Anda di halaman 1dari 7

MENIMBANG ULANG KONSEP GOOD GOVERNANCE

Oleh : Nur Wijaya Kesuma, Alwan Ola, Dewi Batubara, Chusnul Savitri1

1. Pendahuluan
Tata kelola pemerintahan (governance) tidak dapat dilepaskan dari prinsip-prinsip dasar
penyelenggaraan pemerintahan yang baik, yaitu transparansi, partisipasi, dan akuntabilitas
sebagai unsur utama. Terminologi good governance memang belum baku, tetapi sudah
banyak definisi yang coba membedah makna dari good governance. Namun demikian, tidak
dapat disangkal lagi bahwa good governance telah dianggap sebagai elemen penting untuk
menjamin kesejahteraan nasional (national prosperity). Tata kelola pemerintahan yang baik
penting bagi pembangunan dan kapasitas untuk mengatasi masalah-masalah sulit dalam
pengentasan kemiskinan telah menjadi solusi bagi para profesional pembangunan.
Tata kelola pemerintahan yang baik membutuhkan perbaikan yang menyentuh hampir
semua aspek sektor publik—dari lembaga yang menetapkan aturan main untuk interaksi
ekonomi dan politik, hingga struktur pengambilan keputusan yang menentukan prioritas di
antara masalah-masalah publik dan mengalokasikan sumber daya untuk menanggapinya.
Tidak mengherankan, mengadvokasi tata kelola pemerintahan yang baik menimbulkan
sejumlah pertanyaan tentang apa yang perlu dilakukan. dilakukan, kapan perlu dilakukan, dan
bagaimana itu perlu dilakukan
Secara sederhana dapat dikatakan bahwa lokus dari konsep tata kelola pemerintahan
mencakup dua aspek utama, yakni negara dan masyarakat. Aspek pertama direpresentasikan
oleh dua arena, yaitu birokrasi dan lembaga politik. Sedangkan aspek kedua
direpresentasikan oleh masyarakat sipil dan masyarakat ekonomi. Dengan demikian, pada
tingkat yang lebih mikro, pengertian tata kelola pemerintahan (governance) sebenarnya
berkaitan dengan bagaimana empat arena tersebut—birokrasi, lembaga politik, masyarakat
sipil, dan masyarakat ekonomi—berhubungan satu sama lain untuk memecahkan berbagai
masalah yang dihadapi guna mencapai tujuan-tujuan bernegara.
Dalam beberapa kasus kesenjangan yang ada antara mandat umum untuk
meningkatkan tata kelola pembangunan dan dilema yang dihadapi para profesional
pembangunan yang merancang intervensi khusus. Ini berusaha mempersempit kesenjangan

1
Mahasiswa Magister Ilmu Politik Sekolah Pascasarjana Universitas Nasional

1
antara konsep dan praktik. Tinjauan literatur terbaru tentang tata kelola pemerintahan yang
baik (good enough governance) menunjukkan bahwa, meskipun ada kesepakatan umum
tentang pentingnya tata kelola yang baik, masih ada sejumlah pertanyaan yang belum
terjawab tentang lembaga mana yang paling penting dan jenis intervensi apa yang paling
mungkin untuk mempromosikan pembangunan di masing-masing negara dan wilayah.
Grindle juga mengedepankan strategi untuk menjembatani kesenjangan antara apa yang dapat
dipelajari dari penelitian dan keputusan yang harus dibuat di dunia nyata. Menganalisis
konteks untuk perubahan mengarahkan perhatian pada kapasitas negara yang ada, sementara
konten dari intervensi yang diusulkan menentukan kemudahan atau kesulitan untuk
melakukan perubahan tersebut.
Perdebatan tentang tata kelola pemerintahan yang baik diawali dengan adanya definisi
yang berbeda dari berbagai pendapat dan perspektif tentang good governance. Walaupun ada
beberapa kesamaan di seluruh definisi ini—misalnya, tata kelola berkaitan dengan proses
kelembagaan dan aturan main untuk pengambilan keputusan otoritatif—mereka berbeda
secara signifikan dalam hal spesifisitas dan normativitas.

