Anda di halaman 1dari 16

PENALARAN ETIKA DALAM KEBIJAKAN PUBLIK

Di Susun Untuk Memenuhi Tugas Pada Mata Kuliah Etika Administrasi


Publik

Disusun Oleh:

Nama : Fahriah
NPM : 17120349
Dosen : Drs. H. Abdul Wahid M.AP
Heny Yuliastri, S.AP,M.I.KOM
Kelas : NON-REG BANJARMASIN B

JURUSAN ADMINISTRASI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK
UNIVERSITAS ISLAM KALIMANTAN MUHAMMAD ARSYAD AL-
BANJARI
2018
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum WR WB

Puji syukur penulis penjatkan kepada Allah S.W.T. yang telah


memberikan nikmat kesehatan jasmani dan rohani, nikmat Islam dan Iman
sehingga penulis dapat menyelesaikan salah satu tugas perkuliahan di jurusan
Ilmu Administrasi Negara untuk memenuhi tugas pada Mata Kuliah Etika
Administrasi Publik dengan judul “Penalaran Etiks Dalam Kebijakan Publik”.
Shalawat dan salam semoga tetap tercurahkan pada junjungan kita Nabi Akhir
zaman Nabi Muhammad S.A.W. semoga pertolongan Beliau tetap pada kita
semua sebagai umatnya, Amin Ya Robbal Alamin.

Terciptanya makalah ini tidak terlepas dari bantuan dan dukungan dari
berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis ucapkan terima kasih yang tiada
terhingga dari hati penulis kepada semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan
satu persatu namanya yang telah bercurahkan akal pikiran, semangat juang, dan
bantuan baik materil maupun moril pada penulis sehingga terciptalah tugas
makalah ini.

Penulis berharap semoga makalah ini dapat menjadi bacaan bagi semua
kalangan semoga bermanfaat dalam pengembangan ilmu pengetahuan. Akhir kata
penulis menyadari tiada yang sempurna di dunia ini tiada gading yang tidak retak
dan tiada kata yang tidak tersilap. Oleh karena itu, penulis mohon kepada para
kalangan diharapkan tegur dan sapa untuk memberikan kritikan dan saran yang
bersifat membangun dari para pembaca sekalian guna terciptanya makalah yang
lebih baik lagi di masa mendatang sehingga bermanfaat bagi semua kalangan.

Wassalamu’alaikum WR WB

i
DAFTAR ISI...........................................................................................................ii

BAB I : PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang............................................................................1


1.2 Rumusan Masalah.......................................................................2
1.3 Tujuan Masalah...........................................................................2

BAB II : PEMBAHASAN

2.1 Perlunya Kriteria Etika Dalam Kebijakan Publik.....................3


2.2 Manajemen Nilai Tahap Perkembangan Kesadaran Moral......4
2.3 Etika Individual Dan Tipe-Tipe Penalaran Etika......................7
2.4 Etika Institusional Dan Budaya Etika.......................................9
2.5 Memutuskan Pilihan Etis Dalam Kebijakan Publik..................10

BAB III : PENUTUP

3.1 Kesimpulan...............................................................................12
3.2 Saran..........................................................................................12

