Anda di halaman 1dari 30

Paradigma Menggiring Arus

Hery Haryanto Azumi

Paradigma Menggiring Tulisan ini


Arus diperuntukkan
Model Gerakan PMII di sebagai bahan
Era Pasar Bebas1 diskusi, tidak untuk
dikutip. Versi buku
sebagian akan
diolah dari diskusi-
diskusi dengan
kader-kader PMII di
berbagi level.
Oleh Hery Haryanto Djakarta, 15
Azumi2 Desember 2002

Pendahuluan
Jika kita ingin membuat sebuah gerakan dengan tujuan
progresif baik dalam jangka panjang maupun jangka
pendek sebagai strategi survival, maka kita harus
mempunyai sebuah cara pandang yang mampu
mengantarkan kita kepada tujuan tersebut. Sebut saja,
misalnya, cara pandang tersebut sebagai paradigma,
maka kita memerlukan sebuah paradigma gerakan yang

1 Tulisan ini dimaksudkan sebagai semacam pengantar diskusi untuk sahabat-sahabat PMII di
semua level, untuk mengantisipasi gerak maju neoliberalisme di Indonesia. PMII sebagai sebuah
gerakan harus mampu survive dalam kondisi apapun yang mungkin terjadi. Tentunya,
masukan-masukan dari semua sahabat di Pergerakan akan membantu melengkapi perspektif
penulisan ini.
2 Penulis adalah Mantan Ketua Umum Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Cabang
Ciputat (1999-2000) dan Koordinator Forum Cabang PMII se-Jabotabek (2000). Saat ini, penulis
bekerja sebagai Direktur Sentral’s Legal Research (SLR) pada Yayasan Sentral Paralegal
Litigasi Semesta Jakarta, yang sedang melakukan kajian tentang Efek-efek Privatisasi terhadap
Masa Depan Kedaulatan Rakyat. Beberapa tulisan penulis sempat tersebar di beberapa media
massa, seperti The Jakarta Post Daily, Buletin Pranata, Buletin Postra, Jurnal Civility, mail-list
Anti-Globalisasi, jurnal-jurnal kampus, juga di berbagai forum diskusi. Beberapa karya
terjemahannya telah terbit di antaranya: Jihad melawan Islam Ekstrem, Filsafat Mistik Al-Hallaj
dll. Beberapa terjemahan yang lain seperti kumpulan-kumpulan tulisan Edward W. Said juga
sedang dalam proses finishing touch. Versi buku dari Paradigma Menggiring Arus ini juga
akan segera terbit. Penulis dapat dihubungi di Kantor Sentral’s Legal Research, Jl. Pakin No. 13
Cipinang Cempedak Jakarta Timur, Ph/F. 021-8199705, Hp. 08128164015 dan 08159251583,
E-mail: hery_haryanto@lycos.com dan azumi_2010@yahoo.com.

Confidential Page 1 10/14/19


Paradigma Menggiring Arus
Hery Haryanto Azumi

tentunya berangkat dari kebutuhan kita sendiri, bukan


gerakan “orang lain”.
Perdebatan paradigmatik tentunya telah lama
terjadi di PMII, bukan saja semenjak periode
kepemimpinan Sahabat A. Muhaimin Iskandar ketika
kata “paradigma” mulai diperbincangkan di dalam
lingkaran-lingkaran kecil (small groups) di kantong-
kantong PMII seluruh Indonesia, tetapi juga telah
dimulai, barangkali, sejak PMII sendiri berdiri, sekalipun
kata paradigma belum digunakan.
Posisi-posisi yang telah diambil PMII selama
hampir setengah abad usianya tentunya
menggambarkan perdebatan paradigmatik ini,
walaupun antara satu periode yang satu dengan periode
yang lain hampir selalu tidak terjadi kesinambungan
(continuity) yang mampu membuat aktivis-aktivis PMII
“naik-kelas”. Jika suatu kepengurusan selesai, maka
pengurus berikutnya harus memulai lagi dari nol.
Sehingga, hampir dipastikan posisi-posisi yang diambil
PMII adalah sekadar reaksi bukan aksi.
Belajar dari pengalaman historis yang penting
inilah, PMII harus berhasil menjamin sebuah kontinuitas
gerakan yang berbasis pada kenyataan bangsanya
sendiri.

Mengapa Harus Dimulai dari Paradigma?


Sebuah gerakan yang rapi harus mengandaikan
terbentuknya faktor-faktor produksi, distribusi dan
wilayah perebutan (warring positions). Tanpa
menggunakan logika ini, maka gerakan selalu akan
terjebak pada heroisme sesaat dan kemudian mati tanpa

Confidential Page 2 10/14/19


Paradigma Menggiring Arus
Hery Haryanto Azumi

meninggalkan apa-apa selain kemasyhuran dan


kebanggaan diri belaka.
Katakanlah kita sedang akan membangun sebuah
gerakan, maka kita harus memahami di mana wilayah
perebutan yang akan kita temui dan, oleh karena itu, apa
yang harus kita produksi dan menggunakan jalur
distribusi seperti apa agar produk-produk gerakan kita
tidak disabotase di tengah jalan. Rangkaian produksi-
distribusi-perebutan ini adalah sebuah mata rantai yang
tidak boleh putus, karena putusnya salah satu mata
rantai ini berarti matinya gerakan, atau setidak-tidaknya
gerakan hanya akan menjadi tempat kader-kadernya
berheroisme-ria. Dan yang lebih penting gerakan
semacam ini akan dengan mudah diaborsi.
Nah, di mana paradigma menempati posisinya?
Yang pertama-tama perlu dikembangkan di PMII
adalah bahwa sejarah itu berjalan dengan masa lalu,
bukan semata-mata karena masa lalu itu ada, tetapi
karena masa lalu telah membentuk hari ini dan hari
esok. Artinya, capaian tertinggi dari sebuah gerakan
adalah ketika satu generasi telah berhasil mengantar
generasi berikutnya menaiki tangga yang lebih tinggi.
Visi historis inilah yang akan menjadikan PMII sebagai
organisasi besar yang berpandangan ke depan dan
universal. Karena PMII tidak didirikan hanya untuk
bertahan selama sepuluh atau duapuluh tahun. PMII
didirikan untuk melakukan perubahan tata struktur dan
sistem. Inilah cita PMII menurut penulis seharusnya.
Dengan demikian, paradigma menempati posisi
yang sangat vital dalam membangun gerakan PMII ke
depan, bukan semata-mata karena kita membutuhkan

