Anda di halaman 1dari 9

REVIEW

BUKU “MENGAPA NEGARA GAGAL”

DAN KONSTEKTUALISASI INDONESIA HARI INI

Oleh: Mohammad Setiawan1


Pendahuluan

Ada negara kaya, ada negara yang jatuh miskin. Beberapa diantaranya dilepas
dari kemusnahan. Menurut data World Bank, Luxembourg lebih kaya tiga ratus lima
puluh kali lipat dibanding Burundi2. Pendapatan rata-rata pendudukan negara kecil
yang berada di dataran Eropa tersebut pada tahun 2017 sebesar 104,1 ribu dolar AS.
Sedangkan pada tahun yang sama, pendapatan rata-rata penduduk Burundi hanya
mendekati 300 dolar AS. Gambaran kedua negara ini boleh jadi bagi sebagian orang
hanya perkara yang biasa. Sebagian lainnya mungkin mengganggap itu takdir. Namun,
Daron Acemoglu dan James A. Robinson bukan tipe orang semacam itu. Dihadapan dua
ekonom tersebut, ilustrasi diatas adalah rangkaian misteri yang mesti ditelusuri.
Walhasil, mereka menyelidiki dan menuliskannya dalam sebuah buku berjudul Why
Nations Fail: The Origins of Power, Prosperity, and Poverty (2012). Di Indonesia, buku
tersebut terbit pada tahun 2017 dengan judul Mengapa Negara Gagal: Awal Mula
Kekuasaan, Kemakmuran, dan Kemiskinan.

Tesis awal yang diajukan Acemoglu dan Robonson dari karya “Mengapa Negara
Gagal” ialah sistem yang bersifat inklusif dengan perlembagaan ekonomi yang inklusif
akan mendorong kemajuan ekonomi, kemudian sistem ekonomi ekstraktif dengan
kelembagaan yang ekstraktif pula akan mendorong kemunduruan ekonomi dan
menyisakan penderitaan. Sedangkan dari sudut pandang politik kedua penulis buku
mengungkapkan kemajuan politik didorong oleh sistem kelembagaan politik yang
inklusif. Lantas bagaimana dengan kemiskinan yang terjadi di Indonesia? Jika dilihat
dari kaca mata teori Acemoglu dan Robinson, maka dapat dikatakan bahwa kemiskinan
yang tejadi di Indonesia juga disebabkan karena institusi politik-ekonomi yang berlaku

1
Mahasiswa Magister Ilmu Politik Sekolah Pascasarjana Universitas Nasional Jakarta
2 . Burundi, Republik Burundi adalah negara tanpa laut didaerah Danau Besar di tengah benua Afrika.

Negara ini berbatasan dengan Rwanda di Utara, Tanzania diselatan dan timur, dan Republik Demokratik
Kongo di barat.
di Indonesia. Selama ini, para penguasa menerapkan sistem politik-ekonomi ekstraktif,
dimana hanya sebagaian kecil orang yang berada dalam lingkaran kekuasaan yang
memiliki akses terhadap politik dan menggunakannya untuk menguasai ekonomi,
sehingga hanya mereka yang menikmati kekayaan dan kesejahteraan, sementara rakyat
kebanyakan hidup dalam kemiskinan. Namun untuk mencapai kesimpupan ini, terlebih
dahulu kita harus melihat institusi politik di Negara kita hari ini.

Profil Singkat Penulis

Daron Acemoglu adalah seorang Profesor Ilmu Ekonomi dari Massacusetts


Intitute of Technology. Di tahun 2005, beliau pernah memenangkan John Bates Clark
Medal sebagai ekonom berusia di bawah 40 tahun yang dianggap telah memberikan
kontribusi besar bagi pengembangan pemikiran dan ilmu ekonomi. Kemudian James A.
Robinson merupakan pakar politik, ekonomi dan Profesor ilmu pemerintahan di
Harvard University. Pakar masalah ekonomi politik di Amerika Latin dan Afrika itu
pernah bekerja di Bostwana, Mauritius, Sierra Lone, Afrika Selatan. Kedua penulis
tersebut menghabiskan waktu selama 15 tahun untuk menyelesaikan karya
penelitianya mengenai latar belakang negara-negara gagal di dunia dari sudut pandang
ekonomi dan politik.

