Anda di halaman 1dari 9

Nama : Naily Tasyakurillah

NIM : 6411419038

Prodi : Kesehatan Masyarakat

Rombel : Pendidikan Kewarganegaraan, C3-224, Hari Kamis jam 11.00

KEBERADAAN JIWA NASIONALISME DI ERA GLOBALISASI

Di era globalisasi sekarang ini, teknologi informasi sudah semakin berkembang yang
telah mengakibatkan kaburnya batas-batas antar negara (baik secara politik, ekonomi,
maupun sosial). Masalah nasionalisme tidak lagi dapat dilihat sebagai masalah sederhana
yang dapat dilihat dari satu perspektif saja. Masalah pembangunan nasionalisme di Indonesia
saat ini tengah menghadapi tantangan yang berat. Di tengah situasi bangsa Indonesia yang
seperti itu, nasionalisme sangat di butuhkan untuk menjaga Negara Kesatuan Republik
Indonesia.

Teknologi internet merupakan teknologi yang memberikan informasi tanpa batas dan
dapat diakses oleh siapa saja. Apa lagi bagi anak muda, internet sudah menjadi santapan
sehari- hari. Jika digunakan secara semestinya tentu akan diperoleh manfaat yang berguna.
Tetapi jika tidak, maka akan mengakibatkan kerugian. Dan sekarang ini, banyak pelajar serta
mahasiswa yang menggunakan dengan tidak semestinya. Bukan hanya internet saja,
handphone juga membawa pengaruh buruk. Rasa sosial terhadap masyarakat menjadi tidak
ada karena mereka lebih memilih sibuk dengan kebutuhannya masing-masing.

Refleksi kisah perjuangan telah terbukti pada tinginya semangat perjuangan Bangsa
Indonesia untuk mengusir dan melawan penjajah sejak awal penjajahan Belanda sampai
dengan tercapai Kemerdekaan Republik Indonesia. Kewajiban generasi yang lebih tua adalah
tidak hanya mewariskan pengetahuan tentang tonggak sejarah atas kejadian yang terjadi di
masa lalu, namun juga tentang semangat nasionalisme yang berpengaruh atas perjalanan
hidup dalam berbangsa dan bernegara. Karena dengan demikian akan tercipta suatu hubungan
emosional secara timbal-balik di antara keduanya dalam kaitan semangat nasionalisme. Hal
ini menjadi sebuah tuntutan yang layak, agar generasi muda dapat menghargai jasa-jasa para
pahlawan.
Bangsa Indonesia adalah bangsa yang kaya akan budaya, suku, ras, dan agama. Hal
ini sangat berkaitan dengan jiwa nasionalisme generasi penerus bangsa Indonesia. Barbagai
masalah yang dihadapi oleh bangsa Indonesia mulai dari masalah kemiskinan, pengangguran,
dan terorisme yang dapat menimbulkan banyak problem. Salah satunya ialah minimnya rasa
nasionalisme generasi muda. Hal ini tidak bisa dipungkiri karena masyarakat lebih memilih
untuk kelangsungan hidupnya daripada memikirkan untuk negara. Tinggi atau rendahnya rasa
nasionalisme generasi muda saat sekarang ini salah satunya dipengaruhi oleh budaya-budaya
barat yang dengan mudahnya masuk dan mempengaruhi budaya bangsa Indonesia yang pada
hakekatnya adalah jati diri budaya timur. Rasa nasionalisme sangat penting bagi generasi
muda Indonesia untuk bisa menjadi bangsa yang maju, bangsa yang modern, bangsa yang
aman, damai, adil dan sejahtera di tengah arus globalisasi yang semakin hari semakin
menantang negara Indonesia.

Pada masa penjajahan Belanda, bangsa Indonesia mencapai puncak kejayaan rasa
nasionalisme, dimana pejuang terdahulu bersatu dari sabang sampai merauke untuk
membebaskan diri dari belenggu penjajahan. Rasa nasionalisme masyarakat Indonesia yang
tinggi telah terbukti dengan kemerdekaan Republik Indonesia.

Selama ini, pendidikan menitikberatkan pada pengisian kognitif semata. Sisi afektif
emosional dan kecerdasan spriritual kurang diperhatikan dan seolah tidak menjadi garapan
pendidikan. Masyarakat menganggap bahwa orang yang cerdas ialah mereka yang mampu
menghafal banyak rumus, menguasai bahasa asing dengan fasih, dan mampu menjawab soal
pelajaran secara tepat dan cermat. Akibatnya dunia pendidikan hanya memproduksi orang
yang cerdas otak. Padahal, tujuan pendidikan yang tertuang dalam UUD 1945 ialah
mencerdaskan kehidupan bangsa. Sementara implementasi pendidikan hanya mencerdaskan
otak, bukan mencerdaskan kehidupan, sehingga selama ini pendidikan banyak memproduksi
intelektual yakni orang yang memiliki otak yang cerdas dan cemerlang yang tidak banyak
berbudi mulia.

