Anda di halaman 1dari 166

Dakwah Multikultural Pesantren

Dalam Membendung Terorisme


Dan Radikalisme Agama Di Indonesia:
Sebuah Aksi Pribumisasi Islam

Saifulah
Ubaidillah
Syaifullah
Ainul Lutfi

Penerbit
Yudharta Press
Universitas Yudharta Pasuruan
2013

ii

Jl. Yudharta 07 (Pesantren Ngalah) Purwosari Pasuruan 67162


Telp./Fax. 0343-611186

Copyright 2013

Dakwah Multikultural Pesantren


Dalam Membendung Terorisme
Dan Radikalisme Agama Di Indonesia:
Sebuah Aksi Pribumisasi Islam
Penulis: Saifulah,Ubaidillah, Syaifullah, Ainul Lutfi
Tata Letak & Desain Sampul: Khafizh Rosyidi
Hak cipta dilindungi undang-undang
Dilarang mengutip, memperbanyak dan menerjemahkan
sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa ijin tertulis dari
penulis.
Ukuran: 16 x 21 cm
Tebal: viii + 158 halaman
Nopember 2013
iii

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segla anugrah
dan kekuatan dari-Nya sehingga penyusunan buku ini dapat selesai
dengan lancar.
Penyusunan buku ini didasarkan atas pengalaman empiris penulis
saat melakukan penelitian tentang kondisi riil Dakwah Multikultural
Pondok Pesantren di beberapa daerah di Indonesia yang tipology
pemikiran pengasuhnya pluralis multikulturalistik. Di mana pola pikir
yang demikian telah mewarnai setiap kegiatan dan aktifitas yang ada di
lingkungan Pondok Pesantren. Karena sudah barang tentu, nuansa yang
demikian itu dibangun berdasarkan pada pemikiran seorang pengasuh
(kiai) yang selanjutnya diterjemahkan baik secara konstitusional,
kontekstual maupun aplikatif oleh setiap lembaga yang ada di lingkungan
Pondok Pesantren.
Buku Dakwah Multikultural Pesantren Dalam Membendung Teroris Dan
Radikalisme Agama Di Indonesia ini tersusun atas lima bagian. Bagian
pertama merupakan bagian yang menjelaskan tentang sekilas tentang
Pesantren dan Globalisasi, bagian kedua menguraikan tentang Islam
Kebangsaan, bagian ketiga menguraikan tentang Islam dan Toleransi
antar umat beragama, bagian keempat menguraikan tentang Piagam
Madinah; sebagai rujukan kehidupan berbangsa dan bernegara, dan
bagian kelima menguraikan tentang fiqih Sosial; sebagai fikih yang
transformatif dan demokratis.
Penulis menyadari bahwa penulisan buku ini tidak akan dapat selesai
tanpa dukungan dan dorongan dari banyak orang, baik secara pribadi
maupun secara kelembagaan. Oleh karena itu, pada kesempatan kali ini
penulis secara khusus mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang
iv

sebesar-besarnya kepada Kementrian Pendidikan Nasional DP2M Dikti


yang telah menjadi mediator hingga buku ini dapat diterbitkan. Dengan
segla kerendahan hati dan pengakuan akan keterbatasan yang ada, penulis
sngat mengharapkan adanya sumbangan saran demi penyempurnaan
buku ini. Semoga buku ini membawa manfaat.

Penulis

DAFTAR ISI

Kata Pengantar ......................................................................................... iii


Daftar Isi .................................................................................................... v
BAB I PESANTREN DAN GLOBALISASI:
RESPON KYAI DAN PESANTREN ............................................. 1
BAB II ISLAM KEBANGSAAN ................................................ 10
2.1 Islam dan Pncasila ................................................................ 11
2.2 Bhinneka Tunggal Ika: Nilai Luhur Budaya Bangsa
untuk Tetap menjadi Indonesia Multikultua..................... 18
2.3 Pancasila diantara Berbagai Kepentingan ........................ 20

BAB III TOLERANSI ANTAR UMAT BERAGAMA ............. 22


3.1 Mengapa Pondok Pesantren Dekat dengan

Non-

Muslim ? ................................................................................ 23
3.2 Islam dan Kerukunan Antar Umat Beragama ................. 26
3.3 Perlindungan pada Tempat-tempat Ibadah ..................... 33
3.4 Toleransi terhadap Perbedaan Pendapat ........................... 34
3.5 Sikap dan Kepribadian Seorang Sufi ................................. 39

vi

BAB IV PIAGAM MADINAH: RUJUKAN KEHIDUPAN


BANGSA DAN BERNEGRA ....................................... 42
4.1 Piagam Madinah dan Keotentikannya .............................. 45
4.2 Naskah Piagam Madinah .................................................... 48
BAB V FIQIH SOSIAL: FIQIH YANG
TRANSFORMATIF DAN DEMOKRATIS ................. 67
BAB VI AHLU SUNNAH WA AL-JAMAAH ........................... 69

6.1 Tiga Sendi Utama Ajaran Islam ......................................... 71


6.2 Aswaja dan Perkembangan Sosial Budaya ....................... 74
6.3 Penerapan Hukum Fiqih ..................................................... 77
6.4 Hukum Berpindah-pindah Madzhab ................................ 79
6.5 Bidah dalam Khazanah Literatur Fikih ........................... 80
BAB VII SHALAT ...................................................................... 84
7.1. Bilangan Rakaat Shalat Tarawih ....................................... 84
7.2. Hukum Jamaah Perempuan Ketika Berada di Samping
Barisan Jamaah Laki-laki .................................................... 86
7.3. Shalat Berjamaah Dilakukan dengan Cepat ..................... 88
7.4. Hukum Membaca Doa Qunut ketika Shalat Shubuh ..... 90
7.5. Hukum Menerjemahkan Bacaan dalam Shalat ................. 92
7.6. Cara Mendirikan Shalat di Pesawat .................................... 93

vii

7.7. Shalat Ied Lebih Utama di Masjid atau di Lapangan ...... 95


7.8. Pembagian Golongan Ahli Shalat Jumat .......................... 96
7.9. Shalat Jumat bagi TNI, POLRI, Satpam dan Banser

yang

Sedang Bertugas ................................................................... 98


BAB VIII MENTERJEMAHKAN KHUTBAH DENGAN
BAHASA INDONESIA ............................................ 99
BAB IX HUKUM DOA BERSAMA ANTAR UMAT
BERAGAMA .................................................................. 101
BAB X HUKUM MEROKOK ................................................... 107
10.1. Haram .................................................................................. 107
10.2. Makruh ................................................................................ 108
10.3. Mubah ................................................................................... 109
10.4. Wajib .................................................................................... 109
10.5. Hukum Merokok Ketika Sedang Berpuasa ................... 110
BAB XI TOLERANSI DALAM PLURALITAS AGAMA ....... 113
11.1. Hukum Toleransi dalam Pergaulan Antar Umat
Beragama .............................................................................. 113
11.2. Hukum Mengucapkan Salam Kepada Non Muslim...... 115
11.3. Hukum Mengucapkan Salam Menggunakan Selain
Bahasa Arab ........................................................................ 118
11.4. Berdiri untuk Menghormati Seseorang .......................... 119
11.5. Jabat Tangan dengan Dicucup atau Dicium .................. 121
viii

11.6. Hukum Berjabat Tangan dengan Ghoiru Mahrom ...... 123

BAB XII BATASAN-BATASAN AURAT ................................ 125


12.1. Definisi Aurat ...................................................................... 125
12.2. Kriteria Pembagian Batasan Aurat ................................... 126
12.3. Pornografi ............................................................................ 132
BAB XIII HUKUM PERGAULAN BEBAS .............................. 133
13.1. Hukum Tindik bagi Laki-Laki........................................... 135
13.2. Hukum Tato ........................................................................ 137
13.3. Hukum Wanita Memakai Celana Ketat ........................... 139
13.4. Hukum Wanita Kerja pada Malam Hari ......................... 141
BAB XIV HUKUM HIBURAN DAN PERMAINAN .............. 143
14.1. Hukum Hiburan dan Permainan ...................................... 144
BAB XV PENUTUP .................................................................. 152
BIBLIOGRAFI ............................................................................ 154

ix

Revolusi global yang dilancarkan oleh globalisasi telah


memunculkan dampak destruktif di samping dampak konstruktif atau
bahkan ancaman baru dalam kehidupan umat manusia. Globalisasi yang
memang dirancang menjadi mode of domination baru oleh kaum kapitalis
Barat pada akhirnya menempatkan mereka sebagai aktor kunci yang
memiliki posisi istimewa dan memainkan peran global dalam melakukan
kontrol terhadap berbagai aspek kehidupan umat manusia, ekonomi,
politik, sains dan teknologi, sosial, dan budaya. Dalam hal ini, Peter
Beyer mengatakan terang-terangan bahwa "globalization is more than the
spread of one historically existing culture at the expense of all others. It is also the
creation of a new global culture with its attendant social structures, one which
increasingly becomes the broader social context of all particular cultures in the world,
including those of the West " (Sirry, 2003: 56).
Sebagai sistem dominasi baru, globalisasi ingin melanjutkan
dan sekaligus mempercanggih proses eksploitasinya terhadap segenap
potensi sosial masyarakat Dunia Ketiga. Prinsip dependentia yang selama
ini mereka terapkan tentunya terus dilembagakan melalui berbagai
mekanisme perangkat instrumental globalisasi. Sebagaimana halnya
modernisasi atau developmentalisme, globalisasi tidak pernah
memberikan ruang kesempatakan bagi masyarakat Dunia Ketiga untuk
mandiri, berdaya, dan memiliki kekuasaan sendiri dalam kerangka
membangun masa depan kehidupannnya. Masyarakat Dunia Ketiga terus
dikontrol, didominasi, dan dimarginalisasikan sehingga mereka tetap

berposisi sebagai negara-negara satelit yang harus tunduk patuh melayani


kepentingan konsumtifnya negara-negara pusat.
Berbagai macam inovasi dalam bidang sains dan teknologi
memang ditawarkan Barat kepada negara-negara Dunia Ketiga. Akan
tetapi, tetap saja Dunia Ketiga tidak diberi kesempatan untuk dapat
menguasai dan memproduksi sendiri guna kepentingan kehidupannya.
Melainkan, mereka hanya diposisikan Sebagai konsumen atar produkproduk sains dan teknologi yang bahan bakunya sesungguhnya diambil
secara eksploitatif dari negara-negara Dunia Ketiga. Pada saat masyarakat
Dunia Ketiga beradaptasi, mengadopsi dan mempersiapkan diri untuk
dapat memiliki keahlian dalam mengembangkan sains dan teknologi
global, masyarakat Barat terus menciptakan produk-produk sains dan
teknologi yang supercanggih. Kondisi semacam inilah yang memaksa
masyarakat Dunia Ketiga tidak akan pernah bisa keluar dari orbitnya
sebagai obyek pengonsumsi dan pengguna sains dan teknologi Barat.
Proses globalisasi yang sesungguhnya menawarkan prinsipprinsip keterbukaan, kebebasan, dan pluralisme, namun prakteknya
masyarakat Barat sebagai subyek globalisasi tidak memberikan
kesempatan, keleluasaan, dan kemerdekaan kepada masyarakat negaranegara Dunia Ketiga dalam berbagai aspek kehidupannya. Semua harus
mengikuti, tunduk dan patuh di bawah hegemoni logika pasarnya. Dan
secara struktural, perangkat yang digunakan untuk melakukan dominasi
dan hegemoni terhadap tatanan kehidupan sosial itu sudah disediakan
dengan cukup baik. Oleh karena itu, berbagai perlawanan yang mencoba
menggugat, mendekonstruksi, dan bahkan mencoba keluar dari logika
globalisasi, maka ia akan berlawanan dengan struktur dominan tersebut.
Dan akibatnya dapat diprediksikan, mereka akan tersingkir ke zona
marginal.
Dalam melanggengkan sistem hegemoninya itu, globalisasi juga
memanfaatkan berbagai nilai, pengetahuan, ideologi, dan media sebagai
instrumental knowledge-nya. Nilai-nilai semacam sekularisme, dehumanisme,
dan liberalisme, merupakan seperangkat sistem nilai dominan yang terus
dilanggengkan globalisasi guna mendomestikasikan nilai-nilai lokal untuk
digantikan oleh nilai-nilai baru yang serba teknologis. Negara-negara
Dunia Ketiga sebagai obyek globalisasi yang masih kental dengan nilainilai humanisme, religiusitas, dan spiritualitas, jelas akan dihadapkan pada
2

benturan yang luar biasa. Akibatnya, masyarakat Dunia Ketiga yang


memiliki daya tawar rendah jelas mengalami keterguncangan.
Harus diakui bahwa, pada satu sisi globalisasi telah berhasil
menciptakan perubahan-perubahan struktur sosial yang sulit untuk
dielakkan dalam bidang ekonomi dan politik di mana struktur dalam
bidang ini dapat menjadi global dan universal. Akan tetapi, nilai-nilai
(values) apakah bersumber dari tradisi lokal dan agama dalam banyak hal
berkaitan dengan realitas lokal, dan karena itu sulit untuk betul-betul
menjadi universal. Menurut Azra (2002: 15), di sinilah akhirnya bisa
terjadi konflik di antara budaya atau peradaban yang memiliki pretensipretensi global yang ekspansif dengan budaya lokal dan regional yang
memiliki nuansa keagamaan tertentu.
Dalam konteks persinggungan yang semakin terbuka antar
berbagai kelompok sosial di berbagai belahan dunia dengan latar
belakang perbedaan tradisi, budaya, dan peradaban, maka kemungkinan
terjadinya konflik atau benturan antar peradaban (the clash of civilization)
dalam Tesis Hungtinton yang semakin terbuka dapat dikatakan sebagai
sesuatu yang niscaya. Peradabanperadaban yang berbeda memang
memiliki komunalitas, afinitas, dan kesamaan. Tetapi, harus diakui, juga
terdapat perbedaan-perbedaan yang potensial menimbulkan konflik,
khususnya ketika berbagai perbedaan dieksploitasi guna memenuhi
kepentingan-kepentingan tertentu (Azra, 2002: 15-16).
Oleh karena itu, proses globalisasi yang cenderung eksploitatif
terhadap masyarakat Dunia Ketiga dan dalam pola relasi yang tidak
berimbang antara keduanya, maka kemudian muncul berbagai macam
konflik, kekerasan dan bahkan peperangan dengan berbagai selubungnya
seperti demokratisasi, HAM, terorisme dan lain sebagainya. Sebagaimana
dimaklumi, eskalasi kekerasan dan konflik di belahan dunia global
sekarang ini meningkat cukup tajam. Peningkatan kekerasan ini secara
mencolok terjadi sejak akhir darsawarsa 1980, berikut dengan ambruknya
Uni Soviet dan terpecahnya Eropa Timur. Tragedi 11 September dan
peristiwa pengeboman baru-baru ini, semakin menelanjangi realitas
kekerasan yang ditimbulkan oleh globalisasi Barat. Pada tahap inilah
nuansa keagamaan mulai membayangi konflik dan ketegangan global
(Azra, 2002: 19-20). Terlebih ketika umat Islam, terutama sayap
radikalnya, secara sepihak kemudian disudutkan sebagai kelompok yang

diidentifikasi harus bertanggung jawab terhadap serangkaian kekerasan


global tersebut.
Dengan memojokkan Islam, lantas Barat yang disponsori
Amerika Serikat lantas mengambil tindakan praksis berupa perang suci
melawan terorisme global. Sasaran utamanya tiada lain adalah kelompok
Islam yang menganut haluan keras seperti Jama'ah Islamiah (JI), AlQaidah pimpinan Osama bin Laden, bahkan negara yang dinilai sebagai
pengekspor kaum militan seperti Irak pun dihancurkan dengan kekuatan
fisik. Semua negara di belahan dunia tidak ketinggalan juga diinstruksikan
untuk memerangi dan membendung berkembangnya sel terorisme yang
bernuansa agama (Islam). Kondisi semacam ini menjadikan umat Islam
berada dalam ketakutan dan merasa terpojok karena dituduh sebagai
bagian dari agama "teroris" dan "ekstrimis".
Peperangan kontra terorisme global yang disponsori Barat
tidak lantas meredakan ketegangan dan mampu menciptakan tatanan
formasi sosial baru nir kekerasan. Secara kontradiktif, gerakan
pembasmian terorisme justru memunculkan kontra-konflik yang tidak
kalah dahsyatnya, terutama dari kelompok Islam yang berhaluan radikal.
Dalam konteks inilah, sesungguhnya gerakan radikalisme Islam muncul
sebagai counter culture terhadap globalisasi Barat. Akbar S. Ahmed, dalam
buku berjudul "Islam sebagai tertuduh" menjelaskan bahwa kekerasan
dan terorisme yang timbul dan marak pada dekade sekarang, merupakan
implikasi kompleks dari globalisasi yang cenderung menguntungkan
Barat dan mengancam, bahkan merugikan negara Dunia Ketiga yang nota
bene negara-negara dengan mayoritas berpenduduk muslim. Globalisasi
telah meluluhlantakkan ashabiyah (kohesi sosial) sebagal identitas
peradaban Dunia Ketiga, dan memunculkan hiper ashabiyah dalam
bentuk tindakan-tindakan kekerasan dari skala yang kecil hingga skala
yang sangat besar (Rifa'i, 2005).
Di samping itu, munculnya aneka tindakan kekerasan atas
nama agama seperti gerakan radikalisme, militan, dan fundamentalisme
Islam tidak bisa dilepaskan pula dari kondisi ketidakberdayaan,
kefrustasian, dan sebagai politik identitas mereka di tengah menguatnya
dominasi globalisasi Barat sebagai sistem dunia hegemonik. Terkait
dengan politik identitas, Azra (2002: 21) menegaskan bahwa dampak
nyata dari globalisasi adalah munculnya peningkatan politics of identity and
4

representation di kalangan hampir seluruh masyarakat dunia. Kemunculan


wacana tentang crusade dan jihad, merupakan bentuk-bentuk terjelas dari
politik identitas dan representasi yang masih kuat tertahan, khususnya
antara Barat dan Islam.
Dampak dari proses globalisasi tersebut merembes hampir ke
seluruh elemen sosial, tidak terkecuali Kyai dan pesantren. Untuk melihat
bagaimana respon Kyai dan pesantren terhadap dampak globalisasi
tersebut dapat dianalisis dari respon yang dilakukan oleh umat Islam.
Sebab, Kyai menjadi tokoh sentral pesantren, dan pesantren itu sendiri
merupakan tempat persemaian spiritual, religiusitas, intelektual, dan
kultural umat Islam. Pesantren juga menjadi ajang persemaian umat
dalam membangun gerakan perubahan sosial dengan berbagai macam
artikulasinya. Dan' analisis berbagai pakar, dapat dipahami bahwa respon
umat Islam terhadap globalisasi itu tidaklah tunggal, melainkan plural.
Ada yang melihat proses globalisasi sebagai ancaman yang menakutkan,
sehingga mutlak untuk ditolak tanpa reserve. Namun ada sebagian yang
melihat globalisasi tidak sebatas dari sisi negatif yang ditimbulkannya,
melainkan globalisasi dipandang memiliki sisi positifnya juga. Sebagai
realitas sosial, proses globalisasi tidak bisa ditolak begitu saja, ia dianggap
sebagai tantangan baru yang perlu mendapatkan jawabannya secara
konstruktif dari umat beragama. Semua ini berpulang pada cara pandang
dan atau paradigma ideologi umat Islam.
Menurut Sirry (2003: 60), respon umat (agama) terhadap proses
globalisasi terbagi ke dalam dua kelompok yang seolah saling berlawanan.
Agama dapat merambah dunia global atau justru menentangnya. Yang
disebut pertama adalah jalan universalisme, yaitu pandangan kultural
yang menegaskan bahwa kita semua berada dalam kebersamaan dan kita
lebih baik belajar dari satu sama lain sehingga dapat menjalin
bekerjasama. Hal ini dapat melibatkan ragam kultural yang pada akhirnya
mengantarkan umat beragama pada kesatuan kemanusiaan sebagai suatu
keluarga.
Namun demikian, ada sebagian umat yang merespon globalisasi
secara emosional dan reaktif sebagaiamana respon umat Islam yang
diidentifikasi ke dalam gerakan Islam radikalis, Islam fundamentalis, dan
Islam militanis. Mereka sering mengklaim bahwa dirinya "berbeda" dan

keberagamaannyalah yang paling benar (truth claim). Secara sosiologis,


munculnya respon semacam ini dikarenakan konstruksi atau struktur
sosial hegemonik yang menjadikan mereka semakin tidak berdaya untuk
melakukan perlawanan secara rasional. Di balik semua klaim itu,
sebenarnya yang ada hanyalah ketidakmampuan mereka membendung
arus globalisasi (Sirry, 2003: 60-61). Sebagaimana ditegaskan Nurcholis
Madjid (1995: 132-133; 1998: 277) bahwa gejala tumbuhnya
fundamentalisme itu bukanlah ideologis semata, melainkan sosial
psikologis. Jadi sebetulnya ada perasaan tidak berdaya menghadapi Barat,
yang menimbulkan reaksi fundamentalistis. Dan hampir semua kasus
radikalisme keagamaan menunjukkan bahwa kemunculan mereka
senantiasa berhadapan dengan Barat (Taher, 2004: 131).
Oleh karena itu, pilihan yang diambil kaum fundamentalis tidak
ada jalan lain kecuali mengartikulasikannya lewat gerakan radikalisme
dengan mengatasnamakan agama. Kondisi semacam ini didukung pula
oleh pola pemahaman atau cara pandang keagamaan mereka yang
cenderung tekstualis, literalis, dan skripturalis. Atau menurut M. Amin
Abdullah (1995: 74), sebuah cara pandang yang hanya menggunakan
pendekatan teologis in the old sense. Salah satu komponen model
pemikiran seperti ini adalah truth claim, dan bukan historical approach. Cara
pandang keagamaan ini menempatkan teks agama dominan atas realitas
sosial yang berkembang. Karena itu, ketika terjadi ketimpangan realitas
sosial yang bertolak belakang dengan teks keagamaan, mereka pun
mencoba merubahnya agar realitas tersebut selaras dengan teks agama,
meskipun semua itu harus ditempuh lewat kekerasan. Bahkan,
kelompokkelompok fundamentalis ini mampu mengembangkan
kekuatan sosial baru seperti terorisme bersenjata mutakhir-sebagai cara
merevitalisasi sejarah yang mereka dambakan (imaging history). Dengan
tepat Bayer menggambarkan kecenderungan fundamentalis agama ini
dengan frase "a fundamentalist's response that allows change under the insistence
that nothing fundamental is changing" (Sirry, 2003: 61).
Sementara itu, Fakih (1997: 10-14), memetakan paradigma
ideologi umat Islam dalam merespon globalisasi ke dalam empat
paradigma, yaitu: paradigma tradisionalis, modernis, revivalis, dan
transformatif. Pertama, pemikiran tradisionalis memandang bahwa
kemiskinan, marginalisasi, dan letidakberdayaan yang menimpa umat
6

Islam itu semata-mata karena kehendak Tuhan, bukan karena


ketidakadilan struktur sosial yang diakibatkan misalnya globalisasi. Hanya
Tuhan yang Maha Tahu akan arti dan hikmah di balik ketentuan tersebut.
Masalah kemiskinan dan ketidakberdayaan umat seringkali dipahami
sebagai ujian dari Tuhan atas keimanan mereka. Seperti dimaklumi, akar
teologis paradigma ini bersandar konsep Sunni (Ahlus Sunnah wal Jama'ah)
mengenai predeterminisme (taqdir) ketentuan dan rencana Tuhan yang
telah ditetapkan sejak zaman azali. Dan teologi Sunni, terutama aliran
Asy'ariah, manusia memang tidak memiliki free will untuk menciptakan
sejarah mereka sendiri. Meskipun manusia didorong untuk berusaha,
pada akhirnya Tuhan jualah yang menentukan.
Kedua, paradigma modernis yang memahami masalah
kemiskinan dan keterbelakangan atau suatu realitas sosial dalam
kehidupan umat beragama pada dasarnya berakar pada persoalan "karma
ada yang salah dari sikap mental, budaya ataupun teologi umat
beragama". Pada dasarnya, kaum modernis memiliki pendekatan dan
analisis yang sama dengan penganut paham modernisasi sekuler yang
menjadi aliran mainstream dalam ilmu sosial dan yang dianut oleh aparat
developmentalisme. Bagi mereka, ketidakberdayaan umat dikarenakan
ketidakmampuan mereka berpartisipasi aktif dalam pembangunan dan
globalisasi. Karenanya, mereka cenderung memahami nilai-nilai sikap
mental, kreativitas, budaya, dan paham teologi sebagai pokok
permasalahan, serta tidak melihat struktur kelas, gender, dan sosial
sebagai pembentuk nasib umat. Dalam melihat realitas semacam itu,
maka solusi yang kemudian mereka tawarkan di antaranya adalah
pembongkaran teologi yang tidak relevan dengan developmentalisme,
mempersiapkan SDM yang cocok dengan globalisasi, dan mendorong
umat berpartisipasi aktif dan mampu bersaing dalam proses
industrialisasi, pembangunan, dan globalisasi.
Ketiga, paradigma revivalis yang melihat baik ke dalam (internal)
maupun ke luar (external factors) sebagai faktor penyebab ketidakberdayaan
umat. Dalam kacamata mereka, ketidakberdayaan umat lebih disebabkan
karma semakin banyak umat yang justru memakai ideologi atau isme lain
ketimbang alQur'an dan al-Hadits sebagai dasar pijakan. Padahal,
keduanya merupakan sumber ajaran Islam yang telah memuat petunjuk
secara komplit, jelas dan sempurna sebagai fondasi bermasyarakat dan

bernegara. Globalisasi dan kapitalisme bagi mereka dianggap sebagai


agenda Barat dan konsep non-Islami yang dipaksakan pada masyarakat
muslim. Oleh karena itu, mereka senantiasa melakukan resistensi
terhadap setiap proses globalisasi dengan cara menerbitkan buku,
menghimpun dan mengorganisasi kelompok diskusi militan di kampuskampus, menciptakan simbol resistensi, dan sering pula resistensi
diartikulasikan dengan cara kekerasan fisik yang sangat transparan.
Keempat,
paradigma
transformatif
yang
memahami
ketidakberdayaan umat disebabkan oleh ketidakadilan sistem dan
struktur ekonomi, politik, dan kultur yang dominatif. Oleh karena itu,
agenda mereka adalah melakukan tansformasi terhadap struktur melalui
penciptaan relasi yang secara fundamental baru dan lebih adil dalam
bidang ekonomi, politik dan kultural. Secara praksis, agenda ini
diartikulasikan dalam bentuk pencarian akar teologi, metodologi dan aksi
yang memungkinkan terjadinya transformasi sosial, pemihakan terhadap
kaum miskin dan tertindas yang didasarkan pengkajian pada al-Qur'an
dan sekaligus juga analisis kritis terhadap struktur yang ada, Dalam hal
ini, Islam dipahami sebagai teologi atau agama pembebasan bagi yang
tertindas, serta mentransformasikan struktur sosial eksploitatif akibat
globalisasi menjadi sistem sosial yang adil.
Dari berbagai paradigma pemikiran keagamaan di atas, dapat
dimengerti bahwa pola pemikiran Islam yang inklusif, dialogis, dan
berwawasan transformatif, merupakan paradigma ideologi keagamaan
yang favourable bagi umat Islam dalam merespon globalisasi. Paradigma
ideologi keagamaan semacam inilah yang seyogianya dimanfaatkan kyai
dan pesantren dalam mengkontruksi dakwah multikulturalnya dalam
upaya pengembangan kerukunan agama dalam masyarakat plural.
Bagaimana pun ide tentang pluralitas termasuk prinsip dasar dalam
Islam. Dan pluralisme Islam secara terus menerus dapat
ditransformasikan ke dalam pluralisme modern. Pluralisme di sini
dipahami sebagai suatu pertemuan yang sejati dari keserbaragaman
dalam ikatan-ikatan kesopanan (bonds of civility) (Madjid, 1995: 66)
Dalam konteks ini, dakwah multikulturalisme secara sederhana dapat
dipahami sebagai gerakan pemikiran dan aksi keagamaan yang berusaha
menyadarkan, mencerahkan, dan membebaskan umat dari pemahaman
8

keagamaan eksklusif menuju pemahaman yang inklusif. Sebuah


pemahaman yang dapat mengakui dan menghargai perbedaan, toleran,
mampu hidup berdampingan dalam satu kehidupan sosial yang plural.
Lewat dakwah multikultural, umat diharapkan memiliki visi religius yang
akan berlaku adil terhadap agama mereka sendiri dan lugas terhadap
agama yang dimiliki komunitas lain, dengan sebuah kesadaran yang
positif tentang adanya perbedaan-perbedaan antara berbagai kelompok
(Madjid, 1995: 65). Kesadaran akan keragaman inilah yang dapat
dijadikan common platform bagi umat beragama untuk memperkuat formasi
sosial civil society pluralis dalam melakukan counter hegemony globalisasi yang
eksploitatif, dan mereformulasi tatanan formasi sosial yang lebih
demokratis. Melalui cara pandang atau paradigma keagamaan semacam
ini yang diartikulasikan dalam aksi sosial kritis berupa gerakan dakwah
bercorak multikultural, kyai dan pesantren dapat menjawab tantangan
dan sekaligus ancaman globalisasi neo-liberal sekarang ini.

