Saifulah
Ubaidillah
Syaifullah
Ainul Lutfi
Penerbit
Yudharta Press
Universitas Yudharta Pasuruan
2013
ii
Copyright 2013
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segla anugrah
dan kekuatan dari-Nya sehingga penyusunan buku ini dapat selesai
dengan lancar.
Penyusunan buku ini didasarkan atas pengalaman empiris penulis
saat melakukan penelitian tentang kondisi riil Dakwah Multikultural
Pondok Pesantren di beberapa daerah di Indonesia yang tipology
pemikiran pengasuhnya pluralis multikulturalistik. Di mana pola pikir
yang demikian telah mewarnai setiap kegiatan dan aktifitas yang ada di
lingkungan Pondok Pesantren. Karena sudah barang tentu, nuansa yang
demikian itu dibangun berdasarkan pada pemikiran seorang pengasuh
(kiai) yang selanjutnya diterjemahkan baik secara konstitusional,
kontekstual maupun aplikatif oleh setiap lembaga yang ada di lingkungan
Pondok Pesantren.
Buku Dakwah Multikultural Pesantren Dalam Membendung Teroris Dan
Radikalisme Agama Di Indonesia ini tersusun atas lima bagian. Bagian
pertama merupakan bagian yang menjelaskan tentang sekilas tentang
Pesantren dan Globalisasi, bagian kedua menguraikan tentang Islam
Kebangsaan, bagian ketiga menguraikan tentang Islam dan Toleransi
antar umat beragama, bagian keempat menguraikan tentang Piagam
Madinah; sebagai rujukan kehidupan berbangsa dan bernegara, dan
bagian kelima menguraikan tentang fiqih Sosial; sebagai fikih yang
transformatif dan demokratis.
Penulis menyadari bahwa penulisan buku ini tidak akan dapat selesai
tanpa dukungan dan dorongan dari banyak orang, baik secara pribadi
maupun secara kelembagaan. Oleh karena itu, pada kesempatan kali ini
penulis secara khusus mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang
iv
Penulis
DAFTAR ISI
Non-
Muslim ? ................................................................................ 23
3.2 Islam dan Kerukunan Antar Umat Beragama ................. 26
3.3 Perlindungan pada Tempat-tempat Ibadah ..................... 33
3.4 Toleransi terhadap Perbedaan Pendapat ........................... 34
3.5 Sikap dan Kepribadian Seorang Sufi ................................. 39
vi
vii
yang
ix
Indonesia adalah negara yang paling majmuk di dunia, baik dalam hal
kondisi geografis, keanekaragaman suku bangsa, keanekaragaman adat
dan budaya, serta keberagaman keyakinan. Keanekaragaman di Indonesia
ini tidak akan bisa bersatu apabila berbagai golongan yang ada lebih
mementingkan golongannya sendiri tanpa mempedulikan golongan lain.
Oleh karena itu, untuk membangun persatuan bangsa ini diperlukan
sikap yang moderat, toleran, seimbang dan adil dari semua golongan
serta menyadari sepenuhnya bahwa keragaman adalah sebuah hal yang
tidak dapat dipungkiri di bumi nusantara ini.
Hal itulah yang diilhami oleh para pendiri bangsa (funding fathers) kita
hingga akhirnya Pancasila yang mengandung nilai-nilai universal dengan
prinsip Bhineka Tunggal Ikanya itu disepakati sebagai konsensus
nasional untuk menjadi dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia dan
menjadi payung kehidupan bersama dalam berbagai perbedaan. Namun
disisi lain kita juga pernah mendapatkan keterangan bahwa Pancasila
sebagai Dasar Negara itu tidak sesuai dengan ketentuan agama Islam.
Siapa bilang? Itu merupakan sebuah kesimpulan yang terburu-buru dan
pemikiran yang sangat sempit. Karena Pancasila sebagai dasar NKRI
sebenarnya sudahlah sangat Islami (sesuai dengan tuntunan agama
Islam). Oleh karena itu dalam kesempatan ini mari kita lihat bersamasama, kesesuaian sila-sila yang terkandung dalam Pancasila dengan Ayatayat Alloh swt. yang termaktub di dalam Kitab Suci-Nya yaitu Al Quran
al-Karim.
10
11
Artinya: Tuhan kamu adalah Tuhan Yang Maha Esa. Maka orangorang yang tidak beriman kepada akhirat, hati mereka mengingkari
(keesaaan Allah), sedangkan mereka sendiri adalah orang-orang yang
sombong. (QS. al-Nahl: 22).
12
Artinya: Dan Tuhan-mu adalah Tuhan Yang Maha Esa, tidak ada
Tuhan melainkan Dia Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.
(QS. al-Baqarah : 163)
13
c. Persatuan Indonesia
Sila ketiga ini menggambarkan sebuah kehidupan yang rukun,
damai, saling berdampingan dalam bingkai keanekaragaman
bangsanya dengan dilandasi persatuan dan kebersamaan. Ini
merupakan simbol bahwa Indonesia mampu menempatkan
persatuan, kesatuan, serta kepentingan dan keselamatan bangsa
dan negara sebagai kepentingan bersama di atas kepentingan
pribadi dan golongan. Sebagai wujud dari rasa cinta kepada tanah
air, maka kita harus sanggup dan rela berkorban untuk
kepentingan negara dan bangsa apabila diperlukan. Selain itu,
sebagaimana disebutkan dalam pembukaan Undang-undang Dasar
1945, bahwa kita semua mempunyai tanggungjawab untuk
memelihara ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan,
perdamaian abadi dan keadilan sosial serta mengembangkan
persatuan Indonesia atas dasar Bhinneka Tunggal Ika.
Sebagaimana firman Allah :
14
15
16
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu jadi orangorang yang selalu menegakkan (kebenaran) kerena Allah, menjadi saksi
dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu
kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah,
karena adil itu lebih dekat kepada takwa, dan bertakwalah kepada
Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.
(QS. al-Maa'idah: 8)
17
18
19
20
21
23
ciptaan Tuhan Yang Maha Esa. Inilah salah satu alasan, mengapa
Pondok Pesantren dekat dengan nonmuslim?
Secara sosio-historis, berdirinya Pondok Pesantren dibangun
dengan asas kekeluargaan. Hal ini relevan dengan sejarah Islam pada
zama Rasullah SAW, di mana Rasulullah sendiri telah memberikan
tauladan kepada kita semua agar saling menghargai di antara sesama
manusia (ukhuwah basyariah) dalam kehidupan sehari-hari.
