Anda di halaman 1dari 15

Pancasila Pada Masa Orde Lama

Situasi Dinamika Sosial Politik Serta Pengaruhnya Dalam Pelaksanaan


Pancasila Di Era Orde Lama.

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sejarah bangsa Indonesia tidak lepas dari sebuah periodesasi dalam pemerintahan
bangsa ini. Berdirinya negara Indonesia tidak lepas dalam ingatan kita dengan peran sebuah
periode pemerintahan yang pada saat itu bernama pemerintah orde lama, pada pemerintahan
orde lama ini kita bisa mengenal siapa yang memimpin bangsa pada saat itu yaitu Soekarno,
melihat sepak terjang dan gaya kepemimpinan memberikan sebuah gambaran nantinnya
peran Soekarno dalam masa kepemimpinan bangsa ini yang memiliki sebuah power
(kekuatan) dalam menjalankan roda pemerintahan pada masa orde lama. Disamping itu juga
pada masa orde lama ini perlu diingat bahwa negara dalam kondisi transisi, setelah
Indonesia keluar dari penjajahan bangsa asing.
Kondisi tersebut memberikan dampak pada implementasi kebijakan nantinya pada
masa pemerintahan orde lama ini untuk bisa mempertahankan Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI) yang pada saat itu para penjajah menginginkan kembali untuk menjajah
negara Indonesia. Sehingga memberikan gambaran bagaimana pada masa pemerintahan
orde lama ini terjadi sebuah pemerintahan yang jatuh bangun seirama dengan dinamika
sosial politik yang berkembang pada saat itu. Melihat situasi dinamika sosial politik pada
masa orde lama yang terjadi baik eksternal maupun internal negara memberikan gambaran
bahwa bagaimana proses dinamika yang terjadi untuk bisa keluar dari permasalahan bangsa
yang penuh dengan gejolak pada saat itu.
Pada saat itu memang situasi dunia dalam masa pemuliahan dari perang asia pasifik,
disamping itu juga perkembangan paham ideologi yang berkembang diantaranya, faham
kapitalis, liberalisme, komunis, dan sosialis yang berkembang di negara barat, sehingga
memberikan sebuah dampak dan pengaruh besar terhadap dinamika sosial politik di seluruh
dunia. Dampak itu berpengaruh besar terhadap keadaan dinamika perpolitikan di Indonesia,
dikarenakan negara-negara yang memiliki faham, baik faham kapitalis maupun komunis
memiliki peran dalam memperebutkan pengaruh di negara-negara berkembang diantaranya
negara Indonesia.
Dalam kondisi awal setelah Soekarno dan Hatta memproklamirkan kemerdekaan
Indonesia, kondisi Indonesia pada saat itu belum memiliki seorang presiden negara sehingga
kesibukan selanjutnya adalah menyusun tatanan mengenai kehidupan kenegaraan. Lewat
usulan Oto Iskandardinata pemilihan presiden secara aklamasi. Secara tidak langsung Oto
Iskandardinata mengusulkan nama Bung Karno dan Bung Hatta sebagai presiden dan wakil
presiden Republik Indonesia sehingga berangkat dari pemilihan presiden dan wakil presiden
secara aklamasi ini pada tanggal 18 Agustus 1945 secara resmi Negara Indonesia memiliki
presiden dan wakil presiden yang sah (Marwati Djoened Poesponegoro & Nugroho
Notosusanto, 1993:97).
Setelah terpilihnya Soekarno dan Hatta sebagai presiden dan wakil presiden
memberikan sebuah gambaran akan periodesasi awal pemerintahan orde lama dimana pada
masa tersebut banyak terjadi dinamika perpolitikan yang berkembang. Sehingga dalam
artikel ini akan membahas tentang situasi dinamika sosial politik yang berkembang serta
pengaruhnya dalam pelaksanaan Pancasila di era orde lama.

KAJIAN TEORI
A. Nasionalisme
Dalam tahun 1882 Ernest Renan telah membuka pendapatnya tentang paham
kebangsaan. Nasionalisme itu adalah suatu itikad, suatu keinsyafan rakyat, bahwa rakyat itu
ada suatu golongan yang keberadaanya adalah suatu nyawa, suatu azas-akal, yang terjadi
dari dua hal: pertama-tama rakyat itu dulunya harus bersama-sama menjalani suatu riyawat
memiliki Sejarah yang sama; kedua rakyat itu rakyat itu sekarang harus mempunyai
kemauan, keinginan hidup menjadi satu. Sehingga bukan menjadi sebuah persoalan antara
perbedaan Ras, bukannya bahasa, bukannya agama, bukannya persamaan butuh, bukan pula
batas-batas negeri yang menjadikan bangsa itu. Pandangan nasionalisme inilah menjadi
motor penggerak akan sebuah berdirinya suatu bangsa yang saling mengisi satu sama lain,
karena suatu bangsa bisa tercermin dengan suatu persatuan yang terjadi dari persatuan hal-
ikhwal yang telah dijalani oleh rakyat itu, yang menjadi suatu itikad suatu keinsyafan rakyat,
bahwa rakyat itu ada satu golongan dan satu bangsa yaitu bangsa Indonesia (Soekarno,
2012:12).
B. Agama
Berangkat dari sebuah pemikiran tokoh abad kesembilan belas, berkilau-kilaulah
yang tercermin dalam dunia keislaman tertulis dalam buku-riwayat muslim; Sheikh
Mohammad Abdouh, dan Sayyid Jamaluddin Al Afghani memberikan sebuah sumbangan
pemikiran tentang Pan-Islamisme yang telah membangunkan dan menjunjung rakyat-rakyat
Islam di seluruh benua Asia dari sebuah kegelapan dan kemunduran. Walaupun dalam sikap
diantara dua tokoh ini ada sedikit perbedaan satu sama lain yang mana Sayyid Jamaluddin
Al Afghani yang terkenal dengan pemikiran radikalnya yang mana dalam pemikirannya
Sayyid Jamaluddin Al Afghani pertama membangun rasa perlawanan di hati sanubari
rakyat-rakyat muslim terhadap bahaya Imperialisme Barat, perlunya sebuah barisan rakyat
Islam yang kokoh, guna melawan bahaya imperialisme barat. (Soekarno, 2012:42). Dengan
menanamkan keyakinan, bahwa untuk perlawanan itu kaum Islam harus “mengambil
tekniknya kemajuan barat, dan mempelajari rahasia-rahasianya kekuasaan barat”. Islam
yang sejatinya tidaklah mengandung azas anti Nasionalis; Islam yang sejati tidaklah
bertabiat anti-sosialis. Selama kaum Islamis memusuhi paham-paham Nasionalisme yang
luas budi dan marxisme yang benar, selama itu kaum Islamis tidak berdiri di atas sirothol
mustaqim; selama itu tidaklah bisa mengangkat Islam dari kenistaan dan kerusakan tadi,
sehingga Islam memberikan sebuah tabiat-tabiat yang sosialistis dan menetapkan kewajiban-
kewajibannya yang menjadi kewajiban-kewajibannya nasionalis pula. Secara penerapanya
Islam yang sejati mewajibkan pada pemeluknya mencintai dan bekerja untuk negeri yang
ditempati. Mencintai dan bekerja untuk rakyat merupakan sebuah pengabdian yang sejati,
sehingga ini menjadi motto penggerak untuk bagaimana menjadikan Islam yang mampu
menjawab dan mampu mengatasi persoalan bangsa dan negara.