Confidential Page 3 10/14/19


Paradigma Menggiring Arus
Hery Haryanto Azumi

paradigma, tetapi karena paradigma itu seharusnya


memandu gerakan PMII dalam longue duree dalam
bingkai sistem-dunia.
Selama ini, perdebatan paradigmatik di PMII hanya
bersifat reaksioner, bukan sebuah inisiatif yang
didasarkan pada gerak-maju yang terencana. Kondisi
seperti inilah yang kemudian membatasi ruang
lingkup gerakan PMII yang hanya melingkar di orbit
internal NU dan tidak mampu melakukan pendudukan
sektor-sektor strategis yang memiliki resonansi luas
kepada publik.
Sejauh berkaitan dengan perubahan struktural yang
dicitakan PMII, maka pendudukan sektor-sektor publik
adalah suatu keniscayaan. Masalahnya, selama ini yang
dipuja-puja oleh sebagian aktivis PMII adalah gerakan
kultural an sich, yang mengabaikan segala sesuatu yang
bersifat struktur. Katakanlah dikotomi gerakan
“kultural” dengan gerakan “struktural” yang
menjadikan PMII sebagai penjaga gerbang “kultural”
sementara HMI, misalnya, sebagai pemain “struktural”
telah menimbulkan kesesatan berfikir sedari awal
tentang ‘gerakan yang dibayangkan/imagined movement’
oleh kader-kader PMII, bahwa PMII cukup hanya
bergerak di LSM-LSM saja, tidak perlu berorientasi
kekuasaan.
Jadi, paradigma merupakan suatu keniscayaan yang
dibangun berdasar atas pandangan PMII tentang dunia
(world-view) dalam realitas sistem dunia yang saat ini
sedang berjalan. Apakah gerakan PMII selama ini telah
berbasis pada kenyataan Indonesia dalam bingkai sistem
dunia? Historisitas PMII lah yang akan menjawabnya.

Confidential Page 4 10/14/19


Paradigma Menggiring Arus
Hery Haryanto Azumi

Historisitas Gerakan PMII


Sebagai sebuah organisasi yang telah berusia
hampir setengah abad, semestinya PMII telah mencapai
periode kematangan. Didirikan pada 17 April 1960
sebagai bagian integral dari organisasi sosial keagamaan
terbesar di dunia, NU, PMII memang berfungsi sebagai
sayap-mahasiswa NU di samping GP Ansor di sayap-
pemuda, Fatayat di sayap-remaja putri, Muslimat di
sayap-ibu-ibu, IPNU/IPPNU di sayap pelajar dan
banom-banom lain, maka komitmen PMII kepada
jam’iyyah NU adalah sesuatu yang tidak dapat ditawar-
tawar lagi. Maka, keterlibatan PMII di masa-masa awal
berdirinya sebagai penyokong Partai NU adalah sebuah
keniscayaan.
Pada tahun 1974 ketika NU telah melakukan fusi
politik dengan partai-partai Islam lain dalam PPP, maka
Deklarasi Independensi di Murnajati Malang juga
merupakan pilihan sejarah yang sangat penting. Dengan
tegas PMII menyatakan independen dari NU karena
PMII memang harus menegaskan visinya bukan sebagai
bagian dari partai politik.
Demikian pula, Deklarasi Interdependensi pada
dekade 1980-an, yang kembali menegaskan kesaling-
tergantungan antara PMII-NU adalah bukti bahwa PMII
tidak akan dapat meninggalkan komitmennya terhadap
jam’iyyah NU.
Pilihan-pilihan dependensi-independensi-
interdependensi ini sebenarnya tidak perlu terlalu
dipermasalahkan. Perdebatan-perdebatan selama tiga
dekade awal PMII tampaknya hanya berkisar di sekitar

Confidential Page 5 10/14/19


Paradigma Menggiring Arus
Hery Haryanto Azumi

pilihan-pilihan ini belaka. Ini berakibat pada


terbengkalainya rancangan-rancangan ke-depan yang
berada di luar batas-batas NU. Ini tentunya kontra-
produktif terhadap PMII sebagai sebuah gerakan yang
mengandaikan adanya perubahan sistem dan struktur
dalam jangka panjang, karena tidak akan pernah dapat
bergerak ke luar dari batas-batas kulturalnya. Ini yang
penulis sebut sebagai jebakan primordialisme dalam
gerakan, karena PMII tidak akan dapat pernah berperan
sebagai agen transformasi ke dalam NU yang nyata-
nyata adalah komunitas dari-mana ia lahir, alih-alih
menjadi bagian dari kemapanan NU yang membekukan.
Dengan demikian komitmen PMII terhadap NU
adalah komitmen yang mengambil bentuknya dalam
class of struggle yang akan mengawal visi dan misi NU ke
depan di samping transformasi internal tersebut.
Perdebatan yang lebih produktif baru muncul
dekade 1990-an seiring dengan semakin luasnya
pengaruh pemikiran KH. Abdurrahman Wahid di
kalangan muda NU, terutama PMII. Figuritas Gus Dur
sebagai tokoh demokrasi dan pengusung civil society
yang critical terhadap pemerintahan rezim Suharto
sangat berpengaruh dalam pembentukan pola-pikir
aktivis-aktivis PMII.
Yang perlu dicatat adalah bahwa secara
paradigmatik, kepengurusan Sahabat A. Muhaimin
Iskandar pernah mensosialisasikan “paradigma arus-
balik masyarakat pinggiran” yang implikasinya sangat
luas terhadap pola gerakan PMII hampir di seluruh
Indonesia. Dipandu oleh gagasan free market of ideas,
periode ini menyaksikan sebuah massive enlightenment di

Confidential Page 6 10/14/19


Paradigma Menggiring Arus
Hery Haryanto Azumi

tubuh PMII. Selama, setidak-tidaknya, paruh kedua


dekade 1990-an PMII dengan gigih memperjuangkan
demokrasi dan civil society sebagai nilai-nilai
pembebasan. Dari masa inilah muncul optimisme baru
tentang gairah gerakan di PMII.
Selama ini, kepengurusan di PMII dan organisasi-
organisasi mahasiswa ekstra lainnya semisal HMI, IMM,
PMKRI, GMNI, dan GMKI adalah sebagai batu loncatan
untuk menduduki kursi-kursi di KNPI yang didukung
oleh pemerintah. Nyata-nyatanya hanya organisasi-
organisasi pro-pemerintah yang pada akhirnya
mendapatkan kursi di KNPI dan selanjutnya kursi di
DPR/MPR RI. Organisasi-organisasi kritis tidak akan
mendapatkan tempat dalam kultur politik Orde Baru
yang sangat nepotis. Artinya, antrian menuju kursi
kekuasaan tidak akan pernah sampai kecuali dengan
melalui strategi lain yang berada di luar mainstream. Dan
PMII melakukan itu tatkala HMI yang menjadi rival
utamanya selama ini justru sedang bermesraan dengan
rezim Orde Baru melalui politik ijo royo-royo, di mana
lebih dari 300 orang anggota MPR RI adalah alumni
HMI.
Akhirnya, PMII bersama organ-organ mahasiswa
Forum Cipayung minus HMI mendirikan sebuah forum
bernama Forum Kebangsaan Pemuda Indonesia (FKPI)
sebagai bentuk keprihatinan atas mengentalnya politik
aliran di Indonesia yang ditandai dengan semakin
massifnya kelompok-kelompok yang tergabung di
dalam ICMI mengusung bendera representasi Islam
yang mayoritas di dalam kekuasaan. Dengan dukungan
pemerintahan Suharto, ICMI melakukan ekspansi ke

