Anda di halaman 1dari 30

KELOMPOK

5
SEJARAH
DEMOKRASI
Start Now
Nama Anggota :

1. Umi Pryatin Dwi Refina (3111420048)


2. Sanyya Tiara Putri (3111420058)
3. Anggi Nuramaliah (3111420069)
4. Ilham Fadhillah Akbar (3111420080)
5. Tegar Bagas Kurnia Saputra (3111420090)
ISLAM DAN POLITIK
INDONESIA
PADA MASA DEMOKRASI
TERPIMPIN (1959-1965)
Di Tulis Oleh : DR.A. SYAFII MAARIF

Back Activities Next


BAB
PASANG SURUT POLITIK ISLAM PADA

2
PERMULAAN PERIODE PASCA
KEMERDEKAAN

Back Next
PASANG SURUT POLITIK ISLAM PADA PERMULAAN PERIODE
PASCA KEMERDEKAAN
Pada bab dua ini hal pertama yang dijelaskan adalah “Masyumi: Sejarah Awal dan Aspirasi
Politik” Tampilnya Masyumi sebagai partai Islam yang bercorak kesatuan dalam bulan-bulan
pertama kemerdekaan Indonesia bukanlah suatu peristiwa kebetulan dalam sejarah (an
historical accident) yang tidak dilatarbelakangi oleh suatu kesadaran yang dalam dan
panjang, Masyumi lahir dapat dikatakan sebagai suatu keharusan sejarah (an historical
necessity) bagi per- jalanan politik ummat Islam Indonesia. Akar kesadaran politik ummat
Islam itu pada masa moderen dapat ditelusuri dengan bangkitnya SI (Sarekat Islam)
sebelum Perang Dunia I. Bagian kedua yang menjadi pembahasan dalam buku ini adalah
“Ummat Islam dan Pendudukan Jepang (1942-1945)”. Pihak Jepang sebaliknya membuka
pintu lebar-lebar kepada ummat Islam untuk berpengalaman dan turut serta secara
langsung dalam politik dan latihan militer, dua corak pengalaman yang punya makna
tersendiri bagi langkah ummat selanjutnya.

Back Next
A.
Hanya dengan begitu kita akan menghargai pentingnya mengeluarkan piagam yang sangat
berharga dalam sejarah umat manusia. Hubungan antara Piagam Madinah dengan Al-Qur`an
juga dijelaskan oleh gagasan persatuan umat manusia yang juga tertuang dalam Piagam Madinah
sebagai realisasi dari ajaran Al-Qur'an, yang telah Kami bahas di bawah ini. Prinsip lain yang
perlu kita tekankan lebih lanjut adalah prinsip kebebasan beragama dan berbudaya yang
termaktub dalam Piagam Madinah. Dari segi kualitatif, umat Islam secara keseluruhan tampak
terlibat dalam perjuangan perbaikan diri guna meningkatkan kualitasnya dalam segala aspek
kehidupan, termasuk meningkatkan pemahaman akan ajaran agamanya.

Hanya dengan begitu kita akan menghargai pentingnya mengeluarkan piagam yang sangat
berharga dalam sejarah umat manusia. Hubungan antara Piagam Madinah dengan Al-Qur`an
juga dijelaskan oleh gagasan persatuan umat manusia yang juga tertuang dalam Piagam Madinah
sebagai realisasi dari ajaran Al-Qur'an, yang telah Kami bahas di bawah ini. Prinsip lain yang
perlu kita tekankan lebih lanjut adalah prinsip kebebasan beragama dan berbudaya yang
termaktub dalam Piagam Madinah. Dari segi kualitatif, umat Islam secara keseluruhan tampak
terlibat dalam perjuangan perbaikan diri guna meningkatkan kualitasnya dalam segala aspek
kehidupan, termasuk meningkatkan pemahaman akan ajaran agamanya.

Back
. Next
.
Demikianlah setelah Kabinet Natsir jatuh pada bulan April 1951, Soekiman Wirjosendjojo
diangkat menjadi Perdana Menteri kedua dalam negara kesatuan. Tapi dalam Kabinet Wilopo-
Prawoto, pengganti Kabinet Soekiman mulai April 1952, posisi Menteri Agama diserahkan
kepada K. H. Fakih Usman (unsur Muhammadiyah dalam Masyumi).

Bila dihubungkan dengan keputusan kongres NU di Palembang untuk berpisah dengan Masyumi,
memang tampak ada kaitannya dengan terlepasnya posisi Menteri Agama dari NU, sekalipun
sebab utamanya jauh lebih kompleks dari itu, seperti yang telah dibicarakan di muka. Pada 29
September 1955, pemilihan umum dengan asas LUBER (langsung, umum, bebas dan rahasia)
telah terselenggara dalam iklim yang sepenuhnya demokratis. Pemilihan umum pertama ini
diikuti oleh tidak kurang dari 28 golongan politik (partai-partai dan calon perorangan). Pemilu
1955 ini dilaksanakan sebagai realisasi dari sistem demokrasi yang dianut Indonesia.

..

