Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH IMPLEMENTASI ETIKA JAWA DALAM MASYARAKAT

Disusun untuk Memenuhi Tugas Akhir Semester 2

DOSEN PENGAMPU
Prof. Dr. Sutrisna Wibawa, M. Pd

DISUSUN OLEH
Ari Tristianto
18205241049

PENDIDIKAN BAHASA DAERAH

FAKULTAS BAHASA DAN SENI

UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA

2018

KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan rahmat, taufik dan hidayah-Nya
sehingga penulis bisa menyelesaikan makalah ini.
Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW
beserta keluarga dan para sahabatnya.
Pada kesempatan kali ini saya ingin mengucapkan rasa terima kasih kepada :
1. Prof. Dr. Sutrisna Wibawa, M. Pd selaku dosen mata kuliah Etika Jawa Universitas Negeri
Yogyakarta
2. Rekan-rekan Kelas PBD B 2018 Universitas Negeri Yogyakarta
Makalah ini jauh dari kata sempurna, oleh karena itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran
dari semua pihak sehingga dapat menyelesaikan dengan baik dan sempurna.
Mudah-mudahan dengan adanya makalah ini dapat menambah wawasan bagi semua pihak
sehingga dapat memetik isi yang terkandung di dalamnya.

Yogyakarta, 21 Mei 2019

Ari Tristianto
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Masyarakat Jawa adalah orang-orang yang dalam kehidupan kesehariannya
menggunakan bahasa Jawa dengan berbagai ragam dialeknya secara turun-temurun.
Masyarakat Jawa adalah mereka yang bertempat tinggal di daerah Jawa Tengah hingga
Jawa Timur dengan berbagai budayanya. Ciri khas dari kebudayaan Jawa terletak dalam
kemempuan luar biasa kebudayaan Jawa untuk membiarkan diri dibanjiri oleh gelombang-
gelombang kebudayaan yang dating dari luar, dan dalam banjir itu masih tetap
mempertahankan keasliannya. Kebudayaan Jawa justru tidak menemukan diri dan
berkembang kekhasannya dalam isolasi, melainkan dalam pencernaan masukan-masukan
kultural dari luar.
Alasan pentingnya dilakukan penelitian ini adalah di banyak masyarakat jaman
zaman sekarang, banyak ditemukan suatu bahaya keterasingan masyarakat Jawa terhadap
nilai-nilainya sendiri. Misalnya pada pendidikan formal, tidak hanya hampir seluruhnya
diberikan dalam bahasa yang bukan bahasa ibu, yakni bahasa Indonesia, melainkan isi dan
struktur formalnya seluruhnya dikuasai oleh pemikiran Barat. Kalau sekarang kebudayaan
Jawa seakan-akan mau tenggelam dalam dalam serangan ombak modernisasi, maka kita
hanya dapat berspekulasi apakah akhirnya kejawaan akan tetap bertahan?.