Pada perkembangan era globalisasi ini, suatu proses menjadikan sesuatu sebagai ciri
dari setiap individu di dunia tanpa dibatasi oleh wilayah. Tetapi para globis pesimis
berpendapat bahwa globalisasi adalah sebuah fenomena negatif. Karena hal tersebut adalah
bentuk penjajahan Barat (Amerika Serikat) yang memaksa sejumlah budaya dan komsumsi
yang homogen agar terlihat sebagai sesuatu yang benar dipermukaan. Sekarang ini terkadang
globalisasi tidak tersaring, ketergantungan dengan teknologi, pemborosan pengeluaran dan
meniru perilaku yang buruk, mudah terpengaruh oleh hal yang tidak sesuai dengan kebiasaan
atau kebudayaan suatu negara khususnya untuk para generasi muda Indonesia.

Sebagaimana telah kita ketahui, di Indonesia sendiri nasionalisme bukan merupakan


sesuatu yang sudah sejak dulu ada. Ia baru lahir dan mulai tumbuh pada awal abad ke-20,
seiring dengan lahir dan tumbuhnya berbagai bentuk organisasi pergerakan nasional yang
menuntut kemerdekaan dan sistem pemerintahan negara bangsa yang demokratis. Tampak
pula bahwa nasionalisme di Indonesia merupakan sesuatu yang hidup, yang bergerak terus
secara dinamis seiring dengan perkembangan masyarakat, bahkan sampai sekarang. Makna
nasionalisme sendiri tidak statis, tetapi dinamis mengikuti bergulirnya masyarakat dalam
waktu.

Nation berasal dari bahasa Latin natio, yang dikembangkan dari kata nascor (saya
dilahirkan), maka pada awalnya nation (bangsa) dimaknai sebagai “sekelompok orang yang
dilahirkan di suatu daerah yang sama” (group of people born ini the same place) (Ritter,
1986: 286) . Kata ‘nasionalisme’ menurut Abbe Barruel untuk pertama kali dipakai di Jerman
pada abad ke-15, yang diperuntukan bagi para mahasiswa yang datang dari daerah yang sama
atau berbahasa sama, sehingga mereka itu (di kampus yang baru dan daerah baru) tetap
menunjukkan cinta mereka terhadap bangsa/suku asal mereka (Ritter, 1986: 295) .

Nasionalisme pada mulanya terkait dengan rasa cinta sekelompok orang pada bangsa,
bahasa dan daerah asal usul semula. Rasa cinta seperti itu dewasa ini disebut semangat
patriotisme. Jadi pada mulanya nasionalisme dan patriotisme itu sama maknanya. Namun
sejak revolusi Perancis meletus 1789, pengertian nasionalisme mengalami berbagai
pengertian, sebab kondisi yang melatarbelakanginya amat beragam. Antara bangsa yang satu
dengan bangsa yang lain. Nasionalisme bukan lagi produk pencerahan Eropa tetapi menjadi
label perjuangan di negara-negara Asia-Afrika yang dijajah bangsa Barat. Keragaman makna
itu dapat dilihat dari sejumlah pendapat berikut.

Smith (1979: 1) memaknai nasionalisme sebagai gerakan ideologis untuk meraih dan
memelihara otonomi, kohesi dan individualitas bagi satu kelompok sosial tertentu yang
diakui oleh beberapa anggotanya untuk membentuk atau menentukan satu bangsa yang
sesungguhnya atau yang berupa potensi saja.

Snyder (1964: 23) sementara itu memaknai nasionalisme sebagai satu emosi yang
kuat yang telah mendominasi pikiran dan tindakan politik kebanyakan rakyat sejak revolusi
Perancis. Ia tidak bersifat alamiah, melainkan merupakan satu gejala sejarah, yang timbul
sebagai tanggapan terhadap kondisi politik, ekonomi dan sosial tertentu.

