Anda di halaman 1dari 12

Nama : YOSE PRATAMA SYAPUTRA

NIM : 180220010
Kelas : IV A ilmu politik
MK : Pemikiran politik Indonesia

Soal Ujian Final :

1. Sebutkan sekilas tentang politik dan pemikiran politik yang berkembang di wilayah
nusantara pra kemerdekaan republik Indonesia.
2. Sebutkan apa yang saudara fahami tentang Politik Etis, apa yang melatar belakangi
lahirnya Politik Etis tersebut dan siapa tokoh utamanya.
3. Sebutkan perbedaan dan persamaan pemikiran tentang konsepsi demokrasi antara
Sukarno, Muhammad Hatta dan Muhammad Nasir.
4. Huraikan tentang Demokrasi Liberal dan Demokrasi Terpimpin yang pernah wujud
pada masa orde lama.
5. Huraikan tentang Pemikiran Politik tentang pembangunan dan demokrasi pada masa
orde baru.
6. Jelaskan tentang sejarah, dinamika dan pemikiran tentang Demokrasi Pancasila
7. Huraikan tentang konsepsi dan pemikiran politik Islam Indonesia.
8. Apa yang saudara fahami tentang Pemikiran Politik Masyumi, Muhammadiyah dan
NU.
Jawaban :
1. POLITIK DAN PEMIKIRAN POLITIK

Pemikiran yang berkembang di nusantara pra kemerdekaan republik Indonesia yaitu


nasionalisme berdasarkan islam Menurut  Tjokroaminoto  makna istilah nasional merupakan
suatu usaha untuk meningkatkan seseorang pada tingkat natie (bangsa). Selanjutnya,
ditambahkan pengertian nasional sebagai usaha untuk memperjuangkan tuntutan
Pemerintahan Sendiri atau sekurang-kurangnya agar orang-orang Indonesia diberi hak  untuk
mengemukakan  suaranya  dalam  masalah-masalah politik . Hal ini menunjukkan adanya
beberapa fase, dimana ketika seorang individu yang berbeda karakteristiknya seperti suku,
agama, atau kultur disatukan dengan individu lain yang  juga  memiliki karakteristik berbeda
sehingga membentuk suatu identitas baru yang mempersatukan diantara mereka menjadi
suatu bangsa. Kemudian bangsa tersebut memperjuangkan hak-hak politiknya untuk dapat
membentuk pemerintahan sendiri, mengatur bangsa dan wilayahnya sendiri, sehingga pada
akhirnya dapat menentukan nasib bangsanya sendiri.

Disini dapat dilihat bagaimana Tjokroaminoto terinspirasi dan bersimpati terhadap


gerakan Pan-Islamisme. Ia dan rekan-rekannya di SI memang mencita- citakan politik Pan-
Islamisme. Ia berharap dapat mempersatukan kekuatan Islam di  Hindia  (Indonesia)  dalam
rangka  mewujudkan  gagasan  besarnya,  Pan-Islamisme. Pan-Islamisme  melihat
perjuangan  umat  Islam  di  Hindia  sebagai bagian dari perjuangan umat Islam di Asia dan
Afrika untuk menyingkirkan penjajah Eropa. Ia menjadikan referensi kemenangan Turki atas
Yunani dan Armenia sebagai teladan bagi gerakan pembebasan Islam atas dominasi kolonial
barat.  Namun  demikian  penekanan  utamanya  tetap  pada  ’masalah-masalah nasional dan
problem-problem umat Islam di Hindia.