.
Back Next
Peristiwa penting yang terjadi pada tanggal 18 Agustus adalah rapat PPKI (Panitia
Kemerdekaan Indonesia) dengan jumlah anggota semula mencapai 21 orang, kemudian atas usul
Soekarno bertambah menjadi 27 orang. Tapi dalam perjuangan politik, besar atau kecil wakil
sesuatu golongan dalam suatu badan politik tidak semata-mata ditentukan oleh jumlah pengikut
dari golongan itu, tapi juga ditentukan oleh kegigihan pemimpin-pemimpin mereka dalam
merebut posisi-posisi penting. Tampaknya pada waktu itu wakil-wakil golongan Islam terlalu
rendah hati untuk tidak "berebut" menguasai PPKI, hingga jelas wakil nasionalis menjadi sangat
dominan dalam badan itu. Kemudian, presiden dan wakil presiden terpilih tak lain adalah
Soekarno dan Hatta, dua tokoh yang sangat terkenal dalam sejarah pergerakan nasionalisme.
Masyumi yang berdiri pada 7-8 Nopember 1945 sepenuhnya adalah hasil karya pemimpin-
pemimpin ummat Islam dalam sebuah kongres bertempat di gedung Madrasah Mu`allimin
Muhammadiyah, Yogyakarta. Selain Muhammadiyah dan NU, hampir semua organisasi Islam,
baik lokal maupun nasional, kecuali Perti, mendukung kehadiran Masyumi sebagai satu-satunya
partai politik ummat Islam di Indonesia.
.

.
Back Next
BAB 3
Islam Dan Demokrasi Terpimpin: Periode
Kristalisasi (Juli 1959-Desember 1965)

Back Next
1. Gambaran Umum Situasi Politik
Partai politik Islam dihadapkan pada dua pilihan, antara mendukung atau menentang sistem demokrasi gagasan
Soekarno. Setelah NU keluar dari Masyumi pada 1952, dan muncul sebagai partai politik, partai ini lebih dekat
pada PNI atau PKI, daripada Masyumi yang menentang Demokrasi Terpimpin. Sedangkan NU, PSII, dan Perti,
justru mendukung Soekarno, yang kemudian membuat partai kaum modernis tersebut semakin tersisihkan dari
panggung politik Indonesia, termasuk Masyumi yang beraliansi dengan PSI dan Partai Katolik. Hal ini dikarenakan,
budaya politik yang berkembang pada waktu itu adalah politik otoriter Soekarno yang didukung oleh Angkatan
Darat.Oleh karena itu, suara-suara dari golongan minoritas yang mendukung sita-cita demokrasi, tidak akan
didengar. Sementara itu, Masyumi memiliki pandangan yang idealis, namun tidak melihat realitas politik yang
sedang menempuh jalan lain. Sedangkan NU, sebagai partai politik yang baru, cenderung lebih adaptif dalam
menghadapi situasi politik pada saat itu. Dalam hal ini, gagasan yang dikemukakan Soekarno sudah mulai mengarah
pada pembentukan pemerintahan yang otoriter.Pembentukan Dewan Nasional dapat ditafsirkan sebagai kekuatan
ekstra parlementer yang dinilai tidak menghargai keberadaan DPR pilihan rakyat. Dewan Nasional dibentuk pada 11
Juli 1957 yang diketuai oleh Soekarno. Namun, kemudian dibubarkan setelah dibentuknya Dewan Pertimbangan
Agung Sementara (DPAS) pada 22 Juli 1959, yang diketuai oleh Soekarno, dengan pelaksananya Roeslan
Abdoelgani. DPAS mengusulkan agar pidato kenegaraan Presiden 17 Agustus 1959 dijadikan sebagai Manifesto
Politik, yakni Manipol-USDEK (UUD 1945, Sosialisme Indonesia, Demokrasi ala Indonesia, Ekonomi Terpimpin, dan
Keadilan Sosial).Pembentukan dewan-dewan tersebut, serta DPRGR (Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong)
sebagai pengganti DPR pilihan rakyat menjadi mekanisme pelaksanaan Demokrasi Terpimpin. Sedangkan pihak yang
menentang akan disingkirkan, bahkan dibubarkan ari panggung politik Indonesia, serta para tokohnya ditahan tanpa
proses pengadilan...

.
Back Next
2. Partai-partai Islam Menempuh Jalan Bersibak Dua

bersamaan dengan gencarnya propaganda Demokrasi Terpimpin, Soekarno menyatakan bahwa Demokrasi Liberal
yang semula dianut Indonesia, semakin menjauhkan Indonesia dari tujuan revolusi untuk menciptakan masyarakat
yang adil dan makmur. Masyumi menolak gagasan Demokrasi Terpimpin karena dinilai menyimpang dari ajaran agama
Islam serta dapat membawa bencana bagi bangsa Indonesia, sehingga harus dilawan. PKI menjadi partai politik yang
mendukung Demokrasi Terpimpin sebagai suatu taktik untuk menghancurkan lawan-lawan politiknya, terutama
Masyumi. Sebelum dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959, dalam sebuah pertemuan dengan partai-partai 11
Januari 1959, NU yang diwakili oleh Wahab Chasbullah, Idham Chalid, Djamaluddin Malik, dan Zainul Arifin
menyatakan mendukung gagasan Demokrasi Terpimpin. Sebelumnya telag diadakan pertemuan Liga Muslimin,
Masyumi, dan PPTI (Partai Persatuan Tarekat Indonesia) yang menghasilkan kesepakatan untuk terus
memperjuangkan Islam sebagai dasar negara melalui konstituante. Namun, peran partai-partai politik Islam pada
masa Demokrasi Terpimpin bukanlah peran utama seperti Soekarno, Angkatan Bersenjata, dan PKI, melainkan hanya
sebagai peran pinggir.
.

