Anda di halaman 1dari 27

WAWASAN DASAR

IDEOLOGI PANCASILA

Setiap bangsa harus memiliki suatu konsepsi (cita) mengenai hakikat yang paling
dalam dari negara (cita negara/Staatsidee) serta konsepsi mengenai hakikat yang
paling dalam dari tatanan hukum negara (cita hukum/Rechtsidee). Dalam pidatonya
di Perserikatan Bangsa Bangsa, pada 30 September 1960, yang memperkenalkan
Pancasila kepada dunia, Soekarno mengingatkan pentingnya konsepsi dan cita-cita
bagi suatu bangsa: “Arus sejarah memperlihatkan dengan nyata bahwa semua
bangsa memerlukan suatu konsepsi dan cita-cita. Jika mereka tak memilikinya atau
jika konsepsi dan cita-cita itu menjadi kabur dan usang, maka bangsa itu adalah
dalam bahaya” (Soekarno, 1989: 64).

Konsepsi kenegaraan dan cita hukum setiap negara-bangsa memiliki


kekhasannya masing-masing sesuai dengan latar kesejarahan, kondisi sosial-budaya,
serta karakteristik bangsa yang bersangkutan. Salah satu karakteristik Indonesia
sebagai negara-bangsa adalah kebesaran, keluasan dan kemajemukannya. Sebuah
negara-bangsa yang mengikat lebih dari lima ratus suku bangsa dan bahasa, ragam
agama, budaya dan kelas sosial di sepanjang sekitar 17.508 pulau, yang membentang
dari 6˚08΄ LU hingga 11˚15΄ LS, dan dari 94˚45΄ BT hingga 141˚05΄ BT. Untuk itu
diperlukan suatu konsepsi, kemauan dan kemampuan yang kuat dan adekuat, yang
dapat menopang kebesaran, keluasan dan kemajemukan keindonesiaan.

Di atas segala kebesaran, keluasan dan kemajemukan itu, bangsa Indonesia


harus merumuskan konsepsi tentang dasar negara yang dapat meletakkan segenap
elemen bangsa di atas suatu landasan yang statis (“meja statis”), sekaligus dapat
memberi tuntunan yang dinamis (“Leitstar/bintang pimpinan dinamis”). Para
pendiri bangsa berusaha menjawab tantangan tersebut dengan melahirkan konsepsi
negara persatuan (kekeluargaan) yang berwatak gotong-royong, bukan negara
perseorangan seperti dalam konsepsi liberalisme-kapitalisme atau negara golongan
(kelas) seperti konsepsi komunisme. Dalam ungkapan Soekarno, “Negara Indonesia
bukan satu negara untuk satu orang, bukan satu negara untuk satu golongan
walaupun golongan kaya. Tetapi kita mendirikan negara ‘semua buat semua’, ‘satu
buat semua, semua buat satu’.” Negara persatuan yang mengatasi paham
perseorangan dan golongan, yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh
tumpah darah Indonesia dengan berdasar atas persatuan, dengan mewujudkan
keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia.

Dengan semangat kekeluargaan itu, konsepsi tentang dasar (falsafah) negara


dirumuskan dengan merangkum lima prinsip utama sebagai ‘titik temu” (yang
mempersatukan keragaman bangsa), “titik tumpu” (yang mendasari ideologi dan
norma negara), serta “titik tuju” (yang memberi orientasi kenegaraan-kebangsaan)
negara-bangsa Indonesia. Kelima prinsip utama itu dikenal dengan sebutan
Pancasila. Kelima nilai dasar Pancasila itu adalah:

1. Ketuhanan Yang Maha Esa


2. Kemanusiaan yang adil dan beradab
3. Persatuan Indonesia
4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan
5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia

Wawasan Kesejarahan

Pancasila dapat dikatakan sebagai lima nilai fundamental yang diidealisasikan


sebagai konsepsi tentang dasar (falsafah) negara, pandangan hidup dan ideologi
negara-bangsa Indonesia. Dihasilkan melalui proses penggalian dan pergumulan,
sejarah konseptualisasi Pancasila melintasi rangkaian panjang fase “pembuahan”,
fase “kelahiran perumusan”, dan fase “pengesahan”.

Fase Pembuahan

Fase “pembuahan” setidaknya dimulai pada 1920-an dalam bentuk rintisan-


rintisan gagasan untuk mencari sintesis antarideologi dan gerakan seiring dengan
proses “penemuan” Indonesia sebagai kode kebangsaan bersama (civic nationalism).
Sejak 1924, Perhimpunan Indonesia (PI), di Belanda, mulai merumuskan konsepsi
ideologi politiknya, bahwa tujuan kemerdekaan politik haruslah didasarkan pada
empat prinsip: persatuan nasional, solidaritas, non-kooperasi, dan kemandirian
(self-help). Konsepsi ideologis PI ini pada hakekatnya merupakan sintesis dari
ideologi-ideologi terdahulu. Persatuan nasional merupakan tema utama dari
Indische Partij, non-kooperasi merupakan platform politik kaum komunis, dan
kemandirian merupakan tema dari Sarekat Islam. Sementara solidaritas merupakan
simpul yang menyatukan ketiga tema utama tersebut (Ingleson, 1979: 5).

Sekitar tahun yang sama, Tan Malaka mulai menulis buku Naar de Republiek
Indonesia (Menuju Republik Indonesia). Dia percaya bahwa paham kedaulatan
rakyat (demokrasi) memiliki akar yang kuat dalam tradisi masyarakat Nusantara.
Keterlibatannya dengan organisasi komunis internasional tidak melupakan
kepekaannya untuk memperhitungkan kenyataan-kenyatan nasional dengan
kesediannya untuk menjalin kerjasama dengan unsur-unsur revolusioner lainnya.
Dia pun pernah mengusulkan kepada Komintern (Komunisme Internasional) agar
komunisme di Indonesia harus bekerjasama dengan Pan-Islamisme karena,
menurutnya, kekuatan Islam di Indonesia tidak bisa diabaikan begitu saja.
Hampir bersamaan dengan itu, Tjokroaminoto mulai mengidealisasikan suatu
sintesis antara Islam, sosialisme dan demokrasi, “Jika kita, kaum Muslim, benar-
benar memahami dan secara sungguh-sungguh melaksanakan ajaran-ajaran Islam,
kita pastilah akan menjadi para demokrat dan sosialis sejati” (Tjokroaminoto, 1924;
1952: 155). Demikian pula halnya dengan para pemimpin perhimpunan mahasiswa
Nusantara di Kairo, Djama’ah Al-Chairiah (berdiri 1922), seperti Iljas Ja’kub dan
Muchtar Lutfi. Pasca-kegagalan Kongres Islam se-Dunia di Kairo dan Mekkah tak
melihat lagi relevansi dari proyek Pan-Islamisme. Dalam kepulangannya ke Tanah
Air pada 1929 dan 1931, kedua orang tersebut memimpin partai Persatuan
Muslimian Indonesia (PMI) pada 1932, dengan slogan “Islam dan Kebangsaan”,
yang mempertautkan diri dengan gerakan nasionalisme modern (Ricklefs, 1993:
190).
Seperti halnya para aktivis mahasiswa di luar negeri yang terobsesi dengan ide
blok nasional, Soekarno dan para mahasiswa aktivis lainnya di Hindia juga
menganut ideal yang sama. Pada 1926, Soekarno menulis esai dalam majalah
Indonesia Moeda, dengan judul “Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme” yang
mengidealkan sintesis dari ideologi-ideologi besar tersebut demi terciptanya
senyawa antarideologi dalam kerangka konstruksi kebangsaan dan kemerdekaan
Indonesia. Dalam pandangan Soekarno, pergerakan rakyat Indonesia mempunyai
tiga sifat: ‘nasionalistis, islamistis, dan marxistis’. Paham-paham ini pula,
menurutnya, yang menjadi roh pergerakan-pergerakan di Asia. Demi persatuan,
“Mempelajari, mencari hubungan antara ketiga sifat itu, membuktikan, bahwa tiga
haluan ini dalam suatu negeri jajahan tak berguna berseteruan satu sama lain,
membuktikan pula, bahwa ketiga gelombang ini bisa bekerja bersama-sama menjadi
satu ombak-topan yang tak dapat ditahan terjangnya, itulah kewajiban yang kita
semua harus memikulnya.”
Pada awal 1930-an, Soekarno mulai merumuskan sintesis dari substansi
ketiga unsur ideologi tersebut dalam istilah “sosio-nasionalisme” dan “sosio-
demokrasi”. Sosio-nasionalisme yang dia maksudkan adalah semangat kebangsaan
yang menjunjung tinggi perikemanusiaan kedalam dan keluar, “yang tidak mencari
‘gebyarnya’ atau kilaunya negeri keluar saja, tetapi ia haruslah mencari selamatnya
semua manusia”. Adapun ”sosio-demokrasi” adalah demokrasi yang
memperjuangkan keadilan sosial, yang tidak hanya mempedulikan hak-hak sipil dan
politik, melainkan juga hak ekonomi; ”demokrasi sejati jang mencari keberesan
politik dan ekonomi, keberesan negeri dan keberesan rezeki” (1932a; 1965: 175).
Monumen dari usaha intelektual untuk mencari sintesis dari keragaman
anasir keindonesiaan itu adalah “Sumpah Pemuda” (28 Oktober 1928), dengan
visinya yang mempertautkan segala keragaman itu ke dalam kesatuan tanah air dan
bangsa dan dengan menjunjung bahasa persatuan. Lewat Sumpah Pemuda, kaum
muda berusaha menerobos batas-batas sentimen etno-religius (etno-nationalism)
dengan menawarkan fantasi inkorporasi baru berdasarkan konsepsi kewargaan yang
menjalin solidaritas atas dasar kesamaan tumpah darah, bangsa dan bahasa
persatuan (civic nationalism). Visi Sumpah Pemuda ini amat penting, karena
memberi kemungkinan kepada segenap penduduk Indonesia menjadi pribumi,
bahkan bagi mereka yang berlatar imigran baru.
Dalam perkembangannya, rintisan gagasan-gagasan yang disemai di ruang
publik itu memiliki kakinya tersendiri; mempengaruhi pemikiran-pemikiran semasa
dan meninggalkan jejak pada generasi selanjutnya. Dalam proses pertukaran
pemikiran, secara horizontal antarideologi semasa dan secara vertikal antargenerasi,
setiap tesis tidak hanya melahirkan anti-tesis, melainkan juga sintesis. Maka akan
kita dapati, betapapun terjadi benturan antarideologi, karakter keindonesiaan yang
serba mencerap dan menumbuhkan, pada akhirnya cenderung mengarahkan
keragaman tradisi pemikiran itu ke titik sintesis.
Endapan pemikiran sebagai hasil pergumulan sejarah yang tersimpan di laci
ingatan para pendiri bangsa itu mempermudah mereka dalam merespons tantangan
untuk merumuskan dasar negara. Dengan mengurai kembali jaringan memori
kolektif ke belakang dan ke samping, meresapi persamaan nasib dan impian
kemerdekaan serta pertautan genealogis dan kesatuan geo-politik, masing-masing
pendukung aliran politik memahami titik-titik persamaannya secara substantif,
sehingga dapat mengatasi perbedaan identitas masing-masing. Situasi demikian
membantu mempermudah proses pencarian konvergensi pada fase “kelahiran-
perumusan”, pada persidangan Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan
(BPUPK).

