Anda di halaman 1dari 64

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Negara Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki

keanekaragaman bahasa dan budaya, Provinsi Maluku merupakan salah satu

pulau yang kaya akan hasil alam dan juga tempat wisata yang menarik. Setiap

daerah di Maluku juga memiliki beragam kebudayaan dengan sejarahnya masing

– masing.

Budaya adalah suatu cara hidup yang dimiliki dan berkembang bersama

masyarakatnya dari generasi ke generasi. Budaya terbentuk dari banyak unsur

yang rumit, termasuk sistem agama dan politik, adat istiadat, bahasa, perkakas,

pakaian, bangunan, dan karya seni. Bahasa, sebagaimana juga budaya,

merupakan bagian tak terpisahkan dari diri manusia sehingga banyak orang

cenderung menganggapnya diwariskan secara genetis. Ketika seseorang

berusaha berkomunikasi dengan orang-orang yang berbeda budaya dan

menyesuaikan perbedaan-perbedaannya, membuktikan bahwa budaya itu

dipelajari. Dengan demikian budaya dapat diartikan hal-hal yang bersangkutan

dengan akal dan cara hidup yang selalu berubah dan berkembang dari waktu ke

waktu.

1
2

Dalam budaya juga memiliki nilai budaya yang merupakan nilai- nilai

yang disepakati dan tertanam dalam suatu masyarakat, lingkup organisasi,

lingkungan masyarakat, yang mengakar pada suatu kebiasaan, kepercayaan

(believe), simbol-simbol, dengan karakteristik tertentu yang dapat dibedakan

satu dan lainnya sebagai acuan prilaku dan tanggapan atas apa yang akan terjadi

atau sedang terjadi.

Nilai-nilai budaya akan tampak pada simbol-simbol, slogan, moto, visi

misi, atau sesuatu yang nampak sebagai acuan pokok moto suatu lingkungan

atau organisasi. Sistem nilai budaya, pandangan hidup, dan ideologi. Sistem

budaya merupakan tingkatan tingkat yang paling tinggi dan abstrak dalam adat

istiadat. Hal itu disebabkan karena nilai – nilai budaya itu merupakan konsep –

konsep mengenai apa yang hidup dalam alam pikiran sebagian besar dari dari

warga suatu masyarakat mengenai apa yang mereka anggap bernilai , berharga,

dan penting dalam hidup, sehingga dapat berfungsi sebagai suatu pedoman yang

memberi arah dan orientasi kepada kehidupan para warga masyarakat itu sendiri.

Nilai – nilai budaya ini bersifat umum, luas dan tak konkret maka nilai –

nilai budaya dalam suatu kebudayaan tidak dapat diganti dengan nilai-nilai

budaya yang lain dalam waktu yang singkat.Dalam masyarakat ada sejumlah

nilai budaya yang satu dan yang lain berkaitan satu sama lain sehingga

merupakan suatu sistem, dan sistem itu sebagai suatu pedoman dari konsep –

konsep ideal dalam kebudayaan memberi pendorong yang kuat terhadap arah

kehidupan masyarakat.
3

Menurut Koentjaraningrat (2000:24), Nilai budaya adalah nilai budaya

terdiri dari konsepsi-konsepsi yang hidup dalam alam fikiran sebahagian besar

warga masyarakat dalam hal-hal yang mereka anggap amat mulia. Sistem nilai

yang ada dalam suatu masyarakat dijadikan orientasi dan rujukan dalam

bertindak. Oleh karena itu, nilai budaya yang dimiliki seseorang

mempengaruhinya dalam mengambil alternative, cara-cara, alat-alat dan tujuan-

tujuan pembuatan yang tersedia.

Folklor merupakan sebagian dari kebudayaan suatu kolektif yang

tersebar dan diwariskan secara turun temurun diantara kolektif macam apa saja

secara tradisional dalam versi yang berbeda-beda, baik dalam bentuk lisan

maupun disertai contoh dengan gerak isyarat atau alat bantu (Danandjaja 1984 :2

Folklor berasal dari kata folk dan lore. Folk diartikan sebagai rakyat, bangsa,

atau kelompok orang yang memiliki ciri pengenal fisik, sosial dan kebudayaan,

sedangkan lore adalah adat serta khasanah pengetahuan yang diwariskan turun

temurun lewat tutur kata, contoh atau perbuatan. Folklor adalah bagian

kebudayaan yang tersebar dan diadatkan turun temurun dengan cara lisan atau

dalam bentuk perbuatan (Sugono, 2003: 169). Folklor bermula dari sebuah pola

kehidupan masyarakat yang pada awalnya menekankan budaya lisan. Budaya

lisan sebagai alat pertukaran informasi memberi keleluasaan seseorang untuk

menggunakannya. Dalam hal ini, budaya lisan memberi ruang eksistensi folklor

untuk dapat berkembang di masyarakat. Hal ini sejalan dengan pendapat

Ingemark (2007: 281)


4

Alan Dundes (dalam Danandjaja, 1997: 1-2) menjelaskan bahwa folk adalah

sekelompok orang yang memiliki ciri-ciri pengenal fisik, sosial, kebudayaan

sehingga dapat dibedakan dari kelompok - kelompok lainnya. Maksud dari lore

adalah tradisi folk yang berarti sebagian kebudayaan yang diwariskan secara

turun-temurun secara lisan atau melalui suatu contoh yang disertai dengan gerak

isyarat atau alat pembantu pengingat (mnemonic device).Folklor adalah sebagian

kebudayaan suatu kolektif yang tersebar dan diwariskan turun-temurun. Folklor

juga tersebar di antara kolektif macam apa saja, secara tradisional dalam versi

yang berbeda, baik dalam bentuk lisan maupun contoh yang disertai dengan

gerak isyarat atau alat bantu pengingat (Danandjaja, 1997: 2).

Danandjaja lebih lanjut menjelaskan: Folklor biasanya mempunyai bentuk

yang berpola sebagaimana dalam cerita rakyat atau permainan rakyat pada

umumnya. Folklor pada umumnya mempunyai kegunaan atau fungsi dalam

kehidupan bersama suatu kolektif misalnya cerita rakyat sebagai alat pendidik,

hiburan, protes sosial, dan proyeksi suatu keinginan yang terpendam. Folklor

bersifat pralogis yaitu logika yang khusus dan kadang berbeda dengan logika

umum. Hal tersebut karena folklor sebagai bentuk kebudayaan milik bersama.

Fang (1991: 4) menyebut sastra rakyat (folklor) dengan nama tradisi lisan.

Tradisi lisan ini mencakup suatu bidang yang cukup luas, seperti cerita-cerita,

ungkapan, peribahasa, nyanyian, tarian, adat resam, undang-undang dan teka-

teki permainan (games).


5

Sudah jelas dan pasti bahwa budaya atau kebudayaan itu memiliki

sejarah sebagaimana ilmu-ilmu yang lain. Budaya dan kebudayaan merupakan

salah satu ruang lingkup sejarah. Tanpa ada sejarah budaya atau kebudayaan,

maka kita tidak akan tahu asal atau awal mula muncul dan perkembangannya.

Misalnya saja, sejarah budaya Hindu dan Budha di Indonesia atau sejarah

budaya Islam di Indonesia. Dengan melihat atau membaca sejarah, maka kita

jadi tahu bagaimana sebuah kebudayaan Hindhu-Budha, Islam, Kristen

Protestan, Kristen Katholik, Konghucu berkembang di Indonesia. Jadi sejarah

dan budaya atau kebudayaan itu sangat berkaitan dan penting untuk dipelajari

agar kita tahu mana yang benar-benar budaya asli bangsa Indonesia, dan mana

yang campuran (akulturasi/asimilasi).

Kata Historis berasal dari bahasa inggris yang dari segi bahasa memiliki

makna “masa lalu manusia”. Sedangkan istilah “sejarah” berasal dari bahasa

arab “syajarah” yang berarti “pohon”. Penggunaan istilah historis karena dalam

ilmu ini berkaitan dengan masa lalu manusia atau kejadian - kejadian yang

meyangkut manusia pada masa silam. Sedangkan secara istilah para ahli berbeda

pendapat tentang makna sejarah diantaranya Ernst Bernheim, ( Sjamsuddin dan

Ismaun, 1996:4 ). Sejarah adalah ilmu tentang perkembangan manusia dalam

upaya – upaya mereka sebagai makhluk sosial. Dan juga menurut Roeslan

Abdulgani” ilmu sejarah adalah salah satu cabang ilmu yang meneliti dan

meyelidiki secara sistematis keseluruhan perkembangan masyarakat serta

kemanusiaan di masa lampau beserta kejadian - kejadian dengan maksud untuk


6

kemudian menilai secara kritis seluru hasil penelitiannya tersebut,untuk

selanjutnya dijadikan perbendaharaan pedoman bagi penelitian dan penentuan

keadaan sekarang serta arah proses masa depan”.

Berdasarkan berbagai penjelasan para ahli di atas, dapat disimpulkan

bahwa historis atau sejarah merupakan satu cabang ilmu yang membahas tentang

catatan masa lalu manusia baik berupa kejadian-kejadian ataupun perkembangan

peradabannya,dengan maksud sebagai pelajaran bagi generasi yang baru.

sebagai salah satu contohnya adalah ikatan pela di Maluku.

Pela merupakan suatu sistem hubungan sosial yang dikenal dalam

masyarakat Maluku, berupa suatu perjanjian hubungan antara satu negeri

dengan negeri lainnya, yang biasanya berada di pulau lain dan kadang juga

menganut agama lain di Maluku. Biasanya satu negeri memiliki paling tidak

satu atau dua Pela yang berbeda jenisnya. Sistem perjanjian pela ini

diperkirakan telah dikenal atau telah ada sebagai bagian kearifan lokal

masyarakat Maluku sebelum masa kedatangan bangsa-bangsa Eropa, terutama

Portugis dan Belanda; dan digunakan untuk memperkuat pertahanan terhadap

penyerangan bangsa Eropa yang pada waktu itu melakukan upaya monopoli

rempah-rempah.

Pada prinsipnya dikenal tiga jenis Pela yaitu Pela Karas (Keras), Pela

Gandong (Kandung) atau Bongso (Bungsu) dan Pela Tampa Siri (Tempat

Sirih). a) Pela Karas adalah sumpah yang diikrarkan antara dua negeri atau
7

lebih karena terjadinya suatu peristiwa yang sangat penting dan biasanya

berhubungan dengan peperangan antara lain seperti pengorbanan, akhir perang

yang tidak menentu, atau adanya bantuan-bantuan khusus dari satu negeri

kepada negeri lain. b) Pela Gandong atau Bongso didasarkan pada ikatan darah

atau keturunan untuk menjaga hubungan antara kerabat keluarga yang berada di

negeri atau pulau yang berbeda. c) Pela Tampa Siri diadakan setelah suatu

peristiwa yang tidak begitu penting berlangsung, seperti memulihkan damai

kembali sehabis suatu insiden kecil atau bila satu negeri telah berjasa kepada

negeri lain. Jenis Pela ini juga biasanya ditetapkan untuk memperlancar

hubungan perdagangan.

Menurut Ambrosius Titiahy (Opa Ami), negeri Makariki dan negeri

Saleman merupakan salah satu contoh dua negeri yang memiliki ikatan pela

parang (Pela Karas), yang terjadi akibat dua Kapitang yang secara tidak

disengaja bertemu di dalam hutan, mereka berkelahi dengan mengunakan

parang, namun antara kedua kapitang tersebut tidak satupun dari mereka yang

terluka, maka mereka berdua mengangkat parang dan bersumpah “dimanapun

mereka bertemu tidak ada yang boleh mengangkat parang kepada satu sama

lain”. Oleh karena itu, antara kedua negeri ini, tidak boleh secara sengaja

maupun tidak sengaja membuat sakit hati satu sama lain, apabila dilanggar maka

malapetaka yang akan didapat.


