Disusun Oleh:
Nur Alfiana Aurial J
Haswila
Hasna
Aulia putri
DOSEN:
Dr. Abdi , M.Pd
Puji dan Syukur kami panjatkan kepada Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat
dan karunia-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini guna memenuhi tugas
kelompok untuk mata kuliah Manajemen pelayanan publik, dengan judul “New Public
Service”.
Kami menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini tidak terlepas dari bantuan
banyak pihak yang dengan tulus memberikan doa, saran, dan kritik sehingga makalah ini
dapat terselesaikan.
Kami menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna
dikarenakan keterbatasannya pengalaman dan pengetahuan yang kami miliki. Oleh karena
itu, kami mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari berbagai pihak. Semoga
makalah yang kami buat ini dapata bermanfaat untuk pengetahuan kita semua.
Penulis
DAFTAR ISI
Halaman Judul
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang..........................................................................................................1
B. Rumusan Masalah.....................................................................................................2
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan..................................................................................2
A. Kesimpulan...............................................................................................................16
B. Saran.........................................................................................................................17
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
New Public Service lahir sebagai anti thesa dan berusaha mengkritik New Public
Management, yang dianggap gagal di banyak negara. New Public Management memang
sukses diterapkan di Amerika Serikat, Kanada, Inggris, Selandia Baru, dan beberapa
negara maju lainnya, tetapi bagaimana penerapannya di negara-negara berkembang?
Kenyataannya, banyak negara berkembang, termasuk Indonesia dan negara miskin,
seperti negara-negara di kawasan benua Afrika yang gagal menerapkan konsep New
Public Management karena tidak sesuai dengan landasan ideologi, politik, ekonomi, dan
sosial-budaya negara yang bersangkutan.
Tujuan dan manfaat dari penulisan makalah ini, yaitu untuk mengetahui apa
yang dimaksud dengan New Public Service dan apakah Indonesia sudah menerapkan
konsep New Publik Service atau belum.
BAB II
KAJIAN TEORITIK
PEMBAHASAN
New Public Service adalah paradigma yang berdasar atas konsep-konsep yang
pada hakikatnya sesuai dengan nilai-nilai yang ada di masyarakat. Peran dari pemerintah
adalah mengolaborasikan nilai-nilai yang ada sehingga kongruen dan sesuai kebutuhan
masyarakat. Sistem nilai dalam masyarakat adalah dinamis sehingga membutuhkan
pelayanan yang prima dari pemerintah. Dengan adanya New Public Service yang dapat
diterapkan dengan baik, diharapkan dapat membantu menjawab berbagai permasalahan
yang ada dalam lembaga pemerintahan serta dalam kehidupan masyarakat.
Dalam administrasi publik apa yang dimaksud dengan kepentingan publik dan
bagaimana kepentingan publik diwujudkan tidak hanya tergantung pada lembaga negara.
Kepentingan publik harus dirumuskan dan diimplementasikan oleh semua aktor baik
negara, bisnis, maupun masyarakat sipil. Pandangan semacam ini yang menjadikan
paradigma New Public Service disebut juga sebagai paradigma Governance. Teori
Governance berpandangan bahwa negara atau pemerintah diera global tidak lagi diyakini
sebagai satu-satunya institusi atau aktor yang mampu secara efisien, ekonomis dan adil
menyediakan berbagai bentuk pelayanan publik sehingga paradigma governance
memandang penting kemitraan (partnership) dan jaringan (networking) antar banyak
stakelholder dalam penyelengaaraan urusan publik.
1. Secara generik, ukuran keberhasilan birokrasi sendiri sudah tidak sesuai dengan
tuntutan organisasional yang baru. Di Indonesia, birokrasi di departemen atau
pemerintahan paling rendah, yang diutamakan adalah masukan dan proses, bukan hasil.
Karenanya, yang selalu diperhatikan oleh para pelaku birokrasi adalah jangan sampai ada
sisa pada akhir tahun buku (birokrasi lama).
2. Birokrasi kita tidak pernah menyadari bahwa ada perubahan besar di dunia. Di mana
semua hal harus mengacu kepada pasar, bisnis harus mengacu kepada permintaan pasar,
dan kalau mau berhasil dalam kompetisi harus mampu melayani pasar. Pasar birokrasi
adalah seluruh masyarakat, yang dilayani oleh birokrasi bukannya pejabat pemerintahan
atau pimpinan birokrasi itu sendiri, tetapi rakyat. Birokrasi di Indonesia sangatlah
Commanding dan sentralistik, sehingga tidak sesuai dengan kebutuhan zaman masa kini
dan masa depan, di mana dibutuhkan kecepatan dan akurasi pengambilan keputusan.
Selain itu dengan posisinya yang strategis, birokrasi di Indonesia tak bisa menghindar
dari berbagai kritik yang hadir yaitu:
Jika kita lihat dari pendapat R. Nugroho Dwijowiyoto penerapan New Public
Service masihlah belum terlaksana karena masih banyaknya masalah-masalah yang
masih perlu dibenahi sehingga menghambat proses penerapan konsep New Public
Service ini.
