Anda di halaman 1dari 8

Nama: Rika Febriyanti

Npm : 1931090167

Prodi : sosiologi agama

Matkul : gerakan sosial keagamaan

UAS!!

1. Gerakan social keagamaan yang merupakan dinamika keagamaan masyarakat


terorganisasi dalam rangka mencapai tujuan kehidupan yang relevan dengan nilai-nilai
agama (Jurdi, 2014). Beragamnya agama dan aliran keagamaan dalam masyarakat
menyebabkan beragam pula bentuk, strategi dan orientasi gerakan. Klaim kebenaran (truth
claim) sangat menentukan dinamika gerakan sosial keagamaan. Gerakan sosial keagamaan
bisa terjadi dalam konteks apa pun dalam masyarakat dan harus mampu berinovasi dan
berkreasi dalam rangka adaptasi dengan situasi sosial masyarakat yang kompleks. Inovasi
dan kreasi menjadikan sosial keagamaan bisa berlangsung dalam ruang sosial dan
kelembagaan yang beragam (Kusmanto, 2017).

2. Munculnya Sarikat Islam (SI) 1912 dan Sarikat Dagang Islam (SDI) 1911 (pada awal
abad ke-20) menandakan dimulainya babak baru dalam gerakan Islam di Indonesia. Untuk
pertama kalinya, kata "Islam" secara eksplisit digunakan sebagai sebuah nama perhimpunan,
yang mengindikasikan bahwa Islam sekarang telah diaktifkan sebagai basis identitas kolektif
dan sebagai sebuah ideology bagi gerakan-gerakan (proto) nasionalis. Ciri pergerakan pada
babak ini adalah bahwa tokoh tokohnya tidak berlatar belakang pedesaan, tetapi merupakan
wakil dari kelas menengah perkotaan. Disamping itu bentuk organisasi mo dem juga sudah
mulai diterapkan. Itu sebabnya, berbeda dengan gerakan Islam pada masa sebelumnya yang
bercorak komunal, gerakan Islam setelah awal abad ke-20 lebih bersifat asosiasional dengan
solidaritas yang bersifat organis.

Begitu juga organisasi-organisasi yang lahir kemudian, misalnya Boedi Oetomo, yang
berorientasi cultural mencoba menghimpun kekuatan trong cilik dengan memperluas orien
tasi gerakannya pada level ekonomi, politik dan agama. Maka orga nisasi ini kemudian
memperoleh basis yang lebih kuat sehingga ia menjadi organisasi besar dan mencakup
kawasan yang sangat luas Sebuah pergeseran besar dalam perkembangan historis BU
dilakukan oleh Satiman Wirjosandjojo, berkait dengan kegagalan BU menerobos batas-batas
etnosentrisme Jawa. Kegagalan ini menjadikan orang-orang yang berasal dari kelompok-
kelompok etnik yang berbeda seperti orang-orang Sunda mendirikan perhimpunan sendiri
yaitu "Pagujuban Pasundan" dengan kantor pusatnya di Bandung dan Tasikmalaya.* Ke
mudian lahir pula Jong Java tahun 1915 yang membangkitkan kesadaran baru bagi para
pelajar dari latar etnik dan agama yang ber beda akan identitas mereka sendiri. Manisfestasi
dari kesadaran itu tampak pada munculnya perhimpunan pemoeda-peladjar dengan
mengikuti garis etnis dan agama mereka sendiri seperti Jong Suma tranen Bond (1917), Jong
Clebes (1918), Jong Minahasa (1918), Sekar Rukun (1919), dan beberapa lainnya/
Muhammadiyah yang lahir tahun 1912 dengan berorientasi keagamaan.