DAFTAR PUSTAKA............................................................................................13

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Salah satu agenda reformasi dalam bidang administrasi adalah
publik adalah mengupayakan terwujudnya Good Goverment yaitu sitem
penyelenggaraan pemerintahan yang bersih,bertanggungjawab dan
profesional yang ditandai adanya aparat birokrasi pemerintah yang
senaniasa mengedepankan terpenuhinya public accountability and
responsibility. Untuk itu setiap aparat birokrasi pemerintah yang ada
diseluruh level pemerintahan harus memiliki rasa kepekaan
(responsivennes) terhadap kepentingan masyarakat maupun terhadap
masalah-masalah yang ada harus dipecahkan dimasyarakat,
bertanggungjawab dalam pelaksanaan tugas/pekerjaan, dan harus pula
bersifat representif dalam pelaksanaan tugas. Hal ini berarti dihindarinya
penyelahgunaan wewenang ataupun tindakan yang melampaui wewenang
yang dimiliki baik ditinjau dari berbagai peraturan yang berlaku maupun
dari nilai-nilai etika administrasi publik dan etika pemerintahan. Dan perlu
ditekankan pula bahwa Good Governance hanya akan terwujud apabila
setiap aparat birokrasi pemerintahan dalam pelaksanaan tugasnya
senantiasa melandasi pengambilan kebijakan dengan prinsip ekonomis,
efisien dan efektif sebagai perwujudan tanggung jawab yang bersifat
obyektif, disamping adanya tanggung jawab yang bersifat subyektif yaitu
sikap tidak membedakan kelompok sasaran pembangunan dan senantiasa
berupaya mewujudkan keadilan serta adanya keterbukaan/kejujuran.
Dalam paradigma dikotomi politik dan administrasi pemerintah
memiliki 2 fungsi yang berbeda, yakni fungsi politik dan fungsi
administrasi. Fungsi politik berkaitan dengan pembuatan kebijakan dan
fungsi administrasi berkaitan dengan pelaksanaan kebijakan-kebijakan
tersebut. Hal ini berarti kekuasaan membuat kebijakan publik berada pada
satu kekukasaan politiksedangkan pelaksanaan atas kebijakan politik ini

1
merupakan kekuasaan dari administrasi publik. Disinilah etika diperlukan
untuk dijadikan pedoman, referensi, dan petunjuk tentang apa yang
dilakukan dalam menjalankan kebijakan politik ini.
Etika juga mempengaruhi bukan saja prilaku para penyelenggara
administrasi publik tetapi perilaku masyarakat yang menjadi objek
penetapan kebijakan. Birokrasi sebagai penyelenggara administrasi publik
bekerja atas dasar kepercayaan yang diberikan oleh rakyat. Hal ini berarti
bahwa rakyat berharap adanya jaminan bahwa dalam penetepan kebijakan
publik etika senantiasa dijadikan dasar.
Dalam pelaksanaan kebijakan publik yang dihasilakn dari adanya
kesepakatan politik, birokrat sebagai penyelenggara administrasi publik
dituntut untuk menerapkan etika-etika dalam adminstrasi publik,
mengingat sebagai public servant, birokrat memiliki tanggung jawab
moral terhadap masyarakat sebagai objek dari public service.

1.2 Rumusan Masalah


1. Bagaimana Perlunya Kriteria Etika Dalam Kebijakan Publik?
2. Bagaimana Manajemen Nilai Tahap Perkembangan Kesadaran Moral?
3. Bagaimana Etika Individual Dan Tipe-Tipe Penalaran Etika?
4. Bagaimana Etika Institusional Dan Budaya Etika?
5. Bagaimana Memutuskan Pilihan Etis Dalam Kebijakan Publik?

1.3 Tujuan Masalah


1. Perlunya Kriteria Etika Dalam Kebijakan Publik
2. Manajemen Nilai Tahap Perkembangan Kesadaran Moral
3. Etika Individual Dan Tipe-Tipe Penalaran Etika
4. Etika Institusional Dan Budaya Etika
5. Memutuskan Pilihan Etis Dalam Kebijakan Publik

2
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Perlunya Kriteria Etika Dalam Kebijakan Publik


