Era Globalisasi
Perubahan zaman tidak dinyana begitu cepat terjadi. Hal tersebut dikarenakan arus
globalisasi dan kemajuan teknologi yang mempengaruhi kehidupan setiap individu masa kini.
Tak terkecuali, gerak evolusi generasi muda yang saat ini dikenal dengan sebutan Generasi
milenial atau Y (dan Z yang sedang berkembang). Generasi milenial adalah generasi yang
hidup pada era globalisasi dan pasar bebas tak terbatas, difasilitasi oleh akses kemajuan
teknologi dan informasi tiada batas.
Pendapat Taylor dan Keeter (2010) yang dikutip oleh Turner (2013) mengatakan
bahwa generasi milenial merupakan generasi pertama yang memiliki kontak rutin dengan
seluruh informasi yang diakses melalui internet. Generasi ini menjadikan globalisasi sebagai
referensi utama dalam menjawab isu kekinian; mengetahui fakta kekinian; mengetahui
perkembangan video, lagu-lagu, film dan berita dalam waktu yang bersamaan.
Terrnyata, tren pemanfaatan media sosial tersebut tidak luput mengenai generasi
milenial. Media sosial dijadikan ajang untuk menampilkan gaya terbaru, klaim pendapat
terhadap isu tertentu, dan keinginan untuk dikenal melalui konten-konten yang disebar pada
media sosial. Dengan terbukanya pola pikir mereka terhadap arus informasi, membuat
mereka terus melakukan pembaharuan informasi dan tren, misalnya terkait dengan budaya
barat yang dianggap menarik karena dianggap trendy. Sehingga, keinginan untuk terus
menjadi bagian dari pembaharuan informasi dirasa semakin menjauhkan generasi tersebut
pada rasa kecintaan pada tanah air.
Nasionalisme
Maraknya berita hoax dan perang opini menjadi konsumsi sehari-hari yang dapat kita
lihat melalui media sosial. Tidak mengherankan bullying berujung pada pemaksaan opini kita
pada orang lain. Penyebaran informasi yang tidak sesuai dan tidak berimbang juga beredar
dengan luas dan seolah-olah generasi milenial tidak peduli apakah hal tersebut akan
berdampak bagi orang lain atau tidak, selama mereka menggapnya sebagai sebuah tend untuk
mendapatkan titel “kekinian”.
Arnett (2010), Greenberg dan Weber (2008), Rampell (2011), Howe dan Strauss
(2000), serta Winograd dan Hais (2011) mengemukakan bahwa pada sisi yang lain, ada juga
generasi milenial yang peduli terhadap isu-isu sosial, berani mengeluarkan pendapat dan
melakukan gerakan kreatif lainnya, tidak dapat diabaikan. Generasi mileneal juga dikenal
dengan orientasi mereka terhadap komunitas, peduli, berorientasi, aktivis yang terjun
langsung, dan tertarik pada isu lingkungan dibandingkan generasi sebelumnya.
Selain itu, perang pendapat dan saling menjatuhkan tidak dapat dihindarkan, masing-
masing orang yang beropini menjadi keras kepala dengan pendapatnya. Hal ini berakhir
dengan saling menjelekkan pribadi masing-masing.
Di sisi lain, Myers (2008) mengemukakan bahwa banyak milenials yang lebih
memilih mengikuti trend yang sedang “in” di dunia saat ini. Banyaknya sumber trend muncul
dari luar Indonesia seperti Barat, Korea, dan lain-lain. Trend fashion, lagu, film, dan trend
lifestyle lainnya dirasa lebih menarik jika terus di update. Maka, ketika hal tesebut menjadi
menarik, nilai-nilai yang terkandung dalam lifestyle tersebut akan diadopsi dan disebar
luaskan melalui media sosial. Pada group loyalty, individu menjadi conform terhadap nilai-
nilai yang dibagi dalam suatu kelompok Jika lifestyle menjadi panutan utama dalam suatu
kelompok, maka tidak mengherankan jika konsep tersebut menyebar dan terlihat bahwa
generasi milenial lebih mengutamakan tend dan menjadi follower.
