Anda di halaman 1dari 62

M.

Dawam Rahardjo

SOSIALISME
I N D O N E S I A
Genealogi dan Diaspora

Editor Tarli Nugroho


M. Dawam Rahardjo

SOSIALISME INDONESIA:
GENEALOGI DAN DIASPORA

Editor | Tarli Nugroho

Yayasan LANSKAP
DAFTAR ISI


1. Mungkinkah Membangun Kembali Partai Sosialis (Baru) Indonesia—1


2. Diaspora Sosialisme—19
(1)


MUNGKINKAH MEMBANGUN KEMBALI


PARTAI SOSIALIS (BARU) INDONESIA?

Partai-partai politik modern yang berkembang pada abad ke-20


umumnya didirikan berdasarkan aspirasi dan orientasi ideologi yang lahir
dan berkembang pada abad ke-19, suatu masa yang disebut Henry D. Aiken
sebagai “Abad Ideologi” (The Age of Ideology).1 Ketika Abad Ideologi itu—
berdasarkan kajian ilmiah—dianggap telah berakhir (the end of ideology)
pada pertengahan abad ke-20,2 maka partai-partai politik yang semula
berbasis dan memperjuangkan ideologi tertentu telah berubah menjadi
partai yang didasarkan atas kepentingan (interest-based) dan
kepemimpinan politik.3 Demikian pula partai-partai politik baru pasca-
ideologi, mereka didirikan atas dasar kepentingan dan kepemimpinan. Di
Indonesia sendiri penetapan azas tunggal Pancasila4 pada hakikatnya juga

1
Henry D. Aiken, The Age of Ideology (Boston: Houghton Mifflin, 1956). Sebelum Aiken menulis
buku tersebut, Louis L. Snyder menyebut abad ke-19 sebagai “Abad Pemikiran”, yang juga
menjadi judul bagi bukunya, The Age of Reason (New York: D. van Nostrand Company, 1955).
2
Pandangan mengenai berakhirnya Abad Ideologi itu telah dikemukakan sejak akhir tahun 1950-
an, yang secara akademis diwakili oleh buku yang ditulis oleh Daniel Bell, The End of Ideology: On
the Exhaustion of Political Ideas in the Fifties (Cambridge, Massachusetts: Harvard University
Press, 1988 [1960]).
3
Gejala berakhirnya Abad Ideologi di dalam politik diwakili oleh istilah “The End of Political Man”,
sebuah istilah yang ditulis oleh Seymour Martin Lipset dalam bukunya, Political Man: The Social
Basis of Politics (London: Heinemann, 1983 [1960]).
4
Pada 1983 rejim Orde Baru menetapkan Pancasila sebagai satu-satunya azas bagi semua
organisasi sosial dan politik yang ada di Indonesia. Pada mulanya wacana asas tunggal itu hanya
diperuntukan bagi organisasi politik (partai), dan telah didengungkan sejak 1973 dalam Sidang
Umum MPR (Majelis Permusyawaratan Rakyat). Dalam pembahasan UU No. 3/1975 tentang
Partai Politik dan Golkar, isu ini kembali diembuskan. Tentu saja oleh Golkar, kekuatan politik
yang dominan pada waktu itu. Namun, upaya itu tidak berhasil. Baru pada Sidang Umum MPR
tahun 1983, gagasan itu berhasil menjadi ketetapan, dan kemudian berlaku bukan hanya bagi
partai politik, melainkan juga bagi organisasi massa dan keagamaan. Mengenai soal asas tunggal
ini lihat, misalnya, Saleh Harun dan Abdul Munir Mulkhan, Latar Belakang Ummat Islam
Menerima Pancasila sebagai Asas Tunggal (Yogyakarta: Penerbit Aquarius, 1987); dan

Sosialisme Indonesia: Genealogi dan Diaspora


1
telah mengakhiri sistem kepartaian atas dasar ideologi, yang dulu disebut
sebagai “politik aliran” itu. Berdirinya partai-partai dengan pola baru itu
nampak pada perkembangan partai-partai politik pada masa Reformasi di
akhir abad ke-20 dan awal abad ke-21. Tokoh-tokoh yang tampil sebagai
pemimpin partai di masa Reformasi misalnya adalah, M. Amien Rais (Partai
Amanat Nasional), Yusril Ihza Mahendra (Partai Bulan Bintang), Susilo
Bambang Yudhoyono (Partai Demokrat),5 dan juga Sri Mulyani, yang akhir-
ahir ini sedang ditokohkan melalui Partai SRI. Sri Mulyani adalah seorang
teknokrat perempuan yang menonjol kariernya, meskipun sebenarnya ia
bukan pemimpin masyarakat yang bercorak followership sebagaimana
halnya Soekarno, Sjahrir atau Tan Malaka. Ciri pemimpin-pemimpin baru
partai politik itu adalah bahwa mereka bukan tipikal seorang ideolog dan
memiliki kepemimpinan transformatif seperti, misalnya, Soeharto dan
Habibie, melainkan sekadar pemimpin-pemimpin transaksional. Dewasa ini
hampir semua partai politik adalah partai yang tidak punya orientasi
ideologi, karena sekadar bersandar pada kepentingan dan kepemimpinan
seseorang atau kelompok. Partai kemudian menjadi tak ada bedanya
dengan perseroan terbatas yang didirikan oleh sejumlah pemilik modal
yang misi utamanya adalah melakukan transaksi politik, meskipun
transaksi-transaksi itu kemudian selalu mengatas-namakan kepentingan
rakyat, misalnya kesejahteran rakyat, demokrasi atau supremasi hukum.
Perkembangan itu sangat mempengaruhi perilaku politik dan corak
kepemimpinannya, yaitu dari yang tadinya bercorak pada gagasan dan
moral menjadi perilaku yang pragmatis, bahkan oportunis. Berdasarkan
kepentingan itu, maka kepemimpinan politik berubah dari pola
transforming ke transaksional. Melalui proses transaksional itu lahirlah
kartel politik atau oligarki partai-partai politik yang sekadar sibuk
melakukan pembagian atau distribusi kekuasaan, sebagaimana nampak
dengan jelas dalam pembentukan Kabinet Indonesia Bersatu Jilid I dan Jilid
II. Karena politik transaksional itu pula maka sejak lama kita tidak lagi
mengenal adanya sebuah “kabinet ahli” (zaken cabinet) dalam
pemerintahan. Keadaan yang demikian itu telah mendorong sejumlah orang
untuk menggagas atau mengembangkan kembali partai politik yang
berorientasi kepada ideologi, atau membangun kembali partai yang
berdasarkan pada ideologi, dengan tujuan untuk melakukan transformasi
sosial-ekonomi.

Hasanuddin M. Saleh, HMI dan Rekayasa Asas Tunggal Pancasila (Yogyakarta: Kelompok Studi
Lingkaran, 1996), lihat terutama Bab IV.
5
Meski secara formal Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) tidak menjabat sebagai ketua umum dari
partai politik yang didirikannya pada 2001 itu, yaitu Partai Demokrat, namun secara de facto
partai tersebut memang tumbuh dan berkembang di bawah figur SBY, yang secara formal
menduduki kursi Ketua Dewan Pembina, sebuah posisi yang akan mengingatkan kita pada posisi
yang ditempati Soeharto di Golkar dulu.

Sosialisme Indonesia: Genealogi dan Diaspora


2
Dari “original condition” dewasa ini yang menampilkan persoalan
kemiskinan, ketidak-adilan dan ketergantungan yang melahirkan dominasi
negara-negara adidaya atas negara-negara yang sedang berkembang, timbul
gagasan untuk membangun kembali suatu partai sosialis baru di Indonesia.
Gagasan sosialisme dipilih untuk menjadi dasar partai karena dipicu oleh
bercokolnya paham neoliberalisme yang merupakan revitalisasi terhadap
ideologi kapitalisme global. Gagasan itu tidak saja timbul di kalangan
generasi penerus keluarga besar eks-PSI (Partai Sosialis Indonesia), tetapi
juga dari kalangan lain yang masih teringat pada gagasan sosialisme yang
kini telah mendirikan Partai Kongres,6 walaupun pendukungnya berasal
dari kalangan nasionalis. Partai GERINDRA (Gerakan Indonesia Raya), yang
didirikan oleh Letjen (Purn.) Prabowo Subianto, yang merupakan cucu
tokoh koperasi dan perkreditan rakyat, Margono Djojohadikusumo, dan
juga putera begawan-teknokrat ekonomi Sumitro Djojohadikusumo—
seorang pemimpin PSI tahun 1950-an, menampilkan diri sebagai partai
dengan kepemimpinan transforming dengan mengembangkan gagasan
mengenai ekonomi rakyat dan kebijaksanaan publik yang nasionalis dan
pro-rakyat. Misi GERINDRA itu dirasakan mengandung aspirasi sosialis
versi baru dalam konteks neoliberalisme dan globalisasi. Karena itu, konon
di kalangan GERINDRA pernah menghimbau agar generasi muda eks-PSI
bergabung ke dalam partai tersebut. Tapi kalangan eks-PSI malah
mengimbau sebaliknya, yaitu agar GERINDRA ikut saja menudukung
gagasan untuk membentuk PSI-Baru. Gejala itu sebenarnya menunjukkan
adanya kesamaan aspirasi antara dua kelompok itu dalam gagasan
sosialisme. Makna dari dua imbauan itu adalah: Pertama, dari pihak
GERINDRA berpandangan bahwa program ekonomi kerakyatan dan
kebijaksanan publik pro-rakyat adalah versi baru sosialisme, khususnya
sosialisme kerakyatan, sebuah istilah yang lebih kontekstual dan karenanya
istilah sosialisme kemudian tidak perlu lagi disebut, khususnya karena bisa
menimbulkan persepsi mengenai sosialisme yang sudah gagal.7 Kedua, dari
pihak eks-PSI berpendapat bahwa agar GERINDRA yang mengadung
aspirasi sosialisme itu tidak terjebak ke dalam politik transaksional,
hendaknya GERINDRA kembali ke dasar (back to basic), yaitu Sosialisme
Kerakyatan, sehingga GERINDRA menjadi partai politik yang berbasis
ideologi dan bukan sekadar partai politik yang dibentuk oleh Prabowo
Subianto sebagai pemilik modal. Persepsi itu timbul karena di masa
Reformasi ini timbul para pemimpin partai dan calon presiden yang
beridentitas pengusaha, seperti misalnya, Jusuf Kalla, Aburizal Bakrie, dan
6
Partai Kongres adalah salah satu partai politik yang berdiri sejak sebelum Pemilu 2009. Namun,
baik pada Pemilu 2009, maupun untuk Pemilu 2014, partai baru ini tak pernah lolos verifikasi.
7
Runtuhnya Soviet pada akhir 1980-an, serta berubahnya orientasi ekonomi Cina sejak era Deng
Xiao Ping dianggap oleh sebagian orang sebagai ciri dari kegagalan sosialisme, meskipun
pendapat ini sebenarnya harus diperdebatkan. Paparan dalam makalah ini juga akan
memproblematisasi anggapan demikian.

Sosialisme Indonesia: Genealogi dan Diaspora


3
juga Prabowo Subianto sendiri yang memang setelah purna tugas di
kemiliteran kemudian terjun menjadi pengusaha bersama dengan adiknya,
Hashim Djojohadikusumo. Dengan latar belakang analisis yang mengacu
pendapat Paul Krugman, bahwa memimpin negara tidak sama dengan
memimpin perusahaan,8 maka partai politik hendaknya seperti organisasi
koperasi, yaitu sebagai perkumpulan orang yang memiliki aspirasi politik,
ekonomi, sosial dan budaya yang sama, yang dikelola secara demokratis
berlandaskan nilai-nilai dan prinsip-prinsip tertentu yang disepakati
bersama, yang oleh Herman Suwardi disebut sebagai “kooperativisme”, dan
menurut Mubyarto hal itu kemudian telah berkembang menjadi ilmu
pengetahuan.9

Metamorfosis Sosialisme
Sungguhpun begitu, sosialisme sebagai ideologi global telah dianggap
gagal dan mengalami kebangkrutan dari dalam. Namun anggapan itu
mengandung kontroversi teoritis. Pertama, jika sosialisme yang dimaksud
adalah sosialisme di Uni Soviet dan Eropa Timur, maka yang runtuh
bukanlah ideologi sosialisme, melainkan komunisme. Jika yang dimaksud
adalah Cina, maka negara itu hingga kini masih menamakan dirinya negara
sosialis dengan melihat lembaga-lembaga ekonominya, seperti mekanisme
perencanaan, perusahaan negara, dan sistem kesejahteraan atau
koperasinya. Dan bahkan kini Cina seolah-olah telah lahir kembali menjadi
negara adidaya baru yang mengalami perkembangan ekonomi yang sangat
pesat. Kelahiran kembali itu disebabkan oleh keberhasilan pembangunan
sosialis di masa lalu, khususnya dalam menciptakan kemandirian
ekonomi—walaupun biaya sosialnya tentu saja perlu diperhitungkan. Selain
itu, di lingkungan Dunia Ketiga, Vietnam masih mengikuti sosialisme dan
berhasil mencapai kemajuan-kemajuan dengan keunggulan ekonomi yang
bercorak sosialis. Sementara itu di negara-negara demokrasi lainnya, partai-
partai sosialis dan partai yang bercorak sosialis masih berperan penting dan
sering menang dalam pemilihan umum, seperti di Perancis, Inggris,
Australia, Brasil, Venezuela, Bolivia dan Argentina. Di Jerman, negara-
negara Nordic, dan bahkan di AS, partai sosial-demokrasi adalah partai-
partai yang sering memerintah, bergantian dengan partai liberal dan
konservatif. Pada awal abad ke-21, sembilan dari sepuluh partai yang
berkuasa di Eropa adalah partai sosialis dan sosial-demokrat. Dengan
perkataan lain, aspirasi sosialisme atau neo-sosialisme masih terus berperan
dan berkembang, justru di alam demokrasi. Selain itu, timbul interpretasi
baru tentang sosialisme, misalnya demokrasi ekonomi, ekonomi-humanis,
doktrin sosial gereja, sistem pasar sosial, negara kesejahteraan (welfare

8
Paul Krugman, A Country is Not a Company (Boston: Harvard Business Review Classics, 1999).
9
Mubyarto, Cooperative Science in Indonesia (Yogyakarta: P3PK-UGM, 1991).

Sosialisme Indonesia: Genealogi dan Diaspora


4
state), gerakan buruh, serta teologi pembebasan (liberation theology). Dan
di Indonesia sendiri ada konsep Ekonomi Kerakyatan. Dalam proses
diskursif, gagasan, aspirasi, orientasi dan visi sosialis itu telah mengalami
proses pelembagaan, sehingga menjadi bagian dari sistem politik dan
ekonomi nasional dan juga internasional. Di tingkat nasional, misalnya di
Indonesia, aspirasi sosialis telah melembaga dalam pasal-pasal ekonomi
sebagaimana termaktub di dalam UUD 1945. Sedangkan di level
internasional, contohnya dalam kelembagaan PBB, aspirasi itu
terlembagakan dalam organisasi seperti International Labour Organization
(ILO), Food and Agricultural Organization (FAO) dan United Nation
Development Programme (UNDP) yang memiliki perspektif yang berbeda
dengan World Trade Organization (WTO), International Monetary Fund
(IMF) dan World Bank (WB/IBRD) yang mengusung perspektif kapitalis-
liberal itu.
Di tingkat nasional, aspirasi sosialisme juga telah melembaga dalam
struktur negara dan pemerintahan. Ini bisa dilihat paling tidak dari lima
indikator. Pertama, adanya sistem perencanaan pembangunan dari bawah
maupun terpusat yang menghasilkan Garis-garis Besar Haluan Negara
(GBHN) dan Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita) di masa Orde
Baru. Kedua, adanya kementerian yang mengurusi perusahaan milik negara
(BUMN, Badan Usaha Milik Negara), yang dimasa Orde Baru jumlah BUMN
mencapai 240.10 Ketiga, kementerian yang mengurusi koperasi, dimana
jumlah koperasi di Indonesia kini telah berkembang mencapai sekitar
170.000 unit. Keempat, memiliki kementerian yang mengurusi perburuhan
dan ketenagakerjaan. Kelima, adanya lembaga-lembaga jaminan sosial, baik
melalui negara maupun pasar. Keenam, adanya kementerian sosial yang
mengurusi masalah-masalah sosial dan pemberdayaan masyarakat miskin.
Dan ketujuh, adanya kementerian yang mengurusi pemerintahan dan
pembangunan masyarakat desa, sebuah fungsi yang dijalankan oleh
Kementerian Dalam Negeri. Pelembagaan dalam struktur negara dan
pemerintahan tersebut dilakukan melalui proses demokratis, sehingga
merupakan alternatif dari konsep diktatur proletariat yang bertumpu pada
perjuangan kelas. Namun, kesemua jenis pelembagaan itu harus dijamin
dan dikawal oleh suatu partai sosialis, sebab sebagai bagian dari aspirasi
sosialisme pelembagaan itu kini telah digerus oleh neoliberalisme yang
menghasilkan kebijakan-kebijakan pro-bisnis kapitalistik, misalnya dengan
mengurangi anggaran-anggaran yang pro-rakyat dan mengurangi belanja-
belanja sosial yang secara keseluruhan meningkatkan ketergantungan
ekonomi nasional terhadap ekonomi global.

10
Sejak Reformasi, jumlah BUMN ini terus-menerus menyusut. Selain karena kebijakan
privatisasi, ditutup karena bangkrut, juga karena ada kebijakan downsizing, dimana jumlah BUMN
memang sengaja disusutkan.

Sosialisme Indonesia: Genealogi dan Diaspora


5
Namun masalahnya adalah bahwa dalam perkembangannya pemikiran
sosialisme telah mengalami trans-mutasi dan metamorfosis dalam
interaksinya dengan ideologi-ideologi lainnya. Sebagaimana ideologi-
ideologi lainnya, sosialisme berjumpa dengan ilmu pengetahuan. Akibatnya,
dalam gagasan besar sosialisme timbul doktrin-doktrin baru yang lebih
lanjut melahirkan pemikiran yang berbentuk kebijaksanaan publik di satu
pihak dan gerakan-gerakan sosial di lain pihak. Di samping itu, karena
sosialisme dan komunisme tidak memiliki cetak biru mengenai sistem
ekonomi dan politik masa depan yang jelas, sebagaimana dikatakan oleh
Marx sendiri, maka telah timbul gagasan-gagasan baru dan praktek
sosialisme baru sejak Revolusi Oktober 1917 di Rusia, dan Revolusai Cina
1948. Komunisme sendiri mengambil tiga bentuk gerakan politik. Pertama,
perjuangan kelas. Kedua, diktatur proletariat dalam suatu negara (socialism
in one country). Dan ketiga, gerakan komunisme internasional menantang
imperialisme global.
Di Indonesia sendiri lahir kritik mendasar terhadap praktik sosialisme
di Rusia, atau komunisme, yang bertolak dari gagasan humanisme dan
demokrasi. Kritik ini diartikulasikan hampir secara sendiri di Indonesia oleh
Sjahrir pada dasawarsa 1930-an ketika ia memimpin gerakan Pendidikan
Nasional Indonesia (PNI-Baru) dan ikut mengasuh majalah Daulat Ra’jat
yang dipimpin oleh Hatta.11 Karena pengaruhnya, maka dalam majalah itu
termuat artikel-artikel mengenai gagasan sosialisme, baik yang ditulisnya
sendiri maupun oleh orang lain. Ketika itu Partai Komunis Indonesia (PKI),
yang didirikan pada tahun 1923, telah bubar dan tidak ada penggantinya,
sehingga sosialisme masih merupakan suatu wacana yang belum
melembaga dan terwujudkan ke dalam partai politik. Sementara itu
Soekarno, dalam tulisannya, hanya menyebut Marxisme sebagai kekuatan
politik menentang imperialisme bersama-sama dengan nasionalisme dan
Islamisme, dan tidak menyebut komunisme atau sosialisme.12 Dengan
demikian, ia tidak menyebut sosialisme maupun komunisme sebagai
ideologi. Sjahrir sendiri, dalam rangka membedakan gagasan sosialisme
dengan komunisme, dimana paham yang belakangan disebut sangat ia
tentang, kemudian melahirkan istilah baru, yaitu “sosialisme kerakyatan”
pada tahun 1931 sebagai ideologi Sosialisme Indonesia. Ia sendiri tidak
menjelaskan secara spesifik-teoritis apa yang dimaksudkannya dengan
Sosialisme Kerakyatan itu. Tapi ia menyebut dua dasar atau azas dari
sosialisme, yaitu humanisme dan demokrasi. Humanisme sendiri adalah
prinsip dan nilai yang menentang segala bentuk penindasan manusia atas
manusia, seperti diktatur proletariat. Paham humanisme itu sendiri

11
Kritik Sjahrir terhadap Sosialisme Rusia diwakili, misalnya, oleh sebuah bukunya, Sosialisme dan
Marxisme: Suatu Kritik terhadap Marxisme (Djakarta: Djambatan, 1967), yang menghimpun
karangan-karangannya di Majalah Suara Sosialis pada 1953-1954.
12
Soekarno, Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme (Djakarta: Jajasan Pembaruan, 1963 [1926]).

Sosialisme Indonesia: Genealogi dan Diaspora


6
sebenarnya lebih dekat dengan paham liberalisme, sehingga wacana
mengenai sosialisme dalam tulisan Sjahrir—dan juga Soedjatmoko—sering
bersinggungan dengan liberalisme, atau membentuk keterkaitan
(intersection) dengannya. Sedangkan demokrasi adalah suatu sistem
kekuasaan atau pemerintahan dari-, oleh-, dan untuk-rakyat yang
menganggap rakyat sebagai sumber kedaulatan. Ciri humanis yang melekat
pada diri Sjahrir itu kemudian diteruskan oleh Soedjatmoko. Dua bukunya,
yang masing-masing berjudul Pembangunan dan Kebebasan,13 serta Dimensi
Manusia dalam Pembangunan,14 sangat menunjukkan pandangannya
sebagai seorang sosialis yang humanis.
Jadi, Sjahrir sendiri tidak menjelaskan Sosialisme Kerakyatan sebagai
suatu sistem ekonomi yang berlawanan dengan kapitalisme. Baru
kemudian, ditinjau dari teori ekonomi, Sarbini Sumawinata mendefinisikan
Ekonomi Kerakyatan, juga bukan sebagai ideologi ekonomi, melainkan
sebagai suatu gagasan tentang cara, sifat dan tujuan pembangunan, dengan
sasaran perbaikan nasib rakyat yang umumnya bermukim di perdesaan
yang didorong oleh investasi negara secara besar-besaran yang akan
berdampak pada industrialisasi, monetisasi dan penciptaan lapangan kerja
massal.15 Konsep itu diwujudkan dalam politik ekonomi yang berujud pada
strategi industrialisasi perdesaan yang menciptakan lapangan kerja massal
guna memenuhi kebutuhan pokok rakyat. Gagasan Sarbini ini adalah salah
satu varian atau unsur dari sosialisme, khususnya Sosialisme Kerakyatan,
melalui jalur kebijaksanaan publik.
Sementara itu di Barat sendiri, khususnya di Eropa, sosialisme telah
berkembang menjadi banyak varian, doktrin dan gagasan maupun gerakan
sosial. Pada awalnya sosialisme sudah terbagi menjadi dua dalam teori
Engels, yaitu Sosialisme Utopia dan Sosialisme Ilmiah.16 Sosialisme Utopia
adalah gagasan yang bersumber dari pemikiran visioner atau bahkan angan-
angan orang, khususnya Charles Fourier (1772-1837), Joseph Proudhon
(1809-1865) dan Robert Owen (1771-1858) yang kemudian melahirkan
gagasan mengenai sistem ekonomi koperasi. Dalam kenyataannya utopia

13
Soedjatmoko, Pembangunan dan Kebebasan (Jakarta: LP3ES, 1984). Buku ini pertama kali
terbit dalam bahasa Inggris dengan tajuk, Development and Freedom (Tokyo: The Simul Press,
1980).
14
Soedjatmoko, Dimensi Manusia dalam Pembangunan: Pilihan Karangan (Jakarta: LP3ES, 1983).
15
Gambaran mengenai pandangan Sarbini ini terutama tersarikan dalam karangan “Ke Arah
Strategi Pembangunan Total”, yang diangkat dari wawancara yang dilakukan oleh Imam Walujo,
dkk. dengan Sarbini. Karangan ini dimuat dalam Imam Walujo, dkk. (Penyusun), Dialog: Indonesia
Kini dan Esok, Buku Kedua (Jakarta: Leppenas, 1981), hal. 140-173. Baca juga pidato pengukuhan
Sarbini sebagai guru besar di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, “Pengerahan Modal dalam
Pembinaan Masjarakat Sosialis Indonesia” (Diucapkan pada Upacara Pidato Pengukuhan Jabatan
Guru Besar Luar Biasa dalam Ilmu Ekonomi pada Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia di
Jakarta, 3 Agustus 1963), manuskrip asli.
16
Frederick Engels, Socialism: Utopian and Scientific (Peking: Foreign Languages Press, 1975
[1880]).