Kebijakan publik merupakan upaya pemerintah dengan keputusan-
keputusan dan tindakan-tindakannya yang didesain untuk menangani
masalah-masalah pelayan publik dengan semua keprihatinannya (C. L.
Cochran, 2005 : 1). Bukan hanya proses pengambilan keputusan, tapi juga
analasisnya. Dari perspektif nilai, kebijakan publik merupakan tindakan atau
kebijakan yang mengatasnamakan pemerintah untuk mangalokasikan sumber
daya-sumber daya dalam upaya untuk mencapai nilai bersama yang
diutamakan (M. Considine, 1994 : 3).
Agar ada nilai-nilai bersama yang bisa menjadi acuan dan kriteria
dalam menghadapi masalah-masalah, praktik yang profesional harus
mengintegrasikan kriteria kedalam kebijakan publik. Dengan kriteria etika
ini, pemecahan dalam perbedaan pendapat atau pengambilan keputusan
memprioritaskan pertimbangan kepentingan publik, terutama kepentingan
mereka yang ada dalam posisi paling tidak beruntung. Dasar pemikirannya
ialah kesetaraan pelayanan publik harus memungkinkan semua warga negara
mempunyai kesempatan yang sama. Sedangkan prioritas diberikan kepada
yang paling tidak beruntung karena mereka secara struktural sudah dalam
posisi lemah. Untuk menjamin pemenuhan kebutuhan sosial dalam rangka
pencapaian tujuan kolektif dibutuhkan solidaritas sosial. Dasar pemikiran
seperti ini tidak diperoleh dari kompetensi teknis atau leadership, tetapi
dipelajari melalui logika atau teori etika.
Prinsip etika publik semacam itu sangat membantu memberi landasan
pertimbangan etis pejabat publik dalam menentukan kebijakan publik karena
dalam masyarakat selalu ada “pihak yang paling tidak diuntungkan”, bisa
kaum miskin, yang tersingkir/kalah dilapangan persaingan, kelompok gender
atau kelompok minoritas. Dengan demikian kemampuan teknis untuk

3
menganalisa masalah masih perlu dilengkapi dengan kemampuan menangkap
pertaruhan etis yang biasanya tidak lepas dari masalah keadilan.
Kemampuan ini mengandalkan kompetensi etika. Menurut Brown,
kompetensi etika meliputi kemampuan dalam manajemen nilai, terampilan
dalam penalaran moral, bisa diandalkan berkat moralitas individual, moralitas
publik dan etika organisasi. Manajemen nilai dituntut bila organisasi dalam
pelayanan pablik tidak sentralistis dan hierarki, tapi pemimpin
mendelegasikan atau melimpahkan tanggung jawab kebawahan supaya
semakain tumbuh inisiatif, kreativitas dan produktivitas. Pelimpahan
tanggung jawab yang lebih besar kepada anggotanya itu membuat konsep”
nilai” menjadi berperan didalam strategi etika publik karena pengakuan akan
nilai-nilai dasarlah menawarkan landasan bertindak dalam pelayan pablik.

2.2 Manajemen Nilai Tahap Perkembangan Kesadaran Moral


Nilai selalu dilihat sebagai sesuatu yang berharga dalam hidup. Ada
setidaknya tiga pendapat yang menjelaskan tentang nilai.
a. Nilai biasanya dihubungkan dengan kenyakinan dasar bahwa cara
bertindak atau cara hidup tertentu secara pribadi atau secara sosial
lebih dipilih atau dianggap baik dari pada yang lain karena
meningkatkan kualitas hidup. Tentu saja pemahaman nilai dalam
kerangka kenyakinan ini masih bisa diperdebatkan karena unsur
subjektifitas.
b. Kolthoff memahami nilai sebagai hal yang berharga atau pantas yang
berupa prinsip atau standar perilaku yang menggandung kualitas
mekipun tidak bisa diobjektifasi.
c. J. S bowman memahami nilai sebagai prinsip atau kualitas hidup yang
bermakna bagi seorang atau kelompok sosial. Maka nilai bermakna
karena memberi bobot dalam menentukan suatu pilihan tindakan atau
sarana untuk suatu tujuan dan berperan sebagai pengarah perilaku
atautindakan dalam situasi tertentu. Contoh nilai ialah hormat pada

4
martabat manusia, solidaritas, ekonomi yang adil, tolerans, kejujuran,
kesetaraan, kebebasan, tanggung jawab.

Defenisi tentang nilai itu menjelaskan hubungan antara etika publik


dan nilai. Etika pulik merupakan refleksi kritis yang mengarahkan
bagaimana nilai-nilai dipraktekan. Nilai ada dalam tataran ideal,
keyakinan keyakinan atau sikap yang dipegang seseorang yang mendasari
hubungan pribadi, sosial atau politik.