C. Marxisme
Perlu disimak bahwa mendengar perkataan ini, maka tampak pada suatu gambaran
tentang kaum yang ada di belahan negara manapun mendapati sebuah kaum yang pucat-
muka dan kurus badan, pakaian yang kusut, ini menggambarkan sebuah kesenjangan sosial
yang nyata untuk bagaimana para kaum intelek muda memberikan sebuah pencerahan bagi
kaum Ploretar (rakyat jelata). Bagaimana rakyat jelata sudah mengalami kesengsaraan
untuk bisa merubah nasib hidupnya menjadi sebuah kesejahteraan yang nyata. Maka dalam
benak pemikirannya Karl Marx, yang dalam tulisan-tulisanya tidak satu kali mempersoalkan
kata kasih atau kata cinta, membeberkan pula paham pertentangan golongan dan
mengajarkan pula, bahwa lepasnya kaum buruh dari nasibnya itu menjadi sebuah
perlawanan dari kaum burjuasi yang identik dengan sebuah paham kapitalisme yang
menyengsarakan rakyat jelata. Menjadi sebuah pelajaran yang berharga yang bersandarkan
sebuah perbendaan (Materialisme), Karl Marx menjabarkan sebuah teori, bahwa harganya
barang-barang itu ditentukan oleh banyaknya “kerja” untuk membikin barang-barang itu,
sehingga kerja hasil dari pekerjaan kaum buruh dalam memproduksi barang itu adalah lebih
besar harganya daripada yang diterimanya sebagai upah (meerwaarde). Dalam pernyataan
selanjutnya bahwa “bukan budi-akal manusialah yang menentukan keadaannya, tetapi
sebaliknya keadaannya berhubungan dengan pergaulan hidupnya yang menentukan budi
akalnya. Sehingga dengan upah (meerwaarde) itu dijadikan kapital pula, maka kapital itu
makin lama makin menjadi besar (kapitaalsaccumulatie), sedang kapital-kapital yang kecil
sama mempersatukan diri jadi modal yang besar (kapitaalsaccumulatie), dan bahwa, oleh
persaingan perusahaan-perusahaan yang kecil sama mati terdesak oleh perusahaan-
perusahaan yang besar, sehingga oleh desak-desakkan ini akhirnya Cuma tinggal beberapa
perusahaan saja yang amat besarnya (kapitaalscocentratie). Sehingga ini memberikan sebuah
dampak pada nasib kaum buruh makin lama tak menyenangkan dan menimbulkan sebuah
ketimpangan sosial. Keadaan dan susunan ekonomilah yang menetapkan keadaan manusia
tentang budi, akal, agama dan lain-lainnya, sehingga paham kapitalisme itu akhirnya akan
lenyap dengan sendirinya diganti oleh susunan pergaulan hidup yang lebih adil dan
mensejahterakan rakyat jelata.
Dengan uraian yang diatas memberikan sebuah gambaran bagaimana seorang
Soekarno dalam menggabungkan sebuah pemikiran yang nantinya menjadi sebuah landasan
Soekarno dalam menjalankan suatu roda pemerintahan pada masa orde lama, bagaimana
langkah Soekarno menjadikan sebuah terobosan sejarah yang nantinya menimbulkan
sejumlah konsekuensi. Karena menurut pemikiran Soekarno dengan menjalankan dan
menggabungkan 3 elemen penting tersebut memiliki sebuah keselarasan yang sesuai dengan
semangat kepribadian dan nilai-nilai demokrasi asli yang berakar dalam tradisi Indonesia
dan “dalam Demokrasi Terpimpin yang menjadi kunci adalah kepemimpinan (Herbert Feith
dan Lance Castles,412). Tetapi dalam prateknya Demokrasi yang dilaksanakan oleh
Soekarno cenderung pada otoriter dan diktatorial. Kritik utama terhadap pratik Demokrasi
terpimpin adalah, meskipun Soekarno dalam menjalankan roda pemerintahan menggunakan
kata demokrasi, sesungguhnya tidak lebih dari konsep politik yang mengarahkan pada
praktik otorialisme dan diktator. Sehingga menjadi sebuah gambaran menarik dalam
dinamika perpolitikan yang ada di Indonesia pada masa orde lama secara tidak langsung
Soekarno juga bagaimana berusaha melanggengkan akan kekuasaannya dengan cara
memberikan sebuah landasan konsep Ideologi dalam bernegara untuk bisa memberikan
pengaruh yang maksimal kepada rekan politiknya walaupun konsep yang ditawarkan
soekarno juga menimbulkan sebuah kritik dari lawan politiknya.

PEMBAHASAN
A. Situasi Sosial dan Politik Era Orde Lama pada 1945-1950
Pada saat pemerintahan orde lama, dimana Indonesia harus mempertahankan
kemerdekaan yang direbutnya pada tanggal 17 Agustus 1945 dari tangan penjajah.
Keinginan untuk menjajah kembali, menjadikan Belanda datang lagi setelah Jepang
bertekuk lutut dihadapan tentara sekutu. Dengan menumpang pasukan sekutu yang mendarat
pada tanggal 29 September 1945, Belanda kembali ke Indonesia dan melakukan serangan-
serangan atas beberapa wilayah Indonesia. Perang kembali berkobar, bentuk perlawanan
dilakukan oleh bangsa Indonesia. Diantaranya pretempuran yang dilakukan 5 hari di
Semarang (15-20 Oktober 1945), pertempuran 15 Oktober 1945 di Padang, pertempuran 7
Oktober 1945, di kotabaru Yogyakarta dan puncaknya adalah pertempuran 10 November
1945 di Surabaya.
Semua serangkaian itu adalah dalam rangka mempertahankan bumi pertiwi dari tangan
para penjajahan. Selain perlawanan fisik, perlawanan dengan cara diplomasipun dilakukan.
Dengan mengikuti berbaagai perundingan diantaranya adalah perundingan Linggar Jati,
Renville dan KMB (Konferensi Meja Bundar), para pemimpin Indonesia berusaha
menggunakan cara-cara moderat dan anti kekerasan untuk menjaga kesatuan wilayah
Nusantara. Perundingan Linggar Jati dilakukan pada tanggal 25 Maret 1947, menghasilkan
kesepakatan tentang eksistensi wilayah Indonesia yang hanya meliputi: Jawa, Madura dan
Sumatera serta pengakuan terhadap terbentuknya Negara Indonesia Serikat (RIS). Terlepas
dari pro dan kontranya hasil perundingan itu, di kalangan tokoh-tokoh pergerakan waktu itu,
perundingan ini menjadi sebuah kemajuan bagi perjuangan pergerakan bangsa Indonesia
(Suhartono W. Pranoto)
Pasca perundingan, di tubuh kabinet terjadi sebuah perpecahan. Partai Sosialis yang
memimpin kabinet terpecah menjadi dua, yaitu sosialis demokrat yang dipelopori oleh Sutan
Syahrir dan Sosialis revolusioner (PKI) dengan tokohnya Amir Syarifuddin. Perpecahan ini
berimbas diturunkannya Syahrir dari kursi perdana menteri dan digantikan oleh Amir
Syarifudin. Dalam menjalankan roda pemerintahan sekalipun kabinet Amir Syarifudin ini
merupakan kabinet koalisi yang kuat, namun setelah kabinet Amir Syarifudin menerima
persetujuan Renville, kembali partai-partai politik menentangnya.
Masjumi yang merupakan pendukung utama kabinet, menarik kembali menteri-
menterinya. Tindakan ini diambil, karena Masjumi berpendapat bahwa Amir Syarifuddin
menerima begitu saja, ultimatum Belanda atas dasar 12 prinsip politik dan 6 tambahan dari
KTN. Tindakan Masjumi didukung oleh PNI. Sebagai hasil dari sidang dewan partai tanggal
18 Januari 1948, PNI menuntut supaya kabinet Amir Syarifudin menyerahkan mandatnya
kepada Presiden. PNI menolak persetujuan Renville, karena persetujuan itu tidak menjamin
dengan tegas akan kelanjutan dan kedudukan Republik. Kabinet Amir Syarifudin yang
hanya didukung oleh sayap kiri tidak berhasil di pertahankan, dan pada tanggal 23 Januari
1948, Amir Syarifudin menyerahkan kembali mandatnya kepada Presiden (Nugroho
Notosusanto, 144)
Secara keseluruhan persetujuan Renville merugikan RI sehingga kabinet Amir
Syarifudin harus menyerahkan mandatnya. Sebagai penggantinya, Presiden Soekarno
menunjuk wakil Presiden Moh. Hatta untuk menyusun kabinet. Kabinet Hatta di dominasi
wakil dari Masyumi dan PNI, sedangkan dari partai Sosialis dan Amir Syarifudin yang
berambisi menjadi Menteri Pertahanan tidak diikutsertakan. Oleh karena itu, mereka
merupakan kelompok oposisi terhadap Kabinet Hatta yang dianggap sebagai Kabinet
Masyumi.