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan etika?
2. Apa perbedaan antara etika Jawa dengan Etika Barat?
3. Bagaimana implementasi etika Jawa dalam kehidupan sehari-hari?
BAB II
PEMBAHASAN
1. Pengertian Etika
Kata “etika” dalam arti yang sebenarnya berarti “filsafat mengenai bidang moral”.
Jadi etika merupakan ilmu atau refleksi sistematik mengenai pendapat-pendapat, norma-
norma, dan istilah-istilah moral (Magnis-Suseno, 1987: 14).
Seperti halnya dengan banyak istilah yang menyangkut konteks ilmiah, kata “etika”
pun berasal dari bahasa Yunani kuno. Kata Yunani ethos dalam bentuk tunggal mempunyai
banyak arti : tempat tinggal yang biasa; padang rumput, kandang, habitat, kebiasaan, adat;
watak;perasaan, sikap, cara berpikir. Dalam bentuk jamak (ta etha) artinya adalah: adat
kebiasaan. Dan arti terakhir inilah yang mejadi latar belakang bagi terbentuknya istilah
“etika” yang oleh filsuf Yunani besar Aristoteles (384-322 SM) sudah dipakai untuk
menunjukkan filsafat moral. Jadi, jika kita membatasi diri pada asal-usul kata ini, maka
“etika” berarti: ilmu tentang apa yang biasa dilakukan atau ilmu tentang adat kebiasaan.
Dengan memakai istilah modern dapat dikatakan juga bahwa etika membahas “konvensi-
konvensi social” yang ditemukan dalam masyarakat (Bertens, 2013: 4). Berdasarkan
pendekatannya, etika terbagi menjadi tiga, yaitu :
a. Etika Deskriptif
Etika deskriptif melukiskan tingkah laku moral dalam arti luas, misalnya, adat
kebiasaan, anggapan-anggapan tentang baik dan buruk, tentang tindakan-tindakan yang
diperbolehkan atau tidak diperbolehkan. Etika deskriptif mempelajari moralitas yang
terdapat pada individu-individu tertentu, dalam kebudayaan atau subkultur tertentu,
dalam suatu periode sejarah, dan sebagainya. Karena etika deskriptif hanya
melukiskan, ia tidak memberi penilaian. Misalnya, ia melukiskan adat mengayau
kepala yang ditemukan dalam masyarakat yang disebut primitive, tapi ia tidak
mengatakan bahwa adat semacam itu dapat diterima atau harus ditolak. Ia tidak
mengemukakan penilaian moral. Atau contoh lain, etika deskriptif dapat mempelajari
pandangan-pandangan moral dalam Uni Soviet yang komunis dan atheis dulu:
mengapa mereka begitu persimif terhadapkeguguran kandungan, misalnya, sedang
dalam hal lain seperti pornografi mereka sangat ketat.
b. Etika Normatif
Etika normative merupakan bagian terpenting dari etika dan bidang di mana
berlangsung diskusi-diskusi yang paling menarik tentang masalah-masalah moral. Di
sini ahli bersangkutan tidak bertindak sebagai penonton netral, seperti halnya dalam
etika deskriptif, tetapi ia melibatkan diri dengan mengemukakan penilaian tentang
perilaku manusia. Ia tidak lagi menuliskan adat mengayau yang pernah terdapat dalam
kebudayaan-kebudayaan di masa lampau, tapi ia menolak adat itu karena dinilai
bertentangan dengan martabat manusia. Ia tidak lagi membatasi diri dengan
memandang fungsi prostitusi dalam suatu masyarakat, tapi menolak prostitusi sebagai
suatu lembaga yang melanggar martabat wanita, biarpun dalam praktek belum tentu
dapat diberantas sampai tuntas. Penilaian tersebut dibentuk atas dasar norma-norma.
Hal yang sama bias dirumuskan juga dengan mengatakan bahwa etika normative
itu tidak deskriptif melainkan perspektif(memerintahkan), tidak melukiskan melainkan
menentukan benar tidaknya tingkah laku atau anggapan moral. Untuk itu ia
mengadakan argumentasi-argumentasi, jadi ia mengemukakan alasan-alasan mengapa
suatu tingkah laku harus disebut baik atau buruk dan mengapa suatu pandangan moral
dapat dianggap benar atau salah. Pada akhirnya argumentasi-argumentasi itu akan
bertumpu pada norma-norma atau prinsip-prinsip etis yang dianggap tidak dapat
ditawar-tawar.
c. Metaetika
Cara lain lagi untuk mempraktekkan etika sebagai ilmu adalah metaetika. Awalan
meta- (dari bahasa Yunani) mempunyai arti “melebihi”, “melampaui”. Istilah ini
diciptakan untuk menunjukkan bahwa yang dibahas disini bukanlah moralitas secara
langsung, melainkan ucapan-ucapan kita di bidang moralitas. Metaetika seolah-olah
bergerak pada taraf lebih tinggi daripada perilaku etis, yaitu pada taraf “bahasa etis”
atau bahasa yang kita gunakan di bidang moral. Dapat dikatakan juga metaetika
mempelajari logika khusus dari ucapan-ucapan etis. Dipandang dari segi tata bahasa,
rupanya kalimat-kalimat etis tidak berbeda dari kalimat-kalimat jenis lain (khususnya,
kalimat-kalimat yang mengungkapkan fakta). Tapi studi mendalam dapat
menunjukkan bahwa kalimat-kalimat etika – dan pada umumnya bahasa etika
mempunyai ciri-ciri tertentu yang tidak dimiliki oleh kalimat-kalimat lain.

