Anda di halaman 1dari 63

MENEGAKKAN KEMBALI IDEAL NASIONALISME INDONESIA

Oleh: M.D. Kartaprawira

Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1928 adalah Proklamasi Kebangsaan Indonesia yang merupakan ikrar tentang eksistensi nasion dan nasionalisme Indonesia yang telah tumbuh puluhan tahun dalam perjuangan melawan kolonialisme Belanda. Perjuangan bangsa Indonesia tersebut pada tanggal 17 Agustus 1945 mencapai titik kulminasi dengan dikumandangkannya Proklamasi Kemerdekaan Indonesia oleh Soekarno-Hatta. Hal itu membuktikan bahwa nasionalisme Indonesia sudah merupakan faktor penentu perkembangan sejarah Indonesia sejarah berdirinya negara Republik Indonesia. Substansi Nasionalisme Indonesia mempunyai dua unsur: Pertama; kesadaran mengenai persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia yang terdiri atas banyak suku, etnik, dan agama. Kedua, kesadaran bersama bangsa Indonesia dalam menghapuskan segala bentuk penjajahan dan penindasan dari bumi Indonesia. Semangat dari dua substansi tersebutlah yang kemudian tercermin dalam Proklamasi Kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945 dan dalam Pembukaan UUD 1945. Dalam pembacaan teks Proklamasi Kemerdekaan dengan jelas dinyatakan atas nama bangsa Indonesia, sedang dalam Pembukaan UUD 1945 secara tegas dikatakan, "Segala bentuk penjajahan dan penindasan di dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan." Proklamasi Kebangsaan Indonesia tersebut dalam sejarah perkembangannya telah memberi makna yang sangat signifikan bagi nation building dan pemantapan kesadaran nasionalisme Indonesia. Proses pengembangan kesadaran nasionalisme Indonesia dipelopori oleh Bung Karno (terutama) sejak masa mudanya, yang berkeyakinan bahwa hanya dengan ide dan jiwa nasionalismelah sekat-sekat etnik, suku, agama, budaya dan tanah kelahiran bisa ditembus untuk menggalang persatuan perjuangan melawan kolonialisme. Dalam artikel-artikelnya, banyak pidato dan diskusinya masalah nasionalisme dengan gencar diperjuangkan oleh Bung Karno. Bahkan sekat-sekat ideologipun oleh Bung Karno ditebas tanpa ampun demi perjuangan tersebut (baca: Nasionalisme, Islam dan Marxisme yang ditulis Bung Karno 1926.). Berdirinya Republik Indonesia tersebut telah memberi bukti bahwa nation Indonesia beserta kesadaran nasionalismenya tidak hanya eksis, tapi hidupaktif dalam pengembangan dirinya dan dalam kehidupan masyarakat antar bangsa. Eksistensi nasion dan nasionalisme Indonesia adalah fakta obyektif yang tidak dapat dinegasikan oleh teori-teori atau analisis-analisis apapun.

Analisis atau pandangan yang menyimpulkan bahwa Indonesi bestaat niet (Indonesia itu tidak ada) dengan alasan kata Indonesia berasal dari asing telah mengalami kegagalan, tidak laku dijajakan sebagai wacana untuk memanipulasi nasionalisme Indonesia dan untuk memecah belah bangsa serta integritas NKRI. Suka atau tidak suka, harus diakui keberadaan bangsa Indonesia dengan kesadaran nasionalismenya, dan keberadaan negara Indonesia dengan segala atributnya sebagai suatu fakta yang tidak dapat disangkal oleh siapapun.

Bicara tentang nasionalisme Indonesia, perlu dicatat bahwa kita tidak bisa menerapkan padanan dengan nasionalisme Barat. Sebab nasionalisme Indonesia adalah nasionalisme yang berpondasi Pancasila. Artinya nasionalisme tersebut bersenyawa dengan keadilan sosial, yang oleh Bung Karno disebut Socionasionalisme. Nasionalisme yang demikian ini menghendaki penghargaan, penghormatan, toleransi kepada bangsa/suku bangsa lain. Maka nasionalisme Indonesia berbeda dengan nasionalisme Barat yang bisa menjurus ke sovinisme -- nasionalisme sempit yang membenci bangsa/sukubangsa lain, menganggap bangsa/sukubangsa sendirilah yang paling bagus, paling unggul dll. sesuai dengan individualisme Barat. Nasionalisme Indonesia sampai tahun 1965 sudah mantap bersemayam di dada bangsa Indonesia. Tahap nation building telah tercapai dan bersiap-siaga untuk menuju ke tahap berikutnya state building, yang terhambat dan rusak berat dalam perjuangan untuk nation building, perjuangan melawan pemberontakan-pemberontakan dan sisa-sisa kolonialisme. Tapi tahap perjuangan state building ini ternyata terpangkas oleh timbulnya peristiwa G30S dan berdirinya kekuasaan rezim Orde Baru/Jendral Soeharto.

Dewasa ini harus diakui bahwa kesadaran Nasionalisme sedang mengidap banyak masalah berat, yang memerlukan pembenahan secara serius. Kegagalan pembenahannya akan mempunyai dampak terhadap persatuan bangsa dan kesatuan negara Indonesia. Dengan kilas balik ke sejarah lampau, kita melihat jelas bahwa selama Indonesia dalam kekuasaan rezim Orba berlaku tatanan pemerintahan kediktatoran-militer yang anti demokrasi, anti national, anti HAM, anti hukum dan keadilan, yang menumpas ideal nasionalisme Indonesia. Kekuasaan demikian, yang berlangsung selama 32 tahun dan menggunakan pendekatan kekerasan, telah mematikan inisiatif dan kreativitas rakyat, memperbodoh rakyat. Di sisi lain tindakan rezim Orba tersebut menumbuhkan kebencian rakyat mendasar, terutama rakyat luar Jawa yang merasakan kekayaan alamnya dijarah dan kebudayaannya dieliminir. Maka tidaklah salah kalau dikatakan terjadi penjajahan oleh rezim Orba/rezim Soeharto. Kolonialisme Orba ini meskipun hanya 32 tahun (suatu jangka waktu relatif pendek jika dibandingkan dengan penjajahan kolonialisme Belanda) menjajah

Indonesia tapi kerusakan yang diakibatkannya telah menimbulkan krisis multi dimensional yang luar biasa, kemelaratan dan kesengsaraan rakyat yang tak terhingga. Dari situasi yang demikian itu rakyat daerah luar Jawa merasakan ketidak adilan yang sangat mendalam, yang mengakibatkan tumbuhnya benihbenih gerakan disintegrasi dalam negara Indonesia. Di samping itu konflik yang bernuansa SARA, mis.: antara suku Dayak dengan suku Madura (di Kalimantan), antara ummat Kristen dengan ummat Islam (di Maluku dan Sulawesi), penganiayaan fisik dan pengrusakan hartabenda etnik Tionghoa (di Jakarta) dll. adalah juga tengara retaknya bangunan nasionalisme Indonesia.

Maka dengan demikian menjadi jelas bahwa sumber keretakan bangunan nasionalisme tersebut, adalah kekuasaan rezim Orde Baru di bawah pimpinan jendral Soeharto. Tanpa mengetahui sumber malapetaka tersebut kita tidak akan bisa dengan tepat memperbaiki/menyehatkan nasionalisme Indonesia yang sedang sakit tersebut. Sedang hujatan-hujatan terhadap Pusat tanpa kejelasan Pusat itu siapa, akan mengarah kepada solusi yang keblinger, yang hanya akan memperparah nasionalisme yang sedang sakit dewasa ini. Mengacu pada uraian di atas Pusat harus diartikan kekuasaan rezim Orba (termasuk rezim Habibie). Akan tidak benarlah kalau pemerintahan Gus Dur dan pemerintahan Megawati dimasukkan dalam kategori Pusat yang harus dikutuk seperti rezim Orba. Sebab tanpa menutup kekurangan-kekurangannya pemerintahan Gus Dur dan pemerintahan Megawati adalah pemerintahan reformasi yang terpaksa menerima warisan segala kebobrokan rezim Orba. Kedua pemerintahan tersebut tidak mungkin bisa memperbaiki keadaan negara yang amburadul dewasa ini, bahkan siapa pun yang akan memegang pemerintahan kelak. Kalau mereka bisa mengadakan seberapa pun perbaikan, itu adalah suatu kemajuan dan keberhasilan. Sedang pemlintiran kata pusat diidentikkan dengan suku Jawa (sehingga timbul tuduhan dijajah oleh Jawa), jelas hal itu bertujuan untuk menimbulkan rasa ketidaksenangan, permusuhan antara suku non-Jawa terhadap suku Jawa. Jadi kalau kita ingin mencari akar penyebab retaknya ideal nasionalisme Indonesia, tidak boleh tidak kita harus tunjuk hidung pada kekuasaan rezim Orde Baru/Soeharto, yang dengan kejam menjajah dan rakus menjarah kekayaan daerah.

Ada suatu pendapat bahwa nasionalisme rentan terhadap manipulasi (Arief Budiman). Pendapat tersebut tidak salah. Tapi perlu penegasan lebih lanjut, bahwa tidak hanya nasionalisme saja yang rentan manipulasi, pun hukum, demokrasi, humanisme, keadilan, Pancasila demikian juga. Kerentanan itu harus dipandang sebagai konsekwensi/akibat proses demokrasi yang belum mantap dan budaya orba yang masih eksis di semua lapangan

kehidupan. Pengalaman tragedi bangsa dan negara selama 32 tahun dalam kekuasaan rezim orde baru telah membuktikan hal tersebut. Bahkan apa saja bisa dimanipulasi oleh rezim Orde Baru kala itu dengan segala cara termasuk politik kekerasan.

Tapi akan menuju ke kesimpulan sesat apabila kerentanan nasionalisme dikarenakan oleh bentuk negara: negara kesatuan atau negara federal, tanpa menunjukkan raison detre sesungguhnya yaitu politik diktatur-fasis penyelenggara negara yang berkuasa saat itu (orde baru). Sebab manakala seseorang tidak mengkaitkan kebobrokan bangsa dan negara ini dengan kekuasan rejim orde baru sebagai sumber penyebabnya, maka kesimpulannya akan tidak jujur dan tidak obyektif. Baik hal itu kebobrokan dalam bidang kehidupan bermasyarkat dan bernegara maupun dalam bidang-bidang khusus hukum, keadilan HAM, ekonomi, moral/budaya. Dengan demikian, manakala seseorang mempersoalkan bentuk negara kesatuan RI sebagai penyebab rusaknya nasionalisme Indonesia tidak bisa dibenarkan. Dan dari situ, juga tidak dapat dibenarkan solusi pembentukan negara federasi sebagai penyembuh nasionalisme Indonesia yang sedang sakit dewasa ini. Acuan pada kasus runtuhnya Uni Soviet dan Yugoslavia tidaklah bisa membuktikan kebenaran tesis di atas. Pertama-tama, banyak orang dari permulaan tidak melihat bahwa sesungguhnya negara-negara tersebut adalah negara federasi. Bahkan sistem federasi Uni Soviet mempunyai struktur yang paling desentralistik di dunia : Uni Soviet sebagai Negara Federasi, terdiri a.l. negara bagian yang berbentuk federasi juga (misalnya negara bagian Rusia), sedang di dalam struktur beberapa negara-bagian yang lain terdapat republikotonom, yang semuanya lengkap dengan segala alat perlengkapan negara. Tapi toh Negara Federasi Uni Soviet jatuh berantakan. Dengan demikian solusi pembentukan negara federal dalam kaitannya dengan masalah nasionalisme Indonesia tidak dapat dibenarkan.

Di samping itu masih ada lagi alasan-alasan yang tidak membenarkan solusi pembentukan negara federal di Indonesia: a. Dalam situasi kehidupan bernegara dan bermasyarakat yang sangat rawan dewasa ini (gagasan) pembentukan negara federal sama artinya mengobarkan dan mempercepat proses disintegrasi. Sesungguhnya solusi pembentukaan otonomi luas bagi daerah-daerah sudah tepat sekali, meskipun realisasinya masih menghadapi kendala-kendala yang sangat serius.

b. Dalam membaca peta politik dewasa ini tampak bahwa kekuatan Orde Baru masih utuh di mana-mana, bahkan konsolidasinya makin menguat. Kalau pada

era kejayaannya, semboyan mempertahankan Negara Kesatuan (NKRI), semata-mata sebagai taktik untuk mempermudah realisasi strategi kolonialisme terhadap daerah-daerah. Maka dalam era reformasi dewasa ini gagasan pembentukan Negara Federal akan merupakan kesempatan bagus bagi kekuatan Orde Baru untuk mendirikan rezim-rezim Orba di daerah-daerah, sebab mereka memiliki sumber dana dan sumber daya manusia sangat besar. Dari persoalan-persoalan yang terurai di atas, sampailah pada pertanyaan bagaimana perspektif nasionalisme Indonesia ini. Di kalangan masyarakat timbul pandangan pesimistik, yang menjadi dasar pendorong untuk pembenaran gagasan-gagasan disintegrasi. Tapi di samping itu terdapat pandangan optimistik yang cukup kuat. Penulis yang termasuk dalam golongan terakhir berpendapat, bahwa nasionalisme Indonesia bisa sehat, sebab sebagian besar rakyat Indonesia masih teguh jiwa patriotismenya, cinta bangsa dan tanah air Indonesia. Tapi hal itu sulit akan terjadi apabila tidak didasari oleh upaya-upaya serius oleh penyelenggara negara untuk: 1. Pembangunan ekonomi di semua daerah secara merata dan realisasi otonomi daerah secara luas. Penegakan demokrasi yang tidak anarkhistik, supremasi hukum yang berkeadilan dan demokratik. Penggalakan kehidupan bersuasana toleransi, aman-damai dan rukun dalam masyarakat yang multi agama, suku, etnik dan budaya.

2.

3.

Kegagalan atas upaya tersebut di atas akan mempercepat berlanjutnya proses penipisian kesadaran nasionalisme Indonesia, yang akan berakibat semaraknya gerakan disintegrasi bangsa dan negara. Inilah tugas berat pemerintahan Megawati dewasa ini. Tetapi tuntutan yang tidak proporsional terhadap Megawati adalah suatu kecupetan pikir. Sebab sebagai pemerintahan transisional dia tidak mungkin mensukseskan tugas-tugas di atas secara tuntas, dan cepat berhubung kerusakan yang diakibatkan oleh rezim Orba begitu hebat. Mungkin dalam waktu 10 tahun mendatang baru akan tampak hasil yang signifikan. Jadi kalau sekarang ini pemerintahan Megawati sudah berhasil menenteramkan kerusuhan-kerusuhan di Maluku, Sulawesi Utara dan Kalimantan Tengah; kalau dia berhasil mengerem laju proses disintegrasi di beberapa daerah, menstabilkan ekonomi sudah dapat dikatakan suatu kesuksesan. Maka adalah tugas kita semua untuk membantu pemerintahan Megawati dalam memperbaiki kerusakan-kerusakan negara dewasa ini. Penggoyangan pemerintahan Megawati, apalagi seruan penggulingan terhadapnya, adalah tindakan tidak bertanggung jawab dan berpenyakit kekanak-kanakan (kekiri-kirian), yang akan hanya menguntungkan kekuatan Orde Baru saja yang kini masih kuat bercokol di semua bidang. Memang

pemerintahan Megawati memiliki tidak sedikit kekurangan, tapi itu adalah kekurangan obyektif dalam situasi transisi dewasa ini. Jadi strategi dan taktik perjuangan harus disesuaikan dengan peta politik dewasa ini. Mau tidak mau PDI Perjuangan harus diakui sebagai benteng pertahanan nasionalisme (sosio-nasionalisme) yang kini menghadapi lawan politik yang tidak ringan. Maka perpecahan di dalam partai yang dilanjutkan dengan pembentukan partai-partai baru oleh beberapa tokoh yang nyempal, dapat disesalkan. Dan lebih disesalkan lagi hantaman dari salah satu keluarga Bung Karno sendiri terhadap pemerintahan Megawati. Bukankah itu semuanya merupakan tindakan pecah belah kekuatan nasionalis? Yang seharusnya mereka semua kaum nasionalis menyatukan diri mensukseskan tugas pemerintah untuk memperbaiki kerusakan-kerusakan akibat kezaliman rezim Orba? Dalam hal ini wajar adanya pertanyaan: siapa yang diuntungkan? Tentu saja jawabnya: kekuatan Orde Baru. Apakah ini bukan berarti terperangkap dalam skenario licin, licik dan jijik dari kekuatan Orde Baru? Mudah-mudahan kekuatan nasionalis menyadari hal tersebut dan bersatu dalam satu front perjuangan politik demi keselamatan Negara Kesatuan RI, Pancasila dan UUD 45. Hanya dengan demikian ada harapan besar untuk suksesnya penegakan ideal nasionalisme Indonesia yang telah dicabik-cabik oleh kekuasaan fasis Orde Baru. Nederland, 07 Oktober 2002
www.korwilpdip.org/6EDITORIAL071002.htm

Tentang Nasionalisme Indonesia


Oleh Andi Achdian DALAM konteks gerak finansial kapital dalam skala mondial, atau dalam istilah sekarang lebih dikenal sebagai globalisasi, pembicaraan ten-tang masalah nasionalisme seakan sudah menjadi barang usang. Mungkin tepat seperti dilukiskan ilmuwan politik yang mengatakan one's imagined community is another one's prison dalam kritiknya terhadap gagasan masyhur Benedict Anderson imagined community yang gemar dirujuk banyak intelektual Indonesia kini. Dan pernyataan itu tampaknya menjadi amat relevan dalam kaitan dengan meningkatnya gerakan separatisme dan konflik etnis di Indonesia kini. Kenyataan lain menunjukkan, untuk bertahan hidup, para TKI tampaknya tidak terlalu pusing tentang makna nasionalisme seperti digembar-gemborkan para penguasa negeri ini. Tidak dapat dimungkiri, bila hanya sekadar dilihat kondisi obyektif pergaulan sosial manusia dan perkembangan ekonomi abad ke-21, gagasan nasionalisme menjadi suatu pokok masalah yang sering kontradiktif. Dalam renungan tentang kemerdekaan Republik Indonesia kini, tulisan ini mencoba memahami relevansi gagasan nasionalisme dalam kaitan dengan aspek-aspek kesejarahan orang Indonesia. Identitas? Gagasan nasionalisme yang berkembang di Indonesia seharusnya tidak dipahami hanya dari sudut perkembangan obyektif semata, tetapi juga dalam ruang politik pembentukan negara republik dan

kebutuhan survival sebuah negara baru dalam pergaulan internasional. Tidak dapat dimungkiri, saat terbentuk republik bernama Indonesia, konteks sejarah saat itu menunjukkan beragamnya pikiran dan ideologi manusia Indonesia yang mengambil inspirasi dari gagasan-gagasan religius atau sekuler. Selain itu, kekuatan-kekuatan politik yang ada juga mengusung beragam faham seperti sosialisme, Islam, marhaenisme, dan komunisme, termasuk kelompok-kelompok etnis dan keturunan Tionghoa dan Arab. Situasinya bisa dibayangkan seperti keramaian pasar malam yang menawarkan beragam faham, kepentingan, dan gagasan. Untuk mempermudah, kita bisa menyebutkan, keragaman itu tidak menghalangi lahirnya kesepakatan bersama membangun suatu negara baru berbentuk republik. Tidak mengherankan bila struktur birokrasi negara yang terbentuk mengambil alih begitu saja struktur negara kolonial. Tetapi, yang jelas, ia bukan replikasi birokrasi kerajaan atau tradisi kesukuan di Indonesia. Republik Indonesia dibentuk dari institusi yang dilahirkan masyarakat modern. Dengan demikian, bisa disimpulkan, sejarah pembentukan republik tidak menunjukkan keberadaan suatu gagasan nasionalisme Indonesia dalam arti bulat dan utuh. Bukan berarti Sumpah Pemuda tahun 1928 tidak berarti, tetapi makna Indonesia memiliki arti berbeda ketika negara republik dibentuk, dibanding saat pertama kali gagasan itu diikrarkan. Dalam perkembangannya, nasionalisme Indonesia bisa dimengerti dalam konteks internasional saat awal perang dingin. Doktrin Truman mulai diterapkan untuk menghadapi laju komunisme di Eropa, garis komintern dan doktrin Zdanov dalam kaitan dengan gerakan-gerakan radikal di dunia ketiga dan lahirnya negara-negara baru di Asia dan Afrika memasuki dekade tahun 1950-an dan tahun 1960-an. Perlu disebutkan juga teori tiga dunia yang dipelopori Mao Tse Tung dan Chou En Lai yang membagi kondisi politik internasional dalam blok Barat di bawah Amerika Serikat, blok Timur di bawah Uni Soviet saat itu, dan negara-negara dunia ketiga yang baru merdeka. Cetusannya dalam konteks historis adalah Konferensi Asia-Afrika dan lahirnya gagasan Non-Blok yang menjadi kekuatan baru di dunia. Kesimpulannya, Indonesia sebagai imagined community terbentuk dari kesadaran politik orang-orang Indonesia saat itu dalam membangun republik baru dan pertarungan dalam politik internasional. Presiden pertama RI Soekarno tidak pernah terlalu pusing membahas apa itu nasionalisme Indonesia. Ia adalah seorang romantik yang mencintai rakyatnya dan mengagumi keragaman budaya Nusantara. Ia tidak merasa tidak Indonesia meski lebih akrab berbahasa Belanda atau Jawa dengan kolega, sahabat, atau saat berpidato di depan massa. Artinya, para elite politik saat itu tidak mempersoalkan makna nasionalisme dalam konteks identitas seperti yang kini dibayangkan. Seorang antropolog Amerika, James Siegel, menggambarkan ilustrasi menarik tentang tokoh Tan Malaka yang dengan mudah berganti-ganti identitas menjadi orang Tionghoa, Filipina, Melayu, atau petani Jawa. Mungkin orang yang paling romantis saat itu, dalam kaitan dengan nasionalisme Indonesia, adalah Mohammad Yamin yang mencari jejak sejarah seribu tahun Indonesia yang sudah barang tentu hanya sekadar imajinasi. Nasionalisme lebih merupakan gagasan yang menjadi medium komunikasi politik antara penguasa dan rakyat. Negara Situasi ini berbeda ketika Orde Baru berkuasa. Struktur politik yang elitis, birokratis, teknokratis menjauhkan rezim itu dengan kehidupan kebanyakan orang. Selain itu, utang budi dan ketergantungan pada bantuan asing yang memapankan politik otoriter membuat rezim itu memiliki mimpi buruk dengan identitasnya. Dalam kondisi itulah gagasan nasionalisme sebagai identitas bagi orang Indonesia mulai ditumbuhkan. Sebuah identitas yang diproduksi dan diberikan oleh negara kepada warga negaranya. Penguasa

