Anda di halaman 1dari 146

Prisma, Vol, 40, No.

4, 2021 147
Prisma diterbitkan oleh Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) dan dimaksud­
kan sebagai media informasi dan forum pembahasan masalah pembangunan ekonomi, perkembangan sosial dan
perubahan kultural di Indonesia dan sekitarnya. Berisi tulisan ilmiah populer, ringkasan hasil penelitian, survei,
hipotesis atau gagasan orisinal yang kritis dan segar. Redaksi meng­un­dang para ahli, sarjana, praktisi dan pemuda
Indonesia yang berbakat untuk berdiskusi dan menulis secara bebas dan kreatif sambil berkomunikasi dengan
masyarakat luas. Tulisan dalam Prisma tidak selalu segaris atau mencerminkan pendapat LP3ES. Redaksi dapat
menying­kat dan memperbaiki tulisan yang dimuat tanpa mengubah maksud dan isinya.
Dilarang mengutip, menerjemahkan, dan memperbanyak, kecuali dengan izin tertulis dari Redaksi.
Setengah Abad Prisma © Hak cipta dilindungi Undang-undang.

Vol. 40, No. 4, 2021 ISSN 0301-6269

TO P I K K I TA

Vedi R Hadiz 3 Memotret Indonesia Lewat Prisma


Farid Gaban 11 Dari Kutukan Rostow ke Model Baru Pembangunan
Airlangga Pribadi Kusman 26 Dialektika Mitra-Kritis:
Lima Puluh Tahun Pergumulan Prisma­
Bosman Batubara 49 Urbanisasi Sebagai Pabrik Krisis Sosial-Ekologis:
& Eka Handriana Berdialektika dengan Prisma 1971-2021
Inaya Rakhmani 69 Intelektual Publik dan Ketimpangan
Sosial di Indonesia yang Neoliberal

ESAI
Kamala Chandrakirana 22 Sejauh-jauh Mata Memandang:
Prisma dan Pergulatan Perempuan

Ismid Hadad, Sony Karsono, 83 DIALOG


Farabi Fakih, Julia I LP3ES dan Dinamika Sejarah Intelektual
Suryakusuma, Fajri Siregar di Indonesia

SURVEI
Grace Leksana 106 Karya Tugas Akhir Mahasiswa Indonesia
& Douglas Kammen tentang “1965”: Sebuah Tinjauan

ARTIKEL
Fachru Nofrian Bakarudin 117 Ekonomi-Politik Indonesia Pasca-Korona

K R I T I K & K O M E N TA R
Donny Danardono 135 Reproduksi Kapitalistik Ruang Kota dan Perlawanan
dari Pinggiran
139 PARA PENULIS
Vol. 41, No. 1, 2022: Pendidikan Musik & Demokrasi
Vol. 41, No. 2, 2022: Ruang Publik: Identitas Budaya dan
Gambar Cover: Malela Margahasari Komunikasi Politik

Pendiri: Ismid Hadad, Nono Anwar Makarim n Pemimpin Umum: Ismid Hadad n Pemimpin Redaksi: Harry Wibowo Redaktur
Senior: Vedi R Hadiz n Dewan Redaksi: Airlangga Pribadi Kusman, Azyumardi Azra, Inaya Rakhmani, Kamala Chandrakirana,
Nezar Patria, Sumit Mandal (Malaysia), Taufik Abdullah n Redaktur Pelaksana: E Dwi Arya Wisesa n Redaktur Ekonomi: Fachru
Nofrian Bakaruddin n Redaksi: Rahadi T Wiratama n Produksi: Arief Mudi Handoko

Alamat: Jl. Pangkalan Jati No. 71, Cinere, Depok 16513, Indonesia. Telp/Faks: (6221) 2765 4031
Email: prisma@prismajurnal.com; prisma.redaksi@gmail.com; prismaredaksi@yahoo.com; Website: www.prismajurnal.com
Pemesanan Langsung: 0811 8845 741. Bank: BCA. No. Rek.: 723-55412-11 a/n Muhadi
Prisma T O P I K K I TA

Tiga Pilar Pemangku Kepentingan


Bagi manusia, 50 tahun usia yang matang. pada debat publik yang bernas?
Bagi pernikahan, setengah abad patut dirayakan, Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut
the golden anniversary, “kawin emas.” Sebuah tentu tidak akan dibantu oleh nalar biner yang telah
pergulatan hidup untuk menyelami rumah tangga, menciptakan hierarki pengetahuan seperti kredo
membangun keluarga batih, dengan kemungkinan yang tertanam di benak banyak cerdik-cendekia
gagal berantakan. Tentu analogi usia manusia atau­ mengenai pembelahan antara ilmu-ilmu alam dan
pun usia pernikahan untuk tumbuh, berkembang, ilmu-ilmu sosial atau humaniora; atau seperti juga
menjadi dewasa dan matang tidaklah sepenuhnya perbedaan yang disebut Aristoteles sebagai techne
tepat bagi sebuah penerbitan berbasis pengetahuan (rasionalitas teknis) dan phronesis (rasionalitas
dan akuntabilitas ilmiah, seperti Prisma. ­nilai).
Terbit pada masa awal regimentasi Orde Baru, Menyadari ketegangan mendasar antara dua
Prisma tumbuh menjadi sebuah “majalah” pemikir­ rasionalitas yang berbeda tersebut, sejak kembali
an sosial ekonomi yang lekat sebagai bagian dari terbit di pertengahan tahun 2009, setelah “mati
teknokrasi Orde Baru. Kegairahan membuncah suri” selama satu dekade, Prisma berupaya meru­
dari para pendiri, awak redaksi, dan para kon­ muskan ulang posisi dan kiprahnya. Perumusan
tributornya terhadap sebuah proyek modernisasi ulang tersebut semakin relevan dan mendesak
yang kemudian kita kenal sebagai pembangunan. karena setidaknya dua hal.
Beberapa tahun kemudian, pada akhir tahun 1970- Pertama, karena refleksi kritis dan perkem­
an, Prisma menjadi lebih kritis terhadap model bangan teori tertentu dalam ilmu-ilmu sosial, tam­
pembangunan dan kekuasaan negara yang makin paknya kita harus keluar dari zona nyaman dengan
otoriter, namun dalam pakem di master-head-nya pemilahan bahkan dikotomi usang antara “agensi”
hingga kini, Prisma menyatakan diri: dan “struktur”, antara data “lunak” dan “keras”,
 antara fenomena objektif dan subjektif, antara re­
“… dimaksudkan sebagai media informasi dan alitas material dan diskursif, bahkan antara tekno­
forum pembahasan masalah pembangunan eko­ krasi dan demokrasi/partisipasi.
nomi, perkembangan sosial dan perubahan kul­ Kedua, menyadari juga dalam masyarakat
tural di Indonesia dan sekitarnya. Berisi tulisan kontemporer yang semakin mendunia, kita terus
ilmiah populer, ringkasan hasil penelitian, survei, dihantui dan menghadapi krisis kapitalisme—yang
hipotesis atau gagasan orisinal yang kritis dan akut maupun konjungtural—yang kini memuncak
segar.” dalam wujud krisis iklim dengan disrupsi pan­
demi virus korona. Krisis itu berada dalam suatu
Sebagai produsen pengetahuan dalam dunia era globalisasi digital, di tengah ledakan informasi
sosial yang terus berubah, pertanyaan tentang cara dan dominasi media sosialnya. Sambil mematah­
dan tujuan yang tepat bagi Prisma selalu menjadi kan janji-janji modernisasi, krisis global ini terus
pertimbangan penting, bahkan pergulatan di meja menyeret gerbong berbagai masalah klasik pem­
redaksi. Misalnya, bagaimana analisis dan hasil bangunan: konsentrasi kekuasaan dan sumber
penelitian yang dimuat di Prisma tak hanya berkon­ daya pada segelintir orang, ketimpangan sosial dan
tribusi bagi pengembangan ilmu pengetahuan dari penghancuran ekologi.
dan oleh kalangan akademia atau scholar, namun Pada titik itulah Prisma dituntut mampu
juga memiliki dampak pada proses pengambilan menjelaskan masalah dan risiko yang dihadapi
keputusan dan kebijakan publik? masyarakat Indonesia di masa mendatang. Hal itu
Bagaimana kualitas penelitian dan nilai publik mungkin dapat dilakukan dengan merangkul, baik
dari suatu penyelidikan sosial dapat andil meru­ rasionalitas nilai maupun rasionalitas tekniknya,
muskan masalah dan memajukan gerakan sosial sambil memperluas komunitas epistemik yang
yang semakin kompleks, terutama saat Indonesia mampu memperkuat daya penjelas dan daya pre­
memasuki milenium baru di era pasca-Reformasi? diktifnya. Dalam arti ini, Prisma berupaya meng­
Bagaimana para peneliti sosial dapat membingkai artikulasikan edisi tematiknya bukan sekadar
ulang masalah yang dihadapi oleh mayoritas mere­ melalui pendekatan multidisiplin melainkan trans­
ka yang tersingkir dan terpinggirkan oleh proses disiplin agar tetap menjadi hub (penghubung) an­
pembangunan, seraya merancang suatu metode tara ketiga stakeholder-nya: dunia akademik atau
penyelidikan dan, yang lebih penting, mengomuni­ para cerdik-cendekia, para pengambil kebijakan
kasikan berbagai temuan dan analisisnya dengan negara, dan gerakan sosial. Semoga.
cara yang tepat sehingga mampu berkontribusi Harry Wibowo
Grace L dan Douglas K, Karya Tugas Akhir Mahasiswa Indonesia tentang “1965” 

Memotret Indonesia Lewat Prisma

Vedi R Hadiz

Prisma semula didirikan dan diterbitkan untuk menyambut berbagai kemungkinan yang
sempat diharapkan terbuka bagi masa depan Indonesia di tahun-tahun awal Orde Baru.
Harap­an tersebut praktis kandas dengan semakin bercokolnya sistem otoritarianisme Orde
Baru yang korup dan represif, terutama terhadap kekuatan-kekuatan masyarakat yang inde-
penden. Akan tetapi, Prisma berevolusi, meski gagal mempertahankan status sebagai episen-
trum perdebatan pembangunan di Indonesia. Kini sudah setengah abad dilalui Prisma,
kendati sempat absen antara 1998 dan 2009. Dewasa ini, Indonesia mengalami sejumlah
tantangan “baru tapi lama” yang hadir dengan tingkat keterpautan sangat tinggi de­ngan
perkembangan global. Adalah tantangan Prisma untuk tetap relevan sebagai “pemotret”
perubahan masyarakat dan pergulatan pemikiran di Indonesia. Hal itu menjadi makin pen­
ting karena Reformasi baru mampu melahirkan demokrasi yang cacat, sementara cita-cita
keadilan sosial tampak kian sulit diwujudkan.

Kata Kunci: demokrasi, intelektual, modernisasi-pluralis, orde baru, pembangunan

P risma adalah produk zamannya. Be­


gitu kira-kira kata Benedict Richard
O’Gorman Anderson—yang akrab
disapa dengan nama Ben Anderson—kepada
kalah korupnya.
Bukan berarti almarhum ahli Indonesia
terkemuka berkebangsaan Irlandia itu keliru:
Prisma memang sejak semula adalah buah
saya di sela-sela sebuah konferensi inter­ karya para intelektual dan aktivis pendukung
nasional akhir 1992 yang diselenggarakan suatu proyek modernisasi tertentu yang ber­
di luar kota Melbourne, Australia. Namun kumpul di LP3ES pada tahun-tahun awal
demikian, sejarah membuktikan bahwa Orde Baru. Di antara mereka adalah Nono
Prisma telah dan mampu melampaui (dalam Anwar Makarim dan Ismid Hadad, yang
arti transcend) zaman yang melahirkannya, diakui sebagai tokoh pencetus dan pendiri
meski tidak selalu pada tingkat keberhasilan Prisma. Saya menduga bahwa, di benak Ben
yang sama. Ia memberikan sejumlah potret, Anderson, para intelektual tersebut diper­
yang jelas dan kurang lebih runtut, tentang satukan oleh sebuah visi tentang masa depan
perjalanan sejarah Indonesia selama sete­ Indonesia yang dapat diberi label tertentu:
ngah abad belakangan ini. Potret itu pun modernis-pluralis.1 Pembangunan ekonomi
menangkap berbagai kontradiksi internal
dalam masyarakat dan negara Indonesia se­
jak zaman otoritarianisme yang kaku dan ko­ 1
Lihat, David Bourchier dan Vedi R Hadiz, Indonesian
rup hingga masa demokratisasi dengan ke­ Politics and Society: A Reader (London: Routledge,
hidupan politik yang lebih cair, tetapi tidak 2003), khususnya Bab 2.

TOPIK
 Prisma, Vol, 40, No. 4, 2021

yang dirancang oleh para ahli dibayang­ di tingkat kebijaksanaan negara. Yang ting­
kan berjalan dalam lingkungan politik yang gal hanyalah gemuruh pembangunanisme
makin memberi tempat pada kekuatan ma­ negara monolitik yang praktis telah menying­
syarakat sipil dan independen. Tidak meng­ kirkannya.
herankan jika sejarawan Onghokham meni­ Memang, teknokratisme ekonomi bang­
lai, pada kesempatan peringatan hari ulang kit lagi bagai Lazarus di masa “deregulasi
tahun ke-10 Prisma, bahwa majalah ini dan debirokratisasi” ekonomi tahun 1980-
meng­artikulasikan sikap terhadap berbagai an, yang dipaksakan oleh jatuhnya harga mi­
persoalan pembangunan bangsa yang seka­ nyak di pasaran internasional secara drastis.
ligus bersifat teknokratis dan liberal.2 Namun, hubungannya dengan cita-cita libera­
Namun demikian, menurut Anderson, dua lisasi politik tertentu sudah lama berangsur
dasawarsa setelah Prisma berdiri, proyek terputus.
modernisasi pluralis sudah lama terpinggir­ Perkataan Ben Anderson pada tahun 1992
kan oleh proyek modernisasi saingan yang itu, ada benarnya jika ditilik secara lebih so­
dilahirkan dari dalam bagian-bagian inti siologis. Kelahiran Prisma dimungkinkan
birokrasi negara Orde Baru sendiri. Proyek oleh adanya suatu konteks sosio-historis ter­
modernisasi “resmi” tersebut, yang paling tentu dalam perkembangan bangsa. Sebagai
gamblang diuraikan watak dasarnya oleh majalah atau jurnal, Prisma adalah respons
Jenderal Ali Moertopo3, salah seorang ideo­ beberapa intelektual muda (bersama sejum­
log Orde Baru terpenting, bukan saja menge­ lah seniornya) terhadap sebuah kondisi di
jar pertumbuhan ekonomi yang pesat, namun awal tahun 1970-an, yang waktu itu seakan-
juga mengaitkan keberhasilan pembangunan akan menjanjikan berbagai jenis kemungkin­
dengan kontrol sosial dan politik yang ketat, an masa depan. Bagi mereka, masa depan
bahkan represif. Indonesia terasa belum lagi tertulis saat itu.
Di dalam visi resmi itu, tidak ada tempat Dengan kata lain, Prisma memang hadir
buat cita-cita liberalisasi-pluralisme politik. ditengah-tengah pergulatan yang sedang ber­
Bahkan, masyarakat hampir sepenuhnya di­ langsung untuk membentuk suatu social or-
subordinasikan terhadap tuntutan-tuntutan der pasca-1966—yang ternyata bakal men­
negara lewat sebuah arsitektur kekuasaan jadi warisan paling kekal sepanjang masa
yang makin menutup ruang gerak politik. kekuasaaan Soeharto. Bila orang sekarang
Pada pertengahan tahun 1980-an, misalnya, banyak bicara tentang “oligarki” di Indone­
versi Pancasila sebagaimana disebarluas­ sia, misalnya, mereka sebenarnya merujuk
kan oleh Orde Baru melalui penataran P4 pada suatu struktur hubungan sosial dan
(Pedom­an Penghayatan dan Pengamalan kekuasaan yang dibentuk dan dilanggeng­
Pancasila) serta seperangkat peraturan pe­ kan pada masa Orde Baru itu sendiri.4 Perlu
rundangan yang membungkam kritik serta pula diingat bahwa Prisma terbit untuk kali
mengekang otonomi organisasi sosial dan pertama pada November 1971, tahun yang
poli­tik, sea­kan-akan menegaskan bahwa visi sama dengan pemilihan umum pertama yang
modernisasi pluralis yang mengilhami pen­ diselenggarakan Orde Baru. Sebagaimana
dirian majalah Prisma sudah tidak relevan “pesta-pesta demokrasi” berikutnya, pemilu
itu pun sejak awal sarat dengan intervensi
dan manipulasi oleh penguasa negara dan
2
Lihat, Onghokham, “Potret Cendekiawan Indonesia se­ berbagai aparatnya.
bagaimana Terekam dalam Prisma”, dalam Prisma, Vol.
IX, No. 11, 1980, hal. 57-68.
Lihat, Ali Moertopo, Dasar-dasar Pemikiran tentang
3
4
Akselerasi Pembangunan 25 Tahun (Jakarta: Yayasan Lihat, misalnya, artikel-artikel Prisma edisi “Demokra­
Proklamasi, Centre for Strategic and International Stu­ si di Bawah Cengkeraman Oligarki”, Vol. 33, No. 1,
dies, 1973). 2014.

TOPIK
VediAkhir
Grace L dan Douglas K, Karya Tugas R Hadiz, Memotret
Mahasiswa Indonesia
Indonesia Lewat“1965”
tentang Prisma 

Jadi, secara agak paradoksal, Prisma la­ Mohamad Roem, Mattulada, Mochtar Pabot­
hir justru ketika arsitektur politik yang akan tingi, Nugroho Notosusanto, Onghokham,
menutup jalan bagi realisasi visi modernisa­ Taufik Abdullah, dan YB Mangunwijaya.
si pluralis sedang ditegakkan lewat Pemilu Tidak mengherankan jika Prisma men­
1971 tersebut, mungkin tanpa disadari oleh dapat beberapa kali teguran keras dari pe­
para pendiri Prisma sendiri. Edisi “Perke­ nguasa Orde Baru karena peran potensial­
nalan” Prisma, misalnya, memuat artikel- nya dalam mengajukan suatu narasi sejarah
artikel tentang pembangunan ekonomi dan “tandingan.” Pada 1983, Prisma dianggap
politik (serta renungan tentang kaitan antara terlalu menyoroti dan “mengangkat” peran
keduanya) oleh Soedjatmoko dan Suhadi kaum “Kiri” dalam sejarah Indonesia lewat
Mangkusuwondo.5 Edisi itu juga memuat berbagai artikel para cendekiawan yang per­
tulisan ekonom Dorodjatun Kuntjoro-Jak­ nah dan direncanakan dimuat oleh jurnal
ti—salah seorang pendiri LP3ES yang kelak ini. Artikel-artikel tersebut, dan sebagian
menjadi Menteri Koordinator Perekonomian penulis­nya, dinilai bertentangan de­ngan nara­
di masa Reformasi.6 Renungan-renungan si sejarah modern Indonesia yang waktu itu
ter­sebut menjadi kedaluwarsa dalam bilang­ tengah dalam proses pembakuan oleh peja­
an beberapa tahun saja dengan adanya fusi bat dan ideolog negara. Proses tersebut dapat
partai- partai politik 1973, peristiwa Malari dilihat dalam buku teks pelajaran sekolah
(Malapetaka Limabelas Januari) 1974, kebi­ maupun lewat karya ilmiah yang diterbitkan
jakan NKK-BKK (Normalisasi Kehidupan oleh beberapa tokoh, seper­ti Menteri Pendi­
Kampus-Badan Koordinasi Kemahasiswaan) dikan dan Kebudayaan sekaligus sejarawan,
1978, dan lain-lain. Nugroho Notosusanto, yang mengedepankan
Namun demikian, Prisma masih me­ peran militer dalam perkembangan bangsa.7
miliki kemampuan untuk berevolusi—hal Sebagai hasilnya, yang kemungkinan ti­
yang mungkin kurang diperhitungkan oleh dak direncanakan oleh para pengelolanya,
Anderson. Dalam perjalanannya, Prisma Prisma kemudian menangkap kegelisahan
terkadang dapat bersuara sangat kritis dan generasi muda dan intelektual baru, yang
lantang, baik terhadap model pembangunan tidak mempunyai kaitan langsung dengan
sosial-ekonomi-politik Orde Baru maupun gejolak sosial-politik yang melahirkan Orde
narasi sejarahnya. Bahkan, salah satu edisi Baru. Sebagian besar pembaca Prisma pada
Prisma yang paling legendaris (dan laris) tahun 1980-an adalah anak-anak muda dari
adalah edisi biografi beberapa tokoh sejarah pelbagai perguruan tinggi atau aktivis LSM
Indonesia yang berasal dari spektrum politik (lembaga swadaya masyarakat) dan ber­bagai
yang luas, diterbitkan dengan judul “Manu­ jenis organisasi lainnya. Proses sosialisasi
sia dalam Kemelut Sejarah” (No 8, Agustus politik mereka waktu itu sudah berjarak
1977), dengan menampilkan tulisan-tulisan hampir dua dekade dari proses sosialisasi
Abu Hanifah, Alfian, Aminuddin Rasyad, politik yang dialami para intelektual muda
yang turut mendirikan Orde Baru, meski se­
bagian kemudian beranjak menjadi pengkri­
5
tiknya yang tajam.
Lihat, Soedjatmoko, “Problim dan Prospek Pembangun­
an”, dalam Prisma, edisi Perkenalan, Nomor 1, Novem­
Pada 1987, di bawah nakhoda Masmi­
ber 1971; Suhadi Mangkusuwondo, “Faktor2 Non-Eko­ mar Mangiang, Prisma menerbitkan sebuah
nomi dalam Penetuan Sasaran dan Tjara Pendekatan edisi tentang “kaum muda” yang sekali lagi
Pembangunan”, dalam Prisma, edisi Perkenalan, Nomor
1, November 1971.
6
Lihat, Dorodjatun Kuntjoro-Jakti, “Suatu Hipotesa
7
Tentang Pengaruh Faktor2 Non-Ekonomi atas Faktor2 Lihat, misalnya, Marwati Djoened Poesponegoro dan
Ekonomi”, dalam Prisma, edisi Perkenalan, Nomor 1, Nugroho Notosusanto (eds.), Sejarah Nasional Indone-
November 1971. sia, 6 Jilid (Jakarta: PN Balai Pustaka, 1975).

TOPIK
 Prisma, Vol, 40, No. 4, 2021

mendapatkan teguran dari birokrasi negara ngaruhnya terhadap perencanaan edisi-edisi


karena dituduh bernada menghasut pemu­ Prisma tentang masalah kebijakan ekonomi
da untuk memberontak. Pada titik sejarah dan pembangunan.
tersebut, posisi aktivis mahasiswa sudah Perkembangan lain yang menarik adalah
sedemikian terpinggirkan, sehingga cara edi­ semakin terlibatnya Prisma dalam perde­
si tersebut menangani masalah kepemudaan batan tentang hubungan antara agama, ma­
dan kemahasiswaan tak pelak amat berbeda syarakat, dan negara, seperti pada edisi-edisi
dengan edisi tahun 1973 ataupun 1977 yang yang masing-masing terbit pada 1975 (yang
menggeluti tema serupa. Pemuda dan maha­ menampilkan figur Abdurrahman Wahid
siswa 1980-an yang menjadi objek bahasan muda), 1982, 1984, 1988, dan 1995.10 Per­
pun cenderung memandang diri sebagai kor­ hatian tersebut berlanjut pada masa Prisma
ban arsitektur politik Orde Baru. Berbeda “baru”, atau tahun 2009 ke atas, sebagaima­
dengan anggota generasi sebelumnya yang na terlihat dalam edisi tentang “Islam dan
sempat mempunyai persepsi diri sebagai Dunia”.11
mitra rezim yang kemudian menuntut hak- Ada dua penyebab utama perkembang­
haknya. an itu. Pertama, perubahan internal yang
Di lain pihak, nuansa teknokratis tetap perlahan-lahan berlangsung dalam tubuh
melekat pada Prisma. Hal tersebut tidak LP3ES, yakni makin banyaknya (dan makin
kurang karena beberapa orang yang dekat bertambahnya pengaruh) staf yang berlatar
dengan teknokrasi Orde Baru tetap mem­ belakang organisasi seperti HMI atau PMII
punyai peran penting dalam organisasi in­ (salah satu di antaranya Fachry Ali) yang
duknya, LP3ES, seperti Sumitro Djojoha­ menyumbang beberapa tulisan untuk Pris-
dikusumo atau Emil Salim. Walakin, dalam ma. Kedua, meningkatnya semacam proses
mengekspresikan sudut pandang bernuansa Islamisasi kultural yang terjadi di Indonesia,
teknokratis itu, Prisma sesungguhnya kian terutama sejak tahun 1980-an dan 1990-an,
memberi dan membuka ruang untuk sejenis yang juga banyak memengaruhi karakter so­
kritik internal rezim yang mewarnai perkem­ siologis sebagian pembaca Prisma.
bangan Orde Baru itu sendiri dan biasanya Walaupun demikian, pendapat bahwa
muncul dari kalangan ekonom atau para pe­­ngaruh Prisma sebagai ladang pemikiran
pelaku/pembuat kebijaksanaan pembangun­ berangsur-angsur merosot sejak pertengah­
an ekonomi. Karena itu, Prisma tetap men­ an dasawarsa 1980-an hingga akhir tahun
jadi tempat memuat buah pikiran tokoh se­ 1990-an tidak­lah keliru. Aspek-aspek dari
perti Anwar Nasution, kelak menjadi salah konteks sosial yang ditanggapi oleh Prisma
satu Wakil Gubernur Bank Indonesia, yang sudah banyak berubah dengan cara yang se­
menulis artikel tentang masalah-masalah dikit banyak tidak menguntungkannya. Pada
pembangunan di Dunia Ketiga8–dalam cara masa tersebut, pers cetak Indonesia te­ngah
amat berbeda dengan Adi Sasono, misalnya, ber­­­kembang dengan pesat diikuti oleh pe­
yang mengedepankan teori ketergantungan luncuran beberapa stasiun televisi swasta.
neo-Marxian.9 Di masa hebohnya “deregula­
si dan debirokratisasi”, ekonom yang saat itu
10 
sedang naik daun, Sjahrir, cukup terasa pe­ Lihat, Abdurrahman Wahid, “Menjadikan Hukum Is­
lam sebagai Penunjang Pembangunan”, dalam Prisma,
edisi “Iman, Amal, dan Pembangunan”, Vol. 4, No.
4, 1975; Prisma edisi “Agama dan Revolusi”, Vol. 9,
No.9, 1982; Prisma edisi “Islam Mencari Model Poli­
8
Anwar Nasution, “Masalah Ekonomi Internasional Du­ tik”, Vol. 13, No. 3, 1984; Prisma edisi “Sejarah Politik
nia Ketiga 1984 dan Prospek 1985” dalam Prisma, Vol. Islam”, Vol. 17, No. 5, 1988; Prisma edisi “Islam Poli­
14, No. 1, 1985, hal. 43-53. tik dan Islam Kultural”, Vol. 24, No. 5, 1995.
9
Adi Sasono, “Tesis Ketergantungan dan Indonesia”, da­ 11 
Lihat, Prisma edisi “Islam dan Dunia: Perjumpaan di
lam Prisma, Vol. 9, No. 12, Desember 1980, hal. 73-86. Tengah Perbenturan”, Vol. 29, No. 4, 2010.

TOPIK
VediAkhir
Grace L dan Douglas K, Karya Tugas R Hadiz, Memotret
Mahasiswa Indonesia
Indonesia Lewat“1965”
tentang Prisma 

Hal itu mengubah pola konsumsi gagasan, tara perdebatan intelektual Indonesia. Walau­
terutama di kalangan kelas menengah ter­ pun terpaut satu dekade dengan berakhirnya
didik perkotaan yang juga sedang tumbuh Orde Baru, Prisma yang “bangun” kembali
pesat. Mereka cenderung tidak sabar mem­ memang mendapatkan nafas dari lingkungan
baca analisis dalam artikel-artikel Prisma baru yang menyertai proses demokratisasi
yang relatif panjang, serta dilengkapi dengan di Indonesia. Meskipun demikian, ia lebih
catatan kaki dan referensi yang banyak. Ko­ tepat dimaknai sebagai produk lingkungan
lom-kolom opini yang tersedia di berbagai sosial yang ditandai kegagalan pencapaian
surat kabar dan majalah berita sepanjang sebagian cita-cita Reformasi tersebut.
sekian ratus kata tampaknya sudah cukup Memang agak berlebihan untuk men­
memenuhi kebutuhan mereka. daku bahwa Prisma hadir kembali dikare­
Para calon penulis juga semakin senang nakan suatu kebutuhan yang ditimbulkan
dan sering menyumbangkan artikel pendek oleh pencarian arah baru untuk Indonesia
di surat kabar dan majalah berita, sebab le­ yang sempat menyertai tumbangnya rezim
bih mudah ditulis dalam tempo relatif cepat Soeharto pada 1998. Ketika Prisma kembali
dan mendapatkan imbalan keuangan yang hadir pada 2009, euforia Reformasi sudah
juga relatif lebih besar. Di kemudian hari, lama surut. Prisma justru muncul untuk di­
mereka pun berlomba-lomba untuk masuk baca oleh generasi yang mengalami keke­
acara televisi swasta—terkadang lebih terke­ cewaan dengan hasil-hasil perjuangan Re­
san guna mendongkrak popularitas pribadi formasi—yang sudah mulai menumpuk dan
ketimbang menyumbangkan pemikiran yang menyebar ke berbagai pelosok masyarakat.
mendalam. Kalaupun demokrasi telah tertanam kuat di
Akhirnya Prisma, berhenti terbit untuk Indonesia, adalah sejenis demokrasi yang
waktu yang lama sejak tahun 1998. Memang masih didominasi kekuatan-kekuatan oligar­
sebuah ironi bahwa di tahun gejolak Refor­ kis. Oligarki itu bertahan sebagai perseku­
masi, ketika suatu pergulatan besar terjadi tuan antara kepentingan politik-birokratis
lagi untuk menentukan arah perjalanan se­ dan modal besar—yang awalnya dipelihara
jarah Indonesia, Prisma justru “mati suri”.12 oleh Orde Baru dalam kerangka politik otori­
Prisma seolah-olah lengser bersamaan de­ tarian—tetapi ternyata masih bisa berjaya
ngan lengsernya Soeharto, suatu hal yang dalam alam demokratisasi.13
seper­ti­nya menggarisbawahi bagaimana Cita-cita keadilan sosial yang sempat
majalah tersebut betul-betul adalah anak za­ menyertai harapan-harapan demokratisasi
mannya. Baru pada tahun 2009, atas prakarsa sudah agak lama tenggelam dengan terus
Daniel Dhakidae, yang boleh disebut sebagai melebarnya jurang kaya-miskin dan marak­
mantan pemimpin redaksi di masa puncak nya pola-pola akumulasi modal berlandas­
kejaya­annya, Prisma hadir lagi dalam belan­ kan korupsi atau berbagai variasi kegiatan
rampok dan rampas yang terlindungi secara
politik. Tidak mengherankan bahwa edisi
12 
“Mati suri” istilah yang sangat tepat. Prisma berhenti Prisma “baru” yang muncul kali pertama
terbit sejak edisi terakhir September 1998 dan terbit pada 2009—dalam suasana krisis ekonomi
kembali Juni 2009, namun berbagai edisi Prisma lama paling serius yang dialami oleh kapitalisme
(1971-1998) yang masih tersisa tetap diedarkan oleh
Penerbit LP3ES serta diperjualbelikan oleh berbagai global—“menyalurkan” antusiasme para
toko buku konvensional di beberapa kota. Dalam arti
itu, Prisma sebenarnya masih berada dalam “ingatan
kolektif” para pembaca tradisionalnya, bahkan dicari
13 
dan diburu oleh beberapa kelompok mahasiswa dari Lihat, Richard Robison dan Vedi R Hadiz, Reorganis-
generasi yang lahir di awal milenial. Di era digital saat ing Po­wer in Indonesia: The Politics of Oligarchy in
ini, Prisma lama masih diperjualbelikan via berbagai an Age of Markets (London dan New York: Routledge­
platform digital. Curzon, 2004).

TOPIK
 Prisma, Vol, 40, No. 4, 2021

pengelola jurnal terhadap ide “senja kala resmi, sebenarnya masih terbuka untuk kon­
kapitalisme.” testasi intelektual yang cukup sengit.
Mungkin Ben Anderson hanya benar se­ Lewat Prisma hingga ia sempat redup
bagian ketika bicara sambil lalu dengan saya di tahun 1998, pembaca dapat mengikuti
tentang Prisma di salah satu sudut Kota Mel­ perkembangan gagasan di bidang kebudaya­
bourne beberapa puluh tahun silam. Kalau­ an, baik di Indonesia maupun secara lebih
pun sudah lama tidak lagi menjadi episen­ luas sepanjang tahun 1980-an dan 1990-an.
trum perdebatan pemikiran, Prisma tetap Tulisan-tulisan Ignas Kleden memberikan
berhasil menjadi alat potret perjalanan se­ sarana untuk berjumpa dengan cara berpikir
jarah Indonesia sebagaimana terekam dalam tentang kebudayaan yang kritis dan dina­
perkembangan gagasan para intelektual In­ mis—tidak cenderung statis sebagaimana
donesia di berbagai bidang. kebudayaan didefinisikan oleh negara, dari
Lewat Prisma, sebagian pembaca pertama Orde Baru hingga hari ini.16 Lewat Ariel
mengenal kritik terhadap kapitalisme dalam Heryan­to, dan penulis lain, pembaca juga
tradisi neo-Marxian, termasuk dalam varian berkenalan dengan cara pandang kebudaya­
teori dependensia ala Andre Gunder Frank, an yang banyak terinspirasi oleh teori-teori
yang disebut di atas, dan teori sistem-dunia pasca-modernisme dan pasca-strukturalis­
ala Immanuel Wallerstein. Beberapa penu­ me.17 Karena itu, RZ Leirissa pun menyoroti
lis yang pernah memimpin dan me­ngelola bagaimana Prisma semakin berperan dalam
Prisma, seperti M Dawam Rahardjo dan mengedepankan perdebatan intelektual di In­
Farchan Bulkin14, menyediakan sejumlah donesia di bidang kebudayaan sejak dekade
tulisan yang memperkenalkan khalayak pem­ 1980-an.18
baca Prisma pada teori dan konsep yang lahir Kehadiran kembali Prisma di tahun 2009
dari perdebatan pembangunan di Amerika tentu membuka pintu untuk generasi penu­
Latin maupun Asia Selatan, termasuk karya lis yang lebih baru lagi. Di antaranya adalah
Hamza Alavi, sosiolog dari Pakis­tan. Prisma Airlangga Pribadi dan Inaya Rakhmani,
juga memunculkan perdebatan tentang Eko­
nomi Pancasila yang melibatkan ekonom
Mubyarto dan Sarbini Sumawinata serta 16 
Lihat, misalnya, Ignas Kleden, “Teori Ilmu Sosial se­
sosiolog Arief Budiman.15 Perdebatan itu bagai Variabel Sosial”, dalam Prisma, Vol. 12, No.
memunculkan kesadaran tentang bagaimana 6, 1983; Ignas Kleden, “Penelitian dan Kemampuan
konsep yang tidak ingin diperdebatkan lagi Ilmu-ilmu Sosial Pelajaran dari Seminar Orientasi
oleh negara, karena sudah diberikan makna Sosial Budaya”, dalam Prisma, Vol. 13, No. 1, 1984;
Ignas Kleden, “Model Rasionalitas Teknokrasi”, dalam
Prisma, Vol. 13, No. 3, 1984; Ignas Kleden, “Kualitas
Manusia Sebagai Persoalan Ilmu Sosial - Postskriptum
Sebuah Seminar”, dalam Prisma, Vol. 13, No. 9, 1984;
14 
Lihat, misalnya, Prisma edisi “Krisis Kapitalisme Du­ Ignas Kleden, “Kebudayaan: Agenda Buat Daya Cip­
nia”, Vol. 12, No. 3, 1983; Prisma edisi “Sektor Swasta ta”, dalam Prisma, Vol. 14, No. 1, 1985; Ignas Kleden,
An­­tara Kesempatan dan Kesempitan”, Vol. 12, No. 7, “Pembaharuan Kebudayaan Mengatasi Transisi”, dalam
1983; Prisma edisi “Kerawanan Sistem Pertahanan”, Prisma, Vol. 14, No. 8, 1985; Ignas Kleden, “Berpikir
Vol. 12, No. 10, 1983; Prisma edisi “Kelas Menengah Strategis tentang Kebudayaan”, dalam Prisma, Vol. 16,
Baru: Menggapai Harta dan Kuasa”, Vol. 13, No. 2, No. 3, 1987; Ignas Kleden, “Kebudayaan Pop: Kritik
1984; Prisma edisi “Negara atau Masyarakat”, Vol. 13, dan Pengakuan”, dalam Prisma, Vol. 16, No. 5, 1987.
17 
No. 8, 1984. Lihat, misalnya, Ariel Heryanto, “Berjangkitnya Ba­
15 
Lihat, Mubyarto. “Moral Ekonomi Pancasila”, dalam hasa-Bangsa Indonesia”, dalam Prisma, Vol. 18, No.
Pris­ma, Vol. 10, No. 1, Januari 1981; Arief Budiman, 1, 1989; Ariel Heryanto, “Kelas Menengah Indonesia:
“Sis­tem Perekonomian Pancasila, Kapitalisme, dan Tinjauan Kepustakaan”, dalam Prisma, Vol. 19, No. 4,
Sosialis­me”, dalam Prisma, Vol. 11, No. 1, Januari 1990;
18 
1982; Sar­bini Sumawinata, “Sejarah Ekonomi Kita Se­ Richard Zakaria Leirissa, “Prisma dalam Dasawarsa
jarah Tanpa Perubahan”, dalam Prisma, Vol. 12, No. 1980-an”, dalam Prisma, Vol. 23, No. 1, Januari 1994,
8, 1983. hal. 83-91.

TOPIK
VediAkhir
Grace L dan Douglas K, Karya Tugas R Hadiz, Memotret
Mahasiswa Indonesia
Indonesia Lewat“1965”
tentang Prisma 

yang kini direkrut sebagai anggota Dewan penulis baru Prisma sering kali merupakan
Redaksi Prisma. Tulisan mereka pun hadir manifestasi “baru” dari tema-tema “lama.”
dalam edisi peringatan ulang tahun ke-50 Tema dalam edisi ulang tahun ke-50 Pris­ma
Prisma ini. Menariknya, para penulis baru ini digarap oleh barisan penulis, yang untuk
itu ternyata harus bergelut dengan banyak sebagian besar, mengalami sosialisasi politik
masalah “lama” yang ternyata masih ber­ mereka di akhir masa Orde Baru atau bahkan
tahan atau tetap hadir dalam manifestasi sepenuhnya di masa Reformasi.
agak baru. Kehadiran masalah “baru tetapi Farid Gaban menulis artikel yang menin­
lama” tersebut mungkin turut menjelaskan jau secara kritis model pembangunan ekono­
bagaimana Prisma masih relevan dari za­ mi yang kini ditempuh di masa Reformasi,
man ke zaman; lebih tepatnya, bagaimana dibandingkan dengan model yang sempat
Prisma dapat melampaui (transcend) zaman “berseteru” di masa Orde Baru. Tulisannya
yang melahirkannya. Tema dan masalah be­ membahas pasang surut teori pembangunan
sar yang dihadapi Indonesia ternyata belum dan bagaimana Prisma memainkan peran
banyak berubah dalam waktu setengah abad dalam perdebatan di antara para pengan­
terakhir ini, meski sudah terjadi pergeseran jurnya. Farid Gaban juga mengkaji pendekat­
dari otoritarianisme yang ketat ke demokrasi an alternatif pembangunan yang berkembang
yang terdesentralisasi. sejak berakhirnya zaman Soeharto, terutama
Namun demikian, Prisma tetap hadir persoalan pembangunan berkelanjutan dan
kembali dalam konteks umum yang telah krisis iklim. Tulisan itu tentu akan meng­
mengalami beberapa perubahan signifikan. ingatkan pembaca setia Prisma yang sudah
Pertama, dahulu Prisma hampir tidak mem­ berumur pada berbagai edisi sebelumnya,
punyai saingan yang berarti sebagai jurnal termasuk edisi-edisi tahun 1979 dan 1980,
atau majalah pemikiran masalah pembangun­ yang membandingkan berbagai model pem­
an dan ilmu sosial. Sekarang, setidaknya se­ bangunan (dan sejumlah “isme”) yang dini­
jak tahun 2000, hampir setiap fakultas ilmu lai layak untuk Indonesia.
sosial, bahkan jurusan di dalamnya, di ber­ Dalam tulisannya masing-masing Inaya
bagai perguruan tinggi di Indonesia sudah Rakhmani dan Airlangga Pribadi memerik­sa
mempunyai jurnal sendiri. Banyak di antara hubungan intelektual dan perkembangan so­
mereka terdaftar di Kementerian Pendidikan sial-politik di Indonesia, sebuah tema yang
dan Kebudayaan, sehingga mampu memberi­ juga pernah digeluti Prisma dalam beberapa
kan kredit yang diperlukan untuk para dosen edisi sepanjang sejarahnya. Penulis perta­
yang beraspirasi naik pangkat akademis. Se­ ma meninjau bagaimana intelektual secara
bagai penerbitan yang tidak terkait dengan umum, dan peran Prisma khususnya, dalam
institusi pendidikan tinggi, kultur seperti itu memahami secara kritis masalah ketimpang­
agaknya masih agak asing buat Prisma, se­ an sosial-ekonomi yang hingga kini masih
hingga mengurangi daya tariknya bagi calon membelit Indonesia. Penulis kedua mem­
penulis masa kini yang berprofesi dosen. Se­ bahas masalah lebih luas mengenai peran
lain itu, sangat banyak blog, website, online Prisma dalam menelaah wacana ilmu pe­
journal dewasa ini memberikan ruang bagi ngetahuan sosial dalam konteks hubungan
tulisan-tulisan yang dahulu mungkin hanya kekuasaan domestik dan internasional yang
ditujukan untuk dimuat Prisma. Dalam hal turut membentuk wacana tersebut. Pen­ting
ini, Prisma agaknya masih mengalami ke­ untuk diingat bahwa Aswab Mahasin dan
sulitan untuk menancapkan kehadirannya Ismid Haddad, keduanya pernah menjadi
dalam belantara perdebatan pemikiran yang Direktur LP3ES dan pengelola Prisma,
kini banyak terjadi di dunia maya. menyunting buku cukup terkenal berjudul
Di sini, perlu ditekankan ulang bahwa Cendekiawan dan Politik (1983), sementara
masalah-masalah yang ditangani generasi Daniel Dhakidae menelurkan magnum opus-
TOPIK
10 Prisma, Vol, 40, No. 4, 2021

nya yang berjudul Cendekiawan dan Kekuasa­ tata kelola ruang perkotaan. Namun, artikel
an dalam Negara Orde Baru (2003). ini menaruh perhatian khusus pada persoal­
Fachru Nofrian, Redaktur Ekonomi Pris­ an-persoalan ekologis berkait lewat dialog
ma pasca-2009, menyumbangkan tulisan dengan analisis-analisis sebelumnya yang
sangat aktual mengenai pengaruh pandemi pernah diterbitkan Prisma, sambil berusaha
Covid-19 terhadap pembangunan ekonomi menawarkan suatu perspekfif baru.
Indonesia, khususnya dalam konteks pe­ Sebagaimana dikemukakan di atas, Pris-
rubahan konstelasi ekonomi-politik inter­ ma di masa awalnya didirikan untuk me­
nasional. Sekali lagi, bagi pembaca Prisma nyambut berbagai kemungkinan yang semu­
lama, tulisan itu untuk sebagian akan meng­ la diharapkan masih terbuka untuk masa
ingatkan pada persoalan-persoalan lebih depan Indonesia di tahun-tahun pertama
menghadap “keluar” Indonesia yang pernah Orde Baru. Sejumlah harapan tersebut cepat
ditonjolkan oleh beberapa edisi Prisma se­ kandas dalam kenyataannya, tetapi Prisma
jak 1970-an hingga absen pada tahun 1998. mampu berevolusi. Kini sudah setengah
Edisi semacam itu sebenarnya relatif jarang abad dilalui Prisma, walaupun sempat mati
keluar dibandingkan edisi yang cenderung suri sepanjang satu dekade antara 1998 dan
melihat Indonesia dalam perspektif hampir 2009.
sepenuhnya “dari dalam.” Dewasa ini Indonesia mengalami sejum­
Tulisan itu kemudian diikuti oleh Esai lah, sekali lagi, tantangan “baru tapi lama.”
yang ditulis oleh Kamala Chandrakirana, Tantangan-tantangan tersebut–seperti model
tokoh feminis veteran yang membahas ma­ pembangunan, sistem politik, kesenjangan
salah gerakan perempuan dan kesetaraan sosial, ancaman terhadap lingkungan hidup,
gender. Walaupun ada beberapa edisi Prisma daya tahan sistem kesehatan, pendidikan,
yang menyoroti tema serupa di masa lalu demokratisasi, kesetaraan gender, bentuk-
(misalnya, pada 1981 dan 1991), dalam ke­ bentuk solidaritas dan fragmentasi dalam
nyataannya perhatian yang dicurahkan pada masyarakat, posisi agama dalam masyara­
persoalan-persoalan terkait masih cenderung kat, ketenagakerjaaan, masa depan kaum
minim dalam setengah abad kehadiran Pris- muda–sudah pernah ditangani Prisma le­
ma. Alasan persisnya mungkin perlu dire­ bih dari satu kali. Akan tetapi, kini mereka
nungkan Dewan Redaksi Prisma yang kini semua hadir dengan tingkat keterpautan
sedang bertugas. de­ngan perkembangan tingkat global yang
Tulisan berikutnya yang ditulis Grace tanpa preseden.
Leksana bersama Douglas Kammen mem­ Adalah tantangan Prisma untuk tetap
bawa Prisma berurusan lagi dengan salah mampu menjadi alat potret perkembangan
satu tema favoritnya: problematika interpre­ masyarakat Indonesia dan pergulatan pe­
tasi sejarah. Secara khusus, tulisan mereka mikiran tentang masa depannya. Terlebih
meninjau skripsi, tesis, dan disertasi yang karena Reformasi di Indonesia baru mampu
dihasilkan oleh perguruan tinggi di Jawa melahirkan demokrasi yang cacat dan marak
perihal Peristiwa 1965. Mereka menemukan korupsi, sementara cita-cita keadilan sosial
bahwa skripsi, tesis, dan disertasi semacam yang menyertainya tampak makin menjauh
itu semakin banyak jumlahnya sejak masa dari kemungkinan terwujud. Persoalan bagi
Reformasi dan berusaha untuk memahami Prisma adalah bagaimana menempatkan diri
signifikansi fenomena tersebut. dalam konteks seperti itu. Posisi apa pun
Terakhir, sumbangan tulisan Bosman Ba­ yang diambil terhadap demokrasi kita, yang
tubara dan Eka Handriana meninjau kembali terkadang sangat bersemangat, hampir se­
suatu tema yang sebenarnya juga menjadi lalu beririsan dengan korupsi seraya menge­
langganan perhatian Prisma, hingga pada nyampingkan keadilan sosial, kecuali dalam
edisi yang baru lalu, yakni urbanisasi dan retorika aktor-aktor­nya yang bebal.l
TOPIK
Grace L dan Douglas K, Karya Tugas Akhir Mahasiswa Indonesia tentang “1965” 11

Dari Kutukan Rostow ke Model Baru


Pembangunan

Farid Gaban

Sebagai sebuah manifesto non-komunis (bahkan anti-komunis dalam konteks Perang Di­ngin),
karya WW Rostow tentang tahap-tahap pertumbuhan ekonomi (1960) menjadi doktrin pem-
bangunan yang diyakini mampu membawa negara-negara bekas jajahan, seperti Indonesia,
menempuh jalan modernisasi menuju masyarakat adil dan makmur. Namun, modernisasi
dalam sistem kapitalisme tersebut terbukti gagal memenuhi janjinya. Bahkan, kurang dari
dua dasawarsa sejak Orde Baru memapankan diri, kritik terhadap model pembangunan
yang bertumpu pada pertumbuhan ekonomi makin keras berkumandang, terutama tecermin
dalam pergulatan pemikiran, pendirian, serta debat yang muncul dari berbagai tulisan dan
penulis di Prisma selama setengah abad. Walaupun doktrin Rostow bangkit kembali dalam
wujud paling banal, yakni keyakinan mutlak pada idealisasi kapitalisme pasar, namun sejak
Prisma terbit kembali pada 2009, beberapa alternatif model pembangunan mulai menam-
pakkan diri, terutama didorong oleh krisis sosial-ekologi yang dipicu ketimpangan sosial
dan perusakan alam.

Kata Kunci: ketimpangan sosial, krisis, lingkungan, neoliberalisme, pembangunan

D aniel Dhakidae meratap dan meng­


gugat. Wabah korona, kata dia,
te­­lah menelanjangi umat manusia
dan kemanusiaan setidaknya dalam dua hal:
nusia sekadar menjadi tukang konsumsi;
manusia dinilai dari seberapa banyak dia
diasosiasikan dengan pasar, serta seberapa
banyak dia membeli dan mengonsumsi.
wajah munafik neoliberalisme dan betapa Akibat wabah, kegiatan konsumsi sebagian
kerdil manusia yang terjatuh sekadar men­ besar orang terhambat, namun pada saat
jadi homo consumens—manusia tukang yang sama kapasitas konsumsi segelintir
konsum­si. orang justru makin besar. Itu mencerminkan
Korona menghancurkan paham neoliberal­ ketim­pangan akses terhadap sumber-sumber
ketika perusahaan-perusahaan swasta raksa­ ekonomi di satu sisi dan penormalan korup­
sa, yang sebelumnya merasa berada di atas si-kolusi oleh kelompok elite oligark di sisi
angin, bersujud minta ampun dihadapkan lain.
pada ancaman kebangkrutan. Menelan ludah Dua hal itu punya konsekuensi mendalam
khotbah supremasi pasar, mereka meminta pada watak politik, demokrasi dan hubungan
negara turun tangan membantu. sosial yang menyeret kita makin jauh dari
Korona menelanjangi homo consumens, cita-cita republik. Homo consumens, kata
kata Daniel Dhakidae, namun belum sam­ Daniel Dhakidae, “mengabaikan satu sisi be­
pai menghancurkannya. Sudah sangat lama, sar manusia dalam masyarakat, yaitu homo
sistem ekonomi neoliberal membentuk ma­ republicus, pengembang nilai-nilai repu­

TOPIK
12 Prisma, Vol, 40, No. 4, 2021

blikan, republican values, seperti kesamaan ekonomi besar pada 2020, siklus yang ham­
hak menuju keadilan.” Nilai-nilai kesamaan pir rutin 10-tahunan. Krisis sebelumnya ter­
menuju keadilan itu untuk waktu sangat lama jadi pada 1988 (Black Monday), 1998 (Kri­
sudah ditinggalkan dan terabaikan.1 sis Asia), dan 2008 (Krisis Mortgage).
Dengan itu, Daniel Dhakidae, salah satu Memang tidak terjadi krisis besar pada
editor terlama Prisma, seperti ingin mengi­ 2018. Namun, sejumlah pengamat me­
ngatkan kembali betapa keliru negeri ini nyatakan krisis akan datang juga, meski ter­
mengabaikan pesan kritis bertahun-tahun lambat, yakni pada tahun 2020-2021 ini. Ko­
yang disampaikan jurnal ini terhadap model rona, yang kini datang tiba-tiba, tak hanya
pembangunan sejak awal Orde Baru, seka­ mempercepat realisasi krisis tadi, tetapi juga
ligus memberi kita bekal dalam merumuskan memicu dampak yang jauh lebih luas dan
format baru pembangunan yang lebih baik. mendalam hanya dalam hitungan bulan.
Dalam bahasa yang lebih lugas dari tu­ Keluasan dan kedalaman krisis itu bah­
lisan-tulisan pada masa kejayaan Orde Baru, kan belum sepenuhnya bisa kita takar. Dana
Daniel Dhakidae dan beberapa penulis Pris- Mone­ter Internasional (IMF) sendiri menye­
ma beberapa tahun belakangan ini menyim­ but ancaman krisis ekonomi kali ini yang
pulkan betapa tersesat model pembangunan terburuk sejak Depresi Besar (Great Depres-
yang kita anut, baik di tingkat nasional mau­ sion), krisis ekonomi global pada tahun 1930-
pun global. Tersesat ketika hasilnya justru an, yang juga pernah dibahas oleh Bung Hat­
berkebalikan dengan nilai-nilai baik homo ta. Depresi Besar tadi, menurut Bung Hatta,
republicus tadi: “Senjakala Kapitalisme & adalah “krisis yang muncul bersama-sama
Krisis Demokrasi”2 atau “Perselingkuhan dengan timbulnya sistem kapitalisme.”
Bisnis & Politik Kapitalisme Indonesia Pas­ Bagaimanapun juga, krisis demi krisis
ca-Otoritarianisme”.3 pada dua dasawarsa terakhir memperluas
Akan tetapi, ulasan tentang kebang­krutan pengangguran dan kemiskinan, yang pada
kapitalisme sebenarnya tidak baru di Pris- gilirannya membawa dampak multidimensi
ma. M Dawam Rahardjo, editor tangguh makin mendalam: sosial, budaya, pangan,
lain di Jurnal Prisma, sudah menulis “Krisis kese­hatan, dan keamanan. Seperti kata Da­
Kapitalisme?” pada 1983.4 Meski me­ngutip niel Dhakidae, korona makin parah memo­
tulisan Bung Hatta yang lebih lugas (Krisis rakporandakan semua itu.
Ekonomi dan Kapitalisme, 1934), ulasan Wabah itu memaksa orang merenungkan
Dawam tampak masih ragu-ragu atau dia hal yang lebih mendasar, tak hanya tentang
mung­kin menenggang arus-besar paham ekonomi dan politik, namun bahkan tentang
ekonomi waktu itu. Indonesia mengalami aspek hakiki dari agama, tentang spirituali­
pasang naik neoliberalisme yang makin tas, ketika orang justru dilarang pergi ke
agresif pada awal dasawarsa 1980-an itu, masjid atau gereja, ketika ibadah haji dan
mes­ki prosesnya sendiri sudah dimulai sejak umroh atau misa Paskah ditiadakan.
awal Orde Baru berdiri. Di sisi lain, wabah korona sebaliknya
Bahkan, tanpa korona, sudah banyak pre­ membawa berkah bagi alam ketika manusia
diksi bahwa dunia akan menghadapi krisis terpaksa menahan diri dari menjadi homo
consumens: kurang polusi dan pencemaran,
berhentinya aktivitas ekonomi yang merusak
1
Daniel Dhakidae, “Krisis Korona, Homo Consumens, alam, turunnya emisi karbon, pulihnya kem­
dan Homo Republicus”, dalam Prisma, Vol. 39, No. 3, bali lapisan ozon yang memicu pemanasan
2020, hal. 2.
2
Lihat, Prisma, Vol. 28, No. 1, Juni 2009.
global, serta kemunculan kembali satwa-
3
Lihat, Prisma, Vol. 32, No. 1, 2013. satwa liar di sungai, kebun dan laut, ketika
4
Lihat, M Dawam Rahardjo, “Krisis Kapitalisme?”, manusia mengurung diri di dalam rumah.
dalam Prisma, Vol. 12, No. 3, 1983, hal. 2. Di samping membawa tragedi, setiap kri­
TOPIK
Farid K,
Grace L dan Douglas Gaban,
KaryaDari Kutukan
Tugas Rostow ke Model
Akhir Mahasiswa Barutentang
Indonesia Pembangunan
“1965” 13

sis memberi kita peluang untuk introspeksi nya ketimpangan ekonomi terburuk, sepan­
dan koreksi. Makin besar krisis, makin men­ jang sejarah negeri ini.
dasar koreksi yang harus dilakukan. Sudah Alih-alih mengoreksi penguasaan eko­
seharusnya, krisis kali ini juga memicu re­ nomi oleh segelintir orang di era Orde Baru,
nungan jauh lebih mendalam tentang sistem obligasi rekap justru memulihkan dan mem­
ekonomi dan arah kebijakan pembangunan, perkuat konsentrasi. Obligasi rekap berjasa
tidak hanya di tingkat daerah dan negara, memulihkan ekonomi konglomerat. Mereka
tetapi juga di tingkat global. yang nyaris bangkrut pada awal Reformasi,
Kegagalan kita merumuskan arah pem­ kini kembali menjadi raksasa yang makin
bangunan dan kebijakan baru pascakorona, digdaya dan makin menggurita.
tak hanya akan memperparah risiko krisis Total obligasi rekap yang diterbitkan
di masa mendatang, tetapi juga kemampuan pemerintah kala itu senilai Rp 430 triliun.
dan daya tahan kita dalam menghadapi krisis Namun, pemerintah harus membayar pokok
dunia yang kian serius. plus bunga sebesar Rp 600 triliun, keseluruh­
an menjadi Rp 1.000 triliun lebih. Peme­rintah
masih harus membayar itu sampai sekarang,
20 tahun kemudian. Belum lama lalu, adalah
Dari Krisis ke Skandal Menteri Keuangan Sri Mulyani sendiri yang
meratap bahwa kita masih harus membayar
Akan tetapi, seperti kata Daniel Dhakidae, utang BLBI dan obligasi rekap sampai seka­
korona cuma menelanjangi kedok. Belum rang.5
sampai menghancurkan sistem maupun pola Ketika pemerintah berutang, siapa lagi
pikir lama. Terobsesi pada pertumbuhan eko­ yang membayar utang itu selain publik atau
nomi dan investasi sejak periode pertama, warga negara. Porsi belanja (pengeluaran)
pemerintahan Jokowi cenderung menangga­ pemerintah pusat dalam beberapa tahun ter­
pi wabah korona dari pertimbangan ekonomi akhir menunjukkan peningkatan tajam dalam
ketimbang perspektif kesehatan masyarakat. pembayaran utang, dan sebaliknya penyusut­
Pemerintah menerbitkan obligasi ratusan an secara sigifikan belanja untuk subsidi
triliun rupiah dengan motif utama membiayai publik, khususnya di bidang kesehatan.
stimulus dunia usaha agar ekonomi cepat pu­ Tidak heran jika wabah korona kemudian
lih dari perlambatan dan kemunduran akibat membuka kedok buruknya sistem dan layan­
wabah. Dengan kata lain, pemerintah me­ an kesehatan kita. Bahkan, di masa normal,
numpuk utang baru untuk program pemulih­ kita masih kedodoran menangani penyakit
an ekonomi nasional (PEN) yang sebagian “tradisional” seperti TBC, malaria dan de­
besar disalurkan lewat instrumen perbankan. mam berdarah dengue.
Itu mengingatkan kita pada “Skandal Bailout BLBI dan obligasi rekap adalah cerita
Bank Century” pada Krisis 2008 dan “Skan­ tentang pesta-pora para elite di atas beban
dal BLBI” pada Krisis 1998. rakyat kebanyakan. Sebuah cerita kolosal
Menyusul Krisis 1998, atas saran IMF mencederai rasa keadilan, yang terlalu me­
dan Bank Dunia, pemerintah menerbitkan malukan bahkan untuk dijadikan pelajaran
obligasi rekap (sekali lagi utang). Utang di sekolah-sekolah ekonomi.
dipakai untuk menyuntik bank-bank sakit, Kebijakan elitis itu bahkan diulangi,
baik milik pemerintah maupun milik para meski dalam skala jauh lebih kecil, ketika
kong­lomerat raksasa. Obligasi rekap berjasa
memulihkan ekonomi, tetapi juga di sisi lain
memicu ketimpangan. Pada akhir Pemerin­ 5
Lihat, “Sri Mulyani: Selama 22 Tahun Pemerintah Tang­
tahan Susilo Bambang Yudhoyono, indeks gung Bunga dan Pokok Utang BLBI”, dalam Kompas.
Gini Indonesia mencapai nilai tertinggi, arti­ com - 27/08/2021.

TOPIK
14 Prisma, Vol, 40, No. 4, 2021

terjadi lagi krisis pada 2008, yakni ketika mereka ambruk akan menyeret runtuh eko­
uang negara (publik) dipakai untuk menyub­ nomi negara. Itu sebabnya, pemerintah harus
sidi pemilik Bank Century. Hal tersebut se­ membantu dan menyelamatkan mereka.
pertinya masih akan diulangi lagi sekarang Kebijakan itu juga sering diperkuat oleh
di tengah wabah korona, ketika pemerintah teori “trickle down effect”, jargon ekonomi
menerbitkan “Pandemic Bond”, surat utang sejak tahun 1970-an, yang percaya bahwa
khusus penanganan pandemi virus korona. jika kita membantu dan menyelamatkan
Menteri Keuangan Sri Mulyani menga­ yang besar-besar, bantuan itu pada akhir­
takan penyaluran dana pemulihan ekonomi nya akan menetes kepada yang kecil-kecil,
kali ini akan prudent, tepat sasaran dan se­ yang akhirnya menguntungkan dan menye­
suai aturan. Akan tetapi, jika benar begitu, lamatkan masyarakat secara keseluruhan.
mengapa Presiden Jokowi harus mengeluar­ Bebe­rapa kajian mutakhir mengungkapkan
kan peraturan pemerintah pengganti undang- bahwa trickle down effect cuma mitos eko­
undang (Perppu) untuk mendukung tanpa nomi, sementara dampak negatifnya tak bisa
syarat kebijakan pemulihan ekonomi akibat diabaikan.
korona? Dua teori itu bertanggung jawab atas mun­
Salah satu isi terpenting Perppu Nomor 1 culnya anggapan semu bahwa kelangsungan
Tahun 2020 adalah membebaskan para pelak­ hidup para konglomerat identik de­ngan ke­
sana dan pembuat kebijakan dari kemung­ pentingan negara, yang pada kenyataannya
kinan tuntutan hukum. Itu seperti memberi cuma menjustifikasi kolusi antara politisi
blanko kosong kepada aparat pemerintah dan penguasaha kroni.
untuk kemungkinan menyalahgunakan da­ Kebijakan tadi juga jelas memicu moral
lih “memulihkan ekonomi” demi kepenting­ hazard karena memanjakan para bankir serta
an pribadi dan kelompok serta kepentingan pemilik bank. Di sisi lain terlalu kuat mencer­
para kroni. minkan bias-keuangan seraya mengabaikan
problem riil kemiskinan dan ketimpangan,
bahkan di Amerika Serikat sendiri.
Kutukan Rostow dan Bank Sepuluh tahun setelah bailout, Presiden
Amerika Serikat Barack Obama menyatakan
Dunia bahwa negerinya menghadapi problem ke­
timpangan dan kemiskinan yang makin kro­
Indonesia tidak sendirian, baik sekarang nis, di tengah buruknya sistem kesehatan aki­
maupun di masa lalu. Menyusul Krisis 2008, bat komersialisasi industri asuransi, farmasi,
Pemerintah Amerika Serikat juga memakai dan rumah sakit swasta.
dana publik untuk menyubsidi lembaga-lem­ Fakta bahwa kini Amerika Serikat men­
baga keuangan, di samping membebaskan derita kematian terbanyak akibat wabah
pajak perusahaan-perusahaan besar; pada korona benar-benar membuktikan kekha­
dasarnya menyelamatkan para konglomerat watiran Obama beberapa tahun lalu. Dibum­
dan Wall Street. Tidak hanya elitis, kebijakan bui drama petualang politik Donald Trump,
itu juga sebenarnya mengkhianati kredo para korona seperti tengah menghancurkan
penyokong kapitalisme pasar bebas sendiri berkeping-keping “The American Dream”
yang tidak membenarkan negara campur yang menjadi role-model pembangunan In­
tangan dalam urusan swasta (privat). donesia sejak awal Orde Baru.
Menelan ludah sendiri, kini campur ta­ Tak lama setelah berkuasa, Soeharto
ngan negara dijustifikasi lewat teori “too big menggelar program ambisius Repelita, rang­
to let fail”, bahwa perusahaan swasta terten­ kaian pembangunan 5 tahunan yang diklaim
tu, khususnya perbankan, begitu besar dan akan membawa Indonesia tinggal landas
saling terkait sedemikian rupa sehingga jika menuju negeri maju. Konsep Repelita di­
TOPIK
Farid K,
Grace L dan Douglas Gaban,
KaryaDari Kutukan
Tugas Rostow ke Model
Akhir Mahasiswa Barutentang
Indonesia Pembangunan
“1965” 15

ambil tak lain dari gagasan Walt Whitman kungan, tentang pemerataan (1983), dan
Rostow (1916-2003), ekonom dan politikus bahkan tentang pembangunan bervisi perem­
penasihat Presiden Amerika Serikat John puan/gender inclusive (1988).
Fitz­­gerald Kennedy dan Lyndon Baines Kritik dan perdebatan model pembangun­
Johnson. an Orde Baru mencakup berbagai aspek,
Pada 1960, Rostow menerbitkan The salah satunya tentang pendekatan dasarnya
Stages of Economic Growth: A Non-Com- sendiri: kapitalisme dan developmentalisme.
munist Manifesto.6 Dalam buku terkenal itu, Kritik dan wacana alternatif, antara lain,
Rostow menjabarkan lima tahap pertumbuh­ datang dari tulisan Dawam Rahardjo tadi.
an ekonomi: masyarakat tradisional; persiap­ Dalam beberapa edisi, Dawam juga menu­
an untuk tinggal landas; tinggal landas; lis tentang pemerataan dan pentingnya kope­
me­­nuju kematangan; dan bermuara pada kon­ rasi. Kritik lain datang dari Arief Budiman7,
sumsi-massal tinggi (high mass-consump- Mubyarto8, Munawar Ismail9, dan A Wisnu­
tion). Homo consumens yang digugat Daniel hardana.10
Dhakidae sudah dimulai dari sini. Aspek lain yang muncul dalam perdebat­
Doktrin Rostow diterjemahkan dalam an adalah tentang ketergantungan pada mo­
Repelita Orde Baru sejak 1969 (Repelita I) dal/utang asing yang memang dominan men­
hampir secara harafiah, lewat tangan-tangan jadi sumber pendanaan pembangunan Orde
teknokrat yang berlatar belakang pendidikan Baru. Kritik mendasar antara lain datang
Berkeley University, Amerika Serikat. Di dari Adi Sasono dan Sritua Arif.11 Pada tahun
sinilah menarik untuk mengamati bagaima­ 1980-an memang gencar orang membicara­
na Prisma, yang memang tumbuh bersama kan “teori ketergantungan” yang dipromosi­
Orde Baru, terlibat dalam pergulatan kajian kan oleh Andre Gunder Frank dan Samir
dan teori pembangunan. Amin. Teori itu percaya bahwa keterbe­
Sikap Prisma secara umum adalah men­ lakangan “dunia ketiga” bukanlah kekurang­
dukung secara kritis arah pembangunan Orde an modal atau bantuan, tetapi karena akibat
Baru. Di satu sisi, Prisma memuat pemikiran dari globalisasi sistem kapitalisme. Bahkan,
menteri-menteri “Mafia Berkeley” seperti tema itu masih relevan dan hangat dibicara­
Ali Wardhana, Emil Salim, dan Mohammad kan sampai sekarang.
Sadli yang secara umum mempromosikan Keraguan dan perdebatan terhadap keam­
mazhab baru pembangunan yang berorienta­ puhan modal atau investasi asing juga ditu­
si pada pertumbuhan dan liberalisasi keuang­ lis oleh beberapa penulis Prisma, termasuk
an (membuka luas utang dan modal asing, pertanyaan apakah modal asing, misalnya,
yang diundangkan sejak 1967). Di sisi lain, mendorong transfer teknologi yang pada
Prisma juga menghadirkan pemikiran kritis
kaum intelektual independen di luar pemerin­ 7
tahan, seperti Dawam Rahardjo, Arief Bu­ Arief Budiman, “Sistem Perekonomian Pancasila Kapi­
talisme dan Sosialisme”, dalam Prisma, Vol. 11, No. 1,
diman, Adi Sasono, Sjahrir, Mubyarto, dan 1982, hal. 14-25.
Sarbini Sumawinata. 8 
Mubyarto, “ Moral Ekonomi Pancasila”, dalam Prisma,
Di kalangan menteri Orde Baru, Emil Sa­ 9
Vol. 10, No. 1, 1981, hal. 75-80.
lim-lah yang punya otokritik paling kuat ter­ Munawar Ismail, “Pemerintah dan Pasar Kritik terhadap
Teori Ekonomi Pembangunan”, dalam Prisma, Vol. 23,
hadap mazhab pembangunan pemerintahan­ No. 1, 1994, hal. 25-35.
nya. Sudah sejak 1978 dia membahas tentang 10 
A Wisnuhardana, “Ideologi Developmentalisme dan
pentingnya pembangunan berwawasan ling­ Upaya Rekonstruksi”, dalam Prisma, Vol. 25, No. 4,
1996, hal. 94-96.
Adi Sasono, “Ketergantungan dan Hutang Dunia Keti­
11 
6
Lihat, Walt Whitman Rostow, The Stages of Economic ga”, dalam Prisma, Vol. 12, No. 3, 1983, hal. 50-63; Sri­
Growth: A Non-Communist Manifesto (New York, AS: tua Arif,­ “Teori Ekonomi dan Kolonialisme Ekonomi”,
The Syndics of the Cambridge University Press, 1960). dalam Prisma, Vol. 11, No. 1, 1982, hal. 26-34.

TOPIK
16 Prisma, Vol, 40, No. 4, 2021

akhirnya diharapkan memacu kemandirian fiknya. Bahkan, jika pengetahuan dan paten
negeri penerima investasi.12 Puluhan tahun dibuka, perusahaan domestik tak bisa belajar
sebelumnya, Alan M Strout, ekonom Massa­ dari multinasional karena keterbelakangan
chusetts Institute of Technology (MIT) menu­ teknologi dan sumber daya manusia. Alih-alih
lis di Prisma pada 1973. “Ketergantung­an memberi manfaat, menurut Herzer, investasi
Indonesia terhadap modal dan bantuan asing asing justru memicu kerusakan serius dalam
akan terus berlangsung sampai 1980-an, atau ekonomi negeri penerima: eksploitasi sumber
mungkin lebih lama lagi”.13 Terbukti sampai daya alam murah; menjadikan warga negara
sekarang, Indonesia masih haus akan modal sekadar pasar alias konsumen; serta mem­
asing untuk menopang pertumbuhan eko­ bunuh perusahaan-perusahaan domestik.
nomi, sementara manfaatnya makin diper­ Orde Baru sudah menunjukkan, obsesi
tanyakan. pada investasi asing harus dibayar dengan
“Mantra tentang pentingnya investasi penindasan terhadap demokrasi, pengabaian
­asing,” menurut Dierk Herzer, ekonom dari terhadap partisipasi masyarakat dari bawah,
Goethe University, Jerman, “disandarkan turunnya penghargaan terhadap hak asasi
pada sejumlah mitos”.14 Herzer dan kawan- dan merajalelanya korupsi kaum elite (oligar­
kawan mengkaji data 28 negara berkembang ki). Itu tema yang masih relevan sampai seka­
yang menonjol menerima investasi asing rang, namun juga sudah banyak diperdebat­
(FDI - foreign direct investment), terma­ kan di Prisma sejak awal Orde Baru.
suk Indonesia. Pada sebagian besar negara, Pada 1983, Prisma menghadirkan lapor­
menurut Herzer, tak ada kaitan antara FDI an utama “Korupsi Dulu dan Sekarang” ser­
dengan pertumbuhan ekonomi, baik jangka ta menampilkan, antara lain, tulisan Adnan
pendek maupun jangka panjang. Hanya em­ Buyung Nasution dan Bakir Hasan.15 Tema
pat negara (dari 28) yang memperoleh man­ itu muncul lima tahun sebelum diskusi ten­
faat jangka panjang pertumbuhan ekonomi. tang “kapitalisme palsu” atau “kapitalis­me
Sementara itu, tak ada kaitan sama sekali kroni” (erzat capitalism), berkat buku Yo­
antara FDI dengan peningkatan pendapat­ shihara Kunio.16
an per kapita maupun tingkat pengetahuan Kritik dan alternatif pemikiran tentang
(transfers pengetahuan, teknologi, dan kete­ merosotnya partisipasi publik juga sudah
rampilan manajemen). Transfer pengetahuan disinggung hampir bersamaan dengan itu:
yang dijanjikan FDI, menurut Herzer, adalah Sigid Putranto Kusumowidagdo dan Sa­
ilusi. Perusahaan multinasional umumnya jogyo.17 Di samping kritik, Prisma juga
merahasiakan paten dan informasi spesi­ me­nawarkan alternatif-alternatif pemikiran
pembangun­an yang cukup radikal, seperti
pendekatan “kebutuhan dasar” (basic needs
12 
Lihat, Todung Mulya Lubis, “Alih Teknologi antara approach). Pendekatan itu dirintis oleh
Harapan dan Kenyataan”, dalam Prisma, Vol. 16, No. Organi­sasi Perburuhan Internasional (ILO)
4, 1983, hal. 3-15; Mohammad Anwar Ibrahim, “Seki­
las Per­kembangan Alih Teknologi di Indonesia”, dalam pada 1976 dan dipromosikan di Indonesia
Prisma, Vol. 16, No. 4, 1987, hal. 18-28; M Daud Si­
lalahi, “Rencana UU Alih Teknologi Perbandingan
Perspektif”, dalam Prisma, Vol. 16, No. 4, 1987, hal. 15 
Adnan Buyung Nasution, “Korupsi Sudah Melekat
39-46. dalam Sistem Birokrasi”, dalam Prisma, Vol. 12, No.
13 
Alan M Strout, “Modal Asing dan Pertumbuhan Eko­ 2, 1983, hal. 43-45; Bakir Hasan, “Korupsi, Efisiensi
nomi Indonesia”, dalam Prisma, Vol. 2, No. 1, 1973, Usaha, dan Marketing Sosial”, dalam Prisma, Vol. 12,
hal. 55-66. No. 2, 1983, hal. 22-29.
14  16 
Lihat, Stephan Klasen, Dierk Hedrzer, dan Felicitas Lihat, Yoshihara Kunio, The Rise of Ersatz Capitalism­
Nowak-Lehmann D, “In search of FDI-led Growth in in South-East Asia (Singapore: Oxford University
Developing Countries”, dalam Proceedings of the Ger­ Press, 1988).
man Development Economics Conference, Göttingen, 17 
Sigid Putranto Kusumowidagdo, “Pembangunan Poli­
2007. tik Orde Baru Menghadapi Krisis Partisipasi”, dalam

TOPIK
Grace L dan Douglas
Farid K, KaryaDari
Gaban, Tugas Akhir Mahasiswa
Kutukan Indonesia
Rostow ke Model Barutentang “1965”
Pembangunan 17

oleh Soedjatmoko yang menulis di Prisma konsumerisme melebihi daya dukung eko­
dua tahun kemudian.18 logis Planet Bumi.
Konsep pembangunan itu berbeda sama Akan tetapi, ketika Orde Baru masih ber­
sekali dengan pendekatan pertumbuhan Ros­ jaya, baik pendekatan “kebutuhan dasar”
tow. Konsep itu menuntut negara mendahu­ maupun konsep “memprioritaskan manusia”
lukan investasi untuk memenuhi kebutuhan kurang laku. Alih-alih mendengar Soedjat­
dasar warga negara sekadar hidup di atas moko, Orde Baru menggalakkan neolibe­
garis kemiskinan, bukannya investasi untuk ralisme pada awal tahun 1980-an, mengikuti
ekonomi produktif yang negara berharap tren internasional. Pada tahun 1980-an, Dok­
warga bisa menanggung bebannya sendiri di trin Rostow yang kapitalistik dipromosikan
masa depan. Lebih dari segalanya, konsep itu lebih agresif oleh Presiden Amerika Serikat
mengedepankan kemanusiaan yang sangat Ronald Reagan dan Perdana Menteri Ing­
sesuai dengan pemikiran lain Soedjatmoko gris Margaret Thatcher di bawah bendera
yang mendahulukan pembangunan.19 neoliberalisme. Bahkan, Reagan membawa
Prinsip mendahulukan pembangunan “neoliberalisme” menjadi kebijakan global
manusia, ketimbang sekadar pertumbuhan sekaligus senjata Perang Dingin melawan
ekonomi, belakangan menjadi arus pemikir­ komunisme (Blok Soviet).
an alternatif. Pada 1990, Program Pemba­ Cita-cita ideal demokrasi, kemakmuran,
ngunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (United kebebasan dan kesetaraan hak di Amerika
Nations Development Programme/UNDP) Serikat, setidaknya secara retoris, dikaitkan
memperkenalkan indeks pembangunan ma­ secara langsung dengan kebijakan liberal
nusia, sebuah alternatif mengukur sukses pasar bebas dan perdagangan bebas. Liberali­
pembangunan selain pertumbuhan GDP sasi ekonomi ala kapitalisme dipromosikan
yang dipandang tidak memadai. Sejak saat senafas dan selaras dengan demokrasi—se­
itu, UNDP mengeluarkan laporan tahunan bagai lawan dari otoritarianisme komunis.
peringkat negara-negara berdasarkan indika­ Padahal tidak. Reagan melihat liberalisasi
tor kualitas pembangunan manusia. Sampai ekonomi, bukan kebebasan politik, sebagai
tahun terakhir Indonesia tidak pernah masuk ukuran terpenting dari sukses sebuah kebi­
dalam 100 besar, meski angka GDP kita seka­ jakan. Tidak mengherankan jika Amerika
rang masuk dalam 10 besar dunia. Serikat dan Inggris merasa nyaman memu­
Konsep “kebutuhan dasar” juga menge­ luskan liberalisasi ekonomi dengan cara
muka lagi dalam beberapa tahun terakhir, ke­ mendukung diktator-diktator anti-komunis
tika orang membicarakan universal basic in- Augusto Pinochet di Chile, Soeharto di In­
come, misalnya, atau tentang pembangunan donesia, dan Ferdinand Marcos di Filipina.
berkelanjutan (sustainable development). “Neoliberalisme” menjadi istilah populer
Dua mazhab ekonomi baru, blue economy pada tahun 1980-an untuk menjelaskan libe­
(Gunter Pauli) dan donut economy (Kate Ra­ ralisasi ekonomi Chile di bawah Jenderal
woth), juga menekankan aspek “kebutuhan Pinochet. Didukung Amerika Serikat, Pi­
dasar” itu dan menjadikannya antitesis dari nochet melakukan kudeta militer terhadap
obsesi pertumbuhan ekonomi yang memacu Presiden Salvador Allende, yang berhaluan
sosialis, pada 1973. Namun, Indonesia-lah
Prisma, Vol. 12, No. 1, 1983, hal. 44-52; Sajogyo, sebenarnya kelinci percobaan lebih awal
“Golongan Miskin dan Partisipasi dalam Pembangunan dari “neoliberalisme”, sejak Orde Baru
Desa”, dalam Prisma, Vol. 6, No. 3, 1977, hal. 10-17.
18 
meng­adopsi pemikiran Rostow. Anak judul
Soedjatmoko, “Berbagai Implikasi Kebijaksanaan Na­
sional dari Model Kebutuhan Dasar”, dalam Prisma,
buku Rostow, “A Non-Communist Mani­
Vol. 7, No. 10, 1978, hal. 59-79. festo”, menunjukkan bahwa motifnya tidak
19 
Lihat, Soedjatmoko, Dimensi Manusia dalam Pemba­ sekadar ekonomi, namun juga politik. Se­
ngunan (Jakarta: LP3ES, 1983). bagai pendukung Perang Vietnam, Rostow
TOPIK
18 Prisma, Vol, 40, No. 4, 2021

berpendirian anti-komunis garis keras yang ra untuk publik demi meningkatkan peran
sesuai dengan semangat Orde Baru kala itu, sektor swasta secara ekonomi maupun so­
sehingga pemikirannya menjadi cenderung sial. Resep liberalisasi yang sering disebut
dominan tanpa tanding. sebagai Washington Consensus itu, tak lain
Bahkan, stigma “komunis” pernah dise­ adalah kesepakatan antara World Bank, IMF
matkan kepada Jurnal Prisma yang mencoba dan Kementerian Keuangan Amerika Serikat
menyajikan alternatif-alternatif pemikiran yang semuanya bermarkas di Washington
berbeda dari arus besar konsep pembangun­ DC.
an kala itu. Model pembangunan Bank Dunia itu
Setelah Soekarno tumbang, Orde Baru telah banyak dikritik dalam beberapa tahun
memulai liberalisasi ekonomi dengan, an­ terakhir, khususnya oleh kelompok ekonom
tara lain, membuka lebar investasi asing, dan aktivis yang tergabung dalam World So­
khususnya dari Amerika Serikat dan Jepang. cial Forum. Bahkan, Prisma sudah mendahu­
Pada 1974, demonstrasi besar sempat marak luinya melalui sebuah tulisan pada 1994.20
menentang investasi asing. Namun, perla­ Bagaimanapun juga, Doktrin Rostow
wanan seperti itu surut bersama konsolidasi lebih berjaya. Model Bank Dunia dan IMF
kekuasa­an Soeharto, yang menguat antara serta propaganda Reagan-Thatcher menjadi
lain berkat dukungan Reagan dan Thatcher. wacana dominan tak hanya di sekolah-seko­
Thatcher, yang berkunjung ke Indonesia lah ekonomi, tetapi juga dalam kebijakan
pada 1985, mendaku bahwa ekonomi pasar publik seluruh dunia, hingga bertahun-tahun
(kapitalisme) adalah satu-satunya sistem kemudian setelah keduanya meninggal.
yang bisa diandalkan; tak perlu perdebatan Di Indonesia, bahkan sentimen anti-IMF
lagi. Thatcher punya slogan terkenal: TINA yang marak pada era Presiden Megawati
(“there is no alternative”); tak ada alterna­ Soekarnoputri tidak mampu menginspirasi
tif di luar kapitalisme. Tiga tahun kemudian, arah baru kebijakan ekonomi. Jalan lempang
Pemerintahan Soeharto membuat langkah be­ neoliberal terus bertahan, bahkan cende­rung
sar lain di bidang ekonomi, yakni menerbit­ menguat pada era-SBY dan tetap lestari
kan Paket Oktober (1988), yang pada intinya pada era-Jokowi. Pada periode pertamanya,
meliberalisasi sektor keuangan (kemudahan Pemerintahan Jokowi telah menerbitkan 16
mendirikan bank). Jalan neoliberal makin paket degulasi yang secara umum mengarah
lempang, namun harus dibayar de­ngan Kri­ pada liberalisasi ekonomi. Namun, tak puas
sis Ekonomi parah sepuluh tahun kemudian dengan itu, pada periode kedua, Presiden
yang sekaligus menamatkan kekuasaan Orde Jokowi mendesakkan liberalisasi lebih jauh
Baru. dengan menerbitkan Omnibus Law, menye­
Kecilnya suara alternatif juga ditindas derhanakan 70 lebih undang-undang men­
faktor lain. Sukses penyebaran neoliberalis­ jadi satu undang-undang payung (deregu­
me baik di Indonesia maupun belahan lain lasi) demi memikat investasi dan penciptaan
dunia, tak lepas dari peran penting dua lem­ lapangan kerja. Pembahasan Omnibus Law
baga keuangan dunia: Dana Moneter Inter­ di tengah wabah korona sekarang ini menun­
nasional (IMF) dan Bank Dunia. Dengan jukkan betapa pemerintahan benar-benar
kekuatan kapital sangat besar, World Bank terobsesi pada liberalisasi ekonomi. Peme­
dan IMF mendiktekan neoliberalisme ke rintah mengabaikan fakta bahwa mantra
seluruh dunia. Mereka menerapkan syarat neoliberalisme ala Washington Consensus
ketat kepada negara penerima bantuan, telah banyak dikritik sejak tahun 1990-an.
yakni melakukan liberalisasi ekonomi lewat
kebijakan privatisasi dan deregulasi; patuh 20 
Lihat, Ali Sugihardjanto, “Model Pembangunan versi
pada skema perdagangan bebas global; serta Bank Dunia: Sebuah Kritik Awal”, dalam Prisma, Vol.
mengurangi subsidi dan porsi anggaran nega­ 23 , No. 9, 1994, hal. 3-24.