Pembahasan Buku

Menarik baca karya Daron Acemoglu dan James A. Robinson dengan judul “Why
National Fail – Origin of Power, Prosperity dan Proverty”, New York: Crown Business,
2012, yang telah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia. Cetakan pertama dari buku
terjemahan ini terbit tahun 2014. Buku tersebut telah tiga kali dicetak ulang, yaitu pada
tahun 2015, 2017, dan 2017. Buku yang telah dicetak ulang dengan rentang yang
pendek ini menunjukan bahwa buku ini diterima secara positif oleh pasar dengan
dibuktikannya menjadi buku laris (best seller). Buku ini menjelaskan pertanyaan besar,
mengapa di era globalisasi seperti sekarang ini masih ada negara yang kaya dan negara
yang miskin? Apakah benar, bahwa keberhasilan negara ditentukan oleh faktor budaya,
letak geografis, dan perbedaan iklim?

Menurut penulis bukan itu sebabnya, jika benar itu adalah penyebabnya
mengapa banyak negara yang memiliki kesamaan latar belakang budaya dan etnis serta
berdekatan secara geografis sehingga berada didalam iklim yang sama dapat
mengalami keberhasilan yang jauh berbeda? Ditunjukan anatara Korea Utara yang
miskin serta Korea Selatan yang makmur dan sejahtera. Bagaimana keduanya dapat
berbeda, padahal berada di semenanjung yang sama dengan iklim yang sama, serta
dihuni penduduk dengan latar belakang etnis dan budaya yang sama? Jika bukan faktor-
faktor tersebut, lalu apa yang menjadi penentunya? Jawabannya adalah sistem ekonomi
politik.

Tesis yang diajukan oleh Acemoglu dan Robinson dari karya “Mengapa Negara
Gagal” ialah sistem ekonomi yang bersifat inklusif, dengan perlembagaan ekonomi
inklusif maka akan mendorong kemajuan ekonomi, lain hal jika menggunakan sistem
ekonomi ekstraktif. Dengan perlembagaan ekstraktif maka akan mendorong
kemunduruan ekonomi, menyisakan penderitaan, dan gagal sebagai negara. Dalam
buku, ada tiga faktor yang membedakan keduanya yaitu, apakah negara tersebut
memiliki sistem politik demokratis atau otoriter, apakah memiliki struktur intensif yang
dapat diakses oleh semua penduduk atau cenderung bias kepada kepentingan elite, dan
apakah negara itu mengalami pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan karena
mengikuti kemajuan teknologi ataukah tidak? Negara yang inklusif adalah negara yang
memiliki sistem politik yang demokratis, tidak bias kepada kepentingan elite, dan
memiliki pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Sementara itu, negara yang
ekstraktif bersifat sebaliknya.