Drukcman (1994) yang mengutip Terhune (1964), dasar dari group loyalty bagi
individu adalah memiliki kelekatan sentimental yang secara afektif terlibat, termotivasi untuk
membantu negaranya dengan orientasi tujuan, dan self-esteem yang muncul melalui
identifikasi diri mereka terhadap negaranya dengan melibatkan ego. Ketiga dasar tersebut jika
dikaitkan dengan fenomena saat ini terlihat bahwa loyalitas generasi sekarang terhadap
negara terlihat menurun. Kebanggaan terhadap negara tidak dirasakan, dengan semakin tidak
memahami sejarah dan pendalaman Pancasila bagi generasi milenial. Hal tersebut
dikarenakan kesibukan dalam eksistensi diri yang diwujudkan dalam memberikan opini yang
berujung pada perdebatan terhadap isu-isu tertentu yang menyebabkan tidak ada lagi
keinginan untuk menghargai individu lain seperti yang tertuang dalam butir sila ke-3
Pancasila, Persatuan Indonesia.
Hal tersebut diatas pada akhirnya terlihat jika kecintaan generasi milenial terhadap
bangsanya semakin menurun, karena mereka lebih memilih hidup dengan lifestyle ala barat
yang semakin menguat. Sentimental mereka terhadap negara sendiri semakin menurun
seiring banyaknya akses berita negatif dan perang opini yang terjadi.
Tidak mengherankan bila pada umumnya mereka lebih memilih budaya luar
dibandingkan budaya sendiri, budaya luar terlihat lebih menarik dan tidak ketinggalan zaman.
Sementara budaya Indonesia dipandang negatif dan tidak menarik.
Usaha untuk memajukan negara menurut Terhune (1964) merupakan salah satu unsur
group loyalty. Usaha individu untuk membantu negaranya juga merupakan akar dari
munculnya nasionalisme yang menguat. Dibutuhkan penyelesaian permasalahn dan ide-ide
untuk memajukan bangsa tersebut.
Namun, pada kenyataannya generasi milenial Indonesia lebih banyak didekatkan pada
kebutuhan lain. Yaitu, kebutuhan untuk menampilkan diri pada para milenial yang dianggap
merupakan hal yang wajar terajdi di era digital ini. Segala usaha dapat dilakukan agar diri
mereka dapat terkenal, namun sedikit banyak usaha tersebut dihubungkan dengan trend yang
sedang in saat itu. Viral, hal tersebut merupakan tolak ukur bila individu masa kini memiliki
prestasi dengan terkenal di media sosial. Namun tidak jarang prestasi tersebut didapatkan
dengan share hal-hal yang tidak mencerminkan nilai-nilai timur Indonesia. Selain itu,
keinginan tersebut semakin dikuatkan dengan mengikuti atau menjadikan orang terkenal
sebagai panutan sehingga trend tersebut menjadi semakin menjadi tersebar. Kembali pada
persoalan tuduh menuduh, kritikan dianggap mengganggu asasi mereka dalam berekspresi,
kemudian menganggap kembali bahwa hal-hal berbau tradisional merupakan hal yang
ketinggalan zaman. Sejalan dengan hal tersebut, berita-berita yang disampaikan terkait
dengan generasi milenials semakin banyak hal negatifnya. Prestasi yang ditorehkan beberapa
kepala menjadi tertutupi oleh berita kelompok generasi yang dianggap semakin tidak
menunjukkan budaya ketimuran Indonesia.