Indonesia adalah negara yang paling majmuk di dunia, baik dalam hal
kondisi geografis, keanekaragaman suku bangsa, keanekaragaman adat
dan budaya, serta keberagaman keyakinan. Keanekaragaman di Indonesia
ini tidak akan bisa bersatu apabila berbagai golongan yang ada lebih
mementingkan golongannya sendiri tanpa mempedulikan golongan lain.
Oleh karena itu, untuk membangun persatuan bangsa ini diperlukan
sikap yang moderat, toleran, seimbang dan adil dari semua golongan
serta menyadari sepenuhnya bahwa keragaman adalah sebuah hal yang
tidak dapat dipungkiri di bumi nusantara ini.
Hal itulah yang diilhami oleh para pendiri bangsa (funding fathers) kita
hingga akhirnya Pancasila yang mengandung nilai-nilai universal dengan
prinsip Bhineka Tunggal Ikanya itu disepakati sebagai konsensus
nasional untuk menjadi dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia dan
menjadi payung kehidupan bersama dalam berbagai perbedaan. Namun
disisi lain kita juga pernah mendapatkan keterangan bahwa Pancasila
sebagai Dasar Negara itu tidak sesuai dengan ketentuan agama Islam.
Siapa bilang? Itu merupakan sebuah kesimpulan yang terburu-buru dan
pemikiran yang sangat sempit. Karena Pancasila sebagai dasar NKRI
sebenarnya sudahlah sangat Islami (sesuai dengan tuntunan agama
Islam). Oleh karena itu dalam kesempatan ini mari kita lihat bersamasama, kesesuaian sila-sila yang terkandung dalam Pancasila dengan Ayatayat Alloh swt. yang termaktub di dalam Kitab Suci-Nya yaitu Al Quran
al-Karim.

10

2.1. Islam dan Pancasila


Membincang dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia, tentunya
tidak lain adalah Pancasila. Pancasila yang mengandung nilai-nilai
universal dengan prinsip Bhineka Tunggal Ikanya, digali dari bumi
pertiwi dan disepakati sebagai konsensus nasional menjadi dasar Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Dimana konsensus percaya terhadap
Tuhan Yang Maha Esa dapat melampaui perbedaan agama dan etnis
dalam sebuah masyarakat yang majemuk di bumi nusantara ini. Di sisi
lain, terjadinya konflik dan ketegangan di beberapa kawasan Republik
Indonesia pada era pasca reformasi membuktikan bahwa kurang hatihatinya negara kita dalam mengelola kemajemukan dapat membahayakan
keutuhan bangsa. Dengan demikian yang menjadi tantangan bersama saat
ini adalah bagaimana kita dapat mewujudkan potensi dan simbol-simbol
kebhinekaan dalam perspektik ketahanan sosial-budaya tanpa
mengorbankan cita-cita reformasi itu sendiri.
Atas terjadinya ketegangan dan konflik yang terjadi di berbagai
daerah beberapa waktu lalu, beberpa kelompok berkesimpulan bahwa
dasar negara kita Pancasila sudah tidak relevan untuk mengatasi problem
bangsa tersebut. Untuk menjawab problem tersebut, santri Pondok
Pesantren Ngalah di bawah asuhan KH. M. Sholeh Bahruddin (Kiai
Sholeh) telah membuktikan bahwa Pancasila sebenarnya sudah sesuai
dengan tuntunan Islam, karena isi yang terkandung dalam Pancasila telah
sesuai dengan dalil-dalil dalam al-Quran dan Hadits.
a. Ketuhanan Yang Maha Esa
Sila ini mengandung ajaran ketauhidan dalam pengertian
keimanan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Pada sila pertama ini
dijelaskan bahwa bangsa Indonesia menyatakan kepercayaannya
dan ketaqwaannya terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Manusia
Indonesia percaya dan taqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa,

11

sesuai dengan agama dan kepercayaannya masing-masing menurut


dasar kemanusiaan yang adil dan beradab. Dengan menjiwai sila
pertama ini manusia Indonesia harus mampu mengembangkan
sikap saling hormat menghormati dan bekerjasama antara pemeluk
agama dengan penganut kepercayaan yang berbeda-beda terhadap
Tuhan Yang Maha Esa, membina kerukunan hidup di antara
sesama umat beragama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang
Maha Esa.
Agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa
adalah masalah yang menyangkut hubungan pribadi manusia
dengan Tuhan. Oleh karena itu, dengan mengilhami sila
Ketuhanan Yang Maha Esa ini, sebagai manusia Indonesia
seutuhnya kita harus mampu mengembangkan sikap saling
menghormati, memberikan kebebasan untuk menjalankan ibadah
sesuai dengan agama dan kepercayaannya masing-masing serta
tidak memaksakan suatu agama dan kepercayaan kepada orang
lain. Kepercayaan dan ketaqwaan manusia Indonesia kepada
Tuhan Yang Maha Esa ini telah sesuai dengan firman Allah dalam
kitab suci al-Quran sebagai berikut :

Artinya: Tuhan kamu adalah Tuhan Yang Maha Esa. Maka orangorang yang tidak beriman kepada akhirat, hati mereka mengingkari
(keesaaan Allah), sedangkan mereka sendiri adalah orang-orang yang
sombong. (QS. al-Nahl: 22).

12

Artinya: Dan Tuhan-mu adalah Tuhan Yang Maha Esa, tidak ada
Tuhan melainkan Dia Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.
(QS. al-Baqarah : 163)

Artinya: .....dan katakanlah; Kami telah beriman kepada (kitab-kitab)


yang diturunkan kepada kami dan yang diturunkan kepadamu, Tuhan
kami dan Tuhan-mu adalah satu. (QS. al-Ankabut : 46)

b. Kemanusiaan yang Adil dan Beradab


Sila kedua ini mencerminkan nilai kemanusiaan yang
menjunjung tinggi sikap keadilan dengan nilai-nilai etika atau
akhlakul karimah. Sila ini juga mencerminkan bahwa Indonesia
mengakui dan memperlakukan manusia sesuai dengan harkat dan
martabatnya sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa. Indonesia
mengakui persamaan derajad, persamaan hak dan kewajiban asasi
setiap manusia, tanpa membeda-bedakan suku, keturunan, agama,
kepercayaan, jenis kelamin, kedudukan sosial, warna kulit dan
sebagainya.
Dengan sila Kemanusiaan yang Adil dan Beradab ini, kita harus
mampu mengembangkan sikap saling mencintai diantara sesama
manusia. Mengembangkan sikap saling tenggang rasa dan tepo
seliro, mengembangkan sikap tidak semena-mena terhadap orang
lain, menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, berani membela

13

kebenaran dan keadilan. Sila ini merupakan simbol bahwa bangsa


Indonesia merasa dirinya sebagai bagian dari seluruh umat
manusia. Hal ini dijelaskan dalam al-Quran sebagai berikut:

Artinya: Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan


berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang
dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi
pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran. (QS. alNahl : 90)

c. Persatuan Indonesia
Sila ketiga ini menggambarkan sebuah kehidupan yang rukun,
damai, saling berdampingan dalam bingkai keanekaragaman
bangsanya dengan dilandasi persatuan dan kebersamaan. Ini
merupakan simbol bahwa Indonesia mampu menempatkan
persatuan, kesatuan, serta kepentingan dan keselamatan bangsa
dan negara sebagai kepentingan bersama di atas kepentingan
pribadi dan golongan. Sebagai wujud dari rasa cinta kepada tanah
air, maka kita harus sanggup dan rela berkorban untuk
kepentingan negara dan bangsa apabila diperlukan. Selain itu,
sebagaimana disebutkan dalam pembukaan Undang-undang Dasar
1945, bahwa kita semua mempunyai tanggungjawab untuk
memelihara ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan,
perdamaian abadi dan keadilan sosial serta mengembangkan
persatuan Indonesia atas dasar Bhinneka Tunggal Ika.
Sebagaimana firman Allah :

14

Artinya: Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah,


dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah
kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan,
maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena
nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara. (QS. ali-Imron 103)

d. Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan


dalam Permusyawaratan Perwakilan
Sila keempat ini merupakan sila yang memberi petunjuk dalam
pelaksanaan kepemimpinan serta dalam mengambil sebuah
keputusan secara bijaksana dengan tetap berdasarkan musyawarah
dengan tidak memaksakan kehendak kepada orang lain.
Musyawarah untuk mencapai mufakat harus didasri dengan
semangat kekeluargaan, dengan itikad baik dan rasa tanggung
jawab menerima dan melaksanakan hasil keputusan musyawarah.
Untuk itulah, prinsip yang harus dibangun di dalam setiap
permusyawaratan adalah mengutamakan kepentingan bersama di
atas kepentingan pribadi dan golongan. Musyawarah dilakukan
dengan akal sehat dan sesuai dengan hati nurani yang luhur.
Keputusan yang diambil harus dapat dipertanggungjawabkan
secara moral kepada Tuhan Yang Maha Esa, menjunjung tinggi
harkat dan martabat manusia, nilai-nilai kebenaran dan keadilan,
mengutamakan persatuan dan kesatuan demi kepentingan
bersama. Memberikan kepercayaan kepada wakil-wakil yang
dipercayai untuk melaksanakan pemusyawaratan. Hal ini
digambarkan dalam al-Qur'an sebagai berikut :

15

Artinya: Dan Kami kuatkan kerajaannya dan Kami berikan


kepadanya hikmah dan kebijaksanaan dalam menyelesaikan perselisihan.
(QS. Shaad: 20)

Artinya: Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah


lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati
kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu
ma'afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan
bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. (QS. ali Imron:
159)

e. Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia


Sila ini merupakan sila yang menggambarkan dan mencitacitakan terwujudnya kehidupan yang adil dan makmur bagi seluruh
rakyat Indonesia yang beranekaragam. Setiap manusia Indonesia
mempunyai kedudukan, hak dan kewajiban yang sama untuk
mengembangkan perbuatan yang luhur, yang mencerminkan sikap
dan
suasana
kekeluargaan
dan
gotongroyong,
serta
mengembangkan sikap adil terhadap sesama. Hal ini juga
diperintahkan dalam al-Quran sebagai berikut :

16

Artinya: Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu jadi orangorang yang selalu menegakkan (kebenaran) kerena Allah, menjadi saksi
dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu
kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah,
karena adil itu lebih dekat kepada takwa, dan bertakwalah kepada
Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.
(QS. al-Maa'idah: 8)

Artinya: Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang


benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun
terhadap dirimu sendiri atau ibu bapa dan kaum kerabatmu. Jika ia kaya
ataupun miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka
janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari
kebenaran. Dan jika kamu memutar balikkan (kata-kata) atau enggan
menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala
apa yang kamu kerjakan. (QS. al-Nisa : 135)

2.2. Bhinneka Tunggal Ika: Nilai Luhur Budaya Bangsa untuk


Tetap menjadi Indonesia Multikultual

17

Sejak Negara Republik Indonesia ini didirikan (merdeka), para


pendiri bangsa dengan dukungan penuh seluruh rakyat telah sepakat
mencantumkan kalimat Bhinneka Tunggal Ika pada lambang
negara Garuda Pancasila. Kalimat itu sendiri diambil dari falsafah
Nusantara yang sejak jaman Kerajaan Majapahit juga sudah dipakai
sebagai motto pemersatu wilayah di kawasan Nusantara. Kalimat ini
merupakan kutipan dari sebuah kakawin Jawa Kuna yaitu kakawin
Sutasoma, karangan Mpu Tantular semasa kerajaan Majapahit
sekitar abad ke-14. Kakawin ini istimewa karena mengajarkan
toleransi antara umat Hindu Siwa dengan umat Buddha. Kutipan ini
berasal dari pupuh 139, bait 5. Bait ini secara lengkap seperti di
bawah ini:
Rwneka dhtu winuwus Buddha Wiswa,
Bhinnki rakwa ring apan kena parwanosen,
Mangka ng Jinatwa kalawan iwatatwa tunggal,
Bhinnka tunggal ika tan hana dharma mangrwa
Artinya:

Konon Buddha dan Siwa merupakan dua zat yang berbeda.


Mereka memang berbeda, tetapi bagaimanakah bisa dikenali?
Sebab kebenaran Jina (Buddha) dan Siwa adalah tunggal
Terpecah belahlah itu, tetapi satu jualah itu. Tidak ada kerancuan dalam
kebenaran

Ini artinya, bahwa sudah sejak dulu, jauh sebelum jaman


menjadi modern seperti sekarang, jauh sebelum bangsa ini menjadi
terdidik dengan tingkat intelektualitas tinggi seperti sekarang,
kesadaran akan hidup bersama di dalam keberagaman sudah
tumbuh dan menjadi jiwa serta semangat anak-anak bangsa di negeri
ini. Ini merupakan cerminan dari sikap pluralisme yang dilakukan
oleh Kerajaan Majapahit, untuk mengelola sebuah institusi kerajaan
yang terdiri dari keanekaragaman suku, agama, budaya menjadi

18

suatu potensi tersendiri untuk membesarkan tanah air dan bangsa.


Sebagaimana firman Allah dalam al-Quran al-Karim :

Artinya: Hai manusia, Sesungguhnya kami menciptakan kamu dari


seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu
berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal.
Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu si sisi Allah ialah
orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui lagi Maha Mengenal. (QS. al-Hujurat: 13)

Artinya: Manusia itu adalah umat yang satu. (Setelah timbul


perselisihan), Maka Allah mengutus para nabi, sebagai pemberi kabar
gembira dan pemberi peringatan, dan Allah menurunkan bersama mereka
Kitab yang benar, untuk memberi keputusan di antara manusia tentang
perkara yang mereka perselisihkan. Tidaklah berselisih tentang kitab itu
melainkan orang yang telah didatangkan kepada mereka kitab, yaitu
setelah datang kepada mereka keterangan-keterangan yang nyata, karena
dengki antara mereka sendiri. Maka Allah memberi petunjuk orang-orang
yang beriman kepada kebenaran tentang hal yang mereka perselisihkan itu

19

dengan kehendak-Nya. Dan Allah selalu memberi petunjuk orang yang


dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus. (QS. al-Baqarah: 213)

2.3. Pancasila diantara Berbagai Kepentingan


Ideologi besar dunia yang diwakili demokrasi liberal dan
demokrasi social saling bersaing untuk menyulap dunia ketiga
sebagai bagian dari mereka. Al Qaeda dan sejenisnya yang
menjadikan Islam sebagai ideology perjuangan dianggap sebagai
musuh bersama oleh kaum demokrasi liberal dan demokrasi social.
Jihad yang diserukan kelompok muslim fundamentalis sebagai
ideology perlawanan terhadap barat bukanlah monopoli kelompok
muslim ekstrim tetapi juga diminati oleh orang-orang non muslim
yang menentang faham-faham liberal dan sosialis misalnya berbagai
kasus aksi terror yang digerakkan oleh orang-orang Barat yang
sebelumnya Kristen kemudian masuk Islam. Indonesia sebagai
kawasan dengan potensi social dan ekonomi yang sangat besar
menjadi ajang peperangan mereka.
Secara tidak disadari sebagian dari masyarakat kita telah
menjadi sekutu ketiga bentuk ideology tersebut. Tidak sedikit para
elit nasional secara lantang menyuarakan kepentingan dari paham
demokrasi liberal dan demokrasi social tanpa ada saringan. Mereka
yang sangat berupaya ingin menjuah BUMN strategis tanpa
memperhatikan dan mempertimbangkan hajat hidup orang banyak
sebagaimana diamanatkan oleh konstitusi (UUD 1945) adalah salah
satu contoh pengikut atau mereka yang terpengaruh paham
demokrasi liberal. Sedangkan mereka yang sering meneriakkan
referendum di daerah konflik merupakan contoh mereka yang menjadi
pengikut demokrasi social.

20

Sesungguhnya demokrasi liberal dan demokrasi social


mengandung nilai positif sepanjang aplikasinya sesuai dengan nilai
yang tumbuh di masyarakat, tetapi manakala nilai dan aspirasi
masyarakat diabaikan sebagaimana contoh di atas maka kedua
faham tersebut menjadi sumber permasalahan di Negara ini.
Mengabaikan muatan nasional dan local dalam penerapan suatu
ideology sama dengan mempersilahkan pihak asing menguasai jalan
pikiran kita.
Benturan ketiga ideology dari luar itulah yang mempengaruhi
kehidupan politik, keamanan di negeri kita ini. Kalau tidak hati-hati
menyikapinya, bukan tidak mungkin Indonesia terhapus dari peta
dunia. Terorisme yang tidak dapat dikendalikan akan mendorong
campur tangan Negara asing bahkan mungkin dalam bentuk fisik.
Liberalisme tanpa batas akan menimbulkan anarkhi dan kekacauan
di segala bidang. Sedangkan gagasan-gagasan pengikut social
demokrasi tentang referendum dan desentralisasi yang sangat besar
tanpa dilandasi oleh pemerintah pusat yang efektif akan
menyebabkan disintegrasi nasional.

21

Toleransi adalah konsep sosial modern untuk menggambarkan sikap


saling menghormati dan saling bekerjasama di antara kelompokkelompok masyarakat yang berbeda baik secara etnis, bahasa, budaya,
politik, maupun agama. Karena itu, toleransi merupakan konsep agung
dan mulia yang sepenuhnya menjadi organ penting dari ajaran agamaagama, termasuk agama Islam.
Dalam konteks toleransi antar umat beragama, Islam memiliki
konsep yang jelas. Tidak ada paksaan dalam agama, sebagaimana
disebutkan dalam al-Quran Surat al-Kafirun ayat 6 yang artnyaBagi
kalian agama kalian, dan bagi kami agama kami adalah contoh populer dari
toleransi dalam Islam. Selain ayat-ayat itu, banyak ayat lain yang tersebar
di berbagai Surah dalam al-Quran. Juga sejumlah hadis dan praktik
toleransi dalam sejarah Islam. Fakta-fakta historis itu menunjukkan
bahwa masalah toleransi dalam Islam bukanlah konsep asing. Toleransi
adalah bagian integral dari Islam itu sendiri yang detail-detailnya
kemudian dirumuskan oleh para ulama dalam karya-karya tafsir mereka.
Kemudian rumusan-rumusan ini disempurnakan oleh para ulama dengan
pengayaan-pengayaan baru sehingga akhirnya menjadi praktik
kesejarahan dalam masyarakat Islam.
Menurut ajaran Islam, toleransi bukan saja terhadap sesama manusia,
tetapi juga terhadap alam semesta, binatang, dan lingkungan hidup.
Dengan makna toleransi yang luas semacam ini, maka toleransi antarumat beragama dalam Islam memperoleh perhatian penting dan serius.
22

Apalagi toleransi beragama adalah masalah yang menyangkut eksistensi


keyakinan manusia terhadap Allah. Ia begitu sensitif, primordial, dan
mudah membakar konflik sehingga menyedot perhatian besar dari Islam.
Dalam sejarah penyebaran agama Islam di Indonesia, tidak dapat
dilepaskan begitu saja apa memandang peranan pondok pesantren.
Karena selain melalui jalur perdagangan, para auliya yang dikenal dengan
wali songgo juga mendirikan padepokan-padepokan sebagai sentra
pengajaran atau pendidikan agama Islam yang sekarang kita kenal dengan
nama pondok pesantren. Kala itu, tidak ada paksaan dari wali songo
terhadap penduduk negara seribu pulau. Konsep pembauran inilah yang
dilakukan oleh penyebar islam masa itu.

2.1. Mengapa Pondok Pesantren dengan Non Muslim?


Dalam kenyataannya, pesantren telah menunjukkan perannya
sebagai sub kultur dalam masyarakat sekaligus agent of change yang
mampu merespon perkembangan modernisasi secara kritis serta
mengarahkan pada kehidupan yang berwatak kreatif. Di mana
cerminan nilai-nilai moralitas untuk saling menghargai perbedaan
yang ada pada sesama umat manusia diajarkan, baik perbedaan
agama, budaya dan sebagainya. Melalui ajaran moralitas dan tasawuf
(akhlak) yang disampaikan, telah berkembang ajaran-ajaran perlunya
menjunjung tinggi sikap-sikap tasamuh (toleransi) dan bersikap
tawasut (moderat). Inilah nilai-nilai dasar pembentukan karakter yang
harus ditanamkan dalam diri santri atau siswa di lingkungan Pondok
Pesantren. Oleh karena itu, setidaknya dalam kehidupan sehari-hari
dapat tercipta hubungan diantara sesama umat manusia dengan
tidak lagi menyebutkan atau memandang mereka ber-agama apa,
tetapi memandang mereka, kita semua adalah sesama umat manusia

23

ciptaan Tuhan Yang Maha Esa. Inilah salah satu alasan, mengapa
Pondok Pesantren dekat dengan nonmuslim?
Secara sosio-historis, berdirinya Pondok Pesantren dibangun
dengan asas kekeluargaan. Hal ini relevan dengan sejarah Islam pada
zama Rasullah SAW, di mana Rasulullah sendiri telah memberikan
tauladan kepada kita semua agar saling menghargai di antara sesama
manusia (ukhuwah basyariah) dalam kehidupan sehari-hari.
Pada masa hidupnya, Rasulullah telah melakukan hubungan jualbeli dan saling memberi dengan sesama meskipun berbeda latar
belakang glongan dan agamanya. Hal ini dijelaskan dalam hadits
yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari yang berbunyi:

Artinya: Dari Aisyah RA. Dia berkata; Nabi telah memberikan baju
bsinya kepada seorang Yahudi sebagai gadai dari 30 sha gandum. (al
Maghazi: No.4467)

Selain itu, Nabi juga berkenan menrima hadiah dari nonmuslim,


dan dari sinilah para ahli fiqih berpendapat boleh menerima
pemberian hadiah dari semua kelompok baik dari sesame muslim
maupun nonmuslimbahkan sekalipun mereka yang memerangi umat
Islam. Hal ini diterangkan dalam kitab al Mughni sebagai berikut:

24

Artinya: Boleh menerima hadiyahnya non muslim ahli harb, karena Nabi
SAW menerima hadiah dari Makukis penguasa Mesir. (al Mughni,
Ibnu Qudamah, juz 13 hal.200)

Selain itu, Rasulullah juga pernah mendoakan orang-orang yang


berlainan agamanya, yakni orang yahudi yang sedang bersin.
Diterangkan dalam kitab Shahih Bukhari, Sunan Abi Dawud dan
Iamam Ahmad sebagai berikut :

Artinya: Diceritakan dari Utsman bin Abi Syaibah dari Waqi dari
Sufyan dari Hakim bin al Dailami dari Abi Burdah dari ayahna dia
berkata: ada seoran yahudi yang bersin disamping Nabi SAW kaena dia
berharap supaya Nabi berdoa untuknya Yarhamuka Allah, maka Nabi
berdoa untuknya Yahdiumullah Wayushlikhubaalakum. (Shahih
Bukhari, Bab Adab no.5870., Sunan Abi Dawud juz 14, Bab
Adab no.5033., mam Ahmad juz 3 hal.353)

Dari hadits di atas dapat kita pahami bahwa mendoakan non


muslim sudah sesuai dengan ketentuan syara dan merupakan
gambaran toleransi dalam Islam yang memandang manusia dengan
saling membantu dan menghomati antara satu dengan yang lainnya.
Karena doa dpanjatkan untuk menarik hati orang ang didoakan dan
setiap orang ingin mendaptkan doa yang baik.
Dari teladan-teladan Rasululah SAW di atas, kita sebagai
umatnya yang mengharapkan keselmatan hidup di dunia dan I
akhirat, selayaknya harus selalu berusaha untuk meniru prilaku-

25

prilaku beliau. Karena sesngguhnya Allah swt. telah berfirman


dalam al Quran dalam QS. Al Ahzab ayat 21 yang artinya :
Sesungguhnya telah ada pada (diri) asulullah itu suri tauladan yang baik
bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan)
hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.

