Anda di halaman 1dari 775

https://islamindonesia.

id

https://islamindonesia.id 0
Sunday, 14 January 2018
AGAMA DAN TRADISI
Oleh Komaruddin Hidayat; Guru Besar Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah

islamindonesia.id – KOLOM – Agama dan Tradisi

AGAMA itu diyakini datang dari “langit”, sedangkan tradisi tumbuh dari “bumi”. Tapi
setiap agama yang hadir di bumi pasti akan bertemu dan menyatu dengan tradisi
lokal.

Bahkan sebuah agama pada urutannya juga akan melahirkan tradisi baru, yaitu
tradisi keagamaan. Oleh karena itu agama dan tradisi selalu menyatu, bagaikan
menyatunya roh dan tubuh. Kita semua begitu terlahir langsung diasuh dan
dibesarkan oleh tradisi.

Yang paling mencolok tentu dalam hal bahasa, makanan, dan agama. Anak kecil
akan berbahasa mengikuti bahasa lingkungan keluarga dan sosialnya.

Begitu pun selera dan cara makan serta jenis makanan yang disantap sangat
dipengaruhi tradisi keluarganya. Juga dalam aspek keberagamaan, seorang anak
akan mengikuti agama orang tuanya meskipun setelah dewasa bisa saja seseorang
menyatakan berganti keyakinan agamanya.

Pola pikir seseorang pun sangat dipengaruhi lingkungan tradisi yang


membesarkannya. Dengan demikian, secara ontologis-teologis, agama dan tradisi
bisa dibedakan, tetapi pada praktiknya agama dan tradisi tak mungkin dipisahkan
atau bahkan dibedakan.

https://islamindonesia.id 1
Paham dan praktik agama yang sampai pada kita, apa pun agamanya, sudah
melalui berbagai saluran tradisi dan tafsiran sehingga bisa jadi di sana terjadi
reduksi dan deviasi dari ajaran dasarnya meskipun kadarnya berbeda-beda. Kita
melihat dalam sejarah, agama tumbuh menjadi besar setelah keluar dari tempat
kelahirannya, bertemu dengan budaya baru di luarnya.

Tafsiran dan pengalaman umat beragama yang sedemikian banyak dan beragam
tanpa disadari juga telah bercampur baur, saling memperkaya yang lain. Ini
bagaikan model pakaian, sudah tumpang tindih dan bercampur modelnya meskipun
elemen dasarnya tetap.

Kadang perjumpaan agama juga berbenturan. Secara komunal umat beragama


punya rumah dan basis yang jelas, tetapi pada ranah kehidupan sosial terjadi
perjumpaan lintas umat. Terlebih lagi dengan situasi masyarakat dunia yang
semakin plural sebagaimana juga Indonesia, keragaman agama dan tradisi
keagamaan juga mudah kita jumpai di mana-mana.

Beruntunglah dasar negara kita Pancasila sehingga kerja sama antarumat yang
berbeda sudah biasa dan berlangsung lama, bahkan difasilitasi negara. Di era
demokrasi, persilangan antar-pemikiran dan tradisi agama semakin leluasa. Dengan
demikian, pada ranah budaya, berbagai unsur agama bisa saja bertemu dan
berkembang bersamaan tanpa merusak keyakinan agama masing-masing.

Panggung budaya itu bagaikan pasar atau mal yang mempertemukan dan
menampung berbagai macam orang dan dagangan. Mempertemukan beragam
penjual dan pembeli. Salah satu yang ditawarkan adalah agama yang telah dikemas
atau dibungkus sedemikian rupa agar menarik bagi calon pembelinya.

Agama-agama besar yang tumbuh di Nusantara ini semuanya adalah pendatang.


Agama datang ke sini dengan kendaraan bermacam-macam. Ada yang datang
bersama pedagang, ada pula yang beriringan dengan imperialis. Bersama jalannya
waktu, agama yang asalnya dari luar telah tumbuh menyatu dengan budaya dan
tradisi lokal.

Dengan demikian, pemahaman, praktik, dan kemasan agama yang ada sekarang ini
semakin kental dan kaya nuansa budaya lokalnya. Misalnya saja istilah surga yang
asalnya dari tradisi Hindu, orang Islam pun menggunakan kata surga dan neraka
yang disesuaikan dengan konsep Islam.

https://islamindonesia.id 2
Berbagai tradisi dan agama bercampur di ranah Nusantara. Yang paling khas dan
tidak bercampur adalah tata cara ibadahnya. Tapi, selain ibadah, sesungguhnya
pergaulan lintas umat beragama tak mungkin dibatasi.

Sekali lagi, ibarat pasar, tak ada pembedaan latar belakang etnik dan agama. Yang
penting terjaga suasana damai dan saling menguntungkan bagi semua pihak.
Masing-masing silakan menawarkan dagangan atau ajarannya dengan cara yang
menarik dan saling menghargai, tidak boleh main paksa dan mengancam yang lain

YS/IslamIndonesia/Sumber: Koran Sindo

(Sumber download: https://islamindonesia.id/kolom/kolom-agama-dan-tradisi.htm


diunduh Senin, 22 Januari 2018, pukul 11.08 WIB)

https://islamindonesia.id 3
Monday, 08 January 2018

BANYAK JALAN MENUJU SURGA


Oleh Nasaruddin Umar; Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta

islamindonesia.id – KOLOM – Banyak Jalan Menuju Surga

JALAN menuju surga menurut sejumlah agama tidak tunggal. Dalam agama Hindu
dikenal ada tiga jalan utama menuju surga, yaitu penyatuan diri secara spiritual
dengan Tuhan. Pertama, Yana Yoga, yaitu melalui pemahaman dan penghayatan
mendalam yang dalam Islam mirip dengan istilah ma’rifah. Jalan ini lebih efisien dan
efektif tetapi amat sulit dicapai orang-orang awam. Diperlukan perenungan
mendalam atau kontemplasi yang sangat tinggi untuk mencapai puncak melalui jalur
ini. Kedua, Karma Yoga, yaitu melalui praktik ajaran berupa amalan-amalan berupa
fisik, seperti ibadah-ibadah formal dan ritual. Ketiga, Bhakti Yoga, yaitu melalui amal-
amal sosial yang diniatkan sebagai ibadah.

Seseorang bisa mempunyai pilihan terbaik sesuai dengan kemampuannya untuk


mendekatkan diri sedekat-dekatnya kepada Tuhan. Jika tidak sanggup melalui cara

https://islamindonesia.id 4
pertama, bisa memilih melalui cara kedua atau ketiga, walaupun juga tidak tertutup
menggabungkan ketiga-tiganya, tentu itu paling sempurna.

Dalam Islam terdapat sejumlah ayat dan hadis mengisyaratkan adanya banyak jalan
menuju ke surga, tetapi jalan-jalan itu tetap ada substansi ajaran yang harus menjadi
jalan universal dan standar yang harus dilewati atau wajib diakomodasi di dalamnya.
Yaitu apa yang disebut dengan rukun iman dan rukun Islam. Jalan mana pun yang
dipilih, tetapi yang bersangkutan harus tetap berpegang teguh kepada standar
tersebut. Sesufi apa pun seseorang harus menginternalisasikan unsur fikih di dalam
dirinya. Sebaliknya, sekuat apa pun fikihnya tetap harus menginternalisasikan unsur
tasawuf di dalamnya.

Yang paling ideal ialah menggabungkan di antara keduanya seperti ditegaskan Ibn
‘Atha’illah, “Man tafaqqaha wa lam yatashawwafa faqad tfassaqa wa man tashwwufa
wa lam yatafaqqah faqad tadzandaq, wa man jama’ah baina huma faqad
tahaqqaqah (Barangsiapa yang berfikih tanpa bertasawuf maka ia fasik, barang
siapa bertasawuf tanpa berfikih maka ia zindiq. Barangsiapa yang mengintegrasikan
keduanya maka itu yang benar).”

Ada sebuah pernyataan menarik juga yang perlu disimak di dalam Alquran, yaitu “…
Janganlah kamu (bersama-sama) masuk dari satu pintu gerbang, dan masuklah dari
pintu-pintu gerbang yang berlain-lain, namun demikian aku tiada dapat melepaskan
kamu barang sedikitpun daripada (takdir) Allah.” Nasihat Nabi Ya’qub kepada anak-
anaknya itu menarik untuk diperhatikan. Sang ayah terkesan demokratis dan jauh
dari kesan fanatisme. Ia memberikan kemerdekaan penuh kepada anak-anaknya,
tetapi ia tetap menekankan arti sebuah tanggung jawab dan tawakal kepada Tuhan.

Kemerdekaan tanpa tanggung jawab akan melahirkan kebablasan dan tanggung


jawab tanpa tawakal kepada Tuhan akan melahirkan keangkuhan dan
kesombongan. Nasihat ini memberi warna terhadap kebijakan sang anak ketika
Yusuf menjadi pemimpin negeri Mesir. Ketika negara-negara asing menyatakan
ketergantungan pangannya kepada negeri Mesir akibat kemarau berkepanjangan,
Nabi Yusuf tidak membawa negerinya sebagai negeri angkuh yang mendiktekan
berbagai kepentingannya kepada negara sekutu. Ia malah memberikan kelonggaran
untuk membangun perekonomian negeri mereka yang sedang morat-marit.
Memutlakkan pendapat sendiri justru bisa kontraproduktif dengan tujuan yang
hendak dicapai.

Dialog ialah cara yang paling sering dicontohkan di dalam Alquran dalam
menyelesaikan masalah. Allah SWT sendiri yang kita kenal mahakuasa juga tetap
mencontohkan dialog. Ironisnya, dialog bukan hanya dengan hambanya yang baik

https://islamindonesia.id 5
seperti malaikat dan manusia, Allah SWT juga berdialog dengan iblis. Yang paling
menakjubkan dari Nabi Yusuf ialah kemampuan untuk memaafkan orang-orang
yang pernah bermaksud jahat terhadapnya meskipun itu ialah saudara kandungnya
sendiri. Ketika memanggil dan menerima saudara-saudaranya dalam suasana
dramatis, Nabi Yusuf tidak tergambar sedikit pun rasa dendam di wajahnya.
Padahal, merekalah yang pernah dengan keji melemparkannya masuk ke dasar
sumur. Untung saja Yusuf dipungut saudagar lalu dijual ke pembesar Mesir.

Nabi Yusuf bahkan memberikan pernyataan yang sangat indah, ‘Dia (Yusuf)
berkata: “Pada hari ini tak ada cercaan terhadap kamu, mudah-mudahan Allah
mengampuni (kamu), dan Dia adalah Maha Penyayang di antara para penyayang.”
(12:92). Kepribadian Nabi Yusuf sangat dibutuhkan di dalam sebuah masyarakat
yang mengalami krisis multidimensi.

Tidak perlu mencurahkan segenap waktu dan pikiran datang jauh-jauh belajar
menyelesaikan krisis dari negara-negara lain. Konsep problem solving berbagai
krisis sebenarnya sangat kaya di dalam Alquran. Hanya, kita tidak mau serius
mendalaminya. Sudah saatnya kita harus berusaha menyelesaikan persoalan
sendiri tanpa bergantung pada teori dan sistem yang diimpor dari luar yang justru
bisa menambah beban dan menimbulkan masalah baru.[]

YS/IslamIndonesia/Sumber: Media Indonesia


(Sumber download: https://islamindonesia.id/kolom/kolom-banyak-jalan-menuju-surga.htm)

https://islamindonesia.id 6
Saturday, 30 December 2017
NU, PALESTINA DAN YAMAN
Oleh: Mukti Ali Qusyairi, Ketua Umum LBM PWNU DKI Jakarta

islamindonesia.id – KOLOM – NU, Palestina dan Yaman

Nahdlatul Ulama lahir merespon sekurang-kurangnya atas tiga hal, yaitu:


kolonialisme, gerakan puritanisme Wahabi yang akan meratakan makam Rasulullah
dan situs-situs bersejarah, dan identitas keislaman dan keindonesiaan.

NU sebagai gerakan anti-kolonialisme, ditandai dengan sikap patriotisme para kiyai


dan santri dalam menghadapi kolonialisme. Dan klimaksnya adalah dikeluarkannya
“Resolusi Jihad” oleh Hadzratu Syekh Hasyim Asy’ari.

Di saat makam Rasulullah dan situs2 Islam akan diratakan rezim Wahabi Saudi, NU
mengutus Romo KH. A. Wahab Chasbullah ke Saudi menyampaikan protes keras
atas rencana tersebut dan menuai hasil: sampai sekarang makam Rasulullah masih
terjaga.

Dan bagaimana hubungan NU, Palestina, dan Yaman? Perlu dijelaskan satu
persatu, hubungan NU dengan Palestina dan NU dengan Yaman.

https://islamindonesia.id 7
NU dan Palestina

SEBAGAIMANA pada umumnya umat Islam dari berbagai mazhab, NU sangat


memuliakan Masjidil Aqsha Palestina. Kemuliyaan Palestina berdasarkan keyakinan
akan Kisah Isra-Mi’raj Rasulullah dari Masjidil Aqsha yang diimani, dan pada masa
Islam awal umat Islam menghadap kiblatnya ke Masjidil Aqsha yg kemudian direvisi
kiblatnya ke Masjidil Haram.

Pasca pendudukan Israel atas tanah Palestina, NU adalah ormas yang dengan
lantang memprotes tindakan Israel dan menggalang solidritas untuk Palestina. Tepat
pada 12-15 Juli 1938 M/13 Rabiuts Tsani 1357 H dalam Muktamar NU ke-13 di
Menes-Pandeglang Banten, Romo KH. A. Wahab Chasbullah secara resmi
menyampaikan sikap NU atas penderitaan Palestina dengan mengatakan,
“Pertolongan-Pertolongan yang telah diberikan oleh beberapa Comite di tanah
Indonesia ini berhubung dengan masalah Palestina, tidaklah begitu memuaskan
adanya. Kemudian guna dapat mencukupi akan adanya beberapa keperluan yang
tak mungkin tentu menjadi syarat yang akan dipakai untuk turut menyatakan
merasakan duka cita, sebagi perhatin dari pihak umat Islam di tanah ini. Atas nasib
orang malang yang diderita oleh umat Islam di Palestina itu, maka sebaiknyalah NU
dijadikan Badan Perantara dan Penolong Kesengsaraan umat Islam di Palestina.
Maka pengurus atau anggota NU seharusnyalah atas namanya sendiri-sendiri
mengikhtiarkan pengumpulan uang yang pendapatannya itu terus diserahkan
kepada NU untuk diurus dan dibereskan sebagaimana mestinya”.

Pada tahun 80-an, Gus Dur bersama Gus Mus dan para seniman/budayawan
mengadakn pembacaan puisi Doa untuk Palestina, sebagai penggalangan
solidaritas untuk Palestina melalui strategi kebudayaan dan kultural. Dan pada tahu
ini, 2017, Gus Mus mengadakan acara yang sama berama budayawan Taufik Ismail,
Sutarji, Habib Quraisy Shiab, Adul Abdul Hadi, KH. Ulil Abshar Abdalla, Fatin
Hamama, dll., pada saat Palestina memanas.

Pada tahun 90-an, Gus Dur yang dipercaya sebagai presiden gama-agama dunia
melakukan komunikasi dan pergaulan di tingkat internasional untuk perdamaian
Palestina.

Pada tahun 2017, KH. Makruf Amin selaku RAIS AM PBNU, mengajak umat Islam
untuk bersama sama menggalang solidaritas untuk Palestina.

Jadi NU dalam sejarah sangat peduli dgn nasib Palestina. Karena Palestina adalah
saudara. Palestina terluka, kita pun merasakan sakit.

https://islamindonesia.id 8
NU dan Yaman

Hubungan NU dan Yaman sudah berlangsung lama. Secara tradisi keberagamaan


NU dan Yaman memiliki banyak kesamaan: sama-sama pecinta bid’ah hasanah.
Belakangan, banyak kader pesantren NU yang dikirim belajar di pesantren yang da
di Hadramaut-Yaman.

NU juga menjadikan kitab Bughyatul Mustaryidin, anggitan Syekh Abdurrahman


Ba’alwi, Mufti Yaman Pada abad 19, sebagai kitab yang absah dirujuk/mu’tabarah.
Dalam kitab itu ada fatwa bahwa ardhun Jawa (baca; Indonesia) adalah dar al-Islam.
Dan d kitab itu jg terdapat konsep waliyul amri dharuri bisy syaukah–jg di kitab2 yg
lain–dan konsep ini dijadikan argimentasi keagamaan NU untuk Presiden Soekarno
pada Muktamar NU di Purwokerto 26-29 Maret 1946.

Saat ini Yaman sedang diserang Arab Saudi (AS) dan sekutunya. AS lahir krn
mendapatan dukungan kolonial Inggris. Sudah besar menjadi negara kolonial dgn
memberikan pangkalan militer USA, mendukung invansi USA pada Irak dgn dalih
adanya Senjata Pemusnah Massal (yg ternyata yg ada Pembohong massal) dan
belakangan menyerang Yaman. Krisis Timur Tengah pun tak lepas dari peran AS.

NU lahir dan besar sebagai kekuatan anti-kolonialisme. Tentu saja tidak setuju dan
bahkan mengutuk upaya penjajahan melalui kekerasan dan peperangan yang
sedang dipertontonkan AS.

Penderitaan Yaman adalah derita kita.

YS/IslamIndonesia

(Sumber: https://islamindonesia.id/kolom/kolom-nu-palestina-dan-yaman.htm)

https://islamindonesia.id 9
Thursday, 21 December 2017

ISRAEL; SETITIK NILA DI JANTUNG SEJARAH

islamindonesia.id – Israel; Setitik Nila di Jantung Sejarah

Awalnya, tidak sedikit yang berharap, bahwa statement kontroversial Donald Trump
dapat menjadi momentum penting yang bisa menentukan takdir akhir konflik
Palestina-Israel. Alih-alih, statement Trump justru menjadi lonceng yang
membangunkan kesadaran kita atas matinya hati nurani peradaban ini. Puluhan
tahun rakyat Palestina mengulurkan tangannya pada dunia, dan sekarang mereka
nyaris tidak ada, baik geografinya, maupun demografinya. Bahkan kita pun, nyaris
kehilangan daya dan keberanian untuk menyelamatkannya.

Sudah lebih dari seminggu berlalu. Kecaman demi kecamanpun telah dilayangkan
dari berbagai penjuru bumi. Demonstrasi dan diskusipun tak urung digelar dimana-
mana. Para kepala Negara pun sudah berkumpul. Namun semua akhirnya gamang.
Bahkan PBB yang kita harap dapat menjadi sokoguru lahirnya ekosistem perdamian
dunia, harus menelan kina, setelah AS dengan tenangnya memveto resolusi PBB
agar Trump menarik kembali statement-nya. Entah langkah apalagi yang bisa
ditempuh, untuk menyelamatkan secuil asa yang tersisa di Palestina?

Konfik antara Palestina-Israel merupakan konflik yang terpelihara. Proses de-


eskalasi konflik yang selama ini kita upayakan ternyata hanya memperpanjang
durasi kebiadaban yang dilakukan terhadap bangsa Palestina. Adapun perjanjian
damai dan serangkaian konsep pemecahan yang ditawarkan oleh berbagai pihak
ternyata hanya menambah deretan panjang veriabel katalis yang mempengaruhi
eskalasi konflik tersebut di kemudian hari. Sehingga konflik yang terjadi saat ini

https://islamindonesia.id 10
menjadi semakin sulit dikenali rincian variabelnya, dan simpul-simpul isu yang
dikemukakan pun semakin tumpang tindih seiring dengan berlarutnya proses
negosiasi.

Kita mengetahui bahwa negara Israel berdiri di atas ”tanah wakaf” yang diberikan
oleh pemerintah Inggris pada bangsa Yahudi sebagai kompensasi atas pembantaian
etnis Yahudi (holocaust) selama berlangsungnya perang dunia II (PD II). Cukup
mengherankan memang, negara yang tidak tahu menahu tentang pembantaian
tersebut dan tidak terlibat dalam PD II (Palestina) harus menanggung kerugian dari
semua kesalahan negara-negara yang terlibat. Di satu sisi, PD II menghasilkan PBB
sebagai tonggak sejarah baru dalam dinamika hubungan internasional dan perspekif
perdamaian dunia. Namun disisi lain, PD II juga menyisakan masalah hukum, politik,
sosial dan ekonomi yang semuanya terobjektifikasi dalam realitas konflik di
Palestina.

Usulan untuk mendirikan negara Israel di atas tanah koloni Inggris pada awalnya
seolah tidak menjadi persoalan bagi negara-negara yang terlibat PD II. Semua
mengakui dan bersimpati atas adanya pelanggaran HAM terhadap etnis Yahudi oleh
Jerman selama berlangsungnya PD II. Sehingga pertimbangan terhadap masa
depan perdamaian dunia, dan rasonalitas dalam pengambilan keputusan menjadi
berkurang. Nila yang bernama Israel kemudian diteteskan di jantung peradaban tiga
agama samawi. Dan keputusan tersebut akhirnya harus menuai akibat fatal bagi
peradaban kita hari ini.

Selama puluhan tahun sejak berdiri, keberadaan negara Israel di Timur Tengah
menjadi poros konflik yang tidak kunjung usai. Isu nasionalisme dan kemanusiaan
menjadi silang sengkarut dengan isu agama dan superioritas ras. Campur tangan
dan keberpihakan berbagai negara dalam konflik tersebut justru menjadi katalisator
yang memperumit proses penyelesaian masalah.

Kita bahkan lupa pada aksioma dasarnya, bahwa Israel seharusnya memang tidak
pernah ada. Karena entitas ini memang tidak pernah ada, tidak perlu ada dan tidak
seharusnya ada. Terlalu banyak opsi yang bisa dipilih untuk menyelesaikan
masalah holocaust (bila memang ada), selain mendirikan negara Israel. Namun
dunia seperti disihir. Wacana pembentukan negara Israel seolah menjadi opsi satu-
satunya yang harus terwujud untuk menciptakan perdamian dunia. Kita semua
diseret masuk dalam ratusan isu dan proposisi absurd tentang keharusan berdirinya
negara Israel raya.

Sejak saat itu, PBB dan hampir semua organisasi internasional bangsa-bangsa
tumbuh bersama wacana sesat yang bernama Israel. Hingga sekarang, masalah

https://islamindonesia.id 11
pendudukan Israel atas tanah Palestina sudah menjadi kanker dalam tubuh PBB
dan sudah pula merambat ke hampir seluruh organisasi internasional bangsa-
bangsa. Sehingga hampir tidak ada satu pun hukum internasional yang dapat
memberikan solusi yang bisa dipahami oleh Israel. Hampir semua negara yang
dianggap sebagai negara maju saat ini adalah pionir terbentuknya negara Israel. Kini
mereka juga yang harus bingung dengan dinamika konflik yang ada.

Kita bersyukur, hingga hari ini pemerintah Indonesia masih setia pada janji yang
termaktub dalam batang tubuh pembukaan UUD 1945, bahwa ”penjajahan di atas
dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan pri-kemanusiaan dan pri-
keadilan”. Ini sebabnya, kita tidak membuka hubungan diplomatik dengan Israel
hingga hari ini. Bukan karena sentimen agama atau nasionalisme. Tapi karena kita
secara esensial menolak eksistensi Israel sebagai sebuah negara. Bagi bangsa
Indonesia, Israel memang tidak pernah ada dan tidak boleh ada.

Tapi hari ini semua pernyataan ini tampaknya sudah tidak cukup. Bagaimanapun,
Israel semakin digjaya, dan Palestina semakin tak berdaya, bahkan nyaris sudah
tidak ada. Sudah lebih dari setengah abad peradaban ini memelihara ketakutannya,
dan membiarkan kebiadaban berlangsung di depan mata. Dan kini mata hati
peradaban kita sudah dingin, naif dan buta.

Setitik nila yang dulu menetas di jantung sejarah, kini sudah menyerang syaraf-
syaraf kemanusiaan kita. Membuat ringkih rezim internasional yang kita bangun
bersama, dan membawa peradaban kita ketitik nadir kehancurannya.

Sudah saatnya kita bersikap dan bertindak tegas. Karena Palestina adalah asa
terkhir peradaban ini. Kita harus mulai mengkoreksi kembali sistem dunia yang kita
bangun bersama. Kepala-kepala negara sudah harus berpikir untuk merumuskan
kembali rezim internasional, dan simpul-simpul civil society di seluruh dunia harus
dicairkan segera. PBB harus segera di restrukturisasi, termasuk Dewan
Keamanannya, rezim perdagangannya (WTO), dan rezim keuangannya (World
Bank). Tanpa itu, mimpi untuk mewujudkan perdamaian dunia, tak ubahnya seperti
upaya untuk menegakkan benang basah. Wallahualam bi sawab

AL/ Oleh Redaksi Islam Indonesia


(Sumber: https://islamindonesia.id/kolom/kolom-israel-setitik-nila-di-jantung-sejarah.htm)

https://islamindonesia.id 12
Sunday, 17 December 2017
FENOMENA LONDONISTAN
Oleh: Jaya Suprana*

islamindonesia.id – Fenomena Londonistan

Saya memang tahu ada nama Pakistan, Afghanistan, Turkistan, Kazhakstan,


Kirgistan, Uzbekistan dan lain-lain nama berakhiran “stan”. Namun saya tidak tahu
bahwa ternyata ada pula nama Londonistan.

Ternyata Londonistan adalah julukan terbaru bagi sebuah kota yang bernama
London. Yang menciptakan julukan Londonistan adalah jurnalis terkemuka, Melanie
Phillips, demi melukiskan betapa besar pengaruh Islam terhadap ibukota Inggris di
masa kini.

Sejak 2001 sampai dengan 2016, di London telah didirikan 423 mesjid baru
sementara sekitar 500 gereja telah ditutup. The Hyatt United Chuch dibeli oleh umat

https://islamindonesia.id 13
Islam dari Mesir dan diubah menjadi masjid. Sama halnya dengan gereja Santo
Peter dirubah menjadi masjid Madina. Masjid Brick Lane semula adalah sebuah
gereja Methodist. Bukan hanya bangunan yang berubah sebab pada tahun 2016
jumlah kaum Mualaf di kota Londonistan meningkat dua kali lipat.

The Daily Mail sengaja secara khusus mempublikasikan serial foto fakta
Londonistan antara lain dengan foto sebuah masjid dan sebuah gereja bertetangga
di pusat kota Londonistan. Atau adegan di dalam gereja San Giorgio yang
berkapasitas tampung 1.230 jemaat namun hanya hadir 12 orang pada upacara
misa. Hanya 20 orang tampak hadir di dalam katedral Santa Maria.

Masjid di kawasan Brune Street Etatate punya masalah beda akibat daya tampung
hanya maksimal 100 orang maka setiap Jumat, umat terpaksa meluber ke jalanan.
Walikota London masa kini adalah Muslim.

Ceri Peach dari Universitas Oxford menyatakan homogenitas umat beragama di


Inggris masa kini memudar akibat dominasi Kristen memang melenyap. Direktur The
National Secular Society, Keith Porteus Wood yakin bahwa di Inggris dalam 20
tahun mendatang jumlah Muslim akan lebih besar ketimbang jumlah Nasrani.

Menurut riset NatCen Social Research Institute jumlah umat Anglican pada lingkup
waktu 2012 sampai dengan 2014 mengalami kemerosotan menjadi sekitar 1,7 juta ,
sementara jumlah umat Islam di Inggris meningkat menjadi satu juta insan.
Demografikal, umat beragama di Manchester 15,8 persen Muslim, Birmingham 15,8
persen bahkan Bradford 24,7 persen.

Wajar apabila para penderita Islamophobia makin dilanda gelisah paranoid bahwa
gelombang bencana Islamisasi sedang melanda Inggris. Namun bagi mereka yang
mengerti kodrat proses peradaban, sama sekali tidak merasakan apalagi
menganggap fenomena Londonistan sebagai suatu mimpi buruk di malam hari.

Gejala Londonistan sekadar ekspresi perubahan peta demografik keagamaan di


Inggris di mana kebetulan agama Nasrani sedang mengalami masa pasca
kematangan sementara Islam sedang mengalami masa pertumbuhan.

Kemerosotan jumlah umat Kristen bukan akibat pertumbuhan Islam. Ketika masih
belajar kemudian mengajar di Jerman pada tahun 70an abad XX di mana umat
Islam setempat masih dalam jumlah sangat terbatas, saya pribadi sudah
menyaksikan bagaimana jumlah umat Kristen yang rajin ke gereja terus menerus
merosot.

https://islamindonesia.id 14
Jumlah warga yang secara adminisratif ke luar dari agama Kristen makin banyak
akibat keberatan membayar pajak gereja yang secara legal wajib dipotongkan
langsung dari salaris bulanan. Terutama generasi muda Jerman pada masa itu
sudah mulai menganggap agama Kristen sudah tidak relevan akibat tidak sesuai
dengan perkembangan zaman.

Maka dapat disimpulkan bahwa apa yang disebut sebagai Islamophobia sebenarnya
hanya suatu penyakit jenis khayal yang sengaja direkayasa oleh mereka yang
merasa kepentingannya terancam akibat tumbuhnya jumlah umat Islam.

Sehingga meskipun pada kenyataan mayoritas pelaku kekerasan terorisme di bumi


Amerika Serikat sebenarnya bukan Muslim, namun Donald Trump dan para
pendukungnya sengaja membiasakan diri untuk menggunakan istilah teroris Islam
radikal.

*Penulis adalah pembelajar peradaban

EH / Islam Indonesia
(Sumber: https://islamindonesia.id/kolom/kolom-fenomena-londonistan.htm)

https://islamindonesia.id 15
Friday, 15 December 2017
PALESTINA, NASIBMU!
Oleh: Ahmad Syafii Maarif

islamindonesia.id – Palestina, Nasibmu!

Sudah berlangsung 69 tahun sejak berdirinya Israel pada bulan Mei 1948, rakyat
Palestina tidak pernah putus dirundung malang. Ribuan telah tewas dalam
mempertahankan hak hidup di buminya sendiri yang dirampok kaum Zionis. Entah
berapa ribu pula yang terpaksa jadi imigran ke berbagai pojok bumi dengan segala
penderitaan yang menyertainya.

Sementara itu, negara-negara Arab dan bahkan Iran dan Turki yang sama-sama
berada di kawasan itu tidak pernah serius dalam membela rakyat tertindas ini.
Ironisnya lagi, rakyat Palestina sendiri juga tidak satu dalam menghadapi Israel.

Donald Trump, presiden Amerika, dengan pengakuan barunya atas Yerusalem


sebagai ibu kota Israel telah semakin membuyarkan harapan perdamaian antara
Palestina dan Israel. Bagi Trump, apa yang bernama resolusi Dewan Keamanan
PBB tentang kedaulatan Palestina atas wilayah pra-Perang 1967 dianggap angin
lalu saja. PBB yang keropos ini tidak berdaya menghadapi politik jingoisme buta
Amerika Serikat.

https://islamindonesia.id 16
Protes dunia atas politik luar negeri Amerika yang biadab ini nyaris tidak ada
dampaknya bagi nasib Palestina. Sangat ironis, demokrasi Amerika telah
memunculkan seorang Trump yang berbeda tipis dengan Kim Jong-un.

Negara-negara Eropa yang telah mengakui hak kemerdekaan Palestina juga tidak
mampu menekan Amerika sebagai kekuatan imperialis kesiangan agar bersikap
lebih beradab dalam menjalin hubungan antarnegara. Amerika di bawah Trump
dengan tingkahnya yang aneh dan buruk tanpaknya sedang menggiring dunia ke
dalam situasi yang amat mencemaskan.

Kita belum dapat memperkirakan ujung dari hubungan mesra antara Raja Salman
bin Abdulaziz dan Putra Mahkota Mohammed bin Salman dengan Trump yang
terjalin sejak beberapa bulan yang lalu. Semuanya berada dalam teka-teki yang
serba tidak pasti.

Dalam pada itu, perebutan hegemoni antara Saudi Arabia yang didukung Amerika
dan Iran yang didukung Rusia dengan negara satelitnya masing-masing di kawasan
panas itu, situasinya semakin tak terkendali. Posisi rakyat Palestina yang rentan
adalah ibarat seekor kancil yang terjepit antara pertarungan gajah-gajah yang
beringas.

Adapun Islam sebagai agama yang dipeluk oleh mayoritas rakyat di kawasan itu
sudah lama dipinggirkan, kecuali dalam kemasan retorika politik yang sangat
dangkal. Retorika ini sudah lama dimainkan oleh negara-negara Muslim untuk saling
menjatuhkan di sana.

Sementara itu, Turki di bawah Erdogan yang semula memberi harapan untuk turut
mencerahkan dunia Muslim malah menyeret dirinya ke jurang perpecahan dan
permusuhan dengan Fethullah Gulen yang pernah menjadi mitranya saat
berhadapan dengan pihak militer, penerus politik Kemal Ataturk dengan panji-panji
sekularismenya yang gagal itu.

Akibatnya, rakyat Turki terbelah dan terpolarisasi gara-gara perseteruan elitenya


sendiri yang kehilangan perspektif masa depan yang semestinya bisa melampaui
usia sebuah rezim. Sekarang hampir tidak ada lagi sebuah negara Muslim pun yang
dapat menolong Palestina, termasuk Indonesia.

Dalam situasi yang serba tidak menentu ini, saya teringat akan renungan seorang
intelektual Yahudi anti-Zionis, Prof Richard A Falk, pada 1998 yang lalu, dua tahun
sebelum memasuki abad ke-21: Kedatangan milenium baru setidak-tidaknya

https://islamindonesia.id 17
menyiratkan sebuah imajinasi. Ia adalah tanda petunjuk yang dilemparkan ke pantai
di gelap malam, sementara sungai sejarah mengalir dengan deras.

Yang terlihat tidak lebih dan tidak kurang selain apa yang diizinkan oleh imajinasi itu,
terutama harapan-harapan kita yang terdalam dan kecemasan-kecemasan kita yang
mengerikan. Berlalunya milenium ini mendorong kutub-kutub harapan [ke jurusan]
yang berlawanan: berakhirnya dunia atau bermulanya sebuah tatanan baru.
(Lihat: Just Commentary, No 8, Januari 1998, hlm 1).

Dunia memang belum berakhir. Sekalipun percobaan peluru balistik Korea Utara
sebagai wujud tingkah gila dari Kim Jong-un terus saja berlangsung, harapan bagi
terciptanya sebuah tatatan baru bagi umat manusia juga belum tampak.

Dengan Trump sebagai penguasa baru Amerika yang ditentang sebagian besar
rakyatnya, nasib Palestina semakin tidak pasti, sementara negara-negara Muslim di
kawasan Asia Barat dan Afrika Utara sibuk dengan masalah domestinya masing-
masing yang berketiak ular, tidak jelas ujung-pangkalnya.

Tetapi, orang tidak boleh patah harapan. Sebab, di tengah kabut gelap manusia gila
kuasa, masih saja ada manusia lain yang masih waras, tempat dunia mengadu dan
bertanya.

EH / Islam Indonesia
(Sumber: https://islamindonesia.id/kolom/kolom-palestina-nasibmu.htm)

https://islamindonesia.id 18
Tuesday, 05 December 2017
DUNIA NYATA KIAI ZAINAL
Oleh: KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur)

islamindonesia.id – Dunia Nyata Kiai Zainal*

Wajahnya mencerminkan kekerasan hati, kesan yang timbul dari tekukan rahangnya
yang tampak sangat nyata. Mirip wajah Jack Palance yang sedang menggertakkan
gigi menghadapi Alan Ladd dalam film Shane dari masa dua puluhan tahun yang
lalu.

Bahkan ada sedikit kesan kebengisan pada wajahnya itu, tetapi yang bercampur
dengan ketampanan yang masih tersisa dari masa mudanya.

Wajah keren dari masa muda itu kini membayangkan kewibawaan di masa tua.
Tindak tanduknya (dedeg, kata orang Jawa) mencerminkan, juga hati yang penuh
ketetapan pendirian, ucapannya menunjukkan keyakinan pendapat, dan caranya
mengemukakan pendiriannya juga lugas penuh kepercayaan kepada diri sendiri.
Bagaikan eksekutif dinamis masa kini yang ternyata tidak memerlukan Brisk dan

https://islamindonesia.id 19
tidak butuh Supradin serta berbagai jenis deodorant untuk menjaga kepercayaan diri
itu.

Penampilan bagaikan eksekutif temyata hanya terhenti pada raut wajah dan kesan
yang ditimbulkannya belaka, karena Kiai Zainal Abidin Usman membawa
penampilan lain pada sisa tubuhnya: kain sarung polekat yang sudah berumur
lama,baju panjang abu-abu dengan sebuah kancing yang hampir lepas,sandal
plastik yang begitu murah harganya sehingga tidak akan dicuri orang dari halaman
masjid atau langgar, dan seterusnya. Pendeknya, penampilan utuh dari seorang kiai
‘di tingkat lokal’.

Kesemua manifestasi lahiriyah di atas merupakan hasil dari hidup Kiai Zainal yang
penuh kesukaran. Harus mengikuti pola belajar yang penuh disiplin dan sanksi fisik
(termasuk dilecut) kalau tidak menunjukkan ‘jatah’ hafalan yang sudah ditetapkan
sang guru semenjak usia sangat muda, enam tahun.Tidak diperkenankan menikmati
masa muda yang penuh kesenangan inderawi, melainkan harus mengikuti pola
hidup yang diselaraskan dengan hukum-hukum fiqh dan tata cara belajar (adabut
ta’allum) yang diletakkan kitab-kitab kuno agama.

Lebih jauh lagi, ia kemudian harus belajar lama di Mekkah: jauh dari sanak saudara,
sering dihadapkan dengan kekurangan belanja ‘kebutuhan pokok’, dan harus
banyak menjalani tirakat untuk memperoleh ilmu-ilmu agama yang diharapkan.

Tidak heran jika seandainya Kiai Zainal kemudian mengembangkan kepribadian


yang ‘berlajur tunggal’, di mana dominasi hukum agama dan bentuknya yang paling
kaku dan ‘harfiah’ atas pandangan hidupnya. Orang tidak akan tercengang kalau
Kiai Zainal kemudian menumbuhkan sikap untuk menerapkan hukum agama secara
apa adanya, secara apa yang tertulis dalam kitab-kitab fiqih kuno. Bukankah semua
kiai yang berpola pendidikan dan kemudian pola hidup seperti Kiai Zainal juga
berbuat demikian? Pantaslah kalau Kiai Zainal juga diperkirakan akan mengikuti
‘jalur umum ke-kiai-an’ seperti itu.

Temyata tidak demikian kenyataannya. Kiai Zainal temyata menumbuhkan pola


berpikir yang lain, mengembangkan pandangan hidup dari ‘jalur umum’ di atas. la
mengikuti ‘jalur umum’ hanya pada pola hidup lahiriyahnya sebagai kiai belaka,
seperti digambarkan pada penampilan fisik di atas.

la temyata melakukan dialog dengan kenyataan-kenyataan hidup yang dihadapinya


yang sering kali jauh berbeda dari kondisi ideal yang melahirkan hukum-hukum
agama yang dikodifikasikan dalam kitab-kitab fiqh kuno. la melakukan peninjauan
kembali atas hukum-hukum agama itu, walaupun dengan caranya sendiri dan

https://islamindonesia.id 20
melalui pendekatan persoalan yang dirumuskannya sendiri. Perbedaan dari ‘jalur
umum ke-kiai-an’ itu tampak nyata dalam sebuah forum penataran mubaligh dan
khatib baru-baru ini, ketika berlangsung debat tentang penyelenggaraan zakat.
Kalau zakat ingin diterapkan secara organisatoris dan dikembangkan melalui
perluasan jenis-jenis ‘wajib zakat’, sehingga meliputi upah, honorarium dan gaji tetap
dari bermacam-macam profesi,tentu ada kesulitan.

Mazhab-mazhab fiqh sudah menentukan kategori kewajiban zakat hanya jatuh pada
keuntungan berdagang, hasil panenan tanaman utama (padi dan sebagainya), harta
benda tetap, dan logam mulia emas perak. Lainnya tidak terkena zakat. Lalu
bagaimana mungkin gaji tetap, honorarium dan upah dikenakan zakat?

Belum lagi pelaksanaannya, yang dikehendaki sementara pihak harus diorganisasi


secara efisien dan administratif. Diberikannya pun juga harus dalam bentuk tidak
melulu konsumtif, melainkan dalam bentuk pinjaman dan pemberian alat, Belum lagi
kalau dijadikan biaya penataran dan latihan-latihan keterampilan. Apakah tidak
menyalahi ajaran-ajaran mazhab-mazhab fiqh?

Persoalannya bukan demikian, kata Kiai Zainal berapi-api. Apa yang dirumuskan
kitab-kitab fiqh itu ‘kan hanya dalam negara Islam saja dapat diterapkan
sepenuhnya! Di zaman Rasulullah ada sanksi kalau orang tidak menyerahkan zakat
karena yang dipergunakan adalah perundang-undangan Islam secara total. Jadi
tidak perlu ada panitia zakat dan lain-lain kelengkapan administratif lagi. Negara
bertanggungjawab atas kesejahteraan masing-masing warga negara, jadi tidak usah
kita berpayah-payah mencari dana untuk melatih orang bekerja atau memberikan
modal kerja kepadanya.

Tetapi kita ‘kan tidak hidup dalam negara Islam, karena itu kondisi yang dihadapi
pula berlainan. Kalau tidak ada sanksi otomatis bagi orang yang enggan
menyerahkan zakat, apakah justru tidak diperlukan panitia zakat yang akan
menyelenggarakannya ? Kalau kaum Muslim masih lemah ekonominya, apakah
seluruh perolehan zakat harus dihabiskan sekaligus secara konsumtif dan tidak
digunakan sebagian untuk kepentingan produktif? Kalau kita ingin mengembangkan
zakat itu sendiri secara kuantitatif, apakah justru tidak perlu diciptakan wajib zakat
baru?

Temyata dibalik bentuk lahiriyah yang kuno, Kiai Zainal memilliki daya tanggap yang
cukup relevan dengan kebutuhan masa dan keadaan ummatnya. Patutlah kalau ia
dianggap berorientasi kepada dunia nyata. Tetapi patut juga dipertanyakan
anggapan bahwa ia menyimpang dari ‘jalur umum ke-kiai -an’ dalam orientasinya

https://islamindonesia.id 21
kepada dunia nyata ini. Mengingat bahwa ia dibenarkan dan tidak ditentang oleh
kiai-kiai lain, apakah bukannya sebaliknya yang terjadi?

Bukan tidak mungkin bahwa justu orientasi ‘jalur umum ke-kiai-an’ memang
ditujukan kepada dunia nyata, di kala mereka harus melakukan peninjauan kepada
hukum-hukum agama yang ada dalam kitab-kitab fiqh kuno.

* Tulisan Gus Dur ini pernah dimuat majalah Tempo, edisi 7 Maret 1981

EH / Islam Indonesia
(Sumber: https://islamindonesia.id/kolom/kolom-dunia-nyata-kiai-zainal.htm)

https://islamindonesia.id 22
Thursday, 30 November 2017
CATATAN MAULID: NABI MUHAMMAD DI MATA
SEORANG KATOLIK
Oleh: Craig Considine*

islamindonesia.id – Catatan Maulid: Nabi Muhammad di Mata Seorang Katolik

Maulid Nabi, hari lahir Nabi Muhammad. Hari yang memberikan kesempatan untuk
Muslim dan Non-Muslim, sebagaimana saya, seorang Katolik, merenungkan
kehidupan dan ajaran Nabi Islam itu. Dalam tulisan pendek ini, saya ingin berbagi
dengan Anda apa yang telah saya pelajari tentang Muhammad dan bagaimana
catatan-catatan tentangnya membantu saya memahami Islam.

Ajaran Muhammad tentang bagaimana seharusnya memperlakukan kaum minoritas


telah menjadikannya kampiun hak asasi universal. Ia mengajarkan kebebasan
berkeyakinan, kebebasan beribadah, dan hak bagi kaum minoritas untuk
mendapatkan perlindungan ketika ada sengketa.

Muhammad memprakarsai sejumlah perjanjian dengan umat Kristen dan Yahudi


setelah membangun komunitas Muslim di Madinah. Sebagai contoh, perjanjian
dengan para pendeta Kristen di Gunung Sinai, Mesir, di mana Muhammad meminta
kaum Muslim untuk menghormati hakim dan gereja Kristen, dan tak seorang pun
Muslim boleh memerangi saudaranya yang beragama Kristen. Melalui perjanjian ini,

https://islamindonesia.id 23
Muhammad menegaskan bahwa Islam, secara filosofis maupun politik, menghormati
dan melindungi Kaum Kristen.

Sama halnya, dalam perjanjian Mekah, Nabi menyatakan kaum Yahudi “layak hidup
tenang dan damai… aman (dalam perlindungan hukum Muhammad)… tak boleh
ada permusuhan dan pelanggaran hak terhadap kaummu. Setelah hari (perjanjian)
ini tak seorangpun boleh menindas atau melakukan kekerasan terhadapmu.”
Dalam Piagam Madinah, dokumen kunci yang menjadi dasar tatanan sosial Muslim,
Muhammad juga menekankan kepentingan umat Kristen dan Yahudi, dan menulis,
“…bagi mereka agama mereka dan bagi Muslim agamanya… perlakukan sahabat-
sahabat kaum Yahudi sebagaimana sahabat sendiri.” Dalam menjaga hak-hak kaum
Yahudi, Muhammad menegaskan bahwa warga sebuah negara Islam tidak harus
menganut Islam, dan kaum Muslim harus memperlakukan kaum Yahudi
sebagaimana mereka memperlakukan teman mereka sendiri. Dalam
mengembangkan perjanjian antara Muslim, Kristen, dan Yahudi ini, Muhammad juga
sangat jelas menentang elitisme dan rasisme, dan menekankan kepada pengikutnya
bahwa saudara-saudara mereka sesama pengikut agama Ibrahim sederajat di mata
Tuhan.

Menurut Muhammad, inti ajaran Islam adalah kemanusiaan. Membaca khutbah


terakhirnya di Arafah pada 632 M, saya jadi tahu bahwa Nabi memerangi rasisme
jauh sebelum Martin Luther King Jr. Dan Nelson Mandela. Dalam khutbah itu, Nabi
mengatakan, “Seorang Arab tidak lebih baik dari seorang yang bukan Arab, dan
seorang non-Arab tidak lebih baik ketimbang seorang Arab… seorang kulit putih
tidaklah lebih baik daripada seorang yang berkulit hitam atau sebaliknya, kecuali
karena takwa dan amal shalih mereka.” Khutbah terakhir Muhammad itu membuat
saya paham bahwa Islam mengajarkan Muslim untuk bersikap toleran terhadap
perbedaan dan menghargai keragaman.

Riset saya juga menunjukkan betapa Muhammad berbagi keyakinan yang sama
dengan salah satu pendiri Amerika, George Washington. Saya menemukan kedua
tokoh besar ini memiliki pendapat yang sama tentang tatanan sosial, kerendahan
hati, penghormatan pada sesama dan, bahkan, tentang kebersihan. Dalam kaitan ini
tampak, setidaknya di mata saya, nilai-nilai Islam yang diajarkan Muhammad dan
nilai-nilai Amerika yang dinyatakan Washington adalah sama. Warga Amerika
Muslim maupun non-Muslim dapat merujuk Nabi Muhammad dan George
Washington untuk membangun jembatan saling pengertian di antara mereka.

Membaca Muhammad memberikan kepada saya pelajaran yang sangat berharga


tentang nilai-nilai dasar Islam, namun yang lebih penting ia juga adalah nilai-nilai
kehidupan. Perlakuannya terhadap kaum minoritas dan keyakinan moralnya telah

https://islamindonesia.id 24
menyemangati saya untuk lebih aktif mempromosikan dialog antara umat Muslim,
Kristen, dan Yahudi, di samping memperbaiki karakter dan perilaku saya sendiri
dalam kehidupan sehari-hari. Tak diragukan lagi, pembacaan atas kehidupan Nabi
menunjukkan kepada saya bahwa dia adalah teladan baik bagi Muslim maupun non-
Muslim, dan bahwa umat manusia dapat mengambil manfaat serta hikmah dari nilai-
nilai Islam. []

*) Sutradara film ‘Journey into America’ dan aktivis dialog antariman.

IslamIndonesia/ Sumber: Huffington Post


(Sumber: https://islamindonesia.id/kolom/catatan-maulid-nabi-muhammad-di-mata-seorang-
katolik.htm)

https://islamindonesia.id 25
Wednesday, 29 November 2017
TRAGEDI TERORISME MESIR DAN POLITIK DUNIA ARAB
Oleh: Amidhan Shaberah*

islamindonesia.id – Tragedi Terorisme Mesir dan Politik Dunia Arab

Teror kembali mengguncang Mesir. Ketika jamaah Masjid Al-Raudhah di Kota Bir el-
Abd, 50 km barat Kota El-Arish, Sinai Utara baru saja menyelesaikan ibadah salat
Jumat (24/11), tiba-tiba mereka diberondong senapan otomatis. Masjid itu dikepung
30 teroris bersenjata berat. Lalu, para teroris bertopeng itu menembaki 500-an orang
jamaah. Tak hanya itu, bom pun diledakkan teroris di dalam masjid, sedangkan
mobil-mobil jamaah di halaman masjid dibakar.

Suasana kacau balau. Darah berceceran. Jamaah masjid bergelimpangan, histeris,


dan kepulan asap mobil-mobil yang dibakar menyelimuti udara sekitar Al-Raudhah.
Suasananya seperti peperangan. Akibat serangan teroris itu, 305 jamaah Al-
Raudhah tewas, termasuk 27 anak, sedangkan 128 orang lainnya luka parah.
Tragedi Al-Raudhah ini tercatat sebagai serangan teroris terbesar di Mesir dalam 25
tahun terakhir. Sungguh biadab.

Sampai hari ini belum ada pihak atau kelompok teroris yang mengaku bertanggung
jawab atas tragedi tersebut. Namun, pemerintah Mesir menduga pelakunya adalah
Kelompok Daulah Sinai, sayap ISIS (Islamic State of Iraq and Syria). Soalnya dalam

https://islamindonesia.id 26
beberapa kali peristiwa terorisme di Mesir belakangan ini, pelakunya mengklaim
sebagai Kelompok Daulah Sinai.

Kita masih ingat, April 2017 lalu—tepatnya Minggu pagi (9/4)—dua serangan bom
mengoyak kesyahduan umat kristiani yang juga sedang beribadah. Saat itu umat
Kristen Koptik Mesir sedang memperingati perayaan Minggu Palma di dua gereja
kuno: Mar Girgis di Kota Tanta, 100 km utara Kairo dan Katedral Santo Markus di
kota wisata Alexandria.

Ledakan bom bunuh diri di Mar Girgis menewaskan 27 orang dan melukai 78 orang
lainnya, sedangkan di Katedral Santo Markus menewaskan 16 orang dan melukai 41
orang lainnya.

Melalui kantor berita Amaq, ISIS menyatakan bertanggung jawab atas dua kejadian
itu. Hampir semua aksi terorisme di Mesir dilakukan Kelompok Daulah Sinai, sayap
ISIS di Mesir tadi.

Kita tahu, Mesir sebelumnya merupakan negara yang relatif aman dari terorisme.
Pada zaman Hosni Mubarak (1981-2011), misalnya, rezim Mesir bisa
mengendalikan keamanan negara. Tapi setelah Mubarak jatuh (2011) dan gerakan
Arab Spring (yang ingin melakukan demokratisasi di negara-negara Arab) melanda
Mesir, terorisme bermunculan.

Partai Ikhwanul Muslimin (IM atau Ikhwan) yang memenangkan pemilu di Mesir
(2012) justru dijungkalkan militer pimpinan Jenderal Abdul Fatah al-Sisi, presiden
Mesir sekarang, dan ironisnya Ikhwanul Muslimin kemudian dijadikan organisasi
terlarang karena diduga menjadi sarang pendidikan terorisme (2014). Sejak itulah,
Mesir terus dilanda berbagai kekacauan.

Ikhwanul Muslimin memang sebuah dilema. Sebelum Arab Spring, organisasi ini
sangat terhormat di dunia Arab, apalagi ketika Dunia Arab masih sangat bersitegang
dengan Israel yang menduduki Palestina. Ikhwanul Muslimin saat itu menjadi ”ikon”
perjuangan pembebasan Palestina. Penataan organisasi yang bagus, kaderisasi
yang sustainable, tingkat intelektualitas yang tinggi, dan militansi yang integratif
menjadikan Ikhwanul Muslimin sebagai organisasi yang disegani dunia Arab.

Namun, apa yang terjadi kemudian pada organisasi bentukan Hasan al-Banna ini?
Pemerintahan korup negara-negara Arab mulai tidak menyukai Ikhwan. Ini karena
visi Ikhwan adalah membentuk pemerintahan yang bersih, berasaskan kerakyatan,
dan antikorupsi.

https://islamindonesia.id 27
Ikhwanul Muslimin merupakan sebuah organisasi Islam berlandaskan ajaran Islam.
Tujuan Ikhwanul Muslimin adalah mewujudkan terbentuknya sosok individu muslim,
rumah tangga islami, bangsa yang islami, pemerintahan yang islami, negara yang
dipimpin oleh negara-negara Islam, menyatukan perpecahan kaum muslimin, dan
untuk menyebarluaskan Islam. Pengaruh ajaran sufi hanya terbatas pada zikir atau
wirid yang dibaca konsisten setiap pagi dan petang (Al-Ma’tsurat) berdasarkan
hadis-hadis yang sahih. Ikhwanul Muslimin menolak segala bentuk penjajahan dan
monarki yang pro-Barat.

Dalam perpolitikan di berbagai negara, Ikhwanul Muslimin ikut serta dalam proses
demokrasi sebagai sarana untuk memperjuangkan visi-misinya. Itulah sebabnya di
Mesir Al-Ikhwan mengikuti proses pemilu agar bisa berpartisipasi dalam
membangun negara sesuai ajaran Islam.

Di berbagai media khususnya media negara-negara Barat, Ikhwanul Muslimin sering


dikait-kaitkan dengan Al-Qaeda. Pada faktanya, Ikhwanul Muslimin berbeda jauh
dengan Al-Qaeda. Ideologi, sarana, dan aksi kekerasan yang dilakukan oleh Al-
Qaeda secara tegas ditolak pimpinan Ikhwanul Muslimin. Ikhwanul Muslimin lebih
mendukung ide perubahan dan reformasi melalui jalan damai dan dialog konstruktif
yang bersandarkan pada al-hujjah (alasan) al-mantiq (logika), al-bayyinah (trans-
paransi), dan ad-dalil (sesuai rujukan atau dalil). Kekerasan dan radikalisme bukan
jalan perjuangan Ikhwanul Muslimin.

Selama ini ada pihak yang menuduh Al-Ikhwan adalah tempat penggodokan radikal-
isme dan terorisme. Tuduhan itu absurd. Tapi karena politik dunia Arab yang masih
totalitarianisme, Al-Ikhwan dianggap sebagai ancaman negara. Itulah sebabnya,
setelah Arab Spring merebak, Al-Ikhwan dituduh sebagai provokatornya. Akibatnya
Al-Ikhwan dibekukan atau dilarang eksis di sejumlah negara Arab seperti Mesir dan
Arab Saudi. Padahal, dulu kedua negara ini yang membesarkan Al-Ikhwan.

Mesir melarang Al-Ikhwan, padahal jumlah anggota Al-Ikhwan di seluruh dunia Arab
lebih banyak daripada penduduk Mesir sendiri. Akibat pelarangan inilah, rezim Mesir
tidak bisa lagi mengendalikan mayoritas rakyatnya yang notabene banyak orang Al-
Ikhwan-nya.

Dalam kondisi Mesir yang kalut politik karena pembubaran Al-Ikhwan itulah, ISIS
masuk dengan ideologi ultrakonservatifnya. Padahal, konservatisme dan ekstrem-
isme ISIS mulanya berakar pada ajaran Wahabi yang didukung Kerajaan Arab
Saudi. Dengan dana besar, Arab Saudi pun menyebarkan paham Wahabi ke seluruh
jazirah Arab, bahkan ke seluruh dunia. Dalam novel ”Inside The Kingdom” karya

https://islamindonesia.id 28
Carmen bin Laden disebutkan 6% dari hasil minyak Saudi digelontorkan untuk
penyebaran paham Wahabi.

Tapi kini? Konservatisme dan wahabisme justru memukul balik para ”penjaganya”.
Maka jadilah politik dunia Arab karut-marut. Mesir dilanda kekacauan. Yaman kacau.
Suriah terbakar perang. Qatar dikucilkan. Oman mulai goyah, dan Arab Saudi kini
mulai membara. Tinggal tunggu waktu meletus.

Dalam kondisi itulah, ISIS mudah masuk. Rezim Mesir, misalnya, akan sulit meng-
amankan negaranya karena siapa kawan dan lawan sulit dideteksi. Tragedi
terorisme di Masjid Al-Raudhah, Jumat, 24 November 2017, dan tragedi terorisme di
dua gereja Koptik, Minggu pagi, 9 April 2017 lalu, merupakan dampak dari ke-
kacauan politik tadi.

Masa depan negara-negara Arab saat ini sangat problematis. Arab Saudi, yang
selama ini bertindak sebagai ”jangkar perdamaian” di dunia Arab dari aspek
ekonomi, kini tengah mengalami keterpurukan akibat anjloknya harga minyak. Mesir
yang dulu menjadi jembatan dunia Arab untuk berdialog dengan dunia Barat, kini
menghadapi kericuhan politik tak berujung. Sementara Kuwait tak berkutik ditekuk
Barat, setelah diselamatkan Amerika dari aneksasi oleh Saddam. Irak dan Suriah
masih menghadapi kekacauan politik, sedangkan Qatar kini dikucilkan Arab Saudi,
Mesir, dan Kuwait. Tinggal Oman yang ”tak lama” lagi akan menghadapi perpecahan
politik.

Dalam situasi seperti inilah, seharusnya para pemimpin Arab mencari ”wahana”
yang bisa mempersatukan semuanya. Apa wahana itu? Kalau mau jujur, seharusnya
agama Islam-lah yang menjadi pengikat. Dalam kaitan ini, Islam model apa yang
seharusnya menjadi pedoman? Islam yang rahmatan lil-alamin. Yaitu Islam yang
rahmat dan mengedepankan perdamaian. Bukan Islam yang mengedepankan
kekuasaan dan hegemonisme. Insya Allah!

*Penulis adalah mantan Ketua MUI (1995-2015) dan Anggota Komnas HAM (2002-
2007)

EH / Islam Indonesia
(Sumber: https://islamindonesia.id/kolom/kolom-tragedi-terorisme-mesir-dan-politik-dunia-
arab.htm)

https://islamindonesia.id 29
Tuesday, 28 November 2017
AGAMA JADI TERSANGKA
Oleh Haedar Nashir; Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah periode 2015-2020

islamindonesia.id – KOLOM – Agama Jadi Tersangka

Kasus “hilangnya” Ketua DPR Setya Novanto pada Rabu malam (15/11/2017) lalu
secara gegabah telah dimanfaatkan dua orang penulis untuk mengarang artikel yang
penuh insinuasi terhadap diri Sumitro Djojohadikusumo. Dua penulis itu adalah
Hendri F. Isnaeni, yang menulis artikel “Dugaan Korupsi Menteri Sumitro” di situs
Historiaid; serta Petrik Matanasi, reporter media daring Tirtoid, yang menulis artikel
“Sumitro Djojohadikusumo Pernah ‘Menghilang’ karena Dituduh Korupsi”. Dua artikel
itu terbit secara bersamaan pada Jumat, 17 November 2017.

Framing dua artikel itu kurang lebih sama: hilangnya tersangka kasus korupsi bukan
baru kali pertama terjadi, tapi telah terjadi sejak lama, di mana Sumitro
Djojohadikusumo adalah salah satunya. Dua artikel itu bagi saya sama sekali tak
memuat perbandingan yang tepat, sehingga bersifat sangat tendensius. Ini adalah
reproduksi propaganda PKI akhir tahun 1950-an yang disebarkan secara gegabah

https://islamindonesia.id 30
karena Sumitro sebagai tokoh PSI dianggap antikomunis. Secara kebetulan, Sumitro
juga dekat dengan tokoh-tokoh Partai Masyumi yang juga anti-PKI.

Artikel tendensius tadi sepertinya sengaja diproduksi untuk mendegradasi rekam


jejak Sumitro yang juga merupakan ayah Prabowo Subianto, tokoh yang kini menjadi
harapan rakyat Indonesia dalam Pemilihan Presiden 2019.

Ada dua alasan mengapa artikel-artikel itu bermasalah dan ngawur.

Pertama, menyandingkan hilangnya SN yang berstatus sebagai tersangka dengan


menghilangnya Sumitro yang tak pernah mendapat status hukum apapun, kecuali
label buruk–yang itupun hanya diproduksi oleh golongan komunis, jelas tak
sepadan. Itu sama sekali bukanlah pembandingan.

Satu-satunya persamaan yang dijadikan benang merah oleh tulisan di Tirto,


misalnya, hanyalah kondisi sama-sama “menghilang”. Ini sebuah pembandingan
yang bodoh, cacat secara metodik, dan tendensius. Apalagi, dalam artikel di Tirto
secara jelas ditulis, “Ayahanda Prabowo Subianto, Sumitro Djojohadikusumo, juga
pernah kena tuduhan terlibat korupsi.”

Jika ingin menulis feature sejarah, kenapa tak membandingkan hilangnya tersangka
korupsi hari ini dengan hilangnya Eddy Tansil di masa lalu, misalnya?! Atau, penulis
bisa juga membandingkannya dengan hilang dan buronnya sejumlah tersangka dan
terpidana kasus Skandal BLBI. Itu pembandingan yang lebih masuk akal.

Kedua, dua artikel tadi sama-sama mengulang tuduhan dalam bentuk “dugaan
korupsi yang dilakukan Sumitro”. Masalahnya adalah tuduhan berupa “dugaan” itu
terjadi pada dekade 1950-an, tepatnya pada tahun 1957. Sesudah bertahun-tahun
lewat, di mana hingga hari ini jaraknya kurang lebih telah enam puluh tahun, semua
tuduhan tadi sebenarnya telah selesai dijawab oleh banyak catatan sejarah.

Tetapi, dua artikel di Tirto dan Historia tadi, secara jahat telah memenggal konteks
dan narasi sejarahnya hanya berhenti di fase awal munculnya tuduhan terhadap
Sumitro tersebut, sembari mengabaikan bagaimana duduk perkaranya secara
lengkap, baik seturut fakta yang berkembang pada saat kejadian itu sendiri
berlangsung, maupun dari fakta-fakta yang baru terbuka pada masa sesudahnya.

Sebagaimana bisa kita baca dari berbagai buku sejarah, tuduhan bahwa Sumitro
melakukan tindak korupsi sebenarnya hanya berasal dari tuduhan yang dilontarkan
oleh koran-koran komunis, seperti Harian Rakjat dan Bintang Timur. Ini dua koran
propaganda PKI yang sadis. Dan dugaan itu tak pernah terbukti. Kesaksian

https://islamindonesia.id 31
mengenai hal itu bisa kita baca dari banyak buku. Biografi Sumitro Djojohadikusumo
sendiri, “Jejak Perlawanan Pejuang” (2000), yang juga dikutip oleh dua artikel di
Tirto dan Historia, sudah merangkumkan berbagai kesaksian tersebut.

Baca juga misalnya buku “Lari, Sebuah Catatan Perjuangan, Pelarian dan
Keimanan: Dari Permesta—Orde Baru Soeharto” 2011), yang ditulis Jopie Lasut,
salah satu gerilyawan Permesta. Dalam bukunya Jopie menulis sebuah kesaksian
penting. Pada awal 1957 (yang dimaksud sepertinya Mei 1957—FZ), demikian tulis
Jopie, Priyatna Abdurrasyid—yang kemudian pernah menjadi Jaksa Agung—
mendatangi rumah Sumitro di Jalan Sisingamangaraja, Kebayoran. Dia waktu itu
ditugaskan untuk menangkap Sumitro. Namun, tulis Jopie, penangkapan itu tak
pernah dilakukan oleh Priyatna.

Priyatna sendiri saat itu sudah dikenal sebagai jaksa dengan reputasi terhormat
dalam pemberantasan korupsi. Ia telah mengibarkan namanya dalam gerakan
pemberantasan korupsi sejak masih bertugas di Kejaksaan Tinggi Bandung. Saat
menyambangi Sumitro, Priyatna datang sebagai aparat PARAN (Panitia Retooling
Aparatur Negara), sebuah lembaga antikorupsi yang didirikan pada 1957 dan
dipimpin oleh A.H. Nasution.

Secara terus terang Priyatna menyampaikan jika dia datang sebenarnya hanya
karena disuruh oleh atasannya saja. Namun, sebagaimana yang telah diperoleh oleh
para pemeriksa CPM, Sumitro memang bersih, sehingga tak ada alasan untuk
menangkap atau menahannya. Pada saat itulah Priyatna kemudian menyarankan
agar Bung Cum, demikian panggilan Sumitro kala itu, untuk menghilang. Menurut
Abdul Muis Chandra, mantan anggota Pemuda Sosialis Indonesia (PESINDO),
diceritakan jika Priyatna sendirilah, dengan ditemani Batara Simatupang, yang
kemudian akhirnya mengantarkan Sumitro ke Merak, Banten.

Sebagaimana yang kemudian dicatat oleh berbagai buku, dari Merak Sumitro
kemudian naik perahu motor ke Lampung, lalu naik kereta api ke Palembang, dan
perjalanannya kemudian berakhir di Padang, yang saat itu menjadi pusat gerakan
PRRI. Jadi, Priyatna membiarkan Sumitro pergi karena yakin tokoh Partai Sosialis
Indonesia itu tak bersalah. Dan bukan hanya membiarkannya pergi, ia bahkan
disebut ikut mengantarkannya.

Dua tulisan di Tirto dan Historia tadi, secara umum saya nilai memang bersifat
tendensius, karena mengabaikan konstruksi peristiwa secara lengkap dan tak
memiliki itikad untuk menguji asumsi-asumsi yang dibangunnya.

https://islamindonesia.id 32
Tulisan Hendri F. Isnaeni di Historiaid secara jelas bahkan bisa dianggap sengaja
mengaburkan fakta. Ia menulis bahwa Sumitro tidak pernah memenuhi panggilan
CPM (Corps Polisi Militer) hingga tiga kali, di mana pada pemanggilan ketiga ia
kemudian bukan hanya mangkir, tapi bahkan melarikan diri. Tulisan ini bertendensi
fitnah dan cenderung bersifat disinformatif.

Sebab, jika Hendri memang benar-benar membaca buku biografi Sumitro


Djojohadikusumo, “Jejak Perlawanan Begawan Pejuang” (2000), sebagaimana yang
dikutip dalam artikelnya itu, bagian yang dikutip Hendri, yaitu saat Sumitro
berpamitan kepada Sjahrir (hal. 209), hanya berselang dua halaman saja dari cerita
bahwa Sumitro pertama kali menghadiri panggilan CPM Bandung pada 23 Maret
1957. Panggilan kedua terjadi saat Sumitro baru kembali dari Tokyo. Ia diperiksa
pada 6-7 Mei 1957. Dari dua pemeriksaan itu, karena para pemeriksa menemukan
tak ada dasar dan alasan untuk menahan, iapun diizinkan kembali ke rumah. Jadi,
tidak benar jika ditulis bahwa Sumitro selalu mangkir dari panggilan.

Cerita tentang dua panggilan itu tertulis di halaman 207 dan 208 buku biografi
Sumitro yang dirujuk Hendri. Tapi secara gegabah (atau sengaja?), ia menulis
bahwa Sumitro telah mangkir dari seluruh pemeriksaan. Bagian ini, bagi saya,
menunjukkan unsur insinuatif dari tulisannya. Apalagi, hampir semua sumber yang
dirujuk, baik oleh artikel Tirto maupun Historia, sebenarnya adalah sumber-sumber
yang telah dirangkum oleh buku biografi Sumitro sendiri. Mereka sebagian besar
hanya menyalinnya. Sayangnya, penulis dua artikel itu hanya memilih narasi yang
berkaitan dengan tuduhan insinuatif tulisannya saja, dan mengabaikan sanggahan
serta fakta lain yang sebenarnya telah mementahkan tuduhan tak berdasar tersebut.

Tulisan yang dimuat Tirto juga miskin referensi terkait peristiwa yang diceritakan dan
hanya mengandalkan asumsi saja. Misalnya, Tirto menulis, “Sumitro adalah tokoh
PRRI yang tampaknya jauh dari desingan peluru. Dia turut melibatkan diri dalam
PRRI dari pengasingannya di luar negeri.”

Dalam biografi Ventje Sumual, Memoar (2011), tokoh utama Permesta tersebut
menulis bahwa sesudah PRRI di Sumatera berhasil dilumpuhkan, pada 1958 PRRI
Sulawesi juga harus masuk ke tahap gerilya di hutan-hutan. Sumual kemudian
meminta Sumitro untuk meninggalkan tentara yang sedang gerilya. Namun Sumitro,
tulis Sumual, berkeras menolak permintaan itu. Ia ingin tetap berjuang di hutan-
hutan, meskipun posisi mereka sudah kian terdesak.

Untuk membujuk Sumitro, Sumual menyampaikan bahwa sayang sekali jika


nantinya seorang intelektual seperti Sumitro harus mati di hutan. Ia terus meminta
agar Sumitro mengasingkan diri ke luar negeri, sebab dengan berada di luar negeri

https://islamindonesia.id 33
Sumitro dianggap akan lebih bisa membantu perjuangan PRRI/Permesta. Sesudah
dibujuk berkali-kali, Sumitro akhirnya luluh. Dengan diantar Sumual, dari Tasuka,
sebuah daerah di tepi danau Tondano, Sumitro kemudian menyingkir dengan
pesawat Catalina (hal. 503). Cerita dan kesaksian Sumual itu dengan jelas
menunjukkan bahwa Sumitro bukanlah seorang pengecut.

Sumitro meninggalkan Jawa untuk berjuang menuntut keadilan hubungan pusat-


daerah sekaligus menegur Presiden Soekarno yang terlalu dekat pada PKI. Saat
menjadi menteri, baik pada masa Soekarno maupun Orde Baru, ia tak pernah
memperkaya diri maupun keluarganya. Ia bahkan melarang keras anak-anaknya
untuk berbisnis saat dirinya masih menjadi pejabat pemerintah.

Baik di kalangan kawan-kawan maupun lawan-lawan politiknya, Sumitro dianggap


sebagai orang yang konsisten dengan prinsipnya. Itu sebabnya, menyamakan
“hilangnya” Sumitro dalam gerakan PRRI dengan menghilangnya para tersangka
korupsi adalah sebuah penghinaan. Ini sekali lagi merupakan reproduksi
propaganda PKI di jaman now oleh orang-orang tak bertanggung jawab. Sumitro
adalah seorang yang kokoh anti-komunis (anti-PKI) dan dekat tokoh-tokoh Partai
Masyumi–partai Islam terbesar waktu itu–yang berhaluan sama, yaitu Mohammad
Natsir, Mr. Mohammad Roem, Prawoto Mangkusasmito, Kasman Singodimedjo, dan
lain-lain. Atas hasutan PKI, kedua partai ini dibubarkan oleh Soekarno secara
sepihak tahun 1960 dan para tokohnya dipenjarakan dengan tuduhan makar tanpa
bukti dan tanpa proses hukum.[]

YS/ IslamIndonesa/ Sumber: Harian Republika


(Sumber: https://islamindonesia.id/kolom/kolom-agama-jadi-tersangka.htm)

https://islamindonesia.id 34
Tuesday, 21 November 2017
KOTA WELAS ASIH
Oleh: Haidar Bagir*

islamindonesia.id – KOLOM – Kota Welas Asih

“Di Jakarta semua jauh, bahkan surga pun jauh”, “Jakarta lebih kejam dari ibu tiri”,
dan macam-macam lagi celoteh orang tentang kekerasan dan sifat egoistis atawa
individualistis di ibu kota negeri kita ini.

Orang-orang yang berkelebihan pun merasa tak nyaman, apalagi penduduk Jakarta
yang lebih kurang beruntung. Sudah bukan soal yang perlu diperdebatkan bahwa
orang-orang miskin di kota-kota besar seperti Jakarta mengalami penderitaan
berlipat ganda dibandingkan dengan orang-orang miskin di kampung-kampung dan
desa-desa.

Di kampung, orang-orang miskin masih terpantau dan terdukung oleh kedekatan dan
pergaulan yang relatif akrab antarsesama warga dan semangat gotong royong
antarmereka. Tidak demikian halnya dengan orang- orang miskin di kota besar.
Bukan saja mereka termarginalisasi secara ekonomi, mereka pun jadi kasta yang
terabaikan di tengah deru dan ingar-bingar pembangunan fisik kota.

Boleh jadi kesusahan mereka tak terlihat atau yang lain sudah tak peduli atau
setidaknya sebagian sudah habis pikiran dan tenaganya untuk menyelesaikan

https://islamindonesia.id 35
masalahnya sendiri yang tak kalah ruwetnya. Yang miskin harus membanting tulang
untuk memenuhi sekadar kebutuhan subsistensi belaka, sedangkan yang berlimpah
harus menghadapi banyak kesulitan yang tak begitu saja bisa diatasi dengan
keberlimpahan mereka.

Kesepian sosial

Persoalan absurditas dan krisis makna kehidupan menimpa warga perkotaan. Bukan
saja akibat filosofi penguasaan atas segala sesuatu, yang bercampur egoisme yang
menguras semua energi psikologis, juga persaingan yang menekan, renggangnya
hubungan keluarga karena langkanya waktu kebersamaan, hingga ancaman moral
yang bisa setiap saat menimpa anak-anak mereka. Maka, bukan saja orang-orang
susah dan miskin kota menjadi terabaikan, bahkan para warga yang berkelimpahan
pun merasakan depresi dan kesepian dalam kerumunan pergaulan yang mengitari
mereka. Maka, kota sebesar dan semaju Jakarta pun bisa menjadi panggung drama
gemerlapan dengan banyak kisah yang menyedihkan.

Padahal, seperti diungkapkan PBB, sejak 2006 setiap hari seorang bayi dilahirkan di
rumah sakit di perkotaan atau seorang migran terdesak sehingga harus pindah ke
kota-kota besar, seperti Jakarta. Diramalkan pada saatnya setidaknya separuh
penduduk dunia akan tinggal di kota-kota. Pada 2030, penduduk perkotaan
diramalkan akan mencapai sedikitnya 5 miliar orang. Mereka berupaya memburu
sumber daya di kota-kota besar yang memang menyimpan kekayaan ketimbang
kemiskinan yang ada di desa asal mereka.

Padahal, jika seseorang menilai pencapaian kebahagiaan dengan tingkat kekayaan


belaka, setengah abad terakhir seharusnya merupakan saat yang membahagiakan
bagi orang-orang di AS dan negara-negara kaya lainnya. Nyatanya, sebagai contoh,
Inggris bertambah kaya lebih dari 40 persen pada 1993-2012, tetapi tingkat
gangguan kejiwaan dan neurosis di negeri itu malah meningkat.

Satu tim ekonom Italia, yang dipimpin oleh Stefano Bartolini, pada 2008 menemukan
bahwa faktor paling kuat yang bertanggung jawab atas kebahagiaan manusia adalah
menurunnya modal sosial di negara tersebut, yaitu melemahnya jaringan sosial dan
interaksi yang seharusnya membuat kita tetap terhubung dengan orang lain. Tidak
ada yang lebih buruk bagi kesehatan mental dan kesejahteraan psikologis
ketimbang kesepian sosial. Semakin terhubung kita dengan keluarga dan
masyarakat, semakin besar kemungkinan kita mendapatkan kebahagiaan.

Maka, jadi relevan gagasan semacam compassionate cities yang dilancarkan oleh
organisasi Compassionate Action International, besutan Karen Amstrong, pemikir

https://islamindonesia.id 36
dan penulis isu-isu keagamaan kondang itu. Dengan sangat kreatif, Amstrong
mendefinisikan kota welas asih sebagai kota “yang warganya selalu resah…” Ajaib?
Tidak!

Dalam suatu kota welas asih, setiap warga selalu resah karena tahu dan prihatin
pada kesusahan sesama warga miskin atau terasing, yang mereka tahu ada di kota
mereka. Karena kepedulian mereka itu, mereka akan secara bersama-sama mencari
cara apa pun untuk memastikan bahwa mereka bisa membantu kesulitan sesama
warga yang kurang beruntung itu. Hasilnya adalah suatu kesatuan warga yang
dicirikan oleh melemahnya egoisme individualistik yang digantikan sifat selflessness,
semangat kesukarelaan, gotong royong, dan kemandirian.

Jangan cuma teori

Persoalannya, bagaimana cara mengembangkan kota welas asih? Sebelum yang


lain-lain, harus ada kesadaran di pihak pemerintahan kota dan masyarakat akan
perlunya pembangunan sikap sosial dalam bentuk pengembangan budaya welas
asih di tengah warga.

Cara tradisionalnya bisa saja berupa pendidikan karakter atau budi pekerti,
internalisasi nilai-nilai Pancasila, ataupun revitalisasi nilai-nilai spiritual dan budaya
asli daerah. Mediumnya bisa lembaga-lembaga pendidikan formal, nonformal,
ataupun informal, termasuk melalui organisasi-organisasi di unit kewargaan
terendah, seperti RT/RW ataupun kecamatan, tak terkecuali organisasi-organisasi
remaja, ibu-ibu, dan sebagainya.

Tentu saja juga bisa lewat lembaga keagamaan, khususnya masjid dan tempat-
tempat ibadah lainnya. Sebab, bukankah pada puncaknya agama dan budaya
memang adalah soal kemanusiaan, kepemilikan sifat welas asih, dan membantu
orang susah? Ringkasnya, harus dijaga adanya wacana atau percakapan tentang
budaya welas asih di tengah masyarakat, lewat berbagai cara yang mungkin.

Akan tetapi, semua ini tak akan efektif jika hanya dibatasi pada wacana teoretis yang
tak disertai praksis. Semua gagasan itu harus dikawinkan dengan praktik amal-amal
baik kolektif oleh pemerintah bersama warga, yang diupayakan lahir dari semangat
tanpa pamrih, solidaritas, dan kolaborasi yang produktif di antara mereka.

Pembangunan fasilitas-fasilitas fisik yang menimbulkan kenyamanan dan


memungkinkan komunikasi dan keterhubungan warga kota pada akhirnya juga
penting bagi kesejahteraan psikologis warganya. Terbukti, misalnya, kota dengan
ruang-ruang publik dan taman-taman yang cukup, yang asri dan jadi tempat

https://islamindonesia.id 37
berkumpul bagi warga dan kompleks perumahan yang tak dibatasi tembok-tembok
tinggi, ikut menentukan kebahagiaan warga. Juga pusat-pusat seni dan budaya,
perpustakaan umum yang terjangkau, pusat pelayanan publik yang ramah dan
berbiaya rendah, pusat-pusat kebajikan bagi warga yang kesusahan, serta fasilitas-
fasilitas pelayanan pada warga berkebutuhan khusus, serta fasilitas publik yang
nyaman bagi orang untuk bersepeda dan berjalan kaki.

Bukan saja keterlibatan nyata ini akan dapat melahirkan keyakinan terhadap makna
dan guna kebaikhatian dan kebersamaan, ia juga akan dapat memperkuat kembali
keyakinan akan kelayakan dan keberlanjutan cara hidup penuh welas asih. Sesuatu
yang mungkin sudah tergerus akibat gaya hidup individualis ala kota besar yang
telah telanjur berurat berakar selama beberapa dekade belakangan ini.

Sebuah kerja besar, memang, tetapi tak kurang dari kesejahteraan hidup warga
Jakarta dipertaruhkan di sini. Selamat bekerja Pak Anies dan Pak Sandi. []

*Pendiri Gerakan Islam Cinta

YS/IslamIndonsia/ Sumber: Harian Kompas


(Sumber: https://islamindonesia.id/kolom/kolom-kota-welas-asih.htm)

https://islamindonesia.id 38
Monday, 06 November 2017
ABBAS BIN ALI BIN ABI THALIB, SIMBOL PERSAUDARAAN
*Fauziah Salim As Shabbah

islamindonesia.id – KOLOM – Abbas bin Ali bin Abi Thalib, Simbol Persaudaraan

Banyak sudah kisah yang diabadikan dalam sejarah Arab tentang cinta dan gairah
seperti kisah Qais dan Laila, Antar dan Abla, Cleopatra dan Mark Antony … dan
lain-lain. Kami membaca semua kisah-kisah itu di sekolah dan berbagai media. Tapi
agar tenggelam dalam gairah yang membawa makna paling indah dari
persaudaraan sejati sepanjang sejarah, kita seharusnya belajar dan meniru kisah
Sayyidina Abbas bin Ali bin Abi Thalib dengan saudara tirinya Sayyidina Hussein.

https://islamindonesia.id 39
Setelah wafatnya Sayyidah Fatimah, Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib berkata
pada saudaranya Aqil: “Carikan aku wanita yang terlahir dari jawara Arab agar lahir
darinya anak yang pemberani dan penolong bagi saudara-saudaraya.” Wanita itu
adalah Sayyidah Ummul Banin Fatimah al Amiriyah, ibu Sayyidina Abbas. Selain dia
sendiri berkhidmat untuk Hasan, Husain dan Zainab, wanita keturunan jawara Arab
ini juga mewakafkan putranya, Abbas, untuk berkhidmat pada saudaranya Husain
dan melindunginya sepanjang hayatnya hingga mereka berdua gugur sebagai
syuhada bersama di padang Karbala tahun 61 Hijriah.

Sesungguhnya persaudaraan dan perangai Abbas yang mulia, yang mendorong


Husain memilihnya membawa benderanya di Karbala. Husain pun merasa nyaman
di sampingnya. Dan hubungan akrab tidak hanya terjalin dengan saudaranya Husain
saja, Abbas juga menjadi pendukung, pelindung, dan penolong Hasan dan Zainab.

Apa yang membuat saya menyampaikan kisah sangat singkat tentang hubungan
dua saudara tidak sekandung ini? Banyaknya kasus di pengadilan seputar
perselisihan saudara disebabkan oleh harta, warisan, atau persoalan pribadi dan
pecahnya keluarga. Persaudaraan yang saling bertengkar di antara mereka hingga
ke titik perpecahan. Persaudaraan dimana mereka tidak memasuki rumah-rumah
saudaranya yang lain. Persaudaraan yang ketika mereka saling bertemu di jalan
tidak saling menyapa dengan salam. Persaudaraan yang tidak saling mengunjungi
kecuali pada hari raya dan momen tertentu dan ketika salah satunya tertimpa
musibah, mereka tidak saling menanyakan.

Seandainya setiap saudara berpedoman pada Al Abbas, belajar dari perjalanan


hidupnya, tidak akan kita lihat putusnya tali silaturahmi yang merebak di masyarakat
kita. Walau mereka hanya mengamalkan sebagian dan yang paling mudah dari
akhlak Abbas, mak akan terwujud persaudaraan yang aman, bahagia, dan kokoh
(stabil).

Dikatakan dalam sejarah, sesungguhnya Abbas memanggil Husain dengan “Wahai


saudaraku” hanya sekali, yaitu ketika hari Asyura; saat dia jatuh dari kudanya ke
tanah dengan kedua tangan yang terpotong. Ketika itu, dia mendambakan melihat
manusia yang paling dekat dengannya sebelum dia meninggal dunia. Pada momen
menyakitkan itu, Abbas memanggil Husain dengan ucapan “Hampiri aku wahai
Saudaraku”. Dengan segera Husain menghampirinya, lalu membersihkan debu dan
darah dari wajah dan mata Abbas. Pandangan Abbas pun tertuju pada saudaranya
untuk yang terakhir kalinya sebelum dia menghembuskan nafas terakhir di pangkuan
Husain. Dia pun meninggal dengan menggambarkan dan mengisahkan ketinggian
makna persaudaraan, kesetiaan, dan cinta. Husain pun menangisinya dengan

https://islamindonesia.id 40
tangisan sekeras-kerasnya dan berkata dengan ucapannya yang tekenal itu, “Kini
punggungku patah, dayaku semakin sedikit, dan musuhku semakin senang.”

Inilah persaudaraan hakiki yang patut dicontoh… dia berada di sisi saudaranya di
setiap keadaan. Hingga dalam kondisi yang paling berat dan sulit sekali pun, Abbas
tetap setia pada saudara. Maka, ketika Abbas mengalami derita dan musibah yang
begitu besar, di hari terjadinya peristiwa Karbala, dia tidak kecewa, marah, gila atau
mundur. Bahkan dia setia dan bisa dipercaya oleh saudaranya. Abbas bersamanya
dan tidak berpisah hingga kedua tanganya terputus dan syahid di jalan perjuangan.
Dia pun naik ke puncak kemuliaan dan keluhuran budi hingga kisahnya, seperti
kisah teridah dua saudara, abadi sepanjang sejarah.

*Penulis adalah anggota keluarga Kerajaan Kuwait yang aktif menjadi pengacara
dan kolomnis. Kolomnya tersebar di berbagai media Arab, termasuk Alarabiyah.net

YS/IslamIndonesia
(Sumber: https://islamindonesia.id/kolom/kolom-abbas-bin-ali-bin-abi-thalib-simbol-
persaudaraan.htm)

https://islamindonesia.id 41
Saturday, 04 November 2017
ORASI GENTHOLING
Oleh: Emha Ainun Nadjib

islamindonesia.id – ESAI – Orasi Gentholing

Mungkin karena agak shock, tergeletak dengan tubuh berkeringat dingin, setelah
dikepung oleh teror asap Mbah Shoimun, Toling menoleh kepada Seger.

“Ger, tolong catat”

“Apa, Ling? Pasti Indonesia lagi. Apa. Masuk tahun politik ya…”

“Masih ngganjel dikit ini. Mudah-mudahan ini cukup. Gini lho. Mungkin bangsa kita
ini adalah Rahwana yang sedang dihimpit di antara dua gunung…”

“Baik”, kata Seger, “mati dong kalau dihimpit dua gunung?”

https://islamindonesia.id 42
“O tidak. Rahwana dipelihara hidupnya. Dikasih makan minum. Tapi tangan dan
kakinya diborgol. Isi sakunya diambil. Pakaiannya diganti sehingga seperti bukan
Rahwana lagi. Secara bertahap dan terencana dengan matang, harta benda di
rumahnya dirampas. Tanah dan kebunnya dikuasai oleh Mbahureksa dua gunung
itu”

Jelas itu ngelindur. Toling mengigau. Apa dong kalau bukan. Namanya saja Toling.
Julukan diambil dari sesuatu yang sangat dikagumi atau justru sangat dibenci. To-
ling itu dari Gentho Maling. Orang pinter, bahkan alim, tapi kelakuannya Gentho.
Rakyatnya sendiri dipremani, dipalak, diporoti. Juga para Gentho ini maling tak kira-
kira banyaknya…. Lho, kok tulisan ini numpang ngelindur.com….

Gentho Maling disingkat Gentholing. Di Jombang, Jaran Kèpang ditabuhi, dimusiki


dengan “blanggentak gentholing…gentholing….gentholing”. Dipadatkan lagi menjadi
Toling. Suku kata“tho” dibaca seperti teman Bali atau Aceh mengucapkan “t”. Di
Jawa ada “to” ada “tho”. Misalnya “cotho” artinya sial, kalau “coto” itu sotonya orang
Makassar.
Tapi Bahasa Indonesia tidak peduli. Ya sudah akhirnya Toling komprominya. Aslinya
Tholing. “Ling” nya pun dibaca “é” seperti pada Bulè atau Indonesia yang dibaca
Éndonesia. “Maaf, maaf, bukan Rahwana”, igauan Toling diralat, “mungkin bangsa
kita adalah Kaum Anshor di Madinah yang bernyanyi menyongsong kedatangan
investor dan tenaga kerja Muhajirin dengan nyanyian “thola’al badru ‘alaina, min
tsaniyyatil wada’i“: telah terbit rembulan atas kita, muncul dari sela antara dua
gunung. Kita wajib bersyukur, karena telah mendapat panggilan untuk jadi pilihan
utama. Maka Anshor berbagi harta benda dengan Muhajirin. Berbagi tanah, uang,
aset, bahkan ada yang menghibahkan istrinya.
“Ah, tapi bukan …“, ngelindur direvisi lagi, “kalau bicara dua gunung, bangsa
danmasyarakat adalah yang dijumpai oleh Nabi Dzulkarnain dalam perjalanannya ke
Timur”

“Bagaimana penjelasannya?”, tanya Seger.

“Ceritanya serba dua”, jawab Toling, “masyarakat itu hidupnya diancam oleh dua
juga: Ya’juj dan Ma’juj. Cari sendiri bahan tentang warna kulit dan jenis wajah Ya’juj
Ma’juj. Mereka minta tolong kepada Dzulkarnain: “Hai Dzulkarnain, sesungguhnya
Ya’juj dan Ma’juj adalah orang-orang yang membuat kerusakan di muka bumi, maka
dapatkah kami memberikan sesuatu pembayaran kepadamu, supaya kamu
membuat dinding antara kami dengan mereka?”.
“Dzulkarnain menyanggupi. Mereka diajak bikin palang besi raksasa di antara dua
gunung, kemudian dicor dengan tembaga panas. Menjadi semacam pagar raksasa
yang membuat Ya’juj Ma’juj tidak bisa masuk. Padahal masyarakat ini “la yafqohuna

https://islamindonesia.id 43
qoulan”, tidak mengerti pembicaraan apapun, tidak bisa diajak dialog. Omong apa
saja bias. Bukan karena bodoh atau tidak berpendidikan. Tetapi karena pusat
sarafnya memfokuskan pikirannya pada keuntungan dunia dan Keuangan Yang
Maha Kuasa…”
“Ah, tapi mending”, Seger nyeletuk, “mereka masih tahu kalau terancam dan masih
sadar untuk minta tolong kepada Dzulkarnain. Ada kisah tentang bangsa lain yang
malah thala’al badru kepada Ya’juj Ma’juj”.

DAUR-II 262,
Yogya, 3 Nopember 2017

YS/IslamIndonesia/Diterbitkan atas izin penulisnya


(Sumber: https://islamindonesia.id/kolom/esai-orasi-gentholing.htm)

https://islamindonesia.id 44
Saturday, 04 November 2017
SAUDARA DAN PERSAUDARAAN
Oleh: Komaruddin Hidayat

islamindonesia.id – KOLOM – Saudara dan Persaudaraan

Orang Inggris punya ungkapan, It is a chance, not by choice, that makes you a
brother or sister. But it is heart, by choice and effort, that makes a brotherhood and
sisterhood. Karena ikatan darah (blood line) maka Anda memiliki saudara, namun
tak jaminan antara sesama saudara terbangun persaudaraan.

Dulu Nabi Yusuf pernah dilempar ke sumur oleh saudara-saudaranya karena dengki
dan cemburu, namun Tuhan menyelamatkan, bahkan akhirnya Yusuf jadi penguasa
di Mesir dan memaafkan kejahatan saudara-saudara sekandungnya. Jika ditarik ke
belakang lagi, anak Adam juga terlibat pertengkaran sampai pada pembunuhan,
antara Kabil dan Habil.

Kisah serupa telah memberikan pelajaran kepada kita bahwa hubungan darah
seayah-seibu pun tidak jaminan menciptakan persaudaraan dan kerukunan antara
mereka. Sampai-sampai muncul istilah family quarrel, pertengkaran antarkeluarga.
Dalam kajian teologi, family quarrel itu juga terjadi pada pemeluk rumpun agama
anak-cucu Ibrahim, yaitu Yahudi, Nasrani, dan Islam.

Mereka mempertengkarkan truth claim, agama siapakah yang paling benar di mata
Tuhan. Mereka bertengkar, pemeluk agama mana yang berhak masuk surga,
bahkan sampai kafir-mengafirkan yang berujung pada pertumpahan darah.

https://islamindonesia.id 45
Di lingkungan istana, cerita pertengkaran keluarga ini tidak aneh. Keturunan raja
sering terlibat perseteruan karena berebut jabatan, fasilitas, dan warisan. Yang
fenomenal adalah berebut posisi sebagai putra mahkota.

Jalinan persaudaraan terbentuk karena berbagai faktor. Bagi para perantau, jika di
tempat barunya bertemu orang sedaerah dan sesuku sering kali menjadi akrab
melebihi saudara sendiri. Terlebih jika bertemunya di luar negeri maka rasa
persaudaraan bisa lebih kental lagi.

Mengapa? Karena seseorang di rantau kadang merasa kesepian, tidak memiliki


teman dekat. Lebih dari itu, sesungguhnya jika seseorang mendapatkan kesulitan,
yang paling dekat untuk dimintai pertolongan, atau yang segera bisa menolong,
adalah tetangga dan teman terdekat, bukannya saudara kandung yang tinggalnya
berjauhan. Meskipun saudara sekandung, jika tinggalnya berjauhan maka sulit
memberikan pertolongan segera.

Ada lagi ikatan keagamaan. Akhir-akhir ini muncul kelompok pengajian yang
eksklusif, ikatannya melebihi ikatan keluarga. Sosok guru dan ajarannya menjadi
figur sentral yang menyatukan murid-muridnya.

Bahkan, ada yang rela meninggalkan keluarga besarnya karena beda paham dan
keyakinan agamanya. Di antara mereka pun memiliki sebutan khas, “akhi” dan
“ukhti”, saudara laki dan saudara perempuan seakidah.

Ada persaudaraan lain yang mungkin kontraktual, yaitu saudara seorganisasi dan
separtai. Mereka disatukan oleh kepentingan politik sesaat. Tapi ketika agenda
kepentingannya berubah dan berbeda, persaudaraan pun buyar.

Belakangan ini juga muncul persaudaraan baru, antara lain persaudaraan karena
kesamaan dan ikatan profesi serta persaudaraan yang tumbuh dan terbina karena
sesama satu almamater. Persaudaraan ini lalu membentuk komunitas digital dalam
dunia maya. Setiap hari bertegur sapa, berbagi cerita, dan gosip melalui WhatsApp
Group (WAG). Sekali-sekali mereka bertemu mengadakan kopi darat (kopdar), tidak
hanya berceloteh di udara terus.

Tidak mudah, memang, untuk membangun persaudaraan yang solid dan kekal, baik
berdasarkan hubungan darah maupun berangkat dari perkenalan dan pertemanan.
Meskipun penduduk bumi sudah mencapai 6 miliar, penduduk Indonesia 240 juta,
yang namanya sahabat sejati tidaklah banyak.

https://islamindonesia.id 46
Pepatah lama mengatakan, temanmu yang sejati adalah yang mau ikut menangis
bersamamu, bukan yang mendekat saat engkau tertawa gembira. Teman yang
seperti inilah kadang kedekatannya melebihi saudara.

Biasanya persaudaraan rusak jika sudah melibatkan kalkulasi untung-rugi,


semangatnya mengambil, bukan memberi. Padahal, kalau saja sikap dasarnya
saling memberi, berbuat ihsan, pada akhirnya justru akan lebih enak dan
menguntungkan, saling memperoleh apa yang diharapkan dari teman tanpa harus
meminta. Karena teman yang baik akan punya sikap empati yang tinggi,
menawarkan pertolongan tanpa harus dijemput dengan permintaan.

Dalam masyarakat yang lebih mendahulukan “aku”, bukannya “kami” dan “kita”,
yang egoistis-individualistis, persaudaraan yang solid dan tulus, rasanya semakin
langka. Dulu persaudaraan yang terbentuk di dunia pesantren tumbuh dan solid.
Namun, belakangan ini mungkin sudah mulai mengendur. Pilihan politik dan mazhab
keagamaan pun adakalanya bisa merusak persaudaraan.

YS/IslamIndonesia/sumber: Harian Sindo


(Sumber: https://islamindonesia.id/kolom/kolom-saudara-dan-persaudaraan.htm)

https://islamindonesia.id 47
Thursday, 02 November 2017
PENGUATAN KESADARAN KEBANGSAAN (I)
Oleh: Ahmad Syafi’i Ma’arif, Ketua Umum Muhammadiyah 1998 – 2005

islamindonesia.id – KOLOM – Penguatan Kesadaran Kebangsaan (I)

Setelah 72 tahun lebih dua bulan merdeka, semestinya kesadaran kultural kita
sebagai bangsa sudah semakin kokoh, tidak muncul lagi isu-isu negatif dan
destruktif seperti adanya ancaman daerah tertentu yang ingin melepaskan diri dari
ikatan kebangsaan Indonesia. Dalam pada itu, pergolakan daerah yang terjadi di
akhir 1950-an tidak bisa dibaca sebagai gerakan separatisme, sebab lebih banyak
dipicu oleh semangat untuk menuntut keadilan dan otonomi daerah yang
ditelantarkan oleh politik sentralistik saat itu.

Politik tipe ini masih berlangsung sampai tahun 1998, setidak-tidaknya dalam teori,
sedangkan dalam kenyataan pembangunan daerah yang sesungguhnya belum
terwujud. Kata orang: kepalanya dilepaskan, tetapi ekornya masih tetap saja
dipegang.

Perhatian negara secara sungguh-sungguh terhadap pembangunan daerah di luar


Jawa baru menjadi masif di era pemerintahan Jokowi-JK (2014-2019), khususnya
sejak dua tahun terakhir. Maka tidak mengherankan hasil terakhir dari beberapa

https://islamindonesia.id 48
lembaga survei menunjukkan bahwa kepuasan publik atas kinerja pemerintah sudah
nyaris mendekati angka 80 persen.

Ini angka yang sangat tinggi. Tetapi ingat bahwa angka ini belum sekaligus
menunjukkan bahwa ikatan kebangsaan kita sudah kuat, tidak perlu dirawat lagi
dengan alasan berikut ini. Ketimpangan pembangunan antara Indonesia bagian
barat dan Indonesia bagian timur baru mulai dipertautkan.

Jika sejarah sebagai kritik dapat digunakan dalam meneropong perjalanan sejarah
bangsa yang terdiri atas ribuan pulau ini, sesungguhnya Indonesia sebagai bangsa
masih dalam proses menjadi, belum jadi betul. Gangguan dan bahkan ancaman
terhadap keberadaannya masih saja muncul, baik karena pengaruh ideologi luar
yang diimpor ke sini oleh kelompok-kelompok sempalan yang ahistoris maupun oleh
kelalaian negara untuk menegakkan keadilan sebagaimana yang diperintahkan oleh
sila kelima Pancasila: keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Situasi sejarah nasional dalam tahap yang masih dalam “proses menjadi” ini tidaklah
mengejutkan benar karena kesadaran berbangsa satu itu baru muncul tahun 1920-
an, bersamaan dengan perubahan nama organisasi mahasiswa kita di negeri
Belanda dari Indische Vereniging menjadi Indonesische Vereniging atau PI
(Perhimpunan Indonesia) yang fenomenal itu. Sebelum itu, yang disebut bangsa itu
tidak lain dari suku-suku bangsa dengan beragam subkulturnya masing-masing.

Ali Sastroamidjojo dalam autobiografinya menulis: “Bagi saya yang baru saja datang
dari Jakarta (permulaan tahun 1923) … dengan suasana kolonialnya dan
pergerakan pemudanya yang masih bersifat kedaerahan, nama ‘Indonesische
Vereniging’ ini sungguh menggoncangkan semua pendapat atau keyakinan yang
saya bawa dari Tanah Air. Arti persatuan bangsa Indonesia, belum pernah menjadi
perhatian ‘Jong Java.’ Kesadaran kebangsaan saya baru sampai pada taraf
kesukuan Jawa.”(Tonggak-Tonggak di Perjalananku. Jakarta: PT Kinta, 1974, hlm
43).

Perasaan seperti yang dialami Ali ini tentu dirasakan pula oleh mereka yang berasal
dari suku-suku lain di Nusantara yang sedang belajar di Eropa ketika itu. Melalui
tempaan revolusioner dan inspiratif dalam kegiatan PI, maka perasaan kedaerahan
itu menjadi luluh untuk menyatu dan melebur dalam perasaan keindonesiaan yang
padu dalam ikatan sebuah bangsa besar di kawasan khatulistiwa yang cantik dan
kaya dengan sumber-sumber alam.

Selanjutnya, tokoh PI ini bertutur: “Dari sebab itu turut mengalami saat-saat
peralihan radikal di dalam perkembangan ‘Indische Vereniging’ menjadi

https://islamindonesia.id 49
‘Indonesische Vereniging’ yang terjadi di Den Haag itu menyebabkan perubahan
mental yang radikal pula di dalam jiwaku. Dengan segera sekali menipislah
perasaan kesukuan Jawa di dalam hatiku. Perasaan dan kesadaran baru segera
tumbuh. Saya mulai sadar bahwa saya tidak hanya termasuk golongan suku Jawa,
melainkan menjadi sebagian daripada suatu bangsa besar, ialah bangsa
Indonesia.”(Ibid).

YS/ IslamIndonesia/ Sumber: Republika


(Sumber: https://islamindonesia.id/kolom/kolom-penguatan-kesadaran-kebangsaan-i.htm)

https://islamindonesia.id 50
Sunday, 29 October 2017

RESPONS IDEALISME MUDA


Oleh: Yudi Latief, Kepala Unit Kerja Presiden Pemantapan Ideologi Pancasila

islamindonesia.id – KOLOM – Respons Idealisme Muda

Idealisme adalah kemewahan terakhir yang hanya dimiliki pemuda,” ujar Tan
Malaka. Masalahnya, setiap zaman punya tantangannya tersendiri yang menuntut
respons berbeda. Seturut dengan itu, idealisme pemuda juga harus diletakkan
dalam konteks tantangan zamannya.

Kemampuan merespons tantangan zaman sebagai kerja kolektif, bukan sekadar


pencapaian pribadi-pribadi, itulah yang melahirkan suatu generasi transformasi.
Pengertian generasi dalam sosiologi tak sekadar merepresentasikan kolektivitas
atas dasar kesamaan usia, tetapi juga kesamaan pengalaman, visi, dan panggilan
kesejarahan yang membentuk kekuatan perubahan. Ron Eyerman menyatakan,
”Konsepsi sosiologis mengenai generasi mengimplikasikan lebih dari sekadar
terlahir pada masa yang hampir sama. Konsepsi itu menyatakan sebuah kesamaan
pengalaman sehingga menciptakan sebuah dasar bagi cara pandang yang sama,
orientasi tujuan yang sama, sehingga bisa mempersatukan para pelaku, bahkan
meski mereka tak pernah saling bertemu.”

Para pemuda pelopor Angkatan 1928 merupakan representasi kehadiran suatu


generasi yang gemilang. Dalam keterbatasan konektivitas teknis (sarana

https://islamindonesia.id 51
transportasi dan komunikasi), generasi ini mampu meluaskan horizon imajinasi
komunitas politiknya melampaui batas-batas spasial kepulauan dan primordial.

Bisa dibayangkan, transportasi umum yang tersedia bagi perutusan pemuda dari
Jong Java, Jong Ambon, Jong Celebes, Jong Batak, Jong Sumatranen Bond, Jong
Islamieten Bond, Sekar Rukun (Jong Sunda), dan yang lainnya untuk bisa mengikuti
Kongres Pemuda di Jakarta mengandalkan kapal laut dan kereta. Sebagian mereka
perlu waktu tempuh berminggu-minggu. Sementara media komunikasi untuk
meluaskan pertukaran pikiran antar-pemuda yang tersebar di banyak wilayah masih
terbatas pada kehadiran media cetak (koran, majalah), dengan sirkulasi yang
terbatas serta masa yang lama untuk bisa diakses pembaca di seberang pulau.

Kendala-kendala konektivitas teknis nyatanya tak menghalangi konektivitas nalar


dan rasa kebangsaan. Padahal, menautkan orang-orang yang hidup di berbagai
kepulauan terpisah, dengan segala kemajemukan komunalitasnya, ke dalam suatu
imajinasi komunitas persaudaraan kebangsaan bukanlah perkara mudah. Jangan
lupa, meski manusia sering disebut zoon politicon (hewan bermasyarakat),
kenyataannya riset sosiologis menunjukkan ukuran maksimum suatu kumpulan
manusia untuk bisa bergaul intim sebagai sesama kelompok hanya 150 orang.

Di atas ambang itu, rasa solidaritas sesama sulit dilakukan, apalagi terhadap
penduduk di pelosok pulau di seberang lautan. Bayangan persaudaraan dalam skala
luas, melintasi batas-batas kekubuan-kesukuan, hanya bisa dibangun lewat
perekayasaan realitas imajiner yang dibangun oleh sistem ”mitos” (sistem
keyakinan, simbol, dan ritual bersama).

Para pemuda pelopor Angkatan 1928 berhasil meluaskan bayangan komunitas


bersama lewat penciptaan ”mitos” kesamaan riwayat (sejarah), dengan dipersatukan
”nasionalisme negatif-defensif” (melawan musuh bersama), yang mendorong
penciptaan bayangan ”berbangsa satu: bangsa Indonesia”. Generasi ini juga mampu
menciptakan bayangan ”mitos” kesamaan geopolitik, dengan mengakui ”tumpah
darah satu: tanah-air Indonesia”; yang dibentangkan horizonnya oleh jaringan
administrasi dan ekonomi kolonial.

Mereka juga mampu menciptakan ”mitos” pertautan akar-akar sosiokultural yang


memungkinkan komitmen bersama ”menjunjung bahasa persatuan: bahasa
Indonesia”. Terima kasih pada politik kebahasaan dan literasi kolonial serta dampak
tak sengaja kebijakan ekonomi liberal yang memungkinkan kehadiran industri pers
vernakular, perluasan pengajaran bahasa Melayu, dan penyediaan bahan bacaan
dalam bahasa Melayu yang meratakan jalan bagi penggunaannya sebagai bahasa
resmi di masa pendudukan Jepang.

https://islamindonesia.id 52
Singkat kata, generasi pemuda Angkatan 1928 mampu mengatasi hambatan
konektivitas teknis dengan kreativitas penciptaan sistem keyakinan yang menautkan
jutaan manusia dari berbagai aliran sungai primordial menuju samudra kebangsaan
Indonesia, yang membuka jalan bagi pembentukan nasionalisme kewargaan (civic
nationalism) yang luas dan inklusif.

Tantangan pemuda masa kini

Situasi tantangan yang dihadapi para pemuda hari ini justru sebaliknya. Dari segi
konektivitas teknis, kendala ruang dan waktu dalam komunikasi dan perhubungan
sudah bisa dilampaui oleh berbagai keserbahadiran teknologi mutakhir dalam
telekomunikasi (digital) dan transportasi. Masyarakat Indonesia termasuk pengguna
internet dan media sosial paling intens, yang memungkinkan orang-orang yang
tersebar di berbagai kepulauan semakin terkoneksi secara intensif dan ekstensif.

Ditinjau dari sudut ini, jutaan pemuda Indonesia hari ini bahkan berpotensi
mengalami pergeseran dalam konsep dirinya mengenai komunitas imajiner yang
ditujunya, dari seorang citizen suatu komunitas negara-bangsa menjadi netizen
suatu komunitas global. Masalahnya, tak pernah ada manusia yang bisa
sepenuhnya universal yang bisa hidup selamanya dalam dunia khayal. Selama
punya jasad, manusia terikat pada ruang waktu, perlu makan-minum dan menjalani
pergaulan hidup secara riil; yang secara tak terhindar dipengaruhi kondisi-kondisi
lingkungan terdekatnya. Pada titik inilah, pemuda Indonesia kini dihadapkan pada
situasi paradoksal.

Ketika konektivitas teknis makin rapat, konektivitas dalam nalar dan rasa berbangsa
justru kian renggang. Adopsi teknologi tinggi umumnya tak diikuti budaya tinggi.
Tingkat literasi rendah, wawasan kesejarahan cetek, nalar ilmiah rendah, pergaulan
lintas kultural mengerut, pengetahuan naratif sebagai basis karakter tersisihkan.
Intensitas konektivitas teknis tanpa basis keadaban dengan cepat melambungkan
industri kebohongan (hoaks). Mitos-mitos pertautan kebangsaan yang luas dan
inklusif sebagai warisan generasi Sumpah Pemuda mulai terdesak oleh kemunculan
mitos-mitos baru yang diproduksi dengan defisit nalar literasi dan nalar ilmiah,
dengan tujuan untuk menautkan anak-anak muda ke arah komunitas bayangan baru
secara dogmatis dan fasistis.

Tiba-tiba saja, kita menyaksikan jutaan pemuda hari ini hanyut dalam gelombang
arus balik dari samudra kebangsaan Indonesia menuju sungai-sungai kecil
primordial. Bayangan komunitas imajiner kekitaan menyempit, dipenggal-penggal
kembali menurut garis perbedaan identitas agama, suku, dan golongan. Indonesia

https://islamindonesia.id 53
seperti cermin yang jatuh, lantas pecah berkeping-keping. Setiap orang melihat
bayangan komunitasnya dari sudut kepentingan dan golongan masing-masing.

Dalam tendensi meluasnya gejala polarisasi dan fragmentasi kebangsaan, kaum


muda hari ini ditantang kembali mengemban misi emansipatorisnya. Dalam kaitan
ini, hendaklah diingat pada setiap zaman, kuantitas pemuda sebagai pemikir dan
pelopor selalu merupakan minoritas kreatif. Tahun 1926, pada masa puncak
aktivitas politik Perhimpunan Indonesia (PI), dari 673 lebih mahasiswa Indo¬nesia di
Belanda saat itu, hanya 38 orang yang menjadi aktivis PI (Ingleson, 1979: 2).
Demikian pula dengan situasi kepemudaan di Tanah Air. Menyusul berdirinya tiga
perguruan tinggi pada 1920-an (THS, RHS, dan GHS), beberapa klub mahasiswa
universitas bermunculan di Hindia, dengan arus utama bersifat rekreatif.

Namun, di sela arus utama klub-klub berorientasi rekreasi, muncul se¬kelompok


kecil mahasiswa sadar politik yang mendirikan perkumpulan berorientasi politik
dengan pengikut sangat terbatas, seperti Algemene Studieclub, yang dipimpin
Soekarno. Sejarah mencatat, minoritas kreatif inilah yang jadi pelopor perubahan,
yang mengonsep¬tuali¬sasikan ”Indonesia” sebagai simpul persatuan dan
kemerdekaan.

Alhasil, tak perlu terlalu diratapi jika kebanyakan anak muda hari ini lebih suka
menghabiskan waktu chatting di medsos, bersenang-senang di pusat belanja, atau
pelesiran ke tempat rekreasi. Toh, masih ada minoritas pemuda kreatif yang terlibat
kerja inovatif, kewirausahaan dan aksi politik. Malah, sesuai struktur demografis
Indonesia saat ini (dengan mayoritas penduduk berusia muda), minoritas kreatif
masa kini mestinya jauh lebih besar dengan varietas bidang kreatif lebih beragam
ketimbang generasi sebelumnya.

Letak masalahnya, jika minoritas kreatif pada generasi Sumpah Pemuda mampu
mempertautkan dan mengorganisasi potensi kreatif yang berserak menjadi kesatuan
generasi perubahan, generasi hari ini belum menunjukkan kesanggupan seperti itu
dengan risiko bisa menuju ”generasi yang hilang” (the lost generation). Tantangan
terberat kaum muda hari ini bukanlah melahirkan pribadi-pribadi berhasil; melainkan
kesanggupan menautkan keberhasilan pribadi itu ke dalam agenda bersama
menghadapi tantangan zaman.

Tak ada generasi perubahan tanpa usaha kesengajaan. Generasi Sumpah Pemuda
secara sengaja merespons tantangan kolonialisme dan feodalisme lewat penciptaan
ruang publik, wacana publik, dan organisasi aksi kolektif yang mempertautkan
minoritas kreatif dari berbagai latar primordial menjadi blok nasional yang inklusif
dan progresif. Melalui penciptaan ruang publik, wacana publik, dan kekuatan nalar

https://islamindonesia.id 54
publik, terbentuklah suatu konektivitas kolektivitas yang dalam kekuatan
artikulatifnya menjadi katalis bagi perwujudan politik perubahan.

Minoritas kreatif pemuda hari ini bergerak sendiri-sendiri atau dalam kelompok
terbatas. Tanpa usaha sengaja untuk mengangkat partikularitas sel-sel kreatif
menjadi komonalitas jaringan kreatif, kekuatan minoritas kreatif terpencar ke dalam
unit-unit terkucil. Munculnya medsos baru dengan kecenderungan individuasi yang
sangat kuat kian memperkuat tendensi ke arah atomisasi kekuatan kreatif. Sesekali
jaringan kesadaran yang merambat melalui medsos memang bisa melahirkan
kekuatan korektif. Namun, kekuatan korektif, tanpa keberadaan agenda dan
pengorganisasian bersama, sering kali sekadar kekuatan reaktif yang akan segera
padam begitu daur isu memudar.

Tampak jelas, kemampuan mengorganisasikan gagasan secara publik-politiklah


yang bisa mengangkat partikularitas kekuatan kreatif jadi kekuatan perubahan
kolektif. Seperti kata Hannah Arendt, politiklah yang menjadi ”ruang penampakan”
(space of appearance) bagi ide-ide terpendam. Tanpa kesanggupan
mengorganisasikan diri secara politik, kekuatan-kekuatan kreatif hari ini, betapapun
besar jumlahnya, tak membuat ide-ide mereka terungkap secara publik; tak mampu
membangkitkan inspirasi kreatif bagi banyak orang; dan tak mendorong pengikatan
bersama kekuatan-kekuatan progresif.

Komitmen kebangsaan

Dalam memberikan respons generasional atas tantangan zaman ini, hendaklah


diingat, di balik perubahan revolusioner dalam aspek-aspek keteknikan, selalu ada
elemen konstanta yang menentukan apakah penemuan-penemuan baru itu
membawa maslahat atau mudarat bagi kemanusiaan. Elemen konstanta itu
bernama ”nilai etis”. Rasionalitas instrumental tanpa tuntutan rasionalitas nilai
membuat perburuan akan penghidupan yang pendek menghancurkan kehidupan
yang panjang.

Kita tak tahu persis bagaimana kelangsungan negara-bangsa ke depan; tetapi


selama manusia butuh ruang hidup, selama itu pula orientasi etis kita harus
mendahulukan relasi etis dalam lingkungan terdekat. Nilai-nilai Pancasila merupakan
warisan genius para pendiri bangsa, yang menggali nilai-nilai etika publik dari bumi
Indonesia sendiri, tetapi dengan relevansi universal yang dapat menjadi sandaran
etis dalam menghadapi era globalisasi.

Dalam wawasan Pancasila, kesadaran nasionalisme itu mengandung nilai-nilai


emansipatorisnya. Bahwa sumber penindasan dan dehumanisasi itu bisa datang

https://islamindonesia.id 55
dari homogenisasi globalisme maupun dari partikularisasi lokalisme. Nasionalisme
menjembatani kedua kecenderungan ekstremisme itu. Di satu sisi, nasionalisme
melindungi eksistensi keragaman budaya lokal dari dominasi dan hegemoni budaya
asing; di sisi lain, nasionalisme juga mengangkat partikularitas renik-renik budaya
lokal untuk diabstraksikan dan dipersatukan dalam nilai kolektif kebangsaan.
Dengan kata lain, kebangsaan Indonesia dengan panduan nilai-nilai Pancasila-nya
bisa mengantisipasi tantangan generasi milenial, dengan menawarkan perpaduan
antara visi global dengan kearifan lokal.

Dalam konteks itu, patut dicatat, tarikan global ke arah demokratisasi dan
perlindungan hak-hak asasi memang menguat. Tetapi, oposisi dan antagonisme
terhadap kecenderungan ini juga terjadi. Di seluruh dunia, ”politik identitas” yang
mengukuhkan perbedaan identitas kolektif—etnis, bahasa, agama, bahasa dan
bangsa—mengalami gelombang pasang.

Dalam situasi seperti itu eksistensi Indonesia sebagai republik dituntut untuk berdiri
kokoh di atas prinsip dasarnya. Ide sentral dari republikanisme menegaskan bahwa
proses demokrasi bisa melayani sekaligus menjamin terjadinya integrasi sosial dari
masyarakat yang makin mengalami ragam perbedaan. Karena itu, tantangan
demokrasi ke depan adalah bagaimana mewujudkan pengakuan politik (political
recognition) dan politik pengakuan (politics of recognition) yang menjamin hak
individu maupun kesetaraan hak dari aneka kelompok budaya sehingga bisa hidup
berdampingan secara damai dan produktif dalam suatu republik.

Meski begitu, upaya negara memberi ruang bagi koeksistensi dengan kesetaraan
hak bagi berbagai kelompok etnis, budaya, dan agama juga tak boleh dibayar oleh
ongkos mahal berupa fragmentasi sosial. Setiap kelompok dituntut punya komitmen
kebangsaan dengan menjunjung tinggi konsensus nasional seperti tertuang dalam
Pancasila dan konstitusi negara, serta unsur-unsur pemersatu bangsa lainnya,
seperti bahasa Indonesia. Peringatan Sumpah Pemuda harus mampu menggali api
sejarahnya, bukan abunya. Api semangat menautkan potensi pribadi dan
keragaman kultural ke dalam persatuan perjuangan demi merespons tantangan
zaman.

YS/ IslamIndonesia/ Sumber: Kompas/ Foto: Gatra


(Sumber: https://islamindonesia.id/kolom/kolom-respons-idealisme-muda.htm)

https://islamindonesia.id 56
Saturday, 21 October 2017
MASJID BUKAN TEMPAT UNTUK BERPOLITIK
Oleh : Habib Umar bin Hafidz

islamindonesia.id – KOLOM – Masjid Bukan Tempat Untuk Berpolitik

Dahulu kala para Qabilah dari Jazirah Arab tidak berperang kecuali mendapatkan
kemenangan dari Allah SWT.

Maka salah satu anggota dari Qabilah tersebut ada yang datang kepada Rasulullah
SAW, kemudian Rasulullah bertanya, “Apa sebab kalian bisa menang terus di setiap
peperangan ?”.

Anggota Qabilah itu menjawab, “Ya Rasulullah, kami selalu menang karena kami
tidak pernah memulai berbuat dzholim terlebih dahulu kepada orang lain.”

Dan yang menjadi pemimpin kami adalah orang yang tertua dari kami serta orang
yang paling sholeh diantara kami. Dan kami selalu bersatu padu tidak bercerai
berai.”

Maka Nabi menetapkan bahwasannya inilah pertolongan dari Allah


Subhanahuwata’ala. Pertama mereka tidak memulai mendzholimi orang lain, Kedua

https://islamindonesia.id 57
apapun masalahnya mereka kembalikan kepada orang yang lebih tua dan yang
paling sholeh diantara mereka, Ketiga hati mereka selalu bersatu padu dan tidak
bercerai berai.

Allah Subhanahuwata’ala berfirman :


ِ ‫وََلَتنازعُواَفت ْفشلُواَوتذْهب‬
‫َري ُح ُك َْم‬
“Janganlah kalian saling berselisih niscaya kalian akan gagal dan akan hilang
pertolongan Allah kepada kalian” (QS. Al Anfal : 46 )

Sesungguhnya di dalam berdzikir kepada Allah Subhanahuwata’ala, membaca Al


Qur’an dan beramal Sholeh, inilah penyebab yang paling kuat dalam pertolongan
dari Allah.

Allah Subhanahuwata’ala berfirman :


‫إِذَْتسْت ِغيثُونَربَّ ُك ْمَفاسْتجابَل ُك َْم‬
“Tatkala kalian memohon pertolongan dari Allah, maka Allahh akan kabulkan”. (QS
Al Anfal : 9)

Tadi kami menyaksikan ketika kami masuk ke tempat ini, disambut dengan Dzikir
kepada Allah Subhanahuwata’ala dan Sholawat kepada Nabi Muhammad
Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Kami sangat senang karena ini merupakan syiar yang
dulu juga dilakukan oleh Bala Tentaranya Nabi Muhammad dahulu. Permisalan Bala
Tentara dahulu adalah Kaum Muhajirin dan Anshor yang mempunyai pimpinan
masing-masing.

Sesungguhnya pimpinan Kaum Anshor mereka adalah yang berbai’at kepada Nabi
melalui Bai’at Aqobah dahulu di Makkah.

Dan pemimpin dari Kaum Muhajirin berasal dari keluarga Nabi Muhammad
Shallallahu ‘Alaihi Wasallam yang bersama-sama Hijrah dengan Nabi Muhammad.

Dan setiap orang dari para sahabat dan bala tentaranya yang cinta sahabat baik dari
Kaum Muhajirin maupun Kaum Anshor, mereka mencintai keluarga Nabi
Muhammad, maka mereka pasti akan diberi pertolongan dan hajat mereka akan
dikabulkan.

Sifat yang seperti ini yang Allah lihat dari hati sanubari kalian, ini sifat-sifat yang
dahulu sudah dilakukan oleh kakek moyang kita dari Para Ulama yang dahulu
membawa ajaran Baginda Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam.

https://islamindonesia.id 58
Dan sifat ini adalah sifat dari ayah-ayah kalian terdahulu yang merupakan metode
Ahlussunnah Wal Jama’ah, Tugas mereka adalah :
1. Menyatukan orang, bukan mencerai-beraikan manusia.
2. Menyebarkan kecintaan dan saling maaf-memaaf diantara manusia.
3. Mengadili orang-orang yang berbuat dzholim sehiingga mereka tidak berbuat
dzholim lagi.
4. Mengikat hati mereka dengan keimanan dan mahabbah (kecintaan).

Dengan itulah kesempurnaan kesuksesan bisa dicapai.

Tidak dikenal di dalam sejarah Islam di Republik Indonesia ini keadaan perpecahan
dan permusuhan pada zaman dahulu kecuali mungkin di waktu-waktu terakhir saja.

Dan orang-orang terdahulu dari Para Ulama Ahlussunnah Wal Jama’ah kita dari
Asy’ariyyah dan Syafi’iyyah sangat memperhatikan Tazkiyatun Nafs (membersihkan
Jiwa) dan Tasawuf. Atas dasar inilah berlalu berabad-abad di Indonesia ini. Barulah
kali ini muncul pemikiran-pemikiran yang ingin memecah belah diantara umat
manusia.

Perpecahan diantara barisan kaum Muslimin adalah sebab utama kekalahan dan
kebinasaan.

Penyebabnya karena mereka di dalam masjid, memasukkan pemikiran-pemikiran


mereka yang di dalamnya terdapat hawa nafsu untuk kepentingan politik tertentu
dan kepentingan kelompok tertentu, bukan untuk kepentingan umat manusia.

Sesungguhnya masjid itu dibangun untuk menghubungkan manusia dengan ajaran


Allah Subhanahuwata’ala serta membersihkan hati mereka dari kotoran-kotoran
hawa nafsu.

Sebagaimana orang yang masuk ke dalam masjid adalah orang-orang yang


beragam, dari berbagai latar belakang, mereka masuk ke dalam masjid untuk
bersujud dan patuh kepada Allah Subhanahuwata’ala. Dan mereka tidak membawa
omongan-omongan yang berkaitan dengan kesibukan duniawi mereka, tetapi hanya
karena Allah Subhanahuwata’ala.

Yang berkumpul di dalam masjid beragam orang, ada pengusaha, ada pegawai, dan
berbagai pekerjaan lainnya yang seharusnya diberikan kepada mereka hal-hal yang
dibutuhkan mereka yang ada di dalam masjid.

https://islamindonesia.id 59
Masing-masing dari mereka tidak berbicara kepentingan pribadi mereka, apabila ada
pedagang datang ke masjid untuk berjualan maka kita mengatakan, “Semoga Allah
membuat daganganmu tidak laku di dalam masjid, bukan disini tempatnya untuk
berjualan”.

Kalau ada orang yang bekerja sebagai seorang tukang jahit membawa peralatannya
ke dalam masjid kita akan mengatakan, “Bukan disini tempatnya untuk mengerjakan
pekerjaan kalian.

Dan begitu juga tidak dibenarkan untuk membawa orang-orang yang berpolitik ke
dalam masjid, kita katakan kepada mereka, “Bukan disini tempatnya untuk berpolitik,
bawalah ke tempat-tempat kalian sendiri, karena Masjid adalah tempat yang Agung”.

Sesungguhnya Rumah Allah Ta’ala adalah rumah yang kita ambil cahaya di dalam
masjid untuk dibawa ke lingkungan kita.

Kita harus mengabarkan kepada orang tentang keagungan dan kemuliaan masjid.

ْ ‫طمئِ ُّن‬
َُ‫َالقُلُوب‬ ْ ‫ََّللاَِت‬
َّ ‫أَلَبِ ِذ ْك ِر‬
“Sesungguhnya hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram” (QS. Ar
Ra’du : 28)

Di masjid-masijd diizinkan oleh Allah untuk mengangkat dan mengagungkan Nama


Allah SWT.

Ketahuilah dengan kalian membawa ajaran Islam dengan benar, di tempat kalian ini,
maka hendaknya kalian menjadi pionir dalam menjaga keamanan Umat Islam dan
menjaga keamanan Umat lainnya, jangan sampai membuat bahaya kepada mereka,
buat mereka merasa aman, dan tidak ada gangguan yang bersumber dari kita.

Dan kami akan mengajarkan kalian sebuah ayat dari Al Qur’an yang bisa dijadikan
Doa ketika dalam peperangan :

‫ربَّناَا ْغ ِف ْرَلناَ َذ ُنُوبناَوإِسْرافناَفِيَأ ْم ِرنا‬


ْ ‫ىَالق ْو ِم‬
َ‫َالكافِ ِرين‬ ْ ‫ص ْرناَعل‬ُ ‫ِّتَأ ْقدامناَوا ْن‬ ْ ِ‫وثب‬

“Rabbanaghfirlana dzunuubanaa wa israafana fii amrina watsabbit aqdamana wan


shurna ‘alal qaumil kafirin”
“Ya Tuhan kami, ampunilah dosa-dosa dan tindakan-tindakan kami yang berlebih-
lebihan dalam urusan kami dan tetapkanlah pendirian kami, dan tolonglah kami
terhadap orang-orang yang kufur kepada engkau.” (QS. Al Baqarah : 147)

https://islamindonesia.id 60
Doa ini adalah doa yang dibaca Rasulullah dan Para Sahabat Nabi ketika malam
menuju Perang Badar.

Kemudian perbanyak Dzikir ‫ىَياَقيُّو َُم‬


ُّ ‫ياَح‬

“Yaa Hayyu Yaa Qoyyuum”

Dibaca sebanyak-banyaknya.

Kita menjaga sholat berjamaah, perbanyak baca Al Qur’an, Perbanyak Dzikir, dan
Perbanyak Bersholawat kepada Rasulullah.

Semoga Allah memperkuat hubungan kalian dengan Nabi Muhammad Shallallahu


‘Alaihi Wasallam. Aamiin…

– Kemudian Habib Umar bin Hafidz berdoa dengan doa panjang yang semoga
dikabulkan oleh Allah Subhanahuwata’ala. Aamiiin… –

Diterjemahkan oleh Habib Jindan bin Novel dan Syaikh Ridwan Al Amri, ‘Dalam
Acara Tasyakuran HUT ke-72 TNI di GOR Ahmad Yani, Markas Besar TNI,
Cilangkap, JakartaTimur, Rabu, 18 Oktober 2017’

YS/IslamIndonesia/sumber: FP Kumpulan Foto Ulama dan Habaib/


Foto: majelisrasulullah.org

(Sumber: https://islamindonesia.id/kolom/kolom-masjid-bukan-tempat-untuk-
berpolitik.htm)

https://islamindonesia.id 61
Saturday, 21 October 2017

TULISAN LAWAS GUS DUR: SALAHKAH JIKA DIPRIBUMIKAN?

islamindonesia.id – Tulisan Lawas Gus Dur: Salahkah Jika Dipribumikan*

Islam mengalami perubahan-perubahan besar dalam sejarahnya. Bukan ajarannya,


melainkan penampilan kesejarahan itu sendiri, meliputi kelembagaannya. Mula-mula
seorang nabi membawa risalah (pesan agama, bertumpu pada tauhid) bernama
Muhammad, memimpin masyarakat muslim pertama. Lalu empat pengganti khalifah
meneruskan kepemimpinannya berturut-turut. Pergolakan hebat akhirnya berujung
pada sistem pemerintahan monarki.

Begitu banyak perkembangan terjadi. Sekarang ada sekian republik dan sekian
kerajaan mengajukan klaim sebagai ‘negara Islam’. Ironisnya dengan ideologi politik
yang bukan saja saling berbeda melainkan saling bertentangan dan masing-masing
menyatakan diri sebagai ‘ideologi Islam’. Kalau di bidang politik terjadi ‘pemekaran’
serba beragam, walau sangat sporadis, seperti itu, apalagi di bidang-bidang lain.

Hukum agama masa awal Islam kemudian berkembang menjadi fiqh, yurisprudensi
karya korps ulama pejabat pemerintah (qadi, mufti, dan hakim) dan ulama ‘non-
korpri’. Kekayaan sangat beragam itu lalu disistematisasikan ke dalam beberapa
buah mazhab fiqh, masing-masing dengan metodologi dan pemikiran hukum (legal
theory) tersendiri.

https://islamindonesia.id 62
Terkemudian lagi muncul pula deretan pembaharuan yang radikal, setengah radikal,
dan sama sekali tidak radikal. Pembaharuan demi pembaharuan dilancarkan,
semuanya mengajukan klaim memperbaiki fiqh dan menegakkan ‘hukum agama
yang sebenarnya’, dinamakan Syari’ah. Padahal kaum pengikut fiqh dari berbagai
mazhab itu juga menamai anutan mereka sebagai syari’ah.

Kalau di bidang politik -termasuk doktrin kenegaraan- dan hukum saja sudah begitu
balau keadaannya, apalagi di bidang-bidang lain, pendidikan, budaya
kemasyarakatan, dan seterusnya. Tampak sepintas lalu bahwa kaum muslimin
terlibat dalam sengketa di semua aspek kehidupan, tanpa terputus-putus. Dan ini
lalu dijadikan kambing hitam atas melemahnya posisi dan kekuatan masyarakat
Islam.

Dengan sendirinya lalu muncul kedambaan akan pemulihan posisi dan kekuatan
melalui pencarian paham yang menyatu dalam Islam, mengenai seluruh aspek
kehidupan. Dibantu oleh komunikasi semakin lancar antara bangsa-bangsa muslim
semenjak abad yang lalu, dan kekuatan petrodollar negara-negara Arab kaya
minyak, kebutuhan akan ‘penyatuan’ pandangan itu akhirnya menampilkan diri
dalam kecenderungan sangat kuat untuk menyeragamkan pandangan. Tampillah
dengan demikian sosok tubuh baru: formalisme Islam. Masjid beratap genteng, yang
sarat dengan simbolisasi lokalnya sendiri negeri kita, dituntut untuk ‘dikubahkan’.
Budaya Wali Songo yang serba ‘Jawa’, Saudati Aceh,Tabut Pariaman, didesak ke
pinggiran oleh kasidah berbahasa Arab dan juga MTQ yang berbahasa Arab:
bahkan ikat kepala lokal (udeng atau iket di Jawa ) harus mengalah kepada sorban
‘merah putih’ model Yasser Arafat.

Begitu juga hukum agama, harus diseragamkan dan diformalkan: harus ada sumber
pengambilan formalnya, Al-Qur’an dan Hadist, padahal dahulu cukup dengan apa
kata kiai. Pandangan kenegaraan dan ideologi politik tidak kalah dituntut harus
‘universal’; yang benar hanyalah paham Sayyid Qutb, Abul A’la al-Maududi atau
Khomeini. Pendapat lain, yang sarat dengan latar belakang lokal masing-masing,
mutlak dinyatakn salah.

Lalu, dalam keadaan demikian, tidakkah kehidupan kaum Muslimin tercabut dari
akar-akar budaya lokalnya? Tidakkah ia terlepas dari kerangka kesejarahan masing-
masing tempat? Di Mesir, Suriah, Irak, dan Aljazair, Islam ‘dibuat’ menentang
Nasionalisme Arab – yang juga masing-masing bersimpang siur warna ideologinya.

Di India ia menolak wewenang mayoritas penduduk yang beragama Hindu, untuk


menentukan bentuk kenegaraan yang diambil. Di Arab Saudi bahkan menumpas
keinginan membaca buku-buku filsafat dan melarang penyimakan literatur tentang

https://islamindonesia.id 63
sosialisme. Di negeri kita sayup-sayup suara terdengar untuk menghadapkan Islam
dengan Pancasila secara konfrontatif—yang sama bodohnya dengan upaya
sementara pihak untuk menghadapkan Pancasila dengan Islam.

Anehkah kalau terbetik di hati adanya keinginan sederhana: bagaimana


melestarikan akar budaya-budaya lokal yang telah memiliki Islam di negeri ini?
Ketika orang-orang Kristen meninggalkan pola gereja kota kecil katedral ‘serba
Gothik’ di kota-kota besar dan gereja kota kecil model Eropa, dan mencoba
menggali Aritektur asli kita sebagai pola baru bangunan gereja, layakkah kaum
muslimin lalu ‘berkubah’ model Timur Tengah dan India? Ketika Ekspresi kerohanian
umat Hindu menemukan vitalitasnya pada gending tradisional Bali, dapatkah kaum
muslimin ‘berkasidahan Arab’ dan melupakan ‘pujian’ berbahasa lokal tiap akan
melakukan sembahyang?

Juga mengapa harus menggunakan kata ‘shalat’, kalau kata ‘sembahyang’ juga
tidak kalah benarnya? Mengapakah harus ‘dimushalakan’, padahal dahulu toh cukup
langgar atau surau? Belum lagi ulang tahun, yang baru terasa ‘sreg’ kalau dijadikan
‘milad’. Dahulu tuan guru atau kiai sekarang harus ustadz dan syekh, baru terasa
berwibawa. Bukankah ini pertanda Islam tercabut dari lokalitas yang semula
mendukung kehadirannya di belahan bumi ini?

Kesemua kenyataan di atas membawakan tuntutan untuk membalik arus perjalanan


Islam di negeri kita, dari formalisme berbentuk ‘Arabisasi total’ menjadi kesadaran
akan perlunya dipupuk kembali akar-akar budaya lokal dan kerangka kesejarahan
kita sendiri, dalam mengembangkan kehidupan beragama Islam di negeri ini.
Penulis menggunakan istilah ‘pribumisasi Islam’, karena kesulian mencari kata lain.
‘Domestikasi Islam’ terasa berbau politik, yaitu penjinakan sikap dan pengebirian
pendirian.

Yang ‘dipribumikan’ adalah manifestasi kehidupan Islam belaka. Bukan ajaran yang
menyangkut inti keimanan dan peribadatan formalnya. Tidak diperlukan ‘Qur’an
Batak’ dan Hadis Jawa’. Islam tetap Islam, di mana saja berada. Namun tidak berarti
semua harus disamakan ‘bentuk-luar’nya. Salahkah kalau Islam ‘dipribumikan’
sebagai manifestasi kehidupan?

*) Tulisan ini pernah dimuat Tempo, 16 Juli 1983


EH / Islam Indonesia

(Sumber: https://islamindonesia.id/kolom/tulisan-lawas-gus-dur-salahkah-jika-
dipribumikan.htm)

https://islamindonesia.id 64
Monday, 16 October 2017
ISLAM KITA MENYATUKAN, BUKAN MEMECAH BELAH UMAT
Oleh: Habib Umar bin Hafidz*

islamindonesia.id – Islam Kita Menyatukan, Bukan Memecah Belah Umat

Alhamdulillah segala puji milik Allah yang telah memilih kalian untuk memikul
amanah yang agung ini. Semoga Allah menolong kalian agar bisa menjalankan
amanah ini dengan sebaik-baiknya. Wahai Allah rekatkanlah hati dan sanubari-
sanubari kami ini dengan hati dan sanubari orang-orang yang dekat dan Engkau
cintai dengan sanad yang kuat yang tersambung kepada mereka.

Hakikat keistimewaan dalam Islam adalah dengan memerdekakan nafsu kita dan
juga memerdekakan orang lain dari jajahan nafsu-nafsu mereka sendiri. Allah telah
menyebutkan kepada kita tentang perkara dakwah di jalan Allah dengan
cara/metode dakwah yang diterima oleh Allah SWT yang bermanfaat bagi
masyarakat.

Pertama, memenuhi hati dengan pengagungan kepada Allah hingga ia takut dan
berharap hanya kepada Allah SWT. Sesungguhnya Allah SWT mengatur slogan ini
di lidahnya para rasul seperti tercantum dalam al-Quran:

ْ ‫ب‬
َ‫َالعال ِمين‬ ِ ‫وماَأ ْسألُ ُك ْمَعل ْي ِه‬
ِ ِّ ‫َم ْنَأ ْج ٍرََۖ ِإ ْنَأ ْج ِريَ ِإ ََّلَعل ٰىَر‬

https://islamindonesia.id 65
“Dan aku sekali-kali tidak meminta upah kepadamu atas ajakan-ajakan itu; upahku
tidak lain hanyalah dari Tuhan semesta alam.” (QS. asy-Syu’ara ayat 109, 127, 145,
164 dan 180).

Allah memuji orang-orang yang menyampaikan risalah-Nya dengan takut hanya


kepada Allah dan menjadikan Allah sebaik-baik perlindungan:

َّ ‫ََِّللاَِوي ْخش ْونهَُوَلَي ْخش ْونَأحدًاَإِ ََّل‬


َّ ‫ََّللاََۗوكف ٰىَ ِب‬
‫اَّللَِحسِيَبًا‬ ِ ‫الَّذِينَيُب ِلِّغُون‬
َّ ‫َرساَلت‬
“(Yaitu) orang-orang yang menyampaikan risalah-risalah Allah, mereka takut
kepada-Nya dan mereka tiada merasa takut kepada seorang(pun) selain kepada
Allah. Dan cukuplah Allah sebagai perlindungan.” (QS. al-Ahzab ayat 39).

Sesungguhnya yang patut menyandang dakwah di jalan Allah adalah orang yang
hatinya berharap dan takut hanya kepada Allah. Dan selama di dalam hatinya masih
ada titik harapan kepada selain Allah maka pasti dia tidak akan selamat dari
kekacauan dalam dakwahnya. Baik disadari maupun tanpa disadari ada kepentingan
demi sesuatu yang diharapkan selain Allah atau demi kekhawatiran selain khawatir
kepada Allah.

Dan kita pun membaca wahyu Allah di dalam metode dakwah yang benar, Allah
memerintahkan kepada Nabi Musa dan Nabi Harun:

‫ا ْذهباَ ِإل ٰىَفِ ْرع ْونَ ِإنَّهَُطغ ٰىَفقُوَلَلهَُق ْو ًَلَلَّ ِيِّنًا‬


“Pergilah kalian berdua kepada Fir’aun, sampaikan dakwahku, dan ucapkan kepada
dia dengan penyampaian yang lembut.” (QS. Thaha ayat 43-44).

Sesungguhnya akal-akal yang berpikiran bahwa ‘sesungguhnya engkau belum


melaksanakan nahi munkar apabila engkau tidak berucap dengan kata-kata yang
kasar dan keras”, maka ucapan dan pemikiran itu bertentangan dengan wahyu
Allah. Lihat wahyu Allah tentang metode dakwah ini, ketika mengatakan Fir’aun telah
berbuat hal-hal yang jahat dan melewati batas, seharusnya setelah kalimat ini ‘kasari
dia atau bunuh dia atau habisi dia’, bukan. Melainkan “‫”فقُوَلَله َُق ْو ًَلَل ِيِّنًا‬. Justru
metode dakwah kalian adalah dengan ucapan dan penyampaian yang lembut.

Adapun metode hati adalah dengan harapan dan optimisme َٰ ‫”لعلَّهَُيتذ َّك ُرَأ ْوَي ْخش‬.
“‫ى‬
Mudah-mudahan ia menjadi ingat Allah atau takut kepada Allah sehingga ia menjadi
sadar.

https://islamindonesia.id 66
Di dalam ayat yang lain, Allah memerintahkan:

َ‫َوأ ْهدِيكَ ِإل ٰىَر ِبِّكَفت ْخش ٰى‬.‫َفقُ ْلَه ْلَلكَ ِإل ٰىَأ ْنَتز َّك ٰى‬.‫ا ْذهبْ َ ِإل ٰىَفِ ْرع ْونَ ِإنَّهَُطغ ٰى‬
“Pergilah kepada Fir’aun, sesungguhnya ia telah melampaui batas. Dan katakanlah
(kepada Fir’aun): “Adakah keinginan bagimu untuk membersihkan diri? Dan kamu
akan kubimbing ke jalan Tuhanmu agar supaya kamu takut kepadaNya?” (QS. an-
Nazi’at ayat 17-19).

Bahkan cara ini diajarkan oleh Allah melalui wahyu kepada para rasulNya. Ketika
Nabi Musa disampaikan pengaduan dari kaumnya tentang Fir’aun yang
mengganggu mereka jauh sebelum datangnya Nabi Musa, maka jawab Nabi Musa:

َ‫َم ْنَ ِعبا ِد ِهََۖو ْالعاقِبةَُ ِل ْل ُمت َّ ِقين‬ َْ ‫ورثُهاَم‬


ِ ‫نَيشا ُء‬ ْ ‫ص ِب ُرواََۖ ِإ َّن‬
َّ ِ ‫َاْل ْرض‬
ِ ُ‫ََّللَِي‬ َّ ‫ا ْست ِعينُواَ ِب‬
ْ ‫اَّللَِوا‬
“Mohonlah pertolongan kepada Allah dan bersabarlah. Sesungguhnya bumi (ini)
kepunyaan Allah diperuntukkan kepada siapa yang dihendakiNya dari hamba-
hambaNya. Dan kesudahan yang baik adalah bagi orang-orang yang bertakwa.”
(QS. al-A’raf ayat 128).

Sesungguhnya perkara amar ma’ruf nahi munkar adalah kewajiban yang penting
dan agung sampai hari kiamat. Tapi bagaimana metode dan caranya? Yakni amar
ma’ruf dengan cara yang ma’ruf, dan nahi munkar pun dengan cara yang ma’ruf.
Apabila engkau memerintahkan orang lain untuk berbuat hal yang ma’ruf (baik)
maka perintahkan dengan cara yang ma’ruf. Dan apabila engkau mencegah orang
lain dari perbuatan yang mungkar maka cegahlah mereka dengan cara yang ma’ruf,
bukan mencegah kemungkaran dengan cara yang mungkar.

Ketika beberapa ulama salaf dahulu menyaksikan bagaimana masyarakat


menggosipkan Hajjaj yang banyak membunuhi dan mendzalimi ummat Islam,
dengan cara menggosip (ghibah) di belakang dan kenyataannya tidak menghasilkan
apa-apa. Maka para ulama salaf berkata, “Sesungguhnya Allah akan menuntut apa
yang dilakukan Hajjaj, sebagaimana Allah juga akan menuntut orang-orang yang
menggosipkan dan mencaci maki Hajjaj atas kedzalimannya.”

Dulu di masa Hajjaj, ada sekelompok sahabat Rasulullah SAW., anak-didik


Rasulullah SAW., mereka tidak memahami makna mencegah dari kemungkaran
dengan memaki Hajjaj, atau mengeluarkan kata-kata yang tidak baik kepada Hajjaj,
atau memprovokasi massa untuk melakukan revolusi menggulingkan Hajjaj. Bukan
itu yang mereka pahami dari makna ‘Nahi Munkar’ tersebut. Seperti sahabat
Abdullah bin Umar Ra. dan para sahabat yang lain berpendirian demikian, mereka

https://islamindonesia.id 67
tidak ada satupun yang mendukung Hajjaj atas kedzaliman dan kemungkaran yang
dia lakukan dan mereka juga tidak mencaci maki Hajjaj.

Siapa gerangan pemimpin dari semua manusia yang melakukan praktik amar ma’ruf
nahi munkar? Siapa pula orang yang paling mengenal takut kepada Allah? Dan
siapakah yang paling mengenal kecemburuan di dalam agama Allah?
Sesungguhnya dialah Nabi Muhammad SAW.

Sebutkan, cacian apa yang pernah keluar dari lidah Rasulullah SAW yang ditujukan
kepada orang-orang musyrikin Mekkah yang dahulu pernah mengganggunya?
Cacian apa yang pernah keluar dari lidah Rasulullah terhadap orang-orang munafik
Madinah yang dahulu hidup di Madinah bersama Nabi? Pernahkah kita mendengar
cacian Nabi Muhammad SAW terhadap orang-orang Yahudi yang sering
menggugurkan perjanjian dan kesepakatan bersama terhadap ummat Islam?

Sesungguhnya Nabi SAW tidak menyibukkan diri dari hal demikian dan Nabi SAW
pun tidak berhenti untuk mengajak mereka (ke jalan Allah SWT) dan Nabi
Muhammad SAW mendirikan jihad terhadap orang-orang tersebut tetapi dengan
aturan dan koridor kenabian yang diatur di dalam sunnahnya. Ketika ada satu
kelompok Yahudi yang berkhianat atas suatu janji, maka yang diusir hanya satu
kelompok Yahudi itu, bukan ditimpakan atas seluruh kaum Yahudi.

Dan kita semua mencintai amar ma’ruf nahi munkar dan jihad di jalan Allah, kita
hidup atas hal tersebut dan rela mati untuknya, tetapi dengan cara dan metode
Rasulullah SAW, Khulafaur Rasyidin dan Salafus Shalih. Dikatakan kepada Nabi
Muhammad, “Ya Rasulullah, sumpahi mereka kaum musyrikin yang menyerang kita
sebab mereka telah membunuh lebih dari 70 orang, juga telah membelah perut
salah seorang sahabat Rasulullah, melukai dan menumpahkan banyak darah serta
melakukan banyak kejahatan.” Namun Nabi SAW malah menjawab:

ْ ‫إنِّ ْيَل ْمَأُبْع‬


َ‫َاللَّ ُه َّمَا ْهدَِق َْو ِم ْيَفإِنَّ ُه ْمََلَي ْعل ُم ْون‬،ً‫ثَلعَّانًا؛َول ِك ْنَبُ ِعثْتُ َدا ِعيًاَور ْحمة‬
“Sesungguhnya aku tidak diutus menjadi tukang laknat, akan tetapi aku diutus untuk
mengajak kebaikan dan rahmat. Ya Allah berilah petunjuk kepada kaumku karena
sesungguhnya mereka belum tahu.”

Ketika ummat Islam baru pulang dari peperangan, ada orang-orang munafik
memprovokasi umat Islam dengan mengatakan, “Kalau betul Nabi kalian ini Nabi
yang benar maka kalian tidak akan kalah perang, kalian pasti akan menang.” Maka
Sayyidina Umar bin Khattab Ra. yang mendengar ucapan tersebut menjadi geram,

https://islamindonesia.id 68
lalu menghadap Rasulullah SAW untuk meminta ijin membunuh mereka untuk
menyelesaikan masalah ini.

Nabi SAW menjawab, “Wahai Umar sesungguhnya mereka (orang-orang munafik)


mengucap La ilaha illallah.”

Sayyidina Umar bin Khattab Ra lalu berkata, “Sesungguhnya lidah mereka


mengucap La ilaha illallah, tetapi hati mereka tidak.”

Maka Nabi SAW bersabda, “Saya tidak diperintahkan untuk memeriksa hati
manusia.”

Adapun kepada orang-orang Yahudi yang Sayyidina Umar meminta ijin membunuh
mereka, Nabi SAW berkata, “Saya punya perjanjian dengan mereka, bagaimana
saya akan menggugurkannya dengan membunuhi mereka? Selama mereka
mengucapkan omongan dan provokasi secara diam-diam dan mereka tidak
membatalkan perjanjian ini, maka saya tidak punya jalan untuk membatalkan
perjanjian ini.”

Kemudian di masa tersebut ada seorang anak kecil dari keturunan Yahudi, yang
mana anak kecil ini memiliki keistimewaan bisa mengetahui isi hati orang-orang dan
hal yang ghaib dan membicarakannha di tengah-tengah masyarakat. Ibnu Shayyad
namanya dan dikenal dengan Dajjal. Sayyidina Umar meminta ijin membunuhnya
daripada membuat fitnah. Tapi Nabi menjawab, “Kalau benar Ibn Shayyad itu Dajjal,
maka kau tidak akan mampu membunuhnya. Sebab sudah kusabdakan di akhir
jaman nanti akan datang Dajjal yang akan melakukan hal ini dan hal itu. Kalau
engkau melakukan itu berarti sabdaku tidak benar dan bohong. Kalau memang
ternyata dia bukan Dajjal, maka tidak ada kebaikan bagimu ketika membunuh anak
ini.”

Dalam arti sesungguhnya kemarahan dan kecumburan yang seharusnya hanya


untuk Allah, apabila dijadikan bukan karena Allah maka justru akan menarik orang-
orang tersebut di luar jalan Allah SWT. Maka sesungguhnya tempat kemarahan,
kecemburuan dan ketegasan karena Allah SWT terhadap orang kafir tersebut,
dengan cara tidak membiarkan kemungkaran-kemungkaran tersebut menyebar pada
diri kita, keluarga kita dan dari dalam rumah kita.

Bukan seseorang yang mengklaim dia tegas dan marah karena Allah tetapi dia
bersalaman dengan wanita yang bukan mahramnya, kemudian melakukan hal-hal
yang tidak sesuai syariat Allah, terbukanya aurat bagi kaum wanitanya. Namun
ketika melihat ada orang-orang yang di luar sana melakukan kemungkaran tersebut

https://islamindonesia.id 69
dia marah, dia bangkit, kemarahan dan emosinya siap melakukan kekerasan,
sedangkan kesalahan yang ada pada keluarganya sendiri dia hanya diam seribu
bahasa. Bukan itu yang dimaksud marah karena Allah SWT.

Ada salah seorang sahabat Rasulullah SAW yang meminum minuman keras.
Kemudian dibawa ke hadapan Rasulullah, dan dihukum cambuk 41 kali. Kemudian
setelah itu dia melakukan lagi dan tertangkap lagi dan dicambuk 41 kali untuk kedua
kalinya. Sampai dengan yang ketiga kalinya dia tertangkap lagi dan dicambuk,
sehingga ada orang yang mencaci makinya.

Nabi yang mendengar caci maki itu kemudian bersabda, “Tidak, ini sudah melewati
batas. Jangan mencaci maki dia. Dia sudah dihukum cambuk 41 kali. Janganlah
kalian menjadi antek setan yang menjerumuskan saudaramu yang Muslim lebih jauh
kepada Allah SWT.” Bahkan orang itu dipuji oleh Nabi SAW, “Ketahuilah,
bagaimanapun dia tetap cinta kepada Allah dan Rasul-Nya.”

Nabi Muhammad SAW menyetujui, mengikrarkan dan menetapkan ini hukum Islam
harus ditegakkan atas peminum minuman keras, tapi Nabi SAW pun tidak
memperkenankan seorang Muslim mencaci Muslim lainnya. Ini adalah timbangan
kenabian.

Sayyidina Umar Amirul Mu’minin Ra. ketika menjabat sebagai Khalifah, pernah
berpatroli di perumahan Kota Madinah. Ia mendapati ada sebagian pemuda yang
sedang berkumpul di dalam rumah meminum minuman keras. Langsung saja ia
datangi rumah tersebut dengan menaiki dinding dan langsung memarahi atas apa
yang mereka lakukan.

Salah seorang dari mereka lalu berkata, “Wahai Airul Mu’minin, sesungguhnya kami
mengakui telah melakukan satu kesalahan. Tapi kamu wahai Amirul Mu’minin, saat
ini telah melakukan tiga kesalahan. Pertama, Allah berfirman, “Dan janganlah kamu
mencari-cari kesalahan orang lain,” (QS. al-Hujurat ayat 12) sedangkan engkau
telah memata-matai kami. Kedua, Allah berfirman, “Dan masuklah ke rumah-rumah
itu dari pintu-pintunya,” (QS. al-Baqarah ayat 189) sedangkan engkau bertamu
melalui jalan dinding. Ketiga, Allah berfirman, “Hai orang-orang yang beriman,
janganlan kamu memasuki rumah yang bukan rumahmu sebelum meminta ijin dan
memberi salam kepada penghuninya,” (QS. an-Nur ayat 27) Sedangkan engkau
tidak melakukan hal itu.”

Kemudian Sayyidina Umar pun berkata, “Baiklah, mari kita sama-sama bertaubat
kepada Allah.” Akhirnya beliau pun pergi meninggalakan mereka.

https://islamindonesia.id 70
Dan ketika melihat itu Sayyidina Umar pun tidak jadi menghukum mereka. Padahal
Sayyidina Umar adalah orang yang disabdakan Nabi SAW dengan sifat,
“Sesungguhnya Allah menjadikan yang haq (kebenaran) di dalam hati dan ucapan
Umar bin Khaththab.”

Dan yang mengharamkan mereka (para pelaku maksiat) pada masa sekarang ini
adalah mereka yang suka memata-matai orang lain, mencari-cari kesalahan orang
lain, mencaci maki orang lain, dan melakukan hal-hal mungkar lainnya meskipun
dengan dalih untuk menghilangkan kemungkaran. Dan hal-hal seperti ini semuanya
adalah hal yang diharamkan di dalam agama Islam. Siapapun dia, dari anggota
partai manapun, dari organisasi manapun dan dari kelompok manapun, tetap haram
melakukan hal-hal tersebut.

Barangsiapa yang ingin membela dan berjuang untuk agama Islam, maka wujudkan
perjuangan dan pembelaan tersebut dengan kesungguhan kepada Allah SWT dan
peneladanan terhadap Nabi Muhammad SAW. Dan barangsiapa yang ingin
mencegah orang lain dari kemungkaran, jangan karena salah kaprah hingga justru
menimbulkan kemungkaran-kemungkaran lainnya yang bahkan lebih besar.

Dahulu, sekitar 50 tahun yang lalu di sebuah wilayah, saat itu sedang digembar-
gemborkan revolusi diantara negara-negara Islam. Sehingga ada beberapa ulama
yang terpengaruh dengan bujukan revolusi hingga ikut-ikutan terhadap jamaah dan
kelompok yang mengatasnamakan Islam tersebut di dalam memperjuangkan
revolusi bagi kaum Muslimin. Dan setelah memenangkan revolusi itu, kemudian
masuk pengaruh politik dan lain sebagainya, hingga dia dan kelompok yang tadinya
berperan dalam revolusi dalam negara tersebut malah akhirnya jadi korban politik
dan dipenjarakan di penjara khusus. Penjara yang sangat ketat bahkan untuk buang
hajat pun hanya dibolehkan di waktu-waktu yang sudah ditentukan.

Hingga dia menulis sebuah surat, “Dahulu sebelum revolusi, kita mencari dan
menuntut kebebasan untuk berbicara. Namun setelah revolusi, kami menuntut
kebebasan hanya sekadar untuk buang hajat.” Artinya, apa yang mereka cita-citakan
dahulu tidak sesuai dengan hasil yang mereka terima.

Dan saya (Habib Umar bin Hafidz) sempat berjumpa dengan tokoh tersebut di
penghujung akhir hayatnya. Saat itu hatinya benar-benar dipenuhi dengan
pengagungan dan penghormatan kepada orang-orang yang shalih dan mulia yang
menempuh jalan thariqah orang-orang yang tidak mau menodai tangan mereka
dengan darah dan menodai lisan mereka dengan caci makian terhadap orang lain.

https://islamindonesia.id 71
Ketahuilah, kita sekarang berada di hadapan sebuah perkara yang agung dan
penting. Dan keberadaan kita adalah untuk mengevakuasi dan menyelamatkan
ummat. Dan di hadapan kita adalah sebuah jalan tempuh dan metodenya orang-
orang shalih. Jalan mereka adalah Ahlussunnah wal Jama’ah.

Adalah mereka orang-orang yang mengagungkan sunnah Nabi SAW dengan


mengagungkan ucapan Rasulullah SAW, mengagungkan setiap detail perbuatan
Rasulullah SAW., bahkan diamnya Rasulullah SAW dan semua keadaan Rasulullah
SAW mereka agungkan, terobsesi dan mengidolakannya. Inilah makna
Ahlussunnah. Sedangkan makna al-Jama’ah, adalah hati mereka satu sama lain
saling menghormati, saling mencintai dan saling menjaga persatuan.

Dan mereka orang-orang yang menempuh jalan istiqamah, jalan yang lurus ini,
mereka tidak terpengaruh dengan arus manapun seberapapun derasnya ataupun
hembusan angin yang mengarah ke kanan atau kiri, mereka tetap konsekuen atas
fatwa yang mereka ucapkan.

Adapun orang-orang yang terpengaruh dengan hembusan kanan ikut ke kanan,


hembusan kiri ikut ke kiri, maka orang yang semacam itu setiap kali ada perubahan
pendiriannya juga ikut berubah. Hari ini berfatwa, besok saat ada perubahan ia
sampaikan lagi fatwa yang bertentangan dengan fatwa yang pertama. Berubah lagi
keadaan ia sampaikan fatwa yang berbeda lagi dengan sebelumnya, begitu
seterusnya tidak konsisten.

Mari kita bangkit untuk mengevakuasi dan menyelamatkan ummat. Dan maksud
atau tujuan dari perkataan ini, saat ini, bukanlah untuk menyibukkan diri mencaci
kelompok yang berbeda dengan kita, berbeda cara dengan kita. Melainkan untuk
memberikan penjelasan kepada kita, agar menjadi terang dan jelas metode yang
benar ini.

Dan di hadapan kalian ini adalah ada sebuah risalah, risalah masjid. Yang mana
risalah itu untuk mengajak manusia kepada ilmu dan dakwah ke jalan Allah SWT.
Maka kita harus bisa mengayomi semuanya. Membawa semuanya ke jalan Allah
SWT dengan cara yang benar.

Dan kalian berinteraksi dengan orang-orang ahli politik dan yang tidak berkecimpung
dalam politik, juga berinteraksi dengan orang-orang yang telah terpengaruh dengan
pemikiran-pemikiran di luar Islam, atau berinteraksi dengan orang-orang yang
berpikiran benar, berinteraksi dengan orang-orang yang suka maksiat, juga
berinteraksi dengan semua lapisan masyarakat. Tetapi yang sesuai dengan koridor

https://islamindonesia.id 72
yang diatur di dalam metode kenabian dan juga tolak ukur dan timbangan yang
diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW agar tidak kebablasan.

Melalu masjid-masjid ini mari kita jadikan sarana untuk mengakurkan, mendamaikan
serta memperbaiki keadaan masyarakat. Dan untuk menenangkan hati masyarakat
serta membantu masyarakat dengan ilmu, pikiran, sedekah dan infaq kita melalui
masjid. Dan hidupkan kembali sunnah untuk menyambangi, menjenguk dan
membantu orang yang sedang sakit. Pikirkan bagaimana menarik orang-orang yang
belum mengenal masjid agar menjadi tidak segan datang ke masjid.

Dengan tugas penting ini, maka banyak orang yang akan mengambil manfaat dan
terselamatkan dari kegelapan. Justeru dengan hal semacam ini akan mempunyai
pengaruh dan andil besar di dalam menolak balak dan musibah dari ummat Islam.
Dan sesungguhnya manakala metode ini dijalankan, maka manfaat yang kalian
berikan bukan hanya untuk masyarakat Indonesia tapi menyebar ke seluruh lapisan
masyarakat yang ada di dunia ini. Sebab Nabi Muhammad SAW diutus bukan hanya
untuk di wilayah tertentu melainkan untuk alam seluruhnya, maka luaskan manfaat
dan semangat kita untuk mereka semua.

Semoga Allah menganugerahkan kita sebaik-baiknya peneladanan terhadap Nabi


Muhammad SAW. Dan mengikuti metode Nabi Muhammad SAW. Dan Allah
memperkuat hubungan dan sanad antara kita dengan Nabi Muhammad SAW. Dan
Allah jadikan kita semua termasuk orang-orang yang menggembirakan Nabi
Muhammad SAW. Dan semuanya dikumpulkan di barisan Nabi Muhammad SAW.

Sesungguhnya barusan para guru kita dan para wakil kita telah duduk bersama,
bersepakat untuk kemaslahatan ummat yang perlu segera kita realisasikan
bersama. Dan semua poin-poin yang telah kita sepakati tadi adalah benih yang akan
membuahkan menolak balak dan musibah dari ummat ini dan mendatangkan
kemanfaatan yang besar, apabila benih ini kita sirami dengan tiga hal; kejujuran,
keikhlasan dan kesungguhan.

Semoga Allah memberkahi benih yang baru saja kita tanami bersama. Memberikan
taufiq di dalam menyiraminya. Dan memberkahi buah yang akan keluar darinya. Dan
Allah perlihatkan kepada kita semua buah darinya, di dunia dan akhirat. Aamiin.

* Disampaikan dalam acara Jalsatuddu’at Pertama di JIC (Jakarta Islamic Center) Jakarta Utara,
Minggu malam Senin (15 Oktober 2017)
EH / Islam Indonesia
(Sumber: https://islamindonesia.id/kolom/kolom-islam-kita-menyatukan-bukan-memecah-belah-
umat.htm)

https://islamindonesia.id 73
Wednesday, 11 October 2017
PANCASILA DAN AGAMA-AGAMA
oleh: Imam Shamsi Ali*

islamindonesia.id – Pancasila dan Agama-Agama

Saat ini salah satu hal yang menjadi perbincangan hangat adalah Pancasila dan
agama-agama di Indonesia, khususnya berkaitan dengan sila pertama dan konsep
keesaan Tuhan di masing-masing agama. Pemicunya adalah tanggapan Eggy
Sujana dalam sebuah sidang tentang RUU Ormas yang memang menjadi polemik
panas di kalangan para aktivis.

Eggy Sujana dalam tanggapannya terhadap argumentasi pemerintah yang akan


melarang ormas yang bertentangan dengan Pancasila menyatakan bahwa jika
ormas dilarang karena bertentangan dengan Pancasila lalu bagaimana dengan
organisasi-organisasi keagamaan selain Islam yang menurutnya tidak sejalan atau
tepatnya bertentangan dengan sila pertama Pancasila? Apakah pemerintah akan
membubarkan organisasi-organisasi agama yang memiliki konsep ketuhanan yang
“dianggap” bertentangan dengan sila Ketuhanan Yang Maha Esa?

https://islamindonesia.id 74
Perbincangan ini kemudian menjadi semakin hangat di kalangan internal umat Islam
ketika Imam Besar masjid Istiqlal, Prof. Dr. Nazaruddin Umar, menyampaikan opini
bahwa konsep trinitas Kristen itu dapat dijelaskan dari pandangan tauhid Islam.
Intinya kira-kira bahwa konsep ketuhanan umat lain itu sesungguhnya sejalan
dengan konsep ketuhanan Islam.

Polemik semakin menjadi-jadi dengan opini ini. Apalagi dalam posisi beliau sebagai
Imam Besar masjid Istiqlal dan juga Rektor Lembaga Ilmu Al-Quran Jakarta.
Pandangan demi pandangan berseliweran di mana-mana. Ada yang dewasa, ada
yang kekanak-kanakan, ada yang rasional, dan banyak pula yang emosional.
Bahkan orang yang belum tentu pernah membaca buku-buku referensi Islam
dengan pongah mengatakan jika Imam Nazaruddin Umar ini kurang referensi.

Dua titik permasalahan

Saya melihat bahwa masing-masing cenderung memahami Pancasila berdasarkan


penafsiran golongan (agama) masing-masing. Saya melihatnya bahwa memang di
situlah arah pemikiran para pencetusnya, yang memang mayoritasnya adalah para
kiai dan ulama. Bersama-sama dengan Bung Karno mereka merumuskan Pancasila
ini untuk dipahami atau ditafsirkan berdasarkan arah keyakinan agama masing-
masing.

Hal ini menjadi penting sebab sejak awal pencetusannya bangsa Indonesia sudah
hidup dalam keragaman yang luar biasa. Baik secara agama, budaya maupun ras
dan etnis. Bahkan di luar agama-agama formal yang diakui oleh negara ada
keyakinan-keyakinan yang banyak, dengan konsep teologis masing-masing.

Dan karenanya memang kurang tepat untuk menyalahkan kelompok agama tertentu,
atau tepatnya menuduhnya bertentangan dengan Pancasila dengan memakai
kacamata “penafsiran agama kita”. Dalam pandangan Islam, sekali lagi dalam
pandangan Islam, konsep ketuhanan Kristiani dengan trinitas tidak sejalan dengan
konsep keesaan Tuhan (tauhid) dalam Islam.

Sehingga sudah pasti dalam pendangan umat Islam, hal itu tidak sesuai dengan sila
pertama Pancasila. Tapi sekali lagi itu dalam pandangan Islam.

Masalahnya apakah kita umat Islam punya otoritas tunggal dalam menafsirkan arti
Ketuhanan Yang Maha Esa berdasarkan tauhid yang kita yakini? Atau biarkanlah
kelompok-kelompok lain menafsirkannya sesuai dengan pemahaman agama yang
mereka yakini?

https://islamindonesia.id 75
Hal lain yang juga menjadi masalah adalah bahwa dalam memahami konsep
keesaan Tuhan Islam mengajarkannya dalam tiga aspek. Pertama adalah aspek
ketuhanan itu sendiri yang lebih dikenal dengan “tauhid rububiyah”. Kedua adalah
aspek sifat atau karakter Tuhan yang dikenal dengan “tauhid asma was-sifat”. Dan
ketiga adalah aspek penyembahan atau ibadah yang lazim dikenal dengan “tauhid
ubudiyah atau uluhiyah”.

Yang pasti adalah bahwa Islam memang mengakui berdasarkan sejarah keyakinan
orang-orang musyrik bahwa semua manusia itu, apapun bentuk penyembahannya
ternyata yakin kepada Tuhan yang satu. “Wa lain sa-altahum man khalaqassamaqati
wal-ardh… layaqukunna Allah”. Bahwa orang-orang Musyrik Arab yang ketika
menyembah ratusan patung-patung sekalipun yakin bahwa secara rububiyah hanya
ada satu Tuhan.

Permasalahannya kemudian adalah, dan ini inti kesalahan dalam pandangan Islam,
kalaupun mereka yakin bahwa ada satu Tuhan tapi mereka masih juga mengaitkan
beberapa sifat makhluk kepada Tuhan. Dan yang paling parah mereka mengambil
perantara-perantara antara diri mereka dan Tuhan yang (semestinya) tunggal dalam
penyembahan.

Maka sebagai bangsa dengan Pancasila sebagai asas dalam bernegara, harusnya
konsensus itu adalah konsensus kebangsaan. Bukan konsensus keagamaan. Sebab
sampai kapan pun agama-agama tidak akan pernah disatukan dalam konsensus
kemanusiaan. Akan ada perbedaan-perbedaan, bahkan dalam prinsip sekalipun.
Tapi apakah dengan itu anak-anak bangsa ini akan saling “meniadakan”
(menihilkan)?

Di sinilah kemudian dalam pandangan saya pentingnya mendudukkan masalah


pada tempatnya. Sebagai orang Islam dengan segala perbedaan dengan teman-
teman sebangsa dari agama dan keyakinan yang lain, saya tidak perlu menuduhnya
bertentangan dengan Pancasila. Toh mereka bisa memahami arti Ketuhanan Yang
Maha Esa itu berdasarkan agama dan keyakinan mereka. Tapi di sisi lain maafkan
kalau dalam pandangan kami umat Islam konsep keyakinan Anda itu berdasarkan
“penafsiran ketuhanan agama” kami tidak sesuai. Tapi itu kan dari sudut pandang
agama kami.

Akhirnya dengan segala hormat saya kepada guru saya, orang yang saya sangat
hormati karena ilmu dan akhlaknya, saya menyatakan tidak setuju dengan
penafsiran beliau tentang Trinitas itu.

https://islamindonesia.id 76
Saya berani mengatakan demikian karena saya sudah terlalu sering berdialog
langsung dengan teman-teman Kristiani. Dan hingga detik ini pun penafsiran seperti
yang disampaikan oleh Prof. Dr. Naazaruddin Umar itu hanya penafsiran pinggiran.
Justru mainstream Kristiani memang mengakui adanya tiga tuhan yang masing-
masing pada dirinya adalah berdiri sendiri dan sempurna. Namun demikian mereka
tetap mengaku jika mereka percaya kepada keesaan Tuhan atau Monoteisme.

Dan karenanya sikap yang terbaik sekaligus adil dan bijaksana adalah serahkanlah
kepada masing-masing pemeluk agama itu untuk menafsirkan Pancasila sesuai
dengan pemahaman agama dan keyakinan masing-masing. Bahkan pemerintah
sesungguhnya tidak punya otoritas untuk menafsirkan Pancasila berdasarkan
pemahaman atau penafsirannya sendiri.

Dan ini juga bagi saya yang harusnya menjadi pertimbangan pemerintah dalam
menetapkan sebuah UU atau aturan tentang ormas di negara ini. Selama ormas itu
mengakui Pancasila sebagai dasar dalam menjalankan kehidupan bernegara,
terlepas dari pemahaman dan penafsirannya, seharusnya dibiarkan bahkan
didukung. Sebab ketika pemerintah cenderung memaksakan penafsirannya maka
rentang akan terbentuk “kediktatoran” dalam bernegara.

Akhirnya mari kita membangun wawasan dan karakter dalam berbangsa yang lebih
dewasa, luwes dan bijaksana. Bahwa keragaman adalah “berkah” dan karenanya
harus dirangkul dan dihormati. Tapi semua kita harus memberikan jaminan bahwa
keragaman itu juga jangan sampai dibalik menjadi senjata untuk
memporakporandakan Negara Kesatuan Republik Indonesia kita tercinta. Insya
Allah Amin!

New York, 8 Oktober 2017

* Presiden Nusantara Foundation

EH / Islam Indonesia
(Sumber: https://islamindonesia.id/kolom/kolom-pancasila-dan-agama-agama.htm)

https://islamindonesia.id 77
Monday, 09 October 2017
SESAT DAN LEDAKAN (AMHILHUM RUWAIDA)
Oleh: Emha Ainun Nadjib

islamindonesia.id – KOLOM – Sesat dan Ledakan (Amhilhum Ruwaida)

Ada tiga golongan yang semakin hari akan semakin matang pertentangannya. Yang
pertama sangat mengharapkan perubahan setotal-totalnya, karena semakin hari
semakin mengalami ketidakbenaran dan ketidakseimbangan keadaan yang
komprehensif. Yang lainnya sangat mantap dengan keadaan yang sedang
berlangsung. Sangat menikmati hasilnya, sangat membanggakan keterlibatannya
dan sangat memuja pemuka-pemuka yang memimpinnya.

Aku termasuk golongan ketiga. Yakni yang tersesat dan terhimpit di antara
keduanya. Ini golongan gagal paham. Aku menemukan diriku berada di garis paling
depan dari pasukan gagal paham ini. Kalau menoleh ke kanan, aku gagal
memahami penolakan yang sangat keras terhadap kemungkinan perubahan. Kalau
aku menoleh ke kiri, aku juga gagal memahami arah perubahan yang didambakan.

https://islamindonesia.id 78
Aku sendiri, sebagai manusia yang menjalani kehidupan, pasti juga punya hal-hal
yang berkaitan dengan kemungkinan perubahan. Tetapi muatan pikiranku tentang
perubahan itu tidak terdapat di kanan maupun kiriku. Bahkan saya lihat-lihat kok
juga tidak ada di kotak pemikiran manapun dan pada siapapun di seluruh Negeri ini
maupun di seluruh dunia. Baik pada orang yang sesama manusia denganku, yang
sebangsa maupun yang se-Agama. Ini fakta yang sangat jelas bahwa aku benar-
benar berada di dalam kesesatan.

Kalau sekedar gagal paham, sebenarnya tidak terlalu menderita. Karena bisa saja
aku cukup hidup di lingkup kecil yang kupahami, kujalani, kunikmati atau kuderita.
Yang sering terasa berat adalah aku dicurigai, dimarahi, bahkan dibenci oleh mereka
yang aku tak paham. Karena aku tak paham, maka pasti juga aku tidak bisa
dipahami, serta tidak boleh mengharapkan siapapun akan tidak gagal paham
padaku.

Akhirnya situasi saling tidak paham ini membuatku omong atau nulis tanpa orientasi
untuk dipahami. Bahkan ada beberapa kali menuliskan sesuatu hal separuh saja,
atau sengaja ungkapan kata atau idiom atau terminologi yang kupilih, tidak
kulanjutkan dengan kalimat yang menerangkannya. Kalau ada yang agak keras
memprotes, kujawab: “Aku tidak sedang menulis apa-apa. Aku hanya mengulur-ulur
waktu, hanya menunggu saat-saat itu tiba. Sebab ada yang sedang bekerja di luar
pengetahuan banyak orang…”

Tetapi jawaban itu semakin membuat aku dicurigai dan dimarahi. Mereka tidak
berpikir bahwa aku bilang gagal paham itu merupakan cara yang paling bijaksana
yang bisa kupilih. Kalau aku meletakkan diri di wilayah “paham”, maka aku akan
melawan, memberontak, menghimpun, memobilisasikan, membikin ledakan,
melakukan sesuatu yang semua orang tidak pernah membayangkan bahwa itu bisa
lakukan.

Aku bilang tidak paham berdasarkan beberapa pengalamanku di dua era


sebelumnya di mana aku tertipu oleh suatu arus nasional. Sekarang keadaannya
semakin membuatku tidak lagi bisa menemukan cara untuk menyelenggarakan
perubahan, kecuali hanya akan lebih menyengsarakan banyak orang. Cara halus
rasanya tak akan sampai. Cara keras akan pasti menghasilkan benturan-benturan
besar, tanpa satu pihakpun memiliki kesiapan untuk menjalani perubahan yang
sejati.

Posisiku seperti seorang istri yang nikah dengan suaminya dengan tata cara suatu
Agama, tetapi setelah berumah tangga suaminya kembali ke Agama sebelumnya. Ia

https://islamindonesia.id 79
dimarahi oleh banyak teman-temannya. Bahkan beberapa Ustadz menasehatinya
agar ia tidak meneruskan “berzina” dan segera kembali ke jalan kebenaran.

Si istri itu marah kepada orang yang memarahinya: “Saya ini sudah tertipu kok
malah kamu marahi. Saya ini sudah disesatkan suami saya kok malah kamu sesat-
sesatkan. Enak saja menyuruh-nyuruh bercerai. Memangnya saya bukan manusia,
sehingga tidak punya hati kepada anak-anak saya. Bukannya saya tidak paham
syari’at. Tetapi apakah hidup ini bagian dari syari’at, ataukah syari’at bagian dari
hidup? Syari’at itu dihadirkan untuk menghancurkan manusia hidup, ataukah
membimbing prosesnya?”

Akan tetapi karena yang kualami ini bukan skala rumah tangga, melainkan
komplikasi dalam skala yang jauh lebih luas, maka aku tidak berani membantah ke
kanan maupun ke kiri. Aku diam-diam menantikan waktu saja, sambil tidak pernah
mau mengemukakan secara eksplisit apa yang sesungguhnya aku maksudkan.
Yang kumaksudkan justru terletak pada kalimat-kalimat yang tak kuucapkan.

Dua proposal Nabi Musa ditolak oleh Tuhan, dan sejumlah proposalku ditolak oleh
hidupku sendiri. Akhirnya permintaannya digeser. Nabi Musa memohon agar Allah
menampakkan wajah-Nya. Kali ini Allah memenuhinya, tetapi Musa pingsan
sebelum ia benar-benar menghadap ke arah yang Tuhan menunjukkan wajah-Nya di
seberang gunung itu.

Sampai-sampai aku niati 6,5 jam menaiki tiga lapisan gunung itu untuk sekadar
merasakan duduk di batu tempat Baginda Musa duduk berdialog dengan Tuhan di
seberang anak gunung yang teksturnya bagaikan cairan raksasa karena ledakan
tatkala Allah menampakkan wajah-Nya kepada Musa. Kepada Baginda Musa aku
nyeletuk: “Lanopo Sampeyan blakra’an tutuk mriki niki”. Dan kepada Tuhan aku
memohon: “Wahai Yang Maha Mewariskan, berapa lama lagi Kau perkenankan
ledakan itu?”. Kubayangkan Ia menjawab: “Amhilhum ruwaida”.

Yogya, 9 Oktober 2017

YS/IslamIndonesia/Diterbitkan atas izin penulisnya


(Sumber: https://islamindonesia.id/kolom/kolom-sesat-dan-ledakan-amhilhum-ruwaida.htm)

https://islamindonesia.id 80
Thursday, 05 October 2017
BERAPA JUMLAH HASAN DI DESA?
(DARI “INDONESIA BAGIAN DARI DESA SAYA”, 1983)
Oleh: Emha Ainun Nadjib

islamindonesia.id – KOLOM – Berapa Jumlah Hasan di Desa? (Dari “Indonesia Bagian dari Desa
Saya”, 1983)

Hasan, 15 tahun, yang tamat SMP, hidup dalam dua dunia. Ia bintang kelas dan
dalam tes untuk memperoleh beasiswa kelanjutan sekolah, ia mengatasi saingan-
saingannya, dari SMP se-kecamatan. Minat-minat dan keinginannya terlihat aneh di
tengah kecenderungan hidup di desanya: ia mengikuti lomba-lomba karya ilmiah,
dan sekian sepak terjangnya menunjukkan semangat dan kesadaran intelektual,
yang untuk desanya itu merupakan suatu cuatan. Arah dunia yang ingin
dirambahnya itu belum jelas benar bagi dirinya sendiri; penalaran atas aktivitasnya
belum mampu ia pegang betul dan lapangan konkret bagi cita-citanya belum ia lihat
secara gamblang. Tetapi satu hal yang jelas, ia menginginkan sesuatu yang
dirasanya sangat berlainan dari teman-teman dan orang- orang di desanya. Ia
merasa berada di luar alam semangat warga desanya yang bisa dikatakan hampir
seragam.

https://islamindonesia.id 81
Itu satu dari dunianya.

Dunia lainnya ialah kedua orangtuanya, rumah, dan desanya. Bapaknya seorang
penjahit yang hanya mengerti bagaimana Hasan hari ini dan besok bisa
membantunya melakukan pekerjaan sebagaimana ia sendiri. Ibunya, kasir di
rumahnya adalah pendorong yang bersemangat bagaimana supaya putranya itu
bisa cepat kerja dan memperoleh hasil konkret dari hidup ini: uang. Hasan
disekolahkan sekadar supaya tahu baca tulis dan untuk basa-basi serta gengsi di
antara tetangga. Apa sih sesungguhnya manfaat konkret dari anak sekolah.
Meneruskan ke perguruan tinggi juga tak mungkin, terlampau tinggi untuk
ditengadahi. Leher bisa patah. Sedangkan masuk SMA hanya membikin anak malu
menjahit dan malu pada singkal dan kerbau di lumpur persawahan.

Hasan memperoleh beasiswa untuk masuk SPG, tapi itu suatu bahaya baginya.
Sesudah bersusah payah 3-4 tahun kelak, lantas jadi guru, berapa pula gajinya?
Bapak ibunya hanya melihat itu sebagai kesia-siaan belaka. Mending dia mulai kerja
dari sekarang, sebab nanti Pak Guru akan malu merangkap kerja jadi penjahit.

Hasan sedikit banyak menyadari hal itu. Orang tuanya sudah beberapa kali secara
polos mengemukakan pikirannya itu. Maka sekarang ia hanya berpikir bagaimana
lari dari rumah. Kalau mungkin ia ingin bersekolah ke Yogya sambil jualan atau kerja
apa saja untuk membiayai sekolahnya. Sekolah yang lebih tinggi. Sebab kalau ia
masuki SPG-nya, akan tak berarti apa-apa bagi kedua orangtuanya. Bukti kehidupan
dan bukti kepada mereka ialah apabila ia mampu menyodorkan lambang kecerahan
masa depan yang berupa uang, motor, syukur mobil, televisi, tape recorder atau
segala sesuatu yang mengekspresikan kemajuan.

Wajar, sebagaimana orang-orang lain. Sering kali Hasan merasa bingung


bagaimana memahami semua itu: sekolah, kerja, kekayaan, ilmu, kepandaian, masa
depan, yang mana sesungguhnya yang patut dikejar. Siapa tho orangnya yang tak
ingin kaya, dan Hasan pun bukan tak ingin punya mobil, kulkas, televisi warna,
kelak. Tapi rasa-rasanya ada sesuatu yang lain yang lebih karib dan riil di dalam
dirinya. Apa ya?

Ini menyeretnya ke sebuah dunia lain yang asing.

Tetapi, sang waktu tidak memberinya kesempatan terlalu lama untuk bermangu-
mangu saja. Ia putuskan akhirnya untuk melayani beasiswanya itu, tetapi dengan
catatan kelak ia mesti hidup jauh-jauh dari orangtuanya. Ini bukan sikap laknat atau
keinginan untuk tak mengabdi kepada orang tuanya. Setidaknya Hasan menyadari
bahwa ia punya pikiran dan bayangan sendiri tentang yang dinamakan pengabdian.

https://islamindonesia.id 82
Sekarang saja pun dunianya sudah jauh dengan dunia kedua orang tuanya. Kalau
sampai besok-besok ia tetap juga ngendon di rumah orang tuanya, terasa itu
merupakan usaha mempertemukan dua dunia yang sebenarnya tak mungkin bisa
dipertemukan.

Sementera itu, ia melihat adiknya Khoirul, anak yang patuh: ikut memasak, menjahit,
dan menghitung uang, yang memandang pelajaran ini itu dari sekolah tak lebih
sebagai barang mainan yang nyleneh.

Hanyalah karunia Tuhan jika di dalam diri Hasan sempat bertumbuh ”sesuatu yang
lain yang terasa lebih karib dan riil” itu bertahan agak lama. Mungkin saja ia akan
berusaha mengutuhkan dirinya tegak dalam dunianya yang itu, tetapi mungkin juga
ia kalah: setengah-setengah atau terbunuh sama sekali. Mungkin saja ia makin
menemukan dan meyakini kebenaran dunianya, tapi tidak mustahil ia besok pagi
mengutuk pikiran yang tak benar itu dan menyesalinya.

Hasan melihat, kemajuan ialah sekolah sampai tingkat paling tinggi. Dan kemajuan
adalah juga hidup yang layak, makmur, mewah, kaya: bukan hanya tidak melarat.
Apakah keduanya adalah yang hal yang berbeda, bahkan bertentangan, atau
sesungguhnya terletak di satu jalur, cuma berbeda jengkal waktunya? Yang
manakah yang benar, mungkin keduanya salah. Hasan masih buntu untuk menilai
itu.

Berapa jumlah Hasan di desa? Hasan-hasan yang lain di desa-desa? Akan tetapi,
barangkali jauh lebih banyak Khoirul, yang benih potensi yang sekarat sebelum
membenih. Sebab tak memperoleh peluang dan modus untuk menjadi.

Seorang anak lahir, belum tentu untuk dirinya sendiri. Sebab orang tuanya dari hari
ke hari ingin ”menjadikannya”. Para bapak dan ibu sudah pasti sangat mencintai
setiap orok dan buyungnya, tapi tak mustahil lebih mencintai keinginannya sendiri
atas anak-anak itu. Para orang tua itupun barangkali tidak hidup untuk dirinya
sendiri, sebab mereka ”dijadikan” sesuatu juga oleh nilai dan pola umum
lingkungannya. Nilai dan pola umum itukah biang keladi permasalahannya? Ataukah
ada yang berdiri di belakangnya? Ada yang mengendalikannya? Suatu teknologi
kultur? Kebijaksanaan kebudayaan? Keputusan pembangunan? Letak DIP-DIP,
misalnya? Tapi demi suatu kebersamaan, maka tak seorang tua pun yang rela
membiarkan sang anak berkhianat dari warna seragam lingkungannya: ”Taatilah
orang tua, nak, mereka tidak akan menjerumuskanmu”. Potongan kalimat yang
kedua itu alangkah luhur bunyinya. Tetapi yang pertama alangkah berbahaya bagi
setiap pikiran yang punya hak untuk berkembang dan bagi setiap manusia yang
ingin menjadi dan hidup dengan dirinya sendiri, Ada sebuah puisi berdendang:

https://islamindonesia.id 83
Anak-anakku, engkau lahir
Tidak untuk jadi piring bagi nafsu makanku melainkan untuk berkobar menjadi api
yang baru
akarmu minum air dari tanah-Nya
seperti aku dan siapa pun saja menghunjam sendiri ke pusat bumi rahasia Daunmu
menghirup udara segar milik-Nya Seperti aku dan seluruh manusia Menggapai
sendiri wajah
langit maya……..

Tetapi, suara yang demikian hanya terbit dari kepenyairan seorang manusia. Suara
kemanusiaannya bisa jadi lain, sebab kemanusiaan sering kali ditentukan oleh
seberapa jauh kebudayaan mengendalikannya. Lagi pula penyair itu tak punya anak
barangkali. Sebab seorang bapak yang baik ialah yang bertanggung jawab atas
puteranya, yakni dengan tidak membiarkannya bertumbuh ”liar”, melainkan
merencanakan segala sesuatunya sejak dini hari usia sang putera. Demikian
kebudayaan bersuara.

Berapa banyak orang tua yang percaya kepada kemerdekaan anaknya sendiri?
Lebih dari kepercayaan terhadap konsep dan rencananya sendiri? Anak-anak harus
dituntun, dibimbing, disuluhi, menuju dunia kedewasaannya. Meskipun dunia
dewasa itu bukan hal yang sedang dicari, melainkan sudah ditentukan. Meskipun
kelak setelah dewasa ”dewasa” sang anak tiba-tiba menjumpai dirinya sebagai
”piring bagi nafsu makan” orang tuanya. Dan ia mesti tumbuh saat patuh untuk tidak
menjadi pengkhianat yang menyakitkan hati orang tuanya.

Si Makruf yang di SD ekselen dalam pelajaran berhitung dan ilmu alam, kini
hanyalah seorang penguyang, penyalur penjualan padi dari desa ke kota. Beruntung
kalau kemudian ia bisa sedikit mengembangkan kapasitas bakatnya dengan menjadi
pekerja bengkel mobil yang disayangi Engkoh. Bahkan, di tingkat yang lebih tinggi,
di kalangan pemuda-pemudi berkuliah, kesadaran akan diri sendiri terserimpung dan
terseret cenderung ke fakultas-fakultas yang basah. Pengabdian keilmuan atau
idealisme akan kebutuhan mendasar manusia itu suatu bombasme, sebab
kementerengan tingkat pendidikan kita berujung di perihal knalpot tua. Kasus Makruf
dan seterusnya itu bukan sekadar berlatar belakang ekonomis, tapi lebih pada sikap
kultur. Kesadaran akan pentingnya pendidikan masih tipis di kalangan masyarakat
tradisional. Dan kini pertumbuhan kehidupan modern, dengan pendidikan modern,
tidak menggugah kesadaran itu dengan menyodorkan motivasi yang tepat dan
esensial. Sekolah adalah anak-anak tangga yang sayup-sayup di bawah bayangan
bintang gemintang kemewahan kehidupan.

https://islamindonesia.id 84
Anak-anak kita iming-iming hasil tinggi, bukan kerja. Sedang kehidupan ini
tergantung di kerja, bukan hasil.

Lingkungan menyeret segala-galanya dan itu sama sekali bukan dosa bagi setiap
orang. Tanyakanlah dosa kepada Pak Kusir yang mengendalikan kuda. Bayi lahir,
orangtua dan kebudayaan telah menentukan segala-galanya.

Berapa jumlah dari kita yang tersisa?[]

YS/IslamIndonesia/Diterbitkan atas izin penulisnya

(Sumber: https://islamindonesia.id/kolom/kolom-berapa-jumlah-hasan-di-desa-dari-
indonesia-bagian-dari-desa-saya-1983.htm)

https://islamindonesia.id 85
Saturday, 30 September 2017
MARI BESARKAN ANAK DENGAN NILAI DAMAI ISLAM
Oleh: Retno Lestari Priansari Marsudi*

islamindonesia.id – Mari Besarkan Anak dengan Nilai Damai Islam

Dunia Islam saat ini memiliki lebih dari 1,6 miliar jiwa, dengan 60 persen berada di
usia muda produktif. Ini adalah keuntungan demografis yang dahsyat bagi dunia
Muslim.

Negara-negara anggota Organisasi Kerjasama Islam (OKI) memiliki tanggung jawab


untuk mendidik kaum muda, menanamkan moralitas, etika dan nilai, menciptakan
lingkungan yang kondusif bagi mereka untuk tumbuh, dan memberdayakan mereka
dengan keterampilan ekonomi dan sosial. Upaya-upaya ini akan membantu umat
Islam kembali berjaya.

Akan tetapi, situasi yang dihadapi pemuda kita saat ini sungguh mengkhawatirkan.
Mereka menghadapi kemiskinan berkepanjangan, kesulitan ekonomi, begitu juga
bencana-bencana kemanusiaan.

https://islamindonesia.id 86
Hidup mereka terganggu banyaknya sengketa dan perang, tak jarang di antara
negara-negara OKI sendiri. Pemuda juga menjadi korban ideologi terorisme,
radikalisme dan ekstremisme.

Ada tiga isu yang penting disorot Dunia Islam menyangkut kaum muda. Pertama,
pemuda Muslim di seluruh dunia harus bersatu, mengedepankan semangat
Ukhuwah Islamiyah (solidaritas Islam).

Indonesia merasa prihatin dengan perselisihan terbuka di antara anggota OKI. Tak
ada yang lebih puas menyaksikan perselisihan di antara negara-negara
sepersaudaraan OKI, selain mereka yang tidak ingin melihat dunia Islam bersatu
dan makmur.

Hanya dengan menyatukan energi kita bisa memperkuat kerja sama untuk berbagai
persoalan, termasuk Palestina. Ingat, OKI adalah singkatan dari Organisasi
Kerjasama Islam.

OKI sebagai satu kelompok persatuan harus memperkuat persaudaraan dan


menolak permusuhan dan kebencian satu sama lain.

Sebagai anggota OKI, Indonesia akan terus membantu membangun lingkungan


yang kondusif untuk melakukan dialog guna menjamin perdamaian dan stabilitas
yang berkelanjutan di dunia, khususnya di negara-negara Islam.

OKI juga sangat perlu untuk menguatkan dan mengembangkan praktik dialog
inklusif dalam menangani perbedaan dan perselisihan berdasarkan kemitraan yang
setara.

OKI yang demokratis, transparan dan inklusif adalah impian kita yang dapat
terwujud. Demi tujuan itu, penting bagi kaum muda kita untuk memahami pentingnya
perdamaian dan stabilitas, serta kunci dialog dalam menyelesaikan perselisihan.

Kedua, memperkuat kerja sama kita adalah wajib dalam melawan terorisme dan
radikalisme.

Meningkatnya prevalensi serangan teroris di dunia, termasuk di beberapa negara


anggota OKI, sungguh mengkhawatirkan. Serangan dan pendudukan Marawi di
Filipina baru-baru ini adalah “alarm kesadaran” bagi kita semua, mengingatkan kita
bahwa regionalisasi kelompok teror kini meluas.

https://islamindonesia.id 87
Afiliasi kelompok-kelompok lokal dengan gerakan Islamic State (IS) semakin
berkembang. Banyak dari teroris dan pejuang teroris asing ini adalah kaum muda,
termasuk wanita muda.

Kita perlu memperkuat upaya kolektif untuk mengatasi intensifikasi regionalisasi


kelompok teror, termasuk dengan menangani akar penyebab terorisme melalui
pemberdayaan ekonomi dan pemberdayaan perempuan, dan dengan menangkal
narasi ideologi radikal, terutama melalui media sosial.

Ketiga, sangat penting untuk memberikan pendidikan yang baik bagi generasi muda,
menjadikan pemuda sebagai pijakan pusat perkembangan kita. Pemuda kita akan
terus memainkan peran penting bagi negara-negara anggota OKI. Terkait hal ini, kita
perlu berhati-hati merancang pendidikan yang memupuk nilai toleransi dan rasa
saling menghormati, serta menciptakan budaya perdamaian.

Kita memikul tanggung jawab bagi generasi penerus kita. Mari kita pimpin dan
arahkan mereka dengan suri tauladan. Mari kita besarkan mereka dengan nilai
damai Islam.

***

*Penulis adalah Menteri Luar Negeri Republik Indonesia. Tulisan ini didasarkan pada
presentasinya pada Sidang ke-44 Dewan Menteri Luar Negeri OKI di Abidjan.

EH / Islam Indonesia

(Sumber: https://islamindonesia.id/kolom/kolom-mari-besarkan-anak-dengan-nilai-damai-
islam.htm)

https://islamindonesia.id 88
Thursday, 28 September 2017
INILAH IRAN, DIMANA NEGARA ARAB?
Oleh Sami Kleib, jurnalis Al Mayadeen TV

islamindonesia.id – KOLOM – Inilah Iran, Dimana Negara Arab?

Mengapa kita -bangsa Arab- membenci Syiah dan Iran? Apakah kalian ingin
mengetahui mengapa Barat dan Israel takut terhadap Iran? Dan mengapa negara-
negara Teluk mengkhawatirkan Iran. Mari perhatikan informasi-informasi berikut ini.

Menurut laporan Thomson Reuters, Iran telah naik ke peringkat 17 di antara negara-
negara dunia yang produktif menerbitkan karya-karya ilmiah sejak tahun 2013,
dengan menghasilkan 2925 karya ilmiah dalam berbagai spesialisasi.

Iran menduduki peringkat pertama di dunia dalam rata-rata kemajuan di bidang


penerbitan ilmiah dan terus meningkat setiap tiga tahun. Sejak tahun 1996 hingga
2008 Iran telah menambahkan karya ilmiahnya hingga 18 kali lipat.

Sebelum Revolusi Islam Iran, makalah-makalah ilmiah spesialis terbatas pada 400
makalah, sekarang telah mencapai 20.000 makalah. Sebelum Revolusi Islam,
jumlah pelajar hanya 167.000, tetapi sekarang mendekati 4.000.000 pelajar.

Persentasi orang yang melek huruf meningkat dari 50% sebelum Revolusi menjadi
86% sehingga orang-orang yang buta huruf hampir tidak ada, dan 60% yang
diterima di perguruan-perguruan tinggi adalah kaum wanita.

Iran membelanjakan 6.3 Milyard Dolar pada tahun 2011 untuk kajian ilmiah.

Pada tahun 2012 Iran menerbitkan lebih dari 38.000 judul buku dan mencetak lebih
dari 250.000.000 ekslempar sehingga Iran menduduki peringkat pertama di Timur
Tengah dan kesepuluh di dunia dalam penerbitan buku.

https://islamindonesia.id 89
Iran menduduki peringkat ke 12 di dunia dan peringkat pertama di Timur Tengah
dalam produksi mobil, dan berhasil memproduksi 1.000.000 mobil dalam satu tahun.

Iran telah meluncurkan dua buah satelit buatan dalam negeri ke ruang angkasa, dan
telah mengirim seekor kera ke ruang angkasa yang kembali dalam keadaan hidup.

Dalam sebuah makalah yang diterbitkan di New York pada 18 Juni 2008 dengan
judul “Linens in Harvard” disebutkan bahwa alumnus yang paling menonjol berasal
dari Iran.

Para pejabat Universitas Stanford yang terkenal pada tahun 2003 dikejutkan bahwa
pelajar-pelajar yang menonjol di bidang rekayasa elektronik pada tingkat doktoral
semuanya datang dari Universitas Sains dan Teknologi Syarif di Iran.

Dulu Iran mengimpor gandum dari negara-negara yang jauh. Sekarang telah
berhasil membangun kemandirian dalam bidang pangan sementara ia diembargo.

Dulu Iran bergantung penuh dari pendapatan minyak untuk pembiayaan


anggarannya. Kini situasi telah berkurang hingga 30% lebih.

Ekspor Iran dulu kurang dari 5 Milyar Dolar dan sekarang meningkat lebih dari 60
Milyard Dolar.

Semua kemajuan tersebut terjadi sementara Iran diembargo.

Lalu bagaimana seandainya dana senilai 120 Milyard Dolar yang dibekukan Barat
dikembalikan ke Iran? Apa yang akan terjadi dengan kemajuan Iran dalam rudal-
rudalnya, senjata-senjatanya dan satelit-satelitnya serta penemuan-penemuan
ilmiahnya dan lain sebagainya yang semua melalui karya anak bangsanya yang
relatif masih muda dan di bawah usia tiga puluh tahun?

Apakah kalian yang takut pada Iran pernah mengunjungi kota-kota di Iran?

Apakah kalian pernah melihat Iran dari sisi keindahan, kebersihan, dan arsitekturnya
mendekati kota-kota terkenal di Barat?

Apakah seseorang dari kita pernah mengetahui betapa orang Iran biasa memberi
kepada istrinya bunga sepanjang tahun, menghormati dan menghargainya?

Apakah kita tahu bahwa di warung-warung kopi, para wanita duduk bersama laki-laki
tanpa risih dan dengan terhormat?

https://islamindonesia.id 90
Saya bangga dengan kearaban saya dan saya berharap negara Arab manapun;
Saudi, Kuwait, Qatar, Suria, Emirat Arab, Mesir, Aljazair, Sudan, Maroko, Yaman,
Somalia, dan Juzr Qomar, memberikan perhatian pada hal-hal tersebut sehingga
kita menjadi bangsa Arab yang terhormat di samping belakang Iran.

Hal ini jauh lebih berguna daripada kita meratap melihat kemajuan Iran lalu
membangun kekuatan militer untuk membendung pengaruh Iran di negara A atau
negara B. Kita seharusnya memanfaatkan harta-harta kita sebagaimana Iran
menggunakannya untuk melayani manusia, ilmu pengetahuan, kemajuan dan
teknologi.

Sederhana saja, sesungguhnya Barat takut terhadap Iran karena Iran akan
menyaingi mereka.

Seandainya setelah ini Iran diizinkan untuk membangun pembangkit tenaga listrik
nuklir di sebuah negara Arab atau negara berkembang, biayanya akan lebih murah
puluhan kali dari biaya yang diminta Barat.

Dengan kekuatan-kekuatan tersebut, Iran menjadi sebuah negara yang besar dan
kuat sehingga mengancam Israel. Israel-lah yang dan paling takut pada Iran.
Negara-negara Barat tidak berunding dengan Iran kecuali karena Iran
menyandarkan kemajuan pengetahuan dan teknologinya pada kekuatan-kekuatan
militer yang tinggi.

Pada akhirnya, Iran siap berunding dalam posisi yang kuat sementara pihak lain
membutuhkan dana. Perundingan ini tidak seperti perundingan yang merendahkan
martabat bangsa seperti perundingan Camp David, Oslo; dan jangan lupakan
perundingan Wadi Arabah dengan Raja Jordania.

Benar, Iran mempunyai bom-bom nuklir, yaitu “nuklir” ilmu pengetahuan dan
kemajuan.

Selamat bagi Iran dan semoga kita bangsa Arab berhenti mengeluh lalu mengikuti
langkah-langkahnya.[]

YS/ IslamIndonesia/ Sumber: pulpit.alwatanvoice.com


(Sumber: https://islamindonesia.id/kolom/kolom-inilah-iran-dimana-negara-arab.htm)

https://islamindonesia.id 91
Sunday, 24 September 2017
HIKAYAT KARBALA DARI TANAH MELAYU
Oleh: Irman Abdurrahman*

islamindonesia.id – KOLOM – Hikayat Karbala dari Tanah Melayu

Sebuah hikayat dari ranah kesusasteraan Melayu lama berkisah tentang peristiwa
Karbala. Warisan budaya yang terlupakan.

Meski tampak lusuh, kitab itu tetap terawat. Beberapa bagian yang robek coba
ditautkan dengan sejenis perekat. Tiap-tiap lembarnya menebarkan wangi kapur
barus yang menjaganya dari kerusakan. Tersimpan dalam ruangan bersuhu 16°C,
seperti juga kisah di dalamnya, Hikayat Muhammad Hanafiah, nama kitab itu,
memang tak lekang oleh zaman.

Tak banyak orang tahu bahwa hikayat berusia hampir empat ratus tahun ini
menyimpan kisah sedih keluarga Rasulullah saw: kisah pembunuhan Hasan karena
racun dan Husain di padang Karbala. Boleh jadi inilah catatan paling awal dalam
bahasa melayu tentang peristiwa berdarah tersebut. Liau Yock Fang dari Jurusan
Pengajian Melayu, Universitas Nasional Singapura, mencatat bahwa fragmen
(sepanjang 60 halaman) hikayat ini sudah tersimpan di Perpustakaan Universitas
Cambridge, sejak tahun 1604. Dalam salah satu bagian naskah yang dimiliki
Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (PNRI), tertulis tahun tahun 1191 H atau
bertepatan dengan 1771 M sebagai waktu penyalinan naskah.

PNRI memiliki sembilan naskah Hikayat Muhammad Hanafiah. Beberapa halaman


dari tiga naskah di antaranya telah lapuk dan hampir tidak dapat dibaca. Selebihnya

https://islamindonesia.id 92
naskah dalam kondisi yang baik dan tulisan di dalamnya jelas terbaca. Kesembilan
bagian naskah ditulis di atas kertas Eropa dengan ukuran naskah rata antara 25 X
20 cm sampai 33 X 21 cm dan banyak baris sekitar 15 sampai 21 baris. Jumlah
halaman bervariasi dari 170-an halaman sampai ada yang berjumlah 600 halaman.
Semuanya ditulis dengan tulisan Arab Jawi dan dalam bahasa Melayu.

Sebagian besar peneliti meyakini Hikayat Muhammad Hanafiah berasal dari sumber
Arab. Tapi, Filolog tenar asal Belanda, Van Ronkel punya cerita lain. Setelah
menyelediki fragmen Cambridge, Ronkel berpendapat bahwa hikayat ini merupakan
terjemahan dari bahasa Persia. Alasannya, pujian yang melimpah kepada kedua
putra Ali, Hasan, dan Husain, pemakaian gelar pengembara untuk Nabi saw yang
dalam bahasa Persia adalah nabi, dan kesesuaian isinya dengan dua naskah versia
Persia yang tersimpan di British Museum. L.F. Brakel yang pernah menyunting
Hikayat Muhammad Hanafiah untuk memperoleh gelar doktor kesusasteraannya
dari Universitas Leiden mengukuhkan pendapat Van Ronkel dengan beberapa bukti
baru.

Pertama, bahwa pembagian bab dalam naskah Melayu sama dengan naskah
Persia. Kedua, dalam bahasa Persia, hubungan kekerabatan dalam bahasa Arab
pada nama Muhammad bin Hanafiah, dinyatakan oleh apa yang dinamakan ezafat:e
‘yang tidak dinyatakan’ sehingga menjadi Muhammad Hanafiah. Karena
mengabaikan ezafat:e tadi, penyalin Melayu telah salah menuliskan nama tersebut,
yakni Muhammad Hanafiah bukan Muhammad bin Hanafiah. Ketiga, banyak nama
orang yang ditulis dalam bentuk Persia, seperti Ummi Kulsum dan Immi Salamah.

Meskipun demikian, Brakel juga tidak memungkiri kemungkinan hikayat ini merujuk
kepada sebuah kitab sejarah dalam bahasa Arab, Maqtal al-Husain, karya Abu
Mikhnaf. Karya Abu Mikhnaf ini merupakan catatan paling awal karena sebagian
besar sejarahwan Muslim merujuknya ketika menulis tentang pembantaian keluarga
Nabi saw tersebut.

Tiap-tiap naskah Hikayat Muhammad Hanafiah berkisah tentang hal yang berbeda
meskipun masih berkisar seputar terbunuhnya kedua cucu kesayangan Rasulullah
tersebut. Naskah pertama paling banyak mengisahkan tentang gugurnya anak-anak
Ali, seperti Hasan dan Husain di Karbala pada masa kekuasaan Yazid. Meskipun
jelas, beberapa bagian tampak sudah lapuk dan robek. Isi naskah pertama ini sudah
pernah ditransliterasi dan diberi penjelasan oleh seorang peneliti Belanda, Prof.
Pijnappel pada 1870. Sayangnya PNRI tidak memiliki hasil penelitian itu.

Naskah kedua mengawali cerita dengan kisah nabi-nabi lama, mistik Nur
Muhammad, kisah Fatimah dari Siria, masa muda Nabi Muhammad, pernikahan

https://islamindonesia.id 93
Nabi saw, hingga zaman Khalifah Ali. Naskah ketiga mengisahkan persahabatan
Muhammad bin Hanafiah dengan beberapa orang. Ia mendapat luka dalam perang
tetapi dengan keajaiban lukanya sembuh. Yazid dapat mengalahkan musuh-
musuhnya lalu kemenakannya ditunjuk menjadi raja Damaskus dan kawin dengan
cucu Abu Bakar. Akhirnya Muhammad Hanafiah berhasil mengalahkan musuh-
musuhnya seorang diri.

Berbeda dengan naskah-naskah yang lain, naskah keempat Hikayat Muhammad


Hanafiah yang dimiliki PNRI memiliki cerita yang sangat berbelit-belit. Selain itu,
bahasanya pun sukar dipahami. Naskah kelima merupakan bagian terpanjang, yakni
mencapai 600 halaman. Tebalnya naskah ini, salah satunya, disebabkan oleh
hurufnya yang sangat besar. Satu hal lagi, selain naskah keenam, yang kelima ini
merupakan bagian yang memuat waktu penyalinan dengan lengkap, yaitu 11 Rabi’ul
Awwal 1288 H.

Naskah yang keenam yang bertanggal 6 Sya’ban 1281 H ini memuat kisah kematian
Yazid pada bab III, tetapi di dalamnya, tidak diceritakan kemenangan Muhammad
bin Hanafiah yang banyak dibicarakan dalam naskah-naskah lain. Naskah ketujuh
merupakan sebuah eksemplar yang baik meski sebagian rusak. Naskah ini
mengisahkan tentang perikehidupan Nabi saw secara panjang lebar.

Naskah kedelapan dimulai dengan uraian tentang kewajiban-kewajiban bagi para


pengikut Nabi saw, sementara kelahiran Hasan dan Husain baru terdapat pada
halaman 88. Naskah terakhir memuat cerita peperangan antara Ali dengan
Muawiyah, pembunuhan Hasan dengan racun dan Husain di padang Karbala oleh
Yazid. Kemudian dilanjutkan dengan pembalasan dari Muhammad bin Hanafiah
kepada Yazid. Yazid dapat dikalahkan tetapi Muhammad bin Hanafiah malang juga
nasibnya. Ia mati bersama musuh-musuhnya dalam sebuah gua.

Dengan kandungan yang sarat nilai, naskah-naskah Hikayat Muhammad Hanafiah


jelas sangat berharga untuk diteliti. Tetapi penelitian filologi yang menuntut keahlian
interdisiplin tampaknya kurang diminati para peneliti dan mahasiswa kita. Justru
peneliti asing yang banyak meneliti-meneliti naskah-naskah tersebut. Ibarat
peribahasa “kacang lupa akan kulitnya”, kita kerap memandang sebelah mata
terhadap warisan budaya nenek moyang.

Dan Muawiyah pun Menolak Beristri

Dari banyak kisah yang dituturkan dalam Hikayat Muhammad Hanafiah, peristiwa
Karbala, termasuk cerita yang mengawali dan mengikutinya, paling banyak menyita
halaman dari hikayat ini.

https://islamindonesia.id 94
Bagian kedua ini biasa disebut dengan Hikayat Maqtal Husain. Berikut petikannya
yang sengaja ditransliterasi sesuai ragam bahasa aslinya.

Tatkala Husain masih muda, ada malaikat yang kedua sayapnya tertunu, turun ke
dunia. Husain menyapu bahu malaikat itu dengan tangannya. Dengan takdir Allah,
sayap malaikat itu pun baik lalu ia kembali ke udara. Jibrail berkata bahwa malaikat
itu tidak akan turun ke bumi melainkan pada waktu Husain dibunuh oleh segala
munafik. Adapun semasa Hasan dan Husain masih kecil itu, Jibrail selalu turun ke
dunia bermain-main dengan mereka. Sekali peristiwa, sehari sebelum hari raya,
Jibrail membawa pakaian untuk Hasan dan Husain. Hasan memilih pakaian hijau
dan diramalkan akan mati kena racun; Husain memilih pakaian merah dan
diramalkan mati terbunuh di Padang Karbala. Muawiyah mendengar bahwa dari
keturunannya akan lahir pembunuh cucu Muhammad dan bersumpah tidak mau
beristeri. Pada suatu malam, ia pergi buang air dan beristinjak dengan batu.
Zakarnya disengat oleh kala. Ia tidak terderita sakitnya. Menurut tabib, sakitnya
hanya akan hilang jika ia berkawin. Maka berkawinlah ia dengan seorang
perempuan tua yang tidak boleh beranak lagi. Dengan takdir Allah, perempuan tua
itu melahirkan seorang anak yang diberi nama Yazid.

Setelah Ali wafat, Muawiyah menjadi raja. Sekali peristiwa, Muawiyah mengirim
seorang utusan pergi meminang Zainab, anak Jafar Taiyar untuk menjadi isteri
anaknya, yaitu Yazid. Zainab menolak pinangan Yazid, tetapi menerima pinangan
Amir Hasan. Karena itu Yazid pun berdendam dalam hatinya, hendak membunuh
Amir Hasan dan Amir Husain, bila ia naik kerajaan. Sekali peristiwa, Yazid ingin
berkawin dengan isteri Abdullah Zubair yang sangat baik parasnya. Muawiyah berja
menipu Abdullah Zubair menceraikan isterinya. Isteri Abdullah Zubair tiada mau
menjadi isteri Yazid. Sebaiknya, isteri Abdullah Zubair itu berkawin dengan Amir
Husain. Yazid makin berdendam dalam hatinya, “Jika aku kerajaan, yang Hasan dan
Husain itu kubunuh juga, maka puas hatiku.”

Maka berapa lamanya, Muawiyah pun matilah dan kerajaan pun jatuh ke tangan
Yazid. Mulailah Yazid melaksanakan niatnya untuk membunuh Amir Hasan dan Amir
Husain. Ia berhasil memujuk seorang hulubalang di Madinah (menurut suatu cerita,
salah seorang isteri Hasan sendiri) meracuni Hasan. Setelah Hasan wafat,
pikirannya tidak lain daripada membunuh Husain saja. Ia mengirim surat kepada
Utbah, seorang hulubalang di Madinah, dan memintanya membunuh Husain dengan
menjanjikan harta dan anugerah. Seorang hulubalang yang bernama Umar Saad
Malsum juga dikirim untuk membunuh Utbah. Biarpun begitu, Utbah masih tidak
berani membunuh Husain. Katanya jika Husain ada di dalam Madinah, mereka tidak
dapat mengalahkannya. Karena itu mereka meminta raja Kufah, Ubaidullah Ziyad
namanya, supaya menipu Husain ke Kufah. Husain menerima jemputan raja Kufah

https://islamindonesia.id 95
untuk pergi ke Kufah. Ummi Salamah mengingatkan Husain tentang bahaya yang
mengancamnya. Pada malam itu Husain juga bermimpi berjumpa dengan segala
nabi dan malaikat. Nabi Muhammad memberitahu bahwa surga sudah berhias
menantikan ketibaannya. Sungguhpun begitu, Husain berangkat juga ke Kufah
bersama-sama dengan pengikutnya yang tidak banyak itu.

Hatta berapa lamanya sampailah mereka ke suatu tempat. Unta dan kuda Husain
merebahkan dirinya, tiada mau berjalan lagi. Mereka lalu mendirikan kemah di situ.
Adapun segala kayu yang mereka tetak, berdarah balak. Baharulah mereka ketahui
bahwa tempat itu ialah Padang Karbala, tempat kematian Husain yang diramalkan
Nabi Muhammad dahulu. Hatta mereka pun kekurangan air, karena air sungai sudah
ditebat oleh tentera Yazid. Air yang di dalam kendi kulit juga sudah terbuang, karena
digorek tikus. Apa boleh buat. Terpaksalah mereka menahan dahaga yang sangat.
Maka mulai peperangan itu. Pengikut Husain, satu demi satu syahid. Akhirnya
anaknya sendiri, Kasim dan Ali Akbar, juga mati. Barulah ketika itu Husain teringat
meminta bantuan kepada saudaranya, Muhammad Hanafiah, yang menjadi raja
Buniara. Sesudah itu ia pun terjun ke dalam medan perang. Banyak musuh
dibunuhnya. Sekali peristiwa, ia berjaya menghampiri sungai. Biarpun begitu, ia tidak
meminum air itu, karena teringat kepada sahabat taulannya yang mati syahid
disebabkan dahaga itu. Maka Husain pun lemahlah lalu gugur ke bumi. Betapa pun
demikian, tiada seorang pun berani menghampirinya. Akhirnya Samir Laain yang
susunya seperti susu anjing lagi hitam itulah yang maju ke depan dan memenggal
leher Husain. Adapun Husain syahid itu pada sepuluh hari bulan Muharam, harinya
pun hari Jumaat. Tatkala Husain syahid itu, arasy dan kursi gempar, bulan dan
matahari pun redup, tujuh hari tujuh malam lamanya alam pun kelam kabut.

Setelah Husain syahid, maka segala isi rumah Rasul Allah terampaslah oleh tentera
Yazid. Akan tetapi, seorang pun tiada berani menghampiri Ummi Salamah. Seorang
lasykar yang merampas anak perempuan Ummi Salamah, dengan kudrat Allah,
matanya menjadi buta. Yazid berjanji akan memberi diat kematian Husain, jika Ummi
Salamah rela dengan dia. Ummi Salamah menolak. Yazid sangat marah. Apabila
Fatimah, anak perempuan Ummi Salamah, meminta air minum, yang diberikannya
ialah kepala Husain yang diceraikan dari badannya.

*Jurnalis
YS/IslamIndonesia
(Sumber: https://islamindonesia.id/kolom/kolom-hikayat-karbala-dari-tanah-melayu.htm)

https://islamindonesia.id 96
Saturday, 23 September 2017
BOLA TANPA PEMAIN (QADLA DAN QADAR)
Oleh: Emha Ainun Nadjib

Kalau tangan kananmu memberi, selalu diusahakan jangan sampai ketahuan oleh
tangan kiri. Akibatnya tangan kiri sering uring-uringan kepada tangan kanan:
“Kenapa kamu tidak pernah bersedekah?”

Pada koordinat dilema itulah Tuhan meletakkan manusia dalam kehidupan. Kalau
manusia menunjukkan perannya, bisa terbentur tembok “riya”. Kalau manusia
menyembunyikan perannya, manusia bisa di-sampah-kan oleh sesamanya. Buku
sejarah bukan hanya tidak mencatatnya, lebih dari itu malah bisa mengutuknya.
Kalau manusia berdoa memohon ini itu, Allah bisa berposisi defensif: “Fabi ayyi ala`i
Robbikuma tukadzdziban”. Nikmat Tuhan yang mana yang kau dustakan wahai Jin
dan Manusia. Tapi kalau manusia pasrah bongkokan, terserah-serah Tuhan mau
kasih apa atau tak kasih apa-apa, Allah melambaikan tangan: “Ud’uni Astajib lakum”.
Memohonlah kepada-Ku, niscaya Kujawab dan Kukabulkan.

Bergaul dengan Tuhan Yang Maha Pemurah dan Maha Penyayang saja
memerlukan kecerdasan, kepekaan dan kejelian menghitung posisi dan momentum.
Apalagi berinteraksi dengan sesama manusia yang penuh keterbatasan tetapi
mudah menyimpulkan, yang penuh kelemahan tapi sombong, yang penuh
kekurangan tapi cenderung mengagumi diri sendiri.

Kalau batang hidung Anda tidak tampak di antara tujuh juta manusia gelombang
212, Anda bisa disimpulkan sebagai Munafik, tidak punya sikap, atau minimal
dikategorikan sebagai jenis manusia “yang hanya bicara-bicara saja, tetapi tidak
berani berjuang di medan perang”. Agar Anda tidak dicatat sebagai “sampah yang
tidak berguna”: Anda harus mengumumkan bahwa Anda yang mengolah perubahan
tempat Jum’atan dari Jl. Thamrin Sudirman ke Monas, demi simulasi “yurisprudensi”,
supaya tidak membuka peluang di masa berikutnya bagi kemungkinan-kemungkinan
kemudharatan politik.