Pada masa hidupnya, Rasulullah telah melakukan hubungan jualbeli dan saling memberi dengan sesama meskipun berbeda latar
belakang glongan dan agamanya. Hal ini dijelaskan dalam hadits
yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari yang berbunyi:
Artinya: Dari Aisyah RA. Dia berkata; Nabi telah memberikan baju
bsinya kepada seorang Yahudi sebagai gadai dari 30 sha gandum. (al
Maghazi: No.4467)
24
Artinya: Boleh menerima hadiyahnya non muslim ahli harb, karena Nabi
SAW menerima hadiah dari Makukis penguasa Mesir. (al Mughni,
Ibnu Qudamah, juz 13 hal.200)
Artinya: Diceritakan dari Utsman bin Abi Syaibah dari Waqi dari
Sufyan dari Hakim bin al Dailami dari Abi Burdah dari ayahna dia
berkata: ada seoran yahudi yang bersin disamping Nabi SAW kaena dia
berharap supaya Nabi berdoa untuknya Yarhamuka Allah, maka Nabi
berdoa untuknya Yahdiumullah Wayushlikhubaalakum. (Shahih
Bukhari, Bab Adab no.5870., Sunan Abi Dawud juz 14, Bab
Adab no.5033., mam Ahmad juz 3 hal.353)
25
26
Artinya: Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku
adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama, dan tidak
(pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orangorang yang berlaku adil. Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu
menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangimu karena
agama, dan mengusir kamu dari negerimu, dan membantu (orang lain) untuk
mengusirmu. Dan barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, maka
mereka itulah orang-orang yang zalim. (QS. Al-Mumtahanah: 0809).
27
Artinya: Dari Abi Musa ra. sesungguhnya dia mendengar bahwa Nabi
Muhammad SAW berkata: Tidak dikatakan orang beriman diantara
kamu sekalian, sehingga kalian saling mengasihi atau menyayangi. Sahabat
berkata: Wahai Rasulullah kita semuanya (komunitas sahabat) sudah
saling mengasihi. Rasulullah bersabda: Sesungguhnya kasih sayang itu bukan
hanya diantara kamu saja, tetapi kasih sayang kepada seluruh umat
manusia dan alam semesta. (HR. Thabrani, hadits shoheh.
Mujamma Az Zawaid hal: 340 juz: 8)
29
30
31
Artinya: Nabi bersabda; Barang siapa yang telah membunuh non muslim
tanpa alasan yang benar, maka Allah benar-benar melarang baginya masuk
surga. (HR. Ibnu Umar; Jamius Shaghir hal. 177)
33
pandangan-pandangan ulama yang beragam beserta dalilnya masingmasing, dengan begitu, belum dapat disebut ulama yang mumpuni
di bidangnya.
Yang menarik, dalam mengemukakan berbagai pendapatnya,
ulama-ulama Islam, terutama yang diakui secara luas keilmuannya,
mampu menunjukkan kedewasaan sikap, toleransi, dan objektivitas
yang tinggi. Mereka tetap mendudukkan pendapat mereka di bawah
Al Qur'an dan Hadits, tidak memaksakan pendapat, dan selalu siap
menerima kebenaran dari siapa pun datangnya. Dapat dikatakan,
mereka telah menganut prinsip relativitas pengetahuan manusia.
Sebab, kebenaran mutlak hanya milik Allah subhanahu wata'ala.
Mereka tidak pernah memposisikan pendapat mereka sebagai yang
paling absah sehingga wajib untuk diikuti.
Dalam hal pluralitas pendapat, Imam SyafiI pun pernah
mengungkapkan pendapatnya yang populer hingga saat ini, yang
berbunyi; Pendapatku benar, tapi memiliki kemungkinan untuk salah.
Sedangkan pendapat orang lain salah, tapi memiliki kemungkinan untuk
benar.
Dalam kerangka yang sama, Imam Ahmad bin Hambal pernah
berfatwa agar imam hendaknya membaca basmalah dengan suara
dikeraskan bila memimpin shalat di Madinah. Fatwa ini
bertentangan dengan mazhab Ahmad bin Hambal sendiri yang
menyatakan bahwa yang dianjurkan bagi orang yang shalat adalah
mengecilkan bacaan basmalahnya. Tapi fatwa tersebut dikeluarkan
Ahmad demi menghormati paham ulama-ulama di Madinah, waktu
itu, yang memandang sebaliknya. Sebab, menurut ulama-ulama
Medinah itu, orang yang shalat, lebih utama bila ia mengeraskan
bacaan basmalahnya.
35
36
Artinya: Saad bin Uffair bercerita kepadaku (Imam Bukhori) dia berkata, alLaits telah bercerita kepadaku al-Laits berkata, Uqoil bercerita kepadaku dari
Ibnu Syihab dia berkata, Urwah bin Zubair bercerita kepadaku sesungguhnya
Miswar bin Makhromah dan Abdurrohman bin Abdul Qori telah bercerita
kepada Urwah bin Zubair sesungguhnya keduanya mendengar bahwa Umar bin
Khottob berkata Saya telah mendengar Hisyam bin Hakim membaca surat alFurqon dimasa hidup Rosulullah SAW. ketika itu dia membaca berbagai huruf
(dengan model bacaan) yang tidak pernah dibacakan atau diajarkan oleh
Rosulullah SAW kepadaku (Sayyidina Umar), maka aku mendekat
menghampiri Hisyam dalam sholatnya, dan aku menunggunya sampai dia salam.
Lalu aku menyeret Hisyam dengan surban di lehernya kemudian aku bertanya
Siapa yang membacakan atau mengajarkan surat yang telah aku dengar tadi
ketika engkau membaca. Hisyam menjawab: Rosulullah SAW yang telah
membacakan atau mengajarkan surat itu kepadaku, lalu Umar berkata:
Engkau berbohong (wahai Hisyam), sesungguhnya Rosulullah SAW telah
membacakan surat itu kepadaku tidak seperti yang telah engkau baca. Setelah
itu aku pergi mengajak Hisyam untuk menghadap kepada Rosulullah SAW
demi meluruskan perkara ini, dan aku berkata kepada Rosulullah SAW.
37
38
:
)22 (
Artinya: Orang sufi itu bagaikan bumi yang mana segala keburukan dia
terima dengan selalu membalasnya dengan kebaikan. Orang sufi itu
bagaikan bumi yang mana di atasnya berjalan segala sesuatu yang baik
maupun yang buruk (semua diterimanya). Orang sufi itu bagaikan langit
yang menaungi segala sesuatu yang ada di bawahnya, dan seperti air hujan
yang menyirami segala sesuatu (yang baik maupun yang buruk).