2. Perbedaan antara Etika Jawa dengan Etika Barat


Menurut Franz Magnis Suseno, Etika Barat merupakan suatu kesadaran moral yang
tumbuh dalam diri sendiri, dalam interaksi dengan lingkungan-lingkungan social tertentu,
terutama dari Eropa Tengah, yang dirasa juga diketemukan pada benyak orang Eropa
Tengah lain, yang dipandang memiliki harkat terhormat dan masuk akal. Paha mini
mencukupi sebagai layar proyeksi bagi “Etika Jawa” demi perbincangan masalah
relativisme. Sedangkan masalah relativisme muncul karena “Etika Jawa” berbeda dengan
“Etika Barat”.
Rukun dan hormat, sikap sepi ing pamrih rame ing gawe dalam segala
perkembangannya dan sebagai suatu kesatuan memang merupakan polayang khas Jawa,
namun masng-masing juga merupakan nilai dalam Etika Barat, walaupun dengan
pembobotan yang berbeda. Dan sebaliknya keutamaan-keutamaan yang dinilai paling
tinggi dala etika Barat, seperti kebaikan hati, keadilan, rasa belas kasihan, kejujuran, dalam
etika Jawa pun demikian halnya. Perbedaan yang sebenarnya antara etika Jawa dan etika
Barat sama sekali tidak terletak dalam norma-norma dasar, keutamaan-keutamaan, dan
penilaian-penilaian spesifik, melainkan sebagaimana Nampak dalam strukturalisasinya.
Etika Jawa merupakan etika kebijaksanaan, sama dengan etika Aristitoteles. Sedangkan
dalam etika falsafi Barat yang agak baru, terbentuk semacam kesepakatan bahwa suatu
etika juga harus memuat kewajiban-kewajiban atau norma-norma yang mutlak, jadi yang
tidak lagi dapat dibenarkan sebagai bijaksana.

