Anda di halaman 1dari 6

TUGAS

SISTEM POLITIK INDONESIA


TENTANG

PERKEMBANGAN SISTEM POLITK INDONESIA PADA MASA ORDE LAMA, ORDE BARU DAN ORDE REFORMASI

OLEH L. ERLAN JULIANTO. S E1B 010 014

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS MATARAM 2013

PERKEMBANGAN SISTEM POLITIK DARI MASA ORDE LAMA SAMPAI MASA REFORMASI

1. Orde Lama Sistem politik Indonesia pada masa orde lama dibagi menjadi 2 yaitu : Orde Lama (Demokrasi Parlementer) dan Orde Lama (Demokrasi Terpimpin). a. Orde Lama (Demokrasi Parlementer) Era 1950-1959 adalah era di mana presiden Soekarno memerintah menggunakan konstitusi Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia 1950. Periode ini berlangsung mulai dari 17 Agustus 1950 sampai 6 Juli 1959 Sebelum Republik Indonesia Serikat dinyatakan bubar, pada saat itu terjadi demo besar-besaran menuntut pembuatan suatu Negara Kesatuan. Maka melalui perjanjian antara tiga negara bagian, Negara Republik Indonesia, Negara Indonesia Timur, dan Negara Sumatera Timur dihasilkan perjanjian pembentukan Negara Kesatuan pada tanggal 17 Agustus 1950.

Sejak 17 Agustus 1950, Negara Indonesia diperintah dengan menggunakan Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia 1950 yang menganut sistem kabinet parlementer. Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia, atau dikenal dengan UUDS 1950, adalah konstitusi yang berlaku di negara Republik Indonesia sejak 17 Agustus 1950 hingga dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959.

UUDS 1950 ditetapkan berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1950 tentang Perubahan Konstitusi Sementara Republik Indonesia Serikat menjadi UndangUndang Dasar Sementara Republik Indonesia, dalam Sidang Pertama Babak ke-3 Rapat ke-71 DPR RIS tanggal 14 Agustus 1950 di Jakarta. Konstitusi ini dinamakan "sementara", karena hanya bersifat sementara, menunggu terpilihnya Konstituante hasil pemilihan umum yang akan menyusun konstitusi baru. Pemilihan Umum 1955 berhasil memilih Konstituante secara demokratis, namun Konstituante gagal membentuk konstitusi baru hingga berlarut-larut.

Sistem Pemerintahan Parlementer Terjadi penyimpangan dari ketentuan UUD 45 antara lain: 1) Berubah fungsi komite nasional Indonesia pusat dari pembantu presiden menjadi badan yang diserahi kekuasaan legislatif dan ikut menetapkan GBHN yang merupakan wewenang MPR.

2) Terjadinya perubahan sistem kabinet presidensial menjadi kabinet parlementer berdasarkan usul BP KNIP Didasarkan pada konstitusi RIS. Pemerintahan yang diterapkan saat itu adalah system parlementer cabinet semu (Quasy Parlementary). Sistem Pemerintahan yang dianut pada masa konstitusi RIS bukan cabinet parlementer murni karena dalam system parlementer murni, parlemen mempunyai kedudukan yang sangat menentukan terhadap kekuasaan pemerintah. Landasannya adalah UUD 50 pengganti konstitusi RIS 49. Sistem Pemerintahan yang dianut adalah parlementer cabinet dengan demokrasi liberal yang masih bersifat semu. Ciri-ciri: 1) Presiden dan wakil presiden tidak dapat diganggu gugat. 2) Menteri bertanggung jawab atas kebijakan pemerintahan. 3) Presiden berhak membubarkan DPR. 4) Perdana Menteri diangkat oleh Presiden.

b. Orde Lama (Demokrasi Terpimpin) Demokrasi terpimpin selalu diasosiasikan dengan kepemimpinan Sukarno yang otoriter. Hal itu berawal dari gagalnya usaha untuk kembali ke UUD 1945 dengan melalui Konstituante dan rentetan peristiwa-peristiwa politik yang mencapai klimaksnya dalam bulan Juni 1959 yang akhirnya mendorong Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden pada tanggal 5 Juli 1959. Dekrit itu dikeluarkan dalam suatu acara resmi di Istana Merdeka, mengumumkan Dekrit Presiden mengenai pembubaran Konstituante dan berlakunya kembali UUD 1945 dalam kerangka sebuah sistem demokrasi yakni Demokrasi Terpimpin. Dekrit yang dilontarkan oleh Presiden Soekarno pada tanggal 5

Juli 1959 mendapatkan sambutan dari masyarakat Republik Indonesia yang pada waktu itu sangat menantikan kehidupan negara yang stabil. Namun kekuatan dekrit tersebut bukan hanya berasal dari sambutan yang hangat dari sebagian besar rakyat Indonesia, tetapi terletak dalam dukungan yang diberikan oleh unsur-unsur penting negara lainnya, seperti Mahkamah Agung dan KSAD. Dengan dikeluarkannya Dekrit Presiden, Kabinet Djuanda dibubarkan dan pada tanggal 9 Juli 1959, diganti dengan Kabinet Kerja. Dalam kabinet tersebut Presiden Soekarno bertindak sebagai perdana menteri, sedangkan Ir. Djuanda bertindak sebagai menteri pertama.

Presiden mempunyai kekuasaan mutlak dan dijadikannya alat untuk melenyapkan kekuasaan-kekuasaan yang menghalanginya sehingga nasib parpol ditentukan oleh presiden (10 parpol yang diakui). Tidak ada kebebasan mengeluarkan pendapat.

