Anda di halaman 1dari 8

PELAKSANAAN DEMOKRASI TERPIMPIN

Oleh. Frido Paulus Simbolon

A. Latar Belakang
Sejarah politik pada masa demokrasi parlementer hingga demokrasi terpimpin
mewarnai pentas politik nasional. Salah satu fenomena tersebut adalah kekecewaan
Presiden Soekarno yang kecewa terhadap kinerja kabinet-kabinet dalam konstituante pada
masa demokrasi parlementer yang tidak kunjung mencapai kesepakatan terhadap
Undang-Undang Dasar hingga akhirnya Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden
pada tanggal 5 Juli 1959 yang menegaskan berlakunya kembali UUD 1945 sekaligus
membubarkan Konstituante.
Masa antar tahun 1959-1965 adalah periode demokrasi terpimpin.Pengertian dasar
demokrasi terpimpin menurut ketetapan MPR S No. VIII/MPRS/1965 adalah kerakyatan
yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan / perwakilan yang
berintikan musyawarah untuk mufakat secara gotong royong diantara semua kekuatan
nasional yang progresif revulusioner dengan berporoskan nasakom. Adapun ciri-ciri
demokrasi terpimpin adalah sebagai berikut: a) Dominasi presiden, artinya Presiden
Soekarno sangat berperan dalam menentukan penyelenggaraan pemerintahan Negara. b)
Terbatasnya peran partai politik. c) Berkembangnya pengaruh PKI dan militer sebagai
kekuatan sosial politik di Indonesia

B. Lahirnya Demokrasi Terpimpin


Dalam perjalanan sejarah, perkembangan sistem demokrasi yang pernah ada di
Indonesia mulai dari tahun 1945-1959 telah mengalami pasang surut yang tidak henti-
hentinya. Perdebatan dan perbedaan pendapat dalam memilih sistem ketatanegaraan terus
berlanjut di kalangan para pejuang kemerdekaan ketika itu. Walaupun saat itu Indonesia
telah resmi memproklamirkan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945 menjadi
negara yang merdeka, namun UUD 1945 yang diresmikan tanggal 18 Agustus 1945
belum mampu menerapkan sistem presidensill sebagaimana yang tertuang di dalamnya.
Hal ini menunjukkan bahwa pada masa itu masih adanya segelintir rakyat Indonesia yang
belum sepakat dalam menetapkan sistem demokrasi apa yang dipakai dalam menjalankan
roda pemerintahan.
Prinsip Dwitunggal yang berkembang di masa-masa awal kemerdekaan, akhirnya
membuka ruang bagi Muhammad Hatta untuk lebih berperan penting dalam mengatur
pemerintahan. Kurangnya peranan Soekarno ketika itu berdampak pada perkembangan
dunia perpolitikan yang berjalan lamban. Melihat hal seperti ini, maka pada tanggal 16
Oktober 1945 Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) yang pada saat itu bertugas
membantu Presiden menjalankan roda pemerintahan, mengadakan rapat untuk mendesak
Muhammad Hatta yang berkedudukan sebagai Wakil Presiden agar mengeluarkan
maklumat. Maka pada tanggal 3 November 1945 keluarlah Maklumat Presiden yang
hanya ditanda tangani oleh Muhammad Hatta. Maklumat tersebut berisikan anjuran
pembentukan partai-partai politik, yang mana ditegaskan sebagai berikut: Pertama,
pemerintah mendukung timbulnya partai-partai politik agar dapat dipimpin ke jalan yang
teratur segala aliran yang ada dalam masyarakat. Kedua, pemerintah berharap supaya
partai-partai politik telah tersusun sebelum dilangsungkan pemilihan anggota badan-
badan perwakilan rakyat pada januari 1946.1 Dengan dikeluarkannya maklumat tersebut,
akhirnya membuka kesempatan bagi masyarakat luas untuk mendirikan partai-partai
politik.
Sebagai akibat dari penerimaan Demokrasi Parlementer dengan sistem multi partai,
maka dalam kurun waktu 14 tahun (1945-1959) tercatat tujuh kali terjadi pergantian
kabinet, ini berarti umur rata-rata kabinet hanyalah berkisar lebih kurang 15 bulan saja,
akan tetapi ada kabinet-kabinet tertentu yang mampu bertahan lebih dari 2 tahun. Hal ini
menunjukkan bahwa partai politik yang berkuasa ketika itu mampu menjatuhkan
pemerintahan yang sedang berjalan.2
Ada beberapa kekuatan sosial dan politik yang tidak memperoleh saluran dan tempat
yang realistis dalam konstelasi politik, padahal mereka merupakan kekuatan sosial-
politik yang paling penting. Ditambah lagi dengan tidak mampunya anggota-anggota
partai yang tergabung dalam konstituante untuk mencapai konsensus mengenai dasar
negara untuk membuat undang-undang baru. Hal seperti ini menambah lengkapnya
permasalahan yang dihadapi dalam periode Demokrasi Parlementer dengan sistem multi
partai. Karena semakin rumitnya persoalan yang dihadapi bangsa Indonesia mulai dari
tahun 1945-1959, maka Soekarno yang menjabat sebagai Presiden mengeluarkan Dekrit
Presiden 5 Juli 1959 dengan berisikan memberlakukan kembali UUD 1945 dan
1
Wawan Tunggul Alam, Demi Bangsaku, Pertentangan Sukarno Vs Hatta, (Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama, 2003), hlm. 155
2
Mahfud Md, Demokrasi Dan Konstitusi Di Indonesia, Studi Tentang Interaksi Politik Dan Kehidupan
Ketatanegaraan, (Jakarta : Pt. Rineka Cipta, 2003), hlm. 48-49
mengganti Demokrasi Parlementer dengan Demokrasi Terpimpin.3 Peristiwa ini sekaligus
menjadi awal lahirnya Demokrasi Terpimpin dan akhir dari periode Demokrasi
Parlementer.