3.2. Islam dan Kerukunan Antar Umat Beragama


Manusia diciptakan dengan berbagai ragam bangsa, ras, suku,
agama, dan budaya adalah untuk saling kenal-mengenal. Hal ini
dijelaskan oleh Allah dalam surat Al-Hujuraat ayat 13 Juz 26:

Artinya : Hai manusia, Sesungguhnya kami menciptakan kamu dari


seorang laki-laki dan seorang perempuan, dan menjadikan kamu berbangsabangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal.
Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu, disisi Allah, ialah
orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha
mengetahui lagi Maha Mengenal.(QS. Al Hujuraat : 13)

Allah tidak pernah melarang umat manusia untuk hidup


berdampingan, rukun saling mengasihi dan menghormati. Meskipun
dengan orang yang berbeda agama. Hal ini dijelaskan dalam al
Quran sebagai berikut :

26

Artinya: Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku
adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama, dan tidak
(pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orangorang yang berlaku adil. Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu
menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangimu karena
agama, dan mengusir kamu dari negerimu, dan membantu (orang lain) untuk
mengusirmu. Dan barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, maka
mereka itulah orang-orang yang zalim. (QS. Al-Mumtahanah: 0809).

Rasulullah SAW juga memerintahkan kita untuk saling


mengasihi dan menyayangi antar sesama, meskipun berbeda agama,
ras, suku, bangsa, dan budaya. Seperti yang diterangkan dalam
hadist shahih yang di riwayatkan oleh Imam Thabrani dalam kitab
Mujamma az-Zawaid sebagai berikut :

27

Artinya: Dari Abi Musa ra. sesungguhnya dia mendengar bahwa Nabi
Muhammad SAW berkata: Tidak dikatakan orang beriman diantara
kamu sekalian, sehingga kalian saling mengasihi atau menyayangi. Sahabat
berkata: Wahai Rasulullah kita semuanya (komunitas sahabat) sudah
saling mengasihi. Rasulullah bersabda: Sesungguhnya kasih sayang itu bukan
hanya diantara kamu saja, tetapi kasih sayang kepada seluruh umat
manusia dan alam semesta. (HR. Thabrani, hadits shoheh.
Mujamma Az Zawaid hal: 340 juz: 8)

Begitu besar dan luas cerminan sikap kasih sayang yang


diajarkan kepada manusia, tidak hanya untuk golongannya sendiri,
tetapi untuk seluruh makhluk di muka bumi ini. Sebagaimana
diterangkan dalam hadist Nabi yang lain yang diriwayatkan oleh atThabrani sebagai berikut:

Artinya: Nabi Muhammad bersabda Tebarkanlah kasih sayang kepada


semua orang maka engkau akan dikasihi seluruh makhluk langit (para
malaikat). (HR. At-Thabrani dalam kitab Jami as-Shaghir)

Sikap teposeliro yang merupakan nilai-nilai ajaran Islam yang


begitu mulia juga ditunjukkan oleh tokoh dunia, yaitu Sayyidina
Umar Bin Khattab ra. terhadap Uskup Sophronius dihadapan
28

kaum nasrani dan muslim di Baitul Maqdis Yerussalem. Pertemuan


kedua tokoh besar tersebut menghasilkan sebuah piagam
perdamaian yang dikenal dengan perjanjian Aelia yang berbunyi;
Inilah perdamaian yang diberikan oleh hamba Allah Umar Amirul
Mukminin, kepada rakyat Aelia : dia menjamin keamanan diri, harta
benda, gereja-gereja, salib-salib mereka, yang sakit maupun yang sehat, dan
semua aliran agama mereka. Tidak boleh mengganggu gereja mereka baik
membongkarnya, mengurangi, maupun menghilangkanya sama sekali,
demikian pula tidak boleh memaksa mereka meninggalkan agama mereka,
dan tidak boleh mengganggu mereka. Dan tidak boleh bagi penduduk Aelia
untuk memberi tempat tinggal kepada orang Yahudi.

Setelah itu, di depan The Holy Sepulchure (Gereja Makam Suci


Yesus) Uskup Sophronius menyerahkan kunci kota Yerussalem
kepada kholifah Umar Bin Khattab ra. Kemudian Syayidinah Umar
minta diantarkan ke suatu tempat untuk menunaikan sholat. Akan
tetapi oleh Uskup Sophronius, beliau diantarkan ke dalam gereja.
Tetapi Umar menolak penghormatan tersebut sembari mengatakan
bahwa dirinya khawatir hal itu akan menjadi suatu dasar bagi kaum
muslimin generasi berikutnya untuk mengubah gereja-gereja
menjadi masjid. Akhirnya, Umar melaksanakan sholat (munfaridan)
diluar atau diteras gereja tersebut. Hal ini dijelaskan dalam kitab
Samahatul Islam Hal. 34 37 :

29

30

Dari kutipan cerita tersebut, kita dapat mengambil sebuah


kesimpulan bahwa begitu besar rasa toleransi (teposeliro) khalifah
Umar terhadap sesama meskipun dia berbeda agama dan
keyakinannya.
Ajaran yang luhur dan mulia ini diajarkan oleh Nabi
Muhammad SAW pada umat manusia agar kehidupan ini terasa
indah dan menyejukkan. Hal ini tercermin ketika Nabi Muhammad
SAW menyambut kedatangan tamu kristen dari Najran. Beliau
memperlakukan mereka dengan sangat hormat, bahkan surban
beliau dibentangkan dan mereka dipersilakan duduk diatasnya
sambil berbincang-bincang dengan penuh keharmonisan.
Oleh karena itu ketika beliau mendengar terjadi pembunuhan
terhadap orang non-muslim yang dilakukan oleh orang Islam.
Rosulullah bersabda :

Artinya: Nabi bersabda Barang siapa yang menyakiti nonmuslim (yang


berdamai dengan muslim) maka akulah musuhnya, dan orang yang
memusuhinya (memusuhi nonmuslim) maka aku memusuhinya dihari
kiamat. (HR. Ibnu Masud dalam kitab Jamius Shaghir hal.
158)

31

Artinya: Dari Abdullah bin Umar, nabi bersabda Orang yang


membunuh non muslim maka dia tidak akan pernah merasakan bau
harumnya surga, padahal bau harumnya surga itu sudah bisa dicium dari
jarak perjalanan empat puluh tahun (Sunan Ibnu Majah, juz 2 hal.
97)

Nabi Muhammad SAW juga mempertegas kembali, jikalau ada


orang muslim yang melakukan pembunuhan kepada non muslim
secara semena-mena tanpa adanya alasan yang dibenarkan, dengan
sabdanya :

Artinya: Nabi bersabda; Barang siapa yang telah membunuh non muslim
tanpa alasan yang benar, maka Allah benar-benar melarang baginya masuk
surga. (HR. Ibnu Umar; Jamius Shaghir hal. 177)

3.3. Perlindungan Pada Tempat-Tempat Ibadah.


Selain melindungi non muslim, al-Quran juga memerintahkan
kepada umat Islam untuk melindungi tempat-tempat ibadah agama
lain dalam arti tidak merusak, membakar, apalagi sampai
32

menghancurkan tempat-tempat ibadah agama lain sebagaimana


tercantum dalam Al-Quran Surat Al-Hajj : 40 Juz 17 :

Artinya: (yaitu) orang-orang yang telah diusir dari kampung halaman


mereka tanpa alasan yang benar, kecuali karena mereka berkata: "Tuhan
kami hanyalah Allah". dan sekiranya Allah tiada menolak (keganasan)
sebagian manusia dengan sebagian yang lain, tentulah telah dirobohkan
biara-biara Nasrani, gereja-gereja, rumah-rumah ibadat orang Yahudi, dan
masjid- masjid yang di dalamnya banyak disebut nama Allah.
Sesungguhnya Allah pasti menolong orang yang menolong (agama)-Nya.
Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuat lagi Maha Perkasa. (QS.
Al-Hajj: 40)

Janganlah mencaci-maki atau mengolok-olok agama selain Islam,


karena kalau kamu mencaci-maki atau mengolok-olok mereka, maka
pastilah mereka akan mencaci-maki Allah dengan semena-mena dan
melampaui batas. Hal ini dijelaskan dalam al-Quran :

33

Artinya: Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang


mereka sembah selain Allah, Karena mereka nanti akan memaki Allah
dengan melampaui batas tanpa pengetahuan. Demikianlah kami jadikan
setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. Kemudian kepada Tuhan
merekalah, kembali mereka, lalu dia memberitakan kepada mereka apa
yang dahulu mereka kerjakan. (QS. Al Anam:108)

3.4. Toleransi Terhadap Perbedaan Pedapat


Dalam tradisi ulama Islam, perbedaan pendapat bukanlah hal
yang baru, apalagi dapat dianggap tabu. Tidak terhitung jumlahnya
kitab-kitab yang ditulis ulama Islam yang disusun khusus untuk
merangkum, mengkaji, membandingkan, kemudian mendiskusikan
berbagai pandangan yang berbeda-beda dengan argumentasinya
masing-masing.
Untuk bidang hukum Islam, misalnya. Kita bisa melihat kitab
Al Mughni karya Imam Ibnu Qudamah. Pada terbitannya yang
terakhir, kitab ini dicetak 15 jilid. Kitab ini dapat dianggap sebagai
ensiklopedi berbagai pandangan dalam bidang hukum Islam dalam
berbagai mazhabnya. Karena Ibnu Qudamah tidak membatasi diri
pada empat mazhab yang populer saja. Tapi ia juga merekam
pendapat-pendapat ulama lain yang hidup sejak masa sahabat,
tabi'in dan tabi' tabi'in.[1] Contoh ini berlaku pada semua disiplin
ilmu Islam yang ada. Tidak terbatas pada ilmu hukum saja, seperti
yang umumnya kita kenal, tapi juga pada tafsir, ulumul qur'an, syarh
hadits, ulumul hadits, tauhid, usul fiqh, qawa'id fiqhiyah,
maqashidus syariah, dan lain-lain.
Penguasaan terhadap perbedaan pendapat ini bahkan menjadi
syarat seseorang dapat disebut sebagai mujtahid atau ahli dalam
ilmu agama. Orang yang tidak memiliki wawasan tentang
34

pandangan-pandangan ulama yang beragam beserta dalilnya masingmasing, dengan begitu, belum dapat disebut ulama yang mumpuni
di bidangnya.
Yang menarik, dalam mengemukakan berbagai pendapatnya,
ulama-ulama Islam, terutama yang diakui secara luas keilmuannya,
mampu menunjukkan kedewasaan sikap, toleransi, dan objektivitas
yang tinggi. Mereka tetap mendudukkan pendapat mereka di bawah
Al Qur'an dan Hadits, tidak memaksakan pendapat, dan selalu siap
menerima kebenaran dari siapa pun datangnya. Dapat dikatakan,
mereka telah menganut prinsip relativitas pengetahuan manusia.
Sebab, kebenaran mutlak hanya milik Allah subhanahu wata'ala.
Mereka tidak pernah memposisikan pendapat mereka sebagai yang
paling absah sehingga wajib untuk diikuti.
Dalam hal pluralitas pendapat, Imam SyafiI pun pernah
mengungkapkan pendapatnya yang populer hingga saat ini, yang
berbunyi; Pendapatku benar, tapi memiliki kemungkinan untuk salah.
Sedangkan pendapat orang lain salah, tapi memiliki kemungkinan untuk
benar.
Dalam kerangka yang sama, Imam Ahmad bin Hambal pernah
berfatwa agar imam hendaknya membaca basmalah dengan suara
dikeraskan bila memimpin shalat di Madinah. Fatwa ini
bertentangan dengan mazhab Ahmad bin Hambal sendiri yang
menyatakan bahwa yang dianjurkan bagi orang yang shalat adalah
mengecilkan bacaan basmalahnya. Tapi fatwa tersebut dikeluarkan
Ahmad demi menghormati paham ulama-ulama di Madinah, waktu
itu, yang memandang sebaliknya. Sebab, menurut ulama-ulama
Medinah itu, orang yang shalat, lebih utama bila ia mengeraskan
bacaan basmalahnya.

35

Misalnya, dalam menanggapi perbedaan berbagai metode


pembelajaran al Quran. Sebagaimana dijeaskan dalam kitab Shohih
Bukhori jilid 03 hal 400-401 sebagai berikut :

36

Artinya: Saad bin Uffair bercerita kepadaku (Imam Bukhori) dia berkata, alLaits telah bercerita kepadaku al-Laits berkata, Uqoil bercerita kepadaku dari
Ibnu Syihab dia berkata, Urwah bin Zubair bercerita kepadaku sesungguhnya
Miswar bin Makhromah dan Abdurrohman bin Abdul Qori telah bercerita
kepada Urwah bin Zubair sesungguhnya keduanya mendengar bahwa Umar bin
Khottob berkata Saya telah mendengar Hisyam bin Hakim membaca surat alFurqon dimasa hidup Rosulullah SAW. ketika itu dia membaca berbagai huruf
(dengan model bacaan) yang tidak pernah dibacakan atau diajarkan oleh
Rosulullah SAW kepadaku (Sayyidina Umar), maka aku mendekat
menghampiri Hisyam dalam sholatnya, dan aku menunggunya sampai dia salam.
Lalu aku menyeret Hisyam dengan surban di lehernya kemudian aku bertanya
Siapa yang membacakan atau mengajarkan surat yang telah aku dengar tadi
ketika engkau membaca. Hisyam menjawab: Rosulullah SAW yang telah
membacakan atau mengajarkan surat itu kepadaku, lalu Umar berkata:
Engkau berbohong (wahai Hisyam), sesungguhnya Rosulullah SAW telah
membacakan surat itu kepadaku tidak seperti yang telah engkau baca. Setelah
itu aku pergi mengajak Hisyam untuk menghadap kepada Rosulullah SAW
demi meluruskan perkara ini, dan aku berkata kepada Rosulullah SAW.

37

Sesungguhnya saya mendengar Hisyam membaca surat al-Furqon dengan model


atau cara bacaan yang tidak pernah Engkau bacakan atau ajarkan kepadaku.
Rosulullah SAW berkata: Bacalah dengan tartil wahai Hisyam lalu Hisyam
membacakan surat al-Furqon dengan bacaan seperti yang saya dengar darinya
dihadapan Rosulullah SAW. Lalu Rosulullah SAW. bersabda Seperti itulah
surat itu diturunkan kemudian Rosulullah SAW. berkata bacalah dengan
tartil wahai Umar maka aku membaca surat al-Furqon dengan bacaan yang
telah beliau ajarkan kepadaku, lalu Rosulullah SAW bersabda: Seperti itulah
surat itu diturunkan Sesungguhnya al-Quran ini diturunkan atas 7

macam bacaan, oleh karena itu Bacalah apa yang mudah


(bagimu) dari Al Quran.

Dari hadits di atas dapat disimpulkan bahwa Betapa


bijaksananya Rosulullah, menanggapi perbedaan, mengayomi
umatnya dengan ilmunya tanpa membeda-bedakan. Beliau taburi
perbedaan itu dengan mutiara akhlakul karimah, berwawasan luas
dan bersikap luwes, dan merahmati seluruh alam semesta.
Oleh karena itu marilah kita bersama-sama belajar untuk
meneladani beliau dengan selalu menghargai setiap perbedaan, tidak
saling menghina antara satu dengan yang lainnya, terutama dalam
masalah metode bacaan al-Quran, jangan sampai metode yang satu
menyalahkan metode yang lainnya, apalagi merasa paling unggul dan
paling benar, karena dari bacaanya saja sudah terdapat berbagai
macam bacaan, apalagi metodenya, yang pasti lebih banyak lagi.
Dari situ kita harus mempunyai wawasan yang luas dan bersikap
luwes seperti yang telah dicontohkan oleh Rosulullah Muhammad
SAW. terhadap Sayyidina Umar RA dan Sahabat Hisyam RA. Dari
situlah nanti kita bisa merasakan bahwa perbedaan itu akan
membawa rohmah, nimah dan barokah.

3.5. Sikap dan Kepribadian Seorang Sufi

38

a. Menurut Imam Junaidi:


:

:
)22 (
Artinya: Orang sufi itu bagaikan bumi yang mana segala keburukan dia
terima dengan selalu membalasnya dengan kebaikan. Orang sufi itu
bagaikan bumi yang mana di atasnya berjalan segala sesuatu yang baik
maupun yang buruk (semua diterimanya). Orang sufi itu bagaikan langit
yang menaungi segala sesuatu yang ada di bawahnya, dan seperti air hujan
yang menyirami segala sesuatu (yang baik maupun yang buruk).

Diterangkan dalam kitab: Nasyatut Tashowwuf Watarifus Sufi hal:


22., Risalah Qusyairiyah Hal 126-127
b. Menurut Abu Bakar As-Syibli
, :

Artinya: Orang sufi itu adalah seorang yang membersihkan hatinya,


maka bersihlah hatinya dan mengikuti jalannya Nabi al-Musthafa SAW.
Serta tidak terlalu memikirkan perkara duniawi (lebih memikirkan
masalah ukhrowi), dan menghilangkan keinginan hawa nafsunya.
(Khilyatul Auliya hal.11)

c. Menurut Aba Hammami Abdurrohman bin Mujib As-Shufi


:
.

39

Artinya: Orang sufi itu adalah seorang yang merasa dirinya hina,
menahan dan memerangi hawa nafsunya, memberi nasehat kepada
makhluk, selalu mendekatkan diri kepada Allah, berperilaku bijaksana,
menjauhi berandai-andai (berangan-angan terlalu tinggi) dan tidak mau
mencela, mencegah perbuatan dosa, waktu luangnya digunakan untuk
beribadah, selalu prihatin (menyesali semua kesalahannya), hidupnya
sederhana, selalu arif terhadap sesuatu yang benar, mengasingkan diri dan
mencegah dari segala sesuatu yang sia-sia. (Khilyatul Auliya' hal. 11)

d. Ciri-ciri Kepribadian Seorang Sufi



:

:

Artinya: Ciri-ciri seorang sufi itu adalah; 1) al-Shodiq: merasa miskin
setelah memperoleh kekayaan, merasa hina setelah mendapatkan kemulyaan,
dan menyamarkan dirinya setelah terkenal., 2) al-Kadzib: merasa kaya akan
harta sesudah faqir, merasa mulia setelah hina, merasa terkenal yang mana
sebelumnya dia tidak masyhur. (Diterangkan di dalam kitab Risalah
Qusyairiyah Hal 126-127)

40

Islam adalah agama terakhir diturunkan oleh Allah Yang Maha


Kuasa sebagai agama penghabisan, agama penyempurna. Nabi

41

Muhammad Saw sebagai Rasulullah-pun bergelar khaatamil anbiya (nabi


pamungkas), tidak ada nabi dan agama lagi setelah Islam dan Muhammad
SAW. Layaknya sebagai penyempurna, Islam mempunyai hubungan
sangat erat dengan yang disempurnakan terutama Yahudi dan Kristen.
Sejarah mencatat kemesraan ketiga agama itu dengan disepakatinya
Piagam Madinah sebagai konstitusi sebuah Negara kota di bawah
kepemimpinan Rasulullah SAW.
Setiap kali berbicara mengenai negara dalam hubungannya dengan
Islam, atau yang diidealkan Islam, maka orang akan selalu merujuk
pemerintahan/negara pada zaman Rasulullah di Madinah. Berikutnya
adalah pemerintahan empat khalifah penerus Rasulullah -- Abu Bakar,
Umar bin Khattab, Usman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib. Yang
terakhir ini seringkali disebut sebagai Khulafaur Rasyidin -- para khalifah
yang mendapatkan petunjuk (dari Allah).
Negara pada masa Rasulullah bercorak teokratis, sedangkan zaman
Khulafaur Rasyidin bercorak republik demokratis -- kepala negara dipilih.
Dalam surat-suratnya, Nabi Muhammad selalu menyebutkan: dari
Muhammad Rasulullah. Sedangkan Khulafaur Rasyidin menyebutkan:
dari Amirul Mukminin (pemimpin para mukmin).
Setelah Khulafaur Rasyidin, corak maupun bentuk negara berubahubah menurut perkembangan zaman. Dari sejak pemerintahan Bani
Umayyah di Damsyik (Damaskus), Bani Abbasiyah di Baghdad, dan
kemudian Bani Usmaniyah di Istambul, negara berbentuk kekhalifahan
dengan corak monarki absolut. Kemudian, ketika Khalifah Usmaniyah
bubar dan negara-negara Islam merdeka dari penjajahan, muncullah
sejumlah negara berbentuk republik atau kerajaan.
Munculnya beragam bentuk, corak maupun model negara
berpenduduk Muslim itu barangkali karena memang tidak ada teks --baik
Al-Quran maupun Hadis-- yang mengatur hal itu. Al-Quran hanya
42

menggarisbawahi, kepada umat Islam diperintahkan untuk athi'ullah wa


rasulihi wa ulil amri minkum --taatilah Allah, Rasul-Nya, dan pemimpin
kalian. Dengan kata lain, umat Islam diperintahkan untuk menerapkan
hukum Islam yang bersumber dari Al-Quran dan Hadits.
Itulah yang juga dilaksanakan pada masa pemerintahan Rasulullah
Muhammad SAW di Madinah. Kepada umat Islam, Rasulullah
menerapkan hukum-hukum Islam berikut sanksi-sanksinya. Namun,
dalam hubungan dengan ketatanegaraan di mana terdapat multi etnis,
kabilah, dan agama (kepercayaan), Rasulullah --sebagai kepala negara dan
pemerintahan-- memberlakukan aturan-aturan lain, yang kemudian
dikenal dengan Piagam Madinah.
Seperti diketahui, ketika Nabi Muhammad SAW tiba di Madinah, di
kota itu sudah terdapat tiga golongan besar: Muslimin, Yahudi, dan
Musyrikin. Muslimin terdiri dari kaum Muhajirin dan Anshar. Kaum
Muhajirin adalah pendatang yang hijrah dari Mekah. Mereka adalah
orang-orang Quraisy Mekah yang telah masuk Islam, terdiri dari
beberapa kelompok, antara lain Bani Hasyim dan Bani Muthalib. Kaum
Anshar adalah penduduk asli Madinah yang sudah masuk Islam. Mereka
kebanyakan dari Kabilah Aus dan Khazraj.
Golongan Musyrikin merupakan orang-orang Arab yang masih
menyembah berhala. Golongan Yahudi terdiri dari keturunan Yahudi
pendatang dan keturunan Arab yang masuk agama Yahudi atau kawin
dengan orang Yahudi pendatang. Tiga kelompok Yahudi pendatang
adalah Bani Nadir, Bani Qaynuqa', dan Bani Qurayzhah.
Di tengah kemajemukan penghuni Kota/Negara Madinah itu,
Rasulullah SAW berusaha membangun tatanan hidup bersama,
mencakup semua golongan yang ada di Madinah. Sebagai langkah awal,
beliau mempersaudarakan para Muslim Muhajirin dengan Anshar.