Dalam konteks pelayanan publik sebetulnya nilai tidak lagi hanya


subjektif bila diukur atau dikaitkan dengan demensialtruis, yaitu
keutamaan yang mencerminkan keperhatian atau kepedulian terhadap
kesejahteraan dan kebaikan orang lain. semakin suatu terarah kepada
kesejahteraan atau kepentingan pihak lain bahkan sampai pada
pengorbanan diri, semakin nilai itu dipertanggung jawabkan karena sesaui
dengan etika universal dan meningkatkan kebaikan bersama. Namun tidak
semua orang memiliki kesadaran seperti itu, karena moral berkembang
sesuai dengan pengalaman , pengetahuan, pelatihan atau pembiasaan, dan
lingkunganya.

Menurut Lawrence perilaku etis seseoarang tergantung pada


pemahaman moral dan kemampuan mengidentifikasi serta menalar dalam
berhadapan dengan delema moral. Jadi, tindakan etis tidak hanya masalah
melakukan yang baik dan benar, keputusan untuk melakukan sesuatu
tergantung pada bagaimana seseorang merumuskan dilema moral didalam
suatu visi etika tertentu.

1. Tingkat pra- adat


Pada tinggkat ini aturan budaya , baik/ buruk , salah ditafsirkan
dalam konsekuensi fisik atau hedonis seperti hukuman atau pujian ,
sifatnya masih orentasi pertukaran. Acuanya masih pada kekuasaan
fisik yang bisa memberi aturan aatu label. Tingkat pra-adat terdri dua

5
tahap, yaitu tahap pertama, orientasi pada hukuman atau ketaatan, dan
tahap kedua, berorientasi pada keuntungan diri dan kesalingan.
2. Tingkat adat
Pada tingkat adat ini ukuran baik/buruk, banar/salah sudah
menjawab harapan keluarga atau kelompoknya sehingga dianggap
bernilai meski membawa konsekuensi langsung. Sudah tumbuh sikap
untuk menyesuaikan terhadap harapan orang lain., tatanan sosial, dan
loyalitas kelompok. Tingkat adat dalam perkembangan kesadaran
moral terdiri dari dua tahap, yaitu tahap ketiga berupa orientasi pada
harapan, hubungan antar pribadi, dan keseragaman, serta tahap
keempat mulai menyadari kewajiban terhadap masyarakatt dan sistem
sosial.
3. Tingkat paska-adat
Pada tingkat paska-adat sudah mengupayakan untuk
mengidetifiklasikan prinsi-prinsip dan nilai-nilai moral yang sah dan
bisa diterapkan terlepas dari pengaruh kelompok atau orang yang
memegang prinsip- prinsip tersebut, bahakn bila harus mengorbankan
acuan identifikasinya kekelompok. Tingkat paska-adat meliputi dua
tahap, yaitu tahap kelima yang menekankan kontrak sosial dan
manfaat sosial dan keenam yaitu etika universal.

Jadi pemahaman tentang nilai bisa berbeda tergantung pada tingkat


kesadaran moral seseorang. Namun masalahnya bukan lagi subjektif
karena mengakui adanya ukuran bersama didalam bersikap atau bertindak.
Cara penalaran seseorang cendrung mencerminkan tingkat kesadaran
moral yang dominan. Ada kemumngkinan tahap perkembangan kesadaran
moral melompat tanpa mengikut urutan tahap yang ada. Namun
kemungkinan lain bisa juga terjadi yaitu orang yang sudah mencapai tahap
tertentu mengalami kemunduran. Sinyalemen ini menunjukan bahwa
godaan untuk mengutamakan kepentingan diri. Keluarga atau kelompok
masih akan selalu menghantui keputusan-keputusan dalam kebijakan
publik. Jadi, meskipun pertimbangan dalam keputusannya mencerminkan

6
ia berada di tahap keenam dalam kesadaran moral, masih mungkin dalam
situasi atau konteks tertentu ia tergelincir mundur menggunakan
pertimbangan yang hanya menguntungkan kelompoknya atau dirinya
sendiri.