Muhammadiyah lebih me nampilkan diri sebagai gerakan puritan untuk menghapus


beban beban cultural Islam yang terkena pengaruh budaya agraris, seperti usaha
membersihkan Islam dari symbol-simbol agama hatol, manaqib, barzanji, dan semacamnya.
Bagi Muhammadiyah symbolic formation semacam itu adalah bid'ah. Dari orientasi yang
cenderung bersifat keagamaan itu, kita bisa menilai bahwa Muhammadiyah berupaya untuk
melakukan pem baharuan kualitatif yang bersifat keagamaan, suatu dialektika internal yang
secara inheren memang selalu muncul di dalam Islam. Nahdlatul Ulama (NU), lahir
merupakan reaksi politisasi agama yang dilakukan Sarikat Islam (SI) dan reaksi terhadap
gerakan pembaharuan Muham madiyah. NU, sebenarnya bertujuan untuk melestarikan
lembaga lembaga dan tradisi-tradisi Islam agraris dengan solidaritas mekanis komunalnya.
Meskipun pada perkembangan selanjutnya NU juga ber usaha menerapkan bentuk-bentuk
pengorganisasian baru, suatu tuntut an yang tidak terelakkan, namun terlihat adanya
semacam ambivalensi. Apakah NU benar-benar akan menggunakan solidaritas asosiasional
dengan dibentuknya struktur organisasi modem, atau apakah ia tetap merupakan organisasi
dengan ikatan-ikatan dan jaringan jaringan komunal.
Orientasi gerakan sosial keagamaan menjelang kemerdekaan, di tandai oleh kesadaran
yang semakin membaik tentang perlunya peran umat Islam dalam menghadapi kaum
kolonial dengan mendirikan Majlis Islam 'Ala Indonesia (MIAI) yang dipelopori K.H. Mas
Mansur (Muhammadiyah), KH. Abdul Wahab Chasbullah (NU), dan KH. Achmad Dahlan
(non-partai). Organisasi ini merupakan embrio pem bentukan Masyumi sebagai wadah
aspirasi politik umat Islam Kemudian Partai Masyumi pernah memainkan kartu politik yang
me nentukan pada awal demokrasi parlementer. Walaupun peran strategis itu tidak dapat
dipertahankan dalam waktu yang lama, sehingga muncul 'perpecahan', dimana NU sebagai
unsur penting dalam Partai Masyumi memisahkan diri dan mendirikan Partai NU dengan
suatu pernyataan bahwa NU akan meninggalkan watak jami'yyahnya.

Dengan tampilnya NU sebagai partai politik, maka umat Islam Indonesia terpecah ke
dalam empat partai: Masyumi, PSIL, NU, dan Perti. Jika dilihat dari sisi orientasi, gerakan
sosial keagamaan mengalami perubahan ke arah orientasi politik praktis. Karena para tokoh
pejuang kemerdekaan mayoritas dari kalangan umat Islam, sehingga posisi strategis ini
mendorong mereka untuk terlibat dalam pembentukan sebuah Negara baru, yang
notabenenya aspirasi umat Islam harus diperjuangkan melalui kekuasaan. Fase perjuangan
mengisi kemerdeka an itu telah ditampilkan selama demokrasi terpimpin yang telah menjadi
catatan sejarah tersendiri.

digantikan oleh apa yang disebut sebagai demokrasi Pancasila yang tampaknya masih
mencari bentuk nya mantap. Demokrasi ini telah beroperasi di Indonesia selama hampir
seperempat abad, dimulai sejak sekitar tahun 1966. Dengan dikeluar kannya UU No.8 tahun
1985 tentang kepartaian dan keormasan yang menuntut agar pancasila dijadikan satu-
satunya asas dalam berpartal dari politik praktis Apalagi ditampak dengan dikeluarkannya
kebijakan fusi dari partai-partai, ke dalam tiga partai yaitu Partai Persatuan Pembangunan
(PPP), Partai Golongan Karya (Golkar), dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Sehingga
kesan adanya hegemoni Negara terhadap masyarakat, seperti dikemukakan Antonio
Gramsci, hegemoni muncul ketika Negara secara ideo-politis mendominasi masyarakat dan
kekuatan sosial politik lainnya. Pada masa awal Orde Baru, menurut Anderson, Negara
memang bangkit serta mengungguli masyarakat dan bangsa. Kebangkitan yang dimaksud
adalah adanya penataan kelembagaan Negara melalui strategi sosial-politik, ekonomi dan
keamanan yang lebih mengutamakan kepentingan Negara. Posisi pemerintah yang dominan
itu, diperkuat pula oleh bantuan asing ter utama dari Negara-negara barat. Tidak terkecuali
kekuatan-kekuatan politik umat Islam secara bertahap mengalami pengkerdilan atau
marginalisasi. Dengan format politik yang didesain secara sistemnik hegemonik,
mengakibatkan posisi tawar-menawar (bargaining position) bagi umat Islam kepada
pemerintah, apalagi sikap oposisi banyak mengalami keterbatasan. Bagi Emerson hilangnya
kesempatan untuk mendirikan negara Islam telah membuat umat Islam memfokuskan
energinya kembali dalam kehidupan dan aktivitas non-politik. Di kalangan umat Islam
kemudian muncul kegairahan beragama dan aktivitas yang menampilkan wajah Islam
kultural' dalam bentuk ke semarakan dakwah, meningkatnya publikasi keislaman,
kesungguhan untuk menampilkan simbol-simbol Islam.