Jika ada pertempuran, pasukan yang dicatat oleh sejarah hanya pasukan Infanteri.
Plus sedikit Kavaleri dan Altileri. Tetapi pasukan Bayangan, pasukan Siluman,
termasuk pasukan Pengintai dan divisi Gerilyawan – tidak diketahui oleh siapapun.
Dan kalau Anda adalah bagian dari itu, Anda ditegur oleh teman-teman : “Kok kamu
tidak ikut berjuang?”

https://islamindonesia.id 97
Ketika berlangsung keramaian di mana sebuah Masjid baru yang besar dan megah
diresmikan, yang dihadiri oleh para pejabat tinggi, para Ulama dan tokoh-tokoh
masyarakat – ada seorang tua yang tidak diizinkan masuk, hanya berdiri di balik
pagar luar lingkungan Masjid. Ia berdesakan dengan ratusan hadirin lain di luar
pagar. Hanya Allah dan satu dua pihak lain yang tahu bahwa orang itulah pewakaf
tanah yang didirikan Masjid itu, dan ia pulalah yang membiayai seluruh keperluan
pembangunannya.

Dalam dunia sepakbola dikenal “pemain tanpa bola”. Pasukan jangan hanya
memfokuskan diri kepada pergerakan bola dan para pemain yang di sekitarnya.
Yang justru tidak kalah penting untuk diwaspadai adalah para pemain yang tanpa
bola, atau yang melakukan pergerakan di luar lalu lintas bola. Setiap pembawa bola
justru selalu berpikir tentang teman-temannya yang tanpa bola berlari ke suatu
posisi untuk siap-siap mengakselerasi bergulirnya bola menuju gawang lawan.

Di luar itu ternyata permainan bola, lapangan bola serta apapun saja yang terkait
dengan itu – adalah bagian dari kehidupan yang jauh lebih luas dan
multidimensional dibanding batasbatas urusan teknis bola. Ternyata tidak hanya ada
“pemain tanpa bola”, tapi mengerikan juga ada “bola tanpa pemain”. Artinya, bola
bisa bergerak ke luar wilayah yang dirancang dan dimaksudkan oleh pemain bola.
Seakan-akan ada pemain lain yang tidak kelihatan, yang menggagalkan permainan
pemain yang kelihatan.

Anak-anak kita U-19 berlatih sepakbola dipandu coach Indra Sjafri – tentu demikian
juga kesebelasan-kesebelasan lainnya – tidak hanya sebagai pesepakbola, tapi juga
dengan kesadaran sebagai bangsa Indonesia, sebagai manusia dan sebagai hamba
Tuhan. Mereka membiasakan diri bersujud syukur dalam posisi apapun, serta pada
keadaan menang atau kalah. Kemudian sewajarnya, bahkan selayaknya – karena
sudah melakukan segala yang terbaik – kepada Tuhan mereka memohon
kemenangan.

Dan Allah memberkati kesehatan dan stamina mereka, meridlai skill dan permainan
canggih mereka, sehingga pada pertandingan menentukan melawan Thailand itu
mereka sungguh-sungguh menguasai permainan, mengurung lawan. Tetapi Allah
juga merahmati kiper Thailand sehingga bermain seakan-akan dibantu oleh
beberapa Malaikat yang turut menjaga gawang kewajibannya.

Dua kali pernah saya alami kebuntuan seperti yang dialami anak-anak saya
Kesebelasan U- 19 di Myanmar tempo hari. Bedanya tingkat dan skala mereka
ASEAN, sedangkan yang saya alami adalah sepakbola Tarkam, Antar-kampung.

https://islamindonesia.id 98
Kami kuasai sepertiga lapangan di depan gawang lawan sepanjang permainan
hingga Maghrib hampir menjelang. Kami menang skill, strategi, kematangan
kerjasama maupun ketangguhan tubuh. Puluhan kali shooting kami lakukan tetapi
selalu digagalkan oleh kiper “pulut” lawan, dimelencengkan oleh desakan udara
mendadak, atau posisi kaki kami ketika menendang bola sudutnya digeser 1-2
derajat sehingga arah bola melenceng 1-2 meter.

Seperti ada invisible ball keeper, atau ada jala rahasia, jaring nir-kasyaf di depan
gawang lawang. Atau “Dukun” mereka kuat. Kami tidak pernah bawa Dukun. Hanya
selalu berusaha menang undian awal untuk menentukan posisi bagian kiri atau
kanan di lapangan, melalui koin yang dilempar dan kami harus memilih Angka atau
“Beri” (Garuda). Itu memuluskan rancangan strategi kami. Tetapi kali ini rasanya
lawan kami tidak hanya 11 pemain. Seperti ada bon-bonan gaib, entah Jin entah
Demit, atau Aji Lembu Sekilan yang membuat bola mental balik sebelum mencapai
sasaran.

Atau malah mungkin ini adalah Qadar: Allah tidak memperkenankan kami menang
kali ini demi pertimbangan jangka agak panjang, yang menyangkut psikologi kami
serta posisi Kesebelasan desa kami dalam konstelasi Tarkam. Padahal secara
Qadla kami sudah ditulis lebih unggul di lembar kesekian Kitab Lauhul Mahfudh.

Allah sedang “demo”. Minimal dengan tiga orasi. Pertama, “Apa yang kamu hindari
dan tak kau sukai, mungkin malah itu yang baik bagimu. Dan sesuatu yang kau
inginkan karena kau sukai, bisa jadi itu buruk bagimu “. Kedua, “Allah memberi
rezeki melalui cara dan jalan yang kau tak bisa perhitungkan”. Mungkin kesulitan
memasukkan gol sampai senja meremang ini adalah rizki, yang besok atau lusa
baru kami ketahui maknanya. Dan ketiga, “Sesungguhnya Allah berkuasa atas
segala sesuatu”. “Barang siapa menolak ketetapan-Ku, silahkan mencari bumi atau
tempat lain yang bukan Milik-Ku”. Nah Lu. Mampus kami.

Akhirnya Kapten Kesebelasan kami mengambil keputusan yang aneh, radikal dan
anarkis. Mohon menjadi referensi dulu bahwa di tahun 1960-an bola sepak ada
bagian luar dan bagian dalamnya yang harus dipompa dulu. Kemudian belalai
tempat masuknya udara dilipat, dimasukkan ke dalam semacam mulut di bulatan
luar. Sesudah masuk, harus ditali seperti mengikat tali sepatu. Jadi ada bagian dari
bulatan bola yang menonjol, sakit kalau ditendang, dan mulut itu bagian terlemah
dari tekanan.

Kapten menyuruh saya mengoper bola “tlèsèr” atau datar merambat di tanah, tapi
diarahkan ke salah satu pemain lawan. Kapten mengambil posisi mengejar bola itu
berlawanan arah dengan pemain lawan. Mereka berdua berlari kencang menuju

https://islamindonesia.id 99
bola, kemudian Kapten menendang bola itu sangat keras ke arah kaki lawan.
Benturan frontal terjadi, sedemikian rupa sehingga muncul bunyi letusan keras,
seperti petasan ukuran besar atau bom ukuran kecil. Bersamaan dengan itu karet
bagian dalam melesat keluar mulut kulit luar, menjadi lembungan besar seperti balon
raksasa. Sesaat kemudian balon itu meletus dan karetnya menjadi sobekan-
sobekan.

Tidak seperti lagu “Meletus balon hijau dor!”. Yang meletus dari bola itu,
sebagaimana lazimnya balon : ia berwarna merah.

Permainan berhenti. Skor 0-0. Semua tegang, Kapten kami senyum-senyum. Mohon
jangan bayangkan ini pertandingan antar klub profesional di stadion, di mana bola-
bola tersedia dalam jumlah banyak. Sepakbola Tarkam 1960-an punya satu bola
saja sudah sebuah sukses. Begitu bola meletus, selesailah permainan.

Indonesia Raya ini punya berapa “bola”? Siapa saja yang berkuasa atas Indonesia,
baik para “pemain dengan bola” maupun mereka para “pemain tanpa bola” – sudah
mantapkah kalian bahwa tidak ada “bola tanpa pemain” di sekitar kalian? Benarkah
tidak ada Qadla dan Qadar di balik salah satu Sila dari Pancasila? Coba kita lihat
bersama mulai awal 2018 sebentar lagi.
Perth, 22 September 2017

YS/IslamIndonesia/Diterbitkan atas izin penulisnya

(Sumber: https://islamindonesia.id/kolom/kolom-bola-tanpa-pemain-qadla-dan-qadar.htm)

https://islamindonesia.id 100
Thursday, 21 September 2017
OLIGARKI KUBURAN (CAKRAWALA DAN KETENTERAMAN)
Oleh: Emha Ainun Nadjib

Aku anak bangsa Indonesia. Tidak akan main-main dalam mengelola Kambing.
Tidak pula akan pernah kuucapkan “sekadar Kambing”. Kambing itu salah satu hasil
karya Allah swt, yang terpilih untuk bergabung naik Bahtera Nabi Nuh.

Bahkan pun seandainya yang kupelihara adalah Babi, yang menurut sebuah Kitab
tercipta dari luka perut Gajah, atau Tikus yang berasal dari darah yang meleleh dari
luka Babi – takkan pernah kuucapkan “sekadar Babi” dan “sekadar Tikus”. Aku
masih sakit hati kepada Iblis yang men-sekadar-kan manusia ketika menolak
bersujud kepada Mbah Adam.

Aku berjanji mengemukakan dari mana aku memperoleh “Bismillahi la


yadhurru…”untuk menyeret kambing. Bahkan sebenarnya sebelum memutuskan
akan beli kambing di Pasar Peterongan, aku memproses kepastian bahwa di dalam
diriku sudah tumbuh potensi manajemen “’Alimul ghoib was-Syahadah, Rahman dan
Rahim”, sebagai syarat primer kepemimpinan atas kambing.
Tuhan Maha Mengetahui dan Maha Menyaksikan segala yang ghaib. Kalau manusia
berposisi mempelajari dan rajin menyaksikan. Maka manusia itu “Muta’allimul ghoibi
was-syahadah”. Tidak hanya teoretis, tapi juga empiris. Sebelum mencalonkan diri
sebagai penggembala kambing, aku harus berhijrah dari belum tahu apa-apa
menjadi mulai tahu apa-apa tentang kambing. Aku harus mempelajari dan belajar
untuk mengurangi volume belum tahu dan menambah volume mulai tahu.
Mempelajari itu teoretis, belajar itu empiris.

Ketika tiba di pasar Peterongan, sebenarnya kambing masih ghaib bagiku. Ketika
mulai menyeretnya, mulailah aku berhijrah ke mulai tahu tentang sifat kambing.
Demikianlah tahap demi tahap keghaiban kambing kubuka tabirnya. Pada saat yang
sama harus kurintis program Rohman dan Rahim: aku harus merintis dan
menumbuhkan cinta dan sayangku kepada kambing. Aku wajib mengabdi kepada
kemashlahatan kambing, karena mereka telah memberiku kegembiraan dan
menerimaku sebagai sahabat dan saudara mereka sesama makhluk Tuhan.

Kalau sampai kadar yang diperlukan sudah kumengerti hal-hal mengenai kambing,
sudah pula kokoh bersemi cinta dan sayangku – baru aku diperbolehkan oleh akal
sehat dan nurani kehidupan untuk memimpin kambing. Sesudah sah
menjadi Malikul-ghonam atau pemimpin kambing, berikutnya harus kujamin bahwa
setiap tindakankuQuddus kepadanya. Setiap tahap manajemenku

https://islamindonesia.id 101
harus Salam menjamin keselamatannya. Jangan sampai sebagai pemimpin
Kambing aku tidak bisa dipercaya oleh kambing. Aku harus Mu`min.

Dan Muhaimin, kupelihara hubungan saling percaya itu. Jangan sampai kambing
kelaparan, terluka atau bersedih hatinya. Kepertahankan ‘Aziz rasa tidak tega
kepada deritanya. Maka hubungan kami akan solid. Jabbar. Dengan cara yang kami
kerjasamakan terus, kami menjadi saling berbuat untuk menguasai masalah yang
muncul. Harus Mutakkabir, menjadi lebih besar, lebih kuat dan lebih cerdas
dibanding permasalahan. Harus takabbur terhadap tantangan dan ancaman. Aku
terlanjur memimpin Kambing, maka semua persyaratan itu wajib kutekuni, kusetiai
dan kuistiqamahi.

Semua rezeki nilai itu kuperoleh dari sahabat karibku. Ia salah satu dari 36 orang
yang tinggal di rumah Ayah Ibuku. Umurnya 12 tahun, lebih tua 3 tahun dariku.
Sahabatku ini bisa mendengar suara hati orang di sekitarnya. Ia tahu sebuah ayat
terletak di halaman berapa baris ke berapa di Mushab Al-Qur`an standar. Ia tahu
Pamong Desa menjual sapi jatah rakyat dari Pemkab. Ia tahu lelaki itu barusan
pulang dari “ngondhol” atau melacur. Ia tahu sangat banyak hal yang ghaib bagi
kebanyakan orang.
Untuk beberapa lama ia menjadi semacam mini-oligarki yang berkuasa di desa
kami. Semua orang ngeri ketemu dia karena takut dituding dosanya. Kalau malam
larut ia berteriak-teriak keliling desa, membangunkan semua orang, memanggil
namanya satu per satu, menggiringnya ke Masjid untuk shalat tahajud. Di malam
lain langsung diajak beramai-ramai ke Kuburan yang dikenal paling angker. Setiap
orang di suruh duduk di tempat yang berbeda-beda di seantero kuburan. Tidak ada
yang berani melawannya. Tidak ada yang tidak taat kepadanya.

Kecuali aku. Tidak ada perintah apa-apa untukku. Biasanya setelah mobilisasi
kuburan, ia menemuiku, menyodorkan ayat Qur`an atau hadits Nabi, mengajakku
berdiskusi, atau langsung minta apa pendapatku tentang itu. Setiap Jum`at siang
kami berboncengan sepeda ke Masjid-masjid yang berpindah setiap Jumat. Aku
yang bertugas adzan dan dia yang khutbah kemudian mengimami shalat.

Ia tidak mengajariku apa-apa, tapi dari seringnya ia mengajak diskusi: aku jadi rajin
juga melirik-lirik ayat dan hadits ini itu. “Bismillahi la yadhurru” atau “Wa khotama
Sulaimana…” atau “Allahumma tekno…” dan banyak klausul lain, termasuk
bermacam-macam hizib: itu bukan paket apa-apa. Ia firman Allah dan aku nekat
menerapkannya ke apa saja setelah kupertimbangkan dan kurasakan mashlahat-
mudharatnya.

https://islamindonesia.id 102
Kehidupan di masa kanak-kanakku sangat liberal, penuh keterbukaan berpikir,
menghampar beribu-ribu pintu dimensi hidup, tidak banyak stigma, sentiment, fobia,
atau sinisme-sinisme pandangan yang mubadzir untuk keluasan ilmu, wawasan
pengetahuan dan makrifat kehidupan. Di zaman itu manusia tidak lebay terhadap
Agama. Tidak terpesona oleh Ilmu Katon, yang sekarang didewa-dewakan dan
dijadikan “tuhan pembangunan” oleh hampir semua Negara di muka bumi.

Aku bersyukur pernah mengalami kehidupan yang masih ada cakrawala. Bahkan
ketika di masa tua sekarang ini aku dikepung oleh
radikalisme Negara,
fundamentalisme pembangunan materi,
linierisme intelektual,
keterkotakan akademis,
intoleransi modernisme terhadap apapun saja yang disangka tidak seperti ia,
birokrasi yang ultra-konservatif,
manajemen sejarah tanpa sangkan paran,
Negara identitas yang hanya paham identitas,
Lima Sila nilai diklaim menjadi pembangunan materi,
Pemerintahan yang gagal menjelaskan kemauannya,
kejumudan-kejumudan ekstrem dalam penggunaan metodologi berpikir,
sangat menguasai pembenaran subjektif tanpa minat terhadap kebenaran objektif,
serta berbagai dekadensi pra-Jahiliyah yang menguasai ummat manusia –

Aku tetap bisa menemukan seribu cakrawala, kemerdekaan diri dan ketenteraman
hati.

Yogya, 21 September 2017

YS/IslamIndonesia/Diterbitkan atas izin penulisnya


(Sumber: https://islamindonesia.id/kolom/esai-oligarki-kuburan-cakrawala-dan-
ketenteraman.htm)

https://islamindonesia.id 103
Sunday, 17 September 2017

KEBERANIAN UNTUK LALIM (TINUNDHUNG, JINEBOL)


Oleh: Emha Ainun Nadjib

islamindonesia.id – Keberanian Untuk Lalim (Tinundhung, Jinebol)

Tiba-tiba menjelang tidur kemarin aku diserbu oleh rasa takut yang luar biasa. Besok
kalau aku bangun tidur, keluar rumah, bertemu dengan suatu “hawa” kehidupan
yang sebenarnya sudah kurasakan sejak sangat lama – tetapi tiba-tiba itu menjadi
sangat menakutkan. Bahkan mengerikan.

Yakni suatu keadaan sejarah di mana manusia sudah menjadi sangat tidak percaya
kepada hukum alam dan “pakem” sebab-akibat dalam kehidupan. Manusia sudah
memperoleh sejumlah pengalaman sehingga, terutama di tahun-tahun terakhir
Indonesia: berbuat buruk bisa disembunyikan sedemikian rupa di lubuk ruang dan di
balik waktu.

Melakukan kelaliman terbukti bisa tidak ketahuan sampai berapa lama pun
mekanisme sejarah berlangsung. Mencuri, mengutil, korupsi, bahkan menjambret
atau merampok – bisa tidak sukar disembunyikan dari pengetahuan umum.
Mengerjakan pelanggaran-pelanggaran semendasar apapun secara konstitusional,
yuridis, moral, etis, bahkan sampai tingkat menentang hukum kekuasaan Tuhan pun
– bisa dikamuflase, disamarkan atau ditutupi dengan cara yang bisa sangat
sederhana, atau dengan perangkat yang simpel dan tidak pelik.

https://islamindonesia.id 104
Ketakutan sangat merundungku. Tak bisa kuusir bayangan misalnya bahwa
narapidana di penjara tidak mustahil tidak tinggal di penjara. Minimal bisa berakhir
pekan di rumah bersama keluarganya. Atau bisa keluar bui kapan memerlukannya.
Bahwa bisa jadi ada sejumlah penghuni penjara yang sebenarnya tidak bersalah,
atau sebaliknya mungkin sangat banyak orang bersalah yang hidup bebas di luar
penjara.

Ada banyak lubang-lubang syubhat di antara hukum dengan kenyataan. Ada banyak
titik-titik relativitas di tekstur padatan-padatan pasal hukum. Ada garis-garis kabur
yang debatable. Bahkan versi-versi penafsiran atas kalimat dan kata dalam teks
hukum bisa bukan hanya berbeda, bahkan bertentangan sangat ekstrem. Ini
menyempurnakan “rasa bersama” tentang ketidakpastian hukum yang memenuhi
udara yang dihirup oleh setiap orang setiap saat dan di setiap tempat.

Tak bisa kuhapus dari memori saraf otakku kesulitan untuk menemukan apakah
mungkin ada pejabat yang tidak melakukan korupsi. Bagaimana caranya meyakini
bahwa sebenarnya masih ada pengurus Negeri ini yang murni mengabdi. Yang
nothing to lose terhadap kekuasaan dan jabatan. Secara keseluruhan seperti
mustahil untuk menemukan pola berpikir dan persepsi bahwa masa depan yang
akan kita jalani akan tidak menuju kehancuran.

Aku tidak punya ilmu yang cukup untuk menilai dan menyimpulkan hal-hal tentang
kemajuan atau kemandegan laju Negara. Tentang sukses atau gagalnya
pemerintahan. Sebab andaikan pun aku bisa membuktikan kesuksesannya, para
penguasa tidak memerlukan pengakuanku. Dan seandainya aku mampu
membuktikan kegagalan mereka, aku dibentur oleh tiga tembok. Pertama, yang
sedang berkuasa pasti tidak memerlukan kepercayaan kepada kesimpulanku.
Kedua, rakyat yang menyembah penguasa tak akan sudi pada kesimpulanku,
sementara rakyat lain yang mengalami dan merasakan sebagaimana kesimpulanku,
tak akan pernah yakin dan mantap terhadap kesimpulanku.

Adapun tembok ketiga, sangat mudah menggunakan berbagai macam perangkat


komunikasi dan informasi, untuk menghapus, membalik, memanipulasi atau justru
menunggangi kesimpulanku, untuk dengan pembalikan logika: digunakan untuk
mencuci otak rakyat yang dikuasainya.

Akan tetapi yang paling mendalam membuatku ketakutan adalah karena melihat
semakin banyak manusia, terutama yang berada di wilayah kekuasaan, yang
semakin berani untuk berbuat tidak baik. Semakin gagah dan mantap untuk berbuat
lalim. Tidak merasa bersalah ketika berbuat salah. Tidak merasa malu tatkala

https://islamindonesia.id 105
melakukan sesuatu yang memalukan. Tidak tampak tersiksa hati kemanusiaannya
ketika melukai rakyat.

Bahkan mengekspresikan ketenangan yang luar biasa ketika mengingkari janji,


ketika gagal mewujudkan sesumbarnya, atau ketika menyakiti masyarakat yang ia
atau mereka berposisi memanggul tanggung jawab kepada rakyat yang
menggajinya. Pelaku korupsi yang tertangkap tangan, direkam oleh kamera dan
dipublikasikan, tampil gagah perkasa, tegap langkahnya, penuh senyuman yang
menantang, mengekspresikan keanggunan seperti aktor masyhur yang menapaki
tangga naik panggung.

Semakin banyak pejabat atau penguasa yang perilakunya mencerminkan keyakinan


bahwa kalau Tuhan bilang “Siapa melakukan kebaikan, memperoleh balasannya.
Dan siapa yang melakukan keburukan, akan juga mendapatkan balasannya”: itu
bisa sama sekali tidak terjadi. Semakin banyak tokoh dan pemuka pemerintahan dan
Negara yang sikapnya seolah-olah menertawakan “becik ketitik olo ketoro”.
Senyuman mereka seakan mengucapkan “Ah, itu omong kosong”.

Manusia sangat yakin untuk menempuh jalan yang di depan sana terdapat
kebuntuan atau jurang. Manusia sangat mantap melakukan berbagai hal yang akan
menghancurkannya. Lembaga-lembaga sejarah, Negara, Ideologi, madzahib
kemajuan dan makharij peradaban, membangun segala sesuatu yang ujungnya
adalah jebakan, ranjau-ranjau, tikungan buntu dan tipudaya. Aku memerdekakan itu
semua. Dan aku sendiri memperoleh kemerdekaan darinya.

Tak bisa kuusir bayangan tentang penguasa yang akan jatuh hina. Tetapi manusia
toh sudah tidak peduli pada kehinaan dirinya. Ada bayangan tentang pemenang
yang kecélé oleh prasangka kemenangannya. Bahkan akan jinebol (dijebol) dari
singgasananya, binedhol (dicabut) dari maqam-nya, serta tinundhung (diusir) dari
persemayamannya. Tetapi idiom itu tak berlaku bagi manusia yang sejak semula
memang tidak memahami prinsip maqamat dan darrajat.

Yogya, 15 September 2017

EH / Islam Indonesia – Sumber: caknun.com

(Sumber: https://islamindonesia.id/kolom/kolom-keberanian-untuk-lalim-tinundhung-
jinebol.htm)

https://islamindonesia.id 106
Wednesday, 13 September 2017
MENCARI INDONESIA DI KAKI U-19
Oleh Emha Ainun Nadjib

IslamIndonesia.id – KOLOM – Mencari Indonesia di Kaki U-19 (Yang hebat pasti bukan Indonesia)

Menggendong masalah Keraton dan Indonesia sangat ‘njarem’ di hati. Sebab itu
adalah lubang dan retakan di dalam rongga nasionalisme keindonesiaanku. Aku
keluar rumah, berlari ke lapangan sepakbola. Menghela napas panjang dengan
irama perlahan-lahan, sambil kaki berlari-lari kecil, tetapi tidak dalam irama yang
sama dengan ritme napasku. Cucu-cucuku kesebelasan nasional U-19 sedang
berjuang di medan laga Myanmar, dan mestinya itu membuat hati Indonesia kita
tergetar.

Di AFC U-19 2014 bersama istri dan seorang teman aku nongol di Yangon dan
Naypyidaw, Myanmar, tanpa diketahui sebelumnya oleh Evan Dimas dkk. Juga kami
tidak merasa siapa-siapa sehingga harus memberitahukan partisipasi kami terhadap
perjuangan U-19, kepada Coach Indra Sjafri, BTN, maupun para pengurus PSSI di
sana. Kami mengikuti proses mereka, ranjau-ranjau yang menghadang mereka,
tetapi kami hanya suporter, penggembira berkibarnya Merah Putih di bagian bumi
manapun.

Tidak penting untuk diceritakan apa yang kami lakukan di Yangon dan Naypyidaw.
Yang utama sekarang sesudah melahap Filipina 9-0, kemudian diuji 0-3 oleh

https://islamindonesia.id 107
Vietnam, kita berharap sekurang-kurangnya 3 gol disarangkan anak-anak ke
gawang Brunei. Sesudah itu mateg ajilagi berjuang menegakkan Merah Putih di
puncaknya. Yang dilakukan oleh Coach Indra Sjafri adalah mencari Indonesia di kaki
anak-anak asuhnya U-19 yang orisinal putra Nusantara. Mohon izin – kalau saya
menyebut nama “X”, tidak berarti saya anti “Y” atau “Z”, sebagaimana tradisi
atmosfer perpolitikan kita. “X” disebut semata-mata karena temanya harus menyebut
“X”.
17 Agustus yang lalu mereka beramai-ramai datang ke Maiyahan Mocopat Syafaat
di Tamantirto, Kasihan, Bantul. Jamaah mendoakan mereka, Coach Indra
menuturkan tekadnya, anak-anak refreshing dua jam dengan para penari 5 Gunung
sekitar Magelang dan seorang Etnomusikolog Profesor tamu dari Amerika.
Substansi doa Jamaah Maiyah bukan terutama untuk kemenangan dan keunggulan.
Melainkan pertama, untuk peneguhan diri keindonesiaan dalam jiwa pemain. Kedua,
semoga selamat dari ranjau-ranjau yang diproduksi oleh dismanajemen
persepakbolaan NKRI yang bisa “nyrimpeti” kaki mereka, sebagaimana U-19 yang
sebelumnya.
Bapak dan Pahlawan Pendidikan Nasional kita Ki Hadjar Dewantoro mewanti-wanti
siapapun saja bangsa Indonesia yang memproses manajemen dan transformasi
kehidupan: “Ing ngarso sung tulodo, ing madyo mangun karso, tut wuri handayani”.
Kalau berposisi di depan, memberi teladan, memelopori kejujuran, kebaikan dan
kreativitas. Yang berposisi di tengah ajur-ajer mendorong inisiatif dan daya juang ke
sekitarnya. Kalau berposisi di belakang, memberdayakan, mendorong, men-support,
menambah energi para pejuang di depannya.

Itulah tahap-tahap karier manusia sosial. Pertama menunjukkan keteladanannya,


sehingga diangkat jadi pemimpin. Sesudahnya berani menjadi rakyat biasa yang
bekerjasama horizontal dengan semua rakyat. Puncak karier adalah berani dan
legawa berposisi di belakang, mengawal perjuangan, menjaga medan perang,
merawat ketertataan pasukan-pasukan, serta menyiagakan logistik sejarah.

“Ranjau-ranjau” bagi anak-anak muda pesepakbola, pelajar-pelajar bintang


Olimpiade dunia, gerenasi milenium yang mandiri, lebih lengkap pemikirannya dan
lebih “berdarah” daya juangnya, para kreator, inovator dan inventor dari kalangan
muda – tidak memperoleh ruang yang seharusnya, karena ketidakmatangan
pemikiran ber-Negara, serta ketidaksadaran Pemerintah untuk membuka kebun-
kebun masa depan bagi rakyat dan bangsanya. Pemerintah yang hanya buruhnya
Negara tapi merasa ia adalah Negara, yang sebenarnya adalah kumpulan Pejabat-
pejabat, yang batas berpikirnya adalah keuntungan individu masing-masing, melalui
rekayasa kejamaahan golongannya.

https://islamindonesia.id 108
Budaya politik seperti sekarang ini berlangsung, membuat wanti-wanti Ki Soewardi
Soeryoningrat berubah: “Ing ngarso sung mbuntoni, ing madyo mbubrah karso, tut
wuri hanyrekali”. Kalau berada di depan pekerjaan utamanya adalah memonopoli
kekuasaan, membuntu jalan siapapun di belakangnya, gudang-gudang uang di
manapun “dithithili” untuk bekal 2019. Kalau berada di tengah, menyikut kanan
mendesak kiri, menyibak ke depan siapa tahu bisa berada di depan lagi. Kalau
berada di belakang, menjegal kaki siapapun di depannya, agar tidak punya
kemungkinan untuk maju ke depan.

Belakang-tengah-depan ini juga konsep waktu dan nilai yang amburadul


pemahamannya dalam budaya karier manusia Indonesia, yang tuhannya adalah
kekuasaan dan harta benda. Bagaimana yang dimaksud maju, kemajuan, sukses,
gagal, tertinggal, mengejar dst dalam konsep pembangunan sejarah kita. Misalnya
kita batasi saja pada koridor sepakbola: tidak salah bahwa agar persepakbolaan
maju, maka sebaiknya menyewa pelatih dari Negara sepakbola maju. Tapi di lain
pihak, itu membuat persepakbolaan Indonesia selalu merasa rendah diri, tidak
percaya kepada kemampuannya sendiri. Ilmu pelatih asing sangat kita perlukan,
tetapi defisit psikologis dan mental sepakbola kita mungkin “lebih besar pasak
daripada tiang” dibanding ilmu yang didapatkan.

Kalau para pemain dilatih oleh pelatih asing, di bawah sadarnya terdapat anggapan
bahwa semua yang benar, yang maju dan hebat terdapat pada diri sang pelatih.
Sedangkan yang ada pada diri mereka adalah ketidakbenaran bersepakbola,
ketidakhebatan dan ketidakmajuan. Pokoknya: yang hebat pasti bukan Indonesia.
Dengan psikologi seperti itu mereka menendang bola di lapangan. Mungkin kita lupa
bahwa pemain sepakbola itu subjek-utamanya bukan Pesepakbola, melainkan
Manusia. Yang mana yang tepat: Pesepakbola yang manusia, ataukah manusia
yang pesepakbola?

Itu seperti anak-anak yatim yang ditampung dengan tujuan supaya tidak lagi menjadi
yatim. Tetapi malah kita tegaskan keyatiman mereka, kita taruh di rumah yatim, tiap
saat mereka membaca papan nama: Panti Asuhan Anak Yatim. Sehingga mereka
merasa dan yakin mereka adalah benar-benar yatim. Itu pun tanpa mereka tahu
bahwa terkadang, atau sering, keyatiman mereka dipelihara: karena bisa menjadi
komoditas tinggi.

Coach Indra mencoba mempertanyakan kepada dirinya sendiri tentang “keyatiman”


sepakbola Indonesia. Ia berkeliling Nusantara, talent-scouting, menikmati kiprah
para remaja di lapangan, untuk menghimpun keyakinan
bahwa fadhilah persepakbolaan dari Tuhan ke anak-anak Indonesia tidak lebih
rendah dari anak-anak bangsa manapun. Masalah kita adalah ketidakpercayaan

https://islamindonesia.id 109
pada diri bangsa kita sendiri, sehingga prinsip pengelolaan dan manajemen yang
kita pilih juga tidak produktif bagi peningkatan persepakbolaan nasional.

Tulisan ini tidak mengantarkan U-19 menjadi juara atau tidak. Bola itu bundar. Kalau
ada kepastian akan menang atau kalah, pasti turnamen batal diselenggarakan.
Tulisan ini sekadar mencatat apakah dalam tata kelola sepakbola, kita sudah mulai
bisa menemukan pola transformasi yang tepat untuk maksimalitas keindonesiaan
kita.

Misalnya apakah dulu ketika Perserikatan diradikalisasi menjadi profesionalisme


Galatama, sudah kita pelajari di mana kekhilafan teori transformasinya. Apakah
hubungan Kerajaan dengan Negara bersifat menggunakan teori transformasi
ataukah ‘transbengkalai’. Apakah transformasi Indonesia Tanah Pusaka menjadi
sub-perusahaan Globalism Company, sudah dihitung matang, dewasa dan akurat ke
presisi masa depan Bangsa Indonesia, yang oleh Tuhan tidak diciptakan sebagai
Bangsa Amerika, Bangsa Jepang, Bangsa Korea, Bangsa Arab, Bangsa Yahudi
atau Bangsa Cina. Wong jelas kita ini Bang-Samiun dan Bang-sat.
Yogya, 13 September 2017

YS/ islamIndonesia/ Diterbitkan atas izin penulisnya / foto: detik sport


(Sumber: https://islamindonesia.id/kolom/kolom-mencari-indonesia-di-kaki-u-19.htm)

https://islamindonesia.id 110
Monday, 11 September 2017
POKOKNYA ISLAM HARUS KALAH
Oleh: Emha Ainun Najib

islamindonesia.id – ESAI – Pokoknya Islam Harus Kalah

Kalau ada bentrok antara Ustadz dengan Pastur, pihak Depag, Polsek, dan
Danramil harus menyalahkan Ustadz, sebab kalau tidak itu namanya diktator
mayoritas.

Mentang-mentang Ummat Islam mayoritas (asalkan yang mayoritas bukan yang


selain Islam) harus mengalah dan wajib kalah. Kalau mayoritas kalah, itu memang
sudah seharusnya, asalkan mayoritasnya Islam dan minoritasnya Kristen. Tapi kalau
mayoritasnya Kristen dan minoritasnya Islam, Islam yang harus kalah. Baru “wajar”
namanya.

Kalau Khadhafi kurang ajar, yang salah adalah Islam. Kalau Palestina banyak
teroris, yang salah adalah Islam. Kalau Saddam Hussein nranyak, yang salah
adalah Islam. Tapi kalau Belanda menjajah Indonesia 350 tahun, yang salah bukan
Kristen. Kalau Amerika Serikat jumawa dan adigang adigung adiguna kepada rakyat

https://islamindonesia.id 111
Irak, yang salah bukan Kristen. Bahkan sesudah ribuan bom dihujankan di seantero
Bagdad, Amerika Serikatlah pemegang sertifikat kebenaran, sementara yang salah
pasti adalah Islam.

“Agama” yang paling benar adalah demokrasi. Anti demokrasi sama dengan setan
dan iblis. Cara mengukur siapa dan bagaiman yang pro dan yang kontra demokrasi,
ditentukan pasti bukan oleh orang Islam. Golongan Islam mendapat jatah menjadi
pihak yang diplonco dan dites terus menerus oleh subyektivisme kaum non-Islam.

Kaum Muslimin diwajibkan menjadi penganut demokrasi agar diakui oleh peradaban
dunia. Dan untuk mempelajari demokrasi, mereka dilarang membaca kelakuan
kecurangan informasi jaringan media massa Barat atas kesunyatan Islam.

Orang-orang non-Muslim, terutama kaum Kristiani dunia, mendapatkan previlese


dari Tuhan untuk mempelajari Islam tidak dengan membaca Al-Quran dan
menghayati Sunnah Rasulullah Muhammad SAW, melainkan dengan menilai dari
sudut pandang mereka.

Maka kalau penghuni peradaban global dunia bersikap anti-Islam tanpa melalui
apresiasi terhadap Qur’an, saya juga akan siap menyatakan diri sebagai anti-
demokrasi karena saya jembek dan muak terhadap kelakuan Amerika Serikat di
berbagai belahan dunia. Dan dari sudut itulah demokrasi saya nilai, sebagaimana
dari sudut yang semacam juga menilai Islam.

Di Yogya teman-teman musik Kiai Kanjeng membuat nomer-nomer musik, yang


karena bersentuhan dengan syair-syair saya, maka merekapun memasuki wilayah
musikal Ummi Kaltsum, penyanyi legendaris Mesir. Musik Kiai Kanjeng mengandung
unsur Arab, campur Jawa, jazz Negro dan entah apa lagi. Seorang teman menyapa:
“Banyak nuansa Arabnya ya? Mbok lain kali bikin yang etnis ‘gitu…”

Lho kok Arab bukan etnis? Bukan. Nada-nada arab bukan etnis, melainkan nada
Islam. Nada Arab tak diakui sebagai warga etno-musik, karena ia indikatif Islam.
Sama-sama kolak, sama-sama sambal, sama-sama lalap, tapi kalau ia Islam-
menjadi bukan kolak, bukan sambal, dan bukan lalap.

Kalau Sam Bimbo menyanyikan lagu puji-puji atas Rasul dengan mengambil nada
Espanyola, itu primordial namanya. Kalau Gipsy King mentransfer kasidah “Yarim
Wadi-sakib…”, itu universal namanya. Bahasa jelasnya begini: apa saja, kalau
menonjol Islamnya, pasti primordial, tidak universal, bodoh, ketinggalan jaman, tidak
memenuhi kualitas estetik dan tidak bisa masuk jamaah peradaban dunia.

https://islamindonesia.id 112
Itulah matahari baru yang kini masih semburat. Tetapi kegelapan yang ditimpakan
oleh peradaban yang fasiq dan penuh dhonn (prasangka buruk) kepada Islam, telah
terakumulasi sedemikian parahnya. Perlakuan-perlakuan curang atas Islam telah
mengendap gumpalan rasa perih di kalbu jutaan ummat Islam. Kecurangan atas
Islam dan Kaum Muslimin itu bahkan diselenggarakan sendiri oleh kaum Muslimin
yang mau tidak mau terjerat menjadi bagian dan pelaku dari mekanisme sistem
peradaban yang dominan dan tak ada kompetitornya.

“Al-Islamu mahjubun bil-muslimin”, Cahaya Islam ditutupi dan digelapkan oleh orang
Islam sendiri.

[Di luaran sana Islam minoritas di mayoritas non muslim dikerdilkan, diserang, dan
tidak dianggap tapi kalau non muslim hidup di mayoritas muslim tidak pernah ada
pengusiran, tidak diserang kayak kejadian di Myanmar, tetep damai jadi kalian yang
jadi minoritas di mayoritas Islam sadarlah. Inilah salah satu bukti toleransi kami
sebagai muslim ke minoritas, sayangnya hanya sedikit minoritas yang faham hal
ini.(jk/pi)

YS/IslamIndonesia/Diterbitkan atas izin penulisnya


(Sumber: https://islamindonesia.id/kolom/esai-pokoknya-islam-harus-kalah.htm)

https://islamindonesia.id 113
Saturday, 09 September 2017
SIKLON DAN ANTI-SIKLON DI YOGYA (KERIS KOK
BAWAHAN PEDANG)
Oleh: Emha Ainun Nadjib

islamindonesia.id – ESAI – Siklon dan Anti-Siklon di Yogya (Keris Kok Bawahan Pedang)

Makin banyak orang bertanya kepada saya: kok kayaknya ada sesuatu di Yogya?
Bagaimana saya menjawabnya? Apakah saya punya hak atau kewajiban untuk
menjawabnya? Apakah saya punya pengetahuan untuk menjawabnya? Andaikan
saya sedikit tahu tentang itu, lantas menjawabnya: jangan-jangan itu bukan
pengetahuan saya, melainkan pendapat saya.

Dan kalau itu pendapat saya, jangan-jangan itu ternyata adalah bias dari posisi
saya, dari selera saya, atau malah dari kepentingan saya. Kemudian kalau ternyata
itu bias, bagaimana kalau kemelencengan atau pembiasan itu berasal dari
ketidaklengkapan informasi yang saya peroleh dari luar. Atau malah merupakan
produk dari prasangka dari dalam diri sendiri. Lebih parah lagi kalau prasangka itu
ternyata hasil dari takhayul atau pengkhayalan subjektif dalam diri saya.

https://islamindonesia.id 114
Kalau dari obrolan di angkringan, diskusi di forum, atau di koran dan media lain di
Yogya saya mendengar kata mangku, paugeran, buwono, sabda, diskriminasi,
wangsit, raja, bumi, perempuan, bawono, wahyu, konstitusi, laki-laki, sultanah,
kaum, keraton, mahkamah, bebener, putusan, pranatan, pepener, kaisar, dalem,
merah, kokoh, hukum – lantas dalam pikiran saya muncul refleksi, analisis atau
pandangan: apakah saya bisa menjamin bahwa refleksi saya itu tidak bias? Yang
siapa tahu merupakan keluaran dari komplikasi panjang pengetahuan sejarah
subjektif saya?

Lebih parah lagi: bagaimana kalau ekspresi dan sosialisasi kata mangku, paugeran,
buwono, sabda, diskriminasi, wangsit, raja dan semua itu ternyata juga bias?
Bagaimana kalau berbagai kata itu diungkapkan oleh berbagai pihak Keraton Yogya,
Mahkamah Konstitusi, wartawan, para ahli dan siapapun – ternyata juga bias? Bias
pemahaman? Bias pengetahuan? Bias ilmu? Bias interpretasi? Bias pola pandang?
Bias resolusi pandang? Bias kepentingan pandang?

Bagaimana kalau orang mengungkapkan, kemudian orang lain menerima atau


menolak, dan akhirnya orang-orang lainnya lagi memperdebatkan – misalnya – kata
buwono dan bawono, sabda dan wahyu, wangsit dan hidayah dan berbagai kata
lagi: ternyata adalah festival bias? Parade takhayul? Pesta kegagalpahaman?
Kenduri ketidakmengertian? Tumpengan ketidaklengkapan? Bahkan turnamen
ketidakterdidikan? Lalu berikutnya, tatkala saya mencoba menjelaskan bahwa itu
semua ternyata bias dan takhayul subjektif masing-masing pihak: ternyata
penjelasan saya itu juga adalah bias, kegagalpahaman, ketidakterdidikan?

Siapa yang menentukan sesuatu itu bias atau tidak? Siapa “pancer” yang bisa
menjadi rujukan untuk memfatwai kata ini itu takhayul atau bukan? Siapa yang
memegang pendapat final dan pasti benar bahwa suatu ungkapan itu ngawur atau
tidak? Sebagaimana keributan soal hoax, siapa yang bisa dipercaya secara
keilmuan, secara kejujuran dan secara kemurnian – bahwa kabar itu hoax atau
bukan hoax? Bagaimana kalau pengumuman tentang hoax ternyata adalah juga
hoax?

Pada akhirnya yang berlangsung dan menjadi fakta sejarah adalah kekuatan dan
kekuasaan. Yang menjadi realitas adalah penguasa. Pemerintah yang mengambil
keputusan final bahwa ini hoax dan itu bukan hoax. Dan pada kondisi
kepemerintahan tertentu, ketetapannya tentang hoax sangat mungkin justru
merupakan yang paling hoax dari segala hoax. Masyarakat berada di tempat yang
sangat jauh dari kebenaran yang jernih, pengetahuan yang jujur, serta perlakuan
yang bijaksana. Sebab yang menimpa, mengepung dan menindih masyarakat
terutama adalah kekuasaan.

https://islamindonesia.id 115
Jadi, ketika orang bertanya ada apa sebenarnya di Yogya, jawaban maksimal saya
adalah: Sedang ada lesus. Angin siklon dan Antisiklon. Semacam puting beliung.
Menerbangkan dan memutar-mutar ratusan kata sehingga tak menentu arahnya.
Kata-kata bertaburan tanpa kejelasan patrap kawruh-nya, hampir tak bisa ditemukan
maqam maknawi, susah diidentifikasi bebener pepener-nya, ketlingsut konteksnya,
kabur titik-titik koordinatnya, serta bagai hampa ruang dan waktunya.

Ada sabda, ada buwono dan bawono, ada wangsit, dan banyak lagi kata yang
bercampur kabut di alam pikiran dan semesta batin Yogya. Kata dan kata
diucapkan, ditulis sebagai surat keputusan, tanpa dunung, tanpa sangkan paran,
tanpa sanad, tanpa matan, tanpa asbabul-kalam, tanpa hulu. Seribu sungai mengalir
tidak ketahuan di mana mata airnya, dan tidak ada yang mencari akan sampai di
mana sungai itu bermuara. Hujan turun diawali gerimis tanpa diketahui titik-titik air itu
tumpah dari angkasa mana dan dari ketinggian berapa.

Kemudian gerimis semakin rapat titik-titik airnya, tanpa ada yang mengkonfirmasikan
apakah itu limpahan dari langit, ataukah sesungguhnya gerimis dari angkasa hati di
dalam diri manusia-manusia yang ditimpa gerimis. Waktu akan menyeretnya menuju
peningkatan gerimis menjadi hujan, lantas hujan menjadi hujan deras. Dan ketika itu
terjadi nanti, Keraton dan rakyat Yogya akan hanya menjadi orang-orang yang
basah kuyup oleh hujan. Basah kuyup karena tak menyiapkan payung. Juga tidak
mengembangkan pengetahuan dan penguasaan atas asal-usul dan konstelasi
hujan.

Tak sampai sebulan sesudah proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia, pada 5


September 1945, Sultan HB IX dan Adipati Pakualam VIII mengeluarkan
pernyataan:“Kami Hamengku Buwono IX, Sultan Negeri Ngajogjakarta Hadiningrat
menjatakan: Bahwa Negeri Ngajogjakarta Hadiningrat jang bersifat keradjaan adalah
daerah istimewa dari Negara Republik Indonesia. Bahwa kami sebagai Kepala
Daerah memegang segala kekuasaan dalam Negeri Ngajogjakarta Hadiningrat, dan
oleh karena itu berhubung dengan keadaan pada dewasa ini segala urusan
pemerintahan dalam Negeri Ngajogjakarta Hadiningrat mulai saat ini berada di
tangan kami dan kekuasaan-kekuasaan lainnja kami pegang seluruhnya. Bahwa
perhubungan antara Negeri Ngajogjakarta Hadiningrat dengan Pemerintah Pusat
Negara Republik Indonesia, bersifat langsung dan Kami bertanggung djawab atas
Negeri Kami langsung kepada Presiden Republik Indonesia. Kami memerintahkan
supaja segenap penduduk dalam Negeri Ngajogjakarta Hadiningrat mengindahkan
Amanat Kami ini.”

Hujan angin semakin intensif meliputi Yogya, dengan putaran-putaran siklon dan
anti-siklon yang terus meningkat dari hari ke hari, dan “kami sebagai Kepala Daerah

https://islamindonesia.id 116
memegang segala kekuasaan dalam Negeri Ngajogjakarta Hadiningrat” – menjadi
batal ketetapan sejarahnya dan hapus substansi konstitusionalnya: karena “keris” 5
September 1945 itu menggeser posisinya di bawah kuasa “pedang” Mahkamah
Konstitusi NKRI.

Daerah Istimewa Yogya dengan “pancer” Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat


merendahkan dirinya atau menurunkan derajat sejarahnya menjadi semacam
Kadipaten, yang merupakan bawahan dari “Kerajaan Republik Indonesia”, sehingga
tidak lagi “memegang segala kekuasaan dalam Negeri Ngajogjakarta Hadiningrat,
dan oleh karena itu berhubung dengan keadaan pada dewasa ini segala urusan
pemerintahan dalam Negeri Ngajogjakarta Hadiningrat mulai saat ini berada di
tangan kami dan kekuasaan-kekuasaan lainnja kami pegang seluruhnya”.

Surabaya, 9 September 2017.

(Sumber: https://islamindonesia.id/kolom/esai-siklon-dan-anti-siklon-di-yogya-keris-kok-
bawahan-pedang.htm)

https://islamindonesia.id 117
Monday, 04 September 2017
PANCASILA SETENGAH HATI; SERI PANCASILA (14)
Oleh Emha Ainun Nadjib

islamindonesia.id – ESAI – Pancasila Setengah Hati; Seri Pancasila (14)

Tulisan ini rencananya berjudul “Khilafah Yesus”, tetapi tidak dengan setiap kata kita
siap bersilaturahmi. Beda satu huruf, bisa tawur. Habibi dicintai, kalau Habib dibenci,
padahal hanya huruf “I”, atau “I”nya ditaruh di sela huruf yang lain: Habaib – banyak
orang merasa ngeri. Indonesia sedang sangat berkabut. Penglihatan kita samar-
samar. Mau bela yang anti Allahu Akbar, ada maklum-maklum juga tapi salah. Mau
bela yang teriak Allahu Akbar, kebenarannya cedera oleh ketidaktepatan di baliknya.

Begitulah. Gara-gara sekilas saya menyebut tentang situasi Keraton Yogya hari ini,
sahabat-sahabat saya memprotes. Padahal saya belum menyebut Serat Suryorojo
HB-II yang diijtihadi oleh HB-V menjadi Serat Purwokondho, yang menyatakan
“kalau sampai Rajanya….maka Keraton akan ambruk”. Paugeran itu secara resmi
berlaku sampai hari ini. Belum lagi kalau melebar sampai ke Serat Srimpi

https://islamindonesia.id 118
Jemparingan, Serat Tapel Adam, Kitab Tuhfat An-Nafis, sampai Kiai Sangkelat, Kiai
Kopek dan Kiai Joko Piturun.

“Kenapa muatan tulisanmu tidak ditata dengan tertib. Kenapa lebay dengan
ketidakteraturan 1>8>2503>4>519, bukannya yang wajar saja: urut 1-2-3-4.
Kemudian kamu mencipratkan kata, idiom, konteks dan informasi yang tidak kamu
tuntaskan, sehingga menjadi PR bagi yang membaca?”, saya digugat.

Saya sendiri pun sering mempertanyakan kenapa tulisan-tulisan saya random dan
serabutan seperti hutan belantara. Kenapa tidak belajar menggambar kebun atau
taman, yang jelas pagarnya, jenis tanamannya, dalam dan luarnya. Kenapa konteks
tulisan saya melompat-lompat, materi tematiknya zig zag ke sana kemari. Kenapa
tidak belajar berdisiplin dengan pembatasan topik, lingkar famili informasi, rangka
dan perspektif yang gamblang?

Mungkin karena kita ceroboh dalam berkebun, sehingga sekarang makin jadi hutan
rimba. Mungkin kita tidak benar-benar menghormati taman, sehingga malah
Finlandia yang belajar kepada Tamansiswa. Kemudian kita meng-epigoni Finlandia,
lantas bikin fullday school, padahal Pesantren sejak dulu sudah full day and night
school.
Saya sendiri sedang menyelidiki ada kenakalan macam apa yang “loading” di dalam
diri saya. Sesudah erupsi gunung Merapi, di lerengnya sampai melebar ke wilayah
sekitar Merapi, tumbuh tanaman-tanaman baru yang sebelumnya tidak ada. Ada
sangat banyak benih kehidupan yang pengetahuan kita menyangka itu semua tidak
ada, serta ilmu kita berpendapat itu semua mustahil. Kalau yang sekarang
diwaspadai bukan Merapi melainkan Merbabu, yang selama ini dianggap sudah
tidak aktif – sesungguhnya yang berlangsung di alam dan kehidupan ini bukanlah
1>8>2503>4>519, melainkan SOP 1-2-3-4-5. Hanya saja kita menyangka kenyataan
hidup ini sebagaimana yang kita ketahui. Padahal jelas hakikat dan kasunyatan
hidup lebih banyak terletak di area yang tidak atau belum kita ketahui.

Mereka bertiga marah karena dalam tulisan saya menyebut mereka “sahabat”,
padahal sebenarnya kami adalah “saudara”, bahkan saudara kembar. Mereka lahir
bersamaan waktunya, bahkan menit dan detiknya.

Kami Sedulur-4, merupakan salah satu cipratan atau manifestasi dari yang-Maha-1,
dan menjalani kehidupan untuk di ujungnya nanti tidak meng-4 lagi, melainkan men-
1. Saya selalu menghindar untuk tidak menyebut men-1 itu dengan kata “Tauhid”.
Sebab semakin banyak kata yang bias, syubhat, bahkan najis, karena kegagalan
komunikasi nilai antara manusia.

https://islamindonesia.id 119
Kata “Tauhid” dipadatkan menjadi “Islam”. Yang direduksi pula menjadi “Agama
Islam”. Kemudian dipersempit menjadi Ummat Islam. Dikeping-kepingkan lagi
menjadi Ahlussunnah Waljamaah, Syiah, NU, Muhammadiyah, HTI, Majelis Ulama
dan banyak lagi. Yang semua itu dilembagakan, dikasat-matakan, dimaterikan,
diduniawikan.

Kalau satu kata terpeleset atau dipelesetkan oleh pelaku ilmu, produknya adalah
kebenaran menjadi cedera. Kalau dilakukan di ranah moral, kebaikan menjelma
keburukan. Kalau terjadinya di ‘walayatur-ruh’, area rohani, anak panah kehidupan
tidak meluncur dan menancap di jantung cinta hati Tuhan. Kalau kasusnya fiqih,
hasilnya najis. Kalau perka

ranya hukum, buahnya ketidakadilan. Kalau dalam olahraga, namanya tidak sportif.
Kalau dalam musik, itu fals sebutannya. Kalau meleset persuami-istrian, tidak jadi
hamil.

Orang men-Sunni, agar Islam pelakunya lebih Islami. Juga Syiah, NU,
Muhammadiyah, adalah tarikat atau sarana agar Muslim lebih meng-Islam. Tetapi
keterpelesetan kata bisa membuat orang memprimerkan Sunni-Syiah NU-
Muhammadiyah dibanding Islam. Mereka tak mau kehilangan korpsnya, kalau perlu
dipertahankan dengan cara melanggar Islam. Membubarkan HTI merasa telah
menumpas Khilafah. Organisasi dipadankan dengan esensi dan substansi. Tubuh
diidentikkan dengan ruh. Jasad dianggap sama dengan nyawa. Karena terpeleset
mengidentikkan Khilafah = HTI, maka kegembiraan HTI bubar dipahami sebagai
berakhirnya Khilafah. Anti HTI = anti Khilafah.

Ketika Tuhan mengumumkan kemauan-Nya tentang Khilafah, Ia tidak menyebut


individu (Adam). Atau tingkat kualitas kepribadiannya (Nabi Adam). Juga bukan
jabatannya di bumi (Rasul Adam). Tuhan langsung menyebut fungsi manajerialnya,
tata kelolanya, skala tanggung jawabnya: yakni Khalifah. Tapi karena peradaban
ahmaq, penglihatan mata kuda, persepsi sepenggal, kompor tanpa sumbu – gara-
gara capek oleh “kementhus”-nya kader-kader HTI di kampus-kampus dan
kampung-kampung: orang lantas anti-Khilafah.
Orang bikin tempe tanpa ingat bahwa kedelai bikinan Tuhan. Orang tak mau makan
gethuk lantas anti ketela. Orang pegang gadget lupa siapa yang menciptakan logam,
SOP frekuensi, ide tentang jarak dan resonansi. Tetapi mungkin itu terlalu jauh.
Yang urusan hardware dan materialisme perekonomian saja Nenek kita bikin
sambal, Konimex Belanda dan restoran Cina yang memproduksi: kita yang beli.
Pemuda-pemudi bikin sepatu, celana, baju, dikirim ke Italia, distempel “bukan made
in Indonesia”, lantas kita yang beli.

https://islamindonesia.id 120
Orang makan kolak isi pisang, nangka, ketan dan ketela – mengklaim bahwa pisang
nangka ketan ketela adalah kelompok-kelompok anti-Kolak. Mengibarkan bendera
Pancasila, pikirannya steril, tidak tahu bahwa di dalam bendera itu terdapat
Kejawen, Kebatinan, Budha, Hindu, Kristen, Islam, local wisdom dan substansi
peradaban sejak puluhan abad silam.

Bagaimana ummat manusia abad 21 ini, apa yang bisa diandalkan dan diharapkan
dari mereka. Berjuang, kerja keras, Jihad, diresmikan = terorisme. Mushaf disebut
Al-Qur`an. Bekerja, berbuat, amal, diartikan sedekah. Bikin Negara tapi pasar bebas.
Mendirikan pagar tapi merobohkan pagarnya sendiri. Memeluk Agama tapi
meributkan institusinya. Omong berbusa-busa tentang Ketuhanan Yang Maha Esa
tapi tidak memperjelas bahkan tidak punya konsep ketuhanan. Seolah-olah
Pancasila mensila-pertamakan Tuhan, padahal yang diambil cuma sifat-Nya, bukan
Maha Subjeknya. Tidaklah sama Putih dengan Keputihan. Sangatlah berbeda antara
Malu dengan Kemaluan.

Tidak dipikirkan kalau Esa atau Eka ada Dwi, Tri, Catur dan Pancanya. Beda
dengan Tunggal, tiada duanya, apalagi tiganya. Sudah terlanjur bukan Ketuhanan
Yang Maha Tunggal. Disangka Ika adalah satu, lantas memberi anjuran nasional
“Mari kita jaga Ke-Bhinneka-an dan Ke-Ika-an kita”. Para pakar tidak menolong
Negara dengan menjelaskan bahwa Ika bukan Satu. Kenapa ada dua N dalam
Bhinneka. Kalau Bhinneka sudah Tunggal, ia bukan Bhinneka lagi. Kalau Bhinneka
Esa atau Bhinneka Eka, lebih rasional dan aplikatif. Apa perlu Ika di ujungnya kalau
yang dimaksud adalah Bhinna Itu (iko, kuwi, itu) Eka.
What is in a name. It’s just a word. Proklamator kita adalah Bung Karjo, penerusnya
Presiden Suharti. Hantu ditakuti, Tuhan dicurigai. Kecuali orang Madura salah ucap
Indonesia menjadi Indonasua, Sumpah Lapa-lapa menjadi Palapa, Internet menjadi
Eternit, Gus Dur menjadi Gus Dor, atau kota Ronto-ronto menjadi Toronto, atau
pelesetan menjadi peli-setan. Mending selamatkan anak-anak dengan menyebut
“pentung” jangan “il”, “tempolong” jangan “ik”, atau ikan “tongkol” jangan dibalik.

Jadi kenapa “saudara” disebut “sahabat”? Kembali ke serbuan para “sahabat” saya
di atas, dan saya tuntaskan.

Seberapa penting bagi manusia sekarang persahabatan dan persaudaraan? Apa


manusia sekarang merasa perlu mempelajari “keanehan” kenapa Adam Syafi’ullah
(evakuator) Allah? Ibrahim “Kholilullah” sahabat karib Allah? Ismail “Dzabihullah”,
sembelihan Allah? Nuh “Najiyullah” pengharap rahmat Allah? Musa “Kalimullah”
jubirnya Allah? Isa (Yesus) “Khalifatullah”, pemegang mandat Khilafah dari Allah?

https://islamindonesia.id 121
Apa penting ada kurikulum yang mengolah pendidikan persaudaraan dan
persahabatan di Sekolah dan Universitas? Pelajaran tentang hewan saja Guru-guru
banyak memilih memperkenalkan Dinosaurus, bukan Bebek dan Ayam sahabat para
murid sehari-hari. Kita tidak realistis terhadap diri kita sendiri, yang disebut kemajuan
adalah mimpi dan mitologi untuk menjadi orang lain. Kita tidak serius terhadap beda
keberangkatan budaya dari abjad, huruf dan aksara. Kepada Tuhan kita juga main-
main. Terhadap Pancasila kita setengah hati.

(Bersambung)

YS/ IslamIndonesia/ Diterbitkan atas izin penulisnya

(Sumber: https://islamindonesia.id/kolom/esai-pancasila-setengah-hati-seri-
pancasila-14.htm)

https://islamindonesia.id 122
Saturday, 02 September 2017
MANFAAT MOMENTUM KURBAN UNTUK REORIENTASI
DUNIAWI PEMIMPIN DAN POLITISI

islamindonesia.id – Manfaat Momentum Kurban untuk Reorientasi Duniawi Pemimpin dan Politisi

Hari Raya Idul Adha atau juga yang dikenal dengan Idul Qurban bagi umat Islam
merupakan hari raya yang penuh dengan makna historis, sosial, maupun filosofis.

Secara historis Idul Qurban lahir dari adanya rasa ikhlas Nabi Ibrahim as beserta
anaknya yaitu Nabi Ismail as, untuk menjalankan apa yang diperintahkan oleh Allah
SWT.

Bagi Nabi Ibrahim, upaya mengikhlaskan anaknya Ismail untuk dikurbankan dapat
menjadi sebuah ujian yang sangat berat, karena pada hakikatnya beliau sudah lama
menantikan seorang anak yang diharapkan dapat menjadi generasi penerusnya.

Namun karena itu adalah perintah dari Allah SWT, maka keduanya kemudian saling
meneguhkan hati untuk menjalankan apa yang diperintahkan. Rasa ikhlas hati itulah
yang kemudian membuat Allah SWT, memerintahkan keduanya untuk menggantinya
dengan menyembelih hewan kurban.

Rasa ikhlas dan mau berkorban itulah yang kemudian menjadi contoh baik dalam
sejarah Islam, bagaimana ketaatan seorang manusia terhadap Sang Pencipta perlu
selalu diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.

https://islamindonesia.id 123
Atas peristiwa itu pula kemudian Allah SWT, memerintahkan Nabi Muhammad SAW,
untuk menceritakan kisah Nabi Ibrahim as, dan Nabi Ismail as, kepada umatnya
(dalam QS Maryam [19]: 54; dan QS Ash-Shafaat [37]: 103, 104, 107).

Atas dasar itulah maka hingga saat ini umat Islam selalu dapat mengenang sejarah
dan makna dari Idul Qurban. Namun demikian makna Idul Adha atau kurban
sejatinya tidak hanya bagaimana mengenang sejarah keikhlasan serta rela
berkorban Nabi Ibrahim as dan putranya Nabi Ismail as, tetapi juga bagaimana
kemudian dari kurban itu muncul nilai-nilai sosial yang dapat diambil pelajarannya.

Dengan berkurban kita mengimplementasikan nilai-nilai sosial dengan diharuskan


peka terhadap kondisi masyarakat di sekitar, untuk kemudian mau membagi hasil
dari kurban kepada saudara-saudara yang tidak mampu.

Proses berbagi ini tentunya diyakini juga dapat menumbuhkan rasa kebersamaan di
antara sesama di tengah masyarakat, tidak boleh ada perasaan bahwa yang kaya
atau memiliki jabatan adalah lebih tinggi derajatnya daripada yang lain.

Bagi seorang politisi yang beragama Islam, sejatinya Idul Adha atau Idul Qurban
juga harus dapat dijadikan sebagai sebuah momentum perubahan dalam rangka
peningkatan keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT.

Kurban harus dapat diterjemahkan sebagai sebuah upaya dalam rangka


menumbuhkan rasa ikhlas dalam bekerja dengan diniatkan sebagai ibadah, ketika
rasa ikhlas sudah muncul maka potensi-potensi untuk melakukan penyimpangan
dalam melakukan pekerjaan dapat disingkirkan.

Di sisi lain kurban juga harus dapat memunculkan sikap kepekaan sosial seorang
pemimpin dan politisi, yaitu dengan jabatan yang dimilikinya mereka harus dekat
dengan rakyat serta harus mau berbagi.

Hakikat berpolitik memang lekat dengan upaya meraih kekuasaan, namun demikian
kekuasaan tanpa rakyat adalah sebuah kemustahilan.

Dalam sebuah negara demokrasi, rakyat secara formal dianggap sebagai pemegang
kedaulatan dan kekuasaan tertinggi, bahkan ketika pelaksanaan Pemilu, rakyat
selalu menjadi objek yang didekati oleh partai politik maupun politisi.

Sayangnya hanya sedikit politisi dan pemimpin yang kemudian memang benar-
benar peduli terhadap nasib rakyat, ini mengindikasikan bahwa nilai kurban belum
diresapi secara utuh oleh sebagian besar politisi dan pemimpin di negeri ini.

https://islamindonesia.id 124
Kurban bagi sebagian politisi dan pemimpin masih sebatas dimaknai sebagai
sebuah ritual menyembelih hewan kurban dan perayaan keagamaan dalam satu
waktu.

Boleh dikatakan hingga saat ini belum sepenuhnya ada sinkronisasi antara aktivitas
berkurban melalui penyerahan dan penyembelihan hewan dengan nilai-nilai dari Idul
Qurban itu sendiri. Masih ada politisi dan pemimpin Muslim yang kemudian
tersangkut kasus korupsi dan menyalahgunakan jabatan.

Ketika seorang politisi dan pemimpin Muslim terlibat sebuah kasus korupsi dan
penyalahgunaan wewenang maka ada orientasi duniawi yang sesungguhnya belum
berhasil dia selesaikan, sebab rasa ikhlas dan menjadikan pekerjaan sebagai ibadah
belum menjadi bagian yang menyatu dalam diri dan jiwanya.

Esensi nilai kurban apabila diterapkan secara benar dalam politik maka seharusnya
dapat mengubah orientasi duniawi seorang politisi atau pemimpin, alasannya bahwa
kurban mengajarkan dan mencontohkan bagaimana manusia harus memiliki
keikhlasan dan kepekaan sosial.

Seorang politisi dan pemimpin yang berkurban seharusnya dapat meresapi makna
tersebut, yaitu bagaimana rasa saling berbagi itu dapat diimplementasikan dalam
keseharian kehidupannya.

Ketika rasa berbagi berhasil diresapi maka orientasi dalam menjalankan pekerjaan
akan tertuju kepada kepentingan rakyat, ketika yang bersangkutan kemudian
menjadikan profesi dan keahliannya sebagai ladang untuk beramal dan beribadah.

Seorang politisi dan pemimpin dalam Islam memang sudah sepatutnya selesai
dengan urusan orientasi duniawinya, sehingga keahlian dan pekerjaan yang
dilakukannya perlu sepenuhnya diniatkan untuk kepentingan umat.

Ketika umat atau rakyat diperhatikan dengan baik, dan antara rakyat dengan
pemimpin tidak ada batasan sosial, bukan tidak mungkin Indonesia akan menjadi
negara yang maju, sejahtera dan berkeadilan.

Semoga dengan Idul Adha dan diresapinya nilai-nilai kurban maka perubahan yang
positif akan terjadi di Tanah Air.

EH / Islam Indonesia
(Sumber: https://islamindonesia.id/kolom/manfaat-momentum-kurban-untuk-
reorientasi-duniawi-pemimpin-dan-politisi.htm)

https://islamindonesia.id 125
Thursday, 31 August 2017

KURBAN: MENDEKAT KEPADA TUHAN, BERBAGI


KEBAJIKAN PADA SESAMA

islamindonesia.id – Kurban: Mendekat Kepada Tuhan, Berbagi Kebajikan Pada Sesama

Besok merupakan Hari Penyembelihan (yaum an-nahr) atau dikenal dengan Idul
Adha atau Hari Raya Kurban yang dikenal juga oleh orang-orang Jawa sebagai
“Rayagung” (Hari Raya Besar).
Idul Adha memang semestinya lebih istimewa dari Idul Fitri, karena selain waktunya
yang lebih panjang hingga 3 hari (tasyriq), Hari Penyembelihan memiliki keterkaitan
sejarah yang membumi, menjadi ritual seluruh umat manusia sejak zaman agama
pagan: mempersembahkan atau mengurbankan hewan demi sesembahannya.

Praktik paganisme ini kemudian diperbaiki oleh Nabi Ibrahim AS, ketika kurban yang
disembelih dan dipersembahkan kepada Tuhan, jusrtu dagingnya harus dimakan
bersama orang lain dan dibagikan. Ibrahim mengajarkan sedekah sosial melalui
kurban, karena kurban semata-mata bukan hanya persembahan kepada Tuhan,
tetapi juga momen berbagi dengan orang lain. Di saat paganisme
mempersembahkan hewan dan darahnya kepada para dewa, dan hewan dibiarkan
busuk, Ibrahim memperbaiki dan meluruskan praktik kurban secara paganis.

https://islamindonesia.id 126
Melihat dari asal katanya, “qoriba” dalam bahasa Arab yang kemudian dibendakan
(mashdar) menjadi “qurban” lekat juga maknanya dengan istilah “kurban” yang oleh
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) disebut sebagai “persembahan kepada Allah
(seperti biri-biri, sapi, unta yang disembelih pada hari lebaran haji“. Tujuan
mempersembahkan kepada Tuhan, jelas karena seseorang merasa jauh kemudian
ingin lebih mendekatkan (taqarrub) dirinya dan sarana yang sesuai dengan tradisi
keagamaan adalah persembahan hewan yang disembelih atas nama Tuhan. Kurban
hanyalah satu dari sekian banyak sarana menuju kedekatan seseorang dengan
Tuhannya. Terlebih kurban mencakup dua makna sekaligus: mendekatkan diri
kepada Tuhan dan juga masyarakat.

Penyembelihan dalam ajaran Islam benar-benar sangat manusiawi dan


“berperikebinatangan”. Di saat kita diserbu oleh berbagai produk daging kemasan
yang tidak yakin bagaimana cara penyembelihannya. Kita mungkin tak asing dengan
praktik penyembelihan yang begitu sadis yang viral tersebar di media sosial, tanpa
ada rasa sedikit pun dan tanpa berpikir bahwa binatang juga makhluk hidup yang
perlu dihormati, para jagal tak ragu-ragu memenggal tanpa menyembelih. Atau,
banyak sekali cara penyembelihan yang bagi saya tak pernah memuliakan hewan,
padahal mereka juga sama dengan kita, makhluk Tuhan. Ibrahim lah yang
mengajarkan kepada manusia, bagaimana menghargai binatang sembelihan,
menyebutkan nama Tuhan ketika hendak disembelih, dan meyakini bahwa itu
adalah perintah dari Tuhan.

Tradisi penyembelihan ini terus berlanjut, hingga sampai di masa Rasulullah, satu-
satunya Nabi yang berasal dari garis keturunan Ismail, putra Nabi Ibrahim yang
diperintahkan Tuhan untuk disembelih. Rasulullah jelas orang yang sangat
memuliakan hewan, terlebih hewan sembelihan.

Dalam salah satu hadis yang berasal dari Muslim dijelaskan, bahwa
beliau menyatakan, “Sesungguhnya Allah mewajibkan berbuat baik dalam segala
hal. Jika kalian membunuh, bunuhlah dengan cara baik, jika kalian menyembelih,
sembelihlah dengan baik. Hendaknya kalian mempertajam pisaunya dan
menyenangkan sembelihannya“. Menyenangkan hewan sembelihan, berarti
memuliakannya, tidak meninggalkan rasa takut sedikit pun terhadap hewan yang
akan disembelih.

Seluruh daging kurban yang disembelih secara baik dan menyebutkan nama Tuhan
di dalamnya, dibagikan kepada khalayak, tak terkecuali, melampaui batas-batas
sosial, agama dan keyakinan. Siapapun berhak memperoleh daging kurban yang
disembelih secara terhormat di hadapan Rumah Tuhan. Kurban tak mengenal sekat

https://islamindonesia.id 127
agama dan keyakinan karena dagingnya jelas peruntukannya, bukan untuk pribadi
yang berkurban, tetapi dijadikan sedekah sosial.

Barangkali hampir sulit ditemukan tradisi yang berasal dari paganisme tetapi masih
dipraktikkan hingga saat ini, kecuali masyarakat Muslim yang meyakini bahwa Idul
Adha adalah hari raya besar penyembelihan sebagai bukti persembahan seseorang
kepada Tuhannya. Islam dengan demikian sangat menghormati tradisi dan
menjunjung tinggi ajaran-ajaran para leluhurnya. Maka akan sangat aneh, jika ada
sebagian kecil umat Muslim yang justru masih mempersoalkan tradisi, atau ritual
keagamaan dalam masyarakat, padahal praktik kurban adalah tradisi atau ritual
kuno yang juga dijalankan oleh seluruh agama. Islam, menurut saya adalah agama
yang paling menghargai dan menghormati tradisi, karena bisa dipastikan seluruh
tradisi yang berasal dari agama lainpun, diadopsi dan dimodifikasi sesuai syariat
Islam, termasuk puasa dan ibadah haji.

Memaknai kurban sebagai sarana mendekatkan diri kepada Tuhan dan sekaligus
melekatkan ikatan-ikatan sosial, justru akan mempertegas citra agama bukan
semata urusan pribadi, tetapi bagaimana dapat merekatkan ikatan sosial dengan
tanpa menganggu sarana kedekatan dirinya dengan Tuhan. Orang yang berkurban
pasti karena ingin mempersembahkan kepada Tuhannya, tetapi di saat bersamaan
keinginannya untuk berbagi dengan pihak lain juga menguat.

Di sinilah barangkali bentuk nyata yang diistilahkan bahasa agama sebagai “hablum
mina allah wa hablum mina an-naas” (hubungan simultan antara manusia dengan
Allah dan sesamanya). Kedua hubungan ini harus seimbang dibangun, karena
ketika salah satunya timpang akan sangat mengganggu dinamika keseimbangan
kehidupan manusia.

Momen penyembelihan hewan kurban yang bertepatan dengan bulan ketika seluruh
umat Muslim melakukan ibadah haji juga memiliki makna kedekatan sosial yang
sama. Ketika para jemaah haji berkumpul di Arafah justru disadarkan akan sebuah
ikatan sosial yang begitu agung dalam balutan egalitarianisme atas nama Tuhan.
Mereka dilarang berbuat buruk dan kerusakan selama berhaji tetapi diarahkan untuk
membangun kedekatan sosial.

Oleh karena itu, wajar ketika Rasulullah menganggap bahwa “haji mabrur” itu
identitas tertinggi yang disematkan kepada seorang Muslim, bukan karena ia selesai
melaksanakan ritual haji, tetapi kata “mabrur” sejatinya mengandung kesempurnaan
dari seluruh rukun Islam yang terpenuhi dengan baik. Kata “mabrur” yang terambil
dari kata “birr” bermakna kebajikan yang lekat dengan kegiatan-kegiatan sosial.

https://islamindonesia.id 128
Berkurban pada hari raya Idul Adha, bukan semata-mata karena seseorang
“mampu” berkurban, tetapi ada keinginan yang kuat dalam dirinya agar bisa lebih
dekat dengan Tuhannya dan sekaligus lebih dekat dengan sesamanya. Kurban
adalah “dekat”, menyatunya seseorang dalam ranah fisik dan metafisik,
keseimbangan (equilibrium) antara kemanusiaan dan ketuhanan. Kurban justru akan
kehilangan maknanya jika sekadar memenuhi tuntutan sosial dan rugi jika identitas
sosialnya dipermalukan karena tidak berkurban.
Keingingan berkurban jelas, karena ini adalah sarana pendekatan dirinya dengan
Tuhan dan juga sesama manusia. Dirinya “bersedekah” kepada Tuhan dan
sekaligus sedekah sosial yang akan merekatkan ikatan-ikatan sosial. Berkurbanlah,
atas rasa syukur kepada nikmat Tuhan yang ditunjukkan dengan membangun ikatan
sosial secara lebih baik. Wallahu a’lam.

EH / Islam Indonesia – Sumber: Kurban dan Sedekah Sosial

(Sumber: https://islamindonesia.id/kolom/kurban-mendekat-kepada-tuhan-berbagi-
kebajikan-pada-sesama.htm)

https://islamindonesia.id 129
Thursday, 31 August 2017

SAKTI, AHMAQ, ATAU KALAP; SERI PANCASILA (10)


Oleh: Emha Ainun Nadjib

Di tengah semacam perdebatan tentang Pancasila, ia malah memberi tawaran aneh:


“Atau batalkan atau hapus saja Pancasila dari nilai keIndonesiaan, saya malah
merasa aman kalau balik ke Indonesia”

“Lho, gimana to…”, tentu saja saya bingung.

“Sebab muatan Pancasila itu akhlak semua, sementara yang diperjuangkan


Indonesia adalah materialisme”

“Aduh”

“Pancasila itu prinsipnya pembangunan manusia, bukan pembangunan Negara:


manusia yang adil dan beradab. Gedung-gedung tinggi, kecanggihan teknologi dan
kehebatan peradaban materiil hanya arena untuk memperjuangkan keberadaban
manusia dan keadilan di antara mereka”

“Walah”

“Pancasila itu goal-nya keadilan sosial, bukan kemajuan fisik, bukan kemakmuran
atau kekayaan”

“O jadi anti-materi ini ceritanya?”

“O tidak. Anti-materi itu lucu, tidak nalar dan haram. Tapi kalau menyembah materi
lebih konyol lagi. Materi itu ‘washilah’, perangkat atau sarana. Bukan ‘ghoyah’,
bukan tujuan, bukan sesembahan yang dituhankan sebagaimana dalam kasus
materialisme. Yang ditempuh Indonesia adalah materialisme dan hedonisme, maka
mesin yang dipakai adalah kapitalisme liberal. Sedangkan Pancasila
mengutamakan bebrayan antar manusia: permusyawaratan, perwakilan, hikmat
kebijaksanaan”

“Ampun…”, sementara saya belum membantah.

https://islamindonesia.id 130
“Kalau pinjam istilahnya penyair Taufiq Ismail: yang diselenggarakan secara penuh
gairah oleh Indonesia adalah Keuangan Yang Maha Esa. Sementara Pencasila
menegakkan benang basah di Indonesia: Ketuhanan Yang Maha Esa”

“Ya nggak segitu-gitu amat….”

“Berapa kali saya ulang-ulang dalam pembicaraan kita: kalau pakai Pancasila,
berarti pemegang saham primernya, bahkan absolut, adalah Tuhan. Maka semua
ketetapan langkah, orientasi arah, program pembangunan, kebijakan dari atas
hingga bawah — mengacu pada konsep Tuhan dalam menciptakan manusia,
daratan, lautan, gunung, hutan, kandungan bumi, dan semuanya”

Saya biarkan dia menuntaskan kata-katanya.

“Maka Kitab Utama Kebangsaan Indonesia, kalau pakai Pancasila, adalah semua
kepustakaan yang berasal dari Tuhan. Terserah apa Taurat, Zabur, Injil, Al-Qur’an,
Bagawadgita, atau apapun. Perlu ada proses verifikasi dan identifikasi yang mana
yang otentik dari Tuhan, dan mana yang sudah diamandemen oleh manusia”

Agak mengerikan juga kalau itu semua digulirkan.

“Makanya saya tawarkan Catur Sila saja. Hapus Sila Pertama, daripada ruwet
berurusan dengan Tuhan. Tapi kemudian saya pikir lebih lanjut: empat Sila yang lain
juga merepotkan. Mana mungkin habitat politik nasional dan budaya kependidikan
kita ditabrakkan dengan kemanusiaan yang adil dan beradab. Mustahil Parpol-parpol
dan Ormas-ormas, bahkan konstelasi ketokohan nasional dari berbagai latar
belakang dituntut membangun Persatuan Indonesia. Lha wong mereka berhenti
pada kebenaran masing- masing, tidak meneruskan langkahnya ke kebijaksanaan
bersama. Mereka pikir kebenaran adalah puncak nilai hidup. Padahal kebenaran
hanyalah salah satu input, alat, bekal, modal atau perangkat untuk bersama-sama
mencapai hikmat kebijaksanaan”

Abracadabra!

“Begitu kalau Pancasila. Makanya sekarang ini Pancasila malah menjadi sumber
pertengkaran dan perpecahan. Setiap kelompok mengklaim dirinya Pancasilais dan
Pro- NKRI, dengan menyimpulkan dan menuduh bahwa yang bukan mereka adalah
anti-Pancasila dan tidak Pro-NKRI. Jadi untuk apa Pancasila? Kalian ini seperti
anak-anak kecil yang berebut mobil, padahal sama-sama belum bisa nyetir”

Hwarakadah!

https://islamindonesia.id 131
“Mbok sudah, mobilnya taruh dulu di garasi. Sekarang sinau bareng bikin gerobak
dan belajar naik sepeda”

Lama-lama jadi menyakitkan kata-kata sahabat saya ini.

“Kalian para NKRI ini kan anak bungsu Bangsa Indonesia. Masih terlalu muda
usianya. Sama sekali belum matang. Bahkan tidak ada tanda-tanda bahwa kalian
ingin matang sebagai manusia, apalagi matang sebagai bangsa. Yang kalian
inginkan kan bagaimana menjadi kaya. Yang kalian perjuangkan kan bagaimana ikut
berkuasa. Sudahlah ngaku saja. Nggak usah sok Pancasila”

Benar-benar makin memanjang penderitaan telinga dan hati saya.

“Anak bungsu penuh gaya, pethitha-pethithi, merasa paling pandai dan hebat di
tengah Bapak Ibu bangsanya sendiri, tapi membungkuk-bungkuk rendah diri di
depan orang lain. Kalau orangtua bilang ‘Jadi dirimu sendiri dulu’, kalian teriak:

“Kami bukan kaum Xenophobia. Kami bukan jago kandang. Kami membuka pintu
lebar-lebar bagi globalisasi dan masuknya tamu-tamu dari luar, karena kami perlu
belajar, transformasi pembangunan, alih teknologi, kita harus mengejar
ketertinggalan dari bangsa- bangsa lain. Sementara para inovator ilmu dan teknologi
kalian sia-siakan, bahkan kalian buang atau bunuh kariernya. Para jenius ilmu, para
penemu, para perintis masa depan, para mujtahid cahaya esok hari, anak-anak
muda kreatif di berbagai bidang, malah dicurigai oleh Pemda dan ditangkap oleh
Polsek”

Saya relakan mendengarkannya sampai kapanpun dan seberapapun sengsaranya


hati saya.

“Katakanlah untuk sementara saya setuju dengan globalisasi kapitalisme liberal,


pasar bebas yang merobohkan pagar Negara, bahkan tak apa kalian munafiki itu
semua dengan pseudo-Pancasila. Tapi kalau gerbang kedaulatan kalian copot dan
pagar kenegaraan kalian robohkan seperti sekarang — saya akan mengetuk pintu
rumahmu — ketika sudah tuntas kalian anak bungsu remaja puber ini ditelan
mentah-mentah oleh raksasa neo-kolonialisme yang sekarang kalian sambut
dengan berbinar-binar seperti menyongsong kekasih….”

Ternyata belum selesai.

“Kalian anak-anak bermain air becek di bawah hujan deras. Kalian tak merasakan
sedang menderita komplikasi bermacam-macam penyakit yang hampir mustahil

https://islamindonesia.id 132
disembuhkan. Kalau tugas utama kepemimpinan adalah menyelesaikan masalah,
maka saya sangat kagum kepada orang yang mau, bahkan meminta-minta, untuk
menjadi pemimpin nasional. Kemungkinannya ada tiga. Pertama, pasti itu orang
sakti mandraguna. Kedua, Ahmaq, tak mengerti masalah dan tidak mengerti bahwa
ia tidak mengerti masalah. Ketiga, itu orang kalap oleh ambisinya.

(Bersambung)

YS/ IslamIndonesia/ diterbitkan atas izin penulisnya

(Sumber: https://islamindonesia.id/kolom/kolom-sakti-ahmaq-atau-kalap-seri-
pancasila-10.htm)

https://islamindonesia.id 133
Sunday, 27 August 2017
AH, APA TUHAN ITU ADA (SERI PANCASILA, 6)
Oleh: Emha Ainun Nadjib

islamindonesia.id – KOLOM – Ah, Apa Tuhan itu Ada (Seri Pancasila, 6)

Beberapa tahun terakhir ini sebagian, entah besar entah kecil, dari bangsa
Indonesia semakin gagah berani melakukan tingkat kejahatan dan kadar kekejaman
yang – untuk saya yang sudah tua – sangat mengerikan. Tetapi saya
punya reserve berpikir bahwa bagi yang melakukannya, itu bukanlah kejahatan atau
kekejaman. Sehingga sebagai orang tua yang berhati lemah, saya selalu
menyiapkan kubangan khusus di dalam hati saya untuk menampung ungkapan-
ungkapan yang gagah perkasa itu.

Misalnya, seseorang bisa menuduh lainnya anti-Pancasila, sambil menghina orang


yang dituduhnya. Dan di dalam penghinaan itu terkandung juga penghinaan-
penghinaan lainnya, misalnya kepada Agama tertentu, Nabi, Tuhan, suku, golongan.

Kalau menyelami kebusukan hati manusia sampai seperti itu, tidak kaget ada
“klithih” di Yogya, di mana anak-anak muda tiba-tiba membacok leher orang yang
lewat pakai motor, tanpa alasan apapun. Tidak heran wakil rakyat dan pejabat

https://islamindonesia.id 134
melakukan kadar korupsi yang pejabat-pejabat Fira’un pun tak berani
melakukannya. Atau begitu banyaknya wujud kelahiran, kemunafikan dan dusta
transparan.

Itu salah satu alasan kenapa saya jadi pengecut dan tak berani masuk Medsos
sampai detik ini. Saya tidak terlibat di Facebook, Instagram, Twitter dll. Kalau harus
menjawab kebutuhan sebagian teman tentang sesuatu yang berasal dari saya,
sejumlah anak muda menolong saya official lewat caknun.com, yang saya sendiri
sangat jarang membukanya.
Sebab saya takut diajak berdebat. Hati saya kecil. Jiwa saya kerdil. Saya bukan
seorang intelektual. Tidak pernah punya pengalaman akademis. Tidak mengalami
pembelajaran Pesantren, apalagi sampai tingkat Kitab Kuning. Saya
tidak expertbidang apapun. Kalau ada yang mengajak berdebat, langsung saya
lantik orang itu sebagai pemenang. Saya kalah saja, agar orang mendapatkan
kepuasan dari rasa menang atas saya.

Saya beraninya “Sinau Bareng”, bermusyawarah mencari kebenaran bersama,


secara bijaksana. Saya tidak pernah mempertahankan kebenaran yang ada pada
saya. Sebab yang ada pada saya itu bukan milik saya, melainkan hasil pasokan, dan
semenit kemudian bisa ada pasokan baru yang membatalkan pasokan kebenaran
sebelumnya.

Tetapi karena sliwar-silwer kekejaman, kekejian dan kebusukan kemanusiaan tidak


kunjung reda – akhirnya saya mengakali hati saya sendiri, dengan menganggap
bahwa di dunia ini, utamanya di Indonesia, saya bertugas momong bayi, atau
mengasuh anak kecil.

Kalau bayi yang kita gendong tiba-tiba kencing, bahkan beol sehingga “mengotori”
pakaian kita, ada setidaknya dua fakta yang terjadi. Pertama, kita tidak
menyimpulkan bahwa bayi itu bersalah, sehingga tak akan kita tabok, campakkan
atau santet. Kedua, bagi si bayi, kita tidak ada. Bayi belum manusia lengkap.
Susunan saraf kesadaran di otaknya belum mencukupi untuk menyerap informasi
secara utuh, atau untuk menjadi alat kesadaran tentang keberadaan kita. Bagi si
bayi yang kita gendong, kita mungkin sedikit dan sekilas ada, tetapi hanya sosok,
yang abstrak, hanya sentuhan sedikit pada mesin naluri dan perasaannya. Kita
belum ada di dalam kesadarannya.

Demikian pun posisi Tuhan pada dan di Indonesia. Meskipun sudah resmi
konstitusional dicantumkan Tuhan Yang Maha Esa, tetapi pada manusia Indonesia,
terutama Pemerintahnya, keberadaan Tuhan itu masih sebatas sosok ghaib di
permukaan instingnya. Umumnya rakyat Indonesia mengenali keberadaan Tuhan

https://islamindonesia.id 135
secara samar-samar, meskipun mereka berposisi sangka baik, memiliki naluri untuk
menghormati Tuhan.

Pada Pemerintah dan kumpulan makhluk yang menjulur-julurkan lidah kepadanya:


sosok samar-samar Tuhan Yang Maha Esa itu direkrut sebagai anasir dari logo
nasional, warna ikon, jargon, komponen emblem di kostum golongannya, serta
dipakai sewaktu-waktu untuk memastikan keuntungan yang diperjuangkan demi
kepentingan subjektifnya.

Tuhan Yang Maha Esa tidak pernah benar-benar bisa ditemukan di perilaku “bayi-
bayi” nasionalisme, bayi policy pemerintahan, bayi perilaku pejabat-pejabat, bayi
undang-undang ini dan peraturan itu, bayi keputusan sini dan ketetapan sana.
Tuhan tidak tampak perannya di mekanisme perpolitikan nasional. Bahkan tidak
sungguh-sungguh ada di Bhinneka Tunggal Ika dan Pancasila. Yang muncul hanya
simbolisme ikoniknya.
Kalau bicara substansi, kalau paham lipatan logika dan tikungan-tikungan dialektika:
seluruh perilaku elit nasional sekarang ini, kalau ditekstualisasikan, mengandung
kalimat: “Ah, apa Tuhan ada”. Atau lebih advanced: “Halah, toh Tuhan tidak ada”.
“Toh kecurangan, kebohongan, manipulasi, korupsi, kemunafikan, tidak pernah
terbukti mendapat balasan langsung dari Tuhan”. “Sudah berapa era pemerintahan
yang menyusahkan rakyat, buktinya aman-aman saja, tidak ada hukuman apa-apa”.
“Ah, aslinya Tuhan memang tidak benar-benar ada”. Seluruh perilaku elit nasional
mencerminkan anggapan bahwa Tuhan itu dongeng belaka.
“Barangsiapa berbuat sezarrah kebaikan, akan memperoleh pahalanya.
Barangsiapa melakukan sezarrah kejahatan, akan menerima hukumannya. Buktinya
mana”. “Hahahaha. Jangankan sezarrah. Korupsi triliunan, pembangunan kota
metropolitan baru tanpa izin, menjambret pulau-pulau, monopoli modal raksasa,
barisan bangunan di pantai utara pulau Jawa yang kelak memantati penduduk pulau
utama Indonesia, otoritas dan uang Negara dicawuk untuk perusahaan pejabatnya,
ribuan lain modus korupsi kreatif ala Indonesia – mana “syarron yaroh”-nya. Mana
hukuman Tuhan kepada mereka?”

Memang sekarang ini kita seakan-akan sedang mengalami suatu era di mana
Pancasila sangat keras diteriakkan, dibangkitkan dan dihidup-hidupkan kembali
sedemikian rupa. Tentu itu sangatlah menggembirakan.

Tapi cobalah berpikir pakai metodologi, pakai manajemen pembagian


fungsi, division of “labour”, pakai anatomi peran, pakai konstruksi organisasional,
pakai mantiqkewajiban dan hak, dilandasi pijakan substansi nilai, kunci makna dan
Ibu ilmu – bacalah media, medsos, berita tentang langkah Pemerintah, seluruh lalu
lintas perilaku Indonesia.

https://islamindonesia.id 136
Coba temukan: mana Tuhan Yang Maha Esanya? Mana manusianya? Mana
Adilnya? Mana Beradabnya? Mana Persatuan Indonesianya? Mana Hikmatnya?
Mana Kebijaksanaannya? Mana Permusyawaratan Rakyatnya? Mana Rakyat dalam
Perwakilannya? Jangankan lagi Keadilan Sosialnya: mana Bagi-nya? Mana Seluruh
Rakyat Indonesianya? Fakta “seluruh” saja bukan sekadar tidak pernah mampu
mewujudkannya. Tapi bahkan memang tidak pernah beriktikad untuk ber”seluruh”.
Berjuangnya untuk bagian, golongan, kelompok. Bukan seluruh.

Jangan menuntut substansi nilai kepada bayi yang kita gendong. Jangan menagih
pengetahuan, ilmu, kesadaran, apalagi kesungguhan dan kebijaksanaan. Bayi di
gendongan kita kencing kapan saja pengin kencing. Buang air besar kapan saja ia
berhajat. Menangis dengan sebab maupun tanpa sebab. Tangannya menyentuh api,
tinja, air, tinta, kencingnya sendiri, tanpa mengerti bedanya. Bagi bayi sama saja roti
atau tai. Juga Pemimpin, Presiden, Penguasa, Berhala, sama saja. Belum ada
parameter pada bayi. (Bersambung)

YS/IslamIndonesia/ Diterbitkan atas izin penulisnya

(Sumber: https://islamindonesia.id/kolom/47993.htm)

https://islamindonesia.id 137
Tuesday, 22 August 2017
CATUR SILA; SERI PANCASILA (1)
Oleh: Emha Ainun Nadjib

Anak-anak saya yang di SMP dan SMU mulai banyak rewel bertanya tentang
Pancasila. Bisa dipastikan saya menjadi gelagapan. Di zaman saya bersekolah dulu
tidak pernah memperoleh muatan penjelasan yang matang sehingga nyantol di
memori otak saya. Di masa dewasa saya juga tidak punya peluang untuk mengikuti
P-4.
Maka wajib saya mencari bahan-bahan dari berbagai sumber untuk menanggapi
anak-anak. Saya tidak mau mereka anti-Pancasila, tapi saya juga keberatan kalau
dalam kehidupan anak-anak saya Pancasila hanya jargon, lipstik, proforma
pergaulan bernegara. Saya takut anak-anak saya terlanjur mengenal nilai tanpa
mewujudkannya dalam kehidupan nyata.

Lebih mengerikan lagi kalau besok-besok anak saya tersangkut dalam arena
persabungan kekuasaan politik. Yang karena goal urusannya adalah kalah menang,
bukan benar salah atau baik buruk — maka mereka memegang Pancasila di
tangannya tidak untuk keindahan nilai dan kebijaksanaan laku kehidupan. Saya
akan masuk neraka kalau anak-anak saya memperlakukan Pancasila untuk kapital
kekuasaan, komoditas transaksi pilih memilih, manipulasi identitas, atau
mengeksploitasinya untuk menindas lawan-lawan politiknya.

Pancasila adalah jalan tol menuju gerbang sorga, karena Tuhan Yang Maha Esa
sendiri yang merentangkan jalan itu sejak awal di Sila Pertama. Kalau sampai gara-
gara Pancasila saya malah masuk neraka, saya akan mati nelangsa, dihabisi di
neraka dengan hati diaduk duka derita, serta dengan memekik-mekik oleh rasa sakit
dan penyesalan sepanjang masa.

Mudah-mudahan neraka menerapkan satuan waktu, sehingga ada batas tertentu


untuk berada di sana. Dengan demikian ada harapan untuk pada akhirnya
bergabung dengan bangsa Indonesia di sorga yang tak ada batas waktunya.
Kholidina fiha abada. Kekal plus abadi. Menurut almarhum legenda tinju Muhammad
Ali kekekalan itu setara dengan jumlah debu di padang pasir dikalikan seribu tahun.
Keabadian mungkin lebih panjang: per-debu bernilai sejuta tahun. Entahlah, besok-
besok kita bawa kalkulator untuk menghitung bersama.

https://islamindonesia.id 138
Celakanya, sebelum saya menggali bahan-bahan, ketika pertama anak-anak
menabrak saya soal Pancasila, entah karena pengaruh Setan atau Iblis atau Dajjal,
yang keluar dari mulut saya adalah: “Catur Sila saja, nggak usah Panca Sila dulu…”

Mampus. Mereka mengejar. Sehingga saya terpaksa memeras pikiran dan


menyibak-nyibak akal untuk menjawabnya, seperti mencari sebatang jarum di
tengah tumpukan rumput kering, damèn dan alang-alang. “Jangan libatkan Tuhan
dulu. Sila pertama simpan dulu”, saya menjawab terbata-bata, “untuk tahap awal
cukup belajar jadi manusia saja, dengan pedoman kemanusiaan dan tata nilai
kebudayaan”

Wajah anak-anak saya campuran antara kaget, sedikit paham dan banyak belum
paham yang Bapaknya maksudkan. “Belajar dan berlatih jadi manusia. Menghormati
kakak kemakhlukannya, yaitu alam. Kemudian menyayangi adiknya bumi langit,
yaitu hewan. Lantas berlatih menghormati sesama manusia, mencintai
kemanusiaan, menjaga nyawa sesama, merawat martabat, tidak menyakiti hati
mereka, tidak mengambil harta mereka, tidak korupsi, tidak menganiaya, tidak
menindas, tidak menang dengan harus mengalahkan lainnya. Belajar menjadi
manusia, dengan cara memanusiakan sesama manusia…”

(Bersambung)

YS/ IslamIndonesia/ Diterbitkan atas izin penulisnya

(Sumber: https://islamindonesia.id/kolom/kolom-catur-sila-seri-pancasila-1.htm)

https://islamindonesia.id 139
Sunday, 20 August 2017
BALADA WEDUS (BEDHOL NEGORO, 9)
Oleh: Emha Ainun Nadjib

IslamIndonesia.id – KOLOM – Balada Wedus (Bedhol Negoro, 9)

Di awal sekolah SD Kakek mengantar saya membeli kambing gibas yang berbulu
tebal putih. Di desa kami gibas juga lazim disebut Wedus Strali (Australia). Satu
induk betina dengan dua anaknya. Dari Pasar Peterongan saya seret susah payah
sejauh 5 km ke Menturo desa saya. Bagi yang ingin tahu betapa ‘sengsara’-nya
menyeret kambing menempuh jarak sejauh itu, satu-satunya jalan adalah
mencobanya sendiri.

Beberapa tahun saya memeliharanya, angon, menggembalakannya setiap usai


sekolah bakda shalat Dluhur hingga sore menjelang Maghrib. Saya bergabung
dengan banyak para penggembala senior. Kambing saya beranak pinak sampai
lebih 20 ekor. Kami menggembalakan kambing di arena tangkis, lapangan bola atau
jalanan ke kuburan. Kami bekerja sama menjaga beberapa titik dan area, karena
para kambing sering tersesat atau menyesatkan diri dalam mencari rumput.

https://islamindonesia.id 140
Kalau saya ingat masa itu, sering tersenyum-senyum sendiri. Pasalnya, kami para
penggembala kambing gibas selalu merasa cemburu kepada teman-teman kami
para penggembala Wedus Jowo, yang warnanya biasanya coklat dan hitam.
Memang kambing gibas lebih menggairahkan untuk dilihat, karena mereka terlepas
bebas di seluas apapun padang rumput. Sedangkan kambing Jowo ditali lehernya.
Area rumput yang bisa mereka nikmati hanya sejauh lingkaran sepanjang tali antara
pathok dengan leher mereka. Tetapi itu berarti para penggembalanya tidak perlu
mengawasi mereka. Mereka bisa santai, main kartu, atau bahkan bisa tidur
sepuasnya.

Sementara kami para penggembala kambing gibas harus terus-menerus mengawasi


kambing-kambing kami. Jangan sampai mereka melanggar batas tanah lapang,
masuk ke sawah-sawah atau kebun orang, atau minggat menyusuri
galengangalengan, atau keluar ke jalanan umum. Kambing-kambing gibas kami
harus diawasi jangan sampai tersesat.

Ini pasal berikutnya yang membuat saya tersenyum-senyum sendiri kalau


mengingatnya: kambing jangan sampai tersesat. Sebab mana mungkin ada kambing
tersesat. Kambing tidak ada urusan dengan jalan yang benar dan jalan yang sesat.
Kambing tidak hidup dalam jagat kebenaran atau kesalahan, kebaikan atau
keburukan, kepatuhan atau pelanggaran. Kambing, sebagaimana semua hewan
yang lain, bersama seluruh penghuni alam semesta, kecuali Jin dan manusia:
adalah bagian yang otentik dan utuh dari organisme ciptaan Tuhan.

Kalau pakai Bahasa Agama: mereka adalah bagian dari qadla dan qadar Allah.
Bahasa populernya: bagian dari takdir dan nasib yang ditentukan oleh iradat dan
amarnya Allah. Termasuk kakak-kakak kita para Malaikat: mereka ya’malu ma
yu`marun, menjalani apa yang dititahkan oleh Tuhan. Alam dan binatang
‘autopiloted’ tanpa` kesadaran, sedangkan Malaikat mungkin dengan sistem
kesadaran khusus yang manusia belum diperkenankan saat ini untuk mengetahui
dan memahaminya.

Jadi kalau ada kambing tersesat, maka mereka bukan kambing. Yang bisa tersesat
hanya manusia dan Jin. Yang punya kemungkinan tersesat, menyesatkan diri atau
melanggar ketentuhan Tuhan Yang Maha Esa adalah makhluk yang berakal, yang
punya logika, pengetahuan dan ilmu, yang punya kemungkinan untuk mengerti
bahwa mereka tersesat. Kalau ada manusia berjalan menuntun kambing dan
tersesat di suatu wilayah, maka yang tersesat hanyalah manusianya, sedang
kambingnya tidak. Sebab kambing tidak terlibat dalam nilai-nilai yang mengikat Jin
dan manusia: gara-gara dia punya akal, bisa berpikir, mampu membedakan sesuatu
berdasarkan jarak intelektual.

https://islamindonesia.id 141
Meskipun demikian tidak dijamin bahwa kalau kita manusia, maka kita pasti tahu
sedang tersesat atau tidak. Bangsa yang sedang mengalami – misalnya – Bedhol
Negoro, justru tidak menyadari bahwa mereka sedang mengalaminya. Bisa saja bagi
mereka Negoro tidak Bedhol. Kalau Jebol Negoro, lebih langsung bisa dipahami:
misalnya Negara hancur, dan mereka ikut hancur. Beda dengan Bedhol Negoro:
bisa jadi keadaan Negoro tampak dari permukaan semakin maju, semakin banyak
kemewahan. Mereka mungkin serba sedikit turut maju dan makmur. Tetapi mereka
bukan lagi pemilik Negoro. Mereka menjadi bukan lagi “penduduk asli” Negoro itu.
Mereka buruh, pembantu rumah tangga Negoro, di atas tanah dan di dalam ‘rumah’
yang juga semakin bukan milik mereka lagi.

Ibarat kambing gibas, mereka hanya ternak. Dilepas makan rumput sekadarnya, di
tanah lapang yang dulunya milik mereka, tapi kemudian perlahan-lahan menjadi
milik para penggembala. Atau kalau kambing Jawa, mereka diikat dengan tali di
lehernya, ujung tali lainnya diikat di pathok atau tonggak. Para penggembala
menjaga pathok serta batas area rumput yang boleh dimakan oleh kambing piaraan.

Seluruh padang rumput itu aslinya adalah hak para kambing, dalam posisi Hak Guna
Pakai dari Tuhan. Tetapi kemudian dibeli oleh penggembala, sehingga
kambingkambing hanya bisa makan sebagian kecil rumput belaka. Negoro rumput
itu sudah bedhol dari hak dan pemilikan mereka. Dalam posisi itu kemungkinannya
tinggal dua: para domba itu setia pada pathok, tali dan batas rumput, sebagai ternak
para penggembala. Atau mereka coba jebol pathok itu kemudian berlari makan ke
seluruh padang rumput semau mereka. Tetapi apa ada kemungkinan kambing-
kambing melakukan Jebol Pathok untuk memerdekakan dirinya?

Kalau umpamanya besok-besok kita ternyata diterima menjadi penduduk dan warga
negara Sorga, mudah-mudahan ada kesempatan untuk tanya-tanya kepada para
Nabi, yang hampir semuanya berpengalaman hal-hal yang berkaitan dengan
kambing atau domba. Di antara masyarakat bumi yang terinspirasi oleh salah satu
Nabi, memiliki istilah “Menggembalakan Domba-domba Yang Tersesat”.

Boleh kita tanya kepada Nabi inspiratornya: “Sangat jelas maksud istilah itu. Cuma
kenapa kebanyakan penggembala terlalu terkonsentrasi pada kata ‘sesat’. Apa tidak
ada kemungkinan bahwa titik beratnya sebenarnya adalah pada ‘domba’.
Janganjangan berulang-ulang peradaban ummat manusia mengalami kegagalan
selama sejarah ini gara-gara kita sibuk dengan tema ‘sesat’, sehingga kita sangat
sedikit belajar tentang domba atau kambing atau wedus.

Berapa kurun waktu diperlukan oleh proses peradaban manusia untuk membumikan
Taurat, Zabur, Injil dan Qur`an. Untuk mensosialisasikan dan

https://islamindonesia.id 142
menginkulturisasikannya. Dan sampai abad 21 sekarang ini sejarah ummat manusia
lebih banyak menghasilkan kekuasaan dibanding keberbagian. Lebih melimpah
kepandaian dan kehebatan, tetapi sangat minimal kearifan dan kebijaksanaan. Amat
tinggi frekuensi kebencian dan kedalaman dendam, sementara amat tipis
penyebaran kasih sayang dan pengayoman.

Informasi yang paling populer yang diawali oleh statement Malaikat yang kemudian
di-Iblis-kan oleh Tuhan bahwa “profesi utama manusia adalah merusak bumi dan
menumpahkan darah” sama sekali tidak terbantahkan faktanya hingga hari ini. Ada
kemungkinan salah satu sebabnya adalah karena para penggembala terlalu
menghabiskan waktu dan energinya mengurusi kebenaran dan kesesatan, kebaikan
dan keburukan, serta tidak tega hati dan kekejaman.

Para penggembala lupa bahwa mereka mengungkapkan itu semua kepada


dombadomba. Mereka membacakan Taurat, Zabur, Injil dan Qur`an kepada
kambingkambing. Mereka tidak cukup ingat bahwa partner dialektika mereka dalam
menjalankan sejarah adalah wedus-wedus. (Bersambung)

YS/ islamIndonesia/ diterbitkan atas izin penulisnya

(Sumber: https://islamindonesia.id/kolom/kolom-balada-wedus-bedhol-negoro-9.htm)

https://islamindonesia.id 143
Tuesday, 15 August 2017

WAJAH GADJAH MADA; BEDHOL NEGORO (4)


Oleh: Emha Ainun Nadjib

islamindonesia.id – KOLOM – Wajah Gadjah Mada; Bedhol Negoro (4)

Ibarat Bedhol Negoro adalah kelapa, mohon izin saya merasa perlu nyicil menelusuri
secara bertahap dan pelan-pelan kulit halus luarnya, sabutnya, batoknya,
kerambilnya, isi cairannya, bahkan mungkin manggar, glugu dan blaraknya.

Gara-gara di tulisan saya menyebut Sunan Kalijaga, sejumlah orang menyangka


saya mengerti tentang beliau. Padahal tidak ada apapun dalam hidup ini yang saya
benar-benar tahu. Saya hanya merasa tahu. Dan sering sok tahu.

Misalnya saya merasa tahu sedikit mengenai sehelai daun yang mengering, tetapi
99% pengetahuan yang menyangkut asal-usulnya, sanad penciptaannya, dasar
irodahnya, spesifikasi dzatiyahnya, kebijakan rububiyah diadakannya, ketentuan
isimnya, posisi fi’ilnya, pilihan sifat dan wujudiyahnya, dan beribu hal lagi, sama
sekali saya tidak tahu. Setiap zarrah itu tak terbatas, meskipun benda.

Apalagi tentang Sunan Kalijaga. Sedangkan kawruh saya tentang diri saya sendiri
pun sedang terus saya cari, kejar, pelajari, lacak, dan masih jauh dari tahu. Para
Guru mengatakan “man ‘arafa nafsahu faqad ‘arafa Robbahu”. Saya sering diam-
https://islamindonesia.id 144
diam menggeremangkan logika dialektisnya: “man ‘arafa Robbahu faqad ‘arafa
nafsahu”. Kedua- duanya saya belum pernah benar-benar tahu.

Tetapi karena sudah terjebak dan terpojok, saya wajib menjawab. “Mbah, siapa sih
sebenarnya Sunan Kalijaga itu?”

Saya mantap-mantapkan menjawab: “Sunan Kalijaga adalah Semar Bodronoyo


sekaligus Panembahan Ismoyo, juga Prabu Kresna sekaligus Wisanggeni atau
Ontoseno….”

“Lho ditanya tentang Sunan Kalijogo kok malah menyebut figur-figur lain”, si
penanya memprotes.

Tentu saja saya kebingungan. Jawaban saya itu bukan berasal dari pengetahuan
saya, melainkan sekadar membaca running text di layar otak saya.

“Memahami manusia, apalagi multikarakter seperti Sunan Kalijaga, diperlukan


kesabaran, karena harus tahap demi tahap. Kalau sekadar tubuh dan wajahnya
mungkin tidak terlalu ruwet. Tapi andaikan saya lukis wajah beliau, apa landasannya
bagi siapapun untuk percaya bahwa itu wajah Sunan Kalijaga?”

“Maksud Mbah?”

“Seperti wajah dan badan gempal Perdana Menteri Gadjah Mada yang dikenal
sekarang, yang selalu digambar-gambar ulang untuk berbagai keperluan — atas
dasar metodologi ilmiah apa sehingga itu disimpulkan sebagai wajah Gadjah Mada?”

“Kan semua orang yakin itu Gadjah Mada, Mbah”

“Semua orang yakin. Berarti landasannya adalah keyakinan. Apakah keyakinan bisa
dibenarkan oleh prinsip ilmu yang kita anut di Sekolah-sekolah?”

“Kan tidak ada sanggahan atau penolakan dari para sejarawan”

“Apakah kebenaran menjadi benar-benar kebenaran hanya karena tidak dibantah


atau disanggah?”

Si penanya tertawa. “Mbah, saya menemui Sampeyan ini untuk bertanya. Kok malah
saya ditanya-tanya terus….”

https://islamindonesia.id 145
“Bagaimana kalau wajah yang diyakini sebagai wajah Gadjah Mada itu ternyata
wajah Nambi, Ronggolawe, Raden Wijaya, atau Damarwulan, Layang Seto
kembaran Layang Kumitir, atau malahan seorang pelawak di zaman itu?”

Si penanya mulai meradang. “Yang saya tanyakan adalah Sunan Kalijaga, Mbah,
bukan Gadjah Mada….”

“Bagaimana kalau ada yang menyatakan bahwa Gadjah Mada itu asli Tangbatang
dekat Sumenep Madura?”, saya mengejar terus, meskipun tidak untuk mendapatkan
apa-apa, “Dan Sumpah Palapa itu bunyi aslinya adalah Sumpah Lapa-Lapa. Tapi
karena Gadjah Mada orang Madura maka membacanya Palapa, sebagaimana
Ronto-Ronto menjadi Toronto?”

“Saya ini serius, Mbah….”

“Bagaimana kalau dulu ada seorang sejarawan memeriksa-meriksa reruntuhan


patung- patung di Trowulan, kemudian menemukan seonggok kepala, yang menurut
selera dia wajah semacam itulah seharusnya wajah Gadjah Mada, sesuai dengan
kehebatan, kesaktian dan kepahlawanannya”

Kemudian saya tertawa terpingkal-pingkal, karena running text yang saya lihat ada
emoticon wajah tertawa lebar.

“Baiklah, Mbah”, katanya, “Kenapa Sunan Kalijaga dihubungkan dengan Semar,


Kresna, Wisanggeni dan Ontoseno?”

“Tidak boleh kah?”


“Lha wong Sunan Kalijaga saja belum tentu nyata, kok Njenengan malah melebar ke
yang lebih tidak nyata lagi. Semar, Kresna, Wisanggeni dan Ontoseno kan cuma
wayang. Cuma dunia bayang-bayang…”
Mendengar pernyataan itu tiba-tiba percepatan running text meningkat. Saya agak
kelabakan.
(Bersambung)

YS/ IslamIndonesia/ diterbitkan atas izin penulisnya


(Sumber: https://islamindonesia.id/kolom/kolom-wajah-gadjah-mada-bedhol-negoro-
4.htm)

https://islamindonesia.id 146
Wednesday, 09 August 2017
AKU DAN ISLAMKU
Oleh: Dr. Haidar Bagir

Aku percaya bahwa akal adalah anugerah-Nya yang menjadikan manusia makhluk
paling mulia (ahsan taqwīm). Maka, aku bahkan akan melepaskan segenap
keyakinan-keislamanku dari segala bentuk otoritas tafsir atas Islam yang tidak
sesuai dengan akalku, termasuk otoritas keulamaan. Toh, otoritas-otoritas
keulamaan itu berbeda pendapat juga. Namun, aku akan menerima tafsir-otoritatif
dari siapa pun, dalam arti bahwa otoritas itu bersumber pada bukti-bukti yang
meyakinkan secara intelektual dan berdasar pada prinsip-prinsip ilmiah yang aku
yakini kebenarannya.

Aku percaya bahwa otoritas keulamaan baru mempunyai makna jika ia dikaitkan
dengan prinsip-prinsip ilmiah seperti ini, bukan semata-mata dengan simbol-simbol
yang tak bisa dijelaskan sepanjang prinsip-prinsip itu, seperti karisma, kesalehan
lahiriah, keturunan, (semata-mata) penguasaan ilmu-ilmu keislaman tradisional, dan
sebagainya. Dengan kata lain, otoritas keulamaan aku terima dalam makna yang
sesuai dengan makna-asli ajektif yang terlekat kepada kata otoritas dalam ungkapan
ini, yakni “yang bersifat ilmiah”.

Semua ini aku yakini karena al-Qur’an, sebagai otoritas tertinggi dalam Islam,
mengajarku bahwa agama Islam adalah untuk orang-orang yang berakal, Nabinya
pun dengan tegas menyatakan “tak ada agama bagi orang yang tak berakal.”
Selanjutnya, penolakanku terhadap segala bentuk otoritas keulamaan qua simbol-
simbol itu tentu saja tak terbatas pada otoritas keulamaan masa sekarang, ia malah
terutama berhubungan dengan otoritas keulamaan masa lampau, sampai masa
lampau yang paling jauh dalam sejarah Islam. Karena opini para ulama masa
lampau memiliki peluang lebih besar untuk kehilangan relevansi dengan masa kita
sekarang akibat perbedaan tantangan, budaya, dan psikologi.

Tapi, aku juga sadar bahwa akal dan prinsip-prinsip ilmiah yang diakuinya kapan
saja selalu memiliki keterbatasan-keterbatasannya sendiri. Karena itu, aku tak akan
pernah merasa kapan saja dalam hidupku bahwa keyakinanku akan sesuatu bersifat
final. Aku selalu sadar bahwa keyakinan-keyakinanku harus selalu kuanggap
sebagai bersifat tentatif, selalu siap untuk direvisi dan direvisi lagi, sejalan dengan
pertambahan wawasan dan ilmuku, serta dengan kemajuan ilmu pengetahuan.

https://islamindonesia.id 147
Lebih dari itu, aku percaya bahwa rasionalitas saja bukanlah satu-satunya soko-guru
ke ilmiahan. Aku percaya bahwa akal juga mencakup apa yang—oleh orang-orang
seperti Aristoteles, Rumi, Bergson, Heidegger, atau Muhammad Iqbal—disebut
sebagai intuisi atau—oleh sebagian pemikir lain—disebut sebagai intelek (intellect).

Inilah suatu daya (quwwah) yang dalam tradisi Islam sering diidentikkan dengan hati
(qalb atau fu’ād). Bahkan, aku percaya bahwa setiap saat intuisiku ikut menentukan
penarikan pendapat-ilmiahku—kumaui atau tidak. Memang, tak seperti penalaran
rasional, aku tak bisa mengendalikan operasi intuisiku (bukankah per definisi intuisi
bersifat holistik sintetik, dan mengontrol?). Tapi, aku percaya bahwa aku bisa
menjadikan pemikiran intuitifku mendukung upayaku mencari kebenaran selama aku
menjaga objektivitas dan keikhlasanku.

Karena adanya kebutuhan agar aku tetap objektif dan ikhlas seperti itu, maka
sepanjang upayaku untuk mencari opini yang benar aku akan memelihara fokus
pada kebenaran itu sendiri, bukan pada popularitas (khālif tu’raf), permusuhan pada
pendapat yang (sementara ini) tidak aku sepakati, dan sejauh mungkin menyisihkan
kemungkinan kesombongan dan kebanggaan dari upaya-upayaku itu.

Dan, karena aku sadar bahwa dorongan ke arah nafsu-nafsu seperti itu berpeluang
besar untuk mengganggu objektivitas-ku, maka aku akan secara sadar dan terus-
menerus memperbarui niatku, menaklukkan semangat sekadar ingin populer dan
menang sendiri, dan membuka akal dan dadaku seluas-luasnya untuk memeriksa
opini apa pun yang sampai kepadaku tanpa judgement a priori apa pun, dan lebih
siap untuk mengkritik opiniku sebelum opini-opini yang lain. Aku percaya, jihād al-
nafs (perang melawan hawa nafsu) diperlukan di sini.

Aku—meskipun amat kritis—akan menyadari bahwa ilmu pengetahuan berkembang


sebagai akumulasi pemikiran umat manusia sepanjang sejarah. Bahwa, seperti kata
Isaac Newton, kita berdiri “di atas bahu para raksasa” sebelum kita. Bahwa, meski
zaman beserta budaya, psikologi, dan tantangan-tantangannya berubah terus, ada
saja yang bersifat perenial dan universal dalam pemikiran umat manusia sepanjang
sejarahnya.

Bahkan aku percaya, perlintasan batas waktu itu terjadi hingga masa-masa awal
penciptaan manusia. Bukan hanya hingga Plato—yang, oleh Whitehead, pemikiran
manusia sepanjang sejarah dianggap hanyalah catatan kaki atasnya—melainkan
hingga Hermes Trimegistus (Nabi Idris dalam tradisi pemikiran Islam) yang dianggap
Bapak Ilmu Pengetahuan umat manusia.

https://islamindonesia.id 148
Meski kritis, aku tak akan bersikap nihilistik terhadap khazanah pemikiran masa
lampau, karena dengan bersikap demikian aku hanya memiskinkan khazanah ilmu
pengetahuan umat manusia, dan khazanah ilmu-pengetahuanku. Dengan demikian,
aku tak mau terperangkap ke dalam kebencian terhadap hasil-hasil pemikiran masa
lampau karena aku menganggapnya berpotensi menggagahi kebebasan berpikirku.

Sebaliknya, aku akan mengapresiasinya dan memperlakukannya secara terhormat


sebagai khazanah yang berpotensi untuk mem perkaya pemikiran-pemikiranku. Aku
pun akan berusaha untuk tidak melupakan bahwa pada kenyataannya hasil
pemikiran para pemikir pendahuluku seringkali tidak kalah canggih dan ketat
dibanding pemikiran kiwari. Karena, aku pun menyadari bahwa—seperti ditulis,
antara lain, oleh Franz Rosenthal—para ilmuwan dan ulama Muslim masa lampau
juga memiliki persyaratan-persyaratan keilmuan yang amat ketat.

Bahkan, seringkali aku dapati, ketika aku cukup telaten untuk membaca hasil
pemikiran mereka, amat banyak masalah-masalah dan opini-opini yang terungkap
dalam perdebatan-perdebatan masa kini, yang sudah digarap juga oleh para
pendahuluku itu. Kenyataan bahwa perdebatan itu seringkali memakan waktu
beberapa generasi, dan melibatkan begitu banyak pemikir yang memiliki berbagai
latar belakang, tak urung akan membuatku berpikir: “Jangan-jangan apa yang
mereka telah pikirkan malah lebih canggih dari apa yang sedang aku pikirkan
sekarang.”

Tidak dengan demikian kemudian aku berhenti berpikir dan merasa cukup dengan
hasil pemikiran masa lampau itu. Tidak. Kenyataan itu hanya makin mendorongku
untuk mempelajarinya dan kemudian memberikan sumbangan baru di atasnya, agar
dengan demikian aku ikut menjadi bagian mata rantai yang melanjutkan akumulasi
hasil-hasil ilmu pengetahuan itu.

Alhasil, sikapku terhadap otoritas keulamaan, termasuk otoritas keulamaan masa


lampau, sebenarnya merupakan konsekuensi logis belaka dari prinsip-prinsipku
dalam berislam, yakni prinsip-prinsip keterbukaan, pluralisme, dan demokrasi.

Nah, terkait dengan prinsip-prinsip yang aku junjung tinggi itu, aku akan selalu
menghargai atau mengapresiasi pendapat orang atau kelompok lain, betapapun
pendapat itu segera tampak tak aku sepakati, asing, atau bahkan terdengar ofensif
bagiku. Aku akan berusaha sebisanya untuk memberi mereka the benefits of the
doubt, sambil berupaya menerapkan kebijakan bahwa pendapatku (aku yakini
sebagai) benar, tapi memiliki peluang untuk salah, dan pendapat orang lain (aku
yakini) sebagai salah, tapi memiliki peluang untuk benar; juga bahwa, meski aku

https://islamindonesia.id 149
berbeda pendapat, hak mereka untuk mengungkapkan pendapatnya akan aku
junjung tinggi dan aku bela.

Karena aku percaya bahwa hikmah (kebijaksanaan) “tercecer” di mana-mana, di


berbagai opini, dan bahwa aku berkewajiban memungutnya di mana saja aku
menemukannya. Karena aku pun percaya bahwa perbedaan pendapat (ikhtilāf)
adalah suatu rahmat, yang—jika kita sikapi dengan benar—akan memperkaya ilmu
pengetahuan dan membawa kita lebih dekat kepada kebenaran.

Dengan kata lain, makin melengkapkan pengetahuanku tentang kebenaran,


mengingat kebenaran yang kita kuasai selalu bersifat parsial. Aku tak akan pernah
lupa bahwa kebenaran-kebenaran itu berasal dari sumber yang sama, dan bahwa
satu kebenaran tak akan bertentangan dengan kebenaran lainnya.

Untuk keperluan itu, sedapat mungkin aku akan bersikap seperti Imam Ghazali
ketika mengatakan bahwa, sebelum berhak mengkritik, kita harus berupaya untuk
bisa memahami pendapat yang akan kita kritik itu seperti pemahaman para
penganutnya. (Sedemikian, sehingga karya Imam Ghazali yang berjudul Maqāshid
al-Falāsifah—yang sebenarnya merupakan ringkasan karya Ibn Sina—sempat
dikelirukan sebagai karya Ibn Sina karena sifat empatik yang dominan terhadap
pemikiran filsuf yang sebenarnya segera akan dikritiknya secara amat keras itu).

Bahkan dalam opini yang sepintas tampak bertentangan dengan pendapat kita,
selalu ada peluang kebenaran yang bisa kita pungut. Dalam kerangka ini, aku akan
menghindarkan sikap selektif dalam menampilkan pendapat orang yang kita kritik,
apalagi sinikal. Karena sinisme cenderung mendorong kita memahami pandangan
kelompok lain secara tereduksi, kalau tak malah karikatural, menyesatkan
(misleading) dan, dengan demikian, merusak objektivitas kita.

Sebaliknya, aku akan berhati-hati, dan bukannya malah kenes, dalam menanggapi
opini yang tidak kusetujui itu agar suatu dialog yang produktif, konstruktif, dan saling
memperkaya akan tercipta. Meski, misalnya, para penganut pendapat yang tidak
aku setujui bersikap negatif terhadap pendapatku, aku akan berusaha selalu sadar
bahwa mereka bukan guruku.

Bukankah memang sudah sikapku bahwa kancah pemikiran harus selalu dibiarkan
terbuka, pluralistik, dan demokratis, dan bukankah aku mengkritik mereka justru
karena sifat tertutup, totalitarian, dan otoritariannya? Juga, karena aku yakin, bahwa
pada dasarnya makhluk yang bernama manusia ini bisa diajak berinteraksi secara
persuasif, asalkan kita telaten dalam mengajukan hujah-hujah kita yang meyakinkan
kepada mereka.

https://islamindonesia.id 150
Dan juga karena aku sadar bahwa jangan-jangan perbedaan pendapat yang begitu
besar antara aku dan mereka banyak juga disumbang oleh kurangnya dialog yang
produktif dan silaturrahmi yang tulus di antara kami. Aku yakin bahwa
ketidaksabaran untuk mendengar pendapat orang lain merupakan produk sikap
sombong, merasa benar sendiri, melecehkan orang lain, yang menurutku justru
menjadi musuh keterbukaan, pluralisme, dan demokrasi.

Aku akan berusaha memisahkan sebisanya unsur-unsur yang sakral dari yang
profan, dan mengembali kan unsur-unsur profan ke pangkuan pemikiran yang netral
agama. Karena aku yakin bahwa menyerahkan masalah-masalah profan ke wilayah
pemikiran keagamaan secara tidak semena-mena justru akan mempersulit diri dan
mendorong munculnya sikap-sikap reaksioner dan obskurantis, setidaknya bisa
menimbulkan suasana yang menyesakkan (suffocating) karena ia bukan hanya
menyelusup—melainkan “mengangkangi”—ke semua detail aktivitas kita secara
tidak perlu.

Dan karena aku yakin bahwa Allah Swt. menganugerahi kita dengan akal yang
dikaruniainya tugas dan kemampuan untuk bersama-sama wahyu-Nya membimbing
kita menuju kebenaran. Tapi, saya juga percaya bahwa sekularisasi ada batas-
batasnya. Bahwa, betapapun, agama sebagai agama meniscayakan penerimaan
unsur-unsur tertentu sebagai bersifat sakral. Bahwa batas antara sekularisasi dan
sekularisme—yang tidak aku sepakati—tidak selalu jelas. Setidaknya, kalaupun aku
yakin bahwa agama pada dasarnya adalah sumber aturan moral dan etika, aku
sadar bahwa moral dan etika selalu terlibat dalam aspek kehidupan manusia yang
mana pun.

Meski aku percayai dalam banyak hal ber sifat kontekstual dan historis, aku juga
yakin bahwa banyak juga teks-teks (nashsh) keagamaan yang berbicara mengenai
hukum, politik, ekonomi. Sulit bagiku untuk menutup sama sekali pintu untuknya.
Karena boleh jadi ia masih juga bisa menjadi suatu sumber pemikiran di tengah
berbagai sumber pemi kiran nonkeagamaan. Meminjam istilah ushūl al-fiqh, kalau
tak bisa menjadi sumber peraturan primer (awwaliyyah), nas-nas yang bersifat
kontekstual dan historis seperti ini setidaknya bisa menjadi sumber peraturan
sekunder (tsanawiyyah).

Aku juga akan memelihara concern bahwa Islam harus selalu ditafsirkan
sedemikian, sehingga selalu bisa menjawab tantangan zaman. Aku percaya bahwa
Allah menjadikan dunia dan kehidupan ini dengan sifatnya yang progresif. Bahwa,
seperti kata Muhammad Iqbal, Allah selalu menambahkan ciptaan-ciptaan baru
setiap saat (kulla yaum huwa fī sya’n). Bahwa dunia ini bukan suatu block universe.
Maka, ijtihad pun menjadi niscaya—Iqbal menyebutnya sebagai prinsip atau

https://islamindonesia.id 151
sokoguru gerakan dalam Islam—demi menyahuti undangan Allah untuk menjawab
tantangan-tantangan (ciptaan-ciptaan) baru itu.

Tapi aku juga tahu bahwa ada bahaya untuk menjadikan agama sebagai “pelengkap
penderita” dalam kita mencari jawab terhadap tantangan-tantangan zaman itu.
Maksudku, bukannya ajaran-ajaran Islam aku jadikan sumber, aku memanipulasinya
agar sesuai dengan keyakinanku yang bersifat a priori.

Dengan kata lain, ajaran Islam kutempatkan sedemikian sehingga ia subjected to


(tertundukkan kepada) keyakinan-keyakinan a priori-ku itu. Ini menurutku merupakan
suatu sikap yang mengkhianati integritas intelektualku. Kalau aku percaya pada
kebenaran Islam, maka sikap yang ilmiah adalah menempatkannya sebagai sejajar
dengan sumber-sumber kebenaran intelektual yang lainnya.

Bahkan, dalam hal terjadi konflik yang tidak bisa aku selesaikan di antara keduanya,
aku harus siap untuk memenangkan sumber-sumber keagamaan, meski hanya
untuk sementara. Karena, pada dasarnya, seperti aku ungkapkan sebelumnya, aku
percaya bahwa hasil pemikiran intelektual yang sahih (atau qath’iy, menurut istilah
keagamaannya) ultimately tak akan bertentangan dengan teks-teks atau nas-nas
yang dipahami secara sahih (qath’iy) pula.

Pendekatanku terhadap teks-teks al-Qur’an, Sunnah, dan tradisi Islam selebihnya


akan bersifat hermeneutik. Dengan kata lain, aku akan melakukan distansiasi
terhadapnya, mencoba mengenali diriku dengan segala latar belakang sosiologis,
psikologis, dan kulturalku agar aku bisa meminimumkan subjektivitasku, kemudian
melihatnya secara historis dan kontekstual, selanjutnya menyeruput esensi-esensi
(maqāshid)-nya, untuk akhirnya mengapropriasikannya dengan tantangan-tantangan
zamanku. Ini sama sekali bukan suatu pendekatan yang mudah. Tapi aku tak punya
pilihan lain jika hendak objektif.

Meskipun demikian, aku sadar bahwa hermeneutika memiliki jebakan-jebakannya


sendiri, di setiap tahap dalam prosedurnya. Mengenali diri adalah suatu pekerjaan
yang, sejak zaman Yunani, diakui sama dengan mengenali Tuhan—the ultimate
being. Karena itu, tak kurang dari suatu pertempuran besar (jihad akbar)—lagi-lagi,
jihad melawan hawa nafsu—sajalah yang dapat membantu kita melakukannya.
Kemudian, melihat secara historis dan kontekstual, mengharuskanku untuk dapat
memilih dari berbagai versi historis, latar belakang sosio-kultural dan psikologis yang
berjalin berkelindan secara amat kompleks, kalau tak malah sering saling
bertentangan. Dan seterusnya.

https://islamindonesia.id 152
Aku tak akan segan-segan belajar dari pemikir Muslim masa lampau, seperti kaum
rasionalis Muktazilah, atau kaum Sufi, yang telah berupaya keras untuk
mempraktikkan pendekatan ini lewat apa yang mereka sebut sebagai ta’wīl. Yakni,
menyelam dalam-dalam ke lapis-lapis teks-teks suci al-Qur’an dan Sunnah—demi
memungut mutiara-mutiara ilham yang terpendam di bawah permukaan tafsir
“biasa”. Suatu teknik yang bukan saja mengandaikan daya imajinal untuk masuk ke
dunia supra-konkret—dunia yang lebih estetik dan rohani (spiritual)—melainkan juga
dipandu oleh suatu “sistem” gagasan spesifik yang biasa disebut ‘irfan (tasawuf
filosofis).

Tapi, pada saat yang sama, aku juga akan mengambil manfaat dari orang-orang
yang memujikan pendekatan literal, karena pendekatan seperti ini sedikit-banyak
akan membantuku untuk mengendalikan keliaran spekulasiku pada saat aku hendak
mencari makna hermeneutika teks-teks tersebut. Bahkan, aku sadar, aku tahu,
pendekatan literal bukan saja tak bertentangan dengan ta’wīl, tapi malah merupakan
bagian dari prosedurnya.

Ini, pikirku, barangkali sebab yang membuat bahkan Sufi se-“liar” Ibn ‘Arabi pun
ngotot dengan makna asal kata-kata karena bagi orang-orang seperti ini ta’wīl—
sebagaimana hermeneutika—bukanlah mencari makna yang bukan orisinal,
melainkan justru mengembalikannya kepada yang asal itu.

Akhirnya, aku akan selalu meminta pertolongan (‘ināyah) dan petunjuk (hidāyah) dari
Allah Swt. Sang Kebenaran (al-Haqq) dan Sang Pemberi Petunjuk (al-Hādi), karena
aku amat sadar kepada keterbatasan-keterbatasanku sebagai manusia dan bahwa
Ia adalah Sumber dari segala sumber kebenaran.

Wa Allāh a’lam bi al-shawāb

YS/ Islam Indonesia/ Sumber: Buku Islam Tuhan, Islam Manusia karya Haidar Bagir
(Sumber: https://islamindonesia.id/kolom/kolom-aku-dan-islamku.htm)

https://islamindonesia.id 153
Tuesday, 08 August 2017

MAD-SOC, SEMACAM SORGA


Oleh: Emha Ainun Nadjib

Barangsiapa mau menjadi penduduk Negeri Mad-Soc, atau Mad Society, akan
mendapatkan kemerdekaan yang semerdeka-merdekanya. Bebas dalam arti
sebenar-benarnya bebas. Jargon Freedom of Spech, Freedom of Expression,
sungguh-sungguh nyata dan mewujud. Setiap orang punya peluang untuk menjadi
dirinya atau mengaku bukan dirinya. Setiap orang boleh mengungkapkan isi hati apa
adanya. Setiap orang punya wadah untuk mengekpresikan pikirannya tanpa filter,
tanpa sensor, tanpa harus dikontrol oleh orang lain maupun oleh dirinya sendiri.
Di Mad Society tidak ada aturan, etika atau sistem kontrol bagi setiap orang untuk
memanifestasikan isi perasaan dan muatan pikirannya. Ibarat media, setiap orang
bisa menerbitkan korannya sendiri-sendiri, bisa menayangkan siaran tevenya
sendiri-sendiri. Tidak harus berpikir untuk mempertimbangkan, menakar,
menghitung resonansinya, atau mensimulasi akibat-akibatnya.

Mad Society adalah sorga. Setiap warganya punya peluang penuh untuk jujur atau
curang. Untuk objektif atau subjektif. Untuk apa adanya atau menambahi. Silahkan
mengutip ungkapan orang lain dengan mengurangi, mengubah, memotong-motong,
memanipulasi dan mengeksploitasi, sesuai dengan visi misi Sampeyan. Ibarat
pedagang sop buntut, kalau ada sapi lewat, silahkan potong buntutnya, untuk
dimasak menjadi Sop Buntut sesuai dengan selera dan kepentingan masing-masing.
Pengurangan, penambahan, manipulasi dan eksploitasi itu silahkan dilakukan untuk
berdagang tayangan, postingan, dan edaran. Atau untuk menghantam lawan politik.
Untuk mengutuk siapapun yang Sampeyan benci. Mem-bully siapapun yang
Sampeyan dengki. Alhasil Mad Society membuka pintu selebar-lebarnya bagi
kepentingan ekspresi, kreativitas, pelecehan, penghinaan Sampeyan kepada
siapapun.

Misalnya kutip ayat Al-Qur`an, untuk teks tulisan atau meme, ditambahi dengan
pencantuman identitas kelompok yang Sampeyan musuhi, dikurangi kata dan
kalimat yang kurang mendukung kepentingan Sampeyan, atau apapun saja
Sampeyan merdeka:

Juluran Lidah Anjing


Oleh: Allah swt.
Sesungguhnya Kami tinggikan derajat kaum radikalis dan intoleran, tetapi mereka
cenderung kepada dunia dan menurutkan hawa nafsunya yang rendah. Maka
perumpamaannya seperti anjing jika kamu menghalaunya diulurkannya lidahnya dan

https://islamindonesia.id 154
jika kamu membiarkannya dia mengulurkan lidahnya juga. Demikian itulah
perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Allah”.

Sembilan Naga
Oleh: Tuhan Yang Maha Esa
Dan adalah di kota itu sembilan orang laki-laki, Sembilan konglomerat, yang
membuat kerusakan di muka bumi, yang membangun Meikarta dan reklamasi di
sepanjang pantai utara Pulau Jawa. Sungguh mereka tidak berbuat kebaikan di
bumi.

Pekak dan Tuli


Oleh: Rahman Rahim
Sesungguhnya Presiden yang seburuk-buruknya pada sisi Allah ialah Presiden
yang pekak dan tuli yang tidak mengerti apa-apapun. Sesungguhnya Presiden jenis
itu, sama saja baginya, kamu beri peringatan atau tidak kamu beri peringatan, dia
tidak juga akan percaya. Allah telah mengunci-mati hati dan pendengarannya.
Penglihatannya ditutup. Dan baginya siksa yang amat berat.

Penyakit Indonesia
Oleh: Gusti Allah
Dalam hati bangsa Indonesia ada penyakit, lalu ditambah Allah penyakitnya; dan
bagi mereka siksa yang pedih, disebabkan mereka berdusta. Dan bila dikatakan
kepada mereka: “Janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi”. Mereka
menjawab: “Sesungguhnya kami orang-orang yang menyelenggarakan
pembangunan, terutama infrastruktur”. Ingatlah, sesungguhnya mereka itulah orang-
orang yang membuat kerusakan, tetapi mereka tidak sadar.

Ulama Keledai
Oleh: Ilahi Rabbi
Perumpamaan kaum Ulama dan Intelektual adalah seperti keledai yang membawa
kitab-kitab yang tebal di punggung mereka. Amatlah buruknya perumpamaan kaum
berilmu namun tiada manfaat bagi masyarakatnya. Dan Allah tiada memberi
petunjuk kepada kaum yang dhalim. Setiap mereka bersuara, melontarkan
pernyataan dan menyebarkan fatwa, itu adalah suara keledai. Sesungguhnya
seburuk-buruk suara ialah suara keledai.

Pejabat Munafik
Oleh: Muhammad saw.
“Ciri-ciri Pemerintah dan pejabat-pejabat di Indonesia ada tiga: jika berbicara
ia berbohong, jika berjanji ia mengingkari, dan jika diberi amanah ia berkhianat”

https://islamindonesia.id 155
Budaya Mad Society adalah wahana yang paling cemerlang untuk mengenali siapa
dan bagaimana makhluk manusia yang sebenarnya. Adalah arena penelitian yang
subur fakta tentang hakikat isi batin manusia. Adalah medan riset yang memuat
segala yang terbaik dan yang terburuk pada jiwa manusia.
Kalau Sampeyan ingin tahu betapa mulianya manusia, dan betapa kejinya manusia,
masuklah ke wilayah Mad Society. Kalau Sampeyan berniat mendalami betapa suci
dan kudusnya lubuk kalbu manusia, atau betapa kejam, lalim dan busuknya hati
manusia, bergabunglah ke Mad Society.

Kalau Sampeyan bertugas untuk mendata tentang betapa sembrononya cara


manusia memikirkan sesuatu, memandang dan menilai sesuatu. Betapa pendeknya
sumbu akal manusia, betapa parsial dan sempit pita persepsi di struktur pikiran
manusia. Betapa nafsu dan kepentingan pragmatis keduniawian manusia sangat
mudah mengalahkan akal sehat dan pikiran jernihnya. Betapa gagah beraninya
manusia mendustai dirinya sendiri, mengakali rakyatnya, membohongi Tuhan dan
Nabinya. Betapa curang analisisnya, betapa ngawur dan serampangan persepsinya.
Betapa culas dan serakah nafsu, amarah, dan kebenciannya.

Tapi juga kalau Sampeyan ingin menyelami kebijaksanaan hidup, mengarungi


kemuliaan jiwa, menatap dari jauh ufuk kesucian ahsanu taqwim, mencerdasi yang
tersirat di balik yang tersurat, membuntuti “min haitsu la yahtasib”, mengagumi
“wama romaita idza romaita walakinnallaha roma”, mengeksperimentasikan karma,
“ngunduh wohing pakarti” serta “man ya’mal mitsqola draarotin khoiron wa syarron
yaroh” – saya ucapkan selamat datang di Zona Mad Society.

Bahkan Sampeyan boleh memanipulasi kata, kalimat, dan konteks tulisan ini untuk
menghancurkan saya atau melempar batu panas ke jidat musuh Anda.[]

YS/ Islam Indonesia/ diterbitkan atas izin penulisnya


(Sumber: https://islamindonesia.id/kolom/kolom-mad-soc-semacam-sorga.htm)

https://islamindonesia.id 156
Monday, 07 August 2017

TAK BISA BENAR TANPA MENYALAHKAN


oleh Emha Ainun Nadjib

islamindonesia.id – Tak Bisa Benar Tanpa Menyalahkan

Kita semakin kehilangan kemampuan untuk benar tanpa menyalahkan. Kita semakin
tidak sanggup untuk benar, kecuali harus dengan menyalahkan. Yang benar kita,
orang lain salah. Semua dan setiap pihak, berdiri pada posisi itu.

Di wilayah hukum, harus jelas benar dan salahnya. Tetapi di wilayah budaya, ada
faktor kebijaksanaan. Di wilayah poilitik, ada kewajiban untuk mempersatukan.
Agama menuntun kita dengan menghamparkan betapa kayanya dialektika
antara Sabil (arah perjalanan), Syari’ (pilihan jalan), Thariq (cara menempuh jalan)
dan Shirath (presisi keselamatan bersama di ujung jalan).

https://islamindonesia.id 157
Itulah “kemanusiaan yang adil dan beradab”, “persatuan Indonesia”, “hikmat
kebijaksanaan” serta “keadilan sosial bagi seluruh”, bukan “bagi sebagian”. Tetapi
kita muter-muter di dalam lingkaran setan, di mana kita harus selalu menyalahkan,
demi supaya kita benar. Supaya kita benar, diperlukan orang dan pihak lain yang
salah. Kita tidak bisa benar dengan kebenaran itu sendiri secara otentik dan mandiri.

Rakyat kecil sanggup melaksanakan “organisme kebenaran”nya secara natural


dan kultural, tetapi kaum menengah dan elit pemimpin belum pernah berhasil
menyelenggarakan “organisasi kebenaran” Negara dan Pemerintahannya untuk
menciptakan zona nyaman bagi rakyatnya. Istilah Jawanya: di bawah sudah
berlangsung “deso mowo coro”, tapi di atas belum berlangsung “Negoro mowo
toto”.

Apakah itu disebabkan oleh ketidakyakinan atas kebenaran yang kita pilih. Atau
ketidakjelasan pengetahuan dan ilmu tentang kebenaran. Ataukah semacam
kelemahan mental, di mana kita selalu memerlukan orang untuk kita salahkan,
sebagai syarat psikologis agar kita merasa benar.

Atau memang ini hakikat hidup: ada benar dan salah, baik dan buruk, indah dan
jelek. Saya mengkritik keras diri saya sendiri dan memeriksa ulang seluruh
pengetahuan dan sikap hidup saya. Seberapa kadar keterlibatan saya dalam
kelemahan ilmu dan penyakit mental jenis ini. Saya tidak pernah mengemukakan
kebenaran kalau yang saya maksudkan adalah kebatilan. Saya tidak pernah
meluluskan keburukan sebagai kebaikan, dengan akibat-akibat sosial yang
sebenarnya luar biasa besar dan berbahaya.

Saya berbicara dan menulis apa adanya. Tetapi saya kasih tahu diri saya, bahwa
yang dimaksud apa adanya itu tidak berarti pasti benar dan baik. Saya apa adanya
adalah saya dengan kelemahan mental, ketidakcukupan ilmu, kesempitan
pengetahuan. Mungkin juga ketidakterbimbingan oleh kebijaksanaan.

Kalau saya menengok keluar jendela hidup saya, menatap Indonesia dan dunia,
rasanya beberapa tahun belakangan ini sangat digaduhkan oleh situasi-situasi
“benar ialah menyalahkan”, “baik ialah menjelek-jelekkan”, sebagaimana “menang
ialah mengalahkan”. Nenek moyang jadul saja punya “menang tanpo ngasorake”.
Apalagi kalau tak diperjelas peta nilainya, kita bisa terpeleset: karena menang maka
kita merasa benar dan baik.

Yang saya pandang di luar jendela itu ternyata bukan tidak ada saya di
hamparannya. Saya tidak steril dari merasa benar dan merasa baik. Saya tidak
merdeka dari keterpelesetan ilmu, kesembronoan mental dan ketidakwaspadaan

https://islamindonesia.id 158
sikap sosial. Saya merasa tidak terikat oleh kepentingan keduniaan apapun, tetapi
tidak berkepentingan itu sendiri adalah suatu jenis kepentingan. Sebagaimana
konsistensi untuk tidak berpamrih sebenarnya adalah perjuangan pamrih juga,
meskipun pamrihnya adalah tidak berpamrih.

Jangan-jangan manusia memang “dipermainkan” oleh hakikat hidupnya sendiri.


Cahaya disadari dan dirindukan dari area kegelapan. Malam menerbitkan kebutuhan
terhadap siang. Penderitaan menyeretkan dambaan untuk memperoleh
kebahagiaan. Tuhan sendiri adalah “muqallibul qulub”, yang membolak-balik hati
manusia. Tuhan penyelenggara “ikhtilafil laili wannahar”, arsitek pergantian siang
malam. Meskipun Tuhan menolong kita di tengah pusaran kebingungan:
“muhawwilul hal wal ahwal”, mengurus segala urusan. “Balighul amr”, mengantarkan
kita menuju keberesan sesuatu yang kita perjuangkan.

Saya pernah mendengar dari nenek moyang bahwa gagasan orisinalnya Tuhan
ketika menciptakan Adam adalah positivisme. Ia menciptakan makhluk-makhluk
untuk diajak bermesraan. Menciptakan hamba-hamba untuk mematuhi kehendak-
Nya, karena Ia memenuhi segala kebutuhan kesejahteraan dan kebahagiaannya.
Sampai kemudian Iblis mengacaukannya.

Makhluk senior yang dulunya paling dekat dengan Tuhan ini memang usil dan iseng
punya. Tujuh ribu tahun ia paling rajin mengabdi, paling khusyu’, paling ruku’ dan
paling sujud. Tapi ternyata diam-diam menyimpan kelelahan dan dendam di dalam
jiwanya. Ketika Tuhan memberinya waktu untuk istirahat, diiringi ribuan Malaikat
lainnya berkeliling-keliling jagat raya, sesampainya di bumi, ia tak mau kembali ke
kampungnya di langit tujuh.

Ternyata Kanjeng Idajil ini hedonis materialistik. Makhluk “hubbud-dunya”, pecinta


dunia, penggemar benda dan segala sesuatu yang kasat mata dan bisa dinikmati
dengan pancaindera. Ia cemburu pada gagah dan atletisnya tubuh Sang Adam,
wajah handsome-nya, kesempurnaan konstruksinya serta proporsi struktur
badannya. Lebih dengki lagi kepada jabatan Adam yang diserahi Tuhan untuk
memimpin kehidupan di dunia.

Maka Iblis bersumpah akan mempelesetkan langkah Adam, mengaburkan ilmunya,


membalik pengetahuannya, menggoda hatinya dan menggerogoti iman dalam
jiwanya. Lancang dan gagah berani Smarabhumi Idajil ini. Maka terjadilah polarisasi.
Pemetaan protagonis dan antagonis. Densitas positif dan kerapatan negatif.
Pergantian siang dan malam. Pertentangan cahaya dengan kegelapan. Kesucian
dan kemaksiatan. Ketundukan dan keingkaran. Efisiensi dan pemborosan. Bahkan
kesabaran dan ketergesaan.

https://islamindonesia.id 159
Tuhan memperkenankan tantangan Iblis. Mereka bikin kontrak. Berlaku sampai Hari
Kiamat. Iblis diberi peluang dan “tenggang waktu sejenak”, “amhilhum ruwaida”.
Untuk mencelakakan manusia. Menyesatkan jalannya. Menipu pengetahuannya dan
memecah ilmunya. Visi misi Iblis adalah membuat manusia merusak dirinya,
menganiaya sesamanya, menipu dan mencuri, membikin bumi luka parah, juga
memprovokasi untuk konflik permanen, perang dan penumpahan darah. Dan Tuhan
menadahi output-nya dengan menyediakan sorga dan neraka.
Tuhan menyiagakan para Malaikat untuk membantu manusia mengantisipasi
intervensi Iblis. Sayangnya manusia tidak menyelenggarakan pendidikan budaya,
Sekolah atau Universitas, dalam keluarga dan rumah-rumah ibadah – untuk
mendidik generasi barunya bagaimana mengaktivasi Malaikat di dalam dirinya.
Bahkan tidak ada pendidikan dan pembiasaan yang membuat anak-anak rajin
menyapa para Malaikat. Baik Malaikat yang tugas ronda di alam semesta di bawah
koordinasi Jibril, Mikail, Isrofil dan Izroil, sampai kelak Ridwan, Zabaniyah dan Malik.
Juga yang mengiringi manusia, Muaqqibat, Muhafadlah, Syakhlatus Syams,
Mutalaqqiyan, Raqib, Atid, dan banyak lagi. Kalau tidak sempat disapa satu per satu,
mestinya boleh dijamak: “Assalamu ‘alaikum ya Malaikatallah”.

Kita berharap para Malaikat memaklumi bahwa manusia sibuk dengan globalisasi.
Rakyat Indonesia tidak punya waktu karena suntuk memikirkan impor garam, tarif
dasar listrik naik, dan uang tabungan untuk haji mereka akan dipakai untuk
membangun infrastruktur. Sebagian mereka bahkan bingung mencari tahu
infrastruktur itu apa. Masih familinya Fatkhur ataukah keponakan Gus Dur.

Rakyat Indonesia tidak sempat menoleh dan melambaikan tangannya kepada


Malaikat. Jangankan Muqorrobin, ke Jibril pun tak sempat. Maaf-maaf ada urusan
reklamasi pantai utara sepanjang Pulau Jawa. Belum lagi tol laut, kereta cepat dan
Meikartapolitan. Persoalan rakyat Indonesia bukan hanya bertumpuk-tumpuk,
bahkan tumpukan masalah itu menimbun dan menindih mereka. Terakhir ini bahkan
ada benda yang sangat besar dan berat menimpa punggung mereka. Ada patung
raksasa di kampung halaman Sunan Kalijaga dan Sunan Bonang. Di tengah
merasakan punggung serasa patah-patah, mereka berdebat apakah itu patung
Malaikat kah atau patung Iblis.

EH / Islam Indonesia – Sumber: Cak Nun


(Sumber: https://islamindonesia.id/kolom/kolom-tak-bisa-benar-tanpa-
menyalahkan.htm)

https://islamindonesia.id 160
Saturday, 05 August 2017
THE SCARY KHILAFAH
Oleh: Emha Ainun Nadjib

IslamIndonesia– KOLOM – The Scary Khilafah

Kenapa dunia begitu ketakutan kepada Khilafah? Yang salah visi Khilafahnya
ataukah yang menyampaikan Khilafah kepada dunia? Sejak 2-3 abad yang lalu para
pemimpin dunia bersepakat untuk memastikan jangan pernah Kaum Muslimin
dibiarkan bersatu, agar dunia tidak dikuasai oleh Khilafah.

Maka pekerjaan utama sejarah dunia adalah: dengan segala cara memecah belah
Kaum Muslimin. Kemudian, melalui pendidikan, media dan uang, membuat Ummat
Islam tidak percaya kepada Khilafah, AlQur`an dan Islam. Puncak sukses peradaban
dunia adalah kalau Kaum Muslimin, dengan hati dan pikirannya, sudah memusuhi
Khilafah. Hari ini di mata dunia, bahkan di pandangan banyak Kaum Muslimin
sendiri: Khilafah lebih terkutuk dan mengerikan dibanding Komunisme dan
Terorisme. Bahkan kepada setan dan iblis, manusia tidak setakut kepada Khilafah.

Perkenankan saya mundur dua langkah dan mencekung ke spektrum kecil. Juga
maaf-maaf saya menulis lagi tentang Khilafah. Ini tahadduts binni’mah, berbagi
kenikmatan. Banyak hal yang membuat saya panèn hikmah, pengetahuan, ilmu dan
berkah. Misalnya saya tidak tega kepada teman-teman yang mengalami defisit masa

https://islamindonesia.id 161
depan karena kalap dan menghardik dan mengutuk-ngutuk tanpa kelengkapan
pengetahuan. Sementara saya yang memetik laba ilmu dan berkahnya.
Ummat manusia sudah berabad-abad melakukan penelitian atas alam dan
kehidupan. Maka mereka takjub dan mengucapkan “Robbana ma kholaqta hadza
bathila”. Wahai Maha Pengasuh, seungguh tidak sia-sia Engkau menciptakan
semua ini. Bahkan teletong Sapi, menjadi pupuk. Sampah-sampah alam menjadi
rabuk. Timbunan batu-batu menjadi mutiara. Penjajahan melahirkan kemerdekaan.
Kejatuhan menghasilkan kebangkitan. Penderitaan memberi pelajaran tentang
kebahagiaan.

Saya juga tidak tega kepada teman-teman yang anti-Khilafah. Tidak tega
mensimulasikan nasibnya di depan Tuhan. Sebab mereka menentang konsep paling
mendasar yang membuat-Nya menciptakan manusia. Komponen penyaringnya dol:
anti HTI berarti anti Khilafah. Lantas menyembunyikan pengetahuan bahwa anti
Khilafah adalah anti Tuhan. “Inni ja’ilun fil ardli khalifah”. Sesungguhnya aku
mengangkat Khalifah di bumi. Ketika menginformasikan kepada para staf-Nya
tentang makhluk yang Ia ciptakan sesudah Malaikat, jagat raya, Jin dan Banujan,
yang kemudian Ia lantik – Tuhan tidak menyebutnya dengan “Adam” atau “Manusia”,
“Insan”, “Nas” atau “makhluk hibrida baru”, melainkan langsung menyebutnya
Khalifah. Bukan sekadar “Isim” tapi juga langsung “Af’al”.

Konsep Khilafah dengan pelaku Khalifah adalah bagian dari desain Tuhan atas
kehidupan manusia di alam semesta. Adalah skrip-Nya, visi missi-Nya, Garis Besar
Haluan Kehendak-Nya. Khilafah adalah UUD-nya Allah swt. Para Wali
membumikannya dengan mendendangkan: di alam semesta atau al’alamin yang
harus dirahmatkan oleh Khilafah manusia, adalah “tandure wis sumilir, tak ijo royo-
royo, tak sengguh temanten anyar”. Tugas Khalifah adalah “pènèkno blimbing kuwi”.
Etos kerja, amal saleh, daya juang upayakan tidak mencekung ke bawah: “lunyu-
lunyu yo penekno”. Selicin apapun jalanan di zaman ini, terus panjatlah, terus
memanjatlah, untuk memetik “blimbing” yang bergigir lima.

Khilafah adalah desain Tuhan agar manusia mencapai “keadilan sosial”, “gemah
ripah loh jinawi”, “rahmatan lil’alamin” atau “baldatun thayyibatun wa Rabbun
Ghofur”. Apanya yang ditakutkan? Apalagi Ummat Islam sudah terpecah belah
mempertengkarkan hukum kenduri dan ziarah kubur, celana congklang dan musik
haram, atau Masjid jadi ajang kudeta untuk boleh tidaknya tahlilan dan shalawatan.
Mungkin butuh satu milenium untuk mulai takut kepada “masuklah ke dalam
Islamsepenuh-penuhnya dan bersama-sama”. Itu pun sebenarnya tidak
menakutkan. Apalagi dunia sekarang justru diayomi oleh “udkhulu fis-silmi kaffah”:
masuklah ke dalam Silmisejauh kemampuanmu untuk mempersatukan dan
membersamakan.

https://islamindonesia.id 162
Hari-hari ini jangan terlalu tegang menghadapi Kaum Muslimin. Kenduri yang
dipertentangkan adalah kenduri wèwèh ambengan antar tetangga, bukan kenduri
pasokan dana nasional. Toh juga dengan pemahaman ilmu yang tanpa anatomi,
banyak teman mengidentikkan dan mempersempit urusan Khilafah dengan Hizbut
Tahrir. HTI sendiri kurang hati-hati mewacanakan Khilafah sehingga dunia dan
Indonesia tahunya Khilafah adalah HTI, bukan Muhammadiyah atau lainnya.
Padahal HT maupun HTI bukan penggagas Khilafah, bukan pemilik Khilafah dan
bukan satu-satunya kelompok di antara ummat manusia yang secara spesifik
ditugasi oleh Allah untuk menjadi Khalifah.

Setiap manusia dilantik menjadi Khalifah oleh Allah. Saya tidak bisa menyalahkan
atau membantah Allah, karena kebetulan bukan saya yang menciptakan gunung,
sungai, laut, udara, tata surya, galaksi-galaksi. Bahkan saya tidak bisa menyuruh
jantung saya berdetak atau stop. Saya tidak mampu membangunkan diri saya
sendiri dari tidur. Saya tidak sanggup memuaikan sel-sel tubuh saya, menjadwal
buang air besar hari ini jam sekian, menit kesekian, detik kesekian. Bahkan cinta di
dalam kalbu saya nongol dan menggelembung begitu saja, sampai seluruh alam
semesta dipeluknya — tanpa saya pernah memprogramnya.

Jadi ketika Tuhan bilang “Jadilah Pengelola Bumi”, saya tidak punya pilihan lain.
Saya hanya karyawan-Nya. Allah Big Boss saya. Meskipun dia kasih aturan dasar
“fa man sya`a falyu`min, wa man sya`a falyakfur”, yang beriman berimanlah, yang
ingkar ingkarlah – saya tidak mau kehilangan perhitungan. Kalau saya menolak
regulasi Boss, saya mau kerja di mana, mau kos di mana, mau pakai kendaraan
apa, mau bernapas dengan udara milik siapa. Apalagi kalau saya tidur dengan istri,
Tuhan yang berkuasa membuatnya hamil. Bukan saya. Saya cuma numpang enak
sebentar.

Hal-hal seperti itu belum cukup mendalam dan rasional menjadi kesadaran individual
maupun kolektif Kaum Muslimin. Jadi, wahai dunia, apa yang kau takutkan dari
Khilafah? Andaikan Khilafah terwujud, kalian akan diayomi oleh rahmatan lil’alamin.
Andaikan ia belum terwujud, sampai hari ini fakta di muka bumi belum dan bukan
Khilafah, melainkan masih Kaum Muslimin. Bahkan di pusatnya sana Islam tidak
sama dengan Arab. Arab tidak sama dengan Saudi. Saudi tidak sama dengan
Quraisy. Quraisy tidak sama dengan Badwy. Apa yang kau takutkan? Wahai dunia,
jangan ganggu kemenanganmu dengan rasa takut kepada fatamorgana.

YS/ islamIndonesia/ diterbitkan atas izin penulisnya


(Sumber: https://islamindonesia.id/kolom/kolom-the-scary-khilafah.htm)

https://islamindonesia.id 163
Tuesday, 01 August 2017

BAGIKU, TEOLOGI ADALAH PUISI


Oleh: Karen Armstrong

IslamIndonesia.id – KOLOM – Bagiku, Teologi Adalah Puisi

Aku tak pernah berniat untuk menjadi seorang sejarawan agama ataupun sebagai
penulis lepas. Aku bermimpi untuk menjadi seorang profesor di universitas dan
menghabiskan hidupku dengan mengajar kesusasteraan Inggris. Selama 13 tahun,
segala pikiran tentang agama telah memenuhiku dengan rasa khawatir dan
perasaan gagal. Aku memasuki biara pada usia 17, dan mengalami pergulatan batin
selama tujuh tahun untuk menjadi seorang biarawati yang baik.

Ketika itu aku sama sekali tidak bisa berdoa. Padahal setiap pagi aku pergi ke kapel
untuk memulai meditasiku. Aku harus berjuang mengatasi kebosanan, rasa kantuk,
dan gangguan lain yang tiada habisnya. Surga terasa tertutup bagiku, dan Tuhan
tampak jauh serta tidak nyata. Aku juga mulai memiliki keraguan besar terhadap
beberapa ajaran gereja. Bagaimana mungkin orang-orang bisa tahu dengan pasti
bahwa seorang lelaki bernama Yesus merupakan perwujudan Tuhan? Apa maksud

https://islamindonesia.id 164
kepercayaan semacam itu? Benarkah Tuhan yang menciptakan dunia ini? Ataukah
manusia yang mulai menciptakan Tuhan? Akhirnya, dengan penuh penyesalan, aku
meninggalkan biara dan—untuk sementara terbebas dari beban depresi, keraguan,
dan rasa kekurangan ini—aku merasa kepercayaanku kepada Tuhan mulai
menghilang perlahan-lahan.

Aku tidak merasa bahwa pengalamanku ini adalah sesuatu hal yang luar biasa.
Sebagian besar dari kita telah mendengar mengenai Tuhan di saat yang sama kita
mendengar tentang Sinterklas. Selama tahun demi tahun, ide kita mengenai
Sinterklas berubah, berkembang, dan menjadi matang, sementara ide kita mengenai
Tuhan tetap berada di level kanak-kanak. Pengetahuan kita tentang Tuhan tidak
diijinkan untuk berkembang dengan cara yang sama. Namun bagiku, semuanya
berubah ketika aku mulai menulis Sejarah Tuhan.

Aku menduga bahwa lembaran-lembaran ini tidak akan berbeda jauh dengan yang
sebelumnya, yaitu sebuah lembaran skeptis yang akan menjelaskan konsep Tuhan
yang telah sering dikemukakan oleh para teolog untuk menjawab kebingungan dan
kebutuhan masa kini. Namun, kondisiku ketika itu benar-benar berbeda. Aku baru
saja mengalami bencana besar dalam sejarah karirku: karirku di pertelevisian tidak
berjalan lancar, teman-temanku menjauhiku, dan aku tinggal di sebuah tempat
terpencil di London yang murah. Setiap hari aku sendirian—dan berada dalam
kesunyian

Bagiku, teologi adalah puisi, dan kau tidak bisa membaca puisi yang rumit di dalam
sebuah klub malam yang berisik. Kau membutuhkan pikiran yang tenang dan rasa
penerimaan. Ditambah lagi, ketika itu tidak ada kru televisi yang menuntutku untuk
menjadi cerdas dan provokatif. Hanya ada aku dan teks, dan secara bertahap, kata-
kata itupun mulai mengalir.

Tiba-tiba saja aku menemukan bahwa aku sedang mempelajari banyak hal dari
tradisi-tradisi agama di dunia. Dari Yudaisme aku belajar untuk tak pernah berhenti
bertanya—tentang apapun!—dan berhenti membayangkan bahwa aku telah
mencapai pemahaman akhir mengenai apa yang kuketahui tentang Tuhan. Mereka
bahkan menolak untuk menyebutkan nama Tuhan, sebagai pengingat bahwa
pengetahuan manusia kepada hal-hal yang bersifat ketuhanan sangat terbatas dan
berpotensi kepada penghujatan.

Dari Kristen Ortodoks Rusia dan Eropa Timur aku belajar bahwa Yesus adalah
manusia pertama yang pernah dirasuki oleh Tuhan—sama seperti Budha yang
merupakan manusia pertama yang tercerahkan di sepanjang sejarah kita—dan kita
semua bisa menjadi sepertinya, bahkan hingga saat ini. Kemudian dari Al Quran aku

https://islamindonesia.id 165
belajar bahwa agama mengajarkan keadilan, kasih sayang, dan menghargai apapun
yang datang dari Tuhan.

Sambil terduduk di meja kerjaku, aku berpikir bahwa ada saat ketika aku merasa
tersentuh begitu dalamnya, sehingga merasa terangkat sesaat dari diriku saat ini.
Aku merasa telah menghuni perasaan kemanusiaanku lebih dari biasanya. Inikah
Tuhan? Jika ya, apakah Tuhan itu? Namun kemudian aku teringat, jika aku berpikir
bahwa aku akan dapat menemukan jawabannya, maka di saat itulah aku akan
kehilangan seluruh intinya. Jadi, proses belajarku telah menjadi doaku.

Aneh rasanya, ketika aku harus mengakhiri pertanyaan-pertanyaanku dengan


menyadari betapa sedikitnya pengetahuanku. Namun seperti itulah pengalaman
manusia di dunia ini. Tak peduli seberapa banyak kita tahu, selalu ada sesuatu yang
kabur dari diri kita. Jika kita bisa melepaskan hasrat untuk ingin mengetahui
semuanya dan membiarkan semuanya tetap terkontrol—yang akan membawa kita
pada kecemasan yang begitu besar—maka kita akan mengalami kebebasan yang
luar biasa.

Dunia ini tidak lagi diperkecil untuk menempati alam pikiran kita yang sempit.
Sebaliknya, kita justru melihat kemungkinan-kemungkinan segar dan misteri di balik
semua hal dan semua orang di sekitar kita. Ketidaktahuan telah membangun diri
kita.

Di awal abad ke-20, orang-orang berpikir bahwa hanya sedikit pertanyaan besar
yang tersisa, karena pertanyaan-pertanyaan penting itu telah dijawab di abad ke-17
oleh Isaac Newton. Mereka merasa bahwa pengetahuan mereka tentang alam
semesta ini telah lengkap, dan mereka telah memahami semua rahasia yang ada di
jagad raya ini. Namun, kemudian Einstein hadir dengan fisika kuantumnya dan
menyajikan alam semesta yang tidak terbatas dan tidak mampu dimengerti di
hadapan kita. Meskipun demikian, kita tidak merasa frustasi, tapi justru menjadi
sumber kebahagiaan. Seperti kata Einstein, pengalaman emosional terindah yang
mampu dirasakan oleh manusia adalah pengalaman yang bersifat mistis, dan bahwa
mengetahui hal-hal yang tidak bisa kita tembus benar-benar ada akan membawa
kita kepada kearifan tertinggi dan keindahan yang tiada tara.

IslamIndonesia/ *Diterjemahkan dari pernyataannya di oprah.com

(Sumber: https://islamindonesia.id/kolom/kolom-bagiku-teologi-adalah-puisi.htm)

https://islamindonesia.id 166
Monday, 31 July 2017

Bangsa Celaka: Berebut Nasi Membuang Celana

islamindonesia.id – Bangsa Celaka: Berebut Nasi Membuang Celana

Kalau berkerumun dengan masyarakat, misalnya yang hadir 1000 orang, kalau di
antara mereka ada 50 saja anak-anak, maka saya menyimpulkan bahwa fokus
primer forum itu adalah yang 50 anak-anak. Yang 950 orang-orang dewasa bersama
saya dan Kiai Kanjeng wajib mengabdi kepada yang dibutuhkan oleh anak-anak itu.

Wilayah pemikiran dan pembelajaran apa yang diinteraksikan, level metode


kependidikan bagaimana yang diterapkan, lagu-lagu apa yang dibawakan, serta
seluruh dimensi silaturahmi kerumunan itu, mengacu kepada yang terbaik bagi
anak-anak yang hadir. Kalau pengabdian kepada anak-anak sudah maksimal, baru
kami orang-orang dewasa dan kaum tua memperoleh haknya.

Maka sesudah mengawali acara dengan doa mempersambungkan antara semua


yang hadir beserta lingkungan alam di sekitarnya kepada Tuhan, segera saya
meminta anak-anak itu untuk naik panggung. Ada anak-anak pemberani yang
langsung berdiri dan berjalan ke panggung. Ada yang harus dipacu-pacu dan
dirangsang-rangsang untuk berani beranjak. Ada yang hatinya melompat ke

https://islamindonesia.id 167
“belakang” dan sangat lama untuk membuatnya berani atau mau berpartisipasi. Ada
yang Ibu atau Bapaknya merayu-rayu, bahkan harus saya datangi, saya gendong
dan bisiki sejumlah ucapan ke telinganya.

Seluruh proses melibatkan anak-anak itu menyerap perhatian semua hadirin dan
menggelembungkan rasa kasih sayang dari dalam diri kaum dewasa dan tua itu dua
kali lipat dibanding kalau fokus interaksinya adalah antara saya dengan mereka
sendiri. Anak-anak yang tampil spontan biasanya antara kelas 2-6 SD atau 1-2 SMP.
Tentu kami berkenalan, saya bertanya kepada sejumlah anak secara berurutan, dan
setiap jawaban mereka selalu menggembirakan seluruh hadirin, karena selalu lucu,
segar dan mengharukan.

Banyak anak yang tidak tahu nama lengkap Ibunya atau apa pekerjaan Bapaknya.
Rata-rata tidak tahu nama Kakek Neneknya, apalagi Buyut atau Canggahnya.
Padahal misalnya dalam budaya Jawa ada sebutan nasab ke belakang dan ke
depan sampai 18 tingkat: ada Mbah Wareng, Galih Asem, Debog Bosok, Gantung
Siwur, Goprak Sente—yang semua sangat mencerminkan konsep kesadaran
sejarah peradaban masyarakatnya, keluasan dan kedalamannya.

Proses berkenalan yang teknis dan datar saja sudah melahirkan kegembiraan
publik, bahkan kebahagiaan, kebanggaan, kemesraan, bahkan juga pembelajaran
tentang hakikat-hakikat nilai hidup yang mereka lalai dalam kehidupan sehari-hari.
Belum lagi kalau saya gali isi pikiran, wacana, karakter, kecenderungan individu dan
sosial, sampai ke lubuk keimanan dan spiritualitas. Menjajagi anak-anak itu tahu dan
bisa melantunkan lagu-lagu apa: pop modern, tembang kampung, lagu daerah,
shalawat atau qasidah. Proses penjajagan atas kandungan itu selalu sangat meriah,
segar, gembira, serta penuh pintu ilmu dan penyadaran baru bagi semua yang hadir.

Di sela-sela itu semua saya mencuri peluang untuk review, analisis dan refleksi.
Kaum dewasa dan tua dan seluruh hadirin menjadi bercermin dan menemukan
berbagai kekurangan, kelalaian, dan kesemberonoan dalam pendidikan di rumah,
sekolah maupun masyarakat. Dari ranah individu, publik maupun yang terkait
dengan kewajiban Negara. Alhasil melalui anak-anak itu sebenarnya seluruh hadirin
memeroleh pembelajaran berlipat-lipat, dibanding kalau saya “berceramah” kognitif
akademik.
Sebanyak mikrofon yang ada dikasih ke anak-anak itu. Saya bertanya dan siapa
saja silakan mengacungkan tangan untuk menjawab. “Kalau saya datang ke
rumahmu membawa nasi, sayur, krupuk dan sambal, tapi kalian hanya boleh
memilih satu: kalian pilih apa?” Di berbagai workshopdan forum rata-rata mereka
menjawab: “Nasi”. Ternyata meskipun tidak ada pendidikan khusus tentang skala

https://islamindonesia.id 168
prioritas, secara alamiah dan organik anak-anak kita tidak memilih sambal atau
krupuk. Mereka sudah mengerti apa yang primer, sekunder, dan tersier.

Kalau pembelajaran, ketajaman pengetahuan, kebijaksanaan ilmu, dan kepekaan


rasa terhadap skala prioritas nilai-nilai kehidupan ini dipupuk secara simultan atas
anak-anak ini di keluarga, sekolah, rumah ibadah serta pendidikan nasional–maka
beberapa puluh tahun lagi kalau anak-anak ini menjadi pemegang otoritas
Pemerintahan: mereka akan relatif lebih terhindar dari tindakan ngawur dan otoriter,
tidak semberono memberangus ini itu, membubarkan sana sini, membenci dan
memusuhi rakyatnya sendiri.

“Kalau ada gempa bumi, rumah kalian ambruk, semua hancur, lantas saya datang
membawa pakaian dan makanan, tapi hanya boleh milih satu karena harus berbagi,
kalian pilih apa?” Seratus persen anak-anak kita di segmen dan level apapun
menjawab “Pakaian.” Tidak ada anak-anak yang berpikir “Nggak apa-apa telanjang,
asalkan bisa makan”. Mereka sudah mengenal secara naluriah kebenaran hidup
bahwa “Nggak apa-apa nggak makan asal masih berpakaian”.

Tinggal kita menengok publik dewasa dan tua semuanya: “Di dalam budaya politik
nasional kita, para pemimpin lebih memilih pakaian atau makanan?” Mereka
menjawab: “Makanan.” “Lebih memilih kekayaan atau martabat hidup?” Mereka
menjawab: “Kekayaan.” “Lebih memilih korupsi atau memertahankan rasa malu?”
“Korupsi.” Pikiran rakyat kita masih sehat. Berbeda dengan banyak pemimpin
mereka, yang berkiprah tanpa pernah memerhitungkan martabatnya sebagai
manusia.

Bahkan dalam budaya elite nasional, martabat hidup diidentikkan dengan jabatan,
kekayaan dan pencitraan. Manusia baru merasa punya martabat kalau ia menjadi
pejabat, tokoh, kaya, dan bergincu citra. Manusia tidak membangun harga diri
kemanusiaannya. Manusia bergantung pada kehebatan dunia di luar dirinya yang ia
jadikan pakaiannya. Kalau pakaian itu harus dicopot, ia mendadak merasa
kehilangan dirinya. Karena memang diri kemanusiaannya tidak primer dalam
kariernya.

Publik menghormati seseorang karena jabatan dan kekayaannya. Kalau di suatu


kerumunan orang tidak tahu bahwa ia pejabat dan kaya, maka tak ada yang
menghormatinya, bahkan menghinanya. Sesudah ada yang kasih tahu bahwa ia
pejabat tinggi, baru kerumunan itu menghormatinya. Dan si pejabat juga merasa
terhormat karena itu, padahal yang dihormati bukan dirinya, melainkan jabatan dan
kekayaannya.

https://islamindonesia.id 169
Jabatan dan kekayaan dijadikan pakaian utama manusia. Kalau ia kehilangan dua
hal itu, ia menjadi telanjang. Jabatan Lurah, Gubernur atau Presiden, lebih penting
dari manusia yang menjabatnya. Jabatan lebih besar dan hebat dibanding manusia.
Karena berpuluh-puluh tahun orang menempuh karier tanpa mengetahui bahwa
yang primer adalah pakaian martabat, harga diri kemanusiaan, akhlak sosial, dan
kasih sayang kepada sesamanya.

Anak-anak itu saya tanya lebih lanjut: “Coba bikin urutan berdasarkan yang
terpenting menurut penilaian kalian: pangan, papan, dan sandang”. Mungkin karena
sering mendengar ungkapan itu di keluarga dan budaya masyarakatnya, mereka
menjawab: “Sandang, pangan, papan”. Tak apa tak punya rumah asal masih bisa
makan. Tak apa tidak makan asalkan masih bisa berpakaian. Tetapi etos nasional
kita adalah tidak apa-apa tidak berpakaian asalkan punya rumah dan makan enak.
Tak apa-apa menjadi kolutor, perampok, koruptor, atau pengemis, asalkan kaya dan
punya jabatan. Koruptor yang dipenjara tidak menyesali kenapa ia mencuri, tapi
membodoh-bodohkan dirinya kenapa sampai ketahuan.

Padahal anak-anak itu saya tanya “Ini ada baju dan celana, kalian pilih salah satu?”,
mereka semua menjawab, “Celana”. Melalui pengetahuan, ilmu, atau mungkin naluri
saja, mereka tahu bahwa mereka tidak bersedia pakai baju bagus, bahkan meskipun
pakai jas dan dasi mahal, kalau bagian bawahnya tidak bercelana. Silakan
dielaborasi sendiri variabel detail hal primer-sekunder celana panjang dengan celana
dalam.

Sementara pemandangan nasional kita, kalau kita peka terhadap simbolisme itu:
banyak pemuka masyarakat yang tidak keberatan aurat dan martabatnya melorot
bahkan telanjang, asalkan bagian atas di panggung nasional mereka tampak pakai
baju, jas dan, dasi mewah.

Uang, proyek, kepentingan keduniaan, termasuk kekuasaan, kegagahan, dan


kemenangan—mengalahkan khitthah harkat kemanusiaan, akidah, akhlak, ukhuwah
kesatuan ummat, persaudaraan kebangsaan, dan kasih sayang kemanusiaan.
Neraka membakar sorga. Itu membuat persaingan, perebutan, dan pertengkaran
antarmanusia dan kelompok-kelompok.

Asalkan saya dapat akses laba, tak keberatan saudara saya hancur sebagai
ongkosnya. Bangsa kita menjadi tak lagi sebadan, sehati, sejiwa. Bahkan sesama
Ummat Islam tidak lagi “kajasadin wahid”. Kalau kaki terantuk, mulut tidak
mengaduh. Kepala menabrak tiang, mata tak menangis. Bahkan malah tertawa.
Mungkin juga malah mendorong agar kepala tertubruk tiang.

https://islamindonesia.id 170
Tidak ada pasal hukum yang menyentuh urusan martabat manusia. Tidak ada
aturan perundang-undangan, regulasi birokrasi, Perppu atau Keputusan Menteri
yang berkaitan dengan rasa malu. Tidak ada teks tentang malu dan martabat di
Pancasila. Ada kata ‘adab’ di Sila-2, tapi belum diperjelas itu dari epistemologi ‘adab’
ataukah ‘aadaab’. Kalau adab itu sopan satun teknis, subasita dalam paugeran
kasat mata. Kalau aadaab itu lebih kualitatif, muatan nilai keberadaban untuk
membangunan peradaban yang konstruksional dan menyeluruh. Bangsa dan
Pemerintah Indonesia semakin turun adab-nya, dan tidak pernah ingat untuk
berurusan dengan aadaab.

Kita suntuk menegakkan kejayaan, membangun kemajuan, untuk sementara di


wilayah materialisme dulu. Jalannya sementara adalah kapitalisme. Cara
menempuhnya sementara adalah liberalisme. Hukum rimba. Belum sempat ngurusi
manusia. Ma`dabah (arena pemberadaban) kapan-kapanlah.
Sebab di sekolah-sekolahpun belum sempat juga meniti
evolusi madrasah (mengenali), mahfadhah (menghafalkan), ma’lamah(mempelajari),
ma’rafah (memperdalam dan memperluas), apalagi ma`dabah (mengkonstruksi
peradaban).

Semua level persekolahan masih Madrasah. Bahkan di kampung-kampung stagnan


di tahap Majlis Ta’lim (pembelajaran), bahkan Majlis Taklim (omong-omongan). Kita
menempuh sejarah tanpa kursus menjahit celana.

EH / Islam Indonesia / Sumber: Manusia, Negara, dan Celana


(Sumber: https://islamindonesia.id/kolom/bangsa-celaka-berebut-nasi-membuang-
celana.htm)

https://islamindonesia.id 171
Sunday, 30 July 2017

INDONESIA MAKAM PANCASILA


Oleh: Emha Ainun Nadjib

islamindonesia.id – Indonesia Makam Pancasila

Goal puncak kehidupan bernegara kita di Indonesia adalah tercapainya Sila-5:


Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Tampaknya itu sudah tercapai. Kalau
melihat kegaduhan nasional dua tahun terakhir ini tema utamanya adalah ideologi,
filosofi, dan prinsip-prinsip nilai. Misalnya intoleransi, penistaan Agama, radikalisme.
Tidak ada pergolakan yang menyangkut keadilan sosial. Ada komponen-
komponennya, tetapi substansi yang diambil bukan soal keadilan sosial. Ada juga
pergesekan tentang komunisme, tetapi yang dipersoalkan bukan ketidakadilan
ekonomi, melainkan eksistensi ideologi.

Maka, agar bangsa dan rakyat semua bergembira, saya bersangka baik
menyimpulkan bahwa kehidupan bernegara dan berbangsa kita, kalau memakai
parameter Sila-5, sudah tercapai. Bangsa ini sudah menjalankan sejarahnya dengan

https://islamindonesia.id 172
baik, memilih pemimpin dan pemerintahannya dengan matang, menentukan
langkah-langkahnya ke masa depan dengan presisi terhadap keadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia.

Kalau Sila-5 tercapai, berarti mesin pemerintahan di Sila-4 bagus konstruksi dan
putaran mesinnya. Berarti juga para arsitek yang membangun pemerintahan, yakni
Parpol, Ormas, dan laboratorium intelektual kaum cendekiawan, Ulama dan
semuanya di Sila-3, telah bekerja dengan baik pula. Itu semua berkat keberhasilan
dunia kependidikan formal maupun sosio-kultural membangun “manusia yang adil
dan beradab” di Sila-2. Dan di puncaknya, dinamika teknologi sejarah dari Sila-2, 3,
4 hingga mencapai Sila-5, didasari oleh Sila-1 yang jelas mencerminkan
harmonisnya hubungan bangsa Indonesia dengan Tuhan Yang Maha Esa.

Maka aman pulalah perjalanan mudik bangsa besar ini ke kampung halaman
aslinya, yakni Sorga. Malaikat Malik juru kunci Neraka akan terkagum-kagum
menyaksikan amat sedikit warga negara Indonesia yang berada di bawah
kepengurusannya. Saya sekeluarga mohon izin ikut rombongan bangsa Indonesia
memasuki pintu sorga, dengan menyanyikan Lagu Kebangsaan “Indonesia, Tanah
Yang Suci”. Disambung lagu “Syukur” karya Habib Munthahar Al Habsyi.

Dengan demikian saya juga tidak heran betapa masyarakat dunia makin kagum
kepada Pancasila. Sebab pemahaman filosofi kehidupan, spektrum nilai, hingga
bangunan peradaban yang berlaku pada dunia dengan globalisasinya saat ini,
memang berada selangkah di belakang Pancasila. Tulisan ini bermaksud
mensyukurinya, dengan saya mohon izin mengulang tiga terminilogi. Pertama,
Evolusi 6 Tahap. Kedua, Empat Sumpah Tuhan: dinamika Tin-Zaitun-Turisinin-
Baladil Amin. Dan ketiga, evolusi Bluluk, Cengkir, Degan dan Kelapa.

Kalau pakai “Evolusi 6 Tahap”, dunia saat ini berada pada Tahap-4: Manusia.
Dengan Pancasila kita naik ke Tahap-5: Hamba. Kemudian puncaknya Tahap-6.:
Duta. Tahap-1 adalah Benda. Tahap-2 Benda yang Berketumbuhan. Tahap-3 Benda
yang berketumbuhan dan bergerak, sehingga memerlukan darah daging serta
komponen-komponen biologis lainnya, dengan kelengkapan untuk pergerakan.
Tahap-4, manusia, adalah hewan plus akal.

Inilah tahap modernisme global yang sedang kita jalani sedunia, di mana manusia
adalah Boss. Manusia adalah subjek primer. Manusia adalah ‘tuhan’ bagi semua
yang lain. Cara berpikir, pola pandang, tatanan dan aturan dunia ditentukan secara
absolut oleh manusia. Manusia memegang supremasi kebenaran, kebaikan dan
keindahan. Apakah manusia berkerumun sebagai gerombolan Suku di hutan,
ataukah melingkar secara Perdikan, menyusun pertalian komunal, mendirikan

https://islamindonesia.id 173
Kerajaan atau Kesultanan atau Negara: sepenuhnya berada di tangan ‘tuhan’
manusia. Hak asasi hidup adalah milik manusia. Pemilihan kepemimpinan, dengan
cara demokrasi atau apapun, mutlak merupakan otoritas manusia. Hewan,
tetumbuhan, alam, gunung, sungai, lautan, udara dan air, adalah ‘budak’nya
manusia.

Dan karena manusia adalah ‘tuhan’ atau Boss, maka di antara mereka terdapat
sejumlah manusia yang menjadi Big Boss: mengatur segala sesuatu, menguasai
modal, tanah, aset, alat-alat produksi, mengatur arah sejarah, menentukan wajah
politik, kebudayaan dan perubahan, menguasai semua ukuran-ukuran. Sehingga
tidak ada Negara yang benar-benar Negara, dan tidak ada kemerdekaan yang
sungguh-sungguh merdeka.

Di tengah itu semua Pancasila membawa manusia selangkah lebih maju. Dengan
Sila-1 Ketuhanan Yang Maha Esa, tidak mungkin Tuhan menjadi anak buah atau
karyawan manusia. Struktur otoritasnya berubah sangat mendasar. Tuhan adalah
Maha Pencipta dan Pemilik Perusahaan Kehidupan. Ia yang menentukan segala
aturan. Ia menjatah jumlah detak jantung setiap manusia. Tuhan yang mengambil
keputusan kenapa manusia dihidupkan, harus melakukan apa, dilarang
mengerjakan apa, ke mana tujuannya, di mana terminal terakhir perjalanannya.
Meskipun demikian, kalau dalam ‘birokrasi’ Islam, Tuhan hanya mengikat manusia
3,5% dalam regulasi Ibadah Mahdlah. Selebihnya pada 96,5% Ibadah Muamalah,
manusia diberi ruang demokrasi yang sangat luas.

Di Negara Pancasila, Pemerintah menentukan haluan Negara berdasarkan


pembelajaran tentang bagaimana Tuhan mengkonsep manusia dan dunia. Setiap
rapat pucuk pimpinan dan sidang kabinet, tidak mengambil keputusan apapun
sebelum mengkonfirmasikan program-programnya dengan policy Tuhan. Vox dei
vox populi. Kemauan Tuhan adalah kemauan rakyat. Negara dan Pemerintah
mematuhinya. Presiden dan para Menteri beristikharah menanyakan kepada Tuhan
tentang apa saja yang mereka rencanakan: menggali tambang, mengolah darat dan
laut, menarik pajak, menaikkan harga, berhutang, mengurut skala prioritas atau
wajib sunnah pembangunannya.

Bangsa dan Negara Indonesia mencapai jarak terdekat dari garis finish Sorga.
Sementara masyarakat dunia sekarang baru timik-timik tersentuh dan termagnet
oleh apa yang dirasakan dan dilakukan oleh Siddarta Budha Gautama: menemukan
kepalsuan materialisme, jenuh pada keduniaan, keluar dari Istana, meninggalkan
kekuasaan, harta benda, dan halusinasi. Pergi mencari diri yang sejati dan hidup
yang lebih abadi.

https://islamindonesia.id 174
Mereka sedang mendekati pohon At-Tin. Masyarakat Barat sedang berduyun-duyun
terpesona oleh pemerdekaan kemanusiaan Budha. Sudah pasti belum eranya untuk
membukakan kepada masyarakat dunia tahap pembelajaran peradaban pasca At-
Tin, yakni Zaitun-nya Isa, Turisinina Musa dan Al-Balad Al-Amin. Sebagaimana
belum saatnya HTI “membawa mata uang khilafah ke pasar global”.

Begitu memasuki Masehi, ummat manusia menghentikan proses evolusi yang


Pancasila dengan Ketuhanan Yang Maha Esa menginformasikannya. Ada yang
berhenti pada agama “Bluluk”. Ada yang memegang teguh agama “Cengkir”. Ada
juga yang berkuasa dengan tahap “Degan”nya. Sementara sebagian dari penduduk
yang sudah memiliki wacana “Kelapa”, di mana konstruksi kulit luar licin, sabut,
batok, krambil, dan air kelapanya sudah lengkap – tetapi pola pemikirannya masih
Degan, cara hidupnya masih Cengkir, bahkan ekspresi budayanya masih Bluluk,
yang orang kesakitan kalau dilempar dengannya.

Beruntunglah kita bangsa Indonesia memiliki dan dibimbing oleh Pancasila. Mungkin
Tuhan memang sudah menuliskan di Buku Agung Lauhul Mahfudh bahwa Indonesia
adalah Makamnya Pancasila. Makam aslinya Maqam. Dari kata Qiyam. Berdiri.
Maqam adalah tempat berdiri: Indonesia adalah tempat tegaknya Pancasila. Tetapi
karena hidup ini dinamis, tetap ada baiknya waspada jangan sampai Indonesia
menjadi makamnya Pancasila.

EH / Islam Indonesia / Diterbitkan atas seizin Penulis


(Sumber: https://islamindonesia.id/kolom/kolom-indonesia-makam-pancasila.htm)

https://islamindonesia.id 175
Saturday, 29 July 2017

PANCASILA BUKAN SEKADAR SIMBOL


Oleh: Fadhly Azhar*

islamindonesia.id – KOLOM – Pancasila Bukan Sekadar Simbol

BEBERAPA hari setelah Joko Widodo melantik Ketua dan Dewan Pengarah Unit
Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila (7 Juni), saya langsung tergugah
untuk memikirkan bagaimana Pancasila dapat diterima oleh seluruh aliansi
kebangsaan.

Mungkin bagi kaum muda menengah lainnya, ini adalah pekerjaan yang sia-sia
mengingat saya hanyalah staf analis kompetensi di sebuah Kementerian yang
berkantor di Lapangan Banteng.

Pikiran dan renungan mengenai Pancasila akhirnya dapat terangkum dengan


beberapa hal pendapat yang kurang lebih hanya menyentuh epistemologi dan
ontologi-nya saja.

Pancasila dalam pemaknaannya seharusnya naik ke-tingkat berikutnya yang lebih


tinggi, yaitu pemaknaan Pancasila dalam konteks emansipatoris dan hegemonik.

https://islamindonesia.id 176
Saya meyakini bahwa Pancasila lahir tidak hanya berasal dari pemaknaan analisis
literatur semata yang kemudian disematkan hanya untuk menjadi simbol-simbol
kewarganageraan saja.

Pancasila harus lebih dari itu. Pancasila harus meresap masuk dalam sanubari
seseorang dari tuntasnya epistemologis, ontologis, hingga aksiologisnya.

Warga negara Indonesia sedang dihadapkan pada perdebatan yang tidak


substansial dari sebuah Pancasila itu sendiri. Perdebatan ini diakibatkan oleh
kebingungan-kebingungan yang absurd hingga menimbulkan spekulasi-spekulasi
non-intelektuil dari pemaknaan Pancasila.

Ini dibuktikan dengan perdebatan kontra-produktif mengenai tanggal dan bulan yang
di mana Pancasila dilihat hanya dari sisi kulit, tidak pada isinya. Ini berarti bahwa
kebanyakan masyarakat Indonesia hanya melihat Pancasila sebagai alat simbol
negara semata, bukan sampai pada indoktrinasi terhadap Pancasila itu sendiri .

Walaupun belum ada penelitian secara khusus tentang ini, sangat terasa bahwa
Pancasila hanya disandarkan output-nya pada simbolis-dogmatik saja.

Ini sangat rentan, karena Pancasila bisa saja menjadi alat kepentingan politik
golongan tertentu seperti yang dilakukan di masa orde baru, di mana Pancasila
menjadi instrumen otoriter untuk memukul sendi-sendi kehidupan berserikat dan
berpendapat.

Hal yang lebih menakutkan lagi, Pancasila bisa saja menjadi alat untuk memukul
habis perkembangan pemikiran progresif warga negaranya akibat ketidaktahuan
sejarah dan filosofisnya.

Ketuhanan dan nurani kemanusiaan

Nilai emansipatorik sangat erat kaitannya dengan tujuan pembebasan dari segala
bentuk despotisme. Pancasila bukanlah hanya merupakan sakralisasi teks, di mana
persoalan ke-ilahian dalam segi wahyu dan kemanusiaan dalam Pancasila menjadi
terpisah.

Dinamika wahyu ke-ilahian dan kemanusiaan dalam Pancasila sejatinya harus


bergeser menjadi sakralisasi substantif di mana kepercayaan serta keimanan yang
berbeda-beda mampu menjadi semangat ke-ilahian yang membebaskan.

https://islamindonesia.id 177
Ini menjelaskan bahwa despotisme tidak seharusnya mendapat tempat dalam
pergaulan berbangsa dan bernegara walau berbeda keimanan.

George Meredith mengatakan bahwa dalam tragedi kehidupan manusia, tidak


dibutuhkan seorang penjahat, tetapi hawa nafsu manusia sendiri sudah menjadi
jebakan baginya, dan manusia dikhianati oleh apa yang palsu di dalam dirinya.

Hal ini tampaknya terartikulasikan dalam krisis yang tengah melanda dunia,
termasuk bangsa Indonesia. Dan krisis itu adalah krisis yang sangat fundamental
yang dampaknya akan dapat sangat dahsyat pula, dan berbahaya (Kartohadiprodjo,
2010, hal. 30).

Apa yang dikatakan oleh George Meredith dalam Kartohidaprojo sejatinya


merupakan akibat dari marginalisasi nilai-nilai keilahian dari persoalan pembelaan
terhadap kemanusiaan itu sendiri.

Ketika manusia sibuk dengan unsur jasadiyahnya mempertentangkan perbedaan


dogmatik-ritual, maka saat yang bersamaan pula manusia tanpa sengaja
memisahkan dinamika keilahian dalam persoalan-persoalan pencemaran
lingkungan, persekusi terhadap sesama warga negara, dan eksploitasi dalam
industrialisasi itu sendiri.

Inilah mengapa saya sangat meyakini bahwa dalam Pancasila sesungguhnya


“Ketuhanan yang Maha Esa” punya kaitan yang sangat linier dengan “Kemanusiaan
yang adil dan beradab”. Inilah juga mengapa saya meyakini bahwa Pancasila
bukanlah dasar negara yang sekuleristik.

Karena menjauhkan persoalan kemanusiaan dalam unsur keilahian juga merupakan


sekulerisme dalam kehidupan beragama.

Persatuan nasional dan iman solidaritas

Setelah menanamkan secara radikal indikator-indikator keilahian terhadap dinamika


kemanusiaaan, keadilan dan peradaban itu sendiri, maka kita selanjutnya perlu
melakukan linieritas keilahian dan kemanusian dengan komitmen persatuan
nasional.

Ernest Renan menginspirasikan Soekarno (1964) bahwa bangsa adalah satu jiwa
(“une nation est un ame”). Artinya, bangsa adalah jiwa. Satu bangsa adalah satu
jiwa.

https://islamindonesia.id 178
Maksudnya, kata Soekarno, “satu bangsa adalah satu solidaritas yang besar” (“une
nation est un grand solidarite”).

Jadi, yang membuat bangsa itu bersatu (satu jiwa) menurut Renan adalah solidaritas
antarsesama anggotanya, yang juga kemudian oleh Ernest Renan disebut
“kehendak untuk hidup bersama”.

Apa yang dikatakan Soekarno mengenai Ernest Renan (1964) tentang kebangsaan
menunjukkan bahwa persatuan nasional menggambarkan solidaritas spiritual dalam
kemanusiaan itu sendiri.

Solidaritas spiritual dalam kemanusiaan tersebut setidaknya menjadi komitmen


bersama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Menafikan solidaritas spiritual dalam satu jiwa kemanusiaan dan kebangsaan akan
menimbulkan conflict of interest, di mana kepentingan sesaat manusia dari
kekuasaan golongan-golongan akan berusaha memecah-belah solidaritas bersama.

Persatuan nasional hanya bisa dicapai dengan solidaritas sosial-spiritual yang perlu
diintensifkan dan diaktualisasikan dalam kenyataan hidup bersama melalui cinta,
keterbukaan, penerimaan dan kepedulian kepada sesama yang berbeda latar
belakang kehidupan suku, agama, ras, dan golongannya.

Aktualisasi persatuan nasional tersebut seharusnya menjadi tolak ukur perjuangan


bersama dalam kemanusiaan yang lebih hegemonik agar tidak terjadi penindasan
antar satu golongan dengan golongan lainnya.

Apa yang saya uraikan soal linieritas tersebut dapat diungkapkan melalui satu
kalimat: Satu ruh dan satu jiwa untuk kemanusiaan akan mengantarkan ruh yang
lahir dari cahaya ilahiah demi kepentingan bersama dalam perdamaian hidup
berbangsa.

Musyawarah dan keadilan sosial

Ketika manusia dalam kehidupan berbangsa dan bernegara telah menuntaskan


iman solidaritas spiritual yang emansipatorik tersebut, maka keinginan untuk
memajukan kedaulatan rakyat yang dipimpin oleh hikmah-kebijaksanaan harus
diaktualisasikan melalui musyawarah perwakilan.

https://islamindonesia.id 179
Tulisan saya yang berjudul “Spirit Keagaman dan Iman Kebangsaan” yang dimuat di
Kompas.com tanggal 16 November 2016, mencantumkan sedikit soal pentingnya
kaum arif-intelektual dalam permusyarawatan perwakilan.

Dalam tulisan tersebut saya menawarkan prasyarat untuk menjadi kaum arif-
intelektual setidaknya mendasarkan dirinya pada 5 kompetensi inti: berintegritas,
responsif, amanah, progresif dan terukur.

Hikmah kebijaksanaan inilah yang akan menjadi ruh permusyarawatan perwakilan


yang disyaratkan. Dalam tulisan tersebut pula, saya menawarkan perlunya standar
kompetensi politik bagi yang ingin mencapai permusyarawatan perwakilan, tentunya
dengan indikator-indikator penting dalam 5 kompetensi inti yang telah saya sebutkan
sebelumnya dalam rangka mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia.

Hal inilah yang pernah dikatakan oleh Soekarno, “…kita selalu bergosok, seakan-
akan menumbuk membersihkan gabah, supaya keluar daripadanya beras, dan
beras itu akan menjadi nasi Indonesia yang sebaik-baiknya”.

Menurut Ulpianus, pakar hukum Romawi kuno, adil atau tidaknya perilaku seseorang
terhadap sesamanya dalam komunitasnya ditentukan oleh kemampuannya untuk
menghargai hak-hak sesamanya. Istilah yang dia kemukakan untuk itu adalah
“tribuere jus suum cuique” (memberi masing-masing haknya) (K. Bertens, 2000).

Maka, keadilan sosial dalam indikator kesejahteraan sosial dan gotong royong
setidaknya bisa meminjam apa yang dikatakan oleh (alm) Pramoedya Ananta Toer,
dapat dicapai dengan keadilan semenjak dalam pikirannya.

Spiritualisasi Pancasila dalam perjuangan emansipatorik

Artikulasi nilai dasar spiritual Pancasila dalam perjuangan pembebasan dari


despotisme setidaknya patut dijiwai oleh masing-masing warga negara. Kristalisasi
nilai luhur yang ada dalam Pancasila harus menjadi penggerak kemampuan,
keinginan dan akal-budi kebangsaan bagi masing-masing rakyat Indonesia.

Sejatinya, Pancasila ini bersifat immaterial. Dari yang immaterial tersebut, maka
Pancasila harus menjadi daya yang sejalan dengan spiritual keilahian dalam
membangkitkan potensi moralitas dan intelektualitas secara sinergis dan
berkesinambungan.

https://islamindonesia.id 180
Lima mutiara dalam Pancasila setidaknya harus dikupas habis mencapai inti
kesadaran dan sikap dasar bangsa Indonesia agar tercapai ketuhanan yang
berkebudayaan, solidaritas kemanusiaan dan terwujudnya keadilan yang terbebas
dari unsur despotisme.

Bila, kupasan-kupasan tersebut menjadi nalar-indoktrinatif hingga sampai tertanam


dalam perilaku, maka secara aksiologi Pancasila telah berhasil menjadi nafas
kehidupan berbangsa dan bernegara. Wallahul-muwafiq. Billahi Ilaa Aqwami
thariiq. ●
* Kabid Keagamaan HMPI (Himpunan Mahasiswa Pascasarjana Indonesia) serta
aktif dalam Jaringan Kedaulatan Rakyat Forum Sekolah Bersama

YS/ IslamIndonesia/ Sumber: Kompas

(Sumber: https://islamindonesia.id/kolom/kolom-pancasila-bukan-sekadar-
simbol.htm)

https://islamindonesia.id 181
Friday, 28 July 2017

CAK NUN: MARI HINDARI KONFLIK LATEN MELAWAN TUHAN

islamindonesia.id – Cak Nun: Mari Hindari Konflik Laten Melawan Tuhan

Pada hari muncul wacana dari Pemerintah untuk membubarkan HTI dll, malam itu
bersama KiaiKanjeng dan lebih 10 ribu massa kami “maiyahan” di halaman Polres
Malang Raya. Didokumentasi dengan baik oleh pihak Polres saya menjelaskan “peta
pengetahuan dan ilmu” tentang Khilafah. Sikap dasar Maiyah adalah pengambilan
jarak yang terukur untuk tidak mencintai secara membabi-buta atau membenci
dengan mata gelap dan amarah.

Pada hari lain sesudahnya berturut-turut di Yogya saya menerima tamu dari DPP
HTI, kemudian Kapolda DIY, sesudah itu rombongan para perwira tinggi dari Mabes
Polri. Tema pertemuan itu meskipun lebaran variabelnya berbeda, tetapi fokusnya
tetap seputar Khilafah. Pengetahuan saya sangat terbatas, sehingga apa yang saya
kemukakan kepada HTI maupun Polri sama saja. Policy penciptaan Tuhan atas
manusia yang dimandati Khilafah, epistemologinya, koordinatnya dalam seluruh
bangunan Syariat Allah, mosaik tafsir-tafsirnya, dialektika sejarahnya dengan
berjenis-jenis otoritas pada kumpulan manusia, termasuk tidak adanya regulasi
penggunaan kata yang terbiaskan di antara substansi, filosofi, branding, jargon

https://islamindonesia.id 182
politik, icon eksistensi, merk dagang dan pasar – yang di dalam Islam disebut
fenomena “aurat”.

Belum ada diskusi publik antara berbagai kalangan, termasuk pada Kaum Muslimin
sendiri, misalnya apakah mungkin bikin Warung Tempe Penyet “Islam Sunni”,
Kesebelasan “Ahlus Sunnah wal Jamaah”, Geng Motor “Jihad fi Sabilillah”, Bengkel
Mobil “25 Rasul”, produksi Air “Nokafir”, atau Jagal Sapi “Izroil”. Tapi memang ada
Band Group “Wali”, Bank “Syariah” dan “Muamalat”, Sekolah Dasar Islam, atau
Islamic Fashion. Meskipun saya tidak khawatir akan muncul “Coca Cola Rasulullah
saw”, Paguyuban “Obama Atina Fiddunya Hasanah”, atau Kelompok Pendatang
Haram “Visa Bilillah”; tetapi saya merindukan ada Sekolah “Daun Hijau”, Universitas
“Pohon Pisang” atau merk rokok “Hisab Akherat”.

Belum ada diskusi strategis yang menganalisis kalau ada T-Shirt bertuliskan “Islam
My Right, My Choice, My Life”, apakah pemakainya sedang meyakinkan dirinya
sendiri yang belum yakin dengan Islamnya. Ataukah ia unjuk gigi kepada orang lain.
Ataukah ia bagian dari “aurat”, sesuatu yang terindah dan sakral sehingga justru
sebaiknya ditutupi, sebagaimana bagian kelamin dan payudara. Sampai pada
getolnya HTI dengan kata “Khilafah” sampai menyebar jadi kesan umum bahwa HTI
adalah Khilafah, Khilafah adalah HTI, yang bukan HTI bukan Khilafah. Padahal NU,
Muhammadiyah, semua ummat manusia adalah Khalifatullah di Bumi.

HTI memerlukan satu dua era untuk pengguliran diskusi publik tentang Khilafah,
yang diwacanakan dengan komprehensi ilmu selengkap-lengkapnya, dan
menghindari keterperosokan untuk menjadi jargon politik, bendera ideologi atau
wajah identitas yang bersifat “padat”, yang membuat semua yang di sekitarnya
merasa terancam. Saya sempat kemukakan kepada teman-teman HTI: “Bagaimana
mungkin Anda menawarkan Khilafah tanpa kesabaran berproses menjelaskan
kepada semua pihak bahwa Khilafah bukanlah ancaman, melainkan tawaran solusi
bagi problem ummat manusia. Kalau kita masukkan makanan ke mulut orang, tanpa
terlebih dulu mempersiapkan pemahaman tentang makanan itu, pasti akan
dimuntahkannya. Dan kalau yang Anda cekoki itu Penguasa, maka batang leher
Anda akan dicengkeram oleh tangan kekuasaannya”.

Kepada teman-teman Polri saya mohon “jangan membenci HTI, karena mereka
menginginkan kehidupan yang lebih baik bagi bangsa Indonesia. Mestinya Anda
panggil mereka untuk dialog, simposium 3-5 sesi supaya matang. Kalau langsung
Anda berangus, nanti ada cipratannya, akan membengkak, serbuk-serbuknya akan
malah melebar ke organ-organ lain. Mohon Anda juga jangan anti-Khilafah, kita
jangan cari masalah dengan Allah, sebab Khilafah itu gagasan paling dasar dari

https://islamindonesia.id 183
qadla dan qadar-Nya. Kita punya keluarga dan anak cucu, mari hindarkan konflik
laten dengan Tuhan”.

Pandangan saya tentang Khilafah berbeda dengan HTI. Bagi HTI Khilafah itu
“barang jadi” semacam makanan yang sudah matang dan sedang dinegosiasikan
untuk diprasmanankan di atas meja Al-Maidah (hidangan). Sementara bagi saya
Khilafah itu benih atau biji. Ia akan berjodoh dengan kondisi tanah yang berbeda-
beda, cuaca dan sifat-sifat alam yang berbeda. Benih Khilafah akan menjadi
tanaman yang tidak sama di medan kebudayaan dan peta antropologis-sosiologi
yang berbeda. Kesuburan dan jenis kimiawi tanah yang berbeda akan
menumbuhkan Khilafah yang juga tidak sama. Termasuk kadar tumbuhnya: bisa
30%, 50%, 80%. Saya bersyukur andaikan kadar Khilafah hanya 10%. Saya belum
seorang yang lulus di hadapan Allah sebagai Muslim. Maka saya selalu mendoakan
semua manusia dengan segala kelemahan dan kekurangannya, mungkin
keterpelesetan dan kesesatannya, kelak tetap memperoleh kedermawanan hati
Allah untuk diampuni.

Biji Khilafah bisa tumbuh menjadi pohon Kesultanan, Kekhalifahan, Kerajaan,


Republik, Federasi, Perdikan, Padepokan, atau Komunitas saja, “small is beautiful”
saja. Allah menganjurkan “Masuklah ke dalam Silmi setotal-totalnya” (kaffah). Dan
Allah bermurah hati tidak menyatakan “Masuklah ke dalam Islam kaffah”.
Kelihatannya itu terkait dengan kemurahan hati Tuhan tentang batas kemampuan
manusia. Allah tidak membebani manusia hal-hal yang melebihi kuasanya. Dunia
bukan Sorga. Dunia bukan kampung halaman, melainkan hanya tempat transit
beberapa lama. Tidak harus ada bangunan permanen di tempat transit. Kalau
bangunan Peradaban di Bumi bukan sistem besar Khilafah Islam, melainkan hanya
sejauh ikhtiar-ikhtiar Silmi, yang nanti dihitung oleh Allah adalah usaha per-individu
untuk menjadi Khalifah-Nya.

Kalau orang masih mau mandi, makan minum dan buang air besar maupun kecil,
masih tak keberatan untuk berpakaian, membangun rumah dengan taat gravitasi,
memasak air sampai mendidih, tidak keberatan untuk tidur berselang-seling dengan
kerja keras menghidupi keluarga – itu sudah Khilafah, di mana manusia mematuhi
asas kebersihan, kesehatan dan kemashlahatan. Kalau hukum ditegakkan,
ketertiban sosial dirawat bersama, Pemerintah bertanggung jawab kepada
rakyatnya, secara substansial itu sudah Khilafah.

Khalifah adalah orang yang berjalan di belakang membuntuti yang di depannya.


Yang di depannya itu adalah kemauan Tuhan yang mengkonsep seluruh kehidupan
ini seluruhnya. Maka Ketuhanan Yang Maha Esa adalah Sila Pertama. Karena Boss
Nasional dan Global kita adalah Tuhan. Sebab semua kekayaan Tanah Air ini milik-

https://islamindonesia.id 184
Nya, kalau mau menggali isi tambang, mau mengenyam hasil sawah dan
perkebunan, rakyat dan Pemerintah Indonesia bilang permisi dulu kepada Tuhan,
kemudian bilang terima kasih sesudah menikmatinya. Cara berpikir Negara
Pancasila adalah menyadari posisi Tuhan sebagai The Only Owner, Kepala
Komisaris, dan inspirator utama Dirut serta para Manager. Itulah Khilafah.

Kepada HTI maupun Polri sudah saya ungkapkan lebih banyak dan luas lagi.
Khilafah itu ilmu dan hidayah utama dari Tuhan. Kita bersabar memahaminya,
menyusun bagan dan formulanya. Yang utama bukan apa aplikasinya, melainkan
efektif atau tidak untuk membangun kemashlahatan bersama, rahmatan lil’alamin
dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Kita pastikan tidak “merusak bumi
dan menumpahkan darah” (definisi dari Allah swt), saling melindungi harta, martabat
dan nyawa satu sama lain (kriteria dari Rasul Muhammad saw).

Saya merasa tak banyak gunanya, tapi saya nekad ungkapkan tentang Enam Tahap
Evolusi di mana Globalisme saat ini berada pada Evolusi Empat. Spektrum filosofi
dan pemikiran manusia memangkas diri dan mandeg sejak awal Masehi. Manusia
diredusir hanya pada ilmu dan teknologi. Bluluk, Cengkir, Degan dan Kelapa di-
empat-kan, padahal ia satu yang berevolusi. Dunia sekarang bertengkar, saling
dengki dan membenci antara Peradaban Bluluk, Peradaban Cengkir dan Peradaban
Degan, yang bersama-sama memusuhi Peradaban Kelapa. Para pelaku Wacana
Kelapa juga kebanyakan masih berpikir secara Degan, berlaku secara Cengkir,
bahkan jumud dalam semangat Bluluk.

Banyak lagi spektrum nilai yang saya nekad kemukakan. Khusus kepada teman-
teman Polri saya mohon agar “jangan terlalu garang dan melotot kepada rakyat”.
Saya kutip An-Nas yang berisi anjuran Tuhan tentang pengelolaan sosial. Default
tugas mereka adalah kasih sayang dan pengayoman (Rububiyah, “qul a’udzu bi
Rabbinnas”). Kalau tidak sangat terpaksa jangan sampai pakai “Malikinnas”
(Mulukiyah, kekuasaan), apalagi “Ilahinnas” (kekuatan politik dan militeristik) di mana
aspirasi rakyat yang tidak sejalan dengan kemauan penguasa dibanting, dihajar
dengan Tongkat Perppu, dipaksa “ndlosor”, menyembah Penguasa. Kapan-kapan
Indonesia perlu punya Pemimpin yang “Rububiyah”.

Termasuk teminologi tentang Radikal, Fundamental, Liberal, Moderat: afala ta’qilun,


tidak engkau olahkah dengan akalmu, kenapa engkau telan begitu saja? Apalagi
salah tuding tentang yang mana yang radikal. Tetapi kemudian saya menyadari
bahwa seluruh proses Indonesia ini tidak memerlukan apapun dari saya. Kalimat-
kalimat kasih sayang saya “blowing in the wind”, kata Bob Dylan, “tertiup di angin
lalu”, kata Kang Iwan Abdurahman, atau “bertanyalah kepada rumput yang
bergoyang”, kata adik kesayangan saya Ebiet G. Ade.

https://islamindonesia.id 185
Tetapi Indonesia sungguh perlu banyak-banyak berpikir ulang. Masalah tidak cukup
diselesaikan dengan kekuasaan. Waktu terus bergulir dan seribu kemungkinan terus
berproses. Apalagi banyak “talbis” dan “syayathinil-insi”. Tidak semua hal bisa di-
cover oleh kekuasaan. Bhinneka Tunggal Ika adalah tak berhenti belajar mencintai
dan saling menerima. Cinta plus Ilmu = Kebijaksanaan. Cinta minus Ilmu =
Membabi-buta. Cinta plus Kepentingan = Kalap dan Penyanderaan. Kebencian plus
Kepentingan = Otoritarianisme alias Firaunisme. Dan masa depan Firaun adalah
kehancuran. Di ujung turnamen nanti Tongkat Perppu Firaun akan ditelan oleh
Tongkat Musa.

Bangsa Indonesia ini Subjek Besar di muka bumi. Ia punya sejarah panjang tentang
kebijaksanaan hidup dan peradaban karakter manusia. Bangsa Indonesia ini
Garuda, bukan bebek dan ayam sembelihan. Indonesia adalah Ibu Pertiwi, bukan
perempuan pelacur. Indonesia adalah Hamengku-Bumi, pemangku dunia, bukan
ekor globalisasi. Barat di-ruwat, Arab di-garap, kata penduduk Gunung Merapi.
Indonesia adalah dirinya sendiri.

EH / Islam Indonesia/ Diterbitkan atas seizin Cak Nun

(Sumber: https://islamindonesia.id/kolom/cak-nun-mari-hindari-konflik-laten-
melawan-tuhan.htm)

https://islamindonesia.id 186
Thursday, 27 July 2017

ILMU AURAT DAN PERADABAN KEBIJAKSANAAN


Oleh: Emha Ainun Nadjib.

Kenapa sekarang ini manusia menjadi sangat pemarah? Kenapa orang makin
gampang marah dan makin sukar memaafkan? Kenapa manusia sepertinya sedang
membawa dendam kepada sesamanya sampai mati? Kenapa sesama manusia
semakin meningkat potensialitasnya untuk saling menolak, saling memuntahkan,
saling membuang dan mengusir, saling diam-diam mencita-citakan kehancuran dan
kemusnahan orang lain yang bukan dia? Kenapa manusia meng-ada untuk
meniadakan lainnya?

Ada orang yang mudah marah dan mudah memaafkan. Lainnya mudah marah tapi
sukar memaafkan. Lainnya lagi sukar marah, sesukar ia memaafkan. Yang kita
berlindung kepada Tuhan adalah berurusan dengan orang yang sangat mudah
marah dan sangat sukar memaafkan. Bahkan tidak bisa memaafkan.

Apakah kita semua ini sedang kerasukan Setan? Tapi apakah Setan itu ada? Ada
wacana bahwa Setan itu “minal jinnati wannas”: diproduksi oleh Jin dan manusia.
Setan adalah output dari dismanagemen kejiwaan manusia. Wacana itu juga
menyebut idiom “syayathininnas waljin”: setannya manusia dan Jin. Idiom kedua ini
agak menyedihkan. Dalam wacana itu rata-rata Jin disebut terlebih dulu, baru
manusia. Tetapi untuk tema yang negatif ini, manusia disebut duluan. Ketika Tuhan
menantang kreativitas, ijtihad, innovasi dan invensi, Jin disebut duluan. Ketika bicara
keburukan dan kejahatan, manusia duluan.

Kenapa semakin banyak jumlah manusia Ahmaq? Yang tak bisa menerima kata-
kata apapun dari orang lain. Yang tidak bisa diajak berdialog. Yang tidak mengenal
perundingan dan musyawarah. Yang kebenarannya mandeg dan final. Yang akalnya
gumpalan daging, dan bukan susunan urat syaraf dengan gelombang
elektromagnetik pengolah nilai. Kenapa semakin merebak di seantero permukaan
bumi ini orang yang “tidak mengerti dan tidak mengerti bahwa ia tidak mengerti”?

Kalau subyeknya hanya manusia atau orang, masih ada Idulfitri halal bihalal 0- 0
setahun sekali. Tapi kalau subyeknya adalah golongan, kelompok, korps, satuan
ideologi dan kekuasaan: halalbihalal belum pernah diaplikasikan secara institusional.
Belum pernah ada Presiden menerbitkan Surat Permohonan Maaf kepada
rakyatnya.

https://islamindonesia.id 187
Kenapa orang makin tak bertelinga? Kenapa manusia semakin tidak pandai
mendengar, terutama para penguasa? Kenapa orang semakin malas untuk berjuang
saling memahami? Kenapa manusia sangat getol mempertahankan pembenaran
atas dirinya masing-masing, dan tidak punya spirit untuk bersama-sama mencari
kebenaran? Kenapa orang sangat mantap dengan “benarnya sendiri”, tidak secara
dinamis dan konstan merundingkan kembali dan merevisi “kebenaran bersama”,
sehingga punya peluang kolektif untuk memasuki “kebenaran sejati”?

Dengan fakta-fakta seperti ini, bagaimana membantah pernyataan Malaikat senior


Azazil Sang Kanzul Jannah, bahwa “pekerjaan utama manusia adalah merusak
bumi dan menumpahkan darah”? Yang karena pendapatnya ini maka ia menolak
untuk bersujud kepada Adam Khalifah perintis, sehingga kemudian Tuhan
memurkainya, menyebutnya Iblis, kemudian melakukan kontrak sampai Hari Kiamat
di mana Iblis diberi hak untuk menyesatkan akal manusia dan merusak akhlaknya.

Kenapa manusia menyembah Tuhan, memeluk Agama, dan hasil terbesarnya


adalah bermusuhan satu sama lain? Sebagai pemeluk Islam, saya mewajibkan diri
untuk terutama menyalahkan diri saya sendiri. Kenapa saya membiarkan Islam yang
adalah roh, tetapi dijasadkan? Kenapa saya tidak membantah arus yang
mematerikan ruh Islam? Yang mempadatkan kelembutan, menjasmanikan rohani,
menampakkan yang tak tampak, memperlihatkan aurat? Kenapa dunia tak punya
Ilmu Aurat?

Yang tampak wajahnya, bukan cantiknya. Yang kelihatan airnya, bukan ombaknya.
Yang bisa dilihat lomboknya, bukan pedasnya. Ruh tidak tampak. Ilmu tidak tampak.
Nilai tidak tampak. Islam tidak tampak, tetapi kita buka aurat: menampak-
nampakkannya dengan menipu orang lain melalui simbol-simbol, kostum, jargon,
yel-yel dan pernyataan. Makna Allahu Akbar tidak tampak, sehingga gegap gempita
suara Allahu Akbar tidak pasti berkaitan dengan maknanya.

Tuhan menyuruh manusia bilang “Wahai Tuhan, sungguh tidak sia-sia Engkau
menciptakan semua ini”. Bagaimana mungkin manusia mengucapkannya begitu
saja, tanpa proses penelitian terhadap alam dan manusia, yang membuatnya takjub
sehingga terlontar kalimat “tidak sia-sia” itu dari mulutnya? Ada proses panjang,
eksplorasi akal, pemahaman, penelitian, penghayatan, pendalaman, sebelum pada
akhirnya terucap dari bibirmu Allahu Akbar dengan hati yang tergetar.
Allah menggambarkan langit, hujan, pepohonan, buah-buahan dan kesuburan,
kemudian gunung-gunung dan warna-warni pelangi, tiba-tiba lantas
mendefinisikan “yang takut kepada-Ku itulah Ulama”. Kenapa takut kepada Tuhan?
Karena takjub kepada ciptaan-Nya. Karena terpesona kepada alam, manusia dan
firman-firmanNya. Ketakjubannya itu menerbitkan rasa takut kepada Allah, dan

https://islamindonesia.id 188
berkat ketakutannya itu Allah menyebutnya Ulama. Kenapa selama ini aku
membiarkan pemahaman bahwa“yang takut kepada-Ku hanyalah Ulama”, bukan
petani, pengusaha, pejabat, olahragawan, cendekiawan, insinyur, dokter. Kenapa
bukan “Ulama adalah manusia yang pengetahuan dan ilmunya membuat ia takut
kepada Allah”.

