Anda di halaman 1dari 17

Menilik Nasionalisme Generasi Milenial

Gita Irianda Rizkyani Medellu

Era Globalisasi

Perubahan zaman tidak dinyana begitu cepat terjadi. Hal tersebut dikarenakan arus
globalisasi dan kemajuan teknologi yang mempengaruhi kehidupan setiap individu masa kini.
Tak terkecuali, gerak evolusi generasi muda yang saat ini dikenal dengan sebutan Generasi
milenial atau Y (dan Z yang sedang berkembang). Generasi milenial adalah generasi yang
hidup pada era globalisasi dan pasar bebas tak terbatas, difasilitasi oleh akses kemajuan
teknologi dan informasi tiada batas.

Pendapat Taylor dan Keeter (2010) yang dikutip oleh Turner (2013) mengatakan
bahwa generasi milenial merupakan generasi pertama yang memiliki kontak rutin dengan
seluruh informasi yang diakses melalui internet. Generasi ini menjadikan globalisasi sebagai
referensi utama dalam menjawab isu kekinian; mengetahui fakta kekinian; mengetahui
perkembangan video, lagu-lagu, film dan berita dalam waktu yang bersamaan.

Tren perkembangan generasi milenial memunculkan anggapan bahwa kehidupan


generasi sekarang lebih mengarah pada pola pikir terbuka ala budaya barat. Hal tersebut
membuat generasi sebelumnya mengkhawatirkan bahwa generasi sekarang tidak memiliki
rasa nasionalisme yang cukup tinggi, mengingat usia Indoneisa yang telah mencapai 72 tahun
kemerdekaan belum optimal dalam mewujudkan kemajuan bangsa melalui kiprah
pembangunan generasi sekarang.

Animo perkembangan arus gobalisasi tanpa filter menyebabkan mudahnya informasi


diadopsi, bahkan bisa jadi ada informasi yang bertentangan dengan nilai-nilai yang dimiliki
bangsa Indonesia dengan budaya ketimurannya. Misalnya, sisi negatif nilai dari kehidupan
dunia barat adalah sangat mengagung-agungkan liberalism, yang membebaskan seseorang
berperilaku tanpa batas dalam menjalankan aktivitasnya. Sebenarnya, banyak sisi positif yang
dapat diambil dari negara barat, salah satunya semangat meningkatkan kemampuan diri demi
meraih prestasi dalam kehidupannya. Namun sayangnya, banyak masyarakat Indonesia
khususnya generasi muda sekarang yang bangga mengadopsi dan menerapkan sisi negatif
gaya hidup dunia barat.
Generasi muda saat ini merupakan motor dari suatu bangsa dan mereka dapat
mengarahkan arah perkembangan negara tersebut. Namun, muncul kekhawatiran dengan
menjauhnya generasi sekarang dari rasa nasionalisme terhadap bangsa, salah satunya terlihat
dalam pemanfaatan media sosial saat ini lebih banyak diisi dengan pembuktian eksistensi diri
dengan mengikuti gaya hidup “kekinian” atau “mainstream” dunia barat.

Terrnyata, tren pemanfaatan media sosial tersebut tidak luput mengenai generasi
milenial. Media sosial dijadikan ajang untuk menampilkan gaya terbaru, klaim pendapat
terhadap isu tertentu, dan keinginan untuk dikenal melalui konten-konten yang disebar pada
media sosial. Dengan terbukanya pola pikir mereka terhadap arus informasi, membuat
mereka terus melakukan pembaharuan informasi dan tren, misalnya terkait dengan budaya
barat yang dianggap menarik karena dianggap trendy. Sehingga, keinginan untuk terus
menjadi bagian dari pembaharuan informasi dirasa semakin menjauhkan generasi tersebut
pada rasa kecintaan pada tanah air.

Nasionalisme

Banyak pakar yang berpendapat tentang nasionalisme. Druckman (1994)


mengemukakan bahwa nasionalisme berhubungan erat dengan perasaan individu atau
kelekatannya terhadap suatu kelompok, bagaimana mereka mengembangkan kesetiaan
terhadap kelompok. Kosterman dan Feshbach (1989) (dalam Druckman, 1994) beranggapan
bahwa nasionalisme dikaitkan dengan perasaan memiliki terhadap Indonesia,
mengidentifikasi diri menjadi bagian dari Indonesia. Dalam makna lebih sempit nasionalisme
paham kebangsaan yang berlebihan dengan memandang bangsa sendiri lebih tinggi (unggul)
dari bangsa lain. Secara lebih luas, Druckman (1994) mengemukakan bahwa nasionalisme
mengarah pada kesetiaan tertinggi individu terhadap bangsa dan tanah airnya dengan
memandang bangsanya itu merupakan bagian dari bangsa lain di dunia. Dalam istilah
psikologi sosial, hal ini dinamakan dengan group loyalty. Presiden Soekarno menggambarkan
nasionalisme harus didasarkan pada perspektif “kenasionalan” bukan di atas dasar agama,
suku, aliran, atau kelompok tertentu. Miftahuddin (2009) memaparkan nasionalisme lebih
mendalam bahwa nasionalisme Indonesia melahirkan Pancasila sebagai ideologi Negara yang
diawali dengan perjuangan yang berat dan penuh pengorbanan untuk mencapai kemerdekaan
yang kini telah terwujud. Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 merupakan puncak
perjuangan, sekaligus pertanda bahwa Indonesia menyatakan sebagai negara yang berdaulat,
merdeka, dan mandiri. Untuk memperkuat itu semua, disahkanlah Undang-Undang Dasar
1945 pada tanggal 18 Agustus 1945 yang menjadi simbol kekuasaan besar revolusioner yang
mengandung persamaan dan persaudaraan, suatu tanda hari cerah setelah digulingkannya
kekuasaan asing yang menjajah lebih dari tiga abad. Demikian pula, dengan disahkannya
UUD 1945, semangat dan jiwa Proklamasi, yaitu Pancasila, memperoleh bentuk dan dasar
hukumnya yang resmi sebagai dasar falsafah Negara Republik Indonesia, yaitu Ketuhanan
Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan
yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, dan
Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Jika mengacu pemahaman nasionalisme di Indonesia, tentunya tidak dapat dipisahkan


