Anda di halaman 1dari 53

DEMOKRASI TERPIMPIN

TAHUN 1959-1966
ARTIKEL JURNAL

Dinda Mardiana 4322319030005


Detri Meliana 4322319030004

PROGRAM STUDI PEDIDIKAN SEJARAH


SEKOLAH TINGGI KEGURUAN DAN
ILMU PENDIDIKAN SETIA BUDHI
RANGKASBITUNG
2022
“Demokrasi Terpimpin 1959-1966”
(Kajian Historis Peran Soekarno
Dalam Demokrasi Terpimpin)

Dinda Mardiana, Iman Sampurna,


Detri Meliana
Pendidikan Sejarah STKIP Setia Budhi
Rangkasbitung, Jl. Raya Budi Utomo, komp.
Pendidikan, Muara Ciujung Timur,
Rangkasbitung, Lebak Banten

Email: Dindamardiana600gmail.com

Abstrak: Soekarno salah satu tokoh dari empat


pendiri Republik Indonesia, pemikiran politiknya
sangat luas, salah satu pemikiran politiknya
tentang demokrasi yaitu demokrasi terpimpin
menjadi kontroversi, mengingat di masa
mudanya, Soekarno di kenal sebagai sosok
pemikir politik yang sangat revolusioner,
humanis dan progresif di zamannya. Sedangkan,
pemikirannya tentang demokrasi terpimpin
menempatkan sosoknya sebagai pemimpin yang
dinilai otoriter oleh lawanlawan politiknya.
Tulisan ini merupakan studi pemikiran tentang
Soekarno, khususnya pemikirannya tentang
konsep demokrasi yang dia nilai sebagai konsep
politik khas tradisi-budaya Indonesia
Kata kunci: Soekarno dan Demokrasi
Abstrack: Soekarno is one of the leaders of the
four founders of the Republic of Indonesia, his
political thinking is very broad, one of his
political thinking about democracy is guided
democracy into controversy, in his youth
Soekarno was known as a very revolutionary,
humanist and progressive figure of political
thinkers of his day. His thoughts on leading
democracy put his figure as a leader judged
authoritarian by his political opponents. This
paper is a study of thought about Soekarno,
especially his thinking about the concept of
democracy which is considered as a political
concept typical of Indonesian cultures. Key word:
Soekarno, democracy.

Key word: Soekarno, democracy

A.Pendahuluan

Setelah Republik Indonesia Serikat (RIS)


dibubarkan pada tanggal 15 Agustus 1950,
maka bentuk negara Indonesia kembali ke
dalam bentuk negara kesatuan, sehingga
menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia
(NKRI) dengan menggunakan UUDS 1950.
Berdasarkan UUDS 1950 sistem demokrasi
yang dianut adalah demokrasi parlementer.
Dalam kabinet parlementer dipimpin oleh
seorang perdana menteri yang
bertanggungjawab kepada DPR bukan kepada
Presiden. Sistem demokrasi liberal ditandai
dengan sering bergantinya kabinet.
Dalam sistem demokrasi liberal, kedudukan
dan peranan partai-partai politik penting sekali.
Hal ini terjadi karena partai-partai besar
menguasai suara mayoritas di DPR. Bila
kebijaksaaan pemerintah (kabinet) tidak
disetujui DPR, maka kabinet dapat dengan
mudah dijatuhkan. Sementara dalam
kenyataannya partai-partai besar itu tidak selalu
dalam satu haluan atau satu kepentingan.
Dengan demikian, sangat sulit untuk
membentuk koalisi (kerja sama) antara partai-
partai besar.
Hal itu memuncak ketika akan kembali ke
UUD 1945. Gagalnya usaha untuk kembali ke
UUD 1945 oleh Konstituante dan rentetan
peristiwa-peristiwa politik yang mencapai
klimaksnya dalam bulan Juni 1959, mendorong
Presiden Soekarno untuk menyatakan suatu
keadaan yang membahayakan stabilitas
negara.Karena itu pada tanggal 5 Juli 1959,
dalam suatu acara resmi di Istana Merdeka,
Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit2
Presiden mengenai pembubaran Konstituante
dan berlakunya kembali UUD 1945 dalam
kerangka sebuah sistem demokrasi yakni
Demokrasi Terpimpin.
Demokrasi Terpimpin, terlepas dari
pelaksanaannya yang dianggap otoriter, dapat
dianggap sebagai suatu alat untuk mengatasi
perpecahan yang muncul dari dalam politik
Indonesia pada pertengahan tahun 1950-an.
Untuk menggantikan pertentangan antara
partai-partai di parlemen, suatu sistem yang
otoriter diciptakan oleh Presiden Soekarno. Ia
memberlakukan kembali UUD 1945 mulai
tahun 1959 dengan dukungan kuat dari AD.
Akan tetapi, Soekarno menyadari
keterkaitannya dengan AD dapat
membahayakan kedudukannya, sehingga
mendorong kegiatan-kegiatan dari kelompok-
kelompok sipil sebagai penyeimbang terhadap
ap. Di antara kelompok sipil ini yang paling
utama adalah Partai Komunis Indonesia (PKI)
dan juga dari golongan agama meski tidak
terlalu signifikan, yaitu khususnya diwakili oleh
Nahdatul Ulama (NU) yang bergabung dalam
poros Nasakom Soekarno semasa pemberlakuan
Demokrasi Terpimpin. Meskipun pemimpin
PKI maupun AD mengaku setia kepada
Presiden Soekarno, mereka masing-masing
terjebak dalam pertentangan yang tak
terselesaikan.
Soekarno berusaha mengumpulkan sebuah
kekuatan politik yang saling bersaing melalui
Demokrasi Terpimpin dengan jalan turut
membantu mengembangkan kesadaran akan
tujuan-tujuan nasional. Ia menciptakan suatu
ideologi nasional yang mengharapkan seluruh
warga negara memberi dukungan kesetiaan
kepadanya. Pancasila ditekankan olehnya dan
dilengkapi dengan serangkaian doktrin seperti
Manipol-Usdek dan Nasakom. Dalam usahanya
mendapat dukungan yang luas untuk kampanye
melawan Belanda di Irian Barat dan Inggris di
Malaysia, ia menyatakan bahwa Indonesia
berperan sebagai salah satu pimpinan
“kekuatan-kekuatan yang sedang tumbuh” di
dunia, yang bertujuan untuk menghilangkan
pengaruh Nekolim (neokolonial dan imperialis).
Sebagai pemimpin bangsa, Soekarno
bermaksud menciptakan suatu kesadaran akan
tujuan nasional yang akan mengatasi persaingan
politik yang mengancam kelangsungan hidup
sistem Demokrasi Terpimpin.
Sampai dengan diberlakukannya kembali
UUD 1945 pada bulan Juli 1959, Soekarno
adalah pemegang inisiatif politik, terutama
dengan tindakan dan janji- janjinya yang
langsung ditujukan kepada pembentukan
kembali struktur konstitusional.
Pada paruh kedua 1959, Soekarno semakin
menonjolkan gagasan- gagasannya. Dalam hal
ini yang terpenting ialah pidato kenegaragaan
Presiden pada ulang tahun kemerdekaan RI
tahun 1959 dan selanjutnya hasil kerja Dewan
Pertimbangan Agung (DPA) dalam penyusunan
sistematis dalil-dalil yang terkandung dalam
pidato tersebut. Pidato kenegaraan yang
berjudul Penemuan Kembali Revolusi Kita,
sebagai besar memuat alasan-alasan yang
membenarkan mengapa harus kembali ke UUD
1945. Sesungguhnya hanya sedikit tema-tema
baru dalam pidato Presiden, tetapi pidato itu
penting karena berkaitan dengan
diberlakukannya kembali UUD 1945 tersebut.
Tiga bulan setelah pidato kenegaraannya itu,
Soekarno menyatakan naskah pidato itu menjadi
“Manifesto Politik Republik Indonesia”.
Bersamaan dengan itu Soekarno mengesahkan
rincian sistematikanya yang disusun oleh DPA.
Dalam pidato-pidatonya, Soekarno selalu
mengungkapkan bahwa revolusi Indonesia
memiliki lima gagasan penting. Pertama: UUD
1945, kedua: Sosialisme ala Indonesia, ketiga:
Demokrasi Terpimpin, keempat: Ekonomi
Terpimpin dan yang kelima: Kepribadian
Indonesia. Dengan mengambil huruf pertama
masing-masing gagasan itu, maka muncullah
singkatan USDEK. “Manifesto politik Republik
Indonesia” disingkat “Manipol”, dan ajaran baru
itu dikenal dengan nama “Manipol-USDEK”.
B. Kajian Teori