Sosialisme Indonesia: Genealogi dan Diaspora


7
itulah yang melahirkan proyek-proyek konkret yang segera dapat
dilaksanakan. Sedangkan Sosialisme Ilmiah adalah pemikiran Marx-Engels,
atau singkatnya Marxisme, yang merupakan teori perkembangan
masyarakat yang bersifat dialektis-materialis yang digerakkan oleh
perjuangan kelas, yaitu perjuangan dari kelas tertindas terhadap kelas
penindas pemilik alat-alat produksi atau kapital. Akhir sejarah (end of
history) dari perkembangan masyarakat dan perjuangan kelas itu adalah
suatu masyarakat tanpa kelas, tanpa negara (state-less) dan tanpa hak milik
pribadi atas alat-alat produksi atau sumberdaya, khususnya kapital, yang
disebut masyarakat komunis, yang sebenarnya juga sebuah utopia dari
pemikiran Marx-Engels.
Dalam komentarnya terhadap komunisme, Sjafruddin Prawiranegara
merasa terkesima terhadap kenyataan bahwa di Indonesia, bahkan kalangan
pemimpin agama juga tertarik kepada ideologi komunisme, seperti
misalnya Haji Misbach. Namun menurut pendapatnya, komunisme yang
atheis itu tidak memiliki sambung rasa dengan masyarakat Indonesia yang
umumnya religius. Karena itu maka ideologi yang sesuai dengan rakyat
Indonesia adalah “Sosialisme Religius”.17 Pandangan Sjafruddin ini mirip
dengan pandangan Sjahrir yang menggantikan komunisme dengan
sosialisme. Tetapi jika Sjahrir mendasari sosialisme dengan humanisme dan
demokrasi, maka Sjafruddin dengan religiusitas, sebagaimana juga
Tjokroaminoto yang memilih sosialisme yang berdasarkan ajaran Islam.
Gagasan Sosialisme Islam Tjokroaminoto tidak tergolong utopia karena
modelnya ia lukiskan berdasarkan gambaran masyarakat Islam di zaman
Nabi dan Khulafa’al Rasyidin.18
Pandangan itu mencerminkan kecenderungan revisionis dengan
mencari dasar atau asas yang lebih fundamental dari sosialisme, dan sejauh
itu yang ditemukan adalah monoteisme, humanisme dan demokrasi atau
kerakyatan. Dalam gagasan kerakyatan Hatta terkandung pula gagasan
kebangsaan. Dan dari ajaran agama, khususnya Islam, lahir prinsip keadilan
sosial. Hatta, dalam karangan yang ditulisnya pada tahun 1961, menulis,
bahwa Sosialisme Indonesia itu digali dari tiga sumber.19 Pertama
Sosialisme Eropa, baik utopia maupun ilmiah; kedua dari ajaran agama,
khususnya Islam; dan ketiga dari budaya masyarakat Indonesia. Dan dalam
upaya untuk mencari esensi dan asas yang lebih fundamental dari
sosialisme, ditemukan lima azas yang tersimpul dalam lima sila, atau
Pancasila, yang tercantum dalam Mukadimah UUD 1945. Dalam penafsiran
Pancasila Hatta dan Nurcholish Madjid, Pancasila pada esensinya adalah
ideologi sosialisme religius, karena landasan moralnya adalah Ketuhanan

17
Sjafruddin Prawiranegara, Politik dan Revolusi Kita (Medan: Toko Buku ‘Andalas’, 1950).
18
H.O.S. Tjokroaminoto, Islam dan Sosialisme (Djakarta: Bulan Bintang, 1954 [1924]).
19
Mohammad Hatta, Persoalan Ekonomi Sosialis Indonesia (Djakarta: Djambatan, 1963 [1961]),
lihat terutama hal. 12-17.

Sosialisme Indonesia: Genealogi dan Diaspora


8
Yang Maha Esa, atau monoteisme, dan tujuannya adalah keadilan sosial
bagi seluruh rakyat. Dari sinilah timbul penafsiran bahwa esensi dari
Sosialisme Indonesia itu adalah keadilan sosial. Dan menurut Sri-Edi
Swasono, Sosialisme Religius itu adalah gagasan Hatta berdasarkan
penafsirannya tentang Pancasila.20 Sjafruddin Prawiranegara sendiri
mengatakan bahwa Sosialisme Religius itu tergambar dalam konstitusi
ekonomi UUD 1945. Karena itulah maka Emil Salim, seorang teknokrat
utama Orde Baru, pada tahun 1965, dalam suatu tulisannya, menyebut
sistem ekonomi Indonesia sebagai “Sosialisme Pancasila”, karena
keidentikan Sosialisme Indonesia dengan Pancasila yang dirumuskan oleh
para bapak pendiri bangsa Indonesia itu. Namun setelah peristiwa Gerakan
Tiga Puluh September (G-30-S) 1965, pada tahun 1966, karena stigma
sosialisme-komunisme, Emil Salim menghilangkan kata “sosialis” menjadi
Sistem Ekonomi Pancasila, yang esensinya adalah sama.21 Namun dalam
penjelasannya kemudian pada tahun 1979, dalam tulisannya di Majalah
Prisma, ia merumuskan sistem ekonomi Indonesia itu sebagai titik
keseimbangan atau konvergensi antara sistem ekonomi kapitalis-liberal
dengan sistem ekonomi sosialis.22 Dalam kaitan ini, Mubyarto tidak
menyetujuinya. Ia berpandangan bahwa esensi dari Sistem Ekonomi
Pancasila adalah Ekonomi Kerakyatan, yang soko-gurunya adalah koperasi
yang berasal dari gagasan sosialisme utopia.23 Sedangkan Sri-Edi Swasono
berpendapat bahwa sistem ekonomi Indonesia itu adalah Demokrasi
Ekonomi. Dari penafsirannya terhadap Bab XIV dari UUD 1945 yang
berjudul “Kesejahteraan Sosial”, mengembangkan pemikiran mengenai
“doktrin kesejahteraan sosial” Indonesia, yang merupakan salah satu unsur
dari atau aspirasi sosialisme.24
Perkembangan semacam itu pada akhirnya telah menimbulkan tiga
dampak. Pertama di bidang pemikiran, perkembangan sebagaimana telah
dipaparkan tadi telah menimbulkan kekaburan mengenai ideologi

20
Sri-Edi Swasono, “Religiusitas Pemikiran Ekonomi Mohammad Hatta”, Kata Pengantar untuk
buku Anwar Abbas, Bung Hatta dan Ekonomi Islam: Pergulatan Menangkap Makna Keadilan dan
Kesejahteraan (Jakarta: Multi-Pressindo, 2008), hal. xiv-xxiii.
21
Istilah “Sistem-Ekonomi Sosialisme Pantjasila” digunakan oleh Emil Salim dalam sebuah
monografi mengenai sistem ekonomi yang ditulisnya, Sistem Ekonomi dan Ekonomi Indonesia
(Djakarta: Lembaga Ekonomi dan Kemasjarakatan Nasional, Agustus 1965). Sementara itu, di
akhir 1965, dalam sebuah risalah panjang yang ditulisnya, istilah yang menyertakan “sosialisme”
itu tak lagi digunakan, dan tinggal “Ekonomi Pantjasila” saja. Lihat Emil Salim, “Politik dan
Ekonomi Pantja-Sila”, dimuat dalam Widjojo Nitisastro, dkk., Masalah-masalah Ekonomi dan
Faktor-faktor Ipolsos (Djakarta: Lembaga Ekonomi dan Kemasjarakatan Nasional, 1966), hal. 81-
97.
22
Emil Salim, “Sistem Ekonomi Pancasila”, dimuat dalam Majalah Prisma, No. 5/VIII/1979, hal. 3-
9.
23
Mubyarto, “Koperasi dan Ekonomi Pancasila”, dalam Harian Kompas, 3 Mei 1979.
24
Sri-Edi Swasono, Indonesia dan Doktrin Kesejahteraan Sosial: Dari Klasikal dan Neoklasikal
sampai ke The End of Laissez-Faire (Jakarta: Prakarsa, 2010), lihat Bab VI dan VII.

Sosialisme Indonesia: Genealogi dan Diaspora


9
sosialisme itu sendiri, walaupun maksudnya adalah memberikan
interpretasi yang lebih spesifik, konkret atau esensial. Paling tidak,
sosialisme telah menimbulkan multi-interpretasi, walaupun maksudnya
memperluas dan memperkaya pemikiran. Kedua, menimbulkan berbagai
bentuk gerakan sosial dan politik dan beragam kebijaksanaan publik.
Ketiga, menimbulkan diaspora di antara pendukung politik sosialisme ke
berbagai partai politik dan gerakan sosial yang tidak menampilkan ideologi
sosialisme. Bahkan mereka membentuk lembaga-lembaga baru yang netral-
ideologis, misalnya lembaga hak-hak asasi manusia. GERINDRA atau Partai
SRI adalah lembaga diaspora sosialisme dalam spektrum Kiri-Kanan di masa
Reformasi Indonesia.

Diaspora Kelompok Sosialis Indonesia


Pada 7 Juli 1970, sekelompok cendekiawan yang sebagiannya
merupakan eks-PSI, mendirikan sebuah lembaga bernama Perhimpunan
Indonesia untuk Pembinaan Pengetahuan Ekonomi dan Sosial (BINEKSOS).
Para pendiri lembaga tersebut adalah Sumitro Djojohadikusumo, Selo
Soemardjan, Suhadi Mangkusuwondo, Koentjaraningrat, Satrio Budihardjo
Joedono, Emil Salim, Harlan Bekti, Daan Jahya, dan lain-lain. Bineksos
adalah sebuah lembaga swasta, meskipun para pendirinya adalah para
teknokrat yang bekerja di pemerintahan.25 Dalam menjalankan kegiatannya,
BINEKSOS melakukan kerjasama dengan Friedrich Naumann Stiftung
(FNS), sebuah yayasan pemberi bantuan luar negeri dari Jerman. Dari
kerjasama antara BINEKSOS dengan FNS itu kemudian dibentuklah
lembaga pelaksana LP3ES (Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan
Ekonomi dan Sosial) pada 19 Agustus 1971. LP3ES adalah lembaga pelaksana
dari garis kebijaksanaan yang ditentukan oleh BINEKSOS. Jika BINEKSOS
dihidupi oleh (sebagiannya) tokoh-tokoh senior eks-PSI, maka LP3ES ini
dipimpin dan dihidupi oleh tokoh-tokoh muda eks-PSI juga, seperti Nono
Anwar Makarim, Ismid Hadad, Amir Karamoy, Rustam Ibrahim, Daniel
Dhakidae, dan lain-lain. Para pengurus BINEKSOS bertindak selaku Dewan
Pembina LP3ES. Selain nama-nama senior yang telah disebutkan, beberapa
tokoh lebih muda yang termasuk ke dalam Dewan Pembina LP3ES adalah
Juwono Sudarsono, Goenawan Mohamad Hassan Kartadjoemena, Bakir
Hassan, dan Taufik Abdullah. BINEKSOS dan LP3ES, karena cukup kental
diwarnai oleh orang-orang eks-PSI, bisa disebut sebagai contoh dari
diaspora orang-orang eks-PSI yang menarik.

25
BINEKSOS sebagai badan hukum kemudian disahkan oleh Departemen Kehakiman pada tanggal
22 Januari 1973. Keterangan lengkap mengenai sejarah awal BINEKSOS dan LP3ES tercatat
dengan baik pada sebuah buku kecil setebal 16 halaman yang menjadi semacam company profile
dari LP3ES yang berjudul, Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial:
Status, Sifat, Minat, Fungsi, Program, Klien, Organisasi, Staf (Jakarta: LP3ES, 1975).

Sosialisme Indonesia: Genealogi dan Diaspora


10
Secara kelembagaan, misalnya, meskipun secara genealogis LP3ES ini
lahir dari lingkungan kaum sosialis, namun ia disponsori oleh FNS, sebuah
yayasan yang memperjuangkan gagasan-gagasan liberal dan berafiliasi
dengan Partai Demokrat Liberal (Freie Demokratische Partei, FDP) di
Jerman. Relasi yang demikian sedikit atau banyak bisa dijadikan titik tumpu
untuk menjelaskan bagaimana bisa terjadi proses “pengaburan ideologi”,
atau paling tidak terjadinya “interseksi”, antara sosialisme dengan
liberalisme di kalangan eks-PSI. Menariknya, dalam perkembangannya
LP3ES kemudian juga merangkul kalangan muda Islam modernis dan Islam
tradisional untuk terlibat bersama, dimana kemudian secara bersama-sama
mengembangkan gagasan-gagasan religius-kerakyatan. Aspek liberal dari
LP3ES tercermin dari kegiatannya dalam pengembangan civil society dan
advokasi melawan otoritarianisme Orde Baru, sehingga LP3ES pernah
nyaris dibubarkan.
Di Eropa sendiri, sosialisme berasal dari berbagai sumber dan
berkembang ke dalam berbagai bentuk gerakan politik, ekonomi dan sosial
yang membentuk beragam tradisi sosialisme dan ortodoksi. Pertama dari
sumber pemikiran Sosialisme Utopia. Kedua dari sumber Sosialisme Ilmiah-
Marxis. Ketiga, dari sumber doktrin sosial gereja. Keempat dari pemikiran
Fabian Society. Kelima dari gagasan kesejahteraan sosial negara, yang
berkembang menjadi paham negara kesejahteraan (welfare state), karena
pemrakarsanya adalah negara. Keenam adalah gerakan buruh sebagai
kekuatan pengimbang pasar. Dan ketujuh adalah kombinasi antara
Marxisme dengan doktrin sosial gereja Katolik yang melahirkan gerakan
teologi pembebasan (Liberation Theology) di Amerika Latin.
Dari Sosialisme Utopia yang berkembang adalah gerakan koperasi yang
bersumber pada koperasi konsumsi di kalangan buruh di perkotaan, dan
koperasi kredit-pertanian di kalangan petani di perdesaan. Dari dua
koperasi itu lahir berbagai sektor koperasi, misalnya koperasi pekerja
industri dan pertanian, koperasi asuransi, koperasi perumahan, koperasi
kesehatan, koperasi transportasi dan koperasi serba usaha.26 Karena
koperasi itu dibentuk dalam komunitas buruh, maka gerakan koperasi
sering berkaitan dengan dan didirikan oleh gerakan buruh dalam sistem
ekonomi liberal-kapitalis, dimana keduanya, meminjam istilah John
Kenneth Galbrath, berperan sebagai kekuatan pengimbang (countervailing
power) terhadap kekuatan pasar-kapitalis.27
Gerakan sosialis ilmiah atau Marxisme mengambil tiga bentuk. Pertama
gerakan perjuangan kelas melalui partai komunis di berbagai negara yang

26
Salah satu buku yang ditulis oleh sarjana Indonesia dan sangat baik dalam menjelaskan asal-
usul dan perkembangan gerakan koperasi adalah yang ditulis oleh Suradjiman, Ideologi Koperasi
Membentuk Masjarakat Adil dan Makmur (Bandung: Ganaco, 1964).
27
John Kenneth Galbraith, American Capitalism: The Concept of Countervailing Power (New York:
M.E. Sharpe, 1980 [1952]).

Sosialisme Indonesia: Genealogi dan Diaspora


11
memiliki sasaran menumbangkan negara-negara kapitalis. Kedua,
memobilisasi gerakan komunis internasional (komintern) melawan
imperialisme dan kapitalisme. Ketiga, setelah berhasil merebut kekuasaan
membentuk negara berdasar diktatur proletariat dan mengembangkan
sistem ekonomi perencanaan terpusat (centrally economic planning) dalam
tahap-tahap perencanaan lima tahun sebagaimana yang pernah
dipraktekkan di Indonesia di masa Orde Baru. Sosialisme itu lebih populer
disebut komunisme atau Marxisme ortodoks.
Pola ketiga bersumber dari ajaran sosial gereja yang melahirkan
Sosialisme Kristen yang berprinsip keadilan sosial, tetapi terutama
diwujudkan dalam program-program karitas (charity) dan filantrofi
perorangan dan perusahaan. Program-program sosial itu diwujudkan ke
dalam program bantuan pangan dan uang tunai dari orang kaya kepada
orang miskin secara langsung atau melalui gereja, terutama melalui
program kesehatan dan pendidikan, dan pembentukan komunitas
kooperatif. Doktrin sosial gereja itu juga menjadi sumber nilai dari gerakan
koperasi, misalnya Credit Union (CU) yang sudah berkembang pada akhir
abad ke-19, yang dimulai di Eropa dan berkembang pesat di AS dan Kanada.
Sosialisme Fabian yang lahir di Inggris menganut jalan evolusi dengan
berusaha mengubah sistem kapitalis dari dalam. Sosialisme Fabian
mengambil tiga bentuk utama. Pertama, gerakan buruh yang bertujuan
meningkatkan kesejahteraan buruh industri. Kedua, melakukan perjuangan
politik dalam sistem demokrasi melalui partai buruh, dengan tujuan
memegang pemerintahan yang melaksanakan kebijaksanan publik yang
pro-rakyat. Dan ketiga membentuk perusahaan negara yang mengelola
industri berat, industri dasar, dan industri strategis yang membutuhkan
modal yang besar.
Keempat adalah program kesejahteraan untuk mengatasi masalah
kemiskinan yang dilakukan melalui pemberian subsidi, perbaikan
kesejahateraan di bidang kesehatan, pendidikan dan perumahan, dan
sistem perlindungan dan jaminan sosial yang diprakarsai oleh negara.
Program ini pernah dirintis oleh Robert Owen di Inggris dan Walikota
Flammersfeld, Jerman, Friedrich Raiffeisen (1818-1888), yang tidak berhasil
dan kemudian diganti dengan prinsip tolong menolong (solidarity) dan
prinsip menolong diri sendiri (self-help) oleh kaum miskin itu sendiri.
Gagasan ini kemudian dihidupkan kembali secara lebih luas melalui
perundang-undangan oleh Perdana Menteri Prusia, Otto von Bismarck
(1815-1898) pada belahan kedua abad ke-19. Tetapi program yang pro-rakyat
itu sebenarnya dimaksudkan justru untuk melindungi sistem kapitalis yang
melalui industrialisasi telah menimbulkan kemiskinan dan kemerosotan
kesejahteraan akibat upah buruh murah, yang dalam teori Marx dianggap
sebagai eksploitasi itu. Serentak dengan berbagai program jaminan sosial
oleh negara, pemerintahan Bismarck juga mengeluarkan UU Anti-Sosialis

Sosialisme Indonesia: Genealogi dan Diaspora


12
yang melarang gerakan buruh. Program inilah yang merupakan cikal bakal
dari konsep negara kesejahteraan (welfare state) yang dapat disebut sebagai
varian sosialisme, namun ironinya disertai dengan UU Anti-Sosialis.
Kelima adalah serikat buruh AS (Trade Union), yang merupakan
gerakan buruh di luar partai buruh Inggris dan Australia, yang bertujuan
untuk menciptakan posisi-tawar buruh kolektif (collective bargaining
position) berhadapan dengan organisasi pengusaha di bawah Kamar Dagang
dan Industri, yang oleh Galbraith disebut kekuatan penyeimbang dalam
kapitalisme pasar bebas.28 Program serikat buruh itu adalah
mempertahankan dan meningkatkan upah buruh tetapi sekaligus juga
memperhatikan daya saing ekonomi AS dalam pasar global. Dengan haluan
itu, maka perundingan antara buruh dan perusahaan dapat dipermudah
dan menghindarkan diri dari demonstrasi buruh. Karena itu di AS jarang
terdengar berita tentang demonstrasi atau pemogokan yang merugikan
perusahaan dan perekonomian negara. Serikat Buruh AS tidak memiliki
atau berafiliasi dengan partai politik, tetapi pada umumnya mereka
mendukung Partai Demokrat yang memperjuangkan kebijaksanaan yang
lebih pro-rakyat daripada pro-perusahaan. Tapi di AS sendiri ada juga partai
komunis yang kecil, tapi tidak ada kaitannya dengan gerakan buruh.
Keenam adalah varian sosialis yang merupakan sintesa antara doktrin
sosial gereja Katolik dan Marxisme, tetapi ditolak oleh Gereja Katolik Roma,
yang dirumuskan oleh Gustavo Gutierrez (1928-) menjadi Teologi
Pembebasan (Liberation Theology). Sebenarnya, Teologi Pembebasan yang
anti-kapitalis itu sudah dirintis pemikir-pemikir Amerika Latin, seperti
Paulo Freire, Ivan Illich dan para pemikir teori ketergantungan (Dependency
Theory) yang intinya adalah pembebasan manusia dari tidak saja eksploitasi
ekonomi dan penindasan politik, tetapi juga otoritarianisme ideologi dan
keyakinan, serta dominasi negara-negara adidaya, seperti AS. Tapi dalam
bentuknya yang konkret, Teologi Pembebasan itu melahirkan ideologi Neo-
Sosialisme di beberapa negara Amerika Selatan, yang intinya melawan
dominasi kapitalisme AS.
Ketujuh adalah peranan negara dalam mencegah dan menanggulangi
resesi melalui investasi, misalnya dengan menciptakan lapangan kerja
melalui proyek-proyek infrastruktur. Gagasan tersebut diciptakan oleh John
Maynard Keynes yang meruntuhkan mitos Jean Baptiste Say bahwa “supply
creates its own demand”, sebuah doktrin yang terbukti mengalami
kegagalan pada 1929 sehingga menciptakan pengangguran dan kemiskinan,
atau yang lebih dikenal sebagai Depresi Besar. Gagasan yang disebut
Keynesianisme itu sebenarnya, seperti dikatakan oleh Galbraith, masih
berada dalam kerangka sistem kapitalis-liberal, namun kemudian diimbangi
dengan peranan negara dalam menanggulangi kegagalan pasar (market
failure). Hanya saja risiko Keynesianisme itu adalah tekanan inflasi yang
28
Galbraith, op. cit.

Sosialisme Indonesia: Genealogi dan Diaspora


13
memerosotkan kesejahteraan rakyat. Tapi dengan investasi pemerintah itu,
permintaan pasar dapat ditingkatkan dan menggulirkan kembali
perkembangan ekonomi. Sumitro Djojohadikusumo, salah seorang tokoh
PSI, dikenal sebagai ekonom penganut Keynesianisme itu.29

Partai Sosialis (Baru) Indonesia: Mungkinkah?


Semua bentuk, unsur, doktrin dan aspirasi sosialis yang beragam itu
telah menyulitkan para pemikir sendiri untuk menemukan esensi ideologi
sosialisme. Lebih-lebih telah lama timbul teori konvergensi yang
menimbulkan persepsi mengenai sistem ekonomi campuran dan berbagai
gagasan sintesis maupun eklektik yang mengaburkan hakikat sosialisme.30
Sungguhpun demikian, aspirasi sosialisme tetap hidup karena timbulnya
dan makin kuatnya tantangan terhadap nilai keadilan dan kesejahteraan.
Demikian pula metamorfosis sosialisme menjadi Sosial-Demokrasi atau
Sosial Demokrasi Baru (New Social Democracy), yang disebut juga gagasan
“Jalan ketiga” (The Third Way) dari Anthony Giddens, ikut memperkabur
gagasan esensial sosialisme.
Sunggupun demikian, sosialisme belum menjadi arkeologi pemikiran,
karena realitasnya masih terus bekerja dan berkembang, walaupun dalam
banyak varian. Karena itu diperlukan sebuah kajian dekonstruktif terhadap
sosialisme untuk menemukan bentuk-bentuk yang relevan. Beberapa
bentuk di antaranya adalah, pertama, sistem perencanaan ekonomi,
walaupun prosesnya perlu diubah menjadi dari bawah dan terdesentralisasi.
Kedua, kebijaksanaan sosial atau kebijaksanan publik yang pro-rakyat
dalam bentuk belanja sosial (social spending). Ketiga, memerankan
perusahaan negara di sektor-sektor penting yang membutuhkan modal
besar, seperti industri dasar, industri berat, dan industri strategis—seperti
pengelolaan pertambangan besar, yang di Indonesia biasa disebut sebagai
“sektor yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak”
sehingga oleh karenanya harus “dikuasai oleh negara untuk sebesar-besar
kemakmuran rakyat”. Dalam ruang lingkup ini tercakup usaha sosial-isasi
perusahaan-perusahaan swasta dan nasionalisasi perusahaan-perusahaan
asing menjadi BUMN. Keempat, pengembangan ekonomi rakyat berbasis
koperasi. Kelima, organisasi serikat buruh dan petani. Keenam, sistem
jaminan dan perlindungan sosial yang komprehensif berbasis warga negara.
Kesemuanya itu untuk Indonesia harus berbasis moral dan spiritual
Ketuhanan Yang Maha Esa. Ketujuh adalah redistribusi kekayaan dan
29
Posisi Sumitro Djojohadikusumo sebagai seorang Keynesian bisa dikenali dari dua buku teks
ekonomi yang ditulisnya, yaitu Ekonomi Pembangunan (Djakarta: PT Pembangunan, 1955) dan
Ekonomi Umum (Djakarta: PT Pembangunan, 1957).
30
Uraian yang sangat baik mengenai proses bercampurnya berbagai aliran pemikiran ekonomi
dikemukakan oleh Johan Galtung dalam bukunya, Peace by Peaceful Means: Peace and Conflict,
Development and Civilization (London: Sage, 1996). Lihat bagian ketiga dari buku tersebut.