Kenapa aku membiarkan hubungan antara manusia dengan Islam menjadi institusi,
lembaga, korps, golongan, kelompok? Yang berpelototan mata dengan golongan
yang lain? Kenapa aku tidak memberantas terjemahan bahwa Muslim adalah Orang
Islam, dan Mu`min adalah Orang Beriman? Padahal Muslim adalah manusia yang
menyelamatkan, Mu`min adalah orang yang mengamankan?

Kenapa aku tidak menerjang arus pembiasan ilmu sedunia bahwa Islam bukanlah
identitas, melainkan perangkat untuk menyelamatkan, dengan skala rahmatan
lil’alamin? Bahwa Iman bukanlah ID-card, melainkan mata air nilai untuk
meengamankan, mengelola keamanan semua manusia dan alam? Memastikan
pengamanan nyawa sesama manusia, martabat derajat harga diri sesama manusia,
serta harta benda sesama manusia? Dengan landasan konstitusi bahwa Allah
melepas manusia di sabana kemerdekaan: “Fa man sya`a falyu`min, wa man sya`a
falyakfur”. Siapa beriman berimanlah, siapa durhaka durhakalah.

Allah sudah menyiapkan perangkat hukum, sebab akibat, reward dan punishment,
penghargaan dan hukuman, bagi keduanya. Kenapa saya membiarkan semua orang
menjadi Tuhan? Semua orang mengambil alih posisi Tuhan? Semua orang
menghakimi satu sama lain? Kenapa aku membiarkan para penguasa menangani
terorisme dengan stigma Islam? Tidak cukupkah pasal-pasal hukum negara untuk
menghandle kasus pemukulan, pembunuhan, perusakan, penembakan, pemboman
serta apapun tindak kriminal lainnya?

Kenapa aku membiarkan orang ngebom karena salah ilmu terhadap Islam, dan
membiarkan penghukum para peledak bom dengan kesesatan ilmu terhadap
anatomi nilai dalam peristiwa? Kenapa aku membiarkan Agama dijadikan subyek
dan identitas. Padahal subyeknya adalah manusia, Agama adalah mata air hikmah
yang bisa diambil oleh manusia untuk saling menyelamatkan (Islam) dan
mengamankan (Iman). Kenapa aku membiarkan Dialog Antar Ummat Beragama.
Kenapa bukan Dialog Antar Manusia, di mana masing-masing silahkan
menyumbangkan nilai yang diambil dari Agamanya, tanpa menyebut nama
Agamanya, untuk menyusun keselamatan dan keamanan bersama. Tak usahlah kita
usik hak absolut Tuhan dengan demokrasi universal “fa man sya`a falyu`min wa man
sya`a falyakfur”-Nya.

https://islamindonesia.id 189
Kenapa saya biarkan manusia berlaku sebagai stafnya Malaikat Ridwan di sorga
dan prajuritnya Malaikat Malik di neraka. Kenapa saya biarkan orang menjadi
pandai, yang hasilnya tinggi hati. Padahal seharusnya kebijaksanaan. Orang
berkuasa, hasilnya kesombongan. Padahal seharusnya kebijaksanaan. Orang kuat,
hasilnya keangkuhan. Padahal seharusnya kebijaksanaan. Orang alim saleh,
hasilnya pelecehan. Padahal seharusnya kebijaksanaan.

Orang merasa hebat dan meremehkan orang lain yang ia anggap bodoh, primitif,
tidak move-on dan kafir. Kenapa saya biarkan hanya karena menang, ia merasa
benar. Hanya karena berkuasa, ia merasa baik. Hanya karena pintar, ia merasa
unggul. Hanya karena alim saleh, ia merasa tak mungkin salah.

Kenapa saya biarkan manusia menempuh kehidupan dengan bekal salah


pengetahuan tentang manusia dan salah ilmu tentang kehidupan. Kenapa
merajalela Sekolah Kepintaran dan Universitas Keangkuhan. Kenapa “Kerakyatan
yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan dan
perwakilan” dipahami secara abstrak, tanpa anatomi ilmu yang jelas, serta dengan
analisis berputar-putar seperti baling-baling lepas kendali. Kenapa orang tidak
perduli pada asal usul epistemologis kata kerakyatan dan rakyat, apa beda antara
hikmat dengan kebijaksanaan, dari mana memetik pemahaman tentang
musyawarah dan wakil. Kenapa saya biarkan Pancasila hanya dijadikan casing dan
merk.

Mohon siapa-siapa kisahkanlah route makhluk: Cahaya Terpuji, Malaikat, Jagat


Raya, Jin, Banujan kemudian Manusia. Terutama kenapa Idajil krasan di bumi
sehingga Tuhan menghancurkan Istananya dan mendatangkan Adam. Agar bisa kita
mulai terapan Ilmu Aurat dan membangun Peradaban Kebijaksanaan.***

YS/IslamIndonesia/Diterbitkan atas izin penulisnya

(Sumber: https://islamindonesia.id/kolom/kolom-ilmu-aurat-dan-peradaban-
kebijaksanaan.htm)

https://islamindonesia.id 190
Tuesday, 18 July 2017

IBNU RUSYD DAN SEMANGAT ANTI KEKERASAN


Oleh: Ekky Imanjaya

IslamIndonesia.id – KOLOM – Ibnu Rusyd dan Semangat Anti Kekerasan

“Wahyu hanya bisa ditafsirkan dengan studi…” (Ibnu Rusyd)

KEKERASAN dan terorisme atas nama Islam adalah fenomena yang tak habis untuk
dibahas dan dicemaskan. Di dalam negeri, misalnya, ada film seperti 3 Doa 3 Cinta,
Long Road to Heaven, Mata Tertutup. Di luar negeri, ada film semacam My Name is
Khan, Khuda Kayliye (Atas nama Tuhan), dan Kandahar.

Namun, sutradara senior Mesir Youssef Chachine, yang pada 1997 begitu khawatir
dengan gejala menguatnya gerakan fanatisme buta ini membuat film bertema
serupa dengan cara yang menarik. Youssef yang kristiani ini mengetengahkan
persoalan pelik ini dengan jalan kembali ke masa keemasan Islam, masa Andalusia
di Spanyol utara, dan meminjam biografi Ibnu Rusyd (Averroes), “raksasa” pemikir
yang menginspirasi peradaban Barat Modern. Agaknya, sang sutradara asal Mesir
itu ingin menyatakan bahwa bahkan di era yang penuh damai dan salah satu puncak
ilmu pengetahuan dan kesejahteraan rakyat dengan pemimpin seperti Averroes pun
masih ada ancaman bahaya laten terorisme dan kejumudan. Saat itu, Andalusia

https://islamindonesia.id 191
adalah pusat perabadan dunia, dan tempat ideal untuk multi budaya dan kerukunan
umat beragama seperti Muslim, Yahudi, Kristen, dan Gipsi.

Sekadar menyegarkan ingatan kita, Ibnu Rusyd (1126-1198) adalah salah satu
tokoh besar dalam peradaban Islam. Ia dikenal sebagai filsuf Islam paling
cemerlang dan humanis. Tapi sebenarnya, ia lebih dari itu, ia juga seorang Hakim
Agung, astronom, matematikawan, fisikawan, dan pakar kedokteran. Salah satu
sumbangannya sebagai fakih (ahli fiqih) adalah rangkaian kitab Bidayatul Mujtahid
wa Nihayatul Muqtasih yang memuat fiqih empat madzhab Imam Besar sunni, yang
menandakan semangat toleransi dan pluralitas. Di bidang filsafat, ia menyatakan
kedekatan dan kerjasama antara hukum Islam dengan filsafat, lewat Fasl al-Maqal
Wa Taqrir Ma Baina Al-Syariah Wa Al-Hikmah Min Al-Ittisal (Makalah Penentu
Tentang Hubungan Antara Syariah Dengan Falsafah). Di buku itu, ia
menegaskan bahwa tak ada pertentangan antara wahyu dan akal, antara agama
dan ilmu, antara syariah dan filsafat; dan pemikiran kritis adalah syarat untuk
menafsirkan Al-Qur’an.

Dan yang paling kontroversial adalah buku Tahafut al-Tahafut (Kerancuan di atas
Kerancuan), yang adalah kritik terhadap al-Ghazali (1058-1111) khususnya
buku Tahaful Al-Falasifah (Kerancuan Filsafat), yang otomatis membela Ibnu Sina
(Avicenna) (980–1037) dan Al Farabi (AL-Pharabious) (870-950).

Tapi, bagi peradaban Barat, Ibnu Rusyd lebih dari itu. Ia adalah jembatan bagi
terciptanya Abad pencerahan (Reinassance), karena ia adalah penerjemah dan
komentator terbaik Aristoteles, sosok yang nyaris terlupakan di masa itu, di samping
filsafat Yunani dan Romawi kuno lainnya. Ia dikenal dengan sebutan “Komentator”.
filsuf Barat seperti Thomas Aquinas adalah termasuk yang terpengaruh dengan
pemikirannya.”Averroism,” sebuah tradisi filsafat berdasarkan metodenya, terus
berlanjut di Eropa hingga Abad ke-17.

Film Destiny diawali dengan ditangkapnya seorang Kristen oleh pemerintah Prancis
Selatan yang ketahuan menerjemahkan karya-karya “terlarang” Ibnu Rusyd. Ia
dibakar hidup-hidup dimuka umum. Sang ayah, yang tengah kesakitan karena “api
unggun” itu menyuruh anaknya untuk ke Spanyol, tepatnya ke Kordoba, untuk
menemui sang filsuf di wilayah Andalusia, yang kala itu adalah masa kejayaan
Islam. Maka bertemulah ia dengan Ibnu Rusyd sang penasehat Khalifah dan Hakim
Agung, yang senang berkumpul dengan keluarga Gipsi Spanyol pimpinan penyanyi
jalanan Marwan. Di sana, berkumpul juga Nasser anak sulung khalifah yang
pengikut setia sang filsuf dan putra mahkota, dan Abdallah atau Burhan, adiknya
yang hobi berpesta dan berdansa.

https://islamindonesia.id 192
Rupanya, di dataran Eropa itu, ada sekelompok Cult, yang ingin berkuasa dengan
dalih agama. Mereka mempunyai cara untuk mencuci otak anggotanya untuk
menjadi militant dan jumud dan hanya mendengarkan petuah pemimpinnya Syeikh
Said. Bagi mereka, misalnya, musik dan tarian adalah haram. Tapi, tujuan utama
adalah, seperti terlihat di film ini, berkuasanya sang Syeikh, bukan urusan ideologis
atau teologis.

Dan mereka pun merekrut si bungsu Abdallah, dan mulai merecoki kuliah-kuliah
Ibnu Rusyd. Simak adegan berikut ini:

Ibnu Rusyd (memberi kuliah): ada seorang pemalas yang bodoh yang baru belajar
dua ayat al-Quran, dan kemudian bertingkah sebagai seorang pemborong
kebenaran Ilahiah. Apakah dia seorang yang saleh? Pemahaman yang hakiki
terhadap ayat-ayat suci membutuhkan refleksi, riset, dan kerja tahunan. Jika kita
percaya pada orang yang menganggap dirinya jenius itu, kita mengabaikan ayat
ini: “Dan di antara manusia (ada) orang yang mempergunakan perkataan yang tidak
berguna untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan
menjadikan jalan Allah itu olok-olokan. Mereka itu akan memperoleh azab yang
menghinakan”. (surat Lukman, 31: 6—EIJ). Tak seorang pun yang dapat mengklaim
kebenaran utuh”.

(Seorang pengikut Syeikh Said fanatik memotong)

Orang: “Tak juga Khalifah Mansyur?”

Ibnu Rusyd: “ Imam Malik berkata, sambil menunjuk makam Rasulullah: “Semua
orang bisa dipertanyakan kecuali orang yang ada di situ”. Imam Syafii berkata:
“Sebuah opini yang benar bisa jadi terlihat salah, dan sebaliknya”.

Orang: “al-Quran itu sudah jelas. Apakah Anda menghasut untuk meragukannya?

Ibnu Rusyd: “Nabi bersabda:“Jika Anda mencari kebenaran, Anda akan punya dua
bagian: Jika itu mengarah pada kesalahan, ia akan diberikan imbalan. Maka
katankanlah: “Wahai Tuhanku, berikanlah aku ilmu…”.”

Orang: (memotong):“ilmu? Bagaimana dengan iman?”

Ibnu Rusyd: “Apakah Anda sedang menggugat Tuhan?”

(dan Ibnu Rusyd menutup dialog dengan pernyataan akhir):

https://islamindonesia.id 193
Ibnu Rusyd: “Wahyu hanya bisa ditafsirkan dengan studi”.

Namun, masalahnya, semakin lama pengaruh sekte keras itu semakin melebar,
bahkan sudah sampai tingkat aksi. Hal ini begitu mencemaskan sang filsuf yang
mengomentari sebuah kasus: “ Dia mengulang-ulang tanpa pemahaman, seperti
burung Beo. Bagaimana bisa mereka membunuh perasaan anak-anak muda itu dan
mengubahnya menjadi kriminal?”.

Di lain pihak, saat Abdallah ditahan dan diselamatkan dari pengaruh kaum militan, ia
hanya menjawab dengan ayat-ayat Quran yang keras. Ibnu Rusyd pun berkomentar:
“kamu cuma mengulang apa yang orang lain ucapkan. Kamu baca puisi dan quran
dan sudah merasa menjadi seorang akademisi? Tahu apa kamu tentang astronomi,
filsafat, dan sebagainya? Apakah kamu cukup tahu tentang cinta? Tentang hidup?
Tentang keadilan? Sehingga itu cukup untuk membuatmu berkata bahwa kamu
sedang menyebarkan firman Tuhan?”. Lantas Ibnu Rusyd mengeluh: “Mengapa aku
tetap menulis, tetapi ide-ideku tak pernah sampai ke orang-orang?”.

Kejumudan, kebuntuan pemikiran, hilangnya daya kritis akibat metode cuci otak
dan bila kaifa(tanpa-pertanyaan-mengapa) adalah salah satu sebabnya. Karena
itulah, karakter Ibnu Rusyd, di film yang diputar di Cannes 1997 itu,
dikisahkan berdialog tentang hubungan akal dan wahyu, yang sebenarnya adalah
intisari dari Fashl Maqal:

Wahyu ditujukan bagi mereka yang diberkahi akal. Itulah umat manusia. Hukum Ilahi
menggabungkan wahyu dengan akal. Ini termasuk menentukan sebab dan
akiba, wahana dan tujuan. Wahyu meliputi akal, dan akal meliputi
wahyu…beberapa anak-anak merancukan Antara agama dan ketidaktahuan.
Beberapa orang dewasa menjadikan ketidaktahuan menjadi agama….Terdakwa
muda kita itu diarahkan menuju kebinasaan. Tanpa disadari, mereka dipaksa
sesat….

Permasalahannya, di film ini, sang Khalifah Mansyur adalah sosok yang egois dan
menelantarkan kedua anaknya. Dan pengaruh Syeikh Said begitu kuat, hingga
membuat Istana memutuskan untuk membakar semua buku-buku Ibnu Rusyd yang
dianggap memecah belah negeri itu dan menyesatkan banyak pikiran anak muda.
Maka perjuangan pun dimulai: bagaimana menyelamatkan buku-buku karya Ibnu
Rusyd itu. Salah satunya adalah membawanya ke Mesir, ke pesantren Al Razi,
salah satu nama besar Islam lainnya. Ia berkata: “Saya tidak selalu sependapat
dengan Ibnu Rusyd. Tapi mengingat kondisi seperti ini, adalah tugas saya untuk
menyelamatkan buku-bukunya”.

https://islamindonesia.id 194
Josef, orang Kristen dari Prancis itu, pun kembali ke negerinya sambil membawa
buku-buku sang Filsuf, walau ia rasa berat untuk pulang kampung. Baginya,
Kordoba adalah negerinya yang kedua, karena “dimana ada pengetahuan, di situlah
tanah air kita. Dan kebodohan adalah tempat yang asing”. Karena itulah, Andalusia,
baginya adalah “tanah humanisme dan cinta”, mengingat sebagian besar Eropa kala
itu ada dalam masa kegelapan dan kemunduran.

Dan kita tahu bahwa, walau buku-buku dibakar, tapi, seperti yang dilansir adik sang
Khalifah dan menjadi catatan penutup film ini, “buah-buah pikiran itu punya sayap,
dak tak seorang pun yang dapat mencegah mereka untuk terbang”. Sayangnya,
pikiran-pikiran jumud yang pro-kekerasan juga punya sayap. Dan kaum moderat-
humanis pun berlomba-lomba dengan ide-ide buruk yang makin berkembang biak
itu. Hingga sekarang.

*) Ekky Imanjaya adalah dosen tetap School of Media and Communication, BINUS
Internasional, Universitas Bina Nusantara, Jakarta. Salah satu pendiri sekaligus redaktur
rumahfilm.org itu kini sedang menempuh studi S3 di bidang Kajian Film di University of East
Anglia, Norwich, Inggris

Sumber: Islam Indonesia

(Sumber: https://islamindonesia.id/kolom/kolom-ibnu-rusyd-dan-semangat-anti-kekerasan.htm)

https://islamindonesia.id 195
Sunday, 09 July 2017

PERSETERUAN ARAB SAUDI VS QATAR


Oleh: Zuhairi Misrawi*

islamindonesia.id – KOLOM – Perseteruan Arab Saudi Vs Qatar

Tidak salah bila ada yang menyatakan Timur Tengah sebagai teater konflik.
Sederetan masalah berjibun tak kunjung selesai: konflik Israel-Palestina, Negara
Islam di Irak dan Suriah (NIIS), Yaman, dan Bahrain. Kini, Arab Saudi berseteru
dengan Qatar, yang melibatkan beberapa negara tetangga, seperti Uni Emirat Arab
(UEA), Bahrain, dan Mesir.

Perseteruan itu menambah runyam situasi kawasan. Stabilitas politik Timur Tengah
akan semakin terganggu, terutama agenda memerangi NIIS dan menyelesaikan
masalah Palestina.

Sikap yang diambil Arab Saudi dalam memutus hubungan diplomatik dengan Qatar
sangat mengejutkan. Apalagi langkah itu disertai dengan penutupan jalur perbatasan
darat, laut, dan udara dengan Qatar. Tidak hanya itu, Arab Saudi bersama
sekutunya di Teluk memerintahkan warga Qatar untuk keluar dari wilayahnya dalam
jangka waktu 14 hari.

https://islamindonesia.id 196
Bahkan, saluran televisi Al Jazeera resmi diputus dan ada larangan keras bagi
warga Arab Saudi dan sekutunya untuk bersimpati pada Qatar. Warga mereka yang
bersimpati pada Qatar akan dikenai denda yang lumayan besar. Konon jersey
Barcelona yang ada logo Qatar juga dilarang beredar di Arab Saudi.

Langkah ini sekali lagi mengejutkan. Saya yakin, orang-orang Teluk dan warga Arab
umumnya pun tidak bisa menalar apa yang terjadi saat ini karena mereka selama ini
ibarat sebuah keluarga besar di bawah payung Dewan Kerja Sama Teluk (GCC).

Akar penyebab

Sejatinya Arab Saudi bisa menempuh jalur duduk bersama dan melakukan dialog
dengan Qatar. Namun, hal tersebut tidak dilakukan, dan sekarang dampak terberat
yang harus dibayar dari keputusan tersebut, yaitu bubarnya lembaga GCC yang
selama ini paling solid di Timur Tengah. Kuwait yang sedang menempuh jalur
mediasi pun mengalami kebuntuan.

Jika ditelisik lebih dalam lagi, sebenarnya perseteruan Arab Saudi dan Qatar bukan
hal yang baru. Ibarat sebuah bom, hubungan panas-dingin antara kedua negara bisa
meledak sewaktu-waktu, karena kedua negara mempunyai perbedaan yang
mendasar dalam menyikapi perubahan besar Musim Semi Arab dan pergeseran
geopolitik di Timur Tengah.

Yang paling mencolok adalah konflik politik di Yaman dan Bahrain. Arab Saudi
mengerahkan segala kekuatannya untuk mendukung penuh rezim yang berkuasa di
Yaman dan Bahrain di tengah guncangan politik yang sangat dahsyat. Selain kedua
rezim negara tersebut dianggap sebagai loyalis terhadap Arab Saudi, keduanya
secara geografis juga berbatasan langsung dengan Arab Saudi. Jika salah satu
negara lepas ke tangan rezim yang loyal terhadap negara lain, khususnya Iran,
maka akan memberikan dampak yang serius bagi masa depan rezim Arab Saudi
saat ini.

Posisi Qatar terhadap kedua negara yang sedang bergejolak sebenarnya netral. Hal
tersebut bisa dilihat dari pemberitaan Al Jazeera yang memberikan porsi yang sama
terhadap rezim dan pihak oposisi. Setidak-tidaknya Qatar memandang bahwa warga
Yaman dan Bahrain bisa menentukan masa depan negara mereka sendiri tanpa
intervensi terhadap pihak lain. Karena itu, Al Jazeera berusaha obyektif melihat
gelanggang perseteruan politik di Yaman dan Bahrain.

Saat ini, jujur saja, posisi Yaman dan Bahrain sama sekali tidak menguntungkan
Arab Saudi. Setelah bertahun-tahun konflik meledak, pihak oposisi di Yaman dan

https://islamindonesia.id 197
Bahrain masih belum bisa ditaklukkan oleh rezim yang loyal terhadap Arab Saudi.
Bahkan, posisi kelompok oposisi makin menguat. Qatar melalui televisi Al Jazeera
selalu membuat framing, bahwa Iran adalah pihak yang dituduh sebagai otak di balik
kukuhnya perlawanan oposisi, baik di Yaman maupun Bahrain.

Dalam hal ini harus diakui, bahwa Qatar sekali lagi berusaha obyektif tidak memihak
pada Iran. Bahkan, jika dilihat dari pemberitaan di Al Jazeera, Iran sendiri
menganggap Qatar cenderung berpihak kepada Arab Saudi, karena memberikan
porsi pemberitaan yang lebih besar bagi pihak rezim yang berkuasa daripada pihak
oposisi.

Namun, sepertinya Arab Saudi menganggap sikap Qatar tersebut bermain di atas
dua kaki. Di satu sisi, Qatar tidak ingin kehilangan kakinya di GCC, tetapi di sisi lain
tidak ingin kehilangan perannya dalam perubahan besar pasca-Musim Semi Arab.
Karena fakta yang terakhir ini pula, Qatar harus bersitegang dengan Mesir karena
cenderung menolak kudeta yang akhirnya memenangi militer sebagai penguasa
saat ini. Qatar memandang Ikhwanul Muslimin adalah pemenang secara demokratis,
karenanya tidak layak dikudeta dengan cara-cara yang tidak demokratis.

Di samping itu, Qatar juga mulai melihat perubahan peta geopolitik di Timur Tengah.
Iran menjadi pemain utama yang benar-benar hadir dan mempunyai pengaruh riil.
Iran semakin menancapkan kekuatan di Irak, Suriah, Lebanon, Yaman, dan Bahrain.
Bahkan Iran mendapat sokongan penuh dari Rusia sebagai mitra strategisnya di
kawasan.

Begitu pula Turki yang mulai memandang Amerika Serikat sebagai pihak yang tidak
bisa diajak bekerja sama setelah menolak menyerahkan Fethullah Gulen yang
dianggap mereka sebagai otak kudeta. Turki akhirnya mulai merapat ke Rusia dan
Iran.

Fakta-fakta itu menjadi perhatian Qatar untuk tidak tunduk pada kepentingan Arab
Saudi di kawasan. Bagaimanapun Timur Tengah sekarang, bukanlah Timur Tengah
lama, yang selalu tunduk pada kepentingan AS melalui kaki tangannya, Arab Saudi.

Timur Tengah saat ini sudah berubah karena negara-negara di kawasan sendiri juga
mengalami pertumbuhan yang cepat, baik secara ekonomi, media, maupun militer.
Meskipun Qatar tidak mempunyai kekuatan militer, tetapi harus diakui Qatar saat ini
mempunyai kekuatan ekonomi dan media sehingga mempunyai pengaruh yang
tidak bisa dianggap sepele di kawasan.

https://islamindonesia.id 198
Karena itu, isu soal keterlibatan Qatar dalam jaringan terorisme adalah isapan
jempol. Arab Saudi sengaja membungkus isu ini untuk menutupi masalah utama
yang sedang dihadapi, yaitu Yaman dan Bahrain, dan membesarnya pengaruh
Qatar di Timur Tengah.

Tanpa solusi

Semua tahu, kalau para teroris di Timur Tengah sebenarnya lebih dekat secara
ideologis dan politis dengan Arab Saudi. Narasi-narasi ideologis yang dimainkan Al
Qaeda dan NIIS sebenarnya lebih dekat dengan Arab Saudi daripada Qatar. Mereka
adalah kaum takfiri yang mendapatkan inspirasi dari ideologi yang dianut rezim Arab
Saudi.

Memang Qatar melindungi Hamas dan Ikhwanul Muslimin. Namun, kedua kelompok
tersebut masih diperdebatkan untuk disebut teroris. Karena itu, keduanya adalah
kelompok perlawanan politik yang selama ini diperlakukan tidak adil, baik di
Palestina maupun di Mesir. Lagi pula kedua kelompok tersebut tidak mengancam
Arab Saudi.

Bagaimanapun sikap yang diambil Arab Saudi dengan memboikot Qatar sangat
berlebih-lebihan, bahkan dianggap memaksakan kehendak dan tidak menghormati
kedaulatan negara lain. Karena itu, langkah yang diambil Arab Saudi semakin tidak
menguntungkan pihaknya.

Saat ini Qatar sudah mendapatkan sokongan penuh dari Turki dan Iran. Itu artinya,
pihak oposisi Yaman dan Bahrain juga mendapatkan dukungan moral untuk
melakukan perlawanan terhadap rezim yang selama ini disokong Arab Saudi. Dan,
akhirnya, Timur Tengah akan terus bergejolak tanpa ada solusi. []

*Peneliti Pusat Pemikiran dan Politik Timur Tengah, The Middle East Institute

YS/ Sumber: Harian Kompas

(Sumber: https://islamindonesia.id/kolom/kolom-perseteruan-arab-saudi-vs-qatar.htm)

https://islamindonesia.id 199
Thursday, 06 July 2017

RASULULLAH DAN MAKHLUK KECIL PEMILIK KERAJAAN TUHAN

islamindonesia.id – Rasulullah dan Makhluk Kecil Pemilik Kerajaan Tuhan

Mereka mendapat tempat istimewa di hati Rasulullah

Latamso tengah memainkan 5 butir peluru tajam AK 47, ketika rombongan wartawan
mendatanginya di sebuah camp pengungsian yang masuk dalam wilayah Poso. Wajahnya
tiba-tiba merunduk penuh rasa takut, ketika salah seorang dari para wartawan tersebut coba
menyapa sekaligus mengusap rambutnya. “Ia selalu begitu kalau bertemu setiap laki-
laki,”kata ibu angkatnya. Orang tua Latamso tewas dibunuh sekelompok laki-laki di wilayah
Lombogia. Dan bocah kecil itu, dengan segenap jiwanya yang murni menyaksikan sendiri
pembunuhan tersebut. Lantas apa salah mereka hingga harus mengalami trauma panjang
karena semata-mata konflik orang-orang dewasa?

Fotografer perang James Nachtwey dalam pengantar buku berjudul Inferno, mengeluhkan
soal ini. Ia tak habis pikir, kenapa harus ada perang yang hanya membuat sekumpulan
mahluk kecil itu harus menderita. Ini jelas tak adil. Karena mereka seharusnya tumbuh
dalam alam bebas tanpa kekerasan: menikmati masa-masa kecil yang indah, selaiknya
bocah-bocah di dunia mana pun.

Dalam Islam, anak-anak menempati posisi yang sangat istimewa. Begitu istimewanya,
hingga dalam kondisi perang, Rasulullah mutlak melarang tentaranya untuk mengganggu
mereka. Konon bila ada kejadian yang menyebabkan seorang anak ketakutan, tak ragu-ragu
manusia agung ini pasti akan memberikan sanksi yang setimpal kepada prajuritnya.

https://islamindonesia.id 200
Wajar sekali jika manusia agung tersebut bersikap seperti itu. Secara pribadi, Muhammad
adalah seorang pecinta anak-anak. Ada sebuah cerita menarik ketika suatu hari, saat akan
pergi ke masjid dan melewati sebuah gang, tiba-tiba ia melihat sekumpulan bocah tengah
asyik bermain. Ia lantas tersenyum. Didekatinya mereka. Begitu tahu Muhammad datang,
alih-alih ketakutan atau segan, bocah-bocah itu malah menggelayuti tubuhnya seraya
beseru: “Ayolah jadi untaku.! Ayolah jadi untaku!” Suatu tanda betapa dekat Muhammad
dengan anak-anak.

Muhammad mafhum akan permintaan itu. Di rumahnya, Ia kerap melakukan permainan


khas kanak-kanak Madinah itu bersama dua cucunya: Hasan dan Husain. Muhammad pun
menurutinya:berlaku bak seekor unta yang ditunggangi bocah-bocah itu secara bergantian.

Begitu asyiknya Muhammad bermain-main dengan para bocah tersebut. Hingga tak terasa,
Billal ibn Rabah sudah berdiri di samping “unta” itu untuk menjemputnya. “Ya Rasulullah,
jamaah sudah menantikanmu untuk memimpin sholat,”ujarnya.

Rasul menengadah. Sambil tersenyum, dipandangnya sahabat Ethiopia-nya itu. Ia lantas


berkata: “Bagiku, terlambat waktu shalat lebih baik dari pada membuat hati anak-anak ini
bersedih”. Dan alih-alih bersegera menuju masjid, Muhammad malah meminta Bilal pergi ke
rumahnya untuk mengambil beberapa butir biji buah kenari. Begitu kembali, Bilal
menyerahkan butiran buah gurih itu ke tangan Muhammad.

Sambil menimang biji-biji kenari tersebut, Muhammad berujar: “ Maukah kalian menjual
“untamu” dengan kenari-kenari ini?” Bocah-bocah itu berseru riang mengiyakan. Maka
begitu makanan kecil itu berpindah tangan, lepaslah satu persatu tangan-tangan munggil itu
dari tubuh Muhammad. “Semoga Allah merahmati saudaraku, Yusuf (maksudnya Nabi
Yusuf AS). Ia dijual dengan harga beberapa dirham sementara aku “terjual” dengan
beberapa kenari sja”katanya sambil tersenyum dan berjalan menuju masjid bersama Billal.

Muhammad selalu membuat saya kagum. Bukan semata-mata karena ia adalah seorang
Rasul atau Nabi, tapi juga karena ia seorang manusia, yang selalu beruasaha menebarkan
rasa cinta kasihnya kepada siapapun, termasuk kepada mereka yang kata penulis Paulo
Coelho merupakan “mahluk-mahluk kecil pemilik Kerajaan Tuhan”.

IslamIndonesia/ Foto ilustrasi: thelinkcanada.ca

(Sumber: https://islamindonesia.id/kolom/rasulullah-dan-makhluk-kecil-pemilik-kerajaan-
tuhan.htm)

https://islamindonesia.id 201
Monday, 03 July 2017

KOMUNIKASI RUANG PUBLIK


Oleh: Komaruddin Hidayat, Dosen Fakultas Psikologi UIN Jakarta

Menurut cita rasa bahasa, kata ‘Indonesia’ merujuk pada letak dan kondisi geografis,
yaitu sederet pulau di lautan India, bukan menunjuk sebuah entitas bangsa.
Pernyataan ini lebih mudah dipahami dengan membuat perbandingan, misalnya
Turki, nama bangsa dan negaranya adalah identik. Atau bangsa dan negara Korea,
keduanya juga identik. Sementara kata Indonesia jika dimaksudkan sebagai sebuah
bangsa, yang namanya bangsa Indonesia masih dalam proses menjadi Indonesia
atau mengindonesia. Sebuah cita-cita politik yang memerlukan perjalanan panjang
dan berliku.

Melihat geneologi bangsa dan negara Indonesia, Indonesia merupakan proyek


politik dari warga masyarakat serta pemimpin daerah yang tinggal dan tersebar di
Nusantara ini untuk meraih kemerdekaan dari cengkeraman penjajah. Indonesia
merupakan rumah besar yang elemen-elemen bangunan dan kamar-kamarnya
terdiri dari sekian ragam etnis, budaya dan agama yang sepakat tegak berdiri saling
bergandeng tangan, saling menjaga dan memperkokoh yang lain.

Hidup berdaulat, merdeka dan sejahtera merupakan cita-cita dan tekad utama yang
mendasari berdirinya Republik Indonesia. Oleh karena itu, moto Bhinneka Tunggal
Ika bukan sekadar menggambarkan pluralitas suku, bahasa, dan agama penduduk
Nusantara, tetapi sebuah janji dan komitmen politik yang harus dipenuhi oleh
pemerintah dan negara untuk melindungi serta memupuk pohon kebinekaan itu.

Wilayah yang diperebutkan

Moto Bhinneka Tunggal Ika dan kesepakatan Pancasila sebagai pedoman hidup
berbangsa dan bernegara juga merupakan bukti sejarah dan janji politik agar
Indonesia tak dikuasai dan dimiliki ideologi primordial, komunal, dan kesukuan
karena jika hal itu terjadi pasti Indonesia akan gaduh, kehilangan ruh dan
mengingkari jati dirinya dengan ongkos sosial, ekonomi, dan politik teramat mahal.

Langkah paling logis dan strategis adalah memenuhi janji untuk menjaga keutuhan
berbangsa serta menyejahterakan warganya secara merata karena merekalah
pemilik sejati Tanah Air Indonesia. Pemerintah dan negara mesti menindak tegas
serta menghalau terhadap predator dengan berbagai macam bentuk, rupa, kostum,
dan modus yang merampas hak-hak rakyat serta mau menggergaji tiang negara.

https://islamindonesia.id 202
Sejak dulu wilayah Nusantara ini memang selalu menjadi daerah yang diperebutkan
(contested zone) oleh kekuatan asing. Kekuatan asing mana yang tidak tertarik
untuk datang dan menguasai wilayah yang indah, makmur dengan sumber alamnya
kaya raya ini?

Oleh karena itu, konsep Indonesia asli itu tidak mudah dicarikan akar tunggangnya
secara otentik. Bahkan, agama-agama besar yang diakui oleh negara pun
semuanya agama pendatang. Meminjam bahasa bisnis, semuanya adalah agama
impor. Kalaupun ada agama asli Indonesia, barangkali berupa kepercayaan dan
tradisi lokal yang masih bertahan di sejumlah daerah yang posisinya pun semakin
tergusur. Akan tetapi, memang demikianlah yang terjadi, di tingkat global pun
migrasi penduduk lintas bangsa, agama, dan negara semakin intens.

Hal ini bisa memperkaya peradaban sebuah bangsa, tetapi bisa juga malah
menimbulkan persoalan baru, seperti ekses eksodus kurban peperangan di Timur
Tengah yang mencari suaka ke Eropa. Sejumlah pelaku teroris diidentifikasi sebagai
warga imigran.

Bangsa-bangsa yang dulu dikenal sebagai kapitalis, imperialis dan agresor nalurinya
tidak akan pernah mati. Yang berubah adalah modusnya. Namun, mereka
dihadapkan kenyataan sosial baru bahwa sekarang ini tak akan bisa sebuah bangsa
dan negara untuk maju dan kaya sendiri. Dalam diplomasi luar negeri, kata
kemandirian telah diubah menjadi kemitraan. Ketika ilmu pengetahuan, teknologi
dan demokrasi semakin mendunia, semua bangsa dipaksa untuk saling kerja sama
dan menghargai hak-hak bangsa lain. Naluri imperialisme mesti berdamai dengan
rasionalitas urgensi kerja sama antarbangsa. Kita hidup dalam global network
society.

Urgensi kerja sama dan nafsu kompetisi ini mengingatkan kita pada teori
Darwinisme sosial, survival of the fittest. Hanya mereka yang kuat dan fit memasuki
lingkungan baru yang bisa bertahan dan berkembang. Kalau ada negara yang kaya
sumber alamnya, tetapi tidak memperoleh perlindungan kuat, pasti akan jadi
mangsa negara kuat yang agresif.

Ini sudah dan masih berlangsung di berbagai belahan dunia, termasuk di Indonesia.
Sampai-sampai muncul istilah a natural curse. Kekayaan sumber daya alam yang
tidak memperoleh perlindungan dan pemanfaatan yang benar, akan berbalik
menjadi sumber malapetaka. Alam mengutuk balik penghuninya. Lihat saja apa
yang terjadi di Irak, Libya, Suriah, dan beberapa daerah di Indonesia.

https://islamindonesia.id 203
Yang menyedihkan adalah ketika terjadi persekongkolan kekuatan asing dan
oknum-oknum dalam negeri sebagai komprador. Lebih menyedihkan lagi ketika
oknum dalam negeri itu menggunakan instrumen negara untuk merusak dan
merampok kekayaan rakyat dan negaranya sendiri.

Politik komunalisme

Perkembangan dan perubahan politik yang berlangsung sedemikian cepat, ditambah


lagi pengguna media sosial (medsos) yang terus bertambah membuat masyarakat
mengalami gegar ledakan informasi, bingung, tidak bisa membedakan antara berita
sampah, hoaks, dan yang konstruktif-edukatif. Lewat medsos siapa pun punya
peluang yang sama untuk menulis menyampaikan aspirasi dan opininya terhadap
berbagai berita dan peristiwa yang terjadi.

Sedemikian penuh dan hiruk pikuk informasi dan opini di medsos sehingga
komunitas netizen cenderung berpikir fragmentaris dan eklektik tanpa kedalaman.
Bahasa medsos pun cenderung subyektif, like or dislike, bukannya salah atau benar
berdasarkan kajian dan perenungan mendalam.

Suasana gamang dan insecure, mendorong seseorang untuk membangun afiliasi


emosional dan imajiner dengan mereka yang memiliki gelombang emosi yang sama.
Afiliasi emosional ini akan menjadi semakin kental ketika disatukan oleh kesamaan
kepentingan dan identitas keagamaan sehingga pada urutannya
menimbulkan crowd mentality. Mental kerumunan. Ketika tampil figur yang bisa
menjadi lokomotif, komunitas netizen yang bermental kerumunan ini bisa muncul
sebagai kekuatan riil meskipun hanya sesaat karena bukan himpunan massa yang
organik.

Dalam sebuah pesta demokrasi, mental kerumunan ini mudah dikapitalisasi dan
direkayasa untuk sebuah tujuan politik jangka pendek. Kehadiran medsos dan sosok
pemimpin massa sangat instrumental untuk menjaring dan menggalang emosi yang
sama dalam menentukan sikap politik massa, meskipun di situ tidak jarang terjadi
proses manipulasi dan pembodohan.

Bahkan, organisasi semacam Negara Islam Irak dan Suriah (NIIS) pun sangat sadar
dan piawai melakukan propaganda sampai cuci otak (brain washed) melalui
medsos. Anak-anak muda yang tidak beruntung secara ekonomi dan dangkal
wawasan pengetahuan agamanya menjadi sasaran empuk propaganda gerakan
NIIS dan gerakan radikal sejenisnya.

https://islamindonesia.id 204
Dalam konteks Indonesia yang penduduknya sangat beragam dan dari sisi
pendidikan serta ekonomi masih banyak yang kurang beruntung, mereka mudah
tertarik jika ada tawaran insentif berjihad mencari kemuliaan di jalan Tuhan dan janji-
janji perbaikan nasib. Di antara janji-janji yang ditawarkan itu adalah mengganti
ideologi dan sistem kenegaraan yang menerapkan demokrasi lalu diganti sistem
kekhalifahan. Pancasila dan demokrasi itu pemerintahan taghut, berhala, kafir, mesti
diganti. Atau setidaknya diterapkan sistem syariah, tetapi syariahmenurut
pemahaman mereka.

Tema-tema itu pantas diragukan, jangan-jangan hanya jargon kosong dan pemikiran
utopia karena yang sesungguhnya terjadi adalah perebutan kekuasaan dan sumber
daya ekonomi di kalangan elite yang kemudian mengkapitalisasi sentimen
komunalisme etnis dan agama. Menjadi semakin complicated ketika kekuatan asing
ikut bermain memperburuk suasana dengan melatih para aktivis radikal dan
menyuplai kebutuhan finansialnya.

Jika asumsi dan dugaan di atas benar, kita mesti bersiap-siap mental mendekati
Pemilu 2019 ini Indonesia akan semakin gaduh. Ekspresi keagamaan yang garang
yang akan lebih mengemuka, dan bukannya keberagamaan yang sejuk dan
mencerahkan untuk bersama-sama memajukan dan menyejahterakan rakyat
Indonesia. ●

YS/ Sumber: Kompas


(Sumber: https://islamindonesia.id/kolom/kolom-komunikasi-ruang-publik.htm)

https://islamindonesia.id 205
Thursday, 29 June 2017

RASA AGAMA NUSANTARA


Oleh: Emha Ainun Nadjib

islamindonesia.id – KOLOM – Rasa Agama Nusantara

“Fa man sya`a falyu`min, wa man sya`a falyakfur”. Bagi yang berjuang mensungguh-
sungguhi Allah, Islam, Al-Qur`an, Pancasila, dan Bhinneka Tunggal Ika, nikmatilah
pagi hari kesungguhanmu seusai kegelapan malam.

Bagi yang butuh memanipulasi Allah, mengeksploitasi Islam, menunggangi Al-


Qur`an, men-talbis-i Pancasila, dan memanfaatkan Bhinneka Tunggal Ika, demi
mengejar keuntungan dunia, kemenangan politik dan kekuasaan — nikmatilah
rahasia dan kejutan-kejutan “yaroh”.
Aku meneruskan pengabdianku merawat tetanaman di Kebun Nusantara.

Sejak jauh sebelum Masehi, manusia Nusantara sudah mengarungi kerinduan


kepada asal-usulnya, supaya mengetahui arah dan tujuan pada ujung
kehidupannya. Nenek moyang kita sudah mengolah rasa keagamaan, meskipun ada
abad-abad di mana mereka belum didatangi oleh Agama.

Nenek moyang kita sudah sangat mendalam mencari Tuhan, meskipun ada kurun
waktu di mana Tuhan belum menurunkan teks firman ke bumi. Manusia Nusantara
melakukan perjalanan keluar dan ke dalam dirinya. Nenek moyang kita adalah

https://islamindonesia.id 206
para pecinta yang mencari kekasihnya. Di suatu tahap mereka menyadari bahwa
yang mereka kangeni bukan sekadar kekasih, tapi Kekasih.
Ada yang menemukan banyak Kekasih. Mereka memberi sebutan-sebutan atau
nama Kekasih. Ada yang melihat banyak Kekasih. Ada yang menyimpulkan ada tiga
Kekasih. Sampai akhirnya menyepakati Kekasih itu adalah Tuhan Yang Maha Esa.
Tak ada yang lebih sejati kebenarannya dari Esa, Tunggal, Siji, The Only, Satu-
satunya.

Siapa gerangan nama-Nya? Apakah Ia perlu nama? Apakah Ia punya teman-teman


sepergaulan sehingga perlu sebutan? Apakah manusia punya kemungkinan untuk
mengetahui nama-Nya? Apakah pengetahuan dan ilmu manusia mampu
menjangkau-Nya?

Pasti tidak. Kemungkinannya hanya satu: Sang Kekasih memperkenalkan diri-


Nyakepada manusia yang diciptakannya. Terserah itu nama sejati-Nya, atau
sekedar inisial agar manusia tidak kebingungan menyebut-Nya. Manusia tak juga
mampu mengenali karakter dan sifat-sifat-Nya. 99 kah? Atau 240? Atau tak
terbatas? Tan kinoyo ngopo, tan keno kiniro, laisa kamitslihi syaiun.
Tak ada daya pada manusia, kecuali Sang Kekasih sendiri yang hadir dan
mengekspresikan diri pada batas kemampuan manusia untuk bisa mengakses-Nya.
Apakah kehadiran-Nya bisa ditangkap oleh panca-indera? Rasionalkah bahwa Ia
Tuhan kalau manusia bisa melihat-Nya? Ia menyatakan “la tudrikuHul abshar wa
Huwa yudrikul abshar, wa Huwal Lathiful Khobir”. Makhluk tak sanggup melihatnya,
Ia melihat semua makhluk-Nya, Ia Maha Lembut dan Maha Mengabarkan.
Kalau manusia mencari Tuhan, itu namanya rasa keagamaan atau religiusitas.
Kalau Tuhan menginformasikan, menghidayahi, menyuruh dan melarang, itu
namanya Agama atau religion. Kalau manusia menentukan inisiatif untuk mendekati
Tuhan, apapun bentuknya, apapun ucapan dan gerakannya, kapapun waktunya —
itu namanya rasa keagamaan. Di dalam Islam disebut Ibadah Muamalah. Kalau
Tuhan yang mengatur peribadatan manusia kepada-Nya, dengan bentuk, gerakan,
ucapan serta ketentuan waktunya — itu namanya Agama. Dalam Islam
namanya Ibadah Mahdloh. Tanda Agama adalah kalau ada Ibadah Mahdloh.
Karena kalau Ibadah Muamalah, yang meskipun juga baik, tetapi ia bukan Agama,
melainkan rasa keagamaan.

Informasi Tuhan berjodoh dengan akal manusia yang Ia siapkan, dengan daya
serap, daya tembus lahir batin. Tak terbatas kabar dari Allah, manusia hanya
mampu mengakses sangat sedikit cipratannya. Apalagi formula literasi Tuhan sama
sekali tidak seperti teks akademis ilmiahnya manusia. Jangan meneliti semut
dengan kepustakaan utama Surat An-Naml, atau kebingungan mempelajari riwayat

https://islamindonesia.id 207
Nabi Musa karena tidak ada Surat Musa. Surat Lebah dan Surat Madu juga bukan
kepustakaan tentang hewan.

Ada upaya religiusitas yang menemukan simbolisme evolusi kesadaran nilai dalam
peradaban adalah satu Kelapa dengan empat
tahap: Bluluk (Taurat), Cengkir (Zabur), Degan (Injil) kemudian Kelapa (Al-Qur`an).
Jangan marah. Ini religiusitas, gairah pencarian cinta. Bukan Agama, bukan firman.
Parameternya bukan benar salah menurut tafsir manusia, melainkan ridha Allah
berdasarkan niat baik atau buruknya. Bluluk Cengkir Degan Kelapa itu satu, bukan
empat. Tapi peradaban manusia sampai abad-21 meng-empat-kan itu dan
mempertengkarkannya satu sama lain.

Paralel dengan “satu dianggap empat” itu, terdapat juga bias dan tipuan kamera ilmu
manusia yang mendikotomikan Langit dengan Bumi, Dunia dengan Akhirat, Barat
dengan Timur, Agama Samawi dengan Agama Ardli, Kesalahen Individu dan
Kesalehan Sosial, Album Pop dan Album Religi, Nada dan Dakwah. Bahkan secara
statis memilah makro dengan mikro, aku di sini Tuhan di sana, cinta kepada
keluarga bersaing dengan cinta kepada Tanah Air, cinta kepada Tanah Air
dicemburui oleh cinta kepada Tuhan. Seolah-olah manusia tidak pernah belajar
fisika glepung, serbuk, gelembung, titik, garis, ruang, yang seluruhnya satu dalam
Maha Gelembung Tuhan Yang Maha Esa. Seakan-akan belum ada software
010101.

Tuhan juga sangat getol menginformasikan ilmu melalui simbolisme buah, daun,
pohon, dan kebun. Semua kalimat yang baik, manusia yang baik, Negara yang baik,
masyarakat dan perusahaan yang baik: seperti pohon yang baik, “yang akarnya
menghunjam ke bumi dan dedaunannya merambah langit”. Surga diperkenalkan
dengan kata Al-Jannah, artinya kebun. Kehidupan adalah berkebun, agar kelak
terlatih ketika menghuni Kebun Surga. Tetapi Ulama sibuk dengan pagarnya.
Pendidikan Islam adalah pendidikan pagar, bukan melatih bercocok tanam di kebun
kehidupan.

Dari sumpah Tuhan atas empat faktor: Tin, ambil buah. Dari Zaitun, lihat pohon.
Dari Sinai, temukan hamparan tanah bebukitannya. Dan Baladil-Amin adalah
bangunan peradaban manusianya. Terdapat evolusi yang “tidak taat waktu” dari
Budha, Isa, Musa, hingga Muhammad. Benih nilai dulu, kemudian ditanam jadi
pohon, kemudian ditata kebunnya, akhirnya dibangun Peradaban Al-Balad Al-Amin.
Islam jangan mandek di “Mekah” dulu sebagaimana aspirasi Islam yang
berkembang di Eropa, Amerika, Kanada, Rusia. Sehingga terkagum-kagum pada
“Ini Negara Kafir kok malah hukumnya bagus, pembangunannya hebat dan
politiknya rahmatan lil’alamin”. Negara-negara Barat melaksanakan Islam Madinah

https://islamindonesia.id 208
tanpa Mekah, Kaum Muslimin menegakkan Mekah tanpa berpikir Madinah. Ummat
Islam yang minoritas (15%) di Negeri Madinah, bekerjasama menciptakan
Peradaban Madaniyah, di mana Rasulullah mengayomi mereka semua tanpa
jabatan resmi sebagai Khalifah, meskipun desain pengayomannya adalah Khilafah.
Pada puncak evolusi Khilafah dikenal konsep “ahsanu taqwim” dan “asfala safilin”,
yang di dalamnya terangkum dialektika benar-salah, baik-buruk dan mulia-hina.
Khalifah artinya “membuntuti Tuhan dengan berjalan di belakangnya”. Tentu tidak
secara fisik, melainkan nilai. Kalau kesadaran Abdullah adalah pengetahuan
bahwa manusia dan kehidupan hanya diselenggarakan: kita terikat kepada Yang
Maha Menyelenggarakan. Maka kesadaran Khalifatullah adalah bahwa kita tidak
hanya hamba, kita adalah mandataris, asisten manajer untuk mengelola rahmatan
lil’alamin.

Sementara Default value Abad-21 manusia adalah “tuhan”. Ketika menapak ke


kesadaran Hamba Tuhan, manusia mengerti “aku tidak punya mata, aku hanya
dipinjami mata dan diperkenankan melihat, sesungguhnya mataku adalah mata-
Nya”. Demikian juga telinga, tanah, lautan, tambang, apapun saja sahabat pergaulan
di alam semesta. Itulah sebabnya nenek moyang bangsa Nusantara mengajari cucu-
cucunya untuk berupacara Ruwat Desa atau Merti Desa. Tapi begitu kita menjadi
Negara, isi bumi kita kuras habis tanpa minta izin kepada Maha Pemiliknya. Kita
manusia Abad Kemanusiaan Abad-21 merasa memiliki dunia dan alam semesta.
Kita hutang melebihi tingginya gunung tanpa sopan santun dan a’izzah kepada anak
cucu. Padahal manusia tidak rasional untuk merasa memiliki dirinya sendiri. Bahkan
menumbuhkan.

Mungkin karena itu sejatinya Bangsa dan Negara Indonesia butuh belajar Khilafah.
Tidak sebagai gerakan politik, tapi sebagai ilmu dan program keselamatan masa
depan. Kapan-kapan kita bertamasya ke Kebun Ilmu untuk menikmati keindahan
betapa rasa keagamaan bangsa Nusantara telah bertemu dengan jodohnya, yakni
hidayah dari Tuhan Yang Maha Esa. Kata orang Jawa: “Tumbu Ketemu Tutup”.

Yogya Juni 2017.


IslamIndonesia/ Diterbitkan atas izin penulisnya

(Sumber: https://islamindonesia.id/kolom/kolom-rasa-agama-nusantara.htm)

https://islamindonesia.id 209
Wednesday, 21 June 2017

PERTAPAAN RAMADLAN (BAGIAN 1)


Oleh: Emha Ainun Nadjib

Kuanjurkan kepada berjuta-juta anak dan cucuku untuk mengambil waktu selama
sepuluh hari terakhir Ramadlan untuk bertapa, terutama di Masjid. Bertapa.
Melakukan pertapaan. Berhenti. Diam. I’tikaf.

Di antara berjuta-juta mereka, yang berkonsentrasi sungguh-sungguh


mendengarkan anjuranku, hanya seribu dua ribu. Di antara seribu dua ribu, yang
menggunakan kecerdasan naluriah untuk memahami anjuranku, hanya seratus dua
ratus. Di antara seratus dua ratus, yang bertandang melakukan anjuranku, hanya
sepuluh dua puluh.

Dan di antara sepuluh dua puluh, yang menunjukkan indikasi bahwa mereka khusyu,
intens, sublim, mendalam, menyelam hingga mendekati nucleous rohani — hanya
satu dua orang. Mungkin tiga empat. Boleh juga dianggap empat lima. Demi
apresiasi terhadap niat suci mereka, demi kemurahan dan rasa syukur.

Di antara beberapa anakku itu ada yang belum bisa diajak berbicara. Konsentrasi
bertapanya dibawa kemanapun ketika keluar dari Masjid. Proses internalisasinya
belum selesai. Perjalanan kontemplasinya masih berlangsung, meskipun secara
jasad ia sudah melakukan berbagai hal sebagaimana orang lain.

Satu dua lainnya sudah bisa kusapa, kuajak bicara, kuwawancarai. “Iktikaf itu
bagaimana to?”
“Ya iktikaf saja. Berhenti. Diam”
“Yang berhenti apanya? Berhenti berpikir?”

“Nggak juga sih. Kita bisa mengendalikan pikiran, tapi terbatas. Kita bisa tidak
memikirkan sesuatu, tapi pikiran itu berpikir sendiri di luar kemauan, perintah atau
larangan kita”

“Jadi selama iktikaf pertapaanmu, pikiranmu tetap berseliweran ke sana kemari?”

“Semacam itu. Seakan-akan pikiran itu makhluk lain yang bukan saya. Dia mandiri
dan merdeka, meskipun saya bisa menawarnya, membelokkan, sedikit

https://islamindonesia.id 210
menghentikan atau menyuruh beralih konsentrasi. Tetapi ia memiliki otoritas untuk
melakukan perjalanannya sendiri. Bahkan dia sering bisa menyentuh inspirasi, ide
atau gagasan yang baru, yang saya tidak pernah mengetahui sebelumnya”

“Jadi iktikafmu berisi aktivasi pemikiran? Semacam tafakkur?” “Sebenarnya pikiran


mengaktivasi dirinya sendiri. Saya hanya berdialog dengannya, memesan sesuatu,
menawar atau memintanya tentang sesuatu hal”

“Berarti, keadaan-keadaan dunia kamu bawa ke dalam pertapaan iktikafmu? Juga


keadaan Negerimu Indonesia?”

“Andaikan tidak saya bawa, pasti ngikut juga. Sering saya merasa terganggu kalau
Indonesia nyelonong-nyelonong masuk ke ruang batin iktikaf saya. Indonesia sangat
merepotkan hati saya dan bikin lumpuh pikiran saya. Tetapi kalau saya berniat
mengusir atau membuang Indonesia dari bilik kesunyian iktikaf, rasanya sayang
juga, sebab bagaimanapun saya sangat mencintainya. Dan ternyata sangat
mendalam”

“Memang Indonesia adalah kekasihmu. Kamu boleh kecewa, marah, berang,


bahkan benci dan ingin membuangnya. Tetapi tetap saja ia adalah kekasih hatimu.
Tapi kenapa sebenarnya kok kamu merasa bahwa Indonesia sangat
merepotkanmu?”

“Indonesia dalah wahana segala energi kehidupan yang serba melebihi ukuran.
Indonesia adalah ruang segala yang gaib-gaib dan segala yang serba berlebihan.
Komplikasi masalahnya melebihi ukuran ilmu pasien dan dokternya. Ketahanannya
melawan sakit dan penyakit juga melebihi ukuran makhluk normal siapapun dan
apapun di bumi. Kehebatannya berlebihan, sehingga mengancam dirinya sendiri.
Kepandaian berlebihan sehingga serabutan tempat dan aplikasinya”

“Tapi bagus dong, bagaimanapun itu adalah kepandaian”


“Jangan lupa kebodohannya berlebihan sehingga justru amat mengagumkan.
Kebandelannya berlebihan sampai-sampai saya membayangkan sejumlah Malaikat
mengeluh karena itu”

“Asal kamu tetap ingat bahwa tidak ada pasal keluhan dalam kehidupan Malaikat.
Tidak ada sistem psikologi semacam itu pada makhluk yang utuh rohaninya”

“Tapi kebebalannya melebihi batas, sehingga saya terkadang berimajinasi bahwa


Tuhan sendiri agak terperangah karena tidak pernah merasa menciptakan makhluk
yang dahsyatnya sampai sebegitu”

https://islamindonesia.id 211
“Kalimat seperti itu jangan sampai kamu ucapkan dan didengar oleh siapapun,
terutama para pemimpin Agama dan cerdik pandai Islam”
“Kan saya bilang berimajinasi. Bukan berasumsi. Apalagi menyimpulkan suatu
kenyataan. Itu pun saya tidak niat. Imajinasi itu muncul secara natural karena
terbatasnya akal pikiran saya”

“Kamu tadi bilang Indonesia adalah ruang segala yang gaib-gaib. Maksudnya apa
itu? Santet atau tenung selama Pilkada? Hantu sakti sejak BLBI, saham Papa
hingga E-KTP? Mobilitas segala komponen 2017-2018 yang dikonsentrasikan untuk
perebutan 2019?”

“Aduuuuh….”

“Pertemuan Nasional para Mawali, Masayikh, para Ki Ageng dan Ki Gede, kaum
Begawan dan Panembahan, beliau-beliau sukma yang mukswa dari zaman sebelum
Yesus? Rapat para Ruh Nusantara dari 18 titik penjagaan Pusaka Sejarah? Keris-
keris yang meloloskan diri dari Wrangkanya, minggat dari bilik penyimpanannya?”

“Kok indikatif klenik begitu. Mohon tidak mendramatisir. Yang saya maksud dengan
gaib itu adalah semacam turunnya adzab dari langit, yang berupa suatu jenis
kegelapan, yang membuat pikiran menjadi jadi buta, ilmu jadi lumpuh dan
pengetahuan hilang arah. Indonesia berjalan dengan cacat, salah meletakkan orang
di kursi, lapangannya kehilangan gawang, shalatnya salah kiblat, orang pada makan
tinja karena packaging-nya mirip roti…”.

Yogya, 19 Juni 2017.

islamindonesia/Diterbitkan atas izin penulisnya


(Sumber: https://islamindonesia.id/kolom/kolom-pertapaan-ramadlan-bagian-1.htm)

https://islamindonesia.id 212
Thursday, 22 June 2017

Industri Tausiyah
(Pertapaan Ramadlan Bagian 2)
Oleh: Emha Ainun Nadjib

Ditengah proses hari-hari Iktikaf, aku bertanya kepada dua anak di depanku: “Ketika
kau beriktikaf, di mana letak Allah, di mana Rasulullah, di mana Dunia, serta di mana
Masjid?”

Salah seorang dari mereka tersenyum mendengar pertanyaan itu. Aku perhatikan
ternyata kemudian senyumnya melebar, lantas berkembang menjadi tertawa, dan
akhirnya menjadi tertawa terpingkal-pingkal. Sampai terguncang badannya,
sehingga ia berdiri dan pergi setengah berlari.

Tentu saja aku kaget. Dan kecewa. Juga sedikit ada rasa tersinggung oleh suara
tertawa anak itu. Tak sempat kukejar atau kuteriaki. Sebab harus kuhadapi anak
lainnya, dan yang pergi itu nanti pasti akan kembali.

Sungguh aku ingin di antara anak-anakku itu akan ada yang menuturkan hasil
iktikafnya berupa tausiyah, nasihat atau pitutur praktis yang bermanfaat bagi banyak
orang. Sebab masyarakat di zaman ini sangat haus nasihat, sangat lahap memakan
tausiyah dan sangat menggantungkan hidupnya pada pitutur-pitutur.

Tapi anak ini malah bertanya: “Apakah sekarang ini samudera hidayah AlQur`an dan
Hadatsah Sunnah Sirah Kanjeng Nabi sudah kering air ilmu dan hikmahnya, sampai-
sampai Kaum Muslimin mencari nasihat di luar dua samudera itu?”

Agak kaget, tapi sedikit kagum juga aku mendengar pertanyaannya. Aku tidak
segara merespons, dan memang masih agak tercengang. Dan ternyata memang
anak ini belum selesai.

“Sejak kecil dulu, kalimat Allah yang paling mempesona hati saya adalah Al-Kahfi
109: “Qul lau kaana-l-bahru midaadal-likalimati Rabbii, lanafida-l-bahru qabla an-
tanfada kalimaatu Rabbii, walau ji`naa bimitslihi madadaa”.

“Ini firman bukan hanya informasi. Bukan hanya ilmu. Bukan hanya data dan fakta.
Bukan hanya infinitas cakrawala matematika. Bukan hanya huruf, kata dan kalimat.
Ia juga musik. Ia aransemen ultra-kreatif. Ia komposisi yang kata harmoni tak
sanggup mewadahinya”.

https://islamindonesia.id 213
“Ia lukisan yang lebih dari sempurna. Ia labirin mutiara titik-titik makna, garis-garis
nilai dan gelembung-gelembung cinta. Ia puisi yang melampaui segala puisi. Ia inti
bunyi, suara sejati, Ibu segala imajinasi. Padahal hanya beberapa kata, hanya satu
kalimat. Hanya selintasan cahaya. Setiupan hawa cinta-Nya”.

“Qul”, Allah menepuk bahu kita: Katakanlah. Artinya, teguhkan pengertiannya di


pikiranmu, teguhkan akar maknanya di hatimu, manifestasikan dan jadikan ekspresi
sejati setiap langkah kehidupanmu. “Andaikan air di seluruh lautan dipakai untuk
menuliskan kalimat Sang Maha Pengasuhku, niscaya akan mengering semua lautan
itu, sebelum habis dituliskan kalimat-kalimat Maha Rabbi, meskipun Ia menuangkan
lagi, memenuhkan lagi seluruh lautan itu dengan air, dituang dan dituang,
dipenuhkan kemudian dipenuhkan, lagi dan lagi, terus-menerus dan terus
menerus, madadaaa, madadaaa….”

“Apakah masih ada ruang yang kosong dari ayat-ayat-Nya? Apakah masih ada
rongga untuk yang bukan firman-Nya? Apakah masih ada sela-sela sezarrah pun
untuk tausiyah, ceramah, pitutur, nasehat, posting, copas, sharing, broadcasting dan
segala yang semacam itu. Terlebih lagi untuk apapun yang keluar dari bibirku, yang
tertoreh oleh ujung penaku?”

Sebenarnya lebih nikmat kalau aku diam dan mendengarkan apa saja ungkapan
anakku ini. Tapi terloncat dari mulutku pertanyaan: “Apakah itu juga berarti tak ada
celah bagi hadits-hadits Nabi, fatwa para Ulama, pesan para Pujangga, dakwah para
Ustadz, panggilan jihad para Habaib?”

Tak kuduga anak itu canthas menjawab:


“Setiap untaian kata dari Rasulullah, setiap gerakan tubuhnya, setiap langkah
perilakunya, bahkan fakta bahwa ada beliau — adalah bagian dari firman Allah yang
tak tertuliskan dengan tinta tujuh samudera. Setiap tetes embun adalah bagian dari
ayat- Nya. Angin yang berhembus, tunas yang tumbuh, bunga yang merekah, air
yang bergerak, seluruh benda alam semesta yang beredar, berputar, berthawaf dan
bertasbih — adalah bagian dari Maha Orkestra Nyanyian Cinta Allah Swt”
“Insya Allah serba sedikit aku mengerti itu”, kataku, “tetapi apakah berarti di antara
manusia tidak ada peluang untuk saling menasehati? Bukankah kita disuruh
‘tawaashou bi-l-haqqi wa tawaashou bi-sh-shobri’?”
Si anak menjawab: “Tawashou kata para Ulama berarti saling berpesan, saling
mengingatkan, saling menasihati. Yang dipesankan adalah al-haq. Dan ‘alhaqqu min
Robbika’. Kebenaran berasal dari Allah, tidak terdapat pada manusia. Manusia
hanya mendistribusikan kebenaran Allah, bukan menyebarkan kebenarannya
sendiri, apalagi dengan memposisikan si penasihat adalah pihak yang tahu, alim,

https://islamindonesia.id 214
baik, saleh. Sementara yang dinasihati adalah pihak yang tidak tahu, buruk, awam
dan bodoh….”

“Itu bisa terjadi pada siapa saja dan bisa dituduhkan kepada siapa saja, termasuk ke
aku dan kau”, aku memotong.

“Lho”, jawabnya, “Aku tidak pernah menasihati orang. Aku hanya menikmati
persentuhanku dengan kebenaran Allah. Paling jauh aku hanya menjawab
pertanyaan, atau memenuhi permintaan. Sementara suasana yang berlangsung
sekarang ini adalah banyak orang yang selalu gatal untuk menasihati, dan
kebanyakan orang seperti maniak untuk selalu minta nasihat, motivasi, pencerahan,
seolah-olah sudah habis bahan-bahan yang berasal dari Allah dan Rasulullah.
Sampai akhirnya mobilitasnya menjadi industri….”

“Bukankah itu bukti tawaashou bi-l-haq?”


“Sebaran-sebaran nasihat yang berseliweran selama ini kurang mencerminkan
bahwa yang berlangsung adalah ‘saling’, tidak banyak nuansa kerendahan hati
untuk ‘saling’. Jadi fokus saya bukan soal manusia menasihati lainnya, tetapi —
pertama — apakah sudah tuntas, selesai dan habis kebenaran Allah diserap oleh
setiap hamba-Nya? Kenapa kebanyakan orang tidak mengakses sendiri ke
kebenaran Allah sebagai kepustakaan primer hidupnya?”.
Yogya, 20 Juni 2017.

IslamIndonesia/Diterbitkan atas izin penulisnya


(Sumber: https://islamindonesia.id/kolom/kolom-industri-tausiyah-pertapaan-ramadlan-
bagian-2.htm)

https://islamindonesia.id 215
Saturday, 24 June 2017

BERPUASA UNTUK ALLAH DAN MEMPUASAI INDONESIA


(Pertapaan Ramadlan Bagian 3)
Oleh: Emha Ainun Nadjib

islamindonesia.id – KOLOM – Berpuasa Untuk Allah dan Mempuasai Indonesia


(Pertapaan Ramadlan Bagian 3)

Anakku yang keluar ruangan sambil tertawa terpingkal-pingkal itu umurnya sedikit
melewati 50 tahun. Ia pecinta dan sahabat rakyat kecil, penggerak UKM,
penghimpun pekerja-pekerja di jalanan, serta banyak lagi yang menarik pada anak
itu. Terutama otentisitas dan kemandirian hidupnya bersama keluarga dan
komunitasnya.

Alamat anak itu di wilayah Negeri Kemanusiaan, berlindung di bawah Payung


Ketuhanan. Ia menjauh dari wilayah Negara Politik Kekuasaan.

“Kenapa kamu tertawa dan lari keluar?”, saya menagih.

“Karena aslinya saya sangat sedih”, jawabnya, “bahkan bisa dibilang sangat
menderita. Selama iktikaf saya dibikin sangat kewalahan oleh kepungan kesedihan
dan penderitaan itu, sehingga akhirnya saya tertawa terpingkal-pingkal. Teruuuus

https://islamindonesia.id 216
sampai detik ini sebenarnya, tapi saya tahan jangan sampai keluar melalui wajah
dan mulut saya”

“Jadi”, aku coba memahami, “hidupmu sedang sangat sedih dan menderita….”

“Lho. Bukan hidupku. Bukan aku”, jawabannya agak menekuk logikaku, “Saya baik-
baik saja. Hidup saya bahagia sekeluarga. Kami melakukan apa yang harus kami
lakukan. Kami menerima dari Tuhan apa yang menurut Tuhan baik untuk kami
terima. Kami bahagia karena hidup kami tidak berpedoman pada apa yang kami
inginkan, tetapi berjuang memahami apa yang Tuhan rancang untuk hidup kami”

Kucoba membantah, “Tadi kamu bilang kewalahan oleh kesedihan dan penderitaan,
sehingga akhirnya malah tertawa….”

“Lha ya memang benar demikian. Sedih dan derita yang saya sangga sampai
kewalahan itu tidak ada kaitannya dengan kehidupan pribadi dan keluarga saya”

“Lha kaitannya dengan apa?”


“Nggak apa-apa nih saya berterus terang….” “Lho memang itu yang saya mau
dengarkan”

“Satu: Kaum Muslimin. Dua: Bangsa Indonesia. Tiga: Ummat Manusia” Tak sengaja
tangan saya bergerak sendiri, mengambil peci di kepala dan membantingnya ke
lantai.

“Hebat amat kamu? Besar amat urusanmu? Gila. Ummat Manusia, Kaum Muslimin,
Rakyat Indonesia….”
“Lho itu bukan urusanku”
“Gimana sih. Katanya kamu disiksa kesedihan dan penderitaan tentang Tiga itu…”

“Lha ya saya sedih dan menderita karena Tiga itu, untuk Tiga itu, demi Tiga itu,
karena saya sangat mencintai Tiga itu. Selama Ramadlan ini saya berpuasa untuk
Tiga itu juga, dengan minta izin kepada Allah, karena Beliau bilang ‘puasamu untuk-
Ku’. Kali ini saya mohon izin untuk berpuasa untuk Allah, tetapi
sekaligus mempuasai Tiga itu….”

Ternyata saya terseret untuk bicara miring-miring: “Saya tahunya puasa. Kok ini ada
mempuasai….”
“Bahasa Jawanya puasa itu pôsô (baca ô-nya seperti di Concorde, bukan Toronto),
mempuasai itu masani. Berpuasa berhenti pada tindak puasa itu sendiri pada

https://islamindonesia.id 217
seseorang. Mempuasai berarti memfungsikan puasa sebagai sarana untuk
mencapai sesuatu pada sasaran tertentu”

“Kan Tuhan bilang ‘puasamu untuk-Ku’? Apa boleh untuk yang lain? Mosok Tuhan
kok di-jamak, ibadah kok ke dua kiblat, cinta kok di-madu….”
Anak itu menjawab dengan kecerdasan yang agak mencemaskan, serta ketajaman
yang bagiku mengkhawatirkan:
“Namanya juga memohon. Permohonan itu memungkinkan default jadi custom. Allah
sendiri melambaikan tangan ‘ud’uni astajib lakum’, ayo ayo minta aja, nanti Aku
kasih. Main icon karakter utama Allah saja Ar-Rahman Ar-Rahim. Belum lagi deretan
sifat-Nya yang penuh cinta: Maha Pemurah, Maha Dermawan, Maha Pengayom,
Maha Pengasuh. Maka permohonan saya melalui ‘masani’ atau ‘mempuasai’ itu
sesungguhnya menunjukkan teguhnya pengakuan saya kepada Maha Pengasih
Maha Penyayang-nya Allah”

“Kamu nakal ya….”, kata saya.


“Karena hanya Tuhan yang punya solusi untuk sakit parahnya Tiga itu. Dan hanya
ibadah puasa yang memiliki kadar ketinggian dan kemuliaan yang paling efektif
untuk memancing perkenan Tuhan agar menolong Tiga”

“Sebentar, sebentar”, kupotong dia, aku berpikir sekarang giliranku: “kalau


ditanyakan yang mana yang utama dan paling urgen di antara Tiga, apa jawabmu?”

“Bangsa Indonesia”, ia menjawab tegas, “merekalah yang paling darurat yang


membutuhkan pertolongan Tuhan, sehingga saya pasani….”
“Saya tunda pertanyaan ‘Emangnya kamu siapa sehingga GR mempuasai Indonesia
dan merasa ada kemungkinan didengarkan oleh Tuhan?’. Itu saya tunda.
Pertanyaanku berikutnya saja: “Pengetahuanmu pasti sempit. Pola berpikirmu pasti
linier dan parsial. Ilmumu kacamata kuda. Bagaimana mungkin Bangsa Indonesia
menjadi kesedihan dan penderitaan bagimu? Apa salahnya Indonesia? Ia sakit?
Penyakit jenis apa yang bisa mempan atas Indonesia?”

“Indonesia baik-baik saja. Rakyatnya sudah terlatih 70 tahun lebih untuk menjadi
bangsa yang maju dan matang. Pemimpin tertingginya dulunya Satrio Piningit,
kemudian menjadi Satrio Pinilih. Dulu tersembunyi. Kini menjadi pilihan Bumi dan
Langit”
“Kalau pucuk pimpinannya Pinilih, berarti itu produk dari Perwakilan Rakyat yang
juga pinilih. Berarti tentaranya, polisinya, semua satuan pasukan-pasukan
pertahanan nasionalnya, cendekiawannya, lembaga-lembaga kepemerintahannya,
perusahaan- perusahaan Negaranya, dinamika Undang-undang dan improvisasi
aturan-aturannya, juga Pinilih”

https://islamindonesia.id 218
“Mutu profesionalitasnya, tingkat intelektualitasnya, ketangguhan mentalitasnya,
bahkan ketajaman spiritualitasnya, sudah serentak move on ke pencapaian Keadilan
Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia, Baldatun Thayyibatun wa Rabbun Ghofur,
gemah ripah loh jinawi, toto tentrem kerto raharjo. Inisiatif berhutang yang sangat
radikal dan revolusioner dua tahun belakangan, menunjukkan kita adalah bangsa
besar, Negara kuat, yang gagah perkasa menyongsong masa depan….”

Anakku itu agak terpaku dan menjadi kosong wajahnya. Aku meneruskan: “Itulah
sebabnya di awal pertemuan aku menanyakan: Ketika kau beriktikaf, di mana letak
Allah, di mana Rasulullah, di mana Dunia, serta di mana Masjid?”.

Yogya, 21 Juni 2017.

IslamIndonesia/Diterbitkan atas izin penulisnya

(Sumber: https://islamindonesia.id/kolom/kolom-berpuasa-untuk-allah-dan-
mempuasai-indonesia-pertapaan-ramadlan-bagian-3.htm)

https://islamindonesia.id 219
Sunday, 25 June 2017

BERLATIH MUDIK KE SORGA


(Pertapaan Ramadlan Bagian 4)
Oleh: Emha Ainun Nadjib

Ternyata bermacam-macam jalan yang ditempuh oleh anak-anakku para Mu’takifin.


I’tikaf itu semacam “olah batin”. Ada yang “parkir” saja, diam di Masjid. I’tikaf
memang memparkir kendaraan dunia. Duduk, tidak ada mobilitas profesional, tidak
ada perjuangan keduniaan, tidak ada laba materi, meskipun dari sudut pandang
sebaliknya I‘tikaf adalah itu “tidak produktif”, karena “wasting time”, padahal “time is
money”.

Syukur kepada kemurahan Allah bahwa hampir tidak ada Kaum Muslimin yang
berpikir bahwa ibadah, bermacam-macam shalat, puasa, apalagi Zakat dan Haji,
adalah pemborosan, buang-buang duit, menyianyiakan waktu. Bahkan di
tengah maniak materialisme yang dipelopori oleh Peradaban Global yang
semakin memuncak hari-hari ini, justru itu semua membuat Kaum Muslimin
menemukan kembali kemesraannya dengan Allah. I’tikaf menjadi agenda yang
semakin romantis dan penuh cinta bagi mereka.

Duduk diam saja di Masjid, itu sudah sebuah revolusi menuju Allah. Mungkin
kosong saja, jiwa hanya berisi ingatan kepada Allah. Jasad hanya rumah, Allah
Maha Tuan Rumahnya, sebab memang Ia pencipta dan pemilik rumah kehidupan
kita. Kemarin dunia menguasai rumah jiwa, sampai batin kita seperti kapal pecah.
Segala isi dunia berserak-serak di dalamnya: ada Mall, Supermarket, buku
administrasi Kantor, isi tambang, Negara, Perusahaan, ketimpangan ekonomi,
ketidakseimbangan sosial, persaingan dagang dan pemilihan umum. Segala macam
yang artifisial dan superfisial. Segala yang ditertawakan oleh nyawa ketika usia
menua.

Salah satu anak mengungkapkan: “Sebagaimana ketika ber-takbiratul-ihram, kedua


tanganku terangkat ke samping kepala, ujung jempolku menyentuh sudut bagian
bawah telinga: dunia berada di belakang punggung tanganku. Sebelum kuucapkan
Allahu Akbar, aku membisiki Dunia: Maaf aku pamit dan meninggalkanmu di
belakang punggungku. Sebab aku sedang menghadap Tuhan, Maha Pencipta kita
semua”.

Anak ini memaknai I’tikaf adalah pembebasan diri dari dunia. Anak lain menyindir
temannya: “Kita tidak boleh melarikan diri dari dunia, sebab kita dimandati

https://islamindonesia.id 220
untuk mengelola isi dunia. Tidak ada konsep lain dari Allah dalam
menyelenggarakan kehidupan kita selain menjadikan kita Mandataris, Khalifah, di
bumi. Jadi, I’tikaf bukan memerdekakan diri dari dunia. Opsi yang lebih proporsional
mungkin: semacam mengambil jarak sejenak dari dunia, agar kita bisa ‘rekap’,
evaluasi, review, muhasabah, sehingga besok kita lebih dewasa dan matang
mengkhalifahi dunia”.

Tidak salah juga anak ini. Baginya I’tikaf adalah menarik nafas panjang, untuk
menyusun kembali strategi dalam melayani problematika dunia. Maka I’tikaf baginya
adalah Tafakkur, berkontemplasi, berhitung kembali, seluas-luasnya tapi juga
selembut- lembutnya.

Bagi anak yang lain, Tafakkur tidak akan memperoleh komprehensi pendalaman
masalah kalau tidak dilakukan dalam dialektika dengan Tadzakkur. Terdapat titik
silang dinamis antara Tafakkur dan Tadzakkur. Dengan Allah harus selalu ‘online’.
Tidak ada pandangan yang jernih atas sesuatu hal tanpa meminjam mripat Allah,
karena tak ada selain Ia yang punya mata dan mampu melihat. Tidak ada solusi
kecuali yang dilimpahkan dari hidayah Allah. Tidak ada gagasan, tidak ada
ide, ilham, apalagi fadhilah, ma’unah dan karomah, kecuali atas perkenan
kemurahan Allah.

Sungguh aku belajar dari berbagai pintu yang dimasuki oleh anak-anakku selama
beri’tikaf: Tadabbur, Tasyakkur, Tafaqquh, pun Tafsir, yang seluruhnya berada di
dalam atmosfer jiwa kerendahan
hati Ta’awwudh, Tasbih, Tahlil, Tahmid dan Takbir. Aku tidak terlalu cenderung
menyatakan — kepada diriku sendiri: “alangkah benarnya Islam”, sebab sejak kecil
hidup adalah berjuang untuk tidak berjarak dari kebenarannya. Juga bukan
“alangkah baiknya Islam”, sebab Ibu dan Ayahku menuntunku di jalanan kebaikan
sosial itu sejak aku mulai bisa melangkahkan kaki.

Mungkin kuucapkan “alangkah mulianya Islam”, sebab ini tak pernah selesai
kulatihkan. Atau “alangkah indahnya Islam”, sebab inilah taburan cahaya-cahaya
yang membuat hidup kita menjadi sangat hidup, karena nikmat untuk meraihnya dari
tahap ke tahap.

Kini kuhimpun refleksi anak-anakku para Mu’takifin ini. Ada yang mengurai
terminologi “Sabil, Syari’, Thariq dan Shirath” dengan pemetaan ilmiah. Ada yang
mengungkap peta alternasi strategi sosial Robbunnas, Malikunnas dan Ilahinnas”.
Ada yang menggambar keanehan manusia yang “hidup di dunia tapi berhijrah ke
dunia”, sementara lainnya “berhijrah ke Allah dan Rasul-Nya”. Tentang pilihan sosial
“al-muhibbin, al-mahbubin ,dan al-mutahabbin”. Lainnya meraba pemetaan dan

https://islamindonesia.id 221
mekanisme “Qadla, Iradah dan Amr”-nya Allah. Yang juga tak kalah menarik adalah
“Hari Keempat dalam Evolusi Enam Hari sebelum Qiyamah”.

Tetapi aku menawar ke mereka agar kita mengalah beberapa hari ini — untuk
menuturkan hal-hal yang tidak terlalu jauh dari atmosfer psikologis Kaum Muslimin
hari- hari ini. Yakni situasi mudik. Ini Ramadlan hari-hari terakhir. Kebanyakan orang
Islam hatinya sudah berada di Hari Raya Idul Fitri. Sisa satu dua hari puasanya
tinggal seperti “ekor cecak mati”. Jiwa mereka sudah berada di “Riyoyo”, “Bodo”,
“Bakdo” atau “Lebaran”. Jangan dimarahi. Ummat kita sangat kelaparan sejarahnya,
dan sudah menetes air liurnya di depan pintu gerbang Idul Fitri.

“Mudik adalah latihan tahunan untuk membangun ketrampilan budaya agar kelak
siap menjadi penduduk Sorga”, salah seorang anakku menyahut, “mudik adalah
tahap awal dari pembelajaran ‘ilaihi roji’un’: kembali kepada Allah di kampung
halaman asal usul manusia sejak Bapak Adam didomisilikan dahulu kala. Sebab
sistem nilai sorga, software dan hardwarenya, mestinya berbeda dengan Dunia.
Kalau kita hanya melatihkan dialektika dan mobilitas materialisme seperti selama
ini, kelak bisa bengong di Sorga”.

“Setiap jiwa melakukan perjumpaan dan perjanjian dengan Allah sebelum


ditugaskan untuk menjadi Khalifah di bumi. Perjumpaan itu di Sorga. Hanya saja
begitu manusia lahir ke dunia, Allah membuatnya lupa. Maka kedua orangtuanya,
komunitas Masjid, Mushalla atau Langgar-nya, guru-guru Sekolah dan
Universitasnya — bertugas untuk merangsang dan mengantarkan anak-anak agar
napak tilas, mengingat-ingat kembali siapa ia, menemukan hakiki dirinya, di mana
alamat sejatinya, apa pekerjaan utamanya, bagaimana menjalankan profesi
kemanusiaannya, dan apa saja yang terkait dengan itu”.

“Itulah hakekat pendidikan. Di situlah ditemukan filosofi pendidikan dan disusun tata
manajemennya. Padanyalah pangkal ujung lelaku Sekolah di Bumi”. Sayang sekali
kepemimpinan nasional pendidikan kita tidak belajar langsung kepada Tuhan,
padahal Tuhan sendiri turun tangan ‘allamal insana ma lam ya’lam, mengajari
manusia yang ia belum mengerti.
Yogya, 22 Juni 2017.

IslamIndonesia/Diterbitkan atas izin penulisnya


(Sumber: https://islamindonesia.id/kolom/kolom-berlatih-mudik-ke-sorga-pertapaan-
ramadlan-bagian-4.htm)

https://islamindonesia.id 222
Monday, 26 June 2017

Mudik ke Rumah Fitri


(Pertapaan Ramadlan Bagian 5)
Oleh: Emha Ainun Nadjib

Ada anakku yang usai i’tikaf bicaranya seperti baru tiba dari Perguruan Kebatinan. “Mudik
adalah perjalanan menuju diri sejati”, katanya, “sejatining roso, sejatining jiwo, sejatining
sukmo. Itulah sebabnya Kanjeng Sunan Kalijaga menyambung kembali kepala dengan
badan Orong-orong, hewan kecil, sesudah terputus tak sengaja oleh pedang beliau.
Menyambungnya dengan serpihan kecil kayu jati…”

Aku senang, tapi campur khawatir. “Kok pakai jatining jatining…”, kataku.

“Bahasa Indonesianya Idulfitri adalah kembali ke kesejatian. Jawanya ya jatining jatining itu.
Makanya pohon yang paling kokoh, awet, lestari, bertahan lama seakan-akan abadi:
dinamakan Kayu Jati. Kayu yang paling ‘sejati’, pohon yang paling dekat ke keabadian.
Keabadian itulah yang sejati. Sementara di dunia, dengan Agama Globalisasi, kita menjalani
kesementaraan, budaya instan, fastfood, segala sesuatu yang serba pendek, sempit dan
dangkal. Kita tidak terbiasa mencakrawalai keabadian dan kesejatian, karena hobi kita
adalah ketidak-sejatian. Alias kepalsuan”

“Hubungannya sama Orong-orong, apa?”

“Isi utama kepala adalah akal. Isi utama badan adalah hati. Kanjeng Sunan mengajari satu
semesteran mudik. Salah satu jalan yang harus ditempuh agar berada di jalan mudik sampai
kelak ke Allah, adalah menyambung kepala dengan badan. Mensilaturahmikan Tafakkur
dengan Tadzakkur. Harus ada aturan main di dalam diri kita agar pikiran dan hati berjalan
harmonis. Perlu ada manajemen agar liarnya hati dan batasan regulasi pikiran bekerjasama
membangun harmoni. Harmonis tidaknya bangunan psikologis dalam diri kita berbanding
lurus dengan mutu pembelajaran Idulfitri yang kita tempuh”

Segala puji bagi Tuhan, kupikir anak ini tadi klenik-klenik atau syirik-syirik. Ternyata oke
semua. Gembira hatiku ternyata 10 hari terakhir Ramadlan terasa benar maknanya.

Seorang anak yang lain bahkan menambahkan: “Yang diungkapkan teman saya itu sedang
kami pelajari di Surat A-Nur 35, melalui pemetaan Misykah, Mishbah, Zujajah,
Kaukab, sampai La Syarqiyah wa la Ghorbiyah, dan puncaknya Yakadu zaituha yudli’u
walau lam tamsashu nar”

https://islamindonesia.id 223
Gawat. Agak minder juga aku di hadapan anak-anak generasi millennial ini. Spektrum
berpikir mereka lebih luas, lebih utuh, komprehensif tapi juga detail. Aku generasi jadul
harus meluaskan hati untuk mensyukuri kemajuan mereka. Terutama harus buang rasa
dengki yang selama ini dipakai untuk mengganjal laju kreativitas dan kemajuan berpikir
generasi muda.

“Kapan-kapan saja ya kalian uraikan yang zujajah-zujajah kaukab-kaukab itu”, kataku, “hari-
hari ini jajan-jajan dan ikan kakap saja. Sekarang apakah ada tahap-tahap Mudik atau
Idulfitri yang lebih sederhana dan sehari-hari, yang orang mendengar saja sudah paham,
tanpa perlu mendengarkan…”

Yang menjawab justru si kaukab: “Tahap paling awal dari Mudik adalah belajar kembali
menjadi manusia, manusia saja, atau manusia thok, tanpa embel-embel. Kalau kita Menteri,
mudik adalah belajar tidak menjadi Menteri. Kalau kita penguasa, bersimpuh di lutut Ibu di
kampung harus dengan terlebih dulu melepas baju penguasa. Jabatan, pangkat, reputasi,
prestasi, status dan macam-macam lagi, adalah pakaian, jas, jaket, dasi, emblim, bahkan
banyak yang fitri-nya sekedar bedak, pupur, gincu, kosmetika…”

“Apakah Agama termasuk kosmetika juga?”, aku sengaja menggoda.

“Agama adalah penyempurnaan bahan untuk digunakan agar manusia menjadi semakin
manusia. Firman Tuhan dan nilai-nilai yang ditransfer oleh Rasul dan Nabi sangat
mendewasakan, mematangkan bahkan memperindah kemanusiaan manusia”

“Tapi banyak kenyataan di mana orang yang jadi manusia saja belum bisa, malah
berpakaian Agama untuk menyombongi orang lain…”, aku sengaja mengejar.

“Itu contoh dari Agama sebagai kosmetika, sebagai kostum eksistensi, alat pencitraan,
bahkan aset kapitalisasi…”, jawab si kaukab.

Anak ini memang cocok berteman dengan sebelumnya yang jatining-jatining tadi. Mudah-
mudahan mereka kelak punya gelar sarjana, syukur S3, Profesor Doktor. Supaya dipercaya
kasih ceramah di Masjid Kampus. Lebih sempurna kalau mereka juga Kiai Haji atau Habib,
minimal Ustadz, sekurang-kurangnya Gus, pakai gamis dan surban, minimal sarung dan
peci. Sebab tanpa itu, pemikiran mereka tak akan dipercaya dan diakui oleh ummat dan
masyarakat pada umumnya.

“Di hadapan Ibu, Bapak, atau Nenek Kakek dan semua keluarga, kita bukan Menteri dan
Penguasa — tak masalah mereka membanggakan jabatan dan kekayaan kita. Tapi kita
adalah komponen dari suatu lingkaran cinta yang fitrinya diciptakan oleh Allah. Kita hanya
sebuah instrumen dari orkestra kemesraan keluarga. Zaman dulu dalam tradisi budaya dan

https://islamindonesia.id 224
mentalitas keluarga-keluarga tradisional, salah satu pantangan hidup adalah mencari status.
Yang harus diutamakan adalah manfaat. Tetapi sekarang kita mencari status setiap hari,
bahkan bisa lima sampai sepuluh kali sehari”

Temannya, si jatining-jatining, rupanya memang partneran sama si kaukab-kaukab ini.


“Yang dimaksud Idulfitri atau Mudik atau kembali ke kampung asli, mungkin adalah
mengelupas secara bertahap kulit-kulit palsu kita. Manusia hari ini susah dicari, dan ia
sendiri susah menemukan dirinya sendiri, karena seluruh eksistensi mereka disembunyikan
di dalam casing…”

“Bisa pakai Bahasa yang lebih bersahaja, anak-anak?”, aku menawar.

“Saya coba. Misalnya, kalau diurut dari awal. Tuhan > makhluk Tuhan > hamba atau buruh
Tuhan > khalifah atau delegasi Tuhan. Pelaksanaan pendelegasiannya: aku warganegara >
aku Boss diriku sendiri, aku pegawai Negara, atau karyawan Perusahaan, aku alat industri,
aku sparepart pabrik, dst. Kalau balik ke belakang, alias Mudik: aku anak Bapak Ibu > aku
keluarga Arumbinang > aku turunan Adam > aku makhluk Tuhan dst sebagaimana di atas,
sampai ke > Tuhan, ilaihi roji’un > tinggal Tuhan sendiri, karena Ia Maha Sejati, sedangkan
kita hologram, gelembung animasi”

Aku coba protes setengah iseng: “Ah ya jangan pakai istilah hologram, gelembung animasi,
khayal… nanti pejabat pada korupsi, alasannya ‘Aku hanya hologram, korupsi bukanlah
sejatinya kenyataan’…”

Kali ini si jatining yang menyahut, dengan tertawa: “Si koruptor itu belum paham hologram.
Juga mainstream manusia. Mereka pikir uang, harta benda, gedung-gedung, dan semua
yang tampak mata — itulah kenyataan. Koruptor mencuri uang karena menyangka uang itu
fakta. Padahal yang fakta adalah keputusan seseorang untuk mencuri atau menahan diri”

Si kaukab melengkapi: “Tema kita ini fitri. Kesejatian. Itulah view-nya Tuhan. Kalau
menjalani Idulfitri dan mudik ke Tuhan, satu-satunya jalan ya memakai cara pandang Tuhan.
Materi, kekayaan, tumpukan modal, citra, hamparan uang, pangkat, jabatan dua periode,
semua yang tampak mata, adalah mata uang yang tidak laku di dalam pola berpikir Idulfitri,
yakni di hadapan Allah. Kita ini hidup di hadapan Allah: emang ada tempat selain itu untuk
hidup?”.
Yogya Juni 2017.

IslamIndonesia/Diterbitkan atas izin penulisnya


(Sumber: https://islamindonesia.id/kolom/kolom-mudik-ke-rumah-fitri-pertapaan-ramadlan-
bagian-5.htm)

https://islamindonesia.id 225
Tuesday, 27 June 2017

IDUL FITRI WISANGGENI


(Pertapaan Ramadlan Bagian 6)
Oleh: Emha Ainun Nadjib

islamindonesia.id – KOLOM – Idul Fitri Wisanggeni (Pertapaan Ramadlan Bagian 6)

Tulisan “Presiden Mohon Maaf Kepada Rakyat” saya tunda, ganti yang ini. Mungkin
sebagian orang memerlukan sekali, tiga kali, atau sepuluh kali membaca. Mungkin
sehari, sebulan, atau bertahun-tahun memahami. Apalagi harus detail dan teliti,
bahkan per kata. Tetapi inilah apa adanya dialog i’tikaf dengan anak-anakku.

Bisa delete saja. Atau masukkan file-nya ke sistem agung dalam kepala. Biarkan ia
menentukan sendiri kapan loading dan seberapa jauh dan mendalam daya akses
dan kompatibilitasnya terhadap kehidupan dan langkah-langkah sejarah di mana
engkau berdomisili. Atau boleh juga simpan saja dulu teks ini. Kapan-kapan dibaca.
Sekarang lebih utama bercengkerama dengan keluarga — itu standar makna mudik.

“Ketika engkau beri’tikaf, di mana letak Dunia?”

https://islamindonesia.id 226
“Kupikul di pundakku”

“Di mana letak Indonesia?”

“Kugendong di tangan kananku”

“Kaki melangkah ke mana?”

“Memasuki gerbang peradaban baru. Globalisme sudah senja. Ummat manusia


sedang digerakkan memasuki gelembung yang lebih besar. Peta Besar Global akan
menjadi bagian dari Peta Agung. Manusia yang merasa sangat menguasai dunia,
tidak bisa mengelak dari zat-zat supra-mikro yang muncul dari dalam diri mereka
sendiri. Zat-zat itu ditumbuhkan dari dalam dan ditaburkan dari atas. Secara rahasia
oleh para petugas dari Sang Maha Gelembung. Penduduk Bumi sedang terdesak
untuk memasuki Evolusi Hari ke-5 penciptaan, karena stagnasi dalam ketertipuan
oleh egosentrisme kemanusiaan Evolusi Hari ke-4 tiba di puncaknya”

“Ummat Islam hendaknya segera mengubah haluan berpikirnya dari orientasi


kekuasaan Ummat Islam ke berlakunya Islam pada software kejiwaan ummat
manusia. Peradaban sedang mengalami revolusi samar namun semakin nyata, dari
fase ‘Insan’ ke fase ‘Hamba Allah’ untuk bersiap berhijrah seterusnya ke ‘Khalifah
Allah’. Manusia akan tahu bahwa cahaya tak kelihatan, yang mereka lihat adalah
partikel yang ditimpa cahaya. Bahwa kebenaran, kebaikan, keindahan, kemuliaan,
Islam, kamuktèn, karamah, apalagi Tuhan: tidaklah kasat mata”

“Apa yang terjadi pada Indonesia di gendongan tanganmu? Bukankah ia semakin


dikepung oleh berbagai cengkeraman dunia, bahkan yang dari utaranya utara pun
sudah mulai ikut bermain mengatur dua tahun ke depan dan seterusnya? Bukankah
rakyatmu tak kunjung beranjak dari posisi dipermainkan, dijadikan batu pijakan,
diperdaya, dikelabui dan di-tilap?”

“Itu kekalahan pada pola hitungan Hari ke-4, tetapi itu modal besar pada posisi Hari
ke-5, dan menjadi awal kemenangan pada Hari ke-6. Engkau, kita, dan siapapun
yang memusuhi dan menjajah, sebaiknya mulai berhitung dengan spektrum,
analisis, perhitungan, metodologi, dan strategi Hari ke-6. Segera lewati garis batas
Globalisasi. Dan secara bertahap mulai kenalilah pelaku-pelaku baru untuk sejarah
baru, yang sama sekali ‘min haitsu la yahtasibu’, tidak dihitung dan tidak tertera di
buku-buku Hari ke-4. Sesudah Idul fitri ini segera mateg-aji: kalian bukan lagi
makhluk lokal, regional, nasional, ataupun global. Kalian adalah bagian dari tata
galaksi agung, yang default, maupun kejutan custom meteor-meteor tak teratur
dalam keteraturan Sang Maha Gelembung”

https://islamindonesia.id 227
“Mohon izin kupakai simbolisme wayang. Aku tidak meremehkan wayang, demi
keindahan inovasi dan ijtihad. Aku tak membenci apapun, supaya tidak terlalu
bodoh. Aku tidak membuang siapapun, demi rahasia ilmu dan kerendahan hati.
Secara wayang, stagnasi Hari ke-4 akan dipecah oleh Semar dan Wisanggeni. Cara
dan jalannya: Semar mensinergikan Bumi dengan Langit. Wisanggeni tidak boleh
ikut bermusuhan, apalagi terjun ke medan perang”

“Wisanggeni berasal dari sifat Allah ‘Wasi’ Ghoniy’: Maha Luas dan Maha Kaya.
Wisanggeni mengelilingi Bumi untuk perjuangan kemuliaan. Di dalam kemuliaan
berlangsung harmoni antara kebenaran, kebaikan, dan keindahan. Wisanggeni
sangat kuat dan sakti, tetapi dilarang menggunakan kekuatan. Wisanggeni tidak
merebut kekuasaan, tidak melakukan revolusi fisik, tidak membakar gedung-gedung,
tidak menyantet tokoh-tokoh, memandang tindakan radikal hanya efektif sebagai
pemuas dendam dan penawar penderitaan”
“Jadi Wisanggeni terus diam saja?”, aku terus menyerap.
“Puasa itu melakukan ‘tidak’ justru untuk makna dan fungsi yang sangat ‘ya’”

“Wisanggeni didadar untuk berlatih mengayomi dan menyayangi. Digembleng untuk


meyakini cinta dan kemuliaan ilmu, sebagai tali terkuat pengikat ummat manusia.
Jalannya pasti sangat panjang. Maka Wisanggeni tajam peka menemukan
sesungguhnya aspirasi Hari ke-5 dan ke-6 sudah banyak dilangsungkan di seantero
bumi di Hari ke-4. Hanya saja para pelakunya melaksanakan dengan naluri dan
logika alamiahnya, belum dengan spektrum cinta dan kemuliaan ilmu Hari ke-6”

“Bangsa di Negeri ini sedang kabur kanginan, kepatèn obor, menjadi buih kintir ke
tengah lautan ketidakmenentuan. Sebenarnya Indonesia bukan yatim piatu, tapi
sejak hampir seabad silam dipisahkan dari Ibu Bapak dan Nenek Moyangnya.
Padahal mereka punya semua itu. Indonesia tidak hanya terampil men-Cangkul dan
tangguh bersilat Pedang, tapi juga memiliki Keris Pusaka, tetapi dicuri dan
disembunyikan oleh Kerajaan Barat dan Utara”

“Kami menyebar ke seluruh Nusantara untuk menunjukkan bahwa Bangsa Indonesia


memiliki semua, sehingga harus segera dimulai menyusun cita-cita masa depan
yang lebih besar dan panjang ke depan dibanding Revolusi Chaebol, bahkan
berkaliber seagung Pendekar Dua Tanduk…”

“Apakah Tuhan akan turun tangan langsung? Di mana Ia berada sekarang?”

“Ia menyatakan ‘Aku bersemayam di atas Arasy’, tapi itu hanya ungkapan untuk
memudahkan pencapaian akal kita. Adapun Allah tidak berada di atau dalam
apapun. Justru ia adalah Maha Wadah, Maha Gelembung, di mana apapun,

https://islamindonesia.id 228
termasuk kita dan jagat raya, terletak di dalam-Nya. Kalau mau lebih bernuansa: kita
adalah kanak-kanak yang bermain di taman cinta dan kasih sayang-Nya”

“Kenapa wajah dan aroma-Nya adalah cinta dan kasih sayang?”, aku mengejar.

Anak itu menjawab: “Sebab semua ini soal cinta. Hidup adalah menikmati
kemesraan dan menempuh kerinduan untuk menyatu kembali dengan Maha
Kekasih. Allah melambaikan tangan agung-Nya: “Hai, siapa saja yang merindukan
perjumpaan dengan-Ku, berbuatlah saleh di dunia, penuhilah Bumi dengan kasih
sayang dan kemuliaan”. Ia menitipkan pesan melalui Kinasih Utama-Nya,
Muhammad awal mula cahaya: “Katakan kepada mereka, Muhammad: “Kalau kalian
sungguh-sungguh mencintai Allah, maka melangkahlah berjalan di jejakku”

Anakku lainnya menambahkan: “Demikianlah perjalanan


Khilafah. Khalifatullahadalah ahsanu taqwim (makhluk utama) yang berjalan di
belakang Allah dan Muhammad kekasih-Nya, menuju meeting point, area
kemesraan cinta, yang telah diperjanjikan oleh-Nya dengan setiap manusia sebelum
menyamar jadi bayi di tahap transformasi biologis. Jarak meeting point itu bukan
hanya tidak jauh, bahkan ‘lebih dekat dari urat lehermu sendiri’. Yang jauh adalah
kesabaran dan keikhlasannya, istiqamah dan muthmainnahnya. Para ahsanu
taqwim berthawaf, mengelilingi titik yang itu-itu juga untuk menekuni kesabaran rindu
dan ketahanan cintanya. Semua yang berthawaf membangun ‘sulthan’, energi
puncak yang dihimpun sebelum menginjakkan sukma di meeting point. Semua yang
berthawaf tidak bisa merasa lebih dahulu atau ketinggalan dari lainnya. Tidak bisa
merasa lebih benar, lebih baik, lebih hebat atau lebih berprestasi dibanding lainnya,
sebab parameternya berada di rahasia qalbu Allah, yang manusia hanya bertugas
menempuh rindu dan merawat kesetiaan”

Aku mengejar: “Bukankah Idulfitri adalah hari kemenangan? Tertutupkah konstelasi


kalah menang? Harus ada yang kalah, kalau ada yang menang…”

Ternyata dijawab oleh anakku yang lain: “Aku menjumpai ada empat kemenangan.
Pertama, kemenangan untuk tidak kalah oleh kesumpekan, kekalutan, ruang sempit,
bau busuk, kebingungan, kebuntuan, dan keputusasaan. Kedua, kemenangan
berupa kemampuan menemukan jalan keluar dari kebuntuan. Ketiga,
kemenangan taqarrubdan qurban. Engkau enteng saja meninggalkan kerajaanmu,
sawah kebunmu, kekayaan dan harta bendamu, nama harum dan akses
keduniaanmu — menempuh perjalanan berpuluh tahun, dengan agenda yang dunia
tak bisa memahaminya. Apa itu? Ialah tidak ikut merusak. Tidak ikut menyembah
dunia. Tidak ikut berebut barang curian. Tidak ikut diperbudak nafsu. Tidak ikut

https://islamindonesia.id 229
menghina martabat kemanusiaan. Itu saja sudah sukar dipercaya oleh kebanyakan
manusia: mau menyelam ke lubuk dan ufuk agenda sejatinya?

Anak yang lain menimpali: “Kalau kau punya tujuan dunia, kau panggul ada agenda
politik, cita-cita kekuasaan, ambisi mencengkeramkan apa yang kau anggap benar
ke semua penghuni bumi — maka kau akan patah di tengah jalan. Kau kehabisan
napas. Pasti. Cepat atau lambat. Pandanglah perubahan peta kekuatan dunia hari
ini”

“Kemenangan yang keempat?”, aku mengejar.

“Kemenangan mengalahkan dirimu sendiri”, si pengurai kemenangan menjawab, “Itu


kemenangan Wisanggeni. Kalau ia mau terjun ke medan perang, akan terjadi over-
destruksi. Tapi ia berpuasa. Apalagi Mbah Bodronoyo, sebab ia adalah
Panembahan Ismaya: ia Bapak pengayom kita semua. Dan yang lebih utama:
kemenangan puasa itulah jalan tak terduga untuk menjadi kaya raya — asalkan kita
pelajari betapa kayanya wujud dan formula kaya raya menurut spektrum Hari ke-6”.

Yogya, 24 Juni 2017

IslamIndonesia/Diterbitkan atas izin penulisnya


(Sumber: https://islamindonesia.id/kolom/kolom-idul-fitri-wisanggeni-pertapaan-ramadlan-
bagian-6.htm)

https://islamindonesia.id 230
Monday, 19 June 2017

SURAT NIKAH KEBANGSAAN


Oleh: Emha Ainun Nadjib

Aku tidak mau “mupus”: menganggap tak ada sesuatu yang sebenarnya masih
mengendap di dasar jiwa. Pura-pura tidak melihat ada sekam di ruang gelap batin
bangsaku. Yang sewaktu- waktu akan menyala jadi api, meskipun hari ini sedang
seakan-akan mereda.

Maka aku terus bertengkar melawan tiga aku-ku. Biarlah aku berempat menjadi
kubangan api, untuk turut bersedekah menyerap bara api dari jiwa gelisah
bangsaku.

Pada 17 Ramadlan tahun-2 Hijriyah, Kanjeng Nabi melansir terminologi yang luar
biasa: “Kita baru menyelesaikan perang kecil, dan sekarang kita masuki perang
besar”. Padahal Perang Badar yang barusan usai, sedemikian dahsyat. Suatu
pertempuran di mana Allah “melanggar” segala Ilmu Militer manusia dan “mengejek”
semua logika peperangan.

Sedangkan aku yang hanya berempat, tak pernah selesai bertengkar


memperebutkan siapa di antara kami yang “aku nafsu”, siapa “aku iman”. Yang
mana “aku kegelapan” dan “aku tercerahkan”. Bagaimana mempetakan aku-benar
aku-salah aku-baik aku-buruk aku-pecinta aku-pembenci, juga aku-mengAllah aku-
memberhala.

Bisa dibayangkan semrawutnya ribuan “aku” dalam atlas Bhinneka Tunggal Ika:
tuding menudingnya pasti jauh lebih gaduh. Sekam-sekam permusuhan, kebencian
dan rasa tidak aman, tak pernah benar-benar padam. Bahkan senyatanya: “perang
besar melawan nafsu” itulah sejatinya pilar bangunan Bangsa dan Negaraku.
313 prajurit Badar, dengan kualitas personil yang tidak memadai secara militer, dan
peralatan perang yang sangat minimal, menang melawan 1.200 pasukan Sekutu,
dengan rumus yang tidak pernah disebut oleh Buku Perang zaman apapun. Yakni
“Innama tunshoruna wa turhamuna wa turzaquna bidlu’afaikum”: Kalian dilimpahi
pertolongan, kemenangan dan rizki oleh Allah, karena kalian maju perang demi
membela rakyat yang dilemahkan.
Muhammad Saw “nekad” menjanjikan rumus itu ketika berpidato di depan pasukan
Badar sebelum pertempuran. Beliau tahu itu irrasional bagi logika manusia dan
kehidupan di dunia. Maka kepada Allah beliau menyampaikan pernyataan: “In lam

https://islamindonesia.id 231
takun ‘alayya Ghodlobun fala ubali”: Asalkan Engkau tidak murka kepadaku, wahai
Kekasih, hamba tak peduli pada nasib hamba di dunia. Hamba ikhlas kalah, hancur
dan mati — “asalkan Kekasih tidak marah kepadaku”.

Dan ternyata dimensi hubungan cinta dengan “harga mati” semacam itu yang
membuat Sang Kekasih melimpahkan kemenangan.

Tetapi, di antara aku berempat ini: yang mana yang dilimpahi kemenangan, dan
yang mana yang dimurkai?

Aku berkata kepadaku: “Aku justru sangat tahu bahwa sebenarnya tak ada masalah
dengan Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, Islam, Khilafah, Pluralitas, Toleransi dan
semuanya. Itu semua hanya diperalat untuk proses adu-domba demi mencapai
kepentingan suatu golongn. Sejarah Bangsa Indonesia dikacau dan dirusak oleh
suatu golongan”

Aku yang di antara khalayak menyodok: “Tapi beberapa kali Sampeyan menulis
sangat serius hal-hal yang menyangkut Pancasila, sehingga kami mendapat kesan
bahwa Sampeyan terseret oleh rekayasa isyu yang menyebarkan anggapan bahwa
ada masalah dengan Pancasila. Padahal sudah 72 tahun Pancasila hidup baik-baik
saja”

“Seolah-olah ada ancaman serius terhadap Pancasila kesepakatan kebangsaan


dan kenegaraan kita”, aku yang di depanku menambahkan, “sehingga di sana sini
diselenggarakan peneguhan kembali tekad terhadap lestarinya Pancasila. Dan yang
dianggap ancaman itu adalah Islam”

Aku yang di depan menambahi, “Bahkan Sampeyan sedang menyiapkan seri-seri


panjang tulisan tentang Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, hubungannya dengan
Agama, Islam, Khilafah, Jawa….”

Aku mempertahankan diri: “Lho aku kenal Pancasila sejak mulai mengenal huruf di
masa kanak- kanak. Dan secara alamiah aku terus bersabar menjalani proses untuk
mematangkan Pancasila kehidupanku. Karena Pancasila adalah Surat Nikah
Kebangsaan yang aku berada dan terikat di dalamnya, meskipun hanya sebagai
rakyat kecil”

Tetapi aku-aku itu terus membombardir: “Tulisan-tulisan Sampeyan sengaja atau tak
sengaja membuat yang membacanya merasa di bawah sadarnya bahwa bangsa kita
sedang mempertengkarkan Pancasila. Bangsa Indonesia dan Ummat Islam tiba-tiba
bergerak menuju anggapan dan kepercayaan bahwa Pancasila alamatnya di sini,

https://islamindonesia.id 232
sementara Islam alamatnya di sana. Bahwa Kaum Muslimin adalah ancaman bagi
Bhinneka Tunggal Ika….”

Karena mereka tak henti-hentinya menyerbu, akupun balik menerjang mereka


dengan tiba-tiba bersuara keras, mengaji murottal membacakan Surat At-Tin: “Demi
pohon Tin, demi pohon Zaitun, demi Gunung Sinai dan demi Negeri gemah ripah loh
jinawi….”

“Apa itu!”, aku yang di khalayak meneriakiku.

“Tin adalah pohon yang tumbuh di wilayah Budha Gautama memproses pencarian
hidupnya. Zaitun adalah perkebunan di perkampungan Isa Yesus. Bukit Sinin,
Tursina, padang Sinai, adalah arena pergolakan dan perjuangan Musa. AlBalad al-
Amin adalah gemah ripah loh jinawi, toto tentrem kerto raharjo dalam
pengayoman Muhammad saw di Madinah. Hanya karena keseriusan konsep dan
hidayah tertentu Allah bersumpah atas empat hal sekaligus. Peradaban Abad-21
sekarang ini sedang berjalan lamban menuju awal kesadaran Tin. Perhatikan
kegelisahan hati ummat manusia di Eropa dan Amerika”.
(Menuju: “PASCA ABAD-21”)
Yogya 13 Juni 2017.

IslamIndonesia/Diterbitkan atas izin penulisnya


(Sumber: https://islamindonesia.id/kolom/kolom-surat-nikah-kebangsaan.htm)

https://islamindonesia.id 233
Friday, 16 June 2017

BANGSA MAINAN
Oleh: Emha Ainun Nadjib

islamindonesia.id – KOLOM- Bangsa Mainan

Aku ada empat. Aku pertama adalah aku yang bersilaturahmi denganmu dan
menulis untukmu. Aku yang kedua yang berjalan menuntunku dari depanku. Aku
yang ketiga adalah aku yang menguntitku di belakang langkahku. Aku yang keempat
adalah aku yang mengawasiku dari tengah khalayak, masyarakat, ummat dan
bangsaku. Ada aku yang kelima, ia “pancer”ku, tetapi ia bukan aku, melainkan Aku.
Lima hari yang lalu aku berhenti mengirimkan tulisan kepadamu, karena aku yang di
depanku berhenti melangkah. Bahkan ia membalikkan badan, menghadap ke
arahku, dan mencegat langkahku. Dengan sorot mata yang sangat menusuk jiwaku
ia berkata: “Apa gunanya tulisan-tulisanmu itu? Memangnya siapa kamu, sehingga
begitu mantap dan sombong mengemukakan ini dan itu? Kamu pikir ada yang
penting dari tulisanmu, yang dibutuhkan oleh bangsa dan ummatmu? Apa? Kalian
memerlukan dua hari panjang untuk mengkomunikasikan itu, termasuk untuk
menanam Pohon Khilafah”. Hari ini kimia tanah peradabannya belum kompatibel.

https://islamindonesia.id 234
Ternyata aku yang menguntitku berhenti jauh di belakangku. Ia berteriak: “Kamu
mengurusi ombak-ombak di permukaan laut, kemudian relief dan tekstur bebatuan di
dasar laut. Padahal masalahnya terletak di gelombang besar di tengah keduanya”.
Disusul oleh suara dari aku di tengah orang banyak: “Kalian diadu-domba. Kalian
diseret untuk mempertengkarkan hal-hal yang sama sekali tidak perlu
dipertengkarkan. Kalian dibikin sibuk untuk bermusuhan, saling membenci
dan baku-hina, sehingga kalian terlena harta kekayaan kalian dicuri”
Badanku demam. Panas dingin menggulung bergantian. Akan ada apa ini? Akan
segera ataukah masih ada waktu untuk bersiap-siap?
Hatiku lumpuh. Mental luruh. Aku sedang kehilangan kuasa atas diriku sendiri. Tak
kupunyai wibawa atas keadaanku sendiri. Akalku tak berdaya untuk mencerdasi
dalam maupun luarku. Aku sedang hancur. Hidupku ditindih oleh tumpukan
bongkah-bongkah batu, reruntuhan kegagalanku.

Mereka bertiga menyerbuku bergantian.

“Memangnya kamu ini siapa? Kamu pikir kamu ini sesuatu di pandangan bangsa
dan negaramu? Kamu sangka ada yang merasa perlu mendengarkanmu? Kamu
sudah tua. Kamu sudah ketelingsut di masa silam. Mata uang pikiranmu tak laku di
zaman ini”
“Kamu pikir ada penduduk Negerimu hari ini bisa kamu paksa untuk melihat jauh-
jauh dan berpikir dalam-dalam seperti di tulisanmu? Kamu berada di tengah
masyarakat yang fokusnya adalah mencari keuntungan sesaat, mengejar laba
materi satu dua langkah, memastikan untuk berkuasa atau sekurang-kurangnya
ndompleng penguasa. Kamu pikir ada satu huruf yang kamu tuliskan yang bisa
menyentuh hati mereka? Kamu pikir ada kata atau kalimatmu yang membuat
pikiran mereka gelisah?”
“Semua yang berlangsung ini bukan perkara kebenaran, melainkan soal
kekuasaan. Ini semua politik, bukan nilai. Tidak ada masalah Pancasila, Islam,
Bhinneka Tunggal Ika, yang ada adalah perebutan kuasa dan harta benda”
“Mereka sedang memperebutkan kemenangan, bukan mencari kebenaran.
Pemerintah, para pejabat, aktivis, lembaga-lembaga, media dan semua yang
bersuara, tidak sedang mencari apa yang terbaik bagi masa depan bangsa
Indonesia. Melainkan sedang menyeret dan diseret untuk jangan sampai dikalahkan”
“Kalian semua sedang dipermainkan oleh beberapa orang. Oleh hanya sejumlah
orang di Balairung Kerajaan. Mereka merancang pertengkaran di antara kalian.
Mengaransir rute isu-isu dan adegan-adegan konflik yang satu dua tahun ini kalian
nikmati. Mereka ciptakan idiom, istilah, jargon, yel atau berbagai jenis sesumbar
yang membuat kita merasa sedang bertentangan, membenci, memusuhi,
mengkriminalisasi, melakukan pembunuhan karakter. Kalian adalah bangsa
mainan…”

https://islamindonesia.id 235
Demamku meningkat. Panas dingin menggulung bergantian. Akan ada apa ini?
Akan segera ataukah masih ada waktu untuk bersiap-siap? Hahaha. Memangnya
mau ada apa? Fala ubali! Aku gak pathèken! Seumur hidup tak pernah mau aku
bertengkar dengan siapapun, karena karierku adalah bertengkar melawan diriku
sendiri, melawan aku, aku, dan aku.
“Aku tidak pernah menulis apa-apa”, aku bangkit meladeni mereka, “Aku hanya
dititipi tulisan. Meskipun kalian melarang, sudah ada di tanganku titipan tulisan ‘Surat
Nikah Kebangsaan’, ‘Pasca Abad-21’, ‘Silahkan Memasuki Silmi’, ‘Mencintai
Indonesia Besar’, ‘Kalau Kekasih Disakiti’, ‘Bertanam Ksatria’, beberapa lagi,
‘Membaca Iqra’ hari ini sampai ke 140, dan nanti malam launching buku 309 tulisan
Daur ‘Anak Asuh Bernama Indonesia’, ‘Iblis Tak Butuh Pengikut’ dan lain-lain.
Terserah sikap kalian. Kalau marah, yang berkewajiban kena marah bukan aku,
melainkan Aku.
Tiba-tiba terdengar suara Aku, tertawa terbahak-bahak dari langit. Disusul suara
terompet, sedikit agak panjang.
(Menuju:
“SURAT NIKAH KEBANGSAAN”)
Yogya 12 Juni 2017.

IslamIndonesia/Diterbitkan atas izin penulisnya


(Sumber: https://islamindonesia.id/kolom/kolom-bangsa-mainan.htm)

https://islamindonesia.id 236
Wednesday, 14 June 2017

PEMIMPIN YANG TAKABUR


Oleh: Emha Ainun Nadjib

Sumber daya primer pada dan dari manusia untuk pelaksanaan manajemen sosial
adalah kasih sayang dan pengayoman. Hanya kalau terpaksa kemudian mungkin
digunakan kekuasaan. Dan jika ada yang darurat, diterapkan kekuatan. Keikhlasan
dan etos kerja lebih maksimal dalam atmosfer yang pertama dibanding yang kedua,
apalagi yang ketiga.

Itu berlaku dalam mengelola keluarga, masyarakat, perusahaan, pemerintahan


Negara, bahkanpun menangani sebuah kesebelasan sepak bola atau memimpin
orkestra musik. Jangan lupa berlaku juga untuk memelihara kambing, merawat
tetanaman, atau menghandle kesehatan jasad dan kejiwaan manusia.
Kehadiran (main display, main icon) Allah yang utama adalah Rahman dan Rahim.
Maha Pengasih dan Penyayang. Bukan Maha Perkasa, Maha Berkuasa atau Maha
Penghukum. Ketika menampung kebutuhan manusia untuk mengeluh dan minta
tolong kepada-Nya, Allah memberi metode: “Katakan: aku berlindung kepada Yang
Maha Mengayomi” dulu. Kalau urusannya agak “padat”, baru “Katakan: aku
berlindung kepada Yang Maha Berkuasa”. Jika terpaksa baru “Katakan: aku
berlindung kepada Maha Sesembahan”.

Yang “Maha Sesembahan” itu praksisnya dalam Islam adalah si hamba bersujud.
Frasa Jawanya bahkan “ambruk”, “ndelosor” dan “pasrah bongkokan”. Pasrah
berlangsung pada hubungan yang rela. Kalau terpaksa, namanya menyerah.
Kepada Tuhan kita ambrukkan semuanya, ya pasrah ya menyerah. Kalau ada
tetangga di kampung berlaku sok hebat, seenaknya sendiri memperlakukan
sekelilingnya, kita layani dengan kasih sayang. Kalau tidak mereda kurang ajarnya,
kita bilang Pak RT untuk menggunakan kekuasaan. Kalau terpaksa dan darurat,
demi kemashlahatan penduduk sekampung: kita bikin dia “ndelosor”, bersimpuh
pada posisi “menyembah” kita karena kesakitan kita bikin sengsara.

Pada panduan metode lain yang menyangkut struktur penggunaan karakter-Nya,


Tuhan mencontohkan, bahwa sebelum kasih sayang, ada sumber daya yang lebih
lubuk lagi, yakni ‘Alimul ghoibi was-syahadah. Allah Yang Maha Mengetahui segala
yang gaib dan maha menyaksikannya. Terapannya untuk manusia
mestinya Muta’allimul ghoib was-syahadah: seorang pemimpin atau pengelola,
secara konstan dan dinamis mempelajari segala sesuatu dalam lingkup

https://islamindonesia.id 237
kepemimpinannya, sehingga secara simultan ia berhijrah dari belum tahu menjadi
tahu.

Sesuatu yang belum diketahui namanya gaib. Sesudah diketahui tak gaib lagi, tapi
selalu tetap tersisa lebih banyak lagi yang gaib. Maka pengetahuan atau
pembelajaran terhadap segala sesuatu yang belum diketahui — tidak boleh berhenti.
Itupun oleh Tuhan dianjurkan agar “was-syahadah”: sampai ke tingkat empiris,
dialami, dihayati, disimulasi, dimuhasabahi, dihitung, ditimbang-timbang.
Kadar pencapaian Muta’allimul ghoib was-syahadah manusia atau pemimpin,
berbanding lurus dengan volume atau kedalaman tumbuhnya kasih sayang sosial di
dalam dirinya. Urutan dari Tuhan: sesudah ‘Alimul ghoibi was-syahadah,
kemudian Rahman dan Rahim, baru seseorang punya modal memadai untuk Al-
Malik, menjadi pemimpin, pemegang otoritas.

Mungkin sekalian dilengkapi saja. Pengelola, pemimpin, pemegang otoritas, Al-


Malik, harus al-Quddus, harus suci niatnya, jujur pikirannya, objektif pandangannya
dan adil keputusannya. Hanya dengan itu ia menapaki tahap kepemimpinannya
hingga sampai ke as-Salam: membangun keselamatan bersama. Kemudian al-
Mu`min: berlangsung dialektika saling mengamankan. Lantas al-Muhaimin:
terbangun organisme perawatan keamanan, metabolisme putaran kenyamanan
dalam kehidupan rakyat dan masyarakat.

Kalau Pemimpin lulus mengkarakteri delapan kualitas itu beserta


pengejawantahannya, maka secara alamiah ia akan memasuki tahap al-‘Aziz,
kekuasaannya menjadi perkasa, tidak karena kekuataannya yang menindih,
melainkan bersumber dari dialektika kasih sayang. Berikutnya lebih kokoh lagi, al-
Jabbar: ngedap-edapi. Puncaknya al-Mutakabbir. Pemimpin menjadi “takabur”,
tidak kepada rakyatnya, tetapi kepada masalah-masalah yang harus ditanganinya.
Takabur artinya “membesari” atau “mengatasi”, hadir lebih besar dibanding
tantangannya, lebih tinggi dibanding ancaman kepadanya, “mrantasi”, mampu
mengatasi masalah-masalah, sehingga rakyat merasa aman dan nyaman dipimpin
olehnya. Level Pemimpin Takabur tidak perlu “parno” selama masa jabatan 5 tahun
pertamanya, sibuk menghimpun aset dan akses supaya berkuasa lagi 5 tahun
berikutnya. Rakyat sendiri yang akan “nggandholi” dan memintanya tetap
memimpin, tanpa rakyat perlu diiklani, dicitra-citrai, ditipu dan diperdaya.

Kalau mau dekat pada macan dan macan dekat padamu, jangan punya niat untuk
mengalahkannya. Tapi kalau tetap bernafsu mengalahkan, berkelahilah melawan
macan itu, dan menanglah. Macan tunduk, tetapi di lubuk nalurinya menggumpal
dendam dan ancaman. Cara yang agak lebih terpelajar adalah menaklukannya
dengan ilmu, strategi dan taktik: dirayu, disediakan makanan, disiapkan lasso, tali

https://islamindonesia.id 238
atau kurungan untuk mengikatnya. Ini juga tidak menjamin hati macan memuat
sekam amarah, yang dipendam.

Cara yang lebih “adil dan beradab” adalah engkau membangun energi positif di
dalam dirimu, perbowo, wibawa, pancaran hawa kesejukan, aura yang
mengamankan, karakter Pawang. Engkau cukup hadir, asal ada engkau, semua
lega dan merasa terlindung. Mungkin engkau menatap mata macan, mengelus
kepalanya. Hadirmu meneduhkannya. Ia bukan hanya tidak merasa terganggu,
bahkan merasa punya sahabat yang membuat ia merasa aman. Pawang itulah
Pemimpin Takabur. Kalau ada dia, pertengkaran reda, suhu menurun, angin
menyapu sejuk, semua saling mengalah karena tidak merasa terancam.
Semua berlomba memberi dan mengasihi, karena merasa nyaman dalam
kebersamaan.

Yogya 6 Juni 2017.

IslamIndonesia/Diterbitkan atas izin penulisnya


(Sumber: https://islamindonesia.id/kolom/kolom-pemimpin-yang-takabur.htm)

https://islamindonesia.id 239
Monday, 12 June 2017

SUARA-SUARA KELEDAI
Oleh: Emha Ainun Nadjib

Alih-alih berpuasa Ramadan menuju harapan sorga: rasanya saya justru sedang
dihukum oleh Allah. Selama hidup hanya 5 buku yang saya baca. Lantas saya
melakukan hal yang mustahil: mengetik ribuan tulisan, menerbitkan hampir 100
buku, menulis “Daur” hingga 309 + 124 tulisan hari ini, ditambah rutin “Wedang
Uwuh”, “Lubuk”, “Bongkah”, maupun tentatif “Asepi”, “Khasanah”, “Wong2an”. Belum
yang lepas-lepas darurat.

Mustahil dalam arti orang menulis berharap dibaca. “Siapa berbuat sezarrah
kebaikan akan mendapatkan imbalannya, siapa melakukan sedebu kejahatan akan
memperoleh balasannya”, kata Allah. Dan dengan hanya pernah membaca 5 buku:
saya berharap orang membaca jutaan huruf-huruf yang pernah saya ketik? Hidayah
Tuhan saja tidak diprimerkan, kok saya berharap manusia meng-Iqra`- i tulisan saya.

Allah kasih “juklak-juknis”: “Dan sederhanakanlah kamu dalam berjalan, dan


lunakkanlah suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk suara adalah suara keledai”.
Belum pernah saya menemukan contoh “seburuk-buruk suara” yang dimaksud
Tuhan itu selain tulisan-tulisan saya sendiri. “Binasalah kedua tangan Abu Lahab”,
dan akulah Abu Lahab itu. Dan, Allahu Akbar, besok pagi orang menyapa: “Hab,
mau ke mane elu Hab”.

Aslinya kali ini saya berniat menuliskan hasil halaqah imajiner dengan Nabi Hud,
Nabi Soleh, Nabi Nuh, Nabi Ibrahim, serta sejumlah Nabi lain yang di zamannya
Allah menurunkan bencana-bencana dahsyat: banjir bah, gempa dahsyat, badai es,
atau “pageblug” besar. Kaitannya dengan peta kausalitas sejarah dan nasib NKRI
hari ini dan esok. Termasuk dua tahun kosong “bencana” misterius penguburan
peradaban besar-besaran, penyembunyian sejarah hampir total menjelang Abad 14
di pulau yang kini kita huni dengan “plola-plolo”.

Hati saya memberi judul halaqah itu “Kalau Kekasih Disakiti”. Dibantah oleh pikiran
saya, “orang akan makin tidak paham”, katanya, “nanti disangka judul sinetron
India”. Tapi hati saya bersikukuh. Dan tak ada kompromi di antara mereka. Maka
akhirnya tulisan ini yang saya ketik.
Memang pikiran saya bisa dipahami. Lha bagaimana, sekarang ini kalau orang mau
mempelajari Lembu, kepustakaannya Surat Al-Baqarah. Meneliti lebah baca An-

https://islamindonesia.id 240
Nahl. Surat An-Naml disangka teks tentang semut. Mempelajari keikhlasan buka
Surat Al-Ikhlas dan bingung tidak ada kata ikhlas di ayat-ayatnya.

Ketika pikiran saya bermaksud menjelaskan beda antara pola dan sistem narasi
Kitab Suci dengan Disertasi Akademik Doktor, mozaik titik, garis, lekukan, lipatan,
tikungan, spiral, oval, siklikal, lingkaran, bulatan, cekungan, cembungan, luar di
dalam, dalam di luar, mikro dalam makro, makro dalam mikro dan macam-macam
lagi–hati saya ngambeg. “Ndak usah nambah perkara. Bangsa ini sudah tergeletak
kelelahan oleh terlalu banyak masalah”.

Saya bilang “Ketika Dokter mengobati, jangan ada ide uang dan bayaran”, diartikan
“berobat boleh gratis”. Kalau mengajar, Guru harus berniat pendidikan, bukan
berkemauan mencari uang–
dimaknai “wajar gaji Guru sangat rendah”. “Wala tamnun tastaktsir”, “jangan
memberi dengan mengharapkan imbalan berlipat ganda”, ditafsirkan menjadi Muslim
harus ikhlas miskin.

“Utamanya rindu jumpa Allah, bukan cari keuntungan Sorga”, dituduh melecehkan
Sorga. Tidak ada obat Diphroson di Apotek situ, terus saya bilang “tadi ban motor
saya nggembos di depan Apotek, ketika saya beli Diphroson” – para pendengar
hanya fokus ke ban nggembos, sehingga tidak memperoleh informasi baru tentang
Diphroson.

Bikin tulisan “Najwa Menanti Shoikhah” disangka reportase infotainment. “Puasa


Ibunda” dipahami sebagai kisah di masa kanak-kanak. “Rindu Menyatu” dianggap
cerpen remaja. “Shummun Bukmun” ditepis: “Sok Arab”. “NKRI Patigeni” dipikir
pelajaran nyantet. Saya bilang “saya ndak bisa naik sepeda” disimpulkan “apalagi
nyetir mobil”. “Berat Hati dan Tidak Tegaan” diasumsikan sebagai artikel psikologi.
“Kita Indonesia, Kita Pancasila” dikutip oleh media menjadi “Kami Indonesia, Kami
Pancasila”.

Wartawannya alumus We University, sehingga tidak bisa memilah beda antara Kami
dengan Kita. “Kalau buka puasa, saya tidak suka makanan yang susah
memakannya, misalnya daging, harus nyakot, banyak slilit pula, saya tempe tahu
saja” – dikutip: “Emha: Saya anti daging”.
Dulu saya pikir saya adalah seorang Bapak, yang bersama anak saya berjalan
menuntun keledai. Orang berkomentar: “Bapak Anak sama-sama pekok. Punya
keledai kok nggak dinaiki”. Akhirnya anak saya menaiki keledai, saya berjalan
menuntunnya. Orang mencela “Anak tidak tahu diri.

https://islamindonesia.id 241
Bapaknya disuruh jalan, dia enak-enak naik keledai”. Kami gantian, dan dikecam:
“Bapak fasis diktator. Anaknya disuruh jalan, dia leha-leha nunggang keledai”. Di-
bully juga: “Kejam kepada binatang. Satu keledai dinaiki dua orang”. Kemudian kami
berdua berjalan memanggul keledai, dan ditertawakan oleh setiap orang yang
berpasasan.

Tapi kami bertahan memanggul keledai. Tidak pakai alasan, argumentasi, filosofi,
ideologi, tidak pakai pernyataan “Saya manusia, saya penyayang binatang”. Kalau
ada yang berkomentar lagi, kami langsung “mbekèr” persis keledai. Semoga semua
penduduk bumi yakin bahwa kami berdua adalah keledai. Sedangkan yang kami
tuntun adalah manusia. ***

Yogya 5 Juni 2017.

islamindonesia/Diterbitkan atas izin penulisnya


(Sumber: https://islamindonesia.id/kolom/kolom-suara-suara-keledai.htm)

https://islamindonesia.id 242
Sunday, 11 June 2017
ORASI SUNAN KALIJAGA
Oleh: Parni Hadi

islamindonesia.id – KOLOM – Orasi Sunan Kalijaga

Bicara baik, belum tentu benar.


Bicara benar, belum tentu baik.
Bicara baik dan benar belum tentu perlu.
Berpikirlah sebelum berbicara dan kemudian berbuat!

Itu mukadimah orasi Sunan Kalijaga dalam rapat para wali, penyebar agama Islam
di Pulau Jawa abad ke-15 Masehi di bawah pimpinan Sunan Ampel dalam ketoprak
dengan lakon Dakwah Sunan Kalijaga yang digelar di Rumah Budaya Nusantara,
Kampung Sawah, Ciputat, Tangerang Selatan, Ahad malam (21 Mei 2017).

https://islamindonesia.id 243
Ada ungkapan: seperlunya, secukupnya, dan sebenarnya. Orang Jawa bilang: “Sak
perlune, sak cukupe lan sak benere”, lanjut Sunan Kalijaga, wali termuda yang
diminta pendapatnya tentang tata cara dakwah Islam di Pulau Jawa.

Bagaimana tahu batas-batasnya? Orang perlu bertanya kepada diri sendiri, orang
lain yang sudah tahu, berguru dan membaca Al-Quran dan Hadist. Berusahalah
mencari tahu agar faham atau karena diberitahu oleh Yang Maha Tahu, Allah,
sumber segala pengetahuan.

(Lalu Sunan Kalijaga minta pengawalnya Ki Purwadi untuk melantun tembang


petunjuk mencari guru berdasar ajaran wulangreh karya Pakubuwono IV dengan
iringan gending. Inti tembang itu adalah: bergurulah kepada orang yang nyata-nyata
tinggi martabatnya, menjalankan syariat agama dan mengerti hukum. Syukur, kalau
mendapat seorang pertapa, orang yang sudah tidak berharap lagi pada pemberian
orang lain).

Berpuasa adalah salah satu cara untuk mencapai kesucian pikiran, perkataan dan
perbuatan (perwujudan dari cipta, rasa dan karsa). Apakah ada jaminan usaha
manusia akan berhasil? Manusia wajib berusaha, hasilnya tergantung kepada
perkenan Allah, Tuhan Sang Maha Kasih dan Sayang.

Setelah berusaha sepenuh niat dengan segala daya dan upaya, kita pasrah,
sumarah kepada Allah. Islam ada yang menafsirkan sebagai kepasrahan mutlak
kepada kehendak Allah, Yang Maha Mutlak. Berusaha, bekerja keras, cerdas dan
ikhlas, tanpa pamrih.“Sepi ing pamrih”. Kata orang Jawa: “Sepi ing pamrih, tebih
ajrih” (tanpa pamrih membuat bebas dari rasa takut).

Puasa Ramadhan bisa jadi sarana pengendalian nafsu dengan melakukan pantang
makan-minum dan hubungan suami-istri di siang hari dan pengendalian “cipta, rasa,
karsa” sepanjang waktu, baik siang maupun malam. Tujuannya untuk mencapai :
suci dalam pikiran, perkataan dan perbuatan.

“Sepi pamrih tebih ajrih” adalah ungkapan dalam bahasa Jawa. Ungkapan dalam
berbagai bahasa lain dengan makna yang sama adalah bagian dari budaya suatu
bangsa yang dipengaruhi oleh lingkungan, kondisi alam (geologi, topografi dan
geografi). Sumbernya adalah satu, Yang Maha Satu (Esa), merujuk serat Kulhu
(QS: Al Ikhlas), ujar Sunan Kalijaga.

Budaya adalah hasil budi dan daya manusia, yakni “cipta, rasa, karsa”oleh jiwa yang
telah masak. Bentuknya adalah serangkaian pedoman perilaku hidup sehari-hari
untuk mempertahankan dan meningkatkan kualitas hidup dengan pendekatan etika

https://islamindonesia.id 244
dan estetika. Budaya meliputi seluruh aspek kehidupan, bukan hanya kesenian. Tata
cara pergaulan (komunikasi), bercocok tanam, mencari rezeki, pergaulan laki-
perempuan, kepemimpinan, pengobatan dan penyembahan terhadap Tuhan adalah
bagian dari budaya.

Agama (Ageming Aji) lahir untuk menyempurnakan kebudayaan yang ada dan
ditengarai telah menyeleweng. Rasulullah, Kanjeng Nabi Muhammad SAW, diutus
Allah untuk menyempurnakan budaya Arab yang waktu itu mengalami kegelapan
atau Jaman Jahiliyah.

Jadi, agama dan budaya harus berjalan beriringan, selaras menuju Yang Satu,
demikian pendapat Sunan Kalijaga, yang disetujui oleh para wali, yakni dakwah
dengan pendekatan budaya.

Islam Melebur Dalam Budaya Nusantara

Islam telah melebur kedalam budaya (Nusantara) dan Nusantara telah melebur
dalam Islam. Kanjeng Sunan Drajat, yang fasih berbahasa Arab, menggunakan
ungkapan bahasa Jawa tatkala berdakwah agar orang mau membayar zakat, infak,
sedekah dan wakaf sesuai ajaran Islam.

Ungkapan Kanjeng Sunan Drajat terkenal sebagai tembang yang berbunyi:


“Wenehono payung marang wong kang kodanan, wenehono teken wong kang
kalunyon, wenehono pangan wong kang kaluwen lan wenehono sandhang marang
wong kang kawudan”. Artinya, berilah payung kepada orang yang kehujanan, berilah
tongkat kepada orang yang berjalan di tempat licin, berilah makan kepada orang
yang kelaparan dan berilah pakaian kepada orang yang telanjang.

Yang sering turun hujan dan tanahnya licin adalah daerah Lamongan, Jawa Timur,
tempat dakwah Sunan Drajat. Bukan Negeri Arab, yang tanahnya berupa padang
pasir, dan jarang mendapat hujan. Sunan Drajat menguasai bahasa Arab, tetapi Ia
menggunakan bahasa Jawa untuk menyesuaikan dengan kondisi setempat (local
setting).

Dakwah Islam perlu dilakukan sesuai tempat, saat dan tuntutan jamannya. Orang
Jawa bilang: “Empan, papan lan njaman”. Kelak, pada saatnya atas kehendak Allah,
menurut Sunan Kalijaga, peleburan Islam dan budaya Nusantara itu akan menjelma
menjadi sila pertama dasar negara yang berbunyi: Ketuhanan Yang Maha Esa,
sebagai bagian dari Pancasila. Namun, Sunan mengingatkan, Pancasila bukan
sekedar untuk dihafalkan, diwacanakan atau diomongkan saja, tetapi harus
diamalkan, pungkas Sunan Kalijaga.

https://islamindonesia.id 245
(Sunan Kalijaga lalu minta Ki Purwadi melantun tembang kemudian disambut
dengan tembang macapat dengan iringan gamelan: “Ngelmu iku kelakone kanthi
laku”, artinya ilmu itu terlaksananya dengan amal. Tembang ini berasal dari Kitab
Wedhatama karya Mangkunegara IV)

Pagelaran ketoprak itu merupakan persembahan Dompet Dhuafa sebagai lembaga


filantropi Islam yang berkhidmat dalam pemberdayaan kaum dhuafa dengan
pendekatan budaya untuk memaknai Harkitnas 2017. Acara ketoprak itu di awali
dengan layanan pengobatan gratis untuk para seniman, servis HP dan motor gratis
milik para seniman.

Dalam adegan terakhir dari ketoprak disisipkan peluncuran buku berjudul “Suluk
Kidung Kawedar Sunan Kalijaga” karya Bambang Wiwoho, Jejaring Macapat
Nusantara dan Asosiasi Penari Tradisional Indonesia.[]

YS/ Islam Indonesia/ Sumber: kbknews.id


(Sumber: https://islamindonesia.id/kolom/kolom-orasi-sunan-kalijaga.htm)

https://islamindonesia.id 246
Saturday, 10 June 2017

NGERI NGELIHAT KILATAN PEDANG


Oleh: Emha Ainun Nadjib

Tulisan yang sudah siap, saya tunda, insert tulisan ini, karena semalam saya
berjumpa dengan “Al-Maidah 54” pukul 20.30 sd 02.30 di lapangan Polinema
Malang. Katanya berjumlah di atas 8-ribu, tapi menurut saya di bawah 6-ribu kaum
muda. Terhadap pertanyaan mereka “bagaimana menyikapi fakta bahwa Islam
dijahati dan Ummat Islam direndahkan, diejek, dilecehkan, bahkan dihina dengan
ungkapan sangat kotor…”, saya menjawab:

“Sampai minimal lepas dari atmosfir Idulfitri tahun ini, rajin-rajinlah menyebarkan
lembutnya Islam, lapang hatinya Islam, indahnya “Silmi” Islam, rasa sayang
kemanusiaannya Islam. Adapun komponen, factor atau dimensi-dimensi lainnya,
cukup simpanlah di privat-room, “di-imbu njero genthong” di kamar khilafah kearifan
sosial Islam”.
Itu bagian dari policy Sila Keempat: “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam Permusyawaratan dan Perwakilan”. Para penggali Pancasila
mendatangi Tambang Islam dan untuk Sila-4, mengambil empat mutiara atau batu
mulia. 1. Rakyat dan kerakyatan. 2. Hikmat. 3. Musyawarah. 4. Wakil.

Sebagai seorang Muslim saya mengalami “kegembiraan rahmatan lil’alamin”


menyaksikan ummat manusia siapa saja mendatangi Tambang Islam dan
mengambil emas permatanya. Kata rakyat diambil dari konsep kepemimpinan dalam
Islam: “Kullukum ro’in wa kullu ro’in mas`ulun ‘an ro’iyyatihi”. Setiap orang adalah
pemimpin, dan setiap pemimpin bertanggungjawab atas kepemimpinannya.

Itu bukan sebatas Bahasa Arab, itu bimbingan Allah dalam narasi Islam. “Ro’iyah”
menjadi “Ro’iyat” menjadi “Rakyat”. Rakyat adalah subyek utama kepemimpinan dan
pemerintahan atau pengelolaan kehidupan bersama. Rakyat adalah pemanggul
mandat kedaulatan dari yang Maha Menciptakan bumi dan langit, daratan dan lautan
beserta isinya. Rakyat adalah pemegang otoritas dalam skala kebersamaan yang
formulanya boleh dikonsep Kerajaan, Kesultanan, Kekhalifahan, Republik, Negara
Demokratik atau apapun, sepanjang menjamin Rakyat adalah pemegang
kekuasaan.

“Hikmat” digali dari “bil-hikmati”: tetesan paling esensial dan substansial dari
kebenaran bersama, kebaikan, keindahan dan keseimbangan kolektif. Subyeknya
Hakim: manusia yang terdidik dan terlatih untuk memiliki penglihatan nilai dengan

https://islamindonesia.id 247
presisi prima terhadap inti kebenaran, kebaikan dan keindahan. Disebut juga
kebijaksanaan atau ke-arif-an. Kearifan adalah pengetahuan yang melubuk-
mengufuk. Ilmu yang menemukan resultan antara kedalaman dengan keluasan serta
ketinggian. Ketika diaplikasikan menjadi hukum positif, ia diterapkan dengan “amar
ma’ruf”: menegakkan garis hukum, yang berasal dari simulasi, perhitungan atau
muhasabah sampai terumuskan “aturan yang sudah di-arif-I bersama”, disepakati
sebagai pasal hukum positif.

“Musyawarah” adalah tahap fungsional sesudah “Rakyat” menyadari diri sebagai


“Musyarokah” atau Masyarakat. Rakyat adalah penduduk yang berserikat, kemudian
bermusyawarah menyepakati sejumlah aturan bersama. Tetapi karena mozaik nilai
hidup sangat luas, sebagian hal perlu di-tawakkal-kan, atau diwakilkan ke orang atau
lembaga atau Dzat di luar dirinya. Kita sudah siapkan warung nasi semaksimal
mungkin, makanannya, budaya pelayanannya, kenyamanan warungnya. Tapi
apakah akan laku atau tidak, berapa jumlah konsumen yang akan membeli, itu di
luar kuasa ilmu manusia. Maka di-tawakkal-kan. Sebagaimana petani hanya mampu
menanam dan merawat pagi, tetapi panen tidaknya berada di wilayah Tawakkal.

Rakyat bisa kita dalami menjadi buku sendiri. Hikmat, Permusyawaratan dan
Perwakilan adalah buku dan buku sendiri. Cuma hari ini NKRI sedang terapung-
apung dan terombang-ambing di ombak artifisialisme dan takhayul tentang nilai-nilai:
Pancasila, Islam, Bhinneka Tunggal Ika dst. Keterombang-ambingan itu membuat
bangsa Indonesia bertubrukan, baku benci, saling memaki, merendahkan dan
menghina sampai tingkat yang kumuh dan busuk dari kemanusiaan.

Kalau hatimu seluas tujuh lautan, tak cukup menjadi wadah kesabaran untuk
menampung betapa kita sedang saling menyakiti dan melukai. Kalau jiwamu seluas
jagat raya, jangan optimis bahwa itu cukup untuk mengakomodasi betapa brutalnya
dialektika NKRI hari ini, betapa kejamnya, betapa tega dan tidak berat hati satu
sama lain. Betapa ringan orang melontarkan hinaan dan pelecehan kepada
sesamanya.

Beberapa langkah lagi, mereka akan berbunuh-bunuhan sampai ke tingkat jasad,


darah dan nyawa, sebagaimana dulu Iblis mengkritisi ide penciptaan Adam. Abu
Dzar Al-Ghifary pernah berdialog dengan Muhammad saw tentang momentum di
mana orang-orang sedang dikutuk dan dibunuh. “Apa yang harus kulakukan?”, Abu
Dzar bertanya. Rasulullah saw menjawab: “Bergabunglah ke rumah-rumah yang
penghuninya dibunuhi”. Kelak Sang Pintu Ilmu, Ali bin Abi Thalib memberi nasehat:
“Jadilah orang yang didholimi, jangan menjadi pihak yang mendholimi”.

https://islamindonesia.id 248
Tapi Abu Dzar, pribadi yang lembut dan “jembar manah”, mengejar: “Bolehkah aku
mengangkat pedang?”. Rasulullah menjawab: “Kalau kau angkat pedang, apa
bedanya engkau dengan para pembunuh? Masuklah ke rumahmu, sembunyilah di
kamarmu. Kalau engkau merasa ngeri melihat kilatan pedang yang datang
mengancammu, ambillah kain untuk menutupi wajahmu, sehingga tak terlihat
olehmu kilatan pedang itu”.

Maka di kepada anak cucuku di lapangan Polinema itu saya bertahan mengatakan:
“rajin-rajinlah menyebarkan lembutnya Islam, lapang hatinya Islam, indahnya “Silmi”
Islam, rasa sayang kemanusiaannya Islam…”. ***

Yogya 3 Juni 2017.

islamindonesia/Diterbitkan atas izin penulisnya


(Sumber: https://islamindonesia.id/kolom/kolom-ngeri-ngelihat-kilatan-pedang.htm)

https://islamindonesia.id 249
Thursday, 08 June 2017
BERAT HATI DAN TIDAK TEGAAN
Oleh: Emha Ainun Nadjib

islamindonesia.id – Kolom – Berat Hati dan Tidak Tegaan

Takfiry adalah perjuangan menegakkan keIslaman dengan semangat meng-kafir-


kan. Tamkiry adalah perjuangan menegakkan kebenaran dengan semangat me-
makar-kan. KeIslaman dan kebenaran ada pada diri seseorang, tudingan kafir dan
makar terhadap yang bukan dirinya.

Kosakata takfiry lazim dipakai dalam Bahasa Arab, sedangkan Tamkiry meskipun
belum pernah dipakai, tetapi ia tidak menyalahi pola gramatika Bahasa Arab.
Bangsa Indonesia, dengan kepeloporan suhu panas politik Ibukotanya, mengalami
perang brubuh pikiran dan hati, di mana dua pihak saling melemparkan tuduhan
Kafir dan Makar.

https://islamindonesia.id 250
Dialektika negatif Takfiry dan Tamkiry berlangsung tanpa ada gejala akan mereda,
dalam berbagai lapisan gelombang serta bermacam-macam narasi, idiom, dan
medium ekspressi. Di satu kutub siapa saja yang tidak meneriakkan kata yang sama
dituduh Kafir, Munafik, Sesat, Musyrik. Di kutub lainnya kalau tidak turut menyalakan
lilin atau menyanyikan lagu yang sama, disimpulkan sebagai anti-NKRI, anti-
Pancasila dan antiBhinneka Tunggal Ika.

Bagi yang tidak ikut kedua orkestra itu, menanggung beban Kafir sekaligus
antiNKRI, Munafik sekaligus anti-Pancasila, serta Musyrik sekaligus anti-Bhinneka
Tunggal Ika. Sejumlah penduduk Indonesia tidak lagi bisa menemukan dan
menikmati keberadaannya di Negeri Katulistiwa, karena ia harus mengambil sikap
untuk berada di Kutub Selatan atau beralamat di Kutub Utara.

Firman Allah di Surat Al-Maidah menjadi hulu ledak awal yang memuaikan uap
panas. Sedemikian rupa sampai ada yang tak kuat. Karena pada dasarnya setiap
manusia memerlukan kesejukan, maka diterbitkanlah Kitab AlQur`an dengan
menghilangkan narasi Al-Maidah di yang dirasanya merupakan ayat-ayat hulu ledak.
Sementara saya justru menemukan mataair kesejukan yang luar biasa darinya.
Allah menginformasikan di Ayat-54: “ Hai orang – orang yang beriman, barangsiapa
di antara kamu yang murtad dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan
suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun m encintai – Nya, yang
bersikap lemah lembut terhadap orang yang mukmin, yang bersikap keras terhadap
orang – orang kafir, yang berjihad dijalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan
orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan – Nya kepada siapa y ang
dikehendaki – Nya, dan Allah Maha Luas (pemberian – Nya), lagi Maha Mengetahui
”.

Kalimat yang diterjemahkan “murtad dari Agamanya” mohon izin saya pahami
berbeda, dengan mengambil esensi universalnya: “tidak melakukan prinsip yang
semestinya dilakukan”. Manusia tidak menegakkan komitmen yang seyogyanya
ditegakkan oleh manusia. Kesadaran dan kesetiaan “ bebekti ” (: Agama) —
pengabdian kepada hakiki hidup makhluk yang tertinggi derajatnya, yang oleh
Penciptanya dibikin memiliki kelengkapan dibanding alam dan binatang. Bebekti
kepada Tuhan, yang Ia tak akan menerimanya jika tak diejawantahkan menjadi
kasih sayang dan rasa bersama dengan sesama manusia dan alam, yang lazim
disebut “rahmatan lil’alamin”.

Yang bikin penasaran adalah janji Allah “mendatangkan suatu generasi yang Allah
mencintai mereka dan mereka mencintai-Nya”. Subyek primer cinta di situ adalah
Allah sendiri. Kausalitasnya bukan manusia mengabdi kepada-Nya sehingga
memperoleh cinta dari-Nya. Melainkan Allah sendiri pemrakarsanya, pelopor dan

https://islamindonesia.id 251
inisiatornya: Ia merancang, mendesain lahirnya suatu generasi yang sejak semula
memang Ia cintai dan Ia bimbing untuk memiliki potensi-potensi saya yang
kompatibel untuk bercinta denganNya. Dengan sangat menekan “rasa GR” dan
irasionalitas, saya merasa berjumpa dengan generasi yang Allah maksudkan itu,
rata-rata sekitar 50.000-an kaum muda dalam seminggu di berbagai titik Nusantara.

Saya menemukan berbagai indikator bahwa mereka adalah sebagian dari yang
disebut “Generasi Millenial”, yang karakternya, sifatnya, kecenderungannya serta
pilihanpilihannya mungkin berbeda dengan Generasi Millenial pada umumnya. Maka
karena saya sangat menjunjung Pancasila, dengan Sila Pertama yang sangat
rasional, ilmiah dan historis, yang diaplikasikan melalui sistem nilai Sila Kedua,
Ketiga dan Keempat, dengan goal Sila Kelima – saya mencoba melakukan “ pointers
” yang disebut oleh Allah kepada mereka setiap kali berjumpa dengan saya,
sebagaimana yang tertera di Ayat 54.

Utamanya sifat “ a’izzah ‘alal kafirin ”, sesudah “ adzi llah ‘alal mu`minin ” yang
lemah lembut kepada sesama orang beriman. Selama ini “ a’izzah ‘alal kafirin ”
diterjemahkan “bersikap keras kepada orang-orang kafir”. Mohon izin dengan segala
keterbatasan, saya menemukan yang berbeda. Sebagaimana kosakata yang sama
yang dipakai oleh Allah dalam menjelaskan salah satu sifat utama Rasulullah saw ‘
azizun ‘alaihi ma ‘anittum : berat hatinya atas derita yang kau alami. Maka ” a’izzah
‘alal kafirin ” adalah berat hati atau tidak tegaan kepada sesama manusia yang
belum beriman. Ini konsep peneduhan yang luar biasa dalam “bebrayan”
kemanusiaan.

Ada klausul lain, misalnya tidak takut dicela. Saya sendiri terus belajar untuk ini.
Maka kalau tulisan-tulisan dan penyikapan saya selama ini melahirkan celaan,
hinaan atau amarah – tak akan ada masalah dengan dan pada saya. Karena “haq”-
nya terletak di tangan Yang Maha Memerintah saya. ***
Malang 3 Juni 2017.

islamindonesia/Diterbitkan atas izin penulisnya


(Sumber: https://islamindonesia.id/kolom/kolom-berat-hati-dan-tidak-tegaan.htm)

https://islamindonesia.id 252
Tuesday, 06 June 2017

TELUR AYAM JANTAN DAN IBU GARUDA PERTIWI


Oleh: Emha Ainun Nadjib

Kalau saya nyatakan “Saya Emha, Saya Manusia”, orang akan malah kehilangan
kepercayaannya kepada keEmhaan dan kemanusiaan saya. Maka saya juga tidak
berani ikut teriak “Saya Indonesia, Saya Pancasila”. Gadis yang “kemayu” adalah
yang tak percaya diri pada keayuannya, dan gara-gara ia “kemayu”: sirna ayunya.
Maka dengan segala kerendahan hati inilah seri berikut Tafakkur Pancasila. Tengok
dan nikmatilah keindahan sejati dari ragam manusia hasil karya Allah Swt. Sebutlah:
pluralitas, Bhinneka Tunggal Ika, “syu’uban wa qabail” atau apapun. Semua
menikmati suara kokok ayam, yang bunyi orisinalnya adalah hak paten Allah Swt.
Dan semua mengimpresikannya, sesuai dengan “roso” dan kadar rasa syukur
masing-masing.

Maka terbitlah interaksi dan orchestra peradaban kokok


ayam: Kukeleku (Belanda), Cockadoodledoo (Inggris), Koukoukoukou (Jepang),
Quiquiriqui (Spanyol), Chichirichi(Italia), Cocorico (Perancis), Gue-
gue (China), Kikeriki (Jerman), Koukarekou (Rusia), Kongkorongok (Sunda), Kuk
urunuk (Madura), Kukuruyuk (Jawa), termasuk Shoutud-Diik (Bahasa Arab =
suara kokok ayam) hanya merumuskan tapi tak menirukan. Saya gagal menemukan
bagaimana masyarakat Betawi menirukan kokok ayam… Ketemunya malah Gue-
gue, kosakata utama budaya Betawi.

Secara artistik, budaya Jakarta memang paling kompatibel dengan Gue-gue, dalam
pengertian simbolik maupun kontekstualitas politik, budaya maupun kekuasaan.
Maka kepemimpinan di Jakarta juga cenderung Gue-gue. Dalam konteks karakter
sosial budaya, metropolitan Jakarta juga yang mempelopori lahirnya “Generasi Lu-
lu Gue-gue”. Dalam skala nasional, karena Jakarta adalah “sokoguru” sejarah
Indonesia – maka bahkan sosialisasi, akulturasi, dan perasukan unsur Gue-gue
sudah mulus masuk kampung-kampung, kampus-kampus, Pesantren, darat, laut,
hutan, taman, kebun, di tempat-tempat cahaya benderang maupun di remang-
remang kegelapan.

Secara tradisi alam maupun logika budaya, Jakarta seharusnya menjadi yang
“paling Indonesia”. Ia bukan hanya Ibukota, tapi juga “pemimpin keIndonesiaan”.
Jakarta paling nasionalis, paling patriotik. Lebih tiga-perempat jumlah Rupiah ada di
saku mereka. Mereka makan paling banyak, bersandang paling necis. Juga Jakarta
adalah “Tuhan”nya setiap keputusan nasional. Sebagai orang Jawa saya

https://islamindonesia.id 253
membayangkan di jidat Jakarta ada tattoo “Sedumuk batuk, senyari bumi”. Jakarta
adalah pengendali kedaulatan Negara, pendiri dan penjaga pagar harga diri
Bangsa. “Prajurit” yang membentengi setiap upaya rongrongan atas kekayaan
nasional. Jakarta menjadi pemimpin kearifan dalam kebersamaan, pelopor
kelapangan dalam keragaman.

Bukan sebaliknya. Bukan Jakarta memproses program “bunyi kokok ayam adalah
Gue-gue”, sehingga Kukeleku, Cockadoodledoo, Koukoukoukou, Quiquiriqui,
Chicnhirichi, Cocorico, Quiquiriqui, Chicchirichi, Cockadoodledoo, Kikeriki,
Koukarekou, Kongkorongok, Kukurunuk, Kukuruyuk dan lain-lainnya salah semua.
Bahkan kalau mau ilmiah dan adil, yang benar sejati adalah kokok ayam itu
sendiri. Manusia cuma peniru, kemudian mencuri dan memanipulasi, akhirnya
berlagak-lagak dan GR sendiri.

Di Hari Pancasila, Ayam Jago tiba-tiba menjadi sangat menarik. Saya khusus datang
ke tetangga penggemar ayam jago. Dia tahu apa yang saya resahkan, dan berkata:
“Masalah utama bangsamu bukan pada perbedaan menirukan kokok ayam.
Melainkan penggumpalan modal yang dipakai untuk mengendalikan kekuasaan.
Kalau kalian rindu untuk menyatu kembali, syarat nilainya adalah kesungguhan
terhadap keadilan. Untuk itu carilan Pemimpin yang Pawang”

“Hal kekuasaan nanti dulu. Kami sedang berdiskusi tentang Pancasila dan ragam
kokok ayam…”, saya merespon.

“Kokok ayam cuma satu, yang beragam adalah interpretasinya. Kalau bangsamu
bertengkar soal itu, kembalilah ke kebenaran ayam. Juga jangan lupa, kalau ada
ayam berkokok, berarti dia tidak bisa dan tidak pernah bertelur. Dia sok jago,
maka disebut ayam jago. Pancasila tidak ditelurkan oleh Ayam Jago, melainkan oleh
Ibu Garuda Pertiwi. Garuda bukan Bapak. Indonesia adalah Ibu Garuda Pertiwi,
pengayom seluruh penghuni bumi. 72 tahun Indonesia merdeka tak berkembang
dewasa, karena Garudanya bencong.
(Diteruskan ke “Rindu Menyatu”)

Yogya 1 Juni 2017.

islamindonesia/Diterbitkan atas izin penulisnya


(Sumber: https://islamindonesia.id/kolom/kolom-telur-ayam-jantan-dan-ibu-garuda-
pertiwi.htm)

https://islamindonesia.id 254
Friday, 02 June 2017
CAK NUN: PANCASILA GUE-GUE
Oleh: Emha Ainun Nadjib

islamindonesia.id – KOLOM – Cak Nun: Pancasila Gue-Gue

Akhir-akhir ini definisi dan segala urusan yang menyangkut NKRI, Pancasila,
Bhinneka Tunggal Ika, dengan macam-macam onderdil politiknya: pluralisme,
radikalisme, intoleransi, diktator minoritas, apapun — semakin harus mengacu ke
wacana Dinasti Guegue. Termasuk Agama, Tuhan, Nabi, ketokohan dan
kepahlawanan: harus mengacu kepada persembahan kepada kebenaran eksistensi
dan legalitas Gue-gue.

Dinasti dari Utara ini kekuasaannya sudah semakin menggurita: kuasa atas tanah,
keuangan, asset-asset apa saja, bahkan produksi aturan dan undang-undang.
Kekuasaan karena kecanggihan dan kehebatan, maupun karena ambisi berkuasa itu
sendiri, termasuk filosofi keduniawian dan strategi tipudaya yang menyebarkan
“syubhat” atau kerancuan antara Sorga dengan Neraka. Bahkan menterbalikkan
antara keduanya.

Tapi meskipun demikian, perlu tetap dipilah antara Gue-gue Benteng dengan
Guegue Toko. Gue-gue Pribumi dengan Gue-gue Laba. Yang bentang dan pribumi
sudah menyatu keIndonesiaan, berhati Nusantara, dan belajar berlaku sebagai tuan
rumah di tanah yang dipijaknya. Adapun yang toko dan laba, tak penting di tanah
dan Negeri mana ia berpijak, yang utama adalah mencari keuntungan pribadi,
menumpuk laba dan menghimpun kuasa.

Asal muasalnya begini. Alkisah, lebih tiga abad Ratu Kukeleku berkuasa di
Nusantara. Beberapa tahun digantikan oleh Pangeran Cockadoodledoo. Mereka

https://islamindonesia.id 255
berdua ini sebenarnya bersama sejumlah Raja lain seperti Cocorico, Quiquiriqui,
Chicchirichi atau juga Kikeriki, berbagi kekuasaan di Afrika dan Asia. Ada Raja lain
misalnya Koukarekou, yang selera berbeda, tidak ikut kenduri di Asia Afika,
melainkan berusaha menguasai rekanrekannya sendiri di Eropa.

Selama Kukeleku dan Cockadoodledoo berkuasa, Raja-Raja Nusantara seperti


Prabu Kongkorongok, Adipati Kukurunuk atau Sultan Hamengkukuruyuk dan handai
taolannya, sangat bersabar, toleran dan lapang dada bersuara di area lokalnya
masing-masing. Tapi tatkala Kukeleku digantikan beberapa tahun oleh Kaisar
Koukoukoukou, ketiganya berhimpun dengan ratusan lainnya. Tiba-tiba Kerajaan
Kaisar itu ditimpa oleh meteor sangat besar jatuh dari langit: merdekalah Nusantara,
dengan himpunan itu bersepakat untuk menjadi satu nusa satu bangsa.

Sebenarnya persatuan dan kesatuan itu tidak benar-benar merdeka dari pengaruh
Ratu Kuleleku dan sekutunya. Apalagi bersamaan dengan itu di seluruh Nusantara
pelanpelan sudah tersebar pasukan dari Dinasti Gue-gue. Meskipun ada tamu lain
lagi dari arah Barat: AlMalik Shoutud-Diik, memasuki Nusantara tidak dari atas,
melainkan mengalir dan menembus di tataran bawah. Semua adalah makhluk
produknya Tuhan. Tidak ada benci atau anti makhluk. Tapi bukan itu masalahnya.
Yang kita bicarakan adalah kseserakahan.

Kebanyakan penduduk Nusantara menerima apa yang dibawa oleh Shoutud-Diik di


wilayah sesembahan, ubudiyah, spiritualitas dan budaya. Sedangkan yang lambat
laun menguasai bidang-bidang materi, sandang pangan, keduniaan dan kemewahan
fisik, berada dalam kendali Dinasti Gue-gue. Tahun-tahun terakhir ini penguasaan
lapangan perekonomian Gue-gue sungguh merajalela. Bahkan karena itu mereka
juga menguasai struktur kekuasaan Nusantara, di mana para petinggi sangat
senang bisa menjadi makmur karena bergantung pada mereka.

Sedemikian berkuasanya Pasukan Gue-gue, termasuk atas inisiatif capital serta


politik hutang: sekarang ini ayam berkokokpun berbunyi “Gueee-gueeeee”. Pelan-
pelan tapi pasti, bentuk ekspresi kebudayaan Nusantara semakin diwarnai oleh
inisiatif modal dan kuasa Gue-gue.

Yogya 31 Mei 2017.

EH / Islam Indonesia/ sumber: caknun.com


(Sumber: https://islamindonesia.id/kolom/kolom-cak-nun-pancasila-gue-gue.htm)

https://islamindonesia.id 256
Tuesday, 30 May 2017
PUASA IBUNDA
Oleh : Emha Ainun Nadjib

islamindonesia.id – Kolom – Puasa Ibunda

Sejak kecil saya merendam pertanyaan di lubuh hati. Kenapa di keluarga saya tidak
pernah saya alami dan rasakan tradisi atau suasana ritual puasa seperti yang saya
jumpai di keluarga lain. Memang setiap Ramadan terdapat suasana khusus,
semacam kegembiraan dan kekhusyukan yang tidak terjadi pada bulan-bulan yang
lain. Tetapi sejumlah “perilaku” atau “upacara” yang di mana-mana terjadi, tidak ada
di keluarga kami.

Yang menonjol di masa kanak-kanak saya dari Ramadan adalah bunyi “tedur”
atau bedug yang ditabuh oleh dua orang di dua sisi dengan aransemen khas. Bunyi
“tedur” atau bedug sore hari menjelang Magrib di mana ba’da Isya nya mengawali
salat Tarawih, juga pada hari terakhir puasa yang besoknya Idul Fitri – sangat

https://islamindonesia.id 257
menawan. Membuat kami anak-anak kecil tersenyum lebar, tanpa pernah mampu
merumuskan perasaan apa yang sedang kami alami.

Tatkala menjelang remaja, bedug dan tedur lenyap, ditelan oleh pertengkaran
tentang bid’ah, ketelingsut dan terkubur oleh konflik berkepanjangan oleh para
ulama, kyai, ustad tentang mazhab, aliran, tafsir dan berjenis-jenis kuasa san
kesombongan ilmu. Kayu, kulit kerbau dan potongan batang pohon petai
penabuh bedug, tidak lagi dilibatkan dalam pernyataan Allah “sabbaha lillahi ma fis-
samawati wa ma fil-ardil”, bertasbih kepada-Ku semua yang ada di langit dan bumi.
Alam dihardik oleh keangkuhan ilmu manusia. Pepohonan dan hewan disingkirkan
oleh supremasi syariat hubungan manusia dengan Tuhan. Kekayaan alam di
perbudak, ditindas, di jajah, dikuras dan dihabiskan oleh kehebatan peradaban
manusia untuk membangun materialisme, teknologisme, industrialisme, dan
hedonisme.

Dikeluarga saya hampir tidak pernah ada kemewahan materi, pertunjukan spiritual,
dramatisasi ibadah, buka puasa yang lebay dan over-romantik. Kalau sahur ya sahur
saja seperti makan biasanya. Kalau berbuka ya berbuka saja, tanpa takjil (makan
ringan) dilanjutkan buka-berat, sebab adanya makanan minuman ya hanya itu.
Kalau tarawih ya tarawih saja. Tadarus ya tadarus saja. Tarhiman ya tarhiman saja.
Puasa seharian ya puasa saja. Semua tanpa kehebatan, tanpa kegagahan. Tanpa
menteater-kannya. Tanpa merayakannya. Tanpa menyadar-nyadarinya. Tanpa
dibungkus-bungkus dengan kealiman, kesalehan atau kesurga-nerakaan. Seingat
sejak kecil di keluarga saya juga tidak ada atmosfir “nafsu” terhadap pahala seratus
kali lipat, ganjaran seribu kali lipat. Kami melakukan semua itu karena sewajarnya
kami lakukan.

Kalau Idul Fitri saja, sehabis salat bersama di lapangan desa, kami kembali ke
rumah, tidak ada bersalaman panjang, berpelukan, sungkem kepada yang lebih tua
di antara 15 bersaudara. Hanya bersalaman malu-malu, dan kalau ada yang
mengucapkan sesuatu, paling jauh “nol-nol ya…”. Atau “sepure sing dowo
rek” (kereta yang panjang) maksudnya simbolik dari “mohon maaf sepanjang-
panjangnya.”

Bahkan kepada Ibu dan Ayah. Karena saya lama di Yogyakarta, saya pernah
membungkuk, hampir bersimpuh, mencium lutut Ibu dan Ayah. Tapi ibu tertawa
terpingkal-pingkal dan Ayah tersenyum-senyum.

Ketika ada peluang saat coba menggali pandangan Ibu tentang tradisi yang kami
jalani itu. Hal “sungkem” Ibu berkata : ”Nak, maaf memaafkan itu kepastian hati
setiap manusia hidup. Apalagi pada kita sekeluarga. Kita ucapkan atau tidak, kita

https://islamindonesia.id 258
sampaikan atau tidak, mustahil kita pernah tidak memaafkan dan tidak minta maaf
kalau kita benar-benar bersalah. Maaf memaafkan itu setiap saat, sepanjang waktu,
di dunia sampai di akhirat. Tiap hari adalah Idul Fitri bagi kita. Tidak ada hari di
mana kita tidak memaafkan di antara kita”.

Hal puasa, karena kebetulan itu merupakan naluri dan hobi saya sejak balita, di
samping senang tidur di wuwungan genting atau di dahan pohon, atau duduk lama
di kuburan – saya pernah memancing pandangan beliau. Beliau
menjawab: “Sebenarnya, Nak, yang paling nikmat itu kita berpuasa selama hidup di
dunia, hari rayanya besok-besok saja di surga, mudah-mudahan Pangeran
ngijabahi”.

Memang beliau keterlaluan puasanya. Tidak pernah punya kerudung atau jilbab,
baju dan jarit, lebih dari tiga helai. Kami selalu mengoleh-olehinya bermacam
pakaian, tapi besoknya selalu sudah dipakai oleh tetangga sana sini. Ibu rajin keliling
kampung bertamu ke penduduk miskin, menanyakan bagaimana makan dan
pakaian anak-anak mereka, sekolahnya dan berbagai keperluan sehari-harinya.
Kakak dan adik saya yang mengurusi sekolah sering mendapat perintah untuk
memberi keringanan biaya kepada ini itu.

Saya menempuh kehidupan dengan sangat dipengaruhi oleh Ibu dan Ayah. Juga
kami semua 15 bersaudara. Sejak kecil saya menjalani puasa, di dalam atau di luar
Ramadan, senin kamis cara Kanjeng Nabi atau puasa Daud. Bahkan saya
memperluas lelaku nilai, prinsip, ilmu dan metode puasa ke semua ranah kehidupan:
sosial budaya, karier, pendidikan, politik dan relatif semua wilayah.

Buka puasa sejarah saya hanya kalau saya bisa men’saleh’kannya. Menghitungnya,
mensimulasinya, memuhasabahinya, sampai optimis bahwa kemaslahatan ekspresi
saya lebih besar dari mudaratnya. Kalau tidak mengamankan dan menyamankan
orang lain, kalau tidak merupakan sumbangan terhadap “rahmatan lil’alamin” lebih
baik saya simpan seribu kebenaran saya di tabung rahasia.

Artikel ini disarikan dari: www.caknun.com


(Sumber: https://islamindonesia.id/kolom/kolom-puasa-ibunda.htm)

https://islamindonesia.id 259
Sunday, 28 May 2017
NKRI PATIGENI
Oleh: Emha Ainun Nadjib

islamindonesia.id – NKRI Patigeni

(1). Manunggaling Kawula lan Gusti.

Bermacam cara dan bentuk manusia meng-“innovasi” konsep puasa. Ada yang
dengan tujuan “putih”: mengintensifikasi hubungan privatnya dengan Allah, mencari
presisi cinta dan tauhidnya.

Ada juga tujuan “hitam”: menguasai sesama manusia. Ada yang dengan
membangun kekuatan, kadigdayan dan “dugdeng”. Ada yang dengan
mendayagunakan kekuasaan politik dan birokrasi. Atau ada juga yang memperalat
pengetahuan keAgamaan, “kuasa akademik” atas Al-Qur`an dan wacana-wacana
langit lainnya, demi meneguhkan “kepemilikan” atas umat, santri, rakyat atau anak
buah.

Yang “putih” memerdekakan manusia, dengan syarat “meniadakan diri” dalam


proses tauhid kepada Allah. Karena di dalam hakiki dan rasio Tauhid: tiada yang
sejati ada kecuali Allah. Seseorang rela berposisi tidak ada, menempuh “de-
eksisten”, bersembunyi dari jasa dan citra, puasa dari pahala dan pamrih.

https://islamindonesia.id 260
Yang “hitam” mengikat manusia, menyandera ummat, memperdaya rakyat. Konsep
“Manunggaling Kawula lan Gusti” direkrut untuk melegitimasi bahwa sebagai
Penguasa ia adalah pengejawentahan dari kuasa Tuhan.

Sementara jika yang “putih” diamanati pegang kendali managemen sosial,


“Manunggaling Kawula lan Gusti” dimaknai “Kalau engkau memimpin, maka dalam
jiwamu terdapat penyatuan dan kesatuan antara Tuhan dengan rakyat. Kalau
engkau menyakiti rakyat, Tuhan juga tersakiti sehingga Ia murka. Kalau engkau
khianati Tuhan, maka engkau terlepas dari tali cinta dan kepercayaan rakyat
kepadamu”.

(2). Patigeni.

Salah satu bentuk pendayagunaan konsep puasa misalnya adalah “Patigeni”.


Tolong bersabar jangan berprasangka atau marah dulu.

Patigeni itu Anda memasuki kegelapan total. Bisa ruangan tertutup rapat. Atau kalau
hanya satu malam, bisa di luar, utamanya di perempatan jalan di malam buta. Anda
tidak makan minum, tidak melakukan kegiatan apapun, termasuk melaksanakan
hajat kecil atau besar. Hanya duduk bersila. Berpejam mata. Mematikan segala
unsur api dan cahaya. Silakan semalaman, sehari semalam, tiga hari tiga malam.

Atau 40 hari 40 malam, seperti yang dilakukan Ken Arok sebelum merebut Keris
prematur Empu Gandring, kemudian memulai sejarah ekstrem sampai tujuh turunan.
Atau Empu Supo Anom, sebelum melakukan penyamaran di tlatah Blambangan,
untuk menempuh strategi merebut kembali Keris Kiai Sangkelat dari bilik pribadi
Raja Menakjinggo untuk dikembalikan ke Majapahit.

Patigeni adalah semacam pengembangan atau kreativisasi puasa di luar


urusan Syariat Mahdloh dalam Rukun Islam. Keperluan atau tujuannya juga tidak
sebagaimana perintah puasa Ramadlan yang hilirnya ditentukan Allah “la’allakum
tattaqun”: yakni peningkatan kewaspadaan hidup terhadap apapun saja yang
menghalangi perjalanan kita ke rumah inti Allah, yang kita semua ditawari untuk
menjadi penghuninya.

Patigeni adalah satu bentuk lelaku, tirakat, mesu-diri atau pendisiplinan diri secara
ekstrem, yang dalam sejarahnya dilakukan oleh mereka yang tujuannya “putih”
maupun “hitam”. Bagi yang “putih” , Patigeni adalah mematikan atau memadamkan
api di dalam diri, menumpas dan mengubur nafsu. Bagi yang “hitam”, karena
Patigeni adalah semacam “hard-reset” jiwa sukma nyawa, maka terbuka peluang

https://islamindonesia.id 261
untuk bikin partisi baru dan setup OS atau IOS baru pula dengan segala
kemungkinan aplikasinya, termasuk bikin GWA dengan teman-teman Jin.

(3). Ilmu Kebal.

Patigeni merupakan bagian dari prosedur yang harus ditempuh ketika seseorang
ingin memperoleh jenis kesaktian-diri yang ekstrem, misalnya Ilmu Kebal,
Menghilang, Terbang, atau Tenung Santet pada level Batikmadrim-Anglingdarma.
Tidak sekedar memasukkan keranjang ke dalam perut, memasukkan ratusan jarum
ke dalam usus, merasukkan kekacauan psikologis dan emosional sehingga seisi
rumah bertengkar, atau yang kemarin memakan korban seusai putaran pertama
Pilkada Jakarta: sungsum dirusak, lever didesak naik, ruas-ruas tenggorokan
terutama yang ke-11 di-disfungsi-kan.

Sewaktu-waktu seseorang berubah menjadi harimau, api, air bah, pasukan lebah,
kabut, naga, atau apapun yang diperlukan dalam suatu pertarungan.

Marja’ atau rujukan (imaginatif) pelakunya bisa Guru Putih Jibril yang hadir kepada
Rasulullah saw dengan berbagai wujud, besar atau kecil, kasar atau lembut,
konvensional atau tak lazim, serta berbagai formula penyamaran yang lain.
Sedangkan Guru Hitam (halusinatif) para penempuh yang sebaliknya adalah
Fenomena “Talbis”: yakni Iblis yang berkostum Malaikat, menghampiri Bapak Adam
dan Ibu Hawa, anjurannya ditaati oleh beliau berdua, karena menyangka yang
bertamu adalah Baginda Jibril atau stafnya entah Malaikat siapa.

Tapi ini bukan tulisan tentang Patigeni dan Santet. Patigeni ini nongol mungkin
sekedar karena kegagalan saya yang bertubui-tubi untuk memahami segala
komplikasi kehidupan yang berlangsung di Indonesia. Begitu dahsyatnya
fenomenologi kehidupan makhluk yang bernama NKRI dan manusia Indonesia,
sehingga semua ilmu pemetaan tidak pernah lengkap mempetakannya. Bermacam
ilmu masa silam, masa kini maupun masa depan, tidak sanggup merumuskannya.
Segala hamparan dan tumpukan pengetahuan, gagal memahaminya. Para pendekar
“ngelmu” tradisional maupun para pakar ilmu-ilmu modern hanya mampu menyentuh
bagian-bagiannya, tanpa pernah bisa merangkum keseluruhan dan
kemenyeluruhannya.

(4). Tidak Mempan.

Manusia atau bangsa Indonesia ini seakan-akan sedang menjalankan lelaku untuk
memperoleh Ilmu Kebal, dan dalam banyak hal sudah menguasainya. NKRI itu

https://islamindonesia.id 262
seperti penempuh Patigeni, di mana matahari tidak meneranginya, tetapi kegelapan
juga tak mampu melenyapkannya.

NKRI adalah seorang Pertapa Patigeni, yang sangat tangguh menjalani pola
kehidupan tidak sebagaimana lazimnya kehidupan manusia. Ketersiksaan,
penderitaan, kesengsaraan, kebingungan, kehampaan, kesepian dan
ketidakmenentuan, tidak menghancurkan mereka.

Separah apapun ketidak-tertataan Negara, sesemrawut apapun dismanagemen


pembangunan, setimpang apapun perikehidupan ekonomi mereka serta secacat
apapun kepemimpinan atas mereka: tidak mampu mengurangi senyum dan tawa
mereka. Korupsi setak-tahu-diri apapun dan struktur tipudaya dengan kaliber
sebesar apapun, tidak membuat mereka lumpuh kehidupannya. Seberapapun tak
masuk akal perlakuan Penguasa atas mereka, tidak membuat jiwa mereka terpuruk
sebagaimana semestinya makhluk hidup.

Sesakit apapun yang mereka derita, tidak membuat ekspressi wajah dan perilaku
mereka tampil sebagai orang sakit. Komplikasi penyakit-penyakit seruwet apapun,
tidak membuat mereka merasa sakit, kemudian berpikir melakukan diagnosis, dan
mencari obatnya. Kalau ada yang menyatakan bahwa mereka sakit, mereka malah
marah. Kalau dikasih obat, mereka tersinggung. Kalau disuntik, mereka merasa
disakiti. Disuntik dengan cairan ilmu, tidak mempan. Disuntik dengan kasih sayang
dan kebijaksanaan, tidak mempan. Kalau dilakukan operasi serius, mereka
menuduh para Dokter melakukan anarki, destruksi dan intoleransi.

NKRI tidak hanya merasa, tapi bahkan meyakini, bahwa mereka sehat walafiat.
Mereka sangat mantap dengan hidup yang dijalaninya. Pikirannya, hatinya,
budayanya, politiknya, demokrasinya, pandangan terhadap Agamanya,
mentalitasnya, semua baik-baik saja. Kalaupun mati, ternyata rangkap nyawanya.
NKRI adalah Pertapa Patigeni yang telah berhasil memperoleh dan menguasai Ilmu
Kebal yang sangat tangguh dibanding yang pernah dicapai oleh Peradaban Manusia
di zaman apapun sepanjang sejarah sejak Adam diturunkan ke Bumi.

Yogya 28 Mei 2017.

EH / Islam Indonesia
(Sumber: https://islamindonesia.id/kolom/kolom-nkri-patigeni.htm)

https://islamindonesia.id 263
Friday, 19 May 2017

CAK NUN: SERIBU LILIN CINTA PERSEMBAHAN BUAT BANGSA

1. Lega hatiku Pilkada Jakarta berlalu tanpa tetesan darah, meskipun masih tetap
berlumur kebencian, dendam dan permusuhan. Rumah tangga Bangsa Indonesia
sedang penuh hawa panas, demam dan amarah. Begitulah memang yang harus
dilewati oleh semua keluarga yang sedang berproses memperbarui nikahnya, agar
naik tingkat ke derajat kematangan baru dan kedewasaan yang lebuh tangguh.

2. Aku ucapkan selamat kepada rakyat Jakarta yang memiliki Ahok dan Anis, juga
kepada bangsa Indonesia yang memiliki Jokowi, Prabowo, Habib Rizieq, Gatot
Nurmantyo, Ibu Begawan Megawati dan banyak lagi. Saudara-saudaraku hidup
dengan pikiran mantap, hati tenang, mental tangguh dan tekad baja — karena
serasa dipimpin langsung oleh “Nabi” mereka, dalam mengabdi kepada Ibu Pertiwi
dan Bangsa Indonesia.

3. Saudara-saudaraku berhimpun di belakang idolanya masing-masing, tangan


mengacung tinggi dengan teriakan “Merdeka!”. Mereka meyakini Kebenaran masing-
masing. Sementara aku tidak berani dan dilarang menyatakan kebenaranku. Sebab
Kebenaran adalah bekal masakanku yang letaknya di dapur. Sedangkan hidangan
yang harus kusuguhkan adalah Kasih Sayang, Kebaikan, Keamanan dan
Pengamanan, Kenyamanan dan Penggembiraan, serta ketepatan Nada dan Irama
dalam Keseimbangan hidup bersama.

4. Tetapi aku bergembira saudara-saudaraku punya idola yang dikagumi dan tokoh
yang ditakdzimi. Betapa bersinar hati bangsaku yang berpegangan pada Latta hari
ini dan Uzza di masa depan. Siapapun pemimpin mereka hari ini, kemarin atau esok
lusa, semua adalah representasi kuasa Tuhan buat rakyat Indonesia. Sebab tak ada
yang ber-tajalli dan memanifestasi kecuali Ia. Itulah sebabnya hakekat itu dipasang
sebagai Sila Pertama, meskipun tak perlu dipersoalkan dari mana pencipta
Pancasila dulu kok bisa tahu bahwa Tuhan itu Maha Esa.

5. Sementara aku sibuk belum merdeka dari diriku sendiri. Aku sedih tidak memiliki
mereka semua idola-idola itu. Aku juga punya Tuhan dan Nabi, tapi alamatnya nun
jauh di seberang kerinduanku. Habis waktuku untuk bertengkar melawan kebenaran
di dalam diriku sendiri, sebab kami berdua sama-sama tidak mutlak. Tuhan Yang
Maha Absolut bilang “Sampaikan kebenaran dari-Ku, biarkan yang mau percaya,
silahkan yang mau membangkang”. Sesekali aku menyampaikan Kebenaran dari

https://islamindonesia.id 264
Tuhan, tetapi tak kuat hatiku untuk dipercaya, dan masih muncul amarah di batinku
jika aku diingkari dinista.

6. Aku turut berbahagia karena saudara-saudaraku aman sandaran dan harapan


masa depannya. Aman hartanya dari korupsi, aman martabatnya dari penghinaan,
dan aman nyawanya dari pembunuhan. Bahkan sinar cakrawala Demokrasi
membuat siapa saja bisa menjadi apa saja. Setiap warga bisa menyiapkan biaya,
persiapan jenis mental tertentu, serta mengemis kendaraan, untuk berjuang menjadi
Presiden, Menteri, Gubernur, Penguasa atau apapun. Sementara aku adalah
penakut yang berjuang menjadi diri sendiripun belum pernah jelas hasilnya. Nabiku
bilang “kalau engkau yang berinisiatif menjadi pemimpin, Allah tidak melindungimu
dan tidak mempertanggungjawabkan langkah-langkahmu”.

7. Puji Tuhan bangsaku bergelimang modernisme dan kemerdekaan, berlaga dalam


kompetisi karier, persaingan jabatan, lomba kekayaan, turnamen pencitraan dan
pertandingan keunggulan. Bangsaku sangat mampu menikmati kemegahan dunia,
mengenyam kesementaraan dan hologram-hologram kemewahan. Sedangkan
hidupku dirundung rasa takut untuk kalah, tidak berani menang, sebab diriku sendiri
yang sangat rewel ini belum benar-benar mampu kukalahkan. Kami belum pernah
benar-benar siap untuk memasuki babak berikut sesudah kehidupan yang ini. Kami
sangat sibuk berlatih dan mensimulasi untuk bersiaga menjalani hidup kekal abadi,
yang kami tidak mungkin mengelak sama sekali.

8. Maha Esa Tuhan yang telah memperkenalkan bangsaku meneguhkan Bhinneka


Tunggal Ika, pengakuan dan penerimaan bersama atas siapa saja penghuni Negeri
Nusantara. Aku merasa aman, karena pasti termasuk di dalamnya, meskipun
andaikan aku memeluk Agama yang tidak begitu disukai. Atau aku tidak sama
dengan siapapun. Atau tidak bertempat tinggal di koordinat nilai manapun. Bahkan
aku dilindungi oleh Bhinneka Tunggal Ika meskipun andaikan aku hanya seonggok
batu, sehelai daun, setetes embun, Jin, Setan, Hantu, air ataupun angin.

9. Aku bersyukur saudara-saudaraku berjaya dengan kariernya masing-masing,


duduk di kursi-kursi sejarah. Mereka adalah pejuang-pejuang nasional dan patriot-
patriot bangsa. Sementara skala perjuanganku sangat sempit dan di dataran yang
rendah, hanya berkaitan dengan sejumlah orang di seputarku. Aku mewajibkan
diriku sekedar untuk mampu membesarkan hati siapapun di sekitarku, menjadi
ruang kemerdekaan dari mereka, menyebarkan rasa nyaman dan teduh, bersama-
sama berlatih untuk memiliki mental, akal dan batin yang tidak keder atau guncang
ditimpa oleh keadaan macam apapun.

https://islamindonesia.id 265
10. Hatiku berbinar-benar menyaksikan saudara-saudaraku hidup kokoh dengan
kebenarannya masing-masing. Sementara aku mengalami Bumi adalah suatu
tempat di mana kebenaran kabur wajahnya. Dunia adalah suatu bangunan kimia
nilai di mana kebenaran bisa berwajah kebatilan, dan kebatilan sangat mudah
menyamar tampil sebagai kebenaran. Di Dunia ini Surga seseorang adalah Neraka
bagi lainnya, sehingga batal fungsinya sebagai Surga. Maka tak pernah berani aku
mensurgakan diriku, karena kawatir menerakakan orang lainnya. Yang berani
kulakukan hanyalah sedikit mencipratkan komponen-komponen kecil yang membuat
orang di sekitarku merasakan Surga Dunia dan bergerak menuju Surga Sejati.

11. Lega hatiku saudara-saudaraku meneguhkan keyakinan bahwa “Ini Negara


Pancasila, bukan Negara Agama”, “Ini Indonesia, bukan Jawa, Batak, Bugis, Sunda
atau Madura”. Berdebar hatiku menantikan jalannya zaman di mana Indonesia akan
menguburkan Agama, menumpas Jawa dan bukan-bukan lainnya. Kusimpan di
lubuk hati kebenaran yang kudapatkan, bahwa Indonesia itu ya Bugis ya Tolaki ya
Dayak dan semua kandungan sejarah yang membuat Indonesia ada. Bahwa
Pancasila itu ya Hindu ya Budha ya Gatoloco ya Darmogandhul ya Islam ya Kristen
dan semua yang menjadi sumber nilai sehingga Pancasila menjadi wujud nyata.

12. Aku persembahkan seribu lilin cinta kepada bangsa Indonesia di seluruh
Nusantara. Aku sangat mencintai kalian, bukan sekadar cinta. Cinta hanya kondisi
batin, tetapi Mencintai adalah komitmen, pembuktian dalam kerja, serta ketulusan
dan kesetiaan. Jika kalian bergembira, aku meneteskan airmata bahagia. Apabila
kalian menderita, sangat berat menusuk hatiku dan seluruh jiwaku dipenuhi rasa
tidak tega. Sedemikian tunainya cintaku kepadamu, sehingga jika kalian sakit, aku
tak berani mengemukakannya, sebab kawatir membuatmu lebih terluka.
Yogyakarta, 19 Mei 2017.

YS/islamindonesia
(Sumber: https://islamindonesia.id/kolom/kolom-cak-nun-seribu-lilin-cinta-persembahan-
buat-bangsa.htm)

https://islamindonesia.id 266
Sunday, 07 May 2017
MEMETIK HIKMAH DARI BADAI HUJATAN
Oleh: Jaya Suprana*

islamindonesia.id – Memetik Hikmah dari Badai Hujatan

Akibat memohon Basuki Tjahaja Purnama jangan melontarkan kata-kata kotor, kemudian
akibat peduli nasib rakyat tergusur di Kampung Pulo, Pasar Ikan, Luar Batang, Bukit Duri,
disusul akibat memohon informasi tentang siapa pemrakarsa Parade Papan Bunga untuk
menerima anugerah MURI, saya babak belur dihajar badai hujatan.

Hujatan itu antara lain “otak kelas dua, rasis, provokator, tua bangka bau tanah cari
popularitas, botak, jelek, pendek, bogel, kontet, kampret, gak kualitas banyak gaya, Cina
tidak pilih Cina, ciong sama Ahok, hater Ahok, tukang ngeles”.

Menyadari bahwa saya adalah manusia biasa penuh keterbatasan dan kekurangan maka
segenap hujatan saya terima sebagai peringatan bagi diri saya untuk senantiasa mawas diri.

Oleh karena itu, saya mencoba memahami makna hujatan “otak kelas dua” sebagai bukan
hujatan namun pujian bahwa ternyata saya memiliki otak meski cuma kelas dua.

Mengenai hujatan “botak, jelek, pendek, bogel, kontet” sah-sah saja, akibat kepala saya
memang botak, penampilan saya jika dibanding dengan Brad Pitt memang lebih jelek dan
tubuh saya memang pendek, bogel, kontet mirip Napoleon Bonaparte, Danny De Vito, Peter
Dinklage atau Ateng.

https://islamindonesia.id 267
Hujatan “rasis” juga tepat sebab saya memang rasis dalam makna positif yaitu saya
senantiasa menghargai dan menghormati sesama manusia beda ras dengan diri saya
karena dari sesama manusia yang beda ras dengan diri saya pribadi, saya dapat belajar
memperluas wawasan pandang terhadap beranekaragam peradaban dan kebudayaan umat
manusia di planet bumi ini.

Perlu Diluruskan

Mengenai “Cina tidak pilih Cina” perlu sedikit diluruskan yaitu sebenarnya saya tidak pernah
merasa diri saya Cina dan apabila memilih pasti saya bukan melihat latar belakang ras Cina
atau bukan Cina tetapi apakah menindas rakyat atau tidak menindas rakyat.

Hujatan “hater Ahok” dan “ciong sama Ahok” juga perlu dikoreksi. Saya tidak benci Ahok
namun saya memang tidak setuju pada kebijakan Ahok menggusur rakyat secara
melanggar hukum, HAM, Agenda Pembangunan Berkelanjutan, Kontrak Politik Jokowi
dengan rakyat miskin, serta Pancasila.

Mengenai saya “ciong sama Ahok” perlu diperjelas dalam hal apa. Jika dalam hal
antikorupsi jelas saya tidak “ciong” sebab sepaham dengan Ahok, namun dalam hal bicara
kotor dan kebijakan menggusur rakyat, memang saya tidak sepaham dengan Ahok.

Hujatan “kampret” saya anggap pujian sebab saya pengagum kampret yang mampu terbang
melayang di malam hari gelap gulita tanpa nabrak-nabrak di samping kampret ternyata
memegang peran ekologis sangat penting.

Hujatan “provokator” adalah sanjungan namun sebenarnya terlalu tinggi bagi saya sebab
para pejuang kemerdekaan Indonesia yang sangat saya hormati adalah para provokator
gerakan perlawanan terhadap penjajah.

Hujatan “tua bangka bau tanah cari popularitas” sebagian benar sebagian keliru. Berdasar
usia yaitu 68 tahun, saya memang layak disebut sebagai “tua bangka bau tanah”.

Namun hujatan “cari popularitas” bikin saya bingung menanggapinya. Jika saya
membenarkan berarti saya ingkar kenyataan tidak pernah merasa “cari popularitas” sebab
popularitas yang mencari saya, maka pasti saya malah akan dihujat “sombong”.

Ketimbang dihujat “sombong” maka saya mengalah saja dengan membenarkan bahwa saya
memang “tua bangka bau tanah cari popularitas” sekaligus demi memuaskan para
penghujat saya.

https://islamindonesia.id 268
Mohon dimaafkan bahwa hujatan “tukang ngeles” terpaksa saya anggap sebagai pujian
sebab kemampuan “ngeles” merupakan kemampuan paling penting dalam semua ilmu bela
diri termasuk tinju.

Hujatan “gak kualitas banyak gaya” 50 persen benar sebab secara lahir-batin memang saya
“gak kualitas” namun tidak benar bahwa saya “banyak gaya” sebab saya merasa tidak
memiliki hal-hal yang layak menjadi alasan bagi saya untuk “banyak gaya”.

Bersyukur

Saya bersyukur sebab akibat dihajar badai hujatan maka saya lebih bersemangat dalam
mengejawantahkan makna luhur terkandung di dalam ajaran Jesus Kristus “Jangan
Menghakimi” di mana di dalamnya juga hadir ajaran “Jangan Menghujat”.

Saya juga makin mantap dalam berupaya menghayati makna luhur terkandung di dalam
hadits Jihad Al-Nafs: Al Sukuni meriwayatkan dari Abu Abdillah Al Shadiq bahwa ketika Nabi
Muhammad SAW menyambut pasukan sariyyah kembali setelah memenangkan
peperangan, Beliau bersabda: “Selamat datang wahai orang-orang yang telah
melaksanakan jihad kecil tetapi masih harus melaksanakan jihad akbar!”

Ketika orang-orang bertanya tentang makna sabda itu, Rasul SAW menjawab: “Jihad kecil
adalah perjuangan menaklukkan musuh. Jihad akbar adalah jihad Al-Nafs, perjuangan
menaklukkan diri sendiri!”

Mematuhi ajaran Jesus serta terinspirasi oleh hadits Jihad Al-Nafs, maka ketimbang
bersusah payah menaklukkan orang lain untuk tidak menghujat, lebih bijak saya berupaya
menaklukkan diri saya sendiri agar jangan sampai jumawa menghujat orang lain.

Pada hakikatnya, memang kemelut hajaran badai hujatan membuat saya bersyukur bahwa
saya bukan manusia yang menghujat sesama manusia namun manusia yang dihujat oleh
sesama manusia.

* Seniman dan budayawan, pendiri Sanggar Pembelajar Kemanusiaan dan pendiri Museum
Rekor Dunia Indonesia (MURI)

EH / Islam Indonesia – Sumber: Antara


(Sumber: https://islamindonesia.id/kolom/memetik-hikmah-dari-badai-hujatan.htm)

https://islamindonesia.id 269
Friday, 05 May 2017
PIDATO PENTING PRESIDEN KITA
Oleh: Abdillah Toha*

islamindonesia.id – Pidato Penting Presiden Kita

Semalam saya sangat berbesar hati menyimak pidato Presiden Joko Widodo yang
tidak biasa. Di depan lebih dari seratus ribu hadirin yang memadati Stadion Utama
Senayan, Jakarta, Presiden menyampaikan pesan yang sangat penting. Sebuah
pidato yang sudah lama dinanti-nanti oleh mayoritas diam yang selama beberapa
waktu belakangan ini dibuat gundah oleh berbagai peristiwa sebelum, selama, dan
sesudah Pilkada DKI baru-baru ini. Selengkapnya pidato itu sebagai berikut.

Assalamu’alaikum wa rahmatullah wa barakatuh. Merdeka!

Saudara-saudara sebangsa dan setanah air.

Hari ini saya ingin menyampaikan beberapa hal yang berkaitan dengan keselamatan
bangsa. Seperti telah sama-sama kita saksikan dan rasakan, belakangan ini media
cetak, televisi, dan media sosial dipenuhi berbagai berita, debat, dan pembahasan
tentang kelompok-kelompok masyarakat yang bersuara lantang tentang berbagai
hal. Hampir tiap minggu jalanan kita dipenuhi oleh tuntutan-tuntutan yang
memekakkan telinga dalam unjuk rasa yang tidak jarang menganggu ketertiban
umum. Udara ibu kota menjadi pengap oleh ungkapan-ungkapan yang penuh polusi.

https://islamindonesia.id 270
Tidak ada larangan bagi anggota masyarakat mana pun untuk berbicara
menyampaikan aspirasinya. Namun, yang mengkhawatirkan, suara-suara itu
tampaknya makin lama makin tak terkendali dan sudah sampai pada tahap
membahayakan kerukunan dan persatuan bangsa, ketika menyangkut hal-hal yang
peka seperti kebinekaan, dasar, dan ideologi negara, serta kemajemukan yang
menjadi landasan bagi keutuhan bangsa ini.

Pikiran, waktu, dan tenaga kita semua kemudian tercurahkan pada gonjang ganjing
ini, sedangkan banyak urusan yang lebih penting dalam rangka meningkatkan
kesejahteraan rakyat yang memerlukan perhatian kita berisiko terabaikan. Terlalu
besar biaya yang harus ditanggung rakyat ketika aparat negara habis waktunya
untuk terus menerus berupaya mencegah kekacauan yang bisa ditimbulkan oleh
perseteruan yang tidak perlu.

Lebih mengkhawatirkan lagi ketika apa yang disebut sebagai gerakan-gerakan


masyarakat ini kemudian menjurus kepada ekstremisme dalam bentuk ujaran-ujaran
kebencian, eksklusivisme, dan rasisme.

Tempat-tempat ibadah yang seharusnya digunakan untuk mendekatkan diri kepada


Sang Khalik telah disalahgunakan untuk menyampaikan agitasi politik. Bukan saja
masyarakat awam, tetapi banyak di antara warga terdidik juga termakan oleh isu-isu
berbau fitnah yang disebarkan oleh kelompok yang tidak bertanggung jawab.
Tekanan dan intimidasi terus menerus dilontarkan ke arah lembaga peradilan yang
sedang melaksanakan tugas mulia negara hukum.

Sudah terlalu banyak contoh hancurnya sebuah negara dengan akibat penderitaan
jutaan rakyatnya yang disebabkan oleh perselisihan antarwarga negeri sendiri yang
tak terkendali, seperti yang terjadi di Afghanistan, Irak, Libya, dan Suriah.
Ekstremisme yang ditandai dengan kekerasan verbal kemudian berkembang
menjadi kekerasan fisik.

Sebagaimana bagian besar rakyat Indonesia yang sejauh ini diam menyaksikan
semua ini, karena tidak ingin menambah masalah mulai kehilangan kesabaran, saya
sebagai Kepala Negara dan Presiden, penerima mandat rakyat dalam sebuah
pemilihan umum yang konstitusional, juga tidak bisa terus menerus diam dan
membiarkan semua ini berlarut-larut tanpa bersikap dan bertindak. Kesabaran bukan
tidak ada batasnya.

Ketika kepentingan bangsa dan negara yang lebih besar terganggu dan terancam
oleh ulah kelompok yang ingin merusak tatanan kehidupan yang berkeadaban,

https://islamindonesia.id 271
maka saatnya kita bangun untuk menertibkan yang tidak tertib hukum dan menindak
yang bertindak tak beradab.

Kita sebagai bangsa sudah sepakat untuk menerapkan kehidupan berdemokrasi


yang sehat. Sejauh ini demokrasi kita telah berjalan dengan relatif baik, meski di
sana sini masih banyak yang harus terus disempurnakan. Kita tidak boleh lengah
dengan membiarkan kekuatan-kekuatan anti-demokrasi yang ikut serta
berdemokrasi tetapi dengan tujuan mengambil untung dari alam kebebasan
berdemokrasi untuk menghancurkan demokrasi itu sendiri.

Demokrasi memang memberikan hak lebih kepada suara terbanyak, tetapi tidak
berarti menghilangkan hak asasi kelompok kecil dan hak hidup orang kecil. Tidak
ada hak khusus mayoritas dan minoritas di negeri ini. Semua punya hak dan
kewajiban yang sama. Di negara berhaluan Pancasila, semua penganut agama, baik
Islam, Kristen, Katholik, Hindu, Buddha, dan Konghucu, dijamin oleh konstitusi
bebas melaksanakan ibadah sesuai keyakinannya dan penganutnya mempunyai
hak dan kewajiban yang sama sebagai warga negara.

Semua warga baik dari suku Jawa, Madura, Sunda, Batak, Aceh, Dayak, Bugis,
Papua, Tionghoa, Arab, India, dan lainnya, mempunyai hak dan kewajiban yang
sama sebagai warga negara. Hak untuk hidup layak, hak berpolitik, hak ekonomi,
hak budaya, hak berbicara, hak untuk dapat perlindungan negara, hak untuk
memilih, dan hak untuk dipilih.

Berpolitik boleh, mempunyai ambisi politik tidak dilarang, tetapi semua itu harus
dilaksanakan dalam koridor konstitusi dan peraturan perundang-undangan yang
berlaku, serta wajib dilakukan sesuai norma-norma kehidupan bermasyarakat yang
sehat, yang menuntut kita untuk tetap santun, beretika, bermoral, dan berakhlak
mulia. Apa yang diklaim sebagai suara mayoritas juga harus dibuktikan dalam
sistem demokrasi representatif, bukan dengan berbagai tekanan dan intimidasi di
jalanan.

Hukum tanpa demokrasi berarti penindasan otoriter, sedangkan demokrasi tanpa


hukum berujung kepada anarkisme. Toleransi dan penghormatan atas perbedaan
keyakinan dan pendirian warga negara harus terus dipelihara bila kita ingin
mempertahankan kerukunan hidup bersama. Batas toleransi adalah intoleransi atau
ketiadaan toleransi itu sendiri, pada saat mana kita harus bersikap untuk
menghentikannya.

Saudara-saudaraku setanah air.

https://islamindonesia.id 272
Saya sadar bahwa selama dua setengah tahun lebih saya memegang kendali
pemerintahan, masih banyak pekerjaan rumah yang belum selesai. Kesenjangan
ekonomi warga negara dan jurang perbedaan antara kaya dan miskin masih
merupakan momok yang menakutkan. Resesi ekonomi dunia yang belum
sepenuhnya pulih juga berpengaruh sampai ke negeri kita.

Semua ini saya sadari dan menggugah saya untuk terus mencari jalan cepat
mengentaskan kemiskinan dan sekaligus menciptakan pertumbuhan ekonomi untuk
menampung jumlah pencari kerja baru yang setiap tahun bertambah. Saya sadar
betul dan saya memahami tuntutan rakyat agar berpihak kepada orang kecil dan
warga negara yang lemah. Kebijakan pemerintah akan terus diarahkan ke sana
sehingga ketidakadilan ekonomi yang menguntungkan hanya sekelompok kecil
warga negara di tingkat atas tidak terus berlanjut.

Semua itu bisa kita lakukan bila rakyat bersama pemimpinnya bersatu padu menuju
ke satu arah kesejahteraan yang kita dambakan. Menggunakan hati yang bersih dan
nalar yang jernih dalam menggapai cita-cita bersama kita. Tidak tercerai berai dan
sibuk mengobarkan kebencian antar sesama.

Saudara-saudara,

Mari kita jaga bersama negeri tercinta ini agar selamat mencapai tujuan adil dan
makmur seperti yang dicita-citaka oleh para pendiri bangsa ini. Mari kita jaga bangsa
ini agar tetap utuh bersatu dalam kebinekaan dari Sabang sampai Merauke. Mari
kita junjung tinggi nilai-nilai luhur bangsa yang telah dengan arif dan bijak dititipkan
kepada kita dalam sila-sila yang tercantum pada Pancasila.

Saya dengan segala kekuatan lahir dan batin yang saya miliki akan berada di garis
depan bersama saudara-saudara semua dalam upaya menyelamatkan negeri ini
dari segala bentuk rongrongan dari mana pun datangnya.

Jangan pernah ada yang berspekulasi dan berpikir lain. Jangan ada yang mencoba
menghalangi. Ketika saya menerima mandat sebagai presiden dan kepala
pemerintahan, saya telah bertekad untuk mengerahkan segala kekuatan saya demi
mengabdi untuk bangsa ini.

Saya akan menggunakan semua wewenang yang melekat pada diri saya sebagai
kepala pemerintahan dan kepala negara dalam batas hukum yang berlaku untuk
memastikan bahwa negeri tercinta ini selamat dari segala bentuk ancaman
kehancuran dari dalam maupun luar negeri.

https://islamindonesia.id 273
Semoga Tuhan bersama kita.

Wassalamu’alaikum wa rahmatullahi wa barakatuh. Merdeka!

***

Begitu riuh rendahnya teriakan berulang-ulang “hidup Jokowi” dan ramainya tepuk
tangan rakyat di akhir pidato yang menakjubkan itu, saya tersentak dari mimpi saya
yang lelap, bangun melompat dari tempat tidur di subuh yang dingin itu.

Jakarta, 05-05-2017

*Abdillah Toha – Pengusaha, mantan politisi, peminat pemerhati sosial politik


ekonomi keagamaan. Pendiri, Komisaris Utama Grup Mizan.

EH / Islam Indonesia – Sumber: GEOTIMES


(Sumber: https://islamindonesia.id/kolom/pidato-penting-presiden-kita.htm)

https://islamindonesia.id 274
Sunday, 30 April 2017

RASISME ITU PENYAKIT MENTAL

islamindonesia.id – KOLOM – Rasisme itu Penyakit Mental

Rasisme bukan barang baru dalam kehidupan. Rasisme justru merupakan basis
awal keangkuhan yang terjadi dalam kehidupan ini. Itulah yang menjadikan iblis
menolak sujud dalam penghormatan kepada Adam (alaihis salam). Dia menolak
perintah Pencipta langit dengan keangkuhan rasisme seraya berkata: “Apakah saya
akan bersujud (hormat) kepada seorang manusia, sedangkan saya lebih baik dari
dia? Engkau cipatakan aku dari api. Sedangkan dia Engkau ciptakan dari tanah.”

Memahami kemuliaan atau harga ciptaan dari “objek fisik” inilah yang menjadi
kesombongan iblis dan ini pulalah sejarah awal dari sikap rasis dalam sejarah
kehidupan itu sendiri.

Berbagai kekerasan dalam sejarah juga disebabkan oleh tendensi rasis dalam
kehidupan manusia. Hitler, misalnya, membantai kaum Yahudi di Eropa, salah
satunya karena Yahudi dianggap “polusi” bagi ras Eropa asli (Arian). Mereka

https://islamindonesia.id 275
dianggap melakukan kontaminasi terhadap warga kulit putih di Eropa. Karenanya
mereka harus dieminir dari bumi Eropa.

Dalam sejarah Islam sendiri hal ini bukan sesuati yang baru. Sejak sebelum Islam
datang, di Mekah, rasisme adalah salah satu penyakit kronis yang menggerogoti
masyarakat Arab. Manusia ditimbang-ditimbang, dinilai berdasarkan ras dan warna
kulit. Perbudakan juga umumnya dibangun di atas pertimbangan ras.

Maka Islam datang salah satunya untuk membawa dobrakan terhadap penyakit ini.
Semua sisi ajarannya mengajarkan kesetaraan yang sejati.

Aqidah Tauhid tidak sekedar ajaran keesaan Tuhan semata. Melainkan sebuah
konsep teologi yang memiki konsekuensi sosial yang tinggi. Percaya kepada Tuhan
yang Maha Satu (Ahad) sekaligus mengajarkan bahwa selain yang “Satu” itu
semuanya sama (ciptaan). Yang unik, yang khas, yang istimewa, dan beda dari
semuanya hanya Dia yang mencipta segalanya.

Oleh karenanya keyakinan tauhid yang tidak dibarengi oleh jiwa kesetaraan adalah
keyakinan yang timpang. Keyakinan seperti ini berbahaya karena terancam: “Barang
siapa yang memiliki arogansi dalam dadanya, walau sebesar zat atom, maka dia
tidak akan masuk surga.” Percaya kepada Tuhan yang satu tapi melebihkan diri atas
orang lain, boleh karena ras, etnik, golongan sosial ekonomi, warna kulit, dan
seterusnya adalah arogansi dan rasisme yang dikutuk.

Demikan halnya ibadah-ibadah dalam Islam. Semuanya mengarah ke penegakan


“ekualitas” yang murni. Salat, misalnya, ketika sudah memasuki area kolektif
(jamaah) maka semuanya sama. Semua berdiri pada barisan sama siapapun dan
apapun status sosialnya. Seorang tukang sapu akan berdiri sejajar dengan seorang
menteri ketika sudah menghamba kepada sang Pencipta.

Barangkali akan lebih nampak ketika umat ini melakukan ibadahnya yang paling
universal: haji. Ibadah haji dimulai dengan ihram sebagai penggambaran fitrah
kesucian. Bahwa yang melandasi kemanusiaan kita, kehormatan dan kemuliaan
kita, bukan pada sisi material dan fisiknya. Tapi ada pada tataran fitrah kesuciannya.

Semua aspek penghambaan ibadah haji terpusat pada ketuhanan dan


kemanusiaan. Tuhan yang Maha Satu dan kemanusiaan yang satu juga.

Sejak awal Rasulullah menyampaikan ajarannya di Mekah, penekanan kesetaraan


manusia itu menjadi perhatian besar. Bahkan Allah merencanakan pengikut-
pengikutnya datang dari berbagai kalangan dan latar belakang. Ada Abu Bakar dari

https://islamindonesia.id 276
kalangan Quraysh, Suhaeb dari kalangan Eropa (Roma), Salman dari kalangan
Persia, dan Bilal dari kalangan Afrika.

Karakteristik keumatan itu direkam dalam risalah Alquran: “Wahai manusia,


sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang lelaki dan seorang wanita. Lalu
Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku untuk saling mengenal.
Yang terbaik di antara kamu di sisi Allah adalah yang paling bertakwa. Sungguh
Allah Maha Mengetahui lagi Maha Sadar.”

Hal yang sama kemudian dikuatkan oleh pernyataan baginda Rasul SAW: “Semua
kalian berasal dari Adam dan Adam tercipta dari tanah. Tiada kelebihan orang Arab
di atas nonArab, atau nonArab di atas Arab. Tiada kelebihan orang putih di atas
orang hitam atau orang hitam di atas orang putih kecuali dengan ketakwaan.”

Kriteria kehormatan dan kemuliaan yang dibangun di atas ketakwaan inilah


kemuliaan dan kehormatan universal. Kemuliaan dan kehormatan yang tidak
dibatasi oleh batasan-batasan material dan fisik. Anda hitam, Anda bisa jadi yang
termulia. Anda putih, Anda juga bisa jadi yang termulia. Ketakwaan hanya
didefenisikan oleh dua hal, yaitu “hati dan karya.”

Jika hati Anda dihiasi oleh keimanan yang ikhlas kepada Allah dan kepada rasul-Nya
serta semua hal yang menjadi tuntutannya, maka Anda sudah memiliki dasar (pilar)
kemuliaan Anda. Dan jika di atas pilar itu Anda bangun bangunan karya dan karakter
yang indah dan solid, maka dengan sendirinya Anda telah memiliki kriteria takwa.
Dan itu intisari kemuliaan dalam Islam. Anda bisa pria dan Anda paling bertakwa.
Maka Anda terhormat dan mulia karenanya. SebaliknyaAanda mungkin wanita dan
Anda paling bertakwa. Maka Anda juga menjadi terhormat dan mulia karenanya.

Mispersepsi kemuliaan kemudian terjadi di saat manusia membangun kemuliaan


dan kehormatannya di atas definisi-definisi duniawi. Dan karena sifatnya duniawi,
yang sudah relatif dan terbatas, maka di situlah rentang terjadi manipulasi
kemuliaan. Yang mulia dan terhormat dihinakan. Yang hina dan rendahan (di mata
Allah) menjadi dimuliakan.

Perhatikan dunia kita saat ini. Kekuasaan dan kekayaan seringkali menjadi sepupu
keangkuhan. Manusia menjadi arogan dan sebaliknya manusia menjadi
menghinakan diri karena jabatan atau kekayaan.

Dalam dunia kita saat ini, di saat manusia merasa semakin pintar dan beradab
terjadi paradoks yang luar biasa. Kepintaran justru seringkali menjadi pijakan
kebodohan, baik dalam wawasan maupun perilaku. Banyak manusia yang

https://islamindonesia.id 277
mengaku civilized alias beradab. Tapi dalam pemikiran dan karakter perilakunya
lebih rendah dari perilaku hewan.

Di sinilah Islam harus tampil menawarkan solusi alternatif—maaf, saya katakan


ISLAM, bukan Muslim—karena memang tantangan terbesar kaum Muslimin saat ini
adalah merealisasikan Islam dalam kehidupannya sehingga mereka memang berhak
menyandang titel “MUSLIM” itu.

Dan salah satu solusi terhadap penyakit kronis dunia kita sekarang, termasuk di
dunia Islam, adalah penyakit rasisme. Eksistensinya real, baik pada tataran
individual maupun kolektif. Rasisme di kalangan umat sesungguhnya masih tinggi.
Keberagamaan sebagian masih dibangun di atas dasar ras dan etnik. Seolah agama
seseorang hebat jika orang itu tergolong ke dalam ras dan etnik tertentu.
Idealisme Amerika yang dibanggakan sebagai “American value” ini juga teruji dari
masa ke masa. Belum terlalu lama berakhirnya gerakan perjuangan hak-hak sipil
dalam hal kesetaraan. Bahkan, kini setelah berakhirnya tugas kepresidenan Afro
American pertama dalam sejarah negeri ini, dan terpilihnya Donald Trump sebagai
presiden Amerika, rasisme kembali melangit. Donald Trump sendiri didukung
sepenuhnya oleh kelompok KKK, sebuah kelompok terroris putih yang sangat anti
non kulit putih. Singkatnya, kelompok yang selama ini dikenal dengan “white
supremacy” menampilkan diri dengan selangit arogansinya.
Di sinilah Islam sesungguhnya datang sebagai solusi. Bahwa dalam Islam tidak
ada white supremacy, black suprmacy, brown supremacy, dan seterusnya. Tidak
juga Arab supremacy, European supremacy, Asian supremacy, atau African
supremacy. Yang ada dalam Islam adalah “God Supremacy.“ Semua selain tuhan
adalah terbatas bahkan tiada (‘adamul wujud) tanpa “Al-Wujud” (Allah SWT).

Oleh karenanya penyakit rasisme perlu untuk segera diselesaikan. Jika tidak
manusia akan tetap berada dalam penyakit yang kronis dan berbahaya ini. Dunia
goncang dan tercabik karena cara pandang manusia dibatasi oleh warna kulit,
bentuk wajah (karena ras dan etnik) atau status sosial dan ekonomi. Islam harusnya
mampu menampilkan konsep kesetaraan universal ini, sehingga menjadi solusi bagi
penyakit kronis dunia kita.

New York, 29 April 2017

Imam Shamsi Ali, Presiden Nusantara Foundation

EH / Islam Indonesia
(Sumber: https://islamindonesia.id/kolom/kolom-rasisme-itu-penyakit-mental.htm)

https://islamindonesia.id 278
Friday, 14 April 2017
MEMAHAMI ISLAM, MEMAKNAI KEADILAN
oleh: Abdillah Toha

KOLOM — Memahami Islam, Memaknai Keadilan

Sikap berkeadilan adalah salah satu fondasi yang sangat penting dalam Islam. Tidak
selalu mudah bersikap adil. Adil bukan hanya penting bagi hakim, jaksa, pengacara,
dan penegak hukum, tapi penting bagi semua makhluk Allah, khususnya manusia.

Adil terhadap kawan dan lawan, adil dalam hubungan dengan anggota keluarga, adil
terhadap bawahan dan karyawan, adil terhadap murid dan guru, adil terhadap
pemimpin, adil dalam bernegara, dan bahkan adil terhadap Tuhan. Adil juga bukan
hanya dalam sikap dan keputusan, tetapi juga dalam perbuatan, dalam berbicara,
dalam menilai pihak lain, dalam beropini, dan dalam membeberkan fakta yang
obyektif.

Rasulullah SAW bersabda bahwa orang yang adil adalah yang menginginkan segala
apa yang disukainya dimiliki juga oleh orang lain dan tidak menginginkan segala
yang tidak disukainya bagi orang lain.

https://islamindonesia.id 279
Adil mengandung sikap jujur dan berani menghadapi risiko melawan kebatilan. Adil
yang berasal dari bahasa Arab ‘adl sangat ditekankan oleh alQuran dalam banyak
ayatnya. Adil punya banyak arti yang saling berkait. Adil berarti berdiri ditengah.
Kata wasit berasal dari wasth yang berarti tengah.

Adil adalah menempatkan segala sesuatu ditempatnya. Adil adalah seimbang.


Susunan tata surya diciptakan dengan mencerminkan sifat allah Yang Maha Adil
dimana setiap bagiannya ditempatkan pada tempat yang semestinya dengan
seimbang. Tanpa keadilan semua sistem pada saatnya akan runtuh. Tanpa azas
keadilan Ilahi, seluruh jagad raya ini akan hancur berantakan.