8

Merujuk pada latar belakang tersebut, penulis tertarik untuk melakukan

penelitian dengan judul Analisis Nilai Budaya Pela antara Negeri Makariki

dengan Negeri Saleman Kabupaten Maluku Tengah, Provinsi Maluku.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas maka yang menjadi rumusan

masalah dalam penelitian ini adalah Bagaimana Nilai Budaya yang terkandung

dalam ikatan Pela antara Negeri Makariki dengan Negeri Saleman, Kabupaten

Maluku Tengah, Provinsi Maluku ?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini adalah

untuk mendeskripsikan nilai budaya yang terkandung dalam ikatan Pela antara

Negeri Makariki dengan Negeri Saleman, Kabupaten Maluku Tengah, Provinsi

Maluku .

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk ;

1. Manfaat Teoritis

Hasil penelitian diharapkan memberikan sumbangsi bagi perkembangan

ilmu pengetahun khususnya pada perkembangan ilmu kesusastraan.


9

2. Manfaat Praktis

a. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan masukan bagi

masyarakat Negeri Makariki dan Negeri Saleman.

b. Bagi lembaga penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan rujukan dan

informasi bagi perkembangan ilmu pengetahuan.

c. Sebagai bahan masukan kepada mahasiswa Program Studi Pendidikan

Bahasa dan Sastra STKIP Gotong Royong Masohi.


10

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Sastra Lisan

Sastra lisan merupakan suatu unsur kebudayaan nasional yang perlu

dibina, dikembangkan dan dilestarikan dalam rangka memperkaya

kebudayaan nasional. Selain itu, sastra lisan juga merupakan sastra yang

disampaikan secra lisan dari mulut seorang pencipta atau penyair kepada

seseorang atau sekelompok pendengar. Demikian menurut supratno

(2010:4). Dengan demikian, komunitas atar pencipta atau pencerita dengan

penikmat adalah komunikasi langsung. Penikmat sastra lisan dalam satu

kesatuan waktu lebih terbatas dari pada secara tertulis. Lain halnya dengan

sastra tertulis yang merupakan komunikasi tidak langsung antar pengarang

dan pembaca. Karena ia dituliskan maka keberadaan sastra tertulis relative

lebih tepat dari pada sastra lisan.

Selain itu, purwadi, (2009:21) mengatakan bahwa sastra lisan adalah

hasil kolektif sebuah bangsa yang disebarkan dalam bentuk lisan maupun

gerak isyarat, sehingga tetap berkesinambungan dari generasi ke generasi.

Artinya perkembangan sastra lisan mengutamakan jalur lisan. Sastra lisan

adalah karya yang penyebarannya disampaikan dari mulut ke mulut secara

terun-temurun (Endraswara, 2008:151).

Menurut Danandjaja (2002:4), cerita rakyat mempunyai ciri-ciri sebagai

berikut (1) penyebaran dan pewarisnnya dilakukan secara lisan, pewarisnnya

10
11

secara turun-temurun, (2) bersifat tradisional, hidup dalam suatu kebudayaan

dan dalam turun waktu kurang dari dua generasi, (3) bersifat anonym,

biasanya nama penciptanya sudah tidak diketahui lagi akibat proses

pewarisnnya secara lisan, (4) mempunyai fungsi tertentu dalam masyarakat,

sebagai pelipurlara, pendidikan dan bentuk proses sosial, (5) bersifat

pralogis, mempunyai logika tersendiri, (6) pada umumnya bersifat

sederhana, spontan, polos, lugu, dan seadanya, (7) terdapat versi-versi yang

berbeda (8) mempunyai fungsi kolektif dan (9) menjadi milik bersama.

Disamping itu, Atmazaki (2006:82) menjelaskan bahwa yang menjadi

perbedaan mendasar Antara sastra lisan dan sastra tertulis adalah (1) bentuk

komunikasi sastra lisan disampaikan secara lisan disampaikan secera

langsung oleh penciptanya, sehingga sering mengalami distorsi, sedangkan

sastra tulisan disampaikan secara tidak langsung melalui media masa, (2)

perkembangan dan keutuhan sastra lisan tidak stabil sedangkan sastra tulisan

lebih stabil. Dikatakan sastra lisan tidak stabil karena sastra tersebut

disampaikan dari mulut ke mulut (oral), dari satu generasi ke generasi yang

berikutnya tanpa ada suatu naskah, sehingga perkembangannya selalu

mengalami kelambanan. Jika sastra lisan itu telah dituliskan, naskah itu

hanyalah merupakan catatan dari sastra lisan tersebut, yang mungkin tidak

tercakup pernyataan sastra lisan itu karena esensinya adalah tradisi lisan.

Sastra lisan menurut Brunvad (dalam Danandjaja, 2002:21) dapat

dirincikan dalam enam kelompok, yaitu Bahasa rakyat, ungkapan tradisional,


12

pertanyaan tradisional, puisi rakyat, nyanyian rakyat, ungkapan tradisional,

pertanyaan tradisional, puisi rakyat, nyanyian rakyat dan cerita rakyat. Cerita

rakyat dapat diartikan sebagai ekspresi budaya suatu masyarakat melalui

Bahasa tutur yang berhubungan dengan berbagai aspek budaya, seperti

agama, kepercayaan, undang-undang, kegiatan ekonomi, system

kekeluargaan, dan susunana sosial masyarakat.

Menurut Wiliam R. Bascom (dalam Danandjaja, 2002:7) cerita rakyat

terbagi dalam tiga golongan, yaitu mite, dongen, dan legenda.

Berdasarkan beberapa pendapat di atas, maka penulis simpulkan bahwa

sastra lisan adalah suatu unsur kebudayaan nasional yang perlu dibina,

dikembangkan dan dilestarikan dalam rangka memperkaya kebudayaan

nasional. Selain itu, sastra lisan juga merupakan sastra yang disampaikan

secara lisan dari mulut seorang pencipta atau penyair kepada seseorang atau

sekelompok pendengar. Sastra lisan mempunyai kedudukan dan fungsi yang

penting, sehingga sastra lisan perlu diselamatkan untuk dipelihara dan

dikembangakan. Usaha menyelematkan semacam ini bukan saja penting dan

berguna bagi masyarakat pendukungnya, maupun sastra lisan yang

bersangkutan, melainkan juga bermanfaat bagi kepentingan nasional. Hal ini

relevan dengan bijaksana. Pemerintah dalam bidang kebudayaan yang

Antara lain bertujuan meningkatkan pembinaan dan pemeliharaan

kebudayaan nasional.
13

Sastra lisan biasanya diwariskan kepada orang-orang tertentu, tidak

setiap orang mewariskan sastra lisan yang berhubungan dengan kepercayaan

dan mistik. Dalam hal pewarisan ini, ada sastra lisan yang agak stabil da

nada pula yang selalu mengalami perubahan. Karya yang berhubungan

dengan adat istiadat biasanya lebih stabil dari pada karya yang bersifat

perintang rintang waktu. Sastra lisan ada yang disampaikan tanpa bantuan

adat instrumentalia dan ada pula menggunakan alat bantu tersebut.

Untuk menjaga kelangsungan sastra lisan, warga masyarakat mewariskan

secra turun-temurun dari satu generasi ke generasi berikutnya. Sastra lisan

juga sering disebut sastra generasi, karena muncul dan berkembang ditengah

kehidupan rakyat biasa. Dalam kehidupan sehari-hari, sastra lisan biasanya

dituturkan oleh kepada muridnya, ataupun sesama warga masyarakat.

B. Pengertian Budaya

Kata kebudayaan berasal dari bahasa Sanskerta, Budhayah, yaitu bentuk

jamak dari budhi yang berarti budi atau akal. Budaya adalah suatu cara hidup

yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang dan

diwariskan dari generasi ke generasi. "budaya" adalah warisan tingkah laku

simbolik yang membuat makhluk manusia menjadi "manusia". Jadi dengan

memperhatikan gerak perubahan dan keanekaragaman individualitas, kita tidak

dapat lagi dengan mudah berkata bahwa "satu budaya" adalah satu warisan yang

dimiliki bersama oleh sekelompok manusia dalam suatu masyarakat tertentu.


14

Kebudayaan adalah segala sesuatu yang dimiliki bersama oleh seluru atau

anggota kelompok sosial. Segala sesuatu (moral, hukum dan adat istiadat) yang

coba dialihkan oleh anggota tertua dari sebuah kelompok kepada anggota

persepsi kita tentang dunia. Adler, ( dalam Liliweri.2009:9)

. Kebudayaan mencakup keseluruhan yang meliputi bentuk teknologi

sosial, idiologi, religi, dan kesenian, serta benda, yang kesemuanya merupakan

warisan sosial. Jacobs dan Stern, ( dalam Heny dan Alfan 2012:17).

Kebudayaan merupakan sistem gagasan yang menjadi pedoman dan pengarah

bagi kehidupan manusia dalam bersikap dan berperilaku, baik secara individu

maupun kelompok. Kupper ( dalam Heny dan Alfan 2012:17)

Budaya terbentuk dari banyak unsur yang rumit, termasuk sistem agama

dan politik, adat istiadat, bahasa, perkakas, pakaian, bangunan, dan karya seni.

Bahasa, sebagaimana juga budaya, merupakan bagian tak terpisahkan dari diri

manusia sehingga banyak orang cenderung menganggapnya diwariskan secara

genetis. Ketika seseorang berusaha berkomunikasi dengan orang-orang yang

berbeda budaya dan menyesuaikan perbedaan-perbedaannya, membuktikan

bahwa budaya itu dipelajari. Dengan demikian budaya dapat diartikan hal-hal

yang bersangkutan dengan akal dan cara hidup yang selalu berubah dan

berkembang dari waktu ke waktu. Ada pendapat lain yang mengupas kata

budaya sebagai suatu perkembangan dari kata majemuk budi-daya yang berarti

daya dari budi.


15

Kebudayaan merupakan keseluruhan yang kompleks, yang di dalamnya

terkandung pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat,

dan kemampuan-kemampuan lain yang didapat oleh seseorang sebagai anggota

masyarakat. Edward B.Taylor ( dalam Heny dan Alfan 2012:17)

Kebudayaan merupakan pola-pola perilaku yang dihasilkan dalam

interaksi sosial dan semua perilaku ataupun semua produk yang dihasilkan oleh

seseorang sebagai anggota masyarakat yang ditemukan melalui interaksi

simbolis. Francis Merill ( dalam Heny dan Alfan 2012:18)

Kebudayaan merupakan sebagain perulangan dari keseluruhan tindakan

atau aktivitas manusia serta produk yang dihasilkan manusia dan masyarakat

secara sosial dan bukan sekedar dialihkan secara genetikal. Mitchell ( dalam

Heny dan Alfan 2012:18)

Kebudayaan merupakan seperangkat peraturan serta norma yang dimiliki

bersama oleh para anggota masyarakat, yang jika dilaksanakan oleh para

anggotanya, akan melahirkan perilaku yang dipandang layak dan dapat diterima

oleh semua masyarakat. William H. H Aviland ( dalam Heny dan Alfan

2012:17)

Kebudayaan merupakan buah budi manusia dari hasil perjuangannya

terhadap dua pengaruh kuat, yaitu zaman dan alam yang merupakan bukti

kejayaan hidup manusia untuk mengatasi berbagai rintangan dan kesukaran di

dalam hidup dan penghidupannya, guna mencapai keselamatan dan kebahagiaan


16

yang pada lahirnya bersifat tertib dan damai. Ki Hajar Dewantara ( dalam Heny

dan Alfan 2012:18)

Kebudayaan merupakan pandangan hidup dari sekelompok orang dalam

bentuk perilaku, kepercayaan, nilai dan simbol-simbol yang mereka terima tanpa

sadar atau tanpa dipikirkan, yang semuanya diwariskan melalui proses

komunikasi dan peniruan dari satu generasi kepada generasi berikutnya.