39
Artinya: Orang sufi itu adalah seorang yang merasa dirinya hina,
menahan dan memerangi hawa nafsunya, memberi nasehat kepada
makhluk, selalu mendekatkan diri kepada Allah, berperilaku bijaksana,
menjauhi berandai-andai (berangan-angan terlalu tinggi) dan tidak mau
mencela, mencegah perbuatan dosa, waktu luangnya digunakan untuk
beribadah, selalu prihatin (menyesali semua kesalahannya), hidupnya
sederhana, selalu arif terhadap sesuatu yang benar, mengasingkan diri dan
mencegah dari segala sesuatu yang sia-sia. (Khilyatul Auliya' hal. 11)
:
Artinya: Ciri-ciri seorang sufi itu adalah; 1) al-Shodiq: merasa miskin
setelah memperoleh kekayaan, merasa hina setelah mendapatkan kemulyaan,
dan menyamarkan dirinya setelah terkenal., 2) al-Kadzib: merasa kaya akan
harta sesudah faqir, merasa mulia setelah hina, merasa terkenal yang mana
sebelumnya dia tidak masyhur. (Diterangkan di dalam kitab Risalah
Qusyairiyah Hal 126-127)
40
41
43
Persaudaraan itu bukan hanya tolong-menolong dalam kehidupan seharihari, tapi hingga ke tingkat waris-mewarisi.
Kemudian diadakan perjanjian hidup bersama secara damai di antara
berbagai golongan yang ada di Madinah, baik antara golongan-golongan
Islam, maupun dengan golongan-golongan Yahudi.
Masyarakat muslim Madinah yang berhasil dibentuk Rasulullah, oleh
sebagian intelektual muslim masa kini disebut dengan negara kota (city
state). Lalu, dengan dukungan kabilah-kabilah dari seluruh penjuru jazirah
Arab yang masuk Islam, maka muncullah kemudian sosok negara bangsa
(nation state). Walaupun sejak awal Islam tidak memberikan ketentuan
yang pasti tentang bagaimana bentuk dan konsep negara yang
dikehendaki, namun suatu kenyataan bahwa Islam adalah agama yang
mengandung prinsip-prinsip dasar kehidupan termasuk politik dan
negara.
Dalam masyarakat muslim yang terbentuk itulah Rasulullah menjadi
pemimpin dalam arti yang luas, yaitu sebagai pemimpin agama dan juga
sebagai pemimpin masyarakat. Konsepsi Rasulullah yang diilhami AlQuran ini kemudian menelorkan Piagam Madinah yang mencakup 47
pasal, yang antara lain berisikan hak-hak asasi manusia, hak-hak dan
kewajiban bernegara, hak perlindungan hukum, sampai toleransi
beragama yang oleh ahli-ahli politik modern disebut manifesto politik
pertama dalam Islam.
Kesepakatan-kesepakatan antara golongan Muhajirin dan Anshar,
dan perjanjian dengan golongan Yahudi itu, secara formal, ditulis dalam
suatu naskah yang disebut shahifah. Shahifah dengan 47 pasal inilah yang
kemudian disebut dengan Piagam Madinah. Piagam yang menjadi payung
kehidupan berbangsa dan bernegara --dengan multi etnis dan agama-- ini,
menurut sejumlah sumber, dibuat pada tahun pertama Hijrah dan
sebelum Perang Badar.
44
45
tulisan lain tentang piagam tersebut juga bisa dijumpai dalam Sunan
Abu Dawud (w. 272 H), Sunan Ibn Majah (w. 273 H), Sunan
Tirmidzi (w. 279 H), Sunan Nasai (w. 303 H), serta dalam Tarikh
al-Umam wa al-Muluk oleh al-Thabari.
Piagam Madinah ini telah diterjemahkan pula ke dalam bahasa
asing, antara lain ke bahasa Perancis, Inggris, Itali, Jerman, Belanda
dan Indonesia. Terjemahan dalam bahasa Perancis dilakukan pada
tahun 1935 oleh Muhammad Hamidullah, sedangkan dalam bahasa
Inggris terdapat banyak versi, diantaranya seperti pernah dimuat
dalam Islamic Culture No.IX Hederabat 1937, Islamic Review terbitan
Agustus sampai dengan Nopember 1941 (dengan topik The first
written constitution of the world). Selain itu, Majid Khadduri juga
menerjemahkannya dan memuatnya dalam karyanya War and Pearce
in the Law of Islam (1955), kemudian diikuti oleh R. Levy dalam
karyanya The Social Structure of Islam (1957) serta William
Montgomery Watt dalam karyanya Islamic Political Thought (1968).
Adapun terjemahan-terjemahan lainnya seperti dalam bahasa
Jerman dilakukan oleh Wellhausen, bahasa Itali dilakukan oleh
Leone Caetani, dan bahasa Belanda oleh A. J. Wensick serta bahasa
Indonesia --untuk pertama kalinya-- oleh Zainal Abidin Ahmad.
Menurut Muhammad Hamidullah yang telah melakukan
penelitian terhadap beberapa karya tulis yang memuat Piagam
Madinah, bahwa ada sebanyak 294 penulis dari berbagai bahasa.
Yang terbanyak adalah dalam bahasa Arab, kemudian bahasa-bahasa
Eropa. Hal ini menunjukkan betapa antusiasnya mereka dalam
mengkaji dan melakukan studi terhadap piagam peninggalan Nabi.
Dalam teks aslinya, Piagam Madinah ini semula tidak terdapat
pasal-pasal. Pemberian pasal-pasal sebanyak 47 itu baru kemudian
dilakukan oleh A.J. Winsick dalam karyanya Mohammed en de
joden te Madina, tahun 1928 M yang ditulis untuk mencapai gelar
46
47
MUKADDIMAH -
Dengan nama Tuhan Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang "Inilah
Piagam Tertulis dari Nabi Muhammad SAW di kalangan Orang-orang yang
beriman dan memeluk Islam (yang berasal) dari Quraisy dan Yatsrib, dan
orang-orang yang mengikuti mereka, mempersatukan diri dan berjuang bersama
mereka."
I. PEMBENTUKAN UMMAT
Pasal 1
Sesungguhnya mereka satu bangsa negara (ummat), bebas dari (pengaruh dan
kekuasaan) manusia.