dari prinsip-prinsip kehidupan yang diurai melalui nilai-nilai Pancasila. Salah satu nilai dari
Pancasila adalah fleksibel, yang dapat mengikuti arus perkembangan zaman. Artinya,
bagaimanapun perubahan besar pada globalisasi ini, Pancasila masih dapat diterapkan.
Namun, kekhawatiran akan memudarnya rasa nasionalisme pada generasi sekarang semakin
besar, karena semakin jauhnya Pancasila dari kehidupan generasi tersebut, salah satunya
adalah pudarnya rasa persatuan karena penyebaran informasi yang salah dan tidak berimbang
yang berujung pada fitnah dan perpecahan.

Maraknya berita hoax dan perang opini menjadi konsumsi sehari-hari yang dapat kita
lihat melalui media sosial. Tidak mengherankan bullying berujung pada pemaksaan opini kita
pada orang lain. Penyebaran informasi yang tidak sesuai dan tidak berimbang juga beredar
dengan luas dan seolah-olah generasi milenial tidak peduli apakah hal tersebut akan
berdampak bagi orang lain atau tidak, selama mereka menggapnya sebagai sebuah tend untuk
mendapatkan titel “kekinian”.

Arnett (2010), Greenberg dan Weber (2008), Rampell (2011), Howe dan Strauss
(2000), serta Winograd dan Hais (2011) mengemukakan bahwa pada sisi yang lain, ada juga
generasi milenial yang peduli terhadap isu-isu sosial, berani mengeluarkan pendapat dan
melakukan gerakan kreatif lainnya, tidak dapat diabaikan. Generasi mileneal juga dikenal
dengan orientasi mereka terhadap komunitas, peduli, berorientasi, aktivis yang terjun
langsung, dan tertarik pada isu lingkungan dibandingkan generasi sebelumnya.

Generasi milenial memiliki kecepatan bertindak terhadap isu-isu tertentu menjadi


efektif di zaman informasi yang dapat disebarluaskan, salah satunya dalam menggalang
bantuan kemanusiaan. Lalu, apakah hal ini merupakan bentuk nasionalisme generasi
tersebut? Oleh karena itu, akan dibahas lebih lanjut terkait pemahaman nasionalisme melalui
sudut pandang psikologis terhadap berkembangnya generasi milenial.

Nasionalisme Generasi Milenial dalam Tinjauan Psikologi Sosial

Konsep nasionalisme berkaitan erat dengan kepemilikan individu terhadap negaranya,


bentuk attachment feelings yang muncul ketika individu berinteraksi dengan bangsanya.
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, hal ini berkaitan dengan loyalty individu terhadap
negaranya. Kebanggan individu terhadap negaranya mendorong nasionalisme tersebut
berkembang dalam diri individu. Namun, menilik pada zaman globalisasi ini, banyaknya
berita negatif terkait negara ini mempengaruhi pandangan generasi milenial terhadap bangsa
mereka sendiri. Banyak komentar negatif yang dilontarkan di kolom opini pada setiap berita
yang muncul. Hal ini memperlihatkan seolah negara ini memiliki nilai yang negatif.

Selain itu, perang pendapat dan saling menjatuhkan tidak dapat dihindarkan, masing-
masing orang yang beropini menjadi keras kepala dengan pendapatnya. Hal ini berakhir
dengan saling menjelekkan pribadi masing-masing.

Di sisi lain, Myers (2008) mengemukakan bahwa banyak milenials yang lebih
memilih mengikuti trend yang sedang “in” di dunia saat ini. Banyaknya sumber trend muncul
dari luar Indonesia seperti Barat, Korea, dan lain-lain. Trend fashion, lagu, film, dan trend
lifestyle lainnya dirasa lebih menarik jika terus di update. Maka, ketika hal tesebut menjadi
menarik, nilai-nilai yang terkandung dalam lifestyle tersebut akan diadopsi dan disebar
luaskan melalui media sosial. Pada group loyalty, individu menjadi conform terhadap nilai-
nilai yang dibagi dalam suatu kelompok Jika lifestyle menjadi panutan utama dalam suatu
kelompok, maka tidak mengherankan jika konsep tersebut menyebar dan terlihat bahwa
generasi milenial lebih mengutamakan tend dan menjadi follower.