Acemoglu dan Robinson dalam memberikan pandangan ekonomi politik dengan


memberikan narasi dari sejarah perkembangan ekonomi politik, sebagaimana dia
mengungkapkan hubungan suku bangsa, budaya dan posisi geografis sebetulnya tidak
menentukan pertumbuhan ekonomi suatu negara. Dalam mengawali bab-nya mereka
mengungkapkan bahwa kemajuan Amerika Serikat bukan karena faktor kekayaan alam,
contoh yang dikemukakan ialah Nagolas di Arizona Amerika Serikat dengan Nagolas di
Sonora Mexico, dimana Nagolas di Arizona lebih sejahtera dibandingkan Nagolas di
Sorona. Dalam menjawab fenomena negara tersebut penulis mengatakan bahwa dua
negara memiliki budaya yang sama, iklim yang sama, letak geografis yang sama, namun
memiliki kondisi ekonomi yang berbeda. Kondisi tersebut karena Negolas dibawah
kekuasaan politik Amerika Serikat yang cenderung bebas dalam mencari pekerjaan,
mendapatkan fasilitas publik yang memadai bagi warganya dikarenakan konstitusi
Amerika Serikat melindungi hak kepemilikan pribadi. Berbeda dengan Negolas pada
Negara Mexico, dimana negata ini cenderung otoriter dan tidak memiliki keleluasaan
bagi masyarakatnya dalam jaminan kesehatan, pendidikan dan pekerjaan sehingga
tidak mendapatkan insentif yang memadai bagi kehidupannya di negara tersebut,
bahkan angka harapan hidupnya jauh berbeda dengan Nagolas di Amerika Serikat.

Lebih jauh lagi, Acemoglu dan Robinson mengungkapkan dalam sejarah


penguasaan negara-negara tersebut oleh bangsa Eropa, bermula dari bangsa Spanyol
yang mendaratkan kakikanya di wilayah Amerika Selatan atas ketertarikannya pada
sumber daya alam yang terkandung disana. Oleh karena itu bangsa Spanyol menjadikan
Amerika Latin menjadi daerah jajahan dengan memperlakukannya secara kejam,
dimana kepala suku/raja pada wilayan yang dikuasai ditawan dan dirampas hartanya
kemudian menjarah seluruh kekayaan masyarakat serta sumberdaya alam yang
tersedia. Sedangkan Amerika Serikat awalnya adalah hamparan yang tidak terlalu subur
dengan cakupan wilayah yang cukup luas. Pencaharian mereka bertani, tidak ada
sumber daya mineral dan tambang, berbeda dengan Amerika Selatan. Amerika Utara
(Amerika Serikat dan Kanada dijadikan sebagai ladang jajahan Inggris. Hal ini karena
Inggris tidak mendapatkan wilayah lain akibat ekspansi yang dikuasai Spanyol dan
Portugis, akhirnya bangsa Inggris harus bersusah payah dalam menguasai Amerika
Serikat. Dalam menjajah Inggris merumuskan konstitusi dimana warga harus bekerja
dengan memberikan 50 Ha tanah untuk dikelola, sehingga kemajuan bidang pertanian
berkembang pesat yang berakibat setiap orang Amerika Serikat mendapatkan instensif
yang memadai, bahkan ikus serta dalam merumuskan undang-undang. Kondisi kedua
negara tersebut maka dapa dijelalkan bahwa sistem kolinial yang dilakukan
membentuk penindasan itu sendiri.

Pembahasan selanjutnya Acemoglu dan Robinson menjelaskan tentang


penolakannya terhadap teori Jared Diamond (1997) dan Sach (2006) yang
mengungkapkan bahwa iklim, letak geografis maupun budaya yang menentukan
kemakmuran. Mereka juga menolak teoi Max Weber (2002) yang menyatakan bahwa
kebangkitan industri modern di Eropa Barat merupakan refleksi dari etika Protestan
pasca reformasi agama, atau pandangan Landes (1999) yang berpendapat bahwa
negara-negara Eropa Barat maju berkat kultur yang unik yang mendorong mereka
untuk bekerja keras dan inovatif. Baginya ketimpangan ekonomi antara Mesiko dan
Amerika Serikat, Jerman Timur dan Jerman Barat sebelum bersatu, dan Korea Selatan
dengan Korea Utara merupakan bukti bahwa kekayaan negara tidak ditentukan oleh
faktor geografis, namun karena faktor isntitusi politik. Kemudian juga, menurut mereka
Amerika Serikat dan Kanada merupakan bekas jajahan Inggris sama seperti Sierra
Leone dan Nigeria. Namun kedua negara yang disebut pertama, mampu menjadi negara
yang maju, sementara kedua lainnya masih berkutat sebagai negara berkembang.