Kaum Muhajirin dari Quraisy ttp mempunyai hak asli mereka, saling
tanggung-menanggung, membayar dan menerima uang tebusan darah
48
(diyat)kerana suatu pembunuhan, dengan cara yang baik dan adil di antara
orang-orang beriman.
Pasal 3
1. Banu 'Auf (dari Yathrib) tetap mempunyai hak asli mereka, tanggung
menanggung uang tebusan darah (diyat).
2. Dan setiap keluarga dari mereka membayar bersama akan uang tebusan
dengan baik dan adil di antara orang-orang beriman.
Pasal 4
1. Banu Sa'idah (dari Yathrib) tetap atas hak asli mereka, tanggung
menanggung uang tebusan mereka.
2. Dan setiap keluarga dari mereka membayar bersama akan uang tebusan
dengan baik dan adil di antara orang-orang beriman.
Pasal 5
1. Banul-Harts (dari suku Yathrib) tetap berpegang atas hak-hak asli mereka,
saling tanggung-menanggung untuk membayar uang tebusan darah (diyat) di
antara mereka.
49
2. Setiap keluarga (tha'ifah) dapat membayar tebusan dengan secara baik dan
adil di kalangan orang-orang beriman.
Pasal 6
1. Banu Jusyam (dari suku Yathrib) tetap berpegang atas hak-hak asli mereka,
tanggung-menanggung membayar uang tebusan darah (diyat) di antara
mereka.
2. Setiap keluarga (tha'ifah) dapat membayar tebusan dengan secara baik dan
adil di kalangan orang-orang beriman.
Pasal 7
1. Banu Najjar (dari suku Yathrib) tetap berpegang atas hak-hak asli mereka,
tanggung-menanggung membayar uang tebusan darah (diyat) dengan secara
baik dan adil.
2. Setiap keluarga (tha'ifah) dapat membayar tebusan dengan secara baik dan
adil di kalangan orang beriman.
Pasal 8
50
1. Banu 'Amrin (dari suku Yathrib) tetap berpegang atas hak-hak asli
mereka, tanggung-menanggung membayar uang tebusan darah (diyat) di
antara mereka.
2. Setiap keluarga (tha'ifah) dapat membayar tebusan dengan secara baik dan
adil di kalangan orang-orang beriman.
Pasal 9
1. Banu An-Nabiet (dari suku Yathrib) tetap berpegang atas hak-hak asli
mereka, tanggung-menanggung membayar uang tebusan darah (diyat) di
antara mereka.
2. Setiap keluarga (tha'ifah) dapat membayar tebusan dengan secara baik dan
adil di kalangan orang-orang beriman
. Pasal 10
1. Banu Aws (dari suku Yathrib) berpegang atas hak-hak asli mereka,
tanggung-menanggung membayar uang tebusan darah (diyat) di antara
mereka.
2. Setiap keluarga (tha'ifah) dapat membayar tebusan dengan secara baik dan
adil di kalangan orang-orang beriman.
51
Pasal 11
Pasal 12
52
Pasal 13
Pasal 14
Pasal 15
1. Jaminan Tuhan adalah satu dan merata, melindungi nasib orang-orang yang
lemah.
2. Segenap orang-orang yang beriman harus jamin-menjamin dan setiakawan
sesama mereka daripada (gangguan) manusia lain
53
Pasal 17
Pasal 18
Pasal 19
54
1. Segenap orang-orang yang beriman harus memberikan pembelaan atas tiaptiap darah yang tertumpah di jalan Tuhan.
2. Setiap orang beriman yang bertaqwa harus berteguh hati atas jalan yang baik
dan kuat.
Pasal 20
Pasal 21
1.
2.
Pasal 22
55
1. Tidak dibenarkan bagi setiap orang yang mengakui piagam ini dan percaya
kepada Tuhan dan hari akhir, akan membantu orang-orang yang salah, dan
memberikan tempat kediaman baginya.
2. Siapa yang memberikan bantuan atau memberikan tempat tinggal bagi
pengkhianat-pengkhianat negara atau orang-orang yang salah, akan
mendapatkan kutukan dan kemurkaan Tuhan di hari kiamat nanti, dan
tidak diterima segala pengakuan dan kesaksiannya.
Pasal 23
V. GOLONGAN MINORITAS
Pasal 24
Pasal 25
56
1. Kaum Yahudi dari suku Auf adalah satu bangsa-negara (ummat) dengan
warga yang beriman.
2. Kaum Yahudi bebas memeluk agama mereka, sebagai kaum Muslimin bebas
memeluk agama mereka.
3. Kebebasan ini berlaku juga terhadap pengikut-pengikut/sekutu-sekutu
mereka, dan diri mereka sendiri.
4. Kecuali kalau ada yang mengacau dan berbuat kejahatan, yang menimpa diri
orang yang bersangkutan dan keluarganya
. Pasal 26
Kaum Yahudi dari Banu Najjar diperlakukan sama seperti kaum Yahudi dari
Banu Auf di atas.
Pasal 27
Kaum Yahudi dari Banul-Harts diperlakukan sama seperti kaum Yahudi dari
Banu Auf di atas
Pasal 28
Kaum Yahudi dari Banu Sa'idah diperlakukan sama seperti kaum Yahudi
dari Banu Auf di atas
57
Pasal 29
Kaum Yahudi dari Banu Jusyam diperlakukan sama seperti kaum Yahudi
dari Banu Auf di atas
Pasal 30
Kaum Yahudi dari Banu Aws diperlakukan sama seperti kaum Yahudi dari
Banu Auf di atas
Pasal 31
Pasal 32
Suku Jafnah adalah bertali darah dengan kaum Yahudi dari Banu Tsa'labah,
diperlakukan sama seperti Banu Tsa'labah
58
Pasal 33
1. Banu Syuthaibah diperlakukan sama seperti kaum Yahudi dari Banu Auf
di atas.
2. Sikap yang baik harus dapat membendung segala penyelewengan.
Pasal 34
Pasal 35
59
Pasal 37
.