Amir Syarifudin semakin tersisih, tetapi Amir Syarifudin kemudian mendirikan Front
Demokrasi Rakyat (FDR) pada tanggal 26 Februari 1948 dengan mempersatukan PS (Partai
Sosialis), Partai Buruh Indonesia (PBI), Partai komunis Indonesia (PKI), Pemuda Sosialis
Indonesia (Pesindo), dan Serikat Buruh Perkebuanan RI (Sarbupri). Serikat Organisasi
Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI) dan Barisan Tani Indonesia (BTI) belum sepenuhnya
menjadi organisasi bawahan PKI. Front Demokrasi Rakyat yang menjadi organ oposisi itu
memilih program anti-Renville, penghentian perundingan dengan Belanda, menasionalisasi
perusahaan Belanda, dan pembubaran Kabinet Hatta dan diganti dengan Front Demokrasi
Rakyat (FDR).
Ketidakpuasan golongan yang anti Kabinet Hatta disebabkan karena gagalnya
kehidupan masyarakat, blokade Belanda dan nasionalisasi yang belum berjalan. Oleh karena
itu, Serikat Buruh Perkebuanan RI (Sarbupri) melakukan percobaan pemogokan di pabrik
karung Delanggu pada Juni 1948. Hal ini semakin membuka konflik antara Pesindo-
Sarbupri dengan Hisbullah-Serikat Tani Islam Indonesia (STII), selama berlangsungnya
kekerasan 2 kelompok itu, pasuka Siliwangi yang hijrah ke Surakarta diperintahkan untuk
memulihkan keamanan. Datangnya pasukan siliwangi ini menyebabkan perasaan tidak
senang Divisi IV Diponegoro yang merasa lebih mempunyai tanggung jawab. Polarisasi
semakan tampak antara Islam melawan Komunis.
Program rasionalisasi militer dimanfaatkan oleh Amir Syarifuddin dapat dipakai untuk
menyerang pemerintahan yang tidak bijak. Selain program rasionalisasi akan mengurangi
jumlah militer, juga divisi yang banyak dirugikan adalah divisi yang anggotanya berasal dari
kelompok Amir Syarifuddin, termasuk TNI Masyarakat. Dengan demikian, eskalasi konflik
makin kuat. Selain komunis yang berorientasi Internasional, di Indonesia berdiri Gerakan
Rakyat Revolusioner (GRR) yang didirikan oleh Tan Malaka yang berorientasi Nasional.
Oleh karena itu GRR lebih dekat dengan kabinet Hatta daripada FDR-PKI.
Program kabinet Hatta merugikan golongan Amir Syarifuddin sehingga menimbulkan
bentrokan fisik. Polarisasi kekuatan yang berkonflik antara Divisi IV-Pesindo dan Siliwangi-
Barisan Banteng mengakibatkan teror dan pembunuhan terhadap dr. Moewardi sebagai
puncaknya, pecah Pemberontakan PKI Madiun pada tanggal 18 September 1948. Setelah
Pesindo mendirikan pemerintahan Soviet di Kota Madiun. Pembunuhan dan penahanan
dilakukan terhadap tokoh sipil dan militer yang dianggap merintangi gerakannya. Untuk
mengembalikan wibawa pemerintah, pasukan Siliwangi dibawah Kolonel Sungkono. Hanya
dalam waktu 2 minggu pemberontakan PKI dapat di tumpas. Pemimpin pemimpinnya yang
melarikan diri kebeberapa tempat di Jawa Timur dikejar dan di tembak. Jelas bahwa
Soekarno sebagai pemimpin nasional tetap mempunyai wibawa yang besar.
Seiring terjadinya persetujuan Renville yang buntu, gejala kemacetan terjadi dan untuk
mengatasinya, wakil Amerika Serikat dan Australia dalam KTN mencari jalan kompromi,
yaitu dengan diserahkanya secara rahasia Du Bois Critchley Plan pada tanggal 10 Juni 1948
kepada Belanda. Rencana ini dianggap merugikan Belanda karena perundingan dengan RI
dianggap putus. Secara politis Belanda, menekan RI dan secara ekonomi telah memblokade
pedagangan luar negeri sehingga RI kekurangan obat-obatan, tekstil, dll. Inflasi semakin
meningkat. Menurut Belanda, RI akan jatuh dengan sendirinya. Namun, keadaan ini nanti
dimanfaatkan oleh partai komunis dengan mendirikan “Pemerintahan Soviet” di Madiun.
Menjelang Agresi militer Belanda II pada tanggal 19 Desember 1948 pesawat-pesawat
pembom Belanda menyerang lapangan terbang Maguwo sambil menurunkan pasukan
payung. Perlawanan dari pengawal lapangan udara dengan persenjataan yang tidak
seimbang untuk mempertahankan lapangan terbang Maguwo. Yang mengakibatkan
gugurnya beberapa orang personil tentara udara. Selajutnya gerakan penghambatan
dilakukan oleh 2 seksi Brigade 10 dan 2 seksi taruna militer akademi. Yogyakarta menjadi
sasaran penyerbuan, tapi baru pukul 11.00 pasukan Belanda dari brigade T di bawah
pimpinan kolonel Van Langen masuk kota. Dengan kekuatan tidak seimbang pasukan TNI
menarik diri dan bertahan di luar Kota Yogyakarta dengan melakukan perlawanan gerilya.
Tentara Belanda kemudian menawan presiden, wakil presiden, Sutan Syahrir dan sejumlah
menteri.
Sebagai tanda kemenangannya, Belanda menyiarkan berita keluar negeri dengan
arogannya bahwa pers Indonesia di sensor keras dan TNI sudah tiada lagi. Lagi pula para
pemimpin sudah di tawan. Akan tetapi, keadaan sebenarnya dapat dikirim lewat radio
gerilya yang mengirim berita serangan balik ke Sumatra, Burma, dan India. Diplomat
Indonesia, yaitu LN Palar, Sujatmoko, Sumitro, dan Sudarpo Sastrosatomo menjelaskan
eksistensi RI dan TNI melakukan perang gerilya. Diplomasi Palar diforum Internasional
memang hebat dan membuat Belanda tidak berkutik.
Dalam waktu bersamaan sebelum tertangkapnya para pejabat negara, pada pagi hari
minggu, tanggal 19 Desember 1948 ketika pasukan Belanda menyerang kota Wakil Presiden
Moh. Hatta sedang menghadiri KTN di Kaliurang untuk mengambil keputusan dalam waktu
yang sangat genting di perlukan kehadiran Perdana Menteri Hatta. Sedangakan Menteri-
menteri sudah datang ke gedung negara, Presiden dan para menteri duduk diserambi
belakang dengan wajah-wajah yang sangat prihatin. Presiden meminta Hatta untuk di
jemput. Dengan segera Sultan Hamengku Buwono IX selaku menteri negara dengan
sepontan beliau mengatakan hendak menjemput Bung Hatta ke Kaliurang setelah Bung
Hatta dan Sultan datang, sidang kabinet segera dimulai.
Dalam sidang itu diambil keputusan pembentukan Pemerintahan Darurat Republik
Indonesia (PDRI) yang di kepalai oleh Mr. Syarifuddin Prawiranegara yang sedang
melakukan perjalanan ke Sumatra sejak sebelum Agresi militer kedua. Telegram dikirim
oleh Menteri Perhubungan, Ir. Juanda, kepada Mr. Syarifuddin Prawiranegara bahwa selama
pemerintah RI tidak dapat menjalankan fungsi karena ditawan Belanda, maka PDRI-lah
yang harus meneruskan roda pemerintahan. Radio gerilya yang ada di dekat kota solo
mengirim berita kepada Mr. Syarifuddin Prawiranegara dan selanjutnya menyusun
pemerintahan darurat. Mr. Syarifuddin Prawiranegara diberi kepercayaan dan mandat untuk
menjalankan PDRI di Sumatera bila tidak berhasil dibentuk, pemerintah telah menyiapkan
pemerintahan darurat diluar negeri dengan memberikan kuasa kepada Dr. Sudarsono dan
Mr. Maramis yang sedang berada di India.