menggalinya dari "puncak-puncak kebudayaan daerah" atau tradisi-tradisi yang awalnya ditinggalkan para pendiri Republik ini. Dari tingkat sekolah dasar sampai perguruan tinggi, orang Indonesia belajar tentang nasionalisme mulai dari PSPB, PMP, P4, dan lainnya. Tidak ketinggalan pengeramatan "benda-benda pusaka" seperti bendera dan atribut negara, juga baris-berbaris dan upacara rutin. Termasuk juga pembentukan lembaga bahasa yang mengajarkan cara berbahasa yang baik dan benar meski kebanyakan pejabat tinggi saat itu tidak mampu berbicara baik dan benar. Namun, pada sisi lain, pemerintahan Orde Baru juga menumbuhkan sikap rasial yang amat kasar dalam kebijakan-kebijakannya, yang tidak terpikir oleh para peletak dasar negara Republik ini. Dengan demikian, gagasan-gagasan nasionalisme yang kini berkembang adalah gagasan yang lahir dari pemerintahan yang dihinggapi rasa panik terhadap identitas dan legitimasi mereka di hadapan rakyatnya, selain pemerintahan yang tidak memiliki rasa percaya diri. Tidak mengherankan bagi para intelektual sekarang, pembahasan tentang nasionalisme sering ditanggapi sinis dan skeptis karena gagasan itu tidak lain dari penjelmaan kekuasaan otoriter, dikeramatkan melebihi kitab suci. Peristiwa belakangan ini menunjukkan bukan berarti setelah pemerintahan Orde Baru runtuh, penyakit itu juga hilang. Ilustrasi paling menonjol adalah saat wakil rakyat di MPR mencetuskan istilah "pribumi" dalam salah satu keputusan penting. Dalam ulasan singkat tentang perkembangan sejarah ini, bisa dilihat dua pengertian tentang nasionalisme Indonesia. Pertama, dan masih berlaku sekarang, gagasan nasionalisme Indonesia yang keramat yang diciptakan negara otoriter, dengan obsesi pada identitas diri (baca: negara). Gagasan yang ada mutlak dan utuh dengan definisi yang jelas. Kedua, gagasan nasionalisme yang cair, dinamis, dan lebih berorientasi sebagai medium komunikasi politik antara penguasa dan rakyat dibanding sebuah identitas keindonesiaan. Mungkin keduanya sudah tidak relevan. Tetapi, adalah naif bila proses sejarah dipalingkan begitu saja dan mengabaikan realitas masyarakat Indonesia kini. Harapannya, generasi sekarang bisa lebih kreatif dan arif dalam memahami diri sebagai bagian imagined community bernama Indonesia. Andi Achdian Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Ekonomi Politik (LKEP) Jakarta

www.els.bappenas.go.id/.../Tentang%20Nasionalisme%20Indonesia.html

NASIONALISME INDONESIA: PROSES KEBANGSAAN YANG BELUM SELESAI


DALAM RANGKA menyambut hari ulang tahun Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia, perlu kiranya kita renungkan dan pahami kembali historisitas proses lahirnya Indonesia sebagai sebuah entitas Bangsa dan Negara baru. Sehingga kita bisa menilai sejauh mana rasa dan semangat kebangsa-indonesiaan yang sejauh ini telah terbentuk dan kini dimiliki oleh setiap warga negaranya yang sangat majemuk ini. Untuk keperluan itu, maka jika kita telusuri dan cermati secara teliti, tampaklah bahwa cikal bakal kebersatuan kebangsaan dan kenegaraan dalam nana Indonesia, kiranya telah diawali oleh adanya suatu yang disebut Max Weber sebagai subjective meaning, yang dulu

pernah bersemi di dalam alam pikiran dan kesadaran kelompok-kelompok etnis di kepulauan nusantara ini. Dalam subjective meaning ini berisi perasaan senasib, sependeritaan dan sepenanggungan, yang terbentuk akibat sama-sama telah mengalami penjajahan yang begitu lama, yang dilakukan oleh Belanda atas suku-suku bangsa yang ada di nusantara ini. Dari pengalaman dan perasaan yang sama inilah lantas Belanda ditempatkan sebagai satu musuh bersama ( common enemy). Seterusnya, terciptalah suatu kesepakatan membangun perjuangan bersama, untuk mengusir penjajah Belanda dari bumi nusantara dan akhirnya bersepakat untuk mendirikan sebuah Negara di seluruh wilayah bekas jajahan Belanda tersebut. Singkatnya, itulah sebuah raison detre yang merupakan alasan dan sebab awal dari berkumpulnya etnis-etnis di kepulauan nusantara ini, yang kemudian tampil menegaskan sebuah ikrar persatuan: tanah air, bangsa dan bahasa yang satu, yang diberi nama Indonesia seperti yang tercatat dalam peristiwa Sumpah Pemuda, Oktober 1928. Ikrar inilah yang menjadi cikal-bakal rajutan persatuan suku-suku bangsa di kepulauan nusantara yang kemudian bersepakat mendirikan sebuah negara-bangsa (nation-state), yang akhirnya memperoleh kemerdekakan pada 1945. Menyusul berdirinya negara baru ini, Pancasila dan UUD 1945 telah pula diterima sebagai falsafah/ideologi dan konstitusi Negara. Sedangkan Burung Garuda disepakati menjadi lambang negara, yang secara simbolis ingin menggambarkan bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang perkasa, gagah dan berani. Kemudian, dwi-warna merah dan putih disepakati pula sebagai warna bendera nasional Indonesia, yang melambangkan nilai-nilai kesucian, kejujuran dan keberanian, yang wajib senantiasa dijunjung tinggi bangsa ini dalam segala kiprah dan perjuangan anak-anak bangsanya, dan teramat khusus bagi membangun pemerintahan Negara yang berpihak masyarakat banyak. Di samping itu, ada pula dictum Bhinneka Tunggal Ika yang juga telah disepakati menjadi semboyan nasional, di dalam mana kandungan filosofinya menegaskan makna persatuan etnis-etnis nusantara. Yang tentu memerlukan komitmen untuk membangun persaudaraankebangsaan, dari ratusan kelompok etnis yang majemuk dan heterogen. Wujud simbolis perintahnya, wajib satu sama lain untuk saling mengenal, mempelajari, memahami dan menghargai heterogenitas kekhasan dari setiap etnis di nusantara ini. Dan kemajemukan ini harus pula dilihat sebagai khasanah yang menunjukkan kekayaan bangsa Indonesia yang wajib disyukuri. Semua itu, adalah merupakan sikap dan amal budaya yang sangat penting diamalkan secara nasional oleh seluruh warga bangsa, demi merajut sebuah persatuan nasional, dalam kerangka negara kebangsaan Republik Indonesia (United Nation of Indonesia). Tanpa pemahaman dan pengakuan yang memadai, khususnya dari etnis-etnis mayoritas, maka ruh nasionalisme itu akan lebih menjadi ancaman hegemonic yang akan menjadikan bangsa Indonesia menjadi miskin, kerdil dan tidak manusiawi. Atas dasar adanya sejumlah realitas simbolis yang menjadi elemen dasar bagi piranti suprastruktur bangunan persatuan kebangsaan dan kenegaraan Indonesia, yang meliputi: (1). Sumpah Pemuda; (2). Bendera Dwi Warna, Merah-Putih; (3). Semboyan Bhinneka Tunggal Ika; (4). Lambang Burung Garuda; (5). Falsafah Ideologi Pancasila dan (6). UUD 1945, adalah modal penting untuk mengawali terbentuknya perasaan kesatuan kebangsaan Indonesia yang multietnis dan heterogen ini. Keberhasilan mempersatukan bangsa dengan indikator telah diterimanya sejumlah realitas simbolis itu, akhirnya mengantarkan mereka membentuk sebuah persepsi umum dalam benak-pikiran khususnya para pendiri (founding fathers) negara, barangkali juga hingga kita hari ini, bahwa persoalan dan tugas membangun nasionalisme ke-Indonesia-an itu, seolah telah tuntas dan selesai.

Perlu disadari secara kritis, bahwa persepsi yang menganggap telah selesai segala urusan semangat dan jiwa kebangsaan dari sebuah entitas nasionalisme baru Indonesia, jelas merupakan sebuah kesalahan pertama bersama ( common mistake) bangsa ini. Itulah sebabnya, sejak awal penguasa negeri ini luput dari keharusan memikirkan, memahami dan menyadari secara arif seksama, persoalan-persoalan penting tentang hal-ikhwal dan selukbeluk pluralitas dari negara multi-etnis yang sangat majemuk dan heterogen ini. Padahal, masih terlalu banyak persoalan krusial-substansial kebangsaan yang sebenarnya belum diketahui, dipahami, dimengerti, diayomi dan diakomodasi dengan baik dan tepat oleh penguasa negeri ini. Semestinya, pengetahuan tentang semua itu akan sangat penting dan berguna untuk merajut, merawat dan memelihara eksistensi negara persatuan nasional, dan membuat pemerintah mampu membangun martabat, kemuliaan dan kesejahteraan warganya secara adil. Sehingga peran dan fungsi pembangunan jiwa kebangsaan itu dalam konteks nation state, benar-benar dapat dirasakan berguna keberadaannya bagi menciptakan tatanan kehidupan berbagsa dan bernegara yang adil dan merata di seluruh daerah provinsinya. Namun, dari kesalahan persepsional tentang hakikat eksistensial-nasionalisme negarabangsa yang multi etnis ini, terbentuklah rangkaian kesalahan berkelanjutan seterusnya hingga hari ini. Kesalahan-kesalahan itu dapat dilihat indikatornya ketika terciptanya suatu regime sistem politik bernegara dan berbangsa yang sangat sentralistis, hegemonic dan penuh pemaksaan/kekerasan, yang selalu berupaya untuk menyeragam kan segala bentuk perbedaan yang ada, sekaligus coba mematikan berbagai kekhasan identitas etnis-etnis yang secara alamiah diwariskan secara transgenerasional dan transhistoris. Kemudian, kekuasaan penguasa negara pun menjadi nyaris bersifat absolut, eksploitatif dan konspiratif, yang secara kaku mengikuti garis komando, khususnya dalam hubungan komando antara pusat dengan daerah-daerah dan antara pimpinan dan bawahan yang bersifat patron and client yang lebih menggambarkan ciri-ciri perbudakan. Dan seolah, pimpinan merupakan sumber kebenaran yang tertutup dari kemungkinan salah, sehingga kehidupan kritis menjadi tabu dan terlarang. Maka nyaris seluruh sistem, rule of law dan rule of conduct yang diberlakukan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara sampai saat ini, dibuat secara sepihak oleh elite yang ditempatkan sebagai pemilik kuasa dan otoritas, untuk akhirnya menghasilkan rumusanrumusan keputusan dan kebijakaan hukum yang justru berpihak kepada kekuasaan/penguasa. Sehingga banyak klausul hukum, maxim dan aturan main yang mengandung pemerasan, diskriminasi, feudalisasi dan ketidak-adilan. Selanjutnya, hubungan politik antara para penguasa dengan rakyat banyak, serta hubungan antara pusat dengan daerah, juga berjalan seperti dalam hubungan antar majikan dengan buruh (patron and client relationship). Dari sini mengakibatkan lahirnya mentalitas politikkekuasaan yang korup dan feudalistik, yang melahirkan tabiat penguasa berdaulat, suka memperbudak, memaksa, menindas dan penuh tindak kekerasan untuk memenuhi ambisi kapitalisme dan hedonisme sang penguasa. Konsekwensi logisnya, terjadilah konflik, krisis dan tragedi kemanusiaan yang multidimensi. Terpolanya mentalitas kontra-produktif, konsumtif dan primitif anak-anak bangsa, khususnya mereka yang berkuasa. Terbentuk pula kepribadian para penguasa dan anak bangsa yang mudah tersinggung atau marah jika dikritik, dan sifat-sifat cendrung berbuat diskriminasi, konspirasi, korupsi, kolusi, nepotisme, monopoli, eksploitasi, ekstorsi, penindasan dan pembunuhan, demi pencapaian apapun tujuan. Itulah semua yang telah terjadi sepanjang sejarah berdirinya negara Republik Indonesia ini dan masih sedang

berlangsung Renungan

secara

sistematis Ulang

hingga

saat

ini

di

seluruh

wilayah

provinsi.

Paham

Kebangsaan

Ada semacam tuntutan zaman, bahwa tragedi kemanusiaan dan ancaman disintegrasi dari eksistensi negara dan bangsa Indonesia yang kita hadapi hari ini, hendaknya membuat kita sekarang bersedia merenung ulang dan belajar banyak pada perjalanan sejarah dan lukaluka kesalahan masa lalu bangsa ini. Hendaklah pula kita semua hari ini, perlu dan penting bertanya, apakah mungkin seluruh persoalan kebangsaan dan nasionalisme dari perkumpulan etnik-etnik yang berbeda-beda world-view, karakter, budaya, agama dsb itu, setelah mereka bersedia dan rela bergabung dalam sebuah negara Indonesia, lantas segala persoalan bisa dianggap selesai begitu saja? Bukankah kita seharusnya juga menyadari, bahwa persatuan etnis dan teritorial yang telah berhasil dibangun di awal kemerdekaan hingga saat ini, baru hanya sebatas persatuan awal yang masih sangat simbolis sifat dan tingkat kesadaran nasionalismenya, yang tentu saja masih sangat rentan perpecahan (fragile). Untuk ukuran di Aceh, nasionalisme--dalam artian loyal dan cinta-negara--yang sejauh ini telah terbangun dan terbina, barangkali hanyalah sebuah nasionalisme semu, yang terbentuk akibat gumpalan rasa takut warga masyarakat. Meskipun untuk sekedar bersikap kritis atas kebijakan negara/pemerintah yang merugikan masyarakat, yang salah atau kurang/tidak bijaksana. Kondisi masyarakat yang penuh ketakutan, justru membuat penguasa berpesta-ria dengan kekuasaannya bersama aksi korupsinya yang semakin kreatif dan sulit dibuktikan. Kecuali jika dengan proses pembuktian terbalik terhadap para penguasa kaya yaqng ada saat ini, untuk membuktikan bahwa harta-hartanya memang bukan hasil korupsi. Namun sayang, logika pembuktian hukum secara terbalik ini, hingga saat ini belum disepakati oleh para penguasa legislative dan eksekutif. Ini sangat berdampak pada terjadinya kesengsaraan ekonomis, mematikan kritisisme dan membuat masyarakat menjadi bodoh, apatis, mandul kreatifitas dan produktifitas, yang akhirnya justru mendatangkan kerugian bagi bangsa dan negara itu sendiri, seperti apa yang hari ini kita rasakan bersama. Inilah wujud nyata dari semangat kebangsaan Indonesia yang melahirkan penguasa Negara yang gastrosophic, yang hanya mampu mementingkan diri sendiri demi kelestarian kekuasaan, penuh kekejaman, baik terbuka maupun terselubung dan bersifat memangsa warga-warganya sendiri. Untuk mengantisipasi itu semua, ada sejumlah persoalan keilmuan seputar disiplin-disiplin ilmu politik, kebudayaan, antropologi, agama dan komunikasi yang perlu ditekuni serius untuk coba kembali menumbuhkan rasa nasionalisme yang benar dan sejati. Persoalan inter-relasi pusat-daerah dan koeksistensi antar etnis-etnis yang tergabung dalam NKRI, tampaknya selama ini belum pernah diperhitungkan sebagai inti persoalan dari semangat nasionalisme Indonesia itu sendiri. Membangun konstruksi nasionalisme Indonesia yang kuat sebenarnya hanya dimungkinkan lewat kreatifitas pemerintah untuk mengelaborasi secara dinamis melalui pendekatanpendekatan cross-culture understanding and accommodating. Disiplin disiplin antropologi politik, politik kebudayaan, komunikasi-budaya/kesenian dan silaturrahmi antropologikeagamaan dalam bingkai ajaran dan nilai suci Ketuhanan yang Maha Esa perlu ditempatkan menjadi ruh pembuatan undang-undang, aturan dan kebijakan.. Nasionalisme kebangsaan dan kenegaraan yang sejati itu, yang perlu dibina disini haruslah didasarkan pada kesediaan dan kesalingan timbal-balik untuk saling menghargai dan sikap-sikap ramah penuh persaudaraan dan berkeadilan. Semua itu merupakan materi, esensi, substansi dan metodologi yang dibutuhkan dalam mengisi tuntutan cita-cita kebangsaan dan ilmu-ilmu pengetahuan sosial-kemanusiaan, yang perlu terus digali secara kreatif dari

semboyan

berbangsa

dan

bernegara

kita:

bhinneka

tunggal

ika.

Artinya, rasa nasionalisme, kelangsungan dan kelestraian eksistensi negara ini tidak mungkin bisa terus dipertahankan melalui pengamalan prilaku politik machiavelian, yang berkonsekuensi menghalalkan segala cara demi pencapaian tujuan-tujuan politik kekuasaan, dimana para penguasanya banyak memproduksi kekerasan, ketakutan dan kejahatan sosial terhadap rakyat banyak. Sehingga tercipta pula jarak yang cukup jauh antara penguasa/TNI dan rakyat banyak. Dan akhirnya, praktek politik machiavelian ini hanya sekedar mendatangkan bencana kemanusiaan, berupa tindakan pembantaian yang mengalirkan darah-darah anak bangsa ini. Maka masih adakah kearifan kita untuk siap menyadari dan mengakui, bahwa sesungguhnya semua tindakan politik machiavelian itu justru sangat bertentangan dengan jiwa, semangat dan ajaran nasionbalisme yang bersumber dari ideologi negara Pancasila? Adalah bijaksana jika pemerintah Indonesia dan seluruh komponen bangsa, hari ini berkenan melihat, merenungkan ulang, mempelajari kembali dan mempertimbangkan secara seksama seluruh nilai-nilai dasariah kemanusiaan yang multi-etnis ini, ke dalam setiap pengambilan keputusan dan pembuatan kebijakan negara dalam bidang politik, sosial-ekonomi dan agama yang berhubungan dengan komunitas-komunitas etnik yang heterogen itu. Pertimbangan itu meliputi rentangan problema pluralitas kemanusiaan multietnis yang sangat luas dan heterogen, seperti: world-view, adat-budaya, tata-pikir, orientasi penghargaan atas diri sendiri (self esteem) dan kepada orang lain (respect for others), agama dan perasaan-perasaan subjektif lainnya. Semua ini merupakan unsurunsur ethnografis yang sangat penting dipahami, diayomi dan diakomodasi melalui prosesproses ethno-metodologis dalam membangun kesadaran nasionalisme baru Indonesia, yang hingga kini belum pernah selesai dilakukan. Secara khusus persoalan-persoalan nasionalisme itu sesungguhnya lebih banyak dalam hubungan antara Pemerintahan Pusat dan Daerah, yang terdiri dari berbagai etnis, yang perlu dan harus terus menerus dipikirkan. Ini penting dalam upaya membangun kepercayaan masyarakat di daerah-daerah kepada pemerintahan pusat, yang kini ternyata masih sangat banyak permasalahan yang perlu diselesaikan secara seksama. Belajar dari Konflik Aceh

Ancaman disintegrasi dalam berbagai pergolakan politik dan pemberontakan fisik dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang pernah berlangsung secara manifest terutama di Aceh, Papua dan Maluku, maupun yang bersifat laten yang tentu banyak juga terjadi di berbagai provinsi lain, adalah wujud persoalan yang lahir akibat konsep pembangunan nasionalisme yang salah dan bersifat fasis. Suasana mutakhir yang bersifat disintegratif ini, dan bukan sekedar dalam konteks separatisme dalam artian sempit, semestinya harus menjadi faktor yang semakin menyadarkan para pemimpin pembuat keputusan dan kebijakan negara, bahwa masih banyak hal yang luput dari perhatian dan pertimbangan dalam membangun creed of nationalism, yang sungguh-sungguh mengakomodasi pluralitas dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Khusus untuk konflik Aceh yang telah sempat berlarut-larut selama lebih dari tiga dekade, seharusnya telah mampu menyadarkan pemerintah pusat untuk berkenan banyak belajar tentang prinsip-prinsip dan nilai-nilai yang dipegang teguh oleh rakyat Aceh dalam berbagai bidang kehidupan dan dalam hubungannya dengan kandungan kebijakan dan prilaku politik pemerintah. Bahwa rakyat Aceh pernah menjadi bidan bagi kelahiran dan penjaga bagi eksistensi negara Indonesia harus dilihat dan diakui sebagai fakta sejarah, yang semestinya menumbuhkan empati nasional terhadap nasib rakyat Aceh yang sekian lama telah

terbantai dan terhinakan.Jika sebagian rakyat Aceh pernah punya keinginan untuk memisahkan diri dari NKRI, harus pula dipelajari dan dipahami secara jujur, arif dan adil tentang alasan-alasan yang mendasarinya. Agar dalam tahap-tahap pengisian damai yang kini telah diraih sejak 5 tahun lalu, dapat lebih aspiratif dan akomodatif, sesuai dengan karakter dan jiwa kemandirian Aceh yang pernah digagas dalam bentuk self government. Sementara penerapan strategi dan pendekatan militer untuk menjinakkan warga bangsa ini, kiranya perlu dipandang telah usang, dan pengalaman memberi bukti bahwa penggunaan kekerasa militer di negeri ini hanya membawa bangsa ini menjadi miskin, bodoh, tidak kreatif dan terhina di mata dunia. Kecuali itu, bila masih ada sementara pihak ( Jakartas mindset) yang menganggap rakyat Aceh keras kepala, aneh dan bodoh, kiranya perlu pula ditelusuri dan dipahami apa sebabsebab yang membuat mereka menjadi demikian? Karena dalam budaya Aceh justru terdapat sebuah Hadih Madja yang menggambarkan keunikan orang Aceh yang sewaktuwaktu bisa saja terlihat sangat kompromistis, namun sekaligus bisa segera menjadi pemberontak militan. Yakni: Meunyo hatee hana teupeh, boh-boh kreh jeut karaba. Tapi meunyo hatee ka teupeh meubue leubeh han kupeutaba (artinya: jika hati tak terluka atau tersinggung, kemaluan sekalipun dapat engkau raba-raba, namun jika hati telah tersinggung atau terluka, nasi sisa/bekas sekalipun tak akan diberikan atau ditawarkan). Kesimpulannya, bahwa sebenarnya ethnisitas orang Aceh tidak banyak bermasalah dengan persoalan nasionalisme Indonesia, yang sejak awal telah terbukti tingkatan loyalitas dan pengorbanannya yang tinggi terhadap negara-bangsa ini. Yang justru menjadi masalah besar bagi orang Aceh adalah tindakan dan kebijakan pemerintah pusat terhadap Aceh yang dirasa sangat tidak-adil, bersifat menindas, sewenang-wenang dan tak mau mengerti dan menghargai etnisitas dan identitas harga diri orang Aceh, dan tentu bersama dengan segala kekurangan dan kelebihannya.

www.acehinstitute.org/index.php?...nasionalisme-indonesia

Nasionalisme Indonesia Dalam "Ancaman"?


MOMENTUM Kebangkitan Nasional yang dikonstruksi pada tahun 1908 merupakan titik yang sangat signifikan bagi kemunculan bangunan nasionalisme, kesadaran untuk bersatu, serta menyatukan keinginan bersama untuk merekatkan elemen-elemen yang berbeda dalam satu naungan negara-bangsa yang bernama Indonesia. Dari momentum Kebangkitan Nasional 1908 tersebut, paling tidak terdapat dua faktor yang sangat signifikan bagi investasi Indonesia. Pertama, pemuda yang menunjukkan peran dan eksistensinya secara jelas untuk menjadi lokomotif perubahan yang heroik bagi tercapainya kemerdekaan dan perjalanan kenegaraan serta kebangsaan Indonesia pascakemerdekaan.