Confidential Page 7 10/14/19


Paradigma Menggiring Arus
Hery Haryanto Azumi

berbagai lini dengan mengusung isu Islamisasi, baik di


sektor ekonomi dengan mendirikan Bank Muamalat, di
media dengan mendirikan Republika yang diasumsikan
sebagai koran Islam, maupun di permodalan dengan
mendirikan BPR-BPR Syari’ah. Di sektor ekonomi, isu
yang diusung adalah kemandirian ekonomi umat dan
anti-Cina, sebagai kelompok yang dianggap
menghancurkan ekonomi Indonesia.
Klimaks dari resistensi terhadap pemerintahan
rezim Orde Baru adalah gerakan mahasiswa di
penghujung dekade 1990-an, di mana PMII berdiri di
barisan paling depan dalam menghancurkan rezim Orde
Baru, sebagaimana NU juga berdiri di barisan paling
depan dalam mengganyang PKI pada paruh kedua
tahun 1960-an.
Dus, paradigma Arus Balik Masyarakat Pinggiran
yang dipandu oleh gagasan Free-Market of Ideas tersebut
berhasil menciptakan kader-kader PMII yang kritis dan
memiliki militansi gerakan yang memadai dan sikap
yang terbuka. Keterbukaan itu ditandai dengan luasnya
pergaulan aktivis-aktivis PMII dengan kelompok-
kelompok minoritas yang selama ini selalu terkucilkan.
Dengan bekal pemahaman teologis yang inklusif para
kader mampu melampaui sekat-sekat agama yang
selama ini dipelihara demi kelanggengan kekuasaan.
Hampir di semua level, komunikasi (baca: silaturrahim)
kader-kader PMII dengan kalangan Katolik, misalnya,
berjalan dengan natural dan tidak dibuat-buat. Sampai
sekarang pergaulan lintas agama ini telah jauh
melampaui gagasan dialog agama atau konsep
masyarakat multikultur yang didukung kuat oleh

Confidential Page 8 10/14/19


Paradigma Menggiring Arus
Hery Haryanto Azumi

funding agencies. Jika orang-orang masih ramai berbicara


tentang teologi inklusif melalui dialog-dialog formal,
maka kader-kader PMII telah jauh berinteraksi dan
secara timbal balik meresap di dalam keberagaman itu
sendiri. Singkatnya, don’t teach me how to act inclusively
since I am coming from such a society!
Namun, di luar keberhasilan paradigma Arus Balik
dan FMI tersebut selalu ada yang terasa belum selesai
dibangun di PMII. Indikasi yang paling jelas adalah
ketika KH. Abdurrahman Wahid terpilih sebagai
Presiden RI yang keempat pada November 1999. Secara
serta merta para aktivis PMII (dan NU dan juga aktivis-
aktivis Civil Society pada umumnya) mengalami
kebingungan apakah perjuangan civil society harus
berakhir ketika Gus Dur yang selama ini menjadi tokoh
dan simbol perjuangan civil society di Indonesia telah
naik ke tampuk kekuasaan. Nampaknya, sikap para
kader PMII terbelah dua pada saat itu. Ada yang
menghendaki agar PMII tetap bergerak di jalur kultural
dan ada pula yang menghendaki bahwa PMII harus
membela Gus Dur. Dari sinilah kemudian mulai muncul
dikotomi NU Kultural dan NU Struktural, yang secara
otomatis juga terjadi di PMII. PMII Kultural dan PMII
Struktural, yang kedua-keduanya tidak saling ketemu
dan cenderung saling menyalahkan. Sampai sekarang,
dikotomi itu masih sedikit terasa sekalipun telah
kehilangan relevansinya semenjak Gus Dur dijatuhkan
oleh sebuah konspirasi politik maha tinggi.
Artinya, paradigma Arus Balik telah patah di sini.
Paradigma ini kemudian diganti dengan paradigma
Kritis-Transformatif yang nalar penyusunannya tidak

Confidential Page 9 10/14/19


Paradigma Menggiring Arus
Hery Haryanto Azumi

jauh berbeda dengan nalar penyusunan paradigma Arus


Balik. Dengan kata lain, paradigma ini melanjutkan
kegagapan PMII dalam bersinggungan dengan
kekuasaan.
Setidak-tidaknya, ada tiga alasan untuk
menjelaskan patahnya kedua paradigma ini. Pertama,
keduanya didesain hanya untuk melakukan resistensi
terhadap otoritarianisme tanpa mengandaikan
kompleksitas aktor di level nasional yang selalu terkait
dengan perubahan di tingkat global dan siklus politik-
ekonomi yang terjadi. Sebagai contoh, maraknya LSM
pro-demokrasi dan gencarnya isu anti-militerisasi pada
dekade 1990-an adalah akibat dari runtuhnya Uni Soviet
(USSR) sebagai rival USA dalam kompetisi hegemoni
dunia. Bagaimana ini terjadi?
Secara siklis dapat dijelaskan sebagai berikut.
Suharto berhasil merebut tampuk kekuasaan dari
Presiden Sukarno pada tahun 1966 melalui Super Semar
dengan dukungan penuh dari politik luar negeri AS
yang sedang gencar-gencarnya melakukan containment
terhadap komunisme. Saat itu adalah sedang panas-
panasnya persaingan antara Blok Barat yang kapitalis
dan Blok Timur yang komunis. Posisi Indonesia
demikian pentingnya pada waktu itu karena seandainya
Indonesia jatuh ke tangan komunisme maka negara-
negara yang berada di sebelah utara Indonesia seperti
Malaysia, Thailand, Filipina dll. Secara otomatis akan
jatuh. Maka, Indonesia harus dibebaskan dari hantu
komunisme (le spectre de la communisme). Nah, Suharto
adalah seorang jenderal tentara yang dapat menjalankan
misi AS tersebut. Seiring dengan berjalannya waktu,

Confidential Page 10 10/14/19


Paradigma Menggiring Arus
Hery Haryanto Azumi

komunisme jatuh pada tahun 1989 dan ini berakibat


pada merosotnya dukungan AS kepada Suharto. Dengan
kata lain, Suharto harus dijatuhkan. Dari saat inilah
kemudian AS mulai mendorong demokratisasi di
Indonesia melalui isu-isu HAM dan Civil Society melalui
berbagai LSM yang didanai melalui funding agencies.
Pada sisi lain, Suharto pun menjalin kekuatan dengan
kelompok-kelompok Islam yang justru selama ini
dimarjinalkannya. Puncaknya adalah berdirinya ICMI
pada awal dekade 1990-an sebagai sayap politik baru
Suharto pasca hilangnya dukungan AS kepada
pemerintahannya. Dari sini, kemudian juga terjadi
pembelahan: mereka yang bergerak dengan isu HAM
dan Civil Society melawan rezim otoriter Suharto yang
mulai didukung oleh organisasi-organisasi Islam politik
di bawah payung ICMI. Dan PMII terlibat di sini di
pihak pertama sebagai pengusung isu demokrasi dan
civil society. Sebenarnya, jika para aktor politik
Indonesia tidak terjebak pada peristiwa-peristiwa politik
lokal dan mencoba sedikit melihat keluar, hampir
dipastikan Suharto dapat dijatuhkan tanpa harus
menunggu terlalu lama.
Kedua, kedua paradigma ini hanya menjadi bunyi-
bunyian yang tidak pernah secara real menjadi habitus
atau laku di PMII. Akibatnya, bentuk resistensi yang
muncul adalah resistensi tanpa tujuan, yang penting
melawan. Sehingga ketika perlawanan itu berhasil
menjatuhkan Suharto terlepas ada aktor utama yang
bermain, PMII dan organ-organ pro-demokrasi lainnya
tidak tahu harus berbuat apa. Dari sini, dapat dibaca
bahwa paradigma itu tidak disertai dengan semacam

