan keagamaan. Para
ilmuwan sosial Amerika sangat condong bekerja mengikuti
garis ini. William James telah menentang bahwa asal-usul suatu
fenomena tidak otomatis membawa nilai-nilainya dan karena-
nya usulannya untuk penyelidikan psikologis juga diperlukan
bagi pendekatan sosiologis.
Meskipun demikian, pendekatan sosiologis untuk meng-
kaji agama-agama telah memberikan jasa besar. Sesudah ber-
lalunya masa individualisme agama, kita dihadapkan pada
E. Pendekatan Arkeologi
Studi Islam yang berkaitan dengan perkembangan Islam di
berbagai kawasan juga berkembang. Dalam waktu yang cukup
lama, Studi Islam lebih terfokus pada kajian Islam di kawasan
Timur Tengah. Padahal, banyak kawasan lain di luar Timur Tengah
menjadi tempat berkembangnya kebudayaan dan peradaban
Muslim, seperti Afrika dan Asia Selatan, dan Asia Tenggara di
mana Islam tumbuh. Khususnya kawasan Asia Tenggara di mana
Indonesia sebagai Negara berpenduduk Muslim terbesar dunia
berada, adalah suatu kawasan yang lebih banyak didominasi
oleh kajian para sejarawan dan antropolog. Meskipun demikian,
kajian para sarjana Barat itu mengungkapkan berbagai persoalan
yang berhubungan dengan Islam Asia Tenggara dan relevan
untuk kajian arkeologi. Kajian arkeologi ini akan memberikan
jawaban atas apa yang belum disentuh secara memadai oleh
kalangan sejarawan dan antropolog.
Persoalan yang diajukan oleh arkeologi terhadap kajian
Islam di Asia Tenggara terkait dengan masalah: kapan Islam
kali pertama datang di kawasan ini, di mana pintu masuknya,
siapa yang membawanya dan dari mana dibawa. Banyak
pengunjung Asia Tenggara yang kesan-kesan tercatat mereka
diabadikan dalam bentuk tulisan juga menggambarkan tentang
bagaimana dan kapan Islam muncul di kawasan ini. Para