Fase Perumusan
Setelah pasukan Sekutu berhasil menduduki berbagai tempat di Tanah Air
yang ditandai oleh pendudukan Jayapura (April 1944), Biak (Mei 1944), dan Morotai
(September 1944), Pemerintah Jepang merasa perlu membujuk para pemimpin
bangsa Indonesia dalam rangka mendapatkan dukungan. Untuk itu, pada 7
September 1944, Perdana Menteri Jepang, Kuniaki Koiso, mengucapkan janji
historisnya bahwa Indonesia pasti akan diberi kemerdekaan “pada masa depan”.
Sebagai tindak lanjut, mulailah dibentuk Badan Penyelidik Usaha Persiapan
Kemerdekaan (BPUPK).
Patut diketahui bahwa pendudukan Jepang di Indonesia dibagi ke dalam tiga
wilayah pemerintahan. Pertama, Pemerintahan Militer Angkatan Darat ke-25
(Tentara Kedua Puluh Lima), dengan wilayah kekuasaannya meliputi Sumatra, dan
pusat pemerintahananya di Bukittinggi. Kedua, Pemerintahan Militer Angkatan
Darat ke-16 (Tentara Keenam Belas), dengan wilayah kekuasaannya meliputi Jawa
dan Madura, dan pusat pemerintahan di Jakarta. Ketiga, Pemerintahan Militer
Angkatan Laut II (Armada Selatan Kedua), dengan wilayah kekuasaannya meliputi
Sulawesi, Kalimantan dan Maluku, dan pusat pemerintahannya di Makassar.
Yang pertama-tama dibentuk adalah BPUPK Jawa-Madura pada 29 April
1945, diketuai oleh Dr. K.R.T. Radjiman Wediodiningrat. Sedangkan BPUPK
Sumatra baru dibentuk pada 25 Juli 1945, diketahui oleh Muhammad Sjafei (pendiri
lembaga pendidikan Ins/Indonesisch Nederlansche School Kayutanam), sepekan
setelah berakhirnya persidangan BPUPK Jawa-Madura. Karena pembentukan
BPUPK Sumatra ini telat, pada hari-hari terakhir menjelang kekalahan Jepang,
maka tidak melahirkan dokumen berarti. Adapun untuk wilayah kekuasaan
Angkatan Laut di bagian Timur Indonesia belum sempat dibentuk BPUPK.
Dalam rancangan awal Jepang, kemerdekaan akan diberikan melalui dua
tahap: pertama melalui Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK),
yang dalam bahasa Jepangnya disebut Dokuritsu Junbi Cusakai; kemudian disusul
oleh pendirian Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), yang dalam
bahasa Jepangnya disebut Dokuritsu Junbi Inkai. Tugas BPUPK hanyalah
melakukan usaha-usaha penyelidikan kemerdekaan, adapun tugas penyusunan
rancangan dan penetapan UUD menjadi kewenangan PPKI. Tetapi skenario ini
berubah karena keberanian dan kreativitas para pemimpin bangsa yang berhasil
menerobos batas-batas formalitas.
Jumlah keanggotaan BPUPK Jawa-Madura (termasuk 1 orang Ketua dan 2
orang Wakil Ketua) semula 63 orang, kemudian bertambah menjadi 69 orang. Di
antara 69 orang ini, terselip satu orang Jepang (Itibangase Yosio), yang menjadi
salah seorang Wakil Ketua. Meskipun merupakan BPUPK Jawa-Madura, namun
karena Pulau Jawa merupakan pusat pergerakan dan tempat tinggal dari para
pemimpin politik dari berbagai pulau di Tanah Air, maka keanggotaannya
mencerminkan keragaman asal usul etnis dan agama. Keanggotaan BPUPK Jawa-
Madurabisa diklasifikasikan ke dalam lima golongan: golongan pergerakan (lintas
etnis dan agama), golongan Islam, golongan birokrat (kepala jawatan), wakil
kerajaan (kooti), pangreh praja (residen/wakil residen, bupati, wali kota), dan
golongan peranakan: peranakan Tionghoa (4 orang), peranakan Arab (1 orang), dan
peranakan Belanda (1 orang). Tidak semua anggota BPUPK ini terdiri dari kaum pria,
karena ada 2 orang perempuan (Ny. Maria Ulfa Santoso dan Ny. R.S.S. Soenarjo
Mangoenpoespito).
Masa persidangan pertama BPUPK Jawa-Madura dibuka pada 28 Mei 1945
dan mulai bersidang pada 29 Mei hingga 1 Juni 1945. Pada awal persidangan, Dr.
Radjiman Wediodiningarat, selaku Ketua BPUPK, mengajukan pertanyaan kepada
sidang mengenai apa yang akan menjadi dasar negara Indonesia merdeka. Sebelum
pidato Soekarno pada 1 Juni, puluhan pembicara telah telah terlebih dahulu
mengemukakan pandangannya. Dari berbagai pandangan yang mengemuka, ada
yang menyebutkan salah satu atau beberapa prinsip yang bersinggungan dengan
nilai-nilai Pancasila. Meski demikin, hanya Soekarno yang memahami “dasar negara”
yang diminta Radjiman itu dalam pengertian “dasar filsafat” (Philosofische Gronslag)
atau “pandangan dunia” (Weltanschauung), dan satu-satunya orang yang
merumuskan dasar negara itu ke dalam lima prinsip (sila).
Pembicara lain, terutama Mohammad Yamin dan Soepomo, memang telah
menyinggung unsur-unsur sila Pancasila yang kelak dikemukakan Soekarno, namun
keseluruhannya bukan lima, dan tidak memaknai dasar negara itu dalam pengertian
“dasar filsafat”, melainkan lebih sebagai “dasar sosiologis-politis”. Dalam
pemahaman Yamin, yang dimaksud “dasar negara” juga termasuk “pembelaan
negara”, “budi-pekerti negara”, “daerah negara”, “penduduk dan putera negara”,
“susunan pemerintahan” dan bahkan tentang “hak tanah”. Adapun dalam
pernyataan Soepomo, istilah “dasar negara” itu dipahami dalam konteks bahwa
“negara kita harus berdasar atas aliran pikiran (Staatsidée) negara yang integralistik,
juga dalam konteks “dasar” kewarganegaraan” dan “dasar”sistem pemerintahan
(Kusuma, 2004).
Pada pidato 1 Juni 1945, Soekarno menyerukan “bahwa kita harus mencari
persetujuan, mencari persetujuan faham”:
Kita bersama-sama mencari persatuan Philosofische Grondslag, mencari satu
‘Weltanschauung’ yang kita semuanya setuju. Saya katakan lagi setuju! Yang
saudara Yamin setujui, yang Ki Bagoes setujui, yang Ki Hadjar setujui, yang
saudara Sanoesi setujui, yang saudara Abikoesno setujui, yang saudara Lim
Koen Hian setujui, pendeknya kita semua mencari satu modus.

Kemudian, ia mengajukan lima prinsip yang menurutnya menjadi titik persetujuan


(common denominator) segenap elemen bangsa. Kelima prinsip tersebut adalah:
Pertama: kebangsaan Indonesia.
Baik saudara-saudara yang bernama kaum kebangsaan yang di sini, maupun
saudara-saudara yang dinamakan kaum Islam, semuanya telah mufakat…
Kita hendak mendirikan suatu negara ‘semua buat semua’. Bukan buat satu
orang, bukan buat satu golongan, baik golongan bangsawan, maupun
golongan yang kaya,--tetapi ‘semua buat semua’…. “Dasar pertama, yang baik
dijadikan dasar buat Negara Indonesia, ialah dasar kebangsaan.”

Kedua: Internasionalisme, atau peri-kemanusiaan.


Kebangsaan yang kita anjurkan bukan kebangsaan yang menyendiri, bukan
chauvinisme…. Kita harus menuju persatuan dunia, persaudaraan dunia. Kita
bukan saja harus mendirikan Negara Indonesia merdeka, tetapi kita harus
menuju pula kepada kekeluargaan bangsa-bangsa.

Ketiga: Mufakat atau demokrasi.


Dasar itu ialah dasar mufakat, dasar perwakilan, dasar permusyawaratan…
Kita mendirikan negara ‘semua buat semua’, satu buat semua, semua buat
satu. Saya yakin, bahwa syarat yang mutlak untuk kuatnya Negara Indonesia
ialah permusyawaratan, perwakilan…. Apa-apa yang belum memuaskan, kita
bicarakan di dalam permusyawaratan.

Keempat: Kesejahteraan sosial.


Kalau kita mencari demokrasi, hendaknya bukan demokrasi Barat, tetapi
permusyawaratan yang memberi hidup, yakni politiek economische
democratie yang mampu mendatangkan kesejahteraan sosial…. Maka oleh
karena itu jikalau kita memang betul-betul mengerti, mengingat, mencintai
rakyat Indonesia, marilah kita terima prinsip hal sociale rechtvaardigheid ini,
yaitu bukan saja persamaan politiek saudara-saudara, tetapi pun di atas
lapangan ekonomi kita harus mengadakan persamaan, artinya kesejahteraan
bersama yang sebaik-baiknya.

Kelima: Ketuhanan yang berkebudayaan.


Prinsip Indonesia Merdeka dengan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa....
bahwa prinsip kelima daripada negara kita ialah ke-Tuhanan yang
berkebudayaan, ke-Tuhanan yang berbudi pekerti luhur, Ketuhanan yang
hormat-menghormati satu sama lain.