2. Kerangka Teori dan Analisis


2.1 Kerangka Teori
Secara historis kita dapat melihat pada tahun 1989, telah terbangun opini yang sangat
kuat di kalangan komunitas internasional bahwa kurang baiknya tata kelola pemerintahan
merupakan penyebab utama dari lambatnya pertumbuhan ekonomi pada negara-negara di
kawasan Afrika. Keyakinan ini lahir karena dipicu oleh adanya publikasi laporan World Bank
pada tahun 1989, yang antara lain menyebutkan “Underlying the litany of Africa’s
development problems is a crisis of governance. By ‘governance’ is meant the exercise of
power to manage a nation’s affairs” (Mkandawire dalam Syarif Hidayat, 2016).
Jika kembali melihat konsep awal yang dikemukakan oleh Chaucer dan Shakespeare
pada abad ke-17, tata kelola pemerintahan didefinisikan sebagai sebuah metode manajemen
(a method of management) (Osborne dalam Syarif Hidayat, 2016). Dalam perkembangan
berikutnya, tata kelola pemerintahan diartikan sebagai the exercised of authority for
management of collective goods atau dalam arti yang lebih spesifik dimaknai sebagai
penggunaan otoritas ekonomi, politik, dan administratif untuk mengelola urusan negara dan
masyarakat pada semua level (Kaufmann, Kray, & Zoido-Lobaton dalam Syarif Hidayat,
2016).
2
Grindle menjelaskan bahwa tantangan utama bagi konsep good governance adalah
does one size fit for all? Grindle juga menjelaskan, “a universal standard is important in
setting international development agendas, but it has also proved to be particularly
unrealistic and frustrating, especially for countries that have the farthest to go.” Secara
sederhana kondisi ini mensinyalir bahwa konsep dasar dari tata kelola pemerintahan terletak
pada dua aspek utama, yaitu adanya perubahan peran dari masyarakat dalam penyelenggaraan
pemerintahan, dan perubahan kapasitas pemerintah dalam merespons dan memperjuangkan
kepentingan kolektif masyarakat berdasarkan koridor institusi yang ada.

Lembaga Defenisi
World Bank dan IMF Efisiensi administrasi publik, Penegakan hukum, Transparansi, dan
(2005) Akuntabilitas, Pencegahan Korupsi.
USAID Transparansi, Keberagaman, Keterlibatan warga negara dalam
(2005) pembuatan kebijakan, Representasi dan akuntabilitas dalam
penguatan legislatif, Desentralisasi, Antikorupsi, Hubungan sipil-
militer dan Peningkatan implementasi kebijakan.
Hyden et al. Partispasi, Keadilan, Kelayakan, Efesiensi, Akuntabilitas dan
(2004) Transparansi dalam ruang lingkup masyarakat madani, partai politik,
pemerintahan, birokrasi, kelompok ekonomi dan hukum.