3. Implementasi Etika Jawa dalam Kehidupan Sehari-hari


A. Hak dan Kewajiban
Hak adalah wewenang atau kekuasaan secara etis (moral, susila, baik) untuk
mengerjakan, meninggalkan, memiliki, mempergunakan atau menuntut sesuatu. Ha
juga diartikan panggilan kepada kemauan orang lain dengan perantaraan akalnya,
perlawanan dengan kekuasaan atau kekuatan fisik, untuk mengakui wewenang yang
ada pada pihak lain (Fudyartanta, 1974 : 75-76). Sedangkan kewajiban adalah
kebaikan yang dengan keharusan dibebankan kepada kehendak kita yang merdeka
untuk dilaksanakan. Karena melaksanakan kebaikan itu merupakan tuntutan dari kodrat
kita. Jadi, keharusan atau keniscayaan dari kewajiban adalah keharusan atau
keniscayaan dari prinsipium identitatis, artinya manusia itu adalah manusia, jadi dia
harus berlaku sebagai manusia. Jika tidak, itu berarti bahwa dia tetap manusia, tetapi ia
memungkiri kemanusiaannya, jadi perbuatannya itu perbuatan menggila(Driyarkara,
2006 : 555-556).
Implementasi hak dan kewajiban dalam kehidupan sehari- hari adalah, di dusun
tempat tinggal saya, seorang Kaum rohis berkewajiban untuk memimpin doa dan
memimpin setiap prosesi upacara adat maupun upacara keagamaan yang diadakan oleh
warganya. Hal tersebut tentunya memiliki hubungan saling keterkaitan, karena
kewajiban yang dilaksanakan oleh kaum rohis tersebut merupakan hak bagi
masyarakat.
B. Keadilan
Adil pada hakikatnya berarti memberikan kepada siapa saja apa yang menjadi
haknya. Suatu perlakuan yang tidak sama adalah tidak adil, kecuali dapat diperlihatkan
mengapa ketidaksamaan dapat dibenarkan. Poedyawijatna (1983: 63) menjelaskan
keadilan adalah pengakuan dan perlakuan terhadap hak yang sah. Keadilan adalah
kesadaran dan pelaksanaan untuk memberikan kepada pihak lain sesuatu yang sudah
semestinya harus diterima oleh pihak lain itu, sehingga masing-masing pihak mendapat
kesempatan yang sama untuk melaksanakan hak dan kewajibannya tanpa mengalami
rintangan atau paksaan.
Keadilan dalam realita kehidupan manusia, menampakkan diri dalam empat
perwujudan, yaitu (1) keadilan tukar-menukar: kebajikan untuk selalu memberikan
kepada sesamanya sesuatu yang menjadi hak pihak lain atau sesuatu yang semestinya
harus diterima oleh pihak lain, (2) keadilan distributif: kebajikan untuk selalu
membagikan segala kenikmatan dan beban bersama dengan cara rata dan merata
menurut keselarasan sifat dan tingkat perbedaan jasmaniah dan rokhaniah para
warganya, sehingga terlaksanalah azas sama-rasa sama-rata, (3) keadilan sosial:
kebajikan untuk senantiasa memberikan dan melaksanakan segala sesuatu, yang
memajukan kemakmuran dan kesejahteraan bersama sebagai tujuan akhir dari
masyarakat atau negara, dan (4) keadilan hukum atau umum, yaitu mengatur hubungan
antara anggota dan kesatuannya untuk bersama-sama selaras dengan kedudukan dan
fungsinya untuk mencapai kesejahteraan umum (Fudyartanta, 1974: 86-88).
Implementasi nilai-nilai keadilan dalam kehidupan sehari hari di lingkungan saya
tercermin pada pembagian raskin bagi masyarakat tidak mampu. Setiap masyarakat
yang memiliki kemampuan ekonomi dibawah rata-rata berhak untuk mendapatkan
bantuan raskin, sedangkan masyarakat menengah keatas tidak berhak untuk menerima
bantuan raskin. Kasus nyatanya adalah di Dusun saya (Jalakan, Triharjo, Pandak,
Bantul) pernah terjadi kesalahan dalam pembagian raskin, yaitu salah sasaran. Orang
yang mampu justru diberi raskin, kemudian dengan kesadaran hati orang tersebut
menolak untuk menerima raskin tersebut, kemudian memberikannya kepada orang
yang tidak mampu.