PDRI ternyata juga aktif dalam menjalankan pemerintahan, Pemerintah Jogja Nonaktif
sementara. Kedatangan Hatta di Aceh ialah untuk menjelaskan persetujuan Rum-Roijen
dapat di terima dengan baik oleh pemimpin TNI di Aceh dan PDRI. Selanjutnya PDRI
setuju dengan persetujuan Rum-Roijen dengan syarat bahwa TNI tetap ada di daerah yang di
duduki oleh tentara Belanda ditarik dari tempat yang didudukinya. Pemulihan pemerintahan
RI di Yogjakarta dilakukan tanpa syarat. Pernyataan ini disiarkan lewat RRI Sumatera pada
tanggal 14 juni 1949. Mr. Syarifuddin Prawiranegara menyerahkan mandat kepada Presiden
RI di Yogyakarta tanggal 13 Juli 1949. Dengan demikian, PDRI yang bekerja selama 8
bulan telah berhasil menggantikan pemerintahan RI, meski dalam beberapa hal harus
dikonsultasikan dengan fungsionaris RI dalam pembuangan. Jadi salah satu kunci
penyelesaian konflik RI-Belanda tetap ada pada Soekarno (Suhartono W. Pranoto)
Pada waktu pasukan Belanda memasuki gedung negara pasukan pengawal presiden
melakukan perlawanan. Akan tetapi kemudian diperintahkan oleh Soekarno agar mereka
tidak melawan. Akhirnya, Belanda menawan Presiden, wakil Presiden, beberapa orang
menteri dan tokoh-tokoh politik seperti Sutan Syahrir, KI Hajar Dewantara, Nazir
Pamuncak, Moh. Rum, Assaat AG, Pringgodigdo, Komodor Suryadarma, komisaris besar
polisi Sumarno, dan Prof Dr Asikin Wijaya Kusuma. Pada tanggal 22 Desember 1948 Bung
Karno, Assaat, Hatta, Pringgodigdo, Komodor Suryadarma, Sutan Syahrir dan H. Agus
Salim menuju lapangan terbang Maguwo yang seterusnya diterbangkan ke Bangka. Dua hari
kemudian Moh. Rum dan Ali sastroamijoyo mendapat giliran dan akhirnya tiba di
Pasanggarahan Menumbing.
Bung Hatta mendapat kunjungan dari Wakil Tinggi Mahkota Belanda, Dr. Beel yang
menegaskan bahwa RI telah hapus. Akan tetapi, Hatta menjawab bahwa RI tetap berwibawa
meski pemimpinnya dalam tawanan Belanda. Cochran, wakil KTN, juga mengunjunginya
dan mendapat jawaban dari Hatta bahwa meski pemimpinnya ditawan, TNI terus bergerilya
dan melakukan serangan balasan. Selain itu PDRI berfungsi selama RI Yogyakarta nonaktif.
Bung Karno yang sejak tanggal 22 Desember 1948 ditawan di Brastagi, tanggal 31
Desember dipindah ke Prapat, tepi Danau Toba. Pada tanggal 6 Pebruari Bung Karno dan H.
Agus Salim tiba di Bangka. Dengan demikian, dengan hadirnya Bung Karno, Hatta, dan
BFO perundingan mengenai rencana pembentukan negara RIS dapat berlangsung dengan
baik.
Undangan kepada Bung Karno untuk menghadiri Konferensi Meja Bundar (KMB)
yang dipercepat tanggal 12 Maret 1949 ditolaknya karena undangan itu tidak menyebut
Presiden Republik Indonesia, tetapi mengundangnya secara pribadi. Presiden RI mau
menerima undangan setelah pemerintah RI dipulihkan ke Yogyakarta dan menjalankan
wewenangnya sesuai dengan resolusi PBB tanggal 28 Januari 1949.
Dengan disepakatinya Prinsip-pinsip Roem-Royen tersebut, Pemerintah Darurat RI di
Sumatra memerintahkan kepada Sultan Hamengkubuwono IX untuk mengambil alih
pemerintahan di Yogyakarta apabila Belanda mulai mundur dari Yogyakarta. Partai politik
yang pertama kali menyatakan setuju dan menerima baik tercapainya persetujuan Roem-
Royen adalah Masyumi (Mr. Roem adalah Pemimpin Masyumi). Dr. Sukiman selaku ketua
umum Masjumi menyatakan bahwa sikap yang diambil oleh delegasi RI adalah dengan
melihat posisi RI di dunia Internasional dan didalam negeri sendiri, apalagi dengan adanya
sikap BFO yang semakin menyatakan hasratnya untuk bekerja sama dengan RI.
Sebagai tindak lanjut dari persetujuan Roem-Royen, pada tanggal 22 Juni diadakan
perundingan formal antara RI, BFO dan Belanda di bawah pengawasan Komisi PBB,
dipimpin oleh Critchley (Australia). Hasil perundingan itu adalah:
1. Pemgembalian pemerintah RI ke Yogyakarta dilaksanakan pada tanggal 24 juni 1949.
Karesidenan Yogyaakarta dikosongkan oleh Tentara Belanda dan pada tanggal 1 Juli
1949 dan pemerintah RI kembali ke Yogyakarta setelah TNI menguasai keadaan
sepenuhnya di daerah itu.
2. Mengenai penghentian permusuhan akan dibahas setelah kembalinya pemerintahan RI
ke Yogyakarta
3. Konferensi meja Bundar diusulkan akan diadakan di Den Haag.
Setelah para pemimpin RI berkumpul kembali di Yogyakarta, maka pada tanggal 13
juli 1949, diadakan sidang kabinet RI yang pertama. Dalam sidang kabinet diputuskan untuk
mengangkat Sri Sultan Hamengkubuwono IX sebagai menteri pertahanan dan koordinator
keamanan.
KMB kemudian diajukan kepada KNIP untuk diratifikasi. KNIP yang bersidang pada
tanggal 6 Desember 1949, berhasil menerima KMB dengan 226 pro lawan 62 kontra, dan 31
meninggalkan sidang. Selanjutnya pada tanggal 15 Desember 1949 diadakan pemilihan
Presiden RIS dengan calon tunggal Ir. Soekarno. Ir Soekarno terpilih sebagai Presiden RIS
pada tanggal 16 Desember 1949 dan pada tanggal 17 Desember (keesokan harinya) Presiden
RIS diambil Sumpahnya. Pada tanggal 20 Desember 1949 kabinet RIS pertama di bawah
pimpinan Drs. Moh. Hatta selaku Perdana Menteri, dilantik oleh Presiden. Akhirnya pada 23
Desember delegasi RIS yang dipimpin oleh Drs. Moh. Hatta berangkat ke Nederland untuk
menandatangani akte “penyerahan” kedaulatan RI dari pemerintah Belanda.
Tanggal 27 Desember 1949 baik di Indonesia maupun di Nederland diadakan upacara
penandatangan naskah “penyerahan” kedaulatan. Pada waktu yang sama di Jakarta Sri
Sultan Hamengkubuwono IX dan Wakil Tinggi Mahkota A.H.J Lovink dalam suatu upacara,
Sri Sultan membubuhkan tandatangannya pada naskah “penyerahan” kedaulatan. Maka
secara formal Belanda mengakui Kemerdekaan Indonesia dan mengakui kedaulatan penuh
Negara Indonesia di seluruh bekas wilayah Hindia Belanda (kecuali Irian Jaya). Dengan
demikian berakhirlah secara resmi Perang Kemerdekaan Indonesia.
Dengan disetujuinya hasil-hasil Konferensi Meja Bundar (KMB) pada tanggal 2
November 1949 di Den Haag, maka terbukalah Negara Republik Indonesia Serikat (RIS).
RIS terdiri dari 16 Negara bagian dengan masing-masing mempunyai luas daerah dan
Jumlah penduduk yang berbeda. Diantara negara-negara bagian terpenting, selain Republik
Indonesia yang mempunyai daerah terluas dan penduduk terbanyak, yaitu Negara Sumatra
timur, Negara Sumatra Selatan, Negara Pasundan dan Negara Indonesia Timur. Sebagai
Presiden atau Kepala Negara yang pertama RIS Ir. Soekarno, sedangkan Drs. Moh. Hatta
diangkat sebagai perdana menteri yang pertama.
