NIM : 180220010
Kelas : IV A ilmu politik
MK : Pemikiran politik Indonesia
1. Sebutkan sekilas tentang politik dan pemikiran politik yang berkembang di wilayah
nusantara pra kemerdekaan republik Indonesia.
2. Sebutkan apa yang saudara fahami tentang Politik Etis, apa yang melatar belakangi
lahirnya Politik Etis tersebut dan siapa tokoh utamanya.
3. Sebutkan perbedaan dan persamaan pemikiran tentang konsepsi demokrasi antara
Sukarno, Muhammad Hatta dan Muhammad Nasir.
4. Huraikan tentang Demokrasi Liberal dan Demokrasi Terpimpin yang pernah wujud
pada masa orde lama.
5. Huraikan tentang Pemikiran Politik tentang pembangunan dan demokrasi pada masa
orde baru.
6. Jelaskan tentang sejarah, dinamika dan pemikiran tentang Demokrasi Pancasila
7. Huraikan tentang konsepsi dan pemikiran politik Islam Indonesia.
8. Apa yang saudara fahami tentang Pemikiran Politik Masyumi, Muhammadiyah dan
NU.
Jawaban :
1. POLITIK DAN PEMIKIRAN POLITIK
Politik etis atau Politik Balas Budi adalah pemikiran progresif bahwa pemerintah Belanda
mempunyai kewajiban moral menyejahterakan penduduk Hindia Belanda sebab telah
memberikan kemakmuran bagi masyarakat dan kerajaan Belanda.
latar belakang lahirnya politik etis yaitu Pemikiran baru tentang Politik Etis berasal dari
kaum sosialis-liberalis yang prihatin terhadap kondisi sosial ekonomi kaum pribumi
(inlander). Pada 1863 sistem tanam paksa dihapus dan Belanda menerapkan sistem ekonomi
liberal sehingga modal-modal swasta masuk nusantara. Politik ekonomi ini secara tidak
langsung membuka ruang bagi swasta untuk bersatu di usaha-usaha ekonomi di Hindia
Belanda. Perkebunan swasta semakin meluas bahkan mencapai wilayah Sumatera Timur.
Tetapi sistem ekonomi ini tidak mengubah nasib rakyat, sebab mengejar keuntungan tanpa
memperhatikan kesejahteraan masyarakat pribumi. Kondisi buruk kaum pribumi terjadi
akibat eksploitasi ekonomi oleh pemerintah dan swasta Belanda khususnya sejak 1870.
Kebijakan-kebijakan pemerintah kolonial pada masa itu umumnya tidak memberikan
perlindungan maksimal terhadap penduduk setempat. Sehingga menimbulkan kritik dari
kaum sosialis di Belanda. Tetapi menimbulkan dampak buruk terhadap masyarakat pribumi,
yaitu tekanan terhadap rakyat semakin kuat, pembelaan hak rakyat terhadap kapitalisme
modern semakin lemah dan kemerosotan kesejahteraan hidup.
Pemikiran politik bung hatta adalah pemikiran politik Bung Hatta adalah pemikiran
politik kebangsaan yang menjelaskan pandangannya bahwa kemakmuran dan demokrasi
merupakan aspek yang mutlak harus dicapai oleh bangsa Indonesia. Ke depan Indonesia
bangsa harus menjadi bangsa yang bersatu dan tidak terpisah-pisah, bebas dari penjajahan
asing dalam bentuk apapun baik itu politik dan ideologi. Dasar-dasar 530 perikemanusiaan
harus terlaksana dalam segala segi penghidupan. Bung Hatta lebih menekankan pentingnya
suatu integritas bangsa yang bebas dari segala bentuk penjajahan untuk menciptakan suatu
kemakmuran dan demokrasi yang menjadi dasar suatu negara. Selain itu, Bung Hatta juga
memiliki pemikiran politik tentang pemahaman tentang sosialisme kebersamaan. Sejalan
dengan itu, dijelaskan Deliar Noer (1965: 143) bahwa Hatta mengemukakan dalam bidang
politik dan ekonomi suatu negara maka rakyatlah yang berdaulat. Artinya bahwa
kebersamaan perlu dibangun untuk kemajuan suatu negara.