Joseph A. Schemer Demokrasi merupakan


suatu perencanaan institusional untuk mencapai
keputusan polituk dimana individu- individu
memperoleh kekuasaan untuk memutuskan cara
perjuangan kompetitif atas suara rakyat.

Demokrasi terpimpin adalah sebuah bagian dari


sistem demokrasi yang dalam hal memutuskan
suatu perkara tersebut berpusat pada pemimpin
negara.

Demokrasi terpimpin ialah kerakyatan yang


dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan yang ber-asaskan
pada makna musyawarah untuk mufakat secara
gotong royong bagi semua kekuatan nasional
yang progresif revolusioner dengan berporoskan
Nasakom.

C. Metode Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian


deskriptif, artinya penelitian yang dimaksud
memberikan gambaran gejala politik yang terjadi.
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan
analisis data yang bersifat kualitatif, artinya data
tidak berbentuk angkaangka, tapi keterangan-
keterangan atau informasi yang diambil
kesimpulannya secara logika. Sudah banyak
informasi mengenai gejala politik yang
dimaksud, namun informasi itu belum menandai
untuk menjelaskan permasalahan yang dimaksud.
Penelitian ini untuk menjawab apa penjelasan
yang lebih
terperinci mengenai gejala politik yang
dimaksudkan dalam permasalahan penelitian.
Dalam teknik pengumpulan data, penulis
menggunakan studi kepustakaan, artinya data
diambil dari buku-buku atau literatur-literatur
yang dapat memberikan informasi yang
dibutuhkan dalam penelitian.

D. Pembahasan

Ketegangan-ketegangan politik yang


terjadi pasca Pemilihan Umum 1955 membuat
situasi politik tidak menentu. Kekacauan politik
ini membuat keadaan negara menjadi dalam
keadaan darurat. Hal ini diperparah dengan
Dewan Konstituante yang mengalami
kegagalan dalam menyusun konstitusi baru,
sehingga negara Indonesia tidak memiliki
pedoman hukum yang mantap. Berikut latar
belakang lahirnya demokrasi terpimpin oleh
Presiden Soekarno.

Gagalnya Konstituante
Sebelum lahir Demokrasi Terpimpin, di
Indonesia berlangsung sistem demokrasi
perlementer. Era Demokrasi Parlementer
ditandai dengan westernisme4. Sedangkan
munculnya Demokrasi Terpimpin di akhir tahun
1950- an berfungsi pemukul bagi mereka yang
menuntut pemisahan kekuasaan,
perlementarisme, dan perluasan hak-hak politik,
serta bebas pers. Demokrasi tersebut oleh
Soekarno dinyatakan sudah sesuai dengan
kepribadian Bangsa Indonesia.
Sesungguhnya sejak RIS, pamerintah
sudah mulai mengkonsilidasi dan menertibkan
suatu keresahan revolusioner, mereorganisir
tentara dan pamong praja, memperkuat
pengawasan dan peraturan dan melangkah maju
dengan tugas- tugas praktis administratif dan
ekonomis dalam negeri. Di pihak lain, tidak
melakukan upaya apapun untuk
mempertahankan struktur federalis negara,
sehingga pada bulan Agustus 1950 Republik
Indonesia Serikat (RIS) diubah menjadi Negara
Kesatuan Rebuplik Indonesia (NKRI).6 Ketika
kabinet RIS menjadi kabinet NKRI, kabinet
Hatta digantikan oleh kabinet parlementer
pimpinan Perdana Menteri Natsir, seorang
pemimpin sebuah partai Islam (Masyumi). Hatta
sendiri kembali kepada jabatan wakil Presiden.
Selanjutnya, Kabinet Natsir diganti oleh kabinet
Masyumi lainnya di bawah Perdana Menteri
Sukiman. Dalam bulan April 1951, pemerintah
Sukiman ini diganti oleh kabinet pimpinan
tokoh PNI (Partai Nasional Indonesia) Wilopo
dan ketika kabinet ini jatuh dalam bulan Juni
1953, terjadilah krisis kabinet empat kali dalam
jangka waktu kurang dari tiga tahun.
Setelah pemilu I tahun 1955, Ali
Sastroamidjojo (PNI) terpilih lagi sebagai
Perdana Menteri dengan dukungan Masyumi
dan NU. Karena itu kabinetnya disebut Kabinet
Ali II. Kabinet yang mulai bekerja sejak 20
Maret 1956 ini, mencanangkan beberapa
program kerja, misalnya membebaskan Irian
Barat, melaksanakan pembentukan daerah-
daerah otonom, menyehatkan anggaran
keuangan dan mewujudkan pergantian ekonomi
kolonial.