1. Kaum Yahudi memikul biaya negara, sebagai halnya kaum Muslimin
memikul biaya negara
2. Di antara segenap warga negara (Yahudi dan Muslimin) terjalin pembelaan
untuk menentang setiap musuh negara yang memerangi setiap peserta dari
piagam ini
3. Di antara mereka harus terdapat saling nasihat-menasihati dan berbuat
kebajikan, dan menjauhi segala dosa
4. Seorang warga negara tidaklah dianggap bersalah, karena kesalahan yang
dibuat sahabat/sekutunya
5. Pertolongan, pembelaan, dan bantuan harus diberikan kepada orang/golongan
yang teraniaya
Pasal 38
60
Pasal 40
Segala tetangga yang berdampingan rumah, harus diperlakukan sebagai dirisendiri, tidak boleh diganggu ketenteramannya, dan tidak diperlakukan salah
Pasal 41
61
1. Tidak boleh terjadi suatu peristiwa di antara peserta piagam ini atau terjadi
pertengkaran, melainkan segera dilaporkan dan diserahkan penyelesaiannya
menurut (hukum ) Tuhan dan (kebijaksanaan) utusan-Nya, Muhammad
SAW
2. Tuhan berpegang teguh kepada piagam ini dan orang-orang yang setia
kepadanya
Pasal 43
Sesungguhnya (musuh) Quraisy tidak boleh dilindungi, begitu juga segala orang
yang membantu mereka
Pasal 44
62
Pasal 46
1. Dan sesungguhnya kaum Yahudi dari Aws dan segala sekutu dan simpatisan
mereka, mempunyai kewajiban yang sama dengan segala peserta piagam untuk
kebaikan (pendamaian) itu
2. Sesungguhnya kebaikan (pendamaian) dapat menghilangkan segala kesalahan
63
X. PENUTUP
Pasal 47
1. Setiap orang (warganegara) yang berusaha, segala usahanya adalah atas dirinya
2. Sesungguhnya Tuhan menyertai akan segala peserta dari piagam ini, yang
menjalankannya dengan jujur dan sebaik-baiknya
3. Sesungguhnya tidaklah boleh piagam ini dipergunakan untuk melindungi
orang-orang yang dhalim dan bersalah
4. Sesungguhnya (mulai saat ini), orang-orang yang bepergian (keluar), adalah
aman
5. Dan orang yang menetap adalah aman pula, kecuali orang-orang yang dhalim
dan berbuat salah
6. Sesungguhnya Tuhan melindungi orang (warganegara) yang baik dan bersikap
taqwa (waspada)
7. Dan (akhirnya) Muhammad adalah Utusan Allah, semoga Allah
mencurahkan shalawat dan kesejahteraan atasnya
Penggalan-penggalan Piagam Madinah itu banyak terdapat dalam kitabkitab hadits shahih. Dalam analisis ini didasarkan pada teks Piagam
madinah yang tercantum dalam Sirah an-Nabawiyyah Ibn Hisyam.
Disistematisasikan ke dalam pasal-pasal oleh Dr. AJ Wensinck
dalam bukunya Mohammad en de Yoden le Medina (1928), pp. 74-84,
dan W. Montgomery Watt dalam bukunya Mohammad at Medina (1956),
pp. 221-225
65
66
Artinya: (Jika ada yang bertanya) semua kelompok mengaku dirinya sebagai
golongan ahlu al sunnah wa al-jamaah itu bukan hanya klaim semata, namun
harus diwujudkan (diaplikasikan) dalam perbuatan dan ucapan. Pada zaman kita
sekarang ini perwujudan itu dapat dilihat dengan mengikuti apa yang tertera dalam
hadits-hadits yang shahih, seperti shahih al-Bukhori, Shahih Muslim dan kitabkitab lainnya yang telah disepakati validitasnya. (al-Bariqah Syarh alThariqah, hal.111-112)
67
Aswaja merupakan singkatan dari kata ahlun, al-Sunnah, dan alJamaah, dan dari situ ada tiga kata yang membentuk istilah tersebut;
dimana ahlun berarti keluarga, golongan atau pengikut, al-Sunnah,
berarti segala sesuatu yang telah diajarkan oleh Rasulullah Saw.
meliputi perkataan, perbuatan dan ketetapannya, dan al-Jamaah yakni
apa yang telah disepakati oleh para sahabat pada masa Khulafa alRasyidin (Khalifah Abu Bakar al-Shiddiq ra., Sayyidina Umar bin
Khattab ra., Sayyidina Utsman bin Affan ra., dan sayyidina Ali bin Abi
Thalib krw). Sehingga secara istilah dapat dikatakan bahwa aswaja
adalah golongan yang secara perkataan, sikap dan prilaku sesuai
dengan ajaran Rasulullah dan apa-apa yang menjadi kesepakatan
pada masa Khulafau al-Rasyidin.
Sebagaimana telah dikemukakan oleh Syekh Abdul Qadir alJailany sebagai berikut :
68
Artinya: Yang disebut Ahlu al-Sunnah wa al-Jamaah adalah orangorang yang selalu berpedoman pada sunnah Nabi Saw. dan jalan para
sahabatnya dalam masalah aqidah keagamaan, amal-amal lahiriyah serta
akhlaq hati. (Al-Kawakib al-Lammaah hal. 8-9)
69
70
Artinya: Dari Umar bin Khattab Ra., dia berkata: Pada suatu hari
kami berada bersama Rasulullah Saw., tiba-tiba datang kepada kami
seorang laki-laki yang bajunya sangat putih, rambutnya sangat hitam,
sama sekali tidak nampak pada dirinya tanda-tanda kalau dia telah
melakukan perjalanan jauh, dan tak seorang pun dari kami yang
mengenalnya.
Kemudian laki-laki itu duduk di hadapan Nabi Saw. sambil
menempelkan kedua lututnya pada lutut Rasulullah Saw., sedangkan
kedua telapak tangannya diletakkan di atas paha Rasulullah Saw., lakilaki itu bertanya: Wahai Muhammad, beritahukan kepadaku tentang
Islam. Rasulullah Saw. menjawab, Islam adalah kamu bersaksi tiada
Tuhan selain Allah Swt.dan bahwasanya Muhammad adalah utusan
Allah Swt. dan hendaklah kamu mendirikan shalat, menunaikan zakat,
mengerjakan puasa pada bulan Ramadlan dan menunaikan ibadah haji
ke Baitullah jika kamu telah mampu melaksanakannya. Laki-laki itu
pun menjawab, Kamu berkata benar, Umar berkata, tentu saja kami
merasa heran kepada orang itu, sebab dia yang bertanya dan dia sendiri
yang malah membenarkan (jawaban Rasululah).