Menurut M. Natsir Demokrasi adalah prinsip pemerintahan yang sesuai dengan Islam dan
realitas masyarakat Indonesia. Hal ini disebabkan karena demokrasi mengandung paham
kedaulatan rakyat. Kedaulatan tersebut berada di tangan rakyat sebagai amanah Tuhan
kepada mereka. Namun menurut Natsir pelaksanaan kedaulatan rakyat harus dilakukan
dengan berpedoman kepada normanorma syari’ah dan tidak melampaui ketentuan yang telah
ditetapkan Tuhan. Berangkat dari asumsi ini, Natsir menawarkan konsep demokrasi Islam
dengan menggunakan istilah Theistic democracy. Penggunaan istilah Theistic democracy M.
Natsir dilatarbelakangi oleh dua pandangan; pertama, Islam tidak mengenal konsep
demokrasi yang berkembang di Barat, dalam arti semua keputusan politik diserahkan
sepenuhnya kepada kehendak mayoritas anggota parlemen, sedangkan dalam Islam, tidak
semua persoalan yang harus dibicarakan di dalam parlemen. Persoalan yang akan diputuskan
hanya yang berkaitan dengan persoalan yang tidak ditemukan secara tegas keputusannya
dalam nash. Kedua, Islam tidak mengenal sistem teokrasi, di mana suatu pemerintahan
dikuasai oleh satu priesthood (sistem kependetaan), yang mempunyai hierarchi (tingkat
bertingkat) serta menganggap penguasa itu sebagai wakil Tuhan di bumi. Oleh sebab itu
dalam ungkapan yang tegas, Natsir menyatakan bahwa demokrasi Islam itu adalah suatu
pengertian dan suatu paham yang mempunyai sifat-sifat tersendiri. Islam bukan demokrasi
100%, bukan pula teokrasi 100%. Islam itu, ya Islam.
yaitu ketiga pemikiran ini saling kuat dalam menggunakan demokrasi,karena demokrasi
ini sangat perlu untuk mempermudah dalam merealisasikan hasil pemikiran pemikiran para
filosof Indonesia.
Dalam politik nasional, Suharto berhasil semakin memperkuat posisinya pada tahun
1970an. Produksi minyak domestik yang memuncak memastikan bahwa pendapatan negara
berlimpah. Pendapatan ini digunakan untuk membiayai pembangunan infrastruktur dan
program-program pengentasan kemiskinan. Namun, di dunia internasional, citra Indonesia
memburuk karena invasi Timor Timur. Setelah berhentinya masa penjajahan Portugal - dan
deklarasi kemerdekaan Timor Timur pada 1975 - militer Indonesia dengan cepat menginvasi
negara ini; sebuah invasi yang diiringi kekerasan.
Pertama, rotasi kekuasaan eksekutif boleh dikatakan hampir tidak pernah terjadi. Kecuali
pada jajaran yang lebih rendah, seperti: gubernur, bupati/walikota, camat dan kepala desa.
Kalaupun ada perubahan, selama pemerintahan Orde Baru hanya terjadi pada jabatan wakil
presiden, sementara pemerintahan secara esensial masih tetap sama.
Kedua, rekruitmen politik bersifat tertutup. Rekruitmen politik merupakan proses
pengisian jabatan politik di dalam penyelenggaraan pemerintah negara baik itu untuk
lembaga eksekutif (pemerintah pusat maupun daerah), legislatif (MPR, DPR, dan DPRD)
maupun lembaga yudikatif (Mahkamah Agung). Dalam negara yang menganut sistem
pemerintahan yang demokratis, semua warga negara yang mampu dan memenuhi syarat
mempunyai peluang yang sama untuk mengisi jabatan politik tersebut. Akan tetapi, yang
terjadi di Indonesia pada masa Orde Baru, sistem rekruitmen politik tersebut bersifat tertutup,
kecuali anggota DPR yang berjumlah 400 orang dipilih melalui Pemilihan Umum. Pengisian
jabatan tinggi negara seperti Mahkamah Agung, Dewan Pertimbangan Agung dan jabatan-
jabatan lainnya dalam birokrasi dikontrol sepenuhnya oleh lembaga kepresidenan. Demikian
juga dengan anggota badan legislatif. Anggota DPR sejumlah 100 orang dipilih melalui
proses pengangkatan dengan surat keputusan Presiden. Sementara itu dalam kaitannya
dengan rekruitmen politik lokal (seperti gubernur dan bupati/walikota), masyarakat di daerah
tidak mempunyai peluang untuk ikut menentukan pemimpin mereka, karena kata akhir
tentang siapa yang akan menjabat diputuskan oleh Presiden. Jelas, sistem rekruitmen seperti
sangat bertentangan dengan semangat demokrasi.
Ketiga, Pemilihan Umum. Pada masa pemerintahan Orde Baru, Pemilihan Umum telah
dilangsungkan sebanyak tujuh kali dengan frekuensi yang teratur setiap lima tahun sekali.