Kemudian jika mengacu kepada prinsip-prinsip dari New Public Service itu
sendiri ada beberapa berinsip yang masih belum terpenuhi. Berikut beberapa prinsip
yang belum terpenuhi dan juga kendala yang dihadapi :
1. Mengutamakan Kepentingan Publik (Seeks the Public Interest)
New Publik Service berpandangan aparatur negara bukan aktor utama dalam
merumuskan apa yang menjadi kepentingan publik. Administrator publik adalah
aktor penting dalam sistem kepemerintahan yang lebih luas yang terdiri dari warga
negara, kelompok, wakil rakyat, dan lembaga-lembaga lainnya.
4. Tahu kalau Akuntabilitas bukan Hal yang Sederhana (Recognize that Accountability
is not Simple)
Hal diatas masihlah belum terlaksana dengan baik karena kadangkala ditemui
adanya pelayanan publik yang mendahulukan pelayanan terhadap pihak yang
mempunyai kedudukan ataupun masyarakat yang menggunakan uang untuk
mempercepat proses dari pelayanan tersebut. Misalnya pembuatan KTP, agar
prosesnya cepat selesai maka seseorang membayar si pelayan public tersebut
sedangkan seseorang yang tidak membayar dilayani dengan wajar dan kadang
cenderung diundur-undur. Hal ini menunjukan bahwa proses pelayanan masih
mengikuti kemampuan seseorang untuk membeli atau membayar suatu produk jasa.
1. Pengaruh budaya lama (budaya feodal) Dalam mengadopsi sistem administrasi, maka
tidak bisa dengan utuh langsung diterapkan di sebuah negara atau daerah, karena pasti
budaya setempat mempengaruhi dengan kuat ketika akan mempraktekkannya. New
Publik Service atau good governance sulit untuk di terapkan di Indonesia, karena
budaya masyarakat Indonesia yang biasa melayani kepentingan penguasa, maka
aparatur yang seharusnya melayani warga masyarakat, malah berbalik arah untuk
minta dilayani, dan masyarakat pun dengan senang hati melayani kepentingan atau
kemauan penguasa dalam hal pengurusan permasalahan administrasi pemerintahan.
2. Politisasi Administrator Daerah Tuntutan otonomi daerah pada saat reformasi tahun
1998, merupakan bentuk dari ketidakpuasan daerah dalam rangka pembagian
kekayaan daerah dengan pusat, walaupun hanya daerah-daerah tertentu (daerah yang
kaya, seperti Riau, Aceh, Kaltim, dsb) yang menuntut ruang yang lebih besar dalam
pengelolaan kekayaannya, atau mereka akan melepaskan diri dari NKRI. Dalam
perkembangannya otonomi daerah dengan sistem pemilihan kepala daerah (Pilkada)
secara langsung, dimana kepala daerah merupakan jabatan politis yang dicalonkan
oleh partai, sehingga unsur politis tidak akan pernah lepas dari corak dan gaya
kepemimpinannya.
Administrator daerah dalam hal ini kepala daerah sebagai jabatan politis maka
akan banyak kepentingan politis yang lebih mempengaruhi dalam pelaksanaan
administrasi pemerintahan. Ini bisa terlihat setiap ada pergantian kepala daerah, maka
pasti akan diikuti oleh pergantian pejabat eselon yang ada, tanpa alasan yang jelas
hampir semua pejabat diganti, dengan alasan menempatkan orang yang loyal, dan ini
menyebabkan pejabat eselon juga menjadi mandul, tidak kritis terhadap kebijakan
yang tidak berpihak pada rakyat, karena takut jabatannya di copot. Kemudian bisa di
pastikan ada kesepakatan-kesepakatan politik antara kepala daerah terpilih dengan
partai yang mencalonkannya, minimal pada pembagian proyek-proyek daerah. Dan
masih banyak yang lainnya. Dapat kita simpulkan bahwa permasalahan yang ada di
Indonesia dalam pelaksanaan administrasi publik, secara garis besar adalah pengaruh
budaya lokal yang tidak bisa bertransformasi langsung dengan baik terhadap konsep-
konsep yang kita ambil dari luar, oleh karena itu, kita masih membutuhkan waktu
yang lama untuk melakukan perubahan budaya ke arah yang lebih baik.
Kemudian yang kedua adalah politisasi dalam pelaksanaan administrasi publik
yang sangat kental dan pengaruh politik ini bisaa menjadi dominan, dalam
menentukan kebijakan publik. Selagi administrasi publik belum bisa melepaskan diri
dari ranah politik maka kebijakan publik pun tidak akan pernah lepas dari kepentingan
politik.