TOPIK
Farid K,
Grace L dan Douglas Gaban,
KaryaDari Kutukan
Tugas Rostow ke Model
Akhir Mahasiswa Barutentang
Indonesia Pembangunan
“1965” 19

Meretas Jalan Baru, Menjawab mendasar terhadap neoliberalisme. “Ekono­


mi biru” banyak diilhami oleh pemikiran EF
Gugatan Daniel Dhakidae Schumacher, penulis buku Small is Beauti-
ful yang terbit pada tahun 1970-an, dan pan­
Wabah korona menelanjangi borok-borok dangan Mahatma Gandhi tentang swadesi
neoliberalisme di atas, sekaligus menunjuk­ (kemandirian). Bersama The Club of Rome,
kan kelemahan sosial mendasar kita meng­ Schumacher mengkritik pendekatan pertum­
hadapi krisis: di satu sisi memperlemah kapa­ buhan ekonomi, yang memicu dehumanisasi
sitas negara dalam melindungi warganya; di dan merusak alam.
sisi lain lunturnya solidaritas sosial akibat Dalam beberapa tahun terakhir juga
individualisme, khususnya di kota kota. berkembang pemikiran tentang pembangun­
“Pandemi itu seperti portal atau gerbang, an berkelanjutan. Pada kenyataannya, Indo­
yang membatasi satu dunia dengan dunia nesia sendiri ikut menandatangani deklarasi
sesudahnya,” kata Arundhati Roy. Perserikatan Bangsa-Bangsa 2015 tentang
Di tengah wabah hidup kita tak normal. Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sus-
Sebagian besar kita merindukan kenormalan tainable Development Goals). Deklarasi itu
segera pulih kembali. Akan tetapi, normali­ mencakup 17 sasaran, tetapi bisa disarikan
sasi adalah istilah problematik. Merindukan menjadi tiga sasaran utama (tripple bot-
suasana normal seperti masa lalu justru sa­ tom-line: ekonomi, sosial, lingkungan) yang
ngat mungkin menjadi reaksi terburuk kita harus dicapai secara seimbang. Manifestasi
dalam menghadapi korona. Kita perlu ke­ konkretnya: mengelola modal alam (natural
luar dari kenormalan masa lalu itu dan mu­ capital) dengan lebih baik; membangun ma­
lai meretas jalan menuju dunia baru untuk nusia (invest in people); serta memperkuat
mengoreksi yang lama. sektor bisnis dan industri ramah alam.
Kita perlu mempertanyakan filosofi, prin­ Kate Rawoth, ekonom Oxford, belakang­
sip-prinsip, dan ukuran-ukuran lama? Apa an ini sedang agresif memperkenalkan istilah
yang disebut kemajuan? Apa tujuan hakiki baru: donut economy. Pada intinya, orientasi
dari pembangunan? Layakkah kita mengejar pembangunan harus dirancang secara senga­
pertumbuhan ekonomi, apalagi jika hasilnya ja mendahulukan pemerataan (distributive)
adalah konsumerisme, perluasan ketamakan dan bersifat ramah alam (regenerative). Tu­
yang pada gilirannya merusak alam tempat juan pembangunan ekonomi, kata Rawoth,
kita hidup? harus mengambang di antara lingkar dalam
Suara-suara untuk mengoreksi cara dan dan lingkar luar yang digambarkan seperti
pendekatan lama dalam pembangunan kian sebuah ban (atau donut). Manusia harus
lantang, baik sebelum maupun setelah ko­ terpenuhi kebutuhan dasar agar tidak jatuh
rona. Pada awal pandemi (April 2020), tak miskin (lingkar bawah); sementara konsumsi
kurang 170 akademisi Negeri Belanda yang harus ditahan jangan sampai melebihi kapa­
mengusung usulan strategis pembangunan sitas ekologis Planet Bumi (lingkar luar).
pascakorona, yang pada intinya merupa­kan Rawoth menolak keras konsep pertum­
koreksi terhadap pendekatan neoliberal. buhan ala Rostow. Bahkan, dia menilai Ros­
Judul usulan mereka: “Manifesto for post- tow, yang menganggap konsumsi massal se­
neoliberal development.” bagai capaian tertinggi, adalah biang keladi
Di luar itu, dalam beberapa tahun terakhir dari ketimpangan sosial dan kerusakan alam.
juga berkembang pemikiran baru dalam bi­ Pertumbuhan ekonomi yang tiada batas
dang ekonomi, yakni “blue economy” yang adalah mustahil. Alam memiliki batas. Ra­
dirumuskan oleh Gunter Pauli, ekonom Bel­ woth menggaungkan kembali laporan “The
gia. Bertumpu pada alam dan menghormati Limits to Growth” yang dibuat oleh The
alam, “ekonomi biru” juga menjadi koreksi Club of Rome dan sempat dibahas Prisma
TOPIK
20 Prisma, Vol, 40, No. 4, 2021

pada tahun 1970-an. Sebaliknya, menghentikan secara ra­


Ratapan dan gugatan Daniel Dakidae dikal tumbuhnya sektor-sektor yang tidak
memberi tugas baru kepada Prisma untuk berkelanjutan karena peran mereka yang
menjadi panggung pemikian dalam men­ mendorong konsumsi berlebihan dan ber­
cari alternatif-alternatif model pembangun­ bahaya bagi ekologi global, terutama sektor
an yang sudah bangkrut. Inilah era ketika privat—minyak, gas, tambang, periklanan,
kata-kata pertumbuhan, ketimpangan, dan dan lain-lain.
konsumerisme makin dibenci, ketika orang Kita dituntut secara kreatif memanfaat­
makin rindu pada harmoni sosial serta hidup kan potensi alam di luar sektor pertam­
berdamai dengan alam. Ada pemikiran awal bangan yang masih sangat luas. Indonesia
untuk pijakan mendiskusikan ini lebih men­ adalah salah satu megadiversity dunia; ne­
dalam di masa mendatang. geri dengan keragaman hayati terbesar. Jika
Amerika Serikat itu adidaya (superpower)
1. Dari GDP ke Human Development politik/militer, Indonesia adalah superpower
Index keragaman hayati.
Dalam konteks itu, kita mungkin perlu meni­ Beberapa tahun silam, Akademi Ilmu
lik kembali pemikiran Soedjatmoko tentang Pengetahuan Indonesia menerbitkan buku
pembangunan yang mendahulukan pemenuh­ kecil bertajuk Sains untuk Biodiversitas In-
an kebutuhan dasar dan penghormatan pada donesia. Intinya bagaimana membangun ke­
kemanusiaan. Salah satunya barangkali per­ sejahteraan bangsa lewat keragaman hayati.
lu mendesakkan agar Indeks Pembangunan Itu salah satu prinsip penting dalam “eko­
Manusia (human development index/HDI) nomi biru” yang diperkenalkan oleh Gunter
ala UNDP menjadi tolok ukur utama dalam Pauli, namun sebenarnya telah lama diterap­
menakar sukses pembangunan. kan oleh kakek-nenek kita di perdesaan. Ti­
Human Development Index memasukkan dak hanya menghormati keragaman hayati,
komponen GDP per kapita, tetapi tidak ha­ ekonomi itu juga menghargai tradisi lokal
nya itu. Gagasan di balik indikator ini adalah yang beragam.
menekankan bahwa “mutu manusia”-lah Bertumpu pada yang tersedia secara lo­
(potensi dan kemampuannya) yang seharus­ kal, ekonomi biru mendorong kemandirian
nya menjadi kriteria utama untuk menilai dan pembangunan partisipatif dari bawah.
kinerja pembangunan setiap negara. Itu yang merupakan antitesis dari mabuk
HDI memasukkan pula berbagai kompo­ utang dan modal asing yang tak hanya men­
nen sosial: akses terhadap air bersih, angka jatuhkan martabat, tetapi juga mendorong
harapan hidup, indikator pendidikan dan kita mencapai stabilitas politik palsu dengan
kesehatan, serta diskriminasi gender. De­ mengebiri demokrasi dan menindas partisi­
ngan kata lain, HDI memotret secara lebih pasi sosial dan politik.
komprehensif dan holistik terhadap kinerja
pembangunan, dengan manusia sebagai sen­ 3. Pemerataan, Universal Basic Income,
tralnya. dan Koperasi
Hal lain yang perlu diperbincangkan dalam
2. Sustainable Development and rangka mencari format model baru pemba­
Consumption ngunan adalah isu pemerataan dan redistri­
Kita perlu meninggalkan pembangunan yang busi, seperti “universal basic income” dan
berfokus pada agregat pertumbuhan (GDP). “reforma agraria secara substantif.”
Kita harus membuat pembedaan antarsektor Relevan dengan itu adalah isu kebi­
dan mendorong pertumbuhan sektor-sektor jakan pajak progresif yang keras terhadap
publik yang penting: clean energy, pendidik­ penghasil­an, keuntungan, dan kekayaan.
an, kesehatan, dan ekologi. Mengurangi jam dan beban kerja seraya
TOPIK
Farid K,
Grace L dan Douglas Gaban,
KaryaDari Kutukan
Tugas Rostow ke Model
Akhir Mahasiswa Barutentang
Indonesia Pembangunan
“1965” 21

memperhatikan pelayanan publik kepada menuju yang sifatnya penting (berorientasi


pekerja, seperti kesehatan dan pendidikan, pada publik) dan mengutamakan prinsip ber­
untuk mendukung nilai intrinsik mereka se­ kelanjutan (mengurangi kebiasaan lawat­an
bagai manusia bukan hanya alat produksi. menggunakan pesawat).
Kita perlu mendorong demokratisasi eko­ Pada intinya, kembali merenungkan
nomi. Dalam kaitan ini, kita perlu mengorek­ tuju­an pembangunan. Tujuan membangun­
si dan merevitalisasi koperasi yang sejati peradab­an, menurut Schumacher, seraya­
(genuine). Bukan seperti koperasi sekarang mengambil ajaran Buddhisme adalah me­­mur­
yang palsu, tetapi yang benar-benar menum­ nikan watak manusia, menghormati alam,
buhkan semangat kolektif dan gotong royong,­ dan menghargai solidaritas sosial; bukan
sebuah keharusan pada musim wabah seka­ memperbanyak keinginan lahiriah (multipli-
rang ini. cation of wants) yang mendorong konsum­
erisme dan ketamakan. Mengutip Mahatma
4. Regenerative Farming dan Family Gandhi, yang pikirannya banyak dipinjam
Farming oleh Schumacher, “Dunia ini cukup bagi se­
Kepedulian terhadap alam tak bisa dipisah­ luruh umat manusia, tetapi tidak untuk keta­
kan dari upaya transformatif pertanian makannya.”
menuju pertanian berkelanjutan berdasar­ Perlahan tapi pasti, ada konsensus yang
kan kelestarian keragaman hayati. Kita perlu makin kuat bahwa gaya hidup sederhana
memperkuat produksi pangan yang bersifat rendah-emisi-karbon (artinya ramah alam)
lokal dan berkelanjutan serta sistem pertani­ jauh lebih disarankan serta dipujikan sebagai
an yang adil dan memakmurkan petani. Per­ progresif. Sementara emisi-karbon tinggi
tanian yang sehat dan petani yang makmur menjadi simbol gaya hidup primitif.
akan memperkuat ketahanan dan kedaulatan
pangan negeri kita. 6. Mengurangi Utang, Memupuk
Untuk memperkuat pendapatan, petani Keman­dirian
harus dibina tak hanya dalam budi daya (on- Utang dan investasi mungkin kita butuhkan,
farm), tetapi juga dalam industri pengolahan. tetapi kita harus melepaskan ketergantungan
Kita perlu mengembangkan agro-industri padanya; melepas pandangan bahwa tanpa­
perdesaan lewat pemberdayaan (pendidikan) nya kita tak bisa membangun.
petani dan pemanfaatan sains serta teknologi Obsesi pada utang dan investasi tak ha­
tepat guna yang terjangkau dan ramah ling­ nya memicu ketergantungan, tetapi membuat
kungan. Mengikuti Schumacher, kita harus negara kita terbelenggu dalam merumuskan
menolak praktik “produksi massal” (mass kebijakan publik demi melindungi mutu so­
production) skala besar. Sebaliknya, mendu­ sial warga negara dan kelestarian alam.
kung “produksi oleh rakyat” (production by Untuk itu, kita harus mendorong pem­
mass). batalan seluruh utang lama, terutama di
Artinya, memberdayakan petani kecil kalangan buruh dan pemilik usaha kecil,
(family farming), bukan membangun perta­ serta mengurangi penciptaan utang baru dan
nian skala besar seperti Merauke Food Es­ penghapusan utang negara-negara berkem­
tate yang padat modal, padat pupuk kimia, bang kepada negara kaya maupun lembaga
dan cenderung pada monokultur yang meng­ keuangan internasional.
abaikan keragaman hayati. Kita perlu percaya diri, dengan kreati­
vitas dan imajinasi yang kita punya, bisa
5. Gaya Hidup Sederhana, Rendah Jejak membangun dari apa yang kita punya di de­
Karbon pan mata, salah satunya lestarinya alam dan
Mengurangi konsumsi dan lawatan secara keragaman hayati yang selama ini kita sia-
drastis dari bermewah-mewah dan mubazir siakan. l
TOPIK
22 Prisma, Vol, 40, No. 4, 2021
Prisma

Sejauh-jauh Mata Memandang:


Prisma dan Pergulatan Perempuan
Kamala Chandrakirana

S
ebagai jurnal pemikiran ekonomi, ode sebelum dan sesudah masa jeda Prisma
sosial, dan budaya yang memberi yang dilakukan melalui akses pada daftar
narasi alternatif atas kondisi kehidup­ edisi-edisi Prisma beserta nama para penulis
an berbangsa dan bernegara sejak 50 dan judul tulisan mereka.
tahun lalu, Prisma punya peran tersendiri
dalam sejarah intelektual Indonesia. Pada
tahun-tahun terbaiknya, Prisma merupakan
Fokus Berkala pada Peran
rujukan utama bagi kaum cendekia pro­ Wanita: 1971-1998
gresif. Se­bagaimana dikutip dari “Kerangka
Acuan tentang Edisi Khusus 50 Tahun Pris- Dalam 27 tahun pertamanya (1971-1998),
ma”, pendekatan Prisma yang menerapkan Prisma menerbitkan sebanyak 258 edisi,
perspek­tif “Ekonomi politik untuk mema­ termasuk lima edisi yang secara khusus
hami siapa/kelompok mana yang paling di­ mempersoalkan situasi perempuan Indone­
untungkan, who get the most benefit at whose sia. Kelima edisi tersebut terbit hampir de­
cost” menandakan adanya penyikapan atas ngan ritme tersendiri, kira-kira tiap 5-6 ta­
tatanan ketidakadilan yang struktural dan hun, yaitu tahun 1975, 1981, 1985, 1991 dan
menyejarah sebagai pijakan dasar bagi para 1996. Pada 2004, Liza Hadiz menyeleksi dan
cendekia Prisma. Dalam kerangka itu, tentu mengulas sejumlah tulisan yang terbit di Jur­
dicatat bahwa ketidakadilan berbasis gender nal Prisma dalam buku Perempuan dalam
dan peminggiran perempuan terus langgeng Wacana Politik Orde Baru: Pilihan Artikel
di bumi Nusantara ini karena saling berke­ Prisma (LP3ES). Dia mencatat bahwa edi­
lindan dengan bentuk-bentuk ketimpangan si Oktober 1975 dan Oktober 1985 terbit
dan penindasan lainnya. pas­ca-dua perhelatan internasional yang
Dengan semangat melihat ke belakang menandakan capaian gerakan perempuan
untuk menapak ke depan, esai ini mengkaji di tingkat global. Edisi tahun 1975 dengan
sejauh mana narasi keilmuan yang disuguh­ tema “Wanita Indonesia: Menuju Cakrawala
kan oleh Prisma dalam kurun waktu separuh Baru?” terbit setelah Konferensi Perempuan
abad ini menyentuh dan memaknai pergu­ Sedunia di Mexico City, tempat dicanang­
latan perempuan dalam kehidupan berbangsa kan bermulanya “Dasawarsa Perempuan.”
dan bernegara di Indonesia. Setelah “tidur” Sedangkan edisi tahun 1985 dengan tema
selama 10 tahun, saat rezim Orde Baru ber­ “Menegakkan Peran Ganda Wanita Indo­
akhir, Prisma “bangun” kembali di tengah nesia” terbit setelah Konferensi Perempuan
era yang jauh berbeda secara politik, eko­ Sedunia Ketiga di Nairobi, tempat hasil dari
nomi, sosial, budaya, dan teknologi. Wu­ segala upaya sepanjang 10 tahun terdahulu
jud pergulatan perempuan pun menga­lami dinilai bersama. Menyimak timing kedua
perubahan yang signifikan dalam jangka edisi itu, tampaknya Prisma tergerak oleh
waktu tersebut. Esai ini berfokus pada peri­ dinamika di luar Indonesia, yaitu adanya

TO
ESPA
I KI
Kamala
Grace L danChandrakirana, Sejauh-jauh
Douglas K, Karya TugasMata Memandang:
Akhir MahasiswaPrisma dan Pergulatan
Indonesia tentangPerempuan
“1965” 23

momen konsensus baru yang dicapai an­ men puncak dalam komitmen negara-negara
tarnegara di tingkat internasional tentang untuk memajukan hak-hak perempuan, yai­
pemajuan hak-hak perempuan. tu pada Konferensi Perempuan Sedunia Ke­
Menarik untuk dicatat pilihan judul edisi empat di Beijing pada 1995. Menarik, salah
Prisma, pada Oktober 1975 dan 1985 yang satu organisasi perempuan dari Indonesia,
diambil dari paparan penulisnya, Mely G Kalyanamitra, membawa isu kekerasan
Tan, “Wanita Indonesia: Menuju Cakrawala negara terhadap perempuan ke forum masya­
Baru?” (1975). Dalam tulisannya tersebut, rakat sipil di konferensi itu. Sayangnya, cara
dia mengajukan pertanyaan yang memper­ pandang tentang negara seperti itu tidak tere­
soalkan adanya keraguan di kalangan kam di jurnal cendekia Prisma.
perem­puan sendiri terkait kemampuannya Pada 2004, setelah mengumpulkan
menjalankan fungsi ganda sebagai istri dan dan mengulas sejumlah tulisan tentang isu
pekerja atau “wanita karier.” Soal keraguan perem­puan yang diterbitkan Prisma sejak
di kalangan perempuan sendiri juga muncul 1971 hingga 1998, Liza Hadiz dalam Kata
dalam edisi khusus tahun 1981 dengan tema Pengantar Perempuan dalam Wacana Poli-
“Wanita Indonesia Terpaku di Persimpang­ tik Orde Baru (hal. xxxiv) menyimpulkan
an” yang berfokus pada isu perempuan dan sebagai berikut: Isu gender yang diangkat
media. Melalui tulisannya tentang “Wanita Prisma sejak pertengahan tahun 1970-an
dan Citra Diri,” Toeti Heraty Noerhadi mene­ hingga awal tahun 1990-an adalah refleksi
gaskan adanya dilema perempuan bekerja dari kesadaran kaum perempuan Indonesia
yang “menghadapi tugas ganda dengan di tengah arus perubahan sosial, ekonomi,
keraguan.” dan politik. Di satu sisi, jurnal itu berhasil
Soal keraguan dalam diri perempuan menyajikan perkembangan tentang gen-
terkait fungsi gandanya cukup banyak dipa­ der sebagai subtema disiplin ilmu tertentu,
hami sebagai gejala kelas menengah yang fokus analisis dan diskursus ... Sebagian
tidak berlaku bagi kaum perempuan yang besar tulisan mencerminkan respons dan
memang tidak punya pilihan soal kerja di resistensi kaum cendekiawan terhadap ke-
dalam dan luar rumah. Rupanya catatan bijakan negara yang berdampak langsung
tentang keraguan dan dilema itu terus me­ kepada kaum perempuan. Namun, Prisma
mengaruhi pilihan tema edisi tahun 1985 tidak menampilkan semua pemikiran yang
dengan judul yang hari ini terdengar agak berkaitan dengan isu gender yang berkem-
aneh: “Menegakkan Peran Ganda Wanita bang di Indonesia saat itu … [yaitu] perem-
Indonesia.” Aneh karena langgengnya peran puan dan hukum, perkawinan, kekerasan
ganda perempuan sesungguhnya mencer­ terhadap perempuan, perempuan dalam
minkan kegagalan negara dalam mencip­ daerah konflik, buruh migran perempuan,
takan kerangka kebijakan dan layanan hak reproduksi, hak asasi perempuan, dan
publik yang dapat mendorong pembagian lain-lain.
peran yang lebih adil antara laki-laki dan Edisi terakhir Prisma sebelum jeda ber­
perempuan dalam keluarga dan di masyara­ judul “Kerusuhan dan Isu SARA” (1998).
kat umum. Artinya, peran ganda yang diem­ Dalam sejarah perempuan Indonesia, tahun
ban sendiri oleh perempuan sesungguhnya itu merupakan tahun yang traumatik dan
bukan sesuatu untuk ditegakkan melainkan sekaligus momen kebangkitan bagi gera­kan
untuk dibongkar melalui perubahan struk­ perempuan. Perkosaan massal yang diala­
tural dan kultural. mi oleh perempuan etnik Tionghoa dalam
Ada dua edisi lain yang memberi perha­ kerusuh­an bulan Mei 1998 diikuti oleh pe­
tian khusus pada isu perempuan dan gender, nyangkalan bertubi-tubi pejabat negara di
yaitu edisi dengan tema “Seks dalam Jaring media massa dan oleh warga biasa dalam
Kekuasaan” (1991) dan “Wanita-wanita di per­bin­­ca­ng­­­­an keseharian di warung kopi,
atas Pentas Politik” (1996). Terlewat dari taksi dan meja makan. Kejadian tersebut
per­­ha­tian Prisma pada masa itu adalah mo­ menggugah kesadaran politik baru bagi

TO
B
E SU A
P
K IUK
24 Prisma, Vol, 40, No. 4, 2021

banyak perempuan dari Aceh hingga Pa­ Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap
pua dan menjadi fondasi aktivisme gerak­an Perempuan (Komnas Perempuan) mengu­
perempuan di era Reformasi. Tidak bisa ti­ mumkan hasil pemantauan perdana tentang
dak, muncul pertanyaan, mengapa per­spek­ lahirnya 154 kebijakan pemerintah daerah
tif perempuan tentang kerusuhan Mei 1998 yang diskriminatif terhadap perempuan dan
dan persoalan SARA secara umum luput minoritas di era Reformasi. Komnas Perem­
dari edisi terakhir Prisma sebelum mati suri puan memaknai gejala itu sebagai suatu pro­
selama sepuluh tahun? ses pelembagaan diskriminasi dalam tatanan
negara-bangsa Indonesia atas nama otonomi
Pergulatan Perempuan yang daerah. Seluruh dinamika itu merupakan
awal dari pertarungan besar dan berkelanjut­
Tak Berjejak: 2009-2021 an yang bersifat ideologis dan politis, yang
mempertaruhkan dan memperebutkan iden­
Prisma terbit kembali pada 2009 di tengah titas dan tujuan kebangsaan Indonesia.
dunia dan Indonesia yang telah berubah. Se­ Pada kisaran waktu kurang lebih sama,
lain Reformasi di Indonesia yang membuka Prisma menerbitkan edisi-edisi bertema
ruang demokrasi, peristiwa 9/11 di Amerika “Otonomi Daerah untuk Siapa?” (2010),
Serikat telah mengubah wajah geopolitik “Kewargaan: Revitalisasi Konsepsi Keindo­
dunia. Gerakan ekstremis berbasis agama nesiaan” (2013), “Bangkitnya Populisme
meluas secara transnasional dan perubahan dan Krisis Demokrasi” (2017) dan “Mem­
iklim mencapai titik kritis. Revolusi teknolo­ bongkar dan Merangkai Pancasila” (2018).
gi informasi diikuti dengan maraknya hoaks Tidak ada satu pun penulis yang mengemu­
merupakan fakta baru yang tidak terbayang­ kakan dimensi gender dan perspektif perem­
kan pada tahun jedanya Prisma. Agenda puan atas persoalan-persoalan kontemporer
perjuangan hak-hak perempuan pun telah itu kendati sedang berlangsung pertarung­
melampaui beberapa tonggak kemajuan dan an sosial-politik tentang sosok dan peran
kemunduran sebagai bagian dari dinamika perempuan Indonesia serta kritik tajam atas
perjalanan bangsa. peran institusi-institusi negara dalam mem­
Pertama, atas desakan pejuang hak-hak batasi hak-hak asasi perempuan dalam kon­
perempuan pada tahun-tahun awal Reforma­ teks politik identitas.
si, kata “wanita” nyaris hilang dari peredaran Sejak 2009 hingga 2020, Prisma mener­
karena dianggap tidak cukup afirmatif terha­ bitkan total 30 edisi yang membahas ber­
dap kemandirian perempuan. Pada 2004, ke­ bagai tantangan besar dalam kehidupan
kerasan dalam rumah tangga diakui sebagai ber­bangsa dan bernegara di Indonesia, ter­
tindakan kriminal dengan disahkannya UU masuk tentang Kedaulatan Pangan (2016),
tentang hal ini setelah upaya besar-besaran Gerakan Pemuda 1926-2011 (2011), dan
dari gerakan perempuan. Keberhasilan itu Historiografi Indonesia (2020). Dalam ke­
membuat bulu kuduk berbagai pihak berdiri tiga isu tersebut saja, peran dan pemikiran
dan dimaknai sebagai “gerakan perempuan perempuan serta analisis gender merupakan
kebablasan.” Perlawanan balik segera mun­ suatu keniscayaan dan juga kebutuhan jika
cul dalam bentuk Rancangan UU Anti Por­ diakui bahwa hierarki gender merupakan
nografi dan Pornoaksi yang mengkriminal­ salah satu elemen dalam kebertautan (inter-
kan tubuh perempuan dan minoritas seksual. sectionality) antarlebih dari satu sistem kua­
Setelah terjadi penolakan dari berbagai pen­ sa dan pola peminggiran yang hidup subur
juru negeri, pada 2008, DPR RI mengesah­ di masyarakat. Perjuangan ibu-ibu Kendeng
kan UU Pornografi yang memuat sejumlah untuk membela tanah dan kedaulatan warga­
revisi tanpa menghilangkan ancam­an krimi­ nya di hadapan kekuatan korporasi semesti­
nalisasi bagi kaum minoritas seksual serta nya bisa dan patut dijadikan salah satu ba­
perempuan yang bekerja dalam dunia hi­ gian dari narasi tentang kedaulatan pangan,
buran dan industri seks. Setahun kemudian, misalnya. Paparan tentang gerakan pemuda

TO
ESPA
I KI
Kamala
Grace L danChandrakirana, Sejauh-jauh
Douglas K, Karya TugasMata Memandang:
Akhir MahasiswaPrisma dan Pergulatan
Indonesia tentangPerempuan
“1965” 25

dan historiografi Indonesia tanpa perem­ dan interseksionalitas permasalahan ini.


puan hanyalah narasi separuh bangsa. Bisa disimpulkan bahwa dalam sepa­
Jika mengikuti pola lama Prisma, yaitu ruh abad perjalanan hidupnya, mata burung
menerbitkan edisi tematik terkait isu perem­ Prisma tidak terlalu jauh memandang per­
puan sehubungan dengan peristiwa inter­ gulatan perempuan dalam kehidupan ber­
nasional, sebenarnya terjadi pertarungan di bangsa dan bernegara, sementara arus per­
berbagai arena PBB yang pantas disimak juangan atas hak-hak perempuan Indonesia
menyangkut soal identitas gender dan hak terus berjalan dengan derasnya.
seksual dan reproduksi versus gagasan ten­
tang ketahanan dan perlindungan keluarga.
Hal itu mengambarkan bagaimana tubuh
Jalan ke Depan
dan kedaulatan perempuan (dan komunitas Memang tidak sederhana memastikan agar
queer) menjadi salah satu situs pertarungan perspektif gender dan perjuangan perempuan
geopolitik dunia yang cukup sengit. Itu juga secara konsisten terwakili dalam pu­blikasi
dapat dilihat sebagai pukulan balik terhadap yang dibuat oleh dan ditujukan kepada kaum
capaian gerakan perempuan di tingkat glo­ cendekia. Hierarki gender juga hidup di te­
bal sejak pertengahan tahun 1970-an, baik ngah komunitas cendekia dan dalam sistem
sebagai wujud menguatnya gerakan politik produksi pengetahuan ilmiah di Indonesia.
kanan dan otoritarianisme di berbagai nega­ Namun, Prisma agaknya tidak terlalu mam­
ra berkekuatan ekonomi di kancah global pu melepaskan diri dari arus utama itu.
maupun sebagai indikasi pelemahan sistem Jika ada kemauan Prisma untuk lebih
tata kelola global (global governance) dan inklusif ke depan, beberapa konsekuensi
mekanisme HAM internasional. perlu dipertimbangkan. Cara berpengetahu­
Dari ke-34 edisi yang terbit (2009-2021), an perempuan cukup beragam dan tidak
ada empat artikel dalam tiga edisi yang ter­batas pada paparan ilmiah konven­­si­­­o­­
mengetengahkan tulisan penulis perem­ nal. Untuk menangkap khazanah ilmu dari
puan dengan perspektif perempuan yang perempuan dibutuhkan pengakuan atas dan
membahas tema tertentu, yaitu tulisan Ruth penjelajahan terarah pada produk-produk
Indiah Rahayu tentang budaya dan kiasan pengetahuan yang berbentuk tuturan, prosa,
keluarga patriarki dalam edisi “Sistem Pre­ esai visual, laporan investigatif, dan seterus­
sidensialisme” (No.3, 2016); tulisan I Gusti nya. Untuk menangkap kompleksitas dan
Agung Ayu Ratih tentang ruang perempuan dinamika pertarungan perempuan dibutuh­
dan ingat­an sosial perempuan “korban/pe­ kan upaya khusus untuk menyapa mereka
nyintas 1965-66” dalam edisi “Keadilan yang hidup dan berkiprah dalam konteks
Transisi” (No. 2, 2019); dan tulisan reflek­ ekonomi, sosial-budaya, dan kewilayahan
tif Maria Ulfah Ansor atas proses legislasi yang berbeda-beda. Untuk memahami in­
RUU Penghapusan Kekerasan terhadap terseksionalitas dari pengalaman diskrimi­
Perempuan (yang masih berjalan hingga nasi berbasis gender dibutuhkan suara dan
kini) serta artikel Lies Marcoes et al tentang perspektif dari perempuan yang hidup di
arah advokasi pencegahan perkawinan anak tengah ragam komunitas minoritas atau
(perempuan), keduanya dalam edisi “Kete­ yang diminoritaskan. Artinya, gambaran
gangan Agama dan Negara” (No.1, 2020). yang bakal muncul dari perspektif ekonomi-
Namun, dalam kurun tersebut, tidak ada politik Prisma niscaya akan memunculkan
edisi yang secara khusus berfokus pada isu pengetahuan dari keberagaman konteks dan
perempuan, walaupun sebenarnya soal kon­ tidak semata berwujud narasi umum tentang
testasi hak-hak perempuan di tengah marak­ kondisi “nasional” Indonesia.
nya politik identitas, fundamentalisme Mungkin inilah saatnya untuk mem­
agama dan ekstremisme berkekerasan pan­ bayang­kan ulang wajah dan peran Prisma
tas untuk dijadikan edisi tematik tersendiri di era digital dan pascapandemi Covid-19
karena kompleksitas, multidimensionalitas, yang penuh tantangan ini. l

TO
B
E SU A
P
K IUK
26 Prisma, Vol, 40, No. 4, 2021

Dialektika Mitra-Kritis:
Lima Puluh Tahun Pergumulan Prisma­

Airlangga Pribadi Kusman*

Melalui telaaah terhadap berbagai artikel Prisma, tulisan ini berupaya membongkar
bagaimana pengetahuan ilmu-ilmu sosial di Indonesia mencerminkan tautan antara kepen­
tingan, politik, dan kekuasaan. Ia merupakan manifestasi kontradiksi dan konvergensi di
antara struktur kekuasaan yang bekerja, baik dalam konteks global yang merawat tatanan
ekonomi-politik kapitalisme maupun dalam konteks dominasi struktur kekuasaan oligarki di
Indonesia. Berbagai ketegangan yang muncul dalam narasi pengetahuan yang diproduksi
Jurnal Prisma setidaknya melalui dua jurusan. Pertama, para pendukung gagasan pem-
bangunan di awal Orde Baru yang kemudian dikenal sebagai teknokrasi pembangunan.
Kedua, kalangan intelektual yang berupaya mengedepankan kajian sosial kritis dalam
menginterogasi corak kekuasaan dan pengetahuan yang terbentang sejak 1971 hingga kini.
Bertolak dari perjalanan intelektual Prisma sebagai sebuah “majalah” yang unik, tulisan
ini menawarkan sebuah kemungkinan preskripsi bagi gerakan sosial di masa depan agar
melampaui tatanan ekonomi-politik dominan dan rezim pengetahuan yang menopangnya.

Kata Kunci: hegemoni, kekuasaan, kekuatan sosial, rezim pengetahuan, oligarki

I lmu pengetahuan terutama ilmu-ilmu


sosial tidaklah hadir dalam ruang ham­
pa. Ia selalu terpaut dengan kepenting­
an segenap kekuatan yang bertarung dalam
kekuasaan itu sendiri sudah banyak dikaji
dan diteliti dalam khazanah ilmu-ilmu so­
sial. Narasi pengetahuan dalam Jurnal Pris-
ma pun tidak dapat dilepaskan dari struktur
proses perubahan sosial. Dengan itu penge­ kekuasa­an serta konstelasi pertarungan sosial
tahuan tidak pernah lepas dari persinggung­ yang berlangsung dalam konteks perubahan
annya dengan kekuasaan. Pandangan kritis sosial di tingkat global dan keterkaitannya di
tentang keterpautan antara pengetahuan dan tingkat domestik.
Sehubungan dengan pertautan antara
pengetahuan, kepentingan, dan kekuasaan
pada ratusan artikel yang tersebar di Jurnal
*
Penulis berterima kasih kepada mendiang Daniel Dha­ Prisma, tentu terlalu menyederhanakan bila
kidae yang memberi kehormatan untuk mengerjakan disimpulkan bahwa produksi pengetahuan
arti­kel sejarah intelektual Prisma selama 50 tahun dan
Fachry Ali yang bersedia meluangkan waktu untuk
di dalamnya hanya melegitimasi dan mem­
berdiskusi intens dan beberapa bahan pustaka serta infor­ benarkan perawatan corak kekuasaan domi­
masi sejarah terkait perjalanan Prisma. nan yang bekerja dalam konteks Indonesia

TOPIK
Airlangga Pribadi
Grace Kusman,
L dan Dialektika
Douglas K, KaryaMitra-Kritis:Lima Puluh Tahun
Tugas Akhir Mahasiswa Pergumulan
Indonesia Prisma
tentang “1965” 27

sejak masa otoritarianisme Suharto hingga dan kontestasi gagasan dalam Prisma yang
pasca-otoritarianisme. Lebih tepat bila di­ berada di bawah dan menjadi bagian dari
katakan bahwa pergumulan gagasan dalam institusi LP3ES, maka lembaga ini dalam
jurnal Prisma memperlihatkan terjadinya beberapa fase spesifik terkait situasi ekono­
relasi dialektik antara pendekatan berorien­ mi-politik tertentu justru memberikan ruang
tasi teknokratik-pragmatik yang memercayai lebih luas bagi sikap oposisi dan interograsi
transformasi sosial, baik yang didorong atas kritis terhadap gagasan-gagasan teknokratik
nama mantra-mantra modernisasi dan devel- modernisasi yang menjadi bagian penting
opmentalism (pembangunanisme) maupun dari gerak laju pembangunan Orde Baru.
good governance (tata kelola peme­rintahan Selain itu, artikel ini juga mengambil po­
yang baik), berhadapan dengan kalangan sisi berbeda dengan Daniel Dhakidae yang
yang lebih meyakini wacana pendekatan kri­ dalam kajiannya tentang cendekiawan dan
tis yang menekankan dimensi pertarungan kekuasaan pada masa rezim Suharto mem­
sosial serta keterhubungan antara kepentin­ berikan ulasan khusus terkait posisi LP3ES
gan dan kekuasaan dalam konteks masyara­ serta jurnal pemikiran sosial-ekonomi Pris-
kat yang menyejarah dan proses perubahan ma dalam posisi kemitraan dan ketegangan
sosialnya. kritisnya terhadap rezim Suharto. Daniel
Terkait posisi Prisma dan LP3ES dalam Dhakidae menempatkan Prisma sebagai ba­
pertautannya dengan kekuasaan dan perta­ gian kecil dari analisisnya terkait peran dan
rungan sosial yang menyejarah, artikel ini posisi media massa serta kalangan cendeki­
berbeda pendapat dengan karya tulis sebe­ awan dalam hubungannya dengan negara
lumnya. Salah satu contoh, misalnya, anali­ Orde Baru. Menurutnya, melalui berbagai
sis Sony Karsono yang meletakkan LP3ES publikasi artikel para penulisnya, posisi in­
dalam kaitan dengan asal-usul intelektual telektual Prisma berada di dalam pusat arena
rezim Orde Baru (1966-1998). Berpijak dari ketegangan antara negosiasi dan perlawanan
penelusuran sejarah dan biografi sosial para intelektual terhadap kekuasaan rezim neo-fa­
pendiri LP3ES, Sony berpendapat bahwa sisme Orde Baru. Hingga 1977, berlangsung
LP3ES merupakan salah satu institusi utama kemitraan kuat dengan gagasan pembangun­
di Indonesia yang berperan menjadi fondasi an rezim Suharto. Baru setelah tahun 1977
intelektual Orde Baru, yakni sebagai “mitra tampil gugatan dan kritisisme yang mewar­
kritis” agen modernisasi yang mendorong nai secara signifikan periode selanjutnya.
gagasan pembangunan dari bawah sepanjang Terkait posisi Prisma dalam medan per­
kekuasaan rezim Suharto. Dengan kata lain, tarungan intelektual dan kekuasaan di In­
LP3ES-Prisma hampir tidak pernah meng­ donesia, analisis Daniel Dhakidae memiliki
gugat dan bersikap oposan.1 Berpijak pada keterbatasan. Walaupun secara lebih luas
analisis saya terhadap berbagai artikel dalam dan kritis membongkar hubungan antara
Prisma, pandangan Sony tidak seluruhnya intelektual dan kekuasaan, Daniel Dhaki­
tepat. Benar bahwa para pendiri dan pem­ dae agak kurang menaruh perhatian dengan
rakarsa LP3ES merupakan pendukung Orde hubungan antara diskursus pengetahuan
Baru dan agensi yang menggerakkan wacana dan konstelasi ekonomi-politik pada ranah
modernisasi dan developmentalism sebagai global serta implikasinya dalam panggung
salah satu ide hegemonik rezim Suharto. Na­ kontestasi kekuasaan domestik. Karena itu,
mun demikian, bila kita menelisik benturan ulasannya tentang era rezim Suharto kurang
mencermati keterhubungan antara artikel-
artikel Prisma dengan pengetahuan domi­
1
Lihat, Sony Karsono, “Indonesia’s New Order, 1966- nan yang berkembang beserta kepentingan
1998: Its Social and Intellectual Origin”. Disertasi Ph.D, kekuatan sosial dominan yang menjadi pe­
Ohio University, Amerika Serikat, 2013, hal. 430-431. ngawal tatanan ekonomi-politik kapitalisme,
TOPIK
28 Prisma, Vol, 40, No. 4, 2021

baik atas nama modernisasi-pembangunan kondisi seperti itu, kekuatan sosial yang
maupun diskursus governance.2 Dia me­ng­ berkuasa tidak mendapatkan legitimasi poli­
uraikan sedikit tentang bagaimana proses tik dan dukungan dari mereka yang berada
pembangunan sejak era Suharto merupakan di bawah kekuasaannya. Berangkat dari hal
proses yang digerakkan dari luar, namun tersebut, Gramsci menguraikan bahwa kepe­
dalam ulasannya tidak tersurat penjelasan mimpinan dari kekuatan sosial dominan ha­
tentang kepentingan kekuatan luar apa saja rus bekerja, baik melalui mekanisme koersi
yang diadvokasi oleh “sayap” teknokratik maupun hegemoni.
Prisma yang dianggap memengaruhi proses Dalam konteks merawat tatanan sosial­
pembangunan di Indonesia dan bagaimana dan membangun legitimasi politik, me­­kanis­
hegemoni pengetahuan bekerja untuk me­ me hegemoni mengambil peran dalam mem­
ngawalnya. bentuk persetujuan mereka yang dikuasai
Tulisan ini bermaksud mengisi keterba­ agar kalangan yang tertindas dan terpinggir­
tasan analisis tersebut, sehingga dalam me­ kan ini meyakini bahwa aransemen ekonomi
mahami pergumulan wacana pengetahuan dan politik yang diciptakan oleh kekuatan so­
dalam artikel-artikel yang terbit di Jurnal sial yang mendominasi mereka bekerja untuk
Prisma, kita akan mendapatkan penglihat­ kepentingan dan kebaikan bersama, kendati
an lebih kompleks namun akurat tentang pada kenyataannya bekerja untuk melaya­ni
bagaimana suatu pengetahuan merepresen­ kepentingan kekuatan sosial dominan yang
tasikan kepentingan kekuasaan dari kekuat­ minoritas.3 Kesinambungan dan perawat­an
an sosial tertentu. Itu semua berada dalam dominasi kekuasaan tertentu demi mem­
konteks ketegangan ekonomi-politik do­ pertahankan posisi dominan membutuhkan
mestik dan arus besar untuk merawat dan persetujuan dan dukungan lapisan masyara­
sebaliknya menggugat kepentingan kekuat­ kat lebih luas yang melampaui batas-batas
an sosial dominan pada era dan sesudah ber­ kelas sosial. Dalam kondisi seperti itu, me­
akhinya Perang Dingin. kanisme kekuasaan dapat saja merangkul
Menimbang penghampiran Antonio dan menjinakkan kalangan masyarakat yang
Gramsci tentang pengetahuan, ideologi dan dikuasai—meski kepentingan mereka ber­
pertarungan sosial, serta posisi kekuatan so­ beda maupun bertentangan dengan kekuatan
sial dominan dalam struktur kekuasaan, baik sosial dominan yang terbentuk melalui prak­
arena politik negara maupun konstelasi poli­ tik hegemoni. Bekerjanya operasi kekua­
tik global—tidaklah cukup bagi kita melihat saan dari kekuatan sosial dominan melalui
mekanisme koersi yang bekerja mengawal mekanisme hegemoni juga bertujuan untuk
kepemimpinan dari kekuatan sosial dominan. menghalangi terbangunnya kesadaran so­
Kekuatan sosial yang mendominasi arena sial di kalangan yang tertindas dan terper­
negara hanya melalui praktik koersi berpo­ intah untuk atau demi memajukan kepentin­
tensi rentan tatkala menghadapi instabilitas gan dan aspirasinya sendiri, sejak rekayasa
politik yang tumbuh dari ketidakpercayaan persetujuan bahwa aspirasi dominan yang
kekuatan sosial yang diperintah, mengingat bekerja pada level negara juga diyakini se­
kekuatan sosial ini tidak memercayai bahwa bagai bagian dari kepenting­an kelompok-ke­
mereka yang berkuasa tengah memperjuang­ lompok marginal.4
kan kepentingan dan aspirasi rakyat. Dalam

3
Lihat Lorenzo Fusaro, Jason Xidias, dan Adam Fabry,
An Analysis of Antonio Gramsci’s Prison Notebooks
2
Lihat, Daniel Dhakidae, Cendekiawan dan Kekuasaan (London: Routledge 2017).
dalam Negara Orde Baru (Jakarta: Gramedia: Pustaka 4
Lihat, Antonio Gramsci, Selections from the Prison
Utama, 2003). Notebooks (New York: International Publishers,1971).

TOPIK
Airlangga Pribadi
Grace Kusman,
L dan Dialektika
Douglas K, KaryaMitra-Kritis:Lima Puluh Tahun
Tugas Akhir Mahasiswa Pergumulan
Indonesia Prisma
tentang “1965” 29

Proses pembentukan persetujuan kekuat­ ini—Lembaga Penelitian, Pendidikan dan


an sosial yang tertindas atas kekuasaan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES).
mere­ka yang mendominasi bukanlah sebuah Sebagaimana diutarakan Daniel Dhakidae,
proses yang bebas dari konflik dan kontesta­ LP3ES didirikan atas prakarsa dan ren­
si sosial. Dalam pertarungan kekuasaan un­ cana para intelektual, politisi, serta akti­
tuk memenangkan hegemoni, kekuatan so­ vis dari habitat sosial Partai Masjumi dan
sial dominan menjalankan “kerja ideologi”, Partai Sosialis­ Indonesia (PSI) yang pada
yaitu melegitimasi kekuasaannya dengan periode­ rezim Sukarno berada di ranah opo­
nilai-nilai yang selaras dengan pertahanan sisi.6 Beberapa tokoh pendiri LP3ES pernah
kepentingan dan perluasan kekuasaan serta mendekam di penjara atau dibuang, seperti
menekankan bahwa praktik yang mereka Profesor Sumitro Djojohadikusumo. Semen­
jalankan beserta nilai-nilai yang menopang­ tara kalangan yang lebih muda, seperti Ismid
nya adalah sesuatu yang alamiah. Mereka Hadad dan Nono Anwar Makarim, meru­
menyingkirkan dan menempatkan gagasan pakan eksponen aktivis mahasiswa yang ter­
yang bertolak belakang dengan kepentingan libat aktif dalam proses politik menjatuhkan
kekuatan dominan sebagai gagasan yang Sukarno dan menghancurkan PKI. Salah
sangat berpotensi menghancurkan serta me­ seorang figur yang bergabung dengan LP3ES
mendam dan mengaburkan berbagai konflik dan terlibat membangun Jurnal Prisma ialah
sosial yang berpotensi mendorong perubah­ M Dawam Rahardjo, aktivis-intelektual ber­
an sosial dari tatanan sosial yang ada.5 latar organi­sasi Himpunan Mahasiswa Islam
Dalam praktik hegemoni, proses produk­ (HMI) yang dekat dengan Masjumi. Sejak
si pengetahuan bekerja melalui wahana ru­ mahasiswa, Dawam Rahardjo mendalami
ang-ruang publik yang saling berbenturan analisis struktural Marxis, namun berse­
dan berkontestasi dengan ragam corak pe­ berangan dengan PKI dalam konteks per­
ngetahuan beserta kepentingan terkait. Dalam seteruan antara CGMI dan HMI serta krisis
pertarungan sosial seperti itu, kita dapat ekonomi di pengujung era Sukarno.7
memetakan Prisma baik melalui pengeta­ Salah satu yang menarik terkait perseng­
huan dominan yang sejalan dengan agenda ketaan intelektual antara pendiri LP3ES
besar narasi pembangunanisme-modernisasi dengan Sukarno berpusat pada bagaimana
hingga soal governance di tingkat global seharusnya membangun Indonesia pasca-ke­
sampai domestik maupun melalui perspektif merdekaan. Sukarno menekankan kesatuan,
pengetahuan kritis yang berusaha membong­ jargon revolusi belum selesai, beserta orien­
kar relasi kuasa serta menunjukkan dampak tasinya pada perspektif sosialisme radikal
sosialnya yang bekerja di tengah masyara­ dan populisme kerakyatan berseberangan
kat. dengan pandangan para pemrakarsa LP3ES
yang cenderung sejalan dengan perspektif
politik PSI yang pragmatik dalam pendekat­
Komunitas Intelektual Prisma an ekonomi dan teknokratis terhadap per­
soalan ekonomi-politik serta mendorong
modernisasi di dalam jalur lebih terbuka
Membaca pelbagai artikel dalam Prisma bergandengan dengan tatanan ekonomi kapi­
sejak tahun 1971, kita dapat memulai de­
ngan membuka riwayat lahirnya institusi
yang menjadi tempat bernaungnya jurnal
6
Dhakidae, Cendekiawan dan Kekuasaan…, hal. 447-
448.
Sony Karsono, “Indonesia’s New Order…”, hal.481-
7
5
Lihat, Terry Eagleton, Ideology: An Introduction (Lon­ 482; Wawancara dengan mantan peneliti LP3ES Fachry
don: Verso 1991). Ali, Pondok Bambu 20 Oktober 2021.

TOPIK
30 Prisma, Vol, 40, No. 4, 2021

talisme, dan berupaya memberi ruang perbe­ Rezim Pengetahuan Era Perang
daan dalam persatuan.8
Komunitas LP3ES yang berbasis aktivis Dingin
dan intelektual berhulu pada kekuatan poli­
tik Masjumi dan PSI merupakan lapis highly Bila kita telisik pertarungan sosial dalam
educated people yang menjadi agen bagi ni­ skala lebih luas di era Perang Dingin beserta
lai-nilai modernisasi berhadapan dengan ke­ rezim pengetahuan yang menopangnya pada
cenderungan otoritarianisme dan menggu­ periode transisi tahun 1960-an, kita akan
gat bentuk-bentuk kolektivisme yang tidak mendapat gambaran jauh lebih kompleks.
banyak memberikan ruang bagi kebebasan Benturan gagasan dan sikap oposisi para
individu. Dalam horizon pemikiran dan pan­ pemrakarsa LP3ES maupun Prisma dengan
dangan intelektual, mereka meng­anggap ideologi Sukarno maupun dukungan mere­
modernisasi sebagai proses pencerahan ber­ ka terhadap gagasan hegemonik Suharto
hadapan dengan tendensi sentralisme dan tidak terlepas dari konstelasi sosial yang
mitologisasi serta kekuatan karismatik per­ bekerja pada tataran global terkait kondisi
sonal Sukarno yang menjadi penghalang ter­ dunia internasional saat era Perang Dingin.
hadap ide-ide kemajuan di Indonesia.9 Pada Fase, menurut Paul Cammack, kekuatan
proses selanjutnya, cara pandang dan sikap “Dunia Pertama” berusaha memperluas dan
politik kelompok tersebut memunculkan merawat pengaruhnya dalam politik global
benturan, dilema, bahkan paradoksal ketika baik melalui dukungan konkret maupun
komunitas LP3ES membangun aliansi so­ pembentukan persetujuan melalui hegemoni
sial dengan kekuatan sosial serta kekuasaan ilmu-ilmu sosial dalam rangka memastikan
dominan.10 program transisional dengan menginstalasi
dan melakukan konsolidasi rezim kapitalis­
me di negara-negara baru merdeka maupun
negara-negara Dunia Ketiga.11
8
 hakidae, Cendekiawan dan Kekuasaan…, hal. 448.
D
9 
Dilema yang dihadapi poros “Dunia Per­
Wawancara dengan mantan peneliti LP3ES Fachry Ali,
Pondok Bambu, 20 Oktober 2021.
tama” yang hendak mendorong laju pem­
10 
Kekuatan sosial dominan yang dimaksud adalah rang­ bangunan ekonomi maupun politik dalam
kaian kelompok-kelompok sosial yang kepentingannya tatanan kapitalisme di Dunia Ketiga adalah
saling bertemu, baik dalam rangka merawat pengua­ bahwa lintasan pembangunan ekonomi
saan atas alat-alat produksi dan melakukan akumu­
lasi kemakmuran melalui eksploitasi kerja atas buruh
menuju tatanan kapitalisme di negara-negara
maupun memanfaatkan dan menjarah sumber daya Dunia Ketiga tidak selalu berjalan ekuiva­
negara yang dilindungi dan dijaga keberlangsungannya len dengan gerak laju dorongan politik dari
oleh kekuatan-kekuatan politik yang menguasai insti­ massa. Pelbagai kontradiksi sosial dapat saja
tusi negara. Tulisan ini menempatkan kekuasaan domi­
nan tidak identik dengan negara berhadapan de­ngan
terjadi ketika laju partisipasi politik di ma­
masyarakat sipil. Sejalan dengan pendekatan kritis syarakat Dunia Ketiga justru mengarah pada
neo-Marxis dari Antonio Gramsci, artikel ini melihat gugatan terhadap praktik pembangunan eko­
bahwa negara yang di dalamnya terdiri dari masyara­ nomi dalam skema tatanan kapitalisme.12
kat politik maupun masyarakat sipil adalah arena tem­
pat pertarungan kekuasaan antara kekuatan-kekuatan
Hal tersebut diperkuat dengan kondisi so­sial
sosial berlangsung. Arena masyarakat politik adalah di berbagai negara Dunia Ketiga dengan
ruang tempat pertarungan terjadi untuk menggunakan
alat-alat kekerasan dan pembentukan regulasi dan ke­
11 
bijakan. Sementara masyarakat sipil yang di dalamnya Paul Cammack, Capitalism and Democracy in the
adalah institusi pendidikan, media massa, ruang publik Third World: The Doctrine for Political Development
intelektual, institusi agama menjadi arena bagi perta­ (London: Leicester University Press, 1997), hal. 1.
12 
rungan kepentingan di antara kekuatan sosial yang ter­ Lihat, Irene L Gendzier, Development Against De-
manifestasikan dalam pengetahuan dan ideologi untuk mocracy: Manipulating Political Change in The Third
mendapatkan persetujuan kolektif. World (London: Pluto Press, 2017).

TOPIK
Airlangga Pribadi
Grace Kusman,
L dan Dialektika
Douglas K, KaryaMitra-Kritis:Lima Puluh Tahun
Tugas Akhir Mahasiswa Pergumulan
Indonesia Prisma
tentang “1965” 31

ledak­an partisipasi politik maupun pertarung­ Pada saat bersamaan, kiprah intelektual
an sosial yang menandai dorongan perubah­ di lingkaran Prisma beserta awak LP3ES se­
an sosial di wilayah tersebut sering kali perti Ismid Hadad dan Nono Anwar Makarim
bertentangan dengan kepentingan tatanan maupun mentor dan senior mereka seperti
kapitalisme. Pengalaman kolonialisme dan Sumitro Djojohadikusumo berada pada kon­
imperialisme yang dialami negara-negara teks ekonomi-politik khusus, yakni ketika
Dunia Ketiga yang baru merdeka membuat momen penggulingan Sukarno dan naiknya
kecenderungan utama yang muncul, baik Suharto menjadi jalan pembuka bagi masuk­
di kalang­an intelektual maupun masyara­ nya Indonesia pada pusaran modernisasi
kat umum, untuk bersikap kritis terhadap dalam arus besar sistem kapitalisme.15 Transi­
proyeksi tatanan kapitalisme. Itu diperkuat si menuju tatanan kapitalisme di Indonesia
oleh momentum Konferensi Asia Afrika ta­ awal pemerintahan Suharto menghadapi
hun 1955. Sebagian negara tersebut justru berbagai kendala struktural yang selanjut­
meniti dan membangun jalan modernitas di nya memengaruhi corak tatanan kapitalisme
luar program ekonomi-politik menuju tata­ yang bekerja, termasuk di dalamnya ber­
nan kapitalisme.13 hubungan dengan ketegangan dan negosiasi
Sementara itu, kalangan elite di negara- dalam relasi kekuasaan dengan kaum intelek­
negara Dunia Ketiga di Asia (seperti In­ tual teknokrasi (seperti yang terekam dalam
donesia, Filipina, Burma), Amerika Latin artikel-artikel di Prisma). Di antara kendala
(Chile, Brasil, dan Argentina saat pemerin­ itu adalah lemahnya kaum borjuasi domes­
tahan junta militer), dan Timur Tengah (Me­ tik untuk “naik” menjadi kekuatan dominan
sir masa pemerintahan Anwar Sadat, Iran dalam arena ekonomi-politik di Indonesia
masa Shah Reza, Irak masa Sadam Hussein) masa pemerintahan Sukarno. Kelemahan
yang membangun aliansi sosial-politik masa borjuasi domestik tersebut dimanfaatkan
itu berkepentingan dan sejalan dengan pro­ oleh partai politik, militer, serta birokrasi,
gram transisi menuju tatanan kapitalis, be­ seiring kegagalan Presiden Sukarno dalam
lum tentu memiliki kontrol praktis terhadap mendorong perubahan sosial dari ekonomi
kondisi sosial. Mereka adalah kalangan elite berbasis agraria dan perkebunan ekstraktif
yang berkuasa dan mampu mengontrol ke­ di bawah pimpinan negara menuju ekonomi
adaan lewat cara-cara represi dan membatasi manufaktur berbasis industri substitusi im­
pro­ses partisipasi politik.14 Dalam konteks por yang digerakkan oleh kekuatan-kekuat­
tarikan struktural yang mendorong tata­ an sosial pendukung Sukarno.16
nan kapitalis di negara baru merdeka, kita Dalam kondisi demikian, proses revolu­
dapat melihat beragam pemikiran teknokra­ si kapitalisme dengan lemahnya kekuatan
tik dalam Jurnal Prisma di Indonesia tidak kaum borjuasi pada era pemerintahan Su­
hanya secara spesifik terkait dengan histo­ harto mengambil jalan “Negara Bonapar­
risitas masyarakat Indonesia, namun juga tis.” Kapitalisme negara rezim Suharto yang
terjalin dengan kepentingan ekonomi-politik ditopang aliansi utama pendukungnya dan
serta narasi hegemonik yang dibangun oleh kelompok-kelompok tentara memang mela­
kekuatan dominan, yang amat bersemangat hirkan kelas pengusaha, namun untuk me­
melakukan ekspansi serta mendorong tran­ nguasai sumber daya ekonomi mereka tetap
sisi menuju kapitalisme. bergantung pada negara. Kondisi struktural
tersebut jelas memengaruhi pertarungan
13 
Lihat, Vijay Prashad, The Darker Nations: A People’s
15 
History of The Third World (New York, London: The Karsono, “Indonesia’s New Order, 1966-1998…”, hal.
New Press, 2008). 428-464.
16 
14 
Cammack, Capitalism and Democracy in the Third Lihat, Richard Robison, Indonesia: The Rise of Capital
World…, hal. 11. (Sydney: Allen Unwin, 1986)

TOPIK
32 Prisma, Vol, 40, No. 4, 2021

kekuasaan dan posisi di antara kekuatan so­ proyek—meminjam istilah Vivek Chiber—
sial dominan dalam negara dengan intelek­ capital civilising mission (misi politik pem­
tual hingga tumbangnya Suharto.17 beradaban berbasis akumulasi modal).19
Soedjatmoko, dalam artikelnya, mengurai­
kan proses pembangunan sebagai suatu upaya
Modernisasi Teknokratik menyesuaikan diri dengan beraneka masalah
dan tantangan baru. Baginya, persoal­an nilai,
Sebagai Mitra motivasi, maksud, tujuan, dan vitalitas suatu
bangsa menjadi faktor kunci bagi perubah­an
Untuk memperdalam bagaimana pergulatan sosial dalam lintasan proses pemba­ngunan.
artikel-artikel di Prisma berhubungan dengan Dia menyinggung soal penerimaan atas in­
pertarungan kekuasaan di tingkat global dan vestasi asing sebagai bagian penting dari
domestik beserta narasi pengetahuan yang rangkaian adaptasi Indonesia terhadap
menopangnya, kita dapat bertolak dari edisi proses pembangunan. Dalam argumen yang
“Perkenalan” yang terbit pada November solid, Soedjatmoko menjawab bahwa keter­
1971. Dibuka dengan artikel Soedjatmoko bukaan Indonesia terhadap investasi asing
berjudul “Problem dan Prospek Pembangun­ memiliki dua maksud, yakni untuk merang­
an Indonesia.” Artikel tersebut sebenarnya sang terbangunnya wirausahawan pribumi
tidak secara khusus ditulis untuk Prisma, na­ dan berperan sebagai katalisator yang men­
mun disadur dari pidato Soedjatmoko sebagai syaratkan kesediaan investasi tersebut untuk
Duta Besar RI di Washington dalam sebuah mengintegrasikan diri dalam pola pemba­
konferensi tahun 1970 yang disponsori The ngunan nasional yang telah direncanakan. Di
Johnson Foundation. Sebagaimana diutara­ sini, kita bisa menghubungkan beberapa ko­
kan Daniel Dhakidae, tulisan Soedjatmoko sakata kunci yang ditekankan dalam artikel
itu menghadirkan Indonesia di hadapan pu­ Soedjatmoko, yakni pemba­ngunan sebagai
blik luar negeri dalam kacamata simbolik se­ proses penyesuaian, motivasi, nilai, vitalitas
bagai suatu artefak atau gumpalan kain yang bangsa dan investasi asing. Yang dikemu­
hadir dalam etalase pameran yang disaksikan kakan Soedjatmoko dalam artikel tersebut
oleh kekuatan sosial dari luar yang berminat bertemu dengan problematika dan perha­
terhadapnya.18 Dari kacamata Daniel Dhaki­ tian para pegiat akademik Amerika Serikat
dae, yang menganalisis artikel Soedjatmoko, dalam kajian pembangunan politik (political
baik penulis maupun publik Amerika Serikat development) dan ekonomi pembangunan
menempatkan Indonesia sebagai sebuah ob­ (economic development).20
jek dengan isyarat simbolik bahwa Pemerin­ Beberapa sarjana politik dan ekonomi de­
tah Indonesia di bawah rezim Suharto siap ngan fokus kajian pada isu-isu pemba­ngunan,
membuka diri bekerja sama dalam proyek- seperti WW Rostow, Sidney Verba, Daniel
proyek pembangunan. Dalam perspektif Lerner, Gabriel Almond, Joseph Palombara,
critical political studies, pidato tersebut ber­ Samuel P Huntington, dan lain-lain, meman­
tolak belakang dengan jargon rezim Sukarno dang bahwa komitmen terhadap proses mo­
Go To Hell with Your Aids (persetan dengan dernisasi yang berpijak pada ekspansi sistem
bantuanmu) yang konfrontatif dengan po­ ekonomi kapitalis dan pembangunan politik
ros free world dan berpotensi mengancam
19 
Lihat, Vivek Chiber, Postcolonial Theory and The
Specter of Capital (London: Verso, 2013).
17 
Airlangga Pribadi Kusman, The Vortex of Power: Intel- 20 
Lihat, Irine L Gendzier, Paul Cammack, dan David H
lectuals and Politics in Indonesia Post-Authoritarian Price, Cold War Anthropology: The CIA, The Pentagon
Era (Singapore: Palgrave Macmillan, 2018), hal. 61. and The Growth of Dual Use of Anthropology (Dur­
18 
Dhakidae, Cendekiawan dan Kekuasaan…, hal. 454. ham, AS: Duke University Press, 2016).

TOPIK
Airlangga Pribadi
Grace Kusman,
L dan Dialektika
Douglas K, KaryaMitra-Kritis:Lima Puluh Tahun
Tugas Akhir Mahasiswa Pergumulan
Indonesia Prisma
tentang “1965” 33

demokrasi perlu dilepas koneksitas historis­ pandang revisionis seperti itu, berbagai
nya ketika membahas proses pembangunan macam guncangan dan pertarungan sosial di
ekonomi dan politik serta perubahan sosial masyarakat Dunia Ketiga dimaknai sebagai
di Dunia Ketiga. Suatu rekayasa pembangun­ ekspresi ketidakdewasaan sikap masyarakat
an menuju ekonomi pasar dilakukan melalui pramodern alih-alih momen menentukan
kontrol partisipasi politik yang tidak meng­ bagi proses perubahan sosial.23
hadirkan pembangunan demokrasi sebagai Di sini, kita dapat menemukan bagaimana
sebuah agenda yang mendesak. Pilih­an titik tekan Soedjatmoko terhadap pentingnya
janggal itu diambil untuk menghindari le­ orientasi nilai dan vitalitas bangsa bertemu
dakan partisipasi maupun arahan perubah­an dengan uraian revisionis para sarjana ilmu-
sosial yang dapat mengguncang sistem eko­ ilmu sosial pembangunan Amerika Serikat.
nomi kapitalisme.21 Sementara itu, proyek Seperti diuraikan sebelumnya, kepentingan
modernisasi dalam pembangunan ekonomi pengetahuan mereka berupaya melakukan
seperti diperkenalkan WW Rostow (1960) rekayasa sosial agar proses perubahan sosial
dalam The Stages of Economic Growth: A tidak berpotensi mengancam stabilitas agen­
Non Communist Manifesto dikawal melalui da tatanan yang kapitalistik. Sementara di sisi
formulasi rekayasa sosial berbasis tahap- lain, berfokus pada investasi asing se­bagai
tahap pembangunan yang menghindarkan injeksi pembangunan sejalan dengan—se­
rezim di Dunia Ketiga untuk mengambil ja­ perti diutarakan Paul Cammack—kepentin­
lan non-kapitalisme. Dalam karyanya, Ros­ gan untuk mendorong dan memasukkan In­
tow menguraikan bahwa model “pembangun­ donesia ke dalam program ekonomi-politik
an Marxisme” adalah wabah (disease) yang transisional menuju tatanan kapitalistik.
dapat merusak masyarakat Dunia Ketiga Dalam Prisma edisi “Perkenalan” terse­
dalam proses transisi modernisasi menuju but, Dorodjatun Kuntjoro-Jakti mengambil
tatanan ekonomi kapitalisme.22 arah sedikit berbeda dibanding Soedjatmoko.
Berangkat dari problem tersebut, kajian- Dorodjatun Kuntjoro-Jakti melihat bahwa
kajian ilmu sosial, terutama di bidang poli­ pembangunan merupakan suatu proses pan­
tik, ekonomi, dan sosiologi, menguraikan jang yang kompleks dengan setiap bangsa
interpretasi revisionis terhadap pembangun­ memiliki jalan masing-masing. Dia meng­
an tatanan politik liberal. Kekhawatiran kritik arahan teknokratik, baik dari kaum mi­
terhadap terjadinya guncangan bagi pena­ liter maupun kaum teknokrat, yang melihat
taan kapitalisme mendorong mereka untuk pembangunan seperti sebuah mesin politik
melihat “bahaya” politik massa dan ledakan yang mensyaratkan ketundukan. Seperti Ing­
partisipasi, pentingnya membangun tata so­ gris dan Amerika Serikat beroperasi melalui
sial berbasis stabilitas, dan penekanan ter­ lintasan kapitalis, Rusia dan RRT berbasis
hadap faktor psikologi dan personal, seperti komunisme dan Jerman serta Jepang yang
orien­tasi nilai. Proses pembangunan menuju menggunakan fasisme. Namun demikian,
modernisasi digambarkan sebagai dorongan uraian perbandingan historis tersebut tidak
perubahan melalui negara dari tatanan ma­ membawa artikel ini menempatkan perta­
syarakat tradisional dengan orientasi nilai rungan kekuasaan di antara kekuatan-kekuat­
dan cara pandang primordial menuju ma­ an sosial spesifik dalam suatu masyarakat se­
syarakat modern. Dalam konstruksi cara bagai penggerak perubahan sosial.24 Sejalan
dengan alur pembangunanisme, pada akhir

21 
Mark T Berger, The Battle for Asia: From Decoloni-
23 
zation to Globalization (London: Routledge Curzon, Gendzier et al., Cold War Anthropology…, hal. 19.
24 
2004), hal. 65. Dhakidae, Cendekiawan dan Kekuasaan…, hal. 457-
22 
Gendzier et al., Cold War Anthropology…, hal. 19. 458.

TOPIK
34 Prisma, Vol, 40, No. 4, 2021

tulisan, Dorodjatun Kuntjoro-Jakti kembali menekankan stabilitas dan menolak konflik


pada jalan teknokrasi dalam merumuskan serta berorientasi elitisme dan meninggalkan
model pembangunan ala Indonesia. Dia mere­ dorongan politik akar-rumput. Jalan menuju
komendasikan agar memberi ruang kepada modernitas yang dalam perjalanan sejarah­
Bappenas untuk berupaya aktif melakukan nya di negara-negara Eropa maupun Amerika
rekayasa pembangunan ekonomi. Yang di­ Serikat hadir sebagai hasil dari proses perta­
tulis oleh Soedjatmoko serta Dorodjatun rungan kekuasaan di antara kekuatan-kekuat­
Kuntjoro-Jakti dalam edisi perdana Prisma an sosial, diterjemahkan di Dunia Ketiga,
itu, jelas memperlihatkan bahwa jurnal ini termasuk Indonesia, sebagai pembangunan
sejak awal mengambil posisi sebagai mitra sosial-politik yang lebih menekankan tertib
pemerintahan Suharto dalam mendorong per­ sosial dan stabilitas politik.
ubahan sosial menuju tatanan kapitalisme. Dalam kajian pengetahuan arus utama
Dalam perkembangan historis ekonomi- tentang pembangunan politik, supremasi
politik, kompleksitas perjumpaan antara tertib sosial dan stabilitas politik tersebut di­
struktur global Perang Dingin dan gerak anggap sebagai faktor utama bagi suksesnya
histo­risitas dari tatanan stuktural kapitalisme pembangunan. Hal tersebut diingatkan oleh
rezim Suharto memunculkan berbagai kon­ Samuel P Huntington. Menurut pakar ilmu
tradiksi yang memengaruhi peran dan posisi politik itu, dalam masyarakat yang sedang
Prisma dalam pergumulan intelektualnya. menjalani proses perubahan dari masyara­
Corak kekuasaan ekonomi-politik domestik kat tradisional menuju masyarakat modern,
pada era rezim Suharto memunculkan ber­ perlu kehadiran kekuatan sosial dominan
bagai hambatan struktural dengan tatanan yang sanggup mengawal tertib politik. Nuan­
ekonomi kapitalis yang tumbuh menghasil­ sa konservatisme politik terasa kuat dalam
kan tampilnya kalangan pengusaha yang ber­ argumen Huntington ketika menjelaskan
gantung pada negara. Di tengah hancurnya bahwa dalam masyarakat transisi seperti itu
kekuatan progresif Kiri dan lemahnya yang dibutuhkan bukan elite yang mampu
kekuat­an liberal, arena kekuasaan didomi­ menjadi pendengar dan penyerap aspirasi
nasi oleh persekutuan Suharto dan kalangan massa. Namun, di hadapan massa yang me­
tentara yang memiliki posisi kuat dalam miliki aspirasi politik beragam, konflik dapat
panggung kekuasaan serta memunculkan dicegah dan tertib sosial dapat dirawat ketika
aliansi bisnis-politik tempat mereka menjadi hadir kekuatan sosial dominan (seperti ka­
kekuatan dominan sekaligus mengukuhkan langan militer) yang mampu mengontrol dan
tatanan politik otoritarianisme. membangun persetujuan atas aspirasi dan
Konstruksi rezim intelektual seperti itu kepentingan kekuatan elite untuk mencapai
memunculkan corak pengetahuan yang stabilitas politik.25
janggal. Modernisasi di negeri-negeri Du­ Modernisasi dalam arahan pembangunan
nia Ketiga dengan dukungan ilmu-ilmu so­ era Suharto identik dengan proses perubah­
sial yang mengusungnya justru tampil dalam an sosial melalui rekayasa dalam kekuasaan
corak yang meminggirkan dorongan politik yang sentralistik. Dimensi konflik dan perta­
liberal dan demokratik. Kekhawatiran mem­ rungan sosial menyejarah yang lazim dalam
bludaknya partisipasi politik dan tampilnya transformasi sosial menuju masyarakat
kekuatan sosial yang bertentangan dengan modern dalam historisitas Eropa direduksi
kepentingan agenda global untuk memas­ menjadi transformasi psikokultural. Titik
tikan tatanan kapitalisme berkembang di tekannya berada pada penyebaran orientasi
negara-negara Dunia Ketiga menghasilkan
pengetahuan revisionis dalam diskursus 25 
Lihat, Samuel P Huntington, Political Order in Chang-
pembangunan. Itu merupakan sebuah jalan ing Societies (New Haven, AS: Yale University Press,
pembangunan menuju modernisasi yang 1968).