Kelima prinsip itu disebut Soekarno dengan Panca Sila. “Sila artinya azas atau
dasar, dan di atas kelima dasar itulah kita mendirikan Negara Indonesia, kekal dan
abadi.” Pidato Soekarno tentang Pancasila itu begitu heroik, empatik, berbobot dan
runtut sehingga mendapat sambutan meriah dengah tepukan bergumurh dari para
anggota BPUPK.
Di akhir masa persidangan pertama, Ketua BPUPK membentuk Panitia Kecil
yang bertugas untuk menyusun rumusan tentang Dasar Negara yang dapat disetujui
oleh golongan nasionalis religius dan Islam nasionalis dengan pidato Soekarno
sebagai bahan utamanya ditambah usul dari anggota BPUPK lainnya. Panitia Kecil
ini juga bertugas mengumpulkan usul-usul para anggota yang akan dibahas pada
masa sidang berikutnya (10-17 Juli 1945). Panitia Kecil yang resmi ini beranggotakan
delapan orang (Panitia Delapan) di bawah pimpinan Soekarno. Panitia Delapan ini
terdiri dari 6 orang wakil golongan kebangsaan dan 2 orang wakil golongan Islam:
Soekarno, M. Hatta, M. Yamin, A. Maramis, M. Sutardjo Kartohadikoesoemo, Oto
Iskandardinata (golongan kebangsaan), Ki Bagoes Hadikoesoemo dan K.H. Wachid
Hasjim (golongan Islam).
Dalam kapasitasnya sebagai Ketua Panitia Kecil, di masa reses Soekarno
melakukan berbagai inisiatif, yang menurut pengakuannya sendiri, di luar kerangka
formalitas. Dia memanfaatkan masa persidangan Chuo Sangi Inke VIII (18-21 Juni)1
di Jakarta untuk mengadakan pertemuan yang terkait dengan tugas Panitia Kecil.
Sebanyak 47 orang diundang untuk menghadiri pertemuan (32 anggota Chuo Sangi
In yang merangkap anggota BPUPK, ditambah 15 orang anggota BPUPK yang bukan
anggota Chuo, tetapi tinggal di Jakarta), tetapi yang hadir hanya 38 orang (lihat,
Kusuma, 2004: 21). Di ujung pertemuan pada 22 Juni, Soekarno mengambil inisiatif
informal lainnya, yakni membentuk Panitia Kecil (“tidak resmi”) beranggotakan 9
orang, yang bertugas merumuskan Pancasila sebagai dasar negara dalam suatu
rancangan pembukaan hukum dasar (preambul konstitusi) yang semula juga
dipersiapkan sebagai rancangan teks proklamasi. Kesembilan orang tersebut adalah:
Soekarno (ketua), Mohammad Hatta, Muhammad Yamin, A.A. Maramis, Soebardjo
(golongan kebangsaan), K.H. Wachid Hasjim, K.H. Kahar Moezakir, H. Agoes Salim,
dan R. Abikusno Tjokrosoejoso (golongan Islam).

1 Mendapati posisinya yang kian goyah, akhir 1942 Jepang berusaha menarik dukungan penduduk di
negara jajahan dengan merencanakan pemberian kemerdekaan kepada Burma dan Filipina, tetapi
tidak menyebut nasib Indonesia. Soekarno dan Moh. Hatta mengajukan protes, yang ditanggapi oleh
pemerintah Jepang dengan memberikan peran kepada tokoh-tokoh Indonesia di dalam lembaga
pemerintahan. Pada 5 September 1943, Saiko Shikikan (Kumaikici Harada) mengeluarkan Osamu
Seirei No. 36 dan 37 tentang pembentukan Chuo Sangi In (Dewan Pertimbangan Pusat) dan Chuo
Sangi Kai (Dewan Pertimbangan Keresidenan). Pada Sidang Chuo Sangi In I, 17 Oktober 1943,
Soekarno dilantik sebagai ketuanya, didampingi dua orang wakil ketua, yakni R.M.A.A. Kusumo
Utoyo dan dr.Buntaran Martoatmojo.
Karena penghormatan Soekarno pada golongan Islam, komposisi Panitia
Sembilan ini lebih seimbang ketimbang Panitia Delapan (bentukan resmi BPUPK),
yakni terdiri dari 5 orang wakil golongan kebangsaan (termasuk Soekarno sebagai
penengah) dan 4 orang wakil golongan Islam (kendati jumlah wakil golongan Islam
di BPUPK maupun dalam pertemuan ini kurang dari 25 persen total anggota/peserta
pertemuan). Panitia Sembilan ini pun diketuai oleh Soekarno, yang dibentuk sebagai
ikhtiar untuk mempertemukan pandangan antara dua gologan tersebut menyangkut
dasar negara. Seperti diakui Soekarno, “Mula-mula ada kesukaran mencari
kecocokan paham antara kedua golongan ini.” Namun, dengan komposisi yang
relatif seimbang antara dua golongan tersebut, Panitia ini berhasil menyepakati
rancangan preambul yang di dalamnya terdapat rumusan Pancasila itu, yang
kemudian ditandatangani oleh setiap anggota Panitia Sembilan pada 22 Juni. Oleh
Soekarno rancangan preambul itu diberi nama “Mukaddimah”, oleh M. Yamin
dinamakan “Piagam Jakarta”, dan oleh Sukiman Wirjosandjojo disebut “Gentlemen’s
Agreement”.
Alinea terakhir dari Piagam Jakarta, berisi rumusan tentang dasar negara.
Setelah melewati proses konsensus, rumusan Pancasila versi 1 Juni mengalami
penyempuranaan dalam urutan dan redaksional. Prinsip ’Ketuhanan’ dipindah dari
sila terakhir ke sila pertama, ditambah dengan anak kalimat, ’dengan kewajiban
menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya’ (kemudian dikenal dengan
istilah ’tujuh kata’).
Selain itu, prinsip ’Internasionalisme atau peri-kemanusiaan’ tetap diletakkan
pada sila kedua, namun redaksinya mengalami penyempurnaan
menjadi ”Kemanusian yang adil dan beradab”. Prinsip ’Kebangsaan Indonesia’
berubah posisinya dari sila pertama menjadi sila ketiga. Bunyinya
menjadi ”Persatuan Indonesia”. Prinsip ’Mufakat atau demokrasi’ berubah posisinya
dari sila ketiga menjadi sila keempat. Bunyinya menjadi ”Kerakyatan yang dipimpin
oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan-perwakilan”.
Prinsip ’Kesejahteraan sosial’ berubah posisinya dari sila keempat menjadi sila
kelima. Bunyinya menjadi ”Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”.
Menurut Mohammad Hatta, dengan perubahan posisi prinsip Ketuhanan dari
posisi pengunci ke posisi pembuka, ’ideologi negara tidak berubah karenanya,
melainkan negara dengan ini memperkokoh fundamennya, negara dan politik
negara mendapat dasar moral yang kuat’. Dengan demikian, fundamen moral
menjadi landasan dari fundamen politik. Perubahan ini juga mengandung makna
filosofis yang penting, karena dengan menempatkan Ketuhanan pada sila pertama,
bisa diartikan bahwa secara ontologis Tuhan dipandang sebagai ada pertama. Selain
itu, penyempurnaan redaksional sila-sila tersebut juga memberikan kualifikasi yang
signifikan tentang bagaimana sifat dan orientasi ideal yang terkandung dari sila-sila
Pancasila. Pada sila kedua, prinsip internasionalisme (peri-kemanusiaan) itu harus
bersifat adil dan beradab. Pada sila ketiga, prinsip kebangsaan itu harus bersifat
mempersatukan. Pada sila keempat, prinsip demokrasi itu harus bersifat kerakyatan
dan permusyawaratan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan. Pada sila kelima,
prinsip kesejahteraan itu harus bersifat adil bagi seluruh rakyat Indonesia.
Hasil rumusan Piagam Jakarta dan berbagai usulan yang berhasil dihimpun
selama reses itu kemudian dilaporkan dan didiskusikan pada masa persidangan
kedua BPUPK (10-17 Juli 1945). Ketika melaporkan hasil-hasil yang telah dilakukan
Panitia Kecil (resmi) pada 10 Juli, Soekarno menyadari bahwa kegiatan pertemuan
dan rumusan-rumusan yang dihasilkannya itu melanggar formalitas. Bukan saja
tempat dan mekanismenya yang tidak resmi, tetapi juga melampaui kewenangannya.
Menurut rancangan Jepang, tugas BPUPK hanyalah melakukan usaha-usaha
penyelidikan kemerdekaan, adapun tugas penyusunan rancangan dan penetapan
UUD menjadi kewenangan PPKI. Dalam laporannya Soekarno mengakui:
Semua anggota Panitia Kecil sadar sama sekali bahwa jalannya pekerjaan
yang kami usulkan itu sebenarnya ada yang menyimpang daripada formaliteit,
menyimpang daripada aturan formeel yang telah diputuskan, telah ditentukan.
Tetapi anggota Panitia Kecil berkata: Apakah arti formaliteit di dalam zaman
gegap gempita ini. Apakah arti formaliteit terhadap desakan sejarah sekarang
ini.

Hasil rumusan Piagam Jakarta itu menimbulkan perdebatan yang tajam


menyangkut pencantuman ”tujuh kata”, sebagai anak kalimat dari sila Ketuhanan,
dengan segala turunannya. Keberatan terhadap pencantuman “tujuh kata” tersebut
bukan hanya datang dari golongan kebangsaan (nasionalis religius), melainkan juga
dari golongan Islam (Islam Nasionalis). 2 Bagi sebagian golongan kebangsaan,
pencantuman ”tujuh kata”, yang mengandung perlakuan khusus bagi umat Islam,
dirasa tidak cocok dalam suatu hukum dasar yang menyangkut warga negara secara
keseluruhan. Kendati demikian, hasil rumusan Piagam Jakarta (dengan ”tujuh kata”-
nya) itu bertahan hingga akhir masa persidangan kedua (17 Juli 1945).

Fase Pengesahan
Meski bisa dipertahankan, keberadaan “ketujuh kata” itu tetap mengganjal
perasaan sebagian golongan yang memberi latar suasana psikologis pada “fase
pengesahan” dalam persidangan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI).
Setelah BPUPK dibubarkan, pada 7 Agustus 1945, Pemerintahan Jepang
memberikan persetujuan pembentukan PPKI dengan dipimpin oleh Soekarno
sebagai Ketua serta Mohammad Hatta dan Radjiman Wediodiningrat sebagai Wakil
Ketua, juga menyetujui nama-nama anggota yang diusulkan. Secara resmi, PPKI ini
dibentuk pada 12 Agustus 1945 setelah Soekarno dan Mohammad Hatta menghadap
Jenderal Hisaichi Terauchi, Marsekal Jepang, yang berada di Saigon (Vietnam).
Keanggotaan PPKI pada mulanya berjumlah 21 Orang. Latar belakang
keanggotaannya tidak hanya mewakiliwilayah Jawa-Madura, tetapi juga

2 Sebagai contoh, Ki Bagoes Hadikoesoemo, dari golongan Islam, tidak menyetujui pencantuman
“tujuh kata” di belakang kata Ketuhanan. Dalam pandangannya, pencatuman “tujuh kata” tersebut
bisa menimbulkan ambiguitas sistem hukum di Indonesia. Maka dari itu, ia cenderung memilih hanya
ada empat kata setelah kata “Ketuhanan”, yakni “Ketuhanan dengan menjalankan syariat Islam”; atau
seluruh kata tambahan di belakang kata “Ketuhanan” tersebut sekalian saja dihapus.
menyertakan perwakilan dari wilayah Sumatra dan wilayah Timur Indonesia. Latar
belakang keanggotaannya terdiri dari: 13 orang mewakili Pulau Jawa-Madura
(termasuk 1 orang Tionghoa), 3 orang mewakili wilayah Sumatra, 5 orang mewakili
bagian Timur Indonesia (2 orang asal Sulawesi, 1 orang asal Kalimantan, 1 orang
asal Sunda Kecil/Bali-Nusa Tenggara, 1 orang asal Maluku). 3 Dengan kriteria
keanggotaan yang lebih menampung perwakilan kewilayahan, maka beberapa
anggota kunci BPUPK, termasuk anggota Panitia Sembilan seperti Agoes Salim,
Abdul Kahar Moezakir, Abikoesno Tjokrosoejoso, A. A. Maramis dan Muhammad
Yamin tak termasuk anggota PPKI.