Confidential Page 11 10/14/19


Paradigma Menggiring Arus
Hery Haryanto Azumi

contingency plan yang dapat menyelamatkan organisasi


dalam situasi apapun.
Ketiga, pilihan paradigma ini tidak didorong oleh
strategi (not strategy-driven paradigm) sehingga
paradigmanya dianggap sebagai suatu yang baku.
Mustinya, ketika medan pertempurannya telah berganti,
maka strateginya pun harus berbeda. Ketika medan
pertempuran melawan otoritarianisme Orde Baru telah
dikalahkan, PMII masih berfikir normatif dengan
mempertahankan nalar paradigma lama. Ini
membuktikan bahwa PMII tidak berfikir strategis.

Membangun Paradigma berbasis-kenyataan (reality-


based paradigm)
Membangun paradigma gerakan memang sesulit
membaca kenyataan yang semestinya menjadi pijakan
paradigma itu. Gerakan manapun yang dibangun tidak
di atas landasan kenyataan hanya akan menjadi korban
sejarah atau, katakanlah, agen, tidak pernah menjadi
struktur apalagi peradaban.
Paradigma yang baik adalah paradigma yang
mampu menjadikan sejarah sebagai bahan penyusun
yang dipadukan dengan kenyataan hari ini. Kenapa
sejarah penting dalam penyusunan paradigma gerakan?
Sebagaimana telah penulis ungkapkan pada awal tulisan
ini bahwa sejarah itu menyimpan masa lalu yang telah
menyusun masa kini dan masa depan. Jadi, dengan
mengkombinasikan sejarah dengan real-life hari ini, kita
akan mampu membaca kenyataan secara benar sehingga
kita tidak akan terjebak dalam kenyataan mediatik yang
manipulatif dan menyesatkan.

Confidential Page 12 10/14/19


Paradigma Menggiring Arus
Hery Haryanto Azumi

Dengan selalu berangkat dari kenyataan real, kita


akan mampu menangkap struktur apa yang saat ini
sedang bergerak dan gerakan yang kita jalankan akan
mampu memutus roda-gila (free-wheel) peradaban yang
hegemonik.
Selama ini, nalar mainstream yang digunakan dalam
penyusunan paradigma di PMII adalah nalar yang
berangkat dari asumsi teoritis yang belum tentu terkait
dengan kenyataan yang sehari-hari terjadi. Jadi, konsep
ideal (logos) itu dianggap lebih penting dan ideal dari
pada kenyataan. Ambillah contoh, misalnya tentang
paradigma arus balik dan paradigma kritis-
transformatif. Nalar penyusunannya adalah civil society
yang mengandaikan adanya kemandirian masyarakat
berhadapan dengan negara. Ada beberapa kerancuan
dalam paradigma ini, sebagian telah penulis kemukakan
pada bagian historisitas gerakan di PMII. Pertama, secara
praktis resistensi terhadap negara dewasa ini telah usang
karena yang berkuasa bukan lagi negara tetapi berbagai
MNCs dan TNCs yang telah berhasil menawan negara.
Kedua, asumsi kemandirian yang dibayangkan di dalam
konsep civil society tidak pernah terjadi dalam kenyataan.
Artinya, lagi-lagi kita dibuat terjebak pada logosentrisme
seolah-olah yang namanya CS adalah kita yang telah
melawan negara tadi.
Sampai hari ini, nalar umum yang berlaku di dalam
tubuh PMII adalah nalar resistensi ini. Sehingga ketika
kita bertanya kepada kader-kader baru PMII di berbagai
daerah kenapa anda masuk PMII. Jawabannya, karena
PMII adalah gerakan perlawanan terhadap rezim
otoriter. Jika disadari bahwa semua rezim sebenarnya

Confidential Page 13 10/14/19


Paradigma Menggiring Arus
Hery Haryanto Azumi

adalah otoriter maka roda-gila perlawanan-rezim


otoriter ini tidak pernah dapat diputus karena
perlawanan yang terjadi bukan perlawanan dalam
pengertian merebut struktur kekuasaan tetapi
perlawanan menegakkan ‘kebenaran dan keadilan’. Post-
resistence schenario-nya tidak pernah disusun sehingga
selalu kelompok lain yang menunggangi perlawanan ini.
Dan anehnya kader-kader PMII merasa bangga dengan
pola semacam ini dan tidak pernah mau belajar dari
kegagalan masa lalu.
Nah, paradigma berbasis-kenyataan (reality-based
paradigm) akan membalik pendekatan ini.
Selama ini, nalar penyusunan gerakan di Indonesia
setelah Tan Malaka lebih bersifat akademik. Artinya
diawali dengan berbagai konsep ideal tentang
masyarakat atau negara yang berasal dari Barat. Konsep-
konsep yang dipakai di kalangan akademis kita
semuanya berbau liberalisme, sehingga secara akademis
tidak ada kemungkinan untuk meloloskan diri dari arus
liberalisme. Semenjak dari pikiran, gerakan itu memang
tidak akan pernah berhasil. Yang dibayangkan di sini,
setiap konsep itu berlaku secara universal tanpa
mempertimbangkan kenyataan yang menjadi setting
aplikasi konsep tersebut.
Contoh yang sering dikemukakan tentang tidak
nyambungnya antara konsep ideal-Barat dengan
kenyataan Indonesia adalah konsep-konsep politik-
ekonomi yang dibawa oleh para elit politik dan tokoh
gerakan Indonesia semenjak kemerdekaan sampai
sekarang ini. Pada awal-awal kemerdekaan isu
“revolusi” menjadi semacam isu tunggal, dengan asumsi

Confidential Page 14 10/14/19


Paradigma Menggiring Arus
Hery Haryanto Azumi

revolusi a-la Marx yang mengandaikan adanya


pertentangan kelas-kelas sosial. Sukarno yang dengan
gigih mengusung isu revolusi ini justru akhirnya gagal
dan terguling dengan kekuasaannya. Demikian pula
dengan isu “pembangunan” yang diusung oleh rezim
Orde Baru, yang diasumsikan bahwa setelah mengikuti
beberapa tahapan yang telah digariskan Indonesia akan
dapat melakukan tinggal landas menjadi negara industri
maju.
Konsep-konsep revolusi dan pembangunan yang di
negeri asalnya berjalan dengan baik, justru tidak berjalan
di Indonesia. Apa yang salah? Konsepnyakah yang
memang mempunyai keterbatasan kontekstual ataukah
memang kondisinya yang salah sehingga konsep-konsep
ideal itu tidak dapat bersanding dengan kenyataan real
yang setiap hari dijalani oleh masyarakat?
Atau, belum lama ini muncul gagasan tentang
ekonomi kerakyatan yang bertujuan untuk
memandirikan masyarakat Indonesia pribumi. Anehnya,
isu kemudian malah menjadi praksis bukan lagi
ekonomi kerakyatannya, tetapi isu anti-Cina yang
selama ini dianggap menjadi biang kerok hancurnya
ekonomi Indonesia. Isu ekonomi kerakyatan berubah
menjadi isu rasial yang sangat merugikan Indonesia
karena etnik Cina lah yang secara real memegang jalur-
jalur distribusi ekonomi sampai level yang paling bawah.
Jika isu anti-Cina yang diusung oleh beberapa gelintir
elit pribumi yang dikompori oleh rezim hegemoni dunia
tersebut menjadi kenyataan, maka yang paling dirugikan
adalah masyarakat Indonesia sendiri.