C. Awal Diterapkan Demokrasi Terpimpin


Soekarno sebagai presiden Indonesia yang pertama pada masa Demokrasi Terpimpin
berusaha untuk memperbaiki keadaan dan perpolitikan secara nasional melalui Dekrit
Presiden . Setiap pidato Soekarno mampu membakar semangat perjuangan kepada rakyat
untuk selalu bersatu membangun bangsa Indonesia menjadi bangsa yang maju. Langkah
Berikutnya yang dilakukan oleh presiden Soekarno untuk membangun Indonesia pada
tahun 1960-an adalah menggunakan konsep “revolusi belum selesai”. Konsep tersebut
merupakan konsep yang digunakan Soekarno untuk menolak ideologi barat yang tidak
sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia setelah berdirinya suatu Negara (Indonesia).4
Pada masa Demokrasi Presidensial terdapat empat kekuatan partai yang mengisi
parlemen yaitu NU, Masyumi,PNI dan PKI. Namun pada kenyataannya Soekarno lebih
memilih partai Komunis Indonesia (PKI) dikarenakan politik poros Soekarno yang lebih
cenderung ke negara Sosialis hal tersebut dibuktikan dengan poros Jakarta-Peking,
Jakarta-Hanoi. Hal tersebut melanggar Undang- Undang Dasar Indonesia yang berpolitik
secara bebas aktif.
Pada masa Demokrasi Terpimpin, presiden Soekarno telah memberikan tempat bagi
PKI dalam sistem perpolitikan nasional karena menurut Soekarno, PKI telah terbukti
mempunyai basis masa terbesar di Indonesia daripada partai-partai lain, atas posisi teresut
Soekarno yang melaksanakan konsepsi NASAKOM (Nasional, Agama dan Komunis)
sebagai landasan Demokrasi Terpimpin dan kolektivitas berbagai partai menjadi satu.
Konsep revolusi yaitu revolusi nasional 17 Agustus 1945, revolusi sosial dan revolusi
komunis menghasilkan jargon “Revolusi Belum Selesai” sangat relevan yang terus
menguat, sehingga mempermudah Soekarno menjalankan sistem Demokrasi Terpimpin
untuk meraih dominasi politik. Dalam konteks Demokrasi Terpimpin hubungan Soekarno
selaku Presiden menjadi dekat dengan PKI. Di sisi lain, Partai Komunis Indonesia (PKI)
memanfaatkan kedekatannya dengan Presiden Soekarno memberikan konsistensi dan
dukungan sepenuhnya atas segala kebijakan yang dilakukan oleh Soekarno. Selanjutnya