Dalam perkembangannya, Kabinet Ali II


menghadapi gerakan separatis dan gerakan anti
Cina. Saat itu secara sepihak Indonesia
membatalkan hasil KMB. Hal ini diikuti dengan
usaha untuk menasionalisasikan perusahaan-
perusahaan Belanda di Indonesia. Namun usaha
ini tidak mudah, sebab banyak politisi yang
tidak setuju dengan kebijakan itu. Sementara
itu, para penguasaha Belanda justru menjual
perusahaannya kepada pengusaha keturunan
Cina. Akibatnya timbul gerakan anti Cina di
Indonesia. Kesulitan-kesulitan ekonomi dan
gangguan keamanan seperti itulah yang
kemudian memaksa Kabinet Ali II yang
sekaligus sebagai kabinet keenam masa
demokrasi liberal itu mengundurkan diri pada
tanggal 14 Maret 1957 dan digantikan oleh
Djuanda. Djuanda ditunjuk sebagai perdana
menteri bukan karena tokoh partai tetapi karena
memiliki keahlian. Karena itu kabinet ketujuh
masa demokrasi liberal itu di samping disebut
Kabinet Djuanda juga disebut zaken kabinet
(kabinet ahli atau kabinet karya). Kabinet ini
mulai bekerja 8 April 1957 menetapkan lima
program kerja disebut panca karya. Kelima
program kerja itu adalah membentuk dewan
nasional, normalisasi keadaan Rebuplik,
melancarkan pelaksanaan pembatalan KMB,
memperjuangkan Irian Barat, dan menggiatkan
pembangunan.
Dalam masa Kabinet Djuanda ini terjadi
beberapa peristiwa penting, misalnya Peristiwa
Cikini (usaha pembunuhan Presiden Soekarno)
pada tanggal 30 November 1957. Ketika itu
Presiden Soekarno menghadiri pesta sekolah di
Cikini, tempat putra-putri beliau bersekolah.
Percobaan pembunuhan itu dilakukan dengan
menggunakan granat tangan sehingga
menimbulkan banyak korban, terutama anak-
anak sekolah yang berada di muka halaman
sekolah. Presiden Soekarno sendiri terhindar
dan dapat diselamatkan. Para pelaku peristiwa
percobaan pembunuhan tersebut dapat segera
ditangkap dan diajukan ke pengadilan pada
tanggal 28 April 1958. Para pelaku adalah Jusuf
Ismail, Saadon bin Mohammad, Tasrif, dan
Moh. Tasin bin Abubakat dijatuhi hukuman
mati.

Dekrit Presiden 5 Juli 1959


Dekrit Presiden 5 Juli 1959 tidak saja
mendapat sambutan baik dari masyarakat yang
hampir 10 tahun dalam kegoyangan zaman
liberal mendambakan stabilitas politik yang
dibenarkan dan diperkuat oleh Mahkamah
Agung.
Konstituante yang mulai bersidang sejak
10 November 1956 di Bandung, yang
diharapkan akan bisa membentuk UUD baru,
tetapi sampai akhir tahun 1958 belum
menunjukkan tanda-tanda berhasil. Persoalan
yang menjadi sebabnya adalah Dasar Negara:
Islam (tuntutan partai-partai Islam) atau
Pancasila (tuntutan parta-partai non Islam).
Golongan pendukung Pancasila mempunyai
suara lebih besar daripada golongan Islam tetapi
belum mencapai 2/3 untuk mengesahkan suatu
keputusan tentang Dasar Negara (pasal 137
UUDS 1950). Persoalan lain ialah demokrasi
macam apa yang akan diterapkan di Indonesia,
lebih-lebih setelah konsepsi Presiden dan
dikemukakannya gagasan Demokrasi
Terpimpin.
Persoalan baru yang ikut menentukan
perkembangan politik di Indonesia ialah
dwifungsi ABRI (TNI dan Polri). Sepanjang
sejarahnya, ABRI selalu menunjukkan
sumbangan dan peranannya yang besar, juga
dalam persoalan- persoalan non-militer. Dalam
masa revolusi ABRI telah mengendalikan
pemerintahan gerilya. Disamping itu di
kalangan perwira-perwira ada yang memiliki
kemampuan atau bakat di bidang non-militer
yang bisa disumbangkan demi pembangun,
Pimpinan ABRI, terutama Nasution, menyadari
prestise yang menanjak, sehingga memandang
waktunya untuk mendesak kepada pemerintah
agar dalam kegiatan-kegiatan non-militer, para
perwira tersebut diberi kesempatan juga.
Dengan kata lain, ABRI menghendaki ikut serta
dalam pemerintahan atau lembaga-lembaga
non-militer.
Dalam masa keadaan darurat (SOB)
maksud tersebut memang telah tercapai, karena
banyak perwira-perwira ABRI yang ambil
bagian dalam kegiatan-kegiatan pemerintahan,
usaha-usaha ekonomi maupun sosial. Tetapi
kalau keadaan darurat sudah diakhiri, maka ikut
sertanya ABRI dalam kegiatan- kegiatan non-
militer akan kehilangan raisond’etre
(alasannya). Karena itu suatu saluran baru yang
memungkinkan ABRI tetap bisa ber- dwifungsi
harus ditemukan: kembali ke UUD 1945 yang
antara lain menetapkan bahwa keanggotaan
MPR terdiri dari anggota DPR dan wakil-wakil
daerah serta golongan-golongan dalam
masyarakat atau golongan fungsional (pasal 2
UUD 1945). Dalam situasi yang genting itu
ABRI berhasil memperjuangkan agar mereka
dimasukkan dalam golongan yang dimaksud.
Oleh karena itulah jalan formal yang paling
baik, sementara Konstituante tidak
menunjukkan kemajuan yang diharapkan, ABRI
khususnya KSAD Nasution, mendesak agar
UUD 1945 diundangkan lagi.