Tokoh-tokoh yang terkemuka yang duduk dalam kabinet ini antara lain dari pihak
Republik Sri Sultan Hamengkubuwono IX, Ir. Djuanda, Mr. Wilopo, Prof. Dr. Sopomo, dr.
Leiman, Arnold Mononutu, Ir. Herling Laoh, sedangkan dari BFO adalah Sultan Hamid II
dan Ide Anak Agung Gde Agung. Kabinet ini merupakan Zaken Kabinet (yang
mengutamakan keahlian dari anggota-anggotanya) dan bukan kabinet Koalisi yang
bersandarkan pada kekuatan partai-partai politik. Hanya ada dua orang yang menginginkan
adanya sebuah negara federal yaitu Sultan Hamid II dan Anak Agung Gede Agung.
Sehingga gerakan untuk membubarkan sebuah negara nederal dan membentuk sebuah
negara kesataun semakin kuat.
Mengenai pembentukan Negara Kesatuan Republik Indonesia terbentuk, pemerintah
Negara Indonesia Timur dan pemerintah Negara Sumatra timur menyatakan keinginannya
untuk bergabung kembali kedalam wilayah Negara Kesatuan RI (NKRI). Kedua negara
bagian tersebut memberikan mandatnya kepada pemerintahan RIS guna mengadakan
pembicaraan mengenai pembentukan Negara Kesatuan dengan Pemerintah RI. Setelah
pertimbangan mengenai pokok-pokok pikiran tentang pembentukan negara kesatuan
disetujui oleh pemerintah RIS dan Pemerintah RI, maka realisasi pembentukan negara
Kesatuan terlaksana setelah di tandatanganinya Piagam persetujuan antara Pemerintah RIS
dan Pemerintah RI pada tanggal 19 Mei 1950. Kabinet RIS dibawah pimpinan Hatta
memerintahkan sampai dengan tanggal 17 Agustus 1950. Pada hari itu RIS menjelma
menjadi Negara kesatuan Republik Indonesia (RI). Dengan demikian negara federal itu tidak
sampai mencapai usia 1 tahun.
Kesepakatan antara RIS dan RI (sebagai negara bagian) untuk membentuk negara
kesatuan, tercapai pada tanggal 19 Mei 1950. Setelah selama kurang-lebih 2 bulan bekerja,
panitia Gabungan RIS-RI yang bertugas merancang UUD Negara Kesatuan menyelesaikan
tugasnya pada tanggal 20 Juli 1950. Kemudian setelah diadakan pembahasan dimasing-
masing DPR, rancangan UUD negara kesatuan diterima, baik oleh senat dan parlemen RIS
maupun oleh Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP). Pada tanggal 15 Agustus 1950
presiden menandatangani rancangan UUD tersebut yang kemudian dikenal sebagai Undang-
Undang Dasar Sementera Republik Indonesia 1950 (UUDS 1950). UUDS ini mengadung
unsur-unsur dari UUD 45 maupun dari konstitusi RIS. Menurut UUDS 1950 kekuasaan
legislatif di pegang oleh Presiden, kabinet dan DPR. Pemerintah mempunyai hak untuk
mengeluarkan undang-undang darurat atau peraturan pemerintah, walaupun kemudian perlu
juga disetujui oleh DPR pada sidang berikutnya. Presiden juga dapat mengeluarkan
dekritnya kalau di perlukan.

B. Penyimpangan-penyimpangan terhadap Pancasila di Era Orde Lama termasuk


klarifikasi G30S/PKI
Dari tahun 1950 sampai tahun 1955 terdapat 4 kabinet yang memerintah, sehingga rata-
rata tiap tahun terdapat pergantian kabinet. Kabinet-kabinet tersebut secara berturut-turut
yaitu Kabinet Natsir (September 1950- Maret 1951), kabinet Sukiman (April 1951-Februari
1952), Kabinet Wilopo (April 1952-1953) dan Kabinet Ali Sastroamidjojo I (Juli 1953-1955).
Dapat digambarkan, bahwa dalam waktu rata-rata satu tahun itu, tidak ada kabinet yang dapat
melaksanankan programnya, karena parlemennya terlalu sering menjatuhkan kabinet bila
kelompok oposisi kuat. Bahkan pernah terjadi partai-pemerintah menjatuhkan kabinetnya
sendiri. Boleh dikatakan bahwa semua kabinet, termasuk yang resminya bersifat Zaken
Kabinet (yang mengutamakan keahlian dari Anggota-anggotanya), didukung oleh koalisi
diantara berbagai partai. Juga pihak oposisi komposisnya dapat berubah-ubah. Inilah yang
menyebabkan berkecamuknya istabilitas politik.
Hari-hari politik Indonesia, terutama pada 1950-an dan 1960-an, adalah hari-hari yang
dipenuhi gejolak. Dinamika politik ditingkat nasional, setidaknya menggambarkan hal itu.
Praktik demokrasi parlementer setelah kemerdekaan, dan terutama setelah pemilu 1955
ditandai oleh adanya sebuah sikap Jor-joran antar kekuatan politik yang bernuansa ideologis.
Salah satu dampaknya adalah tergantungnya praktik penyelenggaraan pemerintah secara kuat
dan efektif. Kabinet-kabinet pemerintahan Jatuh bangun dalam waktu yang singkat.
Persaingan ideology politik aliran demikian atraktif juga berimbas dalam dinamika kehidupan
politik sehari-hari. Pasca pemilu 1955, kekuatan-kekuatan politik Indonesia semakin jelas,
yakni PNI (partai nasional Indonesia), Masyumi, NU (Nahdlatul Ulama), dan PKI (partai
Komunis Indonesia)yang merupakan empat besar dengan perolehan suara masing-masing
8.434.653 (22,3 %), 7.903.886 (20,9%), 6.955.141 (18,4%), dan 6.179.914(16,4%).
Selain kekuatan empat besar tersebut, terdapat beberapa partai lain yang berada pada
level perolehan suara menengah, dapat disebut antara lain: PSII (partai Syarikat Islam
Indonesia). Parkindo (Partai Kristen Indonesia), Partai katolik, PSI (partai Sosialis Indonesia),
Perti (aprtai Tarbiyah Islamiyah), dan IPKI (ikatan pendukung Kemerdekaan Indonesia).
Diluar partai-partai politik, angkatan bersenjata khususnya Angkatan Darat merupakan
kekuatan politik anti-Komunis, yang tidak dapat dimungkiri tampil sebagai kekuatan politik
pengimbang yang efektif.
Kabinet yang terbentuk pasca-pemilu 1955 melanjutkan kabinet-kabinet parlementer
sebelumnya. Ketika pemilu usai, kabinet Boerhanoeddin harahap (1955-1956), segera
digantikan Ali Sastroamidjojo (1956-1957), Djuanda (1957-1959) dan setelah dekrit Presiden
5 Juli 1959 dinamakan Kabinet Kerja (1959-1964) dan Kabinet Dwikora (1964-1966). Dilihat
dari durasi pemerintahan, kabinet-kabinet demokrasi parlementer rata-rata berjalan secara
singkat. Kabinet bangun dan jatuh seirama dengan dinamika politik. Dan, dalam
perkembangannya, jatuhnya pemerintahan demokrasi liberal pada 14 Maret 1957 membuka
jalan bagi penerapan gagasan-gagasan Sukarno tentang Demokrasi Terpimpin. Bahwa
Soekarno membayangkan suatu jenis rezim korporatis yang didasarkan pada asas-asas
tradisional gotong-royong dan musyawarah untuk mencapai mufakat, sebagai strategi yang
Sekaorno yakini dan paling efektif untuk memobilisasikan dukungan rakyat. Atas gagasan itu,
seokarno mengusulkan pembentukan kabinet gotong-royong yang meliputi semua partai
politik dan suatu dewan nasional yang terdiri dari para wakil kelompok fungsional, daerah
dan anggota Ex-officid seperti para kepala staf ABRI, kepala kepolisian, Jaksa Agung dan
menteri-menteri penting tertentu. Badan ini diketuai oleh Presiden.