Drukcman (1994) yang mengutip Terhune (1964), dasar dari group loyalty bagi
individu adalah memiliki kelekatan sentimental yang secara afektif terlibat, termotivasi untuk
membantu negaranya dengan orientasi tujuan, dan self-esteem yang muncul melalui
identifikasi diri mereka terhadap negaranya dengan melibatkan ego. Ketiga dasar tersebut jika
dikaitkan dengan fenomena saat ini terlihat bahwa loyalitas generasi sekarang terhadap
negara terlihat menurun. Kebanggaan terhadap negara tidak dirasakan, dengan semakin tidak
memahami sejarah dan pendalaman Pancasila bagi generasi milenial. Hal tersebut
dikarenakan kesibukan dalam eksistensi diri yang diwujudkan dalam memberikan opini yang
berujung pada perdebatan terhadap isu-isu tertentu yang menyebabkan tidak ada lagi
keinginan untuk menghargai individu lain seperti yang tertuang dalam butir sila ke-3
Pancasila, Persatuan Indonesia.

Hal tersebut diatas pada akhirnya terlihat jika kecintaan generasi milenial terhadap
bangsanya semakin menurun, karena mereka lebih memilih hidup dengan lifestyle ala barat
yang semakin menguat. Sentimental mereka terhadap negara sendiri semakin menurun
seiring banyaknya akses berita negatif dan perang opini yang terjadi.

Sebaliknya, pemberitaan terkait dengan prestasi anak bangsa yang mengharumkan


nama negara semakin tenggelam dengan banyaknya pemberitaan negatif terkait generasi
lainnya. Kasus bullying, perang kepentingan sub kelompok di masyarakat seperti adanya
kelompok pendukung tokoh fenomenal tertentu dan kelompok oposisinya, sehingga secara
garis besar dianggap bahwa generasi tersebut tidak mencerminkan usaha untuk memajukan
negaranya sendiri. Paling parah ketika tuduh menuduh bahwa satu pihak tidak mencerminkan
pribadi Indonesia, sementara yang lain merasa paling mencerminkan Indonesia. Hal ini
membuat munculnya pemahaman Indonesia milik golongan tertentu atau menuduh kelompok
tertentu tidak mencerminkan Indonesia. Hal ini membuat para milenial sudah acuh terhadap
negaranya karena tidak dapa menyaring lagi informasi yang tepat terhadap identitas
negaranya. Opini akan semakin luas dikemukakan di media social terhadap ciri-ciri negative
bangsa dan mereka malas menjadi bagian di dalamnya. Sehingga pada akhirnya menjalankan
kehidupan sesuai dengan nilai-nilai bangsa yaitu Pancasila menjadi hal yang tidak dihiraukan
lagi dan tidak menarik. Terhune (1964) menyebutkan salah satu dasar group loyalty adalah
afektif yang terlibat terhadap negaranya, menilik hal tersebut terlihat generasi milenial
menganggap banyak hal negative yang dicirikan oleh bangsa ini. Selain itu menurut Bass
(1981) dan Stogdill (1974) (dalam Druckman, 2013), suatu kelompok akan berfungsi dengan
adanya keterlibatan afeksi melalui ketertarikan sesame anggota kelompok. Dalam hal ini,
para milenials akan lebih tertarik pada hal-hal yang bersifat up to date, demikian pula dalam
melihat acuan sosok otoritas mereka seperti panutan dalam mengikuti perkembangan zaman.

Tidak mengherankan bila pada umumnya mereka lebih memilih budaya luar
dibandingkan budaya sendiri, budaya luar terlihat lebih menarik dan tidak ketinggalan zaman.
Sementara budaya Indonesia dipandang negatif dan tidak menarik.
Usaha untuk memajukan negara menurut Terhune (1964) merupakan salah satu unsur
group loyalty. Usaha individu untuk membantu negaranya juga merupakan akar dari
munculnya nasionalisme yang menguat. Dibutuhkan penyelesaian permasalahn dan ide-ide
untuk memajukan bangsa tersebut.

Namun, pada kenyataannya generasi milenial Indonesia lebih banyak didekatkan pada
kebutuhan lain. Yaitu, kebutuhan untuk menampilkan diri pada para milenial yang dianggap
merupakan hal yang wajar terajdi di era digital ini. Segala usaha dapat dilakukan agar diri
mereka dapat terkenal, namun sedikit banyak usaha tersebut dihubungkan dengan trend yang
sedang in saat itu. Viral, hal tersebut merupakan tolak ukur bila individu masa kini memiliki
prestasi dengan terkenal di media sosial. Namun tidak jarang prestasi tersebut didapatkan
dengan share hal-hal yang tidak mencerminkan nilai-nilai timur Indonesia. Selain itu,
keinginan tersebut semakin dikuatkan dengan mengikuti atau menjadikan orang terkenal
sebagai panutan sehingga trend tersebut menjadi semakin menjadi tersebar. Kembali pada
persoalan tuduh menuduh, kritikan dianggap mengganggu asasi mereka dalam berekspresi,
kemudian menganggap kembali bahwa hal-hal berbau tradisional merupakan hal yang
ketinggalan zaman. Sejalan dengan hal tersebut, berita-berita yang disampaikan terkait
dengan generasi milenials semakin banyak hal negatifnya. Prestasi yang ditorehkan beberapa
kepala menjadi tertutupi oleh berita kelompok generasi yang dianggap semakin tidak
menunjukkan budaya ketimuran Indonesia.