Sikap umat Islam yang mengambil posisi di bidang kultural, ke mudian menimbulkan
dinamika intelektual terutama di kalangan generasi muda yang telah mengenyam pendidikan
di Barat. Pada periode ini, lahir beberapa kelompok diskusi dan kajian yang tumbuh di
beberapa kota seperti Jakarta dan Yogyakarta. Khazanah pemikiran di perkaya lagi oleh
pemikiran-pemikiran alternatif, baik dalam bidang teologi, politik, maupun ekonomi. Nama-
nama seperti Dawam Rahar intelektual tahun 1980-an." Tulisan-tulisan mereka dalam
bentuk buku, monografi, artikel dan komentar di berbagai media massa cukup mendapat
tempat dikalangan generasi muda kelas menengah kota. Dengan menggunakan pendekatan
yang lebih kontekstual, mereka mengetengahkan fungsionalisasi ajaran Islam untuk
mengatasi masalah-masalah umat Islam seperti kebodohan, kemiskinan, keter belakangan,
dan ketidakadilan sosial. Karenanya gagasan-gagasan yang mempunyai muatan ideology
semacam 'negara Islam' sama sekali di negasikan dan sebagai gantinya justru
memformulasikan pemikiran yang berwawasan keislaman dan keindonesiaan yang inklusif
dengan berbagai aliran pemikiran masing-masing.

Tidak berlebihan jika dikatakan, meningkatnya semangat intelek tualitas tersebut telah
membawa perubahan terhadap cara berpikir umat Islam dalam memandang persoalan-
persoalan teologi, politik, dan ekonomi yang muncul dalam konteks keislaman dan
pembangunan. Hal ini membawa pengaruh lain terutama relasi antara umat Islam dengan
pemerintah sebagaimana tampak dalam periode tahun 1980-an sampai dengan periode 1990-
an. Perubahan yang cukup signifikan ada lah lahimya pola hubungan yang lebih kooperatif
atau akmodatif, dimana kedua pihak menunjukkan saling pengertian yang bermuara pada
muculnya konvergensi. Dari kalangan pemerintah muncul peng akuan terus-menerus tentang
sumbangan konseptual dari para cen dekiawan muda Islam dan ulama dalam
mempertemukan gagasan Islam dengan konsep Negara nasional. Keberhasilan pemerintah
me ngesahkan UU Pendidikan Nasional (1988), dan UU Peradilan Agama (1989) bagi
kalangan Islam dilihat sebagai I'tikat pemerintah terhadap umat Islam. Termasuk pendirian
Ikatan Cendekiawan Muslim Indo nesia (ICMI), yang pada akhimya tidak hanya
memberikan kontribusi konseptual kepada pemerintah, juga berperan dalam mensuplai
sebagian menteri-menteri dalam Kabinet Pembangunan VI (Majalah Tempo, 8 Desember
1990).

Secara berangsur-angsur kekuatan sumberdaya umat Islam semakin lama semakin kuat,
disamping sebagian generasi muda Islam mulai menduduki di pusat-pusat kekuasaan, dan
sebagian lagi memperkuat di jalur kultural. Maka tantangan yang dihadapi oleh kekuatan
Islam pada saat itu, tidak lain adalah para penguasa orde baru. Dominasi kekuatan orde baru
yang sangat kuat, ditambah oleh kegagalan proyek pembangunan yang diadopsi dari konsep
Rostow, kondisi sosial eko nomi yang semakin tidak menentu atau krisis moneter
melahirkan semangat generasi muda Islam untuk menuntut reformasi total dari rezim orde
baru. Melalui gerakan mahasiswa, para cendekiawan Muslim terdidik dan dengan dukungan
masyarakat secara menyeluruh akhimya bisa meruntuhkan kekuatan orde baru.