Sosialisme Indonesia: Genealogi dan Diaspora


14
pendapatan masyarakat melalui pajak progresif di satu pihak, dan transfer
pendapatan (income transfer) kepada meraka yang hidup di bawah garis
kemiskinan di pihak lain, sebagaimana yang kini dipraktikkan di AS. Dalam
poin redistribusi ini juga tercakup soal reforma agraria. Dan kedelapan, UU
anti-monopoli.
Di Indonesia, partai sosialis, sebagaimana dijelaskan oleh Imam
Yudotomo, didirikan dan dibentuk oleh berbagai kelompok kiri yang lahir
pada awal kemerdekaan, seperti kelompok Amir Sjarifudin yang berlatar
belakang gereja Kristen Protestan tetapi beraspirasi komunisme, kelompok
Yogya di sekitar Wijono, Soegondo Djojopoespito dan Moch. Tauchid,
kelompok eks-PNI-Baru, kelompok alumni mahasiswa Belanda di sekitar
Abdul Madjid Djojodiningrat, dan kelompok Jakarta di sekitar Sjahrir.
Mereka kemudian berfusi membentuk Partai Sosialis (PS). Sebelumnya,
pada 13 November 1945, Amir Sjarifudin mendirikan PARSI (Partai Sosialis
Indonesia), dan Sjahrir di Cirebon pada 16 November 1945 mendirikan
PARAS (Partai Rakyat Sosialis). Jadi, PS adalah fusi dari PARSI dan PARAS.
Segera setelah Kabinet Amir Sjarifudin II jatuh pada 19 Januari 1948, PS
terpecah, yang menandai pecahnya kongsi antara Sjahrir dengan Amir
Sjarifudin. Pada 12 Februari 1948, Sjahrir membentuk Partai Sosialis
Indonesia (PSI). Haluan PSI adalah menolak komunisme, sehingga lebih
dekat kepada paham sosial demokrat.31
Dengan demikian, maka jika mau membangun kembali partai sosialis
(baru) di Indonesia, maka identitas ideologinya mendekati Partai Sosial
Demokrat yang sebenarnya mengadung lima varian. Pertama, Partai Sosial
Demokrat Jerman (Social Democratic Party). Kedua, Partai Sosial Demokrat
model Nordic, yang merupakan kombinasi dari negara kesejahteraan dan
sistem ekonomi kooperatif. Ketiga, adalah Partai Buruh (Labor Party) model
Inggris dan Australia. Keempat, Partai Sosialis Prancis yang bersendikan
perusahaan negara dan koperasi dalam sistem ekonomi liberal. Dan kelima
adalah model Partai Demokrat AS, yang dikombinasi dengan model
organisasi serikat buruh “national trade union”. Dalam model itu tidak ada
keterkaitan struktural antara keduanya, walaupun kaum buruh AS pada
umumnya memilih Partai Demokrat.
Guna membangun kembali partai sosialis baru di Indonesia, dewasa ini
diperlukan beberapa langkah. Pertama, mengidentifikasai partai-partai kecil
yang mengemban aspirasi sosialis dan memetakan visi, misi dan tujuan
partai yang mengandung unsur sosialis, dan merekonstruksinya menjadi
suatu visi, misi dan tujuan Partai Sosialis (Baru) Indonesia. Atau, melakukan
kajian terhadap perkembangan pemikiran sosialis di Indonesia dan di
dunia, guna mencari relevansi antara gagasan sosialisme mutakhir dengan

31
Penjelasan yang terperinci mengenai kongsi dan perpecahan yang terjadi di sekitar
terbentuknya PSI bisa dibaca pada monografi yang ditulis Imam Yudotomo, PSI, Partai Sosialis
Indonesia (Yogyakarta: Center for Social-Democratic Studies, 2011).

Sosialisme Indonesia: Genealogi dan Diaspora


15
persoalan-persoalan Indonesia. Kedua, menyusun doktrin, strategi dan
program Sosialisme Indonesia. Ketiga membentuk kelompok epistemik dan
kader-kader pimpinan partai. Dan keempat memilih seorang pemimpin
yang transforming dalam menjalankan visi, misi dan tujuan partai.
Sebagaimana terdapat di Barat, partai-partai politik memiliki suatu
yayasan (foundation) yang berfungsi sebagai pusat pemikiran (think-tank),
seperti Konrad Adenauer Stiftung pada Partai Kristen Demokrat Jerman,
Heritage Foundation pada Partai Republik AS, atau NOVIB Foundation
pada Partai Buruh Belanda. Yayasan-yayasan itu merupakan sayap non-
govermental, atau LSM sebagaimana di Indonesia. Karena itu partai sosialis
baru dapat didahului dengan pembentukan LSM atau gerakan sosial, seperti
organisasi massa Nasdem (Nasional Demokrat) yang kemudian membentuk
Partai Nasional Demokrat (Nasdem) di Indonesia. Pendekatan itu
sebenarnya telah terjadi di Indonesia, khususnya pada partai-partai politik
berbasis organisasi sosial-keagamaan, seperti Muhammadiyah dan
Nahdlatul Ulama. Sebenarnya PNI-Pendidikan dahulu lebih berperan
sebagai LSM daripada partai politik, yang peranannya adalah membangun
pemikiran dan pendidikan kader-kader pemimpin.
Dewasa ini, sudah ada usaha-usaha untuk membangun kembali PSI
oleh generasi penerus eks-PSI yang dipimpin oleh Ibong Syahroezah, putera
Djohan Sjahroezah, salah satu tokoh PSI. Kegiatan ini sudah dimulai
dengan pendirian sebuah LSM yang diberi nama PIKIR (Pusat Inovasi dan
Kemandirian Indonesia Raya) yang menerbitkan buletin Sikap, yang dulu
merupakan penerbitan PSI. Imam Yudotomo telah menulis dua buah
monograf, pertama mengenai perkembangan pemikiran sosialisme-
demokratik32 dan kedua mengenai sejarah PSI. Kedua naskah itu bisa
dijadikan sumber penyusunan kembali ideologi Sosialisme Indonesia.
Langkah kedua adalah melakukan negosiasi untuk menggabungkan
partai-partai politik yang mengemban aspirasi sosialis, misalnya
GERINDRA, Partai Kongres dan PSI-Baru. Kesulitan dari rekonsiliasi ini
adalah ketika membentuk pengurus partai, terutama untuk menunjuk siapa
yang pantas dan tepat untuk menduduki posisi pemimpin, karena menurut
realitas, kepemimpinan adalah sumber perpecahan di kalangan partai
politik. Kebanyakan hanya “merasa bisa”, tetapi “tidak bisa merasa”.
Langkah ketiga adalah mencari dukungan massa melalui penggalangan
organisasi buruh yang jumlahnya puluhan. Dewasa ini ada empat pola
organisasi buruh. Pertama adalah organisasi buruh yang dibentuk oleh
perusahaan, sehingga bisa dikendalikan untuk kepentingan perusahaan.
Kedua, adalah serikat buruh yang mengemban misi meningkatkan
kesejahteraan buruh. Ketiga, adalah kelompok buruh yang menjadi
kendaraan dari para pemimpin buruh untuk memperoleh posisi di

32
Imam Yudotomo, Sosial-Demokrasi: Prinsip Dasar dan Sejarahnya (Yogyakarta: Center for
Social-Democratic Studies, 2005).

Sosialisme Indonesia: Genealogi dan Diaspora


16
pemerintahan atau partai politik. Dan keempat adalah gerakan buruh yang
berorientasi pada pembentukan partai buruh yang ikut serta dalam
pemilihan umum guna memperoleh posisi dalam lembaga legislatif maupun
pemerintahan. Tidak mudah untuk menggalang berbagai pola organisasi
buruh itu ke dalam “national trade union” seperti di AS yang independen
dari partai politik, atau model Partai Buruh (Labour Party) Inggris dan
Australia. Namun prospek yang paling besar terdapat pada organisasi buruh
model trade union AS, atau juga model Singapura yang kemudian secara
konkret membentuk koperasi.
Masalah terberat adalah menemukan pemimpin transforming yang
memahami ideologi sosial atau mampu menciptakan program-program
sosialis dan memiliki kharisma yang membentuk followership, seperti
Sjahrir atau Soekarno. Alternatifnya adalah membentuk komunitas
epistemik yang bisa melahirkan seorang pemimpin yang transforming di
antara para cendekiawan muda. Kepemimpinan itu umumnya bisa
terbentuk melalui program-program aksi sosial (social action). Pemimpin
bisa pula diseleksi dari para mantan pemimpin mahasiswa atau kalangan
profesional muda atau wiraswasta sosial yang telah memiliki rekam jejak.
Pembentukan partai politik pada saat ini mengadung tiga pola. Pertama
berorientasi pada tokoh tertentu. Kedua proses transaksi politik antara
pemilik sumberdaya politik. Dan ketiga berorientasi pada ideologi atau
aliran politik tertentu. Partai sosialis baru mestinya mengikuti pola ketiga,
walaupun tidak bisa menghindari proses transaksional guna menghimpun
sumberdaya politik dan kemudian memilih pemimpin yang transformatif.
Partai SRI, yang sudah berdiri, nampak mengikuti pola pertama melalui
penokohan Sri Mulyani Indrawati. Partai ini didukung oleh generasi kedua
eks-PSI yang sudah berkiprah sejak masa Orde Baru, seperti Rahman
Toleng, Marsilam Simandjuntak, dan Fikri Djufri. Namun partai ini
sepertinya mengalami kesulitan, sehingga harus menempuh proses
transaksional untuk menghimpun sumber daya politiknya. Karena itu yang
perlu dipertanyakan mengenai orientasi ideologi partai ini: apakah
sosialisme atau neoliberalisme yang dianut oleh tokoh-tokohnya?!
Semua perkembangan itu sebenarnya dapat ditafsirkan dalam beberapa
perspektif. Pertama sebagai revisionisme terhadap paham komunisme
dalam bentuk doktrin dan kebijaksanaan publik melalui proses demokrasi.
Kedua, sebagai gejala adaptasi kapitalisme dengan menyerap aspirasi-
aspirasi sosialis. Titik temu dari ideologi itu nampak dalam ideologi
Sosialisme Demokrasi atau negara kesejahteraan. Kesimpulan itu
menimbulkan persoalan dalam membangun kembali partai sosialis baru,
karena kemudian maksud itu akan ketemu persimpangan: antara
membangun (kembali) Partai Sosialis, atau membangun sebuah Partai
Sosial Demokrat?! Jika mengikuti pandangan Sjahrir, maka yang perlu
dibentuk adalah Partai Sosialisme Kerakyatan yang mengandung elemen

Sosialisme Indonesia: Genealogi dan Diaspora


17
kebangsaan dan religiusitas, atau meminjam istilah yang pernah digunakan
oleh Emil Salim, sebagai “Sosialisme Pancasila”.

Sosialisme Indonesia: Genealogi dan Diaspora


18
(2)


DIASPORA SOSIALISME

Identitas-Ganda Ideologi
Identitas ideologi ganda dalam pribadi seseorang, yang seringkali
muncul melalui gejala keterbelahan (split) dalam bentuk dilema dan
kontradiksi dalam sikap dan pengambilan keputusan, merupakan ciri
umum dari para pemimpin Indonesia terkemuka pada zaman pergerakan.
Dalam diri H.O.S. Tjokroaminoto (1882-1934), pendiri Partai Sarekat Islam
Indonesia (PSII) umpamanya, terkandung tiga kecenderungan ideologi,
mula-mula Islam-modernis (1911-1915), kemudian nasionalis atau
kebangsaan (1916), dan terakhir adalah sosialis (1924).33 Pada tahun 1921,
Sarekat Islam mengubah identitasnya menjadi Partai Sarekat Islam Hindia
Timur, dan pada 1929 namanya diubah menjadi Partai Sarekat Islam
Indonesia (PSII), yang menegaskan warna kebangsaannya.34 Sebagai partai
kebangsaan, PSII kemudian mengalami radikalisasi dan menganut politik
non-kooperasi. Pada tahun 1927, bersama-sama dengan Partai Nasional
Indonesia (PNI), Boedi Oetomo, dan Paguyuban Pasundan, berbagung
dalam Permufakatan Perhimpunan-perhimpunan Politik Kebangsaan
(PPPK), yang menegaskan haluan politik kebangsaannya. Di luar
identitasnya sebagai seorang nasionalis itu, Tjokro menulis buku Islam dan
Sosialisme (1924), yang melukiskan bahwa Islam sebagai ideologi politik dan
sistem sosial, dengan mengambil model Negara Madinah pada masa Nabi
Muhammad SAW dan Khilafah Rasyidah, adalah sebentuk dengan
sosialisme,35 yang menunjukkan identitasnya sebagai seorang sosialis yang
religius.
Kepribadian seperti itu nampak pula pada diri Soekarno atau Hatta.
Pluralitas identitas, meminjam istilah Amartya Sen, yang ada dalam diri

33
M. Masyhur Amin, H.O.S. Tjokroaminoto: Rekonstruksi Pemikiran dan Perjuangannya
(Yogyakarta: Universitas Cokroaminoto Press, 1995)., lihat terutama Bab III.
34
E. Saefullah Wiradipradja dan Wildan Yahya, Satu Abad Dinamika Perjuangan Syarikat Islam
(Bandung: Dewan Pimpinan Wilayah Syarikat Islam Jawa Barat, 2005), hal. 49.
35
H.O.S. Tjokroaminoto, Islam dan Sosialisme (Bandung: Sega Arsyi, 2008 [1924]), lihat terutama
Bab III hingga Bab V.

Sosialisme Indonesia: Genealogi dan Diaspora


19
seseorang, akan berpengaruh terhadap perkembangan ideologi dan gerakan
politik yang dihidupinya, yang karena mengandung berbagai unsur dan
kecenderungan maka gampang menimbulkan polemik, konflik dan bahkan
perpecahan. Tetapi interpretasi sebaliknya juga bisa dipahami, yaitu bahwa
unsur-unsur ideologi yang ada dalam suatu gerakan dan partai merupakan
refleksi dari perkembangan masyarakat, dan semua itu akan mempengaruhi
kecenderungan kepribadian dan ideologi para pemimpin. Interpretasi
pertama bertolak dari pendekatan idealis Weberian, sementara interpretasi
kedua bertolak dari pendekatan materialis Feurbachian atau Marxian.
Kepribadian ganda itu terbentuk melalui perkembangan pemikiran
seseorang, yang di Indonesia cenderung ke arah sinkretisme atau sintesis,
sebagaimana nampak jelas pada pemikiran Soekarno. Sebenarnya Soekarno
sendiri memiliki kecenderungan ganda, tapi di lain pihak ia sangat
menyadari gejala itu, sehingga dalam visinya untuk mencapai Indonesia
Merdeka ia berusaha menggalang semua gagasan itu guna mencapai
persatuan bangsa sebagai kekuatan revolusioner melawan imperialisme dan
kapitalisme.36
Soekarno mengusulkan agar gagasan kebangsaan yang sedang dibangun
pada awal abad ke-20 itu sebagai persatuan yang menggabungkan tiga
gagasan revolusioner, yaitu Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme.
Pemikiran yang dikemukakannya pada 1945, ketika merumuskan dasar
negara, pada dasarnya merupakan terusan dan pematangan dari gagasan
tahun 1926 itu. Dan hasilnya adalah gagasan tentang Pancasila, yaitu konsep
kesatuan antara lima sila, atau nilai fundamental, yang oleh Soekarno
diusulkan untuk menjadi pandangan hidup bangsa (weltanschauung).
Setelah direformulasikan oleh Panitia Sembilan BPUPKI (Badan Penyelidik
Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia), gagasan yang
dikemukakan Soekarno itu menjadi rumusan Pancasila sebagaimana yang
kita kenal hari ini, yang jika kita cermati rumusan itu sesungguhnya
merupakan sintesis dari berbagai paham yang berkembang di dunia. Jika
Soekarno menyatakan bahwa Pancasila itu “digali dari bumi Indonesia”,
ungkapan itu tidak keliru, karena berbagai paham yang berkembang di
dunia itupun juga (telah) berkembang di Indonesia. Paham-paham itu
terutama adalah paham-paham yang berkembang sejak Kebangkitan
Nasional 1908, yaitu nasionalisme, internasionalisme, demokrasi, sosialisme
atau keadilan sosial, dan monotheisme.
Jika kita pilah-pilah, inti dari paham Soekarno sesungguhnya adalah
nasionalisme. Meskipun demikian, oleh berbagai kelompok yang ada dalam
masyarakat Indonesia, nilai-nilai yang diambil dan diutamakan itu
umumnya tertentu saja, yang itu berbeda antara satu kelompok dengan

36
Visi tersebut tertabal jelas dalam salah satu karangannya yang terkenal, “Nasionalisme,
Islamisme dan Marxisme” (1926). Lihat, Soekarno, Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme
(Djakarta: Jajasan Pembaruan, 1963).

Sosialisme Indonesia: Genealogi dan Diaspora


20
kelompok lain. Partai Masyumi dan Nahdhatul Ulama (NU), misalnya,
menekankan unsur monotheisme; Partai Nasional Indonesia (PNI) pada
nasionalisme; dan Partai Sosialis Indonesia (PSI) pada sosialisme.
Kasus identitas ganda yang melekat pada diri seorang tokoh sebenarnya
terjadi juga pada partai politik, dan bahkan ideologi. Setiap partai politik
yang mengklaim berideologi tertentu dalam praktiknya juga mengimani
atau mengkombinasikan unsur ideologi lain yang berbeda dengan ideologi
dasarnya. Misalnya, Masyumi, yang menekankan unsur monotheisme dan
demokrasi; NU, yang menekankan monotheisme dan kebangsaan; PNI,
yang menekankan nasionalisme dan sosialisme; dan PSI, yang menekankan
sosialisme, demokrasi dan internasionalisme.37 Asumsi dari rumusan itu
adalah bahwa setiap prinsip atau doktrin mengandung kelemahan dan
kekurangan, misalnya antara doktrin keagamaan dengan kemanusiaan,
antara nasionalisme dengan internasionalisme, atau antara demokrasi
dengan keadilan. Tetapi, jika prinsip-prinsip itu digabungkan akan
memperkuat satu dengan lainnya, sehingga bersifat tumpang-tindih atau
overlapping. Karena itu maka Pancasila bukanlah suatu hasil dari kontrak
sosial (social contract) antara individu dengan kelompok yang mengemban
kepentingan masing-masing, melainkan—meminjam istilah John Rawls—
merupakan overlapping consensus di antara aspek-aspek pandangan hidup.
Dengan demikian, maka Pancasila pada dasarnya adalah ideologi
kebangsaan Indonesia. Karena itu kaum sosialis dan komunis sebenarnya
menolak gagasan Pancasila, atau paling tidak mereka tidak pernah
membincangkan gagasan mengenai Pancasila. Sjahrir dan Tan Malaka, yang
tidak ikut merumuskan UUD 1945, tidak pernah menyebut istilah Pancasila.
Dalam perdebatan mengenai dasar negara dalam sidang-sidang
Konstituante antara 1958 hingga 1959, kelompok sosialis menggolongkan
diri ke dalam kelompok sosial ekonomi.38 Sikap atau pandangan terhadap
Pancasila itu juga bisa dilihat pada generasi PSI yang lebih kemudian. Arief
Budiman, misalnya, dalam polemik mengenai Ekonomi Pancasila pada 1981,
menolak gagasan Ekonomi Pancasila Mubyarto dengan alasan tidak jelas
konsep dasarnya. Bagi Arief, satu-satunya alternatif yang jelas bagi
kapitalisme adalah sosialisme.39 Dengan alasan yang kurang lebih sama,
Sarbini Sumawinata juga menolak gagasan Ekonomi Pancasila Mubyarto.40

37
Ciri internasionalisme inilah yang membedakan PSI dengan partai lainnya, sebuah sifat yang
menurut Schumpeter secara inharen merupakan watak sosialisme.
38
Erwin Kusuma dan Khairul (Editor), Pancasila dan Islam: Perdebatan antar Parpol dalam
Penyusunan Dasar Negara di Dewan Konstituante (Yogyakarta: Pusat Studi Pancasila, 2008).
39
Arief Budiman, “Sebuah Kritik terhadap ‘Sistem Ekonomi Pancasila’ Mubyarto”, dimuat Harian
Kompas, 10 Juni 1981. Dalam versi yang lebih panjang lebar, Arief menguraikan kritiknya dalam
buku kecilnya, Sistem Perekonomian Pancasila dan Ideologi Ilmu Sosial di Indonesia (Jakarta:
Gramedia, 1989).
40
“Ekonomi Pancasila”, Tajuk Rencana dalam Buletin Business News, 20 Mei 1981. Buletin
tersebut dipimpin dan dikelola oleh Sarbini Sumawinata.

Sosialisme Indonesia: Genealogi dan Diaspora


21
Satu-satunya tokoh PSI yang bisa menerima gagasan Ekonomi Pancasila
adalah Sumitro Djojohadikusumo.41 Sebagai seorang sosialis yang juga
nasionalis, Sumitro Djojohadikusumo juga menerima Pancasila, walaupun
baru ditulis pada masa Orde Baru. Meskipun demikian, dalam sidang
Konstituante, kelompok sosial-ekonomi pada akhirnya bisa menerima
Pancasila, walaupun bagi mereka Pancasila hanya dinilai sekadar sebagai
taktik dan bukan keyakinan politik, karena tujuan mereka adalah tetap
terbangunnya masyarakat dan negara sosialis. Sikap serupa juga terjadi
pada gerakan sosialis di Eropa pada dasawarsa 1970-an, khususnya di Italia,
Spanyol dan Perancis, yang menyebut ideologi mereka sebagai “Komunisme
Eropa” (Euro-Comunism). Dengan demikian, pada keadaan tertentu
gerakan sosialis bisa pula menerima ideologi lain, yang membuat gejala
ideologi ganda juga bisa melekat pada mereka.
Dengan demikian, dalam setiap partai dan identitas bisa terjadi gejala
tumpang-tindih (overlapping atau intersection), yang mengandung peluang
untuk direkonstruksi menjadi satu titik-temu atau konsensus. Apa yang
dilakukan oleh Soekarno melalui Pancasila bisa dilihat sebagai usaha untuk
mencapai apa yang disebut oleh Rawls (1993) sebagai overlapping
consensus,42 yang pertama-tama dilakukan dengan membendung doktrin
komprehensif—yang dalam pemikiran Soekarno adalah Islam—melalui
gagasan sekularisme sebagaimana yang dilakukan Turki setelah Revolusi
Turki 1934. Namun pada kenyataannya doktrin komprehensif itu tidak bisa
dibendung, sebagaimana bisa dilihat pada fenomena Kristen di Barat dan
Islam di Indonesia, yang kemudian melahirkan gerakan radikal keagamaan.
Dalam pemikiran Habermas tentang demokrasi deliberatif (demokrasi
musyawarah) yang didasarkan pada teori komunikasi, ia berpendapat
bahwa untuk menghindari kebuntuan dalam konflik, doktrin komprehensif
agama harus bisa diartikulasikan secara rasional dan obyektif, baik moral
(moral reasoning) maupun publik (public reasoning), sehinga bisa dipahami
oleh pihak lain. Dan sebaliknya, kaum sekuler, termasuk orang seperti
Rawls, harus mengambil sikap terbuka terhadap obyektivikasi tersebut.
Ketika kelompok komunis dan Islam fundamentalis tidak bisa melakukan
anjuran Habermas itu maka timbul gerakan radikal. Tetapi kaum sosialis,
yang sebagian juga menolak Pancasila sebagai overlapping-consensus atau
kontrak sosial itu, mereka melakukan penyesuaian diri melalui kritik ke
dalam (self-critisism), karena sosialisme itu sendiri adalah suatu ideologi
yang mengandung berbagai unsur pemikiran. dan yang menyadarinya,
khususnya Sjahrir, pendiri Partai Sosialis Indonesaia (PSI) 1948 itu
melakukan kritik dan penyesuaian diri dengan melakukan moderasi
terhadap paham Marxisme ortodoks, yaitu Leninisme-Stalinisme Rusia.