Konsepsi tersebut didukung oleh golongan komunis (PKI) dan nasionalis (PNI), tetapi
ditolak oleh Masyumi, sementara partai-partai lain mengambil sikap menanti dan melihat
perkembangan. Karena gagasan itu merupakan pengakuan terhadap hak militer akan
perwakilan politik, maka pimpinan Angkatan Darat mendukung pembentukan dewan
Nasional, tetapi tidak mendukung kabinet yang didalamnya terdapat politisi Komunis.
Agenda kerja pertama Dewan Nasional mencakup rencana-rencana mendirikan suatu
dewan perencanaan nasional, parlemen baru yang terutama terdiri dari kelompok-kelompok
fungsional non partai dan suatu system kepartaian baru, yang diarahkan menjadi system partai
tunggal. Dalam mencari suatu basis konstitusional yang kuat untuk melancarkan perubahan
politik radikal seperti itu, kepala Staf Angkatan darat Jenderal A.H. Nasution meminta dewan
Nasional untuk mendesak Dewan Konstituante agar kembali ke UUD 1945. Ditengah
kegagalan Dewan Konstituante, Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden yang
didukung oleh Angkatan darat dan beberapa partai politik.
Manuver politik Soekarno yang didukung militer (AD) tersebut efektif mengakhiri era
demokrasi parlementer. Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang dibacakan dalam upacara resmi di
Istana Merdeka tersebut, intinya adalah, pembubaran Badan Konstituante, pemberlakuan
kembali UUD 1945, dan pembentukan MPRS dan DPAS. Langkah Soekarno untuk
mengembalikan UUD 1945 dipandang sebagai terobosan sejarah, namun Soekarno segera
memunculkan sejumlah konsekuensi. Yang menjadi persoalan utama adalah ketika Soekarno
sebagai Panglima Besar Revolusi dipandang tidak konsisten dengan Implementasi Pancasila
dan UUD 1945, ketika seorang Soekarno mempraktikkan berbagai kebijakan yang tidak
demokratis.
Banyak tokoh-tokoh politik yang ditahan pada masa ini karena berseberangan dengan
arus utama Demokrasi Terpimpin. Kendatipun demikian, dekrit itu merupakan sebuah fakta
sejarah yang kehadirannya tidak semata-mata merupakan puncak kekesalan Soekarno
terhadap partai-partai politik, tetapi juga merupakan bagian dari scenario politik yang lebih
besar dalam mengimplementasikan eksperimen Demokrasi terpimpin. Sehingga pada
peringatan Hari kemerdekaan 17 Agustus 1959, presiden Soekarno menyampaikan pidatonya
“Penemuan Kembali Revolusi Kita”. Isi pidato itu kemudian mendasari Manipol USDEK,
sebagai singkatan Manifestasi Politik UUD 1945, Sosialisme Indonesia, Demokrasi
Terpimpin Ekonomi Terpimpin dan Kepribadian Nasional. Menurut Soekarno, Manipol
USDEK ini merupakan intisari dari Pancasila yang berisi arah dan tujuan revolusi Indonesia.
Pada Maret 1960, Soekarno membekukan keanggotaan parlemen yang keanggotannya
berdasarkan komposisi hasil Pemilu 1955, dan memperbarui komposisi parlemen yang
disebutnya sebagai Dewan Perwakilan Rakyat Gotong-Royong (DPR-GR). Langkah politik
Sukarno ini memperoleh penolakan dari partai-partai politik yang kemudian membentuk liga
Demokrasi. Kelompok ini terdiri dari para politisi Masyumi, IPKI, Parkindo, Partai Katholik,
dan PSI. Tandingan dari Liga Demokrasi ialah Liga Muslimin, yang didukung NU, PSII dan
Perti yang akomodatif terhadap garis Demokrasi Terpimpin Bung Karno. Walaupun
demikian, beberapa tokoh NU yakin KH. A. Dahlan dan Imron Rosyadi, justru bergabung
dalam Liga Demokrasi walaupun tidak membuat sikap politik NU berubah. Pada bulan
Agustus 1960, Soekarno membubarkan Masyumi dan PSI, serta menyerderhanakan sistem
kepartaian dengan mengakui hanya sepuluh partai politik saja. mengenai pembubaran
Masyumi, keputusan “membubarkan Partai Politik Masyumi, Termasuk bagian-bagian/
cabang-cabang/ranting-ranting diseluruh wilayah negara Republik Indonesia” tampak dari
alasan yang disebutkan pada butir menimbang, pada keputusan presiden Republik Indonesia
Nomor 200 tahun 1960 tertanggal 17 Agustus 1960.
Ini menjadi sebuah gambaran bagaimana setelah Dekrit 5 Juli 1959, kekuatan-kekuatan
politik yang menonjol dipentas nasional direpresentasikan oleh kekuatan-kekuatan politik
NASAKOM. Kekuatan politik nasionalis direpresentasikan oleh PNI, agama oleh NU, dan
Komunis oleh PKI. Sehingga Demokrasi terpimpin memposisikan Soekarno sebagai titik
pusat kekuasaan. Soekarno sebagai presiden bukan hanya sebagai symbol. Kekuatan
politiknya jauh melampaui seorang presiden dimasa normal. Dari adanya demokrasi terpimpin
ini kekuatan militer dan PKI saling berebut pengaruh terhadap kepemimpinan Soekarno.
Karena apa yang menjadi kebijakan eksperimen politik Soekarno terkait NASAKOM
merupakan eksperimen politik yang mencoba menyatukan antara kekuatan non-komunis
melawan komunis. Ini sesungguhnya sangat beresiko, tidak saja bagi Soekarno tetapi juga
bagi masa depan bangsa Indonesia.
Dengan kebijakan yang dibuat Soekarno, PKI mendapatkan angin segar karena PKI
merupakan representasi kekuatan politik Komunis di Indonesia, yang mengalami
pertumbuhan politik yang fenomenal pada decade 1950-an. Catatan sejarahnya yang kelam
dalam pemberontakan 1948 di Madiun, tidak membuat partai yang kemudian dikendalikan
oleh DN Aidit ini tampil sebagai kekuatan politik keempat merujuk pada hasil pemilu 1955.
Aidit mengembangkan srategi “jalan damai” menuju kekuasaan, yakni bekerja sesuai dengan
system parlemen liberal dan turut serta dalam pemilu. Kemampuan pimpinan PKI dan
Kecondongan Soekarno terhadapnyalah yang antara lain menjadi faktor penting yang
memungkinkan PKI membangun basis massa pendukung yang kuat dan menjadi salah satu
dari empat besar sistem kepartaian Indonesia pasca-Pemilu 1955. Setelah besar, Strategi
“jalan damai” bergeser ke tindakan-tindakan politik yang radikal, terutama setelah Soekarno
mencabut UU Darurat pada 1963.
Kekuatan politik PKI diimbangi dengan kekuatan militer yang pamornya meningkat
sejak keberhasilannya menumpas beberapa pemberontakan di daerah pada akhir decade 1950-
an, Angkatan darat merupakan kekuatan yang dituntut untuk pandai beradu strategi dengan
komunis yang memanfaatkan ekksperimen politik pada saat itu. Karenanya, Ketika PKI
dengan dukungan Perdana Menteri China Zhou Enlai mendesak “angkatan lima”, AD
berusaha keras untuk menolak dengan konsep tersebut. PKI juga mendesak gagasan
“Nasakomisasi Angkatan Darat”. Namun pada Mei 1965, Ahmad Yani bertemu dengan
Soekarno uantuk membahas Nasakomisasi Angkatan Darat, dengan pernyataan Ahmad Yani
yang mampu meyakinkan Soekarno bahwa gagasan Nasakom sama dengan semangat
persatuan yang menghubungkan Nasionalisme, agama, dan Komunisme, bukan Suatu struktur
formal yang akan dapat memberikan PKI peranan dalam urusan-urusan Angkatan Darat.
Dari persaingan politik yang dilakukan oleh PKI dan Angkatan Darat inilah yang
nantinya memunculkan sebuah gejolak politik yang berimbas pada ketegangan dan nantinya
memunculkan persaingan untuk berebut sebuah kekuasaan Eksekutif yang berimabas pada
sebuah peristiwa tragedi kemanusiaan yang dimunculkan dengan peristiwa G 30 S pada tahun
1965 yang ini memunculkan sebuah perdebatan terkait peristiwa tersebut.