Back Next
3. Liga Demokrasi vs Demokrasi Terpimpin

Pada 24 Maret 1960, kedua tokoh tersebut bersama tokoh-tokoh Masyumi, PSI, Partai Katolik, dan
IPKI, membentuk Liga Demokrasi sebagai suatu badan perlawanan terhadap Demokrasi Terpimpin.
Hal ini menunjukkan bahwa politik otoriter Soekarno semakin terlihat jelas tanpa adanya undang-
undang yang mampu melawannya. dalam hal ini, terlihat perbedaan yang mencolok antara teori
konstitusional berdasarkan UUD 1945 dengan realitas politik otoriter yang justru didukung oleh
banyak pihak, termasuk tentara. Hal ini dikarenakan adanya dukungan terhadap Soekarno dari
kalangan Islam tradisional.Menurut Hatta, hal ini dikarenakan adanya pertimbangan politik praktis
yang berkembang pada waktu itu, dan mungkin ketidakberdayaan para pemimpin partai untuk
menentangnya. kemudian, keterlibatan dua tokoh NU dalam Liga Demokrasi menunjukkan betapa
minoritasnya pemimpin sayap pesantren untuk menentang gagasan politik Soekarno..

Back Next
4. Soekiman – Jusuf dan DPRGR
Soekarno menerapkan politik pecah-belah dalam tubuh Masyumi berkaitan dengan pengangkatan
dua tokoh pemimpin Masyumi (Soekiman Wirjosendjojo dan Jusuf Wibisono) yang diperlakukan
dengan cara diskriminatif. Keduanya sangat dekat dalam sikap-sikap politiknya dalam tubuh
Masyumi berhadapan dengan kelompok Natsir-Syafruddin-Prawoto. akan tetapi, usaha Soekarno
mengalami kegagalan karena Soekiman tidak mau menerima pengangkatannya sebagai anggota
DPRGR.

5. Masyumi Menghadapi Batu Karang

Oleh karena itu, PKI lolos dari pembubaran, bahkan semakin dekat dengan Soekarno. Sedangkan Masyumi
dengan ketuanya Prawoto yang pada saat itu dituduh terlibat dalam pemberontakan PRRI/Permesta,
akhirnya dibubarkan. Senjata konstitusional dan negara hukum yang senantiasa dipakai Masyumi untuk
mempertahankan eksistensinya, tidak dapat melawan “logika revolusi” Soekarno. Pembubaran Masyumi
diputuskan melalui Musyawarah Nasional III Persahi (Perhimpunan Sarjana Hukum Indonesia) pada 3
Desember 1966.

Back Next
6. Akar Kebencian Soekarno terhadap Masyumi
Kebencian Soekarno terhadap Masyumi dapat dirunut dari ketegangan hubungannya dengan Natsir yang
pernah menjabat sebagai ketua umum Masyumi. Namun, pada 1951, kedekatan Natsir dengan Soekarno mulai
berubah menjadi ketegangan “patah arang” karena adanya perbedaan sikap dalam menghadapi masalah Irian
Barat. Soekarno dengan pribadi tempramen yang tidak mau kalah dari siapapun, tidak menerima kekalahan
tersebut, yang sebenarnya lumrah dalam budaya demokrasi. Setelah Natsir menggantikan Soekiman sebagai
ketua umum Masyumi pada 1949, pengaruhnya terhadap partai begitu besar karena kualifikasi yang
dimilikinya, termasuk pemahamannya terhadap ilmu agama.Namun, ia adalah tokoh modernis yang tidak selalu
dapat diterima oleh budaya pesantren tradisional, yang mungkin juga berkaitan dengan pemisahan NU dari
Masyumi pada 1952. Dengan UUD 1945 yang tidak dijalankan secara murni dan konsekuen, memberikan
peluang kepada Soekarno untuk menjadi seorang dictator. Bagi seorang Soekarno yang sulit menerima
perbedaan pendapat, dapat dipahami bahwa Natsir dan kelompoknya dianggap sebagai bahaya yang
mengancam kelangsungan politiknya. Keluarnya Masyumi dan PSI dari panggung politik Indonesia dapat
diartikan sebagai robohnya pilar-pilar demokrasi dan merapuhnya Indonesia sebagai negara hukum yang
secara gigih diperjuangkan kedua partai tersebut.

Back Next
BAB 4
Islam dan Demokrasi Terpimpin Periode
Kolaborasi (April 1960-Desember 1965)

Back Next
1. Strategi Politik NU: Doktrin pesantren dan implementasinya
dalam politik praktis.

Strategi politik NU tidak dapat dipisahkan dari pengaruh yang kuat pesantren dalam arti konservatisme Islam,
suatu budaya warisan islam klasik yang mendorong lairnya kelompok ini. Bila memang demikian halnya, maka
bukanlah tidak pada tempatnya bila kita telusuri lebih jauh dunia pesantren itu dan kemudian mendasarkan analisis
kita tentang perilaku politik NU dari budaya pesantren itu. Posisi kiai sebagaimana dilihat oleh Zamakhsyari
Dhofier "menjadi penghubung antara Islam tradisional dengan dunia nyata, suatu posisi spiritual yang hampir-
hampir tidak memberi kebebasan kepada santrinya untuk berpikir mandiri. Kita cenderung untuk menjawab bahwa
dominasi spiritual seorang kiai makin lama makin berkurang, dan dengan demikian peranannya sebagai penghubung
antara Islam tradisional dan dunia nyata akan semakin kecil. Hanya saja Rois 'Aam sebagai Ketua Syuriyah tidak
langsung mengenai tanggung jawab eksekutif yang diperankan oleh Pengurus Besar (PB) NU secara kolektif,
sekalipun posisi Ketua Umumnya tetap lebih dominan. Yang perlu kita bicarakan ialah tentang peran ulama dalam
menangani masalah politik, suatu peran yang serba baru bagi mereka, karena pada saat NU masih ber- tahan dalam
Masyumi, peranan itu lebih dimainkan oleh kelom- pok intelektual hasil didikan Barat yang berorientasi Islam.

Back Next
2.Aliansi Dua Subkultur Politik.