Kemudian laki-laki itu kembali bertanya, beritahukanlah kepadaku
mengenai iman!, Rasulullah Saw. menjawab Hendaklah kamu beriman
kepada Allah Swt., para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para rasulNya, beriman kepada hari akhir dan juga kepada qadar-Nya yang baik
dan yang buruk. Laki-laki itu pun menjawab, kamu berkata benar,
kemudian laki-laki itu bertanya lagi beritahukan kepada diriku
mengenai ihsan, Rasulullah Saw. menjawab Hendaknya kamu
menyembah Allah Swt. seolah-olah kamu melihat-Nya, jika kamu tidak
bisa merasa melihat-Nya, maka hendaklah kamu merasa dilihat-Nya
(Allah Swt. melihatmu). Laki-laki itu bertanya lagi beritahukanlah
kepadaku tentang hari kiamat! Rasulullah menjawab, tidaklah orang
yang ditanya lebih mengetahui dibanding orang yang bertanya,. Laki-laki
itu berkata kalau begitu beritahukanlah tentang tanda-tandanya saja!
71
72
Dan dari dalil di atas dapat kita ketahui bahwa inti ajaran Islam
adalah iman, islam dan ihsan yang harus diamalkan secara kaffah
(menyeluruh) dan dari perjalanan sejarah, secara keilmuan
berkembang dan dikolaborasi menjadi ilmu tauhid, fiqih,dan tasawuf.
Kemampuan Kolaborasi dalam bentuk tingkah laku itulah yang akan
dapat dinilai oleh masyarakat atas kedalaman ilmu seorang kyai.
73
75
76
77
79
80
2.
3.
4.
5.
81
82
83
Lebih lanjut dalam kitab Subul al-Salam ada salah satu hadits
Nabi yang berbunyi:
84
Artinya: Diceritakan dari Malik dari Yazid bin Rumman. Dia berkata:
Manusia di masa Umar bin Khattab telah melakukan shalat (tarawih)
dengan 23 rakaat di bulan Ramadlan. (Tanwir al-Hawalik, hal.138)
85
86
87
b. Sah, selama masih memenuhi syarat dan rukun shalat itu sendiri,
misalnya terpenuhi unsur tumaninah. Sesuai dengan hadits
Nabi;
Artinya: Nabi Saw. Itu orang yang paling cepat shalatnya ketika
mengimami manusia dan orang yang paling lama ketika shalat sendiri. (alJami al-Shaghir, juz II, hal. 100)
88
Artinya: Dari Said bin Thariq al-Asyjai ra, ia berkata; aku pernah
bertanya kepada ayahku wahai ayah! Sesungguhnya engkau pernah
mengerjakan shalat di belakang Rasulullah Saw, Abu Bakar, Umar,
Usman, Ali. Apakah mereka semua berdoa qunut ketika shalat shubuh?
Ayahku menjawab qunut itu termasuk perkara yang baru datang (HR.
Khamsah kecuali Abu Dawud) dari hadis tersebut tercetuslah hukum berupa
larangan qunut shubuh, seperti yang dipegang Abu Hanifah dan Imam
Ahmad. (Ibanah al-Ahkam, juz I, hal. 431)
89
Larangan qunut tersebut di atas dikomentari oleh Imam alSathi, dia berkata: Dasar hadis yang kemudian dikatakan bahwa
qunut itu perkara yang baru datang, tidak bisa dijadikan sebagai
alasan untuk melarang qunut. Hal ini sesuai dengan kaidah usul
fiqih:
90
91
2. Bagi yang hadats dan tidak ada air untuk berwudlu serta tidak
ada media tayamum, maka caranya sebagai berikut:
a. Melaksanakan niat shalat untuk menghormati waktu
(Likhurmatil Waqti) dan wajib iadah (mengulang shalatnya)
setelah menemukan alat untuk bersuci.
93
Artinya: Janganlah kamu bersembahyang dalam mesjid itu selamalamanya. Sesungguh- nya mesjid yang didirikan atas dasar taqwa
(mesjid Quba), sejak hari pertama adalah lebih patut kamu shalat di
dalamnya. Di dalam mesjid itu ada orang-orang yang ingin
membersihkan diri. Dan Sesungguhnya Allah Swt. Menyukai orangorang yang bersih. (QS. Al-Taubah:108)
94
95
3.
4.
5.
6.
96
7.9. Shalat Jumat bagi TNI, POLRI, Satpam dan Banser yang
Sedang Bertugas
TNI dan Polisi adalah perangkat negara yang betugas menjaga
keamanan negara dan masyarakat, namun dalam menjalankan
tugasnya terkadang ia harus meninggalkan hal-hal yang diwajibkan
agama seperti tidak dapat melaksanakan shalat jumat. Bagaimanakah
hukum meninggalkan shalat jumat karena tuntutan tugas?
Tidak diwajibkan mengikuti shalat jumat bagi aparat
keamanan baik Polisi, TNI, Satpam ataupun Banser pada saat
menjalankan tugas untuk menjaga keamanan harta benda atau
menjaga keamanan seseorang yang sedang terancam.
Artinya: Tidak diwajibkan shalat jumat bagi orang yang khawatir pada
keamanan diri dan hartanya, berdasarkan riwayat Ibnu Abbas ra.
Sesungguhnya Rasulullah Saw. bersabda Barang siapa mendengarkan
adzan dan dia tidak menjawabnya maka tidak dianggap shalat baginya,
kecuali karena udzur. Sahabat bertanya, Apakah udzurnya Ya
Rasulallah Swt.? Rasulullah menjawab Udzurnya adalah khawatir atau
sakit. (al-Muhadzab, juz I, hal.109)
97
98
99
100
101
Artinya: Dan tidak boleh mengamini doa orang kafir karena doanya
tidak diterima sesuai dengan firman Allah Swt. dan doa (ibadah) orangorang kafir itu, hanya sia-sia belaka. (Hasyiyah al-Jamal, Juz II,
hal. 119)
102
Artinya: Orang kafir, baik dzimmi maupun orang kafir selain dzimi,
itu tidak diperbolehkan menjadi satu majlis peribadatan kita, demikian
halnya ketika kita keluar. Percampuran tersebut makruh, dan mereka
harus berbeda dengan kita umat islam ketika berada dalam suatu tempat.