Tjokroaminoto  pernah  merumuskan  bahwa  untuk  menjalankan  Islam dalam  segala


aspek  kehidupan,  ”bangsa  Hindia  (Indonesia)  harus  bersandar kepada sijasah (politik)
yang berkenaan dengan bangsa dan Negeri tumpah darah sendiri, dan politik menuju maksud
akan mencapai persatuan atau perhubungan dengan ummat Islam di lain-lain negeri (Pan
Islamisme) agar dapat mencapai kemuliaan dan keluhuran derajat.” Atau dengan kata lain
Tjokroaminoto menganggap bahwa ”pergerakan sijasah (politik) itu suatu kewajiban yang
penting bagi orang Islam” karena dua kepentingan, yaitu untuk mencapai kemerdekaan umat
dan agar kita dapat melaksanakan apa-apa yang diperintahkan oleh Allah S.W.T. Upaya
untuk mencapai kemerdekaan dipertegas lagi bahwa ”tak boleh tidak kita kaum muslimin
mempunyai kemerdekaan umat atau kemerdekaan kebangsaan (nationale urijbeid) dan mesti
berkuasa atas Negeri tumpah darah kita sendiri.”

2. POLITIK ETIS (ETISCHE POLITIEK)

Politik etis atau Politik Balas Budi adalah pemikiran progresif bahwa pemerintah Belanda
mempunyai kewajiban moral menyejahterakan penduduk Hindia Belanda sebab telah
memberikan kemakmuran bagi masyarakat dan kerajaan Belanda.

latar belakang lahirnya politik etis yaitu Pemikiran baru tentang Politik Etis berasal dari
kaum sosialis-liberalis yang prihatin terhadap kondisi sosial ekonomi kaum pribumi
(inlander). Pada 1863 sistem tanam paksa dihapus dan Belanda menerapkan sistem ekonomi
liberal sehingga modal-modal swasta masuk nusantara. Politik ekonomi ini secara tidak
langsung membuka ruang bagi swasta untuk bersatu di usaha-usaha ekonomi di Hindia
Belanda. Perkebunan swasta semakin meluas bahkan mencapai wilayah Sumatera Timur.
Tetapi sistem ekonomi ini tidak mengubah nasib rakyat, sebab mengejar keuntungan tanpa
memperhatikan kesejahteraan masyarakat pribumi. Kondisi buruk kaum pribumi terjadi
akibat eksploitasi ekonomi oleh pemerintah dan swasta Belanda khususnya sejak 1870.
Kebijakan-kebijakan pemerintah kolonial pada masa itu umumnya tidak memberikan
perlindungan maksimal terhadap penduduk setempat. Sehingga menimbulkan kritik dari
kaum sosialis di Belanda. Tetapi menimbulkan dampak buruk terhadap masyarakat pribumi,
yaitu tekanan terhadap rakyat semakin kuat, pembelaan hak rakyat terhadap kapitalisme
modern semakin lemah dan kemerosotan kesejahteraan hidup.

Tokoh utama politik etis yaitu sebagai berikut:

1. Eduard Douwes Dekker “1820-1887”


2. Pieter Brooshooft “1845-1921”
3. Conrad Theodore van Deventer “1857-1915”
4. Jacques Henrij Abendanon “1852-1925”
5. Dr. Douwes Dekker “1879-1950”

3. PERBEDAAN PEMIKIRAN POLITIK SOEKARNO, MUHAMMAD HATTA DAN


MUHAMMAD NATSIR
Pemikiran politik soekarno adalah Pemikiran politik Soekarno yang paling berpengaruh
dalam kehidupan politik di Indonesia adalah munculnya konsep pemikiran politik tentang
Nasakom, Nasasos, dan Gotong royong. Nasakom (nasionalisme, agama, dan komunisme)
adalah konsep politik yang dicetuskan oleh Soekarno dan merupakan ciri khas dari demokrasi
terpimpin.