Konsep politik paternalistik ini adalah bagian penting dari subkultur Jawa tentang hubungan 'bapak-anak' dalam
sebuah keluarga besar bangsa Indonesia. Pada masa Demokrasi Terpimpin, Soekarno adalah sesepuh bangsa
Indonesia secara keseluruhan, sementara dalam kubu NU, Kiai Wahab dan Kiai Idham Chalid adalah figur-figur
puncak yang menentukan secara mutlak warna politik NU. Suatu fakta yang perlu dicatat dalam analisis kita adalah
bahwa baik Kiai Wahab maupun Kiai Idham pada masa Demokrasi Terpimpin punya hubungan yang akrab dengan
Soekarno. Dalam kuliahnya tentang "Islam dan Demokrasi Terpimpin", Kiai Idham mengutip nasihat Imam Syafi`i
(imam mazhab yang sangat dihormati di kalangan NU) yang mengatakan bahwa tidaklah wajar bagi seorang Muslim
untuk berbuat atau mengambil suatu langkah sekiranya ia tidak tahu bagaimana hukum Allah tentang perbuatan itu.
Di sini menjadi sangat jelas bahwa bagi Kiai Idham, memasuki sistem politik seperti Demokrasi Terpimpin adalah
sesuai dengan hukum Allah, sebagaimana yang ia fahami. Pendapat ini bila kita hubungkan dengan apa yang
dikemukakan Sjaichu di atas, maka bagi NU tidak diragukan lagi bahwa turut serta dalam jaringan kekuasaan
sentral sistem politik Soekarno adalah atas dasar pertimbangan dan untuk kepentingan agama. Dari penegasan ini
orang mungkin dapat mengatakan bahwa bagi Idham pemerintahan Bung Karno yang sentralistik dan tidak memberi
peluang kepada perbedaan pendapat masih dalam kategori demokrasi, sebab NU di bawah pimpinannya tetap
berada dalam sistem itu sampai sistem itu bubar. .

Back Next
3. Iklim Persaudaraan Ummat
Untuk Indonesia pada periode pasca kemerdekaan seperti yang sudah kita bicarakan agak panjang sebelumnya,
rusaknya per- saudaraan ummat juga bermula dari masalah politik praktis, sebab masalah-masalah khilafiyah tidak
begitu dirasakan lagi seperti pada dekade kedua dan ketiga abad ke-XX. Pada masa Demokrasi Terpimpin, iklim
persaudaraan ummat memang lebih runyam ketimbang periode sebelumnya. Konsep persaudaraan ini senantiasa
menjadi basis dari pengakuan ummat untuk mewujudkan solidaritas, termasuk seharusnya solidaritas politik,
terutama bila dihadapkan kepada masa-masa yang sulit dan kritis. Demikianlah pada masa yang kita bicarakan ini,
pemeluk beriman dari sayap pesantren dan pemeluk beriman dari kubu modernis tidak jarang berada dalam suasana
saling curiga mencurigai. Seperti telah kita bicarakan terdahulu, sebagian ummat memasukkan diri ke dalam sistem
Nasakom dan diberi gelar "revolusioner" oleh Soekarno. Maka secara keseluruhan, selama periode ini, dapat kita
katakan bahwa posisi ummat lebih ditentukan oleh corak sikapnya kepada Soekarno dan sistem politiknya ketim-
bang oleh ajaran Islam itu sendiri. Karena NU secara formal sudah dikategorikan sebagai golongan revolusioner
dalam formula Nasakom, maka tampaknya partai ini tidak berbuat apa-apa yang berarti untuk menghalangi
penangkapan-penangkapan itu, sekalipun yang ditangkap itu termasuk Imron Rosjadi, salah seorang tokoh sayap
pesantren.
.

Back Next
4. Tahun-tahun terakhir Demokrasi Terpimpin

Kesetiaan NU kepada Soekarno memang berlanjut terus sampai pada saat-saat rezim Demokrasi Terpimpin telah berada di
pinggir liang kuburnya. Setidak-tidaknya begitulah kesan yang kita peroleh dari pernyataan-pernyataan tokoh-tokoh par- tai
ini sebagaimana yang direkam oleh Duta Masyarakat. Maka tidaklah mengherankan bila Soekarno sewaktu berpidato pada
peringatan Ulang Tahun ke-40 NU berseru: "Saya cinta NU, -52 cintailah saya. Saya rangkul NU maka rangkullah saya." Per-
nyataan semacam ini disampaikan Soekarno pada saat posisinya sudah sangat goyah, yaitu pada permulaan 1966. Harapan
Soekarno bukanlah tidak berbalas.latar- belakang historis yang mencoraki hubungan NU dengan Soekarno. Untuk kepentingan
analisis di sini kita melihat ada dua pertimbangan pokok NU mengapa partai ini tidak mau ber- pisah dengan Bung Karno.
Pertama, tidak lama setelah NU tampil sebagai partai, pada 1953 ulama NU dan Perti di istana Cipanas, Bogor, telah meng-
anugerahkan gelar Waliyyu al-amri kepada presiden Soekarno sebagai pembenaran agama atas kedudukannya sebagai
presiden. Keputusan ini dikuatkan lagi oleh musyawarah dekan-dekan IAIN di bawah pimpinan Profesor R.H.A. Soenarjo
(tokoh NU) di Purwokerto pada 6-7 Oktober 1962. Pemberian gelar semacam ini dapat sebagai pengakuan bahwa Soekarno
dipandang dari sudut agama punya posisi yang cukup kokoh sebagai presiden. Dengan kata lain, kepresidenannya tidak saja
kokoh secara konstitusional, tapi juga kokoh secara spiritual-keagamaan. Maka oleh sebab itu ummat Islam wajib taat
kepadanya.
kedua Partai-partai Islam di bawah pimpinan NU dengan juru bicara Achmad Sjaichu telah men- carikan dalil agama untuk
menyokong pengangkatan Soekarno sebagai presiden seumur hidup. Dari gambaran yang akan kita berikan di bawah, kita akan
melihat bahwa IAIN dan Depar- temen Agama juga telah menjadi sumber ketegangan antar Keresahan yang ditimbulkan oleh
proses NU-nisasi ini telah mengundang timbulnya Peristiwa 10 Oktober 1963 di lingkungan IAIN Yogyakarta dan Jakarta,
berupa konflik terbuka antara sayap modernis dan sayap pesantren. Karena Peristiwa IAIN telah dipanaskan sedemikian
rupa, sedang Menteri Agama tampaknya sudah sulit untuk meng-atasinya, maka akhirnya persoalannya diserahkan kepada
Pemimpin Besar Revolusi yang juga sebagai waliyul amri. NU yang merasa dirinya sebagai imam politik ummat meminta kepada
PB (Pengurus Besar) HMI untuk memecat anggota- anggotanya yang terlibat dalam Peristiwa IAIN di atas, dan per- mintaan
ini dipenuhi.