Hal ini karena mereka musuh-musuh Allah Swt. yang suatu saat mereka
akan ditimpa suatu adzab dengan kekufuran mereka itu dan adzab
tersebut akan mengenai kita pula. (Mughni al-Muhtaj, juz I,
hal.323)
103
Artinya: Haram mencintai orang kafir yakni adanya rasa suka dan
kecenderungan hati kepadanya. Sedangkan sekedar bergaul secara lahir
saja maka hukumnya makruh. (al-Bujairami ala al-Khatib, juz
IV, hal.291)
Keterangan yang sama terdapat dalam kitab Hasyiyah alJamal, juz II, hal.119
104
Artinya: Yang kedua, tidak dilarang untuk bergaul (dengan orangorang kafir) dengan pergaulan yang baik di dunia. (Tafsir Munir
Lin Nawawi, juz I, hal.94)
105
10.1. Haram
Menurut Syekh Abd. Aziz bin Abdillah bin Baz hukum
merokok itu haram secara syari karena bisa membahayakan
kesehatan (mendatangkan berbagai macam penyakit yang bisa
menyebabkan kematian seseorang). Diterangkan dalam kitab:
Hukmu Syurbu al-Dukhan Wa Imamati Man, Juz 1 hal. 1-3.
106
yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk. Maka
merokok termasuk perkara buruk yang diharamkan, menghisapnya
menyebabkan penyakit yang menyebabkan kematian. Nabi bersabda:
Tidak boleh membahayakan diri sendiri dan orang lain. Maka
membahayakan diri sendiri atau membahayakan orang lain itu dilarang,
maka menghisap dan menjual rokok itu haram.
10.2.
Makruh
107
10.3. Mubah
Menurut Syekh Ali al-Ujhuri al-Maliki, merokok dihukumi
sebagai sesuatu yang diperbolehkan, dan pendapatnya tersebut juga
di perkuat oleh pendapat al-Arif Abdul Ghani an-Nablusy.
Diterangkan di dalam kitab: Takmilah Hasyiah Rad al-Muhtar, Juz 1
hal. 15.
10.4. Wajib
Menurut pendapat Imam al-Bajuri, hukum merokok itu
terkadang bisa wajib apabila akan terjadi bahaya jika
meninggalkannya. Hal ini diterangkan dalam kitab: al-Bajuri, Juz 1
hal. 343.
109
110
111
11.1.
Manusia tidak dapat hidup tanpa orang lain, oleh sebab itu
manusia disebut makhluk sosial yang saling membutuhkan satu sama
lain. Lebih-lebih kita hidup dalam negara yang penuh keragaman, baik
dari segi budaya, status sosial, suku, budaya maupun agama. Untuk
hidup damai dan berdampingan, tentu dibutuhkan teposeliro
(tenggang rasa) atau toleransi antara satu dengan yang lainnya.
Hukum toleransi dalam pergaulan antar umat beragama
(pluralitas agama) adalah sebagai berikut:
a. Dilarang (haram), apabila dalam berhubungan, rela (ridho) serta
meyakini kebenaran aqidah agama lain.
b. Boleh, bergaul atau menjalin hubungan baik dalam urusan dunia
saja dengan sebatas dhohir.
c. Dilarang, tapi tidak menjadi kufur yaitu: Apabila tolong
menolong tersebut disertai rasa condong terhadap keyakinan
(akidah) agama lain yang disebabkan ada hubungan kerabat atau
112
113
114
Artinya: Diceritakan dari sahal bin Abi shaleh, dari ayahnya, dari Abu
Hurairah ra. Bahwa Nabi bersabda: janganlah engkau memberi salam
kepada orang Yahudi dan orang Nasrani, dan ketika kamu bertemu di
jalan, maka bergeserlah ke jalan yang lebih sempit. (Al-Majmu Syarh
al-Muhadzdzab, juz 4, hal. 508)
115
116
Penjelasan:
Ucapan Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuhu adalah
sebagai tanda penghormatan dan ucapan doa selamat, demikian
pula ucapan salam dengan menggunakan berbagai bahasa yang
bisa dimengerti, bahkan menurut kesepakatan para ulama bagi
orang yang tidak mampu mengucapkan salam dengan bahasa arab
disunnahkan mengucapkan salam dengan menggunakan bahasa
selain bahasa Arab yang mudah dimengerti atau mudah dipahami.
117
118
dilakukan
terhadap
orang
kaya
karena
119
Artinya: Imam Hafidz al-Iraqi Ra. berkata: Mencium badan, tangan atau
kaki orang-orang yang dianggap mulia dengan maksud mendapatkan berkah,
adalah perbuatan baik dan terpuji berdasarkan tujuan dan niatnya.
(Bughya al-Mustarsyidin hal 296)
Budaya mencium tangan ulama, kyai, ahli zuhud dan orang yang
sudah tua, sudah ada sejak zaman Rasulullah Saw. seperti contoh:
sahabat Abu Ubaidah mencium tangan sahabat umar, sahabat Ali
mencium tangan sahabat Abbas dan sahabat kaab mencium kedua
tangan dan lutut Nabi. Sebagaimana keterangan berikut ini:
120
Artinya: Sesungguhnya Kaab mencium kedua tangan dan lutut Nabi. (HR. Ibnu
Hibban). (Bughya al-Mustarsyidin hal 638)
b. Makruh
121
c. Boleh
Menurut Syekh Muhammad Amin al-Kurdi, hukum berjabat tangan
antara orang laki-laki dan perempuan boleh tetapi dengan syarat
harus menggunakan satir seperti kaos tangan atau yang lainnya.
122
12.1.
Definisi Aurat
Aurat adalah bagian tubuh manusia yang tabu dan dosa untuk
diperlihatkan kepada orang lain kecuali terhadap makhrom atau
suami dan istri sendiri. Secara umum aurat itu dibagi menjadi dua
yaitu;
1. Aurat Ghalidhah (yaitu Qubul, lubang depan yang biasanya
disebut dzakar atau vagina dan dubur, yaitu lubang belakang
atau anus).
2. Aurat Khafifah yaitu seluruh anggota tubuh selain dari qubul
dan dubur. Keterangan dalam kitab al-Jauhar al-Nirah, Juz 1
hal. 189.
123
Menurut Imam Malik dan Imam Ahmad, aurat orang lakilaki di luar shalat adalah hanya kubul dan dubur saja.
Diterangkan dalam kitab Bughya al-Mustarsyidin bab Fii
Syuruti al-Shalat hal 34.
124
125
2. Aurat Wanita
a. Pendapat dari pengikut madzhab Syafiiyah, bahwa aurat
wanita di luar shalat ketika bersama orang laki-laki lain
adalah seluruh tubuhnya. Sebagaimana diterangkan dalam
kitab: Matan Safinah an-Najah, hal. 12.