Berbagai partai mula-mula tidak setuju


dengan gagasan Nasution terutama yang
mengenai persoalan golongan fungsional.
Mereka umumnya segan meminta tuntutan
ABRI agar disetujui ikut serta dalam kegiatan-
kegiatan non-militer. Tetapi menentang gagasan
itu dikhawatirkan akan berakibat lebih buruk
seperti yang terjadi di negara Timur Tengah,
Asia Selatan dan Asia Tenggara. Nasution
menyadari adanya kekhawatiran itu, karena
beberapa kali ia mengadakan konferensi antar
Komando Daerah Militer (reorganisasi dari
divisi) dalam tahun 1958. Konferensi itu
tampaknya mengisyaratkan untuk menggertak
partai-partai dan Nasution seolah-olah berbisik
“menerima UUD 1945 atau coup”. Partai-partai
sendiri mau melupakan pertentangan mereka
sendiri. Menyadari bahaya itu PKI, yang
didirikan oleh perwira-perwira yang nonaktif
karena peristiwa 17 Oktober, memelopori
persetujuannya untuk menerima kembali UUD
1945 pada 30 Januari 1959. Partai-partai non-
Islam, terutama PNI, menyusul. Presiden
Soekarno sendiri mula-mula ragu-ragu, sebab ia
bukan administrator meskipun UUD 1945
memberi jalan realisasi demokrasi terpimpin.
Dalam bulan Februari 1959 Nasution
mengadakan lagi konferensi Komando Daerah
Militer dan diputuskan untuk mendesak,
terutama Kabinet Karya, agar menerima
kembali gagasan kembali ke UUD 1945. Atas
desakan itu Kabinet Karya menerima gagasan
kembali ke UUD 1945 pada 19 Februari 1959.
Persoalannya sekarang ialah bagaimana
cara atau prosedur kembali ke UUD 1945.
Menurut putusan sidang Kabinet Karya tanggal
19 Februari 1959, Presiden akan
menyampaikam amanat kepada Konstituante
berisi permintaan supaya kembali ke UUD
1945. Kalau Konstituante dapat menerima
permintaan tersebut maka pengundangan
kembali UUD 1945 akan dilakukan di Bandung
dengan mengeluarkan suatu piagam yang boleh
disebut Piagam Bandung. Jadi yang merupakan
persoalan sekarang ialah sikap Konstituante.
Menurut UUDS 1950 untuk mengambil
keputusan tentang persoalan itu, minimal 2/3
anggota Konstituante harus menghadiri sidang
dan 2/3 dari mereka itu memberikan suara
setuju. Tetapi sampai 3 kali Konstituante
mengadakan pemungutan suara, ternyata
mayoritas yang diperlukan tidak mau
menghadiri sidang-sidang Konstituante lagi.
Hal ini sudah pasti menyebabkan Konstituante
tidak berfungsi mengemban tugas dari rakyat.
Oleh Karena itu, pihak yang pro bersama pihak
militer, mendesak Presiden untuk
mengundangkan kembali UUD 1945 dengan
Dekrit.
Kegagalan Dewan Konstituante untuk
kembali UUD 1945 yang baru justru mendorong
Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit.
Dikeluarkannya Dekrit Presiden memaksa
Kabinet Djuanda mengundurkan diri dan
kekuasaan pemerintahan kembali ke tangan
Presiden. Presiden Soekarno menyampaikan
dekrit kepada seluruh rakyat pada tanggal 5 Juli
1959. Isi pokok dekrit ialah pembubaran
Konstituante, berlakunya kembali UUD 1945,
tidak berlakunya UUDS 1950, dan pemakluman
bahwa pembentukan MPRS dan DPAS akan
dilakukan dalam waktu sesingkat-singkatnya,
serta dinyatakan bahwa Piagam Jakarta
menjiwai UUD 1945.8
Dekrit tersebut mendapat sambutan dari
seluruh rakyat yang sudah jenuh pada ke-
mandek-an nasional, korupsi, dan tertundanya
pembangunan. Pimpinan Angkatan Darat, A.H.
Nasution, mengeluarkan perintah harian agar
mengamankan dekrit itu. DPR hasil pemilu
1955 secara aklamasi bersedia bekerja terus
dalam rangka UUD 1945. Dan dengan
berlakunya kembali UUD 1945, roda demokrasi
terpimpin dan dwifungsi ABRI menemukan
landasannya untuk mulai berputar.

Peran Soekarno dalam Demokrasi


terpimpin
Sebagai tindak lanjut Dekrit
Presiden adalah penataan kehidupan
politik dan ekonomi sesuai ketentuan-
ketentuan demokrasi terpimpin, berikut
adalah peran Soekarno dalam demokrasi
terpimpin.

1. Kebijakan Soekarno dalam


Bidang Politik
Sebelum Dekrit Presiden 5 Juli
1959, di Indonesia berlaku demokrasi
liberal (bebas) yaitu demokrasi yang
begitu leluasa untuk menyatakan
pendapat. Semasa Demokrasi Terpimpin,
yaitu tetap ada kebebasan tetapi dibatasi
dengan alasan demi kepentingan rakyat
banyak dan keselamatan negara.
Demokrasi terpimpin didominasi oleh
kepribadian Soekarno, walaupun prakarsa
pelaksanaanya dia ambil bersama-sama
dengan pimpinan angkatan bersenjata. 9
Istilah terpimpin diambil dari
Pembukaan UUD 1945 yang berbunyi:
“kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan
/perwakilan” yang berarti
permusyawaratan rakyat. Dalam
pelaksanaannya pengertian terpimpin
tersebut oleh Presiden Soekarno
ditafsirkan terpimpin secara mutlak oleh
diri pribadinya. Itulah sebabnya Presiden
menjadi penguasa tertinggi dan mutlak di
dalam negara. Walaupun dalam UUD
1945 ada pembagian kekuasaan secara
jelas (legislatif, eksekutif dan yudikatif),
tetapi dalam Demokrasi Terpimpin ketiga
kekuasaan itu di bawah Presiden.

Meskipun pada masa Demokrasi


Terpimpin kebebasan dibatasi tetapi tetap
ada sifat-sifat demokrasi yakni dengan
adanya lembaga-lembaga negara. Sesuai
dengan UUD 1945 dibentuklah lembaga
tertinggi negara, MPRS (Majelis
Permusyawaratan Rakyat Sementara),
kemudian lembaga-lembaga tinggi negara
seperti DPR, BPK, MA, DPA. Tidak
hanya itu terdapat pula Dewan Perancang
Nasional dan Front Nasional yang
dibentuk berdasarkan Kepres (Keputusan
Presiden).
Majelis Permusyawaratan Rakyat
Sementara terdiri dari seluruh anggota
DPR ditambah utusan daerah dan
golongan. Karena para anggotanya
diangkat berdasarkan Kepres, maka
disebut MPR Sementara (MPRS).
Sedangkan DPR yang juga bukan hasil
pemilihan umum itu disebut DPR Gotong
Royong (DPRGR).
Disamping MPRS dan DPRGR,
juga dibentuk Dewan Pertimbangan
Agung (DPA) yang berperan sebagai
penasihat atau pertimbangan. Karena
pembentukannya tidak berdasarkan
undang-undang, maka disebut Dewan
Pertimbangan Agung Sementara (DPRS).
Kemudian, juga dibentuk Badan
Pemeriksa Keuangan (BPK) dan
Mahkamah Agung (MA). Badan
Pemeriksa Keuangan bertugas memeriksa
penggunaan uang negara oleh pemerintah.
Sedangkan Mahkamah Agung berperan
sebagai lembaga peradilan tertinggi.