C. Tanggung Jawab
Tanggung jawab merupakan kewajiban menanggung bahwa perbuatan yang
dilakukan oleh seseorang adalah sesuai dengan tuntutan kodrat manusia. Bertanggung
jawab berarti bahwa manusia dengan merdeka menerima keniscayaan kodratnya
(Driyarkara, 1996: 31 -32). Driyarkara (2006: 557 -558), secara lebih lanjut
menjelaskan bahwa tanggung jawab merupakan kewajiban menanggung bahwa
perbuatan yang dilakukan oleh seseorang sesuai dengan tuntutann kodrat manusia.
Konsep tanggung jawab menunjukan bahwa seseorang berani menentukan, berani
memastikan bahwa perbuatan ini sesuai dengan tuntutan kodrat manusia dan
bahwakarena itulah perbuatan dilakukan.
Bertens (1993: 135 – 136) menjelaskan mengenai kata tanggung jawab ada
kaitannya jawab. Bertanggung jawab bermakna dapat menjawab, apabila ditanyai
perihal perbuatan yang dilakukan. Seseorang yang bertanggungjawab dapat dimintai
penjelasan mengenai tingkah lakunya dan bukan saja seseorang bisa menjawab, kalau
seseorang itu mau, melainkan juga seseorang itu harus menjawab. Tanggung jawab
berarti bahwa orang tidak boleh mengelak apabila dimintai penjelasan tentang
perbuatannya.
Implementasi nilai-nilai tanggung jawab dalam kehidupan sehari-hari adalah
Seorang Ayah yang memiliki tanggung jawab kepada anak dan istrinya. Ia bertanggung
jawab untuk menjamin kesejahteraan anak dan istrinya.
D. Hati Nurani
Hati nurani adalah “instansi” dalam diri kita yang menilai tentang moralitas
perbuatan-perbuatan kita, secara langsung, kini, dan disini. Hati nurani dimaksudkan
sebagai penghayatan tentang baik atau buruk berhubungan dengan tingkah laku konkrit
kita. Hati nurani memerintahkan atau melarang kita untuk melakukan sesuatu kini dan
disini, ia tidak berbicara tentang yang umum, melainkan tentang situasi yang sangat
konkrit. Tidak mengikuti hati nurani beraarti menghancurkan integritas pribadi kita dan
mengkhianati martabat terdalam kita. Hati nurani dapat dikatakan juga sebagai
kesadaran moral, “instansi” yang membuat kita menyadari baik atau buruk secara
moral dalam perilaku kita dan karena itu dapat menyuluhi dan membimbing perbuatan-
perbuatan kita dibidang moral(Bertens, 2004 : 56)
Implementasi penerapan hati nurani dalam kehidupan sehari-hari adalah setiap
orang berkewajiban untuk menjaga keselarasan social di masyarakat. Di sinilah hati
nurani sangat berperan. Sebelum melakukan sesuatu hendaknya kita harus
mempertimbangkan kembali tantang dampak dan akibat dari perbuatan tersebut.
Sebagai orang Jawa kita harus bisa olah rasa.

E. Kejujuran
Bersikap jujur berarti bersikap terbuka dan wajar atau fair. Terbuka bukan berarti
segala pertanyaan orang lain harus dijawab dengan selengkapnya, melainkan kita harus
selalu muncu sebagai diri kita sendiri, sesuai dengan keyakinan kita. Kita tidak
menyembunyikan wajah kita yang sebenarnya. Terbuka berarti orang boleh tahu siapa
diri kita ini. Bersikap wajar atau fair ia memperlakukan menurut standard-standard
yang diharapkannya dipergunakan orang lain terhadap dirinya. Ia menghormati hak
orang lain, ia selalu akan memenuhi janji yang diberikan, juga terhadap orang yang
tidak dalam posisi untuk menuntutnya(Suseno, 1989: 142-143).
Implementasi nilai-nilai kejujuran dalam kehidupan sehari-hari adalah:
berdasarkan pengalaman saya, Dompet saya pernah tertinggal di suatu percetakan,
kemudian pemilik percetakan menemukan dompet tersebut. Ketika saya mencari
dompet tersebut di percetakan, sang pemilik langsung memberikan dompet tersebut
kepada saya tanpa meminta imbalan apapun. Bayangkan jika sang pemilik percetakan
adalah orang yang tidak jujur, mungkin saat itu dompet saya sudah hilang. Berdasarkan
kisah tersebut dapat kita ketahui bahwa kejujuran merupakan hal yang sangat penting
untuk diterapkan.