2.3 Etika Individual Dan Tipe-Tipe Penalaran Etika


Etika individual mempunyai objek tindakan manusia sebagai individu
dengan memperimbangkan kebebasan dan maksud, atau diarah secara
rasional. Tekanan pemikirannya difokuskan pada kualitas moral prilaku.
Kehendak baik dan pencairan keutamaan diarahkan untuk mempertajam
makna dan tanggung jaawab. Dalam konteks ini, hati nurani merupakan hasil
pendidikan dan pembiasaan. Maka kesadaran modal seseorang berkembang
disetiap tahapnya dengan menggunakan penalaran moral tertentu saat
menghadapi dilema moral. Etika individual berperan sebagai faktor stabilisasi
tindakan yang berasal dari dalam diri pelaku. Maka pembatinan nilai-nilai
moral atau pencapaian keutamaan sangat membantu dalam membentuk
integritas pribadi. Jadi, integritas pribadi adalah hasil dari proses yang
panjang.
Dalam etika individual, kebebasan premis-premisnya (argumennya
koheren) sudah mencukupi untuk memberi pembenaran tindakan. Jadi, dalam
penalaran etika individual, hubungan antara visi dan tindakan adalah
langsung.
Ada tiga tingkat dalam penalaran moral :
1. Penalaran moral berupa penilaian khusus. Penilaian ini
memberikan alasan dari penyataan-pernyataannya. Penilaian ini
terjadi ketika menghadapi suatu kejadian atau situasi kongkret:
pertama-tama muncul suatu proses, ketidakpuasan, perasaan tidak
bisa menerima perlakuan tidak adil. Pada tingkat ini penafsiran
etika atau persepsi sudah melihat alternatif tindakan dan
dampaknya bagi pihak-pihak yang terlibat.

7
2. Penilaian etis atau rumusan tentang apa yang baik yang harus
dilakukan. Dalam tingkat ini, sudah mengacu ke aturan-aturan
moral. Penilaian moral didukung oleh aturan-aturan yang datang
dari komunitas dan lembaga-lembaga sosial. Tetapi supaya
aturan-aturan ini mempunyai relevansi, mereka harus diukru dari
prinsip-prinsip dasar. Maka perlu memahami prinsip-prinsip dasar
etika dan teori-teori normatif. Pada itngkat ini ikut dibahas tidak
hanya prinsip-prinsip, tetapi juga tipe-tipe penalaran etika :
a. Tipe deontologi
b. Tipe situasiohis atau ekstrinksikalis serta komunitarian
c. Tipe telelogis yang aturan-aturannya mendapat pembenaran
atas dasar tujuan tindakan, maksud dan konsekuensi harus
baik
d. Tipe altrus dalam keadilan.
3. Penerapan norma-norma moral menuntut bahwa etika publik
sungguh mempunyai efektivitas sosial, artinya bagaimana agar
motivasi untuk beritndak lebih efektif. Dalam sistem tindakan,
perlu idealisasi makna tindakan agar memperoleh legitimasi dan
menggerakkan.

Supaya tipe-tipe penalaran etika yang telah disebut dalam tingkat


kedua penalaran modal bisa dipahami lebih baik, maka perlu penjelasan satu
demi satu. Dalam tipe deontologi, yang disebut baik secara moral adalah
kehendak baik tanpa pamrih. Kehendak baik terwujud dalam menjalankan
kewajian demi kewajiban. Nilai moral tidak terletak pada hasil atau akibat
tindakan, tetapi dalam kesadaran subjek.

Berbeda dari tipe deontologi adalah telelogi. Tipe telelogi yang


dikembangkan oleh aristoteles, dikaitkan dengan finalitas atau tujuan.
Menurut telelogi, baik/buruk, benar/salah suatu tindakan ditentukan oleh
kecendrungan yang menghasilkan konsekuensi yang secara intrinsi
baik/buruk, benar/salah (L. Cahill, 1984 : 603). Telelogi menekankan gagasan

8
baik selagi tujuan yang diarah dan kepuasan hasrat yang mau dicapai secara
bertahap. Jadi dalam telelogi ada kecendrungan tindakan kearah mencari
manfaat.