Pada konteks tersebut, semakin menegaskan bahwa pemuda memiliki posisi strategis dalam menggerakkan perubahan dan menciptakan sejarah baru bangsa ini atau paling tidak menjadi trend setter sejarah Indonesia. Hampir seluruh sejarah yang tercipta di negeri ini dilakukan atas peran serta pemuda, seperti gerakan 1908, 1928, 1945, 1966, hingga 1998. Fenomena tersebut sekaligus menunjukkan betapa signifikannya keberadaan pemuda dalam konteks keindonesiaan. Dari gugusan sejarah Indonesia yang jangan pernah dilupakan adalah bahwa kontribusi terbesar terbentuknya sejarah Indonesia karena adanya komitmen dan kesadaran yang tulus melalui peran pemuda di masa lalu. Namun, kita tentu tidak berharap bahwa roda sejarah harus terhenti karena pemuda Indonesia hari ini kehilangan vitalitas ekspresi perannya dalam perubahan keindonesiaan, menghadapi tantangan kesejarahan yang semakin berat, dengan kecenderungan sosial yang semakin masif dan dinamis. Kedua, dari lembaran sejarah Indonesia berikutnya, secara faktual tertoreh kontribusi daerah-daerah dalam proses terbentuknya dan terpeliharanya konstruksi nasionalisme Indonesia. Melalui peran, komitmen, dan kesadaran yang tulus dari daerah, bingkai persatuan dan kesatuan nasional, dalam kerangka mewujudkan kemerdekaan dan memaknai arti kemerdekaan, sebagai pijakan bagi pembangunan bangsa yang menghimpun secara harmonis elemenelemen daerah, dalam tujuan dan cita-cita bersama: memajukan Indonesia, dapat disepakati, dan diimplementasikan secara bersama. Komitmen dan ketulusan daerah dalam proses terbangunnya bangsa ini sangat tidak pantas untuk dipertanyakan kembali. Goresan tinta sejarah bangsa ini teramat berarti bagi komponen bangsa ini, terutama daerah. Eksistensi daerah saat ini tengah menampakkan keceriaannya, setelah sebelumnya tampak kusam akibat paradigma kekuasaan masa lalu, yang memersepsi lahan sosial Indonesia dalam bingkai homogenisasi. Pola tersebut selanjutnya menempatkan entitas daerah dengan segala bentuk, simbol, dan aktivitasnya sebagai sebuah

ancaman bagi ikatan nasionalisme atau integrasi nasional. Mungkin penerapan kebijakan homogenisasi tersebut dianggap tepat, lantaran paham kedaerahan yang sempit terbukti di banyak negara menimbulkan persoalan yang berimplikasi bukan saja pada ancaman persatuan dan kesatuan nasional, namun juga terjebak dalam konflik sosial antaretnis berkepanjangan, yang pada akhirnya memorak-porandakan bangunan sejarah suatu bangsa. Namun, fenomena daerah setelah beberapa waktu berjalan dapat menikmati "kebebasannya" dari kooptasi sentralisasi yang berlangsung dalam rentang waktu yang cukup panjang, nyatanya belum berada dalam posisi yang kondusif. Kerap dalam beberapa peristiwa, masih didapatkan kecenderungan yang mempertentangkan pusat dan daerah. Sehingga muncul kecenderungan dekonstruksi nasionalisme bukan reformulasi nasionalisme yang menawarkan wajah nasionalisme yang lebih baik. Mungkin juga fenomena tersebut sebagai akibat apresiasi dan kepentingan daerah yang belum terakomodasi dalam ruang yang semestinya. Sehingga kecenderungan-kecenderungan mengurangi dominasi kekuasaan pusat atas daerah tak bisa dihindari. Hanya, memang dalam beberapa hal, kerap dipandang melebihi takaran yang seharusnya. Peringatan Kebangkitan Nasional tahun ini (2006), idealnya mampu mengantarkan komponen bangsa ini pada kontemplasi terhadap eksistensi nasionalisme yang tengah berada dalam ancaman. Nasionalisme kita yang tengah berada dalam ancaman, paling tidak diindikasikan semakin panjangnya deretan persoalan kebangsaan, seperti besarnya utang luar negeri, fenomena memudarnya rasionalitas dan praktik kriminalitas sosial yang terus diperagakan dalam lahan sosial Indonesia sehingga muncul sebutan Republic of Horor atau Republic of Fear, menuntut Indonesia untuk memiliki apa yang disebut nasionalisme baru atau paling tidak merevitalisasi nasionalisme kita yang sesungguhnya dibutuhkan bangsa ini agar menjadi sebuah keniscayaan. Langkah ini barangkali bisa menjadi salah satu alternatif, yang mampu memberikan sumbangan penting untuk turut meminimalisasi pesimistis yang melanda sebagian besar warga negara, agar menempatkan kembali nasionalisme

sebagai sesuatu yang dipahami bersama dalam berbangsa dan bernegara serta mempertahankan nasionalisme dari implikasi negatif globalisasi politik dan ekonomi. Nasionalisme baru yang hendak ditumbuhkan, selain didorong kecenderungan adanya dekonstruksi berbagai hal, pada sisi lain dalam konteks keidealan, Indonesia memang belum menemukan bentuk nasionalisme yang "konkret", selalu berada dalam tahapan "pencarian bentuk" (metamorfosis). Dalam pergumulan wacana seputar nasionalisme sejumlah ahli, semisal Cornelis Lay, mengungkapkan posisi nasionalisme yang terimpit oleh dua kekuatan mahabesar: globalisasi dengan logika dan asumsi-asumsi universalitas, uniformitas, dan sentralisasinya dengan etno-nasionalisme yang berjalan ke arah sebaliknya. Di tengah impitan arus besar tersebut, nasionalisme baru Indonesia mestinya memiliki cita-cita bersama yang dirumuskan dalam good society, dengan memaknai masa lalu dan merumuskan masa depan dalam kesatuan gerak masa kini. Alangkah baiknya, untuk menopang proyeksi tersebut, mempertajam apa yang disebut prinsip kewarganegaraan (citizenship), yang memiliki daya seduksi yang sangat besar dalam memenuhi hasrat setiap komunitas dan umat manusia atas persamaan. Mengapa citizenship layak mendapat perhatian dalam kerangka memperkuat nasionalisme kita? Paling tidak, citizenship merepresentasikan kehendak untuk mengusung partisipasi kualitatif masyarakat, untuk mencapai civil society. Barangkali kita akan sepakat bahwa tidak ada satu pun negara maju yang tidak berlandaskan masyarakat yang kualitatif dalam segala hal. Pun lantaran kewarganegaraan layak dimengerti sebagai jantung dari konsep nasionalisme. Dengan demikian, semestinya mulai hari ini dan ke depan, kita harus kembali membenahi anyaman sejarah bangsa yang terkoyak di beberapa bagian. Membangun kembali keindahan sejarah melalui jalinan harmonis seluruh kekuatan bangsa, termasuk elemen-elemen daerah. Upaya mengonstruksi keindonesiaan kita yang lebih baik merupakan sesuatu yang sangat mungkin, seperti yang pernah dibuat pada tahun 1908, yang mampu mengumandangkan ikrar kebangsaan yang

menjadi embrio kebangkitan nasional, dengan kekuatan nasionalisme kita.*** Oleh: Oleh Ir. H. M.Q. ISWARA Penulis, Ketua Forum Musyawarah Masyarakat Jawa Barat (Format Jabar) dan Ketua DPP KNPI. sumber: http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/2006/052006/22/selisik/utama02.html

1. Perubahan2 nas indo

Nasionalisme yang asal katanya dari bahasa Yunani merupakan satu kata yang mengilhami para pemikir dunia untuk menguraikannya menjadi suatu terminologi yang sahih. Dari kata natio yang arti dasarnya Lahir kembali menjadi nationalis kemudian artinya menjadi berubah misalnya Nation State sebagai neg ara bangsa yang dasarnya menyatakan himpunan banyak kelompok manusia atau bangsa atau suku atau katakan saja suatu rumpun umat manusia yang bersatu dalam ikatan politis yang visi dan misinya sama.

Watak dasar natio menjadi isme yang berkembang akhirnya melahirkan perubahanperubahan sosial politik di dunia yang sebenarnya telah dimulai di zaman Nabi-nabi suku bangsa Yahudi. Bahkan dalam banyak hal Nabi-nabi di mediterania ataupun kelompok kaum bijak di berbagai belahan dunia kuno seperti di Persia, India, China, Mesir dan tempat-tempat lainnya merupakan agen-agen perubahan yang mengubah suatu bangsa dari satu kondisi ke kondisi lainnya karena telah sampainya batas-batas pertumbuhannya sebagai suatu negara-negara atau didalam wilayah yang bersangkutan.

Akar Keterikatan Bangsa-Bangsa Menjadi Nationalisme

Karen Armstrong, pakar ilmu perbandingan agama dalam buku terbarunya yang sudah diterjemahkan oleh penerbit Mizan The Great Transformations secara historis mengungkapkan bagaimana perkembangan agama terjadi dari keadaan awalnya. Karena itu, natio yang menjadi nasionalisme dengan gerakan para Nabi dan Rasul di masa lalu sebenarnya merupakan satu hal yang identik, satu sama lain sejatinya berasal dari gagasan yang serupa hanya berbeda zaman dan implementasinya. Dengan kata lain, nasionalisme memiliki akar yang kuat pada zaman kenabian yang kelak didekonstruksi total oleh Nabi Muhammad SAW sebagai zaman yang sudah selesai.

Dalam setiap zaman, penerapan untuk mencapai obyektif yang dituju berbeda secara sistematis meskipun bingkainya tetap sama yaitu kedaulatan atas suatu wilayah tertentu sebagai suatu titipan Tuhan Yang Maha Kuasa. Setelah usainya era kenabian, istilah-istilah baru, baik istilah agamis maupun filosofis, diperkenalkan kembali dengan visi yang sampai hari ini mewakili gambaran yang nyata yang berkaitan dengan cita-cita ideologis suatu bangsa.

Kekhilafahan merupakan contoh bagaimana bentuk penguasaan wilayah dan dominasi pengaruh diartikulasikan kembali sebagai ide kesatuan setelah zaman nabi-nabi diakhiri. Umat Islam lantas meresponnya dengan berbagai persepsi hingga akhirnya justru menimbulkan perpecahan internal. Setelah serbuan tentara Tar-tar, gagasangagasan penyatuan bangsa mengalami berbagai perubahan sampai akhirnya muncul Perang Salib dan kemudian dunia memasuki zaman baru dengan munculnya renaisanse sains modern di Kawasan Eropa yang tadinya merupakan kawasan gelap gulita.

Memasuki era industri, dampak negatif kemajuan di Eropa menjalar di belahan dunia lain, di kawasan yang masih terbelenggu dalam tradisi lama menjadi imperialisme dan kolonialisme. Namun, dari sini pula kelak muncul gagasan-gagasan lama yang diaktualkan kembali menjadi nasionalisme kebangsaan.

Kembali Ke Pemaknaan Atas Ideologi Dasar

Adakah model yang sesuai ketika kita menyikapi nasionalisme dewasa ini dari nasionalisme kebersamaan anti penjajahan dan dominasi pengaruh (ipoleksosbudhankam) menjadi nasionalisme dalam bingkai yang lebih universal dan mengena selain alasan tradisionalnya yaitu suku, ras dan agama? Saya bilang ada. Dan menurut pendapat saya, nasionalisme itu hanya dimungkinkan dalam bingkai universalitas keyakinan bangsa-bangsa yang membangun Nasionalisme Indonesia yang merefleksikan suatu kelahiran kembali, penyucian kembali dari gagasan-gagasan nasionalisme awal mula yang melahirkan Indonesia sebagai suatu negara kebangsaan dari berbagai pengalamannya.

Nasionalisme demikian merupakan nasionalisme berbasis pengetahuan ( knowledge base) yang benar dan utuh dimana kadar relijiusnya yang semula terkotak-kotak dan tersekat-sekat dalam bingkai agama-agama disatukan dalam pengertian keyakinan atas dasar Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai Identitas Unik Bersama yang melandasi segala aktivitas komponen pembangun bangsa.

Dalam koridor Nasionalisme Indonesia, seluruh masyarakat harus sepakat untuk menyadari arti Ketuhanan Yang Maha Esa baik secara harfiah maupun filosofis dalam pemahaman universal tanpa terjebak pada keterikatan atas nama dan istilah yang khas misalnya nama Allah, Siwa, Budha, atau nama-nama lainnya yang kadar pemahamannya hanya sebatas penganut agama yang bersangkutan atau hanya sebatas keyakinan dan syariatnya masing-masing.

Nasionalisme Indonesia tersebut bukanlah hal baru karena merupakan sila pertama dari Ideologi Pancasila. Hanya saja, selama ini terdapat penafsiran yang sifatnya kultural dan sektarian dari komponen Bangsa Indonesia sehingga pemaknaannya menjadi sempit seolah-olah kata Tuhan misalnya berbeda RealitasNya dengan kata Allah atau kata Siwa, padahal pemaknaan demikian JUSTRU menuju pada pemahaman yang mengarah pada penyekutuan dari Ke-Esa-an Tuhan karena persepsi manusia tanpa sadar dituntun seolah-olah mengakui ada Tuhan selain nama-nama Tuhan yang diyakini sesuai agama masing-masing atau bertuhan banyak alias syirik.

Memaknai Tuhan Yang Maha Esa Secara Universal

Manusia Indonesia dalam keberagamaan dan kerelijiusannya harus disadarkan dari kekeliruan semantik dan pemaknaan yang justru akan menimbulkan penyekutuan Tuhan Yang Maha Esa. Penggunaan nama Allah, Siwa, Budha atau nama-nama tuhan lainnya sebenarnya hanya terbatas keberlakukannya bagi masing-masing pemeluk agama yang bersangkutan. Jadi, kalau ada orang beragama Islam tidak menyebutkan nama Siwa atau Budha dalam doa-doa dan pelaksanaan syariatnya hal ini memang wajar karena orang beragama Islam tidak mengenal nama Siwa maupun Budha dalam keyakinannya sebagai nama Tuhan. Demikian juga wajar saja kalau orang beragama Hindu atau Budha tidak menyebutkan nama Allah dalam doa maupun syariatnya karena memang agamanya bukan Islam dan bukan Kristen. Akan tetapi kita juga tidak naif dan menjadi kaku atau dungu, karena orang yang beragama lain juga mengenal namanama Tuhan selain nama-nama Tuhan dari agamanya masing-masing. Dalam hal ini pengetahuan atas nama Tuhan selain nama Tuhan menurut agamanya berada dalam wilayah pengetahuan agama semata bukan menjadi suatu keyakinan personal.

Dalam bingkai nasionalisme Kebangsaan Indonesia, nama Tuhan Yang Maha Esa bersifat netral dan universal karena susunan kalimatnya menjadi Ketuhanan Yang Maha Esa BUKAN Ketuhanan Yang Mahesa. Penyebutan Maha Esa telah mewakili identitas kebahasaan secara nasional yaitu Bahasa Indonesia. Perlu juga ditegaskan kembali bahwa Tuhan dengan sebutan Maha Esa memenuhi kaidah-kaidah spiritual universal yang menghindari penyekutuan tuhan karena kalau digunakan kata Mahesa penyebutannya lebih mengarah pada sebutan bagi kehambaan makhluk. Jadi, dalam hal ini sebutan Mahesa identik dengan sebutan hamba Allah atau nama khas yang mewakili pengertian hamba Allah misalnya Abdullah yang tidak mewakili Entitas Esensial yang Unik dan Maha Esa. Hamba Allah sebagai Abdullah maupun sebagai Mahesa ataupun sebagai nama seseorang adalah sebutan bagi semua makhluk secara universal, jadi tidak mewakili pemaknaan atas Realitas Absolut yang tunggal dan meliputi segala sesuatu yang mewakili keyakinan semua agama. Sebagai Realitas Absolut yang Unik dan Tunggal maka dalam wilayah pemaknaan keyakinan agama ditentukan sesuai dengan prasangka hambaNya. Realitas Absolut itu pun akhirnya muncul dengan Nama-namaNya Yang Indah. Dalam Islam muncul nama-nama Asma Ul Husna (99 nama) dengan Nama Agung sebagai Allah, al-rahmaan al-Rahiim; dalam agama Hindu juga muncul nama-nama lainnya yang mewakili prasangka dari masingmasing pemeluk agama yang bersangkutan yang sifatnya sudah berada dalam wilayah personal.

Agama dan keyakinan lainnya juga mempunyai sebutan-sebutan khas yang sifatnya personal dan sesuai dengan prasangka masing-masing atas kenyataan Tuhan Yang Maha Esa. Pemahaman fundamental ini mesti disadari oleh semua penganut agama dan keyakinan di Indonesia supaya tidak terjadi persepsi dan kekeliruan yang mengarah pada penyekutuan dan silang pendapat yang akan menyeret kepada kesesatan pada koridor keyakinannya masing-masing.

Kebersamaan atas pemahaman dan persepsi Ketuhanan Yang Maha Esa karena itu menjadi hal utama yang harus dipahami secara kebahasaan dan diyakini kebenarannya sebagai bagian dari Nasionalisme Indonesia yang dibangun dengan landasan Pengetahuan Tuhan (Tauhid) untuk membangun masyarakat Berbasis Pengetahuan (Knowledge Base Society). Tanpa persepsi yang sama ini orang akan terjebak pada sektarianisme sempit yang merefleksikan ketersesatannya atas Realitas Absolut yang disebut secara umum dalam Bahasa Indonesia sebagai Tuhan Yang Maha Esa.

Atmonadi dari Kota Patriot (Bekasi) 15/8/2007

www.knol.google.com/.../nasionalisme-indonesia-kesadaran-relijius-universal

PROSES KELAHIRAN dan PERKEMBANGAN NASIONALISME di INDONESIA


November 12, 2008 by rinahistory

1.

PENGERTIAN NASIONALISME Nasionalisme berasal dari kata Nation dalam bahasa Inggris yang berarti bangsa. Nation dalam bahasa latin yang berarti kelahiran kembali, suku, bangsa. Bangsa adalah sekelompok orang/ iman yang mendiami wilayah tertentu dan memiliki hasrat dan kemauan bersama untuk bersatu karena adanya persamaan nasib, cita-cita, kepentingan, dan tujuan yang sama.

Sehingga Nasionalisme dapat diartikan: Paham yang menempatkan kesetiaan tertinggi individu harus diserahkan kepada negara dan bangsa (pengertian menurut Hans Kohn) Semangat/ perasaan kebangsaan, yaitu semangat/ perasaan cinta terhadap bangsa dan tanah air. Suatu sikap politik dan sosial dari kelompok-kelompok suatu bangsa yang mempunyai kesamaan kebudayaan, bangsa dan wilayah serta kesamaan cita-cita dan tujuan sehingga merasakan adanya kesetiaan mendalam terhadap kelompok bangsa itu.

2. KELAHIRAN NASIONALISME DI DUNIA Terbentuknya nasionalisme melalui beberapa fase, yaitu : a. Nasionalisme awalnya muncul pada masa kerajaan Yunani, yaitu cita-cita sebagai bangsa terpilih, kenangan masa lampau, dan harapan masa depan, serta peran terdepan bangsa mereka. Sebagai bangsa pembangun peradaban. Munculnya benih kesadaran nasional stelah adanya peristiwa Renaissance dan Reformasi pada abad ke-14.

b.

c.

Pada abad ke-17 muncul nasionalisme di Inggris yang diikuti dengan munculnya nasionalisme di Amerika dan Perancis pada abad ke-18. Pada pertengahan abad ke-19 nasionalisme semakin berkembang di Eropa dari nasionalisme yang awalnya bersifat kemanusiaan berubah menjadi agresif dan memusuhi bangsa lain. Sejak itu muncullah negara-negara yang berusaha melakukan imperialisme dan kolonialisme. Nasionalisme Eropa terjadi pada masa transisi dari masyarakat feodal ke masyarakat industri yang menghasilkan paham kapitalisme dan liberalisme. Nasionalisme yang muncul di Eropa berbeda dengan nasionalisme yang muncul di Asia sebab Nasionalisme di Asia muncul sebagai reaksi terhadap kolonialisme dan imperialisme bangsa Eropa. Mereka menumbuhkan nasionalisme untuk melawan penjajahan. Sementara itu nasionalisme di Indonesia terasa pengaruhnya saat perang untuk memeproleh dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia.

d.

e.

f.

3. KEMUNCULAN NASIONALISME DI INDONESIA Sejak abad 19 dan abad 20 muncul benih-benih nasionalisme pada bangsa Asia Afrika khususnya Indonesia. Faktor-faktor yang mempengaruhi munculnya nasionalisme : 1) Faktor dari dalam (internal) a. Kenangan kejayaan masa lampau Bangsa-bangsa Asia dan Afrika sudah pernah mengalami masa kejayaan sebelum masuk dan berkembangnya imperialisme dan kolonialisme barat. Bangsa India, Indonesia, Mesir, dan Persia pernah mengalami masa kejayaan sebagai bangsa yang merdeka dan berdaulat. Kejayaan masa lampau mendorong semangat untuk melepaskan diri dari penjajahan. Bagi Indonesia kenangan kejayaan masa lampau tampak dengan adanya kenangan akan kejayaan pada masa kerajaan Majapahit dan Sriwijaya. Dimana pada masa Majapahit, mereka mampu menguasai daerah seluruh nusantara, sedangkan masa Sriwijaya mampu berkuasa di lautan karena maritimnya yang kuat. b. Perasaan senasib dan sepenanggungan akibat penderitaan dan kesengsaraan masa penjajahan Penjajahan yang dilakukan oleh bangsa-bangsa Eropa terhadap bangsa Asia, Afrika mengakibatkan mereka hidup miskin dan menderita sehingga mereka ingin menentang imperialisme barat. c. Munculnya golongan cendekiawan

Perkembangan pendidikan menyebabkan munculnya golongan cendekiawan baik hasil dari pendidikan barat maupun pendidikan Indonesia sendiri. Mereka menjadi penggerak dan pemimpin munculnya organisasi pergerakan nasional Indonesia yang selanjutnya berjuang untuk melawan penjajahan. d. Paham nasionalis yang berkembang dalam bidang politik, sosial ekonomi, dan kebudayaan i. Dalam bidang politik, tampak dengan upaya gerakan nasionalis menyuarakan aspirasi masyarakat pribumi yang telah hidup dalam penindasan dan penyelewengan hak asasi manusia. Mereka ingin menghancurkan kekuasaan asing/kolonial dari Indonesia. ii. Dalam bidang ekonomi, tampak dengan adanya usaha penghapusan eksploitasi ekonomi asing. Tujuannya untuk membentuk masyarakat yang bebas dari kesengsaraan dan kemelaratan untuk meningkatkan taraf hidup bangsa Indonesia. iii. Dalam bidang budaya, tampak dengan upaya untuk melindungi, memperbaiki dan mengembalikan budaya bangsa Indonesia yang hampir punah karena masuknya budaya asing di Indonesia. Para nasionalis berusaha untuk memperhatikan dan menjaga serta menumbuhkan kebudayaan asli bangsa Indonesia.