TOPIK
Airlangga Pribadi
Grace Kusman,
L dan Dialektika
Douglas K, KaryaMitra-Kritis:Lima Puluh Tahun
Tugas Akhir Mahasiswa Pergumulan
Indonesia Prisma
tentang “1965” 35

nilai-nilai kemodernan yang dapat mendo­ dan sosiologis, artikel-artikel pada periode
rong pergeseran masyarakat dari fase pri­ awal Prisma abai terhadap hambatan struk­
mordial-tradisionalis menuju masyarakat tural maupun rezim diskursif untuk mem­
modern. Dalam corak struktural seperti itu, persoalkan secara intelektual bagaimana
setidaknya pada periode awal (1971-1976), konfigurasi kekuasaan maupun konstelasi
Prisma lebih menekankan agenda pengeta­ pertarungan sosial memunculkan dampak
huan teknokratik yang cenderung apolitis. negatif pembangunan. Hal tersebut diperkuat
Berbagai macam persoalan sosial pada masa oleh situasi sosial-politik waktu itu; awak
itu dilepaskan dari dimensi konflik sosial Prisma berhasil membangun aliansi sosial
yang terkait dengan perbenturan politik, ke­ dengan kekuatan-kekuatan dominan yang
pentingan, dan kekuasaan. Persoalan di ma­ berkuasa pada era Suharto.
syarakat dipandang tidak berangkat dari re­ Hal itu dapat dilihat dalam edisi khu­
alitas sosial yang memperlihatkan kehadiran sus Prisma, Volume 2, Nomor 7, Desember
relasi kekuasaan yang timpang. 1972, tentang “Urbanisasi dan Pengem­
Dalam kondisi seperti itu, corak kekuasa­ bangan Kota.” Pada edisi tersebut, Pengan­
an otoritarian yang melindungi aliansi ke­ tar Redaksi dan artikel-artikelnya berhasil
lompok bisnis dan politik pada masa rezim menelisik proses pembangunan ekonomi
Suharto tidak diletakkan sebagai bagian dari yang membuka pintu pada investasi asing
akar persoalan dan solusi penting yang mem­ telah mendorong proses pembangunan se­
pertimbangkan kemampuan kekuatan sosial cara pesat di wilayah-wilayah perkotaan
alternatif untuk melawannya. Dalam pan­ dan memunculkan ketimpangan antara kota
dangan pengetahuan teknokratik yang apoli­ dan desa. Berbagai persoalan mulai dari ge­
tis, serangkaian rekayasa sosial di bidang landangan, kriminalitas, hingga munculnya
kebudayaan yang menyentuh mentalitas dan aneka perkampungan kumuh di perkotaan
etos sosial maupun penataan kelembagaan menjadi titik perhatian. Tidak memadainya
mampu menjawab berbagai persoalan yang alokasi sumber daya, birokrasi yang lamban,
muncul. Dalam konteks itulah pengetahuan terjebak rutinitas dan tidak mampu meme­
teknokratik tersebut juga bercorak apolitis. cah kebekuan, dipandang sebagai persoalan
Sementara itu, beragam subjek sosial, seper­ti utama. Dalam konteks tertib sosial dan stabi­
perempuan, agama, pendidikan, kaum muda, litas, ketegangan-ketegangan yang muncul
dan politik ditempatkan sebagai instrumen dalam arus besar urbanisasi dianggap men­
modernisasi. Dalam bahasa popular di ka­ jadi tantangan. Menghadapi beragam per­
langan aktivis pergerakan sosial hal tersebut soalan tersebut, solusi teknokratik menjadi
dikenal sebagai objek dan sekrup-sekrup fokus utama dalam menyelesaikan masalah
pembangunan.26 pengembangan kota-kota serta daerah dan
Kecenderungan teknokratis apolitis itu partisi­pasi warga dalam proses pembangu­
terlihat dalam beberapa publikasi fase for­ nan.27 Sementara yang hilang dalam uraian
matif Prisma. Hal yang konsisten dalam ar­ tentang problem urbanisasi yang disoroti
tikel-artikel di Prisma sejak awal terbit sam­ Prisma, misalnya, terkait pertautan corak
pai sekarang adalah keberpihakan terhadap kekuasaan dan kepentingan yang bekerja
kalangan yang terpinggirkan dalam proses serta perkembangan menuju tatanan kapital­
pembangunan. Di tengah tekanan tatanan isme-otoritarianisme, baik yang memenga­
ekonomi-politik pada masa Suharto maupun ruhi pola urbanisasi maupun diskusi tentang
dominasi pengetahuan teknokratik tentang kesempatan ekonomi-politik yang tersedia
pembangunan dalam ranah ekonomi, politik,
27 
Lihat, Soelaeman Soemardi, “Kerangka Permasalahan:
26 
Dhakidae, Cendekiawan dan Kekuasaan…, hal. 459- Kebijaksanaan Nasional Pengembangan Perkotaan”,
460. dalam Prisma, Vol. 1, No.7, Desember 1972, hal. 3-6.

TOPIK
36 Prisma, Vol, 40, No. 4, 2021

untuk membangun kekuatan politik alter­ pembangunan, seperti halnya diskusi dalam
natif di antara kalangan yang tersingkir dan arus utama pandangan teknokratik, agama ti­
margi­nal dalam mendorong perubahan sos­ dak ditempatkan sebagai narasi yang mampu
ial yang lebih demokratik. menggugat problem otoritarianisme, pelang­
Salah satu tilikan mengenai bagaimana garan HAM, serta penguasaan sumber
paradigma pembangunan menjadi arus uta­ daya oleh segelintir elite pada masa rezim
ma dalam kajian intelektual di Prisma—de­ Suharto.­
ngan absennya penghampiran kritis untuk Tendensi “teknokratik apolitis” pada fase
membongkar kepentingan dan relasi kekuasa­ awal Jurnal Prisma sangat mencolok bila
an dari diskursus pembangunan dalam kon­ kita menyaksikan salah satu momen penting
struksi ideologi rezim Suharto—tampak pada periode awal rezim Suharto, yakni ko­
dalam tulisan mengenai “Iman, Amal dan rupsi dan penyalahgunaan kekuasa­an dalam
Pembangunan.” Dalam edisi “Agama dan tubuh Pertamina, sebuah BUMN vital di
Pembangunan” itu, awak Redaksi Pris- bidang usaha perminyakan. Terkait posisi
ma menekankan agar pembangunan tidak minyak dan gas bumi sebagai komoditas
menem­patkan agama sebagai objek secara ekspor terbesar di Indonesia, analisis dalam
manipulatif semata-mata sebagai instrumen artikel di Prisma lebih menekankan arti
pembangunan. Sehubungan dengan relasi penting ekspor migas itu sebagai penghasil
antara agama dan pembangunan, Prisma devisa terbesar. Uraian terkait hal tersebut
menekankan agar capaian pembangunan ti­ berada pada ruang lingkup formulasi kebi­
dak hanya diukur dari kesejahteraan mate­ jakan ekonomi dengan pendekatan ekonomi
rial, namun juga menempatkan nilai-nilai keynesian melalui campur tangan negara
agama sebagai bagian dari tolok ukur pem­ dalam menjaga stabilitas pasokan ekspor
bangunan. Upaya merumuskan tujuan-tu­ dan formulasi kebijakan moneter dan fiskal.
juan pembangunan tidak bisa melepaskan Namun demikian, di antara berbagai kajian
dimensi moral agama di dalamnya. Karena dan analisis tentang hal itu, yang luput di­
itu, di dalam proses pembangunan sangat perhatikan adalah kekuatan sosial manakah
perlu melibatkan dimensi agama.28 yang menguasai Pertamina? Bagaimana
Yang tak terpikirkan atau luput dalam penguasaan tersebut mendorong potensi dan
analisis Prisma di edisi “Agama dan Pem­ praktik rente ekonomi maupun pembajakan
bangunan” tersebut adalah ruang-ruang sumber daya negara serta bagaimana corak
ter­­­kait bagaimana agama menjadi diskur­ dan struktur kekuasaan melanggengkan ko­
sus kritis yang berpotensi mempertanyakan rupsi yang tengah berlangsung.29
asumsi-asumsi utama ideologi pembangunan Pada periode awal sejak terbit kali per­
yang diusung oleh rezim Suharto. Eksplorasi tama pada 1971 sampai 1976, Prisma mem­
kritis edisi itu tidak menyentuh bagaimana produksi sejumlah artikel yang banyak di­
agama sebagai kekuatan kritik sehubungan pengaruhi oleh praktik diskursif dominan,
dengan arah perjalanan rezim Suharto yang yaitu wacana teknokratik yang sejalan de­
makin menunjukkan corak kekuasaan oto­ ngan fase transisional menuju sistem kapita­
riter serta terbangunnya proses pembajakan lisme di negara-negara Dunia Ketiga. Dalam
sumber daya negara yang berlangsung sejak konteks domestik, penciptaan tatanan kapi­
awal pemerintahan Suharto. Walaupun argu­ talisme dengan “corak” Negara Bonapartis
men edisi tersebut menolak instrumentalisa­ (di tengah absennya kaum borjuasi nasional)
si serta manipulasi agama di bawah tujuan dan beraliansi dengan kekuatan sosial domi­
nan yang cenderung konservatif (aliansi
28 
Lihat, Dewan Redaksi, “Iman, Amal, dan Pembangun­
an: Sebuah Memorandum Pengantar”, dalam Prisma,
29 
Vol. 4, No. 4, Agustus 1975, hal. 3-8. Dhakidae, Cendekiawan dan Kekuasaan…, hal. 461.

TOPIK
Airlangga Pribadi
Grace Kusman,
L dan Dialektika
Douglas K, KaryaMitra-Kritis:Lima Puluh Tahun
Tugas Akhir Mahasiswa Pergumulan
Indonesia Prisma
tentang “1965” 37

dengan tentara di bawah kendali Suharto) awalnya, rezim Suharto tampil mengganti
luput dari pertimbangan. Kondisi dan corak pemerintahan Sukarno dengan harapan di
struktural seperti itu jelas menempatkan po­ kalangan aktivis dan intelektual merupakan
sisi intelektual Prisma sebagai mitra-kritis bagian dari enlightened epistemic communi-
rezim Suharto. ty (komunitas epistemik yang tercerahkan).
Dalam beberapa edisi berikutnya, Prisma Salah satu “komunitas tercerahkan” pendu­
menemukan sejumlah masalah yang dihadapi kung utama rezim Suharto adalah komunitas
pada fase pembangunan awal rezim Suharto LP3ES dengan Jurnal Prisma. Komunitas
dengan keberpihakan pada kondisi ekonomi itu memandang rezim Suharto sebagai “mi­
rakyat kecil mulai dari formulasi pemba­ tra” sosial yang dapat menjadi pelindung
ngunan, problem urbanisasi, relasi agama seka­ligus penyambung pandangan-pandang­
dan pembangunan, hingga kalkulasi sektor an rasional, egalitarian, kebebasan, rasionali­
migas sebagai ekspor unggulan Indonesia. tas-pragmatis, dan keterbukaan terhadap du­
Namun, berkait dengan bagaimana Prisma nia luar. Pandangan-pandangan modern­isasi
menempatkan persoalan tersebut, Redaksi sosial, politik, dan ekonomi yang diusung
Prisma dan artikel-artikel di dalam jur­nal oleh aktivis dan intelektual kelas mene­ngah
ini mengambil posisi teknokratik seperti hal­ yang tergabung pada angkatan 66 itu menjadi
nya yang menjadi fokus dari narasi diskur­sif landmark untuk menggugat rezim Sukarno
pe­ngetahuan ilmu-ilmu sosial (politik, eko­ yang dianggap sarat dengan jargon-jargon
nomi, sosiologi, dan antropologi) yang be­ politik dan retorika gran­diose yang tidak
rangkat dari paradigma pembangunan (de- memiliki substansi rasional dan mengham­
velopmentalism). Perubahan sosial menuju bat Indonesia menuju tatanan modern.30
masyarakat modern ditinjau dari sudut pan­ Namun demikian, setelah kurang lebih
dang orientasi nilai-nilai kemajuan yang sepuluh tahun Suharto berkuasa, pencerahan
dapat membebaskan masyarakat dari sikap yang diharapkan kaum muda itu terbentur
mental yang enggan beradaptasi dengan pe­ batu karang struktur kekuasaan yang didu­
rubahan serta abai terhadap pertarungan so­ kungnya. Alih-alih mendorong modernisasi
sial dan konflik se­bagai kesempatan dalam politik yang mengarahkan kekuasaan poli­
mendorong peru­bahan sosial. Selain itu, tik di Indonesia menjadi lebih terbuka dan
tidak muncul tinjauan kritis yang mengin­ menghormati kebebasan individu, rekayasa
terogasi asumsi-asumsi teoretis dan paradig­ pembangunan politik yang menekankan
ma pembangunan serta corak relasi penge­ stabilitas sosial dan tertib politik membuat
tahuan, kepentingan, dan kekuasaan rezim kekuasaan menjadi tertutup terhadap kri­
Orde Baru. Dalam konteks itulah, Prisma tik. Sementara struktur piramida kekuasaan
mendaku, setidaknya pada fase formatifnya, rezim Suharto yang hierarkis justru berkon­
tidak pernah mendorong dan menggugat se­ tradiksi dengan nilai-nilai egalitarianisme
cara kritis mitranya, yakni rezim Suharto. yang menjadi identitas diri kalangan intelek­
tual dan aktivis mahasiswa. Pada kenyataan­
nya, pola pembangunan yang diasumsikan
Bangkitnya Kritik terhadap sebagai proses adaptasi terhadap perubahan
dari luar dan keterbukaan terhadap tatanan
Kekuasaan, 1977-1998 kapitalisme memunculkan ketimpangan
so­sial yang menjadi berkah bagi segelin­
Setelah satu dekade pemerintahan Suharto
dan kurang lebih enam tahun usia Prisma,
mulai muncul pertanyaan terkait arah dan 30 
Lihat, Francois Raillon, Politik dan Ideologi Maha-
corak kekuasaan serta berbagai dilema dalam siswa Indonesia: Pembentukan dan Konsolidasi Orde
proses dan dinamika pembangunan. Pada Baru 1966-1974 (Jakarta: LP3ES, 1985).

TOPIK
38 Prisma, Vol, 40, No. 4, 2021

tir orang dan kutukan bagi sebagian besar an dan modernisasi menjadi instrumen
lapisan masyarakat miskin di Indonesia. kontrol yang efektif alih-alih jalan rasional
Posisi redaksi serta artikel-artikel Prisma untuk membebaskan manusia Indonesia
mengabaikan adanya “gajah” di dalam ruan­ dari kondisi keterbelakangan, kebodohan,
gan (relasi kekuasaan, pertarungan sosial, dan dan ketertutupan politik. Rasio dan pemba­
kepentingan yang menyertainya) serta ber­ ngunan yang semula dianggap sebagai jalan
fokus pada jawaban-jawaban sempit bersifat masyarakat Indonesia untuk keluar dari san­
teknokratik yang tidak menyentuh kursi pa­ dera mitos, tradisi, dan kolektivisme yang
nas kekuasaan. Tragedi di kalangan aktivis merepresi individualitas, ternyata berbalik.
intelektual angkatan 66 beserta awak LP3ES Di bawah rezim Suharto dengan ditopang
dan Prisma itu dapat dianalogikan dengan— oleh militer membentuk struktur kekuasaan
tentunya membutuhkan penyesuaian kon­ otoritarianisme. Kesadaran kewargaan tidak
tekstual—argumen pendiri mazhab Frank­ tercipta dan masyarakat ditempatkan seka­
furt Max Horkeimer dan Theodor Adorno dar instrumen bagi realisasi tujuan-tujuan
sebagai proses Dialektika Pencerahan (Dia- pembangunan.
lectic of Enlightenment).31 Pada awalnya, Para aktivis dan intelektual, khususnya
mereka memilih jalan yang menempatkan eksponen Prisma dan LP3ES, mulai me­
supremasi rasio melalui gagas­an pembangun­ nyadari perjalanan corak kekuasaan yang
an dan modernisasi. Lintasan perjuangan bertolak belakang dengan harapan mereka
politik yang mengedepankan pentingnya kurang lebih satu dekade sebelumnya. Mo­
rasio yang membimbing jalan kemodernan men otokritik terhadap perjalanan Prisma
dianggap mampu mengeluarkan masyarakat sekaligus menandai terbukanya ruang re­
Indonesia dari keterbelakang­an, kemiskinan, daksi untuk artikel-artikel yang menggu­
korupsi, mitologisasi pemimpin karismatik, gat jalannya kekuasaan dimulai pada tahun
kepe­ngapan benturan politik dalam tatanan 1977, meski porsi terbesar dalam Prisma
politik tertutup, dan segenap persoalan yang tetap diberikan pada pandangan-pandangan
dalam bingkai diskursus modernisasi dipan­ teknokratik-adminis­tratif. Kritik terhadap
dang sebagai simptom dari pola pikir dan kekuasaan yang tersua dalam Jurnal Prisma
orientasi nilai masyarakat tradisional. memang berjalan perlahan-lahan. Dalam
Dalam jangka waktu sepuluh tahun ter­ Prisma Nomor 8, Agustus 1977, dengan
jadi momen dialektik dan pembalikan se­ tajuk “Manusia dalam Kemelut Sejarah”,
jarah. Rasionalitas yang dituntun oleh para­ gelegar kritik sosial terhadap kekuasaan
digma modernisasi dan pembangunan serta rezim Suharto mulai dilontarkan melalui se­
perjalanan struktur rezim Suharto ternyata jumlah artikel biografi sejumlah tokoh Indo­
tidak merealisasikan aspirasi kaum terdidik nesia masa lalu yang telah meninggal dunia.
intelektual, seperti kebebasan politik, kese­ Pada edisi itu, kritik terhadap rezim Su­
taraan, dan keadilan sosial. Bahkan, berto­ harto tidak secara eksplisit diartikulasikan
lak belakang. Rezim memperagakan corak sebagai kritik terhadap struktur ekonomi-
kekuasaan yang ditandai oleh penundukan politik ataupun watak kekuasaan Suharto.
gerakan sosial dan gerakan mahasiswa, Uraian atas beberapa tokoh atau pemimpin
pembungkaman politik dan proses depoliti­ masa lalu, seperti Sukarno, Tan Malaka, Su­
sasi massa, serta pelestarian feodalisme yang tan Sjahrir, Amir Sjarifuddin, Haji Agus Sa­
merawat hierarki sosial. Narasi pembangun­ lim, dan lain-lain, dengan kekuatan pikiran,
aksi, dan karakter masing-masing ditempat­
kan sebagai kaca benggala terhadap wajah
31 
Lihat, Max Horkheimer dan Theodor W Adorno, Dia- buram kekuasaan Suharto. Dengan jalan itu,
lectic of Enlightenment: Philosophical Fragments secara tidak langsung biografi intelektual
(California, AS: Stanford University Press, 2002). mereka yang telah wafat menjadi semacam
TOPIK
Airlangga Pribadi
Grace Kusman,
L dan Dialektika
Douglas K, KaryaMitra-Kritis:Lima Puluh Tahun
Tugas Akhir Mahasiswa Pergumulan
Indonesia Prisma
tentang “1965” 39

“hantu”, baik bagi kalangan intelektual mi­ berhasil mendeteksi potensi fasisme dalam
tra rezim Suharto maupun terhadap corak gerakan revolusioner Indonesia menuju ke­
kekuasaan itu sendiri. Di hadapan keme­ merdekaan. Tendensi tersebut muncul dari
wahan khazanah intelektual dan bagaimana warisan penjajahan Jepang terhadap gene­rasi
para pemimpin masa lalu memperjuangkan muda era kemerdekaan. Di bawah kontrol
rakyat dan republik, realitas kekuasaan yang dan komando Jepang, sebagian besar dari
dikawal dalam relasi kemitraan oleh angkat­ mereka hanya memahami bahasa kekerasan
an 66 dan para intelektual serta teknokrat dengan kecondongan nasionalisme yang
makin terlihat kusam dan lusuh. chauvinistik. Bila tendensi fasisme generasi
Dibuka dengan tulisan Onghokham yang muda angkatan 45 yang hanya memahami
berbicara tentang tragedi Sukarno yang “ter­ bahasa kekerasan, lantas bagaimana ketika
kucil” sendiri di akhir kekuasaannya meng­ dibandingkan dengan satu dekade era Orde
hadapi konflik dan guncangan politik. Menu­ Suharto, saat sikap intelektual generasi 66
lis dengan gugatan atas sikap intelektual dan yang memiliki pendidikan tinggi terbaratkan
aktivis angkatan 66 maupun para elite politik dan menjadi mitra rezim Suharto perlahan-
atas pelupaan sejarah akan peran dan kon­ lahan menjelma menjadi pemerintahan de­
tribusi Sukarno terhadap Indonesia, Ong­ ngan corak kekuasaan neo-fasisme?33
hokham tetap menjaga keseimbangan dalam Pada Tan Malaka dalam besutan Alfian,
mengurai kekuatan gagasan dan kelemah­ dikemukakan cita-cita Indonesia yang dia
an intelektualitas Sukarno yang terlalu rintis dalam Naar de Republik Indonesia dan
mengedepankan gambaran besar dan kerap Madilog menghasilkan sebuah slogan politik
abai terhadap detail. Di dalam tulisan itu luar biasa: Merdeka 100%. Slogan itu secara
terselip sebuah uraian dialektik yang tajam langsung menegaskan bahwa di Indonesia
bagi para penentang Sukarno dan pengawal yang merdeka dari kendali maupun kontrol
Orde Suharto. Di balik ide-ide mercusuar dominatif kekuatan sosial dominan kaum
dan gagasan anti-Nekolim Sukarno serta per­ kolonial adalah tujuan dari berdirinya Indo­
hatiannya terhadap rakyat Indonesia dalam nesia. Seruan itu dalam sekelebat memun­
melawan stelsel kapitalisme yang digugat culkan nuansa humor gelap tentang wajah
oleh aktivis Angkatan 66, bukankah corak Indonesia pada rezim Suharto yang ditopang
kekuasaan rezim Suharto yang bergerak oleh gagasan pembangunan. Rakyat men­
menuju negara kapitalis oligarki otoritarian jadi instrumen dan di bawah aliansi sosial
(via pembangunan) dan membajak sumber bisnis-politik-militer dominan terpusat pada
daya negara sedikit banyak membenarkan Suharto ditempatkan menjadi perkakas dan
kekhawatiran Sukarno tentang suatu masa instrumen pembangunan.34
bila Indonesia berada di bawah tatanan kapi­ Pembalikan sikap Prisma dari sebelumnya
talisme?32 sebagai mitra Orde Suharto dan cende­rung
Melalui torehan YB Mangunwijaya, figur ogah-ogahan membongkar corak kekuasaan
Sutan Sjahrir dikedepankan sebagai aktivis rezim ini beralih pada lintasan kritik meru­
intelektual politikus yang memiliki ketenang­ pakan sikap berani yang patut diapresiasi.
an luar biasa dan rasional dalam perjuang­ Hal itu mengingat bahwa periode 1977-1988
an politiknya. Mangunwijaya secara tajam adalah puncak emas Orde Suharto sehubu­ng­
mengulas pamflet politik Sjahrir Perdjoeang­
an Kita. Dalam mengeksplorasi pikiran-
pikiran kritis Sutan Sjahrir, Mangunwijaya 33 
YB Mangunwijaya, “Dilema Sutan Sjahrir: Antara
Pemikir dan Politikus”, dalam Prisma, Vol. 6, No.8,
Agustus 1977, hal. 24-56.
34 
Alfian, “Tan Malaka: Pejuang Revolusioner yang Kese­
32 
Onghokham, “Sukarno: Mitos dan Realitas”, dalam pian”, dalam Prisma, Vol. 6, No. 8, Agustus 1977, hal.
Prisma, Vol. 6, No.8, Agustus 1977, hal. 3-14. 57-76.

TOPIK
40 Prisma, Vol, 40, No. 4, 2021

an dengan naiknya harga minyak (oil boom) wilayah masyarakat sipil, khususnya dunia
yang memberikan berkah kemakmur­an luar perguruan tinggi dan institusi-institusi ke­
biasa besar. Rezeki sumber daya migas yang agamaan seiring dengan kondisi keberlim­
besar itu kemudian sejalan dengan menguat­ pahan ekonomi dampak dari oil boom. Be­
nya konsentrasi kekuasaan rezim Suharto sarnya sumber daya ekonomi dan kebutuhan
beserta aliansinya untuk mengoopta­si ele­ rezim Suharto dalam menjaga tertib politik
men-elemen masyarakat sipil, melancarkan mendorong upaya untuk melakukan domes­
depolitisasi massa, mempererat relasi rente tikasi dan penundukan lebih intensif terha­
ekonomi, dan mengonsolidasi bisnis-politik dap warga negara. Dalam kondisi seperti itu,
pemegang kekuasaan. Pada periode­ tumbuh­ proses penundukan masyarakat sipil yang
nya gejolak resistensi terhadap kekuasaan dilakukan oleh rezim berhadapan dengan
Suharto, Prisma juga mengusung tema ten­ kekuatan Islam yang dipandang se­bagai an­
tang “peranan militer” saat ABRI berada di caman. Hal itu diindikasikan dengan tampil­
puncak kekuasaan. Terbit pada tahun 1980, nya Partai Persatuan Pembangunan yang
edisi itu mengkritik peran salah satu pilar meraih 29,3 persen suara pada Pemilu 1977
fundamental rezim Suharto, yaitu militer, dan walk-out-nya partai politik ini dalam Si­
dalam wilayah sosial-politik melalui dok­ dang MPR 1978 seiring dengan gencarnya
trin dwi fungsi ABRI. Edisi itu sekaligus indoktrinasi ideologi Pancasila melalui pe­
menggugat tesis Samuel Huntington tentang nataran P4.
kebutuhan akan kekuatan sosial dominan Dalam perenungan cukup mendalam ber­
yang memegang kekuasaan sebagai penjaga hadapan dengan ketegangan antara negara
stabilitas politik dan tertib sosial. Jenderal dan Islam, Gus Dur menguraikan bagaimana
(purn) TB Simatupang, misalnya, menulis tendensi otoritarianisme negara menjadikan
bahwa relevansi peran sosial-politik militer Pancasila sebagai ideologi negara yang sen­
saat itu membuka ruang bagi profesionalitas tralistik dengan tidak memberikan ruang me­
ABRI sebagai alat pertahanan negara di masa madai bagi proses komunikasi intersubjektif
depan.35 Sementara itu, Onghokham secara dengan kekuatan masyarakat sipil, seperti
tajam mengingatkan bahwa masa modern lembaga keagamaan. Sementara itu, di sisi
yang mengecam keterlibatan militer dalam lain, kecenderungan negara yang hendak
politik sebagai rezim praetorian menuntut menerapkan ideologi negara secara mono­
profesionalitas tentara dan keluarnya militer litik dan sebagai instrumen penundukan
dari ranah sosial-politik.36 membuat kalangan keagamaan memahami
Kritik terhadap rezim Suharto terus ber­ hal ini sebagai ancaman terhadap mereka.
gulir dan memunculkan artikel-artikel yang Ketegang­an dan kebutuhan akan komunika­
kuat dan tajam membedah watak kekuasaan. si yang lebih terbuka antara negara dan ma­
Salah satu artikel yang menarik ditulis oleh syarakat sipil tersebut didorong oleh artikel
Abdurrahman Wahid (Gus Dur) berjudul Gus Dur ini menuju pada kritik terhadap
“Agama, Ideologi, dan Pembangunan” yang tatanan politik yang tertutup dan kebutuhan
terbit pada 1980. Ditulis dalam konteks rezim mendesak untuk membuka ruang demokrasi
Suharto tengah berada di puncak kekuasaan dan kebebasan berpendapat berdasarkan hak
yang ditandai oleh domestikasi terhadap asasi manusia.37
Pada edisi-edisi berikutnya, selain mem­
buka diri terhadap artikel-artikel kritis yang
35 
TB Simatupang, “Menelaah Kembali Peranan TNI: Re­
fleksi Kesejarahan dan Perspektif Masa Depan”, dalam
Prisma, Vol. 9, No. 12, 1980, hal. 12-26.
37 
36 
Onghokham, “Kedudukan Politik Kaum Militer dalam Abdurrahman Wahid, “Agama, Ideologi, dan Pemba­
Sejarah”, dalam Prisma, Vol. 9, No. 12, 1980, hal. 27- ngunan”, dalam Prisma, Vol. 9, No. 11, November
38. 1980, hal. 11-20.

TOPIK
Airlangga Pribadi
Grace Kusman,
L dan Dialektika
Douglas K, KaryaMitra-Kritis:Lima Puluh Tahun
Tugas Akhir Mahasiswa Pergumulan
Indonesia Prisma
tentang “1965” 41

membongkar dan “menguliti” kekuasaan kekuasaan Orde Baru, namun juga fondasi
Orde Suharto, Prisma menyajikan beberapa struktural kapitalisme dunia berjudul “Pem­
tulisan berbobot tentang kritik struktural ter­ bangunan dan Kekerasan Struktural: Agenda
hadap negara. Tulisan pengantar yang mem­ Riset Perdamaian.” Dalam artikel tersebut
buka pintu Prisma terhadap kajian-kajian Dawam mengu­raikan bahwa tendensi ke­
Marxis struktural, misalnya, diawali oleh kerasan dalam praktik pembangunan tidak
artikel Arief Budiman berjudul “Bentuk dapat dilepaskan dari pola akumulasi kapital
Negara dan Pemerataan Hasil-hasil Pem­ di dalam tatanan kapitalisme era Perang Di­
bangunan.” Dalam artikel itu, Arief Budi­ ngin. Pola akumulasi kapital itu hanya dapat
man menguraikan kompleksitas teori negara bekerja dengan menjaga ketimpangan sosial
dalam analisis Marxis tentang bagaimana antara negara maju dan Dunia Ketiga. Dalam
kedekatan kaum borjuasi terhadap negara konstruksi pengawalan sistem kapitalisme
dalam tatanan kapitalisme memberi ruang yang mensyaratkan ketimpangan seperti itu,
kepada mereka untuk mendiktekan arah kekerasan militer bukan hanya menopang
kebijakan bagi perluas­an kepentingan mere­ tatanan sosial, melainkan juga menjadi ba­
ka. Selanjutnya, Arief Budiman menjelas­ gian fundamental dari relasi aliansi kekuatan
kan relasi dialektik antara kekuatan sosial sosial dominan yang bekerja pada tataran
dan kondisi struktural yang memengaruhi global dan membentuk military-industrial
pemera­taan hasil-hasil pembangunan kepa­ complex. Dawam Rahardjo menegaskan bah­
da masyarakat luas.38 Dalam edisi “Negara wa upaya untuk menyudahi ekspansi kapi­
dan Pembangunan” ini, Prisma secara be­ talisme yang berbasis penghancuran tatanan
rani menyertakan tulisan Jacques Leclerc humanitas itu membutuhkan formulasi per­
tentang perjalanan salah satu tokoh politisi damaian yang mau tidak mau mengait­kan
Kiri, Dipa Nusantara Aidit, yang pada masa solidaritas global.41
pemerintahan Suharto dianggap pamali un­ Artikel ikonik Dawam Rahardjo di Pris-
tuk diucapkan apalagi disajikan dalam ben­ ma yang memperlihatkan mazhab pemikiran
tuk tulisan.39 yang dia pegang dalam menganalisis per­
Salah satu bukti makin terbukanya soalan adalah uraiannya tentang pendekat­an
Prisma dengan horizon dan perspektif pro­ historis-struktural. Melalui pendekatan kritis
gresif, bahkan dalam dimensi strukturalis, historis-struktural, Dawam mencoba men­
misalnya, terlihat pada tulisan-tulisan M jawab bagaimana agar pendekatan yang cen­
Dawam Rahardjo sejak tahun 1979. Se­perti derung merumuskan hukum-hukum so­sial
halnya tulisan lain pada awal-awal publi­ ini tidak terjebak pada generalisasi seperti
kasi Prisma, Dawam berfokus pada kajian diingatkan oleh Karl Popper. Bagi Dawam,
analisis berskala mikro. Seiring perubahan alih-alih membelenggu pembacaan atas reali­
orientasi intelektual dalam Prisma pasca- tas dengan mengatasnamakan determinisme
1977, artikel-artikel Dawam Rahardjo lebih sejarah, pendekatan kritis historis-struktural
menekankan analisis teoretis-kritis dibekali justru membuka ruang lebih lapang bagi
data lapangan yang kuat.40 Salah satu tu­ perumusan alternatif pembangunan di luar
lisannya yang menggugat tidak hanya corak developmentalisme; mengingat kekuatan
pendekatan ini dalam melihat susunan dan

38 
Arief Budiman, “Bentuk Negara dan Pemerataan Hasil-
hasil Pembangunan”, dalam Prisma, Vol. 11, No. 7, Juli Pengamatan”, dalam M Dawam Rahardjo, Ekonomi-
1982, hal. 3-14. Politik Pembangunan (Jakarta: LSAF, 2012), hal. xlix-
39 
Jacques Leclerc, “Aidit dan Partai pada Tahun 1950”, l.­
41 
dalam Prisma, Vol. 11, No. 7, Juli 1982, hal. 61-79. Lihat, M Dawam Rahardjo, “Pembangunan dan Ke­
40 
Kata Pengantar Tarli Nugroho, “Pandangan Historis- kerasan Struktural: Agenda Riset Perdamaian”, dalam
Struktural Kerakyatan M Dawam Rahardjo: Sebuah Prisma, Vol. 10, No. 3, Maret 1981.

TOPIK
42 Prisma, Vol, 40, No. 4, 2021

perkembangan masyarakat secara konkret sa lebih besar atas birokrasi.44


dalam fase-fase sejarah.42 Berbagai isu penting dalam kajian Prisma
Arah wacana intelektual yang semakin menunjukkan kehendak untuk membongkar
lama kian memberi ruang bagi analisis kri­ pertautan kepentingan dan kekuasaan rezim
tis itu adalah realisasi dari komitmen yang Suharto. Farchan Bulkin, misalnya, dalam
dituangkan oleh para pendiri LP3ES. Se­perti artikel berjudul “Nasib Publik dalam Repu­
diuraikan Ismid Hadad, lembaga tersebut blik” melihat ketegangan antara ide kebang­
dibentuk sebagai sarana alternatif bagi para saan dalam faktor subjektif dengan hambatan
intelektual dan pemuda untuk melanjutkan faktor objektif struktural. Tulisannya diakhiri
perjuangan. Bulan madu hubungan antara dengan pernyataan tentang pentingnya meli­
aktivis mahasiswa dan rezim Suharto ha­ hat dimensi subtil terkait penjajahan ekono­
nya berlangsung seumur jagung. Sejak ta­ mi, ketika kesadaran subjektif tidak mampu
hun 1968 mulai terlihat adanya keretakan. mentransendensikan diri untuk membongkar
Selanjut­nya, mahasiswa dan para aktivis persoalan struktural dan historis yang mem­
melanjutkan perjuangan untuk membentuk belenggu gerak maju rakyat untuk mencapai
pola pikir kritis masyarakat. Setelah bebe­ kemerdekaan substantif.45 Berbagai tema
rapa waktu, Prisma memang menunjukkan dalam Prisma memperlihatkan tendensi jur­
relasi kemitraan yang kuat dengan negara. nal ini menuju arah proses demokratisasi,
Namun, sejak tahun 1977 sampai lengsernya desakan politik arus-bawah, komitmen terha­
Suharto, gagasan-gagasan kritis terhadap dap gerakan sosial dari bawah, dan dimensi-
kekuasaan makin banyak mendapatkan ru­ dimensi pendekatan kritis secara struktural
ang di dalam jurnal ini.43 maupun kultural. Berbagai tema yang di­
Arah Prisma selanjutnya yang bergerak kupas memperlihatkan tendensi tersebut:
menjauh dari posisi sebagai “pendukung” “Krisis Kapitalisme Dunia”46, “Pergerakan
Orde Suharto tidak dapat dilepaskan dari Rakyat Mencari Tempat”47, “Teori Kritik
corak kekuasaan yang semakin terkonsen­ Sosial”48, “Politik Agraria: Tanah, Rakyat,
trasi di bawah lingkaran politik Suharto. Se­ dan Keadilan”49, “Elite, Monopoli, dan Oli­
jumlah tema yang dibahas dalam Prisma pun gopoli”50, “Demokrasi Ekonomi dan Ke­
kian mendalam bergulat dengan kritik ter­ adilan Sosial Mungkinkah Jalan Seiring”51,
hadap hubungan teknokrasi dan kekuasaan “Korupsi dan Pengawasan Pembangunan”52,
seperti yang tertuang dalam edisi berjudul “Bahasa, Kekuasaan, dan Perubahan So­
“Teknokrasi dan Politik.” Ignas Kleden, sial”53, “Menggapai Kekuasaan Menguatnya
salah seorang penulis dalam edisi itu, misal­ Gera­kan Masyarakat”54, dan sebagainya.
nya, menguraikan tentang obsesi kalangan Bagian ini membahas beberapa pandang­
teknokrat untuk mengarahkan arah pemba­ an terkait kecenderungan Prisma menjaga
ngunan negara berbasis amunisi pengeta­ jarak dengan kekuasaan. Ragam suara kritis
huan yang mereka miliki harus berhadapan
dengan tembok besar kekuasaan. Kekuatan 44 
Ignas Kleden, “Model Rasionalitas Teknokratis”, dalam
aliansi bisnis-politik yang dominan berkuasa Prisma, Vol. 13, No. 3, Maret 1984, hal. 3-13.
memiliki kepentingan yang kerap kali kon­ 45 
Farchan Bulkin, “Nasib Publik dalam Republik”, dalam
tradiktif dengan teknokrat dan memiliki kua­ Prisma, Vol. 14, No. 8, 1985, hal. 12-36.
46 
Lihat, Prisma, Vol. 12, No. 3, Maret 1983.
47 
Lihat, Prisma, Vol. 14, No. 11, 1985.
48 
Lihat, Prisma, Vol. 12, No. 6, Juni 1983.
42 
Lihat, M Dawam Rahardjo, “Pendekatan Historis 49 
Lihat, Prisma, Vol. 18, No. 4, 1989.
Struktual Menemukan Format Pembangunan”, dalam 50 
Lihat, Prisma, Vol. 14, No. 2, 1985.
Prisma, Vol. 15, No.10, 1986. 51 
Lihat, Prisma, Vol. 19, No. 7, 1990.
43 
Diskusi dengan Fachry Ali dan kutipan karyanya yang 52 
Lihat, Prisma, Vol. 12, No. 2, Februari 1983.
tidak sempat dipublikasikan Prisma berjudul Ekonomi 53
Lihat, Prisma, Vol. 18, No. 1, 1989.
Politik Indonesia Dewasa Ini. 54
Lihat, Prisma, Vol. 18, No. 7, 1989.

TOPIK
Grace
Airlangga L dan
Pribadi Douglas
Kusman, K, KaryaMitra-Kritis:Lima
Dialektika Tugas Akhir Mahasiswa Indonesia
Puluh Tahun tentang “1965”
Pergumulan Prisma 43

yang muncul dalam Prisma secara umum Dalam edisi itu, Ariel Heryanto menganali­
dapat ditinjau dari sudut pandang kritik sis tentang bagaimana bahasa menjadi pen­
struktural, analisis kebudayaan kritis, dan dorong transformasi sosial dalam perjalanan
wacana penguatan posisi perempuan. Dalam sejarah kebangsaan Indonesia.58 Sementara
dimensi kritik struktural, Vedi Hadiz dalam itu, Dede Oetomo, penulis lainnya, mengu­
“Catatan tentang Debat Demokrasi Ekonomi raikan hubungan antara bahasa dan artikula­
di Indonesia” menegaskan bahwa tampil­ si politik kelas. Dia menjelaskan lebih lanjut
nya kembali diskursus demokrasi ekonomi bahwa salah satu “kelebihan” dari kekuatan
dan keadilan sosial agar tidak menjadi jar­ pergerakan nasional kelas menengah tahun
gon membutuhkan desakan struktural dari 1920-an adalah kemampuan mereka dalam
bawah dan keterbukaan politik. Berangkat menghadirkan bahasa yang berdimensi ke­
dari pelajaran historis proses demokrasi dan rakyatan dan persamaan derajat sebagai ba­
pemajuan ideologi demokrasi dan keadilan gian penting dari sejarah perjuangan bang­
di beberapa negara Eropa, maka kemenang­ sa.59
an suatu artikulasi ideologi tertentu sa­ngat Kritik dalam diskursus feminisme juga
ditentukan oleh pertarungan sosial dan mendapatkan ruang cukup luas dalam edi­
kontestasi politik. Karena itu, sebagaimana si-edisi Prisma. Beberapa artikel tentang
diuraikan Vedi Hadiz, ada semacam kebu­ pembebasan perempuan yang tersua dalam
tuhan demokrasi politik untuk mewujudkan jurnal itu menggabungkan diskursus femi­
pemenuhan janji-janji ideologis demokrasi nisme dengan analisis struktural. Maria
ekonomi dan keadilan sosial.55 Pakpahan yang menulis di Prisma dengan
Salah satu renungan mendalam yang judul “Perempuan dan Program Penyesuaian
menggabungkan dialog intens ala kajian Struktural”, misalnya, menguraikan beleng­
antropologis de­ngan nuansa strukturalis, gu struktural terhadap kaum perempuan di
misalnya, ditorehkan oleh Fachry Ali dalam Indonesia tidak hanya terpenjara oleh kon­
esainya tentang peta­ni dan tanah. Bagi pet­ sentrasi kekuasaan rezim Suharto, namun
ani, kepemilikan tanah bukan hanya peris­ juga berjalin kelindan dengan arahan struk­
tiwa ekonomi, namun terkandung di dalam­ tural kapitalisme yang melalui institusi IMF
nya adalah martabat. Tanah bagi kalangan dan Bank Dunia mensyaratkan Program
petani adalah pintu pembuka untuk keluar Penyesuaian Struktural (Structural Adjust-
dari alienasi ekonomi dan sumber daya yang ment Program) menyeret Indonesia dalam
dibutuhkan untuk mengelola kondisi hidup pusaran struktur tatanan kapitalisme sekali­
sehari-hari. Karena itu, segenap perampasan gus makin menindas dan membebani posisi
terhadap tanah bagi petani adalah bentuk kaum perempuan Indonesia.60
eksploitasi dan penindasan atas kehidupan.56 Pada edisi Prisma yang sama, Hesti R
Analisis kritis tidak hanya dielaborasi Wijaya memperdalam analisis Maria Pakpah­
dalam aras struktural, namun juga dalam di­ an dengan menguraikan lapis-lapis penin­
mensi kajian kultural-kritik.57 Hal itu tampak dasan yang dihadapi perempuan desa terkait
jelas dalam, misalnya, edisi Prisma bertema integrasi Indonesia dengan kapitalisme glo­
“Bahasa, Kekuasaan, dan Perubahan Sosial.”
58 
Ariel Heryanto, “Berjangkitnya Bahasa-Bangsa di In­
donesia”, dalam Prisma, Vol. 18, No. 1, 1989, hal. 3-
55 
Vedi R Hadiz, “Catatan tentang Debat Demokrasi 16.
59 
Ekonomi di Indonesia”, dalam Prisma, Vol. 18, No. 7, Dede Oetomo, “Bahasa Indonesia dan Kelas Menengah
1989, hal. 19-33. Indonesia”, dalam Prisma, Vol. 18, No. 1, 1989, hal.
56 
Fachry Ali, “Tanah dan Eksistensi Petani”, dalam Pris- 17-29.
60 
ma, Vol. 18, No. 4, 1989, hal. 52-53. Maria Pakpahan, “Perempuan dan Program Penye­
57 
Hadiz, “Catatan tentang Debat Demokrasi…”, hal. 19- suaian Struktural”, dalam Prisma, Vol. 24, No. 6, Juni
33. 1995, hal. 27-41.

TOPIK
44 Prisma, Vol, 40, No. 4, 2021

bal; imperatif struktural yang dikedepankan dan governance, dipandang menjadi panasea
institusi keuangan internasional menjadi politik bagi negara yang sedang melakukan
bagian dari struktur penindasan terhadap transisi dari tatanan politik otoritarian. For­
kaum perempuan di desa.61 Sampai dengan mula demokrasi liberal dan ekonomi pasar
lengsernya Suharto, meski dukungan fasili­ bebas dianggap menjadi formula terbaik
tas dari institusi rezim Suharto cukup signifi­ bagi negara-negara di seluruh dunia sebagai
kan, terutama setelah tahun 1977, Prisma akhir dari sejarah manusia.62
memperlihatkan dan tetap menjaga komit­ Bagi kalangan yang menggeluti kajian so­
men terhadap agenda-agenda demokrasi, sial kritis, perubahan diskursus pengetahuan
baik secara struktural, kultural, dan insti­ dari developmentalisme menuju demokrasi
tusional. Seiring dengan jatuhnya Suharto dan rezim governance masih kuat mewarisi
ditelan pusaran krisis ekonomi, Prisma pun tendensi kepentingan dan kekuasaan rezim
“mati suri” dan hanya sempat terbit satu kali pengetahuan sebelumnya. Demokrasi dan
pada 1998. Namun, mati suri bukanlah akhir governance ditujukan tidak untuk kebe­
dari segalanya. Pada era pasca-otoritarian­ basan dan pemuliaan martabat itu sendiri,
isme, Prisma muncul kembali sebagai jurnal namun kembali diarahkan pada upaya untuk
pengetahuan yang menginterogasi dan mem­ mengon­solidasi dan menginstalasi tatanan
bongkar problem pengetahuan, kekuasaan, kapitalisme. Sementara itu, rezim gover-
dan kepentingan yang tertanam dalam per­ nance di bawah lembaga donor dan insti­
jalanan Indonesia pasca-Suharto. tusi keuangan internasional (IMF dan Bank
Dunia) bermaksud merevisi formula radikal
neoliberalisme untuk memajukan pasar dan
Keberlanjutan Kritik Negara mengamputasi negara menjadi formula yang
janggal sebagai tata kelola untuk merekonsi­
Kapitalis-Oligarki, 2009-2021 liasi kepentingan pasar dan masyarakat sipil
melalui kata-kata kunci transparansi dan
Sebelum membahas kiprah Prisma pasca- akuntabilitas.63
otoritarianisme yang bangun setelah “tidur Mantra-mantra baru pembangunan, baik
panjang” selama lebih dari sepuluh tahun demokrasi maupun governance, seperti nara­
(September 1998-Juni 2009), penting untuk si pengetahuan sebelumnya tetap memben­
terlebih dahulu mempertimbangkan perubah­ tengi diri untuk tidak memberi ruang bagi
an rezim pengetahuan dominan dalam kajian tampilnya konflik dan pertarungan sosial
ilmu sosial pasca-Perang Dingin. Diskursus yang berpotensi mengganggu atau mem­
developmentalisme sebagai narasi besar buat arah lintasan sejarah tidak terkelola dari
yang mengawal dan merawat tatanan kapi­ sudut pandang kapitalisme. Desain besar
talisme di era Perang Dingin dianggap se­ seperti itu cenderung mengabaikan konfi­
lesai menjalankan tugasnya seiring dengan gurasi kekuasaan yang menyejarah di suatu
rontoknya Tembok Berlin dan terpecahnya tempat, se­perti Indonesia, justru mampu
Uni Sovyet. Ketika tatanan dunia bebas (free “membajak” formula pengetahuan tersebut
world order) dipandang tidak lagi memiliki alih-alih meng­arahkannya. Kondisi seperti
pesaing ideologis dari kubu sosialis, kekuat­ itu, di tengah perayaan demokrasi dan gover­
an sosial dominan yang berkepentingan
ter­hadap proses integrasi seluruh dunia ke
dalam tatanan kapitalisme global, demokrasi, 62 
Lihat, Francis Fukuyama, The End of History of The
Last Man (Free Press, 1992).
63 
Lihat, Jolle Demers, Alex E Fernandez Jilberto, dan
61 
Hesti R Wijaya, “Perdagangan Internasional, Perekono­ Barbara Hogenboom, Good Governance in the Era
mian Pedesaan dan Perempuan dalam Era Globalisasi”, of Global Neoliberalism (AS dan Canada: Routledge,
dalam Prisma, Vol. 24, No. 6, Juni 1995, hal. 42-59. 2004).

TOPIK
Airlangga Pribadi
Grace Kusman,
L dan Dialektika
Douglas K, KaryaMitra-Kritis:Lima Puluh Tahun
Tugas Akhir Mahasiswa Pergumulan
Indonesia Prisma
tentang “1965” 45

nance, memunculkan sejumlah problem The Great Transformation.65


sosial warisan sejarah periode sebelumnya. Sementara Vedi Hadiz menguraikan per­
Problem yang mewujud pada kurun pasca- soalan krisis kapitalisme global dan kete­
otoritarianisme tidak hanya terlaksana pada gangan dialektiknya dengan pertarungan
dimensi ekonomi-politik yang memperlihat­ sosial konkret yang membentuk corak kapi­
kan masih terawatnya corak kekuasaan oli­ talisme di Indonesia. Menurut Vedi, problem
garkis tempat persekutuan bisnis-politik ter­ warisan Orde Suharto dengan pembentukan
bagi dalam faksi-faksi kekuatan sosial yang corak kekuasaan oligarki yang mengua­
menguasai arena politik. Selain itu, juga sai arena negara membuat berbagai macam
menelisik beberapa implikasi sosialnya, se­ formula kebijakan mulai dari liberalisasi
perti problem agraria, problem struktural tata hingga proteksi dan nasionalisme ekonomi
kota, munculnya fenomena kelas menengah dalam kenyataannya melukai aspirasi rak­
urban yang rentan (precarious middle class), yat dan menjadikan kemakmuran negeri se­
serta ketimpangan sosial-ekonomi yang ma­ bagai ajang pesta pora aliansi bisnis-politik
kin besar hasil dari buah kekuasaan oligarki. yang menguasai negara.66 Prisma kembali
Data tentang ketimpang­an sosial pada 2018 mempersoalkan belenggu struktural dalam
menunjukkan bahwa 1 persen penduduk ter­ perjalanan pasca-otoritarianisme di tengah
kaya di Indonesia me­nguasai total 46,6 per­ benturan kepentingan dan kekuasaan serta
sen kemakmuran nasional. Sepuluh persen sirkulasi modal yang menyejarah di Indone­
dari orang terkaya itu menguasai 75,3 persen sia. Pada edisi “Demokrasi di Bawah Ceng­
kemakmuran nasional, sedangkan mayoritas keraman Oligarki”, Prisma menampilkan
90 persen berebut 25,7 persen kemakmur­ perdebatan teoretis mengenai ekonomi-poli­
an nasional.64 Tidak berlebihan bila hal itu tik Indonesia pasca-otoritarianisme dalam
mengingatkan kita pada humor gelap Karl konferensi internasional di Universitas Syd­
Marx, history repeats itself, first as tragedy, ney, Australia, Desember 2012. Pergumulan
second as farce! akademik di antara pengkaji politik Indone­
Dalam situasi ekonomi-politik seperti itu, sia itu berfokus pada analisis seputar oligarki
Prisma bangkit dari tidur panjang selama Indonesia.
sepuluh tahun lebih. Terbit lagi pada perte­ Perdebatan berlangsung antara pendu­
ngahan tahun 2009, Prisma bangun dengan kung analisis problem oligarki, yakni Jeffrey
didampingi matahari kesadaran yang meng­ Winters, Vedi R Hadiz, dan Richard Robi­
gugat krisis demokrasi-kapitalisme. Per­ son berhadapan dengan mereka yang lebih
nyataan keras tertoreh tebal dalam kemuncul­ meyakini teori pluralis-kritis seperti Michele
an pertama setelah Prisma “siuman”, yakni Ford, Thomas B Pepinsky, dan Edward
Senjakala Kapitalisme & Krisis Demokrasi. Aspinall. Para pengkritik analisis oligarki
Daniel Dhakidae sebagai Pemimpin Redak­ menganggap teori tentang problem oligarki
si Prisma memberi catatan penting tentang terlalu pesimistis dalam melihat perjalanan
arah lintasan kekuasaan di Indonesia yang dinamika ekonomi-politik Indonesia. Semen­
terombang-ambing dalam membangun titik tara para pendukung analisis oligarki, seper­
koordinat antara kekayaan, modal, dan de­ ti Jeffrey A Winters, menyatakan bahwa
mokrasi. Uraian tersebut kembali mengingat­ ketim­pangan kekayaan yang ekstrem me­
kan kita pada tesis double movement terkait munculkan ketimpangan kekuasaan yang
ketegang­an modal dan demokrasi dari aka­
demisi demokrasi sosial Karl Polanyi dalam
65 
Lihat, Karl Polanyi, The Great Transformation: The Po­
litical and Economic Origin of Our Time (Boston, AS:
Beacon Press, [1944] 2001).
64  66 
Credit Suisse AG Research Institute, Global Wealth Re- Vedi R Hadiz, “Krisis Ekonomi Dunia dan Indonesia”,
port 2018 (Zurich, Swiss, Oktober 2018). dalam Prisma, Vol. 28, No. 1, 2009, hal. 3-14.

TOPIK
46 Prisma, Vol, 40, No. 4, 2021

juga ekstrem. Kondisi seperti itu menyulit­ Sukarno ditinjau kembali sebagai seorang
kan warga negara biasa untuk mendapat­ pemikir cum negarawan yang merumuskan
kan akses kekuasaan. Sementara itu, Vedi Pancasila. Begitu pula Yudi Latif dan para
R Hadiz dan Richard Robison menekankan penulis dalam edisi-edisi Prisma tentang Su­
bahwa dominasi faksi-faksi oligarki dalam karno dan Pancasila, misalnya, menguraikan
arena ekonomi dan politik menyulitkan ber­ bahwa Sukarno adalah darah dan dagingnya
bagai inisiatif reformasi kelembagaan dalam Pancasila.
memotong kepentingan mereka. Untuk me­ Sementara itu, Daniel Dhakidae dalam
mutus lingkaran setan pertautan kepenting­ analisisnya terhadap “Pidato Lahirnja Pan­tja-
an dan kekuasaan seperti itu, maka harus Sila dari Sukarno” pada 1 Juni 1945 mem­
ditempuh jalan dan inisiatif revolusi sosial, beri tafsir radikal bahwa alih-alih berbasis
baik dalam lintasan liberal maupun melalui petuah moralistik, Pancasila pada awal kela­
lintasan alternatif lainnya.67 Publikasi ter­ hirannya justru ditulis berdasarkan analisis
kait ketegangan antara oligarki dan gerakan struktural yang menyejarah. Pancasila lahir
sosial juga dilanjutkan Prisma dalam edisi dari penggalian atas pengalaman sejarah dan
“Negara, Kesejahteraan & Demokrasi.” pembacaan Sukarno atas susunan ba­ngunan
Dalam edisi itu muncul perdebatan antara masyarakat yang eksis beserta tesis-tesis
pihak yang meyakini gerakan sosial dapat politik bernegara untuk membebaskan ber­
mendorong demokratisasi di tengah hambat­ bagai macam eksploitasi dan penindasan
an struktural dengan pihak yang melihat warga Indonesia.72 Melalui pemahaman
belenggu oligarki sangat menghambat dina­ atas tesis Pancasila di luar distorsi zaman
mika demokratisasi Indonesia dari bawah.68 Suharto yang sarat dengan desukarnoisasi,
Salah satu hal yang perlu diperhati­ Pancasila yang terlahir sebagai proses peng­
kan dalam kemunculan kembali Prisma galian panjang Sukarno dimaknai dari sudut
adalah penempatan Sukarno dan Pancasila pandang kritis dengan membongkar problem
se­bagai pintu pembuka untuk mengintero­ ketimpangan sosial dan efek neoliberalisme
gasi pendalaman ketimpangan sosial, krisis dalam konteks Indonesia.73 Dalam cara pan­
kapitalisme, dan distorsi demokrasi dalam dang critical political studies, edisi “Repu­
belenggu negara pasca-otoritarianisme. Seti­ blik & Keadil­an Sosial” melihat secara kritis
daknya, Prisma menerbitkan tiga edisi yang sila kelima “Keadilan Sosial bagi Seluruh
bersinggungan dengan Sukarno dan Pancasi­ Rakyat Indonesia” sebagai seruan untuk
la, yakni “Sukarno: Membongkar Sisi-sisi mem­­­bongkar dimensi historisitas material ke­­
Hidup Putra Sang Fajar”69, “Membongkar timpangan sosial di Indonesia dan me­ng­apa
& Merangkai Pancasila”70, serta “Repu­blik­­ trajektori politik keadilan sosial dan kekuat­
& Keadilan Sosial: Yang Terentas dan Yang an sosial yang menopangnya absen dalam
Tertinggal”.71 Dalam alam krisis kapital­ Indonesia pasca-otoritarianisme.
isme dan demokrasi pasca-Suharto, figur Prisma pasca-otoritarianisme juga me­
nyasar tema-tema pertarungan sosial konkret
yang dihadapi rakyat Indonesia dalam
67 
Lihat, Prisma, Vol. 33, No. 1, 2014, edisi “Demokrasi kerangka ketegangan antara modal dan la­
di Bawah Cengkeraman Oligarki.”
68 
Lihat, Prisma, Vol, 36, No. 1, 2017, edisi “Negara, Ke­
sejahteraan & Demokrasi.”
69  72 
Lihat, Prisma, Vol. 32, No. 2 & No. 3, 2013, edisi Daniel Dhakidae, “Lima Bulan yang Mengguncang
“Soekar­­no: Membongkar Sisi-sisi Hidup Putra Sang Dunia: Kelahiran Pancasila, Proklamasi, dan Pendirian
Fajar.” Negara-Bangsa”, dalam Prisma, Vol. 37, No. 2, 2018,
70 
Lihat, Prisma, Vol. 37, No. 2, 2018, edisi “Membong­ hal. 3-31.
73 
kar & Merangkai Pancasila.” Yudi Latif, “Soekarno sebagai Penggali Pancasila”,
71 
Lihat, Prisma, Vol. 39, No. 3, 2020, edisi “Republik & dalam Prisma, Edisi Khusus Vol. 32, No.2 & No.3,
Keadilan Sosial.” 2013, hal. 17-42.

TOPIK
Grace
Airlangga L dan
Pribadi Douglas
Kusman, K, KaryaMitra-Kritis:Lima
Dialektika Tugas Akhir Mahasiswa Indonesia
Puluh Tahun tentang “1965”
Pergumulan Prisma 47

han (land). Dalam Prisma edisi “Negara & kat urban dan ketimpangan sosial di era pan­
Kapital dalam Konflik Agraria”, Iqra Anu­ demi Covid-19. Problem struktural terkait
grah memberikan analisis kritis yang ta­ krisis neoliberalisme yang melanda dunia
jam terkait pengabaian analisis intelektual dan Indonesia, menurut Inaya, tidak hanya
atas gerakan sosial agraria sebagai subjek memunculkan ketimpangan sosial yang
gerak­an penting dalam memaknai proses de­ semakin tajam, namun juga konsentrasi
mokrasi di Indonesia. Menurutnya, problem kekuasa­an dan kemakmuran pada segelintir
agraria berpengaruh besar terhadap kualitas kelas sosial dominan. Persoalan akumulasi
demokrasi Indonesia. Iqra mengelaborasi melalui peram­pasan lahan atau dorongan
empat persoalan penting, yakni perampasan menuju masyarakat konsumtif dengan
tanah, laju diferensiasi kelas di perdesaan, ketidak­stabilan pendapatan kelas mene­ngah
kesenjangan sosio-ekonomi, dan kualitas rentan maupun tekanan ekonomi yang se­
demokrasi lokal. Semua itu memengaruhi makin mendalam bagi masyarakat urban,
kondisi demokrasi di Indonesia. Karena menjadi indikasi bagi krisis kapitalisme di
itu, menurut Iqra, proses dialektika gerakan era pandemi Covid-19. Inaya Rakhmani
agraria dengan kekuasaan perlu diperhatikan juga mengartikulasikan kembali pentingnya
secara lebih saksama untuk membaca “kete­ peran intelektual publik dalam menyuarakan
patan” dinamika demokrasi di Indonesia.74 keresahan warga dan dengan pengetahuan
Perjalanan Prisma untuk membongkar kritis yang dimilikinya membongkar corak
corak kekuasaan beserta kepentingannya kekuasa­an dan kepentingan kelas domi­
dalam penataan pembangunan di era demo­ nan untuk membuka jalan baru bagi upaya
krasi dan governance bergerak semakin ta­ melampaui problem masyarakat kapitalis di
jam dalam publikasi-publikasinya. Terbitan Indonesia.77
Prisma paling mutakhir berjudul “Transfor­ Bangkit dan terbitnya kembali Prisma
masi Ruang Kota: Mencari Keadilan So­sial- pasca-otoritarianisme memperlihatkan ruang
Ekologis”, misalnya, mengurai problem- yang semakin terbuka dari awak redak­si atas
problem perkotaan dengan sudut dan cara tampilnya kajian-kajian kritis, baik terhadap
pandang struktural, baik dalam pembacaan narasi demokrasi liberal dan gover­nance
persoalan perkotaan di beberapa kota, seper­ti maupun kontradiksi terkait benturan antara
di Semarang, sebagaimana ditulis oleh Bos­ tatanan neoliberal governance dan corak
man Batubara dan Eka Handriana75 maupun kekuasaan oligarki di Indonesia. Se­bagai ju­
dilema antara smart city dalam transisi dari rnal prestisius yang menjaga standar intelek­
masyarakat agraria sebagaimana diuraikan tual dan terbuka terhadap berbagai ragam
dengan tajam dan jernih oleh Rita Padawa­ pemikiran kritis, komunitas epistemic Pris-
ngi.76 ma tetap menjadi ruang bagi kalangan en-
Salah satu ulasan menarik dalam edisi itu lighten epistemic community dari komunitas
adalah Esai yang ditulis Inaya Rakhmani. kaum terdidik berpendidikan tinggi (highly
Dia mengulas problem keseharian masyara­ educated people), seperti halnya Prisma ke­
tika kali pertama terbit. Salah satu fenomena
penting yang memperlihatkan arah radikal-
74 
Iqra Anugrah, “Persoalan Agraria dan Demokrasi di
kritis tulisan-tulisan di Prisma tidak dapat
Indonesia”, dalam Prisma, Vol. 36, No. 3, 2019, hal. dilepaskan dari kontribusi sejumlah intelek­
3-16. tual muda berpendidikan luar negeri yang
75 
Lihat, Bosman Batubara dan Eka Handriana, “Dari Kri­
sis Sosial-Ekologis ke Ekologi Sosial”, dalam Prisma,
Vol. 40, No. 3, 2021, hal. 30-46.
76 
Rita Padawangi, “Wacana Kota Pintar dalam Transisi 77 
Inaya Rakhmani, “Keseharian dan Ketimpangan Sosial
Agraria Perkotaan Indonesia”, dalam dalam Prisma, di Masa Pandemi”, dalam Prisma, Vol. 40, No 3, 2021,
Vol. 40, No. 3, 2021, hal. 59-75. hal. 76-79.

TOPIK
48 Prisma, Vol, 40, No. 4, 2021

mengalami pemajanan (exposure) wacana menara akademik dan mengartikulasikan


dan perspektif critical perspective dari pen­ pandangan praksis agar menjadi bagian dari
gelanaan keilmuan mereka di mancanegara; gerakan sosial dalam menghadapi tembok
dejavu bagi kita saat menengok kembali to­ besar oligarki. Kerja-kerja pengetahuan kri­
koh-tokoh pendiri republik yang mengalami tis terhimpun untuk membongkar secara di­
kosmopolitanisasi intelektual usai merantau alektis struktur kekuasaan negara pasca-oto­
dan menimba ilmu di Eropa, seperti Moham­ ritarian dan merambah jalan bagi perubahan
mad Hatta, Tan Malaka, Abdul Rivai, dan sosial yang tidak mengkhianati rakyat. Un­
lain-lain.78 tuk itu, kerja-kerja intelektual perlu bergerak
Kenyataan itu memperlihatkan harapan dalam berbagai dimensi yang tidak hanya
sekaligus persoalan dalam arah transformasi membongkar gerak kekuasaan yang secara
sosial di Indonesia. Menguatnya daya kritis dangkal mewujud dalam konteks dan prak­
kalangan terdidik dan akademisi di Indo­ tik dominasi, namun juga membongkar ker­
nesia berbanding terbalik dengan problem ja-kerja hegemonik pembentukan konsensus
menguat­nya cara pandang populisme kon­ sosial yang melayani kelas sosial dominan
servatif, baik yang “berbaju” keagamaan menjadi common sense bagi mereka yang
maupun kebangsaan. Kondisi demikian terpinggirkan dari proses pembangunan saat
membutuhkan keterlibatan kalangan intelek­ ini. Di tengah konstruksi warisan Suharto
tual untuk melompati kehormatan sosial dari yang terlihat jelas dalam corak kekuasaan
material, maka dimensi kesadaran hege­
monik prakewargaan yang ditanamkan sejak
78 
Beberapa penulis muda dalam jurnal Prisma, seperti era Suharto perlu dibongkar dan menjadi pe­
Iqra Anugrah (Northern Illinois University), Bosman kerjaan rumah para intelektual kritis saat ini.
Batubara (University of Amsterdam), Inaya Rakhmani Kondisi dewasa ini memperlihatkan pelemah­
(Murdoch University), Rita Padawangi (pengajar di an gerakan sosial, namun kehadiran critical
Singapore University of Social Science), Amalinda
Savirani (University van Amsterdam), Abdul Mughis mass dalam arena hegemoni pengetahuan
Mudhoffir (Melbourne University), Arianto Sangadji masyarakat sipil membuat kita baru dapat
(York University), Sri Lestari Wahyuningrum (Austalia membayangkan bagaimana kaum progresif
National University) dan seterusnya menjalani pendi­ di Indonesia dapat memengaruhi gelang­
dikan tinggi di berbagai universitas internasional pres­
tisius dan memiliki analisis intelektual yang berpijak gang demokrasi politik dan menjadikannya
pada analisis kritikal dan memiliki jaringan sosial in­ sebagai pemenuhan perjuangan keadilan so­
ternasional dan berwawasan kosmopolitan. sial.l

TOPIK
Grace L dan Douglas K, Karya Tugas Akhir Mahasiswa Indonesia tentang “1965” 49

Urbanisasi Sebagai Pabrik Krisis Sosial-Ekologis:


Berdialektika dengan Prisma 1971-2021

Bosman Batubara & Eka Handriana*

Artikel ini memandang urbanisasi (berbagai proses terciptanya kota melalui rekonfigura­si
sosial-ekologis) sebagai sebuah sistem, dan menjadikan tulisan-tulisan tentang atau ter-
kait-dengannya di Prisma sebagai interlocutor (teman bercakap-cakap). Kami mengguna­
kan “metode dialektis” untuk mengembangkan konsep dan kategori yang berbeda, dengan
maksud merangsang perubahan dari dalam sistem urbanisasi itu sendiri. Itu dilakukan de­
ngan menggunakan teori/konsep urbanisasi yang pernah dipakai dalam tulisan di Prisma
secara berbeda untuk memahami/menjelaskan urbanisasi dalam tiga momen yang secara
bersama saling memperkuat: urbanisasi terkonsentrasi dengan elemen-elemen berupa bu-
ruh/industrialisasi, kota, dan sektor informal; urbanisasi perluasan dengan elemen-elemen
berupa perubahan agraria dan ekstraktivisme; dan urbanisasi pembeda yang memproduksi
krisis sosial-ekologis atau timbunan derita rakyat. Untuk menyimpulkan, kami menyorot
peluang “mencari keadilan sosial-ekologis” yang muncul dari pembacaan kami terhadap
sistem urbanisasi di Indonesia sebagai yang khas belahan Bumi Selatan.

Kata Kunci: dialektika, industrialisasi, krisis sosial-ekologis, sektor informal, urbanisasi

“pembangunan kota-kota kita untuk sementara an urbanisasi dengan pertumbuhan eko­


dihenti­kan saja dulu” — WS Rendra1 nomi.2 Pernyataan Sri Mulyani merupakan
bagian dari upaya menyukseskan publikasi
Bank Dunia yang bertajuk, “Time to ACT:
Urbanisasi Sebagai Indikator Realizing Indonesia’s Urban Potential”.3
Publikasi tersebut berisi poin yang kurang
Pembangunan lebih sama, yakni tentang perlunya mengop­

D
timalkan kontribusi urbanisasi terhadap per­
alam sebuah kesempatan pada Ok­ tumbuhan ekonomi. Itu merupakan penanda
tober 2019, media memberitakan eksplisit bahwa urbanisasi sudah dikuantifi­
penyampaian Menteri Keuangan Sri kasi dan menjadi bagian dari indikator yang
Mulyani tentang belum optimalnya hubung­
2
 ihat: https://bisnis.tempo.co/read/1255439/urbanisasi-
L
tak-optimal-dorong-ekonomi-sri-mulyani-putar-otak/
*
 ami mengucapkan terima kasih kepada Dwi Cipta
K full&view=ok (diakses 13 Oktober 2021).
yang telah menyunting naskah ini. Lihat, Mark Roberts, Frederico Gil Sander, dan Sailesh
3
1
WS Rendra, “Kota ‘Kasur Tua”’ dalam Prisma, Vol. 8, Tiwari (eds.), Time to ACT: Realizing Indonesia’s Urban
No. 6, 1980, hal. 48. Potential (Washington: World Bank, 2019).

TOPIK
50 Prisma, Vol, 40, No. 4, 2021

dianggap sebagai kemajuan. sekolah dan pekerdjaan.” Ia diperparah oleh


Majalah—kemudian berubah men­ pembangunan. Misalnya, kalau ada “revo­
jadi jurnal—Prisma, yang didirikan un­ lusi hidjau”, maka akan ada “perpindahan
tuk, “menangkap dan men-seleksi fikiran2 penduduk desa setjara besar2an, jang dapat
konstruktif ataupun kontroversial dalam memperburuk masalah urbanisasi dengan
masjarakat serta membiaskannja kembali mendatangkan akibat-akibat politik jang
sebagai pantjaran pandangan2 jang perlu sangat penting”.6 Kata “urbanisasi” kembali
ditimbang dalam derap pembangunan eko­ muncul di tahun yang sama. Goenawan Mo­
nomi, perkembangan sosial dan perubahan2 hamad melihat bahwa industrialisasi, “me­
kulturil jang dialami Indonesia”,4 meru­pa­ mantjing urbanisasi”.7
kan rekaman yang sangat baik tentang pro­ Di tahun kedua, perhatian Prisma yang
ses urbanisasi di Indonesia. Hal itu menjadi besar terhadap proses urbanisasi kian terlihat
alasan yang kuat bagi kami untuk memba­ dari terbitnya edisi bertajuk “Urbanisasi dan
ngun dialog antara “urbanisasi” dan “krisis Pengembangan Kota” (Volume 2, Nomor 7,
sosial-ekologis”; untuk bertaut de­ngan ke­ Tahun 1972). Tujuan memilih tema nomor
ingintahuan Redaksi Prisma tentang “sum­ itu, bahkan sampai dengan mengundang re­
bangan Prisma” melalui “jejak artikel dan daktur tamu, seperti yang disampaikan oleh
pemikiran ekologis yang mewarnai Prisma Ismid Hadad dalam “Pengantar Redaksi”,
selama setengah abad”, serta “seberapa jauh adalah untuk “[m]erangsang pemikiran ke­
jurnal ini dapat memengaruhi kebijakan di arah suatu studi, penelitian dan djuga kebi­
masa depan” dalam pencarian “keadilan so­ djaksanaan nasional pengembangan perkota­
sial-ekologis sebagai bagian dari keadilan an jang tjukup komprehensif dan tepat bagi
sosial” yang telah menjadi, Indonesia di masa depan”.8 Setengah abad
 kemudian, Prisma masih setia membahas ur­
“norma yang semakin relevan dan penting banisasi. Itu terlihat dari Volume 40, Nomor
sejak Reformasi. Terutama karena paradig­ 3, Tahun 2021 yang bertajuk “Tranformasi
ma pembangunan yang dianut pemerintahan Ruang Kota: Mencari Keadilan Sosial-Eko­
pasca-1998—yang walaupun dipilih secara logis.” Dalam edisi itu, Prathiwi Widyatmi
demokratis – namun tetap bertumpu pada Putri menulis,
model pembangunan yang mendasarkan diri “ Urbanisasi dan perkembangan kota di dunia,
pada pertumbuhan ekonomi dan eksploi­ termasuk di negeri-negeri Selatan, mengikuti
tasi intensif terhadap sumber-daya ekstraktif trajektori modernisasi. Namun, kota yang di­
sehingga menjauhkan kontribusi Indone­ anggap menjadi penanda kemajuan peradaban
sia dalam meng­atasi krisis iklim global dan tetap meninggalkan kontradiksi, konflik, dan
memperparah ketimpangan sosial”.5 persoalan berupa ketimpangan, kemiskinan,
dan mereka yang terpinggirkan dari akses
Sejak edisi perdana yang terbit pada pada sumber daya ruang maupun alam”.9
1971, Soedjatmoko sudah melihat urbanisa­
si sebagai permasalahan “strukturil” jangka Selain permasalahan-permasalahan ke­­
panjang yang akan menciptakan, “pengang­
guran besar jang meningkat”, menimbulkan 6
 oedjatmoko, “Problim dan Prospek Pembangunan In­
S
tekanan “jang besar terhadap perumahan, donesia”, dalam Prisma, Vol. 1, No. 1, 1971, hal. 7.
Goenawan Mohamad, “Memilih Alternatif”, dalam
7

Prisma, Vol. 2, No. 4, 1972, hal. 6.


Ismid Hadad, “Pengantar Redaksi”, dalam Prisma, Vol.
8
4
I smid Hadad, “Pengantar Redaksi”, dalam Prisma Vol. 2, No. 7, 1972, hal. 2.
1, No. 1, 1971, hal. 2. Prathiwi Widyatmi Putri, “Urbanisasi, Informalisasi, dan
9

Prisma, “Kerangka Acuan Edisi Khusus 50 Tahun Pris­


5
Krisis Sosial-Ekologis: Imajinasi yang Melampauinya”,
ma,” (tidak dipublikasikan, 2021), hal. 5-6. dalam Prisma, Vol. 40, No. 3, 2021, hal. 4.

TOPIK
Bosman Batubara
Grace & Eka Handriana,
L dan Douglas Urbanisasi
K, Karya Tugas Sebagai Pabrik
Akhir Mahasiswa Krisistentang
Indonesia Sosial-Ekologis
“1965” 51

tim­­pangan, kemiskinan, peminggiran, Putri sebuah sistem dan memunculkan konsep dan
melihat wajah lain dari persoalan/krisis so­ kategori yang berbeda untuk merangsang
sial-ekologis muncul dalam bentuk sampah, perubahan dari dalam sistem urbanisasi itu
limbah, dan bencana. sendiri; dalam kata-kata Prisma, “mencari
Antara 1972 dan 2021, cukup banyak keadilan sosial-ekologis.”
tulisan dalam Prisma yang membahas urba­
nisasi. Setelah satu dekade, Onghokham
mencatat tema “urbanisasi/kota” mengambil Pertumbuhan Ekonomi Sebagai
porsi 4 persen dari keseluruhan tulisan dalam
Prisma. Hal tersebut, menurut Onghokham, Pertumbuhan Kapital
“berarti jauh lebih tinggi sebab kategori-
kategori lain juga mengenai perkotaan.” “Walaupun ekonomi tumbuh cepat dan nilai
Maksud Onghokham dengan “kategori-kate­ rupiah stabil, namun jurang antara kaya-miskin
gori lain”, misalnya, pemukiman/perumahan membesar, pengangguran makin meninggi”. 12
dan pembangunan regional.10 Karena itu, sa­
ngat beralasan menyebut Prisma sebagai do­ Dalam kalimat Mubyarto di atas mengendap
kumentasi terbaik pemikiran kaum terpelajar sebuah kontradiksi. Di satu sisi, pertumbuh­
yang pernah ada dalam bahasa Indonesia ten­ an ekonomi yang menjadi indikator kema­
tang bagaimana proses urbanisasi di Indone­ juan sebuah area, perlu dipacu. Di sisi lain,
sia berlangsung, terutama sejak Orde Baru ia memperlebar jurang kaya-miskin, alias
(1966) sampai sekarang (2021). Dalam kata- ketimpangan. Bagaimana menjelaskan kali­
kata Richard Z Leirissa pada 1994, “mem­ mat Mubyarto itu?
pelajari Prisma sejak edisi pertama sampai Pertumbuhan ekonomi kami maknai se­
sekarang” dapat dilihat “sebagai upaya me­ bagai hegemoni nilai-nilai kapitalisme dalam
mahami sejarah ekonomi Indonesia”.11 bagaimana kemajuan dihitung (dikuantifika­
Tulisan ini mengambil perbedaan terha­ si). Ia dilembagakan sebagai indikator pem­
dap pandangan Sri Mulyani dan Bank Du­ bangunan yang, menurut Adi Sasono, diukur
nia di atas. Itu dilakukan untuk bertaut de­ melalui “meningkatnya pendapatan nasional
ngan keingintahuan Redaksi Prisma dengan riil dalam setiap periode demi periode”.13
menunjukkan bahwa justru urbanisasi mem­ Yang diukur/dihitung adalah pendapat­
produksi krisis sosial-ekologis. Untuk itu, tu­ an berbagai sektor kapitalis­me, seperti
lisan ini membangun tiga jembatan teoretis. pertambang­an, transportasi, informasi dan
Pertama, menjelaskan pertumbuhan eko­ komunikasi, properti, industri pengolahan,
nomi sebagai pertumbuhan kapital. Kedua, dan sebagai­nya. Jadi, yang dimak­sud dengan
menjelaskan hubungan pertumbuhan ekono­ “pertumbuhan ekonomi” sebenarnya adalah
mi dengan kota dan/atau urbanisasi. Ketiga, pertumbuhan kapital. Di sini, negara (dalam
menjelaskan urbanisasi sebagai pabrik kri­ catatan Sri-Edi Swasono, daerah provinsi
sis sosial-ekologis. Dengan modal itu kami dan kabupaten),14 dengan mengambil per­
membaca tulisan-tulisan tentang urbanisasi
di Prisma. Konseptualisasi dan pembacaan
itu kami anggap sebagai latihan metode di­ 12
Mubyarto, “Prospek Perekonomian Indonesia dalam
alektis, yaitu menjadikan urbanisasi sebagai Pelita III”, dalam Prisma, Vol. 8, No. 6, 1979, hal. 4.
Adi Sasono, “Tesis Ketergantungan dan Kasus Indone­
13 

sia”, dalam Prisma, Vol. 8, No. 12, 1980, hal. 75.