Pada pertemuan antara Ketua/Wakil Ketua PPKI dengan pihak pemerintah


Jepang (Jenderal Terauchi), semula Soekarno dan Hatta mengusulkan kemungkinan
pertemuan pertama PPKI pada 25 Agustus. Tentang usul itu, Terauchi
mempersilakan Panitia untuk menentukan sendiri. Sepulang di tanah air, mengingat
perubahan cepat dan desakan politik yang berkembang, rencana pertemuan pertama
PPKI dipercepat menjadi 16 Agustus. Namun, pada tanggal itu Soekarno dah Hatta
“diculik” oleh para pemuda ke Rengasdengklok. Keesokan harinya ada proklamasi
kemerdekaan Indonesia, sehingga sidang pertama PPKI baru bisa dilaksanakan pada
18 Agustus. Pada saat itu, suasana kebatinan dan situasi politik Indonesia telah
berubah secara dramatis, menyusul proklamasi kemerdekaan Indonesia pada 17
Agustus. Dalam suasana kegembiraan atas kemerdekaan Indonesia, dilakukan
beberapa penyesuaian dalam komposisi PPKI. Atas saran Soekarno enam orang
anggota ditambahkan: Achmad Soebardjo, Sajoeti Melik, Ki Hadjar Dewantara,
R.A.A. Wiranatakoesoema, Kasman Singodimedjo, Iwa Koesoemasoemantri.

Pada tanggal 18 Agustus 1945, PPKI memilih Soekarno dan Mohammad Hatta
sebagai Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia. Pada saat yang sama, PPKI
menyetujui naskah ‘Piagam Jakarta’ sebagai Pembukaan UUD 1945, kecuali “tujuh
kata” di belakang sila Ketuhanan, yang telah memunculkan kontroversi terpanas
dalam sesi terakhir persidangan BPUPK, dicoret lantas diganti dengan kata-kata
‘Yang Maha Esa’. Sehingga selengkapnya menjadi ‘Ketuhanan Yang Maha Esa’.

Tentang pencoretan ‘tujuh kata” tersebut, Mohammad Hatta punya andil


besar, seperti diakui sendiri dalam otobiografinya, Memoir Mohammad Hatta
(1979). Pagi hari menjelang dibukanya rapat PPKI, Hatta mendekati tokoh-tokoh
Islam agar bersedia mengganti kalimat ‘Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan
syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya’ dalam rancangan Piagam Jakarta dengan
kalimat ‘Ketuhanan Yang Maha Esa’. Penggantian ketujuh kata tersebut menurutnya

3Keanggotaan Awal PPKI perwakilan Pulau Jawa-Madura: Soekarno, Mohammad Hatta, Soepomo,
Radjiman Wediodiningrat, R.P. Soeroso, Soetardjo Kartohadikoesoemo, K.H. Abdoel Wachid Hasjim,
Ki Bagoes Hadikoesoemo, Otto Iskandar Dinata, Abdoel Kadir, Pangeran Soerjohamidjojo, Pangeran
Poerbojo. Selain itu ada seorang etnis Tionghoa, Yap Tjwan Bing. Perwakilan Sumatra:Mohammad
Amir, Abdul Maghfar, Teuku Mohammad Hasan. Diluar perhitungan Jepang, Mohammad Sjafei
sebagai Ketua BPUPK Sumatra tidak masuk. Perwakilan Kalimantan: A.A. Hamidhan. Perwakilan
Sulawesi: GSSJ Ratulangi, Andi Pangerang. Perwakilan Sunda Kecil (Bali-Nusa Tenggara): I Goesti
Ketoet Poedja. Perwakilan Maluku: Johannes Latuharhary.
demi menjaga persatuan bangsa, mengingat adanya keberatan dari orang-orang
Katolik dan Protestan di Indonesia bagian Timur.4

Selain masalah pencoretan “tujuh kata”, sidang PPKI pada tanggal 18 Agustus
juga menyepakati usul perubahan redaksi terhadap rancangan Pembukaan. Wakil
dari wilayah Sunda Kecil (Bali-Nusa Tenggara), I Goesti Ketoet Poedja,
mengusulkan agar istilah “Allah” dalam frasa “Atas berkat rakhmat Allah Yang Maha
Kuasa”, pada alinea ketiga, diganti menjadi istilah “Tuhan” (“Atas berkat rakhmat
Tuhan Yang Maha Kuasa”). Usul tersebut barangkali karena sebutan Allah sangat
khas asosianya dengan agama-agama abrahamik (Islam, Kristen dan Katolik),
sehingga dirasakan kurang inklusif bagi pengikut agama-agama di luar itu. Terhadap
usul perubahan itutidak ada keberatan atau sanggahan dari siapapun, termasuk dari
golongan Islam. Akan tetapi, kesepakatan soal penggunaan kata “Tuhan” sebagai
ganti “Allah” itu tidak muncul dalam Berita Republik Indonesia tahun II no.7, yang
diterbitkan pada 15 Februari 1946. Kemungkinan hal ini disebabkan kesalahan
teknis dalam suasana revolusi.

Dari uraian di atas, tampak jelas bahwa dalam lintasan panjang sejarah
konseptualisasi Pancasila, setiap fase melibatkan partisipasi berbagai unsur dan
golongan. Oleh karena itu, Pancasila benar-benar merupakan karya bersama milik
bangsa. Meski demikian, tak bisa dimungkiri, bahwa dalam karya bersama itu ada
individu-individu yang memainkan peranan penting. Salah satu nama dengan
peranan paling menonjol adalah Soekarno. Sejak fase “pembuahan”, Soekarno telah
aktif merinstis pemikiran ke arah dasar falsafah Pancasila dalam gagasannya untuk
mensintesiskan antara “nasionalisme-Islamisme dan Marxisme” yang
dikonseptualisasikan lebih lanjut ke dalam prinsip“socio-nationalisme”, “socio-
democratie” sebagai asas Marhaenisme. Pada fase perumusan, dia adalah orang
pertama yang mengkonseptualisasikan dasar negara dalam konteks “dasar falsafah”
(Philosofische Grondslag) atau “pandangan dunia” (Weltanschauung) dengan
mengkristalisasikannya ke dalam lima prinsip; dan dia pula orang pertama yang
menyebut lima prinsip dasar itu dengan istilah Panca Sila. Dalam proses
penyempurnaan perumusan Pancasila itu, dia pula yang memimpin “Panitia
Sembilan” yang melahirkan Piagam Jakarta. Dalam proses penurunan Pancasila itu
ke dalam UUD, dia pula yang memimpin Panitia Perancang Hukum Dasar. Akhirnya,
dalam fase pengesahan Pancasila, dia pula yang memimpin PPKI.

Sejak tanggal 18 Agustus 1945, Pancasila telah menjadi dasar filsafat negara
(Philosophische Gronslag), pandangan hidup (Weltanschauung) bangsa dan
ideologi negara Indonesia. Meskipun Undang-Undang Dasar kita sejak Proklamasi
telah mengalami beberapa kali perubahan, namun semua Konstitusi itu dalam

4
Perlu diketahui bahwa sebelum memasuki Jakarta, anggota PPKI perwakilan wilayah Timur
Indonesia terlebih dahulu berkumpul di Tretes, Jawa Timur, pada 08-11 Agustus 1945, melahirkan
kesepakatan untuk mengusulkan pencoretan “tujuh kata” dari sila pertama (Kusuma, 2009, 640-641).
Pembukaannya selalu menegaskan bahwa negara Indonesia merdeka harus disusun
berdasarkan Pancasila, yang mengandung lima sila yang saling kait-mengait. Dalam
rangkaian perubahan Konstitusi tersebut, rumusan redaksional Pancasila memang
mengalami sedikit perubahan, namun urutan silanya tetap. Dalam Pembukaan
Konstitusi Republik Indonesia Serikat (RIS), rumusannya adalah:
1. Ketuhanan Yang Maha Esa
2. Peri Kemanusiaan
3. Kebangsaan
3. Kerakyatan
4. Keadilan Sosial

Sedangkan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS 1950)


rumusannya adalah:

1. Ketuhanan Yang Maha Esa


2. Kemanusiaan Yang adil dan beradab
3. Persatuan Indonesia
4. Kedaulatan Rakyat
5. Keadilan Sosial

Meski susunan redaksional Pancasila mengalami perubahan, prinsip-prinsip


pokok (kandungan nilai) setiap sila Pancasila secara substatif tidak berubah. Dalam
kaitan dengan susunan urutan Pancasila, Soekarno sendiri tidak memandang urutan
sila-sila Pancasila itu sebagai sesuatu yang prinsipil. Dalam penjelasannya di
kemudia hari, dalam buku Pantja-Sila sebagai Dasar Negara, jilid IV-V (1958: 3),
dia menyatakan sebagai berikut:
Urutan-urutan yang biasa saya pakai untuk menyebut kelima sila daripada
Panca Sila itu ialah: Ke-Tuhanan yang Maha Esa; Kebangsaan nomor dua;
Peri-Kemanusiaan nomor tiga; Kedaulatan Rakyat nomor empat; Keadilan
sosial nomor lima. Ini sekedar urut-urutan kebiasaan saja. Ada kawan-kawan
yang mengambil urut-urutan lain yaitu meletakkan sila Peri-Kemanusiaan
sebagai sila yang kedua dan sila Kebangsaan sebagai sila ketiga. Bagi saya
prinsipiil tidak ada keberatan untuk mengambil urut-urutan itu.

Dengan kata lain, hal yang paling prinsipil dari Pancasila bukanlah pada
urutan dan susunan redaksionalnya, melainkan pada prinsip pokok (kandungan
nilai) sila-sila Pancasila, sebagaimana telah dijabarkan oleh Soekarno pada Pidato 1
Juni 1945. Dengan demikian, dalam rangkain panjang sejarah konseptualisasi
Pancasila itu,dapat dikatakan bahwa 1 Juni merupakan hari kelahiran Pancasila.
Setelah mendengar 39 Pembicara sebelumnya yang mencoba menjawab permintaan
Ketua BPUPK Radjiman Wediodiningrat mengenai Dasar Negara Indonesia
Merdeka, pada tanggal itu Soekarno berhasil mensintesiskan segala pandangan dan
pengalaman ke dalam lima sila. Lima sila itu dipandang sebagai kristastalisasi dari
kaidah pokok dan falsafah-pandangan hidup bangsa yang bersifat ideal dan relatif
ajeg, yang bisa diposisikan sebagai Norma Dasar (Grundnorm).Pada hari itu pula,
lima prinsip dasar negara itu diberi nama Panca Sila. Sejak hari itu, jumlahsila dan
prinsip pokok Pancasila tidak pernah berubah.

