Anda di halaman 1dari 4

Dinamisasi via Binatang

Oleh Mahbub Djunaidi


Mulanya saya kira cuma Hippy, Beatnik, The New Left saja yang dijuluki orang
“subkultur”. Belakangan saya diberitahu lewat tulisan Abdurrahman Wahid
Hasyim (Kompas, 11 Maret 72) bahwa pesantren juga suatu profil subkultur.
Terserah bagaimana baiknya sajalah.

Subkultur yang namanya pesantren ini sekarang sedang jadi bulan-bulanan Menteri
Agama Profesor Doktor Mukti Ali. Segera sesudah Menteri Agama membabat
eksponen-eksponen penting di departemennya dan menggantinya dengan orang-
orang yang diduga lebih cocok, kerlingan mata bergeser ke pesantren. Apakah
gerangan salah pesantren?

Salah sih tidak, cuma “kurang”. Sebagai muslim modernisator, apalagi sekaligus
kedudukan Menteri Agama, Mukti Ali tentu tidak ingin modern sendirian, karena
toh tidak akan banyak faedahnya. Menjadi modern bukan tugan avonturir. Maka,
dengan mekanisme Departemen yang ada padanya, pilihan jatuh pada pesantren.
Pesantren harus modern, dinamik, supaya tidak tercecer meningkapi kiprahnya
pembangunan. Lebih dari itu: Pesantren jangan jadi penghambat, jangan jadi seteru
pembangunan yang naik darah, jangan malas, lamban atau pun kikuk.

Bagaimana caranya? Modernisasi adalah urusan yang hampir-hampir tak ada


ujungnya. Sebab, apa saja sebetulnya terbuka untuk dimodernisasi. Mulai dari
struktur politik, hukum, penagihan pajak, menakut-nakuti maling atau cara merekat
prangko. Begitu pula halnya tentu dengan pesantren. Asal ongkos cukup, pintu
perubahan menganga lebar. Mau pasang diesel, pakai kursi puter, sirene, apa saja
bisa. Kurikulum pun bisa diatur. Berani bertaruh, tak seorang pun akan
menyongsong gagasan modernisasi itu sambil mengacungkan golok. Asal paham
lubang-lubangnya, tak ada yang perlu dikhawatirkan. Kiai-kiai yang seangker apa
pun adalah manusia seperti kita-kita, tak kecuali redaktur majalah berita ini. Jangan
dibilang lagi santri-santrinya. Sifat manusiawinya fleksibel.
Naga-naganya, pintu masuk yang dipilih Mukti Ali dalam rangka menjelmakan cita-
citanya yang agung adalah peternakan. Untuk tingkat permulaan, tentu digunakan
binatang piaraan yang sudah popular, semisal ayam negeri, entah jenis Leghorn,
Minorca, Barnevelder, Orpington, atau Sussex, pokoknya ayam. Di beberapa
pesantren, berdasarkan situasi-kondisi (disingkat sikon) mungkin para ayam
piaraan itu ditemani keluarga unggas lainnya, seperti bebek. Bukan mustahil, pada
tahap berikutnya terjadi peningkatan kualitatif dengan peternakan binatang berkaki
empat, atau yang tak berkaki sama sekali, misalnya ikan. Asal prinsip-prinsipnya
sudah diletakkan, variasinya soal gampang. Bahkan, jenis binatang yang kepalang
tanggung, ayam bukan burung pun bukan, seperti puyuh, bisa juga dijadikan ancer-
ancer jangka agak panjangan.

Apa sebab para santri itu diperkenalkan dengan pergaulan binatang ternak? Mereka
tentu sudah pernah melihat ayam, atau memegangnya, bahkan memakannya sekali.
Bahkan juga mungkin pernah memeliharanya satu dua ekor. Soalnya bukan itu.
Soalnya adalah menggiring mereka untuk berproduksi. Selama ini, rata-rata orang,
khususnya Menteri Agama, memandang pesantren itu ibarat gugusan besar para
konsumen. Pemakan protein hewani maupun nabati, sonder ikut menghasilkan.
Status begini tidak dikehendaki. Bukan cuma mulut yang mesti bekerja, tapi juga
tangan. Kerja mesti dikuduskan. Mereka akan disulap dari konsumen menjadi
produsen. Tanpa harus mengubah sifat pesantren sebagai balai rohani, binatang
piaraan dimasukkan ke sana sebagai sarana dinamisasi.

