Anda di halaman 1dari 5

Indonesia akan menjadi lebih baik, negara maju, bebas dari kemiskinan, dan rakyatnya akan

memiliki kebahagiaan lahir dan batin jika rakyatnya selalu bersandar pada tuntunan Alquran,
kata Presiden Joko Jokowi Widodo.

Harapan tersebut disampaikan Presiden dalam sambutannya pada Peringatan Nasional Nuzulul
Quran 1437 H/2016, Selasa (21/6), di Istana Negara Jakarta.

Yaa Allah, hanya Engkau (Sendiri) yang kami sembah dan Engkau (Sendiri) kami mohon
pertolongan, tambah Presiden.

Saat ini, kita membutuhkan tuntunan Al-Qur'an untuk mengubah kehidupan bangsa menjadi
negara yang lebih baik, toleran yang bebas dari kemiskinan, kata Presiden.

Hingga saat ini, Indonesia belum bebas dari kemiskinan, kesenjangan sosial, dan ketimpangan
antar daerah. Daerah-daerah di tanah air dari Sabang sampai Merauke juga belum terkoneksi,
sedangkan integrasi ekonomi nasional belum kuat dan produktif.

Sementara itu, Al-Qur'an mengajarkan kita untuk saling mengenal atau taaruf, saling
memahami atau tafahum, bekerja sama dan saling membantu dalam setiap aspek atau ta
awun.

“Al-Qur’an mengajarkan kita untuk bekerja keras mengubah nasib dan nasib bangsa,” kata
Presiden seraya menambahkan bahwa Al-Qur'an mengajarkan kita untuk bersabar, optimis,
kreatif, percaya pada rencana atau tawakal Allah, dan selalu belajar dalam rangka membawa
Indonesia menjadi juara dalam kompetisi tersebut.

Oleh karena itu, dalam rangka pengentasan kemiskinan dan peningkatan investasi, Pemerintah
kini fokus pada beberapa bidang terkait deregulasi perizinan yang dianggap merugikan
pembangunan ekonomi nasional serta fokus pada pembangunan infrastruktur untuk
menjembatani konektivitas antar wilayah di tanah air, dan meningkatkan kualitas sumber daya
manusia untuk bersaing dengan negara lain, jelas Presiden.
Wakil Presiden Jusuf Kalla, Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin, Ketua Dewan Perwakilan
Daerah (DPD) Irman Gusman, Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Indonesia Ade Komarudin,
beberapa duta besar dan perwakilan negara sahabat juga hadir tahun ini Peringatan Nasional
Nuzulul Quran yang mengangkat tema Al-Qur'an untuk Meningkatkan Kualitas Sumber Daya
Manusia .(AGG/ES) (RAS/EP/YM/Naster)

Baca selengkapnya: https://setkab.go.id/en/koran-for-a-better-indonesia-president-jokowi/