43

Persaudaraan itu bukan hanya tolong-menolong dalam kehidupan seharihari, tapi hingga ke tingkat waris-mewarisi.
Kemudian diadakan perjanjian hidup bersama secara damai di antara
berbagai golongan yang ada di Madinah, baik antara golongan-golongan
Islam, maupun dengan golongan-golongan Yahudi.
Masyarakat muslim Madinah yang berhasil dibentuk Rasulullah, oleh
sebagian intelektual muslim masa kini disebut dengan negara kota (city
state). Lalu, dengan dukungan kabilah-kabilah dari seluruh penjuru jazirah
Arab yang masuk Islam, maka muncullah kemudian sosok negara bangsa
(nation state). Walaupun sejak awal Islam tidak memberikan ketentuan
yang pasti tentang bagaimana bentuk dan konsep negara yang
dikehendaki, namun suatu kenyataan bahwa Islam adalah agama yang
mengandung prinsip-prinsip dasar kehidupan termasuk politik dan
negara.
Dalam masyarakat muslim yang terbentuk itulah Rasulullah menjadi
pemimpin dalam arti yang luas, yaitu sebagai pemimpin agama dan juga
sebagai pemimpin masyarakat. Konsepsi Rasulullah yang diilhami AlQuran ini kemudian menelorkan Piagam Madinah yang mencakup 47
pasal, yang antara lain berisikan hak-hak asasi manusia, hak-hak dan
kewajiban bernegara, hak perlindungan hukum, sampai toleransi
beragama yang oleh ahli-ahli politik modern disebut manifesto politik
pertama dalam Islam.
Kesepakatan-kesepakatan antara golongan Muhajirin dan Anshar,
dan perjanjian dengan golongan Yahudi itu, secara formal, ditulis dalam
suatu naskah yang disebut shahifah. Shahifah dengan 47 pasal inilah yang
kemudian disebut dengan Piagam Madinah. Piagam yang menjadi payung
kehidupan berbangsa dan bernegara --dengan multi etnis dan agama-- ini,
menurut sejumlah sumber, dibuat pada tahun pertama Hijrah dan
sebelum Perang Badar.
44

4.1. Piagam Madinah dan Keotentikannya


Piagam Madinah ini secara lengkap diriwayatkan oleh Ibn
Ishaq (w. 151 H) dan Ibn Hisyam (w. 213 H), dua penulis muslim
yang mempunyai nama besar dalam bidangnya. Menurut penelitian
Ahmad Ibrahim al-Syarif, tidak ada periwayat lain sebelumnya selain
kedua penulis di atas yang meriwayatkan dan menuliskannya secara
sistematis dan lengkap. Meskipun demikian, tidak diragukan lagi
kebenaran dan keotentikan piagam tersebut, mengingat gaya bahasa
dan penyusunan redaksi yang digunakan dalam Piagam Madinah ini
setaraf dan sejajar dengan gaya bahasa yang dipergunakan pada
masanya. Demikian pula kandungan dan semangat piagam tersebut
sesuai dengan kondisi sosiologis dan historis zaman itu.
Keotentikan Piagam Madinah ini diakui pula oleh William
Montgomery Watt, yang menyatakan bahwa dokumen piagam
tersebut, yang secara umum diakui keotentikannya, tidak mungkin
dipalsukan dan ditulis pada masa Umayyah dan Abbasiyah yang
dalam kandungannya memasukkan orang non muslim ke dalam
kesatuan ummah.
Dari Ibn Ishaq dan Ibn Hisyam inilah kemudian penulispenulis berikutnya menukil dan mengomentarinya. Di antara
penulis-penulis klasik yang menukil Piagam Madinah secara lengkap
antara lain: Abu Ubaid Qasim Ibn Salam dalam Kitab Al-Amwal,
Umar al-Maushili dalam Wasilah al-Mutaabbidin dan Ibn Sayyid
dalam Sirah al-Nas. Sementara itu, beberapa penulis klasik dan
periwayat lainnya yang menulis tentang Piagam Madinah antara lain:
Imam Ahmad Ibn Hambal (w. 241 H) dalam Al-Musnad, Darimi (
w. 255 H) dalam Al-Sunan, Imam Bukhori (w. 256 H) dalam
Shahih-nya, Imam Muslim ( w.261 H) dalam Shahih-nya. Tulisan-

45

tulisan lain tentang piagam tersebut juga bisa dijumpai dalam Sunan
Abu Dawud (w. 272 H), Sunan Ibn Majah (w. 273 H), Sunan
Tirmidzi (w. 279 H), Sunan Nasai (w. 303 H), serta dalam Tarikh
al-Umam wa al-Muluk oleh al-Thabari.
Piagam Madinah ini telah diterjemahkan pula ke dalam bahasa
asing, antara lain ke bahasa Perancis, Inggris, Itali, Jerman, Belanda
dan Indonesia. Terjemahan dalam bahasa Perancis dilakukan pada
tahun 1935 oleh Muhammad Hamidullah, sedangkan dalam bahasa
Inggris terdapat banyak versi, diantaranya seperti pernah dimuat
dalam Islamic Culture No.IX Hederabat 1937, Islamic Review terbitan
Agustus sampai dengan Nopember 1941 (dengan topik The first
written constitution of the world). Selain itu, Majid Khadduri juga
menerjemahkannya dan memuatnya dalam karyanya War and Pearce
in the Law of Islam (1955), kemudian diikuti oleh R. Levy dalam
karyanya The Social Structure of Islam (1957) serta William
Montgomery Watt dalam karyanya Islamic Political Thought (1968).
Adapun terjemahan-terjemahan lainnya seperti dalam bahasa
Jerman dilakukan oleh Wellhausen, bahasa Itali dilakukan oleh
Leone Caetani, dan bahasa Belanda oleh A. J. Wensick serta bahasa
Indonesia --untuk pertama kalinya-- oleh Zainal Abidin Ahmad.
Menurut Muhammad Hamidullah yang telah melakukan
penelitian terhadap beberapa karya tulis yang memuat Piagam
Madinah, bahwa ada sebanyak 294 penulis dari berbagai bahasa.
Yang terbanyak adalah dalam bahasa Arab, kemudian bahasa-bahasa
Eropa. Hal ini menunjukkan betapa antusiasnya mereka dalam
mengkaji dan melakukan studi terhadap piagam peninggalan Nabi.
Dalam teks aslinya, Piagam Madinah ini semula tidak terdapat
pasal-pasal. Pemberian pasal-pasal sebanyak 47 itu baru kemudian
dilakukan oleh A.J. Winsick dalam karyanya Mohammed en de
joden te Madina, tahun 1928 M yang ditulis untuk mencapai gelar
46

doktornya dalam sastra semit. Melalui karyanya itu, Winsick


mempunyai andil besar dalam memasyarakatkan Piagam Madinah
ke kalangan sarjana Barat yang menekuni studi Islam. Sedangkan
pemberian bab-bab dari 47 pasal itu dilakukan oleh Zainal Abidin
Ahmad yang membaginya menjadi 10 bab.
Menurut hipotesis Montgomery Watt, bahwa Piagam Madinah
yang sampai ke tangan kita sebenarnya paling tidak terdiri dari dua
dokumen, yang semula terpisah kemudian disatukan. Pada tahap
berikutnya, piagam tersebut mengalami pengurangan dan
perombakan disana sini. Hipotesis Montgomery Watt ini muncul
karena didapatinya pengulangan dalam beberapa pasalnya.
Selanjutnya, Watt menyebut bahwa Piagam Madinah kemungkinan
baru muncul setelah tahun 627 M, yaitu setelah pengusiran Yahudi
bani Qainuqa dan Yahudi bani Nadir dari Madinah serta
pembasmian terhadap bani Quraidhah berdasarkan keputusan Saad
Ibn Muad, pemimpin kabilah Aus.
Hipotesa terakhir ini dikemukakan oleh Montgomery Watt
karena tiga suku Yahudi terkemuka dimaksud tidak tercantum
dalam Piagam Madinah. Akan tetapi, kalau demikian halnya, berarti
relevansi serta bobot politiknya sudah sangat berkurang, karena isi
piagam tersebut sangat diperlukan untuk mempersatukan
masyarakat Madinah yang heterogen. Ini berarti bahwa Piagam
Madinah disusun Rasulullah sejak awal kedatangannya di Madinah,
yaitu sekitar tahun 622 M. Dengan demikian, boleh jadi Piagam
Madinah hanya satu dokumen dan ditujukan kepada seluruh
penduduk Madinah, yang kemudian mengalami revisi setelah tiga
suku Yahudi tersebut mengingkari perjanjian secara sepihak dan
melakukan gerakan separatis terhadap pemerintahan Madinah yang
telah disetujui bersama.

47

4.2. Naskah Piagam Madinah


-

MUKADDIMAH -

Dengan nama Tuhan Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang "Inilah
Piagam Tertulis dari Nabi Muhammad SAW di kalangan Orang-orang yang
beriman dan memeluk Islam (yang berasal) dari Quraisy dan Yatsrib, dan
orang-orang yang mengikuti mereka, mempersatukan diri dan berjuang bersama
mereka."

I. PEMBENTUKAN UMMAT
Pasal 1

Sesungguhnya mereka satu bangsa negara (ummat), bebas dari (pengaruh dan
kekuasaan) manusia.

II. HAK ASASI MANUSIA


Pasal 2

Kaum Muhajirin dari Quraisy ttp mempunyai hak asli mereka, saling
tanggung-menanggung, membayar dan menerima uang tebusan darah

48

(diyat)kerana suatu pembunuhan, dengan cara yang baik dan adil di antara
orang-orang beriman.

Pasal 3

1. Banu 'Auf (dari Yathrib) tetap mempunyai hak asli mereka, tanggung
menanggung uang tebusan darah (diyat).
2. Dan setiap keluarga dari mereka membayar bersama akan uang tebusan
dengan baik dan adil di antara orang-orang beriman.

Pasal 4

1. Banu Sa'idah (dari Yathrib) tetap atas hak asli mereka, tanggung
menanggung uang tebusan mereka.
2. Dan setiap keluarga dari mereka membayar bersama akan uang tebusan
dengan baik dan adil di antara orang-orang beriman.

Pasal 5

1. Banul-Harts (dari suku Yathrib) tetap berpegang atas hak-hak asli mereka,
saling tanggung-menanggung untuk membayar uang tebusan darah (diyat) di
antara mereka.

49

2. Setiap keluarga (tha'ifah) dapat membayar tebusan dengan secara baik dan
adil di kalangan orang-orang beriman.

Pasal 6

1. Banu Jusyam (dari suku Yathrib) tetap berpegang atas hak-hak asli mereka,
tanggung-menanggung membayar uang tebusan darah (diyat) di antara
mereka.
2. Setiap keluarga (tha'ifah) dapat membayar tebusan dengan secara baik dan
adil di kalangan orang-orang beriman.

Pasal 7

1. Banu Najjar (dari suku Yathrib) tetap berpegang atas hak-hak asli mereka,
tanggung-menanggung membayar uang tebusan darah (diyat) dengan secara
baik dan adil.
2. Setiap keluarga (tha'ifah) dapat membayar tebusan dengan secara baik dan
adil di kalangan orang beriman.

Pasal 8

50

1. Banu 'Amrin (dari suku Yathrib) tetap berpegang atas hak-hak asli
mereka, tanggung-menanggung membayar uang tebusan darah (diyat) di
antara mereka.
2. Setiap keluarga (tha'ifah) dapat membayar tebusan dengan secara baik dan
adil di kalangan orang-orang beriman.

Pasal 9

1. Banu An-Nabiet (dari suku Yathrib) tetap berpegang atas hak-hak asli
mereka, tanggung-menanggung membayar uang tebusan darah (diyat) di
antara mereka.
2. Setiap keluarga (tha'ifah) dapat membayar tebusan dengan secara baik dan
adil di kalangan orang-orang beriman
. Pasal 10

1. Banu Aws (dari suku Yathrib) berpegang atas hak-hak asli mereka,
tanggung-menanggung membayar uang tebusan darah (diyat) di antara
mereka.
2. Setiap keluarga (tha'ifah) dapat membayar tebusan dengan secara baik dan
adil di kalangan orang-orang beriman.

III. PERSATUAN SEAGAMA

51

Pasal 11

Sesungguhnya orang-orang beriman tidak akan melalaikan tanggungjawabnya


untuk memberi sumbangan bagi orang-orang yang berhutang, karena membayar
uang tebusan darah dengan secara baik dan adil di kalangan orang-orang
beriman.

Pasal 12

Tidak seorang pun dari orang-orang yang beriman dibolehkan membuat


persekutuan dengan teman sekutu dari orang yang beriman lainnya, tanpa
persetujuan terlebih dahulu dari padanya.

52

Pasal 13

1. Segenap orang-orang beriman yang bertaqwa harus menentang setiap orang


yang berbuat kesalahan , melanggar ketertiban, penipuan, permusuhan atau
pengacauan di kalangan masyarakat orang-orang beriman.
2. Kebulatan persatuan mereka terhadap orang-orang yang bersalah merupakan
tangan yang satu, walaupun terhadap anak-anak mereka sendiri.

Pasal 14

1. Tidak diperkenankan seseorang yang beriman membunuh seorang beriman


lainnya karena lantaran seorang yang tidak beriman.
2. Tidak pula diperkenankan seorang yang beriman membantu seorang yang
kafir untuk melawan seorang yang beriman lainnya.

Pasal 15

1. Jaminan Tuhan adalah satu dan merata, melindungi nasib orang-orang yang
lemah.
2. Segenap orang-orang yang beriman harus jamin-menjamin dan setiakawan
sesama mereka daripada (gangguan) manusia lain

53

IV. PERSATUAN SEGENAP WARGANEGARA


Pasal 16

Bahwa sesungguhnya kaum-bangsa Yahudi yang setia kepada (negara) kita,


berhak mendapatkan bantuan dan perlindungan, tidak boleh dikurangi haknya
dan tidak boleh diasingkan dari pergaulan umum.

Pasal 17

1. Perdamaian dari orang-orang beriman adalah satu


2. Tidak diperkenankan segolongan orang-orang yang beriman membuat
perjanjian tanpa ikut sertanya segolongan lainnya di dalam suatu peperangan
di jalan Tuhan, kecuali atas dasar persamaan dan adil di antara mereka.

Pasal 18

Setiap penyerangan yang dilakukan terhadap kita, merupakan tantangan


terhadap semuanya yang harus memperkuat persatuan antara segenap golongan.

Pasal 19

54

1. Segenap orang-orang yang beriman harus memberikan pembelaan atas tiaptiap darah yang tertumpah di jalan Tuhan.
2. Setiap orang beriman yang bertaqwa harus berteguh hati atas jalan yang baik
dan kuat.

Pasal 20

1. Perlindungan yang diberikan oleh seorang yang tidak beriman (musyrik)


terhadap harta dan jiwa seorang musuh Quraisy, tidaklah diakui.
2. Campur tangan apapun tidaklah diijinkan atas kerugian seorang yang
beriman.

Pasal 21

1.

2.

Barangsiapa yang membunuh akan seorang yang beriman dengan cukup


bukti atas perbuatannya harus dihukum bunuh atasnya, kecuali kalau
wali (keluarga yang berhak) dari si terbunuh bersedia dan rela menerima
ganti kerugian (diyat).
Segenap warga yang beriman harus bulat bersatu mengutuk perbuatan itu,
dan tidak diizinkan selain daripada menghukum kejahatan itu.

Pasal 22

55

1. Tidak dibenarkan bagi setiap orang yang mengakui piagam ini dan percaya
kepada Tuhan dan hari akhir, akan membantu orang-orang yang salah, dan
memberikan tempat kediaman baginya.
2. Siapa yang memberikan bantuan atau memberikan tempat tinggal bagi
pengkhianat-pengkhianat negara atau orang-orang yang salah, akan
mendapatkan kutukan dan kemurkaan Tuhan di hari kiamat nanti, dan
tidak diterima segala pengakuan dan kesaksiannya.

Pasal 23

Apabila timbul perbezaan pendapat di antara kamu di dalam suatu soal,


maka kembalikanlah penyelesaiannya pada (hukum) Tuhan dan (keputusan)
Muhammad SAW.

V. GOLONGAN MINORITAS
Pasal 24

Warganegara (dari golongan) Yahudi memikul biaya bersama-sama dengan


kaum beriman, selama negara dalam peperangan.

Pasal 25

56

1. Kaum Yahudi dari suku Auf adalah satu bangsa-negara (ummat) dengan
warga yang beriman.
2. Kaum Yahudi bebas memeluk agama mereka, sebagai kaum Muslimin bebas
memeluk agama mereka.
3. Kebebasan ini berlaku juga terhadap pengikut-pengikut/sekutu-sekutu
mereka, dan diri mereka sendiri.
4. Kecuali kalau ada yang mengacau dan berbuat kejahatan, yang menimpa diri
orang yang bersangkutan dan keluarganya
. Pasal 26

Kaum Yahudi dari Banu Najjar diperlakukan sama seperti kaum Yahudi dari
Banu Auf di atas.

Pasal 27

Kaum Yahudi dari Banul-Harts diperlakukan sama seperti kaum Yahudi dari
Banu Auf di atas

Pasal 28

Kaum Yahudi dari Banu Sa'idah diperlakukan sama seperti kaum Yahudi
dari Banu Auf di atas

57

Pasal 29

Kaum Yahudi dari Banu Jusyam diperlakukan sama seperti kaum Yahudi
dari Banu Auf di atas

Pasal 30

Kaum Yahudi dari Banu Aws diperlakukan sama seperti kaum Yahudi dari
Banu Auf di atas

Pasal 31

1. Kaum Yahudi dari Banu Tsa'labah, diperlakukan sama seperti kaum


yahudi dari Banu Auf di atas
2. Kecuali orang yang mengacau atau berbuat kejahatan, maka ganjaran dari
pengacauan dan kejahatannya itu menimpa dirinya dan keluarganya.

Pasal 32

Suku Jafnah adalah bertali darah dengan kaum Yahudi dari Banu Tsa'labah,
diperlakukan sama seperti Banu Tsa'labah

58

Pasal 33

1. Banu Syuthaibah diperlakukan sama seperti kaum Yahudi dari Banu Auf
di atas.
2. Sikap yang baik harus dapat membendung segala penyelewengan.

Pasal 34

Pengikut-pengikut/sekutu-sekutu dari Banu Tsa'labah, diperlakukan sama


seperti Banu Tsa'labah.

Pasal 35

Segala pegawai-pegawai dan pembela-pembela kaum Yahudi, diperlakukan


sama seperti kaum Yahudi.

VI. TUGAS WARGA NEGARA


Pasal 36

59

1. Tidak seorang pun diperbolehkan bertindak keluar, tanpa ijinnya


Muhammad SAW
2. Seorang warga negara dapat membalaskan kejahatan luka yang dilakukan
orang kepadanya
3. Siapa yang berbuat kejahatan, maka ganjaran kejahatan itu menimpa dirinya
dan keluarganya, kecuali untuk membela diri
4. Tuhan melindungi akan orang-orang yang setia kepada piagam ini

Pasal 37
.
1. Kaum Yahudi memikul biaya negara, sebagai halnya kaum Muslimin
memikul biaya negara
2. Di antara segenap warga negara (Yahudi dan Muslimin) terjalin pembelaan
untuk menentang setiap musuh negara yang memerangi setiap peserta dari
piagam ini
3. Di antara mereka harus terdapat saling nasihat-menasihati dan berbuat
kebajikan, dan menjauhi segala dosa
4. Seorang warga negara tidaklah dianggap bersalah, karena kesalahan yang
dibuat sahabat/sekutunya
5. Pertolongan, pembelaan, dan bantuan harus diberikan kepada orang/golongan
yang teraniaya

Pasal 38

Warga negara kaum Yahudi memikul biaya bersama-sama warganegara yang


beriman, selama peperangan masih terjadi

60

VII. MELINDUNGI NEGARA


Pasal 39

Sesungguhnya kota Yatsrib, Ibukota Negara, tidak boleh dilanggar


kehormatannya oleh setiap peserta piagam ini

Pasal 40

Segala tetangga yang berdampingan rumah, harus diperlakukan sebagai dirisendiri, tidak boleh diganggu ketenteramannya, dan tidak diperlakukan salah

Pasal 41

Tidak seorang pun tetangga wanita boleh diganggu ketenteraman atau


kehormatannya, melainkan setiap kunjungan harus dengan izin suaminya

61

VIII. PIMPINAN NEGARA


Pasal 42

1. Tidak boleh terjadi suatu peristiwa di antara peserta piagam ini atau terjadi
pertengkaran, melainkan segera dilaporkan dan diserahkan penyelesaiannya
menurut (hukum ) Tuhan dan (kebijaksanaan) utusan-Nya, Muhammad
SAW
2. Tuhan berpegang teguh kepada piagam ini dan orang-orang yang setia
kepadanya

Pasal 43

Sesungguhnya (musuh) Quraisy tidak boleh dilindungi, begitu juga segala orang
yang membantu mereka

Pasal 44

Di kalangan warga negara sudah terikat janji pertahanan bersama untuk


menentang setiap agresor yang menyergap kota Yathrib

62

IX. POLITIK PERDAMAIAN


Pasal 45

1. Apabila mereka diajak kepada pendamaian (dan) membuat perjanjian damai


(treaty), mereka tetap sedia untuk berdamai dan membuat perjanjian damai
2. Setiap kali ajakan pendamaian seperti demikian, sesungguhnya kaum yang
beriman harus melakukannya, kecuali terhadap orang (negara) yang
menunjukkan permusuhan terhadap agama (Islam)
3. Kewajiban atas setiap warganegara mengambil bahagian dari pihak mereka
untuk perdamaian itu

Pasal 46

1. Dan sesungguhnya kaum Yahudi dari Aws dan segala sekutu dan simpatisan
mereka, mempunyai kewajiban yang sama dengan segala peserta piagam untuk
kebaikan (pendamaian) itu
2. Sesungguhnya kebaikan (pendamaian) dapat menghilangkan segala kesalahan

63

X. PENUTUP
Pasal 47

1. Setiap orang (warganegara) yang berusaha, segala usahanya adalah atas dirinya
2. Sesungguhnya Tuhan menyertai akan segala peserta dari piagam ini, yang
menjalankannya dengan jujur dan sebaik-baiknya
3. Sesungguhnya tidaklah boleh piagam ini dipergunakan untuk melindungi
orang-orang yang dhalim dan bersalah
4. Sesungguhnya (mulai saat ini), orang-orang yang bepergian (keluar), adalah
aman
5. Dan orang yang menetap adalah aman pula, kecuali orang-orang yang dhalim
dan berbuat salah
6. Sesungguhnya Tuhan melindungi orang (warganegara) yang baik dan bersikap
taqwa (waspada)
7. Dan (akhirnya) Muhammad adalah Utusan Allah, semoga Allah
mencurahkan shalawat dan kesejahteraan atasnya

Piagam Madinah ini menurut riwayat Ibnu Ishaq dalam kitabnya


Ibnu Hisyam, Sirah an-Nabawiyah, cet.i, juz iii, hal. 31-35, Dar al-Jayl,
Beirut, 1411; Juga bisa dilihat dibeberapa kitab sbb: Ahmad bin Abd alHalim bin Taymiyyah al-Harni, Abu al-Abbas, Ash-Shrim al-Masll al
Sytim ar-Rasl, cet I, juz ii, hal. 129-133, Dar Ibn Hazm, Beirut. 1417;
Ibn Katsir, al-Bidyah wa an-Nihyah, juz iii, hal. 224-226, Maktabah alMaarif. tt; Abu Ubaid al-Qasim, al-Gharb, no. 517; Ibn Ishaq, Srah Ibn
Ishaq, hal. 101; Ibn Zanzawayh, al-Amwl, dari az-Zuhdi, lembaran no
70A-71B, Umar al-Mushili, Waslt al-Mutabidn, juz viii, hal. 32B; Srah
Ibn Sayyid an-Ns (dari Ishhaq dan Ibn Khutsaymah), juz I, hal. 198.
64

Penggalan-penggalan Piagam Madinah itu banyak terdapat dalam kitabkitab hadits shahih. Dalam analisis ini didasarkan pada teks Piagam
madinah yang tercantum dalam Sirah an-Nabawiyyah Ibn Hisyam.
Disistematisasikan ke dalam pasal-pasal oleh Dr. AJ Wensinck
dalam bukunya Mohammad en de Yoden le Medina (1928), pp. 74-84,
dan W. Montgomery Watt dalam bukunya Mohammad at Medina (1956),
pp. 221-225

65

Dalam melaksanakan nilai-nilai agama, bagi seorang kyai bukan


hanya seagai tuntutan tetapi lebih condong digunakan sebagai uswah
(tauladan), artinya nilai-nilai agama tidak banyak disebarkan/disampaikan
melalui pidato atau diskusi, tetapi nilai itu dicerminkan dengan sikap dan
prilaku dalam kehidupan sehari-hari dan kelak dari uswah kyai itulah yang
akan tertanam pada diri seorang santri dan akan dibawa oleh santri
sampai dia pulang ke kampungya, hingga akhirnya berkembang jadi
tradisi dalam masyarakatnya sendiri. Inilah yang disebut dengan
transfirmasi nilai-nilai kepesantrenan melalui uswah atau tauladan
seorang kyai sebagai pengasuhnya. Nilai-nilai yang ditransformasikan itu
ideologisasi Islam NU, yaitu karakteristik Ahlu al-Sunnah wa al-Jamaah
(aswaja). Karakteristik aswaja inilah yang paling menonjol dalam
keseharian sikap kyai, Jika sekarang banyak kelompok yang mengaku
dirinya termasuk aswaja, maka mereka harus membuktikannya dalam
praktik keseharian bahwa ia benar-benar mengamalkan sunnah-sunnah

66

Rasulullah Saw. dan para sahabatnya. Sebagaimana Abu Said al-Khadimi


berkata;

Artinya: (Jika ada yang bertanya) semua kelompok mengaku dirinya sebagai
golongan ahlu al sunnah wa al-jamaah itu bukan hanya klaim semata, namun
harus diwujudkan (diaplikasikan) dalam perbuatan dan ucapan. Pada zaman kita
sekarang ini perwujudan itu dapat dilihat dengan mengikuti apa yang tertera dalam
hadits-hadits yang shahih, seperti shahih al-Bukhori, Shahih Muslim dan kitabkitab lainnya yang telah disepakati validitasnya. (al-Bariqah Syarh alThariqah, hal.111-112)

Untuk itu, Ahlu al-Sunnah wa al-Jamaah merupakan ajaran yang


sesuai dengan Rasulullah Muhammad Saw. dan para sahabatnya seperti
yang diupayakan oleh kyai untuk terus ditransformasikan dan itu tidak
bisa hanya sebatas klaim semata, namun harus dibuktikan dalam sikap
dan tingkah laku sehari-hari. Maka untuk membaca uswah tersebut perlu
diawali dengan memahami ideologisasi terlebih dahulu.

67

Aswaja merupakan singkatan dari kata ahlun, al-Sunnah, dan alJamaah, dan dari situ ada tiga kata yang membentuk istilah tersebut;
dimana ahlun berarti keluarga, golongan atau pengikut, al-Sunnah,
berarti segala sesuatu yang telah diajarkan oleh Rasulullah Saw.
meliputi perkataan, perbuatan dan ketetapannya, dan al-Jamaah yakni
apa yang telah disepakati oleh para sahabat pada masa Khulafa alRasyidin (Khalifah Abu Bakar al-Shiddiq ra., Sayyidina Umar bin
Khattab ra., Sayyidina Utsman bin Affan ra., dan sayyidina Ali bin Abi
Thalib krw). Sehingga secara istilah dapat dikatakan bahwa aswaja
adalah golongan yang secara perkataan, sikap dan prilaku sesuai
dengan ajaran Rasulullah dan apa-apa yang menjadi kesepakatan
pada masa Khulafau al-Rasyidin.
Sebagaimana telah dikemukakan oleh Syekh Abdul Qadir alJailany sebagai berikut :

68

Artinya: Yang dimaksud dengan al-Sunnah adalah apa yang telah


diajarkan oleh Rasulullah Saw. (meliputi ucapan, perilaku serta ketetapan
beliau). Sedangkan pengertian al-Jamaah adalah segala sesuatu yang telah
menjadi kesepakatan para sahabat Rasulullah Saw. Pada masa al Khulafa
al Rasyidin yang empat yang telah diberi hidayah (mudah-mudahan Allah
Swt. memberi rahmat pada mereka semua). (Al-Ghunyah li Thalibi
Thariqi al-Haqq juz I hal.80)

Selanjutnya, Syaikh Abi al-Fadhl bin Abdus Syakur juga


mengatakan :

Artinya: Yang disebut Ahlu al-Sunnah wa al-Jamaah adalah orangorang yang selalu berpedoman pada sunnah Nabi Saw. dan jalan para
sahabatnya dalam masalah aqidah keagamaan, amal-amal lahiriyah serta
akhlaq hati. (Al-Kawakib al-Lammaah hal. 8-9)

Jadi aswaja merupakan ajaran yang mengikuti semua yang telah


dicontohkan oleh Rasulullah Saw. dan para sahabatnya. Sebagai
pembeda dengan yang lain ada tiga ciri khas kelompok ini, yakni tiga
sikap yang selalu diajarkan oleh Rasulullah Saw. dan para sahabatnya,
ketiga prinsip tersebut adalah al-tawassuth yaitu sikap tengah-tengah,
sedang-sedang, tidak ekstrim kiri ataupun ekstrim kanan, prinsip altawazzun (seimbang dalam segala hal termasuk dalam penggunaan
dalil aqli dan dalil naqli) dan al-Itidal (tegak lurus). Ketiga prinsip
tersebut dapat dilihat dalam masalah keyakinan keagamaan (teologi),
perbuatan lahiriyah (fiqih) serta masalah akhlaq yang mengatur gerak
hati (tasawuf). Dalam praktek keseharian Kyai Sholeh, ajaran ahlu al-

69

Sunnah wa al-Jamaah dibidang teologi tercerminkan dalam rumusan


yang digagas oleh Imam al-Asyari dan Imam al-Maturidzi, sedangkan
dalam masalah perbuatan badaniyah terwujud dengan mengikuti
madzhab empat, yakni madzhab Imam Hanafi, Imam Maliki, Imam
Syafii, Imam Hambali, dan dalam tasawuf mengikuti rumusan Imam
Junaidi al-Baghdadi dan Imam Hamid al-Ghazali.