10
Onghokham, “Potret Cendekiawan Indonesia Sebagai­ Menurut Adi Sasono, indikator pertumbuhan ekonomi
14 

mana Terekam dalam Prisma”, dalam Prisma, Vol. 8, diterapkan di Indonesia pasca-1966; lihat, Sasono, “Te­
No. 11, 1980, hal. 62. sis Ketergantungan dan…”, hal 75. Pendapatan regional
Richard Zakaria Leirissa, “Prisma dalam Dasawarsa
11 
dalam kerangka pertumbuhan ekonomi mulai dihitung
80-an”, dalam Prisma, Vol. 23, No. 1, 1994, hal. 85. sejak 1967, di mana pemerintah-pemerintah daerah

TOPIK
52 Prisma, Vol, 40, No. 4, 2021

tumbuhan ekonomi sebagai indikator pem­ hanya perlu bekerja, misalnya, selama 5 jam,
bangunan, menjadi kerangka kelembagaan disebut “kerja-perlu.” Pada kenyataannya,
bagi pertumbuhan ekonomi/kapitalis­me. buruh bekerja selama 8 jam di dalam pabrik.
Sebagaimana diungkapkan Arief Budiman, Ada kelebihan sebanyak 3 jam dari “kerja-
“dalam suatu sistem kapitalis, negara yang perlu.” Waktu kerja yang lebih selama 3 jam
ada juga merupakan negara kapitalis”.15 itu disebut “kerja-lebih.” Hasil “kerja-lebih”
Hubungan dalam kapitalisme (relasi-ka­ itu membeku dalam objek (terobjektivasi)
pital) memiliki berbagai cara operasi. Untuk dari produk pabrik (komoditas) yang “dire­
mempermudah penjelasan dalam tulisan ini, alisasikan” (dijual) oleh kapitalis menjadi
maka perlu dibuka bagaimana kapitalisme uang. Itulah sumber dari nilai-lebih. Proses
beroperasi dalam pabrik seperti yang dianali­ pengambilan nilai-lebih dari hasil kerja-lebih
sis Karl Marx.16 Pada awalnya, seorang kapi­ buruh disebut eksploitasi, sedangkan proses
talis memiliki sejumlah uang di kantongnya. tumbuh/beranak/berkembangnya kapital di­
Uang itu dipakai untuk mendirikan pabrik sebut valorisasi.
yang membutuhkan peralatan, bahan men­ Dengan demikian, dalam skema per­
tah, dan buruh. Rumus mendirikan pabrik tumbuhan ekonomi—yang tak lain adalah
adalah: C = c + v. C adalah “Capital”, c pertumbuhan kapital—sebagai indikator
ada­lah kapital konstan (peralatan pabrik dan kemajuan pembangunan, pemerataan tidak
bahan mentah), dan v adalah kapital variabel mungkin dicapai. Ketimpangan ekonomi
(upah buruh). Uang si kapitalis yang dipakai akan selalu ada. Jadi, kalau tujuan kemajuan
untuk menyediakan c dan v disebut kapital- pembangunan adalah “keadilan dan kese­
produktif.17 Beroperasilah pabrik itu dan si jahteraan sosial,”18 seperti yang dibahas oleh
kapitalis mendapat untung. Rumus berubah Megawati Soekarnoputri, maka itu tidak
menjadi: C’ = c + v + s. C’ adalah modal/ mungkin dicapai lewat jalan ekonomi yang
kapi­tal yang sudah mengalami penganakan menganut pertumbuhan ekonomi sebagai in­
(valorisasi-diri) dan s adalah surplus-value dikator kemajuannya. Karena, dalam model
(nilai-lebih) yang menjadi keuntungan bagi seperti itu selalu ada eksploitasi buruh oleh
si kapitalis. Dari mana nilai-lebih datang? kapitalis. Dalam ungkapan Todung Mulya
Marx dalam Capital Volume I melihat Lubis, buruh selalu memberikan “sumbang­
nilai-lebih datang dari hasil kerja buruh an” kepada pengusaha.19
di dalam pabrik. Singkatnya, untuk mere­ Pertumbuhan ekonomi, terutama dalam
produksi diri, seorang buruh sebenarnya kontradiksinya dengan pemerataan menjadi
tema yang banyak didiskusikan di Prisma,
seperti oleh Ismid Hadad, Suhadi Mangkusu­
mendapatkan bantuan tenaga ahli dari universitas-uni­ wondo, Sumitro Djojohadikusumo, Moham­
versitas; lihat, Sri-Edi Swasono, “Pembangunan Daerah mad Hatta, Sritua Arif, Dorodjatun Kuntjo­
dan Perlunja Pola2 Interdependensi”, dalam Prisma, ro-Jakti, Emil Salim, Mubyarto, Nasikun,
Vol. 2, No. 2, 1972, catatan kaki nomor 1 halam­an 7.
Arief Budiman, “Sistem Perekonomian Pancasila, Kapi­
15  Adi Sasono, Kwik Kian Gie, dan Revrisond
talisme dan Sosialisme”, dalam Prisma, Vol. 11, No. 1, Baswir dalam dasawarsa 1970-an-1990-an.20
1982, hal. 20.
Lihat, Karl Marx, Capital: A Critique of Political
16 

Economy. Volume I (Great Britain: Penguin Books Ltd, Dialog dengan Megawati Soekarnoputri, “Kenormalan
18 

1982[1867]). Baru: Keteguhan pada Pancasila”, dalam Prisma, Vol.


Penjelasan tentang kapital-uang (uang di tangan kapi­
17  39, No. 3, 2021, hal. 119.
talis), kapital-produktif (uang yang dipakai untuk me­ Todung Mulya Lubis, “Keadaan Buruh kita Dewasa ini:
19 

nyediakan kapital konstan dan variabel), dan kapital- Sebuah Tinjauan Hak Asasi Manusia” dalam Prisma,
barang dagangan (komoditas) dapat disimak dalam Vol. 10, No. 1, hal. 49.
Karl Marx, Capital: A Critique of Political Economy. Ada nuansa yang berbeda dalam pandangan mereka
20 

Volume II (London: Penguin Books and New Left Re­ tentang pertumbuhan ekonomi, tetapi itu di luar tujuan
view, 1978[1885]). tulisan ini. Dalam kesempatan ini, mereka didokumen­

TOPIK
Bosman Batubara
Grace & Eka Handriana,
L dan Douglas Urbanisasi
K, Karya Tugas Sebagai Pabrik
Akhir Mahasiswa Krisistentang
Indonesia Sosial-Ekologis
“1965” 53

Namun, ada juga yang membahas pertum­ penginvestasian kembali nilai-lebih disebut
buhan ekonomi tanpa menyoal pemerataan, akumulasi. Jadi, buruh diupah pas-pasan,
seperti Sjahrir, Mari Elka Pangestu, dan kapitalis mengakumulasi. Karena itu, jurang
Boediono.21 ketimpangan bukan hanya akan selalu ada,
Dalam kapitalisme pabrik, sederhananya, tetapi juga makin lebar dalam fungsi waktu.
buruh diupah kurang-lebih sekitar Upah
Minimum Regional (UMR) untuk memenuhi
kebutuhan hidup yang kalau dihitung secara Pertumbuhan Ekonomi dan
perinci adalah biaya pas-pasan untuk re­
produksi; biaya pas-pasan untuk beranak- Urbanisasi
pinak mencetak calon-calon buruh baru. Di
sisi lain, dalam satu putaran proses produksi Informasi yang tersebar di media menunjuk­
komoditas, kapitalis mendapatkan nilai-lebih kan bahwa urbanisasi lebih dimaknai pada
melalui valorisasi kapital. Dia bisa memakai kondisi perkotaan; menyangkut berapa,
nilai-lebih itu sebagian untuk kebutuhan dinamika, dan bagaimana menyediakan pe­
hidupnya dan sebagian lagi untuk diinvesta­ rumahan bagi penduduk kota. Presiden Joko
sikan agar skala produksi dan valorisasinya Widodo sendiri cenderung memaknainya
meningkat. Pembesaran-diri kapital melalui sebagai perpindahan penduduk dari desa ke
kota.22 Pemaknaan Jokowi itu sama sekali ti­
dak baru. Pada 1972, Suharso sudah melihat
tasikan saja: Ismid Hadad, “Pengantar Redak­si”, dalam urbanisasi sebagai “proses perpindahan pen­
Prisma, Vol. 2, No. 4, 1972, hal. 2; Suhadi Mangku­
suwondo, “Faktor-faktor Non-Ekonomi dalam Penen­ duduk dari desa ke kota atau dari kota kecil
tuan Sasaran dan Tjara Pendekatan Pembangun­an”, ke kota-kota besar”.23 Satu poin jelas, bahwa
dalam Prisma, Vol. 2, No. 1, 1972, hal. 11-15; Sumitro urbanisasi memiliki hubungan yang dekat
Djojoha­dikusumo, “Indonesia Menuju Tahun 2000”, dengan kota; baik urbanisasi sebagai sesuatu
dalam Prisma, Vol. 4, No. 2, 1975, hal. 15-30; Dialog
dengan Mohammad Hatta: “Bagi kue dulu, biar­pun yang berhubungan dengan kota maupun ur­
kecil”, dalam Prisma, Vol. 5, No. 1, 1976, hal. 42-45; banisasi sebagai perpindahan penduduk dari
Sritua Arif (Tinjauan Buku), “Kota dan Desa: Ketim­ desa atau kota kecil ke kota besar. Di sana,
pangan Distribusi Pendapatan”, dalam Prisma, Vol. kota kecil dan besar diukur berdasarkan jum­
6, No. 1, 1977, hal. 71-72; Dorodjatun Kuntjoro-Jakti
(Tinjauan Buku), “Pelajaran Pahit Pembangunan Eko­ lah penduduknya dalam suatu area adminis­
nomi”, dalam Prisma, Vol. 7, No. 6, 1978, hal. 85-87; tratif.
Dialog dengan Mubyarto, “Pembangunan Ekonomi Dalam sudut pandang kritik terhadap
Meluruskan Benang Kusut”, dalam Prisma, Vol. 8, kapitalisme, hubungan urbanisasi dan/atau
No. 6, 1979, hal. 42-48; Emil Salim, “Sistem Ekonomi
Pancasila”, dalam Prisma, Vol. 8, No. 6, 1979, hal. 3-9; kota dengan pertumbuhan ekonomi/kapital
Nasi­kun, “Urbanisasi Berlebih, Involusi Perkotaan dan cukup jelas. Kota adalah ekstensi/manipu­
Radikalisme Politik di Negeri-negeri Berkembang”, lasi dari pabrik, sebuah konsentrasi spasial
dalam Prisma, Vol. 8, No. 10, 1980, hal. 9-22; Sasono, tem­pat nilai-lebih dan surplus24 diekstrak.25
“Tesis Ketergantungan dan…”; Mubyarto, “Pengkajian
Ulang Strategi Pembangunan Nasional”, dalam Prisma,
Vol. 17, No. 1, 1988, hal. 3-12; Dialog dengan Kwik 22
 ihat, https://nasional.sindonews.com/read/175154/15/
L
Kian Gie, “Distribusi Pendapatan dan Keadilan Sosial”, pandemi-covid-19-jokowi-sebut-tren-urbanisasi-
dalam Prisma, Vol. 24, No. 10, 1995, hal. 55-69; dan bakal-berubah-jadi-ruralisasi-1600934956 (diakses 15
Revrisond Baswir, “Industri Kecil dan Konglomerasi di Oktober 2021).
Indonesia”, dalam Prisma, Vol. 24, No. 10, 1995, hal. Suharso, “Urbanisasi di Indonesia, Sebuah Analisa
23 

83-91. Kedjadian”, dalam Prisma, Vol. 2 No, 7, 1972, hal. 23.


Sjahrir, “Ekonomi Politik Deregulasi”, dalam Prisma,
21 
Surplus: keuntungan yang diperoleh kapitalis, selain ni­
24 

Vol. 17, No. 9, 1988, hal. 29-38; Mari Elka Pangestu, lai-lebih. Namun, karena Marx menjelaskan produsen
“Strategi Kebijaksanaan Ekspor Indonesia: Mencari nilai-lebih adalah buruh, maka uang yang beredar dan
Bentuk Indonesia Inc.”, dalam Prisma, Vol. 17, No. 9, menjadi surplus pada dasarnya berasal dari nilai-lebih.
1988, hal. 40-54; Boediono, “Perekonomian Indonesia Marx, Capital: A Critique of Political…. Vol. I, hal.
25 

1995”, dalam Prisma, Vol. 24. No. 2, 1995, hal. 35-41. 772-781.

TOPIK
54 Prisma, Vol, 40, No. 4, 2021

Ada hubungan timbal balik antara urbanisasi timbunan derita yang dialami warga.30 Dalam
dengan pertumbuhan ekonomi. Di satu sisi, tulisan ini, kami memaknai urbanisasi se­
kota dan/atau urbanisasi membutuhkan kapi­ bagai proses dari mana kota tercipta melalui
tal agar ia bisa hidup atau berlangsung. Di rekonfigurasi sosial-ekologis. Interlocutor
sisi lain, kapital membutuhkan kota untuk (teman bercakap-cakap) teoretis kami untuk
menyerap dan memproduksi surplus. Dalam membangun pemahaman ini terutama adalah
pandangan Marxis klasik,26 kapitalisme tulisan Hilma Safitri dalam Prisma bertajuk
industrial awalnya berkembang di daerah “Negara & Kapital dalam Konflik Agraria”
perkotaan, kemudian ruang industri meledak dan tulisan Prathiwi Widyatmi Putri dalam
dan merekonfigurasi berbagai teritori. Kota- Prisma bertajuk “Tranformasi Ruang Kota:
kota juga yang menjadi tempat pertumbuh­ Mencari Keadilan Sosial-Ekologis.”
an berbagai sektor komersial seperti hotel, Safitri menggunakan tiga momen dalam
mal, dan perkantoran. Tidak mengherankan, menjelaskan “urbanisasi” pertambangan
sewa/harga tanah dan harga bahan-bahan batu bara di Kalimantan: concentrated, exten­
di kota sangat tinggi. Demikian juga, seba­ ded, dan differential. Dalam tulisan ini kami
gaimana dicatat oleh Masri Singarimbun, mener­jemahkannya menjadi terkonsentrasi,
bayaran/upah di kota relatif lebih tinggi dari­ diperluas, dan pembedaan. Kalau kami mem­
pada di desa.27 baca Safitri, urbanisasi bukan sekadar per­
Singkat kata, kota dan/atau urbanisasi pindahan orang dari desa atau kota kecil ke
adalah mesin pertumbuhan ekonomi. Kota, kota besar. Urbanisasi juga bisa mengubah
dalam nada optimistis Masri Singarimbun, perdesaan menjadi kota. Di bawah totali­
adalah “faktor utama dalam modernisasi tas kapitalisme—satu hal berhubungan de­
yang menjadi katalisator bagi kemajuan”.28 ngan yang lain melalui aliran orang dan ba­
Itu sebabnya mengapa Sri Mulyani dan rang—sulit menentukan pada titik mana area
Bank Dunia berpikir memaksimalkan peran perkotaan berakhir dan dari titik mana area
urbanisasi dalam menaikkan pertumbuhan perdesaan mulai, juga sebaliknya. Di bawah
ekonomi. moda produksi kapitalisme, dikotomi kota
dan desa tidaklah relevan. Pada dasarnya,
kota dan desa adalah satu (satu dalam dua);
Proses Urbanisasi Sebagai Pabrik sebuah totalitas. Karena itu, sah untuk me­
nyebutkan tambang batu bara mengalami ur­
Krisis Sosial-Ekologis banisasi (pengotaan). Safitri menulis,
“ Logika pemanfaatan potensi batu bara men­
Secara singkat, krisis sosial-ekologis adalah ciptakan sebuah kondisi kebutuhan akan
permasalahan-permasalahan sosial dan eko­
logi yang tak terpisahkan, yang muncul ber­
samaan dengan, atau sebagai syarat dalam, “Krisis, Ketidakadilan, dan Keadilan Sosial-Ekologis”,
pembangunan yang kapitalistik.29 Ia adalah dalam Prisma, Vol. 38, No. 3, 2019, hal. 66-84. Satu
pembelajar sosial-ekologis yang belum disebutkan
dalam tulisan itu adalah George Junus Aditjondro yang
mengonsep “telaah sosial-ekologis” untuk menganalisis
26
 isalnya, Marx, Capital: A Critique of Political….
M perubahan ekologi sebagai bagian tak terpisahkan dari
Vol. I. pembangunan kapitalistik; lihat, George Junus Aditjon­
Masri Singarimbun mencatat kenaikan pendapatan
27 
dro, Korban-Korban Pembangunan: Tilikan terhadap
orang miskin yang pindah ke Jakarta mencapai 50-100 Beberapa Kasus Perusakan Lingkungan di Tanah Air
persen, tetapi tidak menjelaskan sektor pengeluaran; li­ (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), hal. 403.
hat, Masri Singarimbun, “Urbanisasi: Apakah Itu Suatu Tentang pemadanan “krisis sosial-ekologis” dengan
30 

Problema”, dalam Prisma, Vol. 6, No. 5, 1977, hal. 7. “timbunan derita”, lihat, Bosman Batubara dan Eka
28
Singarimbun, “Urbanisasi: Apakah Itu …”, hal. 4. Handriana, “Dari Krisis Sosial-Ekologis ke Ekologi
Tentang istilah sosial-ekologis digunakan dalam ba­
29 
Sosial: Kasus Suburbia Semarang”, dalam Prisma, Vol.
hasa Indonesia dan oleh siapa; lihat, Bosman Batubara, 40, No. 3, 2021, hal. 30-46.

TOPIK
Bosman Batubara
Grace & Eka Handriana,
L dan Douglas Urbanisasi
K, Karya Tugas Sebagai Pabrik
Akhir Mahasiswa Krisistentang
Indonesia Sosial-Ekologis
“1965” 55

pemukiman para pekerja (concentrated ur- jaya secara sangat singkat dan tepat meng­
banization), yang kemudian menjadi aspek ekspresikannya, “Desa adalah budak kota”.33
penting dalam proses pengrusakan sosio-spa­ Momen pembedaan adalah momen yang
sial. Pada gilirannya, hal tersebut menghasil­ muncul secara terus-menerus untuk secara
kan “potensi” wilayah baru yang mempro­ kreatif menghancurkan yang sudah ada dan
duksi bentuk-bentuk ruang “urban” baru dari puing-puingnya secara radikal memba­
se­­cara radikal (differential urbanization), se­ ngun kembali sesuatu yang baru.
telah proses membuka dan mentransformasi­ Meski diartikulasikan secara berbeda,
kan wilayah tersebut untuk tujuan eksploitasi momen urbanisasi terkonsentrasi, diperluas,
batu bara (extended urbanization).” 31 dan pembedaan, muncul dalam tulisan-tu­
lisan di Prisma. Petikan dari “Pengantar Re­
Sedangkan dalam pemaparan Putri, daksi” yang ditulis Ismid Hadad dalam Pris-
ma bertajuk “Urbanisasi dan Pengembangan
“ Urbanisasi tidak bisa dimaknai hanya se­ Kota” adalah padanan yang baik bagi urbani­
bagai proses menjadi kota yang hanya bertum­ sasi terkonsentrasi:
pu pada habitat lokal dengan karakteris­tik “ lonceng pembangunan ekonomi yang di­
fisik, demografi, geomorfologi, dan ekosistem canangkan pemerintah Orde Baru bersamaan
yang terpisah dari ruang hidup lainnya: desa, dengan pembukaan lebar-lebar pintu Repu­blik
hutan, pegunungan, laut, atau padang rum­ ini untuk operasi modal internasional sejak
put, kebun sawit, dan area tambang. Urbani­ enam tahun terakhir, telah serta-merta “me­
sa­­si dalam era neoliberal merupakan proses nyulap” Ibukota Jakarta dan kota-kota besar
yang mencakup seluruh muka bumi (plane­t-­­ lainnya berubah menjadi “magnit” yang me­
ary urbanization)—tak ada yang luput dari nyedot penduduk dan potensi daerah-daerah
cengkeraman ruang kapitalisme dan mesin pedesaan membanjiri kota-kota tersebut. Ke­
(re)produksinya”.32 ganjilan pembangunan ini ialah, kendati pri­
oritas diletakkan pada bidang pembangunan
Dalam kerangka urbanisasi skala planet pertanian, dus berarti untuk daerah pedesaan,
itulah, dengan pinggiran-Indonesia menjadi namun kenyataan konsentrasi pembangunan
bagian dari geografi-internasional kapital, fisik dan arus modal terutama yang kongsi
ketiga momen (terkonsentrasi, diperluas, dengan modal asing, lebih banyak bergerak
dan pembedaan) bekerja. Konsentrasi adalah dan lebih pesat merobah wajah kota-kota dari­
penumpukan spasial manusia dan non-ma­ pada kondisi di pedesaan. Sementara proses
nusia. Ekstensi adalah dioperasionalisasi­ perubahan kota yang drastis itu berlangsung
kannya bentang alam (dalam kalimat Putri, begitu pesat, tanpa ada persiapan yang cukup
“desa, hutan, pegunungan, laut, atau padang memadai dari fihak kota-kota itu sendiri”.34
rumput, kebun sawit, dan area tambang”)
untuk terutama memenuhi kebutuhan-ke­ Padanan urbanisasi yang diperluas ter­
butuhan (contoh: buruh, bahan mentah, air, artikulasikan dalam kritik Dorodjatun Kun­
energi) kota dan aglomerasinya. Karena itu, tjoro-Jakti terhadap pembangunan terpusat.
tempat-tempat yang jauh itu disebut sebagai Sektor agraria dijadikan sebagai “sapi perah­
operational landscape (bentang alam yang an” dari mana keuntungan, bahan makanan
dioperasionalkan). Dalam konteks relasi murah, dan sumber buruh murah mengalir.
desa dan kota di Indonesia, YB Mangunwi­ Pembangunan terpusat menurut Dorodjatun

31
Hilma Safitri, “’Urbanisasi’ dan Industri Pertambang­ YB Mangunwijaya, “Tak Mungkin Menolak Teknolo­
33 

an”, dalam Prisma, Vol. 38, No. 3, 2019, hal. 97. gi”, dalam Prisma, Vol. 8, No. 6, 1979, hal. 52.
Putri, “Urbanisasi, Informalisasi, dan Krisis Sosial-
32 
Ismid Hadad, “Pengantar Redaksi”, dalam Prisma, Vol.
34 

Ekologis…”, hal. 4-5. 2, No. 7, 1972, hal. 2.

TOPIK
56 Prisma, Vol, 40, No. 4, 2021

bermaksud, pengangguran dan pemuda-pemuda ‘drop-


outs’, serta cara-cara pemerintah menangani
“menguasai dan mereorganisasikan sektor masalah ‘slums & squatters’”.36
agraria, jang pada taraf selandjutnja dipergu­
nakan sebagai basis pokok daripada program2 Kerangka teori seperti itu membuka ru­
modernisasi dan industrialisasi. Disini sektor ang bagi kami melakukan pembacaan se­
agraria dianggap tidak lebih daripada seekor cara dialektis terhadap tulisan-tulisan dalam
sapi perahan berskala besar”.35 Prisma yang membahas berbagai kasus in­
dustrialisasi, perkotaan, dan sektor informal
Sementara urbanisasi pembedaan (di desa sebagai momen urbanisasi terkonsentrasi;
dan kota) terekspresikan dalam tulisan Ismid berbagai proses perubahan agraria dan in­
Hadad dalam “Pengantar Redaksi” nomor dustri ekstraktif (tambang migas dan mine­
“Urbanisasi dan Pengembangan Kota”, ral, pembalakan kayu; untuk ilustrasi saja)
yang mengoperasionalisasikan bentang alam
“ Di fihak lain, pesatnya arus urbanisasi…bu­ sebagai momen urbanisasi perluasan; dan
kan saja karena daya tarik pembangunan kota, perubahan-perubahan yang acap kali disebut
tapi justru sering kali didorong oleh kehidup­ sebagai “dampak” dari berbagai aktivitas
an pedalaman yang kabarnya agak parah ke­ tersebut sebagai momen urbanisasi pem­
adaannya dewasa ini... beda alias krisis sosial-ekologis alias tim­
Bagaimanapun, proses urbanisasi kini sedang bunan derita yang dialami warga. Sampai di
berlangsung dan pemerintah kota tengah di­ sini, semoga jelas apa maksud kami dengan
landa oleh tumpukan keruwetan problematik “proses urbanisasi sebagai pabrik krisis so­
perkotaan yang sangat berat. Diantaranya sial-ekologis.”
adalah masalah membanjirnya gelombang
angkatan kerja ke kota-kota yang belum siap
dan tidak mampu menyediakan fasilitas ke­ Metodologi: Berdialektika
sempatan kerja, perumahan, pendidikan, ke­
sehatan, dsb. Konsekwensi keadaan demiki­ dengan Prisma
an itu tidak saja menampilkan tumbuhnya
gelandangan kota, gubug-gubug & penghuni Kami menyebut tulisan ini sebagai “latihan”
liar, pemuda-pemuda brandal metropolitan, menggunakan metode dialektis karena ke­ter-­
perkampungan miskin ditengah kemewahan batas­an waktu. Kepada awak dan pembaca
kota, meningkatnya kriminalitas, angkutan Prisma, inilah yang terbaik yang bisa kami
umum yang berjejal, dll., tapi lebih serius lagi berikan. Kalau tidak/belum kena, kami mo­
adalah munculnya bibit-bibit kepincangan dan hon maaf. Kami secara efektif menggarap
ketegangan sosial yang bisa mengancam sta­ tulisan ini dalam 12 hari (12-23 Oktober).
bilitas politik Indonesia di masa mendatang. Bagaimana bekerja strategis dalam waktu
Secara ringkas bisa dikatakan, bahwa sumber yang relatif pendek sembari bertaut dengan
ledakan konflik-konflik sosial dan politik In­ tulisan-tulisan, dan keingintahuan Redak­si,
donesia yang akan datang bukan terletak di Prisma, adalah tantangan bagi kami. Dalam
daerah-daerah pelosok desa, tapi justru bera­ hal ini, berbeda dengan pendekatan “kuanti­
da di tengah kota-kota besar, khususnya kota- tatif” Onghokham, kami memakai pendekat­
kota yang tidak mampu mengatasi masalah an kualitatif-selektif. Kualitatif dalam arti
kami tidak menghitung seberapa banyak/

Dorodjatun Kuntjoro-Jakti, “Suatu Hipotesa Tentang


35 

Pengaruh Faktor2 Non-Ekonomi Atas Faktor2 Ekono­ Ismid Hadad, “Pengantar Redaksi”, dalam Prisma, Vol.
36 

mi”, dalam Prisma, Vol. 1, No. 1, 1971, hal. 20. 2 No. 7, 1972, hal. 2.

TOPIK
Bosman Batubara
Grace & Eka Handriana,
L dan Douglas Urbanisasi
K, Karya Tugas Sebagai Pabrik
Akhir Mahasiswa Krisistentang
Indonesia Sosial-Ekologis
“1965” 57

persen tulisan dalam Prisma selama rentang an, yaitu menyangkut berapa tulisan yang
waktu 1971-2021 yang membahas urbanisa­ mengandung kata-kata kunci, yang kami
si. Sedangkan yang dimaksud selektif, sejak lakukan terhadap 512 tulisan yang dimuat di
awal kami menyeleksi tulisan-tulisan yang Prisma periode 1971-2021. Kata-kata kunci
kami butuhkan untuk memba­ngun argumen­ yang kami uji adalah urbanisasi, kota, agra­
tasi yang kami rancang. ria, desa, dan industrialisasi. Kata-kata itu di­
Seleksi pertama kami lakukan dengan pilih selain karena secara kualitatif mewakili
cara mencermati sebanyak 3.665 judul tu­ tema yang kami tulis, juga karena mereka
lisan yang pernah diterbitkan Prisma dalam satu kata dan tidak mengalami perubahan
dua periode (1971-1998 dan 2009-2021). ejaan. Dua poin terakhir mempermudah pe­
Pekerjaan menyeleksi itu dilakukan pada 6 kerjaan kami melacak mereka dalam 512 tu­
Oktober 2021. Kami kemudian memikirkan lisan itu. Karena jumlah tulisan paling ba­nyak
tulisan-tulisan di mana kami berharap dapat berasal dari periode 1971-1980, maka tak
menemukan tema tentang urbanisasi. Pada heran kata-kata kunci muncul paling banyak
titik itu, kata-kata kunci seperti urbanisasi, di tulisan-tulisan yang dipublikasikan pada
kota, sektor informal, agraria, hutan, tam­ periode itu, dengan kata “kota” dan “desa”
bang, desa, revolusi hijau, pengangguran, relatif lebih banyak daripada kata-kata kun­
pembangunan, ekonomi, dan industrialisasi ci yang lain. Sebagai contoh, pada periode
membantu kami. Dari tahap ini, kami menyi­ 1971-1980 ditemukan sebanyak 40 tulisan
sakan 512 tulisan untuk diperdalam. Tulisan- mengandung kata “urbanisasi”, yang sama
tulisan itu berasal dari periode 1971-1980 dengan 20,2 persen dari 198 (total tulisan
(198 tulisan), 1981-1990 (150), 1991-1998 yang diperdalam dan terbit pada periode itu).
(104), dan periode 2009-2021 (60 tulisan). Dalam tulisan ini kami tidak memperdalam
Untuk memberikan ilustrasi kepada pem­ mengikuti pola kemunculan kata-kata kunci
baca tentang intensitas Prisma dengan kata- itu, karena tujuan kami hanya memberikan
kata kunci itu, di sini ditampilkan pendalam­ ilustrasi (lihat, Grafik 1).

Grafik 1. Persentase dan Jumlah Tulisan yang Terbit di Prisma Periode 1971-1998 yang Mengan­
dung Kata-kata Kunci

Tulisan yang Mengandung Kata-kata Kunci (%; jumlah)

140
64,1%; 127 63,1%; 125
120
51,5%; 102
100
56,0%; 84 60,7%; 91
80 68,3%; 71
[Jumlah tulisan]

58,7%; 61
60
20,2%; 40 28,0%; 42

40 14,7%; 22 45,7%; 28 20,2%; 21


26,9%; 28
23,1%; 24 14,0%; 21 45,0%; 27
20 7,1%; 14 21,7%; 13
1,7%; 1 11,7%; 7
0
Urbanisasi Kota Agraria Desa Industrialisasi

Kata-kata kunci 1971-1980 1981-1990 1991-1998 2009-2021

TOPIK
58 Prisma, Vol, 40, No. 4, 2021

Grafik 2. Pertambahan Penduduk Jakarta

12.000.000
Orang
10.560.000
Jumlah Penduduk Jakarta
10.000.000
9.610.000
8.000.000 8.260.000

6.000.000 6.500.000

4.560.000
4.000.000

2.906.533
2.000.000
533,013 1.432.085
823.356 Tahun
1930 1940 1950 1960 1970 1980 1990 2000 2010 2020

Jumlah 512 tulisan masih terlampau ba­ paling lama tempat pertumbuhan penduduk
nyak. Untuk menghadapinya, kami melaku­ Jakarta relatif konstan (1949-2000). Kedua,
kan seleksi tahap kedua. Kali ini dengan mu­ tulisan-tulisan di Prisma yang telah kami
lai membaca tulisan-tulisan yang menurut seleksi pada tahap pertama yang paling awal
kami benar-benar dibutuhkan untuk mengga­ tersedia secara lengkap ke kami adalah tu­
rap tulisan ini. Di sini, kami menemukan satu lisan-tulisan yang pernah dimuat Prisma
petunjuk yang sangat membantu: dinamika dalam rentang waktu 1971-1980. Jadi, kami
pertumbuhan jumlah penduduk Jakarta yang memilih untuk berfokus di periode itu. Bisa
pada 1930 masih berjumlah 533 ribu orang, dikatakan, tulisan-tulisan yang terbit pada
seperti yang terekam dalam tulisan Suharso, periode 1971-1980 yang kami seleksilah
menjadi lebih dari 10,5 juta orang pada 2020 yang banyak menyita perhatian tulisan ini.
seperti yang dilaporkan oleh Badan Pusat Tulisan-tulisan dari periode-periode selan­
Statistik (lihat, Grafik 2).37 jutnya (1980-1998 dan 2009-2021) kami ba­
Grafik 2 memperlihatkan setidaknya ca dengan struktur argumentasi yang relatif
empat pola. Pertumbuhan penduduk yang sudah dibentuk oleh hasil bacaan kami terha­
relatif landai sejak masa kolonial sampai dap tulisan-tulisan yang terbit pada periode
kemerdekaan (< 1945), peningkatan drastis 1971-1980 berdasarkan wadah teori yang
setelah kemerdekaan (1948-1949), pening­ kami dapatkan dari persinggungan dengan
katan yang relatif konstan (1949-2000), tulisan di Prisma yang terbit pada 2019 (tu­
dan tetap meningkat tapi dengan lebih lan­ lisan Safitri) dan 2021 (tulisan Putri).
dai (2000-2020). Data itu kami cocokkan Kami melengkapi pendekatan kualita­
dengan tulisan-tulisan di Prisma yang kami tif-selektif dengan pengalaman kami. Kami
miliki dengan dua pertimbangan. Pertama, (Bosman dan Eka) bukanlah orang yang baru
Prisma terbit sejak 1971. Jadi, secara tem­ bersinggungan dengan Prisma. Sejak awal
poral itu masuk dalam—dan diharapkan bisa 2000-an di Yogyakarta, Bosman sudah akrab
menangkap kecenderungan—periode yang dengan Prisma yang banyak dijual di kios-
kios buku bekas di seputaran UGM atau di
Shopping Center belakang Malioboro. Pris-
37
 uharso, “Urbanisasi di Indonesia…”, hal. 23-28;
S
Badan Pusat Statistik (BPS), Berita Resmi Statistik (Ja­
ma juga bertengger di rak-rak buku kayu di
karta: BPS, 2021) untuk penduduk Jakarta dari 1980- sekretariat-sekretariat organisasi dan di kos-
2020. kosan mahasiswa pada waktu itu. Eka, pada
TOPIK
Bosman Batubara
Grace & Eka Handriana,
L dan Douglas Urbanisasi
K, Karya Tugas Sebagai Pabrik
Akhir Mahasiswa Krisistentang
Indonesia Sosial-Ekologis
“1965” 59

tahun 2000-an awal di Malang, sudah akrab Metode dialektis menyadari adanya di­
dengan Prisma. Eka membaca Prisma untuk namika internal sebuah sistem. Metode di­
kebutuhan tugas kuliah maupun membuat alektis menciptakan konsep dan kategori
tulisan-tulisan di majalah mahasiswa. Di berbeda. Dari situ ia memproyeksikan se­
Malang, Prisma dapat diperoleh di toko-toko buah perubahan dari dalam sistem. Marx
buku loakan, atau kadang-kadang dititipkan adalah master dalam metode dialektis. Dia
ke teman yang pergi ke Yogyakarta untuk di­ membaca ulang “sistem ekonomi” yang di­
beli di Shopping Center. Waktu itu, harganya paparkan Adam Smith bahwa harga komodi­
sekitar Rp 1.000-5.000 untuk satu nomor. tas adalah v + s (kapital variabel + laba dan
Jadi, dapat disebutkan bahwa kami tumbuh “tidak memunculkan” kerja-lebih buruh).
dengan membaca Prisma. Belakangan, kami Marx membuat konsep baru, yaitu “kapital
menulis untuk Prisma. yang divalorisasi” dalam bentuk C’ = c + v +
Perjumpaan itu sangat membantu. Se­ s dengan kategori-kategori berbeda, seperti
bagai contoh, sejak awal kami tahu, mes­ki­ kapital konstan (c), kapital variabel (v), dan
pun belum bisa merumuskan secara ekspli­ nilai-lebih (s).39 Karena adanya eksploitasi
sit, bahwa Prisma memiliki perhatian yang buruh oleh kapitalis, maka jalan pembebasan
mendalam terhadap urbanisasi. Tulisan buruh adalah suatu “perubahan dari dalam
Safitri dan Putri yang kami jadikan sebagai sistem”, yaitu revolusi kelas.
interlokutor teoretis utama sudah kami baca Dalam Prisma, kami melihat penjelasan
sebelum kami memulai pekerjaan ini. Jadi, metode dialektis hadir melalui tulisan M
setelah membaca judul-judul tulisan yang Da­wam Rahardjo ketika dia mengomen­
pernah terbit di Prisma, kami mampu keluar tari bagaimana gagasan Marx dan Engels
dengan kerangka tulisan awal men-scale-up menautkan diri dengan tulisan-tulisan sebe­
teori urbanisasi dalam tulisan Safitri dari lum mereka, bahwa Marx dan Engels,
konteks tambang ke konteks Indonesia. “ hanya menangkap gagasan pokoknya, lalu
Pernyataan tentang hubungan antara mengeritik dan mengoreksinya, tapi kemudi­
urba­nisasi dan pertumbuhan ekonomi yang an dikembangkan lebih lanjut dengan argu­
muncul dari Sri Mulyani dan laporan Bank mentasi baru, tentu saja untuk mengarah
Dunia di atas menjadi energi tambahan un­ kepada gagasan pokok mereka sendiri, yaitu
tuk menggarap tulisan ini. Faktanya, lebih cita-cita terbentuknya suatu masyarakat yang
dari setengah abad sejak pertumbuhan eko­ tanpa penindasan manusia atas manusia yang
nomi menjadi alat ukur pembangunan di lain”.40
Indonesia, ketimpangan terus merajalela.
Arif Budimanta cukup baik menjelaskannya Dalam tulisan ini, kami berlatih mem­
(misal­nya, tecermin dalam angka gini 0,38 praktikkan metode dialektis: menjadikan
pada 2019 dan penguasaan terhadap lahan urbanisasi sebagai sistem, membaca ulang
0,68 pada 2016).38 Karena itu, sekali lagi, urbanisasi dalam tulisan-tulisan yang pernah
pertumbuhan ekonomi tak lain adalah per­ dimuat di Prisma, yang pada edisi-edisi awal
tumbuhan kapital yang menjadi pabrik bagi seperti yang kami kutip di atas cenderung
timbunan derita rakyat. Salah satu cara untuk memahami urbanisasi sebagai sesuatu yang
memahami sekaligus menjelaskan itu adalah berhubungan dengan kota atau perpindahan
melakukan pembacaan secara dialektis ter­
hadap artikel-artikel tentang atau berkaitan
dengan urbanisasi di Prisma. 39
Lihat, Karl Marx, Capital: A Critique of Political Econo­
my. Vol. II, hal. 435-463 untuk memahami bagaimana
Marx mengkritik Adam Smith secara dialektis.
M Dawam Rahardjo, “Kritik terhadap Marxisme dan
40 
38
Arif Budimanta, “Pancasilanomics: Jalan Keadilan”, Marxisme sebagai Kritik terhadap Pembangunan Kapi­
dalam Prisma, Vo. 39, No. 3, 2020, hal. 31-50. talis”, dalam Prisma, Vol. 11, No. 1, 1982, hal. 76.

TOPIK
60 Prisma, Vol, 40, No. 4, 2021

orang. Konsep seperti itu, kurang eksplisit ti perbankan dan pembangunan perkotaan
meletakkan momen-momen dalam urbani­ (kawasan perumahan, pertokoan, dan indus­
sasi sebagai totalitas kapitalisme. Karena tri).43 Secara paralel, terjadi produksi yang
itu, kami membuat jembatan/hubungan mening­kat di sektor ekstraksi seperti minyak
teoretis. Melalui scale-up teori urbanisasi bumi dan kayu yang relatif sedikit menyerap
yang dipakai dalam tulisan Safitri dari skala lapangan kerja dibandingkan dengan sektor
tambang ke skala nasional, kami mengubah produksi komoditas, seperti karet dan kopra
konsep urbanisasi menjadi “urbanisasi se­ yang justru mengalami kemunduran.44 Alir­
bagai pabrik krisis sosial-ekologis.” Itu an orang ke Jakarta banyak yang permanen.
memunculkan kategori-kategori yang ber­ Daniel Dhakidae menyebutkan bahwa “ra­
beda (urbanisasi terkonsentrasi, diperluas, tusan ribu orang setiap tahun berpindah ke
dan pembedaan) dengan berbagai elemen di Jakarta” untuk tak kembali.45 Laporan May­
dalamnya yang akan dijelaskan pada bagian ling Oey menunjukkan bahwa pada 1971, 41
berikutnya; demi—sesuai dengan makna persen warga Jakarta adalah pendatang.46
kebenaran dalam metode dialektis—meran­ Analisis tentang ketimpangan memper­
cang perubahan dari dalam sistem urbanisasi lihatkan bahwa permasalahan distribusi
itu sendiri. kekayaan dan penguasaan tanah adalah fak­
tor yang sering diidentifikasi para penulis
Prisma sebagai motivasi perpindahan orang
Urbanisasi Terkonsentrasi dari desa ke kota. Yang pertama menjelma
dalam kemiskinan yang menurut Daniel
“Jakarta memang pusat dari segalanya. Dhakidae sudah menjadi “komoditas” yang
Pusat dari kekuatan politik dan administrasi diobrolkan para “Jagoan Pembangunan” di
pemerintahan. Juga pusat dari kegiatan eko- seminar-seminar.47 Ketimpangan pengua­sa­
nomi,” – Dennis J Cohen.41 an lahan di perdesaan sebagai faktor pendo­
rong perpindahan orang dari desa ke kota
Secara populasi dan ruang, Jakarta meledak. muncul terus-menerus dalam tulisan di
Satrio Budihardjo Joedono menjelaskan Prisma sejak tahun 1970-an melalui tulisan
bahwa migrasi orang ke kota besar se­perti Suharso hingga 2019 melalui tulisan Noer
Jakarta pada tahun 1970-an berlangsung Fauzi Rachman.48
dengan konteks ekonomi, yaitu terkendali­ Sebagai ilustrasi, John L Taylor mencatat
nya inflasi dari sebesar 600 persen sebelum di Bandengan, sebelah barat daya Jakarta,
Rencana Pembangunan Lima Tahun (Re­ dekat laut dan Kota Lama, dipadati oleh
pelita) I menjadi 2,4 persen pada 1971 serta 179.000 orang yang berada di tengah pabrik-
pertumbuhan ekonomi lebih dari 7 persen pabrik dan rawa-rawa. Sebanyak 30 persen
per tahun seperti yang dicatat Sumitro Djo­
johadikusumo.42 Pada dasawarsa 1970-an, 43
 joko Sujarto, “Bias Kota Raksasa Serupa Jakarta”,
D
seperti yang direkam Djoko Sujarto, sekitar dalam Prisma, Vol. 21, No. 5, 1992, hal. 3-13.
70 persen investasi asing tertanam di Jakarta Lihat, Joedono, “Partisipasi Dalam Proses Pembangun­
44 

an Nasional…”.
dan sekitarnya dalam berbagai sektor, seper­ Daniel Dhakidae, “Ke Jakarta, Mengapa Tak Kembali”,
45 

dalam Prisma, Vol. 6, No. 5, 1977, hal. 50.


Mayling Oey, “Jakarta Dibangun Kaum Pendatang”,
46 
41
 ennis J Cohen, “Keadaan Politik Kelompok Masyara­
D dalam Prisma, Vol. 6. No. 5, 1977, hal. 63-70.
kat Berpenghasilan Rendah di Jakarta”, dalam Prisma, Daniel Dhakidae, “Jagoan Pembangunan”, dalam Pris-
47 

Vol. 7, No. 1, 1972, hal. 55. ma, Vol. 8, No. 6, 1979, hal. 2.
Satrio Budihardjo Joedono, “Partisipasi dalam Proses
42 
Lihat, Suharso, “Urbanisasi di Indonesia…”; Noer
48 

Pembangunan Nasional”, dalam Prisma, Vol. 4, No. 3, Fauzi Rachman, “Meneliti Proses Kebijakan Land Re­
1972, hal. 9-14; Lihat, Djojohadikusumo, “Indonesia form Indonesia”, dalam Prisma, Vol. 38, No. 3, 2019,
Menuju Tahun 2000...”. hal. 17-37.

TOPIK
Bosman Batubara
Grace & Eka Handriana,
L dan Douglas Urbanisasi
K, Karya Tugas Sebagai Pabrik
Akhir Mahasiswa Krisistentang
Indonesia Sosial-Ekologis
“1965” 61

dari penduduk Bandengan tersebut meru­ yang merasa benar-benar kehilangan. Misal­
pakan pendatang dari kepulauan Indonesia nya, pegawai negeri yang tidak terlalu ber­
bagian timur.49 Pada 1971, Nel Postma me­ pengaruh pada sistem produksi mencapai 21
nyebut bahwa 50 persen penduduk di Pasar persen dari seluruh pekerjaan di Jakarta. Co­
Baru, Manggarai, dan Pasar Minggu (tiga hen menyebutnya sebagai pengangguran tak
wilayah di Jakata) merupakan migran yang kentara sebagai akibat dari kelebihan tenaga
datang dari desa-desa maupun kota-kota ke­ kerja di kantor-kantor pemerintah. Sebagian
cil lain.50 Suharso mencatat bahwa penduduk lainnya, yang jauh lebih banyak, bekerja di
yang bermigrasi ke Jakarta paling banyak sektor informal, seperti tukang becak, peda­
berasal dari Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa gang kecil, calo, dan pekerja seks, yang se­
Timur, dan Yogyakarta. Yang dari luar Jawa luruhnya dalam penelitian Cohen mencapai
paling banyak berasal dari Sumatera Barat 37 persen.
dan Sumatera Utara, kemudian disusul dari Para pendatang baru yang tidak tertam­
Sumatera Selatan, Sulawesi Utara, Sulawesi pung sektor formal tidak dapat menikmati
Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Se­ pertumbuhan ekonomi. Di sisi lain, pertum­
latan, dan Kepulauan Maluku.51 buhan ekonomi yang ditopang industri di­
Akan tetapi, pada tahun 1970-an seperti anggap “berhasil mengentaskan” Indonesia
yang disampaikan Dennis J Cohen,52 meski dari inflasi. “Keberhasilan” tersebut men­
Jakarta merupakan tempat yang memiliki dorong pemerintah untuk terus menggenjot
banyak uang, lowongan kerja di kota ini peningkatan produksi pada tahun-tahun beri­
sangat langka. Jakarta sampai pada suatu ti­ kutnya. Menurut Mochtar Naim, Gubernur
tik kehabisan tempat untuk pendatang baru. Ali Sadikin pada 1971 menjadikan Jakarta
Sementara arus migrasi manusia dari desa sebagai kota tertutup karena derasnya arus
dan kota kecil menuju Jakarta tidak dapat perantauan yang mengalir dari luar Jawa ke
dibendung. Akibatnya, hanya sedikit yang Jawa, khususnya Jakarta.53 Tak seorang pun
tertampung dalam pekerjaan produktif di boleh berpindah lagi ke Jakarta, kecuali jika
Jakarta, misalnya, pekerja pabrik, kuli, dan dapat membuktikan ada pekerjaan produktif
buruh, yang hanya mencapai 20 persen dari menunggunya.
seluruh pekerjaan di Jakarta. Sebagian orang Hal itu oleh Solaeman Soemardi, Redak­
lain yang memadati Jakarta lantas mengam­ tur Tamu dalam Prisma bertajuk “Urbanisasi
bil pekerjaan yang hanya mengeruk uang dari dan Pengembangan Kota”,54 disebut sebagai
puncak sektor industri, tanpa bersifat produk­ respons ekstrem yang defensive-negative.
tif. Pekerjaan-pekerjaan tersebut berupa Berkebalikan dengan ekstrem responsive-
pemberian jasa yang tidak menciptakan ba­ positive yang memandang arus pertambahan
rang-barang konsumsi ataupun modal bagi penduduk sebagai tantangan bagi perencana
perekonomian. Jasa yang diberikan tersebut kota untuk memperluas dan mengintensifkan
sering kali dianggap kurang perlu. Jika jenis fasilitas perkotaan alih-alih memandangnya
pekerjaan tersebut dihapus, maka tidak ada sebagai sesuatu yang perlu dibendung.
Namun, perencanaan modern tak bekerja.
Bukan hanya di Jakarta dan sekitarnya seper­
ti yang disebutkan Djoko Sujarto, tetapi juga
49
John L Taylor, “Kampung-Kampung Miskin dan Tem­
pat Pengelompokan Penghuni Liar di Kota-Kota Asia telah menjadi “ciri semua kota besar di Indo­
Tenggara”, dalam Prisma, Vol. 7, No. 5, 1972, hal. 75-
84.
Nel Postma, “Suka Duka Kaum Migran di Kota Jakar­
50  53
Mochtar Naim, “Merantau dan Pengaruhnya Terhadap
ta”, dalam Prisma, Vol. 7, No. 1, 1972, hal. 65-73. Pembangunan Daerah”, dalam Prisma, Vol. 4, No. 1,
51
Lihat, Suharso, “Urbanisasi di Indonesia…”. 1972, hal. 36-41.
Lihat, Cohen, “Keadaan Politik Kelompok Masyara­
52 
Solaeman Soemardi, “Kebijakan Nasional Pembangun­
54 

kat…”. an Kota”, dalam Prisma Vol. 1, No. 1, 1972, hal. 3-5.

TOPIK
62 Prisma, Vol, 40, No. 4, 2021

nesia”.55 Sebagai contoh, konsep aglomerasi hasil industri naik lebih cepat dari pendapat­
Jakarta-Bogor-Depok-Tangerang-Bekasi an, sehingga sektor industri dipandang lebih
(Jabodetabek), menurut Hendropranoto Suse­ cepat berkembang ketimbang perekonomian
lo, dilahirkan bukan dari perencanaan, tetapi secara keseluruhan.58
“tercetus secara kebetulan tanpa penelitian Untuk menjamin kelangsungan industri,
yang secara khusus dimaksudkan untuk me­­ dibutuhkan banyak hal, seperti pasar, su­
ru­mus­kannya”.56 Demikian juga dengan paya produk terserap. Salah satu pasar yang
kota-kota satelit yang dibayangkan memiliki dapat diandalkan adalah pasar dalam ne­geri.
sistem sosial dan ekonomi sendiri, terpisah Dalam urusan pasar dalam negeri itulah
dari Jakarta, ternyata gagal. Dalam catatan Mangkusuwondo memandang perlunya du­
Tommy Firman, kota-kota satelit itu lebih kungan sektor pertanian, sebab sebagian be­
berfungsi sebagai “tempat tinggal”.57 sar konsumen dalam negeri saat itu hidup di
sektor pertanian. Agar pasar dalam negeri ti­
dak jenuh dibutuhkan langkah untuk menja­
Urbanisasi yang Diperluas ga daya beli konsumen yang hidup di sektor
pertanian. Jalan yang ditempuh pemerintah
adalah industrialisasi59 di bidang pertanian
Perpindahan orang desa ke kota seperti Jakar­ dengan mengadaptasi “revolusi hijau” yang
ta, yang dibahas di atas, merupakan salah satu tak lain adalah, menurut Francis Wahono,
strategi operasionalisasi pedalaman se­bagai sebuah “usaha raksasa bidang pembangunan
sumber buruh. Logikanya adalah sebagai pertanian”.60
berikut: meskipun tidak semuanya tertam­ Revolusi hijau diinjeksikan ke dalam
pung di sektor formal, tetapi berlimpah­nya Pelita I dan Pelita II. Mesin-mesin perta­nian,
orang membuat pasar tenaga kerja menjadi benih hibrida, pupuk, teknologi pengen­dalian
penuh dan upah buruh menjadi murah. Me­ hama penyakit tanaman, dan obat-obatan
kanisme lain dari operasionalisasi perdesa­ diproduksi untuk mendongkrak hasil per­
an/pedalaman sebagai “sapi perah berskala tanian. Selanjutnya hasil pertanian dikem­
besar” adalah dengan menjadikannya pasar bangkan menjadi barang konsumsi yang
dan situs ekstraksi. “bermutu tinggi” atau bernilai tukar tinggi
Dalam pandangan Suhadi Mangkusuwon­ dengan menggunakan mesin pengolah, se­
do, Orde Baru mengambil pendekatan pem­ perti yang dicatat oleh Achmad T Birowo.61
bangunan yang memandang perekonomian Injeksi itu mengubah pola bercocok tanam
agraris sebagai cerminan keterbelakang­an dan relasi sosial di perdesaan.
ekonomi dan mengedepankan industrialisa­ Sajogjo menyebut penggunaan bibit ung­
si. Cara pandang tersebut bertumpu pada si­
fat permintaan terhadap hasil pertanian yang
tidak elastis, artinya kenaikan permintaan 58
 uhadi Mangkusuwondo, “Masalah Pembangunan In­
S
terhadap hasil pertanian lebih lambat daripa­ dustri”, dalam Prisma, Vol.5, No.1, 1972, hal. 22-28.
da kenaikan pendapatan masyarakat. Seba­ Kami memahami kapital-industri sebagai proses tempat
59 

liknya, permintaan terhadap barang-barang ketiga bentuk kapital (kapital-uang, kapital-produktif,


kapital-barang dagangan) beroperasi. Jadi, industriali­
sasi adalah sebuah proses dengan kapital-industri me­
ngalami valorisasi. Dengan demikin, industri tidak
55
Sujarto, “Bias Kota Raksasa….”, hal. 13. sama dengan pabrik.
Hendropranoto Susilo, “Tinjauan Singkat Perkembang­
56  Francis Wahono, “Dinamika Ekonomi Sosial Desa Se­
60 

an Jabodetabek”, dalam Prisma, Vol. 6, No. 5, 1977, sudah 25 Tahun Revolusi Hijau”, dalam Prisma, Vol.
hal. 23. 23, No. 3, 1994, hal. 4.
Tommy Firman, “Pembangunan Kota-kota Baru di
57  Achmad T Birowo, “Pembangunan Pertanian dan
61 

Wilayah Metropolitan Jabodetabek”, dalam Prisma, Strategi Industrialisasi Indonesia”, dalam Prisma. Vol.
Vol. 18, No. 6, 1989, hal. 49-59. 5, No. 1, 1972, hal. 29-35.

TOPIK
Bosman Batubara
Grace & Eka Handriana,
L dan Douglas Urbanisasi
K, Karya Tugas Sebagai Pabrik
Akhir Mahasiswa Krisistentang
Indonesia Sosial-Ekologis
“1965” 63

gul dan mekanisasi pengolahan lahan pada an penggarap lahan bisa menentukan berapa
tahun 1970-an belum berpengaruh terhadap lama dia menukar waktu kerjanya dengan
penyerapan angkatan kerja desa. Angkatan orang lain, pada sistem pengupahan dia tidak
kerja desa tetap terserap pada masa sebelum bisa menentukan upahnya.
panen. Berkurangnya penyerapan tenaga ker­ Peningkatan produksi pertanian tampak­
ja terjadi pada masa panen; buruh pemanen, nya dipandang “berhasil” mendistribusikan
terutama kaum perempuan, tersisih oleh pendapatan ke pedesaan, sesuatu yang di­
munculnya mesin pemanen.62 Di sisi lain, hitung sebagai aspek penting dalam pemba­
mekanisasi pengolahan lahan mengubah ngunan nasional saat itu. Irlan Sujono dan
penguasaan lahan. Karena penggunaan me­ Achmad T Birowo dalam penelitian mereka
sin-mesin pertanian tidak efektif dalam men­ pada delapan desa di Jawa Tengah menun­
golah lahan sempit, modal yang masuk ke jukkan bahwa teknologi dalam revolusi hijau
area pertanian kemudian “mengum­pulkan” telah menyumbang peningkatan produksi
lahan-lahan sempit tersebut. Sebagai con­ padi, kesempatan kerja, pendapatan petani,
toh, Makali dan Sri Hartoyo menyebutkan dan memperbaiki struktur pendapatan nasi­
ada perorangan yang masuk ke Majalengka, onal.67 Jika kembali pada ide yang direkam
Jawa Barat, dengan membawa mesin pen­ oleh Suhadi Mangkusuwondo, maka distri­
golah lahan dan menguasai sawah lebih dari busi pendapatan ke petani perdesaan dapat
50 hektar atau 11 persen dari seluruh lahan diharapkan menjadi dukungan sektor perta­
sawah desa.63 Akumulasi pe­nguasaan tanah nian bagi pemasaran produk-produk indus­
bukan hanya dilakukan oleh orang luar desa tri.
saja, tetapi juga oleh warga desa sendiri sep­ Akan tetapi, distribusi pendapatan saja
erti yang dicatat oleh Frans Hűsken dan Ben­ tidak cukup; masih dibutuhkan infrastruk­
jamin White.64 Itu masih ditam­bah de­ngan tur, baik fisik maupun mental. Sediono MP
pembebasan/pengambilan tanah rakyat un­ Tjondronegoro menulis tentang modernisasi
tuk kepentingan pembangunan seperti yang fisik daerah perdesaan Indonesia yang salah
disinggung Nursyahbani Katjasungkana.65 satunya dilakukan dengan Inpres (instruksi
Semuanya membuat pe­nguasaan tanah di presiden) untuk memperluas prasarana jalan,
perdesaan kian timpang dan sulit. Secara membuka daerah terpencil sehingga lebih
kualitatif, Makali dan Sri Hartoyo mencatat dapat dijangkau oleh pemerintah dan sistem
bahwa relasi sosial penggunaan tenaga di perdagangan kota. Bersama dengan sistem
desa telah berubah dari yang sebelumnya komunikasi kawat dan bahkan satelit yang
liliur­an atau tukar tenaga antar sesama pemi­ memungkinkan siaran langsung, pendidikan
lik sekaligus penggarap lahan menjadi sistem memodernisasi mental orang desa; mengin­
pengupahan antara penguasa lahan yang luas jeksikan kebudayaan kota yang cepat dan
dengan buruh tani.66 Jika pada sistem liliur­ konsumtif ke kehidupan sehari-hari dan ke
dalam kepala orang-orang di desa.68
Operasionalisasi pedalaman sebagai situs
62
Sajogjo, “Golongan Miskin dan Partisipasi dalam Pem­ ekstraksi berlangsung, misalnya, lewat sektor
bangunan Desa”, dalam Prisma, Vol. 6, No. 3, 1977,
hal. 10-17.
Makali dan Sri Hartoyo, “Perkembangan Tingkat Upah
63 

dan Kesempatan Kerja Buruh Tani”, dalam Prisma, Lihat, Makali dan Hartoyo, “Perkembangan Tingkat
66 

Vol. 7, No. 3, 1978, hal. 35-45. Upah dan …”.


Frans Hűsken dan Benjamin White, “Ekonomi Politik
64 
Irlan Sujono dan Achmad T Birowo, “Distribusi
67 

Pembangunan Pedesaan dan Struktur Agraria di Jawa”, Pendapatan di Pedesaan, Padi Sawah di Jawa Tengah”,
dalam Prisma, Vol. 18, No. 4, 1989, hal. 15-37. dalam Prisma, Vol. 5, No. 1, 1976, hal. 26-32.
Nursyahbani Katjasungkana, “Lembaga Pembebasan
65 
Sediono MP Tjondronegoro, “Modernisasi Pedesaan
68 

Tanah dalam Tinjauan Hukum dan Sosial”, dalam Pris- Pilihan Strategi Dasar”, dalam Prisma, Vol. 7, No. 3,
ma, Vol. 18, No. 4, 1989, hal. 54-64. 1978, hal. 22-23.

TOPIK
64 Prisma, Vol, 40, No. 4, 2021

minyak bumi, hutan, dan tambang. Ekstraksi dan Inco, dalam catatan Arianto Sangaji, me­
minyak bumi yang menjadi tulang pung­ lalui skema kontrak karya pernah menguasai
gung pertumbuhan ekonomi di awal Orde lahan seluas masing-masing 2,6 juta dan 6,6
Baru dalam jangka waktu sekitar 5 tahun, juta hektar serta mengeruk dalam-dalam
dalam catatan Dahlan Thalib, telah digenjot kekayaan bumi Papua dan Sulawesi.74
menjadi dua kali lipat. Kenaikan tercatat dari
550.400 menjadi 892.100 menjadi 1.116.962
BPH (barrel per hari) masing-masing pada Urbanisasi Pembedaan
tahun 1967, 1971, dan 1972.69 Minyak bumi
tersebut berasal dari yang disebut oleh Wi­ “kehidupan di Jakarta ini kejam” – Ali
djanjono Partowidagdo sebagai “cekungan- Sadikin.75
cekungan” minyak dan gas bumi yang terse­
bar di seluruh Indonesia, baik darat maupun Tidak seluruh penghuni Jakarta menikmati
laut, yang secara total pada tahun 1980-an kue pembangunan secara setara. Pemba­
ada sebanyak 60 lokasi.70 ngunan Jakarta berlangsung timpang; hanya
Industri perkayuan juga mulai menonjol menguntungkan yang memiliki modal atau
sejak awal Orde Baru setelah diterbitkan­ koneksi dan kejam bagi yang tidak, seperti
nya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 disampaikan Ali Sadikin (Gubernur DKI Ja­
tentang Penanaman Modal Asing. Dawam karta periode 1966-1977) di atas. Mochtar
Rahardjo mencatat, dari total 1,5 miliar Lubis mendeskripsikan dengan sangat baik
dolar AS modal asing yang telah disetujui, ketimpangan, atau yang dia sebut “kon-
seba­nyak 33 persen ditanam di sektor kehu­ tras,” di Jakarta.76 Pelbagai fasilitas publik,
tanan, 90 persen di antaranya di Kalimantan seperti pelayanan kesehatan dan pendidikan,
Timur.71 Tidak mengherankan, seperti yang dibangun lebih banyak di tempat-tempat
dicatat Rizal Ramli, nilai ekspor kayu lapis yang pendapatan penduduknya relatif lebih
pada 1991 lebih dari separuh total ekspor tinggi, seperti yang dicatat oleh Gustav F
dari industri pengolahan.72 Papanek.77
Di sektor tambang, kasus yang ditulis Sekarang ini, krisis sosial-ekologis telah
Safitri di Kabupaten Berau, Kalimantan mengunci kota-kota di Indonesia. Sejak
Timur, menunjukkan bagaimana kehadiran akhir tahun 1970-an, George J Adicondro
tambang batu bara secara total merombak telah melaporkan bagaimana pembangunan
desa-desa yang ada di wilayah itu.73 Perusa­ pabrik-pabrik telah mencemari sungai dan
haan-perusahaan tambang seperti Freeport air tanah, mengubah dinamika sedimentasi
(pengendapan dan abrasi), serta merugi­
kan para petani tambak di Semarang dan
Dahlan Thalib, “Industri Minyak Bumi Indonesia”,
69  sekitarnya.78 Tulisan Rita Padawangi yang
dalam Prisma, Vol. 2, No. 5, hal. 78-83.
Widjanjono Partowidagdo, “Pengaruh Kebijaksanaan
70 

Pemerintah pada Eksplorasi dan Pengembangan Mi­  rianto Sangadji, “Akumulasi Primitif: Pengalaman In­
A
74 

nyak dan Gas Bumi di Indonesia”, dalam Prisma, Vol. dustri Pertambangan di Indonesia”, dalam Prisma, Vol.
17, No. 9, 1988, hal. 90. 38, No. 3, 2019, hal. 52-65.
M Dawam Rahardjo, “Kedudukan dan Peranan Sektor
71 
Dialog dengan Ali Sadikin, “Menatap Wajah Jakarta”,
75 

Kehutanan dalam Rangka Pembangunan Daerah Kali­ dalam Prisma, Vol. 6, No. 5, 1977, hal. 49.
mantan Timur”, dalam Prisma, Vol. 2, No. 1, 1972, hal. Mochtar Lubis, “Jakarta Kota Penuh Kontras”, dalam
76 

27-33. Prisma, Vol. 6, No. 5, 1977, hal. 32-44.


Rizal Ramli, “Intervensi Langsung Negara dalam In­
72 
Gustav F Papanek, “Penduduk Miskin di Jakarta”,
77 

dustri Kayu Lapis”, dalam Prisma, Vol. 12, No. 6, 1992, dalam Prisma, Vol 5, No 1, 1976, hal. 59-83.
hal. 19-28. George J Adicondro, “Industriawan dan Petani Tambak:
78 

Lihat, Safitri, “Urbanisasi dan Industri Pertamba­ng­


73 
Kisah Polusi di Dukuh Tapak, Semarang Barat”, dalam
an…”. Prisma, Vol. 8, No. 6, 1979, hal. 65-81.

TOPIK
Bosman Batubara
Grace & Eka Handriana,
L dan Douglas Urbanisasi
K, Karya Tugas Sebagai Pabrik
Akhir Mahasiswa Krisistentang
Indonesia Sosial-Ekologis
“1965” 65

menggunakan laporan warga kepada peme­ gis pesisir, seperti banjir dan abrasi pantai.
rintah melalui aplikasi telepon secara sangat Secara kontraproduktif de­ngan telaah ur­
baik merekam permasalahan-permasalahan banisasi terkonsentrasi yang kami paparkan,
Jakarta, berupa, solusi di kedua kota itu justru akan menam­
” kemacetan, pelanggaran, lampu jalan rusak, bah konsentrasi manusia di bagian utara
sampah, jalan rusak, fasilitas umum, parkir Semarang dan Jakarta, serta tentu saja, sam­
liar, pengemis, kaki lima liar, kriminal, banjir, bil menciptakan ruang baru bagi kapitalis
pohon tumbang, kebakaran, pajak abnormal, untuk melakukan akumulasi alias “solusi
pelanggaran izin bangunan, potensi teroris, menjadi masalah.”
dan lansia hilang”.79 Pola pembangunan yang terkonsentrasi
di kota seperti Jakarta tidak berkontribusi
Akan tetapi, di tengah perubahan iklim positif dalam mengatasi masalah yang telah
yang memicu pemanasan dan kenaikan menjadi konsideran hampir semua proyek
muka air laut seperti yang disinggung Ismid pembangunan, yaitu perubahan iklim, tetapi
Hadad,80 di mana kota-kota di pantai utara justru memperparahnya. Suhu di kota se­perti
Pulau Jawa semakin berisiko terhadap ber­ Jakarta yang mengandalkan “pemakaian
bagai bencana (rob dan abrasi pantai), pem­ energi oleh puluhan pabrik dan ribuan alat
bangunan kapitalistik tetap bergerak. Krisis pendingin yang melontarkan udara panas
sosial-ekologis yang muncul sebagai bagian keluar gedung-gedung dan mobil ber-AC,”
tak terpisahkan dari pembangunan kapital­ seperti yang direkam dengan sangat baik
istik hendak ditutupi atau diselesaikan juga oleh Mochtar Lubis pada 1977, akan sema­
dengan pemba­ngunan kapitalistik alias “ma­ kin panas, karena untuk menghadapi suhu
salah menjadi solusi.” Di Semarang, dengan panas,
momen kenaik­an muka air laut bertemu de­ 
ngan amblasan tanah, proyek tol tanggul laut “Orang di Jakarta akan lebih memerlukan lagi
Semarang-Demak seperti yang dipaparkan alat pendingin dalam rumah, gedung, pabrik
oleh Hotmauli Sidabalok terus memproduksi dan mobil, dan pemakaian energi akan ber­
ketidakadilan lingkungan.81 Hal yang sama tambah, dan suhu akan didorong naik lagi”.83
berlangsung dalam pena­nganan banjir Jakar­
ta seperti yang terlihat dari tulisan Amalinda Di perdesaan, revolusi hijau sebagai an­
Savirani.82 Kedua ka­sus, di Semarang dan dalan Orde Baru menggeser reforma agraria
Jakarta, menunjukkan bagaimana proyek- seperti yang disebut oleh Muhtar Habibi,84
proyek kapitalisme se­perti pening­katan yang diejawantahkan dalam program Panca
konek­tivitas antarkawas­an dan reklamasi Usaha Tani, dalam kasus tertentu memper­
(pengurukan laut) menum­pang ataupun parah situasi. Misalnya, seperti yang diamati
berkedok penanganan masalah sosial-ekolo­ Benjamin White, sebelum revolusi hijau
orang tidak membeli pupuk dan bibit. Jadi,
bila gagal panen, kondisi neraca keuangan
Rita Padawangi, “Wacana Kota Pintar dalam Transisi
79 
bisa disebut nol. Setelah revolusi hijau,
Agraria Perkotaan Indonesia”, dalam Prisma, Vol. 40, orang membeli bibit dan pupuk, sehingga
No. 3, 2021, hal. 64.
Ismid Hadad, “Perubahan Iklim dan Pembangunan
80  kalau gagal panen, maka neraca keuangan
Berkelanjutan: Sebuah Pengantar”, dalam Prisma, Vol.
29, No. 2, 2010, hal. 3-22.
Hotmauli Sidabalok, “Jalan Tol dan Tanggul Laut
81 

Semarang Demak dalam Perspektif Keadilan Lingkung­ Mochtar Lubis, “Jakarta Kota Penuh Kontras”, dalam
83 

an”, dalam Prisma, Vol. 40, No. 3, 2021, hal. 90-99. Prisma, Vol. 6, No. 5, 1977, hal. 37.
Amalinda Savirani, “Pertempuran Makna ‘Publik’
82 
Muhtar Habibi, “Reforma Agraria, Industrialisasi, dan
84 

dalam Wacan Proyek Reklamasi Teluk Jakarta”, dalam Surplus Populasi Relatif”, dalam Prisma, Vol. 33, No.
Prisma, Vol. 36, No.1, 2017, hal. 112-126. 2, 2014, hal. 89-99.

TOPIK
66 Prisma, Vol, 40, No. 4, 2021

menjadi minus.85 mad Nashih Luthfi, dan berkelindan dengan


Orang-orang yang paling menderita patriarki seperti yang diuraikan oleh Kamala
adalah mereka yang tak punya tanah. Men­ Chandrakirana.91
jadi jelas mengapa Sediono MP Tjondro­
negoro memberikan catatan bahwa revolusi
hijau di Indonesia dilaksanakan tanpa refor­ Mencari Keadilan Sosial-
ma agraria. Dengan penguasaan lahan yang
timpang, yang mendapatkan keuntungan Ekologis
dari program-program negara di perdesaan
adalah kelompok pemilik tanah.86 Walaupun, Kami mempraktikkan metode dialektis da­
seperti dalam catatan Noer Fauzi Rachman,87 lam membaca tulisan-tulisan tentang atau
para aktivis sudah mencoba berbagai cara yang berkaitan dengan “tema” urbanisasi
untuk mendorong pelaksanaan land reform, di Prisma sejak 1971-2021. Menurut kami,
permasalahan-permasalahan agraria (misal­ kontribusi tulisan-tulisan di Prisma terhadap
nya, alokasi lahan skala besar oleh negara pencarian keadilan sosial-ekologis adalah,
kepada korporasi, konflik karena peram­ pertama, refleksinya yang mendalam/kritis
pasan tanah, dan pembentukan kelas dalam tentang proses urbanisasi di Indonesia. Itu
masyarakat agraria) seperti yang dipetakan bukan pekerjaan mudah, terutama ketika di
Iqra Anugrah,88 tetap eksis sampai sekarang. bawah Orde Baru yang represif.92 Kedua,
Menurut Roy Murthado, itu terjadi karena terus-menerus melontarkan pertanyaan dan/
negara lebih mementingkan kepentingan atau ide bernas yang dapat dilihat dari per­
pemodal.89 Itu merupakan suatu kondisi de­ ubahan Prisma dalam memotret sekaligus
ngan para oligark telah menguasai negara, menyajikan tema urbanisasi. Kontribusi
seperti paparan Vedi R Hadiz dan Richard kami dalam artikel ini adalah menjahit yang
Robison, Jeffrey A Winters, dan A Rahman sudah ada di Prisma, yakni secara konseptu­
Tolleng.90 Yang lebih rumit dan berakar lebih al menjahit makna urbanisasi sebagai pabrik
dalam adalah diferensiasi kelas yang berpilin krisis sosial-ekologis. “Pabrik” itu memun­
dengan identitas, seperti dijelaskan oleh Ah­ culkan kategori-kategori yang berbeda beru­
pa urbanisasi terkonsentrasi, diperluas, dan
pembeda yang dipakai untuk menjelaskan
Benjamin White, “Perubahan di Desa Selalu Sulit
85  area perkotaan, operasionalisasi bentang
Diken­dalikan”, dalam Prisma, Vol. 7, No. 3, 1978, hal. alam perdesaan/pedalaman, dan bagaimana
54-58.
ber­­samaan dengan itu krisis sosial-ekolo­
Sediono MP Tjondronegoro, “Revolusi Hijau dan Pe­
86 

rubahan Sosial di Pedesaan Jawa”, dalam Prisma, Vol. gis diproduksi. Dengan kata lain, dialektika
19, No. 2, 1990, hal. 3-14. dengan Prisma dalam tulisan ini, di satu
Lihat, Rachman, “Meneliti Proses Kebijakan Land Re­
87 
sisi kami dibantu oleh tulisan-tulisan dalam
form…”.
Prisma untuk menghubungkan urbanisasi de­
Iqra Anugrah, “Persoalan Agraria dan Demokrasi di
88 

Indonesia”, dalam Prisma, Vol. 38, No. 3, 2019, hal.


3-16.
Roy Murthado, “Kritik Ekonomi-Politik RAPS sebagai
89  Ahmad Nashih Luthfi, “Tanah dan Kewarganegaraan:
91 

Instru­men Pembaruan Agraria Semesta”, dalam Pris- Diskriminasi Ruang Hidup dan Identitas Warga Tiong­
ma, Vol. 38, No. 3, 2019, hal. 117-131. hoa”, dalam Prisma, Vol. 38, No. 3, 2019, hal. 38-51;
Vedi R Hadiz dan Richard Robison, “Ekonomi Politik
90  Kamala Chandrakirana, “Refleksi tentang Keadilan So­
Oligarki dan Pengorganisasian Kembali Kekuasaan di sial: Aspirasi Tanpa Akhir”, dalam Prisma, Vol. 39, No.
Indonesia”, dalam Prisma, Vol. 33, No. 1, 2014, hal. 3, 2021, hal. 62-65.
35-56; Jeffrey A Winters, “Oligarki dan Demokrasi di Dalam catatan Richard Zakaria Leirissa, represivitas
92 

Indonesia”, dalam Prisma, Vol. 33, No. 1, 2014, hal. 11- Orde Baru cukup mengganggu Prisma, “Dua kali su­
34;Dialog dengan A Rahman Tolleng, “Oligark Hitam, dah teguran dari pihak yang berwajib atas artikel-artikel
Jokowi, dan Revolusi dari Atas”, dalam Prisma, Vol. yang dianggap melanggar patokan SARA”, lihat, Leiris­
33, No. 1, 2014, hal. 102-109. sa, “Prisma dalam Dasawarsa…”, hal. 88.

TOPIK
Bosman Batubara
Grace & Eka Handriana,
L dan Douglas Urbanisasi
K, Karya Tugas Sebagai Pabrik
Akhir Mahasiswa Krisistentang
Indonesia Sosial-Ekologis
“1965” 67

ngan krisis sosial-ekologis. Di sisi lain, de­ sendiri dan tergantung pada kapitalisme
ngan menjahit hubungan itu, kami membantu di negara dunia pertama.96 Empat dekade
menjawab keingintahuan Redaksi Prisma— setelah itu, Muhtar Habibi menyebutnya se­
kami juga berharap dapat terus memotivasi bagai “urbanisasi tanpa industrialisasi”,97
Redaksi Prisma untuk tetap bekerja – dalam yaitu proses perpindahan orang dari desa
pencarian keadilan sosial-ekologis. ke kota. Karena pekerjaan di sektor pabrik-
Urbanisasi di Indonesia adalah tipikal industrial tidak bisa menampung migran,
dari urbanisasi yang berlangsung di Bumi maka mereka memasuki sektor informal
Selatan (Global South). Dalam kasus seperti yang secara internal tidak luput dari diferen­
itu, mengikuti analisis Benjamin White, mi­ siasi kelas.
grasi dari desa ke kota terutama bukan dise­ Semakin ke sini, beberapa kosa kata ba­
babkan oleh tarikan kota industrial, tetapi nyak berubah. Sebagai contoh, dari diskusi
lebih karena beratnya timbunan derita rakyat tentang “pertumbuhan vs pemerataan” ke
perdesaan. Di kota, mereka belum pasti “krisis sosial-ekologis” atau munculnya
mendapatkan kehidupan yang lebih baik istilah “mitra” yang menggeser “eksploita­
daripada sebelumnya, karena untuk diterima si”, sebagaimana dijelaskan oleh Fatimah
di sektor-sektor “formal” yang menuntut Fildzah Izzati, atau dari “sektor informal”
berbagai macam kualifikasi (misalnya, pen­ ke “populasi surplus relatif” seperti proposal
didikan tingkat tertentu) bukanlah persoal­ yang diajukan Prathiwi Widyatmi Putri98;
an yang mudah dipenuhi para migran dari dari “pembangunan” ke “oligarki”; dari “ma­
desa.93 Poin itu sejalan dengan penemuan jalah” ke “jurnal”; dari “Pengantar Redak­si”
Chris Manning yang melihat adanya segmen­ ke “Topik Kita”; dan sebagainya. Di satu
tasi di sektor buruh; semakin tinggi gaji, se­ sisi, situasi makin rumit, masalah makin ber­
makin banyak/berat persyaratan untuk men­ tam­bah, dan penjelasan kian beragam. Na­
jadi buruh pabrik.94 Itu yang membuat para mun, di sisi lain, semua itu membantu meli­
migran banyak yang masuk ke sektor infor­ hat persoalan dengan lebih jernih.
mal perkotaan. Secara logis, karena berangkat dari kritik
Pada 1980, dengan mengadopsi model- terhadap hegemoni kapitalisme via pertum­
model yang dipaparkan pembelajar urba­ buhan ekonomi yang telah terlembagakan
nisasi, Terry McGee, Nasikun menyebut dalam kerangka kepengaturan negara yang
proses urbanisasi seperti itu sebagai “urbani­ semakin mendikte kehidupan bersama se­
sasi berlebihan.”95 Adi Sasono menyebut hari-hari, maka seharusnya solusi pun mun­
hal tersebut sebagai industrialisasi di negara cul dari sana. Demokrasi perwakilan liberal
dunia ketiga yang “terasing” dari rakyatnya yang telah menjadi kendaraan elite untuk
melegitimasi kepentingan mengakumula­
si kapital sudah tidak mungkin diharap­
93
Lihat, White, “Perubahan di Desa…”.
kan dalam memenuhi janji pemerataan,
Chris Manning, “Segmentasi Pasar Tenaga Kerja di
94  menahan laju urbanisasi, dan menghadapi
Sektor Industri di Jawa: Beberapa Implikasi dari Studi apalagi “menyembuhkan” krisis sosial-
Kasus Industri Tenun dan Rokok”, dalam Prisma, Vol.
8, No. 11, 1980, hal. 85-92.
Urbanisasi berlebihan di negara berkembang memiliki
95 

koefesien korelasi yang lebih besar (0,85) dengan in­ 96


Sasono, “Tesis Ketergantungan dan …”, hal. 81.
dustrialisasi bila dibandingkan dengan negara-negara Muhtar Habibi, “Laju Kapital dan Dinamika Kelas In­
97 

maju (0,395). Bagi Nasikun, itu menunjukkan bahwa formal Perkotaan”, dalam Prisma, Vol. 40, No. 3, 2021,
urbanisasi melaju lebih cepat di negara-negara berkem­ hal. 13-29.
bang daripada negara-negara maju; lihat, Nasikun, “Ur­ Fatimah Fildzah Izzati, “Kerentanan Pekerja Transpor­
98 

banisasi Berlebih, Involusi Perkotaan dan Radikalisme tasi Daring”, dalam Prisma, Vol. 40, No. 2, 2021, hal.
Politik di Negeri-negeri Berkembang”, dalam Prisma, 52-63; Putri, “Urbanisasi, Informalisasi, dan Krisis So­
Vol. 8, No. 10, 1980, hal. 9-22. sial-Ekologis...”., hal. 4.