3
Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,1998), hlm. 70
4
Aminuddin, Kasdi, 2009, Kau Merah Menjarah (Aksi sepihak PKI/BTI di Jawa Timur 1960-1965,
Surabaya :YKCB-CICS.
PKI mengindoktrinisasi pandangan idealis terhadap Soekrno untukmenggerakkan rakyat
Indonesia melalui jargon yang disampaikan Soekarno.5
Yang menjadi ciri khas dari periode ini ialah dominasi yang kuat dari Presiden,
terbatasnya peranan partai politik, berkembangnya pengaruh Komunis dan meluasnya
peranan ABRI sebagai unsur sosial-politik. Dalam mengemban tugasnya sebagai kepala
pemerintahan, Presiden mempunyai kuasa penuh dalam membentuk/menyusun kabinet,
kemudian melantik menteri-menteri yang ia susun untuk membantunya dalam mengurus
urusan kenegaraan. Dan pada periode ini, Soekarno memberi nama kabinetnya dengan
istilah Kabinet Gotong Royong. Dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 menjadi
langkah awal mulai diterapkannya demokrasi terpimpin dengan sistem presidensill.
Dalam menjalankan demokrasi terpimpin, Soekarno menjadikan sistem presidensill
sebagai alat dalam menjalankan roda pemerintahan. Secara teoritis maupun praktis,
demokrasi terpimpin menjadikan Undang- Undang Dasar 1945 dan Pancasila sebagai
landasan serta pedoman dalam menjalankan roda pemerintahan. Karena hampir seluruh
cita-cita yang ingin dicapai dalam Demokrasi Terpimpin sudah tertuang dalam batang
tubuh (Pembukaan) UUD 1945 dan Pancasila. Maka dalam hal ini, Soekarno menjadikan
Demokrasi Terpimpin dengan sistem presidensill sebagai alat dalam mencapai tujuan dan
cita-cita rakyat Indonesia. Tidak boleh lagi terjadi bahwa rakyat ditunggangi oleh
pemimpin. Tidak boleh lagi terjadi bahwa rakyat menjadi alat demokrasi. Tetapi
sebaliknya demokrasi harus menjadi alat rakyat. Demokrasi Terpimpin tidak menitik
beratkan kepada satu orang sama dengan satu suara, sehingga partai menjadi semacam
agen penjual suara. Tetapi dalam Demokrasi Terpimpin menitik beratkan kepada: a) Tiap-
tiap orang diwajibkan untuk berbakti kepada kepentingan umum, berbakti kepada
masyarakat, berbakti kepada nusa, bangsa dan Negara. b) Tiap-tiap orang berhak
mendapatkan penghidupan yang layak dalam masyarakat, Bangsa dan Negara.6

D. Pra Kontra Demokrasi Terpimpin


Pada masa awal diterapkannya Demokrasi Terpimpin, Soekarno banyak menuai pro-
kontra dari kalangan aparatur Negara ketika itu. Mereka mengganggap Undang-Undang