Saya tidak pernah berpikir saya akan bangun suatu pagi di era digital mendengar
berita bahwa remake Catatan Si Boy (film kultus 1980-an) akan ditayangkan di
televisi, Warkop DKI Reborn (grup komedi 1980-an) akan diputar di bioskop, Blink
182 menduduki puncak tangga lagu di Amerika Serikat dan permainan Pokémon
Go telah menjadi hit di seluruh dunia. Apakah kita benar-benar hidup di tahun
2016? Fenomena retro ini tidak berhenti di situ; Dalam kehidupan sehari-hari kita
bisa menemukan berbagai gimmick muncul kembali, mulai dari fashion item dan
lagu, hingga makanan, hingga makanan yang sempat populer dua hingga tiga
dekade lalu. Tegasnya, fenomena ini bisa dilihat pada generasi muda hingga yang
disebut sebagai milenial. Mereka sekarang cenderung menyukai hal yang sama
yang dulu dilakukan oleh generasi baby boomer. Apa yang sebenarnya terjadi di
sini? Pesatnya perkembangan teknologi dan media sosial mungkin tidak bisa
menjawab pertanyaan ini. Landasan jawaban atas pertanyaan ini tidak harus
terletak pada teknologi, tetapi pada jiwa manusia. Mempertimbangkan evolusi
tren ini, kita harus mulai bertanya apakah sebenarnya ada pola berulang dalam
tren. Atau lebih dalam dari itu, apakah tren memiliki pola melingkar yang datang
secara penuh selama periode tertentu. Jika kita bisa menjawabnya, maka kita bisa
membuat prediksi tentang tren masa depan. Faktanya, para ilmuwan sudah
mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan ini, dan beberapa yang paling gigih
dalam misi ini adalah William Strauss dan Neil Howe, penulis buku menakjubkan
The Fourth Turning. Pada 1990-an, mereka membuat beberapa prediksi akurat
tentang generasi milenial, yang anggotanya saat itu berusia sekitar 8 tahun. Salah
satu prediksi yang terbukti benar adalah berkurangnya kebiasaan merokok di
kalangan remaja. Jarang, Strauss dan Howe membuat prediksi mereka
berdasarkan fakta dari sejarah Amerika. Ternyata mempelajari masa lalu dapat
membantu kita memprediksi masa depan. Strauss dan Howe menemukan bahwa
terlepas dari berbagai perubahan ekonomi, politik, teknologi dan tren, arketipe
manusia dari waktu ke waktu memiliki pola yang sama. Dengan menggunakan
pendekatan Strauss dan Howe, kita dapat berasumsi bahwa karakter generasi
milenial di Indonesia saat ini adalah hasil dari pengalaman kolektif di masa lalu.
Apa yang kita lihat bisa jadi merupakan kemunculan kembali arketipe lama.
Biasanya formula “wabah” tren anak muda Indonesia sangat sederhana,
kebanyakan dipengaruhi oleh tren luar negeri yang disalurkan melalui media. Jika
anak muda Indonesia di kota-kota besar sekarang memiliki akses yang lebih baik
terhadap tren luar negeri, maka seharusnya tren di AS atau Eropa dapat segera
ditiru oleh anak muda di Indonesia. Namun, itu tidak selalu terjadi. Ada berbagai
anomali yang tidak linier dengan tren di luar negeri. Salah satunya adalah
favoritisme terhadap budaya lokal. Di Yogyakarta sebuah band hip-hop yang
bernyanyi dan rap dalam bahasa Jawa mengangkat isu-isu lokal lokal dalam lagu-
lagu mereka, sedangkan di Jawa Barat, musik hardcore memadukan musik
mereka dengan instrumen etnis Sunda, salah satu yang paling menonjol adalah
serangan Karinding. . Di Sumatera, dari Medan hingga Sabang dengan mudah kita
temukan banyak gerai fashion anak muda yang menampilkan desain dengan
sentuhan etnik dan gimmick lokal. Itu pasti tidak ada hubungannya dengan tren
internasional. Penelitian intensif saya tentang budaya anak muda dengan Youth
Laboratory Indonesia menegaskan hal itu. Saya bertanya-tanya apakah siklus
arketipe generasi juga terjadi di Indonesia. Studi sejarah dan generasi yang
dilakukan oleh Strauss and Howe telah mendorong saya untuk mengikuti
