NIM : 2281131359
KELAS : A28
MATAKUL : PKN
INTEGRASI NASIONAL
SEBAGAI PENANGKAL ETNOSENTRISME DI INDONESIA
Oleh: Agus Maladi Irianto*
A. LATAR BELAKANG
Pengetahuan kita mengenai kebudayaan Indonesia sangatlah kurang, anak muda zaman sekarang lebih
megetahui tentang moderanisasi ketimbang tradisional. Pengaruh kebudayaan luar menyebabkan
kurangnya pengetahuan kita mengenai proses kebudayaan yang ada di Indonesia. Kurangnya
pengetahuan akan hak dan kewajiban kita sebagai warga negara menimbulkan hilangnya rasa
persatuan kita baik terhadap sesama maupun negara. Masing-masing individu lebih mementingkan
kepentingannya sendiri, tanpa ada rasa peduli terhadap sesamanya.
Sifat masyarakat Indonesia yang indiviualisme menjadi salah satu faktor penyebab runtuhnya jiwa
persatuan dan kesatuan bangsa. Maka dari itu diperlukan pendidikan kewarganegaraan sejak dini untuk
menumbuhkan semangat jiwa berbangsa dan patriotisme. Semangat jiwa berbangsa dan patriotisme
diperlukan untuk tetap menjaga kebhinekaan bangsa, sebab dengan menjaga kebhinekaan akan tercipta
kehidupan yang aman dan tentram di setiap lapisan masyarakat.
Sebagai generasi penerus bangsa, marilah kita memiliki rasa tanggung jawab terhadap keutuhan dan
kesatuan bangsa. Tidak hanya sebagai generasi penerus bangsa, tetapi kita adalah generasi pelurus
bangsa dimana menjunjung tinggi sikap keadilan adalah suatu keharusan demi terciptanya kesejahteraan
dan kemakmuran bangsa.
B. TUJUAN
C. METODE PENILITIAN
Metode yang digunakan metode deskriptif, Metode ini pada umumnya dilakukan peneliti yang
ingin melakukan riset atau penelitian yang bersumber dari literatur atau karya sastra seperti
buku. Pada umumnya peneliti terlebih dahulu akan mencari sejumlah buku yang relevan
dengan topik penelitian
D. HASIL PENELITIAN
A. Pendahuluan
Negara dan bangsa Indonesia, sejak berusaha menghancurkan PKI seakar- akarnya.
proklamasi kemerdekaan hingga saat ini telah Selanjut pemerintah Soeharto untuk
mempunyai sejumlah pengalaman. Di antara mengendalikan pemerintahan berusaha untuk
sejumlah pengalaman itulah, bangsa Indonesia melakukan peleburan dan perampingan sejumlah
mengalami berbagai perubahan azas, paham, oramas dan partai. Tanggal 9 Maret 1970 milsanya,
ideologi dan doktrin dalam kehidupan terjadi pengelompokan partai dengan terbentuknya
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Berbagai Kelompok Demokrasi Pembangunan yang terdiri d
perubahan azas dan idiologi tersebut, menciptakan PNI, Partai Katholik, Parkindo, IPKI dan Murba.
disintegrasi dan instabilisasi nasional. Perubahan Kemudian tanggal 13 Maret 1970 terbentuk
dari Orde Lama (Orla) ke Orde Baru (Orba) kelompok Persatuan Pembangunan yang terdiri atas
ditandai dengan pemberontakan PKI 30 September NU, PARMUSI, PSII, dan Perti. Serta ada suatu
1965 hingga lahirlah Surat Perintah Sebelas Maret kelompok fungsional yang dimasukkan dalam salah
(Supersemar). Situasi perpolitikan nasional satu kelompok tersendiri yang kemudian disebut
menjelang runtuhnya Orla ditandai dengan Golongan Karya. Dengan adanya pembinaan
perebutan pengaruh di antara para elite politik terhadap parpol-parpol dalam masa Orde Baru maka
negeri pada waktu itu. Kekuatan elite yang terjadilah perampingan parpol sebagai wadah
memiliki pengaruh pada waktu itu, di antaranya aspirasi warga masyarakat kala itu, sehingga pada
PKI, PNI, Masyumi dan militer (Angkatan Darat). akhirnya dalam Pemilihan Umum 1977 terdapat tiga
Saat itu, PKI menjadi satu-satunya kelompok yang kontestan, yaitu Partai Persatuan Pembangunan
dituduh sebagai dalang yang melakukan kudeta (PPP) dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI) serta
pada tanggal 30 Oktober 1965 tersebut. Akibatnya, satu Golongan Karya. Dan selama masa
PKI tidak saja terdepak dari konstelasi politik (baik pemerintahan Orde Baru, Golkar selalu
di kabinet maupun di parlemen), Namun para memenangkan Pemilu. Hal ini mengingat Golkar
mahasiswa dan pelajar melalui KAMMI DAN dijadikan mesin politik oleh penguasa saat itu.