Pemikiran politik bung hatta adalah pemikiran politik Bung Hatta adalah pemikiran
politik kebangsaan yang menjelaskan pandangannya bahwa kemakmuran dan demokrasi
merupakan aspek yang mutlak harus dicapai oleh bangsa Indonesia. Ke depan Indonesia
bangsa harus menjadi bangsa yang bersatu dan tidak terpisah-pisah, bebas dari penjajahan
asing dalam bentuk apapun baik itu politik dan ideologi. Dasar-dasar 530 perikemanusiaan
harus terlaksana dalam segala segi penghidupan. Bung Hatta lebih menekankan pentingnya
suatu integritas bangsa yang bebas dari segala bentuk penjajahan untuk menciptakan suatu
kemakmuran dan demokrasi yang menjadi dasar suatu negara. Selain itu, Bung Hatta juga
memiliki pemikiran politik tentang pemahaman tentang sosialisme kebersamaan. Sejalan
dengan itu, dijelaskan Deliar Noer (1965: 143) bahwa Hatta mengemukakan dalam bidang
politik dan ekonomi suatu negara maka rakyatlah yang berdaulat. Artinya bahwa
kebersamaan perlu dibangun untuk kemajuan suatu negara.

Menurut M. Natsir Demokrasi adalah prinsip pemerintahan yang sesuai dengan Islam dan
realitas masyarakat Indonesia. Hal ini disebabkan karena demokrasi mengandung paham
kedaulatan rakyat. Kedaulatan tersebut berada di tangan rakyat sebagai amanah Tuhan
kepada mereka. Namun menurut Natsir pelaksanaan kedaulatan rakyat harus dilakukan
dengan berpedoman kepada normanorma syari’ah dan tidak melampaui ketentuan yang telah
ditetapkan Tuhan. Berangkat dari asumsi ini, Natsir menawarkan konsep demokrasi Islam
dengan menggunakan istilah Theistic democracy. Penggunaan istilah Theistic democracy M.
Natsir dilatarbelakangi oleh dua pandangan; pertama, Islam tidak mengenal konsep
demokrasi yang berkembang di Barat, dalam arti semua keputusan politik diserahkan
sepenuhnya kepada kehendak mayoritas anggota parlemen, sedangkan dalam Islam, tidak
semua persoalan yang harus dibicarakan di dalam parlemen. Persoalan yang akan diputuskan
hanya yang berkaitan dengan persoalan yang tidak ditemukan secara tegas keputusannya
dalam nash. Kedua, Islam tidak mengenal sistem teokrasi, di mana suatu pemerintahan
dikuasai oleh satu priesthood (sistem kependetaan), yang mempunyai hierarchi (tingkat
bertingkat) serta menganggap penguasa itu sebagai wakil Tuhan di bumi. Oleh sebab itu
dalam ungkapan yang tegas, Natsir menyatakan bahwa demokrasi Islam itu adalah suatu
pengertian dan suatu paham yang mempunyai sifat-sifat tersendiri. Islam bukan demokrasi
100%, bukan pula teokrasi 100%. Islam itu, ya Islam.

PERSAMAAN PEMIKIRAN SOEKARNO, MUHAMMAD HATTA DAN


MUHAMMAD NATSHIR

yaitu ketiga pemikiran ini saling kuat dalam menggunakan demokrasi,karena demokrasi
ini sangat perlu untuk mempermudah dalam merealisasikan hasil pemikiran pemikiran para
filosof Indonesia.

4. DEMOKRASI LIBERAL PADA MASA ORDE LAMA


Ini adalah pelaksanaan demokrasi masa orde lama yang mengatas namakan presiden
sebagai kedudukan dan lambang kepala negara atau bukan sebagai seorang kepala eksekusif.
Dimana pada masa demokrasi ini dalam peranan parlemen, banyaknya partai partai polotik
yang kian berkembang dan akuntabilitas politik sangatlah tinggi. Hanya saja praktik dari
demokrasi yang gagal pada masa ini di karenakan landasan sosial ekonomi yang cenderung
masih lemah, adanya dominasi dari beberapa partai politik dan adanya kegagalan dari
konstituante bersidang yang di gunakan dalam penggantian UUD 1950. Maka Kegagalan
tersebut contoh demokrasi langsung dan tidak langsung menyebabkan adanya dekrit presiden
yang di keluarkan oleh presiden pada tahun 1959 tanggal 5 Juli untuk pembubaran
kontituante dan indonesia kembali pada tatanan UUD 1945, sehingga UUD 1950 tidak lagi
berfungsi dan terbentuknya DPAS dan MPRS.