pendekatan yang sama dalam menjelaskan berbagai anomali tren yang ada di
Indonesia. Saya menarik batas arketipe generasi dari tahun 1900-an, sejak abad
itu melahirkan banyak tokoh revolusioner nasional seperti Sukarno, Tan Malaka,
Agus Salim, Budi Utomo dan HOS Tjokroaminoto. Mereka hidup di era
kolonialisme, yang ditandai dengan krisis besar identitas, kesenjangan ekonomi,
kekurangan pangan dan kemiskinan. Kondisi demikian melahirkan apa yang
disebut sebagai generasi profetik: generasi yang sangat ideologis, religius, dan
memiliki rasa nasionalisme yang tinggi.
Setelah generasi kenabian berlalu dalam waktu 30 tahun, muncul generasi baru,
yang disebut generasi pahlawan. Mereka muncul di tengah ketidakstabilan
nasional, benturan ideologi dan disintegrasi. Ciri-ciri mereka adalah optimisme
yang kuat, kecenderungan fanatik ideologis dan rasa tanggung jawab terhadap
masa depan bangsa. Beberapa nama terkenal antara lain mantan presiden
Soeharto, mantan presiden BJ Habibie, Akbar Tandjung, Emil Salim dan Adam
Malik. Tiga puluh tahun kemudian muncul generasi baru dengan keunggulan
kompetitif, yang cenderung individualistis dan kurang ideologis. Mereka adalah
generasi nomaden. Mereka tumbuh menjadi dewasa di era ketika pembangunan
ekonomi adalah tujuan utama, kebebasan berbicara terhambat dan wacana
ideologi adalah hal yang tabu. Beberapa nama terkemukanya adalah Iwan Fals,
Rhoma Irama, Budiman Sudjatmiko, Rano Karno dan novelis Hilman. Kini setelah
30 tahun berlalu, muncullah generasi digital yang kini dikenal sebagai generasi
milenial, generasi paling rumit yang pernah ada. Mereka tiba di era pasca-transisi,
yaitu salah satu reformasi politik, di mana antikorupsi menjadi agenda nasional,
radikalisme tumbuh subur, kebijakan ekonomi liberal adalah norma dan teknologi
mobile menjadi kebutuhan. Mewakili generasi ini adalah Raditya Dika, Dian
Pelangi, Dian Sastrowardoyo, Raissa dan VJ Daniel, yang secara teoritis teralienasi
dengan ciri-cirinya merasa terasing, lebih komunal, memiliki kecintaan yang tinggi
terhadap seni dan kreativitas, pluralisme dan mendukung demokrasi. Mereka
akan terus meramaikan berbagai ruang publik dan timeline sejarah bangsa ini
selama 30 tahun ke depan. Kapan lagi, secara teoritis, generasi baru akan muncul
kembali ketika empat siklus generasi telah berlalu. Seperti lingkaran penuh, ia
akan kembali ke pola dasar generasi pertama, yaitu generasi profetik. Anomali
tren dan perilaku generasi kekinian yang kita saksikan saat ini, seperti
kecenderungan mengonsumsi konten lama, menyukai segala sesuatu yang
vintage, bangkitnya rasa nasionalisme dan rasa ingin tahu yang tinggi terhadap
budaya asli, menunjukkan bahwa arketipe generasi ini sedang mengalami
pergeseran. proses. Proses perputaran pola dasar ini dapat berjalan lebih cepat
ketika terjadi krisis, baik nasional maupun global. Proses back-to-square-one ini
adalah semacam mekanisme pertahanan manusia untuk menghadapi berbagai
tantangan sosial dan politik.
Memahami hal ini, kita tidak boleh skeptis dan pesimistis terhadap generasi muda
kita serta segudang krisis yang melanda negeri ini. Kita akan menyaksikan
munculnya tokoh-tokoh revolusioner baru yang serupa dengan yang mengukir
sejarah Indonesia di awal 1900-an. Sukarno baru, Tan Malakas, Agus Salims dan
HOS Tjokroaminotos akan bangkit dalam bentuk yang berbeda. Setelah itu kita
bisa berharap untuk melihat Indonesia yang lebih baik.

Artikel ini telah dimuat di thejakartapost.com dengan judul "Indonesia yang Lebih
Baik Sedang Dibangun". Klik untuk membaca:
https://www.thejakartapost.com/academia/2016/08/27/a-better-indonesia-is-in-
the-making.html.

PERHATIKAN INDONESIA BAGIAN TIMUR

Anda mungkin juga menyukai