Back
. Next
5.Tahun 1965: Kehancuran Demokrasi Terpimpin

Sekalipun masalah ekonomi pada periode Demokrasi Ter- pimpin hampir-hampir tidak pernah dipikirkan secara
serius oleh pemerintah (ingat inflasi pada 1965 mencapai 650 %) karena sibuknya mengurus revolusi, konfrontasi
dengan Malaysia, dan usaha pengembalian Irian Barat, sistem Demokrasi Terpimpin mungkin masih akan bertahan
beberapa waktu lagi sekiranya Gerakan 30 September 1965 tidak meledak. Kegagalan gerakan ini telah membawa
Soekarno dengan sistem Demokrasi Terpimpinnya beserta PKI kepada kehancuran po-litik secara total. Jasa Bung
Karno dalam perjuangan kemerdekaan, ter- masuk jasanya dalam mengembalikan Irian Barat pada masa Demokrasi
Terpimpin, tidak akan pernah dilupakan orang, peran besarnya dalam mempersatukan bangsa Indonesia yang terdiri
dari berbagai suku itu akan tetap tercatat dengan tinta mas dalam sejarah Indonesia. Dan kita tidak boleh
melupakan bahwa golongan-golongan politik dan pihak militer yang memberi dukungan terhadap sistem Demokrasi
Terpimpin turut bertanggung jawab atas tragedi yang diderita Bung Karno pada akhir hayatnya. Semoga generasi
ulama yang datang kemudian akan pandai mengambil 'ibrah dari para pendahulunya. Sejak sekitar tahun 1966 kita
mulai melakukan koreksi total terhadap penyimpangan-penyimpangan konstitusional yang terjadi sebelumnya.
Kemudian sejak tahun 1969 di bawah payungDemokrasi Pancasila kita mulai membangun bangsa dan negara kita
dengan cara yang lebih rasional, sekalipun untuk itu pinjaman luar negeri tidak dapat dielakkan.

..

Back Next
APENDIK 1 : ISLAM DAN PEMBENTUKAN SUATU TATA
KEHIDUPAN YANG ANGGUN
Pada bagian Apendik 1 ini ada beberapa hal yang dijelaskan termasuk salah satunya bahwa islam yang dibawa
oleh Nabi Muhammad s. a. w. adalah kelanjutan dan pengembangan dari Islam yang dibawa oleh para nabi dan
rasul terdahulu yang tampil ke permukaan sejarah silih berganti. Tugas mereka yang pokok adalah
memberikan arah moral spiritual kepada kekuatan-kekuatan sejarah ummat manusia dengan landasan iman
kepada Allah yang Maha Esa. Pada bagian “Islam Sumber dan hakikat” dijelaskan bahwa sumber Islam yang
sejati dan otentik, sebagaimana telah kita singgung di atas, adalah al-Qur`an dan sunnah nabi. Di bagian
“Islam dan Politik” dijelaskan dalam perspektif sejarah ummat manusia, masa 14 abad belumlah terlalu
panjang bila diukur dengan awal mula kedatangan jenis manusia ke permukaan bumi ini. Bagian “Islam dan tata
kehidupan yang anggun” Sudah jelaskan bahwa sumber pokok ajaran Islam ialah al-Qur'an dan sunnah/karier
nabi. Di bawah sinar al-Qur'an sudah kita simpulkan di atas bahwa seorang Muslim haruslah punya wawasan
kekuasaan, sebab tanpa itu ajaran moral Kitab Suci ini akan tetaplah tergantung di awang-awang. Memang
kalau kita mau jujur terhadap apa yang terjadi dalam sejarah Islam, prinsip Syura yang begitu Qur'ani tidak
pernah dilembagakan secara optimal. Dari pembicaraan di atas barangkali menjadi jelaslah bahwa Islam
adalah agama yang amat berkepentingan untuk mendaratkan pesan-pesan moralnya dalam konteks kehidupan
kolektif manusia.
.

. Back Next
APENDIK 2 : PIAGAM MADINAH DAN KONVERGENSI
SOSIAL
Pada bagian Apendik dua ini dijelaskan beberapa hal termasuk bahwa setiap peminat al-Qur`an yang serius
dan cerdas akan memahami bahwa Kitab Suci ini menyediakan petunjuk- petunjuk praktis bagi manusia dalam
menghadapi dan menyelesaikan persoalan-persoalan yang timbul dalam kehidupan kolektif mereka, betapapun
pekanya persoalan itu. Sesuai dengan fungsinya sebagai Kitab Petunjuk al-Qur'an tidak pernah membisu bila
saja ia diminta pertimbangan oleh siapa saja untuk mencari jalan keluar dari kesulitan-kesulitan yang
senantiasa dihadang dunia dan kemanusiaan sepanjang sejarah. Dengan cara ini, kita akan lebih apresiatif
dalam melihat makna dikeluarkannya piagam yang bernilai tinggi dalam sejarah kemanusiaan itu. Hubungan
piagam Madinah dan al-Qur'an juga dijelaskan bahwa gagasan tentang kesatuan ummat manusia yang juga
tertera dalam Piagam Madinah sebagai aktualisasi dari ajaran al-Qur'an, telah kita bicarakan di atas.