41
Soemitro Djojohadikusumo, Trilogi Pembangunan dan Ekonomi Pancasila (Jakarta: Induk
Koperasi Pegawai Negeri Republik Indonesia, 1985).
42
John Rawls, Political Liberalism (New York: Columbia University Press, 1993).

Sosialisme Indonesia: Genealogi dan Diaspora


22
Karena itu dalam sosialisme timbul pemikiran revisionis yang dielopori oleh
Eduard Bernstein (1850-1932) dan yang lain.

Sosialisme di Indonesia
Sosialisme dan Komunisme sebagai ideologi tidak langsung muncul di
Indonesia. Sosialisme dan Komunisme masuk ke Indonesia melalui paham
Sosial Demokrasi yang berkembang di Eropa dan kemudian menyusup ke
dalam SI lalu mengalami radikalisasi. Ideologi itu, walaupun pada waktu itu
dipahami secara garis besarnya saja, melahirkan tokoh-tokoh yang
menonjol dalam perjuangan kemerdekaan, seperti Haji Misbach (1876-
1926), Mas Marco Kartodikromo (1890-1935), Alimin (1889-1964), Darsono
(1893-1976)43 dan Musso (1887-1948),44 yang kemudian dikenal sebagai
tokoh-tokoh komunis. Dengan semakin vokalnya kelompok komunis dalam
SI sejak 1919, sebagai dampak dari Revolusi Oktober di Rusia (1917), dimulai
dari serikat buruh kerata api Semarang yang disebut SI-Merah itu, maka
atas desakan Muhammadiyah, sebuah organisasi Islam-modernis yang
menganggap komunisme sebagai atheis, terjadilah purifikasi ideologi dan
organisasi dalam SI yang diprakarsai oleh Haji Agoes Salim (1884-1954) dan
Abdoel Moeis (-1959). Dengan keluarnya SI-Merah dari SI, yang kemudian
membentuk Partai Komunis Indonesia (PKI) pada tahun 1923, maka
sebenarnya telah terjadi pula purifikasi atau fundamentalisasi dalam
gerakan sosialis.
Sebagaimana telah disebut, sebenarnya sosialisme masuk ke Indonesia
pertama kali melalui versi sosial-demokrasi, yang ditandai oleh kelahiran
ISDV (Indische Sociaal Demokratische Vereeniging (ISDV, atau Persatuan
Sosial Demokrasi Hindia Belanda) yang dipelopori oleh Henk Sneevliet
(1883-1942) pada tahun 1913. Tetapi mengikuti kecenderungan umum dalam
gerakan kebangsaan untuk mencapai kemerdekaan pada masa itu,
terjadilah proses radikalisasi dari paham sosial-demokrasi menuju
komunisme. Dengan lahirnya versi komunisme, maka sosialisme dalam
versi sosial-demokrasi untuk sementara menghilang dari wacana publik
politik di Indonesia.
Radikalisasi PKI sebenarnya didorong oleh aspirasi kebangsaan yang
mulai marak sejak dasawarsa 1920-an. Namun di dalam tubuh PKI sendiri
unsur kebangsaan juga tidak begitu terartikulasikan. PKI menerima
kebangsaan, karena dalam teori Lenin gerakan kemerdekaan dari
kolonialisme dapat dikategorikan ke dalam jenis gerakan pembebasan, yaitu

43
Edi Cahyono, “Dari ‘Kiri’ menjadi ‘Kanan’: Pergeseran Ideologi Semaoen dalam ‘Tenaga
Manusia’”, dimuat dalam Buletin Penebar E-News, No. 2, September 2003.
44
Mengenai soal tahun kelahiran Musso ini ada banyak versi. Tahun yang digunakan dalam
karangan ini merujuk kepada karya McVey. Lihat Ruth T. McVey, Kemunculan Komunisme
Indonesia (Jakarta: Komunitas Bambu, 2009), hal. 302.

Sosialisme Indonesia: Genealogi dan Diaspora


23
pembebasan bangsa-bangsa (national liberation movement) dari
imperialisme dan sekaligus kapitalisme. Dalam pemikiran Tan Malaka
(1924), perjuangan kemerdakaan dilakukan melalui pembentukan
kesadaran kelas pekerja, atau proletariat, walaupun kelas ini belum
berkembang di Hindia-Belanda karena belum terjadinya proses
industrialisasi.45 Di sini nampak bahwa dogmatisasi terhadap doktrin
Marxis telah menimbulkan pandangan yang anakronistis atau ahistoris.
Dalam pemikiran Tan Malaka, sesuai dengan Lenin, revolusi kemerdekaan
bangsa bisa sekaligus merupakan revolusi proletariat. Dengan perkataan
lain, revolusi proletariat menunggangi revolusi kemerdekaan. Sehingga,
berbeda dengan Revolusi Perancis yang kemudian diambil-alih kaum
borjuis, maka melalui revolusi kemerdekaan Indonesia dapat dibentuk
sebuah negara diktator proletariat yang diwakili oleh kelas inteligensia,
sebagaimana yang sudah terjadi di Rusia pada tahun 1917. Hanya saja, yang
dilupakan Tan Malaka, meski Rusia masih berada pada tahap agraris-feodal,
namun di sana sudah ada kelas buruh sehingga bisa membentuk Partai
Bolshevik.
Setelah PKI dinyatakan sebagai organisasi terlarang pada 1927 oleh
pemerintah kolonial, karena memimpin gerakan pemberontakan terhadap
pemerintah kolonial di Jawa Barat dan Sumatera Barat pada November 1926,
maka gerakan komunis mengalami diaspora. Ini dimulai dengan langkah
Semaoen, seorang pemimpin PKI, yang melakukan rekapitulasi dengan
menyerahkan tongkat kepemimpinan melawan kolonialisme kepada
Hatta.46 Hatta kemudian menugasi Sutan Sjahrir, yang merupakan aktivis
mahasiswa sosial demokrat di Belanda, untuk memimpin Pendidikan
Nasional Indonesia, sebuah organ yang lebih dikenal dengan singkatan PNI-
Baru, menyusul dibubarkannya “PNI lama”, yang tak lain adalah Partai
Nasional Indonesia. Hatta dan Sjahrir kemudian menerbitkan majalah
Daulat Ra’jat, yang isinya menyebarkan wacana mengenai sosialisme. Hatta
masih mempertahankan identitasnya sebagai nasionalis, dan sebagai
mantan tokoh mahasiswa yang pernah terjun ke dalam forum sosialisme
internasional, ia juga mewacanakan gagasan ekonomi kerakyatan dan
koperasi. Sedangkan Sjahrir mengisi Daulat Ra’jat dengan tulisan-tulisan
mengenai sosialisme. Tapi, dengan latar belakang sosial demokrasinya,
gagasan sosialisme yang dikembangkannya lebih merupakan kritik terhadap
komunisme-Leninisme yang sedang membangun negara diktator proletariat
di Uni Soviet daripada kritik kepada kapitalisme.47 Padahal, menurut Paul
45
Tan Malaka, Menuju Republik Indonesia (Jakarta: Komunitas Bambu, 2000 [1924]). Risalah ini
pertama kali terbit pada 1924 dengan judul “Naar de Republiek Indonesia”.
46
Perjanjian antara Semaoen dengan Hatta ini, misalnya, diceritakan dalam otobiografi Hatta.
Lihat Mohammad Hatta, Memoir (Jakarta: Yayasan Hatta, 2002 [1979]), hal. 203-07.
47
Karangan Sjahrir mengenai sosialisme yang lebih banyak merupakan kritik terhadap Marxisme
daripada terhadap kapitalisme itu bisa dibaca dari buku kecilnya, Sosialisme dan Marxisme: Suatu
Kritik terhadap Marxisme (Djakarta: Djambatan, 1967). Karangan yang dibukukan itu pertama kali

Sosialisme Indonesia: Genealogi dan Diaspora


24
M. Sweezy, sosialisme pertama-tama dan terutama adalah gagasan dan
gerakan melawan kapitalisme yang merupakan sistem ekonomi dominan.
Walaupun kapitalisme dilanda krisis pada 1929, yang berdampak pada
meningkatnya jumlah pengangguran dan kemiskinan di dunia, dan telah
memancing tumbuhnya gerakan sosialis di berbagai negara, namun
kapitalisme ternyata bisa diselamatkan oleh John Maynard Keynes (1883-
1946). Melalui karyanya, The General Theory of Interest, Employment and
Money (1936), Keynes mengusulkan peningkatan peran negara dalam
memutar kembali roda perekonomian melalui penciptaan lapangan kerja
baru berbasis investasi pemerintah, sehingga pendapatan masyarakat
kembali meningkat dan permintaan agregat kembali terdongkrak.
Keberhasilan teori Keynes itu memang memperlemah gerakan Sosialisme-
Marxian, tetapi mendukung gagasan Sosialisme Demokrasi. Pendekatan
pragmatis dalam pembangunan ekonomi Keynes itu ikut berpengaruh
terhadap pola perjuangan kaum Sosialisme Demokrasi, yang oleh
Schumpeter dianggap sebagai salah satu varian sosialisme paling genuine.
Kritik Sjahrir terhadap Marxisme pada dasarnya bertolak dari aspirasi
humanisme universal dan demokrasi yang diyakininya, yang kemudian
dirumuskannya menjadi “Sosialisme Kerakyatan”, sebuah rumusan yang
bisa dibaca sebagai anti-tesis terhadap gagasan sosialisme-negara. Jika
membaca kembali Marx, ketika muda Marx sendiri sebenarnya dikenal
sebagai seorang Hegelian humanis daripada seorang sosialis. Sosialisme
humanis Sjahrir sebenarnya sejalan dengan Sosialisme Demokrasi di Eropa.
Dalam kaitan itu, humanisme atau humanitarianisme, merupakan dasar
dari demokrasi yang menghasilkan konsep mengenai hak-hak asasi manusia
(human rights) dan hak-hak sipil (civil rights) yang tercantum dalam
konstitusi dan undang-undang. Baik sosialisme maupun perjuangan
menegakkan hak-hak asasi manusia adalah sama-sama gerakan
pembebasan. Bahkan perjuangan hak-hak asasi manusia, termasuk
emansipasi perempuan, sebelum disebut gerakan kesetaraan gender,
merupakan hasil atau bentuk perjuangan sosialis pasca-Revolusi Perancis.
Tapi Sjahrir tidak mau menyebut dirinya seorang sosialis-demokrat,
walaupun ia adalah kader gerakan itu ketika masih belajar dan aktif dalam
gerakan politik di Belanda. Karena itu, setelah Indonesia merdeka, Sjahrir
membentuk Partai Rakyat Sosialis (PARAS) di Cirebon pada 16 November
1945, menyusul pendirian Partai Sosialis Indonesia (PARSI) yang didirikan
Amir Sjarifuddin di Yogyakarta pada 13 November 1945.48 Pendirian dua
partai sosialis itu, yang hanya berselang tiga hari, tampaknya merupakan
respon terhadap Maklumat No. X yang dikeluarkan oleh Wakil Presiden

ditulis sebagai artikel bersambung yang dimuat dalam Majalah Suara Sosialis antara tahun 1953
hingga 1954. Suara Sosialis adalah majalah resmi Partai Sosialis Indonesia.
48
Imam Yudotomo, PSI, Partai Sosialis Indonesia (Yogyakarta: Center for Social-Democratic
Studies, 2011), hal. 11-12.

Sosialisme Indonesia: Genealogi dan Diaspora


25
Mohammad Hatta pada 16 Oktober 1945 mengenai pembentukan partai-
partai. Kedua partai itu kemudian berfusi membentuk Partai Sosialis (PS).
Sebagai tokoh pemimpin partai, Sjahrir juga berkepribadian ganda,
dimana selain sebagai sosialis ia juga merupakan seorang humanis dan
seorang demokrat. Tapi ciri yang membedakannya dari para pemimpin
kebangsaan lainnya adalah bahwa ia adalah seorang kosmopolit, sebuah ciri
yang juga melekat pada anak-anak muda anggota Unitas Studiosorum
Indonesiensis (USI), sebuah organisasi mahasiswa yang didirikan oleh
orang-orang Belanda untuk menandingi organisasi kepemudaan yang
bercorak nasionalis dan radikal, dimana sejumlah bekas anggota USI—
seperti Soedjatmoko (1922-1989), Sjafruddin Prawiranegara (1911-1989), atau
Soedarpo Sastrosatomo (1920-2007)—kemudian menjadi anggota inti dari
apa yang kemudian sering disebut sebagai “lingkaran Sjahrir”. Tapi dalam
lingkaran Sjahrir juga terdapat unsur nasionalis, yaitu mereka yang pernah
tergabung dalam Persatuan Pelajar Pelajar Indonesia (PPPI), sebuah organ
kepemudaan yang berdiri di atas prinsip “koloniale antithese”, yang artinya
berdiri di atas perbedaan-perbedaan antara kaum yang menjajah dengan
yang terjajah.49 Salah satu tokoh PPPI yang menjadi bagian dari lingkaran
Sjahrir adalah Soebadio Sastrosatomo.50 Antara dua kelompok ini tak urung
sering terjadi saling gesek dan ejek. Dalam biografi Soebadio, misalnya,
diceritakan bahwa Soedjatmoko sebelum disadarkan oleh Soebadio adalah
seorang yang kebarat-baratan dan lupa kalau dirinya adalah bangsa
Indonesia. Sementara, dalam pandangan Soedjatmoko, orang seperti
Soebadio adalah kaum nasionalis picik, oleh karenanya mereka perlu
menguasai nilai-nilai kemanusiaan universal agar tak berpandangan picik.51
Kembali lagi pada soal PARSI dan PARAS, meskipun kedua partai itu
sama-sama menggunakan label sosialis, keduanya sebenarnya berbeda
haluan. Jika PARAS yang didirikan Sjahrir berhaluan demokrasi-liberal,
maka PARSI yang dipimpin Amir Sjarifuddin berhaluan Marxis radikal.
Namun kedua partai itu, dalam rangka untuk dapat masuk ke dalam
pemerintahan dan parlemen, yang pada masa itu fungsinya dijalankan oleh
Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP), bersetuju untuk bergabung
menjadi satu partai, yaitu Partai Sosialis (PS). Namun, kongsi antara Sjahrir
dan Amir Sjarifuddin dalam tubuh PS itu tak berlangsung lama, karena
kemudian pecah pada 1948, segera setelah Kabinet Amir Sjarifuddin yang
kedua jatuh pada 19 Januari 1948. Sehingga pada 12 Februari 1948, Sjahrir
mendirikan Partai Sosialis Indonesia (PSI). Perpecahan itu terjadi karena
perbedaan politik, terutama dalam kaitannya dengan usaha
49
Sagimun M.D., Peranan Pemuda dari Sumpah Pemuda sampai Proklamasi (Jakarta: Bina
Aksara, 1989), hal. 141.
50
Rosihan Anwar, Soebadio Sastrosatomo: Pengemban Misi Politik (Jakarta: Grafiti, 1995), lihat
terutama Bab 2.
51
Ibid., hal. 11-12. Lihat juga, J.D. Legge, Kaum Intelektual dan Perjuangan Kemerdekaan:
Peranan Kelompok Sjahrir (Jakarta: Grafiti, 2003 [1993]), hal. 155.

Sosialisme Indonesia: Genealogi dan Diaspora


26
mempertahankan kemerdekaan dan mencapai pengakuan kedaulatan
negara. Amir Sjarifuddin sendiri, setelah PS bubar, kemudian menggalang
Front Demokrasi Rakyat (FDR). Ia kemudian dikenal sebagai seorang tokoh
komunis yang ikut memimpin pemberontakan PKI di Madiun pada 1948.
Seperti halnya Sjahrir, Amir juga memiliki identitas ganda, karena
selain dikenal sebagai tokoh komunis, ia juga diakui oleh umat Kristen
Protestan sebagai seorang aktivis gereja Kristen evangelis yang religius.
Kepribadian ganda yang merupakan gabungan antara identitas komunis
dan agama itu, sebagaimana ditulis oleh Sjafruddin Prawiranegara, adalah
gejala umum yang dalam kalangan Islam nampak pada tokoh seperti Haji
Misbach, seorang tokoh SI yang kemudian memilih bergabung dengan
PKI.52 Namun kepribadian ganda dan pluralitas ideologi itu tidak nampak
dalam PKI yang tegas-tegas komunis. Ketegasan serupa itu tidak nampak
pada PSI. PSI, sebagai cerminan dari kepribadian Sjahrir dan sejumlah
tokoh pendukungnya, mengandung berbagai unsur ideologi, tapi yang
terutama didominasi oleh pandangan sosialis, humanis dan demokrasi.
Memang, di dalam tubuh PSI terdapat juga unsur nasionalis, sebagaimana
yang tampak pada Sumitro Djojohadikusumo dan Soebadio Sastrosatomo.
Meski menggunakan label sosialis, PSI sendiri tidak nampak menonjol
ideologi sosialismenya, karena banyak kalangan luar menilai bahwa PSI
sebenarnya adalah “partai sosial demokrat”-nya Indonesia, alias semacam
ISDV. Kalangan komunis dan nasionalis sering menyebut PSI sebagai
“Sosdem”, singkatan dari “sosialis demokrat”; sementara kalangan PKI
menyebut mereka sebagai “Soska”, alias “sosialis kanan”.
Perkembangan PKI dan PSI mengandung perbedaan. Sebelum
pembentukan PKI baru pasca-Proklamasi, para pemimpin dan anggota PKI
mengalami diaspora setelah kegagalan pemberontakan 1926. Mereka yang
masih merasa mengemban misi perjuangan kemudian menyusup ke dalam
berbagai organisasi dengan ideologi yang berbeda-beda dan melakukan
gerakan bawah tanah dari sana. Sementara, sisanya mengambil posisi tidak
aktif sama sekali, atau memilih menjadi rakyat biasa. Selain itu, tentu saja
ada yang menjadi pengikut Tan Malaka. Tetapi, setelah terbentuknya FDR
dan kebangitan kembali PKI atas seruan Musso, maka banyak simpatisan
komunis yang kemudian berhenti ber-taqiyah—atau menyembunyikan
akidah, ideologi, atau jati dirinya, seperti analog dengan perilaku kaum
Syiah yang hidup di lingkungan Sunni—dan mengumumkan secara terbuka
bahwa mereka adalah orang-orang komunis.
Sementara itu, secara kelembagaan PSI merupakan kelanjutan dari
PARSI, tapi secara ideologis para pendukungnya terdiri dari tokoh-tokoh
yang berbeda-beda aspirasi dan pandangannya. Artinya, spektrum ideologis

52
Sjafruddin Prawiranegara, Politik dan Revolusi Kita (Medan: Andalas, 1950), hal. 10-15.

Sosialisme Indonesia: Genealogi dan Diaspora


27
di tubuh PSI sesungguhnya sangat banyak.53 Ada yang berkecenderungan
sosial-demokrat, sosialis-Marxian, liberal-humanis, nasionalis sekuler, dan
juga nasionalis religius. Meskipun demikian, mereka pada dasarnya setuju
dengan gagasan Sjahrir mengenai Sosialisme Kerakyatan. Sjahrir sendiri
sebenarnya lebih kentara sebagai seorang humanis-liberal. John Legge
bahkan menyebut bahwa Sjahrir pada dasarnya lebih merupakan seorang
liberal daripada seorang sosialis. Di dalam tubuh PSI, corak sosialisme yang
masih berpegang pada Marxisme melekat pada diri Djohan Sjahroezah,
yang aktif di bidang kepemudaan dan perburuhan. Bahkan, Djohan adalah
orang yang bertanggung jawab atas tercantumnya—secara verbal—dasar
sosialisme dan nama Marx dalam azas PSI. Secara lengkap, di dalam
Anggaran Dasar PSI, soal azas ini disebutkan:

“Partai Sosialis Indonesia berdasarkan paham sosialisme jang


disandarkan pada adjaran ilmu pengetahuan Marx-Engels, jang
mengakui perdjuangan kelas sebagai suatu kenjataan dan kedjadian
sepandjang ilmu hukum kemadjuan dalam masjarakat kapitalis.”54

Menurut Imam Yudotomo, tanpa usaha Djohan tersebut, rantai


hubungan PSI dengan pemikiran Marx memang bisa disebut sebagai sama
sekali hilang.55
Selain pada diri Djohan, ciri sosialis yang tegas juga melekat pada sosok
Mochammad Tauchid (1915-1981), tokoh Taman Siswa yang juga merupakan
aktifis gerakan tani. Tauchid adalah salah satu tokoh pendiri Barisan Tani
Indonesi (BTI), sebelum organisasi tersebut dibajak dan dikuasai oleh PKI.
Tokoh PSI lain yang menunjukkan perbedaan dengan Sjahrir adalah
Sumitro Djojohadikusumo (1917-2001), seorang ekonom dan teknokrat
dengan haluan nasionalis yang kuat. Dalam diri Sumitro juga terdapat
kepribadian ganda, yaitu sosialis, nasionalis dan pragmatis. Dalam posisi
seperti itu, maka tidak heran jika, misalnya, seorang Djohan Sjahroezah
atau Moch. Tauchid tetap merasa perlu memiliki kaki juga di luar PSI, pada
organ-organ yang bahkan secara ideologis sebenarnya bertentangan dengan
PSI. Djohan, misalnya, memiliki hubungan yang sangat dekat dengan Tan
Malaka. Meski sosok Tan Malaka sering dianggap misterius, namun itu

53
Penilaian yang sama mengenai hal ini, misalnya, juga dikemukakan John Legge. Lihat Legge,
op.cit., hal. 102, 152-59.
54
Kepartaian di Indonesia (Djakarta: Kementerian Penerangan Republik Indonesia, 1951), hal.
299. Buku ini merupakan direktori partai-partai yang ada di Indonesia hingga awal dekade 1950-
an, yang mencantumkan sejarah, azas, anggaran dasar dan rumah tangga, serta susunan
pengurus dan program politiknya.
55
Penilaian ini disampaikan oleh Imam Yudotomo dalam sebuah diskusi dengan penulis, medio
Desember 2012, di Yogyakarta. Imam Yudotomo adalah putera Moch. Tauchid, seorang tokoh
Taman Siswa, anggota KNIP, yang juga merupakan salah satu tokoh PSI. Sebagai seorang “darah
biru” PSI, Imam mengkoleksi banyak kesaksian dari tangan pertama dan dari pandangan pertama.

Sosialisme Indonesia: Genealogi dan Diaspora


28
sepertinya tidak berlaku bagi Djohan Sjahroezah.56 Menarik juga untuk
memperhatikan bagaimana pandangan Tan Malaka terhadap kelompok
sosialis yang dipimpin Sjahrir. Ketika Sjahrir akan mendirikan partai sosialis
pada 1945, orang yang diminta untuk memimpin partai tersebut sebenarnya
adalah Tan Malaka.57 Hanya saja tawaran tersebut ditolak Tan Malaka.
Selain bertolak dari pandangan bahwa berdirinya partai-partai pada masa
itu masih belum perlu, karena yang dibutuhkan oleh Republik waktu itu
adalah persatuan dalam mendukung Soekarno dan Hatta, penolakan itu
juga memiliki latar belakang ideologis, dimana Tan Malaka berpandangan
bahwa ia tidak mungkin menjadi teman separtai kaum sosialis, karena
kebanyakan kaum sosialis gampang sekali berkompromi dengan kaum
kapitalis dan imperialis.