DEMOKRASI TERPIMPIN PADA MASA ORDE LAMA


Ini adalah pelaksanaan demokrasi masa orde lama yang berdasarkan atas asas kerakyatan
yang terpimpin oleh kibajsanaan negara yang memberikan titik berat kepada musyawarah
untuk pelaksanaan mufakat dan di lakukan secara gotong royong diantara keseluruhan
kekuatan nasional yang bersifat progresif revolusioner dan juga memiliki poros di dalam
nasakom dengan ciri-ciri : pembatasan dari peranan partai politik, PKi yang memiliki
pengaruh berkembang dan dominasi dari kekuasaan presiden. Beberapa penyimpangan yang
telah terjadi pada masa demokrasi terpimpin ini adalah : banyaknya pemimpin partai politik
yang mendekam di sel penjara dan kaburnya sistem kepartaian.

5. PEMIKIRAN POLITIK TENTANG PEMBANGUNAN DAN DEMOKRASI PADA


MASA ORDE BARU
Dari permulaan Orde Baru, angka-angka pertumbuhan makroekonomi sangat
mengesankan (penjelasan lebih mendetail ada di bagian 'Keajaiban Orde Baru'). Namun,
kebijkan-kebijakan ini juga menyebabkan ketidakpuasan di masyarakat Indonesia karena
pemerintah dianggap terlalu terfokus pada menarik investor asing. Sementara kesempatan-
kesempatan investasi yang besar hanya diberikan kepada orang Indonesia yang biasanya
merupakan perwira militer atau sekelompok kecil warga keturunan Tionghoa (yang
merupakan kelompok minoritas di Indonesia tapi sempat mendominasi perekonomian).

Muak dengan korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN), ribuan orang melakukan demonstrasi


di tahun 1974 waktu Perdana Menteri Jepang melakukan kunjungan ke Jakarta. Demonstrasi
ini berubah menjadi kerusuhan yang besar yang disebut 'Kerusuhan Malari'. Itu adalah
pengalaman yang mengerikan bagi pemerintahan yang baru karena hal ini menunjukkan
bahwa Pemerintah tidak bisa menguasai massa. Kuatir bahwa suatu hari mungkin akan ada
perlawanan dari jutaan penduduk miskin di perkotaan dan pedesaan, kebijakan-kebijakan
baru (yang lebih menekan) dilaksanakan oleh Pemerintah. Dua belas surat kabar ditutup dan
para jurnalis ditahan tanpa persidangan. Hal ini mendorong media melakukan sensor sendiri.
Semua ketidakpuasan yang diekspresikan di publik (seperti demonstrasi) segera ditekan. Sisi
ekonomi dari perubahan kebijakan ini - dan yang mendapat banyak dukungan dari
masyarakat Indonesia - adalah dimulainya usaha-usaha membatasi investasi asing dan
kebijakan-kebijakan yang memberikan perlakuan khusus bagi para pengusaha pribumi.

Dalam politik nasional, Suharto berhasil semakin memperkuat posisinya pada tahun
1970an. Produksi minyak domestik yang memuncak memastikan bahwa pendapatan negara
berlimpah. Pendapatan ini digunakan untuk membiayai pembangunan infrastruktur dan
program-program pengentasan kemiskinan. Namun, di dunia internasional, citra Indonesia
memburuk karena invasi Timor Timur. Setelah berhentinya masa penjajahan Portugal - dan
deklarasi kemerdekaan Timor Timur pada 1975 - militer Indonesia dengan cepat menginvasi
negara ini; sebuah invasi yang diiringi kekerasan.