Sementara itu Carlton Hayes, seperti dikutip Snyder (1964: 24) membedakan empat
arti nasionalisme: (1) Sebagai proses sejarah aktual, yaitu proses sejarah pembentukan
nasionalitas sebagai unit-unit politik, pembentukan suku dan imperium kelembagaan negara
nasional modern. (2) Sebagai suatu teori, prinsip atau implikasi ideal dalam proses sejarah
aktual. (3) Nasionalisme menaruh kepedulian terhadap kegiatan-kegitan politik, seperti
kegiatan partai politik tertentu, penggabungan proses historis dan satu teori politik. (4)
Sebagai satu sentimen, yaitu menunjukkan keadaan pikiran di antara satu nasionalitas.

Sementara itu Benedict Anderson (1996: 6, dlm, Baskara Wardaya, 2002: 16)
mendefinisikan nation (bangsa) sebagai “suatu komunitas politis yang dibayangkan-dan
dibayangkan sekaligus sebagai sesuatu yang secara inheren terbatas dan berdaulat” (an
imagined political community and imagined as both inherently limited and sovereign”) .
Istilah dibayangkan (imagined) ini penting, menurut Anderson, mengingat bahwa
anggotaanggota dari nasion itu kebanyakan belum pernah bertemu satu sama lain, tetapi pada
saat yang sama di benak mereka hidup suatu bayangan bahwa mereka berada dalam suatu
kesatuan komuniter tertentu. Karena terutama hidup dalam bayangan (dalam arti positif)
manusia yang juga hidup dan berdinamika, nasionalisme di sini dimengerti sebagai sesuatu
yang hidup, yang terus secara dinamis mengalami proses pasang surut, naik turun. Pandangan
yang demikian ini mengandaikan bahwa nasionalisme merupakan sesuatu yang hidup, yang
secara dinamis berkembang serta mencari bentuk-bentuk baru sesuai dengan perkembangan
dan tuntutan jaman.

Boyd Shafer (1955: 6) mengatakan bahwa nasionalisme itu multi makna, hal tersebut
tergantung pada kondisi objektif dan subjektif dari setiap bangsa. Oleh sebab itu nasionalisme
dapat bermakna sebagai berikut: (1) Nasionalisme adalah rasa cinta pada tanah air, ras,
bahasa atau budaya yang sama, maka dalam hal ini nasionalisme sama dengan patriotisme.
(2) Nasionalisme adalah suatu keinginan akan kemerdekaan politik, keselamatan dan prestise
bangsa. (3) Nasionalisme adalah suatu kebaktian mistis terhadap organisme sosial yang
kabur, kadang-kadang bahkan adikodrati yang disebut sebagai bangsa atau Volk yang
kesatuannya lebih unggul daripada bagian-bagiannya. (4) Nasionalisme adalah dogma yang
mengajarkan bahwa individu hanya hidup untuk bangsa dan bangsa demi bangsa itu sendiri.
(5) Nasionalisme adalah doktrin yang menyatakan bahwa bangsanya sendiri harus dominan
atau tertinggi di antara bangsa-bangsa lain dan harus bertindak agresif.

Kendati ada beragam definisi tentang nasionalisme, Hans Kohn (1971: 9)


menggarisbawahi bahwa esensi nasionalisme adalah sama, yaitu ” a state of mind, in which
the supreme loyality of the individual is felt to be due the nation state” (sikap mental, di mana
kesetiaan tertinggi dirasakan sudah selayaknya diserahkan kepada negara bangsa).

Sebagai bangsa dan negara di tengah bangsa lain di dunia membutuhkan identitas
kebangsaan (nasionalisme) yang tinggi dari warga negara indonesia. Semangat nasionalisme
dibutuhkan tetap eksisnya bangsa dan negara indonesia. Nasionalisme yang tinggi dari warga
negara sehingga akan membuat perilaku positif dan terbaik untuk bangsa dan negara. Dalam
dekade, ada beberapa kecenderungan menipisnya jiwa nasionalisme dikalangan generasi
muda. Hal ini dapat diliahat dari beberapa tolak ukur yaitu kurang apresiasinya generasi
muda terhadap kebudayaan asli indonesia, pola dan gaya hidup remaja yang kebarat-baratan,
dan sebagainya. Tidak semua nilai global harus diterima dan tidak semua niali-nilai
tradisional bangsa harus ditinggalkan. Seperti nilai-nilai bangsa yang mengedepankan
musyawarah, kerjasama, gotong royong, dan saling membantu tetap relevan dalam
meyelematkan generasi muda dimasa yang akan datang ditengah kehidupan global yang
membawa nilai-nilai yang bisa merongrong identitas nasional bangsa indonesia.