C. Proses Jatuhnya Kekuasaan Orde Lama


Tahun 1966 menjadi simalakama bagi pemerintahan Orde Lama. Siapa sangka, si Bung
Revolusi yang sangat haqqul yaqqin dengan segala kepribadiannya harus tumbang dari kursi
kepresidenan. Padahal MPRS telah melantiknya menjadi presiden seumur hidup. Politik yang
ia agungkan sebagai panglima malah menyeretnya ke ruang isolasi zaman. Ia teralienasi
bersama ideologinya. Kebalikannya, 1966 bagi Mayor Jendral Soeharto seperti mendapat
durian runtuh. Karirnya langsung meroket bersamaan dengan pangkatnya yang berbuah purna
Jendral penuh dan diangkat sebagai pejabat presiden. Peran sentralnya dalam memulihkan
stabilitas sosial politik pasca tragedi G-30-S, kemudian menjadikan Supersemar sebagai surat
“pengalihan kekuasaan”, menjadikan pemuda Kemusuk, Bantul ini mantap berada dalam trek
kepemimpinan RI-1.
Tanpa ragu, Soeharto mengambil tindakan kontroversi. Ia langsung melarang Partai
Komunis Indonesia dan segera-tanpa menghiraukan protes Presiden Soekarno-menangkap
sekitar 12 menteri Kabinet 100 Menteri (Frans Magnis-Suseno SJ, 2011).sejak tanggal itu
jalannya pemerintahan kekuasaan efektif berada di tangan Soeharto. Praktis, untuk pertama
kalinya dalam sejarah Indonesia militer mulai memegang dan mendominasi tampuk
kekuasaan. Setidaknya untuk 32 tahun ke depan. Bahkan sampai sekarang, presiden berdarah
militer masih menjadi pilihan rakyat ketimbang sipil.
Soekarno meradang. Ia sangat kecewa dengan tindakan Soeharto yang salah
menafsirkan SP-11-Maret. Dalam pidato HUT RI 17-8-1966, Soekarno berkali-kali
menakankan bahwa SP-11-Maret adalah suatu perintah pengamanan; jalannya pemerintahan,
keselamatan pribadi presiden, wibawa presiden dan ajaran presiden. Bukan suatu penyerahan
pemerintahan (transfer of authority). Jelas, dalam pidato terakhirnya sebagai presiden di hari
kemerdekaan RI tersebut, Ia juga mengutuk Gestok.
Supersemar seakan menjadi sebuah blunder bagi Soekarno. Sepucuk surat yang
mengakhiri karir politiknya sebagai seorang Presiden. Revolusi yang menjadi kata azimat,
pun harus kandas di tengah jalan. Sepucuk surat yang mengantarkan seorang anak petani
menjadi seorang presiden, mengawali sebuah orde (baca: rezim) baru pemerintahan. The gret
leader sipil, Bung Karno, harus legowo menyerahkan nakhoda kepemimpin NKRI kepada the
smilling general.
Tabiat sejarah selalu memunculkan kontroversi. Senada, sepucuk surat itu pun sampai
sekarang masih menjadi sebuah kontroversi. Sebagaimana kita tahu, Surat perintah 11 Maret
adalah basis legitimasi orde baru, tetapi sekaligus titik kontroversi dari fakta yang belum tuntas.
Fakta yang superlatif justru membuat orang mempertanyakan kebenarannya. Sebab, antara fakta
yang diciptakan dengan kenyataan yang bisa diuji kebenarannya, justru saling tolak (Rumekso
Setyadi, 2008).
Supersemar dan Legitimasi Kekuasaan Soeharto
Seusai terjadinya tragedi 1965, sebagai salah satu perwira senior pasca wafatnya ketujuh
jendral dalam peristiwa tersebut, Soeharto mengambil langkah-langkah strategis dalam
mengamankan kondisi kemanan di Ibu Kota. Langkah pertama yang diambilnya adalah
mengambil alih kepemimpinan dalam Angkatan Darat yang kosong selepas wafatnya Jendral
Ahmad Yani. Padahal presiden Soekarno telah mengambil alih pimpinan Angkatan Darat dan
mengangkat Mayjen Pranoto Resosamudro sebagai caretaker. Ia juga mengambil alih peranan
Panglima Tertinggi ABRI dari Presiden Soekarno. Dan, secara sepihak, ia memberlakukan
keadaan darurat (James Luhulima, 2001:305-306).
Langkah Mayjen Soeharto yang paling efektif adalah memonopoli media massa, sehingga
ia dengan leluasa dapat membentuk opini (public opinian) sesuai yang dikehendakinya. Suatu
langkah yang kemudian terus dilanjutnya selama memerintah negara ini lebih dari 31 tahun.
Mengetahui secara de facto bahwa ia sudah mengandalikan pasukan ABRI, Soekarno
mengangkatnya sebagai Panglima Komando Operasi Pemulihan Kemanan dan Ketertiban
(Pangkopkamtib). Bahkan ia mengangkat Soeharto menjadi menjadi Menteri/Panglima Angkatan
Darat, setelah Mayjen Pranoto Resosamudro dijebloskan kepenjara karena dituduh terlibat G30S.
Soekarno bak tikus yang tersudutkan akibat aksi Soeharto. Semua serba dilematis.
Gelombang aksi demonstran yang turun ke jalan, bahkan sampai menduduki Istana Merdeka,
semakin tidak terkendali. Mereka mendesak Soekarno untuk membubarkan Partai Komunis
Indonesia (PKI) dan membersihkan kabinet Dwikora dari antek-antek PKI. Namun, idealisme
Soekarno tidak bisa digertak.
Pada sidang kabinet tanggal 11 Maret 1966, Bung Karno memperoleh laporan, bahwa
Istana telah dikepung oleh para demonstran, disertai “pasukan liar” yang tidak berseragam. Bung
Karno kemudian diterbangkan menggunakan helikopter ke Istana Bogor. Sementara Pak Harto,
selaku Menteri Panglima Angkatan Darat yang waktu itu tidak menghadiri sidang kabinet
karena sakit, kemudian mengutus Mayjen. Basuki Rachmat, Brigjen M. Yusuf dan Brigjen.
Amirmachmud. Kepada ketiga jendral itu, Pak Harto menyampaikan pesan, seandainya ia masih
dipercayai, agar Bung Karno menyerahkan pemulihan ketertiban dan keamanan kepada dirinya.
Pesan itu disampaikan kepada Bung Karno di Istana Bogor, dan terjadilah proses penyusunan
surat perintah, yang konon tidak mudah, meskipun akhirnya keluar naskah yang kemudian
dikenal sebagai Surat Perintah 11 Maret (Sulastomo, 2008:223-224).
Setelah Supersemar dalam genggaman Suharto, maka dia tidak menyia-nyiakan
kesempatan tersebut. Langkah pertama yang dilakukan adalah dengan membubarkan PKI dan
menyatakan bahwa organisasi PKI adalah organisasi yang terlarang pada tanggal 12 Maret 1966.
Langkah Suharto membuat geram Presiden Sukarno. Dia menyatakan bahwa seharusnya Suharto
tidak bertindak terlalu jauh dari wewenang yang diembannya. Akhirnya Presiden Sukarno
memanggil Suharto untuk dimintai pertanggungjawabanya mengenai penyalahgunaan wewenang
yang dilakukan oleh Suharto. Namun dengan alasan masih menderita sakit flu, Letjend. Suharto
tidak memenuhi panggilan Presiden Sukarno untuk datang ke Istana Bogor.
Wakil Perdana Menteri III Chaerul Saleh membacakan perintah tertulis bahwa Presiden
Sukarno menegaskan Surat Perintah Sebelas Maret tidak berarti penyerahan kekuasaan oleh
Presiden kepada Suharto. Siaran warta berita RRI pusat dimulai dengan pengumuman dari Istana
Merdeka. Waperdam III Chaerul Saleh tampil di depan corong, membacakan pengumuman
presiden nomor 1/Pres/66 yang menyatakan penyesalan sebesar-besarnya karena masih ada sikap
dan usaha dari sebagian anggota masyarakat untuk memaksakan kehendak. Terlebih-lebih
dilakukan secara ultimatif kepada presiden dan kepada para menteri yang sedang bertugas
membantu kepala Negara (Julius Pour, 2010:497).