Masih diperlukan waktu untuk menilai sampai dimana dampak dari intensitas pemahaman mereka terhadap
Islam dalam kehidupan masyarakat dan negara pada masa-masa yang akan datang. Untuk menegakkan suatu
masyarakat pluralistik yang harmonis, maka Piagam Madinah telah mewariskan kepada kita prinsip-prinsip
yang tampaknya tahan banting sejarah.
..

.
Back Next
APENDIK 3 : Kritik terhadap Pandangan PKI tentang Revolusi
Indonesia
Namun PKI merasa belum cukup mampu menghadapinya, hingga perlu dicari golongan tengah yang dapat
diajak kerJasama. PNI sebagai inti kekuatan tengah sampai batas tertentu dapat "dijinakkan" PKI untuk
kepentingan politiknya. Tugas-tugas revolusi Indonesia menurut visi PKI erat sang- kut-pautnya dengan
sasaran-sasaran pokok revolusi, yaitu mengusir imperalisme sebagai musuh dari luar, dan men- jalankan
revolusi dalam negeri untuk menghapuskan feodalisme. Pembubaran Masyumi dan PSI adalah juga bagian dari
tuntutan PKI yang dilaksanakan oleh Presiden Soekarno.

Namun keinginan PKI yang sangat besar untuk duduk dalam kabinet sampai 1960 tidak pernah menjadi
kenyataan, karena kuatnya oposisi dari tentara. Kalau golongan-golongan lain di Indonesia menetapkan bahwa
pembentukan masyarakat adil dan makmur dalam kerangka Pancasila adalah tujuan kemerdekaan Indonesia,
bagi PKI hari depan revolusi Indonesia adalah sosialisme dan komunisme. Dengan kenyataan ini PKI bukanlah
pembela rakyat tertindas yang sebenarnya di Indonesia. Partai- partai lain dilihat dari sudut disiplin
organisasi, tidak ada yang mengatasi PKI.

.
Back Next
APENDIK 4 : Jawaban Atas 4 Macam Pertanyaan
Pertanyaan pertama
Alam pesantren dan sistem yang hidup di dalamnya, menurut pendapat saya, bukan saja mendorong seseorang
untuk menjadi penulis (jika bukan karena bakat maka pekerjaan menulis itu) sekurang-kurangnya memberikan
peluang seseorang untuk mengembangkan bakatnya (kecintaannya) akan pekerjaan menulis. Bukan saja
mengenai perbedaan umur di antara mereka (terdapat anak di bawah umur, remaja dan dewasa bahkan yang
sudah tergolong tua) akan tetapi juga tingkatan pengetahuan serta pendidikannya berbeda-beda. Berbeda
dengan dunia kampus universitas di mana rektor, dekan dan dosen hampir semuanya pengasuh-pengasuh yang
di "drop" dari atas atau luar dinding kampus, maka para pengasuh pesantren adalah orang-orang dari dalam
pesantren sendiri.
pertanyaan kedua
K. H. Mahfudz Shiddiq, 36 tahun, 4 kali berturut-turut terpilih menjadi Ketua Umum PB NU dalam 4 kali
kongres 1937- 1940 (jaman itu kongres NU diselenggarakan tiap tahun). Beliau organisator, penulis, pemikir,
kritikus, orator, dan seorang Ulama yang menguasai secara matang ilmu-ilmu Al-Qur-an, Al-Hadits, Usul
Fiqih, sejarah Islam, politik, serta menguasai bahasa Arab dalam pengutaraan maupun tulisan. Beliau pula
yang meng-"orbit"-kan K. H. A. Wahid Hasjim, 26 tahun, sebagai Ketua Majelis Islam A'la Indonesia (MIAI)
pada tahun 1940. Sepeninggal K. H. Mahfudz Shiddiq yang wafat pada tahun 1943 (jaman pendudukan
Jepang), masyarakat NU men- garahkan tumpuan harapannya kepada KH. A.Wahid Has- jim yang ketika itu
namanya sejajar dengan tokoh-tokoh Is- lam Abikusno Tjokrosuyoso, Wondoamiseno, Dr. Soekiman, KH.
Kedudukan sebagai Ketua MIAI itu sekaligus meningkatkan posisi K. H. A. Wahid Hasjim dalam arena
pergerakan Nasional disebabkan karena terbentuknya Kongres Rakyat Indonesia (KORINDO) yang
diprakarsai oleh MIAI dan GAPPI (Gabungan Partai-Partai Politik Indonesia) dalam aksi menuntut Indonesia
berparlemen di jaman akhir pemerintahan Hindia Belanda. Gani, Mr. Amir Syarifuddin, Otto Iskandardinata,
Mr.Moeham- mad Yamin, L. J. Kasimo dan lain-lain tokoh GAPPI, mereka rata-rata berusia 40 - 50 tahun.
.
Back Next
APENDIK 4 : Jawaban Atas 4 Macam Pertanyaan