126
127
128
129
12.3. Pornografi
Pornografi adalah bentuk gambar atau patung yang
menampilkan keindahan bagian tubuh yang dapat menimbulkan
syahwat bagi orang lain, baik yang terdapat pada media cetak,
elektronik, maupun pada perilaku seseorang, terutama yang
bersumber dari kaum wanita. Dan sangat disayangkan pada saat ini di
berbagai daerah di Indonesia makin banyak aksi-aksi porno, baik
penayangan dari media cetak, media elektronik maupun langsung.
Dari fenomena tersebut kemudian memunculkan RUU APP.
Dan kemudian Pro dan kontra terhadap RUU itupun semakin ramai
dan menguat. Bagaimanakah hukum melihat pornografi?
a. Haram melihat, apabila sampai menimbulkan syahwat dan
fitnah.
b. Boleh, asal tidak menimbulkan fitnah dan syahwat. (Tuhfah alMuhtaj, juz 9, hal. 20 - 21)
131
132
13.1.
Ulama Hambaliyah.
133
masih balita.
134
135
136
137
(Mauhibah Dzil Fadlal, juz II, hal. 326-327 dan al-Minhaj alQawim juz 1 hal 234).
138
139
adanya fitnah, maka hukumnya haram, namun bukan dosa besar. (Isad
al-Rofiq, juz II, hal. 136)
140
141
14.1.
143
b. Makruh
Menurut Imam Tabrani dalam kitabnya al-Mujam al-Ausat
hukum dari hiburan dan permainan (nyanyian, musik, seni tari,
ludruk, wayang, dll.) adalah makruh.
144
145
Artinya: Setiap hiburan itu adalah batil apabila bisa melalaikan seseorang
dari ketaatan kepada Allah Swt.
c. Boleh
Imam Bukhari meriwayatkan hadits dalam kitab sahihnya bab anNiswah al-Laati Yahdina al-Mar'ah juz 1 hal 145 dari Siti Aisyah
bahwa Nabi pernah berkata:
146
147
Imam Haromain, Imam al-Makhali, Imam Ibni Imad AlSuhrowardi, Imam Rofii dan Ibnu Abi Dam berpendapat:
Hiburan tarian atau sejenisnya adalah tidak haram, apabila tidak
menyebabkan rusaknya harga diri dan tidak ada penyerupaan
laki-laki dengan perempuan atau sebaliknya.
148
149
150
151
BIBLIOGRAFI
Abdullah, M. Amin. 1995. Islam di Indonesia Lebih Pluralistik dan
Demokratis. Dalam Ulumul Quran Jurnal Ilmu dan Kebudayaan.
Jakarta: LSAF dan ICMI.
_______. 1999. Agama, Kebenaran, dan Relativitas (Sebuah Pengantar). Dalam
Gregory Baum Agama dalam Bayang-bayang Relativisme Sebuah
Analisis Sosiologi Pengetahuan Karl Mannheim tentang Sintesa
Kebenaran Historis-Normatif. Yogyakarta: PT. Tiara Wacana
Bekerjasama dengan Siprus.
Ahmed, Akbar S. dan Hastings Donnan. 1994. Islam in the Age of
Postmodernity, dalam Akbar S. Ahmed dan Hastings Donnan
(ed.), Islam Globalization, and Postmodernity. London and New
York: Routledge.
Azra, Azyumardi. 2002. Konflik Baru Antar Peradaban Globalisasi,
Radikalisme & Pluralisme. Jakarta: Rajawali Pers.
Barton, Greg. 1999. Gagasan Islam Liberal di Indonesia: Pemikiran neoModernisme Nurcholish Madjid, Djohan Effendi, Ahmad Wahib, dan
Abdurrahman Wahid. Jakarta: Paramadina dan Pustaka Antara.
Effendy, Bahtiar. 2001. Masyarakat Agama dan Pluralisme Keagamaan,
Perbincangan Mengenai Islam, Masyarakat Madani, dan Etos
Kewirausahaan. Yogyakarta: Galang Press.
Fakih, Mansour. 1995. Teologi yang Membebaskan Kritik terhadap
Developmentalisme. Dalam Ulumul Quran Jurnal Ilmu dan
Kebudayaan No. 3 Vol. VI. Jakarta: LSAF dan ICMI
_______. 1997. Islam, Globalisasi, dan Nasib Kaum Marjinal. Jurnal
Ulumul Quran Jurnal Kebudayaan dan Peradaban, No. 6/VII.
Jakarta: PT. Cipta Prima Budaya.
152
153
154
Schroeder, Ralph, 1992, Max Weber and the Sociology of Culture, London:
Sage Publication
Schlegel, Stuart S. 1977. Grounded Research di dalam Ilmu-ilmu Sosial. Aceh:
PLPIIS.
Sirry, Munim A. 2003. Membendung Militansi Agama Iman dan Politik dalam
Masyarakat Modern. Jakarta: Erlangga.
Politik, Majalah Mahasiswa STF Driyarkara, seri 4, Yogyakarta: Kanisius.
Sparringa, Daniel, 1997, Discaourse, Democracy an Intellectuals in New Order
Indonesia: A Qualitative Sociological Study, Australia: A Thesis
Submitted for the Degree of Doctor of Philosophy of The
Flinders University of South Australia.
_____________, 2000, Kumpulan Bahan Kuliah Metode Penelitian Kualitatif,
Surabaya: Fisip Unair.
_____________, 2002, Analisis Wacana: Sebuah Pendekatan untuk
Kajian Sosial Budaya, Prasasti, Jurnal Ilmu dan Seni Fakultas
Bahasa dan Seni Universitas Negeri Surabaya, No. 45/ Tahun
Xii/Mei 2002.
Sudrajat, Ana Suryana, et. al., Tokoh Baru Permainan Baru, Majalah
Mingguan Panjimas, Edisi 26 desember2002-08 Januari 2003, No.
07/1, hal. 22.Taher, Elza Peldi (ed),. Demokratisasi Politik Budaya
dan Ekonomi.Jakarta: Paramadina, 1994.hal. 192.
Suprayogo, Imam, 2007, Kyai dan Politik: Membaca Citra Politik Kyai,
Malang: UIN Malang Press.
Taher, Tarmizi. 1996. Islam dan Isu Globalisasi: Perspektif Budaya dan Agama.
Dalam M. Nasir Tamara dan Elza Peldi Taher Agama dan
Dialog Antar Peradaban. Jakarta: Penerbit Paramadina.
155
156