Tetapi kalau kita amati kualitas pelaksanaan pemilihan umum tersebut masih jauh dari
semangat demokrasi. Karena Pemilihan Umum tidak melahirkan persaingan yang sehat, yang
terjadi adalah kecurangankecurangan yang sudah menjadi rahasia umum.
Keempat, pelaksanaan hak dasar warga negara. Sudah bukan menjadi rahasia umum lagi,
bahwa dunia internasional seringkali menyoroti politik Indonesia berkaitan erat dengan
perwujudan jaminan hak asasi manusia. Masalah kebebasan pers sering muncul ke
permukaan. Persoalan mendasar adalah selalu adanya campur tangan birokrasi yang sangat
kuat. Selama pemerintahan orde baru, sejarah pemberangusan surat kabar dan majalah
terulang kembali seperti yang terjadi pada masa orde lama, misalnya beberapa media massa
seperti Tempo, Detik, dan Editor dicabut surat izin penerbitannya atau dengan kata lain
dibredel setelah mereka mengeluarkan laporan investigasi tentang berbagai masalah
penyelewengan oleh pejabat-pejabat negara.
Ekstitensi Islam politik (political Islam) pada masa kemerdekaan dan sampai pada pasca
reformasi pernah dianggap sebagai persaingan kekuasaan yang dapat mengusik basis
kebangsaan negara. Persepsi tersebut, membawa implikasi terhadap keinginan negara untuk
berusaha menghalangi dan melakukan domestikasi terhadap gerak ideologis politik Islam.
Antagonistik politik antara Islam dan negara sebagaian besar disebabkan oleh idealisme
dan aktivisme Islam politik yang bercorak legalistik dan formalistik. Hubungan yang tidak
mesra ini disebabkan oleh perbedaan pandangan pada pendiri republik ini yang sebagian
besarnya Muslim, mengenai hendak dibawa kemanakah negara Indonesia ini apakah negara
bercorak Islam atau nasionalis.
Tema-tema politik Islam lebih bergulir pada tataran ideologi dan simbol ketimbang
substansi, dan tema- tema Islam pada tataran ideologi dan simbolik mencapai klimaksnya
pada perdebatan dalam konstituante pada paruh kedua dasawarsa 1950-an. Paparan historis
yang terkesan deskriptif itu, secara tegas menunjukkan bahwa suhu politik yang tertampung
dalam majelis konstuante tidak dapat mendinginkan cita- cita idiologis antara golongan Islam
dan golongan nasionalis sekuler, yang keduanya memang sudah lama bersitegang.
Upaya untuk menemukan hubungan politik yang pas antara Islam dan negara terus
berlanjut pada periode kemerdekaan dan pascarevolusi, lantaran tidak juga kunjung
ditemukan, menyebabkan berkembangnya kesaling curigaan yang lebih besar antara Islam
dan negara.
Meskipun cita-cita terbinanya hubungan yang mesra dan saling melengkapi antara Islam
dan negara, belum sepenuhnya berhasil terwujud, ada beberapa isyarat penting yang
mengindikasikan masuknya kembali Islam politik kedalam kehidupan politik negeri ini.
Bukti yang memperlihatkan perkembangan baru ini adalah sikap negara yang mulai tampak
ramah terhadap Islam, yang ditandai oleh diterapkannya kebijakankebijakan tertentu yang
dipandang sejalan dengan kepentingan sosialekonomi, kultural dan politik Islam.
Bukti bukti akomodasi jika dikategorikan secara luas, bisa digolongkan kedalam empat
jenis berbeda:
a. akomodasi structural;
b. akomodasi legislative
c. akomodasi infrastruktual
d. akomodasi kultural.
Cara kedua, Masyumi segera menyelesaikan tugasnya. Hal ini tidak dapat menentang
tokoh-tokoh Masyumi yang merupakan tokoh-tokoh yang terlibat dalam perjuangan
kemerdekaan sejak zaman penjajahan. Sejak awal kemerdekaan, beberapa tokoh Masyumi
telah ikut serta dalam pemilihan, pemilihan, dan jabatan-administrasi administrasi. Masyumi
memikirkan sukses langsung di pemerintahan sebagai jalan strategis dalam mewujudkan
tujuan-keberhasilan. Dengan cara demikiann, hukum-hukum Allah tidak hanya disampaikan
melalui mimbar di masjid, tetapi juga melalui pejabat-pejabat pemerintahan dalam bentuk
undang-undang negara. Sesuai dengan pandangan yang memandang pluralisme sebagai hal
yang positif membuat Masyumi dapat dengan mudah berkoalisi dengan pihak-pihak lain.