6. SEJARAH, DINAMIKA DAN PEMIKIRAN TENTANG DEMOKRASI PANCASILA


SEJARAH DEMOKRASI PANCASILA
Istilah Demokrasi Pancasila lahir sebagai reaksi terhaap Demokrasi Terpimpin di bawah
Pemerintahan Sukarno. Gagasan Demokrasi Terpimpin, seperti diketahui telah dibakukan
secara yuridis dalam bentuk Ketetapan MPRS No. VIII/MPRS/1965 tentang: Prinsip-prinsip
Musyawarah untuk Mufakat dalam Demokrasi Terpimpin sebagai Pedoman bagi
Lembagalembaga Permusyawaratan/Perwakilan. Ketika Orde Baru lahir, konsep Demokrasi
Terpimpin mendapat penolakan keras, sehingga pada tahun 1968, MPRS kembali
mengeluarkan Ketetapan No. XXXVII/MPRS/1968, tentang Pencabutan Ketetapan MPRS
No. VIII/MPRS/1965 dan tentang Pedoman Pelaksanaan Kerakyatan yang Dipimpin oleh
Hikmah Kebijaksanaan dalam Permusyaratan/Perwakilan atau sesuai dengan diktum Tap
tersebut tentang Demokrasi Pancasila.

DINAMIKA DAN PEMIKIRAN DEMOKRASI PANCASILA


Berikut ini adalah dinamika demokrasi Pancasila ala Orde Baru yang berdasarkan pada
indikator demokrasi yang telah dikemukakan sebelumnya.

Pertama, rotasi kekuasaan eksekutif boleh dikatakan hampir tidak pernah terjadi. Kecuali
pada jajaran yang lebih rendah, seperti: gubernur, bupati/walikota, camat dan kepala desa.
Kalaupun ada perubahan, selama pemerintahan Orde Baru hanya terjadi pada jabatan wakil
presiden, sementara pemerintahan secara esensial masih tetap sama.
Kedua, rekruitmen politik bersifat tertutup. Rekruitmen politik merupakan proses
pengisian jabatan politik di dalam penyelenggaraan pemerintah negara baik itu untuk
lembaga eksekutif (pemerintah pusat maupun daerah), legislatif (MPR, DPR, dan DPRD)
maupun lembaga yudikatif (Mahkamah Agung). Dalam negara yang menganut sistem
pemerintahan yang demokratis, semua warga negara yang mampu dan memenuhi syarat
mempunyai peluang yang sama untuk mengisi jabatan politik tersebut. Akan tetapi, yang
terjadi di Indonesia pada masa Orde Baru, sistem rekruitmen politik tersebut bersifat tertutup,
kecuali anggota DPR yang berjumlah 400 orang dipilih melalui Pemilihan Umum. Pengisian
jabatan tinggi negara seperti Mahkamah Agung, Dewan Pertimbangan Agung dan jabatan-
jabatan lainnya dalam birokrasi dikontrol sepenuhnya oleh lembaga kepresidenan. Demikian
juga dengan anggota badan legislatif. Anggota DPR sejumlah 100 orang dipilih melalui
proses pengangkatan dengan surat keputusan Presiden. Sementara itu dalam kaitannya
dengan rekruitmen politik lokal (seperti gubernur dan bupati/walikota), masyarakat di daerah
tidak mempunyai peluang untuk ikut menentukan pemimpin mereka, karena kata akhir
tentang siapa yang akan menjabat diputuskan oleh Presiden. Jelas, sistem rekruitmen seperti
sangat bertentangan dengan semangat demokrasi.

Ketiga, Pemilihan Umum. Pada masa pemerintahan Orde Baru, Pemilihan Umum telah
dilangsungkan sebanyak tujuh kali dengan frekuensi yang teratur setiap lima tahun sekali.
Tetapi kalau kita amati kualitas pelaksanaan pemilihan umum tersebut masih jauh dari
semangat demokrasi. Karena Pemilihan Umum tidak melahirkan persaingan yang sehat, yang
terjadi adalah kecurangankecurangan yang sudah menjadi rahasia umum.

