Abstrak
Artikel ini menganalisis percakapan di dalam dialog naskah drama ‘Bila Malam
Bertambah Malam’ karya Putu Wijaya sebagai bentuk teks dengan menggunakan teori-
teori pragmatik. Beberapa teori yang digunakan adalah teori tindak tutur, aspek semantik,
prinsip kesantunan, dan prinsip kerja sama dalam komunikasi. Keempat teori tersebut
dipakai untuk menganalisis identitas dan karakter setiap tokoh dalam naskah drama.
Hasil analisis menunjukkan bahwa melalui analisis tindak tutur dan implikatur
dialog naskah drama Bila Malam Bertambah Malam, dapat diketahui identitas dan
karakter para tokoh dalam cerita yakni Gusti Biang adalah orang jahat, keturunan
bangsawan, tua, keras kepala, dan sombong. Melalui struktur ujaran yang terdapat pada
tokoh Wayan dan Nyoman cukup memberi informasi kepada pembaca bahwa keduanya
adalah kaum sudra dalam strata sistem sosial di Bali yang sabar dan baik hati.
A. Pendahuluan
Naskah drama adalah teks tertulis yang berisi dialog atau percakapan para tokoh
yang menggambarkan sebuah peristiwa. Dalam dialog tersebut, bahasa adalah media
utama yang digunakan untuk merangkai tuturan sehingga menjadi sebuah cerita. Dengan
bahasa para tokoh menyampaikan gagasan, perasaan, keinginan, dan berbagi pengalaman
antara tokoh yang satu dan tokoh yang lainnya. Cara yang dilakukan untuk
Dengan wacana itu pula, maksud yang ingin penutur sampaikan bisa dipahami dan
dimengerti oleh mitra tuturnya, bahkan bisa saja memunculkan baik reaksi, respon,
Page | 1
Berikut ini akan dianalisis wacana dialog naskah drama Bila Malam Bertambah
Malam karaya Putu Wijaya. Maksud-maksud yang terkandung secara eksplisit (tertulis)
dalam teks naskah drama karya Putu Wijaya ini tidak mungkin secara langsung bisa
dipahami oleh pembaca. Untuk itu, selain teks-teks tersebut harus dipahami secara
semantis juga harus dipahami secara pragmatik. Pragmatik merupakan cabang ilmu yang
mempelajari struktur bahasa secara eksternal, yaitu bagaimana satuan kebahasaan itu
digunakan di dalam proses komunikasi (Wijana, 1996). Selain itu, ilmu pragmatik juga
mampu mengkaji makna suatu wacana yang terikat dengan konteks sehingga maksud
Aplikasi terhadap penggunaan bahasa dapat dilakukan dengan berbagai cara, baik
melalui wacana lisan maupun maupun tulis. Salah satu aplikasi penggunaan bahasa
adalah melalui wacana naskah drama Bila Malam Bertambah Malam karya Putu Wijaya.
Hal-hal yang diangkat dan dibicarakan dalam naskah drama ini adalah sebuah wacana
dengan tema permasalahan lokalitas Bali khususnya yang berkaitan dengan sistem
stratifikasi sosial Bali. Lebih khusus lagi tentang adanya pembedaan kasta yaitu kasta
bangsawan dan kasta sudra. Naskah drama ini merupakan bentuk pemikiran kritis yang
Naskah drama Bila Malam Bertambah Malam karya Putu Wijaya ini dijadikan
sebagai salah satu contoh analisis wacana khususnya berkaitan dengan tindak tutur dan
dicampur dengan bahasa Bali khususnya untuk istilah yang merujuk pada nama
Page | 2
disampaikan melalui berbagi jenis tindak tutur. Pada unumnya tindak tutur dalam dialog
naskah drama Bila Malam Bertambah Malam karya Putu Wijaya ini menggunakan tindak
tutur langsung, yaitu ujaran yang langsung disampaikan secara konvensional dalam
bentuk percakapan. Namun, ada pula beberapa tuturan yang disampaikan secara non-
konvensional atau tidak langsung. Kedua jenis percakapan tersebut disampaikan oleh
tokoh Gusti Biang, Nyoman, Wayan, dan Ngurah yang keempatnya memerankan sebagai
membentuk sebuah alur cerita. Seperti biasanya sebuah cerita diawali dari dialog yang
pada umumnya terdiri atas tiga tahapan yaitu rangsangan, klimaks, dan peleraian.
Sebagai bentuk pemakaian bahasa, dialog naskah drama Bila Malam Bertambah
Malam ini selalu terikat dengan konteks dan situasi yang melingkupinya. Konteks yang
dimaksud di sini adalah tradisi Bali terutama yang berkaitan dengan sistem stratifikasi
sosialnya. Lebih khusus lagi pada pembagian kelas yaitu kasta bangsawan dan kasta
sudra. Pemakaian bahasa tidak pernah terlepas dari fungsi dan tujuan dalam proses
komunikasi untuk berinteraksi. Setiap ujaran para tokoh memiliki maksud dan tujuan
baik secara eksplisit maupun secara implisit. Untuk itu, menarik dilakukan penelitian
terhadap dialog naskah drama Bila Malam Bertambah Malam ini. Penelitian ini bertujuan
untuk mengkaji maksud dan tujuan penutur baik secara eksplisit maupun secara implisit
di dalam dialog naskah drama Bila Malam Bertambah Malam dari tinjauan
ilmu pragmatik. Dengan analisis wacana dari tinjauan pragmatik ini, dapat ditelaah
hubungan antara tindak tutur dan konteks waktu, keadaan para tokoh, hubungan
antartokoh, dan hubungan makna dalam wacana dengan situasi ujaran. Setiap data tindak
Page | 3
tutur dalam analisis akan diberi referensi indeksalnya. Yang dimaksud dengan referensi
indeksal adalah keterangan yang memperjelas tindak tutur sesuai dengan konteks alur
B. Analisis Tindak Tutur Dialog Naskah Brama Bila Malam Bertambah Malam
Tindak tutur adalah hasil dari suatu kalimat dalam kondisi tertentu dan merupakan
kesatuan terkecil dari komunikasi linguistik yang dapat berupa pernyataan, perintah,
pertanyaan, dan sebagainya (Wijana, 1996). Analisis terhadap tindak tutur ini bertujuan
untuk mengetahui tindak tutur yang digunakan oleh tokoh-tokoh dalam dialog naskah
Ujaran-ujaran dalam dialog naskah drama Bila Malam Bertambah Malam dapat
Tindak tutur literal adalah tindak tutur yang maksudnya sama dengan makna kata-
kata yang digunakan. Tindak tutur ini menggunakan bahasa yang langsung merujuk pada
referensi (Wijana, 1996). Pada umumnya istilah-istilah yang digunakan sesuai dengan
kamus dan bermakna denotative. Tindak tutur literal yang terdapat pada dialog naskah
Kedua tuturan pada kalimat (1) dan (2) adalah tindak tutur literal, artinya apa
yang dimaksudkan oleh para penutur tersebut sama dengan makna leksikal kata-kata
yang digunakan. Tuturan (1) maksudnya adalah Nyoman bertanya kepada Wayan apakah
Page | 4
Ida (Ida Bagus Ngurah) akan pulang pada hari itu. Tuturan kalimat (2) merupakan sebuah
jawaban yang memiliki maksud bahwa memang benar Ida akan pulang kampung.
Tindak tutur tidak lateral merupakan tindak tutur yang maksudnya tidak sama
dengan atau berlawanan dengan makna kata-kata yang menyusunnya. Berbeda dengan
tindak tutur literal. Tindak tutur tidak literal pada umumnya menggunakan istilah atau
bahasa yang tidak langsung. Pilihan katanya bermakna konotatif sesuai dengan
konteksnya. Tindak tutur ini bisa memiliki maksud untuk menyindir, mengkritik,
memerintah dengan halus, memberi saran, dan memohon. Hal ini dilakukan oleh penutur
supaya mitra tuturnya bersedia melakukan sesuatu melalui maksud yang tersirat dalam
tuturannya (Wijana, 1996). Tindak tutur tidak literal yang terdapat dalam dialog naskah
Page | 5
Tuturan kalimat (1), (2), (3), dan (4) adalah tuturan kalimat tidak literal. Tuturan
tersebut maksudnya tidak sekedar seperti yang tersurat, tetapi juga ada maksud lain yang
tersirat dari tuturannya. Tuturan kalimat (1) memiliki maksud tersirat yang berisi
gumaman (solilokui) Gusti Biang terhadap Wayan. Tuturan kalimat (2) secara tersirat
mengandung arti sebuah kritik terhadap teriakan Gusti Biang. Maksud Wayan adalah
meskipun tanpa berteriak ia sudah mendengar panggilan Gusti Biang terhadap. Tuturan
kalimat (3) mengandung makna tersirat yaitu teriakan Gusti Biang yang keras dan
diumpamakan lehernya sampai akan putus. Sedangkan tuturan kalimat (4) merupakan
dialog yang juga menyiratkan makna tidak seperti yang tereksplisitkan dalam kata-kata.
Makna tuturan (4) adalah menekankan bahwa Wayang adalah sudah tua.
menyampaikan sesuatu kepada mitra tuturnya tanpa ada tendensi untuk melakukan
sesuatu, apalagi untuk mempengaruhi lawan tuturnya (Wijana, 1996). Contoh dari tindak
tutur lokusi yang terdapat dalam dialog naskah drama Bila Malam Bertambah Malam
Page | 6
Wayan:Tapi …(3)
Wayan: Aduh, apa nanti yang mesti bape katakan kalau dia
menanyakan .... ”Di mana Nyoman Bape?” Nah,
apa yang akan Bape jawab? (5)
Keenam tuturan kalimat tersebut merupakan tindak tutur lokusi. Penutur hanya
bermaksud menyampaikan informasi kepada mitra tuturnya tanpa memiliki maksud yang
lain. Tuturan (1) memiliki maksud bahwa Wayan menyarankan supaya Nyoman tidak
pergi dari rumah majikannya, Gusti Biang. Tuturan (2) memiliki maksud untuk
menyampaikan keluh kesah Nyoman tinggal yang tidak ingin tinggal di rumah Gusti
Biang karena selalu dimarahi. Tuturan (3) memperkuat saran Wayan kepada Nyoman.
Tuturan (4) balik mempertegas tuturan (3). Sedangkan tuturan (5) dan (6) juga tuturan
yang sifatnya saling melengkapi. Tindak tutur-tindak tutur lokusi tersebut berfungsi
Tindak tutur ilokusi adalah tindak tutur yang disampaikan oleh penutur yang
memiliki maksud agar mitra tuturnya melakukan sesuatu. Dalam tindak tutur ini, satu
tuturan memiliki dua maksud, yaitu menyampaikan informasi dan menyuruh mitra tutur
Page | 7
melakukan sesuatu (Wijana, 1996). Jadi, dalam menganalisis tindak tutur ilokusi harus
Gusti Biang: Hari ini aku tak mau minum obat. (2)
Makna ilokusinya adalah Nyoman berharap supaya Gusti Biang minum obat
supaya sembuh dari sakitnya. Namun, Gusti Biang tidak mau melakukannya. Meskipun
demikian tuturan (1) tetap merupakan tuturan yang mengandung ilokusi karena di
Tindak tutur kalimat (1) mengandung tiga makna, yaitu makna lokusi, ilokusi, dan
Page | 8
perlokusi. Makna lokusi dari tuturan tersebut adalah Gusti Biang menyatakan dirinya
tidak mampu mencegah anaknya (Ngurah) untuk tidak menikah dengan pembantunya
(Nyoman). Makna ilokusinya adalah mengartikan bahwa Gusti Biang setuju dengan
Biang ini menggalkan Nyoman untuk pergi meninggalkan mereka (Ngurah, Wayan, dan
Gusti Biang).
dalam tingkat satuan bahasa. Wacana mengandung makna, maksud, dan tujuan tertentu
dari apa yang tersebutkan di dalamnya. Namun, dalam suatu wacana penutur tidak selalu
mengungkapkan maksud tuturannya tersebut secara lateral atau secara langsung sesuai
langsung dan dengan cara penyampaian yang berbeda karena memperhatikan baik prinsip
kesantunan maupun rasa menghormati terhadap kepentingan orang lain agar apa yang
diungkapkan tidak menyakiti perasaan orang lain atau pihak yang menjadi sasaran
pembicaraannya. Untuk itu, mitra tutur harus bisa menafsirkan maksud yang tersirat dari
tuturan dialog naskah drama Bila Malam Bertambah Malam yaitu sebagai berikut :
Tuturan-tuturan yang disampaikan para penutur dalam dialog naskah drama Bila
Page | 9
atau memberitahukan sesuatu. Hal-hal yang diinformasikan adalah permasalahan-
disampaikan oleh para penutur dengan menggunakan tindak tutur lateral dan tindak tutur
menyampaikan informasi, yaitu Wayan menyampaikan bahwa Ida Bagus Ngurah benar
akan pulang. Yang kedua adalah menyampaikan bahwa Nyoman akan pulang ke desa,
Selain untuk menyampaikan informasi, tuturan yang terdapat pada dialog naskah
drama Bila Malam Bertambah Malam adalah bermaksud untuk memunculkan kritikan-
kritikan atau sindiran terhadap Gusti Biang atas perilakunya yang kasar dan sombong
karena merasa memiliki status social yang lebih tinggi daripada Nyoman Niti dan Wayan.
Wayan melalui tindak tutur ekspresif. Misalnya dalam tuturan berikut ini :
Page | 10
kasih, selamat malam pujaan, selamat malam manis, good night
my darling”. (2)
Gusti Biang memang orang yang paling baik dan berbudi tinggi.
Tidak seperti orang-orang lain, Gusti. Gusti telah menyekolahkan
tiyang sampai kelas dua SMP, dan Gusti sudah banyak
mengeluarkan biaya. Coba tengok bayangan Gusti di muka cermin,
seperti tiga puluh tahun saja .. Mau minum obatnya sekarang
Gusti? (4)
Tuturan kalimat (1) merupakan bentuk sindiran kepada Gusti Biang yang matanya
sudah tidak begitu baik untuk melihat lubang jarum yang kecil. Tuturan (2) merupakan
ekspresi implisit kata-kata Nyoman Niti yang sebenarnya itu ditujukan untuk Ngurah,
orang yang dicintainya yang tidak lain adalah anak Gusti Biang sendiri. Tuturan (3)
adalah bentuk sindiran Nyoman Niti kepada Gusti Biang yang kurang merasa tahu diri
bahwa dirinya sebenarnya sudah tua, tidak cantik lagi, dan tidak seperti lima belas tahun
yang lalu. Sedangkan tuturan (4) adalah sindiran terhadap perilaku Gusti Biang
yangbertolak belakang dengan apa yang dikatakan oleh Nyoman Niti. Makna yang
sebenarnya adalah Gusti Biang adalah orang yang tidak baik dan sudah tua. Di samping
kritikan atau sindiran dari Nyoman Niti, kritikan juga disampaikan oleh Wayan dan
Wayan:
Tapi semua itu tak bisa dipertanggungjawabkan kepada Nyoman,
Gusti, itu adalah kesalahan induknya yang tidak berhati-hati
menjaga anaknya. Bukan kesalahan Nyoman. (1)
Page | 11
Ngurah:
Kenapa tidak ibu? Kenapa? Siapa yang menjadikan Sagung Rai
lebih pantas dari Nyoman untuk menjadi istri? Karena derajatnya?
Tiyang tidak pernah merasa derajat tiyang lebih tinggi dari orang
lain. Kalau toh tiyang dilahirkan di purian, itu justru menyebabkan
tiyang harus berhati-hati. Harus pintar berkelakuan baik agar bisa
jadi teladan orang, yang lain omong kosong semua! (3)
Tuturan (1) merupakan kritikan kepada Gusti Biang yang merasa jengkel terhadap
perilaku Ngurah yang ceroboh yaitu menujal cincin yang dibelikannya. Pada tuturan itu
Wayan menyindir bahwa perilaku anaknya karena meniru perilaku ibunya (induknya).
Tuturan (2) menyiratkan bahwa Wayan tidak ingin anaknya (Ngurah) mengalami nasib
yang sama dengan dirinya, tidak bisa mencintai seseorang karena kastanya berbeda.
Kepada Gusti Biang ia mengatakan bahwa ia tidak ingin kehilangan tongkat dua kali. Ini
berarti dua nasib yang sama yaitu nasib dirinya dengan Gusti Biang dan nasib anaknya,
Ngurah dengan Nyoman Niti. Sedangkan tuturan (3) merupakan kritikan Ngurah kepada
Page | 12
lebih senang kalau puyer ini yang diminum lebih dahulu, baru
kemudian menyusul pil-pil yang lain, atau Gusti ingin bersantap
malam dulu. Percayalah Gusti, tidak akan terjadi apa-apa.(3)
Nyoman adalah seorang pembantu. Dalam konteks tuturan (1), (2), dan
(3) di atas, Nyoman menyarankan dan meminta kepada Gusti Biang agar minum
obat karena ia dalam keadaan sedang sakit. Bahasa yang digunakan adalah
bahasa yang halus meskipun terkesan memaksa. Hal ini biasa terjadi karena
hubungan antara pembantu dan majikan, antara kaum sudra dan kaum
bangsawan.
Tuturan ini menyiratkan hubungan antara Wayan dan Gusti Biang. Dari tuturan
ini bisa tercermin bahwa Wayan memiliki status sosial yang lebih rendah daripada Gusti
Biang. Dalam menyuruh Wayan selalu menggunakan bahasa yang halus, menyarankan.
Page | 13
-Ngurah kepada Wayan
Coba buktikan, buktikan kalau ayah saya seorang penghianat.
Berikan bukti yang nyata, jangan hanya prasangka! Wayan
Kenapa Ngurah dicegah kawin? Kita sudah cukup menderita
karena perbedaan kasta ini. Sekarang sudah waktunya pemuda-
pemuda bertindak. Dunia sekarang sudah berubah. Orang harus
menghargai satu sama lain tanpa membeda-bedakan lagi,
bagaimana Gusti Biang?
dengan sosial, estetika, dan moral dalam bertindak tutur. Seorang penutur ketika
menyampaikan informasi, maksud atau tujuan, amanat, dan tugas harus selalu menjaga
dan memelihara hubungan antara penutur itu sendiri dangan mitra tuturnya. Prinsip-
prinsip kesantunan yang memiliki sejumlah maksim ini diterapkan dalam dialog para
tokoh naskah drama Bila Malam Bertambah Malam dalam melakukan percakapan.
Maksim-maksim kesantunan yang diterpakan dalam dialog naskah drama Bila Malam
Bertambah Malam ini adalah maksim kecocokan, maksim kerendahan hati, dan maksim
kebijaksanaan.
1. Maksim Kecocokan
yang bersifat ekspresif dan asertif. Maksim kecocokan menggariskan setiap penutur dan
ketidakcocokan di antara mereka. Dalam naskah dialog drama ini, maksim kecocokan
hanya terdapat pada dialog antara Wayan dan Gusti Biang pada saat Gusti Biang berubah
Page | 14
pikiran tentang perjodohan Ngurah dan Nyoman Niti. Pada awalnya Gusti Biang menolak
keras Ngurah berhubungan cinta dengan Nyoman niti. Namu, pada akhirnya di akhir
cerita setelah segela sesuatunya menjadi terbuka dan terjadi peleraian, ia akhirnya
menyetujui perjodohan anaknya itu meskipun keduanya dari kasta yang berbeda.
ketidakhormatan pada diri sendiri dan meminimalkan rasa hormat pada diri sendiri.
Dalam teks drama ini, maksim kerendahan hati ini hanya ditemukan pada tuturan Ngurah.
Meskipun dirinya merasa (karena sebenarnya dia adalah anak Wayan-Gusti Biang)
sebagai keturunan bangsawan Ngurah merupakan tokoh yang rendah hati dan tidak
Page | 15
Pada saat Wayan kelihatan emosi karena merasa dihina oleh Gusti Biang, ibunya,
Ngurah dengan rendah hati mengatakan bahwa ibunya yang salah. Dengan bahasa yang
rendah hati pula Ngurah bisa mendinginkan suasana. Dengan begitu, emosi Wayan tidak
lagi berlanjut dan merasa lebih terdamaikan. Tuturan diatas merupakan tuturan yang
3. Maksim Kebijaksanaan
ini meminimalkan kerugian bagi orang lain. Dengan maksim kebijaksanaan ini, mitra
Penggunaan kata nuna sugere dalam ujaran tersebut merupakan bantuk penerapan
maksim kebijaksanaan. Walaupun Gusti Biang dengan tidak santun memanggil dirinya
(dengan berteriak keras) Wayan dengan bijaksana menggunakan kata sapaan nuna sugere
Page | 16
melainkan pula karena adanya prinsip kerja sama di antara penggunaan bahasa, penutur
dan mitra tuturnya. Prinsip kerja sama ini akan sangat membantu mitra tutur dalam
memahami sebuah ujaran yang disampaikan oleh penutur dan seminimal mungkin bisa
Prinsip kerja sama juga diterapkan dalam ujaran-ujaran yang terdapat dalam
dialog naskah drama Bila Malam Bertambah Malam ini. Dalam melakukan percakapan,
para tokoh dalam drama ini berusaha menggunakan prinsip kerja sama agar maksud yang
ingin disampaikan dapat diterima oleh mitra tutur. Tokoh-tokoh yang menggunakan
prinsip kerja sama dalam naskah drama ini adalah dialog antara Wayan dan Nyoman Niti.
Keduanya adalah orang sudra yang selalu mendapatkan perlakukan kasar oleh
majikannya yang berasal dari kasta bangsawan. Maksim dalam prinsip kerja sama yang
diterapkan dalam dialog naskah drama Bila Malam Bertambah Malam ini adalah maksim
1. Maksim kualitas
dalam menuturkan ujarannya harus didasarkan pada bukti-bukti yang memadai. Maksim
Page | 17
Tuturan di atas secara kualitas menunjukkan bahwa lubang jarum memang kecil.
Di samping itu, tuturan juga menunjukkan bahwa secara fakta Gusti Biang memang
sudah tua sehingga matanya tidak begitu jelas untuk melihat lubang sebuah jarum.
2. Maksim kuantitas
yang cukup dan memadai. Berarti, pada maksim ini seorang penutur tidak diperkenankan
mengurangi atau melebih-lebihkan data yang diperlukan oleh mitra tutur. Contoh tuturan
dalam dialog naskah drama Bila Malam Bertambah Malam terdapat pada bagian berikut:
GUSTI BIANG
Jangan berbantah denganku. Kau sudah tua dan rabun, lubang
telingamu sudah ditempati kutu busuk. Kau sudah tuli, malas
dan suka berbantah, cuma bisa bergaul dengan si belang. Kau
dengar itu kuping tuli? (1)
WAYAN
Tapi itu pakaiannya sendiri Gusti.(2)
Pada tuturan (1) terjadi pelanggaran maksim kuantitas karena tuturan disampaikan
dengan bahasa yang berlebihan. Makna tuturan sebenarnya adalah Gusti Biang
mengatakan bahwa Wayan adalah orang yang sudah tua. Berbeda dengan tuturan (2).
Tuturan ini cukup singkat dan memiliki arti yang sudah cukup memadai. Indeksalnya
adalah Nyoman Niti pergi dengan membawa pakaian dan dilarang oleh Gusti Biang.
Wayan mengatakan bahwa pakaian yang dibawa oleh Nyoman Niti adalah miliknya
3. Maksim Relevansi
Page | 18
Maksim relevansi mengharuskan setiap peserta percakapan memberikan kontribusi
yang relevan dengan masalah yang sedang dibicarakan. Misalnya terdapat dalam ujaran
berikut ini:
WAYAN
Aduh, apa nanti yang mesti bape katakan kalau dia menanyakan ....
”Di mana Nyoman Bape?” Nah, apa yang akan Bape jawab? (1)
NYOMAN
Ide sudah lupa sama icang Bape, di sana banyak bintang-bintang
pilem, pasti dia sudah lupa. Nulis surat aja tidak. (2)
Tuturan (1) dan (2) menunjukkan adanya kerja sama yang baik karena tuturan (2)
merupakan ujaran yang sesuai dengan tuturan (1). Secara indeksal Wayan tidak setuju
Nyoman Niti pergi meninggalkan Ngurah karena mereka saling mencintai. Wayan tidak
tahu harus mengatakan bagaimana kepada Ngurah jika ia menanyakan Nyoman. Pada
tuturan (2) Nyoman mengatakan mungkin Ide (Ida Bagus Ngurah) sudah melupakan
dirinya.
4. Maksim Cara
Maksim cara adalah prinsip kerja sama yang mengedepankan cara penyampaian
dalam ujaran. Maksim ini disesuaikan dengan konteksnya yaitu kapan ujaran itu
disampaikan, di mana ujaran itu terjadi, dan kepada siapa ujaran itu disampaikan. Jadi,
ujaran dibuat atau ditata strukturnya sesuai dengan tempat, waktu, dan mitra tuturnya.
Dari maksim cara ini bisa dilihat identitas dan hubungan antartokoh dalam naskah drama
Bila Malam Bertambah Malam. Berikut ini adalah beberapa maksim yang menunjukkan
maksin cara:
Page | 19
GUSTI BIANG
Waaayaaaaan ... (1)
NYOMAN
Ya ya kenapa Gusti terkejut ini kan Nyoman. (2)
NYOMAN
Nah, itu sebabnya kalau belum santap malam. Apalagi sejak
beberapa hari ini Gusti sudah tidak mau minum jamu lagi, minum
sekarang ya? (3)
WAYAN
Mana ada setan sore-sore begini Gusti? (4)
GUSTI BIANG
Kejar perempuan setan itu. (5)
GUSTI BIANG
Kau sudah besar dan pantas kau memberikan aku cucu, sebelum
kelewatan. Hanya itu yang aku tunggu sekarang. (6)
NGURAH
Nanti saja kita bicarakan itu. (7)
Dari cara-cara menyusun ujaran, secara implisit bisa terlihat hubungan, identitas,
dan karakter para tokoh naskah drama. Pada tuturan (1) menunjukkan bahwa Gusti Biang
adalah seseorang yang memiliki status sosial yang lebih tinggi daripada tokoh Wayan dan
Nyoman Niti. Memanggil seseorang dengan cara berterik merupakan ujaran yang
melanggar prinsip kesantunan. Melalui ujaran ini bisa disimpulkan bahwa Gusti Biang
adalah seorang perempuan yang tidak memiliki kesantunan dalam berbahasa. Tuturan
yang bermakna sama juga terlihat pada tuturan (5) dan (6).
Identitas tokoh Nyoman Niti juga bisa terwujud dari cara dia dalam
menyampaikan ujaran. Dari cara-caranya berujar kepada tokoh Gusti Biang bisa
dimaknai bahwa status sosial Nyoman Niti lebih rendah daripada Gusti Biang. Dalam
Page | 20
cerita, Nyoman Niti memang diperankan sebagai tokoh yang mewakili kasta sudra dan
berlaku sebagai pembantu Gusti Biang. Oleh karena itu, dalam setiap kali bertutur kepada
Gusti Biang ia selalu menggunakan bahasa yang santun. Hal ini terlihat pada tuturan (2)
dan (3).
Seperti pada tuturan (4) Identitas Wayan juga bisa ditelusuri dari cara bertuturnya.
Wayan menduduki posisi yang sama dengan Nyoman Niti dalam system stratifikasi
social Bali. Oleh karena itu dalam bertutur kepada Gusti Biang ia juga selalu
menggunakan bahasa yang santun. Hal ini berbeda dengan Ngurah. Ia diperankan sebagai
anak Gusti Biang sehingga dalam tuturan juga tidak memperlihatkan adanya kesantunan
berlebih jika dibandingkan dengan cara bertutur Wayan dan Nyoman Niti, seperti terlihat
berbeda dengan yang sebenarnya diucapkan. Pemahaman terhadap implikatur akan lebih
mudah jika penutur dan mitar tutur telah saling berbagi pengalaman (Wijana, 1996).
Pengalaman dan pengetahuan akan berbagai konteks yang melingkupi tindak tutur yang
diucapkan akan sangat membantu mitra tutur dalam memahami implikatur yang
yang bersifat umum dan konvensional. Semua orang pada umumnya sudah mengetahui
dan memahami maksud tersebut karena pembaca atau mitra tutur sudah memiliki
Page | 21
pengetahuan dan pengalaman umum. Sedangkan yang dimaksud dengan implikatur
konversasioanal adalah implikatur yang muncul dalam suatu percakapan. Jadi, makna
ujaran bergantung pada konteksnya. Oleh karena itu, sifatnya temporer (terjadi saat
dengan tuturan).
Ujaran-ujaran yang terdapat dalam dialog naskah drama Bila Malam Bertambah
Malam ini merupakan ujaran yang termasuk dalam implikatur konvensional dan
konversasional. Namun, berikut ini hanya akan diklarifikasi tuturan yang konversional
karena masih dibutuhkan penjelasan sesuai dengan konteks. Untuk tuturan yang
konvensional tidak perlu dilakukan penjelasan lagi karena maknanya seperti yang sudah
terangkum dalam teks. Dalam percakapan terkandung banyak implikatur dari setiap
ujaran baik dari tokoh Gusti Biang, Wayan, Nyoman Niti, maupun Ngurah. Dengan
GUSTI BIANG
Leherku sampai putus memanggilmu, telingamu masih kamu pakai
tidak? (1)
GUSTI BIANG
Jangan berbantah denganku. Kau sudah tua dan rabun, lubang
telingamu sudah ditempati kutu busuk. Kau sudah tuli, malas dan
suka berbantah, cuma bisa bergaul dengan si belang. Kau dengar
itu kuping tuli? (2)
NYOMAN
Tapi tidak semua ular berbahaya.(3)
NYOMAN
Sayang sekali Gusti Biang tidak menyuruh Tiyang yang
mengerjakannya. Mestinya, ditengahnya bisa disulam dengan
Page | 22
warna biru muda. Lalu dengan menulis rapih “Selamat malam
kasih, selamat malam pujaan, selamat malam manis, good night
my darling”.(4)
NYOMAN
Aduh cantiknya Gusti Biang. Seperti seekor burung merak. Seperti
lima belas tahun yang lalu ketika tiyang masih kecil dan sering
duduk di pangkuan Gusti. Masih ingatkah Gusti? (5)
NYOMAN
Gusti Biang memang orang yang paling baik dan berbudi tinggi.
Tidak seperti orang-orang lain, Gusti. Gusti telah menyekolahkan
tiyang sampai kelas dua SMP, dan Gusti sudah banyak
mengeluarkan biaya. Coba tengok bayangan Gusti di muka cermin,
seperti
tiga puluh tahun saja .. Mau minum obatnya sekarang Gusti? (6)
GUSTI BIANG
Aku tak mau dibujuk, mana si Wayan kambing tua itu. Setan ini
benar-benar mau meracuniku, Waaayaaaan. (7)
WAYAN
Sudahlah, dia cuma orang tua bangka. Umurnya hampir tujuh
puluh tahun. Kenapa Nyoman pusing benar kepadanya?(8)
WAYAN
Dia akan mengumpat titiyang dan akan mengalungkan ular karena
keteledoran titiyang. Ke mana tadi perginya Gusti? Titiyang akan
mengejarnya. (9)
NGURAH
Ibu, soalnya bukan itu, ibu harus mengerti, sekarang orang ingin
memilih sendiri teman hidup. (10)
2. Gusti Biang menyatakan bahwa Wayang adalah orang yang sudah tua.
Page | 23
3. Pernyataan Wayan ketika Gusti Biang berteriak takut terhadap Nyoman, dan
4. Nyoman menggoda Gusti Biang untuk menulisi bantal anaknya dengan kata-kata
6. Rayuan Nyoman kepada Gusti Biang yang berupa sindiran agar Gusti Biang mau
minum obat.
9. Wayan ingin mengetahui ke mana Nyoman pergi karena takut akan membuat
kecewa Ngurah.
10. Ngurah ingin mendapatkan jodoh dengan pilihannya sendiri yaitu Nyoman Niti
F. Simpulan
Melalui analisis tindak tutur dan implikatur dialog naskah drama Bila Malam
Bertambah Malam, dapat diketahui identitas dan karakter para tokoh dalam cerita. Dari
analisis ini bisa disimpulkan pula hubungan antartokoh. Gusti Biang merupakan tokoh
utama dalam drama ini meskipun ia dikarakterkan sebagai orang jahat. Melalui tuturan
para tokoh menunjukkan bahwa Gusti Biang adalah seorang keturunan bangsawan yang
Page | 24
digunakan dalam bertutur, menggambarkan Gusti Biang sebagai orang yang tua, keras
Sedangkan melalui struktur ujaran yang terdapat pada tokoh Wayan dan Nyoman
cukup memberi informasi kepada pembaca bahwa keduanya memiliki status sosial yang
lebih rendah daripada Gusti Biang. Mereka adalah kaum sudra dalam strata sistem sosial
di Bali. Hal ini bisa tercermin dari tindak tutur yang dipakai pada saat mereka
berkomunikasi dengan Gusti Biang. Mereka selalu menggunakan bahasa yang halus.
pembantunya meskipun secara eksplisit tidak ditemukan istilah pembantu atau yang lain.
Berkaitan dengan karakter mereka, melalui tuturannya dapat diambil kesan bahwa
mereka adalah orang yang sabar dan baik hati. Demikian juga halnya dengan tuturan
tokoh Ngurah. Tuturan tokoh Ngurah mengesankan bahwa dirinya adalah orang ningrat
Daftar Pustaka
Chaer, Abdul dan Agustina, Leoni. 1993. Sosiolinguistik: Perkenalan Awal. Jakarta:
Rineka Cipta.
Depdikbud. 2005. Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi ke-3. Jakarta: Balai Pustaka.
Page | 25
Eriyanto. 2001. Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media. Yogyakarta: LKis.
Mahsun. 2005. Metode Penelitian Bahasa. Yogyakarta: Duta Wacana University Press.
Mulyana. 2005. Kajian Wacana: Teori, Metode dan Aplikasi Prinsip-prinsip Analisis
Wacana. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Roni. 2005. Jenis makna Dasar Pragmatik Imperatif Dalam Imperatif Bahasa Indonesia.
Surabaya: Verba, Vol. 7, No.1 74 – 90.
Wijaya, Putu. 2003. Bila Malam Bertambah Malam. Jakarta: Pustakan Jaya.
Page | 26
Page | 27