TOPIK
68 Prisma, Vol, 40, No. 4, 2021

ekologis. Mengingat semua krisis sosial- kota di sisi lain, seperti dipaparkan Harry
ekologis adalah bagian tak terpisahkan dari Wibowo dalam editorial “Topik Kita” edisi
bagaimana kehidupan bersama diatur atau, “Transformasi Ruang Kota: Mencari Ke­
mengikuti formulasi Rocky Gerung99 bah­ adilan Sosial-Ekologis”.101 Demokrasi yang
wa demokrasi adalah kesepakatan tentang partisipatif mutlak dibutuhkan dalam men­
“cara-cara hidup bersama,” maka tiada ja­ cari keadilan sosial-ekologis, karena yang
lan lain pada ujungnya krisis sosial-ekolo­ menanggung krisis so­sial-ekologis dan
gis harus dipertemukan dengan diskusi me­ yang paling membutuhkan untuk didengar
ngenai demokrasi. Wadah paling baik bagi terutama adalah warga biasa yang menjadi
pertemuan itu adalah membawa perspektif elemen demokrasi. Jika hal itu dikontekstu­
lingkungan/ekologi, yang dalam kata-kata alisasikan dalam proses urbani­sasi sebagai
Aswab Mahasin nyaris merupakan “sebuah pabrik krisis sosial-ekologis, maka konsti­
pandangan hidup”,100 untuk bertaut dengan tuen politik diskusi demokrasi ini adalah
diskusi tentang demokrasi perwakilan li­ kita semua, terutama yang menderita karena
beral tingkat negara di satu sisi dan dengan krisis sosial-ekologis, baik di zona konsen­
demokrasi yang lebih partisipatif tingkat trasi maupun di zona perluasan. l

Rocky Gerung, “Intelektual dan Kondisi Politik”, dalam


99 

Prisma, Vol. 28, No. 1, 2009, hal. 75. Harry Wibowo (Topik Kita), “Demokrasi: Antara Kota
101 

Aswab Mahasin (Topik Kita), “Nestapa di Kota Tua”,


100 
dan Negara”, dalam Prisma, Vol. 40. No. 3, 2021, hal.
dalam Prisma, Vol. 7, No. 6, 1978, hal. 2. 3.

TOPIK
Grace L dan Douglas K, Karya Tugas Akhir Mahasiswa Indonesia tentang “1965” 69

Intelektual Publik dan Ketimpangan


Sosial di Indonesia yang Neoliberal

Inaya Rakhmani

Intelektual, sebagai subjek sosial, adalah bagian atau setidaknya ikut bertanggung jawab
atas problem ketimpangan sosial yang kita kritik dan ingin atasi. Untuk memahami posisi dan
peran intelektual dalam kaitannya dengan kekuasaan, modal, dan budaya, tulisan ini meng-
gunakan tesis Daniel Dhakidae serta Vedi Hadiz dan Daniel Dhakidae. Untuk me­rekam dan
memahami hubungan antara intelektual dengan negara, penulis menempatkannya dalam
dua lokus kajian. Pertama, mengkaji beberapa artikel Prisma terkait. Kedua, meletakkan-
nya dalam konteks perubahan dan permasalahan yang dihadapi perguruan tinggi di Indo-
nesia dewasa ini menurut kondisi material sejarah yang membentuknya. Dalam kerangka
itu, tulisan ini akan mengurai berbagai jenis ketimpangan sosial yang direproduksi dan
dipertahankan melalui kebijakan dan praktik kelembagaan di perguruan tinggi. Tulisan ini
juga menyoal dampak marketisasi pendidikan tinggi yang mengekang dan kerap membatasi
imajinasi akademi, melalui permutasi pembangunan ala Orde Baru yang memenuhi tun-
tutan rezimentasi neoliberal. Dengan meminjam universitas sebagai “tempat berkumpul”
sebagaimana dicetuskan Daniel Dhakidae pada 1978, kita bisa menimbang ulang posisi
sosial intelektual publik yang makin terdislokasi di tengah konfigurasi ketimpangan sosial
yang berlapis dan tumpang tindih.

Kata Kunci: intelektual publik, kekuasaan, ketimpangan sosial, neoliberal, perguruan tinggi

S
elama setidaknya tiga dekade ter­ ngetahuan di Indonesia memiliki kesamaan
akhir, pertumbuhan ekonomi di Indo­ pola dengan negara-negara tetangga.1 Se­
nesia—seperti halnya banyak negara jak awal tahun 2000-an, manajemen publik
lain di Asia—diiringi dengan tingkat baru—dengan variasi instrumen audit, pro­
ketimpangan tertinggi sejak kemerdekaan. fesionalisasi, dan internasionalisasi pendidik­
Kondisi itu ditanggapi para intelektual di In­ an tinggi—mengiringi berkurangnya alokasi
donesia dalam berbagai tulisan populer dan dana untuk perguruan tinggi negeri yang
laporan penelitian seturut dengan pelem­ bersumber dari Anggaran Pendapatan dan
bagaan pasar gagasan/pemikiran mengenai
paradigma pembangunan baik di tingkat lo­ 1
Lihat, Ka Ho Mok, “Regional Responses to Globalization
kal, nasional, maupun internasional. Challenges: The Assertion of Soft Power and Changing
Dampak neoliberalisasi, atau mundurnya University Governance in Singapore, Hong Kong, and
peran pemerintah dan meningkatnya peran Malaysia”, dalam Roger King, Simon Marginson, dan
Rajani Naidoo (eds.), Handbook on Globalization and
swasta dalam memberi layanan publik, ter­ Higher Education (Cheltenham, UK and Northampton,
hadap pendidikan tinggi dan produksi pe­ MA, USA: Edward Elgar Publishing, 2011), hal. 40-58.

TOPIK
70 Prisma, Vol, 40, No. 4, 2021

Belanja Negara (APBN) serta meningkat­ dingkan mereka yang datang dari kelas
nya tekanan untuk menghasilkan pendapat­ bawah. Selanjutnya, perguruan tinggi negeri
an mandiri. Sejak itu, menguatnya aspirasi yang makin berorientasi pasar menjadi tem­
internasionalisasi diterapkan melalui, antara pat prima bagi pembentukan para intelek­
lain, program gelar ganda serta pengembang­ tual neoliberal,8 atau mereka yang memiliki
an kapasitas dosen melalui mobilitas ke tingkat pendidikan tinggi tanpa jaminan
dalam (mengundang dosen luar negeri ke keamanan pekerjaan dan status sosial yang
institusi) dan keluar (mengirim dosen dalam stabil. Kondisi itu melestarikan kesenjang­
negeri keluar), sebagai upaya menggapai an sosial lama sekaligus menciptakan tipe
pasar mahasiswa regional. Paradigma neo­ ke­senjangan sosial yang baru. Ketimpangan
liberalisme menuntut dosen untuk memiliki sosial juga dibentuk melalui semakin terba­
publikasi dan kolaborasi internasional, na­ tasnya akses ke pendidikan tinggi; redistribu­
mun perguruan tinggi di Indonesia tertinggal si ke atas terjadi ketika universitas mela­yani
dibanding Singapura dan Australia dalam pasar mahasiswa kelas tengah dan atas.9
menghasilkan karya akademik berkualitas.2 Berbagai kajian mengenai perguruan
Realita tersebut berkait erat dengan peru­ tinggi di Indonesia menunjukkan bagaima­
bahan sosial dan ekonomi yang lebih luas. na marketisasi (marketization; atau proses
Pada 2016, Produk Domestik Bruto (PDB) transformasi perekonomian dari sistem eko­
Indonesia sekitar 932,4 miliar dolar AS de­ nomi terencana menjadi berbasis pasar) uni­
ngan tingkat pertumbuhan rata-rata 5 persen versitas telah, dalam beberapa hal, membuka
per tahun.3 Namun, pertumbuhan itu juga di­ ruang baru bagi produksi ilmu sosial.10 Di
barengi dengan peningkatan ketimpangan.4 saat yang sama, instrumen pasar yang kawin
Indonesia merupakan negara keenam de­ de­ngan residu perguruan tinggi sebagai apa­
ngan tingkat ketimpangan kekayaan di dunia ratus negara yang melegitimasi kebijakan
berdasarkan koefisien Gini5; sepuluh persen ekonomi pembangunan Orde Baru telah
penduduk Indonesia terkaya mengonsumsi membatasi paradigma berpikir ilmuwan so­
sebanyak 54 persen yang paling miskin.6 sial dan intelektual publik.11 Dalam berbagai
Kondisi sosial tersebut merupakan tem­ karyanya, intelektual publik dan ilmuwan
pat para intelektual Indonesia bekerja. Per­ sosial seperti Daniel Dhakidae menggubah
tumbuhan ekonomi yang selama satu dekade
dirayakan oleh pemerintah lebih banyak
dinikmati oleh kelas tengah dan atas. David 8 
Lihat, Andrew Rosser, “Neo-liberalism and the Politics
of Higher Education Policy in Indonesia”, dalam Com-
Harvey menyebut itu sebagai redistribusi
parative Education, Vol. 52, No. 2, 2016, hal. 109-135.
kekayaan ke atas.7 Lapisan kelas te­ngah dan 9 
Orientasi pasar universitas mereproduksi ketimpangan
atas cenderung lebih berpendidikan diban­ pendidikan, sebagai bagian dari ketimpangan sosial,
yang terbentuk secara diskursif pada garis kelas, gender,
pusat-pinggiran, dan urban-rural; lihat, Daniel Surya­
darma dan Gavin W Jones (eds.), Education in Indone-
2
Lihat, Darryl SL Jarvis dan Ka Ha Mok, Transforma- sia (Singapore: ISEAS Publishing, 2013).
tions in Higher Education Governance in Asia: Policy,
10
Lihat, Rochman Achwan, “Production of Social Scien­
Politics and Progress (Singapore: Springer, 2019. ce in Indonesia: An Incomplete Reform From Above”,
3
Lihat, World Bank, Aspiring Indonesia: Expanding the dalam Asian Politics & Polity, Vol. 9, No. 3, 2017, hal.
Middle Class (Washington, DC: World Bank, 2019). 462-478.
11 
4
Lihat, World Bank, Indonesia’s Rising Divide, dalam Lihat, Vedi R Hadiz dan Daniel Dhakidae (eds.), Social
http://pubdocs.worldbank.org/en/16261460705088179/ Science and Power in Indonesia (Jakarta; Singapore:
Indonesias-Rising-Divide-English.pdf. Equinox Publishing; Institute of Southeast Asian Stu­
5
Lihat, Oxfam, Towards a More Equal Indonesia. (Ja­ dies, 2005); Inaya Rakhmani, “Reproducing Academic
karta: Oxfam, 2017). Insularity in a Time of Neo-Liberal Markets: The Case
6
Lihat, World Bank, Indonesia’s Rising…. of Social Science Research in Indonesian State Univer­
7
Lihat, David Harvey, A Brief History of Neoliberalism sities”, dalam Journal of Contemporary Asia, Vol. 51,
(London: Oxford University Press, 2005). No. 1, 2021, hal. 64-86.

TOPIK
Inaya
Grace L dan Rakhmani,
Douglas Intelektual
K, Karya Tugas Publik dan Ketimpangan
Akhir Mahasiswa Sosial
Indonesia di Indonesia
tentang “1965” 71

berbagai tesis ekonomi-politik Marxis agar di Indonesia.15 Karena itu, penting untuk
dapat dipahami dan diteliti di Indonesia.12 mengurai dan menjelaskan pembentukannya
Dalam artikel ini, penulis menyematkan dengan memahami mekanisme kapitalisme
argumen dasar Daniel Dhakidae untuk me­ neoliberal dalam mempertahankan diri. Saya
nyambung pengamatan perincinya mengenai mengikuti dan melanjutkan alur berpikir
instrumentalisasi pengetahuan, kekuasaan, Daniel Dhakidae yang memahami hubungan
dan dilema sosial intelektual publik untuk antara intelektual publik dalam proses se­
memahami kondisi intelektual publik saat jarah negara-bangsa.16
ini. Saya memakai pendekatan ekonomi-
politik-budaya Bob Jessop13 dan melanjut­
kan analisis empiris Daniel Dhakidae yang Sejarah Intelektual dan Permutasi
tertuang dalam buku dan disertasinya. Di
sini, argumen dasarnya, kebangkitan kapital Ketimpangan Kekuasaan
yang berkelindan dengan kekuasaan selama
lima puluh tahun terakhir menunjukkan Banyak sarjana telah menjelaskan bagaimana
betapa sentralnya peran universitas dalam ilmu sosial di Indonesia, sejak cikal bakalnya
gerak sejarah masyarakat di Indonesia—ter­ di bawah pemerintahan kolonial, memiliki
masuk di dalamnya reproduksi ketimpangan sejarah panjang penindasan.17 Pada masa
sosial oleh intelektual publik. Proses itu me­ kolonialisme Belanda (abad ke-17 hingga
normalisasi akumulasi kapital dalam kondisi abad ke-20), pemerintah mengendalikan
ruang dan waktu yang spesifik. pengembangan sains dan penelitian dengan
Saya juga meminjam argumen Mi­ ketat.18 Salah satu caranya dengan mem­
chael Burawoy mengenai sosiologi publik pekerjakan ilmuwan dan peneliti se­bagai
yang sa­ngat penting untuk memahami dan birokrat dan administrator penuh waktu.19
­me­nga­tasi ketimpangan sosial dalam kondisi Andrew Goss berargumen bahwa ikatan
ma­­terial yang ada.14 Meskipun kapitalisme pe­kerjaan semacam itu merupakan bentuk
pa­sar menyapu hampir seluruh universitas kooptasi intelektual, karena sebagai akibat­
di dunia, cara-cara kekuasaan diperebutkan nya pemikiran kritis dan gerakan subversif
dan naik ke permukaan masyarakat amat melawan pemerintah kolonial dapat dicegah
bergantung pada proses sejarah yang spesi­ dan ditangkal. Tradisi ilmu sosial deskriptif
fik. Ketimpang­an sosial menyatu secara amat marak dalam kajian arus utama, dengan
eko­­nomi-politik-budaya dalam lembaga pengecualian perdebatan akademisi Hindia-
yang membentuk praktik intelektual pu­blik Belanda yang bersimpati pada Marxisme
lebih berlandaskan teori.20

Lihat, misalnya, Daniel Dhakidae, “The State, the Rise


12 

of Capital and the Fall of Political Journalism: Political Lihat, Jessop, “Cultural Political Economy and…”.
15 

Economy of Indonesian News Industry” (Ann Arbor, Lihat, Dhakidae, Cendekiawan dan Kekuasaan da­
16 

Michigan: UMI Dissertation Services, 1991; Daniel lam….


Dhakidae, Cendekiawan dan Kekuasaan dalam Negara Scott Guggenheim, “Indonesia’s Quiet Springtime:
17 

Orde Baru (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2003). Knowledge, Policy and Reform”, dalam Anthony J
Bob Jessop memperdalam analisis ekonomi-politik
13 
Reid, Indonesia Rising: The Repositioning of Asia’s
Marxis dengan mengenali kontradiksi dan konflik kul­ Third Giant (Singapore: Institute of Southeast Asian
tural yang mempertajam kecenderungan krisis dalam Studies, 2012), hal 141-169.
akumulasi kapital; lihat, Bob Jessop, “Cultural Political Lihat, Dhakidae, Cendekiawan dan Kekuasaan da­
18 

Economy and Critical Policy Studies”, dalam Critical lam….


Policy Studies, Vol. 3, No. 3-4, 2010, hal. 336-356. Lihat, Andrew Goss, The Floracrats: State-Sponsored
19 

Lihat, Michael Burawoy, “Times of Turmoil: Emerging


14 
Science and the Failure of the Enlightenment in Indone-
Visions from Three Years of Global Dialogue”, dalam sia (Wisconsin, US: The University of Wisconsin Press,
Revista da Sociedade Brasileira de Sociologia, Vol. 1, 2011).
No. 1, 2015, hal. 49–63. Benjamin White, “Between Apologia and Critical Dis­
20 

TOPIK
72 Prisma, Vol, 40, No. 4, 2021

Dalam hal itu, Daniel Dhakidae mema­ mulasi”.24 Ilmuwan dan intelektual publik
hami soal Politik Etis sebagai hasil dari pasca-kemerdekaan yang berada di tengah
per­gumulan kekuasaan dan budaya antara gerakan anti-imperialisme dikelola oleh ke­
Inlander (didorong oleh Boemipoetra) dan seimbangan kekuasaan Islamis, Nasionalis,
Nederlander (penguasa, namun juga ada dan Komunis, melalui berbagai rangkaian
intelektual creol).21 Pada awal abad ke-20, kebijakan pemerintahan Soekarno, salah
intelektual yang menerima manfaat pendi­ satu di antaranya indonesianisasi penanam­
dikan dari Politik Etis menjadi pusat gerak­ an modal.25 Selama Kabinet Natsir (Septem­
an kemerdekaan. Benedict Anderson telah ber 1950-Maret 1951), pemerintah menge­
men­jelaskan bahwa secara historis, proyek luarkan berbagai kebijakan dan berupaya
kemerdekaan Indonesia merupakan efek mengu­rangi ketergantungan pada ekonomi
kapi­talisme cetak Eropa yang menyebar me­ asing. Lewat Program Benteng, industri ke­
lalui buku berbagai gagasan negara-bangsa cil milik pengusaha “pribumi” diletakkan se­
modern yang kemudian diserap oleh para jajar dengan kepentingan ekonomi nasional.
inte­lektual pribumi di Hindia-Belanda.22 Bantuan modal bagi usaha pribumi bertu­
Para intelektual pra-kemerdekaan yang juan mewujudkan redistribusi pendapatan
mengorganisasi diri berdasarkan garis etnis, yang menguntungkan pengusaha pribumi.
wilayah, dan agama (misalnya Jong Java, Konsekuensinya, tidak ada Tionghoa per­
Jong Batak, Jong Islamieten Bond), meski anakan yang memiliki surat kabar saat itu.
berhasil membangkitkan semangat “nasio­ Walhasil, kebijakan itu meningkatkan kepe­
nalis” di Nusantara, namun meminggirkan milikan modal perusahaan penerbitan Indo­
bahkan mengabaikan penindasan sesama nesia yang menantang dominasi pemodal
pri­­bumi (misalnya, penindasan orang Sasak Belanda dan Tionghoa. Sejalan dengan itu,
oleh orang Bali atau orang Toraja oleh orang dua partai sangat diuntungkan oleh Program
Makassar). Dalam arti itu, nasionalisme ikut Benteng dan memenangkan kompetisi pasar
andil melembagakan ketimpangan etnis, melalui seleksi yang tidak alami, yaitu Mas­
agama, dan regional. jumi (yang kemudian dipinggirkan) dan PNI.
Seperti Ben Anderson, Daniel Dhakidae Menelusuri peran media sebagai aparatus
pun menelusuri peran teknologi mesin cetak negara membantu kita melacak akumulasi
dalam akumulasi kapital; sumber ketimpang­ kapital melalui “monoloyalitas” Departemen
an kekayaan dan sosial.23 Berkait peran cen­ Penerangan pada era rezim Orde Baru.
dekia dan jurnalis pasca-kemerdekaan, “Se­ Lebih jauh lagi, politik pengetahuan In­
cara mendasar, [jurnalisme politis] berwatak donesia tahun 1950-an berusaha mengurangi
hakiki memelihara kapital yang telah teraku­ ketergantungan pada semua yang “berbau”
asing lewat sejumlah kebijakan, di antara­
nya melalui preferensi terhadap pengusaha
pribumi. Akumulasi kapital diselenggarakan
course: AgrarianTransitions and Scholarly Engagement
in Indonesia”, dalam Vedi R Hadiz dan Daniel Dhaki­
dae (eds.), Social Science and Power in Indonesia (Ja­
karta: Equinox Publishing, 2005), hal. 107-142. Dhakidae, “The State, the Rise of Capital and the Fall of
24 

Lihat, Dhakidae, Cendekiawan dan Kekuasaan da­


21 
Political Journalism…”, hal. 544, terjemahan penulis.
lam…. Argumen ini bukan amatan sapu jagat, karena sintesis
Lihat, Benedict RO’G Anderson, Imagined Commu-
22 
ini dibangun amat teliti dan telaten melalui penyelidikan
nities: Reflections on the Origin and Spread of Natio­ atas interaksi proses sejarah dalam gerakan sosial (misal­
nalism (London dan New York: Verso, 2006). nya, peristiwa Malari), peran aktor/institusi (misal­nya,
Lihat, Dhakidae, “The State, the Rise of Capital and the
23 
Dewan Pers Indonesia), teknologi impor (dalam hal ini
Fall of Political Journalism…”; terlebih lagi, analisis mesin cetak) serta dampaknya pada tata letak halaman
ini dilakukan oleh seorang sarjana dan aktivis Dunia dan intrusifnya iklan dalam pemberitaan.
Ketiga pada awal liberalisasi perekonomian Indonesia Dhakidae, “The State, the Rise of Capital and the Fall of
25 

(1980-an hingga 1990-an). Political Journalism…”, hal. 109.

TOPIK
Inaya
Grace L dan Rakhmani,
Douglas Intelektual
K, Karya Tugas Publik dan Ketimpangan
Akhir Mahasiswa Sosial
Indonesia di Indonesia
tentang “1965” 73

berupa impor teknologi mesin cetak yang di­ dikan nasional yang tersentralisasi. Berbagai
kuasai oleh segelintir pemodal. Selanjutnya, sarjana berargumen mengenai bagaimana
Soekarno menutup beberapa surat kabar—di rezim otoritarian telah mengooptasi intelek­
antaranya Abadi (milik Masjumi) dan Dja- tual publik dan menjadikan mereka pelayan
karta Press—serta menolak mesin cetak rezim dan memasukkan mereka dalam agen­
impor dari Barat dan menggantinya dengan da pembangunan.
mesin cetak impor dari blok Timur. Akumu­ Dalam berbagai momen sejarah itu,
lasi kapital melalui penanaman modal dalam per­gumulan dan ketimpangan kekuasaan
impor mesin cetak memfasilitasi politik jur­ menge­muka dengan cara dan corak khu­
nalis­me.26 Simbol-simbol ras/etnis dan agama sus. Ia muncul melalui kesenjangan antara
digunakan dalam perebutan kekuasaan serta pri­bumi dengan kolonialis, antara ilmuwan
mengalihkan orang dari pemahaman tentang dan administrator, antar-etnis dalam gerakan
bahaya krisis kapitalisme itu sendiri. kemer­dekaan, antara intelektual Nasiona­
Letupan sejarah pun terjadi. Pergumulan lis-Islamis-Komunis, dan antara intelektual
internal antarpartai di Indonesia kemudian yang mendukung atau menentang rezim.
menguat lantaran musuh bersama (imperia­ Lebih dalam lagi dari itu adalah ketimpang­
lis) sudah pudar27, diikuti oleh persekutuan an sosial yang subjektif berhubungan de­
antara militer dan Islamis yang segera berge­ ngan ketimpangan kekayaan yang objektif.
rak membasmi siapa pun yang terafiliasi dan Di dalamnya, teknologi, yang dalam periode
berkait dengan Partai Komunis Indonesia sejarah itu berupa mesin cetak, instrumental
(PKI). Setidaknya satu juta manusia, terma­ dalam akumulasi kapital maupun pergumul­
suk para intelektual dan seniman Kiri, tewas an kekuasaan yang menghasilkan ketimpang­
dibantai. Mereka bukan hanya dibunuh, te­ an sumber daya materi dan imaterial meng­
tapi juga dihapus dari ingatan sejarah yang ambil bentuk-bentuk sosial ras, profesi,
difabrikasi oleh rezim Orde Baru.28 etnis, agama, dan aliansi politik. Di sini, pe­
Selama 32 tahun era Orde Baru, klientelis­ nulis coba memperdalam diskusi mengenai
me dan patronase tumbuh subur dan turut di­ elemen-elemen ketimpangan yang muncul
pelihara oleh perguruan tinggi. Penelitian dan melalui praktik intelektual publik dengan
karya akademik berguna untuk melegitimasi mengambil kasus jurnal Prisma.
kebijakan pembangunan;29 khususnya yang
menguntungkan elite penguasa. Perlawanan
politik, termasuk dari intelektual muslim, di­ Intelektual Publik dan Jurnal
tekan.30 Secara umum, diskursus akademik
di universitas dibatasi melalui sistem pendi­ Prisma (1971-2000)
Di antara tahun 1970 hingga 2000, setidak­
nya ada tiga kasus praktik intelektual yang
Lihat, Dhakidae, “The State, the Rise of Capital and the
26 

Fall of Political Journalism…”.


signifikan.31 Pertama, para pemikir, baik
Lihat, Merle Calvin Ricklefs, A History of Modern In-
27  dari kalangan sipil maupun militer, yang
donesia since c. 130 ( Hampshire and London: MacMil­ mem­­­­­­bantu negara dalam menjalankan
lan, 1993). moderni­­sasi. Mereka terdiri dari Kepala
Lihat, John Roosa, Pretext for Mass Murder: The Sep-
28 

tember 30th Movement and Suharto’s Coup d’État in


Bap­­­penas Widjojo Nitisastro serta Menteri
Indonesia (Madison: The University of Wisconsin Riset dan Teknologi BJ Habibie dan tokoh-
Press, 2006).
Lihat, Hadiz dan Dhakidae (eds.), Social Science and
29 

Power….
Lihat, Robert W Hefner, Civil Islam: Muslims and
30 Lihat, Sony Karsono, “Indonesia’s New Order, 1966-
31 

Democratization in Indonesia (Princeton and Oxford: 1998: Its Social and Intellectual Origins”. Disertasi
Princeton University Press, 2000). PhD, Ohio University, AS, 2013.

TOPIK
74 Prisma, Vol, 40, No. 4, 2021

tokoh Center for Strategic and International 1971 hingga 1980, penulis memilih Prisma,
Stu­dies (CSIS) seperti Ali Moertopo, Daoed Vol. 7, No. 2, Maret 1978, berjudul “Univer­
Joesoef, Harry Tjan Silalahi, dan Jusuf sitas Pencerminan atau Pembaharu.” Di an­
Wanan­­di. Kedua, intelektual publik yang tara tahun 1981 hingga 1990, Prisma, Vol.
membentuk Lembaga Penelitian, Pendidik­ 19, No. 1, 1990, berjudul “Universitas: Agen
an dan Penerangan Ekonomi dan Sosial atau Korban Pembangunan.” Di antara tahun
(LP3ES) serta menerbitkan jurnal Prisma. 1991 hingga 1998, Prisma Vol. 23, No. 1,
Mereka adalah Nono Anwar Makarin, Ismid Januari 1994, bertajuk “Ilmu Sosial di Indo­
Hadad, dan Dawam Rahardjo yang mendo­ nesia Mandeg.” Di antara tahun 1998 hingga
rong ideal modernisasi Indonesia dengan 2009, Prisma hanya terbit satu edisi.33 Anta­
mengedepankan partisipasi rakyat, keadilan ra tahun 2009 hingga 2019, Prisma terbit 27
sosial, dan aspek-aspek transformatif selain edisi, namun tidak ada edisi yang me­nyoal
pembangunan ekonomi. Ketiga, para penu­ intelektual publik serta lembaga pengeta­
lis populer lepas, seperti Motinggo Busye, huan secara spesifik. Begitu pula pada tahun
Teguh Esha, Yudhistira ANM Massardi, dan 2020-2021. Di antara enam edisi Prisma
lain-lain yang mengungkap persoalan spesi­ yang terbit pada tahun itu, tidak ada yang se­
fik dan dampak modernisasi ekonomi terha­ cara khusus membicarakan ilmu sosial.34
dap kelompok terpinggirkan—namun di saat Daniel Dhakidae dalam Pengantar Redak­
yang sama tidak menuntut pembubaran Orde si bertajuk “Berkumpul atau Bertemu” edisi
Baru. “Universitas Pencerminan atau Pembaharu”
Sebagai analisis empiris yang menda­ mempersoalkan kediktatoran dalam praktik
sari tulisan ini, penulis berfokus pada jurnal universitas.35
Prisma terbitan 1971-1998 dan 2009-2020
yang mendiskusikan persoalan intelektual
publik. Berbeda dengan “tipe” pertama dan Selama sepuluh tahun setelah Reformasi, LP3ES ti­
33 

ketiga di atas32, Prisma menerbitkan aneka dak mendapat bantuan dana dari lembaga-lembaga
pemikiran mengenai pembangunan ekonomi do­­nor; lihat, Prisma Resource Center, “Sejarah Pris­
yang berupaya mencari dasar konseptualnya ma”, da­­lam https://www.prismajurnal.com/about-
us.php?id=%7BD7A279E9-7C54-4A89-118F-FD92
pada Pancasila maupun kritisisme terhadap 1ABE1A81%7D&did=%7B0C6CF522-FB79-C74B-
kapitalisme ala teori dependensia Amerika 0EC5-88A61413A669%7D (diakses Oktober 2021).
Latin. Berbeda dengan dua kasus lainnya, Meskipun mengorganisasi edisi dan artikel secara
34 

Prisma menarik diskusi akademik mengenai tematik, penulis mustahil untuk tidak menginterpre­
tasi sebagai akademisi generasi pasca-Reformasi de­
persoalan pembangunan Orde Baru dalam ngan konstruk sosial-intelektual yang dibentuk oleh
kaitan dengan perdebatan teoretis lebih luas kapitalisme neoliberal. Pada setiap edisi, baik yang
dan komparatif di luar aparatus negara. Edi­ dikaji di sini maupun yang bukan, perdebatan, kritik,
si-edisi Prisma mengenai intelektual pu­b­ kesempatan memberi tanggapan, dan ragam paradigma
serta pendekatan adalah praktik intelektual sosial yang
lik dipilih secara purposif dan kemudian mengesankan bagi penulis di alam intelektual yang
dianalisis secara tematik untuk menjelaskan tercerai-berai dan kompetitif. Membaca ulang Prisma
perkembangan perdebatan intelektual di In­ pada tahun 2021, yang penulis kenal kali pertama dari
donesia dalam kerangka lembaga perguruan lapak-lapak kampus Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik, Universitas Indonesia, baik sebagai mahasiswa
tinggi maupun gerakan. tahun 2000 maupun sebagai akademisi profesional,
Di sini, akan dijelaskan secara deskrip­ meninggalkan kesan mendalam. Surat tanggapan, iklan
tif dan tematik mengenai sejumlah argumen rokok, grafik pada sampul muka, dapat dianalisis jauh
yang diangkat oleh Prisma. Di antara tahun lebih mendalam daripada yang bisa disajikan di sini.
Begitu pula soal harga majalah dan perbandingannya
dengan inflasi.
Susunan Dewan Redaksi Prisma saat itu: Daniel Dhaki­
35 

Lihat, Karsono, “Indonesia’s New Order, 1966-


32  dae (Ketua), Aswab Mahasin, Erwin Ramedhan, Ismid
1998…”. Hadad, Masmimar Mangiang, dan Rustam Ibrahim.

TOPIK
Inaya
Grace L dan Rakhmani,
Douglas Intelektual
K, Karya Tugas Publik dan Ketimpangan
Akhir Mahasiswa Sosial
Indonesia di Indonesia
tentang “1965” 75

“ Apa pun yang diperoleh, semua usaha untuk dilakukan. Kenaikan biaya uang kuliah ha­
berkumpul tidak mencapai sasarannya bila ti­ rus dilakukan untuk meningkatkan kualitas
dak mampu menghasilkan suatu pertemuan. pendidikan dan penelitian. Sedangkan Boes­
Pertemuan yang benar akan membangkitkan jra Zahir dalam artikel “Pendidikan Tinggi:
kesadaran baru dalam kalangan komponen Hubungan dengan Masyarakat dan Keadaan­
utama perguruan tinggi, yaitu mahasiswa dan nya Sekarang”, menjelaskan variasi gerakan
para dosen. Di sana tidak berlangsung sua­ mahasiswa pasca-Perang Dunia II di Peran­
sana otoriter. Di sana bisa ditangkis tuduhan cis, Italia, dan Jerman Barat serta ekspektasi
bahwa hubungan di dalam universitas diatur mereka terhadap universitas (sebagai sarana
oleh dictatorship of examinations and dicta- ilmiah modern dan kritik sosial). Pada akhir
torship of professordom! Diktator ujian dan artikelnya, Zahir lebih menekankan soal
sistem saringan yang tidak jarang membuang efisiensi, otonomi, dan keseimbangan an­
yang bernas dan menampung ampas. Diktator tara permintaan dan penawaran tenaga ahli
professorat yang mementingkan tata susunan lulus­an perguruan tinggi.39 Sementara itu,
birokrasi dan bukannya mutu”.36 Sjahrir berargumen bahwa pembangunan
ber­basis ekonomi rasional yang
Sejalan dengan itu, dalam tersentrali­sasi bisa jadi efisien
artikel “Universitas-universitas bagi tatanan struktural, namun
Indonesia: Generasi Pertama”, kebebasan akademik penting
Douglas Paauw memperma­ untuk memelihara partisipasi
salahkan absennya ilmu dasar civitas akademika demi men­
(basic sciences), baik ilmu alam capai tujuan keadilan sosial.40
maupun ilmu sosial, karena Dia mengusulkan “ngobyek
universitas di Indonesia diben­ penelitian” dapat saja diformal­
tuk untuk tujuan-tujuan admi­ isasi, sehingga keahlian dan
nistratif kolonial.37 Namun, di keter­tarikan dosen dapat dibi­
saat yang sama, dia berargu­ carakan dan dipetakan secara
men bahwa untuk membuka terbuka. Dalam rubrik Dialog
akses ke lebih banyak maha­ “Meluruskan Menara Miring”,
siswa—yang pada tahun itu hanya segelintir baik Taufik Abdullah dan AM Satari mau­
yang bisa mendapatkan akses—universitas pun Harsja W Bachtiar mempermasalahkan
perlu bekerja sama dengan pihak swasta dan instrumentalisasi universitas berupa regulari­
menjalankan fungsi sekunder berupa ilmu tas demi efisiensi, pembentukan mahasiswa
terapan dan konsultansi. Sementara itu, Ach­ sebagai “tukang”, dan penelitian yang tidak
mad Amiruddin dalam artikel “Pendidikan menunjang keilmuan.
Tinggi Kita Sekarang” memaparkan sejum­ Dari rangkaian artikel pada edisi terse­
lah permasalahan universitas di Indonesia, but, pertanyaan yang diajukan Daniel Dhaki­
yakni mutu dan relevansi pendidikan dengan dae pada Pengantar Redaksi,41 apakah tujuan
kebutuhan pembangunan bangsa.38 Dia ber­ universitas bukan untuk mengungkap realita
argumen bahwa akses ke sektor swasta harus yang kelam, terjawab tidak di Indonesia pada

36 
Daniel Dhakidae, “Berkumpul atau Bertemu?” dalam Boesjra Zahir, “Pendidikan Tinggi: Hubungan dengan
39 

Prisma, Vol. 7, No. 2, 1978, hal. 2. Masyarakat dan Keadaannya Sekarang”, dalam Prisma,
37 
Douglas S Paauw, “Universitas-universitas Indonesia: Vol. 7, No. 2, 1978, hal. 22-30.
Generasi Pertama”, dalam Prisma, Vol. 7, No. 1978, Sjahrir, “Dilema Pembangunan dan Kebebasan: Maha­
40 

hal. 5. siswa di Masa Klimakterik”, dalam Prisma, Vol. 7, No.


Achmad Amiruddin, “Pendidikan Tinggi Kita Seka­
38
2, 1978, hal. 31-38.
rang”, dalam Prisma, Vol. 7, No. 2, 1978, hal. 14-21. 41
Dhakidae, “Berkumpul atau…”.

TOPIK
76 Prisma, Vol, 40, No. 4, 2021

dekade itu. Tujuan universitas masa depan.43 Dia mengharap­


adalah sebagai pendongkrak kan adanya peran emansipato­
pembangunan, pembentuk te­ ris ketimbang antisipatoris dari
naga ahli, batu loncatan bagi pergu­ruan tinggi. Sementara itu,
dosen untuk mobilitas kelas Mochtar Buchori keberatan den­
ke atas de­ngan peningkatan gan kebebasan akademik yang
pendapatan dari pekerjaan diasosiasikan dengan kegiatan
sampingan, de­ngan birokra­ politik. Dia meletakkan kebe­
si usang yang tidak efisien. basan akademik sebagai per­
Solusi yang ditawarkan oleh syaratan utama bagi kemajuan
sebagian besar penulis secara keilmuan.44 Lebih khusus lagi, dia
umum adalah mekanisme pa­ berargumen bahwa pembenturan
sar. Ha­nya Sjahrir satu-satu­ ide akan menghasilkan akumula­
nya penulis dalam edisi itu yang memperma­ si pe­ngetahuan. Tonny Widiastono, penulis
salahkan ke­­­­tim­pang­an so­sial dan keadilan lainnya, mengartikulasikan harapannya pada
secara eksplisit. universitas untuk mencetak intelektual yang
Berikutnya, dalam Pengantar Redaksi memperhatikan isu peme­rataan bagi kaum
Prisma, Vol. 19, No. 1, 1990 edisi “Univer­ miskin dan marjinal ser­ta memprioritaskan
sitas: Agen atau Korban Pembangunan”42 pemerataan daerah ke­tim­bang mencari kerja
dipa­parkan bahwa universitas dewasa itu me­ di kota dan Jawa.45 Dia mewanti-wanti pem­
ngandung simbol-simbol kesuksesan berupa baca bahwa jika dibiarkan, universitas akan
“gaji yang besar, kedudukan yang lebih baik, menjadi mesin pencetak tukang dan pen­
dan juga perubahan status sosial”: yokong privelese alih-alih ruang bagi agen
pembaru (agents of change) masyarakat.
“ Hal-hal ini menimbulkan pertanyaan: apa­ Dalam rubrik Dialog “Memahami Uni­
kah masyarakat berharap terlalu banyak dari versitas”, Prisma Volume 19, Nomor 1, Ta­
universitas, ataukah mereka telah gagal me­ hun 1990 itu, Dewan Redaksi Prisma mem­
mahami hakekat universitas dalam masyara­ beri Pengantar Redaksi yang menjelaskan
kat yang sedang menjalani transisi, ataukah harapan kepada universitas melalui diskusi
justru universitas sendiri yang gagal mema­ dengan Koesnadi Hardjasoemantri, Harsya
hami persoalan zaman dan kemudian tidak W Bachtiar, Masri Singarimbun, dan Wijaya
mampu menjawab tantangan zaman; dan Adi. Dengan sudut pandang berbeda-beda,
syarat-syarat apakah yang diperlukan univer­ secara umum pesan yang mereka sampaikan
sitas guna memenuhi fungsi ini?” serupa: Bahwa universitas bertugas menun­
tun dan mendidik bangsa yang “kognitif
Pater J Drost, SJ yang mempertanyakan masyarakatnya masih lemah”46, bahwa mutu
makna universitas bagi masyarakat berar­ peneliti masih sangat rendah, dan bahwa ke­
gumen bahwa lembaga ini telah terjang­ butuhan pasar kerja tidak perlu disediakan
kiti pragmatisme atau sekadar memikirkan
masalah saat ini dan minim orientasi ke
J Drost, “Untuk Apa Perguruan Tinggi Didirikan?”, da­
43 

lam Prisma, Vol. 19, No. 1, 1990, hal. 3-11.


Mochtar Buchori, “Kebebasan Akademik: Makna, Man­
44 

faat, dan Masalah”, dalam Prisma, Vol. 19, No. 1, 1990,


Lihat, Pengantar Redaksi edisi “Universitas: Agen atau
42  hal. 12-22.
Korban Pembangunan” dalam Prisma, Vol. 19, No. 1, Tonny D Widiastono, “Perguruan Tinggi Kita: Persoal­
45 

1990, hal. 2. Saat itu, Pemimpin Redaksi Ismid Hadad. an-persoalan yang Dihadapi”, dalam Prisma, Vol. 19,
Dewan Redaksi: Aswab Mahasin, Ismid Hadad, Masmi­ No. 1, 1990, hal. 23-32.
mar Mangiang, M Dawam Rahadjo, Vedi Renandi Ha­ Rubrik Dialog berjudul “Memahami Universitas”, da­
46 

diz. lam Prisma, Vol. 19, No. 1, 1990, hal. 49.

TOPIK
Inaya
Grace L dan Rakhmani,
Douglas Intelektual
K, Karya Tugas Publik dan Ketimpangan
Akhir Mahasiswa Sosial
Indonesia di Indonesia
tentang “1965” 77

oleh universitas. “ Menghadapi perkembangan dan persaing­an


Dari rangkaian artikel dalam edisi itu, per­ pers, baik media cetak maupun media elek­
tanyaan berlapis redaksi Prisma yang pada tronik yang makin marak, menerbitkan jur­
dasarnya adalah kesesuaian antara harapan nal ilmiah populer seperti Prisma, bagaikan
masyarakat dengan kemampuan universitas menawarkan produk informasi kepada kha­
untuk memenuhinya, relatif tidak terjawab.47 layak yang kian kritis. Kini makin banyak
Arus pasar di Indonesia pada dasawarsa itu alter­natif informasi yang bisa dipilih semen­
mulai meningkat dan perguruan tinggi tidak tara makin sempit waktu luang pembaca”.50
terkecuali terkena dampaknya. Jumlah kelas
tengah pada tahun 1990-an, misalnya, naik Firman Tan dalam artikel “Industrialisasi
menjadi sekitar 40 persen dan dorongan ke Berbasis Inovasi Teknologi” mengawali tu­
arah sektor swasta pun mening­kat. Transisi lisannya dengan menerima bahwa industri­
sosial yang disebutkan oleh redaksi Prisma alisasi kian meningkat dan intelektual harus
pun tidak terjawab secara lang­ mampu merealisasi “kesuk­
sung, baik dalam artikel para sesan dan kebijaksanaan”,51
penulis maupun dalam rubrik Di­ melalui transfer teknologi
alog. Secara implisit, “transisi” yang mengakselerasi pen­
yang dimaksud adalah perubah­an ciptaan produk dan usaha di
pa­sar yang tak terelakkan serta ke­ daerah. Senada dengan itu,
sesuaian antara fungsi universitas Rizal Ramli berargumen
dengan realita sosial yang makin mengenai pentingnya industri
ditentukan oleh proses marketi­ rekayasa sebagai tanda kema­
sasi yang sangat pesat. Di te­ngah juan sebuah bangsa; utama­
perubahan itu, Widiastono meng­ nya untuk menghemat devisa
identifikasi dengan jelas ada­nya dan mengembangkan secara
permasalahan: peme­rataan seka­ khusus industri petrokimia,
ligus menawarkan elemen peme­ semen, dan farmasi.52 Semen­
rataan yang dapat menjadi prioritas (kelas tara itu, Munawar Ismail mengkritik teori
dan daerah).48 ekonomi pembangunan dengan menempat­
Di antara tahun 1991 hingga 1998, Pris- kan campur tangan negara dalam meregu­
ma, Vol. 23, No. 1, Januari 1994, bertajuk lasi mekanisme pasar.53 Secara teoretis, jika
“Ilmu Sosial di Indonesia Mandeg” mulai ­me­ng­acu pada ekonomi publik, campur ta­
mengubah tata kelola di tengah transformasi ngan pemerintah dibenarkan dalam kondisi
sektor media yang lebih luas dengan me­
nimbang dan menyasar pasar pembaca. Pada
masa itu, sektor pertelevisian mulai atau Lihat, “Pengantar Redaksi”, dalam Prisma, Vol. 23,
50 

No. 1,­ Januari 1994, hal. 2. Saat itu, Pemimpin Redak­


bahkan telah melalui privatisasi, meski tetap
si Ismid­ Hadad. Dewan Redaksi: Daniel Dhakidae
berada di tangan segelintir individu yang (Ketua), Taufik Abdullah, M Dawam Rahardjo, Aswab
sesungguhnya adalah perpanjangan keluarga Mahasin, Rizal Ramli, Didik J Rachbini.
Cendana.49 Firman Tan, “Industrialisasi Berbasis Inovasi Teknolo­
51 

gi”, dalam Prisma, Vol. 23, No. 1, 1994, hal. 3. Itu meru­
pakan makalah yang pernah disampaikan dalam pidato
ilmiah pada Rapat Senat Luar Biasa Universitas Anda­
las, Padang, 13 September 1993.
Lihat, “Pengantar Redaksi”, dalam Prisma, Vol. 19, No.
47 
Rizal Ramli, “Strategi Pengembangan Industri Rekaya­
52 

1, 1990, hal. 2. sa Indonesia”, dalam Prisma, Vol. 23, No. 1, 1990,


Lihat, Widiastono, “Perguruan Tinggi Kita…”.
48 
hal.13-24.
Krishna Sen dan David T Hill, Media, Culture and Poli-
49 
Munawar Ismail, “Pemerintah dan Pasar: Kritik terha­
53 

tics in Indonesia (Jakarta dan Kuala Lumpur: Equinox dap Teori Ekonomi Pembangunan”, dalam Prisma, Vol.
Pu­blishing, 2007). 23, No. 1, 1994, hal. 25-36.

TOPIK
78 Prisma, Vol, 40, No. 4, 2021

kegagalan pasar (dan monopo­li). Secara em­ perkembangan pemikiran intelektual pub­
piris, realita sosial Orde Baru (dengan kelas lik. Dengan kata lain, arus pasar yang oleh
kapitalis dan negara yang sa­ling tumpang- banyak sarjana disebut sebagai salah satu
tindih) tidak muncul dalam tulisannya. Edisi preseden tumbangnya rezim Soeharto, juga
itu juga memuat wawancara dengan Selo merupakan penyebab menurunnya produk­
Soemar­djan, berjudul “Ilmu-ilmu Sosial di tivitas intelektual publik dalam ruang-ruang
Indonesia Mandeg?” Menurutnya, ilmuwan perdebatan akademis.
sosial sebaiknya mampu menyampaikan
pendapat tanpa menyakiti hati pihak lain,
seperti ABRI dan peme­rintah.54 Sosiolog se­ Demokratisasi, Marketisasi, dan
nior itu juga menyebut bahwa usia fakultas
ilmu sosial jauh lebih muda dibandingkan Dampaknya pada Pengetahuan
fakultas ilmu ekonomi, sehingga wajar jika
dukung­an sumber daya bagi para ekonom Sejak tahun 1990-an, Presiden Soeharto
jauh lebih besar daripada ilmuwan sosial mulai kehilangan kendali atas kekuasaan­
lainnya dalam memengaruhi arah pemba­ nya bersamaan dengan menguatnya faksi
ngunan. internal di antara para elite di sekitarnya.
Pengantar dari Dewan Redaksi Pris- Menyusul krisis moneter Asia tahun 1997,
ma—berbeda dibanding dua dekade sebe­ demonstrasi massa mahasiswa merebak di
lumnya—berkutat dengan cara menyasar kota-kota besar di seluruh Indonesia de­ngan
pangsa pembaca yang makin tersegmentasi agenda utama menuntut Soeharto turun.56
dan diambil oleh media massa (ironisnya, Demonstrasi bereskalasi menjadi kerusuh­an.
juga berperan dalam merekam sejarah Re­ Namun demikian, runtuhnya rezim oto­ri­­­­­ta­
formasi melalui pemberitaan secara real rian Orde Baru pada 1998 menandai harap­­
time). Dari rangkaian artikel pada edisi an akan lahirnya demokrasi di Indonesia.
tersebut, ilmu sosial di Indonesia mandek Momen itu membuka koridor baru bagi
karena industrialisasi menjangkiti pola pikir kebebasan berekspresi dan aliran informasi
para intelektual publik yang sibuk memikir­ yang selama puluhan tahun direpresi. Pada
kan bagaimana meraih keberhasilan pem­ saat yang sama, kucuran dana lembaga-lem­
bangunan ekonomi. Instrumentalisasi ilmu baga donor perlahan-lahan bertransformasi
sosial untuk kebutuh­an industri tidak hanya seiring dengan perubahan masif politik dan
terasa dalam edisi itu, tetapi juga pada pola ekonomi di Indonesia—yang pada giliran­
produksi jurnal Prisma. Mengacu pada diser­ nya berdampak pada kerja-kerja intelektual
tasinya, Da­niel Dhakidae sangat memahami publik.
bagaimana dan mengapa hal itu terjadi, yang Pergeseran menuju demokrasi, dan sega­
kemudian ­ me­ng­antarkan Prisma pada hia­ la jerih payah Reformasi, meski menjanji­kan
tus-nya.55 Persim­pangan paradoksal, yakni diskusi publik dan akademik yang le­­bih be­
demokratisasi dan marketi­sasi, membuka bas dan terbuka, ternyata tidak terlalu meme­
ruang baru bagi rezim sehingga tidak lagi ngaruhi penyakit korupsi yang telah berurat-
memiliki kendali penuh, melainkan mem­ mengakar mendalam di tubuh birokrasi.57
buka pelbagai cara baru untuk membatasi Bahkan, pada 2019, Indonesia Cor­­ruption
Watch (ICW) mengemukakan bahwa pe­
milihan rektor perguruan tinggi negeri harus
Selo Soemardjan, “Ilmu-ilmu Sosial di Indonesia Man­
54 
diawasi karena rentan konflik kepentingan.
deg?”, dalam Prisma,Vol. 23, No. 1, 1994, hal. 45.
Lihat, Dhakidae, “The State, the Rise of Capital and the
55 

Fall of Political Journalism…”. 57 


Lihat, Guggenheim, “Indonesia’s Quiet Springtime:
Lihat, Max Lane, Unfinished Nation: Indonesia Before
56 
Knowledge…”; Rosser, “Neo-liberalism and the Poli­
and After Suharto (London: Verso, 2008). tics…”.

TOPIK
Inaya
Grace L dan Rakhmani,
Douglas Intelektual
K, Karya Tugas Publik dan Ketimpangan
Akhir Mahasiswa Sosial
Indonesia di Indonesia
tentang “1965” 79

Politik predatorial (klientelisme) di pergu­ semua agama yang diakui negara dan “Si
ruan tinggi memang sa­ngat kontras diban­ Unyil” yang mengampa­nye­kan Keluarga
ding proponen pemerintah dan intelektual Berencana pada anak-anak sekolah dasar.
publik yang mengharapkan perguruan tinggi Di kampus, berlangsung penataran Pedoman
menjadi lebih terbuka dan ramah pasar. Bah­ Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4)
kan, rangkaian reformasi kebijakan tentang dan kebijakan Nor­­malisasi Kehidupan Kam­
otonomi perguruan tinggi dibakukan men­ pus (NKK) dengan kelembagaan baru Badan
jadi undang-undang; universitas makin tidak Koordinasi Kemahasiswaan (BKK) yang
bergantung pada anggaran negara. Namun, merupakan respons negara Orde Baru un­
deregulasi itu tidak diba­­­rengi­ dengan debi­ tuk menjinakkan ge­rak­an protes mahasiswa
rokratisasi. Yang terjadi justru rebirokratisa­ akhir tahun 1970-an.60
si dengan memperkenalkan sejumlah instru­ Pada tahun 1980-an, arus liberalisasi per­
men audit melalui manajemen publik baru. ekonomian global tidak mungkin terbendung
Bentuk-bentuk standarisasi baru tata kelola lagi dan memberi preseden bagi profesionali­
perguruan tinggi yang me­ngarah ke regional­ sasi perguruan tinggi (teknologi kompu­ter)­
isasi dan internasionali­sasi bertemu de­ngan serta privatisasi pertelevisian (melalui tek­
budaya klientelistik warisan Orde Baru. nologi decoder) di tangan kelompok ke­rabat
Jika dipahami lebih saksama, memin­ Cendana.61 Pada tahun 1990-an, dengan ter­
jam logika Daniel Dhakidae, Indonesia bentuknya Organisasi Perdagang­an Dunia
meng­alami setidaknya beberapa fase kunci (WTO), ekspansi dan penetrasi kapital secara
meta­­morfosis kapitalisme pengetahuan sistematis—setidaknya dari Amerika Seri­
yang berkelindan dengan media; tidak lagi kat, Jepang, dan Belanda—makin tertan­cap
se­­penuhnya merupakan aparatus negara.58 kuat di Indonesia. Itu ditandai oleh ekspan­
Daniel Dhakidae dan Prisma mengiden­ si bisnis retail keperluan rumah tangga dan
tifikasinya dengan jelas59, sehingga dapat otomotif yang diiklankan secara luas melalui
dibuat lebih eksplisit de­­ngan memperhati­ media massa demi pangsa pasar kelas mene­
kan dampak media massa terhadap kerja in­ ngah. Kerja intelektual publik pun mengikuti
telektual pu­blik. Yang per­­tama, peran sentral arus pasar, dengan membicarakan industri
universitas negeri dan stasiun Televisi Re­ rekayasa dan persaingan antara ilmu sosial
publik Indonesia (TVRI) milik pemerintah dengan ilmu ekonomi dalam menja­wab ke­
serta investasi pada teknologi dan infrastruk­ butuhan pemerintah meregulasi pasar.
tur perguruan tinggi serta televisi terestrial Pada tahun 2000-an, redistribusi kekaya­
dalam pemba­ngunan ekonomi Orde Baru an ke atas diwarnai oleh ketimpangan akses
sepanjang tahun 1970-an. Perguruan tinggi ke pasar kerja yang semakin terdigitalisasi.
negeri dan TVRI berperan penting dalam Sarjana-sarjana muda yang mendapatkan
menginternalisasi norma-norma modern akses pendidikan tinggi regional dan inter­
untuk menjaga “tertib” sosial demi kapi­ nasional mengalami internalisasi imajinasi
talisme otoritarian Orde Baru. Kurikulum teoretis dan sosial melalui sistem universi­
perguruan tinggi berikut karya intelektual tas negara-negara persemakmuran. Mereka
di kampus dan acara televisi berisi program membahas dampak kasualisasi kerja pada
pemerintah didorong dan disokong penuh, berbagai lapisan kelas bawah, pekerja, dan
seperti program “Penyegaran Rohani” bagi borjuasi yang menguntungkan elite; yang
mengambil bentuk sosial—salah satunya—
Lihat, Dhakidae, “The State, the Rise of Capital and the
58 

Fall of Political Journalism…” ; Dhakidae, Cendeki- Lihat, misalnya, Suryadi A Radjab, “Panggung-
60 

awan dan Kekuasaan…. panggung­ Mitologi dalam Hegemoni Negara”, dalam


“Pengantar Redaksi”, dalam Prisma, Vol. 23, No. 1,
59  Prisma, No.10 Oktober 1991, hal. 67-79.
Januari­ 1994, hal. 2. 61
Lihat, Sen dan Hill, Media, Culture and Politics ….

TOPIK
80 Prisma, Vol, 40, No. 4, 2021

gender.62 Marketisasi neoliberal menyapu but diindikasikan oleh arena publik yang
universitas dan bukan saja mencerai-berai independen dari intervensi pemerintah.64
intelektual publik berdasarkan spesialisasi Banyak di antara upaya reformasi dalam
dan paradigma, tetapi juga ketimpangan ak­ beberapa dekade terakhir berusaha mening­
ses yang diwarnai gender, etnis, ras, agama, katkan kebebasan akademik bagi intelektual
profesi, dan banyak elemen sosial lainnya. publik di Indonesia agar bisa lebih berpi­
Dislokasi dan fragmentasi itu kemudian hak pada kaum miskin dan kelas pekerja.65
diekspre­sikan melalui ruang daring, melalui Namun, betapa pun masyarakat sipil terus-
tagar #cebong dan #kampret, #PapuanLives­ menerus mendorong akuntabilitas pemerin­
Matter, #pelecehanseksual, #aksibelaIslam, tah, intelek­tual publik—seperti sekutunya di
dan banyak lagi. Pada masa ini, teknologi sektor lembaga swadaya masyarakat—ma­
digital sangat instrumental dalam akumulasi sih menghadapi klientelisme politik berupa
modal dan pergumulan kekuasaan dalam distribusi pendana­an yang sangat dipenga­
politik elektoral. Walakin, kapitalisme mem­ ruhi sistem patronase, di satu sisi, dan hiper-
pertahankan diri dengan mutasi dan trans­ kompetisi, di sisi lain.66 Hal tersebut menjadi
formasi yang membentuk proses marketisasi kian kompleks akibat marketisasi penelitian
hingga ceruk-ceruk kehidupan terkecil. dan pengajaran di universitas dan organisasi
Merasuknya modal dalam sektor pe­nge­ masyarakat sipil yang didorong dan berorien­
tahuan selama lima puluh tahun ter­akhir tasi pada penciptaan nilai surplus. Singkat
me­­nun­jukkan betapa sentralnya peran kata, jurnal Prisma bangkit dan rehat se­iring
univer­sitas dalam gerak sejarah masyarakat dengan gelombang demokrasi dan pasar se­
kapitalis—termasuk pengerahan berbagai cara berkebalikan. Arus demokratisasi dan
paradigma dan pendekatan yang diabdikan marketisasi yang membuka ruang-ruang
bagi kepentingan dan proses akumulasi kapi­ alternatif dan relatif tidak diganggu negara
tal. Tidak mengherankan jika sejak 1994 juga menyapu ruang perdebatan dan intelek­
hingga sebelum “mati suri” pada 1998— tual publik yang semula disatukan oleh mu­
ditam­bah dengan pengadopsian media sosial suh bersama berupa otoritarianisme.
oleh kelas tengah dan penginstrumenannya
dalam pergumulan kekuasaan63—Prisma
pun terseret arus pasar informasi dan hiburan Penutup
yang berkelindan dengan pengetahuan.
Salah satu penanda demokrasi yang se­ Artikel ini mengurai reproduksi wacana
hat adalah fakta bahwa otonomi di bidang ketimpangan sosial yang dilakukan oleh
intelektual terjaga dengan baik. Hal terse­ intelektual publik. Burawoy mengusulkan

Lihat, Mala Singh, “Intellectuals and the Politics of


64 

Lihat, Diatyka Widya Permata Yasih, “Jakarta’s Pre­


62  Policy Research”, dalam Transformation: Critical Per-
carious Workers: Are they a “New Dangerous Class”?, spectives on southern Africa, No. 18, 1992, hal. 66–71,
dalam Journal of Contemporary Asia, Vol. 47, No. 1, dalam https://doi.org/10.1007/s10767-016-9231-9.
2017, hal. 27-45; Fathimah Fildzah Izzati, “’Women’s Herlambang P Wiratraman, “Kebebasan Akademik,
65 

Work’ in Indonesia’s Social Media-based Online Store Non-Feodalisme, dan Penindasan HAM”, dalam Al
Business: Social Reproduction and the Feminization of Khanif dan Manunggal K Wardaya, Hak Asasi Manu-
Work”, dalam Journal of Indonesian Social Sciences sia: Politik, Hukum dan Agama di Indonesia (Yogya­
and Humanities, Vol. 10, No. 1, 2020, hal. 35-46. karta: LKI, 2018), hal. 53-67.
Lihat, Inaya Rakhmani dan Muninggar Sri Saraswati,
63  Heru Nugroho, “The Political Economy of Higher
66 

“Authoritarian Populism in Indonesia: The Role of the Educa­tion: The University as an Arena for the Struggle
Political Campaign Industry in Engineering Consent for Power”, dalam Vedi R Hadiz dan Daniel Dhakidae,
and Coercion”, dalam Journal of Current Southeast Social Science and Power in Indonesia (Jakarta, Singa­
Asian Affairs, 2021, dalam https://doi.org/10.1177/186 pore: Equinox Publishing; Institute of Southeast Asian
81034211027885. Studies, 2005), hal. 143-165.

TOPIK
Inaya
Grace L dan Rakhmani,
Douglas Intelektual
K, Karya Tugas Publik dan Ketimpangan
Akhir Mahasiswa Sosial
Indonesia di Indonesia
tentang “1965” 81

agar ilmuwan sosial dan intelektual meme­ Burawoy mengkritik gerakan intelektual
riksa struktur dan dinamika sosial serta me­ publik global yang didominasi Eurosen­
mahami posisi “kita” di dalamnya untuk trisme. Dalam tulisannya, Burawoy mem­
meng­­konfrontasi dampak destruktifnya.67 buka ruang akademik bagi para intelektual
Dengan memotret melalui lensa tematik Global South.70 Sebagai akademisi yang ting­
problem pendidikan tinggi di jurnal Prisma, gal dan bekerja di Indonesia, yang menyadari
tulisan ini mengkaji perkembangan serta proses sejarah dan pelembagaan universitas
transformasi lembaga dan intelektual publik. yang diwarisi dari kolonialisme, otoritarianis­
Selain itu, penulis menempatkan diri sebagai me, dan, hingga sekarang, neolibe­ralisme,
bagian dari komunitas intelektual generasi tidak cukup bagi kita sekadar bicara menge­
tahun 2000-an, yang menghadapi sejumlah nai ketimpangan sosial dalam batasan nega­
fragmentasi, individualisasi, atomisasi, dan ra-bangsa. Pada saat yang sama, tidak cu­
hiper-kompetisi yang dibawa oleh proses kup pula sekadar mengadvokasi pentingnya
globalisasi neoliberal.68 Pada gilirannya, pengarusutamaan kajian Indonesia dalam
dampak tersebut memproduksi ulang seka­ agenda sosiologi global. Di dalam Indone­
ligus menciptakan jenis-jenis ketimpangan sia saja ada “Utara” dalam “Selatan” dan
sosial baru pada era pasar neoliberal. sebaliknya (misalnya, ketimpangan antara
Meskipun secara khusus membicarakan Jawa dan Papua serta pada saat bersamaan
Indonesia, penulis menempatkan artikel ini menjamurnya kawasan kumuh Muara Angke
dalam arena perubahan global yang lebih di Jakarta dan urbanisasi Sorong di Papua).
luas. Produksi pengetahuan pada abad ke-21 Dengan kata lain, tanggung jawab sosial in­
mencakup kerja-kerja akademik yang ma­ telektual publik untuk mengkaji dan meng­
kin precarious,69 dan semakin parah dengan ungkap cara ketimpangan sosial diciptakan
ada­nya pandemi Covid-19. Selama lima pu­ ulang oleh lembaga tempat kita bekerja dan
luh tahun terakhir, lembaga dan intelektual dalam cara kita berkarya.
publik di Indonesia—serta di banyak nega­ Refleksi ini barangkali dapat dimanfaat­
ra—juga mengidap ketimpangan sosial yang kan oleh generasi intelektual kritis dan aktivis
senantiasa berubah dan berkembang sesuai generasi tahun 2000-an bukan hanya untuk
kondisi kehidupan material. Ketimpangan so­ memahami relasi antara kekuasaan dengan
sial—antara yang memperoleh akses dengan akumulasi kapital (ekonomi-politik-budaya)
yang tidak—secara nyata terlihat pada tahun serta dampaknya pada pemba­tasan ruang
1980-an tatkala perguruan tinggi dipandang akademik dan advokasi, tetapi juga melatih
sebagai simbol mobilitas ke atas. Jumlah untuk melihat diri dalam kesinam­bungan
mahasiswa dibatasi oleh kapasitas lembaga per­­kembangan intelektual sebagaimana
dan dosen yang juga memiliki kerja ganda; yang selama ini dipelihara dan dirawat oleh
karena redistribusi kekayaan ke atas mem­ Prisma. Dalam sepuluh tahun terakhir, pem­
perparah ketimpangan akses pendidikan dan batasan kerja intelektual publik tidak hanya
sosial. Intelektual publik juga didesak oleh atau tidak lagi berupa pengekang­an politik
arus pasar. Mereka harus segera menanggapi dan berbagai bentuk mekanisme paksaan
kondisi di depan mata dan melatih imajinasi dan pembatasan formal lainnya, tetapi juga
sosial secara komparatif dan historis. beroperasi melalui mekanisme pasar se­bagai
sumber pendapatan lembaga tempatnya
bekerja—universitas, media, dan lembaga-
Burawoy, “Times of Turmoil: Emerging Visions…”, hal
67 
lembaga masyarakat sipil.
27.
Lihat, Harvey, A Brief History of….
68 

Lihat, Guy Standing, The Precariat: The New Dange­


69 

rous­ Class (London and New York: Bloomsbury Acade­ Lihat, Burawoy, “Times of Turmoil: Emerging Vi­
70 

mic, 2011). sions…”.

TOPIK
82 Prisma, Vol, 40, No. 4, 2021

Mekanisme pembatasan seperti itu bisa (parti­sipasi)—sejauh kondisi material meng­


mengambil bentuk instrumen rasional dalam izinkan. Sebuah perdebatan yang bukan saja
birokrasi, korporasi, dan organisasi, misal­ diberi ruang oleh Prisma selama puluhan
nya, melalui akreditasi kampus, Indikator tahun, tetapi juga secara progresif lintas-di­
Kinerja Kunci (key performance indicators), siplin, lintas-paradigma, dengan kesadaran
dan target luaran (output targets). Daniel komparatif teoretis. Sesuatu yang absen atau
Dhakidae dan Vedi R Hadiz telah menunjuk­ lemah pada generasi 2000-an, karena diter­
kan hubungan antara posisi sosial intelektual jang oleh arus pasar kerja intelektual dan
publik, yang notabene buruh pengetahuan dislokasi sosial.
dan informasi, dengan ruang politik tempat Ketimpangan dalam ruang sosial intelek­
mereka/kita berkarya dan bagaimana me­ tual juga dapat diminimalisasi—meski se­
reka/kita menjadi bagian dari kontradiksi dikit tetapi setidaknya memiliki makna—me­
internal kapitalisme.71 Karena itu, agenda lalui kolaborasi antardisiplin, lembaga, dan
intelektual publik bagi generasi 2000-an negara. Terakhir, intelektual publik hanya
adalah belajar dari jatuh bangunnya Prisma dengan kemampuan baca-tulis dan me­­miliki
untuk menyadari bahwa kita adalah aktor pekerjaan yang relatif tetap akan terus meng­
dalam dunia sosial yang timpang. Agenda hadapi dilema sosial. Menjadi bagian dari
riset dan akademik perlu diarahkan secara ketimpang­an sosial yang dikritiknya di satu
strategis ke analisis sosial mengenai ketim­ sisi dan menjadi bagian dari gerakan sosial
pangan kekayaan yang objektif maupun perlawanan yang lahir dari­nya di sisi lain.
ketimpangan sosial yang subjektif, seraya Melalui mekanisme pasar dan residu pem­
tetap menjaga keberagaman budaya dalam bangunan ala Orde Baru dengan manuver
memilih partisipan dan tema penelitian penguasa yang senantiasa adaptif, intelektual
publik sering kali abai dan lupa dengan satu
realita sosial: masih berlangsungnya akumu­
Lihat, Dhakidae, Cendekiawan dan Kekuasaan….; Ha­
71  lasi dan sirkulasi kapital dari satu faksi elite
diz dan Dhakidae (eds.), Social Science and Power…. ke faksi lainnya. l

TOPIK
Prisma DIALOG LP3ES dan Dinamika Sejarah Intelektual di Indonesia 83

LP3ES dan Dinamika Sejarah Intelektual


di Indonesia

D
alam rangka memperingati setengah abad LP3ES, diselenggarakan seminar dalam jaringan
(webinar) bertajuk “LP3ES dan Dinamika Sejarah Intelektual di Indonesia”, pada 5 Agustus
2021 berkat kerja sama LP3ES dengan FNS Regional Asia Tenggara dan Timur. Setelah semi-
nar daring itu dibuka oleh Didik J Rachbini, selaku Ketua Dewan Pengurus LP3ES, berturut-turut tampil
ialah Ismid Hadad (Pendiri LP3ES dan Ketua Pengurus Bineksos), Sony Karsono (Assistant Professor
pada Universitas Hankuk, Korea Selatan), Farabi Fakih (Ketua Prodi S-2 Ilmu Sejarah Departemen
Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada), Julia I Suryakusuma (Peneliti, Kolumnis,
dan Feminis), dan Fajri Siregar (Kandidat Doktor Universitas Amsterdam, Negeri Belanda). Diskusi
yang dimoderatori Direktur Centre for Media and Democracy LP3ES Wijayanto itu, pada dasarnya
merupakan sebuah refleksi kritis dari praktik diskursif (wacana) maupun non-diskursif (kelembagaan)
salah satu organisasi nonpemerintah (Ornop) tertua yang berdiri pada awal Orde Baru. Tahun 1971 itu
juga diselenggarakan pemilu pertama, 5 Juli 1971. Bukan suatu kebetulan jika LP3ES dan Prisma (terbit
perdana November 1971) lahir saat Orde Baru mulai meletakkan basis state-power-nya. Bagaimana
LP3ES dan Prisma berkembang dan berperan kemudian menjadi bagian dari maupun mitra-kritis bagi
negara Orde Baru dengan seluruh dinamika masalah, ketegangan, dan konflik untuk menemukan jalan
bagi masa depan Indonesia di berbagai bidang kehidupan sosial, politik, ekonomi, maupun budaya;
sebagian jawaban reflektif tersebut bisa kita jumpai dalam diskusi para narasumber ini.