4. Kinerja Pegawai Rendah Sudah jadi rahasia umum kan, kalau etos kerja pegawai
pelayanan publik kita buruk. Ini termasuk masalah kedisiplinan yang rendah, attitude
dalam memberikan pelayanan yang kurang baik, maupun kurang tegasnya sanksi bagi
pegawai yang berkinerja buruk. Ya, disini kita sedang membicarakan tentang tidak
ramah saat memberikan pelayanan, tidak tepat waktu, lambat, kebanyakan ngobrol,
sering bolos kantor untuk belanja di pasar, dan lain sebagainya. Jadi bagaimana
pelayanan publik bisa maksimal kalau pegawai-nya tidak disipilin, berkinerja rendah,
dan tidak takut berbuat kesalahan karena tidak adanya sanksi yang tegas. Sebagai
contoh mudah, soal sering ngaret-nya jam buka pos pelayanan (apapun itu), yang
mengakibatkan antrean panjang. Masyarakat jadi korban.Persoalan pelayanan publik
di Indonesia secara singkat dapat dikelompokkan kedalam 3 hal, yaitu :
1. Paradigma pelayanan publik dan mentalitas aparat Aturan dan regulasi yang ada
sebenarnya sudah meneguhkan tanggung jawab Negara dalam memberi pelayanan,
namun ironisnya banyak ditemukan kasus yang menggambarkan buruknya pelayanan
public di Indonesia. Selain itu, belum berubahnya sikap dan paradigma dari aparat
pemerintah dalam pemberian pelayanan yang masih rules-driven atau berdasar
perintah dan petunjuk atasan, namun bukan kepuasan masyarakat. Setiap aparat
harusnya memahami esensi dari pelaksanaan tugasnya kepada masyarakat.
3. Belum ada regulasi yang memadai Regulasi yang ada belum mampu meyakinkan
bahwa kewajiban Negara semestinya diiringi dengan kemampuan member pelayanan
yang terbaik kepada warganya. Selain itu, partisipasi masyarakat dalam proses
pemberian layanan belum optimal, meski terdapat perangkat yang dapat mendukung
upaya itu.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dengan demikian dari paradigma the new public service yang dipaparkan
diatas, penulis berpendapat bahwa semua ini menekankan pada partisipasi warga
negara dalam merumuskan program-program layanan publik yang berpihak pada
kebutuhan warga negara, memiliki hak yang sama, memberi ruang bagi partisipasi
publik dan transparansi para penyedia layanan dalam menghadapi warga negara,
akuntabilitas sesuai dengan program, norma dan implementasi yang dijalankan
lembaga birokrasi selama ini. Paradigma pelayanan publik minimal yang harus
diterapakan provider kepada user adalah akumulasi berbagai program yang
berorientasi pada pilihan sekaligus suara publik sebagai cerminan dari perjuangan
yang digalakkan pemerintah menuju paradigma pelayanan publik yang mau
mendengar suara warga negara sebagai bahan pertimbangan dalam memutuskan
setiap kebijakan pelayanan publik, termasuk didalamnya pelayanan KTP, Akte
Kelahiran, IMB, dan sejenisnya. Hingga saat ini Indonesia sudah mulai mengadopsi
konsep New Public Service.
Namun hanya saja dalam pelaksanaanya masih dihadapkan dengan berbagai
macam kendala, yaitu :
1. Pengaruh budaya lama (budaya feodal)
2. Politisasi Administrator Daerah Tuntutan otonomi daerah pada saat reformasi tahun
1998, merupakan bentuk dari ketidakpuasan daerah dalam rangka pembagian
kekayaan daerah dengan pusat, walaupun hanya daerah-daerah tertentu (daerah yang
kaya, seperti Riau, Aceh, Kaltim, dsb) yang menuntut ruang yang lebih besar dalam
pengelolaan kekayaannya, atau mereka akan melepaskan diri dari NKRI.
3. Kurangnya sosialisasi dari Pemerintah Semua urusan sebenarnya sudah ada
peraturannya, tapi sayangnya, peraturan-peraturan itu kurang disosialisasikan. Jadi
kita seperti buta saat mencoba mencari tahu tentang sesuatu, seperti masuk ke dalam
labirin. Informasi mengenai kejelasan mengenai peraturan dan prosedur baku (SOP-
Standart Operating Procedure) yang berlaku masih sangat kurang. Padahal, ini sangat
penting, terutama di pos-pos pelayanan masyarakat yang strategis. Misalnya perihal
pengurusan administrasi kependudukan, seperti KTP, Sertifikat Tanah, Paspor, atau
Surat Nikah.
4. Kinerja Pegawai Rendah Ini termasuk masalah kedisiplinan yang rendah, Attitude
dalam memberikan pelayanan yang kurang baik, maupun kurang tegasnya sanksi bagi
pegawai yang berkinerja buruk.
B. Saran
https://perspektif.bdkpalembang.id/index.php/perspektif/article/download/15/13
http://repository.uin-suska.ac.id/13155/7/7.%20BAB%20II_2018385ADN.pdf
https://osf.io/35tgj/download/?format=pdf
https://stia-saidperintah.e-journal.id/ppj/article/download/39/47/
http://repository.stei.ac.id/1953/5/NASKAH%20PUBLIKASI%20SKRIPSI%20bahasa%20df
https://news.detik.com/opini/d-1273191/penerapan-new-public-management-di-indonesia-