Self esteem dalam konsep nasionalisme merupakan evaluasi positif diri terkait dengan
negaranya. Esteem sebagai orang Indonesia saat ini semakin menurun seiring dengan
berbagai berita negative dan keinginan para milenials untuk mengidentifkasikan dirinya
dengan nilai-nilai yang lebih positif di luar sana. Generasi milenial dipaksa menjadi follower
terhadap trend dan lebih aktif menggunakan media sosial dibandingkan usaha untuk
memajukan negara menjadi tendsetter itu sendiri. Selain itu, kebanggaan terhadap bangsa
atau dalam hal ini self-esteem terkait dengan identitas mereka sebagai bangsa Indonesia tidak
cukup tinggi. Fenomena mendewakan lifestyle yang tidak jarang berseberangan dengan nilai-
nilai Indonesia sudah menjadi kebanggaan untuk mereka. Tidak mengherankan mereka lebih
percaya diri dengan menggunakan produk-produk kenamaan luar negeri dibandingkan barang
mereka sendiri, lebih memilih liburan ke luar negeri daripada dalam negeri, atau lebih merasa
berbeda bila menguasai budaya di luar negeri dibandingkan budaya tradisional (misalnya
Bahasa asing, lagu-lagu luar negeri, dan lain-lain). Hal ini juga terlihat dari semakin
berkurangnya generasi muda melestarikan budaya-budaya tradisional Indonesia karena pola
pikir terlampau liberal maupun ekstrim pada satu golongan mayoritas membuat semakin jauh
konsep persatuan dalam Pancasila.
Selain itu, dalam groups function individu akan mendapatkan status diri dari
kelompok sosialnya (Bass, 1981; Stogdill, 1974; dalam Druckman (1994). Generasi milenial
seperti kebingungan dengan identitas diri mereka sebagai bangsa Indonesia.
Pengaruh kelompok sangat besar hingga mereka akan mengikuti mana kelompok
yang perlu mereka dukung. Identifikasi diri mereka terhadap kelompok-kelompok yang
tersebar luas di masayarakat membuat semakin terkotak-kotak. Tidak dapat dipungkiri pada
akhirnya perang opini dan saling menuding padahal sesame bangsa Indonesia.
Argyle (2008) (dalam McLeod, 2008) mengatakan terdapat 4 faktor utama yang
mempengaruhi self-esteem:
1. Reaksi terhadap orang lain, bila individu lain mengagumi diri kita, memuji, dan
mencari tahu keberadaan kita, mendengarkan dengan seksama dan sepakat dengan
diri kita maka kita kan cenderung mengembangkan citra diri yang lebih positif.
Sementara bila invidu lain menghindari, mengacuhkan, dan membicarakan hal-hal
tidak menyenangkan di belakang kita, maka diri kita cenderung mengambangkan
citra diri yang lebih negatif. Saat ini, para milenials akan merasa tertinggal bila
tidak mengupdate informasi yang sedang in, misalnya berita tertentu, atau fashion,
atau lagu-lagu. Maka, menjadi influencer merupakan hal yang tidak dapat
dipisahkan dari kehidupan para milenian. Semakin up-to-date orang akan semakin
mengagumi, maka kecenderungan mengidentifikasi diri dengan hal-hal in aadalah
keharusan. Milenials pada akhirnya berlomba-lomba untuk menghasilkan
pengaruh, namun tidak jarang hal yang di share adalah hal-hal yang bertentangan
dengan nilai-nilai budaya Indonesia.
2. Perbandingan diri dengan orang lain, bila kita membandingkan diri kita
dengan orang lain (atau kelompok tertentu) yang terlihat lebih sukses, bahagia,
kaya, lebih cantik atau tampan dari kita maka kita akan mengembangkan citra diri
yang lebih negatif, tetapi bila kita membandingkan dengan orang yang kurang dari
kita, maka citra diri akan lebih positif.
Sejalan dengan poin pertama, individu berlomba-lomba membentuk citra diri yang
lebih dibandingkan orang lain. Selalu up-to-date membentuk usaha par milenials
untuk selalu mengikuti tren terbaru.
3. Social roles, beberapa social roles terlihat bergengsi misalnya dokter, pilot
pesawat terbang, presenter tv, dan lain – lain hal ini akan meningkatkan self
esteem dari individu. Generasi milenial tidak terlepas dari eksistensi diri dikenal
oleh banyak orang, usahanya banyak bias melalui media sosial seperti Instagram
atau youtube. Hal ini akan menempatkan influencer sebagai suatu profesi yang
bergengsi dan ingin ditiru.