3. A. Organisasi Islam Nasional

a. Muhammadiyah

Muhammadiyah merupakan salah satu organisasi yang ada di Indonesia. Kata


Muhammadiyah diambil dari nama Nabi Muhammad saw. Muhammadiyah didirikan
pada tanggal 18 November 1912 (8 Dzulhijjah 1330 H) oleh K.H. Ahmad Dahlan dan
teman-temannya yang sepaham dengan beliau di Yogyakarta. Pendirian organisasi
Muhammadiyah ini dilatarbelakangi oleh keinginan K.H. Ahmad Dahlan yang
berpendirian bahwa ummat Islam harus dibina di bidang ilmu, pengertian tentang
agama, dan dibina bagaimana melaksanakan agama Islam yang sebenarnya, baik
secara perorangan maupun berkelompok. Selanjutnya dipimpin berjuang untuk
melaksanakan agama Islam seperti yang dimaksud. Keinginan inilah yang
memotivasi beliau mendirikan organisasi Muhammadiyah itu. Selain itu, hal lain
yang melatar belakangi berdirinya organisasi ini adalah untuk pendalaman agama
Islam di kalangan anggota sendiri dan menyebarkan agama Islam di luar anggota inti.
Dari beberapa keterangan di atas, jelas bahwa hal yang memotivasi K.H. Ahmad
Dahlan untuk mendirikan organisasi Muhammadiyah itu adalah sebagai wadah untuk
memperdalam pengetahuan dan pemahaman ilmu keagamaaan bagi anggota
organisasi yang dibentuk serta untuk mengajarkan dan menyebarluaskan ajaran
agama Islam baik dengan umat Islam itu sendiri (yang tidak masuk dalam anggota
organisasi) dan ummat yang non Islam.

Secara umum, faktor pendukung kelahiran Muhammadiyah berawal dari beberapa


kegelisahan dan keprihatinan sosial, religius dan moral. Kegelisahan sosial ini terjadi
disebabkan oleh suasana kebodohan, kemiskinan dan keterbelakagan umat.
Kegelisahan religius muncul karena melihat praktek keagamaan yang mekanistik
tanpa terlihat kaitannya dengan perilaku sosial yang positif, disamping sarat dengan
takhayyul, bid'ah dan khurafat. Kegelisahan moral disebabkan oleh kaburnya batas
antara baik dan buruk, pantas dan tidak pantas.

b. Nahdlatul Ulama

Nahdlatul Ulama (NU) sejak kelahirannya merupakan wadah perjuangan untuk


menentang segala bentuk penjajahan dan merebut kemerdekaan negara Republik
Indonesia dari penjajah Belanda dan Jepang, sekaligus aktif melaku- kan dakwah-
dakwahnya untuk senantiasa menjaga kesatuan negara Republik Indonesia dalam
wadah NKRI. Bagaimana NU dalam peranannya yang begitu besar dalam
memperjuangkan kemerdekaan Indonesia, mempertahankan ke-Nahdlatul Ulama
(NU) lahirnya Nahdlatul Ulama 31 Januari 1926, yaitu Pertama, motif agama. Kedua,
motif mempertahankan paham Ahlu al-Sunnah wal jama'ah, dan ketiga, motif
nasionalisme, Kelahiran Nahdlatul Ulama merupakan respons terhadap munculnya
gagasan pembaharuan Islam di Indonesia yang banyak di pengaruhi pemikiran atau
faham Wahabi serta ide-ide pembaharuan Jamaluddin Al-Afgani dan Muhammad
Abduh. Gerakan pembaharuan Islam di Indonesia, khususnya di Pulau Jawa,
dipelopori oleh KH. Ahmad Dahlan yang kemudian pada 1912 membentuk organisasi
Muhammadiyah yang banyak melakukan kritik terhadap praktik praktik keagamaan
yang dilakukan kelompok muslim tradisional, seperti menolak tarikat atau praktik
seperti talqin yang berkembang sebagai tradisi keagamaan muslim tradisional.

C. Organisasi Islam Lokal

a. Darud Dakwah Wal Irsyad (DDI)

Di Sulawesi Selatan terdapat lembaga pendidikan tertua yaitu Madrasah Arabiyah


Islamiyah (MAI) di Sengkang. Kabupaten Wajo yang didirikan oleh Anregurutta Haji
Muhammad As'ad 1930. la mendirikan lembaga tersebut setelah kembali dari menyelesaikan
pendidikannya di Madrasah al Falah Mekah tahun 1928. Kemudian Anregurutta Haji
Abdurrahman Ambo Dalle mendidikan DDI di Mangkoso kabupaten Barru pada
1938,10DDI singkatan dari Daru al Da'wah wa al Irsyad salah satu pondok pesantren tertua
di Sulawesi Selatan adalah Madrasah Arabiyah Islamiyah (MAI) Sengkang Wajo. Pondok
pesantren ini didirikan oleh Annagurutta KH. Muhammad As'ad.