Keempat, pelaksanaan hak dasar warga negara. Sudah bukan menjadi rahasia umum lagi,
bahwa dunia internasional seringkali menyoroti politik Indonesia berkaitan erat dengan
perwujudan jaminan hak asasi manusia. Masalah kebebasan pers sering muncul ke
permukaan. Persoalan mendasar adalah selalu adanya campur tangan birokrasi yang sangat
kuat. Selama pemerintahan orde baru, sejarah pemberangusan surat kabar dan majalah
terulang kembali seperti yang terjadi pada masa orde lama, misalnya beberapa media massa
seperti Tempo, Detik, dan Editor dicabut surat izin penerbitannya atau dengan kata lain
dibredel setelah mereka mengeluarkan laporan investigasi tentang berbagai masalah
penyelewengan oleh pejabat-pejabat negara.

7. KONSEPSI DAN PEMIKIRAN POLITIK ISLAM INDONESIA.


Hubungan antara Islam dan politik di Indonesia memiliki tradisi yang amat panjang.
Akar-akar genealogisnya dapat ditarik ke belakang hingga akhir abad ke-13 dan awal abad
ke-14, ketika Islam seperti dikatakan banyak kalangan pertama kali diperkenalkan dan
disebarkan di kepulauan Indonesia. Dalam perjalanan sejarahnya, Islam mengadakan dialog
yang bermakana dengan realitas-realitas sosio-kultural dan politik pada tingkat lokal, terlibat
dalam politik. Pada kenyataannya malah dapat dikatakan bahwa Islam, sepanjang
perkembangannya di Indonesia, telah menjadi bagian integral dari sejarah politik di
Indonesia. Meskipun begitu tidak semerta-merta bahwa Islam adalah agama politik.

Ekstitensi Islam politik (political Islam) pada masa kemerdekaan dan sampai pada pasca
reformasi pernah dianggap sebagai persaingan kekuasaan yang dapat mengusik basis
kebangsaan negara. Persepsi tersebut, membawa implikasi terhadap keinginan negara untuk
berusaha menghalangi dan melakukan domestikasi terhadap gerak ideologis politik Islam.

Antagonistik politik antara Islam dan negara sebagaian besar disebabkan oleh idealisme
dan aktivisme Islam politik yang bercorak legalistik dan formalistik. Hubungan yang tidak
mesra ini disebabkan oleh perbedaan pandangan pada pendiri republik ini yang sebagian
besarnya Muslim, mengenai hendak dibawa kemanakah negara Indonesia ini apakah negara
bercorak Islam atau nasionalis.

Tema-tema politik Islam lebih bergulir pada tataran ideologi dan simbol ketimbang
substansi, dan tema- tema Islam pada tataran ideologi dan simbolik mencapai klimaksnya
pada perdebatan dalam konstituante pada paruh kedua dasawarsa 1950-an. Paparan historis
yang terkesan deskriptif itu, secara tegas menunjukkan bahwa suhu politik yang tertampung
dalam majelis konstuante tidak dapat mendinginkan cita- cita idiologis antara golongan Islam
dan golongan nasionalis sekuler, yang keduanya memang sudah lama bersitegang.

Upaya untuk menemukan hubungan politik yang pas antara Islam dan negara terus
berlanjut pada periode kemerdekaan dan pascarevolusi, lantaran tidak juga kunjung
ditemukan, menyebabkan berkembangnya kesaling curigaan yang lebih besar antara Islam
dan negara.

Meskipun cita-cita terbinanya hubungan yang mesra dan saling melengkapi antara Islam
dan negara, belum sepenuhnya berhasil terwujud, ada beberapa isyarat penting yang
mengindikasikan masuknya kembali Islam politik kedalam kehidupan politik negeri ini.
Bukti yang memperlihatkan perkembangan baru ini adalah sikap negara yang mulai tampak
ramah terhadap Islam, yang ditandai oleh diterapkannya kebijakankebijakan tertentu yang
dipandang sejalan dengan kepentingan sosialekonomi, kultural dan politik Islam.

Bukti bukti akomodasi jika dikategorikan secara luas, bisa digolongkan kedalam empat
jenis berbeda:

a. akomodasi structural;
b. akomodasi legislative
c. akomodasi infrastruktual
d. akomodasi kultural.