4. Identifikasi, peran tersebut akan menjadi bagian dari diri kita, misalnya kita
menempatkan diri kita sesuai dengan pekerjaan atau bertindak sesuai dengan
peran yang kita jalankan atau kelompok tempat kita mengikuti. Pada akhirnya
peran yang dipilih untuk membantu meningkatkan self-esteem pada situasi-situasi
tertentu.
Pendapat Taylor dan Keeter (2010) yang dikutip oleh Turner (2013) mengatakan
bahwa generasi milenial merupakan generasi pertama yang memiliki kontak rutin dengan
seluruh informasi yang diakses melalui internet. Sesuai dengan namanya, para milenian
tumbuh pada masa millennium, perubahan yang sangat cepat. Peristiwa-peristiwa yang terjadi
pada periode tersebut membentuk mereka dan memberikan mereka prioritas dan ekspektasi
unik yang berbeda dari generasi sebelumnya (KPMG, 2017).
Generasi ini menjadikan globalisasi sebagai referensi utama dalam menjawab isu
kekinian; mengetahui fakta terbaru; mengetahui perkembangan video, lagu-lagu, film dan
berita dalam waktu yang bersamaan. Kemampuan untuk mengakses berita dan informasi
lintas benua menghasilkan terciptanya kesadaran sosial yang global maupun yang susah
dijangkau (AMP Agency & Cone Inc.. 2006 dalam Turner, 2013). Survey di lapangan
menunjukkan mereka lebih aktif mengikuti kegiatan prososial seperti menjadi relawan dan
aktif dalam kegiatan sosial lain untuk menunjukkan keinginan besar mereka dalam memberi
dampak positif bagi lingkungan. Lingkungan sosial generasi millennial menjadi tanpa batas
pada era media social, terciptanya berbagai aplikasi (contohnya facebook, youtube, twitter,
dan lain-lain) membuat wawasan semakin terbuka dan rentang sosialisasi semakin luas. Para
milenials lebih senang berkolaborasi dalam bekerja buka diperintah dan memilih pola
pragmatis dalam memecahkan. Hal ini medorong lebih terbukanya pola pikir yang mengarah
pada nilai mengekspresikan diri, toleransi pada keunikan individu, dan koneksi global antar
individu di seluruh dunia.
Menurut penelitian dari KPMG (2017), adapun beberapa ciri-ciri generasi milenial
dalam penjabaran lebih lanjut:
1. Optimisme
2. Influencer
Ikatan yang kuat terhadap pentingnya lingkungan sosial saat ini menjadi
bentuk social support. Kemajuan teknologi direspon oleh milenian Indonesia untuk
mencari teman-teman dengan minat serupa maupun pemikiran yang sama.
Terbentuknya berbagai kelompok – kelompok berbagai latar belakang dan alasan
merupakan bentuk nyata dari fasilitas kebutuhan sosial mereka.
Adapun para influencer yang awalnya membagi minat mereka pada akhirnya
memiliki sejumlah follower yang mendukung mereka. Hubungan timbal balik ini
dapat menjadi baik bila yang dibagi adalah hal-hal positef yang membangun bangsa,
semakin banyak muncul komunitas-komunitas yang memiliki perhatian khusus
terutama pada isu-isu permasalahan bangsa membantu untuk bertukar pikiran terkait
gerakan yang perlu dilakukan.
3. Pengguna Teknologi
Bila ditelisik generasi milenial merupakan generasi besar yang tumbuh karena
pesatnya arus globalisasi. Mereka dibeesarkan dari orang tua yang baru mengenal teknologi
di masa dewasa mereka, maka generasi milenial mendapatkan transisi dari maa sebelum arus
globalisasi emikian pesat hingga tidak dapat dibendung lagi arusnya.
Para milenials adalah pembelajar yang cepat dan sebetulnya mudah beradaptasi
dengan perubahan tersebut, akan tetapi generasi pendahulu mereka belum sepenuhnya
memahami kondisi perubahanteresbut sehingga masih kaku dalam memfasilitasi para
milenials menghadapi arus globalisasi teresebut. Pola pemikiran dan gaya hidup para
milenials akhirnya dianggap akan mengancam nilai nilai luhur budaya Indonesia.