Setelah santri MAI semakin bertambah,maka sistem halaqah yang selama ini diterapkan
dianggap tidak cocok lagi. Karena itu, dibukalah madrasah dengan menempati gedung
sekolah yang terletak disamping masjid Jami sengkang. Saraana itu dibangun oleh
pemerintah kerajaan bersama tokoh agama dan masyarakat wajo. Untuk mengkoordinir
jalannya madrasah tersbut dipercayakan salah seorang santri senior yang juga asisten KH. M.
As'ad, Gurutta H. Abdurrahman Ambo Dalle. Yang di kemudian hari mendirikan DDI di
Mangkoso.

4. Masyarakat sipil global menurut Scholte yaitu aktivitas yang bersifat sukarela dengan tujuan
membentuk kebijakan, norma, ataupun struktur sosial yang lebih dalam serta dapat
dibedakan dari sektor komersial dan politis. Selain itu, Scholte juga berpendapat
bahwasanya masyarakat sipil global merupakan sebuah komunitas yang memiliki orientasi
sosial dan bisa dikatakan sebagai komunitas non-profit. Dengan demikian, dapat diketahui
bahwa masyarakat sipil global cenderung mengarah pada sebuah komunitas yang lebih dekat
dengan gerakan-gerakan sosial. Suatu gerakan dikatakan sebagai gerakan masyarakat sipil
adalah ketika berada diluar cakupan negara maupun pasar, dan hal tersebut dilakukan atas
dasar suka rela dari para pelakunya.2 Hal ini diperkuat dengan apa yang dikemukan oleh
Gramsci bahwa masyarakat sipil global menciptakan social order dalam negara. Sehingga,
masyarakat sipil global menurut Scholte dengan berdasarkan dari perkembangannya dapat
disimpulkan merupakan masyarakat yang diluar pemerintah, pasar dan gerakan yang
dilakukan atas dasar suka rela sehingga tidak ada unsur profit dan pemerintahan (non-profit
dan nongovernmental).

b. Bentuk nya tidak akan terlepas dari penjabaran dari konsep masyarakat sipil.4
Menekankan bahwa masyarakat sipil merujuk pada sesuatu hal yang bukan negara, dan
sifatnya tidak resmi, juga tidak termasuk non-pemerintah karena masyarakat sipil
bukanlah bagian dari aparatur negara dan juga tidak berusaha untuk mendapatkan kontrol
didalam negara. Oleh karena itu, partai politik dan instansi pemerintahan tidak dapat
dikategorikan sebagai masyarakat sipil. Kedua, masyarakat sipil merujuk pada sesuatu
yang non-komersial, bukan perusahaan atau bagian dari perusahaan juga tidak berusaha
untuk mencari keuntungan. Dengan kata lain media massa, industri hiburan, koperasi,
dan perusahaan bisnis tidak dapat dianggap sebagai bagian dari masyarakat sipil5. Lebih
lanjut, dalam mengidentifikasi definisi dari masyarakat sipil perlu diperhatikan bahwa
kegiatan yang dianggap sebagai bagian dari masyarakat sipil adalah ketika mereka
melibatkan usaha di luar sektor negara dan pasar secara sengaja serta terorganisir, hal
tersebut ditujukan untuk mempengaruhi pembentukan kebijakan dan norma dalam
struktur sosial yang dibentuk oleh negara. Oleh karena itu, istilah masyarakat sipil
merujuk pada upaya kolektif melalui asosiasi sukarela untuk mempengaruhi
pembentukan aturan resmi, formal, pengaturan hukum, dan konstruksi sosial informal.

5. Perilaku kolektif adalah tindakan bersama oleh sejumlah besar orang yang
didasarkan oleh penyebab atau masalah yang sama, namun bersifat jangka pendek.
Sementara gerakan sosial adalah tindakan bersama yang terorganisasi, memiliki
kepentingan dan tujuan bersama, dan dilakukan dengan kesengajaan. Jika perilaku
kolektif lebih bersifat jangka pendek, maka gerakan sosial memiliki tujuan jangka
panjang, baik untuk mengubah ataupun mempertahankan masyarakat maupun lembaga-
lembaga sosial di dalamnya.

Anda mungkin juga menyukai