Arus globalisasi begitu cepat merasuk ke dalam masyarakat terutama di kalangan


muda. Pengaruh globalisasi terhadap anak muda juga begitu kuat. Pengaruh globalisasi
tersebut telah membuat banyak anak muda kita kehilangan kepribadian diri sebagai bangsa
Indonesia. Hal ini ditunjukkan dengan gejala- gejala yang muncul dalam kehidupan sehari-
hari anak muda sekarang. Dilihat dari sikap, banyak anak muda yang tingkah lakunya tidak
kenal sopan santun dan cenderung cuek tidak ada rasa peduli terhadap lingkungan. Karena
globalisasi menganut kebebasan dan keterbukaan sehingga mereka bertindak sesuka hati
mereka. Contohnya adanya geng motor atau begal motor anak muda yang melakukan
tindakan kekerasan yang menganggu ketentraman dan kenyamanan masyarakat. Jika
pengaruh-pengaruh di atas dibiarkan, maka moral generasi bangsa menjadi rusak dan akan
timbul tindakan anarkis antara golongan muda. Hubungannya dengan nilai nasionalisme akan
berkurang karena tidak ada rasa cinta terhadap budaya bangsa sendiri dan rasa peduli
terhadap masyarakat.
Sekaitan dengan problem di atas perlu dipahami bahwa arti dari globalisasi itu sendiri
dari kata “global” yang maknanya universal. Menurut Suparman globalisasi ialah suatu
proses menjadikan sesuatu sebagai ciri dari setiap individu di dunia ini tanpa batas oleh
wilayah globalisasi. Disisi lain ada yang melihat globalisasi sebagai sebuah proyek yang
usung oleh negara-negara adikuasa, sehingga bisa saja orang memiliki pandangan negatif
atau curiga terhadap globalisasi. Dari sudut pandang ini, globalisasi tidak lain yaitu satu
kapitalisme dalam bentuk yang paling mutakhir. Negara-negara yang kuat dan kaya praktis
akan mengendalikan ekonomi dunia dan negara-negara kecil makin tida berdaya karena tidak
mampu bersaing. Karena, globalisasi cenderung berpengaruh besar terhadap perekonomian
dunia bahkan berpengaruh terhadap bidang-bidang lain misalnya bidang agama dan budaya.

Ada beberapa defenisi globalisasi, menurut Idi (2011:214) adalah sebagai berikut:

a. Internalisasi
Globalisasi diartikan sebagai meningkatnya hubungan internasional. Dalam hal ini
masing-masing negara tetap mempertahankan identitasnya masing-masing, namun
menjadi semakin tergantung sama lain.
b. Liberalisasi
Globalisasi diartikan sebagai semakin diturunkan batas antar negara, seperti hambatan
tarif ekspor dan impor, lalu lintas devisa, maupun migrasi.
c. Universalisasi
Globalisasi diartikan sebagai semakin tersebarnya hal material maupun imaterial ke
seluruh dunia.
d. Weternisasi
Weternisasi adalah sebuah bentuk dari universalisasi dengan semakin menyebarnya
pikiran dan budaya dari barat sehingga mengglobal.
e. Hubungan transplanetari dan suprateritorialita
Unsur-unsur globalisasi yang sukar diterima masyarakat yaitu: unsur budaya yang
sukar disesuaikan dengan kondisi dan kemampuan masyarakat, teknologi yang rumit
dan mahal harganya, unsur budaya luar yang menyangkut paham ideologi poltik
keagamaan, unsur globalisasi yang mudah diterima masyarakat yaitu: globalisasi yang
mudah disesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi masyarakat.
Menurut Kazikame (2013) dampak positif dan negatif era globalisasi bagi kehidupan kita:

1. Dampak Positif
a. Perubahan Tata Nilai dan Sikap
Adanya globalisasi dalam budaya menyebabkan pergeseran nilai dan sikap
masyarakat yang semua irasional menjadi rasional dengan meningkatkan etos
kerja yang tinggi, suka bekerja keras, disiplin, mempunyai jiwa kemandirian,
rasional, sportif, dan lain sebagainya.
b. Berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi
Dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi masyarakat menjadi
lebih mudah dalam beraktivitas dan mendorong untuk berpikir lebih maju dan
kehidupan sosial ekonomi lebih produktif, efektif, dan efisien sehingga membuat
produksi dalam negeri mampu bersaing di pasar internasional.
c. Tingkat Kehidupan yang lebih Baik
Dibukanya industri yang memproduksi alat-alat komunikasi dan transportasi yang
canggih merupakan salah satu usaha mengurangi penggangguran dan
meningkatkan taraf hidup masyarakat.
2. Dampak Negatif
a. Pola Hidup Konsumtif
Perkembangan industri yang pesat membuat penyediaan barang kebutuhan
masyarakat melimpah. Dengan begitu masyarakat mudah tertarik untuk
mengonsumsi barang dengan banyak pilihan yang ada.
b. Sikap Individualistik
Masyarakat merasa dimudahkan dengan teknologi maju membuat mereka merasa
tidak lagi membutuhkan orang lain dalam beraktivitasnya. Kadang mereka lupa
bahwa mereka adalah makhluk sosial.
c. Gaya Hidup Kebarat-baratan
Tidak semua budaya Barat baik dan cocok diterapkan di Indonesia. Budaya
negatif yang mulai menggeser budaya asli adalah anak tidak lagi hormat kepada
orang tua, kehidupan bebas remaja, dan lain-lain.
d. Kesenjangan Sosial
Apabila dalam suatu komunitas masyarakat hanya ada beberapa individu yang
dapat mengikuti arus globalisasi maka akan memperdalam jurang pemisah.
Kepada generasi dunia yang akan hidup pada abad mendatang perlu dibekali dengan
penguasaan sains-teknologi dan spritual-keagamaan yang diharapkan dapat memecahkan
berbagai permasahan kehidupan masyarakat dunia yang semakin kompleks. Selain
pentingnya substansi kurikulum yang dapat menjawab tantangan zaman bagi generasi anak
didik mendatang, tidak ada pilihan lain, kecuali pendidik/guru dalam proses pembelajran di
sekolah perlunya mengedepankan kualitas tugas dan profesi yang diembangnya. Kehidupan
masa depan membutuhkan pengetahuan dan keterampilan yang harus dimiliki anak didik
yang akan hidup pada zaman berbeda dimana dunia senantiasa dinamis yang membutuhkan
adaptasi (dengan pengetahuan dan keterampilan) pada era globalisasi. Sejalan dengan
perkembangan sains-teknologi dan meluasnya pengaruh globalisasi, pendidik senantiasa
dituntut agar mengimbangi perkembangan sains-teknologi yang terus berkembang.

Memudarnya semangat nasionalisme sedikit demi sedikit akan menyebabkan


merosotnya peran negara. Ditengah maraknya globalisme dengan segala atributnya, berupa
modernisasi, keterbukaan, kemudahan dan kemajuan teknologi, merupakan sebuah tantangan
bagi eksistensi nasionalisme. Peran kapital asing semakin besar dan ketergantungan negara
terhadap pihak asing semakin menyudutkan peran negara di mata warga negara.

Era teknologi komunikasi dengan mewabahnya internet (world wide web) semakin
melegitimasi bahwa dunia semakin sempit dan ada kecenderungan ke arah dunia sebagai
sebuah kesatuan, sebuah kerumunan, masyarakat layaknya negara (world as global village).
Orang bebas berinteraksi satu sama lain tanpa ada sekat. Tanpa dorongan yang kuat dari
dalam dan kesadaran warga negara akan pentingnya nasionalisme maka lambat laun orang
akan semakin individualistis tanpa ada keinginan untuk menjalin keterikatan satu sama lain.

Akhirnya di tengah semakin majunya peradaban dengan teknologi ilmu pengetahuan


yang semakin maju, paham nasionalisme diuji apakah akan tetap eksis atau bahkan hilang
ditelan arus globalisasi atau etnisitas. Nasionalisme berada di posisi yang terjepit antara
derasnya arus globalisasi dan kuatnya semangat etnisitas.
DAFTAR PUSTAKA

Amrah. 2016. Mengulik Pengembangan Nasionalisme Generasi Muda di Era Globalisasi .


Jurnal Publikasi Pendidikan Vol. VI No. 2. Juni 2016 ISSN 2088-2092 (90-97).
Hendrastomo, Grendi. 2007. Nasionalisme vs Globalisasi ‘hilangnya’ Semangat Kebangsaan
dalam Peradaban Modern . DIMENSIA Vol. 1 No. 1. Maret 2007 (1-11).
Kusumawardani, Anggraeni dan Faturochman. 2004. Nasionalisme . Buletin Psikologi Vol.
XII, No. 2. Desember 2004 ISSN 0854-7108 (61-72)
Suyadi. 2017. UPAYA MENUMBUHKAN NILAI NASIONALISME BAGI RAKYAT
INDONESIA. https://bdksemarang.kemenag.go.id/upaya-menumbuhkan-nilai-
nasionalisme-bagi-rakyat-indonesia/ diakses pada 12 November 2019

Anda mungkin juga menyukai