Adil tidak berarti membagi rata segalanya kepada setiap orang. Adil adalah
memberikan kepada setiap orang apa yang menjadi haknya. Adil adalah membuka
kesempatan dan peluang yang sama kepada setiap orang tanpa pandang bulu.

Lawan adil adalah zalim yang dalam arti umum berarti sikap menindas dan arti
sebenarnya adalah menempatkan sesuatu tidak pada tempatnya. Begitu tingginya
akhlak Rasulullah SAW sehingga beliau memerintahkan agar setiap mukmin berlaku
adil terhadap yang dizalimi dan yang menzalimi. Adil terhadap yang menzalimi
berarti membantu orang yang zalim agar mau dan dapat berhenti dari perbuatan
zalimnya.

Sikap adil juga harus diperlakukan kepada diri kita sendiri. Allah menggambarkan
dosa sebagai sifat tidak adil terhadap diri. Berbuat dosa berarti menzalimi diri sendiri
seperti dalam berbagai firman Allah: “Dan Kami tidaklah menzalimi mereka tetapi
merekalah yang menzalimi diri mereka sendiri, karena itu tiadalah bermanfaat
sedikitpun kepada mereka sembahan-sembahan yang mereka seru selain Allah, di
waktu azab Tuhanmu datang”. (QS Huud:101)

Ketika kita berbuat dosa sebenarnya kita telah menganiaya dan mengotori diri
sendiri yang secara fitrah dilahirkan sebagai diri yang suci dan bebas dari perbuatan
buruk.

Adil terhadap tubuh kita berarti menjaga karunia Allah atas kesehatan badan. Makan
dan minum tidak berlebihan, memasukkan makanan dan minuman yang baik
kedalam tubuh, berolah raga, dan menjaga kebersihan.

Allah juga memperingatkan kita agar jangan sampai kebencian kita kepada suatu
kaum membuat kita berlaku tidak adil kepadanya. “Dan janganlah kebencianmu
terhadap suatu kaum membuatmu tidak berlaku adil. Berbuat adillah karena ia lebih

https://islamindonesia.id 280
mendekati ketakwaan. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui apa yang kamu kerjakan”. (QS. Al Maaidah: 8).

Islam mengajarkan kepada setiap muslim untuk tetap bersikap adil bahkan kepada
musuh kita, tawanan perang, orang berbeda agama dan keyakinan, serta mereka
yang tidak kita sukai. Islam bahkan melarang kita membenci orang atau kelompok
orang, siapapun dia, karena mereka juga ciptaan Allah. Bila harus membenci, maka
perbuatan buruknyalah yang menjadi sasaran kebencian kita. Bukan pelakunya.

Al-Muqsit yang berarti Yang Maha Adil adalah salah satu nama Allah dalam rentetan
sifat muliaNya. Ada juga riwayat lain yang mengatakan bahwa Al-Adl juga nama
Allah. Kemaha-adilan Allah ditunjukkan dengan diberikannya kehendak bebas
kepada manusia dalam batasan Sunnatullah dan Allah hanya memberi ganjaran dan
hukuman sesuai dengan amalan dan perilaku baik dan buruk yang menjadi
tanggung jawab masing-masing.

Allah juga tidak membebani manusia diluar kemampuannya untuk memikul beban
itu. “Sesungguhnya Allah tidak menganiaya seseorang walaupun sebesar dzarrah,
dan jika ada kebajikan sebesar dzarrah, niscaya Allah akan melipatgandakannya
dan memberikan dari sisi-Nya pahala yang besar”. (QS. 4:40).

Berbicara, menulis, berkomentar, dan menilai seseorang harus dilakukan dengan


adil. Tidak mencampur adukkan fakta dengan opini. Kadang-kadang kata-kata yang
keluar dari benak dan mulut manusia bisa lebih melukai dari aniaya fisik. Allah
memerintahkan : “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah
dan katakanlah perkataan yang benar, [QS. AL AHZAB 33:70]

Hakim dalam memvonis, jaksa dalam menuntut, pengacara dalam membela klien,
semuanya harus mendahulukan azas keadilan. Tidak dibenarkan mengambil
keputusan pada setiap perkara dalam keadaan marah dan emosi, atas dasar
kebencian atau untuk kepentingan pengambil keputusan.

Allah berfirman: “Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-
benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah, biarpun terhadap dirimu sendiri
atau ibu bapa dan kaum kerabatmu. Jika ia kaya ataupun miskin, maka Allah lebih
tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin
menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutar balikkan (kata-kata) atau
enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala
apa yang kamu kerjakan. (QS 4:135)

https://islamindonesia.id 281
Bersikap adil terhadap mereka yang bekerja untuk kita adalah sebuah keniscayaan.
Memberikan penghasilan yang cukup dan menempatkan karyawan di tempat yang
tepat sesuai dengan keahliannya serta membagi sebagian keuntungan kepada
karyawan yang ikut menyumbang perolehan keuntungan itu juga mencerminkan
sikap yang adil. Keridhaan dari Allah, kebahagiaan karyawan, dan suasana kerja
yang harmonis akan dengan sendirinya membawa keberkahan bagi kemajuan
usaha.

Keadilan adalah juga fondasi kuat untuk bernegara bila ingin menjaga kelanggengan
negara ataupun mewujudkan kebahagiaan bagi rakyatnya. Negara makmur tidak
menjamin kestabilan dan kesejahteraan rakyatnya bila kemakmuran hanya dinikmati
oleh segelintir warga negaranya. Sebaliknya, rakyatpun harus juga bersikap adil
terhadap pemimpinnya dengan memberi dukungan bila pemimpin berbuat baik dan
mengoreksi serta meluruskannya bila pemimpin telah melenceng dan menyimpang
dari jalan yang benar.

Prinsip keadilan merupakan bagian penting dalam ideologi negara Republik


Indonesia. Bahkan kata-kata adil adalah satu-satunya kata yang disebut dua kali
dalam Panca Sila pada sila kedua “Kemanusiaan yang adil dan beradab” dan sila
kelima ” Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Nabi bersabda “Orang yang
jaraknya terdekat dengan Allah di hari kiamat adalah penguasa yang adil, dan yang
jaraknya terjauh dari rahmat Allah adalah penguasa yang zalim”

Terakhir, bagaimana kita bersikap adil terhadap Yang Maha Kuasa? Tidak lain
adalah dengan meng-esakanNya, menempatkanNya di tempat yang termulya, terus
menerus bersyukur atas nikmat yang dikaruniakan olehNya, dan tidak memberikan
sifat atau mengambarkanNya kecuali dengan apa yang kita ketahui dari yang
diwahyukan dalam Quran dan disampaikan oleh junjungan Nabi kita Muhammad
SAW. Mengapa? Karena yang paling mengenal Allah hanyalah Allah sendiri dan
kitapun mengenalNya hanya dari apa yang diajarkan olehNya kepada kita.[] AT- 09-
10-2016

IslamIndonesia
(Sumber: https://islamindonesia.id/kolom/kolom-memahami-islam-memaknai-keadilan.htm)

https://islamindonesia.id 282
Wednesday, 24 August 2016
MEMAHAMI ISLAM: MAKNA ALLAHU AKBAR
Oleh: Abdillah Toha

Islamindonesia.id–MEMAHAMI ISLAM: Makna Allahu Akbar

Sebagai muslim, setiap hari kita menyebut atau mendengarkan ucapan Allahu
Akbar. Kita ucapkan 6 atau 7 kali dalam setiap rakaat sholat, kita dengar melalui
pekik azan, kita sebut spontan ketika ada kejutan yang baik, kita baca saat
mengubur jenazah, dan banyak peristiwa lain yang maknanya tidak lain hanya untuk
mengagungkan Tuhan semesta alam. Tidak ada yang lebih besar dan agung
dariNya. Tak ada yang punya kekuasaan lebih kuat daripada Allah.

Setiap hari hanya dalam shalat wajib saja kita mengucap Allahu Akbar sebanyak
tidak kurang dari 106 kali. Belum lagi bila dihitung shalat sunnah, iqomat, azan, dan
peristiwa-peristiwa lain yang menghendaki kita mengucap Allahu Akbar.

Teriakan Allahu Akbar di zaman Nabi digunakan pula untuk menimbulkan semangat
dalam perang-perang yang sah ketika lawan yang dihadapi jauh lebih besar

https://islamindonesia.id 283
jumlahnya. Kita juga ingat pekik Allahu Akbar Bung Tomo yang mendebarkan ketika
melawan tentara penjajah Belanda.

Sayang sekali belakangan teriakan Allahu Akbar kerap kali berubah jadi suara yang
menakutkan bagi masyarakat banyak. Allahu Akbar diteriakkan bersamaan dengan
unjuk rasa yang mendemonstrasikan kebencian kepada pihak lain. Menyebut nama
Tuhan yang agung sambil merusak dan menghancurkan harta orang lain. Lebih
gawat lagi, kita melihat video-video yang menunjukkan Allahu Akbar dipekikkan oleh
teroris seperti ISIS dan sejenisnya ketika menggorok leher manusia tak bersalah.
Inilah orang-orang yang mengaku muslim namun mencederai kesucian Allah.
Berbuat nista dengan mengatasnamakan Allah. Inilah pula yang menghancurkan
citra Islam sehingga ungkapan Allahu Akbar jadi bahan cemoohan di negeri-negeri
non muslim.

Bertentangan dengan maksud sebenarnya, Allahu Akbar telah disalah pahami oleh
sebagian muslim sebagai sesuatu yang menunjukkan kekuatan diri, keangkuhan,
dan identifikasi kelompok. Padahal ungkapan Allahu Akbar justru diharapkan untuk
menjadikan muslim rendah hati, bahwa manusia tidak sempurna dengan segala
kelemahannya, bahwa yang tak tertandingi dan berkuasa penuh adalah Sang Maha
Pencipta, bahwa kekuasaan dan keutamaan Allah meliputi semua makhluknya.

Dalam setiap gerak kita pada shalat, dari berdidiri ke rukuk, dari rukuk ke sujud, ke
duduk, dan kembali berdiri lagi dihantarkan oleh ucapan Allahu Akbar. Gerak-gerak
yang tampaknya sangat sederhana itu hanya mungkin kita lakukan karena struktur
dan sistem tubuh kita yang komplleks ini memungkinkannya. Itulah pengakuan atas
keagungan Sang Pencipta struktur dan sistem tubuh kita. Begitu pula seluruh gerak
di alam semesta ini hanya mungkin bila dikehendaki oleh Yang Maha Perkasa.

Mecucap Allahu Akbar dinamakan takbir. Pada malam hari raya Syawal sampai
waktu shalat ied dan pada rari raya Haji seusai shalat ied sampai selama tiga hari
disunnahkan bagi kita untuk mengagungkan nama Allah setiap habis shalat fardhu
dengan bertakbir sebagai ungkapan rasa syukur kehadiratNya.

Akbar berasal dari kata Arab kabara, kabir, yang berarti besar, agung, atau berusia
lanjut. Diantara Nama-Nama Mulia Allah adalah Al-Kabir dan Al-Mutakabbir yang
berarti Yang Paling Agung dan Perkasa. Frase Allahu Akbar yang berkonotasi
superlatif itu sendiri tidak terdapat dalam Al-Quran, namun dalam shalat justru
dipakai karena bila kita menggunakan kabir dikhawatirkan akan membuka imajinasi
sesuatu yang besar tetapi bukan terbesar. Sedangkan Allah tak ada bandingannya
dalam ukuran manusia.

https://islamindonesia.id 284
Segala sifat baik, indah, dan berkuasa Allah, digambarkan dalam Quran antara lain
di surah Alhasyr (59) ayat 22 sampai dengan ayat 24 sebagai berikut:

“Dialah Allah yang tiada Tuhan selain Dia, Yang Mengetahui yang ghaib dan yang
nyata, Dialah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang”(59:22)

“Dialah Allah yang tiada Tuhan selain Dia, Raja, Yang Maha Suci, Yang Maha
Sejahtera, Yang Maha Mengaruniakan Keamanan, Yang Maha Memelihara, Yang
Maha Perkasa, Yang Maha Kuasa, Yang Memiliki segala Keagungan (AliMutabbir),
Maha Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan”(59:23)

” Dialah Allah Yang Menciptakan, Yang Meng-ada-kan, Yang Membentuk Rupa,


Yang Mempunyai Nama-Nama Indah (Asma’ul Husna). Bertasbih kepadaNya apa
yang ada di langit dan di bumi. Dan Dialah Yang Maha Perkasa dan Maha
Bijaksana”(59:24)

Kalau sudah demikian, apa yang tersisa bagi manusia kecuali ketundukan mutlak
dan mengucap Allahu Akbar dengan penuh kerendahan diri dan hati. Raja, presiden,
kaisar boleh kita hormati tapi tak boleh kita agungkan. Anak, istri, keluarga, dan
sahabat boleh kita cintai tapi tak boleh melebihi cinta kita kepada Allah. Harta,
pangkat, dan kecantikan boleh kita syukuri tetapi tak boleh dibanggakan,
diberhalakan dan disembah karena semua itu tak abadi dan tak sebanding dengan
semua yang dimiliki oleh Yang Abadi.

Bila kita selalu sadar bahwa kita sebenarnya hanya sebutir titik kecil di alam
semesta yang tak berbatas, dibawah kendali Yang Maha Kuasa, maka setiap kali
kita mengucapkan Allahu Akbar kita akan mendudukan diri kita dan
menundukkannya dibawah kekuatan yang setiap saat bisa memanggil kembali kita
dan mengatakan “tugasmu di bumi ini sudah selesai”.

Hati kita sering terusik oleh setan yang menggoda kita agar merasa bangga bahwa
diri kita lebih cantik, lebih kaya, lebih saleh dalam beribadah, lebih dermawan, atau
lebih pandai dari orang lain. Kita sering lupa bahwa di jagad ini selalu ada yang lebih
kaya, lebih cantik, lebih pandai dan lebih lainnya dari kita. Sikap yang demikian ini
membatalkan dan membuat ucapan Allahu Akbar yang keluar dari mulut kita
menjadi sia-sia.

Banyak sekali kita membaca riwayat orang-orang saleh dan wali-wali Allah ketika
mereka khawatir atas godaan seperti itu mereka menampakkan dirinya sebagai
orang biasa, orang bodoh, atau orang kotor untuk menghindari pujian orang yang
dapat membuat dirinya angkuh. Ulama besar yang mencapai tingkat tinggi dalam

https://islamindonesia.id 285
keilmuannya sadar bahwa makin banyak pengetahuan yang diraihnya makin sadar
bahwa ada jauh lebih banyak lagi ilmu yang dirinya tidak atau belum tahu. Allah
mengatakan dalam Quran bahwa ilmuNya yang dibagikan kepada kita hanya bak
setetes air dari samudera luas.

Berzikir dan kerap mengucap Allahu Akbar tanpa harus meninggikan suara adalah
baik, namun lebih baik lagi bila kita camkan dan tanamkan makna dan maksud
ucapan itu jauh ke dalam sanubari hati dan kita praktikkan dalam perilaku sehari-hari
yang mencerminkan kerendahan hati kita dihadapan orang dan dihadapanNya.
Bahkan Quran memberi tahu kita bahwa salah satu syarat terkabulnya doa adalah
bila doa diucapkan dengan lirih dan penuh kerendahan hati.

Tak ada jalan lain bagi hamba Allah sejati yang mengaku sebagai muslim untuk
meresapkan di hati kebesaran dan keagungan Allah dalam kalimat Allahu Akbar
karena hanya dengan demikian semua amalnya akan terhindarkan dari niat untuk
kebesaran dirinya tetapi semata hanya karena memenuhi petunjuk Allah.

AJ/IslamIndonesia
(Sumber: https://islamindonesia.id/berita/opini-memahami-islam-makna-allahu-akbar.htm)

https://islamindonesia.id 286
Thursday, 06 April 2017

HIDUP YANG BAIK, BENAR DAN INDAH


Oleh Haidar Bagir*

islamindonesia.id – KOLOM – Hidup yang Baik, Benar dan Indah

Dimensi pendidikan itu sangat urgen dalam kehidupan manusia, karena pendidikan
yang baik, benar dan indah itu adalah tujuan penciptaan manusia. Dalam hal ini
anak bukan kertas kosong atau tabularasa, yang bebas diisi apa saja sekehendak
orang dewasa, tapi anak lahir sesuai fitrahnya.

Kita sebagai orang dewasa, guru, orangtua, yang bertanggung jawab melejitkan
potensi yang ada, atau memantik apa yang sudah Allah Swt anugerahkan kepada
anak-anak kita. Dengan mengenalkan, memberikan keteladanan yang baik, benar
dan mengindahkan kehidupannya agar anak-anak bisa merasakan bahkan membuat
kebahagiaan baik untuk diri dan orang lain dalam hal ini menjadi Rahmatan Lil
Alamain.

60 tahun lebih sudah saya hidup di dunia, alhamdulillah berkat Rahmat Allah Swt,
saya sudah berkeliling dunia, baik itu untuk studi, pengembangan kualitas Muslim di
dunia atau acara keluarga.

Dari situ saya banyak mengambil hikmah bahwa hidup yang sesungguhnya adalah
ketika kita bisa memberi manfaat yang sebanyak banyaknya untuk orang lain.
Bagaimana hidup yang baik itu?

https://islamindonesia.id 287
Saya teringat ketika Sayidina Ali bin Abi Thalib mengangkat seorang gubernur, lalu
Sayidina Ali mengatakan: “Perhatikanlah bahwa ketika kau memimpin, maka
rakyatmu tidak hanya Muslim tapi ada di antara mereka yang beragama lain.
Perlakukan dia dengan baik dan berbuatlah adil kepada mereka.”

Dalam sebuah riwayat, Sayidina Ali juga mengatakan: “Ada dua saudaramu, yang
satu saudara seiman dan yang satu saudara sesama ciptaan Allah SWT.”

Jelaslah jika kita menjalankan amanah dengan sebaik-baiknya maka kenyamanan


dan keamanan negeri ini akan terbina dengan penuh cinta dan kasih sayang, tak
pernah melihat suku, ras dan agama.

Bagaimana hidup yang benar?

Tak sedikit dalam dunia maya atau media sosial berseliweran berita hoax atau
fitnah, atau berita yang salah bahkan juga mungkin berita yang sebenarnya atau
benar adanya, tapi apakah kita harus ikut terlibat menjadi perpanjangan
menyampaikan berita yang tak bergizi?

Hati-hati jika berita itu bohong maka kita menjadi corong fitnah, dan jika berita itu
benar lalu kita ikut andil menyebarkan maka kita termasuk gibah, sementara ghibah
sama seperti memakan daging saudaranya sendiri.

Dalam sebuah hadis dikatakan: “Perlakuan orang lain seperti yang kau mau.”

Maka jika kita ingin dimuliakan maka muliakanlah yang lain, jika kita mau disayangi
maka sayangilah yang lain. Jika anak kita mau makan maka pastikan anak tetangga
tidak kelaparan, jika keluarga kita mau bahagia pastikan jangan usik kehidupan dan
ketenangan orang lain.

Sekarang kita balik bertanya, bagaimana rasanya jika posisi orang yang kita
perlakukan tidak benar? Sedih bukan? Hati-hati setiap apa yang kita perbuat, sekecil
apapun ada perhitungan atau hisabnya, dan Allah akan membuka aib-nya kelak
ketika orang itu membuka aib saudaranya sendiri ketika di dunia.

Bagaimana hidup indah?

Hidup di dunia akan indah jika kita menjalani kehidupan dengan menghadirkan nilai-
nilai keTuhanan dalam kehidupan kita, asma Allah salah satunya adalah Rahman
lalu diikuti Rahim, Pengasih dan Penyayang. Jika setiap kita mengaktualisasikan

https://islamindonesia.id 288
nilai-nilai kasih sayang dalam kehidupannya sehari-hari maka kedamaian dan
kebahagian akan hadir dalam jiwa-jiwa manusia.

Tak sedikit untuk meraih kesuksesan hidup, seseorang melanggar norma dan
hukum, menghalalkan segala cara menampikan nilai keindahan. Untuk yang
namanya sukses, seseorang kadang berangkat pagi, pulang malam untuk kerja
keras. Apakah dia sukses?

Jawabannya, mungkin sukses diraih, tapi apakah dia bahagia? Orangtua


mengharapkan semua anak sukses, jika ditanya kepada bapak dan ibu, apakah
harapan untuk anak-anaknya? Maka tak sedikit yang menjawab adalah anak-
anaknya mau sukses.

Padahal kesuksesan dan kebahagian itu dua hal yang berbeda. Kenapa? Karena
jika seseorang sukses hanya diukur dari materi, rumah mewah, mobil mewah,
penghasil besar, tapi tak sedikit kehidupannya berakhir dengan tragis, tak sedikit
banyak yang tergelincir dalam kehinaan, obat-obatan dan lain-lain.

Lalu apakah bahagia itu? Bahagia itu ada dalam jiwa-jiwa yang tenang, rasa syukur
yang diaplikasi dalam hati, lisan dan perbuatan. Bahagia itu ketika kita mampu
menjalani kehidupannya yang baik, yang benar dan menjalani kehidupannya dengan
indah.

Tidaklah seseorang dinamakan beriman ketika dia mencintai orang lain seperti dia
mencintai dirinya sendiri. Bahagia ketika menjadi jalan orang lain berbahagia, artinya
menjadi manusia yang banyak memberikan manfaat untuk orang lain .

Tanggung jawab kita sebagai orangtua adalah menjadi teladan, meluluhkan ego kita
dan wasilah agar anak kita sukses bahagia dunia akhirat. Tidak semua orang sukses
bisa bahagia tapi jika orang bahagia insya Allah sukses akan menyertai.[]

*Praktisi pendidikan, Dosen Filsafat dan Tasawuf, Penulis ‘Islam Tuhan, Islam
Manusia’ (Mizan, 2017)

YS/ islam indonesia/ Materi Seminar Internasional: Goodness,Truth and Beauty


(Sumber: https://islamindonesia.id/kolom/kolom-hidup-yang-baik-benar-dan-indah.htm)

https://islamindonesia.id 289
Sunday, 19 March 2017
Menjadi Muslim: Sulitkah?
oleh: Abdillah Toha

Belakangan di negeri kita, lebih khusus lagi di Jakarta, terjadi gonjang-ganjing dan
perilaku sebagian umat Islam yang memprihatinkan. Seakan-akan umat ini ada
dalam keadaan sedang diserbu oleh “musuh-musuh”nya. Sehingga diantara
Muslimin sendiri ada yang menarik garis pembatas antara Muslim sejati dengan
Muslim pinggiran yang sering dituduh sebagai munafik. Ada Muslim yang “membela”
dan ada yang dianggap tidak membela Islam. Puncaknya terjadi ketika beberapa
spanduk provokatif dipasang dan ada masjid-masjid yang menolak menshalati
jenazah muslim atau muslimah yang dituduh munafik karena pilihan politiknya.

Karena sudah banyak yang ditulis tentang betapa kelirunya sikap dan perilaku
demikian dari sudut pandang Islam, tulisan ini tidak lagi akan membahas dalil-dalil
yang menafikan pandangan sempit yang sempat diikuti oleh beberapa pihak itu.
Orang-orang itu, dibawah arahan ustad-ustad yang cekak ilmunya ditambah motivasi
politik yang berbau SARA telah memberi kesan seakan Islam itu agama yang kolot
dan keras, dan bahwa menjadi Muslim yang benar itu tidak mudah. Seakan menjadi
Muslim itu sulit, penuh dengan aturan-aturan yang sangat membatasi ruang gerak
penganutnya. Benarkah demikian?

Jelas tidak benar. Tulisan ini akan mengurai bahwa Islam itu jelas dan sederhana.
Ada ruang yang sangat luas untuk bervariasi. Secara formal, seorang telah menjadi
Muslim ketika mengucapkan dua kalimat syahadat yakni bersaksi bahwa tiada
Tuhan melainkan Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah. Hanya itu.
Dengan mengucap dua kalimat syahadat ini berarti dia dengan sendirinya menerima
apa yang diwahyukan Allah kepada RasulNya yang kemudian diformulasikan dalam
bentuk rukun iman yang enam dan rukun Islam yang lima.

Rukun iman yang enam meliputi percaya kepada Tuhan yang Esa, kepada Malaikat,
kepada kitab-kitab suci yang diturunkanNya, kepada semua utusan Allah, kepada
Hari Akhir, dan kepada takdir Ilahi. Sedang rukun Islam yang lima lebih banyak
menyangkut kewajiban peribadatan meliputi ucapan dua kalimat syahadat,
mengerjakan shalat, membayar zakat, berpuasa di bulan Ramadhan, dan
melaksanakan haji bagi yang mampu.

https://islamindonesia.id 290
Dalam menjalankan kewajiban beribadah pun Allah memberi keringanan bagi
mereka yang tidak mampu. Muslim dalam perjalanan (musafir) dikurangi jumlah
rakaat dalam shalat wajibnya. Bila dalam perjalanan atau kesehatan tidak
memungkinkan, muslim tidak diharuskan berpuasa pada bulan Ramadhan dan
dapat menundanya pada waktu lain. Bila kemampuan fisik tak memungkinkan atau
tak mampu memikul biaya, ibadah haji yang wajib dilakukan sekali seumur hidup
tidak diharuskan. Membayar zakat juga hanya diwajibkan bagi mereka yang memiliki
harta melebihi jumlah tertentu.

Disamping itu, seperti juga pada agama-agama lain, dalam agama Islam ada
anjuran, perintah, dan larangan seperti larangan berbohong, mencuri, membunuh,
memakan bangkai dan babi, minum minuman keras, dan berzina. Diluar semua
yang pokok itu yang disepakati oleh mayoritas ulama, yang ada adalah penafsiran
manusia tentang wahyu dan aturan Tuhan serta Sunnah Rasul SAW yang bersifat
tidak mutlak dalam arti boleh diikuti dan boleh pula kita memiliki penafsiran yang
berbeda. Penafsiran yang berbeda-beda diluar pokok ajaran Islam diatas,
dikemudian hari dikelompokkan dalam apa yang disebut sebagai mazhab.
Dikalangan ahllusunnah ada empat mazhab besar yang dikenal sebagai mazhab
Syafii, Hanafi, Maliki, dan Hambali. Keempat mazhab inipun tidak bisa didudukkan
sejajar dengan wahyu Allah karena penerima wahyu Allah terakhir menurut Islam
hanyalah Muhammad ibnu Abdillah yang telah wafat 1400 tahun yang lalu. Dengan
kata lain, tidak ada kewajiban bagi Muslim untuk mengikuti salah satu mazhab
tersebut secara mutlak karena mazhab juga merupakan penafsiran yang tidak
dijamin sepenuhnya pasti benar.

Islam juga bukan agama yang terbatas kepada peribadatan hamba Alllah kepada
Penciptanya. Justru yang sering dilupakan adalah bahwa Islam adalah agama
Muamalah yakni agama yang menaruh perhatian besar pada perilaku penganutnya
terhadap sesama makhluk Allah yang lain. Hadis yang sangat terkenal mengatakan
bahwa Rasulullah diutus oleh Tuhan semata-mata untuk menyempurnakan akhlak
manusia. Ritual ibadah Muslim akan sia-sia bila tak mampu berperilaku baik kepada
sesama. Berbagai atribut yang menempel kepada seorang Muslim menjadi sia-sia
bila dia mencuri uang rakyat, menipu, menindas, atau menzalimi makhluk Allah
lainnya.

Lantas bolehkah kita menilai keislaman seseorang? Karena unsur utama agama
adalah iman, sedang iman berada didalam hati, dapatkah kita sebagai manusia
biasa mengukur hati orang? Kita hanya dapat menilai dari apa yang tertangkap oleh
indra kita. Itupun kita bisa salah tangkap dan terjerumus kedalam kesimpulan yang
keliru. Apalagi bila kita kemudian memvonis keislaman seorang Muslim atas dasar

https://islamindonesia.id 291
penafsiran dan pemahamannya yang berbeda dengan pemahaman kita tentang
ajaran Islam.

Untuk memahami Islam yang mendekati kebenaran diperlukan ilmu yang dalam
bersamaan dengan kerendahan hati. Meski demikian Islam sebagai agama
bukanlah ilmu pengetahuan atau science yang dapat diukur dengan bukti-bukti
empiris karena agama menyangkut sisi kerohanian dan spiritual yang tak dapat
diukur dengan instrumen ilmu pengetahuan. Bila kita merasa tak cukup ilmu untuk
memecahkan persoalan agama, maka dengan akal sehat dan nurani bersih Muslim
dibolehkan memilih dan mengikuti pandangan ulama yang dianggapnya paling bisa
diterima akal. Ulama-ulama besar pendiri berbagai mazhab pun sangat rendah hati
seperti Imam Malik yang sempat menolak permintaan penguasa di zamannya untuk
menyebarkan dan menjadikan bukunya Almuwattha’ sebagai satu-satunya rujukan di
seantero wilayah kekuasaannya, karena kuatir nanti bisa dianggap sebagai
pengganti wahyu Allah. Imam Abu Hanifah, umpamanya, pernah melarang muridnya
mencatat fatwanya karena merasa bisa jadi esok hari dia akan mengubah
pendapatnya.

Sebuah kekeliruan besar bila kita menjadikan Islam sebagai agama yang sulit dan
kaku. Islam adalah agama yang mudah dan ringan. Dalam berbagai ayat Quran
seperti Al-Baqarah ayat 185, Al-Maidah ayat 6, Al-Hajj ayat 78, dengan gamblang
disampaikan bahwa Allah hanya menghendaki kemudahan bagi Muslim, dan pada
Al-Baqarah ayat 286 ditegaskan Allah tidak akan membebani manusia diluar
kemampuannya untuk memikul beban. Masih banyak lagi ayat-ayat serupa yang
bertebaran di Quran dan hadis serta Sunnah Rasul SAW yang mengindikasikan
kemudahan dalam menjalankan syariah yang diwahyukan Tuhan.

Islam juga agama yang progresif paling sedikit dalam dua arti. Pertama, Islam
mewajibkan penganutnya terus menerus menuntut ilmu demi kemajuan. Kedua,
penafsiran dan pemahaman agama bersifat dinamis dan dapat berubah sesuai
dengan waktu dan tempat yang berbeda yang menuntut perlakuan khusus demi
kemaslahatan bersama.

Masalah timbul ketika muncul ustad-ustad yang kemudian dengan mudah


mengkafirkan atau memunafikkan Muslim tertentu karena pemahamannya yang
berbeda atau karena pilihan politiknya. Maka sesungguhnya mereka yang menyebut
dirinya ustad atau ulama ini telah berlaku angkuh, ceroboh dan sekaligus merasa
lebih tinggi kedudukannya dari imam-imam besar mazhab dan ulama terdahulu.
Lebih-lebih lagi mereka telah berlaku angkuh kepada Sang Pencipta ketika
mengambil alih hak Tuhan untuk menentukan siapa yang berhak masuk sorga dan
siapa yang tempatnya di neraka.

https://islamindonesia.id 292
Bila kepada non Muslim saja kita dilarang memaksa mereka memeluk Islam,
mengapa kita harus memaksakan pemahaman kita tentang Islam kepada mereka
yang telah menyatakan diri sebagai Muslim? Sungguh pemuka Islam yang
demikianlah yang telah mengabaikan perintah Allah untuk menjadikan iman sebagi
basis persaudaraan, bukan basis permusuhan dan bahkan peperangan antar
sesama Muslim seperti kekacauan yang terjadi di beberapa negara di Timur Tengah
saat ini. Islam hitam putih begitulah yang kemudian menumbuhkan fanatisme yang
berkembang menjadi cikal bakal tindak terorisme dan kekerasan lain.

Islam bukan agama yang perlu dibuat sulit dan dipersulitkan. Kita terima semua
yang telah menyatakan diri sebagai Muslim, kita serahkan penilaian perilaku pribadi
semasa hidupnya kepada Yang Maha Penilai, sedang tindak tanduknya sebagai
warga bangsa kita serahkan kepada hukum negara yang berlaku dan norma-norma
masyarakat setempat.

Inilah pemahaman saya tentang Islam dengan tidak mengajukan klaim bahwa inilah
pemahaman yang paling benar. Semoga Allah memberikan petunjuk kepada saya
dan kita semua. Amiin.

AT- 19-03-2017

YS/ islam indonesia


(Sumber: https://islamindonesia.id/kolom/kolom-menjadi-muslim-sulitkah.htm)

https://islamindonesia.id 293
Saturday, 11 February 2017

PANDAWAYUDHA
Oleh: Emha Ainun Najib*

Jika pesawat mengalami turbulensi, hati penumpangnya galau, perasaannya hancur,


dan pikirannya buntu. Apalagi kalau guncangannya semakin menjadi-jadi, seluruh
jiwa raga serasa lumpuh.

Apa saja yang dilakukan tidak ada benarnya. Berdiri, miring ke kanan, miring ke kiri,
terbanting ke depan atau terjengkang ke belakang. Semua gerakan salah. Semua
inisiatif mencelakakan. Segala sesuatu yang biasanya benar menjadi tidak benar.
Ketika dilakukan sesuatu yang sebenarnya salah, bisa jadi benar. Tak ada
parameter, logika, proporsi, teori, pengetahuan, dan ilmu yang bisa diberlakukan
sebagaimana pada keadaan yang normal.

Kaum “Talbis”

Mungkin tidak persis, apalagi separah itu, tetapi kita bangsa Indonesia rasanya
sedang mengalami situasi semacam itu. Berlangsung ketidakseimbangan berpikir
yang semakin merata. Kemiringan persepsi dan ketidakadilan sikap satu sama lain.
Mungkin karena semua pihak mengalami kepanikan subyektif sehingga berlaku
overdefensif, kehilangan presisi logika, dan ketegakan analisis atas segala sesuatu,
termasuk terhadap dirinya sendiri.

Kita menjadi kanak-kanak massal, ditindih oleh rasa tidak percaya satu sama lain
sehingga terseret untuk melakukan hal-hal yang membuat kelompok lain semakin
tidak percaya. Semua dirundung situasi patah hati sebagai kelompok-kelompok
sehingga egosentrisme membengkak pada masing-masing yang merasa saling
terancam. Ukuran-ukuran tentang apa saja jadi semakin kabur. Wajah kebangsaan
kita jadi tak berbentuk.

Andaikan pada akhirnya terjadi chaos, entah pada tingkat tawur, sweeping,
pembakaran-pembakaran sporadis atas wilayah “lawan”, atau penyerbuan-
penyerbuan lokal, atau-na’udzu billahi min dzalik, demi anak-cucu kita kelak-jangan
sampai terjadi perang sipil atau pembasmian massal seperti 1965.

Maka, di tengah turbulensi pesawat atau kapal berguncang-guncang hari-hari ini,


kita juga kehilangan ketepatan dan keseimbangan, tidak lagi punya akurasi dan

https://islamindonesia.id 294
presisi ketika menggagas dan merumuskan SARA, agama, etnik, “Bhinneka Tunggal
Ika”, NKRI harga mati, nasionalis, dan Islamis. Jalan kita sangka tujuan. Sarana kita
anggap pencapaian. Roh dianggap jasad. Lembaga disangka ideologi. Pemerintah
merasa dirinya negara. Pejabat menyimpulkan dirinya atasannya rakyat. Tak
mengerti pilah antara negeri dan negara. Pengkhianat dinobatkan sebagai
pahlawan.

Pengetahuan kita tinggal satu: yang pasti benar adalah kita. Yang bukan kita, pasti
salah, meskipun di lubuk hati kecil ada kans 1 persen yang bukan kita itu punya
kemungkinan untuk benar. Yang pasti benar, meskipun bukan kita, adalah yang
membayar kita. Pesawat kebangsaan kita sedang mengalami superturbulensi.
Bahtera NKRI kita terguncang-guncang oleh pertengkaran kita sendiri. Semakin
kapal berguncang, semakin kita bertengkar. Dan semakin kita bertengkar, semakin
kapal berguncang.

Kita langsungkan itu semua dalam deret hitung. Kalaupun yang kita lakukan yang
itu-itu juga yang sejauh ini kita lakukan, segera akan kita alami percepatan deret
ukur, terutama kalau kita terus melakukan Talbis. Talbis adalah peristiwa di surga
ketika Adam dijebak dan ditipu oleh iblis karena menyangka yang datang kepadanya
adalah malaikat. Sang iblis berpakaian malaikat, sementara Adam belum terdidik
oleh pengalaman untuk membedakan antara iblis dan malaikat, sebagaimana rakyat
tidak pernah belajar memahami Talbis perpolitikan negaranya.

Yang paling besar sumbangannya terhadap kehancuran NKRI adalah para pelaku
Talbis. Manusia-manusia, kelompok, lembaga atau satuan yang memprogram
keiblisan, mengamuflasenya dengan kostum, formula, simbolisme, dan teks seakan-
akan malaikat. Kostum nasionalisme, pewarnaan merah putih, surban istigasah, dan
lantunan suara surgawi. Namun, di belakang punggung melakukan rekayasa,
perundungan, kriminalisasi, skenario penumpasan, pembunuhan karakter,
pemanfaatan pasal hukum, penyebaran meme-meme, pengaturan irama viral, dan
apa saja untuk meneguhkan kekuasaan dan penguasaan.

Pandawa vs Pandawa

Dalam peristiwa Bahtera Nuh terdapat polarisasi antara kaum beriman dan kaum
ingkar. Dalam Bharatayudha bertarung antara Pandawa yang mewakili kebenaran
dan kebaikan melawan Kurawa yang mewakili kebatilan dan kejahatan. Yang kita
alami dengan NKRI hari ini adalah Pandawayudha.

Pihak yang berhadap-hadapan masing-masing merasa dirinya Pandawa. Bahkan,


sangat yakin dengan ke-Pandawa-annya. Masing-masing juga memiliki landasan

https://islamindonesia.id 295
nilai dan argumentasi yang kuat bahwa mereka Pandawa. Kua-nilai dan substansi,
keduanya bisa menemukan kebenaran dan kebaikannya. Ini Pandawayudha.
Permusuhan antara Pandawa dan Pandawa untuk dirinya masing-masing atau
Kurawa lawan Kurawa untuk penglihatan atas musuhnya masing-masing.

Mereka berhadap-hadapan dalam eskalasi kebencian dan pembengkakan


permusuhan. Jika didaftar, masing-masing adalah NKRI dan Bhinneka Tunggal Ika.
Tuhan menggambarkan dengan kalimat “tahsabuhum jami’an wa qulubuham syatta”:
mereka berada di satu bulatan NKRI, dengan hati mereka terpecah belah.

Padahal, titik krusialnya terletak pada turbulensi pesawat dan guncangan kapal.
Yang satu bersikukuh bunyi kokok ayam adalah “kukuruyuk”, lainnya bersikeras
“kongkorongkong”, lainnya diam-diam menyimpulkan “kukeleku” atau “kukurunnuk”.
Padahal yang benar sejati adalah si ayam itu sendiri.

Ada konstelasi pribumi dan nonpribumi. Ada Arab, habib, sayyid, syarif, ahlul-bait. Di
kejauhan sana ada kiai, yai, ustaz, ajengan, tuan guru. Di sekitar kita ada “China
Daratan”, “China Perantauan”, “China Benteng”, dan “China Toko”. Padahal,
substansial menghampar juga Jawa Benteng dan Jawa Toko, Batak Benteng dan
Batak Toko, pun Arab Benteng dan Arab Toko. Sebagian dari konstelasi itu kini
sedang incar-mengincar dan bermusuhan dengan parameter simbolis, bukan ukuran
substansial dan hakiki kasunyatan perilaku. Pelaku SARA menuduh lainnya SARA,
yang dituduh SARA terpojok untuk juga berlaku SARA.

Padahal, pada hakikat dan kenyataannya, menurut tradisi terminologi Al Quran,


musuh utama Islam dan manusia adalah keingkaran (kufur), kemusyrikan
(selingkuh), kemunafikan (hipokrisi, oportunisme), kefasikan (lupa Tuhan sehingga
lupa diri), juga kezaliman (kejam dan mentang-mentang). Di antara semua itu, yang
ratusan kali lebih berbahaya dan sangat menyulitkan adalah kemunafikan: “mungsuh
mungging cangklakan” (musuh yang menempel di ketiak) alias musuh dalam
selimut.

Di dalam golongan-golongan yang saling bermusuhan terdapat munafiqun-nya


masing-masing. NKRI dan bangsa Indonesia ini diperlakukan secara munafik oleh
sebagian penghuninya. Dan itulah turbulensi yang sesungguhnya, guncangan sejati
sejarah kita hari ini.

Duduk bersama

NKRI adalah abstraksi garis lurus vertikal gravitasi. Akan tetapi, semua yang berdiri
miring dan bermusuhan satu sama lain meyakinkan dirinya sendiri bahwa mereka

https://islamindonesia.id 296
tegak gravitatif. Terjadilah saling silang garis-garis yang masing-masing adalah klaim
gravitasi. Atau NKRI adalah patok kayu di mana kambingkambing diikat lehernya
dengan tali. Panjang pendeknya tali dari kambing ke patok itu bervariasi, sesuai
potensi dan pencapaian masing-masing. Akan tetapi, masalah NKRI hari ini adalah
masing-masing kambing menancapkan patoknya sendiri-sendiri.

NKRI hari ini adalah kambing-kambing (bineka) berlarian pada kepentingan diri
(tunggal)-nya sendiri dan membikin patok (ika)-nya atau sendiri-sendiri. Sungguh,
kita-para kambing ini-butuh penggembala, negarawan, panembahan, punakawan,
begawan. Kalau semua pihak-polisi, tentara, parpol, ormas, presiden, menteri, kiai
dan ulama, bahkan alam pikiran rakyat-tercampak di kurungan arena politik (praktis),
maka tidak perlu waktu lama bagi kambing-kambing itu untuk kehilangan lapangan
rumput.

Kalau para orangtua bangsa ini, para sesepuh, para negarawan, dan begawan-
begawan nilai tidak bersegera duduk bersama, berunding dengan kelengkapan kulit
dan isi, kita semua harus bersiaga untuk mengalami lonjakan dari Pandawayudha ke
Bharatayudha. Presiden dan para figur kunci pemerintahan, baik pendekar sipil
maupun militer, pemuka-pemuka semua kelompok, sesepuh masyarakat, semua
lingkaran kebinekaan, ojo dumeh, anak cucu memerlukan para paduka duduk
melingkar bersama di Sanggar Kenegarawanan untuk semacam musyawarah
darurat demi keselamatan bangsa.[]

*Budayawan tinggal di Yogyakarta

YS/ Islam Indonesia/ Sumber: Harian Kompas


(Sumber: https://islamindonesia.id/kolom/kolom-pandawayudha.htm)

https://islamindonesia.id 297
Friday, 10 February 2017
AMANAH KEPEMIMPINAN TANPA PENGKHIANATAN
oleh: Sayuthi Asyathri

islamindonesia.id— Amanah Kepemimpinan Tanpa Pengkhianatan

Para ulama dan cendekiawan Islam yang mengacu pada sumber-sumber khasanah
Ahlul Bait Nabi selalu memberikan perumpamaan pada para Nabi sebagai Dokter
atau Tabib.

Hal itu didasarkan pada rujukan-rujukan hadist dan kesimpulan akan peran yang
mereka jalankan, yakni sebagai dokter dan ummatnya sebagai pasien.

Ali Syariati dalam ceramahnya yang kemudian dibukukan dengan judul Wasiat atau
Musyawarah (Yapi, 1989) menggambarkan kepemimpinan itu seperti seorang dokter
ahli. Menurutnya, kualitas keahlian dan peran seorang dokter ahli tidak bisa dinilai
oleh para pasien, sehingga bila sang dokter ahli berhalangan maka keputusan
tentang siapa yang menggantikannya tidak bisa diserahkan pada hasil musyawarah
para pasien di rumah sakit tersebut.

Karena mestinya yang menentukan siapa dokter penggantinya adalah dokter ahli
yang bersangkutan sendiri atau para dokter ahli yang mengetahui dengan
kompetensi keahlian dan keilmuan mereka tentang kualifikasi dokter seperti apa
yang paling cocok untuk para pasien tersebut.

Gagasan yang dikembangkan Ali Syariati tersebut sebenarnya secara substansial


sudah diakomodasi para Founding Fathers kita dalam sila ke 4 dari pancasila. Yakni,

https://islamindonesia.id 298
prinsip musyawarah/perwakilan sebagai salah satu pesan Qur’ani tentang
pendekatan pemecahan masalah, termasuk penyiapan kepemimpinan nasional.

Dalam Pancasila, disebutkan bahwa “Kerakyatan yang dipimpin oleh Hikmat


Kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan” artinya, sama dengan gagasan
Ali Syariati, bahwa keputusan keputusan dalam hal hal kerakyatan dilakukan oleh
suatu sistem kepemimpinan para ahli yang memiliki kompetensi hikmat
kebijaksanaan.

Tentu yang dimaksud dengan musyawarah mufakat dan sistem perwakilan itu
dilaksanakan dalam suatu format demokrasi yang menjunjung tinggi hak hak
demokrasi rakyat. Dan proses tersebut diselenggarakan berdasarkan prinsip
keTuhanan YME, kemanusiaan yang adil dan beradab serta kepentingan nasional
serta diselengarakan oleh suatu kepemimpinan yang berhikmat kebijaksanaan
sehingga menjamin terwujudnya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Secara umum prinsip tersebut telah dilaksanakan, tetapi sejarah menunjukkan


bahwa mutu demokrasi kita paska amandemen konstitusi, telah berubah menjadi
demokrasi prosedural. Demokrasi telah kehilangan substansinya, yakni fungsinya
untuk menjamin terwujudnya Indonesia yang adil, makmur dan bermartabat.

Kemerosotan ini mestinya bisa diperbaiki melalui berbagai putusan politik yang
paling mungkin. Antara lain melalui peneguhan sistem seleksi dan persiapan
kepemimpinan sebelum memasuki tahapan pemilihan. Sistem penyiapan tersebut
harus melalui semua tahapan dan kategori, baik pada level masyarakat sipil (civil
society), political society maupun lingkungan penyelenggaraan negara (state
society).

Sebenarnya dalam peraturan perundang undangan di bidang politik sudah


diakomodir model seleksi tersebut, yakni melalui syarat-syarat calon yang
didalamnya terdapat juga syarat kualifikasi utama antara lain bertaqwa pada Tuhan
Yang Maha Esa, setia pada Pancasila sebagai Dasar Negara, UUD 45, cita-cita
Proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 dan kepada NKRI serta Pemerintah.

Tetapi, karena berkembangnya persepsi tentang lemahnya basis amanat dalam


konstitusi, maka tidak ada pasal yang mengatur pelaksanaan syarat syarat tersebut
secara otoritatif. Adapun KPU lebih membatasi pemenuhan syarat calon pada
kecukupan syarat adminitrasi dan lain lain yang lebih terukur dalam pelaksanaan
tanggungjawab wewenangnya.

https://islamindonesia.id 299
Sebenarnya bila ada kemauan politik yang kuat dan berintegritas maka kelemahan
tersebut bisa dibuat pengaturannya dalam ketentuan undang-undang. Tetapi yang
terjadi adalah membesar-besarkan hambatan untuk melakukan terobosan tersebut
antara lain dengan alasan kelemahan pada amanat konstitusi, sehingga
menimbulkan bayangan kesulitan dan kerumitan.

Meskipun harus diakui bahwa untuk penyelesaian yang mendasar maka harus lebih
ditegaskan dalam konstitusi, sementara konstitusi hasil amandemen sendiri
dianggap sebagian kalangan telah berperan melemahkan bangunan sistem
kepemimpinan berhikmat kebijaksanaan.

Kelemahan-kelemahan tersebut bisa dianggap serius, karena telah memerosotkan


kehidupan nasional kita sehingga menimbulkan kecemasan atas masa depan
Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Demokrasi kita saat ini banyak dipengaruhi hasilnya oleh dukungan dana (terutama
asing) dan peran media yang dikuasai oleh pemilik korporasi. Demokrasi menjadi
liberal dan berada dalam kontrol mereka, sehingga terbuka peluang besar lahirnya
kepemimpinan yang hanya melayani kepentingan mereka meskipun dengan taruhan
merugikan dan mengancam kepentingan nasional.

Dan akibat pengaruh dan dukungan media yang ‘asing’ dalam demokrasi, maka
kepemimpinan yang dihasilkan sering kali lebih berhasil ditujukan dan digiring untuk
memenuhi kepentingan-kepentingan yang asing terhadap kepentingan nasional,
ketimbang memenuhi kepentingan rakyat sendiri..

Mungkin karena merosotnya pemaknaan terhadap mutu kepemimpinan hikmat


kebijaksanaan, sebagai refleksi merosotnya kehidupan nasional, maka
perumpamaan tentang dokter ahli yang mengobati pasien juga kemudian ditafsirkan
hanya sekedar keahlian profesional seseorang dalam pengobatan fisik. Tafsir
tersebut tentu saja tidak keliru, karena tafsir disesuaikan dengan konteks
pemaknaan yang berkembang di tengah masyarakat.

Hanya saja, dalam kesempatan penentuan kepemimpinan di daerah daerah saat ini,
sebagai bagian dari pembentukkan sistem kepemimpinan nasional, kita berusaha
memperbaiki pandangan masyarakat tentang makna kepemimpinan kepala daerah.
Dimana, seorang gubernur bukan hanya pemimpin dalam pembangunan fisik, tetapi
terutama berperan sebagai pemimpin dalam pemecahan masalah sosial dan
kemanusiaan yang dihadapi oleh warga masyarakatnya.

https://islamindonesia.id 300
Mungkin dalam konteks inilah kalangan agama dan budaya di Indonesia kini
menyuarakan seruan dan aspirasi yang sangat tegas, bahwa kepemimpinan Kepala
Daerah akan datang bukan hanya kepemimpinan profesional dan keahlian dalam
soal soal teknis pembangunan, tetapi sebuah kepemimpinan berbasiskan nilai nilai
(values based leadership) yakni yang berhikmat kebijaksanaan. Sebuah
kepemimpinan yang diyakini, pasti tidak akan mengkhianati rakyatnya sendiri. Suatu
kepemimpinan yang didalamnya selalu ada getaran kegetiran atas penderitaan
rakyatnya yang tertindas dalam ketidadilan. Dan di dalam kepemimpinan itu juga
pasti bersemi cinta pada tanah air, dan kesediaan berkorban untuk martabat dan
kehormatan Ibu Pertiwi.

AJ / Islam Indonesia

(Sumber: https://islamindonesia.id/kolom/kolom-amanah-kepemimpinan-tanpa-pengkhianatan-2.htm)

https://islamindonesia.id 301
Wednesday, 08 February 2017

URGENSI KERUKUNAN ELITE


Oleh: Azyumardi Azra*

Dalam sepekan terakhir, masyarakat Indonesia menyaksikan tontonan dan drama


yang tidak terlalu menyenangkan. Hal itu tak lain adalah kegaduhan di antara elite
Indonesia, yang segera berdampak pada banyak kalangan lapisan menengah dan
juga warga di akar rumput.

Drama itu terkait dengan pernyataan kontroversial dari kalangan elite Indonesia, elite
politik dan elite keagamaan-sosial, tepatnya religio–social elite. Kegaduhan di antara
elite boleh jadi menurun dalam hari-hari ke depan, tetapi tampaknya masih belum
selesai dan boleh jadi berlanjut setelah Pilkada 2017 dan bisa meningkat kembali
menjelang dan seputar Pemilu 2019.

Fenomena ini perlu dicermati dan sekaligus menjadi ”peringatan” bagi semua pihak,
khususnya elite politik dan elite keagamaan-sosial untuk terus memelihara
kerukunan. Kerukunan ini urgen guna menciptakan situasi dan suasana kondusif
bagi stabilitas politik dan pembangunan-pemerataan ekonomi berkelanjutan.

Kegaduhan politik mutakhir yang menimbulkan eskalasi politik dan sosial-


keagamaan bermula dari persidangan Gubernur DKI Jakarta (non-aktif) Basuki
Tjahaja Purnama, Selasa pekan lalu, dalam perkara penodaan agama. Meski Basuki
”hanya” elite politik salah satu provinsi negara ini, kasusnya yang high
profile menjadi isu yang disimak warga Indonesia di berbagai pelosok Nusantara.

Kegaduhan itu bermula ketika tim kuasa hukum Basuki mencecar saksi Ketua
Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) KH Ma’ruf Amin (73). Dalam kesaksiannya
sekitar tujuh jam, tim kuasa hukum Basuki menganggap KH Ma’ruf Amin yang juga
Rais Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PB NU) memberi kesaksian dusta
terkait dugaan pembicaraannya lewat telepon dengan mantan Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono.

Kegaduhan meningkat saat Yudhoyono, dalam konferensi pers, Rabu pekan lalu,
meminta pemerintahan Presiden Joko Widodo mengusut (dugaan) penyadapan
pembicaraannya dengan KH Ma’ruf Amin. Dia juga meminta bertemu dengan
Presiden Jokowi untuk bicara secara blak-blakan.

https://islamindonesia.id 302
Yudhoyono menyatakan dirinya berusaha menemui Presiden Jokowi, tetapi ada
pihak tertentu yang menghalangi. Namun, Presiden Jokowi menyatakan permintaan
Yudhoyono untuk mengusut penyadapan itu salah alamat.

”Kok, barangnya (isu penyadapan dan rekamannya) dikirim ke saya. Itu isu
pengadilan,” kata Presiden Jokowi seusai membuka acara Forum Rektor Indonesia,
Kamis pekan lalu.

Sementara itu, banyak warga NU yang tak bisa menerima perlakuan tim kuasa
hukum Basuki yang dianggap memperlakukan KH. Ma’ruf Amin di luar kepantasan.
Gerakan Pemuda (GP) Ansor di sejumlah daerah menyatakan keadaan Siaga I
untuk menghadapi pelecehan terhadap KH. Ma’ruf Amin.

Menghadapi keadaan yang kian ”gawat”, Basuki segera menyatakan permintaan


maaf terbuka secara tertulis dan melalui rekaman video. Keinginannya bertemu
langsung dengan KH. Ma’ruf Amin tidak terpenuhi karena waktunya belum tepat.

KH. Ma’ruf Amin menerima Menteri Koordinator Kemaritiman Luhut Pandjaitan.


Walhasil, KH. Ma’ruf Amin berlapang dada memaafkan Basuki. Ketua Umum PBNU
KH. Said Aqil Siroj juga memaafkan Basuki dan mengimbau anggota dan simpatisan
NU, Barisan Serbaguna (Banser), dan GP Ansor menahan diri.

Selang waktu tidak lama, pihak Istana menyatakan Presiden Jokowi akan menerima
Yudhoyono sekitar setelah Pilkada 2017.

Pada titik inilah publik bisa menyaksikan kembalinya tradisi sangat baik di Indonesia,
yaitu memberikan maaf walaupun tidak melupakan. Tradisi pemaafan memberi
ruang untuk kompromi, akomodasi, dan inklusivitas bagi mereka yang melakukan
kesalahan.

Tradisi ini hampir selalu mengarahkan elite politik dan keagamaan-sosial serta
kelompok warga di Indonesia mencapai win-win solution dan terhindar dari zero-
sum-game, sikap pokoknya menang atau kalah.

Namun, tradisi baik ini bukan tidak mungkin memudar. Tradisi win-win solution dapat
memudar jika kondisi sosial politik dan ekonomi kian tidak kondusif.

Perpolitikan yang terus gaduh dapat muncul dari terganggunya keseimbangan politik
mapan sehingga memunculkan sikap pokoke. Ketidakarifan politisi yang lebih
berorientasi kekuasaan atau menampilkan arogansi kekuasaan juga menjadi faktor
penting bagi memudarnya paradigma, tradisi, dan praksis win-win solution.

https://islamindonesia.id 303
Keadaan ekonomi yang memburuk juga dapat mendorong orang memilih
solusi zero-sum-game. Ketika kepincangan ekonomi antara pihak sangat kaya dan
mereka yang terpuruk dalam kemiskinan tidak teratasi, win-win solution dapat kian
ditinggalkan.

Karena itu, perlu ditekankan urgensi menjaga kerukunan negara-bangsa, baik di


lingkungan elite politik maupun keagamaan-sosial. Kompetisi dan kontestasi politik
absah dalam sistem dan praksis demokrasi, tetapi tetap perlu mempertimbangkan
kerukunan.

Untuk menjaga kerukunan, elite politik sepatutnya berpegang pada kepentingan


negara-bangsa dan warga Indonesia secara keseluruhan. Mereka hendaknya
menghindari diri dari politik divisif yang membuat warga terpecah belah dan
terjerumus dalam konflik vertikal dan horizontal.

Dalam konteks itu, elite politik semestinya menahan diri dari mengeluarkan
pernyataan sensitif dan kontroversial yang belum tentu dapat
dipertanggungjawabkan. Pernyataan tanpa bukti konkret, lebih berdasarkan dugaan
dan kecurigaan, hanya berujung pada kontroversi dan konflik, baik di lingkungan
elite maupun warga akar rumput.[]

*Guru Besar Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta;
Anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia

YS / islam indonesia/ sumber: Harian Kompas


(Sumber: https://islamindonesia.id/kolom/kolom-urgensi-kerukunan-elite.htm)

https://islamindonesia.id 304
Sunday, 05 February 2017
MENCARI MATA BARU
Oleh: Abu Al Jawad

islamindonesia.id – KOLOM–Mencari Mata Baru

Seperti umumnya istilah kaum sufi, mukasyafah atau penyingkapan spiritual itu tampak
sebagai suatu keadaan yang tak terperikan. Kata para sufi, memang susah menjelaskan
manisnya madu tanpa langsung mencecapnya. Dan memang, semua penggambaran atau
penjelasan hanyalah sisi luar dari pengalaman yang sesungguhnya. Ia adalah puncak
pengetahuan. Selain menghadirkan pengertian (concept) atau gambaran (idea) dalam
benak, pengalaman juga menggetarkan dan mengguncangkan keseluruhan jiwa dan raga.
Salah satu keadaan yang dialami oleh para salik (pelancong spiritual)
ialah kasyf atau mukasyafah. Keadaan itu terjadi saat Allah menguak berbagai tirai (hijab)
yang menutupi mata dan pandangan, sehingga seolah-olah kita punya new–eyes (mata
baru).

Akibatnya, realitas alam semesta yang biasa tersekat oleh tirai syahwat, angan-angan,
khayalan, keterbatasan dan berbagai tirai lainnya tiba-tiba saja hadir apa adanya. Dan ini
akan membawa perubahan radikal pada cara pandang kita terhadap realitas.

https://islamindonesia.id 305
Untuk menggambarkan bagaimana proses perubahan pandang terjadi, saya akan mengutip
ilustrasi Stephen J. Covey dalam bukunya yang amat monumental, The 7 Habits of Highly
Effective People.

“Saya ingat sebuah perubahan paradigma kecil yang saya alami pada suatu Ahad pagi
dalam kereta bawah tanah di New York. Orang-orang sedang duduk dengan tenang
sebagian sedang membaca surat kabar, sebagian sedang melamun, sebagian lagi
beristirahat dengan mata terpejam. Suasananya tenang dan damai.

Lalu, tiba-tiba seorang bapak dan anak-anaknya masuk ke dalam gerbong. Anak-anak
tersebut begitu berisik dan ribut sehingga membuat suasana berubah. Pria tersebut duduk di
sebelah saya dan memejamkan matanya, agaknya tidak peduli akan situasi saat itu.

Anak-anaknya berteriak-teriak, melemparkan barang-barang, bahkan merenggut koran yang


sedang dibaca orang. Sangat mengganggu. Namun pria yang duduk di sebelah saya itu
tidak berbuat apapun. Sulit untuk tidak merasa jengkel.

Saya tak mengerti ia dapat begitu tenang membiarkan anak-anaknya berlarian liar seperti itu
dan tidak berbuat apapun untuk mencegah mereka, sama sekali tidak bertanggung jawab.
Sangat terlihat bagaimana semua orang di dalam gerbong juga merasa terganggu.

Akhirnya dengan rasa sabar dan pengekangan diri yang luar biasa, saya menoleh
kearahnya dan berkata, “Tuan, anak-anak Anda benar-benar mengganggu banyak orang.
Dapatkah Anda mengendalikan mereka sedikit?” orang itu mengangkat dagunya seolah
baru tersadar akan situasi di sekitarnya lalu berkata dengan sedih, “Oh, Anda benar. Saya
kira saya harus berbuat sesuatu. Kami baru saja dari rumah sakit di mana ibu mereka
meninggal satu jam yang lalu. Saya tidak tahu harus berpikir apa dan saya kira mereka juga
tidak tahu harus bagaimana menghadapinya.”

Dapat Anda bayangkan bagaimana perasaan saya saat itu? Paradigma saya berubah. Tiba-
tiba saya melihat segalanya secara berbeda. Dan karena saya melihat dengan cara
berbeda, saya berpikir dengan cara berbeda, saya merasa dengan cara berbeda, saya
berperilaku dengan cara berbeda.

Kejengkelan saya seketika hilang. Saya tidak perlu lagi ragu untuk mengendalikan sikap
atau perilaku saya: hati saya dipenuhi dengan kedukaan yang dirasakan pria itu. Perasaan
simpati dan kasihan mengalir dengan deras. Dan segalanya berubah dalam seketika.”
[Stephen J. Covey, The 7 Habits of Highly Effective People, Bantam Books, 1990, hal 54. ]

Sampai batas tertentu, saya kira kita semua pernah mengalami perubahan cara pandang
yang dalam bahasa kaum sufi disebut dengan mukasyafah itu. Teman saya pernah

https://islamindonesia.id 306
mengalaminya saat ia menyadari bahwa sejawatnya di kantor yang tampak begitu lembut
dan menawan ternyata adalah seorang waria.

Bayangan-bayangannya mengenai kelembutan, kecantikan, keindahan, dan kewanitaan pun


runtuh seketika. Sikap dan perilakunya terhadap “wanita” itu pun kontan berubah secara
radikal. Dengan kesal dan jengah, ia menyampaikan kepada saya betapa mudahnya
manusia tertipu dan terpikat oleh tampilan luar yang sering berbeda dnegan kenyataan
sebenarnya.

Untuk sedikit menghiburnya, saya katakan, “Pada batas tertentu, Anda telah
mengalami mukasyafah.” Saya katakan padanya bahwa perubahan cara pandang dan
hadirnya new-eyes (mata-baru) dalam diri kita akan segera mengubah perilaku dan sikap
kita.

Jangan salahkan para sufi bila mereka mengutuk dunia, merasa jijik dan segan bergumul
dan hidup di dalamnya, karena, dalam cara pandang dan mata baru mereka, dunia tak
ubahnya “waria” yang tampil dalam dandanan dan wajah wanita yang menawan. Itulah
makna firman Allah bahwa dunia adalah tempat senda gurau dan permainan (QS. 6:32).

“Perumpamaan dunia,” kata Ali bin Abi Thalib, “seperti seekor ular. Meski lunak kulit dan
pegangannya, namun mengandung bisa yang mematikan. Bocah yang bodoh akan tergiur
untuk memegangnya, tapi seorang yang pandai berakal akan menghindarinya.”

Hal penting lainnya ialah betapa kuat dan besar pengaruh penyingkapan batin tersebut pada
sikap dan perilaku seseorang. “Menyaksikan hakikat” dan “mengalami penyingkapan”
niscaya berimbas besar pada keadaan lahiriah dan batiniah seseorang. Karena “segala
sesuatu ada tandanya”, segala sesuatu ada manifestasinya.

Apabila Anda melihat atau mendengar ada orang yang mengklaim telah mengalami
mukasyafah (penglihatan batin) tapi kita tidak melihat tanda-tanda padanya, maka patut kita
menduga dia sedang berdusta. Memang, tanda-tanda lahiriah saja tidak cukup. Yang lebih
perlu lagi adalah tanda-tanda spiritual dan intelektual. Meski tampak bersahaja secara
lahiriah, pengetahuan dan kebijaksanaan mestilah memancar pada sikap dan perilakunya.[]

YS/islamindonesia.
(Sumber: https://islamindonesia.id/kolom/kolom-mencari-mata-baru.htm)

https://islamindonesia.id 307
Thursday, 12 January 2017

TASAWUF – Pandangan Dunia

islamindonesia.id – TASAWUF – Pandangan Dunia

Tidak sulit untuk membuktikan bahwa makna kehidupan amat bergantung pada pola
pikir. Pola pikir ini lazim disebut dengan pandangan-
dunia, weltanshauung atau jahan-bini. Secara sederhana pandangan-dunia adalah
kerangka yang kita buat untuk melihat dunia dan berbagai kejadian yang
menyertainya. Berbagai kejadian dan peristiwa kita beri makna dalam kerangka ini.
Kerangka pandangan-dunia ini mirip dengan sebuah skenario yang kita tulis untuk
meletakkan setiap kejadian dan fenomena dalam alur cerita yang runtut
dan congruent.

Tanpa keruntutan ini, berbagai kejadian dan fenomena alam akan tampak kacau
balau, membingungkan, dan tak bermakna. Tanpa pandangan-dunia yang runtut,
pemahaman kita tentang dunia akan menjadi kabur, berbagai peristiwa akan tampak
berdiri sendiri-sendiri, tak saling berhubungan dan karena itu tidak bisa dimaknai
dengan utuh.

https://islamindonesia.id 308
Orang seperti ini sebenarnya sudah bisa dikatakan menderita suatu psikosis yang
disebut dengan schizophrenia. Pandangan dunia akan mempengaruhi perilaku,
sikap pilihan dan tujuan hidup seseorang. Perilaku, sikap, pilihan dan tujuan, pada
gilirannya akan membentuk tipe kepribadian seseorang.

Berkenan dengan tipe kepribadian itu, Ali bin Abi Thalib pernah berkata kepada
Kumail bin Ziyad sebagai berikut;

“Wahai Kumail…! Ada tiga tipe manusia di dunia: rabbani yang berilmu, orang yang
senantiasa belajar dan selalu berusaha agar berada di jalan keselamatan, atau –
selebihnya- adalah orang-orang awam yang bodoh dan picik, yang mengikuti semua
suara – yang benar maupun yang batil – dan bergoyang bersama setiap angin yang
mengembus, tiada bersuluh dengan cahaya ilmu dan melindungkan diri dengan
pegangan yang kukuh-kuat.”
Jika digali maknanya, rabanni ialah seorang yang benar-benar mengenal Tuhannya
dan selalu taat kepada-Nya sehingga ia memperoleh karunia hikmah dan makrifat
dari-Nya.

Dari ketiga tipe manusia ini, kita menemukan bahwa tipe yang pertama adalah para
penempuh jalan spiritual atau sufi, tipe kedua adalah pelajar di jalan menuju
keselamatan (atau orang religius), dan tipe ketiga adalah kebanyakan orang yang
tidak atau kruang mempedulikan kehidupan ruhaninya.

Kita menemukan jalan hidup yang diambil oleh tipe manusia yang pertama dan
ketiga amatlah berbeda, sementara perbedaan antara yang pertama dan kedua
hanya pada derajatnya. Salah satu perbedaan antara sufi dan “orang kebanyakan”
adalah titik pijak (stand-point) sufi dalam melihat realitas kehidupan di dunia ini.

Sufi beranjak dari ketidakpastian umur (panjang-pendek usia) manusia dan


kepastian (datangnya) ajal atau kematian. Karenanya, logis dan bijaksana bila lantas
mereka bersungguh-sungguh dalam mempersiapkan diri untuk sesuatu yang pasti
(kematian) tersebut.

Memanfaatkan bahkan juga mengorbankan sesuatu yang tidak pasti (umur) untuk
kebaikan sesuatu yang pasti adalah tindakan yang dibenarkan oleh akal sehat.
Sebaliknya menikmati durasi kehidupan yang tidak pasti dengan cara melupakan
yang pasti adalah tindakan sia-sia.

Maka itu, segenap potensi kehidupan patut dikerahkan untuk “memastikan” bahwa
kelak ia akan menjemput ajal itu dengan senyuman lega dan puas. Di sisi lain, orang

https://islamindonesia.id 309
pada umumnya lupa pada kepastian ajal. Yang selalu diingatnya adalah kehidupan
dan bagaimana membuatnya berjalan dengan penuh kenikmatan dan kenyamanan.

Entah bagaimana ia mendapatkan semua keinganan itu, yang penting baginya


adalah kehidupan ini bisa dilewatinya dengan penuh kepuasan (yang tentunya semu
semuanya). Hasrat-hasratnya yang sudah bercampur dengan berbagai unsur
imajinatif dan fantastik itu begitu rupa membuatnya merasa aman dengan yang tidak
pasti, sekalipun untuk itu ia harus mengorbankan sesuatu yang pasti akan terjadi
(kematian).

Sama seperti halnya sufi, orang yang demikian ini juga akan mengerahkan segenap
potensinya demi kehidupan yang tidak menentu ini. Kedua pandangan dunia ini lalu
mengembangkan peradabannya masing-masing.

Yang pertama mengembangkan sebuah peradaban yang boleh jadi miskin secara
material dan berpenampilan lemah, tapi kaya dan kuat secara spiritual. Sebaliknya,
yang kedua, mengembangkan yang tampak megah-mewah tetapi kering kerontang
dalamnya.

Jenis-jenis pengetahuan dan “teknologi” yang berbeda-beda pun mempunyai


pengikutnya sendiri-sendiri. Ada Renaisans yang memicu revolusi industri,
imprialisme, kolonialisme, dan kapitalisme.

Revolusi industri melahirkan terobosan-terobosan dalam bidang sains dan teknologi


yang mencengangkan, terutama dalam bidang teknologi pembunuh massal. Dengan
bekal teknologi ini kebudayaan imperial dan kolonial merambahi planet bumi.

Tidak mustahil, seperti yang berkembang dalam wacana science-fiction mereka,


pada suatu saat nanti planet-planet lain pun akan dirambahinya. Sementara itu, di
sisi lain, ada perabadan profetik yang berupaya menghidupakan potensi-potensi
spiritual manusia, tanpa harus mengucilkan diri di dunia.

Bagi peradaban ini, kemajuan manusia tak bersifat fisikal-material. Karena itu,
semua pengetahuan dan “teknologi” yang dihasilkan oleh peradaban ini tidak untuk
menciptakan individu yang kaya dan jaya secara material, melainkan individu yang
kaya dan jaya secara spiritual dan batin.

Kedua peradaban ini menelurkan pelbagai “produk” yang berbeda, untuk tujuan
yang berbeda pula. Misalnya, produk-produk saintifik yang dihasilkan oleh
peradaban ini tidak lain kecuali untuk pengembangan dan pembangunan kehidupan
fisik dan material manusia.

https://islamindonesia.id 310
Sebaliknya, peradaban porfetik melahirkan berbagai produk saintifik yang bisa
berperan untuk pengembangan dan pembangunan kehidupan spritual manusia.
Begitu pula halnya dengan berbagai produk penelitian, pendidikan, hukum
pemerintah dan lain sebagainya yang dihasilkan oleh kedua perabadan ini.

Dalam lanjutan nasihat untuk Kumail tersebut, Ali bin Abi Thalib lebih jauh
memaparkan konsekuensi-konsekuensi dari masing-masing peradaban tersebut:

“Wahai Kumail, ilmu adalah lebih utama daripada harta. Ilmu menjagamu,
sedangkan kau harus menjaga hargamu. Harta akan berkurang bila kau nafkahkan,
sedangkan ilmu bertambah subur bila kau nafkahkan. Demikian pula budi yang
ditimbulkan harta akan hilang dengan hilangnya harta…

Wahai Kumail, kaum penumpuk harta-benda telah “mati” di masa hidupnya,


sedangkan orang-orang yang berilmu tetap “hidup” sepanjang masa. Sosok tubuh
mereka hilang, namun kenangan kepada mereka tetap di hati.”[]

YS/ MK/ Islam Indonesia


(Sumber: https://islamindonesia.id/tasawwuf/tasawuf-pandangan-dunia.htm)

https://islamindonesia.id 311
Monday, 09 January 2017

TASAWUF – Muhammad Sang Cahaya

islamindonesia.id – TASAWUF – Muhammad Sang Cahaya

Nur (cahaya) adalah penerang kegelapan. Yang terpekat dari semua kegelapan adalah
kebodohan. Karenanya, penerang ruang gelap kebodohan mestilah nur yang paling terang,
yang mampu mencerahi segenap titik gelap kehidupan.

Dan itulah yang oleh para sufi disebut sebagai “Nur Muhammad”, yang dengannya
kebodohan umat manusia dapat dicerahkan dan kemanusiaannya dapat dikukuhkan. Allah
berfirman:

“Sesungguhnya telah datang kepadamu cahaya dari Allah, dan Kitab yang menerangkan.
Dengan kitab itulah Allah menunjuki orang-orang yang mengikuti keridhaan-Nya ke jalan
keselamatan, dan (dengan kitab itu pula) Allah mengeluarkan orang-orang itu dari gelap
gulita kepada cahaya yang terang benderang dengan seizin-Nya, dan menunjuk” (QS. Al-
Maidah: 15-16).

Dalam dua ayat tersebut, Allah mengatakan pancaran Nur Muhammad dengan dasar-dasar
mistis Islam: “Kitab yang jelas (kitabun mubin)”, “jalan keselamatan (subul as salam)”,
“petunjuk (yahdi bihi)”, dan “jalan yang lurus (shiratal mustaqim)”. Dengan kata lain
memahami “kitab realitas”, manusia memerlukan perantaraan cahaya kenabian, yang dalam
hal ini adalah Nur Muhammad.

https://islamindonesia.id 312
Adalah mustahil melihat apalagi membaca dan memahami ayat dan petunjuk alam semesta
dalam kegelapan. Kerenanya, sebagai cahaya Ilahi, Muhammad diutus untuk “menjelaskan
(liyubayyina)” seluruh tanda dan petunjuk alam ciptaan (QS. Ibrahim: 4). Itulah pula
mengapa kenabian Muhammad dimulai dengan sebuah titah: Iqra bismi rabbika (Bacalah
dengan nama Tuhanmmu)! Mulailah segala sesuatu dengan perspektif Ilahi (dengan nama
Tuhanmu) yang menyeluruh.

Tanpa perspektif tersebut, segala sesuatu akan tampak acak dan kabur. Dengan mudah
orang akan kehilangan konteks dan tujuan, lalu terjerat dan tersesat oleh rumitnya pantulan-
pantulan realitas.

Minat yang kuat pada detail, pantulan, atom, molekul, virus, kasus, bidang, isu dan segala
hal yang partikular-individual mengemuka sebagai pelarian yang alami. Dan dengan
landasan trials and errors, misi penciptaan manusia tersedot pada penyelidikan
mengenai clueless nitty-gritty dan potongan-potongan informasi yang bertebaran. Rasanya
sulit membedakan orang seperti di atas dengan pejalan yang tertatih-tatih di dalam
kegelapan. Keduanya akan sama-sama suka bermain dalam trials and errorslalu merasa
aman dengan menjamah segala apa yang ada di depannya. Allah berfiman:

“Perumpamaan mereka, yaitu munafikin, seperti orang yang menyalakan api. Ketika api itu
menerangi sekitarnya, Allah menghapus cahaya mereka itu, dan meninggalkan mereka
dalam kegelapan tanpa dapat melihat.” (QS. Al Baqarah: 17)

Muhammad sebagai nur berkaitan erat dengan peta yang jelas (kitabun mubin) dan jalan
yang lurus. Dengan batuan Nur Muhammad, petunjuk –petunjuk peta baru akan dapat
terbaca dan perjalanan akan menjadi mudah. Sebaliknya, dalam kegelapan, peta takkan
dapat terbaca dan semua petunjuk menjadi tak nyata.
Namun demikian, peta yang jelas dan pelita yang terang tidak akan berarti tanpa fungsi
penglihatan yang baik pada pelaku perjalanan. Itulah mengapa, selain diutus
sebagai nur yang menerangi alam, Muhammad juga diutus untuk menerangi diri manusia.
Allah berfirman:

“Sebagaimana Kami telah mengutus kepadamu Rasul di antara kamu yang membacakan
ayat-ayat Kami kepada kamu dan mensucikan kamu dan mengajarkan kepadamu Al Kitab
dan hikmah, serta mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui.” (QS. Al
Baqarah 151)

Atas dasar itu, kehadiran Muhammad sebagai pelita yang terang dan menerangi (sirajan
muniran, QS. Al Ahzab: 46) bukan bersifat aksidental, melainkan inheren dan esensial,
terhadap penciptaan alam semesta. Nur Muhammad adalah raison d’atrepenciptaan alam

https://islamindonesia.id 313
semesta, lantaran tanpa nur itu, alam menjadi gelap dan manusia menjadi buta hingga sia-
sialah penciptaan tersebut.

Dalam konteks inilah, kita dapat memahami makna hadis qudsi yang berbunyi, “Lawlaka ya
Muhammad lama khalaqtu al aflak” (Tanpamu Hai Muhammad, tak akan Kucipta angkasa
raya). Dalam hadis qudsi yang lain, Allah berfirman: “Pertama yang Kuciptakan adalah
cahaya Muhamamd.”

Menurut Mulla Sadra, hadis di atas tidak bertentangan dengan hadis yang menegaskan akal
sebagai awal ciptaan. Karena, akal dan Nur Muhammad mempunyai fungsi yang identik.
Melalui keduanya, tujuan utama penciptaan, yakni pengenalan dan penyembahan kepada
Allah, dapat tercapai.

Di ranjang kematiannya, Syibli melantunkan bait-bait puisi berikut ini:

Setiap rumah yang engkau diami


Tiada membutuhkan lampu sama sekali
Dan pada hari ketika bukti-bukti dibawakan
Maka buktiku adalah wajahmu

Dalam Mantiq Ath Thayr, Fariduddin Attar bersyair:

Yang pertama-tama muncul dari kedalaman Yang Tak Terlihat adalah cahaya beliau yang
murni – tak perlu dipertanyakan dan tak perlu diragukan lagi.
Cahaya yang tinggi ini membuka tanda-tanda – Tahta, Kursi, Pena dan Lembaran Catatan
dengan demikian muncul.
Satu bagian dari cahayanya yang murni menjadi dunia, dan bagian lain menjadi Adam dan
benih umat manusia.
Kendati demikian, betapa pun tingginya dan agungnya Nabi Muhammad Saw sebagai
utusan-Nya untuk menerangi alam raya, beliau tetap harus ditegaskan sebagai
‘abduhu (hamba-Nya). Dan, menurut beberapa riwayat, predikat ‘abduhu ini memang
demikian disenangi oleh Nabi Muhammad.

Sungguh, dalam kehambaan itu Nabi dan semua manusia menemukan kebebasan dari
segala beban dan ketenangan yang tiada terkira, lantaran keyakinan si hamba bahwa
Tuannya adalah Tuhan yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.[]

YS/ MK/ Islam Indonesia


(Sumber: https://islamindonesia.id/tasawwuf/tasawuf-muhammad-sang-cahaya.htm)

https://islamindonesia.id 314
Sunday, 08 January 2017

MAKNA DI BALIK MAULID, HABIB LUTFI: JIKA NABI


MANUSIA BIASA, LALU KITA INI APA?

islamindonesia.id – Makna di Balik Maulid, Habib Lutfi: Jika Nabi Manusia Biasa, Lalu Kita Ini Apa?

Peringatan kelahiran Nabi Muhammad Saw kembali digelar bersama Habib Lutfi bin Yahya
di gedung Kanzus Shalawat, Kota Pekalongan, 8 Januari 2017. Selain habaib dan para kiai,
peringatan ‘Maulid Akbar’ ini juga dihadiri oleh Presiden Joko Widodo dan sejumlah ulama
dari berbagai negara.

Dalam pengumuman resmi yang disebar oleh panitia, ulama luar negeri yang
dijadwalkan hadir ialah: Syeikh Adnan Al-Afyuni (Suriah), Syeikh Riyad Bazo (Lebanon),
Syeikh Aun Al-Quddumi (Jordan), Habib Zaid bin Yahya (Yaman). Di depan ribuan orang
yang hadir di lokasi Maulid, Syeikh Adnan al-Afyouni menyampaikan, di antara bukti
mencintai Nabi Saw adalah memperbanyak membaca shalawat siang dan malam hari.

“Kita sedang merayakan kelahiran orang yang kelahirannya dirayakan penduduk langit dan
bumi,” kata mufti Suriah ini ketika menyampaikan keagungan kepribadian Rasul Saw seperti
dikutip akun resmi facebook Habib Lutfi, (8/1).

https://islamindonesia.id 315
[Baca juga: Pidato Maulid Nabi di Pekalongan, Mufti Suriah: Teladan dari Rasul
Mengasihi Bukan Mengebom]

Tak heran jika ulama sekaliber Habib Lutfi senantiasa menekankan pentingnya
memperingati kelahiran sang nabi agung ini. Di hadapan ribuan jamaah Nadliyyin di
Pekalongan beberapa waktu lalu, Habib Luthfi bin Yahya menjelaskan salah satu tujuan
peringatan Maulid Nabi. Menurut Ketua Umum Jam’iyah Ahlu Thariqah al Mu’tabarah an
Nahdiyah ini, adalah untuk membangkitkan cinta kita kepada beliau. “Sekarang ini krisis
mahabbah, bukan krisis orang alim,” katanya seperti disiarkan oleh Aswaja Channel.

Cinta yang telah tertanam di hati setiap mukmin seharusnya diupayakan tumbuh mekar.
Karena mekarnya cinta, menurut Habib Lutfi, akan meningkatkan kekuatan iman seseorang.

“Katakanlah: Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi
dan mengampuni dosa-dosamu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang,” kata ulama
kelahiran Pekolangan ini mengutip QS. Ali Imran: 31).

Ayat di atas, menurut Habib Lutfi, sudah cukup menjadi jawaban mengapa kita seharusnya
mencintai Nabi. Orang yang paling mencintai Allah dan dicintai Allah ialah yang
diperintahkan oleh Allah untuk mengucapkan ‘fattabiunii’ (ikutilah aku). Tentu manusia
pilihan Allah ini bukanlah sebagaimana umumnya manusia biasa. Dia adalah manusia luar
biasa.

“Jika Nabi manusia biasa, lalu kita ini apa?” tanya Habib Lutfi kritis, menyindir ucapan
sebagian orang yang memposisikan nabi sebagai sebatas manusia biasa.

Sedemikian luar biasanya Nabi sehingga orang-orang yang mengikutinya diberi ‘garansi’. Di
sini, kata Habib Lutfi, pentingnya peringatan maulid dan haul yang dilakukan untuk
membangkitkan kecintaan pada Nabi.

https://islamindonesia.id 316
Di depan ribuan jamaah maulid, pria yang bernama lengkap Muhammad Luthfi bin Ali bin
Hasyim bin Yahya ini kemudian mengupas sejumlah tafsir yang mengungkap mengapa
Muhammad Saw bukan manusia biasa.

Allah bukan hanya memuji akhlaknya yang agung dengan ayat ‘Wa innaka la’ala khuluqin
‘adzim’, yang berarti: Sesungguhnya engkau (Muhammad) berada di atas budi pekerti
yang agung. Tapi Allah dalam Al-Qur’an juga tidak pernah memanggilnya dengan menyebut
nama langsung; ‘Ya Muhammad’ atau ‘Ya Ahmad’. Ayat yang menyatakan ‘saya adalah
manusia (basyar) seperti kalian’, juga tidak boleh dilepaskan dengan kelanjutannya yaitu
‘yuhaa ilayya…’ (diwahyukan kepadaku…).

Menurut Habib Lutfi, wahyu tidak akan diturunkan kepada manusia biasa kecuali kepada dia
yang berkedudukan sebagai rasul, nabi dan maksum. Tidak ada masalah dengan kata
‘basyar’, sebagaimana batu juga memiliki derajat; krikil, intan dan permata.

Semuanya sama-sama dikatakan batu, namun nilai satu truk krikil belum tentu sebanding
dengan satu permata. Selain membedah sejumlah kitab tafsir, Habib Lutfi juga menjelaskan
kedudukan Nabi Muhammad dengan ayat yang ditafsirkan ayat lainnya. Dan begitu
seterusnya sehingga ayat yang satu memiliki hubungan dengan ayat lainnya. Oleh sebab
itu, bagi Habib Lutfi, menafsirkan Al-Qur’an tidaklah mudah. “Memahami kandungan dan
rahasia makna ayat Al-Qur’an memerlukan kejernihan hati dan penyucian jiwa. Orang yang
menafsirkan Al Qur’an tergantung (tingkat) kejernihan sanubari dan jernihnya akal
seseorang,” ungkapnya.

Dalam dunia tasawuf, Habib Lutfi menjelaskan bahwa cinta ialah maqam spiritual kedua
setelah maqam ridha. Seseorang tidak akan bisa mencapai maqam ridha kecuali
dengan mahabbah (cinta). Orang yang telah mencapai maqam cinta, derita seperti sakit
sekalipun akan dia terima tanpa mengeluh. Pria berusia 68 tahun ini lalu berkisah tentang
sahabat yang bertanya kepada Nabi Muhammad perihal sejauhmana seseorang
dikategorikan mukmin. Nabi Muhammad lalu menjawab, “Yaitu ketika orang itu telah
mencintai Allah.”

Berdasarkan ayat sebelumnya jawaban atas pertanyaan sahabat ini meniscayakan


kecintaan pada Nabi. Sambil mengutip sebuah hadist, Habib Lutfi kembali menegaskan
bahwa kadar keimanan seseorang tergantung pada kecintaan pada nabi. []

YS/IslamIndonesia
(Sumber: https://islamindonesia.id/berita/makna-di-balik-maulid-habib-lutfi-jika-nabi-manusia-biasa-
lalu-kita-ini-apa.htm)

https://islamindonesia.id 317
https://islamindonesia.id 318
Sunday, 08 January 2017

SELAIN PRESIDEN, MAULID NABI DI PEKALONGAN


DIHADIRI WARGA DARI BERBAGAI AGAMA

islamindonesia.id – Selain Presiden, Maulid Nabi di Pekalongan Dihadiri Warga dari Berbagai Agama

Selain dihadiri pejabat negara seperti Presiden Jokowi, sejumlah pemeluk dari
berbagai agama turut menghadiri peringatan kelahiran Nabi Muhammad Saw di
Pekalongan (8/1). Dari foto-foto yang diunggah admin facebook Habib Lufti bin
Yahya misalnya, terlihat Kepala Paroki St Petrus Pekalongan Romo Sheko yang
sedang berjalan menuju lokasi Maulid.

“Saudara sebangsa banyak yang ikut hadir dalam peringatan maulid Nabi saw.
Momentum ini menjadi media untuk mengenalkan bahwa Islam sesungguhnya
adalah rahmat bagi manusia dan semesta. Kalau bukan dari kita dari mana saudara
kita mengenal Nabi Saw?” kata admin akun resmi Habib Luftfi dengan mengunggah
sejumlah foto tamu, (8/1).

https://islamindonesia.id 319
Didampingi Habib Lutfi, Presiden Joko Widodo dalam sambutannya mengajak santri
yang hadir untuk mensyiarkan perilaku akhlakul karimah dengan bersopan santun,
berbudi pekerti dalam keseharian serta menghindari kabar fitnah.

“Marilah kita ajak rekan-rekan kita yang ada di luar, yang sering menyampaikan hal
yang berkaitan fitnah, berita-berita yang bohong, ujaran kebencian, hasutan-
hasutan, untuk mengembangkan bersama-sama nilai-nilai kesantunan, nilai nilai
kesopanan, nilai nilai budi pekerti yang baik,” kata Presiden seperti dilaporkan
Kantor Berita Antara, (8/1).

Saat ini, jelas Jokowi, banyak berita bohong dan kabar fitnah yang tersebar melalui
media sosial secara tidak bertanggung jawab.

Menurut Kepala Negara, para santri mempunyai peran serta potensi menyebarkan
nilai-nilai kebaikan yang diajarkan oleh pondok pesantren kepada masyarakat.

“Ini perlu ditularkan ke luar agar kesantunan, kesopanan, budi pekerti yang baik itu
sesuai ajaran Nabi, akhlak yang baik, akhlakul karimah itu betul-betul bisa kita
punyai dari generasi-generasi Indonesia yang akan datang,” tegas Jokowi.

https://islamindonesia.id 320
Presiden menambahkan, “Saya sangat menghargai apa yang sudah diberikan oleh
Romo Kyai kepada para santri yang nantinya akan memberikan generasi-generasi
yang akan datang yang tidak hanya pandai mengaji, tetapi juga pintar di dalam
berteknologi.”

Selain presiden, sejumlah pejabat negara turut hadir, diantaranya; Menteri


Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Basoeki Hadimoeljono dan Menteri
Kesehatan Kesehatan Nila Moeloek, Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo,
Kapolri Jenderal Tito Karnavian, Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo, Kapolda
Irjen Condro Kirino.[]

YS/ islam indonesia. foto: facebook.com/habibluthfi


(Sumber: https://islamindonesia.id/berita/selain-presiden-maulid-nabi-di-pekalongan-dihadiri-warga-
dari-berbagai-agama.htm)

https://islamindonesia.id 321
Sunday, 08 January 2017

HADIRI MAULID NABI DI PEKALONGAN, PRESIDEN


DISAMBUT HANGAT HABIB LUTFI

islamindonesia.id – Hadiri Maulid Nabi di Pekalongan, Presiden Disambut Hangat


Habib Lutfi

Presiden Joko Widodo tiba di Kabupaten Pekalongan, Provinsi Jawa Tengah, ahad
untuk melakukan kunjungan kerja termasuk menghadiri Puncak Peringatan Maulid
Nabi Muhammad Saw 1438 H, (8/1). Dengan menggunakan sarung, jas dan peci,
Jokowi tiba di Stadion Widya Manggala Krida, pada pukul 10.20 WIB setelah
menumpang helikopter Super Puma TNI AU dari Bandara Ahmad Yani, Semarang.

Setibanya di tempat tujuan, Jokowi disambut hangat oleh Habib Lutfi bin Yahya dan
masyarakat sekitar. Di kediaman Habib Lutfi, presiden melaksanakan shalat dzuhur
sebelum menghadiri acara maulid.

https://islamindonesia.id 322
Presiden Joko Widodo dalam sambutannya mengajak sejumlah santri untuk
mensyiarkan perilaku akhlakul karimah dengan bersopan santun, berbudi pekerti
dalam keseharian serta menghindari kabar fitnah.

“Marilah kita ajak rekan-rekan kita yang ada di luar, yang sering menyampaikan hal
yang berkaitan fitnah, berita-berita yang bohong, ujaran kebencian, hasutan-
hasutan, untuk mengembangkan bersama-sama nilai-nilai kesantunan, nilai nilai
kesopanan, nilai-nilai budi pekerti yang baik,” kata Presiden, (8/1)

Saat ini, jelas Jokowi, banyak berita bohong dan kabar fitnah yang tersebar melalui
media sosial secara tidak bertanggung jawab.

Menurut Kepala Negara, para santri mempunyai peran serta potensi menyebarkan
nilai-nilai kebaikan yang diajarkan oleh pondok pesantren kepada masyarakat.

“Ini perlu ditularkan ke luar agar kesantunan, kesopanan, budi pekerti yang baik itu
sesuai ajaran Nabi, akhlak yang baik, akhlakul karimah itu betul-betul bisa kita
punyai dari generasi-generasi Indonesia yang akan datang,” tegas Jokowi.

Dalam kunjungannya ke Ponpes At Taufiqy, Presiden bersilaturahim dengan para


santri dan pimpinan pondok Ahmad Taufiqurrahman. Presiden juga mengapresiasi
kegiatan santri di ponpes yang mengaplikasikan pendidikan kejuruan atau vokasi
melalui pengolahan sampah menjadi pupuk kompos sehingga siswa mendapat
keahlian mandiri.

“Saya sangat menghargai apa yang sudah diberikan oleh Romo Kyai kepada para
santri yang nantinya akan memberikan generasi-generasi yang akan datang yang
tidak hanya pandai mengaji, tetapi juga pintar di dalam berteknologi,” ujar Presiden.

https://islamindonesia.id 323
Selain presiden, sejumlah pejabat negara turut hadir, diantaranya; Menteri
Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Basoeki Hadimoeljono dan Menteri
Kesehatan Kesehatan Nila Moeloek, Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo,
Kapolri Jenderal Tito Karnavian, Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo, Kapolda
Irjen Condro Kirino.[]

YS/islam indonesia/ sumber: Antara


(Sumber: https://islamindonesia.id/berita/hadiri-maulid-nabi-di-pekalongan-presiden-
disambut-hangat-habib-lutfi.htm)

https://islamindonesia.id 324
Friday, 03 February 2017

DI BAWAH KEKUASAAN TANPA KEMULIAAN,


BANGSA KITA SURPLUS KEHINAAN

islamindonesia.id – Di Bawah Kekuasaan Tanpa Kemuliaan, Bangsa Kita Surplus


Kehinaan

Banyak orang mencari kehormatan dalam gelar dan jabatan tanpa memenuhi nilai-
nilai prinsipil dan tanggung jawab dari kedudukannya.

“Aib terbesar,” kata Juvenalis, “ketika kamu lebih mementingkan penghidupan


ketimbang harga diri, sementara demi penghidupan itu sendiri engkau telah
kehilangan prinsip-prinsip kehidupan.”

Sutan Sjahrir, salah seorang negarawan-pemikir terbaik bangsa ini, sejak lama
merisaukan fenomena seperti itu.

https://islamindonesia.id 325
Dalam catatan harian dari balik penjara, dengan nama samaran Sjahrazad, yang
dibukukan dalam Renungan Indonesia, Bung Sjahrir menulis, “Bagi kebanyakan
orang-orang kita ‘yang bertitel’—saya pakai perkataan ini akan pengganti ‘intelektuil’,
sebab di Indonesia ini ukuran orang bukan terutama tingkat penghidupan intelek,
akan tetapi pendidikan sekolah—bagi ‘orang-orang yang bertitel’ itu pengertian ilmu
tetap hanya pakaian bagus belaka, bukan keuntungan batin. Bagi mereka ilmu itu
tetap hanya suatu barang yang mati, bukan hakekat yang hidup, berubah-ubah dan
senantiasa harus diberi makan dan dipelihara.”

Masalah kegilaan pada titel (gelar) tanpa kedalaman ilmu, yang dicatat Bung Sjahrir
pada 20 April 1934 itu, situasinya tidak tambah membaik, bahkan memburuk. Upaya
peningkatan sumber daya manusia hanya dilandaskan pada tingkat pendidikan
formal, bukan pada penyediaan ekosistem yang baik bagi pengembangan olah budi,
olah cipta, dan olah karsa (kreativitas). Perolehan ijazah lebih dikedepankan
daripada penguasaan ilmu. Guru-guru dipersyaratkan setidaknya menamatkan S-2,
tanpa dihiraukan peningkatan kapasitas pedagogisnya.

Seiring dengan itu, gelar-gelar akademis dikejar banyak orang sebagai pelengkap
jabatan. Makin banyak politisi mengambil studi pascasarjana, tetapi makin sedikit
yang menjalani sungguh-sungguh dengan motif pendalaman ilmu. Lebih parah lagi,
kecenderungan itu melanda dunia akademisi juga. Banyak dosen/peneliti memburu
gelar profesor tanpa merasa perlu mempertanggungjawabkan mutu keilmuannya
sebagai guru besar. Betapa banyak profesor tidak dikenal apa karyanya.

Kegilaan banyak orang juga berlangsung dalam perlombaan mengejar jabatan


kenegaraan. Ketika kekaguman pada “nama-nama besar” mulai pudar akibat
kemerosotan wibawa pusat-pusat teladan, banyak orang mengalihkan
kekagumannya pada diri sendiri (self-glorification). Hanya berbekal penampilan atau
berkantong tebal, seseorang sudah merasa pantas menduduki kedudukan
terhormat.

Berbagai cara dilakukan orang untuk meraih kedudukan. Namun, tatkala kedudukan
itu diraih, mereka tak sungguh-sungguh menyadari bahwa dirinya pejabat yang
harus melindungi kehormatannya. Menjadi pejabat negara semestinya
mensyaratkan kondisi kejiwaan berbeda dengan menjadi pengusaha. Di bisnis,
keberhasilan dilihat dari kesanggupan dalam mendatangkan keuntungan bersifat
pribadi. Dalam politik, keberhasilan diukur dari keberhasilan seseorang dalam
memberikan pelayanan publik.

Pencapaian jabatan politik lebih dari sekadar pencapaian karier pribadi, tetapi juga
mengemban pencapaian kepentingan kolektif di pundaknya. Dalam tindak

https://islamindonesia.id 326
tanduknya, pejabat negara harus mempertimbangkan marwah dan harga diri
bangsanya.

Perpaduan antara kegilaan atas gelar dan jabatan tanpa kedalaman ilmu, rasa malu,
dan kehormatan membuat negara ini mengalami defisit kemuliaan dan surplus
kehinaan. Perhatian negarawan mulia adalah apa yang dapat diberikan untuk
negara. Kebesaran jiwa mereka membuatnya tak mencari jabatan dan tak takut
kehilangan jabatan. Adapun perhatian politisi terhina adalah apa yang dapat diambil
dari negara. Kekerdilan jiwa membuat mereka berlomba mengejar jabatan dan
dengan segala cara manipulatif berusaha mempertahankannya.

Benar juga kata George Bernard Shaw, “Titel/jabatan memberi kehormatan kepada
orang-orang medioker, memberi rasa malu bagi orang-orang superior, dan
diperhinakan oleh orang-orang inferior.” Gemuruh para petaruh di bursa pencari
jabatan pertanda pos-pos kenegaraan diisi orang-orang medioker. Derasnya
umpatan, sinisme, dan ketidakpercayaan publik kepada lembaga-lembaga
kenegaraan menyiratkan bahwa pos-pos kenegaraan dipimpin orang-orang inferior.

Para pemimpin inferior yang menggantungkan pengaruhnya pada jabatan dan gelar
semata, bukan berlandaskan kewibawaan yang berjejak pada kapasitas, integritas,
dan pemenuhan amanah publik, tidaklah bisa berumah di hati rakyat. Pemimpin ada
kalau mereka hadir dalam alam kesadaran dan penderitaan rakyat.

Bung Karno mengatakan, “Mereka seharusnya belajar bahwa seorang tidak dapat
memimpin massa rakyat jika tidak masuk ke dalam lingkungan mereka…. Demi
tercapainya cita-cita kita, para pemimpin politik tidak boleh lupa bahwa mereka
berasal dari rakyat, bukan berada di atas rakyat.”

Secara retoris, Bung Karno juga mempertanyakan, “Berapa orangkah dari alam
pemimpin Indonesia sekarang ini yang masih benar-benar ’rakyati’ seperti dulu,
masih benar-benar ‘volks’ seperti dulu?”

EH / Islam Indonesia – Sumber: Kuasa Tanpa Mulia, Yudi Latif


(Sumber: https://islamindonesia.id/kolom/kolom-di-bawah-kekuasaan-tanpa-kemuliaan-bangsa-kita-
surplus-kehinaan.htm)

https://islamindonesia.id 327
Sunday, 29 January 2017
UMAT YANG (TIDAK) KONFRONTATIF
Oleh: Abdul Mu’ti, Sekretaris Umum PP Muhammadiyah; Dosen UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta

islamindonesia.id — KOLOM – Umat yang (Tidak) Konfrontatif

Dalam satu semester terakhir ruang publik dipenuhi berbagai isu dan aksi
konfrontatif yang melibatkan umat Islam. Isu reinkarnasi komunisme, ancaman
terorisme, kesenjangan sosial, dan kebinekaan menghadapkan umat head to
headdengan berbagai elemen bangsa. Energi dan sumber daya umat tersedot
dalam aksi-aksi reaktif, sporadis, simbolis, dan formalistis dalam menyikapi berbagai
isu. Konfrontasi seolah menjadi heroisme baru di bawah panglima aktor konfrontatif.
Kegaduhan demi kegaduhan terus terjadi.

Sebagian pihak menilai kegaduhan adalah hal yang wajar dan masih dalam batas
kewajaran. Kegaduhan (noisy) adalah bagian dari dinamika berekspresi dan salah
satu ciri demokrasi. Di pihak lain ada yang menilai kegaduhan itu sudah menjadi
polusi keagamaan yang mengganggu, menjemukan, dan memekakkan telinga.
Polusi keagamaan itu sudah mencemarkan umat dan mencemari Islam sebagai
agama yang damai, santun, dan berkeadaban.

Miskin Strategi

Kegaduhan dan konfrontasi disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama, ekspresi


akumulasi dan eskalasi kekecewaan terhadap pemerintah yang dinilai tidak aspiratif
terhadap umat Islam. Ada prasangka pemerintah lebih berpihak kepada kelompok

https://islamindonesia.id 328
minoritas yang semakin merajalela dan seakan memiliki kekebalan hukum. Suasana
psikologis sebagai pecundang membuat umat mudah meradang. Kedua, aparatur
keamanan yang represif.

Adrenalin umat memuncak tatkala aparatur keamanan mengedepankan pendekatan


penindakan. Kekerasan dan bentrokan tidak terhindarkan. Di lapangan berlaku
hukum aksi sama dengan reaksi: umat akan konfrontatif jika aparatur keamanan
represif. Ibarat pepatah Betawi: ente jual gue beli. Paradigma dan pendekatan yang
militeristik membuat umat terus terusik.

Ketiga, partai politik, khususnya partai berbasis massa muslim, kurang aspiratif.
Umat harus berjuang sendiri dengan turun ke jalan. Di tengah kecenderungan
populisme umat hanya dijadikan vehicle untuk mendulang suara dan simpati partai
politik. Keempat, umat diperalat oleh elite yang tarik-menarik jabatan politik. Umat
laksana bidak yang dikorbankan di percaturan politik kekuasaan. Para aktor tak
ubahnya wayang yang disetir para dalang. Jika hal ini benar, umat hanya akan
(kembali) menelan pil pahit: keluar mulut singa, masuk mulut buaya.

Umat diadu domba, dipecah belah dengan sesama muslim dan umat beragama lain.
Terakhir, umat tidak memiliki kekayaan strategi dakwah dan politik. Umat bergerak
dengan emosi tinggi, tetapi miskin strategi. Akibat itu, umat menjadi paranoid.
Mereka yang menempuh jalan perjuangan berbeda dan tidak mengikuti arus massa
dianggap berseberangan, berkhianat, penjilat, dan sebutan pejoratif lain.

Strategis dan Substantif

Umat perlu berjuang dengan lebih strategis dan substantif. Berbagai isu datang dan
pergi, silih berganti. Tidak semua isu harus ditanggapi. Ada isu yang asasi ada pula
yang alternasi. Diperlukan kecerdasan dan kearifan melihat setiap persoalan dengan
perspektif luas dan sikap yang luwes. Umat bergerak di jalan lempang dan lapang,
bukan ditarik ke lorong gang. Konfrontasi bukan tidak berarti. Aksi bisa membuat
“lawan” tidak bernyali. Ideologi dan panji-panji harus dibela, jika perlu, sampai mati.

Tetapi, umat harus semakin piawai membuat kalkulasi, menimbang maslahat dan
mudarat. Islam mengajarkan agar umat berbuat yang manfaat dan meninggalkan
yang mafsadat. Di dalam Alquran disebutkan alasan khamr diharamkan karena
dosanya lebih besar dari faedahnya. Tampaknya, dakwah megaphone dengan
retorika lantang perlu ditinjau ulang. Selain menimbulkan kegaduhan, bisa juga
pertanda “air beriak tanda tak dalam”.

https://islamindonesia.id 329
Masyarakat merindukan dakwah yang teduh, tidak gaduh. Dalam benak mereka
mengemuka pertanyaan bagaimana para ustaz yang selama ini identik dengan
dakwah sufistik, bahkan altruistik, berubah garang. Diperlukan komunikasi yang
lebih intensif dan saling memahami di antara pemimpin umat. Gerakan longitudinal
di bidang pendidikan, ekonomi, politik, dan kebudayaan harus tetap diprioritaskan.

Stamina umat harus tetap prima untuk lari maraton mengejar ketertinggalan dan
keterbelakangan dengan koordinasi dan kerja sama yang terjalin kuat. Umat tidak
boleh setengah hati berjuang di kursi parlemen dan meja birokrasi. Substansialisasi
nilai-nilai dan ajaran Islam dalam konstitusi sangat penting untuk memastikan
Indonesia tidak menyimpang dari tuntutan Ilahi.

Umat mendambakan tampilnya birokrat yang merakyat, bersih dari korupsi, dan
berbudi mulia. Umat Islam adalah komponen terbesar bangsa Indonesia. Wajah
umat, wajah bangsa. []

YS/ islamindonesia. sumber: Koran Sindo


(Sumber: https://islamindonesia.id/kolom/kolom-umat-yang-tidak-konfrontatif.htm)

https://islamindonesia.id 330
Sunday, 01 January 2017

HARAP MUSLIMIN LEBIH PRODUKTIF DI 2017,


MUHAMMADIYAH: APA ARTINYA MOBILISASI MASSA
TANPA KUALITAS

islamindonesia.id – Harap Muslimin Lebih Produktif di 2017, Muhammadiyah: Apa


Artinya Mobilisasi Massa Tanpa Kualitas

Menjelang berakhirnya tahun 2016, Pengurus Pusat (PP) Muhammadiyah meminta


umat Islam memaknai momen tahun baru sebagai ajang untuk lebih maju dalam
hidup termasuk di sektor ekonomi dan pendidikan.

“Umat Islam Indonesia sebagai mayoritas harus menjadikan tahun baru untuk maju
dalam kehidupan, termasuk dalam ekonomi dan pendidikan. Dua aspek tersebut
sangat penting dan strategis bagi kemajuan Islam untuk tumbuh menjadi kekuatan
yang berkualitas,” kata Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir dalam
keterangan tertulis, Sabtu (31/12/2016).

“Hidup yang memiliki arti positif bagi diri, keluarga, masyarakat, bangsa, umat
manusia serta lingkungan dengan melahirkan pikiran-pikiran dan amal-amal yang
maslahat dan berkemajuan,” lanjutnya.

https://islamindonesia.id 331
Haedar mengatakan, tentu tak dilarang untuk bersuka cita merayakan pergantian
tahun. Namun, sebaiknya dilakukan dengan tak berlebihan.

“Hal yang dilarang ialah sesuatu yang berlebihan, boros, sia-sia, dan larut dalam
kegembiraan yang menjauhkan diri dari Tuhan,” ujar Haedar.

Haedar juga meminta umat Islam untuk menjadikan 2017 sebagai tonggak
merancang dan menjalani masa depan yang lebih produktif dan konstruktif.

“Apalah artinya jumlah yang banyak maupun kebiasaan mobilisasi massa untuk
unjuk kekuatan manakala tidak disertai dengan kekuatan kualitas di bidang ekonomi
dan pendidikan. Bangsa maju dan modern itu tingkat ekonomi dan pendidikannya
tinggi,” tutur Haedar.

Menurut Haedar, selama ini umat Islam banyak yang terpinggirkan terutama karena
Muslim sendiri belum mampu menjadi umat yang unggul dan mandiri.

“Kita lemah secara ekonomi dan pendidikan, sehingga kalah bersaing dengan
golongan lain yang minoritas. Jika ingin kuat secara politik juga harus didukung
dengan kekuatan ekonomi dan pendidikan,” urai Nasir.

“Alhamdulillah Muhammadiyah relatif lebih maju dalam pendidikan, kini diperlukan


kekuatan baru di bidang ekonomi. Aspek pendidikan pun harus terus ditingkatkan
kualitasnya agar lebih unggul dan kompetitif. Maka, jangan berhenti beramal usaha
yang produktif guna meraih kemajuan,” katanya.[]

YS/ islam indonesia/ sumber: detik.com


(Sumber: https://islamindonesia.id/berita/harap-muslimin-lebih-produktif-di-2017-
muhammadiyah-apa-artinya-mobilisasi-massa-tanpa-kualitas.htm)

https://islamindonesia.id 332
Wednesday, 25 January 2017

FENOMENA MEDIA SOSIAL DAN SIKAP AL-QUR’AN


Oleh: Umar Al Habsyi

Islamindonesia.id – KOLOM – Fenomena Media Sosial dan Sikap Al-Qur’an

Aku berbagi maka aku ada (I share, therefore I am). Pernyataan itu sebenarnya
merupakan plesetan dari pernyataan terkenal filusuf Descartes yang berbunyi: “Aku
berfikir, maka aku ada”.

Pernyataan ini digunakan oleh Sherly Turkle, ahli Psikologi dan peneliti Internet,
untuk menyebutkan kondisi orang pada zaman maraknya Media Sosial seperti
belakangan ini. Banyak orang menulis status atau menyebar berita hanya sekedar
untuk meneguhkan eksistensi dan identitas mereka saja. Bahkan seringkali tanpa
terlalu peduli apakah yang disampaikannya itu adalah hoax atau rumor.
Suller, ahli Psikologi Internet yang lain, mengungkapkan bagaimana ketika
sedang online, orang bisa mengatakan atau melakukan tindakan yang mungkin tidak
akan mereka lakukan dalam komunikasi tatap muka. Alasannya, mereka lebih
bebas, merasa tidak terkekang, dan dapat mengekspresikan diri lebih terbuka.
Fenomena ini, dia sebut dengan online disinhibition effect. Karena efek ini, orang
bisa menjadi lebih mudah menunjukkan simpati dan murah hati yang dalam dunia
nyata sulit mereka ungkapkan. Dan sebaliknya, kita juga sering melihat
digunakannya secara terbuka kata-kata kasar, kemarahan, kebencian, bahkan
ancaman yang sulit mereka keluarkan di dunia nyata.

https://islamindonesia.id 333
Karakter seseorang menjadi seperti berbeda sama sekali dengan di dunia
nyatanya. Media sosial memungkinkan orang-orang yang tadinya tidak memiliki
hubungan apa-apa menjadi tergabung dalam jaringan orang-orang yang berfikiran
sama.

Sebuah kajian menunjukkan semakin intensif orang berhubungan dengan kelompok


orang yang memiliki pikiran yang sama, pandangan yang sebelumnya dipegang pun
akan menjadi semakin ekstrem. Maka terciptalah apa yang disebut dengan ruang
gema (echo chamber), yaitu ketika orang hanya berkomunikasi dengan dengan
orang-orang lain yang sudah sepikiran sehingga memperkuat dan memperteguh
pikiran-pikiran tersebut.

Seperti halnya gema, pikiran-pikiran tersebut tersebar berulang-ulang dalam


pelbagai variasi dalam sistem “yang tertutup”. Dalam kondisi seperti ini, informasi
yang salah, hoax, dan rumor akhirnya akan dianggap sebagai kebenaran.
Para psikolog juga mengenal fenomena yang disebut dengan bias konfirmasi, yaitu
kecenderungan orang untuk mencari, menafsirkan, dan mengingat informasi,
mengkonfirmasi, atau meneguhkan pandangan yang dimiliki sebelumnya. Hoax atau
rumor segera dianggap sebagai kebenaran jika sesuai dengan pandangan
sebelumnya. Fenomena ini sangat kentara dalam persoalan yang bermuatan emosi,
misalnya soal politik dan, tentu saja, agama.

Lebih jauh lagi orang juga akan cenderung untuk dengan serta-merta membagi
(share) atau menyiarkan (broadcast) informasi yang diterimanya tersebut. Akibatnya
informasi yang belum tentu benar tersebut menjadi tersebar dengan cepat ke
berbagai penjuru dunia melalui berbagai saluran media sosial.

Apalagi sejumlah studi menyebutkan bahwa postingan yang vulgar, marah, agresif,
sensasional, atau bias akan mendapatkan perhatian lebih banyak di dunia Internet
yang banjir informasi ini. Sehingga karenanya informasi seperti itu akan menyebar
lebih cepat.

Percakapan hal-hal emosional di media sosial bisa cepat meluncur menjadi


pertarungan kerumunan yang marah satu sama lain. Akibatnya bisa teramat sangat
fatal yang menimbulkan korban yang sangat besar baik berupa harta, jiwa, hingga
masa depan sebuah masyarakat dan negara. Seperti kita lihat yang terjadi di Mesir,
Suriah, Amerika Serikat, dan berbagai penjuru dunia yang lain.

Al-Qur’an sangat menaruh perhatian besar pada penyebaran berita/informasi yang


bohong, fitnah, dan negatif dari seseorang (kelompok) mengenai seseorang
(kelompok) yang lain.

https://islamindonesia.id 334
“Sesungguhnya orang-orang yang ingin agar perbuatan yang sangat keji itu (berita
bohong) tersiar di kalangan orang-orang yang beriman, mereka mendapat azab
yang pedih di dunia dan di akhirat. Dan Allah Mengetahui, sedang kamu tidak
mengetahui.” (QS.an-Nur:19)

Ayat ini adalah ancaman bagi orang-orang yang hobi dan senang menyebar aib
orang lain (baik itu benar, apalagi kalau itu bohong/fitnah). Dan ancaman Allah
dalam ayat ini sangatlah tegas, “mereka mendapat azab yang pedih di dunia dan di
akhirat.”

Ancaman dalam ayat ini adalah siksaan di dunia dan akhirat. Jangan-jangan semua
kesengsaraan yang menimpa kita di dunia ini diakibatkan karena kita senang
menyebarkan aib dan kesalahan orang lain.

Sementara kita tidak sadar bahwa perbuatan itu adalah sesuatu yang besar. Allah
berfirman, “(Ingatlah) ketika kamu menerima (berita bohong) itu dari mulut ke mulut
dan kamu katakan dengan mulutmu apa yang tidak kamu ketahui sedikit pun, dan
kamu menganggapnya remeh, padahal dalam pandangan Allah itu soal besar.”
(QS.an-Nur:15)

Kita menganggapnya hal remeh padahal di sisi Allah sangatlah besar. Karena itulah
Allah mengakhiri ayat ini dengan firman-Nya, “Allah Mengetahui, sedang kamu tidak
mengetahui.”

Mungkin kita tidak tahu bahwa berbagai siksaan dan kesengsaraan hidup ini
bermula dari kebiasaan kita yang sering mengumbar aib dan keburukan orang lain.

Semoga lisan dan jari-jari (di era media sosial ini, jari-jari kita menggantikan peran
lisan kita untuk dengan cepat dapat menyebarkan berbagai berita dan informasi) kita
terjaga dari kebiasaan untuk menyebarkan informasi yang negatif dan tidak kita
ketahui dengan jelas kebenarannya, karena sungguh siksaan Allah menanti orang-
orang yang seperti ini. Siksaan yang amat pedih di dunia maupun di akhirat
kelak. Na’udzu biLlahi min dzaalik. [Al-Abror/Januari-2017].

YS/ islam indonesia


(Sumber: https://islamindonesia.id/kolom/kolom-fenomena-media-sosial-dan-sikap-al-quran.htm)

https://islamindonesia.id 335
Sunday, 15 January 2017

MENGAPA HOAX DIGEMARI? PROF. KOMAR: MUNGKIN


PERTANDA MALAS BERPIKIR, BACA BUKU, CEMBURU
PADA YANG SUKSES

islamindonesia.id – Mengapa Hoax Digemari? Prof. Komar: Mungkin Pertanda


Malas Berpikir, Baca Buku, Cemburu Pada yang Sukses

Menurut Prof. Komaruddin Hidayat, pada awalnya, hoax adalah penyebaran berita
bohong yang dilakukan dengan sengaja karena motif kebencian. Akibat lebih jauh
yang diharapkan, bisa saja untuk mempermalukan atau pembunuhan karakter
seseorang di depan publik.

“Hoax ini begitu cepat tersebar dengan munculnya media sosial (medsos) dan sikap
masyarakat yang tidak kritis atau memang senang dengan berita sensasi, lalu
dengan mudah meneruskan (forward) lewat Facebook, Twitter atau WhatsApp tanpa
berpikir panjang dan rasa empati, bagaimana andaikan hoax itu tertuju pada dirinya
atau keluarganya,” kata guru besar di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini.

Fenomena hoax ini yang tampaknya semakin akut menghinggapi masyarakat


Indonesia, bagaikan penyebaran pornografi atau narkoba. Orang
menjadi addicted atau kecanduan mengonsumsi dan melakukan sesuatu yang
dirasakan mengasyikkan, namun merusak diri dan masyarakat.

“Siklus penyebaran virus hoax ini terjadi biasanya setiap menjelang pemilu dan
pilkada. Diluar itu, juga sering kita dengar terjadi di lingkaran dunia bisnis dan
selebriti akibat persaingan yang tidak sehat,” katanya.

Jebolan Ponpes Pabelan Magelang ini menyebut, mereka yang menyebarkan


kebohongan, – antara lain dengan memutarbalikkan fakta -, karena motif cemburu
dan kebencian. Namun yang menonjol dalam persaingan politik untuk

https://islamindonesia.id 336
memperebutkan jabatan kekuasaan, sejak dari jabatan presiden, gubernur, bupati,
atau wali kota.

“Akibat hoax, masyarakat bisa terbelah saling curiga dan mencaci yang lain gara-
gara berbeda pilihan politiknya,” katanya.

Suasana batin masyarakat semakin panas ketika penyebaran hoax dibumbui atau
sengaja dikemas dengan melibatkan emosi dan simbol keagamaan, termasuk ayat-
ayat kitab suci. Padahal sangat mungkin itu sengaja dibuat oleh buzzers yang
motifnya hanya cari uang.

“Mereka tega mengadu domba dan membodohi masyarakat, bukannya mendidik


dan mencerdaskan masyarakat,” katanya.

Masyarakat Indonesia, lanjut Komaruddin, mesti membela dan menjunjung tinggi


martabat agama dengan cara yang juga bermartabat. Kita wajib memuliakan ajaran
agama dengan cara yang mulia dan terhormat.

Melihat perkembangan hoax yang sudah memprihatinkan, Minggu, 8 Januari 2017


lalu, di tujuh kota Indonesia secara serentak dilakukan deklarasi masyarakat
antihoax. “Saya ikut hadir dan mendukung gerakan ini bersama Menteri Kominfo
Rudiantara dan para relawan aktivis sosial,” katanya.

Deklarasi ini atas inisiatif masyarakat, dan selanjutnya perlu agenda atau program
yang jelas serta terencana dengan melibatkan berbagai pihak, seperti pemerintah,
pendidik, serta pemilik media massa.

“Bahkan para penceramah agama perlu diajak, karena mereka yang kesehariannya
aktif melakukan pendidikan publik (public education) lewat forum ceramah
keagamaan.”

Bagi para ustad sangat mudah menemukan dalil-dalil ayat Alquran maupun Hadis
bahwa menyebarkan hoax sangat tercela. Diriwayatkan oleh Bukhari-Muslim,
Rasulullah bersabda, tak akan masuk surga orang yang suka menyebarkan berita
bohong untuk mengadu domba.

“Laa yadkhulul jannata nammamun….”

Dalam Alquran (49:12) Allah membuat perumpamaan, orang yang suka bergunjing
dan mengungkit-ungkit kesalahan orang dari belakang itu ibarat makan bangkai

https://islamindonesia.id 337
saudaranya sendiri. Sungguh keras dan menjijikkan contoh yang dikemukakan
Alquran.

“Dikatakan bangkai karena yang digunjingkan tidak tahu dan tidak berdaya untuk
melawannya,” katanya.

Mengapa hoax begitu digemari? Menurut Komaruddin, “Mungkin ini juga pertanda
masyarakat yang sakit, malas berpikir, malas membaca buku, senang ngobrol, dan
cemburu pada orang yang sukses.”

Mereka yang menulis di medsos gaya bertuturnya umumnya bahasa lisan. Bahasa
obrolan. Atau sekadar meneruskan (forwarding) dan copy paste.

Mereka mungkin sadar atau mungkin tidak sadar, bahwa yang di-copy dan
diteruskan itu berita sampah yang beracun. Lebih bahaya lagi jika dibungkus dengan
istilah-istilah agama, seakan menyebarkannya dianggap sebagai ibadah. Sebagai
amal saleh.

“Sungguh ini merupakan kekonyolan yang berbisa.”

Rasulullah mengingatkan, salah satu ciri orang munafik yang dibenci Allah adalah
jika berbicara berdusta. Dusta dan hoax itu memanipulasi kebenaran, yang benar
dipelintir agar terlihat salah, yang salah dipelintir agar terlihat benar.

“Jika dibiarkan maka semakin merosot standar moral masyarakat kita yang ujungnya
akan menghancurkan bangunan kehidupan itu sendiri,” katanya.[]]

YS/ islam indonesia/ sumber: koran sindo


(Sumber: https://islamindonesia.id/berita/mengapa-hoax-digemari-prof-komar-mungkin-pertanda-
malas-berpikir-baca-buku-cemburu-pada-yang-sukses.htm)

https://islamindonesia.id 338
Tuesday, 24 January 2017

KIDUNG WINGIT
Oleh: Kurnia JR*

islamindonesia.id — KOLOM – Kidung Wingit

Beberapa tahun yang lalu, orang masih melihat Mbah Sup di dusun yang senantiasa
diselimuti hawa dingin karena nemplok di punggung pegunungan itu. Kebiasaan
beliau duduk di langgar tak pernah dia tinggalkan.

Mbah Sup bukan tokoh masyarakat setempat atau guru agama. Ia hanya lelaki tua
peramah yang sesekali rajin menanam tomat dan cabai di pekarangan gubuknya.
Satu hal yang pernah dia sesali di langgar desanya ialah lantainya yang kini keramik
putih. ”Jadi silau, terlalu terang. Hilang ademnya,” ujarnya.

https://islamindonesia.id 339
Dulu, katanya, ubinnya berwarna kelabu, licin karena dilap setiap hari dan sekian
tahun digosok sarung jemaah shalat dan anak-anak mengaji. Dindingnya papan jati
dengan kaso-kaso yang klasik. Separuh dinding kayu dan kaso jati masih
dipertahankan, tetapi separuh sudah ditembok berlapis keramik.

Ketika saya datang, dia sedang duduk di teras masjid, bersandar pada tiang, tampak
terkantuk- kantuk, tetapi bibirnya komatkamit menembang lamat-lamat, seperti
merintih, sangat pelan, ”Lii khomsatun uthfi bihaa harral waba’il hatimah.” Aku
memiliki lima pegangan yang dengan pusaka itu kupadamkan api yang
meluluhlantakkan.

Shalawat itu pada dekade 1950-an dan 60-an biasa dilantunkan di masjid-masjid di
Jawa sembari menunggu shalat berjemaah lima kali sehari. Bahkan, kidung ini
diyakini bisa mengusir wabah penyakit. Isinya tentang kecintaan kepada Nabi
Muhammad SAW beserta keluarganya. Kidung yang tipikal lirik dan nadanya seperti
”Cublak-cublak Suweng” gubahan Sunan Giri atau ”Lir-Ilir” karya Sunan Kalijaga.
Tembang shalawat ini sendiri belum dipastikan gubahan siapa dari lembaga Wali
Sanga itu.

Sebagai sarana untuk menyentuh hati orang banyak dalam rangka penyebaran
agama Islam dan penanaman budi pekerti luhur yang dilakukan Wali Sanga, kidung
ini berpola sederhana. Yang dipentingkan ialah kandungan pesannya berkenaan
dengan akhlak agar setiap pribadi Muslim menjadikan cinta kepada Kanjeng Nabi
dan keluarganya sebagai energi iman sehingga setia meneladani akhlak mereka
dalam setiap langkah kehidupan.

”Aji-aji limo wujud manungso/linuwih ilmu sumber tulodo/ tindak lakune adoh ing
olo/manah niate tansah waskito.

Mbah Sup pernah bercerita bahwa pada masa mudanya tembang ini tidak pernah
lepas dalam kesehariannya. Islam bagi dia adalah hidup itu sendiri. Islam bukan teks
Al Quran sebagai kitab semata, melainkan tuntunan praktis dengan kehadiran
pribadi Rasul dan segenap keluarga Beliau sebagai teladan. ”Kanjeng Muhammad
Rosulillah/Sayyidatunisa Siti Fatimah/Sayyidina Ali Karomallohu Wajhah/Putro
kekalih Hasan lan Husein”.

Kidung ini mengajak kaum santri menelaah sejarah, khususnya riwayat kehidupan
junjungan mereka, karena pendidikan setiap pribadi dimulai dari lingkungan
keluarga. Bagaimana Rasul memberi teladan akhlak bersama lingkungan
terdekatnya sebagai pedoman hidup mukmin yang selaras dengan Al Quran.

https://islamindonesia.id 340
Bahkan, santri didorong mengenali ajaran yang dijabarkan para ulama seperti Imam
Syafii sebagaimana termaktub di dalam bait pamungkas: ”Mboten bakal ketrimo
sholate/yen mboten maos shalawate/Imam Syafii ngendikaake/niki bukti agunge
drajate”.

Betapa tenteram orang Jawa dahulu kala dalam asuhan para kekasih Allah yang
welas asih. Mereka dibimbing dengan keteladanan dan rasa seni yang sederhana,
tetapi sarat nilai luhur. Warisan para aulia diterapkan dalam pendidikan pesantren
oleh para ulama sejati yang ketat menjaga adab dakwah dalam disiplin Rasul.

Para ulama di berbagai pesantren Jawa-Madura tak mengajarkan Islam berkonteks


kekuasaan yang hanya mengukir perebutan takhta serta jatuh bangun dinasti demi
dinasti dan khilafah dari jazirah ke jazirah, tetapi bagaimana berakhlak dengan
akhlak Nabi. Bahkan, eksekusi terhadap Syeh Siti Jenar akibat penyimpangan
metode dalam pengajaran di dalam hikayat Wali Sanga tidak dilanjutkan dengan
persekusi terhadap murid-muridnya yang tidak berdosa.

Dengan tembang ”Lir-Ilir”, ”Cublak-cublak Suweng”, dan ”Lii Khomsatun” yang nada
dan liriknya sederhana, para aulia menuntun umat ibarat mengasuh anak-anak
memasuki kematangan jiwa rohani tanpa cekokan fikih yang keras. Apalagi
menanamkan bibit pertengkaran tentang siapa yang paling benar dalam beragama.
Hanya diajarkan untuk jadi yang paling penyayang pada sesama. Dalil-dalil hukum
yang mendalam dikhususkan bagi santri yang dahaga ilmu dan bertekad jadi
penerus para guru hingga Islam kini jadi agama terbesar di Nusantara.

Sayang sekali tembang shalawat ”Lii Khomsatun” yang syahdu mendayu-dayu


menyentuh lubuk hati tak lagi dilantunkan di langgar, mushala, atau masjid di
seantero Jawa. Sayang, sungguh, Mbah Sup pun telah tiada. Hanya kuburnya
membisu di tanah pemakaman desa yang lengang dalam pelukan hawa dingin.
Gema suara lirih beliau saat menembang tak lagi tersisa.[]

*Sastrawan

YS/ Islamindonesia/ Sumber: Harian Kompas/Ilustrasi gambar: umdah.co


(Sumber: https://islamindonesia.id/kolom/kolom-kidung-wingit.htm)

https://islamindonesia.id 341
Sunday, 31 July 2016

BENARKAH SEMAR TAJALLI JAWA DARI NUR


MUHAMMAD?

IslamIndonesia.id—Benarkah Semar Tajalli Jawa dari Nur Muhammad?

https://islamindonesia.id 342
Semar merupakan pendakwah jalan kebaikan dan kebenaran sebagaimana yang
tersebut dalam tembang Lir-ilir. Dalam Riwayat Sunan Kalijaga, tembang ini konon
diciptakan oleh Sunan Ampel atau Raden Rahmat. Di dalam tembang ini terdapat
makna religius yang disampaikan lewat syair-syairnya.

“Lir-ilir, lir-ilir, tandure wis sumilir, tak ijo royo-royo, tak sengguh penganten anyar.
Cah angon, cah angon, penekno blimbing kuwi, lunyu-lunyu penekno, kanggo
mbasuh dodot iro. Dodot iro, dodot iro, kumitir bedah ing pinggir, dondomana
jlumatana, kanggo seba mengko sore. Mumpung jembar kalangane, mumpung
padhang rembulane, yo surako, surak hayo.”

Makna yang tersirat dalam syair-syair tembang Lir-ilir di atas adalah ajakan untuk
menjalankan rukun Islam dan berbuat kebajikan. Artinya, terdapat nasihat untuk
menjadi Muslim yang baik.

Pada bait pertama, syair Lir-ilir diulang-ulang agar orang-orang yang belum masuk
Islam terbangun dan tersadar menuju pemikiran yang lebih segar. Benih-benih iman
yang yang sudah tumbuh diharapkan dapat dirawat dengan baik. Oleh karena itu,
hendaknya seorang Muslim mempunyai perilaku mulia atau laku utomo seperti
sopan santun, suka menolong, dan menyenangkan hati orang lain.

Pada bait kedua, mengandung makna bahwa seorang Muslim hendaknya memiliki
jiwa yang kuat, pemberani, tanpa kenal lelah, dan tak mudah putus asa, sehingga
akan membentuk pribadi yang sabar dan pantang menyerah dalam menggapai cita-
cita mulia. Seorang Muslim sejati harus mampu melaksanakan segala apa yang
diperintahkan dan menjauhi segala apa yang dilarang oleh agama. Tujuannya agar
menjadi manusia yang berbudi, berakhlak mulia, disayang orang banyak, dan suka
menolong tanpa pamrih.

Syair dalam bait ketiga mengajarkan agar setiap Muslim melakukan taubat yang
sesungguhnya (taubatan nasuha). Artinya, bersedia memperbaiki kesalahannya dan
berjanji tidak akan mengulanginya lagi. Perbuatan yang sudah diperbaiki tujuannya
sebagai bekal di kehidupan akhirat nanti, karena kehidupan di dunia hanyalah
sementara. Maka diperlukanlah shalat, zakat, puasa, haji, sedekah, dan lain
sebagainya sebagai bekal bagi mereka untuk kehidupan di akhirat.
Terakhir, Lir-ilir ditutup dengan ajakan untuk segera memperbaiki diri, segeralah
berbuat kebaikan dan melaksanakan kewajiban yang telah diperintahkan. Waktu
yang ada jangan disia-siakan tanpa guna dan berlalu begitu saja tanpa hasil.

Kenapa demikian? Karena segala kewajiban yang dilaksanakan dengan baik dan
sempurna akan mendapatkan balasan yang baik pula di kehidupan akhirat nanti.

https://islamindonesia.id 343
Oleh karena itu, berbahagialah orang-orang yang mampu melaksanakan segala
kewajiban dengan baik.

Intinya, tembang Lir-ilir dapat menjadi pedoman bagi setiap Muslim untuk mencapai
kehidupan yang lebih baik.

Jelaslah sudah bahwa tokoh Semar yang digagas oleh Wali Sanga, dengan
perwatakan sebagaimana tergambarkan dalam tembang Lir-ilir, mempunyai misi
untuk menyampaikan dakwah tentang ajaran agama Islam.
Akhirnya, apabila seseorang dapat meresapi perwatakan dari Semar sebagai sosok
Muslim, maka dia akan mengatakan bahwa Semar dapat merepresentasikan
karakter kepribadian Muslim ideal, yang merupakan tajalli atau pengejawantahan
Nur Muhammad dalam versi Jawa.
Benarkah demikian? Wallahu ‘a’lam..

EH/IslamIndonesia
(Sumber: https://islamindonesia.id/budaya/khas-benarkah-semar-tajalli-jawa-dari-nur-
muhammad.htm)

https://islamindonesia.id 344
Friday, 05 August 2016

GUNDUL-GUNDUL PACUL, RAMALAN WALI SONGO


DAN FENOMENA WAHABI (BAGIAN PERTAMA)

IslamIndonesia.id—Gundul-Gundul Pacul, Ramalan Wali Songo dan Fenomena


Wahabi (Bagian Pertama)

Gundul-gundul Pacul cul


Gembelengan
Nyunggi-nyunggi wakul kul,
Petentengan
Wakul nggelimpang segane dadi sak latar
Wakul nggelimpang segane dadi sak latar

Siapa tak kenal syair lagu di atas? Di kalangan masyarakat Jawa, lagu ini begitu
populer. Tak hanya anak-anak yang menggemarinya, karena lagu itu memang
tergolong tembang dolanan, kaum dewasa pun tak jarang juga suka sekali
melantunkannya di waktu-waktu senggang keseharian.

Banyak faktor yang menyebabkan lagu ini demikian dikenal dan hingga kini tetap
lestari. Selain karena syairnya yang singkat dan mudah dihafal, irama lagunya pun
terasa ringan dan riang. Sangat cocok dinyanyikan sebagai senandung penghilang
gundah di tengah padatnya kesibukan.

https://islamindonesia.id 345
Tapi siapa sangka bahwa di balik tembang dolanan hasil karya para Wali di era Wali
Songo ini, terkandung makna religius yang sangat mendalam?

Siapa mengira bahwa dalam lagu berirama ringan dan riang itu justru terkandung
sindiran tajam tingkat tinggi—yang dalam istilah Jawa biasa disebut Oslop—
terhadap suatu kaum atau sekelompok penganut agama yang karena lemahnya
pemahaman mereka tentang agama, membuat kelompok ini menjadi arogan, mudah
merendahkan sesamanya dan kelompok lain?

Inilah sejenis pengeling-eling atau tetenger, sekaligus sindiran pedas yang secara
khusus diperuntukkan bagi orang-orang yang mengaku berilmu, yang disebabkan
oleh belum cukup tingginya ilmu mereka, membuat mereka sombong dan cenderung
gampang merendahkan pihak lain.

Betapa banyak di tengah kita, sebagian kalangan yang sedang dalam taraf belajar
dan masih sedikit ilmunya, malah punya kebiasaan dan kecenderungan banyak
bicara? Hal ini mungkin disebabkan oleh kekaguman atas ilmu baru yang belum
lama mereka dapatkan dan sedang mereka pelajari, sehingga kebanyakan dari
mereka dihinggapi rasa ingin bersegera memamerkan atau memperlihatkan kepada
orang lain tentang ilmu tersebut. Padahal tanpa mereka sadari, apa yang hendak
mereka sampaikan itu sesungguhnya merupakan hal yang teramat sangat biasa
bagi kalangan yang sudah berilmu.

Akibat lupa diri, orang-orang semacam inipun seolah tanpa malu kerap
menyombongkan diri. Banyak dari mereka yang gemar menyalahkan orang lain,
merendahkan ilmu dan menyepelekan ibadah orang lain karena merasa dirinyalah
yang paling tahu, paling paham dan karenanya juga merasa paling benar. Merasa
ilmu yang dimilikinya sebagai ilmu tertinggi dan seolah tak ada lagi ilmu lain lagi
yang mesti dipelajari. Seolah semua yang dipahaminya soal agama
sudah pungkasane kaweruh, puncaknya ilmu, hanya karena anggapan dan klaim
sepihak bahwa itu sudah berdasarkan Al-Qur’an dan Sunnah, maka mustahil akan
ada yang mampu membantah.

Subhanallah, bukankah sesuatu yang luar biasa bahwa ternyata sudah sejak jauh
hari para Wali mengingatkan kita agar berwaspada terhadap kemunculan
sekelompok orang yang maunya benar dan menang sendiri, tak ubahnya tabiat
kaum Wahabi di tengah kita saat ini?

Pertanyaannya: jika benar demikian, kenapa tembang yang menyimpan makna


religius nan agung itu justru dikemas oleh para wali pada masa itu sebagai tembang
dolanan anak-anak?

https://islamindonesia.id 346
Kenapa tak sebaliknya, lagu yang berisi pesan serius itu dijadikan tembang serius
pula bagi kalangan dewasa? Bukankah para Wali juga banyak melahirkan karya-
karya lain seperti Maskumambang, Dandang Gulo, Sinom, Pangkur, atau beragam
Syi’ir yang di dalamnya memuat pesan moral yang lebih mudah dimengerti oleh
orang dewasa?

Jika kita pikirkan lebih mendalam, justru itulah keunikannya. Betapa para Wali
sangat cerdas dalam memperhitungkan strategi dakwah mereka agar lebih terasa
dampak dan kesinambungan dakwah tersebut bagi kalangan masyarakat luas,
bahkan dalam rentang waktu lintas zaman.

Terbukti, dengan menjadikan lagu Gundul-Gundul Pacul ini sebagai


sebuah tembang dolanan anak-anak, ia pun menjadi lebih terjaga dan lestari, jauh
lebih melegenda, lebih kontemporer, dan tak lekang dimakan zaman. Sementara kita
tahu, faktanya banyak sekali jenis lagu orang dewasa yang seringkali tak mampu
bertahan meski hanya dalam hitungan bulan dan tahun.

Kembali ke makna tersirat di balik tembang Gundul-Gundul Pacul, berikut ini


penjelasannya berdasarkan arti kata per kata:

Gundul: kepala/otak
Pacul: cangkul, menggambarkan kaum petani/kaum awam /bukan cendekia
Gembelengan: berjalan dengan kepala digerak-gerakkan pertanda angkuh
Nyunggi: sunggi, menaruh barang di atas kepala
Wakul: tempat (wadah) nasi yang terbuat dari anyaman bambu
Petentengan: berkacak pinggang pertanda sombong
Nggelimpang: jatuh/tumpah
Segane: sego(nasi)-nya
Dadi: jadi/menjadi
Sak: satu
Latar: halaman rumah

Itulah makna kata per kata dari keseluruhan syair lagu Gundul-Gundul Pacul.
Lalu seperti apa penjelasan lebih jauh berkenaan dengan makna lebih
mendalam tembang dolanan ini, berdasarkan kalimat per kalimat?

Dan apa pula hubungannya dengan ciri-ciri dan tabiat utama kaum Wahabi yang
digambarkan sangat identik dengan isi pesan tersirat dalam lagu tersebut?

EH/IslamIndonesia
(Sumber: https://islamindonesia.id/budaya/khas-gundul-gundul-pacul-ramalan-wali-songo-dan-fenomena-wahabi-bagian-pertama.htm)

https://islamindonesia.id 347
Saturday, 13 August 2016

SUBHANALLAH! INIKAH MAKNA SEJATI TEMBANG


SLUKU SLUKU BATHOK?

IslamIndonesia.id—Subhanallah! Inikah Makna Sejati Tembang Sluku Sluku


Bathok?

Dalam banyak tulisan terdahulu sudah kita ketahui bahwa dalam misi penyebaran
agama Islam di Nusantara, para Wali Songo pada zamannya telah dengan sangat
brilian menyampaikan pesan dan wejangannya melalui berbagai macam cara,
termasuk di antaranya melalui pagelaran wayang kulit, menggubah tembang-
tembang religius tingkat tinggi menjadi tembang dolanan dalam Bahasa Jawa dan
lain sebagainya.
Adapun salah satu hasil karya peninggalan para wali pada waktu itu dan yang
demikian populer di masyarakat Jawa hingga saat ini—selain lagu Lir-Ilir, di
antaranya adalah tembang Sluku Sluku Bathok. Yakni sebuah tembang yang konon
diciptakan oleh Sunan Giri (ada pula yang menyebutnya sebagai karya Sunan Kali
Jaga) dan ditulis sekira tahun 1400-an.
Tak ada yang tahu pasti, darimana sebenarnya inspirasi lagu Sluku-Sluku Bathok ini
berasal. Namun anehnya, sejarah justru mencatat bahwa pada tahun 1261H atau
sekitar tahun 1800-an, Sayyid Muhammad Haqqi Annazli ketika menulis
kitab Khazinatul Asrar, di dalamnya terdapat rangkaian kalimat yang dari segi bunyi,
dapat dikatakan sangat mirip bila disandingkan dengan syair tembang Jawa ini.
Adakah ini sebuah kebetulan atau justru antara keduanya saling terkait? Wallahu
‘a’lam..

https://islamindonesia.id 348
Yang jelas, kitab tersebut banyak menjelaskan tentang ilmu Haq fil Qalbi; yang di
antaranya berisi tentang makna Zikir, juga tentang Thariqah lengkap dengan sanad
mursyidnya. Sedangkan isi atau makna yang tersirat dalam lagu Sluku-Sluku
Bathok, tak jauh beda dari itu, juga mengungkap tentang cara atau jalan yang harus
ditempuh para pesuluk atau Pencari Tuhan, untuk mendapatkan ilmu sejati.
Untuk dapat melihat lebih jelas kemiripan bunyi antara kalimat-kalimat yang terdapat
dalam kitab Khazinatul Asrar dengan syair lagu Sluku-Sluku Bathok, berikut ini kami
sajikan untuk pembaca. Untuk memudahkan perbedaannya, kode SSB untuk Sluku-
Sluku Bathok dan kode KA untuk Khazinatul Asrar.
SSB: Sluku sluku bathok … Bathoke ela elo
KA: Usluk sulukal baqo’… Baqo’uhu laailaaha illallooh

SSB: Si Romo menyang Solo, oleh-olehe payung mutho


KA: Sirro maa yashilu ilalloh fahayyun laa yamuut

SSB: Pak Jenthit lolo lobah… Wong mati ora obah


KA: Fajadid lahul hubbah .. Fabatinuhu bil makrifah

SSB: Yen obah medeni bocah… Yen urip goleko duwit


KA: Bayyinul mahabbah bidawaamil muroqobah … Bayyinul makrifah bil
baqo’l tafwidz

Lalu apa maknanya dalam Bahasa Jawa?

Konon kurang lebih maknanya adalah sebagai berikut:


Nyilem, nyilemo siro kanti langgeng… kelanggengan iro klawan Laa ilaaha
illallooh
Rahasianing ati iro bakal iso wushul maring Alloh kang tansah urip ora tau
mati
Lan bakal nukulke katresnan iro mareng Alloh… lan batin iro biso makrifah
Wujute tresno iku langgenge takorrub mareng Alloh… wujute makrifah iku
kekale manunggal marang sifate gusti.

Lalu bagaimana tafsir lebih gamblang berkenaan dengan lagu Sluku-Sluku


Bathoktersebut?

EH/IslamIndonesia
(Sumber: https://islamindonesia.id/budaya/khas-subhanallah-inikah-makna-sejati-tembang-
sluku-sluku-bathok.htm)

https://islamindonesia.id 349
Sunday, 22 January 2017

SYEKH HASAN FARHAN ALMALIKI: EKSTREMIS SALAFI


PALING MERUSAK ISLAM
Oleh: Syekh Hasan Farhan Almaliki *

islamindonesia.id — KOLOM -Ekstremis Salafi paling Merusak Islam

Salafisme itu ada dua tipe: ekstemis dan moderat. Kedua tipe ini pun bertingkat-
tingkat. Saya menekankan kita beradu argumen dengan kelompok Salafy ekstremis
secara khusus, karena mereka ini rahasia setan yang belum sepenuhnya
terbongkar. Mereka adalah kelompok paling haus darah atas nama Allah!

Kita tidak akan paham agama dan tidak akan beres urusan dunia kita jika kita tidak
membongkar rahasia pamungkas iblis ini. Itulah kelompok ideal setan karena
mereka paling rahasia, paling bodoh dan paling berani.

Kaum Salafy ekstremis adalah paling beraninya manusia dalam menentang


maqashid asy-syariah, tujuan-tujuan dasar Islam yang terbesar, yakni menjaga
agama, akal, kehormatan dan harta benda. Mereka adalah kelompok paling keras
menentang tujuan-tujuan utama Islam ini.

https://islamindonesia.id 350
Saya menantang Dr. Muhammad Al-Barrak untuk mendebat pendapat saya ini. Dan
jika saya gagal membuktikan kepadanya bahwa ekstremisme Salafy adalah
kelompok penduduk bumi paling sering merusak tujuan-tujuan dasar Islam, maka
saya adalah pembohong besar!

Saya ulangi lagi tanpa bermaksud bangga diri bahwa saya tidak mengetahui orang
di dunia yang hidup saat ini yang lebih mengenal bahaya ekstemisme Salafy dan
mengenali penyimpangan-penyimpangan latennya dan sumber-sumber teks primer
pemikirannya lebih daripada yang saya ketahui.

Ekstremisme Salafy berbahaya atas seluruh pemerintah dan oposisi, Muslim dan
kafir, di dalam dan di luar negeri. Bahkan mereka berbahaya terhadap diri mereka
sendiri, terhadap agama, akal dan kebanyakan orang awam.

Juga saya mengajak Khalid Al-Washaby debat terbuka. Setelah itu kalian semua
akan melihat ukuran orang ini yang sebenarnya dalam perdebatan. Dengan satu
syarat: debat terbuka ini harus di televisi yang netral. Dan kami telah mengajaknya di
sebuah forum kalangan remaja. Tapi dia menolak, yang membuktikan bahwa dia
tidak berani kecuali dalam bersekongkol.

Kita akan hadapi mereka dengan Al-Qur’an yang mereka tinggalkan, dengan hadis
mutawatir yang mereka benci dan dengan akal yang sama sekali tidak mereka
ketahui. Dan sesungguhnya cukuplah Al-Qur’an sebagai pegangan menghadapi
mereka.

Anehnya, kelompok ini nyaris tidak berani berkata jujur meski hanya dalam empat
baris. Mereka harus berdusta bahkan dalam menukil berita kecil. Seolah-olah
mereka tidak mengetahui bahwa Allah mengharamkan dusta dan melaknat orang-
orang yang berdusta.

Terbukti misalnya dalam salah satu acara debat, Al-Barrak menyatakan fulan
bermazhab Syiah adalah representasi Hasan Al-Maliki. Dia mengesankan kepada
orang-orang bodoh bahwa demikianlah kenyataannya. Saudara Musa yang menjadi
moderator mengajak saya dan Al-Barrak dalam acara debat terbuka dan saya telah
menyetujuinya. Tapi yang terjadi malah acara abal-abal dengan mendatangkan
orang yang katanya mewakili saya.

Saya ulangi lagi ajakan saya berpolemik dengan Khalid Al-Washaby di televisi yang
netral. Saya juga tidak keberatan berdebat dengan dua atau tiga orang dari mereka
sekaligus. Karena Al-Qur’an yang kita rujuk sama.

https://islamindonesia.id 351
Persoalan mereka adalah dengan Al-Qur’an, bukan dengan saya. Pembelaan
mereka terhadap Al-Qur’an secara lahiriah bertentangan dengan permusuhan
mereka terhadap orang-orang yang sejatinya mengikuti Al-Qur’an dan menjadikan
Al-Qur’an sebagai hakim mereka secara hakiki.

Musuh utama mereka adalah Al-Qur’an. Mereka menghancurkan ayat-ayat


muhkamatnya, menjunjung dan merayakan ayat-ayat mutasyabihatnya,
menundukkannya terhadap riwayat-riwayat hadis dan sama sekali tidak pernah
berpegang kepadanya untuk menghasilkan pengetahuan.

Cinta kepada Allah meniscayakan ketaatan kepada-Nya atas apa yang Dia perintah
dan Dia larang. Boleh jadi iblis mencintai Allah dan menyembah-Nya tapi dia
menolak taat kepada-Nya dalam bersujud kepada Adam.

Tsunami kebohongan, kekejian, iman yang keras, kebodohan dan kebanggaan


dengan kebodohan, kesombongan atas sesuatu yang tidak ada, dan dakwah
kepada pertumpahan darah, semua ini adalah produk asli dari ekstremisme mazhab
Salafy. Maka camkanlah![]

*Penulis merupakan ulama Ahlusunnah wal jama’ah yang tinggal di Saudi dan
dikenal sebagai salah satu penyeru persatuan umat Islam. Atas sejumlah karya dan
ceramahnya yang kritis atas kebijakan kerajaan Saudi dan wahabisme, penulis
kerap dipenjarakan oleh pemerintah setempat.

AJ/Islam Indonesia
(Sumber: https://islamindonesia.id/kolom/kolom-syekh-hasan-farhan-almaliki-ekstremis-salafi-paling-
merusak-islam.htm)

https://islamindonesia.id 352
Sunday, 08 January 2017

FIQH MEDSOS: SUARAKAN HAQ TINGGALKAN HOAX


oleh: Dr. H Sa’dullah Affandy – Katib Syuriyah PBNU dan Dosen Pascasarjana STAINU Jakarta

islamindonesia.id – Fiqh Medsos: Suarakan Haq Tinggalkan Hoax

Zaman jahiliyah opini tergantung ungkapan para penyair, jika pujangga tersebut
memuji sesuatu, masyarakat Arab saat itu turut memujinya. Sebaliknya jika mereka
mengumpat sesuatu maka rakyat pun beramai-ramai latah mencaci sesuatu
tersebut.

Ketika Islam datang dengan Al-Qurán, yang kalamnya lebih indah, lebih bermakna,
di situlah masyarakat Arab berbondong-bondong masuk Islam. Ini salah satu
kekuatan mukjizat Al-Qurán, redaksinya dapat memukau dan menggetarkan hati
bagi yang mendengarnya.

Perkembangannya kemudian, kekuatan opini bukan lagi dikendalikan para penyair,


akan tetapi wartawan, para kuli tinta. Mereka dianggap sebagai kekuatan perubahan

https://islamindonesia.id 353
sosial, tapi itu sudah berlalu. Kini dominasi opini itu digerakkan oleh kekuatan media
sosial (medsos). Informasi dunia maya ini melesat cepat merubah mindset dan
perilaku manusia. Parahnya medsos dijadikan alat provokasi, fitnah dan caci maki,
dengan menghalalkan segala cara (‫ )الغايةَتبررَالوسيلة‬karena semestinya kaidah yang
benar adalah “tujuan tidak boleh menggunakan segala cara kecuali dengan dalil”
(‫)الغايةََلتبررالوسيلةَاَلَبالدليل‬.

Informasi hoax yang massif dan bergentayangan di tengah masyarakat dari satu
gadget ke gadget yang lain disantapnya tanpa sensor, seolah menjadi kebenaran.
Informasi hoax sudah dianggap sebagai berita haq, fakta yang mutawatir, hal ini
sunggguh memprihatinkan.

Apakah penyebar hoax mengira, medsos merupakan alat perang, sehingga tipu
daya dan hoax dibenarkan (‫)الحربَخدعة‬. Jika berkeyakinan menganggap medsos
disamakan dengan ‘medan peperangan’ sungguh keliru besar.

Saya berharap anggapan tersebut hanya salah persepsi. Medsos adalah sarana
komunikasi dan informasi, sehingga alangkah indahnya, jika ia dijadikan media
silaturrahim, media pemberi nasihat kebaikan, pendidikan, kesehatan, dan informasi
aktual positif lainnya. Karena media adalah upaya untuk meraih sebuah gool idea,
antara sarana dan tujuan sehinga mempunyai bobot hukum yang sama (َ‫الوسائلَلها‬
‫)احكامَالمقاصد‬.

Di tengah perkembangan teknologi informasi yang begitu kuat dan mudah, dimana
informasi berita dapat dinikmati oleh siapa pun dan dimana pun berada, kita dituntut
untuk lebih arif dan hati-hati dalam menyikapi informasi yang diterima. Informasi
yang diterima jangan langsung ditelan mentah-mentah dan langsung disebarkan
kepada orang lain. Akan tetapi informasi tersebut harus dicari keabsahannya,
sehingga ketika di sebar tidak menimbulkan fitnah atau masalah baru.

Lebih dari 14 abad yang lalu, Al-Qurán sudah memperingatkan tentang bahaya
menyebarkan kebencian dan aib orang lain serta bahaya fitnah. Bagi mereka yang
suka menggunjing dan menyebarkan kebencian dan aib orang lain, diibaratkan
orang yang memakan bangkai temannya sendiri, sebagaimana termaktub dalam
surah al-Hujurat ayat 12;

َ‫ض ُكمَب ْعضًاَأي ُِحبُّ َأحد ُ ُك ْمَأنَيأ ْ ُكلَلحْ م‬ ُ ‫سواَوَلَي ْغتبَبَّ ْع‬ َّ ‫ظ ِِّنَ ِإثْ ٌمَوَلََتج‬
ُ ‫س‬ َّ ‫ظ ِِّنَ ِإ َّنَب ْعضَال‬
َّ ‫يراَ ِ ِّمنَال‬
ً ‫ياَأيُّهاَالَّذِينَآمنُواَاجْ تنِبُواَك ِث‬
‫َر ِحي ٌَم‬
َّ ٌ‫ََّللاَت َّواب‬ َّ ُ‫أ ِخي ِهَم ْيتًاَفك ِر ْهتُ ُموهَُواتَّق‬
َّ ‫واََّللاَ ِإ َّن‬

Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan),


karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan

https://islamindonesia.id 354
orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara
kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah
kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah
Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.

Menebar kebencian saja dilarang apalagi sampai pada persoalan fitnah. Fitnah
digambarkan dalam Al-Qurán sebagai sesuatu yang lebih kejam dari pembunuhan.
Hal ini termaktub dalam surah al-Baqarah ayat 191;

ْ ‫َُّمن‬
َۚ‫َالقتْ ِل‬ ِ ‫و ْال ِفتْنةَُأشد‬
…dan fitnah itu lebih besar bahayanya dari pembunuhan.

Menurut Tenaga Ahli Bidang Diseminasi Informasi Publik Ditjen Informasi dan
Komunikasi Publik Kementerian Kominfo, Ismail Cawidu, ciri-ciri mengenali berita
hoax adalah:

“Pertama, biasanya berita-berita itu ada kata-kata di bawahnya “agar


disebarluaskan”. Itu pasti. Itu ciri pertama. “Agar dishare, jangan berhenti di anda”.
Itu salah satu ciri. Kemudian kalau kita mau menguji, buka di media lain apakah
berita tersebut juga dimuat oleh media lain. Kalau tidak dimuat, tidak ada media
yang memuat, itu salah satu ciri bahwa berita itu hoax. Kemudian penggunaan
kalimat itu bisa diketahui, bisa dikenali dan diketahui.

Biasanya bahasa-bahasanya itu dalam bahasa yang bersifat instruktif, bahasa-


bahasa yang tidak biasa seperti sebuah berita yang layaknya berita bagus.
Kemudian kalau itu foto, pasti bisa diketahui kalau karena ada logikanya foto ini foto
apa. Kemudian secara fisik bisa dibuktikan bahwa foto ini tidak benar. Jadi kalau
hoax itu bukan hanya berita, termasuk foto, video, disebut hoax karena tidak
mengandung kebenaran.”

Sebegitu besarnya informasi hoax yang mengarah pada kebencian dan fitnah,
penulis mengajak netizen (masyarakat internet) untuk lebih cerdas dalam mencerna
informasi yang beredar. Sebelum informasi disebar, mari kita cek kebenarannya, jika
informasi tersebut salah, jangan kita sebar lalu kita ingatkan orang memberikan
informasi tersebut. Jika informasi itu benar dan bermanfaat bagi orang lain, barulah
kemudian kita sebar. Dalam hal ini Allah berfirman:

َ‫ص ِب ُحواَعل ٰىَماَفع ْلت ُ ْمَناد ِِمين‬ ِ ُ ‫ياَأيُّهاَالَّذِينَآمنُواَ ِإ ْنَجاء ُك ْمَفا ِس ٌقَ ِبنبإٍَفتب َّينُواَأ ْنَت‬
ْ ُ ‫صيبُواَق ْو ًماَ ِبجهالةٍَفت‬

Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu
berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah

https://islamindonesia.id 355
kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu
menyesal atas perbuatanmu itu. (QS. Al-Hujurat [49]: 6).

Ayat tersebut merupakan landasan “Fiqh Medsos”, perintah Allah yang mengajarkan
akhlak dan adab tentang pentingnya keharusan meminta klarifikasi dan validasi
suatu informasi, terutama berita yang tidak bertuan akan sumber dan fakta
kebenarannya. Salah-salah jika tidak mengindahkan etika tersebut berakibat
menzalimi pihak lain, seperti pencemaran nama baik, atau perbuatan tidak
menyenangkan yang pada akhirnya akan berhadapan hukum baik KUHP maupun
UU ITE.

EH / Islam Indonesia – Sumber: nu.or.id


(Sumber: https://islamindonesia.id/kolom/kolom-fiqh-medsos-suarakan-haq-tinggalkan-hoax.htm)

https://islamindonesia.id 356
Sunday, 01 January 2017

AKHLAK MULIA
Oleh: KH. Ahmad Mustofa Bisri*

islamindonesia.id – KOLOM — Akhlak Mulia

٣١:‫قلَانَكنتمَتحبونَهللاَفاتبعونيَيحببكمَهللاَويغفرَلكمَذنوبكمَوهللاَغفورَرحيمَ~َالَعمران‬

“Katakanlah, jika kamu benar mencintai Allah, ikutilah aku; maka Allah akan mencintaimu
dan mengampuni dosa-dosamu. Allah Maha Pengampun dan Maha Penyayang.”

Hampir semua orang beragama mengaku mencintai Allah, tapi mungkin tidak terlalu banyak
yang berusaha mengikuti jejak RasulNya, kecuali dalam pengakuan. Ini boleh jadi karena
keengganan untuk lebih mengenal Rasulullah SAW sebelum mengaku mengikuti jejaknya.

Umumnya orang merasa tidak punya waktu untuk membaca sunnah Rasulullah SAW agak
sedikit komplit. Umumnya, orang membaca, menulis, atau menyampaikan hadis Nabi

https://islamindonesia.id 357
Muhammad SAW –bahkan Al-Quran—sebatas yang sesuai dengan kecenderungan mereka
yang bersangkutan.

Hal ini tidak mengapa, asal tidak sampai meninggalkan atau melewatkan nilai penting –apa
pula yang terpenting– dari nilai-nila mulia Rasulullah SAW. Nilai yang apabila kita ikuti
merupakan dakwah tersendiri yang pasti tidak kalah dari dakwah-dakwah kreasi kita sendiri.

Dalam kesempatan kali ini, saya akan tampilkan sifat utama Rasulullah SAW yang sesuai
dengan misi utamanya. Satu dan lain hal agar kita yang di muara ini dapat sedikit melihat
beningnya Mata Air.

Seperti dinyatakan oleh Al-Quran sendiri dan persaksian para sahabat beliau, panutan
agung kita Nabi Muhammad SAW adalah seorang yang berakhlak sangat mulia. Imam
Bukhari meriwayatkan dari shahabat Anas r.a. yang berkata:

‫لمَيكنَرسولَهللاَصلىَهللاَعليهَوسلمَفاحشاَوَلَلعاناَوَلَسبابا‬

“Rasulullah SAW orangnya tidak keji dan kasar, tidak tukang melaknat, dan tidak suka
mencaci..”

Imam Bukhari juga meriwayatkan pernyataan Masruq r.a.yang mirip pernyataan Anas:

“Rasulullah SAW bukanlah orang yang keji dan suka bicara kotor. Beliau bersabda:
‘Sesungguhnya orang-orang terbaik di antara kalian ialah orang-orang yang paling baik
pekertinya.”

Sahabat Anas yang pernah meladeni Rasulullah SAW selama sepuluh tahun tidak pernah
sekali pun mendengar Rasulullah SAW membentaknya. (Lihat persaksiannya di Bukhari dan
Muslim). Bahkan Imam Bukhari meriwayatkan:

Orang-orang Yahudi datang kepada Rasulullah SAW dan berkata “As-saamu ‘alaikum!”
(bukan Assalaamu ‘alaikum), “Kematian bagimu!”.

Sayyidatina ‘Aisyah pun menyahut: “Kematian juga bagi kalian dan juga laknat Allah dan
murka Allah!”

Rasulullah SAW pun menegur: “Tenang, ‘Aisyah; jagalah kelembutan, jangan kasar dan
keji!”

Sayyidatina ‘Aisyah masih menjawab: “Apakah Rasulullah tidak mendengar apa yang
mereka katakan?”

https://islamindonesia.id 358
Rasulullah bersabda: “Apakah kau tidak mendengar apa yang aku katakan? Aku telah
mengembalikan doa mereka kepada mereka (Rasulullah sudah menjawab “wa’alaikum”
yang artinya “bagi kalian juga”) doaku atas mereka diijabahi dan doa mereka terhadapku
tidak”.

Alangkah mulianya akhlak Rasulullah! Sampai pun sikap buruk mereka yang membencinya,
tidak mampu membuat beliau meradang; bahkan menasehati istrinya agar tetap bersikap
lembut; tidak kasar dan keji.

Akhlak yang mulia ini, sesuai benar dengan misi Rasulullah SAW seperti disabdakannya
sendiri,

” ‫”انماَبعثتََلتممَصالحَاَلخالق‬

“Aku diutus semata-mata untuk menyempurnakan kebaikan akhlak.” (Imam Ahmad dari
Sa’ied bin Manshur dari Abdul ‘Aziez bin Muhammad dari Muhammad bin ‘Ajlaan dari al-
Qa’qaa’ bin Hakiem dar Abi Shaleh dari Abu Hurairah).

Bandingkan akhlak Rasulullah itu dengan banyak penganutnya yang gemar melaknat dan
mencaci bahkan terhadap saudaranya sendiri.

Sehebat apa pun takwa orang Islam, pastilah tidak mungkin melebihi takwa Rasulullah
SAW. Menyamai saja tidak. Sebesar apa pun ghirah atau semangat beragama orang Islam,
pastilah tidak mungkin melebihi ghirah dan semangat beragamanya Rasulullah SAW.
Menyamai saja tidak.
Hanya saja dalam ghirah dan semangat beragama itu, dalam membela Allah dan
agamaNya, Rasulullah SAW tidak mengikut sertakan nafsunya. Boleh jadi nafsu inilah yang
membedakan; nafsu inilah yang membuat seolah-olah banyak muslim masa kini tampak
lebih bersemangat dari Rasulullah sendiri. Padahal tidak.

Seandainya umat Islam mau meniru sifat mulia Rasul mereka itu dan mengikuti jejaknya,
pastilah banyak persoalan-persoalan keumatan, khususnya dalam pergaulan hidup mereka
sendiri, dapat dengan mudah teratasi. []

*Pengasuh Pondok Pesantren Raudhatut Thalibin Rembang, Jawa Tengah

YS/ Islam Indonesia/ Sumber: gusmus.net


(Sumber: https://islamindonesia.id/kolom/kolom-akhlak-mulia.htm)

https://islamindonesia.id 359
Wednesday, 21 December 2016

SINGGUNG SOAL ALEPPO, GUS MUS: BACALAH


SURAT TERBUKA INI DENGAN PIKIRAN JERNIH

islamindonesia.id – Singgung Soal Aleppo, Gus Mus: Bacalah Surat Terbuka Ini dengan Pikiran Jernih

Di tengah-tengah derasnya informasi simpang siur soal apa yang terjadi di Aleppo,
KH. Ahmad Mustafa ‘Gus Mus’ Bisri mengunggah surat terbuka yang dibuat oleh
seorang peneliti “Indonesian Centre for Middle East Studies” untuk Wali Kota
Bandung, Ridwan Kamil. Seperti diketahui via akun pribadinya (16/12), Ridwan
Kamil akhirnya turut “disalah-salahkan” karena sikapnya yang bernada “netral” atau
menjaga jarak dari keberpihakan yang disuguhkan narasi media mainstream.

“Dalam perang, pihak benar atau salah menjadi relatif. Dicap teroris/pemberontak di
sini bisa disebut pejuang di sana. Atau sebaliknya. Namun satu hal yang pasti:
tragedi kemanusiaan akibat perangnya adalah nyata,” kata pria yang akrab disapa
Kang Emil ini dalam akun facebook pribadinya (16/12).

Berseberangan dengan narasi media mainstream – barat, sejumlah jurnalis


independen – seperti Eva Bartlett, Duta Besar Indonesia untuk Suriah – Djoko
Harjanto, Ketua Ikatan ulama Suriah – Prof. Taufik Ramadhan Al Bouthi, hingga Gus
Mus yang pernah berkunjung langsung ke Aleppo, menyayangkan kebohongan yang
ditebarkan oleh sejumlah media soal Suriah hingga menimbulkan fitnah.

https://islamindonesia.id 360
“Taqlid yang paling buta ialah membebek pertikaian orang di kawasan lain hingga
ikut menyebar fitnah-fitnah mereka di negeri sendiri,” sindir Gus Mus ketika
sahabatnya Mufti Suriah Syekh Ahmad Badruddin Hassoun dituding Syiah dan turut
mendukung pembantaian di Suriah.

>> Gus Mus: Yang Fitnah Mufti Suriah, Bodoh dan Berani Kepada Allah
>> Gus Mus: Taqlid Yang Paling Buta ialah Membebek Fitnah Suriah

Hari ini, jebolan Al Azhar Mesir ini kembali menyinggung soal Aleppo dengan
membagikan surat terbuka untuk Kang Emil dari Dr. Dina Sulaeman, alumnus
Universitas Padjadjaran yang juga pernah berada di Suriah sebelum perang
meletus.

“Cobalah membaca Surat Terbuka ini dengan pikiran jernih. Menarik dan
mencerahkan,” kata Gus Mus dalam akun facebook pribadinya yang dalam sejam
telah dibagikan lebih dari seribu kali, (21/12).

Berikut isi surat terbuka selengkapnya:

Assalamualaikum,

Kang Emil, kumaha damang?


Perkenalkan saya Dina, bukan orang Sunda. Tapi, karena saya menikah
dengan urangSunda, dan seluruh proses studi saya dari S1 hingga S3-Hubungan
Internasional saya jalani di Bandung (Unpad), ikatan emosional saya dengan Sunda
sangatlah kuat. Di banyak kota di Indonesia yang saya kunjungi, banyak yang
mengira bahwa saya adalah orang Sunda karena saya sudah terhegemoni oleh
logat Sunda.
Saya terdorong menulis surat ini setelah melihat 2 postingan di Fanpage Kang Emil
tentang Suriah. Postingan pertama, share foto bertajuk Save Aleppo.

https://islamindonesia.id 361
Masih di hari yang sama, selang beberapa jam kemudian, kang Emil memposting
status tanpa foto.

Selengkapnya kalimat Kang Emil:

https://islamindonesia.id 362
Saya mencermati perbandingan jumlah share dan komentar di kedua status itu.
Buat saya, ini menjadi bukti bahwa isu Suriah adalah isu monolog. Gerakan “Save
Aleppo” dianggap sebagai fakta yang tak perlu dipertanyakan lagi. Status “Save
Aleppo” di-share 25ribu lebih tapi hanya ada 3100 komentar. Sementara status yang
mengajak untuk fokus saja pada isu kemanusiaan, hanya di-share 5300 kali tapi
dikomentari 3700 kali.[data 19/12, 20.00]

Saya menemukan banyak komentar menyalah-nyalahkan nada “netral” Kang Emil.


Antara lain:

Lihatlah betapa mereka tidak rela Kang Emil keluar dari narasi yang mereka sukai.
Mereka inginnya Kang Emil menghujat Bashar Assad. Bahkan menuduh Kang Emil
takut kehilangan follower.

https://islamindonesia.id 363
Pemaksaan sebuah monolog. Inilah yang membuat saya prihatin dan ingin
menulis surat ini. Sejak konflik Suriah meletus, telah terjadi pergeseran cara
berinteraksi di antara sesama anak bangsa. Ada kelompok-kelompok yang
memaksakan narasi mereka soal Suriah, dan siapa saja yang mengkritisi, akan
mereka libas dengan cara ‘pembunuhan karakter’. Saya sudah 4 tahun dihujat
secara masif di media sosialhanya karena mengatakan yang terjadi di Suriah bukan
perang saudara (civil war) melainkan proxy war (ada negara-negara besar yang
ingin menggulingkan rezim Assad dengan alasan ekonomi-politik, namun
memanfaatkan pasukan perpanjangan tangan mereka). Tentu, saya bisa
memberikan sangat banyak argumen atas analisis saya ini (bisa dibaca di blog ini,
atau buku saya “Prahara Suriah”).

Pemaksaan monolog yang saya maksud adalah sikap merasa paling benar dan
menolak dialog. Awalnya memang terkait Suriah, yang jauhnya 8700-an km dari
Bandung. Tapi sikap seperti ini bagaikan virus, semakin luas menjangkiti banyak
pihak, sehingga menjadi sebuah sindrom kebencian terhadap mereka yang berbeda,
diisukan berbeda, diisukan sesat, diisukan menghina Islam, diisukan
mengkristenisasi, dll.

Yang menyedihkan, menurut sejumlah riset, Tanah Pasundan dinobatkan sebagai


daerah yang paling intoleran se-Indonesia karena banyaknya kasus-kasus
kekerasan atas nama agama yang dilakukan oleh kaum mayoritas terhadap
kelompok minoritas. Ada 41 perda yang dianggap diskriminatif dan intoleran seperti
penyegelan, penutupan rumah ibadah, pembubaran ibadah kelompok atau agama
tertentu, hingga kekerasan fisik.
Tidakkah ini terasa sangat ganjil? Tatar Sunda selama ini dikenal dengan alamnya
yang indah dan perilaku warganya yang someah dengan tutur bahasa yang halus.
Kasus pembubaran secara paksa prosesi ibadah ummat Kristiani oleh sekelompok
orang yang menamakan diri sebagai Pembela Ahlu Sunnah (PAS) adalah contoh
paling mutakhir. Jajaran kepolisian Kota Bandung dan Jawa Barat terkesan
membiarkan kasus pelanggaran hukum ini. Sedangkan Kang Aher hanya menyebut
bahwa itu adalah kasus kecil. Untunglah ada pejabat seperti Kang Emil. Terlihat
sekali bahwa Kang Emil sangat terganggu dengan kasus yang memalukan itu.
Akang dengan tegas menuntut PAS agar meminta maaf. Kalau tidak, mereka akan
dinyatakan oleh Kang Emil sebagai kelompok terlarang di kota Bandung. Akang
pasti ingat sempat dibully juga tahun lalu karena dianggap “membiarkan” penganut
mazhab Syiah melakukan peringatan Asyura di Lapangan Sidolig. Tindakan Akang
jelas beda dengan walikota tetangga sebelah yang rapat bersama oknum yang
masuk dalam daftar teroris Al Qaida yang dirilis PBB dan kemudian mengeluarkan
surat larangan pelaksanaan Asyura di daerahnya.

https://islamindonesia.id 364
Tapi Kang, saya melihat bahwa perlindungan Kang Emil terhadap hak-hak kaum
minoritas akan menjadi sesuatu yang kurang “berumur panjang” jika akar
masalahnya tidak disentuh. Masalah baru akan muncul dan muncul lagi.

Di mana akar masalahnya? Mari kita mulai diskusikan dengan menggunakan foto
“Save Aleppo” yang Kang Emil share. Semua orang, termasuk saya, sangat sedih
melihat foto-foto anak kecil korban perang itu. Ini perlu digarisbawahi. Jadi,
jangan ada tuduhan bahwa saya mengkritisi gerakan Save Aleppo ini sebagai sikap
tidak peduli pada korban. Justru di sinilah anehnya: korban di Suriah itu sangat
banyak. Pasukan “mujahidin” dengan senjata-senjata canggih yang disuplai dari AS
dan Eropa sejak 2012 sangat banyak melakukan pembantaian (videonya bertebaran
di youtube). Mengapa sekarang yang diteriakkan hanya “Save Aleppo”? Dan
pertanyaan utamanya: apakah benar tentara Suriah dan Rusia membantai warga
sipil di Aleppo? Kalau benar, mengapa foto dan video palsu melulu yang bisa
disodorkan sebagai bukti?[penjelasan ada di bawah]

Sesungguhnya, Save Aleppo adalah gerakan global dengan narasi “menyelamatkan


Aleppo dari kekejaman tentara Suriah dan Rusia”. So, ini bukan frasa yang netral.
Saat satu kelompok menggunakan tagar Save Aleppo, para pengamat Timteng
biasanya langsung mampu mendeteksi mereka siapa, dari kelompok mana. Dan
sialnya, gerakan global ini berkaitan erat dengan nasib bangsa kita. Akan saya
paparkan nanti.

Kang Emil menyatakan pernah ke Suriah. Saya juga. Kita yang pernah jalan-jalan ke
Suriah sebelum perang, sudah menyaksikan sendiri bahwa Suriah adalah negara
yang sangat indah dan damai. Orang-orangnya someah, dengan bahasa Arab
beraksen amat lembut khas Mediterania. Sejak lama, ada ratusan mahasiswa
Indonesia Sunni yang kuliah di sana, belajar dari ulama-ulama Sunni, sebagian
sudah pulang selamat, hidup, dan jadi ustadz di berbagai pesantren. Bagaimana
bisa, mendadak 4 tahun terakhir (sejak 2012) disebarkan narasi bahwa orang Sunni
dibantai orang Syiah di Suriah? Ketika awalnya aksi-aksi demo menentang
pemerintah muncul di Suriah tahun 2011 (sebagaimana juga terjadi di negara-
negara Arab lain), tuntutannya demokratisasi. Bashar Assad pun segera
mengakomodasi, antara lain dibentuk UUD baru yang membatasi masa kekuasaan
presiden dan mengatur pemilu yang demokratis, membubarkan UU anti subversif
yang dibuat ayahnya, dll. Lalu, kok ujug-ujug berdatangan para “mujahidin” dari 100-
an negara dunia yang menyatakan ingin “mendirikan khilafah” di Suriah? Kemarin
demokratisasi, sekarang kok khilafah? Lieur tah.
Sebagai politisi Kang Emil pasti tahu, siapa saja kelompok atau ormas yang aktif
menyerukan jihad di Suriah dan aktif menggalang dana. Sekali lagi, semua orang
pasti sedih melihat ada orang-orang yang menderita akibat perang; dan mendoakan

https://islamindonesia.id 365
agar perang segera selesai. Problemnya adalah, kelompok-kelompok tersebut
berkeliling dari masjid ke masjid, dari kampus ke kampus, menggalang dana untuk
Suriah dengan menggunakan data palsu, foto HOAX, dan kebencian.

Berikut ini beberapa buktinya. Saya ambil 3 foto secara acak dari foto “Save Aleppo”
yang Kang Emil share itu.

Foto 1

Foto di atas saya masukkan ke google image. Saya dapati foto ini:

Terlihat foto yang sama sudah pernah diposting tahun 2015. Jelas bukan Aleppo
Desember 2016.

https://islamindonesia.id 366
Foto 2

Saya masukkan lagi ke Google Image, keluar foto ini, diposting 2013. Jelas bukan
kejadian di Aleppo pada tahun 2016.

Foto 3

https://islamindonesia.id 367
Dengan bantuan Google Image, saya dapatkan foto ini dipakai sebuah situs
berbahasa Arab, berita mengenai anak-anak Yaman, diposting 29 Maret 2016. Jadi,
lagi-lagi, bukan Aleppo Desember 2016.

Tentu butuh waktu cukup lama kalau ingin tau foto asli (pemosting pertama) foto-foto
tersebut. Sejak 2012 saya dan teman-teman sesama facebooker sudah menemukan
sangat banyak foto hoax, lagi dan lagi. Kompilasi foto hoax Suriah (123 halaman
PDF) bisa diunduh di sini.

Salah satu dampak buruk kemajuan teknologi adalah mudahnya sebuah berita
tersebar tanpa filter atau klarifikasi. Yang jadi problem besar: para pemaksa
monolog menghadapi dengan keras siapa saja yang berani melakukan klarifikasi.
Tak mampu berargumen, yang mereka lakukan adalah “kill the messenger”.

Lalu apa hubungannya dengan nasib bangsa ini?


Kebencian itu bagaikan vampir. Satu menggigit yang lain. Yang lain menggigit yang
lain lagi. Lalu, dalam waktu singkat, begitu banyak muncul para pembenci di negeri
ini. Awalnya Suriah, dan Syiah Indonesia jadi bulan-bulanan kebencian. Syiah
bukan Islam! Tungtungna mah: mari kumpulkan dana untuk membantu saudara
Sunni kita di Suriah yang dibantai Syiah!! Lalu, objek kebencian pun meluas.
Semua pembenci pun bersuara dengan satu nada satu ritme, bagaikan zombi. Kyai
anu Syiah! Jokowi Syiah (plus PKI, liberal, China dll)! Ahmadiyah sesat! Hati-
hati Kristenisasi! Awas China! Komunis! PKI!

Apa jadinya bangsa ini kalau kebencian terus meraja lela? Saya tidak akan
menyebut nama. Tapi faktanya, semua kebencian ini dibawa oleh kelompok-

https://islamindonesia.id 368
kelompok yang sama dan Akang pasti tahu, siapa yang saya maksud. Semua
kelompok ini memiliki akar ideologi yang sama, yang gejalanya adalah kebencian,
takfirisme, anti-dialog, dan pemaksa monolog. Akar ideologi mereka bukanlah
berasal dari Tatar Sunda, tapi diimpor dari negeri jauh.

Karena itu, melalui surat ini, berlandaskan cinta saya pada Tatar Sunda, saya
mengusulkan kepada Kang Emil untuk memulai gerakan budaya massal kembali
kepada filosofi Sunda: alus laur, hade tangtung; someah hade ka semah; lungguh
timpuh tapi mancur pamor elmuna; jembar ku panalar. Jika Bandung sukses,
semoga gerakan ini bisa diperluas di berbagai kota lain di Jabar maupun Indonesia
pada umumnya.

Semoga Tatar Sunda kembali menjadi bunga yang semerbak seperti dulu, dan tidak
lagi dicatat sebagai wilayah paling intoleran di negeri ini.

Hapunten dan Haturnuhun….

Wassalam,

Dina

YS/ islamindonesia

https://islamindonesia.id 369
Sunday, 25 December 2016

KEMISKINAN RASIONALITAS
oleh: Endang Kurnia*

islamindonesia.id – KOLOM – Kemiskinan Rasionalitas

Descartes adalah seorang tokoh rasionalisme, ia mengemukakan metode baru, yaitu


metode keragu-raguan. Jika orang ragu-ragu terhadap segala sesuatu, dalam
keragu-raguan itu, jelas ia sedang berpikir. Sebab, yang sedang berpikir itu tentu
ada dan jelas terang benderang. Cogito Ergo Sum (saya berpikir, maka saya ada).
Ia menyusun argumentasi kuat, bahwa dasar filsafat adalah akal, bukan perasaan,
bukan iman, bukan ayat.

Rasionalitas muncul sebagai respons terhadap dominasi otoritas agama yang


memandang bahwa segala sesuatu harus bergantung pada kekuatan di luar diri
manusia. Akibatnya, posisi manusia sebagai subjek terabaikan. Tanggung jawab
manusia terhadap kehidupan pun kurang terpikirkan. Ketika itu, kaum humanis
mengajak kembali ke pemikiran klasik yang mengangkat manusia sebagai subjek.

Mereka menemukan nilai-nilai yang harus dihidupkan kembali dalam kebudayaan


demi masa depan, yaitu penghargaan atas martabat manusia dan pengakuan atas
kemampuan pikiran. Gerakan humanisme merupakan solusi menghadapi intimidasi

https://islamindonesia.id 370
para pemuka agama saat itu. Humanisme bertekad mengembalikan kepada umat
manusia hak kebebasan yang telah dinistakan oleh para elite agama.

Dalam bidang agama, aliran rasionalisme adalah lawan dari otoritas dan biasanya
digunakan untuk mengkritik ajaran agama. Adapun dalam bidang filsafat,
rasionalisme adalah lawan dari empirisme dalam menyusun teori pengetahuan.
Hanya saja, empirisme mengatakan bahwa pengetahuan diperoleh dengan jalan
mengetahui objek empirisme, sedangkan rasionalisme diperoleh dengan cara
berfikir, pengetahuan dari empirisme dianggap sering menyesatkan. Adapun alat
berfikir adalah kaidah-kaidah yang logis.

Pada awal kebangkitannya, kaum humanis berjuang untuk mematahkan kekuatan


orang-orang yang mengaku sebagai perantara yang menghubungkan manusia
dengan Tuhan, namun di saat yang sama mempraktikkan ketidakadilan. Akal budi
pada abad pertengahan, tergeser oleh dominasi doktrin-doktrin keagamaan dan
intimidasi pemuka agama. Rasionalitas dikalahkan oleh emosionalitas. Manusia,
yang sudah diberi akal budi oleh Tuhan, kehilangan otoritas dan tanggung jawabnya
sebagai manusia.

Para penganut rasionalisme yakin bahwa kebenaran dan kesesatan terletak di


dalam ide dan bukan di dalam diri barang sesuatu. Jika kebenaran mengandung
makana ide yang sesuai dengan atau yang menunjuk pada kenyataan, maka
kebenaran hanya dapat ada di dalam pikiran seseorang dan hanya bisa diperoleh
dengan akal budi saja.

Pola pikir pada abad pertengahan tersebut, kini sedang menggejala di tengah
masyarakat. Banyak orang yang, sadar atau tidak sadar, sedang kehilangan akal
budi. Pikiran sehat tergerus oleh kuatnya dominasi aspek agama di berbagai bidang.
Segala sesuatu ditarik ke ranah keagamaan.

Akal budi tergeser oleh emosionalitas, dikalahkan oleh ”iming-iming surga,”


misalnya. Dalam perspektif Descartes, keberagamaan tidak harus menggerus
rasionalitas. Dalam pemikiran Erasmus, keberagamaan perlu diselaraskan dengan
akal budi; “kesucian yang rasional.” Sayangnya, rasionalisme bangkrut oleh
fanatisme sempit.

Keyakinan yang berlebihan terhadap kemampuan akal telah berimplikasi kepada


perang terhadap mereka yang malas mempergunakan akalnya, terhadap
kepercayaan yang bersifat dogmatis seperti yang terjadi pada abad pertengahan,
terhadap norma-norma yang bersifat tradisi dan terhadap apa saja yang tidak masuk
akal termasuk keyakinan-keyakinan dan serta semua anggapan yang tidak rasional.

https://islamindonesia.id 371
Belum lagi, hal itu kadang disusupi unsur politis, ekonomi, atau kepentingan-
kepentingan sesaat. Pemahaman bahwa agama merupakan ajaran yang
memanusiakan manusia, sering berubah menjadi pemahaman yang jauh dari nilai-
nilai kemanusiaan. Agama yang merupakan jalan (atau jembatan) menuju Tuhan,
justru sering dipertuhankan. Kematian akal budi menyebabkan praktik-praktik
keberagamaan yang tidak sesuai dengan ajaran agama.

Itu sebabnya, kita sering melihat perilaku orang yang mengatasnamakan agama
(agama apa pun), tapi tindakannya penuh kebencian, caci-maki, pemaksaan
kehendak, mau menang sendiri, dan sejenisnya sehingga yang terlihat adalah
miskinnya rasionalitas. Diktum ”Saya berpikir, maka saya ada,” sedang bergeser
menjadi ”Saya emosional, maka saya ada.” []

* Manajer Cabang Madani Private Learning. HP 085659700671.

YS/ islamindonesia
(Sumber: https://islamindonesia.id/kolom/kolom-kemiskinan-rasionalitas.htm)

https://islamindonesia.id 372
Sunday, 18 December 2016
BENARKAH AGAMA BERPOTENSI RUSAK AKAL?
A. Fauzi Yahya *

islamindonesia.id — KOLOM — Benarkah Agama Berpotensi Rusak Akal?

Kemampuan melakukan proses berfikir adalah salah satu anugerah Ilahi pada manusia
yang begitu berharga. Bahkan kemuliaan manusia tercermin dari keruntutan proses fikir
yang menuntun kearifan bersikap. Pergumulan pemikiran memungkinkan terjadi
karena adanya data baru yang diterima. Proses dinamis dalam update pola pikir ini adalah
keniscayaan yang tak terhindari untuk terus mengembangkan diri.
Rene Descartes mengatakan Cogito ergo sum (aku berfikir maka aku ada). Allamah
Thabathai dalam buku Light within Me menegaskan bahwa akal adalah “nabi” personal
manusia karena melalui akal inilah manusia dapat menerima pesan-pesan Ilahi dan
menerapkannya di ruang publik dalam bentuk keterjagaan kesucian. Nabi bersabda: “La
dina Liman La Aql Lahu ( Tiada agama bagi mereka yang tidak menggunakan akalnya).
Kaidah umum juga mengajarkan: “Al Insan hayawanun natiq” (manusia itu adalah hewan
berakal/berwacana). Ayat ayat suci Al-Qur’an bertaburan dengan dorongan agar manusia
merenung dan berfikir tentang Tuhan maupun tentang penciptaan-Nya.

Proses berfikir sistematis ternyata bersifat universal. Pertemuan antara manusia dari
berbagai penjuru dunia terjalin karena adanya kesamaan dalam penataan pola pikir. Melalui
tata atur fikir ini, maka manusia telah berkontribusi terhadap pencapaian berbagai kemajuan
pengetahuan dan teknologi serta pengorganisasian institusi hingga sistem kenegaraan.

https://islamindonesia.id 373
Keruntutan dan kejernihan proses berfikir akan menempatkan seseorang di ranah obyektif.
Menggapai obyektifitas ini memerlukan usaha yang terus-menerus. Terdapat berbagai faktor
yang menyebabkan interferensi (gangguan) atau bias yang berperan terhadap absurditas
berfikir sehingga alih-alih menjadi pola pikir yang konstruktif malah dapat menjadi bersifat
destruktif.

Kekeliruhan pengajaran agama adalah salah satu faktor bahkan kadang menjadi faktor
dominan yang berpotensi merancukan sistematika berfikir manusia. Kerancuan pengajaran
agama dalam jangka panjang akan merasuk ke dalam ruang bawah sadar (subconscious
mind) hingga mendorong proses berfikir pintas tanpa melalui sistematika pola pikir yang
semestinya. Dengan pengajaran agama demikian ini maka yang ada adalah dogma bukan
proses menjadikan seseorang berfikir sistematis dan kritis.

Kepintasan berfikir dalam pengajaran agama ini mungkin terpicu oleh anggapan bahwa “
Tuhan “ mudah ikut campur dalam berbagai urusan manusia. “Tuhan” mengurus langsung
berbagai hal seperti rizki, jodoh, kematian, menentukan keputusan ideal hingga berperan
terhadap proses kenaikan kelas dan serta mengubah cuaca. “ Tuhan” pun berperan
langsung terhadap kejadian sakit dan sehat. “Kun fa ya kun’ telah menjadi mantera ajaib
keterlibatan langsung Tuhan. Bisa dimengerti bila “Tuhan” pun menentukan siapa yang tepat
memimpin sebuah provinsi atau negara.

Padahal, sebagai konsekuensi hidup di alam, manusia harus mengerti dan menghargai
proses hukum alam. Para dokter sebelum melakukan intervensi terhadap tubuh manusia
maka dia mutlak harus memiliki pengetahuan anatomi bahkan hingga tingkat anatomi sel
serta belajar memahami faal tubuh dan reaksi tubuh terhadap berbagai gangguan
(patofisiologi). Para ahli geologi pun belajar memahami karakter isi bumi sebelum
melakukan sesuatu. Berbagai disiplin ilmu menuntut pemahaman termasuk dalam
menjalankan roda organisasi bisnis dan insitusi publik.

Demikian pula sesungguhnya agama mengajarkan ikhtiar maksimal untuk mengkaji hukum-
hukum alam tersebut sebelum bersandar pada konsep tawakal. Ajaran agama seperti
halnya disiplin ilmu lain juga memiliki konsep-konsep pembelajaran dengan sistematika
berfikir yang sama. Kelebihan pengajaran agama adalah menuntun juga proses gerakan hati
agar tidak menjadi bias dalam mendapatkan jalan menuju-Nya.

Selain itu, ketidaktepatan pengajaran agama telah mendorong kemutlakan kebenaran.


Ajaran dan mazhab agama kerap dipandang sebagai penentu seseorang telah pasti berada
di dalam kebenaran-Nya. Keyakinan akan kepastian kebenaran itu menisbikan kehadiran
yang lain untuk berada dalam kebenaran.

https://islamindonesia.id 374
Agama dan mazhab seolah menjadi mesin cuci yang mensucikan bagi setiap orang. Jadi
kalau anda ingin suci maka masuklah agama dan mazhab tertentu maka “habrakadabra”
Anda langsung menjadi “orang yang suci”. Ilusi kesucian ini memudahkan sang “ilusionis”
itu meremehkan kemuliaan manusia lain. “Kesucian” buatan ini memicu orang mudah
menjadi “hakim” bagi ajaran atau perilaku individu lain.

Kesalahan pengajaran agama seperti itu menyandera obyektifitas dan memandegkan


secara mendadak proses berfikir. Penafsiran sepihak kalam Ilahi dan tutur Nabi yang suci
menjadi pembenar terhadap penghentian proses berfikir kritis yang sesungguhnya diajarkan
oleh agama. Kemerdekaan berfikir yang merupakan anugerah Ilahi tak lagi ada
setelah kekeliruan ajaran agama mengkooptasinya. Padahal, sebagaimana dikutip dalam Al-
Qur’an surah Saba ayat 24, Baginda Nabi Agung pun memberi kemungkinan pihak lain
berada dalam kebenaran.

Ajaran agama tentu saja tidak hanya berkaitan dengan keruntutan proses berfikir saja.
Mengagung-agungkan rasionalitas belaka bukan hal bijak dan bahkan bisa tak punya makna
bagi nilai-nilai kemanusiaan. Agama menuntut kesucian berfikir. Mensucikan proses berfikir
itu adalah menjaga obyektifitas atas berbagai bias yang ada. Bias-bias itu bak “setan setan”
penggoda untuk mengarahkan pada subyektifitas diri.

Seorang Muslim sebaik apa pun dia dianjurkan untuk rutin beristighfar, memohon
pengampunanNya. Istighfar di gulita yang hening dalam linangan air mata menegaskan
pengakuan bahwa pola pikir dan gerakan jiwa kita masih berpotensi terkandung bias yang
mengeruhkan obyektifitas menuju jalanNya. Untuk itu kita selalu berharap ampunanNya
akan keterbatasan diri dan memohon kepadaNya untuk menuntun kita agar selalu jernih
dalam melangkah bersandar seluruh fakultas (daya) yang kita miliki.

Rasionalitas semestinya terbangun beriringan dengan kematangan spiritualitas .“It


takes two to tango”.Rasionalitas dan spiritualitas adalah dua dimensi yang tak terpisahkan.
Kesatuan rasionalitas dan spiritualitas itu mewujud menjadi keindahan. Keduanya menjadi
bangunan ideal mewujudkan kemuliaan manusia. Keduanya membedakan manusia dan
hewan. Rasionalitas dalam dekapan spiritualitas mengangkat derajat kemanusiaan menjadi
makhluk yang paling mulia di atas bumi. Manusia yang memiliki keduanya dengan utuh
adalah insan kamil. Kita membutuhkan para arif yang menuntun umat manusia mengarah
pada jalanNya dalam kesucian jiwa tanpa menumpulkan kemuliaan akal anugerahNya.[]

* Pemerhati Masalah Sosial

AJ/ Islam Indonesia


(Sumber: https://islamindonesia.id/kolom/kolom-benarkah-agama-berpotensi-rusak-akal.htm)

https://islamindonesia.id 375
Sunday, 27 November 2016

ANCAMAN RADIKALISME
Oleh: Adjie Suradji, Alumnus Fakultas Sains Universitas Karachi, Pakistan

islamindonesia.id – KOLOM – Ancaman Radikalisme

Situasi keagamaan di Indonesia belakangan ini sudah semakin mirip situasi


keagamaan negara-negara di Timur Tengah yang mempertontonkan intoleransi,
kekerasan, dan teror. Ketika agama yang sakral dicampuradukkan dengan politik
yang profan, wajah keduanya jadi berbeda. Kesakralan dan nilai-nilai religiositas
agama menjadi ternoda dan mekanisme demokrasi (politik) juga menjadi tak sehat.

Bangsa Indonesia tentu tak menghendaki tragedi seperti di Tunisia, Mesir, Libya,
dan Yaman (Arab Spring) terjadi di negeri ini. Namun, jika agama dijadikan senjata
politik dan kekerasan terus diteriakkan, rasanya tinggal tunggu waktu Indonesia
akan menjadi medan perang (dar-ur harb) seperti Irak dan Suriah.

Dari rangkaian sikap intoleran, kekerasan, dan teror berlatar agama, seperti
penyerangan terhadap komunitas Ahmadiyah, pengusiran komunitas Syiah,
pembakaran gereja di Singkil, teror bom Thamrin, insiden Tanjung Balai, hingga
pelemparan bom di Gereja Oikumene, Samarinda, menunjukkan bahwa kita sebagai
bangsa belum bisa hidup bersama dalam pluralitas.

https://islamindonesia.id 376
Sikap intoleran, kekerasan, dan teror berlatar agama sebenarnya tak perlu ditutup-
tutupi dengan retorika dan dalih: pada dasarnya agama menganjurkan kebaikan,
perdamaian, hidup rukun dan saling menghormati, serta agama tak menoleransi
perbuatan yang terkutuk dan tercela, semata. Karena, di balik itu semua tentu ada
agenda tersembunyi.

Munculnya gagasan purifikasi (pemurnian) agama yang dicetuskan Ibnu Taimiyah


(abad ke-12 Masehi), kemudian dihidupkan kembali oleh Muhammad Ibn’ Abd al-
Wahhab (1703-1787), yang terus berkembang di Arab Saudi hingga kini, ditengarai
menjadi salah satu faktornya.

Di Indonesia, gelombang reformasi telah melahirkan dinamika baru dalam gerakan


keberagamaan. Gerakan baru keberagamaan tak lagi didominasi produk lokal, tetapi
juga muncul wajah-wajah transnasional. Wahhabisme dengan programnya,
”Wahhabisasi Global”, justru diteriakkan lebih lantang dan eksklusif. (Politik Islam di
Era Kebangkitan, Shireen T Hunter, 2001)

Sayang, dalam menyikapi persoalan ini pemerintah terkesan ambigu. Di satu sisi
gencar meneriakkan slogan ”NKRI harga mati”, tetapi sisi lain selalu memberi ruang
kepada kelompok radikal yang berwajah transnasional bebas mempertontonkan
eksistensinya mengusung penegakan khilafah.

Jangan anggap sepele

Tak terlalu sulit untuk menemukan ”siapa berbuat apa” di negeri ini. The Pew
Research Center (2015) telah merilis hasil surveinya yang menyatakan bahwa 10
juta warga Indonesia berpaham radikal. Namun, kultur hukum negeri ini seakan
sudah rusak oleh kaum intoleran yang gemar menebar kekerasan.

Akibatnya, situasi keberagamaan yang moderat, toleran, dan akomodatif—


sebagaimana karakter dua organisasi keagamaan arus utama, Muhammadiyah dan
Nahdlatul Ulama—menjadi rusak. Artinya, ancaman disintegrasi bangsa menjadi
semakin nyata.

Adagium, ”jangan pernah memelihara singa di kandang domba—seekor singa bisa


membunuh ribuan domba”, bisa dibaca bahwa pemerintah jangan menganggap
sepele dan jangan sampai terlambat. Salah menginterpretasikan atau justru gagal
mengantisipasi pergerakan kelompok radikal berjubah agama, risikonya terlalu
mahal.

https://islamindonesia.id 377
India dan Pakistan memiliki catatan sejarah buruk. Krisis Golden Temple (1984)
antara radikalis Hindu dan pemerintah adalah mimpi buruk India. Krisis Masjid Lal
(2007) antara radikalis Suni dengan pemerintah adalah mimpi buruk Republik Islam
Pakistan. Bahkan, hingga sekarang, teror kelompok radikal masih menjadi hantu
mengerikan bagi Pemerintah Pakistan menyusul serangan maut di Akademi
Kepolisian Quetta (24/10) yang menewaskan 60 taruna polisi dan bom bunuh diri di
Kuil Sufi Balochistan (12/11) yang menewaskan 52 orang.

Untuk alasan apa pun jangan biarkan dan jangan beri ruang kelompok radikal
tumbuh dan berkembang. Negara tak boleh kalah. Indonesia sudah darurat
radikalisme. Dalam empat bulan terakhir terjadi empat kali serangan teror dengan
pola lone wolf—serigala sendirian, yaitu di Markas Polresta Solo (5/7), di Gereja
Katolik Stasi Santo Yosep, Medan (28/8), pos polisi di Tangerang (20/10), dan di
Gereja Oikumene, Samarinda (13/11).

Lantas, apakah pemerintah masih membiarkan propaganda penegakan khilafah


yang menolak negara demokrasi NKRI yang mendasarkan diri pada Pancasila?
Membiarkan mereka mensponsori ratusan pemuda-pemuda Indonesia untuk
bergabung dengan NIIS ke Suriah? Dan, membiarkan mereka menyebut Indonesia
sebagai negara thogut?

Dengan dukungan infrastruktur dan dana yang kuat, gerakan kelompok radikal lebih
aktif mengampanyekan eksklusivitas, militansi, radikalisme, dan bahkan kekerasan
di ruang publik. Tak heran jika agenda dua organisasi keagamaan arus utama,
Muhammadiyah dengan Islam Berkemajuan dan NU dengan Islam Nusantara,
tenggelam oleh euforia propaganda mereka. Disinyalir, pengaruh serta gagasan
ideologi dan puritanisasi mereka semakin meluas, bahkan sangat dimungkinkan
sudah terjadi penetrasi di lembaga-lembaga pemerintah.

Sekali lagi, jangan anggap sepele gerakan kelompok radikal berjubah agama.
Sebab, agama bisa dijadikan pembentuk kekuatan dahsyat dalam membangkitkan
identitas emosional massa dibandingkan identitas sosial lain. Agama bisa memicu
konflik bereskalasi mengerikan dengan intensitas tinggi, yang bisa memecah belah
persatuan bangsa.

Muhammadiyah dan NU

Semoga pemerintah tanggap dan cepat merespons ancaman ini. Untuk menangkal
radikalisme, di samping program deradikalisasi formal, dua agenda organisasi arus
utama—Islam Berkemajuan, Islam yang mampu beradaptasi, mengakomodasi serta
menyesuaikan diri dengan dinamika zaman; dan Islam Nusantara, yang merujuk

https://islamindonesia.id 378
model dakwahnya Walisongo dan konsep pribumisasinya almarhum Abdurrahman
Wahid (Gus Dur)— bisa lebih digalakkan dan dipopulerkan. Bagaimanapun, tanpa
Muhammadiyah dan NU, Indonesia bisa jatuh ke jurang kebiadaban dan kebengisan
ekstrem, seperti terjadi di negeri-negeri Timur Tengah.

Terlepas dari itu semua, ada dua hal yang pantas direnungkan. Pertama, energi
bangsa yang seharusnya bisa digunakan untuk mengatasi ketertinggalan dari
kemajuan bangsa-bangsa lain menjadi terkuras karena persoalan perumusan ulang
yang menyempitkan arti identitas dan justru berujung pada sikap saling memusuhi.
Kedua, ketika bangsa- bangsa lain telah mendayagunakan akal dan pikirannya
untuk mengeliminasi perbedaan antar- umat—emansipasi, agar bisa berkolaborasi
dalam memajukan peradaban, justru ada sekelompok orang di negeri ini yang
menciptakan penyekat—membuat jarak perbedaan antarsesama secara tak beradab
dengan mengatasnamakan agama.

Barangkali Ludwig Andreas von Feuerbach (1804-1872) benar. Katanya, jika dahulu
agama memproyeksikan kelemahan manusia, tetapi sekarang agama justru
memproyeksikan keserakahan manusia (The Essence of Religion, 1845). ●

YS / islam indonesia / sumber: Harian Kompas


(Sumber: https://islamindonesia.id/kolom/kolom-ancaman-radikalisme.htm)

https://islamindonesia.id 379
Wednesday, 23 November 2016

MEMAHAMI ISLAM: MAKNA ULAMA


Oleh: Abdillah Toha

Secara sederhana, kata Ulama yang berasal dari bahasa Arab, adalah jamak (plural)
dari Alim yang artinya orang berilmu atau ilmuwan. Asal katanya dari ‘alima yang
berarti mengetahui dan ‘ilm yang artinya ilmu. Dalam bahasa Indonesia, kata Ulama
yang jamak itu dipakai untuk singular sedang untuk yang banyak kita sering
menyebutnya sebagai Alim Ulama. Siapa sebenarnya yang berhak menyandang
gelar ulama? Adakah syarat-syarat sebelum orang dapat disebut sebagai ulama?
Fungsi apa yang diharapkan dari seorang ulama?

Sesungguhnya kata ilmu dan ulama dalam Al-Quran tidak banyak dihubungkan
dengan pengetahuan agama tetapi lebih banyak berhubungan dengan penguasaan
atas pengetahuan umum. Ayat pertama “iqra bismi rabbika” yang berarti bacalah
atas nama Tuhanmu, tidak dibatasi artinya dalam membaca wahyu Allah saja
karena masa itu budaya tulis menulis belum populer. Iqra maksudnya jauh lebih luas
yakni membaca keagungan ciptaan Tuhan berupa makhluk dan alam semesta.
Artinya, manusia diminta untuk meneliti kebesaran Tuhan dengan membaca atau
mempelajari seluk beluk alam serta rahasia dalam diri manusia. Lebih dari sepuluh
persen kandungan Al-Quran berisi ayat-ayat tentang fenomena alam yang
menakjubkan.

Sebagian ulama seperti imam Ghazali beranggapan bahwa Quran adalah sumber
semua pengetahuan, meski banyak ulama lain menganggap Quran lebih sebagai
buku petunjuk moral dan tauhid bagi manusia. Dua ayat berikut ini saja sudah
mengindikasikan betapa Quran yang diturunkan 14 abad yang lalu telah mendahului
berbagai teori ilmu modern.

“Dan apakah orang-orang yang tidak beriman tidak mengetahui bahwasanya langit
dan bumi itu keduanya dahulu adalah suatu yang padu, kemudian Kami pisahkan
antara keduanya. Dan dari air Kami jadikan segala sesuatu yang hidup. Maka
mengapakah mereka tiada juga beriman?” [QS. 21:30]

“Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat


kebesaran Allah. [QS. 51:49]

https://islamindonesia.id 380
Imam Ghazali juga membagi ilmu kedalam dua bagian. Ilmu umum yang hukumnya
fardhu kifayah (tidak semua muslim wajib menguasai), dan ilmu agama yang
hukumnya fardhu ‘ain (setiap muslim harus mempelajari).

Disamping ulama, Quran juga menyebut orang-orang terpelajar sebagai al-a’limin


(QS 30:22). Begitu pula ulul albab, ahludzikr, alladzina uutul ‘ilma, dan lain-lain.
Sedangkan untuk kata kerja sebagai sebuah proses yang tidak berhenti, digunakan
istilah mereka yang ya’qilun (berakal), yafqahun (memahami), ya’lamun
(mengetahui) dan seterusnya. Sehingga dengan demikian Al-Quran memang bukan
sekadar untuk dibaca tetapi yang lebih utama untuk dikaji. Orang dahulu
mengatakan mengaji, ketika kita membaca Quran.

Kata “ulama” itu sendiri menjadi populer sejak kekuasaan Ottoman ketika ulama
diresmikan sebagai gelar tertentu dan penyandangnya diberi posisi dalam urusan
negara sebagai “pejabat” yang berwenang menafsirkan Islam dan memberi fatwa.
Sebelum masa itu, istilah ulama tidak digunakan tetapi ada sebutan lain seperti
mufassir (ahli tafsir), muhaddist (ahli hadis), faqih (ahli hukum Islam), mufti (pejabat
pemberi fatwa), dan lain-lain sesuai dengan bidang keahliannya. Tak satupun dari
nama-nama “baru” inipun ada disebut dalam Quran.

Ahlul dzikir oleh sebagian ulama diartikan sebagai para ahli yang menguasai
pengetahuan tentang kitab-kitab suci terdahulu dimasa Rasul SAW seperti Injil dan
Taurat, yang dapat menguatkan keyakinan pemeluk Islam tentang kebenaran
kenabian Muhammad SAW. “Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu, kecuali
orang-orang lelaki yang Kami beri wahyu kepada mereka; Maka bertanyalah kepada
ahlul dzikir jika kamu tidak mengetahui.” (QS An-Nahl:43)

Sedangkan ulul albab adalah mereka yang menggunakan akal dan hati dalam
memahami wahyu Allah karena wahyu Allah dalam AlQuran hanya bisa dipahami
kedalamannya dengan merenung dan berpikir dengan akal budi. “Dia memberikan
hikmah kepada siapa yang Dia kehendaki. Barangsiapa diberi hikmah,
sesungguhnya dia telah diberi kebaikan yang banyak. Dan tidak ada yang dapat
mengambil pelajaran kecuali ulul albab (orang-orang yang mempunyai akal sehat).”
(QS 2:269)

Sejaka masa Ottoman seluruh negeri Muslim menggunakan sebutan ulama bagi
yang dianggap menguasai ilmu agama Islam, padahal Quran lebih cenderung
menyebut ulama sebagai mereka yang menguasai ilmu tentang fenomena alam.
Lalu apa syarat-syarat yang harus dipenuhi agar seseorang bisa disebut sebagai
ahli dalam agama Islam dan berhak menyandang gelar ulama?

https://islamindonesia.id 381
Menurut Ahmad Sarwat Lc., MA, yang disebut ulama dalam arti sebagai ahli dalam
agama Islam, paling tidak harus menguasai ilmu-ilmu tertentu, seperti ilmu Al-Quran,
ilmu hadits, ilmu fiqih, ushul fiqih, qawaid fiqhiyah serta menguasai dalil-dalil hukum
baik dari Quran dan sunnah. Juga mengerti masalah dalil nasikh
mansukh, dalil ‘amm dan khash, dalil mujmal dan mubayyan dan lainnya.

Dan kunci dari semua itu adalah penguasaan yang cukup tentang bahasa Arab dan
ilmu-ilmunya. Seperti masalah nahwu, sharf, balaghah, bayan dan lainnya. Ditambah
dengan satu lagi yaitu ilmu mantiq atau ilmu logika ilmiyah yang juga sangat penting.
Juga tidak boleh dilupakan adalah pengetahuan dan wawasan dalam masalah
syariah, misalnya mengetahui fiqih-fiqih yang sudah berkembang dalam berbagai
mazhab yang ada.

Semua itu merupakan syarat mutlak bagi seorang ulama, agar mampu
mengistimbath hukum dari Quran dan sunnah.
Juga, ulama dalam kehidupan modern saat ini tidak bisa mengisolasi diri dari
perubahan dan kemajuan ilmu pengetahuan yang sangat pesat dalam beberapa
dekade terakhir, dan karenanya pula dalam hal-hal tertentu tidak dapat menafsirkan
ajaran Islam yang terlepas dari pemaknaan secara multi disiplin.

Diluar itu, dan yang terpenting adalah syarat khasyiya rabbah, takut kepada Sang
Pemelihara, bagi ulama. “Sesungguhnya yang takut (khasyiya) kepada Allah di
kalangan hamba-hambaNya hanyalah para ulama”. (QS. 35:28) Khasyiya menurut
Dr Quriash Shihab berarti takut yang bercampur kekaguman atas keagungan Tuhan.
Manusia yang beginilah yang kemudian menjadikan dirinya rendah hati dan memiliki
akhlak yang mulia, serta terus menerus menggali kedalaman tuntunan agama
dengan niat yang tulus.

Berapa banyak kiranya mereka yang menyebut dirinya ulama, kiai, ustad, atau
habib, di negeri kita yang memenuhi semua persyaratan diatas?

Ulama yang jauh pandangannya kedepan juga mereka yang diharapkan menjadi
guru yang mulia, memberikan kejelasan hukum tanpa menimbulkan keresahan,
lemah lembut tutur katanya, mewujudkan masyarakat yang tenteram dengan
ketenangan batin, memberi arahan dakwah agar Islam menjadi agama yang menarik
bagi mereka yang belum atau tidak seiman, serta mencegah kekacauan yang bisa
menyengsarakan umat.

Jangan sampai ada yang mendeklarasikan dirinya sebagai ulama tetapi sebenarnya
dia sedang menyuguhkan keburukan dalam bentuk kebaikan atau menyajikan
kebatilan dalam bungkus kebenaran.

https://islamindonesia.id 382
Dalam hadis yang sangat terkenal, ulama disebut sebagai pewaris nabi.
Sesungguhnya sebagai pewaris nabi maka ulamalah yang mewarisi kitab suci
setelah wafatnya nabi.

Lalu sebagai pewaris Nabi, Al-Quran membagi ulama kedalam tiga golongan. Ada
yang baik, namun ada juga ulama yang menyalahgunakan Al-Quran untuk tujuan
pribadinya. “Kemudian Kitab itu Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih
di antara hamba-hamba Kami, lalu di antara mereka ada yang menganiaya diri
mereka sendiri dan di antara mereka ada yang pertengahan dan diantara mereka
ada (pula) yang lebih dahulu berbuat kebaikan dengan izin Allah. Yang demikian itu
adalah karunia yang amat besar”. [QS. 35:32]

Al-Quran juga menegaskan bahwa nabi dan pewarisnya (ulama) berfungsi


menyelesaikan dan menemukan solusi bagi berbagai perselisihan umat, bukan
justru sebaliknya menciptakan perseteruan diantara mereka. “Manusia itu adalah
umat yang satu. (setelah timbul perselisihan), maka Allah mengutus para nabi,
sebagai pemberi peringatan, dan Allah menurunkan bersama mereka Kitab yang
benar, untuk memberi keputusan di antara manusia tentang perkara yang mereka
perselisihkan. ….” (QS 2:213)

Dua jenis “ulama” lain yang harus kita waspadai adalah ulama penjilat penguasa dan
ulama penjilat publik. Yang belakang ini adalah ulama yang mencari pengikut
sebanyak-banyaknya, bukan dengan maksud baik tetapi demi meraih kehormatan
serta keuntungan pribadi.

Meskipun Islam tidak mengenal lembaga kependetaan, begitu pula bahwa fatwa
ulama pada hakekatnya tidak mengikat kaum muslimin, tanggung jawab baik
buruknya umat jelas menjadi beban para alim ulama. Bila ulamanya baik maka
umatnya akan baik pula. Bahkan ada hadis lain yang mengatakan bahwa salah satu
tanda mendekatnya kiamat adalah hilangnya ulama yang baik dari muka bumi.

Mudah-mudahan Allah menjaga umat Islam dan bangsa ini khususnya dengan
menghadirkan pemimpin dan ulama yang benar-benar berakhlak, berilmu tinggi dan
berhati bening, mampu mewujudkan muslim yang sejahtera lahir dan batin, beradab
dan bermartabat serta disegani dan dicintai oleh siapapun yang berhubungan
dengannya. []

AT – 21-11-2016

YS / islam indonesia
(Sumber: https://islamindonesia.id/kolom/kolom-memahami-islam-makna-ulama.htm)

https://islamindonesia.id 383
Sunday, 06 November 2016

SYEKH FARHAN AL MALIKI: SIAPA YANG


SESUNGGUHNYA MENISTA ISLAM?

islamindonesia.id — Syekh Hasan Farhan Al Maliki: Siapa yang Sesungguhnya Menista Islam?

Saya tidak akan katakan pada Anda: Jangan berbeda pendapat dengan saya! Tiap orang
berhak punya pendapatnya sendiri-sendiri. Tapi mohon berbedalah pendapat dengan mulia.
Jangan dustakan saya. Jangan distorsi kata-kata saya. Jangan plintir. Jangan otak-atik.
Perbedaan pendapat dengan jujur adalah suatu keutamaan bagi saya dan Anda.

Pembunuhan atas jurnalis Yordania Nahed Hatar beberapa waktu lalu dan Fareg Fawda
beberapa tahun sebelum ini telah menimbulkan banyak pembicaraan tanpa ulasan dari
kalimat: penistaan dan penodaan agama. Pertanyaannya, kapan seseorang dapat disebut
menista dan menodai agama dan Allah? Apakah saat dia—audzubillah—mencaci Allah?
Ataukah saat dia mengaitkan perbuatan buruknya kepada Allah? Atau ketika dia berbohong
kepada Allah? Atau semua itu dan yang lain?

Menurut saya, penistaan dan penodaan Allah itu mencakup semua yang di atas dan yang
lain. Tetapi, penistaan dan penodaan itu relatif, sehingga seorang layak bertanya: Apakah
penistaan dan penodaan yang paling besar? Apakah kita dapat mengetahuinya.

Penistaan dan penodaan kepada Allah diungkapkan dalam Al-Qur’an dengan berbagai
istilah dan kalimat. Maksud saya, tidak ada istilah dan kalimat penistaan dan penodaan itu
sendiri. Yang termaktub adalah makian dan dusta kepada Allah.

https://islamindonesia.id 384
Kita kembali bertanya: Apakah penistaan dan penodaan kepada Allah yang paling jelas
dalam Al-Qur’an? Jawabnya: penistaan dan penodaan kepada Allah dalam Al-Qur’an
terdapat dalam ayat-ayat yang menggunakan kalimat “‫( ”ومنَأظلم‬Siapakah yang lebih zalim,
aniaya). Ayat-ayat yang memakai kalimat ini mengabarkan kepada kita puncak tertinggi
kezaliman. Misalnya “Siapakah yang lebih zalim daripada orang yang membuat-buat suatu
kedustaan terhadap Allah, atau mendustakan ayat-ayatNya? Sesungguhnya orang-orang
yang zalim itu tidak akan beruntung (berjaya)?” (QS 6: 21).

Pendusta Allah tentu saja menistakan dan menodai Dia. Adapun perilaku dan perangai yang
masuk dalam ayat-ayat yang memakai kalimat “‫( ”ومنَأظلم‬Siapakah yang lebih zalim, aniaya)
itu ada tujuh. Dan ironisnya kebanyakan Muslim yang saya saksikan punya perilaku dan
perangai ini. Mayoritas Muslim yang selamat dari salah satu perilaku terjebak dalam perilaku
lainnya.

Kelompok “yang paling zalim” di dalam Al-Qur’an, di antaranya, adalah pendusta Allah;
orang yang membohongkan kebenaran dan kejujuran; yang menutup kesaksikan; melarang
rumah ibadah yang di dalamnya manusia mengingat Allah dan sebagainya. Saya akan
kemukakan beberapa ayat yang menggunakan kalimat “‫( ”ومنَأظلم‬Siapakah yang lebih zalim,
aniaya) lalu saya akan uraikan sisi penodaan dan penistaannya sehingga Allah jadikan ia
sebagai puncak kezaliman. Lalu kita lihat siapakah golongan yang mempraktikkannya.

Misalnya, dalam surah Al-An’am Allah berfirman: ““Siapakah yang lebih zalim daripada
orang yang membuat-buat suatu kedustaan terhadap Allah, atau mendustakan ayat-
ayatNya? Sesungguhnya orang-orang yang zalim itu tidak akan beruntung (berjaya)?” (QS
6: 21).

Ayat ini menegaskan dua perangai golongan “yang paling zalim”: 1. Membuat-buat
kedustaan terhadap Allah; dan 2. mendustakan ayat-ayatNya. Lalu apa arti keduanya?
Mengapa membuat-buat kedustaan terhadap Allah disebut sebagai perangai penistaan atas
Allah? Karena Allah bertanya “siapakah yang paling zalim” dan Allah juga yang
menjawabnya, karena Dialah yang paling mengerti derajat-derajat kezaliman manusia.

Lalu apakah makna ‘Membuat-buat kedustaan terhadap Allah’ ini? Dan apa contoh-
contohnya? Di antara contohnya dalam Al-Qur’an adalah menghalalkan apa yang Allah
haramkan, seperti Allah mengharamkan pembunuhan dan pertumpahan darah lalu dia
menjadikannya sebagai jihad. Allah jelas-jelas mengharamkan membunuh jiwa tanpa hak
dan hudud. Tapi nyatanya perilaku ini marak di tengah Muslimin.

Di sini timbul pertanyaan: Siapakah yang menistakan Allah? Siapakah yang paling zalim
menurut Allah? Jawabnya jelas. Penista yang paling zalim terhadap Allah adalah orang yang

https://islamindonesia.id 385
menganggap pelanggarannya atas apa yang Allah haramkan sebagai keridhaan dan syariat
Allah.

Pertanyaan bercabang yang mesti pula kita tanyakan kepada diri kita: Bagaimana
aku menjamin bahwa aku tidak mendustakan Allah? Bagaimana aku yakin bahwa bukan
golongan “yang paling zalim terhadap Allah”? Apakah kamu pernah mendengar Muslim
bertanya seperti ini kepada dirinya? Sudahkah kita mendengar orang yang menilai dirinya
sendiri sebelum hari perhitungan kelak? Ataukah semua sudah yakin hingga tak pernah
mempertanyakan atau menilai diri mereka sendiri?

Sekiranya pertanyaan di atas hadir dalam benak Muslim, maka mereka tidak akan
menjadikan penghilangan nyawa orang yang diharamkan Allah kecuali dengan hak sebagai
perintah Allah serta kewajiban dan ketaatan terbesar?

Nah, kini lingkaran “para penista agama” membesar di depan mata kita. Tidak cukup hanya
dengan melukis suatu gambaran atau mengarang suatu kitab. Satu perangai ini saja telah
tampak jauh lebih besar daripada yang kita perkirakan sebelumnya. Nah, bagaimana bila
kita beberkan pendustaan terhadap ayat-ayat Allah itu satu demi satu; baik secara langsung
maupun tidak; tidakkah lingkaran para pendusta itu akan melebar? Bukankah golongan
paling zalim terhadap Allah itu jauh banyak?