Wijayanto perjuangan untuk menerbitkan catatan hari­an


LP3ES adalah se­­ Soe Hok Gie ini sejak tahun 1970-an, yang
buah or­ga­­nisasi yang akhirnya bisa diterbitkan LP3ES pada 1983.”
me­­mi­liki dan “me­ Saya ingat beberapa kata Soe Hok Gie dalam
lahir­kan” ba­nyak to­ buku itu, antara lain, “lebih baik diasingkan
koh. Ma­jalah Prisma daripada menyerah pada kemuna­fikan” atau
yang diter­­bit­kan oleh “nasib terbaik adalah tidak dilahirkan, yang
LP3ES pun meng­­ kedua dilahirkan tapi mati muda, dan yang
him­pun banyak nama tersial adalah umur tua…”. Dalam kesem­pat­
besar, seperti Ismid an ini, saya ingin lebih mendekatkan LP3ES
Hadad, Nono Anwar dengan sebagian besar audiens “generasi Z”
Maka­rim, Widjojo atau generasi milenial. Saya persilakan Pak
Nitisastro, Sumitro Djojohadikusumo, Ismid Hadad untuk memaparkan makalah­
Emil Salim, Arief Budiman, Onghokham, nya.
Soe Hok Gie, dan lain-lain. Seorang kawan
per­nah bertanya, “Soe Hok Gie meninggal Ismid Hadad
pada 1969, sedangkan LP3ES lahir pada Kita semua patut bersyukur bisa meraya­
1971. Kenapa Soe Hok Gie ada di LP3ES?” kan peristiwa bersejarah lahirnya tiga orga­
Saya mene­rangkan, “Buku Catatan Seorang ni­sasi masyarakat sipil (lembaga swadaya
Demonstran de­ngan Kata Pengantar almar­ masyarakat) yang merupakan salah satu pi­
hum Daniel Dhakidae memaparkan lika-liku lar sosial-intelektual Indonesia sejak Orde

DIA LOG
84 Prisma, Vol, 40, No. 4, 2021

Baru, yang selama itu, pembangunan nasional dilaksanakan


setengah abad tetap dengan prinsip “stabilitas politik untuk pem­
mampu berperan bangunan ekonomi.” Pembangunan ditandai
hingga hari ini. Ke­ dengan pola pertumbuhan ekonomi tinggi
tiga organisasi/lem­ yang dipacu oleh pinjaman luar negeri dan
baga yang lahir pada mulai masuknya modal asing, peran sektor
tahun 1971 itu, per- swasta dan sistem ekonomi pasar yang diken­
tama, Perhimpun­ dalikan “dari atas.” Kebijakan dan sistem
an Indonesia untuk pembangunan tersebut mulai menimbulkan
Pembinaan Penge­ banyak dampak sosial-ekonomi yang nega­
tahuan Ekonomi tif, berupa meningkatnya angka kemiskinan
dan Sosial (Bineksos), dan kedua, Lembaga dan pengangguran, melebarnya jurang kaya-
Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Eko­ miskin, masalah kepincangan dan konflik
nomi dan Sosial (LP3ES). LP3ES dilahir­ sosial, kesenjangan pembangunan antar-dae­
kan oleh Bineksos—sebuah asosiasi para rah, dan sebagainya.
cendekiawan bersifat nirlaba dan berbadan Dengan latar kondisi bangsa seperti itu­
hukum Perhimpunan—bekerja sama de­ngan lah Bineksos dan LP3ES didirikan. Inti dari
Yayasan Friedrich Naumann (Friedrich- para pendiri dan pemrakarsa LP3ES adalah
Naumann Stiftung, FNS) dari Jerman Barat. aktivis Angkatan 1966, di antaranya Nono
LP3ES pada awalnya bagian dari Bineksos Anwar Makarim, Billy Joedono, Ismid Ha­
yang berfungsi sebagai lembaga pelaksana dad, Goenawan Mohamad, dan Arief Budi­
program dan kegiatan dari Perhimpunan ini, man. Menanggapi pernyataan moderator
tetapi kemudian menjadi organisasi otonom yang menyebut Soe Hok Gie seolah-seolah
yang juga berbadan hukum Perhimpunan. salah seorang pimpinan LP3ES, sebenarnya
Yang ketiga adalah jurnal Prisma, pertama kurang tepat. Yang benar adalah Arief Budi­
kali terbit pada November 1971 atas prakar­ man (Soe Hok Djien), kakak dari Soe Hok
sa dan diterbitkan oleh LP3ES. Dalam 10 ta­ Gie itu salah seorang pendiri Bineksos, in­
hun pertama, pendanaan seluruh operasional duk organisasi LP3ES. Namun, buku catatan
LP3ES dan Prisma didukung sepenuhnya harian Soe Hok Gie, yaitu Catatan Seorang
oleh FNS. Namun, setelah itu, LP3ES dan Demonstran, merupakan salah satu best
Prisma bergerak maju menjadi organisasi in­ seller yang diterbitkan oleh LP3ES. Kebetul­
dependen yang mandiri. an, saya yang menemukan naskah catatan
LP3ES menerbitkan Prisma, sebuah ma­ harian sahabat saya itu, serta menyunting
jalah pemikiran sosial-ekonomi yang dikenal dan menerbitkannya kali pertama. Arief Bu­
sebagai jurnal ilmiah populer dan senantiasa diman, yang juga sahabat saya, mengizinkan
menjadi rujukan serta bacaan wajib maha­ naskah tersebut diterbitkan.
siswa dan cendekiawan di Indonesia masa Sebagaimana diketahui, para aktivis 1966
itu hingga kini. Prisma pun kemudian berdiri pada masa itu, baik mahasiswa, dosen muda,
sendiri. Kini, di “kampus” Bineksos-LP3ES- dan LSM mengalami masa sulit dan serba
Prisma di Jalan Pangkalan Jati 71, Cinere, tertekan akibat buruknya kondisi ekonomi-
Depok, ada tiga organisasi masyarakat sipil sosial-politik era rezim Demokrasi Terpim­
yang masih berdiri dan berjalan dengan baik pin. Namun, tidak lama setelah LP3ES
serta menjadi bagian dari, meminjam istilah berdiri, benih-benih otoritarianisme rezim
Bung Karno, “kancah candradimuka” para militer Soeharto mulai dirasakan. Bila pada
cendekiawan Indonesia. awalnya Angkatan 1966 bisa bangkit dan
LP3ES lahir tidak lama setelah rezim Orde bergerak karena beraliansi dengan militer,
Baru melaksanakan Rencana Pembangunan pada awal tahun 1970-an bulan-madu maha­
Lima Tahun (Repelita) pertama. Pada masa siswa-militer itu usai sudah.
DIA LOG
LP3ES dan Dinamika Sejarah Intelektual di Indonesia 85

Demi pembangunan ekonomi, Orde Baru itu, kita bisa segera melepaskan diri dari jerat
menganggap perlu mengedepankan stabili­ kemiskinan, pe­ng­angguran, kebodohan, dan
tas politik. Asumsi rezim Orde Baru, pem­ keterbelakangan sosial-ekonomi yang sangat
bangunan ekonomi tidak bisa berjalan tanpa mengungkung sebagian besar masyarakat
stabilitas politik. Karena itu, kebebasan pers, Indonesia. Pada dasarnya, pemikiran tentang
kampus, partai politik, dan masyarakat sipil “pembangun­an” yang ditawarkan LP3ES
harus diatur dan dikendalikan “dari atas.” pada tahun 1970-1980 itu, meski tidak
Bahkan, DPR sudah menjadi perpanjangan menggunakan konsep dan nama Sustainable
tangan pemerintah. Kegiatan LSM pun kian Development Goals SDGs, tetapi sebenarnya
terbatas karena diawasi sangat ketat. Tatkala tidak jauh berbeda dengan konsep “sustain-
bergerak dan ikut serta dalam proses “pem­ able development” yang berkembang sejak
bangunan”, ruang partisipasi masyarakat 1983 serta dianut dan diterapkan dunia inter­
sipil dibatasi hanya yang berkaitan dengan nasional hingga sekarang.
pembangunan ekonomi saja, termasuk di Dengan mengingat kondisi dan situasi
bidang penelitian, pendidikan, komunikasi, politik masa itu, lembaga yang akan diben­
dan penyebaran informasi ke publik. Selain tuk kemudian disusun dengan konstruksi
tokoh militer dan politikus partai, yang di­ agak unik. Itu merupakan ide brilian Nono
percaya dan bisa lebih leluasa bersuara wak­ Makarim. Ada dua lapis susunan organisasi,
tu itu adalah kelompok teknokrat ekonomi. yaitu Bineksos di lapis atas, yang berfungsi
Sebagian kalangan menyebut mereka “mafia sebagai organisasi payung atau as a legal and
Berkeley”; sebutan yang tidak sopan karena political umbrella. Waktu itu, LSM akan su­
sebenarnya mereka bukan mafia. lit bergerak jika langsung bersuara sumbang
Dengan kata lain, LP3ES didirikan oleh atau tampil seperti oposisi. Sementara itu,
Bineksos dengan tujuan pokok merintis se­ kami menginginkan LP3ES berdiri bebas
buah pola atau model pembangunan alter­ dan bergerak lincah untuk jangka panjang.
natif. Model pembangunan waktu itu lebih Jadi, fungsi utama Bineksos adalah mem­
banyak bersifat teknokratis dan top-down, beri semacam proteksi terhadap kemungkin­
tidak partisipatif, tidak melibatkan masyara­ an intervensi pemerintah, militer, Soeharto
kat banyak untuk ikut serta dalam proses dan dan aparat birokrasinya. Untuk itu Bineksos
ikut menikmati hasil-hasil pembangunan itu menyiapkan payung hukum serta dukungan
sendiri. Yang ditawarkan oleh LP3ES adalah sosial, intelektual, kultural dan politik yang
sebuah model alternatif, yaitu “cara mem­ lebih luas kepada LP3ES, sebagai organisasi
bangun dari bawah” dengan memberdaya­ lapis kedua yang akan difungsikan sebagai
kan dan menyejahterakan sebagian besar lembaga pelaksana tujuan dan kebijakan
masyarakat. Pembangunan nasional bukan Bineksos.
hanya mengurus “pertumbuhan ekonomi” Karena itu, Bineksos dibentuk dengan
saja, tetapi juga harus bisa meng­atasi ma­ menampilkan nama-nama besar, seperti
salah kesejahteraan dan keadilan sosial, Adam Malik, Prof Sumitro Djojohadiku­
serta pengembangan budaya, kreativitas dan sumo, Prof Ali Wardana, Dr Emil Salim,
kemampuan sumber daya manusianya. Itu Dr Suhadi Mangkusuwondo, dan lain-lain
merupakan model pembangunan dari bawah teknokrat ekonom terkenal. Moderator tadi
didukung oleh kebijakan dari atas mencakup menyebut nama Widjojo Nitisastro, tetapi
aspek ekonomi, sosial, budaya, dan lingkung­ Pak Widjojo tidak pernah terlibat sebagai
an masyarakat. Model tersebut perlu dilak­ pendiri ataupun anggota Bineksos. Selain
sanakan dengan pendekat­an holistik dan teknokrat, juga ada tokoh militer seperti Ali
partisipatif yang diterapkan secara integra­ Sadikin, Daan Yahya dan tokoh ilmuwan
tif dan berkelanjutan. Dengan menerapkan sosial, se­perti Prof Selo Sumardjan, Prof
pendekatan bottom-up dan holistic seperti Koentjara­ningrat, Dr Fuad Hassan, Dr Tau­
DIA LOG
86 Prisma, Vol, 40, No. 4, 2021

fik Abdullah, Juwono Sudarsono, dan lain- Karena itu, target


lain. Ada juga pengusaha dan kelompok pro­ kedua yang dican­
fesional, se­perti Harlan Bekti, Zainul Yasni, tumkan dalam
Kaptin Adisumarta, Budi Sidharta, Tatang pro­­­gram LP3ES
Machmud. Yang tidak kalah penting adalah ada­lah ke­­lompok
nama-nama aktivis seperti Nono Anwar eli­­te masya­rakat
Makarim, Ismid Hadad, Satrio Boedihardjo kelas me­nengah
(Billy) Joedono, Goenawan Mohamad, dan di kota-kota be­
Arief Budiman. Fungsi mereka adalah me­ sar dan bebe­rapa
lindungi dan menyediakan basis dukungan per­­­­gu­­ruan tinggi:
sosial-politik untuk LP3ES. Namun, karena ma­­ha­­siswa, guru,
hanya bertemu dua kali dalam setahun, maka dosen, akademisi,
sepanjang tahun anggota Bineksos itu prak­ profesional, cen­dekiawan, war­ta­wan, me­
tis non-aktif. Memang, mereka diharapkan dia, deci­sion makers, para perencana pem­
tidak terlalu aktif agar tidak mengintervensi bangunan, peng­ambil kebijakan, terutama di
program dan kegiatan LP3ES sehari-hari. bidang sosial-ekonomi yang memengaruhi
Dengan konstruksi seperti itu, LP3ES sektor publik.
menjalankan strategi pendidikan dan pem­ Instrumen program LP3ES utamanya di
berdayaan masyarakat di tingkat akar-rum­ bidang penelitian dengan bentuk lebih khu­
put dengan label pendekatan “pembangun­an sus berupa survei lapangan, action research,
ekonomi” tanpa ada gangguan. Label itu public polling, dan terutama studi kebi­
cukup aman dan dianggap legitimate bagi jakan publik. Tokoh sentral untuk bidang
LP3ES untuk dapat bergerak lebih le­luasa penelitian dan pengembangan ide-ide baru
dalam mencapai tujuan yang diinginkan. dan model “penelitian partisipatif” untuk
Karena itu, LP3ES bisa cepat bergerak industri kecil dan kerajinan rakyat, pondok
melaksanakan program berbasis akar-rum­ pesantren, perencanaan pembangunan dae­
put (grassroot movement) yang berorien­ rah di LP3ES adalah M Dawam Rahardjo.
tasi pada upaya mengurangi kemiskinan, Belakangan datang MM Billah dari Univer­
pe­ngangguran, meningkatkan kesempatan sitas Satyawacana, Salatiga, sebagai koordi­
kerja, serta pendidikan dan pelatihan untuk nator program penelitian dengan pendekatan
membangun kapasitas dan kreativitas gene­ yang lebih konseptual dan kritis terhadap
rasi muda di perdesaan dan di sektor infor­ studi-studi kebijakan publik. Semua program
mal kampung-kampung kota. Program-pro­ di-frame untuk lebih fokus pada kelompok
gram itu sangat eksplisit ditujukan kepada sasaran secara kategoris. Untuk program di
kelompok sasaran tersebut dengan model bidang pendidikan, misalnya, LP3ES tidak
pendampingan dan pemberdayaan masyara­ menggunakan model pendidikan tinggi yang
kat (community empowerment) di daerah serba akademis dan teoretis, tetapi mengem­
perdesaan maupun kelompok usia muda di bangkan model-model pelatihan, kursus-kur­
sektor informal perkotaan. Itu semua sebuah sus singkat, kerja magang, pendampingan
segmen masyarakat yang berada di bawah. dan pemberdayaan masyarakat. Dengan kata
Seperti tadi saya sampaikan, pola pem­ lain, LP3ES merupakan LSM pertama yang
bangunan yang diterapkan rezim Orde Baru mendampingi kegiatan masyarakat di tingkat
sangat bersifat top-down, teknokratis dan desa dan kampung-kampung kota untuk me­
growth oriented. Penentu segala macam hal ningkatkan kapasitas, kinerja dan swadaya
tidak lain adalah pemerintah pusat dan bi­ masyarakat lokal sebagai motivator, organi­
rokrasi di tingkat nasional. Dengan demiki­ ser, manager, entrepreneur, konsultan dan
an, LP3ES tidak bisa mengabaikan akan pen­ penyuluh lapangan. Itu semua merupakan
tingnya memengaruhi kebijakan di level atas. ciri khas program-program LP3ES periode
DIA LOG
LP3ES dan Dinamika Sejarah Intelektual di Indonesia 87

1970-1980-an. but bertujuan untuk mengembangkan ke­


Program kerja LP3ES juga sangat khas, mampuan masyarakat bawah dan menengah
karena dimulai menurut kategori target agar bisa bekerja dan hidup mandiri melalui
audien­ce. Target pertama ditujukan pada kegiatan untuk memperoleh employment, in-
masyarakat desa dan sektor informal di come generation, self-help, entrepreneurship
perkotaan sebagai program-program utama di bidang industri kecil, kerajinan rakyat,
LP3ES. Untuk itu dirancang program pela­ usaha pertanian desa, pelestari­an hutan dan
tihan khusus untuk mencetak kader-kader lingkungan, keseimbangan agama dengan
profesional yang berperan sebagai “tenaga lingkungan sosial-ekonomi masyarakat seki­
pengembangan masyarakat (TPM)” dan tarnya, dan sebagainya.
juga “tenaga pendamping lapangan (TPL).” Target program kedua adalah di bidang
Mere­ka bertugas seperti change agents, penerangan dan publikasi—waktu itu belum
“agen pembaruan” di tingkat lapangan. Pro­ banyak dikenal istilah penerbitan ataupun
gram itu mencakup pelatihan tenaga kader komunikasi —yaitu program penyebaran
di bidang industri kecil dan kerajinan rakyat, informasi dan publikasi ilmu pengetahuan
bidang pengembangan masyarakat melalui sosial-ekonomi serta komunikasi dengan
pondok-pondok pesantren, pelatihan kader- media-massa dan masyarakat umumnya.
kader pengelola irigasi tersier untuk perta­ Program itu ditujukan untuk masyarakat ke­
nian tingkat desa, dan sebagainya. Program las menengah di kota-kota besar, perguruan
pelatihan kader di tingkat komunitas lokal tinggi, kelompok masyarakat terdidik dan
cukup sukses di bawah asuhan koordina­ kaum intelektual. Instrumennya dirancang
tornya, yaitu master trainer Utomo Danan­ berupa program penerbitan media cetak,
jaya. Konsep dasarnya dikembangkan oleh buku-buku, siaran radio dan televisi. Waktu
Dawam dan Utomo berdasarkan teori David itu, Harian KAMI sudah menjadi salah satu
McClelland, human motivation & needs for “sasaran tembak” penguasa dan menunggu
achiement theory, yang dimodifikasi dengan saat untuk diberedel—memang akhirnya
tambahan unsur motivasi sosial, kultural, dan diberedel pada 1974 menyusul Peristiwa
keagamaan yang ada pada masyarakat tra­ Malari. Kami, para mantan aktivis 1966,
disional di Indonesia. Kader-kader TPM dan menyiap­kan diri untuk itu. Saya masuk ke
TPL LP3ES yang berhasil baik melalui pro­ LP3ES dan berinisiatif merancang pener­
gram tersebut, antara lain, Jayanasti, Jimly bitan Prisma sebagai suatu “jurnal ilmiah”,
Asshiddiqie, Fachry Ali, Mansur Fakih, dan agar tidak gampang dibaca dan dipahami ko­
banyak lagi tokoh yang kemudian berperan munitas intel, birokrat, dan aparat keamanan,
penting di berbagai profesi, organisasi, lem­ sehingga bebas dari ancaman beredel rezim
baga legislatif, hukum, dan pemerintahan. Jenderal Soeharto. Hampir dua tahun perta­
Yang tidak kalah penting dan termasuk ma, pengelolaan redaksi Prisma praktis saya
rintisan program TPM inovatif LP3ES yang lakukan seorang diri. Namun, sejak 1974
sukses adalah “program pengembangan ma­ hingga delapan tahun kemudian, meski saya
syarakat melalui pondok pesantren.” Ide Pemimpin Redaksi Prisma, peran Aswab
program yang sangat unik dan berdimensi Mahasin, Daniel Dhakidae, dan Dawam Ra­
strategis itu berasal dari salah seorang staf se­ hardjo banyak menentukan warna dan nada
nior LP3ES, yakni almarhum Abdurrahman suara redaksi serta isi tulisan yang dimuat
Wahid (Gus Dur), yang dalam pengelolaan Prisma. Pada periode berikutnya saya hijrah
dan pengembangan programnya didampingi ke profesi konsultan dan filantropi, semen­
Abdullah Syarwani dan Nasihin Hasan. Itu­ tara kemudi Prisma beralih ke tangan redak­
lah di antara program-program awal LP3ES tur yang lebih muda: Masmimar Mangiang,
untuk masyarakat perdesaan dan kampung Paulus Widiyanto, Rustam Ibrahim, dan
kota. Pada dasarnya, program-program terse­ Harry Wibowo. Selain menerbitkan Prisma,
DIA LOG
88 Prisma, Vol, 40, No. 4, 2021

program publikasi untuk memenuhi kebutuh­ kasi kebijakan pu­blik juga dibangkitkan
an kelompok masyarakat terdidik di level kembali.
atas serta untuk bacaan cerdas dan kritis bagi Apa yang bisa kita catat sebagai pem­
publik, LP3ES menerbitkan buku-buku teks belajaran dari kehadiran LP3ES selama 50
universitas dan buku-buku umum di bidang tahun ini untuk masa depan Indonesia? Per-
sosial-ekonomi, yang hingga kini masih be­ tama, LP3ES lahir karena tuntutan keadaan.
sar peminat dan pembacanya. Ada kondisi dan suasana yang menekan
Untuk kelompok masyarakat kelas kebebasan kelompok-kelompok masyara­
menengah urban, LP3ES merancang dan kat, termasuk mahasiswa, dosen, dan para
menyelenggarakan berbagai program pendi­ cendekiawan. Ruang gerak, kehidupan, dan
dikan dan pelatihan untuk warga dunia pers peran masyarakat sipil menjadi semakin
dan media-massa. Program waktu itu dimu­ sempit dan serba dibatasi. Reaksi yang mun­
lai dengan pendidik­an pers mahasiswa, pen­ cul adalah keinginan untuk bebas, merdeka,
didikan wartawan ekonomi, serta pendidikan mencari ruang gerak dan kegiatan baru yang
pers dan wartawan daerah, dengan pengajar cukup menantang tanpa harus bertabrakan
dan instruktur dari para pimpinan redaksi, dengan tembok penguasa serta tidak selalu
wartawan senior, dan praktisi kawakan dari bergantung pada pihak luar. Kebebasan dan
dunia pers itu sendiri. Program lain yang kemandirian merupakan prasyarat untuk
sangat jarang dan juga unik adalah program tumbuh dan berkembangnya para cendekia­
siaran Radio Pendidik­an Pemuda (RPP). wan dan organisasi non-pemerintah yang
LP3ES bikin program siaran radio untuk basis kegiatannya dari kontribusi ilmu dan
pendidikan bagi kelompok usia muda yang pemikiran kritis kaum intelektual. Kedua,
putus sekolah dan menganggur, bekerja sama kontribusi ilmu pengetahuan dan pemiki­
dengan Radio “Arief Rachman Hakim (Ra­ ran kaum intelektual itu akan efektif dan
dio ARH)” yang disiarkan dari Taman Ismail bermanfaat untuk masyarakat, terutama di
Marzuki (TIM), Cikini, Jakarta. Sasaran pro­ tingkat bawah, kalau bisa diwujudkan men­
gram pendidikan itu anak-anak muda putus- jadi aksi nyata di lapangan serta disebarluas­
sekolah SD, SMP, dan SMA. Mereka diberi kan kepada publik umumnya dan kelompok
sarana radio untuk bisa belajar cepat sambil masyarakat yang membutuhkan. Sering kali
membentuk kelompok-kelompok pendengar pemikiran cendekiawan kita hanya sampai
untuk bisa belajar sendiri dari materi siaran ke tahap angan-angan dan harapan. Semen­
yang mereka peroleh. Yang mengagumkan, tara perlu ada upaya konkret dalam bentuk
meski program pendidikan itu hanya berja­ kegiatan dan cara pengorganisasian secara
lan tiga tahun, sekitar lima bulan lalu saya efektif agar “angan-angan” tersebut bisa di­
sempat bertemu dengan tiga orang mantan trasformasikan menjadi kenyataan di lapang­
anggota kelompok pendengar RPP di kota an dan dirasakan manfaatnya oleh rakyat.
Medan dan Malang, yang ternyata masih Ketiga, kasus LP3ES memperlihatkan bah­
aktif bekerja sebagai penyiar dan mengajar wa kebebasan dan kemandirian intelektual
melalui radio dan televisi lokal. Program bisa dicapai kalau Ornop punya misi dan
yang belum lama ini dihadirkan oleh LP3ES tujuan yang jelas, ada agenda dan program
adalah “Sekolah Demokrasi” dengan peserta kerja terarah dan terukur, punya SDM ung­
dari berbagai daerah dan “program magang gul yang terpilih serta kemampuan berorgani­
mahasiswa dan relawan LP3ES” yang ber­ sasi dan mengelola secara profesional dan
hasil diselenggarakan di tengah kendala pan­ didukung oleh sumber daya yang memadai
demi Covid-19, atas inisiatif dan inovasi Dr untuk jangka panjang.
Didik J Rachbini dan Dr Wijayanto, bersa­ Faktor SDM serta kemampuan berorgani­
ma kawan-kawan pengurus dan staf LP3ES sasi dan mengelola sumber daya merupakan
yang ada sekarang. Kegiatan studi dan advo­ kunci keberhasilan bagi organisasi nirlaba
DIA LOG
LP3ES dan Dinamika Sejarah Intelektual di Indonesia 89

masyarakat sipil untuk bisa survive dan bawahi adalah visi LP3ES yang hingga kini
mampu menjalankan visi dan misinya dalam tetap relevan. Pak Ismid juga mengoreksi
jangka panjang. Modal idealisme, pengeta­ pernyataan saya tentang keberadaan Widjojo
huan, dan semangat saja tidak akan cukup. Nitisastro di LP3ES. Pada halaman 429-430
Organisasi bisa jalan kalau ada keahlian, dari Bab IV disertasi Sony Karsono berjudul
kompetensi, dan sistem untuk memanfaatkan “The Quest for Modernity in the New Order:
dan mengelola sumber daya. Orang sering The LP3ES Intellectuals and the Bottom Up
mengasosiasikan istilah sumber daya hanya Social Transformation in Indonesia”, tertulis
sebagai dana atau uang saja. Dana penting, kutipan yang saya terjemahkan, “Didirikan
tetapi bukan faktor penentu keberhasilan pada 1971, LP3ES merupakan LSM pem­
mencapai cita-cita bersama. Sumber daya bangunan pertama yang merupakan badan
itu selain uang, juga SDM, pengetahuan, eksekutif dari Bineksos untuk mewujudkan
keahlian, sistem dan jaringan kerja, serta or­ visi-misi modernisasinya. Bineksos sendi­
ganisasi dengan kemampuan mengelola dan ri didirikan di Jakarta pada 1970 oleh new
mengatasi masalah dalam jangka panjang. orderist leading intellectuals Indonesia,
Karena itu, untuk maju menghadapi tan­ antara lain, Emil Salim, Ali Wardhana, Su­
tangan besar di masa depan, saya menekan­ hadi Mangkusuwondo, Sumitro Djojohadi­
kan pentingnya fungsi SDM unggul de­ngan kusumo, sosiolog Selo Soemardjan, antro­
kemampuan berorganisasi yang baik dan polog Koentjaraningrat, sejarawan Taufik
efektif. Agar para generasi muda dan kaum Abdullah, Adam Malik, Ali Sadikin, Nono
intelektual jangan hanya rajin melempar Anwar Makarim, dan Ismid Hadad. Emil
gagasan dan pintar bicara saja, bergaya Salim dan Ali Wardana… waktu itu bekerja
NATO: “no action, talk only”, kita perlu di Bappenas serta bekerja sama dengan Wi­
ca­lon pe­­mimpin baru dari generasi muda djojo Nitisastro dan Mohamad Sadli untuk
yang mampu mewujudkan impian menjadi Presiden Soeharto…” . Jadi, nama Pak Wi­
kenyataan. Dengan segala kelemahan dan djojo memang tidak tercantum sebagai ang­
kega­galannya, kehadiran 50 tahun lembaga gota Bineksos, akan tetapi 2-3 orang pendiri
se­perti LP3ES membuktikan bahwa sebenar­ Bineksos seperti Emil Salim, Ali Wardhana,
nya pernah ada organisasi masyarakat sipil JB Sumarlin pada waktu itu bekerja di Bap­
“who can make dreams come true.” Setelah penas yang didirikan dan dipimpin oleh Prof
setengah abad usianya, LP3ES bukan hanya Widjojo Nitisastro.
tetap survive, tetapi berkembang menjadi
tiga institusi—Bineksos-LP3ES-Prisma— Sony Karsono
yang alhamdulillah, masih bisa ikut berperan Kita telah mende­
me­ngawal fungsi demokrasi di Indonesia. ngarkan kesaksi­an
Pak Ismid Hadad
Wijayanto sebagai pelaku seja­
Terima kasih untuk koreksi Pak Ismid Ha­ rah yang sangat
dad tentang Soe Hok Gie. Almarhum Da­niel kaya dan insightful.
Dhakidae, pada Kata Pengantar Catatan Hal itu meringan­
Seorang Demonstran, menulis bahwa nas­ kan tanggung jawab
kah buku itu sudah siap dicetak-coba setelah saya, ka­rena bebera­
disunting Ismid Hadad dan Fuad Hashem pa poin penting jus­
pada 1972, tetapi terkendala dan baru bisa tru telah dikemuka­
terbit pada 1983. Dari pemaparan Pak Ismid kan de­ngan sangat baik oleh beliau. Dalam
Hadad, kita dapat memetik banyak pelajaran kesempatan ini, saya mengundang generasi
yang sangat berharga, khususnya bagi gene­ muda untuk melakukan riset lebih lanjut ten­
rasi LP3ES hari ini. Hal yang perlu digaris­ tang LP3ES dari angle yang berbeda. Saya
DIA LOG
90 Prisma, Vol, 40, No. 4, 2021

sen­diri membahas LP3ES dari kacamata berarti saya ti­


sejarah sosial dan sejarah intelektual yang dak memberi
bersifat global, khususnya tentang moderni­ sumbangan apa
tas. Modernitas adalah sebuah gejala dalam pun. Fokus saya
sejarah dunia modern yang di antaranya adalah beberapa
mencakup pembangunan ekonomi. Karena aktor utama yang
keterbatasan sumber daya, saya ha­nya ber­ ter­­­­nya­ta cendeki­
fokus pada kiprah LP3ES sejak tahun 1971 awan dan berlatar
sampai 1986, yang dipersempit lagi dengan ke­las menengah
meneli­sik tiga pendekar awal organisasi ini, atau menengah-
yakni Nono Anwar Makarim, Ismid Hadad, atas. Lensanya
dan M Dawam Rahardjo. ada­lah “moderni­
Apa yang bisa dipelajari dengan meli­ tas.” Saya sendiri
hat LP3ES dari ketiga tokoh tersebut? Yang sangat ter­pengaruh pemi­­kiran komparatif
dapat dipelajari bergantung pada tujuan tentang yang terjadi di belahan dunia lain.
dan tujuan saya dalam penelitian itu adalah Misalnya, dalam konteks Perang Dingin, di
­ingin mengetahui lebih jauh kehidupan di Indonesia abad ke-20 muncul pelbagai ma­
masa Orde Baru. Bukan hanya rezim Orde salah, seperti benturan antara Islam politik,
Baru, tetapi juga bagaimana watak, karakter, komunisme, dan developmentalisme prag­
dan seperti apa masyarakat Indonesia pada matis yang, antara lain, menghasilkan Peris­
abad ke-20. Memang banyak cara untuk tiwa 1965. Keadaan di Eropa Barat abad ke-
menjawab pertanyaan-pertanyaan itu. Saya 20 juga tidak kalah ribet dan berdarah-darah.
sendiri memilih untuk mengintipnya dari se­ Di sana, terjadi bentrokan di antara para
buah “lubang kunci”, yaitu LP3ES, dengan pengusung demokrasi liberal, komunisme,
dibimbing oleh tiga pertanyaan utama. Per- dan fasisme. Di sisi lain, Jepang pada abad
tama, tokoh-tokoh LP3ES memiliki pelbagai ke-20 punya proyek alternatif bernama Pan
gagasan tentang kemajuan, development, dan Asianisme. Ketiga persoalan itu seolah tidak
modernitas. Dari mana asal ide-ide itu, mere­ berhubungan, namun sesungguhnya sangat
ka belajar dari mana, dan mengapa mereka berkaitan. Ketiganya adalah percakapan
mengembangkan ide-ide itu? Kedua, ma­ dan pertengkaran antarmanusia tentang cara
nusia dalam sejarah adalah penting. Hal ini terbaik untuk hidup dan dihormati bangsa
digarisbawahi dalam buku Manusia dalam lain di zaman itu. Bila ingin ekonomi maju,
Kemelut Sejarah yang pernah diterbitkan teknologi canggih, sistem politik kuat, kita
oleh LP3ES. Apa latar belakang kelas dan harus bisa menyelesaikan masalah-masalah
kebudayaan tokoh-tokoh LP3ES? Bila kita sosial, se­perti kemiskinan dan ketidakseta­
mengerti mereka, kita akan terbantu untuk raan. Resep manusia abad ke-20 untuk hidup
memahami gagasan dan aksi-aksi mereka. dan dihormati adalah bertengkar hebat de­
Ketiga, tokoh-tokoh LP3ES mampu—se­ ngan menggunakan senjata. Yang terjadi di
bagian atau sepenuhnya—menuangkan dan Indonesia sejak zaman Pergerakan sampai
mewujudkan ide masing-masing menjadi zaman LP3ES masih merupakan bagian dari
kenyataan. Apa dampak dari program-pro­ percakapan dan pertengkaran manusia mo­
gram mereka? dern tentang cara hidup terbaik secara priba­
Pendek kata, saya menggunakan pende­ di dan bernegara di atas bumi manusia.
kat­­an sejarah sosial dengan melihat seluruh Ada beberapa hal yang sama dialami
proses non-politik yang terjadi di dalam orang Indonesia dan orang di dunia lain. Kita
masyarakat. Proses politik sudah banyak di­ tinggal di kota, ada urbanisasi. Kita tinggal
garap oleh para pendahulu saya dalam Indo­ di dalam masyarakat industrial yang, an­
nesia Studies. Bila menekuni proses politik, tara lain, dikelola secara kapitalis. Di dunia
DIA LOG
LP3ES dan Dinamika Sejarah Intelektual di Indonesia 91

terjadi global interconnectedness yang me­ Kritik LP3ES terhadap pembangunan awal
nguat di bidang ekonomi, politik, informasi, Orde Baru bisa dilihat dari tulisan-tulisan Is­
budaya pop, dan lain-lain. Yang menjadi ma­ mid Hadad atau Dawam Rahardjo. Namun,
salah adalah kita hidup di tengah masyarakat beranjak ke tahun 1980-an dan 1990-an,
massa dan di dalam negara berpenduduk sa­ kritik dari LP3ES jauh lebih keras. Dengan
ngat banyak. Mereka berfungsi sebagai kon­ Prisma dan buku-buku terbitan LP3ES ber­
sumen, produsen, sekaligus distributor. Yang langsung produksi dan distribusi wacana
lebih “menggetarkan” dunia, manusia mo­ dalam ilmu sosial, ilmu budaya, dan ilmu
dern dalam jumlah sangat besar ingin berpar­ ekonomi.
tisipasi dalam politik. Mereka merasa berhak Kenapa Nono Anwar Makarim, Ismid
dan wajib berpartisipasi dalam kehidupan Hadad, dan Dawam Rahardjo? Mereka me­
politik. Modernitas juga berarti sangat ba­ mainkan peran penting di masa-masa awal
nyak manusia di planet bumi terobsesi de­ LP3ES. Ketiganya pernah memimpin dan
ngan negara-bangsa. Negara-bangsa diang­ menjadi Direktur LP3ES. Berlangsung
gap sebagai format terbaik dalam mengelola penuangan gagasan dan cita-cita dalam pel­
kehidupan masyarakat modern. Namun, kita bagai program yang dikerjakan di bawah
tetap harus berurusan dan memanfaatkan bi­ kepemimpinan ketiga tokoh itu. Mereka
rokrasi yang kian ekspansif. Hampir tidak adalah “koki” di LP3ES. Hidangan yang
mungkin hidup tanpa birokrasi—meski ba­ kita nikmati dimasak oleh mereka. Ketiga­
nyak keluhan tentangnya. Negara juga kian nya berbeda latar belakang, baik etnis mau­
meresap dalam mengintervensi kehidupan pun kota kelahiran. Namun, mereka punya
warga negara. Apa pun sistem politiknya, persamaan yang sangat sentral, yakni aktivis
negara merasa wajib dan berhak menginter­ mahasiswa 1966, anti-komunis, pengkritik
vensi setiap urusan rakyatnya. Apa pun latar Bung Karno, dan berkontribusi dengan cara
belakang ideologinya, setiap orang harus ma­sing-masing pada awal kelahiran Orde
merencanakan perubahan sosial. Perubahan Baru. Persamaan itu menyatakan banyak
sosial tidak terjadi secara otomatis. Ia harus hal tentang kenapa mereka melakukan yang
direncanakan, diarahkan, dan ditata sambil seharusnya dilakukan pada tahun 1970-an
memperdebatkan metode pengelolaan ter­ dan setelahnya? Jadi, bila ingin memahami
baik yang harus dikerjakan. apa yang dilakukan orang di masa dewasa,
Itu adalah bingkai untuk dapat lebih me­ lihat juga apa yang dilakukannya saat masih
mahami kekayaan dan kesaksian Pak Ismid muda (mahasiswa). Kadang kala di sana ada
Hadad sebagai bagian dari pergumulan ma­ semacam kesinambungan.
nusia modern. Hal tersebut akan menjadi Bila hendak membahas LP3ES, ha­
lebih menarik dengan pertanyaan kenapa rus dilihat lebih dahulu apa yang terjadi di
LP3ES yang diteliti, bukan yang lain bila masa Demokrasi Terpimpin dan apa yang
­ingin memahami Indonesia tahun 1966 sam­ dikerjakan oleh mahasiswa yang bernama
pai 1998. Pertama, LP3ES adalah sebuah Nono Anwar Makarim, Ismid Hadad, dan
orga­nisasi non-pemerintah (Ornop) yang me­ M Dawam Rahardjo. Ketiganya kecewa de­
warnai kehidupan intelektual di Indonesia. ngan kehidupan sebagaimana mereka lihat
Produk-produk LP3ES merupakan sebuah dan rasakan sebagai pemuda. Kekecewaan
gejala yang menunjukkan betapa setelah ta­ itu membuat mereka harus berbuat sesuatu,
hun 1965 pun masih berlangsung pertukaran yaitu mengubah sistem. Bila dilihat latar
gagasan yang cukup dinamis di Indonesia. belakang keluarga, pertemanan, pendidik­
Kedua, LP3ES memberi kesempatan kepada an, dan pertongkrongannya, kita akan bisa
kita untuk melihat bahwa developmentalis­ mengapresiasi pemikiran, sepak terjang, dan
me Soeharto itu ternyata mendapatkan kritik kontribusi mereka. Di sana kita akan meli­
dengan tingkat keradikalan yang berbeda. hat akar pemikiran dan konteks visi mere­
DIA LOG
92 Prisma, Vol, 40, No. 4, 2021

ka. LP3ES merupakan “mesin” dan “anak” orang yang memiliki komitmen, jika tidak
mere­ka. Tujuan utama LP3ES sebagai organ dikatakan terobsesi, dengan keseimbangan.
eksekutif dari Bineksos adalah mewujudkan Bila ada yang mengkritik mengapa Nono ti­
sebuah mimpi besar, yaitu mendorong keter­ dak radikal, memang karena dia orang yang
libatan mayoritas rakyat Indonesia dalam berkomitmen pada keseimbangan. Dia “su­
pembangunan ekonomi agar tidak hanya lit” menjadi radikal ke sebelah kiri atau ke
menjadi milik elite. Mereka sangat percaya sebelah kanan. Dia berlaku seperti timbang­
akan peran generasi muda. Karena itu, mere­ an. Pada akhir tahun 1940-an, dia pindah
ka menyiapkan generasi muda sebagai calon dari Pekalongan ke Jakarta, kota dan manu­
pemimpin transformasi sosial berikutnya. sia-manusia yang ditemuinya sebagai rekan
Sekarang, Nono Anwar Makarim bukan kuliah turut membentuk gaya hidupnya.
aktivis mahasiswa lagi dan tampak lebih low Nono kerap nongkrong, tukang diskusi, dan
profile. Dilahirkan pada 1939 di Pekalongan, gemar membaca. Siang jadi malam, malam
sebuah kota yang banyak melahirkan kaum jadi siang. Bahkan, dia nyaris menjadi seni­
intelektual Indonesia, dari keluarga kelas man. Sobat tongkrongan-nya, seperti Ismid
menengah peranakan Arab. Cara pandang Hadad, Goenawan Mohamad, Arief Budi­
dan bertindak Nono Anwar Makarim muda man, Fikri Jufri, Salim Said, dan lain-lain,
setidaknya dipengaruhi oleh tiga unsur ke­ penting untuk dipantau jika kita ingin me­
budayaan; sebagai orang Barat, Muslim, dan mahami pemikiran Nono. Lingkaran tong-
orang Indonesia. Dia adalah oplosan dari ke­ krongan itulah yang turut memperkaya per­
tiga unsur itu. Mencoba mengerti Nono An­ tumbuhan intelektual Nono.
war Makarim berarti mencoba mengerti nilai- Bagaimana Nono dan kawan-kawan
nilai dominan dalam keluarganya. Pertama, memandang diri dan peran masing-masing
world ethic versi Muslim dari Calvinisme. di masa depan? Mereka sangat optimistis
Bekerja dan berkarya adalah sesuatu yang dan sebagai anak muda merasa berhak dan
berharga secara spiritual dan sosial. Kedua, wajib menyusun ulang dunia, bukan hanya
pendidikan anak harus melahirkan manusia Indonesia. “Kami punya elan luar biasa.
multidimensi yang mengerti science, ekono­ We felt we were responsible for the world.
mi, kesenian, dan lain-lain. Berkembang se­ Kami bernafsu ingin pintar. Kami mau ber­
cara utuh, bukan sebagian-sebagian. Dalam buat apa saja demi ilmu. Kuliah di kampus
keluarganya tertanam kultur demokratis. tak memberi apa yang kami inginkan. Se­
Anak dan orangtua boleh berdebat dan beda bagai kompensasi, kami gandrung diskusi
pendapat asalkan ada pertanggungjawaban informal.” Sayang­nya, kuliah di perguruan
dalam pembuktian dan penalaran. Dari pihak tinggi waktu itu tidak melengkapi mereka
ibu, Nono dan saudara-saudaranya mendapat peralatan intelektual yang bisa membantu
suntikan tentang moralitas dan keberanian anak-anak muda membangun ulang dunia.
untuk berbeda. Sedangkan dari ayahnya, Akhirnya, se­bagai kompensasi, mereka
“Inilah ideal Papi. Anak-anaknya berguna nong­krong dengan kawan-kawan seide. Di
bagi masyarakat, mencapai kemandirian sana ada semacam mentalitas bahwa ge­
ekonomi, dan menjadi renaissance man and nerasi 1966 harus mirip generasi Soekarno-
woman. Menjadi intelektual sekolahan, yang Hatta yang berperan besar dalam masyara­
paham sastra dan seni rupa”, kenang Nono kat. Mereka harus memenuhi panggilan itu.
terhadap nasihat sang ayah. Tidak meng­ Tidaklah aneh bila pada akhirnya mereka
herankan, Nono menyukai filsafat, lukisan, tidak hanya terus-menerus berdiskusi, tetapi
dan berbagai bentuk seni, meski by training juga mulai terjun berpolitik. “Para pemimpin
adalah pengacara. mahasiswa masa itu (1960-an) berpretensi
Hasil dari latar belakang seperti itu men­ menjadi pemimpin dunia. Sepak-terjang
jadikannya sosok yang khas. Nono ialah para tokoh mahasiswa 1960-an memperli­
DIA LOG
LP3ES dan Dinamika Sejarah Intelektual di Indonesia 93

hatkan kesinambungan dengan tindak-tan­ sebagai “doer” dan mampu menangkap ide-
duk para pendahulu mere­ka di masa prake­ ide yang dianggap penting serta menemu­
merdekaan.” kan bahkan mengadakan sumber daya yang
Sumbangan terbesar dari Pak Nono Ma­ semula tidak ada. Ismid Hadad bisa mencari,
karim adalah pemikiran. Sedangkan Pak menemukan, dan mengoplos semua sumber
Ismid Hadad adalah orang yang menuang­ daya sedemikian rupa kemudian mengge­
kan pemikiran Pak Nono untuk menjadi rakkannya. Lihat saja produk-produk LP3ES
kenyataan. Nono Anwar Makarim menjadi sejak tahun pertama hingga 1986, meski
kontributor utama ide dan strategi poli­ akhirnya beliau “bermain” di gelanggang
tik pada tahun 1966 untuk Kesatuan Aksi lain yang lebih luas dan tampil sebagai ak­
Mahasiswa Indonesia (KAMI). Pak Nono tivis lingkungan.
kemudian berjumpa dengan salah seorang Ismid Hadad bisa mewujudkan sebagian
mantan aktivis mahasiswa 1960-an dari Jer­ dari visi-misi Nono Anwar Makarim dalam
man Barat, DG Wilke. Setelah lulus kuliah, program-program LP3ES. Beliau adalah
Wilke bekerja dan bergabung dengan FNS seorang editor yang mumpuni pada waktu
untuk mencoba membangun dunia menu­ itu, juga karena learning by doing. Beliau
rut ide dan gambar­an mereka. Wilke bisa adalah Wakil Direktur dan Koordinator Pro­
digambarkan sebagai orang liberal-kiri; gram Penerbitan LP3ES (1973-1976), Direk­
kiri karena pro pada social justice, liberal tur LP3ES (1976-1980), Pemimpin Redaksi
karena sangat mencintai freedom. Wilke Prisma (1972-1980). Salah satu skill beliau
“ter­sambung” dengan Nono dalam sebuah adalah “membaca” kekuatan orang dan me­
acara lomba penulisan di Jerman Barat. nempatkan yang bersangkutan dalam posisi
Nono Anwar Makarim menulis tentang dan fungsi yang tepat di LP3ES. Skill terse­
arti freedom bagi intelektual Dunia Ketiga. but belum tentu bisa dipelajari di sekolah-
Dalam karya tulis berjudul “My Country sekolah. Salah satu contoh produk pelatihan
or Tantalus Betrayed”, Nono mene­gaskan jurnalistik untuk para pemuda luar Jakarta
bahwa Indonesia pada 1969 tidak punya dari program Ismid Hadad adalah orang ber­
pilihan selain melakukan modernisasi atau nama Dahlan Iskan, yang sekarang menjadi
pembangunan ekonomi dengan jalur cepat pemilik dan pendiri kerajaan media bernama
asalkan tidak mengorbankan kebebasan. Jawa Pos.
Baginya, pembangunan ekonomi mutlak,
tetapi kebebasan tidak boleh dikekang. Per­ Wijayanto
tanyaannya, bagaimana Anda mengendarai Saya akan menyambung sedikit kisah ten­
mobil dengan kecepatan tinggi tanpa me­ tang Dahlan Iskan ketika menjabat Menteri
nimbulkan kecelakaan bernama “pengekang­ BUMN. Dalam sebuah acara, dia menga­
an kebebasan”? takan bahwa, “Saya tidak mau bicara pada
Berpikir memang sulit menghasilkan media apalagi ngomongin BUMN yang saya
gagasan yang akan berpengaruh kuat. Na­ kelola, tetapi karena yang minta LP3ES
mun, lebih sulit lagi adalah bagaimana men­ saya berutang budi kepada LP3ES, saya
jadikan gagasan kuat itu bisa diwujudkan. datang. Saya melanggar janji saya sendiri.”
Karena itu, diperlukan orang sekaliber Pak Kemampuan Pak Ismid mengenali bakat
Ismid Hadad. Kapan Ismid Hadad “mene­ orang dan menempatkannya di posisi ter­
mukan” skill itu? Dia menemukannya kare­ tentu mengingat­kan saya pada Gus Dur yang
na pernah terlibat dalam serangkaian aksi datang ke LP3ES dan langsung diberi ke­
mahasiswa pada 1965-1966. Pada aksi-aksi percayaan oleh Pak Ismid untuk mengelola
itulah, dengan cara learning by doing, Ismid program pesantren. Berikutnya, saya persi­
Hadad menemukan kekuatannya sebagai lakan Mba Julia Suryakusuma untuk berbi­
seorang intelektual. Dia memiliki kekuatan cara.
DIA LOG
94 Prisma, Vol, 40, No. 4, 2021

Julia I Suryakusuma analisis dalam “studi perempuan” yang ada


Presentasi saya agak ketika itu. Maklum, waktu itu saya sekolah
berbeda. Bermula di Inggris dan mengambil sosiologi yang
dari Daniel Dhaki­ sangat kiri.
dae. Pada awal 1981, Prisma Nomor 7 Tahun 1981 “men­
saya diminta Daniel curi” perhatian Saskia Wieringa, dosen dan
Dhakidae, ketika itu peneliti di Institute of Social Studies (ISS),
Pemimpin Redak­si Den Haag, Negeri Belanda. Dia kemudian
Prisma, untuk men­ mengajak saya dalam penelitian mengenai
jadi editor tamu “Women’s Organization and Movements in
Prisma untuk sebuah a Historical Perspective” yang dikoordinasi
edisi tentang perem­ ISS dengan melibatkan peneliti dari Sudan,
puan. Saya tidak tahu me­ngapa Da­niel me­ Somalia, Karibia, Peru, India, dan Indone­
minta saya. Saya tidak pernah studi gender. sia. Saya terlibat proyek itu antara 1983 dan
Saya yang lebih banyak tinggal di luar negeri 1985, tetapi karena berbagai alasan tidak me­
juga tidak tahu banyak tentang perempuan nyelesaikan laporan penelitiannya. Namun,
Indonesia. Namun, yang jelas itu sebuah ke­ kemudian saya mengembangkannya men­
hormatan bagi saya. Dengan modal nekat, jadi tesis Master ketika studi di ISS tahun
saya mengiyakan permintaan Daniel. Hasil­ 1986 sampai 1988. Tesis tersebut diterbit­
nya adalah Prisma Nomor 7 Tahun 1981 kan sebagai buku pada 2011 oleh Komunitas
dengan judul “Wanita Indonesia Terpaku Bambu (Kobam), tetapi tanpa sepengetahuan
di Persimpang­an: Dilema di Tengah Kesen­ saya sudah beredar sejak masih berbentuk
jangan Sosial”, dengan delapan kontributor unpublished thesis. Saya baru tahu dari Su­
penulis terkenal, Dialog, dan Resensi Buku. san Blackburn (dosen di Monash University)
Yang menulis Pengantar Redaksi ialah pada 2005, bahwa state ibuism yang menjadi
Masmimar Mangiang. Daniel menulis re­ rujukan di pelbagai perguruan tinggi dalam
sensi buku berjudul Vrouwen van Indonesie: dan luar negeri dianggap se­bagai karya kla­
Strijd om het Bestaan (Wanita Indonesia: sik. Istilah ibuisme negara kini sudah men­
Perjuang­an untuk Hidup) oleh Vrouwen­ jadi “household name” dan identik dengan
groep dari Komitee Indonesie. Pertanyaan politik gender Orde Baru.
mendasar yang ditanyakan dalam buku Ada sebuah ironi. Daniel Dhakidae wafat
tersebut, “adakah hak wanita?” Inti dari pada 6 April 2021. Itu menimbulkan suatu
pembahasan Da­niel adalah konstruksi sosial kesadaran pada saya ketika diminta oleh Har­
keperempuanan yang saat itu sangat konser­ ry Wibowo, mantan kolega saya di Prisma,
vatif dan seksis. Yang paling menarik bagi untuk menyumbang tulisan “tribute” menge­
saya adalah pembahasannya tentang organi­ nai Daniel. Saat itu baru muncul kesadaran
sasi istri, yaitu Dharma Wanita dan Dharma bahwa kalau Daniel tidak mengundang saya
Pertiwi. Saya ter­­cengang mem­­ba­ca resensi menjadi editor tamu pada tahun 1981 mung­
Da­niel, karena lupa menulis resensi ter­sebut kin state ibuism yang dianggap sangat ber­
apalagi karena orga­nisasi istri itu yang men­ pengaruh dan menjadi karya klasik selama 30
jadi pusat pembahasan saya dalam State tahunan itu tidak akan pernah dibuat. Tulisan
Ibuism/Ibuisme Negara, yang akhirnya men­ saya tentang Daniel berjudul “Daniel Dhaki­
jadi skripsi saya. Prisma Nomor 7 Tahun dae dan Saya: Sama-sama Soal State and
1981 itu adalah tonggak studi gender dan Society” akan diterbitkan sebagai antologi
cikal bakal state ibuism. Saya menulis esai oleh Prisma dan Kompas. Adalah keliru bila
pengantar berjudul “Wanita dalam Mitos, mengira kaitan antara saya dan Daniel adalah
Realitas, dan Emansipasi” de­ngan meng­ soal gender. Hubungan kami adalah minat
gunakan analisis Marxis yang berbeda dari kami terhadap negara dan masyarakat serta
DIA LOG
LP3ES dan Dinamika Sejarah Intelektual di Indonesia 95

ideologi yang apa yang tidak menyangkut seksualitas dan


meng­hubungkan negara? Semua itu banyak berkaitan dengan
kedua­nya. Fokus RUU PKS, UU Pornografi, dan lain-lain.
Da­niel adalah Dalam dunia akademis, bias gender bah­
terhadap cendeki­ kan seksisme sangat kuat. Bahkan, narasum­
awan dan media ber dalam diskusi kali ini semuanya laki-
massa, sedang­ laki, kecuali saya. Sebagai scholar feminis
kan saya ter­­hadap saya sering bentrok dengan kolega-kolega
gender. Kedua­ pria saya, sexism is well and alive in the aca-
nya sebenarnya demic world. Hal itu sangat mengecewakan
me­­ru­­pa­kan “studi kalau orang menyebut diri intelektual masih
kasus” hubungan punya bias gender. Artinya, kesadarannya
state dan society itu sampai di mana? Saya pernah menulis
tersebut. sebuah kolom di The Jakarta Post (17 Maret
LP3ES juga berperan dalam melahirkan 2021) berjudul “No to Manels! Yes to Gen­
state ibuism. Ketika terlibat dalam peneli­ der Equality ini Sweden, Indonesia”. Dalam
tian ISS tentang “Women’s Movements and tulisan itu, saya mengambil contoh sebuah
Organi­zation in a Historical Perspective”, buku berjudul Fragmen Sejarah Intelektual
saya membutuhkan dukungan institusional, oleh Ignas Kleden yang didiskusikan secara
yang secara logis saya minta dari LP3ES. daring pada 27 Januari 2021. Ke-17 orang
Saya tidak ingat bahwa saya mendapat ban­ yang ditampilkan semua laki-laki, seolah-
tuan atau masukan intelektual dari orang- olah penulis menganggap tidak ada perem­
orang LP3ES, hanya bantuan mereka me­ng­ puan yang layak disebut intelektual. Semua
urus perizinan yang sangat rumit dan saya pembicara dan bahkan moderator pun laki-
harus mendapatkan dari tingkat pemerintah laki. Itu yang disebut “manel” (male panel).
pusat hingga ke tingkat desa. Bisa dibayang­ Saya mengirim kepada penulis buku itu daf­
kan birokrasi di zaman Orde Baru itu. Untuk tar tokoh perempuan yang sezaman dengan
mendapatkan dukungan institusional, saya pria yang dibahasnya yang sama berkon­
diberi status sebagai associate researcher tribusi bagi bangsa. Dia mengaku bukan
periode 1984-1985, sekitar dua tahun. feminis. Saya menjawab, Anda tidak harus
Sepuluh tahun kemudian (1991), saya feminis. Anda perlu sekadar menjadi orang
kembali menjadi editor tamu Prisma untuk Indonesia dan manusia.
menghasilkan edisi berjudul “Seks dalam Ja­ Webinar hari ini pun nyaris manel, un­
ring Kekuasaan.” Proses kerjanya jauh lebih tung saya dapat ber­partisipasi. Saya menjadi
rumit, membutuhkan waktu hampir setahun. satu-satunya perempuan dalam acara ini.
Sedangkan Prisma tahun 1981 rangkum Padahal, saya tahu semakin banyak perem­
dalam waktu tiga bulan. Saya tidak ingat per­ pu­an intelektual,
sis apa kendalanya. Mesti ditanyakan kepada scholar, dan aka­­
Harry Wibowo dan Nur Iman Subono yang demisi yang andal
ketika itu membantu saya menggarap edisi dan bahkan menga­
tersebut. Penggarapannya cukup alot, namun gumkan, teruta­
hasilnya memuaskan karena menghasil­ ma dari gene­rasi
kan kembali tonggak baru: studi seksualitas muda. Semakin
yang saat itu belum ada di Indonesia. Esai saya tua, semakin
teoretis yang saya tulis, “Konstruksi Sosial ber­t­ambah umur
Seksualitas” hingga kini digunakan sebagai saya, tetapi kenapa
teks dasar untuk studi seksualitas berbagai teman-teman saya
perguruan tinggi di Indonesia. Sekarang ini semakin muda.
DIA LOG
96 Prisma, Vol, 40, No. 4, 2021

Banyak sekali teman saya yang muda usia persisten dalam “soal” manels. Pemakalah
adalah sejarawan. Umurnya 30-an atau bah­ berikutnya adalah Farabi Fakih yang menu­
kan 20-an. Mereka betul-betul brilian. Mere­ lis disertasi tentang peran intelektual masa
ka harus dimunculkan, karena masyarakat Demokrasi Terpimpin.
Indonesia terdiri dari 50 persen laki-laki dan
50 persen perempuan. Farabi Fakih
Ulang tahun ke-50 LP3ES mungkin bisa Saya tidak bicara
menjadi momen refleksi untuk merenung tentang LP3ES,
apa yang bisa diubah untuk memperbaiki te­­­­tapi membahas
perjalanan Prisma dan LP3ES setelah sete­ bagian dari diserta­
ngah abad untuk lebih maju dan mengikuti si­ saya yang telah
perkembangan zaman, lebih inklusif, lebih diter­bitkan oleh
pluralis, sesuai dengan asas demokrasi yang Brill KITLV. Fokus
dicanangkan LP3ES dan Prisma. Bagaimana­ utama disertasi saya
pun juga, saya amat bangga dengan Prisma ber­judul “The Rise
dan LP3ES yang membentuk entah berapa of the Managerial
generasi intelektual Indonesia. Juga bangga State in Indonesia:
bahwa saya bisa menjadi bagian darinya dan Institutional Transition during the Early In­
juga didukung olehnya. Saya tidak merasa dependence Period: 1950-1965” itu bukan
dibentuk oleh LP3ES ataupun Prisma, tetapi mengenai intelektual, tetapi hubungan state
saya didukung untuk menyalurkan aspirasi dan society periode Demokrasi Terpimpin.
dan pemikiran saya sebagai seorang intelek­ Presentasi kali ini yang berjudul “Intelektual
tual. Ketika Prisma dan LP3ES hidup kem­ dan Revo­lusi Sukarno” saya awali dengan
bali, setelah mati suri beberapa tahun, saya mengutip, “If on the other hand we neglect
gembira luar biasa. the ‘social’ aspect, we shall fall into the her-
Prisma dan LP3ES adalah menyangkut esy of efficiency for efficiency’s sake and
integritas dan kebanggaan bagi Indonesia. Di conclude that planning is simple the instru-
dalam konteks pembodohan yang senantiasa ment of national power and national aggran-
dilakukan selama Orde Baru dilanjutkan di dizement – the doctrine of fascism. Hitlerism
era Reformasi dengan cara yang lebih cang­ took the name of natio­nal socialism. But the
gih, Prisma dan LP3ES adalah semacam fact that it was not capitalist did not make
antidote dan cara untuk mempertahankan it socialist: it approximated for more nearly
integritas kita sebagai bangsa, bukan hanya to the conceptions of the American ‘techno-
sebagai intelektual yang terkadang diang­ crats’ or of Mr. Burnham’s managerial revo-
gap elitis. Jadi, selamat kepada Prisma dan lution – the cult of efficiency for the sake of
LP3ES yang bukan hanya bertahan terus, power.” (Jika di sisi lain kita mengabaikan
tetapi berkibar di tengah pembodohan, me­ aspek “sosial”, maka kita akan terjerembab
dia sosial, fake news, hoaks, cyber troops, ke dalam bid’ah efisiensi demi efisiensi dan
buzzers, yang jauh lebih canggih daripada menyimpulkan bahwa perencana­an hanyalah
cara-cara indoktrinasi zaman Orde Baru. instrumen kekuatan nasional dan pembesa­
Jadi, tantangan bagi intelektual lebih besar ran nasio­nal—doktrin fasisme. Hitlerisme
sekarang, karena mungkin tidak banyak yang mengambil nama sosialisme nasional. Na­
tertarik dengan pemikiran intelektual. mun, fakta bahwa itu bukan kapitalis tidak
lantas menjadikannya sosialis: ia mendekati
Wijayanto konsepsi “teknokrat” Amerika Serikat atau
Mba Julia Suryakusuma belum lama ini revolusi manajerial Tuan Burnham—kultus
mendapatkan penghargaan dari Belgia untuk efisiensi demi kekuasaan).
konsistensinya dalam menulis, selain sangat Yang menarik, halaman 236 buku Rantja­
DIA LOG
LP3ES dan Dinamika Sejarah Intelektual di Indonesia 97

ngan Dasar Undang-undang Pembangunan bangunan ideologi Demokrasi Terpimpin


Nasional Semesta Berentjana Delapan Ta- ataupun institusi-institusinya. Di sini, in­
hun: 1961-1969, Buku ke-1, Djilid II: So- telektual yang bertindak sebagai manager
sialisme Tripola Pembangunan mengutip atau administrator sebagai ahli atau experts
kalimat-kalimat dalam buku yang ditulis dalam menjalankan negara serta membuka
oleh Edward Hallett Carr, sejarawan asal peluang dalam menyelesaikan permasalahan
Ing­gris, itu yang berjudul The Soviet Impact utama terhadap posisi ambtenaar pasca-ke­
on the Western World (1946). Buku Rantja­ merdekaan.
ngan Dasar Undang-Undang Pembangun­ Tidak ada definisi yang tetap mengenai
an Nasional Semesta Berentjana Delapan intelektual yang memang cukup beragam
Tahun adalah salah satu buku pedoman bagi dan cair. Definisi yang saya bangun diba­
perencanaan pembangunan era Demokrasi tasi dalam hubungan dengan negara serta
Terpimpin. Salah satu aspek penting dalam ide-ide modernitas yang mendorong ke­
konteks itu adalah “bahaya” manager peren­ lompok itu. Dalam konteks tahun 1950-an
canaan (managerialism). Hal tersebut sangat dan 1960-an, ada dua grup besar, terutama
sentral untuk dipahami bila ingin memeriksa di negara-negara Dunia Ketiga. Pertama,
posisi intelektual pada periode 1950-an dan kaum intelektual berpendidikan, yakni para
1960-an. Presiden Soekarno yang menulis ahli atau kaum profesional. Kedua, yang
“Penemuan Kembali Revolusi Kita” dalam agak sulit didefinisikan, kaum intelektual
Tudjuh Bahan2 Pokok Indoktrinasi menga­ organik atau politisi (kaum revolusioner/
takan, “Sinisme lantas timbul. Kepertja­jaan orang merah atau non-profesional). Herbert
kepada kemampuan bangsa sendiri gojang. Feith menyebutnya, “Administrator versus
Djiwa inlander jang memandang rendah ke- Solidarity Maker,” sedangkan Lucien Pye
pada bangsa sendiri dan memandang agung dalam analisisnya mengenai masyarakat
kepada bangsa asing muntjul disana-sini, Burma menyebutnya “Administratur versus
terutama sekali dikalangan kaum intelek- Politisi.” Franz Schuurman dalam analisis­
tuil.” (hal. 102). Posisi intelektual pada ta­ nya mengenai Tiongkok menyebut “Ahli
hun 1950-an hingga 1960-an memang cukup dan Merah (Reds). Tidak ada yang aneh dan
“ambivalen”, karena di dalam negara, khu­ berbeda di Indonesia akibat transisi dari revo­
susnya pada diri Soekarno, ada semacam ke­ lusi menuju pada pembangunan; masalah
curigaan terhadap kelas-kelas terdidik baru krusial setelah merdeka adalah bagaimana
yang bermunculan pada tahun 1950-an, teru­ membangun negara. Namun, Indonesia pada
tama mereka yang pernah belajar ke Amerika tahun 1950-an mengalami semacam krisis
Serikat dan pulang membawa ide-ide baru otoritas.
mengenai modernitas dan teori modernisasi. Mengutip Soedjatmoko, “krisis yang kita
Edward Shills, sosiolog terkemuka tahun hadapi saat ini jelas merupakan krisis ke­
1950-an, dengan teori the end of ideology pe­mimpinan.... Di dalam ini terdapat kega­
menunjukkan bahwa pada puncak Perang galan kepemimpinan lama yang telah me­
Dingin, baik blok Timur maupun blok Barat, mandu kita menuju gerbang kemerdekaan
sebenarnya tidak jauh berbeda. Masalah uta­ tetapi tidak mampu melepaskan kita dari
ma mereka adalah bagaimana membangun mental outlook yang membawa fase pertama
negara industrial. Permasalahannya adalah me­nuju akhir yang sukses, tetapi tidak mam­
“efisiensi”, sebagaimana dikatakan Edward pu menyesuaikan diri dengan permintaan
Hallett Carr. Kita sering menganggap naik yang kedua” (Soedjatmoko, “De Crisis in
daunnya “ideologi” managerialism (scienti­ de Indonesche Cultuur”, dalam De Nieuwe
fic management) pada masa Demokrasi Ter­ Stem, Vol. 10, 1955, hal. 328-329). Kaum
pimpin bukan bagian dari sejarah Indonesia politisi bisa meraih dan mempertahan­kan
dan seberapa jauh memiliki efek dalam pem­ kemerdekaan, tetapi muncul masalah ke­
DIA LOG
98 Prisma, Vol, 40, No. 4, 2021

tika hendak membangun. Soedjatmoko men­ Bahkan, dalam buku Rantjangan Dasar
definisikan itu sebagai sebuah “krisis ke­ Undang2 Pembangunan-Nasional-Semes-
budayaan.” Kebudayaan kita tidak mampu ta-Berentjana Delapan Tahun 1961-1969
membentuk dan membangun birokrasi yang dikatakan, “Tjara berfikir setjara ilmiah/ra­
berwibawa dan berotoritas serta diperparah sionil ini merupakan sesuatu jang baru bagi
dengan merajalelanya korupsi. Karena itu, kita di Indonesia karena sebelumnja kebu­
ide mengenai scientific management dan co­ dajaan kita lebih menekankan pada soal2
rak manager menjadi sangat penting. Ide itu spirituil. Tjara berfikir rasionil ini adalah ha­
masuk dan bercokol sangat kuat pada tahun sil kehidupan kebudajaan di Barat, dimana
1950-an. Ia merupakan salah satu cara untuk telah tertjapai harmoni antara tjara berfikir
melegitimasi, yang dapat dilihat dalam bera­ setja­ra rasionil itu dengan dasar2 kehidupan
gam investasi dan pengembangan pendidik­ kebudajaan bangsa2 Barat itu” (hal. 1024).
an manager—lembaga administrasi negara, Dengan kata lain, Indonesia tidak harus
lembaga khusus, dan lain-lain yang mem­ mengikuti tipe atau corak modernisasi ala
bina manager militer dan manager sipil. Barat, tetapi sebaiknya berusaha meraya­
Sedikit mengenai “Revolusi Soekarno” kan “posisi” irasionalitas kebudayaan kita.
periode 1957-1965 yang merupakan eks­ Memang agak kontroversial karena yang
perimen negara Indonesia. Sebagaimana hendak dibangun adalah membatasi klaim-
diketahui, Dewan Perancang Nasional, De­ klaim para ahli. Begitu pula ide mengenai
wan Perusahaan, Banas, Retooling, Indok­ pembangunan partisipatoris. “Dengan ter­
trinasi, dan lain-lain itu merupakan sebuah bentuknja Dewan Perantjang Nasional kita
reorganisasi ekonomi dan kehidupan warga memasuki taraf baru dalam tata-tjara pem­
seputar negara yang paling masif sejak ke­ bangunan negara dan bangsa. Ini berarti,
merdekaan. Revolusi Soekarno bisa dilihat bahwa pe­ngalaman dimasa jang lalu dengan
sebagai usaha membuka negara dan mem­ pembuatan rentjana pembangunan tidak
bentuk partisipasi warga lewat kekaryaan boleh terulang lagi satu plan pembangunan
dengan menempatkan politisi di depan se­ jang tidak lagi mendjadi plan-nja massa, tapi
bagai pemimpin rakyat, sedangkan para hanja merupakan satu plan akademis belaka
ahli dan manajer di belakang. Revolusi jang tidak difahami oleh sebagian besar Rak­
Soekarno juga dapat dilihat sebagai upaya jat Indonesia” (Rantja­ngan Dasar Undang2
untuk menyelesaikan ambivalensi intelektu­ Pemba­ngunan-Nasional-Semesta-Beren­
alisme antara kaum ahli dan kaum politisi; tjana Delapan Tahun 1961-1969, Buku ke-
bagaimana mengintegrasikan mereka dalam I, Pokok2 Pembangunan Nasional Semesta
sebuah negara Demokrasi Terpimpin. Itu Berentjana, Djilid 1: Pendahuluan, hal. 56).
jawaban Soekarno mewakili otoritas kaum Pembangunan di Indonesia pada 1955
politisi tentang bagaimana mengontrol para adalah pembangunan lima tahun pertama
ahli. Dalam beragam tulisan, baik yang di­ karya para ahli di bawah Sumitro Djojo­
tulis Soekarno maupun Roeslan Abdulgani, hadikusumo. Namun, yang hendak dieks­
tampak sangat jelas posisi ambivalen Soekar­ perimentasikan oleh Demokrasi Terpimpin
no terhadap kaum intelektual. “Pemerin­ adalah bagaimana caranya membentuk
tahan oleh para ahli bukanlah pengganti de­ ranca­ngan nasional dengan melibatkan
mokrasi. Pemerin­tahan yang baik tidak bisa massa. “… adalah para non-profesional jang
menggantikan pemerintahan sendiri. Lagi mentjiptakan dan meneruskan Gerakan Na­
pula, pola berpikir seperti itu menunjukkan sionalis Indonesia jang terbukti mampu me­
kurangnya keyakinan dalam kebaikan dan mimpin negara untuk mengguntjang ikatan
kecerdasan rakyat” (Roeslan Abdulgani, Be- kolonialis­me…. Tidak ada alasan mengapa
berapa Persoalan Demokrasi dan Ekonomi, orang seperti itu mendjadi kurang berha­
hal. 19). sil dalam tugas melandjutkan Revolusi”
DIA LOG
LP3ES dan Dinamika Sejarah Intelektual di Indonesia 99

(Roeslan Abdulgani, “The Lesson of Indo­ contoh dan model pembangunan yang sahih.
nesia’s Experien­ce of Planning”, dalam Poli- Akan tetapi, pada akhir tahun 1960-an, pem­
tik dan Ilmu [Djakarta: BP Prapantja, 1962], bangunan ekonomi Soviet sudah tidak mung­
hal.159). Sekali lagi, itu menegaskan bahwa kin tumbuh lebih cepat daripada Barat. Di In­
kita tidak sebaiknya dan sepenuhnya dikua­ donesia sendiri ada semacam proses transisi
sai oleh para ahli. dari managerialism ke ide-ide liberalis­me—
Konteksnya adalah “revolusi kaum ma­ dan neoliberalisme setelah tahun 1970-an.
najer.” Sebenarnya, pendidikan teknis dan Hal tersebut juga mengakibatkan perubahan
keahlian pada tahun 1950-an adalah hasil dalam hal pengelolaan bantuan asing. De­
dari tradisi ketatanegaraan yang diperkenal­ ngan kata lain, fokus utama tahun 1950-an
kan usai Perang Dunia Ke-2. Ide-ide baru dan 1960-an adalah memperkuat posisi ahli
mengenai scientific management dan moder­ di dalam negara, sedangkan tren sejak tahun
nisasi itu diimpor ke Indonesia pada tahun 1970-an adalah penguatan masyarakat sipil di
1950-an. Ilmu manajemen menjadi pana­ luar negara. Sekali lagi, selain pupusnya Uni
cea bagi permasalahan bangsa. Dari sudut Soviet sebagai model pembangunan, dibuk­
pandang intelektual-ahli yang tampak jelas tikan dengan berakhirnya teori modernisasi.
adalah kekhawatiran sangat besar akan Demokrasi Terpimpin adalah eksperimen
massa, yang kelak terwujud dalam konteks tata kelola negara berdasarkan ide-ide scien-
Orde Baru. Pada gilirannya, pandangan tific management yang memungkinkan kon­
scien­tific management mendorong perubah­ trol lebih kuat kaum ahli yang kelak menjadi
an dari negara hukum ke “negara adminis­ basis Orde Baru.
tratif” (managerial state). Hal itu penting Tradisi LP3ES dan mungkin tradisi ba­
dalam konteks Negara Orde Baru. Basisnya nyak Ornop lainnya di Indonesia bukan
bukan negara hukum, melainkan negara ad­ tradisi yang baru muncul pada tahun 1970-
ministratif. Revolusi Soekarno adalah gerak­ an. Itu adalah bagian dari perjalanan sangat
an yang “anti-kaum-ahli” atau bagaimana panjang sejarah Indonesia, termasuk yang
membatasi “intelektual-teknik.” Eksperimen berlangsung pada periode 1950-1960-an.
Demokrasi Terpimpin diwujudkan sebagai LP3ES adalah bagian dari tradisi yang lebih
eksperimen manajerial. Uniknya, Soekarno menekankan partisipasi dan model pemba­
yang cende­rung anti-kaum ahli, tetap me­ ngunan alternatif. Dengan kata lain, ke­
makai manajerialisme sebagai corong atau berlanjutan tradisi intelektual akar-rumput
cara untuk melihat tanpa perlu kehilangan menuju pada menguatnya model modernisasi
posisi politis; ada ambivalensi dalam De­ dan dualitas “ahli” dan “intelektual rakyat”
mokrasi Terpimpin. Di satu sisi membatasi akan terus ada karena saling membutuhkan.
gerak para ahli, tetapi di sisi lain memberi Pasca-Orde Baru, LP3ES selamanya relevan
mereka posisi kunci. karena kita butuh intelektual semacam ini.
Pada tahun 1950-an ada beragam posisi Kita tetap membutuhkan intelektual tanding­
intelektual, mulai dari intelektual Muslim an yang berada pada aras akar-rumput.
hingga intelektual beraliran komunis. Na­
mun, secara umum mereka terbelah dua Wijayanto
antara intelektual di dalam kekuasaan dan Farabi Fakih menegaskan bahwa dualitas
intelektual di luar kekuasaan. Saya menye­ atau pergumulan intelektual yang berada di
but intelektual seperti itu masing-msing se­ dalam kekuasaan dan akar-rumput meru­
bagai “Ahli” dan “Politisi.” Mereka berada pakan realitas sejarah yang berlangsung se­
di dalam tradisi gerakan yang berbeda dan jak negeri ini belum merdeka. Pada dekade
secara tradisional mencari posisi di luar berikutnya, terutama sejak awal tahun 1970-
negara. “Ideologi” manajerial tahun 1950-an an, LP3ES tampil dengan lebih menekan­
dan 1960-an menjadikan Uni Soviet sebagai kan pembangunan dari akar-rumput. Dari
DIA LOG
100 Prisma, Vol, 40, No. 4, 2021

situ kita dapat melihat dan menarik benang aktivitas lembaga selama 10 tahun. Namun,
merah. Setelah kembali ke masa Orde Lama sejak tahun 2000, tidak ada funding yang
dan setelah membahas LP3ES pada masa bersifat permanen atau benar-benar multi-
Orde Baru, Fajri Siregar sebagai pembi­ year, sehingga LP3ES harus sangat dan lebih
cara terakhir akan memberi penjelasan dan kreatif dalam mencari dana. Jejaring yang
jawaban tentang bagaimana kemudian peran telah terbentuk dengan berbagai lembaga
LP3ES pada masa Reformasi. donor internasional selama lebih dari tiga
dekade kemudian cenderung mengecil dan
Fajri Siregar men­jadi statis karena tidak diaktifkan. Se­
Saya membahas mentara itu, kehadiran berbagai Ornop baru
ba­­gai­mana LP3ES yang turut meramaikan aktivitas masyara­
m e n g­­­­ h a d a p i kat sipil tidak ubahnya seperti kompetitor
tantang­an­ di era dalam persaingan meraih sumber daya. Jeja­
pasca-Orde Baru. ring yang ada menjadi minim arti di te­ngah
Diawali de­ngan gelanggang yang terus meluas dengan aktor
kondisi LP3ES ke­­ yang semakin variatif.
mudian menarik­ Dalam 20 tahun terakhir bisa dibilang
nya ke gambar perio­de yang paling menantang bagi LP3ES
lebih besar, yaitu untuk mem­­pertahan­kan relevansi­nya, output-
perubah­an masya­ nya, dan po­­sisi­nya se­­bagai “rumah intelek­
rakat sipil, ke­ tual” di Indo­nesia. Se­perti tadi dikata­kan,
mudian kembali lagi ke situasi LP3ES saat dengan menelisik dan melihat LP3ES kita
ini. Saya memakai LP3ES sebagai “lubang bisa memahami adanya perubahan dalam
intip” untuk memahami gambar yang lebih masyarakat sipil. Perubah­an paling signifi­
besar dalam masyarakat sipil pasca-1998. kan adalah perkembangan masyarakat sipil
Sebagaimana diketahui, LP3ES sejak tahun itu sendiri dari segi jumlah organisasi. Saya
2000 tengah memasuki periode yang cukup pernah mewawancarai salah satu rekan dari
menantang dibanding tiga dekade sebelum­ Institute for Research and Empowerment
nya. Sejumlah tantangan internal membuat (IRE) Yogyakarta, “Keba­yang nggak sih
LP3ES ha­­rus pindah lokasi kantor dari Slipi Mas sebenarnya bagi aktivis 1998 apa yang
yang sede­mikian strategis dan dikenal banyak akan terjadi dengan masyarakat sipil pasca-
orang karena berada di pusat perlahan-lahan 1998?” Dia menjawab, “Tidak terba­yang…
bergeser ke Pejaten, Jakarta Selatan. Kemu­ Saya waktu itu mem­­ba­yangkan bahwa di­
dian kembali bergeser makin jauh ke Cinere, siplin berpikir dan bertindak itu akan mun­
Depok. Dalam wujud material, lokasi kantor cul dan peran negara itu bisa makin kuat…
yang bergeser dari Slipi ke Cinere, seolah dan ia itu demokratis ketika masuk alam Re­
menyerupai gerak mundur sebuah lembaga formasi, tapi ternyata kan nggak. Kebebasan
yang berada di sentra (pusat) ke periferi. Pun itu meluas dan se­perti makin tidak bisa
secara simbolis kita bisa melihat ada sesuatu dikontrol. Itu yang di luar imajinasi saya.”
yang terjadi di tubuh organisasi itu, baik dari Sebagian besar aktivis 1990-an memang ti­
sisi pengaruh maupun apakah ia “masih” dak dapat membayangkan apa yang akan
ada; seolah mewakili hilangnya LP3ES dari terjadi pada tahun 2010, karena perubahan
benak publik. yang sangat drastis dari segi jumlah organi­
Salah satu tantangan terbesar yang di­ sasi masyarakat sipil yang membuat arena
hadapi LP3ES adalah soal pendanaan. Pak “permainan” pun kian meluas.
Ismid Hadad mengatakan bahwa sejak 1971 LP3ES yang dahulu cukup dominan,
sampai 1981, LP3ES sepenuhnya didanai kini harus bersaing dengan banyak lembaga.
dengan sistem pendanaan yang menjamin Jumlah lembaga donor pun kian ba­nyak.
DIA LOG
LP3ES dan Dinamika Sejarah Intelektual di Indonesia 101