Pertanyaan ketiga
K. H. A. Wahid Hasjim dan Moehammad Natsir tidak tepat jika dikategorikan sebagai yang satu organisator
dan lainnya pemikir. Seperti yang difirmankan oleh Al-Qur`an: "Kullu hisbin bimaa ladaihim farihun" (Tiap
golongan mem- banggakan identitas golongannya), maka dalam perilaku sehari-hari mudah ditandai misalnya
K. H. A. Wahid Hasjim lebih mesra bersama K. H. Mas Mansur, K. H. Abdulkahar Muzakkir, KH Imam
Zarkasyi dan lain "korps" Ulama. Sebaliknya, Mochammad Natsir lebih mesra bersama Mr. Moehammad
Roem, Syahrir, Mr. Syafruddin Prawiranegara, Prawoto Mangkusasmito, Mr. Jusuf Wibisono, dan lain-lain
dari "korps" intelektual Islam. Meskipun mereka itu otak serta penyelenggara Kongres Uminut Islam
Indonesia tahun 1945 yang akhirnya melahirkan partai "Masyumi", namun latar belakang yang saya uraikan di
muka itu belum terjem- batani pada periode perjuangan tingkat permulaan. Wahid Hasjim namun tarikan
"korps" sesama in- telektual Islam akhirnya menempatkan diri pada golongan Moehammad Natsir. Wahid
Hasjim sebagai sesama "korps" pesantren, namun pengaruh aspirasi yang ketika itu membelah potensi Islam
sebagai aliran "kolot" dan "modern", menyebabkan golongan ini (Muhammadiyah) ber- geser kepada
Moehammad Natsir meninggalkan golongan pesantren yang masih "kolot" itu. Wahid Hasjim (baca: NU)
bahwa kedudukan Majelis Syuro (Ulama dalam Masyumi) tidak diperlakukan sebagaimana mestinya selaku
badan yang memberikan kata akhir dalam setiap langkah politik partai. Sebaliknya, di pihak lain beranggapan
bahwa pertimbangan Majelis Syuro cuma sekedar pertimbangan, pada akhirnya kepentingan politiklah yang
harus menghidupkan mekanisme dan perjuangan politik partai.
.

Back Next
APENDIK 4 : Jawaban Atas 4 Macam Pertanyaan

Pertanyaan keempat
Dalam jaman Demokrasi Terpimpin, NU yang tetap survival menghadapi kenyataan bahwa dia tidak dapat
membiarkan kekuatan-kekuatan berbagai kelompok Ummat Islam terserak-serak, tanpa arah, tanpa kesatuan
bahasa dalam berjuang. Apakah perjuangan NU di jaman demokrasi terpimpin itu mencapai sasarannya atau
tidak, sejarahlah yang harus mencatatnya. Kebangkitan Ummat Islam Indonesia belum pernah men- capai
titik tertingi seperti yang dilahirkan pada jaman demokrasi terpimpin itu. Sekaligus merupakan kekuatan
tandingan yang sanggup menghancurkan strategi maupun aksi-aksi perjuangan PKI dengan segenap
organisasi- mantelnya.

Kekuatan Islamlah yang mematahkan "Nasakom" dan sekaligus menjadi kekuatan dasar yang dijadikan basis
kekuatan ABRI menghancurkan G-30-S/PKI itu. Hasil lain dari perjuangan Ummat Islam Indonesia di jaman
demokrasi terpimpin adalah lahirnya IAIN di mana-mana sebagai media pendidikan tinggi dan pengembangan
ilmu secara legal, akan tetapi dapat dijadikan kekuatan tandingan bagi "universitas- universitas rakyat" yang
dibangun PKI di mana-mana. Perbuatan itu begitu positif sehingga organisasi-organisasi Is- lam di luar NU
berdiri di belakang NU menjadi kekuatan bersatu seperti yang belum pernah terjadi dalam jaman manapun.
..

Back Next
APENDIK 4 : Jawaban Atas 4 Macam Pertanyaan

pertanyaan kelima
Sejak jaman Demokrasi Terpimpin NU memperjuangkan secara aktif suatu kehidupan demokrasi yang sehat,
kedaulatan partai politik, menegakkan keadilan hukum dan keadilan sosial, menempatkan ABRI (istilahnya
ketika itu "Angkatan Perang") sebagai perisai Negara dan pelindung Rakyat, memberantas kemiskinan Rakyat
melalui pembagian rejeki kekayaan Negara secara adil, menggiatkan Da`wah untuk memurnikan ajaran Islam
sekaligus mem- berantas "aliran agama-agama baru yang dilahirkan oleh golongan-golongan yang mempunyai
tujuan tertentu, dan lain-lain perjuangan yang sifatnya amat prinsipiil dan merupakan strategis perjuangan
memurnikan UUD. Jikalau pada waktu sekarang, NU baik sebagai Jam'iyyah maupun melalui Partai Persatuan
Pembangunan tetap mem- perjuangkan demokrasi yang sehat (katakanlah: Demokrasi Pancasila tetapi benar-
benar tidak menyeleweng), memper juangkan kedaulatan parpol, menegakkan keadilan hukum, menuntut
keadilan sosial dalam pembagian rejeki hasil kekayaan Indonesia yang kaya-raya berkat rahmat Allah
Subhanahu wa Ta'ala, menempatkan ABRI tetap sebagai pelindung Rakyat serta asas dwifungsi ABRI tidak
disalah- gunakan, memperjuangkan kelonggaran bagi Da'wah, dan menolak kepercayaan terhadap Tuhan YME
di luar Agama, hal mana dapat dibuktikan bagaimana peristiwa-peristiwa selama Pemilu 1971 maupun 1977,
dan yang masih segar dalam ingatan kita ialah terciptanya iklim demokrasi yang membawa kesegaran selama
sidang MPR baru-baru ini (buat pertama kali sejak jaman demokrasi terpimpin dan juga sejak jaman Orde
Baru terjadinya pemungutan suara dalam DPR/MPR, dus, boleh berpendirian berbeda dan berkata "tidak
dalam masyarakat mufakat), maka aneh sekali jika orang mengambil kesimpulan, bahwa NU meninggalkan
watak istiqamah dalam berjuang, khususnya dalam perjuangan politik.
.