Confidential Page 15 10/14/19


Paradigma Menggiring Arus
Hery Haryanto Azumi

Dari sini, kita melihat bahwa di kepala para elit kita


sekalipun belum terbentuk satu cara pandang yang
memadai dalam membaca kenyataan Indonesia dan
kemudian mencoba menggunakan hasil bacaan tersebut
sebagai pijakan untuk menjadikan Indonesia naik-kelas.
Dengan kata lain persoalan sulitnya membangun
paradigma berbasis-kenyataan di PMII itu paralel
dengan kesulitan membuat agenda nasional yang
berangkat dari kenyataan Indonesia. Sehingga, apabila
PMII merintis sebuah paradigma semacam ini, sekalipun
untuk sementara akan tersisih dari pergaulan
mainstream, maka suatu hari nanti sejarah akan mencatat
PMII sebagai gerakan sosial yang menjadi pelopor
Indonesia baru yang benar-benar merdeka.
Memang, saat ini orang selalu berfikir instan dan
hanya mau melihat hasil tanpa mau melihat bagaimana
sebuah proses terjadi untuk mewujudkan utopia.
Sehingga benturan pertama bagi sebuah paradigma
untuk berjalan adalah dampak jangka-pendeknya. Atau
dengan kata lain, problem survival menuntut kita untuk
meninggalkan pikiran-pikiran panjang kita. Gerakan
harus mampu berkayuh di antara gelombang panjang
dan gelombang pendek agar gelombang panjang tetap
terkejar dan gelombang pendek tidak cukup kuat untuk
menghancurkan biduk kita yang rapuh.
Bagaimanapun, untuk membangun gerakan kita
harus mendahulukan realitas ketimbang logos.

Confidential Page 16 10/14/19


Paradigma Menggiring Arus
Hery Haryanto Azumi

Membaca Kenyataan Indonesia dalam World-System:


modal awal gerakan
Selama ini kita membaca perubahan-perubahan
yang terjadi di Indonesia semata-mata sebagai dinamika
internal yang terputus dari perubahan-perubahan global.
Setiap perbincangan yang mengarah kepada skenario
global untuk perubahan di Indonesia dianggap sebagai
pemikiran konspiratif yang tidak ilmiah, tidak jernih dan
menimbulkan permusuhan di kalangan masyarakat.
Versi resmi sejarah Indonesia, misalnya, tidak pernah
berani mengungkap keterlibatan pihak-pihak asing
dalam berbagai pergolakan di daerah selama dekade-
dekade awal kemerdekaan. Pendek-kata, sejarah
Indonesia adalah sejarah yang manipulatif karena tidak
mengungkapkan fakta apa-adanya sehingga tidak saja
banyak aktor-aktor sejarah yang dihilangkan tetapi juga
peristiwa-peristiwa penting yang sebenarnya mengubah
sejarah itu sendiri pun dihilangkan. Itu semua, kalau kita
mau jujur, tidak dapat dilepaskan dari tekanan-tekanan
internasional terhadap para elit politik kita pada
masanya. Nah, bukankah dengan demikian secara de
facto itu terjadi, sekalipun secara akademis kita tidak
menemukannya dalam literatur-literatur sejarah?
Paragrap di atas hanya untuk menjelaskan bahwa
setiap upaya untuk menjelaskan perubahan-perubahan
di Indonesia tanpa mengaitkannya dengan konteks
global hanya akan menemui kegagalan. Gagal dalam
pengertian bahwa kita hanya akan ikut menikmati
keramaian pasar malam tapi kita tidak akan pernah
mendapat apa-apa dari keramaian itu selain hanya
menjadi penonton yang harus membayar harga tiket,

Confidential Page 17 10/14/19


Paradigma Menggiring Arus
Hery Haryanto Azumi

padahal kita menonton di dalam gedung pertunjukan


kita sendiri. Demikian pula, hingar-bingar politik-
ekonomi yang terjadi selama ini sebenarnya lebih
menjadi permainan orang-orang yang ada jauh di
seberang sana sementara kita tidak mengetahui bahwa
itu semata-mata sebuah permainan. Ambil contoh,
misalnya, globalisasi dan free trade. Kita selama ini ikut
terlibat dalam diskusi-diskusi tentang globalisasi dan
free trade hanya untuk membenarkan masuknya modal-
asing dan produk-asing ke dalam negeri Indonesia tanpa
dikenakan aturan-aturan yang ketat. Itu semua karena
kita tidak melihat panggung yang namanya Indonesia ini
senyata-nyatanya sehingga kita selalu salah mengeja
kata Indonesia itu sendiri.
Oleh karena itu, kita perlu melihat Indonesia di
dalam gambar yang lebih besar lagi, yaitu dunia. Dengan
melihat Indonesia sebagai bagian dari sebuah sistem
dunia yang sedang berjalan kita dapat mengenali relasi
apa yang sedang terjadi di dalam sebuah peristiwa.
Dengan mengenali relasinya kita dapat melihat pola-pola
yang digunakan oleh sistem tersebut untuk beroperasi.
Katakanlah, kita perlu melihat dengan perspektif sistem
dunia ini, lalu bagaimana kita menghubungkan
perubahan-perubahan internal Indonesia dengan sistem
dunia ini?
Adalah Immanuel Wallerstein dan teman-temannya
di Fernand Braudel Center Binghamton University yang
mencoba memperkenalkan perspektif sistem-dunia ini
sebagai alat-baca. Dalam pandangan para world-
systemizers, dunia ini terbagi ke dalam dua wilayah kerja
(international divison of labor), yaitu core dan periphery.