2) Faktor dari luar (eksternal) a. Kemenangan Jepang atas Rusia (1905) 1904-1905 Jepang melawan Rusia dan tentara Jepang berhasil mengalahkan Rusia. Hal ini dikarenakan, modernisasi yang dilakukan jepang yang telah membawa kemajuan pesat dalam berbagai bidang bahkan dalam bidang militer. Awalnya dengan kekuatan yang dimiliki tersebut Jepang mampu melawan Korea tetapi kemudian dia melanjutkan ke Manchuria dan beberapa daerah di Rusia. Keberhasilan Jepang melawan Rusia inilah yang mendorong lahirnya semangat bangsa-bangsa Asia Afrika mulai bangkit melawan bangsa asing di negerinya.

b. Perkembangan Nasionalisme di Berbagai Negara a) Pergerakan Kebangsaan India India untuk menghadapi Inggris membentuk organisasi kebangsaan dengan nama All India National Congres. Tokohnya, Mahatma Gandhi, Pandit Jawaharlal Nehru, B.G. Tilak,dsb. Mahatma Gandhi memiliki dasar perjuangan : 1. 2. Ahimsa (dilarang membunuh) yaitu gerakan anti peperangan Hartal, merupakan gerakan dalam bentuk asli tanpa berbuat apapun walaupun mereka tetapi masuk kantor atau pabrik

3.

Satyagraha merupakan gerakan rakyat India untuk tidak bekerja sama dengan pemerintah kolonial Inggris. Swadesi merupakan gerakan rakyat India untuk memakai barang-barang buatan negeri sendiri

4.

Selain itu adanya pendidikan Santiniketan oleh Rabindranath Tagore b) Gerakan Kebangsaan Filipina Digerakkan oleh Jose Rizal dengan tujuan untuk mengusir penjajah bangsa Spanyol di Wilayah Filipina. Jose ditangkap tanggal 30 September 1896 dijatuhi hukuman mati. Akhirnya dilanjutkan Emilio Aquinaldo yang berhasil memproklamasikan kemerdekaan Filipina tanggal 12 Juni 1898 tetapi Amerika Serikat berhasil menguasai Filipina dari kemerdekaan baru diberikan Amerika Serikat pada 4 Juli 1946. c) Gerakan Nasionalis Rakyat Cina Gerakan ini dipimpin oleh Dr. Sun Yat Sen, yang mengadakan pembaharuan dalam segala sektor kehidupan bangsa Cina. Dia menentang kekuasaan Dinasti Mandsyu. Dasar gerakan San Min Chu I: b. c. d. Republik Cina adalah suatu negara nasional Cina Pemerintah Cina disusun atas dasar demokrasi (kedaulatan berada di tanggan rakyat) Pemerintah Cina mengutamakan kesejahteraan sosial bagi rakyatnya.

Apa yang dilakukan oleh Dr. Sun Yat Sen sangat besar pengaruhnya terhadap pergerakan rakyat Indonesia. Terlebih lagi setelah terbentuknya Republik Nasionalis Cina (1911) d) Pergerakan Turki Muda (1908) Dipimpin oleh Mustafa Kemal Pasha menuntut pembaharuan dan modernisasi di segala sektor kehidupan masyarakatnya. Ia ingin agar dapat mengembangkan negerinya menjadi negara modern. Gerakan Turki Muda ini banyak mempengaruhi munculnya pergerakan nasional di Indonesia. e) Pergerakan Nasionalisme Mesir Dipimpin oleh Arabi Pasha (1881-1882) dengan tujuan menentang kekuasaan bangsa Eropa terutama Inggris atas negeri Mesir. Adanya pandangan modern dari Mesir yang dikemukakan oleh Muhammad Abduh mempengaruhi berdirinya organisasi-organisasi keagamaan di Indonesia seperti Muhammaddiyah.

Intinya dengan gerakan kebangsaan dari berbagai negara tersebut mendorong negara-negara lain termasuk Indonesia untuk melakukan hal yang sama yaitu melawan penjajahan dan kolonialisme di Negaranya.

c. Munculnya Paham-paham baru Munculnya paham-paham baru di luar negeri seperti nasionalisme, liberalisme, sosialisme, demokrasi dan pan islamisme juga menjadi dasar berkembangnya paham-paham yang serupa di Indonesia. Perkembangan paham-paham itu terlihat pada penggunaan ideologi-ideologi (paham) pada organisasi pergerakan nasional yang ada di Indonesia.

4. PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN NASIONALISME DI INDONESIA TUMBUHNYA NASIONALISME DI INDONESIA Karena adanya faktor pendukung diatas maka di Indonesiapun mulai muncul semangat nasionalisme. Semangat nasionalisme ini digunakan sebagai ideologi/paham bagi organisasi pergerakan nasional yang ada. Ideologi Nasional di Indonesia diperkenalkan oleh Partai Nasional Indonesia (PNI) yang diketuai oleh Ir. Soekarno. PNI bertujuan untuk memperjuangkan kehidupan bangsa Indonesia yang bebas dari penjajahan. Sedangkan cita-citanya adalah mencapai Indonesia merdeka dan berdaulat, serta mengusir penjajahan pemerintahan Belanda di Indonesia. Dengan Nasionalisme dijadikan sebagai ideologi maka akan menunjukkan bahwa suatu bangsa memiliki kesamaan budaya, bahasa, wilayah serta tujuan dan cita-cita. Sehingga akan merasakan adanya sebuah kesetiaan yang mendalam terhadap kelompok bangsa tersebut.

PERKEMBANGAN NASIONALISME DI INDONESIA Sebagai upaya menumbuhkan rasa nasionalisme di Indonesia diawali dengan pembentukan identitas nasional yaitu dengan adanya penggunaan istilah Indonesia untuk menyebut negara kita ini. Dimana selanjutnya istilah Indonesia dipandang sebagai identitas nasional, lambang perjuangan bangsa Indonesia dalam menentang penjajahan. Kata yang mampu mempersatukan bangsa dalam melakukan perjuangan dan pergerakan melawan penjajahan, sehingga segala bentuk perjuangan dilakukan demi kepentingan Indonesia bukan atas nama daerah lagi. Istilah Indonesia mulai digunakan sejak : J.R. Logan menggunakan istilah Indonesia untuk menyebut penduduk dan kepulauan nusantara dalam tulisannya pada tahun 1850

Earl G. Windsor dalam tulisannya di media milik J.R. Logan tahun 1850 menyebut penduduk nusantara dengan Indonesia Serta tokoh-tokoh yang mempopulerkan istilah Indonesia di dunia internasional Istilah Indonesia dijadikan pula nama organisasi mahasiswa di negara Belanda yang awalnya bernama Indische Vereninging menjadi Perhimpunan Indonesia Nama majalah Hindia Putra menjadi Indonesia Merdeka Istilah Indonesia semakin populer sejak Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928. Melalui Sumpah Pemuda kata Indonesia dijadikan sebagai identitas kebangsaan yang diakui oleh setiap suku bangsa, organisasi-organisasi pergerakan yang ada di Indonesia maupun yang di luar wilayah Indonesia. Kata Indonesia dikukuhkan kembali dalam Proklamasi Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945

Perkembangan nasionalisme yang mengarah pada upaya untuk melakukan pergerakan nasional guna melawan penjajah tidak bisa lepas dari peran berbagai golongan yang ada dalam masyarakat, seperti golongan terpelajar/kaum cendekiawan, golongan profesional, dan golongan pers. a. Golongan Terpelajar Golongan terpelajar dalam masyarakat Indonesia saat itu termasuk dalam kelompok elite sebab masih sedikit penduduk pribumi yang dapat memperoleh pendidikan. Kesempatan memperoleh pendidikan merupakan sebuah kesempatan yang istimewa bagi rakyat Indonesia. Mereka memperoleh pendidikan melalui sekolah-sekolah yang didirikan kolonial yang dirasa memiliki kualitas baik. Dengan pendidikan model barat yang mereka miliki, golongan terpelajar dipandang sebagai orang yang memiliki pandangan yang luas sehingga tidak sekedar dikenal saja tetapi mereka dianggap memiliki kepekaan yang tinggi. Sebab selain memperoleh pelajaran di kelas mereka akan membentuk kelompok kecil untuk saling bertukar ide menyatakan pemikiran mereka mengenai negara Indonesia melalui diskusi bersama. Meskipun mereka berasal dari daerah yang berbeda tetapi mereka merasa senasip sepenanggunagan untuk mengatasi bersama adanya penjajahan, kapitalisme, kemerosotan moral, peneterasi budaya, dan kemiskinan rakyat Indonesia. Hingga akhirnya mereka membentuk perkumpulan yang selanjutnya menjadi Oragnisasi Pergerakan Nasional. Mereka membentu organisasi-organisasi modern yang berwawasan nasional. Mereka berusaha menanamkan pentingnya persatuan dan kesatuan bangsa, menanamkan rasa nasionalisme, menanamkan semangat untuk memprioritaskan segalanya demi kepentingan nasional daripada kepentingan pribadi melalui organisadi tersebut. Selanjutnya melalui organisasi pergerakan nasional tersebut mereka melakukan gerakan untuk melawan penjajahan yang selanjutnya membawa Indonesia pada kemerdekaan.

Jadi Golongan terpelajar memiliki peran yang besar bagi Indonesia meskipun keberadaannya sangat terbatas (minoritas) tetapi golongan terpelajar inilah yang menjadi pelopor pergerakan nasional Indonesia hingga akhirnya kita berjuangan melawan penjajah dan memperoleh kemerdekaan.

b.

Golongan Profesional Golongan profesional merupakan mereka yang memiliki profesi tertentu seperti guru, dan dokter.Keanggotaan golongan ini hanya terbatas pada orang seprofesinya. Golongan profesional ini lebih banyak ada dan mengembangkan profesinya didaerah perkotaan. Golongan profesional pada masa kolonial memiliki hubungan yang dekat dengan rakyat, sehingga mereka dapat mengetahui keberadaan rakyat Indonesia pada saat itu. Sehingga golongan ini dapat menggerakkan kekuatan rakyat untuk menentang kekuasaan pemerintah kolonial Belanda. 1) Peran Guru Guru merupakan ujung tombak perjuangan bangsa Indonesia untuk mencapai kemerdekaannya dan berjuang memajukan bangsa Indonesia dari keterbelakangan. Guru memberikan pendidikan dan pengajaran kepada generasi penerus bangsa melalui lembaga-lembaga pendidikan yang ada baik itu sekolah yang didirikan oleh pemerintah kolonial maupun sekolah yang didirikan oleh tokoh-tokoh bangsa Indonesia. Melalui pendidikan tersebut guru dapat menanamkan rasa kebangsaan/ rasa nasionalisme yang tinggi. Sehingga anak-anak kaum pribumi dapat menyadari dan tekanan dari pemerintah kolonial Belanda. Guru telah membangun dan membangkitkan kesadaran nasional bangsa Indonesia. Guru telah mendidik dan melahirkan tokoh-tokoh pejuang yang dapat diandalkan dalam memperjuangkan kebebasan bangsa Indonesia dari cengkeraman kaum penjajah. Orang-orang pribumi mulai menghimpun kekuatan dan berjuang melalui organisasiorganisasi modern yang didirikannya. Organisasi-organisasi perjuangan yang didirikan oleh kaum terpelajar bangsa Indonesia dijadikan sebagai wadah perjuangan di dalam menentukan langkah-langkah untuk mengusir pemerintah kolonial Belanda dan berupaya membebaskan bangsa dari segala bentuk penjajahan asing.

Bagi guru tempat perjuangan mereka adalah lembaga-lembaga pendidikan yang ada, di sekolah tersebut guru membangkitkan semangat perjuangan bangsa Indonesia untuk mencapai kemerdekaannya.

Contoh lembaga pendidikan yang ada, yaitu : Perguruan Taman Siswa didirikan oleh Ki Hajar Dewantara Lembaga Pendidikan Perguruan Muhammadiyah didirikan oleh K.H Achmad dahlan Melalui gurulah dihasilkan tokoh-tokoh besar bangsa Indonesia maupun tokoh-tokoh besar dunia. Di tangan gurulah terletak maju mundurnya sebuah bangsa. Jadi jika tidak ada guru maka mungkin Indonesia tidak dapat terbebas dari Kekuasaan kolonial.

2)

Peran Dokter

Pada masa kolonial dokter memiliki hubungan yang sangat dekat dengan kehidupan rakyat. Dokter dapat merasakan kesengsaraan dan penderitaan yang dialami rakyat Indonesia melalui penyakit yang dideritanya. Ia mendengarkan berbagai keluhan yang dialami oleh rakyat Indonesia. Penderitaan dan kesengsaraan yang dialami oleh rakyat Indonesia adalah akibat dari berbagai tekanan dan penindasan yang dilakukan oleh pemerintah kolonial Belanda. Ketergerakan hati mereka diwujudkan melalui perjuangan dengan membentuk wadah organisasi yang bersifat sosial dan budaya yang diberinama Budi Utomo yang didirikan 20 Mei 1908 oleh Dr. Wahidin Sudirohusodo, Dr. Sutomo, Dr. Cipto Mangunkusumo, Dr. Gunawan Mangunkusumo.

c.

Golongan Pers Pers sudah mulai masuk ke Indonesia pada abad ke-19, dan masuknya pers di Indonesia memberikan pengaruh yang cukup besar bagi bangsa Indonesia. Wujud perkembangan pers dapat dilihat dalam bentuk surat kabar maupun majalah. Awalnya surat kabar yang beredar hanya digunakan untuk orang-orang asing tetapi karena untuk mengejar pelanggan dari masyarakat pribumi maka muncul surat kabar yang di modali orang Cina tetapi menggunakan bahasa Melayu. Peran media : Melalui surat kabar terdapat pendidikan politik, sebab melalui surat kabar tersebut ternyata dimuat isu-isu mengenai masalah politik yang sedang berkembang sehingga secara tidak langsung melalui surat kabar tersebut telah memberikan pendidikan politik kepada masyarakat Indonesia.

Melalui Surat kabar/ majalah mempunyai fungsi sosial dasar yaitu memperluas pengetahuan bagi para pembacanya dan dapat membentuk pendapat (opini) umum. Pendidikan sosial politik dapat disalurkan melalui tulisan-tulisan di surat kabar dan media masa sehingga menumbuhkan pemikiran dan pandangan kritis pembaca yang dapat membangkitkan kesadaran bersama bagi bangsa Indonesia. Surat kabar merupakan media komunikasi cetak yang paling potensial untuk memuat berita, wawasan dan polemik (tukar pikiran melalui surat kabar), bahkan ide dan pemikiran secara struktural dapat dikomunikasikan kepada masyarakat luas. Meskipun pada masa itu ruang gerak pers dibatasi dan dikontrol ketat oleh pemerintah kolonial. Tetapi melalui surat kabar tersebut sebagai sarana untuk menyampaikan segala sesuatu yang dikehendaki dan diprogramkan oleh pemerintah sehingga sedapat mungkin bisa diinformasikan kepada masyarakat luar. Dimana pemberitahuannya lebih memihak pada pemerintah kolonial Hindia Belanda. Pada masa pergerakan nasional Indonesia, surat kabar mempunyai peranan yang sangat penting bahkan organisasi pergerakan nasional Indonesia telah memiliki surat kabar sendirisendiri, seperti: Darmo Kondo (Budi Utomo), Oetoesan Hindia (Sarekat Islam), Het Tiidsriff dan De Expres (Indische Partij), Indonesia Merdeka (Perhimpunan Indonesia), Soeloeh Indonesia Moeda (PNI), Pikiran Rakyat (Partindo), Daulah Rajat (PNI Baru) Surat kabar yang dimiliki oleh organisasi-organisasi tersebut menjadi salah satu sarana untuk menyampaikan bentuk-bentuk perjaungan kepada rakyat, agar rakyat dapat mengetahui dan memberikan dukungan kepada organisasi-organisasi itu.

Nasionalisme di Indonesia mengalami kemajuan dan perkembangan yang sangat pesat ketika secara resmi Budi Utomo diakui oleh Pemerintah Belanda pada tahun 1908. Secara singkat perkembangan nasionalisme Indonesia menjadi lebih ramai sejak berdiri Budi Utomo hingga Proklamasi Kemerdekaan. Sejak budi utomo berdiri organisasi-organisasi yang mengusahakan perbaikan dan kondisi rakyat Indonesia. Tahapan perkembangan nasionalisme Indonesia adalah sebagai berikut. a) Periode Awal Perkembangan Dalam periode ini gerakan nasionalisme diwarnai dengan perjuangan untuk memperbaiki situasi sosial dan budaya. Organisasi yang muncul pada periode ini adalah Budi Utomo, Sarekat Dagang Indonesia, Sarekat Islam, dan Muhammadiyah. b) Periode Nasionalisme Politik

Periode ini, gerakan nasionalisme di Indonesia mulai bergerak dalam bidang politik untuk mencapai kemerdekaan Indonesia. Organisasi yang muncul pada periode ini adalah Indische Partij dan Gerakan Pemuda. c) Periode Radikal Dalam periode ini, gerakan nasionalisme di Indonesia ditujukan untuk mencapai kemerdekaan baik itu secara kooperatif maupun non kooperatif (tidak mau bekerjasama dengan penjajah). Organisasi yang bergerak secara non kooperatif, seperti Perhimpunan Indonesia, PKI, PNI. d) Periode Bertahan Periode ini, gerakan nasionalisme di Indonesia lebih bersikap moderat dan penuh pertimbangan. Diwarnai dengan sikap pemerintah Belanda yang sangat reaktif sehingga organisasi-organisasi pergerakan lebih berorientasi bertahan agar tidak dibubarkan pemerintah Belanda. Organisasi dan gerakan yang berkembang pada periode ini adalah Parindra, GAPI, Gerindo.

Dari perkembangan nasionalisme tersebut akhirnya mampu menggalang semangat persatuan dan cita-cita kemerdekaan sebagai bangsa Indonesia yang bersatu dari berbagai suku di indonesia.

5. UPAYA BANGSA INDONESIA UNTUK MENCAPAI KEMERDEKAAN INDONESIA A. KEADAAN JEPANG PADA AKHIR KEKUASAANNYA di INDONESIA Keterlibatan Jepang dalam Perang di Lautan Pasifik Perang Asia Timur Raya maka semakin lama kondisi Jepang semakin kurang menguntungkan. Hal ini dikarenakan: 1. 2. Keadaan ekonomi dan politik negara mengalami krisis, Keadaan Jepang semakin kurang menguntungkan terlebih karena pada Juli 1944 kepulauan Marina jatuh ke tangan sekutu ditambah lagi sekutu berhasil membom Pulau Saipan yang merupakan kota besar dan merupakan pusat kekuasaan Jepang di lautan Pasifik serta wilayah tersebut letaknya sangat strategis dengan pusat kota di Jepang yaitu Tokyo. Selain itu Papua Nugini, Kepulauan Salomon, dan kepulauan Marshall yang merupakan benteng pertahanan pasukan Jepang jatuh pula ke tangan sekutu. Ambon, Makasar, Manado, dan Surabaya serta Tarakan dan Balikpapan juga diserang oleh sekutu. Akhirnya pada tanggal 17 Juli 1944, Jendral Hideki Tojo meletakkan jabatannya sebagai perdana mentri dan digantikan oleh Jendral Kuniaki Koiso yang mempunyai tugas untuk memulihkan kewibawaan Jepang di mata bangsa Asia dengan menjanjikan kemerdekaan kepada sejumlah negara termasuk Indonesia. Pada tanggal 7 September 1944, Jendral Koiso memberikan janji kemerdekaan kepada rakyat Indonesia

3.

didepan Parlemen Jepang tujuannya adalah agar rakyat tidak mengadakan perlawanan terhadap Jepang dan bahkan mau membantu Jepang dalam berbagai peperangan. Sebagai bentuk keseriusan janji tersebut bendera merah putih boleh dikibarkan di kantor pemerintahan tetapi harus berdampingan dengan bendera Jepang. 2. Jepang perkembangannya semakin sering mengalami kekalahan seperti pada tanggal 7 Mei 1945 Jepang mengalami kekalahan dalam perang melawan negara yang tergabung dalam front ABCD di Laut Karang. Keadaan Jepang semakin buruk terlebih ketika pasukan Amerika Serikat berhasil menyerang pusat-pusat industri milik Jepang dan berhasil membumi hanguskannya yaitu pada tanggal 6 Agustus 1945 berhasil membom kota Hirosima yang diperkirakan 80 ribu orang meninggal karena peristiwa ini, sementara itu pada tanggal 9 Agustus 1945 kota Nagasaki berhasil dibom juga. Dibomnya kedua kota pusat industri besar tersebut membuat keadaan Jepang yang sudah buruk semakin tidak dapat berbuat apa-apa apalagi penghasilan dari kedua kota itulah yang sedikit banyak membiayai setiap peperangan Jepang. Akhirnya Jepang terpaksa harus menyerah pada pasukan Sekutu pada tanggal 14 Agustus 1945. Sejak saat itu Jepang terpaksa meninggalkan daerah pendudukannya dan menyerahkan pada sekutu demikian pula Indonesia. Meskipun Jepang telah menyerah pada tanggal 14 Agustus 1945 dan tidak lagi menjalankan perannya sebagai penguasa wilayah Indonesia tetapi sekutu belum juga datang untuk mengambil alih sehingga di Indonesia terjadi kekosongan kekuasaan.

3.

4.

5.

B. UPAYA INDONESIA dalam MEMPERSIAPKAN KEMERDEKAAN 1 Maret 1945, Jendral Kumakichi Harada membentuk badan khusus yang bertugas menyelidiki usaha persiapan kemerdekaan Indonesia yaitu Dokuritsu Junbi Chosakai atau Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Tujuan dari BPUPKI adalah untuk mempersiapkan hal penting mengenai tata pemerintahan Indonesia merdeka. Dengan anggota sebanyak 60 orang dari tokoh-tokoh Indonesia dan 7 orang bangsa Jepang. Ketuanya, KRT Radjiman Widyadiningrat, dan wakilnya, R. Surono dan satu orang dari Jepang. BPUPKI diresmikan pada 29 Mei 1945 ditandai dengan pembukaan SIDANG I yang berlangsung dari 29 Mei 1945 sampai 1 Juni 1945. Dimana dalam sidang ini membicarakan mengenai falsafah dasar negara Indonesia Merdeka yang kemudian dikenal dengan PANCASILA. Tokoh-tokoh yang mengusulkan tentang dasar negara tersebut adalah Muh. Yamin, Dr. Supomo, dan Ir. Soekarno. Sidang tanggal 29 Mei 1945 Muh Yamin, mengusulkan rumusan Peri Kebangsaan, Peri Kemanusiaan, Peri Ketuhanan, Peri Kerakyatan, dan Kesejahteraan Rakyat.