Selain pembentukan lembaga-lembaga


seperti yang tercantum dalam UUD 1945,
juga dibentuk lembaga-lembaga yang
membantu pemerintah seperti Dewan
Perancang Nasional (Depernas) dan Front
Nasional (FN). Dewan Perancang
Nasional bertugas menyusun rancangan
pembangunan nasional semesta yang
berpola delapan tahun. Sementara itu,
Front Nasional bertugas untuk
mengerahkan massa. Badan ini telah
berperan dalam pengerahan massa
pembebasan Irian Barat dan peng-
ganyang-an Malaysia.
Lembaga tertinggi dan lembaga
tinggi negara itu menurut UUD 1945
berdiri sendiri, tetapi dalam massa
Demokrasi Terpimpin menjadi lembaga
bawahan Presiden (karena semua
pimpinan lembaga diberi pangkat
menteri). Dengan demikian, Presiden
bukan hanya memimpin badan eksekutif
(pemerintahan) tetapi juga semua
lembaga negara yang ada, karena itu tidak
mustahil MPRS menetapkan Ir. Soekarno
sebagai Presiden seumur hidup dan
tercipta gelar Pemimpin Besar Revolusi.
Menurut UUD 1945, DPR
merupakan perwakilan rakyat yang
mengawasi atau mengkontrol tindakan-
tindakan pemerintah, namun dalam
Demokrasi Terpimpin tidak lebih dari
lembaga yang mensahkan secara formal-
yuridis apa yang diputuskan dan apa yang
dilakukan oleh Presiden/Kepala
Pemerintahan, seperti dalam hal anggaran
pendapatan dan belanja negara, politik
luar negeri dan lain-lain.
Sementara itu TNI dan Polri
dipersatukan menjadi ABRI (Angkatan
Bersenjata Republik Indonesia) dan
berperan ganda seperti zaman perang
kemerdekaan (peran sosial-politik dan
pertahanan-keamanan). ABRI juga diakui
sebagai golongan fungsional (karya) yang
berdasarkan ketentuan dalam UUD 1945
mempunyai wakil di MPRS. Presiden
mengambil alih secara langsung pimpinan
tertinggi ABRI dengan membentuk Koti
(Komando Operasi Tertinggi) masing-
masing angkatan (AD, AL, AU dan Polri)
berdiri sendiri-sendiri di bawah seorang
Menteri/Panglima yang langsung di
bawah Presiden.
Pertama kali Soekarno menyatakan
gagasan tentang Demokrasi Terpimpin
pada tanggal 17 Agustus 1957, pada saat
itu masih berlaku Undang-Undang Dasar
Sementara dengan ketentuan-ketentuan,
“Presiden tidak dapat diganggu gugat,
menteri bertanggung jawab, dan
sebagainya”. Hal inipun dinyatakan
setelah Soekarno merancangkan Konsepsi
Baru (21 Februari 1957), suatu konsepsi
yang dicanangkan sebagai usaha untuk
menyelamatkan negara, yang pada waktu
itu keadaannya dianggap sedang bahaya.
Suatu usaha yang selanjutnya
berkembang dengan dikeluarkannya
Dekrit Presiden 5 Juli 1959, yang
berisikan pembubaran Konstituante dan
berlakunya krmbali Undang-Undang
Dasar 1945, serta tidak diberlakukannya
kembali UUDS 1950. Pemakaian istilah
Demokrasi Terpimpin yang mulai
digunakan pada tanggal 17 Agustus 1957.
Tidak berhenti begitu saja, akan tetapi
sebaliknya gagasan tersebut semakin
diperdalam dan akan dijalankan untuk
suatu ketatanegaraan yang baru
(Demokrasi Terpimpin) menggantikan
sistem yang lama (Demokrasi
Parlementer).
Demokrasi Terpimpin tidak dapat
dipisahkan daripada perkembangan
susunan ketatanegaraan ini, yang berarti
penggunaan Demokrasi Terpimpin itu
tidak dapat dipisahkan dari perubahan ke
dalam bagi susunan ketatanegaraan yang
baru, yaitu susunan ketatanegaraan
berdasarkan UUD 1945. Pada waktu
Soekarno mengumumkan konsepsi baru
tersebut, ia sudah menjelaskan apa yang
menurutnya menjadi sebab kebobrokan
keadaan tanah air kita, ialah penggunan