Confidential Page 18 10/14/19


Paradigma Menggiring Arus
Hery Haryanto Azumi

Dan di antara keduanya terdapat wilayah transisi


(katakanlah, wilayah penyangga), yang disebut sebagai
semi-periphery. Dilihat dari arus umum produksi-
distribusi-wilayah perebutannya, maka negara-negara
yang tergolong dalam kategori periphery adalah penyedia
raw materials sekaligus sebagai pasar bagi produksi
negara-negara yang disebut core tersebut.
Dalam praktiknya, saat ini kita melihat bagaimana
negara-negara seperti AS dan sekutu-sekutunya
berusaha melakukan akumulasi secara besar-besaran
atas raw materials di negara-negara tertentu dengan dalih
memerangi terorisme demi kelangsungan industri
mereka. Sebagai contoh, misalnya, rencana serbuan ke
Iraq sebenarnya tidak didasari atas potensi Iraq sebagai
ancaman nuklir dan senjata biologis, tetapi lebih
disebabkan oleh ambisi AS untuk menguasai kawasan
Timur Tengah dan Asia Tengah yang mempunyai
cadangan minyak yang melimpah. Setelah Arab Saudi
dan masalah Palestina (Palestina Question) sebagai pintu
masuk bagi kehadiran militer AS di kawasan ini, maka
satu per satu negara-negara minyak di kawasan Teluk
akan jatuh ke dalam kendali AS.
Konflik Arab yang terjadi selama setengah abad
terakhir memang dipelihara untuk memberikan
legitimasi bagi kehadiran AS dan sekutu-sekutunya. Dari
pendirian negara Israel sampai Perang Teluk,
Penyerbuan Afghanistan dan, yang terakhir, rencana
penyerbuan Iraq melibatkan aktor dan kepentingan yang
kurang-lebih sama, yaitu penguasaan sumber-sumber
energi terbesar dunia. Dilihat dari pernyataan Presiden
AS Bush Jr. beberapa saat yang lalu tidak lama setelah

Confidential Page 19 10/14/19


Paradigma Menggiring Arus
Hery Haryanto Azumi

penyerangan Gedung WTC di New York, 11 September


2001, pada saat serbuan ke Taliban Afghanistan sedang
gencar-gencarnya bahwa ada poros kejahatan (axis of
evil) yang harus dihancurkan karena mengancam
keamanan manusia (human security), yaitu Korea Utara,
Iraq dan Iran. Dua yang pertama, Korea Utara dan Iraq,
sedang bersiap-siap untuk menghadapi serbuan AS dan
sekutu-sekutunya. Kedua negara ini dituduh telah
mengembangkan senjata pemusnah massal tanpa ijin.
Sementara Iran tinggal menunggu gilirannya.
Artinya, yang lebih dominan bermain pada
hakikanya bukanlah internal actors, tetapi aktor-aktor
global yang berusaha mempertahankan sebuah pola
pembagian kerja tertentu yang lebih menguntungkan
pihak mereka sekalipun harus melakukan penindasan
terhadap kelompok-kelompok lemah.
Ini adalah sebuah struktur sekaligus sistem-dunia,
yang dapat ditangkap hanya melalui analisis siklus
sistem dunia itu sendiri, tidak dari peristiwa tertentu
saja.
Jika kita telah sepakat bahwa ada suatu international
division of labor yang dipaksakan terhadap negara-negara
di dunia, maka sebenarnya kita dapat
membandingkannya dengan situasi zaman kolonial
ketika penduduk negara-negara jajahan dipaksa untuk
memproduk bahan-bahan tertentu demi kepentingan
negara-negara penjajah. Hanya saja, pola baru ini
menggunakan perangkat ilmiah yang canggih:
‘globalisasi’, ‘free-trade’, ‘privatisasi’ dan sebagainya.
Dengan perangkat akademik yang canggih, negara-
negara yang diperkosa justru tidak merasa sedang

Confidential Page 20 10/14/19


Paradigma Menggiring Arus
Hery Haryanto Azumi

diperkosa. Dengan masokisnya, para elit negara-negara


ini justru meminta diperkosa karena pemerkosaan itu
mendatangkan kebahagiaan tertentu.
Dewasa ini, gerak maju struktur dan sistem global
ini memang tidak terbendung lagi. Saat ini, hampir-
hampir tidak ada jalan-keluar yang mungkin dari sistem
pasar dunia yang terintegrasi. TINA, There Is No
Alternative. Ini lah kemudian yang mengubah orientasi
ideologi partai-partai berhaluan kiri seperti Partai Buruh
Inggris dan Partai Demokrat AS menjadi penyeru
kebijakan-kebijakan kanan. Dunia tengah digeser ke
kanan, sehingga kebijakan-kebijakan negara yang pro-
rakyat kecil semakin dikucilkan dari wacana publik.
Semuanya diserahkan kepada pasar yang dalam
kapasitasnya sebagai spontaneous order dapat mengatur
dirinya melalui invisible hands.
Lalu, apa arti semua ini bagi Indonesia?
Mekanisme pasar sejauh membuka kesempatan
kepada semua pihak untuk berinteraksi secara setara
dapat diterima. Tetapi dalam sistem neoliberal seperti
yang sekarang kita temui ini, dijumpai sebuah kondisi di
mana prinsip kesetaraan tidak ada, atau terjadi interaksi
yang asimetris. Prinsip perdagangan bebas yang
dipandu dengan sistem monetarisme hampir-hampir
tidak menyisakan ruang bagi ekonomi kecil untuk dapat
survive. Para pemilik modal besar lah yang memiliki
kesempatan emas untuk bermain dalam sistem ini.
Nah, Indonesia sekalipun baru akan masuk dalam
perdagangan bebas dengan diresmikannya AFTA
(persetujuan pasar bebas Asia), tetapi jika dianalisis lebih
dalam Indonesia tidak akan dapat berbuat banyak di

Confidential Page 21 10/14/19


Paradigma Menggiring Arus
Hery Haryanto Azumi

hadapan modal-modal asing raksasa. Kita dapat


membayangkan bagaimana seandainya sektor-sektor
ekonomi yang menguasai hajat-hidup orang banyak
akan dikuasai oleh segelintir individu yang dengan
leluasa akan dapat memainkannya untuk kepentingan
pribadinya. Negara yang seharusnya mengabdi demi
hajat hidup orang banyak telah dipreteli kekuasaannya
oleh pasar, sehingga tidak lebih hanya akan bertindak
sebagai agen pasar berhadapan dengan masyarakatnya
sendiri.
Dengan agenda payung privatisasi, misalnya, kita
telah dan akan melihat bagaimana banyak BUMN (SOEs)
diprivatisasi demi memenuhi budget pemerintah yang
telah mengalami defisit. Yang menarik adalah privatisasi
itu terjadi atas desakan IMF, yang merupakan
kepanjangan tangan negara-negara core dalam moneter
dunia. Ini secara gamblang menjelaskan bagaimana
pemerintah (baca:negara) tidak berdaya di hadapan
sistem pasar yang telah mapan (neoliberalisme).
Yang sangat ironis, di tengah kencangnya gerak
maju neoliberalisme justru tidak ada struktur lokal yang
mampu menghadapinya. Struktur lokal telah
terfragmentasi sedemikian rupa sehingga neoliberalisme
dapat menjebol benteng Indonesia tanpa perlawanan
sama sekali. Dalam hubungan antara negara, bangsa,
pemerintah dan rakyat yang sama sekali tidak saling
terkait kita menyaksikan bahwa Indonesia telah benar-
benar terkunci dalam gerak sejarah. Jika hari ini adalah
lima puluh tahun yang silam dan kita telah memiliki
keawasan seperti hari ini, niscaya kita akan memilih
jalan Mao Tse Tung atau jalan Tan Malaka yang memilih

