Pertanyaan : Meskipun masa Revolusi dan Demokrasi Parlementer serta Demokrasi Terpimpin
berada di bawah kepemimpinan yang sama yaitu Presiden Soekarno, kondisi birokrasi kedua
masa itu dinilai berbeda.
Berikan analisis saudara tentang kondisi sosial dan perubahan sosial yang terjadi di dua masa
tersebut!
Jawaban :
Keberlanjutan dari Maklumat Pemerintah itu adalah adanya pengumuman dari Badan
Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BPKNIP) tentang perubahan pertanggungjawaban
Menteri kepada Parlemen, dalam hal ini adalah Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP).
Usulan dari BPKNIP itu kemudian disetujui oleh Presiden Soekarno pada 14 November 1945.
Dengan demikian, maka secara otomatis sistem pemerintahan di Indonesia saat itu bukan lagi
presidensial, tetapi menjadi parlementer.
Sistem pemerintahan parlementer yang pertama di Indonesia dimulai pada 14 November 1945
sampai 12 Maret 1946 dibawah kepemimpinan Perdana Menteri Pertama Indonesia, Soetan
Sjahrir atau disebut juga sebagai Kabinet Sjahrir I. Langkah mengubah sistem pemerintahan
Indonesia dari presidensil ke parlementer dianggap sebagai suatu langkah politik ideologi Sjahrir
yang menganut sosial-demokrat dan mendukung sistem demokrasi Barat yang parlemennya kuat.
Demokrasi parlementer di Indonesia semakin kuat dengan memiliki landasan konstitusional,
yaitu Undang-Undang Dasar Sementara 1949 dan 1950. Dalam Undang-Undang Dasar
Sementara 1950 itu menetapkan bahwa lembaga eksekutif, yang terdiri dari presiden sebagai
kepala negara konstitusional dan menteri-menteri memiliki tanggungjawab politik dibawah
seorang perdana menteri sebagai kepala pemerintahan sehari-hari. Kabinet pemerintahan itu
kemudian dibentuk atas dasar koalisi partai-partai di parlemen, namun sering kali koalisi antar
partai itu mengalami keretakan dan menggoyahkan kabinet pemerintahan. Akhirnya karena
seringnya koalisi partai tidak pernah utuh sampai selesai, banyak kabinet pemerintahan di masa
demokrasi parlementer jatuh bangun dengan cepat, ditambah partai yang menjadi oposisi sering
kali menunjukkan sikap kritik destruktif dengan mengangkat sisi negatif partai penguasa, hal ini
menunjukkan bahwa partai politik di Indonesia saat itu belum dewasa.
Menurut Guru Besar Ilmu Politik Universitas Indonesia, Miriam Budiardjo dalam
bukunya Dasar-Dasar Ilmu Politik, demokrasi parlementer di Indonesia dirasa kurang cocok,
karena persatuan dan kesatuan diantara elemen kekuatan politik bangsa dan negara menjadi
kendor dan sulit untuk dikendalikan. Selain itu demokrasi parlementer di Indonesia menurut
Miriam telah melahirkan dominasi partai politik dan lembaga legistalif yang justru mendorong
politik nasional menjadi tidak tidak stabil.
Ketidakstabilan dalam politik nasional Indonesia pada masa demokrasi parlementer disebabkan
karena kebanyakan kabinet pemerintahan hanya bertahan selama delapan bulan, hal ini bukan
hanya berdampak pada bidang politik, tetapi juga menghambat pertumbuhan ekonomi nasional
pada saat itu. Ekonomi menjadi terhambat karena pemerintah tidak sempat melaksanakan
program kerjanya dan ketidaktabilan politik yang terjadi di pusat juga melebar hingga
pemberontakan-pemberontakan yang ada di daerah, seperti Darul Islam, Pemerintahan
Revolusioner Republik Indonesia, dan sebagainya.
Selain ketidakstabilan politik, ekonomi, dan keamanan negara, demokrasi parlementer juga
membuat seorang Soekarno marah. Selama masa demokrasi parlementer, Presiden Soekarno
hanya sebagai seroang kepala negara yang tugasnya tak lebih sebagai “tukang stempel” atau
“rubberstamp”. Selain itu, pihak militer juga menuntut diikutsertakan dalam menyelesaikan
persoalan-persoalan kebangsaan karena merasa bahwa militer lahir dari semangat revolusi
kemerdekaan yang berhak untuk terlibat dalam politik.
Puncak dari ketidakstabilan politik di era demokrasi parlementer adalah gagalnya anggota
Konstituante dalam membentuk suatu undang-undang dasar yang baru bagi Indonesia.