Pada unsur berikutnya Terhune (1964) menyebutkan nasionalisme dapat terbentuk


bila mereka mendapatkan sense of identity dan self-esteem dengan mengidentifikasikan diri
mereka terhadap bangsa. Identitas diri (Baumeister, 1997), merupakan definisi dari diri itu
sendiri. Sense of identity seseorang mengacu pada pengetahuan seseoang terhadap dirinya
sendiri. Identitas diri memiliki material yang tidak hanya dipikirkan subjektif oleh individu
terhadap dirinya, namun adanya identitas social dengan mengidentifikasi diri pada
lingkungan sosialnya. Selain itu identitas didapatkan dari nilai yang diberikan lingkungan
terhadap diri. Generasi milenial saat ini dianggap sebagai satu generasi besar yang tumbuh
bersama dengan kemajuan teknologi. Keaktifan dan kelihaian mereka dalam mengakses
informasi dan up-to-date terhadap perubahan zaman membuat mereka sebenarnya dapat
beradaptasi dengan perubahan tersebut namun hal ini menjadi berlebihan bila setiap
perubahan diterima tanpa filter terlebih dahulu.
Milenian saling mengidentifikasi diri dengan lingkungan baru tersebut, mereka
memiliki panutan tersendiri terkait dengan trend up to date dan menjadikan bagian dari diri
mereka, tidak sedikit pada akhirnya identitas dipenngaruhi nilai-nilai yang berbeda dari nilai
di Indonesia. Informasi terkait identitas diri dapat menjadi bagian dari konsep diri individu,
evaluasi terhadap informasi tersebut akan membentuk self-esteem pada individu (Baumeister,
1997). Self-esteem mendorong motivasi untuk mempertahankan dan mengembangkan konsep
positif pada diri baik bagian diri maupun secara keseluruhan (Rosenberg, 1979; Wells 1978;
Kaplan 1975; Roceach 1979; Hales 1981 dalam Gecas, 1982).

Self esteem dalam konsep nasionalisme merupakan evaluasi positif diri terkait dengan
negaranya. Esteem sebagai orang Indonesia saat ini semakin menurun seiring dengan
berbagai berita negative dan keinginan para milenials untuk mengidentifkasikan dirinya
dengan nilai-nilai yang lebih positif di luar sana. Generasi milenial dipaksa menjadi follower
terhadap trend dan lebih aktif menggunakan media sosial dibandingkan usaha untuk
memajukan negara menjadi tendsetter itu sendiri. Selain itu, kebanggaan terhadap bangsa
atau dalam hal ini self-esteem terkait dengan identitas mereka sebagai bangsa Indonesia tidak
cukup tinggi. Fenomena mendewakan lifestyle yang tidak jarang berseberangan dengan nilai-
nilai Indonesia sudah menjadi kebanggaan untuk mereka. Tidak mengherankan mereka lebih
percaya diri dengan menggunakan produk-produk kenamaan luar negeri dibandingkan barang
mereka sendiri, lebih memilih liburan ke luar negeri daripada dalam negeri, atau lebih merasa
berbeda bila menguasai budaya di luar negeri dibandingkan budaya tradisional (misalnya
Bahasa asing, lagu-lagu luar negeri, dan lain-lain). Hal ini juga terlihat dari semakin
berkurangnya generasi muda melestarikan budaya-budaya tradisional Indonesia karena pola
pikir terlampau liberal maupun ekstrim pada satu golongan mayoritas membuat semakin jauh
konsep persatuan dalam Pancasila.

Selain itu, dalam groups function individu akan mendapatkan status diri dari
kelompok sosialnya (Bass, 1981; Stogdill, 1974; dalam Druckman (1994). Generasi milenial
seperti kebingungan dengan identitas diri mereka sebagai bangsa Indonesia.

Pengaruh kelompok sangat besar hingga mereka akan mengikuti mana kelompok
yang perlu mereka dukung. Identifikasi diri mereka terhadap kelompok-kelompok yang
tersebar luas di masayarakat membuat semakin terkotak-kotak. Tidak dapat dipungkiri pada
akhirnya perang opini dan saling menuding padahal sesame bangsa Indonesia.
Argyle (2008) (dalam McLeod, 2008) mengatakan terdapat 4 faktor utama yang
mempengaruhi self-esteem:

1. Reaksi terhadap orang lain, bila individu lain mengagumi diri kita, memuji, dan
mencari tahu keberadaan kita, mendengarkan dengan seksama dan sepakat dengan
diri kita maka kita kan cenderung mengembangkan citra diri yang lebih positif.
Sementara bila invidu lain menghindari, mengacuhkan, dan membicarakan hal-hal
tidak menyenangkan di belakang kita, maka diri kita cenderung mengambangkan
citra diri yang lebih negatif. Saat ini, para milenials akan merasa tertinggal bila
tidak mengupdate informasi yang sedang in, misalnya berita tertentu, atau fashion,
atau lagu-lagu. Maka, menjadi influencer merupakan hal yang tidak dapat
dipisahkan dari kehidupan para milenian. Semakin up-to-date orang akan semakin
mengagumi, maka kecenderungan mengidentifikasi diri dengan hal-hal in aadalah
keharusan. Milenials pada akhirnya berlomba-lomba untuk menghasilkan
pengaruh, namun tidak jarang hal yang di share adalah hal-hal yang bertentangan
dengan nilai-nilai budaya Indonesia.