Meski demikian, untuk diterima sebagai kaidah fundamental Negara


(Staatsfundamentalnorm), yang pada gilirannya akan terkandung dalam
(Pembukaan) Konstitusi,rumusan Pancasila itu perlu persetujuan kolektif melalui
perumusan Piagam Jakarta (22 Juni) dan akhirnya mengalami perumusan final
lewat proses pengesahan Konstitusi Proklamasi (Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945), pada 18 Agustus. Oleh karena itu, rumusan final
Pancasila sebagai dasar negara yang secara konstitusional mengikat kehidupan
kebangsaan dan kenegaraan bukanlah rumusan Pancasila versi 1 Juni atau 22 Juni,
melainkan versi 18 Agustus 1945. Rumusan final Pancasila ini mendapatkan
pengukuhan setelah Dekrit Presiden 5 Juli 1959, yang mengembalikan Indonesia ke
UUD NRI 1945. Berdasarkan Lembaran Negara Republik Indonesia no. 75 Tahun
1959, Rumusan Pancasila dalam Dekrit Presiden itu sama dengan rumusan yang
terdapat dalam Pembukaan UUD NRI tanggaal 18 Agustus 1945, dengan sedikit
perubahan pada rumusan sila keempat, yakni “permusyawaratan-perwakilan”
diubah menjadi “permusyawaratan/perwakilan”, sesuai dengan yang terdaftar dalam
berita Rebublik Indonesia Tahun II no. 7.

Wawasan Filosofis

Sejak tanggal 18 Agustus 1945, Pancasila telah menjadi dasar falsafah negara
(Philosophische Gronslag), ideologi negara dan pandangan hidup bangsa
(Weltanschauung), serta kaidah fundamental negara Indonesia. Istilah-istilah
tersebut bisa dimaknai dengan merujuk pada pidato Bung Karno pada 1 Juni 1945.
Dalam pidato tersebut, ia menyebut istilah “Philosfische Gronslag” sebanyak 4 kali
plus 1 kali menggunakan istilah “filosifische principe”; sedangkan istilah
“Weltanschauung” ia sebut sebanyak 31 kali.

Tentang istilah “Philosophische Grondslag”, ia definisikan sebagai


“Fundamen, filsafat, pikiran yang sedalam-dalamnya, jiwa, hasrat yang sedalam-
dalamnya untuk di atasnya didirikan gedung Indonesia Merdeka.” Frase “untuk
diatasnya didirikan gedung Indonesia Merdeka” menjelaskan bahwa Pancasila
sebagai Philosophische Grondlag merupakan padanan dari istilah “Dasar Negara”.
Alhasil, pengertian Pancasila sebagai “dasar negara” tak lain adalah Pancasila
sebagai “dasar filsafat/falsafah negara”.

Tentang istilah Weltanschauung, ia tidak memberikan definisinya secara


eksplisit; namun tersirat dari contoh-contoh yang ia berikan, antara lain, sebagai
berikut:
1. Hitler mendirikan Jermania di atas “national-sozialistische
Weltanschauung”.
2. Lenin mendirikan negara Sovyet di atas “Marxistische, Historisch
Materialistiche Weltanschaaung”,
3. Nippon mendirikan negara di atas “Tenno Koodo Seisin”,
4. Saudi Arabia, Ibn Saud, mendirikan negara di atas satu “Weltanschauung”,
bahkan di atas dasar agama, yaitu Islam,
5. Sun Yat Sen mendirikan negara Tiongkok merdeka di atas
“Weltanschauung” San Min Chu I, yaitu Mintsu, Minchuan, Minshen:
Nasionalisme, Demokrasi, Sosialisme.

Dengan demikian, pengertian Bung Karno tentang Weltanschauung itu dekat


dengan ideologi. Dengan kata lain, Pancasila sebagai pandangan hidup/pandangan
dunia (Weltanschauung) bangsa Indonesia hendak dijadikan sebagai ideologi negara.

Perlu dijelaskan bahwa filsafat/falsafah (philosophy) dan Weltanschauung


(pandangan hidup/pandangan dunia) tidak selalu sebangun. Filsafat berkonotasi
sebagai pemikiran saintifik dan rasional dengan klaim validitas universalnya.
Adapun Weltanschauung berkonotasi sebagai pandangan yang relatif lebih personal,
eksistensial dan historikal. Filsafat ada dalam lingkungan pengetahuan, sedangkan
Weltanschauung ada dalam lingkungan hidup (Wolters, 1983; Driyarkara, 2006).

Filsafat sebagai filsafat tidak otomatis menjadi Weltanschauung. Dengan


berfilsafat orang berhasrat memerlukan memandang realitas sedalam-dalamnya.
Untuk menjadi Weltanschauung, pemikiran filsafat itu harus dijadikan sikap dan
pendirian orang/sekelompok orang tentang dunia kehidupan. Pemikiran yang
abstrak beralih menjadi pendirian hidup, yang kemudian pendirian itu diterima dan
dijalankan.

Sebaliknya, Weltanschauung tidak selalu didahului dan melahirkan filsafat. Di


dalam berbagai kearifan tradisional berbagai suku di Indonesia, terkandung adanya
Weltanschauung, tetapi pada umumnya tanpa rumusan filsafat. Selain itu, ada pula
Weltanschauung yang melahirkan rumusan filsafat, dan filsafat berbuah
Weltanschauung.

Atas dasar itu, terdapat perbedaan pandangan di antara para pakar mengenai
hubungan filsafat dan Weltanschauung. A.B. Wolters membedakannya ke dalam 5
kelompok pandangan.
1. Weltanschauung berbeda dengan filsafat. Hal ini dikemukakan oleh
Kierkegaard, tokoh Eksistensialisme dan Carl Jaspers yang menulis buku
“Psychologie der Weltanscauungen”.
2. Weltanschauung adalah mahkota dari Filsafat. Menurut model ini,
Weltanschauung adalah manifestasi tertinggi dari filsafat. Tujuan filsafat
adalah menjelaskan arti kehidupan dan nilai yang dianut. Pandangan ini
dianut oleh Neo Kantianism aliran Baden (Ricket dan Wundt).
3. Weltanschauung berdampingan dengan filsafat. Betapapun
Weltanschauung itu “absah” (legitimate) keberadanya, dan jangan
dicampuradukkan dengan “scientific philosophy” yang mengandung bebas
nilai (value-free nature). Aliran ini dianut oleh H. Ricket, E. Husserl dan
Max Weber.
4. Weltanschauung menghasilkan filsafat. Filsafat tidak menghasilkan
Weltanschauung, tetapi kebalikannya, yaitu dihasilkan oleh
Weltanschauung. Dianut oleh Dilthey dan Karl Mannheim.
5. Weltanschauung sebangun dengan Filsafat. Aliran ini dianut oleh
Friedrich Engels yang menyatakan bahwa, “Materialisme Dialektis itu
merupakan Weltanschauung ilmiah yang sesungguhnya dan oleh karena
itu sinonim dengan filsafat” (Wolters, 1983: 14-25).

Pengertian Bung Karno yang memandang Pancasila sebagai Weltanschauung


dan sekaligus sebagai Philosophische Grondslag menyerupai pandangan Friedrich
Engels. Bahwa Weltanschauung sebangun dengan filsafat yang menyatu dalam
ideologi. Dengan kata lain, ideologi adalah pendangan dunia (Weltanschauung) yang
diteoritisasikan dan disistematisasikan secara ilmiah-filosofis. Ideologi juga bisa
dikatakan sebagai filsafat yang dimanifestasikan sebagai keyakinan normatif,
kerangka interpretatif dan operatif dalam dunia kehidupan.

Dasar berfikir Bung Karno kira-kira dapat dijelaskan seperti ini. Bahwa nilai-
nilai pandangan/pendirian hidup yang digali dari berbagai kearifan suku bangsa,
keagamaan, dan nilai-nilai kemanusiaan universal dipandang sebagai bantalan
Weltanschauung bagi negara Indonesia merdeka. Agar Weltanschauung berbagai
suku bangsa dan golongan di negeri ini tidak berdiri sendiri-sendiri, tetapi
mengandung kesatuan dan koherensi yang bisa menjadi dasar dan haluan bersama,
maka Weltanschauung tersebut perlu dirumuskan secara sistematik dan rasional;
menjadi Weltanschauung ilmiah (scientific worldview), yang sebangun dengan
filsafat (Philosophische Grondslag). Selanjutanya, Pancasila sebagai scientific
worldview itu menjadi ideologi negara.

Pancasila sebagai ideologi negara dapat dikatakan sebagai ideologi


“integralistik” yang mengatasi partikularitas paham perseorangan dan golongan.
Dalam pengertian bahwa dalam wilayah privat (keluarga) dan komunitas (etnis,
agama, dan golongan masyarakat), masing-masing perseorangan dan golongan
masih bisa mengembangkan partikularitas ideologinya masing-masing. Namun
dalam wilayah publik kenegaraan, segala perseorangan dan golongan itu harus
menganut ideologi Pancasila sebagai titik temu.

Namun demikian, harus segera diingatkan bahwa meskipun antara wilayah


privat, komunitas, dan publik itu bisa dibedakan secara ketegoris, dalam realitas
hidup tidak selalu bisa dipisahkan. Berbeda dengan paham individualisme yang
menarik garis demarkasi yang ketat antara “the public self” (yang melibatkan relasi
sosial yang bisa diobservasi) dengan “private self” (yang tidak bisa diakses oleh yang
lain), menurut ideologi Pancasila ketiga wilayah itu tidak sepenuhnya terpisah.
Meski demikian, berbeda pula dengan paham kolektivisme totalitarian ala
libertarian socialism, yang bisa semena-mena mengintervensi wilayah privat.

Ideologi Pancasila memandang bahwa sumber-sumber moral privat dan


komunitas (agama, kearifan lokal, dan lain-lain) dapat melakukan pengisian dan
dukungan terhadap perumusan Pancasila sebagai moral publik. Di sisi lain, meski
Pancasila tidak bermaksud mengintervensi pengembangan moral privat dan
komunitas, namun bisa mencegah secara hikmat-bijaksana pengembangan moral
privat dan komunitas yang dapat membahayakan kehidupan publik.

Istilah ideologi berasal dari kata ‘idea’ yang berarti ‘gagasan, konsep,
pengertian dasar, cita-cita dan ilmu. Secara harfiah, ideologi dapat diartikan sebagai
ilmu pengetahuan tentang ide-ide, atau ajaran tentang pengertian-pengertian dasar.
Secara umum, ideologi dapat didefinisikan sebagai seperangkat keyakinan dan
paradigma pengetahuan yang menyeluruh dan sistematis yang memberikan
landasan interpretasi untuk bertindak (Heywood, 2012: 1214; Kaelani, 2013: 60-61).