F. Keberanian Moral
Keberanian adalah suatu sikap untuk berbuat sesuatu dengan tidak terlalu
merisaukan kemungkinan-kemungkinan buruk. Aristoteles mengatakanbahwa, “The
conquering of fear is the beginning of wisdom. Kemampuan menahklukkan rasa takut
merupakan awal dari kebijaksanaan.” Artinya, orang yang mempunyai keberanian akan
mampu bertindak bijaksana tanpa dibayangi ketakutan-ketakutan yang sebenarnya
merupakan halusinasi belaka.
Keberanian moral menunjukkan diri dalam tekad untuk tetap mempertahankan
sikap yang telah diyakini sebagai kewajiban. Kebaranian moral adalah kesetiaan
terhadap suara hati yang menyatakan diri dalam kesediaan untuk mengambil
resiko.keberanian moral tidak menyesuaikan diri dengan kekuatan yang ada kalau itu
berarti mengkotomikan kebenaran dan keadilan.
Implementasi nilai-nilai keberanian moral dalam kehidupan sehari-hari adalah
kisah yang dialami oleh kawan saya, Suratijo(22), yang kebetulan juga merupakan
salah seorang alumni UNY. Beliau pernah melaporkan kepada pihak yang berwajib
tentang praktek perjudian yang terjadi di kampung saya. Meskipun dengan konsekuensi
bahwa setelah ia melaporkan hal tersebut ia akan mendapat banyak terror.
G. Kerendahan Hati
Magnis-Suseno (1989:149) menyatakan jika mendengar kerendahan hati, biasanya
yang terbayang adalah sikap orang yang tidak berani, cepat-cepat mengalah kalau
berhadapan dengan orang yang berkedudukan tinggi, suka menjilat, tidak sanggup
mengambil dan membela suatu pendirian, merendahkan diri, dan lain sebagainya.
Sikap-sikap itu tidak ada sangkut pautnya dengan kerendahan hati, melainkan bahwa
kita melihat seadanya kita. Kerendahan hati adalah kekuatan batin untuk melihat diri
sendiri sesuai kenyatannya. Orang yang rendah hati tidak hanya melihat kelemahannya,
melainkan juga kekuatannya. Kerendahan hati tidak hanya berarti bahwa kita sadar
akan keterbatasan kebaikan kita, melainkan juga bahwa kemampuan kita betul-betul
bersedia untuk memperhatikan dan menanggapi setiap pendapat lawan, bahkan untuk
seperlunya mengubah pendapat kita sendiri.
Implementasi nilai-nilai rendah hati dalam kehidupan sehari hari adalah seorang
pamong desa yang tetap bersikap rendah hati. Meskipun ia adalah orang yang disegani
dan memiliki jabatan yang tinggi, namun ia tetap rendah hati dan tidak pernah
merendahkan orang lain.
H. Kesetiaan
Kesetiaan merupakan hal yang hakiki dalam persahabatan-teman saling terikat satu
sama lain, bahkan ketika mereka tergoda untuk meninggalkan(Rachels, 2004: 322).
Kesetiaan di sini dimaknai sebagai sikap setia kepada keluarga dan teman-teman.
Gagasan bahwa ada sesuatu yang khusus secara mora; menyangkut keluarga dan
teman-teman, memang merupakan hal yang biasa. Kita tidak memperlakukan keluarga
dan teman-teman kita sebagaimana kita memperlakukan orang asing. Kita terikat
kepada mereka dengan cinta dan afeksi, dan kita melakukan sesuatu untuk mereka, apa
yang kita tidak lakukan terhadap sembarangan orang. Tetapi hal ini bukanlah sekedar
soal keramahan yang lebih besar kepada orang yang kita sukai. Hakikat hubungan kita
kepada keluarga dan teman-teman memang berbeda dari hubungan kita dengan orang
lain, dan sebagian perbedaan itu menyanglut adanya kewajiban dan tanggung jawab
yang berbeda. Hal ini nampaknya merupakan bagian yang utuh dari persahabatan
itu(Rachels, 2004:319).
Implementasi nilai-nilai kesetiaan dalam kehidupan sehari-hari adalah dalam keluarga
saya tidak pernah terjadi kasus perselingkuhan, bahkan perceraian. Hal ini karena
kaluarga saya sangat menjunjung tinggi nilai-nilai kesetiaan. Sebagai orang Jawa kita
haru senantiasa menjaga dan memahami pentingnya arti kesetiaan dalam kehidupan.
I. Prinsip Kerukunan
Prinsip kerukunan bertujuan untuk mempertahankan masyarakat dalam keadaan