2. Perbandingan diri dengan orang lain, bila kita membandingkan diri kita
dengan orang lain (atau kelompok tertentu) yang terlihat lebih sukses, bahagia,
kaya, lebih cantik atau tampan dari kita maka kita akan mengembangkan citra diri
yang lebih negatif, tetapi bila kita membandingkan dengan orang yang kurang dari
kita, maka citra diri akan lebih positif.

Sejalan dengan poin pertama, individu berlomba-lomba membentuk citra diri yang
lebih dibandingkan orang lain. Selalu up-to-date membentuk usaha par milenials
untuk selalu mengikuti tren terbaru.

3. Social roles, beberapa social roles terlihat bergengsi misalnya dokter, pilot
pesawat terbang, presenter tv, dan lain – lain hal ini akan meningkatkan self
esteem dari individu. Generasi milenial tidak terlepas dari eksistensi diri dikenal
oleh banyak orang, usahanya banyak bias melalui media sosial seperti Instagram
atau youtube. Hal ini akan menempatkan influencer sebagai suatu profesi yang
bergengsi dan ingin ditiru.

4. Identifikasi, peran tersebut akan menjadi bagian dari diri kita, misalnya kita
menempatkan diri kita sesuai dengan pekerjaan atau bertindak sesuai dengan
peran yang kita jalankan atau kelompok tempat kita mengikuti. Pada akhirnya
peran yang dipilih untuk membantu meningkatkan self-esteem pada situasi-situasi
tertentu.

Melalui penjelasan di atas, bentuk attachment feeling akan membentuk loyalitas


terhadap negara, loyalitas tersebut menjadi akar terhadap nasionalisme. Sentimental terhadap
negara tergantingkan dengan kesenangan individu lebih pada budaya di luar Indonesia. Hal
ini menjadikan usaha untuk membangun negara menjadi menurun, atensi meilenials lebih
banyak pada kebutuhan mereka menampilkan diri. Usaha yang dilakukan kadang banyak
yang bertentangan dengan kebudayan yang dimiliki oleh Indonesia. Semakin mendekatkan
diri pada tren terbaru membuat esteem milenian meningkat bila mereka dapat mengikuti tren
tersebut sekalipun tidak jarang nilai-nilai yang terkandung berbeda. Maka tidak
mengherankan bila pada umumnya mereka lebih memilih budaya luar dibandingkan budaya
sendiri, budaya Indonesia dirasa sudah ketinggalan zaman.

Sisi Lain Generasi Milenial

Pendapat Taylor dan Keeter (2010) yang dikutip oleh Turner (2013) mengatakan
bahwa generasi milenial merupakan generasi pertama yang memiliki kontak rutin dengan
seluruh informasi yang diakses melalui internet. Sesuai dengan namanya, para milenian
tumbuh pada masa millennium, perubahan yang sangat cepat. Peristiwa-peristiwa yang terjadi
pada periode tersebut membentuk mereka dan memberikan mereka prioritas dan ekspektasi
unik yang berbeda dari generasi sebelumnya (KPMG, 2017).

Generasi millennial dibesarkan dengan lingkungan yang memiliki pola komunikasi


yang tinggi dan orientasi keterlibatan orang tua yang lebih partisipatif. Pada umumnya
mereka dibesarkan oleh orang tua yang tidak terlalu authoritative, orang tua lebih
menempatkan anak sebagai partner. Milenian tumbuh dengan melakukan kompromi terkait
aturan dibandingkan diberi tahu oleh orang tua. Generasi ini juga lebih percaya diri dan
berfokus pada prestasi.

Generasi ini menjadikan globalisasi sebagai referensi utama dalam menjawab isu
kekinian; mengetahui fakta terbaru; mengetahui perkembangan video, lagu-lagu, film dan
berita dalam waktu yang bersamaan. Kemampuan untuk mengakses berita dan informasi
lintas benua menghasilkan terciptanya kesadaran sosial yang global maupun yang susah
dijangkau (AMP Agency & Cone Inc.. 2006 dalam Turner, 2013). Survey di lapangan
menunjukkan mereka lebih aktif mengikuti kegiatan prososial seperti menjadi relawan dan
aktif dalam kegiatan sosial lain untuk menunjukkan keinginan besar mereka dalam memberi
dampak positif bagi lingkungan. Lingkungan sosial generasi millennial menjadi tanpa batas
pada era media social, terciptanya berbagai aplikasi (contohnya facebook, youtube, twitter,
dan lain-lain) membuat wawasan semakin terbuka dan rentang sosialisasi semakin luas. Para
milenials lebih senang berkolaborasi dalam bekerja buka diperintah dan memilih pola
pragmatis dalam memecahkan. Hal ini medorong lebih terbukanya pola pikir yang mengarah
pada nilai mengekspresikan diri, toleransi pada keunikan individu, dan koneksi global antar
individu di seluruh dunia.

Menurut penelitian dari KPMG (2017), adapun beberapa ciri-ciri generasi milenial
dalam penjabaran lebih lanjut:

1. Optimisme

Optimisme pada generasi milenial digambarkan sebagai sikap mereka


terhadap kehidupan dan masa depan. Hal ini dipercaya muncul dari hasil parenting
orang tua yang lebih terbuka dan adanya hukum serta sosialiassi terkait hak-hak anak.
Sehingga saat mereka tumbuh terdapat kepuasan terakit dengan hubungan mereka
terhadap orang tua, hubungan di dalam keluarga, keseimbangan dan standar
kehidupan. Para milenian optimis terhadap masa depan mereka terhadap dunia, baik
secara nasional maupun global. Para mileniasn merasa diberdayakan dan dapat
memberikan efek terhdap perubahan sosial daripada generasi sebelumnya. Mereka
memiliki social network yang kuat dan merangkul perbedaan pada individu-individu
tersebut karena mereka tumbuh pada lingkunan yang beragam.