Tipe situasionisme menekankan prinsip bahwa sementara


memperlakukan aturan-aturan dan nilai-nilai masyarakat dengan serius, tetapi
berani melanggar peraturan itu bila dengan cara tersebut kesejahteraan atau
kepentingan masyarakt bisa dipenuhi.

Beragamnya tipe penalaran etika menunjukkan ada beragam


kemungkinan pemecahan didalam menghadapi dilema moral. Setiap tipe
penalaran mempunyai kekuatan dan kelemahannya, tetapi dalam etika publik,
ukuran utama adalah bagaimana agar pelayanan publik menjadi semakin
berkualitas dan relevan. Jadi, kinerja dan hasil menjadi keprihatinan utama.
Efektivitas dan efisiensi menjadi ukuran meski harus tetap memperhitungkan
tumbuhnya solidaritas dan memperhatikan mereka yang paling tidak
beruntung, yang miskin, terpinggirkan atau kelompok minoritas. Tipe-tipe
penalaran tersebut juga membantu melengkapi kelemahan pendekatan yang
satu menunjukan keterbatasanatau kelebihan yang lain dalam menghadapi
kasus-kasus tertentu.

2.4 Etika Institusional Dan Budaya Etika

Etika publik mengandalkan pada etika institusional. Etika publik


sebagai etika institusonal berarti mau mengorganisir tanggung jawab. Maka
etika konstitusional masuk kedalam etika sosial. Objek etika sosial adalah
politik, strategi dan praktik kelompok, praktis komunitas dan lembaga-
lembaga sosial. Objek etika sosial tidak hanya masalah tingkah laku dan
tindakan individu didalam masyarakat, tetapijuga berkaitan langsung dengan
struktur sosial dan tindakan kolektif. Oleh karena itu, dari sudut epistemologi,
etika sosial mengandalkan pengetahuan sosiologi tentang rasionalitas sosial.

Keputsan untuk menerima atau menolak struktur sosial tertentu


merupakan bagian dari keputusan etis. Maka etika publik sebagai etika

9
institusional tidak hanya manyangkut keputusan individual tetapi juga
tindakan kolektif. Ilustrasi yang secara jernih menjelaskan mekanisme etika
institusional ini ialah dualitas struktur A. Giddens yang didefinisikan sebagai
“pembentukan agen dan struktur bukan dua fenomena terpisah, tetapi
merupakan dualitas, atinya bagian strktural sistem sosial adalah sekaligus
sarana dan hasil interaksi yang berulang dan terpola yang diorganisisr”
(1984:19,25: 1994:129).

Giddens melihat adanya dua struktur, artinya bahwa struktur sosial


dibentuk oleh pelaku, namun sekaligus menjadi sarana pembentukan itu
sendiri yang mempengaruhi tindakannya (ibid, 129). Jadi, struktur sosial
merupakan tujuan atau hasil dari interaksi yang berulang dan terpola, namun
sekaligus manjdi sarana yang mengondisikan tindakan.

Persoalan etika sosial menyeruak karena semakin kompleksnya


kehidupan masyarakat modern berbarengan dengan globalisasi masalah-
masalah sosial, politik, ekonomi, dan budaya. Jangkauan telaah etika sosial
pun semakin luas, bukan saja melibatkan hubungan antarkelompok
masyarakat namun keluarga antaretnis atau negara.

Etika sosial memiliki keterkaitan antara aspek-aspek yang sangat luas.


Etika sosial disamping menyangkut kedudukan individu ditengah suatu
sistem sosial juga akan memerlukan lebih banyak konseptualusasi maupun
aplikasi yang bersifat multi-facet. Hal ini disebabkanoleh kenyataan bahwa ia
memerlukan pemikiran-pemikiran serius tentang interaksi antar manusia,
peran negara secara etis, peran pengusaha/pengambil keputusan, dan juga
sikap-sikap sosial yang berkembang dalam masyarakat sendiri. Etika sosial
juga mempersoalkan hak setiap pranata.