(Liliweri.2009:8). Kebudayaan sebagai sistem gaya hidup dan merupakan faktor

utama bagi pembentukan gaya hidup. Ross, (dalam Liliweri.2009:10)

Koentjaraningrat (1998:32) menguraikan ada 3 wujud kebudayaan, yaitu:

1. wujud kebudayaan sebagai kompleks dari ide-ide, gagasan nilai-nilai,

norma-norma, peraturan-peraturan dan sebagainya.

2. wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas serta tidak berpola dari

manusia dalam masyarakat.

3. wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia.

C. Nilai Budaya

Nilai adalah sesuatu yang sesuai dengan norma ideal menurut

masyarakat pada masa tertentu. Menurut Bertens dan Pudentia (1993:140-142),

untuk memahami apa yang disebut nilai perbandingan dengan fakta dalam

konteks deskripsi dan pada prinsipnya dapat diterima oleh semua orang. Nilai-
17

nilai ini mencerminkan sikap hidup dan moralitas yang tertanam dalam

mentalitas individu yang merupakan bagian dari masyarakat itu sendiri.

Nilai budaya merupakan nilai- nilai yang disepakati dan tertanam dalam

suatu masyarakat, lingkup organisasi, lingkungan masyarakat, yang mengakar

pada suatu kebiasaan, kepercayaan (believe), simbol-simbol, dengan

karakteristik tertentu yang dapat dibedakan satu dan lainnya sebagai acuan

prilaku dan tanggapan atas apa yang akan terjadi atau sedang terjadi.

Nilai-nilai budaya akan tampak pada simbol-simbol, slogan, moto, visi

misi, atau sesuatu yang nampak sebagai acuan pokok moto suatu lingkungan

atau organisasi. Sistem nilai budaya, pandangan hidup, dan ideologi. Sistem

budaya merupakan tingkatan tingkat yang paling tinggi dan abstrak dalam adat

istiadat. Hal itu disebabkan karena nilai – nilai budaya itu merupakan konsep –

konsep mengenai apa yang hidup dalam alam pikiran sebagian besar dari dari

warga suatu masyarakat mengenai apa yang mereka anggap bernilai , berharga,

dan penting dalam hidup, sehingga dapat berfungsi sebagai suatu pedoman yang

memberi arah dan orientasi kepada kehidupan para warga masyarakat itu sendiri.

Nilai – nilai budaya ini bersifat umum, luas dan tak konkret maka nilai –

nilai budaya dalam suatu kebudayaan tidak dapat diganti dengan nilai-nilai

budaya yang lain dalam waktu yang singkat.Dalam masyarakat ada sejumlah

nilai budaya yang satu dan yang lain berkaitan satu sama lain sehingga

merupakan suatu sistem, dan sistem itu sebagai suatu pedoman dari konsep –
18

konsep ideal dalam kebudayaan memberi pendorong yang kuat terhadap arah

kehidupan masyarakat.

Menurut Koentjaraningrat (2000:24), nilai budaya adalah konsepsi-

konsepsi yang hidup dalam alam pikiran sebagian besar warga masyarakat

terhadap sesuatu yang dipercayai. Sistem nilai yang ada dalam suatu masyarakat

dijadikan orientasi dan rujukan dalam bertindak. Oleh karena itu, nilai budaya

yang dimiliki seseorang mempengaruhinya dalam mengambil alternatif, cara-

cara, alat-alat dan tujuan-tujuan pembuatan yang tersedia.

Ada tiga hal yang terkait dengan nilai budaya itu sendiri, yakni:

1. simbol-simbol, slogan atau yang lainnya yang kasak mata

2. sikap,tingkah laku, gerak-gerik yang muncul akibat slogan, atau motto

tersebut.

3. Kepercayaan yang mengatur dan menjadi acuan dalam berperilaku.

Sudarminta dalam Feby (2006:82) mengatakan bahwa manusia tidak

dapat hidup tanpa nilai. Nilai membuat suatu sifat atau kualitas menjadi

berharga, layak diinginkan atau dikehendaki, dipuji, dihormati dan dijunjung.

Sejalan dengan hal ini maka, Mulyana (Feby. 2006:82) mengatakan bahwa nilai

budaya adalah rujukan dan keyakinann dalam menentukan pilihan.

D. Pengertian Sastra Lisan

Sastra lisan adalah semua cerita yang sejak awalnya disampaikan secara

lisan, tidak ada naskah tertulis yang dapat dijadikan pegangan. Menurut
19

Atmazaki, sastra lisan adalah sastra yang disampaikan secara lisan dari mulut

seorang pencerita atau penyair kepada seorang atau sekelompok pendengar

sehingga komunikasi antara pencerita dengan penikmatnya dapat berlangsung

(1990:82). Sastra lisan biasanya diwariskan pada orang-orang tertentu

dikarenakan adanya kepercayaan terhadap nilai mistik yang dimiliki oleh sastra

lisan tersebut.

Folklor berasal dari kata folk dan lore. Folk diartikan sebagai rakyat,

bangsa, atau kelompok orang yang memiliki ciri pengenal fisik, sosial dan

kebudayaan, sedangkan lore adalah adat serta khasanah pengetahuan yang

diwariskan turun temurun lewat tutur kata, contoh atau perbuatan. Folklor adalah

bagian kebudayaan yang tersebar dan diadatkan turun temurun dengan cara lisan

atau dalam bentuk perbuatan (Sugono, 2003: 169).

Folklor merupakan sebagian dari kebudayaan suatu kolektif yang

tersebar dan diwariskan secara turun temurun diantara kolektif macam apa saja

secara tradisional dalam versi yang berbeda-beda, baik dalam bentuk lisan

maupun disertai contoh dengan gerak isyarat atau alat bantu ( Danandjaja 1984

:2 ).

Folklor bermula dari sebuah pola kehidupan masyarakat yang pada

awalnya menekankan budaya lisan. Budaya lisan sebagai alat pertukaran

informasi memberi keleluasaan seseorang untuk menggunakannya. Dalam hal


20

ini, budaya lisan memberi ruang eksistensi folklor untuk dapat berkembang di

masyarakat. Hal ini sejalan dengan pendapat Ingemark (2007: 281)

Alan Dundes (dalam Danandjaja, 1997: 1-2) menjelaskan bahwa folk

adalah sekelompok orang yang memiliki ciri-ciri pengenal fisik, sosial,

kebudayaan sehingga dapat dibedakan dari kelompokkelompok lainnya. Maksud

dari lore adalah tradisi folk yang berarti sebagian kebudayaan yang diwariskan

secara turun-temurun secara lisan atau melalui suatu contoh yang disertai dengan

gerak isyarat atau alat pembantu pengingat (mnemonic device).

Folklor adalah sebagian kebudayaan suatu kolektif yang tersebar dan

diwariskan turun-temurun. Folklor juga tersebar di antara kolektif macam apa

saja, secara tradisional dalam versi yang berbeda, baik dalam bentuk lisan

maupun contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau alat bantu pengingat

(Danandjaja,1997: 2). Danandjaja lebih lanjut menjelaskan: Folklor biasanya

mempunyai bentuk yang berpola sebagaimana dalam cerita rakyat atau

permainan rakyat pada umumnya. Folklor pada umumnya mempunyai kegunaan

atau fungsi dalam kehidupan bersama suatu kolektif misalnya cerita rakyat

sebagai alat pendidik, hiburan, protes sosial, dan proyeksi suatu keinginan yang

terpendam. Folklor bersifat pralogis yaitu logika yang khusus dan kadang

berbeda dengan logika umum. Hal tersebut karena folklor sebagai bentuk

kebudayaan milik bersama. Fang (1991: 4) menyebut sastra rakyat (folklor)

dengan nama tradisi lisan. Tradisi lisan ini mencakup suatu bidang yang cukup
21

luas, seperti cerita-cerita, ungkapan, peribahasa, nyanyian, tarian, adat resam,

undang-undang dan teka-teki permainan (games).

Purwadi (2009: 3) mengungkapkan bahwa hakikat folklor merupakan

identitas lokal yang terdapat dalam kehidupan masyarakat tradisional. Folklor

adalah sebagian kebudayaan suatu kolektif yang tersebar dan diwariskan turun-

temurun, diantara kolektif macam apa saja, secara tradisional dalam versi yang

berbeda, baik dalam bentuk tulisan maupun contoh yang disertai dengan gerak

isyarat atau alat pembantu pengingat (James Danandjaja, 1997:2).

Menurut Jan Harold Brunvand, seorang ahli folklor dari Amerika

Serikat, folklor dapat digolongkan ke dalam tiga kelompok besar berdasarkan

tipenya yaitu folklor lisan, sebagian lisan, dan bukan lisan.

1. Folklor Lisan (verbal folklore) : Folklor yang bentuknya memang murni

lisan. Bentuk-bentuknya (genre) folklor yang termasuk ke dalam

kelompok besar ini antara lain: 1) bahasa rakyat (folk speech) seperti

logat, julukan, pangkat tradisional dan titel kebangsawanan, 2) ungkapan

tradisional, seperti peribahasa, pepatah, dan pameo, 3) pertanyaan

tradisional, seperti teka-teki, 4) puisi rakyat, seperti pantun, gurindam

dan syair, 5) cerita prosa rakyat, seperti mite, legenda dan dongeng, 6)

nyanyian rakyat.

2. Folklor Sebagian Lisan (partly verbal folklore) : Folkor yang sebagian

bentuknya merupakan campuran unsur lisan dan bukan lisan. Bentuk-


22

bentuk folklor yang termasuk kelompok besar selain kepercayaan rakyat

adalah permainan rakyat, tarian rakyat,adat istiadat, upacara, pesta

rakyat, dan lain-lain.

3. Folklor Bukan Lisan (non verbal folklore) : Folklor yang bentuknya

bukan lisan walaupun cara pembuatannya disampaikan secara lisan.

Kelompok ini dibagi menjadi yang material dan yang bukan material.

Bentuk yang material antara lain: arsitektur rakyat (bentuk rumah asli

daerah, bentuk lumbung padi dsb). Kerajinan tangan rakyat, pakaian dan

perhiasan tubuh adat, makanan dan minuman rakyat obat-obatan

tradisional. Yang termasuk bukan material adalah : gerak isyarat

tradisional, bunyi isyarat untuk komunikasi rakyat (kentongan tanda

bahaya di Jawa atau bunyi gendang untuk mengirim berita seperti yang

dilakukan masyarakat Afrika) dan musik rakyat (Dananjaya 1984 : 21-

22).

Danandjaja mengungkapkan bahwa yang termasuk dalam folklor lisan

adalah bahasa rakyat, ungkapan tradisional, pertanyaan tradisional, puisi rakyat,

prosa rakyat dan nyanyian rakyat.

Dari beberapa pengerian teoretis tersebut maka dapat disimpulkan bahwa

keberadaan sastra lisan dalam kehidupan masyarakat negeri atau desa tidak

semata bersifat menghibur, tetapi dari itu mengandung nilai-nilai kehidupan

yang turut memperkaya budaya masyarakat dalam mengatur tata kehidupannya


23

dan dengan sendirinya akan menjadi panutan dari generasi ke gerenasi yang

lainnya.

E. Pengertian Historis / Sejarah

Istilah “sejarah” berasal dari bahasa Arab, yakni dari kata “syajaratun”

(dibaca” syajarah), yang memiliki arti “pohon kayu”. Pengertian “pohon kayu”

di sini adalah adanya suatu kejadian, perkembangan/pertumbuhan tentang

sesuatu hal (peristiwa) dalam suatu kesinambungan (kontinuitas). Selain itu ada

pula peneliti yang menganggap bahwa arti kata “syajarah” tidak sama dengan

kata “sejarah”, sebab sejarah bukan hanya bermakna sebagai “pohon keluarga”

atau asal-usul atau silsilah. Walaupun demikian diakui bahwa ada hubungan

antara kata “syajarah” dengan kata “sejarah”, seseorang yang mempelajari

sejarah tertentu berkaitan dengan cerita, silsilah, riwayat dan asal-usul tentang

seseorang atau kejadian ( Sjamsuddin, 1996:2 ).