Sidang tanggal 31 Mei 1945 Dr. Supomo, mengusulkan rumusan Persatuan, Kekeluargaan, Mufakat dan Demokrasi, Musyawarah, dan Keadilan Sosial Sidang tanggal 1 Juni 1945 Ir. Sukarno, mengajukan rumusanKebangsaan Indonesia, Internasionalisme/ Peri Kemanusiaan, Mufakat/ Demokrasi, Kesejahteraan sosial, Ketuhanan Yang Maha Esa. Apa yang dikemukakan Sukarno tersebut dikenal dengan istilah Pancasila. Tanggal 1 Juni di kenal sebagai hari lahirnya Pancasila. Sidang BPUPKI yang kedua akan diselenggarakan bulan Juli 1945 sebelum masa reses pada tanggal 22 Juni 1945 dibentuk Panitia Sembilan/Panitian Kecil menghasilkan dokumen yang berisi asas dan tujuan negara Indonesia merdeka yang dikenal dengan PIAGAM DJAKARTA yang kemudian menjadi Mukadimah Undang-undang Dasar 1945. ISI PIAGAM DJAKARTA, adalah sebagai berikut: 1. 2. 3. 4. 5. Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi para pemeluknya. Kemanusiaan yang Adil dan Beradab. Persatuan Indonesia Kerakyatan yang dipimpin oleh Hikmah Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/ Perwakilan. Keadilan Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Pada 7 Agustus 1945, BPUPKI dibubarkan karena dianggap terlalu cepat mewujudkan Indonesia Merdeka maka Jenderal Terauchi membentuk Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) atau Dokuritsu Junbi Iinkai dibentuk untuk mengganti BPUPKI. PPKI beranggotakan 21 orang dengan Ketua, Ir. Soekarno dan Wakilnya, Moh. Hatta. PPKI kemudian ditambah keanggotanya menjadi 27 orang tanpa seijin Jepang. Tugas PPKI adalah menyusun rencana kemerdekaan Indonesia yang telah dihasilkan BPUPKI. Pada tanggal 9 Agustus 1945, 3 orang tokoh Indonesia yaitu Soekarno, Hatta, Radjiman Widyodiningrat berangkat ke Saigon/ Dalat di Vietnam Selatan untuk memenuhi panggilan Panglima Mandala Asia Tenggara Marsekal Terauchi guna menerima informasi tentang kemerdekaan Indonesia. Dimana disepakati bahwa wilayah Indonesia akan meliputi seluruh bekas jajahan Belanda.

C. PERISTIWA RENGASDENGKLOK

Ir. Sukarno baru tiba di Indonesia pada tanggal 15 Agustus 1945, sementara itu para pemuda Indonesia telah mendengar berita kekalahan Jepang terhadap sekutu. Mereka ingin segera mengambil kesempatan tersebut untuk memproklamsikan kemerdekaan Indonesia. Inilah menjadi salah satu latar belakang terjadinya peristiwa Rengasdengklok. Sementara itu Sukarno menolak keinginan para pemuda dengan alasan kemerdekaan Indonesia harus melalui PPKI. Penolakkan inilah yang menimbulkan ketegangan antara golongan tua dan muda. Menghadapi keadaan ini maka para pemuda menyusun rencana untuk menjauhkan Sukarno dan Hatta dari pengaruh Jepang. Maka terjadilah Peristiwa Rengasdengklok pada tanggal 16 Agustus 1945 yaitu sebuah peristiwa sebagai reaksi terhadap perbedaan pendapat antara golongan tua dan golongan muda mengenai kemerdekaan Indonesia dengan membawa Sukarno dan Hatta ke kota Rengasdengklok. Pada akhirnya terjadi kesepakatan bahwa proklamasi akan diselenggarakan setelah tiba di Jakarta dengan adanya Jaminan taruhan nyawa bahwa Proklamasi Kemerdekaan akan diumumkan tanggal 17 Agustus 1945 selambat-lambatnya pukul 12.00 WIB akhirnya Komandan Kompi Peta setempat Sudancho Subeno bersedia melepaskan Sukarno-Hatta ke Jakarta setelah Jusuf Kunto mengantar Ahmad Subardjo menjemput Sukarno-Hatta di Rengasdengklok.

D. PERUMUSAN NASKAH PROKLAMASI o Kurang lebih pukul 23.00 Bung Karno dan Bung Hatta tiba di Jakarta setelah singgah dirumah masing-masing langsung menuju ke Rumah Laksamana Muda Maeda di Jalan Imam Bonjol No. 1, yang dianggap paling aman dari ancaman militer Jepang. Sebelum menyusun naskah Maeda mengantar Soekarno-Hatta menghadap Mayor Jenderal Nishimura untuk menjajaki sikapnya mengenai Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Tetapi pertemuan tersebut tidak mencapai kata sepakat meskipun begitu Sukarno mengharapkan Jepang tidak menghalangi pelaksanaan proklamasi kemerdekaan Indonesia yang akan segera dilaksanakan. Di ruang makan rumah Laksamana Muda Maeda yang dihadiri 30 orang naskah proklamasi dirumuskan dan dikonsep oleh Sukarno (menulis) yang disempurnakan oleh Hatta (usulan kalimat terakhir dari naskah Proklamasi) dan Ahmad Subardjo (usul kalimat pertama dalam naskah Proklamasi diambil dari rumusan BPUPKI). Setelah selesai naskah tersebut hendak ditandatangani. Sukarno mengusulkan agar seluruh hadirin menandatangani naskah proklamasi sebagai wakil-wakil bangsa Indonesia. Hal ini diperkuat oleh Hatta dengan mengambil contoh Declaration of Independence. Hal ini ditentang oleh Sukarni, ia mengusulkan agar yang menandatangani naskah proklamasi adalah SukarnoHatta atas nama bangsa Indonesia. Dan usul tersebut diterima dengan baik oleh para hadirin. Sukarno meminta Sayuti Melik untuk mengetik naskah tulisan tangan tersebut dengan perubahan-perubahan yang telah disepakati.

Perbedaan dari naskah teks proklamasi yang ditulis tangan dengan naskah yang diketik:

Naskah Tulis Tangan Wakil-wakil Bangsa Indonesia Djakarta, 17-8-05 Tempoh 05 merupakan tahun Jepang 2605.

Naskah yang diketik Atas Nama Bangsa Indonesia Jakarta, hari 17 bulan 8 tahun 05 Tempo

E. PELAKSANAAN PROKLAMASI KEMERDEKAAN INDONESIA Tempat : Awalnya diputuskan akan diselenggarakan di Lapangan IKADA, sebab disana telah dipersiapkan sebagai tempat berkumpulnya masyarakat Jakarta untuk mendengarkan pembacaan naskah proklamasi kemerdekaan Indonesia. Tetapi karena jalan-jalannya dijaga ketat oleh pasukan Jepang yang bersenjata lengkap maka dikawatirkan akan terjadi bentrokkan antara rakyat Indonesia dengan pihak Jepang. Sehingga disepakati bahwa pembacaan teks proklamasi kemerdekaan Indonesia dilaksanakan di depan rumah Ir. Soekarno di Jalan Pegangsaan Timur No. 56 Jakarta. Waktu : Hari Jumat 17 Agustus 1945 pukul 10.00 WIB (9 Ramadhan 1364 H) Peralatan (sound system, spiker,dsb) dipersiapkan oleh Wilopo. Tiang bendera yang terbuat dari bamboo dipersiapkan oleh Suhud tiang tersebut ditancapkan di depan teras rumah Soekarno. Bendera dijahit tangan oleh Fatmawati Soekarno dengan bentuk ukuran standar untuk dikibarkan. Para pemimpin bangsa Indonesia mulai berdatangan dan setelah Bung Hatta tiba tepat pada pukul 10.00 WIB acara dimulai dengan pidato singkat dari Bung Karno yang dilanjutkan acara sebagai berikut. - Pertama : Pembacaan Teks Proklamasi Kemerdekaan Indonesia

- Kedua : Pengibaran Bendera Merah Putih (Suhud dan Latief Hendraningrat) diiringi lagu Indonesia Raya - Ketiga : Sambutan Walikota Suwirjo

F. MAKNA PROKLAMASI BAGI BANGSA INDONESIA Proklamasi merupakan pernyataan berdasarkan hukum dan resmi bahwa bangsa Indonesia telah merdeka. Dengan Proklamasi, bangsa Indonesia menjadi pelopor bagi bangsa-bangsa Asia-Afrika untuk memerdekakan diri dari penindasan bangsa asing ( bangsa Asia pertama yang merdeka setelah PD II selesai. Proklamasi menyebabkan bangsa Indonesia semakin percaya pada kekuatan sendiri yang telah menjadikannya bangsa yang merdeka, bebas dari tekanan dan terlepas dari penjajahan bangsa asing yang telah dideritanya sejak lama. Dengan kemerdekaan ini bangsa Indonesia berhak mengatur sendiri negaranya dan mulai menjalankan kehidupan kenegaraannya (baik dalam bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan, keamanan, dsb) sendiri tanpa diatur oleh bangsa lain serta berusaha sekuat tenaga mempertahankannya dari gangguan bangsa asing. Proklamasi merupakan jembatan yang menghubungkan dan mengantarkan bangsa Indonesia dalam mencapai masyarakat baru yang bebas dari tekanan dan ikatan. Proklamasi merupakan momentum nasional dalam pembentukan Negara Indonesia yang merdeka, bebas dari segala bentuk penjajahan asing. Proklamasi merupakan titik puncak perjuangan pergerakan bangsa Indonesia yang telah mengantarkannya ke pintu gerbang kebebasan menjadi tongak sejarah baru bagi bangsa Indonesia. Proklamasi bukan merupakan titik akhir perjuangan bangsa Indonesia tetapi terus berjuang untuk mempertahankan dan mengisi kemerdekaan yang telah dicapainya itu.

G. UPAYA PENYEBARLUASAN BERITA PROKLAMASI KEMERDEKAAN INDONESIA Setelah Proklmasi berita kemerdekaan Indonesia segera menyebar di Jakarta dan selanjutnya disebarkan ke seluruh Indonesia. Penyambutan berita Proklamasi terbukti dengan adanya pelucutan senjata pasukan Jepang, pengambil alihan pucuk pimpinan dan semangat terus berjuang untuk merebut dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Penyebarluasan berita Proklamasi tersebut dilakukan melalui,

o o o o o

Radio kantor berita Jepang, Domai yang berhasil dikacaukan. Berita proklamasi tersebut tersiar pada tanggal 17 Agustus 1945 sebanyak tiga kali. Bahkan setiap 30 menit hingga siaran berakhir pukul 16.00 berita tersebut terus diulang. Berita kemerdekaan Indonesia akhirnya dapat tersebar hingga ke luar negeri melalui jaringan Jepang sendiri. Berita kemerdekaan Indonesia tersebut terus tersebar kemana-mana. Surat Kabar, surat kabar yang pertama menyebarkan berita tentang proklamasi kemerdekaan Indonesia adalah Tjahaja di Bandung dan Soeara Asia di Surabaya. Hampir seluruh harian di jwa dalam penerbitan tanggal 20 Agustus 1945 memuat berita proklamasi dan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia. Selebaran yang disebarkan di penjuru kota. Spanduk dan Pamflet dipasang ditempat-tempat strategis yang mudah dilihat khalayak ramai. Aksi corat-coretan pada tembok-tembok atau bahkan pada gerbong-gerbong kereta api. Penyebaran berita dari mulut ke mulut secara beranting, salah satu kelompok yang terkemuka yaitu kelompok Sukarni yang bermarkas di Jalan Bogor. Berita Proklamasi disiarkan ke daerah-daerah melalui utusan daerah yang kebetulan waktu itu mengikuti sidang PPKI dan menyaksikan pelaksanaan proklamasi kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945, diantaranya Teuku Moh. Hasan (Sumatra), Sam Ratulangie (Sulawesi), I Gusti Ketut Puja (Sunda Kecil/Nusa Tenggara), Hamidhan (Kalimantan), Latuharhary (Maluku) Pengiriman delegasi ke Negara-negara sahabat untuk menyebarluaskan berita proklamasi kemerdekaan, misalnya Mr. Pilar dan Mr. A.A Maramis ke India guna mendapat dukungan atas kemerdekaan RI. www.rinahistory.blog.friendster.com/.../proses-kelahiran-dan-perkembangan-nasionalisme-diindonesia/

Nasionalisme VS Globalisasi
Posted on Desember 12, 2010 by ahmadsidqi| 1 Komentar

Bagaimana perkembangan nasionalisme kontemporer di Indonesia? Agak sulit memberikan peta yang pasti dan akurat. Harus diakui, terdapat semacam kelangkaan studi tentang nasionalisme di Indonesia dalam dasawarsa terakhir. Masih langkanya studi tentang subyek ini mengisyaratkan bahwa umumnya para ahli tentang Asia Tenggara agaknya menganggap nasionalisme bukan lagi isu penting bagi kawasan ini. Hal ini sekaligus mengindikasikan bahwa gejolak dan gemuruh nasionalisme yang begitu menyala-nyala sejak awal abad 20 sampai akhir dekade 1960-an, kini semakin menyurut di Asia Tenggara. Memang, dalam beberapa dasawarsa terakhir, salah satu isu sentral di kawasan ini adalah modernisasi dan industrialisasi atau pembangunan, khususnya di Indonesia. Namun, sejauhmana dampak atau pengaruh modernisasi terhadap nasionalisme? Modernisasi dan industrialisasi kelihatannya merupakan salah satu faktor penting yang bertanggung jawab bagi menyurutnya nasionalisme di Indonesia. Namun, bertolak belakang dengan argumen Fukuyama tadi, ideologi

modernisasi dan developmentalism, secara de facto, menggantikan nasionalisme (politik) yang menjadi ideologi dominan di kawasan ini sebelum tahun 1970-an. Kebutuhan dan pertimbanganpertimbangan pragmatis untuk mencapai tingkat pertumbuhan ekonomi yang direncanakan seolah memaksa Indonesia dan banyak negara berkembang lainnya mengorbankan sentimen nasionalisme mereka vis--vis kekuatan-kekuatan dominan internasional. Dengan meminjam teori ketergantungan (dependency theory), kita melihat Indonesia dan banyak negara yang termasuk ke dalam Dunia Ketiga-atau lebih baik, negara-negara tengah berkembang (developing countries)-terseret ke dalam orbit kapitalisme internasional. Gejala ini kian menguat dengan meningkatnya globalisasi sejak 1980-an. Bermula dengan globalisasi pasar dan ekonomi yang berintikan liberalisasi pasar dan ekonomi, globalisasi juga dengan segera mengimbas ke dalam bidang politik, sosial, budaya dan seterusnya. Dalam bidang politik, globalisasi berarti liberalisasi politik yang memunculkan gelombang-gelombang demokrasi, yang pada akhirnya membuat berakhirnya negara-negara dengan rejim-rejim otoriter. Dan Indonesia pun mengalami liberalisasi politik ini sejak 1998. Pada saat yang sama, secara kontradiktif globalisasi yang mendorong terjadinya liberalisasi politik, juga memunculkan nasionalisme etnis (ethnic nationalism) dan bahkan tribalism yang bernyala-nyala, sebagaimana bisa dilihat pada kasus negara-negara bekas Uni Soviet, dan Yugoslavia sampai sekarang ini. Indonesia-dalam krisis ekonomi dan politik 1998 dan seterusnya-bahkan juga sempat dicemaskan banyak pengamat asing sebagai segera mengalami proses Balkanisasi, persisnya disintegrasi. Tetapi, prediksi itu tidak terbukti; dan, sebaliknya, negara-bangsa Indonesia tetap bertahan hingga kini. Dengan bertahannya negara-bangsa Indonesia, nasionalisme juga jelas tidak sepenuhnya berakhir di Indonesia. Bahkan, dengan modernisasi dan developmentalism-seperti dikemukakan di ataskita melihat terjadinya transisi atau pergeseran bentuk-bentuk nasionalisme. Nasionalisme politik-kecuali dalam bentuk kedaulatan dan keutuhan wilayah-memang terlihat semakin menyurut, apalagi dengan berakhirnya perang dingin. Dalam konteks itu, kita melihat lenyap atau semakin berkurangnya konflik-konflik yang berakar dari nasionalisme politik di Indonesia. Sekali lagi, di tengah arus globalisasi, nasionalisme ekonomi dan kultural kelihatan menemukan momentum baru. Modernisasi dan industrialisasi yang berlangsung dalam ukuran relatif cepat dan berdampak luas mengakibatkan Indonesia dan negara-negara berkembang umumnya harus menemukan dan mempertahankan pasar untuk produk-produk industri ekonomi, khususnya di negara-negara maju. Di sini nasionalisme ekonomi Indonesia dan negara-negara berkembang harus berhadapan dengan proteksionisme negara-negara maju, khususnya Amerika Serikat dan Eropa Barat. Di lain pihak, globalisasi informasi dan budaya yang dikendalikan negara-negara maju semakin dirasakan mengancam budaya Indonesia dan negara-negara berkembang. Memang tidak seluruh sistem nilai dan budaya yang disebarkan melalui globalisasi itu memiliki dampak negatif bagi perkembangan sistem nilai budaya tradisional dan nasional Indonesia, yang mengandung banyak kearifan local (local wisdom). Namun, rasa terancam dan kekhawatiran akan pelunturan nilainilai lokal jelas terus kian meningkat pula. Dalam hal ini, nasionalisme budaya Indonesia memang masih kalah, misalnya dibandingkan nasionalisme budaya Prancis dan sejumlah negara

Eropa Barat lainnya, yang sempat mengancam untuk memboikot program-program TV buatan Amerika yang semakin mendominasi tayangan TV di negara mereka. Indonesia dan negaranegara berkembang umumnya, tampak masih berada dalam tahap keterpesonaan menyaksikan dan menerima globalisasi sistem nilai dan gaya hidup Amerika.1 Tiga Fase Nasionalisme

Mempertimbangkan survei kasar ini, kita melihat bahwa konsep nasionalisme Indonesia bukanlah sesuatu yang baku. Ia merupakan konsep dinamis yang mengalami perubahan sebagai hasil dialektika, baik dengan perubahan sosial, politik, dan ekonomi dalam negeri maupun dengan perubahan-perubahan pada tingkat global. Dalam kerangka itu, kita melihat setidaknya tiga tahap perkembangan nasionalisme di Indonesia dan banyak negara berkembang lainnya. Tahap pertama adalah pertumbuhan awal dan kristalisasi gagasan nasionalisme. Fase ini ditandai penyerapan gagasan nasionalisme yang selanjutnya diikuti pembentukan organisasi-organisasi yang disebut Benda dan McVey2 atau Hobsbawn3 sebagai proto-nasionalisme. Kemunculan dan pertumbuhan proto-nasionalisme, dalam banyak hal, merupakan konsekuensi dari perubahan-perubahan cepat dan berdampak luas yang berlangsung di Indonesia dan banyak negara lain umunmya pada dekade-dekade awal abad 20. Dalam periode ini, sebagaimana kita ketahui, kolonialis Belanda di Indonesia melaksanakan kebijaksanaan-kebijaksanaan sosial dan ekonomi liberal. Di Indonesia, dalam bidang sosial, pemerintah kolonial Belanda memperkenalkan politik etis yang, antara lain, menghasilkan ekspansi pendidikan bagi pribumi. Dalam bidang ekonomi, kebijaksanaan liberal mendorong pertumbuhan sektor ekonomi modern, yang mempunyai dampak meluas terhadap ekonomi tradisional; Indonesia dengan segera dibawa ke dalam orbit ekonomi pasar. Semua perubahan cepat ini menimbulkan disrupsi dalam keseimbangan tatanan masyarakat tradisional; antara lain mengakibatkan terjadinya kemerosotan kepemimpinan tradisional dan melonggarnya ikatanikatan komunal dan etnis. Namun, anomali atau malaise semacam ini di kalangan masyarakat, tidak sepenuhnya negatif. Keadaan ini justru mendorong munculnya kesadaran baru tentang dunia yang tengah berubah, dengan tantangan baru yang membutuhkan respons baru pula. Liberalisasi dalam bidang pendidikan betapa pun terbatasnya, seperti dalam kasus Indonesia, berhasil memunculkan kelas terdidik baru, sekaligus kepemimpinan baru yang mempunyai peran sentral dalam kelahiran dan pertumbuhan awal proto-nasionalisme yang pada gilirannya menjadi nasionalisme yang lebih sempurna. Elit baru ini sangat berperan dalam menumbuhkan persepsi baru tentang nasionalitas berdasarkan pengalaman bersama menghadapi penjajah. Mereka merekat berbagai potensi yang genuine dalam masyarakat. Tradisi mereka menjadi bagian integral nasionalisme. Lagi-lagi dengan mengambil Indonesia sebagai contoh, kaum terpelajar mengambil inisiatif menjadikan bahasa Melayu sebagai bahasa nasional tanahair Indonesiadalam lingkup geografis kekuasaan Belanda-sebagai batas-batas wilayah nasionalisme. Demikian pula berbagai suku bangsa di kepulauan Nusantara terikat dengan pengalaman sejarah yang sama sebagai bangsa Indonesia.4 Inilah salah satu tahap paling krusial dalam pembentukan negara-bangsa Indonesia; inilah tahapan sejarah yang secara logis berkaitan dengan Kebangkitan Nasional 1908, yang pada 2008 ini kita rayakan sebagai Seratus Tahun atau Seabad Kebangkitan Nasional.