6.1. Tiga Sendi Utama Ajaran Islam


Seperti yang sering dijelaskan, bahwa ada tiga pedoman ajaran
yang menjadi standar ahlu al-Sunnah wa al-Jamaah, yakni tauhid
(aqidah), fiqih dan tasawuf, ini seolah-olah ingin mengatakan bahwa
inti ajaran dalam agama Islam adalah tiga hal tersebut. Uraian ini
sekaligus akan memberikan gambaran dasar sikap dalam keseharian
Kyai.

70

Artinya: Dari Umar bin Khattab Ra., dia berkata: Pada suatu hari
kami berada bersama Rasulullah Saw., tiba-tiba datang kepada kami
seorang laki-laki yang bajunya sangat putih, rambutnya sangat hitam,
sama sekali tidak nampak pada dirinya tanda-tanda kalau dia telah
melakukan perjalanan jauh, dan tak seorang pun dari kami yang
mengenalnya.
Kemudian laki-laki itu duduk di hadapan Nabi Saw. sambil
menempelkan kedua lututnya pada lutut Rasulullah Saw., sedangkan
kedua telapak tangannya diletakkan di atas paha Rasulullah Saw., lakilaki itu bertanya: Wahai Muhammad, beritahukan kepadaku tentang
Islam. Rasulullah Saw. menjawab, Islam adalah kamu bersaksi tiada
Tuhan selain Allah Swt.dan bahwasanya Muhammad adalah utusan
Allah Swt. dan hendaklah kamu mendirikan shalat, menunaikan zakat,
mengerjakan puasa pada bulan Ramadlan dan menunaikan ibadah haji
ke Baitullah jika kamu telah mampu melaksanakannya. Laki-laki itu
pun menjawab, Kamu berkata benar, Umar berkata, tentu saja kami
merasa heran kepada orang itu, sebab dia yang bertanya dan dia sendiri
yang malah membenarkan (jawaban Rasululah).
Kemudian laki-laki itu kembali bertanya, beritahukanlah kepadaku
mengenai iman!, Rasulullah Saw. menjawab Hendaklah kamu beriman
kepada Allah Swt., para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para rasulNya, beriman kepada hari akhir dan juga kepada qadar-Nya yang baik
dan yang buruk. Laki-laki itu pun menjawab, kamu berkata benar,
kemudian laki-laki itu bertanya lagi beritahukan kepada diriku
mengenai ihsan, Rasulullah Saw. menjawab Hendaknya kamu
menyembah Allah Swt. seolah-olah kamu melihat-Nya, jika kamu tidak
bisa merasa melihat-Nya, maka hendaklah kamu merasa dilihat-Nya
(Allah Swt. melihatmu). Laki-laki itu bertanya lagi beritahukanlah
kepadaku tentang hari kiamat! Rasulullah menjawab, tidaklah orang
yang ditanya lebih mengetahui dibanding orang yang bertanya,. Laki-laki
itu berkata kalau begitu beritahukanlah tentang tanda-tandanya saja!

71

Rasulullah Saw. Berkata Kalau sudah ada budak melahirkan tuannya,


kalau kamu telah menyaksikan orang yang tidak beralas kaki dan tidak
berbusana dari kalangan orang-orang melarat penggembala domba saling
berlomba-lomba mendirikan bangunan yang tinggi.
Umar berkata Kemudian orang itu pergi. Setelah itu aku (Umar) diam
beberapa saat, kemudian Rasulullah Saw. bertanya kepadaku, Wahai
Umar, tahukah dirimu siapakah laki-laki yang datang bertanya tadi?
Aku menjawab, Hanya Allah Swt. dan Rasul-Nya saja yang
mengetahui. Rasulullah Saw. lalu bersabda; sesungguhnya laki-laki itu
adalah Jibril As. Ia datang kepada kalian untuk mengajarkan agama
kepada kalian semua. (Shahih Muslim, bab Marifatil Iman
wal Islam juz 1 hal 28)

Memperhatikan hadits di atas, maka ada tiga hal penting yang


menjadi inti dari agama yang diajarkan oleh Rasulullah Saw., yakni
Islam, Iman dan Ihsan. Ketiga hal ini merupakan satu kesatuan yang
tidak dapat dipisahkan antara yang satu dengan yang lainnya, dalam
pengalaman kehidupan beragama tiga perkara itu harus diterapkan
secara bersamaan tanpa melakukan pembedaan, seorang muslim
tidak diperkenankan hanya terlalu mementingkan aspek Iman dan
Islam dan begitu juga sebaliknya, sebagaimana firman Allah Swt.

Artinya: Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam


Islam keseluruhan, dan janganlah kamu menuruti langkah-langkah
syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu. (QS. alBaqarah: 208)

72

Dan dari dalil di atas dapat kita ketahui bahwa inti ajaran Islam
adalah iman, islam dan ihsan yang harus diamalkan secara kaffah
(menyeluruh) dan dari perjalanan sejarah, secara keilmuan
berkembang dan dikolaborasi menjadi ilmu tauhid, fiqih,dan tasawuf.
Kemampuan Kolaborasi dalam bentuk tingkah laku itulah yang akan
dapat dinilai oleh masyarakat atas kedalaman ilmu seorang kyai.

6.2. Aswaja dan Perkembangan Sosial Budaya


Manusia merupakan mahluk yang diciptakan Allah SWT. dalam
bentuk yang paling sempurna (Fii ahsani taqwim, al-Thin:4)
dibandingkan dengan mahluk-mahluk yang lainnya. Manusia diberi
akal budi dan hati nurani untuk mengemban fungsi ke-khalifah-an
yaitu mengatur kehidupan untuk mewujudkan kemakmuran di muka
bumi (al-Baqarah: 30-34, al-Anam:165).
Sejarah kehidupan yang dibangun manusia telah menghasilkan
peradaban, kebudayaan dan tradisi sebagai wujud karya dan karsa
manusia dalam memenuhi kebutuhan dan tuntunan hidup yang
dihadapi dalam lingkungan negara atau wilayah tertentu. Suatu
bangsa atau suku membangun kebudayaan serta peradabannya sesuai
dengan prinsip dan nilai-nilai sosial serta pandangan hidup yang
diperoleh dari ajaran agama atau faham yang dianut, budaya atau
tradisi itu selalu mengalami perubahan baik berupa kemajuan
maupun kemunduran yang semuanya ditentukan atas dasar
relevansinya dengan kehidupan dan kemanusiaan. Pertemuan antara
berbagai peradaban, kebudayaan dan tradisi merupakan kenyataan
dan dialektika sejarah yang menyebabkan terjadinya saling
mempengaruhi, percampuran, serta perbenturan yang sesuai dengan
daya tahan dan daya serap masing-masing, sebagai contoh adalah
peradaban Islam di Indonesia yang muncul sejak awal abad ke-7

73

masehi sampai perkembangannya merupakan salah satu kenyataan


sejarah tersebut.
Salah satu faktor penentu berkembangnya peradaban Islam
adalah faham golongan ahlu al-Sunnah wa al-jamaah, aswaja sebagai
paham dengan metode yang komperehensif, memadukan antara
wahyu dan akal yang mencakup seluruh aspek kehidupan yang
mengandung prinsip moderat (tawasuth), menjaga keseimbangan
(tawazun) dan toleransi (tasamuh). Metode pemahaman dan pemikiran
(manhaj al-fikr) ini lahir dari proses dialektika sejarah pemikiran dan
gerakan yang intens dengan mengikuti tuntunan wahyu dan tuntunan
akal secara proporsional yang sesuai dengan fitrah kemanusiaan dan
hukum kehidupan (sunnatullah). Ahlu al-Sunnah wa al-Jamaah
menghindari pertentangan politik dan fanatisme kelompok yang
masuk dalam pemahaman keagamaan, dengan prinsip dan watak
dasarnya itulah ahlu al-Sunnah wa al-Jamaah dapat diterima dan
berkembang di semua lapisan masyarakat serta ikut berperan
memajukan kehidupan yang penuh kedamaian dalam wahana
kebangsaan dan kenegaraan bersama peradaban, kebudayaan, dan
tradisi lain.
Sebagai metode pemahaman dan pemikiran keagamaan yang
fitri, ahlu al-sunnah wa al Jamaah mengaktualisasikan diri dalam
pengembangan peradaban, kebudayaan dan tradisi yang konstruktif
(al-amru bi al-maruf) serta mencegah perubahan yang destruktif (al
nahy mabadi al khamsah: hifzh al-din, hifzh al-nafs, hifzh al-aql, hifzh alnasl, hifzh al-mal) demi terwujudnya kemaslahatan di muka bumi.
Dengan prinsip menyebarkan rahmat kepada seluruh alam
semesta (rahmat li al-alamin) aswaja memandang realitas kehidupan
secara inklusif (semua, menyeluruh) dan substansif (independen,
hakiki). Secara mutlak ahlu al-Sunnah wa al-Jamaah tidak mau
terjebak dalam klaim kebenaran dalam dirinya juga tidak dalam
74

kelompok-kelompok lain (tidak membedakan suku, ras dan budaya)


karena mengaku atau mengklaim kebenaran hanya miliknya sendiri
dan memandang pihak lain salah apalagi memaksakan pendapatnya
kepada orang lain adalah merupakan sikap otoriter dan pada
gilirannya akan mengakibatkan perpecahan, pertentangan dan konflik
yang membuat kerusakan dan kesengsaraan.
Pluralitas (kemajemukan) dalam kehidupan ini adalah
merupakan rahmat yang harus dihadapi dengan sifat taaruf,
membuka diri dan melakukan dialog secara kreatif untuk menjalin
kebersamaan dan kerjasama dengan saling menghormati dan saling
membantu.
Ahlu al-Sunnah wa al-Jamaah sebagai metode pemahaman dan
pemikiran yang dirumuskan dalam wacana keagamaan dalam
penjabaran secara praktis masih banyak terjadi khilafiyah dan
mengalami distorsi (pemutarbalikan fakta atau kenyataan) baik oleh
para penganutnya maupun dikalangan orang luar. Pemahaman yang
memadukan antara wahyu dan akal, teori kasab, serta tekanan ajaran
zuhud (uzlah), qanaah dan sebagainya telah disalahfahami yang
kemudian diasumsikan menjadi penyebab kemunduran karena
tumbuhnya sikap determinasi dan kepasrahan dalam kehidupan
keduniaan, padahal ajaran akidah itu lebih bersifat penataan
hubungan hamba dengan Tuhan. Ahlu al-Sunnah wa al-Jamaah
mendorong manusia untuk menjadi pribadi muslim yang saleh,
kreatif, dinamis dan inovatif agar mampu menjalankan fungsi
kekhalifahan dengan tulus demi pengabdian dan kebudayaan yang
maju, memanfaatkan sumber daya alam yang tersedia dengan
mendayagunakan potensi intelektualitas dan intuisinya secara
maksimal dan bertanggung jawab sebagai amal saleh yang
menentukan nilai dirinya dihadapan Allah Swt.

75

Prinsip ahlu al-Sunnah wa al-Jamaah dalam mengembangkan


kebudayaan dan peradaban didasari sikap yang seimbang, menjaga
kesinambungan antara hal-hal baik yang sudah ada dan mengambil
hal-hal baru yang lebih baik (al-mukhafazhah ala al-qadim al-shalih wa
al-akhdzu bil jadid al-ashlah) dan dengan dasar itulah ahlu al-Sunnah
wa al-Jamaah memandang peradaban dan kebudayaan modern yang
baru muncul atau baru lahir sebagai hasil inovasi dan kreatifitas
manusia atas dasar rasionalisme dalam menjawab tantangan yang
dihadapi dalam bentuk nilai-nilai, ilmu pengetahuan dan teknologi
dengan kata lain ahlu al-Sunnah wa al-Jamaah memandang peradaban
dan kebudayaan modern dapat dimanfaatkan sepanjang tidak
mengakibatkan bahaya dan tidak bertentangan dengan sendi-sendi
dasar akidah dan syariat Islam, lagi pula semua yang ada dalam
peradaban dan kebudayaan modern baik berupa etos kerja,
kedisiplinan, orientasi ke depan, dorongan penggunaan teknologi
canggih merupakan warisan kemanusiaan yang membawa manfaat
untuk kesejahteraan hidup manusia.
Dalam bab ini akan diuraikan beberapa sikap yang menjadi
transsetter kyai dalam menyikapi persoalan di masyarakat dengan
mengedepankan prinsip multikultural yang di gali dari negosiasi teksteks klasik dengan konteks kekinian.

6.3. Penerapan Hukum Fiqih


Setiap muslim mukallaf dituntut melaksanakan semua perintah
agama dan menjauhi larangan-larangannya, namun kita sadari bahwa
pada setiap masa masing-masing orang mempunyai kekuatan dan
kelemahan baik dari sisi fisik maupun keimanannya, bagaimanakah
sikap agama melihat kenyataan seperti itu?

76

Allah Swt. memang menciptakan manusia sesuai dengan


kadarnya masing-masing, dari sisi hukum syariat terdapat dua
tingkatan yaitu hukum yang berat dan yang ringan, dengan demikian
qoul yang berat untuk mereka yang kuat dan yang ringan untuk
mereka yang lemah. Hal ini sesungguhnya telah dijelaskan di dalam
kitab al-Mizan al-Kubra :

Artinya: Sebagaimana tidak diperbolehkan mencela perbedaan di antara


syariat-syariat yang dibawa para Nabi, begitu juga tidak diperbolehkan
mencela pendapat-pendapat yang dicetuskan para imam Mujtahid, baik
dengan metode ijtihad maupun istihsan. Saudaraku! Lebih jelasnya
engkau perlu mengerti, bahwa syariat itu dilihat dari perintah dan
larangannya dikembalikan pada dua kategori yaitu ringan dan berat.
Lebih jelasnya hal itu dicantumkan pada al-Mizan. Dengan demikian
orang-orang mukallaf itu dipandangkan dari segi keimanan dan fisiknya,
dalam setiap zamannya, tidak terlepas dari dua kategori yaitu orang yang
lemah dan orang yang kuat, dan barang siapa tergolong kuat, maka ia
mendapatkan khitob berupa qoul yang galak, dan barang siapa yang
tergolong lemah maka ia mendapatkan khitob berupa qoul yang gampil.
(al-Mizanu al-Kubra, hal. 3)

Dari keterangan tersebut di atas maka dalam menerapkan


suatu hukum harus sesuai dengan syariat ajaran Islam yang di
dalamnya tidak ada kekerasan dan paksaan.

77

6.4. Hukum Berpindah-pindah Madzhab


Bagaimanakah hukum berpindah-pindah dalam mengikuti
pendapat madzhab, semisal penganut madzhab Syafii memilih atau
mengikuti qoul yang ringan dari qoul atau pendapat selain dari
madzhab Imam Syafii atau sebaliknya?
1. Fasiq, apabila untuk mencari kemudahan-kemudahan hukum
saja.

Artinya: (Faidah) jika orang awam berpegang teguh pada suatu


madzhab maka wajib mengikutinya, jika tidak atau berpindah madzhab
maka wajib mengikuti madzhab yang jelas dari salahsatu madzhab empat
(madzhab Hanafi, Maliki, Syafii dan Hambali) tidak kepada madzhab
yang lainnya, jika orang awam yang sudah mengikuti madzhab yang awal
menginginkan berpindah ke madzhab yang lain (hukumnya boleh) dengan
syarat harus mengikuti pendapat madzhab tersebut satu rumpun atau satu
qodhiyah secara utuh, atau hanya ikut dalam beberapa jenis masalah saja
dengan syarat tidak mengambil atau memilih pendapat yang ringan dari
setiap madzhab yang lebih mudah, jika begitu (hanya memilihi yang
ringan-ringan saja) maka termasuk perbuatan fasik (menurut pendapat
yang terpecaya). (Fatkhu al-Muin halaman 138)

2. Boleh secara mutlak, dalam artian berpindah madzhab untuk


suatu kebutuhan tertentu atau berpindah-pindah madzhab
hanya untuk mencari suatu kemudahan saja, asalkan tidak
melakukan talfiq. Talfiq adalah menghimpun atau bertaqlid
78

dengan dua imam madzhab atau lebih dalam satu perbuatan


yang memiliki rukun, bagian-bagian yang terkait satu dengan
lainnya yang memiliki hukum yang khusus, kemudian mengikuti
satu dari pendapat yang ada. Hal ini diterangkan dalam kitab
Ianah al-Thalibin sebagai berikut :

Artinya: Ibnu Jamal berkata ketahuilah sesungguhnya qoul yang lebih


sahih menurut pendapat ulama periode akhir seperti Syekh Ibnu Hajar
dan yang lainnya, beliau berpendapat sesungguhnya boleh berpindah dari
madzhab satu ke madzhab yang lainnya walaupun dengan keinginan
untuk mencoba, baik itu berpindah selamanya atau berpindah dalam
keadaan tertentu, jika orang awam menfatwakan atau memberikan
hukum dan mengamalkan dengan sebaliknya hukumnya boleh selagi tidak
menetapkan talfiq. (Ianah al-Thalibin, juz 4: 217)

6.5. Bidah dalam Khazanah Literatur Fikih


Belakangan ini semakin gencar tudingan bidah pada seseorang
atau kelompok tertentu, yang satu menyatakan bahwa kelompok
yang tidak sefaham dengannya sebagai ahlu bidah sehingga mereka
tersesat dan berhak masuk neraka, sementara kelompok lain juga
menuding kelompok yang lainnya lagi mengembangkan bidah.
Saling tuding seperti inilah kemudian menyebabkan perpecahan di
kalangan umat Islam. Apa sebetulnya makna bidah itu? dan apakah
memang benar bidah itu selalu berkonotasi negatif sehingga harus
dihilangkan dari muka bumi ini?

79

Pendapat al-Imam Abu Muhammad Izzuddin bin Abdissalam,


mengenai pengertian bidah adalah sebagai berikut :

Artinya: Bidah adalah mengerjakan sesuatu yang tidak pernah dikenal


(terjadi) pada masa Rasulullah Saw. (Qawaid al-Ahkam fi
Mashalih al-Anaam, juz II: 172)

Dalam khazanah pemahaman literatur fiqih, bidah secara


garis besarnya dapat dikelompokkan menjadi dua bagian yaitu
bidah hasanah (baik) dan bidah sayyiah (jelek), sebagaimana yang
dijelaskan oleh Imam Syafii;

Artinya: Sesuatu yang diada-adakan itu ada dua macam. Pertama,


sesuatu yang baru itu menyalahi al-Quran, sunnah Nabi Saw., atsar
sahabat atau ijma ulama, hal ini disebut dengan bidah dhalalah. Dan
kedua, jika sesuatu yang baru tersebut termasuk kebajikan yang tidak
menyalahi sedikit pun dari hal itu (al-Quran, al-Sunnah dan Ijma),
maka perbuatan tersebut tergolong perbuatan baru yang tidak dicela.
(Fathu al-Bari, juz 17 hal.10)

Sedangkan dalam Qawaid al-Ahkam fi Mashalih al-Anam, Juz I,


hal. 173 telah dijelaskan lebih lanjut secara terperinci bahwa sebagian
besar ulama membagi bidah menjadi lima macam:
1. Bidah Wajibah, yakni bidah yang dilakukan untuk mewujudkan
hal-hal yang diwajibkan oleh syara seperti mempelajari ilmu

80

2.

3.
4.
5.

Nahwu, Sharaf, Balaghah, dengan alasan karena hanya dengan


ilmu-ilmu inilah seseorang dapat memahami al-Quran dan
hadits Nabi Muhammad secara sempurna.
Bidah Mandubah, yakni segala sesuatu yang baik tapi tak pernah
dilakukan pada masa Rasulullah Saw. misalnya, shalat tarawih
secara berjamaah, mendirikan madrasah dan pesantren.
Bidah Mubahah, seperti berjabat tangan setelah shalat dan
makan-makanan yang lezat.
Bidah Muharramah, yakni bidah yang bertentangan dengan syara
seperti madzhab Jabariyah dan Murjiah.
Bidah Makruhah, seperti menghiasi masjid dengan hiasan yang
berlebihan.

Dari sini dapat diketahui bahwa bidah terbagi menjadi dua,


pertama bidah hasanah yakni bidah yang tidak dilarang dalam
agama karena mengandung unsur yang baik dan tidak bertentangan
dengan ajaran agama, masuk dalam kategori ini adalah bidah
wajibah, bidah mandubah dan bidah mubahah, salah satu contoh
dalam konteks ini seperti perkataan Sayyidina Umar bin Khattab ra.
tentang jamaah shalat tarawih yang beliau laksanakan :

Artinya: Sebaik-baik bidah adalah ini (yakni shalat tarawih dengan


berjamaah). (al-Muwatha [231])

Contoh bidah hasanah antara lain adalah khutbah yang


diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia, membuka suatu acara
dimulai dengan membaca basmalah dibawah seorang komando,
menambah bacaan subhanahu wataala yang disingkat dengan Swt.
setiap ada kalimat Allah Swt. dan sallaAllahu alaihi wasallama yang
diringkas Saw. setiap ada kata Muhammad, berkendara ke tempat
atau majlis terpuji dengan naik mobil Alphard, mengendara sepeda
motor ke sekolah, melihat acara pengajian dengan televisi, membuat

81

buku Galak Gampil dengan sarana komputer, mesin cetak,


mengabadikan momen-momen tertentu dengan kamera digital,
makan es krim, serta masih banyak lagi perbuatan lainnya yang
belum pernah ada pada masa Rasulullah Saw. yang tidak
bertentangan dengan ajaran Islam.
Bidah yang kedua adalah Bidah Sayyiah atau bidah dhalalah,
yaitu bidah yang mengandung unsur negatif dan dapat merusak
ajaran dan norma agama Islam. Bidah Muharromah dan Makruhah
dapat digolongkan pada bagian yang kedua ini, dan inilah yang
dimaksud oleh sabda Nabi Muhammad Saw. :

Artinya: Dari Aisyah ra, ia berkata, sesungguhnya Rasulullah Saw.


Bersabda: Barang siapa yang melakukan perbuatan yang tiada perintah
kami atasnya, maka amal itu ditolak. (Sahih Muslim, bab Idza
Ijtahada al-Amal)

Dengan adanya pembagian ini dapat disimpulkan bahwa tidak


semua bidah itu dilarang dalam agama, sebab yang tidak
diperkenankan adalah perbuatan yang dikhawatirkan menghancurkan
sendi-sendi agama Islam, sedangkan amaliyah yang akan menambah
syiar dan daya tarik agama Islam tidak dilarang, bahkan untuk saat ini
sudah waktunya umat Islam lebih kreatif untuk menjawab berbagai
persoalan dan tantangan zaman.

82

Shalat nawafil (sunnah) disyariatkan oleh ajaran Islam, karena


shalat sunnah di pandang perlu dan penting, sebagaimana tubuh
yang membutuhkan makanan pokok, vitamin, mineral serta zat-zat
lain agar tetap sehat dan bugar. Shalat maktubah sebagai makanan
pokok bagi jiwa sedangkan shalat sunnah sebagai tambahan vitamin
atau suplemennya.

7.1. Bilangan Rakaat Shalat Tarawih


Mengenai bilangan jumlah shalat tarawih ulama berbeda
pendapat:
a. Menurut Imam Syafii, Abu Hanifah, Imam Ahmad, dan Imam
Dawud sebanyak 20 rakaat dengan 10 salaman selain witir dan
setiap 4 rakaat 2 salaman melakukan istirahat. Berdasarkan
riwayat Imam Baihaqi dan lainnya dengan sanad yang sahih.
b. Menurut al-Qadhi Iyadh dari jumhur ulama diceritakan
sesungguhnya sahabat al-Ashwat bin Mazid mengerjakan shalat
tarawih sebanyak 40 rakaat dan shalat witir sebanyak 7 rakaat.

83

c. Menurut Imam Malik sebanyak 36 rakaat selain witir dengan


alasan karena ahli madinah mengerjakan shalat tarawih dengan
bilangan ini.
d. Menurut Imam Nafi sebanyak 39 rakaat (36 rakaat shalat
tarawih dan 3 shalat witir).
Keterangan dalam kitab al-Majmu Syarah Muhadzab bab Shalat
at-Tathawu, Juz 4, hal.38, keterangan mengenai khilaf bilangan shalat
tarawih ini juga diterangkan dalam kitab al-Mizan al-Kubra, juz I, hal.
184.

Lebih lanjut dalam kitab Subul al-Salam ada salah satu hadits
Nabi yang berbunyi:

Artinya: Diceritakan dari ibnu Abbas ra.: sesungguhnya Ibnu Abbas


berkata: Rasulullah Saw. mengerjakan shalat tarawih 20 rakaat dan shalat
witir di bulan Ramadlan. (Subul al-Salam, juz II, hal. 10)

84

Artinya: Diceritakan dari Malik dari Yazid bin Rumman. Dia berkata:
Manusia di masa Umar bin Khattab telah melakukan shalat (tarawih)
dengan 23 rakaat di bulan Ramadlan. (Tanwir al-Hawalik, hal.138)

Dengan demikian shalat tarawih sunnah dilaksanakan dengan


berjamaah, jumlah rakaatnya menurut kebanyakan ulama adalah 20
rakaat (10 salam) ditambah 3 rakaat shalat witir.

7.2. Hukum Jamaah Perempuan Ketika Berada di Samping


Barisan Jamaah Laki-laki
Tata cara shalat berjamaah bagi kaum perempuan yaitu
bertempat di belakang barisan laki-laki. Akan tetapi karena kendala
tempat, terkadang makmum perempuan dalam shalat berjamaah
berada di sebelah kiri atau sebelah kanan barisan laki-laki seperti
yang terdapat di beberapa musholla dan masjid. Lantas bagaimana
shalat jamaah perempuan tersebut? Dalam hal ini terjadi perbedaan
pandangan:
a.

Perempuan yang ikut shalat berjamaah di selain tempat


belakang itu tidak mendapatkan fadilah jamaah.

85

Artinya: Dan orang laki-laki berdiri di sebelah kanan imam dan


seterusnya, begitu juga seorang atau beberapa wanita berdiri di belakang
imam. Dan apabila laki-laki dan perempuan berjamaah secara
bersamaan, maka seorang laki-laki itu berdiri di sebelah kanan,
sedangkan perempuan berada di belakang laki-laki, hal tersebut
disunnahkan, apabila tidak sesuai dengan tatanan shaf di atas maka hal
itu tidak membatalkan shalat (akan tetapi hukumnya makruh yang
menghilangkan keutamaan jamaah atas imam dan makmumnya
walaupun karena tidak tau. (al-Mahalli, Juz I, Hal. 238-239)

b. Mendapat fadilahnya jamaah, akan tetapi tidak mendapatkan


fadilahnya tertib shof, karena sebenarnya shof perempuan itu
berada di barisan paling belakang. Sebagaimana diterangkan
dalam kitab Hasyiyah Ianah al-Thalibin juz 2 hal. 24 dan
dalam kitab Hasyiyah al-Jamal juz 1 hal. 547:

86

7.3. Shalat Berjamaah Dilakukan dengan Cepat


Para ulama seringkali menekankan agar menjalankan shalat
dengan khusyu, karena khusyu merupakan syarat diterimanya shalat
kita di sisi Allah Swt. Akan tetapi banyak diantara golongan yang
ketika shalat berjamaah baik shalat fardhu maupun shalat sunnah
dilakukan dengan cepat, terutama ketika shalat tarawih pada waktu
bulan Ramadlan. Bagaimanakah hukum shalat berjamaah yang
dilakukan dengan cepat?
a. Tidak sah,
apabila kehilangan tumaninah atau sampai
menghilangkan huruf-huruf surat al-Fatihah.