Optimisme generasi milenial juga dapat dijelaskan dari kesejahteraan pada


hidup mereka. Lapangan perkerjaan yang luas, keamanan tunjangan ekonomi yang
lebih baik dari pendahulunya. Para milenian cenderung berharap bisa mengubah
pekerjaan sesuai kebutuhan dan gaya hidup mereka. Pada sisi ekonomi, didapatkan
hasil generasi milenal merupakan generasi konsumen muda paling makmur yang
pernah dialami pasar dunia.

Begitupun pada generasi mileneal Indonesia, penggunaan tinggi internet di


Indonesia mendorong terciptanya kreativitas berbasis kemajuan teknologi. Banyak
bermunculannya start – up merupakan bentuk pemanfaatan azas kemajuan zaman
pada generasi muda. Hal ini memberikan dampak positif yaitu memberikan manfaat
untuk orang banyak, misalnya saja aplikasi Gojek. Aplikasi tersebut memberikan
kenyamanan dan efisiensi pada pengguna dengan mobilitas tinggi dalam membantu
kegiatan mereka sehari-hari. Begitu pula dengan lapangan pekerjaan, gojek
memberikan dampak besar unutk orang-orang memiliki pekerjaan tetap maupun
sampingan untuk memenuhi kebutuhaniķ hidup mereka.

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya generasi milenial memiliki


kesadaran yang lebih tinggi pada isu sosial dan lebih praktikal dalam menghadapi isu
tersebut. Mereka juga memiliki jaringan sosial yang lebih luas sehingga dalam
menggerakkan massa untuk membantu masalah tersebut lebih cepat. Hal ini tidak
mengherankan mulai munculnya komunitas-komunitas akibat perhatian mereka
terkait isu-isu tersebut. Saat ini berbagai metode dapat tercipta karena kreativitas
individu terkait.

Terlepas dari optimisme yang mencirikan Millennials, opini publik tentang


generasi muda ini tidak selalu positif. Para orang tua pada generasi tersebut
memperoleh kenaikan ekonomi pada masa kemajuan teknologi terebut, dengan
demikian para generasi muda milenial lebih lama berada pda situasi aman ekonomi
lebih lama dan memperoleh warisan. Bagi para milenian di usia mereka menjadi kaya
dan terkenal merupakan tujuan utama hidup. Lebih jauh, psikolog David Walsh
(dalam Stafford, 2008) mengatakan dalam artikelnya bahwa orang tua dan anak
mereka menderita DDD (discipline deficit disorder) dengan gejala berupa
ketidaksabaran dan harapan yang terlalu tinggi. Aapun yang memahami, para milenial
diidentikkan dengan kurangnya dihadapkan pada situasi hidup yang berat dan
permasalahn sosial yang mengarahkan mereka pada kebosanan, kemarahan, dan
ketergantungan yang ekstrim. Beberapa orang mempercayai dengan menghadapi
beberapa realita kehidupan dan mungkin sedikit menghadapi masalah akan
menyadarkan mereka pada ekspektasi berlebihan yang dimiliki oleh para milenians
sebagai perpanjangan dari optimisme berlebihan.

2. Influencer

Generasi mienilai sangat berpegang pada lingkungan sosialnya baik keluarga,


kelompok pertemanan, maupun panutan inluencer yang memberi pengaruh pada
mereka. Para milenians ingin selalu berhubungan dengan jejaring sosialnya. Secara
umum para milenials membutuhkan orang yang menjadi panutan untuk memberikan
arahan dan keputusan berdasarkan pengalaman mereka. Influencers dapat merupakan
orang terdekat, seperti orang tua, mentor, teman dekat, hingga guru, atau bisa
merupakan panutan yang tidak memiliki hubungan seperti artis, tokoh politik, maupun
pemuka agama.

Ikatan yang kuat terhadap pentingnya lingkungan sosial saat ini menjadi
bentuk social support. Kemajuan teknologi direspon oleh milenian Indonesia untuk
mencari teman-teman dengan minat serupa maupun pemikiran yang sama.
Terbentuknya berbagai kelompok – kelompok berbagai latar belakang dan alasan
merupakan bentuk nyata dari fasilitas kebutuhan sosial mereka.

Adapun para influencer yang awalnya membagi minat mereka pada akhirnya
memiliki sejumlah follower yang mendukung mereka. Hubungan timbal balik ini
dapat menjadi baik bila yang dibagi adalah hal-hal positef yang membangun bangsa,
semakin banyak muncul komunitas-komunitas yang memiliki perhatian khusus
terutama pada isu-isu permasalahan bangsa membantu untuk bertukar pikiran terkait
gerakan yang perlu dilakukan.