KAPPI di bawah kendali Soeharto 1
Setelah Orba mampu berkuasa (social
selama 32 tahun, akhirnya digantikan
Pemerintahan Reformasi. Sikap otoriter-
represif pemerintahan Orde Baru ini pun
menimbulkan perlawanan demi perlawanan,
yang memuncak pada peristiwa Mei 1998,
yakni tergulingnya rezim pemerintahan Orba
yang digantikan dengan Orde Reformasi.
Mengapa Orba yang mampu berkuasa
selama lebih dari 30 tahun akhirnya juga
terguling?
Salah satu kesalahan Orba selama
memegang kendali pemerintahan, adalah
penerapan politik pemerintahan yang
sentralistik, sebagai bentuk peredaman atas
munculnya aksi separatis dari daerah-daerah.
Ide dan gagasan dari daerah diusahakan
untuk diredam, serta setiap aksi daeri daerah
ditanggapi dengan sikap otoriter-represif.
Penyikapan yang dilakukan pemerintahan
Orba tentu bertentangan dengan kodrat dan
kondisi Indonesia yang selama ini
dianugerahi sebagai suatu bangsa yang
plural. Ia terdiri dari beratus-ratus pulau,
bahasa, dan sukubangsa. Pluralitas sebagai
kekayaan yang tiada tara bagi sebuah
bangsa, justru tidak dikelola dengan baik. Ia
dianggap sebagai bentuk gerakan politik
yang lebih menekankan identitas
kedaerahan, dan dianggap sebagai musuh
terciptanya stabilitas bangsa. Maka, Orba
yang lebih menekankan pada persoalan
stabilitas pembangunan, cenderung tidak
memberi ruang adanya politik identitas.
Ketika Era Reformasi mulai
membuka kran demokrasi dan peluang besar
daerah mengembangkan sistem
desentralisasi, maka sejumlah daerah diberi
kebebasan untuk membangun dan mengatur
dirinya sendiri. Kebebasan yang dimiliki
masyarakat Indonesia dengan
mengatasnamakan demokrasi ternyata justru
memberi gambaran buram terhadap kondisi
bangsa ini. Era Reformasi yang tidak
memiliki platform secara jelas, justru
menimbulkan ketidakmenentuan dan
kekacauan. Acuan kehidupan bernegara
(gevernance) dan kerukunan sosial (social
harmony) menjadi berantakan dan
menumbuhkan ketidakpatuhan sosial
2
disobedience). Dari sinilah tergambar
tentang tindakan anarkis, pelanggaran
moral, pelanggaran etika, dan meningkatnya
kriminalitas secara kasat mata. Kondisi
tersebut terus belarut-larut hingga hari ini,
dan kesimpulannya tak menghasilkan solusi.
Di kala hal ini berkepanjangan dan tidak
jelas sampai kapan krisis akan berakhir,
para pengamat hanya bisa mengatakan
bahwa bangsa kita adalah “bangsa yang
sedang sakit”, suatu kesimpulan yang tidak
menawarkan solusi. Untuk itulah
diperlukan, suatu strategi kebudayaan
nasional senyampang sejak kemerdekaan
hingga hari ini negeri ini belum memiliki
adanya strategi kebudayaan.