Artinya: Quthbu al-Irsyad sayyidina Abdullah bin Alwi mengatakan di


dalam kitab al-Nashaain, Hindarilah pelaksanaan shalat dengan amat
cepat seperti yang biasa dilakukan kebanyakan orang yang bodoh dalam
melakukan shalat tarawih, yang karena sangat cepatnya mungkin mereka
melewatkan sebagian rukun, seperti tanpa thumaninah di dalam ruku dan

87

sujud, atau membaca surat al-Fatihah tidak dengan sebenarnya karena


tergesah-gesa, sehingga shalat salah seorang di antara mereka tidak dinilai
oleh Allah Swt. Sebagai shalat yang berpahala, tetapi mereka tidak dianggap
meninggalkan shalat. Orang tersebut salam (menutup shalat) dengan bangga
(karena bisa melaksanakannya secara cepat). Hal itu dan sejenisnya
termasuk tipu daya syetan yang paling besar kepada orang yang beriman
untuk merusak amal ibadah yang ia kerjakan. Karena itu, berhati-hatilah
dan waspadalah wahai saudara-saudaraku. Apabila anda melaksanakan
shalat tarawih dan shalat yang lain maka sempurnakanlah berdirinya,
bacaan fatihahnya, rukunya, sujudnya, khusunya, hudhur-nya, rukunrukunnya dan adabnya. Janganlah anda menjadikan setan sebagai penguasa
diri anda, karena setan tidak mampu mengusai orang-orang yang beriman
yang bertawakkal kepada Allah Swt., maka beradalah di dalam kelompok
mereka, karena setan itu mampu menguasai orang-orang yang menolongnya
dan orang-orang yang menyekutukan Allah Swt. Janganlah anda termasuk
orang-orang ini. (Ianah al-thalibin juz 1 halaman 265)

b. Sah, selama masih memenuhi syarat dan rukun shalat itu sendiri,
misalnya terpenuhi unsur tumaninah. Sesuai dengan hadits
Nabi;

Artinya: Nabi Saw. Itu orang yang paling cepat shalatnya ketika
mengimami manusia dan orang yang paling lama ketika shalat sendiri. (alJami al-Shaghir, juz II, hal. 100)

Dan dalam kitab Bujarami Ala al-Khatib juz 2 halaman 126


disebutkan: disunnahkan bagi imam untuk mempercepat shalat
dengan tetap menjaga sunnah abad dan sunnah haiat.

88

7.4. Hukum Membaca Doa Qunut ketika Shalat Shubuh


Ada sebagian kalangan yang beranggapan bahwa membaca
doa qunut ketika shalat shubuh adalah tidak sunnah. Bahkan haram
hukumnya, karena Rasulullah Saw. tidak melaksanakannya.
Bagaimanakah sebenarnya hukum membaca doa qunut dalam shalat
shubuh? Apakah benar Rasulullah tidak melaksanakannya?

a. Pendapat Imam Abu Hanifah dan Imam Ahmad bin


Hanbal mereka berpendapat bahwa shalat shubuh itu tanpa
qunut karena Rasulullah tidak melakukan hal tersebut.

Artinya: Dari Said bin Thariq al-Asyjai ra, ia berkata; aku pernah
bertanya kepada ayahku wahai ayah! Sesungguhnya engkau pernah
mengerjakan shalat di belakang Rasulullah Saw, Abu Bakar, Umar,
Usman, Ali. Apakah mereka semua berdoa qunut ketika shalat shubuh?
Ayahku menjawab qunut itu termasuk perkara yang baru datang (HR.
Khamsah kecuali Abu Dawud) dari hadis tersebut tercetuslah hukum berupa
larangan qunut shubuh, seperti yang dipegang Abu Hanifah dan Imam
Ahmad. (Ibanah al-Ahkam, juz I, hal. 431)

89

b. Ulama Syafiiyah berpendapat bahwa hukum membaca qunut


pada shalat shubuh termasuk sunnah abad (apabila ditinggalkan
maka sunnah melakukan sujud sahwi). Sebagaimana dikatakan
oleh Imam Nawawi;

Artinya: Dalam madzhab kita (madzhab Syafii) disunnahkan membaca


qunut dalam shalat shubuh, baik ada bala (bencana, cobaan, adzab dan
lain sebagainya) maupun tidak, inilah pendapat kebanyakan ulama salaf
dan setelahnya. Diantaranya adalah Abu Bakar as-Siddiq, Umar bin
Khattab, Usman, Ali, Ibn Abbas dan al-Barra bin Azib ra. (alMajmu, Juz I, hal. 504)

Dalil yang bisa dibuat acuan adalah hadits Nabi Saw:

Artinya: Diriwayatkan dari Anas bin Malik ra. Beliau berkata;


Rasulullah Saw. Senantiasa membaca qunut ketika shalat sampai beliau
wafat. (Musnad Ahmad bin Hanbal, [12196])

Larangan qunut tersebut di atas dikomentari oleh Imam alSathi, dia berkata: Dasar hadis yang kemudian dikatakan bahwa
qunut itu perkara yang baru datang, tidak bisa dijadikan sebagai
alasan untuk melarang qunut. Hal ini sesuai dengan kaidah usul
fiqih:

90

Artinya: Dalil yang menjelaskan adanya (terjadinya) suatu perkara,


didahului oleh dalil yang menyatakan bahwa perkara tersebut tidak ada.
Sebab adanya penjelasan pada suatu dalil, menunjukkan adanya
pemberitahuan (ilmu) yang lebih pada dalil tersebut. (Syarah Nadzam
Jamul Jawami, juz II, hal. 475)

Dengan demikian membaca qunut dalam shalat shubuh


merupakan hal yang disunnahkan dan tidak bertentangan dengan
syariat.

7.5. Hukum Menerjemahkan Bacaan dalam Shalat


Shalat merupakan bentuk ibadah kepada Allah Swt. Yang
telah diajarkan oleh Nabi kepada umatnya mulai dari bentuk gerakan
sampai ketentuan doa yang dibaca. Surat al-Fatihah merupakan ayat
yang wajib dibaca dalam shalat. Doa dan ayat yang berbahasa arab
kadang menjadi kendala bagi beberapa orang untuk memahami dan
menghayati kandungan maknanya. Sehingga kemudian muncul
inisiatif untuk menerjemahkan ke dalam bahasa selain Arab.
Bagaimanakah pandangan ulama mengenai bacaan dalam shalat
yang bacaannya diterjemahkan dalam bahasa selain Arab?
Dalam persoalan ini terjadi perbedaan pendapat dikalangan
ulama:
a. Menurut pendapat Imam Syafii, Imam Malik, Imam Ahmad,
dan Imam Dawud, shalat yang dilakukan baik bagi yang paham
bahasa Arab maupun yang tidak paham, artinya dengan cara
menerjemahkan ke bahasa selain Arab hukumnya tidak boleh
dan shalatnya tidak sah.

91

b. Menurut pendapat Imam Abu Yusuf dan Muhammad adalah


harus diperinci. Shalatnya tidak sah bagi yang mampu baca alQuran dan sah bagi yang tidak mampu baca al-Quran.

c. Pendapat Imam Abu Hanifah shalatnya sah secara mutlak.

7.6. Cara Mendirikan Shalat di Pesawat


Setiap muslim mukallaf, di manapun dan kapanpun
diwajibkan untuk melaksanakan shalat lima waktu. Termasuk pada
saat berada di dalam pesawat terbang, adapun pelaksanaan shalat di
dalam pesawat terbang ada beberapa cara (kaifiyah):
1. Bagi yang masih suci (berwudlu), ada dua cara:
a. Apabila dalam keadaan bisa melaksanakan dengan posisi
berdiri, maka dilaksanakan dengan cara berdiri.
92

b. Apabila dalam keadaan tidak bisa dengan cara berdiri, maka


dilaksanakan dengan cara duduk. (al-Majmu syarah alMuhadzab, juz II, hal. 276)

2. Bagi yang hadats dan tidak ada air untuk berwudlu serta tidak
ada media tayamum, maka caranya sebagai berikut:
a. Melaksanakan niat shalat untuk menghormati waktu
(Likhurmatil Waqti) dan wajib iadah (mengulang shalatnya)
setelah menemukan alat untuk bersuci.

b. Menunda pelaksanaan shalat jika ada harapan ditemukannya


salah satu alat bersuci, seperti yang telah dikatakan oleh
Imam Al-Adhrai.

93

7.7. Shalat Ied Lebih Utama di Masjid atau di Lapangan


Pada hari raya idul fithri dan idul adha, umat islam
disunnahkan untuk melaksanakan shalat Ied (shalat hari raya),
sehingga banyak di antara mereka yang melaksanakan shalat tersebut
di masjid dan ada pula yang melaksanakan di lapangan terbuka.
Manakah yang lebih utama?

a. Shalat di Masjid lebih utama, firman Allah Swt.;

Artinya: Janganlah kamu bersembahyang dalam mesjid itu selamalamanya. Sesungguh- nya mesjid yang didirikan atas dasar taqwa
(mesjid Quba), sejak hari pertama adalah lebih patut kamu shalat di
dalamnya. Di dalam mesjid itu ada orang-orang yang ingin
membersihkan diri. Dan Sesungguhnya Allah Swt. Menyukai orangorang yang bersih. (QS. Al-Taubah:108)

Lebih lanjut dijelaskan lagi;

Artinya: Mengerjakan shalat Ied di masjid itu lebih utama


(daripada di lapangan) karena kemulyaanya, kecuali ada halangan,
seperti masjidnya sempit (tidak menampung jamaah). (Fathu alWahab, hal. 83)

b. Boleh mengerjakan shalat Ied di lapangan, karena mengikuti


Rasulullah yang mengerjakan shalat Ied di lapangan. Namun
hal itu bukan tanpa alasan, beliau melakukannya karena masjid

94

yang dibangun oleh beliau itu sempit sehingga tidak bisa


menampung para jamaah shalat Ied. Sebagaimana dijelaskan
dalam kitab Tuhfah al-Muhtaj;

Artinya: Ada yang mengatakan bahwa shalat Ied di lapangan itu


lebih utama, karena ittiba (ikut perbuatan Nabi). Namun
pernyataan ini dapat dibantah, karena sesungguhnya Nabi SAW
melakukannya karena masjid yang beliau bangun terlalu kecil
(sehingga tidak bisa menampung para jamaah). (Tuhfah alMuhtaj, juz III, hal.27)

Dengan demikian selama tidak ada hal yang bisa


menyebabkan shalat Ied dilaksanakan di lapangan, maka lebih utama
melaksanakan shalat Ied di masjid. Kecuali kalau memang masjid itu
tidak dapat menampung para jamaahnya, sehingga lebih utama
shalat Ied dilaksanakan di lapangan.

7.8. Pembagian Golongan Ahli Shalat Jumat


Orang muslim dalam masalah kesempurnaan shalat Jumat
terbagi menjadi 6 macam golongan, yaitu:
1. Orang yang wajib mengikuti shalat jumat, serta sah dan
mengesahkan shalat jumat orang lain. Yang dimaksud pada
golongan ini adalah shalat jumatnya orang-orang yang
memenuhi syarat wajib shalat jumat (Islam, baligh, berakal,
merdeka, mukim, laki-laki, sehat).
2. Orang yang wajib mengikuti shalat jumat, akan tetapi tidak bisa
mengesahkan shalat jumat orang lain. Yang dimaksud golongan

95

3.

4.

5.

6.

96

ini adalah shalat jumat orang-orang yang bermukim tetapi tidak


menetap (berpindah-pindah).
Orang yang wajib mengikuti shalat jumat, akan tetapi shalatnya
tidak sah dan tidak bisa mengesahkan shalat jumat orang lain,
yaitu orang murtad.
Orang yang tidak wajib shalat jumat, shalatnya tidak sah dan
tidak bisa mengesahkan shalat jumat, yaitu shalat jumatnya
orang kafir.
Orang yang tidak wajib shalat jumat, sedangkan shalat jumat
sah tapi tidak bisa mengesahkan shalat jumat orang lain, yaitu
shalat jumat anak kecil yang tamyiz, budak, wanita, banci,
musafir.
Orang yang tidak wajib shalat jumat, tetapi shalat jumatnya sah
dan bisa mengesahkan shalat jumat orang lain, yaitu shalat
jumat orang sakit dan orang yang udzur. (Ianah al-Thalibin, juz I,
hal.54)

7.9. Shalat Jumat bagi TNI, POLRI, Satpam dan Banser yang
Sedang Bertugas
TNI dan Polisi adalah perangkat negara yang betugas menjaga
keamanan negara dan masyarakat, namun dalam menjalankan
tugasnya terkadang ia harus meninggalkan hal-hal yang diwajibkan
agama seperti tidak dapat melaksanakan shalat jumat. Bagaimanakah
hukum meninggalkan shalat jumat karena tuntutan tugas?
Tidak diwajibkan mengikuti shalat jumat bagi aparat
keamanan baik Polisi, TNI, Satpam ataupun Banser pada saat
menjalankan tugas untuk menjaga keamanan harta benda atau
menjaga keamanan seseorang yang sedang terancam.

Artinya: Tidak diwajibkan shalat jumat bagi orang yang khawatir pada
keamanan diri dan hartanya, berdasarkan riwayat Ibnu Abbas ra.
Sesungguhnya Rasulullah Saw. bersabda Barang siapa mendengarkan
adzan dan dia tidak menjawabnya maka tidak dianggap shalat baginya,
kecuali karena udzur. Sahabat bertanya, Apakah udzurnya Ya
Rasulallah Swt.? Rasulullah menjawab Udzurnya adalah khawatir atau
sakit. (al-Muhadzab, juz I, hal.109)

97

Khutbah merupakan rukun shalat jumat yang dilakukan


dengan tujuan untuk mengajak kepada para jamaah untuk selalu
meningkatkan keimanan dan ketaqwaan kepada Allah Swt. sehingga
perlu adanya pemahaman pada para jamaah tentang isi yang akan
disampaikan. Bagaimanakah menerjemahkan khutbah dengan bahasa
Indonesia selain rukun khutbah tersebut? Dalam hal ini terjadi
perbedaan pandangan, sebagai berikut :
a. Sebagian ulama memandang khutbah jumat yang disampaikan
dengan bahasa Indonesia (selain bahasa Arab) dianggap tidak
mencukupi keabsahannya karena dinilai sebagai laghwun bahkan
dianggap memutus rukun-rukun khutbah.
b. Ulama Syafiiyah sepakat bahwa diperbolehkan menerjemahkan
selain rukun khutbah, asal tetap pada prinsip mengajak kepada
kebaikan dan tidak keluar dari tujuan khutbah sebagaimana
diterangkan dalam al-Bujairimi, juz I, hal.389.

98

Artinya: Yakni seandainya antara rukun-rukun khutbah


memggunakan selain bahasa Arab boleh saja, (Imam Ramli berpendapat)
selama pemisahan dengan selain bahasa Arab itu tidak panjang. Jika
pemisahan tersebut panjang maka tidak boleh karena dapat merusak
ketersambungan khutbah sama seperti diam dalam waktu yang lama di
antara rukun-rukunnya. Sesungguhnya khutbah selain bahasa Arab itu
dianggap gurauan yang tidak punya nilai, karena khutbah dengan selain
bahasa Arab tidak mencukupi selama ia (khotib) mampu berbahasa
Arab. Menurut hukum qiyas penggunaan selain bahasa arab itu
diperkenankan secara mutlak, dan perbedaan khutbah selain bahasa arab
dengan diam adalah sesungguhnya dalam diam itu menunjukkan
berpaling dari khutbah secara keseluruhan, sedangkan khutbah selain
bahasa arab mengandung nasehat maka tidak keluar dari pengertiannya
sebagai khutbah. (Al-Bujairimi, juz I, hal.389)

99

Berdoa atau memohon kepada Allah Swt. merupakan inti


ibadah bagi umat Islam dengan tidak memandang derajat dan
pangkat. Semuanya diperintahkan supaya memperbanyak berdoa
kepada Allah, memohon ampunan, memohon keselamatan dunia
akhirat, kesehatan jasmani dan rohani, dll.
Orang yang berdoa seolah-olah munajat (berbicara), berbisik
dengan Allah SWT., dengan memakai bahasa yang sopan, yang
merendah. Orang yang tidak mau berdoa adalah orang-orang yang
sombong, yang menganggap dirinya lebih tinggi, lebih pandai, lebih
mampu, bahkan lebih kaya dari Allah Swt. Kedudukan doa adalah
sangat tinggi dalam ibadah. Karena itu berdoa dengan khusyu dan
tawadhu sangat dianjurkan oleh agama.

100

Artinya: Dan Tuhanmu berfirman: "Berdoalah kepada-Ku, niscaya


akan Kuperkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang
menyombongkan diri dari menyembah-Ku[1326] akan masuk neraka
Jahannam dalam Keadaan hina dina. (QS. al-Mumin: 60)

Artinya: Berdoalah kepada Tuhanmu dengan berendah diri dan


suara yang lembut. Sesungguhnya Allah Swt. tidak menyukai orangorang yang melampaui batas[549]. (QS. al-Arof: 55)

Artinya: Apabila Nabi mengangkat kedua tangannya dalam


berdoa, Nabi tidak akan mengembalikan kedua tangannya sehingga
mengusapkan pada wajahnya. (Bulugh al-Maram, hal.347)

Artinya: Dari Numan bin Basyir dari Nabi Saw. Sesungguhnya


doa merupakan ibadah. (Bulughul Maram, hal.347)
Doa merupakan salah satu bentuk ibadah kepada Allah Swt.
Orang yang enggan berdoa maka termasuk orang-orang yang
sombong. Berdoa kepada Allah mempunyai kode etik atau tata
krama, salah satunya adalah dengan mengangkat kedua tangan lalu

101

mengusapkannya pada wajah ketika selesai seperti yang telah


disyariatkan Nabi.

Doa Bersama Umat Beragama


Berkumpul melakukan doa bersama antar umat beragama,
seperti yang telah dipelopori oleh Kyai Sholeh Bahruddin, beliau
mengumpulkan tokoh-tokoh dari 6 agama yang berada di Indonesia,
baik dari Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, dan Konghucu,
mereka semua berkumpul di Ponpes Ngalah dan berdoa bersama.
Bagaimanakah pandangan agama?
Dalam hal ini, terjadi beberapa pendapat di kalangan ulama:
a. Tidak boleh, karena doanya non muslim tidak diterima serta
dilarangnya tawasul dengan mereka. Diambil dari keterangan
Kitab Hasyiyah al-Jamal:

Artinya: Dan tidak boleh mengamini doa orang kafir karena doanya
tidak diterima sesuai dengan firman Allah Swt. dan doa (ibadah) orangorang kafir itu, hanya sia-sia belaka. (Hasyiyah al-Jamal, Juz II,
hal. 119)

Dan sebagaimana yang telah dikatakan oleh Imam al-Rauyani


dalam kitab Mughni al-Muhtaj:

102

Artinya: Tidak boleh mengamini doa mereka (orang kafir)


sebagaimana pendapat yang dianut oleh Imam al-Rauyani, karena doa
mereka tidak akan diterima. (Mughni al-Muhtaj, bab Shalat
Istisqo juz I, hal.438)

Artinya: Dimakruhkan keluarnya orang-orang kafir untuk ikut


shalat istisqo (meminta hujan) mengingat mereka adalah musuh-musuh
Allah, maka tidak diperkenankan untuk bertawassul dengan mereka.
Jika mereka ikut hadir dan keberadaan mereka berbeda dengan umat
Islam, maka mereka tidak perlu dilarang karena mereka datang untuk
mencari rizqi. (al-Majmu, juz V, hal.69)

b. Makruh, jika perkumpulan tersebut berada di dalam


musholla/masjid apalagi berbaurnya tersebut dilandasi hanya
sekedar berkumpul tanpa ada tujuan yang positif.

Artinya: Orang kafir, baik dzimmi maupun orang kafir selain dzimi,
itu tidak diperbolehkan menjadi satu majlis peribadatan kita, demikian
halnya ketika kita keluar. Percampuran tersebut makruh, dan mereka
harus berbeda dengan kita umat islam ketika berada dalam suatu tempat.
Hal ini karena mereka musuh-musuh Allah Swt. yang suatu saat mereka
akan ditimpa suatu adzab dengan kekufuran mereka itu dan adzab
tersebut akan mengenai kita pula. (Mughni al-Muhtaj, juz I,
hal.323)

103

Artinya: Haram mencintai orang kafir yakni adanya rasa suka dan
kecenderungan hati kepadanya. Sedangkan sekedar bergaul secara lahir
saja maka hukumnya makruh. (al-Bujairami ala al-Khatib, juz
IV, hal.291)

c. Boleh, mengamini atau memimpin doa bersama non muslim


bahkan sunnah jika caranya tidak bertentangan dengan syariat
Islam dan isi doanya memohon hidayah, pertolongan dan
menjalin hubungan baik di dunia serta bermanfaat demi
kemaslahatan umat atau untuk mencegah timbulnya sesuatu
madharat yang tidak diinginkan.

Artinya: Menurut salah satu pendapat: Boleh mengamini doa orang


kafir, bahkan sunnah jika ia berdoa agar dirinya mendapatkan hidayah
dan kita mendapatkan pertolongan. (Tuhfah Al-Muhtaj Fii
Syarhi al-Minhaj bab shalat istisqo juz 3 hal. 553)

Keterangan yang sama terdapat dalam kitab Hasyiyah alJamal, juz II, hal.119

104

Artinya: Yang kedua, tidak dilarang untuk bergaul (dengan orangorang kafir) dengan pergaulan yang baik di dunia. (Tafsir Munir
Lin Nawawi, juz I, hal.94)

Artinya: Adapun bergaul dengan mereka untuk mencegah timbulnya


madlarat yang mungkin dilakukan oleh mereka, ataupun mengambil
sesuatu manfaat dari pergaulan tersebut, maka hukumnya tidak haram.
(al-Bujairami ala al-Khatib, juz IV, hal.291)

105

10.1. Haram
Menurut Syekh Abd. Aziz bin Abdillah bin Baz hukum
merokok itu haram secara syari karena bisa membahayakan
kesehatan (mendatangkan berbagai macam penyakit yang bisa
menyebabkan kematian seseorang). Diterangkan dalam kitab:
Hukmu Syurbu al-Dukhan Wa Imamati Man, Juz 1 hal. 1-3.

Artinya: Dalil-dalil syari menunjukkan bahwa sesungguhnya merokok


itu termasuk perkara yang diharamkan karena mengandung banyak
bahaya. Allah berfirman Dan (Allah) menghalalkan bagi mereka segala

106

yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk. Maka
merokok termasuk perkara buruk yang diharamkan, menghisapnya
menyebabkan penyakit yang menyebabkan kematian. Nabi bersabda:
Tidak boleh membahayakan diri sendiri dan orang lain. Maka
membahayakan diri sendiri atau membahayakan orang lain itu dilarang,
maka menghisap dan menjual rokok itu haram.

Menurut Imam Al Bajuri merokok terkadang juga bisa haram


jika membelinya dengan uang jatah nafaqah yang dibutuhkan
keluarga atau berkeyakinan tentang bahaya merokok. Diterangkan
dalam kitab: al-Bajuri, Juz 1 hal. 343.

10.2.

Makruh

Menurut Qaul Mutamad, seperti pendapat Imam Al Bajuri,


hukum merokok itu adalah makruh. Pendapat ini diterangkan dalam
kitab: Irsyad al-Ihwan fi Bayani Ahkami Syurbi al-Qahwah Wa alDukhan hal. 37-38.

Artinya: (Qoul yang mutamad) sesungguhnya merokok itu makruh


seperti yang dikatakan oleh Imam al-Bajuri dari kitab al-buyu dari
hasyiyah syarah al-Ghoyah, perkataannya setelah menyebutkan hukum
haram, ini pendapat yang lemah, begitu juga dengan perkataan bahwa
hukumnya boleh, dan yang mutamad hukumnya makruh.

107

10.3. Mubah
Menurut Syekh Ali al-Ujhuri al-Maliki, merokok dihukumi
sebagai sesuatu yang diperbolehkan, dan pendapatnya tersebut juga
di perkuat oleh pendapat al-Arif Abdul Ghani an-Nablusy.
Diterangkan di dalam kitab: Takmilah Hasyiah Rad al-Muhtar, Juz 1
hal. 15.

10.4. Wajib
Menurut pendapat Imam al-Bajuri, hukum merokok itu
terkadang bisa wajib apabila akan terjadi bahaya jika
meninggalkannya. Hal ini diterangkan dalam kitab: al-Bajuri, Juz 1
hal. 343.

Al-Tommah al-Kubro berpendapat kalau menghukumi


haram atau makruh itu harus ada dalil karena keduanya itu adalah
hukum syari, sedangkan dalam masalah rokok ini tidak ada dalil (alQuran atau Hadits) yang menetapkannya dengan hukum haram
atau makruh, karena rokok tidaklah membuat mabuk, tidak
mengganggu pikiran juga tidak membahayakan, bahkan ada
beberapa manfaatnya sesuai dengan qoidah Al-Aslu Fil Asyyaai AlIbaakhah, karena sesuatu yang membahayakan bagi sebagian orang
tidak bisa menjadi sebab mengharamkan kepada setiap orang.
Seperti halnya madu!, pada satu sisi madu bisa membahayakan bagi
108

orang yang mengidap penyakit kuning dan memperparah


penyakitnya, tetapi di sisi lain madu bisa menjadi obat bagi penyakit
yang lain dengan keterangan yang pasti bahwa madu adalah obat.
Hal ini diterangkan dalam kitab Takmillah Hasiyah Raddul Muhtar ,
Juz 1 hal. 15.

