Dawam Rahardjo
SOSIALISME
I N D O N E S I A
Genealogi dan Diaspora
SOSIALISME INDONESIA:
GENEALOGI DAN DIASPORA
Yayasan LANSKAP
DAFTAR ISI
1
Henry D. Aiken, The Age of Ideology (Boston: Houghton Mifflin, 1956). Sebelum Aiken menulis
buku tersebut, Louis L. Snyder menyebut abad ke-19 sebagai “Abad Pemikiran”, yang juga
menjadi judul bagi bukunya, The Age of Reason (New York: D. van Nostrand Company, 1955).
2
Pandangan mengenai berakhirnya Abad Ideologi itu telah dikemukakan sejak akhir tahun 1950-
an, yang secara akademis diwakili oleh buku yang ditulis oleh Daniel Bell, The End of Ideology: On
the Exhaustion of Political Ideas in the Fifties (Cambridge, Massachusetts: Harvard University
Press, 1988 [1960]).
3
Gejala berakhirnya Abad Ideologi di dalam politik diwakili oleh istilah “The End of Political Man”,
sebuah istilah yang ditulis oleh Seymour Martin Lipset dalam bukunya, Political Man: The Social
Basis of Politics (London: Heinemann, 1983 [1960]).
4
Pada 1983 rejim Orde Baru menetapkan Pancasila sebagai satu-satunya azas bagi semua
organisasi sosial dan politik yang ada di Indonesia. Pada mulanya wacana asas tunggal itu hanya
diperuntukan bagi organisasi politik (partai), dan telah didengungkan sejak 1973 dalam Sidang
Umum MPR (Majelis Permusyawaratan Rakyat). Dalam pembahasan UU No. 3/1975 tentang
Partai Politik dan Golkar, isu ini kembali diembuskan. Tentu saja oleh Golkar, kekuatan politik
yang dominan pada waktu itu. Namun, upaya itu tidak berhasil. Baru pada Sidang Umum MPR
tahun 1983, gagasan itu berhasil menjadi ketetapan, dan kemudian berlaku bukan hanya bagi
partai politik, melainkan juga bagi organisasi massa dan keagamaan. Mengenai soal asas tunggal
ini lihat, misalnya, Saleh Harun dan Abdul Munir Mulkhan, Latar Belakang Ummat Islam
Menerima Pancasila sebagai Asas Tunggal (Yogyakarta: Penerbit Aquarius, 1987); dan
Hasanuddin M. Saleh, HMI dan Rekayasa Asas Tunggal Pancasila (Yogyakarta: Kelompok Studi
Lingkaran, 1996), lihat terutama Bab IV.
5
Meski secara formal Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) tidak menjabat sebagai ketua umum dari
partai politik yang didirikannya pada 2001 itu, yaitu Partai Demokrat, namun secara de facto
partai tersebut memang tumbuh dan berkembang di bawah figur SBY, yang secara formal
menduduki kursi Ketua Dewan Pembina, sebuah posisi yang akan mengingatkan kita pada posisi
yang ditempati Soeharto di Golkar dulu.
Metamorfosis Sosialisme
Sungguhpun begitu, sosialisme sebagai ideologi global telah dianggap
gagal dan mengalami kebangkrutan dari dalam. Namun anggapan itu
mengandung kontroversi teoritis. Pertama, jika sosialisme yang dimaksud
adalah sosialisme di Uni Soviet dan Eropa Timur, maka yang runtuh
bukanlah ideologi sosialisme, melainkan komunisme. Jika yang dimaksud
adalah Cina, maka negara itu hingga kini masih menamakan dirinya negara
sosialis dengan melihat lembaga-lembaga ekonominya, seperti mekanisme
perencanaan, perusahaan negara, dan sistem kesejahteraan atau
koperasinya. Dan bahkan kini Cina seolah-olah telah lahir kembali menjadi
negara adidaya baru yang mengalami perkembangan ekonomi yang sangat
pesat. Kelahiran kembali itu disebabkan oleh keberhasilan pembangunan
sosialis di masa lalu, khususnya dalam menciptakan kemandirian
ekonomi—walaupun biaya sosialnya tentu saja perlu diperhitungkan. Selain
itu, di lingkungan Dunia Ketiga, Vietnam masih mengikuti sosialisme dan
berhasil mencapai kemajuan-kemajuan dengan keunggulan ekonomi yang
bercorak sosialis. Sementara itu di negara-negara demokrasi lainnya, partai-
partai sosialis dan partai yang bercorak sosialis masih berperan penting dan
sering menang dalam pemilihan umum, seperti di Perancis, Inggris,
Australia, Brasil, Venezuela, Bolivia dan Argentina. Di Jerman, negara-
negara Nordic, dan bahkan di AS, partai sosial-demokrasi adalah partai-
partai yang sering memerintah, bergantian dengan partai liberal dan
konservatif. Pada awal abad ke-21, sembilan dari sepuluh partai yang
berkuasa di Eropa adalah partai sosialis dan sosial-demokrat. Dengan
perkataan lain, aspirasi sosialisme atau neo-sosialisme masih terus berperan
dan berkembang, justru di alam demokrasi. Selain itu, timbul interpretasi
baru tentang sosialisme, misalnya demokrasi ekonomi, ekonomi-humanis,
doktrin sosial gereja, sistem pasar sosial, negara kesejahteraan (welfare
8
Paul Krugman, A Country is Not a Company (Boston: Harvard Business Review Classics, 1999).