5
Abi Sholehuddin, e-Journal: Pendidikan Sejarah Volume 3, No 1, JARGON POLITIK MASA
DEMOKRASI TERPIMPIN TAHUN 1959-1965, (Jurusan Pendidikan Sejarah, Fakultas Ilmu Sosial Universitas
Negeri Surabaya, Maret 2015), hlm. 5.
6
Soekarno, Demokrasi Terpimpin, Milik Rakyat Indonesia (Kumpulan Pidato Soekarno), dihimpun
oleh Wawan Tunggul Alam, (Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 2001), cet ke 2, hlm. 177.
Dasar 1945 membuka kesempatan bagi seorang Presiden untuk bertahan sekurang-
kurangnya selama 5 tahun. Akan tetapi ketetapan MPRS No. III/1963 yang mengangkat
Soekarno sebagai Presiden seumur hidup telah membatalkan pembatasan lima tahun
tersebut (Undang-Undang Dasar memungkin seorang Presiden untuk dipilih kembali).
Selain itu banyak lagi tindakan yang menyimpang dari ketetapan Undang-Undang Dasar.
Misalnya dalam tahun 1960 Soekarno sebagai Presiden membubarkan Dewan Perwakilan
Rakyat hasil dari pemilihan umum tahun 1955, padahal dalam Undang-Undang Dasar
1945 secara eksplisit dijelaskan bahwa Presiden tidak mempunyai wewenang untuk
berbuat demikian. Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong sebagai pengganti DPR
yang lalu, ditonjolkan peranannya sebagai pembantu pemerintah sedangkan fungsi
kontrolnya ditiadakan.
Lagi pula pimpinan DPR dijadikan menteri dan dengan demikian ditekankan fungsi
mereka sebagai pembantu Presiden disamping fungsi sebagai wakil rakyat. Hal ini
mencerminkan telah ditinggalkannya doktrin Trias Politica. Dalam rangka ini harus pula
dilihat beberapa ketentuan lain yang memberi wewenang kepada Presiden sebagai badan
Eksekutif untuk campur tangan di bidang lain dari pada bidang Eksekutif. Misalnya
Presiden diberi wewenang untuk campur tangan di bidang Yudikatif berdasarkan
Undang-Undang No. 19/1964 dan di bidang Legislatif berdasarkan Peraturan Tata Tertib
Peraturan Presiden No. 14/1960 dalam hal anggota DPR tidak mencapai mufakat.7
Selain itu terjadi penyelewengan di bidang perundang-undangan dimana berbagai
tindakan pemerintah dilaksanakan melalui Penetapan Presiden (PenPres) yang memakai
Dekrit 5 Juli sebagai sumber hukum. Lagi pula didirikan badan-badan Ekstra
Konstitusional seperti Front Nasional yang ternyata dipakai oleh pihak Komunis sebagai
arena kegiatan, sesuai dengan taktik Komunisme Internasional yang menggariskan
pembentukan Front Nasional sebagai persiapan kearah terbentuknya Demokrasi Rakyat.
Partai politik dan Pers yang dianggap menyimpang dari rel revolusi tidak dibenarkan dan
dibreidel, sedangkan politik menjadi kacau dibidang hubungan luar negeri dan ekonomi
dalam negeri telah menyebabkan keadaan ekonomi dalam negeri menjadi tambah suram.

E. Demokrasi Terpimpin dan Keterlibatan Umat Islam Di Dalamnya


Menurut Soekarno, demokrasi terpimpin adalah demokrasi yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan. Ciri-ciri demokrasi ini adalah

7
Miriam Budiardjo, loc.cit hlm. 69-70
dominasi politik presiden dan berkembangnya pengaruh komunis dan peranan tentara
(ABRI) dalam panggung politik nasional.8 Keterlibatan umat Islam, pada masa demokrasi
terpimpin dibagi menjadi dua, yaitu:
1. Islam dan Demokrasi Terpimpin Proses Kristalisasi (Juli 1959–Desember 1960)
Kabinet Djuanda adalah kabinet peralihan dari periode Demokrasi Parlementer
Demokrasi Terpimpin. Dalam kabinet Soekarno ini, Djuanda tetap diberi posisi
penting sebagai Menteri Pertama yang tugasnya tidak terlalu berbeda dengan tugas
Perdana Menteri. Kabinet inilah yang bertugas melaksanakan gagasan Soekarno
dalam bentuk Demokrasi Terpimpin. Demokrasi gaya baru ini telah membawa
Soekarno ke puncak kekuasaan yang memang sudah lama ia dambakan, tapi karena
fondasinya tidak kokoh, sistem itulah yang akhirnya membawa kehancuran. Sekitar
enam setengah tahun sistem ini beroperasi dalam sejarah kontemporer Indonesia,
secara politik umat Islam tidak saja berbeda pandangan, bahkan terpecah-pecah
berhadapan dengan sistem yang diciptakan Soekarno.
Sikap Masyumi yang menentang ide Demokrasi Terpimpin sementara NU,
PSII, dan Perti turut serta di dalamnya. Masyumi yang beraliansi dengan partai-partai
kecil seperti PSI dan Partai Katolik jelas tidak bisa menolong posisi politiknya.
Secara mikro, di kalangan umat Islam, proses kristalisasi juga menjadi kenyataan.
Soekarno menganggap bahwa Masyumi dan adalah “Kepala Batu” yang harus
disingkirkan, sedangkan NU dan partai Islam yang mendukung sistem demokrasi
Soekarno ini hanya dianggap sebagai peran pinggir, bukan peran utama. Sebenarnya
golongan Islam hanyalah untuk meramaikan jargon Nasakom: suatu bentuk
kerjasama semu dan dipaksakan.9 Namun dibalik itu dalam Majelis Konsituante,
partai-partai Islam pada umumnya dapat menggalang kekompakan sesama mereka,
khususnya pada waktu memperjuangkan islam atau Pancasila ala Piagam Jakarta
sebagai dasar Negara.10
2. Islam dan Demokrasi Terpimpin Periode Kolaborasi
Dengan terbentuknya DPRGR pada april 196, proses kristalisasi politik di
kalangan umat mendapatkan momentumnya yang kritis dan menentukan, dan proses
itu mencapai titik puncak pada akhir 1960 sewaktu Masyumi diperintahkan bubar.
Seiring dengan itu pula, kita menyaksikan permulaan periode kolaborasi antara