“Terhadap usul supaya saya mengetuai Partai Sosialis yang akan


didirikan di Jogja itu, saya kemukakan, bahwa sikap saya terhadap
sesuatu Partai Sosialis masih seperti dahulu saja; dan sesudah lebih
daripada dua puluh tahun di belakang ini, saya tiada ingin akan menjadi
teman separtainya kaum sosialis, yang kebanyakan masih mau
berkompromis dengan kapitalis-imperialis itu.”58

Ketika memegang posisi pemerintahan, kiprah diplomasi pemerintahan


Sjahrir ternyata memang mirip dengan persepsi yang dimiliki Tan Malaka
tersebut, walaupun gejala yang sama juga nampak pada pemerintahan Amir
Sjarifuddin yang telah menghasilkan Perjanjian Renville, yang kemudian
menjatuhkan kabinetnya.
Pada tahun 1950-an peranan PSI sangat menonjol, terutama ketika
berkoalisi dengan Masyumi. Kedua partai tersebut memang sama-sama
berhaluan demokrasi dan—meminjam istilah Benjamin Higgins—bersifat
“development oriented”. Dalam kabinet, aspirasi ekonomi PSI diwakili oleh
Sumitro Djojohadikusumo, yang cenderung pada gagasan sosialisme negara.
Meskipun Sumitro adalah seorang nasionalis, dan gagasan sosialismenya
berbeda dengan Sjahrir, namun karena Sjahrir sendiri tidak
mengembangkan gagasan ekonomi yang spesifik, maka aspirasi ekonomi
PSI akhirnya diwakili oleh Sumitro. Jika membaca kembali pamfletnya yang
terkenal, “Perdjoangan Kita” (1946), pemikiran Sjahrir menganai sosialisme
memang lebih tertuju pada aspek politik, yaitu demokrasi-liberal yang anti
fasisme, feodalisme dan otoritarianisme. Dengan demikian, isi pamflet
56
Mengenai hubungan antara Djohan Sjahroezah dengan Tan Malaka ini, lihat Rudolf Mrazek,
Sjahrir: Politik dan Pengasingan di Indonesia (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1996), hal. 538.
Kesaksian mengenai kedekatan ini juga disebut oleh Imam Yudotomo dalam diskusi dengan
penulis, medio Desember 2012.
57
Harry A. Poeze, Tan Malaka, Gerakan Kiri, dan Revolusi Indonesia: Jilid 1 (Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia, 2008), hal. 145.
58
Tan Malaka, Dari Pendjara ke Pendjara Jilid III (tanpa penerbit dan tahun terbit), hal. 184.

Sosialisme Indonesia: Genealogi dan Diaspora


29
tersebut sebenarnya lebih mirip dengan buku The Road to Serfdom (1944)
yang ditulis Friedrich von Hayek (1899-1992).
Sumitro sendiri, ketika menjadi Menteri Perindustrian dan
Perdagangan dalam Kabinet Natsir, menerjemahkan konsep sosialisme
kerakyatan dengan membangun industri rakyat, koperasi dan
pemberdayaan perdagangan impor pengusaha pribumi. Tapi program
industrinya itu terpeleset ke dalam etatisme ketika ia membentuk sentra-
sentra produksi dari yang seharusnya berfungsi sebagai pelayanan terhadap
industri rakyat (service center), tapi malah menjadi unit produksi milik
negara yang justru mematikan industri rakyat. Ketika itu, ia juga
mengembangkan Program Benteng yang memberikan lisensi istimewa
kepada pedagang pribumi. Tujuannya sebenarnya adalah untuk
meruntuhkan dominasi perusahaan asing dalam perekonomian Indonesia,
yang pada waktu itu memang dikuasai oleh oligopoli perusahaan Belanda
dan Inggris. Namun dalam prosesnya program ini ternyata tidak berjalan,
karena dibajak oleh pedagang etnis Cina. Lisensi yang diberikan kepada
para pedagang pribumi ternyata oleh para pedagang itu dijual kembali
kepada para pengusaha Cina, sehingga program tersebut tidak mencapai
sasaran. Tapi ada juga kebijakan Sumitro yang berhasil, yaitu kebijakannya
memberikan monopoli impor cambrics (kain mori) kepada Gabungan
Koperasi Batik Indonesia (GKBI), kebijakan tersebut diakui sebagai telah
berhasil membangun industri batik sebagai usaha rakyat melalui koperasi.
Sekalipun PSI dikenal sebagai partainya orang-orang terdidik, tapi
dalam kenyataannya partai ini tidak cukup memiliki pemikir ekonomi dan
teknokrat yang mampu mengembangkan gagasan sosialisme kerakyatan
menjadi ideologi ekonomi yang jelas. Selain Sumitro, ekonom PSI lain yang
mengemuka adalah Sarbini Sumawinata (1918-2007). Tapi guru besar
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia ini baru mengemukakan
gagasannya, yang disebutnya sebagai Ekonomi Kerakyatan, pada jauh hari
kemudian, yaitu pada 1985,59 atau setelah seperempat abad PSI dibubarkan
pada 1960, padahal gagasan tersebut bisa disebut sebagai interpretasi
terhadap gagasan sosialisme kerakyatan. Sayangnya, gagasan Ekonomi
Kerakyatan yang ditulis Sarbini, sebagaimana ditulisnya sendiri, tidak
dimaksudkan sebagai gagasan mengenai sistem ekonomi, melainkan
sekadar metode dalam pembangunan. Artinya, gagasan yang diutarakan
pada masa Orde Baru itu tidak merupakan alternatif terhadap gagasan
developmentalisme yang dipraktikkan oleh rejim. Kritik terhadap
pembangunanisme justru datang dari Mubyarto, ekonom Yogya yang
dikenal karena gagasannya mengenai Ekonomi Pancasila. Dan secara
mengejutkan, berbeda dengan Sumitro yang mendukung gagasan Mubyarto

59
Sarbini Sumawinata, “Ekonomi Kerakyatan”, dimuat di Majalah Prisma, No. 8/XIV, Agustus
1985.

Sosialisme Indonesia: Genealogi dan Diaspora


30
tersebut, Sarbini termasuk ekonom yang cukup sinis terhadap gagasan
Ekonomi Pancasila.
Gagasan perekonomian sosialis secara tegas malah diambil alih oleh
Soekarno melalui sistem Ekonomi Terpimpin, yang membangun ekonomi
rakyat melalui koperasi. Ekonomi rakyat pada waktu itu memang
berkembang, namun tidak sinkron dengan kebijaksanaan ekonomi makro
yang menimbulkan hiperinflasi hingga 640% pada 1965. Dan ironisnya,
perekonomian rakyat ini semakin termarjinalkan oleh kebijaksanaan
ekonomi Orde Baru yang dirancang para teknokrat, padahal para teknokrat
tersebut umumnya adalah bekas murid-murid Sumitro di FE-UI. Jika kita
membaca lagi arsip-arsip masa itu, pada masa Demokrasi Terpimpin, para
teknokrat itu sebenarnya banyak menulis mengenai perekonomian sosialis
dan sosialisme. Sadli, misalnya, yang belakangan secara mengejutkan
pernah mengemukakan istilah mengenai “Kapitalisme Pancasila”,60 untuk
melegitimasi pemikiran dan praktik perekonomian yang dirancang oleh dia
dan teman-temannya, pernah menulis mengenai tatanan industri dalam
sosialisme Indonesia.61 Hal yang sama juga terjadi pada Emil Salim. Pada
1965, Emil Salim juga melabeli gagasan yang diutarakannya dengan label
“sosialisme”. Dalam sebuah monograf setebal 94 halaman yang ditulisnya
mengenai sistem ekonomi Indonesia, ia menyebut sistem ekonomi
Indonesia pada masa itu sebagai sedang dalam proses pembinaan menuju
“Sistem-Ekonomi Sosialisme Pancasila”.62 Namun, hanya dalam hitungan
bulan, sesaat setelah terbentuknya pemerintahan Orde Baru, gagasan yang
semula disebut “Sistem-Ekonomi Sosialisme Pancasila” itu diubahnya
menjadi “Sistem Ekonomi Pancasila”.63 Tak ada lagi label “sosialisme” di
sana. Mengingat bahwa hampir semua teknokrat ekonomi Orde Baru, yang
oleh David Ransome disebut sebagai The Berkeley Mafia,64 itu adalah bekas
murid-murid Sumitro, maka bisa dikatakan bahwa “sosialisme” telah
dihancurkan oleh turunan mereka sendiri. Bahkan, pada generasi yang lebih
kemudian, cucu-cucu murid Sumitro malah berkembang menjadi
pendukung paling militan dari paham neoliberalisme. Oleh karena itu

60
Mohammad Sadli, “Peran Negara dalam Ekonomi”, makalah disampaikan di Mahkamah
Konstitusi pada 25 Maret 2004 dalam proses judicial review atas Undang Undang No. 20 tentang
Ketenagalistrikan. Dalam sidang tersebut Sadli menjadi saksi ahli dari pihak pemerintah atau
tergugat. Dalam keputusannya kemudian, MK memutuskan untuk membatalkan secara
keseluruhan UU yang dibela oleh Sadli tersebut.
61
Mohammad Sadli, “Tata Susunan Industri dalam Sosialisme Indonesia”, dimuat dalam buku
Bunga Rampai Ekonomi: Sebuah Buku Peringatan Dies Natalis Kesembilan Fakultas Ekonomi
Universitas Indonesia Djakarta (Djakarta: Senat Mahasiswa FE-UI & Madjelis Ilmu Pengetahuan
Indonesia, 1960), hal. 85-114.
62
Emil Salim, Sistem Ekonomi dan Ekonomi Indonesia (Djakarta: Lembaga Ekonomi dan
Kemasjarakatan Nasional [LEKNAS], Agustus 1965).
63
Emil Salim, “Sistem Ekonomi Pancasila”, dimuat di Harian Kompas, 30 Juni 1966.
64
David Ransome, “The Berkeley Mafia and the Indonesian Massacre”, dimuat dalam Ramparts,
No. 4, October 1970.

Sosialisme Indonesia: Genealogi dan Diaspora


31
menarik untuk mencermati bagaimana diaspora yang telah terjadi pada
kelompok sosialis di Indonesia. Di masa Orde Baru, misalnya, para aspiran
PSI, khususnya yang muda-muda, telah mengalami diaspora organisasi
maupun ideologi.
Gejala diaspora pada sosialisme dapat lebih dipahami dengan meruntut
kembali asal-usul dan perkembangan sosialisme sebagai ideologi. Pertama,
sosialisme sebagai pemikiran modern sebenarnya merupakan rangkuman
dari berbagai gagasan yang berbeda. Kedua, sosialisme utopia maupun
sosialisme ilmiah yang dikembangkan oleh Karl Marx (1818-1883) dan
Friedrich Engels (1820-1895) telah mewariskan masalah, yaitu mereka tidak
memberikan keterangan yang cukup mengenai bagaimana mencapai atau
mewujudkan gagasan yang utopis itu, sehingga menimbulkan berbagai
interpretasi. Dan ketiga, timbulnya dinamika pemikiran maupun
perjuangan yang berubah dari waktu ke waktu, sehingga menimbulkan
berbagai aliran pemikiran dan organisasi politik yang mengusung gagasan
sosialisme.
Pada dasarnya dapat ditarik dua kesimpulan mengenai terbentuknya
sosialisme sebagai sistem politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Pertama
adalah hasil perkembangan masyarakat sejak tahap primitif hingga modern,
sebagaimana pernah ditulis Marx. Kedua, hasil proses dialektika pemikiran,
sehingga sosialisme itu menjadi suatu overlapping consensus atau
paradigma dan puncak perkembangan pemikiran manusia yang oleh
Francis Fukuyama disebut dengan istilah the end of history.65 Tapi
kesimpulan yang ditarik oleh Fukuyama untuk demokrasi liberal dan
kapitalisme itu ditolak oleh sebagian pemikir, misalnya pemikir sosialis
Inggris, Ralph Miliband (1924-1994), yang berpendapat bahwa sejarah akan
menuju ke sosialisme, sebagaimana yang juga pernah ditulis Schumpeter.66
Tapi, kesimpulan yang pernah ditulis Schumpeter itu bersifat problematis,
terutama karena peristiwa bubarnya Soviet pada penghujung 1980-an, yang
oleh banyak kalangan disebut sebagai “bubarnya sosialisme”. Namun, jika
kita lebih cermat, dalam realitasnya sosialisme sebenarnya tidak pernah
bubar, melainkan terus berkembang dan mengalami metamorfosis, dan
sebagai gerakan ia juga mengalami diaspora.

Sosialisme di Eropa
Sosialisme sebagai gagasan modern mulai berkembang di Perancis dan
Inggris sejak permulaan 1800-an. Istilah sosialisme itu sendiri pertama kali
disebut dalam tulisan Robert Owen (1771-1858), seorang industriawan dari
Inggris, dan Henri de Saint-Simont (1760-1825), seorang filsuf sosial dari

65
Francis Fukuyama, The End of History and the Last Man (New York: Free Press, 1992).
66
Joseph A. Schumpeter, Capitalism, Socialism and Democracy, Third Edition (New York: Harper
Torchbooks, 1962 [1942]).

Sosialisme Indonesia: Genealogi dan Diaspora


32
Perancis. Masa perkembangan awal gagasan sosialisme berbarengan dengan
proses industrialisasi di Inggris yang kemudian menjalar ke seluruh Eropa
dalam bentuk sistem ekonomi kapitalis-liberal. Pada mulanya sosialisme
adalah pemikiran maupun prakarsa dari atas, atau berasal dari kalangan
elite, yaitu para filsuf sosial, rohaniawan—baik Katolik maupun Protestan,
pemimpin pemerintahan, serta pengusaha atau industriawan yang memiliki
kepedulian sosial (socially concerned) untuk menolong golongan yang
lemah dan miskin karena penindasan. Pada mulanya sosialisme merupakan
gagasan untuk membentuk suatu sistem produksi yang secara sosial
bertanggung jawab, yaitu bisa mencegah atau mengatasi masalah
kemiskinan dalam konteks industrialisasi Eropa masa itu.
Tapi, dari perspektif sejarah sosial, sosialisme berakar dari gerakan
pembebasan yang dilakukan oleh para budak dan petani dalam melawan
feodalisme dan despotisme.67 Dari kajian sejarah sosial itu, Marx
berkesimpuan dalam pamfletnya, Manifesto Partai Komunis (1848), bahwa
sssialisme sebagai moda produksi (mode of production) yang mengandung
dua elemen, yaitu kekuatan produksi (production forces) dan hubungan
sosial dari produksi (social relation of production), adalah hasil dari
perkembangan masyarakat yang digerakkan oleh proses dialektika
materialis atau moda produksi. Perubahan moda produksi, yang merupakan
perubahan yang mendasar itu, disebut Marx sebagai “revolusi”, sehingga ia
mengatakan bahwa “revolusi adalah lokomotif sejarah”.
Pandangan yang menganggap bahwa gejala sosialisme pertama kali
muncul sebagai prakarsa elite timbul karena pengalaman sejarah dimana
setiap upaya dan perjuangan kaum budak dan petani, yang memberontak
untuk memperoleh kebebasan dan membangun masyarakat secara mandiri
dan bersama-sama, sebelum masa revolusi industri selalu dapat
dipadamkan dan ditaklukkan dengan kekerasan oleh penguasa. Dari situ
muncul persepsi bahwa kaum miskin dan tertindas tidak mampu menolong
diri mereka sendiri, atau membebaskan dirinya dari belenggu ketidak-
adilan. Revolusi Perancis memberikan pelajaran bahwa kelas baru, dalam
hal ini kelas borjuasi, ternyata mampu meruntuhkan kekuasaan monarki
feodal yang absolut melalui sebuah revolusi. Hal itu terjadi karena kelas
borjuis memiliki kesadaran kelas. Soal kesadaran kelas itulah yang absen
pada kaum budak dan petani. Dan karena Revolusi Perancis pada akhirnya
diambil alih oleh kelas borjuis, maka negara republik yang dibentuk pun
adalah sebuah negara republik borjuis yang masih menindas para petani.
Baru kemudian, sebagai akibat dari kian meluasnya proses
industrialisasi di daratan Eropa pada abad ke-18 dan 19, timbul kelas baru,
yaitu kelas buruh. Karena mampu mengorganisir dirinya, kaum buruh
menjadi kelas yang memiliki posisi tawar tinggi. Dan mereka memang

67
Despotisme adalah bentuk pemerintahan dengan satu penguasa, baik secara individual
maupun oligarki, yang memerintah dengan kekuatan politik absolut.

Sosialisme Indonesia: Genealogi dan Diaspora


33
merupakan faktor yang sangat dibutuhkan dalam perkembangan
perekonomian bebas. Mereka juga memiliki kekuatan tawar karena dalam
masyarakat agraris, dimana jumlah tenaga terampil sangat terbatas,
membuat keberadaan kaum buruh menjadi langka. Di tengah kondisi itulah
timbul gagasan sosialisme, yang mulai disebut sebagai ideologi kira-kira
pada tahun 1830-an. Mula-mula sosialisme dipersepsikan sebagai gagasan
yang bertujuan agar produksi dapat diorganisasikan secara sosial dan
bertanggung-jawab, yang merupakan bentuk persepsi elite. Karena itu maka
sosialisme sering dikacaukan pengertiannya dengan gagasan ekonomi sosial
(social economy), yang baru muncul kemudian pada pertengahan abad ke-
20 sebagai gagasan pembangunan. Kaum buruh yang mula-mula terbatas
itu bekerja bersama dalam organisasi gilda yang dipimpin oleh master gilda.
Kemudian, semakin besar jumlahnya, kaum buruh mulai membentuk
persatuan buruh atau trade union. Selanjutnya mereka mampu membentuk
koperasi-koperasi konsumsi. Dari situ timbul persepsi bahwa kaum buruh
mampu mengorganisasikan diri guna memperbaiki nasibnya sendiri.
Pandangan inilah yang menetap di benak Marx sehingga menginspirasinya
ketika melahirkan teori kelas, yang terdiri dari konsep-konsep pengertian
kelas, kesadaran kelas, dan perjuangan kelas.
Jadi, sebagai sebuah gagasan maka sosialisme bukan merupakan ide
yang turun dari langit pada dekade 1830-an itu. Ia bukan wahyu (revelation)
atau ilham (inspiration) dalam pemikiran para penggagasnya, melainkan
hasil dari proses pemikiran yang telah berkembang selama berabad-abad
yang merupakan refleksi dari perkembangan masyarakat. Dan sekalipun
menurut kaum agamawan sosialisme disebut sebagai diilhami oleh wahyu
dari langit, namun wahyu itupun mengalami perkembangan, baik ajaran
maupun interpretasinya, seturut dengan perkembangan masyarakat tadi.
Dari persepsi inilah maka Marx dalam menifestonya melukiskan sejarah
perkembangan masyarakat, khususnya moda produksi (mode of
production), sebagai relasi antagonistis atau perjuangan kelas, yaitu antara
kelas penindas dan kelas tertindas yang menjadi landasan terbentuknya
struktur dasar masyarakat dari satu periode ke periode berikutnya. Dari
situlah mulai timbul persepsi bahwa sosialisme adalah suatu gagasan
pembebasan, yaitu pembebasan kaum pekerja dari kelas penindas atau
struktur yang menindasnya. Sehingga, sosialisme kemudian tak lagi bisa
dianggap sebagai gagasan kaum elite, melainkan suatu gagasan dan gerakan
dari bawah yang berbasis kaum pekerja, khususnya kaum buruh pada suatu
masyarakat industrial, atau kaum petani kecil dan buruh tani pada suatu
masyarakat agraris. Dalam sebuah masyarakat patriarkal, gerakan
pembebasan itu lahir dalam bentuk gerakan kesetaraan gender.
Sebelum mengembangkan pemikirannya sendiri, Marx muda adalah
penganut pemikiran seorang filsuf sosial Jerman terkemuka, Friedrich Hegel
(1770-1831). Intisari ajaran Hegel ialah bahwa setiap perubahan terjadi lewat

Sosialisme Indonesia: Genealogi dan Diaspora


34
apa yang disebutnya sebagai dialektika. Untuk setiap hal yang “positif” pasti
ada yang “negatif”, atau setiap hal pasti memiliki antinominya, misalnya
yang diwakili oleh konsep baik-buruk, hitam-putih, atau tinggi-rendah.
Konsep-konsep, keyakinan, serta sistem berpikir, menurut Hegel, tersusun
dalam bentuk pasangan yang berlawanan. Setiap hal yang positif oleh Hegel
disebut “tesis”, dan antinominya disebut “antitesis”. Pertentangan antara
keduanya akan menimbulkan suatu pengertian baru, yang disebutnya
sebagai “sintesis”.68 Bagi Hegel, perkembangan masyarakat digerakkan dan
dibentuk oleh ide yang mengalami proses dialektika itu. Tapi, dengan
meminjam kritik Ludwig Feuerbach (1804-1872) terhadap Hegel, sekaligus
juga melangkah melampauinya, Marx membalikkan teori Hegel mengenai
dialektika.69 Baginya, masyarakat berkembang karena berubahnya moda
produksi. Perubahan moda produksi itulah yang kemudian merefleksikan
ide. Teori Marx tersebut melahirkan dalil bahwa “bukan ide yang
membentuk keadaan”, melainkan “keadaanlah yang membentuk ide”.
Dengan mempelajari sejarah hubungan kelas, Marx mengembangkan teori
tentang perkembangan moda produksi yang mengandung hubungan kelas.
Jadi, teori Marx bisa dikatakan menggabungkan dialektika Hegel dengan
materialisme Feurbach, sehingga ajarannya dikenal sebagai materialisme-
dialektik.
Oleh kaum agamawan atau rohaniawan, gagasan sosialisme ditarik
lebih ke belakang lagi, yaitu kepada gerakan pembebasan kaum Yahudi oleh
Musa atas penindasan atau perbudakan tiranik yang dilakukan Fir’aun pada
masa Mesir Kuno, atau kepada gerakan para nabi Yahudi dari waktu ke
waktu, hingga ke gerakan pembebasan yang dipimpin oleh Yesus Kristus
atau Nabi Isa atas penindasan kekaisaran Romawi Kuno.
Kalangan filsuf sosial sekuler juga menarik ke belakang gagasan
sosialisme, yaitu dari pemberontakan elite budak pada tahun 73 SM, yang
diwakili para gladiator di bawah pimpinan Spartacus, atas perbudakan
kekaisaran Romawi Kuno. Atau, sering pula ditarik dari pemberontakan
kaum tani di Inggris pada tahun 1391, dan pemberontakan kaum petani di
Jerman pada 1525, yang ditindas dengan membunuh sepertiga penduduk.
Dari peristiwa itu dapat ditarik kesimpulan bahwa akar gagasan sosialisme
adalah gerakan pembebasan kaum budak di zaman perbudakan Romawi,
dan gerakan pembebasan kaum tani dari feodalisme di Eropa pada abad
pertengahan. Tapi gagasan sosialis dari para filsuf sosial, seperti Henri de
Saint-Simont atau Charles Fourier (1772-1837) lahir dari refleksi terhadap
kondisi sosial sebagai akibat proses industrialisasi kapitalis-liberal.
Sementara itu gerakan sosialis yang lahir dari pengusaha seperti Robert
Owen dari Inggris, yang memaklumkan dirinya (self-proclaimed) sebagai

68
George Soule, Ideas of the Great Economists (New York: Mentor Book, 1955), hal. 65.
69
George Ritzer & Barry Smart (Editor), Handbook Teori Sosial (Bandung: Nusa Media, 2011), hal.
81.