Sebagaimana dikatakan oleh Mkandawire bahwa secara historis, ide awal lahirnya
konsep tata kelola pemerintahan yang baik bermula dari diskursus di kalangan para akademisi
di kawasan Afrika terkait dengan upaya untuk merancang konsep pembangunan yang tidak
saja dapat menciptakan pertumbuhan ekonomi yang tinggi, tetapi juga inklusif dan
demokratis. Walaupun demikian, Mkandawire juga menyebutkan bahwa saat ini banyak para
akademisi Afrika itu sendiri tidak menyadari jika inspirasi konsep tata kelola pemerintahan
secara orisinal berasal dari buah pemikiran mereka tentang pemahaman atas realitas sosial,
ekonomi, dan politik kontemporer yang terjadi di tanah airnya. Pencitraan buruk oleh
komunitas internasional terhadap negara-negara di kawasan Afrika tersebut telah memicu
para akademisi untuk mendiskusikan konsep tata kelola pembangunan dan pemerintahan
yang lebih relevan. Secara umum, pemahaman yang berkembangan dilingkaran para
intelektual Afrika ketika itu adalah adanya keyakinan akan pentingnya untuk menghadirkan
relasi negara dan masyarakat
3
2.2 Analisis
Secara sederhana dapat dikatakan bahwa tata kelola pemerintahan lebih diposisikan
sebagai alat untuk mencapai tiga hal, yang pertama: tata kelola pembangunan ekonomi yang
sehat; yang kedua: kehidupan demokratis dan dihargainya hak setiap warga negara; dan yang
ketiga: inklusivitas sosial, dalam arti menjamin setiap warga negara untuk mendapatkan
kehidupan yang layak dan berpartisipasi dalam setiap urusan nasional. Tiga unsur tersebut
memberikan perhatian khusus terhadap keadilan dan inklusivitas. Oleh karena itu, semua
indikator yang semestinya digunakan dalam mengukur keberadaan dan kinerja dari tata
kelola pemerintahan harus diderivasi dari tiga tujuan pokok di atas. Namun, pada
perkembangan berikutnya, terminologi tata kelola pemerintahan (good governance) telah
diadopsi oleh lembaga bisnis internasional, terutama World Bank, dan digunakan sebagai
label baru untuk persyaratan dalam menyalurkan bantuan, dan/atau pinjaman kepada negara-
negara penerima (negara-negara berkembang)—khusunya terkait dengan tuntutan untuk
melakukan apa yang disebut dengan penyesuaian struktural. Sikap World Bank ini
selanjutnya dikenal sebagai Washington Consensus yang merupakan titik awal terjadinya
penyimpangan konsep tata kelola pemerintahan dari ide dasarnya sebagaimana telah diinisiasi
oleh para akademisi Afrika.
Sejumlah pertanyaan konseptual secara esensial diarahkan untuk menikam sedikitnya
tiga isu penting yang sekaligus merupakan kelemahan utama dari konsep tata kelola
pemerintahan. Pertama, apakah tata kelola pemerintahan yang baik hanya diukur berdasarkan
capaian kinerja pembangunan ekonomi atau juga harus mencakup kinerja tata kelola politik
dalam penyelenggaraan negara? Secara implisit, pertanyaan tersebut sedang menggugat
relevansi dari perspektif yang digunakan sejauh ini yang sangat didominasi oleh disiplin
ekonomi.
Kedua, apakah muatan politik sebaiknya dari tata kelola pemerintahan? Bentuk
seperti apa yang diinginkan dari partisipasi masyarakat dan bagaimana semestinya
akuntabilitas yang diperlukan? Beberapa pertanyaan tersebut secara implisit sedang
mengkritisi kegamangan dari pendekatan tata kelola pemerintahan yang cenderung
mengabaikan konteks sosial, budaya, dan politik pada negara bersangkutan.
Ketiga, pertanyaan tentang seberapa universal standar evaluasi tata kelola
pemerintahan dapat diberlakukan secara implisit sedang menggugat keberadaan parameternya
yang cenderung bersifat satu untuk semua
4
Pembangunan masih jauh dari konsensus tentang hubungan antara pembangunan dan
tata kelola yang baik. Ada beberapa hal yang menjadi masalah di sejumlah besar negara
cenderung menemukan bukti keterkaitan yang kuat antara tata kelola dan pembangunan; tata
kelola sering dianggap penting dan penyebab pembangunan. Sebaliknya, negara yang hanya
memfokuskan pada dafenisi tertentu sering menemukan alasan untuk mempertanyakan
hubungan dan mengemukakan argumen yang menghubungkan dampak tata kelola dengan
kondisi tertentu tersebut. Masih ada perdebatan besar yang belum terselesaikan tentang
hubungan antara tata kelola dan pembangunan serta pertanyaan tentang inferensi statistik dan
historis. Selain itu, agenda tata pemerintahan yang baik saat ini lebih bersifat additif daripada
analitik. Sebagai konsekuensinya, praktisi pembangunan—apakah ini penasihat
pembangunan, pemimpin LSM, atau pejabat pemerintah—terus menghadapi daftar panjang
‘hal-hal yang harus dilakukan’ untuk mencapai pemerintahan yang baik, dengan sedikit
panduan tentang bagaimana memilih dan memilih di antara mereka sebagai prioritas. Tidak
diragukan lagi ini adalah langkah ke arah yang benar untuk membatasi agenda ‘hal-hal yang
harus dilakukan’ dengan mengadopsi konsep tata kelola yang cukup baik dan
menggunakannya untuk menargetkan intervensi yang lebih sedikit, lebih bermanfaat, dan
lebih layak. Pada saat yang sama, melanjutkan pemerintahan yang cukup baik dapat
dipromosikan dengan menggunakan sejumlah kerangka kerja analitis yang ada untuk
meningkatkan pengambilan keputusan tentang intervensi tata kelola mana yang harus
dilakukan dalam konteks negara tertentu.
Kerangka kerja analitis ini fokus pada penilaian konteks di mana reformasi tata kelola
akan diperkenalkan dan cara-cara di mana isinya mempengaruhi kepentingan dan kapasitas
kelembagaan. Dengan demikian, analisis kekuatan dan kelemahan negara, upaya untuk
memikirkan hierarki intervensi pemerintahan terkait dengan karakteristik negara; kemampuan
untuk memahami sumber-sumber dukungan dan oposisi yang tertanam dalam ekonomi
politik negara-negara tertentu; dan upaya untuk memahami implikasi dari isi berbagai jenis
inisiatif reformasi untuk sistem konflik dan implementasi—ini disarankan di sini agar para
praktisi dapat meningkatkan kapasitas untuk membuat keputusan tentang apa yang harus
dilakukan di negara tertentu, sementara pertanyaan yang lebih besar tentang hubungan antara
tata kelola dan pembangunan terus berlanjut untuk diperdebatkan.
Semakin banyak tata kelola yang dibutuhkan, semakin sulit untuk mencapai tata
kelola yang cukup baik. Meskipun negara-negara yang lemah dan dilanda konflik
menunjukkan kesenjangan tata kelola yang jauh lebih besar daripada negara-negara yang
5
lebih dilembagakan, negara-negara yang lebih lemah juga menyediakan lingkungan yang
lebih sulit untuk memperkenalkan reformasi tata kelola dan menghadirkan kapasitas yang
lebih sedikit untuk mengatasi tantangan implementasi dari perubahan tersebut. Seperti yang
disarankan dalam kasus beberapa negara yang runtuh dan yang didominasi oleh pemerintahan
pribadi, mungkin ada sedikit yang dibangun untuk memperbaiki tata pemerintahan. Dengan
demikian, tidak ada peluru ajaib, tidak ada jawaban yang mudah, dan tidak ada jalan pintas
yang jelas menuju kondisi tata kelola yang dapat menghasilkan pembangunan dan
pengurangan kemiskinan yang lebih cepat dan lebih efektif.