Dijelaskan dalam teori Firs Welfare Theorem, mengatakan bahwa pasar ekonomi
berasal dari sudut pandang tertentu. Tidak adanya kebebasan dalam produksi, jual beli
barang dan jasa, akan menghasilkan kegagalan pasar. Kondisi inilah yang menjadi dasar
dari teori ketimpangan dunia. Seperti yang sudah dijelaskan diatas, teori yang
dikembangkan oleh Acemoglu dan Robinson adalah perekonomian suatu negara akan
maju jika menerapkan ekonomi ekstraktif. Penentu dari pilihan tersebut kembali
kepada institusi politik yang menjadi operator dari kebijakan-kebijakan ekonomi yang
diambil. Ketika negara meiliki institusi politik ekstraktif desain kebijakan ekonominya
berorientasi memperkaya elit yang berkuasa. Berbeda dengan sistem ekonomi inklusif
yang memiliki ciri adanya lembaga yang mendorong hak kepemilikan pribadi,
menciptakan level playing field, mendorong investasi pada teknologi dan skill maka
mampu mendorong pertumbuhan ekonomi.

Menurut penulis, pemerintah yang menganut sistem ekstratif cenderung menjadi


lingkaran setan dari kondisi suatu negara yang secara permanen akan mengakibatkan
ketimpangan ekonomi. Akan tetapi lingkaran setan ini dapat diputus jika ada faktor
yang saling mendukung terutama kondisi kritis, yang memaksa terjadinya suatu
perubahan. Dapat dicontohkan seperti Revolusi Perancis, Revolusi Industri, dan
Restorasi Meiji di Jepang. Acemoglu dan Robinson juga menambahkan sistem ekonomi –
politik ekstraktif hanya akan memunculkan oligarki yang hanya mempertahankan
kekuasaannya melaluai kebijakan yang dibuat. Sistem seperti itu tidak akan mampu
bertahan lama, karena pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dibutuhkan adanya
kreatifitas, sedangkan dalam ekstraktif kreatifitas akan mengancam kekuasaan itu
sendiri. Disamping itu, institusi ekonomi yang bersifat ektraktif akan mendorong rasa
iri dari pihak oposisi sehingga dapat melakukan upaya perebutan yang berdampak pada
stabilitas politik. Maka menurut Acemoglu dan Robinson menekankan kelanggengan
suatu sistem ekonomi – politik akan bertahan lama jika dikelola melalui lembaga-
lembaga inklusif yang menjamin kebebasan masyarakat untuk mendapatkan hak
pribadi, kekayaan intelektual dan kreatifitas dalam mengelola urusan ekonomi.

Acemoglu dan Robinson juga mendasarlan kemajuan ekonomi – politik ditinjau


dari sejarah. Disebutkan revolusi industri yang terjadi di Inggris terjadi karena sejarah
yang memaksa merubah sistem politik - ekonominya. Inggris dapat melahirkan revolusi
industri karena pada abad 17 telah memiliki sistem ekonomi inklusif. Sistem ini muncul
melalui beberapa tahap yang cukup rumit, antara lain Perang Saudara Inggris dan
Glorius Revolution pada tahun 1688. Pembrontakan tersebut mengurangi kekuasaan
raja dan memberi wewenang kepada parlemen Inggris untuk menentukan struktur
ekonomi.