9
Mubyarto, Cooperative Science in Indonesia (Yogyakarta: P3PK-UGM, 1991).
10
Sejak Reformasi, jumlah BUMN ini terus-menerus menyusut. Selain karena kebijakan
privatisasi, ditutup karena bangkrut, juga karena ada kebijakan downsizing, dimana jumlah BUMN
memang sengaja disusutkan.
11
Kritik Sjahrir terhadap Sosialisme Rusia diwakili, misalnya, oleh sebuah bukunya, Sosialisme dan
Marxisme: Suatu Kritik terhadap Marxisme (Djakarta: Djambatan, 1967), yang menghimpun
karangan-karangannya di Majalah Suara Sosialis pada 1953-1954.
12
Soekarno, Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme (Djakarta: Jajasan Pembaruan, 1963 [1926]).
13
Soedjatmoko, Pembangunan dan Kebebasan (Jakarta: LP3ES, 1984). Buku ini pertama kali
terbit dalam bahasa Inggris dengan tajuk, Development and Freedom (Tokyo: The Simul Press,
1980).
14
Soedjatmoko, Dimensi Manusia dalam Pembangunan: Pilihan Karangan (Jakarta: LP3ES, 1983).
15
Gambaran mengenai pandangan Sarbini ini terutama tersarikan dalam karangan “Ke Arah
Strategi Pembangunan Total”, yang diangkat dari wawancara yang dilakukan oleh Imam Walujo,
dkk. dengan Sarbini. Karangan ini dimuat dalam Imam Walujo, dkk. (Penyusun), Dialog: Indonesia
Kini dan Esok, Buku Kedua (Jakarta: Leppenas, 1981), hal. 140-173. Baca juga pidato pengukuhan
Sarbini sebagai guru besar di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, “Pengerahan Modal dalam
Pembinaan Masjarakat Sosialis Indonesia” (Diucapkan pada Upacara Pidato Pengukuhan Jabatan
Guru Besar Luar Biasa dalam Ilmu Ekonomi pada Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia di
Jakarta, 3 Agustus 1963), manuskrip asli.
16
Frederick Engels, Socialism: Utopian and Scientific (Peking: Foreign Languages Press, 1975
[1880]).
17
Sjafruddin Prawiranegara, Politik dan Revolusi Kita (Medan: Toko Buku ‘Andalas’, 1950).
18
H.O.S. Tjokroaminoto, Islam dan Sosialisme (Djakarta: Bulan Bintang, 1954 [1924]).
19
Mohammad Hatta, Persoalan Ekonomi Sosialis Indonesia (Djakarta: Djambatan, 1963 [1961]),
lihat terutama hal. 12-17.
20
Sri-Edi Swasono, “Religiusitas Pemikiran Ekonomi Mohammad Hatta”, Kata Pengantar untuk
buku Anwar Abbas, Bung Hatta dan Ekonomi Islam: Pergulatan Menangkap Makna Keadilan dan
Kesejahteraan (Jakarta: Multi-Pressindo, 2008), hal. xiv-xxiii.