Sosialisme Indonesia: Genealogi dan Diaspora


35
seorang sosialis itu, dan pemimpin pemerintahan di Jerman, seperti
Friedrich Wilhelm Raifeissen (1818-1888), timbul dari keprihatinan dan
kepedulian elite politik terhadap nasib kaum miskin sebagai akibat
eksploitasi dalam bentuk pengupahan rendah dan proses penyisihan
(exclutionary effect) yang menimbulkan pengangguran pada masa
industrialisasi kapitalis yang memuncak di abad ke-19 itu. Dari sini lahir
pengertian sosialisme sebagai gagasan untuk mengembangkan lembaga
atau sistem produksi yang memiliki tanggung jawab sosial, terutama di
lingkungan masyarakat di sekitar pabrik. Dengan demikian, maka
sosialisme pada mulanya adalah suatu gerakan elite dari atas, baik sebagai
gerakan intelektual maupun kebijaksanaan pemerintah yang dilakukan oleh
tokoh-tokoh pemerintahan atau elite politik yang memiliki kepedulian
sosial (socially concerned elite). Karena itu jika sosialisme kontemporer,
yang di Indonesia dicerminkan dalam Partai Sosialis Indonesia (PSI), itu
digerakkan dan dipimpin oleh intelektual seperti Sutan Sjahrir, pemimpin
pemerintahan seperti Sumitro Djojohadikusumo, atau pengusaha besar
seperti Soebadio Sastrosatomo, yang berasal dari golongan elite, maka
gejala itu memiliki preseden historis di negara-negara dimana sosialisme itu
dilahirkan dan berkembang hingga kini.
Dengan latar belakang seperti itu, menurut Engels, maka sejak 1847
Marx tidak mau menggunakan istilah sosialis, karena menurutnya istilah itu
telah berbau borjuis. Dan untuk menggantikannya, Marx menggunakan
istilah “communist”. Ini menjelaskan kenapa pada 1848 ia menulis Manifesto
Komunis, dan bukan Manifesto Sosialis. Jadi, di samping “sosialisme ilmiah”,
Marx menyebut teorinya yang kemudian berkembang menjadi ideologi itu
sebagai “komunisme”. Menurutnya sosialisme hanyalah masa transisi antara
tahap kapitalisme sebelum mencapai komunisme. Oleh sebab itu, logikanya,
sebagaimana juga dipikirkan oleh Trotsky,70 atau yang dipikirkan Mao
melalui gagasan Revolusi Kebudayaan, bahwa dalam tahap sosialis masih
ada perjuangan kelas buruh, sehingga teori tersebut disebut sebagai teori
revolusi permanen.
Berputar kembali ke soal akar gagasan sosialisme yang berasal dari
gerakan pembebasan budak dan kaum tani dari struktur yang menindas,
dalam uraian terdahulu telah dipaparkan bahwa gerakan pembebasan ini
selalu kandas atau dapat dipadamkan, tentu saja dengan cara kekerasan.
Pengalaman itu melahirkan persepsi di kalangan elite bahwa kaum miskin,
dengan menggunakan kekerasan sekalipun, tidak mampu membebaskan
atau menolong dirinya sendiri. Karena itu timbul prakarsa dari kalangan
elite untuk menolong kaum lemah tadi, caranya adalah dengan melakukan
advokasi, merancang proyek-proyek kemasyarakatan, misalnya dalam
gagasan pembentukan masyarakat kolektif yang bersifat tolong-menolong,
memperjuangkan kebijaksanaan pemerintah melalui legislasi parlementer,
70
Leon Trotsky, The Permanent Revolution (London: New Park Publishers, 1962).

Sosialisme Indonesia: Genealogi dan Diaspora


36
pengorganisasian masyarakat dalam lembaga kerjasama yang berprinsip
tolong-menolong atau berdikari, demikian juga dengan khutbah-khutbah
keagamaan yang mendorong orang kaya untuk bersikap dermawan
(charity) dan melakukan kegiatan kemanusiaan (philantropy). Namun
gerakan-gerakan itu pada umunya gagal, kurang berhasil, serta
menimbulkan sindrom ketergantungan orang miskin kepada pemerintah
atau orang kaya.
Karena itu kemudian munculah gagasan baru bahwa orang miskin itu
hanya bisa mengubah nasibnya apabila mereka secara bersama-sama bisa
menolong dirinya sendiri (self-help) serta tolong-menolong sesamanya
(cooperation). Gagasan ini kemudian melahirkan gerakan koperasi, yang
mula-mula berkembang di Inggris dan Jerman, lalu kemudian meluas ke
seluruh Eropa dan Amerika Utara. Di Inggris koperasi didirikan dan dimiliki
oleh serikat buruh sosialis-sekuler, dimana mereka pada umumnya tidak
menggolongkan kegiatan karitas (charity) dan filantropis sebagai unsur
sosialisme, karena sifatnya yang sektarian. Namun, kaum sosialis-religius
memiliki pandangan lain. Mereka ingin melembagakan sumber daya
keagamaan (harta agama) dan mengaturnya sedemikian rupa agar bisa
digunakan bagi pelayanan publik. Harta agama itu dalam
penghimpunannya melibatkan iman, tetapi dalam pembelanjaannya
bersifat non-diskriminatif. Dengan perkataan lain, karitas dan filantropisme
keagamaan itu merupakan spriritualitas sosial. Meskipun demikian, dalam
Ensiklik Rerum Novarum Paus Leo XIII (1891), yang merupakan ensiklik
pertama bagi ajaran sosial gereja, sosialisme ditolak oleh gereja karena
dianggap merusak civil society akibat kecenderungan koersifnya dalam
menggunakan otoritas publik. Posisi ini tak berbeda jauh dengan kebijakan
Otto von Bismarck (1815-1898), kanselir pertama Jerman, yang melancarkan
program-program sosial atau kesejahteraan yang sejalan dengan sosialisme,
tetapi di lain pihak pada 1878 juga mengeluarkan Undang-undang Anti-
Sosialis (Jerman: Sozialistengesetze). Memang ada penjelasan lain, yaitu UU
tersebut sesungguhnya juga dikeluarkan untuk menggaet dukungan dari
kaum pengusaha yang menjadi sumber pajak. Persis pada apa yang
dipraktikkan oleh Bismarck dan ensiklik Paus Leo XIII itu terletak varian-
varian gagasan dari apa yang kemudian disebut sebagai paham negara
kesejahteraan (welfare state), doktrin sosial gereja, dan sosialisme itu
sendiri. Dengan demikian, bisa dikatakan bahwa secara garis besar gerakan
sosialisme mengadung dua jenis pendekatan, yaitu pendekatan dari atas dan
pendekatan dari bawah. Gejala yang serupa juga sebenarnya terdapat pada
gerakan komunisme, yang mengenal model Leninis-Stalinis di satu sisi, dan
Trotsky-Mao di sisi yang lain. Secara umum, distingsi itu juga
mengingatkan kita pada dua pola umum dari gerakan sosial, yaitu antara
jalan revolusioner melalui perjuangan kelas, atau dengan jalan demokratis
melalui reformasi.

Sosialisme Indonesia: Genealogi dan Diaspora


37
Sungguhpun demikian, gagasan baru itu tidak mengubah sistem
ekonomi yang sudah berlaku, yaitu kapitalisme-liberal. Koperasi, misalnya,
didirikan dengan asumsi mampu mensiasati sistem persaingan pasar bebas
tanpa melarangnya, dan karena itu harus bisa bekerja dalam mekanisme
pasar bebas. Dalam sistem itu kaum buruh masih tetap berada dalam kelas
tanpa hak milik (non-propertied class), kecuali tenaganya sendiri, yang
itupun semakin tersisih di tengah pengangguran yang ditimbulkan oleh
industrialisasi. Semakin lemahnya posisi tawar kaum pekerja bisa dilihat
dari indikator semakin rendahnya tingkat upah, yang membuat mereka
hidup dalam kemiskinan total serta mengalami proses alienasi dari hasil
kerjanya sendiri, sebagaimana dijelaskan Marx.
Sampai di situ sosialisme masih dinggap sebagai suatu gagasan utopis,
atau semacam fatamorgana. Berangkat dari kajian historis-struktural,
menggunakan kerangka epistemologi dialektika-materialisme-historis yang
dibangunnya sendiri, Marx sampai pada pandangan bahwa kaum pekerja
hanya bisa mengubah nasibnya melalui pembentukan kekuatan sendiri
sebagai kelas tertindas. Dari sini timbul gagasan sosialisme ilmiah yang
menjelaskan bagaimana moda produksi itu berubah dari waktu ke waktu,
mulai dari sistem komunal-primitif, feodalisme, kapitalisme, hingga ke
sosialisme sebagai masa transisi, sebelum terbentuknya masyarakat
komunis. Masyarakat komunis sendiri adalah suatu sistem kolektivisme
organik yang berbeda dengan sistem komunal-primitif yang masih alami,
yang masih terikat pada kepercayaan lokal dalam bentuk ritus-ritus dan
kesenian, serta solidaritas di antara anggota komunitasnya yang kecil. Agar
bisa menjadi kekuatan, diperlukan pembentukan kesadaran kelas di antara
kaum pekerja agar mereka tergerak untuk aktif melakukan perjuangan
kelas, tidak saja dengan ruang lingkup lokal atau sektoral, tetapi juga
nasional, bahkan internasional. Dalam teori sosialisme ilmiah itulah
gagasan sosialisme mencapai puncaknya sebagai suatu ideologi yang
komprehensif (the end of history), yang merangkum berbagai gagasan
sosialis dan gagasan-gagasan sosial serta pengalaman dari perkembangan
masyarakat sebelumnya. Dalam teori Marx, sosialisme hanya bisa terjadi
melalui revolusi yang dipimpin oleh kelas buruh.
Perbedaan asal-usul (asbab al wurud) dan perkembangan gagasan
sosialisme itu mengandung implikasi tentang perbedaan nilai-nilai
keutamaan (virtue) yang menjadi dasar gagasan sosialisme. Dari kalangan
agama, misalnya, inti gagasan sosialisme adalah nilai keadilan (justice) dan
persaudaraan (brotherhood), yang menurunkan nilai kebersamaan
(mutualism), solidaritas, dan menolong diri sendiri. Dari kalangan filsuf
sosial, yang menjadi nilai fundamental adalah nilai kebebasan (liberty),
kesetaraan (egality), dan pembebasan (liberation). Sedangkan dari kalangan
industriawan dan pemimpin pemerintahan, yang menjadi dasar adalah nilai
tanggung-jawab sosial (social responsibility) atas dasar moral dan etika atau

Sosialisme Indonesia: Genealogi dan Diaspora


38
spiritualitas sosial. Tetapi, di samping menjadi dasar dari gagasan
sosialisme, prinsip tanggung-jawab ini juga disuarakan oleh kapitalisme,
yang kemudian melahirkan gagasan negara kesejahteraan (welfare state).
Berkembangnya sistem negara kesejahteraan ini telah menjadi faktor yang
memperlemah perjuangan kelas buruh untuk menggantikan kapitalisme
dengan sosialisme.
Sosialisme modern diawali dengan pemikiran yang oleh Friedrich
Engels disebut sebagai sosialisme utopia yang bersumber dari beberapa
pemikir, seperti François-Noël Babeuf (1760-1797), Claude Henri de Saint-
Simon (1760-1825) , Robert Owen (1771-1858), Pierre Joseph Proudhon (1809-
1865), dan Jeremy Bentham (1748-1832), yang kesemuanya hidup pada
zaman sekitar Revolusi Perancis (1789-1799) serta bangkitnya industrialisasi
di Eropa. Pengertian utopia itu mengandung dua interpretasi berkenaan
dengan asal-usulnya. Pertama, berasal dari gagasan salah seorang filsuf
sosial, Thomas More (1478-1535), yang mengarang buku berjudul Utopia
(1516), sebuah negeri khayalan dengan gambaran ideal mengenai
masyarakat. Kedua, karena gagasan utopis itu sulit untuk dicapai atau
direalisasikan, sebagaimana sudah terbukti dari usaha yang pernah
dilakukan oleh Robert Owen, Charles Fourier, dan lain-lain, maka konsep
utopia More itu memang hanya merupakan suatu gagasan ideal, tanpa
panduan mengenai bagaimana mencapainya. Dengan perkataan lain, utopia
itu tidak realistis (unrealistic utopia). Oleh karenanya, harus ada penjelasan
mengenai bagaimana utopia itu bisa terealisir. Berangkat dari situ, Marx
mengemukakan pandangannya mengenai bagaimana ‘utopia’ masyarakat
sosialis itu bisa terjadi. Pertama, masyarakat sosialis itu akan terbentuk
dengan sendirinya sesuai hukum sejarah (historical law) berdasarkan
kerangka dialektika-materialis. Kedua, masyarakat sosialis itu dicapai
melalui perjuangan kelas dengan jalan merebut kekuasaan negara, sehingga
dapat dibentuk pemerintahan pada tingkat makro, atau sistem produksi
pada tingkat mikro, yang bertolak dari prinsip dari, oleh dan untuk kaum
pekerja. Jadi, secara sederhana, ada dua pandangan mengenai bagaimana
masyarakat sosialis itu akan terbentuk, yaitu pertama sosialisme itu akan
terjadi secara evolusioner, sesuai dengan proses perubahan dan
perkembangan masyarakat dari waktu ke waktu. Dan kedua, sosialisme
hanya bisa dicapai melalui perjuangan kelas secara revolusioner, dimana
budak melawan tuan, petani melawan kaum feodal, dan buruh melawan
kaum borjuis, yang sebagai puncaknya dibentuk sebuah pemerintahan oleh
kelas buruh yang mengatur dirinya sendiri secara bebas. Atas dasar
pandangan kedua itu, maka pada abad ke-20 lahir gagasan socialism in one
country, mula-mula di Rusia dan kemudian di Cina. Kejadian di dua negeri
itu sebenarnya menyimpang dari teori Marx, karena negara-negara sosialis
tersebut terbentuk sebelum melalui tahap kapitalis. Cina bahkan masih
berada pada tahap agraris ketika memproklamirkan dirinya. Soal posisi

Sosialisme Indonesia: Genealogi dan Diaspora


39
kaum tani sebagai penggerak revolusi juga melahirkan silang pendapat.
Lenin, misalnya, berpandangan bahwa kaum tani tidak memiliki watak
revolusioner, dan Marx sendiri berpandangan bahwa kaum tani merupakan
kelompok reaksioner. Namun, ketika kelas buruh memang belum
terbentuk, maka pilihan yang bisa dilakukan oleh gerakan komunis di
negara-negara agraris untuk menggerakan revolusi adalah kaum tani, dan
itulah yang telah dicontohkan oleh Mao.71 Apa yang terjadi di Cina, dan
kemudian Vietnam, menunjukkan bahwa kaum tani juga bisa menjadi basis
bagi perjuangan kelas.
Namun, perbedaan penafsiran juga terjadi dalam tubuh pemerintahan
komunis Cina, yang paling tidak telah menimbulkan dua faksi penafsiran.
Pertama adalah faksi sosialisme negara yang dipimpin oleh Liu Shaoqi
(1898-1969), yang mengembangkan badan-badan usaha milik negara yang
menangani sektor industri besar-modern, tujuannya adalah untuk
melakukan politik Lompat Jauh ke Depan, sebagaimana halnya lompatan
industrialisasi yang dilakukan Rusia. Kedua adalah sosialisme kerakyatan
yang dipimpin oleh Mao Zedong (1893-1976), yang membangun komune-
komune berbasis pertanian dan industri kecil di daerah perdesaan. Dan
seiring dengan timbulnya peluang dan tantangan globalisasi dan
perkembangan sistem sosialis itu sendiri dari segi tekno-ekonomi, lahirlah
gagasan “sosialisme baru” yang dipimpin oleh Deng Xiaoping (1904-1997),
yaitu sosialisme yang bekerja dalam sistem liberal-kapitalis global. Dari
kacamata textbook thinking, semua model sosialisme itu sebenarnya
menyalahi teori Marx yang otentik, namun terbukti semua model itu
mampu bekerja dan eksis.
Perbedaan pandangan antara Liu Shaoqi dengan Mao mirip atau sejalan
dengan perbedaan pandangan antara Joseph Stalin (1878-1953) dengan Leon
Trotsky (1879-1940). Di Rusia, Stalin membangun sosialisme negara sebagai
diktatur proletariat dengan meniadakan kontrol Partai Komunis (PKUS,
Partai Komunis Uni Soviet) dan melarang gerakan buruh. Dan dewasa ini,
baik di Rusia maupun Cina, pada keduanya sama-sama berkembang
kapitalisme negara dan swasta zonder serikat buruh sebagai countervailing
power, alias tanpa demokrasi. Sedangkan Trotsky menginginkan
manajemen sosialisme secara langsung oleh kaum buruh berdasarkan
sistem demokrasi buruh (worker democracy). Gagasan Trotsky itu tentunya
bertentangan dengan sistem diktatur proletariat yang memang tidak
mengandaikan adanya demokrasi. Dengan demikian, posisi Stalin sama
dengan posisi Li di Cina, sementara posisi Trotsky sama dengan posisi Mao.
Bagi Mao, yang memimpin revolusi komunis di Cina, ia berpandangan
bahwa manajemen sosialisme harus dilakukan secara langsung oleh petani
berdasarkan “peasant democracy”. Karena itu ketika ia melihat terjadi

71
Lie Tek Tjeng, “Kongres PKC ke-14 dan RRC Pasca Deng: Sebuah Analisis”, dimuat dalam Jurnal
Persepsi No. 01/XIV, 1993, hal. 130.

Sosialisme Indonesia: Genealogi dan Diaspora


40
proses birokratisasi dan ‘etatisasi’ sosialisme, Mao kembali turun ke
pedesaan, seperti masa revolusi dulu, dan menggerakkan Revolusi
Kebudayaan (Cultural Revolution). Pandangan Mao ini sejalan dengan
pandangan Sjahrir di Indonesia, yang juga menentang Stalinisme dan
mengeluarkan gagasan sosialisme kerakyatan.
Sebenarnya kecenderungan ke arah etasisasi ini sudah dikemukakan
oleh Alexis de Tocqueville (1805-1859) ketika ia berpendapat bahwa revolusi
akan cenderung untuk melahirkan negara kuat. Karena itu ia
mengemukakan hasil pengamatannya dalam bukunya, Democracy in
America (1835), bahwa demokrasi di AS itu memiliki akar, yaitu masyarakat
warga (civil society), sehingga masyarakat warga harus dikembangkan
untuk menegakkan demokrasi. Max Weber (1864-1920) juga menangkap
pandangan Tocqueville itu, tetapi ia berpendapat bahwa dengan
tumbuhnya rasionalitas maka otoritas akan mengalami pula proses
rasionalisasi terhadap birokrasi, sehingga akan tercipta sistem birokrasi
rasional yang merupakan sangkar besi (iron cage) melalui peraturan-
peraturan yang mengendalikan kebebasan masyarakat.72
Kecenderungan etatis dari gerakan sosialisme sebenarnya berlawanan
dengan ide dasar sosialisme sebagai gerakan pembebasan. Karena itu
kemudian muncul reaksi ekstrem berupa gagasan anarkisme, yang termasuk
ke dalam gagasan sosialisme utopis. Filsuf sosial abad ke-20, Robert Nozick
(1938-2002), menolak anarkisme maupun otopia, dan sebagai pemikir
libertarian ia menyimpulkan bahwa konsep negara minimal (minimal state)
adalah cita-cita yang lebih realistis. Kekhawatiran terhadap kecenderungan
kolektivisme yang otoriter, jauh sebelu Nozick, juga pernah dikemukakan
oleh Friedrich von Hayek (1899-1992).73 Secara umum, gagasan itu
sebenarnya juga sejalan dengan sosialisme.
Kecenderungan etatis itu juga telah terjadi pada Revolusi Turki di
bawah Mustafa Kemal Atatürk (1881-1938), yang kemudian membentuk
partai tunggal, yaitu Partai Republik, sebagaimana halnya Revolusi
Bolshevik di Rusia yang melahirkan PKUS. Sekali lagi, gejala semacam ini
sebenarnya bertentangan dengan ide dasar sosialisme. Tidak heran jika
kemudian reaksi yang muncul adalah gagasan demokratisasi melalui sistem
multipartai. Di Indonesia, Revolusi Indonesia juga sebenarnya
menghasilkan partai tunggal, yaitu PNI (Partai Nasional Indonesia), yang
didirikan Soekarno. Sejak masa pergerakan, gagasan mengenai partai
tunggal ini telah berkembang, terutama melalui upaya penyatuan Partindo
(Partai Indonesia) dengan Pendidikan Nasional Indonesia (PNI-Baru) pada

72
Max Weber, The Protestan Ethic and the Spirit of Capitalism (London: Routledge, 2005), hal.
123. Baca juga Peter Baehr, “The ‘Iron Cage’ and ‘The Shell as Hard as Steel’: Parson, Weber and
the Stahlhartes Gehause Metaphor in the Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism”, dalam
Jurnal History and Theory, Vol. 40, Issue 2, May 2001, hal. 153-169.
73
Friedrich A. von Hayek, The Road to Serfdom (London: Routledge, 1944).

Sosialisme Indonesia: Genealogi dan Diaspora


41
1932, meskipun upaya itu gagal. Menarik untuk memperhatikan bahwa
segera setelah dibukanya sistem multipartai melalui Maklumat Wakil
Presiden No. X tanggal 3 November 1945, respon yang segera muncul
berasal dari golongan sayap kiri. Sebelum PARSI didirikan Amir Sjarifuddin
dan PARAS didirikan Sjahrir, sebelumnya telah berdiri Partai Buruh
Indonesia yang dipimpin tokoh-tokoh seperti Setiadjit, S.K. Trimurti, dan
Sakirman. Partai-partai inilah yang telah mendukung Kabinet Sjahrir dan
Kabinet Amir Sjarifuddin hingga 1948. Sayangnya, pada masa ini juga
Indonesia terpecah menjadi negara federal sebagai akibat politik diplomasi
yang lunak dari pemerintahan partai sosialis tersebut.
Diberlakukannya sistem multipartai di Indonesia sepertinya tak lepas
dari peran Sjahrir. Jika kita membaca lagi pamfletnya yang terkenal,
Perdjoeangan Kita (1945), kekhawatiran yang diutarakannya tak berbeda
jauh dengan yang ditulis Hayek dalam The Road to Serfdom (1944). Obyek
kekhawatirannya tak lain adalah fasisme, karena itu ia kemudian
mengemukakan gagasan mengenai liberalisasi politik, sebuah ide yang
diterima oleh Hatta. Keberhasilan kaum sosialis Indonesia sampai ke
puncak kekuasaan segera setelah Proklamasi 1945, dengan tanpa melalui
jalan revolusi, adalah hasil dari pandangan sosialisme pragmatis yang
dimiliki Sjahrir, sehingga ia tidak mengalami nasib yang sama dengan
Trotsky.
Sosialisme ilmiah, atau Marxisme, membedakan dirinya dari sosialisme
utopia. Dengan teori dialektika materialis, atau historis-materialisme,
sosialisme ilmiah bisa disebut merupakan konsep utopia yang realistis.
Sosialisme ilmiah juga merupakan versi baru utopia, karena visi sosialisme
ilmiah itu diambil dari dua gagasan. Pertama gagasan Thomas Moore
tentang masyarakat berdasar sistem hak milik kolektif dan gagasan
François-Noël Babeuf (1760-1797) tentang kepemilikan bersama atas
sumberdaya alam. Kedua adalah gagasan Pierre-Joseph Proudhon (1809-
1865) dan Mikhail Bakunin (1814-1876) tentang anarkisme sebagai gagasan
masyarakat tanpa negara dan pemerintahan. Tapi, berbeda dengan
sosialisme utopia, sosialisme ilmiah menjelaskan—melalui proses
dialektika—cara-cara bagaimana sejarah bisa terwujud atau diwujudkan
melalui jalan perjuangan kelas. Namun, jika kita cermati, dalam
kenyataannya realisasi dari gagasan sosialisme itu sebetulnya menyimpang
dari teori Marx sendiri, yang sebenarnya utopis juga, sehingga kemudian
melahirkan sikap atau tindakan pragmatis. Dengan demikian, maka baik
sosialisme utopia maupun sosialisme ilmiah, keduanya sama-sama
menimbulkan gejala pragmatisme, yang sebenarnya menyalahi teori Marx.
Teori Marx disebut ilmiah karena ia berhasil menjelaskan bagaimana
gagasan sosialisme dapat terwujud atau diwujudkan, sehingga gagasan
tersebut disebut juga sebagai realistic-utopian. Masalahnya, realitas yang
mampu diwujudkan itu seringkali menyimpang dari teori Marx sendiri! Ini