Cara yang dilakukan Masyumi melalui kegiatan diplomatik dengan tokoh-tokoh di negara
lain dan organisasi internasional untuk memperoleh pengakuan kemerdekaan Indonesia.
PEMIKIRAN POLITIK MUHAMMADIYAH
Sejauh menyangkut Muhammadiyah, pada awalnya tidak menggagas negara (politik)
dengan konsep ideologis yang utuh. Demikian karena berdirinya Muhammadiyah jauh
mendahului NKRI atau Negara Proklamasi 1945.
Kendati begitu, dari segi kesadaran nasionalisme pada awal abad ke-20, KH Ahmad
Dahlan sebagai pendiri Muhammadiyah terlibat aktif dalam forum inklusif, yang kelak
menjadi wahana penyemaian kebangkitan nasional-(isme) dan perjuangan kemerdekaan,
seperti aktif dalam pertemuan Boedi Oetomo.
Karena itu, jika wacana ideologi dan negara dalam Muhammadiyah baru mulai pada
persiapan kemerdekaan Indonesia dalam BPUPKI, yang secara artikulatif diwakili Ki Bagoes
Hadikusumo bersama Mr Kasman Singodimedjo dan sebagainya, sebenarnya hal itu catatan
formalnya.
Di era kemerdekaan hingga akhir Orde Lama, interaksi dialektis masyarakat dengan
negara, termasuk kelompok masyarakat dengan berbagai latar belakang (etnis, ideologis
politis, keagamaan) menggejala dalam geliat politik yang saling bersaing dan berhadapan,
kemudian merajut konfigurasi politik berbasis kedekatan ideologis yang transparan dari
berbagai kelompok, berderet dari kanan ke kiri atau sebaliknya (Alfian, Politik Kaum
Modernis).
Secara ringkas, penafsiran atas pemikiran ideologis KH Ahmad Dahlan dalam mendirikan
Muhammadiyah, seharusnya didasarkan pada latar historis ideologis gerakan pembaruan
Islam di dua lokus: Makkah dan Mesir. Yang pertama adalah pengakaran pada realitas
Makkah, mengacu pada pemikiran dan perjuangan Muhammadi ibn Abd al-Wahhab (abad
ke-18). Kedua, pengakaran pada realitas Mesir mengacu pada pemikiran dan perjuangan
Jamaluddin al-Afghani (abad ke-19). Jika yang pertama dengan strategi atau metode Makkah
(Manhaj Makkiy), yang kedua dapat disebut strategi atau metode Mesir (Manhaj Misriy).
“Konteks historis ini yang kemudian (mendorong) para ulama Nusantara harus
melahirkan pandangan politik yang sesuai dengan zamannya. Konteks pertama adalah
konteks kerajaan”.
Kedua, fase kolonial. Pada saat ini, ulama menjadi pimpinan lembaga pendidikan
keagamaan seperti surau, dayah, dan pesantren. Fase kedua ini menjadi tonggak penting
dalam membentuk pemikiran politik ulama selanjutnya. Karena pada fase ini banyak buku
atau kitab yang diterbitkan untuk dikaji dan dijadikan sebagai rujukan.
“Sehingga kalau dikatakan pemikiran siyasah ulama Nusantara sebenarnya pada fase ini.
” alumni Universitas Al-Azhar Kairo Mesir ini. “Tidak mungkin penjajah takluk tanpa peran
dari ulama Nusantara yang meletakkan pondasi pemikiran siyasah,” tambahnya. Ketiga, fase
kemerdekaan. Ulama-ulama Nahdlatul Ulama (NU) tidak hanya memiliki peran yang besar
dalam mewujudkan kemerdekaan, tapi juga meletakkan politik kebangsaan. KH Abdul
Wahid Hasyim merupakan kiai NU yang ikut serta dalam merumuskan dasar negara dan
politik kebangsaan Indonesia.
“Apa yang dilakukan ulama-ulama sekarang dengan bela negara, hubbul wathon minal
iman, itu adalah bagian dari fase sejarah pada masa kemerdekaan,” kata penulis buku
Hadratussyekh Hasyim Asy’ari: Moderasi, Keumatan, dan Kebangsaan ini. Keempat, fase
demokrasi. Fase ini dimulai sejak 1955 dimana ulama berperan dalam politik kebangsaan
untuk mengawal Pancasila dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).