Pengertian sejarah sebagai peristiwa, sebenarnya memiliki makna yang

sangat luas dan beraneka ragam. Keluasan dan keanekaragaman tersebut sama

dengan luasnya dan kompleksitas kehidupan manusia. Beberapa aspek

kehidupan kita seperti aspek sosial, budaya, ekonomi, pendidikan, politik,

kesehatan, agama, keamanan, dan sebagainya semuanya terjalin dalam peristiwa

sejarah.

Kata Historis berasal dari bahasa inggris yang dari segi bahasa memiliki

makna “masa lalu manusia”. Sedangkan istilah “sejarah” berasal dari bahasa

arab “syajarah” yang berarti “pohon”. Penggunaan istilah historis karena dalam
24

ilmu ini berkaitan dengan masa lalu manusia atau kejadian-kejadian yang

meyangkut manusia pada masa silam. secara tegas menyatakan “History is

science; no less, and no more”. Sejarah itu adalah ilmu, tidak kurang dan tidak

lebih. Pernyataan ini mungkin tidak bermaksud untuk memberikan penjelasan

batasan tentang sesuatu konsep, melainkan hanya memberikan tingkat

pengkategorian sesuatu ilmu atau bukan. Bury ( Teggart, 1960:56 )

Mengemukakan pengertian sejarah dari segi materi sejarah yang

disajikan dalam obyek penelitian. Daniel berpendapat bahwa “sejarah adalah

kenangan pengalaman umat manusia”. Sedangkan Banks berpenderian bahwa

semua kejadian di masa lalu adalah sejarah, sejarah sebagai aktualitas. Daniel

dan Banks ( Sjamsuddin, 1996:6 ).

Sedangkan secara istilah para ahli berbeda pendapat tentang makna

sejarah diantaranya Ernst Bernheim, Sejarah adalah ilmu tentang perkembangan

manusia dalam upaya – upaya mereka sebagai makhluk sosial. Roeslan

Abdulgani, Ilmu sejarah adalah salah satu cabang ilmu pengetahuan yang

meneliti dan menyelidiki secara sistematis keseluruhan perkembangan

masyarakat serta kemanusiaan di masa lampau beserta kejadian - kejadian

dengan maksud untuk kemudian menilai secara kritis seluruh hasil penelitiannya

tersebut, untuk selanjutnya dijadikan perbendaharaan pedoman bagi penilaian

dan penentuan keadaan sekarang serta arah proses masa depan. Dari penjelasan

para ahli di atas, dapat kita ambil kesimpulan bahwa historis atau sejarah

merupakan satu cabang ilmu yang membahas tentang catatan masa lalu manusia
25

baik berupa kejadian-kejadian ataupun perkembangan peradabannya, dengan

maksud sebagai pelajaran bagi generasi yang baru.

F. Pengertian Pela

Pela merupakan suatu sistem hubungan sosial yang dikenal dalam

masyarakat Maluku, berupa suatu perjanjian hubungan antara satu negeri dengan

negeri lainnya, yang biasanya berada di pulau lain dan kadang juga menganut

agama lain di Maluku. Biasanya satu negeri memiliki paling tidak satu atau dua

Pela yang berbeda jenisnya. Pela adalah sejarah hidup orang Maluku,

khususnya Maluku Tengah, yang di dalamnya terkandung penghayatan akan

nilai-nilai relasi antar manusia, baik yang diawali dengan atau tanpa ketegangan.

Pela sebagai ikatan persahabatan atau persaudaraan yang dilembagakan

antara seluruh penduduk pribumi dari dua desa atau lebih. Ikatan tersebut telah

ditetapkan oleh para leluhur dalam keadaan yang khusus dan menyertakan hak-

hak serta kewajiban-kewajiban tertentu bagi pihak-pihak yang ada di dalamnya

Cooley (1987:183). Selanjutnya menjelaskan pela terjadi berawal dari sebuah

peristiwa besar yang berkaitan dengan perang. (Riry dan Manopo, 2007:174).

Sistem perjanjian pela ini diperkirakan telah dikenal atau telah ada

sebagai bagian kearifan lokal masyarakat Maluku sebelum masa kedatangan

bangsa-bangsa Eropa, terutama Portugis dan Belanda; dan digunakan untuk

memperkuat pertahanan terhadap penyerangan bangsa Eropa yang pada waktu

itu melakukan upaya monopoli rempah-rempah.


26

Pela dianggap sebagai suatu ikatan persaudaraan antara semua penduduk

antar negeri (baik dua negeri atau pun banyak negeri) yang bersangkutan dan

dianggap suci. Ada empat aturan dasar Pela yang umum, yang harus dipatuhi

oleh anak negeri antara lain:

a. Negeri-negeri yang memiliki ikatan pela berkewajiban untuk saling

membantu negeri yang lain pada masa genting (bencana alam,

peperangan dll.)

b. Jika diminta ataupun tidak diminta, maka negeri yang satu yang berpela

dengan negeri yang satunya lagi wajib memberi bantuan kepada negeri

lain yang hendak melaksanakan proyek-proyek demi kepentingan

kesejahteraan umum, seperti pembanguanan rumah-rumah ibadah

(Gereja atau Masjid), perigi, baileu, sekolah dll.

c. Bila seorang mengunjungi negeri yang berpela dengan negeri asalnya,

maka orang-orang di negeri pela tempat ia berkunjung itu wajib untuk

memberi makanan secara sukarela kepadanya dan tamu yang sepela itu

tidak perlu meminta izin untuk membawa pulang apa-apa dari hasil tanah

atau buah-buahan di negeri yang bersangkutan.

d. Semua penduduk negeri-negeri yang saling berhubungan Pela itu

dianggap sedarah sehingga penduduk dari kedua negeri yang sepela tidak

bolehkan untuk saling kawin mengawini. Pelanggaran terhadap aturan ini

akan dihukum keras oleh nenek moyang yang mengikrarkan pela itu

berupa kutukan seperti sakit, mati dan kesusahan lain yang ditujukan
27

kepada Pelanggar maupun anak-anaknya. Pada masa lalu, mereka yang

melanggar pantangan kawin tersebut ditangkap dan disuruh berjalan

mengelilingi negeri-negerinya dengan hanya berpakaian daun-daun

kelapa dan dicaci maki oleh penghuni negeri sebagai seorang

pezina/pembuat aib.

G. Jenis-Jenis Pela

Pada prinsipnya dikenal tiga jenis Pela yaitu Pela Karas (Keras), Pela

Gandong (Kandung) atau Bongso (Bungsu) dan Pela Tampa Siri (Tempat Sirih).

a. Pela Karas adalah sumpah yang diikrarkan antara dua Negeri (kampung)

atau lebih karena terjadinya suatu peristiwa yang sangat penting dan

biasanya berhubungan dengan peperangan antara lain seperti

pengorbanan, akhir perang yang tidak menentu, atau adanya bantuan-

bantuan khusus dari satu Negeri kepada Negeri lain.

b. Pela Gandong atau Bongso didasarkan pada ikatan darah atau keturunan

untuk menjaga hubungan antara kerabat keluarga yang berada di negeri

atau pulau yang berbeda.

c. Pela Tampa Siri diadakan setelah suatu peristiwa yang tidak begitu

penting berlangsung, seperti memulihkan damai kembali sehabis suatu

insiden kecil atau bila satu negeri telah berjasa kepada negeri lain. Jenis
28

Pela ini juga biasanya ditetapkan untuk memperlancar hubungan

perdagangan.

Pela Karas dan Pela Gandong ditetapkan oleh sumpah yang sangat

mengikat dan biasanya disertai dengan kutukan untuk Pelanggaran terhadap

perjanjian Pela ini. Sumpah dilakukan dengan mencampur tuak dengan darah

yang diambil dari tubuh pemimpin kedua pihak kemudian diminum oleh kedua

pihak tersebut setelah senjata-sejata dan alat-alat perang lain dicelupkan

kedalamnya. Alat-alat tersebut nantinya digunakan untuk melawan dan

membunuh siapapun yang melanggar perjanjian. Penukaran darah memeteraikan

persaudaraan itu. Pela Tampa Siri dilakukan tanpa sumpah dengan menukar dan

mengunyah sirih bersama. Pela Tampa Siri merupakan suatu perjanjian

persahabatan sehingga perkawinan antar pihak yang terkait diperbolehkan dan

tolong menolong lebih bersifat sukarela tanpa ada ancaman hukuman nenek

moyang.

Untuk menjaga kelestariannya maka pada waktu-waktu tertentu diadakan

upacara bersama yang disebut "panas Pela" antara kedua negeri yang berpela.

Upacara ini dilakukan dengan berkumpul selama satu minggu di salah satu

negeri untuk merayakan hubungan dan kadang-kadang memperbaharui

sumpahnya. Pada umumnya upacara atau gelaran panas pela diramaikan dengan

pertunjukan menyanyi, dansa dan tarian tradisional serta acara lain seperti

makan patita/makan perdamaian. Sistem Pela sampai saat ini masih berperan
29

penting terutama di daerah Maluku Tengah. Karena rasa persatuan dan identitas

bersama disadari dan dihayati dengan kuat upacara-upacara pembaharuan Pela

(panas Pela) masih sering berlangsung. Sejak Perang Dunia II sejumlah Pela

baru, kebanyakan Pela Tampa Siri ditetapkan sebagian besar antara Negeri-

Negeri Islam dan Kristen sebagai usaha diadakan dengan sadar untuk

menguatkan hubungan antara dua golongan itu. Dapat dikatakan bahwa berkat

sistem Pela itu, pertentangan antara kaum Muslim dan Kristen yang terjadi pada

tahun 1998-2002 dapat diredakan.


30

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis dan Lokasi Penelitian

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan penulis dalam penelitian ini adalah

penelitian deskriptif kualitatif yang menggunakan latar alamiah dengan

menafsirkan fenomena yang terjadi dengan melibatkan berbagai metode yang

ada. Denzin dan Lincoel (dalam Meleong 2008 : 20)

Penelitian kualitatif yang juga disebut pendekatan investigasi karena

biasanya peneliti mengumpulkan informasi dengan cara berinteraksi dengan

orang-orang di tempat penelitian (Millan dan Schumacher, 2003).

Jadi, penelitian ini peneliti mengkaji secara alamiah nilai budaya yang

terkandung dalam budaya pela Antara negeri Makariki dengan Negeri Saleman

Kabupaten Maluku Tengah

2. Lokasi Penelitian

Penelitian ini berlokasi pada dua negeri adat yakni Negeri Makariki dan

Negeri Saleman, Kabupaten Maluku Tengah, Provinsi Maluku. Adapun letak

geografis Negeri Makariki dapat dijabarkan sebagai berikut:

 sebelah utara berbatasan Negeri Waraka dan Kec. TNS

 sebelah timur berbatasan Negeri Hatuhenu dan Negeri Uaulu

 sebelah barat berbatasan Negeri Amahai dan Negeri Sehati

30
31

 sebelah selatan berbatasan dengan Laut Seram

sedangkan letak geografis Negeri Saleman dapat diuraikan sebagai berikut:

 sebelah utara berbatasan Negeri laut seram

 sebelah timur berbatasan Negeri Sawai

 sebelah barat berbatasan Negeri Wilulu

 sebelah selatan berbatasan Negeri Sepa

B. Kehadiran Peneliti

Berdasarkan jenis penelitian yang telah dibuat maka, kehadiran peneliti

dalam penelitian ini merupakan intrumen kunci. Dikatakan demikian, karena

dalam sebuah penelitian kualitatif, kehadiran penelitian merupakan istrumen

sekaligus pengumpulan data awal.

Dengan demikian, maka waktu mengumpulkan data dilapangan, peneliti

berperan sebagai partisipasi penuh dalam kegiatan pengumpulan data tersebut.

Namun pada proses pengambilan data peneliti mengalami kesulitan karena

pemahaman dan kepercayaan adanya kesakralan pada data yang berakibat pada

keterbatasan data yang diperoleh. Selain itu, karena data merupakan bagian dari

foklor lisan, maka keabsahan data harus dicek kembali dengan melakukan

wawancara pada beberapa informan. Kehadiran peneliti diketahui secara

langsung oleh kepala pemerintah Negeri Makariki dan Negeri Saleman.