Sosialisme Indonesia: Genealogi dan Diaspora


42
membuktikan bahwa adagium “Banyak jalan menuju Roma”, atau “Ada
jalan lain ke Roma”, tepat adanya. Pengertian ini penting untuk dicatat,
karena dari pengertian tersebut bisa dicari jalan yang lebih realistis untuk
mencapai tujuan sosialisme, yaitu melaui proses evolusi dan mekanisme
demokrasi yang kini kian menjadi kecenderungan umum gerakan sosialis di
dunia. Pengertian itu juga persis menjelaskan gejala diaspora sosialisme
kontemporer: pada akhirnya, ada banyak jalan menuju sosialisme!
Kecenderungan realisme atau pragmatisme di kalangan sosialis timbul
karena pengalaman kegagalan gerakan pembebasan melalui aksi-aksi
kekerasaan dalam sejarah. Tapi sekalipun mengalami kegagalan oleh
penindasan, namun gerakan-gerakan pembebasan itu, yang merupakan
akar gerakan sosialis dari bawah, masih terus terjadi dari waktu ke waktu.
Dalam masyarakat feodal-absolut, kondisi itu menciptakan konflik dan
perang. Sebagai refleksi terhadap kondisi konflik dan perang itu (state of
war), Thomas Hobbes (1588-1679), seorang filsuf sosial Inggris, melahirkan
konsep homo homini lupus, dimana dalam masyarakat bebas atau
masyarakat individualis dengan persaingan ketat yang sedang berkembang
pada waktu itu, manusia menganggap manusia lain sebagai serigala bagi
sesamanya yang menimbulkan ancaman terhadap perdamaian. Karena itu,
menurut Hobbes, diperlukan suatu kontrak sosial yang merupakan
kesepakatan antar-warga untuk menyerahkan sebagian haknya kepada
suatu otoritas, dalam hal ini negara, untuk mengatur masyarakat menuju
perdamaian. Negara, yang digambarkannya dengan simbol Leviathan,
mahluk buas dalam mitologi Timur Tengah, harus memiliki kekuasaan
absolut yang memiliki hak menggunakan kekerasan demi menegakkan
perdamaian. Pandangan Hobbes itu bisa dianggap sebagai legitimasi
terhadap kekuasaan monarki absolut di Inggris, yang belakangan didobrak
oleh The Glorious Revolution (1688). Meskipun demikian, tendensi gagasan
Hobbes kemudian dibenarkan sebagai realitas oleh para pemikir liberal.
Dalam berbagai pemikiran dan kejadian sejarah tadi nampak bahwa
gagasan sosialisme mengandung banyak kontradiksi, dan semua itu
menjadi bibit bagi diaspora sosialisme di masa kontemporer.
Teori terbentuknya kesepakatan Hobbes itu disetujui oleh filsuf sosial
Inggris yang lain, yaitu John Locke (1632-1704). Tetapi kesepakatan itu
bukanlah pembentukan negara monarki absolut, melainkan sebaliknya,
yaitu konstitusi yang membatasi kekuasaan negara. Dua gagasan itu
mempengaruhi gerakan pembebasan yang merupakan akar gagasan sosialis.
Gerakan petani tidak setuju dan menentang kekuasaan feodal absolutis,
mereka lebih menyetujui gagasan konstitusi yang diawali dengan
membentuk piagam-piagam persetujuan antara kaum tani dengan penguasa
feodal, sebuah cikal bakal dari lembaga konstitusi. Pembentukan piagam-
piagam merupakan langkah damai yang realistis bagi gerakan pembebasan,
dan merupakan cikal-bakal bagi gagasan tentang hak-hak asasi manusia dan

Sosialisme Indonesia: Genealogi dan Diaspora


43
hak-hak sipil. Karena itu maka gagasan tentang hak-hak asasi manusia itu
juga merupakan bagian dari gagasan sosialisme modern. Gerakan ini
mengawali modus gerakan pembebasan melalui proses legislasi di parlemen
dan memperkenalkan gerakan sosialis yang demokratis karena menempuh
cara-cara damai. Gerakan sosialis dengan cara damai ini membedakan diri
dari gerakan sosialis secara revolusioner yang merupakan bagian dari teori
perjuangan kelas Marx.
Namun, Marx sendiri sebenarnya memperoleh gagasan tentang cara
revolusioner itu justru dari pembentukan Komune Paris, keberhasilan
Revolusi Inggris 1688, dan Revolusi Perancis 1789—yang merupakan puncak
dari gerakan pembebasan. Meski bisa disebut sebagai puncak dari gerakan
pembebasan, tapi Revolusi Perancis sebenarnya bukan hasil perjuangan
kaum tani melawan feodalisme, melainkan hasil perjuangan golongan
menengah, atau kaum borjuis. Pada waktu itu, para pedagang dan pengrajin
dalam gilda-gilda makin sadar akan peranannya dalam masyarakat. Di
Eropa, kelas menengah itu sebenarnya berasal dari penduduk desa yang
mengalami marginalisasi dari sektor pertanian berdasarkan sistem manor
(manor system) lalu melakukan urbanisasi dan membentuk masyarakat
yang individualis-bebas di kota. Mereka mendukung dan memperkuat
pemerintahan kota yang semakin independen dari kekuasaan feodal di
perdesaan. Dengan prinsip laissez faire,74 perkembangan golongan borjuasi
maju pesat, sehingga kekuatannya pun makin besar, mengimbangi
kekuasan kaum feodal. Oleh karena itu, ketika meletus Revolusi Perancis,
yang berhasil menjatuhkan raja Louis ke XIV, pemerintahan republik yang
kemudian dibentuk adalah pemerintahan borjuis.
Dengan demikian maka Revolusi Perancis itu adalah revolusi borjuis,
dan bukan revolusi petani atau pekerja industri. Revolusi yang
mengumumkan tiga prinsip itu, yaitu liberte (liberty, kebebasan), egalite
(equality, persamaan) dan fraternite (brotherhood, persaudaraan), kemudian
memang lebih menekankan asas kebebasan (liberty), yang memang menjadi
orientasi nilai kaum borjuis atau golongan menengah yang independen.

74
Berbeda dengan anggapan umum terkini, dimana semboyan laissez-faire berhubungan dan
dihubungkan secara minor dengan kapitalisme, pada masa kaum Fisiokrat di Perancis, laissez-
faire justru merupakan semboyan yang dilontarkan untuk membela sektor pertanian dari
keserakahan para kapitalis (pedagang, industrialis, dan pejabat negara). Laissez-faire, atau
ungkapan lengkapnya adalah laissez-faire laissez-passer, le monde va de lui même, adalah sebuah
istilah yang berasal dari bahasa Perancis, yang secara bebas bisa diterjemahkan sebagai “biarkan
semua terjadi, biarkan semua berlalu (let do, let pass)”, atau “jangan campur tangan, alam
semesta dapat mengatur dirinya sendiri”. Semboyan itu, yang pertama kali dikemukakan oleh
Vincent de Gournay (1712-1759), direproduksi oleh kaum Fisiokrat untuk membela sektor
pertanian di Perancis yang dipinggirkan oleh pemerintah dan menjadi subordinat (mungkin lebih
tepatnya “sapi perah”) dari kegiatan industri dan perdagangan yang dijalankan oleh para kroni
penguasa. Lihat Tarli Nugroho, Ekonomi Tanda dan Rekonstitusi Konsep Kemiskinan Petani:
Sebuah Elaborasi Awal (Yogyakarta: LANSKAP, 2010), terutama Bab II.

Sosialisme Indonesia: Genealogi dan Diaspora


44
Mereka memilih Maximilien de Robespierre (1758-1794) sebagai tokoh yang
mewakili aspirasi kaum borjuis.
Oleh karena moda produksi baru berubah dari tahap feodal ke kapitalis,
maka bagi Marx masalah eksploitasi masih tetap berlangsung, sehingga
karenanya gerakan pembebasan tahap selanjutnya, yaitu perjuangan kelas
oleh kaum buruh terhadap kapitalisme, menjadi agenda revolusi tahap
selanjutnya. Jadi, perubahan moda produksi dari kapitalisme ke sosialisme
merupakan sebuah keharusan, dan jalan untuk merealisasikannya adalah
melalui sebuah revolusi proletariat yang dipimpin oleh kelas buruh. Jadi,
Marx memperoleh gagasan tentang kelas dari terbentuknya kaum borjuis.
Ciri utama dari kaum borjuis adalah mereka memiliki kesadaran kelas dan
rasa percaya diri yang tinggi dalam memimpin perjuangan. Kualitas
sebagaimana yang dimiliki oleh kaum borjuis pada masa Revolusi Perancis,
yang didukung oleh hak milik pribadi dan sikap bebasnya itu, belum
dimiliki oleh kaum buruh. Perbedaan itu paling tidak adalah dalam dua
pokok berikut. Pertama, sebagai buruh meraka tidak memiliki hak milik,
kecuali tenaganya sendiri. Kedua, posisi tawar mereka rendah, karena kaum
majikan bisa mengganti tenaga kerjanya dengan mesin-mesin dan alat-alat
produksi. Karena itu Marx menginginkan terbentuknya kelas buruh yang
memiliki kesadaran bahwa diri mereka tergolong ke dalam sebuah kelas,
sehingga dengan begitu mereka jadi mengetahui kedudukannya (class in it
self). Selain itu, kelas tersebut juga harus menyadari perlunya sikap dan
perjuangan untuk memperkuat posisi tawarnya (class for it self). Hanya
dengan kesadaran kelas semacam itulah maka kaum pekerja dapat
melakukan perjuangan kelas untuk merebut kekuasaan guna membebaskan
dirinya.
Sementara itu, sebagian pendukung Revolusi Perancis adalah para
penggagas sosialisme utopia, yang cita-cita mereka lebih dekat kepada nilai
atau prinsip persaudaraan, sehingga mereka tidak menghendaki perjuangan
kelas atau revolusi untuk meraih kekuasaan. Namun, meskipun gagasannya
utopis, karena mereka menyadari sifat utopia dari gagasannya, maka
mereka melakukan moderasi gagasan dengan bertindak pragmatis. Dari
kecenderungan ini, beberapa pemikir melakukan proyek-proyek dalam
skala mikro, walaupun umumnya gagal juga. Tetapi ada juga yang berhasil,
misalnya sistem koperasi sebagai sistem mikro untuk meraih kesejahteraan
bersama.
Sebagian dari mereka juga mendapat inspirasi dari ajaran agama,
khususnya Kristen, yang mengajarkan prinsip kasih sayang. Mereka yang
merasa mendapat inspirasi dari ajaran agama kemudian mengembangkan
gagasan sosialisme Kristen, yang lebih cenderung bertindak pragmatis, yang
antara lain menghasilkan gagasan koperasi sebagai lembaga usaha bersama
berdasarkan prinsip solidaritas dan menolong diri secara demokratis.

Sosialisme Indonesia: Genealogi dan Diaspora


45
Koperasi itu sendiri sebenarnya merupakan revisi dari doktrin karitas dan
filantropis yang merupakan hakikat dari ajaran sosial gereja.
Ajaran agama, khususnya Kristen, yang mengajarkan cinta kasih antar-
sesama sebagai konsekuensi keberagamaan dan spiritualitas itu,
mempengaruhi para elite sehingga menimbulkan motif untuk peduli
terhadap orang miskin. Dengan perkataan lain, ajaran agama menimbulkan
nilai kemanusiaan atau cinta kepada manusia, yang kemudian disebut
dengan filantropi. Tapi agama juga mengajarkan tindakan praktis, yaitu
memberikan bantuan kepada fakir miskin sehingga dari gereja lahir doktrin
karitas (charity). Doktrin ini berkembang ke tengah masyarakat karena
digugah oleh masalah kemiskinan, terutama di kalangan petani. Situasi ini,
misalnya, terjadi di Jerman pada pertengahan abad ke-19 yang kemudian
membangkitkan solidaritas di kalangan orang kaya dan pemimpin
pemerintahan. Upaya yang kemudian meninggalkan jejak panjang dalam
sejarah adalah apa yang dilakukan oleh Walikota Flamersfeld, Jerman, yaitu
Friedrich Wilhelm Raiffeisen (1818-1888), pelopor gerakan koperasi petani,
yang memberikan bantuan makanan, pakaian dan juga uang kepada fakir
miskin—mungkin sejenis dengan BLT (Bantuan Langsung Tunai) yang kini
kita kenal di Indonesia. Bantuan itu memang meringankan beban sesaat,
tetapi tidak memecahkan masalah kemiskinan, bahkan kemudian
menimbulkan sindrom ketergantungan. Fakta itu kemudian mengubah
pikiran Raiffeisen, dan juga Schulze Delitz (1808-1883), pelopor gerakan
koperasi perdagangan, yang berpendapat bahwa kemiskinan hanya bisa
diatasi oleh orang miskin sendiri, yaitu melalui gerakan tolong-menolong.
Dari sini kemudian lahirlah kegiatan simpan pinjam atau credit union yang
diorganisasikan melalui lembaga koperasi. Pertemuan antara gagasan
sosialisme utopia dengan doktrin gereja kemudian melahirkan gagasan
“sosialisme-Kristen”, yang terutama berkembang pada abad ke-20 dan telah
melahirkan tokoh-tokoh pemikir sosialis seperti Paulo Freire (1921-1997)
serta negarawan seperti Hugo Chávez (1954-2013). Gerakan pembebasan
melalui pendidikan (paedagogy of liberation) sebagaimana digagas Freire
bahkan dapat disebut sebagai pendekatan baru menuju sosialisme, di
samping melalui demokrasi dan perjuangan kelas. Gerakan yang diinisiasi
oleh Freire tersebut dapat dipandang sebagai ciri dari “Sosialisme Religius
Kristen”.
Jeremy Bentham (1748-1832), pemikir sosialis utopia lainnya,
mengembangkan filsafat sosial yang kemudian dikenal sebagai
utilitarianisme, yang memaknakan kebenaran sebagai kegiatan yang
mendatangkan kebahagiaan atau kesenangan. Dari interpretasi itu ia
berpendapat bahwa kebenaran adalah tindakan untuk mencapai sebesar-
besar kebahagiaan atau manfaat untuk sebanyak-banyak orang, atau the

Sosialisme Indonesia: Genealogi dan Diaspora


46
greatest happiness for the greatest number of people.75 Prinsip “pursuit of
happiness” itu juga dicantumkan dalam Deklarasi Kemerdekaan Amerika
Serikat (1776) sebagai salah satu hak dasar manusia yang tidak dapat
diingkari (unalienable rights), bersama-sama dengan cinta (love), dan
kebebasan (liberty). Dan bersama-sama dengan nilai kebebasan yang
dikembangkan oleh John Stuart Mill (1806-1873), gagasan Bentham
mengenai utilitarianisme juga kemudian dijadikan sebagai semacam nilai
dasar bagi sistem kapitalis, yang telah menggerakkan proses industrialisasi
di Eropa dan Amerika pada abad ke-18 dan 19.
Sementara itu, gagasan sosialisme utopia yang “berhasil” menempuh
langkah pragmatis ternyata mampu berperan sebagai pengimbang sekaligus
pengkoreksi bagi perkembangan ekonomi kapitalis. Jika kapitalisme
berjalan berdasarkan prinsip persainganm bebas, maka sosialisme utopis
mengimbanginya dengan sistem koperasi. Kooperativisme itu telah
melahirkan sektor ketiga, yaitu sektor sosial, di luar sektor pasar (market
sector) dan sektor negara (state sector). Gagasan koperasi, walaupun
bersumber dari sosialisme utopia, sebenarnya hidup dalam tegangan antara
gagasan sosialisme arus utama dengan liberalisme ekonomi. Kooperativisme
berbeda dengan sosialisme arus utama, yang cenderung bersifat politis dan
menganggap penting kekuatan politik untuk membebaskan kaum pekerja
dari eksploitasi dan dominasi, sebab kooperativisme bertumpu pada
kekuatan swadaya masyarakat. Kooperativisme juga berbeda dengan sistem
ekonomi liberal, karena sistem ekonomi liberal didasarkan pada nilai
individualisme dan prinsip persaingan bebas, sementara koperasi
mengandalkan kerjasama di antara para pelaku ekonomi. Kooperativisme
ini mendapatkan dukungan dari kalangan gereja dan sejalan dengan
sosialisme Kristen, meskipun sosialisme Kristen lebih mendasarkan diri
pada nilai kemanusiaan. Dari sinilah terjadi kaitan antara sosialisme dan
humanisme yang menjadi pemikiran Sjahrir.
Ditinjau dari tahap-tahap perkembangan masyarakat, gagasan
sosialisme lahir melewati tiga gejala sejarah Eropa. Pertama, kapitalisme
atau pembentukan pasar bebas pada abad ke-16 dalam Revolusi
Perdagangan (Commercial Revolution). Kedua, kapitalisme yang mulai
tumbuh pada abad ke-18 dan demokrasi pada abad ke 18 yang ditimbulkan
oleh Revolusi Amerika dan berpengaruh ke Perancis dan menimbulkan
Revolusi Perancis. Dengan demikian maka sosialisme sebagai ideologi
dipengaruhi dan berkairan dengan tiga kejadian sejarah itu.
Revolusi Perancis, yang merupakan puncak perjuangan melawan
feodalisme, dan sebagai gerakan pembebasan merupakan akar dan sumber

75
Bentham pertama kali memperkenalkan konsep mengenai utilitarianisme dalam bukunya yang
terkenal, Introduction to the Principles of Morals and Legislation (1789). Uraian ringkas mengenai
gagasan Bentham ini bisa dilihat pada Mark Skousen, The Making of Modern Economics: The Lives
and Ideas of the Great Thinker (New York: M.E. Sharpe, 2001), terutama hal. 120-122.

Sosialisme Indonesia: Genealogi dan Diaspora


47
dari sosialisme, merupakan penyempurnaan dari gagasan Revolusi Amerika.
Sayangnya, semboyan Revolusi Perancis yang sebenarnya saling kait-
mengait satu sama lain, ternyata tidak berkembang sebagai satu kesatuan,
sehingga telah melahirkan berbagai interpretasi. Masing-masing prinsip
Revolusi Perancis itu telah berkembang menjadi satu prinsip sui generis
(unique in its characteristics), yang bersifat independen dalam kediriannya.
Dan karena Revolusi Perancis dimenangkan oleh kelas borjuis, sementara
nilai-nilai yang paling sesuai dengan aspirasi mereka adalah nilai kebebasan
(liberty), maka yang dilahirkan adalah kapitalisme. Imbas dari praktik
kapitalisme inilah yang kemudian telah melahirkan reaksi dalam bentuk
gagasan sosialisme utopia.
Sebenarnya, jika kita teliti kembali, selain mengemukakan prinsip-
prinsip penting sebagaimana diwakili oleh semboyannya yang terkenal itu,
Revolusi Perancis juga mengudar gagasan penting lain, yaitu gagasan
tentang negara republik, yang menganut prinsip bahwa pemimpin dan
pejabat negara itu harus dipilih oleh rakyat dengan tugas untuk melayani
kepentingan rakyat. Tapi, sebagaimana juga telah diingatkan oleh Plato,
masyarakat itu terdiri dari berbagai kelompok kepentingan yang saling
berebut kekuasaan. Dalam konteks Revolusi Perancis, kekuasaan itu dapat
direbut oleh kaum borjuis yang diwakili oleh Robespierre dan
kelompoknya, yang kemudian bergabung dengan Klub Jacobin, kaum
revolusioner yang merasa benar sendiri yang dengan mengatas-namakan
revolusi menghalalkan segala cara untuk mempertahankan kekuasaannya.76
Tapi karena tidak mampu mengatasi kekacauan akibat konflik dan
kemiskinan, pemerintahan republik ini akhirnya gagal mengendalikan
situasi, dan sebagai buntutnya lahirlah pemimpin despotik yang mewarisi
budaya feodal, yaitu Napoleon Bonaparte (1769-1821). Kembali kepada Plato,
menurut filsuf Yunani tersebut negara harus dipimpin oleh filsuf, yang di
masa modern adalah golongan cendekiawan. Tapi kaum cendekiawan tidak
bisa muncul dalam sistem republik. Karena Revolusi Perancis pada akhirnya
hanya mengganti despot feodal dengan despot borjuis seperti Napoleon,
maka timbul reaksi berupa paham anarkisme, yang tergolong ke dalam
kategori sosialis utopia, yang menolak segala bentuk kekuasaan negara,
sebagaimana dipelopori oleh Pierre-Joseph Proudhon (1809-1865) dan
Mikhail Bakunin (1814-1876), yang hidup pada masa pasca-Revolusi
Perancis. Gagasan anarkisme yang utopis itu ternyata mempengaruhi
pemikiran Marx yang juga mencita-citakan suatu masyarakat tanpa negara.
Sumbangan Marx dalam pemikiran sosialis sebenarnya terletak pada
epistemologinya, yaitu dialektika-historis-materialis, dan ontologinya dalam
analisis kelas. Tapi aksiologi Marx sama dan bahkan mengambil pemikiran

76
Georges Lefebvre, The French Revolution: From its Origins to 1793 (London: Routledge, 2001),
lihat terutama bab terakhir. Lihat juga J.M. Thompson, Leaders of the French Revolution (New
York: Harper Colophon Books, 1967), hal. 215-144.

Sosialisme Indonesia: Genealogi dan Diaspora


48
utopia, yaitu masyarakat tanpa hak milik, masyarakat tanpa kelas, dan
masyarakat tanpa negara. Dari tiga gagasan itu, yang asli dari Marx adalah
masyarakat tanpa kelas, yang tidak dipikirkan oleh pemikir sosialis utopia
sebelumnya. Marx mendapatkan ilham tentang gagasan perjuangan kelas
buruh itu dari tokoh sosialis perempuan asal Perancis, Flora Tistan (1803-
1844), yang menyerukan persatuan kaum buruh seluruh dunia. Tristan pula
yang menyerukan pembentukan serikat buruh (trade union) pasca-Revolusi
Perancis.
Sampai di sini, dari gejala Revolusi Perancis kita bisa mencatat ada tiga
pengertian mengenai anarki. Pertama, adalah anarkisme sebagai sistem
masyarakat tanpa negara, atau otoritas pemaksa (coercive authority). Kedua,
anarki sebagai kondisi kekacauan besar (al Fitna al kubrā) yang
menimbulkan konflik dan perang saudara, atau perang sipil, sebagaimana
pernah terjadi di Inggris dan Perancis. Dan ketiga, anarki sebagai kondisi
alami sebagaimana dilukiskan oleh Thomas Hobbes, dimana manusia
menganggap orang lain sebagai serigala bagi sesamanya (homo homini
lupus). Sosialisme pasca-utopia pada umumya cenderung menolak
anarkisme. Pengaruh anarkisme pada paham sosialisme hanya sebatas pada
tingkat wacana, apalagi dalam realitasnya sosialisme justru terasosiasi
dengan konsep diktatur ploletariat yang bersifat etatis, meskipun dengan
catatan bahwa etatismenya ini menolak absolutisme Hobbes.
Munculnya kecenderungan despotik pasca-Revolusi Perancis telah
menimbulkan reaksi berupa gerakan tuntutan hak-hak sipil. Hasilnya
adalah nota kesepahaman antara warga dan pemerintah dalam bentuk
piagam (charter) pada tahun 1839. Aspirasi demokrasi pada tingkat warga
itu kemudian melahirkan gerakan demokratisasi dalam sosialisme, yang di
Jerman dilembagakan melalui pembentukan Partai Sosial Demokrat
(Sozialdemokratische Partei Deutschlands), dan kemudian mengilhami
berbagai negara Eropa lainnya.
Terbentuknya Partai Sosial Demokrat, yang mengembangkan lebih
lanjut gagasan sosial demokrasi sebagai ideologi sui generis, adalah tonggak
sejarah yang membedakan antara sosialisme dengan sosialisme-Marxis.
Faktor pembedanya adalah bahwa kaum sosial demokrat memperjuangkan
sosialisme tidak melalui perjuangan kelas yang dipimpin oleh kelas buruh,
tetapi melalui gerakan rakyat dari seluruh kelas. Kedua, sosial demokrat
berjuang secara damai dan demokratis melalui legislasi dan konstitusi.
Ketiga perjuangan sosialis tidak dilakukan dengan melakukan revolusi
dalan arti merebut kekuasaan, melainkan dengan melakukan reformasi
secara gradual yang menghindari kekerasan. Karena itu maka Marx
menyebut sosial demokrasi sebagai gerakan sosialisme kanan. Dalam
bentuk dan cara itu maka sosialisme demokrasi bertujuan untuk melakukan
sosialisasi alat-alat produksi. Berbeda dengan Marxisme ortodoks,
sosialisme sosial demokrasi yang dipimpin oleh Ferdinand Lassalle (1825-