10.5. Hukum Merokok Ketika Sedang Berpuasa


Puasa adalah menahan makan dan minum yang dimulai sejak
fajar sampai masuknya waktu adzan maghrib, akan tetapi di
kalangan masyarakat kita terdapat beberapa persoalan tentang
bagaimana hukumnya orang yang sedang berpuasa tetapi dia
menghisap rokok?
Hal-hal yang dapat membatalkan puasa salah satunya adalah
masuknya sesuatu/ain (seperti air, minuman atau makanan) melalui
beberapa lubang yang terdapat di dalam anggota tubuh yang bisa
sampai ke lambung. Begitu juga dengan asap dari hisapan rokok,
apabila seseorang sedang berpuasa dan dia menghisap rokok, maka
hukumnya adalah: membatalkan puasa, karena asap rokok itu
mengandung nikotin dan nikotin tersebut adalah termasuk kategori
ain. Diterangkan dalam kitab Bughyah al-Mustarsyidin;

109

Artinya: Tidak membatalkan puasa sampainya angin dengan indra pencium,


begitu juga menghirup angin atau asap melalui mulut (tidak membatalkan
puasa) walaupun disengaja, karena bukan merupakan ain (benda),
dikecualikan hal yang ada ainnya seperti asap rokok (tembakau) yang dapat
membatalkan puasa karena termasuk katagori memasukkan ain (nekotin) dan
juga termasuk bidah yang jelek. (Bughyah al-Mustarsyidin, bab
Syurut al-Shaum. hal.111)

Memang sebelumnya Imam Zayyadi pernah berpendapat


bahwa merokok tidaklah membatalkan puasa, karena beliau mengira
asap yang dihasilkan dari rokok itu sama saja dengan asap pada
umumnya dan tidak termasuk kategori ain, tetapi setelah beliau
mengetahui kenyataannya secara pasti bahwa asap yang dihasilkan
dari rokok tersebut ada kandungan nikotinnya, maka Imam Zayyadi
merevisi pendapatnya yang pertama yaitu: Merokok tidak
membatalkan puasa direvisi dengan pendapatnya yang kedua yaitu:
Merokok dapat membatalkan puasa. Hal ini diterangkan dalam kitab
Bughyah al-Mustarsyidin, bab Syurut al-Shaum. hal.111-112.

110

Artinya: Tidak membatalkan puasa sampainya angin dengan indra


pencium, begitu juga menghirup angin atau asap melalui mulut (tidak
membatalkan puasa) walaupun disengaja, karena bukan merupakan ain
(benda), dikecualikan hal yang ada ainnya seperti asap rokok (tembakau)
yang dapat membatalkan puasa karena termasuk katagori memasukkan
ain (nekotin) dan juga termasuk bidah yang jelek. Dan sesungguhnya Imam
zayyadi telah memberikan fatwa seperti ini (merokok ternyata membatalkan
puasa) sesudah beliau memberikan fatwa pertama yaitu tidak batalnya pusa
karena merokok, sebelum beliau mengetahui kenyataannya secara pasti.
(Bughyah al-Mustarsyidin, bab Syurut al-Shaum. hal.111-112)

111

11.1.

Hukum Toleransi dalam Pergaulan Antar Umat Beragama

Manusia tidak dapat hidup tanpa orang lain, oleh sebab itu
manusia disebut makhluk sosial yang saling membutuhkan satu sama
lain. Lebih-lebih kita hidup dalam negara yang penuh keragaman, baik
dari segi budaya, status sosial, suku, budaya maupun agama. Untuk
hidup damai dan berdampingan, tentu dibutuhkan teposeliro
(tenggang rasa) atau toleransi antara satu dengan yang lainnya.
Hukum toleransi dalam pergaulan antar umat beragama
(pluralitas agama) adalah sebagai berikut:
a. Dilarang (haram), apabila dalam berhubungan, rela (ridho) serta
meyakini kebenaran aqidah agama lain.
b. Boleh, bergaul atau menjalin hubungan baik dalam urusan dunia
saja dengan sebatas dhohir.
c. Dilarang, tapi tidak menjadi kufur yaitu: Apabila tolong
menolong tersebut disertai rasa condong terhadap keyakinan
(akidah) agama lain yang disebabkan ada hubungan kerabat atau
112

cinta, tetapi tetap beritikad bahwa agama mereka adalah bathil,


dan apabila tolong menolong yang disertai rasa condong itu
dapat membuat rasa simpati dan rela terhadap agama mereka
maka bisa keluar dari agama Islam.
d. Tidak dilarang, (bahkan dianjurkan) apabila bertujuan untuk
menghindari bahaya yang berasal dari mereka atau untuk
memperoleh kemanfaatan atau kemaslahatan.
Diterangkan dalam kitab: Tafsir Munir Lin Nawawi Juz : I Hal :
94. Kitab Al-Bab Fii Ulumi al-Kitab bab surat Ali Imran juz 5
hal.143. dan dalam Hasyiyah al-Bujairami ala al-Khatib pada
Fasal Fii al-Jizyah juz 4 halaman 291-292:

Keterangan Hasyiyah al-Bujairami ala al-Khatib pada Fasal Fii


al-Jizyah, sebagai berikut:

113

Artinya: Kata pengarang, Haram mencintai non muslim maksudnya,


cinta, senang dan condong dengan hati. Adapun berinteraksi dengan orangnon muslim dalam urusan zhahir adalah makruh, sedangkan berinteraksi
dengan mereka untuk menghindari bahaya yang berasal dari mereka atau
untuk memperoleh manfaat maka tidak dilarang. (Hasyiyah alBujairami ala al-Khatib pada Fasal Fii al-Jizyah, juz 4
halaman 291-292)

11.2. Hukum Mengucapkan Salam Kepada Non Muslim


Yang dimaksud dengan non muslim adalah orang yang bukan
beragama Islam termasuk orang Yahudi, Nasrani, Kristen, Katholik,
Hindu, Budha, Konghucu dan lain-lain. Dalam hal memberi salam
kepada orang non muslim, para ulama berbeda pandangan mengenai
hal ini:
a. Sebagian ulama berpendapat bahwa memberi salam kepada
orang non muslim itu tidak boleh.

Artinya: Tidak diperbolehkan memberi salam terhadap orang-orang kafir,


menurut pendapat (madzhab) yang sahih yang disepakati mayoritas
ulama. (Al-Majmu Syarh al-Muhadzdzab, juz 4, hal. 507)

114

Artinya: Diceritakan dari sahal bin Abi shaleh, dari ayahnya, dari Abu
Hurairah ra. Bahwa Nabi bersabda: janganlah engkau memberi salam
kepada orang Yahudi dan orang Nasrani, dan ketika kamu bertemu di
jalan, maka bergeserlah ke jalan yang lebih sempit. (Al-Majmu Syarh
al-Muhadzdzab, juz 4, hal. 508)

b. Sebagian ulama berpendapat bahwa memberi salam kepada


orang non muslim hukumnya boleh.

Artinya: Dalam kitab Hawy Imam Mawardi menceritakan bahwa


memberi salam kepada orang non muslim ada dua macam: yang pertama
tidak boleh, kedua: boleh memberi salam kepada orang non muslim, akan
tetapi dengan mengucapkan as-Salamu Alaika. Jangan mengucapkan asSalamu alaikum. Pendapat ini lemah dan langka. (Al-Majmu Syarh
al-Muhadzdzab, juz 4, hal. 507)

Artinya: Diceritakan dari Abi Umamah al-Bahali, sesungguhnya dia


tidak pernah berjalan bertemu orang yahudi kecuali dengan memberi salam
kepada mereka. Abu Umamah berkata: Rasulullah memerintah kepada
kita supaya menebar salam kepada setiap orang Islam dan orang kafir
muahad (orang kafir yang berjanji kepada pemerintah akan tunduk dan
patuh pada undang-undang Negara).

115

11.3. Hukum Mengucapkan Salam Menggunakan Selain Bahasa


Arab
Ucapan salam sering kita dengar di suatu acara atau setiap kali
bertemu sanak famili, teman maupun saudara, namun salam yang
diucapkan itu berbeda-beda, ada yang menggunakan bahasa arab
dan juga ada yang menggunakan bahasa selain bahasa arab (selain
ucapan Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh) seperti
dengan bahasa Jawa (sugeng injing, sugeng dalu), dengan bahasa
Indonesia seperti selamat pagi, selamat siang, selamat sore, selamat
malam, salam kebangsaan, salam damai, salam sejahtera atau dengan
bahasa Inggris seperti hello, good morning, good afternoon dan
masih banyak lagi bahasa yang lain.
Bagaimanakah pandangan fiqih mengenai hukum ucapan salam
selain bahasa arab tersebut? Menurut imam Rafii ada tiga wajah:
a. Tidak cukup
b. Sudah mencukupi
c. Jika mampu menggunakan bahasa arab maka tidak mencukupi,
tetapi kalau tidak bisa bahasa arab maka sudah mencukupi.
d. Sah dan wajib menjawab bagi orang yang disalami jika bisa
memahami maksudnya (pendapat yang shahih bahkan benar).
Keterangan kitab Al-Majmu, Juz 4 hal 505;

116

Artinya: Imam Rofii mengemukakan tiga pendapat tentang salam dengan


menggunakan bahasa selain bahasa arab, 1. Tidak cukup, 2. Cukup, 3. Jika
mampu menggunakan bahasa arab maka tidak cukup, tetapi kalau tidak bisa
maka cukup, sedangkan pendapat yang shahih bahkan benar salam sah
menggunakan bahasa apa saja selain bahasa arab dan wajib menjawab bagi
orang yang disalami jika bisa dipahami maksudnya baik yang mengucapkan
salam bisa bahasa arab atau tidak bisa, karena salam selain bahasa arab bisa
disebut sebagai penghormatan dan ucapan selamat, sedangkan bagi orang yang
tidak mampu mengucapkan salam maka para ulama sepakat baginya tetap
disunnahkan salam sebisanya karena darurat.

Penjelasan:
Ucapan Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuhu adalah
sebagai tanda penghormatan dan ucapan doa selamat, demikian
pula ucapan salam dengan menggunakan berbagai bahasa yang
bisa dimengerti, bahkan menurut kesepakatan para ulama bagi
orang yang tidak mampu mengucapkan salam dengan bahasa arab
disunnahkan mengucapkan salam dengan menggunakan bahasa
selain bahasa Arab yang mudah dimengerti atau mudah dipahami.

11.4. Berdiri untuk Menghormati Seseorang


Sudah tidak asing lagi di kalangan pesantren dan masyarakat
apabila ada seorang kyai atau ulama lewat mereka berdiri untuk
menghormati kyai tersebut. Penghormatan ini dilakukan untuk
menghormati ilmu kyai tersebut. Bagaimanakah hukum berdiri
untuk penghormatan tersebut?
Mayoritas ulama membolehkan berdiri untuk menghormati
seseorang yang datang. Mereka berdalil dengan firman Allah Swt.

117

Artinya: Hai orang-orang beriman apabila dikatakan kepadamu:


"Berlapang-lapanglah dalam majlis", Maka lapangkanlah niscaya Allah akan
memberi kelapangan untukmu. dan apabila dikatakan: "Berdirilah kamu",
Maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman
di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.
dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan. (Q.S. AlMujadalah:11)

Artinya: Mayoritas ulama mengatakan bahwa boleh berdiri untuk


(menghormati) orang Islam yang mulia dan baik, dengan tujuan untuk
menghormatinya. Menghormati seseorang karena agama dan kebaikannya,
termasuk perbuatan yang sangat dianjurkan oleh agama dan karena perbuatan
itu merupakan jalan untuk menambah rasa cinta dan kasih sayang. Nabi
bersabda janganlah kamu meremehkan perbuatan baik (yang dilakukan
seseorang), sekalipun (dalam bentuk) kamu berbicara kepada saudaramu
dengan wajah yang berseri-seri. (Rawaai al-Bayan Fii Tafsiri Ayat alAhkam, juz II, hal.404)

118

11.5. Jabat Tangan dengan Dicucup atau Dicium


Sering kali kita melihat seseorang saat bertemu atau berjumpa
dengan temannya yang lain mereka saling berjabat tangan, terutama di
lingkungan pondok pesantren. Etika ini juga dilakukan oleh santri saat
berhadapan dengan orang tua, kyai, atau guru mereka, namun tidak
hanya berjabat tangan, melainkan dengan mencium atau mencucup
tangan mereka yang dipandang mulia, bahkan ada sebagian dari santri
yang mencium kaki kyainya (sebagai wujud penghormatan kepada
gurunya).
Namun terkadang hal ini dipandang sebelah mata oleh sebagian
orang sebagai upaya pengkultusan atau budaya patron yang kurang
baik. Bagaimanakah sebenarnya pandangan agama terhadap perilaku
jabat tangan dengan cara mencium, mencucup tangan atau bahkan
mencium kaki?
a. Makruh, apabila
kekayaannya.

dilakukan

terhadap

orang

kaya

karena

Artinya: Imam Nawawi sepakat terhadap hukum makruh merunduk dan


mencium tangan atau kaki apalagi kepada orang kaya, berdasarkan hadits
Barang siapa bertawadhu terhadap orang kaya maka hilanglah 2/3
agamanya. Dan disunnahkan mencium atau merunduk kepada orang-orang
saleh, orang-orang yang berilmu dan orang-orang mulia. (Bughya alMustarsyidin hal 296)

b. Sunnah, apabila itu dilakukan kepada orang-orang yang mulia dan


orang yang sudah tua.

119

Artinya: Imam Nawawi sepakat terhadap hukum makruh merunduk dan


mencium tangan atau kaki apalagi kepada orang kaya, berdasarkan hadits
Barang siapa bertawadhu terhadap orang kaya maka hilanglah 2/3
agamanya. Dan disunnahkan mencium atau merunduk kepada orang-orang
saleh, orang-orang yang berilmu dan orang-orang mulia. (Bughya alMustarsyidin hal 296)

Menurut Imam al-Hafidz al-Iraqi Ra.: Mencium badan,


tangan dan kaki orang-orang saleh atau orang-orang mulia dengan
niatan untuk mendapatkan berkah (tabarukan) adalah perbuatan
baik dan terpuji.

Artinya: Imam Hafidz al-Iraqi Ra. berkata: Mencium badan, tangan atau
kaki orang-orang yang dianggap mulia dengan maksud mendapatkan berkah,
adalah perbuatan baik dan terpuji berdasarkan tujuan dan niatnya.
(Bughya al-Mustarsyidin hal 296)

Budaya mencium tangan ulama, kyai, ahli zuhud dan orang yang
sudah tua, sudah ada sejak zaman Rasulullah Saw. seperti contoh:
sahabat Abu Ubaidah mencium tangan sahabat umar, sahabat Ali
mencium tangan sahabat Abbas dan sahabat kaab mencium kedua
tangan dan lutut Nabi. Sebagaimana keterangan berikut ini:
120

Artinya: Sesungguhnya Kaab mencium kedua tangan dan lutut Nabi. (HR. Ibnu
Hibban). (Bughya al-Mustarsyidin hal 638)

11.6. Hukum Berjabat Tangan dengan Ghoiru Mahrom


a. Tidak Boleh
Menurut jumhur ulama hukum berjabat tangan antara laki-laki
dengan wanita lain (ghoiru mahrom) adalah tidak diperbolehkan.
Hal ini diterangkan dalam kitab Tanwir al-Qulub hal. 199 dan
Hasiyah al-Shawi ala Syarhi al-Shaghir.

b. Makruh

Menurut Imam Ahmad bin Hambal, hukum berjabat tangan


antara orang laki-laki dengan perempuan lain adalah makruh.
Hal ini diterangkan dalam kitab Masail al-Imam Ahmad bin
Hambal

121

c. Boleh
Menurut Syekh Muhammad Amin al-Kurdi, hukum berjabat tangan
antara orang laki-laki dan perempuan boleh tetapi dengan syarat
harus menggunakan satir seperti kaos tangan atau yang lainnya.

Dalam kitab Syarhu an-Nail Wasyifaul alil juz 9 hal 436


dijelaskan bahwa Rasulullah bersabda Barang siapa berjabat tangan
dengan orang yang alim maka fadhilahnya adalah seperti berjabat
tangan denganku (Rasulullah). Dari sinilah diperbolehkan berjabat
tangan bagi orang perempuan, bocah atau budak wanita kepada para
alim yang betul-betul menyatukan hatinya dengan Allah Swt.

122

12.1.

Definisi Aurat
Aurat adalah bagian tubuh manusia yang tabu dan dosa untuk
diperlihatkan kepada orang lain kecuali terhadap makhrom atau
suami dan istri sendiri. Secara umum aurat itu dibagi menjadi dua
yaitu;
1. Aurat Ghalidhah (yaitu Qubul, lubang depan yang biasanya
disebut dzakar atau vagina dan dubur, yaitu lubang belakang
atau anus).
2. Aurat Khafifah yaitu seluruh anggota tubuh selain dari qubul
dan dubur. Keterangan dalam kitab al-Jauhar al-Nirah, Juz 1
hal. 189.

123

12.2. Kriteria Pembagian Batasan Aurat


Pendapat berbagai Ulama dalam membagi kriteria aurat secara
terperinci diuraikan di bawah ini:
1. Aurat Laki-Laki
a. Menurut pendapat madzhab Syafiiyah, aurat orang laki-laki
di dalam shalat dan di luar shalat adalah anggota tubuh
mulai dari pusar sampai dengan lutut. Diterangkan di dalam
kitab Hasyiyah al-Jamal juz 4 hal. 12-14 dan kitab Ianah alThalibin, Juz 1 Fasal Fii Syuruti Al-Shalat.

b. Menurut Imam Zarkasyi, aurat pria di luar shalat dan ketika


berada di tempat yang sepi adalah hanya dubur dan dzakar
(alat kelaminnya) saja. Hal ini diterangkan dalam kitab:
Syarhu al-Bahjah al-Wardiyah, juz 3 hal. 467 dan kitab
Tuhfah al-Muhtaj Fii Syarhi al-Minhaj, Juz 6 hal. 243.

Menurut Imam Malik dan Imam Ahmad, aurat orang lakilaki di luar shalat adalah hanya kubul dan dubur saja.
Diterangkan dalam kitab Bughya al-Mustarsyidin bab Fii
Syuruti al-Shalat hal 34.

124

c. Dalam kitab Hasyiah al-Jamal, Juz 1 hal. 411. diterangkan


bahwa aurat orang laki-laki di dalam shalat hanyalah qubul
(dzakar) dan dubur (anus) saja. Tetapi pendapat ini hanya
khusus untuk orang laki-laki saja tidak berlaku bagi budak
perempuan (amat).

d. Dikatakan, Imam Malik juga berpendapat bahwa aurat yang


wajib ditutupi bagi orang laki-laki dan amat (budak
perempuan) adalah dua alat kelaminnya saja. (Mughni alMukhtaj, Juz 1 hal. 256.)

Dan menurut Syekh Muhyiddin Ibnu Arabi perintah


menutupi aurat itu adalah bertujuan untuk memuliakan dan
menjaga kemaluan, tidak untuk merendahkan dan
menghinakannya, karena kemaluan adalah termasuk barang
yang tabu dan jijik apabila terbuka atau telanjang dan tidak
buruk secara dhahir dan hakikinya. Barang yang harus
ditutupi itu adalah qubul (dzakar atau vagina) dan dubur
(anus) sebagaimana dijelaskan di dalam kitab: Hasyiah alShawi ala Syarhi al-Shaghir, Juz 1 bab Satru al-Aurat.

125

2. Aurat Wanita
a. Pendapat dari pengikut madzhab Syafiiyah, bahwa aurat
wanita di luar shalat ketika bersama orang laki-laki lain
adalah seluruh tubuhnya. Sebagaimana diterangkan dalam
kitab: Matan Safinah an-Najah, hal. 12.

b. Aurat orang perempuan ketika shalat adalah seluruh


tubuhnya, kecuali wajah dan dua telapak tangan. Hal ini
diterangkan dalam kitab Hasyiah Bujairami, Juz 4 hal. 74
dan Hasyiah al-Jamal, Juz 4 halaman. 12-14.

c. Menurut Imam Muzani, telapak kaki orang perempuan


dalam shalat maupun di luar shalat adalah bukan termasuk
aurat. Diterangkan dalam kitab Mughni al-Mukhtaj, Juz 1
hal. 257.

126

d. Dikatakan aurat orang perempuan ketika dalam keadaan


sendirian atau pada tempat yang sepi adalah cukup
menutupi sesuatu di antara pusar sampai dengan lutut.
Diterangkan dalam kitab Hasyiyah al-Jamal ala al-Minhaj juz
1 hal 411.

Imam al-Zarkasyi berpendapat dalam kitab Syarhu al-Bahjah


al-Wardiyah, Juz 3 hal. 467. bahwa orang perempuan ketika
dalam keadaan sendirian atau pada tempat yang sepi adalah
cukup menutupi sesuatu di antara pusar sampai dengan
lutut.

e. Dalam kitab Matan Sulam al-Safinah, hal 12-13: aurat orang


perempuan adalah dari pusar sampai dengan lututnya saja
ketika bersama muhrimnya atau ketika bersama dengan
sesama wanitanya.

127

3. Aurat Budak atau Hamba Sahaya


a. Menurut penganut madzhab Syafii aurat budak ketika
shalat adalah seperti auratnya wanita khurri (wanita
merdeka) yaitu seluruh tubuhnya kecuali kepala, wajah dan
kedua telapak tangannya, diterangkan dalam kitab: Hasyiah
Qulyubi wa Amirah, Juz 3 hal. 442. dan bisa dilihat dalam
kitab Nihayah al-Zain, hal. 46.

b. Menurut qoul yang lebih shahih seperti yang telah


diterangkan oleh Imam al-Baihaqi aurat budak ketika shalat
maupun di luar shalat adalah seperti auratnya orang laki-laki
yaitu antara pusar sampai dengan lutut.
Keterangan kitab Fathu al-Wahab, Juz 1 hal. 87 dan kitab
Hasyiah Qulyubi Wa Umairah, Juz 3 hal. 442.

4. Aurat Karyawati (Wanita Karier)


a. Aurat karyawati adalah seluruh badan, kecuali kepala.

128

b. Aurat karyawati adalah seluruh badan, kecuali anggota


badan yang tampak dan terbuka ketika bekerja, seperti
kepala, leher, lengan tangan dan ujung betis. Karena
anggota tersebut butuh untuk dibuka dan sulit untuk
menutupnya.

5. Aurat Khuntsa (orang yang mempunyai dua jenis kelamin)


a. Aurat khuntsa adalah semua badannya sebagaimana wanita
merdeka. (Hasyiyah Qulyubi bab Suruti al-Shalat juz 1)

b. Aurat khuntsa adalah semua anggota badannya, kecuali


wajah, kedua telapak tangan dan kepalanya. Diterangkan
dalam kitab Khawasyi al-Syarwani, Juz 2 hal 120.

129

12.3. Pornografi
Pornografi adalah bentuk gambar atau patung yang
menampilkan keindahan bagian tubuh yang dapat menimbulkan
syahwat bagi orang lain, baik yang terdapat pada media cetak,
elektronik, maupun pada perilaku seseorang, terutama yang
bersumber dari kaum wanita. Dan sangat disayangkan pada saat ini di
berbagai daerah di Indonesia makin banyak aksi-aksi porno, baik
penayangan dari media cetak, media elektronik maupun langsung.
Dari fenomena tersebut kemudian memunculkan RUU APP.
Dan kemudian Pro dan kontra terhadap RUU itupun semakin ramai
dan menguat. Bagaimanakah hukum melihat pornografi?
a. Haram melihat, apabila sampai menimbulkan syahwat dan
fitnah.

b. Boleh, asal tidak menimbulkan fitnah dan syahwat. (Tuhfah alMuhtaj, juz 9, hal. 20 - 21)

Terlepas dari pro-kontra di atas, para ulama sepakat melarang


untuk mengeksploitasi keindahan tubuh di depan public terutama
bagi kaum hawa, hal itu menunjukkan bahwa agama sebenarnya lebih
menjunjung tinggi kehormatan manusia.
130

Pada zaman sekarang memang lebih marak dengan yang


namanya pergaulan bebas, sehingga seakan-akan Negara kita punya
nilai kebebasan tanpa adanya moral, bahkan masyarakat Indonesia
yang biasa dikenal kental dengan adat ketimurannya, sedikit demi
sedikit mulai luntur, karena semakin hebatnya pengaruh, transformasi
budaya luar.
Pada suatu forum, misalnya acara ulang tahun atau pesta-pesta
yang lain sering terlihat dalam acara tersebut banyak bercampurnya
antara laki-laki dan perempuan, yang notabene adalah remaja.
Sehingga para santri merasa sangat tabu akan hal itu. Bagaimanakah
hukum menghadiri suatu acara atau pesta yang demikian itu?
Hukum berbaurnya laki-laki dan perempuan:
a. Haram dan berdosa apabila menghadiri acara tersebut jika
nantinya dapat menimbulkan fitnah. Keterangan kitab Isadul
Rafiq:

131

Artinya: Sebagian perkara yang sangat diharamkan dan


dikhawartirkan adalah bercampurnya laki-laki dan perempuan dalam
tempat perkumpulan yang dapat menimbulkan fitnah. (Isad alRafiq hal. 67)

b. Makruh, bilamana menilai kehadirannya dalam acara tersebut


timbul rasa khawatir atau takut terkena fitnah/berdampak
negatif.

c. Boleh menghadiri acara tersebut jika tidak menimbulkan fitnah


dan tentunya berdampak positif atau memberikan hal yang
lebih baik.
Berbaurnya laki-laki dan perempuan tidak dipermasalahkan jika
tidak melanggar aturan agama dan norma-norma yang berlaku,
sehingga pergaulan mereka memang merupakan hal yang wajar.
Sebagaimana keterangan dalam kitab Isadur Rofiq hal :136.

132

13.1.

Hukum Tindik bagi Laki-Laki


Sering terlihat di sebagian kalangan dan kadang menjadi tradisi
atau trend menindik (melubangi) hidung atau telinga guna
memasang anting atau sejenisnya baik laki-laki maupun perempuan.
Bagaimanakah pandangan fiqih apabila orang laki-laki
menindik hidung atau telinga?
a. Haram
mutlak
bagi
anak
atau
orang
laki-laki
menindik/melubangi hidung atau telinganya, menurut Ulama
Syafiiyah

Artinya: Haram mutlak menindik (melubangi) hidung, para ulama sepakat


atas keharaman menindik telinga anak laki-laki yang masih kecil guna
memasang anting, sedangkan pada anak perempuan yang masih kecil menurut
qoul aujah juga haram sebab hal itu menyakiti sebelum ada keperluan.
Ianah At-Thalibin, Juz 4 hal 175 178.
b. Makruh bagi anak laki-laki yang masih balita, menurut sebagian

Ulama Hambaliyah.

Artinya: Dalam kitab riayah karangan pengikut madzhab Hambali


menyatakan boleh menindik anak perempuan yang masih kecil, sebab
bertujuan sebagai perhiasan, sedangkan pada anak laki-laki yang masih kecil
hukumnya makruh.