Tema sentral yang sama yang dikembangkan pada fase proto-nasionalisme atau nasionalisme awal ini, seperti bisa diduga, adalah penciptaan dan penggalangan semangat nasionalitas vis-vis penjajah; inilah tahapan-seperti barusan dikemukakan-sebagai Kebangkitan Nasional. Represi dan koersi yang dilakukan pemerintah kolonial mengakibatkan dimensi politis nasionalisme dalam fase ini tidak bisa mekar secara sempurna. Karena itulah yang lebih menonjol dalam pertumbuhan nasionalisme pada tahap ini adalah penggalangan dimensi-dimensi sosial dan kultural. Bahkan, organisasi-organisasi proto-nasionalis yang muncul dan berkembang lebih bersifat kultural, sosial, pendidikan, dan ekonomi ketimbang politis. Hal ini dapat dilihat dari organisasi-organisasi sejak Budi Utomo, Jong Java, Jong Islamieten Bond, sampai pada SDI dan SI, misalnya. Melalui organisasiorganisasi inilah an imagined political community mulai mengambil bentuknya dalam masyarakat Indonesia.5 Karena, seperti dikatakan Gellner, nasionalisme sebenarnya tidak mempunyai akar begitu kuat dalam psike manusia. Ia harus diciptakan dan ditumbuhkan.6 Masa pendudukan Jepang (interregnum) yang singkat (1940-1945) merupakan periode katalis dalam mengakselerasi pertumbuhan nasionalisme di Asia Tenggara. Pendudukan Jepang otomatis menghambat kepentingan dan tujuan pemerintahan kolonial Eropa. Selain itu, sebagai bagian dari kebijaksanaan anti-Baratnya, Jepang dengan sengaja mendorong pertumbuhan nasionalisme lokal di Indonesia dan wilayah-wilayah lainnya. Bahkan, Jepang memberikan peluang-betapa pun terbatasnya-kepada para pemimpin lokal untuk membicarakan masa depan wilayah dan bangsa mereka masing-masing. Dengan demikian, nasionalisme di Indonesia dan banyak negara lain segera memasuki fase kedua. Dalam fase ini, seperti bisa diduga, nasionalisme sangat sarat dengan muatan politis ketimbang sosial dan kultural. Tema pokok nasionalisme di sini adalah apa yang disebut pemimpin nasionalis, semacam Soekarno, sebagai nation and character building, yakni memupuk keutuhan dan integritas negara dan bangsa yang akan segera terwujud, sebagaimana dijanjikan Jepang. Pembinaan nasionalisme dalam konteks ini, sesuai dengan kebijakan Jepang, bertujuan mencegah dengan cara apapun kembalinya kolonialisme dan imperialisme Eropa ke berbagai wilayah Asia. Pendudukan Jepang menciptakan perkembangan-perkembangan yang sangat kompleks bagi pertumbuhan nasionalisme Indonesia. Golongan nasionalis yang memegang kendali sejak pertumbuhan awal nasionalisme, dengan sengaja, dialienasikan penguasa Jepang. Jepang lebih memberi kesempatan dan ruang gerak kepada para pemimpin agama dan ulama. Hal ini sekadar langkah-antara untuk memobilisasi umat Islam dari tingkat paling bawah, akar rumput (grassroot). Langkah ini pada gilirannya menciptakan konflik antara kepemimpinan nasionalis dan kepemimpinan yang berakar pada sentimen keagamaan. Hanya beberapa saat menjelang berakhirnya pendudukan, Jepang kembali menoleh kepada kelompok nasionalis sekuler. Dengan sengaja, kelompok ini berhasil mengkonsolidasi diri untuk kemudian memegang kendali dalam proses pembentukan nation state Indonesia. Kepemimpinan agama pada akhirnya harus melakukan kompromi untuk meratakan jalan bagi pembentukan negara kebangsaan Indonesia, dengan menerima Pancasila sebagai ideologi nasional.10 Puncak nasionalisme Indonesia-sesuai dengan kerangka Bell di atas-tercapai pada masa Soekarno. Berkat kemampuan intelektual dan retorikanya, presiden pertama Indonesia ini

berhasil menggelorakan nasionalisme Indonesia, khususnya vis--vis kekuatan-kekuatan yang disebutnya sebagai neo-kolonialisme dan imperialisme (Nekolim). Soekarno bahkan bukan hanya menjadi perumus nasionalisme Indonesia yang eklektik, melainkan juga menjadi juru bicara nasionalisme paling artikulatif, baik bagi Indonesia mau pun bagi negara-negara yang baru bebas dari cengkeraman imperialisme dan kolonialisme Barat. Bagi Soekarno, nasionalisme merupakan konsep sentral untuk membangun Indonesia yang mandiri dan terhormat di tengah percaturan internasional. Ia mengutuk eksklusivisme dan chauvinisme nasionalisme Eropa, yang justru menciptakan eksploitasi terhadap bangsa-bangsa Asia Afrika. Bagi Soekarno, nasionalisme harus berdasarkan rasa cinta kepada seluruh manusia. Namun, masyarakat Indonesia jelas terlalu majemuk dalam banyak hal untuk bisa diakomodasi dalam satu konsep nasionalisme. Baginya, konsep nasionalisme harus mampu memikat dan mengikat seluruh bagian masyarakat Indonesia. Kecenderungan eklektiknya memungkinkan dia untuk merumuskan konsep nasionalisme semacam itu berdasarkan sejumlah sumber yang bisa bertolak belakang satu sama lain. Dalam perumusan nasionalismenya, ia dapat mengambil dan menerapkan analisis Marxis tentang penindasan imperialisme. Pada saat yang sama, ia juga menggunakan sikap permusuhan kaum Muslimin terhadap penjajah kafir. Dengan melakukan hal seperti itu, ia dapat mengembangkan gagasan sentral tentang nasion sebagai sebuah entitas yang dapat mendamaikan berbagai elemen yang bertentangan dalam masyarakat Indonesia dan mensubordinasikannya ke bawah tujuan-tujuan jangka panjang. Dalam kerangka itulah pada 1960-an, ia kemudian menggelindingkan konsep Nasakom untuk menyimbolkan kesatuan nasionalisme, agama, dan komunisme.7 Nasionalisme Soekarno yang kental dengan sikap anti-Barat (atau Nekolim) itu dicapai melalui pembangkitan sentimen dan penggalangan massa dengan menggunakan retorik dan jargonjargon yang mempesona. Nekolim merupakan versi 1960-an dari sikap anti-imperialisme pada 1920-an, yang dirancangnya agar cocok dengan situasi di mana kekuasaan kolonial langsung berakhir; sementara kolonialisme dalam bentuk dominasi ekonomi Barat tetap berlangsung. Masih dalam konteks nasionalisme semacam ini, Soekarno memperkenalkan konsep New Emerging Forces (Nefos), kekuatan kebebasan, dan keadilan; dan Old Established Forces (Oldefos), kekuatan lama, penindasan. Atas nama kepentingan bangsa, nasionalisme, dan Nefos, Soekarno kemudian mengembalikan Irian Barat ke pelukan Indonesia dan melakukan kampanye Ganyang Malaysia!. Berakhirnya kekuasaan Soekarno menyusul kegagalan kudeta berdarah PKI pada 30 September 1965 menandai berakhirnya fase kedua nasionalisme yang gegap gempita di Indonesia. Bangkitnya pemerintah Orde Baru di Indonesia di bawah pimpinan Jenderal Soeharto membuka kemunculan fase baru, yakni fase ketiga nasionalisme, tidak hanya di Indonesia, tetapi juga dalam konteks regional Asia Tenggara, bahkan dalam hubungannya dengan dunia internasional lebih luas. Soeharto dan militer yang merasa traumatis dengan pengalaman politik Indonesia pada masa Soekarno, dengan segera melancarkan program modernisasi dan industrialisasi, yang lebih dikenal dengan istilah pembangunan (dengan ideologi developmentalism). Di sini, sebagaimana diungkapkan pada bagian awal, nasionalisme politik-khususnya dalam konteks regional Asia Tenggara dan internasional-mulai disurutkan. Konfrontasi dengan Malaysia segera

ditamatkan. Slogan Soekarno yang terkenal go to hell with your aid dilipat ke balik lembaran sejarah. Penekanan kini diberikan pada nasionalisme ekonomi yang tidak jarang mengharuskan Indonesia meredam nasionalisme politiknya yang pernah berkobar-kobar. Nasionalisme, Etnisitas, dan Agama

Kebangkitan nasionalisme kultural dewasa ini, seperti disinggung di atas, dalam sejumlah kasus, tumbuh berbarengan dengan peningkatan sentimen etnisitas, bahkan sentimen keagamaan, yang pada gilirannya memunculkan nasionalisme politik yang amat kental. Seperti dikemukakan Nodia, nasionalisme ibarat satu koin yang mempunyai dua sisi. Sisi pertama adalah politik, dan sisi lainnya adalah etnik. Tidak ada nasionalisme tanpa elemen politik; tetapi substansinya tak bisa lain kecuali sentimen etnik. Hubungan elemen ini ibarat jiwa politik yang mengambil tubuhnya dalam etnisitas.8 Semua ini terlihat jelas melalui latar belakang kemunculan negaranegara di bekas Uni Soviet, Yugoslavia, Kurdistan, atau Eritrea, dan terakhir Kosovo. Nasionalisme yang muncul merupakan perpaduan sentimen etnisitas dan politik yang kemudian beramalgamasi dengan semangat keagamaan. Hasil dari perpaduan ini adalah nasionalisme yang sangat chauvinisme dan fascis, seperti terlihat jelas dalam kasus Serbia. John Naisbitt dalam buku, Global Paradox (1994), secara tersirat menyebut etnisitas chauvinistik dan radikal itu sebagai new tribalism. Tribalisme baru ini secara sempurna mewujudkan diri dalam berbagai tindak kebrutalan, perkosaan, pembunuhan, dan bentuk-bentuk lain ethnic cleansing di wilayah bekas Yugoslavia. Dan ini merupakan kecenderungan yang sangat berbahaya. Di sini Naisbitt mengutip laporan The Economist, yang menyatakan bahwa virus tribalisme . . . mengandung risiko menjadi AIDS politik internasional, yang diam selama bertahun-tahun, tetapi tibatiba membara untuk menghancurkan berbagai negara. Naisbitt memprediksikan, pada masa depan kebanyakan konflik bersenjata akan bermotif etnik dan tribalisme ketimbang bermotif ekonomi dan politik.9 Teori tentang tribalisme baru sesungguhnya tidaklah terlalu baru. Konsep tentang tribalisme baru ini pertama kali dikembangkan Greely10 dan Novak11 dengan sebutan new ethnicity. Keduanya berargumen, sejak 1970-an di Amerika Serikat terjadi semacam kebangkitan minat dan kesadaran etnisitas, sehingga sebutan Amerika sebagai melting pot semakin kehilangan maknanya. Namun, berbeda dengan tribalisme baru kontemporer yang disebut Naisbitt, Novak melihat adanya dua elemen dasar etnisitas atau tribalisme baru itu, yaitu sensitifitas terhadap pluralisme etnik yang dipadukan dengan sikap respek terhadap perbedaan kultural antara berbagai kelompok etnis, dan pengujian secara sadar terhadap warisan kultural kelompok etnis sendiri.12 Sejauh mana relevansi teori Naisbitt atau Greely dan Novak dengan pengalaman Indonesia? Negara ini tentu saja memiliki potensi etnisitas atau tribalisme yang luar biasa besar. Namun, harus diingat bahwa kebangkitan tribalisme baru yang relatif modern seperti terjadi di Amerika Serikat atau tribalisme baru primitif di bekas Yugoslavia mempunyai konteks sosial dan historis tertentu, yang dalam banyak segi berbeda dengan Asia Tenggara. Pengalaman historis Indonesia dengan nasionalisme, khususnya dalam hubungan dengan etnisitas dan agama sangat kompleks. Kompleksitas itu tidak hanya disebabkan perbedaan-

perbedaan pengalaman historis dalam proses pertumbuhan nasionalisme, tetapi juga oleh realitas Indonesia yang sangat pluralistik, baik secara etnis mau pun agama. Peta etnografis Indonesia sangat kompleks, antara lain sebagai hasil dari tipografi kawasan ini. Indonesia dihuni kelompok-kelompok etnis dalam jumlah besar yang, selain mempunyai kesamaankesamaan fisik-biologis, juga memiliki perbedaan-perbedaan linguistik dan kultural yang cukup substansial. Meski pun demikian, dalam pertumbuhan nasionalisme di Indonesia umumnya, etnisitas dapat dikatakan tidak sempat sepenuhnya mengalami kristalisasi menjadi dasar nasionalisme. Terdapat beberapa faktor yang menghalangi terjadinya kristalisasi sentimen etnisitas tersebut. Yang terpenting di antara faktor-faktor itu adalah agama dan kesadaran tentang pengalaman kesejarahan yang sama. Dalam pengalaman Indonesia, kemajemukan etnisitas beserta potensi divisif dan konfliknya dengan segera dijinakkan faktor Islam sebagai agama yang dipeluk mayoritas penduduk Islam menjadi supra-identity dan fokus kesetiaan yang mengatasi identitas dan kesetiaan etnisitas. Dengan demikian, kedatangan dan perkembangan Islam di Indonesia tidak hanya menyatukan berbagai kelompok etnis dalam pandangan keagamaan dan dunia yang sama, tetapi juga dalam aspek-aspek penting-yang bahkan menjadi dasar nasionalisme-khususnya bahasa. Berkat Islam, bahasa Melayu yang kemudian menjadi bahasa Indonesia, menjadi lingua franca berbagai kelompok etnis di Indonesia.13 Kesetiaan pada Islam di Indonesia pada gilirannya memperkuat kesadaran pengalaman kesejarahan yang sama. Dalam pengertian ini, penjajahan Belanda-yang secara teologis menurut ajaran Islam, adalah kafir-merupakan semacam blessing in disguise. Dengan kata lain, penjajahan Belanda mendorong berbagai kelompok etnis di Indonesia bersatu pada tingkat teologis keagamaan. Di sinilah kemudian sentimen etnisitas menjadi sesuatu yang tidak relevan. Lihatlah misalnya pengalaman Abd al-Shamad al-Palimbani (1704-1789), ularna besar asal Palembang yang mengirim surat-surat dari Mekah kepada penguasa Jawa Mataram untuk melakukan jihad melawan Belanda.14 Dengan demikian, dalam kasus Indonesia, Islam menjadi unsur qenuine, pendorong munculnya nasionalisme Indonesia. Pada saat yang sama, Islam juga mampu menjinakkan sentimen etnisitas untuk menumbuhkan loyalitas kepada entitas lebih tinggi. Kenyataan ini juga terlihat dari kemunculan Sarekat Islam (SI) yang merefleksikan nasionalisme keislaman-keindonesiaan, sekaligus sebagai respons terhadap kebangkitan nasionalisme di kalangan masyarakat Cina Hindia Belanda-baik Cina keturunan maupun Cina totok.15 Walau pun SI pada esensinya merupakan amalgamasi dari berbagai aspirasi-dari gagasan Ratu Adil sampai ke tandingan terhadap dominasi Cina-ia mampu menjadi organisasi yang melewati batas-batas etnisitas dan wilayah. Dengan demikian, pengalaman Indonesia menunjukkan bahwa etnisitas tidak menjadi faktor penghambat yang signifikan dalam pertumbuhan nasionalisme Indonesia. Bahkan, etnisitas cenderung kehilangan relevansinya sebagai sebuah tema politik. Hanya ada sebuah contoh yang agak langka, Gerakan Hasan Tiro di Aceh yang memang berusaha mengeksploitasi sentimen etnisitas Aceh vis--vis apa yang disebutnya sebagai kolonialisme Jawa. Ternyata tema

etnisitas seperti ini tidak mendapatkan dukungan historis, sosiologis dan kultural dari kelompok-kelompok etnis lainnya. Sebab itu, Hasan Tiro mencoba mengeksploitasi sentimen lain yang menurutnya mungkin lebih ampuh, yakni dengan mengangkat nasionalisme Sumatera melalui apa yang disebutnya sebagai Sumatera Merdeka. Ini jelas sudah keluar dari etnisitas dalam pengertian sesungguhnya. Bisa dipastikan, tidak banyak orang Sumatera yang menganggap serius tema ini. Saya sependapat dengan Himmelfarb, adalah ironi yang pahit bagi sejarah bahwa sekarang ini ketika nasionalisme lebih baru menjadi lebih agresif dan brutal, nasionalisme lama menjadi lebih pasif, jinak, bahkan menolak kaitannya dengan agama. Agama dipandang tidak hanya sekadar kendala, tetapi bahkan merendahkan nasionalisme itu sendiri. Ini terlihat, misalnya, dari pandangan Fukuyama yang menganggap agama hanya menimbulkan dampak negatif terhadap nasionalisme.16 Pengalaman pertumbuhan dan kebangkitan nasionalisme Indonesia dalam hubungannya dengan etnisitas dan agama, seperti dikemukakan di atas, cukup bertolak belakang dengan pandangan Fukuyama. Fukuyama benar ketika menyatakan bahwa nasionalisme awal (tepatnya protonasionalisme) pada abad ke-16 di Eropa yang begitu kental dengan sentimen keagamaan, hanya menghasilkan fanatisme keagamaan dan perang agama. Anggapan ini juga mungkin benar dalam hubungannya dengan brutalitas nasionalisme Serbia beberapa tahun lalu. Namun, dalam kasus Islam di Indonesia, justru kebalikannya. Dengan wajah yang lebih toleran dan ramah, Islam Indonesia justru merangsang, menumbuhkan, dan berperan amat positif dalam pertumbuhan nasionalisme. Revitalisasi Nasionalisme: Kebangkitan Nasional

Seabad Kebangkitan Nasional pada 2008 merupakan waktu yang tepat untuk merefleksikan kembali pengalaman Indonesia dengan Kebangkitan Nasional dan nasionalisme di masa kontemporer sekarang ini. Banyak kalangan menilai baik semangat Kebangkitan Nasional mau pun nasionalisme Indonesia itu sendiri tengah mengalami kemerosotan secara signifikan. Di tengah hiruk pikuk liberalisasi politik dan demokratisasi dalam satu dasawarsa terakhir-sejak 1998-tema Kebangkitan Nasional dan bahkan nasionalisme bahkan tidak lagi menjadi wacana publik. Dalam pandangan saya, nasionalisme tetap relevan. Di tengah arus globalisasi yang terus meningkat, justru nasionalisme perlu revitalisasi-kembali digelorakan setiap anak bangsa; jika Indonesia tetap bertahan. Hanya dengan menggelorakan nasionalisme, semangat keindonesiaan, kita boleh berpikir tentang Kebangkitan Nasional kedua dalam masa-masa Milenium Kedua Kebangkitan Nasional negara-bangsa Indonesia.
www.ahmadsidqi.wordpress.com/2010/12/.../nasionalisme-vs-globalisasi/ 2. Sikap2 yg dianggap bertentangan dgn nas indo

Nasionalisme Tak Bertentangan Selasa, 21 Desember 2010 | 03:15 WIB

Dibaca: 293

Komentar: 2

Jakarta, Kompas - Nasionalisme Indonesia sesuai dan tidak bertentangan dengan agama. Bahkan, Islam dan agama lain di Indonesia telah berperan penting dan menjadi tulang punggung pergerakan serta pembangunan keindonesiaan sejak tahun 1910. Nasionalisme Indonesia memberi tempat yang terhormat kepada agama, Pancasila, dan UUD 1945, tegas Guru Besar Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Azyumardi Azra. Pernyataan itu disampaikan Azyumardi saat berbicara dalam diskusi Menyegarkan Kembali Paham Kebangsaan yang digelar Dewan Pimpinan Pusat Partai Golkar, Senin (20/12) di Jakarta. Namun, lanjut Azyumardi, keharmonisan antara nasionalisme dan agama tetap perlu dijaga dan terus dikembangkan. Hal itu karena ada sejumlah hal yang dapat menurunkan semangat nasionalisme, seperti meningkatnya globalisme politik, budaya, sosial, dan informasi. Penyebaran gerakan dan gagasan transnasionalisme, yang menganjurkan universalisme politik agama, juga dapat menyebabkan turunnya nasionalisme. Yudi Latif, Direktur Eksekutif Reform Institute, menambahkan, sejarah menunjukkan bahwa Indonesia sudah lama menjadi titik temu dari berbagai budaya. Namun, setiap budaya luar yang masuk ke Indonesia selalu mengalami nasionalisasi atau proses penerimaan dengan budaya setempat. Untuk itu, lanjut Yudi, jika ada yang mengatakan bahwa seseorang memeluk agama tertentu, maka juga dapat disebut bahwa orang itu atau Indonesia telah menerima agama tersebut. Sekretaris Jenderal Partai Golkar Idrus Marham menuturkan, mereka yang menyimpang dari paham kebangsaan sebenarnya bukan orang bodoh. Sikap dan perilaku kita saat ini juga diwarnai dengan berbagai intrik dan fitnah, ujar Idrus. Pada saat yang sama, karya dan prestasi juga belum menjadi ukuran hak seseorang dalam memimpin. Akibatnya, ada pemimpin seperti bupati dan gubernur yang kinerjanya belum memuaskan karena sebelumnya mereka tidak memiliki prestasi dan karya. Seharusnya, yang berhak memimpin adalah yang memiliki karya dan prestasi. Karena patokannya karya dan prestasi, maka tawarannya harus berupa ide dan gagasan, ujar Idrus. (NWO)

www.nasional.kompas.com/read/.../Nasionalisme.Tak.Bertentangan

pengaruh globalisasi terhadap nilai-nilai nasional


Globalisasi adalah suatu proses tatanan masyarakat yang mendunia dan tidak mengenal batas wilayah. Globalisasi pada hakikatnya adalah suatu proses dari gagasan yang dimunculkan, kemudian ditawarkan untuk diikuti oleh bangsa lain yang akhirnya sampai pada suatu titik kesepakatan bersama dan menjadi pedoman bersama bagi bangsa- bangsa di seluruh dunia. (Menurut Edison A. Jamli dkk.Kewarganegaraan.2005)

Menurut pendapat Krsna (Pengaruh Globalisasi Terhadap Pluralisme Kebudayaan Manusia di Negara Berkembang.internet.public jurnal.september 2005). Sebagai proses, globalisasi berlangsung melalui dua dimensi dalam interaksi antar bangsa, yaitu dimensi ruang dan waktu. Ruang makin dipersempit dan waktu makin dipersingkat dalam interaksi dan komunikasi pada skala dunia. Globalisasi berlangsung di semua bidang kehidupan seperti bidang ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya, pertahanan keamanan dan lain- lain. Teknologi informasi dan komunikasi adalah faktor pendukung utama dalam globalisasi. Dewasa ini, perkembangan teknologi begitu cepat sehingga segala informasi dengan berbagai bentuk dan kepentingan dapat tersebar luas ke seluruh dunia.Oleh karena itu globalisasi tidak dapat kita hindari kehadirannya. Kehadiran globalisasi tentunya membawa pengaruh bagi kehidupan suatu negara termasuk Indonesia. Pengaruh tersebut meliputi dua sisi yaitu pengaruh positif dan pengaruh negatif. Pengaruh globalisasi di berbagai bidang kehidupan seperti kehidupan politik, ekonomi, ideologi, sosial budaya dan lain- lain akan mempengaruhi nilai- nilai nasionalisme terhadap bangsa.

Pengaruh positif globalisasi terhadap nilai- nilai nasionalisme 1. Dilihat dari globalisasi politik, pemerintahan dijalankan secara terbuka dan demokratis. Karena pemerintahan adalah bagian dari suatu negara, jika pemerintahan djalankan secara jujur, bersih dan dinamis tentunya akan mendapat tanggapan positif dari rakyat. Tanggapan positif tersebut berupa rasa nasionalisme terhadap negara menjadi meningkat. 2. Dari aspek globalisasi ekonomi, terbukanya pasar internasional, meningkatkan kesempatan kerja dan meningkatkan devisa negara. Dengan adanya hal tersebut akan meningkatkan kehidupan ekonomi bangsa yang menunjang kehidupan nasional bangsa. 3. Dari globalisasi sosial budaya kita dapat meniru pola berpikir yang baik seperti etos kerja yang tinggi dan disiplin dan Iptek dari bangsa lain yang sudah maju untuk meningkatkan kemajuan bangsa yang pada akhirnya memajukan bangsa dan akan mempertebal rasa nasionalisme kita terhadap bangsa.

Pengaruh negatif globalisasi terhadap nilai- nilai nasionalisme

1. Globalisasi mampu meyakinkan masyarakat Indonesia bahwa liberalisme dapat membawa kemajuan dan kemakmuran. Sehingga tidak menutup kemungkinan berubah arah dari ideologi Pancasila ke ideologi liberalisme. Jika hal tesebut terjadi akibatnya rasa nasionalisme bangsa akan hilang 2. Dari globalisasi aspek ekonomi, hilangnya rasa cinta terhadap produk dalam negeri karena banyaknya produk luar negeri (seperti Mc Donald, Coca Cola, Pizza Hut,dll.) membanjiri di Indonesia. Dengan hilangnya rasa cinta terhadap produk dalam negeri menunjukan gejala berkurangnya rasa nasionalisme masyarakat kita terhadap bangsa Indonesia. 3. Mayarakat kita khususnya anak muda banyak yang lupa akan identitas diri sebagai bangsa Indonesia, karena gaya hidupnya cenderung meniru budaya barat yang oleh masyarakat dunia dianggap sebagai kiblat. 4. Mengakibatkan adanya kesenjangan sosial yang tajam antara yang kaya dan miskin, karena adanya persaingan bebas dalam globalisasi ekonomi. Hal tersebut dapat menimbulkan pertentangan antara yang kaya dan miskin yang dapat mengganggu kehidupan nasional bangsa. 5. Munculnya sikap individualisme yang menimbulkan ketidakpedulian antarperilaku sesama warga. Dengan adanya individualisme maka orang tidak akan peduli dengan kehidupan bangsa. Pengaruh- pengaruh di atas memang tidak secara langsung berpengaruh terhadap nasionalisme. Akan tetapi secara keseluruhan dapat menimbulkan rasa nasionalisme terhadap bangsa menjadi berkurang atau hilang. Sebab globalisasi mampu membuka cakrawala masyarakat secara global. Apa yang di luar negeri dianggap baik memberi aspirasi kepada masyarakat kita untuk diterapkan di negara kita. Jika terjadi maka akan menimbulkan dilematis. Bila dipenuhi belum tentu sesuai di Indonesia. Bila tidak dipenuhi akan dianggap tidak aspiratif dan dapat bertindak anarkis sehingga mengganggu stabilitas nasional, ketahanan nasional bahkan persatuan dan kesatuan bangsa.