Nah, jika kita tambahkan dengan fakta bahwa ayat-ayat Allah itu tidak terkait dengan ayat-
ayat (tanda-tanda) wahyu saja, melainkan juga mencakup ayat-ayat di ufuk dan di dalam diri
manusia, maka bisa kita bayangkan betapa luas lingkaran para pendusta dan puak paling
zalim terhadap Allah itu.

Jika lingkaran kaum paling zalim terhadap Allah ini telah meluas, maka demikian pula
lingkaran kaum penista Allah akan meluas. Yang ini mendustakan Allah dan
mengatribusikan kejahatan-kejahatannya kepada Allah, dan yang itu mendustakan tanda-
tanda Allah.

Dan kalian semua akan terkejut bukan alang kepalang ketika mengetahui bahwa ini baru
satu dari 15 ayat yang berbicara ihwal golongan yang paling zalim terhadap Allah. Jika kita
beberkan semuanya mungkin tidak tersisa satu Muslim pun di muka bumi ini yang masih
merasa pongah dan petantang petenteng. Jadi, agama Allah ini memang bukan main-main.

AJ / Islam Indonesia
(Sumber: https://islamindonesia.id/kolom/kolom-syekh-farhan-al-maliki-siapa-yang-sesungguhnya-menista-islam.htm)

https://islamindonesia.id 386
Wednesday, 02 November 2016

SUPREMASI HUKUM UNTUK “PENISTA AGAMA”?


Oleh: Zainal Abidin Bagir*

islamindonesia.id — Supremasi Hukum untuk “Penista Agama”?

Tak sedikit tokoh, pejabat, politisi bahkan polisi yang memuji gelombang aksi protes
terhadap ucapan Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) yang kontroversial
itu. Pujian-pujian itu beralasan, karena meskipun kelompok yang memobilisasi atau
mendukung demo tampaknya berasal dari spektrum yang amat luas, mulai dari yang
sangat moderat hingga yang disebut garis keras, tuntutan akhir mereka sama, yaitu
menuntut agar Ahok diproses di jalur hukum, secara adil dan berkeadilan.

Supremasi hukum demi tegaknya keadilan tentu adalah jalan beradab, demokratis
dan moderat. Tapi benarkah demikian? Saya khawatir, imajinasi tentang keadaban
dan sikap moderat seperti ini terlalu cetek. Tentu tidak keliru, tapi tidak cukup.
Penyelesaian masalah melalui jalur hukum harus dipuji, jika alternatifnya adalah
respon kekerasan. Namun, khususnya dalam kasus “penistaan agama”, ada banyak
alasan untuk meragukan bahwa seruan itu adalah jalan terbaik untuk memecahkan
masalah, dan mungkin justru tak menjanjikan keadilan.

Sebab utamanya adalah bahwa peristiwa ini (ucapan Ahok dan pembingkaian atas
peristiwa itu sebagai “penistaan agama”), jika masuk pengadilan, kemungkinan
besar merujuk merujuk pada Pasal 156A KUHP, yang tidak memiliki karir gemilang

https://islamindonesia.id 387
dalam sejarah Indonesia. Ini adalah bagian dari pasal-pasal karet “kejahatan
terhadap ketertiban umum” dalam KUHP. Pasal yang ditambahkan pada tahun 1969
atas perintah UU 1/PNPS/1965 ini memiliki nilai politis yang amat kuat. Target
awalnya adalah untuk membatasi aliran-aliran kebatinan/kepercayaan yang
terutama bersaing dengan kekuatan politik Islam pada tahun 1950 dan 1960an.

Setelah tahun 1998, target itu bergeser. Target lama tetap ada, meskipun bukan
mengenai aliran-aliran kebatinan lama, tapi gerakan-gerakan baru seperti
Salamullah yang dipimpin Lia Eden, atau Millah Abraham. Tak ada isu politik penting
dalam mengejar kelompok-kelompok itu, namun alasan utamanya adalah
“pemurnian” Islam (dan mungkin alasan soisal-ekonomi-politik lain). Selain itu, tujuan
baru penggunaan pasal ini adalah sebagai upaya peminggiran intraagama, yaitu
kelompok-kelompok dalam komunitas Muslim sendiri, seperti Ahmadiyah dan Syiah,
yang sebetulnya sudah eksis di Indonesia sejak jauh sebelumnya. Dalam Kristen,
ada beberapa kasus serupa. Pasal penodaan agama jarang digunakan sebagai
ekspresi perselisihan antaragama, kecuali dalam beberapa kasus.

Melihat rentang wilayah penggunaan pasal KUHP itu, kita bisa segera mencurigai
efektifitasnya. Bagaimana mungkin keyakinan (misalnya bahwa Nabi Muhammad
adalah Rasul terakhir dalam Islam) dijaga dengan pasal yang sama yang
memenjarakan orang selama 5 bulan karena memprotes speaker masjid yang terlalu
keras (seperti di Lombok pada 2010; seorang perempuan Kristen yang
mengomentari sesajen Hindu (seperti di Bali pada 2013); atau seorang “Presiden”
Negara Islam Indonesia yang mengubah arah kiblat dan syahadat Islam, namun
kemudian pada 2012 hakim memberi hukuman setahun, untuk dirawat di Rumah
Sakit Jiwa. Itu hanyalah beberapa contoh yang bisa diperbanyak dengan mudah.

Selain rentang implementasi yang demikian luas, persoalan lain adalah amat
kaburnya standar pembuktian kasus-kasus semacam itu. Kasus-kasus yang diadili
dengan Pasal 156A tersebut biasanya menggunakan cara pembuktian
serampangan, dengan pemilihan saksi ahli yang tak jelas standarnya pula (dalam
satu kasus pada tahun 2012, seorang yang diajukan sebagai saksi ahli agama
bahkan tidak lulus sekolah). Penistaan atau penodaan bukan sekadar pernyataan
yang berbeda, tapi—seperti dinyatakan Pasal 156A itu—mesti bersifat permusuhan,
penyalahgunaan atau penodaan, bahkan mesti ada maksud supaya orang tidak
menganut agama apapun. Apakah Ahok, yang membutuhkan suara mayoritas
Muslim Jakarta, berpikir untuk memusuhi mereka?

Selain itu, apakah ia dianggap menghina Islam, atau ulama? Yang dikritiknya adalah
Muslim yang disebutnya membohongi pemilih DKI dengan menggunakan ayat 51

https://islamindonesia.id 388
surat Al-Maidah. Apakah muslim seperti itu identik dengan Islam, sementara banyak
ulama dan terjemahan Al-Qur’an memberikan tafsir berbeda?

Dalam kenyataannya, jika kasus ini masuk ke pengadilan, seperti dapat dilihat dalam
banyak kasus, pertanyaan-pertanyaan tentang standar pembuktian kerap diabaikan.
Yang menjadi pertimbangan yang tak kalah penting adalah “ketertiban umum” (yang
menjadi judul Bab KUHP yang mengandung pasal tersebut). Persoalannya,
ancaman terhadap “ketidaktertiban umum” itu lebih sering dipicu oleh pemrotes yang
merasa tersinggung, dan bukan pelaku itu sendiri. Karena itulah, demonstrasi besar
jilid satu dan dua pada 4 November nanti—dan bukan ucapan Ahok itu sendiri—
menjadi penting sebagai dasar untuk menggelar pengadilan atas Ahok.
Pemurnian sebagai politik

Penting dilihat bahwa dalam kenyataannya, Pasal 156A dipakai hanya selama
sekitar 10 kali sejak tahun 1965 hingga 2000, dan tiba-tiba dalam 15 tahun terakhir
demikian populer, telah digunakan sekitar 50 kali! Apakah setelah Reformasi ada
makin banyak para penoda agama atau orang-orang yang sesat? Atau ada
penjelasan lain dengan melihat transisi politik pada 1998?

Seperti halnya pasal-pasal kriminal serupa di banyak negara lain tentang


“penodaan”, “penistaan”, atau “blasphemy”, upaya seperti ini biasanya memang
menggabungkan dua tujuan sekaligus: tujuan penjagaan “kemurnian agama” (tentu
dalam versi kelompok yang memiliki kuasa untuk mendiktekannya) dan tujuan
politik. Pasal ini menjadi instrumen efektif untuk menjalankan politik “pemurnian”
agama, yaitu penegasan kuasa politik suatu kelompok keagamaan.

Pada tahun 2010, UU ini dan Pasal 156A diajukan ke Mahkamah Konstitusi. Benar
MK mempertahankan pasal ini, namun perlu dilihat juga catatan panjang yang
diberikan para hakim MK tentang kelemahan-kelemahannya, dan saran agar pasal
ini direvisi supaya tidak diskriminatif serta mendukung pluralisme Indonesia. Bahwa
ada unsur politik, bukan semata-mata pidana, dalam pasal ini, tampak dalam
pertimbangan MK yang panjang, hingga mengelaborasi persoalan filosofis mengenai
hubungan agama dan negara, dan sejarah Indonesia sebagai negara berketuhanan.

Bagaimana mengatasi Ahok: Imajinasi yang lebih kaya

Maka kita bisa bertanya, apa sebetulnya tujuan dari keinginan besar untuk mengadili
Ahok sebagai penista agama? Soalnya mungkin bukan tentang umat Islam yang
sudah seharusnya tersinggung atas upaya penistaan agamanya. Pertama,
ketersinggungan itu mungkin dirasakan setelah pernyataan Ahok itu dibingkai orang

https://islamindonesia.id 389
dan kelompok tertentu, yang lalu memobilisasi massa. (Sekali lagi, ini mirip dengan
kasus “penodaan” lain, seperti kasus kartun Denmark.)

Selain itu, jika tak ada alasan politik praktis menjelang pilgub DKI atau yang lain, tapi
ini soal menjaga kemurnian agama, benarkah kita mau menggantungkan kemuliaan
agama pada satu pasal karet yang sama yang telah digunakan untuk mengadili
orang dengan gangguan kejiwaan, pencabut speaker masjid, seorang ibu rumah
tangga yang mengomentari sesajen Hindu, atau banyak kasus-kasus lainnya?

Jika idenya adalah, seperti disampaikan banyak pemrotes Ahok, untuk


mempertahankan kebhinnekaan dan toleransi Indonesia, maka seharusnya kita
mengembangkan imajinasi lebih kaya tentang suatu negara bhinneka yang beradab
dan demokratis. Misalnya, dengan melihat bahwa penyelesaian konflik dan
penjagaan kebhinnekaan bukan semata-mata isu formalitas suatu pasal hukum
pidana yang telah berusia setengah abad.

Selain pendekatan hukum, sebetulnya kasus-kasus perselisihan keagamaan


mutakhir di Indonesia menunjukkan bahwa pendekatan non-litigasi lebih menjamin
tercapainya pemecahan masalah. Banyak contohnya, mulai dari persoalan-
persoalan menyangkut rumah ibadah (gereja, masjid, atau rumah ibadah lainnya),
hingga konflik-konflik komunal seperti konflik Muslim-Kristen di Ambon. Dalam hal
ini, selain melihat Pasal 156A, kita perlu pula melihat bagaimana UU Penanganan
Konflik Sosial merespon isu semacam ini.

Kita bisa juga melihat adanya penggeseran tren “penodaan agama” di dunia Muslim.
Dalam Organisasi Kerjasama Islam, sejak 1999 ada upaya menggolkan resolusi
PBB tentang “penodaan Islam” untuk merespon makin maraknya tren yang
belakangan disebut Islamophobia. Setelah sejarah panjang kegagalan resolusi ini,
akhirnya pada tahun 2011 resolusi ini berubah menjadi Resolusi 16/18 tentang
“memerangi intoleransi, stigmatisasi, stereotyping dan kekerasan atas dasar
agama”, dan segera diterima secara bulat oleh semua negara dalam Dewan HAM
dan kemudian dalam Majelis Umum PBB.

Ada dua karakter penting dalam pergeseran itu. “Penodaan agama” biasanya
berwujud tekanan pada kelompok yang lebih lemah dari kelompok besar (besar
bukan hanya karena jumlah, tapi kemampuan mobilisasi), sementara resolusi yang
baru membela kelompok minoritas (seperti Muslim di Eropa) dari tekanan kelompok
besar.

Selain itu, ada kesadaran pula bahwa hal-hal seperti itu tidak efektif diselesaikan
melalui hukum. Perselisihan yang biasanya disebut sebagai “penodaan agama” lebih

https://islamindonesia.id 390
efektif diselesaikan melalui dialog dan tindakan politik, serta, secara jangka panjang,
melalui pendidikan. Bukan kebetulan bahwa resolusi itu diubah hanya beberapa
bulan setelah Pakistan, sebagai pendukung utamanya, menyaksikan terbunuhnya
Gubernur Punjab Salman Taseer yang mengkritik UU penodaan agama negerinya.

Pada akhirnya, kita perlu beratanya ulang: apa yang mau kita capai? Dan apakah
penegakan hukum—apalagi ketika mempertimbangkan hukum yang bermasalah
dalam kasus ini—akan mencapai tujuan itu? Alternatif yang diajukan tentu bukanlah
melawan hukum. Tapi kemauan politik yang kuat dari pihak penyelenggara negara
untuk mencari jalan-jalan kreatif pemecahan masalah, dan kesediaan kelompok-
kelompok pemrotes—setelah bertanya ulang tujuan protesnya—untuk berusaha
keras mencari jalan penyelesaian dialogis.

Jalan dialogis perundingan mungkin dianggap sebagai terlalu soft atau flamboyan
dan muluk-muluk saja. Namun kita sudah melihat bahwa beberapa konflik keras
yang melibatkan komunitas keagamaan dapat selesai dengan pendekatan ini,
sementara “penegakan hukum” justru dapat memperuncing perselisihan dan
merugikan semua pihak.

Pada saat ini, ketika tahap perselisihan terkait kasus Ahok ini sudah mencapai tahap
yang cukup mengkhawatirkan, pemerintah, penegak hukum, maupun kelompok-
kelompok Muslim dituntut untuk berupaya lebih keras—ya, lebih keras dari upaya
memobilisasi atau mengantisipasi Demo 4 November—dalam mengupayakan jalan
keluar yang lebih baik. Teriakan “tegakkan hukum!” terlalu mudah untuk persoalan
kita—sekali lagi, jika disepakati bahwa kebhinnekaan dan kemuliaan agama di
Indonesia adalah taruhannya. ***
Catatan: Penulis membahasan lebih jauh tentang sejarah Pasal 156A dan UU
No.1/PNPS/1965 yang dikutip di atas
di https://papers.ssrn.com/sol3/papers.cfm?abstract_id=2228476. Sedangkan
mengenai Resolusi16/18, penulis bahas
dihttp://www.victoria.ac.nz/law/centres/nzcpl/publications/human-rights-research-
journal/previous-issues/volume-nine,-2014 .

*Dosen Program Studi Agama dan Lintas Budaya, Universitas Gadjah Mada

AJ / Islam Indonesia
(Sumber: https://islamindonesia.id/kolom/kolom-supremasi-hukum-untuk-penista-agama.htm)

https://islamindonesia.id 391
Sunday, 30 October 2016

4 NOVEMBER DAN POLITIK PERINGATAN


Oleh Hertasning Ichlas*

Peringatan dan analisis tentang demonstrasi pada tanggal 4 November bertiup


begitu kencang. Diramaikan analisis yang cukup menegangkan. Pemerintah dan
ormas Islam memainkan peran yang luar biasa memberi peringatan dan seolah
wajib mengedukasi warga soal kandungan dan motivasi demonstrasi tersebut.

Namun seperti kita ketahui, di banyak hal lain pemerintah dan ormas Islam serta
tokoh-tokohnya sering kecolongan mungkin juga mengabaikan informasi tentang
nasib rakyat kecil yang dirampas dan ditindas lalu aparat datang tergopoh-gopoh
usai kejadian.

Korban penggusuran, korban perampasan tanah, korban konflik tenurial warga vs


korporasi yang massif sepertinya sangat jarang menjadi perhatian mereka.

Tapi berbeda untuk demo tanggal 4 November, semua unsur tampak sigap dan
kompak membuat woro-woro peringatan begitu serius dengan analisis yang lumayan
mutakhir.

Jadi sebenarnya wajah pemerintah dan ormas Islam mana yang kita perlu percayai?
Wajah ketika mereka bicara politik adiluhung melibatkan narasi besar dan
kepentingan tokoh-tokoh nasional besar atau wajah ketika mereka mengurus urusan
politik sehari-hari melibatkan kepentingan rakyat biasa?

Sebagai generasi hibrida dari Orba dan Reformasi, kita terbiasa untuk selalu awas
justru ketika pemerintah dan ormas Islam yang biasanya diam pada soal-soal nasib
rakyat, kini justru begitu aktif. Mohon dimaafkan jika ada banyak selidik dan curiga,
karena generasi ini sudah terlatih dibohongi dan pada gilirannya terbiasa
memisahkan dusta dari kata.

Begitu banyak analisis bahwa demonstrasi nanti tanggal 4 November punya tujuan
lebih besar dari sekadar menjungkalkan Ahok. Bahwa demo yang dimotori umat
Islam radikal dan ekstrem itu adalah sebentuk konsolidasi instan Islam radikal dan
ekstrem untuk memecah-belah Indonesia.

https://islamindonesia.id 392
Umat Islam yang lagi-lagi karena emosinya dan jumlahnya dianggap akan memberi
“hadiah” peperangan kepada bangsa ini untuk melakukan Balkanisasi dan
Suriahisasi terhadap kepentingan NKRI. Analisis itu begitu ramai dan kuat, sehingga
nampak seperti ramalan yang hendak berusaha terbukti.

Entahlah, mungkin saja itu benar, meskipun analisis terhadap jejak footprint gerakan
radikal ekstrem seperti ISIS dan kaum Wahabi Takfiri harus pula dibahas sehingga
tampak nyata dan rasional, tidak terkesan mengada-ada dan emosional dan seperti
kebiasaan kita membawa-bawa umat Islam Indonesia sudah berpuluh-puluh tahun
sering dipinjam dan digunakan nama dan orangnya untuk kepentingan politik.

Tapi dalam tulisan ini izinkan juga saya mengajukan spekulasi rasional lain, untuk
mengukur dan menepis anggapan berlebihan bahwa konsolidasi Islam radikal dan
ekstrem itu tunggal dan sendirian merancang dan mengorganisir dirinya.

Dengan segala hormat, sepanjang karir politik gerakan Islam Indonesia post-kolonial
apalagi di era Soeharto, kelompok Islam ekstrem lebih banyak berperan menjadi
serdadu partikelir lapangan semacam “foot soldiers” dari kepentingan-kepentingan
politik adiluhung terutama negara lain yang jauh yang biasanya bersumber pada
logika politik ekonomi sumber daya alam yang kolonialistik.

Dan berikut ini, yang paling penting yang ingin saya katakan, semoga kita cukup
tenang untuk menimbangnya, peringatan untuk mengkhawatirkan bahkan cenderung
menakuti-nakuti dan membuat panik warga tentang Suriahisasi dan Balkanisasi dari
kekuatan dan konsolidasi Islam ekstrem pada unjuk rasa tanggal 4 November nanti,
menurut saya agak mencurigakan dan kurang adil kepada rakyat.

Selama ini kita tahu ada kesan dan kejadian bahwa justru kekuatan Islam ekstrem
seperti ISIS dan kelompok Islam intoleran yang berusaha untuk eksis sendirian
dengan memberangus keragaman di Indonesia seperti mereka yang berafiliasi
dengan ANNAS (Aliansi Nasional Anti Syiah) justru seperti dibiarkan berkembang
dan beranak-pinak di Indonesia. Mereka hidup, aktif bahkan terlihat bercengkrama
dan bersosialita dengan pejabat publik nasional negara kita.

Karena itu begitu mengherankan menurut saya jika pemerintah dan ormas Islam kini
tergopoh-gopoh memperingatkan tentang betapa berbahayanya mereka, kini ketika
mereka bertumbuh dan mengkonsolidasikan diri. Apakah ini bukan permainan
politik?

Unjuk rasa politik tanggal 4 November itu pada dasarnya adalah demonstrasi biasa
sampai kemudian terbukti sebaliknya. Sebaiknya kita sudahi memberi analisis-

https://islamindonesia.id 393
analisis spekulatif yang menuding umat Islam akan melakukan “pengkhianatan”
terhadap negeri ini. Selain belum tentu faktual, analisis itu justru akan mengirimkan
pesan dan ide lebih jelas kepada penunggang demonstrasi itu untuk
mewujudkannya.

Demonstrasi itu akan berlangsung wajar dan damai jika pemerintah tenang, awas
dan bekerja menangani demonstrasi dengan wajar dan cerdas. Jangan
menyiramkan bensin tentang ide-ide “pemberontakan” tentang penyelenggaraan
demonstrasi itu kepada rakyat. Simpan saja ide dan analisis itu untuk kepentingan
aparat dan intelijen negara. Kecuali kita semua memang sedang berpolitik sejak
awal.[]

* Wartawan

YS / islam indonesia
(Sumber: https://islamindonesia.id/kolom/kolom-4-november-dan-politik-peringatan.htm)

https://islamindonesia.id 394
Sunday, 23 October 2016

SYEKH ALMALIKI: MENGAPA UMAT TIDAK TENANG


DENGAN MENGINGAT ALLAH?

islamindonesia.id — Syekh Hasan Farhan Almaliki: Mengapa Umat Islam tidak Jadi
Tenang dengan Mengingat Allah?

Jika ada kajian psikologis terhadap bangsa-bangsa dunia, maka mungkin


kesimpulannya bahwa umat Islam adalah umat paling gelisah meski mereka pada
saat yang sama mengira bahwa merekalah satu-satunya yang tenang dengan
mengingat Allah. Allah berfirman:

ْ ‫طمئِ ُّن‬
ُ ُ‫َالقُل‬
َ‫وب‬ ْ ‫ََّللاَت‬ ْ ‫الَّذِينَآمنُواَوت‬
ِ َّ ‫طمئِ ُّنَقُلُوبُ ُهمَ ِب ِذ ْك ِر‬
ِ َّ ‫ََّللاََۗأَلَ ِب ِذ ْك ِر‬

(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan
mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi
tenteram. (QS 13: 28).

Pertanyaannya, mengapa umat Islam tidak menjadi tenteram dengan mengingat


Allah? Mengapa mereka tetap gelisah, resah, gundah gulana, fanatik dan saling
membenci? Jawabnya gambang saja tapi perlu penjelasan yang memadai. Maka
mohon dengarkan.

Mengingat Allah atau zikir kepada Allah bukanlah dengan lidah. Mengingat Allah
adalah dengan menjadikan Allah di dalam dirimu. Dengan cara ini maka Anda
berdamai bahkan dengan benda-benda mati, pepohonan, dan hewan yang melata.
Kau menyadari bahwa semua itu bertasbih dan menyanjung Tuhan mereka.

https://islamindonesia.id 395
Kesadaran dan sikap berdamai ini secara otomatis mendorong orang untuk
merenungi makhluk-makhluk-Nya. Dan renungan ini akan menyingkap pelabagai
sistem, hukum dan rahasia alam. Inilah iman. Pada saat itulah kau menemukan
Allah di sana, di mana-mana.

Setan dan bala tentaranya menyibukkan kita dengan perang, ekspedisi militer,
berita-berita pampasan dan tawanan dalam rangka mencegah kita memakai kunci
dunia dan iman ini untuk melihat dan menyingkap alam raya.

Barat merenungi alam makhluk dan menyingkap bermacam rahasia. Awalnya


mereka juga menemukan kesimpulan-kesimpulan sederhana. Namun mereka terus
bergerak dan meninggalkan gereja, menghentikan kebohongan atas Allah. Maka
Allah membalas mereka dengan menyingkapkan alam materi bagi mereka.

Apakah umat Islam pernah sadar akan pentingnya begitu banyak peritah Allah untuk
merenungi makhluk? Apakah mereka melaksanakan segenap perintah-Nya dalam
perkara ini secara sungguh-sungguh hingga Allah mengganjar mereka atau mereka
menyepelekannya hingga Allah menyiksa mereka?

Tidak ada keraguan bahwa umat Islam ini meremehkan perintah-perintah tersebut,
sehingga Allah membalas mereka. Dan kini kita di tengah masa pembalasan yang
dipenuhi dengan keterbelakangan, pertikaian, kepanikan, kegundahan, kemiskinan
dan saling menindas. Allah berfirman

ً ُ‫آنَ ِليذَّ َّك ُرواَوماَي ِزيد ُ ُه ْمَ ِإ ََّلَنُف‬


‫ورا‬ ِ ‫اَالقُ ْر‬ ٰ ِ‫ولقدَْص َّر ْفناَف‬
ْ ‫يَهذ‬

Dan sesungguhnya dalam Al Quran ini Kami telah ulang-ulangi (peringatan-


peringatan), agar mereka selalu ingat. Dan pengulangan peringatan itu tidak lain
hanyalah menambah mereka lari (dari kebenaran). (QS 17: 41)

Zikir di dalam Al-Qur’an adalah senantiasa mengingat Allah. Dalilnya, Allah


berfirman

َ‫اسَمنَيقُولَُربَّناَآ ِتنا‬ َّ ‫فإِذاَقض ْيتُمَ َّمنا ِسك ُك ْمَفا ْذ ُك ُر‬


ِ َّ‫واََّللاَك ِذ ْك ِر ُك ْمَآباء ُك ْمَأ ْوَأشَدََّ ِذ ْك ًراََۗف ِمنَالن‬
ٍَ ‫َم ْنَخال‬
‫ق‬ ْ ِ‫فِيَالدُّ ْنياَوماَلهَُف‬
ِ ِ‫يَاْل ِخرة‬

Apabila kamu telah menyelesaikan ibadah hajimu, maka berdzikirlah dengan


menyebut Allah, sebagaimana kamu menyebut-nyebut (membangga-banggakan)
nenek moyangmu, atau (bahkan) berdzikirlah lebih banyak dari itu. Maka di antara
manusia ada orang yang bendoa: “Ya Tuhan kami, berilah kami (kebaikan) di dunia”,
dan tiadalah baginya bahagian (yang menyenangkan) di akhirat. (QS 2:200).

https://islamindonesia.id 396
Dengan demikian, jelas bahwa kau selalu mengenang dan mengingat ayahmu
dalam tiap langkah dan perjalanan meski kau tak menyebut-nyebutnya dengan
lisanmu. Maka camkanlah.

Seorang anak biasanya akan menjaga dengan sungguh-sungguh agar tidak


bertentangan dengan cara ayahnya di dalam keluarga maupun kabilahnya. Dia akan
senang disebut sebagai berbakti dan setia kepadanya. Padahal, kewajiban hamba
kepada Allah lebih besar daripada kewajibannya terhadap ayah, sehingga
mengingat-Nya juga lebih wajib dalam segala urusan.

Al-Qur’an harus diikuti dan dipatuhi. Jika kau hentikan kepatuhanmu pada Al-Qur’an
dalam apa yang diperintah dan dilarangnya, seolah-olah kau memiliki kelebihan
iman yang tidak tercantum di dalam Al-Qur’an, maka pada saat itu, kembalilah pada
pegangan ini.

Benar bahwa umat Islam telah berbuat keji terhadap hak materi, akal, tafakur dan
pengetahuan dan sebagainya. Bukan saja awam mereka yang telah berbuat
demikian, tetapi para pemimpin mereka yang terlebih dahulu melakukannya. Sejak
lama mereka telah berbagi kue kejahatan dan merusak agama.

AJ / Islam Indonesia
(Sumber: https://islamindonesia.id/kolom/kolom-syekh-almaliki-mengapa-umat-tidak-tenang-
dengan-mengingat-allah.htm)

https://islamindonesia.id 397
Sunday, 16 October 2016
FATWA DAN FATWA
Oleh KH. A. Ahmad Mustofa Bisri

islamindonesia.id — Fatwa dan Fatwa

FATWA akhir-akhir ini merupakan tren baru, bahkan sudah mirip dengan latah. Dulu,
fatwa hampir identik dengan MUI (Majelis Ulama Indonesia), yang memang paling
sering mengeluarkan fatwa. Fatwa yang dinilai sering tidak menjadi solusi,
melainkan malah meresahkan. Pak Jusuf Kalla waktu menjadi wakil presiden sampai
berpesan dalam pembukaan Ijtimak Komisi Fatwa MUI agar MUI jangan

https://islamindonesia.id 398
mengeluarkan fatwa yang meresahkan dan menjadi ketakutan baru, melainkan
menjadi solusi (Jawa Pos, Minggu 25 Januari 2009).

Tapi kini, fatwa tidak lagi menjadi monopoli MUI. Rupanya, MUI mendapatkan
banyak saingan. Fatwa bermunculan dari berbagai penjuru, dari berbagai lembaga
dan organisasi. Berbagai hal dan masalah difatwakan. Mulai fatwa tentang aliran
sesat, bunga bank, golput, yoga, rokok, pembangkit tenaga nuklir, rebonding,
prewedding, infotainment, ringtone ayat-ayat Alquran, Facebook, sampai naik ojek.

Kecanggihan dan keaktifan pers ikut dan sangat membantu tersiarnya fatwa-fatwa
dari berbagai pihak itu serta menjadikannya bahan pembicaraan berkepanjangan
sehingga menimbulkan pro dan kontra di masyarakat. Bahkan, ada yang menilainya
meresahkan.

Di sisi lain, ada pula yang khawatir, dengan sering dan mudahnya fatwa dikeluarkan,
fatwa akan kehilangan wibawa dan kesakralan. Padahal, sejak dulu organisasi NU
dengan bahtsul masail-nya dan Majelis Tarjih Muhammadiyah selalu menjawab
masalah-masalah
keagamaan yang ditanyakan anggotanya.

Di banyak pesantren juga ada tradisi musyawarah di kalangan santri. Mereka


berlatih menjawab masalah-masalah keagamaan di masyarakat. Hanya, dulu
mungkin tidak ada media massa yang tertarik menyiarkannya.

Di koran ini, saya pernah sedikit menjelaskan perbedaan antara fatwa, wacana, dan
vonis yang sering dirancukan. Gara-gara kerancuan itu, sering terjadi fatwa
dianggap vonis. Celakanya, ada yang mengeksekusi berdasar fatwa tersebut. Itu
merupakan kesalahan bertumpuk. Yakni, kesalahan menganggap fatwa sebagai
vonis serta melakukan eksekusi dan penghakiman sendiri. Saya menjelaskan istilah-
istilah tersebut terutama agar masyarakat tidak terlalu bingung dan resah terhadap
fatwa-fatwa MUI.

Ternyata, sekarang masih atau semakin banyak keluhan mengenai kian maraknya
fatwa, tidak hanya dari MUI. Masyarakat kembali ramai membicarakan dan sebagian
malah menyatakan semakin bingung. Apalagi, kemudian ada yang membesar-
besarkan perbedaan fatwa, seperti fatwa yang mengharamkan rokok dan yang
hanya memakruhkannya. Maka, saya teringat akan hal yang pernah saya
kemukakan -mengutip keterangan para ulama- tentang fatwa lebih dari setahun lalu.

Fatwa dalam istilah agama (sempitnya: fikih) mirip dengan pengertian bahasanya,
yakni jawaban mufti terhadap masalah keberagamaan. Dulu -dan sampai sekarang

https://islamindonesia.id 399
di beberapa negara Timur Tengah- fatwa memang diminta dan diberikan oleh mufti
secara perorangan.

Dalam kitab-kitab fikih, mufti atau pemberi fatwa dibedakan dengan hakim. Mufti
hanya memberikan informasi kepada dan sesuai dengan pertanyaan si peminta
fatwa. Sementara itu, hakim memutuskan hukuman setelah mendengarkan berbagai
pihak, seperti penuntut, terdakwa, dan saksi-saksi.

Berbeda dengan putusan hakim, fatwa tidak memiliki kekuatan memaksa. Ia tidak
mengikat, kecuali bagi si peminta fatwa.

Itu pun berlaku dengan beberapa catatan. Antara lain, si peminta fatwa hanya
mendapatkan fatwa dari satu pihak atau pemberi fatwa dan fatwa yang diberikan
sesuai dengan kemantapan hatinya. Apabila ada dua pihak yang memberikan fatwa
berbeda, dia mengikuti fatwa yang sesuai dengan kata hatinya. Itu berdasar hadis
Nabi Muhammad SAW, “Istafti qalbak/nafsak wain aftaaka an-naas…” Arti hadis
tersebut, mintalah fatwa hati nuranimu meski orang-orang sudah memberimu fatwa.

Sementara itu, mufti yang boleh ditanya dan memberikan fatwa adalah orang yang
memenuhi kriteria tertentu. Bukan sembarang orang. Misalnya, pensiunan pegawai
tinggi Depag (kini Kementerian Agama) atau ketua umum organisasi tidak bisa
dijadikan ukuran.

Para ulama punya pendapat berbeda mengenai rincian kriteria mufti; ada yang ketat,
ada juga yang agak longgar. Ada yang mensyaratkan mufti harus mujtahid. Ada
yang sekadar menyatakan -seperti Imam Malik- orang alim tidak seyogyanya
memberikan fatwa sampai tahu bahwa orang melihatnya pantas memberikan fatwa
dan dirinya juga merasa pantas. Secara garis besar, semua menyepakati bahwa
yang diperkenankan dimintai dan memberikan fatwa hanyalah mereka yang
memang ahli.

Pemberian fatwa, menurut para ulama, juga punya etika. Misalnya, mufti tidak boleh
tergesa-gesa dalam memberikan fatwa. Ibn Qayyim, misalnya, dalam salah satu
kitabnya menyatakan, “Dulu salaf, para sahabat nabi, dan tabiin tidak suka cepat-
cepat memberikan fatwa. Masing-masing justru mengharap fatwa diberikan oleh
selain dirinya. Apabila sudah jelas bahwa fatwa itu harus diberikan olehnya, dia akan
mengerahkan segala tenaga dan pikiran untuk mengetahui hukum masalah yang
dimintakan fatwa tersebut dari Alquran, sunah Rasulullah, dan pendapat Khalifah
Rasyidin.”

https://islamindonesia.id 400
Menurut Imam Ahmad Ibn Hanbal, mufti tidak boleh menjawab apa saja yang
ditanyakan kepadanya. Selain itu, orang tidak boleh mengajukan dirinya untuk
memberikan fatwa, kecuali telah memenuhi lima hal:

Pertama, dia punya niat tulus lillahi taala, tidak mengharapkan kedudukan dan
sebagainya.

Kedua, dia berdiri di atas ilmu, sikap lapang dada, keanggunan, dan ketenangan.
Sebab, bila tidak demikian, dia tidak bisa menjelaskan hukum-hukum agama dengan
baik.

Ketiga, dia harus kuat pada posisi dan pengetahuannya.

Keempat, mufti harus punya kecukupan. Bila tidak, dia membuat masyarakat tidak
senang. Sebab, dia membutuhkan masyarakat dan mengambil (materi) dari tangan
mereka. Masyarakat bakal merasa dirugikan.

Kelima, mufti harus mengenal masyarakat. Artinya, dia harus tahu tentang kejiwaan
si peminta fatwa serta mengerti benar akan pengaruh dan tersebarnya fatwa
tersebut di masyarakat.

Sebab, intinya, fatwa adalah kemaslahatan bagi masyarakat. Maka, menurut Imam
Syatibi, mufti yang mencapai derajat puncak adalah yang membawa masyarakat ke
kondisi tengah-tengah, seperti yang dikenal masyarakat. Mufti itu tidak menempuh
aliran yang keras, tidak pula terlalu longgar.

YS/islamindonesia/Sumber: Koran Jawa Pos, 12 April 2010.

(Sumber: https://islamindonesia.id/kolom/kolom-fatwa-dan-fatwa.htm)

https://islamindonesia.id 401
Sunday, 09 October 2016

MEMAHAMI ISLAM: MAKNA ADIL


oleh: Abdillah Toha

Sikap berkeadilan adalah salah satu fondasi yang sangat penting dalam Islam. Tidak selalu
mudah bersikap adil. Adil bukan hanya penting bagi hakim, jaksa, pengacara, dan penegak
hukum, tapi penting bagi semua makhluk Allah, khususnya manusia. Adil terhadap kawan
dan lawan, adil dalam hubungan dengan anggota keluarga, adil terhadap bawahan dan
karyawan, adil terhadap murid dan guru, adil terhadap pemimpin, adil dalam bernegara, dan
bahkan adil terhadap Tuhan. Adil juga bukan hanya dalam sikap dan keputusan, tetapi juga
dalam perbuatan, dalam berbicara, dalam menilai pihak lain, dalam beropini, dan dalam
membeberkan fakta yang obyektif.

Rasulullah SAW bersabda bahwa orang yang adil adalah yang menginginkan segala apa
yang disukainya dimiliki juga oleh orang lain dan tidak menginginkan segala yang tidak
disukainya bagi orang lain.

Adil mengandung sikap jujur dan berani menghadapi risiko melawan kebatilan. Adil yang
berasal dari bahasa Arab ‘adl sangat ditekankan oleh alQuran dalam banyak ayatnya. Adil
punya banyak arti yang saling berkait. Adil berarti berdiri ditengah. Kata wasit berasal dari
wasth yang berarti tengah. Adil adalah menempatkan segala sesuatu ditempatnya. Adil
adalah seimbang. Susunan tata surya diciptakan dengan mencerminkan sifat allah Yang
Maha Adil dimana setiap bagiannya ditempatkan pada tempat yang semestinya dengan
seimbang. Tanpa keadilan semua sistem pada saatnya akan runtuh. Tanpa azas keadilan
Ilahi, seluruh jagad raya ini akan hancur berantakan.

Adil tidak berarti membagi rata segalanya kepada setiap orang. Adil adalah memberikan
kepada setiap orang apa yang menjadi haknya. Adil adalah membuka kesempatan dan
peluang yang sama kepada setiap orang tanpa pandang bulu. Lawan adil adalah zalim yang
dalam arti umum berarti sikap menindas dan arti sebenarnya adalah menempatkan sesuatu
tidak pada tempatnya. Begitu tingginya akhlak Rasulullah SAW sehingga beliau
memerintahkan agar setiap mukmin berlaku adil terhadap yang dizalimi dan yang menzalimi.
Adil terhadap yang menzalimi berarti membantu orang yang zalim agar mau dan dapat
berhenti dari perbuatan zalimnya.

Sikap adil juga harus diperlakukan kepada diri kita sendiri. Allah menggambarkan dosa
sebagai sifat tidak adil terhadap diri. Berbuat dosa berarti menzalimi diri sendiri seperti
dalam berbagai firman Allah: “Dan Kami tidaklah menzalimi mereka tetapi merekalah yang
menzalimi diri mereka sendiri, karena itu tiadalah bermanfaat sedikitpun kepada mereka
sembahan-sembahan yang mereka seru selain Allah, di waktu azab Tuhanmu datang”. (QS

https://islamindonesia.id 402
Huud:101) Ketika kita berbuat dosa sebenarnya kita telah menganiaya dan mengotori diri
sendiri yang secara fitrah dilahirkan sebagai diri yang suci dan bebas dari perbuatan buruk.

Adil terhadap tubuh kita berarti menjaga karunia Allah atas kesehatan badan. Makan dan
minum tidak berlebihan, memasukkan makanan dan minuman yang baik kedalam tubuh,
berolah raga, dan menjaga kebersihan.

Allah juga memperingatkan kita agar jangan sampai kebencian kita kepada suatu kaum
membuat kita berlaku tidak adil kepadanya. “Dan janganlah kebencianmu terhadap suatu
kaum membuatmu tidak berlaku adil. Berbuat adillah karena ia lebih mendekati ketakwaan.
Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu
kerjakan”. (QS. Al Maaidah: 8). Islam mengajarkan kepada setiap muslim untuk tetap
bersikap adil bahkan kepada musuh kita, tawanan perang, orang berbeda agama dan
keyakinan, serta mereka yang tidak kita sukai. Islam bahkan melarang kita membenci orang
atau kelompok orang, siapapun dia, karena mereka juga ciptaan Allah. Bila harus
membenci, maka perbuatan buruknyalah yang menjadi sasaran kebencian kita. Bukan
pelakunya.

Al-Muqsit yang berarti Yang Maha Adil adalah salah satu nama Allah dalam rentetan sifat
muliaNya. Ada juga riwayat lain yang mengatakan bahwa Al-Adl juga nama Allah. Kemaha-
adilan Allah ditunjukkan dengan diberikannya kehendak bebas kepada manusia dalam
batasan Sunnatullah dan Allah hanya memberi ganjaran dan hukuman sesuai dengan
amalan dan perilaku baik dan buruk yang menjadi tanggung jawab masing-masing. Allah
juga tidak membebani manusia diluar kemampuannya untuk memikul beban itu.
“Sesungguhnya Allah tidak menganiaya seseorang walaupun sebesar dzarrah, dan jika ada
kebajikan sebesar dzarrah, niscaya Allah akan melipatgandakannya dan memberikan dari
sisi-Nya pahala yang besar”. (QS. 4:40).

Berbicara, menulis, berkomentar, dan menilai seseorang harus dilakukan dengan adil. Tidak
mencampur adukkan fakta dengan opini. Kadang-kadang kata-kata yang keluar dari benak
dan mulut manusia bisa lebih melukai dari aniaya fisik. Allah memerintahkan : “Hai orang-
orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar,
[QS. AL AHZAB 33:70]

Hakim dalam memvonis, jaksa dalam menuntut, pengacara dalam membela klien,
semuanya harus mendahulukan azas keadilan. Tidak dibenarkan mengambil keputusan
pada setiap perkara dalam keadaan marah dan emosi, atas dasar kebencian atau untuk
kepentingan pengambil keputusan. Allah berfirman: “Wahai orang-orang yang beriman,
jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah,
biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapa dan kaum kerabatmu. Jika ia kaya ataupun
miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa

https://islamindonesia.id 403
nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutar balikkan (kata-
kata) atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui
segala apa yang kamu kerjakan. (QS 4:135)

Bersikap adil terhadap mereka yang bekerja untuk kita adalah sebuah keniscayaan.
Memberikan penghasilan yang cukup dan menempatkan karyawan di tempat yang tepat
sesuai dengan keahliannya serta membagi sebagian keuntungan kepada karyawan yang
ikut menyumbang perolehan keuntungan itu juga mencerminkan sikap yang adil. Keridhaan
dari Allah, kebahagiaan karyawan, dan suasana kerja yang harmonis akan dengan
sendirinya membawa keberkahan bagi kemajuan usaha.

Keadilan adalah juga fondasi kuat untuk bernegara bila ingin menjaga kelanggengan negara
ataupun mewujudkan kebahagiaan bagi rakyatnya. Negara makmur tidak menjamin
kestabilan dan kesejahteraan rakyatnya bila kemakmuran hanya dinikmati oleh segelintir
warga negaranya. Sebaliknya, rakyatpun harus juga bersikap adil terhadap pemimpinnya
dengan memberi dukungan bila pemimpin berbuat baik dan mengoreksi serta
meluruskannya bila pemimpin telah melenceng dan menyimpang dari jalan yang benar.

Prinsip keadilan merupakan bagian penting dalam ideologi negara Republik Indonesia.
Bahkan kata-kata adil adalah satu-satunya kata yang disebut dua kali dalam Panca Sila
pada sila kedua “Kemanusiaan yang adil dan beradab” dan sila kelima ” Keadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia”. Nabi bersabda “Orang yang jaraknya terdekat dengan Allah di
hari kiamat adalah penguasa yang adil, dan yang jaraknya terjauh dari rahmat Allah adalah
penguasa yang zalim”

Terakhir, bagaimana kita bersikap adil terhadap Yang Maha Kuasa? Tidak lain adalah
dengan meng-esakanNya, menempatkanNya di tempat yang termulya, terus menerus
bersyukur atas nikmat yang dikaruniakan olehNya, dan tidak memberikan sifat atau
mengambarkanNya kecuali dengan apa yang kita ketahui dari yang diwahyukan dalam
Quran dan disampaikan oleh junjungan Nabi kita Muhammad SAW. Mengapa? Karena yang
paling mengenal Allah hanyalah Allah sendiri dan kitapun mengenalNya hanya dari apa
yang diajarkan olehNya kepada kita.[] AT- 09-10-2016

IslamIndonesia
(Sumber: https://islamindonesia.id/kolom/kolom-memahami-islam-makna-adil.htm)

https://islamindonesia.id 404
Saturday, 08 October 2016
MENJUAL AGAMA DEMI KEKUASAAN
Oleh Abdillah Toha*

Saya sebenarnya segan membahas topik ini. Namun karena masalahnya sudah
berkembang terlalu jauh belakangan ini, saya merasa harus ikut urun rembug sebagai
bagian dari tanggung jawab saya sebagai warga negara dan sebagai bagian dari muslim
Indonesia.

Muslim Indonesia? Ya, muslim yang berbeda karakter dari muslim di banyak negara lain,
khususnya di beberapa negara Timur Tengah yang sedang dilanda perang antar muslim
demi merebut kekuasaan dan mendirikan “Islam yang murni”. Muslim Indonesia berbeda,
karena kita adalah muslim yang toleran, menghargai perbedaan, serta sangat luwes dalam
mengadaptasikan keislaman kita dengan kearifan lokal.

Sayang sekali karakteristik dan perilaku tasamuh muslim Indonesia yang sudah berjalan
ratusan tahun ini belakangan menghadapi serangan kelompok garis keras yang sebenarnya
minoritas tetapi militan, fanatik, dan agresif. Toleransi atau tasamuh dianggap sebagai tanda
kelemahan. Orang-orang ini dihinggapi penyakit kejiwaan yang bisa disebut sebagai
paranoid, yakni selalu merasa ketakutan kepada segala sesuatu yang berbeda dan diluar
diri atau kelompoknya. Pihak luar ini dipersepsi oleh mereka sebagai ancaman terhadap
eksistensinya. Inilah kelompok yang hanya mengenal dua warna, hitam dan putih. Tidak
boleh ada warna lain diantara keduanya.

Kelompok Islam garis keras ini tidak hanya terjangkit bayangan ancaman dari penganut
agama lain tapi justru belakangan ini dia juga khawatir terhadap apa yang dipersepsinya
sebagai ancaman atas benteng akidah mereka dari muslim sendiri yang tidak sealiran
dengan mereka. Maka satu-satunya jalan adalah melakukan pre-emptive strike kepada
lawannya yang dikhawatirkan akan menjadi besar bila dibiarkan.

Mereka bergerak dalam semua front, dari masjid-masjid sampai ke pengajian, selebaran,
tabloid, media sosial dan bahkan ke kehidupan politik. Pukulan mereka belum sampai
kepada menggorok leher lawan seperti yang terjadi di beberapa negara Timur Tengah, tapi
sudah dalam bentuk pengusiran dari rumah tinggal korban, ancaman pembunuhan,
intimidasi, provokasi, sampai kepada penyebaran berita-berita bohong dan fitnah. Modus
operandi yang terakhir ini, penyebaran berita bohong dan fitnah, sudah diterapkan dalam
kampanye pilpres kali ini dalam rangka menjauhkan konstituen muslim dari memilih lawan
politik mereka. Capres Jokowi, seorang muslim yang taat, adalah salah satu korban yang
dikampanye hitamkan sebagai penganut kristen dan keturunan Tionghoa yang
membahayakan umat Islam Indonesia.

https://islamindonesia.id 405
Yang menyedihkan adalah bahwa kampanye hitam yang sistematis ini ternyata cukup
efektif. Banyak kalangan Islam yang percaya, dan yang mengherankan pula, tidak kurang
dari kalangan warga muslim terdidik yang termakan oleh isu ini, walau berbagai sanggahan
telah disampaikan secara lisan, tulisan, dan dalam bentuk video yang menafikan kebenaran
dari tuduhan itu. (lihat video : http://m.youtube.com/watch?v=0fRJZIBDztc&sns=tw ).

Tuduhan dan sanggahan saling bergantian ini seakan membuat ramalan Amien Rais
tentang “Perang Badar” dalam pilpres kali ini menjadi sebuah kenyataan. Mereka lupa akan
adanya hadis Nabi yang setengah mengutuk pengkafiran sesama muslim secara tidak
benar. Muhammad SAW bersabda ” Dan barangsiapa yang menuduh seseorang dengan
panggilan “kafir” atau “musuh Allah” padahal dia tidak kafir, maka tuduhan itu akan kembali
kepada penuduh”. ( Dari Abu Dzar di Shahih Bukhari)

Kasus yang mirip dengan ini pernah pula dialami oleh presiden Amerika Barack Obama
yang sempat difitnah ketika menyalonkan diri sebagai presiden. Lawan politiknya, termasuk
Hillary Clinton, menyebar luaskan isu bahwa Obama sesungguhnya adalah seorang Muslim
yang berkehendak menguasai Gedung Putih di negeri yang mayoritas warganya beragama
Kristen. Isu ini disebarkan antara lain dengan menunjuk kenyataan bahwa nama tengah
Obama adalah Husein. Untunglah pada akhirnya Obama tetap terpilih sebagai presiden
Amerika. Inilah salah satu strategi menghalalkan cara demi memenangkan calon yang
didukungnya.

Inilah pula transaksi menjual agama dengan cara yang paling berbahaya demi meraih
kekuasaan. Berbahaya karena isu agama adala isu sara yang sangat peka dan berpotensi
memecah belah bangsa. Bila sesungguhnya hal ini tidak dilakukan oleh tim sukses resmi
capres Prabowo tapi oleh para pendukungnya yang fanatik, maka sejauh ini kita tidak
mendengar pernyataan tim sukses mereka dan partai-partai Islam pendukungnya yang
mengecam kampanye hitam jenis ini. Ketiadaan kritik atau kecaman itu bisa dipersepsi
sebagai restu resmi atas cara-cara tidak terpuji itu.

Tulisan ini tidak bermaksud mengatakan bahwa andaikata tuduhan itu benar maka Jokowi
tidak layak menduduki jabatan presiden di negeri yang mayoritas penduduknya muslim.
Konstitusi kita menjamin setiap warga negara, apapun agama dan keyakinannya, hak pilih
dan hak untuk dipilih dalam semua jabatan. Tulisan ini bertujuan untuk mengingatkan kita
bahwa betapapun keras dan ketatnya persaingan dalam pilpres kali ini, sebagai warga
negara yang bertanggung jawab kita harus tetap menjauhkan diri dari cara kampanye yang
memojokkan lawan lewat disinformasi, kebohongan, apalagi fitnah.[]

*Pengamat politik dan salah satu pendiri Partai Amanat Nasional


IslamIndonesia/Pernah terbit di Kompasiana, 22 Juni 2014
(Sumber: https://islamindonesia.id/kolom/opini-menjual-agama-demi-kekuasaan.htm)

https://islamindonesia.id 406
Thursday, 06 October 2016

UNTUK HUSAIN RASUL MENANGIS


Oleh Said Muniruddin **

Muharram adalah bulan aneka kejadian. Dari beragam peristiwa, kesyahidan Husain
lah yang membuat Rasul menangis. Tangisan Rasul bahkan dimulai ketika Husain
lahir, 58 tahun sebelum ia syahid.

Ketika Fatimah baru melahirkan, Rasul datang dan berkata kepada Asma, “berikan
kepadaku putraku”. Kemudian Asma menyerahkan Husain yang diselimuti kain
putih. Setelah mengadzani pada telinga kanan dan mengiqomatinya pada telinga
kiri, Rasul meletakkan Husain di pangkuannya. Wajah Rasul yang sebelumnya
gembira tiba-tiba berubah sedih. Rasul menangis. Jenggotnya basah oleh cucuran
air mata. Asma keheranan, “ya Rasul, mengapa engkau menangis? Bukankah ini
hari kelahiran, hari semua orang bergembira?”

Dalam isak tangisnya Rasul menjawab, “Jibril baru saja memberitahuku bahwa
putraku ini akan dibunuh oleh kelompok zalim. Wahai Asma, jangan beritahu
Fathimah tentang ini karena ia baru saja melahirkan”. (Ibnu Asakir, Tarikh Dimasyq,
Hadis ke 13 dan 14 tentang biografi Husain).

Tentang Rasul menangis untuk Husain, Aisyah juga meriwayatkan. ”Suatu ketika
Husain kecil datang merangkak menuju Rasul yang sedang berbaring, tapi aku
menghalanginya. Tidak berapa lama kemudian aku melihat Rasul bangun dan
terisak-isak. Aku bertanya, “mengapa engkau menangis?”. Rasul menjawab, “Jibril
baru saja datang memperlihatkan kepadaku tanah di mana Husain terbunuh. Allah
murka kepada orang yang membunuhnya.” (Daruqutni, alI’lal, juz 5 hal. 83; asSyafi’i,
“al’Alam anNubuwwah, bab 12, hal. 23; Musnad Ahmad bin Hambal, jil.I hal.85).

Dari Fathimah, Rasul memiliki dua cucu, Hasan dan Husain, yang beliau sebut
sebagai pemimpin pemuda di syurga. Hasan syahid di racun, sementara Husain
syahid di perang Karbala. Untuk mereka Rasul bersabda, “Ya Allah aku mencintai
mereka. Karena itu cintailah mereka dan cintailah orang-orang yang mencintai
mereka” (Sunan Tirmidzi, jil.5, hal.46; Mustadrak alHakim, jil.3, hal.666).

Kecintaan orang Aceh terhadap Hasan dan Husein nyata sekali. Banyak orang di
Aceh bernama Hasan dan Husain. Di kampung-kampung, Asyura untuk mengenang
Husain masih dilakukan dengan memasak kanji untuk dibagi-bagikan kepada

https://islamindonesia.id 407
sesama. Beragam hikayat dan barzanji masih dibacakan untuk memuliakan kedua
sayyidusy syuhada ini.

Banyak sekali hadist meriwatkan Rasul berkali-kali menangis untuk Husain.


Mengapa rasul menangis? Apakah karena Husain itu sekedar cucunya? Tentu tidak.
Ada makna tertinggi dari sebuah perilaku Nabi, apalagi beliau menangis berulang
kali. Tangisan Nabi ini adalah suri tauladan (Ahzab: 21), bukan atas dasar hawa
nafsu (an-Najm: 3). Semua prilakunya adalah perwujudan akhlak yang agung (al-
Qalam: 4), serta sunnah yang bersumber dari wahyu (an-Najm:4). Ada nilai risalah
dari tangisan Nabi tersebut.

Lima puluh tahun setelah Rasul wafat, penyimpangan melanda kaum Muslimin.
Khalifah Yazid telah melupakan nilai-nilai Islam. Sejarah mencatat bagaimana ia
membangun agama di atas foya-foya, hura-hura dan mabuk-mabukan. Istana
dipenuhi harem dan pelacuran. Husain dan pengikutnya adalah segelintir orang
yang masih berdiri tegak meneruskan ajaran Muhammad, melawan Yazid yang
berusaha menghidupkan kembali ajaran jahiliah nenek moyangnya.

Saat itu, semua orang tahu Husain berada pada jalan yang benar, tapi mereka tidak
mau mendukungnya karena takut kepada mata-mata dan siksaan militer Yazid.
Sebagian yang bekerja pada pemerintahan Yazid juga tidak mau membantu Husain
karena takut kehilangan jabatan dan tetap ingin dalam kemapanan. Karena cinta
dunia, maka mereka semua memilih mendukung kekuasaan yang dhalim dan korup.
Karena perilaku ummat seperti inilah maka Husain berjuang sendirian. Untuk sikap
ummat seperti ini Rasul menangis.

Setiap shalat, kaum Muslim selalu bershalawat kepada Rasul dan keluarganya. Kata
imam Syafi’i, “tidak sah shalat kalian kalau tidak bershalawat kepada Rasul dan
keluarganya. Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa ‘ala Aali Muhammad”. Tetapi,
ketika Ahlul Bait Rasul seperti Husain (al-Ahzab: 33) berjuang mati-matian dalam
keadaan haus dan lapar di medan perang, mereka yang tadi bershalawat dalam
shalat menjadi ragu, acuh tak acuh bahkan tidak mau ikut serta membela kebenaran
bersama orang yang dishalawatinya. Rasul pun kembali menangis atas
pengkhianatan ummat terhadap hak-hak Rasul dan keluarganya (as-Syu’ara: 23).

Akhirnya, pada 10 Muharram 61 H, setelah waktu Zuhur, Husain yang berusia 58


tahun beserta puluhan keluarga Rasul, termasuk anak-anak, dibunuh dalam
keadaan haus di tepi sungai Eufrat di Karbala, Irak. Mereka dibantai oleh ibn Ziyad
atas perintah Yazid bin Muawiyyah. Zainab dan keluarga Rasul lainnya ditawan,
diarak dan dipermalukan di depan umum sampai ke Syiria. Tragedi menyayat hati ini

https://islamindonesia.id 408
cenderung dilupakan. Sebagian kaum Muslim bahkan mencoba menghapusnya dari
ingatan sejarah. Perilaku inilah yang juga membuat Nabi menangis.

Bulan Muharram adalah bulan menghidupkan sunnah, menangisi kesyahidan


Husain ketika meneruskan misi suci Rasulullah. Kita tidak perlu berperilaku di luar
nalar seperti menyayat diri yang dilakukan segelintir saudara-saudara kita yang
Syi’ah. Bagi kita Sunni, tangisan cukup berawal dari pengetahuan memadai tentang
Husain dan perjuangannya. Menangisi Husain sebagai sebuah sunnah adalah
menangis yang timbul dari hati yang penuh kebencian terhadap kaum penindas.

Ingatlah nasehat Husain menjelang kesyahidannya, “Wahai manusia! kebebasan,


kemuliaan, keadilan, dan kesempurnaan adalah karakteristik kehidupan yang baik.
Melalui jalan ini, kepribadian seorang manusia akan abadi. Berusahalah hidup
demikian”. Kemudian orang Aceh menerjemahkan seruan Husain ini menjadi:
“Hudep Mulia, Matee Syahid!”.[]

* Tulisan ini pernah terbit di buletin “Gema Baiturrahman”, Jum’at 24 Desember


2010.

** Lahir di Pidie-Aceh dan merupakan lulusan Birmingham Business School,


England, 2006.

YS/IslamIndonesia
(Sumber: https://islamindonesia.id/berita/kolom-untuk-husain-rasul-menangis.htm)

https://islamindonesia.id 409
Wednesday, 21 September 2016

MEMAHAMI ISLAM: MAKNA ZIKIR


Oleh: Abdillah Toha

Zikir atau Zikrullah pada dasarnya berarti mengingat Tuhan. Dalam kebiasaan
sehari-hari Zikir lebih sering diasosiasikan dengan mengucap nama-nama mulia
Allah, memuji, memuja, dan istighfar memohon ampunan serta bimbingan dari Allah
SWT. Zikir dilakukan secara lisan dengan mengulang-ulang.

Ada yang melakukannya dengan menghitung, ada yang tidak, ada yang memakai
bijii tasbih atau alat mekanikal penghitung seperti alat yang dipakai pramugari untuk
menghitung jumlah penumpang dalam pesawat. Yang menghitung, ada yang
menggunakan target sehari sekian kali ada yang tidak, dan ada pula yang mengikuti
jumlah hitungan yang dicontohkan oleh Sunnah Nabi, para auliya dan salihin.

Ada yang berzikir sendirian di pagi atau malam hari tetapi ada juga kebiasaan
beberapa tahun belakangan di Indonesia, zikir lisan bersama ribuan orang, dipimpin
oleh ustad yang menciptakan suasana syahdu agar peserta dapat menangis
bersama.

Semua yang disebut diatas itu baik dan Allah akan melimpahkan pahalanya bagi
mereka yang banyak berzikir. Sesungguhnya seluruh ibadah ritual kita seperti
shalat, membaca dan mendengar lantunan kitab suci alQur’an, dan ibadah lainnya
adalah perbuatan berzikir. Bahkan salah satu nama Qur’an adalah al-Zikra atau
Azzikra yang berarti (kitab) peringatan atau pengingat tentang pedoman hidup
seorang mukmin.

Namun demikian,yang lebih penting dari zikir lisan adalah zikir yang dicamkan
didalam hati. Zikir yang benar-benar kita hayati tentang kebesaran kekuasaan dan
rahmat Allah. AlQuran memerintahkan kita untuk banyak berzikir (uzkurullaha
katsira), sedangkan peritah untuk beramal tidak disebut katsira tetapi beramallah
baik atau saleh (‘amilu shalih). Artinya, zikir tekanannya kepada banyak dan
seringnya berzikir sedang amal pada kualitas, bukan kuantitas, amal kita.

Banyak berzikir bisa diartikan sebagai zikir lisan tetapi bisa juga berarti bahwa Allah
meminta kita untuk selalu mengingat Tuhan dimanapun kita berada dan pada situasi
apapun. Dalam kesenangan atau kesusahan, dalam pekerjaan, dalam diam atau
berbuat, dalam duduk atau berdiri, dalam sibuk atau senggang, kita diharapkan
selalu mengingat Allah dan menanamkan dalam hati bahwa segalanya tak akan
https://islamindonesia.id 410
terwujud atau terjadi tanpa sepengetahuan dan seizin Allah. Diriwayatkan Rasululah
SAW bersabda bahwa perbedaan orang yang berzikir dan tidak berzikir adalah
seumpama orang yang hidup dan mati.

Salah satu bentuk zikir adalah tasbih. Bertasbih dengan mengucap Subhanallah
artinya ungkapan pujian kehadirat Allah dengan mensucikan namaNya. Quran
memberitahu kita bahwa seluruh alam jagad raya ini termasuk matahari, bulan,
hewan, tumbuhan, dan malaikat, semua bertasbih kepada Allah, tetapi indra
manusia tidak dapat menangkap dan mendengar tasbih mereka. Bedanya dengan
manusia yang diberi kehendak bebas, manusia bertasbih atas kemauan dan
kehendak sendiri sedang mereka yang diciptakan untuk manusia dan tak punya
kehendak bebas bertasbih sebagai bagian dan tak terpisahkan dari proses
penciptaan itu sendiri.

Zikir juga dihubungkan dengan orang-orang yang berpikir dan berakal. Mereka yang
mengagumi dan mengapresiasi ciptaan Allah atas alam raya ini dan mereka yang
mampu mengendalikan dirinya, akan selalu mengingat Allah. Allah berfirman
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan pergantian malam dan
siang, terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang-orang yang berakal, yaitu
orang-orang yang senantiasa mengingat Allah dalam keadaan berdiri, duduk, dan
berbaring, dan memikirkan penciptaan langit dan bumi (seraya berkata), “Ya Tuhan
kami, tidaklah Engkau ciptakan semua ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau,
lindungilah kami dari siksa api neraka” (Ali-Imran 190-191)

Allah juga menyebut mereka yang berpengetahuan sebagai ahluzzikir, yakni orang-
orang yang menguasai pengetahuan tentang wahyu Allah dalam Quran dan Sunnah
Nabi. Disitulah tempat kita bertanya seperti firman Allah ” Maka bertanyalah kepada
orang yang mempunyai pengetahuan (ahluzzikri) jika kamu tidak mengetahui (An-
Nahl:43)

Imam Ghazali mengatakan bahwa zikrullah yang dilandasi atas rasa cinta kepada
Allah adalah zikir yang lebih tinggi dibanding ziki karena rasa takut. Seorang
pencinta selalu akan ingat kepada yang dicintainya. Dan kasih sayang itu akan
timbal balik karena Allah juga akan mengingat mereka yang selalu ingat dan berzikir
kepadaNya, seperti firman Allah “Ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat (pula)
kepadamu” (QS. Al-Baqarah [2]: 152).

Hidup ini penuh cobaan. Tidak ada manusia yang sepanjang hidupnya hanya diliputi
oleh kesenangan. Tidak ada kesenangan bila tak ada kesusahan. Hati manusia pun
selalu bergolak dan merespon berbagai masukan dari luar. Stress dan gundah
datang tanpa diduga. Manusia cenderung menghilangkannya dengan obat-obatan

https://islamindonesia.id 411
dan hiburan semu yang hanya menghapus sementara gejala stressnya, bukan
penyebab utamanya. Padahal Allah telah menjamin bahwa mereka yang banyak
mengingat Allah akan dikaruniai dengan ketenangan hati dan batin. FirmanNya ”
Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram. (Q.S. Ar-Ra’d:
28)

Marilah kita selalu mengingat kehadiran Allah dengan berzikir lisan, dengan hati, dan
dalam perbuatan, dengan dilandasi cinta dengan keyakinan bahwa Allah selalu
bersama kita dan kesadaran bahwa tak satupun perbuatan kita yang luput dari
pengetahuanNya. []

AT-20-09-2016

IslamIndonesia
(Sumber: https://islamindonesia.id/kolom/opini-memahami-islam-makna-zikir.htm)

https://islamindonesia.id 412
Monday, 12 September 2016
GUS MUS: BERKURBAN DAN BERHAJI
Oleh KH. Ahmad Musthafa Bisri *

Hari Raya Idul Adha, di masyarakat kita, sering disebut juga Hari Raya Kurban atau
Lebaran Haji. Kata Kurban (dengan ‘u’) agaknya memang terjemahan dari kata “adh-
ha” yang kurang lebih berarti “persembahan kepada Tuhan”.

Persembahan kepada Tuhan yang berupa penyembelihan hewan (seperti domba,


sapi, atau unta) di Hari Raya Adha melambangkan kesediaan dan ketulusan hamba
untuk berkoban (dengan ‘o’), menyatakan bakti dan kesetiaan kepada, untuk dan
demi Tuhannya. (Baca “Kurban dan Korban” dalam buku saya: Saleh Ritual Saleh
Sosial).

Bermula dari keteladan Nabi Ibrahim a.s. yang, sebagaimana sudah kita ketahui,
telah membuktikan cinta dan ketaatannya yang tulus kepada Tuhannya dengan
kesediaan mengurbankan putranya, Ismail a.s. Demikian pula sang putra telah
menunjukkan bakti dan kepasrahan kepada Allah dengan kerelaannya
mengorbankan nyawanya. Untuk itu, Allah kemudian menggantinya dengan domba
sebagai isyarat dikabulkannya pengorbanan dan ketaatan kedua hamba-Nya yang
saleh itu.

Jadi, inti makna dari kurban di Hari Raya Kurban memanglah berkorban. Apabila
demi dan untuk Allah yang dicintai, Nabi Ibrahim a.s. bersedia mengorbankan
putranya dan Nabi Ismail a.s bersedia mengorbankan nyawanya, maka kita hanya
dituntut membuktikan ketulusan cinta dan penghambaan kita dengan sekedar
mengorbankan sebagian kecil dari harta kita; menyembelih hewan.

Allah meminta daging hewan yang kita kurbankan itu dibagikan kepada hamba-
hamba-Nya dan secuil pun Allah tidak meminta bagian. Bukan daging dan darah
hewan itu yang sampai kepada-Nya, melainkan ketakwaan yang menyertai
pengorbanan itulah yang sampai. (Q.S. 22: 37)

Dituntut atau tidak, memang kesediaan pengorbanan itulah bukti paling nyata dari
pernyataan cinta dan kesetiaan. Anda boleh menyatakan hal-hal yang muluk demi
Tuhan, demi tanah air, dan demi siapa dan apa pun yang Anda cintai, tetapi pada
akhirnya kesediaan Anda berkoban dan sebesar apa pengorbanan Anda kepada
yang Anda cintai itulah yang menjadi ukuran kebenaran pernyataan Anda itu.

https://islamindonesia.id 413
Bagaimana orang – apalagi Allah – bisa percaya Anda mencintai-Nya, misalnya, jika
mengorbankan waktu, perhatian, atau sedikit harta untuk-Nya saja, Anda ogah-
ogahan? Bagaimana pernyataan Anda mencintai tanah air bisa dipercaya bila –
jangankan berkorban untuknya – apa yang Anda lakukan untuknya senantiasa Anda
perhitungkan untung-ruginya bagi kepentingan Anda sendiri? Menyatakan mencintai
dan membela rakyat, tetapi jangankan mau berkorban untuk mereka, meminjamkan
telinga untuk mendengarkan mereka saja tak sudi. Siapa mau percaya?

***

Idul Adha juga disebut Lebaran Haji. Tentu saja karena pada saat itu kaum Muslimin
di tanah suci sedang melaksanakan ibadah haji. Khususnya di Indonesia, ibadah haji
merupakan ibadah yang sungguh istimewa. Entah mengapa, haji merupakan satu-
satunya ibadah, selain penetapan tanggal mulianya puasa dan Id, yang diurus
secara monopoli oleh pemerintah. (Memang ada swasta yang ikut mengurus, tetapi
sepertinya kurang ‘direlai’).

Sebagai salah satu rukun Islam, haji sebenarnya sama saja dengan syahadat, salat,
puasa, dan zakat. Dari sisi lain, sebagaimana ibadah-ibadah yang lain, haji pun pada
hakikatnya merupakan anugerah Allah (meski yang ini, jarang orang yang
menyadarinya).

Bila salat, misalnya, bisa kita pandang sebagai kesempatan yang dianugerahkan
oleh Yang Mahabesar kepada hamba-Nya untuk ‘beraudiensi’ dengan-Nya, minimal
lima kali sehari (bandingkan dengan sulitnya bertemu dengan pembesar dunia!),
maka kita pun akan melaksanakannya dengan penuh gairah dan kegembiraan, tidak
sedikit pun merasa terpaksa. Di samping itu, kita akan memperolah kedamaian dan
kebahagiaan hidup. Itulah sebabnya Nabi Muhammad Saw merasa paling damai
dan bahagia dalam salat.

Demikian pula puasa, apabila kita anggap sebagai anugerah berupa kesempatan
yang diberikan-Nya kepada kita untuk merenungi hakikat diri kita dan makna
kehidupan kita, maka kita tidak hanya akan mendapatkan lapar dan haus.

Ibadah haji pun begitu. Haji merupakan anugerah yang luar biasa. Ia memberi
kesempatan kepada hamba-hamba yang dipilih-Nya untuk menjadi tamu-tamu-Nya.
Dan tamu-tamu-Nya itu akan memperoleh banyak kemanfaatan bagi kehidupannya,
baik di dunia maupun di akhirat. Dengan haji, hamba Allah, misalnya, mendapatkan
kesempatan untuk ‘belajar’ mati.

https://islamindonesia.id 414
Mulai berangkat meninggalkan kampung halaman, saat keluarga dan handai tolan
melepaskannya pergi, hingga ia dikumpulkan bersama sekian banyak hamba-hamba
Allah yang lain di padang mahsyar dengan pakaian seragam: putih-putih:
sebenarnya ia sedang ‘belajar’ mengalami – tidak sekedar menyadari – kematian.

Kita tidak tahu persis, apakah binatang pernah menyadari kematian. Yang jelas,
perilaku kebinatangan yang kita lihat sering muncul dari manusia, – makhluk yang
sebenarnya dimuliakan oleh Allah. Seperti kerakusan, keangkuhan, kesewenang-
wenangan, dan sebagainya, umumnya bermula dari tiadanya kesadaran manusia
yang bersangkutan – atau dunia telah membuatnya lupa – bahwa dia akan mati.
Lupa mati berarti lupa Allah. Bukankah mati berarti menghadap kepada Allah?

Waba’du, berkurban atau berhaji, sebagaimana amal-amal ibadah lainnya, adalah


untuk mencari dan mendapatkan ridha Allah, bukan mencari dan mendapatkan ridha
diri sendiri. Sayangnya, sering kali kita sukar membedakan antara ridha Allah dan
ridha kita, bahkan antara mau Allah dan mau kita sendiri.[]

* Pengasuh Pondok Pesantren Roudlatut Tholibin Rembang.

YS/IslamIndonesia/ Sumber: Melihat Diri Sendiri (Gama Media, 2003)


(Sumber: https://islamindonesia.id/berita/kolom-gus-mus-berkurban-dan-berhaji.htm)

https://islamindonesia.id 415
Saturday, 10 September 2016

MEMAHAMI ISLAM: MAKNA HIDAYAH


Oleh: Abdillah Toha

Dalam bahasa sederhana, hidayah berarti petunjuk atau bimbingan. Namun dalam
bahasa agama, hidayah lebih dikhususkan terutama sebagai petunjuk dari Yang
Maha Pemberi Petunjuk ( Al-Hadi) yang tidak lain adalah Allah SWT. Dalam
beberapa hal, Al-Qur’an juga mengunakan kata hidayah sebagai petunjuk yang
datang dari Rasulullah SAW. Dalam Islam, dua petunjuk utama bagi penganutnya
adalah Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah SAW.

Mengapa manusia memerlukan petunjuk? Dalam kehidupan sehari-hari kita tidak


pernah lepas dari keperluan mendapatkan petunjuk. Berbagai petunjuk dan rambu-
rambu jalan, umpamanya, dibuat agar kita dapat mencapai tujuan dengan lebih
cepat dan tidak tersesat. Peta dan alat-alat navigasi modern dibuat agar kapal laut,
pesawat udara, dan berbagai alat transportasi selamat sampai di tujuan. Di era
informasi saat ini, dengan memanfaatkan satelit, Global Positioning System (GPS)
digunakan sehari-hari guna mencari alamat dan memilih jalan yang hambatannya
paling kecil.

Petunjuk diperlukan karena kita tidak menguasai semua informasi. Apalagi ketika
informasi dan pilihan melimpah di hadapan kita. Hidayah dari Allah diperlukan
karena manusia kerap kali gagal membedakan antara yang benar dan yang salah,
yang baik dan yang jahat, serta antara yang indah dan yang buruk.

Manusia sebenarnya juga tidak sepenuhnya mengenal siapa dirinya, dari mana asal
usulnya, dan kemana dirinya menuju. Dari sisi sumbernya, petunjuk dibagikan agar
tidak terjadi chaos dan kekacauan dalam hubungan antara penerima petunjuk dan
entitas lain. Bila dalam masalah yang sederhana saja kita masih memerlukan
bantuan petunjuk jalan, bagaimana dengan masalah yang jauh lebih rumit yang
menyangkut perjalanan hidup kita?

Sebagai orang beriman kita percaya bahwa perjalanan hidup kita bukan hanya di
dunia. Dari sejak alam roh, kehidupan di rahim ibu, bersambung terus sampai
kepada kehidupan di sini dan kini yang akan berlanjut ke kehidupan di alam barzakh
dan ujungnya di akhirat. Perjalanan panjang yang tidak kita kuasai petanya maupun
liku-liku hambatan yang ada dalam perjalanan. Karenanya manusia memerlukan

https://islamindonesia.id 416
GPS kehidupan yang disebut Hidayah agar kita sampai ke tujuan akhir dengan
selamat dan sentosa.

Ada sebuah kata lain yang sering digandengkan dengan hidayah, yakni taufik, yang
tidak akan kita bahas disini. Secara ringkas, taufik berarti karunia Allah berupa
kemampuan dan pembuka jalan bagi manusia untuk meraih keberhasilan atas dasar
hidayah yang telah didapatnya.

Sifat Rahman dan Rahim Allah yang memayungi seluruh sifat-sifatNya melahirkan
kehendak Allah untuk memberi petunjuk kepada makhluk ciptaanNya. Petunjuk atau
hidayah yang bersifat umum diberikan oleh Yang Maha Kuasa kepada seluruh
makhlukNya tanpa diminta dan tanpa pandang bulu. Kepada hewan diberikan insting
dan kepada manusia diberikan akal dan hati agar mampu mempertahankan
hidupnya di alam jasad ini. Kepada manusia yang berakal diberikan pula ilmu
secukupnya yang dapat dikembangkan menjadi petunjuk sementara dalam
mengatasi sebagian permasalahan hidup di bumi.

Hidayah umum ini merupakan bagian tak terpisahkan dan menyatu dengan proses
penciptaan. Ternyata insting, akal, hati, dan ilmu pengetahuan yang dikaruniakan
Tuhan hanya bisa mengatasi sebagian dan tidak pernah cukup untuk mengatasi
semua persoalan hidup di bumi. Hal ini dibuktikan dalam sejarah manusia yang tidak
pernah berhenti dari peperangan, kekacauan, permusuhan, perebutan kekuasaan
dan kekayaan alam, kemiskinan, penyakit, dan keburukan-keburukan lain.

Sebagai orang beriman juga memerlukan petunjuk perjalanan yang lebih panjang
dari sekadar kehidupan duniawi. Karenanya, disamping hidayah umum, manusia
masih memerlukan hidayah khusus dan tambahan yang dapat membimbing kita ke
soal-soal yang berada diluar lingkup keterbatasan akal kita. Hidayah jenis ini tidak
tersedia secara otomatis tetapi hanya diberikan kepada mereka yang meminta dan
berupaya keras meraihnya melalui doa, amal, dan ketulusan hati.

Shalat adalah salah satu bentuk doa. Dalam surah Al-Fatihah yang kita baca
berulang-ulang pada setiap shalat terdapat permohonan agar kita diberi hidayah
(ihdinasshiratal mustaqim) petunjuk jalan yang lurus, jalan kenikmatan yang diraih
oleh hamba-hamba Allah yang saleh, dan bukan jalan yang dimurkaiNya. Di luar
shalat, banyak sekali doa-doa yang berasal dari Rasulullah SAW yang memohon
bimbingan dan petunjuk Allah.

Hidayah diperlukan manusia beriman terus menerus karena keyakinan bahwa


semua tindak tanduk dan keberhasilan upaya manusia bergantung kepada

https://islamindonesia.id 417
kehendak dan izin Allah. Oleh karenanya, bimbingan dan pertolongan Allah selalu
diperlukan dalam setiap tahap upaya manusia.

Ada lebih dari 300 ayat yang menyebut hidayah dalam berbagai bentuknya di Al-
Qur’an (huda, ihtada, muhtadi, dsb) karena hanya Allah yang mengetahui mana
jalan yang benar dan mana jalan yang sesat. Karenanya, sebagian orang dan ulama
yang sering menuduh kelompok tertentu telah sesat sebenarnya dengan
keangkuhannya sedang mengklaim bahwa dirinya mewakili Allah dan mendahului
Allah dengan mengetahui apa yang diketahui Allah, mengetahui mana jalan yang
benar dan mana yang sesat. Sedangkan Allah telah berfirman, “Sesungguhnya
Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya
dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk. [Q.S. An
Nahl: 125]

Beberapa ayat Al-Qur’an menekankan tentang “prerogatif” Allah dalam menentukan


kepada siapa hidayah akan diberikan dan kepada manusia yang bagaimana hidayah
akan tertutup baginya. Bahkan Allah akan (membiarkan) sesat mereka yang telah
mengotori dan menutup hatinya untuk beriman karena berbagai motivasi dan alasan.

Salah satu nama Al-Qur’an adalah Al-Huda yang berarti (buku) petunjuk dan
bimbingan. Allah bersabda bahwa wahyu Allah yang terkumpulkan dalam kitab suci
Al-Qur’an merupakan hidayah bagi al-muttaqin (mereka yang bertakwa). Siapakah
mereka itu?

Mereka adalah orang-orang yang beriman kepada yang gaib, yang mendirikan
shalat, dan yang menafkahkan (menyedekahkan) sebagian rezeki yang diterimanya
kepada yang berhak menerima. Mereka adalah yang beriman kepada (kebenaran)
Al-Qur’an dan kitab-kitab suci sebelumnya, serta berkeyakinan akan adanya
kehidupan akhirat. (QS 2:2-4) Dalam ayat lain, disebutkan bahwa hidayah diberikan
hanya kepada mereka yang beriman. (QS 64:11)

Pertanyaan yang timbul, mengapa mereka yang sudah beriman dan bertakwa masih
memerlukan hidayah? Bukankah untuk menjadi beriman dan bertakwa telah
didahului dengan hidayah yang diperolehnya? Hidayah yang mendahului sikap
beriman dan bertakwa adalah hidayah umum yang dikaruniakan Allah kepada
semua makhlukNya seperti diuraikan di atas.

Dari hidayah umum itu sebagian manusia dengan menggunakan akal dan membuka
hatinya menemukan jalan menjadi beriman dan bertakwa. Sedang sebagian lainnya
yang menutup hatinya gagal memanfaatkan karunia akal dan ilmunya untuk
menaikkan derajat kemanusiaannya menjadi orang beriman.

https://islamindonesia.id 418
Bagi mereka yang kemudian beriman dan bertakwa disediakan hidayah khusus dan
ekstra yang bertingkat-tingkat sesuai dengan derajat keimanan dan ketakwaannya.
Makin tinggi iman, amal, ibadah, dan kebersihan hatinya makin terbuka luas peluang
meraih hidayah Allah yang berlapis-lapis yang akan membimbingnya kepada
kehidupan yang tenteram lahir dan batin, selamat sampai tujuan akhir di haribaan
Allah Yang Maha Mengetahui segalanya.

Allah berfirman, “Dan orang-orang yang mendapat petunjuk, Allah menambah


petunjuk kepada mereka dan memberikan kepada mereka (balasan) ketakwaannya.”
[Q.S. Muhammad: 17]

Semoga kita semua menjadi bagian dan bersama mereka yang mendapatkan taufik
dan hidayahNya serta dibukakan jalan yang terang benderang menuju ridhaNya.

“Ya Tuhan kami, janganlah Engkau condongkan hati kami kepada kesesatan setelah
Engkau berikan petunjuk kepada kami dan karuniakanlah rahmat kepada kami dari
sisi-Mu. Sesungguhnya Engkau Maha Pemberi (karunia).” [Q.S. Ali ‘Imran: 8). []

AT – 10-09-2016

YS/IslamIndonesia
(Sumber: https://islamindonesia.id/berita/kolom-memahami-islam-makna-
hidayah.htm)

https://islamindonesia.id 419
Thursday, 11 August 2016
HAIDAR BAGIR: FULL DAY SCHOOL ATAU “BE-TE”
SCHOOL?
Oleh: Haidar Bagir*

IslamIndonesia.id – KOLOM — Full Day School atau “Be-te” School?

“… Kegagalan akademik siswa bukanlah dikarenakan tidak adanya/kekurangan


upaya oleh sekolah, melainkan justru akibat ‘ulah’ sekolah.” `John Holt dalam How
Children Fail

Pendidikan, tidak seperti pendapat orang-orang seperti John Locke (teori tabula
rasa) pada dasarnya bukanlah penanaman atau pengisian, melainkan aktualisasi
potensi siswa. Sudah sejak berabad lalu, dengan puitis Plutarch menyatakan :
“Pikiran bukanlah bejana untuk diisi, tapi api untuk dinyalakan.’ Di zaman modern,
Paulo Freire menolak apa yang disebutnya serbagai “banking concept of education,”
yang di dalamnya siswa dianggap sebgai “celengan” yang harus diisi guru.
Pandangan yang sejalan juga diungkapkan para ahli seperti Steven Pinker, Sir Ken
Robinson, Noam Chomsky, dan sebagainya.

Dalam metoda “banking”, bukan saja peserta didik dianggap sebagai celengan
kosong, ke dalam celengan itu pun dijejalkan terlalu banyak “uang receh”. Bukan
hanya banyak, malah tak banyak bermakna bagi kebutuhan siswa.

Mengutip George Bernard Shaw, yang tejadi dalam metoda ini bukan “anak
mengejar pengetahuan, tapi pengetahuan mengejar anak.”, sampai si anak
terengah-engah. Lalu merasa bahwa belajar itu melelahkan. Sebagai akibatnya,

https://islamindonesia.id 420
mereka justru kehabisan waktu dan tenaga untuk mengembangkan kreativitas,
ketrampilan riset, dan kemampuan reflektif.

Sayangnya, selama ini pandangan seperti inilah yang, disadai atau tidak, dominan
dalam pendidikan kita. Sebaliknya, paradigma aktualisasi melibatkan proses belajar
yang alami, yang sejalan dengan kenyataan bahwa seluruh apa yang hendak
dipelajari manusia sebetulnya sudah ada di dalam dirinya. Ia benar-benar
melibatkan inisiatif siswa. Inilah active learning sejati. Tugas guru dan lingkungan
adalah mempersiapkan lahan — atmosfer dan bimbingan — yang subur (secara
fisik, psikologis, dan ruhani) demi berkembang-suburnya “biji” potensi dalam diri
manusia itu.

Falsafah pendidikan sebagai aktualisasi bersifat alami, sekaligus lebih autentik


(berjalin dan berkelindan dengan sifat kehidupan di dunia nyata), kontekstual
(berjalin berkelindan dengan concern kehidupan sehari-hari), dan sejalan dengan
berbagai prinsip pendidikan lainnya. Yakni, sekaligus sejalan dengan keharusan
proses belajar bersifat fun (menyenangkan).

Di atas semuanya itu, masih ada manfaat lain yang tak boleh diabaikan. Paradigma
tepat guna ini justru mengimplikasikan aspek-aspek pendidikan yang sejalan dengan
temuan-temuan mutakhir di bidang ini. Termasuk, penerapan Project dan Problem
Based Learning (PBL) yang, di dalamnya, kurikulum – betapa pun penting — bukan
merupakan aspek yang paling penting dan lebih bersifat sebagai pemandu, bukan
rincian proses belajar mengajar yang kaku dan justru bisa mengerangkeng. Strategi
ini juga lebih kondusif bagi pengembangan kreativitas dan berbagai karakter yang
termasuk dlam 21st Century Skills, yang menjadi kunci kemampuan bersaing.

Sampai di sini saya kira semuanya masih sejalan dengan gagasan atau wacana full
day school yang dikembangkan Mnedikbud Muhajir Effendi. Pak Muhajir dalam
penjelasan beliau menyampaikan bahwa tambahan waktu sekolah dalam sistem full
day school tak akan dihabiskan untuk belajar yang bersifat intrakurikular, melainkan
akan diisi dengan kegiatan ekstrakurikular yang berorientasi pendidikan karakter
melalui berbagai kegiatan yang bersifat menyenangkan.

Tapi, yang sama sekali tak boleh dilupakan, paradigma ini juga melibatkan
pergeseran kualifikasi guru, disamping kurikulum, dan cara penilaian (assessment)
yang sesuai – yakni, penilaian berdaar portofolio yang tak hanya bersifat kognitif,
melainkan juga afektif dan psikomotorik. Dalam hal kompetensi guru ini, meski tentu
kompetensi sektoral (atas subject matter) oleh guru tetap penting, semuanya itu tak
sepenting motivasi/passion, dan profesionalisme –yakni kecintaan dan kesetiaan

https://islamindonesia.id 421
kepada pekerjaan mendidik dan kepada para peserta didik — yang, pada gilirannya,
akan melahirkan intuisi mengajar yang pas dan semangat belajar guru

Tapi justru di sinilah letak masalahnya. Seperti diketahui, sekolah-sekolah dasar dan
menengah kita yang tersebar di seluruh pelosok negeri, justru kekurangan dalam hal
kompetensi-kompetensi utama guru ini. Uji kompetensi guru, yang belum lama
diselenggarakan, hanya menghasilkan nilai rata-rata di sekitar 5 (dari 10). Itu pun
baru uji kompetensi yang bersifat teoretis (betapa pun computer based). Sejak dulu,
lebih-lebih dalam kerangka paradigma baru ini, yang sebetulnya lebih penting dimiliki
seorang guru — yakni motivasi, dan passion yang tak bia begitu saja diketahui lewat
uji kompetensi yang bersifat teoretis seperti itu – justru merupakan masalah terbesar
dalam kualifikasi guru-guru kita. Penyebabnya bisa, tapi tidak mesti, bersumber dari
para guru sendiri. Ada persoalan kualifikasi guru yang tidak memadai, baik dari segi
latar belakang akademik maupun wawasan, tapi ada juga persoalan rendahnya
remunerasi yang membuat para guru sulit mencurahkan perhatian pada
pekerjaannya.

Dari pengalaman penulis mengembangkan belasan sekolah untuk anak-anak dari


keluarga kelas menengah yang mampu menggaji guru secara pantas, kompetensi-
kompetensi yang disoroti oleh tulisan ini pun masih menjadi masalah. Apalagi di
sekolah-sekolah “miskin” tempat anak-anak dari keluarga sederhana dan miskin
bersekolah. Hal ini dengan jelas penulis dapati dalam berbagai kegiatan pelatihan
puluhan ribu guru dan pendampingan puluhan sekolah yang penulis terlibat di
dalamnya.

Kenyataannya, di sebagian besar wilayah di negeri kita, sekolah masih jauh dari bisa
dibilang sebagai tempat yang meyenangkan bagi anak-anak. Bahkan, dalam lelucon
sangat realistis yang banyak beredar, dikatakan bahwa mata pelajaran yang paling
disukai peserta didik adalah mata peajaran kosong. Ini karena, sebaliknya dari
menjadi taman yang meyenangkan, sekolah selama ini masih merupakan tempat
yang membuat be-te (boring total).

Tentu, di samping kemungkinan kelebihan-kelebihannya,masih banyak persoalan


lain dalam gagasan tentang full day school ini. Termasuk tambahan beban biaya
pendidikan, berkurangnya waktu anak dalam berinteraksi dan bermain di luar
sekolah, khususnya dalam keluarga – yang nota bene merupakan wahana sekolah
kehidupan yang bisa tak kalah penting dibanding sekolah formal. Belum lagi adanya
kenyataan yang tak dapat diingkari bahwa di banyak wilayah,anak masih
menyandang peran sebagai pendukung aktivitas keluarga.

https://islamindonesia.id 422
Maka, tanpa menutup sama sekali kemungkinan sistem full day school bisa
diterapkan dalam kondisi-kondisi yang sesuai, kiranya prioritas perlu diberikan pada
perbaikan di bidang kurikulum – termasuk sistem penilaian, sebagaimana yang
sekarang sedang berada dalam proses penyempurnaan – serta peningkatan
kualifikasi (dan remunerasi) guru, seperti disinggung di atas. Kalau tidak, sistem full
day school jangan-jangan hanya akan melahirkan be-te school, yang makin mebuat
be-te peserta didik di negeri kita. Dan akibat fatalnya adalah, akan lebih banyak
peserta didik membenci kegiatan belajar atau setidaknya justru terhambat dari
medapatkan manfaat maksimum dari proses belajar. []

*Ketua Yayasan Sekolah-sekolah Lazuardi

IslamIndonesia/ Terbit pertama kali di Harian Media Indonesia


(Sumber: https://islamindonesia.id/kolom/kolom-haidar-bagir-full-day-school-atau-be-te-school.htm)

https://islamindonesia.id 423
Tuesday, 19 July 2016

CINTA SEBAGAI ASAS AGAMA


Oleh: Haidar Bagir*

“Salah satu tanda akhir zaman adalah adanya orang yang banyak beribadat tapi
jahat, para ulama (ahli agama) tapi fasik (justru menyalahi ajaran agama)”.
HR. Ibn Ady

Kita tak pernah tahu pasti apakah Hari Kiamat benar-benar sudah dekat. Namun,
yang nyata, belakangan ini kita seperti dipaksa mengevaluasi apakah banyak
beribadat punya korelasi dengan keluasan wawasan dan keterbukaan pikiran.

Malah seperti didemonstrasikan di depan mata kita, kegairahan beribadat tak jarang
berjalan beriringan dengan pikiran cupet, fanatik, mau menang sendiri, dan
menyalah-nyalahkan pandangan orang yang berbeda pendapat. “Hanya pandangan
sayalah pemahaman yang benar.” Yang lain salah, bi’dah, sesat, kafir, dsb.

Di sisi lain, seperti dinubuatkan oleh sabda Nabi Muhammad SAW di awal tulisan ini,
kita dipaksa menelan kenyataan bahwa keulamaan tak selalu berjalan beriring
dengan moralitas luhur. Malah masyarakat dibuat skeptis terkait moral para
ulamanya. Entah dalam hal hidup bemewah-mewah dengan menjual keulamaannya
kepada publik atau kekuasaan, entah menjual diri demi meraih kekuasaan atau
jabatan, tak terkecuali juga popularitas. Ini dilakukan untuk menyenangkan massa
dengan materi dan gaya berdakwah yang banal, atau dengan membenar-benarkan
posisi politik penguasa yang telah menyuguhinya berbagai fasilitas, sambil
menyesat-nyesatkan musuh si penguasa.

Di sisi lain, perselingkuhan ulama dengan penguasa ini malah kian dikukuhkan
dengan miopisme para penguasa yang mengira bahwa memanipulasi komunitas
agama menguntungkan bagi perluasan basis konstituennya. Padahal, kenyataan
menunjukkan bahwa para politisi “kuper” ini sering salah paham, mengira bahwa
kerasnya suara kelompok seperti ini, dan “kegagaperkasaan” mereka, mewakili
jumlah yang banyak. Kenyataannya, kelompok “keras” dan politisi model begini tak
pernah benar-benar memenangi hati masyarakat luas. Ini terbukti dari kegagalan

https://islamindonesia.id 424
beruntun kelompok model begini, di tingkat pusat ataupun daerah, dan para politisi
oportunis dukungan mereka dalam pemilihan di pusat/daerah.

Duduk bersama jemaah

Kiranya ini jugalah latar kenapa Nabi secara demonstratif memilih duduk di masjid
bersama jemaah yang mendiskusikan ilmu ketimbang semata-mata memperbanyak
ibadat. Bukan berarti beribadat tak penting, tapi bahwa membanyak-banyakkan
ibadat tanpa disertai wawasan cukup dan pikiran terbuka justru bisa
melipatgandakan kerusakan akibat semangat kesalehan yang sering tak terkendali.

Di sisi lain, umat harus lebih berhati-hati memilih ulama panutannya dalam belajar
agama. Jangan tertipu oleh kepiawaian berpidato dan materi dakwah yang sekadar
menghibur atau memanas-manasi demi memuasi nafsu angkara orang banyak.

Saya melihat bahwa di sini berperan kekeliruan — setidaknya ketaklengkapan —


wawasan para pemeluk agama tentang agama itu sendiri. Yakni, dengan membatasi
agama “hanya” dalam hal syariat — dalam makna aspek hukum yang semata-mata
verbal dan fisik –dan keimanan yang melulu rasional (yakni rasional lebih dalam
batas-batasnya yang kalkulatif dan instrumental belaka). Ada hal yang justru paling
esensial dari agama yang dilupakan: sumber spiritualitas dan moralitas. Agama
sebagai persoalan hati. Mari kita bahas kedua aspek puncak agama ini.

Dalam Islam, pemahaman tentang agama ditopang Rukun (pilar) Islam dan Rukun
Iman diambil dari hadis amat populer dan disepakati kesahihannya. Hadis panjang
yang biasa dijuluki Hadis Jibril itu berbunyi demikian. “Suatu ketika, kami (para
sahabat) duduk di dekat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tiba-tiba muncul
kepada kami seorang lelaki mengenakan pakaian yang sangat putih dan rambutnya
amat hitam tak terlihat padanya tanda-tanda bekas perjalanan dan tak ada seorang
pun di antara kami yang mengenalnya. la segera duduk di hadapan Nabi. Lututnya
ditempelkan kepada lutut Nabi. la meletakkan kedua tangannya di atas kedua paha
Nabi, kemudian berkata, “Hai, Muhammad! beritahukan kepadaku tentang Islam.”

Rasulullah SAW menjawab, “Islam adalah engkau bersaksi tidak ada yang berhak
disembah dengan benar melainkan hanya Allah, dan sesungguhnya Muhammad
adalah Rasul Allah, menegakkan shalat, menunaikan zakat, berpuasa di bulan
Ramadhan dan engkau menunaikan haji ke Baitullah jika kau mampu
melakukannya.” Lelaki itu berkata, “Engkau benar. Maka kami heran ia yang
bertanya ia pula yang membenarkannya.”

https://islamindonesia.id 425
Kemudian ia bertanya lagi, “Beritahukan kepadaku tentang Iman.” Nabi menjawab,
“Iman adalah engkau beriman kepada Allah, malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para
Rasul-Nya, Hari Akhir, dan beriman kepada takdir Allah yang baik dan yang buruk.”
Ia berkata, “Engkau benar.” Dia bertanya lagi, “Beritahukan kepadaku tentang
ihsan.” Nabi SAW menjawab, “Hendaklah engkau beribadat kepada Allah
seakan¬akan engkau melihat-Nya. Kalaupun engkau tak melihat-Nya,
sesungguhnya Dia melihatmu.” (Hadis yang direkam Imam Muslim).

Pendefinisi Agama

Tampak dalam hadist di atas bahwa Malaikat Jibril – yakni “laki-laki” yang menanyai
Nabi itu, yang oleh Nabi sendiri dikatakan “mengajar kalian tentang agama kalian”-
tidak merasa cukup dengan mendapatkan “hanya” Rukun Islam dan Rukun Iman
sebagai pendefinisi agama. Sayangnya, pendefinisi lain Islam, yang menurut saya
justru paling puncak yakni Ihsan, banyak dilupakan kaum Muslim sendiri. Setidaknya
tak cukup mendapat perhatian dibandingkan dengan kedua pendefinisi lain.
Padahal, seperti difirmankan Tuhan sendiri, “(Dia) menciptakan mati dan hidup
dengan tujuan menguji siapa di antara kalian yang paling indah/sempurna (ihsan)
amal-amalnya.”

Ya, padahal justru dalam Rukun Ihsan itulah termuat aspek utama semua agama
sebagai spiritualitas dan moralitas. Seperti akan kita lihat, pada inti spiritualitas itulah
terletak unsur cinta yang merupakan raison d’etre agama. Bahwa tanpa spiritualitas
yang mendalam serta moralitas yang luhur, agama justru bisa jadi sumber bala
bencana, sumber datangnya kiamat kemanusiaan. Tanpa cinta, agama bisa jadi
sumber sikap radikal dan agresif. Sebagaimana kita amati dalam beberapa tahun
belakangan ini, agama telah disalahpahami dan disalahpraktikkan sehingga jadi
pemicu kekerasan dan peperangan.

Memang ihsan — yakni melakukan amal yang paling indah, paling sempurna,
berdasar hubungan (yang penuh keintiman) dengan Tuhan Yang Mahapengasih dan
Mahapenyayang, dan penuh solidaritas kepada sesama makhluk-Nya — adalah inti
atau puncak agama. Al-Qur’an sendiri menegaskan bahwa seseorang bisa saja
berislam tanpa keimanan (49:14) dan beriman tanpa akhlak yang luhur. Mengenai
yang disebut terakhir ini, Nabi Muhammad dicatat pernah bersabda secara
kategoris, “Pangkal agama adalah pengenalan hakiki (makrifat) akan Tuhan”,
sedangkan “makifat itu adalah akhlak yang baik”, sementara “akhlak yang baik itu
adalah silaturahim: memasukkan rasa bahagia ke dalam hati sesama”.

Dalam Hadis Jibril itu dikatakan bahwa ihsan adalah ‘beribadat kepada Allah dalam
keadaan kamu melihat Allah’ (dalam teks disebut “seolah-olah”, karena Tuhan tak

https://islamindonesia.id 426
bisa dilihat dengan mata kepala). Dalam penelitian lebih jauh ke dalam kosakata Al-
Qur’an, sesungguhnya kata ibadat, yakni ibadat dalam tingkatannya yang tertinggi,
selalu bermakna hubungan antara makhluk dan Tuhan yang berdasarkan cinta. Di
sisi lain, tambahan penjelasan bahwa ibadat seharusnya dilakukan dalam kehadiran
Allah kiranya mengindikasikan Allah sudah tak lagi semata-mata berjarak, tetapi
telah jadi intim dengan pelaku. Dan pengikat keintiman itu tentu tak lain adalah cinta.
“Orang-orang beriman amatlah mendalam kecintaannya pada Allah” (Al-Qur’an
2:194). Sedemikian sehingga Nabi sendiri menyatakan bahwa “cinta adalah asasku”.

Kiranya hanya dengan ihsan yang berbasis cinta seperti inilah ibadat dapat benar-
benar jadi sumber spiritualitas yang memancurkan berkah melimpah bagi sesama,
sementara keulamaan jadi sumber barometer moralitas luhur dan reformasi
kemasyarakatan. Dengan demikian, agama kembali kepada perannya sebagai oase
spiritualitas dan moralitas di tengah kemanusiaan yang berada dalam ancaman
belakangan ini dan bukannya justru menuang bensin kepada kobaran api kekacauan
kemanusiaan itu. Sudah waktunya Rukun Islam dan Rukun Iman dikembalikan
kepada puncaknya: Rukun Ihsan, pilar cinta agama.

*Pendiri Gerakan Islam Cinta

AJ/IslamIndonesia/Sumber: Kompas
(Sumber: https://islamindonesia.id/berita/opini-cinta-sebagai-asas-agama.htm)

https://islamindonesia.id 427
Sunday, 10 July 2016

HIDUP INI ADALAH LATIHAN

Islamindonesia.id–Hidup ini adalah Latihan

Salah satu persoalan yang senantiasa menghantui pikiran dan perasaan manusia adalah
tujuan penciptaan alam semesta, termasuk di dalamnya tujuan penciptaan manusia. Konon,
persoalan ini pula yang mula-mula melahirkan filsafat dan cara berpikir filosofis dalam
pentas sejarah manusia. Terhadap persoalan ini, berbagai aliran mengajukan jawaban yang
berbeda-beda, selaras dengan dasar pijakannya masing-masing.

Kaum materialis, dengan berbagai kembangannya, merumuskan tujuan penciptaan alam


dalam batasan ruang dan waktu. Bagi mereka, sebagaimana alam semesta ini terbatas
pada apa yang terindra dan terukur, demikian pula dengan tujuan penciptaannya.
Kebahagiaan, kesejahteraan, kekayaan, dan keberhasilan, semuanya terkait dengan
konteks “now-and-here”, di dunia wadag ini. Hal-hal di luar itu dianggap nonsens, tidak
bermakna.

Hal paling utama yang dihadapi kalangan materialis ialah persoalan kesementaraan yang
bersumber dari kemusnahan fisik semua benda. Apakah arti penciptaan fisik ketika
semuanya mengalami kehancuran dan kesirnaan? Apakah nilai eksistensial dari benda yang
sementara? Apakah perbedaan dari sesuatu-yang-sementara vis-à-vis sesuatu-yang-tiada?
Menghadapi berbagai pertanyaan itu, seorang materialis akan merasakan keresahan

https://islamindonesia.id 428
eksistensial yang menghunjam. Dan pada gilirannya dia akan tergiring untuk memilih jalan
hidup yang anarkis dan nihilis.

Kebalikannya, kalangan bertuhan meyakini adanya tujuan umum yang terkait dengan
penciptaan segala sesuatu dan tujuan khusus yang terkait dengan tiap-tiap ciptaan. Tujuan
umum penciptaan ialah mendapatkan faydh (pancaran sinar) Ilahi, sedangkan tujuan
khususnya ialah penyempurnaan yang sesuai dengan kemampuan masing-masing, baik
penyempurnaan ini terjadi secara paksa atau berdasarkan kebebasan memilih suatu subjek.
Dalam surah Al-Imran ayat 191, mereka bergumam: “Segala puji bagi-Mu, wahai Tuhan
kami, tiadalah Engkau menciptakan semua ini dengan sia-sia.”

Menurut pandangan kaum bertuhan, alam raya diciptakan oleh dan didasarkan pada Al-
Haqq. Secara bahasa, al-haqq berarti tsabat (kekukuhan dan keteguhan). Secara istilah,
pengertian al-haqq tetap mengungkapkan hakikat kekukuhan dan keteguhan. Berikut
beberapa pengertian al-haqq dalam bahasa Arab: 1. dalam kaitan dengan Allah Swt. Al-
Haqq berarti Wujud yang Niscaya-ada; 2. dalam kaitan dengan kepercayaan, al-haqq berarti
kepercayaan yang lurus dan benar, lawan dari kepercayaan yang batil dan menyimpang; 3.
dalam kaitan dengan pembicaraan, al-haqq berarti perkataan jujur yang sesuai dengan
kenyataan; 4. dalam kaitan dengan tindakan, al-haqq berarti tindakan yang bernilai dan
bertujuan bijaksana; dan 5. adakalanya al-haqq digunakan dalam arti hak konvensional,
seperti dalam konteks hak milik, hak guna, hak pakai, hak suami dan istri, hak rakyat atas
penguasa dan sebagainya. Semua hak ini hanya terjadi dalam ruang sosial manusia.
Allah berfirman: “Dialah (Allah) yang telah menciptakan lelangit dan bumi dengan Al-Haqq.”
(QS Al-An’am: 73)

Lawan dari kata al-haqq dalam pengertian keempat ialah ‘abats (sia-sia, nihil). Sehubungan
dengan penciptaan manusia, Allah berfirman, “Apakah kalian menyangka bahwa Kami
menciptakan kalian secara sia-sia dan bahwa kalian tidak akan kembali kepada Kami.” (QS
Al-Mu`minun: 115). Dalam ayat ini, Allah menggugah pikiran manusia agar merenungkan
penciptaan dirinya: benarkan semua ini hanya ‘abats, tidak punya maksud tertentu? Apakah
kalian menyangka bahwa kehidupan serba terbatas ini akan berakhir di sini, dan tidak akan
“diuraikan” di sisi Allah? Apakah kalian menyangka bahwa penciptaan alam ini hanyalah
secara lahiriah dan fisik semata, tanpa memiliki aspek tersembunyi dan misterius di
dalamnya?

Dalam ayat lain Allah berfirman, “Dan sesungguhnya tidak Kami ciptakan lelangit dan bumi
dan segala apa yang ada di antaranya dengan main-main * Tidaklah kami menjadikannya
kecuali dengan Al-Haqq.” (QS Ad-Dukhan: 38-39). Namun demikian, ketika berbicara
mengenai kehidupan dunia, Allah berfirman, “Sesungguhnya kehidupan dunia adalah main-
main dan senda gurau.” (QS Muhammad: 36) dan “Sesungguhnya kehidupan dunia ini tidak
lain kecuali senda gurau dan main-main.”(QS Al-‘Ankabut: 64).

https://islamindonesia.id 429
Pertanyaannya ialah mengapa Allah memerikan kehidupan dunia sebagai permainan dan
senda gurau? Menurut para sufi, tujuan penciptaan alam semesta ini mustahil hanya
terbatas pada kehidupan dunia ini. Bahkan, mengikuti logika Al-Quran, kehidupan dunia ini
hanyalah permainan untuk kehidupan akhirat.

Ambillah contoh permainan catur. Bila dilihat pada dirinya sendiri, kekalahan dan
kemenangan yang terjadi dalam permainan catur tidaklah mengandung arti apa-apa. Raja,
ratu, dan prajurit-prajurit yang gugur di dalamnya juga tidak berdampak apa-apa dalam
kehidupan seseorang. Namun demikian, bila permainan ini kita lihat sebagai sebuah latihan
keterampilan dan simulasi untuk strategi perang yang sebenarnya, walaupun ia adalah
suatu permainan, tetapi mengingat penting dan gentingnya tujuan yang ada di balik
permainan tersebut, kita tidak bisa menganggapnya sebagai sekadar permainan. Dengan
kata lain, Al-Quran ingin mengatakan kepada orang yang melihat bahwa kehidupan dunia
bukanlah tujuan, dan bila dibandingkan dengan kehidupan akhir maka ia hanyalah suatu
permainan. Sebaliknya, bagi yang melihat kehidupan fisikal yang serba terbatas ini memiliki
tujuan yang lebih besar—meskipun tetaplah suatu simulasi dan permainan bila dibanding
dengan kehidupan sesungguhnya—kehidupan ini dijalankan dengan sungguh-sungguh dan
sikap hati-hati.

Demikianlah, gambaran umum tujuan penciptaan di atas dijabarkan Sayidina Ali dalam
rangkaian munajat yang diriwayatkan oleh Kumail bin Ziyad An-Nakha’i berikut ini: “Ya
Rabbi, Ya Rabbi, Ya Rabbi…Kuatkah anggota-anggota tubuhku untuk berbakti kepada-Mu,
teguhkan tulang-belulangku untuk melaksanakan azamku, karuniakan kepadaku
kesungguhan dalam bertakwa dan kelanggengan dalam melayani-Mu, sehingga aku dapat
bergegas menuju-Mu bersama orang-orang yang telah mendahuluiku, berlari kepada-Mu
bersama mereka yang berada di depan, merindukan kedekatan dengan-Mu bersama para
perindu-Mu, menghampiri-Mu dengan penghampiran orang-orang yang tulus-ikhlas kepada-
Mu, takut kepada-Mu laksana takutnya orang-orang yang mencapai derajat keyakinan
terhadap-Mu…(Ya Allah) jadikan aku hamba yang paling baik nasibnya di sisi-Mu, yang
paling dekat kedudukannya di keharibaan-Mu dan yang paling istimewa tempatnya di dekat-
Mu.”

AJ/IslamIndonesia
(Sumber: https://islamindonesia.id/kolom/opini-hidup-ini-adalah-latihan.htm)

https://islamindonesia.id 430
Tuesday, 28 June 2016
ABDILLAH TOHA: MEMIMPIN DALAM PERUBAHAN
(BAGIAN 1)

Perubahan adalah sebuah keniscayaan. Tidak ada yang berhenti dalam hidup. Satu-
satunya yang tetap dalam hidup adalah perubahan. Tuhanpun tidak berhenti
berkarya dengan setiap saat mencipta. Sejarah telah membuktikan bagaimana
kehidupan di planet yang kita huni bersama ini terus berubah. Ketika ada adagium
history repeats itself, yang dimaksud bukan kejadian yang sama berulang, tetapi
pola pikir manusia yang seringkali tidak pernah belajar dari kesalahan masa lalu dan
mengulang tabiat atau perilaku yang sama dalam menghadapi perubahan.

Tidak ragu lagi bahwa percepatan inovasi teknologi dalam setengah abad terakhir
yang secepat kilat telah berdampak pada hampir seluruh sisi kehidupan kita. Begitu
cepat perubahan-perubahan belakangan ini sehingga banyak dari kita menjadi
gagap untuk meresponnya dengan tepat. Mengelola perubahan sekarang telah
menjadi ilmu yang dikembangkan untuk membantu para pemimpin dalam tingkat
apapun utk menghadapi tantangan baru ini.

Namun demikian, sebelum kita menerapkan ilmu mengelola perubahan, terlebih


dahulu kita harus memahami prinsip-prinsip dasar kepemimpinan. Dalam ajaran
Islam, ada hadis yang sudah sama-sama kita kenal. “Setiap kalian adalah
penggembala atau pemimpin dan setiap kalian kelak akan dimintai
pertanggungjawabannya atas gembala atau kepemimpinan kalian”.

Kita semua adalah pemimpin dalam kapasitas yang berbeda-beda. Dari unit terkecil
keluarga sampai masyarakat, negara, dan ummat manusia. Lebih penting lagi,
setiap kita adalah pemimpin bagi diri sendiri yang menentukan bagaimana kita
membawa diri kita ke arah yang benar, dan bagaimana kita mengendalikan
perseteruan tiada henti didalam diri kita masing-masing antara jiwa yang tenteram
dan jiwa amarah.

Ketika kita berbicara menyangkut bangsa, mau tidak mau kita terbawa oleh arus sisi
emosional dari dalam diri kita meski kita tetap berusaha rasional dan se-obyektif
mungkin. Menyangkut kebangsaan, selalu ada semacam pertautan emosi diantara
kita sebangsa yang mempunyai perikatan sejarah, budaya, dan asal usul.
Karenanya, pemimpin bangsapun tidak dapat lepas dari hubungan batin antara
pemimpin dan yang dipimpin.

https://islamindonesia.id 431
Pemimpin bangsa tidak dapat diserahkan kepada orang asing yang tiba-tiba datang
menawarkan dirinya sebagai pemimpin karena mau tidak mau orang asing tidak
dapat sepenuhnya merasakan aspirasi batiniyah dari bangsa yang dipimpin karena
dia bukan bagian dari bangsa itu. Namun demikian, pemimpin bumiputra juga belum
tentu dapat memenuhi tuntutan batin bangsa yang dipimpin bila ia tidak cukup peka
dan bila ia lama mengasingkan dirinya dari kehidupan nyata bangsanya sendiri.

Kepekaan adalah suatu yang dituntut dari seorang pemimpin. Dia bisa saja cerdas
tetapi bebal dalam kemampuan membaca perasaan rakyatnya. Pemimpin yang ideal
adalah yang melihat rakyat seakan sebagai bagian dari tubuhnya sendiri sehingga
ketika rakyat tersakiti maka dia akan merasa bagian tubuhnya terasa sakit pula.

Sumber kekuasaan pemimpin datang dari rakyat dan pada saatnya harus
dikembalikan kepada rakyat. Pemimpin juga harus mempertanggungjawabkan
kekuasaannya kepada rakyat dan itu berarti dia bertanggung jawab kepada Tuhan,
karena sebenarnya Tuhan bukan berada jauh di langit tetapi Tuhan itu dekat dan
berada diantara rakyat, terutama diantara rakyat yang tertindas. “Tuhan
bersemayam di gubuk si miskin” kata Bung Karno.

Ketika dalam al-Quran Allah mengingatkan bahwa Dialah yang memberi kekuasaan
kepada siapa yang dikehendakiNya dan mencabut kekuasaan dari siapa yang
dikehendakiNya, pada hakekatnya Tuhan melakukan itu melalui tangan rakyat yang
tertindas. Sejarah telah berkali-kali membuktikan bahwa tiadak ada kekuasaan tanpa
batas yang akan bertahan selamanya namun manusia tetap saja alpa ketika sedang
berada dalam kekuasaan dan merasa kekuasaannya tidak akan runtuh dan akan
bertahan selamanya.

Keadilan adalah salah satu nilai tertinggi kemanusiaan. Pemimpin yang adil berdiri di
tengah dan bertindak sebagai wasit yang adil. Keadilan bukan menyamaratakan
seluruh komponen bangsa tetapi memberi bagian yang berlebih bagi yang
kekurangan dan mengurangi kelebihan dari yang berkelebihan. Keadilan sosial
adalah mewujudkan kesempatan yang sama bagi setiap warga untuk meraih sukses
dengan membantu yang lemah tanpa membedakan asal usul atau kelas sosial.
Keadilan adalah menciptakan kesamaan setiap warga di mata hukum dan
memberdayakan warga agar dapat meghadapi perlakuan yang sama di depan
hukum. Pemimpin yang adil adalah pemimpin yang mengakui hak rakyat lebih
dahulu dari pada hak kelompok kekuatan yang menopang kekuasaan.

Pemimpin bangsa harus punya pegangan moral yang jelas dan kuat. Cara mencapai
tujuan sering kali lebih penting dari tujuan itu sendiri. Bila ia seorang Muslim, ia
harus sadar bahwa agama Islam bukanlah agama tujuan karena tujuan kita semua

https://islamindonesia.id 432
sudah jelas bahwa kita akan kembali kepada sang Pencipta. Agama Islam adalah
agama jalan. Karenanya dalam sholat yang kita baca berulang-ulang adalah
permohonan untuk ditunjukkan jalan yang lurus. Bukan permohonan untuk meraih
keuntungan duniawi. Nabipun diutus semata untuk menyempurnakan akhlak.

Moralitas bangsa juga ditentukan oleh moralitas pemimpinnya. Kemorosotan moral


politik kita saat ini disebabkan oleh longgarnya moral para pemimpinnya, sehingga
yang salah dianggap normal dan yang benar terpinggirkan. Budaya koruptif tumbuh
karena terlalu banyak konspirasi dan kompromi moral dengan dalih menjaga
keharmonisan diantara sesama penyelenggara negara. Pertimbangan material
jangka pendek mengalahkan pertimbangan moralitas jangka panjang.

Bersambung…

AJ/IslamIndonesia
(Sumber: https://islamindonesia.id/kolom/opini-abdillah-toha-memimpin-dalam-perubahan-bagian-1.htm)

https://islamindonesia.id 433
Wednesday, 29 June 2016

ABDILLAH TOHA: MEMIMPIN DALAM PERUBAHAN


(BAGIAN 2-SELESAI)

Kualitas seorang pemimpin juga ditentukan oleh kemampuannya memilih pembantu


yang berkualitas. Tugas seorang pemimpin adalah menciptakan sebanyak mungkin
pemimpin lain. Kelangsungan kepemimpinannya yang baik tidak boleh ditentukan
oleh kelangsungan umur fisik pemimpin atau batas-batas konstitusional masa
kepemimpinannya. Penguatan institusi-institusi kenegaraan merupakan salah satu
tugas penting seorang pemimpin sehingga pergantian pemimpin tidak selalu
menimbulkan gejolak dan kelangsungan peneyelenggaraan negara dapat
dipertahankan dalam kondisi stabil dan damai.

Institusi dan sistem yang efisien dan efektif merupakan bagian dari rancangan
penting kepemimpinan yang tidak mengandalkan kepada karisma pemimpin.
Kebergantungan kepada orang per orang akan berganti dengan sistem dan institusi
yang menunjang dan sekaligus membatasi kesewenang-wenangan pemimpin baru.
Ketidakpastian dalam penyelenggaraan negara akan terkikis, diganti dengan
keteraturan yang dinamis dan ketertiban dan keamanan yang tidak menggerogoti
hak individu dan kelompok masyarakat.

Khusus untuk negeri kita yang bineka dan plural ini, menjaga persatuan dalam
perbedaan adalah tugas penting pemimpin. Akomodasi terhadap berbagai
kepentingan yang berbeda harus dilakukan berdasarkan azas keadilan seperti
diuraikan diatas. Toleransi terhadap keyakinan yang berbeda-beda hanya dibatasi
oleh sikap tidak toleran terhadap intoleransi. Seperti juga batas dari kebebasan
adalah kebebasan pihak lain. Kreativitas dikembangkan oleh kerberagaman bukan
dimatikan oleh penyeragaman. Persatuan dikuatkan oleh tujuan nasional untuk
mencapai kemajuan dan kesejahteraan bersama yang adil dan beradab.

Pemimpin sebuah negeri yang terdiri dari ribuan pulau ini juga harus sadar bahwa
persatuan bangsa hanya bisa terjalin ketika tidak ada bagian bangsa yang masih
merasa terpencil dari bagian lain negeri ini karena absennya komunikasi fisik yang
memadai dan infra struktur yang menunjangnya. Orang di ujung timur Papua harus
diberdayakan untuk mampu berhubungan fisik dan non fisik dengan warga di ujung
barat Aceh dan sebaliknya, melalui sistem komunikasi yang terjangkau dan efisien.

Dalam kehidupan politik, seperti sudah sering diutarakan, sistem demokrasi kita
harus mampu membawa bangsa ini kepada kehidupan demokrasi yang substansial.

https://islamindonesia.id 434
Demokrasi yang ujungnya membawa perbaikan nasib bangsa dalam kesejahteraan
hidup. Bukan demokrasi prosedural, apalagi demokrasi untuk meraih kekuasaan
demi kekuasaan yang masih sering terasa saat ini. Musyawarah untuk mufakat yang
diamanatkan oleh founding fathers kita adalah musyawarah untuk mencapai mufakat
perbaikan hidup keseluruhan bangsa. Bukan perbaikan hidup sekelompok orang.
Mufakat untuk mempertahankan kedaulatan bangsa. Bukan kedaulatan kekuasaan
kelompok terhadap kelompok lain. Mufakat untuk menang bersama tanpa membuat
pihak lain merasa kalah. Dalam hal-hal tertentu, mufakat untuk berbeda tanpa
menggunakan kekerasan atau pemaksaan.

Setelah memaparkan semua itu, pemimpin yang bagaimana yang diperlukan dalam
era perubahan cepat saat ini? Pertama, dia harus seorang yang mampu membaca
perubahan dengan cepat. Bagai peramal yang jitu, bahkan sebelum perubahan itu
terjadi. Dengan kata lain, kepemimpinan sebuah bangsa memerlukan kemampuan
visioner jauh ke depan.

Seorang pemimpin yang visioner harus mampu menempatkan dirinya sebagai


“orang luar” di pinggiran batas bangsanya sehingga dapat melihat trend perubahan
10 sampai 20 tahun mendatang. Ia mempunyai kepercayaan diri yang tinggi untuk
membujuk dan meyakinkan bangsanya tentang visinya kedepan dan membawanya
bersama melalui komunikasi yang efektif dengan menggunakan metafor dan analogi
dalam penjelasannya.

Pemimpin visioner adalah pemimpin transformasional yamg sanggup mengajak


bangsanya untuk melompat kedepan. Ia mentransformasikan impiannya menjadi
program aksi yang nyata. Ia menjadikan visinya sebagai visi masing-masing warga
negara. Bukan mencari konsensus tetapi membangun konsensus nasional baru.
Menjadikan misinya menjadi tujuan seluruh warga bangsa. Pemimpin ini mampu
menciptakan rasa kepemilikan, rasa kebangsaan, dan rasa kebersamaan atas nasib
bangsa dan hari depannya, sehingga ketika pekerjaan selesai bangsa itu dapat
mengatakan bahwa kitalah yang menyelesaikan sendiri, bukan pemimpin kita.

Pemimpin yang berhasil adalah pemimpin yang berani menghadapi risiko. Benar
bahwa tidak semua yang ada dihadapan kita dapat segera diubah tetapi juga sangat
benar bahwa tidak ada yang dapat diubah bila tidak dihadapi. Pemimpin harus
berani dan berada di barisan paling depan ketika menghadapi bahaya. Hanya
ombak yang besar yang menciptakan pelaut yang handal. Pemimpin tidak boleh
terkungkung dalam subyektifitas. Keberanian untuk melompatkan pikirannya keluar
dari kotak yang mengurungnya akan membuka horizon baru bagi penyelesaian
masalah bangsa yang dihadapi.

https://islamindonesia.id 435
Namun demikian, keberanian tidak boleh diterjemahkan dengan menarik garis
antara kawan dan lawan. Lawan harus dianggap sebagai bagian dari bangsa yang
berfungsi sebagai korektor dan pengawas jalannya kepemimipinan kita. Keberanian
bukan berarti tanpa kalkulasi tetapi kalkulasi yang dipakai bukan yang menyangkut
risiko jabatan kita tetapi risiko terhadap kemaslahatan bangsa secara luas.

Pemimpin harus sadar bahwa setiap perubahan selalu akan menghadapi resistensi
dan perlawanan dari kelompok yang terganggu kenyamanan dan kemapanannya.
Ada pula kelompok yang melawan perubahan karena salah memahami makna dari
perubahan. Bagi kelompok pertama, pemimpin yang tidak konsisten dan lemah akan
menjadi korban permainan lawan. Bagi kelompok kedua, komunikasi publik yang
tidak koheren akan gagal menggalang dukungan masyarakat bagi pencapaian
tujuan.

Kesemua persyaratan untuk menjadi pemimpin bangsa diatas sebenarnya adalah


pengejawantahan dari dasar ideologi bangsa kita Panca Sila, Para pendiri bangsa ini
memang punya pandangan jauh ke depan yang belum sepenuhnya kita hayati
bersama. Tidak mudah memang mencari sosok pemimpin yang memenuhi semua
persyaratan diatas. Yang diperlukan barangkali mencari pemimpin bangsa yang
paling tidak, mampu memahami prinsip-prinsip diatas dan berupaya untuk
mendekati pemenuhan persyaratannya.

AJ/IslamIndonesia
(Sumber: https://islamindonesia.id/kolom/opini-abdillah-toha-memimpin-dalam-perubahan-bagian-2-
selesai.htm)

https://islamindonesia.id 436
Friday, 24 June 2016
TERBURU-BURU
Oleh Endang Kurnia*

Islamindonesia.id–Terburu-buru

Di saat menggunakan kendaraan di jalan raya, saya sering berimajinasi bahwa


setiap orang sedang terburu-buru. Semuanya terburu-buru karena hal-hal
mendesak, satu dua hal yang teramat genting. Sebab itulah kendaraan yang
sebenarnya sudah berhasil memangkas waktu (ketimbang dengan berjalan kaki)
menjadi masih terasa lamban. Sementara semua orang teramat perlu buru-buru,
untuk hal-hal yang mungkin saja sesuai dengan imajinasi saya.

Saya berimajinasi pengendara motor yang baru saja memotong kendaraan saya
sedang terburu-buru karena istrinya akan melahirkan. Lalu saya membayangkan
pengendara mobil di belakang, yang terlalu sering memencet klakson, lupa
mematikan kompor saat merebus air. Lalu pengendara mobil yang suka
menyerempet kiri kanan adalah dokter yang terlambat untuk sebuah operasi penting.
Jika tidak pasien bisa mati. Pengendara motor lainnya yang sibuk salip sana sini
sedang buru-buru mencari ayahnya yang pikun dan menghilang dari tadi pagi.

Begitulah saya sering berimajinasi tentang pengendara lain. Sungguh cara ini bukan
saya niatkan untuk melatih imajinasi. Bukan juga untuk hiburan diri. Tapi lebih
tepatnya untuk memperisai diri dari emosi. Dari rasa stres akibat terburu-buru secara
serampangan oleh para pengendara di jalan raya. Cara ini membuat saya lebih bisa
untuk bertenggang rasa. Untuk tak marah.

https://islamindonesia.id 437
Tapi kadang imajinasi itu tak begitu efektif pula. Sebabnya imajinasi saya masih
terbatas. Sementara jumlah pengendara yang selalu bergegas itu sekian banyaknya.
Entah saya yang tak pandai berimajinasi, entah jumlah pengendara yang bergegas
itu terus beranak pinak.

Alhasil saya kehabisan imajinasi. Lalu marah. Saya, pun juga banyak orang lain
akhirnya merasa stres dengan gegas yang menggila itu. Saya sadari mau tak mau
harus menerima kenyataan bahwa tak semua pengendara yang bergegas itu benar-
benar perlu untuk bergegas. Tak semua mereka sedang diburu atau berburu hal
yang genting. Mereka hanya ingin bergegas itu saja. Tanpa alasan. Tanpa hal
penting.

Namun, saya tak bisa berdamai dengan kenyataan itu. Saya tetap merasa tak habis
pikir bagaimana bisa semua orang harus bergegas padahal tak ada yang perlu untuk
diburu atau memburu. Seolah jalan raya adalah soal takluk dan menaklukan. Siapa
cepat dia yang menang. Siapa yang berhasil menyalip dia yang terbaik. Siapa yang
berhasil membuat orang lain menyingkir, dia tiada tanding. Ah, mungkin jalan raya
sudah ibarat hutan belantara. Tanpa tedeng aling-aling. Tanpa toleransi, hanya soal
takluk menaklukan. Hanya soal ego dan tak ada harkat orang lain.
Gegas yang menggarang itu membuat saya menyadari manusia seolah tak pernah
puas dengan jarak yang sudah berhasil diperpendek oleh jalan raya dan
kendaraan. Seolah manusia tak pernah puas pula dengan kemudahan yang telah
menghemat energi, telah meringkas waktu. Seolah memang manusia selalu mencari
hal-hal baru untuk ditaklukkan.

Tanpa kita sadari, dalam dunia takluk menaklukkan, dalam dunia gegas kita
sendirilah yang juga menjadi korban. Kitalah yang membuat diri kita sendiri selalu
merasa terburu dan diburu sesuatu yang entah apa. Membuat diri kita merasa tak
damai.

Terkadang kita memang lupa, bahwa tak selalu tujuan adalah yang paling berharga.
Terkadang perjalananlah yang lebih berharga. Terkadang kita memang lupa, bahwa
banyak hal yang kita lewati karena terlalu gegas ingin mencapai tujuan.
Mungkin bagi para pendaki kadang lebih nikmat memandangai pemandangan alam
selama perjalanan menuju puncak gunung. Bagi para pengembara bahkan tak perlu
ada tujuan, biarkan perjalanan itu dinikmati. Apalagi tanpa terburu waktu yang
bahkan tak perlu.[]

*Penulis buku “Catatan Rindu pada Sang Rasul” dan novel “Curahan Hati Iblis”.
(Sumber: https://islamindonesia.id/kolom/kolom-terburu-buru.htm)

https://islamindonesia.id 438
Tuesday, 21 June 2016
Hidup ini Persis Pantograph
Oleh Endang Kurnia*

“Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrah pun, niscaya dia akan
melihat (balasan)nya. Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan sebesar
dzarrah pun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya pula.” (QS. Al-Zalzalah [99] : 7-
8)

Dari ayat itu kiranya bisa kita pahami bahwa kita hidup di bumi ini sebenarnya
sedang mengukir kehidupan kita di akherat.

Barangkali segala macam aktivitas kita sehari-hari terasa sebagai aktivitas biasa-
biasa saja, namun itu sebenarnya adalah pahatan sebuah bangunan kehidupan.
Dan selayaknya sebuah pahatan, tentu akan punya corak. Apakah coraknya indah,
atau mengerikan, itu tergantung dari yang mengukir. Inilah sebenarnya urgensi
amal-amal kita.

Bisa jadi, di sini, di tempat kita hidup ini, kita hanya merasa sedang makan, tapi jika
kita makan sambil bersyukur, itu adalah sebuah guratan keindahan atas kehidupan
kita di alam lain itu. Bisa jadi, di sini kita sedang shalat, itu berarti guratan besi pahat
kita semakin membangun corak yang semakin indah. Tiap gerakan shalat, sekecil
apapun, juga tiap ucapan shalat, sependek apapun dan selirih apapun, itu adalah
ukiran keindahan. Tiap suku kata dalam shalat, tiap pergeseran badan dalam shalat,
itu adalah ayunan pengukir kehidupan surga. Begitu juga tiap kita bicara dengan
orang lain, setiap kita menasihati orang lain, setiap kita memberikan pendapat yang
makruf pada orang lain, itu adalah ayunan pengukir kehidupan surga.

Semua ucapan dan gerakan yang tampaknya sepele itu semuanya adalah ayunan
pengukir kehidupan kita di surga.
Yang perlu kita perhatikan juga di sini, semua ukiran itu bukan ukiran biasa tapi
ukiran berskala. Kita mungkin tahu alat penggambar berskala, atau pantograph. Ya
seperti itulah sebenarnya. Namun, yang perlu kita pahami, skalanya luar biasa,
mungkin jutaan kali lipat.

Tampaknya hanya keluar satu kata makruf dari mulut kita, padahal itu adalah
kehidupan indah dengan sungai-sungainya yang sangat elok dan permai, lebih indah
dari Green Canyon di Ciamis ataupun sungai-sungai bawah tanah di Selandia Baru.
Dan kehidupan yang luar biasa sejuk itu akan kita rasakan ribuan tahun.

https://islamindonesia.id 439
Dalam surga yang tinggi, tidak kamu dengar di dalamnya perkataan yang tidak
berguna. Di dalamnya ada mata air yang mengalir. Di dalamnya ada takhta-takhta
yang ditinggikan. Dan gelas-gelas yang terletak (di dekatnya), dan bantal-bantal
sandaran yang tersusun, dan permadani-permadani yang terhampar. (QS.Al-
Ghasiyah [88]: 10-16)

Maka Tuhan memelihara mereka dari kesusahan hari itu, dan memberikan kepada
mereka kejernihan (wajah) dan kegembiraan hati. (QS. Al-Insan [76]: 11)
Tampaknya kita hanya berjuang untuk kemuliaan Islam dengan aktivitas yang
tampaknya sepele, padahal dengan itu Allah akan berikan istana yang indah dan
luasnya tak terbayangkan, lebih indah dan lebih luas dari Istana Buckingham di
Inggris atau Camp Elysse di Prancis.

Begitu juga dengan perbuatan munkar. Mungkin hanya satu kata “uhh” dari mulut
kita atas orang tua kita, tapi itu adalah ukiran suasana mengerikan yang siksaannya
tak terampunkan. Di sana kita akan berlipat-lipat lebih menderita daripada para
tawanan perang di penjara Guantanamo. Selama ribuan tahun. Selama waktu itu
bara api, nanah, darah, aspal, ular berbisa, bercampur jadi satu menyimuti dan
menggulung kita di dalam gelombangnya.

Banyak muka pada hari itu tunduk terhina, bekerja keras lagi kepayahan, memasuki
api yang sangat panas (neraka), diberi minum (dengan air) dari sumber yang sangat
panas. Mereka tiada memperoleh makanan selain dari pohon yang berduri, yang
tidak menggemukkan dan tidak pula menghilangkan lapar. (QS. Al-Ghasiyah [88] : 2-
7)

Oleh karena itu, marilah kita renungi betul hidup kita ini. Bagaimana ucapan kita?
Bagaimana perbuatan kita? Bagaimana penggunaan kita atas setiap nikmat Allah
yang telah diberikan-Nya atas kita? Energi kehidupan kita tiap hari, ke mana kita
arahkan dan sejauh mana kita optimalkan? Ilmu yang telah Allah limpahkan atas kita
untuk apa? Dan yang pasti, waktu hidup yang tentunya ada batas akhirnya, yang
Allah berikan atas kita, kita manfaatkan untuk apa dan sejauh mana efektivitasnya?

Itu semua adalah ukiran. Itu semua adalah ukiran kehidupan akherat. Itu semua
adalah ukiran berskala dengan skala jutaan kali lipat.

Di sini, di bumi ini, yang waktunya singkat ini, sebenarnya kita sedang mengukir
kehidupan di tempat lain, yang luasnya luar biasa, dan di waktu lain, yang lamanya
bahkan tak ada batasnya. Kehidupan di tempat yang luar biasa luas, dan kita nikmati
dalam waktu lebih dari setrilyun trilyun trilyun trilyun tahun itu, kita ukir dari sini, di
tempat berpijak kita ini, dan sedang kita lakukan detik ini.

https://islamindonesia.id 440
Termasuk ukiran surga yang sangat penting adalah menegakkan syariah Islam. Ini
karena dengan itu kita bisa menjalankan berbagai perintah Allah dengan syamilan
kamilan, menyeluruh dan sempurna.

Hanya dengan itulah amal kita benar dan lengkap. Ketika kita di tanya di hari akhir,
tak ada perintah Allah yang kita tinggalkan. Sehingga ukiran kita adalah surga,
bukan neraka.[]

*Penulis buku “Catatan Rindu pada Sang Rasul” dan novel “Curahan Hati Iblis”.

RQ/IslamIndonesia
(Sumber: https://islamindonesia.id/kolom/opini-hidup-ini-persis-pantograph.htm)

https://islamindonesia.id 441
Tuesday, 31 May 2016

CAK NUN: SITI JENAR SUDAH MATI, “SITI JENAR”


MASIH HIDUP (2)

Kematian berlapis-lapis dan berdimensi. Berbagai kematian hampir tak diketahui


oleh mereka yang menyangka sedang tinggal dalam kehidupan.

Kematian memang tak terlihat. Ini membuat orang bersorak-sorai di lantai pesta
kematian, yakni kehidupan. Orang mencemaskan kematian, yakni kehidupan.

Orang mencemaskan kematian. Bahkan mereka siap membayar penghindarannya


dengan biaya yang muskil, dengan ilmu dan pembangunan yang memperanakkan
penindasan dan perang.

Kematian bertebaran dalam kehidupan. Kematian riuh rendah. Oleh karena itu, di
segala zaman, amat sedikit orang yang bersedia menempuh jalan sunyi.

Amat sedikit orang bertanya. Sebab, ilmu menjawab pertanyaan dengan pertanyaan.
Kebudayaan menjawab pertanyaan dengan perombakan.

Pembangunan menjawab pertanyaan dengan peruntuhan. Sejarah menjawab


pertanyaan dengan perubahan. Dan politik menjawab pertanyaan dengan senapan.

Siti Jenar memilih jalan sunyi itu. Betapa terkutuk dia, tetapi betapa agung sakit yang
dikunyahnya. Bukan Siti Jenar, tapi “Siti Jenar”.

Bukan figurnya, tapi substansi dan posisi simbolisnya. Siti Jenar sudah terpenjara:
kumal, kumuh, dan barangkali terkutuk-oleh “syariat” sejarah. Oleh formalisme dan
“materialisme”. Tapi “Siti Jenar” adalah salah satu idiom yang menggairahkan untuk
menyebut bagian—dari dunia dan kehidupan—yang mempertanyakan. Menawar.
Menggugat.

Tatkala mengantarkan “kematian”-nya, Sunan Bonang menurut salah satu versi


legenda tentangnya berkata, “Engkau kafir di mata manusia, tapi muslim di
pangkuan-Nya.”

Alangkah berbahaya. Ini revolusi filsafat, juga teologi. Itulah pintu untuk menjumpai
kehidupan sejati di balik kematian yang kita hidup-hidupkan. Dan pintu itu harus

https://islamindonesia.id 442
ditutup rapat-rapat: tidak saja oleh ideologi pembangunan yang memompa-mompa
kesementaraan yang berujung kebuntuan dan serta batu-bata emas permata yang
berujung kemusnahan.

Pintu itu bahkan digembok erat-erat oleh kekuasaan syariat di panggung pemelukan
agama.

Tampaknya, Sunan Bonang mengucapkan kalimat “subversif” itu dalam sidang


tertutup yang dilarang diperdengarkan ke telinga umat.

Maka, Siti Jenar harus disembunyikan. Dia ancaman terhadap kebakuan, kebekuan
dan kemapanan. Ia ancaman bagi tradisi, konvensi, pakem, ketertaatan yang
selesai: yakni segala bangunan, sistem, keberlakuan nilai, yang diresmikan untuk
tak boleh diubah, untuk menjadi museum.

Sementara dalam kebudayaan, adanya kehidupan justru ditandai oleh terus-


menerus berlangsungnya transformasi kreatif.

Atau paradigma dalam penjelajahan ilmu, inovasi dalam kesenian, ijtihad dalam
agama. Itu semula jalan sunyi.

Dunia kekuasaan mencurigainya, formalisme agama menyempalkannya,


kebudayaan menganggapnya gila, dan kebanyakan manusia tak menyapanya.

Wajah “Siti Jenar” membayang di keremangan dunia puisi, yang terduduk sepi di
pojok pasar. Terselip di balik lembaran-lembaran ilmu yang berhasil memotret
realitas tetapi gagal merekam geraknya.

Kalau ditanyakan kepadanya-“Dimana letakmu dalam tata nilai budaya? Dia


menjawab-“Aku berumah di geraknya. Aku berjalan melintasi petak demi petak
kebekuannya. Aku tidak percaya kepadanya karena dia palsu: kalau dipertahankan
ia mati, kalau diubah ia menjelma kelenyapan demi kelenyapan”.

Siti Jenar sudah dipatungkan dalam format nilai budaya sejarah: ia mati, dimatikan,
dan menjadi kematian. Tapi “Siti Jenar” sudah hidup, mengatasi budaya, dan
bergabung ke keabadian.

Ketika dipanggil menghadap sidang para wali, dia menjawab, “Siti Jenar tak ada.
Hanya Tuhan yang ada.”

https://islamindonesia.id 443
Siti Jenar bukan Tuhan. Sama sekali bukan Tuhan. Apa yang dia lakukan “hanyalah”
peniadaan diri. Sebab, memang hanya itulah satu-satunya jalan bagi manusia.
Hanya Tuhan yang sungguh-sungguh ada. Manusia hanya seakan-akan ada, hanya
diadakan, diselenggarakan. Sejatinya tak ada. Maka, jalan agar tak palsu, agar
sejati, ialah meniada, bergabung kepada satu-satunya yang ada. Itulah tauhid.

Ini juga bukan soal tasawuf, mistik, dan kebatinan. “Siti Jenar” ditemukan oleh
orang-orang tua yang mulai melihat bahwa segala sesuatu yang dia ada-adakan
selama hidupnya dengan keringat dan tumpukan dosa ternyata sangat potensial
untuk tiada.

“Siti Jenar” ditemukan oleh para penguasa yang di ujung jatah kekuasaannya dia
memperoleh lebih banyak ketidakamanan.

“Siti Jenar” menemani orang yang dikejar-kejar karena menggugat dan menawarkan
kehidupan kepada kematian yang dilestarikan. “Siti Jenar” terkapar bersama sedikit
orang penolak kematian yang berwujud otoritarianisme politik, ketakberbagian
ekonomi dan kejumudan kultur.

“Siti Jenar” bernyanyi perih dalam tidur orang-orang yang meletakkan fikih sejajar
dengan firman dan identik dengan Tuhan.

“Siti Jenar” tercampak dari arena kebudayaan yang hanya sanggup menerima
verbalitas bahasa, yang mengahafalkan hidup adalah KTP, negara, norma, undang-
undang, dan juklak-juknis.

Terlempar dari kebudayaan, yang bersembahyang demi prevensi kepegawaian


teologis dan tidak dalam dinamika ilmu tarekat; yang berpuasa untuk lapar, berzakat
untuk kredit status, berhaji untuk keningratan.

Itulah akhir nasib “Siti Jenar” diusir oleh formalisme, “syariat” dan fanatisme.

EH/IslamIndonesia Sumber: Sang Siti Jenar, Emha Ainun Nadjib


(Sumber: https://islamindonesia.id/kolom/khas-cak-nun-siti-jenar-sudah-mati-siti-jenar-
masih-hidup-2.htm)

https://islamindonesia.id 444
Monday, 30 May 2016

METODE AL-QUR’AN DALAM MENYIKAPI PERBEDAAN


(1)

Islamindonesia.id–Metode Al-Qur’an dalam Menyikapi Perbedaan (1)

Redaksi Islam Indonesia kali ini menurunkan kajian tentang metode Al-Qur’an dalam
menyikapi perbedaan sebagai kelanjutan dari kajian tentang hadis 73 golongan yang
pernah diterbitkan sebelumnya.

Ajakan Menuju Persatuan

Sedikitnya ada dua ayat Al-Qur’an yang menyerukan persatuan dan mencela
perpecahan. Allah berfirman,

https://islamindonesia.id 445
Sesungguhnya ini umat kalian adalah umat yang satu. Dan Aku adalah Tuhan
kalian, maka sembahlah Aku. (QS. Al-Anbiya’ [21]: 92)

Sesungguhnya ini umat kalian adalah umat yang satu. Dan Aku adalah Tuhan
kalian, maka bertakwalah kepada-Ku. (QS. Al-Mu’minun [23]: 52)

Kedua ayat di atas secara jelas mengajak manusia untuk menjadi umat yang satu.

Pembahasan kali ini tidak akan meluas kepada persoalan apakah satu umat yang
dimaksud adalah umat Islam ataukah umat manusia secara
keseluruhan sebagaimana yang terdapat dalam ayat lain,

Manusia adalah umat yang satu. (QS. Al-Baqarah [2]: 213)

Pemahaman atas ayat terakhir menunjukkan bahwa ayat-ayat Al-Qur’an yang


mengajak pada persatuan tidak hanya menyebutkan umat Islam, melainkan juga
umat manusia secara menyeluruh.

Perhatikan ayat selanjutnya dalam surah Al-Mu’minun di atas,

Kemudian mereka menjadikan agama mereka terpecah belah menjadi beberapa


pecahan. Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada sisi
mereka. (QS. Al-Mu’minun [21]: 53)

Dari beberapa ayat di atas jelas bahwa Allah menginginkan kita menjadi umat yang
satu. Bukan sebagai umat yang terpecah-belah. Selain itu, Allah juga menjelaskan
tujuan yang sama, yaitu agar menyembah Tuhan Yang Esa dan bertakwa kepada-
Nya.

Perbedaan yang Tercela dan Terpuji

Al-Qur’an menunjukkan bahwa Allah tidak berkehendak menghapus perbedaan dan


perselisihan di antara manusia. Allah Swt berfirman,

Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia umat yang satu,
tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat. (QS. Hud [11]: 118)

https://islamindonesia.id 446
Pada ayat di atas Al-Qur’an menyebutkan adanya kepastian bahwa manusia akan
senantiasa berbeda dan berselisih pendapat. Dan dalam kenyataanya
memang manusia selalu berselisih satu sama lain, meski tujuan penciptaan manusia
adalah sama: beribadah. Allah Swt berfirman,

Dan Aku tidak ciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi
kepada-Ku. (QS. Al-Dzariat [51]: 56)

Lantas adakah tujuan lain Tuhan menciptakan manusia? Untuk menjawabnya maka
perhatikan kelanjutan ayat dalam surah Hud di atas,

Kecuali orang-orang yang diberi rahmat oleh Tuhanmu. Dan untuk itulah Allah
menciptakan mereka. (QS. Hud [11]: 119)

Lidzalika (dan untuk itulah) pada ayat di atas menggunakan huruf lam lil-ghayah,
yaitu lam yang digunakan sebagai tujuan. Dengan demikian, Allah menerangkan
adanya tujuan lain penciptaan manusia, yaitu untuk berselisih.

Benarkah demikian?

Tentunya hal ini menimbulkan pertanyaan besar terhadap Tuhan. “Wahai Tuhan
kami, apakah Engkau menciptakan kami untuk bersepakat ataukah untuk
berselisih?”

Hal ini menjadi perbincangan dan perdebatan luas di kalangan penafsir Al-Qur’an. Di
antara mereka berkata, “Bagaimana mungkin Allah Swt menciptakan manusia untuk
berselisih?”

Dalam pembahasan filsafat Islam yang mendalam terdapat jawaban atas pertanyaan
di atas, yakni “Jika tidak ada perselisihan, maka manusia tidak akan mengalami
proses menjadi manusia yang sempurna.” Oleh karena adanya perselisihan itulah
maka para Nabi dan Rasul diutus bersamaan dengan turunnya Kitab Suci mereka
untuk menjadi penengah atas perselisihan di antara mereka. Demikianlah yang
disebutkan pada kelanjutan ayat dalam surah Al-Baqarah di atas,

Maka Allah mengutus para Nabi sebagai pemberi peringatan, dan Allah menurunkan
bersama mereka Kitab yang benar, untuk memberi keputusan di antara manusia
tentang perkara yang mereka perselisihkan. Tidaklah berselisih tentang Kitab itu
melainkan orang yang telah didatangkan kepada mereka Kitab, yaitu setelah datang
kepada mereka keterangan-keterangan yang nyata, karena kedengkian di antara
mereka sendiri. Maka Allah memberi petunjuk orang-orang yang beriman kepada

https://islamindonesia.id 447
kebenaran tentang hal yang mereka perselisihkan itu dengan kehendak-Nya. Dan
Allah selalu memberi petunjuk orang yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus.
(QS. Al-Baqarah [2]: 213)

Ahli makrifat dan mistikus nomor wahid dalam sejarah pemikiran Islam, Syeikh Al-
Isyraq Suhrawardi, menyingkap alasan terjadinya perselisihan di antara umat
manusia dengan sebuah kalimat yang indah,

‫لوال التضاد لما دام الفيض من الجواد‬

Seandainya tidak ada pertentangan, niscaya limpahan (emanasi) tidak akan


mengalir terus dari Yang Mahapemurah (Al-Jawad)

Sebagaimana pernah dipertanyakan oleh para Malaikat kepada Allah perihal


penciptaan manusia, Allah berfirman,

Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat, “Sesungguhnya Aku


hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.” Mereka berkata, “Mengapa
Engkau hendak menjadikan di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan
padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan
memuji Engkau dan mensucikan Engkau?” Tuhan berfirman, “Sesungguhnya Aku
mengetahui hal-hal yang tidak kamu ketahui.” (QS. Al-Baqarah [2]: 30)

Nah, berdasarkan informasi yang mereka dapat, para malaikat sempat menanyakan
penciptaan manusia yang akan melakukan pertumpahan darah akibat perselisihan di
antara mereka. Pertanyaan para malaikat itu merujuk pada pemahaman mereka
tentang dampak-dampak buruk dari perbedaan pendapat dan perselisihan manusia,
tetapi Allah yang Maha Mengetahui ternyata memiliki tujuan lain di balik
berkembangnya perbedaan dan perselisihan manusia.

Bahkan, Allah melalui Al-Qur’an memberikan solusi atas perselisihan di antara


manusia dan mengajarkan pada mereka bagaimana bersikap dalam suatu
perselisihan tersebut. Sedemikian sehingga perselisihan itu bukan lagi menjadi
sumber prahara dan kerusakan melainkan justru dapat menjadi sumber pencerahan,
kemajuan dan kesempurnaan manusia.

Tom&AJ/IslamIndonesia
(Sumber: https://islamindonesia.id/islam-menjawab/kajian-metode-al-quran-dalam-menyikapi-
perbedaan-1.htm)

https://islamindonesia.id 448
Thursday, 19 May 2016

ADAKAH LABEL HALAL MUI UNTUK TOKO ‘SEX TOY


SESUAI SYARIAH’ DARI BELANDA?

IslamIndonesia.id–Dia menaklukkan Amsterdam lima tahun silam. Lalu satu per satu
negara di Eropa jatuh dalam genggamamnya, menyusul kemudian setiap pojok negara
Petrol Dolar di Timur Tengah. Tapi, seolah belum cukup, kini perhatiannya tertuju ke
gerbang Kota Suci Mekkah. Abdelaziz Aouragh, pendiri dan pemilik toko, maaf, alat bantu
seks atau kerap disebut sex toy ‘sesuai syariah’ El Asira, mengincar pasar yang lebih besar
dan strategis di negara dengan populasi Muslim yang jauh lebih besar.

Tapi bagaimana jika, andai tertolak dari Mekkah, dia kemudian memutuskan mengubah
haluan dan masuk ke Indonesia? Bakalkah MUI memberi label halal bila El Asira jadi buka
cabang di Jakarta, misalnya?

Tak ada kejelasan dan semua ini pun baru sebatas spekulasi. Meski, bila mau jujur, tak
dapat juga dipastikan MUI bakal serta-merta menolak, mengingat lembaga ini punya
logikanya yang kontroversial, termasuk dalam soal pemberian label halal pada sebuah
perusahaan fashion jilbab berbasis Bandung dan sebuah produk makanan kucing, yang
beberapa bulan silam sempat menjadi bahan perbincangan hangat di Tanah Air.

https://islamindonesia.id 449
Apapun itu, Aouragh, pria 35 tahun keturunan Maroko yang juga seorang penulis dan
kolumnis surat kabar, bukan lah pebisnis yang mudah patah semangat. Ambisi agar
produk syar’i El Asira dapat diakses oleh Muslim dan non-Muslim di seantero dunia, telah
mendorongnya melangkah jauh dari awalnya nyaris suatu kemustahilan.
Dia membuktikannya sendiri lima tahun silam. Di Amsterdam, Belanda, menurut ceritanya
ke The Independent belum lama ini, dialah orang pertama yang mendirikan “butik sensual”
berbasis syariah, ketika tak ada seorang pun bahkan terpikir memulainya. Kini, cengkeram
jejaring bisnisnya itu telah merambah ke lebih dari 30 negara di seluruh dunia, tak terkecuali
beberapa negara di kawasan Timur Tengah. Target pasar utamanya adalah “jantung Islam”
di Mekkah, Arab Saudi, persis sebagaimana yang sejak awal diharapkannya menjadi titik
pijak kokoh bagi geliat gurita bisnisnya ke negara mayoritas Muslim lainnya. Maklum,
Mekkah adalah urat nadi perjalanan umat Islam di setiap musim haji.

Menolak perusahaan dan bisnis Halal Sex Shop miliknya dicap “toko seks”, Aouragh
berdalih bisnisnya semata untuk membangun “jembatan peradaban” antara Timur dan
Barat, yang jauh lebih mendasar. Lebih penting lagi, katanya, dari sisi spiritual tokonya ingin
membangun keharmonisan hubungan antara pria dan wanita secara hakiki.

“Betapa banyak kehidupan seksual para pasangan hanya berfokus pada soal senggama,
tanpa keinginan sadar dalam mengambil inisiatif guna saling menyenangkan dan
membahagiakan satu sama lain, baik karena kurangnya waktu atau karena kelelahan,”
katanya.

Itu sebabnya Aouragh lebih senang menyebut bisnisnya sebagai “butik kesenangan
sensual” yang juga mengkhususkan diri dalam penyediaan aneka minyak dan krim pijat
mewah yang tak menyalahi syar’i.

“Silakan saja dicek. Kami juga menyediakan produk yang sama sekali tidak ada
hubungannya dengan aktivitas hubungan suami-istri, meski kami juga punya beberapa
produk khusus terkait hal itu,” tambah Aouragh seraya menyebut upayanya bukan tanpa
dukungan ulama dan cendekiawan Muslim di Arab Saudi.

Menyebut bahwa sebelum memulai bisnisnya telah terlebih dahulu berkonsultasi kepada
beberapa ulama dan ahli fikih kompeten tentang seksualitas dalam Islam, Aouragh ingin
menunjukkan kepada dunia bahwa apa yang sedang dirintisnya adalah bisnis yang
sepenuhnya halal. Bukan hanya itu, bahkan semua produknya kata Aouragh, dijamin
mampu “memberikan makna yang lebih mendalam tentang apa itu seksualitas, sensualitas
dan bahkan spiritualitas”.

Seperti klaim yang dimuat laman webnya, semua produk El Asira yang dijual secara online
pun telah dinyatakan halal, yang berarti telah dijamin sesuai dengan hukum Islam.

https://islamindonesia.id 450
“Semua produk kami mempertahankan integritas, kemanusiaan murni dan etika yang
melekat dengan Syariah,” tulis laman web El Asira.

Makin berkembang pesat di Timur Tengah, El Asira saat ini telah membuka pusat distribusi
barunya di Uni Emirat Arab untuk melayani Arab Saudi dan negara-negara Teluk.

Aouragh optimis bahwa ambisi utamanya untuk membuka toko di Mekkah bakal mudah
terwujud karena ia merasa bahwa bisnis “butik sensual syar’i” tersebut secara filosofis
sangat cocok berkembang di kota suci Islam itu. Karenanya, Aouragh berharap produknya
dapat segera dipasarkan secara luas di Mekkah, paling tidak via 700an toko yang sudah
mulai dibukanya di Uni Emirat Arab dan Arab Saudi, untuk mengantisipasi besarnya
permintaam di kawasan itu.

“Meski jumlah ini secara persis belum sepenuhnya dapat dikonfirmasi, tetapi sekali lagi, apa
yang tidak mungkin,” tambahnya. “Bukankah sebagian besar Muslim pasti akan berada di
Mekkah saat musim haji? Bukankah kota suci ini pasti akan selalu dikunjungi jutaan umat
Islam dari berbagai negara setiap tahunnya?”

Kepada AFP, Aouragh menyatakan siap menjual lebih dari 18 jenis mainan seks yang telah
dianggap halal melalui perusahaan pemasarannya di Jerman, dengan kemungkinan juga
dapat menyasar pasar global untuk mengakses 1,8 miliar Muslim.

Meski demikian, tak hanya demi tujuan bisnis, Aouragh—sembari menyoroti ketatnya
pembatasan kebebasan perempuan di Arab Saudi terutama dalam hal berperilaku dan
berpakaian, melalui El Asira mengatakan bahwa dia sedang berusaha untuk memberikan
penyadaran dan pencerahan agar kaum pria di negara itu mulai “lebih mampu menunjukkan
kekaguman dan cinta tulusnya kepada para wanita mereka” dengan meningkatkan
“kehangatan” dalam hubungan perkawinan yang suci.

Nah, menilik tujuan dan niat ‘terpuji’ Aouragh, bisakah MUI merentang karpet merah berupa
sertifikasi halal agar “butik kesenangan sensual yang sesuai syariah” ala El Asira tak
terkendala beroperasi di Indonesia? []

EH & RQ/IslamIndonesia
(Sumber: https://islamindonesia.id/kolom/adakah-label-halal-mui-untuk-toko-sex-toy-sesuai-
syariah-dari-belanda.htm)

https://islamindonesia.id 451
Friday, 06 May 2016

RENUNGAN JUM’AT –
AYAT-AYAT YANG MENGGEGARKAN

Islamindonesia.id–Ayat-ayat yang Menggegarkan

Renungkanlah keelokan ayat-ayat Al-Qur’an berikut yang menggunakan kata


dengan dua huruf yang berulang-ulang untuk menciptakan efek akustik dan
psikologis yang menggegarkan. Berikut ini ayat-ayat yang dimaksud:

“Apabila bumi diguncangkan dengan guncangan (yang dahsyat).” (QS. Al-Zalzalah


[99]: 1)

Ayat tersebut menggunakan kata zalzala (mengguncang) dengan dua huruf ‫زل زل‬
yang diulang dua kali.

Renungkan lagi ketika Allah Swt ‘marah’ atas kaum Nabi Shaleh
as yang membangkang atas perintah Allah swt dan Rasul-Nya dengan menyembelih
unta Nabi Shaleh as,

“Maka Tuhan mereka membinasakan (‫ )د م د م‬mereka.” (QS. As-Syams [91]: 14)

Perhatikan juga ketika Allah swt menyingkap rahasia Nabi Yusuf as selama sepuluh
tahun di dalam penjara. Masa kegelapan yang dialami Nabi Yusuf as tersebut
lantaran fitnah yang ditimpakan atasnya. Allah swt berfirman,

“Sekarang jelaslah (‫ )ح ص ح ص‬kebenaran itu,” (QS. Yusuf [12]: 51)

https://islamindonesia.id 452
Al-Qur’an juga menyebutkan peristiwa penting yang membuat tubuh bergetar
ketakutan pada hari Kiamat. Allah swt berfirman,

“Jangan (berbuat demikian). Apabila bumi diguncangkan berturut-turut (‫)دك دك‬. Dan
datanglah Tuhanmu, sedangkan malaikat berbaris-baris (‫)ص ف ص ف‬.” (QS. Al-Fajr
[89]: 21-2)

Renungkanlah ketika Al-Qur’an berbicara tentang kenikmatan penghuni surga yang


berlipat ganda. Allah swt berfirman,

“Mereka bertelekan pada bantal-bantal (‫ )رف رف‬yang hijau dan permadani yang
indah.” (QS. Ar-Rahman [55]: 76)

Renungkan lagi ketika Al-Qur’an berbicara tentang dahsyatnya kegelapan malam.


Allah swt berfirman,

“Demi malam apabila telah hampir meninggalkan gelapnya (‫)ع س ع س‬.” (QS. At-
Takwir [81]: 17)

Demikianlah keindahan bahasa Al-Qur’an Al-Karim. Inilah yang disebut sebagai


ayat-ayat ihtizaziyah. Yaitu ayat-ayat yang dirangkai dalam kalimat yang
menggegarkan dan mengguncangkan sekaligus mendebarkan hati akibat getaran
yang kuat. Lafaz-lafaz itu merasuki relung hati terdalam manusia dengan
kesan luarbiasa. Selain makna penting yang dikandungnya, getaran itu muncul dari
pengulangan dua huruf yang terangkai di dalamnya.

‫ عس عس‬،‫ رف رف‬،‫ صفا صفا‬،‫ دكا دكا‬،‫ حص حص‬،‫ دم دم‬،‫زل زل‬

Tom/IslamIndonesia

(Sumber: https://islamindonesia.id/islam-menjawab/renungan-jumat-ayat-ayat-yang-
menggegarkan.htm)

https://islamindonesia.id 453
Wednesday, 04 May 2016

MENGINTIP KEHIDUPAN SANG BEST MOTIVATOR

Islamindonesia.id–Mengintip Kehidupan Sang Best Motivator

Apa yang akan Anda lakukan sekiranya Anda ditawari jabatan-jabatan strategis?
Jika Anda memiliki sederet gelar akademik, prorotype wah, kira-kira posisi apa yang
Anda idam-idamkan? Secara umum, pasti jawabannya adalah jabatan paling tinggi
dan posisi yang paling baik.

Bila kebetulan Anda adalah seorang pemimpin baik, tentu Anda suka melayani.
Namun Anda tak akan rela, bila Anda dipanggil ‘pesuruh’ atau pelayan, sekalipun
Anda suka melayani. Barangkali Anda juga akan marah, bila ada seseorang yang
tidak menuliskan gelar Anda di belakang nama. Dosen tetap harus dipanggil dosen.
Guru, direktur, Pejabat, semua harus dipanggil sesuai jabatan yang disandangnya.
Gelar akademik juga perlu ditulis di belakang nama, setelah koma.

Kini, saya ajak Anda untuk mengintip sang Motivator tanpa Nomor, Muhammad bin
Abdullah, guru penulis. ‘Tanpa nomor’ bisa jadi karena gelar motivator no.1 sudah
diborong motivator-motivator lain. Atau bisa bermakna, karena ia ditinggalkan oleh
‘penggemar’nya. Bagi saya, ia juga ‘Motivator Tanpa Nomor’, sebab penomoran
bersifat klaim dan pembandingan. Emang, motivator mana di belahan dunia ini yang
bisa disejajarkan dan dibanding-bandingkan dengannya?

Kiprahnya mengubah peradaban dunia tak lantas membuatnya menikmati prestise,


glamour dan kesejahteraan ekonomi. Memang di awal-awal, dia kaya sekali
berdasarkan pengakuan Tuhannya, ‘Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang
kekurangan, lalu Dia memberikan kecukupan.’ (QS. Ad-Dhuha:8) Karena hidupnya
dihabiskan untuk memotivasi dan membimbing manusia menuju kesempurnaan
hakiki, dia kehilangan semuanya. Kekayaan, harta benda dan tabungan-tabungan
berharga. Dia hidup melarat. Rumahnya hanya seluas kamar kost anak-anak

https://islamindonesia.id 454
mahasiswa, tentu tanpa spring bed dan AC. Dia memilih menjalani hidup sederhana,
sekalipun gunung Uhud ditawarkan kepadanya menjadi emas permata. Dia tidak
memerlukannya. Baginya yang terpenting adalah membimbing umat manusia.
Dia kehilangan semuanya karena mencerahkan umat manusia, sementara para
motivator memperoleh semuanya dengan memotivasi segelintir manusia. Yang
fenomenal, tatkala seluruh sifat-sifat Tuhan disematkan pula kepadanya,
seperti aziz, rauf dan rahim, dia lebih memilih dua profesi yang sangat bersahaja,
serta lebih suka dipanggil dengan keduanya; Abdullah (Sahaya Allah)
dan Rasulullah (pesuruh Allah).

Sungguh kita sedih melihat fenomena Islam kekinian, bila mengenang sang Manusia
Pilihan. Agama yang dibawa dan diperjuangkan olehnya kadang dijadikan komoditas
oleh beberapa orang tak bertanggungjawab. Agama seperti kehilangan ruhnya.
Shalat khusyu’ yang harus didapat dengan latihan serius, mujahadah dan istikamah,
hari ini bisa didapat dengan mengikuti Training Kilat. Tasawuf yang di masa lalu
diilustrasikan sebagai kehidupan zuhud berdimensi spiritual, kini berubah menjadi
tasawuf full AC. Konsep Islam, Iman dan Ihsan yang diajarkan dengan papan tulis
dan kapur barus sudah tergerus. Padahal, penyucian diri dan pencapaian ruhani
lainnya bisa didapat dengan mudah tanpa harus bayar biaya modul dan snack.
Cukup mengaktifkan OS dan menginstall software-software sederhana, seperti
tawakkal, kecintaan, kesadaran dan kehambaan. Semudah itu!

Jika kita masih bisa mengelola rasa, saatnya kita back to him. Kitab motivasi (baca:
Al-Quran) yang diturunkan kepada Muhammad dan penjabarannya yang luar biasa
(baca: Sunnah) tak lekang oleh waktu. Di sana seluruh nilai-nilai indah,
prinsip sukses dan kebahagian termuat dengan rinci. Kita tidak perlu membayar
biaya training kepadanya. Apapun profesi dan gelar kita, bersikaplah seperti sahaya
dan pesuruh dalam melayani, sekalipun kita tak sudi orang memanggil kita dengan
sebutan itu.

Karena Muhammad adalah model teladan, agar ‘diri’ meraih kesempurnaan.[]

Elka/IslamIndonesia
(Sumber: https://islamindonesia.id/kolom/opini-mengintip-kehidupan-sang-best-motivator.htm)

https://islamindonesia.id 455
Saturday, 30 April 2016

ABDILLAH TOHA: TENTANG UMUR MANUSIA

Kemarin hari ulang tahunku. Dihitung sejak hari aku dilahirkan ke bumi ini. Dari
rahim ibu tercinta yang sudah mendahuluiku. Aku bersyukur atas karunia nikmat dari
Allah yang melebihi kebutuhanku.

Orang bisa saja mengatakan makin lama makin bertambah usiaku. Karena umur
dihitung sebagai deret tambah sejak lahir. Tapi bisa juga begini melihatnya. Makin
tua makin berkurang usiaku bila dihitung dari tanggal kematianku. Hanya saja
tanggal kematianku adalah rahasia Allah. Andai aku tahu tanggal kematianku, maka
jika ditanya berapa umurku, akan kujawab minus sepuluh, minus lima tahun atau
lainnya. Dengan demikian, seorang yang berumur 40 tahun bisa lebih tua dari yang
berumur 50 tahun bila yang “muda” lebih dekat kepada kematiannya.

Kita sering mendengar tentang tradisi peringatan Haul bagi ulama dan orang-orang
terpandang dalam komunitas Muslim. Haul adalah hari ulang tahun kematian. Haul
diperingati setiap tahun dengan mengulang ingatan kita tentang riwayat kebaikan
para salihin yang diperingati dengan harapan yang hidup dapat meneladaninya.
Haul, bukan hari lahir, diperingati karena bagi Muslim sejati hari kematian dianggap
lebih penting daripada hari kelahiran. Ada berbagai alasan.

Pertama, kaum salihin berpandangan bahwa kehidupan sejati adalah kehidupan


setelah mati. Ketika itu kita seperti dibangunkan dari tidur. Kehidupan di bumi ini
adalah sekadar mimpi dalam tidur kita. Hari kematian sejatinya adalah hari lahir
yang sebenarnya.

Pada saat itu terbukalah semua yang tadinya tertutup dan tak tertangkap oleh indra
kita. Allah mewahyukan dalam al-Qur’an “laqod kunta fi ghoflatin min hadza
faksyafna ‘anka ghitho-aka fabashorukal-yauma hadid”. Artinya: “Sungguh, kamu
dahulu lalai tentang (peristiwa) ini, maka Kami singkapkan tutup (yang menutupi)
penglihatanmu, sehingga penglihatanmu pada hari ini sangat tajam.” (QS. 50:023)

Alasan kedua, kelahiran dan kematian dalam Islam adalah sebuah proses evolusi
dalam kehidupan makhluk Allah, khususnya manusia. Berbeda dengan teori evolusi
Darwin, Islam mengajarkan kepada kita proses yang diawali dengan penciptaan roh
manusia seluruhnya oleh Allah. Seluruh roh manusia baik yang sudah tiada, yang
ada sekarang, maupun yang akan ada, dikumpulkan di sebuah alam tertentu pada

https://islamindonesia.id 456
awalnya dan diminta berjanji taat kepadaNya. Pada saatnya roh kemudian satu
persatu ditiupkan kedalam tubuh masing-masing olehNya, dan setelah sembilan
bulan dalam rahim ibu, manusia dilahirkan ke alam dunia. Pada saat lain yang telah
ditentukan pula, dicabut nyawanya untuk dilahirkan kembali ke alam barzakh dan
alam malakut serta alam-alam lain diatasnya. Roh yang dititipkan ke tubuh kita
kembali pulang ke pemiliknya.

Ketiga, kematian lebih penting dari kelahiran karena ketika dilahirkan semua kita
sama. Namun, pada saat kematian manusia akan dibedakan dipandang dari perilaku
dan amalnya saat hidup. Kematian adalah akhir dari masa bakti kita sebagai khalifah
Allah di bumi. Masa menutup buku. Semua yang kita amalkan dalam kehidupan ini
melekat dan tercatat dalam neraca hidup kita. Kualitas kehidupan kita yang berikut
akan bergantung kepada amal kita hari ini.

Keempat, hari kematian lebih utama dari hari kelahiran karena di saat kematian
lengkap dan utuhlah sudah sisi kemanusiaan kita. Saat ketika kita tak bisa lagi
mengubah citra kita di hadapan Allah maupun di mata manusia. Karenanya para
bijak bestari tak menyarankan kita memberi nama anak kita dengan nama orang
besar yang masih hidup. Kita belum tahu apakah kehebatan dan kebaikan orang
besar itu akan berlanjut sampai akhir hayatnya. Apakah kehidupannya akan diakhiri
dengan husnul khatimah? Sebuah akhir yang baik yang didambakan setiap
manusia.

Bila hari kematian lebih utama dari hari kelahiran, mengapa orang memperingati
maulid (hari kelahiran) Nabi Muhammad SAW dan bukan hari wafatnya? Dari
berbagai riwayat tentang tanggal kelahiran dan wafatnya Rasulullah, ada riwayat
kuat yang mengatakan bahwa tanggal lahir dan wafatnya Nabi Muhammad SAW
sama jatuh pada tanggal 12 Rabiul Awal. Karenanya, Maulid Nabi sebenarnya juga
haul Nabi kita.

Umur juga berhubungan erat dengan waktu. Dan waktu bukan milik kita melainkan
milik Allah semata. Bahkan Allah bersumpah demi waktu dalam kitab suci bagi
mengingatkan agar kita tak lalai memanfaatkan waktu demi kebaikan. Imam Ali bin
Abi Thalib mengatakan bahwa waktu bagaikan pedang. Bila kita tak memakainya
untuk menebas maka pedang itu akan menebas kita.

Dalam hubungan dengan waktu, ada konsep barokah (berkah) dalam Islam yang
diajarkan kepada kita. Terjemahan barokah ke dalam bahasa modern paling dekat
barangkali berarti efisien dan efektif. Umur yang berkah adalah umur yang memberi
hasil sebesar-besarnya berupa amalan baik dalam usia kita yang terbatas. Ini bisa
dicapai dengan memanfaatkan waktu seefisien dan seefektif mungkin. Bukan

https://islamindonesia.id 457
sekadar dengan kerja keras tetapi juga dengan kerja cerdas yang menuntun langkah
kita lebih sistematis dengan arah tujuan yang jelas.

Dalam hubungan dengan barokah dalam umur, ada dua jenis umur manusia. Umur
fisik dan umur mental. Umur fisik berjalan sejajar dengan kondisi kesehatan tubuh
kita sedang umur mental dengan kejiwaan kita. Umur mental tak selalu sejalan
dengan umur fisik. Ada anak muda yang sudah matang jiwanya, sebaliknya ada
orang berusia lanjut yang jiwanya masih kekanak-kanakan. Hidup bagaikan sebuah
botol. Ada yang botolnya masih kosong dan ada yang telah hampir penuh terisi.
Pengisian botol kehidupan itu bergantung kepada kematangan jiwa dan rohani kita.

Sampai disini aku bertanya, masih inginkah hari kelahiranku di bumi ini dirayakan?
Atau lebih baik hari kematianku saja yang diperingati oleh orang yang masih hidup
dengan mengirim doa-doa untukku?

AJ/IslamIndonesia
(Sumber: https://islamindonesia.id/berita/renungan-abdillah-toha-tentang-umur-manusia.htm)

https://islamindonesia.id 458
Friday, 29 April 2016

HAIDAR BAGIR: AMNESIA BUKU


Oleh: Haidar Bagir*

Hasil studi deskriptif yang dilaksanakan Central Connecticut State University, AS,
yang diumumkan belum lama ini, telah menempatkan Indonesia pada peringkat ke-
60 dari 61 negara yang diteliti dalam hal literasi para warganya.

Orang bisa saja memperdebatkan validitas penelitian ini. Namun, sesungguhnya hal
ini tak terlalu mengagetkan kita. Sebelum ada penelitian ini pun kita sudah
merasakan banyak indikasi yang mengarah ke sana. Misalnya, dalam angka
proporsi jumlah judul buku yang terbit terhadap jumlah penduduk.

Belum lagi jika kita lihat fenomena “kutukan 3.000 eksemplar” -yakni jumlah rata-rata
buku terjual untuk setiap judul buku yang terbit. Jangan bandingkan dengan Jepang
yang penduduknya memang gila baca, apalagi negara-negara maju dan berbudaya
baca tinggi, seperti Finlandia. Turki saja, yang jumlah penduduknya hanya sedikit di
atas sepertiga penduduk negara kita, jumlah rata-rata cetak-pertama setiap judul
buku bisa mencapai 10.000 eksemplar. Lebih parahnya lagi, seperti dengan tepat
diungkapkan oleh Tajuk Rencana Kompas (21/4/2016), tantangan peningkatan
minat baca kita lebih besar daripada yang dialami negara-negara maju.

Meningkatkan minat baca

Ketika kita belum lagi berhasil dalam mengembangkan budaya baca yang merata,
dan negeri kita masih didominasi oleh budaya tutur, masyarakat kita sudah masuk
ke budaya audio-visual (radio dan TV) yang lebih mudah menyedot perhatian
masyarakat. Tambahan lagi, dalam pergulatan penuh susah payah dengan budaya
audio-visual itu, kita sudah “terpaksa” larut dalam budaya digital. Sebenarnya,
teknologi digital sampai batas tertentu juga mengembalikan budaya baca kepada
masyarakat, baik lewat akses kepada berbagai tulisan di internet melalui search
engine yang ada maupun melalui berbagai sarana media sosial, seperti situs
web,blog, Facebook, dan Twitter.

Akan tetapi, di sisi lain, tantangannya justru menjadi makin besar. Di satu sisi,
tantangan peningkatan minat baca secara umum masih menghantui. Di sisi lain,
besarnya pasokan informasi yang menerpa serta sifat sebagian besar tulisan yang

https://islamindonesia.id 459
tersedia di media digital telah menyebabkan para pengguna internet mengakses
lebih banyak tulisan-tulisan pendek yang kurang keluasan dan kedalaman.

Yang lebih mengkhawatirkan, alasan praktis pemilihan bahan bacaan ini dalam
waktu panjang bisa mempermanenkan habit keengganan membaca buku, dalam
makna bahan bacaan yang memiliki keluasan dan kedalaman yang memadai.
Dengan kata lain, yang diminati para konsumen bahan-bahan bacaan digital
hanyalah yang memiliki tingkat “ketuntasan” yang rendah, khususnya anggota
generasi muda yang termasuk dalam golongan “digital natives” (penduduk pribumi
dunia digital).
Bukan saja mereka kehilangan ketelatenan membaca buku yang memiliki keluasan
dan kedalaman yang cukup akibat dimanjakan oleh teknologi komputer yang
menawarkan kecepatan tinggi untuk mengakses banjir informasi yang ada di
internet, gaya mereka mencari informasi yang bersifat multi-tasking juga telah
memperparah gejala ini. Hal ini kiranya juga didorong sifat sarana digital yang belum
sepenuhnya senyaman medium buku cetak sehingga lebih cepat mengakibatkan
rasa capai (fatigue).

Hal yang terakhir ini lebih terasa khususnya bagi generasi “digital migrant”
(penduduk imigran dunia digital) yang tak seterbiasa generasi yang lebih belakangan
dalam menggunakan perangkat pembaca (reader) elektronik. Apalagi di waktu-
waktu belakangan ini, ketika telepon pintar berlayar kecil telah mulai merampas
fungsi PC/laptop ataupun tablet sebagai reader. Maka, faktor fatigue dan
ketaktelatenan akibat kekurangnyamanan dalam membaca pun memberikan
dampak lebih besar dalam hal penurunan daya baca masyarakat.

Lalu terciptalah suatu lingkaran setan yang makin memperburuk keadaan: produsen
informasi mulai terdorong untuk menerbitkan bahan-bahan bacaan–mereka sebut
buku juga–dengan panjang tulisan yang jauh lebih pendek demi memuaskan
tuntutan gaya baru membaca buku (digital) ini. Sering kali bahkan hanya terdiri dari
belasan halaman. Jika sebelumnya Neil Postman, melalui bukunya yang berjudul
Amusing Yourself to Death, mengkhawatirkan generasi yang tak tahan
kesusahpayahan belajar dan mencari ilmu akibat terpaan teknologi audio-visual, kini
apa yang ditakutkan Nicholas G Carr tentang akan lahirnya generasi “orang-orang
dangkal” (the shallows) makin tampak di depan mata.

Nasib industri penerbitan

Ada ancaman besar bahwa generasi muda kita, meski memiliki keragaman
informasi, akan menderita kekurangan besar dalam hal kedalaman dan keluasan

https://islamindonesia.id 460
ilmu (bukan sekadar informasi). Dan hal ini membawa kita kepada diskusi tentang
masa depan industri penerbitan di masa digital.

Akan tetapi, sebelum sampai ke sana, penting kita pahami sentralnya peran industri
penerbitan dalam peningkatan literasi masyarakat. Industri penerbitan pada
dasarnya menjalankan beberapa fungsi sekaligus. Pertama, fungsi kurasi, yakni
penyeleksian bahan-bahan bacaan yang dipandang layak untuk dilempar ke pasar
bebas gagasan. Dan di dunia digital masa depan, fungsi ini justru akan menjadi
makin krusial mengingat besarnya pasokan bahan bacaan, meskipun itu hanya kita
batasi dalam bentuk buku, yang akan membanjiri kita.

Seperti ditulis Michael Bhaskar dalam kolomnya yang berjudul “The Real Problem”
(Publishers Weekly, 14 April, 2016), jumlah buku yang diterbitkan- dan ini hanya
mencakup buku cetak, jadi tak termasuk buku yang khusus diterbitkan dalam bentuk
digital, apalagi artikel-artikel yang bertebaran di internet -tak pernah sebesar
sekarang.

Di Inggris diterbitkan tak kurang dari 200.000 judul buku per tahun. Di Tiongkok
malah dua kali lipatnya, yakni 400.000 judul buku. Inilah benar-benar suatu masa
yang di dalamnya terjadi apa yang seperti dinubuatkan Marshall Mc Luhan setengah
abad lalu, disebut information spill-over (peluberan informasi), bahkan banjir
informasi. Masih terkait dengan itu, industri penerbitan juga melakukan fungsi
distribusi buku. Akan ada lubang besar jika industri penerbitan di suatu negara
mengalami kolaps.

Self publishing, yang menjadi jauh lebih mudah oleh teknologi aplikasi digital, tak
akan bisa melakukan tugas ini. Yang akan terjadi nantinya adalah konvergensi
antara penerbit buku yang secara alami juga melakukan fungsi distribusi, seperti
sekarang ini, dengan platform-platform digital penjualan buku yang sekaligus
melakukan fungsi kurasi dengan cara memperkenalkan fasilitas rating produk dan
display buku- buku dengan rating tertinggi di halaman muka (home) mereka.
Bahkan, seperti yang dilakukan Amazon, platform-platform penjualan online malah
masuk ke fungsi penerbitan.

Persoalannya, dengan adanya transformasi dari bentuk cetak ke bentuk digital ini–
meski saat ini dampaknya baru amat terasa pada pengurangan kebutuhan (demand)
terhadap media massa cetak, lebih khususnya majalah–banyak orang percaya
bahwa industri buku pun tinggal menunggu waktu untuk mati. Kegairahan yang saat
ini terkesan tetap terpelihara terhadap industri buku cetak terjadi berkat masih
adanya lag antara konsumen buku cetak sekarang dan generasi pembaca buku
digital yang saat ini masih berumur muda, khususnya para digital natives itu.

https://islamindonesia.id 461
Namun, hal ini pun tak urung sudah menghantam banyak penerbit relatif kecil yang
sudah mulai berguguran pada tahun-tahun terakhir ini. Toko-toko buku, dengan
alasan yang masuk akal, juga sudah mulai mengurangi ruang display bagi buku dan
memperbesar ruang bagi stationery dan produk-produk lain. Dan dengan
transformasi industri penerbitan ke era digital, dalam persaingannya dengan artikel-
artikel yang bertebaran di internet–buku dalam makna aslinya akan musnah.

Kolapsnya industri penerbitan buku ini akan menjadi kenyataan jika industri
penerbitan tak mau berubah, lebih-lebih jika tak ada cukup dukungan dari
pemerintah yang menyandang peran pengembangan strategi pendidikan dan
budaya yang kondusif bagi peningkatan literasi-yakni literasi buku, dalam makna
aslinya- di tengah masyarakat. Salah satu cara yang bisa dilakukan adalah dengan
mengembangkan kurikulum baca-tulis-secara khusus, dan bukan hanya sebagai
bagian (lebih sering tidak serius) dari pelajaran bahasa Indonesia-di sekolah-
sekolah, mulai tingkat paling dasar hingga perguruan tinggi. Juga melalui kampanye-
kampanye gencar dan besar-besaran melalui media massa ataupun
pemanfaatan/pengembangan berbagai lembaga pendukung literasi di tengah
masyarakat, seperti perpustakaan-perpustakaan, taman-taman bacaan, dan
komunitas-komunitas baca-tulis. Gerakan literasi yang baru-baru ini
dilancarkan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan kiranya bisa menjadi awal
yang baik bagi upaya-upaya lebih strategis dan masif ke arah ini.

*Haidar Bagir, Pengajar Filsafat dan Mistisisme Islam

AJ/Sumber: Harian KOMPAS, 28 April 2016


(sumber: https://islamindonesia.id/berita/amnesia-buku.htm)

https://islamindonesia.id 462
Thursday, 28 April 2016

ABDILLAH TOHA: 20 MAKNA HIDUP

Islamindonesia.id–Abdillah Toha: 20 Makna hidup

(1) Hidup menjadi bermakna bila kita berguna bagi orang lain dan lingkungan kita.

(2) Hidup menjadi bermakna ketika orang merasa kehilangan dan mencari kita saat
kita tak berada ditempat.

(3) Hidup menjadi bermakna bila kita selalu mensyukuri karunia nikmat Tuhan
dengan cara tak berhenti berkarya dan mencipta.

(4) Hidup menjadi bermakna bila kita mampu melihat sisi positif orang lain dan tak
selalu mencari kesalahan pada pihak lain.

(5) Hidup menjadi bermakna bila kita sadar bahwa hidup ini singkat dan waktu tak
dapat disimpan tetapi akan habis bila tak dipakai.

(6) Hidup menjadi bermakna bila kita mampu melihat kegagalan sebagai tantangan,
bukan akhir segalanya; sebagai tahapan untuk mencapai keberhasilan.

(7) Hidup menjadi bermakna bila kita sadar bahwa kita tak hidup sendiri. Capaian
kita banyak dari hasil sumbangan pihak lain.

(8) Hidup menjadi bermakna bila kita sadar bahwa harta dan anak kita adalah titipan
dan amanah dari Allah

https://islamindonesia.id 463
(9) Hidup menjadi bermakna ketika makan dan minum untuk hidup, bukan
sebaliknya hidup untuk makan dan minum.

(10) Hidup menjadi bermakna ketika kita sadar bahwa kesehatan jiwa dan ruhani tak
kalah penting dibanding kesehatan fisik.

(11) Hidup menjadi bermakna bila kenalan menjadi teman, teman menjadi sahabat,
dan sahabat menjadi bagian dari keluarga kita.

(12) Hidup menjadi bermakna ketika kita sadar akan potensi tak terbatas manusia
tetapi juga sadar akan kelemahan manusia dalam mengendalikan diri.

(13) Hidup menjadi bermakna bila kita mencintai makhluk Tuhan, membenci
perbuatan buruk tapi tak membenci pelakunya.

(14) Hidup bermakna berarti mengakui kontinuitas waktu. Masa kini adalah hasil
masa lalu dan masa mendatang ditentukan oleh kerja masa kini.

(15) Hidup akan bermakna bila kita tak tenggelam dalam masa lalu dan berkhayal
tentang masa depan.

(16) Hidup akan bermakna bila kita yakin kemana kita mengarah dan ada kehidupan
setelah hidup ini.

(17) Hidup bermakna bila kita tak berhenti kembangkan kapasitas intelektual
bersamaan dengan kapasitas emosional dan spiritual.

(18) Hidup kita lebih bermakna ketika kita lebih banyak memberi daripada
menerima; mendengar daripada berbicara.

(19) Hidup bermakna ketika kita menjadi teladan baik yang menginspirasi lingkungan
kita.

(20) Hidup menjadi bermakna bila adanya kita membuat perbedaan yang positif di
lingkungan kita yang sempit maupun luas, dibanding bila tak ada kita.

AJ/IslamIndonesia
(Sumber: https://islamindonesia.id/kolom/hikmah-abdillah-toha-20-makna-hidup.htm)

https://islamindonesia.id 464
Thursday, 21 April 2016

DI LONDON, JOKOWI TEGASKAN ISLAM MODERAT


ASET BANGSA

Islamindonesia.id-Di London, Jokowi Tegaskan Islam Moderat Aset Bangsa


Di depan Parlemen Inggris, Rabu (20/4), Presiden Joko Widodo (Jokowi)
mengatakan, prinsip Islam moderat dan demokrasi adalah aset bangsa yang harus
dijaga dan dipertahankan. Diakuinya meski banyak tantangan, pemerintah tetap
konsisten mempertahankan prinsip-prinsip itu.
“Dua aset penting dalam kehidupan di Indonesia, yakni Islam moderat dan
demokrasi masih mendapat berbagai tantangan, seperti tindakan intoleransi dalam
masyarakat, radikalisme dan ektremisme kekerasan. Juga aksi-aksi terorisme yang
mengatasnamakan agama,” kata Presiden Jokowi di depan Parlemen Inggris di
London.
Dia mengatakan, saat ini terdapat Warga Negara Indonesia (WNI) yang bergabung
dengan gerakan teroris asing di berbagai negara.
“Warga Negara kami yang bergabung dengan gerakan-gerakan teroris asing di luar
negeri, jumlahnya sangat kecil di antara 252 juta penduduk Indonesia,”
lanjut Presiden Jokowi melalui keterangan tertulis yang dikirim ke berbagai media,
Kamis (21/4).

https://islamindonesia.id 465
Apa yang disampaikan Presiden Jokowi memang benar: Islam moderat adalah aset.
Bahkan aset terbesar. Namun demikian, aset ini kini terus digerus dan digerogoti.
Sebagaiman yang kerap diberitakan, dalam tiga atau empat tahun belakangan ini,
cukup banyak warga negara Indonesia yang mendukung dan bergabung dengan
gerakan teroris ISIS di Suriah maupun Irak. Ansyad Mbai, mantan kepala BNPT,
sempat menyebut angka 20 ribu simpatisan.

Menurut laporan polisi yang beredar di kalangan wartawan beberapa hari lalu, para
simpatisan ISIS terus melakukan operasi senyap di Jabodetabek. Televisi
Australia ABC malah pernah menangkap basah aksi rekrutmen kelompok garis
keras ini di sebuah masjid di Jakarta.

Kekhawatiran soal gerakan intoleransi yang akhir-akhir ini berkolusi dengan


sejumlah pejabat negara yang menyimpan ambisi politik jangka pendek juga kerap
diungkapkan para pengamat dan aktivis HAM. Pengamat sosial Abdillah Toha,
misalnya, sudah menyoroti soal berkembangnya kolusi jahat antara kelompok-
kelompok garis keras dan para penguasa daerah. Kolusi berbahaya ini terjalin
karena dugaan bahwa kelompok garis keras mampu menggerakkan massa dan
memberikan suara kepada sang politisi.

Dalam tulisan berjudul Radikalisme Penguasa (Kompas, 17/02/2016), Toha


menyimpulkan: “Ketika pemerintah telah berniat untuk melakukan sesuatu yang
dianggap benar dan telah mengumumkannya ke publik, maka harus ada kemauan
politik yang kuat untuk melaksanakannya. Pasti ada risiko politiknya, akan tetapi
sebagai negarawan, presiden harus lebih berat pertimbangannya kepada risiko lebih
besar yang bisa ditanggung bangsa dan negara, bila tak berbuat.”

(Baca juga: Radikalisme Penguasa oleh Abdillah Toha)

AJ/IslamIndonesia

(Sumber: https://islamindonesia.id/berita/analisis-di-london-jokowi-tegaskan-islam-moderat-
aset-bangsa.htm)

https://islamindonesia.id 466
Wednesday, 17 February 2016
RADIKALISME PENGUASA
oleh: Abdillah Toha*

Ketika pemimpin tertinggi negeri ini, presiden Jokowi, meminta organisasi Islam seperti NU
dan LDII membantu pemerintah menangkal radikalisme di tanah air (Kompas 6 Februari,
2016), beberapa penguasa kecil di daerah justru memberi angin kepada radikalisme.

Bupati Bangka belum lama ini meminta Jamaah Ahmadiyah meninggalkan kampung
halamannya dan Kabupaten Bangka karena dianggap sesat. Peristiwa ini bukan baru tapi
sudah ada beberapa preseden sebelumnya. Kita belum lupa peristiwa Cikeusik yang
menimbulkan hilangnya jiwa anggota Ahmadiyah, pengusiran dan pengasingan Jamaah
Ahmadiyah di Lombok yang sudah hampir 9 tahun tanpa solusi, dan pengusiran,
pembakaran rumah, serta penistaan Jamaah Syiah di Sampang dan Madura.

Di Kuningan, Jawa Barat, Jamaah Ahmadiyah tidak diberi KTP dan Surat Nikah karena
mereka dianggap bukan Islam atau bukan agama yang diakui pemerintah.

Jawa Barat, berdasarkan hasil survei Setara Institute, Elsam, dan the Wahid Institute
merupakan kawasan di Indonesia yang paling tidak toleran. Sang gubernur, bukannya
mendinginkan suasana tetapi malah memanasi keadaan dengan melakukan provokasi.
Baru-baru ini beredar luas di media sosial video berisi ajakan Gubernur Jawa Barat agar
ahlussunnah menyusun kekuatan untuk melawan Syiah.

Bupati Bangka yang kebetulan satu partai dengan gubernur Jawa Barat, tidak menggubris
instruksi Menteri Dalam Negeri dan Menteri Agama untuk menghentikan tindakannya
terhadap Jamaah Ahmadiyah. Aparat kepolisian sayangnya juga gagal melindungi
kelompok-kelompok minoritas ini dari hujatan para pembenci. Lalu bagaimana masyarakat
akan berhasil membantu pemerintah dalam menangkal radikalisme bila justru bagian dari
pemerintah itu sendiri yang menebar ideologi kebencian?

Hukum dan Nawa Cita

Kelompok-kelompok minoritas yang dinista itu tidak melanggar hukum atau konstitusi.
Kalaupun mereka diduga melanggar hukum, seharusnya diproses melalui prosedur hukum
yang benar. Bukan diperlakukan secara semena-mena.

Pada dasarnya tidak ada dasar hukum sama sekali untuk menyeret mereka ke pengadilan.
Undang Undang Penodaan Agama? Inilah UU yang dianggap berisi pasal-pasal karet yang
mudah disalah gunakan penguasa dan sering digunakan oleh kelompok ekstrim untuk
melegitimasi tindakan kekerasan atas nama agama. UU ini pada tahun 2009 dimohonkan

https://islamindonesia.id 467
beberapa lembaga kemanusiaan dan perorangan untuk di tinjau kembali tetapi tidak
dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi dengan catatan.

Masih masuk di akal bila UU Penodaan Agama digunakan untuk melawan kebencian atau
penghinaan terhadap agama tertentu, tetapi bukan untuk menghukum mereka yang berbeda
praktik ritual ibadahnya dalam agama yang sama.

Lebih jauh lagi dan lebih tinggi lagi, konstitusi kita menjamin setiap warga negara untuk
beribadah sesuai dengan agama dan kepercayaan masing-masing. Bukan mereka yang
dikategorikan “sesat” yang melanggar konstitusi tetapi justru mereka yang memberi label
sesat dan menuntut dibubarkannya sebuah kumpulan agama yang damai yang jelas
melanggar konstitusi.

Lalu dimana janji-janji presiden yang diucapkan dalam Nawa Cita? Agenda priroritas ke 9
dalam Nawa Cita menyebutkan tekad pemerintah untuk memperteguh kebinekaan dan
memperkuat restorasi sosial Indonesia melalui kebijakan memperkuat pendidikan
kebinekaan dan menciptakan ruang-ruang dialog antarwarga dengan komitmen untuk
melindungi dan menghormati kebinekaan segenap bangsa. Juga pemerintah disebut akan
bersikap tegas terhadap segala upaya yang bertentangan dengan hak-hak warga dan nilai-
nilai kemanusiaan.

Konstitusi, hukum, dan janji-janji presiden semuanya berpihak kepada kelompok keyakinan
minoritas yang sering dilecehkan oleh mereka yang mengklaim paling benar. Namun
demikian, 15 bulan lebih dibawah presiden Joko Widodo dan wakil presiden Jusuf Kalla
belum tampak ada tanda-tanda kongkrit tentang ketegasan pemerintah dalam
melaksanakan janji-janjinya diatas. Apa sebenarnya yang terjadi?

Pusat lawan Daerah

Pertama, bisa jadi urusan kerukunan agama ini bukan merupakan prioritas pemerintah
karena adanya agenda ekonomi dan politik yang dianggap jauh lebih mendesak. Kedua,
kelompok radikal telah memanfaatkan “kesibukan” pemerintah serta mengambil untung dari
suasana demokrasi dan kebebasan pasca reformasi dengan lihai untuk mengintensifkan
penebaran kegiatannya. Ketiga, dan ini yang menghawatirkan, ada kesan kuat bahwa
pemerintah pusat tak berdaya mengendalikan pemerintah daerah yang membangkang, lebih
lagi bila kepala daerahnya berasal dari kekuatan politik yang bukan merupakan bagian dari
koalisi pemerintah pusat. Padahal baik konstitusi kita yang menjamin kewenangan Pusat
maupun UU nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah jelas menaruh kewenangan
urusan agama dibawah pemerintah pusat.

https://islamindonesia.id 468
UU Pemerintah Daerah dalam urusan agama memberi kewenangan kepada pemerintah
pusat dalam menetapkan hari libur keagamaan yang berlaku secara nasional, dalam
memberikan pengakuan terhadap keberadaan suatu agama, serta dalam menetapkan
kebijakan penyelenggaraan kehidupan keagamaan.

Bila sudah jelas demikian, mengapa pemerintah pusat terkesan lemah? Disamping alasan
“kesibukan” lain dan prioritas rendah yang disebut diatas tampaknya pemerintah pusat ingin
menghindari konfrontasi terbuka dengan pemerintah daerah. Kegaduhan politik di pusat
sudah cukup, tidak perlu ditambah dengan kegaduhan di daerah.

Kasus pembangkangan daerah ini bukan baru. Di era SBY gertak untuk memecat kepala
daerah yang menentang terbuka kebijakan kenaikan BBM dilawan dan tidak pernah
dilaksanakan. Salah satu contoh terburuk lain adalah membangkangnya wali kota Bogor
yang lalu dalam kasus gereja GKI Yasmin sampai saat ini dilanjutkan oleh wali kota yang
sekarang.

Dalam kampanyenya sebagai calon presiden, kita masih ingat Jokowi mengancam akan
menggunakan politik anggaran terhadap daerah yang membangkang. Dikatakan bahwa
85% anggaran daerah berasal dari pusat dan pemerintah pusat bisa memberikan reward
atau punishment melalui Dana Alokasi Khusus (DAK) terhadap daerah, bergantung kepada
prestasi atau sebaliknya. Kita belum melihat ada tanda bahwa janji pemilu ini sudah atau
akan dilaksanakan.

Saya kira kita semua sepakat tidak mudah memberantas radikalisme yang mengancam
keutuhan bangsa dan bisa berkembang menjadi tanah subur untuk tindak kekerasan atas
nama agama dan terorisme. Tingkat kesulitan ini menjadi berlipat ketika beberapa penguasa
daerah justru menempatkan dirinya di pihak yang cenderung radikal dan pemerintah pusat
tak berdaya mengintervensi. Disamping berakibat merosotnya wibawa pemerintah, diamnya
pemerintah pusat juga mengirim sinyal menghawatirkan bahwa negara sudah tak mampu
memberikan perlindungan kepada kelompok minoritas dan tunduk kepada kemauan
gerombolan intoleran.

Ketika pemerintah telah berniat untuk melakukan sesuatu yang dianggap benar dan telah
mengumumkannya ke publik, maka harus ada kemauan politik yang kuat untuk
melaksanakannya. Pasti ada risiko politiknya, akan tetapi sebagai negarawan, presiden
harus lebih berat pertimbangannya kepada risiko lebih besar yang bisa ditanggung bangsa
dan negara, bila tak berbuat.
Pemerhati Politik

Sumber: Koran Kompas 17/02/2016


(Sumber: https://islamindonesia.id/kolom/opini-radikalisme-penguasa.htm)

https://islamindonesia.id 469
Sunday, 17 April 2016

MEMINTA MAAF CERMIN PERADABAN

Seorang motivator bercerita:

“Di tengah paparan saya pada salah satu sesi khusus di tengah bapak-bapak, aku
perhatikan seseorang berubah raut wajahnya. Tidak lama air mata membasahi
pipinya. Waktu itu saya berbicara bagaimana bergaul dengan anak-anak dan cara
memahami mereka. Saat rehat dia menghampiriku dan berbicara secara pribadi.”

Dia berkata, “Tahukah Anda mengapa aku terpengaruh dengan tema kajian Anda
sehingga membuatku menangis?”

Saya menjawabnya, “Tidak, demi Allah.”

Dia berkata, “Sesungguhnya aku mempunyai seorang anak berusia tujuh belas
tahun. Aku telah menelantarkannya sejak lima tahun lalu. Hal itu karena dia tidak
mendengarkan perkataanku. Dia berkawan dengan teman-teman yang buruk. Dia

https://islamindonesia.id 470
suka merokok. Perangainya buruk. Dia tidak lagi melaksanakan shalat dan tidak
menghormati ibunya. Oleh karena itu, aku memutuskan hubungan dengannya. Aku
tidak lagi menafkahinya. Aku membuatkan kamar untuknya di bawah tanah. Namun
dia tidak merasa terkekang.”

“Aku tidak mengerti apa yang telah kulakukan. Kata-kata Anda membuatku lega
untuk mengobati segala permasalahanku. Apa nasehat Anda untukku? Haruskah
aku melanjutkan pemutusan hubungan dengannya atau menyambungkan hubungan
kepadanya kembali? Jika Anda menasehatiku untuk kembali kepadanya
bagaimanakah caranya?”

Saya berkata kepadanya, “Sebaiknya Anda menghubunginya hari ini.


Sesungguhnya yang dilakukan anakmu salah. Namun Anda memutuskan hubungan
dengannya selama lima tahun juga sebuah kesalahan. Akuilah kesalahanmu di
hadapannya. Namun dia juga harus berubah menjadi anak yang berbakti kepada
orang tuanya dan berjalan di jalan yang benar.”

Dia membantah saya seraya berkata, “Sesungguhnya aku ayahnya. Aku meminta
maaf kepadanya? Kita tidak dididik sebagai ayah yang meminta maaf kepada
anaknya!”

Saya menjawabnya, “Wahai saudaraku, kesalahan tidak mengenal tua dan muda.
Seorang yang bersalah hanyalah berkewajiban untuk meminta maaf.”

Dia tidak menggubris perkataanku. Lalu kami melanjutkan kajian hingga selesai hari
pertama.

Hari berikutnya, sang bapak menghampiriku dengan senyum gembira. Saya pun
bahagia menyambut kebahagiaannya.

Saya bertanya, “Ada kabar apa?”

Dia menjawab, “Aku mengetuk pintu kamar anakku jam sepuluh malam. Dia pun
membuka pintu.”

“Aku berkata padanya, ‘Wahai anakku, sungguh aku menyesali atas perbuatanku
memutuskan hubungan denganmu selama lima tahun.’ Dia segera memeluk
dadaku. Dia mulai menangis keras dan aku pun menangis bersamanya.”

Anakku berkata, “Wahai ayahku, apa yang engkau ingin aku perbuat? Sungguh aku
tidak akan lagi menolak perintahmu.”

https://islamindonesia.id 471
Cerita bapak itu membuat bahagia semua yang hadir pada kajian itu. Benar bahwa
kesalahan tidak mengenal tua atau muda.

Sesungguhnya seorang ayah yang melakukan kesalahan terhadap anaknya lalu


meminta maaf kepada anak-anaknya telah mengajarkan mereka tentang perilaku
meminta maaf atas kesalahan mereka. Jika seorang ayah tidak meminta maaf
berarti dia telah mendidik anak-anaknya tentang keangkuhan
dan kesombongan secara tidak sadar.[]

Tom/IslamIndonesia

(Sumber: https://islamindonesia.id/islam-menjawab/pendidikan-meminta-maaf-cermin-
peradaban.htm)

https://islamindonesia.id 472
Tuesday, 12 April 2016

AKHLAK–PUNCAK SULUK
Oleh Haidar Bagir

Suatu pagi, setelah salat jama’ah Subuh, penglihatan Rasulullah Saw tertumbuk
pada seorang anak muda yang bernama Haritsah ibn Malik ibn Nu’man Al-Anshari.
Kurus dan pucat, kedua matanya sembap, dia tampak seperti linglung dan tak bisa
tetap berdiri.

“Bagaimana keadaanmu,?” tanya Rasulullah.

“Saya telah sampai pada keimanan tertentu,” si anak muda menyahut.

“Apakah tanda-tanda keimananmu,?” Nabi bertanya lagi.

Anak muda itu menjawab bahwa keimanannya telah menenggelamkannya ke dalam


kesedihan, sehingga membuatnya tak bisa tidur di malam hari (karena harus
mengisinya dengan beribadah) dan membiarkan dirinya merasakan lapar dan
dahaga di siang hari (dalam berpuasa).

Keadaan itu juga telah sepenuhnya menceraikannya dari dunia ini dan segala
urusannya, sedemikian sehingga seolah-olah dia dapat melihat ‘Arasy Allah
ditegakkan untuk memulai perhitungan atas (amal-amal) umat manusia, dan bahwa
ia bersama seluruh manusia telah dibangkitkan dari kematian.

Dikatakannya pula bahwa pada saat itu pun dia merasa dapat melihat para ahli
surga menikmati karunia-karunia Allah, para ahli neraka menderita siksaan-
siksaannya dan bahwa dia dapat mendengar gemuruh jilatan apinya.

Mendengar itu Nabi menoleh kepada para sahabatnya seraya berkata, “ini adalah
seseorang yang hatinya telah disinari dengan cahaya keimanan oleh Allah.” Lalu
Nabi pun berkata kepada si anak muda tadi, “Pertahankan keadaanmu ini, dan
jangan biarkan ia lepas darimu.”

“Berdoalah untukku,” sahut si anak muda, “agar Allah mengaruniaiku syahadah.”


Syahdan, tak lama setelah pertemuan itu, sebuah peperangan meletus, dan si anak
muda ikut hingga dia mendapatkan syahadah yang didambakannya.

https://islamindonesia.id 473
Hadis di atas seringkali dikutip orang sebagai salah satu petunjuk mengenai
tradisi tasawuf di zaman Nabi Shallallâhu ‘alaihi wa âlihi wa sallam. Muhammad
Iqbal, pujangga Muslim dari Anak-Benua India itu, malah menyebutnya sebagai
semacam penelitian yang dilakukan oleh sang Nabi atas gejala psikologis—tepatnya
gejala spiritual — yang belakangan lebih dikenal sebagai gejala sufistik itu.

Kisah di atas sekaligus bisa menjadi ilustrasi bagi pemahaman makna ‘ihsân’ yang
dianggap sebagai dasar penghayatan kesufian dan–bersama iman serta Islam–
membangun trilogi pembentuk unsur-unsur agama Islam. Seperti telah banyak
diketahui, terungkap dalam hadis masyhur yang lain bahwa lewat Jibril Al-Amin, para
sahabat telah diajar makna ihsân sebagai “suatu situasi yang di dalamnya
seseorang beribadah dalam keadaan seolah-olah ia melihat Allah atau, kalau pun
tak dapat melihat-Nya, ia yakin bahwa Allah melihatnya.”

Lalu, untuk kesekian kalinya kita pertanyakan, apa sejatinya tasawuf itu?

Amat banyak rujukan disampaikan oleh para ahli terhadap asal-muasal istilah
tasawuf ini. Dalam berbagai buku teks tasawuf, kata ini biasanya dirujukkan kepada
beberapa kata dasar. Termasuk di dalamnya shaff (baris, dalam shalat) karena
dianggap kaum sufi berada dalam shaff pertama. Atau shûf, yakni bahan wol atau
bulu domba kasar yang biasa mencirikan pakaian kaum sufi.

Atau juga Ahlu al-Shuffah, yakni para zâhid (pezuhud) dan ‘âbid (ahli ibadah) yang
tak punya rumah dan tinggal di serambi masjid Nabi. Ada juga yang mengaitkannya
dengan nama sebuah suku Badui yang memiliki gaya hidup sederhana, yakni Bani
Shufa. Meski jarang, sebagian yang lain mengaitkan asal-muasal istilah ini dengan
sopohon, atau sufa, atau sufin, yang bermakna pelayanan kegerejaan (kerahiban).
Jabir ibn Hayyan — seorang alkemis yang disebut-sebut sebagai murid Imam Ja‘far
Shadiq — dikatakan mengaitkan istilah ini dengan shufâ’, yang bermakna penyucian
sulfur merah.

Di dalam berbagai buku tashawuf, menurut Abdul Qadir Al-Suhrawardi, ada lebih
dari seribu definisi istilah ini. Tapi, pada umumnya, berbagai definisi itu mencakup
atau mengandung makna shafâ’ (suci), wara‘ (kehati-hatian ekstra untuk tidak
melanggar batas-batas agama), dan ma‘rifah (pengetahuan ketuhanan atau tentang
hakikat segala sesuatu). Tapi, kepada apa pun dirujukkan, semua sepakat bahwa
kata ini terkait dengan akar shafâ’ yang berarti suci. Pada gilirannya, ia akan
bermuara pada ajaran Al-Quran tentang penyucian hati.

“Demi jiwa dan penyempurnaan (ciptaannya), maka Allah mengilhamkan kepada


jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya, sesungguhnya beruntunglah orang

https://islamindonesia.id 474
yang menyucikan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.”
(QS Al-Syams [91]: 7-10)

Kata menyucikan (zakkâ) yang dipakai ayat di atas berasal dari akar kata yang juga
membentuk salah satu ungkapan-kunci tasawuf, yaitu tazkiyah al-nafs (penyucian
jiwa, yakni penyucian jiwa dari dosa-dosa yang menutupi hati kita, lalu memenuhinya
dengan kebaikan-kebaikan, sehingga pada puncaknya orang selalu memiliki akses
terhadap panduan cahaya Allah yg ada di dalam hati kita). Lebih jauh dari itu, dalam
kosa kata tasawuf istilah ini biasa disinonimkan dengan ‘tashfiyah’ — lagi sebuah
kata benda bentukan (mashdar) dari akar-kata shafâ’.

Salah satu yang mencirikan tasawuf dari upaya keberagamaan biasa, adalah bahwa
tasawuf memperkenalkan suatu disiplin yang disebutkan sebagai ‘suluk’. Dalam
suluk tercakup penyelenggaraan ibadah secara ihsan, dan penerapan mujahadah
serta riyadhah sebagai pendukung bagi pencapaian kemampuan ihsan dalam
beribadah tersebut.

Hal yang harus diperhatikan dalam menjalani suluk – kalau tak malah menjadi ciri
kedua tasawuf – adalah bahwa proses penyucian hati harus melibatkan amal-amal
saleh. Yakni setiap tindakan untuk berkontribusi dalam memperbaiki kehidupan
sosial di lingkungan kita. Dalam hadis yang dikutip di awal tulisan ini, hal itu tampak
dalam semangat yang lahir pada diri Haritsah. Bukannya menikmati kebahagiaan
penyingkapan spiritual itu secara sendirian (egois), dia siap mengorbankan dirinya
demi tegaknya kebenaran dan kebaikan bagi orang banyak. Meski itu berarti dia
harus mati syahid. Penting untuk dipahami di sini bahwa syahid berarti penyaksi.
Kata ini memiliki akar kata yang sama dengan musyahadah – sebagai puncak
setiap perjalanan tasawuf – yakni menyaksikan (“bermuka-muka” dengan) Allah Swt.
[]

AJ/IslamIndonesia
(Sumber: https://islamindonesia.id/tasawwuf/akhlak-puncak-suluk.htm)

https://islamindonesia.id 475
Saturday, 09 April 2016
MUSLIM DAN AHOK
Oleh: Abdillah Toha

Tulisan ini tidak bermaksud memperdebatkan apakah warga Muslim boleh memilih
pemimpin non Muslim atau tidak. Yang menentang Ahok mengatakan bahwa nash
al-Quran sudah jelas melarang Muslim memilih kafir (non-Muslim) sebagai wali
(pemimpin). Yang tidak setuju dengan itu mengatakan bahwa ayat al-Quran yang
dipakai sebagai dasar adalah ayat yang harus ditafsir secara kontekstual dan yang
dimaksud dengan wali bukan pemimpin tapi penolong atau teman. Sedangkan
definisi kafir juga diperdebatkan, apakah semua non-Muslim sama dengan kafir atau
tidak. Biarkan debat ini berjalan di tempat lain, tidak disini, antara berbagai ulama
dan akademikus. (Baca juga: TANGGAPAN: Haruskah Pemimpin Selalu Muslim?)

Tulisan ini juga tidak dimaksudkan untuk mengarahkan pembaca pada pilihan
tertentu. Walaupun survei sejauh ini menunjukkan Ahok unggul jauh di atas nama-
nama yang sudah muncul sebagai calon lawannya, namun lawannya yang tangguh
dengan strategi yang benar bukan tidak mungkin akan dapat mengalahkan Ahok.
Ahok punya banyak kelebihan tetapi juga tidak kurang kelemahannya. Silahkan pilih
yang dianggap terbaik.

Tulisan ini ingin memberikan pandangan bagaimana kita sebagai warga DKI yang
beragama Islam seharusnya menempatkan diri kita dalam situasi perpolitikan
Jakartayang makin hari makin memanas, sebagiannya disebabkan oleh sentimen-
sentimen primordial yang cenderung tidak rasional.

Pertama, kita lebih dahulu harus sadar bahwa Jakarta sebagai bagian dari Indonesia
memiliki Dasar Negara dalam bentuk Undang Undang Dasar Negara Republik
Indonesia 1945 dan ideologi Pancasila. Dasar Negara yang kita sepakati ini
memberikan hak dan kewajiban yang sama kepada seluruh warga negara, antara
lain untuk memilih dan dipilih dalam pemilihan umum, tidak pandang bulu apa
agama yang dianutnya atau darimana asal sukunya. Untuk melarang non-Muslim
menjadi gubernur atau bahkan presiden, kita harus lebih dahulu mengubah
konstitusi kita seperti contohnya di Argentina dimana konstitusi negeri itu
menetapkan bahwa presiden hanya boleh dijabat oleh warga negara yang beragama
Katolik.

Kedua, kita harus berpikir dengan jernih dan tenang, gubernur seperti apakah yang
kita dambakan untuk Jakarta. Apakah gubernur yang seagama dengan kita atau

https://islamindonesia.id 476
seideologi dengan kita atau bearasal dari suku yang sama dengan kita, tidak peduli
kualifikasi dan karakternya, atau seorang gubernur yang jujur, terbuka, dan
berakhlak, yang kita percayai mampu memperbaiki nasib warga Jakarta?
Ketiga, sebagai Muslim, apa aspirasi dan kekhawatiran Anda yang utama
menyangkut kehidupan di Jakarta. Apakah Anda khawatir gubernur yang terpilih
akan merugikan kepentingan umat Islam dalam menjalankan ibadahnya di Jakarta
atau Anda lebih khawatir gubernur baru nanti tidak mampu mengatasi masalah
kemacetan, banjir, sampah, dan sejenisnya?

Keempat, sebagai warga Muslim biasa, bagaimana kita melihat posisi seorang
gubernur. Apakah kita memandangnya sebagai pemilik Jakarta atau pemimpin yang
sepenuhnya harus kita ikuti apa maunya dan menentukan segala sisi kehidupan kita
termasuk kehidupan beragama, atau kita memandang gubernur sekadar sebagai
pelayan masyarakat atau sopir sebuah kendaraan yang bernama Jakarta dimana
kita duduk sebagai penumpangnya untuk masa waktu kontrak tertentu?
Kelima, adakah jaminan bahwa gubernur yang Muslim pasti akan menguntungkan
umat Islam sedang gubernur non Muslim pasti akan merugikan umat Islam yang
mayoritas di Jakarta? Bukankah bisa juga terjadi sebaliknya dimana seorang
gubernur acuh terhadap kepentingan umatnya yang seagama tetapi justru lebih
peka terhadap kepentingan warga yang tidak seagama dengannya, apalagi bila
jumlahnya mayoritas?

Dari pertimbangan-pertimbangan di atas cukup beralasan untuk mengatakan bahwa


sebagai Muslim barangkali kita akan menyesal di belakang hari bila kita salah
langkah dan salah memilih seorang gubernur disebabkan oleh pertimbangan yang
tidak rasional karena yang akan menanggung akibatnya juga mayoritas warga
Jakarta yang kebetulan juga Muslim.

Namun demikian, semua itu tidak berarti bahwa warga Muslim Jakarta tidak boleh
mencari calon gubernur Muslim. Justru sebaliknya. Bila hati nurani atau keyakinan
agamanya teguh menghendaki adanya gubernur Muslim maka, atas dasar survei
kekuatan Ahok saat ini, untuk menang tidak bisa hanya mengandalkan keislaman
sang calon semata tetapi harus juga mengajukan lawan yang bisa menandingi
popularitas, elektibilitas, dan kualitas Ahok.

Bila benar bahwa Ahok saat ini jauh lebih unggul dari lawan-lawannya, dan fakta
bahwa mayoritas warga DKI adalah Muslim, berarti sebagian besar pendukungnya
adalah juga Muslim yang tidak suka menentukan pilihan atas dasar agama calon
gubernur. Karenanya, lawan Ahok yang Muslim akan mengambil langkah yang keliru
bila untuk mencuri suara pendukung Ahok dia tidak rasional dengan menonjolkan

https://islamindonesia.id 477
keislamannya. Ahok akan sangat bergembira bila hal ini terjadi karena justru yang
demikian akan menjamin kemenangannya.

Sebaliknya, bila lawan Ahok yang Muslim bertindak rasional dengan menghindar
dari kampanye primordial, dia akan tetap mendapat dukungan suara primordial dan
sekaligus peluangnya lebih terbuka untuk “mencuri” suara pendukung Ahok yang
memandangnya sebagai lawan yang rasional. Pada waktu bersamaan, pilkada yang
tidak dipanaskan oleh retorika agama akan berjalan lebih damai dan demokrasi kita
menjadi lebih sehat.

AJ/IslamIndonesia
(Sumber: https://islamindonesia.id/kolom/opini-muslim-dan-ahok.htm)

https://islamindonesia.id 478
Saturday, 09 April 2016

MENAG: “HANYA PRESIDEN YANG


BERWENANG MENYESATKAN ALIRAN”

Masih segar dalam ingatan kita, pernyataan dan himbauan Menteri Agama Lukman Hakim
Saifuddin akhir Februari 2016 lalu, saat menghadiri Kongres Tahunan Kebebasan
Beragama dan Berkeyakinan yang digelar Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas
HAM) di Jakarta.

Dalam kesempatan itu, di hadapan hadirin termasuk di antaranya Menteri Dalam Negeri,
Tjahjo Kumolo, Wakil Ketua Komnas HAM Bidang Internal, Imdadun Rahmat, dan Putri
Almarhum Gus Dur, Yenny Wahid, Menag menyatakan bahwa berdasarkan Undang-
Undang, hanya Presiden yang berhak menyatakan aliran tertentu dari suatu agama atau
kepercayaan itu sesat atau tidak sesat.

Demi menjaga kerukunan antar umat beragama, dalam kesempatan yang sama Menag juga
mengimbau agar masyarakat tidak gegabah menghakimi sesat secara sepihak sebuah
aliran agama atau kepercayaan yang berkembang di tengah mereka.

Pernyataan dan himbauan Menag Lukman cukup beralasan. Sebab di antara 250 juta
penduduk Indonesia yang mayoritas Muslim ada begitu banyak keragaman dalam menyikapi
persoalan agama beserta segenap paham dan alirannya. Dan usaha lembaga tertentu,
sebesar apapun dan membawa nama apapun, untuk memonopoli tafsir dan pemahaman
terkait masalah ini ternyata bertentangan dengan hukum yang berlaku.

https://islamindonesia.id 479
Sebagai warganegara yang sudah selayaknya taat hukum dan undang-undang, ada baiknya
jika masyarakat mencermati lebih jauh apa yang termaktub dalam Undang-Undang terkait
persoalan kehidupan keberagamaan di Indonesia.

Selain Undang Undang No. 1/PNPS tahun 1965 yang selama ini cenderung menimbulkan
pro-kontra, ada lagi Undang-Undang yang mengatur tentang kewenangan Pemerintah Pusat
dan Pemerintahan Daerah, yang di dalamnya juga mengatur persoalan agama. Undang-
Undang itu adalah UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2014
TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH, yang dalam Pasal 5 ayat (1) menyatakan bahwa:
Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan sesuai dengan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Selanjutnya, dalam Pasal 9 ayat (2)
disebutkan bahwa: Urusan pemerintahan absolut adalah Urusan Pemerintahan yang
sepenuhnya menjadi kewenangan Pemerintah Pusat.

Lalu apakah yang dimaksud dengan “urusan pemerintahan absolut” dalam Undang-Undang
tersebut?

Jawabannya ada pada Pasal 10 ayat (1) yang dengan jelas merincinya, bahwa: Urusan
pemerintahan absolut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2) tersebut meliputi: a.
politik luar negeri; b. pertahanan; c. keamanan; d. yustisi; e. moneter dan fiskal nasional;
dan f. agama.