133

c. Boleh, menurut Imam Zarkasyi, melubangi telinga laki-laki yang

masih balita.

Artinya: Imam Zarkasyi memperlobehkannya berdasarkan hadits Ummi


Zarin di dalam hadits Shahih. Fatwa-fatwa Syech Qodikhon pengikut
Madzhab Hanafi, menyatakan bahwa tidak mengapa melakukan hal itu
sebab pernah dilakukan pada zaman jahiliyah, sedangkan Nabi Saw. tidak
mengingkarinya.

Menindik telinga bagi perempuan kebanyakan ulama tidak


melarang karena hal itu ada hak baginya untuk memperindah dan
menghiasi dirinya. Asalkan saat menindik tidak menimbulkan
dampak negatif.

Artinya: Sedangkan menyakiti demi untuk perhiasan yang dapat


menimbulkan rasa cinta suami pada istrinya itu sangat ringan dan tidak
masalah sebab ada unsur kemaslahatan. (kitab Ianah At-Thalibin, Juz 4
hal 175 178).

134

13.2. Hukum Tato


Di kalangan remaja sering kita jumpai banyak para remaja yang
bertato, menurut mereka tato merupakan style atau mode, bahkan
bagi sebagian dari mereka merasa ada suatu kebanggaan tersendiri
kalau bisa mentato tubuhnya, bahkan ada yang hampir seluruh
tubuhnya terlukis tato.
Tato adalah zat yang dapat dituangkan pada tubuh dengan
bentuk gambar atau yang lain melalui berbagai cara sehingga tato
tersebut terkadang berada di kulit lapisan luar atau kulit lapisan
dalam, dan bisa menyebabkan tidak meresapnya air pada kulit baik
ketika mandi besar ataupun wudlu. Bagaimanakah hukum orang
yang tubuhnya di tato? Dan sahkah wudlunya?
Ulama berpendapat: Hukum mentato tubuh adalah Haram,
karena perbuatan itu dilaknat Allah Swt dan Nabi pun melaknatnya
juga. Sebagaimana keterangan dalam kitab Isad al-Rafiq hal. 122:

Mengenai tentang sah dan tidaknya wudlu atau mandi besar


orang yang tubuhnya bertato para ulama berbeda berpendapat:
a. Tidak sah wudlu atau mandi besarnya tubuh yang bertato,
apabila tato tersebut berada di lapisan luar kulit, karena bisa
mencegah sampainya air kepada kulit. Fathu al-Muin halaman 5.
b. Apabila di bawah kulit maka sah, karena tidak menghalangi
sampainya air kepada kulit. Fathu al-Muin halaman 5.

135

c. Apabila tato itu dilakukan atas dasar persetujuan orang yang


ditato, dia tidak khawatir akan terjadi bahaya ketika
menghilangkannya, dan apabila tato tersebut tidak dihilangkan,
maka dia tidak bisa menghilangkan hadatsnya, karena tatonya
bercampur najis. Otomatis kalau dia ingin bersuci harus
menghilangkan tatonya terlebih dahulu.
d. Akan tetapi apabila dia khawatir dengan bahaya apabila
menghilangkannya, maka dimafu/dimaafkan untuk membiarkan
tatonya tersebut, dan bersucinya tetap sah dan orang tersebut
tetap sah menjadi imam. Sebagaimana diterangkan dalam kitab
Nihayah al-Muhtaj, juz I, hal. 178

136

13.3. Hukum Wanita Memakai Celana Ketat


Cara berbusana adalah berbeda-beda, sesuai dengan budaya dari
setiap daerah tertentu, misalnya cara berbusana di Indonesia juga
berbeda-beda, yang jawa memakai pakaian adat Jawa, yang dari batak
memakai busana adat Batak, dan lain-lain. Kalau jubah adalah budaya
busana dari bangsa arab. Intinya setiap daerah pasti memiliki khas
atau budaya sendiri-sendiri.
Namun di masa moderen seperti saat ini, terdapat banyak
perkembangan mode atau style dalam berpenampilan pada
masyarakat, khususnya bagi kaum hawa banyak sekali perkembangan
dalam model atau cara berbusana, seperti halnya memakai celana,
disamping berfungsi sebagai penutup aurat juga sebagai sarana untuk
mempercantik diri dan memperindah penampilan. Tidak sedikit dari
para wanita yang menggunakan celana ketat, sehingga sampai terlihat
lekukan-lekukan tubuhnya.
Dari fenomena di atas, bagaimanakah pandangan fiqih tentang
hukum wanita yang berbusana dengan memakai celana ketat?
Dalam hal ini, para ulama berbeda pandangan;
a. Tidak diperbolehkan bagi wanita memakai celana ketat sehingga
menimbulkan syahwat bagi yang melihatnya apalagi sampai
kelihatan warna kulitnya.
b. Makruh bagi wanita memakai celana ketat.

137

(Mauhibah Dzil Fadlal, juz II, hal. 326-327 dan al-Minhaj alQawim juz 1 hal 234).

138

13.4. Hukum Wanita Kerja pada Malam Hari


Di era globalisasi saat ini, jumlah tenaga kerja wanita bertambah
besar bahkan hampir mendominasi lapangan pekerjaan dalam bidang
industri. Di perusahaan besar pekerjaan berjalan full time/24 jam atau
sehari penuh, dan dalam 24 jam tersebut biasanya dibagi menjadi 3
sift (giliran), berarti setiap delapan jam ganti sift. Ketika seorang
pekerja wanita mendapat giliran jam kerja pada waktu malam hari,
dikhawatirkan terjadi kerawanan dan tidak menuntut kemungkinan
bisa membahayakan keamanan dari pekerja wanita tersebut. Kalau
dipandang dari agama bagaimanakah hukum seorang wanita bekerja
pada malam hari di luar rumah?
Dalam hal ini para ulama mempunyai pandangan yang berbedabeda:
a. Apabila diduga kuat bisa menimbulkan fitnah maka hukumnya
adalah haram.
b. Makruh, apabila hanya sekedar ada kekhawatiran akan terjadinya
fitnah.
Sebagaimana keterangan dalam kitab Isad al-Rofiq:

Artinya: Dalam kitab Al-Zawajir disebutkan bahwa sesuai dengan


redaksi hadits di atas, maka (keluarnya wanita dari rumah) adalah
termasuk dosa besar. Agar pernyataan ini sesuai dengan kaidah-kaidah kita,
maka harus dipahami dalam keadaan jika memang benar-benar akan terjadi
fitnah. Adapun jika hanya sekedar ada kekhawatiran terjadinya fitnah,
maka hukumnya makruh. Sedangkan jika disertai dengan dugaan kuat

139

adanya fitnah, maka hukumnya haram, namun bukan dosa besar. (Isad
al-Rofiq, juz II, hal. 136)

c. Boleh, bagi wanita bekerja di malam hari karena untuk mencari


nafkah, asalkan aman dari fitnah dan mendapat ijin dari
suaminya atau wali (bagi yang masih belum punya suami). Hal ini
diterangkan dalam kitab Ianah al-Thalibin:

Artinya: Dan diantara hal-hal yang memperbolehkan wanita bekerja di


luar rumah adalah jika keluarnya itu untuk mencari nafkah, dengan
berdagang, meminta sedekah atau mencari pekerjaan ketika suami sedang
dalam kesulitan uang (ada udzur). (Ianah al-Thalibin, juz IV, hal.
81)

140

Macam-macam hiburan dalam istilah agama Islam menurut


Syekh Ahmad bin Muhammad al-Shawy diistilahkan dengan
Lahwun dan untuk macam-macam seni musik seperti orkes dan lain
sebagainya diistilahkan dengan istilah Laghwun yang keduanya
memiliki pengertian: segala hal yang dapat menyibukkan seseorang sehingga
dapat melupakan kepentingan dirinya sendiri.
Adapun permainan dikategorikan dengan istilah Labun yaitu:
segala hal yang dapat menyibukkan seseorang tanpa ada manfaatnya sama
sekali terhadap keadaan diri ataupun hartanya.
Hal ini diterangkan di dalam kitab Tafsir al-Shawy juz 04 hal. 119:

Artinya: Sesungguhnya kehidupan dunia hanyalah permainan dan senda gurau.


dan jika kamu beriman dan bertakwa, Allah Swt. akan memberikan pahala

141

kepadamu dan dia tidak akan meminta harta-hartamu. (Q.S. Muhammad


ayat 36)

14.1.

Hukum Hiburan dan Permainan


a. Haram
Di dalam kitab Ihya Ulumi al-Diin diterangkan ada golongan
yang mengharamkan nyanyian, mereka menggunakan dalil
riwayat dari Ibnu Masud al-Hasan al-Bishri dan al-Nakhai,
dengan landasan al-Quran Surat Luqman ayat 6. yang berbunyi:

Artinya: Dan di antara manusia (ada) orang yang mempergunakan


perkataan yang tidak berguna untuk menyesatkan (manusia) dari jalan
Allah Swt. tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allah Swt. itu olokolokan. mereka itu akan memperoleh azab yang menghinakan. (Q.S.
Luqman ayat 6)

Mereka menafsirkan lafadz Lahwal Hadits (perkataan yang tidak


berguna) ini dengan arti nyanyian.
142

Ada sebagian ulama memberi hukum haram pada hiburan dan


permainan (Nyanyian, Musik, Tarian, Ludruk, Wayang dll) dengan
landasan dalil hadits di bawah ini:

Artinya: Aisyah ra. Meriwayatkan hadits: Sesungguhnya Nabi Saw.


bersabda: Sesungguhnya Allah Swt. telah mengharamkan al-Qoinah
(penyanyi wanita/budak wanita yang menghibur), haram menjual
belikannya, haram uang hasil darinya dan haram mengajarkanya.

Dalam Ihya Ulumuddin, Imam Ghozali menafsiri hadits di atas


bahwa yang dimaksud perkataan Qoinah ialah budak perempuan
yang menyanyi untuk laki-laki di tempat minum-minuman
(semacam bar atau club malam/dugem).

Golongan dari madzhab Hambali berpendapat Nyanyian adalah


haram hukumnya, baik dinyanyikan oleh perempuan maupun lakilaki apabila mendatangkan syahwat bagi orang yang
mendengarkan atau menyebabkan bercampurnya kaum laki-laki
dan wanita atau disertai mabuk-mabukan.

143

b. Makruh
Menurut Imam Tabrani dalam kitabnya al-Mujam al-Ausat
hukum dari hiburan dan permainan (nyanyian, musik, seni tari,
ludruk, wayang, dll.) adalah makruh.

Dan diambil dari pendapat Imam Syafii, bahwa beliau berkata:


sesungguhnya ghina (Lagu-laguan) merupakan hiburan yang
dimakruhkan, serupa dengan perbuatan batil. Barang siapa terlalu
banyak terlena karenanya maka dia dianggap bodoh dan ditolak
kesaksiannya. Keterangan dalam kitab al-Fiqhu ala Madzahib alArbaah:

144

Imam Al-Qaffal, Al-Rauyani dan Abu Mansur berpendapat


bahwa hiburan dan permainan seperti tari-tarian berirama
hukumnya makruh tidak sampai haram dengan alasan bahwa hal
tersebut termasuk lahwun, laghwun dan labun (dagelan, musik
dan pemainan). Hal ini diterangkan dalam kitab
dan dalam kitab
, sama halnya nyanyian dan
mendengarkan lagu atau musik. Keterangan dari kitab Al-Manhaj
juz 5 hal 380.

Imam Ghozali berpendapat dalam kitab Ihya Ulumuddin juz 02


bahwasanya nyanyian, orkesan dan sejenisnya adalah termasuk
hiburan (Laghwun) yang dimakruhkan, serupa dengan perbuatan
batil tetapi tidak sampai haram, sebagai contoh adalah permainan
orang-orang Habasyah dan tarian mereka, Rasulullah pernah
menyaksikannya dan tidak membencinya. Dalam hal ini Lahwun
dan laghwun tidak dimurkai Allah Swt.

Menurut Qordowi, hiburan dan permainan (Nyanyian, Musik,


Tarian, Ludruk, Wayang dll) hukumnya adalah apabila
digunakan untuk sesuatu yang tidak ada faidah dan membuat
seseorang sibuk sehingga sampai mengganggu atau dapat

145

mengurangi ketaatannya kepada Allah Swt., sedangkan hukum


melakukan sesuatu yang tidak berfaidah tidaklah haram selama
tidak menyia-nyiakan hak atau melalaikan kewajiban. Pendapat
Qordowi ini berdasarkan Hadits:

Artinya: Setiap hiburan itu adalah batil apabila bisa melalaikan seseorang
dari ketaatan kepada Allah Swt.

Menurut riwayat Imam al-Baihaqi hukum nyanyian atau orkesan


dan sejenisnya dihukumi makruh karena dapat menumbuhkan
kemunafikan dalam hati, seperti halnya air bisa menumbuhkan
tanaman. Diterangkan dalam kitab al-Sunan al-Kubro lii alBaihaqi bab al-Rajul Yaghni Fayattakhidu al-Ghina juz 7
halaman 931.

c. Boleh
Imam Bukhari meriwayatkan hadits dalam kitab sahihnya bab anNiswah al-Laati Yahdina al-Mar'ah juz 1 hal 145 dari Siti Aisyah
bahwa Nabi pernah berkata:

146

Dari hadits tersebut di atas dapat diambil kesimpulan bahwa


Nabi menginginkan seorang penyanyi yang dapat disuruh Nabi
untuk menghibur kaum Anshar ketika Siti Aisyah menikahkan
seorang gadis dengan pemuda anshar karena kaum anshar sangat
kagum dan senang dengan nyanyian.
Diceritakan dalam Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari
dan Imam Nasa'i bahwa pada hari raya sahabat Abu Bakar
berkunjung ke rumah Siti Aisyah untuk halal bi halal kepada Nabi
Saw., ketika beliau masuk beliau menjumpai ada dua gadis di
samping Siti Aisyah yang sedang menyanyi, seketika itu Abu Bakar
menghardik mereka seraya berkata: Apakah pantas ada seruling
syaitan di rumah Rasulullah?! Kemudian Nabi Saw. bersabda:
Biarkanlah mereka, wahai Aba Bakar, sesungguhnya hari ini
adalah hari raya. Adapun bunyi hadits yang menceritakan peristiwa
itu adalah sebagai berikut ini dalam kitab Sunan an-Nasai juz 6 hal.
59.

147

Dari cerita di atas bisa dibuat dalil bahwa Nabi tidak


melarang hiburan dan permainan (nyanyian, orkesan, musik,
tarian, ludruk, wayang, dan lain-lain).

Menurut Imam al-Fauroni: Hukum dari hiburan dan permainan


(nyanyian, orkesan, musik, tarian, ludruk, wayang, dll) adalah
boleh, dengan alasan bahwa semua perkara itu adalah termasuk
Lahwun, Laghwun dan Labun dan hukum asal dari Lahwun,
Laghwun dan Labun itu adalah mubah. Diterangkan di dalam
kitab al-Itkhaf juz 06.

Imam Haromain, Imam al-Makhali, Imam Ibni Imad AlSuhrowardi, Imam Rofii dan Ibnu Abi Dam berpendapat:
Hiburan tarian atau sejenisnya adalah tidak haram, apabila tidak
menyebabkan rusaknya harga diri dan tidak ada penyerupaan
laki-laki dengan perempuan atau sebaliknya.

148

149

Dari paparan di atas metode yang digunakan dalam memberikan


pemahaman atas problem sosial selalu diarahkan dan diberikan
pilihah-pilihan karena memang dalam syariah terdapat alternatifalternatif pilihan hukum. Maka bisa kita simpulkan bahwa perbedaan
pendapat para ulama adalah membawa rahmat, manfaat, dan
kemudahan tersendiri bagi kita. Kita bisa memilih dan mengikuti
salah satu pendapat mereka sesuai dengan kemampuan kita masingmasing. Ingin memilih yang mana saja dipersilakan, karena semua
pendapat ulama itu adalah mempunyai landasan atau dalil masingmasing. Maka dari itu kita tidak perlu saling menyalahkan antara
pengikut pendapat satu dengan pengikut pendapat yang lain, tetapi
kita harus saling menghargai setiap perbedaan pendapat yang ada.
Perbedaan adalah sesuatu yang wajar bahkan dibutuhkan, karena
perbedaan merupakan sunnatullah dan menjadi bukti dari kebesaranNya. Tuhan menciptakan manusia berbeda-beda mulai dari warna
kulit, warna rambut, bentuk wajah, postur tubuh, hati, daging, jenis
kelamin, jenis darah, otak intelegensi, dan sidik jarinya. Semua itu
tidak ada satupun yang sama bahkan nasibnya juga berbeda-beda,
sehingga sudah bisa dipastikan hasil pemikiran dan pendapatnya juga
berbeda-beda.

150

Jika kita renungkan lebih dalam, manusia merupakan hasil dari


suatu perbedaan bukan? Kita merupakan hasil dari perbedaan yang
saling menghormati dan saling mencintai. Ayah kita adalah seorang
laki-laki sedangkan ibu kita adalah perempuan. Bayangkan kalau
mereka berdua tidak saling mencintai dan menghargai perbedaan di
antara mereka berdua, maka kita pun pasti tidak akan pernah ada di
muka bumi ini.
Bukan hanya kita dan ulama saja yang berbeda pendapat,
seorang Nabi yang masum, yang selalu dijaga oleh Allah dari
perbuatan dosa
juga berbeda pendapat. Tentunya kita telah
mengetahui tentang kisah Nabi Musa as. dengan Nabi Khidzir as.
Mereka berdua juga berbeda pendapat. Kisah tentang perbedaan
pendapat mereka berdua diabadikan oleh Allah di dalam al-Quran
(Q.S. al-Kahfi ayat 60-82 juz 16). Dari kisah tersebut, sebenarnya
Allah menunjukkan banyak rahasia-Nya. Salah satu rahasia tersebut
adalah gambaran dan pelajaran bagi kita bahwa perbedaan itu tidak
bisa dihindari dan dihilangkan.
Dengan demikian sikap yang bijak adalah harus pandai-pandai
memaknai dan menyikapi secara positif suatu perbedaan. Kita
utamakan saling mengevaluasi diri-sendiri, sebelum mengevaluasi
orang lain. Sudah bisakah kita menghargai orang lain? jika belum,
marilah kita bersama-sama belajar untuk saling menghargai dan
menghormati perbedaan di antara kita, sehingga perbedaan tersebut
dapat membuahkan suatu keharmonisan dan kedamaian serta rahmat
yang indah bagi kita. Karena Imam Nawawi dalam kitab Hasiyah
al-Bujairami menyatakan:

Perbedaan Ulama itu Adalah Rahmat

151

BIBLIOGRAFI
Abdullah, M. Amin. 1995. Islam di Indonesia Lebih Pluralistik dan
Demokratis. Dalam Ulumul Quran Jurnal Ilmu dan Kebudayaan.
Jakarta: LSAF dan ICMI.
_______. 1999. Agama, Kebenaran, dan Relativitas (Sebuah Pengantar). Dalam
Gregory Baum Agama dalam Bayang-bayang Relativisme Sebuah
Analisis Sosiologi Pengetahuan Karl Mannheim tentang Sintesa
Kebenaran Historis-Normatif. Yogyakarta: PT. Tiara Wacana
Bekerjasama dengan Siprus.
Ahmed, Akbar S. dan Hastings Donnan. 1994. Islam in the Age of
Postmodernity, dalam Akbar S. Ahmed dan Hastings Donnan
(ed.), Islam Globalization, and Postmodernity. London and New
York: Routledge.
Azra, Azyumardi. 2002. Konflik Baru Antar Peradaban Globalisasi,
Radikalisme & Pluralisme. Jakarta: Rajawali Pers.
Barton, Greg. 1999. Gagasan Islam Liberal di Indonesia: Pemikiran neoModernisme Nurcholish Madjid, Djohan Effendi, Ahmad Wahib, dan
Abdurrahman Wahid. Jakarta: Paramadina dan Pustaka Antara.
Effendy, Bahtiar. 2001. Masyarakat Agama dan Pluralisme Keagamaan,
Perbincangan Mengenai Islam, Masyarakat Madani, dan Etos
Kewirausahaan. Yogyakarta: Galang Press.
Fakih, Mansour. 1995. Teologi yang Membebaskan Kritik terhadap
Developmentalisme. Dalam Ulumul Quran Jurnal Ilmu dan
Kebudayaan No. 3 Vol. VI. Jakarta: LSAF dan ICMI
_______. 1997. Islam, Globalisasi, dan Nasib Kaum Marjinal. Jurnal
Ulumul Quran Jurnal Kebudayaan dan Peradaban, No. 6/VII.
Jakarta: PT. Cipta Prima Budaya.

152

_______. 2002. Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi. Yogyakarta:


Pustaka Pelajar dan Insist.
_______. 2002. Jalan lain Manifesto Intelektual Organik. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar dan Insist.
Foucault, Michel , 1972, The Archeology of Knowledge, terj. Inggris oleh AM.
Sheridan, London:Tavistock Publication,.
_____________, 1980, Power Knowledge: Selected Interviews and Other Writing
1972-1977, Colin Gordon (ed.) dan terj. Inggris Colin Gordon,
et. Al., Panteon Books, New York.
___________, 1977, Dicipline And Punish: The Birth of the Prison, terj. Alan
Sheridan, Allen Lane, Penguin Books, Harmondsworth. London
___________, 1998, The History of Sexuality, Vol I: The Will to Knowledge,
Peguin Book, London
Fukuyama, Francis. 2002. Trust Kebajikan Sosial dan Penciptaan
Kemakmuran. Yogyakarta: Qolam.
Horikoshi, Hiroko, 1976, A Traditional Leader in a Time of Change:
The Kyai and Ulama in West Java. Disertasi Doktor, University
of Illinois,
Ismail SM. 2002. Dinamika Pesantren dan Madrasah. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Madjid, Nurcholish. 1995. Islam Agama Kemanusiaan Membangun Tradisi dan
Visi Baru Islam Indonesia. Jakarta: Penerbit Paramadina.
_______. 1995. Pluralisme Agama di Indonesia. Dalam Ulumul Quran Jurnal
Ilmu dan Kebudayaan No.3 Vol.VI. Jakarta: LSAF dan ICMI

153

_______. 1996. Kosmopolitanisme Islam dan Terbentuknya Masyarakat


Paguyuban. Dalam M. Nasir Tamara dan Elza Peldi Taher
Agama dan Dialog Antar Peradaban. Jakarta: Penerbit
Paramadina.
_______. 1998. Dialog Keterbukaan Artikulasi Nilai Islam dalam Wacana
Sosial Politik Kontemporer. Jakarta: Penerbit Paramadina.
Mansurnoor, 1990, Islam in an Indonesian World, Ulam of Masura,
Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
Maxweel, Joseph A. 1996. Qualitative Research Design an Interactive Approach.
California: Sage Publication.
Nugroho, Heru. 1998. Islam dan Pluralisme. Dalam Andito (ed.) Atas
Nama Agama Wacana Agama dalam Dialog Bebas Konflik.
Bandung: Pustaka Hidayah.
Pribadi, Dawam dan Jamali Sahrodi. 2005. Pendidikan Multikultural:
Menggagas Kedamaian Ragam Potensi dan Komunitas
Pendidikan. Dalam Lektur Jurnal Ilmiah Pendidikan Islam Vol.
XI, No. 1. Cirebon: STAIN Cirebon Press.
Rifai, Ahmad. 2005. Islam sebagai Kambing Hitam. Dalam Media
Indonesia tanggal 02-04. Sila e-mel KV di vidya@tm.net.my
Ritzer, George, 2000, Sociological Theory, Singapore: McGraw-Hill Book.
Companies House, Inc.
Robertson, Roland, 1970, The Sociological Interpretation of Religion, New
York: Schocken Books.
Schiffrin, Deborah,1988, Approaches to Discourse, Blackell, Oxford UK &
Cambridge USA.

154

Schroeder, Ralph, 1992, Max Weber and the Sociology of Culture, London:
Sage Publication
Schlegel, Stuart S. 1977. Grounded Research di dalam Ilmu-ilmu Sosial. Aceh:
PLPIIS.
Sirry, Munim A. 2003. Membendung Militansi Agama Iman dan Politik dalam
Masyarakat Modern. Jakarta: Erlangga.
Politik, Majalah Mahasiswa STF Driyarkara, seri 4, Yogyakarta: Kanisius.
Sparringa, Daniel, 1997, Discaourse, Democracy an Intellectuals in New Order
Indonesia: A Qualitative Sociological Study, Australia: A Thesis
Submitted for the Degree of Doctor of Philosophy of The
Flinders University of South Australia.
_____________, 2000, Kumpulan Bahan Kuliah Metode Penelitian Kualitatif,
Surabaya: Fisip Unair.
_____________, 2002, Analisis Wacana: Sebuah Pendekatan untuk
Kajian Sosial Budaya, Prasasti, Jurnal Ilmu dan Seni Fakultas
Bahasa dan Seni Universitas Negeri Surabaya, No. 45/ Tahun
Xii/Mei 2002.
Sudrajat, Ana Suryana, et. al., Tokoh Baru Permainan Baru, Majalah
Mingguan Panjimas, Edisi 26 desember2002-08 Januari 2003, No.
07/1, hal. 22.Taher, Elza Peldi (ed),. Demokratisasi Politik Budaya
dan Ekonomi.Jakarta: Paramadina, 1994.hal. 192.
Suprayogo, Imam, 2007, Kyai dan Politik: Membaca Citra Politik Kyai,
Malang: UIN Malang Press.
Taher, Tarmizi. 1996. Islam dan Isu Globalisasi: Perspektif Budaya dan Agama.
Dalam M. Nasir Tamara dan Elza Peldi Taher Agama dan
Dialog Antar Peradaban. Jakarta: Penerbit Paramadina.

155

________. 2004. Agama Kemanusiaan Agama Masa Depan Kontekstualisasi


Kritis Doktrin Agama dalam Pembangunan dan Percaturan Global.
Jakarta: Grafindo.
Thompson, John B., 1984, Ideology and the Analysis of Discourse: A
Critical Introduction to the Work of Michel Pecheux dalam
Studies in The Theori of Ideology. University of California Press, USA.
Turmudi, Endang , 2004, Perselingkuhan Kiai dan Kekuasaan, Yogyakarta,:
LkiS.
Turner, Bryan S, 1998, The Blackwell Companion to Social Theory, Blackwell
Publisher, USA
Tischler., Henri L., 1990, Introduction to Sociology, Chicago: Holt, Rinehart
and Winston.
Zen, Fathurin, 2012, Radikalisme Retoris, Jakarta: Bumen Pustaka Emas.

156

Anda mungkin juga menyukai