21
Istilah “Sistem-Ekonomi Sosialisme Pantjasila” digunakan oleh Emil Salim dalam sebuah
monografi mengenai sistem ekonomi yang ditulisnya, Sistem Ekonomi dan Ekonomi Indonesia
(Djakarta: Lembaga Ekonomi dan Kemasjarakatan Nasional, Agustus 1965). Sementara itu, di
akhir 1965, dalam sebuah risalah panjang yang ditulisnya, istilah yang menyertakan “sosialisme”
itu tak lagi digunakan, dan tinggal “Ekonomi Pantjasila” saja. Lihat Emil Salim, “Politik dan
Ekonomi Pantja-Sila”, dimuat dalam Widjojo Nitisastro, dkk., Masalah-masalah Ekonomi dan
Faktor-faktor Ipolsos (Djakarta: Lembaga Ekonomi dan Kemasjarakatan Nasional, 1966), hal. 81-
97.
22
Emil Salim, “Sistem Ekonomi Pancasila”, dimuat dalam Majalah Prisma, No. 5/VIII/1979, hal. 3-
9.
23
Mubyarto, “Koperasi dan Ekonomi Pancasila”, dalam Harian Kompas, 3 Mei 1979.
24
Sri-Edi Swasono, Indonesia dan Doktrin Kesejahteraan Sosial: Dari Klasikal dan Neoklasikal
sampai ke The End of Laissez-Faire (Jakarta: Prakarsa, 2010), lihat Bab VI dan VII.
25
BINEKSOS sebagai badan hukum kemudian disahkan oleh Departemen Kehakiman pada tanggal
22 Januari 1973. Keterangan lengkap mengenai sejarah awal BINEKSOS dan LP3ES tercatat
dengan baik pada sebuah buku kecil setebal 16 halaman yang menjadi semacam company profile
dari LP3ES yang berjudul, Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial:
Status, Sifat, Minat, Fungsi, Program, Klien, Organisasi, Staf (Jakarta: LP3ES, 1975).
26
Salah satu buku yang ditulis oleh sarjana Indonesia dan sangat baik dalam menjelaskan asal-
usul dan perkembangan gerakan koperasi adalah yang ditulis oleh Suradjiman, Ideologi Koperasi
Membentuk Masjarakat Adil dan Makmur (Bandung: Ganaco, 1964).
27
John Kenneth Galbraith, American Capitalism: The Concept of Countervailing Power (New York:
M.E. Sharpe, 1980 [1952]).
31
Penjelasan yang terperinci mengenai kongsi dan perpecahan yang terjadi di sekitar
terbentuknya PSI bisa dibaca pada monografi yang ditulis Imam Yudotomo, PSI, Partai Sosialis
Indonesia (Yogyakarta: Center for Social-Democratic Studies, 2011).
32
Imam Yudotomo, Sosial-Demokrasi: Prinsip Dasar dan Sejarahnya (Yogyakarta: Center for
Social-Democratic Studies, 2005).
DIASPORA SOSIALISME
Identitas-Ganda Ideologi
Identitas ideologi ganda dalam pribadi seseorang, yang seringkali
muncul melalui gejala keterbelahan (split) dalam bentuk dilema dan
kontradiksi dalam sikap dan pengambilan keputusan, merupakan ciri
umum dari para pemimpin Indonesia terkemuka pada zaman pergerakan.
Dalam diri H.O.S. Tjokroaminoto (1882-1934), pendiri Partai Sarekat Islam
Indonesia (PSII) umpamanya, terkandung tiga kecenderungan ideologi,
mula-mula Islam-modernis (1911-1915), kemudian nasionalis atau
kebangsaan (1916), dan terakhir adalah sosialis (1924).33 Pada tahun 1921,
Sarekat Islam mengubah identitasnya menjadi Partai Sarekat Islam Hindia
Timur, dan pada 1929 namanya diubah menjadi Partai Sarekat Islam
Indonesia (PSII), yang menegaskan warna kebangsaannya.34 Sebagai partai
kebangsaan, PSII kemudian mengalami radikalisasi dan menganut politik
non-kooperasi. Pada tahun 1927, bersama-sama dengan Partai Nasional
Indonesia (PNI), Boedi Oetomo, dan Paguyuban Pasundan, berbagung
dalam Permufakatan Perhimpunan-perhimpunan Politik Kebangsaan
(PPPK), yang menegaskan haluan politik kebangsaannya. Di luar
identitasnya sebagai seorang nasionalis itu, Tjokro menulis buku Islam dan
Sosialisme (1924), yang melukiskan bahwa Islam sebagai ideologi politik dan
sistem sosial, dengan mengambil model Negara Madinah pada masa Nabi
Muhammad SAW dan Khilafah Rasyidah, adalah sebentuk dengan
sosialisme,35 yang menunjukkan identitasnya sebagai seorang sosialis yang
religius.