Saat zaman Dahulu pada era Orde Baru, pengklasifi­


Orde Baru jum­ kasian tipe Ornop hanya dua: Ornop kon­
lahnya terbatas formis yang membantu program-program
di bawah angka pembangunan pemerintah serta Ornop trans­
30 lembaga dan formatif yang menggunakan dan menempuh
kini pada za­ jalur alternatif. Akan tetapi, sekarang sulit un­
man Reformasi tuk mengklasifikasi Ornop. Akhirnya, yang
naik—saya be­ mungkin bisa dilakukan adalah klasifikasi
lum dapat angka berdasarkan kerja advokasi, penelitian, isu
persisnya—le­bih kemanusiaan, dan lain-lain. Tipe pu­blikasi
dari 30 lembaga dan pengguna riset juga jauh lebih beragam.
donor. Bila seba­ Kini, banyak perusahaan swasta serta individu
gian besar yang dibahas oleh Ornop pada politikus mencari dan bisa memilih lembaga
masa Orde Baru seputar kemiskinan dan riset tertentu. Di sisi lain, landasan ideologi
pembangun­an, namun sekarang topiknya di era Orde Baru hanya satu, yakni Pancasila.
sangat lebar. Hans Antlov, misalnya, yang Sekarang, meski secara ideologis semua Or­
sempat memainkan peran penting di Ford nop berlandaskan Pancasila, tetapi di dalam
Foundation awal tahun 2000-an, mengakui internal organisasi bersangkutan bisa saja
bahwa terdapat banyak ruang hampa di ma­ menganut paham ekonomi liberal, misalnya.
syarakat sipil yang perlu “diisi.” Beliau ba­ Hal lain yang juga patut ditelaah adalah
nyak menginisiasi pendirian berbagai organi­ relasi Ornop dengan negara yang masih agak
sasi baru yang bergerak di bawah payung ambigu. Di satu sisi mengklaim kritis terha­
gagas­an “good governance” dan ragam topik dap negara, namun pada saat yang sama bisa
turunannya—anti-korupsi, pengarusutamaan berperilaku oportunistis terhadap negara.
gender, desentralisasi, pelayanan publik, e- Selain itu, perbedaan setting otoriter dan
gover­nment, tata kelola sektor ekstraktif, demokratis sangat relevan untuk membantu
dan sebagainya. memahami posisi LP3ES sekarang. Pada
Tidak ada yang kemudian mampu mem­ era otoriter Orde Baru, masyarakat sipil di­
prediksi bahwa spesialisasi itu memperluas anggap sebagai masyarakat sipil yang ter­
spektrum organisasi masyarakat sipil dan konsolidasi. Sekarang, pada era Reformasi,
justru mempersulit konsolidasi di antaranya. masyarakat sipil sangat terfragmentasi dan
Konsekuensi logis dari poin itu adalah soal sangat sulit untuk melakukan konsolidasi.
fragmentasi di dalam masyarakat sipil itu Dengan setting yang otoriter, ilmu sosial kri­
sendiri. Dengan arena masyarakat sipil yang tis banyak dicari dan laku. Sekarang, terjadi
semakin melebar dan jumlah organisasi yang penurunan minat lembaga-lembaga donor
terus bertambah, koordinasi dan konsoli­ terhadap penelitian tentang ilmu sosial kritis.
dasi sudah pasti akan semakin menantang. Dengan kata lain, pada era Reformasi, ilmu
Semua lembaga membawa agenda dan ke­ sosial kritis tidak terlalu diinginkan atau­
pentingan masing-masing, baik untuk jang­ pun dicari oleh lembaga donor. Itu merupa­
ka pendek maupun jangka panjang. Tatkala kan salah satu tantangan berat bagi LP3ES
para pelakunya mengharapkan solidaritas yang banyak menekuni ilmu-ilmu sosial
dari sesama rekan masyarakat sipil, mereka kritis, khususnya dalam melaksanakan dan
lupa bahwa mereka pun belum tentu mampu memublikasikan hasil riset yang membutuh­
memberikannya setiap saat. Mekanisme ker­ kan dana tidak sedikit.
ja masyarakat sipil tersekat oleh keharusan Masyarakat sipil pada tahun 1990-an ke­
untuk memenuhi berbagai capaian atau ukur­ rap diidentikkan dengan gerakan sosial yang
an dan “sibuk dengan diri sendiri” menjadi hendak menumbangkan Orde Baru. Seka­
hal yang lumrah. rang, masyarakat sipil terbagi dalam sejum­
DIA LOG
102 Prisma, Vol, 40, No. 4, 2021

lah sektor berdasarkan jenis pekerjaan. Ada iklim, riset mendasar yang banyak diker­
semacam pembagian kerja di masyarakat jakan LP3ES pada tahun 1970-an dan 1980-
sipil. Produksi pengetahuan menjadi tidak an, sekarang tidak terlalu diinginkan oleh
berkelanjutan dan dikerjakan sepotong-se­ lembaga donor. Karena itu, kita hanya bisa
potong, sehingga tidak berhasil menjadi bergerak secara kritis di sektor tertentu dan
sebuah body of work, rangkaian produksi pe­ tidak bisa “bermain” lagi di wacana besar.
ngetahuan yang utuh. Sementara itu, pilihan Konsekuensinya adalah fragmentasi kemu­
yang perlu dipertimbangkan oleh lembaga dian spesialisasi. Satu lembaga spesialisasi
yang secara tradisional menjadi “rumah in­ dalam isu anti-korupsi, sedangkan lembaga
telektual” LP3ES adalah melakukan adapta- lain ahli di bidang mainstreaming gender.
si, reposisi dan regenerasi. Poin “adaptasi” Hal tersebut membuat produksi ilmu seperti
dihadapi oleh LP3ES dan lembaga lain seje­ terpotong-potong dan tersekat-sekat.
nis yang ada sejak Orde Baru. Kompetisi di LP3ES sesungguhnya memiliki banyak
antara mereka kian meningkat. Agenda dan modalitas sejak berkiprah di era Orde Baru.
permintaan riset menjadi makin beragam. Modalitas pertama adalah kemampuan un­
Poin “reposisi” juga menarik karena LP3ES tuk mengerjakan riset dengan spesialisasi
menggambarkan diri sebagai critical coun- khusus, seperti quick count. Kapasitas itu
terpart, tetapi ada lembaga lain yang menye­ terbangun sejak medio 1990, saat LP3ES
but LP3ES sebagai think tank. Intinya, sejak belum memiliki kompetitor sepadan dalam
1998, sangat banyak Ornop yang “kebingung­ melakukan survei skala besar. Pada Pemilu
an” dengan pilihan posisinya mau seperti 1999, LP3ES menjadi satu-satunya lembaga
apa. Apakah mau atau tidak duduk satu meja resmi yang melakukan quick count. Namun,
dengan pemerintah? Berikutnya adalah soal menjelang abad ke-21, pasar quick count
“regenerasi.” Setelah 1998 muncul generasi dan survei politik menjadi ultra kompetitif.
baru mahasiswa dengan corak berpikir berbe­ Integritas LP3ES harus dibayar mahal de­
da dibanding Angkatan 1966 dan Angkatan ngan melorotnya posisi lembaga ini dalam
1998. Karena itu, Ornop perlu menetapkan persaingan dengan para pollster yang men­
agenda yang jelas hendak merekrut peneliti jamur sejak Pemilu 2004.
muda seperti apa? Setidaknya ada beberapa poin penting
Sekali lagi, pada era Reformasi, ilmu-ilmu yang dapat diambil dari pengalaman LP3ES,
sosial kritis tidak terlalu diinginkan atau ti­ dan lembaga sejenis, untuk memahami per­
dak dicari oleh pemberi donor. Hal yang tak ubahan masyarakat sipil sejak 1998. Per-
bisa dimungkiri, critical social know­ledge tama, dominannya mekanisme pasar se­
(ilmu sosial kritis) membutuhkan resources. bagai kaidah pengaturan kerja masyarakat
LP3ES yang menerbitkan buku dan Jurnal sipil. Alih-alih membangun solidaritas dan
Prisma harus punya dana yang memadai jejaring yang semakin kuat dengan kelom­
untuk biaya cetak, membayar gaji dan hono­ pok-kelompok akar-rumput, sebuah Ornop
rarium, dan sebagai­nya. Pada era Orde Baru, justru baru dianggap berhasil ketika mampu
hal itu taken for granted, sedang­kan kini memenuhi berbagai permintaan yang datang
jauh lebih sulit karena adanya persaingan dari pemberi dana. Sejak 1998, pemberi dana
yang lebih tajam di antara sesama Ornop. bisa datang dalam berbagai bentuk, meski
Lembaga donor menghendaki Ornop “aka­ umumnya masih berupa lembaga donor in­
demik” seperti LP3ES lebih banyak melaku­ ternasional. Merekalah yang lebih mampu
kan riset kebijakan-pragmatis dalam bentuk menentukan agenda masyarakat sipil, meski
rekomendasi kepada peme­rintah. Karena para pelakunya terkadang masih menyang­
banyaknya permintaan untuk melakukan kal fakta tersebut.
riset pendek dan pragmatis, misal­nya, ri­ Yang kita lihat setelah 1998 adalah le­
set tentang reforma agraria atau perubahan mahnya fungsi negara—dalam konteks
DIA LOG
LP3ES dan Dinamika Sejarah Intelektual di Indonesia 103

masya­rakat sipil—dan menguat serta domi­ Sebelumnya, sebagai alumni Fakultas Hu­
nannya lembaga donor. Di dalam tubuh ma­ kum UGM tahun 1968, saya hijrah ke Tebu
syarakat sipil pun ada sejumlah tegangan, Ireng, Jombang, bergabung bersama men­
seperti profesionalisme versus keterlibatan diang Abdurrahman Wahid. Akhir 1981,
masyarakat sipil. Misalnya, sejauh mana bisa saya bergabung ke Perkumpulan Keluarga
turun ke bawah membangun akar-rumput, Berencana Indonesia (PKBI) dan kemudian
tetapi pada saat yang sama duduk satu meja terjun ke dunia politik sebagai anggota DPR
dengan Bappenas atau lembaga-lembaga pada 1998 “mewakili” suara LSM yang tetap
pemerintah lainnya. Ada tega­ngan tertentu kritis. Bagi saya, LP3ES merupakan sebuah
yang harus dinegosiasi—tidak semuanya ha­ kancah pelatihan kerja sangat berarti yang ti­
rus dikerjakan oleh Ornop di era Reformasi. dak hanya memperluas cakrawala pergaulan
Itu akan berdampak pada kemampuannya para ilmuwan, tetapi juga memotivasi setiap
beradaptasi untuk menghasilkan pengeta­ orang untuk maju dan peduli terhadap peran
huan. Bahkan, pengetahuannya sendiri bisa masyarakat sipil dari waktu ke waktu. Lima
sangat terfragmen dan agak rentan. Singkat tahun belakangan ini, adaptasi, reposisi, dan
kata, LP3ES adalah salah satu aktor dalam regenerasi, memang telah menjadi pekerjaan
masyarakat sipil yang te­rus-menerus mem­ rumah dan tantangan LP3ES. Mudah-mu­
besar. Saya sendiri sangat bersyukur. Pada dahan regenerasi saat ini dapat diteruskan
2005, saya yang baru masuk kuliah menemu­ dan mohon koreksi atau rekomendasi yang
kan Catatan Seorang Demonstran dan men­ konkret agar LP3ES dapat menarik di ka­
jadi tahu ada lembaga yang bernama LP3ES. langan ilmuwan di masa sekarang dan masa
Dari situ, saya selalu menyimak semua pu­ akan datang.
blikasinya. Barangkali bukan hanya generasi
saya, tetapi generasi sesudahnya pasti akan Said Fadhlain (Dosen Universitas Teuku
sangat mengapresiasi kerja-kerja LP3ES. Umar, Aceh)
Saya ingat kata-kata orangtua saya ketika
Wijayanto merantau dari Aceh, “ummatan washatan,
Saya beri kesempatan tiga orang untuk dia hidup di tengah-tengah, jangan terlalu
merespons, mengomentari, atau bertanya. mencintai dan jangan terlalu membenci.
Para narasumber akan menanggapi sekaligus Hampir setiap sore saya ke CSIS naik metro­
closing statement. mini, tetapi saya tetap dengan LP3ES yang
punya warna sama sekali berbeda. Di LP3ES
Suratno (Pemerhati Masalah Sosial) kental warna keindonesiaannya. Saya ber­
Sejauh mana independensi LP3ES, baik harap LP3ES kembali tampil di tengah-te­
pada era Orde Baru maupun pada era Refor­ ngah paradoks keilmuwan yang didukung
masi. Bagaimana cara untuk bergabung ke oleh banyak praktisi hebat.
LP3ES? Apa saja hak dan kewajiban ang­
gota LP3ES? Konsep apa saja yang telah Fajri Siregar
dirumuskan LP3ES berkait karakter bangsa Saya mengatakan dalam esai saya berjudul
yang hingga kini masih diseminarkan atau “LP3ES di Era Intelektual dengan ‘I’ Kecil:
ditulis dalam bentuk buku ataupun jurnal. 1998-Sekarang”, bahwa LP3ES sekarang
Bagaimana sikap LP3ES terhadap isu bang­ berada di alam intelektual yang sangat ber­
kitnya komunis? beda dengan Orde Baru. Intelektualitas yang
senantiasa patut dibangun dan sebenar­nya
Abdullah Syarwani didambakan publik adalah intelektuali­tas
(Anggota Pengurus Bineksos) dengan “I” besar: Intelektualitas yang men­
Selama 10 tahun pertama sejak 1972 sam­ dekati kecendekiaan. Intelektualitas yang
pai 1981 saya aktif terlibat di dalam LP3ES. mampu menarik kita untuk melihat gambar
DIA LOG
104 Prisma, Vol, 40, No. 4, 2021

besar dan tidak terpaku pada debat kusir. bergerak di masyarakat sipil dan produksi
Namun, realita yang dihadapi semua orang pengetahuan menghadapi tantangan yang
di era Reformasi adalah realita pasar yang sama. Akan tetapi, hanya segelintir organi­
menghendaki intelektualitas dengan “i” ke­ sasi yang memiliki pengalaman lima puluh
cil: intelektualitas yang menyerupai pertu­ tahun dalam berkarya sebagai fondasi untuk
kangan. Para ahli politik menjadi ahli poll- berimajinasi mengenai intelektual masa de­
ing, ahli sosiologi menjadi pelaku market pan. LP3ES adalah salah satunya.
research, dan antropolog tidak menjadi ahli
apa-apa. Sementara itu, pakar komunikasi Farabi Fakih
baru dihargai keahliannya ketika mampu Di masa depan, LP3ES tetap memiliki
mengartikan data media sosial ke dalam relevansi jika mampu mempertahankan
bahasa sehari-hari. Sedangkan lembaga ri­ semacam engagement grassroot-nya. LP3ES
set baru memiliki arti di hadapan pemerin­ membuka ruang agar ada engagement dan
tah ketika berhasil mencitrakan diri sebagai suara-sua­ra akar-rumput bisa lebih didengar.
think tank, dan sebagainya. Kalau engagement itu bisa terus-menerus
Era yang sedang kita hidupi selama 20 dipertahan­kan, permasalahan bangsa di
tahun terakhir ini, baik dari jenis riset mau­ masa depan akan makin banyak yang bisa
pun wacananya, memang cenderung sangat terselesaikan. Konteksnya, makin banyak
pragmatis. Tarikan untuk mengerjakan riset yang dibutuhkan intelektual untuk bekerja
kebijakan itu memang baik karena mem­ mengatasi masalah “ambruknya” lingkung­
beri sejumlah masukan kepada pemerintah, an atau hal-hal yang menjadi tantangan be­
tetapi kemudian yang agak neglected dari sar di abad ke-21. Kita berada dalam masa
riset-riset dasar itu kembali ke agak teoretis transisi, era berakhirnya neoliberalisme,
yang merefleksikan apa yang sedang terjadi karena akan ada model pembangunan baru
di Indonesia. LP3ES sudah paling benar di yang ditawarkan oleh Tiongkok. Jadi, sekali
tengah-tengah keduanya dari yang saya li­ lagi itu se­perti kembali ke masa lalu. LP3ES
hat secara historis sejak tahun 1970 sampai jelas akan menjadi salah satu lembaga sangat
se­karang. LP3ES mampu melakukan kedua­ penting yang mencoba menganalisis perubah­
nya: setelah membahas agenda-agenda besar an untuk membantu masyarakat dan negara
kemudian membumikan pembangunan eko­ melihat perubahan yang makin menantang
nomi alternatif bersifat bottom up sampai ke di abad ke-21.
soal pengembangan pesantren.
Jadi, di era sekarang pun LP3ES bisa ber­ Julia Suryakusuma
buat banyak, mengerjakan riset kebijakan Saya setuju dengan closing stat­­ement Fajri
maupun riset-riset besar dengan membahas dan Farabi. Saya “divorced” dari LP3ES
kembali teori atau soal-soal yang relevan pada 1991. Setahun be­­­lakang­an saya di­ajak
atau mencari pertanyaan yang cenderung ber­­ga­bung kem­­bali dan sa­ngat excited saat
lebih filosofis. Pada era Orde Baru, LP3ES tahu bahwa LP3ES muncul lagi. Mungkin
dicari orang karena kampus tidak bisa menye­ ada semacam romantisisme dari zaman
diakan tempat-tempat kritis itu. Bahkan, dahulu waktu saya masih terlibat dengan
sampai sekarang sebagian besar kampus LP3ES, bagaimana besarnya peran Prisma
ti­dak bisa memberikan dan menyediakan dan LP3ES buat saya secara pribadi. Perta­
ruang bagi pemikiran-pemikiran alternatif nyaan pokok adalah “bagaimana Prisma
dan kritis. Berbagai realita itulah yang per­ tetap rele­van dalam konteks dewasa ini de­
lu dinavigasi LP3ES untuk sekian tahun ngan masyarakat yang makin konservatif.”
ke depan, dan seterusnya. Memang bukan Tadi tidak satu pun orang menyebut pande­
hanya LP3ES saja yang menghadapi tantang­ mi Covid-19 yang meng­ubah begitu banyak
an tersebut. Hampir semua organisasi yang hal dalam kehidupan kita. Ada sisi positif­
DIA LOG
LP3ES dan Dinamika Sejarah Intelektual di Indonesia 105

nya, kita bisa we- pakar cenderung membahas persoal­an itu


binar dengan le­­ selalu dengan sudut pandang tempat dia
bih santai. Ada pertama kali dididik. Kita perlu, seperti tadi
ma­­sukan dari Ibu dikatakan oleh Fajri Siregar, para “tukang.”
Zoem­­­­­rotin yang Kerja pertu­kangan itu memang penting,
bi­­­­lang “LP3ES itu tetapi tidak semua masalah hidup berma­
nggak ada gender syarakat bisa diselesaikan bertukang. Harus
perspektifnya.” If ada orang yang memaksa diri secara pribadi
you want to be rele­ maupun organisasi seperti LP3ES untuk
vant mesti se­perti berpikir dan bertindak dalam gambar-gam­
itu dan juga isu-isu bar besar sekaligus dalam gambar-gambar
minoritas, terma­ kecil dan menengah, serta interaksi antara
suk minoritas sek­ ketiganya. Karena kampus tidak menangani
sual yang hingga kini dihantam dan menjadi urusan itu, ini justru peluang besar untuk
bulan-bulanan. Kita tidak bisa menoleransi ditangani LP3ES. Sangat sedikit kampus di
hal-hal itu. dunia yang berfokus pada masalah ini: ber­
pikir secara gambar besar sekaligus gambar
Sony Karsono menengah, dan gambar kecil. Itu namanya
LP3ES dapat menjadikan diri makin rele­ berpikir strategis yang pada zaman dahulu
van di abad ke-21 bila mengerjakan sesuatu merupakan bagian dari training untuk calon
yang tercecer dan tidak atau luput diker­ negarawan. Indonesia sangat perlu nega­
jakan oleh lembaga-lembaga lain di Indone­ rawan. Indonesia tidak bisa dilayani hanya
sia dan di dunia. Salah satu yang cenderung dengan mencetak generasi muda yang men­
tercecer itu adalah intelektual harus dan per­ jadi spesialis saja. Kata orang, negarawan
lu berpikir dan bertindak tidak hanya ber­ itu dilahirkan, tetapi LP3ES mungkin bisa
dasarkan spesialisasi masing-masing yang menjadi fasilitator untuk mendorong mem­
diterima sewaktu mere­ka masih duduk di fasilitasi lahirnya pemudi-pemuda se­perti
bangku sekolah. Sepintar apa pun seseorang itu. Siapa tahu ada yang terpanggil untuk
atau se­tinggi apa pun pendidikannya itu memainkan gambar besar itu; cara hidup
sebagian besar yang terjadi dan diperoleh terbaik di atas bumi manusia yang pasti
adalah pendidikan secara spesialis. Padahal, akan dilakukan oleh LP3ES.
dalam kehidupan ini tidak pernah ada yang
spesialis. Kehidupan sebagai sebuah keselu­ Wijayanto
ruhan, hidup bermasyarakat, hidup dalam Dahsyat sekali closing statement Mas Sony,
masyarakat dunia, masalah ekonomi berkait­ cara hidup terbaik diatas bumi manusia!
an de­ngan politik, masalah politik berkait­an Bapak ibu sekalian terima kasih telah hadir
dengan gender, juga berkaitan de­ngan geo­ dan turut berpartisipasi dalam webinar Pe­r­
grafi, berkaitan dengan kebudaya­an. Para ingatan Ulang Tahun ke-50 LP3ES ini.l

DIA LOG
Prisma
Prisma ST O
U PRI K VK IETAI

Karya Tugas Akhir Mahasiswa Indonesia


tentang “1965”: Sebuah Tinjauan*

Artikel ini mengulas perkembangan diskursus tentang 1965 dengan menganalisis lebih
dari 300 skripsi, tesis, dan disertasi tentang Peristiwa 1965 yang ditulis oleh mahasiswa
di berbagai universitas di Jawa periode 1970-2019. Hasil penelusuran menemukan bah-
wa tidak hanya terjadi peningkatan jumlah karya tugas akhir tentang 1965 pasca-Re-
formasi, tetapi sebaran universitas, topik, dan studi kewilayahan juga berkembang se-
cara signifikan. Pada masa Orde Baru, lebih dari dua pertiga karya tugas akhir tentang
Peristiwa 1965 diproduksi oleh mahasiswa Universitas Indonesia, sedangkan sejak 2000
dua pertiga-nya ditulis oleh mahasiswa dari universitas di Jawa Tengah, Yogyakarta,
dan Jawa Timur. Topik dari karya tugas akhir tersebut juga bergeser dari sebelumnya
mengikuti perspektif anti-komunis yang diproduksi negara menjadi karya yang memper-
tanyakan konstruksi anti-komunisme, meng­analisis organisasi Kiri secara lebih men-
dalam, dan berbicara tentang korban. Terkait kewilayahan, studi tentang Peristiwa 1965
di Jakarta dan Jawa Barat sangat minim. Bahkan, studi yang mengambil wilayah Jawa
Tengah hanya berfokus pada Surakarta, Salatiga, Yogyakarta, dan Semarang. Sementara
studi di Jawa Timur tersebar di berbagai wilayah dengan kasus-kasus kekerasan yang
terkenal: Madiun 1948, kekerasan di Kediri dan Jombang, Banyuwangi, serta Operasi
Trisula Blitar Selatan.

Kata Kunci: Gerakan 30 September, karya tugas akhir, kekerasan massal, penelitian, universitas

S epanjang dua dekade terakhir, ter­


jadi arus deras kesarjanaan yang
meneliti dan menulis tentang
“1965”—kependekan yang umum dan mu­
lama bertahun-tahun sesudahnya di Indo­
nesia. Dalam ranah topik ini, riset yang di­
lakukan oleh para cendekia asing terutama
sangat mengemuka. Di antaranya termasuk
dah digunakan—meski sering kali menye­ berbagai monograf penting oleh Victor Fic,
satkan untuk mengacu pada peristiwa politik Anatomy of the Jakarta Coup: October 1,
1 Oktober 1965 beserta kekerasan massal 1962 (2005); John Roosa, Pretext for Mass
yang menyertainya terhadap kaum Kiri se­ Murder: The September 30th Movement and
Suharto’s Coup d’Etat in Indonesia (2006);
*
Diterjemahkan dari Grace Leksana dan Dougas Kam­ Vanessa Hearman, Unmarked Graves: Death
men, “Indonesian Student Theses on ‘1965’: An Over­ and Survival in the Anti-Communist Violence
view”, dalam jurnal Indonesia, No. 111, April 2021, in East Java, Indonesia (2018); Geoffrey
South­east Asia Program Publications-Cornell Universi­ Robin­son, The Killing Season: A History of
ty Press, hal. 45-55. Dialihbahasakan oleh Anung Nur
Rachmi. the Indonesian Massacre, 1965-66 (2018);

SURVEI
Grace L dan Douglas K, Karya Tugas Akhir Mahasiswa Indonesia tentang “1965” 107

Jess Malvin, The Army and the Indone- nisme dan Partai Komunis Indonesia yang
sian Genoci­de: Mechanics of Mass Murder sudah bubar sejak lama masih terus hidup
(2018); Saskia Wieringa dan Nursyahbani dan menghantui politik lokal dan nasional.1
Katjasungkana, Propaganda and the Geno- Poster atau bendera-bendera anti-komunis
cide in Indonesia: Imagined Evil (2020); bermunculan di berbagai lokasi perdesaan
Vincent Bevins, The Jakarta Method: Jawa pada awal tahun 2000-an. Para peng­
Washington’s Anticommunist Crusade and unjuk rasa anti-komunis mengancam acara
the Mass Murder Program that Shaped Our pertemuan yang diselenggarakan oleh para
World (2020); John Roosa, Buried Histories: mantan tahanan politik. Politikus-politikus
The Anticommunist Massacres of 1965-1966 nasional pun secara berkala menge­luarkan
in Indonesia (2020); Douglas Kammen dan pernyataan kemarahan atas terbitnya buku-
Katherine McGregor (eds.), The Contours buku yang ditulis oleh putra-putri bekas
of Mass Violence in Indonesia, 1965-68 anggota PKI (misalnya, Ribka Tjiptaning,
(2012); dan Katherine McGregor, Jess Mal­ Aku Bangga jadi Anak PKI, 2002). Selama
vin, dan Annie Pohlman (eds.), The Indone- masa kampanye Pemilu Presiden 2014,
sian Genocide of 1965: Causes, Dynamics para pendu­kung mantan jenderal yang juga
and Legacies (2018); serta sejumlah besar menantu Soeharto, Prabowo Subianto, me­
artikel dalam jurnal dan bab-bab buku. Sejak nyebar ber­bagai tuduhan bahwa ayah dari
1998, hasil tulisan dan kemunculan cendekia calon presiden Joko Widodo adalah orang
Indonesia yang menulis tentang 1965 me­ Tionghoa dan bahwa keluarganya berafi­
ningkat secara dramatis, terutama buku- liasi dengan PKI. Lima tahun kemudian,
buku penting yang ditulis oleh Hermawan ketika sekali lagi mencalonkan diri sebagai
Sulistyo, Palu Arit di Ladang Tebu (2000); presiden, Prabowo Subianto menuduh Joko
Harsutejo, G30S: Sejarah yang Digelapkan Widodo memiliki “tampang Boyolali”, yang
(2003); John Roosa, Ayu Ratih, dan Hilmar dimaksudkan bahwa Joko Widodo adalah
Farid, Tahun yang Tak Pernah Berakhir orang kampung buruk rupa, dan secara tidak
(2004); I Ngurah Suryawan, Ladang Hitam langsung mengaitkan Presiden Joko Widodo
di Pulau Dewata (2007); Baskara Wardaya, pada suatu daerah basis PKI yang sangat
Truth Will Out (2009); Asvi Warman Adam, kuat hingga tahun 1965. Tak lama setelah
Melawan Lupa, Menepis Stigma (2006); itu, sebuah organisasi massa di Makassar
Asvi Warman Adam, 1965: Orang-orang di melakukan razia terhadap toko buku Grame­
Balik Tragedi (2009); Amurwani Dwi Les­ dia dan menyita buku-buku tentang PKI dan
tariningsih, Gerwani: Kisah Tapol Wanita komunisme. Tindakan itu mungkin terlihat
di Kamp Plantungan (2011); serta sejum­ seperti insiden tersendiri, tetapi jika disatu­
lah memoar. Di samping karya-karya yang kan ia adalah bagian dari tema-tema politik
diterbitkan oleh para cendekia yang bekerja militer dan Islam yang muncul berulang-
di dalam maupun luar Indonesia, terdapat ulang di Indonesia era pasca-Suharto. Hantu
arus ketiga cendekia yang jarang tercatat, komunisme tetap berkuasa mengintimidasi
namun layak menerima perhatian kita: me­ dan, barangkali lebih penting lagi, menarik
ningkatnya jumlah skripsi S-1, tesis S-2, dan garis serta mengon­solidasikan daerah-daerah
disertasi S-3 yang ditulis oleh mahasiswa di pemilihan. Dalam konteks itulah keterbuka­
sejumlah perguruan tinggi di Indonesia.
Peningkatan jumlah kesarjanaan Indone­
sia dengan topik 1965 itu tentu saja tidak Lihat, misalnya, Stephen Miller, “Zombie Anti-Commu­
1 

terjadi di ruang hampa. Berakhirnya rezim nism? Democratization and the Demons of Suharto-Era
Politics in Contemporary Indonesia”, dalam Katherine
Orde Baru Suharto pada 1998 telah membu­ McGregor, Jess Melvin, dan Annie Pohlman (eds.), The
ka pintu gerbang bagi kemunculan para ke­ Indonesian Genocide of 1965 (Cham, Switzerland: Pal­
sar­janaan baru tersebut, namun hantu komu­ grave Macmillan, 2018), hal. 287-310.

TO
S UR
PVI KE I
108 Prisma, Vol, 40, No. 4, 2021

an di era pasca-otoriterianisme di bidang Memecah Tabu


riset, penerbitan, dan polariasi politik yang
mening­kat harus dilihat. Selama tiga dekade di bawah kekuasaan Soe­
Tinjauan ini bertujuan mensurvei pertum­ harto, negara secara ketat mengontrol infor­
buhan karya tugas akhir (skripsi, tesis, dan masi, liputan media, serta diskusi-disku­si
disertasi) para mahasiswa Indonesia tentang publik tentang 1965. Cerita resminya adalah
kekerasan massal yang terjadi di pertengah­ bahwa Partai Komunis Indonesia mendalangi
an tahun 1960-an (termasuk kejadian-ke­ Gerakan 30 September dan berniat menggu­
jadian yang mendahului dan konsekuensi nakannya untuk mengambil alih kekuasaan;
jangka panjangnya), memberi gambaran bahwa Angkatan Darat mengambil keputus­
distribusi topik-topik yang ditulis sepanjang an tegas untuk menyelamatkan bangsa; dan
waktu tersebut, serta menawarkan beberapa bahwa kelompok-kelompok yang disebut
saran sederhana untuk riset lanjutan di masa nasionalis dan agama meng­ambil tindakan
depan. Untuk menangkap peningkatan minat tegas memerangi kejahatan kaum komu­
di kalangan mahasiswa Indonesia terhadap nis. Interpretasi tersebut dituliskan dalam
sejarah 1965, kami menyusun suatu daftar terbitan-terbitan Angkatan Darat, diulang-
berisi lebih dari 300 karya tulis tentang 1965 ulang oleh pejabat negara, dengan patuh di­
(sebagian besar skripsi S-1, sejumlah kecil reproduksi di media, dan diajarkan kepada
te­sis S-2, dan beberapa disertasi S-3) yang anak-anak di sekolah. September dicanang­
diproduksi antara tahun 1970 dan 2019. Un­ kan sebagai bulan anti-komunis dan diisi
tuk alasan praktis, kami membatasi cakupan dengan penayangan wajib film propaganda
survei hanya pada universitas-universitas di Pengkhianatan G30S/PKI di semua sekolah.
Pulau Jawa. Kami sepenuhnya mengandal­ Hal tersebut dibarengi dengan kampanye me­
kan gudang digital universitas-universitas nakut-nakuti dengan mendorong anak-anak
serta pencarian lewat internet. Tak perlu mencari dan melaporkan simbol-simbol ko­
disebutkan lagi tentunya bahwa koleksi yang munis (di majalah, baju kaos, bahkan sim­
ada jauh dari lengkap, tetapi kami percaya bol tersembunyi di sehelai kain), yang jika
bahwa cakupan tersebut cukup memadai un­ ditemukan akan diumumkan sebagai bukti
tuk menyediakan pandangan “mata burung” kehadiran laten ekstrem Kiri.
terhadap bidang itu. Paket data yang kami Dalam konteks itu, wajar jika kemudian
kumpulkan termasuk nama penulis, judul para dosen di pelbagai universitas meng­
karya tulis, nama universitas, gelar yang di­ hindari diskusi-diskusi serius tentang ke­
tuju dengan penulisan karya tulis tersebut, kerasan massal yang menjadi fondasi berdiri­
jurusan mahasiswa bersangkutan, serta ta­ nya Orde Baru. Hal tersebut dilakukan demi
hun kelulusannya. Kami membuat kategori keamanan mereka sendiri serta untuk melin­
berdasarkan dua dimensi: lusinan kategori dungi mahasiswa mereka. Namun demikian,
umum termasuk aktor-aktor politik, latar terkadang ada saja pengecualian. Pada tahun
belakang sejarah, kekerasan, ingatan, studi 1970-an dan 1980-an, beberapa mahasiswa
media, dan sebagainya; dan karya tulis yang di universitas-universitas elite menerima izin
cakupannya umum atau nasional versus yang untuk menulis skripsi yang menyinggung
fokus pada daerah tertentu. Sepanjang tin­ peristiwa 1965. Topik yang disetujui teruta­
jauan ini, kami menggunakan label “1965” ma berkait dengan politik makro – perebutan
sebagai kependekan dari sejumlah besar ka­ kepemimpinan nasional, hubungan luar nege­
sus yang menguji peristiwa-peristiwa yang ri Indonesia, sejarah aktivisme mahasiswa,
mendahului, peristiwa-peristiwa dan dina­ serta penyesuaian jangka panjang para man­
mika dari, serta warisan yang tercipta dari tan tahanan politik setelah dibebaskan. Satu-
peng­hancuran Partai Komunis Indonesia satunya skripsi yang ditulis di sekitar tahun
pada 1965-1966. 1970-an dan 1980-an yang membahas secara
SU
TORV
P IEKI
Grace L dan Douglas K, Karya Tugas Akhir Mahasiswa Indonesia tentang “1965” 109

Tabel 1. Karya Tugas Akhir tentang PKI, 1965, dan Kekerasan Masssal Berdasarkan Tahun

S-1 S-2 S-3 Tidak Diketahui Total


1970-1979 2 - - - 2
1980-1989 6 1 - - 7
1990-1999 19 8 - 1 28
2000-2009 59 12 2 - 73
2010-2019 176 15 3 - 194
Total 262 36 5 1 304

langsung kekerasan terhadap kaum Kiri dari peristiwa di seputar 1965 menyusul lengser­
perspektif peran yang dilakukan oleh ang­ nya Soeharto pada 1998. Demokratisasi di­­­
gota sebuah pesantren di daerah perdesaan, ikuti dengan kebebasan pers yang jauh le­­­bih
bukan dari perspektif korban.2 Pada tahun besar. Surat kabar dan majalah secara ter­­­buka
1990-an, jumlah karya tugas akhir tentang melaporkan pelanggaran hak asasi manusia
1965 naik empat kali lipat dibanding dekade yang terjadi di masa lalu, inisia­­tif organisasi-
sebelumnya, meski mungkin hal ini lebih organisasi nonpemerintah (ornop) melakukan
mencerminkan sikap dosen tertentu dan po­ lobi mewakili mantan tahan­an politik, liputan
sisi politik perguruan tinggi tertentu (Uni­ tentang riset-riset baru yang meneliti peris­
versitas Indonesia, Jakarta/Depok; Univer­ tiwa 1965-66, pene­muan kuburan-kuburan
sitas Islam Negeri Sunan Ampel, Surabaya; massal, serta nasib para mantan tahanan poli­
dan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta) tik. Para penerbit merespons keterbukaan
daripada tingkat keseluruhan minat maha­ politik tersebut de­ngan menerbitkan kembali
siswa terhadap sejarah komunisme di Indo­ karya-karya besar tokoh-tokoh Kiri yang
nesia atau sejarah kekerasan yang menjadi sejak lama dilarang, memunculkan karya-
landasan berdirinya Orde Baru.3 Sama sep­ karya terjemahan baru buku-buku Marxis
erti tahun 1980-an, satu-satunya karya tu­ serta menerbitkan puluhan buku (sering kali
gas akhir yang memfokuskan pembahasan merupakan karya terjemahan) tentang 1965.
pada kekerasan di­bingkai dalam konteks Merebaknya terbitan di pelbagai media dan
peran yang dimainkan organisasi Islam atau usaha penerbitan itu membantu merangsang
kelompok-kelompok mahasiswa melawan rasa ingin tahu di kalangan mahasiswa dan
kaum Kiri. keterbukaan baru di pihak dosen dan pejabat
Tidak mengherankan jika terjadi pening­ universitas tentang tindakan pendirian Orde
katan drastis minat mahasiswa terhadap Baru. Bersamaan dengan itu, jumlah karya
tugas akhir (skripsi, tesis, disertasi) tentang
Lihat, Yusron Hanani, “Partisipasi Pesantren Tempurejo
2  1965 naik menjadi 73 pada dekade pertama
Walikukun dalam Penumpasan G30S/PKI di Ngawi”, abad ke-21 dan menjadi 194 pada dekade
Skripsi S-1, Universitas Islam Negeri Sunan Ampel, berikutnya ­(lihat, ­­­Tabel 1).
Surabaya, 1986. Walaupun sebagian besar (85%) karya
3
Kendati di luar cakupan esai ini, perlu disebutkan bebera­
pa orang Indonesia yang telah menulis tesis S-2 maupun
tugas akhir tentang 1965 dihasilkan setelah
disertasi S-3 tentang 1965 di universitas luar negeri: 1998 tetap berasal dari perguruan tinggi
Iwan Sudjatmiko, Harvard University PhD, 1992; Her­ nege­ri, terdapat pergeseran geografis yang
mawan Sulistyo, Arizona State University PhD, 1997; signifikan dalam hal lokasi. Selama Orde
Budiawan, National University of Singapore MA, 2003;
Vanessa Hearman, Melbourne University PhD, 2012;
Baru, lebih dari dua pertiga karya tugas
Dahlia Setiawan, UCLA PhD, 2014; dan Grace Lek­ akhir yang diketahui tentang 1965 ditulis di
sana, Leiden University PhD, 2020. Universitas Indonesia; sejak tahun 2000, dua

TO
S UR
PVI KE I
110 Prisma, Vol, 40, No. 4, 2021

Tabel 2. Karya Tugas Akhir Tentang 1965 Menurut Provinsi Tempat Universitas

Jawa Jawaa Banten Jawa Yogya Jawa Total


Barat Tengah Timur
1970-1979 2 - - - - - 2
1980-1989 4 1 - - - 2 7
1990-1999
b
1 15 - - 6 5 27
2000-2009 6 17 - 11 20 19 73
2010-2019 31 29 1 28 29 76 194
Total 44 62 1 39 55 102 303
a
 anyak skripsi, tesis, atau disertasi yang terdaftar di Jawa Barat ditulis di Universitas Indonesia,
B
yang pindah ke Depok pada 1987. Karya tugas akhir tersebut seharusnya diperlakukan sebagai ba­
gian dari wilayah Jakarta Raya: satu karya tugas akhir pada tahun 1980-an, sebelas pada tahun 1990-
an, tiga belas pada tahun 2000-an, dan tiga belas pada tahun 2010-an.
b
Satu skripsi yang perguruan tingginya tidak diketahui.

pertiga dari semua karya tugas akhir tentang skripsi dengan judul “Nahdlatul Ulama sejak
1965 dihasilkan oleh sejumlah universitas di 1950 hingga 1965” ditempatkan dalam kate­
Jawa Tengah, Yogyakarta, dan Jawa Timur gori 1, Tokoh-tokoh dan Partai-partai Poli-
(lihat, Tabel 2).4 Dengan adanya pergeseran tik, sedangkan sebuah skripsi tentang konflik
itu, terjadi pula diversifikasi jenis universi­ antara Nahdlatul Ulama dan PKI sejak 1960
tas tempat karya tugas akhir tersebut ditulis hingga 1965 ditempatkan dalam kategori 5,
– termasuk banyaknya perguruan tinggi lapis Politik Sebelum 1 Oktober 1965.
kedua dan universitas swasta – serta disiplin Contoh tumpang-tindih lainnya, sebuah
ilmu yang dipelajari si mahasiswa. karya tugas akhir tentang gerakan mahasiswa
masa awal berdirinya Orde Baru ditempat­
kan dalam kategori 8, Gerakan Mahasiswa,
Karya Tugas Akhir Berdasarkan sedangkan satu karya tugas akhir tentang Ke­
satuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI)
Topik dimasukkan dalam kategori 9, Dinamika Ke-
kerasan. Mengingat tumpang-tindih tersebut
Yang paling menarik adalah topik yang ditu­ serta sifat pengklasifikasian yang seadanya,
lis mahasiswa dan bagaimana pergeserannya pembaca disarankan untuk melihat data yang
dari waktu ke waktu. Untuk kebutuhan anali­ ada menurut klaster (dari kiri ke kanan) yang
sis, kami membuat 14 kategori umum (lihat, mencakup politik dan kaum Kiri sebelum
Tabel 3), namun kami perlu mengingatkan 1965 (topik 1-6), produksi kekerasan setelah
bahwa berdasarkan judul dan sinopsisnya peristiwa 1 Oktober 1965 (topik 3 dan 7-9),
saja kebanyakan karya tugas akhir tersebut akibat penghancuran PKI bagi korban dan
bisa ditempatkan dalam lebih dari satu kate­ identitas-identitas yang lebih luas (topik
gori. Dua contoh berikut akan membantu 10-12), dan skripsi/tesis/disertasi yang me­
menggambarkan sulitnya klasifikasi seder­ munculkan representasi 1965 dalam seni dan
hana dan logika yang kami gunakan. Sebuah media (topik 12-14).
Pada tahun 1970-an dan 1980-an, seperti
4 
Di luar Jawa, Universitas Sam Ratulangi di Manado ma­ telah disebutkan, karya tugas akhir tentang
sih melarang mahasiswanya menulis skripsi, tesis, diser­ 1965 yang jumlahnya masih sedikit berfokus
tasi tentang komunisme atau peristiwa 1965. pada tumbangnya Soekarno dan berdirinya

SU
TORV
P IEKI
S
Tabel 3. Skripsi, Tesis, dan Disertasi mengenai “1965” Menurut Topik

TOUR
PVI KE I
DASAWARSA
Jumlah

Korban dan
HAM

Gerakan
mahasiswa

Militer
Indonesia
Dinamika
kekerasan
Seni, sastra,
filem
Studi media
massa

Konflik
agraria

PKI dan
onderbouw

Figur, partai,
hubungan LN
Gerakan 30
September
Dampak sosial
dan budaya

Pemberontakan
1926 & 1948
Politik sebelum
Oktober 1965
Ingatan dan penulisan
sejarah
1970-1979 - - 1 - - - - 1 - - - - - - 2

1980-1989 3 - 1 - 1 - - - 1 1 - - - - 7

1990-1999 4 3 - 1 4 2 - 3 6 1 1 2 1 - 28

2000-2009 7 13 6 3 9 3 2 - 13 9 5 3 - - 73

2010-2019 11 19 2 6 16 9 4 5 21 18 19 10 38 15 193
Grace L dan Douglas K, Karya Tugas Akhir Mahasiswa Indonesia tentang “1965”

TOTAL 25 35 10 10 30 14 6 9 41 29 25 15 39 15 303
111
112 Prisma, Vol, 40, No. 4, 2021

rezim Soeharto. Pada tahun 1990-an, makin Studi-studi Lokal


banyak skripsi mahasiswa yang langsung
membahas sebab dan dinamika kekerasan, Sebaran skripsi, tesis, dan disertasi ber­
dengan minat khusus tampak pada aksi-aksi dasarkan topik masing-masing mengungkap
kasus tanah yang dilakukan Barisan Tani In­ perkembangan minat mahasiswa dari waktu
donesia pada tahun 1963-1964 serta peran ke waktu, namun gagal menangkap salah
yang dimainkan sekutu Angkatan Darat— satu dimensi penting dari membanjirnya
kelompok-kelompok “agama” dan “nasiona­ minat terhadap 1965 belakangan ini: perbe­
lis”—dalam penangkapan dan pembunuhan daan antara skripsi, tesis, dan disertasi yang
massal yang dimulai setelah 1 Oktober 1965. mengambil pendekatan nasional atau tingkat
Judul yang sudah seperti sebuah rumus baku makro dengan skripsi, tesis, dan disertasi
muncul pada periode ini: “Peranan X dalam yang berfokus pada lokalitas tertentu (kota
penumpasan PKI di Kabupaten Y.” Pada atau kabupaten, tetapi dalam beberapa ka­
awalnya, nada dari karya-karya tugas akhir sus satu provinsi). Selama masa Orde Baru,
tersebut adalah menyetujui atau bahkan hanya sepertiga dari jumlah karya tugas
merayakan; namun, pada tahun 1990-an, mu­ akhir tentang 1965 berfokus pada lokalitas
lai muncul satu dua suara mahasiswa yang tertentu; pada dekade 2000-2009 angka itu
mengubah rumusan tersebut dengan mem­ naik menjadi separuh; dan selama periode
pertanyakan sikap pemerintah, baik dengan antara 2010 dan 2019 turun sedikit menjadi
cara menegaskan posisi subordinasi sipil di 40 per­sen. Yang menarik adalah distribusi
hadapan militer atau dengan menyarankan geografis studi-studi lokal itu. Kami tidak
agar segera dibentuk tim pencari kebenaran menemukan satu pun studi tentang PKI atau
sebagai langkah penting berdamai dengan peristiwa 1965 yang berlatar di Jakarta dan
para korban. hanya tujuh studi lokal tentang topik terse­
Distribusi topik-topik karya tugas akhir but di seluruh Jawa Barat. Sebagian besar
tersebut menjadi jauh lebih menarik pada studi itu menghindari bahasan seputar ma­
periode sejak lengsernya Soeharto. Di tingkat salah kekerasan dan lebih memilih berfokus
agregat, perkembangan paling signifikan pada tokoh-tokoh politik, politik pra-1965,
dapat dirangkum per dekade. Pada dekade serta dinamika sosial-budaya pasca-1965.
pertama abad ke-21 terjadi peningkatan ta­ Memang benar bahwa jumlah penahanan
jam jumlah karya tugas akhir yang ditulis dan pembunuhan di Jawa Barat jauh lebih
tentang sejarah komunisme Indonesia (PKI, sedikit daripada di Jawa Tengah dan Jawa
para pemimpinnya, organisasi-organisasi Timur (begitu pula di Bali dan Sumatera
afi­liasi­nya, pertikaian dengan partai-partai Utara), namun tetap terasa janggal menemu­
lain baik sebelum maupun sesudah 1965) kan kurangnya minat terhadap perselisihan
dan, bergantung pada perspektif teoretis dan politik yang bermuara pada Oktober 1965,
seleranya, topik-topik yang terkait dengan terhadap dinamika kekerasan dan akibatnya
korban atau penyintas (pengalaman mereka yang terjadi di Jakarta dan Jawa Barat. Orang
di penjara, stigmatisasi setelah dibebaskan, mungkin saja bertanya mengapa mahasiswa
dan hak asasi manusia). Pada tahun 2010-an, tidak berpikir untuk mengkaji mobilisasi
sebagai perbandingan, perkembangan yang akar-rumput di Jakarta pada awal Oktober
paling mengemuka adalah membanjirnya 1965, pusat-pusat penahanan di Salemba dan
karya-karya tentang ingatan, perdebatan ten­ Bukit Duri, atau perjuangan mantan kaum
tang penulisan dan pengajaran sejarah, litera­ Kiri dan bekas tahanan politik di lingkungan
tur, dan seni (sekitar 30%), bersama bang­ tertentu? Kita juga bisa bertanya, misalnya,
kitnya studi media tentang bagaimana tahun mengapa mahasiswa tidak mendalami di­
1965 diliput dan diperdebatkan di Indonesia namika di sebagian wilayah Jawa Barat tem­
pasca-Soeharto. pat banyak sekali terjadi kekerasan (seperti

SU
TORV
P IEKI
Grace L dan Douglas K, Karya Tugas Akhir Mahasiswa Indonesia tentang “1965” 113

di daerah Subang-Indramayu-Cirebon) atau Timur, menjadi titik nol bagi kesarjanaan


meneliti respons kelompok-kelompok Mus­ (scholarship) yang merayakan peran organi­
lim di basis-basis lama Darul Islam (teruta­ sasi-organisasi Islam—terutama Nahdlatul
ma Garut dan Tasikmalaya) atau Banten? Ulama dan sayap paramiliternya, Ansor,
Ada peningkatan signifikan dalam hal tetapi juga kelompok-kelompok mahasiswa,
jumlah skripsi, tesis, dan disertasi yang individu kiai, serta pesantren—dalam peng­
meneliti daerah tertentu di Jawa Tengah dan hancuran PKI dan penyelamatan bangsa.
Yogyakarta, namun terdapat perbedaan cu­ Itu sama sekali bukan fenomena baru, na­
kup mencolok di antara kedua provinsi ini. mun peningkatan jumlah skripsi, tesis, dan
Lebih dari dua pertiga karya tugas akhir di disertasi semacam itu harus dilihat sebagai
Jawa Tengah itu bersifat lokal, namun se­ reaksi terhadap himbauan yang didengung­
bagian besar meneliti tentang Karesidenan kan pasca-1998 agar dibentuk Komisi Ke­
Surakarta dan Salatiga serta Kota Sema­ benaran yang bertugas menyelidiki pelang­
rang; bagian barat Provinsi Jawa Tengah— garan hak asasi manusia yang terjadi pada
Kedu, Banyumas, dan kawasan pesisir utara (dan setelah) 1965-66 serta liputan luas
yang membentang dari Tegal hingga Pe­ media dan penerbitan (kembali) buku-buku
kalongan—sangat kurang terwakili. Seba­ kiri yang terjadi sesudah itu. Reaksi terse­
liknya, di Yogyakarta hanya enam dari 55 but tentu saja tidak seragam. Banyak kam­
skripsi, tesis, dan disertasi (11%) bersifat lo­ pus perguruan tinggi Islam sangat terbelah
kal serta tak satu pun berfokus pada produk­ dalam hal “pendekatan” kajian sejarah dan
si atau dinamika kekerasan; topik-topiknya keterlibatan mereka dalam politik demokrasi
justru tentang penyintas, ingatan dan se­ di Indonesia yang baru. Sayap anti-komunis,
jarah, serta warisan sosial-budaya. Yang pa­ dan khususnya mereka yang mengaitkan po­
ling menarik adalah di Jawa Timur, tempat sisi dengan Masjumi dan Himpunan Maha­
studi lokal tentang 1965 mencapai 80 persen siswa Islam (HMI), memperoleh dorongan
dari seluruh skripsi, tesis, dan disertasi ma­ nafas baru dari munculnya kesarjanaan baru
hasiswa. Hebatnya, karya-karya tugas akhir yang menafsirkan ulang sejarah Indonesia
tersebut tersebar merata di keempat wilayah melalui kacamata Islam. Dalam genre itu,
Komando Resor Militer (Korem). Sebaran dua volume buku Api Sejarah karya Ahmad
tersebut sebagian didorong oleh kasus-kasus Mansur Suryanegara (2009 dan 2011) men­
terkenal: sembilan karya tugas akhir ten­ jadi karya yang paling serius dan sejauh
tang pemberontakan komunis 1948 di Ma­ ini sangat berpengaruh.5 Tandingan skripsi,
diun (Korem 081), delapan karya tugas akhir tesis, serta disertasi pro-Ansor dan anti-ko­
tentang kekerasan anti-komunis di wilayah munis kampus-kampus UIN datang dari
Kediri-Jombang (Korem 082), tujuh karya perguruan-perguruan tinggi swasta Katolik,
tugas akhir tentang merebaknya kekerasan khususnya Universitas Sanata Dharma, Yog­
skala besar di Banyuwangi pada bulan Okto­ ya­karta, juga Universitas Katolik Soegija­
ber 1965, tujuh karya tugas akhir tentang ope­ pranata, Semarang, dan Universitas Petra,
rasi menumpas sisa-sisa PKI di Blitar pada
1967-1968 (Korem 083), bersama dengan
sejumlah karya tugas akhir yang berfokus Hal ini juga tercermin dengan munculnya buku-buku
5 

terbaru yang secara terang-terangan menghantam komu­


pada daerah Surabaya Raya (Korem 084). nisme dan PKI: Saleh As’ad Djamhari dkk, Komunisme
Walaupun bukan semata-mata masalah di Indonesia (Jakarta: Pusjarah dan Yayasan Kajian Ci­
geografis, membandingkan antara Jawa Te­ tra Bangsa, 2009); Abdul Mun’im DZ (ed.), Benturan
ngah, Yogyakarta, dan Jawa Timur turut NU-PKI 1948-1965 (Jakarta: PBNU, 2013); M Rizal
Fadhillah, Bau Amis Komunis (Bandung: Lekkas, 2020);
membantu mengungkap perbedaan yang le­ dan Anab Afifi dan Thowaf Zuharon, Banjir Darah:
bih dalam: kontestasi ideologis. Universitas Kisah Nyata Aksi PKI terhadap Kiai, Santri, dan Kaum
Islam Negeri Sunan Ampel, Surabaya, Jawa Muslimin (Solo: Istanbul, 2020).

TO
S UR
PVI KE I
114 Prisma, Vol, 40, No. 4, 2021

Tabel 4. Lokasi Karya Tugas Akhir Tentang PKI/1965 Menurut Provinsi

Jakarta Jawa Jawa Yogya Jawa Luar Jawa Total


Barat Tengah Timur
1970-79 - - - - - - -
1980-89 - 1 - - 2 - 3
1990-99 - 2 - - 7 - 9
2000-09 - - 12 1 23 - 36
2010-2019 - 4 16 5 51 2* 78
Total - 7 28 6 83 2 126
*Satu karya tugas akhir tentang operasi militer menumpas komunis di Bali pada tahun 1965-1966 dan
satu karya tugas akhir tentang peraturan perundangan tahun 1965 tentang agama di Lombok.

Surabaya. Karya tugas akhir mahasiswa di yang paling umum tersedia adalah buku atau
perguruan-perguruan tinggi tersebut cende­ artikel jurnal, tetapi bisa juga sebuah film
rung berfokus pada hak asasi manusia dan atau bahkan cerita sanak kerabat. Sangat­
pengalaman para tahanan politik serta per­ lah penting bagi mahasiswa untuk mencari
tanyaan-pertanyaan seputar ingatan dan pe­ di luar literatur sekunder dan berpikir lebih
nu­lisan serta pengajaran sejarah. kreatif mencari sumber-sumber primer yang
akan memberikan titik akses baru, perspektif
baru, dan yang paling penting membangkit­
Rekomendasi untuk Penelitian kan pertanyaan-pertanyaan baru. Media mas­
sa Indonesia, khususnya surat kabar, sangat
Selanjutnya kurang terwakili dalam 300-an skripsi, tesis,
dan disertasi yang kami kumpulkan itu. Be­
Persyaratan bahwa semua mahasiswa S-1 berapa skripsi, tesis, dan disertasi menggali
harus menulis skripsi merupakan sesuatu lebih dalam surat kabar-surat kabar Kiri yang
yang agak terlalu membebani dan memper­ terbit sebelum 1965, tetapi hanya satu yang
panjang waktu kelulusan yang tidak perlu. mengulik surat kabar milik Angkatan Da­
Yang paling sial adalah menempatkan ma­ rat sebagai pusat analisis.6 Angkatan Darat
hasiswa di bawah kehendak para dosen dan memang memberedel banyak surat kabar di
dekan yang sangat antusias memanfaatkan awal Oktober 1965 dan mengontrol dengan
otoritas masing-masing dan bahkan terlibat ketat yang boleh atau tidak boleh diterbitkan
dalam “pemerasan.” Namun demikian, sela­ setelahnya, namun banyak yang masih bisa
ma persyaratan tersebut tetap diberlakukan, dipelajari dari pers, khususnya surat kabar-
mahasiswa S-1 di universitas-universitas In­ surat kabar daerah. Mahasiswa dapat men­
donesia akan terus mencari topik-topik yang cari dan memeriksa daftar koran Indonesia
mereka minati dan berharap belajar lebih yang terbit antara tahun 1965 dan 1967 yang
banyak. Dengan latar seperti itu, kami ber­ disusun oleh Roger Paget.7 Banyak di antara
maksud menawarkan beberapa pemikiran
terkait arah penelitian tentang 1965 bagi
mahasiswa di masa depan. Lihat, Arif Pradono, “Sang Bayi Sudah Mati” (Rekayasa
6 

Dilihat dari sisi penampilan, titik awal Persetujuan Penghancuran PKI di Harian Berita Yudha
berangkat bagi banyak mahasiswa yang hen­ [1965])”, Tesis S-2, Universitas Paramadina, Jakarta,
2013.
dak menulis skripsi tentang 1965 adalah soal Roger K Paget, “Indonesian Newspapers 1965-1967”,
7

ketersediaan bahan dan sumber. Barangkali dalam Indonesia, No. 4, Oktober 1967, hal. 170-210.

SU
TORV
P IEKI
Grace L dan Douglas K, Karya Tugas Akhir Mahasiswa Indonesia tentang “1965” 115

koran tersebut tersedia di Perpustakaan Na­ sih ada kecenderungan kuat untuk menulis
sional, Jakarta, dan beberapa dapat ditemu­ tentang 1965 di daerah-daerah yang relatif
kan di perpustakaan-perpustakaan provinsi terkenal—Semarang dan bekas Karesiden­
di Bandung, Semarang, dan Surabaya (serta an Surakarta di Jawa Tengah serta Madiun,
di sejumlah provinsi luar Jawa). Sebagian Kediri, Situbondo, dan Blitar di Jawa Timur.
di antaranya bisa diakses secara daring me­ Banyak daerah di Jawa tetap terabaikan.
lalui Center for Research Libraries.8 Maha­ Jawa Barat masih merupakan terra nullius,
siswa dapat juga memanfaatkan publikasi kawasan yang tak dimiliki siapa pun. Walau­
dan dokumentasi resmi. Penelusuran di per­ pun tingkat pembunuhan di Jawa Barat jauh
pustakaan provinsi atau bahkan di perpus­­ lebih sedikit dibandingkan wilayah lain, ada
takaan kabupaten mungkin saja akan mene­ semacam kebutuhan mendesak untuk mem­
mukan buku, pamflet, dan sumber-sumber pelajari bentang Cirebon-Indramayu-Su­bang
lain yang secara langsung berkait dengan di pesisir utara, Banten di bagian barat, dan
peristiwa 1965 serta karya-karya departe­ basis kuat Darul Islam di dataran tinggi
men tenaga kerja, pertanian, badan perta­ Garut dan Tasikmalaya. Di Jawa Tengah,
nahan, dan Badan Pusat Statistik. Di luar studi tentang 1965 di kawasan segitiga De­
sumber tertulis, studi yang energik mungkin mak-Kudus-Pati masih sangat minim. Seba­
juga dapat memanfaatkan hasil wawancara gaimana dike­tahui, Resimen Para Komando
dan sejarah lisan. Kendati berjalannya waktu Angkatan Darat (RPKAD) beroperasi di ka­
telah mengurangi saksi-saksi langsung peris­ wasan itu serta wilayah pesisir Pekalongan-
tiwa 1965-1966, hasil wawancara dengan Tegal dan hampir seluruh Banyumas. Di
pensiunan pejabat, mantan kepala desa, serta Jawa Timur, sedikit yang diketahui tentang
kerabat yang kehilangan anggota keluarga, aktor dan peristiwa di Madura serta terlalu
dapat memberikan “jendela” untuk mengeta­ sedikit yang diketahui tentang 1965 di ka­
hui pengalaman hidup langsung saat itu serta bupaten-kabupaten wilayah selatan, seperti
warisan yang ditinggalkannya. Di jalur lain, Tulung­agung, Trenggalek, dan Pacitan. Stu­
mahasiswa dapat mempertimbangkan untuk di demografis terbaru oleh Siddarth Chandra
menggali cerita lisan yang saling bertentang­ memunculkan beberapa pertanyaan baru
an terhadap suatu peristiwa atau peristiwa tentang perbedaan tingkat kekerasan di dae­
yang sama di satu lokasi. rah pesisir dan dataran tinggi Jawa serta ke­
Bidang kedua yang dapat dimanfaatkan mungkinan pelari­an kaum Kiri dari beberapa
oleh mahasiswa yang hendak melakukan daerah (khususnya, Madura, Pasuruan, dan
penelitian tentang 1965 adalah yang dise­ Probolinggo) dan temuannya yang membuat
but secara menjengkelkan oleh para ilmu­ penasaran bahwa kabupaten-kabupaten di
wan politik sebagai “pemilihan kasus.” pesisir selatan Jawa Timur mendadak meng­
Hal itu terutama berlaku untuk pemilihan alami pertambahan jumlah penduduk.9 Per­
lokasi yang akan dipelajari. Sebagaimana hatian khusus pada peta yang dibuat Chandra
ditunjukkan Tabel 4, hanya setelah ber­ dan sebaran geografis skripsi, tesis, dan di­
akhir­nya Orde Baru, mahasiswa Indonesia sertasi tentang kabupaten-kabupaten tertentu
(dan juga cendekia asing) mulai menaruh pada Tabel 4 dapat mendorong para peneliti
per­hatian serius pada dinamika lokal ke­
kerasan massal terhadap politik kaum Kiri
tahun 1960-an. Namun demikian, bahkan di Lihat, misalnya, Siddarth Chandra “New Findings on
9

Jawa Te­ngah dan Jawa Timur, lokasi terbe­ the Indonesian Killings of 1965-1966”, dalam The Jour-
nal of Asian Studies, Vol. 76, No 4, November 2017, hal.
sar dalam melakukan studi-studi lokal, ma­ 1059-1086, tentang Jawa Timur; dan Siddarth Chandra
“The Indonesian Killings of 1965-1966: The Case of
Central Java”, dalam Critical Asian Stu­dies, Vol. 51, No.
8
Dapat diakses di https://www.crl.edu/ 3, Juli 2019, hal. 307-330.

TO
S UR
PVI KE I
116 Prisma, Vol, 40, No. 4, 2021

untuk bergerak melampaui ranah yang sudah Hijau, dan pencanangan serta pelaksanaan
dikuasai dan sering dikunjungi. Melakukan program keluarga berencana, bahkan trans­
hal itu bukan hanya membantu mengisi lebih migrasi. Beberapa landasan studi diakronik
banyak titik-titik pada peta, tetapi juga akan telah tersedia dengan terbitnya artikel yang
mengungkapkan dinamika lokal yang sela­ ditulis Hilmar Farid pada 2005, “Indonesia’s
ma ini diabaikan.10 Original Sin,” namun sedikit yang telah diker­
Jika sejauh ini saran kami untuk topik- jakan untuk melan­jutkan agenda ini.11
topik di masa depan berfokus pada aktor pun­ Ada pula kebutuhan untuk menjawab
cak dan serangan terhadap kaum kiri, sebenar­ pertanyaan “apa selanjutnya?”, terutama
nya sama pentingnya untuk memperluas pada isu rekonsiliasi dan stigmatisasi yang
pandangan kita pada dampak jangka panjang masih terus berlanjut terhadap mantan kaum
aksi-aksi Angkatan Darat, perampasan oleh Kiri. Kendati sudah banyak skripsi, tesis, dan
negara, serta rezim yang muncul. Sistem kla­ diser­tasi, tentang seni, sastra, dan media (ter­
sifikasi yang diperkenalkan Komando Ope­ masuk kegiatan internasional seperti Interna­
rasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban tional People’s Tribunal dan film-film Joshua
(Kopkamtib) pada Oktober 1965 menjadi Oppenheimer12) selama dekade ter­akhir, ter­
landasan bagi pembersihan pegawai negeri dapat kecenderungan untuk memperlakukan
dan aparat keamanan. Namun, sampai saat karya-karya tersebut sebagai produk budaya,
ini tidak ada pemeriksaan sungguh-sungguh sambil menghindari isu yang tidak nyaman
tentang bagaimana “pembersihan” orang- tentang bagaimana karya-karya itu berkon­
orang Kiri atau dicurigai sebagai Kiri, atau tribusi pada (atau mungkin bahkan meng­
bagaimana proses rekrutmen pegawai baru gagalkan) upaya rekonsiliasi. Sejajar dengan
dilakukan serta bagaimana lembaga-lembaga lintasan itu, mahasiswa mungkin ingin meng­
tersebut dibangun ulang. Guru sekolah negeri gali lebih dalam pengajaran sejarah tentang
dan satuan pertahanan sipil (Hansip) sangat­ 1965 dan barangkali juga bagaimana hal ini
lah penting dan dapat dijadikan topik yang diperbandingkan dengan periode kontrover­
menarik untuk studi-studi lokal. Mahasiswa sial lainnya di masa lalu Indonesia. Walau­
juga dapat mempertimbangkan menggeser pun jumlah karya tugas akhir tentang 1965
fokus perhatian dari satu periode tertentu ke ditulis oleh mahasiswa jurusan pendidikan
analisis diakronik yang dapat “menangkap” sejarah (dua puluh sembilan skripsi) cukup
bagaimana serangan terhadap kaum Kiri itu signifikan, namun hanya satu yang secara
telah membuka jalan bagi penerapan pel­ langsung memeriksa persepsi guru tentang
bagai kebijakan baru pertanahan dan hak topik kontroversial itu.
kepemilikan, pengenalan teknologi Revolusi Grace Leksana dan Douglas Kammen l

Tentu tak perlu dikatakan lagi bahwa mahasiswa yang


10 
yang tidak mengizinkan mahasiswanya menulis skripsi,
kuliah di universitas-universitas di Jawa mungkin juga tesis, atau disertasi tentang peristiwa1965.
mengalihkan pandangan ke daerah lain. Meskipun Hilmar Farid, “Indonesia’s Original Sin: Mass Killings
11 

skripsi, tesis, atau disertasi yang ditulis di universitas- and Capitalist Expansion, 1965-66”, dalam Inter-Asian
universitas di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Cultural Studies, Vol. 6, No. 1, Maret 2005, hal. 3-16.
daerah lain berada di luar cakupan tinjauan ini, penting Film The Act of Killing ditayangkan kali pertama pada
12 

untuk dicatat bahwa masih ada perguruan tinggi negeri 2012 dan The Look of Silence pada 2014.

SU
TORV
P IEKI
Prisma
Prisma A R T I K E L Fachru Nofrian Bakaruddin, Ekonomi-Politik Indonesia Pasca-Korona 117

Ekonomi-Politik Indonesia
Pasca-Korona

Fachru Nofrian Bakaruddin

Tulisan ini membahas tentang dampak pandemi Covid-19 terhadap perubahan ekonomi
dengan ekonomi-politik sebagai isu utama. Sebagaimana diketahui, dampak virus Korona
terhadap ekonomi dapat dikatakan sebagai dampak eksogen. Data memperlihatkan bahwa
dampak tersebut sangat signifikan. Hal itu seperti membalikkan ekonomi yang selama ini
mengabaikan faktor eksogen dan lebih mengedepankan faktor endogen dalam rangka sta-
bilitas. Akibat­nya, ekonomi menggunakan faktor stabilitas sebagai eksponen utama eko-
nomi-politik. Krisis itu seperti memutar balik bahwa pada kenyataannya ekonomi bersifat
unstable. Pada saat terjadi krisis, ekonomi-politik stabilitas terlihat kurang siap mengha-
dapi pandemi de­ngan mengorbankan banyak hal. Tulisan ini juga ingin mengusulkan bahwa
ekonomi-politik pasca-pandemi adalah ekonomi politik instabilitas. Untuk itu, teori dan ke-
bijakan mesti beradaptasi di masa depan.

Kata Kunci: Covid-19, ekonomi-politik, instabilitas, krisis, pandemi

Dinamika Ekonomi Indonesia miliar pada kuartal ketiga, sebelum turun


Pada Masa Pandemi menjadi Rp 4.018.491 miliar pada kuartal
keempat. Meskipun meningkat, tetapi se­

S
benarnya melambat jika diban­dingkan de­
aat ini, ekonomi Indonesia dan interna­ ngan akhir periode 2018. Gambar 1 menun­
sional menghadapi tantangan amat jukkan tingkat pertumbuhan tahun 2018
berat yang tak pernah terduga. Tidak sebesar 5,17 persen menjadi 5,02 persen
ada yang mengatakan di dunia ini bahwa pada 2019. Di tengah pelambatan, Indonesia
akan terjadi bencana berupa pandemi virus mesti menghadapi krisis seperti “serangan
korona. Krisis tersebut datang bukan kare­ fajar” yang datang tanpa informasi intelijen
na lupa dan juga bukan kesalahan prediksi. yang cukup. Tingkat pertumbuhan menjadi
Tidak peduli negara dengan ekonomi yang negatif 2,07 persen pada tahun 2020. Semua
tengah berlari kencang ataupun yang sedang orang berkeluh kesah. Mereka yang kaya
menjalankan business as usual, virus koro­ pun, termasuk para pemegang kekuasaan,
na menyerang dan tak dapat dihindari. Data menjerit ketakutan terhadap terganggunya
BPS memperlihatkan bahwa pertumbuh­an kesehatan. Begitu dahsyat penderitaan sek­
pada 2019 naik dari Rp 3.782.627 miliar tor kesehatan yang selama ini diabaikan
pada kuartal pertama menjadi Rp 3.964.191 demi kepentingan ekonomi.
miliar pada kuartal kedua dan Rp 4.067.227 Pertumbuhan ekonomi memiliki bebera­

DA
B IU
RAK
T LIUK
O EGL
118 Prisma, Vol, 40, No. 4, 2021

Gambar 1. Laju Pertumbuhan Produk Domestik Bruto Tahunan (dalam persen)

7,00
6,00
5,00
4,00
3,00
2,00
1,00
-0,00
-1,00
-2,00
-3,00
01/01/2011 01/01/2013 01/01/2015 01/01/2017 01/01/2019

Sumber: Diolah dari Badan Pusat Statistik (BPS) Indonesia, dalam https://insights.ceicdata.com/
Untitled-insight/myseries (diakses 11 November 2021).

Gambar 2. Tingkat PDB: Konsumsi (dalam persen)

7,00

5,00

3,00

1,00

-1,00

-3,00
01/01/2011 01/01/2013 01/01/2015 01/01/2017 01/01/2019
Pemerintah Rumah Tangga Pengeluaran untuk Konsumsi

Sumber: Badan Pusat Statistik Indonesia (BPS), dalam https://insights.ceicdata.com/Untitled-insight/


myseries (diakses 11 November 2021).

pa sumber yang sudah bukan menjadi ra­ berarti manusia berhenti mengonsumsi, me­
hasia publik. Selama ada konsumsi, maka lainkan pengeluaran untuk konsumsi men­
selama itu pula ekonomi tumbuh. Data BPS jadi lebih sedikit. Tingkat konsumsi rumah
dalam Gambar 2 memperlihatkan tingat tangga mengalami kenaikan dari sebesar
konsumsi pada masa pandemi ini mengala­ 5,14 persen menjadi 5,18 persen, sedangkan
mi pelambatan dari sebesar 5,10 persen pada konsumsi pemerintah mengalami pelam­
2018 menjadi sebesar 4,92 persen pada akhir batan dari sebesar 4,82 persen menjadi 3,26
periode 2019. Itu menjelaskan penurunan persen. Pada masa pandemi korona tahun
tingkat pertumbuhan. Namun, hal itu bukan 2020, tingkat konsumsi rumah tangga turun

A
DRI AT ILKOEGL
Fachru Nofrian Bakaruddin, Ekonomi-Politik Indonesia Pasca-Korona 119

Gambar 3. Tingkat PDB: Investasi (dalam persen)

10,00
8,00

6,00

4,00

2,00
0,00
-2,00

-4,00
-6,00
01/01/2011 01/01/2013 01/01/2015 01/01/2017 01/01/2019

Sumber: Badan Pusat Statistik (BPS) Indonesia, dalam https://insights.ceicdata.com/Untitled-insight/


myseries (diakses 11 November 2021).

Gambar 4. Tingkat PDB: Impor (dalam persen)

14,00
9,00
4,00

-1,00

-6,00

-11,00

-16,00
01/01/2011 01/01/2013 01/01/2015 01/01/2017 01/01/2019

Sumber: Badan Pusat Statistik Indonesia (BPS), dalam https://insights.ceicdata.com/Untitled-insight/


myseries (diakses 11 November 2021).

menjadi negatif 2,67 persen dan konsumsi pandemi dari sebesar 6,68 persen menjadi
pemerintah juga turun menjadi sebesar 1,94 4,45 persen pada akhir 2019. Pelambatan
persen—tidak mencapai negatif karena ha­ berlanjut akibat pandemi menjadi nega­
rus mengantisipasi pemulihan ekonomi. tif 4,95 persen pada akhir 2020. Dengan
Sumber utama pertumbuhan lainnya demikian, bisa dikatakan, usaha memang
adalah investasi. Membeli mesin untuk pro­ tetap dapat berjalan, namun tanpa investasi.
ses produksi merupakan bagian dari investa­ Para investor pasti bertanya-tanya apakah
si. Data BPS dalam Gambar 3 menunjukkan masih mungkin memperoleh penghasilan di
bahwa investasi bergerak melambat sebelum saat pandemi. Logika ekonomi terlihat de­

DA
B IU
RAK
T LIUK
O EGL
120 Prisma, Vol, 40, No. 4, 2021

ngan adanya pilihan untuk berinvestasi atau bahwa akan terjadi kelangkaan. Pengalam­
menahan. Bagi pemerintah, dana yang ada an Krisis 1997 menjelaskan menurunnya
tentunya harus dialokasikan pada pencegah­ kredi­bilitas ekonomi dalam negeri di mata
an pandemi dan pemulihan. Tidak mung­ internasional berdampak pada kredibilitas
kin ada untung, bahkan harus menerima pembayaran dan sistem perbankan nasional.
kerugian. Situasi berubah dari optimalisasi Ketidak­tersedia­an barang akibat pelambatan
keuntungan menjadi kerugian yang efektif. impor tentu akan mengakibatkan inflasi.
Padahal, permintaan masih tetap ada meski Walaupun impor mengalami kenaikan,
terkendala oleh jarak dan waktu. Investasi tetapi hal ini tidak diimbangi oleh kenaikan
di beberapa sektor justru menjanjikan, misal­ ekspor yang justru mengalami pelambatan.
nya, pada pembuatan vaksin. Namun, hal Data BPS dalam Gambar 5 memperlihat­
tersebut bukannya tanpa risiko. kan tingkat pertumbuhan ekspor sebesar
Di bidang perdagangan internasional, 6,51 persen pada tahun 2018 dan melam­
impor sebelum pandemi mengikuti tren bat menjadi negatif 0,86 persen pada akhir
pening­katan. Indonesia memiliki pangsa 2019. Pelambatan dilanjutkan oleh adanya
pasar yang besar. Tidak semua komoditas pandemi tahun 2020 menjadi negatif sebesar
dapat diproduksi oleh ekonomi domestik. 7,70 persen. Hal tersebut dapat diperkirakan
Bahkan, bukan tidak mungkin ada yang be­ membebani perekonomian dalam nege­ri,
ranggapan bahwa semua komoditas tidak khususnya neraca pembayaran. Dengan
diproduksi oleh ekonomi domestik. Data demikian, double hit menghantam ekonomi
BPS dalam Gambar 4 memperlihatkan pada Indonesia karena di satu sisi impor menurun
tahun 2018, impor tumbuh sebesar 12,14 dan di sisi lain ekspor melambat.
persen sebelum turun menjadi negatif 7,39 Pada periode yang sama, Data BPS dalam
persen pada 2019. Pada masa pandemi, im­ Gambar 6 memperlihatkan tingkat kesempat­
por turun sebesar 14,71 persen. Dilihat dari an kerja mengalami kenaikan, tetapi diiringi
per­spektif negara mitra, juga terjadi penu­ oleh risiko pengangguran. Tingkat kesem­
runan impor. Logika ekonomi mengatakan patan kerja untuk (own account worker) me­

Gambar 5. Tingkat PDB: Ekspor (dalam persen)

16,00

11,00

6,00

1,00

-4,00

-9,00
01/01/2011 01/01/2013 01/01/2015 01/01/2017 01/01/2019

Sumber: Badan Pusat Statistik (BPS) Indonesia, dalam https://insights.ceicdata.com/Untitled-insight/


myseries (diakses 11 November 2021).

A
DRI AT ILKOEGL
Fachru Nofrian Bakaruddin, Ekonomi-Politik Indonesia Pasca-Korona 121

Gambar 6. Kesempatan Kerja (orang)

Pekerja keluarga/tak
51449,00
dibayar

Pekerja bebas di
41449,00 nonpertanian

Pekerja bebas di pertanian


31449,00
Buruh/karyawan/pegawai

21449,00
Berusaha dibantu buruh
tetap/buruh dibayar

11449,00 Berusaha dibantu buruh


tidak tetap/buruh tak
dibayar

1449,00 Berusaha sendiri

Sumber: Badan Pusat Statistik (BPS) Indonesia, dalam https://insights.ceicdata.com/Untitled-insight/


myseries (diakses 11 November 2021).
ngalami kenaikan dari sebesar 24 juta orang di sektor pertanian meningkat selama masa
pada tahun 2018 menjadi 26 juta orang pada pandemi, begitu pula pekerja kasual di sek­
akhir 2019, sebelum tetap stagnan menjadi 26 tor non-pertanian. Hal lain yang perlu diper­
juta orang pada tahun 2020. Data memperli­ hatikan adalah jumlah pekerja yang tidak
hatkan kenaikan, tetapi tidak signifikan pada dibayar. Meski mengalami penurunan pada
masa awal pandemi. Sementara itu, kategori masa sebelum pandemi, jumlahnya masih
pekerja orang yang berusaha sendiri dengan sangat besar, yaitu 14,76 juta orang dan me­
dibantu pekerja tidak dibayar mengalami ningkat signifikan pada 2020 sebesar 18,32
fluktuasi dengan tren meningkat. Selama ta­ juta orang.
hun 2018, jumlahnya sebesar 20,1 juta orang Data BPS dalam Gambar 7 memperli­
dan turun menjadi 19,9 juta orang selama ta­ hatkan kesempatan kerja di sektor pertanian
hun 2019. Jumlah tersebut meningkat pada pada masa pandemi mengalami pening­
tahun 2020 menjadi 20,1 juta orang. Jumlah katan, sedangkan di sektor pertambangan
itu lebih tinggi dibandingkan tahun 1997 ke­ menurun. Begitu pula sektor manufaktur.
tika terjadi krisis moneter, yaitu sebesar 18,0 Sementara itu, pekerja di sektor jasa hampir
juta orang. Pada periode yang sama, kategori semuanya mengalami penurunan, terutama
orang yang berusaha dengan dibantu pekerja di sektor utilitas, konstruksi, dan pendidikan.
tetap mengalami peningkatan sebelum pan­ Sedangkan kesempatan kerja di sektor ritel,
demi dari sebesar 4,38 juta orang pada tahun informasi dan komunikasi, dan kesehatan
2018 menjadi 4,46 juta orang pada 2019, se­ mengalami peningkatan. Perlu dicatat bah­
belum turun menjadi 4,05 juta orang pada ta­ wa kesempatan kerja di sektor keuangan me­
hun 2020. Untuk pegawai, jumlahnya sebe­ ngalami penurunan sangat signifikan, meski
sar 49,95 juta orang naik menjadi 52,34 juta sudah menurun jauh sebelum pandemi.
orang tahun 2019, sebelum turun menjadi Pengukuran ekonomi melalui pengguna­
46,72 juta orang pada 2020. Pekerja kasual an jam kerja juga menunjukkan gambar yang

DA
B IU
RAK
T LIUK
O EGL
122 Prisma, Vol, 40, No. 4, 2021

Gambar 7. Kesempatan Kerja Sektoral (orang)

Keuangan dan Asuransi


35191,00
Perdagangan Grosir dan
30191,00 Retail, Perbaikan Kendaraan
Bermotor dan Sepeda Motor
25191,00
Kerja Sosial dan Kesehatan
Manusia
20191,00
Pendidikan
15191,00

10191,00 Informasi dan Komunikasi

5191,00
Konstruksi

191,00
01/01/2015 01/01/2018 01/01/2021

Sumber: Badan Pusat Statistik Indonesia (BPS), dalam https://insights.ceicdata.com/Untitled-insight/


myseries (diakses 11 November 2021).

lebih jelas tentang ekonomi pada masa pan­ Lantas bagaimana dengan pengangguran
demi dan pergerakannya. Jam kerja terke­ dan kemiskinan? Data BPS dalam Gambar
san menyusut, meskipun banyak pekerjaan 8 memperlihatkan tingkat pengangguran
dilakukan hingga larut malam akibat peng­ menunjukkan kenaikan pada masa pandemi
gunaan aplikasi yang kurang terorgani­sasi. dari sebesar 7,05 juta orang menjadi 9,77
Menggunakan ukuran jam kerja per ming­ juta orang pada 2020. Kenaikan tersebut cu­
gu, Data BPS memperlihatkan jam kerja kup signifikan mendekati sepuluh juta orang.
seminggu pada tahun 2018 sebesar 43 jam Namun demikian, tingkat pengangguran ter­
dan turun menjadi 42 jam seminggu pada hitung sudah naik sebelum pandemi. Pada
2019. Jumlah itu turun menjadi 39 jam per 2018, tingkat pengangguran sebesar 7,00
minggu pada 2020. Di sektor pertanian, juta orang. Perlu dicatat, tingkat itu cukup
jam kerja turun dari 36 jam seminggu tahun tinggi jika dilihat dari jangka panjang yang
2019 menjadi 35 per minggu pada 2020. berada pada kisaran di bawah 5 juta orang.
Di sektor pertambangan, jam kerja juga tu­ Seiring dengan pengangguran, tingkat ke­
run dari 46 jam menjadi 43 jam seminggu. miskinan mengalami kenaikan dari 24,7 juta
Sementara itu, sektor manufaktur turun dari orang menjadi 27,5 juta orang. Angka itu
44 jam menjadi hanya 40 jam seminggu. Di turun dari 25,7 juta orang pada 2018. Per­
sektor utilitas turun dari 44 menjadi 43 jam lu pula dicatat bahwa jumlah orang miskin
seminggu. Begitu pula dengan sektor kons­ mengalami penurunan sejak tahun 2011.
truksi, meski sudah turun sejak tahun 2016. Itu merupakan berita baik bagi tingkat kese­
Sedangkan sektor ritel turun dari 48 menjadi jahteraan. Tingkat kemiskinan yang menu­
45 jam per minggu. Semua sektor mengala­ run seharusnya berbanding terbalik dengan
mi penurunan. tingkat kesejahteraan.