Back Next
APENDIK 5 : Piagam Universitas Muhammadiyah

Rektor dan Senat Universitas Muhammadijah setelah mempeladjari dengan seksama alasan-alasan dan bukti-
bukti jang dikemukakan oleh: promotor, berkejakinan bahwa:
Dr. Ir.H.Soekarno
Paduka Jang Mulia Presiden Indonesia/Pimpinan Besar Revolusi, Pahlawan Islam dan Kemerdekaan serta
Anggauta Setia Muhammadijah, lahir pada tanggal Enam Djuni Seribu Sembilan Ratus Satu di Surabaja,
Indonesia, memiliki penger- tian, perasaan dan keahlian yang sungguh-sungguh tinggi mutunya dalam lapangan
FALSAFAH ILMU TAUHID. Hal ini ternjata dari gagasan-gagasan, karja-karja, tindakan-tindakan dan amal
perbuatannja dalam lapangan tersebut. alasan-alasan dan bukti-bukti tersebut diatas dan ber- dasarkan
wewenang jang ada pada kami, menurut pasal 19 ajat 1 b Perguruan Tinggi Muhammadijah, berhubungan
dengan pasal 10 ajat 3 undang-undang No. 22 tahun 1961 ten- tang Perguruan Tinggi, maka kami, Rektor dan
Senat Univer- sitas Muhammadijah, memutuskan untuk menganugerahkan kepada:
Dr.Ir.H.Soekarno
Paduka Jang Mulia Presiden Republik Indonesia/Pemimpin Besar Revolusi. Pahlawan Islam dan Kemerdekaan
serta Anggauta Setia Muhammadijah,
Gelar Doktor Honoris Causa Dalam Falsafah Ilmu Tauhid
dengan memberikan kepadanja segala hak dan kehormatan ber- talian dengan gelar itu menurut undang-
undang, peraturan- peraturan lain, adat-istiadat dan kebiasaan.Sebagai bukti dari penganugerahan tersebut,
maka diberikan kepadanja Piagam ini jang ditanda-tangani oleh Rektor dan Sek- retaris Senat Universitas
Muhammadijah dan jang dibubuhi meterai besar Universitas Muhammadijah.

Back Next
APENDIK 6 : Kedudukan Negara dalam perspektif Doktrin Islam
.
Islam dan Wawasan Kekuasaan
Dari kajian yang agak cermat tentang al-Qur`an dan karler Muhammad selama kerasulannya, barangkali cukup adil bila
kita menyimpulkan bahwa dalam Islam wawasan kekuasaan harus disinari oleh wawasan moral sebagai salah satu
indikator iman dalam konteks dan realitas sejarah. Ibn Taimiyyah mendasarkan pendapatnya ini pada diktum al-Qur`an
dalam surat al-Dzüriyat ayat 56 yang terkenal Di atas sudah kita singgung tentang masin kekuasaan yang cukup banyak
dibicarakan al-Qur'an, Mesin kekuasaan Ini tidak lain dari suatu institusi politik yang bernama negara, yang juga
berfungsi juga sebagai alat pemaksa terhadap anggota masyarakat agar mematuhi undang-undang yang telah ditetap
kan oleh lembaga yang berwenang untuk itu. Yang menjadi per- soalan kemudian adalah: Apakah mesin kekuasaan itu
merupakan perpanjangan dari agama atau semata-mata sebagai alat yang efektif untuk melaksanakan pesan-pesan
moral agama. Keberatan kita yang lain terhadap teori bahwa Islam itu adalah agama dan negara ialah, dan ini lebih
serius, karena din adalah sesuatu yang immutable (tetap), sedangkan daulah adalah sesuatu yang matable (berubah),
serual dengan tuntutan ruang dan waktu.
Islam dengan atau Tanpa Negara Nasional
Tapi apakah essi ini cenderung untuk mengatakan bahwa berdirinya negara-negara nasional di kalangan ummat Islam
perlu dipersoalkan, dan bahkan dikutuk? Yang ingin ditegaskan ialah agar sistem negara kebangsaan yang kini
berkembang di dunia Islam jangan sampai menghancurkan prinsip persaudaraan ummat yang menjadi bagian dari
imannya itu. Oleh sebab itu dalam suatu negara nasional, prinsip universalisme Islam haruslah selalu menyinari politik
luar negeri dari bangsa itu, khususnya terhadap negeri- negeri Islam yang lain, agar nasionalisme di negeri Muslim
tidak menjadi semacam agama semu seperti yang telah kita singgung baru saja. la menegaskan bahwa "nasionalisme
moderen adalah bentuk moderen dari penyem- bahan negara-kota; jika faham ini tidak disingkirkan, dunia moderen
akan mengalami nasib seperti nasib Hellenisme" yang telah ditelan sejarah. Lalu bagaimana dengan doktrin al-Qur`an
yang mengatakan bahwa: "Sesungguhnya pemeluk beriman Itu bersaudara 7-14 Jalan keluar dari pertanyaan ini saya
rasa ialah dengan men- ciptakan suatu liga bangsa-bangsa Muslim yang longgar secara organisasi, tapi dengan landasan
spiritual yang solid berupa per- saudaraan imani universal yang tidak boleh dibinasakan oleh perbedaan-perbedaan
politik kontemporer antar negara Muslim.

Back Next
.
SESI PERTANYAAN

Anda mungkin juga menyukai