Kepribadian seperti itu nampak pula pada diri Soekarno atau Hatta.
Pluralitas identitas, meminjam istilah Amartya Sen, yang ada dalam diri
33
M. Masyhur Amin, H.O.S. Tjokroaminoto: Rekonstruksi Pemikiran dan Perjuangannya
(Yogyakarta: Universitas Cokroaminoto Press, 1995)., lihat terutama Bab III.
34
E. Saefullah Wiradipradja dan Wildan Yahya, Satu Abad Dinamika Perjuangan Syarikat Islam
(Bandung: Dewan Pimpinan Wilayah Syarikat Islam Jawa Barat, 2005), hal. 49.
35
H.O.S. Tjokroaminoto, Islam dan Sosialisme (Bandung: Sega Arsyi, 2008 [1924]), lihat terutama
Bab III hingga Bab V.
36
Visi tersebut tertabal jelas dalam salah satu karangannya yang terkenal, “Nasionalisme,
Islamisme dan Marxisme” (1926). Lihat, Soekarno, Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme
(Djakarta: Jajasan Pembaruan, 1963).
37
Ciri internasionalisme inilah yang membedakan PSI dengan partai lainnya, sebuah sifat yang
menurut Schumpeter secara inharen merupakan watak sosialisme.
38
Erwin Kusuma dan Khairul (Editor), Pancasila dan Islam: Perdebatan antar Parpol dalam
Penyusunan Dasar Negara di Dewan Konstituante (Yogyakarta: Pusat Studi Pancasila, 2008).
39
Arief Budiman, “Sebuah Kritik terhadap ‘Sistem Ekonomi Pancasila’ Mubyarto”, dimuat Harian
Kompas, 10 Juni 1981. Dalam versi yang lebih panjang lebar, Arief menguraikan kritiknya dalam
buku kecilnya, Sistem Perekonomian Pancasila dan Ideologi Ilmu Sosial di Indonesia (Jakarta:
Gramedia, 1989).
40
“Ekonomi Pancasila”, Tajuk Rencana dalam Buletin Business News, 20 Mei 1981. Buletin
tersebut dipimpin dan dikelola oleh Sarbini Sumawinata.
41
Soemitro Djojohadikusumo, Trilogi Pembangunan dan Ekonomi Pancasila (Jakarta: Induk
Koperasi Pegawai Negeri Republik Indonesia, 1985).
42
John Rawls, Political Liberalism (New York: Columbia University Press, 1993).
Sosialisme di Indonesia
Sosialisme dan Komunisme sebagai ideologi tidak langsung muncul di
Indonesia. Sosialisme dan Komunisme masuk ke Indonesia melalui paham
Sosial Demokrasi yang berkembang di Eropa dan kemudian menyusup ke
dalam SI lalu mengalami radikalisasi. Ideologi itu, walaupun pada waktu itu
dipahami secara garis besarnya saja, melahirkan tokoh-tokoh yang
menonjol dalam perjuangan kemerdekaan, seperti Haji Misbach (1876-
1926), Mas Marco Kartodikromo (1890-1935), Alimin (1889-1964), Darsono
(1893-1976)43 dan Musso (1887-1948),44 yang kemudian dikenal sebagai
tokoh-tokoh komunis. Dengan semakin vokalnya kelompok komunis dalam
SI sejak 1919, sebagai dampak dari Revolusi Oktober di Rusia (1917), dimulai
dari serikat buruh kerata api Semarang yang disebut SI-Merah itu, maka
atas desakan Muhammadiyah, sebuah organisasi Islam-modernis yang
menganggap komunisme sebagai atheis, terjadilah purifikasi ideologi dan
organisasi dalam SI yang diprakarsai oleh Haji Agoes Salim (1884-1954) dan
Abdoel Moeis (-1959). Dengan keluarnya SI-Merah dari SI, yang kemudian
membentuk Partai Komunis Indonesia (PKI) pada tahun 1923, maka
sebenarnya telah terjadi pula purifikasi atau fundamentalisasi dalam
gerakan sosialis.