Maka jelaslah bahwa dalam hal ini, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 10 ayat (1),
bahwa urusan agama merupakan urusan pemerintahan yang sifatnya absolut dan menjadi
kewenangan penuh dari Pemerintahan Pusat untuk mengaturnya, sebagaimana halnya
urusan politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, juga moneter dan fiskal nasional.

Mungkin hal itulah yang dimaksud Menag bahwa hanya Presiden lah yang berhak
menyatakan aliran tertentu dari suatu agama atau kepercayaan itu sesat atau tidak sesat,
sebagaimana telah diatur dalam Undang-Undang.

Jika tidak, maka urusan agama—seperti halnya urusan pertahanan dan keamanan, juga
urusan absolut lain menyangkut kepentingan dan kemaslahatan orang banyak—
dikhawatirkan akan menimbulkan konflik yang berujung dengan disintegrasi, seandainya
semua orang atau banyak pihak merasa berwenang sama dengan kewenangan Kepala
Negara untuk mengaturnya. Apalagi bila pemberian kewenangan dimaksud tidak
berdasarkan pada Undang-Undang yang berlaku dan diakui keabsahannya oleh negara kita.

EH/IslamIndonesia
(Sumber: https://islamindonesia.id/berita/analisis-menag-hanya-presiden-yang-berwenang-
menyesatkan-aliran.htm)

https://islamindonesia.id 480
Friday, 08 April 2016

RENUNGAN JUM’AT–CINTA, TAUBAT DAN RIDHO

Seorang arif berkata,

Dulu aku menyangka bahwa seorang hamba yang lebih dulu mencintai Allah Swt
baru kemudian Allah mencintainya. Kemudian aku membaca firman Allah Swt,

‫بقوم يحبُّهم ويحبونَه‬


ٍ ُ‫فسوف يأتي هللا‬
َ

“Maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka
dan mereka pun mencintai-Nya,” (QS. Al-Maidah [5]: 54)

Sejak itu aku mengerti bahwa Allah-lah yang lebih dulu mencintai hamba-Nya.

https://islamindonesia.id 481
Dulu aku menyangka bahwa seorang hamba yang lebih dulu kembali (taubat)
kepada Allah Swt, baru kemudian Allah menerima taubatnya. Kemudian aku
membaca firman Allah Swt,

‫علَ ْي ِه ْم ِل َيتُوبُوا‬ َ َ ‫ث ُ َّم ت‬


َ ‫اب‬

“Kemudian Allah menerima taubat mereka agar mereka tetap dalam taubatnya.”
(QS. At-Tawbah [9]: 118)

Sejak itu aku mengerti bahwa Allah-lah yang lebih dulu menerima taubat hamba-
Nya.

Dulu aku menyangka bahwa seorang hamba yang lebih dulu ridho kepada Allah swt,
baru kemudian Allah meridhoinya. Kemudian aku membaca firman Allah swt,

ُ‫ع ْنه‬ ُ ‫َّللاُ َع ْن ُه ْم َو َر‬


َ ‫ضوا‬ َّ ‫ي‬َ ‫ض‬
ِ ‫َر‬

“Allah ridho terhadap mereka dan mereka pun ridho kepada-Nya.” (QS. Al-Bayyinah
[98]: 8)

Sejak itu aku mengerti bahwa Allah-lah yang lebih dulu meridhoi hamba-Nya.

Tom/ IslamIndonesia
(Sumber: https://islamindonesia.id/berita/renungan-jumat-cinta-taubat-dan-ridho.htm)

https://islamindonesia.id 482
Tuesday, 05 April 2016
SIAPA YANG KAU TELADANI WAHAI HABAIB?
oleh: Abdillah Toha

Beberapa waktu yang baru lalu ulama dan beberapa habaib ibukota berkumpul untuk
memberikan dukungan kepada anggota DPRD DKI Mohamad Sanusi untuk maju sebagai
calon Gubernur DKI. Dua minggu kemudian Sanusi tertangkap basah dan ditetapkan
sebagai tersangka korupsi oleh KPK.

Sekelompok orang yang melibatkan beberapa habib di jajaran pimpinan dan anggotanya
baru-baru ini mendatangi DPRD DKI agar menggelar sidang memecat Gubernur DKI dan
mengancam “akan rame-rame membakar” gedung Balai Kota bila DPRD tidak bersidang.
Ancaman begini bukan sekali dilontarkan oleh kelompok-kelompok seperti ini.

Di Jawa Timur ada juga habib, ketua sebuah yayasan, yang obsesinya setiap hari dari pagi
sampai malam memecah belah umat dengan menyerang penganut mazhab dan aliran
tertentu. Inilah orang yang mengimpor kekacauan di Timur Tengah ke negeri kita. Di media
sosial kita baca belum lama ini dia mengaku bahkan bangga menerima bantuan dana dari
Saudi Arabia, tempat asal mazhab Wahabi, guna mendukung kiprahnya.

Inilah contoh beberapa habib masa kini yang mendapat perhatian luas dari media massa.
Perilakunya sangat memprihatinkan serta menimbulkan kegelisahan dan merugikan nama
Islam sebagai agama yang dipeluk oleh mayoritas di sini.
Gelar habib ini belakangan banyak dilekatkan pada keturunan Imam Ahmad bin Isa
Almuhajir dari Hadaramaut yang mempunyai nasab langsung sampai kepada Fatimah
putri Rasulullah SAW dan ayahnya Muhammad SAW. Di Indonesia mereka dikenal sebagai
marga Alawiyun.

Sebelum ini, keluarga Alawiyun lebih sering disebut sebagai Sayid sedang gelar habib yang
berarti kekasih, dahulu hanya disandang dan diberikan oleh pengikutnya kepada orang-
orang yang dianggap sebagai panutan dan telah mencapai maqam keagamaan tertentu.
Entah bagaimana pada masa ini setiap anggota marga Alawi atau Ba-alawi menyandang
gelar habib dan dianggap sebagai orang yang ilmu agamanya tinggi.

Habaib (jamak habib) adalah manusia biasa. Ada yang baik dan ada yang buruk
perilakunya. Tetapi ketika gelar itu disandang kemana-mana, maka risiko terbesar adalah
generalisasi masyarakat awam atas tindak tanduk mereka yang menyimpang.

https://islamindonesia.id 483
Menyimpang? Ya, menyimpang, karena contoh kiprah habaib di atas jelas bukan teladan
yang baik. Habaib pendahulu telah banyak dikenal di negeri ini dengan pengaruh yang luas
berkat perilaku yang lembut, tulus dan ikhlas, serta dilandasi ilmu yang benar dan akhlak
yang mulia.

Pada akhir masa penjajahan Belanda dan awal kemerdekaan ada paling tidak 3 habib yang
dikenal di Jakarta, yakni Habib Ali bin Abdurrahman Alhabsyi Kwitang, Habib Ali bin Husin
Alatas Bungur, dan Habib Salim bin Jindan. Inilah orang-orang saleh yang hidupnya
didedikasikan sepenuhnya untuk dakwah tanpa pamrih dengan sukses luar biasa mencapai
puluhan ribu pengikut yang menjadi muridnya.

Menurut Muhammad Asad, penulis lebih dari 20 buku yang terbit di Timur Tengah dan yang
puluhan tahun mengenal Habib Ali Alhabsyi Kwitang, bahwa majelis taklim Habib Ali dapat
bertahan selama lebih dari satu abad karena inti ajaran Islam yang disuguhkannya
berlandaskan tauhid, kemurnian iman, solidaritas sosial, serta akhlakul karimah. Dia juga
menjelaskan bahwa ajaran dakwah Habib Ali berupa pelatihan kebersihan jiwa, tasauf
mu’tabarah dan dialog antara makhluk dengan al-Khalik serta antara sesama mahluk. Habib
Ali tidak pernah mengajarkan ideologi kebencian, berpolitik, iri, dengki, ghibah, fitnah dan
namimah. Sebaliknya, Habib Ali mengembangkan tradisi kakek-kakeknya dari keluarga
Ahlul Bait yang intinya menjunjung tinggi nilai kemanusiaan, menghormati hak-hak setiap
manusia tanpa membedakan manusia atas latarbelakang status sosial mereka.

Habib Ali bin Husin Alatas, seorang guru yang tawadhu’ dan sederhana, berhasil
menciptakan murid-murid yang menjadi ulama besar seperti KH Abdullah Sjafi’ie, pimpinan
majelis taklim Assyfi’iyah, KH Tohir Rohili, pimpinan majelis taklim Attahiriyah, KH Syafi’i
Hadzami, dan puluhan ulama lainnya. Bahkan, para muridnya itu kemudian menjadi guru
para mubaligh dan perguruan tinggi Islam. Dan masih banyak lagi habaib di kota-kota lain
yang namanya harum sampai sekarang berkat perilakunya yang sangat Islami.

Dari banyak habaib Hadramaut beberapa abad lalu, yang pengaruhnya sangat luas di
Nusantara ada paling sedikit dua nama. Habib Ali bin Muhammad Alhabsyi yang buku
mauludnya Simtuddrurar dibaca setiap malam jum’at di seantero Nusantara, dan Habib
Abdullah bin Alawi Alhaddad dengan wirid dan ratibnya yang terkenal luas disini. Habib
Abdullah Alhadad juga menulis puluhan buku yang bahkan sudah diterjemahkan ke dalam
bahas-bahasa Barat sebagai bahan memepelajari sisi spiritual Islam.

Inilah manusia-manusia pilihan yang tutur bicaranya lemah lembut, dakwahnya merangkul
semua pihak dan mengajak dengan penuh perdamaian. Bukan suara teriakan keras dan
parau yang mengancam “lawan” dalam rangka amar makruf nahi munkar. Bukan
gerombolan yang kerjanya menakut-nakuti lawan. Bukan provokator yang merangsang
emosi negatif pengikutnya.

https://islamindonesia.id 484
Habaib pendahulu tidak melibatkan diri dalam politik dan tidak mendatangi penguasa untuk
mencari restunya. Sebaliknya penguasalah yang mendatangi mereka untuk mendapatkan
bimbingan. Bila ada dari keluarga Alawiyun yang masuk ke ranah politik, maka mereka tidak
melakukannya dengan menyandang gelar habib atau menyeret nama agamanya ke dalam
lumpur politik.

Para habaib pendahulu mengutamakan kebersihan moral dan semua upaya mareka
dibimbing oleh tasauf Imam Besar al-Ghazali yang menjadi salah satu dasar dari tarekat
yang dikenal sebagi Tariqah Alawiyah.
Apalagi yang dipakai sebagai dasar tuntunan habaib pendahulu kita kalau bukan Rasul
SAW yang diutus oleh Allah semata-mata untuk menyempurnakan akhlak. Inilah Nabi
terakhir yang dengan akhlaknya berhasil membuat Islam berkembang menjadi agama
dengan satu setengah milyar pemeluk saat ini. Inilah utusan Allah yang tutur bicaranya
lembut dan mengatakan bahwa esensi dari agama Islam adalah akhlak. Akhlak Walisongo
dan dai pendahulu lainnya pulalah yang berhasil mengislamkan Nusantara tanpa kekerasan.
(Baca juga: Berbagai Makna Tasawuf menurut Ulama dan Sufi)

Lalu dari mana sebagian habib di zaman modern saat ini menyandarkan perilakunya? Siapa
yang ditiru dan dijadikan contoh teladan dalam kiprahnya? Sadarkah mereka tanggung
jawab besar yang dipikulnya dengan menyandang gelar habib? Akan dibawa kemana umat
ini bila di satu sisi ulama dan habaib menjual diri kepada kekuasaan dan di sisi lain
melampiaskan nafsu amarahnya sebagai bagian yang mereka klaim jihad dan melawan
munkar?

Alhamdulillah kita harus bersyukur masih lebih banyak habib yang baik dan mengikuti cara-
cara yang diamanahkan oleh para pendahulu. Namun demikian, suara orang-orang baik ini
tenggelam di bawah teriakan dan vokalnya suara-suara keras dan militan yang lebih banyak
mendapat perhatian media. Orang-orang baik ini dimana-mana cenderung untuk diam dan
tidak berhasrat untuk membuat gaduh. Anggap saja tulisan pendek ini sebagai mewakili
suara mereka yang diam. Semoga Allah memberikan hidayahnya kepada kita semua.

AA/Islam Indonesia
(Sumber: https://islamindonesia.id/kolom/opini-siapa-yang-kau-teladani-wahai-habaib.htm)

https://islamindonesia.id 485
Tuesday, 05 April 2016

CINTA ADALAH PANTULAN DIRI SENDIRI

Kecintaan dan kebencian adalah pantulan diri kita. Kalau orang mencintai selebritis,
maka jiwanya suka dengan ketenaran meski dia membantah secara lisan. Kalau ada
orang yang begitu mengagumi musisi, maka niscaya hatinya penuh dengan melodi.
Orang yang mencintai pelukis juga tentu suka dengan gambar, lukisan dan
keindahan-keindahan yang terpancar darinya. Orang yang terpesona tentang sosok
yang kaya pasti juga di dalam hatinya membuncah angan-angan tentang harta yang
berlimpah.

Demikian pula orang yang mencintai Al-Qur’an dengan sempurna, lahir dan
batinnya, suara dan maknanya, maka jiwanya otomatis terpenuhi dengan keindahan
dan keluasan yang terkandung di dalamnya. Sebaliknya, orang yang membenci
zikir tentu karena jiwanya penuh kelalaian dan kegelisahan. Dan akhirnya, jika hati
kita dipenuhi dengan kecintaan kepada seseorang, maka nilai kita sebanding
dengan orang itu.

Inilah yang secara umum disebut dengan daya pikat. Dan secara teori, daya ini
bekerja dari dua arah. Tidaklah mungkin daya ini dapat berfungsi searah,
sedemikian sehingga jika salah satunya menolak, maka yang lain pun akan
menjauh. Sebaliknya, jika keduanya saling menarik dan memikat, maka di situlah
cinta bersemi.

https://islamindonesia.id 486
Dalam kaitan ini, Rasulullah bersabda:
“‫”انت مع من احببت يوم القيامة‬
Artinya, di hari Kiamat, yakni hari ketika semua tabir fisik dan rahasia di balik
kejadian diungkapkan, kita akan bersama dengan orang yang kita cintai. Mengapa?
Karena orang yang kita cintai adalah cermin diri kita sendiri. Baginda Nabi juga
pernah bersabda:
‫من جالس جانس‬
“Teman duduk kita adalah sejenis kita.” Maksudnya, teman-teman di sekeliling kita
adalah pantulan dari hakikat kita sendiri.

Beliau juga bersabda:

‫المؤمن مرأة المؤمن‬


“Seorang mukmin adalah cermin dari mukmin lainnya.” Alhadis. Artinya dia melihat
keadaan dirinya dari keadaan sesama Mukmin; bersedih karena kesedihannya dan
bergembira karena kegembiraannya.
Sayidina Ali bin Abi Thalib berkata:
‫من كان ه ّمه في بطنه كان قيمته ما خرج منه‬
“Siapa yang pikirannya tertuju pada perutnya, maka nilainya sama dengan apa yang
keluar darinya.” Ucapan ini secara tegas melukiskan hubungan timbal-balik antara
yang kita pikirkan dan kita cintai dengan hakikat diri kita. Dalam perkataan lain,
Sayidina Ali bin Abi Thalib a.s. menyatakan:
ّ
‫ان الطيور على اشباهها تقع‬
“Burung hanya berkawan dengan sejenisnya.”

Prinsip atraksi (daya pikat atau daya tarik) antar benda-benda yang serupa telah
terbukti secara ilmiah dan filosofis. Atraksi antar dua benda berfungsi untuk
memperkukuh masing-masing menuju titik yang sama. Dalam semua bidang

https://islamindonesia.id 487
kehidupan, kita telah menemukan gejala-gejala yang selaras dengan prinsip atraksi
ini.

Karenanya, manakala Allah menyuruh kita untuk mencintai dan


mengikuti Rasulullah(QS. 3: 31), maka patutlah kita menyadari bahwa semua itu
karena Allah ingin menyempurnakan manusia. Dengan cara itu, Allah
mengharapkan agar hati kita terpaut dan terhiasi dengan cahaya kesucian, bukan
dengan hal-hal duniawi yang serbasemu.
Kecintaan kita kepada Baginda Nabi yang merupakan pelita yang terang dan
menerangi (sirâjan munîran, QS. 33: 46) serta utusan yang bertugas untuk
menyucikan umat manusia (QS. 2: 151) berfungsi untuk membuka hati kita terhadap
segenap kesempurnaan dan cahaya kesucian yang beliau bawakan.

Dengan mencintai sesuatu atau seseorang berarti kita telah menghadirkan dan
menghidupkan objek cinta itu dalam jiwa dan perilaku kita. Allah berfirman,
“Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah teladan yang baik bagi kalian, (yakni)
bagi orang yang mengharapkan Allah dan hari akhir dan banyak menyebut Allah.”
(QS. 33: 21)
Kesempurnaan Rasulullah merupakan rahmat bagi alam semesta (QS 21: 107),
terutama manusia, agar setiap hati manusia terpatri dan tersangkut ke puncak-
puncak kesempurnaan yang tinggi.

AJ/Islam Indonesia
(Sumber: https://islamindonesia.id/tasawwuf/opini-cinta-adalah-pantulan-diri-sendiri.htm)

https://islamindonesia.id 488
Thursday, 31 March 2016

SEPUTAR HADIS 73 GOLONGAN DALAM ISLAM (2)

Pada kajian hadis 73 golongan sebelumnya telah disebutkan bahwa


perpecahan umat Islam sebagaimana termaktub dalam hadis 1 sudah
bertentangan dengan ayat-ayat Al-Qur’an. Apalagi tambahan kalimat
‘semuanya masuk neraka kecuali satu golongan’ sebagaimana termaktub
dalam hadis 2, 3, dan 4.
Selain bertentangan dengan ayat-ayat al-Quran, tambahan kalimat ‘semua
masuk neraka kecuali satu’ juga bertentangan dengan hadis shahih riwayat
Imam Bukhari sebagai berikut:

Dari Abu Hurairah r.a, bahwa Rasulullah saw bersabda, “Setiap umatku akan masuk
ke dalam surga, kecuali bagi yang menolak (masuk surga).” Sahabat bertanya,
“Wahai Rasulullah, siapakah yang menolak (masuk surga)?” Rasulullah saw
menjawab, “Siapa saja yang menaatiku akan masuk surga; dan siapa saja yang
tidak menaatiku, berarti dia menolak (masuk surga).”

Selain itu, sejarawan Muslim abad 4 hijrah, Syekh Muhammad bin Ahmad al-Maqdisi
(336 H/947 M – 380 H/990 M) di dalam kitabnya, Ahsan al-Taqâsîm fî Ma’rifah al-
Aqâlîm, mengungkapkan bahwa di masanya ada riwayat lain yang berbunyi,

https://islamindonesia.id 489
“Umatku akan terbagi menjadi tujuh puluh tiga golongan; tujuh puluh dua di dalam
surga dan satu di dalam neraka.” Menurut al-Maqdisi, riwayat tersebut lebih sahih
dari segi sanad ketimbang riwayat ‘tujuh puluh dua masuk neraka dan hanya satu
masuk surga’ yang sayangnya lebih terkenal.
Senada dengan itu, Syekh Muhammad Abduh (w. 1905) – penulis tafsir al-
Manar juga mendukung pernyataan al-Maqdisi seraya berkata, “Di antara yang
membahagiakan saya adalah hadis lain yang berbunyi ‘bahwa yang celaka adalah
yang satu.’”

Sekarang marilah kita perhatikan kritik para ulama yang menyoal adanya kalimat
tambahan ‘semuanya masuk neraka kecuali satu golongan’.

Kritik Ulama atas Kalimat Tambahan


Imam Ibnu Hazm al-Andalusi (w. 456 H), penulis buku kajian agama-agama dan
aliran-alirannya berjudul al-Fashl fi al-Milal wa al-Ahwa’ wa al-Nihal, menolak
kesahihan hadis 73 golongan dalam Islam. Ibnu Hazm berdalil bahwa hadis tersebut
tidaklah sahih dari sisi sanad dan hadisnya termasuk ke dalam hadis ahad. Ulama
kelahiran 384 H ini juga mempersoalkan orang-orang yang menggunakan
hadis ahad itu sebagai dalil.

Lebih lanjut, Imam Ibnu Hazm menyitir bahwa salah satu implikasi dari hadis
perpecahan umat menjadi 73 golongan itu adalah tiap golongan akan mengkafirkan
yang lain. Padahal, Rasulullah saw sudah mewanti-wanti umatnya untuk tidak saling
mengkafirkan. Rasulullah saw bersabda, ‘Siapa yang memanggil saudaranya ‘hai
kafir’, maka salah satu dari keduanya adalah kafir.’

Imam Muhammad bin Ibrahim al-Wazir al-Hasani (w. 840 H) dalam bukunya, al-
‘Awâshim wa al-Qawâshim, menganggap kalimat ‘semuanya di dalam neraka’
adalah penambahan yang merusak dan tidak benar. Bahkan dianggap sebagai
bagian dari plot orang-orang ateis.
Imam as-Syaukani (w. 1250 H), penulis kitab tafsir Fath al-Qadîr, juga senada dalam
penolakannya terhadap hadis yang mengandung kalimat tambahan ‘semuanya di
dalam neraka, kecuali satu.’ Menurutnya, kalimat tambahan tersebut tidaklah sahih,
bukan marfu’ dan bukan pula mauquf. Dengan demikian Imam as-Syaukani
menegaskan bahwa hadis tersebut dha’if (lemah) secara sanad.
Syekh Yusuf al-Qardhawi adalah di antara ulama kontemporer yang menolak hadis
73 golongan dalam Islam. Berikut ini kami kutipkan beberapa argumen ulama
kelahiran Mesir ini:

https://islamindonesia.id 490
? Hadis 73 golongan dalam Islam tidak diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim.
Seandainya mereka tidak mengkategorikan hadis ini sebagai hadis palsu, maka
setidaknya hadis tersebut tidak memenuhi standar periwayatan hadis Bukhari dan
Muslim.

? Sesungguhnya sebagian riwayat hadis tidak menyebutkan ‘semua golongan


masuk neraka, kecuali satu’. Sebagian riwayat tersebut hanyalah menyebutkan
perpecahan umat dan jumlah golongannya saja. Sebagian riwayat tersebut adalah
berasal dari Abu Hurairah yang diriwayatkan oleh Abu Dawud, Turmudzi, Ibnu
Majah, Ibnu Hibban, dan al-Hakim.

? Redaksi hadis 73 golongan dalam Islam memiliki masalah. Ketika Allah swt
menjadikan umat Islam sebagai umat wasatha,saksi bagi manusia dan umat terbaik,
hadis ini justru memperburuk citra Islam. Dari segi jumlah golongan, menurut hadis
ini, umat Islam lebih banyak terpecah golongannya dari umat Yahudi dan Nasrani.
? Sekalipun al-Turmudzi menyebut hadis tersebut sebagai ‘Hasan Shahih’ dan
dishahihkan oleh Ibnu Hibban dan al-Hakim, namun sumber hadis tersebut hanya
dari jalur Muhammad bin ‘Amr bin ‘Alqamah bin Waqqash al-Laytsi. Bagi yang
membaca biografinya di dalam Tahdzîb Al-Tahdzîb akan mengetahui bahwa perawi
ini adalah seorang teolog sebelum menjadi penghafal hadis. Sesungguhnya tidak
seorang pun menganggapnya tsiqah. Oleh karena itu, al-Hafidz (al-‘Asqalani) tidak
lebih dari menyatakan bahwa Muhammad bin ‘Amr adalah seorang yang jujur
namun banyak salah. Kejujuran dalam posisi ini tidak cukup tanpa diiringi sifat kuat
hafalan (dhabith). Maka bagaimana halnya dengan seorang yang banyak salah.

Pembahasan Sanad Hadis


Hadis 1
Sebagaimana telah dijanjikan sebelumnya, maka pembahasan kali ini kita juga akan
menyinggung sosok Muhammad bin ‘Amr bin ‘Alqamah. Berikut ini adalah yang
disampaikan oleh Imam Ibnu Hajar al-‘Asqalani dalam bukunya, Tahdzîb al-
Tahdzîb tentang Muhammad bin ‘Amr bin ‘Alqamah:

? Ali bin al-Madini mengutip Yahya bin Sa’id tentang Muhammad bin ‘Amr, “Dia
bukanlah seorang yang Anda inginkan.”

? Ishaq bin Hakim mengutip Yahya al-Qatthan, “Muhammad bin ‘Amr adalah
seorang yang baik, namun dia bukanlah seorang yang hafal di bidang hadis.”

https://islamindonesia.id 491
? Ibnu Khaitsamah berkata, “Ibnu Ma’in ditanya perihal Muhammad bin ‘Amr. Dia
berkata, ‘Orang-orang selalu berhati-hati dengan hadis darinya.’ Lalu ditanya
kembali, ‘Apa penyebabnya?’ Ibnu Ma’in menjawab, ‘Dia meriwayatkan hadis
sesekali dari Abu Salamah sesuatu yang berasal dari pendapatnya, kemudian dia
meriwayatkan hadis di waktu yang lain dari Abu Salamah dari Abu Hurairah.”

? Al-Jurjani berkata, “Dia bukanlah seorang yang kuat dalam bidang hadis. Hadisnya
berasal dari keinginannya.”

? Abu Hatim berkata, “Hadisnya baik, hadisnya dicatat dan dia seorang yang tua.”

? Al-Nasa’i berkata, “Dia tidak masalah.” Lain waktu al-Nasa’i menyatakan, “Tsiqah.”

? Ibnu Hibban berkata, “Suka melakukan kesalahan.”

? Ibnu Sa’ad berkata, “Banyak hadisnya yang dianggap lemah.”

Dari uraian di atas dapat disimpulkan beberapa hal terkait sosok Muhammad bin
‘Amr bin ‘Alqamah. Pertama, Muhammad bin ‘Amr bukanlah penghafal di bidang
hadis. Kedua, Muhammad bin ‘Amr suka menyandarkan pendapatnya sendiri atas
Abu Salamah dan Abu Hurairah. Ketiga, dia seorang yang suka melakukan
kesalahan dalam meriwayatkan hadis, sehingga hadis-hadisnya dianggap lemah.
Catatan 1: Imam al-Nasa’i menganggapnya tidak masalah dan lain waktu dia
menganggapnya tsiqah, namun mengapa Imam al-Nasa’i sendiri tidak meriwayatkan
hadis 73 golongan dalam Islam seperti tiga ulama hadis lainnya belum terjawab.
Barangkali al-Nasa’i beranggapan matan hadis itu yang bermasalah, dan bukan
sanadnya.

Catatan 2: Jika Abu Hatim menyebutkan bahwa Muhammad bin ‘Amr mencatat
hadisnya, mengapa ‘hadis 73 golongan dalam Islam’ yang berasal darinya dan
diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud, Imam Ibnu Majah dan Imam Turmudzi memiliki
perbedaan redaksi? Terlebih lagi, dalam kaitan dengan tambahan kalimat
‘semuanya masuk neraka kecuali satu’ hampir semua ahli hadis sepakat tambahan
tersebut merusak dan tidak sahih.

Tom/Islam Indonesia
(Sumber: https://islamindonesia.id/kolom/kajian-seputar-hadis-73-golongan-dalam-islam-2.htm)

https://islamindonesia.id 492
Wednesday, 30 March 2016
BERBAGAI MAKNA TASAWUF MENURUT
KALANGAN SUFI DAN ULAMA
Oleh Haidar Bagir

Ada begitu banyak defenisi tasawuf yang bisa digali dari karya para sufi dan ulama
di dunia Islam. Di antaranya pandangan Abul Hasan Syadzili yang medefinisikan
tasawuf sebagai praktik dan latihan diri melalui cinta dan penghambaan yang
mendalam untuk mengembalikan diri ke jalan Tuhan. Adapun menurut Syekh Akbar
Ibn Arabi, tasawuf berarti berakhlak dengan akhlak Allah (at-takhalluq bi akhlaqil-
laah).

Akhlak yang dimaksud ialah menanamkan sifat Allah yang intinya adalah rahmat
atau kasih-sayang. Definisi lain menyebutkan tasawuf sebagai hidup yang
mendekatkan (taqarrub) kepada Tuhan (Sang Inti) kehidupan agar tak relevan lagi
kesenjangan antara “aspirasi”-ku dan “realitas”-ku.

Dalam bahasa yang sederhana lagi, Muhammad bin Ali Kattany mengatakan bahwa
tasawuf adalah akhlak yang baik. Maka, bagi Kattany, siapa yang melebihimu dalam
akhlak yang baik, berarti dia melebihimu dalam tasawuf. Sedemikian mendasarnya
akhlak dalam tasawuf sehingga orang yang terus-menerus berupaya memelihara

https://islamindonesia.id 493
ketulusan kepada Allah dan berakhlak baik kepada makhluk, menurut Al-Suyuthi,
adalah sufi.

Sufi merupakan terminologi yang umumnya dilekatkan pada orang yang


mengamalkan ajaran tasawuf. Secara khusus, terminologi ‘sufi’ juga memiliki
beragam defenisi. Imam Nawawi misalnya mendefinisikan mereka sebagai
pemelihara kehadiran Allah di dalam hati, taat pada sunnah Nabi, menghindari
ketergantungan pada orang dan mensyukuri karunia-Nya meskipun sedikit. Ahmad
an-Nury menambahkan, tanda bahwa orang itu termasuk sufi ialah dia rela ketika
tidak punya dan peduli pada orang lain ketika punya.

Dengan indah Junayd al-Baghdadi memberi analogi bahwa para sufi itu seperti bumi
yang rela diinjak-injak oleh orang saleh maupun pendosa. Mereka, lanjut Junayd,
seperti mendung yang memayungi segalanya dan seperti hujan yang mengairi
semuanya. Di sisi lain, Abu Nashr Sarraj pernah bertanya pada Ali Al Hushry,
“Siapakah sufi itu?” Al Hushry menjawab, “Dia yang tak dibawa bumi dan tak
dinaungi langit.” Maksudnya bahwa sufi ialah mereka yang mengalami fana.

Sebagaimana defenisi Imam Nawawi, tasawuf tidak terlepas dari ketaatan pada
syariat (fikih). Sedemikian sehingga orang yang sebatas memiliki ilmu yang luas
belum cukup dikatakan sufi. Ilmu bagi Ibn Ajiba, adalah awal perjalanan tasawuf,
tengahnya amal dan ujungnya karunia Ilahi yang berupa penyingkapan hakikat.
Begitu pentingnya syariat ini, meskipun ada orang yang mampu melakukan sesuatu
yang tidak bisa dilakukan manusia pada umumnya tidak meniscayakan dia adalah
sufi.

Dalam hal ini, Bayazid Busthami mengingatkan: “Jangan terkelabui oleh pelaku
mukjizat yang mampu terbang di udara. Tapi nilailah berdasar ketaatannya pada
syariat.”

Tidak jarang ada orang yang mengkalaim dirinya sufi namun menafikan salat, puasa
dan syariat lainnya. Merekalah yang oleh Malik bin Anas disebut sebagai zindik.
Siapa bertasawuf tanpa berfikih, kata Imam Malik, zindiklah dia. Sebaliknya, lanjut
ulama kelahiran Madinah ini, siapa yang berfikih tanpa bertasawuf, maka fasiklah
dia. Zindik di sini berarti menyeleweng dan fasiq berarti merusak.

Dalam berbagai literatur tasawuf, syariat (fikih) menempati posisi yang penting
dalam perjalanan sufi mencapai hakikat. Al Hallaj mengatakan, “Batin Al-Haqq
punya zhahir, yakni syariat. Siapa yang mencari hakikat lewat syariat, akan
tersingkap baginya batin syariat, yakni ma‘rifat.”

https://islamindonesia.id 494
Selain Imam Malik, Imam Syafi’i juga mengingatkan bahwa tasawuf dan syariat
haruslah sejalan. Ulama kelahiran Gaza, Pelestina, ini mengatakan, “Jadilah pelaku
fikih dan pejalan sufi. Jangan hanya jadi salah satunya demi Allah, inilah nasehatku.”

Jika dianologikan secara sederhana, syariat (fikih) adalah jalan raya,


sedangkan thariqah (tasawuf) adalah jalan kecil. Untuk menuju Allah, kita harus
melalui jalan raya, lalu masuk ke jalan yang lebih kecil. Atau, seperti pada roda yang
berangkat dari lingkaran (syariah), menempuh jari-jari (thariqah) untuk menuju pusat
lingkaran (haqiqah).

Dari uraian di atas bisa dikatakan bahwa syariat (fikih) adalah ajaran lahir yang
memiliki makna batin, sedangkan tasawuf adalah pengalaman batin yang terwujud
dalam laku lahir. Dengan syariat, para sufi terus bergerak mendekati titik
keseimbangan sehingga meraih ketenteraman hidup (surga), bahkan sejak masih di
dunia.

“Hai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi
diridhai; lalu masuklah ke dalam jemaah hamba-hamba-Ku, dan masuklah ke dalam
surga-Ku” (QS. al-Fajr [89]: 27-30)

“Siapa yang menyerahkan diri kepada Allah, sedang dia berbuat ihsan (menghamba
kepada Allah sesempurna mungkin dalam keadaan memiliki hubungan intim penuh
cinta dengan-Nya), maka baginya pahala pada sisi Tuhannya dan tidak ada
kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” (QS. Al
Baqarah [2]: 112)

Jiwa atau hati yang tenang dapat diraih oleh orang-orang yang mendekati pusat
roda hakikat. Mereka tak lagi diterpa goncangan-goncangan pasang-surut roda
kehidupan sebagaimana orang yang terus tinggal di pinggirannya. []

Edy/Islam Indonesia
(Sumber: https://islamindonesia.id/tasawwuf/kolom-berbagai-makna-tasawuf-menurut-
kalangan-sufi-dan-ulama.htm)

https://islamindonesia.id 495
Saturday, 26 March 2016
MASELA, OH MASELA: LOGIKA TERBALIK
KEBIJAKAN PUBLIK
Oleh: Abdillah Toha

Judul tulisan ini sebenarnya lebih pas untuk judul sebuah lagu yang romantis. Tapi ia
sesungguhnya adalah cerita sendu sebuah blok di laut Arafura, Maluku Tenggara
yang menyimpan deposit gas terbesar di dunia dan sudah dibincangkan selama
bertahun-tahun. Belakangan cerita ini memuncak, mencapai klimaks dan anti
klimaks, dengan segala perseteruan dan kegaduhan yang tidak jarang emosional
pula. Tahap awal dari cerita ini usai beberapa hari lalu ketika Presiden Jokowi
akhirnya mengambil keputusan.

Tarik menarik antara dua pihak dalam proyek raksasa yang akan menelan investasi
multi year sampai diatas US$ 15 miliar ini menyangkut perbedaan pendapat tentang
lokasi yang dianggap lebih layak, dilaksanakan di darat (onshore/OLNG) atau
terapung di laut (floating/FLNG). Presiden akhirnya menghentikan polemik
berkepanjangan ini dengan memutuskan memilih daratan sebagai lokasi proyek.

https://islamindonesia.id 496
Tentu saja orang akan bertanya apa dasar keputusan Presiden, karena keputusan
itu bertentangan dengan rekomendasi sebuah lembaga konsultan profesional yang
sudah diakui reputasinya di dunia. Menurut rekomendasi konsultan itu, FLNG di laut
akan lebih rendah biaya investasinya sebesar US$ 5 miliar dibanding OLNG yang di
darat. FLNG akan mendatangkan laba yang lebih besar kepada pemerintah
dibanding OLNG. FLNG dikatakan juga akan membawa efek ganda (multiplier
effect) ekonomi lebih besar untuk Maluku dan kawasan sekitarnya.
FLNG memerlukan pengadaan tanah jauh lebih sedikit (40 ha) bagi keperluan
logistik dibanding ONLG yang menuntut adanya lahan seluas 680 ha. Belum lagi
kenyataan mahalnya konsep OLNG adalah karena dibutuhkan komponen dan
infrastruktur tambahan untuk mengolah dan menyalurkan gas dengan menggunakan
pipa, mengingat jenis gas (lean, waxy, berkondensat) dan lokasi gas yang remote
(very deep water).

Jika dalam FLNG hanya dibutuhkan infrastruktur bawah laut dan fasilitas
pemerosesan terapung serta terminal logistik pasokan, untuk tipe OLNG akan
dibutuhkan tambahan FPSO (fasilitas pemerosesan di laut) plus 180 km jaringan
pipa dan fasilitas processing di darat. Karena semua itu, diperkirakan OLNG akan
memerlukan investasi lebih besar yang berarti recovery cost lebih lama dan
menurunkan laba proyek setiap tahun dalam jumlah yang cukup signifikan.

Tapi baiklah kita tidak perlu terlalu dalam masuk ke hal-hal yang bersifat tehnis
karena pihak yang mendukung proyek di darat konon punya argumen yang
bertentangan dengan kesimpulan konsultan di atas. Ketika memilih daratan sebagai
lokasi, Presiden antara lain mengatakan bahwa pertimbangan utamanya bukan
semata-mata laba proyek tapi efek ganda proyek yang diperkirakan akan menelan
ratusan triliun rupiah ini terhadap pengembangan wilayah. Presiden juga
mengatakan keputusannya berdasar berbagai masukan dan pertimbangan.

Yang belum jelas adalah masukan dan pertimbangan apa, dari mana, dan dari
siapa. Apakah mereka yang memberi masukan itu sudah melaksanakan studi
secara profesional dan bertanggung jawab? Ataukah para pembisik itu punya
kepentingan lain yang terselubung? Kekhawatiran demikian tidak bisa sepenuhnya
disalahkan karena proyek gas terapung (FLNG) sudah melakukan penelitian dan
studi mendalam dengan biaya besar.

Proses persiapan konsep melibatkan ratusan ribu manhour (jam kerja) dan sudah
dikonfirmasi oleh konsultan independen internasional yang disewa sendiri oleh
Pemerintah Indonesia (Poten & Partners). Sedang untuk ONLG belum pernah
dilakukan studi kelayakan (atau POD/Plan Of Development). Bila sekarang baru
akan dimulai studi baru untuk OLNG berarti jadwal proyek akan mundur paling

https://islamindonesia.id 497
sedikit empat tahun menunggu selesainya hasil studi dan persiapan pembangunan,
pencarian lahan, perizinan dan lainnya. Berarti pula kenikmatan ekonomi sebagai
efek proyek itu di daerah juga akan sangat tertunda.

Tapi yang lebih mengganggu adalah logika yang terbalik dari proses pengambilan
keputusan presiden itu, yakni keputusan diambil dulu baru studi akan dilaksanakan
kemudian.

Logika yang demikian bak seorang ayah yang menyetujui putrinya dilamar
seseorang, baru kemudian menyelidiki karakter menantunya setelah pernikahan
dilaksanakan.

Benarkah efek ganda di darat lebih besar daripada di laut? Tidak semua pihak
sepakat. Banyak pakar berpendapat bahwa pemerintah seharusnya konsisten
dengan pembangunan sektor maritim. Skema FLNG adalah momen untuk
pengembangan sektor maritim. Pengembangan Blok Masela dengan skema offshore
menjadikan Indonesia sebagai center of excellence di sektor kemaritiman sesuai
semangat Nawacita.

Skema offshore Blok Masela dapat menjadi katalisator pengembangan kapasitas


dan kapabilitas maritim serta membangun Kepulauan Maluku sebagai daerah
perbatasan yang strategis berbasis maritim. Di tingkat nasional, skema kilang apung
memberikan kontribusi bagi sektor maritim dari sisi peningkatan galangan fabrikasi
dan galangan kapal Indonesia.

Potensi daya angkut bisa naik menjadi 8.000 ton dari kapasitas saat ini sebesar
1.100 ton. Potensi panjang pelabuhan menjadi 500 meter dengan 17 meter draft,
potensi kapasitas fabrikasi sebesar 86 kT dari saat ini 50 kT, serta peningkatan
kapabilitas sumber daya galangan, penguatan dermaga, dan multiplier effect dari
kegiatan supply chain lainnya. Belum lagi kita bahas manfaat sampingan berupa
wisata bahari yang dapat dikembangkan di sekitar kawasan.

Membangun di darat tidak menjamin rakyat Maluku akan menikmati manfaat besar.
Bisa jadi manfaatnya hanya akan dinikmati oleh pemasok pipa, kontraktor, dan
spekulan tanah. Belum lagi potensi konflik yang bisa timbul di daerah yang
disebabkan oleh masalah lahan dan sejenisnya. Sebaliknya, FLNG akan
mendatangkan laba jauh lebih besar bagi pemerintah yang dapat ditanamkan
umpamanya untuk mengembangkan pusat pemerosesan produk laut yang akan
sangat membantu nelayan dan pengusaha lokal.

https://islamindonesia.id 498
Lalu buat apa semua ini kita utarakan padahal Presiden telah memberi kata akhir
bagi pembangunan proyek gas Masela di darat? Bagi orang beriman, manusia boleh
mengambil keputusan tetapi keputusan akhir selalu berada ditangan Yang Maha
Kuasa. Siapa tahu dalam perjalanannya yang masih panjang, tangan Tuhan akan
membimbing pimpinan nasional kita ke arah yang terbaik bagi bangsa ini.

Masela… oh Masela

Riwayatmu ini

Sedari dulu jadi…

Perhatian insani (dinyanyikan dengan nada Bengawan Solo).[]

AA/Islam Indonesia/Sumber: Kompasiana


(Sumber: https://islamindonesia.id/berita/opini-masela-oh-masela-logika-terbalik-kebijakan-
publik.htm)

https://islamindonesia.id 499
Friday, 25 March 2016
“THE STUDY QURAN”
Oleh: Abdillah Toha

Buku “The Study Qur’an”, yang disusun oleh Seyyed Hosein Nasr dkk setebal 2000
halaman menjadi lebih menarik karena berisi 400 halaman lebih berbagai esai
tentang Al Qur’an yang ditulis oleh para ahli di bidangnya. Seyyed Hosein Nasr
adalah seorang filosof dan profesor studi Islam di George Washington university.
Dibawah ini disampaikan cuplikan dari beberapa esai dalam buku itu yang menarik.

Dalam esai tentang “How to Read Quran” ( Bagaimana Membaca Quran Dengan
Benar), dikatakan adanya kesamaan antara kelompok literalis/fundamentalis dengan
orang-orang yang anti dan membenci Islam. Kedua keompok manusia itu sama-
sama membaca Al Qur’an secara tekstual sehingga seringkali terjerumus kedalam
kesimpulan-kesimpulan yang menyimpang tentang wahyu Allah.

Al Qur’an diturunkan 1.400 tahun yang lalu kepada sebuah bangsa dengan budaya,
adat, dan gaya bahasa tertentu. Karenanya, untuk benar-benar memahami Al
Qur’an seseorang harus mempelajari agar mengenal dengan baik situasi dan kondisi
saat itu. Contohnya seperti diskursus tentang ayat-ayat yang berkaitan dengan
gender yang sering disalah mengerti dengan akibat menganggap bahwa Islam

https://islamindonesia.id 500
merendahkan martabat wanita. Padahal perubahan yang terjadi atas perintah Quran
adalah sebuah revolusi bagi perbaikan nasib dan marwah wanita pada zaman itu.

Al Qur’an harus dibaca sebagai sumber hukum dan bukan buku hukum atau kitab
undang-undang yang pada umumnya berisi peraturan yang terinci dan spesifik.
Penjabarannya sebagai fiqh kemudian dikembangkan oleh para fuqaha yang
berkompeten.

Sejak semula sampai saat ini mungkin telah ada puluhan ribuan mufassir (penafsir)
alQuran. Semua penafsir itu mau tidak mau merujuk kepada mufassir AlQuran
pertama yang tidak lain adalah Nabi dan Rasul kita Muhammad SAW.

Untuk memahami Al Qur’an perlu penguasaan bahasa Arab yang mendalam. Tidak
harus orang Arab karena orang non-Arab yang menguasai bahasa Arab tidak sedikit
yang unggul dibanding orang Arab. Buku-buku klasik tata bahasa Arab banyak yang
justru ditulis oleh orang Persia.

Di sisi lain, sebagian kegagalan memahami Al Qur’an disebabkan oleh gagalnya


menghubungkan aturan Al Qur’an dengan sisi spiritual (kehidupan)
manusia. Akibatnya, mereka gagal memahami petunjuk atau aturan Al Qur’an yang
menyangkut kehidupan di dunia. Sedemikian sehingga sebagian dari mereka
menafsirkan aturan Al Qur’an sebagai pembatasan ruang gerak manusia di dunia.

Esai tentang terjemahan Al Qur’an (Essay kedua: Quran in Translation) juga menarik
untuk diperhatikan. Mayoritas ulama sepakat, bahwa hampir tidak mungkin
menerjemahkan Al Qur’an dari bahasa aslinya ke bahasa lain karena kata-kata
Tuhan yang abadi itu tidak mungkin diubah ke dalam bahasa manusia yang fana.
Apa lagi (bahasa) Al Qur’an itu disebut oleh Allah begitu berat, sehingga bila
diturunkan ke gunung akan melumpuhkannya karena ketakutan.

“Kalau sekiranya Kami menurunkan Al Qur’an ini kepada sebuah gunung, pasti
kamu akan melihatnya tunduk terpecah belah disebabkan takut kepada Allah. Dan
perumpamaan-perumpamaan itu Kami buat untuk manusia supaya mereka berfikir.”
(QS. Al Hasyr, 59: 21)

Bahasa Al Qur’an juga sulit diterjemahkan dengan sempurna kedalam bahasa lain
karena bahasa AlQuran mengombinasikan antara bahasa ucapan dan bahasa
tulisan. Ayat-ayat Al Qur’an juga banyak berisi iltifat (berpindah dari kalimat orang
kedua ke orang ketiga dan sebaliknya) yang merupakan bagian dari sastra tinggi
Arab (balaghah) dan tidak ada padanannya dalam bahasa lain.

https://islamindonesia.id 501
Di samping itu, tata bahasa Arab juga mempersulit terjemahan kedalam bahasa lain
karena satu kalimat bisa mempunyai lebih dari satu maksud. Contohnya, ‘wa ma
arsalnaka illa rahmatan lil a’lamin’. Kata ‘rahmah’ bisa menunjuk ke ‘engkau hai
Muhammad’ tapi bisa juga ke ‘al-risalah’ itu sendiri yang membawa ‘rahmah,’ atau
bisa kedua-duanya.

Satu kata dalam bahasa Arab bisa mempunyai lebih dari satu arti sehingga
penerjemah terpaksa harus memilih salah satu makna yang terkandung.

Bahkan, ada kata dalam bahasa Al Qur’an yang tidak bisa tepat diterjemahkan ke
dalam bahasa lain. Contohnya kata ‘taubah’ (taba-yatubu). Dalam Al Qur’an, kata ini
punya makna imbal-balik. Jika dikatakan, Allah dan manusia ber-“taubat” maka tidak
bisa diartikan taubat atau bertobat (repent) secara umum, tapi lebih tepat diartikan
sebagai “berpaling kepada”. Manusia berpaling kepada Allah (ketika bertobat) dan
Allah, alTawwab berpaling kepada manusia (ketika menerima tobatnya).

Bahasa Al Qur’an yang begitu kompleks menggiring jiwa manusia yang


terfragmentasi dan nisbi ke hadapan Yang Mutlak. Sedemikian sehingga
penerjemah terbaik adalah mereka yg mampu menenggelamkan dirinya ke dalam
makna Al Qur’an sehingga pikirannya, kata-katanya, dan perilakunya mencerminkan
pesan Al Qur’an itu sendiri. Dan manusia itu tidak lain adalah Muhammad Sallahu
A’laihi wa Alihi Wasallam. []

AA/Islam Indonesia
(Sumber: https://islamindonesia.id/kolom/resensi-the-study-quran.htm)

https://islamindonesia.id 502
Thursday, 24 March 2016

ANALISIS – BELGIA, ‘INKUBATOR’ JIHADIS DI EROPA

Aksi teror yang menewaskan puluhan orang di Belgia dua hari lalu membuka tabir lebih jauh
tentang ibukota NATO dan Uni Eropa ini. Negeri yang bertetangga dengan Prancis, Jerman
dan Belanda ini disinyalir telah menjadi salah satu episentrum—jika tidak mau disebut
sebagai episentrum terbesar—gerakan-gerakan Islam ekstremis di Eropa.

Koran Inggris The Independent mengutip kata-kata walikota Vilvoorde, sebuah kota di
pinggiran Brussels, yang menyatakan bahwa situasi keamanan Belgia merupakan ‘contoh
sempurna dari suatu kekacauan yang terorganisir’. Ungkapan ini menunjukkan betapa
negara ini sejak lama telah menjadi inkubator para ekstremis takfiri yang kemudian
menyebar ke seantero dunia, terutama ke Timur Tengah.

Dan benar, sebelum peristiwa dua hari silam, Belgia lebih sebagai inkubator
jihadisme ketimbang target aksi terorisme yang tumbuh subur dalam negerinya sendiri. Aksi
penyerangan atas museum Yahudi di Brussels pada Mei 2014 lalu, yang menewaskan 4
orang, sebenarnya lebih didorong oleh sentimen anti-Yahudi ketimbang “anti-Belgia”. Tapi,
kini, Belgia mulai menyadari persoalan laten yang lama mengintainya: terorisme yang
berkembang dalam negerinya sendiri.

Aksi teror 13 November tahun lalu di Paris, seperti telah dilaporkan sejumlah media,
direncanakan dan dioperasikan dari Brussels. Pemimpinnya, Abdehamid Abaaoud, lahir di
Belgia. Pelaku yang kabur dan kemudian ditangkap pekan lalu, Salah Abdeslam, adalah
warga Prancis asal Maroko yang juga tinggal di Molenbeek, kota yang dipadati komunitas
Muslim di sisi barat ibukota Belgia. Demikian pula banyak laporan yang menyebutkan bahwa
jumlah remaja Belgia yang – sebagiannya mualaf– ikut bertempur dengan ISIS dan
kelompok-kelompok ekstremis takfiri lain di Timur Tengah dua kali lipat lebih banyak
dibanding negeri-negeri Eropa lain.

https://islamindonesia.id 503
Dilihat dari sisi waktu, pemboman dua hari silam boleh jadi merupakan aksi pembalasan
atas penangkapan Abdeslam. Tapi boleh jadi juga, sebagaimana kata The Independent, ada
persoalan yang lebih kompleks dan pelik di balik aksi ini.

Pelbagai fakta menunjukkan bahwa Brussels sedang menuai badai radikalisasi komunitas
Muslim yang jauh lebih berbahaya dibanding negara-negara Eropa lain seperti Jerman,
Prancis, Inggris dan Belanda. Ada beberapa faktor umum. Misalnya, tingginya pengagguran,
diskriminasi, politik identitas yang menjelaskan keterasingan hampir seluruh remaja Muslim
di negara-negara Eropa. Tapi, di Belgia, masalahnya lebih rumit dan ada faktor yang lebih
khas.

Di sini fenomena keterbelahan identitas antara pengguna bahasa Belanda dan Prancis yang
telah berlangsung selama dua dekade lalu dan memudarkan identitas kebangsaan di
Belgia menambah disorientasi dan alienasi komunitas Muslim. Akibatnya, sebagian remaja
Muslim merasa identitas Islam ala ISIS, suatu identitas trans-nasional yang begitu
menggoda kaum remaja, lebih sesuai dan “masuk akal” bagi mereka.

Masalah lain yang patut menjadi perhatian terkait dengan meriapnya ekstremismekalangan
remaja Muslim di Eropa ialah kuatnya jaringan Islam wahabi di negeri ini. Seperti umumnya
negeri Eropa lain yang dekat dengan elit Saudi dan mengukuhkannya sebagai otoritas Islam
di negerinya, Belgia membiarkan puluhan organisasi, lembaga dan yayasan Wahabi
berkembang pesat di wilayahnya. Di ruang-ruang pendidikan agama mereka, remaja Muslim
Eropa ini diajarkan untuk “kembali ke masa hidup Nabi dan para sahabat”, dan menekankan
suatu gaya hidup kuno itu sebagai bentuk perlawanan terhadap gaya hidup Eropa dan
Barat.

Hari-hari ini, pribahasa Inggris lama ini tentu terus mengiang di kepala para petinggi Uni
Eropa, terutama Belgia: chickens come home to roost. Setelah lama mengabaikan protes
sejumlah pemimpin Timur Tengah agar aparat Eropa lebih serius menghentikan gerakan
kaum ekstremis menuju Suriah, kini mereka harus merasakan konsekuensi keteledoran
tersebut. Paham Wahabi yang melahirkan terorisme ini tak bisa diperangi secara tebang
pilih. Ia adalah ideologi yang tak bisa menerima pihak lain, siapa pun pihak lain itu. Ia tak
bisa dikendalikan atau dijadikan alat penekan musuh-musuh politik tertentu, karena ia
menular dan menyebar dengan cepat.

AJ/Islam Indonesia
(Sumber: https://islamindonesia.id/berita/analisis-belgia-inkubator-jihadis-di-eropa.htm)

https://islamindonesia.id 504
Monday, 21 March 2016
BENARKAH MUSLIM MAYORITAS DI INDONESIA?
Abdillah Toha

Benar, bila dilihat dari yang menyatakan beragama Islam di Kartu Tanda Penduduk
(KTP). Benar bila dikaitkan dengan warga yang melakasanakan upacara nikah
dengan cara Islam. Barangkali benar juga bila dilihat dari jumlah orang yang
melaksanakan sholat wajib lima waktu, puasa Ramadhan, dan rukun Islam lainnya.
Indonesia yang memiliki 800,000 masjid dan mushola, barangkali juga bisa dibilang
sebagai negeri dengan jumlah masjid terbanyak di dunia. Kuota haji kita diatas
200,000 adalah kuota haji terbesar diantara negeri-negeri dengan penduduk Muslim
di dunia.

Namun, bila kepada kita dihadapkan beberapa pertanyaan berikut, kita jadi
bertanya-tanya apakah benar mayoritas penduduk negeri ini Muslim? Bila mayoritas
Muslim, mengapa bangsa ini tidak menghendaki negara ini menjadi negara Islam
dan mengubah konstitusinya? Mengapa dalam setiap pemilu pasca reformasi,
jumlah seluruh suara parta-partai Islam dan berbasis Islam nyaris tidak pernah lebih
dari 30%? Mengapa tidak semua perempuan disini berjilbab? Mengapa ketika saat
sholat Jum’at yang diwajibkan bagi setiap Muslim laki-laki, jalan-jalan di setiap kota
besar masih saja macet penuh pengendara kendaraan? Apakah semua pengendara
itu perempuan?

Mungkin jawabnya begini. Ada berbagai tingkat dan jenis Muslim disini. Warga yang
menyatakan dirinya beragama Islam di KTP itu ada yang melaksanakan syariat
Islam, ada yang setengah-setengah, dan ada yang sama sekali tidak melakukannya.
Ada yang menganggap Islam sebagai budaya dan identitas diri yang lentur dan ada
yang memegangnya sebagai agama dengan kewajiban dan larangan yang harus
dipatuhi. Ada yang mengatakan jilbab itu wajib, ada yang mengatakan tidak. Ada
yang cukup dalam pengetahuan agama Islamnya, dan ada pula yang tidak pernah
belajar Islam secara benar dan menjadi Muslim karena keturunan atau perkawanan.

Di antara yang tekun melakukan kewajiban beribadah secara Islam, ada yang
percaya agama adalah urusan pribadi dan ada yang meyakini kehidupan
bermasyarakat dan bernegara harus diatur sesuai aturan agama. Ada yang
mengibarkan “bendera” Islam dan ada yang tidak. Dari kelompok yang mengibarkan
bendera Islam sebagai identitas, ada yang fanatik dan tidak senang melihat pemeluk
agama atau keyakinan lain, dan ada yang toleran dan menganggap agama yang
diyakini tidak harus dipakasakan kepada orang lain. Yang terakhir ini contohnya
adalah dua organisasi Muslim terbesar di negeri ini, NU dan Muhammadiyah.

https://islamindonesia.id 505
Belum lagi kita bicara tentang beragamnya ideologi di kalangan Muslim. Ada yang
percaya bahwa demokrasi adalah sistem terbaik dan ada pula yang berkeyakinan
bahwa demokrasi itu tidak Islami. Ada yang mendukung sistem ekonomi pasar dan
ada pula yang berkeyakinan bahwa sistem ekonomi yang sesuai dengan Islam itu
cenderung sosialistik dan harus diatur dengan sebanyak mungkin campur tangan
pemerintah agar lebih adil. Ada yang berpegangan bahwa Islam adalah sistem
hukum (fiqih) dan ada yang percaya Islam adalah sistem nilai dan moral yang
universal.

Yang merisaukan kita semua, baik di negeri ini maupun di banyak belahan dunia
lain, adalah kelompok yang berbendera Islam yang menganggap bahwa keyakinan
mereka adalah satu-satunya cara hidup yang paling benar dan harus diikuti oleh
semua warga. Kelompok ini di antara 1,4 milyar penduduk Muslim dunia atau 200
juta pemeluk Islam di Indonesia sebenarnya adalah kelompok minoritas kecil tetapi
bersuara keras dan militan. Mereka pulalah di negeri ini yang selalu mengklaim
bahwa Muslim adalah “mayoritas” di sini, bahwa mereka mewakili suara mayoritas,
dan karenanya Islam (versi mereka) harus diterapkan disini.

Mereka tidak mampu melihat bahwa ada pluralisme dalam pemeluk agama yang
berbeda dan ada pula pluralisme di dalam pemeluk agama yang sama. Mereka tidak
mampu melihat bahwa jenis keyakinan pemeluk agama yang sama itu bisa berbeda-
beda dan bertingkat-tingkat. Karenanya kelompok yang sering disebut sebagai
fundamentalis itu merasa mewakili “mayoritas” Muslim di sini. Mayoritas yang mana,
tidak pernah terlintas di benak mereka. Mayoritas yang mayoritas atau mayoritas
yang minoritas?

Salah satu instrumen demokrasi dalam pengambilan keputusan adalah suara


mayoritas. Tidak selalu menghasilkan keputusan yang tepat tetapi sitem lain belum
tentu lebih baik. Namun ketika berbicara mayoritas, jangan lupa bahwa kita harus
pula bertanya mayoritas yang mana? Mayoritas agama atau mayoritas suku atau
mayoritas ideologi, atau mayoritas tingkat kakayaan atau mayoritas tingkat
pendidikan atau mayoritas umur atau mayoritas jenis kelamin dan lain sebagainya.

Masing-masing “mayoritas’ ini punya kepentingan yang berbeda-beda yang belum


tentu bersinggungan satu dengan lainnya. Sebagai contoh, apakah kita perlu
mengamandemen konstitusi kita agar presiden Republik Indonesia hanya
dibolehkan dari suku Jawa yang mayoritas di negeri ini?

Islam politik di negeri ini juga harus menghilangkan ilusi “mayoritas Muslim” bila ingin
menjadi kekuatan politik yang diperhitungkan. Lebih buruk lagi, banyak pejabat
publik dan politisi yang mendekat kepada kelompok garis keras dan fundamentalis

https://islamindonesia.id 506
dengan perhitungan yang salah bahwa suara mereka yang vokal itu adalah cermin
sumber suara terbesar.

Tidak salah bahwa Indonesia adalah negeri dengan jumlah penduduk Muslim
terbesar di dunia. Namun Islam kita disini adalah Islam yang sudah sejak lama
mampu berintegrasi dengan budaya dan kearifan lokal dan karenanya punya warna
tersendiri tanpa harus diartikan telah menyimpang dari prinsip-prinsip Islam yang
benar. Dengan pengertian yang benar tentang “mayoritas Muslim” maka langkah kita
tidak akan tersesat dan merugikan kita sendiri serta bangsa ini secara keseluruhan.

AA/Islam Indonesia/Sumber: www.kompasiana.com


(Sumber: https://islamindonesia.id/kolom/opini-benarkah-muslim-mayoritas-di-
indonesia.htm)

https://islamindonesia.id 507
Saturday, 19 March 2016

TANGGAPAN – HARUSKAH “PEMIMPIN” SELALU


MUSLIM?

Ini adalah tulisan M. Anis yang menanggapi tulisan Abdullah Haidir yang menyebar
di internet beberapa pekan lalu tentang isu kepemimpinan.

Untuk menanggapi tulisannya, maka mesti diperjelas dulu tentang terma pemimpin.
Sejauh yang saya tahu, pemimpin bisa dipahami dalam dua terma. Pertama,
pemimpin administratif-horisontal, yang mengatur urusan-urusan mikro sehari-hari
masyarakat, seperti kemacetan, sampah, banjir, dan sebagainya. Kedua, pemimpin
relijius-spiritual-vertikal, yang (dalam konteks Islam) membimbing umat/masyarakat
menuju Allah SWT, sehingga mereka akan memperoleh segala kebaikan hakiki,
kebahagiaan sejati, dan kesempurnaan puncak. Dia mengatur urusan-urusan makro
umat/masyarakat, seperti menjaga tatanan masyarakat, kehormatan Islam dan
umat, dan sebagainya.

Menurut sebagian pendapat, pemimpin jenis pertama tidak harus Muslim.


Sedangkan pemimpin jenis kedua jelas harus Muslim dan yang terbaik dari kalangan
umat. Selain itu, keadilan dan kecakapan menjadi syarat wajib bagi kedua jenis
kepemimpinan tersebut, meskipun mungkin dengan tingkat kualitas yang berbeda.

Dengan demikian, melalui pembedaan tersebut, maka terma kepemimpinan dapat


lebih mudah dipahami. Oleh sebab itu, tidak keliru ketika pemikir Islam Ibn Thawus,
terkait kepemimpinan administratif-horisontal, menyatakan bahwa pemimpin non-
Muslim yang adil lebih baik ketimbang pemimpin Muslim yang zalim.

Pandangan ini jelas lahir dari pemikiran yang matang, mengingat Ibn Thawus adalah
ulama mumpuni, yang bahkan memperoleh ijazah dari ulama kenamaan Muhammad
ibn Najjar untuk meriwayatkan hadis. Ini membuktikan bahwa Ibn Thawus adalah
ahli hadis kredibel yang tidak sembarangan mengeluarkan fatwa.

https://islamindonesia.id 508
Lebih dari itu, Ibn Thawus tidak sendirian. Ulama kenamaan lain seperti Al-Ghazali
dan Ibn Taimiyah, juga menyatakan pemikiran senada.

Al-Ghazali dalam kitabnya “At-Tibr al-Masbuk fi Nashihah al-Muluk” menegaskan,


“Pemimpin yang adil mendatangkan keadilan bagi umat manusia serta mencegah
kezaliman dan kerusakan, sedangkan pemimpin yang zalim mendatangkan celaka
dan tidak akan bertahan. Sebab, Nabi saw bersabda bahwa kepemimpinan akan
bertahan pada seorang non-Muslim, namun tidak akan bertahan pada seorang yang
zalim. Dalam sejarah juga diriwayatkan bahwa orang-orang Zoroaster (Persia)
memerintah dunia selama empat ribu tahun, dan kekuasaan tetap bertahan pada
mereka. Sungguh, keberlangsungan itu disebabkan keadilan mereka kepada rakyat
dan penjagaan mereka terhadap kesetaraan. Sungguh, agama mereka tidak
memperbolehkan kezaliman. Mereka telah memakmurkan negeri dengan keadilan
mereka. Diriwayatkan bahwa Allah SWT berfirman kepada Nabi Dawud agar
melarang kaumnya menghina para penguasa Persia, karena mereka telah
memakmurkan dunia, sehingga dapat ditinggali oleh para hamba-Nya.”

Ibn Taimiyah dalam kitabnya “Majmu’ al-Fatawa” menegaskan pula, “Manusia tidak
berselisih bahwa akibat kezaliman itu membahayakan dan akibat keadilan itu
memuliakan. Karena itu, diriwayatkan bahwa Allah menolong negeri yang adil
meskipun kafir dan tidak menolong negeri yang zalim meskipun mukmin.” Di kitab
yang sama Ibn Taimiyah juga menegaskan, “Sungguh Allah menegakkan negeri
yang adil meskipun kafir dan tidak menegakkan negeri yang zalim meskipun Muslim.
Dikatakan pula bahwa dunia ini tegak bersama keadilan meskipun kafir dan tidak
akan tegak bersama kezaliman meskipun Muslim.”

Kemudian, terkait Ibn Alqami. Naif bila dikatakan bahwa Ibn Alqami terlibat dalam
serangan Hulagu Khan yang meruntuhkan Dinasti Abbasiyah. Sejarawan Ibn al-
‘Abriy dan Adz-Dzahabi memberitakan bahwa Ibn Alqami justru berupaya
menyelamatkan khalifah dan Baghdad saat Hulagu Khan telah memasukinya. Saat
itu Ibn Alqami menyarankan agar khalifah bersikap lunak saja dan memberi hadiah
harta-benda yang banyak kepada Hulagu. Khalifah setuju dan siap mengirim utusan.

Namun kemudian upaya rekonsiliasi itu dihalangi oleh Duwaidar dan pengikutnya,
yang memang tidak menyukai Ibn Alqami. Mereka mengatakan kepada khalifah
bahwa Ibn Alqami sebenarnya sedang bersekongkol dengan Hulagu untuk
meruntuhkan Baghdad. Celakanya, sang khalifah percaya pada hasutan mereka dan
membatalkan pengiriman hadiah tersebut. Maka, terjadilah serangan brutal Hulagu
yang meluluh-lantakkan Baghdad.

https://islamindonesia.id 509
Saat itu khalifah tidak lagi mempunyai kekuatan militer untuk melawan, lantaran
tenggelam dalam kehidupan hedonis yg berimbas pada penggerusan anggaran dan
gaji tentara. Tentaranya menjadi lemah dan bahkan banyak yang desersi. Ibn
Thiqthaqa dan Ibn al-Fauthiy juga memberitakan hal ini dalam kitab tarikh mereka.
Anehnya, sejarawan awal yang getol mencemooh Ibn Alqami—seperti Abu Syamah
dan Ibn Taimiyah—ternyata tidak tinggal di Irak, melainkan di Damsyiq (Suriah).

Wallahu a’lam.

AA/Islam Indonesia
(Sumber: https://islamindonesia.id/berita/tanggapan-haruskah-pemimpin-selalu-muslim.htm)

https://islamindonesia.id 510
Friday, 18 March 2016

SYARAH HAIDAR BAGIR ATAS 7 NASIHAT RUMI

Berikut ini adalah 7 nasihat #Jalaluddin Rumi yang disyarah oleh #Haidar
Bagir dalam akun twitter-nya;

1. Dalam hal kedermawanan dan menolong orang, jadilah seperti sungai.


Penjelasan: Biarkan mengalir tak henti-henti dan tanpa mengharap kembali.

2. Dalam kasih sayang dan berkah, jadilah seperti matahari.


Penjelasan: Berilah kehangatan kepada siapa saja tanpa diskriminasi.

3. Dalam menutupi aib orang lain, jadilah seperti malam.


Penjelasan: Tutupi semua aib rapat-rapat, tanpa pernah membocorkannya.

4. Dalam keadaan marah dan murka, jadilah seperti orang mati.


Penjelasan: Diamlah, jangan lakukan apa pun, agar tidak menimbulkan kesalahan
dan menyesal kemudian.

5. Dalam hal kesederhanaan dan kerendahhatian, jadilah seperti bumi.


Penjelasan: Selalu menempatkan diri di bawah dan meninggikan yang lain.

https://islamindonesia.id 511
6. Dalam hal toleransi, jadilah seperti laut.
Penjelasan: Berlapang dada seluas-luasnya dan siap menampung pandangan-
pandangan yang berbeda.

7. Tampillah seperti diri sejatimu, atau jadilah seperti tampilanmu.


Penjelasan: Hiduplah dengan penuh integritas. Sama antara lahir dan batin.

Artikel lain #Rumi

Tom/Islam Indonesia

(Sumber: https://islamindonesia.id/berita/syarah-haidar-bagir-atas-7-nasihat-rumi.htm)

https://islamindonesia.id 512
Thursday, 17 March 2016

IBN ARABI: HIDUP INI HANYALAH MIMPI


(BAGIAN KETIGA)

Salah satu cara menarik Ibn Arabi dalam memaparkan pemikirannya ialah dengan
menarik kita ke dalam perasaan atau pengalamannya. Dia ingin mengatakan kepada
kita bahwa meskipun alam wujud ini bertingkat-tingkat, namun bentuknya bukan
seperti bangunan bertingkat yang bersifat ‘spasiotemporal’. Yang terjadi ialah satu
tingkatan selalu ada bersamaan dengan tingkatan lainnya. Hanya saja, berbagai
tingkatan itu layaknya kelap kelip cahaya yang ketika di sini mati, di sana tetap
menyala dan demikian pula sebalinya. Lampu yang jadi media cahaya di tiap
tingkatan pun selalu tersedia meski tidak selalu terpakai.

Sebagai ilustrasi, Ibn Arabi membawakan pada kita kisah Nabi Idris dan Nabi Ilyas.
Menurutnya, kedua nabi ini jatidirinya sama meski punya dua sosok yang berbeda.
Nabi Idris mendaki alam malakut dan sesampainya di tempat tertinggi, Allah
mengatakan pada nabi yang diutus sebelum Nabi Nuh itu untuk turun lagi dan
mengulang secara terbalik. Allah tidak hanya menyuruhnya turun ke alam manusia,
tapi memintanya turun hingga ke alam paling bawah dan hidup layaknya benda-
benda mineral. Untuk itu, Dia mengutus Nabi Idris dalam sosok Nabi Ilyas.

https://islamindonesia.id 513
Nabi Ilyas, menurut Ibn Arabi, merupakan nabi yang mengaktualisasikan semua
potensi biologisnya sampai dia turun dari alam binatang menuju ke alam
bebatuan dan mineral, lalu mengaktualisasikan seluruh potensi mineralnya hingga
turun lagi ke alam yang paling rendah. Kata Ibn Arabi, di alam yang paling rendah ini
dia menemukan hakikat yang sama yang dia temukan di alam yang tinggi (malakut).
Karena kedua alam itu bertemu kembali, kedua alam itu adalah dua dimensi dari
Wajah Al-Haq yang berbeda.

Perjalanan kita, menurut Ibn Arabi, dari alam dzarra, rahim, dan seterusnya adalah
perjalanan yang tiada henti. Manusia saja yang mengira bahwa perjalanannya akan
berhenti. Padahal Allah tidak menghentikan apapun. Mustahil bagi-Nya
menghentikan sesuatu. Toh, Dia Maha Kaya dan tidak takut kehilangan apa-apa.
Allah Maha Pemurah lagi Maha Pemberi tidak mungkin menghentikan kemurahan
dan pemberian. Dia akan memberi semua sarana bagi tiap makhluk untuk terus
menyempurna. Dan inilah yang dimaksud dengan wahdatul wujud: penyatuan wujud
dalam berbagai tingkatan, derajat dan dimensi yang berbeda-beda.

Wahdatul wujud berarti wujud yang berderajat atau bertingkat. Tapi dalam setiap
tingkatannya, ada kesadaran yang berbeda-beda. Misalnya, ketika kita ada pada
kesadaran indrawi dan biologis, maka kesadaran kita pada tingkatan wujud lainnya
untuk sementara ‘off’. Begitu pula dengan tingkat wujud yang lain lagi juga
‘off’. Nah, saat kita ‘off” atau mati dari kesadaran indrawi dan biologis, barulah kita
‘on’ di kesadaran tingkatan lain. Begitu kita mati dari kesadaran indrawi ini, maka kita
memasuki kesadaran alam selanjutnya. Sesaat setelah tingkatan ini ‘off’, kesadaran
pada tingkatan lainnya akan ‘on’.

Namun, menurut Ibn Arabi, ‘off’ bukan berarti tidak ada, atau baru diciptakan. Hal ini
karena prinsip Ibn Arabi bukan prinsip penciptaan, tapi prinsip penyadaran
dan kebangkitan sebagaimana hadis Nabi yang berbunyi: “Semua manusia tidur.
Setelah mati (off) barulah mereka terbangun.”

Pada titik ini, pandangan Ibn Arabi berbedan dengan para teolog. Para teolog
berpijak pada ‘creatio ex nihilo’ atau ‘penciptaan dari ketiadaan’. Kata Ibn Arabi,
mengapa Allah (harus) mengadakan dan menciptakan sesuatu? Bukankah Allah
selalu Ada?! Dan karena Dia selalu Ada, maka tentu tajalli dan penampakan-Nya
selalu ada. Dan Allah memberikan tajalli kepada siapa saja, dan kepada seluruh titik
alam ini dengan pancaran cahaya-Nya, bayang-bayang eksistensi-Nya, dengan
kehendak-Nya, tanpa batas.

Jadi, penciptaan segala sesuatu itu bukan dari suatu ketiadaan, karena ketiadaan itu
bukan sesuatu untuk dapat menjadi sumber bagi penciptaan. Atau bahwa Dia

https://islamindonesia.id 514
menciptakan satu tingkatan lalu setelah sekian lama menciptakan tingkatan lain lagi.
Mengapa (harus) menunggu? Kesadaran manusia-lah yang melihat demikian,
lantaran -“on-off”-kesadarannya. Manusia mimpi memasuk satu tingkatan dan
kesadarannya di tingkatan lain “off” sampai dia “off” (baca: mati) dari tingkatan yang
pertama dan “on” di tingkatan berikutnya dan begitu seterusnya.

Menariknya, dengan pemaparannya ini, Ibn Arabi telah ‘menghangatkan’ cara


berfikir filsafat yang cenderung kering dan dingin. Bahkan, dia telah ‘mendidihkan’
filsafat hingga bergolak. Sedemikian sehingga orang yang memiliki latar belakang
filsafat saat membaca Ibn Arabi akan menemukan suatu pergolakan, pendidihan,
dan penghangatan. Ketika filsuf berbicara tentang konsep-konsep universal yang
seolah tidak ada wujudnya di alam ini, Ibn Arabi mampu mengamati dan
menafsirkan isyarat-isyarat yang detail dan kecil di alam ini. Termasuk mengamati
kisah-kisah hagiografis para nabi.
Oleh sebab itu, dalam otobiografinya, Ibn Arabi mengisahkan perjalanan hidupnya
sejak kecil dengan detail, termasuk pertemuannya dengan tokoh lain seperti Ibn
Rusyd, bagaimana dia menghafal Al-Qur’an, berjalan dari Andalusia dan sebagainya
yang semuanya diingat dengan baik. Hal ini berbeda dengan filsuf yang cenderung
tidak suka dengan hal-hal yang detail atau partikular. Karena kelebihan ini, para
filsuf Islam juga memiliki ketertarikan pada pemikiran Ibn Arabi.

Boleh dikatakan, Ibn Arabi turut mempengaruhi perjalanan filsafat Islam


sebagaimana dia mempengaruhi perjalanan tasawuf dalam Islam. Hal ini tidak lepas
dari kekayaan dan kehangatan pemikirannya, imajinasinya yang melanglang buana
serta ‘eksploitasnya’ yang mendalam dan cantik terhadap Al-Qur’an. Termasuk
bagaimana dia menggunakan keunggulan bahasa Al-Qur’an ini dalam membuka
cakrawala pemikiran Islam.

Sebagai contoh, dalam tema tanzih dan tasybih, biasanya orang mengatakan
‘subhanallah’ diartikan Allah itu tidak menyerupai (tasybih) makhluk. Kemudian kita
nafikan (tanzih) keserupaan antara Allah dan makhluk-Nya. Sementara kata Ibn
Arabi, ketika Allah menyatakan ‘laisa kamitslihi syaiun wa hua as-sami’ul bashir’, itu
berarti; ‘tiada keserupaan yang menyerupai-Nya,’ pada saat yang sama Dia
menyatakan; ‘dan Dia Maha Mendengar dan Melihat’.

Bukankah mendengar dan melihat juga pekerjaan makhluk? Tentu tidak serupa
dengan dengan makhluk-Nya tapi (tetap) ada penyerupaan. Oleh sebab itu, ketika
berbicara tentang Nabi Nuh dan kaumnya, Ibn Arabi mengatakan bahwa Nabi Nuh
dan kaumnya saling bertentangan. Kaumnya menyembah berhala (tasybih) sedang
Nabi Nuh ingin menafikan berhala (tanzih). Menurut Ibn Arabi, ini adalah mazhab
Furqan atau memisahkan antara tasybih dan tanzih. Yang benar, bagi Ibn Arabi,

https://islamindonesia.id 515
ialah mazhab Qur’an. Arti Qur’an adalah ‘al-jam’u bayna al-tasybih wa al-tanzih’
(mengumpulkan antara tasybih dan tanzih).

Kembali kepada Nabi Nuh. Kata Ibn Arabi, sekiranya Nabi Nuh menganut mazhab
Qur’an maka beliau tidak akan menafikan umatnya. Dan inilah (keunggulan) mazhab
Rasulullah Saw. Mazhab Rasulullah Saw tidak menafikan penyembah berhala
apalagi menghancurkannya. Beliau menggabungkan semua dalam rahmat dan kasih
sayang. Bukankah orang yang menyembah berhala juga bermaksud menyembah
Allah Swt? Jadi, beliau bisa menerima sekalipun berhala-berhala itu tidak boleh di
tempat-tempat tertentu dimana tanzih harus dilakukan. []

Edy/Islam Indonesia/Ditranskrip dari Bedah Buku Taoisme dan Sufisme karya


Toshihiko Izutsu. 2 Maret 2016 di UIN Sunan kalijaga

(Sumber: https://islamindonesia.id/berita/kajian-ibn-arabi-hidup-ini-hanyalah-mimpi-bagian-
ketiga.htm)

https://islamindonesia.id 516
Tuesday, 15 March 2016
DEMOKRASI KITA TERANCAM?
Oleh Abdillah Toha

Biasanya kalau kita bilang demokrasi kita terancam, pikiran kita tertuju pada
kemungkinan adanya kekuatan besar yang akan mengkudeta, membubarkan
parlemen, institusi-institusi demokrasi dan sejenisnya, kemudian mendudukkan diri
sebagai penguasa tunggal. Bukan. Bukan itu yang dimaksud. Akhir-akhir ini suasana
Jakarta yang cuacanya masih sejuk berkat hujan disana sini, menjadi makin panas
oleh hiruk pikuk wacana dan debat tentang pemilihan kepala daerah DKI yang
sebenarnya masih agak lama, lebih dari sebelas bulan lagi.

Yang memperihatinkan, suasana persaingan demokrasi menjelang pilkada yang


seharusnya menggairahkan telah berubah dan cenderung menguatirkan. Bukannya
kampanye rasional yang dikedepankan tetapi emosi dan sentimen telah mengambil
alih. Para pendukung bakal calon gubernur yang akan bertanding melawan gubernur
petahana yang akan maju lagi, telah mengeksploitasi sentimen rasial dan agama.
Pendukung petahana kemudian melayaninya dengan argumen agama dan ras juga.
Bila hal ini berlanjut dan makin meningkat ketika masa pemilihan makin mendekat
dan aparat hukum membiarkannya, maka bukan saja kualitas demokrasi kita akan
merosot tetapi juga berbahaya bagi stabilitas negeri dan persatuan bangsa.

Sikap demikian sejauh ini tidak ditunjukkan oleh para bakal calon gubernur yang
akan bersaing dengan petahana tetapi oleh para pendukungnya yang terlalu
bersemangat, tanpa atau dengan sepengetahuan para bakal calon. Bukannya
mengampanyekan keunggulan dan rekam jejak bakal calon, para pendukung itu
lebih banyak menonjolkan kampanye hitam terhadap gubernur yang sekarang, lebih
khusus lagi karena sang gubernur yang akan maju lagi dianggap mewakili ras
tertentu dan bukan berasal dari kelompok penganut agama yang mayoritas.

Berbagai alasan dikemukakan agar warga tak memilih Basuki Tjahaja Purnama alias
Ahok sebagai gubernur mendatang. Perang ayat dan tafsir terjadi antara pendukung
dan penolak Ahok. Masing-masing menempatkan diri sebagai wakil Tuhan. Yang
lain mengatakan bahwa gubernur harus berasal dari dan mewakili kepentingan
mayoritas agama dan suku. Bukan kepentingan kemaslahatan atau kepentingan
kesejahteraan rakyat. Bila mayoritas agama atau mayoritas ras berhak menentukan
siapa yang boleh maju sebagai pejabat politik, kenapa mayoritas orang miskin, atau
mayoritas gender, atau mayoritas tingkat pendidikan tidak boleh?

https://islamindonesia.id 517
Belum lagi ada partai politik yang tersinggung karena Ahok maju sebagai calon
independen. Tidak melalui usungan partai. Dikatakan bahwa ini adalah tindakan
deparpolisasi yang bertentangan dengan demokrasi. Suatu jalan pikiran kekanak-
kanakan. Bukannya mengambil pelajaran dari situ tetapi menyalahkan calon
independen. Bukankah seharusnya partai politik introspeksi mencari jawaban
mengapa belakangan makin banyak calon kepala daerah yang maju sebagai calon
independen? Bukankah ini disebabkan oleh kenyataan bahwa makin banyak orang
berbakat yang segan masuk ke partai karena budaya partai yang feodal, dinastik,
tertutup, dan tidak rasional?

Anehnya di Amerika, negeri yang sudah ratusan tahun melaksanakan demokrasi,


saat ini sedang terjadi hal yang mirip dan serupa. Salah seorang bakal calon
presidennya Donald Trump mencari dukungan dengan mengeksploitasi dan
mengaduk-aduk sentimen agama dan ras. Sebagian analis mengatakan belum
pernah sebelum ini suasana kampanye sangat panas seperti pada menjelang pemilu
presiden saat ini disana. Sempat terjadi bentrok fisik antara pendukung dan lawan
Trump. Para pengamat menuduh Trump telah merusak demokrasi dan meracuni
pendukungnya di Amerika Serikat. Bahkan mengancam kelangsungan demokrasi itu
sendiri bila sampai suasana panas ini tak terkendali. Ujungnya dikuatirkan, pemilu
bukan diselesaikan di tempat pencoblosan tapi di jalanan dan tempat umum.

Demokrasi adalah kedaulatan rakyat. Setiap warga negara berhak memilih dan
dipilih. Setiap orang juga bebas berbicara dan mengutarakan pandangannya.
Berkampanye sepuasnya untuk mendukung calon yang dianggapnya terbaik, tidak
dilarang. Tapi demokrasi juga ada aturan mainnya. Ada hukum yang mengatur dan
membatasi perilaku warga. Tujuannya tidak lain agar demokrasi itu sendiri selamat
sampai tujuan. Bukan justru proses demokrasi yang keliru akan meruntuhkan
demokrasi itu dengan munculnya orang kuat yang menghendaki ketertiban umum
dan keselamatan warga. Contoh dalam sejarah sudah banyak sekali. Terbaru dan
terdekat dengan kita adalah demokrasi di Thailand yang beberapa kali gagal dan
ujungnya diambil alih oleh militer.

Bersitegang dalam bersaing sampai batas tertentu boleh saja. Tetapi ketika
sentimen agama dan ras dimainkan melewati batas, maka warga telah memasuki
arena yang sangat peka dan emosional yang dapat menyulut bentrok dan adu fisik.
Bukan adu akal tapi adu emosi. Bukan adu argumen tapi adu caci maki. Bukan adu
otak tapi adu otot. Dan tanda-tanda ke arah ini sudah mulai tampak. Saat ini masih
terbatas di media sosial. Ketika hal ini terus berlanjut dan meluas sampai ke darat,
makin mendekati masa pemilu makin panas, maka kerukunan akan terancam,
persatuan nasional akan terpuruk, dengan konsekwensi kehancuran atas segala
yang sudah kita bangun selama ini dengan susah payah.

https://islamindonesia.id 518
Bisa saja apa yang disampaikan diatas barangkali dianggap kekuatiran yang
berlebihan. Namun, dari pengalaman sejarah modern kita sendiri, kita tidak boleh
lupa dan menganggap kecil potensi bahaya yang disebabkan oleh konflik yang
disebabkan oleh suku, agama, dan ras (SARA). Contohnya banyak, baik di tingkat
nasional maupun di daerah. Tidak ada yang diuntungkan dari konflik jenis ini.
Semuanya rugi. Korban manusia dan harta bisa berjatuhan. Luka yang ditinggalkan
bisa bertahan lama dan sulit disembuhkan. Belum lagi reputasi kita di mata bangsa-
bangsa lain sebagai bangsa yang beradab dan negeri yang sejauh ini telah berhasil
membangun sistem demokrasi dengan sukses dan damai.

Karenanya marilah kita sama-sama bersaing dengan cara beradab, menonjolkan


figur yang kita dambakan jadi pemimpin kita dari sisi karakter, rekam jejak,
kemampuan, kejujuran, dan program-programnya yang paling realistis dan
menguntungkan warga negara. Bukan sisi-sisi calon pemimpin yang tidak relevan
dan berpotensi menimbulkan perseteruan sesama warga. Selamat bertanding.
Semoga yang terbaiklah yang akan terpilih, siapapun dia.[]

Islam Indonesia
(Sumber: https://islamindonesia.id/budaya/opini-demokrasi-kita-terancam.htm)

https://islamindonesia.id 519
Sunday, 13 March 2016

SEPULUH SARAN MEMBACA KONFLIK SAUDI-IRAN


Oleh Omid Safi, Kepala Pusat Studi Islam Duke Univesity, Amerika Serikat

Belakangan hubungan Saudi-Iran makin panas. Lepas Riyadh mengeksekusi 47


tahanan politiknya—termasuk Syekh Nimr, Tehran berkata, “Tangan pembalasan
Tuhan akan mencekik leher politisi Saudi.” Lalu, saling putus hubungan diplomatik
terjadi, dan suhu di kawasan pun meningkat.

Dalam pemberitaannya, media taraf internasional seperti The New York Times, The
Guardian, The Economist selalu menyoroti perbedaan sektarian dalam perselisihan
Saudi-Iran.

https://islamindonesia.id 520
Tentu banyak pakar yang bisa kita rujuk dalam membaca peta geopolitik Timur
Tengah. Tapi saya ingin memberi beberapa poin yang mungkin bisa bermanfaat
dan cerdas— dalam keadaan prihatin tentunya—jika Anda ingin memahami konflik
terbaru mereka.

Pertama, untuk memahami konflik ini, jangan dimulai dengan perdebatan tujuh abad
Sunni-Syiah soal suksesi penerus Nabi saw. Perselisihan Iran-Saudi adalah kasus
modern, bukan sesuatu yang dapat Anda temukan jawabannya di buku sejarah
agama dan teologi zaman dulu. Betapa menggelikannya jika dalam mendiskusikan
perang dingin Amerika-Rusia, kita tidak menggunakan ilmuwan politik, tapi justru
mengajak masyarakat berbicara tentang sejarah gereja ortodoks Yunani.

Saya tidak bermaksud membantah agama sebagai fakor konflik. Justru di sebagian
konflik, agama adalah faktor utama, tapi ia tidak pernah jadi satu-satunya faktor.
Kebanyakan malah sangat dipengaruhi oleh faktor ekonomi, demografi, ideologi,
sejarah, dan lain-lain.

Kedua, Iran dan Arab Saudi sama-sama negara modern (masa kini). Memang,
mereka memiliki sejarah yang panjang dan dalam, tapi seperti semua negara saat
ini, mereka diukir oleh kerajaan modern. Seringkali diwarnai pertempuran dengan
kolonialisme, gerakan nasional, dan pemberontakan anti-kolonial. Untuk memahami
kedua negara, kita harus melihat kompetisi geopolitik antara negara pasca-kolonial
yang mencoba mendapat legitimasi keberadaannya dengan mengikuti berlapis-lapis
norma. Tentu, di sana ada persaingan Saudi dan Iran dalam hegemoninya di antara
negara mayoritas muslim.
Ketiga, kompetisi mereka tidak selalu tentang Islam. Pasca kemenangan Revolusi
Islamnya, Iran secara tegas dan terang menyatakan dirinya anti-monarki. Sedang
Arab Saudi diperintah oleh jaringan luas keluarga kerajaan bani Saud.
Kempat, Sunni-Syiah tidak sama dengan Arab-Persia. Saat ini, sebagian besar isi
Iran adalah Persia dengan populasi Syiah terbesar. Kita pun bisa menemukan orang
Turki dan Arab di Irak, Bahrain dan dimanapun yang menganut mazhab Syiah.
Faktanya, ribuan tahun lalu Iran adalah pusat Muslim Sunni dunia, sementara pusat
Muslim Syiah adalah Mesir di bawah kekuasaan diansti Fatimiyah.
Kelima, menganggap ini sebagai perselisihan Sunni-Syiah berarti telah melupakan
fakta bahwa sejauh sejarah keislaman, mayoritas Muslim mengikuti pengertian Islam
yang ramah oleh Ahlul Bait. Ahlul Bait adalah keluarga Rasulullah saw. Menurut
sejarah, hampir seluruh Muslim—baik Sunni maupun Syiah mencintai, menghormati,
dan setia kepada keluarga Rasulullah saw.

Gema ini terdengar kemanapun Anda menghadap. Salah satu masjid paling ramai
dan terkenal di Mesir bernama Mesjid Imam Husain, cucu Nabi saw. Almarhum

https://islamindonesia.id 521
Annemarie Schimmel menulis tentang peringatan hari-hari Imam Husain di Asia
Selatan. Lagu yang sangat populer di Pakistan dan India, Qawwali, juga berisi pujian
terhadap keluarga Muhammad saw. Dan masih banyak lagi.

Untuk Saudi, bukan latar Sunninya yang membuat ia berhadapan dengan orang-
orang Syiah, dimensi keagamaan mereka justru terhubung dengan Wahabisme yang
bertanggung jawab dan menentukan praktek resmi keagamaan di sana.

Keenam, konteks, konteks, konteks. Kita tidak bisa memahami keadaan Timur
Tengah tanpa berurusan dengan isu nasionalisme, kolonialisme, dan tekanan aparat
negara-negara modern.

Karena jika ingin membicarakan sejarah abad 20 dan 21-nya Timur Tengah, kita
akan dihadapkan dengan kolonialisme; pertama oleh Inggris dan Prancis, lalu
dukungan Amerika pada rezim diktator dan otokrasi (Iran, Arab Saudi, Irak, Pakistan,
Mesir, Israel, dll). Singkatnya, kita tidak bisa menceritakan kisah sesungguhnya soal
ketidakstabilan di Timur Tengah tanpa bagian keterlibatan kita sendiri.

Ketujuh, minyak. Jangan remehkan daya tarik minyak dalam membaca kepentingan
geopolitik Saudi dan Iran. Saat ini kebanyakan sumber minyak berada di bawah
tanah berpenduduk Syiah, bahkan di Saudi. Dengan turunnya harga minyak, setiap
sumbernya menjadi sangat penting.
Kedelapan, sudah jelas, kalau Iran dan Saudi lah yang paling bertanggungjawab
atas peningkatan permusuhan ini. Bagaimanapun, Amerika harus merenungi baik-
baik kesalahannya sendiri. Amerika adalah produsen senjata terbesar dengan Saudi
Arabia sebagai pelanggan terbesarnya.

Di masa Obama saja nilainya hampir 60 milyar dolar. Di samping tingginya


pelanggaran hak asasi manusia Saudi, Amerika masih memiliki kebijakan jangka
panjang persahabatan dengan Saudi. Kita harus sadar soal ini: kita tidak bisa
menjadi sebab perdamaian dunia dengan terus-menerus mengirim senjata ke
kawasan paling tidak stabil. Dalam banyak kasus seperti Suriah, senjata itu berakhir
di tangah organisasi teroris paling kejam di dunia. Dan untuk Saudi, Israel dan Mesir,
senjata ini diarahkan pada rakyat sipil.

Kesembilan, ini juga soal kondisi politik internal. Misalnya ketika kedutaan Saudi
dibakar di Teheran oleh sekolompok ekstrim, mereka ingin memberikan tekanan
pada presiden moderat Hassan Rouhani. Sementara Rouhani sendiri mengutuk
serangan itu dan menggaungkan kembali tradisi Iran, “Setiap tamu adalah teman
Tuhan.”

https://islamindonesia.id 522
Kesepuluh, jadi siapa yang kalah? Hampir kita semua kalah. Mereka yang
menerima resiko terbesar adalah masyarakat Suriah. Suriah telah mengalami salah
satu bencana kemanusiaan terbesar di dunia sejak perang dunia kedua. Sekitar
250.000 orang terbunuh dan lebih dari setengah populasi menjadi pengungsi di luar
maupun dalam Suriah. Kelaparan di sana begitu parah sampai mereka yang tak bisa
mengungsi terpaksa memakan rumput.

Suriah terperangkap dalam pusaran mematikan geopolitik yang mengoyak-ngoyak


salah satu peradaban terkaya dan tertua yang pernah dimiliki umat manusia.
Dibutuhkan kerjasama yang kadung terlambat oleh Iran dan Saudi Arabia untuk
menghentikan konflik yang terjadi di sana. Namun faktanya, sangat sedikit upaya
kerjasama terlihat untuk menghentikan pendarahan rakyat Suriah.

Siapa lagi yang kehilangan? Rakyat Yaman. Bombardir kampanye militer Saudi
yang mendapat sedikit perhatian dikatakan oleh kelompok kemanusiaan sebagai
bencana besar. 20 juta rakyat Yaman hidup terancam sedang 14 juta diantaranya
kesulitan makanan. Tidak lupa, Badan Pengawas Hak Asasi Manusia kemarin
meminta Amerika menghentikan pengiriman “bom pintar” seharga milyaran dolar ke
Saudi, yang akan digunakan pada rakyat Yaman.

Mari diperjelas. Tidak ada yang ingin memberi kesan bahwa semua ini tidak ada
hubungannya dengan konflik sektarian. Tentu ada, tapi sebagian.

Yang ingin saya katakan adalah, Sunni dan Syiah tidak selalu membenci satu sama
lain, juga pastinya tidak saling membunuh. Seperti yang terjadi di Palestina dan
Israel. Konflik itu bukanlah “permusuhan abadi dan turun-temurun.” Konflik ini adalah
soal duniawi, sejarah, yang sering kali menggunakan bahasa agama untuk
membenarkan konflik politik. Hal ini dimulai dengan alasan duniawi, dan dengan izin
Tuhan, akan mendapat solusi duniawi juga. Kehidupan di Iran, Arab Saudi—juga
Yaman, Suriah, Irak, dll, bergantung padanya.[]

Muhammad/Islamindonesia
(Sumber: https://islamindonesia.id/kolom/opini-sepuluh-saran-membaca-konflik-saudi-iran.htm)

https://islamindonesia.id 523
Sunday, 06 March 2016
SOLUSI PALESTINA ISYARAT RELEVANSI OKI
Oleh Abdillah Toha

Organisasi Kerjasama Islam (OKI), yang berencana menggelar konferensi tiga


tahunan di Jakarta pekan ini, dibentuk pada 1969 setelah gerakan Pan Arab yang
dipromosikan mantan Presiden Mesir Gamal Abdul Nasser bubar total lepas
kekalahan negara Arab dalam perang melawan Israel 1967.

Bangsa Arab, yang dimotori Raja Faisal dari Arab Saudi, yang sejak awal memang
tidak senang dengan ideologi sosialis Pan Arab Nasser, lantas melihat perlunya
pembentukan sebuah organisasi baru yang lebih luas dan berlandaskan Islam.

Idenya adalah mempersatukan dunia Muslim agar bisa sama mendukung pendirian
sebuah negara Palestina di atas tanah yang secara ilegal telah dibelah dan
dikangkangi Israel.

Dari awalnya 25 negara Muslim yang bergabung, OKI lantas berkembang menjadi
57 negara dari empat benua, “mewakili” 1,4 miliar manusia. Saat ini ia adalah
organisasi intra-pemerintah kedua terbesar di dunia setelah PBB.

Konferensi kali ini diharapkan menghasilkan resolusi yang akan mempertegas sikap
dasar anggota OKI dalam kasus Palestina dan Al-Quds Al-Sharif (Yerusalem), dan
lahirnya Deklarasi Jakarta, yang bakal berisi komitmen bersama pemimpin OKI
untuk mengambil langkah-langkah nyata mendukung (pembebasan) Palestina dan
Al-Quds Al-Sharif.

https://islamindonesia.id 524
Setelah 47 tahun berjalan dengan rapat tahunan menteri luar negeri dan tidak
kurang dari 15 konferensi tingkat tinggi, resolusi demi resolusi, deklarasi dan
kecaman di sana sini, Israel masih tetap ada, bahkan dengan daerah pendudukan
yang kian luas.

Dari yang tersisa, bangsa Palestina hanya punya dua kerat tanah—sedikit di bawah
22 persen dari keseluruhan Palestina—bergaya Bantustan (seperti kawasan
pengasingan orang kulit hitam pada masa Apartheid di Afrika Selatan–Red.), yang
dipisahkan oleh daerah pendudukan Israel, dimana mereka harus melewati pos-pos
pemeriksaan Israel untuk sekadar bisa menyeberang dari satu sisi rumahnya ke sisi
lainnya.

Mungkin lantaran putus asa, piagam-piagam OKI tidak lagi fokus pada kemerdekaan
Palestina, tapi telah direvisi dan diperluas kandungannya berulang kali.

Misi mereka sekarang meluas ke permasalahan yang lebih umum, seperti


pemeliharaan nilai-nilai sosial dan ekonomi Islam; mengusung solidaritas antar
negara anggota; meningkatkan kerjasama sosial, ekonomi, budaya, keilimuan dan
politik; menegakkan perdamaian dan keamanan dunia; penghormatan pada
kedaulatan masing-masing negara; dan mempercepat laju pendidikan khususnya di
bidang sains dan teknologi.

Kendati dari waktu ke waktu OKI masih bisa menggunakan suaranya untuk
mempengaruhi voting di Majelis Umum PBB, yang resolusinya tidak mengikat,
karena beberapa alasan lengan politik mereka sama sekali tidak efektif.

Alasan mengapa OKI hanya sedikit mengeluarkan hasil yang bermanfaat adalah
organisasi ini sudah berubah menjadi semacam perkumpulan belaka, dimana para
menteri dan kepala negara bertemu secara teratur untuk berbicara, berdebat dan
bertukar pandangan, untuk kemudian kembali ke rumah masing-masing tanpa
komitmen yang nyata.

Resolusi mereka bukan hanya tidak mengikat anggotanya, tapi juga seringkali tidak
dapat direalisasikan karena nasib Palestina dan resolusi konflik di negara Muslim
lebih sering bergantung pada beragam kepentingan negara-negara besar.

OKI sejatinya bahkan tak bisa disebut sebagai sebuah klub lantaran, secara definisi,
klub adalah sekumpulan orang dengan kesamaan tujuan atau kepentingan, yang
bertemu secara rutin dan mengambil bagian dalam kegiatan bersama. Dan seperti
sama kita ketahui, satu-satunya kesamaan kepentingan dan identitas anggota OKI
adalah agama.

https://islamindonesia.id 525
Tapi di sisi ini pun ada masalah sektarianisme keagamaan (Sunni-Syiah) di antara
negara anggotanya yang akhir-akhir ini meruncing, sebagaimana terlihat jelas pada
ketegangan yang berlanjut di Timur Tengah.

Selain itu, tidak semua negara berpopulasi mayoritas Muslim, termasuk India
dengan populasi Muslim ketiga terbesar di dunia (sebagian mengatakan kedua
terbesar setelah Indonesia), yang ditolak bergabung dalam OKI semata karena
keberatan dari Pakistan.

Konflik tiada akhir antara dua faksi di Palestina, Fatah dan Hamas, yang
juga menjadi salah satu penghalang utama tercapainya kemerdekaan, bukan
perkara yang mudah dipecahkan karena setiap kubu didukung anggota OKI yang
berlawanan.

Persoalan terbesar organisasi ini adalah sekaligus kegagalannya dalam


penyelesaian sengketa antara negara anggotanya. Dalam krisis Suriah, contohnya,
perselisihan di antara anggota telah membawa OKI ke jalan buntu.

Berlanjutnya bombardir tak berperikamanusiaan koalisi Saudi di Yaman, keduanya


adalah negara anggota OKI, yang menghancurkan infrastruktur Yaman dan memicu
kematian ribuan orang dan korban luka-luka, adalah penghianatan yang nyata
terhadap piagam OKI.

Kehancuran negara anggota Libya di depan mata negara-negara OKI oleh pasukan
Barat telah memupus seluruh harapan yang tersisa akan relevansi OKI.
Pembentukan koalisi militer 34 negara Islam Sunni untuk “melawan terorisme” pada
medio Desember tahun lalu kian mempertegas segragasi Sunni-Syiah dalam tubuh
organisasi.

Beberapa hari lalu, Dewan Kerjasama Negara Teluk (GCC), yang terdiri dari Arab
Saudi, Kuwait, Oman, Qatar, Bahrain, dan Uni Emirat Arab, mendeklarasikan
Hizbullah sebagai organisasi teroris, padahal kita tahu bahwa Hizbullah di Lebanon
adalah satu-satunya yang bisa mengimbangi kedigdayaan militer Israel.

Satu bulan sebelumnya, Arab Saudi bahkan sengaja menghentikan 4 milyar dolar
program hibah peralatan militer Prancis untuk Beirut.

Seluruh permasalahan intern di atas hanya membawa kita pada satu kesimpulan,
yakni misi tertulis piagam OKI “untuk menjaga dan melindungi kepentingan dunia
Muslim”, termasuk usaha membebaskan Palestina, hanyalah mimpi di siang bolong.

https://islamindonesia.id 526
Dalam situasi seperti ini, apa yang bisa Indonesia lakukan untuk menghidupkan
semangat kerjasama di tengah anggota OKI dan di saat bersamaan membantu
Palestina dan mendorong perdamaian di Timur Tengah?

Hal ini tentu bukan tugas yang dengan mudah diemban negara manapun. Tapi
dengan tidak terlibat langsung dalam komplikasi politik di Timur Tengah, Indonesia
bisa menjadi penengah yang netral untuk mendorong lahirnya rasa saling percaya di
antara semua pihak dalam organisasi.

Indonesia juga bisa menginspirasi beberapa negara anggota yang kadar


demokrasinya masih rendah, dengan menunjukan bagaimana demokrasi sejalan
dengan nilai dan aturan Islam.

Ketika otoriterianisme bisa dikurangi atau dihilangkan dan transparansi


pemerintahan ditingkatkan, maka situasi ini pada gilirannya bisa mengarahkan
pemerintahan negara-negara Islam untuk berpihak pada kebijakan yang tidak
berdasarkan kepentingan pribadi.

Hubungan baik kita dengan negara besar di sisi lain dunia juga dapat menjadi
kekuatan ekstra dalam mengurangi ketegangan di kawasan konflik.

Kita juga harus mengingatkan peserta konferensi bahwa masalah Israel-Palestina


jangan hanya dilihat dari kaca mata agama, atau kita hanya akan melewatkan
aspek realpolitik yang terkait beragam kepentingan kelompok secara global.

Penting juga bagi Indonesia untuk meyakinkan seluruh anggota OKI bahwa selama
mereka tidak bisa mengatasi perbedaan dan bersatu di bawah bendera Islam yang
moderat dan inklusif, sebagai sebuah agama perdamaian dan pembawa keberkahan
untuk seluruh umat manusia, OKI pastinya akan punah dan hanya bakal diingat
sebagai bagian dari sisi gelap sejarah.[]

*Penulis adalah analis politik dan eks anggota komisi luar negeri di DPR. Opini ini
terjemahan dari publikasi di The Jakarta Post.

(Sumber: https://islamindonesia.id/kolom/opini-solusi-palestina-isyarat-relevansi-oki.htm)

https://islamindonesia.id 527
Friday, 04 March 2016
ZAMAN KACAU
Oleh Haidar Bagir

Pengantar Redaksi
Rubrik Opini kali ini menurunkan tulisan bernas Haidar Bagir terkait kekacauan yang
diakibatkan oleh melubernya informasi ke tengah publik. Di saat media sudah
menjadi digital, serta cara pencarian dan penyebaran informasi menjadi jauh lebih
mudah– bahkan amat menggoda –untuk semua orang, zaman terasa menjadi lebih
“kacau”. Tak sedikit penelitian yang menunjukkan bahwa “luberan informasi”
(information spill over) telah membuat orang mengalami disorientasi. Terlalu banyak
informasi justru telah menyebabkan orang kebingungan. Berbagai penelitian itu
juga memperingatkan tentang hilangnya kedalaman, dan lahirnya generasi baru
pengguna internet yang, oleh Nicholas Carr, disebut sebagai “Orang-
orang Dangkal” (The Shallows), yang terbiasa menyantap informasi instan dan
tanpa kedalaman.

Kejadiannya di tahun 1960. Sebuah buku tentang media diterbitkan.


Judulnya Understanding Media, penuisnya Marsahall McLuhan. Buku, yang
belakangan disusul dengan edisi infografisnya yang berjudul Media is The
Massageitu, terbukti sejak itu mengubah cara pandang orang tentang kedahsyatan
media dalam membentuk cara hidup masyarakat. Di buku-bukunya itu McLuhan
memperingatkan kita tentang masa depan umat manusia yang akan berubah

https://islamindonesia.id 528
disebabkan penemuan media audiovisual. Bayangkan, saat itu adalah sedikitnya 20
tahun hingga internet ditemukan.

Dalam Understanding Media juga, untuk pertama kalinya istilah dunia sebagai global
village diperkenalkan. Tapi, ada pesan unik dan menarik lain yang disampaikan buku
legendaris ini. McLuhan dengan sangat orisinal menunjukkan bahwa bukan saja
seperti makna asli istilah itu media adalah sarana penyebaran informasi, ia
sesungguhnya adalah isi pesan itu sendiri. Ya. Lepas dari kandungan pesan yang
didiseminasikan lewat media, media itu sendiri ikut membentuk cara berpikir dan
cara hidup penggunanya. Jangankan media audiovisual, yang dirujuk oleh McLuhan
pada saat itu, orang pun sudah sepakat bahwa sekadar gambar memberikan
peluang lebih besar untuk penyampaian informasi. A picture speaks a thousand
words. Karakter media audiovisual, sebagai gambar hidup yang diperkaya dengan
efek musik dan teknik penyuntingan, telah menjadikan upaya penyampaian pesan
menjadi memiliki kekuatan berlipat ganda. Dan pengaruhnya tak lagi semata sensual
atau rasional, melainkan juga merasuk ke wilayah psikis penikmatnya.

Untuk menekankan point-nya, MacLuhan memberikan contoh yang menarik. Yakni


lampu bohlam. Jika ia dilihat sebagai suatu medium, betapa pun tanpa pesan (dalam
bentuk apa pun) – dengan kata lain, medium kosong – kita dapati bahwa
pengaruhnya dalam mengubah cara orang hidup sangatlah luar biasa. Jika
dibandingkan, cara hidup orang sebelum dan setelah ditemukannya bohlam berubah
luar biasa. Bohlam memungkinkan orang beraktivitas bebas di malam hari, setelah
sebelumnya terkendala oleh kegelapan. Produktivitas manusia meningkat, orang
tidur lebih malam, keluarga dan komunitas bisa punya waktu bercengkerama lebih
banyak, dengan segala implikasinya.

Dari sinilah cerita menjadi menarik. Sepintas seperti tak ada yang aneh dalam edisi
infografis buku McLuhan yang disinggung di atas. Medium is The Massage. Medium
adalah pesannya? Perhatikan dengan lebih teliti. Meski konon awalnya adalah
kesalahan perancang sampul dalam mengeja judul, McLuhan justru meminta agar
judul bukunya itu tetap menggunakan kata “massage” ketimbang “message” yang
merupakan gagasan asli buku tersebut. Apa pasal? Sebagaimana kata “message”
bisa dibaca sebagai “mess age” (zaman kacau), kata “massage” sendiri sebagai
suatu kesatuan – selain juga bisa dibaca “mass age” – bermakna “pijatan”.

Informasi telah dikemas dengan suatu cara yang begitu memikat sehingga orang-
orang tergoda dan terhanyut (baca: tersihir) olehnya. Dilihat sebagai konsep-konsep
yang berada dalam satu kesatuan, pesan (message) telah menyihir (me-massage)
orang – boleh jadi dalam suatu cara yang manipulatif sekaligus negatif – sehingga
melahirkan zaman yang penuh kekacauan (mess age).

https://islamindonesia.id 529
Dan sekarang ini kita merasa bahwa pengamatan McLuhan, meski bukannya bebas
kritik, lebih benar dan relevan dibanding saat buku itu ditulis dan diterbitkan. Di saat
media sudah menjadi digital, serta cara pencarian dan penyebaran informasi telah
menjadi jauh lebih mudah, lebih cepat dan aksesibel – bahkan amat menggoda –
untuk semua orang, terasa memang zaman menjadi lebih “kacau”. Sebelum ini tak
sedikit penelitian dan pengamatan dibuat orang untuk menunjukkan bahwa “luberan
informasi” (information spill over) telah membuat orang mengalami disorientasi.
Terlalu banyak informasi justru telah menyebabkan orang kebingungan. Lalu juga
orang memperingatkan tentang hilangnya kedalaman, dan lahirnya generasi baru
pengguna internet yang, oleh Nicholas Carr, disebut sebagai “Orang-
orang Dangkal” (The Shallows), yang terbiasa menyantap informasi instan dan
tanpa kedalaman.

Tak untuk menjadi nihilistik dalam hal manfaat teknologi digital, lebih jauh lagi
ternyata pertukaran informasi telah menjadi simpang siur. Tata penyampaian
informasi yang membagi masyarakat ke dalam kelompok produsen dan konsumen
selama ini bisa diupayakan bersandar pada keahlian, kejujuran, dan prinsip check
and recheck –untuk tak menyebut regulasi – telah menjadi suatu kekacauan atau
kesimpangsiuran (mess). Semua orang, tanpa keahlian, tak jarang juga dengan niat
buruk, memiliki akses pada pencarian – bahkan produksi informasi bohong – dan
dengan mudahnya menyebarkannya ke masyarakat luas. Kadang
melaui facebookdan website/blog, yang bisa dibuat dengan instan, lebih mudah lagi
melalui WA broadcast, akun twitter, dan sebagainya.

Situasi yang mengkhawatirkan ini masih ditambah dengan perilaku tidak kritis
masyrakat, yang dengan mudah menggandakan dan menyebarluaskan apa saja
yang dibacanya ke publik. Yang lebih parah, sebagian media tak jarang
mendasarkan beritanya pada kumpulan informasi dari sumber-sumber yang tidak
bisa dipertanggungjawabkan ini. Dan ini yang paling memprihatinkan: seorang
pemilik akun twitter, atau facebook, atau website/blog, bisa mendapatkan follower,
teman atau kunjungan besar justru dengan menyebarkan informasi-informasi yang
sensasional dan tidak bisa dipertanggungjawabkan seperti ini.

Seperti fenomena demokratisasi dalam hal apa pun, dengan segala kelebihan dan
manfaatnya, demokratisasi informasi yang lahir berkat internet dan teknologi digital
ini telah menipiskan rasa “saling percaya” (trust). Di satu sisi, ini memang esensi
demokrasi, yakni sebagai faktor yang menggerogoti peluang bagi sistem-sistem
totalitarian dan hegemonik. Tapi, pada saat yang sama, suatu masyarakat atau
negara juga tak mungkin bisa bertahan dengan trust yang terlalu tipis di antara
warganya. Bukan saja pemerintahan kuat memang tetap diperlukan, toh trust bukan
cuma soal penguatan negara. Seperti antara lain diungkapkan

https://islamindonesia.id 530
Fukuyama, trust adalah persoalan penguatan masyarakat madani vis a vis
kemungkinan berkembangnya negara autokratik. Maka, seninya selalu adalah untuk
menghindarkan keadaan-keadaan ekstrem. Masyarakat tuna trust tak akan memiliki
ikatan kekelompokkan, yang dengan amat tepat diidentifikasi oleh Ibn Khaldun —
pemikir Islam-Sepanyol abad 14 dan penulis Muqaddimah, yang dianjurkan untuk
dibaca oleh pendiri Facebook Mark Zuckerberg baru-baru ini — sebagai ’ashabiyah.
‘Ashabiyah, menurut Khaldun dan para pemikir kesejarahan dan sosiologis modern
yang mengikutinya, adalah modal-dasar bagi setiap kelompok masyarakat untuk
survive dan berkembang.

Tak sulit bagi banyak orang untuk melihat betapa masyarakat di negeri ini sekarang
dipenuhi dengan ketegangan antarkelompok yang luar biasa. Antarkelompok politik,
kelompok etnik, kelompok keagamaan – antar dan intraagama – dan sebagainya.
Tak pernah kecenderungan konflik di tengah masyarakat terasa sekuat sekarang.
Terasa luar biasa besar semangat bermusuhan satu kelompok dengan kelompok
lain. Persoalan kecil pun dengan sangat mudah dibesar-besarkan, bahkan tak jarang
persoalan dibuat-buat tanpa dasar sama sekali sekadar sebagai bahan penyulut
konflik. Masyarakat kita pun jadi sasaran empuk misinformasi dan disinformasi. Jika
tak ada langkah-langkah serius yang diambil oleh pemerintah untuk menata lalu
lintas penyebaran informasi di masyarakat, dikhawatirkan suatu saat keadaan bisa
terlepas di luar kendali. Karena itu, aturan larangan hate speech yang dikeluarkan
Kapolri beberapa waktu yang lalu perlu diapresiasi.

Terlalu banyak preseden dalam sejarah modern betapa konflik kekerasan, bahkan
perang saudara di antara suatu komunitas, di dalam dan luar negeri, mudah
dieskalasi jika kebencian antarkelompok telah menyebar-luas. Cukup kiranya
kita pelajari kasus konflik Ambon, perang saudara di Libanon, atau pun perang
Suriah, yang reperkusinya masih terasa sampai sekarang. Pemicunya lebih sering
adalah masalah-masalah yang terbatas dan lokal, seperti tabrakan kendaraan yang
melibatkan dua kelompok, atau tak jarang juga operasi false flag dari pihak-pihak
ketiga yang mempunyai agenda jahat.

Kejadian-kejadian tersebut meledak di luar kendali, meski awalnya bersifat lokal, tapi
kemudian menyeret pihak-pihak yang memiliki kepentingan atau mendapatkan jalan
untuk memanipulasi kelompok-kelompok yang berkonflik demi kepentingan pribadi
atau kelompokmya. Termasuk pemerintahan-pemerintahan autoritarian, kelompok-
kelompok militer dalam pemerintahan, kelompok-kelompok politik, maupun
kelompok radikal terorganisasi, baik di dalam maupun di luar negeri. Teror bom yang
terjadi belum lama ini di Jakarta kiranya bisa menjadi alarm tanda bahaya mengenai
kemungkinan eskalasi konflik lebih jauh ke ranah pascawacana.

https://islamindonesia.id 531
Maka, tentu tetap harus dalam bingkai konstitusi dan pemeliharaan HAM,
pemerintah kiranya perlu mengambil tindakan-tindakan lebih sigap dan tegas untuk
menerapkan aturan-aturan yang berlaku demi meghindarkan negeri ini dari dicabik-
cabik oleh konflik kemasyarakatan yang tidak terkendali. Pemerintah perlu
melibatkan masyarakat dan para ahli hukum untuk mengambil tindakan yang bersifat
persuasif, preventif dan, jika perlu, represif, agar potensi konflik yang telah
sedemikian mengkhawatirkan tidak lepas di luar kendali.

Saya percaya, dalam iklim demokratis yang telah berkembang dengan begitu baik di
negeri kita, juga partisipasi masyarakat sipil yang begitu intens dalam pengelolaan
negara, ekses yang mungkin timbul dari tindakan-tindakan seperti ini terhadap iklim
kebebasan dapat ditekan bahkan dihindarkan, sehingga situasi dinamis namun
tetap kondusif di tengah masyarakat dapat dipulihkan tanpa korban atas prinsip
demokrasi itu sendiri

Sumber: Majalah Tempo


(Sumber: https://islamindonesia.id/berita/opini-zaman-kacau.htm)

https://islamindonesia.id 532
Thursday, 03 March 2016
SEMBAH CIPTA, BERSUCI DENGAN MEMERANGI
HAWA NAFSU
Oleh Parni Hadi

Setelah mampu menjalankan sembah raga atau sholat lima waktu sehari semalam
sesuai Syariat, orang dapat meningkat ke tahap berikutnya, yakni sembah cipta atau
sembah kalbu. Di sini hubungan antara manusia dengan Tuhan dilakukan melalui
kalbu.

Bersucinya tidak lagi dengan air (wudhu) seperti dalam sembah raga, melainkan
dengan memerangi hawa nafsu atau menjauhkan diri dari angkara murka dan
segala sesuatu yang dapat memecah konsentrasi lakunya, demikian menurut
Wedhatama.

Lakunya adalah bertindak tertib, teliti, berhati-hati dan tekun, betapapun sulit dan
berat. Ini akan menumbuhkan watak dan kebiasaan ingat dan waspada atau “eling
lan waspodo”. Jika diterima oleh Allah, hasil sembah cipta ini pelakunya akan
mampu melihat jalan yang sebenarnya, tarekat, menuju “kasunyatan” atau
kenyataan yang tidak dapat dilihat dengan mata biasa. Sembah cipta juga disebut
salat tarekat.

Apabila dilaksanakan dengan tertib, sembah cipta akan berakibat


lenyapnya penghalang yang memisahkan pemandangan alam lahir dan alam
bathin, demikian menurut Dr. Hj. Koosinah Soerjono Sastrohadikoesoemo dalam
bukunya “Serat Wedhatama, suatu Kajian Pemikiran Filsafat“.
Lenyapnya penghalang atau hijab ini disebut “tinarbuko” dalam bahasa Jawa. Ini
mulai dirasakan pada sembah ketiga, yakni sembah jiwa/sukma. Tanda sudah
sampai pada tataran ini adalah keadaan seolah-olah pingsan atau setengah tidur,
antara sadar dan tidak. Wedhatama menyebutnya masuk ke alam “ngaluyut”.

Wedhatama mengungkapkan ini dalam bait ke 13, yang biasa dilantunkan sebagai
Suluk oleh dalang, sbb:

Tan samar pamoring suksma,


Sinuksmaya ing ngasepi,
Sinimpen telenging kalbu,
Pambukaning warana

https://islamindonesia.id 533
Tarlen saking layap liyeping ngaluyup,
Pindha pesating supeno sumusuping rasa jati.

Terjemahan bebasnya: Tidak ada keraguan akan cahaya jiwa yang tersimpan dalam
dasar kalbu, yang memancar di kala sepi, terbukanya tabir/penghalang yang
menutupi (pemandangan bathin), sewaktu mata sedang terbuka dan terkejab
dengan ingatan setengah sadar, saat itu Rasa Jati menyusup dengan cepat ke
dalam kalbu seperti mimpi.

Untuk sampai pada pengalaman ini, orang harus sabar dalam segala tindak, dan
terlaksananya dengan “eneng, ening, eling”, yaitu dengan tenang, syahdu dan
sadar. Sembah cipta akan gagal kalau orang bersikap tidak setia akan hasrat dan
tujuan semula dan menjadi sombong, ingin puji-pujian dari para pengikutnya. Karena
itu, harus selalu ingat dan waspada terhadap yang membatalkan sembah ini.
“Kasunyatan” berasal dari bahasa Sanskrit “sunyata”, yang berarti sunyi atau
“suwung” atau tidak ada apa-apa, menurut “Kunci Swarga” (Miftahul Jannati), buku
dalam bahasa Jawa karya Bratakesawa yang terbit tahun 1952.

Menurut Bratakesawa, hasil sembah cipta adalah “makrifating tarekat”. Artinya,


pengertian yang ditangkap oleh tiga indra (tri indriya) dari delapan indra
(astendriya). Ke delapan indra itu terdiri dari pancaindra (mata, kuping, lidah, hidung
dan kulit) dan tiga indra, yakni jantung, otak dan “pringsilan” ( buah pelir).

Ketiga indra dalam “Wirid Hidayat Jati”, karya Ronggowarsito, disebut Betalmukaram
(Baital Muharram), Betalmakmur (Baital Makmur) dan Betalmukadas (Baitul Maqdis).
Betalmukaram disebut rumah larangan, karena dianggap arasy, tempat Tuhan
bersemayam.

Betalmukaram, tempat rahasia “Ingsun” bertahta di dada manusia. Di dalam dada


ada hati dan jantung, di dalamnya ada budi. Di dalam budi ada angan-angan, di
dalamnya ada sukma (rahsa), di dalam rahsa ada Ingsun”. Yang dimaksud “Ingsun”
adalah Tuhan. Wallahu alam bissawab.[]

(Sumber: https://islamindonesia.id/kolom/opini-sembah-cipta-bersuci-dengan-memerangi-
hawa-nafsu.htm)

https://islamindonesia.id 534
Wednesday, 02 March 2016
JADI KAFIR TIDAK MASALAH ASAL TIDAK KALAH
Oleh Miqdad Turkan

Dalam situasi dunia Islam sedang dilanda konflik sektarian, kunjungan Syaikhul
Azhar ke Indonesia tentu memiliki arti tersendiri. Di samping menjadi kebanggaan,
juga memiliki nilai historis. Kunjungan ini bukan sekedar silatirahmi antar tokoh,
ulama dan temu kangen alumni semata, melainkan membawa misi besar dan amat
mulia. “Perdamaian dunia Islam”, itulah misi besar beliau.

Misi ini adalah misi kenabian dan juga prinsip Al Quran. Sebagai pewaris nabi, para
ulama secara syar’i bertanggung jawab membangun keharmonisan dan kedamaian
antar sesama muslim.

Dalam menjalankan misi mulia itu, para ulama harus bisa menjadi contoh utama.
Bersatu padu di antara mereka, saling bergandeng tangan dan tidak saling
menyesatkan.

Itulah salah satu pesan penting Syaikhul Azhar kepada kita, saat berkunjung di
kantor MUI pusat di Jakarta (22/2/2016). Dan ketika ditanya tentang Syiah, dengan
tegas beliau menjawab: Sunni dan Syiah adalah saudara.

Tentu ini bukan pesan baru dan bukan pula orang pertama yang menyampaikan
pesan tersebut. Sebagai lembaga keulamaan representatif mazhab Sunni dunia,
tahun 1947 M Al Azhar bahkan telah membentuk lembaga taqrib antar madhab

https://islamindonesia.id 535
sebagai upaya membangun persatuan antar umat Islam yang saat itu
beranggotakan 20 ulama dunia dari semua mazhab, di antaranya Syaikh
Muhammad Ali Kasyif Al-ghito dari Irak dan Sayid Husain Syarafuddin Al-Musawi
dari Lebanon.

Paling menarik justru respon Muslimin Indonesia terhadap seruan suci Syaikhul
Azhar ini. Ada yang merespon positif, ada yang biasa-biasa, ada juga yang negatif
dan terkesan melecehkan. Semua respon ini tentu tidak lepas dari beberapa faktor
teknis berikut:

Pertama, faktor tempat. Reaksi beragam terkait pernyataan Syaikul Azhar tentang
Syiah, karena disampaikan di kantor MUI pusat. Sedang sikap MUI terkait isu Syiah
selama ini ‘sangat jelas’. Bahkan dalam banyak kasus, MUI justru berperan aktif
sebagai pemicu ketegangan sektarian. Di samping itu, MUI sebagai lembaga
kabarnya sudah punya agenda dan rencana matang untuk segera mengeluarkan
fatwa Syiah ‘sesat’.
Kedua, kecurigaan. Secara kasat mata, penyebab munculnya pernyataan Syaikhul
Azhar terkait Syiah, disebabkan oleh pertanyaan Dr Machasin (Dirjen Bimas
Kemenag), yang kemudian diapresiasi dan secara resmi diunggah dalam web
Kemenag. Hal ini tentu memunculkan spekulasi dan kecurigaan adanya ‘rekayasa’
antara Kemenag dan pihak Al Azhar.

Sekiranya tidak disampaikan di kantor MUI pusat dan tidak diapresiasi oleh
Kemenag, bisa jadi reaksinya tidak seperti sekarang ini. Sebab dari pernyataan
Syaikhul Azhar, ada pihak-pihak yang merasa dirugikan.

Pertama, kelompok anti Syiah, terutama Wahabi Takfiri yang tergabung dalam
berbagai ormas dan partai politik. Secara politis, pernyataan Syekh Al Azhar bisa
dianggap sebagai upaya menggagalkan rencana jahat yang telah mereka rancang
sejak lama.

Kedua, tokoh-tokoh MUI, terutama mereka yang selama ini terlibat kampanye secara
masif anti Syiah.

Ketiga, dengan pernyataan Syikhul Azhar ini, banyak tokoh yang merasa
dipermalukan dan ditelanjangi di muka umum.

Meski demikian, mereka belum tentu berhenti dari berbuat nista. Alih-alih,
kecongkakan justru akan membawa mereka terus berbuat kerusakan. Dan ketika
ditanya: kenapa kalian suka menebarkan kebencian di antara anak bangsa dan
bersikap intoleran? Apakah kalian ingin menghancurkan negara ini dan Pancasila?

https://islamindonesia.id 536
Mereka menjawab: Justru kami adalah para reformis dan ingin menjaga NKRI dari
‘orang-orang kafir’.

Jawaban ini sama persis dengan orang-orang Yahudi ketika ditegur Allah
SWT: “Jangan kamu berbuat kerusakan di muka bumi. Mereka menjawab:
Sesungguhnya kami justru orang-orang yang reformis.” QS. Al Baqarah: 11-12.

Secara nalar, orang berbuat salah dan tahu dirinya salah, mestinya segera taubat
dan meminta petunjuk ke pada Allah. Tapi ada yang justru menantang: “Ya Allah,
jika ini adalah kebenaran dari-Mu, makan turunkan hujan batu atas kami, atau
datangkan kepada kami siksa yang amat pedih.” QS. 8:32.

Mereka ini mengikuti teori setan, “Jadi kafir tak masalah, asal tidak kalah.”
Wallahu’alam.[]

(Sumber: https://islamindonesia.id/kolom/opini-jadi-kafir-tidak-masalah-asal-tidak-kalah.htm)

https://islamindonesia.id 537
Tuesday, 01 March 2016
EMPAT SEMBAH ALA WEDHATAMA
Oleh Parni Hadi

Ini mungkin yang disebut Islam Kejawen, yakni Islam


yang dipengaruhi atau bercampur dengan tradisi dan
kebudayaan Jawa. Mungkin juga, ini salah satu bukti
sebuah Islam organis. Islam yang terus hidup, tumbuh di
kalangan masyarakat Jawa.

Shalat itu tiang agama Islam dan kunci penting bagi


semua kebaikan, sabda Muhammad Rasulullah Saw
seperti diriwayatkan Thabrani (HR Thabrani).

Seturut itu, banyak kyai mengatakan, shalat adalah amalan manusia yang dihisab
pertama di alam akhir. Shalat, sering dibaca sholat atau “salat” dalam bahasa Jawa
atau sembahyang.

Ada yang bilang, sembahyang berbau ajaran pra-Islam, khususnya agama Hindu.
Alasannya, sembahyang adalah singkatan menyembah Hyang, yang merupakan
sebutan para dewa Hindu.

Orang Jawa tradisional, biasa menyebut Allah dengan Gusti Allah, Pangeran, Gusti
Kang Maha Kuwasa, Maha Welas Asih, Hyang Suksma dan Hyang Widhi. Dalam
agama Hindu, Tuhan dipanggil Hyang Widhiwasa. Karena nama-nama itu buatan
manusia, sesuai bahasa dan lingkungan sosial-budaya masing-masing, ada
anggapan bahwa penyebutan yang berbeda-beda itu tidak menjadi masalah.

Jadi, istilah sembahyang bisa diterima. Tujuannya sama, kilah orang Jawa, yang
oleh Clifford Geertz dikategorikan sebagai Muslim minimal atau Abangan. Banyak
orang Jawa yang tertarik masuk Islam, karena adanya kepercayaan kepada yang
gaib. (QS 2:3).

Tradisi dan kepercayaan pra-Islam banyak berurusan dengan yang gaib, seperti
kesaktian, azimat , kemampuan meramal, tenung, ilmu pelet dan kemampuan
melihat makhluk halus. Dalam rangka lebih mendekatkan diri secara bathin dengan
Allah, banyak penganut Islam di Jawa yang mengamalkan “empat sembah” yang
disebut Serat Wedhatama, karya Mangkunegara IV.

https://islamindonesia.id 538
Empat sembah itu adalah sembah raga, sembah cipta/kalbu, sembah jiwa/suksma
dan sembah rasa. Ada anggapan bahwa ke empat sembah mengadopsi empat
urutan dalam belajar tasawuf, yakni Syariat, tarekat (thariqat), makrifat dan hakekat
(ada yang menyebut hakekat dulu, baru makrifat).

Syariat, dulu sering diucapkan Sarengat, artinya aturan agama tentang perintah dan
larangan yang harus dipatuhi. Dasarnya adalah percaya kepada Tuhan, tanpa tanya
ini-itu.
Tarekat (thariqat), artinya jalan atau petunjuk yang memberi pengertian kepada akal-
pikiran, sehingga kepercayaannya kepada Tuhan kuat, tidak ikut-ikutan. Dalam
Islam ada dalil naqli, yakni Al Quran dan Hadits, dan aqli atau akal-pikiran.
Hakikat (haqiqat), orang Jawa menyebutnya “kakekat”, artinya “weruh kang sejati”
(tahu yang sejati). Makrifat artinya kemampuan untuk melihat yang gaib sebagai
tataran tertinggi dalam tasawuf. Karena itu, banyak orang ingin “ujug-ujug” ,
langsung segera menempuh jalan Makrifat, tanpa menjalankan Syariat dulu.

Padahal, Wedhatama sebagai buku “piwulang” (ajaran) untuk mencapai “ngelmu


kasampurnan” (ilmu kesempurnaan) menganjurkan ke empat sembah harus
dijalankan siang malam. Sembah raga disamakan dengan sholat lima waktu sesuai
dengan syariat Islam. Ini bagi pemula untuk mencapai ilmu yang lebih tinggi bagi.
Pokok tujuannya adalah memaksa atau melatih membiasakan diri untuk “berdiam
hening”.

Tata lakunya serba tertib, teratur dan tekun. Untuk melaksanakan sembah raga,
orang harus “bersuci” dengan air (wudhu). Hasil sembah raga adalah membuat
badan sehat wal’afiat dan memberi sikap tenang.

Orang yang berbadan sehat dan tidak berpenyakitan, sehat juga pikirannya, hingga
inderanya menjadi tenang dan siap untuk melakukan sembah kedua, yaitu sembah
kalbu/cipta.

Sejumlah kyai menyarankan muridnya untuk belajar tasawuf mulai dengan sholat
Syariat: “Contohlah Nabi Muhammad, tak pernah tinggalkan sholat”.

(Sumber: https://islamindonesia.id/kolom/opini-empat-sembah-ala-wedhatama.htm)

https://islamindonesia.id 539
Wednesday, 03 February 2016
RENAISSANCE BUDAYA MATARAMAN
Oleh Parni Hadi*

Budaya Jawa penuh bunga-bunga semerbak, banyak hal yang tersamar (sinamun ing samudana),
antik, artistik dan estetis. Di dalamnya penuh aroma romantis , mistis dan filosofis. Ini bukan
pandangan saya, sekalipun saya orang Jawa, tapi dari Sultan Hamengku Buwono X, Raja Jawa dan
Gubernur DIY.
“Percikan-percikan falsafah hidup Jawa yang menyelinap halus dalam susastra lama yang memuat
ajaran (piwulang) dan petuah berharga (pitutur luhur) perlu direaktualisasi menjadi gerakan
renaisance budaya untuk menjawab penetrasi budaya global,”, kata Sultan HB X dalam pidato
kuncinya pada sarasehan Budaya Mataraman di Madiun, Jawa Timur, 22 November lalu.

Sarasehan yang diselenggarakan Bakorwil (Badan Koordinasi Wilayah) Madiun dan didukung penuh
oleh Paguyuban Pawitandirogo (Pacitan, Ngawi, Magetan, Madiun dan Ponorogo) ini bertujuan untuk
membangkitkan kembali budaya Mataraman di Madiun dan sekitarnya. Tercatat 16 kota/kabupaten
di Jawa Timur dulu adalah bagian dari Mataram dan karenanya berbudaya Mataraman. Cuma
bahasanya tidak sehalus Surakarta dan Yogyakarta.

Banyak hal dalam filosofi Jawa yang bersumber dari Budaya Mataraman masih memiliki denyut
aktualitas. Tak semua falsafah hidup Jawa usang dan jika itu direaktualisasi maknanya akan
bermanfaat untuk membangun kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang lebih
bermartabat.

Pengaruh budaya Jawa, suka atau tidak suka, dalam kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia
sangat besar. Maklum, presiden RI dan sebagian besar pemimpin puncak negeri ini sampai sekarang
sepenuhnya atau sebagian berdarah orang Jawa. Karena itu, memahami praktek budaya Jawa,
kelebihan dan kelemahannya, adalah perlu. Berikut adalah salah satu contohnya.

Menjelang pemilihan legislatif, pemilihan kepala desa, bupati, gubernur sampai pemilihan presiden,
banyak calon, terutama yang berlatar belakang budaya Jawa, menjalani berbagai ritual yang tidak
diajarkan dan bahkan dilarang oleh agama.

Laku yang oleh sebagian orang dianggap aneh dan tidak masuk akal itu antara lain
mengunjungi dukun dan paranormal, mandi kembang, “kungkum” (merendam diri di tempuran
sungai), berziarah ke makam atau tempat yang dianggap keramat, bertapa di tempat sunyi dan
berpantang ini-itu.

https://islamindonesia.id 540
“Kecelakaan persepsi”
Tentang fenomena seperti itu, Sultan mengatakan bahwa orang Jawa terkesan lebih
mementingkan laku kebathinan untuk mendapatkan amanah kekuasaan.

“Barangkali hal ini merupakan “kecelakaan persepsi” akibat kesederhanaan berpikir “wong
Jowo”dalam merespons pemikiran-pemikiran para empu dan pujangga”, jelas Sultan.

Masyarakat Jawa, termasuk para keturunan raja dan birokrat Keraton Jawa, menurut Sultan, tidak
mampu memetik secara cerdas “ideologi” para raja Jawa, leluhur mereka, yang pro rakyat, tegasnya
pro petani.

Sultan memberi contoh “laku utama” yang dilakoni Senopati, pendiri dinasti Mataram, untuk
mendapatkan “wahyu keraton (kekuasaan)” seperti disebut dalam buku Wedhatama dan Wulangreh
telah disalahfahami lebih sebagai “laku tapa brata” di tempat-tempat sepi atau di pesisir Laut Selatan
(Samudera Hindia).

Wedhatama yang berisi ajaran laku utama adalah karya Sri Mangkunegara IV (1853-1881), raja
Mangkunegaran, sedangkan Wulangreh yang mengutamakan pengendalian diri adalah karya Sri
Pakubuwono IV (1768-1820), raja Surakarta.

Kedua raja yang juga pujangga/sastrawan itu dengan jelas memaparkan bahwa Senopati juga
melakukan perjuangan nyata dan membumi. Itu termuat dalam Wedhatama dalam anak
kalimat yang berbunyi “amamangun karyenak sesama”, yang artinya selalu berbuat untuk
menyenangkan hati orang lain.

Sementara itu, Wulangreh, dengan tegas menyatakan bahwa Senopati menjalani laku menyamar
sebagai petani agar tidak ketahuan orang lain. Ia melakoni kehidupan rakyat yang sesungguhnya,
menjauhi watak sok kuasa, sombong dan angkuh.

“Siapa pun yang memperoleh wahyu kekuasaan, sikapnya pasti merakyat. Keberpihakan kepada
rakyat, lebih jelasnya lagi pro-petani, sesungguhnnya adalah ideologi raja Jawa sejak dulu, “ kata
Sultan.

Banyak prasasti juga menyebutkan keberpihakan raja-raja Jawa terhadap petani. Di antaranya
berupa pernyataan raja yang membebaskan wilayah “perdikan” dari kewajiban membayar upeti
(pajak), karena jasa rakyat wilayah tersebut.

Renaisance
Sultan dalam pidatonya yang berjudul “Renaisans Budaya Mataraman, Konsep Inspiratif Akulturasi
Budaya” itu menyerukan budaya Wedhatama-Wulangreh yang mengajarkan “wirya-arta-winasis”

https://islamindonesia.id 541
(kedudukan, harta dan kepandaian) dan keberpihakan kepada rakyat perlu direkonstruksi ulang dan
diperbaharui kemasannya agar mudah dipahami masyarakat awam.

Wedhatama-Wulangreh tidak semata-mata mengajarkan “tapa-brata” dan berprihatin terus


menerus. Pesan Sri Sultan Hamengku Buwono IX dalam “Tahta untuk Rakyat” sebetulnya sangat
jelas menyatakan, perlunya “laku tapa ngrame” atau berbuat nyata di tengah rakyat untuk
membangun kesejahteraan.

Saripati budaya Mataraman termuat dalam buku (Serat) Centhini, Sastra Gendhing, Wulangreh dan
Wedhatama sebagai sumber utama acuan untuk ajaran etika, estetika dan filsafat Jawa, yang penuh
kearifan dan keteladanan.

Buku-buku itu memuat pedoman dan larangan-larangan, mengacu pada ajaran Panembahan
Senopati dan Sultan Agung. Premis dasarnya adalah: dunia ideal adalah dunia harmoni lahir dan
bathin.

Seseorang harus memelihara watak “reh” (bersabar) dan “ririh” (berhati-hati) seperti diajarkan
Wulangreh. Berbohong , kikir dan sewenang-wenang harus dijauhi. Sementara itu, mengurangi
makan-tidur adalah latihan utama untuk memperoleh kewaspadaan bathin agar tingkah
laku dipertimbangkan masak-masak, dilihat baik-buruknya, dipikir mendalam sebelum mengambil
keputusan dan berkeyakinan benar atas keputusan itu.

Ajaran ini penting untuk para pemimpin sekarang. Jika diamalkan dengan sungguh-sungguh ajaran
ini juga bisa membantu tugas KPK memberantas korupsi. Singkat kata, perlu renaisance (kelahiran
kembali) budaya Jawa dalam bahasa dan format yang mudah difahami dan dilakoni.

Sultan Agung sang pelopor

Dalam sejarah Mataram Sultan Agung (1613-1645) tercatat sebagai raja terbesar. Pada masanya
Mataram mencapai puncak kejayaannya. Ini bisa dilihat dari luas wilayah, pengakuan dari kerajaan-
kerajaaan luar Jawa, pengembangan budaya Jawa, penulisan Babad Tanah Jawi dan pembuatan
penanggalan Jawa-Islam.

Ia juga menyerang kumpeni Belanda, VOC, di Batavia dua kali, 1628 dan 1629., walau tidak berhasil.
Kecemerlangan Sultan Agung bisa dibaca dalam buku karya sejarawan Belanda De Graaf, “De
Regering van Sultan Agung”.

Sultan Agung mengubah sistem penanggalan Syamsiah yang berdasar perputaran matahari pada
penanggalan Saka Hindu-Jawa menjadi sistem Komariah, mengikuti perputaran bulan mengelilingi
bumi, mengadopsi penanggalan Hijriah yang Islami. Sekalipun demikian, kalender Jawa tidak

https://islamindonesia.id 542
seluruhnya mengikuti Hijriah. Ada penyesuaian nama bulan dan hari dari bahasa Sansekerta menjadi
bahasa mirip Arab. Karena ini semua, Sultan Agung ditengarai sebagai pelopor Renaisance Jawa.

Sultan Agung dalam buku Sastra Gendhing berpesan kepada keturunannya agar secara arif
memetik hikmah ajaran dalam bahasa Kawi. Jika renaisance Eropa menghidupkan kembali
peradaban Yunani dan Romawi kuna dalam wujud kebangkitan ilmu berdasar sumber-sumber klasik,
Renaisance Jawa menggunakan sumber-sumber klasik serupa dengan diberi vitalitas dan ruh baru.

Renaisance Jawa mencapai puncaknya ketika jaman kepujanggaan masa Sri Paku Buwana IV. Pada
waktu itu terjadi “pemberontakan” Jawa terhadap pengaruh asing (Hindu, Buddha, Islam, India, Arab,
China dan Belanda) yang tercermin dengan lugas dalam karya-karya susastra. Saat itu terjadi
“benturan antar peradaban” (clash of civilization) di Jawa. Dampaknya, bahasa dan tulisan Jawa
berkembang pesat karena dipakai sebagai sarana pertahanan budaya Jawa terhadap pengaruh
asing.

Akibat lanjutannya adalah lahirnya kembali nilai-nilai budaya dan peradaban Jawa yang digali dari
naskah-naskah lama yang berisi ajaran etika dengan menggubah dan merevitalisasi isinya,
sedangkan bahasanya disesuaikan dengan perkembangan jaman. Saat itu adalah titik awal Jawa
memperoleh “kedaulatan spiritual”.

Renaisance Eropa ditandai dengan kebangkitan sastra dan ilmu pengetahuan yang dikembangkan
menjadi teknologi, yang kemudian diaplikasikan pada industri yang pada akhirnya menciptakan
kemakmuran dan kesejahteraan rakyat.

Berkaca pada Renaisance Eopa yang digerakkan kelas borjuis menengah, pengusaha dan
pedagang, maka Renaisance Jawa perlu digerakkan oleh kelas menengah, kaum minoritas kreatif
dari kalangan seniman, budayawan, cendekiawan kampus dan pebinis.
Berdasarkan uraian Sultan HB X itu, Revolusi mental Presiden Jokowi, jika bisa diasumsikan sebagai
revolusi budaya Indonesia, perlu dasar dan penggerak serupa.
[]

*Wartawan/Ketum Pawitandirogo
(Sumber: https://islamindonesia.id/kolom/kolom-renaissance-budaya-mataraman.htm)

https://islamindonesia.id 543
Monday, 01 February 2016
NAFAS CINTA DARI HADHRAMAWT
Oleh Haidar Bagir

Al-Syaikh Abu Madyan Syu‘ayb bin Abu Hasan At-Tilmisaniy Al-Maghriby, yang
pada saat itu sedang berada di Tilmisan, Al-Jazair, mengutus muridnya yang
bernama As-Syaikh ‘Abdurrahman bin Muhammad Al-Maq‘ad, seraya bertitah:

“Sesungguhnya kami mempunyai seorang sahib di Hadramawt (Tarim), pergilah


engkau menemuinya, dan pakaikanlah khirqa ini kepadanya. Sesungguhnya aku
melihatmu akan menemui ajal di tengah perjalanan. Bilamana hal tersebut akan
terjadi, maka titipkanlah jubah ini kepada orang yang engkau percayai.”

Kemudian pergilah Al-Syaikh Abdurrahman dari Tilmisan ke Hadramawt. Ketika


sampai di Kota Mekah, ia pun disergap sakratulmaut. Maka, kemudian
diserahkannya jubah tadi kepada muridnya, yaitu Al-Syaikh Abdullah Al-Salih al-
Maghriby seraya berpesan agar menyampaikannya kepada yang berhak. Hingga
Syaikh Abdullah sampai ke Tarim dan menyerah-terimakannya kepada Al-Faqih al-
Muqaddam Muhammad bin ‘Ali, sebagaimana yang diamanahkan Abu Madyan.

Al-Faqih al-Muqaddam (1176–1264) kemudian dikenal sebagai founding father aliran


tasawuf yang biasa disebut sebagai Tariqah ‘Alawiyya di kalangan komunitas
‘Alawiyyin—yakni, anak-keturunan ‘Alwi bin ‘Ubaydillah, cucu Imam Ahmad bin ‘Isa
al-Muhajir (820–924), sang pemuka keturunan Nabi yang kali pertama hijrah ke
Hadramawt. Syaikh Abu Madyan (1126–1198) adalah salah seorang guru terpenting
Ibn ‘Arabi—yang dipanggilnya dengan penuh penghormatan sebagai Syaikh al-
Mashayikh (Syaikhnya Para Syaikh). Menurut catatan, pemberian khirqa dari Syaikh

https://islamindonesia.id 544
Abu Madyan kepada al-Faqih al-Muqaddam merupakan awal tenggelamnya beliau
dalam suluk (pelancongan spiritual), mujahadah (upaya keras menundukkan nafsu
rendah) dan riyadah (latihan-latihan spiritual) yang menjadi tonggak-tonggak
tasawuf.

Imam Idrus bin Umar al-Habsyi, salah seorang ulama besar dalam tarekat ini,
menulis: “Sesungguhnya tarekat ‘Alawiyya, lahiriahnya adalah ilmu-ilmu agama dan
amal, sedangkan batiniahnya adalah mewujudkan maqamat (stasiun-satasiun
spiritual yang merupakan hasil upaya meraihnya dan bersifat tetap)
dan ahwal (keadaan-keadaan spiritual) tak permanen berian Tuhan. Adabnya adalah
menjaga rahasia-rahasianya dan cemburu terhadap penyalahgunaannya. Jadi,
lahiriahnya, sebagaimana yang dijelaskan oleh al-Imam al-Ghazali, adalah
(kepemilikan) ilmu dan beramal menurut cara yang benar. Sedangkan batiniahnya,
seperti yang diterangkan oleh asy-Syadzili, adalah mewujudkan hakikat dan
memurnikan tauhid.”

Definisi Imam Idrus memang tak menyebut Ibn ‘Arabi. Sebab, dalam lingkungan
tarekat ini, ajaran Ibn ‘Arabi dibatasi aksesnya hanya pada kaum elite spiritual
(khawash) saja. Bagaimanapun, sebagai sebuah ajaran tasawuf, prinsip cinta dan
metode dakwah damai menjadi ciri utama tarekat ini.

Para pengikut tarekat ‘Alawiyya—yang umumnya dimotori oleh kaum haba’ib


(tunggal: habib)—inilah yang, melalui diaspora mereka, kemudian berperan penting
dalam penyebaran Islam ke seluruh dunia, khususnya ke Afrika dan Asia Timur
Jauh, termasuk Nusantara. Hampir merupakan suatu kesepakatan bahwa warna
Islam NU yang bersifat “tradisional” adalah warisan dari tarekat ‘Alawiyya ini.
Bahkan, menurut salah satu versi, delapan dari sembilan Wali Songo melacak
silsilahnya kepada Azhamat Khan, seorang tokoh dari lingkungan ‘Alawiyyin yang
berakar di Hadramawt.

Yang menarik, sebagaimana disimpulkan dari berbagai penelitian, termasuk oleh


Azyumardi Azra, perkembangan ‘irfan (gnostisisme Islam) Ibn ‘Arabi di Nusantara
terutama dibawa oleh para pemikir dari lingkungan ini atau murid-murid mereka.
Termasuk di dalamnya Hamzah Fansuri (1550–1605) dan, muridnya, Syamsuddin
Sumatrani (w. 1630), Abdul Ra’uf Sinkili (1024–1105), Syaikh Yusuf Makassari
(1037–1111), Abdul Shamad al-Palembani (1704–1785), Muhammad Arsyad Al-
Banjari (1710–1815), bahkan juga Syaikh Nuruddin al-Raniri (1068–1658).

Al-Raniri pernah belajar ke Hadramawt dan disebut-sebut sebagai pengikut tarekat


al-‘Aidrusiyah. Gurunya ketika di India adalah Abu Hafs ‘Umar bin Abdullah Ba
Syaiban al-Tarimi al-Hadhrami yang juga dikenal sebagai Sayid Umar al-‘Aydrus

https://islamindonesia.id 545
(atau al-‘Aydrusi pengikut tariqa ‘Aidrusiyah?), yang berada dalam satu rantai
perguruan dengan Ahmad al-Qushashi. Al-Qusyasyi sendiri adalah murid beberapa
ulama tarekat ‘Alawiyya lainnya termasuk, Sayid Ali al-Qab’i, Sayid Abi al-Ghayts
Syajr, dan Sayid As’ad al-Balkhi. Pada gilirannya, al-Qushashi merupakan guru dari
para ulama tarekat ‘Alawiyya yang, antara lain, menjadi guru-guru al-Raniri.

Abd al-Ra‘uf Sinkili, adalah murid Al-Qushashi, guru dari para ulama dari tarekat
‘Alawiyya, dan Ibrahim al-Kurani, murid al-Qushashi. Al-Kurani dikenal luas sebagai
penulis It-haf al-zaki, sharah atas al-Tuhfah al-mursalah ila ruh al-nabiy karya
Muhammad Fadhlullah al-Burhanfuri, yang dianggap bertanggung jawab atas
penyebaran pikiran-pikiran ‘Irfan Ibn ‘Arabi di Nusantara.

Kepada Al-Kurani juga silsilah Syaikh Yusuf Makassari bersambung. Selain al-
Kurani, di antara guru-guru al-Makassari ini termasuk Umar bin Abdullah Ba
Syaiban, yang juga guru al-Raniri, dan Sayid ‘Ali al-Zabidi atau Ali bin Abi Bakr dari
tarekat ‘Alawiyya.

Abdul Shamad al-Palembani bahkan adalah seorang ‘alim Sayid keturunan Yaman.
Ayahnya adalah Syaikh Sayid Abdul Jalil—ada yang mengatakannya bin Abdullah
atau bin Abdurrahman—bin Syaikh Abdul Wahhab al-Mahdani. Pada gilirannya,
Muhammad Arsyad al-Banjari adalah murid dari al-Palembani.

Seperti disinggung sebelumnya, sebagai suatu metode tasawuf, tarekat ‘Alawiyya


mempromosikan jalan akhlak, cinta, dan perdamaian. Inilah persis yang mencirikan
berbagai kegiatan dakwah di lingkungan tarekat ‘Alawiyya. Selain sifat apolitis dan
pilihan tema-tema yang cenderung menekankan pada penyucian hati lewat
pembinaan akhlak dan ritual, dakwah tarekat ‘Alawiyya juga bersikap toleran dan
inklusif, tak membeda-bedakan audience dari segi status sosial atau keagamaan.

Seperti juga kita lihat pada kiprah para Habib di Nusantara sejak dulu sampai
sekarang, tak jarang pengajian mereka dihadiri para (mantan) preman, pejabat—
yang mungkin diragukan integritasnya—artis, bahkan tak jarang pengikut agama
lain. Hal ini, antara lain, terungkap dari hasil penelitian para pengamat asing, seperti
Mark Woodward (Arizona State University, penulis Islam in Java) dan Engseng Ho
(Duke University, penulis The Graves of Tarim).[]

*Tulisan ini pertama kali tayang di Majalah Tempo.


(Sumber: https://islamindonesia.id/kolom/opini-nafas-cinta-dari-hadhramawt.htm)

https://islamindonesia.id 546
Thursday, 28 January 2016
MENGEMBALIKAN AGAMA PADA POSISI ASLINYA
Oleh Haidar Bagir

Agama itu spiritualitas, moralitas dan rahmat. Jika digunakan sebagai ideologi, maka ia akan
membuka front konflik terbuka dengan pengikut agama sendiri maupun dengan pengikut
agama dan kelompok lain. Oleh karena itu, agama sudah selayaknya berada pada posisinya
sebagai pembersih hati, panduan moral dan pendorong amal-amal salih: sebagai rahmah
atas semesta alam.

Dalam posisi ini, agama bukan domain sakral yang terpisah total dari domain profan, tapi
juga bukan suatu yang dikotomis, eksklusif. Dengan cara begini, agama tidak menjadi
totaliter dan mengangkangi segala-galanya, melainkan ia secara alami merembesi semua
concern/perhatian kemanusiaan dan memberi tempat semestinya pada penalaran manusia.

Maka itu, perlu ada upaya agar selamanya nilai-nilai spiritual, moral dan estetis agama
dibiarkan berdialog dengan ilmu dan akal yang nota bene adalah anugrah Tuhan juga. Fiqih
harus diarahkan oleh maqashid syariah (tujuan-tujuan moral penetapan syariah), yang tidak
lain adalah kebaikan, keadilan, kemaslahatan bersama dan keselamatan hidup manusia.
Arah penerapan syariah juga harus senantiasa memperhatikan konteks yang berlangsung.

Nilai-nilai spiritual, moral dan kebaikan yang menjadi dasar penetapan syariah bersifat
universal. Sedangkan fiqih, betapa pun tak terhindarkan untuk kehidupan Muslim,
dapat bersifat berbeda-beda jika tak disejalankan dengan nilai-nilai universal tersebut. Maka
ijtihad harus bersifat jama’i (lintas disiplin ilmu) yang di dalamnya ahli agama berdialog
dengan ahli-ahli lain dan menjadi salah satu sumber – betapa pun amat penting – bersama
sumbr-sumber keilmuan lainnya. Di luar fiqih, yang diberi peran sepeti itu, agama dapat
banyak menyumbang dalam filsafat ilmu: ontologi, epistemologi dan aksiologi.

Sebagai catatan akhir, sebagaimana ilmu-ilmu lain, disiplin ilmu agama harus dikembangkan
tanpa henti sejalan dengan perkembangan zaman dan kemajuan kemanusiaan. Hanya
dengan cara ini agama dapat menjalankan peran positif dan mulianya, bukan justru
menghambat kemajuan dan menjadi sumber konflik seperti yang terjadi saat ini.

IslamIndonesia

(Sumber: https://islamindonesia.id/kolom/kolom-mengembalikan-agama-pada-posisi-aslinya.htm)

https://islamindonesia.id 547
Wednesday, 27 January 2016

OPINI – Makna Ihsan

Oleh: Haidar Bagir

Setiap Muslim harus percaya dan menjalankan rukun Islam dan rukun Iman. Tapi
keberagamaannya belum sempurna jika belum menjalankan Rukun Ihsan. Yakni,
melakukan amal-amal baik sesempurna mungkin sebagai wujud iman dan cinta kita
kepada Allah. Bahkan Ihsan adalah puncak keberagamaan Muslim. Sayangnya
aspek penting ajaran Islam ini sering dilupakan orang.

َ‫ٱَلله إِلَ ۡيك‬


ّ َ‫سن‬ َ ‫سن َك َمآ أ َ ۡح‬ ِ ‫َوأ َ ۡح‬
“Dan berihsanlah (berbuat baiklah) (kepada orang lain) seperti halnya Allah berbuat
baik terhadapmu….” (QS Al Qasas: 77)
َ ‫سن فَلَههۥٓ أ َ ۡج هر ههۥ ِعن َد َر ِِّب ِهۦ َو َال َخ ۡوف‬
َ‫علَ ۡي ِهمۡ َو َال ههمۡ َي ۡح َزنهون‬ ِ ّ ِ ‫َبلَى َم ۡن أَ ۡسلَ َم َو ۡج َهههۥ‬
ِ ‫َلل َوه َهو هم ۡح‬
“… Siapa yang menyerahkan diri (berislam) kepada Allah, sedang ia berbuat ihsan
(kebaikan yang sempurna), maka baginya pahala pada sisi Tuhannya dan tidak ada
kekhawatiran terhadap mereka dan tidak pula mereka bersedih hati.” (QS Al
Baqarah: 112).

https://islamindonesia.id 548
Bahkan Islam mengajarkan bahwa Allah menciptakan alam semesta, dan hidup
dirancang oleh Allah untuk menguji ke-ihsan-an amal-amal manusia :

‫ع َم ٗ ال‬ َ ‫آء ِليَ ۡبله َوكهمۡ أَيُّكهمۡ أَ ۡح‬


َ ‫سنه‬ ِ ‫علَى ۡٱل َم‬ َ ‫شههۥ‬ ‫ست ّ ِة أَيّام َوكَانَ ع َۡر ه‬ ِ ‫ت َو ۡٱۡل َ ۡرضَ فِي‬ ِ ‫س َم َو‬ َ ‫َوه َهو ٱلّذِي َخ َل‬
ّ ‫ق ٱل‬
“Dan Dialah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, dan adalah
singgasana-Nya (sebelum itu) di atas air, agar Dia menguji siapakah di antara kamu
yang lebih baik amalnya.” (QS Hud:7)
‫ع َم ٗل‬َ ‫سنه‬ َ ‫ق ۡٱل َم ۡوتَ َو ۡٱل َح َيوةَ ِل َي ۡبله َوكهمۡ أ َ ُّيكهمۡ أَ ۡح‬
َ ‫ٱلّذِي َخ َل‬
”(Allah) yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu siapa di antara
kamu yang paling ihsan (sempurna) amalnya…” (QS Al Mulk: 2).

Dalam praktiknya, apakah makna berihsan itu?

ِ ‫ب ۡٱل هم ۡح‬
َ‫سنِين‬ ُّ ‫ٱَلله يه ِح‬
ّ ‫اس َو‬ ‫كاظ ِمينَ ۡٱلغَ ۡي َظ َو ۡٱلعَافِينَ ع َِن ٱلنّ ِ ا‬ ِ ‫آء َو ۡٱل‬ ِ ‫آء َوٱلض ّّر‬ ِ ‫س ّر‬ّ ‫ٱلّ ِذينَ يهن ِفقهونَ فِي ٱل‬
“Orang-orang (yang berihsan) menginfakkan hartanya baik di waktu lapang maupun
di waktu sempit dan orang-orang yang mampu menahan amarah serta pemaaf
terhadap kesalahan orang lain. Dan Allah mencintai orang-orang yg berbuat baik
(berihsan).” (QS Al Imran: 134).
‫ب‬ِ ‫َار ۡٱل هجنه‬
ِ ‫َار ذِي ۡٱلقه ۡر َبى َو ۡٱلج‬ ِ ‫ين َو ۡٱلج‬
ِ ‫س ِك‬ َ ‫س ٗنا َو ِبذِي ۡٱلقه ۡربَى َو ۡٱليَت َ َمى َو ۡٱل َم‬ َ ‫ٱَللَ َو َال ت ۡهش ِركهوا بِ ِهۦ ش َٗۡيا َوبِ ۡٱل َو ِلد َۡي ِن إِ ۡح‬ ۡ ‫َو‬
ّ ‫ٱعبهدهوا‬
ً ‫ب َمن كَانَ هم ۡختَ ٗاال فَ هخ‬
‫ورا‬ ّ ّ‫سبِي ِل َو َما َملَك َۡت أ َ ۡي َمنهكهمۡ ا إِن‬
ُّ ‫ٱَللَ َال يه ِح‬ ّ ‫ب َو ۡٱب ِن ٱل‬ ِ ‫ب بِ ۡٱلج َۢن‬
ِ ‫ّاح‬
ِ ‫َوٱلص‬
“Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun.
Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapak, karib-kerabat, anak-anak yatim,
orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, dan teman
sejawat, ibnu sabil dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai
orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri.(QS An Nisa: 36)

Dalam kenyataannya, orang bisa saja muslim (menjalankan syariat yg terkait


aktifitas organ-organ tubuh/jawarih), bahkan mukmin (secara rasional atau
emosional), tapi belum muhsin (berihsan).

ِ ۡ ‫اب َءا َم ّنا قهل ّلمۡ ت ۡهؤ ِمنهوا َو َل ِكن قهوله ٓوا أَ ۡس َل ۡم َنا َو َل ّما يَ ۡد هخ ِل‬
ۡ‫ٱۡلي َمنه فِي قهلهو ِبكهم‬ ‫ت ۡٱۡل َ ۡع َر ه‬
ِ ‫َقا َل‬
“Orang-orang Arab Badui itu berkata : kami telah beriman. Katakanlah (kepada
mereka) kamu belum beriman, tapi katakanlah : kami telah tunduk (aslamna/ kami
baru berislam/muslim), karena iman itu belum masuk ke dalam hatimu”. ( QS. Al
Hujurat: 14)

Jika kita bandingkan ayat di atas, dengan ayat yang juga dikutip sebelumnya, maka
makin jelas bahwa berislam harus disempurnakan menjadi berihsan. (QS Al
Baqarah:112). Yakni menjadikan iman masuk ke dalam hati.

https://islamindonesia.id 549
Bahkan, dalam Qur’an tidak kita jumpai potongan ayat yang di dalamnya secara
eksplisit Allah menyebut dirinya “mencintai orang Muslim”, atau “mencintai orang
mukmin”. Yang ada, sepeti dalam ayat yang dikutip di atas (QS Al Imran: 134) dan
(QS Al Baqarah: 195), Allah menyebut dirinya “mencintai orang-orang yang
berihsan.”

ِ ‫ب ۡٱل هم ۡح‬
… َ‫سنِين‬ ِ ‫َوأَ ۡح‬
َ ّ ّ‫سنه ٓوا ِإن‬
ُّ ‫ٱَلل يه ِح‬
“…dan berihsanlah, sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berbuat ihsan
(kebaikan yg sempurna).” (QS Al Baqarah: 195)

Para ulama bahkan membagi ibadah ke dalam tiga tingkatan ibadah, sebagai
berikut.

1.Tingkat at-Takwa, yaitu tingkatan paling bawah dengan derajat yang berbeda-
beda.

2. Tingkat al-Bir, yaitu tingkatan menengah dengan derajat yang berbeda-beda.

3.Tingkat al-Ihsan, yaitu tingkatan tertinggi dengan derajat yang berbeda-beda pula.

Nah, untuk dapat menjadi orang dengan akhlak dan amal Ihsan seperti
diperintahkan Qur’an itu, orang harus benar-benar mengimani Allah dengan haqqul
yaqin (keyakinan yang sebenar-benarnya, keyakinan yang benar-benar lahir dari
perasaan melihat/mengalami Allah) seperti disebutkan dalam hadis Jibril yang amat
terkenal itu:

“Suatu ketika, kami (para sahabat) duduk di dekat Rasululah. Tiba-tiba muncul
kepada kami seorang lelaki mengenakan pakaian yang sangat putih dan rambutnya
amat hitam. Tak terlihat padanya tanda-tanda bekas perjalanan, dan tak ada
seorang pun di antara kami yang mengenalnya. Ia segera duduk di hadapan Nabi,
lalu lututnya disandarkan kepada lutut nabi dan meletakkan kedua tangannya di atas
kedua paha nabi. Kemudian ia berkata: “Hai, Muhammad! Beritahukan kepadaku
tentang Islam.” Rasulullah menjawab, ”Islam adalah, engkau bersaksi tidak ada
yang berhak diibadahi dengan benar melainkan hanya Allah, dan sesungguhnya
Muhammad adalah Rasul Allah; menegakkan shalat; menunaikan zakat; berpuasa di
bulan Ramadhan, dan engkau menunaikan haji ke Baitullah, jika engkau telah
mampu melakukannya,” lelaki itu berkata, ”Engkau benar,” maka kami heran, ia
yang bertanya ia pula yang membenarkannya.” Kemudian ia bertanya lagi:
“Beritahukan kepadaku tentang Iman”. Nabi menjawab, ”Iman adalah, engkau
beriman kepada Allah; malaikatNya; kitab-kitabNya; para RasulNya; Hari Akhir, dan

https://islamindonesia.id 550
beriman kepada takdir Allah yang baik dan yang buruk,” ia berkata, “Engkau benar.”
Dia bertanya lagi: “Beritahukan kepadaku tentang ihsan”.

Nabi menjawab, ”Hendaklah engkau beribadah kepada Allah seakan-akan engkau


melihat-Nya (yakni benar-benar me”lihat”Nya, tapi bukan dengan penglihatan
lahir, melainkan batin). Kalaupun engkau tidak melihat-Nya, (yakinlah bahwa)
sesungguhnya Dia melihatmu.”

Dapat dengan mudah dibayangkan bahwa orang yang beribadah kepada-Nya dalam
keadaan melihat-Nya atau yakin Allah melihatnya, akan menyempurnakan amal
ibadahnya hingga sesempurna mungkin. Dia akan membersihkan hatinya dari
keterikatan duniawi atau yang bukan Allah (takhalliy), lalu mengisi hatinya dengan
amal-amal yang diridhaiNya (tahalliy). Yakni amal-amal wajib dan sunnah
(nafilah) hingga sepeti disebutkan dalam suatu hadis Qudsi, dia
“menyatu” dengan-Nya : Allah menjadi matanya untuk melihat, telinganya untuk
mendengar, tangannya untuk memegang dan kakinya untuk berjalan. Yakni, Allah
bersemayam (bertajalliy) dalam hatinya. Keimanan yang telah menghunjam ke
dalam hati ini akan mengambil wujud kecintaan kepadaNya. Sebagaimana
difirmankan-Nya dalam Quran:

َ َ‫… َوٱ ّل ِذينَ َءا َمنه ٓوا أ‬


ِ ‫ش ُّد هح ٗبِّا ِِّ ّ ا‬
…‫َلل‬
“…Orang-orang beriman itu amat besar cintanya kepada Allah…” (QS. Al Baqarah:
165)

Dan, pada gilirannya, dari cinta yang mendalam kepadaNya akan lahir akhlak dan
amal-amal salih yang lebih sempurna lagi, mulai dengan menyempurnakan diri
terlebih dulu. Yakni membersihkan diri dan menyempurnakan akhlak. Tak lain, inilah
proses bertasawuf.

Baru dengan Ihsan keberagamaan kita, yakni ibadah rukun Islam dan juga
keimanan kita, menjadi sempurna.[]

Muh/Islam Indonesia

(Sumber: https://islamindonesia.id/kolom/opini-makna-ihsan.htm)

https://islamindonesia.id 551
Monday, 18 January 2016

KOLOM – Takfirisme: Asal-Usul dan Perkembangannya

Oleh Haidar Bagir

Di suatu subuh, pada tanggal 14 Ramadhan tahun 40 Hijriah, tiga orang militan yang
menyimpan rencana pembunuhan berusaha mencari saat yang tepat untuk
membunuh 3 orang tokoh terpenting umat Islam di Makkah saat itu. Mereka, Al-
Barak bin Abdullah, ‘Amr bin Bakr dan Abdurrahman bin Muljam, adalah anggota
dari kelompok Khawarij—orang-orang yang memisahkan diri (dari mainstream
Muslim), yang tidak puas terhadap cara-cara para pemimpin mereka mengelola
urusan-urusan umat. Membunuh 3 pemimpin terpenting yang ada akan membuka
jalan bagi mereka untuk menguasai pemerintahan dan menerapkan ideologi yang
mereka anggap benar?

Siapa Khawarij ini? Mereka awalnya adalah pengikut salah seorang dari 3 pemimpin
yang sedang mereka rencanakan pembunuhannya itu, Ali bin Abi Thalib, Khalifah
yang sah pada saat itu, tapi mereka tak setuju pada kesediaan sang khalifah untuk
menoleransi tahkîm (arbritase) antara sang Khalifah dengan musuhnya, Mu’awiyah
bin Abi Sufyan melalui orang yang ditunjuknya, yakni ‘Amr bin ‘Ash. Mereka melihat
Mu’awiyah sebagai pemberontak terhadap kekhalifahan yang sah (bughat), maka
tak ada cara lain kecuali bahwa ia harus diperangi. Inilah, menurut mereka, hukum
Allah sebagaimana tertulis dalam kitab suci al-Qur’an. Dan, laa hukma illal-Lah (tak
ada hukum kecuali hukum Allah). Akibat tak ditaatinya hukum Allah itu, chaos
(fitnah) pun berkepanjangan, dan kini terdapat dualisme pemerintahan di tengah
kaum Muslim. Dan, karena tak mau mengikuti hukum Allah, tak urung sang Khalifah

https://islamindonesia.id 552
pun dianggap kafir. Demikian pula Mu’awiyah sang pemberontak dan ‘Amr bin ‘Ash.
Maka, selain sang Khalifah, mereka pun mengirim orang untuk membunuh
Mu’awiyah dan ‘Amr bin ‘Ash.

Fenomena Khawarij menandai terbentuknya fenomena takfirisme (takfiriyah) dalam


Islam. Yaitu perumusan suatu doktrin pengkafiran yang mereka percayai mereka
dasarkan pada ajaran al-Qur’an. Suatu doktrin yang menyebabkan seorang Muslim
yang shalat menghadap kiblat yang sama, melakukan berbagai kewajiban
keagamaan, memiliki rukun-rukun kepercayaan yang sama, dapat dianggap sebagai
kafir. Bukan hanya itu, bahkan menjadi halal darahnya akibat pemberian status kafir
itu.

Akhirnya sejarah mencatat, mereka gagal membunuh Mu’awiyah dan ‘Amr bin ‘Ash,
tapi berhasil menikam dan membunuh Khalifah Ali ketika sedang shalat Subuh di
Masjid.

Dua sampai tiga hari Khalifah Ali masih bertahan hidup sebelum akhirnya wafat. Di
hari-hari itu Khalifah sempat memberikan wasiat kepada kedua anaknya: Hasan dan
Husain. Dan di antara wasiatnya adalah:

“Orang-orang (Khawarij) ini masih akan terus dilahirkan dari tulang-tulang sulbi ayah
mereka.”

Sekarang, marilah kita lihat problem takfirisme dalam Islam ini dari perspektif
doktrinal-historis dan geopolitik global.

Doktrinal-Historis

Para ahli fenomenologi agama menunjukkan adanya dua cara dalam melihat dan
memahami agama. Yakni sebagai agama berorientasi hukum (nomos/law oriented
religion) dan agama berorientasi cinta (eros/love oriented religion). Karena pada
dasarnya setiap gagasan, tak terkecuali gagasan keagamaan, adalah tafsir atas
teks, maka cara pandang—saya cenderung menyebutnya sebagai paradigma—
seperti ini membentuk cara tafsir terhadap doktrin sebagaimana terkandung dalam
teks-teks keagamaan. Yang pertama cenderung melihat agama—Tuhan, Nabi, dan
ajaran—sebagai didominasi oleh sifat-sifat keras yang meyisihkan (eksklusif),
sementara yang kedua melihat agama sebagai wadah manifestasi cinta—cinta
Tuhan kepada alam semesta, dan sebaliknya cinta alam semesta kepada Tuhan.
Secara alami, cara yang kedua ini menjadikan agama mengutamakan kedamaian
dan inklusifisme. William Chittick, seorang ahli tasawuf, ketika membahas pemikiran-
pemikiran Ibn ‘Arabi, menyebutnya sebagai hermeneutics of mercy (hermeneutika

https://islamindonesia.id 553
kasih-sayang). (Untuk pembahasan terinci mengenai masalah ini, sila baca tulisan
saya “Islam : Religion of Love and Mercy”, atau beberapa bab dalam buku penulis
Islam Risalah Cinta dan Kebahagiaan, Mizan, 2013)

Nah, doktrin takfiriyah dapat dengan mudah dilacak sebagai berakar pada cara
pandang terhadap agama yang menekankan pada aspek-aspek keras hukum-
hukum keagamaan ini. Sebagai akibatnya, berkembang sikap eksklusif dalam
bentuk kecenderungan untuk mengeluarkan kelompok lain dari apa yang diyakini
sebagai umat pemeluk agama. Lebih dari itu, muncul pula dengan kuat rasa
keharusan untuk menghukum orang-orang yang dianggap sebagai membangkang
terhadap ajaran Tuhan (kafir) ini dan, kalau perlu, mencabut hak mereka untuk hidup
di bumi-Nya. Sedemikian kerasnya sikap takfiriyah seperti ini, kelompok Khawarij
awal cenderung memperlakukan sesama Muslim, yang tidak sejalan dengan cara
pandang mereka mengenai Islam, secara lebih buruk daripada perlakuan mereka
terhadap kelompok non-Muslim yang mereka anggap melakukan syirik (musyrik
mustajîr).

Belakangan, fenomena serupa muncul ketika terbentuk Salafisme awal, dengan Ibn
Taimiyah sebagai tokoh utamanya. Meski mengklaim mengikuti generasi Muslim
awal—figur-figur terkemuka dari kalangan sahabat, tabi’in, dan tabi’ al-tabiin hingga
abad ke-2 hijriah—pada praktiknya Salafisme cenderung mengikuti mazhab Hanbali
yang cenderung ketat dan literal.

Persoalannya adalah—seperti dicatat oleh para pengamat terhadap mazhab


Hanbali, termasuk Syaikh Hasan Farhan al-Maliki, seorang alim dari Arab Saudi di
bukunya Qira’ah fi Kutub al-‘Aqidah; al-Madzhab al-Hanbali Namudhajan—sejak
zaman Ibn Taimiyah kelompok Islam ini memulai tradisi mengecam hingga
mengkafirkan kelompok-kelompok Muslim yang tidak mengikuti pandangan Ibn
Taimiyah. Dan ini tidak hanya terbatas terhadap kaum Syiah yang dia serang keras
dalam bukunya Minhaj al-Sunnah, tetapi juga terhadap kelompok-kelompok Sunni
lain seperti Asy’ariyah, Hanafiyah, kaum sufi, dan lain-lain. Tradisi pengecaman ini
dilanggengkan oleh para murid Ibn Taimiyah, termasuk Ibn Qayyim al-Jauziyah.
Syaikh Hasan bahkan mengaitkan Salafisme dengan Nawasibisme, yaitu kebencian
terhadap keluarga Nabi (Ahli Bait), yang “kebetulan” amat dimuliakan oleh kaum
Syiah.
(Disclaimer: patut diingat bahwa tentu saja pernyataan tentang kecenderungan
Nawashibi ini—bahkan kecenderungan takfiri—tidak dapat dinisbatkan kepada
semua aliran dalam Salafisme karena mereka memiliki spektrum tersendiri—dari
yang paling moderat hingga yang paling ekstrem. Selain itu, perlu juga ditegaskan
bahwa kelompok Takfiri ini terpecah-pecah ke dalam banyak kelompok kecil-kecil.

https://islamindonesia.id 554
Tak jarang yang satu mengafirkan yang lain. Bahkan, sebagian di antara mereka
menuduh kelompok lainnya sebagai Khawarij).

Pengertian Takfirisme

Yang pasti, saat ini terbentuk banyak aliran yang seara khusus mengembangkan
doktrin tentang takfir seperti ini. Jadi, takfiriyah bukanlah sekadar sikap suka
mengafirkan kelompok-kelompok Muslim lain yang bukan kelompoknya, melainkan
mengembangkan doktrin khusus elaboratif tentang takfir yang cukup sophisticated
berdasar pemahaman mereka tentang ajaran-ajaran agama sebagaimana terbaca
dalam teks-teks keagamaan yang ada, baik al-Qur’an, Hadis, maupun pemikiran-
pemikiran “kaum salaf”. Mulai dari Kasyf al-Syubuhat karya Muhammad bin Abdul
Wahhab, Ma’alim fi al-Thariq karya Sayid Quthb, atau Al-Jami fil-‘Ilmi Asy-Syarif Al-
Iman wa Al-Kufr, karya Abdul Qadir bin Abdul Aziz. Di Indonesia ada buku-buku
semacam Aliran-aliran Sesat di Indonesia karya Hartono Ahmad Ja’iz atau Mulia
dengan Mazhab Salaf karangan Yazid bin Abdulkadir Jawas. Di dalamnya didaftar
puluhan kelompok Muslim yang dianggap sesat. Orang tak dapat menghindar dari
kesan bahwa, di mata penulis-penulis semacam ini, hanya kelompok mereka sendiri
yang benar dan kelompok lainnya sesat, bahkan kafir.

Jadi takfiriyah bukanlah sekadar pengkafiran, melainkan pengkafiran semua


kelompok Muslim yang bukan kelompoknya, yang didasarkan pada upaya
perumusan doktrin takfir yang elaboratif dan indiskriminatif. Dan takfir dalam konteks
ini tidak hanya terbatas pada tataran wacana, melainkan selalu dihubungkan dengan
keluarnya seseorang dari agama dan ancaman pemusnahan di dunia dan
ketidakselamatan di akhirat akibat perbuatan kufur tersebut.

Hal ini berbeda dengan penggunaan istilah takfir pada tataran wacana dan bersifat
diskriminatif, yang juga tak disertai ancaman pemusnahan di dunia atau ketidak-
selamatan di akhirat. Contoh mengenai ini kita dapati pada kasus pengafiran yang
dilancarkan oleh Imam Ghazali kepada para filosof sebagaimana terungkap dalam
bukunya Tahafutu l-Falasifah. Jangankan disertai upaya pencabutan hak hidup
kelompok yang disebut kafir, bahkan dengan hati-hati Imam Ghazali menjelaskan
bahwa kategori kafir yang digunakannya tidak sama dengan kategori yang
mengakibatkan si tertuduh kafir dihukumi keluar dari agama.

Sosial-Politik

Dewasa ini terjadi gelombang baru “Salafisasi” di beberapa bagian dari Dunia Islam
Sunni, seperti tampak pada kemenangan mengejutkan partai Salafi di Mesir.
Belakangan, sikap kaku-keras Salafisme semakin mengkristal akibat kekecewaan

https://islamindonesia.id 555
mereka atas kenyataan bahwa perjalanan sejarah dari mayoritas Muslim tampaknya
cenderung mengakomodasi perkembangan peradaban modern, sesuatu yang
dianggap mencemari kemurnian Islam yang mereka promosikan. Perkembangan ini
dipandang sebagai ancaman bagi Islam yang mereka yakini, khususnya ketika
perasaan ini tercampur dengan perasaan menjadi korban (victimized) oleh negara-
negara adikuasa yang “anti-Islam” (yang mereka pandang berkolaborasi dengan
kaum Muslim pembuat bid’ah ini, seperti akan disinggung lebih jauh setelah ini).

Takfirisme kontemporer—yang tak lain lahir dari ekstremisme keagamaan—ini


kiranya juga dipantik oleh ketimpangan politik dan ekonomi di mana kelompok
keagamaan memiliki—atau, setidak-tidaknya dianggap demikian—akses istimewa
kepada pemerintahan, kekayaaan, posisi penting di pemerintahan dan kehidupan
kultural. Kontestasi pengaruh di dalam tubuh umat Islam ini dipertajam oleh
keterlibatan pemerintahan-pemerintahan asing—Amerika dan Eropa—yang tidak
ingin kehilangan cengkeramannya di wilayah ini, dengan mendukung rezim-rezim
tertentu sejauh dapat mengamankan kepentingan politik dan ekonomi mereka.
Keterlibatan negara-negara superpower ini terbukti sangat berpengaruh dan
melanggengkan—jika bukannya memperparah—gejala ekstremisme, dan konflik-
konflik sektarian yang lahir darinya. Hal ini terkait dengan kenyataan bahwa, sejak
era 1970-an dan 1980-an, berbarengan dengan munculnya fenomena Perang Dingin
dan apa yang biasa disebut Kebangkitan Islam, AS (dengan dukungan negara-
negara Eropa) berkepentingan untuk memastikan bahwa sebanyak mungkin negara
Muslim bergerak di bawah pengaruh orbitnya.

Secara umum, menguatnya takfirisme juga terkait dengan Perang Dingin regional
antara Sunni Arab Saudi dan Syiah Iran untuk memobilisasi dukungan regional.
Saudi di satu pihak memosisikan diri sebagai pelindung kaum Sunni, sementara di
pihak lain, Tehran secara alami mencari sekutu-sekutu di antara komunitas Syiah
yang hidup di Lebanon, Irak, dan beberapa negara lain. Karena alasan inilah Arab
Saudi dan beberapa negara Arab dengan senang hati memberikan dukungan
finansial kepada kelompok-kelompok konservatif, khususnya, kelompok Salafi,
sebagai proxy mereka demi memastikan bahwa kubu Islam anti-Syiah dapat selalu
mempertahankan pengaruh dan perannya sebagai pembendung perkembangan
aliran Syiah dan ekspansi politik Syiah di negeri-negeri Muslim.

Perkembangan Musim-Semi Arab (Arab Spring) belakangan ini merupakan peristiwa


mutakhir yang, sayangnya, justru kian memperparah kecenderungan ekstremisme
dan takfirisme di negara-negara seperti Arab Saudi, Bahrain, dan Suriah.
Sebagaimana di Indonesia pasca-Reformasi, demokratisasi yang lahir dari Musim
Semi Arab ini seolah-olah seperti membuka Kotak Pandora, yang memungkinkan
kelompok-kelompok ekstrem Islam—termasuk yang beraspirasi kekerasan, yang

https://islamindonesia.id 556
tadinya tertahan oleh otoritarianisme yang berkuasa—mendapatkan ruang untuk
berkembang bebas. Dan hal ini, khususnya akibat lemahnya pemerintahan dan
persaingan politik dalam negeri, telah memakan korban tragis dalam bentuk
pembiaran prosekusi kelompok-kelompok yang lebih moderat oleh para ekstremis-
takfiri sebagai tampak di Libya, Aljazair, Mesir (khususnya pasca-kudeta militer),
Suriah (di wilayah-wilayah yang di dalamnya kaum Salafi-Jihadis memiliki sebatas
tertentu kekuasaan), dan berbagai wilayah lain. []

(Sumber: https://islamindonesia.id/kolom/kolom-takfirisme-asal-usul-dan-
perkembangannya.htm)

https://islamindonesia.id 557
Sunday, 17 January 2016
OPINI – Apa Sebab Tertarik Menjadi Teroris?
Oleh: Abdillah Toha

Serangan teroris mengejutkan di siang bolong dan di tengah-tengah pusat


keramaian ibukota telah menghentakkan kesadaran kita bersama tentang bahaya
terorisme. Apa sebenarnya penyebab anak-anak muda yang tampak sehat bisa
berubah menjadi monster penjagal manusia tak bersalah?

Kita sudah sering mendengar bahwa terorisme tidak dapat diberantas sekadar
dengan tindakan represif bersenjata, tetapi kita juga harus mencoba mengetahui
akar permasalahannya sehingga mungkin dapat ditemukan jalan bagi tindakan
pencegahan sebelum lebih banyak pemuda terjerumus ke dalam lumpur kriminal ini.

Banyak sekali telah ditulis tentang hal ini, tetapi kali ini saya hanya akan membahas
dari sisi kejiwaan dan bertanya mengapa seseorang bisa tertarik menjadi anggota
dari gerombolan teroris. Karena saya bukan ahlinya maka apa yang akan saya
sampaikan dibawah ini adalah beberapa pandangan berbagai ahli di bidangnya yang
pernah saya baca dan simak.

Dengan pengecualian teroris tunggal tidak waras yang sering terjadi di Amerika
dalam melakukan penembakan membabi buta di sekolah-sekolah umpamanya, para
ahli yang telah mendalami masalah ini sepakat bahwa pemuda-pemuda yang tertarik

https://islamindonesia.id 558
dan bergabung dalam terorisme berkelompok bukanlah lantaran mereka yang gila,
sakit jiwa atau paranoid. Mereka adalah pemuda normal dan tidak dihinggapi delusi.

Kebanyakan dari mereka adalah anak muda usia yang sedang berada pada periode
sulit dalam kejiwaan ketika mereka baru menyadari dirinya sebagai individu yang
berdiri sendiri. Karena merasa rapuh, resah, dan terpisah, mereka mencari-cari
pegangan, identitas diri serta keinginan untuk punya rasa memiliki dan dimiliki.

Itu pulalah barangkali yang menjelaskan banyak remaja dan anak muda yang
bergabung dalam kelompok gang, fans club, kelompok pemuja grup musik dan
sejenisnya untuk menghilangkan rasa keterpisahannya, menguatkan identitasnya,
dan mendapat semacam “keluarga baru”.

Salah satu kelompok yang juga bisa menarik bagi para pemuda ini adalah kelompok
agama yang ekstrim, yang menawarkan sejenis komunitas yang saling mendukung
dengan keyakinan bersama. Kelompok-kelompok ini juga kemudian memberikan
status bagi mereka yang tadinya tak dimiliki oleh para pemuda ini.

Lalu mengapa mereka kemudian tega berbuat sesuatu yang jauh dari rasa
kemanusiaan? Mereka sebenarnya juga manusia-manusia biasa yang memiliki
perasaan alami seperti empati dan iba kepada sesama karena mereka juga punya
keluarga dan kawan. Keberutalan teroris terjadi ketika lampu empati dan manusiawi
di benak dan hatinya dimatikan dan diganti dengan keyakinan dan tujuan-tujuan
yang kuat tetapi sesat.

Ketika itu mereka tidak lagi melihat dunia dengan persepsi biasa dan pengalaman
pribadi akan tetapi dari kacamata abstrak dan konsepsional, seakan dunia dibagi
kedalam kotak-kotak dan kategori-kategori. Manusia yang berada diluar kotak atau
kelompok sendiri yang telah ditanamkan di benaknya sebagai musuh, adalah
sekadar lian atau obyek yang harus dienyahkan tanpa rasa iba.

Dengan sistem cuci otak dari kelompoknya, mereka telah menghilangkan sisi
manusia dari orang lain. Tak mampu melihatnya sebagai individu-individu tetapi unit-
unit dari sebuah kelompok kolektif dan membebankan kepada setiap individu diluar
kelompoknya itu tanggung jawab atas kesalahan pihak lain.

Teroris adalah kumpulan orang yang karena berbagai alasan, gagal mendapatkan
makna hidup dari perjalanan hidup sebelumnya kemudian menemukan sebuah
kelompok yang menawarkan “makna hidup” yang baru dan sekaligus makna
kematian. Tentu saja makna-makna baru yang ditawarkan oleh kelompok teroris ini

https://islamindonesia.id 559
didasarkan atas penafsiran keyakinan dan tujuan yang keliru dengan motif
mengalahkan apa yang mereka anggap sebagai musuh mereka.

Kelompok teroris dan calon teroris ini berbentuk sejenis piramida dimana dibagian
atas adalah kelompok yang menggunakan kekerasan sedang di lapis bawah adalah
mereka yang memiliki keyakinan dan ideologi serupa, baik yang setuju ataupun
belum tentu setuju dengan penggunaan kekerasan. Di lapis bagian bawah inilah
merupakan ladang untuk rekrutmen mereka.

Siapa saja mereka di lapis bagian bawah itu? Mereka adalah para pengikut
kelompok garis keras yang setiap kali mendapat khotbah tentang berbagai ancaman
abstrak yang sedang dihahadapi umat. Ancaman terhadap eksistensi
agamanya, ancaman terhadap jiwa penganutnya, ancaman terhadap kemurnian
faham agamanya, dan ancaman-ancaman lain yang tidak masuk akal.

Inilah kelompok yang mudah mengkafirkan orang yang tidak seagama dengan
mereka maupun menganggap sesat orang-orang yang seagama tetapi tidak
sefaham dengan penafsiran mereka tentang agamanya. Kelompok lapis bawah ini,
sebagian mendukung terang-terangan kekerasan yang dilakukan oleh lapis atas
piramida dan sebagian lain mendukung secara tersamar.

Keasamaan lapis atas dan lapis bawah adalah mereka sama-sama melakukan
promosi besar-besaran atas ideologi garis keras mereka. Dengan bantuan internet,
kelompok-kelompok ini telah mendapat jalan pintas yang cepat dan murah untuk
menjajakan militansi mereka. Teroris dengan pena ini menyebarkan berbagai
kebohongan tentang gawatnya situasi untuk mendukung gagasan mereka dan
memanasi semangat simpatisannya. Memberikan label-label kepada kelompok,
organisasi, dan lembaga tertentu sebagai musuh bersama yang harus diperangi.

Bila perlu, memutar balikkan berita dan fakta kekacauan di Timur tengah dan negeri
lain guna memperkuat argumen mereka. Menggunakan tehnik-tehnik digital untuk
mengubah dan menyebarkan gambar-gambar seram tentang kekuatan mereka dan
ketidak-adilan yang menimpa umat. Menyerang kebijakan pemerintah yang
dianggap taghut dan tidak Islami. Semua itu mereka lakukan secara massif dan
hampir terkoordinasi dan berulang-ulang.

Karena bertubi-tubi, baik didunia maya maupun dalam khotbah-khotbah oleh orang-
orang yang dianggapnya memiliki otoritas ilmu agama, banyak orang yang tadinya
pasif, tidak mempunyai dasar agama yang kuat dan informasi yang cukup menjadi
terpengaruh dan terseret kedalam konspirasi mereka.

https://islamindonesia.id 560
Seharusnya tidak terlalu sulit bagi pemerintah dan aparatnya untuk mengidentifkasi
kelompok-kelompok garis keras yang merupakan ladang subur bagi rekrutmen
teroris. Namun demikian, sejauh ini tampaknya pemerintah segan atau belum punya
kemauan keras untuk bertindak karena berbagai alasan seperti alasan tidak adanya
payung hukum yang jelas, atau mungkin karena banyaknya prioritas lain yang masih
menjadi fokus pemerintah. Membiarkan kelompok-kelompok garis keras ini
bermanuver bebas berarti menunda terjadinya musibah yang lebih besar.
Mengambil tindakan tegas sekarang lebih murah daripada menunggu sampai
kekacauan terjadi dan korban orang-orang tak bersalah jatuh.[]

*Tulisan ini pertama kali tayang di situs Detik.com.


(Sumber: https://islamindonesia.id/kolom/opini-apa-sebab-tertarik-menjadi-
teroris.htm)

https://islamindonesia.id 561
Friday, 15 January 2016

OPINI – Teroris Nirtujuan

Muhammad Rusli Malik*

Dua jam setelah serangan teroris di Sarinah, 100 meter dari tempat kejadian,
penjual sate kembali jualan seperti biasa. Orang luar menyebut itu sebagai
Indonesian’s stoicism and defiance (ketabahan dan perlawanan khas Indonesia).
Mungkin ada benarnya.

Tetapi sebetulnya yang terjadi adalah bahwa semakin sering serangan seperti itu
terjadi akan semakin menghilangkan rasa takut pada publik. Dan bila efek ketakutan
enyah, berarti serangan-serangan semacam itu tak bermakna terorisme lagi.

Sarana komunikasi yang menyatukan dunia membuat masyarakat tiap saat


menyaksikan serangan barbarian (katanya terorisme) di berbagai negara. Dan tak
hasilkan apa-apa. Kecuali kegaduhan sesaat dan pengalihan isu: ada berita baru
menutupi berita panas. Ada muak dan jijik pada agama peyerang, ada simpati dan
empati pada pihak yang diserang–lazimnya simbol negara lain seperti hotel atau
restoran. Buntutnya, ada tawar-menawar bisnis besar versus putusan politik. Kritikus
menggelarinya politik kapitalis atau kapitalis politik. Setelah itu, business as usual.

Makanya jangan terperangah jika ada bom. Tanya. Apa sebetulnya tujuan dari
tindakan terorisme? Cendekia bilang, terorisme adalah the weapon of the weak

https://islamindonesia.id 562
against the strong. Tanya lagi. Lalu siapa the weak dan siapa the strong-nya? Dan
kenapa menggunakan terorisme sebagai bahasa?

Kalau mau buat negara baru (separatisme) atau menjatuhkan pemerintah (oposisi),
kenapa tidak gunakan massa, lalu minta referendum atau pemilu dipercepat?
Jawaban yang paling mungkin, mereka memang tak punya massa. Karena mereka
tak mewakili siapa-siapa. Itu makanya Alqaida dan ISIS tak dapat apa-apa. Karena
Alqaeda dibangun di Afghanistan untuk lawan Mohammad Najibullah yang pro
Soviet. ISIS dibentuk di Suriah untuk jatuhkan Basyar Assad yang pro Rusia.
Setelah itu…keduanya diberi gelar “Gerakan Teroris”.***

Penulis dan Dai, tinggal di Jakarta

(Sumber: https://islamindonesia.id/kolom/opini-teroris-nirtujuan.htm)

https://islamindonesia.id 563
Wednesday, 13 January 2016

OPINI-Adu Kekuatan Terakhir

Oleh Abdillah Toha


Suka atau tidak suka dengan mantan ketua DPR RI Setya Novanto (Setnov), kita
semua mau tidak mau harus mengakui ketahanan dan staminanya yang luar biasa.
Lawan-lawannya tidak tanggung-tanggung. Penguasa, penegak hukum, politisi,
media dan publik. Dengan kata lain Setnov benar-benar dikeroyok. Dan sampai
sekarang dia survive hanya dengan sedikit terluka.
Kita tahu bahwa sebelum ini ada bertumpuk kasus yang pernah dihadapi atau
dikaitkan dengan Setnov. Beberapa kali dipanggil penegak hukum sebagai “saksi”
tetapi tak pernah berlanjut menjadi tersangka. Semuanya sirna sehingga dia
mendapat julukan “the untouchable” (yang tak tersentuhkan). Terakhir sekali adalah
drama “papa minta saham” yang telah dan sedang kita saksikan bersama.

Majelis Kehormatan Dewan (MKD) gagal memvonis Setnov. Didahului dengan taktik
pengunduran diri sebagai ketua DPR beberapa menit sebelum vonis, dia lolos dari
hukuman melanggar etika. Karena tidak ada vonis melanggar etika maka dia bebas
dari ancaman dicopot dari keanggotaan DPR.

https://islamindonesia.id 564
Beberapa hari kemudian setelah itu kita diberi kejutan baru. Setnov oleh partainya,
tanpa rasa malu dan risih, diangkat sebagai ketua fraksi Golkar. Suatu kedudukan di
DPR yang teoritis bisa lebih tinggi dari ketua DPR karena ketua DPR baru yang
menggantikannya berasal dari partainya sendiri dan karenanya harus mengikuti
bleid (kebijakan) fraksi. Disini terbukti keampuhan Setya Novanto.

Presiden yang merasa namanya dicatut tak mampu berbuat apapun karena telah
mengatakan sebelumnya bahwa beliau akan menghormati apapun keputusan MKD.
Dengan demikian proses politik dari peristiwa ini sudah dianggap selesai. Tidak
demikian halnya dengan sisi hukum dari kasus ini. Kejaksaan Agung sudah terlanjur
memerosesnya, meski awalnya tampak lamban dan penuh keraguan. Bagaimana
dengan Polri?

Polri melalui pimpinannya menghindar dan menyatakan tidak dapat mengambil


langkah hukum karena kasus Setnov bukan perkara tindak pidana umum, kata
Kapolri. Juga tidak bisa menggunakan pasal pencemaran nama baik presiden
karena Mahkamah Konstitusi telah mencabut delik terhadap presiden. Kapolri juga
belum bisa meneruskan kasus tersebut ke delik penipuan.

Satu-satunya jalan yang masih mungkin terbuka adalah bila Setnov dikenakan
tindak pidana khusus berupa permufakatan jahat yang menjurus kepada korupsi,
kata Kapolri. Dan untuk ini polisi tidak berwenang karena itu berada dalam jurisdiksi
Jaksa Agung. Sekali lagi Setnov lolos. Kali ini dari jeratan Polri.

Jadi apa yang dimaksud dengan ‘tindak pidana khusus’? Sebenarnya tidak ada
definisi yang jelas tentang apa itu ‘tindak pidana khusus’. Tindak Pidana Khusus bisa
diartikan sebagai tindak pidana yang pengaturannya diatur di luar KUHP, atau yang
berhubungan dengan UU yang secara khusus dibuat untuk mengatur tindak pidana
tertentu seperti UU Tindak Pidana Korupsi. Atau yang tata cara penanganannya
memerlukan tata cara khusus atau hukum acara khusus yang memiliki perbedaan
dari hukum acara yang berlaku umum.

Kabar terbaru, Jaksa Agung akhirnya melayangkan surat panggilan kepada Setnov
untuk diperiksa, setelah yakin bahwa persetujuan presiden dan Majelis Kehormatan
Dewan tidak diperlukan karena menurut kejaksaan, kasus Setnov tidak berhubungan
dengan tugasnya sebagai anggota legislatif. Jurus Setnov kali ini, menolak
menerima surat panggilan yang dikirim kerumahnya sehingga Kejaksaan terpaksa
menitipkan surat itu ke ketua Rukun Tetangga. Dengan demikian, panggilan kedua
akan diluncurkan dan bila masih membangkang, panggilan ketiga, dan bila perlu
dengan pemaksaan.

https://islamindonesia.id 565
Apa kira-kira jurus Setnov berikutnya? Inilah yang menjadi kekhawatiran Jaksa
Agung. Setnov diperkirakan akan mengajukan pra-peradilan. Kekhawatiran
Kejaksaan cukup beralasan sebab Jaksa agung pernah dikalahkan oleh Dahlan
Iskan di pra-peradilan. Apalagi sekarang menghadapi seorang Setya Novanto yang
lebih lihai, lebih berpengaruh, lebih berani bermanuver, dan kelebihan lain yang
sudah terbukti sebelum ini. Di sisi lain, proses pra-peradilan dilaksanakan oleh
hakim tunggal yang berwenang penuh membebaskan Setnov dari ancaman
penegak hukum.

Jurus-jurus yang dibahas diatas semuanya adalah jurus-jurus Setnov yang terbuka,
legal, dan terang benderang. Diluar itu, kita semua hanya bisa menduga-duga jurus-
jurus lain yang mungkin digunakan olehnya tetapi tertutup dan tak kasat mata.
Jurus-jurus apa itu? Lebih baik penulis serahkan kepada imaginasi masing-masing
pembaca.

Mengingat presiden Jokowi yang lemah lembut itu sempat meledak marah karena
simbol negara dipermainkan dalam kasus ini, maka diperkirakan pimpinan eksekutif
ingin melihat Setnov mendapat ganjaran hukum yang setimpal. Disamping itu,
didudukkannya Setnov kembali sebagai ketua fraksi Golkar akan merupakan
ganjalan tersendiri dalam hubungan pemerintah dan DPR, mengingat seorang
Setnov yang terluka dan presiden yang tersinggung dalam kasus ini, tidak akan
mudah melupakan semuanya dengan cepat. Barangkali bila Setnov tidak lagi berada
di DPR, Jaksa Agung sebagai wakil pemerintah akan lebih cenderung untuk tidak
melanjutkan kasus ini.

Maka adu kekuatan terakhir antara Setnov dan pemerintah akan berlanjut dengan
hasil yang belum bisa diperkirakan. Silahkan pembaca menaruh taruhan masing-
masing, siapa kira-ikira yang akan unggul dalam pertandingan final nanti. []

*Tulisan ini pertama kali tayang di blog pribadi penulis di situs Kompasiana.com.
(Sumber: https://islamindonesia.id/kolom/adu-kekuatan-terakhir-setnov-setya-
novanto.htm)

https://islamindonesia.id 566
Saturday, 09 January 2016

OPINI-Negeri Tunabudaya

Oleh Haidar Bagir

Ini bukan waktunya berteori panjang. Sudah lama negeri ini bergerak ke arah
ketunabudayaan meski jargon penguatan budaya terus didengungkan. Padahal,
budaya adalah soal menjadi manusia.

Manusia spiritual, manusia moral, manusia estetis, dan manusia yang sadar dan
berpikir. Ia berakar pada konsen-konsen kemanusiaan yang paling dalam, sebagai
makhluk sekaligus pengejawantahan ketuhanan. Sebagai bagian dari persaudaraan
kemanusiaan, bahkan persaudaraan ke-makhlukan yang cirinya adalah memiliki
fitrah cinta kebenaran, kebaikan, dan keindahan.

Segala yang kurang itu, betapapun dikemas dalam sofistikasi dan citra kemajuan
dan peradaban, adalah anti budaya. Budaya adalah sumber keutuhan dan integritas
kehidupan manusia. Dengan demikian, juga sumber kesejahteraan dan kebahagiaan
hidupnya. Akibat yang kita lihat sekarang ini, manusia Indonesia makin jauh dari
spritualitas-kemanusiaan-nya. Integritasnya tergerus, kita makin terbenam dalam
banalitas. Tak ada apresiasi pada kedalaman dan keindahan.

https://islamindonesia.id 567
Strategi budaya

Soal inilah yang terngiang-ngiang di benak saya saat saya bersiap-siap ketemu Pak
Jokowi beberapa waktu lalu. Negeri kita sudah lama kosong strategi budaya Dan
jangan salah. Kekosongan ini bukan berarti perkembangan budaya berjalan sendiri
melainkan, vacuum yang ada akan didesaki oleh budaya ‘asing”, yang belum tentu
sejalan secara organis dengan budaya kita.

Terkesan chauvinistik? Xenofobik? Nanti dulu. Kenyataannya sekarang, lapangan


“budaya” zaman ini sudah jadi bulan-bulanan hegemoni ekonomi, komersialisme
para pemilik kapital besar. Sendirian saja kekuatan mereka sudah begitu besar.
Apalagi dalam kenyataannya ia masih berselingkuh dengan kekuatan-kekuatan
politik (dan ideologis), yang dipaksakan lewat kekuatan mahadahsyat media massa
yang menginvasi dengan derasnya. Kesemuanya itu didukung teknologi audiovisual
dan IT yang luar biasa canggih dan berkembang terus dengan pesat, hingga
menyusup ke dalam ruang-ruang paling privat masyarakat kita.

Saya tidak menyangkal bahwa budaya itu sudah seharusnya dinamis, sekaligus
terbuka, terhadap kreativitas dan unsur-unsur kebaikan yang berasal dari kesadaran
persaudaraan dan persamaan manusia. Tidak, ia tidak boleh chauvinistik. Apalagi
nativistik. Kenyataan yang tak dapat disangkal adalah, selalu saja terjadi interaksi
akulturasi budaya yang saling memperkaya.

Budaya memang tak berkembang secara terisolasi, dalam ruang kedap pengaruh.
Pada saat yang sama, budaya seharusnya berkembang secara organis. Berakar
pada lokalitas dan mengembang secara alami berdasar irama (pace-nya) sendiri
sesuai dengan temperamen-khasnya, dan menyerap pengaruh yang sejalan dengan
kesemuanya itu.

Kita bukan penganut keyakinan akan keunggulan satu budaya atas budaya lain,
bahkan tidak juga keunggulan budaya nasional kita dibandingkan budaya-budaya
lain. Kita percaya budaya apa pun menyimpan aspek-aspek positif yang berasal dari
fitrah kebaikan manusia. Kita percaya bahwa setiap budaya, selama ia memenuhi
syarat-syarat untuk disebut budaya yakni berpusar pada kebenaran, kebaikan, dan
keindahan punya logika dan pembenarannya sendiri. Bahkan yang disebut budaya-
budaya paling primitif sekalipun.

Kita percaya bahwa budaya berkembang terus, sebutlah maju kalau mau. tetapi
kemajuannya tak serta-merta mencampakkan yang lama, melainkan meliputi yang
lama itu dan hanya menjadi lebih matang. Budaya umat manusia kita yakini bersifat
perenial karena, betapapun berbeda manusia adalah manusia, di sudut bumi mana

https://islamindonesia.id 568
pun ia hidup. Bagaimanapun sejarahnya. Karena itu, semua berbagi nilai-nilai
universal.

Jika kita pelajari beragam budaya umat manusia, dalam seluruh epos sejarahnya, di
dalamnya selalu terkandung unsur moralitas (kebaikan), kebenaran, dan keindahan.
Akarnya, boleh disebut agama atau tidak, adalah spiritualitas, yakni semacam
kesadaran batin yang memandu seluruh gerak hidup manusia dan masyarakat.
Kesemuanya itu menyatu dalam pandangan dunia (world
view atau welatanscauung), mencakup sebuah cara pandang khas tentang Tuhan,
manusia, dan alam.

Budaya Indonesia, dalam segenap kekhasannya, pada kenyataannya berbagi unsur-


unsur yang universal dengan budaya-budaya lain yang mana pun. Ia mencakup apa
yang disebut sebagai tahap “primitif’ (mistis/teologis/raligius), tahap pra-Indonesia
(metafisis, ontologis, tanpa meninggalkan yang mistis/ teologis/ religius), tahap
Hindu, dan tahap Islam. Lalu, tentu saja tahap Indonesia ‘modern’, yang di dalamnya
tercipta sintesis baru dengan masuknya unsur budaya saintifik, positivistik.

Kehilangan kesadaran budaya


Polemik Kebudayaan dan majalah Poedjangga Boroe sudah merekam semuanya ini
dengan sangat baik. Setelah masa Orde Iama dengan jargon “politik adalah
panglima’. Indonesia zaman Orde Baru menawarkan “budaya” developmentalis dan
teknokratis. Tetapi sedevelopmentalis dan seteknokratis itu, di zaman Orde Baru kita
masih diberkahi dengan kiprah strategis pemimpin-pemimpin yang memiliki
kesadaran budaya tinggi sekelas Soedjatmoko, Fuad Hassan bahkan juga Emil
Salim, dan yang lainnya.

Dengan rasa pahit—meski tanpa kehilangan optimisme—ingin saya tegaskan sekali


lagi di sini, justru di masa pasca Reformasi, sampai hari ini, negeri kita kehilangan
kesadaran budaya. Budaya seperti terlindas oleh salah kaprah dalam melihat tujuan
pembangunan. Undang-undang kita boleh saja menulis dengan tinta emas bahwa
tujuan bangsa, khususnya di bidang pendidikan, adalah melahirkan manusia-
manusia seutuhnya.

Dalam kenyataannya cara yang ditempuh justru memecah manusia ke dalam


seonggokan jisim tanpa roh. Serba materialistik. Bukan saja ia telah menelan korban
spiritualitas, moralitas, kebenaran, dan rasa keindahan, pun tak ada tujuan ekonomi
bisa dicapai jika manusia Indonesia menjadi tunabudaya seperti itu. Dan korban
besarnya, itu pun kalau kita asumsikan bahwa tujuan materialistik tercapai, adalah
tak kurang dari kebahagiaan manusia itu sendiri.

https://islamindonesia.id 569
Maka, sebelum makin terlambat, perlu direvitalisasi suatu kesadaran kolektif bangsa
yang meletakkan budaya sebagai tempat persemaian seluruh aspek kehidupan kita,
sebagai manusia. Baik itu politik, ekonomi, sosial, bahkan juga agama. Ya bahkan
agama yang harus kita kembangkan pada akhirnya adalah suatu agama yang ramah
budaya kalau tak mau sama sekali disebut sebagai agama kultural dan bukan
semata agama ideologis atau hukum—seberapa pentingnya pun ideologi dan hukum
dalam agama.

Agama untuk manusia yang memiliki kesetiaan pada moralitas, kebenaran, dan
keindahan. Bukan sekadar gejala kebangkitan agama yang sesungguhnya lebih
tepat disebut sebagai pengerasan agama, yang disertai sikap-sikap penindasan atas
nama agama. Suatu agama anti budaya. Pemerintah tentu harus mengambil
komando. Harus ada concerted efforts, yang memastikan bahwa semua upaya
pembangunan—di bidang apa pun—mau menjadikan pencapaian-pencapaian
kultural sebagai tujuan puncaknya

Inilah yang antara lain disampaikan Pak Jokowi dalam pertemuan yang saya ikut
hadir di dalamnya itu. Beliau siap memastikan bahwa tak ada satu menteri pun boleh
melupakan hal ini dalam setiap kebijakan dan program kementerian mereka. Tetapi,
sudah tentu ini bukan hanya tugas pemerintah saja. Kemampuan (dan kesadaran)
pemerintah terbatas. Tetapi, lebih dari itu, tak ada suatu pekerjaan sebesar dan
sekolektif pengembangan budaya yang akan bisa berhasil tanpa keterlibatan
langsung dan aktif masyarakat, rumah budaya itu sendiri.

HAIDAR BAGIR
Pengajar Filsafat dan Mistisisme Islam di ICAS Paramadina

Sumber: Kompas

(Sumber: https://islamindonesia.id/kolom/negeri-tunabudaya.htm)

https://islamindonesia.id 570
Thursday, 07 January 2016

OPINI – Semesta Akhlak

Oleh: Haidar Bagir

Sebagian orang kerap berkoar-koar dan mendesakkan peran agama dalam seluruh
lapis dan sistem kehidupan bermasyarakat. Tapi orang kerap lupa kalau esensi
agama adalah akhlak yang baik, yang lahir dari jiwa yang bersih. Berakhlak baiklah,
niscaya hidup Anda dan lingkungan sekitar Anda kan baik pula.

Bila mau jujur, dalam membangun sistem-sistem kehidupan, agama paling banter
dioperasikan di dataran filosofis, bersama filsafat-filsafat lainnya. Selebihnya?
Semuanya adalah akhlak.

Tapi apakah itu berarti untuk jadi manusia yang baik, orang harus mengerti agama,
atau, kasarnya, menjadi Muslim? Tentu saja tidak. Bahkan, jangan kaget: orang
yang tak mengerti agama atau bukan Muslim, bisa berakhlak baik. Semua kita tahu
Allah SWT menanamkan fitrah alias kecenderungan pada kebaikan ke semua
manusia tanpa pandang bulu. Tapi, meski faktanya tidak seperti itu, seharusnya
orang beragama, apalagi seorang Muslim, akhlaknya lebih baik. Dia berpegang
pada panduan dari Allah, jika dia lupa atau terbawa nafsu.

https://islamindonesia.id 571
Orang beragama juga harusnya lebih berakal. “Tak ada agama bagi yang tak
menggunakan akal,” kata Nabi. Tapi org baik yang berakal juga bisa melahirkan
kebenaran, meski tak beragama atau dia bukan Muslim.

So, fastabiqul khayraat! Kita semua perlu berlomba-lomba mengejar


kebaikan. Bahkan orang yang tampaknya tak beragama atau atheis, jangan-jangan
hakikatnya lebih beragama dari orang-orang yg kelihatannya saleh. Bukankah Allah
adalah sumber segala Kebaikan, Kebenaran dan Keindahan?

Orang yang kelihatannya tak beragama, tapi setia pada kebenaran, cenderung
kepada kebaikan, dan mengapresiasi keindahan, boleh jadi lebih beragama
ketimbang mereka yang kelihatan saleh tapi mengkhianati kebenaran, dikuasai
nafsu dan vulgar.

So, fastabiqul khayraat!

(Sumber: https://islamindonesia.id/kolom/opini-semesta-akhlak.htm)

https://islamindonesia.id 572
Saturday, 02 January 2016
OPINI–Berebut Akhirat

Oleh: Abdillah Toha

Di hari-hari pertama tahun baru ini, aku ingin kita intropspeksi bersama tentang satu
sisi kehidupan kita yang penting. Kehidupan beragama. Di tahun yang baru lalu
kehidupan beragama marak dengan berbagai peristiwa yang memperihatinkan. Aku
ingin mengingatkan diriku dan kita semua, saudaraku sesama Muslim, untuk
merenung sejenak.
Agama sebenarnya dimaksudkan untuk menciptakan ketenteraman jiwa
penganutnya. Kedamaian yang dilandasi akhlak dan nurani yang bersih. Sama
sekali tidak dimaksudkan sebagai berhala. Bukan sesuatu yang dipuja, dibela, dan
disanjung karena merasa sebagai bagian dari identitas kita. Bukan itu. Yang berhak
disucikan dan disembah hanyalah Allah semata. Sang pencipta dan pemelihara
seluruh alam raya. Bukan agama. Agama adalah jalan, bukan tujuan.
Dengan berbagai ritualnya agama adalah sarana untuk menemukan jalan terlurus
dan terpendek menuju kedekatan denganNya. Itulah paling tidak pemahamanku
sebagai muslim.
Di dunia Islam ada puluhan aliran dan mazhab. Kalau ditambah lagi dengan tariqah
atau tarekat bisa ratusan. Kesemuanya ini adalah penafsiran pemahaman ajaran
Islam yang bersumber kepada al-Qur’an dan tradisi Nabi Muhammad SAW. Tidak
masalah, karena Islam memang menganjurkan manusia menggunakan akalnya.
Wahyu Allah dalam al-Qur’an dan masa kenabian Muhammad SAW terjadi lebih dari
1400 tahun lalu. Sejak itu, kehidupan telah banyak berubah dan apa yang terjadi di
planet bumi saat ini banyak yang baru dan tidak dialami pada masa kenabian.
Karenanya, akal manusialah yang kemudian harus digunakan untuk memberi
penafsiran ajaran Islam sesuai dengan konteks masa kini. Karena akal manusia
terbatas dan betapapun manusia berusaha tetap saja tidak mungkin sepenuhnya

https://islamindonesia.id 573
menghilangkan subyektifitas masing-masing, maka terjadilah perbedaan-perbedaan
dalam penafsiran. Dengan beberapa pengecualian, selama beratus tahun
perbedaan ini ditoleransi dan Muslim hidup rukun, baik antar sesama Muslim
maupun dengan pemeluk agama lain. Selama perbedaan itu tidak digerakkan oleh
kepentingan pribadi atau kelompok tetapi dilandasi oleh kehendak hati yang tulus
bagi kemaslahatan umat, agama akan menjadi pembimbing untuk kebaikan.
Masalah timbul ketika penafsiran didorong bukan oleh kehendak berlomba untuk
berbuat baik tetapi bertanding untuk menang disini dan kini. Agama kemudian
dipilah-pilah dan dimasukkan kedalam kotak-kotak terpisah. Ini agama saya itu
agama kamu. Ini faham saya yang murni, itu keyakinanmu yang busuk. Ini mazhab
saya yang benar, itu aliranmu yang keliru. Ini kelompok saya yang selamat, itu
golonganmu yang sesat. Ketika itu, akhirat yang menurut al-Qur’an jauh lebih luas
dari bumi dan seluruh jagad raya ini kemudian dikapling-kapling. Akhirat yang
menjadi sempit ini diperkirakan oleh pemeluk fanatiknya tidak dapat menampung
seluruh makhluk Allah. Karenanya harus diperebutkan.
Dalam proses berebut akhirat itu maka terjadilah saling tuduh, saling hujat, dan
saling mengklaim kebenaran. Agama menjadi masalah juga ketika sedikitnya tiga
hal mengendalikan penafsirannya. Pertama, kepentingan politik, kekuasaan, dan
materi. Kedua, kepicikan yang disebabkan oleh pemahaman tekstual yang menolak
penafsiran kontekstual. Ketiga, kehendak “memurnikan” Islam dengan
menghidupkan kembali totalitas tata kehidupan masa kenabian ke masa kini
menurut penafsirannya sendiri. Kita telah melihat sendiri apa yang telah dan sedang
terjadi. Mempolitikkan agama telah mengakibatkan saling teror, saling usir, bahkan
saling bunuh antar sesama Muslim, khususnya di Timur Tengah. Kepicikan
pemahaman telah menjadikan agama sebagai panduan mekanis. Kehendak
memurnikan agama justru bukan membersihkan tapi mengotori agama dengan
keangkuhan dan klaim kebenaran mutlak di pihaknya.
Maka dalam Islam muncullah berbagai kelompok dan pendakwah dengan
pemahaman dan kepentingan berbeda. Ada kelompok radikal militan yang melihat
Islam selalu dalam keadaan perang dan harus berjuang dengan senjata untuk
melawan musuh-musuhnya. Ada kelompok “pembela” Islam yang melihat segala
sesuatu di luar Islam seperti yang dipahaminya adalah perbuatan munkar. Ada
kelompok yang mengklaim sebagai pemilik sorga dan mereka yang berada diluar
kelompoknya dianggap tidak akan selamat. Ada kelompok yang dipimpin oleh dai-
dai profesional dan selebriti tv yang menjajakan agama sebagai hiburan komersial.
Para dai berlomba berebut umat. Makin besar jumlah pengikutnya makin kesohor
dan terhormat kedudukannya. Umat dianggap sebagai pasar tempat persaingan
usaha. Sebagian dai ini kemudian ada yang menjajakan umatnya ke partai politik
yang memang kerjanya mencari dukungan suara. Dari situ terjadi beberapa
konsekwensi yang merisaukan dalam bentuk perdagangan suara umat.

https://islamindonesia.id 574
Ketika semua itu menjadi titik fokus dakwah, dunia sebagai tempat kita
mengembangkan diri dan menanam amal sebagai bekal bagi kehidupan abadi di
akhirat terlupakan. Paling sedikit seminggu sekali kita mendengar khotbah ulama di
mimbar sholat Jum’at. Nyaris dari mulut khatib dimanapun tidak terdengar khutbah
yang memberi semangat untuk hidup disini dan kini. Tidak ada dorongan untuk
menuntut ilmu dan bergiat dalam usaha. Yang kita dengar adalah ancaman neraka,
tawaran sorga, dan kecaman terhadap “musuh-musuh” Islam. Dalam kategori
musuh-musuh Islam itupun dimasukkan mereka yang alirannya tidak sejalan dengan
pengkhotbah. Sementara kita tak henti-hentinya berkhotbah menyampaikan
penguatan akidah dan ancaman neraka, bangsa lain berlomba memajukan ilmu
pengetahuan, teknologi, dan taraf ekonominya. Ulama berselisih tentang cara
beribadah, sedangkan kemiskinan dan keterbelakangan di sekitarnya diacuhkan.
Ketika kita sibuk berebut akhirat, mereka merebut dunia. Jangan-jangan kita
kehilangan dua-duanya. Dunia lenyap dari tangan kita, akhiratpun lepas.
Hidup termasuk kehidupan beragama adalah sebuah pilihan. Islam menawarkan
kehidupan hasanah dan berimbang di dunia dan akhirat. Mengembangkan
kehidupan positif di bumi, persaudaraan manusiawi dan landasan moral yang benar
adalah modal utama kehidupan di akhirat kelak. Bukan monopoli kebenaran dengan
menarik garis merah antara aku dan kamu, kita dan mereka. Selamat Tahun Baru
sahabat.