Adapun di sisi lain, membantu orang lain untuk mengembangkan gerakan


tersebut sehingga meluas pengaruhnya dengan bantuan media sosial ke seluruh
pelosok Indonesia. Namun di sisi lain, tidak jarang para pengikut tren terbaru terjebak
dengan adanya influencer yang membagi lifestyle mereka yang tidak jarang
bertentangan dengan kepribadian bangsa. Namun pengaruh media sosial membuat
adanya sejumlah golongan yang berpikiran sama berhimpun dan menguatkan
pengaruh tersebut. Sebutlah, adanya fenomena selebgram yang tidak jarang
menyebarkan paham hedonisme dan lifestyle ala barat pada akhirnya memberikan
pengaruh luas pada generasi-generasi muda yang mengingkan style serupa agar tidak
ketinggalan zaman.

3. Pengguna Teknologi

Generasi milenial menggunakan teknologi untuk membantu mereka


mengomunikasikan dengan siapa diri mereka, apa yang sedang mereka pikirkan, dan
bagaimana hidup mereka. Lebih lanjut aplikasi jejaring sosial menghubungkan
mereka selalu dengan orang tua maupun teman sepanjang waktu. Situs jejaring sosial
seperti facebook, path, Instagram memungkinkan mereka menampillan profil pibadi
mereka lengkap dengan foto dan deskripsi minat. Blog juga digunakan para milenian
untuk mengungkapkan opini mereka terhadap suatu isu. Sebagian besar pada
millennials menyadari kelebihan dan kekurangan teknologi. Banyak yang percaya
bahwa teknologi, bila digunakan sembarangan dapat bersifat merusak (interaksi web
yang digunakan untuk menampilkan kebencian maupun bullying atau perilaku
seksual).

Beberapa setuju bahwa terlalu banyak informasi pribadi yang dibagikan di


situs web, membuat orang muda rentan terhadap penjahat, pelanggar seks, dan orang
lain dengan niat buruk. Milenium, lebih dari kelompok usia lainnya, melaporkan
bahwa teknologi baru membuat orang lebih malas.

Media sosial menjadi alternatif media untuk mengenal kepribadian seseorang.


Para milenials menganggap media sosial adalah diri mereka sehingga kebebasan
penggunaanya menjadi hak mereka. Apapun yang ingin mereka sampaikan atau bagi
dapat mereka lakukan pada aku media sosial mereka. Tidak mengherankan tanpa
adanya awareness terhadap konten yang dibagikan mdapat memberikan persepsi
berbeda pada orang yang melihatnya. Maka tidak mengherankan bila hal tersebut
mengarahkan pada perang opini, tidak adanya filter konten yang mungkin tidak
sejalan dengan nilai-nilai di masyarakat, cyber bullying, kejahatan, dan lain-lain.

Bila ditelisik generasi milenial merupakan generasi besar yang tumbuh karena
pesatnya arus globalisasi. Mereka dibeesarkan dari orang tua yang baru mengenal teknologi
di masa dewasa mereka, maka generasi milenial mendapatkan transisi dari maa sebelum arus
globalisasi emikian pesat hingga tidak dapat dibendung lagi arusnya.

Para milenials adalah pembelajar yang cepat dan sebetulnya mudah beradaptasi
dengan perubahan tersebut, akan tetapi generasi pendahulu mereka belum sepenuhnya
memahami kondisi perubahanteresbut sehingga masih kaku dalam memfasilitasi para
milenials menghadapi arus globalisasi teresebut. Pola pemikiran dan gaya hidup para
milenials akhirnya dianggap akan mengancam nilai nilai luhur budaya Indonesia.
Usaha Meningkatkan Nasionalisme Generasi Milenial Indonesia

Arus globalisasi tidak dapat ditahan lagi, perubahan pada masyarakat akan terus
terjadi. Kemunculan generasi milenial adalah bukti bahwa perubahan zaman mengarahkan
generasi muda memiliki perubahan dalam aspek kehidupan mereka. Namun ciri khas dari
bangsa Indonesia tidak seharusnya memudar karena tatanan budaya akan merupakan bagian
dari identitas diri rakyatnya. Pancasila sebagai dasar negara Indonesia keberadaanya telah
menguat selama 72 tahun sepanjang kemerdekaan Indonesia, memberikan ciri untuk bangsa
Indonesia untuk membedakan dari bangsa – bangsa lain

Pancasila sebagai suatu ideologi bersifat terbuka dan dinamis. Hal ini berarti
Pancasila tidak menutup diri terhadap perubahan yang terjadi dan mengikuti perkembangan
zaman tanpa mengubah nilai-nilai dasar yang terkandung di dalamnya. Pancasila sebagai
suatu ideologi tidak bersifat kaku dan tertutup. Hal ini berarti ideologi Pancasila memiliki
sifat aktual dinamis antisipatif yang senantiasa dapat menyesuaikan dengan perkembangan
zaman, ilmu pengetahuan dan teknologi serta dinamika perkembangan aspirasi masyarakat
(sijai.com, 2007).

Keterbukaan ideologi Pancasila bukan berarti mengubah nilai-nilai dasar yang


terkandung di dalamnya, namun mengeksplisitkan wawasannya secara lebih konkrit,
sehingga memiliki kemampuan yang reformatif untuk memecahkan masalah-masalah aktual
yang senantiasa berkembang seiring dengan aspirasi masyarakat, perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi serta zaman. Dalam ideologi terbuka, terdapat cita-cita dan nilai-
nilai yang mendasar yang bersifat tetap (sijai.com, 2007).

