Subkultur yang namanya pesantren ini sekarang sedang jadi bulan-bulanan Menteri
Agama Profesor Doktor Mukti Ali. Segera sesudah Menteri Agama membabat
eksponen-eksponen penting di departemennya dan menggantinya dengan orang-
orang yang diduga lebih cocok, kerlingan mata bergeser ke pesantren. Apakah
gerangan salah pesantren?
Salah sih tidak, cuma “kurang”. Sebagai muslim modernisator, apalagi sekaligus
kedudukan Menteri Agama, Mukti Ali tentu tidak ingin modern sendirian, karena
toh tidak akan banyak faedahnya. Menjadi modern bukan tugan avonturir. Maka,
dengan mekanisme Departemen yang ada padanya, pilihan jatuh pada pesantren.
Pesantren harus modern, dinamik, supaya tidak tercecer meningkapi kiprahnya
pembangunan. Lebih dari itu: Pesantren jangan jadi penghambat, jangan jadi seteru
pembangunan yang naik darah, jangan malas, lamban atau pun kikuk.
Apa sebab para santri itu diperkenalkan dengan pergaulan binatang ternak? Mereka
tentu sudah pernah melihat ayam, atau memegangnya, bahkan memakannya sekali.
Bahkan juga mungkin pernah memeliharanya satu dua ekor. Soalnya bukan itu.
Soalnya adalah menggiring mereka untuk berproduksi. Selama ini, rata-rata orang,
khususnya Menteri Agama, memandang pesantren itu ibarat gugusan besar para
konsumen. Pemakan protein hewani maupun nabati, sonder ikut menghasilkan.
Status begini tidak dikehendaki. Bukan cuma mulut yang mesti bekerja, tapi juga
tangan. Kerja mesti dikuduskan. Mereka akan disulap dari konsumen menjadi
produsen. Tanpa harus mengubah sifat pesantren sebagai balai rohani, binatang
piaraan dimasukkan ke sana sebagai sarana dinamisasi.
Kalau mau lebih tenang sedikit, sebenarnya patut ditanyakan, kenapa para siswa
santri saja yang dicap sebagai konsumen murni, sedangkan siswa-siswa perguruan
umum, termasuk mahasiswa, tidak. Belum pernah terdengar, mereka itu disindir
sebagai pihak yang kerjanya cuma tidur-bangun-makan-berak. Kalau asal
konsumen-konsumenan, apalah bedanya. Mereka adalah peludes yang cekatan dari
hasil mata pencarian bapaknya. Mereka bukan produsen dalam arti yang sebenar-
benarnya. Namun, tak pernah Menteri Mashuri berkesimpulan sebaiknya dikirim
anak-anak ayam atau kambing ke pekarangan sekolah, untuk memperoleh
perawatan dan pengembangbiakan, yang hasilnya bisa dilego ke pasar oleh dewan
guru di bawah pengawasan orang tua murid.