dari demokrasi yang asalnya dari barat,


yang dianggapnya juga tidak cocok
dengan jiwa Bangsa Indonesia. Dari
penjelasan tersebut dapat ditangkap
adanya perbedaan antara Demokrasi
Terpimpin dan Demokrasi Barat
(Parlementer). Meskipun terdapat
perbedaan-perbedaan tetapi perbedaan ini
hanya terletak pada pelaksanaan,
pelaksanaan dari pada tolak pangkal yang
sama, tujuan yang sama (pemerintahan,
kekuasaan individu), prinsip yang sama
dalam pada ini (kebebasan individu dan
trias politica, checks and blances) dan
hanya berbeda dalam penyelenggaraan
trias politica dan checks and balances
tadi.
Presiden Soekarno juga
membentuk kabinet baru yang sesudah
Oktober 1959 tidak lagi bertanggung
jawab kepada parlemen. Dalam bulan
Januari 1960 Presiden Soekarno sudah
mengusai semua partai politik, dengan
hak untuk membubarkan mereka jika
dianggap perlu. Dalam bulan Agustus
1960 diambil tindakan pertama, yaitu
membubarkan partai-partai politik yang
tidak mau mengikuti jalan yang diusulkan
oleh Soekarno (Masyumi yang dipimpin
oleh Moh. Natsir dan Partai Sosialis
Indonesia pimpinan Sutan Sjahrir. Hatta
sudah mengundurkan diri sebagai Wakil
Presiden sebelum perkembangan itu, dan
dengan tindakannya itu ia menunjukkan
bahwa ia pun tidak bersedia mengikuti
jalan yang telah digariskan oleh
Soekarno). Tetapi bagi Soekarno
sekarang saatnya untuk memulai fase baru
dari perjuangannya yang lama untuk
mewujudkan suatu tatanan sosial yang
adil di Indonesia. Bersamaan dengan
penolakan terhadap sistem liberal,
diperkenalkannya sistem Indonesia yang
baru.
Pada tanggal 27 Maret 1960,
keluarlah pengumuman mengenai
pembentukkan sebuah parlemen gotong-
royong dan DPR sebagai badan penasehat
bagi pemerintah, yang mewakili hampir
sama anasir dari masyarakat. Tanggal 15
Agustus menyusul pengumuman tentang
pembentukan Majelis Permusyawaratan
Perwakilan Sementara (MPRS), yang
sebagai pemegang kekuasaan negara yang
tertinggi akan bersidang setiap tiga tahun
sekali. Dalam waktu yang bersamaan
Soekarno mengangkat Dewan Pusat
sebuah Front Nasional.
Front Nasional ini, yang
dimaksudkan untuk mencakup golongan-
golongan Nasionalis, Agama dan
Komunis diberi nama “Nasakom” sebagai
singkatan nama ketiga golongan itu.
Dengan demikian, Soekarno
menggunakan suatu istilah baru bagi
pergerakan tunggal yang sudah sejak lama
didambakannya, yang akan mencakup
semua aliran politik dalam masyarakat.
Upaya Soekarno untuk
mewujudkan sebuah masyarakat yang adil
dan makmur telah gagal. Demokrasi
Terpimpin yang didasarkan atas karisma
dan persuasi sangat bergantung atas
loyalitas PKI dan Angkatan Bersenjata
sebagai kedua blok kekuatan yang paling
baik organisasinya di Indonesia. Tetapi
sejak semula loyalitas itu meragukan,
karena seorang ahli waris politik yang
sedang bersaing kedua golongan itu saling
mengawasi kegiatan mereka masing-
masing dengan kecurigaan yang semakin
besar. Baik perjuangan yang sedang
berkobar melawan imperialisme maupun
Nasakom tidak mampu menjematani
jurang antara kedua blok kekuatan itu
serta organisasi-organisasi massa yang
memihak mereka. Dengan demikian,
Nasakom hanya merupakan suatu
rumusan yang kosong, seperti halnya
Pancasila di masa Demokrasi Liberal,
ketika partai-partai menghimpun
kekuatan masing-masing dan tidak mau
menuangkan ideologi- ideologi mereka
ke dalam tempat peleburan yang telah
dirancang oleh Soekarno, dalam
upayanya menciptakan suatu persatuan
yang mencakup keseluruhannya. Setiap
kali ia menemukan tidak relevannya
sebuah rumusan, ia akan menciptakan
rumusan yang lain.
2. Kebijakan Soekarno dalam
Bidang Ekonomi
Kebijakan ekonomi yang lain
dilakukan Soekarno pada tahun 1958
yaitu dengan menasionalisasikan firma-
firma Belanda menjadi perusahaan
nasional, walaupun kebijakan ini banyak
ditentang oleh beberapa lawan politiknya
terutama kalangan pengusaha swasta luar
negeri tetapi tetap dijalankan oleh
Pemerintahan Soekarno.
Akibat dari adanya kebijakan
nasionalisasi firma-firma ini membawa
dampak perhitungan yang tidak seimbang
bagi pemerintah dibidang ekonomi.
Ekonomi Indonesia yang morat-marit
akibat dari persetujuan KMB yang
mengharuskan Indonesia membayar
pampasan perang Belanda ditambah keras
kepalanya ahli-ahli ekonomi Indonesia
dalam membangun arah ekonomi masa
depan Indonesia menjadi penyebab krisis
yang berlangsung waktu itu.
Berganti-gantinya kabinet rupanya
menimbulkan kepanikan tersendiri,
dimana kebijakan ekonomi yang diambil
seharusnya dapat memecahkan masalah
ekonomi yang terpuruk akibat krisis,
menjadi tambah kacau. Kabinet
Burhannuddin Harahap yang bertugas
masa itu mencoba memperbaiki dan
mengatasi krisis ekonomi untuk
menaikkan gaji pegawai negeri dan
militer. Kebijakan ekonomi pada masa
Demokrasi Terpimpin tidak berjalan baik,
bahkan permasalahan ekonomi tidak
selesai karena pemerintah di bawah
Soekarno tidak pernah serius
melaksanakan programnya, tetapi semua
berada dibawah kontrol asing sebagai
implementasi dari adanya utang yang
menumpuk.
Sejak tahun 1960-1963
kemerosotan ekonomi Indonesia terus
berlangsung dan bertambah parah akibat
berbagai petualang rezim Soekarno.
Penderitaan rakyat semakin hebat pada
tahun 1963 beban hidup rakyat Indonesia
terasa amat menekan sekali. Harga beras
yang mula-mula hanya Rp. 45,00 telah
melompat naik menjadi Rp. 60,00 hingga
Rp. 70,00.
Kepanikan yang dirasakan rezim
Soekarno menghadapi kerusakan
perekonomian Indonesia diselubunginya
dengan petualangan baru yang disiapkan
yaitu penolakan gagasan pembentukan
Malaysia sebagai satu usaha Negara
Kapitalis mengepung Indonesia. Program
ini didukung dengan sepenuhnya oleh
Partai Komunis Indonesia (PKI) karena
bagaimanapun juga PKI sebagai partai
komunis menentang pembentukan negara
yang penuh anti terhadap komunis. Lebih
aneh lagi adalah keterlibatan militer
Nasution untuk memberikan dukungan
penuh kepada Soekarno untuk konfrontasi
dengan Malaysia.
Dalam mengatasi krisis ini
pemerintah menggunakan berbagai cara
diantaranya adalah menggagas adanya
Deklarasi Ekonomi (Dekon) pada tahun
1963. Dekon ini mempunyai program
dengan bekerja membuat berbagai
kebijakan diantaranya :

1. Diciptakan susunan ekonomi yang


bersifat nasional dan demokratis, yang
bersih dari sisa-sisa Imperialisme dan
Feodalisme.
2. Ekonomi sosialis Indonesia, ekonomi
tanpa penghisapan manusia oleh
manusia.

Kebijakan di atas dimaksudkan


supaya tiap warga negara dijamin
mendapat pekerjaan, sandang-pangan,
perumahan, kehidupan kultural dan
spiritual yang layak. Kebijakan dekon ini
juga berhasil mengatasi kemorat-maritan
ekonomi yang terus menggila, pada tahun
1965 pemerintahan Soekarno
mengeluarkan kebijakan dengan
membentuk sebuah badan yang bertugas
menghentikan krisis ekonomi yang
mengamuk dengan hebatnya. Badan yang
dibentuk ini diberi nama dengan
Komando Tertinggi Berdikari (Kotari)
yang bertugas melaksanakan
pembangunan ekonomi atas dasar berdiri
di kaki sendiri (berdikari).
Sebuah tindakan lain di bidang
ekonomi diambil pula oleh rezim
Soekarno. Dikatakan untuk memenuhi
hasrat rakyat Indonesia melaksanakan
prinsip “berdiri diatas kaki sendiri”, maka
di keluarkanlah Penpres pada tanggal 24
April 1965 mengenai penempatan semua
perusahaan asing di Indonesia yang tidak
bersifat domestik di bawah penguasaan
pemerintah Republik Indonesia. Belum
puas dengan membentuk berbagai badan
menangani kemelut perekonomian ini,
maka Soekarno telah membentuk pula
sebuah badan lain bernama Dewan
Pangan Nasional. Dalam badan-badan
tertinggi ini senantiasa Soekarno
menjabat ketuanya, dibentuk oleh
Presidium atau staf pelaksana, tetapi
pekerjaan badan- badan hanya di atas
kertas belaka. Teror PKI semakin
meningkat baik di kota-kota besar
maupun didaerah