32

C. Data dan Sumber Data

Data merupakan keterangan-keterangan tentang suatu hal, dapat berupa

sesuatu yang diketahui suatu fakta yang digambarkan melalui angka, symbol, kode dan

lain-lain, Hasan (dalam Mahmud, 2011 : 82). Data dalam penelitian ini adalah cerita

tentang pela Antara Negara makariki dengan negeri saleman.

Sumber data adalah subjek tempat asal dapat diperoleh, dapat berupa bahan

pustaka, atau orang (informan atau responden) (dalam Mahmud, 2011 : 59). Sedangkan

sumber data dalam penelitian ini adalah tua-tua adat negeri makariki dan tua-tua adata

negeri saleman yang mengusai dengan jelas cerita pela Antara negeri makariki dengan

negeri saleman terdiri dari 2 orang dari negeri makariki dan 4 orang dari negeri

saleman.

D. Teknik Pengumpulan Data

Dalam pengumpulan data penelitian, penulis menggunakan teknik:

1. Observasi

Peneliti menggunakan teknik ini untuk mengamati kehidupan masyarakat Negeri

Makariki dan Negeri Saleman.

2. Wawancara

Teknik ini digunakan untuk mewawancarai informan yang tidak lain adalah tokoh

– tokoh adat (Saniri Negeri), Ibu Raja, dan tokoh masyarakat.


33

3. Dokumentasi

Peneliti juga menggunakan dokumentasi berupa foto untuk melengkapi dan

mendukung hasil penelitian. teknik ini digunakan untuk melengkapi data yang

belum diperoleh melalui teknik observasi, wawancara dan rekaman.

4. Catatan lapangan

Catatan lapangan dilakukan untuk mencatatat hal-hal yang telah direkam

sebelum dianalisis.

E. Instrumen Penelitian

Dalam penelitian ini penulis menggunakan beberapa instrumen untuk

menunjang proses penelitian seperti penggunaan alat perekam untuk merekam

proses wawancara dan kamera untuk dokumentasi.

F. Teknik Analisis Data

Untuk menganalisis data penelitian maka ada beberapa teknik analisis

data menurut Miles dan Huberman(1992:16-20) antara lain:

1 Reduksi data

Kegiatan merangkum, memilih hal - hal yang pokok, memfokuskan pada hal-hal

yang penting sehingga dicatat secara teliti dan rinci berasarkan aspek yang telah

ditentukan dalam penelitian ini yakni Nilai Budaya dalam Ikatan Pela Negeri

Makariki dan Negeri Saleman.


34

2 Penyajian data

Penyajian data yaang dilakukan dengan cara mendeskripsikan data-data penelitian

untuk mengetahui Nilai Budaya dalam Ikatan Pela Negeri Makariki dan Negeri

Saleman.

3 Pengambilan keputusan dan verivikasi

Langkah ini merupakan kegiatan terakhir dalam menganalisis data kegiatan yang

dilakukan dengan cara penarikan kesimpulan tentang Nilai Budaya dalam Ikatan

Pela Negeri Makariki dan Negeri Saleman.

G. Keabsahan Data

Agar data yang diteliti memiliki validitas, realibilitas, objektifitas yang tinggi

maka data-data tesebut perlu diperiksa keabsahannya dengan melakukan tringulasi

data. Dalam penelitian ini dilakukan tringulasi teori yaitu membandingkan dan

mengecek kembali derajat suatu informasi yang diperoleh melalui teori yang dikaji.
35

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Hasil penelitian

1. Hasil obsevasi

Adat adalah aturan, kebiasaan dan hukum yang menuntun dan menguasai

kelakuan serta hubungan-hubungan dalam masyarakat. Adat sebagai kebiasaan-

kebiasaan dalam kehidupan mengandung dua arti; a) keseluruhan kebiasaan

yang merupakan sistem adat desa itu, atau sesuatu kebiasaan tertentu yang

merupakan satu satuan saja dalam system tersebut. Misalnya, kain berkat

sebagai sistem bayaran pernikahan adat. b) kebiasaan-kebiasaan dalam

kehidupan yang berkenaan dengan tetap dilakukannya hal-hal tertentu yang

dianggap wajib bagi semua anggota masyarakat dan harus dilakukan tepat

menurut cara yang telah ditetapkan. Misalnya, perkawinan antar-pela ada yang

ditabukan. Sanksi yang menunjang adat terbagi dua yakni: sosial dan gaib.

Sanksi sosial adalah ancaman atau desakan pendapat dari masyarakat tentang

suatu peristiwa yang berlawanan dengan adat, sedang gaib adalah yang

dipercayai berasal dari arwah-arwah para leluhur. (Cooley.1987:108)

2. Hasil wawancara

Ada berbagai sistem adat dalam persekutuan masyarakat adat yakni:

Upacara “Cuci Negeri”, Pelantikan Raja, Upacara Pembayaran “Kain Berkat”,

35
36

dan Pela. Penulisan ini hanya dititikberatkan pada sistem adat Pela. Pela adalah

ikatan persahabatan atau persaudaraaan yang dilembagakan antara seluruh

penduduk pribumi dari dua desa ataua lebih. Ikatan tersebut telah ditetapkan

oleh para leluhur dalam keadaan yang khusus dan menyertakan hak-hak serta

kewajiban-kewajiban tertentu bagi pihak-pihak yang ada di dalammya. Pela

sendiri memiliki padanan kata yang berbeda-beda dalam kehidupan masyarakat

Maluku Tengah. Di Nusalauth, ada kata pelania “harus diakhiri”. Di Negeri

Kailolo, Pulau Haruku, disebut pelaya “sudah atau habis”. Di Amahai, setiap

kali mengakhiri pertikaian atau permusuhan diucapkan kalimat sou-sou pelania

“semua janji diakhiri”. Menurut streseman, pela dalam bahasa Paulohi di Pulau

Seram berarti membatasi atau merintangi. Suku Naulu sendiri menyebut pela

dengan istilah pena ”jangan atau dilarang”.

Terdapat dua jenis pela yang saling berbeda dalam hal eratnya ikatan dan

ketatnya kewajiban serta ancaman hukuman, yakni: a) pela keras atau pela batu

karang atau pela darah. Jenis pela ini ditetapkan melalui sumpah para pemimpin

leluhur dengan cara meminum darah yang diambil dari jari mereka yang

dicampur dengan minuman keras lokal, dari satu gelas setelah ujung-ujung

senjata mereka dicelupkan ke dalam gelas itu. b) pela tempat sirih adalah pela

lunak karena tidak ditetapkan dengan sumpah dan tidak diikatkan dengan

kewajiban-kewajiban yang ketat. Hubungan ini dilatarbelakangi oleh kebiasaan

saling bantu dalam pekerjaan-pekerjaan untuk kepentingan umum seperti

mendirikan rumah adat dan membangun rumah ibadat. (Cooley.1987:184).


37

Negeri Makariki pertama kali terbentuk di Air Makariki. Dahulu, negeri

ini disebut dengan nama Makaniki “Katong bakudapa, katong bakumpul baru

bentuk negeri”. Masyarakat Negeri Makariki semuanya bukanlah orang asli

tetapi merupakan pendatang dari Pulau Seram yakni: Tihiahy dari Seram Barat,

Watimena dan Wattimuri dari Uweng Makina, Seram Utara, Titihalawa dari

Papua dan Titiheru dari Haruku. Menurut tuturan Amrosila Tihiahy salah satu

tetua adat Negeri Makariki, mereka semuanya di perintahkan oleh Raja

Samasuru untuk mencari daerah tempat tinggal yang baru diakibatkan semakin

banyaknya jumlah jiwa dan semin sempitnya lahan untuk ditempati. Negeri

Makariki pertama kali terbentuk oleh 8 Dati dan sekarang telah menjadi 9 Dati

yang terbagi menjadi dua soa. Dua soa tersebut yakni (i) Wanawolo yang terdiri

dari marga Tihiahy, Titihalawa dan Titiheru, (ii) Pipinalo yang terdiri dari

Watimena (parentah dan kecil) dan Wattimuri. (Ambrosius.Titiahy)

Pela Keras antara Negeri Saleman dan Negeri Makariki tergolong dalam folklor

lisan (verbal folklore). Danandjaja mengungkapkan bahwa folklor adalah sebagian

kebudayaan suatu kolektif, yang tersebar dan diwariskan turun-temurun diantara

kolektif apa saja secara tradisional dalam versi yang berbeda-beda baik dalam bentuk

lisan maupun contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau bantu pengingat. (1994:2).

Sejarah hubungan Pela Keras Pela Keras yang terjadi antara Negeri Saleman dan

Negeri Makariki tidak memiliki dokumen tertulis atau arsip yang telah dibukukan

sehingga dalam pelestariannya hanya dituturkan. Pertuturan-pertuturan ini kemudian

menimbulkan keberagaman cerita sehingga untuk mendapatkan dan menguji


38

trianggulasi keabsahan data, maka peneliti harus menemui beberapa tokoh adat atau

tokoh masyarakat yang memiliki peranan penting di ke dua desa tersebut.

Adapun pertuturan menurut Ambrosius Titiahy Dan Burhan Aloatuan hubungan

persaudaraan Negeri Saleman dan Negeri Makariki merupakan salah satu contoh dua

negeri yang memiliki ikatan pela parang (Pela Keras). Ikatan hubungan ini terjdi akibat

perkelahian antara dua Kapitang yang secara tidak disengaja bertemu di dalam hutan.

Mereka berkelahi dengan menggunakan parang, namun tidak ada yang terluka dan

kalah. Merekapun mengangkat parang dan bersumpah “dimanapun mereka bertemu

tidak ada yang boleh mengangkat parang satu sama lain”.

Sejalan dengan tuturan Ambrosius Titiahy, salah seorang tokoh dari Negeri

Saleman menambahkan bahwa kedua kapitan tersebut bertemu pada saat berburu.

(Menurut Mustapa Upuolat selaku ketua Saniri Negeri Saleman, 41 Tahun) Yang

satunya berada di dahan salah satu pohon, sedang yang lainnya sementara mencari

hewan buruan. Ketika bertemu merekapun mulai mengadu kekuatan dengan

menggunakan parang. Dikarenakan tidak ada yang menang, maka mereka yang saat itu

menggunakan kain sarung untuk menutupi tubuh bagian bawah, bersepakat untuk

masuk dalam salah satu sarung dan bertarung dengan menginjak ibu jari lawan.

Walaupun demikian, tidak ada yang menang atau kalah sehingga merekapun membuat

perjanjian ikatan pela yang dipercayai sampai sekarang.

Menurut Jaelan Makuituin, kapitan dari Negeri Saleman yang bertarung dengan

kapitan dari negeri makariki, yaitu kapitan yang keluar dari mata rumah Aloatuan,

dengan cara setiap mata rumah melakukan musyawarah dan menunjuk salah seorang
39

yang dipandang memiliki jiwa keberanian dan rela berkorban dalam berjuang serta

membela negeri. Kapitan yang keluar dari mata rumah Upuolat adalah kapitang dengan

sebutan Kapitan Kabaresi “ Orang Berani”. Kapitan inilah yang bertempur dengan

kapitan dari makariki, demi membela Negerinya.

Pertuturan tentang hubungan pela ini masih belum jelas kebenarannya

dikarenakan sampai saat ini kedua negeri belum pernah membuat ritual Panas Pela.

Namun ada beberapa peristiwa yang memperkuat ikatan ini sebagimana yang dituturkan

oleh Ambrosius Titiahy. Peristiwa-peristiwa tersebut dapat diuraikan sebagai berikut:

1. Saat peristiwa RMS tahun 1950an, ada seorang dari Negeri Saleman yang secara

tidak sengaja mengambil dan memakan buah pisang milik salah seorang keluarga

yang berasal dari Negeri Makariki. Hal ini mengakibatkan tanaman pisang tersebut

mati dan tidak memiliki tunas lagi sampai sekarang.