Sebagaimana telah disebut, sebenarnya sosialisme masuk ke Indonesia
pertama kali melalui versi sosial-demokrasi, yang ditandai oleh kelahiran
ISDV (Indische Sociaal Demokratische Vereeniging (ISDV, atau Persatuan
Sosial Demokrasi Hindia Belanda) yang dipelopori oleh Henk Sneevliet
(1883-1942) pada tahun 1913. Tetapi mengikuti kecenderungan umum dalam
gerakan kebangsaan untuk mencapai kemerdekaan pada masa itu,
terjadilah proses radikalisasi dari paham sosial-demokrasi menuju
komunisme. Dengan lahirnya versi komunisme, maka sosialisme dalam
versi sosial-demokrasi untuk sementara menghilang dari wacana publik
politik di Indonesia.
Radikalisasi PKI sebenarnya didorong oleh aspirasi kebangsaan yang
mulai marak sejak dasawarsa 1920-an. Namun di dalam tubuh PKI sendiri
unsur kebangsaan juga tidak begitu terartikulasikan. PKI menerima
kebangsaan, karena dalam teori Lenin gerakan kemerdekaan dari
kolonialisme dapat dikategorikan ke dalam jenis gerakan pembebasan, yaitu
43
Edi Cahyono, “Dari ‘Kiri’ menjadi ‘Kanan’: Pergeseran Ideologi Semaoen dalam ‘Tenaga
Manusia’”, dimuat dalam Buletin Penebar E-News, No. 2, September 2003.
44
Mengenai soal tahun kelahiran Musso ini ada banyak versi. Tahun yang digunakan dalam
karangan ini merujuk kepada karya McVey. Lihat Ruth T. McVey, Kemunculan Komunisme
Indonesia (Jakarta: Komunitas Bambu, 2009), hal. 302.
ditulis sebagai artikel bersambung yang dimuat dalam Majalah Suara Sosialis antara tahun 1953
hingga 1954. Suara Sosialis adalah majalah resmi Partai Sosialis Indonesia.
48
Imam Yudotomo, PSI, Partai Sosialis Indonesia (Yogyakarta: Center for Social-Democratic
Studies, 2011), hal. 11-12.
52
Sjafruddin Prawiranegara, Politik dan Revolusi Kita (Medan: Andalas, 1950), hal. 10-15.
53
Penilaian yang sama mengenai hal ini, misalnya, juga dikemukakan John Legge. Lihat Legge,
op.cit., hal. 102, 152-59.
54
Kepartaian di Indonesia (Djakarta: Kementerian Penerangan Republik Indonesia, 1951), hal.
299. Buku ini merupakan direktori partai-partai yang ada di Indonesia hingga awal dekade 1950-
an, yang mencantumkan sejarah, azas, anggaran dasar dan rumah tangga, serta susunan
pengurus dan program politiknya.
55
Penilaian ini disampaikan oleh Imam Yudotomo dalam sebuah diskusi dengan penulis, medio
Desember 2012, di Yogyakarta. Imam Yudotomo adalah putera Moch. Tauchid, seorang tokoh
Taman Siswa, anggota KNIP, yang juga merupakan salah satu tokoh PSI. Sebagai seorang “darah
biru” PSI, Imam mengkoleksi banyak kesaksian dari tangan pertama dan dari pandangan pertama.
59
Sarbini Sumawinata, “Ekonomi Kerakyatan”, dimuat di Majalah Prisma, No. 8/XIV, Agustus
1985.
60
Mohammad Sadli, “Peran Negara dalam Ekonomi”, makalah disampaikan di Mahkamah
Konstitusi pada 25 Maret 2004 dalam proses judicial review atas Undang Undang No. 20 tentang
Ketenagalistrikan. Dalam sidang tersebut Sadli menjadi saksi ahli dari pihak pemerintah atau
tergugat. Dalam keputusannya kemudian, MK memutuskan untuk membatalkan secara
keseluruhan UU yang dibela oleh Sadli tersebut.
61
Mohammad Sadli, “Tata Susunan Industri dalam Sosialisme Indonesia”, dimuat dalam buku
Bunga Rampai Ekonomi: Sebuah Buku Peringatan Dies Natalis Kesembilan Fakultas Ekonomi
Universitas Indonesia Djakarta (Djakarta: Senat Mahasiswa FE-UI & Madjelis Ilmu Pengetahuan
Indonesia, 1960), hal. 85-114.
62
Emil Salim, Sistem Ekonomi dan Ekonomi Indonesia (Djakarta: Lembaga Ekonomi dan
Kemasjarakatan Nasional [LEKNAS], Agustus 1965).
63
Emil Salim, “Sistem Ekonomi Pancasila”, dimuat di Harian Kompas, 30 Juni 1966.