Confidential Page 22 10/14/19


Paradigma Menggiring Arus
Hery Haryanto Azumi

kemerdekaan sepenuh-penuhnya, bukan negociated


independence seperti yang telah kita alami. Seandainya
kita memiliki kesempatan untuk berbenah diri ke dalam
tanpa harus mengintegrasikan diri dalam interaksi
global yang asimetris ini, maka politik isolasi mungkin
adalah pilihannya. Resikonya adalah seperti apa yang
telah dialami Cina (RRC), selama beberapa dekade sibuk
berbenah diri, melakukan reformasi struktur internal
dan kemudian dalam hitungan dekade kelima telah
mampu bersaing dengan hegemon dunia. Tentu, Cina
memiliki berbagai kekhasan yang tidak dapat disamakan
dengan Indonesia, tetapi paling tidak ia merupakan
gambaran bahwa There is (an) Alternative (TIA) selain
blue-print AS yang harus diikuti negara-negara periphery.
Tetapi, yang namanya kesadaran memang selalu
datang terlambat setelah segala sesuatunya telah lewat.
Dan itulah struktur dunia, yang dapat kita lihat tatkala
segala sesuatunya telah terlambat. Kita hanya mampu
meratapinya di tengah-tengah ketidakberdayaan
menghadapi tekanan struktur global. Struktur lokal kita
telah lama pecah karena tekanan struktur global terlalu
kuat. Tugas gerakan paling tidak adalah memompa
kembali gelembung-gelembung struktur yang tersisa
(jika masih ada), sembari menghambat daya tekan
struktur global yang telah terlanjur masuk sampai ke
halaman belakang (back-yard) rumah kita.

Paradigma Menggiring Arus: konsep dan operasinya


Akhir abad XX dan awal abad XXI ini telah menyaksikan
maraknya gerakan anti-globalisasi yang telah mengharu-
biru Seattle sampai Genoa dan sekarang mulai menyebar

Confidential Page 23 10/14/19


Paradigma Menggiring Arus
Hery Haryanto Azumi

ke negara-negara dunia ketiga (baca: periphery). Gerakan


ini bagi penulis adalah gerakan melawan arus, yaitu arus
maju neoliberalisme.
Menurut penulis, gerakan seperti ini akan
mengalami kegagalan dalam situasi seperti ini karena
nalar anti-globalisasi sama dengan nalar globalisasi.
Tidak ada ruang strategi yang tersisa dengan gerakan
yang demikian frontal. Di negara-negara maju gerakan
semacam ini dimungkinkan karena ditopang oleh
kesadaran strategis yang mendalam, sementara di
negara-negara periphery seperti Indonesia, gerakan ini
berubah menjadi semacam konsorsium LSM,
konsorsium LSM Anti-Globalisasi yang mengajukan diri
untuk mendapatkan kucuran dari funding agencies
sebagai kepanjangan tangan dari TNCs dan MNCs atau
bahkan kepanjangan tangan langsung dari suatu
pemerintah. Artinya, gerakan anti-globalisasi di
Indonesia menjadi lelucon bahan tertawaan di siang hari.
Atau katakanlah gerakan itu benar-benar didasari
oleh suatu keyakinan bahwa globalisasi telah
membunuh ekonomi masyarakat kecil, tetapi karena
gerakan itu tidak mempertaruhkan sebuah skenario
pasca-perlawanan (skenario sukses), maka gerakan itu
akan berubah bentuk menjadi heroisme individu-
individu belaka, yang justru dimanfaatkan oleh para
aktor politik untuk meraih keuntungan dari gerakan ini.
Lantas, apakah gerakan yang tepat adalah gerakan pro-
globalisasi tanpa reserve?
Saya kira, gerakan pro-globalisasi tanpa reserve
berarti menghanyutkan diri dalam arus globalisasi tanpa
pengetahuan yang cukup bagaimana harus menepi,

Confidential Page 24 10/14/19


Paradigma Menggiring Arus
Hery Haryanto Azumi

karena sekali tersedot arus, maka akan sulit untuk


kembali. Bentuknya yang paling kongkrit adalah
menjadi agen kepentingan-kepentingan global baik pada
aras wacana maupun pada aras operasi khusus mereka.
Hanyut dalam arus neoliberalisme berarti menjadikan
uang sebagai tanah air dan bangsa, karena ideologi pasar
bebas tidak mengenal batas-batas teritori negara-bangsa.
Yang dikenal adalah hambatan-hambatan tarif, proteksi,
subsidi, nasionalisasi. Itulah batas-batas “negara-pasar”
(market-state).
Gerakan yang berangkat dari kedua paradigma di
atas, mengikuti arus dan melawan arus, akan mengalami
kegagalan karena tidak mempertaruhkan sesuatu yang
lebih besar dari pada proyek politik isu tunggal dan
heroisme belaka. Atau gerakan ini memang tidak
didesain untuk melakukan perubahan sistem dalam
jangka panjang. Karena nalarnya yang mediatik (ukuran
keberhasilannya diukur dari coverage media terhadap
aksi-aksinya), maka sangat jelas bahwa orientasinya
hanya bersifat jangka pendek. Gerakan-gerakan inilah
yang didorong justru oleh struktur neoliberalisme
karena gampang dipatahkan dan diaborsi.
Mari kita mencoba melihat nalar masing-masing
gerakan ini. Gerakan Anti-Globalisasi (jika sungguh-
sungguh) didominasi oleh nalar anti-asing (xenophobia),
yang melihat setiap orang luar yang masuk ke dalam
wilayahnya sebagai ancaman tanpa mencoba mengambil
manfaat dari interaksi yang mungkin terjadi antara
keduanya. Karena globalisasi berintikan pemain-pemain
asing yang dilihat sebagai ancaman, maka untuk
melawannya harus dengan gerakan anti-globalisasi.

Confidential Page 25 10/14/19


Paradigma Menggiring Arus
Hery Haryanto Azumi

Gerakan ini menafikan interaksi dan komunikasi,


pertukaran antara global structure dengan local structure.
Nalar anti-asing ini bermanfaat jika secara strategis
dapat digunakan untuk membangkitkan semangat dan
kreatifitas internal berhadapan dengan global threat tadi.
Tetapi dampak yang ditimbulkan oleh nalar semacam ini
adalah isolasi diri dari pergaulan dunia, tanpa mencoba
untuk belajar dari keberhasilan negara-negara lain,
walaupun tidak harus mengikuti jalan mereka.
Sementara, nalar para pendukung buta globalisasi
adalah nalar agent (baca: marsose) jika diletakkan dalam
kondisi kerapuhan dan fragmentasi struktur lokal ini.
Nalar ini bekerja sesuai dengan keinginan supplier dan
produsennya, tidak mempunyai kesetiaan terhadap
komunitas besar dari mana ia berasal dan
menghanyutkan diri dalam hiruk-pikuk kepentingan
sang juragan. Yang menarik, di level praxis gerakan anti-
globalisasi akan dihadapkan dengan agen-agen ini. Jadi
medan pertempuran kedua gerakan ini tetap di dalam
kampung sendiri, sehingga ketika pertempuran usai
hanya menyisakan puing-puing, sementara barang-
barang berharga milik kampungnya telah dijarah oleh
sang juragan.
Kedua model gerakan ini tidak memiliki contingency
plan, karena memang tidak didesain untuk dapat survive.
Ini dapat terlihat dari jalur-jalur produksi-distribusi-
warring position yang tidak tepat. Atau dengan kata lain,
nalar yang dipakai adalah nalar inlander dan heroisme
LSM.