8. PEMIKIRAN POLITIK MASYUMI


Masyumi menggunakan tiga cara untuk mencapai tujuan-setuju, yaitu dengan perjuangan,
berpartisipasi dalam pemerintahan, dan diplomasi. Cara ketiga ini dianggap sebagai cara-cara
yang paling sesuai untuk dilakukan.

Cara pertama dimulai dengan menggunakan otoritas karismatik untuk mengumumkan


perang jihad untuk memulihkankan imperialisme dan kolonialim serta mengusir penjajah dari
Indonesia. Kaum Kolonialis dan Imperialis telah merendahkan dan menghina agama Islam,
maka tidak ada pilihan lain selain melawan mereka sebagai perang Sabil. Masyumi juga
menang rayat untuk mengangkat senjata mengusir penjajah sebagai fardhu 'ain . Bagi mereka
yang mati dalam perang Itu adalah mati syahid.

Cara kedua, Masyumi segera menyelesaikan tugasnya. Hal ini tidak dapat menentang
tokoh-tokoh Masyumi yang merupakan tokoh-tokoh yang terlibat dalam perjuangan
kemerdekaan sejak zaman penjajahan. Sejak awal kemerdekaan, beberapa tokoh Masyumi
telah ikut serta dalam pemilihan, pemilihan, dan jabatan-administrasi administrasi. Masyumi
memikirkan sukses langsung di pemerintahan sebagai jalan strategis dalam mewujudkan
tujuan-keberhasilan. Dengan cara demikiann, hukum-hukum Allah tidak hanya disampaikan
melalui mimbar di masjid, tetapi juga melalui pejabat-pejabat pemerintahan dalam bentuk
undang-undang negara. Sesuai dengan pandangan yang memandang pluralisme sebagai hal
yang positif membuat Masyumi dapat dengan mudah berkoalisi dengan pihak-pihak lain.
Cara yang dilakukan Masyumi melalui kegiatan diplomatik dengan tokoh-tokoh di negara
lain dan organisasi internasional untuk memperoleh pengakuan kemerdekaan Indonesia.
PEMIKIRAN POLITIK MUHAMMADIYAH
Sejauh menyangkut Muhammadiyah, pada awalnya tidak menggagas negara (politik)
dengan konsep ideologis yang utuh. Demikian karena berdirinya Muhammadiyah jauh
mendahului NKRI atau Negara Proklamasi 1945.

Kendati begitu, dari segi kesadaran nasionalisme pada awal abad ke-20, KH Ahmad
Dahlan sebagai pendiri Muhammadiyah terlibat aktif dalam forum inklusif, yang kelak
menjadi wahana penyemaian kebangkitan nasional-(isme) dan perjuangan kemerdekaan,
seperti aktif dalam pertemuan Boedi Oetomo.

Karena itu, jika wacana ideologi dan negara dalam Muhammadiyah baru mulai pada
persiapan kemerdekaan Indonesia dalam BPUPKI, yang secara artikulatif diwakili Ki Bagoes
Hadikusumo bersama Mr Kasman Singodimedjo dan sebagainya, sebenarnya hal itu catatan
formalnya.

Bahkan Bung Karno, sekalipun lantang mengeksplorasi nasionalisme dan berhadap-


hadapan dengan Ki Bagoes Hadikusumo, secara personal juga eksponen Muhammadiyah.
Secara historis, khususnya era prakemerdekaan hingga menjelang kemerdekaan, pandangan
Muhammadiyah berkenaan dengan Islam lebih ditekankan pada konsep individu dalam kaitan
dengan kemasyarakatan.

Di era kemerdekaan hingga akhir Orde Lama, interaksi dialektis masyarakat dengan
negara, termasuk kelompok masyarakat dengan berbagai latar belakang (etnis, ideologis
politis, keagamaan) menggejala dalam geliat politik yang saling bersaing dan berhadapan,
kemudian merajut konfigurasi politik berbasis kedekatan ideologis yang transparan dari
berbagai kelompok, berderet dari kanan ke kiri atau sebaliknya (Alfian, Politik Kaum
Modernis).