Kalau mau lebih tenang sedikit, sebenarnya patut ditanyakan, kenapa para siswa
santri saja yang dicap sebagai konsumen murni, sedangkan siswa-siswa perguruan
umum, termasuk mahasiswa, tidak. Belum pernah terdengar, mereka itu disindir
sebagai pihak yang kerjanya cuma tidur-bangun-makan-berak. Kalau asal
konsumen-konsumenan, apalah bedanya. Mereka adalah peludes yang cekatan dari
hasil mata pencarian bapaknya. Mereka bukan produsen dalam arti yang sebenar-
benarnya. Namun, tak pernah Menteri Mashuri berkesimpulan sebaiknya dikirim
anak-anak ayam atau kambing ke pekarangan sekolah, untuk memperoleh
perawatan dan pengembangbiakan, yang hasilnya bisa dilego ke pasar oleh dewan
guru di bawah pengawasan orang tua murid.

Umpama saja Mukti Ali seorang ekonom berkualitas penuh, di samping


keahliannya yang langka di bidang urusan banding-membanding agama di dunia
ini, pastilah dia telah melihat kehidupan kita ini secara terbalik sungsang dengan
John Kenneth Galbraith, orang Harvard yang pernah ditunjuk Presiden Kennedy
jadi dubes AS di India, penulis buku-laris The Affluent Society. Kalau Galbraith
merangssang kalangan ekonomi makmur untuk mencampurkan kegiatan-
kegiatannya dengan aspirasi sosial, moral dan aspek-aspek aestetika, Mukti Ali
sedang merangsang kalangan rohaniah untuk mencemplungkan juga sebelah
kakinya ke urusan ekonomi-produksi. Kalau John Kenneth Galbraith menuding
ekonom Inggris John Maynard Keynes karena yang belakangan ini terlalu gila-pajak
dan gila-moneter, Mukti Ali lebih aman karena tidak seorang pun yang merasa
ditentangnya. Biarpun boleh jadi ada satu dua orang yang tersenyum-senyum
mendengar usulnya menerjunkan binatang piaraan ke pekarangan pesantren,
namun tidak ada orang yang mengritiknya terang-terangan. Soalnya memang tidak
ada urgensinya. Sepanjang menyangkut pesantren, orang harus banyak memahami.

Sebenarnya, mengajak pesantren untuk tercebur ke dalam soal-soal duniawi


tidaklah sesusah yang diduga orang. Mereka itu sebetulnya orang-orang praktis
belaka pada dasarnya, lebih-lebih pengasuhnya. Di mana saja, kapan saja, pesantren
perlu ongkos hidup, tak bedanya dengan balai pertemuan atau rumah sakit. Bukan
saja perlu, tapi kalau bisa jumlahnya terus meningkat. Itu sebabnya, tak pernah
kedengaran ada pesantren yang menolak pemberian Presiden Soeharto. Yang
kedengaran malahan sebaliknya: yang kelupaan berusaha tidak kelupaan lagi pada
fase berikutnya.

Satu-satunya kesulitan yang mungkin dihadapi Mukti Ali adalah: menderasnya


permintaan-permintaan akan bibit ayam, atau anak bebek, atau mesin penetas, atau
Sulphamezathine untuk memberantas penyakit Coccidiosis pada ayam, atau
ongkos-ongkos operasi produksi. Cara mengatasinya sudah tentu dengan
memperbanyak dana, sebab modernisasi pun perlu ongkos. Jadi, bukannya
kesulitan menghadapi mereka yang menolak pembangunan atau menghardik
modernisasi, atau tukang-tukang pukul tradisi yang kepala batu, yang tidak mau
menerima perubahan apa pun. Insya Allah mereka itu tidak akan muncul. Sebab,
memang tak akan pernah ada semuanya itu.

Tempo, 26 Maret 1972

Anda mungkin juga menyukai