2. Pada tahun 1980an, ketika pemuda-pemuda Negeri Saleman membantu menangani

pembangunan di daerah TNS, mereka kekurangan bahan makanan sehingga pergi ke

Negeri Makariki untuk makan. Sesampai di Negeri Makariki, atas saran Ambrosius

Titiahy, Surya yang merupakan ketua pemuda dari Negeri Saleman menuntun

beberapa temannya memanjat tiga pohon jeruk milik salah seorang warga.

Dikarenakan tidakadanya pemberitahuan kepada pemiliknya, maka terjadilah

keributan. Ketika mendengar keributan tersebut maka Ambrosius pun menjadi

penengah dengan memberitahukan bahwa yang memanjat pohon jeruk adalah

saudara-saudara dari Negeri Saleman. Permohonan maaf pun disampaikan oleh


40

pemilik pohon jeruk tersebut, namun seminggu kemudian ketiga pohon jeruk yang

saat itu sedang sarat buahnya, kering dan tidak pernah berbuah lagi sampai sekarang.

Setelah diketahui penyebab kering (mati) tanaman jeruk tersebut, pemerintah negeri

makariki mulai melakukan rapat dan menyiapkan 100 bibit pohon jeruk yang akan

ditanam bersama oleh pemuda dari Negeri Saleman dan Negeri makariki, dan pada

akhirnya membuahkan hasil yang baik, tanaman tersebut bertumbuh dan terpelihara

dengan baik.

Selain peristiwa-peristiwa tersebut, ada juga semacam aturan yang dibuat yang

berlaku di Negeri Makariki dan Negeri Saleman yakni tentang menggunakan senjata

tajam atau parang. Senjata tajam atau parang yang digunakan oleh masyarakat ke dua

negeri tidak boleh kedapatan digunakan pada saat berada di negeri pela karena bisa

mengakibatkan bencana. Seperti peristiwa yang terjadi ketika salah seorang anak Negeri

Saleman memanjat pohon kelapa di dusun Negeri Makariki. Saat menggunakan parang

untuk memotong rumpun kelapa di atas pohon, dalam waktu selang tiga hari kelapa

jenis tersebut kering dan tidak bertunas lagi sampai sekarang. (Jaelan Makatita selaku

kepala adat Negeri Saleman)

Adapun peristiwa lainnya yang terjadi di Negeri Saleman. Ada seorang guru,

anak Negeri Makariki yang bertugas di salah satu sekolah yang berada di Negeri

Saleman. Saat mengikuti acara syukuran di negeri tersebut, tanpa sadar karena telah

dipengaruhi oleh minuman keras (sopi), guru tersebut mengambil parang dan salawaku

dan menari. Seketika itu juga terjadi Guntur dan hujan lebat sehingga membuat negeri

tersebut bergelinang air hujan (banjir) hebat. Melihat peristiwa tersebut maka salah satu
41

tetua adatpun menyuruhnya melepaskan pakaian dalam dan melemparnya di atas

bumbungan rumah dimana acara tersebut berlangsung. Selang beberapa menit, Guntur

dan hujan pun reda. (ambrosius.Titiahy dan Hadir.Upuolat perwakilan dari Negeri

Makariki dan Saleman)

Semua peristiwa ini kemudian menjadi pegangan dan patokan bagi masyarakat

kedua negeri tentang adanya ikatan pela walaupun sampai sekarang, mereka tidak

mengetahui dengan pasti nama kedua kapitan yang mengikat sumpah tersebut.

Merekonstruksi nilai budaya masyarakat adat suatu desa tidaklah cukup hanya

dengan melihat hubungan pela antara desa tersebut dengan desa yang lain tetapi melihat

bagaimana sistem adat atau kebiasaan yang terjadi di dalam kehidupan secara umum.

Oleh karena itu, peneliti juga melihat kebiasaan-kebiasaan lainnya yang terjadi dalam

masyarakat ke dua desa seperti: perilaku saling membantu demi kepentingan bersama,

saling menghormati dan menghargai dan mendahulukan kepentingan banyak orang

daripada kepentingan individu. Selain itu, masyarakat masih menghargai kedudukan

adat sebagai aturan yang mengikat. Hal ini dapat dilihat dalam aturan hidup masyarakat

seperti, adanya pernikahan yang dilakukan dalam dua prosesi yakni adat dan agama, dan

pelantikan raja.

Dari pengamatan tersebut, maka peneliti dapat menyimpulkan bahwa nilai

budaya masyarakat Negeri Saleman dan Negeri Makariki yang didapat dari ikatan pela

kedua negeri adalah:

1. saling menghargai dan menghormati antara masyarakat Negeri Saleman dan

Negeri Makariki. Walaupun sampai saat ini belum diadakan panas pela antara
42

ke dua negeri, namun masyarakat tetap menghargai, menghormati dan bahkan

menjaga kokohnya ikatan pela. Hal ini dapat dilihat dari sikap hidup saling

membantu dan menolong antar ke dua negeri. Contohnya, adanya kekebasan

mengambil hasil tanah, ternak yang dimiliki asalkan tidak berlebihan.

2. mempercayai dan menjunjung adat dalam kehidupan sampai saat ini. Hal ini

dapat dilihat dari dilibatkannya kedua negeri dalam ritual-ritual adat yang

dilakukan oleh masing-masing negeri.

3. memegang teguh ikatan janji yang dibuat oleh leluhur dan dijadikan ikatan turun

temurun. Hal ini dapat dilihat dari tidak adanya penggunaan senjata tajam pada

saat mengambil ternak ataupun hasil pertanian dari masing-masing negeri.

4. menjadi contoh hidup toleransi antar umat beragama di Maluku dan Indonesia

secara umum. Masyarakat Negeri Saleman yang beragama Islam dan Negeri

Makariki yang beragama Kristiani tidaklah menjadi persoalan atau alasan

lunturnya ikatan persaudaraan pela parang yang diikat oleh kedua kapitan yang

saat itu masih mempercayai animisme dan dinamisme.

B. Pembahasan

a. Nilai-nilai budanya yang terdapat dalam Cerita Pela Negeri Makariki dan

Negeri Saleman

Pela Keras antara Negeri Saleman dan Negeri Makariki tergolong dalam folklor

lisan (verbal folklore). Danandjaja mengungkapkan bahwa folklor adalah sebagian

kebudayaan suatu kolektif, yang tersebar dan diwariskan turun-temurun diantara


43

kolektif apa saja secara tradisional dalam versi yang berbeda-beda baik dalam bentuk

lisan maupun contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau bantu pengingat. (1994:2).

Sejarah hubungan Pela Keras yang terjadi antara Negeri Saleman dan Negeri Makariki

tidak memiliki dokumen tertulis atau arsip yang telah dibukukan sehingga dalam

pelestariannya hanya dituturkan. Pertuturan-pertuturan ini kemudian menimbulkan

keberagaman cerita sehingga untuk mendapatkan dan menguji trianggulasi keabsahan

data, maka peneliti harus menemui beberapa tokoh adat atau tokoh masyarakat yang

memiliki peranan penting di ke dua desa tersebut.

Berdasarkan latar belakang dari nilai-nilai yang terkandung dalam ikatan Pela

Antara Negeri Makariki dan Negeri Saleman yang dibahas diantaranya :

1. Nilai budaya hubungan manusia sebagai individu

Manusia sebagai makhuk individu memiliki unsur jasmani dan rohani, unsur

fisik dan psikis, unsur raga dan jiwa. Seseorang dikatakan sebagai manusia

individu manakah unsur-unsur tersebut menyatu dalam dirinya. Jika unsur

tersebut sudah tidak menyatu lagi maka seseorang tidak disebut sebagai

individu. Dalam diri individu dan unsur jasmani dan rohaninya, atau unsur fisik

dan psikisnya, atau unsur raga dan jiwanya.

Manusia adalah individu yang unik, makhuk yang dapat dipandang dari

berbagai sudut pandang. Adanya manusia yang dikenal sebagai makhuk yang

berfikir, makhuluk yang berbuat, makhluk yang dapat dididik hubungan manusia
44

dengan diri sendiri tergambar dalam beberapa peristiwa kehidupan dalam cerita

pela negeri makariki dan negeri saleman.

a. Nilai kepahlawan

Pahlawan adalah sosok orang biasa yang tidak egois dan berbuat sesuatu

yang luar biasa, memiliki tindakan atau perbuatan (pengorbanan) untuk

orang lain dan adanya penghormatan sebagai imbalan atas pengorbanannya.

Sikap pahlawan berarti kemampuan untuk bersikap rela berkorban. Nilai

kepahlawanan dalam pela antar negeri makariki dan negeri saleman. Hal ini

terungkap dalam teks berikut ini : “

“kapitan dari Negeri Saleman yang bertarung dengan Kapitan dari Negeri
Makariki, yaitu kapitan yang keluar dari mata rumah Upuolat, dengan cara
setiap mata rumah melakukan musyawarah dan menunjuk salah seorang
yang dipandang memiliki jiwa keberanian dan rela berkorban dalam
berjuang serta membela negeri. Kapitan yang keluar dari mata rumah
Upuolat adalah kapitan dengan sebutan Kapitan Kabaresi “Orang Berani”.
Kapitan inilah yang bertempur dengan kapitan dari makariki, demi membela
Negerinya.”.

Pada panggalan teks di atas menunjukan bahwa masyarakat negeri

makariki saat itu mempunyai nilai kepahlawanan dalam membentuk sebuah

negeri sehingga ada sampai saat ini.

b. Nilai keberanian

Keberanian dalam arah yang benar adalah hal yang mulia. Keberanian

adalah faktor yang terpenting dari semua nilai kebijakan. Pada pengalan teks
45

dibawah ini menggambarkan nilai keberanian yang berhubungan dengan.

Nilai keberanian ini terlihat pada kutipan berikut ini :

“Ketika bertemu merekapun mulai mengadu kekuatan dengan menggunakan


parang.“

Pada panggalan teks di atas menunjukan bahwa masyarakat yang pada saat

itu saling mengadu kekuatan antara satu dengan yang lain sehingga

menimbulkan rasa keberanian merepa pada saat itu.

2. Nilai budaya hubungan manusia dengan masyarakat

Secara naluri bahwa manusia adalah makhluk yang mempunyai keinginan

untuk hidup bermasyarakat, artinya setiap manusia punya keinginan untuk

berkumpul dan mengadakan hubungan Antara sesamanya. Manusia pada

hakekatnya ingin hidup damai dalam komunitas yang harmonis. Untuk itulah

merekah berusaha untuk membina hubungan tersebut. Mereka hidup damai

secara berdampingan, sikap demikian di dukung oleh kesadaran setiap individu.

Hal ini di landasi adanya penerapan terhadap nilai-nilai budaya yang berlaku

dalam masyarakat seperti : rela berkorban dan kerja sama.

Nilai itu sendiri diperoleh melalui kemampuan interpretasi terhadap masalah

yang akan dianalisis. Adapun nilai budaya yang terkandung tentang hubungan

manusia dengan masyarakat adalah :

“saling menghargai dan menghormati antara masyarakat Negeri Saleman


dan Negeri Makariki. Walaupun sampai saat ini belum diadakan panas pela
antara ke dua negeri, namun masyarakat tetap menghargai, menghormati dan
bahkan menjaga kokohnya ikatan pela. Hal ini dapat dilihat dari sikap hidup
saling membantu dan menolong antar ke dua negeri. Contohnya, adanya
46

kekebasan mengambil hasil tanah, ternak yang dimiliki asalkan tidak


berlebihan.