Dengan demikian, setiap ideologi idealnya harus mampu memadukan unsur


keyakinan, pengetahuan, dan tindakan yang diarahkan untuk mewujudkan visi yang
diimpikan. Pertama, ideologi mengandung seperangkat keyakinan berisi tuntunan-
tuntunan normatif-preskriptif yang menjadi pedoman hidup. Kedua, ideologi
mengandung semacam paradigma pengetahuan berisi seperangkat prinsip, doktrin
dan teori, yang menyediakan kerangka interpretasi dalam memahami realitas. Ketiga,
ideologi mengandung dimensi tindakan yang merupakan level operasional dari
keyakinan dan pengetahuan itu dalam realitas konkrit.

Pancasila sebagai ideologi dipandang oleh Bung Karno dan pendiri bangsa
lainnya lebih memenuhi kebutuhan manusia dan lebih menyelamatkan manusia
daripada Declaration of Independence-nya Amerika Serikat atau Manifesto Komunis.
Declaration of Independence tidak mengandung Keadilan Sosial; adapun Manifesto
Komunis tidak mengandung Ketuhanan Yang Maha Esa (“harus disublimir dengan
Ketuhanan Yang Maha Esa”). 5 Oleh karena itu, Bung Karno menyebut Pancasila
sebagai hogere optrekking (peningkatan) daripada Declaration of Independence dan
Manifesto Komunis.

Secara historis kelima sila Pancasila merupakan perpaduan (sintesis) dari


keragaman keyakinan, paham dan harapan yang berkembang di negeri ini. Sila
pertama merupakan rumusan sintesis dari segala aliran agama dan kepercayaan. Sila

5Dalam ungkapan Soekarno, Manifesto komunis “harus disublimir dengan Ketuhanan Yang Maha
Esa”; barangkali maksudnya, harus ditransendesikan agar tidak terpenjara dalam berhala
materialisme yang dapat menyandera tujuan emansipasi sosial.
kedua merupakan rumusan sintesis dari segala paham dan cita-cita sosial-
kemanusiaan yang bersifat trans-nasional. Sila ketiga merupakan rumusan sintesis
dari kebhinekaan (aspirasi-identitas) kesukuan ke dalam kesatuan bangsa. Sila
keempat merupakan rumusan sintesis dari segala paham mengenai kedaulatan. Sila
kelima merupakan rumusan sintesis daripada segala paham keadilan sosial-ekonomi.

Pilar ideologis dari kelima sila tersebut utamanya ditopang oleh “trilogi
ideologi” arus utama: ideologi-ideologi berhaluan keagamaan; ideologi-ideologi
berhaluan kebangsaan (nasionalisme); dan ideologi-ideologi berhaluan sosialisme.
Ketiga haluan ideologis tersebut, meski memiliki titik perbedaan, menemukan titik
temu dalam tiga prinsip dasar: sosio-religius, sosio-nasionalisme, dan sosio-
demokrasi.

Sosio-religius adalah prinsip religositas yang bermurah hati (sosius); yang


penuh welas asih dan lapang. Semangat ”ke-Tuhanan yang berkebudayaan, ke-
Tuhanan yang berbudi pekerti yang luhur, ke-Tuhanan yang hormat-menghormati
satu sama lain”. Prinsip ini terkandung pada sila pertama.

Sosio-nasionalisme adalah prinsip kebangsaan yang bermurah hati (sosius);


penuh welas asih dan lapang; semangat kebangsaan yang menjunjung tinggi
perikemanusiaan kedalam dan keluar. “Kebangsaan yang kita anjurkan bukan
kebangsaan yang menyendiri, bukan chauvinisme…. Kita harus menuju persatuan
dunia, persaudaraan dunia.” Prinsip ini merupakan perpaduan dari sila kedua dan
ketiga.

Sosio-demokrasi adalah demokrasi yang bermurah hati (sosius); penuh welas


asih dan lapang; demokrasi yang berorientasi keadilan sosial, yang tidak hanya
menghendaki partisipasi dan emansipasi di bidang politik, tetapi juga partisipasi dan
emansipasi di bidang ekonomi. ”Demokrasi sejati jang mencari keberesan politik dan
ekonomi, keberesan negeri dan keberesan rezeki. Sosio-demokrasi adalah
demokrasi-politik dan demokrasi-ekonomi.” Prinsip ini merupakan perpaduan dari
sila keempat dan kelima.

Ketiga prinsip tersebut dipersatukan oleh semangat cinta kasih. Semangat


cinta kasih itulah yang dalam kata kerjanya disebut Bung Karno dengan istilah
“gotong-royong”. Menurutnya, gotong-royong adalah paham yang dinamis, lebih
dinamis dari kekeluargaan. “Gotong royong adalah pembantingan tulang bersama,
pemerasan keringat bersama, perjuangan bantu-membantu bersama. Amal semua
buat kepentingan semua, keringat semua buat kebahagiaan semua. Ho-lopis-kuntul-
baris buat kepentingan bersama!”

Di atas landasan cinta kasih, semua sila Pancasila hendak dikembangkan


dengan semangat gotong-royong. Maknanya adalah: Prinsip ketuhanannya harus
berjiwa gotong-royong (ketuhanan yang berkebudayaan, yang lapang dan toleran);
bukan ketuhanan yang saling menyerang dan mengucilkan. Prinsip
intenasionalismenya harus berjiwa gotong-royong (yang berperikemanusian dan
berperikeadilan); bukan internasionalisme yang menjajah dan eksploitatif. Prinsip
kebangsaannya harus berjiwa gotong-royong (mampu mengembangkan persatuan
dari aneka perbedaan, “bhineka tunggal ika”); bukan kebangsaan yang meniadakan
perbedaan atau menolak persatuan. Prinsip demokrasinya harus berjiwa gotong-
royong (mengembangkan musyawarah mufakat); bukan demokrasi yang didikte oleh
suara mayoritas (mayorokrasi) atau minoritas elit penguasa-pemodal (minorokrasi).
Prinsip kesejahteraannya harus berjiwa gotong-royong (mengembangkan partisipasi
dan emansipasi di bidang ekonomi dengan semangat kekeluargaan); bukan visi
kesejahteraan yang berbasis individualisme-kapitalisme; bukan pula yang
mengekang kebebasan individu seperti dalam sistem etatisme.

Dalam perkembangannya, kekokohan keyakinan normatif Pancasila itu belum


didukung oleh dimensi pengetahuan dari ideologi. Berbeda dengan anggapan umum
yang memandang Pancasila sekadar teori, pada kenyataannya, Pancasila justru
belum dikembangkan ke dalam seperangkat teori secara elaboratif dan komprehensif,
yang dapat mewarnai konsepsi-konsepsi pengetahuan. Padahal, proses objektivikasi
dari Pancasila sebagai keyakinan menjadi Pancasila sebagai ilmu sangat penting,
karena ilmu merupakan jembatan antara idealitas-ideologis dan realitas-kebijakan.
Setiap rancangan perundang-undangan selalu didahului oleh naskah akademik. Jika
pasokan teoritis atas naskah ini diambil dari teori-teori pengetahuan yang
bersumber dari paradigma-ideologis yang lain, besar peluang lahirnya kebijakan
perundang-undangan yang tak sejalan dengan imperatif moral Pancasila. Salah satu
cara untuk mengembangkan dimensi pengetahuan dari Pancasila bisa ditempuh
melalui proses apropriasi (penyerapan) terhadap khasanah teori-teori pengetahuan
yang ada, sejauh dianggap sejalan dengan nilai-nilai Pancasila.

Jika Pancasila sebagai landasan normatif telah begitu kuat, dan Pancasila
sebagai kerangka paradigma pengetahuan masih dalam taraf percobaan, dimensi
tindakan dari Pancasila masih jauh panggang dari tuntutan keyakinan dan
pengetahuan. Pancasila belum banyak diimplementasikan ke dalam level operasional
kebijakan dan tindakan penyelenggaraan negara. Tantangan ini harus segera
dijawab dengan cara menumbuhkan kepercayaan diri dan daya juang agar Pancasila
mempunyai konsistensi dengan produk-produk perundangan, koherensi antarsila,
dan korespondensi dengan realitas sosial. Dalam kaitan ini, Pancasila yang semula
hanya melayani kepentingan vertikal (negara) menjadi Pancasila yang melayani
kepentingan horizontal, serta menjadikan Pancasila sebagai kritik kebijakan negara.

Dalam kerangka itu, Pancasila sebagai falsafah, pandangan hidup dan ideologi
kenegaraan Indonesia mengandung cita hukumnya (rechts idee) tersendiri. Bahwa
nilai-nilai Pancasila harus dipandang sebagai norma dasar bernegara
(Grundnorm/Staatsfundamentalnorm) yang menjadi sumber dari segala sumber
hukum di Indonesia.
Dalam kedudukannya seperti itu, Pancasila adalah dasar persatuan dan
haluan kemajuan-kebahagiaan bangsa. Selama kita belum bisa membumikan nilai
Pancasila dalam kehidupan nyata, selama itu pula bangsa Indonesia sulit meraih
kemajuan-kebahagiaan yang diharapkan.

Wawasan Pengamalan

Setiap ideologi yang menghendaki kesaktian dalam memengaruhi kehidupan


publik secara efektif perlu mengalami proses 'pengakaran' (radikalisasi) yang
melibatkan tiga lapis ideologis: keyakinan, visional, pengetahuan (konsepsional)
dan perbuatan (operational).

Dimensi Keyakinan

Secara esensial, setiap sila Pancasila mencerminkan suatu perspektif


keyakinan akan keutuhan integritas kodrat kemanusiaan. Bahwa kodrat manusia
pada dasarnya bisa dikerucutkan ke dalam lima unsur, yang satu sama lain saling
kait-mengait, saling menyempurnakan.

Sila pertama meyakini bahwa keberadaan manusia merupakan ada yang


diciptakan. Manusia adalah kristalisasi dari cinta kasih Sang Maha Pencipta sebagai
ada pertama. Sebagai makhluk ciptaan, manusia bersifat terbatas, relatif dan
tergantung, sehingga memerlukan keterbukaan pada sesuatu yang transenden untuk
menemukan sandaran religi pada yang mutlak. Menolak transendensi pada yang
mutlak beresiko memutlakan yang relatif. Saat religi dipungkiri, manusia terdorong
untuk mencari penggantinya dengan mempertuhankan hal-hal yang imanen. Sebagai
kristalisasi dari cinta kasih “Tuhan”, manusia juga harus mengembangkan cara
berketuhanan yang penuh cinta kasih.

Sila kedua meyakini bahwa keberadaan manusia merupakan ada bersama.


Manusia tidak bisa berdiri sendiri, terkucil dari keberadaan yang lain. Untuk ada
bersama dengan yang lain, manusia tidak bisa tidak harus ada-bersama-dengan-
cinta, dengan mengembangkan rasa kemanusiaan yang adil dan beradab.

Sila ketiga meyakini bahwa dalam ada bersama, manusia sebagai makhluk
sosial memerlukan ruang hidup yang konkrit dan pergaulan hidup dalam realitas
kemajemukan. Cara menghidupkan cinta kasih dalam kebhinekaan manusia yang
mendiami tanah-air sebagai geopolitik bersama itulah manusia mengembangkan
rasa kebangsaan.

Sila keempat meyakini bahwa dalam mengembangkan kehidupan bersama,


cara mengambil keputusan yang menyangkut masalah bersama ditempuh dengan
semangat cinta kasih. Ukuran utama dari cinta adalah saling menghormati. Cara
menghormati manusia dengan memandangnya sebagai subyek yang berdaulat,
bukan obyek manipulasi, eksploitisasi dan eksklusi, itulah yang disebut demokrasi
dalam arti sejati.

Sila kelima meyakini bahwa keberadaan manusia adalah roh yang


menjasmani. Secara jasmaniah, manusia memerlukan papan, sandang, pangan, dan
pelbagai kebutuhan material lainnya. Perwujudan khusus kemanusiaan melalui cara
mencintai sesama manusia dengan berbagi kebutuhan jasmaniah secara fair itulah
yang disebut dengan keadilan sosial.

Dimensi Pengetahuan

Pada dimensi pengetahuan, wawasan keyakinan Pancasila mengandung


konsekuensi paradigmatis yang dapat menurunkan konsepsi-konsepsi teoritis.

Sila pertama mengkonseptualisasikan bahwa nilai-nilai ketuhanan


(religiositas) sebagai sumber etika dan spiritualitas (yang bersifat vertikal-
transendental) dianggap penting sebagai fundamen etik kehidupan bernegara.
Indonesia bukanlah negara sekular yang ekstrem, yang memisahkan “agama” dan
“negara”. Negara menurut alam Pancasila malah diharapkan dapat melindungi dan
mengembangkan kehidupan beragama; sementara agama diharapkan bisa
memainkan peran publik yang berkaitan dengan penguatan etika sosial.

Indonesia juga bukan “negara agama”, yang hanya mewakili salah satu (unsur)
agama dan memungkinkan agama untuk mendikte negara. Sebagai negara yang
dihuni oleh penduduk dengan multiagama dan multikeyakinan, negara Indonesia
diharapkan dapat mengambil jarak yang sama terhadap semua agama/keyakinan,
melindungi semua agama/keyakinan, dan harus dapat mengembangkan politiknya
sendiri secara independen dari dikte-dikte agama.

Menurut konsepsi sila pertama, peran agama dan negara tidak perlu
dipisahkan, tetapi harus dibedakan. Dengan syarat bahwa keduanya saling mengerti
batas otoritasnya masing-masing yang disebut dengan istilah “toleransi-kembar”
(twin tolerations).

Sila kedua mengkonseptualisasikan bahwa nilai-nilai kemanusiaan


universal yang bersumber dari hukum Tuhan, hukum alam, dan sifat-sifat sosial
manusia (yang bersifat horizontal) dianggap penting sebagai fundamen etika-politik
kehidupan bernegara dalam pergaulan dunia. Prinsip kebangsaan yang luas, yang
mengarah pada persaudaraan dunia, dikembangkan melaui jalan eksternalisasi dan
internalisasi. Keluar, bangsa Indonesia menggunakan segenap daya dan khazanah
yang dimilikinya untuk secara bebas-aktif ‘ikut melaksanakan ketertiban dunia yang
berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial’. Kedalam, bangsa
Indonesia mengakui dan memuliakan hak-hak dasar warga, individu dan entitas
kolektif. Landasan etik sebagai prasyarat persaudaraan universal ini adalah “adil”
dan “beradab”.

Sila ketiga mengkonseptualisasikan bahwa aktualisasi nilai-nilai etis


kemanusiaan itu terlebih dahulu harus mengakar kuat dalam lingkungan pergaulan
kebangsaan yang lebih dekat sebelum menjangkau pergaulan dunia yang lebih jauh.
Dalam internalisasi nilai-nilai persaudaraan kemanusiaan ini, Indonesia adalah
negara persatuan kebangsaan yang mengatasi paham golongan dan perseorangan.
Persatuan dari kebhinekaan masyarakat Indonesia dikelola berdasarkan konsepsi
kebangsaan yang mengekspresikan persatuan dalam keragaman, dan keragaman
dalam persatuan, yang dalam slogan negara dinyatakan dengan ungkapan ’bhineka
tunggal ika’. Di satu sisi, ada wawasan persatuan yang berusaha mencari titik-temu
dari segala kebhinekaan yang terkristalisasikan dalam dasar negara (Pancasila),
Konstitusi negara dan segala turunan perundang-undangannya, negara persatuan,
bahasa persatuan, dan simbol-simbol kenegaraan lainnya. Di sisi lain, ada wawasan
kebhinekaan yang menerima dan memberi ruang hidup bagi aneka perbedaan,
seperti aneka agama/keyakinan, budaya dan bahasa daerah, dan unit-unit politik
tertentu sebagai warisan tradisi budaya.

Sila keempat mengkonseptualisasikan bahwa nilai ketuhanan, nilai


kemanusiaan, dan nilai kebangsaan itu dalam aktualisasinya harus menjunjung
tinggi kedaulatan rakyat dalam semangat permusyawaratan yang dipimpin oleh
hikmat kebijaksanaan. Dalam visi demokrasi permusyawaratan, demokrasi
memperoleh kesejatiannya dalam penguatan daulat rakyat, ketika kebebasan politik
berkelindan dengan kesetaraan ekonomi, yang menghidupkan semangat
persaudaraan cinta kasih dalam kerangka ’musyawarah-mufakat” yang berorientasi
persatuan (negara kekeluargaan) dan keadilan (negara kesejahteraan).
Dalam prinsip musyawarah-mufakat, keputusan tidak didikte oleh golongan
mayoritas (mayorokrasi) atau kekuatan minoritas elit politik dan pengusaha
(minorokrasi). Demokrasi Pancasila hendak merealisasikan cita permusyawaratan
(deliberatif-argumentatif) dan cita hikmat-kebijaksanaan (kearifan konsensual).
Demokrasi yang bersifat imparsial (inklusif), didedikasikan bagi banyak orang, dan
berorientasi jauh ke depan demi kemaslahatan dan kebahagiaan hidup bersama;
dengan pemerintahan negara yang melindungi segenep bangsa dan seluruh tumpah
darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan
bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemedekaan,
perdamaian dan keadilan.

Sila kelima mengkonseptualisasikan bahwa nilai ketuhanan, nilai


kemanusian, nilai kebangsaan dan nilai kerakyatan itu memperoleh kepenuhan
artinya sejauh dapat mewujudkan keadilan sosial. Di satu sisi, perwujudan keadilan
sosial itu harus mencerminkan imperatif etis keempat sila lainnya. Di sisi lain,
otentisitas pengalaman sila-sila Pancasila bisa ditakar dari perwujudan keadilan
sosial dalam perikehidupan kebangsaan. Dalam visi keadilan sosial menurut
Pancasila, yang dikehendaki adalah keseimbangan antara pemenuhan kebutuhan
jasmani dan rohani, keseimbangan antara peran manusia sebagai mahkluk individu
(yang terlembaga dalam pasar) dan peran manusia sebagai makhluk sosial (yang
terlembaga dalam negara), juga keseimbangan antara pemenuhan hak sipil dan
politik dengan hak ekonomi, sosial dan budaya.

Cita keadilan sosial hendak diwujudkan melalui perekonomian merdeka yang


berkeadilan dan berkemakmuran; berlandaskan usaha tolong-menolong (gotong-
royong) dan pengusaan negara atas cabang-cabang produksi yang penting-yang
menguasasi hajat hidup orang banyak, serta atas bumi, air dan kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya; seraya memberi peluang bagi hak milik pribadi dengan
fungsi sosial.

Dimensi Perbuatan

Pancasila sebagai landasan konsepsional menuntut perwujudan kerangka


operatif sebagai pedoman perilaku penyelenggara negara dan warga negara dalam
kehidupan publik.

Sila Pertama
1) Percaya dan Takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa sesuai dengan agama dan
kepercayaan masing-masing.
2) Hormat menghormati dan bekerjasama antar pemeluk agama dan penganut
kepercayaan yang berbeda-beda sehingga terbina kerukunan hidup.
3) Saling menghormati kebebasan menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan
kepercayaannya.
4) Tidak memaksakan suatu agama dan kepercayaan kepada orang lain.

5) Berbuat baik dengan amanah, jujur dan bersih.

Sila Kedua
1) Mengakui persamaan derajat, persamaan hak, dan persamaan kewajiban antara
sesama manusia.
2) Saling mencintai sesama manusia dan mengembangkan sikap tenggang rasa.
3) Menjunjung tinggi nilai kemanusiaan dan gemar melakukan kegiatan
kemanusiaan.
4) Berani membela kebenaran dan keadilan.
5) Bangsa Indonesia merasa dirinya sebagai bagian dari seluruh umat manusia,
karena itu dikembangkan sikap hormat-menghormati dan bekerjasama dengan
bangsa lain.

Sila Ketiga
1) Cinta Tanah Air dan Bangsa.
2) Menempatkan kesatuan, persatuan, kepentingan, dan keselamtan bangsa dan
negara di atas kepentingan pribadi
atau golongan.
3) Rela berkorban untuk kepentingan bangsa dan negara.

4) Bangga sebagai Bangsa Indonesia dan ber-Tanah Air Indonesia.


5) Memajukan pergaulan demi persatuan dan kesatuan bangsa yang ber-Bhineka
Tunggal Ika.

Sila Keempat
1) Menjunjung daulat rakyat dengan mengutamakan kepentingan umum
2) Menghormati perbedaan pandangan dengan tidak memaksakan kehendak kepada
orang lain.
3) Mengutamakan musyawarah dalam mengambil keputusan dengan dibimbing oleh
kearifan dan akal sehat sesuai dengan hati nurani yang luhur.
4) Dengan iktikad baik dan rasa tanggung jawab menerima dan melaksanakan hasil
musyawarah.

5) Mengemban amanah publik secara betanggung jawab

Sila Kelima
1) Mengembangkan usaha bersama dengan semangat tolong-menolong
2) Suka memberi pertolongan dan menjauhi sikap pemerasan terhadap orang lain.
3) Tidak melakukan kegiatan perekonomian yang memboroskan sumberdaya dan
merugikan kesejahteraan umum.
4) Suka bekerja keras dan menghargai hasil karya orang lain.
5) Bersama-sama berusaha mewujudkan kemajuan yang merata dan berkeadilan
sosial.