Melalui fenomena generasi milenial pengajaran dari Pancasila tidak dapat memiliki
pola yang sama dengan zaman pendahulunya. Generasi milenial yang dikenal sebagai
generasi optimis, vokal, dan praktikal memerlukan pemahaman nilai-nilai Pancasila melalui
sisi yang berbeda. Butir butir Pancasila dapat dituangkan dalam usaha praktis agar mereka
memiliki pengalaman sendiri terkait nilai tersebut. Misalnya berkaitan dengan tenggang rasa,
adanya praktek ke lapangan yang berhubungan dengan kegiatan sosial.

Pemahaman Pancasila melalui praktek langsung akan memberikan penanaman


pembalajaran langsung dan memahami bahwa Pancasila maerupakan bagian dari kehidupan
sehari-hari.
Selanjutnya, kemajuan teknologi juga dapaat dimanfaatkan untuk memperkenalkan
keragaman budaya dan nilai Indonesia, berbagai aplikasi dapat dirancang untuk menjelaskan
sejarah menjadi lebih interakitf dan menarik sehingga generasi yang baru tumbuh menaruh
minat besar dengan adanya media lain pembelajaran sejarah mereka. Pola pembalajaran yang
lebih interaktif, berwarna, dan merangsang rasa ingin tahu dibutuhkan untuk menarik minat
terkait budaya-budaya tradisional yang diekmas dalam menyampaian yang moderen. Pada
generasi yang masih bertumbuh juga, di usia proses pembelajaran banyak diarahkan pada
kegiatan bermain. Dalam mempelajari sejarah Indonesia dapat dilakukan dengan kegiatan
bermain, misalnya melalui permainan peran. Sedini mungkin par agenerasi muda perlu
memahamis ejarah dengan cara yang menyenangkan yaitu bermain.

Pentingnya influencer pula dapat dimanfaatkan dengan mengangkat duta-duta dari


kalangan para pemuda, misalnya saja duta lingkungan, dutak teknologi, dan lain – lain. Hal
ini dapat dialkukan dengan media sosial, memanfaatkan media interaktif dan menjadikan
nilai-nilai positif viral. Selain itu memberi wadah komunitas-komunitas pembelajaran
berkembang dan merancang proyek-proyek untuk memajukan bangsa dari berbagai sisi.

Perubahan zaman merupakan hal yang akan selalu terjadi seiring perkembangan
masyarakat duni, tidak terkecuali Indonesia. Generasi milenial merupakan generasi yang
memiliki perubahan zaman yang cukup signifikan, adapun mereka merasakan peralihan dari
masa sebelum arus globalisasi memuncak hingga berkembang pesat. Terbentuknya nilai-nilai
baru ini tentunya perlu difasilitasi oleh lingkungan sekitar. Generasi ini ingin maju bergerak
namun generasi sebelumnya menghadapi perubahan ini sebagai sebuah tantangan. Perlu
disadari bahwa perubahan ini tidak dapat ditahan dan tidak bias dihadapi dengan pola pikir
tertutup. Bila persepsi terkait perubahan budaya terus menerus dibandingkan dengan masa
lalu maka akan membentuk kesenjangan untuk memahami perubahan zaman.

Akan lebih baik, setiap perubahan ditanggapi dengan pikiran yang lebih terbuka dan
fleksibel seperti nilai-nilai Pancasila yang telah dimiliki Indonesia 72 tahun yang lalu. Nilai-
nilai tersebut tidak akan pernah hilang hanya melakukan transformasi aplikasinya di
perubahan zaman ini.
Daftar Acuan

Baumeister, R.F. (1997). Identity, self-concept, and self-esteem. Handbook of Personality


Psychology (pp. 246-280). Retrieved from https://research
srttu.wikispaces.com/file/view/self+concept+%2B+self+esteem+and+identity.pdf

Druckman, D. (1994). Nationalism, patriotism, and group loyalty: A social psychological


perspective. Mershon International Studies Review, 38(1), 43-68.

Gecas, V. (1982). The Self Concept. Annual Review of Sociology. 8, 1-33

KPMG. (2017). Meet the Millenians: UK: KPMG LLP

McLeod,S.A. (2008). Self concept. Retrieved from www.simplypsychology.org/self-


concept.html

Miftahuddin. (2009). Makna nasionalisme Indonesia: Sebuah pendekatan distruktif di era


orde
baru. (Unpublished docotral dissertation). Universitas Indonesia, Depok, Jawa
Barat

Myers, David G. (2008). Social Pychology. (9th ed.). New York: the McGraw-Hill
Companies

Pertiwi, A. I. (2012). Gambaran Perilaku Agresif dalam Situs Jejaring Sosial: Sebuah Studi
Kualitatif Deskriptif pada Mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Padjadjaran
Angkatan 2011. (Unpublished thesis). Universitas Padjadjaran, Jatinangor, Jawa
Barat

Reeves, T.C. & Oh, E. (2014). Generational Differences and the Integration
of Technology in Learning, Instruction, and Performance. New York: Springer

Sijai. (n.d.). Pancasila sebagai ideologi terbuka: Pengertian, nilai-nilai, dimensi, dan ciri-
ciri.
Retrieved from https://sijai.com/pamcasila-sebagai-ideologi-terbuka/

Stafford Darlene E & Griffis Henry S. (2008). A review of Millenial Generation


Characteristics
and Military Worforce Implications. Virginia: CNA Cooperation

Turner, Anthony Robert. (2013). Generation Z: Technology’s Potential Impact in Social


Interest of Contemporary Youth. The Faculty of the Adler Graduate School

Anda mungkin juga menyukai