Setelah revolusi, pemerintah menjamin hak milik pribadi atas asset dan
property, hak paten, dan membangun berbagai infrastruktur seperti jalan raya, kanal
dan kreta api. Selain itu pungutan pajak secara semena-mena dan monopoli dihapuskan.
Hal ini mendorong inovasi dan perkembangan teknologi. Kondis ini tidak terjadi di
negara-negara eropa lain, dimana monarki masih berkuasa seperti di Spanyol dan
Perancis. Sementara itu di Eropa Timur, bahkan sampai dengan tahun 1800, institusi
ekonomi politik masih bersifat ekstraktif, para tuan tanah masih memberlakukan sistem
serfdom atau perbudakan para petani, baru pada abad 17, 18, dan 19 sistem perbudakan
atau feodalisme di Eropa Barat mulai lenyap dan kemudian diikuti oleh Eropa Timur.
Pemerintahan yang bersifat absolut ini, pada umumnya memiliki isntitusi ekonomi
ekstraktif, selain menindas rakyat juga menolak inovasi/teknologi baru, sehingga
menghambat kemajuan dan kemakmuran. Hal ini dapat dilihat antara lain pada sejarah
kekaisaran Ottoman (Turki), Spanyol, Rusia, Cina, Etiopia, dan Somalia. Oleh karenanya
dalam melihat konteks negara Inggris yang telah berhasil melakukan revolusi industri
dan meruntuhkan sistem feodalisme memberikan dampak postif kemajuan di Inggris
itu sendiri.

Kontekstualisasi Buku dan Kondisi Indonesia Hari Ini

Jika buku ini di kontekskan Indonesia, apakah Indonesia tegolong sebagai


negara gagal? Sayangnya, buku tersebut tidak secara eksplisit menyinggung Indonesia.
Namun, Jared Diamond dalam tulisannya yang berjudul How Societies Choose to Fail or
Succeed (2005) mengidentifikasi empat belas negara yang berpotensi gagal dan
diprediksi bakal lenyap salah satunya adalah Indonesia. Masuk akalkah jika Indonesia
dikelompokkan ke dalam negara yang berpotensi gagal? Buku Diamond ditulis tahun
2005 dan jika data yang digunakan adalah sebelum 2005, masuk akal untuk
mengatakan Indonesia berpotensi gagal. Ketika itu Indonesia telah menjadi negara yang
demokratis sehingga kita dapat digolongkan sebagai negara inklusif. Akan tetapi itu
juga Indonesia masih belum bebas dari kekacauan politik, seperti konflik sosial yang
keras di Kalimantan, Sulawesi Tengah, dan Maluku. Indonesia juga mengalami banyak
teror yang menelan banyak korban jiwa. Dari sisi lingkungan, prediksi tersebut masuk
akal jika mengingat parahnya perusakan alam atau lingkungan yang berlangsung di
Indonesia, baik darat (pertambangan, pembakaran hutan, pembalakan liar dll), laut
(perusakan terumbu karang dan habitat laut), maupun udara.

Akan tetapi, situasi Indonesia sekarang tentu berbeda dengan situasi pada awal
dekade 2000-an. Indonesia mengalami situasi yang terus membaik di era 2010-an.
Konflik berdarah telah dapat diatasi dan masyarakat di daerah konflik telah kembali
damai. Demikian pula dengan saat pilkada lalu. Ada tensi politik yang tinggi saat itu dan
masyarakat seolah terbelah ke dalam dua kubu yang bermusuhan, tetapi untungnya
tidak berakhir dengan konflik fisik. Selanjutnya jika kita lihat dengan menggunakan ciri
menurut Acemoglu dan Robinson, sistem ekonomi – politik Indonesia dapat
dikategorikan pada sistem ekonomi ekstraktif, namun sistem politiknya inklusif.
Diterangkan bahwa sistem politik inklusif dengan menggunakan sistem ekonomi
ekstraktif, tidak membuat kepuasan kepada publik, dikarenakan segala kebijakan
ekonomi tetap membelenggu hak warga negara. Sehingga menimbulkan penindasan
ekonomi dan tidak lepas dari kaum-kaum oligarki yang masih menguasai.