Sosialisme Indonesia: Genealogi dan Diaspora


49
1864) berpendapat bahwa adalah negara, dan bukan kelas buruh, yang
membangun sosialisme. Lassale tidak hanya berjuang secara terbuka, tetapi
juga membentuk gerakan rahasia, misalnya dalam mencapai kesepakatan
dengan kanselir Jerman Otto von Bismarck. Sebagaimana telah disinggung
pada uraian terdahulu, program kesejahteraan Birmarck adalah bentuk
institusionalisasi dan formalisasi prinsip solidaritas orang kaya terhadap
oirang miskin, dimana dalam gerakan koperasi institusionalisasi itu
dilakukan secara sukarela melalui mekanisme masyarakat (civil society).
Dengan demikian, maka sosial demokrasi yang berkembang di Jerman pada
belahan kedua abad ke-19 itu berada dalam posisi tengah, yaitu antara
negara kesajahteraan dengan koperasi, dan antara liberalisme dengan
Marxisme ortodoks. Dengan demikian maka sejak Revolusi Perancis
gerakan sosialis berjalan bersama dengan gerakan demokrasi, yang
memuncak dengan terjadinya People’s Charter (1838). Namun, oleh kaum
Marxis, sosial demokrasi secara sinis disebut sebagai kompromi antara kelas
buruh dan kelas borjuasi melalui negara atau pemimpin pemerintahan
seperti Bismarck.
Pada masa itu timbul pendapat umum di lingkungan gerakan
pembebasan dan sosialisme, bahwa sosialisme hanya bisa dicapai dengan
cara demokratis, sebab cara revolusioner hanya akan menimbulkan
kekerasan negara. Dengan demikian, maka secara teoritis dapat
disimpulkan bahwa demokrasi adalah masa transisi dari kapitalisme
menuju sosialisme.
Sosialisme itu sendiri, baik utopia maupun Marxis, adalah merupakan
reaksi terhadap kapitalisme yang berkembang sejak abad ke-16, yang
kemudian melahirkan industrialisasi pada abad ke-18 dan mencapai
puncaknya pada abad ke-19. Industrialisasi yang dilakukan melalui
pendalaman modal (capital intensification, atau capital deepening), menurut
istilah Marx, telah menimbulkan proses marginalisasi tenaga buruh menjadi
“tentara cadangan” (reserve army) dalam industri, yaitu dalam bentuk
pengangguran. Dan pengangguran merupakan sumber kemiskinan. Kondisi
kemiskinan itulah yang kemudian memunculkan gagasan sosialisme, yang
di zaman modern atau zaman industri berintikan gerakan buruh.
Dalam masa industrialisasi itu pulalah terbentuk golongan buruh secara
massal, yang membentuk semacam kelas baru. Kelas buruh ini, tidak
sebagaimana kelas petani, mampu berorganisasi dan memiliki kesadaran
kelas yang tinggi, karena dalam masa liberal itu telah timbul pengertian
mengenai hak individu, dimana kaum buruhpun kemudian memiliki
kesadaran akan haknya, misalnya hak untuk mendapatkan pekerjaan dan
memperoleh upah yang layak. Karena itulah maka timbul pandangan, baik
dari Marx, Engels maupun Lenin, bahwa yang mampu menegakkan
sosialisme atas dasar kekuatan kelas adalah golongan buruh. Tetapi
pandangan itu “dibajak” oleh Lassale dan Bismarck yang berpendapat

Sosialisme Indonesia: Genealogi dan Diaspora


50
bahwa sosialisme hanya dapat dicapai oleh atau melalui negara, yang oleh
filsuf kontemporer India, Amartya Kumar Sen, disebut sebagai pandangan
transendental institusional.77 Pandangan inilah yang diambil oleh Stalin,
sehingga ia mengubah teori Lenin tentang Bolshevisme, yaitu partai kelas
buruh, menjadi teori sosialisme melalui atau dalam suatu negara (socialism
in one country). Tapi pandangan ini ditentang oleh Trotsky, salah seorang
tokoh gerakan Bolshevisme yang mempertahankan pandangan bahwa
sosialisme harus ditegakkan oleh kaum buruh yang konsisten dengan
Bolshevisme. Tapi Trotsky kalah dalam perebutan kekuasaan dari Stalin,
dan karena perselisihannya itu ia harus melarikan diri ke luar negeri,
dimana ia kemudian menulis tentang berbagai masalah sosialisme dari
tempat pengasingannya. Salah satu gagasannya yang terkenal antara lain
teorinya tentang revolusi terus-menerus (permanent revolution), tidak saja
dalam rangka melawan kapitalisme, tetapi juga melawan Stalinisme.
Menurutnya, negara sosialis bukanlah end of history, karena masih harus
dilakukan gerakan buruh (Bolshevisme) melawan rezim diktator proletariat
untuk menciptakan negara sosialis yang sebenarnya, yaitu komunisme
berdasarkan demokrasi buruh (proletarian democracy). Bedanya dengan
sosialisme demokrasi adalah jika kaum sosial demokrat berjuang melalui
demokratisasi, maka Trotskyisme berjuang melalui perjuangan yang
dipimpin oleh kelas buruh. Teori Trotsky itu lebih mendekati teori Marx
dan berlawanan dengan teori Lenin mengenai diktator proletariat.
Dalam Stalinisme, peranan Partai Komunis (PKUS) dilembagakan ke
dalam negara dan gerakan buruh dilarang. Sementara itu Leninisme
mengemudikan negara melalui Partai Komunis sebagai pengganti organisasi
buruh. Dengan demikian, sebenarnya terkandung tiga varian pemikiran
Marxisme. Pertama, Leninisme dengan gagasan pokok tentang diktator
proletariat yang dikendalikan oleh partai komunis. Kedua, Stalinisme yang
melembagakan partai komunis ke dalam negara. Dan ketiga Trotskyisme
yang ingin menegakkan sosialisme berdasarkan demokrasi buruh.
Sementara itu sosialisme non-Marxis mula-mula melahirkan sistem
koperasi sebagai pelembagaan dari sosialisme utopia. Kemudian, dengan
timbulnya Revolusi Perancis, yang merupakan revolusi borjuis itu, lahirlah
varian sosialisme demokrasi. Tapi sosialisme demokrasi itu, melalui
reformasi Bismarck, bercabang menjadi sistem negara kesejahteraan
(welfare state), yang melembagakan nilai solidaritas ke dalam negara
sembari melarang gerakan buruh dan gerakan sosialis. Pada tahun 1884 di
Inggris lahir kelompok Fabian Society, yang memperoleh ilham dari strategi
perang yang dijalankan oleh seorang Jenderal Romawi, Fabius Maximus
(280 SM-203 SM), yang memimpin pasukan kecil dan lemah dalam sebuah
perang gerilya melawan kekuatan besar Hannibal yang hendak
menaklukkan Romawi. Pasukan Fabius berusaha untuk memenangkan
77
Amartya Sen, The Idea of Justice (London: Allen Lane, 2009).

Sosialisme Indonesia: Genealogi dan Diaspora


51
pertempuran-pertempuran kecil dan menghindari perang besar. Pasukan
Hannibal adalah ibarat kapitalisme, sedangkan gerakan Fabius adalah
gerakan sosialis. Gerakan Fabian Society yang mengembangkan Sosialisme
Fabian itu didukung oleh suatu kelompok epistemik yang beranggotakan
tokoh-tokoh terkemuka di bidang kebudayaan, seperti George Bernard
Shaw (1856-1950), H.G. Wells (1866-1946), Sidney Webb (1859-1947),
Beatrice Webb (1858-1943), G.D.H. Cole (1889-1959), R.H. Tawney (1880-
1962) dan Harold Laski (1893-1950.) Gerakan mereka lebih menekankan
pada aspek pemikiran serta perjuangan sosialis melalui reformasi gradual.
Strategi ini mula-mula dilakukan melalui infiltrasi ke institusi-institusi
negara, kemudian membentuk perwakilan dan komite di parlemen yang
memperjuangkan kepentingan buruh. Namun kemudian taktik ini makin
terbuka dengan mengembangkan liga perwakilan kaum buruh (Labour
Representation League ) pada tahun 1869 di parlemen. Komunitas Fabian ini
menyusup ke dalam gerakan buruh di Inggris dan mencapai titik kulminasi
dengan berdirinya Partai Buruh pada tahun 1900, yang merupakan
gabungan dari seluruh gerakan sosialisme demokratis. Berbeda dengan
gerakan sayap kiri Indonesia yang umumnya lahir dari beberapa kelompok
yang kemudian bersatu untuk masuk ke dalam pemerintahan, lalu pecah
dan bubar kembali karena perbedaan pandangan sehingga para
pendukungnya mengalami diaspora, maka Partai Buruh di Inggris itu tetap
kompak hingga kini dan berkali-kali berhasil memenangkan pemilihan
umum. Masalah yang diidap oleh gerakan kiri di Indonesia tadi sebenarnya
tidak khas, karena kegagalan itu juga menjadi gejala yang menimpa semua
partai, termasuk partai-partai Islam.
Faktor utama yang menjadi hambatan terhadap perkembangan dan
keberhasilan partai-partai sosialis adalah bahwa sosialisme itu, sebagaimana
pernah ditulis Paul Sweezy, memiliki definisi yang beragam, sehingga sulit
bagi partai-partai sosialis untuk merealisasikan gagasannya. Meskipun
demikian, secara garis besar di dunia ini terdapat dua model negara sosialis.
Pertama model sosialisme negara yang bersifat totaliter, sebagaimana
terdapat di negara-negara Blok Komunis, yaitu Uni Soviet, Eropa Timur,
Cina dan Korea Utara. Model ini disebut sebagai komunisme atau negara
komunis. Kedua adalah sosialisme yang berkembang sebagai partai politik
yang bekerja dalam sistem politik dan ekonomi yang non-sosialis.
Model komunis telah mengalami kebangkrutan sejak 1989, dimulai di
Rusia, menyusul di Eropa Timur, dan kemudian mengalami metamorfosis di
Cina. Kasus Korea Utara masih bertahan sebagai model klasik satu-satunya
di dunia. Sungguhpun demikian, negara-negara di atas masih menyebut
dirinya sosialis, meskipun sosialisme mereka itu sudah terbuka dan
terintegrasi ke dalam perekonomian global dalam perdagangan dan
investasi. Di satu pihak negara-negara itu terbuka terhadap investasi asing
dari negara-negara kapitalis, dan di lain pihak negara-negara tersebut juga

Sosialisme Indonesia: Genealogi dan Diaspora


52
melakukan investasi ke luar, termasuk ke AS. Sungguhpun demikian, corak
sosialis yang tertinggal adalah dalam bentuk eksisnya perusahaan negara.
Ciri lain yang masih tertinggal adalah perencanaan ekonomi oleh negara
dan peran negara yang cukup besar sebagai regulator perekonomian,
walaupun bekerja berdasarkan sistem pasar. Dalam model itu Cina
berkembang menjadi negara kedua dengan perekonomian terbesar jika
diukur dari Produk Domestik Bruto (PDB), namun dari segi pertumbuhan
ekonomi telah melampaui pertumbuhan negara-negara kapitalis. Bahkan
Cina, bersama dengan Rusia, kini disebut sebagai kekuatan-kekuatan
ekonomi dunia baru (the newly emerging global economic forces), bersama
dengan negara non-sosialis seperti Brasil, India dan Afrika Selatan, yang
dikalangan pengamat sering disebut BRICS (Brazil, Russia, India, China,
South Africa).
Di luar bekas Blok Komunis, sosialisme melembaga dalam partai-partai
politik yang bisa memegang pemerintahan melalui pemilihan umum yang
demokratis. Pada dasarnya partai-partai itu tidak mencita-citakan
terbentuknya negara sosialis berdasarkan cetak biru (blue-print) tertentu.
Lagipula, partai-partai itu juga beragam model dan namanya. Pertama
adalah model Partai Sosialis yang hanya berhasil duduk dalam
pemerintahan di Perancis dan akhir-akhir ini di bebarapa negara Amerika
Latin, seperti Venezuela, dan beberapa waktu yang lalu di Chile. Kedua
adalah model Partai Buruh di Inggris, Australia, Selandia Baru, Israel, dan
Belanda, yang juga bisa memenangkan pemilihan umum pada waktu-waktu
tertentu dan menjadi partai oposisi di waktu-waktu yang lain. Di Indonesia,
model ini terdapat pada Partai Buruh Indonesia (PBI) yang sudah bubar
karena tidak berhasil meraih suara dalam pemilihan umum 1955, walaupun
pada masa pemerintahan sayap kiri awal 1940-an telah memperoleh posisi
dalam beberapa kabinet. Dewasa ini, gerakan buruh diwadahi dengan
berbagai bentuk serikat buruh, tetapi tidak berorientasi kepada sosialisme.
Ketiga adalah model Partai Sosial Demokrat, yang juga berhasil memimpin
pemerintahan lewat pemilihan umum di Jerman, Belgia dan negara-negara
Skandinavia. Di Indonesia, PARAS, PARSI, PS dan PSI tergolong ke dalam
model ini. Tapi partai-partai itu telah bubar, dimana yang terakhir bubar
adalah PSI, dimana karena keterlibatannya dalam pemberontakan daerah
maka ia dibubarkan oleh pemerintahan. Namun aspirasi sosialis tidak
pernah putus. Kini aspirasi itu nampak kuat pada beberapa partai,
khususnya Partai Gerindra (Gerakan Indonesia Raya).

Agenda Sosialisme di Indonesia


Pada tahun 1946, dalam buku kecilnya, Politik dan Revolusi Kita,
Sjafruddin Prawiranegara menulis bahwa ideologi komunis atau sosialis
mendapat perhatian besar di kalangan pemimpin Indonesia umumnya,

Sosialisme Indonesia: Genealogi dan Diaspora


53
termasuk di kalangan ulama dan pemuka agama pada khususnya. Namun
ideologi komunisme itu tidak memiliki sambung rasa dengan mayoritas
penduduk Indonesia karena relasinya dengan atheisme dan sikapnya yang
anti-agama, padahal bangsa Indonesia pada umumnya adalah penganut
agama, khususnya Islam. Tapi sosialisme masih bisa diterima karena
gagasan ini tidak menolak dan bahkan mendapatkan insiprasi dari ajaran
agama. Karena itu maka di Indonesia gagasan sosialisme yang dapat
diterima adalah “Sosialisme Religius”.78 Sebenarnya di Eropa, gagasan
sosialisme religius itu mengacu kepada Sosialisme Kristen. Tapi di
Indonesia, karena besarnya pengaruh ajaran Islam, maka yang berkembang
adalah gagasan sosialisme yang berdasarkan ajaran Islam, sebagaimana
pernah ditulis dalam sebuah buku klasik karangan H.O.S. Tjokroaminoto,
Islam dan Sosialisme (1924). Menurut pendapat Sjafruddin, prinsip-prinsip
sosialisme religius itu sudah tertulis dalam UUD 1945. Pertanyaannya
adalah apakah pasal-pasal sosialisme religius itu sudah dilaksanakan di
Indonesia? Aspirasi sosialis itu juga terdapat pada semua partai-partai
politik terbesar, seperti PKI, PSI, Partai Murba, PNI, Masyumi dan NU.
Namun demikian, Indonesia di awal kemerdekaanya belum merupakan
negara sosialis, meskipun partai-partai politik sudah mewacanakan apa
yang disebut “Sosialisme Indonesia”.
Hatta dalam sebuah buku kecilnya pernah mengemukakan pendapat
bahwa Sosialisme Indonesia itu mengacu kepada tiga sumber. Pertama
Sosialisme Eropa, baik yang utopia maupun ilmiah/Marxis. Kedua, ajaran
agama-agama, khususnya Islam. Dan ketiga dari tradisi dan nilai-nilai
budaya Indonesia.79 Dengan demikian maka Sosialisme Indonesia
mengandung tiga elemen. Pertama, sosialisme modern sebagaimana yang
berkembang di Eropa; kedua, ajaran agama, khususnya Islam; dan ketiga
adalah nasionalisme budaya. Konsekuensinya bisa timbul potensi
interpretasi dan artikulasi yang berbeda-beda dari sudut-sudut pandang
yang beragam tersebut.
Tapi pada pokoknya sosialisme terdiri dari tiga macam. Pertama,
sosialisme yang diartikulasikan oleh partai-partai yang mengusung ideologi
sosialis atau komunis. Kedua, aspirasi sosialis yang diusung oleh partai-
partai non-sosialis. Dan ketiga, sosialisme sebagaimana diinterpretasikan
oleh negara pada umumnya dan pemerintah-pemerintah pada khususnya.
Pada tingkat negara sosialisme dapat diinterpretasikan dari Mukadimah
dan batang tubuh UUD 1945. Dalam Mukadimah unsur sosialisme
diekspresikan dalam kata-kata “adil-makmur”, “kesejahteraan umum” dan
“keadilan sosial”. Dalam batang tubuh UUD unsur sosialisme terkandung

78
Pembahasan lengkap mengenai karya Sjafruddin ini bisa dibaca pada M. Dawam Rahardjo,
Ekonomi Neo-Klasik dan Sosialisme Religius: Pragmatisme Pemikiran Ekonomi Politik Sjafruddin
Prawiranegara (Bandung: Mizan, 2011).
79
Mohammad Hatta, Persoalan Ekonomi Sosialis Indonesia (Djakarta: Djambatan, 1963).

Sosialisme Indonesia: Genealogi dan Diaspora


54
pada, pertama, Pasal 27 Ayat 2 bahwa “Tiap-tiap warga negara berhak atas
pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”. Kedua, tentang
hak bujet yang dipegang oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Ketiga,
Pasal 33 Ayat 1 tentang “Perekonomian disusun sebagai usaha bersama
berdasar atas azas kekeluargaan”, yang cukup jelas mengandung ciri
gagasan sosialisme utopia sebagaimana yang melembaga pada konsep
koperasi dan juga mengandung ciri nilai persaudaraan (fraternite)
sebagaimana terkandung dalam semboyan Revolusi Perancis. Keempat,
Pasal 33 Ayat 2 tentang penguasaan negara atas sektor-sektor penting bagi
negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak (public utility), yang
merupakan bagian dari gagasan sosialisme demokrasi dan juga sosialisme
fabian. Kelima, Pasal 33 Ayat 3 tentang penguasaan negara terhadap bumi,
air dan kekayaan yang terkandung di dalamnya untuk sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat, sebuah gagasan yang mengacu kepada prinsip
sosialisme utopia. Keenam, Pasal 34 tentang fakir miskin dan anak terlantar
yang dipelihara oleh negara, yang merupakan aspirasi sosialisme religius,
khususnya Islam. Sebelum proses amandemen UUD 1945, Pasal 33 dan 34
berada dalam satu bab yang sama, yaitu Bab XIV yang berjudul
“Kesejahteraan Sosial”, yang mencerminkan cita-cita sosialisme pada
umumnya. Dengan tercantumnya prinsip-prinsip sosialisme pada UUD 1945
itu, maka program-program sosialis memperoleh legitimasi konstitusional.
Prinsip-prinsip sosialisme itu juga sudah mulai dilaksanakan oleh
negara sejak awal kemerdekaan. Pertama dalam pembentukan badan-badan
usaha milik negara (BUMN) yang menangani public utilities maupun sektor-
sektor penting bagi negara. Kedua, pembentukan kementerian koperasi dan
kementerian sosial. Ketiga, pada tahun 1950-an, Sumitro Djojohadikusumo,
yang menjabat Menteri Perdagangan dan Perindustrian pada masa Kabinet
Natsir (1950-1951),80 telah membentuk lembaga perencanaan, walaupun
masih terbatas untuk bidang industri, namun pada masa sesudahnya
meluas ke seluruh bidang perekonomian dan mencapai puncaknya dengan
pembentukan Biro Perancang Negara pada masa Kabinet Ali Sastroamidjojo
II (1956-1957), yang merupakan cikal-bakal Badan Perencanaan
Pembangunan Nasional (Bappenas). Keempat, sistem pembangunan dalam
mekanisme perencanaan terpusat (central planning) secara penuh, yang
telah dilaksanakan sejak zaman rezim Orde Baru. Dan kelima, pelaksanaan
program-program kesejahteraan, khususnya dalam bentuk asuransi.
Sosialisme menjadi ideologi resmi dalam rezim Demokrasi Terpimpin,
di bawah komando Soekarno dalam masa 1959-1965. Tapi pada periode itu
sistem perekonomian belum dianggap mencapai tahap sosialis, melainkan
baru berada pada periode transisi menuju sosialisme, yang disebut tahap
nasional demokrasi, yang mengemban misi memberantas sisa-sisa
imperialisme dan feodalisme. Seandainya Indonesia memasuki tahap
80
Kabinet-Kabinet Republik Indonesia (Djakarta: Kempen RI, 1958), hal. 36.

Sosialisme Indonesia: Genealogi dan Diaspora


55
sosialisme, maka model ini mengikuti model “socialism in one country”
Stalin. Tapi tahap sosialisme yang menjadi agenda resmi negara itu
mengalami kegagalan pada 1965. Dengan terbentuknya rezim Orde Baru,
agenda sosialisme negara itu telah dicabut. Selanjutnya telah timbul proses
liberalisasi ekonomi yang mengarah kepada sistem kapitalis dan
neoliberalisme sejak Reformasi 1998.
Sungguhpun begitu, unsur-unsur sosialisme itu masih terus bertahan,
yaitu dalam bentuk gagasan “Ekonomi Karakyatan”. Istilah yang pertama
kali dikemukakan oleh tokoh PSI, Sarbini Sumawinata itu, sebenarnya
merupakan eufemisme dari paham “Sosialisme Karakyatan” Sjahrir. Gagasan
mengenai ekonomi kerakyatan ini nampak menonjol pada Partai Gerindra,
yang didirikan oleh Prabowo Subianto, putera sulung Sumitro
Djojohadikusumo, yang merupakan salah satu tokoh PSI.
Sementara itu partai sosialis yang mengusung agenda sosialisme
kerakyatan, dan partai komunis yang mengusung agenda sosialisme Marxis,
kini telah punah. Para pendukungnya telah berdiaspora, meskipun sebagian
besar “bersembunyi” dalam gerakan-gerakan civil society. Ciri sosialis itu
nampak dari sikap mereka yang anti dan melawan paham neoliberalisme,
yang menurut Sweezy merupakan ciri utama sosialisme.
Dalam gerakan civil society sosialisme tidak hanya diartikulasikan
dalam konsep dan gerakan pembangunan ekonomi, tetapi juga dalam
gerakan-gerakan lain, terutama gerakan hak-hak asasi manusia, gerakan
kesetaraan gender, gerakan koperasi, dan gerakan serikat buruh. Aspirasi
sosialis garis keras memang pernah muncul kembali dalam wadah Partai
PRD (Partai Rakyat Demokratik), yang dideklarasikan pada 1996, pada masa
puncak kekuasaan rezim militer Soeharto. Tapi partai ini gagal dalam
Pemilihan Umum 1999 dan para pendukungnya juga telah mengalami
diaspora.
Dewasa ini aspirasi sosialis nampaknya terpecah menjadi dua
kelompok. Pertama, mereka yang ingin mewujudkannya ke dalam sebuah
partai politik, semacam PSI dahulu. Kedua, mereka yang tidak setuju
melembagakan aspirasi sosialis itu dalam bentuk partai politik. Kelompok
pertama ini, yang dipelopori oleh sejumlah bekas tokoh dan pendukung
PSI, telah membentuk sebuah partai politik, yaitu Partai SRI (Solidaritas
Rakyat Indonesia). Ironisnya, meski ditukangi oleh bekas eks-PSI, tokoh
yang diusung dan dipromosikan oleh partai ini adalah Sri Mulyani, tokoh
yang dikenal sebagai pengusung agenda neoliberalisme di Indonesia.
Karenanya, partai tersebut tidak diakui sebagai sebuah partai sosialis di
sejumlah kalangan eks-PSI lainnya. Sedangkan pada kelompok yang kedua,
mereka lebih memilih pola gerakan sosial untuk mewujudkan gagasan
sosialismenya.
Kesulitan utama pembentukan sebuah partai sosialis di Indonesia
adalah, pertama, tidak ada suatu cetak biru mengenai sosialisme yang

Sosialisme Indonesia: Genealogi dan Diaspora


56
disetujui bersama oleh semua kelompok sosialis. Kedua, tradisi partai
sosialis di Indonesia, seperti yang pernah dipraktikan oleh PSI, adalah
model partai kader yang tidak memiliki basis massa. Ketiga, di lingkungan
aspiran sosialisme tidak ada tokoh yang menonjol secara nasional, yaitu
tokoh semacam Sutan Sjahrir atau Sumitro Djojohadikusumo di masa lalu.
Sementara partai yang mengusung agenda (sosialis) kerakyatan, seperti
Partai Garindra, tidak berterus terang menyatakan identitasnya sebagai
sebuah partai sosialis. Selain itu, sejak amandemen konstitusi pada 2002,
yang diusung oleh kelompok liberal dan neoliberal itu, sosialisme telah
kehilangan sebagian sumber legitimasinya.
Namun demikian, dengan meningkatnya perlawanan terhadap
kecenderungan neoliberalisme di satu pihak, dan kesuksesan sosialisme
Cina di lain pihak, telah timbul gagasan untuk menggabungkan neo-
sosialisme yang dewasa ini telah berkembang di Amerika Latin. Tapi gejala
militansi yang nampak pada pengusung gagasan neo-sosialisme di Amerika
Latin, yang dilambangkan oleh tokoh seperti Hugo Chavez dari Venezuela,
tidak nampak di Indonesia. Karena itu kebangkitan kembali partai sosialis
harus dicapai melalui tiga agenda gerakan civil society. Pertama, menyusun
suatu cetak biru atau visi, misi, strategi dan program sosialisme yang dapat
disetujui bersama. Kedua, membangun basis massa. Dan ketiga,
menjalankan program pengkaderan yang menjadi sumber kepemimpinan
yang kuat, sehingga bisa melahirkam kembali tokoh-tokoh semacam
Soekarno, Hatta dan Sjahrir.

Sosialisme Indonesia: Genealogi dan Diaspora


57

Anda mungkin juga menyukai