Akhir dari Demokrasi terpimpin


Dalam perkembangan selanjutnya,
kekuatan politik pada waktu itu terpusat di
tangan Presiden Soekarno dengan TNI AD dan
PKI di sampingnya. Sehubungan dengan
strateginya yang terus-menerus mendekati
Presiden Soekarno, PKI secara sistematis
berusaha memperoleh citra sebagai Pancasilais
dan yang mendukung kebijakan Presiden
Soekarno yang menguntungkan.14 Berikut ini
adalah konflik-konflik politik dan dampaknya
menjelang akhir dari perjalan demokrasi
terpimpin.
1. Konflik-Konflik Politik
Sebelumnya perlu diketahui bahwa
pada akhir pemerintahan Presiden
Soekarno terjadi konflik antara TNI AD
dan PKI untuk berebut pengaruh dalam
pemerintahan. Sewaktu pimpinan AD
mengadakan rapat untuk menghadapi
PKI, Jendral Soeharto tidak setuju strategi
yang digunakan AD, sehingga mengambil
sikap diam. Sikap diam tersebut dinilai
oleh PKI bahwa Jendral Soeharto tidak
berbahaya terhadap PKI, sehingga tidak
termasuk yang diculik atau dibunuh oleh
PKI dalam pemberontakan G30S/PKI.
Langkah pertama adalah
mengkonsolidasikan dan menggerakkan
pasukan Konstrad serta kesatuan-
kesatuan yang tidak mendukung
G30S/PKI seperti RPKAD (kini
Kopasus), serta menyadarkan pasukan
yang diperalat oleh PKI. RPKAD yang
dipimpin Kolonel Sarwo Edhie Wibowo
(Mertua SBY) dipercaya merebut stasiun
RRI dan kantor besar telekomunikasi dan
berhasil dengan baik. Agar rakyat
menjadi jelas siapa yang benar dan siapa
yang salah sehingga mereka tidak ragu-
ragu membantu pemerintah dan ABRI
untuk menumpas G30S/PKI.
Pusat pertahanan G30S berada di
pangkalan udara Halim Perdanakusuma
dan Lubang Buaya. Tempat-tempat
tersebut dijadikan sarana operasi-operasi
RPKAD dan berhasil dikuasai pada
tanggal 2 Oktober 1965. Keesokan
harinya jenazah para pahlawan revolusi
yang disembunyikan oleh para pelaku
G30S/PKI ditemukan dalam sebuah
sumur tua di daerah Lubang Buaya.
Penemuan tersebut berdasarkan atas
laporan seorang anggota polisi Lalu
Lintas Sukitman yang juga tertangkap
oleh kaum pemberontak saat ia
menjalankan tugas patroli.
Setelah ditemukan tempat
penimbunan jenazah, lalu dilakukan
penggalian. Karena kesulitan teknis,
penggalian dilanjutkan pagi harinya (4
Oktober 1965).Yang berhasil mengangkat
korban adalah anggota kesatuan Intai Para
Amphibi (Kipam) dari KKO AL bersama
RPKAD. Pada tanggal 5 Oktober 1965,
bertepatan dengan hari ulang tahun TNI,
para pahlawan revolusi tersebut
dimakamkan. Bersama enam perwira
tinggi TNI AD, juga dimakamkan dua
korban keganasan G30S/PKI yang lain
yaitu Letnan Satu Brigader Polisi Karel
Sasuit Tubun (pengawal Wakil PM
Leimena) dan Letnan Kolonel Sugiona.
Setelah ibu kota berhasil dikuasai, operasi
penumpasan dilakukan di Jawa Tengah
dan Yogyakarta. Dalam operasi tersebut
berhasil ditangkap para pemimpin
pemberontakan yaitu Letkol Untung,
Suherman, Wisnuraji, Mulyono, Usman,
dan lain-lain. Mereka yang terkangkap
lalu diadili oleh Mahkamah Mahmihub
tersebut, maka menjadi jelas bahwa PKI
adalah perencana dan pelaku
pemberontakan. Oleh karena itu, rakyat
dan TNI menuntut pembubaran partai itu.
Presiden Soekarno kurang
menanggapi tuntutan rakyat tersebut,
tetapi hanya menyalahkan orang-orang
yang terlibat dalam perbuatan kriminal
yang mengakibatkan gugurnya orang
yang tidak berdosa. Presiden juga
menolak tuduhan bahwa PKI terlibat dan
juga tidak mau mengutuk PKI.
Sebaliknya, Presiden Soekarno terus
mempropagandakan Nasakom. Presiden
juga menjanjikan akan melakukan
penyelesaian politik secara adil, namun
tidak pernah menjadi kenyataan.
Sikap Presiden tersebut
mengundang rasa tidak puas di berbagai
kalangan. Rasa ketidakpuasan rakyat
tersebut disalurkan melalui aksi-aksi
massal (demostrasi). Ada yang menyerbu
gedung-gedung atau kantor-kantor milik
PKI, gambar-gambar PKI rusak sehingga
timbul bentrokan antara rakyat dan PKI.
Demonstrasi-demonstrasi tersebut
dipelopori para pemuda dan
mahasiswa.Mereka menuntut
pembubaran PKI dan ormas-ormasnya.
Dengan meningkatnya aksi-aksi
tersebut Presiden Soekarno semakin
kehilangan wibawa dan arah
kepemimpinannya. Sewaktu akan
pelantikan Kabinet Dwikora yang
disempurnakan (24 Februari 1966),
diganggu oleh para demonstran, terutama
Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia
(KAMI). Dalam demonstran tersebut,
Arif Rahman Hakim, terbunuh. Ia
kemudian diangkat menjadi Pahlawan
Ampera. Karena demonstran-demonstran
semakin hebat, KAMI akhirnya
dibubarkan oleh Presiden, sehingga
keadaan semakin meruncing.15
Sampai dengan diberlakukannya
kembali UUD 1945 pada bulan Juli 1959.
Presiden Soekarno adalah pemegang
inisiatif politik, terutama dengan tindakan
dan janji-janjinya yang langsung
ditujukan kepada pembentukan kembali
struktur konstitusional, dengan PKI dan
Angkatan Darat menjadi kekuatan yang
saling memperebutkan bagian-bagian
kekuasaan politik di negara dan
masyarakat.
Pertikaian antara PKI dengan
Angkatan Darat menunjukkan warna dan
corak tertentu dari perjalanan politik dan
pemerintahan terpimpin. Masing-masing
kekuatan tersebut menciptakan jaringan
hubungan bagi dukungan kekuatan
mereka. Keduanya bersandar pada
berbagai lapisan sosial dalam masyarakat.
Dengan demikian, pertentangan antara
keduanya hampir tidak dapat dihindarkan.
PKI dengan segala kemampuan agitasi
dan propaganda membentuk jaringan
organisasinya membina hubungan dengan
kekuatan sosial non partai politik pada
bagian-bagian tertentu dalam masyarakat.
2. Dampak dari Konflik-Konflik
Politik
Peran dan kedudukan partai politik
yang merosot itu dilatarbelakangi oleh
faktor dalam, berupa pertikaian tentang
pelaksanaan program dalam menjalankan
pemerintahan. Pada satu sisi pertikaian ini
dilatarbelakangi oleh belum mantapnya
dasar negara yang menjadi pedoman
kehidupan politik nasional. Akan tetapi,
pertikaian tersebut bukan saja di antara
partai politik, tetapi juga di dalam tubuh
partai itu sendiri. Sementara faktor
luarnya, berupa campur tangan pihak-
pihak tertentu (dalam hal ini Soekarno dan
Militer) secara tidak langsung menjadikan
partai politik berada dalam kondisi yang
tidak memungkinkan mereka
mengembangkan organisasi secara lebih
baik. Faktor lainnya adalah perbedaan
dalam menyelesaikan masalah-masalah
semacam ini secara tidak sadar
berpengaruh sejak awal pembentukan
pemerintahan parlementer di pertengahan
1950. Kekurangan akan sumber-sumber
ekonomi berupa modal, tenaga ahli dan
teknologi, telah menjadi bagian dari setiap
program pemerintah, akan tetapi hampir
dapat dikatakan diabaikan oleh kesibukan
yang bersifat politis.
Keperluan ekonomi juga
merupakan andalan bagi kepentingan
politik, sudah menjadi perhatian sejak
dipersoalkannya bantuan berupa kredit
dari Amerika. Hal ini, semakin menjadi
ketika telah dibuka hubungan diplomatik
dengan Uni Soviet di pertengahan 1950-
an di akhir tahun 1950-an.16 Naik
turunnya keperluan ekonomi juga
dipersoalkan di dalam negeri. Hal ini,
terlihat dari pergolakan daerah di akhir
tahun 1956 dan pemberontakan
PRRI/Permesta di awal 1958. Kerusakan
dari perkembangan ekonomi nasional
mulai terjadi pada kabinet yang cukup
kuat akibat permainan lisensi dan kensesi,
seiring dengan dipersoalkannya
pelaksanaan pemakaian devisa negara
dang angket perekonomian dalam masa
pemerintahan yang sama. Semua ini
terjadi dalam masa parlementer dan
kemudian hal yang sama dalam masa
politik terpimpin.