Pengaruh Globalisasi Terhadap Nilai Nasionalisme di Kalangan Generasi Muda

Arus globalisasi begitu cepat merasuk ke dalam masyarakat terutama di kalangan muda. Pengaruh globalisasi terhadap anak muda juga begitu kuat. Pengaruh globalisasi tersebut telah membuat banyak anak muda kita kehilangan kepribadian diri sebagai bangsa Indonesia. Hal ini ditunjukkan dengan gejala- gejala yang muncul dalam kehidupan sehari- hari anak muda sekarang. Dari cara berpakaian banyak remaja- remaja kita yang berdandan seperti selebritis yang cenderung ke budaya Barat. Mereka menggunakan pakaian yang minim bahan yang memperlihatkan bagian tubuh yang seharusnya tidak kelihatan. Pada hal cara berpakaian tersebut jelas- jelas tidak sesuai dengan kebudayaan kita. Tak ketinggalan gaya rambut mereka dicat beraneka warna. Pendek kata orang lebih suka jika menjadi orang lain dengan cara menutupi

identitasnya. Tidak banyak remaja yang mau melestarikan budaya bangsa dengan mengenakan pakaian yang sopan sesuai dengan kepribadian bangsa. Teknologi internet merupakan teknologi yang memberikan informasi tanpa batas dan dapat diakses oleh siapa saja. Apa lagi bagi anak muda internet sudah menjadi santapan mereka seharihari. Jika digunakan secara semestinya tentu kita memperoleh manfaat yang berguna. Tetapi jika tidak, kita akan mendapat kerugian. Dan sekarang ini, banyak pelajar dan mahasiswa yang menggunakan tidak semestinya. Misal untuk membuka situs-situs porno. Bukan hanya internet saja, ada lagi pegangan wajib mereka yaitu handphone. Rasa sosial terhadap masyarakat menjadi tidak ada karena mereka lebih memilih sibuk dengan menggunakan handphone. Dilihat dari sikap, banyak anak muda yang tingkah lakunya tidak kenal sopan santun dan cenderung cuek tidak ada rasa peduli terhadap lingkungan. Karena globalisasi menganut kebebasan dan keterbukaan sehingga mereka bertindak sesuka hati mereka. Contoh riilnya adanya geng motor anak muda yang melakukan tindakan kekerasan yang menganggu ketentraman dan kenyamanan masyarakat. Jika pengaruh-pengaruh di atas dibiarkan, mau apa jadinya genersi muda tersebut? Moral generasi bangsa menjadi rusak, timbul tindakan anarkis antara golongan muda. Hubungannya dengan nilai nasionalisme akan berkurang karena tidak ada rasa cinta terhadap budaya bangsa sendiri dan rasa peduli terhadap masyarakat. Padahal generasi muda adalah penerus masa depan bangsa. Apa akibatnya jika penerus bangsa tidak memiliki rasa nasionalisme? Berdasarkan analisa dan uraian di atas pengaruh negatif globalisasi lebih banyak daripada pengaruh positifnya. Oleh karena itu diperlukan langkah untuk mengantisipasi pengaruh negatif globalisasi terhadap nilai nasionalisme.

Antisipasi Pengaruh Negatif Globalisasi Terhadap Nilai Nasionalisme

Langkah- langkah untuk mengantisipasi dampak negatif globalisasi terhadap nilai- nilai nasionalisme antara lain yaitu : 1. Menumbuhkan semangat nasionalisme yang tangguh, misal semangat mencintai produk dalam negeri. 2. Menanamkan dan mengamalkan nilai- nilai Pancasila dengan sebaik- baiknya. 3. Menanamkan dan melaksanakan ajaran agama dengan sebaik- baiknya. 4. Mewujudkan supremasi hukum, menerapkan dan menegakkan hukum dalam arti sebenarbenarnya dan seadil- adilnya. 5. Selektif terhadap pengaruh globalisasi di bidang politik, ideologi, ekonomi, sosial budaya bangsa. Dengan adanya langkah- langkah antisipasi tersebut diharapkan mampu menangkis pengaruh globalisasi yang dapat mengubah nilai nasionalisme terhadap bangsa. Sehingga kita tidak akan kehilangan kepribadian bangsa.

Referensi Jamli, Edison dkk.Kewarganegaraan.2005.Jakarta: Bumi Akasara Krsna @Yahoo.com. Pengaruh Globalisasi Terhadap Pluralisme Kebudayaan Manusia di Negara Berkembang.2005.internet:Public Jurnal
www.wikimu.com/News/DisplayNews.aspx?id=7124

Nasionalisme dan Ketidakadilan


Benny Susetyo

Fenomena pembentangan bendera RMS Benang Raja, bendera Papua Bintang Kejora, dan pembentukan parpol lokal di Aceh yang mirip GAM mendorong pertanyaan tentang Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai konsep kebangsaan. Sebagian orang mempertanyakan finalisasi konsep NKRI sebagai sebuah konsep final atas entitas bangsa ini. Bagaimana sebenarnya konsep kebangsaan Indonesia? Max Lane dalam Bangsa yang Belum Selesai menyatakan perlunya menimba kembali kekuatan dan pertarungan ide dan pikiran dalam menyelesaikan pembangunan Indonesia sebagai sebuah bangsa. Kedaulatan politik bangsa sudah di tangan sejak merdeka, tetapi nation building memerlukan dinamika baru secara dinamis. Sikap terbuka Mempertimbangkan dinamika politik, kerumitan, pluralitas sekaligus kekhususan Indonesia sebagai bangsa "yang belum selesai" justru lahir pertanyaan lain yang menggoda, haruskah kita mengarah pada garis akhir kebangsaan sekaligus mengabaikan diri pada semua gejolak yang timbul di dalamnya dan melihatnya hanya sebagai ancaman? Dinamika politik kebangsaan tak lepas dari berbagai gejolak. Tetapi, bila gejolak itu hanya dilihat ancaman, bukan tak mungkin cara pandang kebangsaan tak berbeda dengan yang dilakukan Orde Baru. Jauh lebih penting membicarakan Indonesia sebagai bangsa adalah bagaimana seharusnya cara pandang kita melihatnya. Kita berpengalaman saat melihat Indonesia dengan mata buta nasionalisme memperlakukan paham kebangsaan seperti layaknya agama. Yang terjadi adalah kekerasan dan penistaan nilai-nilai kemanusiaan. Aceh dan Papua sering menjadi korban keberingasan tangan-tangan berdarah atas nama nasionalisme. Dengan sikap yang lebih terbuka dan berperikemanusiaan, kita bisa memperlakukan NKRI lebih dinamis dalam menerima kritik. Munculnya berbagai masalah itu seharusnya dilihat dalam perspektif lebih jernih dan luas dengan pertanyaan mengapa, apa, dan bagaimana. Nasionalisme yang dipahami seperti agama hanya akan menghasilkan sikap kebangsaan yang picik, yang melihat perbedaan sebagai musuh. Bila NKRI adalah konsep utama kebangsaan, bagaimana menegakkannya dengan landasan keadilan.

Nasionalisme yang telah mengubah dirinya menjadi "agama baru" akan melahirkan imajinasi kaum nasionalis hampir sama persis dengan bagaimana saat dirinya membayangkan agama yang dipeluk. Konsekuensinya mereka harus menjaganya dari serangan musuh yang mengganggunya. Nasionalisme diperlakukan dengan segala cara, termasuk yang paling utama adalah kekerasan, agar tak roboh. Nasionalisme ini akan melahirkan sikap picik dalam memperlakukan bangsa dan semua problem yang muncul dalam paham kebangsaan. Sikap luhur menjunjung tinggi persatuan akhirnya mengarah kepada "persatean". Jika kekerasan sebagai pilihan, korbannya tak lain adalah para warga bangsa ini sendiri. Menerima kritik Cita-cita kebangsaan akan hancur bila tidak diimbangi sikap lebih adil dan terbuka menerima kritik. Kita tidak berada dalam zaman peperangan dengan senjata merupakan alat utama. Upaya nation building selama ini justru menghadapi masalah pelik atas sikap-sikap elite yang sering tak menghargai jasa para pahlawan merebut Indonesia dari penjajah. Tidak jarang mereka membunuh rakyat sendiri karena dianggap melawan dan bertentangan dengan pandangan elite. Sudah saatnya kita belajar lagi mengapa nasionalisme selalu menonjolkan wataknya begitu menyeramkan. Nasionalisme melahirkan sikap resistansi dan kecurigaan amat tinggi dari pemeluknya. Nasionalisme yang demikian cepat atau lambat akan mengarah kepada sikap chauvinistik dan hampir mendekati sikap kedengkian yang cukup kuat terhadap lainnya. Finalisasi NKRI tidak lantas membenarkan semua cara bisa ditempuh dalam menghadapi gangguan demi gangguan. Pertanyaan mengapa terjadi gangguan, justru merupakan pertanyaan utama yang harus dicarikan jawabannya. Indonesia bukan saja bangsa yang belum selesai, tetapi bangsa yang "tak harus selesai". Kita sudah dalam ikrar, namun harus terus mengikuti perkembangan dan menyelesaikan masalah di atas paradigma keadilan dan kemanusiaan. Nasionalisme bukanlah belenggu. Nasionalisme merupakan sikap terbuka melihat perbedaan sebagai keniscayaan. Kasus separatisme akan meningkat dari masa ke masa bila cara pandang atas kebangsaan masih sempit dan perilaku ketidakadilan masih terus dipertontonkan. BENNY SUSETYO Pendiri Setara Institut

Kompas 27 Juli 2007 - kolom Opini www.mirifica.net/printPage.php?aid=4219

3. Wawasan kebangsaan

4. Konsep wawasan nusantara

A.

Pengertian Wawasan Nusantara


Wawasan Nusantara adalah cara pandang dan sikap bangsa Indonesia diri dan lingkungannya, dengan mengutamakan persatuan dan kesatuan wilayah dalam penyelenggaraan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. B. Isi Wawasan Nusantara Wawasan Nusantara mencakup : 1. Perwujudan Kepulauan Nusantara sebagai Satu Kesatuan Politik, dalam arti : a. Bahwa kebulatan wilayah nasional dengan segala isi dan kekayaannya merupakan satu kesatuan wilayah, wadah, ruang hidup, dan kesatuan matra seluruh bangsa serta menjadi modal dan milik bersama bangsa. b. Bahwa bangsa Indonesia yang terdiri dari berbagai suku dan berbicara dalam berbagai bahasa daerah serta memeluk dan meyakini berbagai agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa harus merupakan satu kesatuan bangsa yang bulat dalam arti yang seluas-luasnya. c. Bahwa secara psikologis, bangsa Indonesia harus merasa satu, senasib sepenanggungan, sebangsa, dan setanah air, serta mempunyai tekad dalam mencapai cita-cita bangsa. d. Bahwa Pancasila adalah satu-satunya falsafah serta ideologi bangsa dan negara yang melandasi, membimbing, dan mengarahkan bangsa menuju tujuannya. e. Bahwa kehidupan politik di seluruh wilayah Nusantara merupakan satu kesatuan politik yang diselenggarakan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. f. Bahwa seluruh Kepulauan Nusantara merupakan satu kesatuan sistem hukum dalam arti bahwa hanya ada satu hukum nasional yang mengabdi kepada kepentingan nasional. g. Bahwa bangsa Indonesia yang hidup berdampingan dengan bangsa lain ikut menciptakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial melalui politik luar negeri bebas aktif serta diabdikan pada kepentingan nasional. 2. Perwujudan Kepulauan Nusantara sebagai satu Kesatuan Ekonomi, dalam arti :

a. Bahwa kekayaan wilayah Nusantara baik potensial maupun efektif adalah modal dan milik bersama bangsa, dan bahwa keperluan hidup sehari-hari harus tersedia merata di seluruh wilayah tanah air. b. Tingkat perkembangan ekonomi harus serasi dan seimbang di seluruh daerah, tanpa meninggalkan ciri khas yang dimiliki oleh daerah dalam pengembangan kehidupan ekonominya. c. Kehidupan perekonomian di seluruh wilayah Nusantara merupakan satu kesatuan ekonomi yang diselenggarakan sebagai usaha bersama atas asas kekeluargaan dan ditujukan bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat. 3. Perwujudan Kepulauan Nusantara sebagai Satu Kesatuan Sosial dan Budaya, dalam arti : a. Bahwa masyarakat Indonesia adalah satu, perikehidupan bangsa harus merupakan kehidupan bangsa yang serasi dengan terdapatnya tingkat kemajuan masyarakat yang sama, merata dan seimbang, serta adanya keselarasan kehidupan yang sesuai dengan tingkat kemajuan bangsa. b. Bahwa budaya Indonesia pada hakikatnya adalah satu, sedangkan corak ragam budaya yang ada menggambarkan kekayaan budaya bangsa yang menjadi modal dan landasan pengembangan budaya bangsa seluruhnya, dengan tidak menolak nilai nilai budaya lain yang tidak bertentangan dengan nilai budaya bangsa, yang hasil-hasilnya dapat dinikmati oleh bangsa. 4. Perwujudan Kepulauan Nusantara sebagai Satu Kesatuan Pertahanan Keamanan, dalam arti : a. Bahwa ancaman terhadap satu pulau atau satu daerah pada hakekatnya merupakan ancaman terhadap seluruh bangsa dan negara. b. Bahwa tiap-tiap warga negara mempunyai hak dan kewajiban yang sama dalam rangka pembelaan negara dan bangsa. Wawasan Nusantara telah diterima dan disahkan sebagai konsepsi politik kewarganegaraan yang termaktub / tercantum dalam dasar-dasar berikut ini : - Ketetapan MPR Nomor IV/MPR/1973 tanggal 22 maret 1973 - TAP MPR Nomor IV/MPR/1978 tanggal 22 maret 1978 tentang GBHN - TAP MPR nomor II/MPR/1983 tanggal 12 Maret 1983
sumber : http://syadiashare.com/wawasan-nusantara.html

http://organisasi.org/pengertian_arti_definisi_wawasan_nusantara_yang_merupakan_cara_pan dang_bangsa_indonesia_belajar_ilmu_ppkn_pmp_d

www.gudangmateri.com/2010/.../wawasan-nusantara-indonesia.html factor dan latarbelakang terjadinya wawasan nusantara Faktor dan Latar Belakang Terjadinya Wawasan Nusantara : Indonesia adalah negara kepulauan yang berarti Indonesia terdiri dari pulau-pulau. Hal ini juga memperlihatkan bahwa bangsa Indonesia itu terdiri dari banyak suku bangsa yang mempunyai bahasa yang berbeda-beda, kebiasaan dan adat istiadat yang berbeda, kepercayaan yang berbeda, kesenian, ilmu pengetahuan, mata pencaharian dan cara berpikir yang berbeda-beda. Berkat kekuasaan kerajaan Majapahit dan penjajahan Belanda Indonesia mulai bersatu. Untuk menjadi sebuah negara yang merdeka Indonesia harus mempunyai wilayah, penduduk dan pemerintah. Semua warga daerah di kepulauan nusantara yang dijajah Belanda setuju untuk bersatu dan membentuk sebuah negara kesatuan melalui sumpah pemuda. Agar Indonesia dapat merdeka Indonesia harus memiliki keinginan bersama. Setelah Indonesia merdeka tentu Indonesia harus mempertahankan kesatuan negara yang sdah diperjuangkan dengan darah. Oleh karena itu Indonesia harus puya cara pandang Bangsa Indonesia yang sama terhadap negara Indonesia. Cara pandang bangsa Indonesia mengenai diri dan tanah airnya sebagai negara kepulauan yang berdasarkan Pancasila dengan semua aspek kehidupan yang beragam disebut Wawasan Nusantara. Wawasan nusantara dibentuk dan dijiwai oleh geopol. geopol adalah ilmu pengelolaan negara yang menitikberatkan pada keadaan geografis. Geopol selalu berkaitan dengan kekuasaan an kekuatan yang mengangkat paham atau mempertahankan paham yang idanut oleh suatu bangsa atau negara demi menjaga persatuan dan kesatuan.

Lebih lanjut tentang: Faktor dan Latar Belakang Terjadinya Wawasan Nusantara Wawasan nusantara

Wawasan nusantara adalah cara pandang dan sikap bangsa Indonesia mengenai diri dan bentuk geografinya berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.[1] Dalam pelaksanannya, wawasan nusantara mengutamakan kesatuan wilayah dan menghargai kebhinekaan untuk mencapai tujuan nasional.[1]

Daftar isi
[sembunyikan]

1 Latar belakang o 1.1 Falsafah pancasila o 1.2 Aspek kewilayahan nusantara o 1.3 Aspek sosial budaya o 1.4 Aspek sejarah 2 Fungsi 3 Tujuan 4 Implementasi o 4.1 Kehidupan politik o 4.2 Kehidupan ekonomi o 4.3 Kehidupan sosial o 4.4 Kehidupan pertahanan dan keamanan 5 Referensi 6 Lihat pula

[sunting] Latar belakang


[sunting] Falsafah pancasila

Nilai-nilai pancasila mendasari pengembangan wawasan nasional. Nilai-nilai tersebut adalah:[2]


1. Penerapan Hak Asasi Manusia (HAM), seperti memberi kesempatan menjalankan ibadah sesuai dengan agama masing- masing. 2. Mengutamakan kepentingan masyarakat daripada individu dan golongan. 3. Pengambilan keputusan berdasarkan musyawarah untuk mufakat. [sunting] Aspek kewilayahan nusantara

Pengaruh geografi merupakan suatu fenomena yang perlu diperhitungkan, karena Indonesia kaya akan aneka Sumber Daya Alam (SDA) dan suku bangsa.[2]
[sunting] Aspek sosial budaya

Indonesia terdiri atas ratusan suku bangsa yang masing-masing memiliki adat istiadat, bahasa, agama, dan kepercayaan yang berbeda - beda, sehingga tata kehidupan nasional yang berhubungan dengan interaksi antargolongan mengandung potensi konflik yang besar.[2]
[sunting] Aspek sejarah

Indonesia diwarnai oleh pengalaman sejarah yang tidak menghendaki terulangnya perpecahan dalam lingkungan bangsa dan negara Indonesia.[2] Hal ini dikarenakan kemerdekaan yang telah

diraih oleh bangsa Indonesia merupakan hasil dari semangat persatuan dan kesatuan yang sangat tinggi bangsa Indonesia sendiri.[2] Jadi, semangat ini harus tetap dipertahankan untuk persatuan bangsa dan menjaga wilayah kesatuan Indonesia.[2]

[sunting] Fungsi

Gambaran dari isi Deklarasi Djuanda 1. Wawasan nusantara sebagai konsepsi ketahanan nasional, yaitu wawasan nusantara dijadikan konsep dalam pembangunan nasional, pertahanan keamanan, dan kewilayahan.[3] 2. Wawasan nusantara sebagai wawasan pembangunan mempunyai cakupan kesatuan politik, kesatuan ekonomi, kesatuan sosial dan ekonomi, kesatuan sosial dan politik, dan kesatuan pertahanan dan keamanan. 3. Wawasan nusantara sebagai wawasan pertahanan dan keamanan negara merupakan pandangan geopolitik Indonesia dalam lingkup tanah air Indonesia sebagai satu kesatuan yang meliputi seluruh wilayah dan segenap kekuatan negara.[3] 4. Wawasan nusantara sebagai wawasan kewilayahan, sehingga berfungsi dalam pembatasan negara, agar tidak terjadi sengketa dengan negara tetangga.[3] Batasan dan tantangan negara Republik Indonesia adalah:[3]

Risalah sidang BPUPKI tanggal 29 Mei-1 Juni 1945 tentang negara Republik Indonesia dari beberapa pendapat para pejuang nasional. Dr. Soepomo menyatakan Indonesia meliputi batas Hindia Belanda, Muh. Yamin menyatakan Indonesia meliputi Sumatera, Jawa, Sunda Kecil, Borneo, Selebes, Maluku-Ambon, Semenanjung Melayu, Timor, Papua, Ir. Soekarno menyatakan bahwa kepulauan Indonesia merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Ordonantie (UU Belanda) 1939, yaitu penentuan lebar laut sepanjang 3 mil laut dengan cara menarik garis pangkal berdasarkan garis air pasang surut atau countour pulau/darat. Ketentuan ini membuat Indonesia bukan sebagai negara kesatuan, karena pada setiap wilayah laut terdapat laut bebas yang berada di luar wilayah yurisdiksi nasional. Deklarasi Juanda, 13 Desember 1957 merupakan pengumuman pemerintah RI tentang wilayah perairan negara RI, yang isinya:

1. Cara penarikan batas laut wilayah tidak lagi berdasarkan garis pasang surut (low water line), tetapi pada sistem penarikan garis lurus (straight base line) yang diukur dari garis yang menghubungkan titik - titik ujung yang terluar dari pulau-pulau yang termasuk dalam wilayah RI.

2. Penentuan wilayah lebar laut dari 3 mil laut menjadi 12 mil laut. 3. Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) sebagai rezim Hukum Internasional, di mana batasan nusantara 200 mil yang diukur dari garis pangkal wilayah laut Indonesia. Dengan adanya Deklarasi Juanda, secara yuridis formal, Indonesia menjadi utuh dan tidak terpecah lagi.

[sunting] Tujuan
Tujuan wawasan nusantara terdiri dari dua, yaitu:[4]
1. Tujuan nasional, dapat dilihat dalam Pembukaan UUD 1945, dijelaskan bahwa tujuan kemerdekaan Indonesia adalah "untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk mewujudkan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan perdamaian abadi dan keadilan sosial". 2. Tujuan ke dalam adalah mewujudkan kesatuan segenap aspek kehidupan baik alamiah maupun sosial, maka dapat disimpulkan bahwa tujuan bangsa Indonesia adalah menjunjung tinggi kepentingan nasional, serta kepentingan kawasan untuk menyelenggarakan dan membina kesejahteraan, kedamaian dan budi luhur serta martabat manusia di seluruh dunia.