Secara ringkas, penafsiran atas pemikiran ideologis KH Ahmad Dahlan dalam mendirikan
Muhammadiyah, seharusnya didasarkan pada latar historis ideologis gerakan pembaruan
Islam di dua lokus: Makkah dan Mesir. Yang pertama adalah pengakaran pada realitas
Makkah, mengacu pada pemikiran dan perjuangan Muhammadi ibn Abd al-Wahhab (abad
ke-18). Kedua, pengakaran pada realitas Mesir mengacu pada pemikiran dan perjuangan
Jamaluddin al-Afghani (abad ke-19). Jika yang pertama dengan strategi atau metode Makkah
(Manhaj Makkiy), yang kedua dapat disebut strategi atau metode Mesir (Manhaj Misriy).

Kedua manhaj ini mewakili pandangan politik Muhammadiyah (baca: KH Ahmad


Dahlan). Di sinilah dasar yang penulis istilahkan sebagai "Pemikiran Politik Imajiner"
Muhammadiyah. Kita sebut imajiner karena KH Dahlan tidak menulis buku, tetapi
seandainya pun ada. Hal itu hanya buku-buku kecil berupa kumpulan ayat Alquran hasil
kompilasi muridnya (KRH Hadjid, Pelajaran KH Ahmad Dahlan). Manhaj Makkiy adalah
basis pemikiran (ideologis) politik Muhammadiyah, yang tidak menggagas pentingnya politik
kepartaian. Ini persis sama dengan langkah perjuangan dakwah Islamiyah yang digagas Ibn
Abd al-Wahhab.

PEMIKIRAN POLITIK NAHDATUL ULAMA


Nahdlatul Ulama (NU) Zuhairi Misrawi menyebutkan, pemikiran politik ulama Nusantara
dibagi ke dalam empat fase. Pertama, fase kerajaan. Pada fase ini, ulama menjadi qadi atau
syaikul Islam pada sebuah kerajaan Islam. Mereka bertugas memberikan fatwa-fatwa terkait
dengan persoalan umat, di samping memberikan nasehat kepada raja.

“Konteks historis ini yang kemudian (mendorong) para ulama Nusantara harus
melahirkan pandangan politik yang sesuai dengan zamannya. Konteks pertama adalah
konteks kerajaan”.

Kedua, fase kolonial. Pada saat ini, ulama menjadi pimpinan lembaga pendidikan
keagamaan seperti surau, dayah, dan pesantren. Fase kedua ini menjadi tonggak penting
dalam membentuk pemikiran politik ulama selanjutnya. Karena pada fase ini banyak buku
atau kitab yang diterbitkan untuk dikaji dan dijadikan sebagai rujukan.

“Sehingga kalau dikatakan pemikiran siyasah ulama Nusantara sebenarnya pada fase ini.
” alumni Universitas Al-Azhar Kairo Mesir ini. “Tidak mungkin penjajah takluk tanpa peran
dari ulama Nusantara yang meletakkan pondasi pemikiran siyasah,” tambahnya. Ketiga, fase
kemerdekaan. Ulama-ulama Nahdlatul Ulama (NU) tidak hanya memiliki peran yang besar
dalam mewujudkan kemerdekaan, tapi juga meletakkan politik kebangsaan. KH Abdul
Wahid Hasyim merupakan kiai NU yang ikut serta dalam merumuskan dasar negara dan
politik kebangsaan Indonesia.
“Apa yang dilakukan ulama-ulama sekarang dengan bela negara, hubbul wathon minal
iman, itu adalah bagian dari fase sejarah pada masa kemerdekaan,” kata penulis buku
Hadratussyekh Hasyim Asy’ari: Moderasi, Keumatan, dan Kebangsaan ini. Keempat, fase
demokrasi. Fase ini dimulai sejak 1955 dimana ulama berperan dalam politik kebangsaan
untuk mengawal Pancasila dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Anda mungkin juga menyukai