1
Pendapat tersebut telah diaungkapkan oleh Agus Maladi
Irianto melalui makalah berjudul “Kebudayaan Indonesia
dan Kita Hari Ini” pada acara Roundtable Discussion
3
Dengan demikian, di satu sisi mendominasi dan yang terdominasi, antara
identitas akan terbentuk berdasarkan yang mempengaruhi dan yang terpengaruhi,
kemauan kita sendiri, sedangkan di sisi lain antara yang memprovokasi dan yang
identitas akan sangat tergantung dari terprovokasi, antara yang berkuasa dengan
kekuatan-kekuatan objektif yang terjadi di yang dikuasai, bahkan antara gambaran
sekitar yang mengharuskan kita untuk ruang yang bersifat publik dengan yang
meresponsnya. Dan, respons tersebut secara bersifat domestik.2
tidak langsung juga memberi bentuk lain Tayangan televisi telah menjadi
terhadap apa yang kita anggap sebagai diri bagian dari refleksi kehidupan sehari-hari. Ia
kita saat ini. menjadi model dari sebuah habitus yang
Identitas bukanlah suatu yang selesai berperan aktif dalam ranah sosial. Ia telah
dan final, tetapi merupakan suatu kondisi menjadi fenomena komunikasi yang tidak
yang selalu disesuaikan kembali, sifat yang bisa dilepaskan dari karakterisitik individu-
selalu diperbaharui, dan keadaan yang individu yang kemudian menjadi objek dan
dinegosiasi terus-menerus, sehingga subjeknya. Bahkan, tanpa sadar ia telah
wujudnya akan selalu tergantung dari proses membangun hubungan-hubungan sosial
yang membentuknya. Seperti halnya melalui interaksi sosial dalam konteks
identitas kita pada saat ini, menunjukkan politik, ekonomi, dan kultural. Ruang dan
gambaran yang tidak tunggal tetapi sangat waktu tak lagi menjadi pembatas dan
plural. Pluralitas pada perkembangan saat ini kendala terjadinya perubahan. Teknologi
tidak lagi hanya dibatasi pada perbedaan komunikasi itu seolah menelusup dari ruang
etnis, profesi, latar belakang pendidikan, publik ke setiap individu hingga ruang-ruang
serta asal usul daerah. Pluralitas pada privasi. Kita didorong untuk masuk dalam
perkembangan saat ini justru lebih menunjuk lorong waktu dan perisitiwa yang nyaris tak
pada persoalan kepentingan-kepentingan. terbatas, sejalan juga dengan tanda-tanda
Seseorang bisa berbeda dengan orang lain, yang makin rumit dan tak terbatasi. Pesawat
bukan lantaran dia berasal dari etnis yang televisi telah menjadi “totem” yang selalu
berbeda, profesi yang berbeda, latar belakang ada di mana-mana. Di rumah-rumah reot
pendidikan yang berbeda, bahkan asal asul tanpa WC dan kamar mandi, di kios-kios
daerah yang berbeda. Kepentingan masing- rokok, warung-warung kopi, hingga di
masing oranglah yang kemudian menyatukan sejumlah perumahan, pesawat televisi
identitas tersebut. merupakan “berhala” yang selalu menghiasi
Sebagai contoh, penyatuan identitas ruang-ruang tersebut. Dari sinilah lahir
yang dikonstruksi media massa – terutama kebudayaan massa yang cepat dan penuh
industri penyiaran televisi. Orang bisa perubahan. Di tengah kebudayaan massa
berbeda etnis, profesi, latar belakang yang serba cepat itulah sejumlah ekspresi
pendidikan, dan asal asul daerah, namun tentang nilai, pengetahuan, norma, dan
mereka mempunyai kepentingan yang sama simbol, menandai kebudayaan masyarakat
dalam bersikap dengan mengembangkan kita.
gaya hidup, lantaran dikostruksi tayangan Bertolak dari sejumlah gambaran
televisi. Interaksi antarindividu yang tersebut, identitas yang menyertai kita saat
dikonstruksi tayangan televisi berlangsung ini lebih ditandai oleh kepentingan yang kita
sangat cepat. Ia telah membentuk gerakkan kembangkan sendiri. Identitas dan karakter
arus besar tentang relasi-relasi antara yang bangsa sebagai sarana bagi pembentukan
8
9
1
0