“mempercayai dan menjunjung adat dalam kehidupan sampai saat ini. Hal
ini dapat dilihat dari dilibatkannya kedua negeri dalam ritual-ritual adat yang
dilakukan oleh masing-masing negeri”

a. Nilai Gotong Royong

Hubungan manusia dengan masyarakat tergambar dalam peristiwa seperti

gotong royong, yang tergambar dalam cerita pela antara Negeri Makariki dan

Negeri Saleman adalah sebagai berikut :

“Setelah diketahui penyebab kering (mati) tanaman jeruk tersebut, pemerintah


negeri makariki mulai melakukan rapat dan menyiapkan 100 bibit pohon jeruk
yang akan ditanam bersama oleh pemuda dari Negeri Saleman dan Negeri
makariki, dan pada akhirnya membuahkan hasil yang baik, tanaman tersebut
bertumbuh dan terpelihara dengan baik”

“Mempercayai dan menjunjung adat dalam kehidupan sampai saat ini. Hal ini
dapat dilihat dari dilibatkannya kedua negeri dalam ritual-ritual adat yang
dilakukan oleh masing-masing negeri”.

Dari cerita di atas, terlihat jelas bahwa negeri makariki saling bergotong

royang untuk membentuk atau membuat sebuah negeri hingga ada sampai saat

ini. Dan juga nilai gotong royong yang diajarkan dalam cerita pela antara

negeri makariki dan negeri saleman oleh ke lima marga, dan sampai saat ini

masih dilestarikan oleh masyarakat dan menjadi cerminan hidup masyarakat

kedua negeri yaitu makariki dan saleman yang merupakan kebiasaan dalam
47

kehidupan pribadi dan masyarakat secara umum. Hal ini juga di tanamkan

kepada anak cucu negeri sebagaimana yang tersirat dalam cerita di atas.

3. Nilai budaya hubungan manusia dengan alam

Dalam kehidupan sehari-hari manusia tidak bisa dipisahkan dari alam

semesta beserta isinya. Hubungan manusia dengan alam mencerminkan sikap dan

perbuatan manusia dalam usaha untuk mencipkan hubungan timbal balik yang

saling ketergantungan. Begitu pula hubungan manusia dengan alam sekitar

tercermin dalam cerita pela Antara Negeri Makariki dan Negeri Saleman.

“Saat peristiwa RMS tahun 1950an, ada seorang dari Negeri Saleman yang secara
tidak sengaja memotong dengan parang dan memakan buah pisang milik salah
seorang keluarga yang berasal dari Negeri Makariki. Hal ini mengakibatkan
tanaman pisang tersebut mati dan tidak memiliki tunas lagi sampai sekarang”

“Guru tersebut mengambil parang dan salawaku dan menari. Seketika itu juga
terjadi Guntur dan hujan lebat sehingga membuat negeri tersebut bergelinang air
hujan (banjir) hebat. Melihat peristiwa tersebut maka salah satu tetua adatpun
menyuruhnya melepaskan pakaian dalam dan melemparnya di atas bumbungan
rumah dimana acara tersebut berlangsung. Selang beberapa menit, Guntur dan
hujan pun reda”.

Hubungan manusia dengan alam tergambar dalam peristiwa seperti

penyatuan dan pemanfaatan isi alam, sebagaimana tergambar yakni : hubungan pela

parang, yang melarang negeri saleman untuk saling menggunakan benda tajam

dalam proses apapun bila berhadapan dengan salah satu pela dari negeri makariki,

maupun sebaliknya. Karena akan mendatangkan malapetaka.


48

4. Nilai budaya hubungan Manusia dengan Tuhan

Kebiasaan religious memperjelas dan mengungkapkan kepercayaan religi

yang berfungsi mengkomunikasikannya ke dunia luar yang merupakan

perwujudan dari usaha warga atau masyarakat untuk berkomunikasi dengan

Tuhan yang mereka yakini ada di sekitar hidupnya. Pada dasarnya adalah homo

religious, yaitu makhluk beragama. Homo religious adalah tipe manusia yang

hidup dalam satu alam yang sakral, penuh dengan nilai-nilai religious dan dapat

manikmati sakralitas yang ada dan tampak dalam semesta alam materi, alam

tumbuh-tumbuhan, alam binatang, dan alam manusia.

Hubungan manusia dengan Tuhan tergambar dalam beberapa peristiwa seperti

rasa bersyukur sebagai ciptaan Tuhan sangat yakni akan kekuasaan-Nya. Oleh

karena itu, digambarkan dalam cerita Negeri Makariki dan Negeri Saleman

tersebut bersyukur kepada Tuhan atas anugrah yang diberikan kepada mereka.

“Meskipun dalam perbedaan Agama yakni Negeri Makariki yang mayoritasnya


adalah penganut agama Kristen Protestan, dan Negeri Saleman yang
mayoritasnya adalah agama Islam tetapi selalu Rukun dan saling menghargai
setiap mereka bertemu”.
49

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Adat adalah kebiasaan yang diturunkan dari leluhur dan dipercayai atau

diyakini memiliki kekuatan sekaligus menjadi sarana penghubung dengan arwah

mereka. Adat ini menjadi aturan yang tidak tertulis namun mengikat dalam sistem

kehidupan masyarakat adat. Pela adalah salah satu sistem adat yang dimiliki oleh

masyarakat Maluku yang menjadi ciri khas tersendiri karena menjadi salah satu

ikatan hubungan yang melewati batas agama, suku dan ras.

Pela dengan sendirinya menjadi perekat tali persaudaraan antara negeri-

negeri adat yang berada di Maluku tanpa melihat latarbelakang perbedaan agama,

suku dan ras. Pela ini juga menjadi payung kehidupan masyarakat dalam menjalin

hubungan kekerabatan dan mengatur keberlangsungan kehidupan dalam

kepentingan orang banyak. Seperti halnya hubungan pela jenis keras antara

Negeri Saleman dan Negeri Makariki. Berada dalam satu Pulau yang sama namun

memiliki petuanan yang berbeda dengan kepercayaan (agama) yang berbeda pula

tidak menjadi alasan terputusnya rantai hubungan persaudaraan yang diikat dahulu

oleh leluhur yang memiliki latarbelakang agama suku (dinamisme dan animisme).

Hal ini menjadi dasar simpulan bahwa adat walaupun telah ada sejak zaman

leluhur masih memiliki peranan yang besar dalam mengatur tata hidup masyarakat

modern saat ini, terkhususnya di Negeri Saleman dan Negeri Makariki.

50
50

Aturan mengikat dalam kehidupan masyarakat Negeri Saleman dan Negeri

Makariki yang tercipta pada saat mengangkat sumpah oleh leluhur kedua negeri

untuk menjalin hubungan persaudaraan masih dipercaya sampai saat ini dan

menjadi nilai budaya yang melandasi hubungan persaudaraan ke dua negeri yakni:

1 saling menghargai dan menghormati antara masyarakat Negeri Saleman dan

Negeri Makariki.

2 mempercayai dan menjunjung adat dalam kehidupan sampai saat ini.

3 memegang teguh ikatan janji yang dibuat oleh leluhur dan dijadikan ikatan turun

temurun

4 menjadi contoh hidup toleransi antar umat beragama di Maluku dan Indonesia

secara umum.

B. Saran

Tak dapat dipungkiri bahwa masyarakat adat saat ini yang mendiami

daerah perkotaan dimana masyarakatnya heterogen mulai mengkikis nilai-nilai

pranata yang dibawa dari negeri-negeri asal mereka. Oleh karena itu perlu adanya

ritual panas pela sebagai perekat hubungan antara masyarakat sehingga

individualime terhadap suku, ras dan agam tidak melunturkan ikatan adat yang

telah menjadi pondasi kehidupan masyarakat bertahun-tahun lamanya. Selain itu

perlu adanya revitalisasi budaya dengan cara menuturkan peristiwa-peristiwa

bersejarah yang berkaitan dengan nilai dan aturan dalam masyarakat adat
51

sehingga generasi muda tetap memiliki nilai-nilai tersebut dalam pola hidup di

jaman sekarang.

Pemegang tongkat pembangunan bangsa adalah generasi muda yang

dibentuk dari buah budi masyarakat adat dimana ia dibentuk. Budaya bangsa

tercermin dari perilaku yang telah dibentuk tersebut sehingga sebuah Negara

dikatakan sebagai bangsa yang besar ketika masyarakatnya mampu menghargai

nilai-nilai yang tertanam dalam norma-norma adat yang berlaku. Oleh karenanya

sangatlah penting untuk menanamkan nilai-nilai tersebut dengan cara

merevitalisasikan sastra lisan (folklor) pada tiap-tiap daerah.


52

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, T. dan Surjomihardjo, A, (1985) Ilmu Sejarah dan Historiografi Arah

dan Perspektif, Jakarta, PT. Gramedia: jakarta.

Alfin (ed.). 1985. Pesepsi Masyarakat tentang Kebudayaan. Jakarta : Gramedia

Ambrozka 2011. Kebudayaan Ambon. http://www.scribd.com/doc/47083111/

Kebudayaan-Ambon

Bezucha, Robert,J. (1972) Modern European Social History, Lexington,

Massachusets: D.C. and Company.

Cooley Frank (1987), Mimbar dan Takhta, Jakarta : PT.Sinar.Harapan,

Danandjaja, James. 1984. Folklor Indonesia : Ilmu Gosip, dongeng, dan lain-

lain. Jakarta : Pustaka Utama Grafiti.

Danandjaja, James. 1997. Folklor Indonesia, Ilmu Gosip, Dongeng dan Lain-

lain. Jakarta: Grafik Press.

Danandjaja, James. 2002. Folklor Indonesia (Ilmu Gosip, Dongeng dan Lain-

lain) Jakarta: Grafik Press

Haviland, William. Antropologi. 1998. Ter.R.G. Soekardijo.Jilid 2. Jakarta :

Erlangga

Heny Gustini Nuraeni dan Muhammad Alfan. 2012.Studi Budaya di Indonesia.

Bandung.Pustaka Setia
53

Koentjaraningrat (2000:24), Pengantar Ilmu Antropologi, Jakarta: Rineka Cipta,

Liliweri, dkk. (2009), Makna Budaya dalam Komunikasi Antar budaya.

Yogyakarta. LKis: Yogyakarta.

Mc Millan & Schumacher.2003.Pengertian Penelitian Kualitatif.

httpxondis.blogspot.co.05/10/2014

Miles, Matthew B. & A. Michael Huberman. 1992. Analisis data Kualitatif.

Diterjemahkan oleh Tjetjep Rohendi Rohidi. Jakarta: Universitas

Indonesia Press.

Munandar dkk, Ensiklopedi Ilmu-ilmu Sosial,Jakarta: Raja Grafindo Persada,

hlmn, 1096-1097.

Riry,Abukakar & Pieter g Manoppo (2007). Menantang Badai Menabur Damai:

Napak Tilas Raja dan Latupati Merajut Kembali Jaringan

Persaudaraan, Jakarta: Insos Book

Sugono, Dendy. 2003. Buku Praktis Bahasa Indonesia 2. Jakarta: Pusat Bahasa.

Sugono, Dendy. (ed.). 2005. Buku Praktis Bahasa Indonesia Jilid 1. Jakarta:

Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional.


54

Lampiran : I

Cerita Pela Negeri Makariki dan Negeri Saleman

Negeri Saleman terletak di Pulau Seram, Kecamatan Seram Utara, Kabupaten

Maluku Tengah. Tanggal 30 Agustus 2014 negeri ini baru saja menggelar ritual adat

pelantikan raja. Raja Negeri Saleman berasal dari Soa Makuituin yang merupakan

keturunan raja.

Negeri Makariki pertama kali terbentuk di Air Makariki. Dahulu, negeri ini

disebut dengan nama Makaniki “Katong bakudapa, katong bakumpul baru bentuk

negeri”. Masyarakat Negeri Makariki semuanya bukanlah orang asli tetapi merupakan

pendatang dari Pulau Seram yakni: Titiahy dari Seram Barat, Watimena dan Wattimuri

dari Uweng Makina, Seram Utara, Titihalawa dari Papua dan Titiheru dari Haruku.