A
DRI AT ILKOEGL
Fachru Nofrian Bakaruddin, Ekonomi-Politik Indonesia Pasca-Korona 123

Gambar 8. Pengangguran Terbuka (orang) dan Kemiskinan (juta orang)

32,00
12061397,00
31,00
11061397,00
30,00
10061397,00
29,00
9061397,00 28,00

Orang/Juta
8061397,00 27,00
7061397,00
26,00
6061397,00 25,00
5061397,00 24,00
4061397,00 23,00
08/01/1997 07/01/2003 06/01/2009 05/01/2015

Pengangguran Terbuka Jumlah Orang Miskin: Indonesia

Sumber: Badan Pusat Statistik (BPS) Indonesia, dalam https://insights.ceicdata.com/Untitled-insight/


myseries (diakses 11 November 2021).

Dengan demikian, kita dapat melihat persen. Utilisasi pada sektor manufaktur
bahwa konsumsi, investasi, dan perdagang­ mengalami peningkatan selama pandemi dari
an mengalami penurunan terlepas dari tren 61 menjadi 68 persen. Namun, sebelum pan­
menurun pada periode sebelum pandemi. demi tahun 2019 adalah 75 persen, sehingga
Sedangkan kesempatan kerja cenderung mengalami pelambatan. Ditarik jangka pan­
variatif dengan makin tingginya kerentanan jang dari tahun 2015 dan 2004 mengalami
pengangguran. Jam kerja mengalami pe­ peningkatan dari sekitar 70 persen. Hampir
nyusutan, sementara kemiskinan meningkat seluruh sektor manufaktur meningkat selama
pada era pandemi. pandemi, kecuali sektor pupuk, kimia, dan
Berbeda dengan tren tersebut, Data BPS produk karet. Sektor jasa utilitas me­ngalami
dalam Gambar 9 memperlihatkan tingkat penurunan.
kapasitas utilisasi justru banyak mengalami Meskipun utilitasasi kapasitas mening­
kenaikan selama masa pandemi. Utilisasi kat, namun profit secara makro turun relatif
di sektor pertanian, peternakan, kehutanan kurang signifikan. Estimasi profit pada masa
dan perikanan justru naik dari 67 menjadi pandemi adalah sebesar Rp 12 ribu triliun ta­
76 persen dari 2020 hingga 2021. Meski me­ hun 2019 turun menjadi Rp 11,7 ribu triliun
ngalami kenaikan, bila ditarik ke belakang tahun 2020. Dibandingkan de­ngan tahun
tahun 2015 mengalami penurunan dari sebe­ 2018 sebesar Rp 10,9 ribu triliun, maka ta­
sar 77 persen. Ditarik lebih jauh lagi dari hun 2019 tersebut meningkat cukup mode­
2004, utilisasi di sektor ini meningkat dari rat. Secara jangka panjang, data tersebut me­
rata-rata 70 persen. Sektor berikutnya adalah ningkat secara signifikan sejak tahun 1991.
pertambangan dan galian yang mengalami Salah satu penjelasan mengapa profit turun
kenaikan dari 66 menjadi 73 persen, sebe­ sedangkan utilitasasi meningkat adalah bia­
lum turun ke 68 persen pada periode yang ya yang dikeluarkan menjadi lebih besar
sama. Ditarik hingga 2004, maka sektor ini pada era pandemi. Berbeda dengan profit,
mengalami penurunan dari sebelumnya 78 tingkat upah juga mengalami kenaikan mes­

DA
B IU
RAK
T LIUK
O EGL
124 Prisma, Vol, 40, No. 4, 2021

Gambar 9. Utilisasi Kapasitas (dalam persen)

Utilisasi Kapasitas
88,00
83,00
78,00
73,00

68,00
63,00
58,00
12/01/2015 02/01/2017 04/01/2018 06/01/2019 08/01/2020

Listrik, Gas, dan Air

Manufaktur
Pertambangan dan Galian
Pertanian, Peternakan, Kehutanan, dan Perikanan

Sumber: Badan Pusat Statistik (BPS) Indonesia, dalam https://insights.ceicdata.com/Untitled-insight/


myseries (diakses 11 November 2021).

Gambar 10. Utang Eksternal (dalam miliar dolar AS)

424567,00

374567,00
Utang Eksternal: Swasta

324567,00
Utang Eksternal: Pemerintah
dan Bank Sentral
274567,00
Utang Eksternal

224567,00

174567,00
09/01/2019 05/01/2020 01/01/2021

Sumber: Badan Pusat Statistik (BPS) Indonesia, dalam https://insights.ceicdata.com/Untitled-insight/


myseries (diakses 11 November 2021).

ki lebih lambat. Sebelum pandemi, tingkat jika dilihat dari tahun 2018 yang mencapai
upah sebesar Rp 3,78 ribu triliun dan cen­ angka Rp 4,0 ribu triliun. Hal itu diakibat­
derung stagnan pada 2020 sebesar Rp 3,80 kan jumlah kesempatan kerja yang menurun,
ribu triliun. Sayangnya, tingkat upah turun tetapi tingkat upah mengalami kenaikan se­

A
DRI AT ILKOEGL
Fachru Nofrian Bakaruddin, Ekonomi-Politik Indonesia Pasca-Korona 125

cara moderat. pendapatan pajak dan non-pajak. Selisih


Dari sisi utang, Data BPS dalam Gambar antara penerimaan dan pengeluaran adalah
10 memperlihatkan utang Indonesia selama surplus jika penerimaan lebih besar dan de­
pandemi mengalami kenaikan dari sebe­ fisit jika pengeluaran lebih besar, termasuk
sar 412 miliar dolar AS pada Agustus 2020 biaya utang. Saat ini, defisit membesar men­
menjadi 422 miliar dolar AS pada Februari capai 949 triliun pada 2020. Jumlah itu naik
2021, sebelum naik kembali menjadi 423 drastis dibandingkan tahun 2019 sebesar 349
miliar dolar AS pada Agustus 2021. Antara triliun. Dibandingkan dengan tahun 2000,
Februari-Agustus 2021, jumlah utang meng­ defisit sebesar Rp 16 triliun, sehingga naik
alami penurunan pada kisaran 415-416 mil­ secara signifikan.
iar dolar AS. Komposisi utang didominasi Data BPS dalam Gambar 11 memperli­
utang pemerintah dan swasta pada kisaran hatkan bahwa penerimaan pajak mengalami
200 miliar dolar AS. Sektor pemerintahan penurunan pada masa pandemi. Penerimaan
didominasi oleh pemerintah, sedangkan sek­ pajak penghasilan pada 2020 sebesar Rp 594
tor swasta didominasi oleh sektor non-bank, triliun, turun dari Rp 772 triliun pada 2019.
terutama korporasi non-finansial. Secara Pajak penghasilan secara jangka panjang
umum, utang sebelum pandemi bergerak mengalami kenaikan dan merupakan sumber
naik, meski untuk bank sentral menurun. Se­ utama penerimaan pajak diikuti oleh pajak
cara sektoral, sektor utilitas kecuali air me­ pertambahan nilai sebesar Rp 450 triliun
nyumbang utang tertinggi. pada tahun 2020. Jumlah itu juga turun jika
Pemerintah tentu memerlukan budget dibandingkan dengan tahun 2019 yang sebe­
untuk pembiayaan pembangunan. Peneri­ sar Rp 531 triliun, namun cenderung naik
maan pemerintah biasanya diperoleh dari dalam jangka panjang. Penerimaan lainnya

Gambar 11. Penerimaan Pajak (dalam rupiah)

1603816,00
Bukan Pajak: Bagian Laba
1403816,00 BUMN
Bukan Pajak: Sumber Daya
1203816,00 Alam

Bukan Pajak
1003816,00

803816,00 Pajak: Pajak Dalam Negeri:


Pajak Pertambahan Nilai (PPN)
603816,00 Pajak: Pajak Dalam Negeri

403816,00
Pajak

203816,00
Pajak: Pajak Dalam Negeri:
Pajak Penghasilan (PPh)
3816,00
01/01/2000 01/01/2007 01/01/2014

Sumber: Badan Pusat Statistik (BPS) Indonesia, dalam https://insights.ceicdata.com/Untitled-insight/


myseries (diakses 11 November 2021).

DA
B IU
RAK
T LIUK
O EGL
126 Prisma, Vol, 40, No. 4, 2021

Gambar 12. Investasi Asing Langsung (dalam miliar dolar AS)

8113,00
6113,00
4113,00

2113,00
113,00
-1887,00
-3887,00
-5887,00
-7887,00
09/01/2015 11/01/2016 01/01/2018 03/01/2019 05/01/2020

Investasi Asing Langsung: BPM6: Total

Sumber: Badan Pusat Statistik (BPS) Indonesia, dalam https://insights.ceicdata.com/Untitled-insight/


myseries (diakses 11 November 2021).

adalah dari sumber daya alam dan perusa­ keseluruhan berjumlah 2,6 mi­liar dolar AS
haan negara sebesar Rp 97 triliun dan Rp 66 mengalami perbaikan diban­dingkan tahun
triliun pada tahun 2020. Penerimaan non-pa­ 2018 minus sebesar 7,1 juta dolar AS. Meski
jak sumber daya alam turun dibandingkan mengalami peningkat­an, secara jangka pan­
tahun 2018 sebesar Rp 180 triliun, begitu jang turun dari sebesar 30 miliar dolar AS
pula dengan profit dari BUMN sebesar Rp pada 2010. Komposisi neraca pembayaran
80 triliun pada tahun 2019. Penerimaan nega­ berupa neraca perdagang­an barang memper­
ra bukan pajak mengalami kenaikan setelah lihatkan surplus dari defisit 228 juta dolar
2015, tetapi masih lebih rendah dibanding­ AS pada 2018 menjadi 28 juta dolar AS pada
kan tahun 2014, sedangkan penerimaan dari 2020. Namun demikian, neraca perdagangan
BUMN mengalami kenaikan sejak 2014 jasa masih menghadapi defisit yang membe­
secara moderat. Kenaikan signifikan profit sar dari minus 6,5 miliar dolar AS pada ta­
BUMN terjadi antara tahun 2018 dan 2019. hun 2018 menjadi minus 9,7 juta dolar AS.
Net capital inflow ditandai dengan ada­nya Sementara itu, primary income masih meng­
arus investasi (FDI), baik yang baru atau­ hadapi defisit, sedangkan secondary income
pun reinvestasi. Data BPS dalam Gambar sudah surplus.
12 memperlihatkan kenaikan sebelum pan­ Indikator moneter lainnya yang penting
demi sebesar 30 miliar dolar AS pada 2019. terkait dengan jumlah uang beredar dan pen­
Angka itu naik dari sebelumnya 4,5 miliar ciptaan uang adalah kredit. Data BPS dalam
dolar AS pada 2016, setelah turun dari 25,1 Gambar 14 memperlihatkan tingkat kredit di
juta dolar AS pada 2014. Secara jangka pan­ Indonesia mengalami kenaikan sebagaimana
jang, tahun 2014 merupakan inflow tertinggi ditunjukkan oleh kredit bank komersial men­
sepanjang sejarah ekonomi Indonesia. Arus jadi sebesar Rp 66,496 triliun pada 2020 dari
modal terkait dengan neraca pembayaran sebelumnya sebesar Rp 64,987 triliun pada
(lihat Gambar 13).. Neraca pembayaran In­ tahun 2019. Secara jangka panjang jumlah
donesia secara ke­seluruhan mengalami per­ itu naik secara signifikan jika dibandingkan
baikan secara mo­derat. Pada tahun 2020, tahun 2003 sebesar Rp 4.825 triliun. Porsi

A
DRI AT ILKOEGL
Fachru Nofrian Bakaruddin, Ekonomi-Politik Indonesia Pasca-Korona 127

Gambar 13. Neraca Pembayaran (dalam miliar dolar AS)

27835,00

17835,00

7835,00

2165,00
-12165,00
-22165,00

-32165,00
01/01/2010 01/01/2013 01/01/2016 01/01/2019

Neraca Perdagangan: Jasa Neraca Perdagangan: Barang Neraca Pembayaran

Sumber: Badan Pusat Statistik (BPS) Indonesia, dalam https://insights.ceicdata.com/Untitled-insight/


myseries (diakses 11 November 2021).

Gambar 14. Jumlah Kredit (dalam triliun rupiah)

Bank-bank Komersial
5358424,00

4358424,00

3358424,00

2358424,00

1358424,00
09/01/2019 02/01/2020 07/01/2020 12/01/2020 05/01/2021

Kredit Kredit: Barang Modal

Kredit: Konsumsi Kredit: Investasi

Sumber: Badan Pusat Statistik (BPS) Indonesia, dalam https://insights.ceicdata.com/Untitled-insight/


myseries (diakses 11 November 2021).

kredit terbesar adalah pada barang modal kisaran 9-10 persen. Kredit usaha perdesaan
diikuti konsumsi dan investasi. Sementara mengalami kenaikan dari Rp 106 triliun pada
itu, tingkat suku bunga cenderung turun dari 2019 menjadi Rp 113,8 triliun. Sementara
kisaran 10-11 persen menjadi 8-9 persen. itu, kredit untuk UMKM mengalami penu­
Perlu dicatat bahwa sektor perikanan tu­ runan pada era pandemi menjadi Rp 1.032
run menjadi 9 diikuti kenaikan masih pada triliun (Juli 2021) dari Rp 1.035 triliun (Juni

DA
B IU
RAK
T LIUK
O EGL
128 Prisma, Vol, 40, No. 4, 2021

Gambar 15. Tingkat Inflasi dan Suku Bunga (dalam persen)


7,00 4,00
6,50
3,50
6,00
3,00
5,50
5,00 2,50
4,50
2,00
4,00
3,50 1,50

3,00 1,00
11/01/2019 04/01/2020 09/01/2020 02/01/2021 07/01/2021

Suku Bunga deposito Bank Indonesia: Rupiah: 1 Bulan

Indeks harga konsumen: Tahun ke Tahun (YoY)

Sumber: Badan Pusat Statistik (BPS) Indonesia, dalam https://insights.ceicdata.com/Untitled-insight/


myseries (diakses 11 November 2021).

2021), naik dari Rp 1.006 triliun (Januari Covid-19, tingkat inflasi sebesar 3,2 persen.
2021). Angka itu turun dari sebelum pande­
mi Covid-19 yang mencapai Rp1.046 triliun
(Maret 2020). Secara jangka panjang naik
dari Rp 360 triliun pada tahun 2011. Ekonomi-Politik Stabilitas
Data BPS dalam Gambar 15 menunjuk­
kan tingkat suku bunga mengalami penu­ Sebelum pandemi, stabilitas menjadi kata
runan menjadi 3,5 persen pada 2021 (2 Ma­ kunci dalam ekonomi. Hal tersebut dapat
ret-5 Oktober) dari 3,75 persen pada 2021 (4 dianggap wajar karena Indonesia pernah
Desember-25 Januari 2021). Tingkat suku mengalami krisis moneter tahun 1998 yang
bunga Bank Indonesia mengalami penurunan meruntuhkan perekonomian. Sebagaimana
dari sebelumnya sebesar 4 persen, masih pada diketahui, banyak industri di sektor perban­
periode yang sama era pandemi tahun 2020 kan dan non-keuangan yang meng­a­la­mi­
(29 Juli-12 November 2021). Sebelum pan­ kebangkrutan. Tentu saja hal tersebut ber­
demi, tingkat suku bunga mengalami penu­ dampak pada tenaga kerja. Peristiwa terse­
runan terendah sebesar 6 persen pada 2018 but seperti tidak terduga, meski sudah ada
(3 Desember-12 Juli). Angka itu naik dari yang mencoba untuk menjelaskannya. Gejo­
4,25 persen pada gtahun 2017. Tingkat suku lak tersebut terjadi tanpa diiringi oleh resesi
bunga terkait dengan tingkat inflasi. Tingkat ekonomi, yaitu pelambatan pertumbuhan dua
inflasi inti YoY (year on year) mengalami periode berturut-turut. Padahal, adanya rese­
kenaikan pada era pandemi dari 1,2 persen si dianggap sebagai penjelasan teknis sebe­
(April 2021) menjadi 1,3 persen (September lum krisis. Kejadian tahun 1998 menunjuk­
2021). Pada periode sebelumnya, tingkat in­ kan bahwa stabilitas merupakan istilah kunci
flasi mengalami penurunan dari 2,8 persen dalam ekonomi yang selama ini diabaikan.
(April 2020) menjadi 1,6 persen (Desember Karena itu, stabilitas menjadi orientasi atau
2020). Pada 2019, tahun sebelum pandemi politik ekonomi utama sejak tahun 1998.
A
DRI AT ILKOEGL
Fachru Nofrian Bakaruddin, Ekonomi-Politik Indonesia Pasca-Korona 129

Kebijakan yang berorientasi stabilitas men­ Pemerintah menaikkan jumlah utang dalam
jadi arah baru bagi ekonomi yang kemudian rangka kesempatan kerja penuh demi sta­
diadopsi oleh otoritas moneter, seperti Bank bilitas dan pemerintah menjadi defisit demi
Indonesia. menjaga stabilitas. Semakin meningkat jum­
Kebijakan pada masa pandemi memper­ lah utang, maka makin besar risiko defisit.
lihatkan jumlah utang yang kian mening­ Kecenderungan lainnya terkait perpajak­
kat. Data di atas menunjukkan tingkat utang an. Sebagai instrumen fiskal, pajak merupa­
yang semakin cepat. Pemerintah memerlu­ kan sumber utama penerimaan negara selain
kan pembiayaan untuk mengatasi kebutuhan penerimaan dari non-pajak. Data memper­
penanganan pandemi Covid-19. Di sisi lain, lihatkan bahwa penerimaan dari pajak ber­
tingkat utang juga sudah mengalami kenaik­ sumber terutama dari pajak penghasilan dan
an sebelum pandemi. Tren tersebut tampak pajak pertambahan nilai. Pemerintah tentu
jelas dan merupakan konsekuensi dari pem­ berupaya keras menaikkan penerimaan dari
bangunan infrastruktur yang masif. Padahal, pajak melalui berbagai strategi, misalnya,
belajar dari krisis tahun 1998, salah satu extra effort dan tax amnesty. Hal itu berbeda
penyebabnya adalah jumlah utang yang cu­ dengan industri dan konsumen yang tentu­
kup tinggi. Namun demikian, situasi setelah nya lebih memiliki kecenderungan pengu­
dan sebelum tahun 1998 memang berbeda. rangan pajak. Sebelum pandemi, industri
Periode yang pertama mengadopsi nilai tu­ dan konsumen menjadi objek pajak yang tu­
kar yang mengambang, sedangkan periode rut memberikan kontribusi pada penerimaan
sebelumnya menganut nilai tukar tetap. Ke­ pajak yang semakin naik. Hal ini masih ter­
bijakan itu dianggap menguras devisa dan kait dengan rencana ekonomi pemerintah
merontokkan nilai tukar rupiah terhadap dalam pembangunan yang masif membutuh­
dolar Amerika Serikat. Kebijakan ini diang­ kan anggaran sangat besar. Pengenaan pajak
gap mampu mengimbangi tingkat utang dan pendidikan dan sembako mewah merupakan
tetap menjaga kestabilan. Diharapkan, kebi­ salah satu karakteristik ekonomi-politik yang
jakan stabilitas dapat menciptakan kesempat­ diterapkan pada masa sebelum pandemi. Se­
an kerja penuh dan mempercepat pertumbuh­ lain itu, pandemi Covid-19 secara apriori
an. akan menurunkan kemampuan ekonomi dan
Data lainnya adalah terkait pergerakan penerimaan perpajakan. Adanya pajak akan
defisit anggaran pemerintah. Pada masa pan­ mempercepat pertumbuhan meskipun masih
demi, defisit tentu semakin bertambah dan menjadi perdebatan. Pada titik itu, muncul
untuk itu diperlukan antisipasi dengan mem­ dilema antara stabilitas dan hasil penerimaan
buat peraturan dan kebijakan yang memper­ pajak untuk pertumbuhan.
bolehkan defisit melebihi tiga per­sen hingga Kondisi ekonomi makro juga tidak
tahun 2023. Kebijakan itu sendiri merupak­ ter­lepas dari investasi yang dikeluarkan
an pelajaran dari krisis sebelumnya pada ta­ peme­rintah. Pada masa pandemi, investasi
hun 1997, ketika pemerintah mengucurkan menga­lami pelambatan. Namun, pada masa
banyak bantuan yang pada akhirnya muncul sebelum pandemi, investasi dapat dikatakan
persoalan terkait legalitas bantuan tersebut. naik dengan tajam seiring rencana pemba­
Sebagaimana diketahui, kebijakan defisit ngunan dan percepatan pertumbuhan. Ke­
merujuk pada kebijakan internasional, yaitu naikan investasi pada akhirnya akan mem­
penyatuan Uni Eropa yang mematok defisit beri kemudahan bagi ketahanan ekonomi
di angka tersebut demi alasan stabilitas. De­ dan stabilitas. De­ngan semakin banyaknya
ngan demikian, strategi atau instrumen de­ investasi, cadangan devisa akan makin ba­
fisit menjadi salah satu instrumen demi alas­ nyak di satu sisi dan dapat membiayai pemba­
an stabilitas. Jika dikaitkan dengan utang, ngunan yang pada akhirnya diharapkan me­
maka ada korelasi antara utang dan defisit. ningkatkan kesempatan kerja dan stabilitas.
DA
B IU
RAK
T LIUK
O EGL
130 Prisma, Vol, 40, No. 4, 2021

Dengan demikian, kita bisa melihat kesem­ ngan peningkatan beberapa sektor industri.
patan kerja dan stabilitas sangat terkait dan Fluktuasi sebelum pandemi memperlihatkan
mendominasi ekonomi-politik sebelum pan­ upaya ekonomi-politik untuk tercapainya
demi. Tantangan utama pada masa pandemi kemajuan dalam industri primer dan manu­
tentu sangat besar dan untuk itu pemerintah faktur serta tersier. Ekonomi-politik ter­
memberikan dana pemulihan ekonomi me­ hadap peningkatan tersebut tecermin dalam
lalui BUMN dengan memangkas anggaran pe­ningkatan kapasitas di sektor industri
lainnya. Hal itu juga demi terjaganya stabili­ tertentu. Upaya mengoptimalisasi tampak
tas dibandingkan pertumbuhan. berkurang pada sektor pertambangan, meski
Dari sisi moneter, lalu lintas moneter yang angkanya masih cukup tinggi. Apa sebetul­
terjadi berdasarkan kebijakan yang tidak nya yang terjadi pada industri itu dari sisi
terlepas dari kepentingan bank sentral tetapi ekonomi-politik? Upaya peningkatan utili­
juga pemerintah. Logikanya, kebijakan in­ sasi kapasitas juga diiringi oleh ekspektasi
stitusi moneter juga memperlihatkan kecen­ naiknya tingkat pertumbuhan yang diharap­
derungan berbagai kepentingan yang tidak kan oleh pemerintah. Di sisi lain, ekspektasi
terlepas dari orientasi stabilitas. Ber­bagai keynesian juga berharap tercapai, sehingga
program dikeluarkan sebagai upaya untuk tercapai kestabilan sebagaimana yang di­
mengatur kredit, obligasi, pasar moneter, inginkan oleh pengusaha, yaitu realisasi
inflasi, suku bunga, dan nilai tukar. Sumber kapasitas yang semestinya.
utama efektivitas moneter tersebut adalah Data lainnya memperlihatkan keterkaitan
stabilitas. Meskipun seakan-akan efek dari antara kestabilan dan ekspektasi pengusaha,
kebijakan, tetapi di belakang hal tersebut yaitu tingkat profit. Adanya tingkat pertum­
tentu ada kepentingan otoritas. Adanya pan­ buhan merupakan alasan lain bagi pelaku
demi tentu akan menurunkan tingkat kredit. usaha untuk mempertahankan kapasitas
Namun, pada kenyataannya, data kredit tahun pada kisaran 60-80 persen. Hal demikian
2020 lebih besar diban­dingkan data tahun menandakan bahwa angka permintaan di
2019 dan sebelumnya. Tujuan utama kredit Indonesia masih cukup besar, meski per­
adalah penyaluran uang yang “memuat” tumbuhan melambat negatif pada masa
ekspektasi pemerintah, peng­usaha, dan per­ pandemi. Pe­ningkatan kapasitas tersebut di­
bankan. Ekspektasi peme­rintah, kredit dapat harapkan dapat memenuhi permintaan yang
melengkapi instrumen fiskal dalam rangka ada sehingga, sebagaimana ditunjukkan oleh
penciptaan demand. Di sisi lain, pengusaha data, tingkat profit masih bisa meningkat
dan perban­kan memiliki ekspektasi yang meski sedikit melambat. Namun, berbeda
sama, yaitu bergeraknya industri dan likuidi­ dengan investasi yang melambat pada masa
tas yang kian bertambah. Kebijakan pendal­ sebelum pandemi, investasi pada masa pan­
aman moneter tentu diharapkan dapat men­ demi bukan berita baik bagi kestabilan atau
jadi fasilitator demi tercapainya ekspektasi sebaliknya karena melambat hingga nega­
kebijakan tersebut. tif, meski tingkat kapasitas dan profit tetap
Di dalam persaingan, ekonomi-politik tinggi. Para pelaku mungkin cenderung me­
juga terlihat tidak menentu selama pan­ nyimpan uangnya pada masa pandemi. Data
demi korona. Sebagaimana terlihat, tingkat mengenai tingkat tabungan memperlihatkan
utilisasi kapasitas dalam industri primer, adanya kenaikan pada masa pandemi.
sekunder, dan tersier selama pandemi dan Sesuai dengan data, ekonomi-politik ter­
dibandingkan dengan sebelum pandemi cu­ kait dengan urusan internasional juga me­
kup fluktuatif dan variatif. Upaya pemerin­ nentukan dinamika ekonomi. Data menun­
tah beserta pelaku industri untuk menahan jukkan bahwa peran internasional cukup
laju pelambatan ekonomi selama pandemi besar ditandai oleh neraca perdagangan dan
dapat dikatakan cukup berhasil ditandai de­ arus investasi yang makin dinamis. Neraca
A
DRI AT ILKOEGL
Fachru Nofrian Bakaruddin, Ekonomi-Politik Indonesia Pasca-Korona 131

pembayaran sering kali dijadikan rujukan yang tinggi memperlihatkan upaya negara
untuk integrasi internasional. Pemerintah se­ untuk menggenjot pertumbuhan. Pemerin­
lama ini meyakini bahwa perdagangan inter­ tah tentu mengharapkan adanya kenaikan
nasional, khususnya impor, sangat penting. pendapatan untuk menyerap kesempatan
Di balik perdagangan tersebut, keterbukaan kerja. Ekonomi-politik kestabil­an menjadi
menjadi vitalitas utama penggerak ekono­ dominan dalam penerapan kebijakan ke­
mi pertumbuhan. Syarat dari perdagangan tenagakerjaan di Indonesia, baik pada masa
tersebut adalah nilai tukar dan tingkat in­ pandemi maupun sebelum pandemi. Pada
flasi yang stabil. Karena itu, kita bisa me­ masa pandemi, adanya bantuan pemerintah
lihat bahwa ekonomi-politik stabilitas juga tentu merupakan upaya untuk mengantisi­
sebagai panglima ekonomi, baik pada masa pasi turunnya permintaan akibat pelambatan
pandemi maupun sebelum pandemi. Di balik pendapatan.
argumen keterbukaan, ada argumen stabili­
tas sebagai fundamental ekonomi. Kita bisa
melihat peran bank sentral yang cukup ak­ Pasca-Korona: Ekonomi-Politik
tif membeli dan menjual mata uang melalui
serangkaian operasi moneter untuk mem­ Unstable World?
perkuat cadangan devisa dan kestabilan nilai
tukar dan tingkat harga. Apa yang akan terjadi pascapandemi Covid-
Tenaga kerja merupakan salah satu sum­ 19? Pandemi sudah memberikan pelajar­an
ber pertumbuhan, baik dari sisi penawaran besar bagi dunia. Setiap orang di Planet Bumi
maupun permintaan. Dari sisi penawaran, ini mungkin tidak pernah memba­yangkan
produktivitas tenaga kerja memberikan kon­ akan adanya pandemi yang menyerang se­
tribusi yang penting terhadap kemajuan eko­ cara masif. “Serangan” virus korona itu dim­
nomi, sedangkan dari sisi permintaan, tenaga ulai pada Desember 2019 dan dinyatakan se­
kerja memberikan kontribusi melalui penge­ cara resmi oleh Pemerintah Indonesia pada
luaran untuk konsumsi. Semakin banyaknya Maret 2020. Pada awalnya, krisis yang ber­
pengangguran dan rendahnya kesempatan asal dari Wuhan, China, itu banyak ditemui
kerja merupakan indikator yang tidak baik di negara-negara utara, termasuk Uni Eropa.
bagi kemajuan ekonomi. Baik pengusaha Yakin dengan pandangan bahwa wabah itu
dan pemerintah maupun tenaga kerja meng­ tidak akan menjalar ke Indonesia, pemerin­
akui dan sepakat akan hal tersebut. Namun tah baru bertindak pada pertengahan Maret
demikian, terkait upah dan jam kerja tentu­ 2020. Saat itu, sebagian besar negara sudah
nya merupakan inti dari proses tarik-menarik menyusun dan menggelar berbagai kebi­
perekonomian. Tenaga kerja berkepentingan jakan. Bahkan, beberapa di antara mereka
untuk memiliki upah yang tinggi dan jam menghentikan aktivitas perekonomian se­
kerja yang sedikit, sedangkan pengusaha hari-hari. Besaran krisis itu terasa sangat
sebaliknya: upah yang rendah dan jam kerja kuat menghentikan aktivitas sosial manusia
yang banyak. Berbagai kebijakan pada masa sebagai makhluk sosial yang berinteraksi se­
pandemi memperlihatkan kecende­rungan cara langsung.
tingkat upah yang semakin mening­kat, teru­ Salah satu dampak pandemi terhadap
tama upah minimum kabupaten. Di sisi lain, ekonomi adalah terganggunya mobilitas
jam kerja juga memperlihatkan peningkatan, individual dan sosial. Lebih jauh lagi, mo­
terlebih lagi setelah diundang­kannya Un­ bilitas sebagai vitalitas utama perekonomian
dang-Undang Cipta Kerja. Kebijakan tingkat “terhenti” karena banyak orang tidak berani
upah minimum yang selalu naik memperli­ untuk keluar rumah untuk berangkat ke kan­
hatkan peran negara untuk menjaga batas so­ tor dan sekolah ataupun untuk melakukan
sial terendah, sedangkan kebijakan jam kerja aktivitas lainnya. Pada awalnya, baik peme­
DA
B IU
RAK
T LIUK
O EGL
132 Prisma, Vol, 40, No. 4, 2021

rintah maupun organisasi produksi atau cara resmi “kerja dari rumah” (WfH) atau
orga­nisasi masyarakat masih menjalankan “kerja dari kantor” (WfO) secara bergilir.
rutinitas seperti biasa. Setidaknya ada dua Sebagi­an besar instansi dan ruang publik
hipotesis yang mencuat di Indonesia saat itu, juga berhenti dan ditutup. Gerak dan mo­
yaitu virus Covid-19 tidak akan berkembang bilitas dibatasi. Bahkan, diberlakukan sanksi
di nega­ra tropis dan adanya herd-immunity. hukum terhadap siapa pun yang melanggar.
Kedua hipotesis itu seolah menegaskan bah­ Ada semacam korelasi antara semakin tinggi
wa virus korona tidaklah berbahaya. Selain mobilitas maka semakin tinggi pula jumlah
itu, muncul anggapan bahwa korona adalah terdampak korona.
virus influenza biasa yang dapat diobati se­ Sebagaimana diketahui, orang Indone­
cara alami; cukup minum obat antiflu dan sia yang terdeteksi dan terpapar virus koro­
istirahat total. Anggapan tersebut kurang na adalah dua orang warga Depok, Jawa
tepat karena berbagai alasan. Salah satunya Barat, pada 1 Maret 2020. Itu merupakan
adalah variabel virus korona yang sangat kasus pertama yang diakui secara resmi oleh
bervariatif dan relatif, sehingga bergantung pemerintah. Berikutnya, kasus meningkat
pada metabolisme individu itu sendiri. Dalam dengan cepat menjadi 109.936 orang pada
rangka penanganan virus itu, berbagai pihak 1 Agustus 2020, sebelum akhirnya menjadi
mencoba mengembangkan formula, baik 735.124 orang pada 30 Desember 2020.
dalam maupun luar negeri, de­ngan berbagai Pada 1 Juni 2021, jumlah terpapar meningkat
metode. menjadi 1.826.527 orang. Pada 1 November­
Pandemi Covid-19 yang menghantam 2021, jumlah terpapar 4.073.831 orang
mobilitas berlanjut menyerang kinerja per­ mem­perlihatkan peningkatan eksponensial
ekonomian. Semakin banyak korban, maka terutama sejak 18 Juni 2021, setelah hari
semakin besar awan gelap yang menyeli­muti raya lebaran, ketika jumlah terpapar sebesar­
masyarakat. Kabar baiknya, pemerintah ma­ 1.963.266 orang. Tradisi mudik menjadi
sih dapat mengelola keadaan untuk tidak salah satu alasan kenaikan tersebut, namun
berubah menjadi kepanikan massal. Ma­ alasan lainnya adalah kebijakan yang masih
syarakat juga berupaya untuk tenang dan sa­ berorientasi pada ekonomi dibandingkan ke­
ling membantu. Walaupun masyarakat tidak sehatan. Hingga periode tersebut, pemerin­
panik dan berusaha saling mengingatkan, tah belum menerapkan kebijakan lockdown
Covid-19 tetap tidak dapat menenangkan diri­ atau penghentian aktivitas publik. Pada Juni
nya sendiri. Sistem kerja pun mulai berubah 2021, pemerintah menerapkan lockdown se­
dari work from office menjadi work from cara bertahap, mulai dari bulanan dan per­
home. Pelbagai aplikasi meeting dalam jari­ panjangan mingguan. Pada Oktober 2021,
ngan (online) pun berkembang pesat, teruta­ setelah kurva terpapar Covid-19 melambat,
ma aplikasi zoom, gmeet, webex dan skype. pemerintah menurunkan Pemberlakuan
Ketergantungan pada internet kian mening­ Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM)
kat. Masyarakat bekerja menggunakan inter­ di Jakarta dari level 4 ke level 3 dan sejak
net, membeli logistik menggunakan internet, awal November menjadi level 1. Kebijakan
sekolah pun menggunakan internet. Selain tersebut memberikan kepastian, baik kepada
itu, komoditas masker dan desinfek­tan serta masyarakat dan pekerja maupun pengusaha.
vitamin C semakin berkembang pesat mem­ Kepastian menjadi tampak jelas sehingga
perlihatkan perilaku konsumsi masyarakat. proses produksi dapat disesuaikan. Peristiwa
Sementara itu, sektor strategis dan vital ma­ itu memperlihatkan bahwa dalam situasi
sih dibuka dengan menggunakan shift proses yang tidak stabil, kepastian terkait strategi
produksi terus berjalan. Intensitas dampak diperlukan. Itu juga menunjukkan bahwa
korona semakin terasa ditandai dengan ke­ ketegasan pihak otoritas dimungkinkan
bijakan pemerintah yang menerapkan se­ dalam situasi yang tidak stabil. Sebelumnya,
A
DRI AT ILKOEGL
Fachru Nofrian Bakaruddin, Ekonomi-Politik Indonesia Pasca-Korona 133

seperti tidak dapat dipisahkan antara kepas­ masyarakat berpenghasilan rendah. Alo­
tian dan ketidakstabilan karena ekonomi- kasi dana tersebut akan direalisasikan untuk
politik stabilitas masih menjadi perspektif “program keluarga harapan” sebesar Rp 37,4
perekonomian. triliun, kartu sembako Rp 43,6 triliun, diskon
Ekonomi-politik penanganan krisis aki­ listrik dengan anggaran sebesar Rp 6,9 trili­
bat pandemi Covid-19 termasuk yang paling un, bantuan sosial tunai non-Jabodetabek Rp
sulit untuk diterapkan. Setidaknya ada dua 32,4 triliun, bantuan sosial sembako Jabode­
alasan. Pertama, kekhawatiran terganggu­nya tabek Rp 6,8 triliun, BLT dana desa Rp 31,8
stabilitas ekonomi yang memang diterapkan triliun, kartu prakerja Rp 20 triliun, logistik
sejak 1967, saat pemerintah mengadopsi termasuk pangan dan sembako Rp 25 triliun.
tri­­logi pembangunan, yakni pertumbuhan, Anggaran itu patut diapresiasi, meski perlu
stabi­litas, dan pemerataan pendapatan. Se­ dicermati sejauh mana penerapannya. Acap
iring dengan waktu, hierarki tersebut berge­ kali persoalan data dan penyimpangan men­
ser. Pemerintah terus-menerus mengatakan jadi isu yang lebih diperhatikan dan seakan
pertumbuhan, sedangkan Bank Sentral menjadi hambatan bagi pencairan. Anggaran
mengedepankan stabilitas sehingga seakan itu bersumber pada realokasi anggaran dari
ada dua tujuan yang berbeda. Dalam prak­ kementerian dan lembaga lainnya, sehingga
tik, berbagai kebijakan seperti nilai tukar, banyak terjadi pemotongan anggaran. Selain
tingkat suku bunga, mata uang elektronik, itu, anggaran tersebut berasal dari pelebar­
penyelamatan perbankan, dan sebagainya an defisit anggaran yang berimplikasi pada
tampak seperti lebih “menyelamatkan” sta­ peningkatan monetary financing. Selain per­
bilitasi dibandingkan pertumbuhan. Ketika lindungan sosial, anggaran lain yang disiap­
terjadi pandemi Covid-19, perangkat yang kan adalah anggaran kesehatan (Rp 214,96
ada tidak siap menghadapi ketidakstabilan. triliun), program prioritas (Rp 117,94 tri­
Kedua, berbagai prinsip mikro seperti ke­ liun), UMKM dan korporasi (Rp 162,40 tri­
hati-hatian, sistem perekrutan, sistem pe­ liun), serta insentif usaha (Rp 62,83 triliun).
nilaian, birokrasi dan prosedur sudah meng­ Pemerintah memberikan laporan yang cukup
acu pada administrasi mikro dan bukan pada lengkap terkait kemajuan penyerapannya
manajemen makro yang semakin mempersu­ yang sudah mencapai 58,3 persen.1
lit alokasi anggaran untuk penanganan kri­ Yang menarik di sini adalah selain jum­
sis. Dampak paling jelas adalah lambatnya lahnya yang cukup besar, juga cara penya­
pencairan bantuan dan besaran yang terlihat lurannya yang berbeda. Misalnya, penyalur­
kurang masuk akal. Salah satu poin pent­ an melalui Kementerian BUMN, bukan
ing ekonomi pada masa pandemi adalah melalui Kementerian Keuangan. Karena itu,
program pemulihan ekonomi, yang seolah- kebijakan tersebut bisa saja dikatakan tidak
olah lebih penting dibandingkan dengan sta­ konservatif. Namun, perlu dicatat bahwa hal
bilitas. Akibatnya, berbagai peraturan yang tersebut bukan berarti tidak ada kesempat­
semula dipasang dengan alasan stabilitas an untuk berinvestasi. Bagaimanapun juga,
menjadi dibuka dan memungkinkan pening­ rasionalitas ekonomi mengatakan orien­
katan anggaran pengeluaran dalam rangka tasi profit di setiap kesempatan. Penerapan
penciptaan permintaan: government as the PCR, penggunaan aplikasi untuk penyaluran
last-lender for demand. dana dan berbagai persyaratannya yang juga
Data yang dikeluarkan oleh Kementerian menggunakan aplikasi kian memungkinkan
Keuangan Republik Indonesia memperlihat­
kan bahwa program pemulihan telah menga­
lokasikan anggaran sebesar Rp 203,9 triliun
untuk program perlindungan sosial dan Rp Lihat, https://www.kemenkeu.go.id/media/15149/program-
1 

1,3 triliun untuk insentif perumahan bagi pemulihan-ekonomi-nasional.pdf.

DA
B IU
RAK
T LIUK
O EGL
134 Prisma, Vol, 40, No. 4, 2021

untuk berinvestasi, terutama untuk peru­ tik. Adanya raksasa besar perusahaan digi­
sahaan dalam industri digital. Di belakang tal dan sistem digital saja, misalnya, dengan
industri tersebut tidak dapat dipisahkan dari mata uang digital dan berbagai aplikasi cen­
kapitalisme global dengan berbagai industri derung menyebabkan ketidakstabilan. Faktor
besar sebagai pemilik sahamnya. Hal terse­ lain selain pandemi adalah perubahan iklim
but memungkinkan penjelasan karakteristik dan geopolitik, seperti keluarnya Inggris dari
krisis akibat pandemi di era kapitalisme digi­ Uni Eropa, atau migrasi besar-besaran dari
tal yang berbeda dengan krisis sebelumnya. Timur Tengah. Semua itu kian menampak­
Selama ini, digitalisasi dianggap bisa sema­ kan ketidakstabilan dan semakin tidak re­
kin memberikan kepastian, tetapi dengan levannya ekonomi-politik yang berorientasi
melihat struktur kapital bukan tidak mungkin pada stabilitas. Karena itu, ke depan bukan
justru semakin memungkinkan terjadinya sekadar tantangan terhadap instabilitas,
ketidakpastian. Hal itu terutama bagi negara tetapi juga kenyataan yang mesti dipertim­
berkembang yang masih memerlukan modal bangkan oleh ekonomi dan pengambilan ke­
dari luar termasuk untuk pembiayaan utang bijakan sehingga mesti ada perubahan arah
dan pemenuhan kebutuhan ekonomi domes­ ekonomi-politik yang lebih realistis. l

A
DRI AT ILKOEGL
Prisma
Prisma K R I TDonny
I KDanardono,
& KReproduksi
O M Kapitalistik
E N TRuangA Kota
R dan Perlawanan dari Pinggiran 135

Reproduksi Kapitalistik Ruang Kota dan


Perlawanan dari Pinggiran*

R eproduksi kapitalisme di kota-kota


Indonesia tak hanya merusak hubung­
an sosial dan hubungan antara ma­
nusia dengan lingkungan―yang semula
antarsesama manusia dan antara manusia
dengan lingkungan. Bagaimana cara menyu­
sun perlawanan itu?
Tampaknya tak ada cara selain mengan­
bersifat organik―di luar perkotaan, ia juga dalkan kelompok-kelompok sosial yang me­
menobatkan kota-kota sebagai pusat peradab­ miliki hubungan organik dengan lingkungan.
an. Wujud dari krisis sosial itu adalah peng­ Dalam suatu hubungan yang organik itu,
ang­guran, konflik sosial, serta perampasan kehadiran dan pekerjaan manusia akan me­
lahan dan hutan adat untuk penambangan lestarikan lingkungan; pada saat yang sama
atau perkebunan monokultur. Sedangkan lingkungan akan menyejahterakan manusia.
wujud dari krisis ekologis adalah banjir, ta­ Karena itu, hubungan organik tersebut akan
nah longsor, penurunan tanah, dan wabah menjadi alasan kuat untuk terus melawan se­
penyakit. tiap usaha yang akan mengakhirinya.
Berbagai tulisan di jurnal Prisma Volu­me
40, Nomor 3, 2021 bertema “Transforma­
si Ruang Kota: Mencari Keadilan Sosial- Hubungan Organik:
Ekologis” secara kritis menggambarkan Perlawanan dari
bagaimana reproduksi kapitalistik ruang “Semarang Coret”
kota dan berbagai krisis ekologi-sosial yang
ditim­bulkannya. Pada jurnal Prisma edisi “Transformasi
Ruang Kota: Mencari Keadilan Sosial-Eko­
logis”, saya secara khusus menaruh perha­
tian pada artikel yang ditulis oleh Bosman
Hubungan Organik Versus Batubara dan Eka Handriana. Artikel ber­
Krisis Ekologi-Sosial judul “Dari Krisis Sosial-Ekologis ke Ekolo­
gi-Sosial: Kasus Suburbia Semarang” itu
Karena itu, perlawanan terhadap reproduksi mengisahkan perjuangan para petani “Seri­
kapitalisme di ruang-ruang kota yang me­ kat Tani Kota Semarang” (STKS) yang ting­
nimbulkan krisis ekologi-sosial itu meru­ gal di wilayah “Semarang Coret” di masa
pakan syarat untuk memperbaiki hubungan pandemi Covid-19.
“Semarang Coret”, menurut Bosman dan
Eka, adalah “… Semarang, tetapi ia dicoret.
* Disampaikan di webminar “Transformasi Ruang Kota: Ia dicoret, tetapi ia adalah Semarang” (hal.
Mencari Keadilan Sosial-Ekologis” yang diselengga­
36). Itu adalah bentuk pemaknaan yang me­
rakan oleh PMLP Universitas Katolik Soegijapranata,
Semarang, dan Jurnal Prisma, Selasa, 9 November nolak dualisme (oposisi biner) modernisme
2021; lihat, https://bit.ly/WebinarPMLP09Nov2021 Cartesian, dalam hal ini menolak hubungan
dan https://bit.ly/Trans-Ruang-Kota dikotomis antara wilayah Kota Semarang
KRITIK & KOMENTAR KRITIK & KOMENTAR
136 Prisma, Vol, 40, No. 4, 2021

dan pinggiran Semarang. Kedua wilayah itu Para petani STKS tak menjual hasil
senantiasa berhubungan, namun eksploitatif. pa­nen, tetapi membagikannya ke seluruh
Wilayah perkotaan mengeksploitasi ling­­ku­ anggota STKS, ke warga sekitar sesuai
ng­an dan masyarakat di wilayah pinggir­an. kebutuh­an nyata mereka. Dengan cara itu,
Rupanya penolakan mereka terhadap pan­ STKS meng­ubah hubungan antara manusia
dangan dualisme Cartesian itu tidak hanya dan lahan (lingkungan) yang komodifikasi
dalam bentuk penerapan istilah “Semarang menjadi hubungan yang non-komodifikasi.
Coret”, tetapi juga dalam cara pandang para Dengan kata lain, mereka tak melekatkan
petani STKS ini terhadap hubungan antara nilai ekono­mis (manfaat) pada lahan, tetapi
manusia dengan lingkungan. Dengan me­ meng­anggap lahan sebagai pembentuk mak­
ngutip Murray Bookchin, Bosman dan Eka na hidup mere­ka sebagai manusia. Itu se­
menulis: babnya, melalui lahan, para anggota STKS
dapat membentuk berbagai pengetahuan:
 wal permasalahannya, demikian Bookchin,
A dari penge­tahuan bercocok-tanam, politik
adalah pandangan Cartesian yang secara bi­ pangan, koperasi, hukum agraria, lingkung­
ner melihat bahwa manusia terpisah dari alam an sampai feminisme (hal. 43).
(dalam konteks ini non-manusia). Pemaham­ Jadi, bisa dikatakan, karena para petani
an seperti itu membuat manusia memandang STKS tak melihat lahan dari segi manfaat
sesuatu di luar dirinya sebagai unit yang (utilitarianisme), maka terbentuklah hubung­
harus dipetakan, dikontrol, didominasi, dan an timbal-balik antara mereka dengan lahan
dieksploitasi untuk keberlangsungan hidup tersebut Pada saat mengerjakan lahan dan
manusia maupun akumulasi kekayaan. (…) menyuburkan lahan, pada saat itu juga lahan
Manusia dominatif di satu sisi dan alam (non- tersebut memberi mereka bahan pangan dan
manusia) tersubordinasi di sisi lain (hal.33). berbagai pengetahuan. Begitulah bagaimana
mereka mereproduksi identitas sebagai peta­
Serikat Tani Kota Semarang yang lahir ni dan manusia dalam kaitan organik dengan
pada 19 Mei 2020―saat wabah Covid-19― lahan.
bukan beranggotakan para petani profesional.
Anggota STKS adalah mahasiswa, peneliti,
akademisi, pekerja seni, pewiraswasta, dan Hubungan Organik: Perem­
ibu rumahtangga (hal. 40). STKS melakukan
urban-farming seperti yang umum dilaku­
puanAdat dan Desa Melawan
kan oleh warga berbagai perumahan di Kota Krisis Ekologi-Sosial
Semarang di masa wabah Covid-19 itu.
Namun, bila warga perumahan melaku­ Strategi perlawanan para petani STKS di
kan urban-farming di wadah pot atau dalam wilayah pinggiran terhadap reproduksi kapi­
bentuk hidroponik, karena keterbatasan la­ talisme di perkotaan seperti itu mirip dengan
han, para petani STKS melakukannya di atas yang pernah dilakukan oleh para perempuan
tanah. Memang itu bukan lahan hak milik adat dan perdesaan di Nusa Tenggara Timur
mereka. Itu adalah lahan-lahan milik peru­ (NTT). Seperti halnya “Semarang Coret”,
sahaan properti, komunitas atau perorangan. wilayah adat dan perdesaan, baik di NTT
Sebelum mereka manfaatkan tanah-tanah itu maupun bukan di provinsi ini, juga meru­
untuk bercocok tanam, semua merupakan pakan wilayah pinggiran.
lahan-lahan tak produktif, seperti resapan Saya menuliskan perlawanan perem­
air yang ditumbuhi ilalang, lintasan jog- puan adat dan perdesaan NTT terhadap re­
ging yang mangkrak, lahan dalam sengketa produksi kapitalisme yang merambah ke
kepemilikan dan kebun menganggur (hal. lingkungan mereka itu dalam artikel “Kete­
39-40). gangan Ruang­ Privat dan Publik dalam Pe­
KRITIK & KOMENTAR
Donny Danardono, Reproduksi Kapitalistik Ruang Kota dan Perlawanan dari Pinggiran 137

nyelamatan Ekologi: Negara, Perusahaan, di ruang privat untuk memasak, mengasuh


dan Perempuan Adat” (Jurnal Perempuan, anak, dan membersihkan rumah. Mereka,
Vol. 19, No. 1, Februari 2014). Dalam artikel secara pragmatis, menukar identitas dan
itu saya menuliskan perlawanan Mama Aleta peran gender yang ada di ruang privat dan
Baun bersama para perempuan penenun ter­ publik itu. Mereka tak memberhalakan pe­ran
hadap dua perusahaan penambang mar­mer gender feminin dan maskulin. Bagi mereka,
di Gunung Mutis yang merupakan ruang hubungan kedua ruang itu tak dikotomis,
penghidupan mereka dan juga perlawanan tetapi terkait. Kedua perusahaan tambang
Siti Rofiah dan para perempuan Manggarai marmer akhirnya mengundurkan diri dari
terhadap revolusi hijau yang diterapkan di Gunung Mutis.
desa mereka pada tahun 1983. Sementara itu, Siti Rofi’ah dari Mang­
Para perempuan itu melawan dengan cara garai Barat, Nusa Tenggara Timur, mene­
menawar kepastian peran gender mere­ka di rapkan strategi perlawanan mirip dengan
ruang publik dan ruang privat. Saat mereka yang dilakukan Aleta Baun. Dia adalah
menuntut keadilan ekologis di ruang pu­blik, pejuang kemandirian pangan di desanya.
para suami menggantikan peran domes­ Memperjuangkan kemandirian pangan bisa
tik mereka. Begitulah mereka menganggap dimaknai sebagai memperbaiki mutu ling­
ruang­ publik tak terpisah secara gender dari kungan di sekitarnya. Siti Rofi’ah dan para
ruang privat. Perempuan dan pria bisa ber­ perempuan Manggarai Barat melawan pro­
ganti peran di kedua ruang itu. gram revolusi hijau yang diterapkan di desa
Aleta Baun, para perempuan penambang, mereka pada 1983. Revolusi hijau membuat
dan para pria di masyarakat adat Molo― warga desa yang semula berkebun menjadi
yang pada tahun 1990-an melawan dua pe­ menanam padi di sawah. Semula, mereka
rusahaan penambang marmer di Gunung menanam jagung, pisang, dan berbagai je­
Mutis―menganggap Gunung Mutis sebagai nis umbi (yang merupakan makanan pokok
sumber kehidupan mereka. Di gunung itu mereka), kemudian menanam padi varietas
mereka berburu, menanam tanaman pangan, unggul berdasarkan prinsip-prinsip berco­
obat, dan pewarna kain tenun. Gunung itu cok tanam revolusi hijau. Mereka mengang­
juga merupakan sumber air mereka. Itu se­ gap menanam padi secara ekonomis lebih
babnya mereka menjalin hubungan spiritual menguntungkan.
dengan gunung itu. Mereka memberi nama Karena mengharapkan panen padi ber­
marga berdasarkan tanah, air, batu, dan po­ limpah, maka mereka harus membeli pupuk
hon yang ada di gunung itu. Bagi mereka, kimia dan pestisida dari perusahaan agroin­
kedua perusahaan penambang batu marmer dustri. Mereka menjadi bergantung pada pu­
itu akan menghancurkan sumber daya alam puk kimia yang harus mereka beli. Mere­ka
sekaligus identitas diri mereka (hal. 77). tak lagi membuat dan menjual pupuk orga­
Dalam puncak perlawanannya―seperti nik. Pestisida yang harus mereka beli sepaket
yang dilaporkan dalam artikel “Mama Aleta, dengan pupuk kimia itu bukan hanya mem­
Peraih Goldman dari Pegunungan Molo” bunuh berbagai serangga hama padi, tetapi
(Tempo.co, Senin, 15 April 2013)―Aleta juga berbagai musuh alaminya dan bahkan
Baun mengerahkan ratusan perempuan memperkuat daya tahan beberapa jenis se­
adat untuk menenun kain adat di lahan-la­ rangga hama. Akibatnya, padi-padi mereka
han penambangan marmer. Untuk itu, para kerap diserang beragam hama baru se­perti
perempuan penenun harus bertukar peran wereng coklat, hama putih, dan penggerek
gender dengan para pria adat. Saat para batang. Mereka tak siap dengan itu dan ke­
perempuan berjuang di ruang publik untuk rap gagal panen. Untuk mencukupi kebutuh­
memperoleh keadilan ekologis bagi diri dan an sehari-hari, mereka harus berutang beras
komunitas adatnya, para pria adat bekerja ke para pengijon. Mereka akan melunasinya
KRITIK & KOMENTAR
138 Prisma, Vol, 40, No. 4, 2021

dengan padi yang mereka tanam. Gagal pa­ nyatakan: “Seharusnya pemerintah mendu-
nen itu juga memunculkan berbagai masalah kung pangan lokal ini, karena ketergantung­
sosial, seperti anak-anak yang harus berhenti an orang pada beras hanya berujung pada
sekolah, orangtua bertengkar, dan kehidupan bantuan raskin (beras untuk orang miskin)
menjadi lebih buruk. dan membuat warga malas dan manja. Me-
Melihat hal itu Siti Rofi’ah mengum­ lepaskan kebun berarti melepaskan hidup.”
pulkan ibu-ibu untuk arisan beras. Melalui Begitulah bagaimana Siti Rofi’ah dan
arisan ini, setiap bulannya, ibu-ibu dan ke­ kelompok ibu-ibu arisan membebaskan
luarganya selalu kecukupan beras. Mereka warga desanya dan desa-desa sekecamatan
bahkan bisa menjual kelebihannya untuk dari krisis ekologi-sosial. Mereka telah me­
mendapatkan uang tambahan. Kemudian nyelamatkan krisis pangan di rumahtangga
atas persetujuan mereka, sebuah LSM mem­ (ruang privat) masing-masing dengan meng­
berikan pendampingan dengan program-pro­ ubah cara kerja para pria dan perempuan di
gram kerja yang menghasilkan uang. LSM kebun dan sawah (ruang publik), dan juga
itu juga mengajari mereka membuat pupuk mengganti padi dengan jagung, umbi, pi­
organik dan pupuk kandang. Pupuk orga­nik sang, dan sorgum. Perubahan-perubahan
dan pupuk kandang itu digunakan untuk demikian akhirnya mengikis krisis ekologi-
sawah mereka dan sebagian mereka jual. Pu­ sosial di desa tersebut. Ibu-ibu itu membuat
puk organik tak membunuh musuh-musuh ruang privat dan ruang publik terkait.
alami dari berbagai hama itu.
Siti Rofi’ah kemudian berjalan ke gu­
nung-gunung untuk mencari sorgum merah, Penutup
hitam, dan putih. Selama ini, menurutnya,
warga desa menganggap sorgum sebagai Dari kisah petani STSK, Mama Aleta Baun
tanaman liar. Dia tak ingin warga desanya dengan perempuan penenun kain adat, dan
bergantung pada beras sebagai makanan po­ Siti Rofiah dengan para ibu-ibu arisan itu,
kok, yang membuat mereka makin tergan­ kita memperoleh pelajaran bahwa efektivi­
tung perusahaan-perusahaan agroindustri tas dan daya tahan perlawanan terhadap re­
benih padi varietas unggul, pupuk kimia, produksi kapitalisme yang menimbulkan kri­
dan pestisida yang telah menimbulkan krisis sis ekologi-sosial hanya akan efektif jika para
ekologi-sosial di desanya, yaitu matinya mu­ pelawan menjalin hubungan organik dengan
suh alami para hama, munculnya hama baru, lahan. Perlawanan yang tak meng­akar pada
gagal panen, dan kemiskinan. lahan (lingkungan) akan mudah kehilangan
Sejak itu, warga desanya dan desa-desa arah dan dipatahkan. Mungkinkah kita me­
di kecamatan lain kembali berkebun untuk ngaitkan lagi manusia perkotaan dengan ta­
menanam jagung, umbi-umbian, pisang, dan nah secara organik?
sorgum. Tentang hal itu, Siti Rofi’ah me­ Donny Danardono l

KRITIK & KOMENTAR


Prisma PA R A P E N U L I S Prisma, Vol, 40, No. 4, 2021 139

Airlangga Pribadi Kusman lahir di Jombang, Jawa Timur, 23 Novem­


ber 1976. Dosen pada Departemen Politik, FISIP Universitas Airlangga,
Surabaya (sejak 2004); Direktur Centre for Governance and Citizenship
Studies (CGCS), Universitas Airlangga (sejak 2016); dan Staf Khusus
pada Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Trans­
migrasi (sejak 2016). Meraih gelar Sarjana Ilmu Politik (Juli 2002) dari
Departemen Politik, FISIP Universitas Airlangga, dan S-2 (Februari
2006) dari Universitas Indonesia. Peneliti pada Pusat Studi Islam dan
Kenegaraan (PSIK), Universitas Paramadina (2007-2009) dan associate
researcher pada Departemen Politik Soegeng Sarjadi Syndicated (2002-
2004) ini, memperoleh gelar Doktor (2006) dari Asia Research Center
Murdoch University, Australia, dengan disertasi berjudul “The Politis
of Good Governance in Post-Authoritarian East Java: Intellectuals and
Local Power in Indonesia.” Aktif menjadi narasumber dalam berbagai
kegiatan ilmiah serta konferensi tingkat nasional dan internasional, an­
tara lain, lokakarya “Intoleransi Keagamaan di Indonesia Pasca-Orde
Baru”, Jakarta (2016); konferensi “Australian Political Science Associa­
tion”, Murdoch University, Australia (2013); konferensi internasional
“The Paradox of Innovation in Governance Practices”, University Bru­
nei Darussalam (2012); seminar nasional “Pemilu Lokal dan Problem
Kemiskin­an pada Era Reformasi” (2008), dan lain-lain. Anggota Dewan
Redaksi Jurnal Prisma ini adalah penulis buku The Vortex of Power:
Intellectual and Politics in Indonesia’s Post-Authoritarian Era (2018)
dan The Religious Intolerance as a Reflection of the Governance Failu­
re (2017) serta sejumlah artikel di beberapa jurnal, media luring dan
da­ring.

Bosman Batubara, lahir di Tolang, 11 Juli 1980, adalah alumnus Ju­


rusan Teknik Geologi UGM (2005) dan Interuniversity Programme
in Water Resources Engineering, KU Leuven dan VU Brussel, Belgia
(2012). Sekarang membagi waktu untuk menyelesaikan disertasi di Wa­
ter Governance Department, IHE-Delft Institute for Water Education,
dan Human Geography, Planning, and International Development De­
partment, University of Amsterdam; sembari bekerja sebagai peneliti di
institusi kedua. Terlibat kerja-kerja (ko-)produksi pengetahuan seperti
menulis buku, antara lain Teman Rebahan: Kapitalisme dan Covid-19
(2020); bersama Henny Warsilah, Ivan Wagner, dan Syukron Salam,
Maleh dadi Segoro: Krisis Sosial-Ekologis Kawasan Pesisir Semarang-
Demak (2020); bersama Heru Prasetia dan Bosman Batubara, Bencana
Industri: Relasi Negara, Perusahaan, dan Masyarakat Sipil (2010);
bersama Paring Waluyo Utomo, Kronik Lumpur Lapindo: Skandal Ben-
cana Industri Pengeboran Migas di Sidoarjo (2012); kontributor dalam
Anton Novenanto Membingkai Lapindo: Pendekatan Konstruksi Sosial
atas Kasus Lapindo (Sebuah Bunga Rampai) (2013); kontributor dalam

PARA PENULIS
140 Prisma, Vol, 40, No. 4, 2021

Dwicipta dan Hendra Try Ardianto, #Rembang Melawan: Membongkar


Fantasi Pertambangan Semen di Pegunungan Kendeng (2015); bersama
Anna Mariana (penyunting), Seni dan Sastra untuk Kedaulatan Petani
Urutsewu: Etnografi Wilayah Konflik Agraria di Kebumen (2015); dan
sebagai penyunting tamu dalam Jurnal WACANA 35/Tahun XIX/2017;
menulis artikel dalam jurnal Wiley Interdisciplinary Reviews: Water, Wa-
cana, Prisma, Antipode, dan Human Geography, serta majalah daring
Inside Indonesia dan südostasien. Pernah menjadi reviewer untuk jurnal
Bhumi, Antipode, Geoforum, Annals of the American Association of Geo­
graphers, dan Water Alternatives.

Donny Danardono, lahir di Malang, Jawa Timur, 17 Maret. Saat ini me­
ngajar di Program Studi Ilmu Hukum dan Program Magister Lingkungan
dan Perkotaan (PMLP) Universitas Katolik Soegijapranata, Semarang.
Menjalani pendidikan formal di Fakultas Hukum Universitas Brawijaya,
Malang, dan meraih gelar Sarjana Hukum (1988) dari universitas ini serta
melanjutkan pendidikan dan meraih gelar MHum (1999) dari Sekolah
Tinggi Filsafat (STF) Driyarkara, Jakarta. Menerbitkan sejumlah tulisan
dalam buku dan artikel jurnal tentang etika lingkungan, etika kepedu­
lian, kajian gender, filsafat hukum, dan filsafat ruang. Bersama Antonius
Cahyadi menyunting buku bertajuk Sosiologi Hukum dalam Perubahan
(2009); menulis artikel berjudul “Critical Legal Studies: Posisi Teori dan
Kritik”, dalam majalah Kisi Hukum (Vol.14, No. 1, 2015); bersama Mar­
tijn Eickhoff, Tjahjono Rahardjo, dan Hotmauli Sidabalok, menulis ar­
tikel “The Memory Landscapes of ‘1965’ in Semarang”, dalam Journal
of Genocide Research (Vol. 19, No. 4, 2017); dan lain-lain. Selain dosen
tetap, kini menjabat Ketua Program Magister Lingkungan dan Perkotaan
(PMLP) Universitas Katolik Soegijapranata, Semarang.

Douglas Anton Kammen dilahirkan di Ithaca, New York, tahun 1965.


Menamatkan S-1 dari Jurusan Filsafat dan Jurusan Asian Studies, S-2
dan S-3 dari Jurusan Pemerintahan Universitas Cornell, Amerika Serikat,
di bawah bimbingan Profesor Benedict R O’G Anderson. Kali pertama
tertarik dengan Asia Tenggara pada 1983, ketika berada di Solo, Jawa
Tengah. Saat itu, meruyak kampanye eksekusi ekstra-yudisial yang dike­
nal sebagai “Pembunuhan Misterius.” Sempat mengajar di Departemen
Ilmu Politik, Canterbury University, Selandia Baru (1998-2000), menjadi
Senior Scholar Fulbright di Universitas Hasanuddin, Makassar (2000-
2001), dan kemudian mengajar di Universidade Nacional Timor Lorosae,
Dili (2001-2003). Penelitiannya berfokus pada politik dan sejarah Asia
Tenggara, khususnya Indonesia dan Timor Leste dan terutama pada isu-
isu kekerasan politik, gerakan sosial, aksi kolektif dan hak asasi manusia.
Penah menjadi peneliti di Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (CAVR)
di Timor-Leste (2003-2004); In-Country Coordinator United States-East
Timor Scholarship (2006); dan dosen di Department of Southeast Asian
Studies, National University of Singapore (sejak 2007). Banyak mener­
bitkan karya tulis, di antaranya artikel berjudul “World-turned-upside-
down: Benedict Anderson, Ruth McVey and the ‘Cornell Paper’,” dalam
PARA PENULIS
Prisma, Vol, 40, No. 4, 2021 141

Indonesia (Oktober 2017); sejumlah buku bertajuk A Tour of Duty:


Changing Patterns of Military Politics in Indonesia in the 1990s (1999,
bersama Siddharth Chandra); The Contours of Mass Violence in Indone-
sia, 1965-1968 (2012, disunting bersama Katharine E McGregor); Three
Centuries of Conflict in East Timor (2015); Independent Timor-Leste:
Between Coercion and Consent (2019), dan Cina Timor: Baba, Hakka
and Cantonese in the Making of East Timor (2019).

Eka Handriana, lahir di Karanganyar, 22 September 1981. Menyele­


saikan studi S-1 (2004) Sosial Ekonomi Pertanian dari Fakultas Pertanian
Universitas Brawijaya, Malang. Aktivitasnya di lembaga pers mahasiswa
mendorongnya untuk menulis pelbagai persoalan ketimpangan kepemi­
likan lahan, salah satunya lewat skripsi tentang “Analisis Usaha Tani
Peserta Program Perhutanan Sosial Perhutani” di Donomulyo, Malang
Selatan. Penulis pernah bekerja sebagai reporter tetap di surat kabar lo­
kal Harian Jateng Pos (Jawa Pos Group, 2009-2011) dan Harian Suara
Merdeka (Suara Merdeka Group, 2011-2016), juga menjadi kontributor
untuk Rappler Indonesia dan Panajournal. Penulis berkontribusi dalam
beberapa buku, di antaranya Tumbuh di Era Digital (2016), Menoreh
Jejak di Jalan Terjal: Menyoal Perburuhan dan Serikat Pekerja (2016),
dan bagian tulisan berjudul “Para Petani yang Terbuang dari Tanah
Moyang” dalam Menjaga Pangan Merawat Masa Depan (2017). Sejak
Mei 2020 penulis berkegiatan di Serikat Tani Kota Semarang (STKS)
yang aktivitas fisiknya berhenti setidaknya pada Desember 2020, namun
produksi pengetahuan di dalamnya masih berlanjut.

Fachru Nofrian Bakaruddin dilahirkan di Jakarta, 24 November 1977.


Menyelesaikan S-1 di Departemen Filsafat Universitas Indonesia dan
Fakultas Ekonomi Universitas Trisakti, Jakarta; S-2 di Université Paris
10 Nanterre; dan PhD di Maison des Sciences Economiques, Université
Paris 1 Panthéon-Sorbonne. Disertasinya berjudul “Proses Pembangunan
dan Industrialisasi di Indonesia dan Perbandingannya dengan Cina dan
India Periode 1945-2013” meraih penghargaan best dissertation tahun
2013 dari AFIDES (Association Franco-Indonésien pour les Dévéloppe­
ment des Sciences). Ekonom Indonesia pertama yang bekerja di OECD,
Paris, Perancis, untuk kawasan Asia itu juga pernah bekerja di Badan
Supervisi Bank Indonesia. Pemakalah dan narasumber dalam berbagai
konferensi dan seminar internasional African Program for Rethinking
Development Economics; 55Bandung55 Conference; International Ini­
tiatives for Promoting Political Economy; Energy Economics Interna­
tional Conference; Indonesian Conference on Economic Development,
dan lain-lain. Menerbitkan buku, antara lain, Pendekatan Ekonomi He­
terodox; Some Current Issues in Asia and Africa; dan lain-lain. Publika­
si makalah di jurnal internasional, antara lain, “Changement Politique
Economique Institutionnel en Indonésie Période 1945-2013” (Marché et
Organisation); “Industrialization and Profit Rate Analysis in Indonesia”
(Review of Radical Political Economics, Q1 journal); “Does Trade Fa­
cilitation Really Matter for the Growth of MSMEs’ Export? The ASEAN
PARA PENULIS
142 Prisma, Vol, 40, No. 4, 2021

Case” (Journal of Small Business and Entrepreneurship Development),


dan sebagainya. Redaktur Ekonomi Jurnal Prisma ini mengajar di Uni­
versitas Pembangunan Nasional “Veteran”, Jakarta.

Farid Gaban lahir di Wonosobo, 12 Juli 1961. Pernah bekerja di sejum­


lah media, antara lain, Majalah Editor (1986-1988), Redaktur Ekseku­
tif Harian Republika (1990-1997), Redaktur Pelaksana Majalah Tempo
(1999-2005), dan The Geotimes Magazine (2015-2019). Pernah menge­
nyam pendidikan di Jurusan Planologi, Fakultas Teknik Sipil, Institut
Teknologi Bandung (ITB, tidak lulus), dan Kursus Jurnalisme Ekonomi
pada Center for Foreign Journalist, Reston, Virginia, Amerika Serikat
(1988). Pengalaman liputan berkeliling Amerika Serikat (1988); reunifi­
kasi Jerman/runtuhnya Tembok Berlin (1989), Perang Bosnia (1992), Je­
rusalem/Palestina (2000), setahun bersepeda motor (2009-2010) keliling
kepulauan Indonesia dalam Ekspedisi Zamrud Khatulistiwa. Kini Direk­
tur Eksekutif Yayasan Zamrud Khatulistiwa, yayasan yang bergerak di
bidang advokasi dan implementasi ekonomi biru di Indonesia; menjabat
Ketua Dewan Riset Daerah Kabupaten Wonosobo (2020- 2025) dengan
kajian utama pertanian, ekonomi lokal, dan koperasi. Menulis sejumlah
buku, antara lain, Dor! Sarajevo: Sebuah Rekaman Jurnalistik Nestapa
Muslim Bosnia (Mizan, 1993); Belajar Tidak Bicara: Solilokui (Mizan,
1997); Pemilu Legislatif 2004 (bersama Tabrani Syabirin, 2004); dan Ta-
man Laut Indonesia (Zamrud Khatulistiwa, 2017).

Grace T Leksana dilahirkan di Jakarta, 1980. Menamatkan studi S-1


di Jurusan Psikologi, Universitas Katolik Atma Jaya, Jakarta; S-2 di In­
stitute of Social Studies, The Hague; dan S-3 dari Jurusan Humaniora
Universitas Leiden, Negeri Belanda, dengan disertasi berjudul Embed-
ded Remembering: Memory Culture of the 1965 Violence in East Java.
Menjadi salah satu periset di KITLV (Royal Netherlands Institute of
Southeast Asian and Carribean Studies, 2015-2020). Sejak 2006, aktif
di Institut Sejarah Sosial Indonesia (ISSI) khususnya dalam merancang
beberapa program bersama guru-guru sejarah. Mengajar di Fakultas
Psikologi Unika Atma Jaya (2009-2010), Leiden Institute of Area Stud­
ies (2020), dan saat ini mengajar di Jurusan Sejarah Universitas Negeri
Malang, Jawa Timur. Karya-karyanya antara lain “Remembering Anti-
Communist Violence in Rural Society: Patronage, Agricultural Trans­
formation and The Legacy of Violence”, dalam Christian Gerlach dan
Clemens Six (eds.), The Palgrave Handbook of Anti-Communist Perse-
cutions in the Twentieth Century (Palgrave Macmillan, 2020); Reconcili­
ation through History Education: Reconstructing the Social Memory of
the 1965–66 Violence in Indonesia”, dalam Birgit Brauchler (ed.), Recon­
ciling Indonesia: Grassroots Agency for Peace (2009); “Collaboration in
Mass Violence: The Case of the Indonesian Anti-Leftist Mass Killings
in 1965–66 in East Java”, dalam Journal of Genocide Research (Vol.
23, No. 1, 2021), dan lain-lain. Saat ini tengah melakukan riset tentang
kewargaan dan perubahan sosial melalui studi masyarakat perkebunan di
Malang Selatan.
PARA PENULIS
Prisma, Vol, 40, No. 4, 2021 143

Inaya Rakhmani adalah Direktur Asia Research Center dan dosen


Departemen Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Indonesia, dan pengurus Akademi Ilmuwan Muda Indone­
sia, serta anggota Dewan Redaksi Jurnal Prisma. Meraih gelar Sarjana
Komunikasi dari Universitas Indonesia (2004); MA dari Universiteit
van Amsterdam, Negeri Belanda (2007), dan PhD dari Asia Research
Centre, Murdoch University, Australia (2013). Memiliki sejumlah pe­
ngalaman dalam penelitian akademis dan terapan di pendidikan tinggi
dan reformasi penelitian ilmu sosial, serta peran media dalam proses
demokrasi. Minat akademis yang mendasari praktik penelitian terapan­
nya fokus pada pemahaman bagaimana budaya dapat menghambat
dan memungkinkan redistribusi kekayaan dan akses ke banyak orang.
Karya-karya ilmiahnya diterbitkan dalam beberapa jurnal internasional.
Kajiannya mengenai budaya Islam mainstream dan sinetron Indonesia
diterbitkan dalam Asian Journal of Social Science dan kajian spesifik
mengenai komersialisasi dakwah yang diterbitkan dalam International
Communication Gazette. Tulisan-tulisannya dalam rupa review film juga
banyak diterbitkan oleh media lokal sebagai bentuk respons kritis terha­
dap budaya populer. Menulis banyak artikel, bab dalam buku, dan buku
Mainstreaming Islam in Indonesia: Television, Identity and the Middle
Class. Buku terbitan tahun 2016 itu merupakan pengembangan dari diser­
tasinya saat mengambil program doktoral di Murdoch University.

Kamala Chandrakirana Soedjatmoko lahir di Jakarta, 2 Oktober 1960.


Meraih gelar S-1 Sosiologi dari Universitas Indonesia (1981); Bachelor
of Arts dari Sophia University, Tokyo, Jepang (1983); dan Masters of
Science dalam Sosiologi Pembangunan dari Universitas Cornell, Ithaca,
New York, AS (1988) dengan tesis berjudul “Ethnic-based Social Move­
ments in East Sumatra: The Role of Ethnicity in Politics.” Mengawali
kerja sebagai peneliti isu pembangunan sosial dan isu perempuan, asisten
peneliti pada Cornell University, Department of Rural Sociology, un­
tuk the Native American Studies Program (Januari-Mei 1986) ini, juga
aktif dalam gerakan perempuan. Sebelum ditunjuk sebagai Sekretaris
Jenderal kemudian Ketua Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap
Perempuan (Komnas Perempuan), masing-masing periode 1998-2003
dan 2004-2009, pernah menjadi konsultan untuk Yayasan Pengembang­
an Masyarakat Desa Irian Jaya (YPMD-IRJA, Agustus-September
1994) dan konsultan untuk UNDP-Jakarta (1995). Pendiri dan Dewan
Pengurus usat Pendidikan dan Informasi Islam dan Hak-hak Perempuan
(Rahima, sejak 1999) ini kerap menjadi pembicara untuk isu perempuan
dalam berbagai pertemuan, baik nasional maupun internasional. Pada
2009, bersama sejumlah aktivis dan akademisi, mendirikan Musawah,
sebuah gerakan global untuk kesetaraan dan keadilan dalam keluarga
Muslim. Anggota Majelis Jaringan Masyarakat Sipil untuk Transparansi
dan Akuntabilitas Pembangunan (JARI Indonesia, sejak 1999-seka­
rang); Koordinator Komite Eksekutif Kelompok Kerja Indonesia untuk
Penanggukangan Kemidkinan Struktural (KIKIS, sejak 1999-sekarang);
Pendiri dan Anggota Dewan Etik Indonesia Corruption Watch (1999-
PARA PENULIS
144 Prisma, Vol, 40, No. 4, 2021

sekarang) ; peneliti independen untuk isu-isu perempuan, lembaga lokal,


kemiskinan dan dinamika masyarakat sipil (1991-1998). Peneliti Center
for Policy and Implementation Studies (CPIS, 1988-1991) dan anggota
Perkumpulan Lembaga Studi Advokasi Masyarakat (Elsam, sejak 2004)
ini, adalah anggota Dewan Redaksi Jurnal Prisma (sejak 2009).

Vedi R Hadiz adalah Direktur Asia Institute dan Guru Besar Kaji­
an Asia di University of Melbourne, Australia. Meraih gelar Sarjana
Ilmu Politik (1987) dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP)
Universitas Indonesia dan gelar Doktor (1996) dari Murdoch Univer­
sity, Australia. Direktur the Society for Political and Economic Studies
(SPES), Jakarta, awal tahun 1990-an ini, banyak menulis buku, antara
lain, Islamic Popu­lism in Indonesia and the Middle East (Cambridge
University Press 2016) dan Localising Power in Post-Authoritarian In-
donesia: A Southeast Asia Perspective (Stanford University Press 2010),
Kekuasaan: Ekonomi Politik Indonesia Pasca-Soeharto (2005); bersa­
ma Richard Robison, Reorganising Power in Indonesia: The Politics of
Oligarchy in an Age of Markets (2004); Workers and the State in New
Order Indonesia (1997); Politik, Budaya dan Perubahan Sosial (1992),
serta menyunting beberapa buku, antara lain, Empire and Neoliberalism
in Asia (2006) dan, bersama Daniel Dhakidae, Social Science and Power
in Indonesia (2005). Selain itu, banyak menulis artikel dalam berbagai
jurnal ilmiah internasional, seperti International Political Science Re-
view, Critical Sociology, Third World Quarterly, Journal of Develop-
ment Studies, Journal of Contemporary Asia, Critical Asian Studies,
Pacific Review dan Development and Change. Pada 2017, Redaktur
Senior Jurnal Prisma ini dikukuhkan sebagai salah satu Fellow di Aka­
demi Ilmu-ilmu Sosial Australia.

PARA PENULIS
146 Prisma, Vol, 40, No. 4, 2021

Anda mungkin juga menyukai