2.5 Memutuskan Pilihan Etis Dalam Kebijakan Publik

Kekeliruan di dalam mengambil kuputusan kebijakan publik publik


bisa dianggap sebagai bentuk kesalahan moral, artinya pejabat publik bisa
bersalah dihadapkan pada tanggung jawabnya terhadap orang lain yang harus

10
menanggung resiko, konsekuensi atau akibat dari kebijakan atau tindakannya
(Ricover, 1991).

Dalam analisa kebijakan publik, etika seharusnya diperhitungkan


sebagai dimensi dari setiap langkahnya. Hanya menjadi bagian dari integral
dari kebijakan publik yang tercermin dalam lima langkah prosesnya, etika
mampu meningaktkan kualitas pelayanan publik dan mengembalikan
kepercayaan masyarakat. Kelima langkah analisa kebijakan publik itu,
menurut Murger, melipti

(a) rumusan masalah,

(b) selesi kriteria,

(c) pembandingan alternatif dan seleksi kebijakan,

(d) pertimbangan terhadap aspek politik dan organisasi,

(e) implementasi dan evaluasi program (2000:7-21)

Kebijakan publik seharusnya peka terhadap ketimpangan-


ketimpangan. Untuk memiliki kepedulian, pejabat publik tidak bisa
mengabaikan kompetensi etika. Jadi pendidikan atau pelatihan etika publik
harus masuk kedalam :

a. Pemahaman macam-macam penalaran etika


b. Terjun langsung kepengalaman untuk menghadapi kasus-kasus
kongkret pelayanan publik yang penuh dilema etika
c. Mengidentifikasi infrastruktur etika untuk diintegrasikan ke manajemen
organisasi

Ketiga materi itu akan membantu mengembangkan tingkat kesadaran


moral pejabat publik sehingga etika pejabat publik selalu diperhitungkan

11
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Kebijakan publik merupakan upaya pemerintah dengan keputusan-
keputusan dan tindakan-tindakannya yang didesain untuk menangani
masalah-masalah pelayan publik dengan semua keprihatinannya. Dalam
konteks pelayanan publik sebetulnya nilai tidak lagi hanya subjektif bila
diukur atau dikaitkan dengan demensialtruis, yaitu keutamaan yang
mencerminkan keperhatian atau kepedulian terhadap kesejahteraan dan
kebaikan orang lain. semakin suatu terarah kepada kesejahteraan atau
kepentingan pihak lain bahkan sampai pada pengorbanan diri, semakin
nilai itu dipertanggung jawabkan karena sesui dengan etika universal dan
meningkatkan kebaikan bersama. Namun tidak semua orang memiliki
kesadaran seperti itu, karena moral berkembang sesuai dengan
pengalaman, pengetahuan, pelatihan atau pembiasaan, dan lingkunganya.
Kebijakan publik seharusnya peka terhadap ketimpangan-
ketimpangan. Untuk memiliki kepedulian, pejabat publik tidak bisa
mengabaikan kompetensi etika.

3.2 Saran
Kebijakan bukan hanya sekedar membuat peraturan atau
sejenisnya. Tetapi untuk menciptakan sebuah kebijakan untuk semua
kalangan agar mendapatkan imbasyang baik, dibutuhkan etika atau tekhnik
dalam membuat peraturan itu sendiri sehingga menimbulkan kenyamanan
bagi para obyekyaitu para masyarakat.

12
DAFTAR PUSTAKA

Haryatmoko. 2011. Etika Publik Untuk Integritas Pejabat Publik Dan Politisi.
Jakarta: Pt Gramedia Pustaka Utama

Kencana Syafiie, Inul. 1999. Ilmu Administrasi Publik. Jakarta: PT Rineka Cipta

Kumorotomo, Wahyudi. 2013. Etika Administrasi Negara. Jakarta: Rajawali Press

Magnis, Franz, dan Suseno. 1987. Etika Dasar Masalah-Masalah Pokok Filsafat
Moral. Yogyakarta: Kanisius

Pasolong, Harbani. 2014. Teori Administrasi Publik. Bandung: Alfabeta

Yatiman Abdullah, M. 2006. Pengantar Studi Etika. Jakarta: PT Raja Grafindo


Persada

13

Anda mungkin juga menyukai