3. Kritik Terhadap Jurnal


Kelemahan mendasar dari konsep tata kelola pemerintahan dalam menjawab
tantangan reformasi sistem pemerintahan dan pembangunan, terutama di kawasan negara-
negara berkembang, adalah karena menerapkan parameter yang cenderung bersifat satu untuk
semua (one fits for all). Berdasarkan kelemahan tersebut, cukup beralasan bahwa konsep
good governance telah mempengaruhi apa yang disebut sebagai pemikiran generasi baru,
yang lebih menekankan pada pentingnya memahami konteks reformasi kebijakan, institusi,
dan proses berlangsung. Dalam jurnal Grindle hanya menyebutkan bahwa desain intervensi
kebijakan pada suatu negara pasti tidak mengabaikan waktu, ruang, pengalaman historis, dan
kapasitas yang dimiliki, tanpa mempertimbangkan pendekatan sosial dan kondisi latar
belakang suatu negara. Pada lain hal kelemahan yang mendasar, ialah konsep good
governance juga belum terbukti bahwa, jika suatu negara menerapkan konsep good
governance yang dijabarkan diatas lalu tata kelola pemerintahan juga akan berjalan dengan
baik.
Secara sederhana, bahwa konsep good enough governance yang ditawarkan oleh
Grindle tersebut lebih menekankan pada upaya untuk menjembatani ketimpangan (gap)
antara konsep dan implementasi pada tingkat realitas. Dengan kata lain, Grindle tidak secara
gamblang mempertanyakan kelayakan dan relevansi dari konsep dasar tata kelola
pemerintahan itu sendiri. Hal ini menunjukan bawha konsep good governance belum atau
kurang relevan jika diterapkan dalam suata negara tanpa mempertimbangkan aspek sosial,
budaya. Selain itu Grindle juga memberikan suatu kepastian bawha konsep good governance
dapat dijalankan dengan tepat pada sasaran yaitu menyentuh semua elemen, dan memberikan
kepastian dan kenyamanan.

6
Kritik terhadap konsep maupun implementasi kebijakan tata kelola pemerintahan pun
mulai muncul dipermukaan, baik yang berasal dari para akademisi maupun praktisi. Ved P.
Nanda (dalam Syarif Hidayat, 2016), misalnya, secara tegas mengatakan untuk dapat berhasil
dalam melakukan reformasi tidak cukup hanya menghadirkan tata kelola pemerintahan yang
baik, tetapi juga harus didukung demokrasi, kepemilikan, komitmen serta tidak diabaikannya
konteks budaya dan sejarah negara bersangkutan. Sementara itu, Grindle menyebutkan bahwa
satu diantara kelemahan mendasar dari konsep tata kelola pemerintahan dalam menjawab
tantangan reformasi sistem pemerintahan dan pembangunan di kawasan negara-negara
berkembang adalah karena menerapkan parameter yang cenderung bersifat satu untuk semua.

4. Penutup
Setelah melakukan analisis dan kajian terhadap beberapa teori di atas, kita dapat
mengambil kesimpulan sementara bahwa konsep good governance mengalami suatu
pembiasan dalam hal defenisi dan implementasi. Pembiasan tersebut terjadi ketika konsep
tersebut diadopsi oleh lembaga-lembaga internasional—antara lain Wold Bank, IMF, dan
USAID—dijadikan sebagai persyaratan dalam menyalurkan bantuan dan/atau pinjaman
kepada negara-negara penerima (negara-negara berkembang), khususnya terkait dengan
tuntutan untuk melakukan apa yang disebut dengan pembangunan yang bersifat struktural.
Relasi antara negara dan masyarakat menjadi sangat penting dalam suatu negara, sehinggah
konsep good governance mestinya harus mempertimbangkan tata kelola pembangunan
ekonomi yang sehat, kehidupan masyarakat yang demokratis bagi setiap warga negara, serta
menjamin adanya kesejahteraan sosial.

Anda mungkin juga menyukai