Ironisnya, pada tanggal 18 Maret 1966 Suharto menangkap 15 anggota Kabinet Dwikora
yang terindikasi terlibat dalam organisasi PKI, termasuk di dalamnya Wakil Perdana Menteri III
Chaerul Saleh. seluruh kabinet Dwikora digantikan oleh anggota-anggota baru yang pro Suharto.
Hal yang sama dilakukan pula kepada para anggota MPRS, Jenderal AH. Nasution yang
bersitegang dengan Soekarno duduk sebagai ketua MPRS.
Sidang Umum (SU) MPRS kemudian digelar pada tanggal 20 Juni sampai 6 Juli di Istora
Senayan. Beberapa keputusan yang dihasilkan dari Sidang Umum tersebut yaitu: mencabut gelar
Soekarno sebagai presiden seumur hidup, ditolaknya pidato pertanggungjawaban Seokarno
sebagai presiden, dan yang terpenting adalah dikukuhkannya Supersemar sebagai Ketetapan
MPRS No. IX/MPRS/1966. Pengukuhan Supersemar menjadi Tap MPRS yang punya kekuatan
sangat kuat, menutup peluang Soekarno untuk mencabutnya kembali. MPRS memberikan
mandat kepada pengemban SP 11 Maret, untuk membentuk kabinet baru. Tanggal 25 Juli 1996,
Kabinet Ampera dibentuk dengan Jenderal Suharto sebagai ketua presidium. Seupersemar
menjadi titik tolak balik yang mengakhiri dualisme kekuasaan antara Soekarno dan Soeharto.

KESIMPULAN
Pemaparan diatas menunjukkan bahwa Penafsiran dan Pelaksanaan Pancasila pada masa
Orde Lama tidak terlepas dari situasi politik pada masa itu. Sebagai negara yang baru lahir,
Pancasila sudah langsung mengalami introdusir secara keliru oleh rezim yang berkuasa.
Penyimpangan banyak terjadi selama masa Orde Lama yang dinahkodai oleh Presiden Soekarno.
Diantaranya pada tanggal 5 Juli 1959 Presiden Soekarno mendekritkan kembali UUD 1945. Pada
masa itu Presiden Soekarno menyampaikan konsep yang disebut Demokrasi Terpimpin yang
berlandaskan pada UUD 1945 dan dijiwai Pancasila ini menjanjikan ia seorang yang otoriter.
Selain itu Bung Karno mengembangkan konsep NASAKOM (Nasional, Agama,
Komunis). Nasakom dianggap sebagai cara paling tepat untuk mempersatukan bangsa. tidak
semua orang setuju adalah tidak mungkin mempersatukan kaum komunis yang tidak
mempercayai adanya Tuhan dengan Umat beragama. Dalam menjalankan ide politiknya itu,
Sokearno menggandeng PKI. PKI pun memanfaatkan kebijaksanaan presiden Soekarno dalam
menjalankan pemerintahan dengan sebaik-baiknya. PKI memasukkan ideologinya dalam garis-
garis besaar haluan negara (GBHN) yang dihasilkan oleh MPRS.
PKI menteror serta menjatuhkan setiap lawan politiknya. Puncaknya pada tahun 1965 PKI
melakukan pemberontakan dengan melakukan penculikan terhadap para pejabat-pejabat teras
TNI AD yang dianggap PKI sebagai penghalang rencana mereka untuk merebut kekuasaan.
Rakyat yang tergabung dalam Front Pancasila tidak puas atas ketidaktegasan pemerintah
terhadap G-30-S/PKI. Presiden Soekarno juga menilai G-30-S/Pki adalah suatu perbuatan makar
. jika tidaksegera menhukum PKI akibatnya aksi0aksi rakyat semakin meningkat. Kesatuan Aksi
Mahasiswa (KAMI), KAPI dan KAPPI menyampaikan TRITURA (Tiga Tuntutan Rakyat) yaitu
bubarkan PKI, Bersihkan kabinet dari unsur-unsur PKI dan turunkan harga.
Pada tanggal 11 Maret 1966 aksi-aksi demonstrasi mencapai puncaknya, Presiden
Soekarno memberikan Surat Perintaah Sebelas Maret (SUPERSEMAR kepada LetJend.
Soeharto dan memerintahkan kepadanya untuk mengambil tindakan yang perlu, guna terjamin
keamanan serta kestabilan jalannya pemerintahan untuk sementara dengan lahirnya Orde Baru.
Pada tanggal 12 Maret 1966 LetJend. Soeharto membubarkan PKI dan Ormas-Ormsnya dan
dinyatakan sebagai Partai Terlarang di Indonesia.Kekuasaan Soekarno mulai jatuh setelah
laporan pertanggungjawaban G-30-S/PKI ditolak oleh MPRS dan pada tahun 1966 atas
ketetapan Sidang Umum ke IV MPRS agar Soeharto membentuk Kabinet Ampera ini
menyebabkan adanya Dwifungsi kepemerintahan Soekarno dan Soeharto. Pada sidang istimewa
MPRS, tanggal 12 Maret 1967, Soeharto diangkat menjadi Pejabat Presiden dan
memberhentikan dengan hormat Presiden Soekarno dari jabatannya dan pada tahun 1978,
tanggal 27 Maret secara aklamasi MPRS menetapkan Soeharto sebagai Presiden.
Sebagai kalimat penutup, penulis mencoba berada posisi netral. Dalam artian, kami bukan
bermaksud ‘mengutuk’ pemerintahan Orde Lama dengan berbagai penyimpangan yang
dilakukannya terhadap Pancasila, tetapi mencuba menarik suatu nilai (values) penting untuk
dijadikan hikmah dalam kehidupan sehari-hari, terutama dalam pembelajaran sejarah di sekolah.
Senada yang dikatakan Bung Karno “buang abunya, ambil apinya”. Nilai itu terdapat pada sosok
Soekarno sendiri yang merupakan tokoh dengan berjuta polemik, di tahun 1945 ia adalah
seorang pejuang tetapi di tahun 1950an keatas ia malah termakan oleh kekuasaan. Tapi patut
diteladani sebagai nasionalisme Indonesia. Tak dipungkiri lagi, Soekarno merupakan manusia
yang kompleks, unik dan brilian dalam ide gagasannya. Bapak Bangsa yang sulit ditebak jalan
pikirannya, penuh dengan sinkretisme ideologi, tetapi dibalik itu semua beliau hanya
mengingankan Persatuan dan kesatuan Bangsanya. Dan Pancasila, merupakan salah satu dari
sumbangsihnya untuk bangsa Indonesia tercinta.

DAFTAR PUSTAKA
Frans Magnis-Suseno SJ, “45 Tahun Supersemar”. Kompas, Jumat 11 Maret 2011.
James Luhulima, “Peristiwa G30S “Titik Balik” Soekarno”, dalam Dialog Dengan Sejarah,
Soekarno Seratus Tahun, (Jakarta: PB. Kompas, 2001).
Julius Pour, Gerakan 30 September: Pelaku, Pahlawan dan Petualang, Jakarta: Kompas, 2010,
Herbert Feith dan Lance Castles. 1988. Pemikiran Politik Indonesia 1945-1965. Jakarta: LP3ES.
Marwati Djoened Poesponegoro & Nugroho Notosusanto.1993. Sejarah Nasional Indonesia Jilid
VI. Jakarta: Balai Pustaka.
Rumekso Setyadi. “Membaca Sejarah secara Terbalik”. Kompas, Sabtu, 27 September 2008.
Soekarno, Nasionalisme, Islamisme Dan Marxisme. Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2012
Sulastomo, Hari-Hari Yang Panjang Transisi Orde Lama Ke Orde Baru (Sebuah Memoar),
(Jakarta: PB. Kompas, 2008).
Suhartono W. Pranoto. Sultan Hamengkubuwana. Yogjakarta

Anda mungkin juga menyukai