Confidential Page 26 10/14/19


Paradigma Menggiring Arus
Hery Haryanto Azumi

Lalu, gerakan seperti apa yang mampu menjamin


terbangunnya jalur-jalur produksi-distribusi-warring
position seperti yang kita diskusikan di awal tulisan ini?
Gerakan seharusnya ditujukan untuk kemajuan
(progress) komunitas besar dari mana ia berasal.
Kemajuan dalam pengertian “naik-kelas” dari komunitas
yang tidak dapat berbuat apa-apa, menjadi bersuara dan
didengar oleh orang lain. Tentu, naik kelas di sini
berada pada level dunia. Kerja-kerja gerakan adalah
kerja-kerja sistem dunia (baca: peradaban), sehingga
para aktivis gerakan tidak terjebak dalam kenikmatan
sesaat yang ditawarkan oleh sistem yang hendak
diubahnya.
Dalam situasi dan kondisi yang penulis telah
paparkan di muka, yaitu kuatnya penetrasi struktur
global di atas fragmentasi struktur lokal, maka strategi
gerakan yang paling dimungkinkan dan memiliki
tingkat survival yang tinggi adalah gerakan yang
mampu bermain di tengah-tengah tekanan ini. Dari sini,
gerakan ini setidaknya melakukan perebutan (warring
positions) di tiga front sekaligus: local front, global front,
dan internal-movement front. Karena itu, strategi yang
harus digunakan adalah multi-level strategies. Kita harus
meninggalkan single strategy yang selama ini kita
gunakan dengan dalih konsistensi gerakan. Jadi, bukan
lagi anti-systemic movement a-la Wallerstein, bukan juga
systemic movement, tetapi non-systemic movement. Kenapa
bukan anti-sytemic movement, karena ini dapat terpeleset
menjadi korban. Bukan systemic movement pun karena
tidak ditujukan untuk memperkuat sistem yang berjalan.
Tetapi non-systemic movement, berjalan di dalam sistem

Confidential Page 27 10/14/19


Paradigma Menggiring Arus
Hery Haryanto Azumi

yang tengah beroperasi tetapi tidak bekerja untuk sistem


tersebut sambil menciptakan conditions of possibilities
untuk membangun sistem yang sama sekali berbeda. Ini
terkait erat dengan strategi gerakan multi-level dalam
front yang berbeda. Dengan demikian, ini meniscayakan
multi-centers yang saling memahami posisi masing-
masing. Dalam tataran tertentu, memang, diperlukan
central-planner.
Nah, gerak di tiga front tersebut secara terpusat
memerlukan kelenturan yang luar biasa. Ini terkait
dengan energi di ketiga front. Pada suatu ketika struktur
global diperlukan untuk menghapuskan local structural
constraints yang membahayakan gerakan. Demikian
pula, struktur lokal juga diperlukan untuk menghambat
gerak maju struktur global tersebut. Di luar keduanya,
front dalam-gerakan (internal movement) menempati
posisi yang paling penting dalam kontinuitas gerakan
membangun sistem karena front ini adalah home-base
bagi kedua yang lain. Justru, semua energi yang
diperoleh dari perebutan di front lokal dan global
tersebut harus dipertaruhkan untuk memperkuat front
ini. Di sini lah hidup-mati gerakan.
Demikianlah, kira-kira “konsep” paradigma
menggiring arus yang non-sistemik.
Di tingkat operasional, paradigma ini dapat dimulai
dengan hal-hal yang sangat sederhana. Untuk front
global dapat dimulai dengan membangun sebuah pusat
kajian untuk menemukan pintu masuk ke lapangan
perebutan, seperti pusat kajian pasar bebas, pusat kajian
Cina dan sebagainya. Sementara untuk front lokal, dapat
dimulai dengan membangun kajian tentang kerja-sama

Confidential Page 28 10/14/19


Paradigma Menggiring Arus
Hery Haryanto Azumi

antar pulau (insular cooperation) dan sebagainya untuk


membangun jalur-jalur produksi dan distribusi di
tingkat lokal yang memungkinkan terjadinya kecukupan
di tingkat lokal (nasional) ketika jalur-jalur konvensional
patah. Pada gilirannya front dalam-gerakan
menyediakan mekanisme kaderisasi yang secara terus-
menerus menyediakan para pemain untuk
didistribusikan di semua front. Sebagai home-base, maka
front ini harus totally secured. Secara akumulatif-sirkular,
gerakan ini akan memperbesar ruang pengaruhnya
(sphere of influence) sehingga berhasil membangun tata-
peradaban yang baru.

Penutup
Paradigma menempati posisi yang sangat penting
dalam gerakan sebagai pemandu-gerak. Diawali dengan
pembacaan realitas masalah yang demikian kompleks,
maka paradigma harus mencerminkan masalah
sebenarnya yang tengah dihadapi oleh kita semua
sebagai komunitas besar ‘bangsa’ Indonesia. Tanpa
diawali dengan pembacaan semacam ini, perdebatan
paradigma pasti akan terjebak ke dalam logosentrisme
yang sia-sia.
PMII selama hampir 50 tahun usianya belum
menjadi gerakan yang terstruktur dengan paradigma
seperti ini. Sehingga, tidak pernah terjadi akumulasi
yang dapat menghantarkan generasi berikut menuju
tangga gerakan yang lebih tinggi. PMII tetap terkotak di
dalam NU, tidak mampu bermain di luar dan kemudian
melakukan transformasi internal di NU.

Confidential Page 29 10/14/19


Paradigma Menggiring Arus
Hery Haryanto Azumi

Nah, di tengah-tengah derasnya gelombang


liberalisme pasar dan fragmentasi struktur lokal, maka
PMII menghadapi setidaknya tiga front besar, yaitu:
front lokal, front global, dan front dalam-gerakan.
Karena itu, PMII harus membangun multi-levels strategies
dalam gerakan yang multi-centers. Dengan kata lain,
PMII harus memindah ruang gerakan. Hanya dengan
strategi semacam ini PMII dapat survive untuk
memenuhi misi-visi panjangnya, membangun
peradaban.
Di sinilah, Paradigma Menggiring Arus
menemukan konteksnya, agar PMII dapat naik-kelas
sebagai ruling elite dan tidak terjebak dalam mainstream
wacana yang menyesatkan. Semoga.
###

Confidential Page 30 10/14/19

Anda mungkin juga menyukai