Sumber: Kompasiana
(Sumber download: https://islamindonesia.id/berita/opini-berebut-akhirat.htm)

https://islamindonesia.id 575
Thursday, 17 December 2015

Empat Sembah ala Wedhatama

Oleh Parni Hadi

Ini mungkin yang disebut Islam Kejawen, yakni Islam yang dipengaruhi atau
bercampur dengan tradisi dan kebudayaan Jawa. Mungkin juga, ini salah satu bukti
sebuah Islam organis. Islam yang terus hidup, tumbuh di kalangan masyarakat
Jawa.

Shalat itu tiang agama Islam dan kunci penting bagi semua kebaikan, sabda
Muhammad Rasulullah Saw seperti diriwayatkan Thabrani (HR Thabrani). Seturut
itu, banyak kyai mengatakan, shalat adalah amalan manusia yang dihisab pertama
di alam akhir.

Shalat, sering dibaca sholat atau “salat” dalam bahasa Jawa atau sembahyang. Ada
yang bilang, sembahyang berbau ajaran pra-Islam, khususnya agama Hindu.
Alasannya, sembahyang adalah singkatan menyembah Hyang, yang merupakan
sebutan para dewa Hindu.

Orang Jawa tradisional, biasa menyebut Allah dengan Gusti Allah, Pangeran, Gusti
Kang Maha Kuwasa, Maha Welas Asih, Hyang Suksma dan Hyang Widhi. Dalam
agama Hindu, Tuhan dipanggil Hyang Widhiwasa.

Karena nama-nama itu buatan manusia, sesuai bahasa dan lingkungan sosial-
budaya masing-masing, ada anggapan bahwa penyebutan yang berbeda-beda itu

https://islamindonesia.id 576
tidak menjadi masalah. Jadi, istilah sembahyang bisa diterima. Tujuannya sama,
kilah orang Jawa, yang oleh Clifford Geertz dikategorikan sebagai Muslim minimal
atau Abangan.

Banyak orang Jawa yang tertarik masuk Islam, karena adanya kepercayaan kepada
yang gaib. (QS 2:3). Tradisi dan kepercayaan pra-Islam banyak berurusan dengan
yang gaib, seperti kesaktian, azimat, kemampuan meramal, tenung, ilmu pelet dan
kemampuan melihat makhluk halus.

Dalam rangka lebih mendekatkan diri secara bathin dengan Allah, banyak penganut
Islam di Jawa yang mengamalkan “empat sembah” yang disebut Serat Wedhatama,
karya Mangkunegara IV. Empat sembah itu adalah sembah raga, sembah
cipta/kalbu, sembah jiwa/suksma dan sembah rasa. Ada anggapan bahwa ke empat
sembah mengadopsi empat urutan dalam belajar tasawuf, yakni Syariat, tarekat
(thariqat), makrifat dan hakekat (ada yang menyebut hakekat dulu, baru makrifat).

Syariat, dulu sering diucapkan Sarengat, artinya aturan agama tentang perintah dan
larangan yang harus dipatuhi. Dasarnya adalah percaya kepada Tuhan, tanpa tanya
ini-itu. Tarekat (thariqat), artinya jalan atau petunjuk yang memberi pengertian
kepada akal-pikiran, sehingga kepercayaannya kepada Tuhan kuat, tidak ikut-ikutan.
Dalam Islam ada dalil naqli, yakni Al Quran dan Hadits, dan aqli atau akal-pikiran.
Hakikat (haqiqat), orang Jawa menyebutnya “kakekat”, artinya “weruh kang sejati”
(tahu yang sejati). Makrifat artinya kemampuan untuk melihat yang gaib sebagai
tataran tertinggi dalam tasawuf. Karena itu, banyak orang ingin “ujug-ujug” ,
langsung segera menempuh jalan Makrifat, tanpa menjalankan Syariat dulu.
Padahal, Wedhatama sebagai buku “piwulang” (ajaran) untuk mencapai “ngelmu
kasampurnan” (ilmu kesempurnaan) menganjurkan ke empat sembah harus
dijalankan siang malam.

Sembah raga disamakan dengan sholat lima waktu sesuai dengan syariat Islam. Ini
bagi pemula untuk mencapai ilmu yang lebih tinggi bagi. Pokok tujuannya adalah
memaksa atau melatih membiasakan diri untuk “berdiam hening”. Tata lakunya
serba tertib, teratur dan tekun.

Untuk melaksanakan sembah raga, orang harus “bersuci” dengan air (wudhu). Hasil
sembah raga adalah membuat badan sehat wal’afiat dan memberi sikap tenang.
Orang yang berbadan sehat dan tidak berpenyakitan, sehat juga pikirannya, hingga
inderanya menjadi tenang dan siap untuk melakukan sembah kedua, yaitu sembah
kalbu/cipta.

https://islamindonesia.id 577
Sejumlah kyai menyarankan muridnya untuk belajar tasawuf mulai dengan sholat
Syariat: “Contohlah Nabi Muhammad, tak pernah tinggalkan sholat”. []

(Sumber: https://islamindonesia.id/kolom/empat-sembah-ala-wedhatama.htm)

https://islamindonesia.id 578
Monday, 14 December 2015

OPINI – Terorisme dan Agama

Oleh Juan Cole


Bertentangan seperti apa yang dituding Bill Maher, Muslim tidak lebih keras dari
pada penganut agama lain. Tingkat pembunuhan di sebagian besar dunia
Islam sangat rendah apabila dibandingkan dengan Amerika Serikat.
Adapun kekerasan politik, warisan umat Kristen pada abad kedua puluh yang
bahkan meghabiskan hingga puluhan juta orang pada dua perang dunia. Demikian
pula dengan penindasan kolonial. Pembantaian besar besaran tidak terjadi karena
Kristen Eropa lebih buruk dari pada manusia lainya, tetapi karena merekalah yang
pertama kali mengidustrialisasi perang dan meneruskan sebagai model suatu
bangsa. Kadang mereka berpendapat bahwa tindakan mereka bukan atas nama
agama melainkan nasionalisme. Tetapi sebenarnya tidak masuk akal. Agama dan
nasionalisme sangat berkaitan. Setidaknya, Raja Inggris adalah kepala gereja
Inggris, dan seperti itu terjadi hingga setengah abad pertama pada abad kedua
puluh. Gereja Swedia adalah gereja nasional. Spanyol? Apakah negara itu tidak
benar-benar terhubung dengan Katolik? Apakah gereja dan Francisco Franco

https://islamindonesia.id 579
memiliki peranan dalam Perang Saudara? Jika demikian, banyaknya kekerasan di
dunia Islam didorong oleh bentuk nasionalisme modern juga.
Saya tidak mengatakan jika Muslim yang membunuh 2 juta orang lebih atau
melakukan kekerasan politik selama abad ke-20, terutama pada perang Iran- Irak
1980-1988 dan Soviet serta di Afganistan pasca Soviet, lalu Eropa yang
menanggung kesalahan (nasionalis sekuler Young Turk juga melakukan
pembantaian terhadap Armenia selama invasi Antolia Timur oleh Rusia).
Bandingkan itu dengan jumlah yang diakibatkan Kristen Eropa, oh, anggap saja 100
juta (16 juta pada Perang Dunia I, 60 juta pada perang dunia II – meski sebagian
korban di Asia disebabkan oleh Budha – dan jutaan lebih dalam perang kolonial.)
Belgia – ya, Belgia, tempatnya bir stroberi dan Istana Kuno Gravensteen – telah
menaklukkan Kongo dan setidaknya sekitar 8 juta orang terbunuh atau setengah
dari penduduk Kongo kala itu.

Atau diantara tahun 1916-1930, Kekaisaran Rusia dan kemudian pasukan Soviet –
menghadapi pemberontakan Asia Tengah yang berupaya menghilangkan umat
Kristen (dan kemudian Marxist), kekuasaan Eropa – menewaskan sekitar 1, 5 juta
orang. Dua anak laki-laki asal salah satu wilayah (Kyrgyzstan) membunuh 4 orang
dan melukai lainnya hingga kritis. Cukup mengerikan, tapi tidak satupun, bahkan di
Rusia, Eropa atau Amerika Utara yang berpikir sedikit pun tentang Asia Tengah
dimana banyak massa yang terbunuh dan hartanya dijarah selama, sebelum dan
sesudah Perang Dunia I. Ketika menaklukan secara brutal dan mengusai Kaukasus
demikian pula Asia Tengah, Rusia adalah Ortodoks Timur, kekaisaran Kristen (dan
tampaknya akan muncul kembali!).
Kemudian, di antara setengah dan satu juta masyarakat Aljazair tewas saat perang
merebutkan kemerdekaannya dari Perancis, 1954-1962. Pada saat itu jumlah
populasi Aljazair hanya 11 juta!
Dimanapun Anda melacak kolonialisme Eropa di Afro-Asia, disana terdapat “jasad”.
Banyak jasad.
https://islamindonesia.id 580
Terkait kolonialisme, sekarang saya berfikir bahwa, mungkin jatuhnya korban 100
juta jiwa akibat warisan Kristen Eropa pada abad ke-20 merupakan taksiran kecil.
Adapun agama teroris, itu sangat universal. Diakui, beberapa kelompok
menyebarkan teror sebagai taktik yang lebih banyak daripada lainya. Zionis di
British Mandate Palestine merupakan teroris aktif pada 1940-an dan pada periode
1965-1980 FBI dianggap “Jewish Defense League” di antara kelompok-kelompok
teroris AS yang paling aktif. (Anggota pada satu titik diplot untuk membunuh Rep.
Dareell Issa (R-CA) karena “warisan Lebanon”-nya). Sekarang nasionalis yahudi
sebagian besar mendapatkan jalan mereka, jalan terorisme telah dinafikan mereka.
Tapi kemungkinan akan kembali muncul jika mereka berhenti di jalan yang mereka
dapatkan. Faktanya, salah satu pendapat politisi Israel mengizinkan penghuni liar
Israel untuk menempati tanah orang Palestina yang mereka rampas di Tepi
Barat adalah upaya untuk mengembalikan mereka pada jalan kekerasan. Yaitu, para
pemukim liar tidak hanya benar-benar meneror rakyat Palestina, tetapi sebenarnya
mereka telah membentuk ancaman terorisme bagi Israel itu sendiri (seperti yang
dialami oleh almarhum Perdana Menteri Yitzhak Rabin).
Bahkan baru-baru ini, sulit bagi saya melihat banyak perbedaan antara Tamerlan
Tsarnaev dan Baruch Goldstein, pelaku pembantaian Hebron.
Atau ada bom berdarah dingin dari kuil Ajmer di India oleh Bhavesh Patel dan geng
Hindu nasionalis. Begitu mengerikan, mereka kecewa ketika bom kedua mereka
yang telah diatur tidak dapat ditembakan, sehingga mereka tidak dapat
melampiaskan sebanyak malapetaka yang mereka suka. Ajmer adalah kuil Sufi
ekumenis yang juga tempat ziarah umat Hindu. Sikap fanatik seperti ini
tidak mengajarkan berpikir terbuka mengenai ruang spiritual karena mereka
membenci Muslim.
Umat Buddha juga telah melakukan banyak kejahatan terorisme dan beragam
kekerasan. Banyak perintah Zen di Jepang didukung militerisme di paruh pertama
abad ke-20, yang mana pemimpin mereka kemudian meminta maaf. Dan, Anda di
Jepang memiliki pengalaman kampanye pembunuhan Inoue Shiro di tahun 1930-an.
Kelompok militan Biksu Buddha di Burma/ Myanmar melakukan kampanye
pembersihan etnis Rohingya.
Adapun Kristen, Tentara Perlawanan Tuhan di Uganda memulai pertempuran yang
membuat dua juta orang terlantar. Meskipun dinilai sebagai ‘aliran sesat’ Afrika,
mereka adalah Kristen asli dan hasil misionaris Kristen Barat yang berdakwah di
Afrika. Jika Wahabi Saudi bisa disalahkan atas Taliban, mengapa misionaris Kristen
meluncur ketika kita menganggap itu adalah ‘serangan balik’ dari murid mereka?
Meskipun jumlah sangat besar, tahun 2007-2009 kurang dari 1 persen aksi
teror yang dilakukan oleh Muslim di Eropa.
Terorisme adalah tindakan ekstrimis dalam setiap agama, dan dalam agama sekuler
Marxisme atau Nasionalisme. Tidak ada agama, termasuk Islam, yang mengajarkan
kekerasan tanpa pandang bulu terhadap orang tak berdosa.

https://islamindonesia.id 581
Dibutuhkan semacam kebutaan yang luar biasa untuk mengatakan orang-orang
Kristen dari warisan Eropa sebagai “orang baik” dan Muslim adalah agama
kekerasan, mengingat korban tewas seperti pada abad ke-20 yang saya sebutkan di
atas. Manusia adalah manusia dan spesies yang terlalu muda dan
memiliki keterhubungan begitu erat untuk diberbedakan dari kelompok ke kelompok.
Orang menggunakan kekerasan karena ambisi, semakin mereka berkuasa makin
tinggi kekerasaan yang digunakan. Kabar baiknya adalah jumlah perang menurun
dari waktu ke waktu, dan Perang Dunia II – rumah kuburan terbesar dalam sejarah -
belum terulang.

Ami/ Islam Indonesia

(Sumber: https://islamindonesia.id/kolom/opini-terorisme-dan-agama.htm)

https://islamindonesia.id 582
Thursday, 10 December 2015

Orang Jawa Belajar Tasawuf

Oleh Parni Hadi


Ketidakmelekatan (detachment) pada sesuatu yang duniawi sifatnya adalah kunci
untuk belajar tasawuf, ilmu dan laku ke arah kesempurnaan bathin. Tidak melekat,
terutama hilangnya perasaan untuk memiliki sesuatu. Semua milik Allah. Manusia
hanya “meminjam atau dipinjami” oleh Yang Punya sesungguhnya.
Itulah ajaran tasawuf yang mudah dfahami oleh orang Jawa, yang dicap Abangan
atau Muslim minimal. Orang Jawa dikenal tidak “ngoyo” (memaksakan diri) dalam
mengejar sesuatu. “Nrimo ing pandum” atau “menerima apa pun yang diberikan
Tuhan”. Intinya, sangat percaya kepada kekuasaan Allah dan kasih sayang Nya.
Orang kaya juga boleh belajar tasawuf. Caranya, mereka mengingat bahwa harta
hanya di tangan, tidak di hati. Doa orang sufi (pembelajar tasawuf): “Ya Allah berilah
harta di tanganku, jangan di hatiku”, kata Prof. Dr. Muhammad Bambang Pranowo,
seorang ahli Islam Jawa.
Harta, pangkat, derajat, kepandaian, istri yang cantik, anak-anak yang tampan dan
cantik, semuanya barang titipan. Sewaktu-waktu bisa diambil Yang Punya. “Mung
barang silihan”. Hanya barang pinjaman. “Ikhlaskan ya, dulu ia tidak ada, sekarang
ia kembali kepada asalnya”, demikian nasehat Pak Kyai atau Pak Modin di kampung
dulu menghibur anggauta keluarga yang ditinggal mati seseorang yang dicintai.
Yang ditinggal diminta tidak menangis dan meratapi, sebab itu akan memberati
beban yang pergi menuju rahmatullah. “Mulih marang mulo-mulaniro dumadi”.
Pulang, kembali ke asal-muasal.
Menghilangkan perasaan memiliki (sense of belonging) adalah suatu ujian
terberat dalam belajar tasawuf. Perasaan memiliki ini bisa muncul walau pun

https://islamindonesia.id 583
sesuatu itu belum secara fisik diraih, misalnya pacar, pangkat, rumah, mobil dan
bahkan pujian yang diidamkan. Inilah sumber nafsu amarah, jika ada orang lain yang
dianggap mengusik rasa memiliki seseorang. Bentuknya, bisa marah, benci,
memusuhi dan bahkan upaya untuk meniadakan pesaing itu.
Celakanya, jika amarah ini mencapai tujuannya, timbul nafsu serakah, ingin memiliki
selamanya, bahkan menambah. Sudah punya satu, ingin dua, tiga dst. Inilah sumber
konflik antar-pribadi, kelompok, bahkan antara bangsa dan negara.

Lalu, apakah orang Jawa tidak boleh maju, bersaing, kaya dan terhormat?
Semuanya, boleh, asal ingat: jika sudah tercapai, semuanya hanya barang titipan,
boleh dimiliki hanya sementara waktu. Cara meraihnya pun harus secara halal, legal
dan masuk akal. Artinya, sesuai ajaran agama, tidak melanggar hukum dan wajar.
Bagi orang Jawa, jika disebut agama, otomatis maksudnya Islam.

Untuk memudahkan membangun watak “tidak memiliki”, ada jalan tengah, yakni
“mengambil jarak”.
Agar bisa mencapai hidup yang bahagia, aman, tentram, jauh dari pesaing atau
perasaan iri orang lain, ada nasehat yang berbunyi “sakmadya” ( ditengah-tengah).
Jangan berlebihan. Ada yang bilang: “sak perlune, sak benere”. Seperlunya, dengan
cara yang benar.
Nasehat lain: Jangan menonjol, karena itu membuat orang lain iri. “Ojo mrojol ing
akerep, munjul ing apapak”. Persis makna ungkapan: pohon tinggi, ditimpa angin
lebih kencang.

Untuk mengembangkan rasa “tidak memiliki” ini, orang Jawa bisa belajar dari tokoh
wayang, Prabu Puntadewa, raja Amarta, sulung Pandawa. Puntadewa dikenal tidak
memiliki musuh dan apa pun miliknya, termasuk tahta dan istri, Dewi Drupadi, rela
jika ada yang meminta, seperti dalam lakon “Rama Nitis”.

Tapi, yaitu Puntadewa pun tidak gampang mati sebelum berjumpa Sunan Kalijaga
yang membantu membaca ajimatnya “Jamus Kalimasada”, yang ternyata Kalimat
Syahadat. []

(Sumber: https://islamindonesia.id/kolom/orang-jawa-belajar-tasawuf.htm)

https://islamindonesia.id 584
Thursday, 10 December 2015
OPINI – Facebook, Zuckerberg dan Philantro-Capitalism
Oleh Hertasning Ichlas

Kapitalisme welas-asih atau welfare state?

Awal Desember, Mark Zuckerberg, bos Facebook, memberitahu dunia tentang


Maxima, anak perempuannya yang baru lahir melalui sepucuk surat elektronik di
Facebook. Surat itu berisi kebahagiaan dan rasa syukur Mark dan istrinya Priscilla
Chan.

Dalam suratnya Mark mengatakan ingin membantu generasi anaknya Max dan
generasi akan datang sebuah dunia yang lebih sehat, sejahtera dan setara.

Mark menulis, “harapan kami untuk generasimu terfokus pada dua ide: memajukan
potensi manusia dan mempromosikan kesetaraan.”

Surat itu ditutup Mark dengan kalimat kebapakan yang altruistik: “Max, kami
mencintaimu dan memiliki tanggung jawab besar mewariskan dunia menjadi tempat
yang lebih baik untukmu dan seluruh anak lain.”

Dia dan istrinya berkomitmen membuat Chan Zuckerberg Initiative, sebuah


perusahaan LLC (limited liability corporation) untuk tujuan sosial-filantropi dan akan
memberikan 99 persen, sekitar 45 miliar US$, dari saham mereka di Facebook
secara bertahap sepanjang hidup mereka.

1,5 juta lebih pembaca memberikan tanda like pada surat Mark. Sekitar 270 ribu
pengguna Facebook menyebarkan surat itu. Komentator umumnya memuji tindakan
Mark dan istrinya sebagai komitmen filantropi yang hebat.

“Sebuah tindakan luar bisa besar untuk meninggalkan dunia yang lebih baik
dibanding saat kalian dulu menemukannya. Selamat!” ucap seorang komentator di
bawah surat Mark.

https://islamindonesia.id 585
Komentator pertama surat Mark adalah Melinda Gates, istri bos Microsoft, Bill Gates,
yang di tahun 2010 juga merintis jalan filantropi yang sama seperti Mark lakukan.

Bill Gates dan Melinda mengumumkan bahwa mereka berkomitmen memberikan 95


persen dari kekayaan mereka untuk kerja-kerja sosial filantropis. Bersama orang
kaya lain seperti Warren Buffet mereka membuat Giving Pledge, organisasi yang
mengajak orang-orang kaya di dunia menyisihkan setengah dari kekayaan mereka
untuk filantropi.

Namun sebanyak itu yang memuji tindakan Mark, sebanyak itu pula yang mencibir
bahkan mengecamnya sedang melakukan penghindaran beban pajak dengan
memindahkan sahamnya kepada lembaga perusahaan non-profit bernama Chan
Zuckerberg Initiative yang juga dikendalikan penuh olehnya, istrinya dan kelak
anaknya.

Made Supriatma, orang Indonesia yang tinggal dan bekerja di Amerika Serikat
menyebut tindakan Mark sebagai sebuah transfer kepemilikan tanpa membayar
pajak ‘capital gain’. Anaknya Mark pun menurut Made akan mewarisi lembaga
mereka tanpa harus membayar pajak warisan, yang di Amerika besarnya sampai
45% dari nilai warisan.

Meski berbungkus sosial, tindakan Mark dianggap tak lebih sebuah cara dari orang-
orang kaya Amerika untuk mengamankan harta kekayaan mereka dari kewajiban
pajak yang besar.

Lembaga filantropi Chan Zuckerberg Intiative agak berbeda dengan lembaga


filantropi lain di Amerika, karena dibentuk Mark sebagai perusahaan bermodel LLC
dan bukan charitable trust atau yayasan pribadi.

“Dengan menggunakan LLC dan bukan yayasan tradisional, kami justru tak
menerima keuntungan pajak dari proses pemindahan saham kami ke Chan
Zucerberg Initiative,” sebut Mark.

“Sebaliknya jika kami menggunakan yayasan tradisional, kami pasti dapat


keuntungan pajak. Seperti lainnya, kami juga akan membayar pajak capital
gains saat saham kami terjual oleh LLC.

Hal lain yang tak diterangkan Mark, dengan menggunakan LLC, Chan Zuckerberg
Initiative bisa melakukan investasi dan penjualan saham seperti halnya lembaga
investasi swasta. Meskipun sifatnya tidak untuk mencari untung (non-profit).

https://islamindonesia.id 586
Dalam struktur LLC itu, Mark Zuckerberg akan mendapat manfaat dari sistem
perpajakan Amerika. Pada tahun pertama dia misalnya akan menyalurkan secara
bertahap 99 persen sahamnya senilai US$ 45 milyar dimulai dengan angka US$ 1
miliar ke Chan Zuckerberg Initiatives yang dia bentuk.

Karena tujuan sosial, Mark berhak mendapat potongan pajak sepertiga dari jumlah
yang dia berikan. Dalam hitungan umum, menurut Made Supriatma, Mark akan
dapat total keringanan pajak sebesar sekitar US$ 333 juta. Jumlah yang mungkin
lebih besar kalau dia mendapat ‘tax deductible’ atau pengurangan pajak karena
memberikan sumbangan kepada lembaga karitas yang bekerja untuk kepentingan
umum.

Menurut Made, pintarnya lagi, saham Facebook milik Mark tidak akan diberikan
sekaligus tetapi sedikit demi sedikit. Jadi, misalnya, US$ 1 miliar per tahun. Jadi
saban tahun, ada duit pajak yang dikembalikan.

Mark Zuckerberg jelas tidak akan jatuh miskin karena melepas semua sahamnya.
Tapi yang perlu diketahui dia mungkin justru akan semakin kaya secara pribadi dan
dikenang melakoni jalan Bonapartist sebagai pahlawan murah hati. Dari sana akan
lahir pengaruh (baca: kekuasaan) untuk mendapatkan apa yang dia inginkan dan
menentukan apa yang dia pikir baik.

Jesse Eisenger menulis tajam di The New York Times bahwa altruisme ala Mark
Zuckerberg pada dasarnya menolong dirinya sendiri dan secara umum mengajak
orang untuk berterima kasih pada dirinya.

Bagi para pembela Mark, tindakan Mark disebut sebagai langkah legal secara
hukum dan jauh lebih bermoral dalam menggunakan uangnya sendiri daripada
orang seperti Donald Trump atau Koch Brothers. Pandangan ini pada dasarnya
bicara siapa yang paling sedikit ketamakannya di antara orang super-kaya yang
tamak.

Komentar pembelaan lebih mengebu-gebu sekaligus ironis mengatakan lebih baik


menyumbang langsung untuk tujuan sosial daripada memasukkan ke pajak negara
dan digunakan untuk perang.

Mereka yang mengerti sistem perpajakan di Amerika akan paham bahwa Amerika
memberi pilihan yang sangat leluasa bagi para triliuner untuk bisa memilih
mendonasikan uangnya atau membayar pajak. Kegiatan filantropi menggunakan
yayasan pribadi dapat insentif pengurangan pajak serius di Amerika.

https://islamindonesia.id 587
Karenanya orang Amerika adalah orang paling gemar berderma di dunia sebab telah
berabad-abad mereka punya tradisi hadirnya kelompok privat non-profit membantu
orang lain sebagai pengganti peran pemerintah. Menurut data OECD, belanja
yayasan privat untuk sumbangan kesejahteraan sosial di Amerika nilainya 4 kali lipat
dibanding negara-negara maju lainnya

Yayasan pribadi adalah model Amerika dalam penyaluran sumbangan dan derma
sosial. Jika mereka tidak membuat lembaga filantropi, mereka akan dikenakan pajak
capital gains dan estate tax.

Negara-negara kaya seperti Jerman dan Prancis umumnya menggunakan sumber


daya negara untuk mempromosikan kesejahteraan publik daripada menggunakan
sumber daya privat. Model filantropi ala Amerika dipandang sinis di Eropa.

Filosofi publik vs privat ini yang memperjelas mengapa model-model filantropi


swasta seperti Giving Pledge ala Amerika serikat menjadi sangat popular untuk
orang kaya Amerika sebaliknya hal yang sama tak terjadi di belahan dunia lain yang
mengandalkan negara untuk melakukan hal itu melalui pajak warganya.
Komitmen bos Facebook meneruskan tradisi filantropi orang-orang super-kaya
Amerika menyumbangkan kekayaan untuk amal-sosial (charity) memicu perdebatan
tentang logika publik versus privat.

Apakah negara sebaiknya membiarkan orang kaya menjadi sinterklas (kesalehan


privat) dan membebaskan pajaknya atau menyerahkan pada negara menarik pajak
orang kaya untuk memperbesar anggaran belanja publik dalam bidang sosial
(kesalehan publik).

Dalam teori bernegara, apakah pilihannya pada “welfare-state” model Eropa yang
bersandar pada pajak dan kebijakan publik atau “kapitalisme yang welas-asih”
seperti Amerika yang mendorong kebajikan individu?

Peter Kramer, seorang pengkritik model-model filantropi ala kapitalis di Amerika


mengatakan inisiatif filantropi sosial model Amerika sangat problematis.

“Anda sebagai orang kaya bisa memilih mendonasi atau membayar pajak?” Pada
dasarnya cara itu menurut Kramer membiarkan kaum kaya yang menentukan apa
yang penting dan bagus.

“Kaum kaya menggantikan peran negara, dan itu tak bisa diterima.”

https://islamindonesia.id 588
Meskipun tujuan sumbangan itu digunakan untuk kepentingan sosial, model
sumbangan kaum kaya itu dianggap para pengambil kebijakan di Eropa sebagai
model pemindahan kekuasaan yang buruk dari negara kepada triliuner.

Pada dasarnya sistem itu telah perlahan-lahan membiarkan bahwa bukan negara
yang menentukan wajah publik dan apa yang penting namun kaum kaya.
Permasalahannya, legitimasi seperti apa yang dimiliki orang-orang kaya untuk
mengalirkan uang besar ke satu isu daripada ke isu lain?

Kecenderungan filantropi-kapitalis ala Amerika telah memperlihatkan betapa orang-


orang super-kaya seperti Mark Zuckerberg jika dibiarkan tanpa proses politik dan
kontrol demokrasi telah menggunakan uang mereka yang seharusnya masuk ke kas
pajak untuk kegiatan-kegiatan hobi-hobi yang sangat personal atau politis.

Wajah publik Amerika Serikat dibanding negara-negara makmur menurut OECD,


berada di ranking bawah dalam hal belanja sosial dan perbaikan kesejahteraan
publik.

Di negara-negara makmur Eropa, angka filantropi hanya 2.6 persen dari Produk
Domestik Bruto, sementara di Amerika menghabiskan 11 persen. Negara-negara
Eropa mempercayakan negara untuk mengatur keadilan dan distribusi, Amerika
mempercayakannya pada sistem welas-asih para kapitalis.

Ekonom pemenang nobel Thomas Piketty dalam bukunya “Capital in the Twenty-
First Century” menawarkan kepada dunia yang makin tamak, konsep pajak
kemakmuran untuk mengatasi ketimpangan. Dan berbeda dengan model filantropi
Amerika, Piketty menawarkan transfer kemakmuran itu terjadi dari individu kepada
negara. []

Islam Indonesia

(Sumber: https://islamindonesia.id/kolom/opini-facebook-zuckerberg-dan-philantro-
capitalism.htm)

https://islamindonesia.id 589
Saturday, 05 December 2015

KOLOM PH – Priyayi: Etos Merujuk Alquran

Oleh Parni Hadi

Priyayi adalah salah satu unsur trikotomi ciptaan Clifford Geertz dalam “The Religion
of Java’, setelah santri dan abangan. Priyayi adalah keturunan aristokrat (kaum
ningrat), pegawai negeri dan birokrat.

Tradisi keberagamaan priyayi, menurut Geertz, ditandai oleh kehadiran unsur-unsur


Hindu dan Budha yang berperan penting dalam membentuk pandangan dunia, etika
serta tindakan sosial pegawai kerah putih, termasuk yang berpendidikan Barat
sekalipun. Meski jumlahnya lebih kecil, priyayi memanfaatkan kepemimpinan
ideologis dan kultural mereka terhadap seluruh masyarakat.

https://islamindonesia.id 590
Nilai-nilai utama dari etos priyayi ditengarai Geertz sebagai nrima (menerima takdir
dengan kebesaran jiwa), sabar (sikap tidak terburu-buru, hilangnya ketidaksabaran,
tidak keras kepala) dan ikhlas (ketidakterikatan pada kepentingan duniawi yang
fana).

Konsep santri, abangan, priyayi sering digunakan para pengkaji sejarah, politik dan
masyarakat Jawa, namun ia tidak bebas dari kritik. Kesimpulan Geertz bahwa
keberagamaan priyayi dipengaruhi oleh unsur-unsur Hindu dan Buddha, hampir
sama dengan abangan, dikritik Mitsuo Nakamura, antropolog dari Jepang.

Nakamura berpendapat konsep sabar, ikhlas dan slamet (selamat) yang


diperkenalkan sebagai nilai utama pandangan masyarakat tradisional Jawa,
sebenarnya bersumber dari ajaran Islam. Istilah-istilah itu berasal dari bahasa Arab.
Dan, pemakaian istilah-istilah itu dalam bahasa Jawa kontemporer dinilainya sangat
serasi dengan pengertian religiousnya yang asli.
Ia merujuk istilah sabar, sebagai contohnya, berasal dari bahasa Arab, shabr. Dalam
Alquran shabr bermakna sabar (QS. 23: 111, 28: 54, 38: 17) dan tawakal (QS.
12:18). Ikhlas dalam bahasa Arab berarti berbakti kepada Tuhan (QS. 2:139, 4:146,
10:23). Dan, Alquran surah ke-112 dinamai ‘Al Ikhlas’.

“Surat pendek ini (Al Ikhlas), sangat populer di tengah masyarakat Muslim karena
keindahan dan kekuatannya, serta sering dibaca dalam shalat,” kata Nakamura,
yang meneliti Islam Indonesia.

Prof. Dr. Muhammad Bambang Pranowo, pengarang “Memahami Islam Jawa”,


mengritik trikotomi itu sebagai oversimplikasi atau kesalahan konseptual. Sebagai
orang Jawa tulen, ia mengaku selalu gelisah ketika membaca tulisan-tulisan sarjana
Barat yang menggunakan pendekatan santri, abangan dan priyayi di satu pihak, dan
di pihak lain oleh perjumpaannya sejak kecil dengan budaya keagamaan
masyarakat Jawa.

Bambang Pranowo lahir di Magelang, 27 Agustus 1947. Ayahnya seorang pegawai


negeri di Departemen Sosial. Jadi, ayahnya termasuk priyayi, yang dihargai para
tetangga sebagai priyayi sampai masuk pensiun 1978.

Sejak lahir Bambang dididik dalam lingkungan Jawa pedesaan, di mana agama
sangat mewarnai kehidupan keluarganya. Ayahnya selalu menyuruh Bambang dan
saudara-saudaranya untuk melaksanakan shalat lima waktu sehari-semalam serta
perintah-perintah agama Islam lainnya.

https://islamindonesia.id 591
Pada tahun 1977, ayahnya menunaikan ibadah haji. Jadi, ia termasuk
santri. Namun, ayahnya sangat menyukai kesenian Jawa, khususnya wayang dan
kethoprak. Ia suka menyanyikan tembang Jawa, seperti Sinom, Pangkur dan
Dandanggulo.

Ayahnya menembang sebelum anak-anaknya tidur, suaranya memecah kesunyian


malam. Secara kultural, mengacu pada trikotomi Geertz, ayahnya masuk kelompok
non santri. Sementara dari sudut politik, ayahnya masuk kategori abangan, karena ia
pimpinan PNI (Partai Nasionalis Indonesia) tingkat kecamatan.

Bambang bingung, mau dimasukkan kategori mana ayahnya? Ayahnya adalah satu
dari sekian banyak orang Jawa yang kehidupan beragama mereka tidak mudah
dipahami dengan pendekatan santri-abangan. Salah satu teman dekat ayahnya,
mantan aktivis PNI Magelang, adalah seorang kyai. Ternyata, apa yang ditulis
sarjana barat sekaliber Clifford Geertz pun tidak selalu benar!

Islam Indonesia

(Sumber: https://islamindonesia.id/kolom/kolom-ph-priyayi-etos-merujuk-
alquran.htm)

https://islamindonesia.id 592
Monday, 30 November 2015

Abdul Nour Bidar: Jika Tak Mau Hasilkan ISIS, Kurikulum


Wahabi Harus Dirombak

Oleh: Israa al-Fass

Dalam pesan terbuka untuk dunia Islam pada akhir 2014, professor filsafat di Nice,
Perancis, Abdul Nour Bidar, menulis, “Jika Anda ingin belajar bagaimana tidak
memproduksi [sesuatu di] masa depan seperti moster-monster ini [ISIS], Anda harus
mulai merombak seluruh pendidikan anak-anak Anda, sebagaimana [reformasi] di
berbagai bidang pengetahuan dan di pemerintahan. Ini satu-satunya jalan Anda
untuk tidak memproduksi monster-monster semacam itu.”

Dengan perkataan jujur pada Dunia Islam, Bidar, intelektual Muslim Perancis,
menunjukkan masalah yang sebenarnya. Masalah terletak dalam “fanatisme gelap
dan kemunduran dalam Wahabisme yang hingga kini memicu begitu banyak
penyimpangan di Kerajaan Arab Saudi, laiknya kanker yang tumbuh di dalam
hatimu!” Masalahnya terletak dalam pendidikan berbasis kurikulum Wahabisme.

Pada 2014, situs Amerika yang memantau urusan keamanan, Daily Paul,
memperkirakan ada 7.000 orang militan Arab Saudi yang bergabung dengan ISIS.
Angka ini menempati peringkat pertama di antara militan dari negara-negara lain. Di

https://islamindonesia.id 593
awal 2015, situs Russia Today juga menerbitkan sebuah survei di mana militan asal
Saudi menduduki peringkat kedua di antara para militan ISIS.
Sementara itu, koran Saudi Al-Hayat pada Oktober 2014 mengakui 60% teror bom
bunuh diri ISIS di Irak dilakukan oleh militan asal Saudi. Pada periode yang sama,
televisi Al-Arabiya, dalam salah satu talk show, sempat membahas alasan “kenapa
pembom bunuh diri terbanyak di Suriah dan Irak berasal dari Saudi.”

Bukan hanya Suriah dan Irak, sejatinya. Rentetan pemboman dan serangan
bersenjata di al-Ahsa, al-Qatif dan ad-Dammam, serta Kuwait, juga dilakukan oleh
militan Saudi. Maka muncul pertanyaan, bagaimana bisa Arab Saudi memproduksi
terorisme?

Intelektual Perancis itu mengatakan akar terorisme terletak di dalam pendidikan,


pada kurikulum siswa dan generasi Saudi yang dibesarkan dalam semua itu. Hal ini
juga berlaku untuk anak-anak di negara-negara yang sekolah Saudi ditemukan di
sana. Seperti di Washington, Jakarta, Rabat, Aljazair, Madrid, Paris, Roma, Berlin,
Bonn di Jerman, Wina, Moskow, serta Istanbul, Ankara, Islam Abad, Karachi , New
Delhi, Beijing dan Djibouti. Tapi Inggris dan Irlandia sudah memutuskan menutup
sekolah-sekolah seperti itu.

Masalah pendidikan bermula pada hari pertama dirancangnya kebijakan pendidikan


kerajaan, yang dipatok harus mencerminkan pandangan keagamaan resmi yang
diadopsi kerajaan karena dianggap sebagai satu-satunya model pendidikan yang
sah. Ihwal semua ajaran kepercayaan dan yurisdiksi selain pandangan keagamaan
kerajaan dinyatakan tidak diterima dan secara resmi ditolak, berikut anjuran agar
setiap “penyimpangan dan kesesatan” ajaran di liar pandangan keagamaan
Kerajaan harus diperangi.

Pada 1960, di era pemerintahan Faisal Abdul Aziz, kekuatan Ikhwanul Muslimin
meningkat di Arab Saudi seiring penerimaan kerajaan terhadap perjuangan mereka
melawan Presiden Mesir Jamal Abdul Nasser. Menurut buku “Time of Uprising …
Contemporary Islamic Movements in Saudi Arabia” oleh ilmuwan politik Perancis,
Stefan Lacroix, Ikhwan punya peran kunci dalam pengembangan dan pembentykan
program pendidikan, di bawah pengawasan lembaga Wahabi yang impoten
memainkan peran tersebut. Tokoh Ikhwan dari Suriah, Mohammad al-Mubarak,
berperan utama dalam hal ini. Begitu pula Manna ‘al-Qattan dari Mesir yang
berperan penting dalam mengeluarkan kebijakan pendidikan agama untuk Kerajaan,
yang masih tersedia sampai saat ini, meski sudah mengalami “revisi” pada 2003.
Setelah serangan 11 September 2001, banyak tulisan di media Arab dan Barat yang
mengisahkan tekanan Amerika Serikat agar kurikulum pendidikan Saudi diubah

https://islamindonesia.id 594
lantarandiduga jadi biang kerok kekerasan atas nama agama. Koran Saudi Al-Shark
al-Awsat pernah menulis tentang hal itu pada 3 Februari 2003.

Surat kabar itu melaporkan pernyataan Saudi Menteri Pendidikan kala itu,
Mohammad al-Rashid. “Orang mengatakan bahwa sistem pendidikan adalah alasan
di balik sikap keras terhadap negara-negara dan agama lain, tapi ini tidak benar.
Jika ini benar maka semua orang Saudi yang menerima pendidikan seperti itu akan
berpartisipasi dalam tindakan demikian,” katanya.

Namun surat kabar itu mengutip tanggapan pembaca, termasuk tanggapan ini,
“[Tim] pemerintah Saudi yang merevisi semua buku sekolah mencari segala bentuk
ekstremisme, [dan mereka] menemukan bahwa 5% dari bahan yang sudah
disiapkan harus dihapus.” Tapi menurut penelitian Saad Sharif dalam majalah al-
Hijaz, revisi kurikulum pendidikan itu ternyata tidak serius karena “kelompok yang
menetapkan sistem pendidikan agama di sekolah-sekolah pemerintah adalah
kelompok yang sama yang merevisi itu … [mereka] tetap menjaga konten-konten
yang sama.”

Potret utuh penyemaian pemikiran Takfirisme di Arab Saudi akan jelas jika Anda
melihat buku Tauhid yang ditetapkan dalam kurikulum. Lebih jauh, buku yang
berdasarkan buku “Tauhid” Mohammad Abdul Wahhab itu, juga diajarkan di
sekolah-sekolah yang didirikan ISIS di beberapa kota, seperti Aleppo dan ar-Raqqa
di Suriah.

Sejarawan Saudi, Abdullah al-Shummari, mengatakan, “(ISIS) tersebar di negara-


negara yang didominasi oleh keyakinan Salafi, buku-buku Ibnu Taimiyah, Ibnu al-
Qayyem dan Mohammad Abdul Wahhab, serta pengkhotbah lulusan Saudi yang
beraliran Wahabi.”

Dokumen “kebijakan pendidikan di Kerajaan Arab Saudi” menegaskan bahwa


“kebijakan pendidikan di Arab Saudi didasarkan pada Islam yang diadopsi oleh
negara terkait keyakinan, ibadah, etika, Syariah, aturan, rezim dan sistem kehidupan
yang komprehensif, dan itu adalah bagian utama dari kebijakan umum negara,” dan
Islam di sini diartikan secara ketat sebagai ajaran Wahabisme.

Dokumen resmi itu juga mengarahkan “ilmu-ilmu agama yang menjadi bahan ajar
dalam semua pendidikan SD, SMP dan SMA, sementara budaya Islam merupakan
bahan utama dalam semua pendidikan tingkat tinggi.”

Dokumen itu juga menegaskan pentingnya mengarahkan segala bentuk ilmu dan
pengetahuan di berbagai level kurikulum, penulisan dan pengajaran sesuai koridor

https://islamindonesia.id 595
Islam dalam menghadapi berbagai isu, penilaian atas teori-teori ilmu dan cara
menginvestasikannya hingga sesuai dengan pemikiran Islam yang benar,” yang
diartikan sebagai ajaran Abdul Wahhab yang notabene menetapkan bahwa semua
kelompok Islam selain Wahabi adalah kafir. Dan dialah yang mengemukakan soal
perlunya “mengembangkan loyalitas…menyangkal semua rezim atau prinsip-prinsip
yang menentang syariah ini.”

Dokumen Saudi itu menekankan bahwa “berjuang demi Allah adalah kewajiban pasti
dan setiap Sunnah harus diikuti; ini adalah kemestian yang harus terjaga hingga Hari
Kebangkitan.” Dokumen juga menambahkan bahwa salah satu tujuannya adalah
“membangun semangat jihad Islam dalam memerangi musuh-musuh kita…dan
menjalankan tugas ajaran Islam.”

Lantas bagaimana kurikulum pendidikan Islam di kerajaan menggambarkan citra


musuh? Dan bagaimana mereka mengidentifikasi jalan “jihad” melawannya, yang
mengarah pada pembunuhan umat Islam dengan panji memerangi ateisme dan
pengkafiran, sehingga memunculkan alasan untuk absen dari pertempuran melawan
kekuatan pendudukan dan arogansi di bawah klaim “mematuhi penguasa”?

Anisa/IslamIndonesia

(Sumber: https://islamindonesia.id/kolom/kurikulum-saudi-beginilah-mereka-
menciptakan-kebrutalan.htm)

https://islamindonesia.id 596
Saturday, 28 November 2015

OPINI – Menanti Pembalasan Beruang Merah

Kenekatan Turki menembak jatuh jet tempur Sukhoi 24 milik Rusia di langit Suriah
pekan lalu kontan membakar suhu politik Timur Tengah. Kalangan analis politik dan
ahli militer memaparkan berbagai spekulasi yang bakal terjadi pasca insiden yang
disebut-sebut nyaris memicu Perang Dunia III itu.

Sebagian pengamat militer berpendapat Sukhoi 24 bukan pesawat yang didesain


untuk pertempuran udara, pesawat vs pesawat, melainkan semata sebagai pesawat
pembom. Sehingga wajar saja jika pesawat keteteran menghadapi jet F15 atau F16
Turki yang memang didesain untuk pertempuran dan manuver udara.

Di sisi lain, Rusia sedang serius untuk membasmi para teroris, yang didukung Trio
Horor — Saudi, Turki dan Qatar. Koar-koar Turki yang mengklaim ‘anti-teroris’,
dengan “upaya” menangkap segelintir calon teroris yang singgah di Turki sebelum
ke Suriah, adalah kontradiktif dengan keputusan Ankara menembak jatuh Sukhoi 24
yang sedang dalam misi membombardir para teroris.

Nah, cukup masuk akal pernyataan Putin, “kami ditusuk dari belakang”. Tindakkan
pengecut Erdogan (baca: Turki) sontak membuat Putin berang. Negara yang tidak

https://islamindonesia.id 597
sebanding dari sisi manapun dengan Rusia itu, berani menikam Rusia dari belakang,
tentu tindakan tidak patriotik dan mengejutkan.

Kenekatan Turki
Dalam beberapa hari ini, trafik analisa memenuhi media masa pasca-penembakan
Sukhoi 24 oleh F16 milik Turki, untuk mengungkap siapa dalang di balik kenekatan
Turki. Kecurigaan muncul, ada faktor pendorong yg kuat bekerja di balik “layar” atas
kenekatan Turki menembak Sukhoi 24 Rusia.

Sebagian membangun analisanya berdasarkan beberapa kejadian sebelum


tertembaknya Sukhoi 24. Beberapa negara yang “merasa” terancam oleh teroris,
konon, melancarkan serangan ke kantong-kantong teroris selama kurang lebih satu
tahun. Anehnya, serangan tersebut tidak banyak memberikan kesan yang serius
bagi para teroris. Bahkan, kuat dugaan ‘serangan’ jusru ingin memperkuat mereka.
Ini termasuk banyak kasus pasukan sekutu di bawah pimpinan Amerika “salah
menjatuhkan” suplai senjata untuk membantu Kurdi ke pihak kelompok militan ISIS.

Cerita segera berganti setelah Rusia masuk ke Suriah dengan “nawaitu” serius
meluluh-lantahkan para teroris. Niatan itu terlihat dengan pengerahan sejumlah
persenjataan canggih maupun dan penerjunan pasukan komando Spetnaz
(baca:pasukan hantu). Anehnya, negara yang konon anti-teroris kini menjerit
menyuarakan sikap anti-Rusia. Mereka bahkan berusaha menghalang-halangi aksi
heroik Rusia.

Dari beberapa alasan di atas, sebagian analis berpendapat kenekatan Turki


menembak Sukhoi 24 berlatar mengerasnya sikap negara-negara yang menerapkan
kebijakan luar negeri anti-Basyar Assad.

Kontradiksi Sikap
Langkah Turki dalam melawan teroris tidak tampak sebanding dengan langkah-
langkahnya dalam mendukung para teroris anti-Basyar Assad. Ankara diketahui
aktif memuluskan jalur suplai para teroris, dari suplai persenjataan hingga calon-
calon baru kombatan ISIS. Langkah Turki menangkap beberapa calon teroris jelas
tak sebanding dengan ribuan jihadis yang telah diloloskan Turki. Ini belum
menghitung protes Ankara agar Rusia menghentikan gempuran terhadap teroris.

Option Balasan
Tikaman dari belakang Turki atas Rusia membuat “beruang merah” memerah
marah. Harga diri sebagai negara kuat dalam militer dan peralatannya, anggota 5+1
pengambil veto di PBB dan juga rival Paman Sam diperlakukan tidak “senonoh” oleh

https://islamindonesia.id 598
negara yang tidak pernah masuk dalam daftar negara yang diperhitungkan secara
militer.

Di sisi lain, Rusia juga harus bersikap hati-hati dalam mengambil pilihan balasan
bagi Turki yang, kelak, akan dikenang sepanjang masa. Balasan sekiranya tidak
menjadikan Rusia terfokus pada Turki dan “melupakan” Suriah dalam menumpas
gerombolan anti-Basyar Assad serta mengembalikan Assad dan negaranya aman
dari gangguan.

Terdapat sejumlah pilihan yang dilontarkan kalangan analis, di antaranya; pilihan


ekstrim dimana Rusia saling berhadapan dengan Turki dalam adu kekuatan militer.
Sepertinya, Rusia pun enggan mengambil pilihan ini. Sebab, selain dikhawatirkan
memecah konsentrasi Rusia dalam menumpas teroris, juga menambah daftar
musuh baginya.

Pilihan kedua adalah memutuskan segala bentuk hubungan dengan Turki. Perlu
diketahui, warga Rusia yang menjadi turis di Turki pada setiap tahunnya mencapai
4,3 juta orang. Selain itu, beberapa wkt lalu Erdogan mengunjungi Rusia dalam
rangka membangun hubungan perdagangan, dimana nilai perdagangan tersebut
mencapai US$ 30 juta. Dengan kejadian penembakan sukhoi24, hubungan
perdagangan dan turis tidak memiliki jaminan akan berlangsung.

Pilihan ketiga, memberikan bantuan persenjataan bagi pemberontak Kurdi yg berada


di Turki. Jika ini terjadi,maka Turki akan menjadi “Suriah” kedua.

Piliha keempat adalah menggabungkan pilihan ketiga dan kedua, jika ini menjadi
prioritas Rusia, bukan saja Turki akan menjadi “Suriah” kedua, bahkan akan lebih
parah. Dimana perekonomian Turki akan luluh-lantah. Perlu diketahui bersama
bahwa Turki sekarang menempati posisi ke-17 negara di dunia dlm kemajuan
ekonominya.

MVandarsky/IslamIndonesia

(Sumber: https://islamindonesia.id/kolom/opini-menanti-pembalasan-beruang-
merah.htm)

https://islamindonesia.id 599
Thursday, 26 November 2015

Abangan: Slametan Bersumber Ajaran Islam

Oleh Parni Hadi

Slametan (selamatan) adalah ritual yang ditandai dengan kenduri dan sesaji kepada
roh-roh penguasa sesuatu benda atau tempat yang dianggap sakral, “wingit”, angker
atau ada penunggunya. Dalam masyarakat Jawa, roh penunggu itu disebut “sing
mbaurekso” atau “danyang”. Artinya, yang berkuasa. Slametan disebut Clifford
Geertz dalam “The Religion of Java” sebagai tradisi agama abangan yang dominan
di masyarakat petani Jawa.
Sebagai anak petani yang dibesarkan di desa, saya membenarkan observasi Geertz
itu. Sekitar 50 tahun lalu, saya saksikan petani setiap akan mulai membajak sawah,
menanam dan memanen padi, mengadakan “slametan”. Juga waktu mau
mendirikan bangunan rumah, khitan dan nikah. Kenduri bisa dilakukan di rumah, di
sawah atau di “pundhen”( makam tokoh masyarakat yang dipercayai punya daya
gaib).
Slametan, menurut Geertz, adalah ritual terpenting masyarakat abangan yang
bertujuan menenangkan roh-roh untuk memperoleh keadaan slamet (selamat). Saya
sering diundang kenduri slametan dan sejak awal berpendapat, itu ritual musyrik,
tidak sesuai dengan ajaran Islam. Tapi, anehnya, doa slametan selalu dimulai
dengan bacaan basmalah. Yang memimpin doa selalu ditunjuk yang tertua dan bisa
membaca doa bahasa Arab. Biasanya, Pak Modin, kepala urusan kerokhanian
Islam, desa. Pemimpin doa diberi uang saku, yang disebut “binat”.
Doanya gabungan bahasa Jawa dan Arab. Untuk doa bahasa Jawa, peserta kenduri
diminta untuk mengiyakan permohonan dengan mengatakan “inggih”. Untuk doa
bahasa Arab dengan “amien”. Yang disebut dalam doa mulai dari Gusti Allah,
Kanjeng Nabi Muhammad, sahabat Rasulullah, Syech Abdul Kadir Jaelani sampai
“Yang Mbaurekso” atau “Ki Danyang, Nyai Danyang”.

https://islamindonesia.id 600
“Sedoyo disuwun berkahipun, mugi niat Pak Anu (yang punya hajat), kabul” (Semua,
dimintai berkah agar niat yang punya hajat terkabul)”, kata pemimpindoa, yang
diaminkan hadirin. Kalau pendoa tidak fasih berbahasa Arab, Bismillah kedengaran
diucapkan “(bi)Semilah” dan Mohammad sebagai Mokamad. “Tuhan tahu
maksudnya, yang penting niatnya”, kilahnya. Bagi saya, yang penting “berkat” nya,
yakni nasi dan lauk pauk yang dibagi untuk disantap sedikit dan kemudian
dibungkus daun pisang dan dibawa pulang (ikut makan lagi).

Belakangan, saya berpendapat bahwa slametan adalah bagian dari upaya perbaikan
gizi di masyarakat petani pedesaan. Alasannya, apa yang disajikan untuk kenduri
adalah menu terbaik (nasi putih, ayam panggang, daging, tahu, tempe dan buah
pisang dengan kwalitas terbaik). Menu itu jarang dijumpai dalam hidangan harian.

Trikotomi Geertz: santri, abangan dan priyayi, terutama dikotomi santri dan abangan,
dikritik sejumlah peneliti, anthropolog dan sejarahwan Islam baik dari Indonesia
maupun asing. Di samping Marshall Hogson, Mitsuo Nakamura, seorang antropolog
Jepang dan peneliti Islam Indonesia, juga mengeritik trikotomi itu. Semua itu dikupas
tuntas dalam buku “Memahami Islam Jawa” karya Prof. Dr. Bambang Pranowo, guru
besar antropologi UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta.
Menurut Nakamura, slametan adalah istilah dan bersumber pada ajaran Islam. Ia
berpendapat, slamet berasal dari kata Arab, salam, yang berarti damai. Salam
berasal dari kata salima, yang berarti lebih baik. Konsep slametan bukan bersifat
Hindu-Bunddha atau animistik.

Prof. Kuntjaraningrat, bapak antropologi Indonesia, menanggapi isyu slametan yang


diangkat Geertz, mengatakan slametan dilakukan baik oleh abangan maupun santri,
terutama yang diistilahkan dengan kaum kolot atau konservatif.

Kini slametan populer disebut “syukuran” dan kenduri dimaknai sebagai


“sedekahan”, tanda mensyukuri nikmat Allah. []

(Sumber: https://islamindonesia.id/kolom/abangan-slametan-bersumber-ajaran-
islam.htm)

https://islamindonesia.id 601
Thursday, 26 November 2015

KOLOM HB – Gagalnya Pendidikan Agama Kita

Dengan rendah hati saya berani mengatakan, pendidikan agama kita telah gagal.
Bagaimana nalarnya sampai bisa ditarik kesimpulan seperti itu?

Semua itu didukung survei beberapa waktu lalu yang menunjukkan adanya
peningkatan signifikan dalam hal kesalehan-kesalehan ritual. Namun, kenyataannya,
negeri kita – yang telah mengalami reformasi politik – masih bertengger dalam
jajaran negara yang paling korup di dunia, dari pejabat yang paling tinggi hingga
paling rendah.

Disiplin pun, menurut pengamatan saya, makin longgar. Tingkat penindasan yang
kuat terhadap yang lemah – seperti tampak dalam tingkah laku semrawut dan
“saling menindas” para pelaku lalu lintas – saya duga juga tak berkurang. (Saya
khawatir, yang berlaku di sini adalah model masyarakat tertindas yang ditengarai
Paulo Freire. Bukankah dikatakan, masyarakat tertindas – bila mereka tak dididik
dengan pedagogi alternative -bukannya cenderung untuk berupaya mengatasi
penindasan itu, justru bermimpi untuk suatu saat bisa masuk ke dalam kelompok
penindas). Secara umum bisa dikatakan, meski agama-agama — khususnya Islam
yang dipeluk oleh mayoritas anak negeri ini — mempromosikan kejujuran,
ketertiban, keadilan, bahkan keharusan berjihad membebaskan orang-orang papa
dan tertindas – dan berbagai nilai terpuji lainnya – ternyata yang tampil dari wajah
masyarakat kita nyaris berlawanan dengan itu. Kita boleh mengamini teori Marshal
Hodgson bahwa ajaran Islam cenderung terlalu modern bagi zamannya, tetapi kita

https://islamindonesia.id 602
pun pantas bertanya, sampai kapan kaum Muslim harus terus ketinggalan dari
ajaran-ajaran agama yang mereka peluk?

SEKALI lagi, dengan rendah hati ingin saya sampaikan: perenungan ini memaksa
saya berkesimpulan, pendidikan agama kita mengalami kekurangan mendasar,
sedikitnya meliputi dua aspek.

Pertama, seperti banyak ditengarai, pendidikan agama kita selama ini masih
berpusat pada hal-hal yang bersifat simbolik, ritualistik, dan legal-formalistik. Kita
bukan hanya cenderung merasa puas dengan mengenakan simbol-simbol
keagamaan (seperti disinggung di atas), penghayatan keagamaan kita cenderung
berpusat pada pelaksanaan ritual (ibadah per se atau ’ibadah mahdhah). Sementara
wacana pemikiran sering bersifat legal-formalistik – halal-haram menurut hukum
(fikih) – dan kehilangan ruh moralnya. Perlu saya sampaikan, saya tidak berbicara
mana yang lebih penting, aspek legal-formalistik atau ruh moral. Bagi saya,
keduanya penting dan punya tempatnya sendiri-sendiri.
Saya khawatir, cara penghayatan yang tampak di permukaan amat esoteris, seperti
terlihat dalam kegandrungan orang Indonesia kepada tasawuf (mistisisme), pun
cenderung – disadari atau tidak – dikuasai simbol-simbol (penampilan, gesture,
asesoris, dan sebagainya). Akibatnya, selain persoalan sifat yang memang personal
dari ritus-ritus keagamaan, terbentang ngarai curam antara wacana keberagamaan
(dzihni) yang bersifat simbolik dan legal-formalistik itu, dengan perwujudannya di
dunia nyata (waqi’iy).
Kedua, terkait yang pertama, dalam teori dipahami bahwa suatu pendidikan yang
baik harus menggarap tiga ranah kemanusiaan, yakni ranah kognitif (intelektual),
ranah afektif (emosional), dan ranah psikomotorik. Tak ada proses pendidikan yang
– meminjam taksonomi Bloom — dianggap sempurna jika meninggalkan salah satu
di antara ketiga ranah ini. Nah, saya melihat, kegiatan pendidikan agama kita
cenderung bertumpu pada penggarapan ranah kognitif (intelektual-akademik) –
dengan kata lain, pada wacana – atau paling banter hingga ranah emosional.
(Kadang-kadang kejadiannya justru terbalik, pendidikan agama hanya menyentuh
ranah emosional tanpa memerhatikan ranah intelektual).

Akibatnya, para penganut agama di negeri ini memiliki pengetahuan, kesadaran –


yang tercipta karena pemilikan pengetahuan intelektual itu – bahkan sudah sampai
memiliki keinginan untuk berbuat – oleh adanya dorongan emosional – tetapi tak
dapat benar-benar mewujudkannya dalam tindakan nyata akibat tak tergarapnya
ranah psikomotorik.

Dalam kenyataannya, banyak di antara penganut agama senang mendengarkan


ceramah, mengikuti kursus-kursus keagamaan, mencermati sumber-sumber

https://islamindonesia.id 603
informasi keagamaan, serta suka berdiskusi dan berdebat mengenai berbagai isu
keagamaan, tanpa ada wujud nyata dalam kenyataan hidup sehari-hari.

SEKALI lagi, saya tak ingin menyatakan bahwa penghayatan agama secara kognitif
dan afektif tidak penting. Keduanya amat penting. Tanpa pemahaman intelektual,
suatu tindakan keagamaan akan berakibat buruk (la dina li man la ’aqla lah, tak ada
agama bagi orang yang tidak berpikir, kata Nabi).

Demikian pula, tanpa melibatkan emosi, saya percaya penghayatan keberagamaan


seseorang akan menjadi tak lengkap, selain dorongan untuk bertindak tidak akan
tercipta. Dengan kata lain, kita harus menyambut baik maraknya wacana
keberagamaan yang bersifat intelektual selama lebih dari dua dekade. Demikian
pula, pendekatan yang bersifat emosional adalah terobosan amat perlu.

Yang ingin dikatakan, semua itu masih harus dilengkapi dengan penggarapan ranah
psikomotorik. Karena di antara kesadaran maupun keinginan untuk bertindak, dan
perwujudan tindakan itu masih terbentang gap. Caranya, tak lain adalah dengan
menanamkan disiplin dan kebiasaan (habit). Tanpa itu, paling banter yang akan
dimiliki adalah tindakan sporadis dan semangat yang hanya “hangat-hangat tahi
ayam”. Berapa banyak orang sadar, betapa besar keinginan untuk berbuat baik,
tetapi semua itu sedikit dan sulit terwujud dalam kenyataan.
Penggarapan ranah psikomotorik terkait pengembangan etos kejujuran, kerja keras,
profesionalisme, kesopanan, dan sosia-filantropik dalam bentuk pengembangan
disiplin dan latihan-latihan yang nyata (disebut riyadhah atau mujahadah dalam
tasawuf atau sufisme) – dan bukan semata-mata secara intelektual-akademik dan
emosional.
Sejak dini, anak-anak kita perlu dilibatkan dalam praktik. Meski bukannya tak
mungkin aspek pendidikan praksis ini diterapkan dalam berbagai media pendidikan
orang dewasa, baik melalui berbagai kegiatan kursus maupun dalam bentuk
pendidikan diri (self education) masing-masing individu, tentu ia akan mencapai hasil
maksimal jika diterapkan sejak dini dalam pendidikan dasar kita.

Untuk tujuan ini, anak-anak perlu dibawa ke luar kelas untuk menceburkan diri
dalam realitas sosial-ekonomi masyarakat. Selain penanaman budi pekerti (akhlak)
– yang terkait dengan nilai-nilai personal interaksi dengan orang lain – yang harus
berorientasi praktik dan sama sekali tak boleh dibatasi hanya dengan pelajaran yang
bersifat kognitif dan afektif dalam kelas – sedini mungkin mereka perlu bergaul dan
diajar memberi kontribusi dalam mengatasi masalah sosial-ekonomi masyarakat.

Semua ini harus dilengkapi dengan disiplin dan latihan-latihan kontinyu agar
kesadaran-kesadaran ini bisa menjelma menjadi suatu kemampuan psikomotorik

https://islamindonesia.id 604
dan menjadi bagian dari keseharian mereka dan menjadi, persis seperti kata
Konfusius dan Aristoteles, kebiasaan (habit) atau tabiat (second nature) mereka.

Dalam hal pendidikan formal, kiranya perlu dilibatkan cara penilaian berbeda. Nilai
pelajaran agama atau budi pekerti tak boleh didasarkan pada hasil tes tertulis – agar
tak tinggal hanya sebagai kesadaran kognitif saja – melainkan harus dikaitkan
dengan kemajuan, disiplin, dan kontinuitas dalam menerapkan nilai-nilai etika
personal dan sosial ekonomi dalam praktik.

Memang hal ini lebih mudah dikatakan ketimbang dipraktikkan. Tetapi, semuanya
harus dimulai dengan kesadaran. Jika kesadaran seperti ini bisa dimiliki bersama,
kita baru berharap adanya korelasi kuat antara kuantitas nominal keberagamaan
masyarakat dan kualitas kehidupan bangsa Indonesia.

*Haidar Bagir untuk Islam Indonesia.

(Sumber: https://islamindonesia.id/kolom/kolom-hb-gagalnya-pendidikan-agama-
kita.htm)

https://islamindonesia.id 605
Wednesday, 25 November 2015

OPINI – Musim Hujan Hujatan

Sikap otoriter Orde Baru di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto, cukup efektif
membuat suasana menjadi ‘kemarau’ bagi orang-orang yang menanti ‘hujan’
kebebasan. Atas nama “keamanan” dan “stabilitas nasional”, sikap kritis serta
kebebasan berekspresi dan berpendapat tidak mendapat ruang di zaman itu.

Era Reformasi 1998, membuka babak baru bagi kehidupan berbangsa. Tumbangnya
rezim Orde Baru setelah berkuasa 32 tahun, mengantarkan bangsa menuju musim
‘hujan’ kebebasan. Organisasi-organisasi ‘bawah tanah’ mulai bermunculan. Unit-
unit usaha media mulai didirikan. Kicau suara di media sosial mulai nyaring
dibicarakan. Nyaris kebebasan tidak lagi terkendali.

Saat Orde Baru, banyak rakyat ‘terbakar’ panasnya ‘kemarau’ di bawah kerasnya
kepemimpinan penguasa saat itu. Lalu, apakah bangsa ini telah mempersiapkan
sarana dan perangkat lengkap untuk menyambut derasnya arus ‘hujan’ kebebasan
ini?

https://islamindonesia.id 606
Arus kebebasan ini, selain memberikan ruang kebebasan berpendapat dan
berekspresi yang sangat luas, di sisi lain juga dapat berpotensi menimbulkan ‘banjir’
informasi yang bisa jadi justru menelan banyak korban. Fitnah, cacian, serta
pencemaran nama baik telah ‘membanjiri’ media sosial sehari-hari hingga saat ini.
Dalam kasus-kasus tertentu, pengaruh media sosial tidak hanya berdampak pada
ranah psikis saja, melainkan juga korban fisik bahkan berujung pembunuhan. Ini
hanyalah sekelumit akibat dari ‘hujan’ hujatan yang tidak terkendali. Hal ini dapat
bermula dari pengaruh opini yang menyesatkan, yang menggiring orang untuk
membenci dan memusuhi orang lain melalui berbagai latar belakang; ras, budaya,
maupun agama.

Manusia memiliki peran masing-masing dalam menghadapi ‘hujan’ hujatan ini; ada
yang berperan menambah deras arus banjir yang biasa diperankan oleh mereka
yang mudah terpengaruh informasi tanpa mengidentifikasi kebenaran sumber
informasi; ada yang abai karena merasa tidak terkena dampak dan memilih di zona
nyamannya sendiri; ada pula yang berusaha melawan walau arus terlalu deras.

Potensi ‘banjir’ hujatan ini sangat tinggi, dampaknya pun sangat luas. Terutama di
Indonesia, yang di dalamnya terdapat perbedaan; ras, budaya, adat istiadat,
maupun perbedaan agama dan berbagai keyakinan yang tidak sedikit jumlahnya.

Pendidikan yang humanis sangat diperlukan dalam kondisi seperti ini. Pendidikan
yang mengajarkan nilai-nilai kemanusiaan, hubungan sosial, kesantunan,
penghormatan kepada orang lain, serta pendidikan toleransi. Pendidikan semacam
ini diharapkan dapat menekan ‘deras’ laju ‘banjir’ hujatan yang meneror kedamaian
dan keharmonisan sesama anak bangsa. Pendidikan yang mengajarkan setiap anak
didik mengedepankan kasih sayang, mencari persamaan dan mendahulukan untuk
menilai kebaikan-kebaikan orang lain ketimbang mencari perbedaan serta mencari
kesalahan dan menanam bibit permusuhan. Keluarga, sekolah maupun lingkungan
sekitar memiliki peranan penting dalam hal ini.

Malik/ Islam Indonesia


(Sumber: https://islamindonesia.id/kolom/opini-musim-hujan-hujatan.htm)

https://islamindonesia.id 607
Monday, 23 November 2015

OPINI – Ilusi Bela Negara

Oleh Hertasning Ichlas*

Seruan membela negara di tengah rakyat yang sering kehilangan esensi negara.

Program Kementerian Pertahanan di bawah Menteri Ryamizard Ryacudu tentang


bela negara pada dasarnya mengajak kepada sesuatu yang penting. Bulan-bulan ini,
setelah takluk dikepung asap, mengerasnya intoleransi dan sektarianisme, serta
situasi naiknya harga-harga, warga Indonesia sungguh merasakan negara yang
tegas dan hadir mendesakkan tugas bela negara kepada rakyatnya.

Bela negara menjadi salah satu agenda mahapenting di tengah terkulainya rakyat
oleh ketidakhadiran negara. Tak ada perdebatan, membela negara adalah tugas

https://islamindonesia.id 608
mulia bukan saja untuk pejabat negara tapi bagi semua warga negara, tak hanya
100 juta rakyat Indonesia.

Namun, maksud baik bisa terasa asing dan kehilangan moral ketika apa yang
disebut dengan “membela” masih dipahami sedemikian cetek hanya seputar
persiapan perang semesta secara fisik melawan musuh yang datang dari luar sana.
Sementara itu, apa yang disebut “negara” begitu naif masih melihat relasi negara-
warga negara dengan kaca mata bapakisme (paternalistik).

Bapak yang terlihat selalu benar dan patriotik. Bapak yang selalu lebih nasionalistik
dan cinta bangsa. Bapak yang inheren di dalam dirinya membawa kepentingan
rakyat. Bapak yang tak pernah mengkhianati Pancasila dan konstitusi. Tugas bapak
membela kedaulatan dan memajukan kepentingan rakyat banyak. Karenanya apa
yang bapak lakukan pada dasarnya memancarkan kepentingan negara dan bangsa.

Warga sipil dalam kaca mata negara bapakisme terlihat selalu kekurangan dalam
banyak hal. Kekurangan kandungan kepentingan bangsa. Lemah dalam
nasionalisme. Malas dalam merawat NKRI. Selain unsur ‘bapak’ yang ada di dalam
tubuh negara, unsur lain selalu akan diragukan penghayatannya pada Pancasila dan
konstitusi.

Karenanya, warga sipil, terutama di daerah terpencil dan perbatasan yang miskin
dan terbelakang harus terus-menerus dicek kadar nasionalismenya dan dibina
kesungguhannya untuk membela negara. Negara, setelah kalah berkali-kali oleh
cengkraman kapital dan oligarki, akhirnya terobsesi untuk membuat warganya
menjadi lebih patriotik menghadapi musuh-musuh yang abstrak.

Di dalam dunia nyata, operasi makna tentang negaraisasi yang bersifat bapakisme
ini sungguh problematis dan penuh kontradiksi. Kita akan sering melihat negara
yang compang-camping dan penuh ironi. Apa yang disebut bela negara sering
direduksi hanya tentang selera nasionalisme impulsif seorang presiden, orang-orang
di kabinet atau petinggi TNI-Polri.

Peristiwa yang bisa melukiskan itu misalnya gegap gempita pengerahan lebih dari
10.000 personil aparat polisi dan TNI saat mengawal Piala Presiden berikut status
siaga satu yang dibuatnya, lengkap dengan kehadiran panglima TNI dan Kapolri
yang turut mendampingi presiden. Sementara itu, di tengah kepungan asap, 7000
personil dibawa mengurus asap di Sumatera. Inikah contoh konsep urgensi bela
negara dalam praktik?

https://islamindonesia.id 609
Contoh lain, kasus pelaporan ketua parlemen oleh Menteri ESDM Sudirman Said.
Kasus itu menjelaskan bagaimana aksi korporasi PT Freeport Indonesia sejak lama
selalu keliling melakukan safari politik ke elit penguasa mencari beking demi
mengamankan kepentingan perpanjangan kontrak Freeport.

Rekaman percakapan CEO Freeport dengan Ketua Parlemen Setya Novanto dan
seorang pengusaha migas bernama Riza Chalid, menjelaskan kepada kita,
bagaimana cara pejabat negara kita membela negara ini alam konteks kepentingan
negara dalam urusan Freeport. Pembelaan itu ternyata sungguh sangat murah dan
pekat muatan rente.

Konsepsi bela negara pula mereduksi makna bela negara sebagai kegiatan untuk
warga sipil dengan kiat-kiat pendekatan militeristik. Lagi-lagi di mata militer sipil
selalu dipandang kekurangan kadar nasionalisme, kekurangan makna kepentingan
bangsa dan kedaulatan.

Padahal dalam konsep bela negara, lebih penting mendesak dan mendidik bahkan
menuntut kaum elit seperti pejabat publik, politisi, jenderal, profesor dan doktor untuk
menjaga kedaulatan negara ketimbang melatih 100 juta rakyat. Banyak ancaman
kedaulatan negara justru muncul bukan dari serangan militer asing, tapi dari
penyelenggaraan kebijakan publik oleh pejabat negara yang gelap mata dan penuh
motif rente dalam bidang ekonomi, sumber daya alam maupun sosial.

Konflik-konflik pembangunan yang berakar pada sumber daya alam, lingkungan,


agraria hingga identitas seringkali terjadi bukan berhadapan dengan serangan
musuh asing, tapi oleh predator dan pemburu rente di tubuh negara sendiri yang
terus-menerus mengorbankan rakyatnya untuk berhadap-hadapan dengan buasnya
pasar bebas yang mewujud dalam aksi korporasi dan pembangunanisme.

Negara dengan seragamnya, dengan senjatanya dan dengan kuasa kebijakannya,


justru hadir dalam pembebasan paksa lahan dan penggusuran rakyatnya. Negara
gagah tampil dalam membela pembebasan lahan sawit ratusan hingga jutaan
hektar, membela para pemilik kuasa pertambangan, atau menjadi centeng untuk
jenis-jenis pengerukan sumber daya alam dan liberalisasi hajat hidup orang banyak
dengan bungkus bernama pembangunan.

Inisiatif bagus tentang konsep bela negara akan mengalami demoralisasi ketika
rakyat lebih sering melihat negara dalam politik sehari-hari justru menjadi faktor
masalah yang hadir dalam ruang hidup rakyat di darat, laut dan udara. Misalnya di
perbatasan dan daerah terpencil, model negara bapakisme dan gaya militeristik

https://islamindonesia.id 610
akan selalu melihat makna bela negara cenderung seremonial, legalistik dan
kartografis.

Selama ini kita bisa melihat bagaimana negara tentang memahami perbatasannya
sendiri dan mengalami apa yang disebut antropolog perbatasan, Dave Lumenta,
sebuah kontradiksi inheren dari dua realitas yang sulit dipertemukan: realitas
kartografis yang kaku di satu sisi dan realitas ekologi-sosial-budaya yang dinamis di
sisi yang lain.

Pendekatan negara di perbatasan selama ini lebih sering hanya sebatas ingin
mengawasi peta wilayah Indonesia hasil warisan kolonial. Pendekatan ini lagi-lagi
bersifat bapakisme. Ketika pemerintah nasional hanya memandang masalah
pertahanan dan kedaulatan di perbatasan sebatas kepentingan penjagaan wilayah
yang legalistik.

Kelemahan pengetahuan berbasis realitas kartografis dan legalistik, menurut Dave


Lumenta yang meneliti masyarakat perbatasan di Kalimantan Timur dan Barat,
karena pendekatan itu hanya melihat bahwa alam dan kondisi sosial direduksi
sebagai ruang statis dan seolah tak bernyawa.

Dave Lumenta menilai titik-titik permukiman kampung pada peta tidak dapat
berbicara tentang mobilitas, ulayat, maupun orientasi ruang masyarakat setempat.
Batas-batas administratif tak dapat menangkap batas-batas budaya.

Peta perbatasan akhirnya itu dengan mudah melahirkan ilusi tentang koherensi dan
keseragaman yang seolah-olah mudah ditata, direkayasa, dan dikuasai. Peta
jugalah yang memperkuat delusi dan rasa percaya diri bahwa negara memiliki
kedigdayaan dan koherensi ruang.

Model pembangunan perbatasan akhirnya cenderung sangat militeristik daripada


pendekatan sosial kesejahteraan. Sebatas membangun pintu perbatasan, menaruh
tentara lalu mengawasi dan mengecek kadar nasionalisme warga perbatasan yang
umumnya miskin dan terbelakang. Tugas-tugas tersebut penting, tapi bukan yang
terpenting.

Hingga hari ini warga dan wilayah perbatasan Indonesia, malangnya, masih tetap
miskin dan terbelakang dengan pendekatan militeristik dan legalistik seperti itu.
Pengendalian perbatasan dengan model bela negara yang formalistik jika terus
dipakai akan selalu dipandang sinis oleh rakyat karena tak pernah menyentuh
masalah mendasar warga perbatasan yaitu isu kesejahteraan.

https://islamindonesia.id 611
Pertahanan sebenarnya yang dibutuhkan warga perbatasan adalah kemandirian
pangan, energi, perbaikan kesehatan dan pendidikan. Kerja-kerja bela negara
seperti ini membutuhkan strategi konseptual bukan seremonial. Mengubah daerah
perbatasan menjadi daerah yang kuat dan maju. Ketika warga kuat dan maju, warga
dengan sendirinya menjadi benteng budaya, ekonomi dan politik dari negara.

Bela negara tidak akan pernah mendapat ketulusan dari rakyat banyak jika
negara justru lebih sering memperlakukan rakyatnya sebagai konsumen ketimbang
warga negara. Dan pada ujungnya nasionalisme bukanlah ideologi negara yang
harus ditaati dalam salah dan ketersesatannya. Nasionalisme adalah kesadaran dan
sikap kritis warga negara terhadap peran dan operasi negara terutama saat gagal
memihak dan membela hak-hak warganya.

Pada akhirnya, kutipan terkenal Samuel Johnson dan Oscar Wilde perlu
disegarkan kembali: “patriotism is the last refuge of a scoundrel” dan “patriotism is
the virtue of the vicious.” Ketika menurut mereka, patriotisme rakyat dan bela negara
adalah jualan terakhir dari para politisi dan bangsawan yang lakunya justru sangat
jauh dari patriotisme. (Islam Indonesia)

* Wartawan

(Sumber: https://islamindonesia.id/kolom/opini-ilusi-bela-negara.htm)

https://islamindonesia.id 612
Saturday, 21 November 2015

OPINI – Begawan, Mencari Jalan Kembali ke Tuhan

Oleh Parni Hadi

Prof. Dr. Sumitro Djojohadikusumo, ahli ekonomi dan mantan Menristek, digelari
begawan ekonomi. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), begawan
adalah gelar pendeta atau pertapa. Orang yang berbahagia (mulia dan suci).

Sang Begawan ekonomi pada tahun 1980-an membuat pernyataan yang


mengejutkan: kebocoran Anggaran Belanja Negara mencapai 30 persen.
Maksudnya, telah terjadi korupsi anggaran sebesar 30 persen. Banyak orang
mengakui, sinyalemen itu sebagai suatu kebenaran. Dan, itu sampai sekarang terus
berlanjut. Bahkan, mungkin dengan prosentase yang lebih besar lagi. Buktinya, KPK
(Komisi Pemberantasan Korupsi) sampai kini tidak pernah kekurangan pekerjaaan.

Prof. Sumitro (1917-2001) adalah ekonom kondang kaliber internasional. Ia mantan


menteri di kabinet Presiden Soeharto. Bukan hanya itu, ia juga besan Pak Harto,
karena puteranya Probowo Subianto menikahi Titiek Soeharto, putri sang Presiden.
Jadi, sekalipun pernyataaan itu “nylekit” (menyakitkan), beliau tidak di “apa-apa”kan
(ditangkap). Mungkin juga, ia dianggap sudah tua.

https://islamindonesia.id 613
Begawan adalah orang suci dan berhati mulia. Orang yang sudah selesai dengan
dirinya sendiri. Ia tidak lagi memikirkan hal-hal duniawi. Dalam ungkapkan Jawa itu
disebut sudah “mungkur ing kadonyan” (membelakangi urusan dunia). Yang dicari
adalah “kasampurnaning urip”, kesempurnaan hidup. Yang dicari adalah bekal untuk
mati atau “golek sanguning pati”. Mencari bekal agar mencapai khusnul khotimah
atau akhir yang baik.

Akhir yang baik dari hidup dalam agama Islam adalah kembali ke asal-muasal, yakni
Tuhan, sesuai firman Allah: “Inna lilahi wa inna ilaihi rojiun”. Ungkapan spiritualitas
Jawa menyebutnya “mulih marang mulo-mulaniro dumadi” (pulang ke awal semula).
Oleh karena itu, ada ilmu “sangkan paraning dumadi” (asal dari dan ke mana
manusia ini dijadikan Tuhan). Sekitar sepuluh tahun sebelum turun tahta, Presiden
Soeharto sering berbicara tentang ilmu itu.

Sebagai orang Jawa, Haji Mohammad Soeharto, memilih ungkapan “lengser


keprabon, madeg pandhito” daripada mundur atau turun tahta. Artinya, mundur dari
menjadi raja, untuk menjadi pendeta. Asal kata keprabon adalah prabu, yang artinya
raja.

Tentu Pak Harto berharap dapat lengser secara damai, anggun, penuh kemuliaan
karena timbul dari kemauannya sendiri untuk menjadi orang suci. Bukan dipaksa
(oleh Gerakan Reformasi 1998). Mungkin, acuan beliau adalah Begawan Abiyasa,
raja Astina, yang dengan sukarela mundur, menyerahkan tahta kepada puteranya.
Tapi, karena Destarastra, putera tertuanya, tuna netra, maka tahta diberikan kepada
adiknya, Pandu (Pandu Dewanata).

Destarastra punya anak seratus, yang disebut Kurawa. Pandu mempunyai anak
lima, laki-laki semua, yang disebut Pandawa. Pandu wafat waktu Pandawa masih
kecil-kecil. Karena itu, kekuasaan untuk sementara dititipkan kepada
Destarastra. Karena hasutan Sengkuni, patih Astina, yang terkenal sangat licik,
Kurawa dengan segala cara berusaha menghabisi Pandawa agar tahta Astina tetap
di tangan keturunan Destarastra. Sengkuni adalah adik dari Gandari, istri
Destarastra, yang melahirkan Kurawa.

Abiyasa sesuai kehendaknya meninggalkan keraton, naik ke puncak gunung untuk


menjadi pertapa. Ia bergelar Begawan atau Resi Abiyasa (Wiyoso atau Viyasa).
Pertapaannya disebut Wukir Retawu atau Sapto Argo (tujuh gunung). Para murid
sang begawan disebut “cantrik” (santri).

https://islamindonesia.id 614
Ketika sudah dewasa Pandawa menuntut tahta kerajaan Astina, warisan ayah
mereka. Kurawa menolak tuntutan itu. Maka, pecahlah perang besar antara saudara
satu kakek, yang disebut Bharatayuda.

Islam Indonesia

(Sumber: https://islamindonesia.id/kolom/opini-begawan-mencari-jalan-kembali-ke-
tuhan.htm)

https://islamindonesia.id 615
Monday, 09 November 2015

KOLOM PH – Senyawa Ilahiah Rabindranath

Pengantar: Redaksi Islam Indonesia dapat kehormatan dengan kesediaan Parni


Hadi — wartawan senior, eks Pimpinan Antara, dan sebelumnya sebagai Pemimpin
Redaksi Republika — menulis kolom secara teratur. Tulisan berikut, seputar
keindahan seni dan perjuangan pujangga India, Rabindranath Tagore, adalah karya
pertamanya untuk sidang pembaca Islam Indonesia.

***

Oleh Parni Hadi

Apakah itu seni? “It is the response of man’s creative soul to the call of the Real. In
art, man reveals himself and not his objects”, begitu kata Rabindranath Tagore,

https://islamindonesia.id 616
pujangga besar India dan penerima Hadiah Nobel bidang sastra pertama dari Asia
pada tahun 1913.
Menurut Tagore (1861-1941), pengarang buku Gitanjali (Persembahan Nyanyian)
yang terkenal itu, seni adalah jawaban jiwa kreatif manusia kepada panggilan Tuhan
(perhatikan R dengan huruf besar dalam Real) dan dalam seni manusia
menampilkan dirinya sendiri dan bukan obyeknya.
Itu dibuktikan Tagore dalam puisi-puisinya yang indah, sekaligus Ilahiah seperti
dalam petikan bait berikut: “Light, my light, the world-filling light, the eye-kissing light,
heart-sweetening light” (Cahaya, cahayaku, cahaya yang mengisi dunia, cahaya
yang mengecup mata, cahaya yang mempermanis hati).

Indah bukan? Mari kita, lanjutkan, yang berikut ini:

“Life of my life, I shall ever try to keep my body pure, knowing that thy living touch is
upon my limbs” (Hidup dari hidupku, aku akan selalu berusaha tubuhku suci, karena
mengetahui sentuhan hidup Mu adalah atas sekujur anggota tubuhku).

Dalam kedua bait itu, Tagore menunjukkan kedekatannya yang tak berjarak dengan
Tuhan, Sang Maha Pencipta. Karya-karyanya yang indah dan segar dengan
kesadaran yang mendalam akan kehadiran Tuhan, membuatnya dipuja banyak
orang di Eropa. Raja Inggris menganugerahinya gelar “Sir”.

Namun, sang pujangga yang juga pembuat naskah sandiwara dan pendidik ini, tak
segan-segan menunjukkan jiwa patriotnya dengan mengembalikan gelar
kehormatan itu sebagai protes atas keganasan tentara Inggris dalam peristiwa yang
terkenal dengan sebutan “Amritsar affair”.

Sikap itu sesuai dengan bunyi bait puisinya tentang kemerdekaan yang diakhiri
dengan kata-kata berikut ini: “Where the mind is led by thee into ever-widening
thought and action….Into that heaven of freedom, my Father, let my country awake”
(Ke mana jiwa Engkau bimbing ke dalam pikiran dan tindakan yang semakin
meluas…ke dalam surga kebebasan seperti itu, Bapa ku, biarlah negaraku bangkit).
Semuanya didasarkan kepada petunjuk Tuhan. Memang, Tagore seorang penyair
spiritual.
Dekat dengan Taman Siswa
Rabindranath Tagore, yang mendapat julukan “gurudev” (guru dewa) ini, tahun 1927
mengunjungi perguruan Taman Siswa di Yogyakarta, yang didirikan Ki Hajar
Dewantara, bapak pendidikan nasional Indonesia. Rupanya terdapat kecocokan
dalam prinsip-prinsip pendidikan antara Tagore dengan Ki Hajar, yang
memperkenalkan “sistem among” dengan mengutamakan bimbingan kepada sang
anak untuk mewujudkan kodratnya sendiri.

https://islamindonesia.id 617
Sejak kunjungannya itu banyak guru Taman Siswa yang berkunjung dan belajar ke
perguruan Shantiniketan, yang didirikan Tagore, demikian pula sebaliknya. Para
siswa Shantiniketan mendapat kesempatan luas untuk mencintai dan menikmati
keindahan alam dan karya sastra.

Tagore, yang juga ahli filsafat ini, mencintai anak-anak seperti dalam puisinya yang
berjudul “Playthings” (Alat-alat permainan). Ia merasa iri dengan kebahagiaan
seorang anak yang sedang duduk di atas debu, bermain dengan sebuah ranting
pohon yang patah sepanjang pagi.

Sebagai seorang paedagog kaliber dunia pada waktu itu, Tagore melontarkan kritik
bahwa sistem pendidikan dan pengajaran yang dianut di dunia barat dan dunia timur
kehilangan kaitannya dengan kebudayaannya sendiri.

“Kita mengajarkan bahasa kepada anak-anak, tetapi menjauhkan mereka dari


keindahan kesusasteraan”, demikian antara lain kritik Tagore yang didukung Ki
Hajar. Kedekatan dengan alam, keindahan, anak-anak, cinta dan Tuhan menjelujuri
karya-karya Tagore. Ia seorang yang suka berkontemplasi dan bermeditasi. Berikut
ini satu contoh karyanya tentang itu:

“Mereka yang dekat denganku tidak tahu bahwa Engkau lebih dekat kepadaku
daripada mereka. Mereka yang berbicara denganku tidak tahu bahwa hatiku penuh
dengan kata-kata Mu yang tak terucapkan. Mereka yang berjejalan di jalanku tidak
tahu bahwa aku sedang berjalan sendirian dengan Engkau. Mereka yang
mencintaiku membawa Mu masuk ke dalam hatiku”.

Ketika bangsa ini sedang sibuk bicara tentang pendidikan budi pekerti, mencari jati
diri dan revolusi mental, mengapa kita tidak menengok karya-karya Rabindranath
Tagore, di samping menggali khasanah kearifan lokal bangsa sendiri?

Parni Hadi untuk IslamIndonesia.

(Sumber: https://islamindonesia.id/kolom/kolom-ph-senyawa-ilahiah-
rabindrantah.htm)

https://islamindonesia.id 618
Friday, 30 October 2015

OPINI – Taman Mawar Rumi

Oleh Bernando J. Sujipto

Dr. Haidar Bagir, pendiri Penerbit Mizan Group dan pengkaji yang sekaligus pemikir
filsafat Islam dan penulis buku-buku tasawuf, berkunjung ke Konya dengan batas
waktu yang sangat singkat. Hanya setengah hari, dari pukul 12.00 siang hingga
malam pukul 11.15. Pertemuan intens saya—dalam artian bisa mengobrol
dan sharing tentang filsafat Islam dan tasawuf—tidak lebih dari enam jam, dan itu
pun sambil lalu di jeda-jeda waktu.

Tapi, seelok kita mensyukuri momentum, kualitas sebuah peristiwa pada akhirnya
tidak pernah menunggu waktu khusus. Ia hadir kepada semua ruas-kejadian dengan
orang-orang (tokoh-tokoh) yang dikirim oleh Sang Pencipta segala peristiwa.
Inspirasi dan ide bisa terus berhamburan dan berjalan ke sana-sini, bersama orang-
orang yang dianugerahi wawasan dan ilmu luas, atau bersama mereka yang
melampaui tektek-bengek kemayapadaan. Ya, bahkan mereka yang dianggap tak-
waras, tapi di depan Allah, siapa yang tahu?
https://islamindonesia.id 619
Kali ini saya diberikan kesempatan untuk bertemu dengan salah satu habaib yang
pernak-pernik pemikirannya sudah pernah saya kenal—meski dengan keterbatasan
bahan bacaan sewaktu nyantri di Pondok Pesantren Annuqayah—sejak mulai
bangku madrasah aliyah.

“Selamat datang di Konya, Pak Haidar,” sapaku ketika jumpa pertama kali di Konya
Havalimanı, bandara yang difungsikan untuk sipil dan sekaligus militer (termasuk
pasukan NATO). “Mau transportasi publik atau pribadi?”

“Kalau bus cuma sekali naik, saya pilih bus,” jawabnya santai.

Sejak di bus Havas, transportasi antar-jemput khusus bandara di Konya dan juga di
daerah-daerah lain di Turki, obrolan kami bermula. Saya sejak awal sadar bahwa
alumni master degree dari Harvard University pada The Center for Middle Eastern
Studies di bawah pakar tasawuf Prof. Annemarie Schimmel ini, akan menjadi guru
dadakan. Saya hanya cukup menjadi penunjuk arah selama beliau berziarah di
Konya: Shems Tebriz, Jalaluddin Rumi, dan Sadraddin al-Qunawi, tiga tempat
utama yang ingin dikunjunginya. Tentu saja selain sajian spesial Tari Darwish
(Whirling Dervish), satu warisan budaya Rumi dan Mevlevi Order yang dicatat oleh
UNESCO sebagai Masterpieces of the Oral and Intangible Heritage of
Humanity pada tahun 2008. Tarian yang lebih dikenal dengan “tari sema”, yang
sempat dilarang oleh Mustafa Kemal Ataturk sejak tahun 1923 ini, menjadi puncak
ziarah Haidar Bagir di Konya.
“Al-Qonawi ini hidup sezaman dengan Rumi. Tapi mungkin di sini tidak akan dikenal
luas karena latar belakangnya berbeda. Ia seorang pemikir dan filsuf dan
menulis syarah Ibnu Arabi. Dia adalah murid dan sekaligus anak tiri Ibnu Arabi
karena ibunya dinikahi oleh Ibnu Arabi. Ia juga murid Nashruddin al-Tusi, filsuf
pelanjut Ibnu Sina,” terang Haidar panjang lebar selama kami di bus, sembari
sesekali menghirup jeda untuk menikmati taman-taman luas yang dibangun
pemerintah Konya sepanjang jalan dari bandara.

Saya baru betul-betul sadar bahwa filsuf dan ulama besar yang disebutkan Haidar
ini hidup di zaman yang nyaris bersamaan: al-Tusi (1201-1274), al-Qonawi (1207-
1274), dan Rumi (1207-1273)!

Saya juga tidak lupa menunjukkan Bilim Merkezi (Pusat Ilmu Pengetahuan), sebuah
bangunan megah dengan arsitektur unik seperti galaksi Bimasakti yang dipotong-
separuh. Ikhtiar untuk menghadirkan memori kebangkitan kembali kejayaan Islam
bisa dinikmati di sebuah bangunan di atas luas tanah sekitar 600 m2. “Bilim
Merkezi terbesar ini dibangun di Konya. Di dalam kita bisa menyaksikan pameran,

https://islamindonesia.id 620
peragaan sejarah, dan miniatur-miniatur penemuan yang pernah dipunyai oleh dunia
Islam.”

***

Waktu shalat Dzuhur pun tiba. Saya meminta Pak Haidar Bagir shalat di halaman
makam Jalaluddin Rumi. Sebenarnya kami bisa mendirikan shalat di masjid makam
Shems Tebriz, yang hanya seratusan meter dari makam dan museum Rumi. Tapi,
karena kedatangan beliau ke Konya untuk menikmati dan mereguk aura Rumi,
shalat di kawasan makam Rumi akan mendapatkan kenangan khusus. Apalagi sejak
akhir tahun kemarin, masjid di kawasan makam Rumi sudah dibuka untuk publik—
tempat mengaji ataupun shalat.

Seiring langkah menyusuri keramaian para peziarah ke tengah pusara Rumi, saya
membiarkan Pak Haidar menikmati aura di lautan keramaian yang sunyi oleh tiupan
musik ney dengan caranya sendiri sambil sesekali saya tunjukkan makam-makam
yang istirahat bersama Rumi, termasuk ayahnya yang bernama Bahauddin Walad,
seorang alim ulama yang berkat kealiman dan keluasan ilmu agamanya diganjar
sebutan Sulthanul Ulama di bawah Kerajaan Saljuk.
“Kita berdoa dan kirim al-Faatihah saja di depan makan, nanti kita ngaji Yaasiin di
tempat shalat,” bisiknya.

Saya menyetujui sangat, karena ratusan orang yang menunggu giliran berdoa di
dekat makam Rumi—sehingga penjaga keamanan selalu memperingatkan agar
terus bergeser dan bergeser—terus merangsak dari belakang.

Mengantar ahli dan penelaah Mulla Sadra ini ambil wudhu, ingatan saya tiba-tiba
mendengus gedebus oleh lalu-lalang berita di Tanah Air (setidaknya dalam tujuh
tahun terakhir) yang menyertai seorang tokoh yang ada di samping saya kali ini:
Syiah! Ya, saya dengar ingar-bingar berita bahwa Haidar Bagir adalah seorang
Syiah; tapi saya sengaja (sejak dikontak kawan dari Istanbul agar bersedia
menemaninya) tidak ingin menanyakan kebenaran itu kepadanya.

Lalu, apa yang terbayang di pikiran Anda—seandainya diri saya ini adalah produk
adu domba yang berkembang di Indonesia saat ini—apabila saya memutuskan
menjadi makmum shalat Dzuhur, tepat di musim gugur bulan Oktober ini? Lalu
mengaji surah Yaasiin bersama yang akan kami tawassul-kan kepada para alim
ulama yang telah membela, menjaga, dan mewariskan Islam dari masa ke masa?
Apakah saya akan mencari-cari alasan untuk tidak menjadi makmum dari seseorang
yang dituding “tokoh Syiah di Indonesia”, yang menurut sebagian orang adalah
sesat?

https://islamindonesia.id 621
Wudhu pun selesai. Kami melangkah kembali menuju ruangan di dalam gedung
pusara Rumi dengan irama ney yang terdengar halus menyayat. Ruangan berkarpet
dengan luas sekitar 20×15 meter dibagi oleh batas kayu ukir untuk memisahkan pria
dan wanita. Setelah meletakkan tas dan barang-barang, kami berdua menghadap
kiblat untuk mendirikan shalat.

Apa yang perlu dibimbangkan jikalau hati sudah teguh?

Saya sudah lama bergaul dengan teman-teman Syiah asal Iran dan Afghanistan
khususnya selama studi di Turki ini; melihat mereka shalat dengan secuil tanah
Karbala di tempat sujudnya; sebagian lain shalat tanpa adanya tanah itu;
mendengarkan mereka bercerita tentang sahabat-sahabat Nabi yang mereka tolak
dan tentang keistimewaan keluarga Nabi bernama Ahlul Bait.

Di tempat lain, saya shalat bersama orang-orang yang tidak bersedekap setelah
takbir pertama misalnya, mereka pakai qunut dia tidak, dan sebagainya. Siapa yang
tahu hati mereka? Siapa yang tahu kadar keimanan dan ketakwaan kita?

Sebatas menyaksikan mereka menyembah Allah, menghadap kiblat, membaca dan


mengamalkan al-Qur’an, mengikuti hadits Rasulullah Saw., dan menjaga ukhuwah
islamiyah, yang suatu kelak di Padang Mahsyar akan berjumpa satu sama lain,
berlindung kepada amal dan ibadah masing-masing.
Saya pun membaca iqamah dan menjadi makmum. Tak ada tanah Karbala di shalat
kami. Di sini adalah tanah dengan taman bunga mawar yang disirami cinta dan kasih
sayang oleh Rumi, yang tak henti-henti menyeru kepada semua agar meninggalkan
semak berduri menuju taman-taman bunga mawar—mengetuk hati manusia dengan
cinta dan kedamaian.
Setelah itu, kami bersama-sama membaca Yaasiin. Matahari terus merangkak,
pelan-pelan menjadi malam. Selepas menonton tari sema yang berdurasi sekitar
satu jam, dimulai pukul 19.00 Sabtu 17 Oktober 2015, kami pun berpisah.

Salam cinta dari tanah Rumi….

*Versi lain tulisan ini lebih dulu tayang di situs Basabasi.co

(Sumber: https://islamindonesia.id/kolom/opini-taman-mawar-rumi.htm)

https://islamindonesia.id 622
Saturday, 24 October 2015
OPINI – Yang Memerah di Setiap Hati
Oleh Haidar Bagir

“Agama adalah cinta dan cinta adalah agama”


(Imam Ja’far al-Shadiq)
“Orang yang paling rahim adalah yang memaafkan padahal sebetulnya ia mampu
membalas-dendam”
(Imam Husayn)
“Agama adalah cinta dan cinta adalah agama”

Imam Ja’far sesungguhnya hanya sedang mengungkapkan prinsip dasar, yang


melandasi semua ajaran dan prinsip agama Islam. Memang, siapa bisa membantah
bahwa di atas semuanya Islam adalah agama cinta?
Karena itu, apa saja yang dilakukan oleh para penghulu agama ini tak mungkin
dapat dilihat dengan benar kecuali dengan kaca mata cinta. Bukan hanya ketika
Nabi saw. mengampuni orang-orang Tha’if yang memprosekusinya, atau ketika ia
memaafkan semua kafir Quraisy yang menindasnya justru ketika ia gilang-gemilang
menaklukkan mereka di Fath Makkah, tapi bahkan ketika beliau saw. memerangi
mereka. Penghukuman, peperangan, bakan pembunuhan adalah bukan saja bagian
dari kecintaan kepada kemanusiaan dan upaya menyelamatkannya dari kerusakan
yang dibuat orang-orang yang telah menganiaya diri (fitrah)-nya, tapi juga bagian
dari kecintaan kepada pelakunya. Ia harus dihukum agar mendapat pelajaran demi
perbaikan dirinya. Bahkan jika ada yang harus dibunuh, maka tujuannya adalah
mencegahnya dari lebih jauh menganiaya diri sendiri, yang akan

https://islamindonesia.id 623
menyengsarakannya di dunia dan di kehidupan yang lain kelak setelah
kematiannya.

Persis inilah yang dilakukan Imam Husayn ketika ia meninggalkan Makkah untuk
pergi ke Kufah, dan akhirnya syahid di tengah perjalanan – Karbala – bersama
nyaris semua anggota keluarga dan segelintir pengikut-setianya. Peristiwa Karbala,
karena itu, pasti bukan persoalan ambisi untuk berkuasa.

Imam Husayn, seperti ayahnya, pastilah sorang fataa. Seorang kesatria-sufi.


Ungkapan Nabi Muhammad saw. — laa fataa illaa ’Ali (tak ada kesatria seperti Ali)
— tentu tak kurang-kurang sesuai untuk putranya ini. Karena, bukankah Nabi yang
sama mengatakan tentang sang putra, bahwa ia Tuan dari seluruh martir (sayyid al-
syuhada)? Tapi, seperti fataa, bukan saja dia adalah ahli perang dan pemberani
didikan sang ”singa” (haydar) Ali. Tapi, seperti ayah, ibu, dan kakeknya pula, dia
adalah teladan ”penyangkalan diri” sempurna, dan simbol-puncak kecintaan kepada
Tuhan

Inilah katanya: “Butalah mata seseorang yang tidak menganggap bahwa Engkau
mengawasinya. Merugilah peniagaan seseorang yang belum memperoleh cinta-Mu
sebagai labanya”

Atau :
”Apakah gerangan yang diperoleh seseorang yang kehilangan Diri-Mu?

Masih adakah kekurangan bagi seseorang yang mendapatkanmu?


Memang fataa sama sekali bukan hanya kesatria perang yang sakti mandraguna
dalam menaklukkan musuh-musuhnya. Sama sekali tak bisa diperbandingkan
dengan itu semua, fataa adalah penakluk diri sendiri, ego angkara-murka yang
selalu cenderung mendorong ke arah pembangkangan kepada Allah. Dia tentu
adalah mujahid. Tapi bukan hanya mujahid dalam peperangan, melainkan mujahid
al-nafs (kesatria perang melawan diri sendiri). Itu sebabnya dikatakan, tak ada
peperangan di medan tempur(jihad ash-ghar atau jihad kecil) yang dilakukan tanpa
didahului peperangan –hati melawan nafsu angkara-murka (jihad besar atau jihad
akbar).
Sebagai seorang fataa seperti ayahnya, dia adalah sayyid al-fityan, simbol
keberanian, kedermawanan, dan ketanpa-pamrihan. Seperti kata Nabi saw. kepada
Ali ra. (yang dikutip banyak sufi) : ”Wahai Ali, seorang fataa adalah orang yang jujur,
percaya, amanah, pengasih, pelindung kaum papa, amat dermawan dan santun,
gemar berbuat amal-amal baik, dan berpenampilan sederhana.

https://islamindonesia.id 624
Seorang fataa memiliki harga diri (muruwwah). Bukan saja harga diri di depan orang
lain, melainkan harga diri sebagai manusia, yang tak hendak menurunkan
kemanusiannya dengan menganiaya fitrahnya. Seorang fataa, meneladani
Tuhannya, mendahulukan kasih sayang atas kemurkaan. Seperti Tuhan yang siap
mengampuni semua dosa, ia tak putus asa terhadap orang-orang. Dan ini sama
sekali tak bertentangan dengan prinsip keadilan. Seperti dikatakan Reza Shah-
Karemi, dilihat dari perspektif ontologis, kasih sayang adalah satu aspek keadilan.
Bukan hanya Islam, bahkan (atau, seharusnya, tentu) mazhab Syi’ah, adalah
mazhab cinta. Bukankah, kalau kita harus menyebut satu saja ciri mazhab ini, itulah
mesti ”wilayah”? Wilayah adalah kepemimpinan, ketundukan kepada pemimpin. Tapi
wilayah juga sepenuhnya berarti kecintaan, pengasihan. Kecintaan dan pengasihan
kepada pimpinan, sekaligus kecintaan pemimpin (waliy) kepada yang dipimpinnya.
Kecintaan pemimpin sebagai perpanjangan tangan Wali-Puncaknya, yaitu Allah
Swt.?
Orang boleh mengira bahwa lawannya cinta adalah kebencian. Sehingga, untuk
mencintai seseorang, atau mencintai Allah, kita harus membenci musuh-musuh
orang itu atau musuh-musuh Tuhan.. Tapi, hemat saya, lawannya cinta bukanlah
kebencian. Cinta adalah keseluruhan. Tak ada ruang di luar cinta. Tak ada lawan-
kata untuk cinta. Kalau pun mesti ada kosa kata ”kebencian” maka itu hanya layak
ditujukan kepada perbuatan, bukan kepada orang-orang. Kita boleh, bahkan harus,
benci kepada perbuatan buruk. Tapi tetap oleh kecintaan kita agar tak ada manusia
apa pun yang terus terjebak ke dalam keburukan. Kita harus membenci perbuatan
orang, kita tentu saja boleh memperingatkan, bahkan menghukum jika diperlukan.
Tapi, kebencian kepada perbuatan buruk, peringatan, bahkan hukuman tetap harus
ditetskan dari sumber cinta.
Karena itu, sudah pasti, Karbala bukan persoalan kebencian. Karbala boleh jadi
melibatkan kejahatan dan kekejian terbesar sepanjang sejarah kemanusiaan, tapi
tetap saja ia adalah persoalan cinta. Persoalan cinta Tuhan, dan melebur (kembali)
ke dalam Dia. Persoalan memaafkan, dan bukan kebencian. Persoalan memaafkan,
dan menjadi seperti Tuhan. Karena itu, Karbala tentu bukan hanya persoalan
memukul-mukul dada, apalagi melukai tubuh sendiri. Dan sudah pasti Karbala bukan
hanya soal laknat-melaknat.

Satu lagi. Tragedi Karbala bukan hanya bukan persoalan orang-orang yang
mengaku sebagai pengikut mazhab Syi’ah atau mazhab Ahl al-Bayt (Keluarga
Rasul) saja – apalagi tak ada sesungguhnya Muslim yang boleh merasa sebagai
bukan pengikut Keluarga Rasul. Siapa pun akan mengerdilkan peristiwa Karbala jika
tak melihatnya sebagai memiliki tujuan kemanusiaan universal. Bahkan tak hanya
terbatas pada kaum Muslim belaka. Inilah kata Muthahhari, seorang ulama besar
yang telah membaktikan diri sebagai pengikut Imam Husayn r.a dengan cara
mendedikasikan hidupnya bagi perbaikan kemanusiaan dan mengorbankan dirinya

https://islamindonesia.id 625
sbagai syahid untuk misinya itu :
(“Salah satu) syarat bagi suatu gerakan suci (seperti Karbala) adalah bahwa ia tak
semestinya memiliki tujuan yang besifat personal, yang (hanya) terkait dengan
kepentingan individual. Ia harus bersifat universal dan meliputi seluruh kemanusiaan
dan spesies manusia. …. Seseorang yang melancarkan perjuangan seperti ini
sesungguhnya mewakili semua manusia. … Inilah sebabnya Rasul saw.
menyatakan : “Husayn adalah (bagian) dariku dan aku (bagian) dari Husayn”.
(Yakni, bukankah Allah Swt, memfirmankan bahwa Rasul saaw. diutus sebagai
rahmat bagi seluruh alam?).

Buku ini terutama adalah upaya, seperti kata Rumi, untuk melihat Karbala dengan
memusatkan perhatian kepada Imam Husayn, pusat-agung dari semua peristiwa ini.
Kepada teladan kecintaan sempurna kepada Tuhan dan kemanusiaan universal,
serta penyangkalan diri habis-habisan di hadapannya. Bukan kepada peperangan,
pertumpahan darah, kejahatan, kekejaman, kehewanan, dan nafsu ingin balas
dendam. Bahkan juga bukan semata-mata duka dan kesedihan. Buku ini adalah
tentang kita belajar cinta kepada Tuhan dan kemanusiaan, dari Tuan-Nya Para
Penghulu Syuhada ini. Seperti Iqbal saja, kita bisa berkata : Peran Husayn di
Karbala begitu agungnya sehingga ia memupuskan gagasan-buas tentang
kekejaman dan keberdarah-dinginan. Gelombang darah Husayn, kata penyair anak-
benua pencinta Keluarga Nabi ini, telah menciptakan taman yang menyimbolkan
pengorbanannya bagi pelestarian kebebasan dan kebenaran. Persis seperti yang
diungkapkan Zaynab ra., di tengah bau anyir darah keluarga Imam Husayn di
padang Karbala : ”Aku mencium harum bau surga di sini.”

Sehingga, seperti kata Rumi tentang peristiwa ini :

“… kalau ini persoalan menyawang (dunia ruhani), kenapa tidak berani, kenapa tak
menyokong (orang lain), kenapa tak berkorban-diri, dan sempurna terpuasi?”
Semoga Allah Swt. membuka dada kita selapang-lapangnya untuk dapat merasakan
luapan cinta Imam Husayn, dan meneladaninya, meski mungkin besarnya cuma
setetes dibanding samudera yang dibentangkannya.
“Bumi bergetar, berguncang; langit meraung-raung
Ini bukan perang, ini adalah pengejawantahan cinta”
“Kesusahan syahadah, dengar!, adalah hari suka-cita.
Yazid bahkan tak peroleh sezarah cinta ini
Kematian adalah hujan untuk anak-anak Ali”
“Kesusahan syahadah adalah seluruh musim hujan penuh suka-cita
Yazid tak temukan jejak-jejak cinta ini
Untuk dibunuh adalah keputusan Imam sendiri
sejak mula-mula sekali”

https://islamindonesia.id 626
“Surga adalah kediaman merka
dalam kejayaan mereka telah mangkat ke surga
Mereka telah malih fana dalam Tuhan
dengan-Nya mereka telah jadi Dia”
(Abdul-Lathif dari Bhit,1689-1752).

[1] Meski hanya secara sambil lalu, dengan keterbatasan pengetahuannya, penulis
Kata Pengantar ini cenderung sepakat dengan Sayid Husayn Fadhlullah yang
meragukan kebenaran cerita kesedihan seumur hidup Imam Ali Zaynal Abidin, satu-
satunya putra Imam Husayn yang selamat dari pembantaian di Padang Karbala,
akibat trauma peristiwa tragis ini. Imam Zaynal Abidin, sama seperti (bahkan lebih
dari) orang-orang beriman lainnya, tahu dan tak pernah ragu bahwa syahadah
adalah akhir yang paling indah untuk para anggota keluarganya itu.

(Sumber: https://islamindonesia.id/kolom/opini-yang-memerah-di-setiap-hati.htm)

https://islamindonesia.id 627
Tuesday, 13 October 2015

OPINI – Imam Besar dan Tragedi Mina

Oleh: Abdillah Toha

Rakyat atau ummat menderita dan salah jalan seringkali disebabkan oleh
pemimpinnya yang salah mengarahkan. Saya tidak tahu siapa yang memberikan
gelar agung itu tapi Masjid Istiqlal, yang menjadi kebanggaan umat Islam Indonesia,
saat ini punya Imam Besar bernama Ali Mustafa Yaqub (AMY).

Imam lulusan universitas di Saudi Arabia ini sering muncul di TV, menulis di koran,
dan mengajar dimana-mana. Belakangan sering membuat komentar yang, bukan
hanya membingungkan, tapi juga cenderung merisaukan umat. Terakhir beliau
menulis di situs daring Republika (republika.co.id) tanggal 9 Oktober, analisis
menakjubkan tentang penyebab peristiwa tragis di Mina pada musim haji tahun ini
dengan judul “Aktor Intelektual Tragedi Mina”.

https://islamindonesia.id 628
AMY antara lain menyimpulkan: “Sekiranya ada 100 orang yang jatuh dan terinjak-
injak sampai mati, maka yang seribu orang tentunya akan berusaha menghindarkan
diri dengan mundur ke belakang. Akan tetapi, seperti diberitakan justru semuanya
mati terinjak-injak. Maka suatu hal yang mungkin sekali bahwa ada kelompok
jamaah haji yang memang mendapatkan tugas untuk merobohkan jamaah yang lain,
kemudian kelompok yang lainnya menginjak-injak mereka sehingga yang roboh itu
kemudian mati”.

Beliau melanjutkan, “Apabila perkiraan ini benar, maka hal itu bukanlah perbuatan
orang yang beribadah haji, melainkan perbuatan orang-orang yang sengaja
membuat kekacauan”.

Di ujung analisisnya, AMY kemudian menutup dengan kesimpulan tendensius


bahwa di hari depan kejadian ini bisa terulang lagi ” kecuali apabila aktor intelektual
dan kelompok jamaah haji yang selalu membuat keonaran di tanah suci itu tidak
dizinkan lagi memasuki Arab Saudi”.

Tidak dijelaskan siapa kira-kira kelompok itu.

Kesimpulan itu memberi tahu umat bahwa tidak semua Muslim itu baik. Bahwa ada
kelompok Muslim jahat yang berniat mencederai Muslim lain. Atau bahkan mereka
itu kelompok kafir yang mengaku Islam. Dari mana dia membuat spekulasi ini kita
tidak tahu, namun yang jelas AMY sangat gegabah dan menyimpulkan kasus besar
seperti ini tanpa menguasai ilmu yang ada hubungannya dengan kumpulan massa di
suatu tempat.

Dalam bahasa Inggris ada kata “stampede” yang tidak ada padanannya dalam
bahasa Indonesia. Dalam kamus ia hanya diartikan sebagai “lari tunggang langgang
karena takut”. Sebenarnya stampede terjadi saat massa yang berdesakan panik
atau terlalu bersemangat ingin mencapai arah tertentu dengan mendahului yang
lain.
Stampede berasal dari istilah gerombolan hewan seperti kuda dan sapi yang panik
lari tunggang langgang tidak terarah karena mendengar atau melihat sesuatu yang
mengejutkan. Pada manusia, stampede sering terjadi pada massa padat yang
melakukan ibadah bersamaan di satu tempat seperti di Mina, atau juga seperti telah
pernah terjadi pada penganut agama Hindu di Gangga.
Stampede juga bisa terjadi dalam arena olah raga atau konser musik ketika
penonton berebut masuk atau keluar arena ke arah yang sama. Semua itu ada
contoh-contoh nyatanya yang mengakibatkan puluhan bahkan ratusan manusia
tewas dan cedera.

https://islamindonesia.id 629
Karena telah berkali-kali terjadi, stampede telah menjadi bahan penelitian di
berbagai universitas terkenal. Berdasarkan penelitian, stampede terjadi ketika
massa begitu padat di tempat yang terbatas sehingga satu meter persegi di tempati
oleh antara 6 sampi 7 orang. Tanda-tanda akan ada stampede mulai terasa ketika
keempat sisi orang sudah bersentuhan dengan orang lain.
Stampede terjadi karena jumlah manusia yang begitu besar dan massa jauh
dibelakang tidak sadar dan tidak mengetahui akan sudah jatuhnya korban yang
berada jauh didepan dan terus mendesak dari belakang. Sebagian besar
korban stampede tewas berdiri kehabisan nafas kemudian terjatuh.
Stampede juga terjadi karena tertutupnya saluran, dalam hal ini pintu keluar, atau
sengaja ditutup untuk alasan tertentu. Seperti tekanan air yang besar, bila tertutup
salurannya maka pipa akan meletus. Seorang ahli dari University of Sussex, Annne
Templeton, mengatakan kepada Newsweek bahwa kepadatan saat itu di Mina
mencapai 6 sampai 8 orang per meter persegi. Begitu ada satu atau dua yang jatuh,
maka itu akan menciptakan ruang yang akan diisi oleh massa dari belakang
sehingga yang jatuh akan terinjak. Bukan diinjak, sebenarnya, karena yang
menginjak tidak punya pilihan lain karena terdesak oleh yang jauh dibelakang dan
tidak dapat melihat apa yang terjadi jauh didepannya.
Sebuah penelitian menyebutkan bahwa selama tiga dekade korban
akibat stampededi berbagai tempat di dunia mencapai 7.000 tewas dan lebih dari
14.000 cedera. Penelitian tentang penyebab dan perilaku manusia
dalam stampede masih terus berjalan di berbagai perguruan tinggi. Salah satu
temuan mengatakan bahwa kejiwaan manusia berubah dalam situasi stampede dan
perilakunya menunjuk kepada gerakan ke satu arah yang sama.
Stampede bisa dihindari bila ada manajemen massa (crowd management) yang
baik. Ketika 4 orang sudah berdempet pada satu meter persegi, petugas sudah
harus mulai waspada untuk menyetop massa di bagian belakang. Pintu-pintu darurat
harus dibuat dengan pintu yang dapat dibuka ke arah luar, bukan ke dalam. Dimana
letak kesalahan penyelenggara haji, sebaiknya kita menunggu hasil investigasi
independen, bila itu dilakukan, sehingga kejadian serupa tidak akan terulang.

Karenanya, sangat disayangkan sang imam besar AMY, tanpa dasar yang kuat,
telah membuat analisis kesimpulan yang menyesatkan. Sang imam tidak berhenti
disitu. Dalam komentar-komentar lain di berbagai media, AMY membuat analisis dan
pernyataan yang kurang bertanggung jawab.

Dalam sebuah tulisan lain, entah dengan tujuan apa, AMY membuat kesimpulan
tentang banyaknya kesamaan dan paralel antara NU dan Wahabi. Bagaimana
mungkin hal ini bisa terjadi bila mengingat fakta NU didirikan oleh Hadratussyech
Hasyim Asy’ari justru untuk menghadang “pembersihan” yang dilakukan Wahabi dan
disaksikannya sendiri di Makkah atas kelompok Muslim yang dianggap tidak sejalan

https://islamindonesia.id 630
dengan mereka? Sebagai ormas ahlussunnah terbesar di Indonesia, kita ketahui NU
sangat sarat dengan cara-cara damai dalam dakwahnya, sedangkan Wahabi
menghalalkan kekerasan dalam menghadapi Muslim yang tidak sejalan dengan
alirannya. Bukan rahasia lagi bahwa kelompok-kelompok teroris terkenal di dunia
seperti ISIS, Alqaeda, Alnusra,dan sebagainya, semuanya adalah gerakan yang
terpengaruh oleh ajaran Wahabi.

Sang imam juga berpolitik dengan mengambil sikap politik dengan mendukung
pembantaian rakyat Yaman yang Muslim dan penghancuran negeri miskin itu oleh
Saudi dan kawan-kawan dengan melanggar seluruh aturan agama dan hukum
internasional.

Dalam kesempatan lain, imam besar ini merasuki pikiran warga NU dengan
mewanti-wanti agar warga NU tidak memilih beberapa pemimpinnya yang,
menurutnya, sudah kesusupan mazhab Syiah dan Islam liberal. Apa gerangan
motivasi beliau? Menyelamatkan NU atau memecah belah? Ataukah barangkali ada
kekuatan lain yang mendorongnya berbuat demikian?

Semua perilaku imam besar ini yang berdalih “menjaga kemurnian ahlussunnah”,
sebenarnya sedang melemahkan umat Islam dengan memecah belah antar
kelompok Muslim dan aliran yang sah dalam Islam. Imam Besar yang seharusnya
menjadi panutan makmumnya justru sedang mengisi umat dengan gagasan dan
pandangan yang berliku-liku.

Semoga untuk selanjutnya Masjid Istiqlal dan lembaga-lembaga Islam penting


lainnya mendapat pimpinan yang lebih bertanggung jawab dan memiliki niat baik
untuk menguatkan umat dan memelihara persatuannya.

(Sumber: https://islamindonesia.id/kolom/opini-imam-besar-dan-tragedi-mina.htm)

https://islamindonesia.id 631
Tuesday, 06 October 2015

OPINI – Komunikasi Krisis Mina

https://islamindonesia.id 632
https://islamindonesia.id 633
Oleh Syafiq Basri Assegaf*
Di Mina mentari terik. Suhu udara sekitar 45 derajat celsius, terpanas selama dua
dasawarsa terakhir.

Jutaan anggota jemaah haji dari 180-an negara yang berkumpul untuk melempar
jumrah mesti bergerak bersama, di bawah protokoler ritual yang tak semua dipahami
benar jemaah. Sebagian hanya mengikuti kata pemimpin rombongan. Wilayah
sekitar juga sedang panas. Kacau! Kerajaan Arab Saudi sendiri, di samping sedang
memerangi Yaman, mempertaruhkan reputasinya lewat keterlibatan dalam berbagai
konflik di Suriah, Irak, dan Libya.

Kekhawatiran merebaknya virus mematikan, seperti MERS, juga tetap mengancam.


Suasana ngeri juga menghantui jemaah, bahkan sebelum ritual dimulai, saat sebuah
menara derek (crane) ambruk di Masjidil Haram, Mekkah, menyebabkan ratusan
anggota jemaah meninggal.

Di Mina yang terik itu kita tak tahu persis apa yang sebenarnya terjadi — meski
terdapat begitu banyak kamera pemantau di berbagai titik wilayah haji — ketika tiba-
tiba terjadi tragedi di Jalan 204, 24 September silam. Muncul berbagai pendapat. Di
antaranya, musibah itu “takdir Tuhan”, dan tak perlu dirisaukan. Apalagi banyak
jemaah yang tak keberatan meninggal saat haji karena mereka dijanjikan surga.

Namun, sebagian besar orang menganggap perkara takdir kurang tepat dijadikan
pembenaran sebab yang terjadi adalah kesalahan manusia. Entah karena
rombongan pangeran Arab yang hadir di sana (seperti ditulis koran berbahasa Arab-
Lebanon, Ad-Diyar, ataupun akibat ditutupnya akses pintu di Jalan Nomor 206,
ketika jemaah hendak menuju Jembatan Jamarat. Kemdagri Arab Saudi
menyatakan penumpukan manusia dipicu adanya dua rombongan besar jemaah
yang berpapasan dari arah berlawanan menuju jalan yang sama. Penumpukan
terjadi di persimpangan antara Jalan 204 dan Jalan 223, ketika jemaah menuju ke
Jembatan Jamarat.

Madawi al-Rasheed, antropolog Arab Saudi yang juga profesor tamu di The London
School of Economics, mengatakan (The New York Times, 24/9/2015), “Adalah
sangat mengejutkan bahwa hampir setiap tahun selalu ada kematian dalam jumlah
besar. Renovasi dan ekspansi dilakukan dengan alasan menciptakan lebih banyak
ruang bagi jemaah haji, tetapi sebenarnya itu topeng adanya penyerobotan tanah
dan peraihan sejumlah besar uang oleh para pangeran dan warga Arab Saudi
lainnya. Pejabat kerajaan telah menghindar dari tanggung jawab, sebagiannya
dengan menyitir doktrin agama bahwa siapa saja yang meninggal saat haji akan
masuk surga.”

https://islamindonesia.id 634
Namun, seorang saksi korban asal Aljazair mengemukakan kepada televisi Al-Nahar
(Aljazair) pasukan keamanan Arab Saudi menutup pintu masuk menuju Jamarat
sehingga terjadi penumpukan ribuan orang di tempat sempit. Tentang benturan di
antara kerumunan itu sebenarnya bukan barang baru. Para ahli crowd management
sejak lama telah meneliti kondisi demikian. Dulu ada teori: kondisi kerumunan yang
amat besar biasanya membahayakan karena keadaan itu membuat mereka hanya
mementingkan diri sendiri, menjadi bodoh atau sembrono dan bertindak secara tak
terduga.

Anggapan serupa mengatakan bahwa sekelompok manusia dalam sebuah


kerumunan tak punya kapasitas untuk melihat ancaman bahaya. Juga mereka
enggan bersikap kooperatif, baik dengan sesama mereka ataupun dengan otoritas.
Pandangan itu mengatakan bahwa kerumunan membutuhkan otoritas untuk
mengontrol mereka, sebab mereka tak bisa mengelola diri mereka masing-masing.

Manajemen komunikasi

Akan tetapi, itu pandangan lama, yang kini sudah tak banyak dianut. Pendapat itu,
dan praktik pengelolaan yang demikian, sebenarnya tak punya dasar kuat. Meski
(memang) keadaan seperti itu sering berakhir dengan tragedi, sejumlah riset
(sebagaimana dikemukakan The Economist beberapa tahun silam) menyimpulkan,
dalam situasi amat terdesak justru kelompok individu akan memiliki potensi lebih
besar untuk menahan diri dan bersikap fleksibel (atauresilient) saat berada dalam
kerumunan ketimbang saat mereka sendirian.

Secara psikologis, situasi terdesak dalam kesesakan sebenarnya dapat


menciptakan semangat kebersamaan, yang pada gilirannya bisa mengarahkan
mereka saling berkoordinasi, santun, dan kooperatif. Dari studi perilaku para
penyintas saat kegawatdaruratan, seperti saat terjadi bom di London (7/7/2005),
makin banyak orang mendapati dirinya sama-sama berada dalam sebuah
kerumunan kian besar kemungkinan menjunjung norma sosial, seperti mengatur diri
dalam antrean. Masalahnya, bagaimana pengelola memfasilitasi koordinasi dan
sikap kooperatif di tengah kerumunan sehingga bisa menyelesaikan situasi sulit itu.

Psikologi modern mengajarkan bahwa menyesuaikan diri pada pergerakan sejumlah


besar orang melalui suatu alur (jalan) yang amat sibuk dan padat bukanlah sekadar
memimpin barisan kerumunan. Di sini komunikasi menjadi kuncinya. Karena itu,
akses terhadap informasi yang sesuai dan benar, disebarkan dengan cara yang
sesuai, pada saat yang tepat, bisa membantu koordinasi yang baik dan (bila
diperlukan) jalan untuk evakuasi kegawatan yang efektif.

https://islamindonesia.id 635
Kita tak tahu bagaimana Pemerintah Arab Saudi mengelola akses informasi itu, dan
bagaimana koordinasi dilaksanakan ketika terjadi penumpukan orang di Jalan 204.
Juga belum jelas bagaimana rencana evakuasi (kalau ada) disebarluaskan kepada
para pemangku kepentingan saat musim haji berlangsung. Yang jelas, tidak adanya
informasi menciptakan frustrasi dan bahkan kecemasan.

Bagaimanapun, krisis Mina telah terjadi. Repotnya, sering terjadi dalam banyak
krisis, pihak yang bertanggung jawab lebih suka membela diri ketimbang berusaha
bersikap terbuka dan jujur. Seperti dikatakan Caywood dan Englehart (2007),
banyak bukti dari berbagai krisis di Amerika pengelola lembaga (atau perusahaan)
sering mengulangi tiga kesalahan fatal. Pertama, gagal menengarai bahwa bibit
krisis itu mengintip sejak jauh hari. Kedua, sejak awal tak memperhitungkan cermat
betapa besar biaya yang akan muncul bila terjadi krisis. Ketiga, mereka lazimnya
memilih membela diri ketimbang membela brand atau reputasi lembaga (negara)-
nya.

Untuk yang terakhir, kita bertanya: “apakah penguasa Mina masih peduli pada
reputasi negerinya?”

*Pengajar di Universitas Paramadina dan The London School of PR, Jakarta.


Tulisan ini tayang pertama di Kompas, 6 Oktober 2015.

(Sumber: https://islamindonesia.id/kolom/opini-komunikasi-krisis-mina.htm)

https://islamindonesia.id 636
Monday, 14 September 2015

OPINI – Makkah dalam Renungan

Betapa berubahnya Mekah. Duduk di salah satu sudut Masjidil Haram ketika
matahari meredakan panasnya, kita bisa merasakan bayang-bayang sebuah
bangunan yang menjangkau langit dari arah Selatan.

Memang: di seberang gerbang Baginda Abdul Aziz, berdiri sebuah super-gedung,


(baru diresmikan Agustus tahun ini), yang disebut Abraj al Bait. Raksasa ini lebih
dari 600 meter tingginya: menara waktu yang paling jangkung sedunia. Empat muka
jam di puncaknya masing-masing berbentuk mirip Big Ben di London, meskipun
mengalahkannya dalam ukuran: diameternya masing-masing 46 m, dengan jarum
panjang yang melintang 22 meter. Dan berbeda dari Big Ben, di jidatnya yang
diterangi dua juta lampu LED tertulis ‫هللا أكبر‬, “Allahu Akbar.”

Di Abraj al Bait ada 20 lantai pusat perbelanjaan dan sebuah hotel dengan 800
kamar. Juga tempat tinggal. Garasenya bisa menampung 1.000 mobil. Tapi para
tamu dan penghuni juga bisa datang dengan helikopter (ada lapangan untuk
menampung dua pesawat), karena ini memang tempat bagi mereka yang mampu
menyewa, atau memiliki, kendaraan terbang itu. Ongkos semalam di salah satu
kamar di Makkah Clock Royal Tower bisa mencapai 7.000.000 rupiah.

Dari ruang yang disejukkan AC itu orang-orang dengan duwit berlimpah bisa
memandang ke bawah — ya, jauh ke bawah — mengamati ribuan muslimin yang
bertawaf mengelilingi Kaabah bagai semut yang berputar mengitari sekerat coklat.

Saya tak bisa membayangkan, bagaimana dari posisi itu akan ada orang yang bisa
menulis seperti Hamka di tahun 1938. Apa kini artinya “di bawah lindungan
Kaabah”? Justru kubus sederhana tapi penuh aura itu yang sekarang seakan-akan
dilindungi gedung-gedung jangkung, terutama Abraj al Bait yang begitu megah dan
gemerlap — dengan 21.000 lampunya yang memancar sampai sejauh 30 km dan
membuat rembulan di langit pun mungkin tersisih.

Betapa berubahnya Mekah. Atau jangan-jangan malah berakhir. “It is the end of
Mekkah“, kata Irfan al-Alawi, direktur pelaksana Islamic Heritage Research
Foundation di London kepada The Guardian. Nada suaranya murung seperti juga
suara Sami Angawy.

https://islamindonesia.id 637
Hampir 40 tahun yang lalu arsitek ini mendirikan Pusat Penelitian Ibadah Haji di
Jeddah. Dengan masygul ia menyaksikan transformasi Mekah berlangsung di
bawah kuasa para pengusaha properti dan pengembang. “Mereka ubah tempat
ziarah suci ini jadi mesin, sebuah kota tanpa identitas, tanpa peninggalan sejarah,
tanpa kebudayaan dan tanpa lingkungan alam. Bahkan mereka renggut gunung dan
bukit.”

Angawy, 64 tahun, mungkin terlalu romantis. Ia mungkin tak mau tahu hukum
permintaan dan penawaran: jumlah orang yang pergi haji makin lama makin naik;
kalkulasi masa depan mendesak. Mekah harus siap. Tapi Angawy justru melihat di
situlah perkaranya. Ia menyaksikan “lapisan-lapisan sejarah” Mekah dibuldoser dan
dijadikan lapangan parkir.

Akhirnya ia, yang lahir di Mekah, menetap di Jeddah, di rumah pribadinya yang
didesain dengan gaya tradisional Hijaz. Ketika Abraj al Bait dibangun seperti Big Ben
yang digembrotkan (“meniru seperti monyet”, kata Angawy) ia merasa kalah total. Ia
lebih suka tinggal di Kairo.

Tapi bisakah transformasi Mekah dicegah? Kapitalisme membuat sebuah kota


seperti seonggok besi yang meleleh, untuk kemudian dituangkan dalam cetakan
yang itu-itu juga. Dengan catatan: dalam hal Mekah, bukan hanya karena
“komersialisasi Baitullah” kota suci itu hilang sifat uniknya. Angawy menyebut satu
faktor tambahan yang khas Arab Saudi: paham Wahabi.

Wahabisme, kata Angawy, adalah kekuatan di belakang dihancurkannya sisa-sisa


masa lalu. Dalam catatannya, selama 50 tahun terakhir, sekitar 300 bangunan
sejarah telah diruntuhkan. Paham yang berkuasa di Arab Saudi ini hendak
mencegah orang jadi “syrik” bila berziarah ke petilasan Nabi, bila menganggap suci
segala bekas yang ditinggalkan Rasulullah — dan sebab itu harus disembah.

Sejarah Arab Saudi mencatat dihapusnya peninggalan sejarah itu secara konsisten.
April 1925, di Madinah, kubah di makam Al-Baqi’ diruntuhkan. Beberapa bagian
qasidah karya al-Busiri (1211–1294) yang diukir di makam Nabi sebagai himne
pujaan ditutupi cat oleh penguasa agar tak bisa dibaca. Di Mekah, makam Khadijjah,
isteri Nabi, dihancurkan. Kemudian tempat di mana rumahnya dulu berdiri dijadikan
kakus umum.

Contoh lain bisa berderet, juga protes terhadap tindakan penguasa Wahabi itu. Di
awal 1926, di Indonesia berdiri “Komite Hijaz” di kediaman K. H. Abdul Wahab
Khasbullah di Surabaya, ekspresi keprihatinan para ulama.

https://islamindonesia.id 638
Reaksi dari seluruh dunia Islam itu berhasil menghentikan destruksi itu. Tapi kini, di
abad ke-21, Wahabisme dan kapitalisme bertaut, dan Mekkah berubah.

Mengherankan sebenarnya. Di sebuah tulisan dari tahun 1940 Bung Karno mengutip
buku Julius Abdulkarim Germanus, Allah Akbar, Im Banne des Islams. Di sana Bung
Karno menggambarkan kaum Wahabi sebagai orang-orang yang dengan keras dan
angker mencurigai “kemoderenan”; mereka bahkan membongkar antena radio dan
menolak lampu listrik. Tapi kini, seperti tampak di kemegahan Abraj al Bait bukan
hanya lampu listrik yang diterima, tapi juga transformasi Mekah jadi semacam
London & Las Vegas. Apa yang terjadi?

Mungkin sikap dasar Wahabisme tak berubah. Menghapuskan petilasan


(menidakkan masa lalu), sebagaimana menampik “kemoderenan”, (menidakkan
masa depan) adalah sikap yang anti-Waktu. Jam besar di Abraj al Bait itu akhirnya
hanya menjadikan Waktu sebagai jarum besi. Benda mati. Dan bagi yang
menganggap Waktu benda mati, yang ada hanya rumus-rumus ibadah tanpa proses
sejarah.

Tapi apa arti perjalanan ziarah, tanpa menapak tilas sejarah dan menengok yang
pedih dan yang dahsyat di masa silam?

Mungkin piknik instan ke kemewahan.

***Sumber: “Catatan Pinggir” Goenawan Mohamad, November 2012.

(Sumber: https://islamindonesia.id/kolom/opini-makkah-dalam-renungan.htm)

https://islamindonesia.id 639
Wednesday, 09 September 2015

OPINI – Sahkah Haji dengan Niat Wisata?

Tiap orang yang berangkat haji dapat memelototi pemandangan modern di sekitar
Masjidil Haram. Hotel-hotel bintang lima dari berbagai kelompok usaha perhotelan
raksasa dunia seperti Hilton, Marriot, Le Meridien, Swissotel, Raffles, dan terakhir
dan yang paling kontroversial adalah Makkah Clock Royal Tower Hotel milik grup
usaha perhotelan Fairmont seolah menenggelamkan keagungan Ka’bah. Clock
Royal Tower Hotel bahkan menuai banyak protes lantaran ia secara brutal telah
merusak keseluruhan tata ruang dan tata kota Makkah yang sedianya memancarkan
aura mistik.

Tapi pemandangan di atas baru satu persoalan yang kita rasakan saat berhaji di era
modern ini.

Persoalan lain yang tidak kalah pentingnya ialah munculnya semangat di antara
jamaah haji untuk berbelanja dan jalan-jalan. Atau ringkasnya berwisata

https://islamindonesia.id 640
sebagaimana layaknya orang pergi ke Taman Mini, Carita, Ancol, Tanjung Kodok,
dan sejenisnya. Banyak dari mereka yang merasa bahwa kegiatan belanja dan
jalan-jalan itu merupakan bagian tak terpisahkan dari ibadah haji, mirip dengan
kegiatan wisata pada umumnya. Berhaji tanpa membawa oleh-oleh itu kenistaan
yang tak tertanggungkan buat sebagian, hingga seolah-olah ia merupakan salah
satu rukun haji yang tak boleh ditinggalkan.

Sekarang ini, bagi sebagian orang, ibadah haji tak lebih dari upacara belanja. Dan
memang ada desain untuk memecah perhatian ibadah ke arah konsumerisme.
Maka, tak salah bila ratu fashion dan sosialita paling suka pamer pakaian, Paris
Hilton, pernah berbangga mengumumkan diri membuka toko di Makkah.
Benarkah perilaku seperti ini? Sahkah ibadah haji dengan niat wisata seperti ini?
Bukankah ini telah menjadikan pergi haji tak ubahnya pergi menonton pertandingan
bola di Old Trafford, atau menonton Formula One di Monte Carlo, atau bahkan lebih
ironis lagi, seperti kata Gus Mus, sama seperti ke Las Vegas?

Terlepas dari perdebatan fiqih yang mungkin timbul dari pertanyaan di atas, tapi haji
dengan niat wisata seperti berenang dengan niat panjat tebing. Alih-alih dapat
dibenarkan, haji dengan niat seperti itu sesungguhnya bertentangan dengan nilai inti
haji itu sendiri. Pada saat Allah menyuruh para nabi berhaji, terutama Nabi Ibrahim,
Allah ingin mereka menjadi hamba, menanggalkan egonya dan masuk ke Baitullah
dengan hati yang bersih suci seperti saat mereka dilahirkan. Allah ingin
menanamkan—atau lebih tepatnya menumbuhkan—di dalam jiwa mereka rasa
kepasrahan, ketundukan, kepatuhan, tawajuh, pelepasan hasrat dunia, pengukuhan
rasa taat dan kesiapan mengorbankan diri, hingga puncaknya fitrah tauhid kembali
hidup di dalam diri pelaku haji. Dia haruslah seorang yang siap mengorbankan
apapun di jalan ini, termasuk putra tersayangnya, letupan egonya dan semua hasrat
dirinya.

Ibadah haji sesungguhnya harus dimaknai dalam kerangka melepaskan hasrat-


hasrat duniawi kita, keluar dari terungku ego kita, menuju ke Baitullah, Rumah Allah.
Di situ, di Rumah itu, kita mengalami transformasi yang radikal, sedemikian
sehingga kita layak menjadi tamu-Nya. Haji adalah keluar dari rumah ego, rumah
hasrat wadag, menuju Rumah Allah yang luas, agar hamba dapat diterima sebagai
tamu dan menerima jamuan Ilahi yang tersedia di dalam rumah-Nya.

Transformasi spiritual seorang pelaku haji haruslah tampak, setidaknya, dalam


niatnya, cara berpikirnya, dan perhatian hatinya terhadap dimensi spiritual yang
selama ini tak tersentuh. Setelah itu baru hasilnya bakal memancar ke sekujur
tubuhnya dan perilaku kesehariannya, kelak saat ia selesai menunaikan seluruh
manasik haji.

https://islamindonesia.id 641
Itulah mengapa salah satu dari aktivitas ibadah haji adalah menyembelih kurban.
Sebagaimana Nabi Ibrahim bersedia mengurbankan putranya Ismail di jalan
penghambaan, demikian pula tiap pelaku haji harus memiliki kesiapan itu.

Sudahkah haji kita seperti itu?

Sayangnya, haji yang seperti itu agaknya telah lama hilang dari perhatian umat dan
digatinkan dengan haji kapitalis dan konsumtif yang diawali dengan niat wisata
jasmani, disusul dengan upaya menabung untuk membayar ongkos-ongkos haji,
ditambah lagi dengan pemandangan perhotelan dan pusat-pusat belanja yang alih-
alih membawa kita pada suatu suasana dan aura spiritual yang suci justru
memantapkan watak kapitalis dan konsumeris dalam diri para jamaah haji.

Tentu tiap orang harus bertanggungjawab atas kualitas ibadah hajinya masing-
masing. Tetapi apa yang dilakukan rezim kerajaan Arab Saudi dalam 50 tahun
terakhir justru berujung dengan mengukuhkan semangat kapitalis dan konsumeris
dalam aktivitas haji tersebut. Pemugaran hampir seluruh bangunan sakral di dalam
Masjidil Haram dan menggantinya dengan arsitektur modern yang sarat denan
nuansa kemegahan dan kemewahan, penghapusan hampir seluruh jejak historis
yang memiliki nilai sakral di dalam dan di lingkungan kota Makkah telah
menghancurkan aspek spiritual haji. Ditambah lagi dengan sikap para
penyelenggara haji yang terus mendesakkan hasrat-hasrat duniawi di dalam diri
hujaj.

Akibatnya, haji yang memiliki tujuan-tujuan luhur berupa penyegaran ruh


pengorbanan Ibrahim melawan tirani ego, penghambaan mutlak kepada Zat Mutlak,
penjelajahan manusia ke alam yang lebih tinggi seperti tak mungkin diraih. Ini ibarat
orang yang hendak ke laut untuk berlayar tetapi malah membawa peralatan untuk
mendaki. Adakah orang seperti ini layak dianggap serius ingin berlayar di lautan
atau dia sebenarnya memang punya tujuan lain?

Dunia Islam secara kolektif memiliki hak atas Makkah dan Madinah sebagai dua
kota suci umat. Negara-negara Islam wajib secara serentak menggugat aksi
kapitalisasi dan komersialisasi Makkah dan Madinah yang demikian mencolok mata
dan merusak substansi ibadah haji tersebut. Tanpa upaya kolektif yang serius untuk
membalik keadaan, maka tidak mustahil dalam 10-20 tahun mendatang, Ka’bah
hanya akan menjadi tak ubahnya bongkahan batu yang tak memancarkan makna
apa-apa.

Terlepas dari urusan arsitektur, persoalan lain yang juga harus segera diubah dalam
pengelolaan haji oleh kerajaan Arab Saudi ialah kebiasaan mereka menghalangi

https://islamindonesia.id 642
orang untuk meneteskan airmata di mana pun di tempat-tempat sakral di Makkah
dan Madinah. Mencegah orang dari perasaan haru, bahkan menangis di depan
makam Rasulullah, sama saja dengan upaya membuang Rasulullah dari dalam hati
umat. Gaya Wahabi ini harus dilawan, apapun ongkosnya.

Tanpa upaya sungguh-sungguh melawan tren yang berbahaya yang terus


berlangsung di Makkah dan Madinah itu, maka sinyalemen Gus Mus (KH Mustofa
Bisri) bahwa pergi haji zaman ini mirip dengan pergi ke Las Vegas sama sekali
bukan isapan jempol. Puncaknya ini memaksa kita untuk menyimpulkan bahwa
ibadah haji yang demikian itu hanya sah secara fiqih tapi batal secara substansi dan
batin. Dan apa yang batal secara batin sudah barang tentu tak akan membawa buah
ibadah sebagaimana semestinya. Maka balik dari haji, orang bisa justru makin giat
melakukan korupsi, manipulasi, dan berbagai kejahatan sosial lain yang berdampak
luas terhadap kehidupan umat manusia. Nauzhubillah min dzalik.

MH/Islam Indonesia

(Sumber: https://islamindonesia.id/kolom/opini-sahkah-haji-dengan-niat-wisata.htm)

https://islamindonesia.id 643
Friday, 04 September 2015
OPINI – Lupakan Musim Semi Arab, Kebangkitan yang
Sebenarnya dalam Perjalanan
Oleh Catherine Shakdam

Api revolusi kembali menyala dan menyebar di Timur Tengah. Dari Lebanon, Iraq
lalu Bahrain, Timur Tengah kembali menaruh harapannya pada kaum muda.
Namun, revolusi yang kedua ini mengambil fokus baru dalam demonstrasinya;
penegak hukum—pemerintahan.

Empat tahun pasca bentroknya rakyat Tunisia dengan aparat dalam melawan
diktator—menginspirasi seluruh kalangan untuk melawan nepotisme,
otoriterianisme, dan kekuasaan kapitalisme, Lebanon dan Irak kini menyiapkan lagu
baru untuk revolusi kedua. Baru kali ini, demonstran menggunakan bahasa yang
berbeda, tuntutan mereka berakar pada sekulerisme, perwakilan politik yang adil,
serta keadilan sosial.

Jika “Musim Semi Arab” yang lalu dibajak dan dimasuki kepentingan politik, negeri
teluk kini bangkit secara independen dan tak berpartai. Tapi kunci utamanya,
Lebanon dan Irak sama-sama berdiri melawan segala bentuk kubu agama, sosial,
dan etnis.

Ketika semangat demokrasi Tunisia dan Libya keburu hancur sebelum berbunga,
negeri teluk tidak mengikuti permainan faksi manapun. Tidak dibiayai satu kelompok,
tidak juga dijual pada kepentingan tertentu. Revolusi yang berkembang ini organik,
ketika “Musim Semi Arab” adalah bentukan.

https://islamindonesia.id 644
Berpegang teguh pada demokrasi, revolusi ini tetap menjaga pesan apolitis dan
universalnya: perubahan untuk semuanya, dan untuk kebaikan semuanya! Dari
Beirut ke Baghdad, tanah Arab kini menemukan suara baru pemudanya.

Montesquieu dan Robespierre abad ini telah lahir di jalan-jalan kota Arab. Ketetapan
hati mereka makin kuat seiring tahun-tahun ketidak adilan ekonomi, penyalahgunaan
politik, dan kolonialisme yang merajalela.

Dan jika Musim Semi Arab hanya terfokus pada permainan kekuasaan—membuat
sistem yang menancap dalam bisa tetap bertahan meski masyarakat meminta
reformasi—kebangkitan Lebanon dan Irak sama sekali tak menghiraukan perkataan
setengah hati para politisi, dan janji manis untuk revolusi. Kali ini, negara teluk
menginginkan perubahan absolut, mereka ingin membentuk ulang institusi dan
menjauh dari bayangan penjajahan imperium Barat.

Lewat Lebanon dan Irak, teriakan Bahrain telah menemukan pesan baru yang jadi
kelemahan para elit; sektarianisme dan eksklusifitas perekoomian.

Apa yang terjadi di jalanan Manama pada 2011 kini mengakar di Timur Tengah,
bahkan sampai sudut palung sekuler di negeri teluk; di mana nasionalisme kini
bersatu dengan indentitas Arab mereka.

Di tengah kolonialisme Barat yang merajalela via tangan-tangan teo-fasis Arab


Saudi, orang-orang memutuskan untuk berdiri bersama melawan segala bentuk
penindasan, baik itu politik, ekonomi, sosial, bahkan agama. Air mata para
revolusioner menandai keruntuhan era perjanjian Sykes-Picot.

Tidak lama lagi, masyarakat Arab tidak akan didefinisikan oleh standar yang
ditentukan oleh kekuatan yang datang hanya untuk menyedot dan menghabisi
kekayaan alam mereka. Masyarakat Arab tidak akan lagi terbatasi identitas yang
lebih menyerupai para kolonialis ketimbang diri mereka sendiri.
Dari Beirut sampai Baghdad, lalu di atasnya Manama, Timur Tengah sedang
membangun bentuk nasionalisme baru yang ditempa dengan pluralisme dan
persamaan.

Dan jika berabad-abad dunia didefinisikan lewat bilangan politik; kolonialisme versus
sosialisme, Timur Tengah telah melihat sebuah bentuk baru yang menggambarkan
mimpi demokrasi bangsanya, bukan peralihan ke republikanisme Barat.

https://islamindonesia.id 645
Jika ingatan tidak menghianati saya, tidak aka satupun revolusi yang jadi prestasi
sejak revolusi merahnya Rusia. Dan meski gerakan revolusioner ini masih kecil,
potensinya tetap sangat besar.

Mereka harus sukses, barisan mereka harus kebal terhadap suapan dan manipulasi,
mereka akan terlihat bangkit menuju batu pertama sistem politik dan ekonomi yang
mewakili sejarahnya, tradisinya, agamanya, dan aspirasi sosial. Siapa bilang Timur
Tengah harus didefinisikan dengan sektarianisme dan kebencian etnis?

Narasi ketakutan dan kebencian ini hanya akan berhasil ketika itu membuat orang-
orang di suatu negara terpecah-belah, yang mencegah mereka dari menghadapai
musuh sebenarnya dalam cerita ini; para bankir dan tatanan penguasa yang tamak.

Dan untuk para politikus senior serta media jualannya yang telah memainkan isu
sekte dan Iran demi menjauhi masyarakat dari isu yang sebenarnya, saya katakan;
tidak, Iran tidak mempromosikan kebangkitan Islamnya, mereka hanya mendukung
demokratisasi di Timur Tengah. Dan tidak, Rusia tidak menghianati segala kode etik
jurnalis dengan menyediakan pemberitaan yang adil bagi setiap peristiwa.

Dunia sudah berubah, dan sekarang waktunya orang-orang barat yang berpikir baik
melepas kacamata berwarnanya dan melihat tangisan Arabia, sebuah gambaran
dari mimpi dan keinginan mereka sendiri.
Di tengah kesulitan ekonomi, tekanan politik dan hilangnya hak sipil yang belum
pernah terjadi, Lebanon, Irak dan Bahrain berambisi hidup dengan kehormatan,
kebebasan berpikir, bekerja, beribadah, dan bergerak dengan batasannya sendiri.

Bolehkah kita menolak mereka? Menolak hak-hak mereka? Bagaimanapun,


kemerdekaan dan persamaan hak tidak mengenal warna dan keyakinan; mereka
bersifat universal.

Lewat manipulasi Barat, Irak dan Lebanon berada dalam kejatuhan finansial dan
sosial, dikhianati para elit politik yang mewakilinya, dan ditentukan untuk hidup
dalam kesengsaraan ketika sebagian kecil darinya hidup dalam kekayaan. Berapa
lama lagi Arabia harus membungkuk sebeleum mengangkat kepalanya lagi?

Saya pikir jawabannya sekarang berada di negeri teluk.

Muhammad/rt.com
(Sumber: https://islamindonesia.id/kolom/opini-lupakan-musim-semi-arab-
kebangkitan-yang-sebenarnya-dalam-perjalanan.htm)

https://islamindonesia.id 646
Sunday, 30 August 2015

KOLOM – Dicari: Politisi Negarawan

Gonjang ganjing Pilkada belakangan ini membuka kembali mata kita terhadap
berbagai ulah politisi dan partai politik di daerah. Ada yang bermain halus untuk
menjegal lawannya dengan membiarkan lawan maju sebagai calon tunggal. Ada
yang kasar bak hewan bertaring yang mengancam dengan memobilisasi massa
menyerang kantor Komisi Pemilihan dan aparat penegak hukum yang tidak menuruti
kehendaknya.

Di Jakarta, kiprah politisinya lain lagi. Setelah agak reda menyerang posisi
pemerintah terus menerus, sebagai kelanjutan persaingan pilpres, sekarang mereka
punya mainan baru. Belum lama ini, setelah menyampaikan pidato APBN, Presiden
Jokowi di fait a accompli untuk menandatangani prasasti mega proyek multi-year
gedung-gedung baru DPR RI senilai Rp 2,7 triliun. Pembiayaan rencananya diambil
dari dana optimalisasi yang seharusnya digunakan untuk kesejahteraan rakyat.
Untung Jokowi sigap dan menolak karena memang belum pernah dibahas
sebelumnya dengan pemerintah.

Sejak Reformasi 1998 sampai sekarang, kita masih terus berharap ada perbaikan
kualitas partai dan anggota DPR yang tak kunjung mewujud. Partai, dengan sedikit

https://islamindonesia.id 647
pengecualian, pada umumnya masih diisi oleh kelompok yang belum sepenuhnya
merepresentasikan kepentingan khalayak. Ada kelompok pencari kerja dan
penghasilan, ada kelompok politisi profesional yang dari dulu tidak pernah punya
kerja lain selain jadi politisi, ada kelompok pengusaha yang berkepentingan
melindungi usahanya, ada kelompok berbendera agama yang kerap tak
menghadirkan akhlak agamawan, dan kelompok-kelompok kecil lain yang tidak jelas
asal usul dan tujuannya. Kelas negarawan dalam tubuh partai-partai kita sangat
langka dan hanya sekali-sekali muncul ke permukaan tetapi tenggelam dan kalah
bersaing dalam menyuarakan kepentingan nasional kita.

Politisi dan Negarawan


Secara umum, politisi adalah pencari kekuasaan melalui mandat rakyat, sedangkan
negarawan adalah mereka yang tergugah bergerak dalam arena politik demi ideologi
dan prinsip-prinsip yang diyakininya. Para pendiri bangsa ini pada dasarnya politisi
negarawan yang bersedia menahan sakit dan bahkan mengorbankan jiwanya demi
mencapai apa yang dicita-citakan untuk bangsanya. Harus diakui bahwa bukan
hanya di negeri ini, di negara manapun sering terasa sesak dengan jumlah politisi
sedangkan negarawan itu langka.

Seseorang pernah menggambarkan banyaknya politisi dan langkanya negarawan


bak makanan yang berlebih kalori tetapi kurang nutrisi.
Politisi dan negarawan keduanya bermanuver dalam arena politik tetapi gerak
negarawan lebih dibatasi oleh pertimbangan moralitas dibanding politisi. Negarawan
menyampaikan pesan-pesannya kepada publik dari hati sanubarinya karena dia
percaya kepada apa yang disampaikan, sedang politisi seringkali harus
menyampaikan pesan kelompok yang dia sendiri terkadang tidak meyakininya.
Politisi dan negarawan sama-sama harus memiliki kemampuan komunikasi yang
efektif guna menjelaskan kebijakan negara yang kompleks kepada publik. Namun
yang memisahkan mereka adalah motif dan kepentingannya. Politisi lebih tertarik
kepada kepentingan partai, pribadi, kelompok, atau penguasa, sedang negarawan
memusatkan perhatiannya kepada kepentingan bangsa. Politisi lebih cenderung
kepada tindakan yang segera dapat dilihat hasilnya sedang negarawan bersedia
menghadapi risiko dengan mengambil keputusan tidak populer yang hasilnya hanya
dapat dipetik dalam jangka panjang.

Teolog dan pengarang Amerika abad 19, James Freeman Clarke, mengatakan:
“Politisi memikirkan pemilu mendatang sedang negarawan memikirkan generasi
mendatang”. Bagi politisi, yang penting adalah bagaimana mencapai tujuan dengan
cara apapun, sedang bagi negarawan tujuan dan cara mencapainya sama-sama
penting. Politisi dapat muncul mendadak dari sudut-sudut yang tak diperkirakan
sebelumnya karena berhasil merayu pemilih di daerah pemilihannya dengan janji-

https://islamindonesia.id 648
janji surgawi, sedang negarawan biasanya figur terhormat di masyarakat dalam usia
yang lebih matang dan sudah banyak makan asam garam kehidupan sehingga
membuatnya lebih arif dalam pandangannya tentang berbagai sisi kehidupan.

Demokrasi memang tidak sempurna, meski belum ditemukan sistem yang lebih baik.
Dalam demokrasi, politisi mau tidak mau harus melihat kemana arah angin
berhembus. Dari waktu ke waktu mengukur apa yang diinginkan konstituen.
Negarawan juga tidak bisa lepas dari pertimbangan aspirasi publik tetapi umumnya
mereka tidak sangat bergantung kepadanya seperti politisi. Negarawan bisa
berpandangan bahwa apa yang diinginkan publik tidak selalu baik untuk publik.
Terburuk adalah politisi yang bukan negarawan tetapi juga bukan politisi yang
diharapkan dalam sebuah sistem demokrasi. Inilah tipe politisi yang banyak kita
jumpai saat ini, yakni politisi yang mendengarkan dirinya sendiri dan kelompoknya.

Rekrutmen Politik
Partai politik hidup karena pendukung dan anggotanya. Memilih dan mendukung
partai politik ditentukan oleh kesamaan ideologi dan adanya keyakinan bahwa
aspirasinya akan tersalurkan. Karena menimbang ideologi atau aspirasi partai tidak
mudah, kebanyakan simpatisan partai akan melihat siapa-siapa yang duduk
mewakili partai sebagai anggota legislatif, eksekutif, pengurus dan pimpinan. Bila ia
buruh atau nelayan, ia akan melihat apakah partai berisi orang-orang yang dianggap
mewakili mereka. Begitu pula bila ia pengusaha dan seterusnya.

Partai berbasis agama akan dipercaya bila tokoh-tokohnya mewakili agama yang
dianut. Partai inklusif tidak bisa hanya menuliskan inklusivitasnya pada lembaran
platformnya tetapi baru dapat diterima masyarakat luas yang menjadi sasarannya
bila tokoh-tokohnya benar-benar mencerminkan aneka ragam etnis, agama, dan
keyakinan. Partai tidak bisa lagi meremehkan kecerdasan kontituennya. Publik
sekarang sudah jauh lebih jeli dan dapat memilah siapa yang berkarakter
negarawan dan siapa yang dianggap sebagai politisi petualang. Politik dinasti yang
mengandalkan konstituen primordial tidak akan bisa bertahan lama. Karenanya
proses rekrutmen partai tidak boleh disepelekan.

Figur publik yang berpotensi negarawan hanya akan tertarik kepada partai yang
menawarkan keleluasaan dengan platform yang progresif dan berwawasan masa
depan. Nilai partai di mata publik akan meningkat sebanding dengan jumlah tokoh-
tokohnya yang berkarakter kenegarawanan. Hal ini sudah dibuktikan dalam berbagai
pemilihan kepala daerah di berbagai tempat belakangan ini. Selama beberapa tahun
terakhir ini ketika publik kecewa terhadap ulah politisi dan partai politik, partai yang
mampu dengan cepat mereformasi dirinya dan menguubah haluannya menjadi
partai yang benar-benar lebih bersifat kenegarawanan pada saatnya akan meraih

https://islamindonesia.id 649
keberhasilan dan dukungan luas masyarakat. Sisanya adalah partai-partai yang
masih bisa menjaga kelangsungan hidupnya karena dukungan dana kuat atau
selama mereka masih dapat menutupi kepalsuannya di mata publik.

Abdillah Toha/IslamIndonesia

(Sumber: https://islamindonesia.id/kolom/kolom-dicari-politisi-negarawan.htm)

https://islamindonesia.id 650
Saturday, 29 August 2015

ISIS Membutakan Jurnalis dengan Kebrutalannya, Tapi


Seluruh Cerita Harus Tetap Disampaikan

oleh: Robert Fisk

Melihat foto saru tanpa kepala arkeolog Khaled al-Asaad yang diikat pada lampu pos
di Palmyra—satu gambar dari koleksi porno ISIS yang diproduksi tiap minggu—saya
terpukul dengan kenyataan “khilafah Islam” cukup menikam dunia jurnalistik. Saya
tidak hanya bicara soal reporter yang mereka bunuh atau John Cantlie yang malang;
yang video-videonya, berjudul Seribu Satu Malam dengan gaya cerita Scherezade
diambil dalam “kawasan khilafah”, memberinya waktu hidup lebih lama. Nyatanya,
kemarahan Cantlie pada penolakan pemerintah Inggris dan Amerika untuk bicara
pada ISIS demi keselamatan tawanan adalah benar. Sedikit pun Amerika tidak
melakukannya padahal mereka bisa membebaskan tawanan Taliban.

Tidak, saya bicara tentang betapa ISIS dan industri perfileman khilafahnya—juga
majalahnya; Dabiq—yang tak terdeteksi dan berbahaya itu telah menghapus salah
satu tugas terpenting jurnalisme; menceritakan sisi lain sebuah kejadian. Sejak
Perang Dunia Kedua, kami para jurnalis secara umum telah mencoba menjelaskan
“kenapa”, juga “siapa”, di balik kejadian itu. Jika kita gagal setelah 9/11—ketika

https://islamindonesia.id 651
alasan politik di balik tindak kriminal melawan kemanusiaan mengharuskan kita
mengesahkan kebijakan Amerika terhadap Timur Tengah dan dukungan lebih
terhadap Israel dan diktator Arab—kita cenderung kembali ke peristiwa itu ketika
membahas “teror”.

Setiap kita mendengar orang Palestina disebut teroris, kita coba menjelaskan pada
pembaca bahwa Palestina adalah korban “pembersihan etnis”, yang 750.000
jiwanya telah dibantai—termasuk anak cucunya—oleh sebuah negara baru bernama
Israel. Dalam pemberitaan militan Kurdi PKK beraliran Marxis, yang mereka semua
dicap teroris oleh pemerintahan Turki, kita wajib melaporkan kegagalan Amerika
menciptakan negara Kurdi pasca perang dunia pertama serta kematian 40.000 jiwa
dalam perang sia-sia Turki dengan orang-orang Kurdi. Juga dalam memberitakan
Saddam, yang disebut Hitler oleh George W. Bush, kita juga mempertanyakan
kenapa Amerika mendukung Saddam yang sama dalam perang Iran-Irak.

ISIS telah merubah semua ini. The Express telah mengeluarkan semua kamus
kemuakannya pada ISIS. “Haus darah”, “Sakit”, “Sinting”, “Bejat”, “Sadis”, “Keji”—
kita tinggal berharap tidak ada kata yang lebih buruk muncul di kertas-kertas. ISIS—
dalam video dan internet—secara bangga mempublikasikan penyembelihan dan
pembantaian. Mereka bergembira dengan penembakan massal para tahanan,
merekam seorang pilot yang mereka bakar hidup-hidup dalam kandang, dan
tahanan yang diikat dalam mobil lalu dijadikan target latihan menembak roket. Disitu
terlihat tahanan yang kepalanya meledak atau terjebak di kandang yang tenggelam
perlahan. ISIS lalu beralih para dunia jurnalistik dan berkata, “Kami tidak haus darah,
sakit, dan bejat, kami lebih daripada itu!”
Bagaimana mungkin jurnalis tidak menulis cerita horor ketika Dabiq menuliskan,
“Setelah penangkapan, perempuan dan anak-anak Yazidi dibagi berdasarkan
hukum syariah di antara para pejuang ISIS… perbudakan skala besar dalam
keluarga ini adalah yang pertama sejak hukum syariah ditinggalkan”. Majalah yang
sama bahkan menggunakan kata “pembantaian” ketika ISIS membunuh musuhnya.
Kutipan berlebihan dari paderi Muslim yang telah lama mati dijadikan pembenaran
atas kekejaman mereka. Dan ya, para pendahulu kita juga mengatakan hal yang
sama soal musuh kita ratusan tahun lalu.

Lalu sekarang bagaimana kita menyampaikan sisi lain cerita ini? Tentu saja, kita
bisa melacak sumber kekejaman ini dari tahun-tahun kekejaman yang ditemui para
penguasa Timur Tengah lalu—biasanya dengan dukungan penuh pemerintahan
Barat. Atau ratusan ribu korban Muslim yang kematiannya menjadi tanggung jawab
kita selama dan setelah invasi Irak tahun 2003 yang menakutkan.
Dan kita harus menyediakan lebih banyak waktu melacak garis merah antara ISIS
dengan sekondan lainnya (Nusrah, Jaish al-Islam, bahkan Free Syria Army), juga

https://islamindonesia.id 652
dengan Saudi, Qatar, dan Turki, dan pada tingkatan di mana senjata Amerika bisa
disebar luas di perbatasan Suriah hampir secara langsung sampai di tangan ISIS.
Kenapa ISIS tidak pernah menyerang Israel– dan kenapa pasukan udara Israel
selalu menarget pemerintah Suriah dan pasukan Iran pendukung Suriah tapi tidak
sampai pada ISIS? Juga kenapa serangan udara Turki terhadap ISIS—yang dengan
senang hati disokong NATO—kalah banyak dari serangan udaranya terhadap PKK
Kurdi, yang sebagiannya memerangi ISIS di Suriah? Dan bagaimana bisa media
Turki memberitakan jatuhnya konfoi senjata di perbatasan Suriah ke tangan ISIS
oleh agen intelejen Turki? Apakah insinyur Turki yang mengoperasikan sumur
minyak ISIS, sebagaimana dikatakan insinyur minyak Suriah? Dan kenapa bocah
propaganda ISIS menunggu sampai bulan ini untuk mengumumkan—lewat pejabat
rendahan khilafah—menyebut Presiden Turki Erdogan “Setan” dan menyeru rakyat
Turki bangkit melawan pemerintahnya?

Kecurigaan dan perhatian utama kita bukanlah pada kekerasan dan kekejaman ISIS
dalam video dan Dabiq, tapi apa yang ISIS tidak bicarakan, tidak mereka kutuk, dan
tidak maubmereka sebutkan. Ini juga berarti mengkritisi Turki, Arab Saudi, Qatar,
Amerika, dan Israel. Apa kita akan melakukannya? Atau kita akan membiarkan ISIS
menghentikan kita dalam melaksanan tugas utama dalam bisnis ini; menyampaikan
sisi lain dari cerita?

Andi/The Independent

(Sumber: https://islamindonesia.id/berita/isis-membutakan-jurnalis-dengan-
kebrutalannya-tapi-seluruh-cerita-harus-tetap-disampaikan.htm)

https://islamindonesia.id 653
Monday, 24 August 2015

‘Islam Hijau’, Apakah Itu?

Tahukah Anda bahwa Indonesia memiliki luas hutan sebesar 94 Juta hektar? Itu
berarti hampir separuh wilayah Indonesia berupa kawasan hijau. Tapi Indonesia,
yang notabene memiliki masyarakat mayoritas Muslim, justru berada di posisi ketiga
negara dengan tingkat kerusakan hutan terparah, setelah Brasil dan Australia.

Ironis. Padahal Islam adalah agama yang mengajarkan kesetiaan dan keramahan
pada lingkungan.

Sejatinya, ada tiga hubungan yang paling fundamental dalam kehidupan seorang
Muslim: mengenal Tuhan, diri sendiri dan alam tempat ia tinggal. Tiga prinsip ini
seharusnya menyadarkan setiap Muslim kalau Tuhan yang selama ini kerap
dipersepsi ‘jauh’, sebenarnya ‘dekat’ dengan caa yang menakjubkan.

Dalam Al Quran dan hadis, Allah SWT digambarkan punya dua sifat besar, yaitu
Tasybih dan Tanzih. Tasybih adalah Dia memiliki kesamaan dengan Makhluk-Nya.
Sedangkan Tanzih adalah Dia sepenuhnya berbeda dari apapun di dunia ini, seperti
pada ayat “Laisa kamitslihi syai’a”.

Manusia, sebagai khalifah, berarti pelanjut atau deputi Tuhan. Ia tak bermakna
kekuasaan sewenang-wenang. Meski beda dan berada dalam posisi hierarkis yang
ada di atas unsur alam dan selebihnya; ia juga merupakan ‘saudara alam’.
Bahkan dalam pandangan tasawwuf, manusia adalah ‘mikro kosmos’ atau alam
dalam bentuk yang lebih kecil. Dalam dirinya terkandung semua unsur alam; air, api,

https://islamindonesia.id 654
tanah dan udara. Jika dalam kartun, ada avatar yang mampu mengendalikan unsur-
unsur tersebut. Nah, manusia seperti itu.

Wujud manusia dan wujud alam adalah satu, bersumber dari wujud-Nya. Karena itu,
dalam perspektif ‘Tauhid Wujudi’ seperti ini, Islam sepenuhnya ramah lingkungan.
Manusia Muslim pun harus sepenuhnya jadi seorang ‘pejuang hijau’,
environmentalis alias pegiat lingkungan sejati.

Dalam Islam, tidak hanya manusia yang menyembah Tuhan, tetapi seluruh alam.
Bahkan, benda-benda yang selama ini kita anggap mati sebenarnya berjiwa. Allah
berfirman dalam surat Al-Baqarah ayat 74, “Padahal di antara batu-batu itu sungguh
ada yang mengalir sungai-sungai dari padanya, dan di antaranya sungguh ada yang
terbelah lalu keluarlah air mata karena takut kepada Allah.”

Karena itu, sesama makhluk Allah manusia dan alam sudah sepatutnya saling
menjaga. Dalam pandangan Islam irfani, percaya bahwa manusialah pengendali
kekuatan benda-benda. Akankah umat Muslim tergerah untuk mencintai lingkungan
dengan bukti-bukti ini? Anda yang tahu jawabannya.

Andi/Islamindonesia

(Sumber: https://islamindonesia.id/kolom/islam-hijau-apakah-itu.htm)

https://islamindonesia.id 655
Tuesday, 18 August 2015

‘Surat Cinta’ Presiden Jokowi

Pada Selasa (14/ 8), Presiden Joko Widodo menyampaikan pidato kenegaraan di
Kompleks Parlemen Senayan.

Terdapat tiga inti pidato Jokowi. Pertama, berisi laporan kinerja lembaga-lembaga
negara. Pidato kedua dalam rangka peringatan hari kemerdekaan yang ke-
70. Terakhir, presiden menyampaikan tanggapan pemerintah atas Rancangan
Undang-undang tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2016 beserta
Nota Keuangan.

Pidato yang menjadi sorotan publik adalah pidato kedua. Seperti presiden
sebelumnya, Jokowi pun mengungkapkan klaim keberhasilan yang telah dicapai
pemerintah.

https://islamindonesia.id 656
Selain itu, presiden menyampaikan pesan yang ditujukan kepada rakyat Indonesia
dalam mengisi kemerdekaan. Termasuk mengetengahkan janji Kabinet Kerja di
masa mendatang.

Jokowi mengingatkan kepada rakyat bahwa bangsa Indonesia merupakan bangsa


yang besar. Atas dasar itu, pemimpin dan yang dipimpin harus percaya diri dan
optimis dalam menghadapi persoalan yang menghadang di hadapan.

Secara garis besar, ada beberapa poin penting yang disampaikan presiden pada
pidato kedua yang merupakan “surat cinta” pertama bagi rakyat Indonesia.

Ucapan terima kasih pada pemimpin pendahulu di awal pidato. “Kita patut
berterima kasih kepada para pendahulu kita, para pemimpin nasional”. Redaksi ini
mengindikasikan bahwa Jokowi memang politisi Jawa tulen yang memiliki kelihaian
bersikap santun pada orang lain, termasuk lawan politiknya. Dengan kerendahan
hati, dia tak memungkiri bahwa kemajuan Indonesia selama ini tak terlepas dari
kerja keras pemimpin sebelumnya, serta berkat dukungan rakyat.
Klaim bahwa Indonesia sudah mengalami kemajuan signifikan. “Persatuan
Indonesia sudah kokoh, pendidikan rakyat semakin maju, dan peluang peserta didik
untuk melakukan mobilitas sosial terbuka lebar. Saat ini, kita telah memiliki hampir
300 ribu sekolah, lebih dari dua juta guru, dan hampir 40 juta siswa, tidak termasuk
Taman Kanak-Kanak yang tersebar di seluruh pelosok Tanah Air.” Pernyataan
bahwa “persatuan Indonesia sudah kokoh” masih rancu karena tidak menyertakan
parameter yang jelas, hingga sampai pada kesimpulan pernyataan itu. Di samping
itu, kuantitas sekolah, guru, dan siswa tidak berbanding lurus dengan kualitas
pendidikan.
Indeks Demokrasi Indonesia membaik. “Dibandingkan dengan tahun 2013, indeks
demokrasi kita naik dari 63,72 menjadi 73,04 pada tahun 2015.” Keberhasilan ini
bisa tercermin pada Pemilihan Umum 2014. Pada pemilu tersebut juga terlihat
antusiasme masyarakat yang lebih tinggi daripada pemilu sebelumnya. Itu tercermin
dengan hadirnya para relawan muda yang berpartisipasi dalam menyukseskan
pemilu atas kesadaran masing-masing. Bahkan, kini mereka mengawal jalannya
demokrasi dan pemerintah. Namun, persiapan penyelenggaraan Pilkada tahun ini
cukup memprihatinkan. Terbukti dengan adanya kasak-kusuk beberapa elit politik
yang berniat menggagalkan penyelenggaraan Pilkada tahun ini, hingga upaya
membenturkan penyelenggara pemilu dengan pemerintah. Ditambah lagi persoalan
“calon pimpinan daerah” yang hanya terdiri dari satu pasangan. Fenomena ini
menciderai demokrasi Indonesia yang dimotori oleh partai politik.
Produk Domestik Bruto bertambah Rp 10 triliun. “Dalam 15 tahun terakhir,
Indonesia juga mengalami lonjakan Produk Domestik Bruto, dari sekitar 1.000 triliun
rupiah, menjadi sekitar 10 ribu triliun rupiah dan menjadi kekuatan ke-16 ekonomi

https://islamindonesia.id 657
dunia.” Faktanya, nilai pasar beberapa barang dan jasa yang diproduksi pada
periode ini mengalami penurunan karena harga meningkat di pasaran. Dalam hal ini,
kita harus bekerja keras pada sektor ekonomi agar masyarakat sejahtera.
Pemerintah harus berani memberantas mafia perdagangan agar harga rasional dan
tidak melakukan impor. Sehingga, daya beli masyarakat mengalami peningkatan
signifikan, terutama terhadap bahan-bahan kebutuhan pokok.
Perekonomian Global bukan masalah paling utama. ”Kita terjebak pada
pemahaman bahwa melambannya perekonomian global, yang berdampak pada
perekonomian nasional adalah masalah paling utama. Padahal kalau kita cermati
lebih seksama, menipisnya nilai kesantunan dan tatakrama, sekali lagi, menipisnya
nilai kesantunan dan tatakrama, juga berbahaya bagi kelangsungan hidup bangsa.”
Pengulangan terhadap kalimat terakhir mengindikasikan bahwa kesantunan dan
tatakrama semakin menipis merupakan masalah utama, dibandingkan persoalan
ekonomi. Ini merupakan poin menarik karena Jokowi memiliki sudut pandang out of
the boxdalam menelusuri akar persoalan bangsa. Seyogyanya juga disertai dengan
solusi yang mengakar, Jokowi bisa mengajak segenap masyarakat dalam pidatonya
untuk menjunjung nilai-nilai kearifan lokal yang sarat dengan kesantunan dan
tatakrama. Bukankah itu merupakan ciri khas masyarakat nusantara yang sudah
mendarah daging? Mengapa menuhankan kebebasan yang kebablasan? Apabila
Indonesia menjalankan nilai-nilai adat ketimuran, seperti menipisnya budaya saling
menghargai dan mengeringnya kultur tenggang rasa, program aksi pembangunan
akan terwujud tanpa terjegal ego masing-masing pihak.
Masalah krusial masih terjadi di berbagai sektor. “Siklus perekonomian global
maupun nasional kurang menggembirakan. Di bidang pangan, kita belum mencapai
kedaulatan pangan, rentan gagal panen, dan mudah diterpa ketidakstabilan harga
pangan. Di bidang infrastruktur, moda transportasi massal di tiap wilayah masih
sangat kurang dan belum terintegrasi dengan baik. Di bidang maritim, illegal fishing,
pencurian ikan dan penjarahan sumber daya laut menyebabkan kerugian negara
sangat besar. Sedangkan untuk energi, kita masih menghadapi masalah
ketersediaan tenaga listrik untuk menopang kehidupan warga dan pembangunan
ekonomi. Ditambah lagi, produksi BBM masih defisit sekitar 600 ribu barel per
hari. Sementara itu, di bidang kesehatan, gizi buruk dan angka kematian ibu yang
relatif tinggi masih menjadi masalah utama. Di bidang pendidikan, rata-rata lama
sekolah baru mencapai sekitar 8 tahun dari 12 tahun wajib belajar. Selain itu, kita
juga belum mentas dari kemiskinan dan kesenjangan sosial, baik antar kelompok
masyarakat maupun antarwilayah. Gini ratio tahun ini masih di atas 0,4. Yang
memperihatinkan fenomena kekerasan terhadap anak diduga juga meningkat.”
Kejujuran Jokowi terhadap persoalan bangsa yang belum terselesaikan merupakan
nilai plus pada pidato ini. Sehingga, rakyat bisa mengetahui pemetaan persoalan
secara komprehensif, meskipun dengan pemaparan yang singkat. Dalam

https://islamindonesia.id 658
pandangan Jokowi, kunci untuk mengatasi pelbagai persoalan tersebut adalah
“persatuan”.
Subsidi BBM ke sektor produktif sudah tepat. “Kita harus meninggalkan perilaku
konsumtif menjadi produktif.” Menurut presiden, langkah awal yang ditempuh
pemerintah dengan mengalihkan subsidi BBM ke sektor-sektor produktif dan jaring
pengaman sosial sudah tepat. Pada tahun lalu, sekitar 240 triliun rupiah subsidi BBM
hanya dibakar di jalan-jalan atau dinikmati oleh jutaan mobil pribadi, bukan dinikmati
oleh masyarakat yang tinggal di gunung-gunung, di pesisir-pesisir, di pulau-pulau
terpencil, atau mereka yang hidup di bawah garis kemiskinan. Namun, presiden
menyiratkan agar rakyat tidak boros menggunakan BBM. Persoalan BBM ini sangat
kompleks untuk dianalisa serampangan, tentunya masih banyak pertanyaan apakah
langkah tersebut sudah tepat sasaran.
Dukung perdamaian di Palestina dan Timur Tengah. “Indonesia juga terus
mendukung kemerdekaan Palestina dari penjajahan dan kedzaliman serta
menyerukan agar saudara-saudara muslim di Timur Tengah meletakkan senjata dan
berdamai demi kepentingan ukhuwah Islamiyah.” Tidak seperti pidato presiden pada
Konferensi Asia Afrika beberapa waktu lalu, porsi pembahasan dukungan
perdamaian Palestina tidak menjadi poin utama pada pidato kemerdekaan ini.
Namun, Jokowi menambahkan seruan perdamaian bagi muslim di Timur Tengah
pada penggalan pidatonya. Tentunya, rakyat mengharapkan ini bukan sekadar lip
service mengingat Indonesia sebagai Muslim terbesar di dunia, tapi merupakan
wujud implementasi Undang-undang dasar yang salah satunya menyatakan bahwa
“kemerdekaan adalah hak segala bangsa”. Selain itu, pemerintah perlu bertindak
tegas terhadap rakyat Indonesia yang bergabung dengan ISIS dan gerakan militan
lainnya di negara Timur Tengah.
Indonesia akan menjadi poros maritim dunia. ”Kita juga harus menggali lagi
budaya maritim dan identitas maritim bangsa Indonesia. Kita harus mampu
menunjukkan kepada dunia, bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa maritim.
Bangsa yang menjaga dan mendayagunakan lautnya dengan penuh kesungguhan.”
Program ini merupakan janji kampanye Jokowi yang menimbulkan optimisme rakyat
Indonesia yang nenek moyangnya menguasai dunia maritim. Langkah yang
dilakukan pemerintah untuk mewujudkan harapan ini, semoga mengalami
percepatan signifikan dengan terpilihnya Rizal Ramli sebagai Menteri Koordinator
Kemaritiman.
Pro pemberantasan korupsi. “Pemerintah juga telah membentuk Panitia Seleksi
Pimpinan KPK yang terdiri dari tokoh masyarakat yang kredibel, independen, dan
berintegritas. Semoga terpilih pimpinan KPK yang amanah, yang dapat membawa
lembaga anti-rasuah itu bekerja efektif, dan dapat bekerjasama dengan penegak
hukum lainnya, membersihkan jubah Republik yang dikotori oleh korupsi.” Sama
halnya dengan pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, pemerintahan Jokowi
juga menyatakan pro terhadap pemberantasan korupsi. Diharapkan itu tak sekadar

https://islamindonesia.id 659
slogan, tapi bisa terimplementasikan. Untuk mewujudkan hal tersebut, penting
kiranya pemerintah melakukan sinkronisasi dan harmonisasi antar lembaga penegak
hukum.
Menuntaskan kasus Hak Asasi Manusia. “Saat ini Pemerintah sedang berusaha
mencari jalan keluar paling bijaksana dan mulia untuk menyelesaikan kasus-kasus
pelanggaran HAM di Tanah Air.” Sampai detik ini belum ada langkah konkret yang
dilakukan pemerintah Jokowi untuk menuntaskan kasus HAM. Semoga kata-kata ini
bukan janji palsu untuk membungkam rakyat yang selama ini berkoar-koar menuntut
janji kampanye Jokowi ini.

Pada akhir pidato, presiden menghadiahkan “pesan Bung Karno” pada Sewindu
Peringatan Hari Kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1953. “…kita tidak bertujuan
bernegara hanya satu windu saja, kita bertujuan bernegara seribu windu lamanya,
bernegara buat selama-lamanya.” Kado ini diharapkan dapat memotivasi rakyat
dalam berbangsa dan bernegara secara berkesadaran. Presiden menutup dengan
pernyataan yang menggetarkan, “Untuk hidup sejahtera perlu kerja keras, butuh
pengorbanan. Ayo kerja untuk bangsa! Ayo kerja untuk bangsa! Ayo kerja untuk
rakyat!

Zainab/ Islam Indonesia. Foto: kaskus.co.id


(Sumber: https://islamindonesia.id/kolom/surat-cinta-presiden-jokowi.htm)

https://islamindonesia.id 660
Monday, 10 August 2015

OPINI – Di Bawah Bayang-bayang Labelisasi Syariah

Dewasa ini, “labelisasi syariah” pada berbagai produk semakin merebak di


Indonesia. Entah, ini merupakan strategi pemasaran agar penjualan ‘laris-manis’
atau sebagai respon terhadap kebutuhan mayoritas masyarakat yang notabene
Muslim. Tampaknya, fenomena ini patut dianalisa secara mendalam.

Pasalnya, labelisasi syariah disinyalir menjadi trend yang mengkooptasi konsumen.


Bila kita tidak menggunakan produk yang berlabel syariah, maka dianggap “tidak
syar’i/ islami”.

Hal ini menjadi problematis, ketika keyakinan agama dilabelkan pada sektor
ekonomi. Apakah Islam ingin mengikuti jejak kapitalisme yang menguasai pasar?

Kita memang tidak bisa men’judge’ produsen atau pebisnis yang menggunakan
“labelisasi syariah” semata-mata karena faktor keuntungan. Penawaran mereka bisa
jadi dilatarbelakangi permintaan masyarakat.

Sebut saja yang teranyar, “Go-Jek Syar’i khusus perempuan. Jasa antar jemput ini
diprakarsai oleh UPN Veteran Surabaya, Evilia Adriani (19). Go-Jek Syar’i ini resmi
beroperasi pada Maret 2015 karena melihat berita pelecehan seksual terhadap
perempuan di angkutan umum. Selain itu, Evi melihat peluang bahwa tidak semua
perempuan bersedia menggunakan jasa ojek laki-laki. Sama halnya seperti “Go-
Jek”, pengguna “Go-Jek Syar’i” dapat melakukan pemesanan melalui aplikasi di
ponsel pintar.

https://islamindonesia.id 661
Namun, kita tak bisa memungkiri bahwa “labelisasi syariah” yang masif merupakan
wujud kedigdayaan “kapitalisme berjubah syariah”. Jadi, tidak dinafikkan bahwa
“labelisasi syariah” hanya kamuflase untuk memuluskan tujuan sebagian pebisnis.

Sehingga, tak syak lagi, penguasa pasar bisa meraih keuntungan sebesar-besarnya
dengan menyentuh sensitivitas umat Islam.

Faktanya, Muslim Indonesia memang telah terjangkit euforia terhadap segala


sesuatu yang berbalut “syariah”.

Riyanto, pendiri Hotel Sofyan yang telah bercabang di berbagai kota, pernah
mengungkapkan bahwa pesatnya kemajuan hotel Islami yang dibangunnya
mengindikasikan bahwa bisnis syariah telah mengakar di tanah air. Lebih lanjut,
Riyanto mengakui adanya ikatan berkelindan yang mempengaruhi pendirian bisnis
syariah, yakni dorongan produk (product driven) dan pasar (market driven).

Selain itu, berkembang pula bisnis properti syariah, terutama perumahan syariah.
Para pengembang menciptakan konsep perumahan yang diklaim berbasis syariah,
serta dengan sistem pembayaran tanpa riba. Bisnis ini ternyata sangat
menguntungkan karena banyak masyarakat Indonesia yang tergiur tinggal di hunian
“islami”. Terbukti dengan perkembangan “perumahan syariah” di berbagai kota,
seperti Jakarta, Depok, Bogor, Bekasi, dan lainnya.

Kemudian, paling fenomenal adalah Wardah Effect. Penjualan Wardah Cosmetics


meningkat rata-rata sebesar 75 persen per tahun. Padahal menurut survei AC
Nielsen, rata-rata industri kosmetik hanya meningkat 15 persen per tahun. Wardah
sebagai produk yang berlabel halal menggerogoti pasar kosmetik nasional, bahkan
bisa bersaing dengan produk luar negeri. Pemain lama seperti Sari Ayu Martha
Tillaar sempat kebakaran jenggot dengan masuknya Wardah dengan cepat ke
pasar.
Bisnis syariah juga sudah merambah bisnis mode yang acap kali diidentikkan
dengan dunia gemerlap. Kini, Indonesia telah mempersiapkan diri menjadi “pusat/
kiblat fashion muslim dunia” yang dicanangkan pada tahun 2020. Langkah untuk
memuluskan ini tak hanya pada tataran nasional, tapi juga internasional. Pada 2012
diselenggarakan peragaan busana di Pullman Hotel yang melibatkan desainer
Indonesia seperti Anne Rufaidah dan Tuti Adib. Mereka berkolabrorasi dengan Kim
Laursen, perancang busana dan konsultan mode asal Paris. Selain itu, pasar
Indonesia telah menggodok kontes Muslimah, seperti ‘Muslimah Beuaty Sejagad’,
‘Muslimah Beauty Contest’, ‘Indonesia Islamic Fashion Consortium’, dan event
serupa lainnya.

https://islamindonesia.id 662
Pelaku bisnis sadar bahwa “label syariah” sangat menguntungkan mengingat jumlah
muslim yang tersebar di 148 negara mencapai 1,8 miliar. Berdasarkan data yang
dirilis PEW Research Center’s Forum on Religion & Public Life, pasar halal global
diperkirakan mencapai US$2,3 triliun hingga akhir 2010. Komposisinya terdiri atas
67 persen untuk produk makanan dan minuman, 22 persen untuk farmasi, serta 11
persen untuk perawatan tubuh dan kosmetika. Pada 2009, jumlah konsumsi
makanan dan minuman halal di seluruh negara muslim di dunia mencapai US$1,54
triliun.

Trend seperti ini justru tidak akan ditemukan di negara-negara di Timur Tengah.
Pertanyaan menggelitik, apakah umat Islam kaffah ketika membeli produk-produk
berlabel “islami”? Ataukah menggunakan barang yang berlabel “syariah” dan disertai
sertifikat “halal” dari MUI?
Refleksi ‘Syariahisasi’.

Salah satu fitrah manusia adalah mencari “jati diri”; siapakah diri ini? Apa identitas
diri yang sesungguhnya? Tak hanya pada sisi individual, tapi juga komunal-sosial.
Begitu pun yang terjadi pada umat Islam. Muslim senantiasa melakukan pencarian
mendasar “identitas keislaman” dirinya. Apakah Islam yang sesungguhnya?
Bagaimana kita bisa disebut sebagai “Muslim yang beridentitas”?

Namun, apakah identitas Islam bisa dijawab dengan memfokuskan pada kulit luar,
tapi menafikkan inti nilai-nilai Islam? Apakah dengan menabung di bank syariah?
Ataukah berafiliasi dengan partai politik yang berlabel Islam? Apakah Muslim
sesungguhnya tercermin pada laki-laki yang memelihara janggut dan menggulung
celana di atas mata kaki? Ataukah perempuan yang mengenakan hijab terurai,
bahkan cadar yang menutupi muka?

Apakah “islamisasi label” atau “labelisasi syariah” mengindikasikan semangat


religiusitas Muslim di Indonesia?

Masih banyak pertanyaan yang menggelitik, tapi tak bisa dijawab dengan instan.
Tidak ada yang bisa mengklaim dirinya lebih Islami atau telah menjalankan syariah
dengan ilmu yang dangkal. Terlebih lagi, bila itu didasarkan pada euforia terhadap
segala sesuatu yang berlabel “syariah”. Faktanya, fenomena inilah yang
mempengaruhi pola keberagamaan di Indonesia pada segala sektor, tak hanya pada
sektor ekonomi.

Kita tak bisa memungkiri, pada sektor politik salah satunya. Sebagai contoh kasus,
para politisi daerah berbondong-bondong memberlakukan “perda syariah”, bahkan
telah berkoar-koar sebagai janji kampanye. Apakah mereka mengerti syariah,

https://islamindonesia.id 663
bagaimana menerapkan syariah? Apakah langkah politik ini hanya untuk
mendongkrak suara? Bila itu yang terjadi, betapa rendahnya “Islam” hanya
diposisikan sebagai tameng yang mengantarkan pada kekuasaan. Apakah ini juga
tujuan yang ingin diraih elite partai-partai politik berbasis Islam?

Begitu pun pada tatanan sosial. Umat Islam cenderung melihat “identitas Islam”
hanya terbatas pada “simbol-simbol” saja. Islam identik dengan janggut yang
panjang, menggulung celana sampai mata kaki, penggunaan tasbih, jilbab yang
panjang, penggunaan cadar, tak tahlilan, tak ziarah kubur, konsep pernikahan yang
dipisah, hingga komunikasi menggunakan kata-kata Arab dalam pergaulan (akhi,
ukhti, afwan, syukran dan sebagainya). Bahkan, menurut sebagian Muslim di
Indonesia, identitas Islam yang sesungguhnya melekat pada orang-orang yang rajin
ke mesjid, meninggalkan urusan dunia, berteriak takbir yang lantang, dan aksi-aksi
lainnya yang mengibarkan bendera Islam.

“Apakah identitas Islam hanya mengejawantah pada label-label?”

“Apakah Islam hanya simbol-simbol?”

Tentunya, kita tidak bermaksud alergi terhadap “syariah” karena merupakan tangga
pertama untuk mencapai “hakikat”. Namun, bagaimana mungkin syariah yang
Ilahiah menjadi kendaraan bagi orang-orang yang cinta dunia?

Hendaknya kita belajar untuk berlaku proporsional dan menjunjung nilai-nilai


substansial dalam keberagamaan kita.

Zainab/Islam Indonesia. Foto: konsultasisyariah.com

(Sumber: https://islamindonesia.id/kolom/di-bawah-bayang-bayang-labelisasi-
syariah.htm)

https://islamindonesia.id 664
Monday, 10 August 2015

OPINI – Poros Tunggal Keteraturan, Kepemimpinan

Alam semesta bergerak sesuai aturan, seperti bumi dan bulan yang hanya bergerak
sesuai porosnya. Ada siang dan malam, ada pula gunung sebagai pasak yang
menopang keseimbangan. Semua berperan dengan aturannya.

Semut memiliki koloni, lebah madu memiliki ratu, mereka hidup dengan teratur. Bila
semut atau lebah madu memisahkan diri dari koloni, maka mereka telah memilih
keluar dari keteraturan yang justru merugikan dirinya sendiri.

Gerak raga manusia pun tak lepas dari keteraturan. Semua gerak tubuh
dikendalikan oleh kepala yang berperan sebagai pengatur karena terdapat otak.
Organ tubuh yang bergerak berlawanan dengan perintah otak menandakan telah
keluar dari keteraturan dan keadaan yang semestinya.

Dalam maknanya yang lebih luas manusia hidup di dunia dalam keterikatan hukum
dan kepemimpinan. Hukum dan kepemimpinan berfungsi agar keteraturan terjaga.

https://islamindonesia.id 665
Ada kepala negara, desa dan yang lebih sempit lagi kepala keluarga, semua
memiliki fungsi untuk mengatur.

Aturan pula yang mengarahkan manusia agar terhindar dari bencana. Seperti
dilarang membuang sampah di kali agar tidak banjir, dilarang menggunduli hutan
agar tidak terjadi kerusakan alam, ataupun diterapkannya rambu-rambu lalu lintas
agar teratur dan tidak terjadi kecelakaan.

Ada keteraturan berarti ada yang mängatur. Aturan pengelolaan negara, desa dan
keluarga, diatur oleh manusia. Lalu, siapa yang mengatur alam semesta yang di
dalamnya terdiri berbagai macam kehidupan dan aturan yang lebih luas? Siapa yang
mengatur matahari sehingga hanya muncul di siang hari? jika matahari punya
kehendak dan kekuatan sendiri, ia akan bergerak kemana saja dan kapan saja
sesuka hati dan membakar apapun yang dilalui.

Islam mengajarkan kita meyakini adanya pencipta dari segala yang ada, pengatur
dari segala yang teratur dan adanya ketidak-terbatasan dari segala yang terbatas. Ia
yang diyakini sebagai Tuhan, Allah yang maha segalanya.

Manusia diatur melalui hukum-hukum Nya. Hukum mengarahkan manusia supaya


tetap berada dalam keteraturan untuk menghindari bencana dan kerusakan. Allah
melarang berjudi, berzina, dan menyakiti makhluk lainnya tentu ada maksud dan
tujuan yang tak lepas dari menjaga keteraturan hidup manusia.

Allah yang Maha Kuasa, Maha Suci, dan tidak terbatas ruang dan waktu, dalam
menyampaikan hukum tidak mungkin bersentuhan dan berkomunikasi langsung
kepada semua manusia yang sifatnya terbatas. Ia kemudian menyampaikan hukum
melalui utusan yang memiliki dua dimensi sekaligus; dimensi yang dapat
berhubungan dengan manusia dan terhubung dengan Allah SWT.

Ialah seorang nabi atau rasul, pemimpin yang mengatur agar manusia dapat
menemukan jalan menuju penciptanya, dan mengatur segala hukum berkehidupan
sesuai aturan yang semestinya. Ia merupakan manusia terbaik, mengikutinya adalah
sebuah keharusan demi menjaga keteraturan. Ia adalah pemimpin yang diutus untuk
mengatur segala bentuk aturan kehidupan.

Tanpa pemimpin dan tanpa hukum-hukum Allah SWT, manusia ibarat pejalan tanpa
tujuan. Ia akan melakukan segala kegiatan atas kemauan dan kesenangan yang
berujung pada kerusakan. Ia bingung sehingga menjadikan matahari sebagai tuhan,
bodoh sehingga menyembah patung yang dibuatnya sendiri, bahkan memuja harta
sebagai ukuran kebahagiaan.

https://islamindonesia.id 666
Rasulullah Muhammad SAW adalah nabi terakhir yang diutus untuk
menyempurnakan agama dan menyampaikan hukum-hukum Allah swt kepada
manusia.

Agama telah sempurna, tapi kini nabi telah tiada, sedangkan kehidupan terus
berjalan. Lalu siapa yang bertugas mengawal agama yang telah ditinggalkan itu agar
umat manusia generasi selanjutnya dapat mengambil hukum yang benar-benar
ditinggalkan nabinya?

Fakta sejarah membuktikan, sepeninggal nabi banyak orang meriwayatkan


membuat hadis-hadis palsu demi meraup keuntungan, kepentingan dan kekuasaan.
Kita yang hidup jauh dari masa hidup nabi tentu harus berhati-hati dan benar-benar
menyeleksi apa yang kita terima walau mengatasnamakan nabi.

Orang yang berfikir rasional akan berhati-hati dalam menentukan pemimpin, mereka
akan memilih orang terbaik, terdekat dengan nabi, dan yang benar-benar menjaga
segala wasiat dan ilmu yang ditinggalkan.

Kewaspadaan memilih pemimpin sangat diperlukan agar keteraturan kehidupan


tetap terjaga. Jika salah memilih presiden, kita juga yang akan menanggung dan
merasakan akibatnya. Apalagi salah memilih pemimpin agama, akan lebih besar
dampak kerusakannya.

Malik/Islam Indonesia. Foto: uslanmam.com

(Sumber: https://islamindonesia.id/kolom/opini-poros-tunggal-keteraturan-
kepemimpinan.htm)

https://islamindonesia.id 667
Sunday, 09 August 2015

OPINI – Dunia yang Diam

Selama hampir lima bulan sejak 26 Maret 2015 koalisi Arab yang dipimpin Saudi
telah membom Yaman hampir setiap hari. Serangan bahkan makin menjadi-jadi di
bulan suci Ramadhan yang lewat dan pada saat-saat gencatan senjata yang
beberapa kali diumumkan dan dilanggar sendiri. Setelah target-target militer habis
dibom, pesawat-pesawat tempur Saudi dibantu dengan perangkat perang dan
informasi intelijen Amerika dan Israel tanpa pandang bulu membabi buta membom
target-target sipil seperti rumah penduduk, pabrik-pabrik, rumah sakit, dan sekolah.
Seluruh anggota keluarga penjaga rumah mantan perdana menteri Faraj bin
Ghanem tewas seketika ketika rumah mantan pejabat tersebut dibom. Sekolah
Albastain di Yaman barat laut dibom ketika siswa sedang siap-siap hendak makan
siang. Puluhan siswa terluka dan tewas. (CNN, 15 April). Sebuah rumah sakit di kota
Harad, propinsi Hajjah dihancurkan dengan bom sehingga korban-korban sipil tak
bersalah berjatuhan (Al-Masirah channel). Tidak lepas pula dari serangan bom
Saudi adalah kantor konsulat Rusia di Aden, Yaman selatan. (Globalsearch.com).
Sepuluh hari yang lalu, dua buah bangunan asrama pekerja pusat tenaga listrik telah
menjadi sasaran bengis terbaru dengan korban 65 pegawai sipil beserta
keluarganya tewas dan puluhan cedera (HRW-Human Rights Watch).

Tidak cukup dalam tulisan ini memuat semua detil serangan dan korban yang
diakibatkannya. Selama lima bulan serangan Saudi ke Yaman ditaksir telah

https://islamindonesia.id 668
menghilangkan 4.500 nyawa serta lebih dari 20.000 cedera. Sebagian besar warga
biasa, termasuk orang tua, wanita dan anak-anak. Belum lagi termasuk lebih dari
240 bangunan sipil dan infrastruktur yang dihancurkan di negeri itu. Korban-korban
yang jatuh di Yaman serta kecancuran yang dialami negeri itu diperkirakan jauh
lebih besar dari korban serangan brutal Israel di Gaza. Sampai artikel ini ditulis,
militer Saudi masih terus melakukan pemboman dan pengepungan negeri miskin itu
dari udara, darat, dan laut yang oleh PBB disebut telah mengakibatkan tragedi
kamanusiaan terberat di Timur Tengah. Inilah negeri yang menyatakan dirinya
sebagai negara Islam dan mengaku sebagai pelayan dua tempat suci di jazirah
Arabia namun pada waktu yang sama menghamburkan pelurunya dengan sasaran
sesama Arab dan Muslim. Inilah negeri yang belum pernah membantu perjuangan
rakyat Palestina dengan mengarahkan moncong meriamnya ke daratan Israel tapi
justru sekarang secara terbuka bekerjasama dengan Israel membantai rakyat
Yaman.

Dalih Saudi. Pemerintah dinasti Saud berdalih bahwa serangannya ke Yaman


bertujuan memulihkan demokrasi dan mengembalikan pemerintah yang sah dimana
perdana menterinya Abd Rabbuh Mansur Hadi telah melarikan diri ke Saudi. Alasan
lain adalah untuk menghabisi militan kelompok Houthi yang dianggap telah
merampas kekuasaan yang sah dengan bantuan Iran. Semua dalih itu sulit diterima
akal. Pertama, bagaimana mungkin sebuah negeri yang tidak kenal demokrasi dan
diperintah oleh dinasti turun temurun mau memperjuangkan demokrasi di tempat
lain?

Kedua, pemerintahan perdana menteri Jenderal Mansur Hadi adalah pemerintahan


boneka Saudi yang terusir karena kehendak rakyat Yaman yang tertindas. Mansur
Hadi terpilih sebagai calon tunggal presiden transisi untuk masa waktu dua tahun
pada 27 Februari, 2012. Karena pemilu tidak kunjung diadakan, Hadi terdesak dan
mengundurkan diri pada 21 Januari, 2015. Anehnya, setelah mundur dia pergi ke
Aden,ibukota Yaman Selatan, dan mendirikan pemerintahan Yaman disana. Ketika
pejuang Houthi akhirnya berhasil menguasai Aden, Hadi dengan mengunakan jalur
laut lari ke pangkalan militer Saudi terdekat dari Yaman.

Ketiga, Ansarullah atau lebih dikenal sebagai kelompok Houthi adalah warga
minoritas Yaman beraliran Syiah Zaidi. Houthi pada walnya hanyalah sebuah
gerakan teologi damai, namun ketika kawasannya di distrik Saada berulang kali
diserang mereka menjelma menjadi kelompok militan. Perjuangannya berhasil
menyingkirkan kelompok penguasa dan mereka mendapat dukungan luas rakyat
karena menurut laporan Newsweek Februari 2015 Houthi memperjuangkan “semua
yang diinginkan warga Yaman yakni akuntabilitas pemerintahan, pemberantasan
korupsi, pelayanan publik, lapangan kerja, subsidi BBM, dan berakhirnya campur

https://islamindonesia.id 669
tangan asing (Barat) di Yaman”. Dengan demikian jelas sudah jelas bahwa alasan
agresi Saudi sebenarnya bukanlah yang disampaikan secara resmi oleh kerajaan.
Agresi Saudi didorong oleh kekuatiran merembetnya pengaruh revolusi Yaman 2011
ke daratan Saudi yang berbatasan darat dengan Yaman. Juga ada kekuatiran atas
meluasnya pengaruh Iran di kawasan dan kepentingan Barat untuk menguasai teluk
Aden dan Bab el Mandeb yang sangat stretegis bagi kemanan dan perdagangan di
Teluk. Lebih gawat lagi, dalam rangkaian propaganda guna mendapat dukungan
luas dunia Islam, kerajaan Saudi telah menjadikan perang ini sebagai perang
agama, perang Sunni melawan Syiah. Padahal, aliran Syiah Zaidi yang dianut
kelompok Houthi itu lebih dekat kepada Ahlusunnah daripada kepada Syiah
Imamiyah yang dianut mayoritas warga Iran. Ansarullah atau Houthi, lagi-lagi
menurut Newsweek, adalah kelompok yang telah ratusan tahun hidup berdampingan
secara damai dengan mayoritas Sunni di Yaman dan sangat indpenden sehingga
tidak mudah dikendalikan oleh kekuatan asing termasuk Iran.
Diamnya Dunia. Agresi Saudi dan kawan-kawannya ini berlangsung lebih lama dan
menimbulkan korban lebih besar dibanding serangan Israel ke Gaza. Disamping
korban tewas, cedera, dan kehancuran infra struktur, serangan itu telah
menyengsarakan 26 juta penduduk Yaman yang kehilangan ketenangan, kebutuhan
sehari-hari, obat-obatan, bahan bakar, listrik, dan kehidupan anak di sekolah-
sekolah. Namun, yang paling tragis adalah diamnya dan ketidak pedulian dunia atas
tragedi kemanusiaan yang sedang terjadi sampai saat ini disana. Ketika Israel
menjatuhkan bom-bomnya ke Gaza, masyarakat dunia dari berbagai negara dan
unsur masih menunjukkan kepeduliannya dengan adanya protes-protes dan
demonstrasi dimana-mana yang sedikit banyak membantu menekan Israel untuk
menghentikan kebrutalannya. Kali ini baik PBB maupun negeri-negeri di dunia diluar
Iran dan Rusia diam seribu bahasa membiarkan Saudi yang melanggar semua
hukum internasional dan norma kemanusiaan leluasa membabat sebuah negeri
miskin yang sangat tidak sebanding kekuatan militernya. Seakan-akan warga
Yaman dianggap bukan manusia. Seakan-akan dunia menyilahkan kerajaan Saudi
mengumbar nafsunya sampai puas menghabisi kehidupan di Yaman. Indonesia
yang punya keterkaitan sejarah panjang dengan Yaman, khususnya dengan
Hadramaut, walau tidak mendukung serangan Saudi seperti Malaysia, juga tidak
mengecam dan tidak melakukan upaya diplomatis yang serius untuk menghentikan
kebrutalan Saudi. Entah sampai kapan situasi ini akan berlalu, padahal banyak pihak
sepakat bahwa tidak akan ada pemenang dalam pertikaian berdarah ini.

Saudi tidak akan dapat meraih tujuan serangannya dalam perang asimetri ini seperti
juga invasi militer dan cara kekerasan Amerika di Irak, Afghanistan, Libiya, dan
tempat lain dalam “perang” melawan terorisme yang tidak menyelesaikan masalah.
Bila jalan politik tidak diupayakan maka suatu saat pemerintah Saudi juga akan
kehabisan napas dan ujungnya akan menggunakan keuatan teroris ISIS, Al-Qaeda,

https://islamindonesia.id 670
dan lainnya untuk terus mengganggu Yaman, seperti yang dilakukannya sekarang di
Irak dan Suriah. Para penguasa dunia yang bernafsu mempertahankan dominasi
dan kekuasaanya ini telah dibutakan oleh kenyataan sejarah berkali-kali bahwa
kekuatan rakyat yang sejati tidak mungkin dikalahkan meski dengan senjata
secanggih apapun.

Abdillah Toha/Kompasiana

(Sumber: https://islamindonesia.id/kolom/opini-dunia-yang-diam.htm)

https://islamindonesia.id 671
Friday, 31 July 2015

Gus Mus: Islam Nusantara, Makhluk Apakah Itu?

Bermula dari tema Muktamar Nahdlatul Ulama ke 33 yang insya Allah akan
diselenggarakan di Jombang Jawa Timur, tempat para pendiri dan sesepuh, istilah
Islam Nusantara menjadi sangat populer.

Komentar, pujian, kritik, sampai hujatan berlompatan dari berbagai mulut dan tulisan.
Bahkan sementara orang yang tidak terdidik pun ikut nimbrung, tentu saja dengan
bahasan dan bahasa yang konyol.

Komentar-komentar; baik yang positif maupun yang negatif, seperti biasa banyak
yang bias oleh berbagai kepentingan, kecenderungan dan keberpihakan pikir.
Muktamar sendiri, karena adanya kebiasaan fokus kepada bursa pimpinan, bukan
kepada program, berpotensi melahirkan keberpihakan. Apalagi dalam -dan sejak-
era dan euforia ‘demokrasi’ dan keterbukaan setelah masa tiran dan ketertutupan,
kebiasaan memihak dengan membabibuta menjadi semacam kebanggaan. Apalagi
media sosial menyediakan panggung terbuka bagi siapa untuk tidak saja berdiskusi,
tapi juga bertukar caci maki.

https://islamindonesia.id 672
Demokrasi memang membutuhkan persiapan dan kesiapan. Sementara selama
berpuluh tahun demokrasi sebagaimana banyak hal-hal mulia -atau yang dianggap
mulia lainnya- hanya digembar-gemborkan. Kita, misalnya, tidak pernah diajari
berbeda. Justru yang ditekan-tekankan di 32 tahun era orba ialah keseragaman.
Maka orang pun terkaget-kaget setiap melihat perbedaan. Lalu mereka yang
berbeda pun saling memutlakkan pendapat dan kecenderungannya masing-masing.
Kullu hizbin bimaa ladaihim farihun.

Dalam kondisi seperti itu, berpikir jernih pun merupakan hal yang mewah. Dan
demokrasi tidak memunculkan dialog yang sehat, tapi stigma-stigma.

Dalam kondisi seperti itu, maka tidak aneh bila ada orang yang selama ini
mengamalkan Islam Nusantara, ikut mempertanyakan “Islam Nusantara itu makhluk
apa?”

Bila di batok kepala sebelumnya belum ada sesuatu yang bercokol, dalam istilah
santrinya khaliyadz-dzihni, istilah Islam Nusantara itu sebenarnya sederhana saja;
apalagi bagi mereka yang sudah pernah ngaji Nahwu dan tidak melewatkan bab
Idhofah. Islam Nusantara, menurut ilmu itu, adalah bentuk idhofah. Bila belum lupa,
Idhofah tidak hanya punya makna lam, tapi bisa juga bermakna fii atau min. Jadi
silakan dicari saja makna yang pas yang tidak berarti ‘menyaingi’ ‘Islam Sejati’. Atau
yang lebih mudah, menanyakannya saja kepada pihak dari mana istilah itu muncul.
Kecuali memang masih ingin menikmati euforia keterbukaan dan memanjakan nafsu
mengalahkan pihak lain.

Islam yang selama ini kita – orang Nusantara ini – jalani ternyata menjadi unik dan
menarik setelah maraknya fenomena keberagamaan kelompok di luar yang
menamakan diri Muslim dan membawa bendera Islam, namun meresah-gelisahkan
dunia. Dunia yang kemudian bertanya-tanya tentang Islam yang rahmatan lil’aalmiin,
Islam yang ramah, damai, dan teduh pun mendapatkan jawaban dari perilaku
keislaman kita yang di Nusantara ini. Maka kalau ‘Islam kita’ – Islam yang kita jalani
di Nusantara ini – ternyata dapat membantu peradaban tidak hanya di Indonesia tapi
dunia, syukurlah. Tapi kita harus realistis. Perilaku keislaman kita sendiri saat ini,
sudah mulai terganggu oleh berbagai pengaruh dari luar. Sudah perlu
memperkokohnya bila diharapkan dapat membantu peradaban di Indonesia dan
dunia. Kita mesti bersatu padu mempertahankan cara kita berIslam selama ini,
seperti yang diajarkan oleh guru-guru Islam kita yang memperoleh Islam dari guru-
guru mereka dari guru-guru sebelumnya dengan sanad yang bersambung hingga
Rasulullah Saw. Semoga Allah menolong kita.

https://islamindonesia.id 673
Waba’du; bagaimana pun diskusi atau dialog atau bahkan debat kusir tentang Islam
Nusantara ternyata telah memperkaya khazanah pengetahuan kita tentang Islam itu
sendiri. Alhamdulilah. (ISNU/KH Mustofa Bisri)

Sumber: Islamnusantara.com

(Sumber: https://islamindonesia.id/kolom/gus-mus-islam-nusantara-makhluk-apakah-
itu.htm)

https://islamindonesia.id 674
Thursday, 16 July 2015

OPINI – Keganjilan Rahasia

Oleh: Candra Malik*

Malam itu, saya mengambil ba’iat dari Rais Aam Ahli Al-Thariqat Al Mu’tabarah Al
Nahdliyah, Habib Luthfi bin Ali bin Hasyim bin Yahya, dengan penuh kesadaran.
Saya meletakkan kepala di pangkuannya, memegang erat tangan kanannya,
menyentuhkan kaki saya ke lutut Habib Luthfi yang belum sempurna duduk di jok
depan mobil pengantarnya. Seorang karib saya, tertegun melihat adegan singkat di
depan rumah sang guru.

Telapak tangan Habib Luthfi terasa hidup di ubun-ubun saya. Lamat-lamat saya
dengar dia membisiki doa dan ayat suci. Sejak saat itu, saya merasa kian mantap
‘bergerilya’, apalagi sebelumnya juga menerima ba’iat dari Mawlana Syekh Hisyam
Kabbani, Mursyid Thariqat Naqsabandiy Nazimiyyah – awalnya bernama Thariqat
Naqsabandiy Haqqani, berubah sepeninggal Mawlana Syekh Nazim Adil Al Qubrusi.

Jauh hari sebelumnya telah mendapat ba’iat dari KH A. Shohibul Wafa Tajul Arifin,
Mursyid Thariqat Qadiriyah Naqsabandiyah, yang memberi pondasi yang kokoh bagi
saya untuk belajar tasawuf lebih giat. Sejumlah guru lainnya menanamkan benih

https://islamindonesia.id 675
Tauhid yang istimewa dalam tubuh saya. Belajar memang tak kenal waktu; ia hanya
mengenal pembelajar yang mengasah kalbu. Bukan hanya akal yang ditajamkan,
tapi juga hati.

Saya sering ditanya, “Bagaimana mencari Mursyid yang tepat untuk diri kita?” Saya
selalu menjawab, “Biarlah Mursyid yang menemukan Murid.” Tak ada yang tahu
siapa yang akan hadir sebagai pembimbing dan pengantar kita, Waliyyan
Mursyidan, menapaki jalan sunyi menuju Kesejatian. Kita sering tak sadar bahwa
sebenarnya kita mencari yang ‘tidak ada’, dan berakhir menemukan yang ada. Lalu
untuk apa mencari? Kenapa tidak menemukan?

Orang yang mencari adalah mereka yang merasa ‘ganjil’ — belum ‘genap’. Ini bekal
bagus untuk menapaki jalan sunyi. Karena hanya sesama ganjil yang bisa
menggenapi. Mursyid pun seorang ganjil. Dan jangan kaget ketika Murid merasakan
banyak keganjilan-keganjilan setelah bertemu Mursyid.

Cara mengetahui seseorang benar-benar Mursyid adalah: ia tak mencari Murid.


Sebaliknya, Mursyid menemukan Mursyid. Sebab tugas utama Mursyid bukan
menyebar ilmu, tapi menjaga ‘rahasia’. Dan ketika menjadi Murid, seseorang akan
menjadi bagian dari rahasia itu, lalu turut menjaga rahasia. Lalu mengapa ada
Mursyid yang tampil di hadapan publik? Mengapa tak menutup diri saja?

Rahasia adalah rahasia. Ia memiliki sistemnya sendiri untuk menjaga dirinya tetap
jadi rahasia. Tak ada rahasia yang bocor. Rahasia memang unik. Jika terbuka, maka
tidak bernilai dan tidak terjual. Jika tertutup, tidak ternilai dan tidak pula terbeli.
Ketika dibuka selebar-lebarnya malah tak ada yang percaya. Ditutup serapat-
rapatnya memunculkan kepercayaan yang bisa ekstrem dan jadi mitos.

Ketika seolah-olah dibiarkan dalam keadaan terbuka, kebenaran rahasia jadi


diragukan. Padahal keraguan itulah dinding pelindung bagi rahasia. Dan ketika
seakan-akan ditetapkan dalam keadaan tertutup, kebenaran rahasia jadi semakin
diyakini. Padahal keyakinan-keyakinan itulah selaput penutup rahasia yang
sesungguhnya. Terbuka dan tertutup toh sama belaka.

Inilah keganjilan rahasia. Para penjaga rahasia itu jadi ganjil di antara orang-orang
yang genap, atau yang berusaha menjadi genap. Yang ganjil kemudian distempel
‘gila’, yang genap menyebut dirinya ‘waras’. Padahal, mana ada Nabi dan Rasul,
pemimpin umat, tokoh dunia, dan orang besar yang tak dianggap gila oleh kaum di
zamannya? Mereka dianggap berbeda, keluar dari kemapanan, anti-meanstream,
tidak waras, karena tidak dipahami khalayak.

https://islamindonesia.id 676
Saya jumpa Kumayl Mustafa Daood, personil grup musik Debu yang berguru
Tasawuf kepada sang ayah, Syekh Fattah, Mursyid Thariqat Syadziliyah, di satu
perhelatan industri musik. Lelaki kelahiran Oregon, Amerika Serikat, ini secara
terbuka juga telah menyebut dirinya sebagai sufi. Mustafa lapang dada saja ketika
banyak yang mempertanyakan kesufiannya. “Sufi suka dianggap gila, hina. Tidak
masalah. Justru terasa senang dan leluasa,” serunya.

Ketika kita berbeda pandang tentang siapa yang Sufi, siapa yang berhak menyebut
atau disebut Sufi, mengapa ada Sufi yang mengasingkan diri dan ada pula Sufi yang
mengemuka di keramaian, serta tidak ada Sufi yang mengaku, itu sah-sah saja. Tak
apa berlainan. Toh kita tetap bisa hidup berdampingan. Masing-masing dari kita
memiliki bakat Cinta dan mencintai. Tak ada yang dilahirkan sebagai pembenci.
Kasih Sayang Ilahi hidup dalam setiap diri.

Dalam keseharian Sufi, pun disebut tradisi, ada saja tradisi yang ganjil. Dari mulai
ucapan-ucapan yang ekstase sehingga keluar dari kewajaran akal manusia, yang
lalu populer dengan istilah syathahat, sampai polah tingkah yang ganjil, yang
kemudian disebut jadzab. Gerak-gerik penjaga rahasia memang susah ditebak,
karena memang tak disangka-sangka. Nyaris tidak ada yang lurus-lurus saja.
Namun, itu tidak diniatkan sebagai manuver.

Saya? Ah, saya tidak punya keganjilan apa pun. Saya hanya menemani orang-orang
yang menyayangi daun tembakau dan biji kopi. Setiap malam membuka pintu
gerbang Thariqat Al Inshomniyah untuk siapa pun yang akan masuk. Tak harus hobi
melek malam, tak pula harus suka begadang. Yang tidur dan tertidur pun boleh-
boleh saja menyebut dirinya jamaah thariqat ini. Tidak ada ba’iat. Hanya Allah yang
tidak tidur, tidak pula mengantuk. Saya? Cuma insomnia. []

*praktisi Tasawuf yang bergiat dalam kesusastraan, kesenian, dan kebudayaan.


(Sumber: https://islamindonesia.id/kolom/opini-keganjilan-rahasia.htm)

https://islamindonesia.id 677
Thursday, 09 July 2015

Apa Salah Islam Indonesia?

Laiknya tubuh, agama dan budaya menjadi tak terpisahkan dalam perjalanan
manusia umat menuju sejatinya kehidupan. Manusia tanpa agama seperti orang
berjalan namun tak tahu arah dan tujuan. Manusia tanpa budaya seperti berjalan
tanpa perbekalan dan kendaraan. Sekali waktu, guru besar studi Islam, Prof. Dr.
Komaruddin Hidayat, berpendapat: ”Anggap saja agama itu dari langit dan yang
beragama adalah penduduk bumi. Sebagai penduduk bumi, ia tumbuh dan diasuh
oleh budaya dimana ia tinggal.” Pendapat itu, sedikit banyaknya, mempertegas
ketakterpisahan manusia, agama dan budaya tadi.
Budaya, tentu saja, bisa berbeda, seperti halnya kendaraan yang bermacam
bentuknya; ada kereta, bus, taksi, maupun kendaraan pribadi. Tapi esensinya
tetaplah sama, yaitu kendaraan. Apapun nama budayanya — entah itu Arab, Persia
maupun Indonesia — ia tetaplah budaya; sarana tumbuh kembang umat manusia.