Kegagalan Konstituante itu disebabkan karena para anggota Konstituante yang terdiri dari partai-
partai politik dalam parlemen tidak pernah bekerjasama untuk mencapai konsensus membentuk
undang-undang dasar yang baru. Kegagalan Konstituante itu yang kemudian akhirnya
mendorong Presiden Soekarno mengemukakan apa yang disebut sebagai “Konsepsi Presiden”
pada 21 Februari 1957, dalam konsepsi itu Soekarno mengatakan bahwa demokrasi parlemeter
adalah demokrasi Barat dan harus diganti. Akhirnya puncak dari kekisruhan politik saat itu
berakhir saat, Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang menyatakan
bahwa konstitusi Indonesia kembali pada Undang-Undang Dasar 1945 yang sekaligus
menyudahi kabinet parlementer terakhir yang dipimpin oleh Ali Sastroamidjojo atau yang
disebut sebagai Kabinet Ali II dan seluruh sistem demokrasi parlementer di Indonesia.
Setelah berakhirnya era demokrasi parlementer, Indonesia mulai memasuki fase demokrasi
lainnya, yaitu demokrasi terpimpin. Demokrasi terpimpin dimulai saat Presiden Soekarno
mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Tetapi sebelum dekrit presiden
diumumkan, demokrasi parlementer atau demokrasi konstitusional masih bertahan dengan
adanya pembentukan sebuah kabinet transisi yang dipimpin oleh Ir. Djuanda atau yang disebut
sebagai Kabinet Djuanda. Kabinet Djuanda ini berisi orang-orang yang bukan dari koalisi
dominan partai di palemenen, maka sering kali Kabinet Djuanda disebut juga sebagai Kabinet
Ekstra Parlemen. Kabinet ini terhitung mulai bekerja sejak 9 April 1957 sampai 10 Juli 1959.
Jauh sebelum demokrasi terpimpin terbentuk, Soekarno sebenarnya telah mengemukakan
keinginannya untuk mengubah sistem demokrasi di Indonesia pada 27 Januari 1957 di Bandung.
Gagasan Soekarno itu yang diawali dengan mengungkapkan keinginannya untuk kembali bisa
mencampuri urusan pemerintahan meskipun Konstituante belum selesai membentuk undang-
undang dasar yang baru. Kelanjutan dari pendapatnya itu, kemudian Soekarno mengumpulkan
para pemimpin partai politik untuk membentuk sebuah lembaga yang disebut sebagai Dewan
Nasional.
Puncak dari ide-ide dan konsepsi demokrasi yang diimpikan Soekarno itu adalah pada 21
Februari 1957 yang dikenal dengan nama Konsepsi Presiden. Konsepsi Soekarno itu
dikemukakan dihadapan para menteri kabinet pemerintahan, pemimpin partai politik, dan
perwira angkatan bersenjata. Isi daripada konsepsi itu antara lain:
1. Sistem demokrasi parlementer tidak cocok, harus diganti dengan demokrasi terpimpin.
2. Untuk melaksanakan demokrasi terpimpin harus dibentuk Kabinet Gotong Royong yang
diawali dengan adanya “Kabinet Kaki Empat”.
3. Pembentukan Dewan Nasional yang beranggotakan golongan fungsional sebagai
penasehat Presiden.
Bila disimpulkan, Konsepsi Presiden yang dikemukakan oleh Soekarno intinya adalah; 1)
mengganti sistem pemeritnahan dari parlementer ke presidensial, 2) berusaha merangkul semua
kekuatan politik yang ada, terutama empat partai pemenang pemilu 1955, PNI, Masyumi, NU,
dan PKI, dan juga merangkul pihak militer dalam pembentukan Dewan Nasional.
Konsepsi itu sebenarnya banyak dikritik oleh para pemimpin partai, seperti Muhammad
Natsir dari Masyumi dan Imron Rosjadi dari NU, dan juga sebagian kecil anggota PNI (yang
nantinya akan menjadi PNI Osa-Usep). Puncaknya adalah pada 2 Maret 1957, lima partai yang
terdiri dari Masyumi, NU, PSII, Partai Katholik, dan PRI mengeluarkan pernyataan menolak
konsepsi Soekarno. Sementara PKI satu-satunya yang mendukung penuh konsepsi Soekarno itu
dan sebagian besar anggota PNI (yang nantinya akan menjadi PNI Ali-Soerachman).
Meskipun mendapat tekanan dari partai-partai sayap kanan, Soekarno tetap menjalankan
konsepsinya dengan mengandalkan kekuatan partai-partai sayap kiri, yaitu PKI dan PNI. Pada 14
Maret 1957, keluar undang-undang tentang keadaan darurat dan juga dibentuk sebuah kabinet
transisi dibawah kepemimpinan Ir. Juanda. Puncaknya adalah saat Soekarno kemudian
mencetuskan konsepsinya itu dalam bentuk Dekrit Presiden pada 5 Juli 1959 yang mengawali
era demokrasi terpimpin di Indonesia. Isi daripada Dekrit Presiden itu antara lain: