Anda di halaman 1dari 27

TINDAK TUTUR DAN IMPLIKATUR-IMPLIKATUR

DALAM DIALOG NASKAH DRAMA BILA MALAM BERTAMBAH MALAM

KARYA PUTU WIJAYA

Oleh: Mokhamad Jainuri, M.Hum.

Abstrak

Artikel ini menganalisis percakapan di dalam dialog naskah drama ‘Bila Malam
Bertambah Malam’ karya Putu Wijaya sebagai bentuk teks dengan menggunakan teori-
teori pragmatik. Beberapa teori yang digunakan adalah teori tindak tutur, aspek semantik,
prinsip kesantunan, dan prinsip kerja sama dalam komunikasi. Keempat teori tersebut
dipakai untuk menganalisis identitas dan karakter setiap tokoh dalam naskah drama.
Hasil analisis menunjukkan bahwa melalui analisis tindak tutur dan implikatur
dialog naskah drama Bila Malam Bertambah Malam, dapat diketahui identitas dan
karakter para tokoh dalam cerita yakni Gusti Biang adalah orang jahat, keturunan
bangsawan, tua, keras kepala, dan sombong. Melalui struktur ujaran yang terdapat pada
tokoh Wayan dan Nyoman cukup memberi informasi kepada pembaca bahwa keduanya
adalah kaum sudra dalam strata sistem sosial di Bali yang sabar dan baik hati.

Kata kunci: tindak tutur, implikatur, lokusi, ilokusi, perlokusi

A. Pendahuluan

Naskah drama adalah teks tertulis yang berisi dialog atau percakapan para tokoh

yang menggambarkan sebuah peristiwa. Dalam dialog tersebut, bahasa adalah media

utama yang digunakan untuk merangkai tuturan sehingga menjadi sebuah cerita. Dengan

bahasa para tokoh menyampaikan gagasan, perasaan, keinginan, dan berbagi pengalaman

antara tokoh yang satu dan tokoh yang lainnya. Cara yang dilakukan untuk

menyampaikan maksud tersebut dapat dilakukan dengan memunculkan suatu wacana.

Dengan wacana itu pula, maksud yang ingin penutur sampaikan bisa dipahami dan

dimengerti oleh mitra tuturnya, bahkan bisa saja memunculkan baik reaksi, respon,

maupun tindakan akibat adanya tindak tutur tersebut.

Page | 1
Berikut ini akan dianalisis wacana dialog naskah drama Bila Malam Bertambah

Malam karaya Putu Wijaya. Maksud-maksud yang terkandung secara eksplisit (tertulis)

dalam teks naskah drama karya Putu Wijaya ini tidak mungkin secara langsung bisa

dipahami oleh pembaca. Untuk itu, selain teks-teks tersebut harus dipahami secara

semantis juga harus dipahami secara pragmatik. Pragmatik merupakan cabang ilmu yang

mempelajari struktur bahasa secara eksternal, yaitu bagaimana satuan kebahasaan itu

digunakan di dalam proses komunikasi (Wijana, 1996). Selain itu, ilmu pragmatik juga

mampu mengkaji makna suatu wacana yang terikat dengan konteks sehingga maksud

yang ingin disampaikan oleh penutur secara keseluruhan dapat tersampaikan.

Aplikasi terhadap penggunaan bahasa dapat dilakukan dengan berbagai cara, baik

melalui wacana lisan maupun maupun tulis. Salah satu aplikasi penggunaan bahasa

adalah melalui wacana naskah drama Bila Malam Bertambah Malam karya Putu Wijaya.

Hal-hal yang diangkat dan dibicarakan dalam naskah drama ini adalah sebuah wacana

dengan tema permasalahan lokalitas Bali khususnya yang berkaitan dengan sistem

stratifikasi sosial Bali. Lebih khusus lagi tentang adanya pembedaan kasta yaitu kasta

bangsawan dan kasta sudra. Naskah drama ini merupakan bentuk pemikiran kritis yang

memunculkan respon yang beragam dari pembacanya.

Naskah drama Bila Malam Bertambah Malam karya Putu Wijaya ini dijadikan

sebagai salah satu contoh analisis wacana khususnya berkaitan dengan tindak tutur dan

implikaturnya. Dialog dikemas dengan menggunakan bahasa Indonesia yang sedikit

dicampur dengan bahasa Bali khususnya untuk istilah yang merujuk pada nama

panggilan. Pendapat, gagasan, ide, kritikan, serta harapan-harapan para tokohnya

Page | 2
disampaikan melalui berbagi jenis tindak tutur. Pada unumnya tindak tutur dalam dialog

naskah drama Bila Malam Bertambah Malam karya Putu Wijaya ini menggunakan tindak

tutur langsung, yaitu ujaran yang langsung disampaikan secara konvensional dalam

bentuk percakapan. Namun, ada pula beberapa tuturan yang disampaikan secara non-

konvensional atau tidak langsung. Kedua jenis percakapan tersebut disampaikan oleh

tokoh Gusti Biang, Nyoman, Wayan, dan Ngurah yang keempatnya memerankan sebagai

masyarakat Bali. Keempat tokoh tersebut melakukan percakapan-percakapan sehingga

membentuk sebuah alur cerita. Seperti biasanya sebuah cerita diawali dari dialog yang

pada umumnya terdiri atas tiga tahapan yaitu rangsangan, klimaks, dan peleraian.

Sebagai bentuk pemakaian bahasa, dialog naskah drama Bila Malam Bertambah

Malam ini selalu terikat dengan konteks dan situasi yang melingkupinya. Konteks yang

dimaksud di sini adalah tradisi Bali terutama yang berkaitan dengan sistem stratifikasi

sosialnya. Lebih khusus lagi pada pembagian kelas yaitu kasta bangsawan dan kasta

sudra. Pemakaian bahasa tidak pernah terlepas dari fungsi dan tujuan dalam proses

komunikasi untuk berinteraksi. Setiap ujaran para tokoh memiliki maksud dan tujuan

baik secara eksplisit maupun secara implisit. Untuk itu, menarik dilakukan penelitian

terhadap dialog naskah drama Bila Malam Bertambah Malam ini. Penelitian ini bertujuan

untuk mengkaji maksud dan tujuan penutur baik secara eksplisit maupun secara implisit

di dalam dialog naskah drama Bila Malam Bertambah Malam dari tinjauan

ilmu pragmatik. Dengan analisis wacana dari tinjauan pragmatik ini, dapat ditelaah

hubungan antara tindak tutur dan konteks waktu, keadaan para tokoh, hubungan

antartokoh, dan hubungan makna dalam wacana dengan situasi ujaran. Setiap data tindak

Page | 3
tutur dalam analisis akan diberi referensi indeksalnya. Yang dimaksud dengan referensi

indeksal adalah keterangan yang memperjelas tindak tutur sesuai dengan konteks alur

cerita drama Bila Malam Bertambah Malam.

B. Analisis Tindak Tutur Dialog Naskah Brama Bila Malam Bertambah Malam

Tindak tutur adalah hasil dari suatu kalimat dalam kondisi tertentu dan merupakan

kesatuan terkecil dari komunikasi linguistik yang dapat berupa pernyataan, perintah,

pertanyaan, dan sebagainya (Wijana, 1996). Analisis terhadap tindak tutur ini bertujuan

untuk mengetahui tindak tutur yang digunakan oleh tokoh-tokoh dalam dialog naskah

drama Bila Malam Bertambah Malam dalam berkomunikasi dan berinterkasi.

Ujaran-ujaran dalam dialog naskah drama Bila Malam Bertambah Malam dapat

dikelompokkan menjadi dua jenis tindak tutur, yaitu sebagai berikut :

1. Tindak Tutur Literal

Tindak tutur literal adalah tindak tutur yang maksudnya sama dengan makna kata-

kata yang digunakan. Tindak tutur ini menggunakan bahasa yang langsung merujuk pada

referensi (Wijana, 1996). Pada umumnya istilah-istilah yang digunakan sesuai dengan

kamus dan bermakna denotative. Tindak tutur literal yang terdapat pada dialog naskah

drama Bila Malam Bertambah Malam adalah sebagai berikut :

Nyoman : Benar Ida akan pulang hari ini? (1)


Wayan: Ya .... (2)

Kedua tuturan pada kalimat (1) dan (2) adalah tindak tutur literal, artinya apa

yang dimaksudkan oleh para penutur tersebut sama dengan makna leksikal kata-kata

yang digunakan. Tuturan (1) maksudnya adalah Nyoman bertanya kepada Wayan apakah

Page | 4
Ida (Ida Bagus Ngurah) akan pulang pada hari itu. Tuturan kalimat (2) merupakan sebuah

jawaban yang memiliki maksud bahwa memang benar Ida akan pulang kampung.

1.2 Tindak Tutur tidak Literal

Tindak tutur tidak lateral merupakan tindak tutur yang maksudnya tidak sama

dengan atau berlawanan dengan makna kata-kata yang menyusunnya. Berbeda dengan

tindak tutur literal. Tindak tutur tidak literal pada umumnya menggunakan istilah atau

bahasa yang tidak langsung. Pilihan katanya bermakna konotatif sesuai dengan

konteksnya. Tindak tutur ini bisa memiliki maksud untuk menyindir, mengkritik,

memerintah dengan halus, memberi saran, dan memohon. Hal ini dilakukan oleh penutur

supaya mitra tuturnya bersedia melakukan sesuatu melalui maksud yang tersirat dalam

tuturannya (Wijana, 1996). Tindak tutur tidak literal yang terdapat dalam dialog naskah

drama Bila Malam Bertambah Malam ini adalah sebagai berikut :

Gusti Biang : Si tua itu tak pernah kelihatan kalau


sedang dibutuhkan. Pasti ia sudah
berbaring di kandangnya menembang
seperti orang kasmaran pura-pura
tidak mendengar, padahal aku sudah
berteriak, sampai leherku patah.
Wayaaaaan ..... Wayaaaaan tuaaa (1)

Wayan: Nuna sugere, kedengarannya seperti ada


yang berteriak.(2)

Gusti Biang : Leherku sampai putus memanggilmu,


telingamu masih kamu pakai tidak? (3)

Gusti Biang: Jangan berbantah denganku. Kau sudah


tua dan rabun, lubang telingamu sudah
ditempati kutu busuk. Kau sudah tuli,
malas dan suka berbantah, cuma bisa
bergaul dengan si belang. Kau dengar
itu kuping tuli? (4)

Page | 5
Tuturan kalimat (1), (2), (3), dan (4) adalah tuturan kalimat tidak literal. Tuturan

tersebut maksudnya tidak sekedar seperti yang tersurat, tetapi juga ada maksud lain yang

tersirat dari tuturannya. Tuturan kalimat (1) memiliki maksud tersirat yang berisi

gumaman (solilokui) Gusti Biang terhadap Wayan. Tuturan kalimat (2) secara tersirat

mengandung arti sebuah kritik terhadap teriakan Gusti Biang. Maksud Wayan adalah

meskipun tanpa berteriak ia sudah mendengar panggilan Gusti Biang terhadap. Tuturan

kalimat (3) mengandung makna tersirat yaitu teriakan Gusti Biang yang keras dan

diumpamakan lehernya sampai akan putus. Sedangkan tuturan kalimat (4) merupakan

dialog yang juga menyiratkan makna tidak seperti yang tereksplisitkan dalam kata-kata.

Makna tuturan (4) adalah menekankan bahwa Wayang adalah sudah tua.

2. Tindak Tutur Lokusi, Ilokusi, dan Perlokusi

2.1 Tindak Tutur Lokusi

Tindak Tutur Lokusi merupakan tindak tutur yang dimaksudkan untuk

menyampaikan sesuatu kepada mitra tuturnya tanpa ada tendensi untuk melakukan

sesuatu, apalagi untuk mempengaruhi lawan tuturnya (Wijana, 1996). Contoh dari tindak

tutur lokusi yang terdapat dalam dialog naskah drama Bila Malam Bertambah Malam

adalah sebagai berikut:

Wayan: Daripada makan batu lebih baik tinggal di sini,


makan minum cukup, ada radio, bisa nonton film
India. (1)

Nyoman: Tapi kalau tertekan seperti binatang? Dimarahi,


dihina, dipukul seperti anak kecil!(2)

Page | 6
Wayan:Tapi …(3)

Nyoman: (Pelan-pelan) Memang, saya banyak berhutang


budi, dikasih makan, disekolahkan, dibelikan
baju, dimasukkan kursus modes, tapi kalau tiap
hari dijadikan bal-balan, disalah-salahkan terus?
Sungguh mati kalau tidak dikuat-kuatkan, kalau
tidak ingat pesan tu Ngurah, sudah dari dulu-dulu
sebetulnya. (4)

Wayan: Aduh, apa nanti yang mesti bape katakan kalau dia
menanyakan .... ”Di mana Nyoman Bape?” Nah,
apa yang akan Bape jawab? (5)

Nyoman: Ide sudah lupa sama icang Bape, di sana banyak


bintang-bintang pilem, pasti dia sudah lupa. Nulis
surat aja tidak. (6)

Keenam tuturan kalimat tersebut merupakan tindak tutur lokusi. Penutur hanya

bermaksud menyampaikan informasi kepada mitra tuturnya tanpa memiliki maksud yang

lain. Tuturan (1) memiliki maksud bahwa Wayan menyarankan supaya Nyoman tidak

pergi dari rumah majikannya, Gusti Biang. Tuturan (2) memiliki maksud untuk

menyampaikan keluh kesah Nyoman tinggal yang tidak ingin tinggal di rumah Gusti

Biang karena selalu dimarahi. Tuturan (3) memperkuat saran Wayan kepada Nyoman.

Tuturan (4) balik mempertegas tuturan (3). Sedangkan tuturan (5) dan (6) juga tuturan

yang sifatnya saling melengkapi. Tindak tutur-tindak tutur lokusi tersebut berfungsi

hanya untuk menyampaikan sebuah informasi tanpa memiliki maksud lain.

2.2 Tindak Tutur Ilokusi

Tindak tutur ilokusi adalah tindak tutur yang disampaikan oleh penutur yang

memiliki maksud agar mitra tuturnya melakukan sesuatu. Dalam tindak tutur ini, satu

tuturan memiliki dua maksud, yaitu menyampaikan informasi dan menyuruh mitra tutur

Page | 7
melakukan sesuatu (Wijana, 1996). Jadi, dalam menganalisis tindak tutur ilokusi harus

memperhatikan adanya konteks dalam tuturan tersebut.

Nyoman: Sekarang sudah saatnya Gusti Biang minum obat. (1)

Gusti Biang: Hari ini aku tak mau minum obat. (2)

Makna ilokusinya adalah Nyoman berharap supaya Gusti Biang minum obat

supaya sembuh dari sakitnya. Namun, Gusti Biang tidak mau melakukannya. Meskipun

demikian tuturan (1) tetap merupakan tuturan yang mengandung ilokusi karena di

dalamnya terdapat unsur kata imperatif.

2.3 Tindak Tutur Perlokusi

Tindak tutur perlokusi merupakan tindak tutur yang disampaikan untuk


mempengaruhi mitra tuturnya. Tindak perlokusi berkaitan dengan efek pemahaman mitra
tutur terhadap maksud pembicara yang terwujud dalam tindakan. Tindak
tutur perlokusi mengacu kepada efek yang ditimbulkan oleh ujaran yang dihasilkan oleh
penutur (Wijana, 1996).
Gusti Biang: (Sambil menghapus air matanya) Aku
tidak akan mencegahnya lagi. Kita akan
mengawinkannya, (Dengan manja)
Tapi jangan ceritakan lagi tentang yang
dulu-dulu. Aku sangat malu. (1)

Wayan: (Tersenyum) Kalau begitu Wayan tidak jadi


pergi. Wayan akan menjagamu Sagung
Mirah, sampai kita berdua sama-sama
mati dan di atas kuburan kita, anak-anak
itu berumah tangga dengan baik. Sagung
Mirah. (2)

Tindak tutur kalimat (1) mengandung tiga makna, yaitu makna lokusi, ilokusi, dan

Page | 8
perlokusi. Makna lokusi dari tuturan tersebut adalah Gusti Biang menyatakan dirinya

tidak mampu mencegah anaknya (Ngurah) untuk tidak menikah dengan pembantunya

(Nyoman). Makna ilokusinya adalah mengartikan bahwa Gusti Biang setuju dengan

pendapat Nyoman. Sedangkan makna perlokusinya adalah akhirnya pernyataan Gusti

Biang ini menggalkan Nyoman untuk pergi meninggalkan mereka (Ngurah, Wayan, dan

Gusti Biang).

C. Aspek Semantik Dialog Naskah Drama Bila Malam Bertambah Malam


Semantik adalah tata cara pemaknaan sebuah wacana sebagai tataran tertinggi

dalam tingkat satuan bahasa. Wacana mengandung makna, maksud, dan tujuan tertentu

dari apa yang tersebutkan di dalamnya. Namun, dalam suatu wacana penutur tidak selalu

mengungkapkan maksud tuturannya tersebut secara lateral atau secara langsung sesuai

kenyataan. Kadangkala, penutur memilih untuk menggunakan bahasa yang tidak

langsung dan dengan cara penyampaian yang berbeda karena memperhatikan baik prinsip

kesantunan maupun rasa menghormati terhadap kepentingan orang lain agar apa yang

diungkapkan tidak menyakiti perasaan orang lain atau pihak yang menjadi sasaran

pembicaraannya. Untuk itu, mitra tutur harus bisa menafsirkan maksud yang tersirat dari

tuturan penutur dengan mmeperhatikan konteks yang melingkupi tuturan tersebut.

Berdasarkan pengamatan, maksud-maksud yang terkandung dalam tuturan-

tuturan dialog naskah drama Bila Malam Bertambah Malam yaitu sebagai berikut :

1. Bermaksud Memberikan Informasi

Tuturan-tuturan yang disampaikan para penutur dalam dialog naskah drama Bila

Malam Bertambah Malam memiliki maksud untuk menyampaikan informasi-informasi

Page | 9
atau memberitahukan sesuatu. Hal-hal yang diinformasikan adalah permasalahan-

permasalahan cinta antara Nyoman Niti dan Ngurah. Informasi-informasi tersebut

disampaikan oleh para penutur dengan menggunakan tindak tutur lateral dan tindak tutur

lokusi. Misalnya dalam tuturan berikut ini :

Nyoman : Benar Ida akan pulang hari ini? (1)


Wayan: Ya .... (2)

Wayan: Mau ke mana Nyoman? (1)


Nyoman: Pulang ke desa.(2)

Tuturan-tuturan (Tanya jawab) di atas merupakan tuturan yang bermaksud

menyampaikan informasi, yaitu Wayan menyampaikan bahwa Ida Bagus Ngurah benar

akan pulang. Yang kedua adalah menyampaikan bahwa Nyoman akan pulang ke desa,

pergi dari rumah Gusti Biang.

. 2. Bermaksud Memberikan Kritikan

Selain untuk menyampaikan informasi, tuturan yang terdapat pada dialog naskah

drama Bila Malam Bertambah Malam adalah bermaksud untuk memunculkan kritikan-

kritikan atau sindiran terhadap Gusti Biang atas perilakunya yang kasar dan sombong

karena merasa memiliki status social yang lebih tinggi daripada Nyoman Niti dan Wayan.

Kritikan-kritikan tersebut disampaikan baik oleh Nyoman Niti maupun oleh

Wayan melalui tindak tutur ekspresif. Misalnya dalam tuturan berikut ini :

- Tuturan Nyoman Niti kepada Gusti Biang

Terlampau sempit? Piih, semua jarum dibuat kecil Gusti, makin


halus makin mahal harganya (1)

Sayang sekali Gusti Biang tidak menyuruh Tiyang yang


mengerjakannya. Mestinya, ditengahnya bisa disulam dengan
warna biru muda. Lalu dengan menulis rapih “Selamat malam

Page | 10
kasih, selamat malam pujaan, selamat malam manis, good night
my darling”. (2)

Aduh cantiknya Gusti Biang. Seperti seekor burung merak. Seperti


lima belas tahun yang lalu ketika tiyang masih kecil dan sering
duduk di pangkuan Gusti. Masih ingatkah Gusti?(3)

Gusti Biang memang orang yang paling baik dan berbudi tinggi.
Tidak seperti orang-orang lain, Gusti. Gusti telah menyekolahkan
tiyang sampai kelas dua SMP, dan Gusti sudah banyak
mengeluarkan biaya. Coba tengok bayangan Gusti di muka cermin,
seperti tiga puluh tahun saja .. Mau minum obatnya sekarang
Gusti? (4)

Tuturan kalimat (1) merupakan bentuk sindiran kepada Gusti Biang yang matanya

sudah tidak begitu baik untuk melihat lubang jarum yang kecil. Tuturan (2) merupakan

ekspresi implisit kata-kata Nyoman Niti yang sebenarnya itu ditujukan untuk Ngurah,

orang yang dicintainya yang tidak lain adalah anak Gusti Biang sendiri. Tuturan (3)

adalah bentuk sindiran Nyoman Niti kepada Gusti Biang yang kurang merasa tahu diri

bahwa dirinya sebenarnya sudah tua, tidak cantik lagi, dan tidak seperti lima belas tahun

yang lalu. Sedangkan tuturan (4) adalah sindiran terhadap perilaku Gusti Biang

yangbertolak belakang dengan apa yang dikatakan oleh Nyoman Niti. Makna yang

sebenarnya adalah Gusti Biang adalah orang yang tidak baik dan sudah tua. Di samping

kritikan atau sindiran dari Nyoman Niti, kritikan juga disampaikan oleh Wayan dan

Ngurah seperti pada beberapa kutipan berikut:

Wayan:
Tapi semua itu tak bisa dipertanggungjawabkan kepada Nyoman,
Gusti, itu adalah kesalahan induknya yang tidak berhati-hati
menjaga anaknya. Bukan kesalahan Nyoman. (1)

Wayan tidak mau kehilangan tongkat dua kali.(2)

Page | 11
Ngurah:
Kenapa tidak ibu? Kenapa? Siapa yang menjadikan Sagung Rai
lebih pantas dari Nyoman untuk menjadi istri? Karena derajatnya?
Tiyang tidak pernah merasa derajat tiyang lebih tinggi dari orang
lain. Kalau toh tiyang dilahirkan di purian, itu justru menyebabkan
tiyang harus berhati-hati. Harus pintar berkelakuan baik agar bisa
jadi teladan orang, yang lain omong kosong semua! (3)

Tuturan (1) merupakan kritikan kepada Gusti Biang yang merasa jengkel terhadap

perilaku Ngurah yang ceroboh yaitu menujal cincin yang dibelikannya. Pada tuturan itu

Wayan menyindir bahwa perilaku anaknya karena meniru perilaku ibunya (induknya).

Tuturan (2) menyiratkan bahwa Wayan tidak ingin anaknya (Ngurah) mengalami nasib

yang sama dengan dirinya, tidak bisa mencintai seseorang karena kastanya berbeda.

Kepada Gusti Biang ia mengatakan bahwa ia tidak ingin kehilangan tongkat dua kali. Ini

berarti dua nasib yang sama yaitu nasib dirinya dengan Gusti Biang dan nasib anaknya,

Ngurah dengan Nyoman Niti. Sedangkan tuturan (3) merupakan kritikan Ngurah kepada

ibunya yang bersih kukuh melarang percintaan karena perbedaan kasta.

3. Bermaksud Menyuruh/ menyarankan


Tuturan-tuturan dialog naskah drama Bila Malam Bertambah Malam yang
bermaksud menyuruh atau mengajak disampaikan melalui tindak tutur direktif. Tindak
tutur direktif merupakan tindak tutur yang menghendaki mitra tuturnya melakukan
sesuatu. Misalnya maksud meyuruh dalam tuturan berikut ini:

- Nyoman kepada Gusti Biang:


Nah, itu sebabnya kalau belum santap malam. Apalagi sejak
beberapa hari ini Gusti sudah tidak mau minum jamu lagi,
minum sekarang ya? (1)

Letakkan saja di atas pisang di ujung lidah. Lantas pejamkan


mata. Lihat, dan secepat kilat akan meluncur Gusti.(2)

Baiklah Gusti. Baiklah Gusti, tak apalah. Tapi tentunya Gusti

Page | 12
lebih senang kalau puyer ini yang diminum lebih dahulu, baru
kemudian menyusul pil-pil yang lain, atau Gusti ingin bersantap
malam dulu. Percayalah Gusti, tidak akan terjadi apa-apa.(3)

Nyoman adalah seorang pembantu. Dalam konteks tuturan (1), (2), dan

(3) di atas, Nyoman menyarankan dan meminta kepada Gusti Biang agar minum

obat karena ia dalam keadaan sedang sakit. Bahasa yang digunakan adalah

bahasa yang halus meskipun terkesan memaksa. Hal ini biasa terjadi karena

hubungan antara pembantu dan majikan, antara kaum sudra dan kaum

bangsawan.

-Wayan kepada Gusti Biang


Jangan gampang marah Gusti, itu cuma angan-angan. Sabarlah.
Kalau usia sudah lanjut, tambahan lagi penyakitan, tak baik
marah-marah malam begini! (1)

Tuturan ini menyiratkan hubungan antara Wayan dan Gusti Biang. Dari tuturan

ini bisa tercermin bahwa Wayan memiliki status sosial yang lebih rendah daripada Gusti

Biang. Dalam menyuruh Wayan selalu menggunakan bahasa yang halus, menyarankan.

Hubungan antarkeduanya adalah majikan-pembantu, sudra-bangsawan. Di bawah ini

adalah contoh-contoh dialog yang lain yang menunjukkan hubungan antartokoh:

-Wayan kepada Nyoman


Sudahlah, dia cuma orang tua bangka. Umurnya hampir
tujuh puluh tahun. Kenapa Nyoman pusing benar
kepadanya? (2)

-Gusti Biang kepada Wayan


Suruh dia pergi goblok, jangan biarkan dia mencuri
bungkusan itu. Itu bukan kepunyaannya. (1)

Simpan bugkusan itu, jangan goblok kamu, lalu ambil buku


besar, catatan keluar masuk, dari dalam lemari, ini
kuncinya. Cepat! (2)

Page | 13
-Ngurah kepada Wayan
Coba buktikan, buktikan kalau ayah saya seorang penghianat.
Berikan bukti yang nyata, jangan hanya prasangka! Wayan
Kenapa Ngurah dicegah kawin? Kita sudah cukup menderita
karena perbedaan kasta ini. Sekarang sudah waktunya pemuda-
pemuda bertindak. Dunia sekarang sudah berubah. Orang harus
menghargai satu sama lain tanpa membeda-bedakan lagi,
bagaimana Gusti Biang?

D. Penerapan Prinsip Kesantunan

Prinsip kesantunan berkenaan dengan aturan tentang hal-hal yang berkenaan

dengan sosial, estetika, dan moral dalam bertindak tutur. Seorang penutur ketika

menyampaikan informasi, maksud atau tujuan, amanat, dan tugas harus selalu menjaga

dan memelihara hubungan antara penutur itu sendiri dangan mitra tuturnya. Prinsip-

prinsip kesantunan yang memiliki sejumlah maksim ini diterapkan dalam dialog para

tokoh naskah drama Bila Malam Bertambah Malam dalam melakukan percakapan.

Maksim-maksim kesantunan yang diterpakan dalam dialog naskah drama Bila Malam

Bertambah Malam ini adalah maksim kecocokan, maksim kerendahan hati, dan maksim

kebijaksanaan.

1. Maksim Kecocokan

Maksim kecocokan dalam prinsip kesantunan diungkapkan dengan tindak tutur

yang bersifat ekspresif dan asertif. Maksim kecocokan menggariskan setiap penutur dan

mitra tuturnya memaksimalkan kecocokan di antara mereka dan meminimalkan

ketidakcocokan di antara mereka. Dalam naskah dialog drama ini, maksim kecocokan

hanya terdapat pada dialog antara Wayan dan Gusti Biang pada saat Gusti Biang berubah

Page | 14
pikiran tentang perjodohan Ngurah dan Nyoman Niti. Pada awalnya Gusti Biang menolak

keras Ngurah berhubungan cinta dengan Nyoman niti. Namu, pada akhirnya di akhir

cerita setelah segela sesuatunya menjadi terbuka dan terjadi peleraian, ia akhirnya

menyetujui perjodohan anaknya itu meskipun keduanya dari kasta yang berbeda.

Maksim kecocokan terdapat pada contoh tindak tutur berikut ini:

Wayan: Kenapa Ngurah dicegah kawin? Kita sudah cukup


menderita karena perbedaan kasta ini. Sekarang sudah
waktunya pemuda-pemuda bertindak. Dunia sekarang
sudah berubah. Orang harus menghargai satu sama lain
tanpa membeda-bedakan lagi, bagaimana Gusti Biang?

Gusti Biang: (Sambil menghapus air matanya)


Aku tidak akan mencegahnya lagi. Kita akan
mengawinkannya.

. 2. Maksim Kerendahan Hati


Maksim kerendahan hati juga diungkapkan dengan kalimat ekspresif dan asertif.

Maksim kerendahan hati menuntut setiap penutur untuk memaksimalkan

ketidakhormatan pada diri sendiri dan meminimalkan rasa hormat pada diri sendiri.

Dalam teks drama ini, maksim kerendahan hati ini hanya ditemukan pada tuturan Ngurah.

Meskipun dirinya merasa (karena sebenarnya dia adalah anak Wayan-Gusti Biang)

sebagai keturunan bangsawan Ngurah merupakan tokoh yang rendah hati dan tidak

sombong. Dalam cerita ini, ia diperankan sebagai orang yang bijaksana.

Maksim ini terdapat pada ujaran berikut:

Ngurah: Sudahlah biar dulu begitu. Semuanya akan selesai nanti.


Saya juga telah bertengkar dengan ibu. Duduklah Bape,
bape jangan ikut pergi. Duduklah bape. Pasti ibu yang
salah. Bape sudah bertahun-tahun di sini, tak baik kalau
tiba-tiba pergi, duduklah bape.

Page | 15
Pada saat Wayan kelihatan emosi karena merasa dihina oleh Gusti Biang, ibunya,

Ngurah dengan rendah hati mengatakan bahwa ibunya yang salah. Dengan bahasa yang

rendah hati pula Ngurah bisa mendinginkan suasana. Dengan begitu, emosi Wayan tidak

lagi berlanjut dan merasa lebih terdamaikan. Tuturan diatas merupakan tuturan yang

menunjukkkan kerendahan hati. Tuturan yang menunjukkan kerendahan hati bersifat

mendamaikan suasana tutur.

3. Maksim Kebijaksanaan

Maksim kebijaksanaan diungkapkan dengan tuturan imposif dan komisif. Maksim

ini meminimalkan kerugian bagi orang lain. Dengan maksim kebijaksanaan ini, mitra

tutur akan lebih merasa dihargai dan dihormati.

Maksim ini terdapat pada ujaran berikut ini:

Wayan: Nuna sugere Gusti Biang, kedengarannya seperti ada


yang berteriak.

Penggunaan kata nuna sugere dalam ujaran tersebut merupakan bantuk penerapan

maksim kebijaksanaan. Walaupun Gusti Biang dengan tidak santun memanggil dirinya

(dengan berteriak keras) Wayan dengan bijaksana menggunakan kata sapaan nuna sugere

yang artinya Nyonya dalam bahasa Bali halus.

E. Penerapan Prinsip Kerja Sama

Dalam berkomunikasi, seorang penutur dan mitra tuturnya selalu mengharapkan

adanya sebuah kelancaran dalam proses komunikasi tersebut. Kelancaran komunikasi

tersebut diperoleh bukan hanya karena unsur-unsur kebahasaan secara struktural,

Page | 16
melainkan pula karena adanya prinsip kerja sama di antara penggunaan bahasa, penutur

dan mitra tuturnya. Prinsip kerja sama ini akan sangat membantu mitra tutur dalam

memahami sebuah ujaran yang disampaikan oleh penutur dan seminimal mungkin bisa

menghindari kesalahpahaman dalam berkomunikasi.

Prinsip kerja sama juga diterapkan dalam ujaran-ujaran yang terdapat dalam

dialog naskah drama Bila Malam Bertambah Malam ini. Dalam melakukan percakapan,

para tokoh dalam drama ini berusaha menggunakan prinsip kerja sama agar maksud yang

ingin disampaikan dapat diterima oleh mitra tutur. Tokoh-tokoh yang menggunakan

prinsip kerja sama dalam naskah drama ini adalah dialog antara Wayan dan Nyoman Niti.

Keduanya adalah orang sudra yang selalu mendapatkan perlakukan kasar oleh

majikannya yang berasal dari kasta bangsawan. Maksim dalam prinsip kerja sama yang

diterapkan dalam dialog naskah drama Bila Malam Bertambah Malam ini adalah maksim

kualitas, maksim kuantitas, maksim relevansi, dan maksim pelaksanaan.

1. Maksim kualitas

Maksim kualitas merupakan maksim yang mewajibkan setiap peserta percakapan

dalam menuturkan ujarannya harus didasarkan pada bukti-bukti yang memadai. Maksim

ini terdapat pada ujaran berikut ini:

Gusti Biang: Lubangnya terlalu kecil. Benangnya terlalu besar,


sekarang ini serba terlampau. Terlampau tua,
terlampau gila, terlampau kasar, terlampau begini,
terlampau begitu. Sejak kemarin aku tidak berhasil
memasukkan benang ini. Sekarang mataku
berkunang-kunang. Oh, barangkali toko itu sudah
menipu lagi. Atau aku terbalik memegang ujungnya?
Wayaaaaan ...

Page | 17
Tuturan di atas secara kualitas menunjukkan bahwa lubang jarum memang kecil.

Di samping itu, tuturan juga menunjukkan bahwa secara fakta Gusti Biang memang

sudah tua sehingga matanya tidak begitu jelas untuk melihat lubang sebuah jarum.

2. Maksim kuantitas

Di dalam maksim kuantitas seorang penutur diharapkan memberikan informasi

yang cukup dan memadai. Berarti, pada maksim ini seorang penutur tidak diperkenankan

mengurangi atau melebih-lebihkan data yang diperlukan oleh mitra tutur. Contoh tuturan

dalam dialog naskah drama Bila Malam Bertambah Malam terdapat pada bagian berikut:

GUSTI BIANG
Jangan berbantah denganku. Kau sudah tua dan rabun, lubang
telingamu sudah ditempati kutu busuk. Kau sudah tuli, malas
dan suka berbantah, cuma bisa bergaul dengan si belang. Kau
dengar itu kuping tuli? (1)

WAYAN
Tapi itu pakaiannya sendiri Gusti.(2)

Pada tuturan (1) terjadi pelanggaran maksim kuantitas karena tuturan disampaikan

dengan bahasa yang berlebihan. Makna tuturan sebenarnya adalah Gusti Biang

mengatakan bahwa Wayan adalah orang yang sudah tua. Berbeda dengan tuturan (2).

Tuturan ini cukup singkat dan memiliki arti yang sudah cukup memadai. Indeksalnya

adalah Nyoman Niti pergi dengan membawa pakaian dan dilarang oleh Gusti Biang.

Wayan mengatakan bahwa pakaian yang dibawa oleh Nyoman Niti adalah miliknya

(nya= Nyoman Niti).

3. Maksim Relevansi

Page | 18
Maksim relevansi mengharuskan setiap peserta percakapan memberikan kontribusi

yang relevan dengan masalah yang sedang dibicarakan. Misalnya terdapat dalam ujaran

berikut ini:

WAYAN
Aduh, apa nanti yang mesti bape katakan kalau dia menanyakan ....
”Di mana Nyoman Bape?” Nah, apa yang akan Bape jawab? (1)

NYOMAN
Ide sudah lupa sama icang Bape, di sana banyak bintang-bintang
pilem, pasti dia sudah lupa. Nulis surat aja tidak. (2)

Tuturan (1) dan (2) menunjukkan adanya kerja sama yang baik karena tuturan (2)

merupakan ujaran yang sesuai dengan tuturan (1). Secara indeksal Wayan tidak setuju

Nyoman Niti pergi meninggalkan Ngurah karena mereka saling mencintai. Wayan tidak

tahu harus mengatakan bagaimana kepada Ngurah jika ia menanyakan Nyoman. Pada

tuturan (2) Nyoman mengatakan mungkin Ide (Ida Bagus Ngurah) sudah melupakan

dirinya.

4. Maksim Cara

Maksim cara adalah prinsip kerja sama yang mengedepankan cara penyampaian

dalam ujaran. Maksim ini disesuaikan dengan konteksnya yaitu kapan ujaran itu

disampaikan, di mana ujaran itu terjadi, dan kepada siapa ujaran itu disampaikan. Jadi,

ujaran dibuat atau ditata strukturnya sesuai dengan tempat, waktu, dan mitra tuturnya.

Dari maksim cara ini bisa dilihat identitas dan hubungan antartokoh dalam naskah drama

Bila Malam Bertambah Malam. Berikut ini adalah beberapa maksim yang menunjukkan

maksin cara:

Page | 19
GUSTI BIANG
Waaayaaaaan ... (1)

NYOMAN
Ya ya kenapa Gusti terkejut ini kan Nyoman. (2)

NYOMAN
Nah, itu sebabnya kalau belum santap malam. Apalagi sejak
beberapa hari ini Gusti sudah tidak mau minum jamu lagi, minum
sekarang ya? (3)

WAYAN
Mana ada setan sore-sore begini Gusti? (4)

GUSTI BIANG
Kejar perempuan setan itu. (5)

GUSTI BIANG
Kau sudah besar dan pantas kau memberikan aku cucu, sebelum
kelewatan. Hanya itu yang aku tunggu sekarang. (6)

NGURAH
Nanti saja kita bicarakan itu. (7)

Dari cara-cara menyusun ujaran, secara implisit bisa terlihat hubungan, identitas,

dan karakter para tokoh naskah drama. Pada tuturan (1) menunjukkan bahwa Gusti Biang

adalah seseorang yang memiliki status sosial yang lebih tinggi daripada tokoh Wayan dan

Nyoman Niti. Memanggil seseorang dengan cara berterik merupakan ujaran yang

melanggar prinsip kesantunan. Melalui ujaran ini bisa disimpulkan bahwa Gusti Biang

adalah seorang perempuan yang tidak memiliki kesantunan dalam berbahasa. Tuturan

yang bermakna sama juga terlihat pada tuturan (5) dan (6).

Identitas tokoh Nyoman Niti juga bisa terwujud dari cara dia dalam

menyampaikan ujaran. Dari cara-caranya berujar kepada tokoh Gusti Biang bisa

dimaknai bahwa status sosial Nyoman Niti lebih rendah daripada Gusti Biang. Dalam

Page | 20
cerita, Nyoman Niti memang diperankan sebagai tokoh yang mewakili kasta sudra dan

berlaku sebagai pembantu Gusti Biang. Oleh karena itu, dalam setiap kali bertutur kepada

Gusti Biang ia selalu menggunakan bahasa yang santun. Hal ini terlihat pada tuturan (2)

dan (3).

Seperti pada tuturan (4) Identitas Wayan juga bisa ditelusuri dari cara bertuturnya.

Wayan menduduki posisi yang sama dengan Nyoman Niti dalam system stratifikasi

social Bali. Oleh karena itu dalam bertutur kepada Gusti Biang ia juga selalu

menggunakan bahasa yang santun. Hal ini berbeda dengan Ngurah. Ia diperankan sebagai

anak Gusti Biang sehingga dalam tuturan juga tidak memperlihatkan adanya kesantunan

berlebih jika dibandingkan dengan cara bertutur Wayan dan Nyoman Niti, seperti terlihat

pada tuturan (7).

E. Implikatur-Implikatur dalam Dialog Naskah Drama Bila Malam Bertambah Malam

Implikatur adalah ujaran atau pernyataan yang menyiratkan sesuatu yang

berbeda dengan yang sebenarnya diucapkan. Pemahaman terhadap implikatur akan lebih

mudah jika penutur dan mitar tutur telah saling berbagi pengalaman (Wijana, 1996).

Pengalaman dan pengetahuan akan berbagai konteks yang melingkupi tindak tutur yang

diucapkan akan sangat membantu mitra tutur dalam memahami implikatur yang

terkandung dalam ujarannya.

Implikatur dibedakan menjadi dua jenis, yaitu implikatur konvensional dan

implikatur konversasional. Implikatur konvensional adalah implikasi atau pengertian

yang bersifat umum dan konvensional. Semua orang pada umumnya sudah mengetahui

dan memahami maksud tersebut karena pembaca atau mitra tutur sudah memiliki

Page | 21
pengetahuan dan pengalaman umum. Sedangkan yang dimaksud dengan implikatur

konversasioanal adalah implikatur yang muncul dalam suatu percakapan. Jadi, makna

ujaran bergantung pada konteksnya. Oleh karena itu, sifatnya temporer (terjadi saat

terjadinya percakapan) dan non-konvensional (implikasi tidak memiliki relasi langsung

dengan tuturan).

Ujaran-ujaran yang terdapat dalam dialog naskah drama Bila Malam Bertambah

Malam ini merupakan ujaran yang termasuk dalam implikatur konvensional dan

konversasional. Namun, berikut ini hanya akan diklarifikasi tuturan yang konversional

karena masih dibutuhkan penjelasan sesuai dengan konteks. Untuk tuturan yang

konvensional tidak perlu dilakukan penjelasan lagi karena maknanya seperti yang sudah

terangkum dalam teks. Dalam percakapan terkandung banyak implikatur dari setiap

ujaran baik dari tokoh Gusti Biang, Wayan, Nyoman Niti, maupun Ngurah. Dengan

pemahaman akan konteks drama/peristiwa, berikut ini implikatur-implikatur yang

terdapat dalam dialog naskah drama Bila Malam Bertambah Malam.

GUSTI BIANG
Leherku sampai putus memanggilmu, telingamu masih kamu pakai
tidak? (1)

GUSTI BIANG
Jangan berbantah denganku. Kau sudah tua dan rabun, lubang
telingamu sudah ditempati kutu busuk. Kau sudah tuli, malas dan
suka berbantah, cuma bisa bergaul dengan si belang. Kau dengar
itu kuping tuli? (2)

NYOMAN
Tapi tidak semua ular berbahaya.(3)

NYOMAN
Sayang sekali Gusti Biang tidak menyuruh Tiyang yang
mengerjakannya. Mestinya, ditengahnya bisa disulam dengan

Page | 22
warna biru muda. Lalu dengan menulis rapih “Selamat malam
kasih, selamat malam pujaan, selamat malam manis, good night
my darling”.(4)

NYOMAN
Aduh cantiknya Gusti Biang. Seperti seekor burung merak. Seperti
lima belas tahun yang lalu ketika tiyang masih kecil dan sering
duduk di pangkuan Gusti. Masih ingatkah Gusti? (5)

NYOMAN
Gusti Biang memang orang yang paling baik dan berbudi tinggi.
Tidak seperti orang-orang lain, Gusti. Gusti telah menyekolahkan
tiyang sampai kelas dua SMP, dan Gusti sudah banyak
mengeluarkan biaya. Coba tengok bayangan Gusti di muka cermin,
seperti
tiga puluh tahun saja .. Mau minum obatnya sekarang Gusti? (6)

GUSTI BIANG
Aku tak mau dibujuk, mana si Wayan kambing tua itu. Setan ini
benar-benar mau meracuniku, Waaayaaaan. (7)

WAYAN
Sudahlah, dia cuma orang tua bangka. Umurnya hampir tujuh
puluh tahun. Kenapa Nyoman pusing benar kepadanya?(8)

WAYAN
Dia akan mengumpat titiyang dan akan mengalungkan ular karena
keteledoran titiyang. Ke mana tadi perginya Gusti? Titiyang akan
mengejarnya. (9)

NGURAH
Ibu, soalnya bukan itu, ibu harus mengerti, sekarang orang ingin
memilih sendiri teman hidup. (10)

Keterangan Indeksal dari setiap tuturan:

1. Gusti Biang memanggil Wayan dengan teriakan yang keras.

2. Gusti Biang menyatakan bahwa Wayang adalah orang yang sudah tua.

Page | 23
3. Pernyataan Wayan ketika Gusti Biang berteriak takut terhadap Nyoman, dan

menyamakan Nyoman Niti dengan ular.

4. Nyoman menggoda Gusti Biang untuk menulisi bantal anaknya dengan kata-kata

cinta seperti yang terdapat di dalam perasaan cintanya kepada Ngurah.

5. Merupakan tuturan sindiran kepada Gusti Biang yang maknanya merupakan

kebalikan dari tuturan yang dieksplisitkan.

6. Rayuan Nyoman kepada Gusti Biang yang berupa sindiran agar Gusti Biang mau

minum obat.

7. Yang dimaksud setan adalah Nyoman Niti.

8. Wayan membujuk supaya Nyoman tidak jadi pergi.

9. Wayan ingin mengetahui ke mana Nyoman pergi karena takut akan membuat

kecewa Ngurah.

10. Ngurah ingin mendapatkan jodoh dengan pilihannya sendiri yaitu Nyoman Niti

tanpa memperhatikan perbedaan kasta.

F. Simpulan

Melalui analisis tindak tutur dan implikatur dialog naskah drama Bila Malam

Bertambah Malam, dapat diketahui identitas dan karakter para tokoh dalam cerita. Dari

analisis ini bisa disimpulkan pula hubungan antartokoh. Gusti Biang merupakan tokoh

utama dalam drama ini meskipun ia dikarakterkan sebagai orang jahat. Melalui tuturan

para tokoh menunjukkan bahwa Gusti Biang adalah seorang keturunan bangsawan yang

bersih kukuh ingin mempertahankan kebangsawanannya. Dari istilah-istilah yang

Page | 24
digunakan dalam bertutur, menggambarkan Gusti Biang sebagai orang yang tua, keras

kepala, dan sombong.

Sedangkan melalui struktur ujaran yang terdapat pada tokoh Wayan dan Nyoman

cukup memberi informasi kepada pembaca bahwa keduanya memiliki status sosial yang

lebih rendah daripada Gusti Biang. Mereka adalah kaum sudra dalam strata sistem sosial

di Bali. Hal ini bisa tercermin dari tindak tutur yang dipakai pada saat mereka

berkomunikasi dengan Gusti Biang. Mereka selalu menggunakan bahasa yang halus.

Tuturan-tuturan mereka kepada Gusti Biang menandai bahwa keduanya merupakan

pembantunya meskipun secara eksplisit tidak ditemukan istilah pembantu atau yang lain.

Berkaitan dengan karakter mereka, melalui tuturannya dapat diambil kesan bahwa

mereka adalah orang yang sabar dan baik hati. Demikian juga halnya dengan tuturan

tokoh Ngurah. Tuturan tokoh Ngurah mengesankan bahwa dirinya adalah orang ningrat

yang bijaksana dan baik hati.

Daftar Pustaka

Chaer, Abdul dan Agustina, Leoni. 1993. Sosiolinguistik: Perkenalan Awal. Jakarta:
Rineka Cipta.

Depdikbud. 2005. Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi ke-3. Jakarta: Balai Pustaka.

Djajasudarma, Fatimah. 1994. Wacana: Pemahaman dan Hubungan Antarunsur.


Bandung: PT Eresco.

Page | 25
Eriyanto. 2001. Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media. Yogyakarta: LKis.

Keraf, Gorys. 1991. Tatabahasa Rujukan Bahasa Indonesia. Jakarta: PT Grasindo.

Kridalaksana, Harimurti. 2001. Kamus Linguistik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Leech, Geofrey. 1993. Prinsip-prinsip Pragmatik. Jakarta: Universitas Indonesia.

Mahsun. 2005. Metode Penelitian Bahasa. Yogyakarta: Duta Wacana University Press.

Moeliono, Anton M. 1991. Santun Bahasa. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Mulyana. 2005. Kajian Wacana: Teori, Metode dan Aplikasi Prinsip-prinsip Analisis
Wacana. Yogyakarta: Tiara Wacana.

Rahardi, R. Kunjana. 2000. Imperatif Dalam Bahasa Indonesia. Yogyakarta: Duta


Wacana University Press.

Roni. 2005. Jenis makna Dasar Pragmatik Imperatif Dalam Imperatif Bahasa Indonesia.
Surabaya: Verba, Vol. 7, No.1 74 – 90.

Verhaar, J.W.M. 1996. Asas-Asas Linguistik Umum. Yogyakarta: Gadjah Mada


University Press.

Wijana, I Dewa. 1996. Dasar-dasar Pragmatik. Yogyakarta: Andi.

Wijaya, Putu. 2003. Bila Malam Bertambah Malam. Jakarta: Pustakan Jaya.

Page | 26
Page | 27

Anda mungkin juga menyukai