Semua lembaga yang pernah ada dibubarkan oleh Presiden dan diganti dengan orang-orang pilihan Presiden sendiri. Presiden Soekarno mendeklarasikan diri sebagai presiden seumur hidup, berkembangnya ideologi NASAKOM, dan Indonesia keluar dari organisasi dunia yaitu PBB. Sebagai akhir dari masa demokrasi terpimpin adalah dengan adanya pemberontakan PKI pada tahun 1965.

2. Orde Baru Pada saat orde baru suharto menjabat sebagai Presiden ditandai dengan adanya Supersemar. Saat orde baru pemerintah ORBA bertekat untuk menjalankan UUD 1945 dan pancasila secara murni dan konsekuwen. Pada saat orde baru mEenggunakan sistem demokrasi pancasila yang di bawah kepemimpinan Suharto dan menganut sistem presidensial. Pada saat kepemimpinan Suharto begitu kuatnya kepemimpinan atau kekuasaan presiden dalam menopang dan mengatur seluruh proses politik, dan itu semua mengakibatkan terjadinya sentralistik kekuasaan pada presiden.

Akibat dari kuatnya kekuasaan Presiden atas pemerintahan maka indikator dari demokrasi tidak terlaksana, yaitu rotasi kekuasaan eksekutif tidak ada, rekruitmen politik di batasi, KKN merajalela. Kepemimpinan suharto banyak sekali diwarnai dengan adanya lobi

politik yang tidak sehat. Maka dapat disimpulkan bahwa memang benar hubungan komunikasi pribadi lebih menentukan dibandingkan dengan saluran komunikasi formal. Kemacetan yang dialami sistem politik Indonesia saat itu menunjukkan bahwa pada akhirnya komunikasi antar partai politik yang mendudukkan wakilnya di DPR/MPR tak lagi bisa menampung aspirasi rakyat.

Contoh yang paling lengkap adalah bagaimana kekuasaan politik Indonesia pada masa terakhir Orde Baru berpusat pada presiden. Seluruh proses komunikasi sistem politik Indonesia akhirnya tergantung pada satu tangan, presiden. Badan legislatif tidak lagi berfungsi sebagai suara rakyat tetapi tak lain hanya mendukung presiden. Kritik yang terlalu keras dilontarkan oleh anggota DPR/MPR akan berakhir dengan pemberhentikan tidak hormat. Kasus Sri Bintang Pamungkas menunjukkan bagaimana monopoli komunikasi itu tidak boleh lepas sedikitpun ketika anggota DPR itu sangat vokal dan kritis. Setelah masyarkat indonesia bosan tentang sistem politik yang dijalankan pada saat ORBA maka puncaknya atas tuntutan seluruh masa ( dimotori oleh Mahasiswa maka tanggal 21 Mei 1998 presiden Soeharto mengundurkan diri dan diganti oleh Wapres Prof.B.J Habibi.

3. Orde Reformasi Setelah masa ORBA telah runtuh maka kemudian munculah masa reformasi, pada saat masa reformasi masih menggunakan demokrasi pancasila dan menganut sitem pemerintahan presidensial. Pelaksanaan demokrasi pancasila pada era reformasi telah banyak memberikan ruang gerak pada parpol maupun DPR untuk mengawasi pemerintah secara kritis dan dibenarkan untuk unjuk rasa.

Saat masa reformasi kemerdekaan dan kebebasan pers sebagai media komunikasi politik yang efektif di sahkan, tidak seperti pada saat ORBA yang diliput pers hanya kebaikannya pemerintah saja yang diberitakan.

Dalam era reformasi ini upaya untuk meningkatkan partisipasi rakyat dalam kegiatan pemerintah semakin terbuka, sehingga sosialisasi politik pun berjalan dengan baik.

Pemerintahan era reformasi merupakan awal untuk menjadi negara yang demokratis, yang sesuai dengan Amandemen UUD 1945 untuk mengatur kekuasaan dalam negara agar lebih demokratis.

Dengan tumbuhnya keterbukaan dalam komunikasi politik, masyarakat semakin tahu hak dan kewajibannya. Bahkan aksi-aksi protes sebagai sebuah masukan kedalam sistem politik menjadi sebuah hal yang tidak aneh. Salah satu manifestasi itu adalah keberanian umat Islam untuk mendirikan partai, sesuatu yang tabu dalam kurun waktu 32 tahun Soeharto berkuasa. Puncak pengekangan itu terlihat dari paket UU Politik dimana asas tunggal partai adalah Pancasila.

Dalam tempo singkat partai-partai berbasiskan Islam bermunculan mulai dari kalangan pendukungnya Nahdhatul Ulama sampai dengan Muhammadiyah. Apakah mereka mampu menampilkan sebuah format komunikasi politik yang bisa memikat umat dalam pemilu mendatang ? Pertanyaan ini sangat menentukan karena pemilu mendatang akan cenderung mengutamakan sifat-sifat distrik dibandingkan proporsional. Konsekuensinya, partai harus memiliki orang-orang yang mampu mengkomunikasikan gagasan-gagasan partainya kehadapan masyarakat.

Jika pemerintah sudah berangsur-angsur membuka diri dan memberikan banyak isyarat tentang keterbukaannya, maka partai-partai pun sudah seyogyanya menampilkan sebuah aksi yang lebih dewasa dan bukannya emosional. Persaingan memperebutkan suara akan lebih ketat karena puluhan partai akan terjun dalam kampanye untuk meraih kursi sebanyak-banyaknya di DPR tingkat daerah atau pusat.

Anda mungkin juga menyukai