Menurut data yang dikeluarkan Fragile State Index 2015 menetapkan Indonesia
berada di posisi 88 dari 178 negara. Hal ini bisa dikatakan Indonesia masih di posisi
tengah-tengah, yaitu antara belum aman dan belum bisa dikatakan gagal. Ini pun tak
lepas dari efek institusi ekstraktif. Sehingga menyebabkan negara Indonesia tidak bisa
melepaskan diri dari jaring korupsi yang begitu mengikat. Dengan adanya kondisi
seperti ini dimana oligarki dan koruptor yang masih menggurita dipemerintah
Indonesia, maka kecil kemungkinan bagi Indonesia masuk dalam kategori negara aman.
Namun demikian, perlu dicermati bahwa buku ini memiliki beberapa ktirik
seperti basis analisis dalam perbandingan yang dilakukan tidaklah setara mengingat
Mexico adalah negara berkembang dan Amerika Serikat negara maju, ini tentunya tidak
seimbang jika dibandingkan. Sementara itu buku ini juga tidak memperhitungkan
kondisi negara pasca kolonial, dapat dicontohkan kondisi yang ada di Indonesia.
Dimana pada pemerintahan soeharto indonesia mencoba berdiri sendiri dengan
kekuatan yang dimiliki, akan tetapi pengaruh asing menciptakan kondisi tersebut
berubah karena ada kepentingan negara lain. Selain dipemerintahan Soeharto kondisi
ini juga terasa di era Jokowi dimana dalam pemerintahan Jokowi intervensi negara
asing terhadap Indonesia sangat terasa.

Dapat dilihat dari kondisi pasar kerja fleksibel yang sedang ramai akhir-akhir ini.
Fleksibilisasi pasar kerja ini diperlukan untuk menggantikan pasar kerja yang terlalu
kaku yang ditandai oleh intervensi pemerintah dalam perlindungan pekerja yang
membuat biaya tenaga kerja menjadi tidak fleksibel karena jumlah dan jenis pekerja
yang digunakan tidak dapat menyesuaikan fluktuasi tekanan persaingan dalam pasar
komoditas. Pasar kerja fleksibel dipromosikan oleh Bank Dunia karena pasar kerja
yang kaku diakini tidak sesuai lagi untuk kondisi perekonomian global yang semakin
kompetitif dan liberal. Bank Dunia mengganggap bahwa pasar kerja yang fleksibel
merupakan sistem pasar yang dianggap paling tepat bagi kelompok sosial manapun
(Nugroho & Tjandraningsih 2007). Namun demikian, jika kita melihat kondisi tersebut
maka tentunya Indonesia selalu dalam negara yang subordinat terlebih intervensi asing
yang mencokol kuat di Indonesia, kondisi ini juga berimbas dengan mengkorbankan
masyarakat sebagai lapisan yang dirugikan. Dilihat dari kondisi pasar kerja yang
fleksibel tentunnya buruh semakin sengsara mengingat adanya sistem kontrak yang
tidak jelas dan lain sebagainya. Meski demikian, terlepas dari kritik tersebut, buku ini
tetap merupakan bacaab yang bagus, dan mampu menampilkan naratif koplet mengenai
sejarah ekonomi dunia hingga dewasa ini.

Daftar Pustaka

Acemoglu, Daron., James Robinson. 2015. Mengapa Negara gagal-Awal Mula Kekuasaan,
Kemakmuran, dan Kemiskinan. Jakarta : PT. Elex Media Komputindo, Kompas
Gramedia.

Nugroho, Hari &Indrasari Tjandraningsih, 2007, Fleksibilitas Pasa Kerja dan Tanggung
Jawab Negara, Kertas Posisi, Terbit Terbatas.

Tjandraningsih et al, 2010, “Diskriminasi dan Eksploitatif: Praktek Kerja Kontrak dan
Outsourching di Sektor Metal di Indonesia, Bandung: AKATIGA-FSPMI-FES

World Bank. 2005. Doing Busines in 2005, Removing Obstacles to Growth Washington:
IBRD/Word Bank.

Anda mungkin juga menyukai