64
David Ransome, “The Berkeley Mafia and the Indonesian Massacre”, dimuat dalam Ramparts,
No. 4, October 1970.
Sosialisme di Eropa
Sosialisme sebagai gagasan modern mulai berkembang di Perancis dan
Inggris sejak permulaan 1800-an. Istilah sosialisme itu sendiri pertama kali
disebut dalam tulisan Robert Owen (1771-1858), seorang industriawan dari
Inggris, dan Henri de Saint-Simont (1760-1825), seorang filsuf sosial dari
65
Francis Fukuyama, The End of History and the Last Man (New York: Free Press, 1992).
66
Joseph A. Schumpeter, Capitalism, Socialism and Democracy, Third Edition (New York: Harper
Torchbooks, 1962 [1942]).
67
Despotisme adalah bentuk pemerintahan dengan satu penguasa, baik secara individual
maupun oligarki, yang memerintah dengan kekuatan politik absolut.
68
George Soule, Ideas of the Great Economists (New York: Mentor Book, 1955), hal. 65.
69
George Ritzer & Barry Smart (Editor), Handbook Teori Sosial (Bandung: Nusa Media, 2011), hal.
81.
71
Lie Tek Tjeng, “Kongres PKC ke-14 dan RRC Pasca Deng: Sebuah Analisis”, dimuat dalam Jurnal
Persepsi No. 01/XIV, 1993, hal. 130.
72
Max Weber, The Protestan Ethic and the Spirit of Capitalism (London: Routledge, 2005), hal.
123. Baca juga Peter Baehr, “The ‘Iron Cage’ and ‘The Shell as Hard as Steel’: Parson, Weber and
the Stahlhartes Gehause Metaphor in the Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism”, dalam
Jurnal History and Theory, Vol. 40, Issue 2, May 2001, hal. 153-169.
73
Friedrich A. von Hayek, The Road to Serfdom (London: Routledge, 1944).
74
Berbeda dengan anggapan umum terkini, dimana semboyan laissez-faire berhubungan dan
dihubungkan secara minor dengan kapitalisme, pada masa kaum Fisiokrat di Perancis, laissez-
faire justru merupakan semboyan yang dilontarkan untuk membela sektor pertanian dari
keserakahan para kapitalis (pedagang, industrialis, dan pejabat negara). Laissez-faire, atau
ungkapan lengkapnya adalah laissez-faire laissez-passer, le monde va de lui même, adalah sebuah
istilah yang berasal dari bahasa Perancis, yang secara bebas bisa diterjemahkan sebagai “biarkan
semua terjadi, biarkan semua berlalu (let do, let pass)”, atau “jangan campur tangan, alam
semesta dapat mengatur dirinya sendiri”. Semboyan itu, yang pertama kali dikemukakan oleh
Vincent de Gournay (1712-1759), direproduksi oleh kaum Fisiokrat untuk membela sektor
pertanian di Perancis yang dipinggirkan oleh pemerintah dan menjadi subordinat (mungkin lebih
tepatnya “sapi perah”) dari kegiatan industri dan perdagangan yang dijalankan oleh para kroni
penguasa. Lihat Tarli Nugroho, Ekonomi Tanda dan Rekonstitusi Konsep Kemiskinan Petani:
Sebuah Elaborasi Awal (Yogyakarta: LANSKAP, 2010), terutama Bab II.
75
Bentham pertama kali memperkenalkan konsep mengenai utilitarianisme dalam bukunya yang
terkenal, Introduction to the Principles of Morals and Legislation (1789). Uraian ringkas mengenai
gagasan Bentham ini bisa dilihat pada Mark Skousen, The Making of Modern Economics: The Lives
and Ideas of the Great Thinker (New York: M.E. Sharpe, 2001), terutama hal. 120-122.
76
Georges Lefebvre, The French Revolution: From its Origins to 1793 (London: Routledge, 2001),
lihat terutama bab terakhir. Lihat juga J.M. Thompson, Leaders of the French Revolution (New
York: Harper Colophon Books, 1967), hal. 215-144.
78
Pembahasan lengkap mengenai karya Sjafruddin ini bisa dibaca pada M. Dawam Rahardjo,
Ekonomi Neo-Klasik dan Sosialisme Religius: Pragmatisme Pemikiran Ekonomi Politik Sjafruddin
Prawiranegara (Bandung: Mizan, 2011).
79
Mohammad Hatta, Persoalan Ekonomi Sosialis Indonesia (Djakarta: Djambatan, 1963).