Berangkat dari titik itu, Islam lalu menemukan karakteristik dan keunikannya di
berbagai penjuru dunia. Ada ‘Islam Indonesia’ (Islam yang tumbuh dalam budaya
Indonesia), ‘Islam Arab’ (Islam yang tumbuh dalam budaya Arab) dan seterusnya.
Namun esensinya tetaplah sama: Islam.

Islam Indonesia dengan sendirinya menjadi unik. Sejarah, misalnya, tak pernah
mencatat ada kisah berdarah-darah dalam kehadiran dan perkembangannya di
Nusantara. Islam diterima dengan baik dan berkembang dengan baik. Tak seperti

https://islamindonesia.id 678
bangsa Arab yang, saat awal kemunculan Islam, berselimut kejahiliyahan, Islam
Indonesia menyebar dengan keharuman yang memesona.

Kuncinya ada pada kemampuan Islam Indonesia menyatu dengan ragam budaya
negeri. Dalam penyebarannya, ia mengejewantah — dan nyaman — dalam berbagai
tradisi, seperti wayang, syair, acara-acara peringatan maulid, tahlil, kenduri dan
sebagainya. Hebatnya, sapuan budaya itu tak menyebabkan ajaran Islam
kehilangan esensi Ketauhidan dan Kenabian. Pun ia tak menjadikan berarus juta
Muslim di negeri ini sampai terpikir untuk mengabaikan ritual inti agama, seperti
saolat, puasa, zakat dan haji.

Namun, belakangan ini, banyak kalangan mengendus apa kerap digambarkan


sebagai ‘ancaman’ atas Islam Indonesia. Sekelompok orang, dengan membawa
panji “pemurnian agama’’, kerap mengusik ketentraman Islam Indonesia yang telah
membudaya. Ironisnya, kelompok ini menggunakan senjata “bid’ah” untuk
menyesatkan umat Islam lainnya.

Salah satu sasaran mereka adalah acara keislaman yang menyatu dengan budaya
dan tradisi masyarakat Indonesia. Mereka, yang umumnya terpaku pada dalil teks
letterlet, menganggap apa-apa yang tidak ada di zaman Nabi sebagai ‘sesat’, dan
pelakunya dianggap ahli neraka yang harus dimusuhi. Mereka juga cenderung
mengabaikan esensi dan makna sejati Islam yang suci. Mereka tak melihat nilai-nilai
persatuan, kasih sayang dan wujud kecintaan yang besar terhadap Tuhan dan
utusan-Nya dalam sebuah ritual ibadah yang menyatu dengan budaya negeri.
Mereka terjebak pada sarana, meributkan masalah kendaraan, namun justru lupa
tujuan perjalanan.

Apa yang kemudian mereka sebut sebagai ‘pemurnian ajaran’, justru tak lebih
sekedar menghasilkan perpecahan dari kalangan umat Islam, menggunting tali kasih
sayang dan silaturrahmi antar manusia, serta menjauhkan esensi Islam dari makna
sesungguhnya sebagai rahmatan lil ‘alamin, kasih sayang atas seluruh alam.

Padahal, jika bicara tentang memurnikan agama dalam arti esensi Islam sebagai
rahmatan lil alamin, justru budaya Indonesia sangat mendukung bagi perkembangan
Islam. Latar belakang sejarah bangsa yang memiliki karakter gotong-royong, dan
saling menghargai, membuatnya mudah bertemu antara ajaran Islam yang rahmat
dan budaya yang ramah. Fakta lain, negeri ini terdiri dari ribuan pulau, suku, budaya
dan agama yang berbeda, namun penduduknya mampu meleburkan diri,
mengesampingkan ego dan perbedaan dalam sebuah wadah bersama yaitu
Indonesia.

https://islamindonesia.id 679
Tak heran jika, meski jauh dari tempat lahirnya Islam dan tak satupun bahasa-
bahasa di Indonesia menggunakan bahasa Arab (yang dipakai dalam Al-Qur’an),
fakta mengejutkannya justru Indonesia menjadi negara dengan pemeluk Islam
terbanyak di dunia.

Tantangan besar yang menghadang Islam Indonesia saat ini adalah keinginan
sekelompok orang memisahkan antara Islam dan budaya yang tumbuh bersamanya.
Ini seperti halnya memisahkan orang yang sedang menempuh perjalanan dari
kendaraannya. Tujuannya hanyalah menghalangi seorang hamba dalam menempuh
perjalanan menuju Tuhannya. (Kamila Ridwan)

(Sumber: https://islamindonesia.id/kolom/apa-salah-islam-indonesia.htm)

https://islamindonesia.id 680
Saturday, 27 June 2015

OPINI – Beda Persepsi, Beda Orientasi

Oleh: Candra Malik*

Beda orientasi, beda persepsi. Siapa yang menjadikan kekuasaan sebagai orientasi,
ia akan melakukan segala cara untuk meraihnya. Bahkan bila harus merebut dan
menyikut, tak ada yang membuatnya takut. Oleh yang berbeda orientasi, ia bisa
dianggap gila. Tahta dan kedudukan adalah hal yang tidak masuk akal bagi siapa
pun yang memang tak berpikir untuk memilikinya. Baginya, kekuasaan bukanlah
cita-cita.

Beda orientasi, beda persepsi. Siapa yang menjadikan kekayaan sebagai orientasi,
ia akan mengerahkan segala daya dan upaya. Walau dengan mencuri dan korupsi,
tidak ada yang bisa membuatnya ciut nyali. Oleh yang berbeda orientasi, ia bisa
dicap telah kehilangan hati nurani. Harta benda di dunia adalah hal yang tidak kekal
bagi mereka yang berpandangan ukhrawi. Yang sejatilah yang selalu mereka cari.

Beda orientasi, beda persepsi. Siapa yang menjadikan keberkahan sebagai


orientasi, ia akan mengerjakan segala tindakan demi memeroleh yang diinginkan.
Meski harus mengabdi dan mematuhi perintah junjungannya, tak ada yang
diharapkannya selain ridha dan restu. Walau dianggap bodoh dan berbuat tidak logis

https://islamindonesia.id 681
— karena memilih untuk taqlid — tak ada yang membuat dirinya meragu dan
berubah pikiran.

Bagi pegila kekuasaan, harta mudah ia miliki. Bagi penguber kekayaan, kuasa bisa
dibeli. Bagi pengharap keberkahan, kekuasaan dan kekayaan tidak abadi. Satu dan
lainnya sangat sulit, bahkan nyaris mustahil, berjumpa dalam satu persepsi yang
sama dikarenakan sejak mula memang berbeda orientasi. Tapi, tidak selayaknya
menuduh ketiganya melakukan semua itu tanpa cinta. Tak ada yang tahu isi hati
selain diri sendiri.

Cinta menjadi penengah di antara hal-hal yang berjauhan, berlainan –bahkan


berseberangan. Cinta menjadi harapan ketika menyamakan persepsi menjadi hal
yang rumit. Kekuasaan, kekayaan, dan keberkahan menjadi kekuatan yang
luarbiasa ketika disatukan oleh Cinta. Kekuasaan tidaklah selama-lamanya,
kekayaan pun tidak abadi, keberkahan juga tidak kekal. Sebab, segala sesuatu
niscaya sirna selain Wajah Allah.

Namun, beda orientasi tetaplah beda persepsi. Ia yang tidak menjadikan Allah
sebagai orientasi akan menilai orang yang menyerahkan seluruh jiwa dan raganya,
serta kekuasaan dan hartanya, bi amwalikum wa anfusikum, kepada Tuhan, sebagai
orang aneh. Melepas hal-hal duniawi justru dianggap tidak lagi manusiawi. Cinta
kepada Allah tak boleh berlebihan sampai meninggalkan sekelilingnya dan
menghilangkan sisi kemanusiaan, begitulah argumennya.

Tapi, berbeda orientasi itu sah-sah saja. Pun demikian berbeda persepsi boleh-
boleh saja. Yang dilarang adalah sikap memaksakan kehendak agar siapa pun satu
orientasi dan satu persepsi dengan dia atau kelompoknya. Yang berbeda janganlah
disakiti, apalagi dihabisi. Yang berlainan janganlah dipinggirkan, lebih-lebih
disingkirkan. Menjadi berbeda itu manusiawi. Dari hal-hal yang khas itulah terhimpun
khazanah. Keberagaman.

Tidak ada paksaan dalam beragama ini diatur dalam Q.S. Al Baqarah ayat 256.
Keberagaman dalam keberagamaan tak bisa dipaksakan menjadi keseragaman
dalam keberagamaan. Apalagi, sangat mudah bisa diyakini bahwa agama yang baik
dan benar; bahkan yang terbaik dan paling benar, adalah agama yang mengajarkan
umat menyempurnakan akhlaq yang mulia. Dan di dalam akhlaq yang mulia itu
hidup Cinta yang sejati.

Di dalam Cinta yang sejati itu, hidup hati yang baik, pekerti yang berbudi luhur,
welas asih, sikap ringan meminta maaf dan tidak berat memberi maaf, serta
tindakan-tindakan kemanusiaan yang didasarkan atas sifat-sifat Ilahiah yang penuh

https://islamindonesia.id 682
kasih sayang. Lalu, berkelindan dengan larangan untuk memaksakan kehendak,
larangan berikutnya adalah larangan untuk melanggar hak sesama. Saling
menghormati selalu lebih baik.

Perlindungan terhadap hak ini diatur dalam perundang-undangan. Bahkan, agama


Islam mengajarkan adanya hak orang lain di dalam hak setiap orang. Dari sanalah
lahir kewajiban untuk menunaikan zakat dan anjuran untuk sedekah, infak, dan amal
saleh lainnya. Secara ideal, negara dan agama hadir menengahi perbedaan
orientasi dan persepsi agar masing-masing berjalan baik dan tidak saling
berbenturan.

Persoalannya adalah orientasi dan persepsi adalah isi kepala dan dada masing-
masing. Artinya, Cinta, negara, dan agama telah berupaya memberi garis batas
yang jelas dan tegas untuk melindungi kemerdekaan orientasi dan persepsi,
sebagaimana kebebasan dalam berpendapat, berkelompok, beragama dan
menjalankan ibadah sesuai agama dan keyakinannya. Kini selebihnya kembali pada
manusianya.

Setiap manusia memiliki bakat baik hati dan berbuat baik pada sesama. Jika pun
kemudian memiliki orientasi dan persepsi yang berbeda, itu merupakan bagian dari
pertumbuhan psikologi dan spiritualitas masing-masing. Dewasa secara jasmani
tidak selalu diikuti oleh pendewasaan ruhani. Oleh karena itu, daripada menuntut
orang lain mengerti, alangkah lebih indah berusaha untuk mengerti orang lain. Anda
dewasa, kan? []

*praktisi Tasawuf yang bergiat dalam kesusastraan, kesenian, dan kebudayaan.


(Sumber: https://islamindonesia.id/kolom/opini-beda-persepsi-beda-orientasi.htm)

https://islamindonesia.id 683
Wednesday, 10 June 2015

SUFI – Pencapaian Tertinggi Para Kekasih

Para sufi adalah para musafir kemanusiaan. Dalam pandangan Islam, mereka
memiliki kedudukan tinggi karena telah menempuh perjalanan panjang nan terjal,
beragam tahap mereka daki hingga mencapai puncak, yakni tersingkapnya tabir
antara diri dan Tuhan.

Sufi melihat Kekasih dengan mata hati tanpa perlu lagi manisfestasi lahiriyah. Bagi
mereka, ‘menemukan’ Tuhan bukan lagi sebatas melihat Wajah di cermin ciptaan-
Nya. Kepuasan mereka ada pada hati yang melihat nyata kebesaran-Nya.

Suatu ketika Sayyidina Ali bin Abi Thalib ditanya seorang sahabat apakah dia telah
melihat Tuhan. Ali menjawab, ‘Saya tidak menyembah Tuhan yang tidak saya lihat.
Tapi bukan melihat dengan mata atau di arah tertentu, melainkan dengan hati dan di
semua arah.’

Para sufi tidaklah sama dengan para filosof dalam memandang akal. Filosof
memandang akal sebagai tolak ukur manusia, sedangkan para sufi memandang
akal hanya sekedar sarana. Fokus para sufi adalah hati, namun bukan hati dengan
pengertian fisik, hati yang menjadi pusat rasa dan cinta.

https://islamindonesia.id 684
Cinta dan emosi adalah fokus para sufi, mereka mementingkan dua hal ini karena
keduanya paling kuat pengaruhnya dalam diri manusia.

Cinta mereka bukan cinta seksual dan fisikal, namun cinta yang membumbung tinggi
hingga mencapai Tuhan sebagai Kekasihnya.

Cinta tinggi kepada Tuhan akan turun kepada mahluk-mahluk-Nya. Mencintai


sesama manusia, hewan, tumbuhan dan bahkan mahluk-mahluk sebutir debu yang
tak terlihat.

Maulawi Jalaluddin Rumi menggambarkan cinta seperti lautan, dan semua seluruh
ciptaan adalah buih di atas samudra tanpa tepi ini.

Simak lantunan merdu Hafiz berikut:

Kami menghampiri pintu ini bukan untuk pangkat dan kejayaan


Kami berlindung di sini dari musibah
Kami musafir cinta dari ketiadaan
Dan kami datang sejauh ini tenggelam dalam eksistensi

Seorang sufi memerlukan hati yang disucikan dari segala keburukan. Dengan hati
seperti ini ia dapat menuju Allah, Sang Kekasih. Hati yang menjadi tempat malaikat
berkiblat dan terusirnya iblis. Hati yang mendapat pancaran cahaya Tuhan, dan
dapat mencahayai manusia lainnya.

Maulawi bersyair:
‘Bila Anda cucu Adam, tetaplah seperti dia.
Dan lihatlah seluruh zarah dalam diri Anda.
Apa yang ada di bak yang tak ada di kali?
Apa yang ada di rumah yang tak ada di kota?
Dunia ini bak, sedang hati kali
Dunia ini kamar, sedang hati kota ajaib.’

‘Ia telah menghidupkan lagi akalnya dan mematikan nafsunya, sehingga kejuhudan
ilahiyahnya menghaluskannya dan kekasaran rohaninya berubah menjadi
kelembutan. Dalam kondisi ini sepercik sinar memancar dari batinnya sehingga
mencapai tujuannya, yaitu kediamaannya yang aman dan abadi serta tujuannya
yang terakhir.’ Begitu kata Sayyidina Ali dalam Nahjul Balaghah.

MA/Islamindonesia
(Sumber: https://islamindonesia.id/tasawwuf/sufi-pencapaian-tertinggi-para-
kekasih.htm)

https://islamindonesia.id 685
Sunday, 07 June 2015

OPINI – Berguru pada Nabi Zakaria

https://islamindonesia.id 686
Nabi Zakaria ‘alaihis salam gelisah di tahun-tahun terakhir hidupnya. Ia mulai
merasakan tulang-tulangnya melemah dan rapuh. Rambutnya yang putih mengkilat
laksana perak itu seperti memberinya isyarat bahwa waktu kembalinya telah
semakin dekat.

Setiap kali ia mengamati orang-orang didekatnya, istrinya yang sangat dicintainya,


keluarga dan kerabatnya yang sangat dikasihinya, pikiran dan hatinya terusik,
cemas.Tulangnya yang rapuh dan rambutnya yang putih itu, seakan berbisik…
”Wahai Zakaria, mereka yang kau cintai dan sayangi itu, semua akan kau
tinggalkan, seperti halnya kau juga akan meninggalkan dunia ini tidak lama lagi.
Betapapun besar cinta kasih sayangmu, betapa besar keinginanmu untuk tetap
bersama mereka, tidak akan menghalangi apa yang telah menjadi ketetapan Allah
swt, semuanya akan kau tinggalkan”.

Bisikan itu melipat-gandakan kecemasannya. Dalam perenungannya, bertubi-tubi


pertanyaan muncul mengerubutinya. Kekasih dan kecintaannya senantiasa
membayang dipelupuk matanya yang basah berkunang-kunang. Pikirnya: ”Adakah
mereka tahu jalan kemana ?! Jalan terjal berliku yang seringkali gelap. Adakah pelita
yang akan menerangi jalan mereka ? Adakah seorang pembimbing yang kelak
menuntun mereka?!

Pertanyaan-pertanyaan seperti itu menyudutkannya. Kekhawatirannya memuncak,


saat disadarinya bahwa dirinya, meski juga seorang Nabi, ternyata berada dalam
ketiada-berdayaan yang sempurna. Dalam keadaan terpojok itu, cintanya bangkit.
Dan memang, hanya cinta satu-satunya yang ia miliki.

Ia mendatangi Cinta sejatinya, mengiba, meratap, memelas dengan suaranya yang


syahdu, parau, penuh harap terbata-bata. Katanya: ”Tuhanku, sungguh aku telah tua
renta, tulang-tulangku rapuh sudah, rambut di kepalaku ini telah berkilat putih
ketuaan, tiada pula aku enggan bermohon padaMu Wahai Tuhanku (karena hanya
Engkaulah tempatku memohon)” (QS Maryam: 4).

Lanjutnya lagi: ”Tuhanku, sungguh aku cemaskan bagaimana keadaan orang-orang


yang kucintai sepeninggalku, istriku mandul, aku telah mencapai usia tua renta,
anugrahilah aku keturunan dariMu sebagai wali pelindung mereka, selaku penerusku
(membimbing mereka)” (QS Maryam: 5).

Sesuai kehendak Allah swt, Zakaria selama tiga hari tiga malam tidak berkata-kata
sepatah katapun. Ia menghabiskan waktunya bertasbih kepada Allah swt. menyertai
harapan dan do’anya.

https://islamindonesia.id 687
Kemudian Zakaria keluar dari mihrabnya, menemui kaumnya dengan memberi
isyarat meminta mereka semua agar ikut senantiasa bertasbih memuji memuja Allah
pada pagi dan malam hari”. (QS Maryam: 10-11).

Tidak lama kemudian, turunlah wahyu Allah: ”Duhai Zakaria, kami sampaikan
padamu berita gembira, bahwa kamu akan memperoleh seorang putera yang aku
beri nama Yahya, sebuah nama yang belum pernah ada sebelumnya”. (QS Maryam:
7)

“Wahai Yahya berpegang teguh kukuhlah pada Kitab Allah dan Aku berikan padanya
kebijakan hikmah sejak kanak-kanak” (QS Maryam: 12).

Nabi Zakaria sepertinya tidak mampu menangkap keMaha-Besaran kekuasaan Allah


yang mustahil bagi dirinya. Tanpa disadarinya, karena mendapatkan sesuatu yang
tidak terbayangkan sebelumnya, dia merasakan kebahagiaan yang sangat dan
spontan berucap: ”Ya Rabbi, bagaimana mungkin aku dapat memperoleh putera,
sementara istriku mandul dan usiaku yang sudah tua renta ini !?” (QS Maryam: 8).

Allah swt, meyakinkan dan dengan memantapkan janjinya dengan firman:


”Demikianlah wahai Zakaria, bila Aku menghendaki, pasti akan terjadi. Itu adalah
perkara yang mudah bagiku. Bukankah Aku telah menciptakan engkau sedang
sebelumnya kamu tidak ada, bukan apa-apa !?” (QS Maryam: 9).

Kegelisahan, kecemasan, kekhawatiran yang bertahun-tahun menyelimuti Zakaria,


berubah menjadi kebahagiaan dan ketentraman. Kini, Ia sanggup berdiri tegap,
tanpa keraguan sedikitpun, melangkah gagah melanjutkan perjalananannya sendiri.
Benar-benar sendiri ! Tidak ada lagi yang mengusik hati dan pikirannya. Ia
tinggalkan semua kecintaannya yang di bumi dan pulang dengan penuh gairah
untuk menemui kecintaannya yang di langit.

Begitulah Zakaria ‘alaihis salam. Ia tidak gelisah karena ajalnya yang sudah dekat.
Ia tidak mengiba memohon agar dikuatkan tulang-tulangnya yang rapuh. Ia tidak
meminta agar bisa mendampingi orang-orang yang dicintainya lebih lama. Bahkan
sedikitpun tidak tersurat, juga tersirat kehendaknya memohon penangguhan
kepulangannya. Bukan karena ia kurang mencintai istrinya, kerabat dan kaumnya.
Kecintaannya pada semua itu telah dinyatakannya secara jelas. Namun kecintaan
pada kekasihnya yang Esa telah mengajarkannya, bagaimana menempatkan cinta-
cintanya kepada selainNya.

Bagi para pencinta sejati, masa penantian yang lama (hidup) dirasakan lebih
sebagai derita kerinduan yang berat…bahkan lebih dirasakan sebagai kematian

https://islamindonesia.id 688
daripada sebagai kehidupan. Kematian bagi seorang pencinta dan perindu sejati,
justru diimaninya sebagai kehidupan yang lebih nyata..tempat pertemuan para
kekasih yang telah lama mengikat janji untuk bertemu.

Alangkah indahnya kematian seperti itu. Kematian dimana ada cinta di dalamnya.
Begitulah cinta berperan dalam kehidupan dan kematian seperti yang dikehendaki
al’aql as salim…cinta itupun patuh pada al-‘aql menuju kepada Allah swt.

Zakaria, Ibrahim, Isma’il telah memperagakan cintanya dan Allah swt


mengabadikannya untuk diteladani bagi manusia yang beriman. Do’a cinta mereka
telah didengar dan dikabulkan Allah swt. Ratusan bahkan ribuan tahun
sepeninggalnya, tidak sedikit manusia yang mengikuti jejaknya. Sebagian mereka
dikenal dan dicatat sejarah dan lebih banyak lagi yang diam-diam sendiri menikmati
kebahagiaan perjalanan cintanya. Mereka adalah murid, pengikut setia, pencinta
sejati, pewaris Rasulullah Muhammad.

Haydar Yahya/Pendiri Gerakan Cinta Rasul

(Sumber: https://islamindonesia.id/kolom/opini-berguru-pada-nabi-zakaria.htm)

https://islamindonesia.id 689
Monday, 01 June 2015

Catatan Pinggir Goenawan Mohamad–Cinta

Untuk Haidar Bagir

Cinta: sebuah pengertian yang selama berabad-abad menggetarkan hati dan


membingungkan, sepatah kata yang dengan mudah pula jadi banal tapi juga bisa
membuat orang merelakan dirinya sendiri. Kita tak bisa merumuskannya. Ia bukan
bagian dari yang secara konseptual kita ketahui.

“Cinta tak punya definisi,” konon demikianlah kata Ibnu Arabi, sufi dan pemikir
kelahiran Spanyol dari abad ke-12, dalam risalahnya, Futuhat. “Ia yang
mendefinisikan cinta berarti tak mengenalnya… sebab cinta adalah minum tanpa
hilang haus.”

Cinta hanya bisa dimengerti sebagai proses. Ia tak pernah bisa dipotret utuh.
Seabad kemudian, Jalaluddin Rumi, sufi yang paling masyhur mengungkapkan
pengertian itu, menyebutnya Ishq. Cinta adalah “laut ke-Tak-Ada-an,” kata Rumi.
Tabir kerahasiaan selalu mengerudunginya. “Apa pun yang kau-katakan atau
lakukan untuk menanggalkan tabir itu, kau akan menambahkan selapis tabir lagi di
atasnya.”

https://islamindonesia.id 690
Agaknya karena itu, dalam ribuan baris masnawi dan diwannya, Rumi hanya
mengemukakannya dalam bentuk negasi, dengan sederet kata bukan: Cinta ibarat
“sebuah pohon yang tegak bukan di atas tanah bukan di atas pokok, bahkan bukan
di mahkota Surga”.

Atau ia menjelaskannya dengan menampakkan Cinta sebagai antithesis. Dalam


renungan Rumi, Cinta adalah kubu yang berlawanan dengan nalar. Menemui Cinta,
kata Rumi, “Intelek lumpuh kakinya.” Sementara intelek atau nalar sibuk menerangi
ruang dan meraih dunia, Cinta punya hidup dan aktivitasnya sendiri:

Nalar menegakkan pasar dan mulai berdagang.

Cinta menyimpan kerja dalam persembunyian.

Orang yang mencintai, kata Rumi pula, “Menemukan tempat-tempat rahasia di dunia
yang penuh kekerasan ini.” Di sanalah mereka “melakukan transaksi dengan
keindahan”.

Tapi itulah yang tak diakui “Nalar”.

Omong kosong, ujar Nalar.

Aku telah berkeliling dan mengukur dinding

dan tak kujumpai tempat seperti itu.

Sikap anti-nalar bukan cuma disuarakan para sufi Islam di zaman Ibnu Arabi dan
Rumi. Di abad ke-20, terutama di Eropa sejak berkecamuk krisis kepercayaan
kepada rasionalisme, beberapa pemikir juga menegaskan pertentangan terhadap
intelek/nalar itu.

Di tahun 1930-an di Prancis, Bergson mengumandangkan élan vital, dorongan hidup


yang terus-menerus mengalir dan tumbuh, bukan kehadiran yang statis. Ilmu, yang
disusun intelek/nalar, tak akan mampu memahaminya. Nalar mampu menganalisis,
menganalisis berarti mengurai, tapi untuk itu kita harus memandang sebuah proses
yang bergerak terus seakan-akan mandek. Lagu, misalnya. Intelek bisa mengurai
sebuah lagu jadi deretan not, dan dengan cara itu kita bisa menghitung tinggi-
rendahnya nada. Tapi dengan demikian lagu itu harus diperlakukan sebagai benda
yang “berhenti”; kita tak mendengarkan lagi merdunya.

https://islamindonesia.id 691
Baru lagu itu bisa hadir sebagai alun yang bergerak, menggetarkan, jika kita
berangkat dengan intuisi, kata Bergson. Hanya dengan intuisi kita bersua dan
menangkap élan vital yang menggerakkan kehidupan.
Agaknya élan vital itulah yang dalam peristilahan Rumi disebut Ishq, dan dalam
istilah yang lebih lazim disebut Cinta.

Ishq anti-mandek. Ia lawan kebekuan. Ia menampik ide yang jadi dogma dan hidup
yang diterjemahkan dalam bilangan. Ia menolak akal yang membuat kalkulasi untuk
mencapai satu tujuan tertentu. Ia tak patuh kepada “akal instrumental” yang efektif
buat menaklukkan alam, menjadikan dunia sebagai obyek, menghimpun modal
(“menegakkan pasar”), dan menguasai sesama.

Maka Cinta tak akan bisa hidup bersama perhitungan untung-rugi, tak bisa dipakai
dalam siasat politik. Cinta juga tak bisa menerima doktrin yang membekukan pikiran
dan perasaan ”doktrin yang ampuh untuk mengukuhkan kekuasaan. Cinta berani
lepas dari itu semua. Ia mengembara, mencari terus-menerus, mencoba memasuki
misteri yang dihadirkan Tuhan.

Agaknya bukan kebetulan jika Cinta yang bergetar di dasar hidup para sufi terasa
intens sebagai perlawanan ketika kekuasaan jadi tujuan hidup orang-orang yang
seharusnya dekat dengan Tuhan.

Di abad ke-11 dan ke-12, dari Bagdad sampai dengan Kairo, para qazi yang jadi
hakim agung agama tak jarang menggunakan kekuasaan mereka untuk hidup
makmur. Di masa itulah Sanai, penyair sufi kelahiran Afganistan, menulis Hadiqat al-
Haqiqat (Kebun Kebenaran) dan mencerca hakim agama yang “menuliskan fatwa
menyerukan pertumpahan darah, digerakkan niat keji, kebodohan, dan sifat tamak”.
Ia mencaci mereka yang seraya “menerima suap, menggariskan aturan”.

Perlawanan terhadap kebusukan itu juga yang mendorong sufi seperti Sanai
menjauh dari godaan kekuasaan dan melepaskan jabatannya di Istana. Kisah yang
lebih terkenal adalah bagian dari otobiografi Al-Ghazali, Al-Munqidh min al-Dalal
(“Selamat dari Sesat”). Dalam Rumi: Past and Present, East and West, Franklin D.
Lewis menguraikan dilema yang dialami ulama besar pada abad ke-12 itu: Al-
Ghazali menikmati posisi yang makmur sebagai tokoh agama yang jadi pengajar
utama Perguruan Nazimiyah di Bagdad, tapi ia juga tahu integritas dirinya pelan-
pelan rusak. Selama hampir enam bulan ia terombang-ambing “antara daya tarik
duniawi dan dorongan ke kehidupan yang kekal”. Akhirnya ia meninggalkan kota
besar yang gemerlap itu, Bagdad; ia pergi mengembara.

https://islamindonesia.id 692
Ia mungkin bukan digerakkan Cinta seperti Rumi. Tapi ia tahu Tuhan tak ada di
dekat kursi tempat orang pamer kepandaian dan kealiman. Ia juga tahu Tuhan tak
dapat dijangkau dengan nalar laba-rugi; sang sufi memilih sunyi.

Goenawan Mohamad

(Sumber: https://islamindonesia.id/tasawwuf/catatan-pinggir-goenawan-muhammad-
cinta.htm)

https://islamindonesia.id 693
Thursday, 21 May 2015

OPINI – Makna Isra’ dan Mi’raj (3)

Menilik apa yang telah kita sampaikan sebelumnya, yang lebih wajar untuk
dipertanyakan bukannya bagaimana Isra’ dan Mi’raj terjadi, melainkan mengapa
harus ada Isra’ dan Mi’raj. Seperti yang telah dikemukakan pada awal uraian, Al-
Quran, pada bagian kedelapan sampai bagian kelima belas, menguraikan dan
menekankan pentingnya pembangunan individu manusia seutuhnya seiring dengan
organisasi, integrasi dan konsolidasi masyarakatnya. Ini mencapai klimaksnya pada
bagian kelima belas atau surat ketujuh belas, yang tergambar pada pribadi hamba
Allah yang di-isra’-kan ini, yaitu Muhammad saw., serta nilai-nilai yang
diterapkannya dalam masyarakat beliau.Karena itu, dalam kelompok ayat yang
menceritakan peristiwa ini (dalam surat Al-Isra’), ditemukan sekian banyak petunjuk
untuk membina pribadi dan membangun masyarakat.

Pertama, ditemukan petunjuk untuk melaksanakan shalat lima waktu (pada ayat 78).
Dan shalat ini pulalah yang merupakan salah satu inti peristiwa Isra’ dan Mi’raj,
karena shalat pada hakikatnya merupakan kebutuhan mutlak untuk mewujudkan
manusia seutuhnya, kebutuhan akal pikiran dan jiwa manusia, sebagaimana ia
merupakan kebutuhan untuk mewujudkan masyarakat yang diharapkan oleh
manusia seutuhnya. Shalat dibutuhkan oleh pikiran dan akal manusia, karena ia
merupakan pengejawantahan hubungannya dengan Tuhan, hubungan yang
menggambarkan pengetahuannya tentang tata kerja alam raya ini, yang berjalan di
bawah satu kesatuan sistem. Shalat juga menggambarkan tata inteligensia semesta

https://islamindonesia.id 694
yang total, yang sepenuhnya diawasi dan dikendalikan oleh suatu kekuatan Yang
Mahadahsyat dan Maha Mengetahui, Tuhan Yang Mahaesa. Dan bila demikian,
maka tidaklah keliru bila dikatakan bahwa semakin mendalam pengetahuan
seseorang tentang tata kerja alam raya ini, akan semakin tekun dan khusyuk pula ia
melaksanakan shalatnya.

Shalat juga merupakan kebutuhan jiwa. Tidak seorang pun dalam perjalanan
hidupnya yang tidak pernah memiliki harapan atau kecemasan. Hingga, pada
akhirnya, sadar atau tidak, ia menyampaikan harapan dan keluhannya kepada Dia
Yang Mahakuasa. Dan tentunya merupakan tanda kebejatan akhlak dan
kerendahan moral, apabila seseorang datang menghadapkan dirinya kepada Tuhan
hanya pada saat dirinya didesak oleh kebutuhannya.

Shalat juga dibutuhkan oleh masyarakat manusia, karena shalat, dalam


pengertiannya yang luas, merupakan dasar-dasar pembangunan sosial. Orang
Romawi Kuno mencapai puncak keahlian dalam bidang arsitektur, yang hingga kini
tetap mengagumkan para ahli, juga karena adanya dorongan tersebut. Alexis Carrel
menyatakan: “Apabila pengabdian, shalat, dan doa yang tulus kepada Sang Maha
Pencipta disingkirkan dari tengah kehidupan sosial, maka hal itu berarti kita telah
menandatangani kontrak kehancuran masyarakat tersebut.” Dan, untuk diingat,
Alexis Carrel bukanlah seorang yang memiliki latar belakang pendidikan agama. Ia
merupakan dokter yang telah dua kali menerima hadiah Nobel atas hasil
penelitiannya terhadap jantung burung gereja serta pencangkokannya. Dan,
menurut Larouse Dictionary, Alexis Carrel dinyatakan sebagai satu pribadi yang
pemikiran-pemikirannya secara mendasar mempengaruhi era abad XX ini.

Apa yang dinyatakan ilmuwan ini sejalan dengan penegasan Al-Quran yang
ditemukan dalam pengantar uraiannya tentang peristiwa Isra’ dalam surat Al-Nahl
ayat 26. Di situ digambarkan pembangkangan satu kelompok masyarakat terhadap
petunjuk Tuhan dan nasib mereka menurut ayat tersebut: Allah menghancurkan
bangunan-bangunan mereka dari fondasinya, lalu atap bangunan itu menimpa
mereka dari atas; dan datanglah siksaan kepada mereka dari arah yang mereka
tidak duga (QS 16:26).

Dalam surat Al-Maun (107) ayat 4-7, Allah mempertautkan sholat dengan
motivasi sosial manusia untuk membantu kalangan miskin dan rentan.
Lalu Rasulullah juga pernah bersabda: “Shalat adalah mi’rajnya orang beriman.”

Kedua, petunjuk-petunjuk lain yang ditemukan dalam rangkaian ayat-ayat yang


menjelaskan peristiwa Isra’ dan Mi’raj, dalam rangka pembangunan manusia
seutuhnya dan masyarakat yang adil dan makmur, antara lain adalah: Jika kami

https://islamindonesia.id 695
hendak membinasakan suatu negeri, maka Kami perintahkan kepada orang-orang
yang hidup mewah di negeri itu (supaya mereka menaati Allah untuk hidup dalam
kesederhanaan), tetapi mereka durhaka; maka sudah sepantasnyalah berlaku
terhadap mereka ketetapan Kami dan Kami hancurkan negeri itu sehancur-
hancurnya (QS 17:16).

Ditekankan dalam surat ini bahwa “Sesungguhnya orang yang hidup berlebihan
adalah saudara-saudara setan” (QS 17:27).

Dan karenanya, hendaklah setiap orang hidup dalam kesederhanaan dan


keseimbangan: Dan janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu (pada lehermu
dan sebaliknya), jangan pula kamu terlalu mengulurkannya, agar kamu tidak menjadi
tercela dan menyesal (QS 17:29).

Bahkan, kesederhanaan yang dituntut bukan hanya dalam bidang ekonomi saja,
tetapi juga dalam bidang ibadah. Kesederhanaan dalam ibadah shalat misalnya,
tidak hanya tergambar dari adanya pengurangan jumlah shalat dari lima puluh
menjadi lima kali sehari, tetapi juga tergambar dalam petunjuk yang ditemukan di
surat Al-Isra’ ini juga, yakni yang berkenaan dengan suara ketika dilaksanakan
shalat: Janganlah engkau mengeraskan suaramu dalam shalatmu dan jangan pula
merendahkannya, tetapi carilah jalan tengah di antara keduanya (QS 17: 110).

Jalan tengah di antara keduanya ini berguna untuk dapat mencapai konsentrasi,
pemahaman bacaan dan kekhusyukan. Di saat yang sama, shalat yang
dilaksanakan dengan “jalan tengah” itu tidak mengakibatkan gangguan atau
kesulitan, baik gangguan tersebut kepada saudara sesama Muslim atau non-Muslim,
yang mungkin sedang belajar, berzikir, atau mungkin sedang sakit, ataupun bayi-
bayi yang sedang tidur nyenyak.

Mengapa demikian? Karena, dalam kandungan ayat yang menceritakan peristiwa


ini, Tuhan menekankan pentingnya persatuan masyarakat manusia secara
menyeluruh. Dengan demikian, masing-masing orang dapat melaksanakan tugas
sebaik-baiknya, sesuai dengan kemampuan dan bidangnya, tanpa mempersoalkan
agama, keyakinan, dan keimanan orang lain. Ini sesuai dengan firman
Allah: Katakanlah wahai Muhammad, “Hendaklah tiap-tiap orang berkarya menurut
bidang dan kemampuannya masing-masing. Tuhan lebih mengetahui siapa yang
lebih benar jalannya.” (QS 17:84).

Akhirnya, sebelum uraian ini disudahi, ada baiknya dibacakan ayat terakhir dalam
surat yang menceritakan peristiwa Isra’ dan Mi’raj ini: Katakanlah wahai Muhammad:
“Percayalah kamu atau tidak usah percaya (keduanya sama bagi saja Tuhan).

https://islamindonesia.id 696
Tetapi sesungguhnya mereka yang diberi pengetahuan sebelumnya, apabila
disampaikan kepada mereka, maka mereka menyungkur atas muka mereka, sambil
bersujud.” (QS 17: 107).

MH/Saduran dari Tafsir Al-Misbah karya Prof. Quraish Shahab

(Sumber: https://islamindonesia.id/islam-menjawab/opini-makna-isra-dan-miraj-
3.htm)

https://islamindonesia.id 697
Saturday, 16 May 2015

OPINI – Makna Isra’ dan Mi’raj (1)

Perjalanan Nabi Muhammad saw. dari Makkah ke Bayt Al-Maqdis, naik ke Sidrat Al-
Muntaha, bahkan melampauinya dan akhirnya kembali ke Makkah dalam waktu
sangat singkat merupakan salah satu mukjizat terbesar Nabi sesudah Al-Qur’an.
Peristiwa ini membuktikan bahwa ilmu dan kuasa Allah meliputi dan menjangkau,
bahkan mengatasi dan melampaui, segala yang terbatas dan tak terbatas tanpa
terbatas waktu atau ruang.

Kaum empiris yang melepaskan diri dari bimbingan wahyu dapat saja menggugat:
bagaimana mungkin kecepatan, yang bahkan melebihi kecepatan cahaya,
kecepatan yang merupakan batas kecepatan tertinggi dalam continuum empat
dimensi ini, dapat terjadi? Bagaimana mungkin lingkungan material yang dilalui oleh
Nabi Muhammad saw. tidak mengakibatkan gesekan-gesekan panas yang merusak
tubuh beliau sendiri? Bagaimana mungkin beliau dapat melepaskan diri dari daya
tarik bumi? Ini tidak mungkin terjadi, karena ia tidak sesuai dengan hukum-hukum
alam, tidak dapat dijangkau oleh pancaindera, bahkan tidak dapat dibuktikan oleh
pendekatan saintifik. Demikian kira-kira kilah mereka yang menolak peristiwa ini.
Memang, pendekatan yang paling tepat untuk memahaminya adalah pendekatan
imani. Inilah yang ditempuh oleh Abu Bakar Al-Shiddiq, seperti tergambar dalam
ucapannya: “Apabila Muhammad yang memberitakannya, pasti benarlah adanya.”
Oleh sebab itu, uraian ini berusaha untuk memahami peristiwa tersebut melalui apa
yang kita percayai kebenarannya berdasarkan bukti-bukti ilmiah yang dikemukakan
oleh Al-Quran.

***

https://islamindonesia.id 698
Salah satu hal yang menjadi pusat pembahasan Al-Quran adalah masa depan
ruhani manusia demi mewujudkan keutuhannya. Uraian Al-Quran tentang Isra’ dan
Mi’raj merupakan salah satu cara pembuatan skema ruhani tersebut. Ini terbukti
jelas melalui pengamatan terhadap sistematika dan kandungan Al-Quran, baik
dalam bagian-bagian suratnya maupun dalam ayat-ayatnya yang lebih terinci.

Tujuh bagian pertama Al-Quran membahas pertumbuhan jiwa manusia sebagai


pribadi yang secara kolektif membentuk umat.
Dalam bagian kedelapan sampai keempat belas, Al-Quran menekankan
pembangunan manusia seutuhnya serta pembangunan masyarakat diikuti dengan
organisasi, integrasi dan konsolidasinya. Tema bagian kelima belas mencapai
klimaksnya dan tergambar pada pribadi yang telah mencapai tingkat tertinggi dari
manusia seutuhnya, yakni al-insan al-kamil. Dan karena itu, peristiwa Isra’ dan Mi’raj
merupakan awal bagian ini, dan berkelanjutan hingga bagian kedua puluh satu, di
mana kisah para Rasul diuraikan dari sisi pandangan tersebut. Kemudian, masalah
perkembangan ruhani manusia secara orang per orang diuraikan lebih lanjut sampai
bagian ketiga puluh, dengan penjelasan tentang hubungan perkembangan tersebut
dengan kehidupan masyarakat secara timbal-balik.

Sebagaimana para pakar dalam disiplin ilmu lain, para pakar Al-Quran menyatakan
bahwa segala sesuatu memiliki pendahuluan. Imam Al-Suyuthi berpendapat bahwa
pengantar suatu uraian dalam Al-Quran adalah uraian yang terdapat dalam surat
sebelumnya. Sedangkan inti uraian satu surat dipahami dari nama surat tersebut,
seperti dikatakan oleh Al-Biqai’i. Dengan demikian, maka pengantar uraian peristiwa
Isra’ adalah surat yang dinamai Tuhan dengan sebutan Al-Nahl, yang berarti lebah.

Mengapa lebah? Karena makhluk ini memiliki banyak keajaiban. Keajaibannya itu
bukan hanya terlihat pada jenisnya, yang jantan dan betina, tapi juga jenis yang
bukan jantan dan bukan betina. Keajaibannya juga tidak hanya terlihat pada sarang-
sarangnya yang tersusun dalam bentuk lubang-lubang yang sama bersegi enam dan
diselubungi oleh selaput yang sangat halus namun dapat menghalangi udara atau
bakteri menyusup ke dalamnya. Juga tidak hanya terletak pada khasiat madu yang
dihasilkannya, yang menjadi makanan dan obat bagi sekian banyak penyakit.
Keajaiban lebah mencakup itu semua, dan mencakup pula sistem kehidupannya
yang penuh disiplin dan dedikasi di bawah pimpinan seekor “ratu”. Lebah yang
berstatus ratu ini pun memiliki keajaiban dan keistimewaan. Misalnya, bahwa sang
ratu ini, karena rasa “malu” yang dimiliki dan dipeliharanya, enggan untuk
mengadakan hubungan seksual dengan salah satu anggota masyarakatnya yang
jumlahnya dapat mencapai sekitar tiga puluh ribu ekor. Di samping itu, keajaiban
lebah juga tampak pada bentuk bahasa dan cara mereka berkomunikasi, yang

https://islamindonesia.id 699
dalam hal ini telah dipelajari secara mendalam oleh seorang ilmuwan Austria, Karl
Van Fritch.

Lebah dipilih Tuhan untuk menggambarkan keajaiban ciptaan-Nya agar menjadi


pengantar keajaiban perbuatan-Nya dalam peristiwa Isra’ dan Mi’raj. Lebah juga
dipilih sebagai pengantar bagi bagian yang menjelaskan manusia seutuhnya.
Karena manusia seutuhnya, manusia mukmin, menurut Rasul, adalah “bagaikan
lebah, tidak makan kecuali yang baik dan indah, seperti kembang yang semerbak;
tidak menghasilkan sesuatu kecuali yang baik dan berguna, seperti madu yang
dihasilkan lebah itu.”

MH/ Saduran dari Tafsir Al-Misbah karya Prof. Quraish Shahab

(Sumber: https://islamindonesia.id/islam-menjawab/opini-makna-isra-dan-miraj-
1.htm)

https://islamindonesia.id 700
Friday, 08 May 2015
OPINI – Anggaran Besar Pendidikan di Tengah Minat
Baca yang Cekak

Beberapa waktu lalu wakil menteri pendidikan tinggi menyatakan bahwa anggaran
pendidikan tinggi di Indonesia mencapai 43 triliun rupiah. Ini jelas angka yang tinggi
bagi negara dunia ketiga. Tapi, masalahnya siapa yang akan menerima anggaran
sebesar Itu? Persisnya kalangan masyarakat yang mana?

Pertanyaan di atas mendesak diajukan karena minat baca penduduk Indonesia


masih rendah. Berdasarkan data Organisasi Pendidikan, Keilmuan dan Kebudayaan
[ UNESCO] pada 2012, indeks minat baca penduduk Indonesia hanya 0,001%,
artinya, setiap 1.000 penduduk Indonesia hanya 1 orang yang membaca buku.
Sementara minat baca di negara maju telah mencapai 0,45%. Berarti setiap 45
orang di negara maju terdapat satu orang yang membaca buku. Karena itu,
pemerintah harus fokus melaksanakan berbagai upaya untuk meningkatkan minat
baca di Indonesia. Dan ini harus dilakukan secara lintas sektor dan departemen.
Di Rusia, misalnya pemerintah membuat kebijakan khusus untuk meningkatkan
minat baca penduduknya. Anak-anak wajib membaca 14 buku dalam setahun.
Pemerintah juga mengupayakan fasilitas yang mendukung seperti perpustakaan.
Koleksi buku yang lengkap di perpustakaan akan menarik minat baca bagi anak-
anak.
Mungkin di sini pemerintah Jokowi harus lebih serius. Menurut data Badan
Penelitian dan Pengembangan Perpustakaan Nasional, dari 64 ribu desa di
Indonesia hanya 22% yang memiliki perpustakaan. Itupun ditambah fakta bahwa

https://islamindonesia.id 701
perpustakaan yang ada juga tidak memiliki fasilitas pendukung seperti sistem
pencari buku. Koleksi buku yang terdapat di perpustakaan tingkat sekolah, misalnya,
juga tidak lengkap. Akibatnya, angka pengunjung perpustakaan di Indonesia masih
kecil yaitu hanya 2 ribu orang per hari.
Kondisi ini sangat berbeda dengan Singapura. Untuk perpustakaan tingkat sekolah,
pemerintah Singapura melengkapi seluruh perpustakaan dengan koleksi buku yang
mendukung kurikulum. Fasilitas seperti mengakses koleksi perpustakaan lewat
internet juga sudah diberlakukan pemerintah Singapura. Perpustakaan umum juga
dibangun di pusat kota. Fasilitas perpustakaan yang memadai membuat pengunjung
perpustakaan di Singapura mencapai 100 ribu orang per hari.
Salah satu aspek yang mempengaruhi minat baca masyarakat adalah tingkat
kesadaran akan pendidikan. Berdasarkan data Organisasi Dana Perkembangan
Anak-Anak [UNICEF], sebanyak 2,3 juta anak Indonesia tidak bersekolah dan 42%
di antaranya tidak dapat membaca. Kesadaran untuk membaca mempengaruhi
pemahaman mengenai pentingnya pendidikan.

MH/Geotimes dan berbagai sumber lain

(Sumber: https://islamindonesia.id/kolom/opini-anggaran-besar-pendidikan-di-
tengah-minat-baca-yang-sumir.htm)

https://islamindonesia.id 702
Saturday, 21 February 2015
Bisakah Jakarta Bertahan di Tengah Kerasnya Tekanan
Pembatalan Eksekusi Mati Warga Asing?

Setelah menetapkan hukuman mati atas sejumlah terpidana kasus narkotika warga
negara asing, tekanan terhadap Jakarta datang bertubi-tubi. Di antaranya dari Brasil
dan, lebih menohok, Australia.

Menurut sejumlah media, Presiden Brasil Dilma Rousseff menolak surat


kepercayaan Duta Besar Indonesia atau yang dikenal dengan credential.

“Kami pikir hal yang penting adalah terjadi perubahan keadaan sehingga kita jelas
terkait hubungan Indonesia dengan Brasil,” kata Rousseff kepada para wartawan
setelah upacara resmi pemerintah di Brasilia. “Yang kami lakukan adalah sedikit
memperlambat penerimaan surat kepercayaan, tidak lebih dari itu,” ujarnya.

Duta Besar Indonesia untuk Brasil, Toto Riyanto, hadir di Istana Presiden Brasil di
acara pada hari Jumat (20/2/2015) bersama-sama dengan diplomat yang baru
ditunjuk dari Venezuela, El Salvador, Panama, Senegal, dan Yunani, tetapi tidak ikut
serta dalam upacara.

Penolakan tersebut berarti Dubes Toto Riyanto tidak akan mewakili Indonesia dalam
acara resmi di Brasil. Padahal, Toto hadir secara fisik di Istana Presiden di Brasil
dengan harapan menerima surat kepercayaan.

Tindakan Brasil ini kemudian dipandang mengirimkan pesan diplomatik yang tegas.

Sementara itu, Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Indonesia Armanatha Nasir
mengatakan belum dapat bicara sekarang.

Sebagai informasi, warga Brasil, Marco Archer, dihukum mati pada tanggal 17
Januari setelah dinyatakan bersalah melakukan perdagangan narkoba.

Duta Besar Brasil di Indonesia kemudian ditarik Presiden Rousseff sebagai protes
kematiannya. Warga Brasil lainnya, Rodrigo Gularte, dijadwalkan dieksekusi di
Indonesia atas dasar pelanggaran hukum yang sama.

https://islamindonesia.id 703
Tekanan dari Selatan

Tekanan yang tak kalah keras datang dari Australia. Perdana Menteri Australia Tony
Abbott, Rabu (18/2/2015), mendesak Indonesia untuk mengingat ‘kontribusi besar’
Canberra dalam bantuan tsunami tahun 2004
dan ‘membayar kemurahan hati itu’ dengan membatalkan eksekusi dua warganya
yang divonis mati dalam kasus perdagangan narkotika di Bali.

Indonesia telah menegaskan bahwa Andrew Chan (31 tahun) dan Myuran
Sukumaran (33 tahun), pemimpin kelompok perdagangan narkoba yang disebut Bali
Nine, termasuk di antara kelompok narapidana berikutnya yang akan menghadapi
regu tembak. Namun, pihak Indonesia masih tutup mulut tentang kapan eksekusi
akan berlangsung dan narapidana asing mana saja yang akan bergabung dengan
dua warga Australia itu.

Abbott mengatakan, dalam meningkatkan tekanan terhadap Jakarta, ia terus


berusaha “menjadi suara pribadi yang terkuat” kepada Presiden Indonesia Joko
Widodo dan memperingatkan bahwa dirinya akan merasa “sangat sedih” jika
permintaannya untuk membatalkan eksekusi itu diabaikan.

“Australia telah mengirim bantuan miliaran dollar,” katanya, merujuk pada bencana
tsunami yang menewaskan 220.000 orang di 14 negara. Dari jumlah itu, hampir
170.000 orang berasal dari Indonesia.

“Kami mengirim sebuah kontingen besar angkatan bersenjata kami untuk membantu
Indonesia dengan bantuan kemanusiaan… Saya ingin mengatakan kepada rakyat
Indonesia dan Pemerintah Indonesia, kami di Australia selalu ada untuk membantu
kalian dan kami berharap bahwa kalian mungkin bisa membalas dengan cara ini
pada saat ini.”

“Kami akan membuat ketidaksenangan kami diketahui. Kami akan membuat rakyat
Indonesia tahu bahwa kami merasa sangat kecewa,” kata Abbott ketika ditanya apa
yang akan terjadi jika eksekusi tetap berlangsung.

“Saya tidak ingin memberikan penilaian yang buruk terhadap hubungan terbaik
dengan seorang teman dan tetangga yang sangat penting. Namun, saya harus
mengatakan, kami tidak bisa mengabaikan hal seperti ini begitu saja jika usaha yang
kami lakukan diabaikan oleh Indonesia.”

Pada Selasa, Chan dan Sukumaran diberi secercah harapan ketika perpindahan
mereka ke Nusakambangan ditunda. Kejaksaan Agung mengatakan, eksekusi

https://islamindonesia.id 704
terhadap mereka tidak akan terjadi pada minggu ini. Kantor berita AFP melaporkan,
penundaan itu untuk merespons Canberra yang mendesak tersedianya lebih banyak
waktu bagi keluarga untuk bersama orang-orang terkasih mereka dan terkait
kapasitas di Nusakambangan.

Meskipun demikian, pemerintah menegaskan eksekusi terhadap warga Australia itu,


yang divonis mati bersama warga Perancis, Ghana, Brasil, dan Nigeria, akan tetap
dilakukan setelah permohonan grasi mereka ditolak Presiden.

Di tengah derasnya tekanan dan protes yang terjadi, Presiden Jokowi harus mampu
memegang keputusan hukum yang telah dibuat. Rakyat Indonesia memerlukan
kepastian hukum terkait perdagangan narkoba yang terus meningkat di negeri ini.
Jika Jakarta lemah menghadapi berbagai tekanan itu, jaringan mafia narkoba
internasional kemungkinan besar tidak akan jera—bahkan mungkin akan meningkat
tajam di masa datang.

(MK/Islam Indonesia)

(Sumber: https://islamindonesia.id/kolom/bisakah-jakarta-bertahan-di-tengah-
kerasnya-tekanan-pembatalan-eksekusi-mati-warga-asing-4.htm)

https://islamindonesia.id 705
Saturday, 24 January 2015

KOLOM – Terobosan Bagi Upaya Damai Palestina dan


Israel

IVAN HADAR*

Setelah eskalasi kekerasan di Gaza tahun lalu, dan “penolakan” resolusi Negara
Palestina oleh Dewan Keamanan PBB, Palestina akhirnya secara resmi, pada 1
April nanti, akan menjadi anggota Mahkamah Pidana Internasional (ICC). Kondisi
tersebut, tentu saja, berdampak negatif bagi perundingan perdamaian antara
Palestina dan Israel.

Sekretaris Jenderal PBB Ban Ki Moon, bahkan mengungkapkan kekhawatirannya


bahwa tanpa adanya terobosan, solusi dua negara sebagai satu-satunya opsi
berkelanjutan bagi perdamaian, dapat gagal untuk selamanya. Karena itu, baginya,
diperlukan “terobosan” untuk segera mengakhiri kebuntuan yang berbahaya ini.

Solusi dua negara merupakan opsi damai yang memungkinkan Palestina dan Israel
hidup berdampingan dengan damai. Selain gencatan senjata, masalah permukiman
Israel di tanah Palestina serta sejumlah persoalan penting menanti diselesaikan
termasuk di antaranya persoalan perbatasan Palestina, kewarganegaraan Palestina
yang baru, status pengungsi Palestina yang berada di luar perbatasan, status warga
Arab Israel selain tentunya persoalan masa depan Yerusalem Timur.

Sejauh ini, situasi Gaza akibat serangan Israel tahun semakin memburuk.
Setidaknya telah menewaskan 560 warga Palestina, termasuk anak-anak dan
perempuan. Namun, bagi kelompok garis keras Israel, hal tersebut tak cukup
memuaskan. Bahkan seorang politikus cantik asal Israel, Ayelet Shaked, meminta
militer mereka membunuh semua ibu-ibu Palestina agar tidak melahirkan “keturunan
teroris”. (Tempo.co, 22/7/2014)
Tentu saja, lebih banyak warga Israel yang menginginkan perdamaian. Mengutip
laporan dari laman Jerusalem Post (2/7/2014), misalnya, organisasi anti-rasisme
Tag Meir dari Tel Aviv, telah mengatur kunjungan 615 warga Yahudi Israel yang
hadir dalam pemakaman Khudair, remaja Palestina yang dibakar hidup-hidup
sebagai balas dendam atas kematian tiga remaja Israel. Sebelum terjadinya
kekerasan di Jalur Gaza ini, pemimpin umat Katolik Paus Fransiskus sewaktu
mendatangi kompleks Masjid Al Aqsa di Jerusalem, juga menyerukan umat Kristen,

https://islamindonesia.id 706
Yahudi, dan Muslim, agar bekerja sama untuk keadilan dan perdamaian, serta tidak
mengatasnamakan Tuhan untuk melakukan kekerasan.

Sejatinya, konflik Palestina-Israel, bukanlah konflik agama, suku atau ras. Bagi
pelapor khusus Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk situasi hak asasi manusia
(HAM) di Palestina, Makarim Wibisono, konflik berkepanjangan antara Israel dan
Palestina adalah masalah pencaplokan wilayah yang diklaim oleh Israel sehingga
memicu konflik berkepanjangan dengan Palestina.

Akar persoalan ini, menurutnya, terjadi sejak 1948 tepatnya setelah penduduk Israel
yang tersebar dimana-mana mendapatkan lahan sebagai tanah air mereka. Dalam
perjalanan waktu, jumlah populasi Israel meningkat dan mulai memperluas
wilayahnya ke Palestina. Baginya, yang paling tepat adalah mengambil pendekatan
HAM dalam penyelesaian konflik berdarah dan sudah menewaskan ribuan orang di
Palestina. Dengan isu HAM, semua pihak akan tersentuh, imbuh Ketua Sidang
Dewan HAM PBB tahun 2005 ini. (Tempo, 12/7/2014) Termasuk bagi warga Yahudi
yang pernah menjadi korban HAM selama pemerintahan Nazi-Hitler di Jerman.

Psikolog terkenal Israel, Dan Bar-On, menulis, “Warga Israel masih merasa dirinya
sebagai korban. Puluhan tahun lalu, di Eropa, bangsa Yahudi menjadi korban Nazi-
Hitler dan negara-negara lainnya. Eksodus ke Israel untuk meninggalkan peran
sebagai korban. Namun di Timur Tengah, mereka juga diserang oleh negara-negara
Arab. Merasa menjadi korban dan sebagai bagian dari kebaikan, memunculkan
pandangan dunia yang sederhana dan percaya harus melakukan pembalasan
dengan motto, “siapa yang mencoba membunuhmu, bunuhlah dia sebelum itu
terjadi.”

Bagi Bar-On, sebuah otokritik akan membuka saluran perdamaian yang tersumbat.
Israel harus belajar mengatasi perannya sebagai korban. Hanya dengan demikian,
pengintegrasian negara Israel dalam lingkungan Arab bisa sepenuhnya terjadi. Apa
yang bisa dilakukan Israel agar tidak menjadi bagian asing di kawasan ini?

Bagi Bar-On, warga Israel harus secepatnya memulai, sepenuhnya hidup di Timur
Tengah. Hingga kini, kebanyakan warga Israel masih saja percaya, berumah di
Eropa dan AS. “Hidup di Timur Tengah”, lanjutnya, “harusnya berarti belajar bahasa
Arab, agar bisa lebih mengerti apa yang terjadi di negara-negara tetangga. Perlu
ditemukan cara untuk hidup dan bekerja bersama, dan tidak hanya membunuh
mereka.”

Hidup dalam situasi perang berkepanjangan, lambat laun akan sulit dipahami
mayoritas warga dunia. Meningkatnya protes akibat melejitnya jumlah korban sipil

https://islamindonesia.id 707
dalam setiap agresi Israel, hancurnya infrastruktur dasar serta pemusnahan kreasi
peradaban, akan menggusur kemampuan dan kesediaan untuk memahami logika
militer. Kompleksitas sebuah konflik, direduksi dalam formula siapa lebih kuat atau
siapa lebih menderita. Emosi menggantikan obyektivitas. Tiba-tiba, yang tadinya
(merasa sebagai) korban, menjadi agresor.

Sebenarnya, pada nurani terdalamnya, siapa pun, termasuk rakyat Israel dipastikan
menginginkan hidup damai. Namun, mereka diberondong opini para politisi dan
militer tentang tiadanya alternatif selain perang. Kalkulasinya ketika melakukan
agresi di Gaza, setelah kehancuran total, setelah bantuan kemanusiaan pun dilarang
masuk dan dihancurkan, rakyat Palestina akan jenuh dan berhenti melawan. Logika
militer yang patut diragukan. Yang lebih mungkin adalah, mayoritas rakyat Palestina,
dan siapa pun di muka bumi ini akan membenci dan sangat marah kepada agresor.

Tentu saja, selain upaya melakukan perubahan “cara berpikir“ tadi, diperlukan
tekanan internasional terhadap Israel untuk terlibat dalam perundingan dengan
Palestina. Semakin kuat tekanan internasional, terkadang pada saat-saat “terkucil“,
Israel akhirnya mengalah. Itulah misalnya yang terjadi di masa Bill Clinton dan
George Bush Sr dalam perundingan damai Oslo dan Taba.

Indonesia sebagai negara besar dengan mayoritas Muslim dan bersifat pluralistik,
bisa berperan aktif sebagai mediator dalam mengupayakan perdamaian Palestina-
Israel. Meski cukup banyak menuai kritik, pada era Gus Dur Indonesia pernah
membuka hubungan (dagang) dengan Israel dengan maksud sebesar-besarnya
untuk kemakmuran dan kesejahteraan bangsa Indonesia serta sebagai media bagi
Republik Indonesia untuk terlibat penuh dan ikut serta secara aktif dalam upaya
mewujudkan perdamaian antara Israel dan Palestina.

Kita semua berharap, bahwa pemerintahan Jokowi-JK, seperti yang dijanjikan dalam
kampanye Pilpres, secepatnya ikut berperan aktif dalam mengupayakan
terwujudnya perdamaian antara Palestina dan Israel. Dalam mengupayakan hal
tersebut, keberpihakan terhadap rakyat Palestina yang mendambakan kemerdekaan
perlu menjadi acuan. Semoga!

* IVAN HADAR, Direktur Eksekutif IDE (Institute for Democracy Education)

(Sumber: https://islamindonesia.id/kolom/kolom-terobosan-bagi-upaya-damai-
palestina-dan-israel-2.htm)

https://islamindonesia.id 708
Wednesday, 30 April 2014

Pulang Kampung Akhirat dengan “Niat Seperti Niat


Rasulallah”

Niat merupakan jantung setiap aktivitas yang dilakukan manusia.

Umat Muslim meyakini bahwa kehidupan ini tidak hanya berhenti pada urusan
duniawi saja, melainkan juga kelak kita akan kembali pada Tuhan Semesta Alam,
Pemilik sejati, dengan melalui pintu kematian, sebagaimana yang ditetapkan pada
setiap makhluk hidup. “Tiap-tiap yang bernyawa pasti akan merasakan mati” (QS. Ali
Imran : 185).

“Setelah itu kami bangkitkan kamu sesudah mati” (QS. Al Baqarah : 56).

“Dan bahwasanya Allah membangkitkan semua orang di dalam kubur” (QS. Al Hajj :
7).

Sayangnya, tidak sedikit orang yang sibuk melakukan segala sesuatu untuk
mengejar dunia (saja), dan lupa bahwa dirinya kelak akan ‘pulang kampung’.
Sehingga, ada sebagian orang yang ketika pulang kampung bisa selamat, dan ada
pula yang sebaliknya.

Hal ini, selain karena kehendak Allah—yang Maha menentukan segala keputusan—
siapa yang kelak akan diselamatkan dan tidak—juga karena kita, sebagai manusia
telah salah melangkah atau kurang tepat dalam menjalankan sesuatu.

“Dan peliharalah dirimu dari (adzab yang terjadi pada) hari yang pada waktu itu
kamu semua dikembalikan kepada Allah. Kemudian masing-masing diri diberi
balasan yang sempurna terhadap apa yang telah dikerjakannya, sedang mereka
sedikit pun tidak dianiaya (dirugikan). (2:281)

Bahkan, ironisnya kesalahan langkah ini kerap terjadi akibat peta tujuan yang kita
gunakan sejak awal memang tidak tepat atau salah.

https://islamindonesia.id 709
Misalnya, tujuan kita akan pergi ke Indonesia, namun peta yang kita gunakan
merupakan peta Malaysia. Maka, sampai kapan pun, bukankah kita tidak akan
sampai ke tempat tujuan? Begitu pun kita dalam melakukan segala sesuatu.

Karenanya, peta yang baik dan sesuai merupakan kunci utama ketepatan kita dalam
mewujudkan sukses atau tidaknya kita melakukan perjalanan. Islam, yang
menghendaki kebaikan bagi umatnya, bahkan sudah jauh hari mengingatkan
pentingnya peta ini. Yakni, dengan memulai segala aktivitas, termasuk bekerja,
mencari rizki dan kegiatan lainnya dengan disertai niat yang baik. Sehingga, kelak
berpengaruh pada tujuan akhir kita.

Tak heran bila Habib Syekh bin Abdul Qodir Assegaf dalam pengajian rutinan
Majelis Ahbabul Musthofa di Solo, pekan lalu, mengimbau kepada seluruh manusia
untuk meluruskan niat aktivitas.

Beliau mengaku, bahwa setiap melakukan aktivitas, selalu menyertakan niat seperti
niat Ali ra. dan niat Rasulallah Saw.

“Setiap kali memulai majelis ini, saya selalu berniat, ‘nawaina ma nawaa habib ali,
ma nawaa Rasulullah’ (jadikan niat kami seperti niat Habib Ali dan niat Rasulullah),”
katanya seperti dikutip dari Nu.or.id pada Rabu (30/04).

Menurut beliau, niat merupakan jantung setiap aktivitas yang dilakukan manusia.
Karenanya, mengawali semua perbuatan dengan niat baik sangatlah penting.

“Awali semua perbuatan kita, dengan niatan yang baik,” ujar Habib Syekh.

Seorang ulama besar Habib Abdullah bin Alwi al-Haddad setiap hari ketika bangun
tidur menuliskan setidaknya 100 niat baik yang akan dikerjakan pada hari itu,
lanjutnya mencontohkan.

“Ia menulis 100 niat. Hal yang diniatkan olehnya bukan untuk mencari rizki, tetapi
mencari ridha Allah, berbakti kepada orang tua, dan lain sebagainya,” kata
Pengasuh majelis Ahbabul Musthofa ini.

Apa yang diungkapkan Habib Syekh ini tampaknya sejalan dengan hadis Nabi,

“Dari Zaid bin Tsabit Radhiyallahu Anhu, beliau berkata, “Kami mendengar
Rasulullah Saw. bersabda: “Barangsiapa yang (menjadikan) dunia tujuan utamanya
maka Allah akan mencerai-beraikan urusannya dan menjadikan kemiskinan/tidak
pernah merasa cukup (selalu ada) di hadapannya, padahal dia tidak akan

https://islamindonesia.id 710
mendapatkan (harta benda) duniawi melebihi dari apa yang Allah tetapkan baginya.
Dan barangsiapa yang (menjadikan) akhirat niat (tujuan utama)nya maka Allah akan
menghimpunkan urusannya, menjadikan kekayaan/selalu merasa cukup (ada)
dalam hatinya, dan (harta benda) duniawi datang kepadanya dalam keadaan rendah
(tidak bernilai di hadapannya).” (HR Ibnu Majah 4105, Ahmad 5/183, Ad-Daarimi
229, Ibnu Hibban 680)
Ya, bukankah suatu kerugian bila apa yang kita lakukan tidak bernilai apa pun di
hadapan-Nya? Bukankah bayaran tertinggi yang sesungguhnya paling diharapkan
dan dinanti setiap Muslim adalah perjumpaan dengan-Nya? Dan, bukankah semua
hal yang kita lakukan dengan tujuan mengharap ridha-Nya dan dilakukan dengan
cara yang benar, niscaya bisa menjadi bekal kelak saat kita pulang kampung
akhirat? Wallahua A’lam Bishawab.

(Sumber: https://islamindonesia.id/kolom/pulang-kampung-akhirat-dengan-niat-seperti-niat-
rasulallah-2.htm)

https://islamindonesia.id 711
Monday, 28 April 2014

Surat Nabi Muhammad untuk Penganut Kristen

Ini adalah pesan dari Muhammad bin Abdullah, yang berfungsi sebagai perjanjian
dengan mereka yang memeluk agama Kristen, di sini dan di manapun mereka
berada, kami bersama mereka.

Di tengah kekacauan yang melanda seluruh rakyat Afrika, baik Tengah-Timur


maupun Utara, sejak pemberontakan Musim Semi Arab melawan kediktatoran
seakan membuka jalan bagi militansi dan perang sipil di wilayah tersebut. Kristen
dan Islam pun semakin mengungkapkan keprihatinanya atas kondisi hidup para
penganutnya.

Meskipun secara keseluruhan Kristen termasuk kaum minoritas, namun tampaknya


peningkatan populasi Kristen semakin signifikan, tak terkecuali di negara-negara
seperti Suriah, Turki, Irak, Lebanon, Palestina dan Mesir.

World Bulletin melansir, setelah jatuhnya presiden terpilih Mesir Mohamed Morsi
dalam kudeta militer pada 3 Juli yang dipimpin oleh Field Marshal Abdel-Fattah al-
Sisi, serta penganiayaan terhadap gerakan Ikhwanul Muslimin dimana Morsi
berasal, banyak Muslim mulai mencurigai bahwa komunitas Kristen naik 10 % dari
populasi, memainkan peran dalam mengusir gerakan tersebut. Hal ini cukup
meningkatkan ketegangan antara Muslim dan Kristen di Mesir, dengan disertai
bentrokan dan merusak berbagai fasilitas umum.

Kekhawatiran serupa pula dirasakan Kristen Suriah, terutama setelah al-Qaeda


kelompok oposisi berafiliasi mengambil alih kota-kota Kristen Maaloola dan Kessab.
Maaloola kemudian dikuasi kembali rezim Suriah, tapi Kessab, yang terletak di
sepanjang perbatasan Turki, masih di bawah kendali pejuang oposisi.

Meskipun anggota komunitas etnis Armenia Kessab, yang sebagian besar melarikan
diri ke Turki untuk menghindar dari pemboman pemberontak—yang ditargetkan oleh
rezim Suriah, telah berusaha mengadakan perdamaian dan para pejuang oposisi
telah mempertaruhkan hidup mereka untuk mengantar mereka ke tempat yang
aman, kecemasan dan kekhawatiran tetap saja menghantui kehidupan para
penganut Kristen.

Dalam konteks ini, tidak ada salahnya jika kita sejenak menilik isi surat Rasulallah
Saw. yang dikirim beliau kepada para biarawan Kristen di salah satu biara tertua di
dunia, St. Catherine, Semenanjung Sinai, Mesir, pada tahun 628 M.

https://islamindonesia.id 712
Surat yang juga dikenal dunia sebagai Muhammad’s Testamentum ini
merupakandokumen sejarah yang berisi tentang sikap Muhammad Saw. terhadap
kaum Kristen, dimana beliau memberikan jaminan perlindungan dan hak-hak hidup
tanpa syarat apa pun. Surat tersebut bermaterai gambar telapak tangan Rasulullah
Saw.

Meski banyak kalangan meragukan keotentikan surat tersebut dikarenakan naskah


asli sudah tidak ada lagi dan hanya terdapat salinannya, namun surat tersebut
sudah diverifikasi oleh banyak cendekiawan Muslim dan non-Muslim untuk meneliti
keotentikannya.

Di antara peneliti itu adalah Aziz Suryal Atiya dengan buku The Monastery of St.
Catherine and the Mount Sinai Expedition (1952), J. Hobbs dengan buku Mount
Sinai(1995), K.A. Manaphis dengan buku Sinai: Treasures of the Monastery of Saint
Catherine (1990), dan Dr. Muqtader Khan, Direktur Program Studi Islam di University
of Delaware, yang juga pernah dimuat di Washington Post (1 Desember 2012),
dengan judul Muhammad’s Promise to Christians.
Seperti dikutip dari Wikipedia, dengan berdasarkan paparan sejarah, hilangnya
naskah asli Muhammad’s Testamentum terjadi saat Kekaisaran Ottoman yang
dipimpin Sultan Selim I melakukan ekspansi ke Mesir tahun 1517. Naskah asli lalu
diambil dari biara tersebut oleh tentara Ottoman dan diserahkan kepada Sultan
Selim I. Sultan Selim I kemudian membuat salinannya untuk disimpan kembali di
biara tersebut.

Sejarah pun mencatat betapa tingginya sikap toleransi yang ditunjukkan para
penguasa Islam selama kekuasaan Ottoman (1517-1798).

Begitu pula pada tahun 1630, Gabriel Sionita menerbitkan edisi pertama naskah
perjanjian tersebut dalam bahasa Arab, dengan judul “Al-‘Ahd wal Surut allati
Sarrataha Muhammad Rasulullah li Ahlil Millah al-Nashraniyyah” (Perjanjian dan
Surat yang Dituliskan oleh Muhammad Rasulullah kepada Kaum Kristen).

Dan sejak abad 19, dokumen perjanjian tersebut diteliti oleh banyak akademisi
kontemporer, Timur dan Barat, dengan terutama berfokus pada daftar para saksi.
Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa terdapat kemiripan antara dokumen
perjanjian yang disimpan di Biara St. Chaterine dengan dokumen-dokumen sejenis
yang pernah diberikan oleh Rasulullah kepada kelompok-kelompok agama lain di
Timur Dekat. Di antaranya adalah surat Rasul kepada kaum Kristen yang menetap
di Najran, yang pertama kali ditemukan pada 878 di sebuah biara di Irak dan
diawetkan di Chronicle of Seert.

https://islamindonesia.id 713
Berikut bunyi surat tersebut, yang dikutip secara utuh dari Dr. Muqtader Khan;

“Ini adalah pesan dari Muhammad bin Abdullah, yang berfungsi sebagai perjanjian
dengan mereka yang memeluk agama Kristen, di sini dan di manapun mereka
berada, kami bersama mereka.
Sesungguhnya aku, para pembantuku, dan para pengikutku sungguh membela
mereka, karena orang Kristen juga rakyatku. Demi Allah, aku akan menentang apa
pun yang tidak menyenangkan mereka.
Tidak boleh ada paksaan atas mereka. Tidak boleh ada hakim Kristen yang dicopot
dari jabatannya, demikian juga pendeta dan biaranya.
Tidak boleh ada seorang pun yang menghancurkan rumah ibadah mereka,
merusaknya, atau memindahkan apa pun darinya ke rumah kaum Muslim. Bila ada
yang melakukan hal-hal tersebut, maka ia melanggar perintah Allah dan Rasul-Nya.
Sesungguhnya mereka adalah sekutuku dan mereka aku jamin untuk tidak
mengalami yang tidak mereka sukai. Tidak boleh ada yang memaksa mereka pergi
atau mewajibkan mereka berperang. Muslimlah yang harus berperang untuk
mereka.
Bila seorang perempuan Kristen menikahi lelaki Muslim, pernikahan itu harus
dilakukan atas persetujuannya. Ia tak boleh dilarang untuk mengunjungi gereja dan
berdoa.
Gereja mereka harus dihormati. Mereka tidak boleh dilarang untuk memperbaiki
gereja mereka dan tidak boleh pula ditolak haknya atas perjanjian ini.
Tidak boleh ada umat Muslim yang melanggar perjanjian ini hingga hari
penghabisan (kiamat).”
Ya, begitulah isi perjanjian yang diduga telah dikirim Rasul kepada para penganut
Kristen. Terlepas benar atau salah, ada atau tidaknya surat tersebut, bukankah
sikap saling menghormati, menghargai, toleran antar pemeluk agama merupakan
bagian penting yang kerap Rasul ajarkan kepada umatnya? Wallahu A’lam
Bishowab.

Berbagai Sumber.

(Sumber: https://islamindonesia.id/kolom/surat-nabi-muhammad-untuk-penganut-kristen-2.htm)

https://islamindonesia.id 714
Monday, 28 April 2014

Ingatan Saya Tentang Seorang Pengungsi

“Agama seharusnya adalah cinta…” (Mahatma Gandhi)

SAYA ingat cerita seorang pengungsi tua bernama Kasim. Lelaki itu sangat
percaya,Tuhan adalah milik semua orang yang beriman, apapun agamanya. Itu pula
yang ia pegang ketika kampung halamannya dan para tetangganya yang sebagian
bukan Muslim harus membuktikan bahwa mereka adalah manusia yang tak
mempertuhankan perbedaan.

Saat itu adalah pagi di 13 tahun yang lalu, kala matahari baru saja muncul dari arah
timur Sayo, sebuah kampung di Poso. Baru lima menit, lelaki setengah baya itu naik
ke dangau, saat suara panik orang-orang terdengar olehnya. “Kota rusuh! Kota
rusuh!” Seperempat jam kemudian, berkumpullah para petani di dangau miliknya.
Mereka sangat cemas, kerusuhan akan melebar ke Sayo. Atas usul salah satu
petani, bersama-sama mereka turun ke kampung. “Pekerjaan kebun yang belum
selesai terpaksa kami tinggal,” tuturnya kepada saya ketika mengunjunginya di
daerah pengungsian.

Sekitar pukul 9, mereka sampai di kampung. Suasana terasa mencekam. Sebagian


besar warga Sayo sudah mengungsi ke Markas Komando Distrik Militer (Kodim)
Poso. Lelaki yang lengkapnya bernama Kasim Tatuwo itu, bergegas menuju rumah,
menemui keempat anggota keluarganya. “Mereka lalu saya antarkan ke Markas
Kodim, saya sendiri balik lagi ke kampung untuk jaga-jaga,” kenangnya.
Sejak itu, hari-hari Kasim dan ratusan lelaki Sayo selalu dipenuhi ketegangan.
Mereka harus berjibaku mempertahankan Sayo dari para penyerang, dengan hanya
mengandalkan batu dan parang. “Sedang dari pihak mereka ada yang pake bedil,”
ujarnya. Tak heran, karena ketidakseimbangan itu, banyak rekan-rekannya yang
tewas. Muslim maupun Kristen.

Hampir satu setengah bulan bertahan, Sayo akhirnya jatuh ke tangan salah satu
pihak penyerang. “Kami dikepung beberapa hari, tapi alhamdulillah bisa lolos,” kata
kakek dari lima cucu itu. Dengan sedih, mereka tinggalkan kampung halaman.
Mereka hanya bisa menatap dari jauh, saat Sayo mulai dilalap api.
Lepas dari maut, Kasim kemudian menyusul keluarganya ke Kodim Poso. Berbulan-

https://islamindonesia.id 715
bulan mereka jadi pengungsi. Sampai suatu hari aparat mengantarkan mereka
kembali ke Sayo. “Tapi tidak lama, karena Sayo kembali diserang dan kami jadinya
mengungsi lagi.”

Di tengah kebingungan mencari tempat berteduh, pada Januari 2001, Kasim


“menemukan” sebuah hotel yang telah terbakar di Jalan Pulau Samosir, Poso. “Saya
berpikir, kenapa tidak saya bawa keluarga saya ke sini?” ujar laki-laki berdarah
Gorontalo itu.

Pada 9 Januari 2001, Kasim memboyong anak istrinya ke tempat itu. Dari sana, ia
menyambung kembali alur hidupnya. “Mulanya saya menafkahi keluarga dengan
bekerja serabutan,” katanya. “Tapi alhamdulillah, beberapa bulan kemudian saya
diterima kerja di Dinas Kebersihan Kabupaten Poso.”
Awalnya, bekas hotel itu ditempati hanya keluarga Kasim. Lambat laun, banyak
pengungsi dari Sayo datang dan tinggal juga di sana. “Sekarang sudah ada 14 KK
yang tinggal di sini,” ujar Kasim.

Walau kecil dan kumuh, Kasim dan keluarganya sekarang sudah memiliki tempat
bernaung. Namun situasi itu tidak lantas melarutkan rasa rindunya untuk melihat
Sayo dan mengurusi lagi ladang-ladang yang sudah lama ia tinggalkan. Kendati
mengaku betah, Kasim sadar bangunan itu bukan hak milik dia. “Ini tempat bukan
milik kitorang. Hak saya ada di Sayo,” katanya pelan. Lalu apakah dia percaya
semua yang terjadi pada dirinya dikarenakan agama? “Kalau mereka beragama, tak
mungkin kitorang dijadikan menderita begini,”ujarnya lirih

Sumber: Islam Indonesia

(Sumber: https://islamindonesia.id/kolom/ingatan-saya-tentang-seorang-pengungsi-2.htm)

https://islamindonesia.id 716
Friday, 25 April 2014

“Tipuan” Makkah

Lanskap Makkah kini telah berubah sedemikian rupa. Bahkan, hampir semua tanda-
tanda Hari Akhir telah muncul di dalamnya. Rasul Saw. bersabda, “Salah satu tanda
Hari Akhir adalah ketika umat Islam senang berlomba-lomba meninggikan
bangunan, dan melupakan imannya yang pokok.” (HR. Ibn Majah)

Jika Anda menatap Ka’bah cukup lama, Anda akan menyadari bahwa Anda tidak
sedang melihat bangunan mewah nan megah. Tapi sebaliknya, Anda sedang
menatap sebuah bangunan elegan – terbungkus, kosong, dan hanya berbentuk
dadu.

Tidak ada lampu neon di atasnya untuk memunculkan imajinasi Anda, tidak ada
arsitektur yang rumit untuk dapat memunculkan kekaguman, dan tentu saja tidak
ada atraksi unik di sekitar bangunan itu, selain garis-garis tak berujung ubin marmer
yang ditujukan untuk satu kepentingan, ibadah.

Namun, itu sangat sulit untuk menutup mata Anda dan melewatinya tanpa sedikit
pun merasa bersalah. Lantas, apa yang membuat mata Anda terpaku pada Ka’bah?

Ada beberapa hal yang tidak dapat diungkapkan lewat kata-kata, dan perasaan yang
menggetarkan saat melihat Ka’bah merupakan satu pengalaman tersendiri, ketika
penuh kasih menyentuh Hajr Aswad (Batu Surga), dan ketika melakukan shalat di
Hateem (daerah yang dipisahkan tembok rendah, yang secara teknis, ada dalam
Ka’bah itu sendiri), termasuk di dalamnya.

Rasa kagum tiba-tiba hadir begitu saja mengalahkan segalanya. Anda seolah tidak
sedang melihat Ka’bah dengan mata fisik. Tidak mendengar dengan telinga, atau
bahkan tidak sedang berpikir dengan menggunakan otak fisik Anda.

Cahaya spiritualitas mengambil alih jiwa Anda dan mulai berkomunikasi dengan jiwa
Ka’bah. Perasaan tak terlukiskan. Anda menyadari bahwa baru saja Anda dihormati
dengan menyebut “Labbaik” ketika mengingat Nabi Ibrahim As. mengatakannya
lebih dari 3000 tahun yang lalu, ketika ia berdiri di puncak Gunung Abu Qubais,
menyerukan kepada semua orang sampai Hari Akhir, untuk mengunjungi Ka’bah.

https://islamindonesia.id 717
Tiba-tiba, dunia tidak lagi ada dan segala sesuatu di sekitar Anda lenyap. Di sana
hanya ada diri sendiri dan Tuhanmu, Yang Mahakuasa, dalam pertemuan suci –
seperti jutaan malaikat melakukannya langsung di atas Ka’bah, di langit ketujuh,
sekitar rumah suci yang disebut Baitul Ma’mur.

Puncak pertemuan dengan Allah ini bukan hanya penting secara spiritual, tapi juga
geografis. Untuk para jamaah yang mungkin lupa pelajaran Geografi, jutaan tahun
lalu, jauh sebelum zaman es atau bahkan zaman Dinosaurus, seluruh dunia telah
terendam air. Tiba-tiba, gelembung misterius muncul, dan dari sana sebidang tanah
kering dibuat dengan berbeda. Lahan kering ini kemudian naik 277 meter di atas
permukaan laut dan menyebar, membentuk apa yang kita ketahui hari ini sebagai
benua. Ka’bah, juga dikenal sebagai “Angkatan Laut Bumi,” dibangun di atas tempat
yang tepat dari gelembung ini.

Dalam bahasa sederhana, Ka’bah terletak pada jarak yang sama dengan lingkar
bumi di segala penjuru. Sekitar 2 milyar Muslim menghormati Ka’bah dan
melantunkan segala doa minimal lima kali sehari.

Modernisasi Makkah

Tidak ada keraguan bahwa lanskap Makkah kini telah berubah sedemikian rupa.
Bahkan, hampir semua tanda-tanda Hari Akhir telah muncul di dalamnya. Betapa
kita melihat, alangkah banyaknya bangunan bertingkat tinggi—yang sengaja
dibentuk melebihi tingginya gunung-gunung yang menjulang dan membuat Ka’bah
tampak kerdil.

Beragam lampu menyala terlihat dari jarak 35 km, menghiasi aneka taman dan
tempat hiburan. Dua puluh tahun lalu, kunjungan ke landmark Islam di Makkah akan
menjadi pengalaman yang menyegarkan rohani dimana mereka bisa “merasa”
perjuangan masa lalu para Nabi telah ikut hadir dalam dirinya.

Rasa sedih, haru, bahagia seketika muncul dan membuat mata dan kaki terpaku.
Namun kini, warisan indah Islam telah berubah menjadi aksesoris matrealistik yang
hanya bisa dilihat dan dipandang lewat mata fisik, tapi tidak untuk kepuasan mata
batin.

Hari ini Makkah mungkin menjadi kota umat Muslim tercepat yang dimodernisasi.
Ekspansi baru untuk Masjidil Haram telah dirancang oleh Atkins menyerupai sebuah
paviliun besar atau stadion, yang seolah menunjukkan bahwa Ka’bah tidak lebih dari
sebuah “tempat suci.”

https://islamindonesia.id 718
Sebuah foto atau video di depan Ka’bah menjadi lebih penting daripada menyentuh
atau menangis dalam doa ketika berada di dekatnya. Pemerintah setempat sengaja
mengimpor ayam dari Brasil dan negara-negara lain guna memenuhi kebutuhan
para peziarah. Status halal menjadi pertanyaan para ulama setempat. Bahkan air
Zam Zam pun turut masuk ranah modernisasi.

Menurut laporan terakhir, Holy Water diganggu gugat karena mencampur air Zam
Zam dengan bahan kimia untuk “memurnikan dan melestarikannya” dengan standar
Barat. Ini merupakan salah satu alasan mengapa tidak ada yang memiliki akses
langsung ke sumur bawah tanah itu sendiri. Umat Muslim membayar mahal untuk
“pemurnian” ini. Seperti di Makkah, botol 10L Zam Zam akan dikenakan biaya 25
Riyal. Sedangkan satu galon bahan bakar (juga berisi 10L), hanya dihargai 5 Riyal.
Harga yang cukup fantastis untuk membayar air, bukan?

Memang, tidak ada yang mengingatkan salah satu kota suci ini, kecuali Ka’bah itu
sendiri. Ka’bah yang suci dan menjadi landmark umat Islam seolah menipu mata
batin kita, dengan hadirnya gemerlap duniawi. Makna ibadah pun semakin terlupkan.
Kesederhanaan, kebaikan antar makhluk, kecintaan antar sesama, keintiman
dengan Pencipta, dan lain sebagainya.

Banyak di antaranya mengutuk tindakan Raja yang telah memodernisasi kota suci
ini. Tapi kenyataannya, Raja seperti semua pengusaha cerdas lainnya hanya
melihat kesempatan, dan berusaha merebutnya.

Dia tahu bagaimana para peziarah telah meninggalkan kesederhanaan, dan beralih
pada kemewahan dan kemegahan. Sehingga, membuat haji dan umroh sebagai
“liburan yang ideal dan tujuan belanja,” merupakan salah satu bentuk ladang bisnis
yang wajar seperti halnya ladang minyak, yang mungkin saja besok akan kering.

Bisnis haji dan umroh memiliki banyak permintaan dan penawaran. Tentu, bisnis ini
memiliki banyak pelanggan. Namun, jika umat kembali ke kesederhanaan, maka
Mahakuasa pun akan menunjuk penguasa yang akan mencintai pedang mereka
lebih dari anggur dan musik mereka.

Jangan Terlena

Jika hanya Ka’bah yang mengingatkan Anda tentang Kota Suci ini, maka Ka’bah
merupakan tempat di mana Anda harus menghabiskan sebagian besar waktu Anda
di Makkah, saat berkunjung ke sana—tidak di mal mewah dengan semua toko
desainer Barat. Setiap detik adalah waktu istimewa di Ka’bah. Jangan mengangkat

https://islamindonesia.id 719
mata dari Ka’bah, atau menatap kagum pada bangunan lain (terutama Jam Gadang)
di Masjidil Haram. Ini adalah bentuk penghormatan tertinggi.

Ketika Anda meleburkan diri pada ibadah, merintih pada-Nya, memohon belas
kasihan dari Yang Maha Kuasa atau ketika Anda melakukan thawaf, lakukanlah
dengan segenap kesopanan dan kerendahan hati. Sebab dalam kondisi ini, Anda
akan mengalami realitas—yang akan mengubah kehidupan Anda dalam hal tertentu,
sebagaimana Anda memaknai setiap gerakan dalam ibadah haji dan umroh.

Ya, bukankah tujuan utama kita berkunjung ke Ka’bah (seharusnya) untuk merintih
dan mendekati-Nya? Jika tidak, bukankah hakikatnya (kita) telah tertipu oleh
perhiasan dunia berupa gemerlap aksesoris Makkah?

Sumber: Muslim Village.


(Sumber: https://islamindonesia.id/kolom/tipuan-makkah-2.htm)

https://islamindonesia.id 720
Thursday, 24 April 2014

Jurnalisme Welas Asih

“Semakin seorang jurnalis melihat dirinya sebagai pelaku dalam sebuah peristiwa,
dan memiliki loyalitas pada narasumber, maka ia tak bisa menyebut lagi dirinya
sebagai seorang jurnalis.” (Maggie Gallagher).

SEBUAH peristiwa unik terjadi pada awal Juli tahun lalu. Tujuh jurnalis Aljazeera di
Mesir melakukan resign massal. Pasalnya. stasiun televisi tempat mereka mencari
nafkah dinilai telah turut andil dalam upaya pembenturan terhadap sesama rakyat
Mesir. Sebagai warga Mesir, para jurnalis tersebut menyatakan marah dan tidak
rela dengan berbagai progam provokatif pihak Aljazeera.
“Aljazeera kerap melakukan pembohongan publik dalam pemberitaannya terkait
kondisi Mesir saat ini,”ujar Hujaj Salamah, juru bicara para jurnalis itu. Ya memang,
bukan rahasia lagi jika Emir Qatar, pemodal utama stasiun televisi yang berpusat di
Doha tersebut, bersimpati terhadap salah satu pihak yang bertikai di Mesir.
Dalam The Elements of Journalism, Bill Kovach dan Tom Rosenstiel menyebut salah
satu tugas jurnalisme adalah berlaku independen terhadap sumber berita. Sikap
independen ini tentunya berbeda dengan sikap netral, yang bukan
merupakan prinsip inti jurnalisme. Sesimpati apapun seorang reporter terhadap
nara sumbernya, ia harus bisa mengatur jarak sehingga hasil pemberitannya tidak
terjatuh dalam bias dan lebih jauh malah menjerumuskan. “Seorang jurnalis harus
tetap independen dari pihak yang mereka liput,” tulis Kovach & Rosenstiel.

Menurut Maggie Gallagher, ada perbedaan antara jurnalis dengan juru propaganda.
Seorang jurnalis sesungguhnya tidak menulis sebuah berita atau artikel dengan
tujuan untuk memanipulasi para audiens. Ia mencari untuk mengungkap dan
menyampaikan kepada para pembaca, sebuah dunia sebagaimana ia melihatnya.
Karena itu, “Semakin seorang jurnalis melihat dirinya sebagai pelaku dalam sebuah
peristiwa, dan memiliki loyalitas pada narasumber, maka ia tak bisa menyebut lagi
dirinya sebagai seorang jurnalis,” ujar jurnalis terkemuka dari Amerika Serikat
tersebut.

Islam Indonesia berusaha untuk berdiri di atas ranah indepedensi tersebut. Sejak
awal kedatangan kami di dunia pers Indonesia dua tahun yang lalu, kami berusaha

https://islamindonesia.id 721
semaksimal mungkin untuk menjadikan semangat welas asih dan keberpihakan
kepada “kaum yang terzalimi” sebagai pilihan kami. Tentunya saat ini kami tampil
bukan tanpa kekurangan. Banyak “bolong-bolong” yang harus secepatnya
diperbaiki. Justru di sinilah, muncul harapan para pembaca bisa “menolong” kami
dengan memberikan kritik-kritik yang argumentatif dan konstruktif.

Kerumitan yang kini tengah dihadapi dunia Islam menjadi uji coba terbesar pertama
yang sedang kami hadapi. Di tengah kebencian, kekerasan dan konflik
berkepanjangan yang terjadi di Suriah, Mesir, Burma dan bahkan di negeri kita
sendiri, kami berusaha untuk tetap menyajikan pemberitaan secara adil bukan hanya
untuk umat Islam semata tapi juga seluruh manusia, sesuai dengan semangat Al
Qur’an: “”Dan jangan karena kebencianmu terhadap suatu kaum menyebabkan
kamu tidak berlaku adil.” (al-Maidah: 8).

Karena itu, dalam semangat welas asih dan cinta, kritik dan doakanlah agar kami
bisa bersikap adil untuk kebaikan bersama.

*) Jurnalis Islam Indonesia


Sumber: Islam Indonesia

(Sumber: https://islamindonesia.id/kolom/jurnalisme-welas-asih-2.htm)

https://islamindonesia.id 722
Thursday, 10 April 2014

10 Tips Hidup Bahagia bertetangga dengan non-Muslim

Tetangga memiliki status khusus dalam Islam.

Islam mendorong Muslim untuk memperlakukan tetangga mereka dengan cara yang
lembut, yang mencerminkan semangat sejati dan asli dari Islam sebagaimana
dicontohkan dalam aspek toleran, terutama dengan orang-orang dari agama lain.

Tidak ada bedanya hidup bertetangga dengan Muslim atau non-Muslim. Aisyah Ra.
menyatakan bahwa ia pernah bertanya kepada Nabi Saw., “Wahai Rasulullah! Aku
punya dua tetangga. Kepada siapakah aku mengirim hadiah? Rasul menjawab,
‘Untuk seseorang yang gerbang rumah mereka lebih dekat dengan rumahmu’”
(Bukhari, 6220).

Hadis ini jelas mendorong setiap Muslim, untuk tidak hanya ramah, tapi juga saling
berkirim hadiah. Kata-kata dalam hadis ini tidak menunjukkan kepada siapa kita
harus bertukar hadiah, apakah kepada seorang Muslim atau bukan. Sebaliknya,
hadis ini justru merujuk pada batasan rumah terdekat. Itulah yang dinamakan
tetangga, dengan tidak melihat apa agama mereka.

Bahkan dalam suatu riwayat lain, Rasul Saw. pernah punya tetangga yang begitu
sering menghina dan menyakiti beliau dengan berbagai cara, termasuk meludahi.
Namun, beberapa hari berlalu, Rasul tak melihat orang itu. Beliau pun bertanya-
tanya, ke mana ia, hingga lupa “menemui”nya. Ia pun berpikir, mungkin ada alasan
di balik ketidakhadirannya itu.

Akhirnya Rasul pun mengetuk pintu rumahnya, dan dilihatlah sang penghina Rasul
itu sedang sakit. Rasul yang begitu penuh kasih sayang pun segera menjenguknya
dengan tanpa alasan apa pun. Tak perlu menelisik siapa dia, dari golongan mana,
berkedudukan sebagai apa, atau bahkan agama apa yang ia anut.

Melihat orang yang tiap hari dihina itu menjenguknya, pria itu terheran-heran dan
berpikir, bagaimana mungkin selama ini ia sanggup berperilaku buruk kepada
manusia berperangai baik itu. Baginya, akhlak mulia Rasul ini merupakan satu-
satunya ajaran yang benar-benar baru, kala itu.

Jika tetangga Anda adalah kerabat dan Muslim, maka mereka memiliki tiga hak
pada Anda: hak tetangga, hak kerabat, dan hak se-agama.

https://islamindonesia.id 723
Jika mereka non-Muslim dan kerabat, maka mereka memiliki dua hak: tetangga dan
kerabat. Dan jika mereka non-Muslim di luar keluarga, Anda berutang hak tetangga
kepada mereka.

Mengacu pada hal ini, Allah SWT berfirman:

Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapak, karib kerabat, anak-anak yatim,
orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, teman sejawat,
ibnu sabil, dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang
yang sombong dan membangga-banggakan diri.” (QS. An-Nisa : 36)

Cukup untuk mengatakan bahwa Nabi dinyatakan dalam suatu hadis, Malaikat Jibril
pernah terus mendesak beliau untuk mengobati tetangganya dengan ramah,
sampai-sampai Nabi membayangkan bahwa tetangga bisa mewarisi dari
tetangganya.

Berikut merupakan beberapa tips tentang cara hidup bahagia bertetangga dengan
non-Muslim Anda, dengan cara baik dan mencontohkan sikap Islam:

1 – Menjadi baik untuk tetangga tidak hanya terbatas pada mereka yang berbagi
gedung yang sama dengan Anda. Teman sekamar Anda di asrama adalah tetangga;
orang yang duduk di belakang Anda atau di samping Anda dalam bus atau di halte
bus adalah tetangga Anda; yang berbagi kantor Anda di tempat kerja adalah
tetangga; orang yang menikmati udara segar di sebelah Anda di sebuah taman
umum juga tetangga. Anda harus memperlakukan semua orang dengan hati yang
baik hati.
2 – Perkenalkan diri Anda dan keluarga Anda kepada tetangga Anda ketika
Anda pindah ke tempat baru atau ketika tetangga baru menemui Anda. Ini juga akan
membantu meringankan ketakutan atau ketegangan yang mungkin mereka miliki
tentang Muslim. Juga, jangan lupa untuk mengucapkan selamat tinggal atau sampai
bertemu kembali ketika Anda atau mereka menjauh.
3 – Menjaga persahabatan terus-menerus, terutama pada saat dibutuhkan dan
terjadi musibah. Seperti, jika tetangga sudah tua atau sakit kronis, menawarkan
untuk menjalankan tugas atau toko baginya merupakan suatu kebahagiaan yang
dapat melengketkan hubungan bertetangga.
4 – Dalam berurusan dengan tetangga, lebih aman untuk berurusan dengan
orang-orang dari jenis kelamin yang sama seperti dirimu sendiri. Ini tidak berarti
bahwa Anda harus berhenti bersosialisasi di tempat kerja atau sekolah dengan
rekan kerja non-Muslim atau teman sekelas dari lawan jenis, tetapi menyadari jerat
setan. Setelah jam bersosialisasi harus dengan jenis kelamin yang sama Anda.

https://islamindonesia.id 724
5 – Sementara bersosialisasi dengan non-Muslim, berhati-hati menjadi terlalu
lunak dengan mengorbankan keyakinan dan prinsip-prinsip. Misalnya, jangan pergi
keluar minum-minum bersama mereka. Mereka akan menghargai Anda lebih ketika
Anda memegang prinsip-prinsip Anda daripada ketika Anda memilih melanggar
aturan.
6 – Selain berbagi ide, berbagi makanan dengan mereka, dengan mengundang
mereka makan malam pada akhir pekan atau menerima undangan mereka untuk
sama, asalkan Anda membiarkan mereka tahu tentang pembatasan makanan Anda
sebagai seorang Muslim.
7 – Kunjungi satu sama lain, sehingga keluarga dapat berinteraksi dengan cara
yang baik dan saling membangun kebaikan. Jika diskusi tidak beralih ke agama,
fokus pada bidang kesamaan. Sebagai contoh, jika tetangga Anda adalah orang
Kristen, maka hindari perdebatan terkait agama yang dapat memicu konflik. Jika
mereka mengawali pembicaraan terkait Yesus dan Allah, katakan saja pada mereka
bahwa Rasul memerintahkan pada kita untuk saling menghargai perbedaan.
Katakan bahwa Islam menghormati semua Nabi Allah dan Rasul-Nya. Dan, Yesus
diberikan status khusus di antara Nabi dan Rasul Allah.
8 – Saat Anda bersosialisasi dengan tetangga, terkadang muncul pula secara
tidak sengaja maupun sengaja terkait agamamu (Islam) dengan cara yang terbaik.
Jika Anda dihadapkan dengan pertanyaan yang sulit atau distorsi tentang Islam,
jangan malu untuk berhenti sejenak dan memberitahu mereka bahwa Anda akan
mencoba untuk menghubungi orang yang memiliki wawasan lebih luas untuk
mencari bimbingan mengenai masalah yang diajukan. Dengan demikian, hubungan
bertetangga akan tetap baik, dan dapat terhindar dari konflik.
9 – Jika tetangga Anda menunjukkan minat pada Islam, menghadiri acara Islam,
dan bahkan ikut menemani Anda ke masjid untuk melihat bagaimana rasanya
menjadi seorang Muslim, mungkin mereka mendapat hidayah. Tapi, jika mereka
tetap non-Muslim, setidaknya Anda telah berhasil memecahkan penghalang. Anda
juga dapat mengunjungi gereja di mana tetangga Anda berdoa jika mereka
mengundang Anda untuk melakukan itu, tapi di sini Anda harus berhati-hati untuk
tidak melakukan perbuatan yang melarang agama Anda.
10 – Selalu ingat bahwa Allah menjanjikan pahala berlimpah di akhirat kelak bagi
orang-orang yang menunjukkan kebaikan pada tetangga.

Sumber: Muslim Village/ On Islam


(Sumber: https://islamindonesia.id/kolom/10-tips-hidup-bahagia-bertetangga-dengan-non-muslim-
2.htm)

https://islamindonesia.id 725
Wednesday, 26 March 2014

Syafi’i Maarif Tentang Pemikiran Cak Nur

Rabu siang ini (26/3), Penerbit Mizan Pustaka akan kembali meluncurkan salah
satu karya terbaik almarhum Nurcholish Madjid (Cak Nur): Islam Kemodernan dan
Keindonesiaan. Sebagai pengantar peluncuran tersebut redaksi Islam Indonesia
akan menayangkan kembali pendapat Buya Ahmad Syafi’I Maarif mengenai
pemikiran Cak Nur yang pernah dimuat di Majalah Ulumul Qur’an pada sekitar 21
tahun lalu. Kendati sudah begitu lama, namun kami berpikir pendapat Buya tersebut
masih sangat relevan hingga kini. Selamat membaca.

APA yang dilakukan Nurcholish Madjid tahun 70-an merupakan shock therapy yang
positif bagi umat. Hanya saja beberapa ungkapan bahasa yang dipakainya, seperti
membedakan antara sekularisasi dengan sekularisme, menimbulkan
kesalahpahaman. Sekularisasi dengan sekularisme tidak dapat dipisahkan. Tapi itu
sebenarnya sudah diralat Cak Nur sendiri dengan mengirimkan surat ke
majalah Tempo sekitar tahun 80-an yang mengatakan bahwa sebenarnya istilah-
istilah yang dipakainya misconception.

Sekularisasi merupakan pembumian paham sekularisme. Tapi seorang sarjana


Pakistan yang bernama al-Faruqi, mengatakan sekularisasi adalah proses yang tak
ada hubungannya dengan paham sekuler. Baginya logis saja. Tapi bagi saya, tak
bisa diselesaikan seperti itu. Contohnya modernisme tak dapat dipisahkan dengan
modernisasi, kecuali kita memberikan definisi khusus pada istilah-istilah tersebut.
Tentunya definisi itu harus berdasarkan standar yang ada.

Dalam sejarah pemikiran Islam klasik, pendapat kontroversial bukan hal aneh. Itu
sangat biasa. Tapi level pemikiran kita baru pada tahap “baru mau belajar berpikir”
maka jika ada gugatan sedikit saja terhadap konsep yang sudah mapan, langsung
menimbulkan kehebohan. Jika umat Islam sudah cerdas dan penapat-pendapat
yang kontroversial itu keluar dengan dilandasi niat yang sungguh-sungguh untuk
meningkatkan atau membawa umat ke martabat yang lebih tinggi, maka tidak ada
masalah. Sebab setiap pembaruan pemikiran, kalau memang merefleksikan
kebenaran adalah sah. Pemikiran pembaruan yang masih dalam bingkai iman
merupakan sesuatu yang baik.

https://islamindonesia.id 726
Yang harus dijaga adalah perasaan mayoritas umat yang belum paham. Misalnya
tentang Assalamua;laikum-nya Gus Dur; Tiada tuhan selain Tuhan-nya Cak Nur. Hal
itu counter productive dan tak perlu dikemukakan, karena akan menimbulkan
kecurigaan orang banyak. Akibatnya , semakin menjauhkan tanggapan positif umat
terhadap pemikiran-pemikiran yang lebih besar.

Dalam kaitan dengan umat lain, kita harus saling menghargai dan mengapresiasi
agama masing-masing.Tapi yang terpenting, kita harus saling menghargai, dan
jangan sampai merobek-robek rumah kemanusiaan kita. Jangan ada tujuan-tujuan
saling meniadakan. Agama harus disampaikan secara manusiawi. Tidak melalui
pendekatan yang bertujuan politik tertentu.

Jika kita memverifikasi pemikiran Cak Nur, maka tak benar bila ada orang yang
menyatakan bahwa ia menganggap semua agama sama. Kesimpulan salah tersebut
hanya tafsiran sebagian orang saja. Kalau dikatakan semua agama yang datangnya
dari Tuhan itu islam, memang betul. Tapi kita juga harus ingat, dalam proses sejarah
pernah terjadi distorsi-distorsi cukup parah, baik di bidang teologi maupun
filsafat. Namun karena orsinilitas kitab sucinya, Islam terbebas dari distorsi-distorsi
teologi yang parah tersebut. Karena itu, perbedaan pemikiran dalam Islam,
bagaimanapun masih tetap dalam bingkai Qur’an.

Seperti diketahui, yang pertama ditekankan Islam adalah prinsip tauhid.


Implikasinya, pertama-tama kita harus berprinsip bahwa manusia itu sama, satu
keluarga. Ajaran egaliter harus ditekankan supaya misi agama dalam keadilan sosial
dan ekonomi terwujud. Karena itu, Indonesia harus menjadi negara demokrasi.
Konsep tauhid tak bisa dibumikan kalau tidak ada keadilan sosial politik.

Kelemahan pemahaman tauhid kita selama ini karena kita menganggap sekakan-
akan tauhid antitesisnya adalah syirik dan tak punya keterkaitan dengan masalah
keduniaan seperti keadilan sosial dan egalitarianitas. Fazlur Rahman sangat tegas
dalam masalah ini berdasarkan pemahaman terhadap Qur’an. Untuk menyadarkan
umat Islam terhadap prinsip tauhid itu dibutuhkan waktu lama dan sistematika yang
terencana, sebab konsepnya abstrak. Seperti Rasulullah, khusus untuk mengajarkan
doktrin tauhid dan iman di madrasah-madrasah pada zamannya, memerlukan waktu
sekitar 13 tahun. Kaum Quraisy yang kapitalistik, feudal dan zalim merasakan begitu
hebatnya implikasi doktrin tauhid tersebut.

Berkaitan dengan kalimat tauhid yang diterjemahkan Cak Nur di atas, Dr. Bachtiar
Abdullah pernah menyatakan bahwa yang kurang cermat dari penerjemahan Cak
Nur adalah tak diperhatikannya tradisi lisan Indonesia. Dalam tradisi lisan, umumnya
orang Indonesia tak bisa membedakan pengucapan “t” kecil dengan “T” besar (tuhan

https://islamindonesia.id 727
dan Tuhan), hingga bisa menimbulkan distorsi pemahaman. Padahal yang hendak
dinyatakan Cak Nur adalah bahwa Tuhan itu hanya Allah sedangkan yang lain tidak
ada. Saya sebagai orang yang seperguruan dengan Cak Nur (sama-sama belajat di
Universitas Chicago dan sama-sama murid Fazlur Rahman) tahu maksud baik Cak
Nur. Jadi kontroversi yang ada selama ini adalah akibat kurangnya komunikasi
semata.

Namun yang penting, jika Cak Nur sudah membuka diri, maka seharusnya tokoh-
tokoh agama lain pun harus membuka diri. Jika kita sudah sama-sama terbuka
untuk menerima atau menolak—sesuai dengan ‘keterbukaan yang dituntut Qur’an—
maka kecurigaan sepihak akan sirna. Islam adalah agama terbuka. Karena itu dialog
mencari kebenaran sangat penting. Dalam hal ini, saya masih percaya niat baik
Nurcholish.

Sumber: Majalah Ulumul Qur’an No.1, Vol.IV Th.1993

(Sumber: https://islamindonesia.id/kolom/syafii-maarif-tentang-pemikiran-cak-nur-2.htm)

https://islamindonesia.id 728
Tuesday, 25 March 2014
Keadilan dalam Sejarah Islam

“Demi Allah, jikalau putriku Fatimah mencuri, maka aku sendiri yang akan
memotong kedua belah tangannya.” (Hadits Bukhari).

JAZIRAH Arab sebelum 571 M laksana hutan rimba. Keadilan merupakan barang
asing bagi orang-orang Arab saat itu. Segala sesuatu ditentukan oleh kekuatan
materi dan otot. Siapa yang kuat, berhak memangsa yang lemah.

”Etos kerja mereka adalah murua’ah (keberanian dalam berperang),kebrutalan


menjadi-jadi.Hanya yang kuat yang dapat bertahan dan itu berarti yang lemah
dienyahkan atau dieksploitasi secara memilukan,”tulis Karen Armstrong dalam
Muhammad, A Biography of the Prophet.

Situasi tersebut terus terjadi dan seolah menjadi kehendak Tuhan.Hingga pada
suatu hari lahirlah seorang bayi Arab asal suku Quraisy yang diberi nama
Muhammad, yang memiliki arti yang terpuji.Tuhan kemudian memberi jalan kepada
orang Arab lewat wahyu yang disampaikan kepadanya.

Karut marut sosial dan centang perenang moral yang dimiliki masyarakat Arab
secara perlahan dibenahi lewat jalan itu. Keadilan ditegakan, hukum kembali
diberlakukan. Muhammad memberikan kesadaran kepada orang-orang bahwa
hukum adalah aturan main dalam hidup. Dan seolah mengikuti keyakinan seorang
Socrates, ia menjalankan hukum sesuai dengan apa yang ia ketahuinya. Maka
bergeraklah hukum sebagai panglima:tidak pandang bulu dan wajib konsisten.

Begitu konsistennya, hingga Muhammad sendiri menjamin keabsahan aturan hukum


tersebut dengan kata-katanya yang sangat terkenal: “Demi Allah, jikalau putriku
Fatimah mencuri, maka aku sendiri yang akan memotong kedua belah tangannya.”

Setiap perkataan dan perbuatan pasti akan diuji.Begitu juga dengan yang terjadi
dengan Muhammad. Suatu hari, seseorang mengaku pernah mendapat pukulan tak
sengaja dalam satu pertempuran dari Muhammad. Ia merasa tak terima dan
menuntut Muhammad untuk merasakan apa yang ia rasakan kala terpukul oleh
Muhammad.

Namun Muhammad sangat bersabar dengan ujian tersebut. Dengan tenang, ia


lantas membuka pakaiannya dan memberikan perutnya untuk dipukul sang
penuntut. Dan alih-alih memukul, si penuntut malah menghamburkan ciuman ke
perut sang lelaki suci tersebut sambil berujar: “Ya, Allah aku tidak memiliki niat

https://islamindonesia.id 729
sedikit pun untuk memukul perut kekasihMu yang agung. Aku hanya ingin
menciuminya saja. Tidak lebih.”

Syahdan, puluhan tahu setelah kejadian itu, di masa pemerintahan rasyidin ketiga,
seorang Yahudi Mesir mengajukan gugatan kepada Khalifah Umar ibn Khattab di
Medina. Pasalnya ia merasa keberatan dengan rencana pembangunan masjid di
atas tanah miliknya oleh Amir ibn Ash, sang gubernur Mesir.

Mendapat pengaduan tersebut, Khalif Umar lantas mengumpulkan segala bukti dan
saksi. Keputusan terakhirnya: Amir ibn Ash telah berlaku tidak adil dengan
mengambil secara paksa tanah milik Yahudi tua tersebut.Maka tanah itu harus
dikembalikan kepada pemiliknya dengan disertai pembayaran ganti rugi imaterial
sejumlah uang. Lagi-lagi hukum berlaku tanpa mengenal agama dan ras.

Sikap adil menjadi salah satu ciri yang memperkuat nilai-nilai moral spiritual
sepanjang 30 tahun pemerintahan rasyidin. Itu dibuktikan dengan terselenggaranya
praktek hukum secara konsisiten dan tanpa mengenal diskriminasi.

Situasi tersebut menyebabkan terjadinya keseimbangan sosial yang maksimal.


Tanpa rasa takut, setiap orang menuntut dengan bebas setiap ada haknya yang
belum terpenuhi. “Secara hukum saat itu, situasi clean governance berjalan dengan
prima,”ujar Mohamad Arkoun dalam sebuah artikelnya di Majalah Ulumul Qur’an.

Ideal sebuah fungsi hukum tentu saja adalah menyeimbangkan antara hak dan
kewajiban masyarakat. Karena itu, diperlukan orang-orang yang selain memahami
bab-bab hukum juga yang terpenting adalah bisa melaksanakan tugas
penyeimbangan sosial tersebut. Itu penting, karena jika hanya mengandalkan
kepahaman belaka, tanpa idealisme maka yang terjadi adalah hukum hanya menjadi
“prajurit” dan bisa diarahkan kemana saja. Akibatnya ketidakseimbangan sosial pun
terjadi: praktek kolusi, korupsi dan nepotisme dianggap tradisi.

Supremasi hukum atau hukum sebagai panglima bukanlah sesuatu yang tidak bisa
dicapai oleh Indonesia. Sebagai bangsa yang mengaku beradab, sudah selaiknya
kita menengok kembali esensi ajaran-ajaran agama besar tentang keadilan.
Terlebih, Islam sebagai agama yang dianut oleh mayoritas manusia Indonesia
memiliki sikap yang jelas terhadap supremasi hukum. Lalu apa lagi yang harus
ditunggu? Bukankah kita tidak ingin kembali jatuh ke era jazirah Arab sebelum 571
Masehi?

Sumber: Islam Indonesia


(Sumber: https://islamindonesia.id/kolom/keadilan-dalam-sejarah-islam-2.htm)

https://islamindonesia.id 730
Tuesday, 25 March 2014
Keadilan dalam Sejarah Islam
“Demi Allah, jikalau putriku Fatimah mencuri, maka aku sendiri yang akan
memotong kedua belah tangannya.” (Hadits Bukhari).

JAZIRAH Arab sebelum 571 M laksana hutan rimba. Keadilan merupakan barang
asing bagi orang-orang Arab saat itu. Segala sesuatu ditentukan oleh kekuatan
materi dan otot. Siapa yang kuat, berhak memangsa yang lemah.

”Etos kerja mereka adalah murua’ah (keberanian dalam berperang),kebrutalan


menjadi-jadi.Hanya yang kuat yang dapat bertahan dan itu berarti yang lemah
dienyahkan atau dieksploitasi secara memilukan,”tulis Karen Armstrong dalam
Muhammad, A Biography of the Prophet.

Situasi tersebut terus terjadi dan seolah menjadi kehendak Tuhan.Hingga pada
suatu hari lahirlah seorang bayi Arab asal suku Quraisy yang diberi nama
Muhammad, yang memiliki arti yang terpuji.Tuhan kemudian memberi jalan kepada
orang Arab lewat wahyu yang disampaikan kepadanya.

Karut marut sosial dan centang perenang moral yang dimiliki masyarakat Arab
secara perlahan dibenahi lewat jalan itu. Keadilan ditegakan, hukum kembali
diberlakukan. Muhammad memberikan kesadaran kepada orang-orang bahwa
hukum adalah aturan main dalam hidup. Dan seolah mengikuti keyakinan seorang
Socrates, ia menjalankan hukum sesuai dengan apa yang ia ketahuinya. Maka
bergeraklah hukum sebagai panglima:tidak pandang bulu dan wajib konsisten.

Begitu konsistennya, hingga Muhammad sendiri menjamin keabsahan aturan hukum


tersebut dengan kata-katanya yang sangat terkenal: “Demi Allah, jikalau putriku
Fatimah mencuri, maka aku sendiri yang akan memotong kedua belah tangannya.”

Setiap perkataan dan perbuatan pasti akan diuji.Begitu juga dengan yang terjadi
dengan Muhammad. Suatu hari, seseorang mengaku pernah mendapat pukulan tak
sengaja dalam satu pertempuran dari Muhammad. Ia merasa tak terima dan
menuntut Muhammad untuk merasakan apa yang ia rasakan kala terpukul oleh
Muhammad.

Namun Muhammad sangat bersabar dengan ujian tersebut. Dengan tenang, ia


lantas membuka pakaiannya dan memberikan perutnya untuk dipukul sang
penuntut. Dan alih-alih memukul, si penuntut malah menghamburkan ciuman ke
perut sang lelaki suci tersebut sambil berujar: “Ya, Allah aku tidak memiliki niat

https://islamindonesia.id 731
sedikit pun untuk memukul perut kekasihMu yang agung. Aku hanya ingin
menciuminya saja. Tidak lebih.”

Syahdan, puluhan tahu setelah kejadian itu, di masa pemerintahan rasyidin ketiga,
seorang Yahudi Mesir mengajukan gugatan kepada Khalifah Umar ibn Khattab di
Medina. Pasalnya ia merasa keberatan dengan rencana pembangunan masjid di
atas tanah miliknya oleh Amir ibn Ash, sang gubernur Mesir.

Mendapat pengaduan tersebut, Khalif Umar lantas mengumpulkan segala bukti dan
saksi. Keputusan terakhirnya: Amir ibn Ash telah berlaku tidak adil dengan
mengambil secara paksa tanah milik Yahudi tua tersebut.Maka tanah itu harus
dikembalikan kepada pemiliknya dengan disertai pembayaran ganti rugi imaterial
sejumlah uang. Lagi-lagi hukum berlaku tanpa mengenal agama dan ras.

Sikap adil menjadi salah satu ciri yang memperkuat nilai-nilai moral spiritual
sepanjang 30 tahun pemerintahan rasyidin. Itu dibuktikan dengan terselenggaranya
praktek hukum secara konsisiten dan tanpa mengenal diskriminasi.

Situasi tersebut menyebabkan terjadinya keseimbangan sosial yang maksimal.


Tanpa rasa takut, setiap orang menuntut dengan bebas setiap ada haknya yang
belum terpenuhi. “Secara hukum saat itu, situasi clean governance berjalan dengan
prima,”ujar Mohamad Arkoun dalam sebuah artikelnya di Majalah Ulumul Qur’an.

Ideal sebuah fungsi hukum tentu saja adalah menyeimbangkan antara hak dan
kewajiban masyarakat. Karena itu, diperlukan orang-orang yang selain memahami
bab-bab hukum juga yang terpenting adalah bisa melaksanakan tugas
penyeimbangan sosial tersebut. Itu penting, karena jika hanya mengandalkan
kepahaman belaka, tanpa idealisme maka yang terjadi adalah hukum hanya menjadi
“prajurit” dan bisa diarahkan kemana saja. Akibatnya ketidakseimbangan sosial pun
terjadi: praktek kolusi, korupsi dan nepotisme dianggap tradisi.

Supremasi hukum atau hukum sebagai panglima bukanlah sesuatu yang tidak bisa
dicapai oleh Indonesia. Sebagai bangsa yang mengaku beradab, sudah selaiknya
kita menengok kembali esensi ajaran-ajaran agama besar tentang keadilan.
Terlebih, Islam sebagai agama yang dianut oleh mayoritas manusia Indonesia
memiliki sikap yang jelas terhadap supremasi hukum. Lalu apa lagi yang harus
ditunggu? Bukankah kita tidak ingin kembali jatuh ke era jazirah Arab sebelum 571
Masehi?

Sumber: Islam Indonesia


(Sumber: https://islamindonesia.id/kolom/keadilan-dalam-sejarah-islam-2.htm)

https://islamindonesia.id 732
Monday, 24 March 2014
Bahagia Jadi Pelayan Tuhan

Tidak ada balasan kebaikan selain kebaikan pula—Ar Rohman: 60

Beberapa waktu lalu, Kantor Kabinet Inggris telah melakukan survei antara berbagai
pekerjaan dengan tingkat kebahagiaan hidup. Hasilnya, berdasarkan laporan BBC,
pekerja bar dianggap sebagai profesi yang tidak membahagiakan diikuti oleh buruh
bangunan dan penagih hutang.

Sementara itu, pekerja yang paling bahagia adalah para pendeta, diikuti petani dan
instruktur kebugaran.

Melihat hasil ini, pemerintah Inggris pun kemudian memandang bahwa masyarakat
perlu mengetahui hubungan antara gaji dengan kepuasaan hidup dalam kaitannya
dengan karir.

Ya, uang atau besarnya gaji dan tingginya status karir seseorang, dewasa ini
kadung dianggap sebagai penentu tingkat kebahagiaan seseorang. Hal ini ditandai
dengan semakin tidak meratanya tingkat ekonomi seseorang, atau bisa dikatakan
yang kaya semakin kaya, dan yang miskin semakin miskin.

Hasil survei kabinet itu menunjukkan bahwa antara pemasukan gaji dan kepuasan
hidup memang memiliki hubungan. Namun, yang terlihat sejumlah pekerjaan bergaji
tinggi dilakukan oleh orang yang justru memiliki tingkat kebahagiaan rendah, dan
sebaliknya yang bergaji rendah dilakukan dengan kebahagiaan tinggi.

Misalnya saja meskipun gaji rata-rata surveyor sebesar £39.000 per tahun, profesi
ini menduduki peringkat ke 41 dalam karir paling buruk dari 274 pekerjaan yang
diteliti.

Rata-rata petani berpenghasilan £24.000, tetapi mereka menduduki peringkat


kedelapan pada tingkat kebahagiaan.

Artinya, tingginya gaji seseorang tidak serta merta membuatnya bahagia. Bahkan,
dalam hal ini, orang yang berhasil menduduki posisi teratas paling bahagia, justru
mereka yang menjadi pelayan Tuhan.

Hasil survei ini jelas, mematahkan pendapat bahwa kebahagiaan hanya dimiliki oleh
orang-orang yang berada di garis atas, para konglomerat. Sebaliknya, kebahagiaan
merupakan hak setiap insan.
https://islamindonesia.id 733
Sehingga, kebahagiaan tidak terbatas pada tingkat ekonomi, kedudukan, tingginya
karir, atau banyaknya harta. Kebahagiaan akan hadir pada mereka yang (tidak
melihat banyaknya harta yang dimiliki), namun “membuka” hatinya untuk menjadi
bahagia. Mereka itu lah yang selalu mengucapkan “selamat datang kebahagiaan”
dan menanamkannya erat di hati. Karena sesungguhnya, kebahagiaan ada di dalam
sanubari setiap manusia.

Dan, pendeta atau pelayan Tuhan itu, bukankah bekerja sebagai penebar kebaikan
untuk sesama makhluk? Ini, pun mengingatkan kita pada sabda Tuhan dalam Ar-
Rohman ayat 60, tidak ada balasan kebaikan selain kebaikan pula.

Begitu pun dengan pekerjaan lainnya. Selama kita berbuat baik, menebarkan
kebaikan, dan berada di jalan Tuhan, bukan tidak mungkin jika kebaikan pula yang
akan menghampiri kita, bukan? Dan, bukankah kebahagiaan merupakan percikan
rahmat dari Dzat Pemiliki Rasa Bahagia?

(Sumber: https://islamindonesia.id/kolom/bahagia-jadi-pelayan-tuhan-2.htm)

https://islamindonesia.id 734
Wednesday, 19 March 2014

Sinterklaas dari Indonesia

Haji Agus Salim dalam kenangan seorang tokoh sosialis Belanda

CERITA-cerita menarik sekitar Haji Agus Salim (HAS) selalu bagai aliran sungai:
seolah tak jua berakhir. Ketika bertemu dengan salah seorang putrinya Oma Bibsy
Soenharjo (Siti Asia) banyak hal yang diceritakan oleh beliau yang membuat saya
secara pribadi semakin kagum kepada sosok lelaki yang dijuluki Bung Karno
sebagai The Grand Old Man tersebut.

Oma Bibsy berkisah kendati sebagian besar putra dan putri HAS tidak pernah
mengeyam bangku sekolah formal, namun itu tidak menjadikan mereka menjadi
bocah-bocah kuper. Bahkan sebaliknya, di bawah didikan langsung sang ayah
mereka justru tumbuh menjadi anak-anak yang cerdas dan berpengetahuan
terutama dalam penguasaan bahasa asing.

Lantas mengapa itu bisa terjadi? Oma Bibsy menyebut hal tersebut disebabkan
HAS mendidik mereka dalam situasi sangat demokratis. “ Patjee (panggilan
akrab keluarga untuk HAS) tak pernah memerintahkan atau memaksa kami untuk
belajar. Kalaupun ia ingin memberitahu sesuatu, pasti dilakukannya dalam suasana
santai dan penuh jenaka,”ujar perempuan sepuh yang menguasai secara baik
beberapa bahasa Inggris, Belanda dan Jepang tersebut.
Mohamad Roem, mengakui asyiknya belajar dari HAS. Berbeda dengan guru-guru
pada umumnya, HAS selalu tak menampilkan dirinya sebagai seorang yang paling
tahu. Materi pengajaran pun akan mengalir begitu saja laiknya momen obrolan
biasa. “ Ia selalu tanamkan kemauan untuk mencari sendiri pengetahuan lebih
lanjut,”tulis mantan diplomat dan tokoh Masyumi di buku Manusia dalam Kemelut
Sejarah itu.
Bukan hanya orang Indonesia saja yang merasakan hal tersebut. Jef Last, salah
satu tokoh sosialis Belanda, termasuk manusia yang sangat mengagumi HAS. Jeff
mengakui dari HAS-lah ia mendapatkan penjelasan yang mengesankan tentang
Islam. “ Dalam kebijaksanaannya yang riang, beliau telah berhasil menghilangkan
prasangka-prasangka yang bukan-bukan mengenai Islam yang saya peroleh ketika

https://islamindonesia.id 735
menjadi murid HBS Kristen…”tulis Jef Last dalam buku Seratus Tahun Haji Agus
Salim.

Begitu kagumnya Jef kepada HAS hingga seusai orang tua tersebut menyampaikan
ceramahnya di depan anak-anak muda Marxis Belanda di Kijkduin pada 1929, ia
nekat mengajak HAS untuk mengunjungi rumahnya di Jalan Baarsjes. Tanpa diduga
HAS menyambut baik ajakan Jef itu.

Hanya dalam waktu semalam saja, HAS telah berhasil menarik hati seluruh keluarga
Jef. HAS dengan gayanya yang santai berbicara akrab dengan seluruh anggota
keluarga Jef dan bercanda dalam cerita-cerita jenaka dengan anak-anaknya Jef. “
Dalam waktu satu jam, ia telah berhasil menarik hati anak-anak saya,” kenang Jef.

Femke, salah satu putri Jef sangat menyukai HAS. Begitu berkesannya Femke
kepada HAS sampai dalam suatu kesempatan ia bertanya kepada ayahnya: “Ayah,
apakah orang itu Sinterklaas dari Indonesia?”

Kedekatan jiwa HAS dengan anak-anak menjadikan ia mudah sekali mengajarkan


apapun kepada putra-putrinya. Ketika Jef mengungkapkan rasa heranya atas
kefasihan Islam (nama salah satu putra HAS) dalam berbahasa Inggris, ia bertanya
kepada HAS: “ Bagaimana mungkin anak itu menguasai bahasa Inggris begitu
bagus tanpa bersekolah?”

Menjawab pertanyaan itu, dalam nada santai seperti biasa, HAS menyatakan
kepada Jef: “ Apakah kamu pernah dengar tentang sebuah sekolah di mana kuda
diajari meringkik? Kuda-kuda tua meringkik sebelum kami, dan anak-anak kuda
tentunya akan ikut meringkik. Begitu pun saya meringkik dalam bahasa Inggris dan
otomatis si Islam pun ikut meringkik juga dalam bahasa Inggris.”

HAS memang selalu istimewa di mata siapa pun. Uniknya, kendati ia seorang
diplomat, sesepuh bangsa dan tentunya seorang yang sangat cerdas, tidak
menjadikannya silau terhadap materi. Sampai akhir hayatnya, mantan jurnalis itu
tetap memilih kesederhanaan sebagai jalan hidupnya.

Sumber: Islam Indonesia

(Sumber: https://islamindonesia.id/kolom/sinterklaas-dari-indonesia-2.htm)

https://islamindonesia.id 736
Monday, 27 January 2014

Islam Says “Big No” to Racism

Belum lama ini, ramai di media sosial dibicarakan tentang peristiwa “Avanza vs Truk
TNI” di kawasan tol Tomang, Jakarta, yang kabarnya melibatkan komentar-komentar
rasisme. Tentu saja kita perlu mendalami kasus tersebut agar dapat menilai dengan
adil apa yang sebenarnya terjadi. Namun tak urung peristiwa ini mengingatkan kita
pada sebuah survei tingkat rasisme negara-negara di dunia yang diadakan World
Value Survey.

Tahun 2013 lalu, lembaga tersebut mencoba mengukur tingkat rasisme di kalangan
masyarakat di 80 negara. Dalam survei itu, responden ditanya apakah mereka
bersedia bertetangga dengan orang dari suku/ras yang berbeda.

Hasil survei menunjukkan bahwa sebagian besar negara-negara di Dunia Barat lebih
toleran terhadap ras berbeda, dengan Inggris sebagai kampiun pertama, disusul
Amerika, Kanada, Australia, dan negara-negara Amerika Selatan.

Nah, bagaimana dengan Indonesia? Meski bukan termasuk 5 negara paling tidak
toleran terhadap perbedaan, yang ditempati antara lain oleh Bangladesh, India dan
Yordania, Indonesia tetap memperoleh raport merah. Responden asal Indonesia
yang menjawab tidak mau bertetangga dengan ras lain termasuk dalam rentang
persentase antara 30-39,9%. Tentu ini sebuah catatan besar untuk sebuah negara
yang memiliki keragaman suku dan budaya, yang mengumumkan “Bhinneka
Tunggal Ika” sebagai semboyannya, dan yang merupakan negara dengan populasi
Muslim terbesar di dunia.

Mengapa populasi Muslim terbesar di dunia sangat relevan dikedepankan dalam hal
ini? Karena Penghulu Muslim sendiri, Nabi Muhammad Saw., menentang keras
rasisme. Siapa tak tahu tentang khutbah Arafah, khutbah terakhir Rasulullah dalam
“Haji Perpisahan”?

“Allah menciptakan kalian bersaudara satu sama lain. Tak ada kelebihan orang Arab
di atas orang non-Arab, demikian juga tak ada kelebihan orang non-Arab dibanding
orang Arab. Mereka yang berkulit putih juga tidak lebih baik daripada mereka yang
berkulit gelap dan sebaliknya. Tak seorang pun lebih mulia dari lainnya kecuali
dalam taqwa dan amal saleh,” demikian Nabi menegaskan.
Kita pun mengenal Bilal, yang dipilih Rasulullah Saw. sebagai Sayyid al-Mu’azzin,
pengumandang adzan utama. Bilal pula pernah dipercayai Nabi sebagai pengurus

https://islamindonesia.id 737
Baitul Maal di Madinah. Kalau Islam tidak menentang rasisme, mungkinkah Bilal,
seorang bekas budak dari Afrika, mampu mencapai kedudukan setinggi itu?
Dan mari kita dengarkan pandangan seorang tokoh yang memiliki pengalaman
sebagai korban rasisme, seseorang yang pernah patah arang dengan gagasan
“dunia tanpa ras” (raceless world), namun kemudian berubah pikiran ketika
mengunjungi Kota Suci Mekah untuk beribadah haji. Inilah catatan Malcolm X,
sebagaimana dituangkan dalam autobiografinya:
“Tak pernah kusaksikan keramahan yang tulus, semangat persaudaraan sejati,
sepeti yang dipraktikkan oleh orang-orang dari berbagai ras dan suku bangsa di
Tanah Suci ini, di rumah Ibrahim, Muhammad, dan semua Nabi lain yang disebutkan
Kitab Suci. Selama sepekan terakhir, aku benar-benar tak mampu berkata-kata,
terpesona melihat kemurahan hati semua jamaah yang berasal dari berbagai
bangsa.
Selama sebelas hari di sini, di dunia Muslim, aku makan dari piring yang sama,
minum dari gelas yang sama, dan tidur di karpet yang sama—sambil berdoa
kepada Tuhan yang sama—dengan sesama Muslim, yang matanya paling biru di
antara yang biru , yang rambutnya paling pirang di antara mereka yang berambut
pirang, yang kulitnyapaling putih di antara yang putih. Dan dalam perkataan serta
perilaku Muslim berkulit putih itu, aku merasakan ketulusan yang sama dengan yang
aku rasakan di kalangan Muslim kulit hitam Afrika asal Nigeria, Sudan dan Ghana.”

Terakhir, marilah kita renungkan kembali firman Allah Swt. berikut, untuk memahami
kehendak-Nya tentang penciptaan manusia dalam keadaan yang berbeda-beda:

“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan
seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku
supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara
kamu di sisi Allah ialah orang yang paling takwa. Sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS 49:13).

Nah, kalau Rasulullah Muhammad Saw. yang hidup pada belasan abad lalu, sudah
terang-terangan menolak rasisme, mana mungkin kita menerima pernyataan rasis di
zaman sekarang? Hari gini gitu loh? []

(Sumber: https://islamindonesia.id/kolom/islam-says-big-no-to-racism-2.htm)

https://islamindonesia.id 738
Thursday, 23 January 2014

Ini pun Akan Berlalu

Yang jauh itu waktu yang telah berlalu. Yang besar itu nafsu. Yang berat itu amanah.
Yang ringan itu mengingkari janji. Yang abadi itu amal kebajikan. Yang paling pasti
itu kematian.

Alkisah terdapat seorang Raja yang kaya raya dan senang sekali mengoleksi
beraneka ragam hiasan emas. Di kerajaan itu hidup seorang tukang emas yang
sangat ahli, sangat kreatif dan bijak bestari, sehingga sang raja menaruh hormat
padanya. Mengetahui tukang emas itu sudah semakin lanjut usianya, sang raja
datang minta dibuatkan cincin seindah mungkin, siapa tahu cincin itu akan menjadi
kenangan terakhir.

Singkat cerita, tidak sampai sebulan tukang emas menghadap Raja menyerahkan
cincin pesanannya. Sang Raja sangat gembira dan memuji cincinnya yang sangat
indah. Namun ketika tukang emas hendak permisi, sang Raja mengajukan satu
permintaan: Harap kamu tuliskan kata-kata di cincin ini, kalimat apa yang bisa
mengingatkan pengalaman hidupmu yang membuat dirimu dikenal sebagai orang
bijak bestari dan dihormati di istana ini.

Tukang emas merenung sepanjang jalan. Berhari-hari, berminggu-minggu dia belum


menemukan kalimat apa yang mesti dituliskan. Dia merasa jauh lebih sulit
menemukan kata-kata yang diminta Raja ketimbang membuat cincinnya. Setelah
banyak merenung dan mengamati kehidupan sosial serta menerawang membaca
ayat-ayat semesta, akhirnya dia memperoleh inspirasi untuk dituliskan pada cincin
yang indah itu. Bunyinya: This too shall pass. Inipun akan berlalu.
Orang Arab mengatakan: Kulluhu maashy. Dalam bahasa Ibrani: Gam zeh yaavor.
Dalam frase Turki: Bu da gecer. Orang Yunani kuno punya frase: Panta rei. Alqur’an
menyebutkan: Kullu man ‘alaiha faan. Tak ada apapun dan siapapun yang abadi.
Semua akan berlalu dan berpisah dari kita.
Demikianlah, selesai menuliskan “This too shall pass”, cincin itu diserahkan pada
raja dan langsung dikenakan di jari manisnya. Raja tidak begitu paham apa maksud
tulisan itu. Aktivitas raja berlangsung seperti biasa, sampai satu saat raja
menghadapi problem serius di lingkungan istana yang membuatnya tercenung
sedih, duduk sendirian, dia baru memahami tulisan itu ketika tidak sengaja matanya
menatap cincin yang bertuliskan: This too shall pass. Maka hati sang Raja menjadi
tenang. Problem ini pun pasti akan berlalu, gumamnya. Emosi kesedihan dan
kemarahan menjadi turun.

https://islamindonesia.id 739
Di lain kesempatan, Raja menghadiri pesta yang hingar bingar. Berbagai kenikmatan
hidup terhidang, berpesta ria bersama keluarga dan para tamu-tamunya. Tiba-tiba
ada seorang teman yang tertarik dan memuji keindahan cincin yang dipakainya.
Maka mata sang Raja lalu menatap cincin dan, lagi-lagi, terbaca: This too shall pass.
Pesta kegembiraan inipun tak lama lagi pasti berlalu, gumamnya. Tak ada yang
abadi. Panta rei. Semuanya mengalir bagaikan arus sungai.

Demikianlah, gara-gara sebaris kalimat yang terukir di cincin itu suasana hati, pikiran
dan sikap Raja menjadi berubah. Dia memahami dan berterima kasih pada tukang
emas istana yang hidupnya terlihat tenang dan dihormati banyak orang. Bahkan
lebih bahagia dari dirinya. Karena dia selalu berada dalam keseimbangan, mampu
mengendalikan emosi dan pikiran baik di kala suka maupun duka. Selalu meyakini
bahwa suka dan duka adalah satu paket dalam kehidupan yang mesti disikapi
dengan bijak dan tenang.

Sadar bahwa hidup tidak abadi, jabatan raja pun tak lama akan berlalu, maka dia
berubah total menjadi raja yang adil, pemurah, dan penolong bagi rakyatnya.
Sebelum jatah umur ini pun berlalu, kata Raja pada dirinya, saya mesti
meninggalkan warisan buat rakyatku yang membuat aku akan dikenang sebagai raja
yang baik dan selalu melayani dan membela rakyatku dari himpitan kebodohan,
kemiskinan dan ancaman kerajaan lain. Apa yang aku miliki adalah apa yang aku
berikan pada rakyatku. Apa yang akan aku bawa mati adalah apa yang aku wariskan
buat rakyatku.

Sebagaimana sang raja, saya pun dibuat tercenung dengan kalimat pendek di
atas: This too shall pass. Tanpa disadari waktu senantiasa berjalan. Semenit yang
lalu sudah teramat jauh dan tidak bisa diputar kembali. Kakimu tidak akan bisa
menginjakkan air yang sama di sebuah sungai, kata Heraklitos. Panta rei.
Semuanya mengalir. Wal’ashri. Demi masa, Al Qur’an memperingatkan. Sungguh
manusia dibuntuti bayang-bayang kerugian jika tidak mampu mengisi usianya
dengan iman dan amal kebajikan yang keduanya akan menjadi sayap mengantarkan
perjalanan manusia untuk melanjutkan drama hidupnya setelah kematian nanti.

Bagi para pejabat negara rasanya perlu direnungkan dan dicerna dalam-dalam
kalimat pendek di atas: Ini pun akan berlalu. Jangan karena usia jabatan sangat
pendek dan pasti berlalu kemudian bersikap mumpungisme dengan melakukan
korupsi sesuka hati. Usia sebuah jabatan itu sangat pendek, sebuah peluang emas
untuk membantu dan melayani sebanyak mungkin masyarakat.

Apakah warisan yang akan aku tinggalkan dengan jabatan yang singkat ini?
Kenangan dan penilaian apa yang tertanam di hati rakyat ketika aku sudah purna

https://islamindonesia.id 740
tugas? Panta rei. Yang jauh itu waktu yang telah berlalu. Yang besar itu nafsu. Yang
berat itu amanah. Yang ringan itu mengingkari janji. Yang abadi itu amal kebajikan.
Yang paling pasti itu kematian.

Sumber: Kompas, 01 September 2012/LS


(Sumber: https://islamindonesia.id/kolom/ini-pun-akan-berlalu-2.htm)

https://islamindonesia.id 741
Saturday, 18 January 2014

Mentalitas Kuli dan Inferioritas Sebuah Bangsa

Ketika perlakuan terhadap modernisme menyimpang menjadi suatu pemujaan

Saya sering mendapatkan buku-buku bagus dan berbobot terbitan Mizan, Serambi,
Gramedia dan Kanisius justru saat buku-buku tersebut sedang diobral. Yang
seringkali membuat hati miris adalah: buku-buku tersebut hanya ‘mengalami’
cetakan pertama saja serta tidak ada cetakan kedua dan seterusnya. Bayangkan,
menjual buku bermutu sebanyak 3000 eksemplar ke seluruh Indonesia, yang
penduduknya hampir berjumlah 300 juta jiwa, dan jumlah mahasiswanya jutaan,
tetap saja buku-buku bermutu itu tidak dilirik, hingga harus diobral. Apologinya selalu
begini: “Habisnya, harga buku mahal, tapi kalau gadget dan smartphone sih tidak
pernah ada kata mahal, begitu juga pulsa dan koneksi internet, ratusan ribu pun
pasti gue jabanin…”

Namun tahukah Anda, bahwa buku seharga 100 ribu itu sudah buku yang tebal dan
luks namun bisa bertahan lama dan bisa dibaca terus bertahun-tahun, sementara
pulsa dan koneksi internet, 300 ribu habis tak bersisa dalam sebulan jadi obrolan tak
berarti, caci maki tak berguna serta curhat omong kosong di media sosial…?

Kita selalu berkeluh kesah soal Indonesia yang terbelakang, Indonesia yang tak
menjadi pusat pengetahuan, Indonesia yang amburadul, dan Indonesia yang begini
begitu. Namun, mari sejenak kita bercermin pada diri sendiri: ‘Bukankah kita—
termasuk saya sendiri—adalah kontributor langsung atas ambruk dan gombalnya
Indonesia ini dengan gaya hidup dan cara konsumsi kita?’ Termasuk dalam cara kita
mengomsumsi pengetahuan.

Di satu sisi, kita melihat orang-orang berlomba mencari sekolah terbaik, jurusan
favorit, persetan dengan bakat pribadi yang penting sekolah dan jurusan favorit demi
selembar ijazah lalu jadi kuli berdasi. Pendidikan hingga tahap perguruan tinggi pun
hanya berfungsi untuk melanggengkan mentalitas kuli, dan bukannya mencetak para
pemilik pengetahuan. ‘Anak-anak pintar’ lahir dari bimbingan belajar yang hanya
mengajari bagaimana cara cepat menyelesaikan soal, dan bukan cara ‘bagaimana
memahami ilmu secara mendasar’. Para dosen tua dengan liciknya mencuri karya

https://islamindonesia.id 742
mahasiswa untuk diakui sebagai karya miliknya, dan para dosen muda sibuk
bertanya ‘berapa bayaran saya kalau mengajar mata kuliah anu?’, lagaknya sudah
seperti ilmuwan besar yang punya banyak ilmu, padahal andalannya hanya secuil
ilmu yang itu-itu saja saban tahun dan diajarkan pada semua mahasiswa di setiap
tahun ajaran baru. Pendidikan hanya untuk melanggengkan mentalitas kuli, bukan
untuk menumbuhkan kecintaan pada ilmu dan pengetahuan.

Di sisi lain, kita melihat orang-orang yang—secara sadar atau tidak sadar—
bermental inferior terhadap Barat, gandrung pada ilmu, senang belajar secara
mendalam namun hanya menjadi pelayan wacana Barat yang dengan sembrononya
lalu menerapkan semua wacana itu untuk mengoreksi agama—misalnya mulai dari
antusiasme lebay bahwa agama itu harus rasional seperti filsafat dan sains (tanpa
sadar bahwa dengan demikian agama justru malah dikerdilkan), jilbab dianggap
opresi terhadap perempuan, poligami itu pelacuran atau perselingkuhan dan lain
sebagainya. Dalam salah satu makalahnya, St. Sunardi, misalnya, pernah
berkomentar tentang wacana Islam Liberal, yang menurutnya adalah aliran
pemikiran yang tujuannya adalah untuk melayani wacana rasional modern dan
bukan untuk agama itu sendiri. Ini sebuah kritik yang tajam dan jitu.

Maka, tepatlah kiranya paparan dari Jane Idelman Smith dan Yvonne Yazbeck
Haddad bahwa “Semua penulis modern, dengan satu atau lain cara, mengambil ide-
ide Barat untuk mengungkapkan Islam, dan semuanya merespons dalam bentuk
tertentu terhadap apa yang mereka lihat sebagai penegasan utama pada
rasionalisme yang menjadi ciri kuat mayoritas pemikiran Barat. Tetapi respons yang
muncul cukup beragam. Kenyataannya, mayoritas penulis muslim kontemporer
memilih untuk sama sekali tidak membahas kehidupan akhirat. Mereka cukup puas
dengan hanya menegaskan realitas hari pengadilan dan akuntabilitas manusia tanpa
menyajikan perincian atau bahasan yang lebih mendetail. Ada beberapa alasan
kenapa fenomena ini mengemuka. Salah satunya adalah semacam rasa malu atas
uraian riwayat terperinci mengenai kehidupan di alam kubur dan tempat pemberian
ganjaran, yang dipersoalkan oleh para rasionalis modern.” Maka, jangan heran kalau
banyak kajian keislaman belakangan ini hanya bergerak di ranah kesalehan sosial
seperti toleransi, pluralisme dan dialog antar umat beragama, namun hukum-hukum
agama seperti yang dituliskan di atas, di hajar satu per satu demi melayani dan agar
selaras dengan wacana (Barat) modern.

Hasilnya? Adalah seperti yang dipaparkan oleh William Chittick:

“Mengingat bahwa proses sekolah modern berakar pada topik-topik dan modus-
modus pemikiran yang tidak selaras dan tidak sejalan dengan pembelajaran Islam
tradisional, maka sangat sulit kiranya bagi Muslim yang berpikir dan mengamalkan

https://islamindonesia.id 743
Islam untuk menyelaraskan ranah pemikiran dan teori dengan ranah keimanan dan
amal perbuatan. Siapa pun tak dapat belajar selama bertahun-tahun dan kemudian
tidak tersentuh oleh apa pun yang telah dia pelajari. Orang tak bisa terhindar dari
kebiasaan-kebiasaan mental yang ditimbulkan dari materi yang dipelajarinya
sepanjang hidup. Kemungkinan besar, cukup besar tetapi tidak sepenuhnya, para
emikir modern dengan keyakinan agama tak bisa menghindar dari memiliki benak
yang terkompartemenkan. Satu kompartemen pikiran akan mencakup ranah
profesional dan rasional, sedangkan kompartemen yang lain menampung ranah
ketakwaan dan amal pribadi. Secara lebih umum, hal ini terjadi pada kebanyakan
orang yang dibesarkan dalam suasana tradisional dan kemudian dididik dalam gaya
modern. Pemikir Iran, Daryoush Shayegan, yang secara fasih menulis sebagai filsuf
dan kritikus sosial yang sedang berjuang melawan fenomena ini, menyebutnya
sebagai ‘skizofrenia cultural’.

Kaum beriman yang cenderung bijaksana yang terperangkap dalam skizofrenia


kultural tadi mungkin mencoba merasionalisasikan hubungan antara praktik
keagamaan mereka dan pelatihan profesional mereka, tetapi mereka akan
melakukannya dalam kerangka pandangan-dunia yang ditentukan oleh aspek
rasional dari pikiran mereka. Pandangan Islam tradisional, yang dibangun oleh Al-
Quran dan diwariskan oleh berbagai generasi Muslim, akan tertutup bagi mereka,
dan karenanya mereka akan menarik kategori-kategori dan pola-pola berpikir
mereka dari Zeitgeist yang selalu berubah yang muncul dalam beragam trend
budaya kontemporer dan dipopulerkan melalui televisi dan bentuk-bentuk lain
indoktrinasi massal.”

Semoga Allah melindungi saya dan Anda—yang mulai menyadari betapa kritisnya
masalah ini—dari hal yang sedemikian. Amin Ya Rabb Al-Alamin.

*) Alfathri Adlin adalah Direktur Pustaka Matahari. Selain aktif di Masjid Salman ITB,
ia kini tengah bolak-balik Bandung-Jakarta untuk menyelesaikan pendidikannya di
STF Driyarkara. Puluhan tulisannya bertebaran di berbagai media nasional dan
jurnal ilmiah, terutama yang terkait dengan tasawuf dan spiritualitas.

Sumber :Islam Indonesia


(Sumber: https://islamindonesia.id/kolom/mentalitas-kuli-dan-inferioritas-sebuah-bangsa-2.htm)

https://islamindonesia.id 744
Thursday, 16 January 2014

Dahsyatnya keyakinan

oleh: PROF DR KOMARUDDIN HIDAYAT

KEPERCAYAAN itu mendatangkan ketenangan. Betapa repot dan gelisahnya hidup


kalau seseorang selalu dalam keraguan. Tanpa disadari kita selalu memercayakan
sebagian nasib hidup kita pada sopir, bank, dokter, pembantu, restoran dan sekian
orang yang memiliki hubungan kerja dan memiliki keterkaitan dengan kita.

Apa yang terjadi jika setiap mau makan di restoran kita ragu-ragu, jangan-jangan
sajiannya mengandung racun? Bahkan orang tua yang capai bekerja mencari uang
untuk biaya sekolah anak anaknya, mereka mesti memercayakan proses pendidikan
anak-anaknya pada guru. Begitu pun ketika sakit, mereka percayakan pada dokter
untuk menuliskan resep obat-obatnya. Sesampai di apotek, kita percaya saja pada
apotekernya.

Apoteker pun gantian memercayakan pada asisten apoteker dalam meramu obat.
Meskipun mendatangkan ketenangan, kepercayaan masih bisa dibuat berjenjang.
Ada kepercayaan yang tidak mendatangkan risiko kalaupun salah.

Adakah orang mau percaya atau tidak terhadap adanya hantu, tidak punya
pengaruh signifikan dalam kehidupan seseorang. Apakah orang percaya atau tidak
bahwa Neil Armstrong pernah menginjakkan kakinya di bulan, tak ada pengaruh
apa-apa bagi orang-orang kampung di desaku.

Tidak juga menambah atau mengurangi keimanannya dalam beragama. Tetapi ada
kalanya terjadi sebuah penyesalan dan kerugian akibat kepercayaan yang salah.
Atau ada orang yang mengkhianati sebuah kepercayaan. Misalnya kasus bank yang
melarikan dana nasabahnya. Kita menyimpan uang di bank tentu berdasarkan
kepercayaan bank itu memang layak dipercaya, agar kita menjadi tenang dengan
menitipkan uang di situ.

https://islamindonesia.id 745
Kasus serupa bisa terjadi dalam bidang kehidupan lain. Sebab, yang namanya
kepercayaan mesti ada unsur spekulasi, meskipun sudah menggunakan
pertimbangan rasional. Makanya ada nasihat, jangan mudah percaya pada orang.

Berbeda dari kepercayaan, keyakinan lebih membekas pengaruhnya pada


seseorang. Keyakinan lebih menggerakkan emosi seseorang untuk membuat
keputusan dan berbuat sesuatu. Dalam keyakinan faktor emosi lebih terasakan
ketimbang sekadar percaya.

Keyakinan selalu berdampingan dengan sebuah tindakan, terutama tindakan yang


dianggap penting dan berisiko. Keyakinan mampu menggali kekuatan yang
tersimpan dalam diri seseorang. Dalam kehidupan beragama, faktor keyakinan ini
sangat vital dan fundamental. Banyak prestasi besar dalam peradaban dunia karena
dimotivasi oleh keyakinan agama. Banyak pula perang berkepanjangan dan
berdarah-darah dalam sejarah karena alasan keyakinan agama.

Kepercayaan dan keyakinan merupakan loncatan yang melewati pemahaman nalar


dan data empiris. Tanpa argumentasi dan penelitian ilmiah, kita yakin siapa ayah-ibu
kita. Betapa kacaunya rumah tangga kalau setiap anak meragukan orang tuanya,
sehingga mesti melakukan tesDNA.

Dalam beragama, keyakinan berakar pada keimanan akan eksistensi Tuhan dan
berbagai implikasi relasionalnya dengan kehidupan manusia. Ada orang yakin akan
adanya Tuhan sebagai penciptanya, tetapi tak lagi memiliki hubungan, sebagaimana
tukang jam yang telah menciptakan arloji, setelahnya putus hubungan.

Arloji itu bekerja sesuai mesin otomat yang diciptakannya. Ada orang yang yakin
pada Tuhan, dan Tuhan memerintahkan untuk menyembah-Nya serta menyediakan
surga bagi mereka yang taat, dan ancaman neraka bagi yang membangkang.
Kelompok ini pun terbagi tiga; ada yang taat, ada yang malas, ada yang
mengabaikan perintah-Nya meskipun mereka meyakini. Misalnya larangan korupsi,
banyak orang yang yakin tindakan itu dibenci Tuhan, namun tetap juga
melanggarnya.

Ada juga yang rajin pergi haji dan umrah dengan ongkos ratusan juta, itu semua
karena dilandasi keyakinan untuk bisa beribadah di Rumah Suci agar doanya lebih
dikabulkan. Yang paling fenomenal adalah orang yang rela mati dengan meledakkan
bom dengan keyakinan tengah berjihad membunuh musuh Tuhan. Mereka siap
hidup menderita dengan menyamar dan menyembunyikan identitasnya agar
aktivitasnya tidak diketahui aparat negara dan masyarakat.

https://islamindonesia.id 746
Bagi mereka kelihatannya nyawa begitu murah harganya, karena yakin surga dan
bidadari telah menanti. Dalam hal keyakinan ini ada yang benar-salahnya bisa
diverifikasi, namun ada yang tidak bisa. Misalnya dulu orang yakin bahwa Bumi itu
datar, dengan kemajuan sains sekarang sudah dibuktikan bahwa Bumi itu bulat.
Tetapi dalam keyakinan keagamaan, karena objek yang diyakini ada yang abstrak,
gaib, maka sulit dibuktikan secara empiris apakah sebuah keyakinan benar atau
salah.

Paling banter mereka saling beradu argumen, tetapi bukan bukti. Karenanya, tidak
mungkin menyamakan keyakinan agama. Jangankan keyakinan lintas agama,
sedangkan dalam satu umat seagama saja terdapat perbedaan paham dan
keyakinan dalam hal-hal tertentu. Konsekuensinya, keyakinan agama selalu bersifat
plural, majemuk, beragam, berbeda-beda.

Yang menjadi masalah adalah jika masingmasing ingin memaksakan paham dan
keyakinannya pada orang lain. Padahal kehidupan modern semakin plural, berbagai
paham agama, kepercayaan, ideologi kian bertemu dan bersinggungan, terlebih
dalam kota metropolitan. Ini semua sesungguhnya tidak asing bagi masyarakat
Indonesia yang sejak awal berdirinya sudah plural, sehingga muncul semboyan
Bhinneka Tunggal Ika.

Tetapi disayangkan, sekarang semakin bermunculan orang-orang dan kelompok


yang ingin memaksakan paham dan keyakinan kepada orang lain, sementara peran
dan posisi negara lemah dalam melindungi hak warganya dalam melaksanakan
keyakinan agama.

PROF DR KOMARUDDIN HIDAYAT


Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah

(Sumber: https://islamindonesia.id/kolom/dahsyatnya-keyakinan-2.htm)

https://islamindonesia.id 747
Tuesday, 14 January 2014
Muhammad Seorang Teroris?

Sepucuk surat untuk mendiang Pendeta Jerry Falwell yang saya tulis saat
memperingati 4 tahun terjadinya Black September

Brother Falwell,

Tiga bulan setelah 11 September 2001 yang membakar dunia itu, dari sudut tergelap
kaum Kristiani Amerika Serikat (AS), saya tahu dari beberapa media AS, dengan
penuh amarah anda langsung berteriak dalam nada provokatif kepada khalayak:
“Muhammad is a terrorist…”

Saya yakin, kata-kata anda itu tak memiliki pengaruh apa-apa terhadap sejarah. Itu
hanyalah sebuah igauan yang sarat dengan api (Jaques Lacan menyebutnya
sebagai bentuk represi neurotik). Dan saya yakin, pernyataan anda sama sekali
bukan perwakilan resmi dari dunia Kristiani yang sangat mengakbarkan cinta kasih.
Saya juga maklum bahwa di setiap peradaban orang-orang seperti anda selalu ada.
Seperti halnya kami juga memiliki Al Qaida, orang Yahudi punya Gush Emunim dan
orang Hindu memiliki Shiv Sena. Ya, mereka memang ada. Namun laksana duri:
kecil dan terabaikan.

Brother Falweel yang saya hormati,

Tahukah anda siapa Muhammad yang anda sering caci maki itu? Izinkankan saya
bercerita kepada anda sedikit tentang masa lalunya. Syahdan, saat itu adalah
Zulhijah 632 M. Usai wukuf di sebuah masjid bernama Namirah, seorang lelaki
bersegera memanggil khalayak untuk berkumpul di dekatnya. Di atas punggung unta
bernama al-Quswah, ia menyeru orang-orang untuk berhubungan secara adil
terhadap sesamanya, memperlakukan perempuan sebaik mungkin dan
meninggalkan perseteruan berdarah dari periode penyembahan berhala.

“Ketahuilah, setiap muslim adalah saudara bagi muslim lainnya…Tidak salah bila
kalian mengambil apa yang diberikan oleh saudara kalian dengan senang hati, maka
jangan salahkan diri kalian.Wahai Tuhan, bukankah sudah kukatakan hal ini?”

Karen Armstrong, seorang Anglo-Saxon seperti anda, pernah menukilkan secara


indah kata-kata Muhammad ibn Ishaq (sejarawan termasyur bangsa Arab) saat
mendeskripsikan hari-hari terakhir sang penyeru itu. Dari nada tulisannya, saya
yakin sejarawan Inggris itu sangat terkesan dengan jalan revolusiener dari lelaki
tersebut. Ya, bagaimana tidak? Saat orang-orang Arab menganggap sentimen

https://islamindonesia.id 748
kesukuan masih merupakan harga mati, lelaki itu membawa sebuah pernyataan
yang menusuk sisi ego sekaligus menggetarkan rasa kemanusiaan universal
mereka:

“Wahai manusia, sesungguhnya Tuhan kalian adalah satu. Dan nenek moyang
kalian adalah satu jua. Semua manusia adalah keturunan Adam, dan Adam telah
diciptakan dari segenggam lempung. Karena itu aku permaklumkan kepada kalian,
tidak ada kelebihan dan keunggulan orang-orang Arab dengan orang-orang yang
bukan Arab. Begitu pula, tidak ada kelebihan apa pun dari orang-orang kulit putih
atas orang-orang yang berkulit merah, demikian pula sebaliknya. Semua manusia
adalah sama. Yang membedakan mereka hanyalah derajat ketakwaannya kepada
Allah…”

Pidato yang indah dan agung itu dalam sejarah dikenal sebagai “khotbah terakhir”
yang diucapkan di sela ritual “haji perpisahan (hajj al-wadda). Bagi kami itu
menjadi perontok berbagai asumsi miring tentang Islam sebagai sebuah “keyakinan
pedang dan darah” atau “sebuah keyakinan barbar yang disebut Max Weber dalam
nada sinis sebagai “agama para serdadu”, bukan agama orang-orang
berpengetahuan.

Benarkah Muhammad seorang teroris, seperti yang anda imani? Brother Falwell,
saya yakin anda hanya memiliki sedikit informasi tentang dia. Andaikan anda mau
meluaskan pandangan dan ikhlas membentangkan sayap pengetahuan anda, saya
yakin anda akan menemukan tentang seorang lelaki yang menyeru seluruh
manusia dalam semangat egaliter, persaudaraan dan kemerdekaan, jauh sebelum
leluhur anda mendeklarasikan Magna Charta atau para pendiri Amerika Serikat
berbicara tentang hak-hak kemanusian serta para pemenang Perang Dunia II
(dalam nama PBB) merumuskan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia. Seperti
halnya kami, dan dunia, anda pastinya tahu bahwa manusia agung itu bernama
Muhammad, manusia yang anda sebut sebagai teroris semata-mata karena amarah
dan ketidaktahuan…

Catatan: Jerry Falwell adalah seoang pendeta garis keras Kristen Evangelis asal
Amerika Serikat yang kerap dalam berbagai khotbahnya menyerukan permusuhan
terhadap Islam

Sumber: Islam Indonesia


(Sumber: https://islamindonesia.id/kolom/muhammad-seorang-teroris-2.htm)

https://islamindonesia.id 749
Monday, 13 January 2014

Sekolah Mesin dan Pendidikan Agama Yang Reflektif

Jika satu saat kita ditanya, “Kenapa anak-anak bersekolah?” Salah satu jawaban
paling instan biasanya adalah “supaya mereka pintar.” Atau sebagian kita berusaha
menjawab dengan ungkapan yang lebih hebat “supaya bisa berbakti bagi agama,
bangsa dan negara”. Artinya, dengan bersekolah anak-anak diandaikan akan
berubah dari satu kondisi awal menjadi berkondisi ideal sesuai dengan harapan atau
target tertentu.

Singkat kata, secara umum, sekolah dilihat seumpama mesin, tempat di mana anak-
anak diproses sebagai raw input atau bahan mentah yang pasif dan pada akhir
periode sekolah diandaikan menjadi output yang sudah ‘jadi’. Di dalam mesin ini
terdapat guru-guru, fasilitas fisik, kurikulum, dan sebagainya, di mana semuanya
merupakan bagian dari satu sistem yang memungkinkan proses perubahan terjadi.
Dalam praktik pendidikan, cara pandang yang mekanistis ini telah mengundang
berbagai kritik, yang meliputi berbagai gagasan mulai dari sekadar advokasi untuk
memperbaiki sistem persekolahan yang bekerja seperti mesin sampai pada kritik
yang paling ekstrim yang disebut de-schooling—menghapuskan sama sekali sistem
persekolahan konvensional.

Salah satu alasan yang paling kuat dari kritik-kritik tersebut adalah bahwa sekolah
cenderung melahirkan ‘robot-robot’ yang diprogram sesuai target atau tujuan
tertentu—ideologis maupun akademis—dan gagal memfasilitasi siswa menjadi
manusia yang mandiri, kreatif, berempati, bersikap toleran dan sebagainya. Atau
sebaliknya, ketika para siswa dipaksa untuk menjadi ‘diri yang lain’ sesuai program
pendidikan atau keinginan orang-orang yang terlibat dalam pendidikannya, kalau
tidak berujung pada kegagalan akan berdampak negatif secara psikologis, seperti
keterbelahan kepribadian, ambivalensi dan sebagainya.

Tidak terkecuali dalam pendidikan agama. Setidaknya sejauh ini, karena persoalan
sistemis-paradigmatis yang tak kunjung selesai ini, kekeliruan yang relatif sama
terus dilakukan meskipun terjadi pergantian kurikulum dan adanya momentum lain
yang semestinya bisa menjadi modalitas perubahan yang signifikan. Akibatnya,
berbagai resolusi pada akhirnya tidak berpengaruh apa-apa terhadap kualitas
proses maupun output pendidikan—atau malah membuatnya menjadi lebih buruk.

https://islamindonesia.id 750
Secara lebih jelas, fenomena ini pertama sekali dapat dilihat dalam praktik
persekolahan saat ini yang masih terpusat pada guru (teacher-centered). Pada titik
yang ekstrim, guru-guru menjadi sumber pengetahuan utama, yang dengan
berbagai cara mentransfer pengetahuan mereka kepada siswa. Bahkan dalam
pembelajaran agama, di mana indoktrinasi merupakan metode yang paling sering
digunakan, guru memiliki otoritas yang amat besar, seolah-olah dia menjadi ‘sumber
kebenaran’.

Konsekuesinya, jika guru gagal menjadi ‘pentransfer’ pengetahuan yang baik, siswa
akan tetap ‘kosong’ sampai di akhir proses pembelajaran. Atau sebaliknya, jika guru
memiliki kemampuan pedagogis yang memadai, dia justru akan mentransfer
berbagai pengetahuan atau pandangan ideologis tertentu yang justru bersifat
dekonstruktif, seperti menjadikan siswa tidak toleran, bersikap emosional atau
bahkan menjadi pelaku kekerasan.

Dalam dunia pendidikan, salah satu rem yang dibuat oleh pemerintah adalah
dengan adanya kurikulum dan berbagai turunannya. Di tingkat sekolah, ada sistem
administratif seperti Rencana Program Pembelajaran (RPP) dan evaluasi
pembelajaran yang menjadi panduan dan koridor bagi para guru dalam mengajar.

Namun demikian, karena mekanisme kontrol yang tak berfungsi, seringkali berbagai
standar dan prosedur administratif lebih sebagai formalitas dan tidak terperiksa
secara baik. Demikian juga, dalam satu sekolah yang secara kuat menganut paham
keagamaan tertentu, mekanisme kontrolnya tentu saja sudah tercemar oleh
berbagai kepentingan ideologis yang tidak perlu.

Kedua, di tengah rendahnya tingkat kehadiran negara dalam dunia pendidikan


secara umum, sistem persekolahan yang menyerupai mesin ini sangat potensial
bergerak sendiri. Atau sebaliknya, karena kontrol publik yang juga sangat lemah,
dengan mudah bertumbuh berbagai metode pendidikan atau kegiatan yang tidak
manusiawi, seperti adanya praktik kekerasan di sekolah dalam relasi guru-siswa,
senior-yunior, atau kelompok dominan versus kelompok inferior.
Demikian juga, dalam situasi ini, di sekolah-sekolah mudah berkembang kurikulum
lokal atau hidden curriculum—yang terutama disusun oleh pemilik atau
penyelenggara sekolah bersangkutan—yang disesuaikan dengan tujuan-tujuan
ideologis tertentu atau dalam rangka menciptakan distinctive values yang cenderung
lebih bertujuan untuk mendongkrak jumlah siswa.
Terkait dengan hidden curriculum pendidikan agama, di samping program-program
standar seperti tahfiz al-Quran dan Bahasa Arab, terdapat program-program tertentu
yang berpeluang bagi indoktrinasi radikalisme pro-kekerasan. Contoh yang paling
sering disorot adalah program mentoring dan Rohani Islam (Rohis).

https://islamindonesia.id 751
Program mentoring, dimana siswa biasanya belajar Islam dalam kelompok-kelompok
kecil dengan dibimbing oleh seorang mentor (ustadz) secara intensif, terutama
menjadi berpeluang bagi radikalisasi karena faktor mentor dan materi yang tidak
terkontrol. Peluang serupa juga potensial dalam kegiatan-kegiatan Rohis, seperti
dalam ceramah-ceramah atau inisiasi/orientasi siswa baru dan pelatihan dakwah.
Demikian pula dalam rangka menghadapi momen-momen tertentu—seperti Ujian
Nasional (UN) atau pergantian tahun—program-program seperti muhasabah atau
pengajian, dimana praktik brain-washing terhadap siswa lebih kental terjadi dan
seringkali diisi oleh narasumber dari luar, bisa menjadi sarana penanaman nilai-nilai
yang sangat ‘ideologis’ dan indokrinatif.

Dengan karut-marut sistemis seperti ini, tentu tidaklah tepat jika harapan supaya
anak-anak kita bisa memiliki pemahaman dan sikap keagamaan yang moderat dan
toleran semata-mata dipercayakan pada sekolah mereka. Bahkan, jika tingkat
kepedulian terhadap penyelenggaraan dan konten pendidikan sangat rendah atau
tidak ada, bukan hal yang mengagetkan jika satu saat ada di antara kita yang
mendapati anak tersayang menjadi pelaku pengeboman, terlibat kekerasan, atau
mengkafirkan orang tuanya sendiri.

Sebagai alternatif, paling kurang terdapat dua hal yang bisa dilakukan. Pertama,
dimanapun seorang anak bersekolah, orangtua sebisa mungkin harus berusaha
terlibat dalam kegiatan-kegiatan resmi maupun informal serta konsultatif yang
sebenarnya merupakan mekanisme kontrol yang efektif. Apalagi, dalam konteks
pendidikan modern, peluang partisipasi aktif para orangtua—yang
merupakan stakeholders utama—jauh lebih terbuka lebar dibandingkan sebelumnya.
Seiring dengan itu, dengan adanya jaminan konstitusional mengenai community
based school, sekolah berbasis komunitas, terutama pada sekolah-sekolah negeri,
kontrol terhadap program-program sekolah, kualitas guru, mekanisme pembelajaran,
dan kontrol kualitas secara keseluruhan sebenarnya menjadi lebih mudah dan
mungkin. Sayangnya, sejauh ini, partisipasi dari komunitas—terutama masyarakat
sipilnya—masih rendah atau bahkan tidak termobilisasi dan terorganisasi sama
sekali.
Kedua, seiring keterlibatan partisipatoris orangtua dan komunitas, semua pihak
hendaklah mendorong pendidikan agama ke arah pendidikan nilai, moral, atau
karakter, dengan paradigma yang bertumpu pada kemampuan reflektif manusia.
Hal ini merupakan antitesis dari praktik pendidikan dewasa ini—sebagaimana yang
sudah dibahas di atas—sebagai sistem pendidikan yang mekanistis yang
mengandaikan manusia bisa dibentuk dan diprogram seperti halnya mesin atau
robot.

https://islamindonesia.id 752
Di sini kemudian, dalam praktik pendidikan, pembelajaran melalui kegiatan dialogis,
kontemplatif atau keberanian untuk berpikir dan belajar mandiri perlu diberi
kesempatan yang lebih besar. Pendidikan mesti didorong ke arah berbagai upaya
yang mengutamakan kegiatan-kegiatan kongkrit yang melibatkan siswa dengan
realitas dunia nyata, dimana mereka misalnya bisa menyaksikan dan berefleksi
tentang kemiskinan, keterbelakangan, atau ketidakadilan.

Pendidikan agama juga mesti membuat siswa menjadi sadar bahwa mereka sendiri
sering melakukan ketidakadilan atau bahkan ‘kejahatan’ dengan mem-buly yunior,
bersikap kasar terhadap pembantu, atau menyakiti orangtua. Pendidikan agama
harus membuat para siswa sadar bahwa mereka merupakan bagian dari lingkungan
sosial di mana mereka dibutuhkan untuk berperan dan mampu mewujudkan peran
tersebut secara konstruktif dalam bentuk sekecil apapun.

Dan di tengah maraknya kekerasan atas nama agama saat ini, pendidikan agama
yang reflektif tentu bukan yang membuat para siswa menjadi pembenci orang atau
kelompok lain atau bersedia menyerang dan merusak tempat ibadah umat lain.
Pendidikan agama yang reflektif mestilah yang memfasilitasi para siswa menjadi
manusia yang secara kognitif, sikap dan perilaku menunjukkan bahwa berbuat baik
bagi orang lain adalah hakikat keberadaan mereka. []

(Sumber: https://islamindonesia.id/kolom/sekolah-mesin-dan-pendidikan-agama-yang-reflektif-
2.htm)

https://islamindonesia.id 753
Thursday, 09 January 2014

Apakah Nasionalisme Itu Bid’ah?

Beberapa hari belakangan ini, wacana tentang Nasionalisme dan konsep negara-
bangsa kembali mencuat, utamanya di media sosial Twitter, setelah dalam twitnya
Ustadz Felix Siauw menyatakan, “membela nasionalisme, nggak ada dalilnya, nggak
ada panduannya. Membela Islam, jelas panduannya, jelas contoh tauladannya.”
Budhyo Nugroho yang sepertinya mengamati polemik di twitter itu melalui akunnya
@trosoboy lantas menanyakan kepada Haidar Bagir tentang konsep Nasionalisme
tersebut, yang ternyata sudah pernah memberikan kultwit tentang itu pada Hari
Kemerdekaan RI 17 Agustus 2013 lalu.
Redaksi Islam Indonesia mencoba merangkum kultwit yang juga sudah diupload
dalam sebuah chirpstory tersebut, sekadar untuk memperkaya perspektif kita
tentang pandangan Islam terhadap Nasionalisme dan konsep negara-bangsa.
Berikut rangkuman kultwit melalui @Haidar_Bagir tersebut:

Pertanyaannya sederhana: Apakah Islam membenarkan nasionalisme dan gagasan


negara-bangsa atau tidak? Atau gagasan negara-bangsa itu bid’ah dan sebagai
gantinya kita harus mengembangkan gagasan khilafah universal melampaui itu
semua?

Al-Qur’an memang menyebut misi nubuwah sebagai menebarkan rahmat bagi


seluruh alam. Benar. Itu memang tujuan akhir risalah Islam. Tetapi, gagasan
nasionalisme, yang tidak chauvinistik dan negara-bangsa bisa dilihat sebagai sarana
pendekatan untuk mencapai tujuan itu.

Bukankah Allah juga mengajarkan:

“Jauhkan dirimu dan keluargamu dari neraka” (QS. 6:66)

Kenapa cuma diri dan keluarga, bukan semesta alam? Karena “alam yang
terahmati” itu tujuan, sedangkan mulai dari diri dan keluarga itu merupakan sarana.
Tentu tidak realistis kalau berniat mengurus alam tanpa penahapan-penahapan.
Dalam manajemen, ada perencanaan jangka pendek dan panjang, segmentasi dan
positioning, pengembangan model, dan pilot project, dan sebagainya.

https://islamindonesia.id 754
Menurut Ibn Khaldun, manajemen masyarakat dan pembentukan peradaban
(‘umran) membutuhkan semacam
nasionalisme yang disebutnya ‘ashabiyah. Ashabiyah yg dimaksud adalah kohesi
sosial yang terbentuk dalam kabilah-kabilah atau klan-klan. Menurut Khaldun, inilah
jaminan survival masyarakat manusia. Gagasan ashabiyahinilah sumber gagasan
nasionalisme. Hanya dengan ashabiyah, kelompok-kelompok masyarakat bisa
menjadi kuat dan menjamin non-agresi.
Gagasan negara-bangsa melahirkan kohesi sosial-primordial: mewujudkan
kerjasama, mencegah kecendrungan agresi, dan mendukung manajamen
masyarakat. Yang harus dihindari adalah chauvinisme atau jingoisme yang didorong
ego kelompok sehingga mengabaikan atau malah melanggar kelompok lain.
Mukadimah Konstitusi kita dengan bijak menyebut Persatuan Indonesia, yang malah
lebih pas ketimbang nasionalisme dan, pada saat yang sama, dalam satu tarikan
napas menyatakan “ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan
kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial ….”
Di sini gagasan negara-bangsa dan nasionalisme bertemu kemanusiaan
universal (rahmatan lil ‘alamin). Ini nasionalisme yang benar. Hal ini mengambil
bentuk partisipasi dalam organisasi-organisasi internasional dan ketaatan kepada
aturan-aturan kerjasama antarnegara secara adil & bermartabat.

Lalu, haruskah sebuah negara terdiri dari satu agama saja? Piagam Madinah
susunan Rasulullah Muhammad Saw. memperlihatkan sebaliknya. Ia adalah
konstitusi yang mengatur koeksistensi dan kerjasama secara damai antara
penduduk Madinah dari berbagai suku dan agama dengan diikat aturan yang
dsepakati bersama.

Salah satu cuplikan Piagam Madinah menyatakan, “Yahudi Bani Auf adalah satu
umat bersama orang-orang mukmin, bagi mereka agama mereka, dan bagi Muslim
agama mereka pula ….”
Selain itu, aturan Islam diberlakukan Nabi hanya di hadapan masyarakat Muslim.
Nonmuslim tidak digolongkan sebagai mukallaf (bukan obyek hukum Islam).

Karenanya mari syukuri anugerah NKRI, yang pluralistik, serta memiliki Pancasila
dan Konstitusi yang saksama dan dihuni oleh penduduknya yang berbudaya. Kita
tentu tak lupa firmanNya:

“Jika Allah mau, kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah ingin menguji
kamu atas pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah dalam
kebajikan.” (QS 5:48)

https://islamindonesia.id 755
Maka mari berlomba dalam kebajikan. Mari bersama-sama berjihad
mempertahankan NKRI dari siapa saja yang akan membasmi keharmonisan dan
keberagaman masyarakat dan budayanya. WalLah al-Musta’an. []

(Dirangkum dari kultwit @Haidar_Bagir pada Peringatan Kemerdekaan RI ke-68, 17


Agustus 2013).

(Sumber: https://islamindonesia.id/kolom/apakah-nasionalisme-itu-bidah-2.htm)

https://islamindonesia.id 756
Thursday, 09 January 2014

Tuhan Milik Siapa?

“Ibadah bukan saja sia-sia dan tidak akan membawa kepada keselamatan, malahan
terkutuk oleh Tuhan, sekiranya tak melahirkan solidaritas sosial.” (Madjid 1992: 62)

Perdebatan tentang Tuhan, Agama, dan Kebenaran seolah tak pernah henti.
Bahkan, sejarah memberi catatan pada kita bahwa pertumpahan darah yang paling
banyak terjadi di muka bumi ini disebabkan oleh karena memperebutkan ketiga hal
tersebut. Tak berhenti di sana. Sebutan nama Tuhan pun kini semakin dipersempit
oleh kelompok tertentu. Menyatakan siapa yang berhak atas penyebutan nama
Tuhan.

Ironi, dengan sikap rahman dan rahim-Nya, Tuhan menciptakan masing-masing


individu manusia sepaket dengan tugasnya. Selain, untuk berhubungan baik dengan
penciptanya (hablumminallah)—yang tertuang dalam firman-Nya, “Dan Aku tidak
menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku. (QS. Adz
Dzariyat: 56-58), juga untuk berhubungan baik dengan sesama manusia, serta alam
sebagai manifestasi sikap kasih sayang-Nya.

Kita berpijak di bumi yang sama. Beratapkan pada langit yang sama. Pun dengan
berbagai kejadian yang kelak akan menimpa manusia dengan kembali pada
Tuhannya melalui jalan kematian. “Tiap-tiap yang benyawa akan merasakan mati.
Kemudian hanyalah kepada Kami kamu dikembalikan.” (QS. Al-Ankabut: 57).

Yang menjadi pertanyaan adalah, jika kita percaya pada Tuhan, lantas Tuhan yang
mana yang menciptakan semua itu? Tuhanku, Tuhan Anda, Tuhan mereka? Dan,
karena masing-masing orang mengklaim bahwa Tuhan itu milik mereka, dan
manusia di luar keyakinannya tidak memiliki tempat di sisi Tuhan, maka Tuhan itu
sebenarnya milik siapa?

Patut disayangkan memang, jika di sisi lain keyakinan yang kuat dapat memberikan
efek positif dengan cara mengikuti aturan yang berlaku—menjadikan agama sebagai
perekat hubungan yang harmonis, baik antar sesama manusia, alam, maupun
dengan Tuhan. Memberikan semangat dalam beribadah. Di sisi lain, ketaatan dalam

https://islamindonesia.id 757
agama tanpa diiringi pengetahuan yang mendalam dan sikap toleransi, kehadiran
agama justru menimbulkan kebencian dan dijadikan sebagai alat mendulang
keuntungan duniawi semata–yang bahkan dapat menjadi racun bagi masyarakat.

Orang-orang yang overdosis dalam beragama, kemudian melakukan apapun yang


dianggapnya benar, termasuk jika menggunakan jalan kekerasan, melakukan
tindakan pemaksaan kepada orang di luar agamanya yang seolah-olah telah
mendapat mandat langsung dari Tuhan, dan berbagai hal yang sebetulnya jauh dari
nilai-nilai ilahiyah yang rahman dan rahim.

Jutaan nyawa dan harta benda hilang akibat overdosis beragama ini. Tangis anak-
anak dan kaum lemah pun tampaknya hanya terdengar samar, bahkan mungkin
sama sekali tak terdengar.

Berperang Demi Tuhan, Sejarah Tuhan, Masa Depan Tuhan, Compassion, dan
beragam karya Karen Amstrong lainnya seolah menjadi pecut bagi dunia terkait
dengan Tuhan. Buku-buku ini memberikan gambaran bahwa pertumpahan darah
bagi penganut agama sudah ada sejak sejarah manusia itu sendiri.

Di sinilah letak ketidaksinkronan pemahaman kita terhadap Tuhan. Satu sisi kita
meyakini bahwa di seluruh jagad raya hanya ada satu Tuhan—yang menciptakan
langit bumi dan seisinya–yang digunakan secara bersama. Tapi juga di sisi lain, kita
memberikan ruang bahwa seolah-olah ada Tuhan lain yang harus dimusnahkan
agar orang-orang yang menyembah Tuhan selain yang kita percaya tersebut tunduk
kepada Tuhan kita.

Padahal, jika dalam Islam, kata Allah yang memang berasal dari bahasa Arab
dengan arti “Tuhan”, sudah sejak zaman prasejarah bangsa-bangsa dalam rumpun
Semit, yang di dalamnya termasuk Arab dan Israel, mengenal kata itu dalam
berbagai varian. Ada Allah, Ilah, El, Eloh, Elohim, Il, dst. Mereka tidak membatasi
hanya pada satu kata untuk menyebut Tuhan.

Bahkan, dalam surat Yusuf ayat 67 disebutkan bahwa untuk mengenal Islam dan
Tuhannya, Ya’qub berpesan kepada anak-anaknya untuk tidak hanya masuk pada
satu pintu, melainkan dari berbagai pintu yang berbeda. “Wahai anak-anakku,
janganlah kamu masuk dari satu pintu, melainkan masuklah dari berbagai pintu yang
berbeda.” (QS. 12 : 67)

Cak Nur pun mengaminkannya dalam buku Banyak Jalan Menuju


Tuhan karya Budhy Munawar-Rachman. Menurut Cak Nur, sebaik-baik agama di
sisi Tuhan ialah semangat mencari kebenaran yang lapang, tidak sempit, toleran,

https://islamindonesia.id 758
tanpa kefanatikan, dan tidak membelenggu jiwa. Sebab itu Islam harus dipahami
sebagai ajaran dan cita-cita, yang intinya ialah sikap hidup yang berserah diri
kepada Tuhan. Pemahaman kita kepada Islam adalah pemahaman yang terbuka,
yang karena keterbukaannya itu ia bersikap inklusif dan mampu menjadi rahmat bagi
seluruh alam. Kemenangan Islam harus merupakan kebahagiaan bagi setiap orang,
malah setiap makhluk.

“Dalam Kitab Suci dengan jelas diungkapkan harapan bahwa salah satu efek
terpenting ibadah ialah tumbuhnya semacam solidaritas sosial. Bahkan ditegaskan,
ibadah bukan saja sia-sia dan tidak akan membawa kepada keselamatan, malahan
terkutuk oleh Tuhan, sekiranya tak melahirkan solidaritas sosial.” (Madjid 1992: 62)

Tuhan, Allah, Yahweh dan lainnya untuk menyatakan Dia, Dzat yang Maha Memiliki,
pada dasarnya bersifat universal. Siapa pun berhak memanggil-Nya dengan sebutan
apapun yang mereka mampu dan pahami. Karena sesungguhnya jalan menuju
Tuhan tidak hanya satu, melainkan banyak. Sehingga, Tuhan milikku, milik Anda,
milik mereka pada dasarnya merujuk pada apa yang kita sendiri pahami. Tuhan kita
adalah Tuhan yang universal. Yang karena ke-universalan-Nya, Dia akan selalu ada
bersama kita, bahkan lebih dekat dari urat leher manusia. Bagaimana dengan Anda?

(Sumber: https://islamindonesia.id/berita/tuhan-milik-siapa-2.htm)

https://islamindonesia.id 759
Thursday, 09 January 2014

Radikalisasi Keagamaan di Sekolah dan Ketidakhadiran


Negara

“Bagaimana toleransi akan bisa diajarkan di sekolah kalau di sana yang


berpengaruh kuat justru sebaliknya, sehingga mendesak dipertanyakan
tentang bagaimana sebenarnya para guru dilatih dan oleh siapa.”
(Sidney Jones, Nurcholish Madjid Memorial Lecture (NMML), Desember2013)

Selain dalam kapasitasnya sebagai pengamat dan peneliti radikalisasi dan konflik di
Indonesia selama berpuluh tahun, pernyataan Sidney Jones ini tentu saja beralasan
faktual, misalnya merujuk pada survei Lembaga Kajian Islam dan Perdamaian
(LaKIP) tahun 2011.

Diadakan di lebih dari 50 sekolah dengan responden guru-guru pendidikan agama


Islam dan siswa mereka, survei tersebut menyatakan 49 persen dari siswa sekolah
tingkat menengah atas mendukung tindakan-tindakan radikal atas nama agama; 42
persen guru dan 52 persen siswa setuju dengan aksi penyegelan dan perusakan
rumah ibadah bermasalah; dan 38 persen guru serta 68 persen siswa setuju dengan
penyegelan dan perusakan rumah atau fasilitas penganut aliran sesat.

Menjawab pertanyaan Sidney Jones di atas, salah satu cara yang tersedia saat ini
adalah dengan melihat fenomena radikalisasi tersebut sebagai akibat dari apa yang
disebut sebagai ‘aktivisme Islam’. Quintan Wiktorowicz (2004) mendefinisikan
‘aktivisme Islam’ sebagai mobilisasi kontensi—ketidakpuasan atau
ketidaksetujuan—yang terkait dengan alasan-alasan keagamaan atau persoalan-
persoalan yang dipersepsikan terkait dengan umat Islam.

Dengan menggunakan pendekatan ini, bisa dipotret empat hal yang menunjukkan
mengapa dan bagaimana proses radikalisasi terjadi pada guru dan siswa di
sekolah. Pertama, sekolah dengan berbagai tingkatnya merupakan situs-situs sosial,
di mana pengorganisasian kontensi amat mudah dilakukan dan relatif efektif. Hal ini
karena di sekolah terdapat unsur manusia dalam jumlah yang memadai—para
murid, guru dan orangtua—serta berbagai infrastruktur terkait pendidikan.
Singkatnya, sekolah dalam hal ini sangat potensial menyediakan berbagai
kesempatan bagi kalangan aktivis radikal untuk menanamkan dan menyebarkan

https://islamindonesia.id 760
pemikiran-pemikiran Islamisme yang pro-kekerasan yang diatasnamakan sebagai
upaya mengembangkan dan menegakkan sharia.

Namun potensi kesempatan melakukan radikalisasi keagamaan di sekolah sangat


terkait dengan situasi politik, yakni apakah negara mampu atau tidak untuk hadir
secara substantif. Kenyataannya sejauh ini, dan karenanyalah radikalisasi terjadi,
keterlibatan negara lebih atau bahkan hanya pada pengaturan praktik pendidikan
secara administratif-prosedural, yakni keterlibatan ‘serba tanggung’ dalam
penyelenggaraan pendidikan di sekolah atau pendirian sekolah baru.

Ketidakmampuan negara tersebut dengan mudah bisa dicermati, seperti tercermin


dalam pilihan untuk membuat kebijakan-kebijakan ‘panacea’—perubahan untuk
perbaikan dilakukan ‘cukup’ dengan membuat semacam obat yang bisa
menyembuhkan segala macam penyakit. Itu sebabnya kemudian, kita melihat
betapa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan lebih suka mengutak-atik
kurikulum, yang diasumsikan sebagai sumber dari segala masalah, dan jika itu
diperbaiki maka semua persoalan akan selesai.
Konsekuensinya, meskipun saat ini ada program sertifikasi guru dan sebagainya,
persoalan-persoalan yang jauh lebih mendasar seperti pembangunan kapasitas guru
relatif terabaikan. Padahal, seperti hasil penelitian Bank Dunia yang dipublikasikan
tahun 2010, rendahnya kualitas ouput pendidikan di Indonesia pada dasarnya terkait
dengan ketiadaan kompetensi guru dalam mata pelajaran yang diajarkan,
kemampuan pedagogis yang jelek, serta persoalan motivasional.

Di samping itu, kita tahu, sistem pengaturan negara yang korup juga terjadi di
banyak sekolah sehingga kebijakan apapun yang dibuat dan hendak diterapkan
pada dasarnya tidak banyak berpengaruh. Bagi para orangtua yang menyekolahkan
anak di sekolah negeri, umpamanya, berbagai pungutan yang tidak pernah terdapat
dalam undang-undang ataupun peraturan lain tetap terjadi dengan berbagai dalih
dan alias.

Potensi-potensi sekolah atau kampus bagi radikalisasi dan situasi dunia pendidikan
yang menyedihkan di atas, yang dilihat sebagai peluang oleh para aktivis radikal,
mendorong mereka melakukan mobilisasi kontensi secara terorganisasi, yang
merupakan aspek kedua dalam perspektif aktivisme Islam. Mereka kemudian
membangun dan melakukan berbagai gerakan sosial atas nama Islam, terutama
dengan menyelenggarakan berbagai pengajian, memasuki dunia pendidikan formal
maupun informal dan mendirikan berbagai sekolah.
Dalam konteks Indonesia, salah satu contoh mobilisasi kontensi yang paling
terstruktur dan menyebar luas adalah aktivisme yang digerakkan oleh para
aktivis tarbiyya. Aktivisme ini, yang terinspirasi dari Ikhwan al-Muslimin di Mesir,

https://islamindonesia.id 761
telah mulai melakukan penetrasi dalam dunia pendidikan Indonesia paling kurang
sejak tahun 1970-an. Dengan basis di kampus-kampus perguruan tinggi umum,
seperti UI dan IPB, gerakan ini membesar dari segi jumlah kader dan ‘menenun’
jaringan intra, ekstra dan antar kampus. Dalam konteks pendidikan formal, gerakan
ini telah berhasil mengembangkan lokus untuk menyebarkan pemahaman
keagamaan mereka di sekolah-sekolah yang disebut sebagai ‘sekolah Islam
terpadu’ (Noorhaidi Hasan, 2009).
Ketiga, supaya berbagai peluang bisa digunakan untuk memobilisasi kontensi dalam
dunia pendidikan, para aktivis radikal melakukan apa yang disebut sebagai framing,
yakni membingkai berbagai ketidakpuasan atau ketidaksetujuan terhadap situasi,
membangun argumen-argumen yang menjustifikasinya dan menawarkan pemikiran-
pemikiran tertentu yang diandaikan akan memecahkan masalah-masalah yang
diidentifikasi. Di sini kemudian muncul pernyataan “Islam adalah solusi” atau
“kembali ke syariah” ketika Islam atau syariah yang dimaksud sangatlah subyektif
dan belum tentu seperti yang dipahami oleh umat Islam pada umumnya.
Dalam memobilisasi sumber daya untuk membangun sekolah, sebagai contoh,
pembingkaian ini biasanya dimulai dengan pembahasan ‘kemalangan’ umat Islam di
Indonesia, ketidakmampuan sistem pendidikan (dan pemerintahan) sekuler
mengurus pendidikan, dan pada akhirnya ajakan untuk kembali
pada syariah sebagai solusi. Termasuk di sini perujukan pada kejayaan umat Islam
di masa lampau, dimana diyakni bahwa kemajuan Islam sangat bergantung pada
kekokohan tauhid dan Islamisasi sains.
Supaya pemanfaatan peluang, pengorganisasian dan pembingkaian untuk
mobilisasi kontensi bisa berhasil, sebagai aspek keempat aktivisme Islam, para
aktivis radikal akan memanfaatkan berbagai macam cara secara konsisten, a
consistent repertoire of contention. Keseluruhan rangkaian mobilisasi kontensi
tersebut saling terhubung dan bermuara pada satu tujuan: disposisi syariah sesuai
pemahaman para aktivis tersebut.
Dalam kasus para aktivis tarbiyyah, sebagai contoh, repertoar kontensi mereka bisa
dilihat mulai dari penetrasi kampus-kampus melalui kegiatan keagamaan, membina
kader dan membangun jaringan seperti melalui Lembaga Dakwah Kampus (LDK),
memasuki sekolah-sekolah melalui kegiatan Rohani Islam (ROHIS), membangun
lembaga-lembaga pendidikan informal dan pada akhirnya membangun sekolah
serta jaringannya.

Singkat kata, menggunakan keempat aspek dari perspektif aktivisme Islam ini untuk
menjawab pertanyaan Sidney Jones di atas—mengenai bagaimana radikalisasi
keagamaan terjadi di sekolah, bagaimana para guru dilatih dan oleh siapa—kita
sampai pada kesimpulan bahwa semua itu terjadi bukan sebagai kebetulan.
Radikalisasi keagamaan di sekolah terjadi karena adanya ketidakhadiran atau
ketidakmampuan substantif negara sampai taraf yang signifikan yang kemudian

https://islamindonesia.id 762
dijadikan peluang oleh penggerak aktivisme Islam, mobilisasi yang relatif
terorganisasi, pembingkaian kontensi secara efektif dan adanya berbagai macam
cara untuk mencapai tujuan sebagai repertoar kontensi.

Namun demikian, aktivis toleransi bukan tanpa harapan dalam ranah pendidikan.
Meskipun saat ini sekolah-sekolah dengan paham radikal atau kegiatan-kegiatan
ekstra-kurikuler di sekolah-sekolah umum menyebar sampai ke kota-kota kecil di
seluruh Indonesia, masih terdapat sebenarnya sekolah-sekolah yang cenderung
lebih toleran dan mengajarkan toleransi. Dengan melacak melalui Google,
umpamanya, juga terdapat pesantren-pesantren dengan paham yang bisa
dibedakan secara diametral dari pesantren yang terang-terangan mengusung
Wahabisme. Persoalannya, tentu saja, apakah para aktivis atau pendukung toleransi
bersedia memperkuat dan memperbanyak sekolah dan pesantren tersebut atau
tidak.

Berikutnya, sejarah umat manusia sudah membuktikan bahwa tetap saja terdapat
peran pilihan rasional dalam kehidupan sehari-hari. Banyak umpamanya orangtua
yang well-informed akhirnya memilih untuk memindahkan anaknya dari sekolah
yang berpaham radikal atau batal memasukkan anaknya ke sana. Namun, lagi-lagi,
peran para aktivis toleransi atau masyarakat sipil yang akan menjadi penentunya.[]

*) Penulis, lulusan Fakultas Syariah Universitas Islam Jakarta, saat ini sedang
menempuh program master pendidikan di Universitas Islam Asy-Syafi’iyyah, Jakarta.

(Sumber: https://islamindonesia.id/kolom/radikalisasi-keagamaan-di-sekolah-dan-ketidakhadiran-
negara-2.htm)

https://islamindonesia.id 763
Tuesday, 07 January 2014

Overdosis Beragama

“Mereka selalu bersembunyi dari kebebasan…” (Erich Fromm)

New Delhi, 30 Januari 1948. Hari baru saja memasuki malam. Seorang lelaki tegap
bemata tajam memasuki Gedung Birla. Sejenak ia terdiam dan beberapa detik
kemudian dengan langkah santai menuju seorang renta yang tengah berdoa. Sambil
sedikit membungkuk, tangan kanannya yang menggengam sepucuk Baretta lantas
diacungkan ke tubuh ringkih nan kurus tersebut. Tiga kali senjata semi otomatis itu
menyalak. Dan dunia kemudian kehilangan seorang humanis besar bernama
Mahatma Gandhi.

Godse Nathuram, sang eksekutor tersebut bukan seorang penjahat kambuhan. Alih-
alih dikenal sebagai pendosa, ia kadung dikenal sebagai seorang Hindu yang sangat
“saleh”: rajin pergi ke kuil dan aktif di Mahasabha Hindu, sebuah organisasi
nasionalis Hindu yang selalu memilih jalan berlawanan dengan Liga Muslim
pimpinan Ali Jinnah. Rupanya Godse kecewa dengan Gandhi. Ia menilai tokoh
Hindu India itu memiliki sikap lemah sehingga menjadikan orang-orang Islam
memisahkan diri dan membentuk Pakistan.

Empatpuluhtujuh tahun kemudian hal yang sama dialami oleh Yitzhak Rabin.
Perdana Menteri Israel yang memilih jalan kompromis dengan Palestina itu pun
harus tewas dengan cara dan motiv yang sama di tangan kaum ekstrimis agama.
Yigal Amir, sang pembunuh mengaku marah kepada Rabin yang ia nilai “tidak peka
terhadap harga diri orang Yahudi dengan meretas jalan damai dengan kaum goyim
(orang luar Yahudi yang memiliki derajat rendah)”.

Ada rasa arogan dan paling benar sendiri dalam gaya beragama seperti Godse dan
Yigal ini. Mereka seolah lupa, jalan kekerasan tak akan pernah menemui jalan
keluar. Ia hanya akan menjadi sejenis cul de sac yang berapi-api dan alih-alih
beakhir sentosa malah akan membakar dirinya sendiri. Bahkan bukan hanya dirinya
sendiri: orang-orang yang tak berdosa dan tak memiliki keterkaitan apapun ikut
menjadi korban termasuk para bocah dan tua renta.

Inilah yang disebut Erich Fromm sebagai gaya beragama yang


otoriter (authoritarian religion). Biasanya gaya beragama seperti ini hanya akan

https://islamindonesia.id 764
bermuara kepada kekerasan dan kekerasan semata. Tak ada damai dan saling
hormat. Para penganutnya selalu mengapreasiasi dirinya tak lebih sebagai para
serdadu tuhan. Tuhan yang mana? Kita tak pernah bisa memastikan itu.

Dr. Yusuf Qadharawi, seorang pemikir Islam dari kalangan Ikhwanul Muslimin
pernah menyebut sikap ini sebagai sikap ghuluw (berlebihan) alias overdosis
beragama. Menurut ulama asal Mesir itu, sikap ghuluw akan selalu berkelindan
dengan sikap-sikap negatif lainnya seperti tanatthu’ (arogan secara intelektual) dan
tasydid (mempersulit).

“Semua sikap itu tentunya ini sangat dikecam dalam Islam,”tulis Qadharawi dalam
Islam Ekstrem. Di Sorbone, seorang pemikir Islam sekelas Mohammad Arkoun
bahkan menyebut ekstremisme adalah perubah puisi Islam dari sesuatu yang
ekspresif menjadi sebuah ideologi yang formalistik serta elitis.

Sikap ghuluw di setiap agama memiliki sikap universal:pro terhadap kekerasan dan
meyakini diri sebagai “yang terbenar”. Mereka merasa apa yang diyakininya
merupakan jalan terbaik buat dunia. Anehnya, realitas ambigu justru terpapar di
antara orang-orang ini dengan saling mengakbarkan permusuhan abadi. Hingga
rasanya tidak salah jika saya meyakini: pusat konflik dunia sebenarnya terletak di
orang-orang ekstrem ini. Sungguh, diantara kita sebenarnya tak memiliki masalah.
“Perang agama” yang terjadi hari ini tak lebih perang antara mereka: kaum ekstremis
vs kaum ekstremis, bukan agama vs agama.

Sumber: Islam Indonesia

(Sumber: https://islamindonesia.id/kolom/overdosis-beragama-2.htm)

https://islamindonesia.id 765
Monday, 06 January 2014

Enam Tipe Pemimpin

Diskusi tentang kepemimpinan semakin sering mengemuka di negeri ini sehubungan


dengan banyaknya pilkada dan momen menjelang pemilu. Banyak buku yang
membahas teori kepemimpinan (leadership), tetapi kali ini saya akan melihatnya
secara singkat dan sederhana saja.

Setidaknya terdapat enam macam kepemimpinan yang mudah kita cerna. Satu,
umat beriman biasanya merujuk dan mengidealkan kepemimpinan para nabi.
Mereka ini muncul dari tengah umatnya dengan kekuatan pribadi dan akhlaknya.
Namun di atas semua itu mereka diyakini memperoleh dukungan dan bimbingan
Allah serta disertai senjata pemungkas untuk menaklukkan umatnya yang
membangkang, yang disebut mukjizat.

Tentu saja warisan ajarannya sangat bagus untuk dicontoh dan dijadikan sumber
inspirasi. Namun kita tidak mungkin menggantikan posisinya karena bagi umat Islam
tak ada lagi nabi setelah Rasulullah Muhammad Saw., sosok yang hidupnya terjaga
dari dosa (maksum). Dua, pemimpin berdasarkan keturunan darah biru atau anak
raja. Pemimpin tipe ini ada yang hebat, adil, dicintai rakyat, tetapi ada juga yang
bengis dan menindas rakyatnya.

Bagi Indonesia, kepemimpinan berdasarkan darah biru ini sudah berlalu. Kita tidak
lagi hidup di zaman kerajaan. Dulu, kekuasaan raja diperoleh setelah berhasil
menaklukkan lawannya sehingga istana raja selalu dilindungi dengan tembok tinggi
serta tentara yang kuat untuk menakuti lawannya yang hendak melakukan balas
dendam atau hendak menaklukkan.

Tiga, kepemimpinan intelektual pejuang. Banyak negara yang merdeka setelah


Perang Dunia melahirkan pemimpin yang berasal dari tokoh-tokoh pergerakan
kemerdekaan. Mereka ini sangat akrab dan mengenal rakyatnya sehingga ketika
duduk menjadi pemimpin dalam tubuh pemerintahan sangat mudah berempati
dengan pikiran dan perasaan rakyatnya. Semangat perjuangan dan komitmen
ideologis untuk memajukan bangsanya lebih kental ketimbang semangat menikmati
jabatan formalnya.

https://islamindonesia.id 766
Tipe pemimpin model ini yang sangat mudah dikenali hari-hari ini adalah sosok
Nelson Mandela. Di Indonesia kita juga punya Bung Karno dan Bung Hatta serta
teman-teman seangkatan mereka dalam memperjuangkan kemerdekaan. Mereka itu
pemimpin-pejuang yang juga sosok intelektual.

Empat, ada pemimpin bertipe teknokratik-ilmuwan. Mereka menjadi pemimpin


karena kemampuannya yang menonjol dibandingkan yang lain dalam bidang
keilmuan dan keahliannya dalam mengendalikan sebuah organisasi pemerintahan
layaknya memimpin sebuah perusahaan. Pemimpin negara Singapura mendekati
tipe ini. Untuk Indonesia, pada jajaran menteri lebih cocok pemimpin tipe
ilmuwanteknokratik ini.

Di sini profesionalisme sangat ditekankan. Mereka paham agenda apa yang mesti
dilakukan dan menguasai cara bagaimana melakukannya untuk memenuhi tugas
yang dibebankan pada jabatannya. Untuk konteks Indonesia, kelemahan tipe ini
sering kali kurang memahami realitas budaya dan tradisi bangsanya dan
menganggap bahwa dengan pendekatan teknokratik masalah bangsa akan selesai.

Lima, ada tipe pemimpin baru di Indonesia akhir-akhir ini yang tampil dengan
mengandalkan popularitas dan dukungan parpol pendukungnya sehingga berhasil
mendapatkan posisi legal-formal dalam tubuh pemerintahan. Menjadi problem serius
ketika popularitas itu tidak disertai kompetensi dan integritas karena mereka
memenangi pemilihan semata karena kekuatan uang dan jejaring dinastiisme.

Tipe pemimpin inilah yang telah merusak cita-cita luhur kemerdekaan dan
demokrasi. Mereka berbeda dari tipe pemimpin intelektual- pejuang yang memiliki
andil besar dalam pergerakan kemerdekaan atau tipe ilmuwan-teknokratik yang
mengandalkan profesionalisme.

Enam, tipe pemimpin yang mampu menyintesiskan lima tipe yang ada untuk
menghadapi dan menjawab problem bangsa yang berkembang dinamis. Terutama
perpaduan sifat ketulusan, kecintaan, dan kesabaran dari tipe para nabi, semangat
perjuangan dan pengorbanan membela martabat bangsa dari tipe intelektual-
pejuang dan kemampuan teknokratik dalam mengelola birokrasi negara modern.

Adapun mandat dan legalitas dari parpol pendukung hanyalah bersifat instrumental,
jangan sampai parpol dijadikan ”majikan” dari karier politiknya. Pemimpin tipe
keenam itu mungkin bisa disebut sebagai pemimpin profetik-teknokratik. Disebut
profetik karena kedekatan, kecintaan, dan komitmennya dalam membela dan
melayani rakyat dan disebut teknokratik karena kemampuan dan penguasaannya

https://islamindonesia.id 767
secara teknis-empiris dalam memecahkan problem bangsa dan masyarakat dengan
menggunakan instrumen birokrasi dan ilmu pengetahuan modern.

Fenomena yang mengemuka, ada pemimpin yang memiliki semangat membela


rakyat, tetapi miskin kemampuan teknokratik. Sebaliknya, banyak teknokrat merasa
hebat dalam bidangnya, tetapi tidak memiliki pemahaman mendalam terhadap
problem dan karakter bangsanya serta kurang memiliki komitmen membela
kepentingan rakyat.

Yang konyol adalah tampilnya orang-orang yang berambisi menjadi pemimpin-


penguasa yang memanfaatkan celah titik lemah demokrasi untuk meraih suara
rakyat dengan cara membeli dan membodohi rakyat. Mari kita pilih pemimpin
bangsa yang tepat demi kesejahteraan dan kemajuan anak-anak cucu kita.
[Sumber: uinjkt.ac.id]

(Sumber: https://islamindonesia.id/kolom/enam-tipe-pemimpin-2.htm)

https://islamindonesia.id 768
Sunday, 29 December 2013
Saya dan Gereja Itu

“Sebagai manusia, kita selalu berharap dicintai,dipahami, dipelihara dan


dihormati.Dan kita berharap bisa saling mempercayai.” (Erich Fromm)

Ketika pulang mudik lebaran ke kota kecil kelahiran saya, entah untuk ke berapa ribu
kali, saya kembali melewati gereja itu. Malam terasa kudus. Kumandang takbir dan
suara beduk bertalu dalam cuaca dingin yang lembab. Di pintu gerbang rumah
ibadah tua itu, samar-samar saya melihat sebuah pemandangan yang tiap lebaran
selalu saya saksikan: sebuah spanduk berwarna biru dengan untaian kalimat Arabic
merah berbunyi “Selamat Hari Raya Idul Fitri 1430 H. Mohon Maaf Lahir dan Batin.”

Saya tidak tahu tendensi apa di balik kalimat itu. Apakah itu lahir dari sebuah
ketulusan yang sempurna? Ataukah jangan-jangan itu hanya sebuah menifestasi
rasa segan bercampur ngeri dari kaum minoritas di kota saya? Terlebih pasca
reformasi kemarin, ketika isu kristenisasi bertiup kencang bak badai di tengah
samudera, gereja itu pernah nyaris dikepung dan dihancurkan.

https://islamindonesia.id 769
Saya ingat suatu kisah yang menjadikan saya memiliki hubungan emosional
dengan gereja itu. Sejak bocah saya sudah mengenal namanya sebagai Santo
Petrus. Belakangan ketika saya rajin membaca buku-buku filsafat dan sejarah
agama-agama, saya baru tahu itu adalah nama salah seorang suci bagi kaum
Katholik.

Tapi apa perduli kami saat itu? Kesucian itu hanya milik mereka bukan milik kami.
Alih-alih terasa kudus, bagi kami nama tersebut begitu asing, misterius, menakutkan
sekaligus menijijikan. Para orang tua kami (saya yakin tidak semua) melewati
bangunan itu dalam wajah sinis. Setengah berbisik, mereka akan mengatakan
kepada anak-anaknya bahwa: “Itu tempat orang kafir menyembah tuhan-
tuhannya.”Bisa jadi karena kalimat-kalimat sejenis itu, kami pada akhirnya tidak
memiliki sedikitpun rasa ingin mengenal mereka.

Alih-alih mendekati dan menawarkan persahabatan, suatu hari salah seorang dari
kami bahkan secara kurang ajar dan nekad membubuhkan pilox hitam, mengganti
huruf s dibelakang kata Petrus dengan huruf k. Kami tergelak karena hampir
seminggu gereja itu menjadi bahan tertawaan orang-orang.Sebuah perasaan puas,
geli bercampur bangga karena sudah berhasil “berjihad“ mempermalukan musuh
agama kami.

Kini saya melewati gereja itu kembali dan entah kenapa saya ingin meminggirkan
kendaraan saya di depan gerbangnya.Sekitar 5 menit memandang gereja itu,
membangunkan kenangan atas kebodohan lama itu. Dan tiba-tiba, di tengah kelam
malam dan rasa menyesal di benak saya melintas beberapa wajah. Ya wajah
manusia-manusia baik yang tak mungkin saya lupa dan dengan mengenangnya
cukup membuat tenggorokan saya tercekat dan mata terasa panas.
Saya ingat Fredick, seorang kawan yang mempertaruhkan nyawanya membela saya
saat Pasukan Anti Huru Hara menggebuki kami secara beringas dalam sebuah
demonstrasi di depan Taman Ismail Marzuki 12 tahun silam. Saya juga terkenang
kepada Antonio, tukang foto copy asal Flores yang selalu sabar membiarkan saya
berhutang kepadanya. Lalu Lukas, sobat saya di himpunan mahasiswa pecinta alam
yang hingga kini harus cacat karena terjatuh dari sebuah tower saat menyelematkan
seorang bocah Aceh dalam peristiwa tsunami 2004. Romo Mangun, seorang tua
yang tulisan dan idealismenya membuat saya kagum. Dan mereka dalam
kenyataannya adalah Katholik, yang beribadah dan menyembah Tuhan di gedung-
gedung seperti Santo Petrus.
Hampir setengah jam berlalu. Saya masih termenung di depan Santo Petrus. Udara
mulai dingin dan hujan gerimis terasa seperti ribuan jarum lunak menghujam tubuh
saya. Saya memandang spanduk itu. Semoga tulus, doa saya. Dan memandang
bangunan itu saya merasa kebencian dan ketakutan itu telah lama pergi dari hati

https://islamindonesia.id 770
saya. Tapi mengapa tak satu pun spanduk ucapan selamat, yang berukuran kecil
sekalipun, terpampang di masjid agung kami,jika natal datang setiap tahun?
Ya, ketika pulang ke kota kecil kelahiran saya, entah untuk ke berapa ribu kali, saya
melewati gereja itu kembali. Meskipun malam terasa kudus, kumandang takbir
begitu syahdu, di pintu gerbang Santo Petrus, itu hanya menambah rasa sedih saja.
Saya sangat sadar bahwa selama agama masih diperbudak berbagai kepentingan
politik maka kemungkinan darah tumpah seperti di Poso dan Ambon adalah bukan
sekadar ilusi. Padahal seperti kata Umar ibn Khattab: sejak dari rahim sang ibu,
manusia memiliki kemerdekaan untuk memilih apapun, termasuk meyakini
agamanya.Tapi mengapa kita tidak pernah bisa saling mencintai dan mempercayai?
Cianjur, September 2009

Sumber: Islam Indonesia

(Sumber: https://islamindonesia.id/kolom/saya-dan-gereja-itu-2.htm)

https://islamindonesia.id 771
Monday, 23 December 2013
Catatan dari Diskusi Pondok Gede

Bagaimana dua manusia dari dua bangsa yang pernah berseteru bicara tentang
cita-cita yang sama untuk masa depan (Pertemuan antara Max van der Werff
Jr,blogger Belanda dengan Anhar Gonggong, sejarawan Indonesia)

Beberapa bulan lalu, wajah Anhar Gonggong sempat muncul di Televisi Nasional
Belanda. Dalam tayangan yang berdurasi hanya beberapa menit itu dikatakan jika
sejarawan Indonesia asal Pinrang, Sulawesi Selatan tersebut menyarankan
pemerintah Indonesia untuk menolak permintaan maaf dari pemerintah Belanda
terkait berbagai praktek pelanggaran HAM yang terjadi pada era Perang
Kemerdekaan (1945-1949).

Pernyataan yang “diklaim” dinyatakan oleh Anhar itu membuat Max van der Werff Jr
merasa kaget dan bersedih. Sebagai warga negara Belanda yang ingin mewujudkan
rekonsiliasi sejarah di antara kedua bangsa, “pernyataan Anhar” itu adalah suatu hal
yang harus ia respon secepatnya.

Atas dasar itulah, Max lantas menulis sebuah surat terbuka untuk Anhar (dalam
versi bahasa Indonesia, surat ini pernah dimuat di situs Islam Indonesia). Dalam
surat tersebut, Max menyatakan rasa malu dan maafnya atas berbagai praktek
pelanggaran HAM yang pernah terjadi di Indonesia. Ia juga menyebut “luka” tersebut
sesungguhnya dirasakan juga oleh bangsa Belanda, terutama oleh orang-orang
Belanda yang sanak saudaranya menjadi “korban perang” di Indonesia.

” Tapi saya optimis, proses dekolonialisasi di kepala orang Belanda pasti akan
terjadi juga pada akhirnya. Namun ini butuh waktu untuk mencapainya…” tulis Max.

Surat dari Max, disambut baik oleh Anhar. Lewat saya, Anhar menitipkan pesan
kepada Max bahwa apa yang ia dapat dari pers Belanda adalah sebuah “kekeliruan
persepsi”. Untuk lebih memastikan soal sikapnya itu, Anhar bahkan mengundang
Max untuk berjumpa dengan dirinya.

Undangan dari Anhar dipenuhi oleh Max pada Sabtu, 7 Desember 2013. Bertempat
di Pondok Gede, Jakarta Timur (tempat tinggal Anhar), selama 3 jam ( Pukul 14.00

https://islamindonesia.id 772
s/d Pukul 17.00) keduanya terlibat dalam diskusi hangat sekitar perseteruan
Indonesia-Belanda di era Perang Kemerdekaan dan masa depan rekonsiliasi kedua
bangsa tersebut.

Saat dikonfirmasi secara langsung oleh Max tentang pernyataannya di media


Belanda, Anhar menolak keras jika ia dikesankan sebagai “sejarawan yang
menyarankan pemerintah Indonesia untuk menolak permintaan maaf pemerintah
Belanda”. “Kalaupun mereka tidak bermaksud jelek, setidaknya mereka salah
persepsi tentang pendapat saya,”ujar lelaki yang sebagian keluarganya di Pinrang
(termasuk sang ayah) tewas dihabisi oleh pasukan Kapten Westerling itu.

Alih-alih menolak permintaan maaf pemerintah Belanda, jauh hari (saat duduk di
bangku SMA pada 1963), Anhar sudah menyatakan ” urusan dirinya dengan
Westerling” sudah selesai. “Itu adalah situasi perang, saat itu ayah saya dan
Westerling memiliki tugas yang sama: harus saling bunuh karena mereka adalah
musuh. Dalam hal ini, ayah sayalah yang ternyata harus menjadi korban, dibunuh
oleh Westerling,”ujarnya.

Namun demikian, Anhar tidak setuju jika “masa lalu” itu harus dilupakan begitu saja.
Itu seperti menafikan suatu pembelajaran sejarah. Karena itu, ketika berbicara di
depan Televisi Nasional Belanda, Anhar mengkritik pernyataan Duta Besar
Indonesia untuk Belanda Marsudi yang menyatakan dalam soal ini ” Indonesia lebih
memilih untuk melihat masa depan…”

“Jika memang benar ia menyatakan demikian, itu sebuah pernyataan yang sangat
bodoh,”kata Anhar.

Anhar sangat yakin, jika sebagian besar orang Indonesia hari ini sudah memberi
maaf terhadap semua “kekelaman Belanda” di Indonesia pada masa lalu.
Sebaliknya, ia justru mengkritik pemerintah Belanda yang tak mau jua mengakui 17
Agustus 1945 sebagai Hari Kemerdekaan Republik Indonesia.

“Saya pikir itu karena pemerintah Belanda “takut” uang mereka habis jika mereka
melakukan itu,” jawab Max.

Sekitar 4 Milyar Gulden plus bunga harus dikeluarkan oleh pemerintah Belanda jika
mereka mengakui 17-8-45 sebagai hari kemerdekaan bekas jajahannya itu. Itu
sebagai bentuk kompensasi dari “pengakuan” Belanda melakukan invasi mliter
lengjkap dengan kejahatan perangnya terhadap sebuah bangsa yang sudah
merdeka.

https://islamindonesia.id 773
Anhar hanya tertawa ketika mendengar penjelaan dari Max tersebut. Salah besar,
kata Anhar, jika pemerintah Belanda selalu menghubungkan segala hal yang terkait
kejahatan perang mereka melulu dengan uang. “Mereka pikir, dengan memberi uang
lalu saya bisa melupakan hal-hal menyedihkan dari keluarga saya yang terbantai
puluhan tahun lalu?”katanya.

Yang diinginkan oleh Anhar hari ini adalah niat baik dari kedua bangsa. Tanpa harus
melupakan “hal-hal pahit” di masa lalu, ia menyatakan betapa perlunya kedua
bangsa ini sekarang bergerak ke arah rekonsiliasi dan perdamaian. Ia sangat yakin,
ini pastinya menjadi keinginan semua orang yang berpikiran waras dan orang-orang
Belanda yang menginginkan itu, pastinya bukan hanya Max dan kawan-kawannya
semata.

Ya, masa lalu tidak harus membunuh masa depan, justru sebaliknya: harus
membangun peradaban masa depan yang lebih baik…Rakyat Belanda dan Rakyat
Indonesia layak mendapatkan ini!

Sumber:Islam Indonesia

(Sumber: https://islamindonesia.id/kolom/catatan-dari-diskusi-pondok-gede-2.htm)

https://islamindonesia.id 774

Anda mungkin juga menyukai