Kepentingan nasional berupa perjuangan


pengembalian Irian Barat menjadikan
keperluan akan bantuan ekonomi
merubah politik luar negeri yang semua
bebas aktif condong ke Barat menjadi
condong ke Timur. Bantuan Uni Soviet
yang cukup besar dalam perebutan
kembali Irian Barat menjadikan negara
tersebut berpengaruh kuat di permulaan
masa Demokrasi Terpimpin. Akan tetapi
ini menjadi berubah ketika Presiden
Soekarno dipengaruhi oleh politik luar
negeri yang radikal revolusioner dan
politik pembangunan yang bersifat
mercusuar. Keperluan akan ambisi
Presiden Soekarno dimanfaatkan oleh
PKI untuk lebih menarik Indonesia ke
pihak komunis RRC, seiring pula dengan
pemanfaatan kemerosotan ekonomi di
dalam negeri. Dalam hubungan ini
Angkatan Darat berusaha mengurangi
kekiri-kirian politik luar negeri yang ada,
tetapi dengan segala konsekuensi berupa
tindakan-tindakan yang sulit untuk
dimengerti dari PKI terhadap Angkatan
Darat.17Meruncingnya pertentangan ini
bertambah parahnya kondisi sosial
ekonomi mengantar Indonesia ke dalam
kegelapan yang berjuang dengan adanya
Gerakan 30 September (G 30 S).
Kerusakan pada sarana dasar
pembangunan ekonomi menjadi kesulitan
utama perkembangan ekonomi Indonesia
di masa politik dan pemerintahan
terpimpin, apalagi dukungan yang dapat
menggerakkan jalannya roda sistem
politik. Hal ini disebabkan kecuali PKI,
telah dilumpuhkan di akhir tahun 1950-an
oleh Presiden Soekarno. Sementara
dukungan politik oleh PKI kepada sistem
lebih berupa usaha organisasi tersebut
menguasai medan politik yang
berbenturan dengan penguasaan yang
dilakukan oleh Angkatan Darat. Mungkin
jarak yang jauh antara Presiden dengan
kekuatan masyarakat, tidak berfungsinya
lembaga.

E. Kesimpulan
Pemikiran politik Soekarno tentang
demokrasi terpimpin bila dilihat relevansinya
dengan konteks Indonesia saat ini dimana
gelombang demokratisasi sudah menjadi sistem
politik yang mapan eksistensinya dan tidak bisa
ditawartawar lagi, merupakan suatu kekeliruan
besar bila direlevansikan dalam konteks
kekinian, sistem demokrasi terpimpin
merupakan sistem politik yang cenderung
otoriter dan refresif. Sangat jauh berbeda
dengan situasi Indonesia kontemporer sekarang
yang sangat menjunjung tinggi nilai demokrasi.
F. Saran
Semoga pembaca lebih semangat lagi untuk
menggali informasi sejarah Demokrasi
terpimpin, kemudian mengkajinya agar kita
sejarah kita terus terawat, mohon maaf bila
masih ada kekurangan pada tulisan ini.

G. Daftar Pustaka
Amin, S. M., 1967. Indonesia Di Bawah Resim
Demokrasi Terpimpin. Jakarta: Bulan
Bintang.
Bourchier, David dkk, 1994. Demokrasi di
Indonesia Tahun 1950-an dan 1990-1n.
Melbourne:Monash University.
Iman Toto K. Raharjo dan Herdianto WK, Bung
Karno Wacana Konstitusi dan
Demokrasi.
Kardiyat Wiharyanto, A..2011.Sejarah
Indonesia dari Proklamasi sampai
Pemilu 2009.Yogyakarta: USD.
Legge, 2001. Soekarno Biografi Politik. Jakarta:
Sinar Harapan.
Lev, David. The Transition to Guided
Democracy:Indonesians Politics 1957-
1959.1957. Bandung: Remaja
Rosdakarya.
Peraturan pemerintah (PP) No. 12/1960, yang
mengatur pengakuan, pengawasan,
pembubaran partai-partai.
Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho
Notosusanto, 2008. Sejarah Nasional
Indonesia VI: Zaman Jepang dan Zaman
Rebuplik Indonesia , Jakarta, Balai
Pustaka.
Setiono. 2003. Tionghoa Dalam Pusaran
Politik. Jakarta: Elkasa.
Pendahuluan, B., Latar, A., & Penelitian, B.
(2017). Retrieved from
http://repository.upi.edu/28588/4/S_PKN
_1301630_Chapter1.pdf
Setyahadi, M. M. (2018). Analisis Konflik
Politik Elite TNI Pada Masa Demokrasi
Terpimpin (1959-1966). Jurnal
Renaissance, 3(01), 346-357.
SWASTI, A. PERAN SOEKARNO DALAM
DEMOKRASI TERPIMPIN TAHUN
1959-1966.
Ancin, R. S. (2017). DAMPAK NASAKOM
TERHADAP KEADAAN POLITIK
INDONESIA PADA MASA
DEMOKRASI TERPIMPIN TAHUN
1959 -1966 (Doctoral dissertation,
UNIMED).

Anda mungkin juga menyukai