Menurut tuturan Ambrosius Titiahy salah satu tetua adat Negeri Makariki, mereka

semuanya dioperintahkan oleh Raja Samasuru untuk mencari daerah tempat tinggal

yang baru diakibatkan semakin banyaknya jumlah jiwa dan semin sempitnya lahan

untuk ditempati. Negeri Makariki pertama kali terbentuk oleh 8 Dati dan sekarang telah

menjadi 9 Dati yang terbagi menjadi dua soa. Dua soa tersebut yakni (i) Wanawolo

yang terdiri dari marga Titiali, Titihalawa dan Titiheru, (ii) Pipinalo yang terdiri dari

Watimena (parentah dan kecil) dan Wattimuri.

Pela Keras antara Negeri Saleman dan Negeri Makariki tergolong dalam folklor

lisan (verbal folklore). Danandjaja mengungkapkan bahwa folklor adalah sebagian

kebudayaan suatu kolektif, yang tersebar dan diwariskan turun-temurun diantara


55

kolektif apa saja secara tradisional dalam versi yang berbeda-beda baik dalam bentuk

lisan maupun contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau bantu pengingat. (1994:2).

Sejarah hubungan Pela Keras Pela Keras yang terjadi antara Negeri Saleman dan

Negero Makariki tidak memiliki dokumen tertulis atau arsip yang telah dibukukan

sehingga dalam pelestariannya hanya dituturkan. Pertuturan-pertuturan ini kemudian

menimbulkan keberagaman cerita sehingga untuk mendapatkan dan menguji

trianggulasi keabsahan data, maka peneliti harus menemui beberapa tokoh adat atau

tokoh masyarakat yang memiliki peranan penting di ke dua desa tersebut.

Adapun pertuturan menurut Ambrosius Titiahy (biasa disapa Opa Ami),

hubungan persaudaraan Negeri Saleman dan Negeri Makariki merupakan salah satu

contoh dua negeri yang memiliki ikatan pela parang (Pela Keras). Ikatan hubungan ini

terjdi akibat perkelahian antara dua Kapitang yang secara tidak disengaja bertemu di

dalam hutan. Mereka berkelahi dengan menggunakan parang, namun tidak ada yang

terluka dan kalah. Merekapun mengangkat parang dan bersumpah “dimanapun mereka

bertemu tidak ada yang boleh mengangkat parang satu sama lain”.

Menurut Jaelan Makuituin, kapitan dari Negeri Saleman yang bertarung dengan

kapitan dari negeri makariki, yaitu kapitan yang keluar dari mata rumah Upuolat,

dengan cara setiap mata rumah melakukan musyawarah dan menunjuk salah seorang

yang dipandang memiliki jiwa keberanian dan rela berkorban dalam berjuang serta

membela negeri. Kapitan yang keluar dari mata rumah Upuolat adalah kapitang dengan
56

sebutan Kapitan Kabaresi “ Orang Berani”. Kapitan inilah yang bertempur dengan

kapitan dari makariki, demi membela Negerinya.

Sejalan dengan tuturan Ambrosius Titiahy, salah seorang tokoh dari Negeri

Saleman menambahkan bahwa kedua kapitan tersebut bertemu pada saat berburu. Yang

satunya berada di dahan salah satu pohon, sedang yang lainnya sementara mencari

hewan buruan. Ketika bertemu merekapun mulai mengadu kekuatan dengan

menggunakan parang. Dikarenakan tidak ada yang menang, maka mereka yang saat itu

menggunakan kain sarung untuk menutupi tubuh bagian bawah, bersepakat untuk

masuk dalam salah satu sarung dan bertarung dengan menginjak ibu jari lawan.

Walaupun demikian, tidak ada yang menang atau kalah sehingga merekapun membuat

perjanjian ikatan pela yang dipercayai sampai sekarang.

Pertuturan tentang hubungan pela ini masih belum jelas kebenarannya

dikarenakan sampai saat ini kedua negeri belum pernah membuat ritual Panas Pela.

Namun ada beberapa peristiwa yang memperkuat ikatan ini sebagimana yang dituturkan

oleh Ambrosius Titiahy. Peristiwa-peristiwa tersebut dapat diuraikan sebagai berikut:

1. Saat peristiwa RMS tahun 1950an, ada seorang dari Negeri Saleman yang secara

tidak sengaja mengambil dan memakan buah pisang milik salah seorang

keluarga yang berasal dari Negeri Makariki. Hal ini mengakibatkan tanaman

pisang tersebut mati dan tidak memiliki tunas lagi sampai sekarang.

2. Pada tahun 1980an, ketika pemuda-pemuda Negeri Saleman membantu

menangani pembangunan di daerah TNS, mereka kekurangan bahan makanan

sehingga pergi ke Negeri Makariki untuk makan. Sesampai di Negeri Makariki,


57

atas saran Ambrosius Titiahy, Surya yang merupakan ketua pemuda dari Negeri

Saleman menuntun beberapa temannya memanjat tiga pohon jeruk milik salah

seorang warga. Dikarenakan tidakadanya pemberitahuan kepada pemiliknya,

maka terjadilah keributan. Ketika mendengar keributan tersebut maka

Ambrosius pun menjadi penengah dengan memberitahukan bahwa yang

memanjat pohon jeruk adalah saudara-saudara dari Negeri Saleman.

Permohonan maaf pun disampaikan oleh pemilik pohon jeruk tersebut, namun

semnggu kemudian ketiga pohon jeruk yang saat itu sedang sarat buahnya,

kering dan tidak pernah berbuah lagi sampai sekarang. Setelah diketahui

penyebab kering (mati) tanaman jeruk tersebut, pemerintah negeri makariki

mulai melakukan rapat dan menyiapkan 100 bibit pohon jeruk yang akan

ditanam bersama oleh pemuda dari Negeri Saleman dan Negeri makariki, dan

pada akhirnya membuahkan hasil yang baik, tanaman tersebut bertumbuh dan

terpelihara dengan baik.

3. Selain peristiwa-peristiwa tersebut, ada juga semacam aturan yang dibuat yang

berlaku di Negeri Makariki dan Negeri Saleman yakni tentang menggunakan

senjata tajam atau parang. Senjata tajam atau parang yang digunakan oleh

masyarakat ke dua negeri tidak boleh kedapatan digunakan pada saat berada di

negeri pela karena bisa mengakibatkan bencana. Seperti peristiwa yang terjadi

ketika salah seorang anak Neeri Saleman memanjat phon kelapa di dusun Negeri

Makariki. Saat menggunakan parang untuk memotong rumpun kelapa di atas


58

pohon, dalam waktu selang tiga hari kelapa jenis tersebut kering dan tidak

bertunas lagi sampai sekarang.

4. Adapun peristiwa lainnya yang terjadi di Negeri Saleman. Ada seorang guru,

anak Negeri Makariki yang bertugas di salah satu sekolah yang berada di Negeri

Saleman. Saat mengikuti acara syukuran di negeri tersebut, tanpa sadar karena

telah dipengaruhi oleh minuman keras (sopi), guru tersebut mengambil parang

dan salawaku dan menari. Seketika itu juga terjadi Guntur dan hujan lebat

sehingga membuat negeri tersebut bergelinang air hujan (banjir) hebat. Melihat

peristiwa tersebut maka salah satu tetua adatpun menyuruhnya melepaskan

pakaian dalam dan melemparnya di atas bumbungan rumah dimana acara

tersebut berlangsung. Selang beberapa menit, Guntur dan hujan pun reda.

Semua peristiwa ini kemudian menjadi pegangan dan patokan bagi

masyarakat kedua negeri tentang adanya ikatan pela walaupun sampai sekarang,

mereka tidak mengetahui dengan pasti nama kedua kapitan yang mengikat sumpah

tersebut.

Merekonstruksi nilai budaya masyarakat adat suatu desa tidaklah cukup

hanya dengan melihat hubungan pela antara desa tersebut dengan desa yang lain

tetapi melihat bagaimana sistem adat atau kebiasaan yang terjadi di dalam kehidupan

secara umum. Oleh karena itu, peneliti juga melihat kebiasaan-kebiasaan lainnya

yang terjadi dalam masyarakat ke dua desa seperti: perilaku saling membantu demi

kepentingan bersama, saling menghormati dan menghargai dan mendahulukan

kepentingan banyak orang daripada kepentingan individu. Selain itu, masyarakat


59

masih menghargai kedudukan adat sebagai aturan yang mengikat. Hal ini dapat

dilihat dalam aturan hidup masyarakat seperti, adanya pernikahan yang dilakukan

dalam dua prosesi yakni adat dan agama, dan pelantikan raja.

Dari pengamatan tersebut, maka peneliti dapat menyimpulkan bahwa nilai

budaya masyarakat Negeri Saleman dan Negeri Makariki yang didapat dari ikatan

pela kedua negeri adalah:

1 saling menghargai dan menghormati antara masyarakat Negeri Saleman dan

Negeri Makariki. Walaupun sampai saat ini belum diadakan panas pela antara

ke dua negeri, namun masyarakat tetap menghargai, menghormati dan bahkan

menjaga kokohnya ikatan pela. Hal ini dapat dilihat dari sikap hidup saling

membantu dan menolong antar ke dua negeri. Contohnya, adanya kekebasan

mengambil hasil tanah, ternak yang dimiliki asalkan tidak berlebihan.

2 mempercayai dan menjunjung adat dalam kehidupan sampai saat ini. Hal ini

dapat dilihat dari dilibatkannya kedua negeri dalam ritual-ritual adat yang

dilakukan oleh masing-masing negeri.

3 memegang teguh ikatan janji yang dibuat oleh leluhur dan dijadikan ikatan

turun temurun. Hal ini dapat dilihat dari tidak adanya penggunaan senjata tajam

pada saat mengambil ternak ataupun hasil pertanian dari masing-masing negeri.

4 menjadi contoh hidup toleransi antar umat beragama di Maluku dan Indonesia

secara umum. Masyarakat Negeri Saleman yang beragama Islam dan Negeri

Makariki yang beragama Kristiani tidaklah menjadi persoalan atau alasan


60

lunturnya ikatan persaudaraan pela parang yang diikat oleh kedua kapitan

yang saat itu masih mempercayai animisme dan dinamisme.


61

LAMPIRAN : II

LETAK GEOGRAFIS PENELITIAN

Letak geografis Negeri Makariki adalah sebagai berikut:

 sebelah utara berbatasan Negeri Waraka dan Kec. TNS

 sebelah timur berbatasan Negeri Hatuhenu dan Negeri Uaulu

 sebelah barat berbatasan Negeri Amahai dan Negeri Sehati

 sebelah selatan berbatasan dengan Laut Seram

sedangkan letak geografis Negeri Saleman adalah sebagai berikut:

 sebelah utara berbatasan Negeri laut seram

 sebelah timur berbatasan Negeri Sawai

 sebelah barat berbatasan Negeri Wilulu

 sebelah selatan berbatasan Negeri Sepa


62

Lampiran : III

DOKUMENTASI PENELITIAN

Foto bersama Narasumber dari Negeri Saleman.


63

Foto Narasumber dari Negeri Makariki


64

RIWAYAT HIDUP

NAMA : Henrich Mayorets Lepertery

Tepat Tanggal Lahir : Makariki, 26 April 1996

Alamat : Makariki, RT X

NPM : 12388201130100

Jurusan : Pendidikan Bahasa Indonesia

Program Studi : Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

Pekerjaan : Mahasiswa

Agama : Kristen Protestan

Nama Orang Tua :

Ayah : Onisimus Lepertery

Ibu : Octavina Raprap

Jenjang Pendidikan :

SD Negeri : Makariki, Lulus Tahun 2017,

SMP Negeri : 2 Amahai, Lulus Tahun 2010,

SMA Negeri : 1 Masohi, Lulus Tahun 2013.

Masuk STKIP Gotong Royong Masohi 2013

Karya Tulis Ilmiah

Analisis Nilai Budaya Pela Antara Negeri Makariki Dengan Negeri Saleman Kabupaten
Maluku Tengah, Provinsi Maluku

Anda mungkin juga menyukai