Dimensi Visional

Setiap ideologi pada akhirnya harus memberi visi teleologis tentang cita-cita
masa depan yang diimpikan. Ke sanalah segala keyakinan, pengetahuan dan
perbuatan hendak diarahkan. Pancasila sebagai bintang penuntun juga mengandung
visi dan misi negara, yang memberi orientasi ke arah mana perjuangan dan
pembangunan bangsa harus diarahkan.

Dalam merumuskan visi dan misi negara berlandaskan Pancasila itu, para
pendiri bangsa menyadari bahwa perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia tidak
terbatas pada kebebasan sebagai “hak negatif” (“bebas dari” berbagai bentuk
penjajahan, penindasan dan pemiskinan), melainkan juga kebebasan sebagai “hak
positif” (“bebas untuk” mengembangkan diri dan nilai tambah demi mencapai
kemajuan, keluhuran, dan kebahagiaan hidup). Maka dari itu, dalam alam pikiran
para pendiri bangsa, revolusi nasional untuk mencapai kemerdekaan dari
penjahahan dan penindasan harus disusul oleh revolusi sosial untuk mewujudkan
hal-hal yang lebih positif.

Motif terbesar untuk memperjuangkan kemerdekaan itu adalah meraih


kebahagian. Dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 (UUD 1945), motif itu tersirat dalam alinea kedua, “Dan perjuangan
pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia.”
Namun, dalam alinea itu juga disebutkan, bahwa pemenuhan atas motif meraih
kebahagiaan itu hanya bisa terpenuhi sepenuhnya bilamana bangsa Indonesia bisa
mencapai visi negara merdeka: yakni menjadi bangsa dan warga yang “merdeka,
bersatu, berdaulat adil dan makmur”.

Visi negara tersebut bisa dilihat sebagai turunan dari cita Pancasila. Menjadi
“merdeka” merupakan pancaran cita moral sila Ketuhanan dan Kemanusiaan.
Bahwa di hadapan Tuhan dan Kemanusiaan, segala jenis manusia, apa pun
perbedaan warna kulit, ras, dan golongannya bersifat setara. Saat yang sama,
keberadaan manusia tidaklah bisa berdiri sendiri, terkucil dari yang lain. Untuk ada
bersama dengan yang lain, manusia tidak bisa tidak harus ada-bersama-dengan-
cinta; dengan mengembangkan rasa kemanusiaan yang penuh cinta kasih pada yang
lain.

Sikap mental yang harus ditumbuhkan sebagai ekspresi kesetaraan ini adalah
mental mandiri. Kemandirian tidaklah sama dengan kesendirian. Kemandirian
adalah sikap mental yang bisa dan berani berfikir, bersikap dan bertindak secara
berdaulat, bebas dari paksaan dan intervensi pihak-pihak lain. Menumbuhkan
mental mandiri, selain mensyaratkan mental egaliter, juga meniscayakan adanya
kecerdasan dan kreativitas berbasis pengembangan ilmu dan teknologi.

Kemandirian kolektif bangsa Indonesia juga bisa tumbuh secara ajeg bila
warga Indonesia mengembangkan rasa cinta kasih dengan menunaikan kewajiban
publiknya secara amanah, jujur dan bersih. Kolektivitas yang tidak disertai
mentalitas kejujuran akan merobohkan kemandirian bangsa. Dalam suatu bangsa di
mana korupsi merajalela, kedaulatan bangsa tersebut mudah jatuh ke dalam dikte-
dikte bangsa lain.

Selain semangat-mental egalitar, mandiri dan amanah, manusia sebagai


makhluk religius yang berperikemanusiaan juga harus membebaskan dirinya dari
berhala materialisme dan hedonisme. Menurut pandangan hidup Pancasila, materi
itu penting tapi tidak boleh diberhalakan. Di hadapan Yang Maha Kuasa, materi itu
bersifat relatif yang tak dapat dimutlakan. Dengan semangat ketuhanan yang
berperikemanusiaan, materi sebagai hak milik itu memiliki fungsi sosial yang harus
digunakan dengan semangat altruis (murah hati, suka menolong).

Menjadi “bersatu”, merupakan pancaran cita moral sila Persatuan. dalam ada
bersama, manusia sebagai makhluk sosial memerlukan ruang hidup yang konkrit
dan pergaulan hidup dalam realitas kemajemukan bangsa. Cara menghidupkan cinta
kasih dalam kebhinekaan manusia yang mendiami tanah-air sebagai geopolitik
bersama itulah manusia mengembangkan rasa kebangsaan.

Dengan mental altruis, manusia Indonesia sebagai makhluk sosial dapat


mengembangkan pergaulan hidup kebangsaan multikultural dengan mentalitas
gotong-royong, “bhinneka tunggal ika” (persatuan dalam keragaman). Dengan
semangat gotong-royong, persatuan manusia/warga negara Indonesia bisa
dikembangkan dengan menghargai adanya perbedaan; sedang dalam perbedaan, bisa
merawat persatuan.

Untuk bisa menumbuhkan mentalitas persatuan dalam keragaman itu


diperlukan semangat-mental pengorbanan dan pelayanan. Ujung dari semangat
persamaan, kemandirian, kejujuran, alturisme dan persatuan adalah pelayanan
kemanusiaan. Makna pelayanan di sini bukan hanya dalam bentuk kesiapan mental
untuk menunaikan kewajiban sosial sesuai dengan tugas dan fungsi, namun juga
dalam bentuk kerja keras mengaktualisasikan potensi diri hingga meraih prestasi
tertinggi di bidang masing-masing, yang dengan itu memberikan yang terbaik bagi
kemulian bangsa dan umat manusia.

Menjadi “berdaulat” merupakan pancaran cita moral sila Kerakyatan. Bahwa


menjadi bangsa berdaulat berarati memiliki kemandirian “keluar” (dalam relasi
internasional) dan “ke dalam” (relasi dalam negeri) dalam mengambil keputusan.
Dalam mengemban amanah pelayanan publik dalam kebangsaan majemuk, cara
mengambil keputusan yang menyangkut masalah bersama ditempuh dengan cara-
cara permusyawaratan berlandaskan semangat cinta kasih yang saling menghormati,
saling menenggang dan saling berbagi.

Menjadi “adil dan makmur” merupakan pancaran cita moral sila Keadilan
Sosial. Yakni perwujudan khusus kemanusiaan melalui cara mencintai sesama
manusia dengan berbagi kebutuhan jasmaniah secara fair. Untuk itu, di samping
kemerdekaan (emansipasi) politik, perlu juga ada kemerdekaan (emansipasi)
ekonomi.

Menjadi bangsa yang adil dan makmur meniscayakan pengelolaan basis


material yang berorientasi menciptakan perekonomian merdeka yang berkeadilan
dan berkemakmuran; berlandaskan usaha tolong-menolong (gotong-royong) dan
pengusaan negara atas cabang-cabang produksi yang penting-yang menguasasi hajat
hidup orang banyak, serta atas bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya; seraya memberi peluang bagi hak milik pribadi dengan fungsi sosial.

Dalam rangka meralisasikan visi negara merdeka tersebut, segenap elemen


negara-bangsa dituntut untuk mengemban misi negara, sebagaimana tertuang dalam
alinea keempat Pembukaan UUD 1945. Pertama, “melindungi segenap bangsa
Indonesia dan suluruh tumpah darah Indonesia”. Kedua, “memajukan
kesejahteraan umum”. Ketiga, “mencerdaskan kehidupan bangsa”. Keempat, “ikut
melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi
dan keadilan sosial”.

Keempat misi negara-bangsa tersebut sesungguhnya merupakan perwujudan


imperatif moral Pancasila juga. Misi “melindungi” merupakan imperatif moral
Ketuhanan, Kemanusiaan dan Persatuan. Bahwa setiap warga, apapun latar
primordial dan dimana pun berada, wajib dilindungi hak hidupnya, hak miliknya,
dan martabatnya; baik hak sipil dan politiknya maupun hak ekonomi, sosial dan
budayanya.

Misi “mensejahterakan” merupakan imperatif moral Keadilan Sosial. Bahwa


terwujudnya keadilan dan kesejahteraan merupakan bukti yang paling nyata dari
idealitas Pancasila. Jalan untuk mencapai keadilan sosial menghendaki perwujudan
negara kesejahteraan ala Indonesia yang tidak saja mengandalkan peran negara
secara luas, tetapi juga menghendaki partisipasi pelaku usaha dan masyarakat dalam
mengembangkan kesejahteraan. Dengan kapasitasnya masing-masing, mereka harus
bergotong royong dalam memajukan kesejahteraan umum, mengembangkan
jaminan-pelayanan sosial, serta melakukan pembangunan berkelanjutan untuk
keadilan dan perdamaian dengan karakter kemandirian, sikap hemat, etos kerja dan
ramah lingkungan.

Misi “mencerdaskan” merupakan imperatif dari seluruh sila Pancasila,


utamanya tuntutan moral Kerakyatan (demokrasi) dan Keadilan Sosial. Bahwa
demokrasi Pancasila yang hendak dikembangkan hendak merealisasikan cita
permusyawaratan (deliberatif-argumentatif) dan cita hikmat-kebijaksanaan
(kearifan konsensual). Demokrasi yang bersifat imparsial (inklusif), didedikasikan
bagi banyak orang, berorientasi jauh ke depan dan didasarkan pada asas rasionalitas,
yang menuntut prasyarat kecerdasan kewargaan. Selain itu, usaha mewujudkan
kesejahteraan umum juga menghendaki nilai tambah atas karunia Tuhan yang
terberikan dengan mengembangkan aneka kecerdasan insani. Di atas tanah yang
subur, harus tumbuh jiwa yang subur. Hanya kehidupan bangsa yang cerdas yang
dapat mengelola karunia kekayaan alam bagi seluas-luas kemakmuran rakyatnya.

Misi, “melaksanakan ketertiban dunia” merupakan imperatif moral


Kemanusiaan. Sila Kemanusiaan yang adil dan beradab mengandung visi
kebangsaan yang humanis, dengan komitmen besar untuk menjalin persaudaraan
dalam pergaulan dunia serta dalam pergaulan antarsesama anak negeri
berlandaskan nilai-nilai keadilan dan keadaban, yang memuliakan hak-hak asasi
manusia.

Dalam membumikan prinsip tersebut, para pendiri bangsa telah mewariskan


suatu kemampuan untuk memadukan antara visi global dengan kearifan lokal,
antara kepentingan nasional dan kemanusiaan universal. Dalam visi dan misi negara
sebagai cerminan kebebasan positif itu begitu jelas tergambar bahwa warisan terbaik
bangsa ini bukanlah politik ketakutan (politics of fear), melainkan “politik harapan”
(politics of hope). Bahwa rumah kebangsaan ini dibangun dengan penuh harapan:
merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur

Anda mungkin juga menyukai