8
Ibid., hlm. 76.
9
Maarif, A Syafii, Islam dan Politik di Indonesia pada Masa Demokrasi Terpimpin 1959-1965,
(Jakarta: Gema Insani Press, 1996), hlm.46.
10
Ibid., hlm. 51.
Soekarno dan partai-partai islam, yang berlangsung terus menerus sampai jatuhnya
rezim Demokrasi Terpimpin.11
3. Keterlibatan NU dalam Pemerintahan Soekarno
Peryataan NU tentang penerimaan eksistensi DPRGR adalah dalam rangka
menegakkan prinsip-prinsip amar ma’ruf nahi munkar. Dalam arti praktis, yang
dituju NU adalah bertambahnya jumlah wakil umat Islam dalam DPRGR secara
keseluruhan hingga sebanding dengan wakil-wakil golongan lain. Dalam hal ini
menambah dukungan dari NU untuk kemajuan Islam terhadap Demokrasi Terpimpin
Soekarno.
Kemampuan NU untuk tetap berperan dalam Demokrasi Terpimpin tidak
dapat dipungkiri sangat ditunjang oleh kemampuan para pemimpinnya dalam
menjalin hubungan pribadi dengan Presiden Soekarno. Mereka dapat menjalin
hubungan dengan hangat, karena pemahaman mereka satu sama lain yang sama-sama
dilanasi dengan kuat oleh nilai-nilai budaya jawa. Soekarno diperkirakan turut
memainkan peran di belakang layar ketika NU pada tahun 1952 memutuskam untuk
keluar dari Masyumi.12 Dua tokoh utama NU yang mempelopori pemisahan ini,
yaitu; K.H Wahab Chasbullah dan K.H A. Wahid Hasyim adalah juga tokoh-tokoh
NU yang menjalin hubungan pribadi dengan Soekarno. Khusus mengenai K.H
Wahid Hasyim dan Soekarno, mereka berdua pernah sama-sama terlibat dalam
BPUPKI. Ini menunjang mekanisme hubungan pribadi yang sering dijadikannya
keputusan politik. Sehingga semakin memperkuat dugaan bahwa Soekarno
berkeinginan memisahkan NU dari Masyumi.
Hangatnya hubungan NU dengan Soekarno juga tercermin dalam Koran Partai
NU, Duta Masyarakat. Setiap peryataan Soekarno dalam periode ini, hampir selalu
diberi dukungan oleh para pemimpin NU. Seperti dalam masalah Irian Barat,
Konfortasi dengan Malaysia, pengambilalihan perusahaan asing, Deklarasi Ekonomi
(Dekon), dan keluarnya Indonesia dari PBB.

11
Ibid., hlm. 80.
12
Kanumoyoso, Bondan. Kepemimpinan di dalam NU Pada Masa Demokrasi Terpimpin 1959-1965.
(Jakarta: UI Press, 1996), hlm.99
DAFTAR PUSTAKA

Miriam Budiardjo. 2003. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia Pustaka


Utama.

Maarif, A Syafii.1996. Islam dan Politik di Indonesia pada Masa Demokrasi


Terpimpin 1959-1965. Jakarta: Gema Insani Press.

Kanumoyoso, Bondan. 1996. Kepemimpinan di dalam NU Pada Masa Demokrasi


Terpimpin 1959- 1965. Jakarta: UI Press.

Ubaedillah, A. & Abdul Razak .2012. Pancasila, Demokrasi, HAM, dan Masyarakat
Madani. Jakarta: ICCE UIN Syarif Hidayatullah.

Alam, Wawan Tunggul.2003. Demi Bangsaku, Pertentangan Sukarno Vs Hatta,


Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Mahfud Md. 2003. Demokrasi Dan Konstitusi Di Indonesia, Studi Tentang Interaksi
Politik Dan Kehidupan Ketatanegaraan, Jakarta : Pt. Rineka Cipta.

Anda mungkin juga menyukai