[sunting] Implementasi
[sunting] Kehidupan politik

Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam mengimplementasikan wawasan nusantara, yaitu:[5]
1. Pelaksanaan kehidupan politik yang diatur dalam undang-undang, seperti UU Partai Politik, UU Pemilihan Umum, dan UU Pemilihan Presiden. Pelaksanaan undang-undang tersebut harus sesuai hukum dan mementingkan persatuan bangsa.Contohnya seperti dalam pemilihan presiden, anggota DPR, dan kepala daerah harus menjalankan prinsip demokratis dan keadilan, sehingga tidak menghancurkan persatuan dan kesatuan bangsa. 2. Pelaksanaan kehidupan bermasyarakat dan bernegara di Indonesia harus sesuai denga hukum yang berlaku. Seluruh bangsa Indonesia harus mempunyai dasar hukum yang sama bagi setiap warga negara, tanpa pengecualian. Di Indonesia terdapat banyak produk hukum yang dapat diterbitkan oleh provinsi dan kabupaten dalam bentuk peraturan daerah (perda) yang tidak bertentangan dengan hukum yang berlaku secara nasional. 3. Mengembagkan sikap hak asasi manusia dan sikap pluralisme untuk mempersatukan berbagai suku, agama, dan bahasa yamg berbeda, sehingga menumbuhkan sikap toleransi. 4. Memperkuat komitmen politik terhadap partai politik dan lembaga pemerintahan untuk menigkatkan semangat kebangsaan dan kesatuan. 5. Meningkatkan peran Indonesia dalam kancah internasional dan memperkuat korps diplomatik ebagai upaya penjagaan wilayah Indonesia terutama pulau-pulau terluar dan pulau kosong. [sunting] Kehidupan ekonomi 1. Wilayah nusantara mempunyai potensi ekonomi yang tinggi, seperti posisi khatulistiwa, wilayah laut yang luas, hutan tropis yang besar, hasil tambang dan minyak yang besar, serta memeliki

penduduk dalam jumlah cukup besar. Oleh karena itu, implementasi dalam kehidupan ekonomi harus berorientasi pada sektor pemerintahan, pertanian, dan perindustrian. 2. Pembangunan ekonomi harus memperhatikan keadilan dan keseimbangan antardaerah. Oleh sebab itu, dengan adanya otonomi daerah dapat menciptakan upaya dalam keadilan ekonomi. 3. Pembangunan ekonomi harus melibatkan partisipasi rakyat, seperti dengan memberikan fasilitas kredit mikro dalam pengembangan usaha kecil. [sunting] Kehidupan sosial

Tari pendet dari Bali merupakan budaya Indonesia yang harus dilestarikan sebagai implementasi dalam kehidupan sosial.

Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam kehidupan sosial, yaitu :[5]
1. Mengembangkan kehidupan bangsa yang serasi antara masyarakat yang berbeda, dari segi budaya, status sosial, maupun daerah. Contohnya dengan pemerataan pendidikan di semua daerah dan program wajib belajar harus diprioritaskan bagi daerah tertinggal. 2. Pengembangan budaya Indonesia, untuk melestarikan kekayaan Indonesia, serta dapat dijadikan kegiatan pariwisata yang memberikan sumber pendapatan nasional maupun daerah. Contohnya dengan pelestarian budaya, pengembangan museum, dan cagar budaya. [sunting] Kehidupan pertahanan dan keamanan

Membagun TNI Profesional merupakan implementasi dalam kehidupan pertahanan keamanan.

Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam kehidupan pertahanan dan keamanan, yaitu :[5]
1. Kegiatan pembangunan pertahanan dan keamanan harus memberikan kesempatan kepada setiap warga negara untuk berperan aktif, karena kegiatan tersebut merupakan kewajiban setiap warga negara, seperti memelihara lingkungan tempat tinggal, meningkatkan kemampuan disiplin, melaporkan hal-hal yang menganggu keamanan kepada aparat dan belajar kemiliteran. 2. Membangun rasa persatuan, sehingga ancaman suatu daerah atau pulau juga menjadi ancaman bagi daerah lain. Rasa persatuan ini dapat diciptakan dengan membangun solidaritas dan hubungan erat antara warga negara yang berbeda daerah dengan kekuatan keamanan. 3. Membangun TNI yang profesional serta menyediakan sarana dan prasarana yang memadai bagi kegiatan pengamanan wilayah Indonesia, terutama pulau dan wilayah terluar Indonesia.

[sunting] Referensi
1. ^ a b Suradinata,Ermaya. (2005). Hukum Dasar Geopolitik dan Geostrategi dalam Kerangka Keutuhan NKRI.. Jakarta: Suara Bebas. Hal 12-14. 2. ^ a b c d e f Sunardi, R.M. (2004). Pembinaan Ketahanan Bangsa dalam Rangka Memperkokoh Keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Jakarta:Kuaternita Adidarma. ISBN 979-98241-09,9789799824103.Hal 179-180. 3. ^ a b c d Alfandi, Widoyo. (2002). Reformasi Indonesia: Bahasan dari Sudut Pandang Geografi Politik dan Geopolitik. Yogyakarta:Gadjah Mada University. ISBN 979-420-516-8, 9789794205167. 4. ^ Hidayat, I. Mardiyono, Hidayat I.(1983). Geopolitik, Teori dan Strategi Politik dalam Hubungannya dengan Manusia, Ruang dan Sumber Daya Alam. Surabaya:Usaha Nasional.Hal 85-86. 5. ^ a b c Sumarsono, S, et.al. (2001). Pendidikan Kewarganegaraan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Hal 12-17.

A. Pengertian Wawasan Nusantara Wawasan Nusantara adalah cara pandang dan sikap bangsa Indonesia diri dan lingkungannya, dengan mengutamakan persatuan dan kesatuan wilayah dalam penyelenggaraan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. B. Isi Wawasan Nusantara Wawasan Nusantara mencakup : 1. Perwujudan Kepulauan Nusantara sebagai Satu Kesatuan Politik, dalam arti : a. Bahwa kebulatan wilayah nasional dengan segala isi dan kekayaannya merupakan satu kesatuan wilayah, wadah, ruang hidup, dan kesatuan matra seluruh bangsa serta menjadi modal dan milik bersama bangsa.

b. Bahwa bangsa Indonesia yang terdiri dari berbagai suku dan berbicara dalam berbagai bahasa daerah serta memeluk dan meyakini berbagai agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa harus merupakan satu kesatuan bangsa yang bulat dalam arti yang seluas-luasnya. c. Bahwa secara psikologis, bangsa Indonesia harus merasa satu, senasib sepenanggungan, sebangsa, dan setanah air, serta mempunyai tekad dalam mencapai cita-cita bangsa. d. Bahwa Pancasila adalah satu-satunya falsafah serta ideologi bangsa dan negara yang melandasi, membimbing, dan mengarahkan bangsa menuju tujuannya. e. Bahwa kehidupan politik di seluruh wilayah Nusantara merupakan satu kesatuan politik yang diselenggarakan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. f. Bahwa seluruh Kepulauan Nusantara merupakan satu kesatuan sistem hukum dalam arti bahwa hanya ada satu hukum nasional yang mengabdi kepada kepentingan nasional. g. Bahwa bangsa Indonesia yang hidup berdampingan dengan bangsa lain ikut menciptakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial melalui politik luar negeri bebas aktif serta diabdikan pada kepentingan nasional. 2. Perwujudan Kepulauan Nusantara sebagai satu Kesatuan Ekonomi, dalam arti : a. Bahwa kekayaan wilayah Nusantara baik potensial maupun efektif adalah modal dan milik bersama bangsa, dan bahwa keperluan hidup sehari-hari harus tersedia merata di seluruh wilayah tanah air. b. Tingkat perkembangan ekonomi harus serasi dan seimbang di seluruh daerah, tanpa meninggalkan ciri khas yang dimiliki oleh daerah dalam pengembangan kehidupan ekonominya. c. Kehidupan perekonomian di seluruh wilayah Nusantara merupakan satu kesatuan ekonomi yang diselenggarakan sebagai usaha bersama atas asas kekeluargaan dan ditujukan bagi sebesarbesar kemakmuran rakyat. 3. Perwujudan Kepulauan Nusantara sebagai Satu Kesatuan Sosial dan Budaya, dalam arti : a. Bahwa masyarakat Indonesia adalah satu, perikehidupan bangsa harus merupakan kehidupan bangsa yang serasi dengan terdapatnya tingkat kemajuan masyarakat yang sama, merata dan seimbang, serta adanya keselarasan kehidupan yang sesuai dengan tingkat kemajuan bangsa. b. Bahwa budaya Indonesia pada hakikatnya adalah satu, sedangkan corak ragam budaya yang ada menggambarkan kekayaan budaya bangsa yang menjadi modal dan landasan pengembangan budaya bangsa seluruhnya, dengan tidak menolak nilai nilai budaya lain yang tidak bertentangan dengan nilai budaya bangsa, yang hasil-hasilnya dapat dinikmati oleh bangsa. 4. Perwujudan Kepulauan Nusantara sebagai Satu Kesatuan Pertahanan Keamanan, dalam arti : a. Bahwa ancaman terhadap satu pulau atau satu daerah pada hakekatnya merupakan ancaman terhadap seluruh bangsa dan negara. b. Bahwa tiap-tiap warga negara mempunyai hak dan kewajiban yang sama dalam rangka pembelaan negara dan bangsa. syadiashare2009

www.syadiashare.com/wawasan-nusantara.html

Wawasan Nusantara Pengertian Wawasan Nusantara Wawasan nusantara adalah cara pandang dan sikap bangsa Indonesia mengenai diri dan bentuk geografinya berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Dalam pelaksanannya, wawasan nusantara mengutamakan kesatuan wilayah dan menghargai kebhinekaan untuk mencapai tujuan nasional. Isi Wawasan Nusantara Wawasan Nusantara mencakup : 1. Perwujudan Kepulauan Nusantara sebagai Satu Kesatuan Politik, dalam arti : a. Bahwa kebulatan wilayah nasional dengan segala isi dan kekayaannya merupakan satu kesatuan wilayah, wadah, ruang hidup, dan kesatuan matra seluruh bangsa serta menjadi modal dan milik bersama bangsa. b. Bahwa bangsa Indonesia yang terdiri dari berbagai suku dan berbicara dalam berbagai bahasa daerah serta memeluk dan meyakini berbagai agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa harus merupakan satu kesatuan bangsa yang bulat dalam arti yang seluas-luasnya. c. Bahwa secara psikologis, bangsa Indonesia harus merasa satu, senasib sepenanggungan, sebangsa, dan setanah air, serta mempunyai tekad dalam mencapai cita-cita bangsa. d. Bahwa Pancasila adalah satu-satunya falsafah serta ideologi bangsa dan negara yang melandasi, membimbing, dan mengarahkan bangsa menuju tujuannya. e. Bahwa kehidupan politik di seluruh wilayah Nusantara merupakan satu kesatuan politik yang diselenggarakan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. f. Bahwa seluruh Kepulauan Nusantara merupakan satu kesatuan sistem hukum dalam arti bahwa hanya ada satu hukum nasional yang mengabdi kepada kepentingan nasional. g. Bahwa bangsa Indonesia yang hidup berdampingan dengan bangsa lain ikut menciptakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial melalui politik luar negeri bebas aktif serta diabdikan pada kepentingan nasional. 2. Perwujudan Kepulauan Nusantara sebagai satu Kesatuan Ekonomi, dalam arti : a. Bahwa kekayaan wilayah Nusantara baik potensial maupun efektif adalah modal dan milik bersama bangsa, dan bahwa keperluan hidup sehari-hari harus tersedia merata di seluruh wilayah tanah air. b. Tingkat perkembangan ekonomi harus serasi dan seimbang di seluruh daerah, tanpa meninggalkan ciri khas yang dimiliki oleh daerah dalam pengembangan kehidupan ekonominya. c. Kehidupan perekonomian di seluruh wilayah Nusantara merupakan satu kesatuan ekonomi yang diselenggarakan sebagai usaha bersama atas asas kekeluargaan dan ditujukan bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat. Perwujudan Kepulauan Nusantara sebagai Satu Kesatuan Sosial dan Budaya, dalam arti : a. Bahwa masyarakat Indonesia adalah satu, perikehidupan bangsa harus merupakan kehidupan bangsa yang serasi dengan terdapatnya tingkat kemajuan masyarakat yang sama, merata dan seimbang, serta adanya keselarasan kehidupan yang sesuai dengan tingkat kemajuan bangsa. b. Bahwa budaya Indonesia pada hakikatnya adalah satu, sedangkan corak ragam budaya yang ada menggambarkan kekayaan budaya bangsa yang menjadi modal dan landasan pengembangan budaya

bangsa seluruhnya, dengan tidak menolak nilai nilai budaya lain yang tidak bertentangan dengan nilai budaya bangsa, yang hasil-hasilnya dapat dinikmati oleh bangsa. Perwujudan Kepulauan Nusantara sebagai Satu Kesatuan Pertahanan Keamanan, dalam arti : a. Bahwa ancaman terhadap satu pulau atau satu daerah pada hakekatnya merupakan ancaman terhadap seluruh bangsa dan negara. b. Bahwa tiap-tiap warga negara mempunyai hak dan kewajiban yang sama dalam rangka pembelaan negara dan bangsa. Latar belakang Falsafah pancasila Nilai-nilai pancasila mendasari pengembangan wawasan nasional. Nilai-nilai tersebut adalah: 1. Penerapan Hak Asasi Manusia (HAM), seperti memberi kesempatan menjalankan ibadah sesuai dengan agama masing- masing. 2. Mengutamakan kepentingan masyarakat daripada individu dan golongan. 3. Pengambilan keputusan berdasarkan musyawarah untuk mufakat. Aspek kewilayahan nusantara Pengaruh geografi merupakan suatu fenomena yang perlu diperhitungkan, karena Indonesia kaya akan aneka Sumber Daya Alam (SDA) dan suku bangsa. Aspek sosial budaya Indonesia terdiri atas ratusan suku bangsa yang masing-masing memiliki adat istiadat, bahasa, agama, dan kepercayaan yang berbeda - beda, sehingga tata kehidupan nasional yang berhubungan dengan interaksi antargolongan mengandung potensi konflik yang besar. Aspek sejarah Indonesia diwarnai oleh pengalaman sejarah yang tidak menghendaki terulangnya perpecahan dalam lingkungan bangsa dan negara Indonesia.[2] Hal ini dikarenakan kemerdekaan yang telah diraih oleh bangsa Indonesia merupakan hasil dari semangat persatuan dan kesatuan yang sangat tinggi bangsa Indonesia sendiri.[2] Jadi, semangat ini harus tetap dipertahankan untuk persatuan bangsa dan menjaga wilayah kesatuan Indonesia.[2] Fungsi

Gambaran dari isi Deklarasi Djuanda 1. Wawasan nusantara sebagai konsepsi ketahanan nasional, yaitu wawasan nusantara dijadikan konsep dalam pembangunan nasional, pertahanan keamanan, dan kewilayahan. 2. Wawasan nusantara sebagai wawasan pembangunan mempunyai cakupan kesatuan politik, kesatuan ekonomi, kesatuan sosial dan ekonomi, kesatuan sosial dan politik, dan kesatuan pertahanan dan keamanan. 3. Wawasan nusantara sebagai wawasan pertahanan dan keamanan negara merupakan pandangan geopolitik Indonesia dalam lingkup tanah air Indonesia sebagai satu kesatuan yang meliputi seluruh wilayah dan segenap kekuatan negara. 4. Wawasan nusantara sebagai wawasan kewilayahan, sehingga berfungsi dalam pembatasan negara, agar tidak terjadi sengketa dengan negara tetangga. Batasan dan tantangan negara Republik Indonesia adalah:

Risalah sidang BPUPKI tanggal 29 Mei-1 Juni 1945 tentang negara Republik Indonesia dari beberapa pendapat para pejuang nasional. Dr. Soepomo menyatakan Indonesia meliputi batas Hindia Belanda, Muh. Yamin menyatakan Indonesia meliputi Sumatera, Jawa, Sunda Kecil, Borneo, Selebes, MalukuAmbon, Semenanjung Melayu, Timor, Papua, Ir. Soekarno menyatakan bahwa kepulauan Indonesia merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Ordonantie (UU Belanda) 1939, yaitu penentuan lebar laut sepanjang 3 mil laut dengan cara menarik garis pangkal berdasarkan garis air pasang surut atau countour pulau/darat. Ketentuan ini membuat Indonesia bukan sebagai negara kesatuan, karena pada setiap wilayah laut terdapat laut bebas yang berada di luar wilayah yurisdiksi nasional. Deklarasi Juanda, 13 Desember 1957 merupakan pengumuman pemerintah RI tentang wilayah perairan negara RI, yang isinya: 1. Cara penarikan batas laut wilayah tidak lagi berdasarkan garis pasang surut (low water line), tetapi pada sistem penarikan garis lurus (straight base line) yang diukur dari garis yang menghubungkan titik titik ujung yang terluar dari pulau-pulau yang termasuk dalam wilayah RI. 2. Penentuan wilayah lebar laut dari 3 mil laut menjadi 12 mil laut. 3. Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) sebagai rezim Hukum Internasional, di mana batasan nusantara 200 mil yang diukur dari garis pangkal wilayah laut Indonesia. Dengan adanya Deklarasi Juanda, secara yuridis formal, Indonesia menjadi utuh dan tidak terpecah lagi. Tujuan Tujuan wawasan nusantara terdiri dari dua, yaitu: 1. Tujuan nasional, dapat dilihat dalam Pembukaan UUD 1945, dijelaskan bahwa tujuan kemerdekaan Indonesia adalah "untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk mewujudkan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan perdamaian abadi dan keadilan sosial". 2. Tujuan ke dalam adalah mewujudkan kesatuan segenap aspek kehidupan baik alamiah maupun sosial, maka dapat disimpulkan bahwa tujuan bangsa Indonesia adalah menjunjung tinggi kepentingan nasional, serta kepentingan kawasan untuk menyelenggarakan dan membina kesejahteraan, kedamaian dan budi luhur serta martabat manusia di seluruh dunia. Implementasi Kehidupan politik Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam mengimplementasikan wawasan nusantara, yaitu: 1. Pelaksanaan kehidupan politik yang diatur dalam undang-undang, seperti UU Partai Politik, UU Pemilihan Umum, dan UU Pemilihan Presiden. Pelaksanaan undang-undang tersebut harus sesuai hukum dan mementingkan persatuan bangsa.Contohnya seperti dalam pemilihan presiden, anggota DPR, dan kepala daerah harus menjalankan prinsip demokratis dan keadilan, sehingga tidak menghancurkan persatuan dan kesatuan bangsa. 2. Pelaksanaan kehidupan bermasyarakat dan bernegara di Indonesia harus sesuai denga hukum yang berlaku. Seluruh bangsa Indonesia harus mempunyai dasar hukum yang sama bagi setiap warga negara, tanpa pengecualian. Di Indonesia terdapat banyak produk hukum yang dapat diterbitkan oleh provinsi dan kabupaten dalam bentuk peraturan daerah (perda) yang tidak bertentangan dengan hukum yang berlaku secara nasional. 3. Mengembagkan sikap hak asasi manusia dan sikap pluralisme untuk mempersatukan berbagai suku,

agama, dan bahasa yamg berbeda, sehingga menumbuhkan sikap toleransi. 4. Memperkuat komitmen politik terhadap partai politik dan lembaga pemerintahan untuk menigkatkan semangat kebangsaan dan kesatuan. 5. Meningkatkan peran Indonesia dalam kancah internasional dan memperkuat korps diplomatik ebagai upaya penjagaan wilayah Indonesia terutama pulau-pulau terluar dan pulau kosong. Kehidupan ekonomi 1. Wilayah nusantara mempunyai potensi ekonomi yang tinggi, seperti posisi khatulistiwa, wilayah laut yang luas, hutan tropis yang besar, hasil tambang dan minyak yang besar, serta memeliki penduduk dalam jumlah cukup besar. Oleh karena itu, implementasi dalam kehidupan ekonomi harus berorientasi pada sektor pemerintahan, pertanian, dan perindustrian. 2. Pembangunan ekonomi harus memperhatikan keadilan dan keseimbangan antardaerah. Oleh sebab itu, dengan adanya otonomi daerah dapat menciptakan upaya dalam keadilan ekonomi. 3. Pembangunan ekonomi harus melibatkan partisipasi rakyat, seperti dengan memberikan fasilitas kredit mikro dalam pengembangan usaha kecil. Kehidupan sosial

Tari pendet dari Bali merupakan budaya Indonesia yang harus dilestarikan sebagai implementasi dalam kehidupan sosial. Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam kehidupan sosial, yaitu : 1. Mengembangkan kehidupan bangsa yang serasi antara masyarakat yang berbeda, dari segi budaya, status sosial, maupun daerah. Contohnya dengan pemerataan pendidikan di semua daerah dan program wajib belajar harus diprioritaskan bagi daerah tertinggal. 2. Pengembangan budaya Indonesia, untuk melestarikan kekayaan Indonesia, serta dapat dijadikan kegiatan pariwisata yang memberikan sumber pendapatan nasional maupun daerah. Contohnya dengan pelestarian budaya, pengembangan museum, dan cagar budaya. Kehidupan pertahanan dan keamanan Membangun TNI Profesional merupakan implementasi dalam kehidupan pertahanan keamanan. Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam kehidupan pertahanan dan keamanan, yaitu : 1. Kegiatan pembangunan pertahanan dan keamanan harus memberikan kesempatan kepada setiap warga negara untuk berperan aktif, karena kegiatan tersebut merupakan kewajiban setiap warga negara, seperti memelihara lingkungan tempat tinggal, meningkatkan kemampuan disiplin, melaporkan hal-hal yang menganggu keamanan kepada aparat dan belajar kemiliteran. 2. Membangun rasa persatuan, sehingga ancaman suatu daerah atau pulau juga menjadi ancaman bagi daerah lain. Rasa persatuan ini dapat diciptakan dengan membangun solidaritas dan hubungan erat antara warga negara yang berbeda daerah dengan kekuatan keamanan. 3. Membangun TNI yang profesional serta menyediakan sarana dan prasarana yang memadai bagi kegiatan pengamanan wilayah Indonesia, terutama pulau dan wilayah terluar Indonesia. Referensi 1. http://syadiashare.com/wawasan-nusantara.html 2. http://id.wikipedia.org/wiki/Wawasan_Nusantara

3. ^ a b Suradinata,Ermaya. (2005). Hukum Dasar Geopolitik dan Geostrategi dalam Kerangka Keutuhan NKRI.. Jakarta: Suara Bebas. Hal 12-14. 4. ^ a b c d e f Sunardi, R.M. (2004). Pembinaan Ketahanan Bangsa dalam Rangka Memperkokoh Keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Jakarta:Kuaternita Adidarma. ISBN 979-98241-09,9789799824103.Hal 179-180. 5. ^ a b c d Alfandi, Widoyo. (2002). Reformasi Indonesia: Bahasan dari Sudut Pandang Geografi Politik dan Geopolitik. Yogyakarta:Gadjah Mada University. ISBN 979-420-516-8, 9789794205167. 6. ^ Hidayat, I. Mardiyono, Hidayat I.(1983). Geopolitik, Teori dan Strategi Politik dalam Hubungannya dengan Manusia, Ruang dan Sumber Daya Alam. Surabaya:Usaha Nasional.Hal 85-86. 7. ^ a b c Sumarsono, S, et.al. (2001). Pendidikan Kewarganegaraan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Hal 12-17 www.hafiizh512.blogspot.com/.../wawasan-nusantara-pengertian-wawasan.html

Anda mungkin juga menyukai