Usaha Meningkatkan Nasionalisme Generasi Milenial Indonesia
Arus globalisasi tidak dapat ditahan lagi, perubahan pada masyarakat akan terus
terjadi. Kemunculan generasi milenial adalah bukti bahwa perubahan zaman mengarahkan
generasi muda memiliki perubahan dalam aspek kehidupan mereka. Namun ciri khas dari
bangsa Indonesia tidak seharusnya memudar karena tatanan budaya akan merupakan bagian
dari identitas diri rakyatnya. Pancasila sebagai dasar negara Indonesia keberadaanya telah
menguat selama 72 tahun sepanjang kemerdekaan Indonesia, memberikan ciri untuk bangsa
Indonesia untuk membedakan dari bangsa – bangsa lain
Pancasila sebagai suatu ideologi bersifat terbuka dan dinamis. Hal ini berarti
Pancasila tidak menutup diri terhadap perubahan yang terjadi dan mengikuti perkembangan
zaman tanpa mengubah nilai-nilai dasar yang terkandung di dalamnya. Pancasila sebagai
suatu ideologi tidak bersifat kaku dan tertutup. Hal ini berarti ideologi Pancasila memiliki
sifat aktual dinamis antisipatif yang senantiasa dapat menyesuaikan dengan perkembangan
zaman, ilmu pengetahuan dan teknologi serta dinamika perkembangan aspirasi masyarakat
(sijai.com, 2007).
Melalui fenomena generasi milenial pengajaran dari Pancasila tidak dapat memiliki
pola yang sama dengan zaman pendahulunya. Generasi milenial yang dikenal sebagai
generasi optimis, vokal, dan praktikal memerlukan pemahaman nilai-nilai Pancasila melalui
sisi yang berbeda. Butir butir Pancasila dapat dituangkan dalam usaha praktis agar mereka
memiliki pengalaman sendiri terkait nilai tersebut. Misalnya berkaitan dengan tenggang rasa,
adanya praktek ke lapangan yang berhubungan dengan kegiatan sosial.
Perubahan zaman merupakan hal yang akan selalu terjadi seiring perkembangan
masyarakat duni, tidak terkecuali Indonesia. Generasi milenial merupakan generasi yang
memiliki perubahan zaman yang cukup signifikan, adapun mereka merasakan peralihan dari
masa sebelum arus globalisasi memuncak hingga berkembang pesat. Terbentuknya nilai-nilai
baru ini tentunya perlu difasilitasi oleh lingkungan sekitar. Generasi ini ingin maju bergerak
namun generasi sebelumnya menghadapi perubahan ini sebagai sebuah tantangan. Perlu
disadari bahwa perubahan ini tidak dapat ditahan dan tidak bias dihadapi dengan pola pikir
tertutup. Bila persepsi terkait perubahan budaya terus menerus dibandingkan dengan masa
lalu maka akan membentuk kesenjangan untuk memahami perubahan zaman.
Akan lebih baik, setiap perubahan ditanggapi dengan pikiran yang lebih terbuka dan
fleksibel seperti nilai-nilai Pancasila yang telah dimiliki Indonesia 72 tahun yang lalu. Nilai-
nilai tersebut tidak akan pernah hilang hanya melakukan transformasi aplikasinya di
perubahan zaman ini.
Daftar Acuan
Myers, David G. (2008). Social Pychology. (9th ed.). New York: the McGraw-Hill
Companies
Pertiwi, A. I. (2012). Gambaran Perilaku Agresif dalam Situs Jejaring Sosial: Sebuah Studi
Kualitatif Deskriptif pada Mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Padjadjaran
Angkatan 2011. (Unpublished thesis). Universitas Padjadjaran, Jatinangor, Jawa
Barat
Reeves, T.C. & Oh, E. (2014). Generational Differences and the Integration
of Technology in Learning, Instruction, and Performance. New York: Springer
Sijai. (n.d.). Pancasila sebagai ideologi terbuka: Pengertian, nilai-nilai, dimensi, dan ciri-
ciri.
Retrieved from https://sijai.com/pamcasila-sebagai-ideologi-terbuka/