yang harmonis. Keadaan semacam ini disebut rukun. Rukun berarti berada dalam
keadaan selaras, tenang dan tenteram, tanpa perselisihan dan pertentangan, bersatu
dalam maksud untuk saling membantu.
Keadaan rukun terdapat dimana semua pihak berada dalam keadaan damai satu
sama lain, suka bekerja sama, saling menerima, dalam suasana tenang dan sepakat.
Rukun adalah keadaan ideal yang diharapkan dapat dipertahankan dalam semua
hubungan social, dalam keluarga, dalam rukun tetangga, di desa, dalam setiap
pengelompokan tetap. Suasana seluruh masyarakat harusnya bernapaskan semangat
kerukunan. Kata rukun juga menunjuk pada cara bertindak. Berlaku rukun berarti
menghilangkan tanda-tanda ketegangan dalam masyarakat atau antara pribadi-pribadi
sehingga hubungan-hubungan social tetap kelihatan selaras dan baik-baik. Rukun
mengandung usaha terus menerus oleh semua individu untuk bersikap tenang satu sama
laindan untuk menyingkirkan unsur-unsur yang mungkin menimbulkan keresahan dan
perselisihan.
Implementasi nilai-nilai kerukunan adalah setiap tahun, di dusun waya selalu
diadakan gotong royong untuk membersihkan makam. Gotong royong tersebut
dilaksanakan setiap bulan “ruwah” atau dalam Islam disebut Sya’ban. Gotong royong
pun mewujudkan kerukunan. Selain itu, setiap warga yang memiliki hajatan,
masyarakatdengan sendirinya ikut membantu acara hajatan tersebut
J. Prinsip Hormat
Prinsip hormat mengatakan bahwa setiap orang dalam cara bicara dan membawa
diri selalu harus menunjukkan sikap hormat terhadap orang lain, sesuai dengan derajat
kedudukanya. “Apabila dua orang bertemu, terutama dua orang Jawa, bahasa,
pembawaan dan sikap mereka mesti mengungkapkan suatu pengakuan terhadap
kedudukan mereka masing-masing dalam suatu tatanan social yang tersusun dengan
terperinci dan cita rasa. Mengikuti aturan-aturan tata kramayang sesuai, dengan
mengambil sikap hormat atau kebapaan yang tepat amatlah penting.
Prinsip hormat berdasarkan pendapat, bahwa semua hubungan dalam masyarakat
teratur secara hierarkis, bahwa keteraturan hierarkis itu bernilai pada dirinya sendiri
dan oleh karena itu orang wajib untuk mempertahankannya dan untuk membawa diri
sesuai dengannya. Pandangan itu sendiri berdasarkan cita-cita tentang suatu
masyarakat yang teratur dengan baik, dimana setiap orang mengenal tempat dan
tugasnya dan dengan demikian ikut menjaga agar seluruh masyarakat merupakan suatu
kesatuan yang selaras.
Implementasi prinsip hormat dalam kehidupan sehari-hari adalah tercermin dalam
kehidupan kita baik dengan orang tua maupun dengan masyarakat sekitar. Kita harus
senantiasa menghormati orang lain, entah itu yang lebih tua maupun yang lebih muda
dari kita. Sebagai orang Jawa, kita harus menggunakan unggah-ungguh dalam
bertindak maupun berucap.
K. Keselarasan Sosial
Prinsip keselarasan social merupakan suatu kerangka yang menjadi batas mutlak
bagi segala apa, padanya tidakan saya, apapun alasan dan motivasinya, menemukan
batasannya. Secara prinsipiil orang tidak boleh bertindak hanya berdasarkan
penilaiannya sendiri terhadap suatu situasi. Tetapi dengan demikian pertimbangan-
pertimbangan moral pribadi seseorang tidak memberi hak untuk menganggap sepi
terhadap tuntutan-tuntutan prinsip-prinsip keselarasan. Jadi pada prinsip keselarasan
kewajiban saya untuk bertindak menurut tanggung jawab saya sendiri pun menemukan
batasannya. Keprihatinan terhadap nasib orang lain, tanggung jawab terhadap tugas
yang telah diterima ataupun suatu argumentasi berdasarkan prinsip prinsip moral tidak
dapat membenarkan suatu gangguan terhadap keselarasan social.
Implementasi keselarasna social dalam kehidupan sehari-hari dapat ditemukan di
kampung saya. Sebagai contoh setiap ada warga yang mengadakan hajatan maka ia
selalu membagi-bagikan makanan kepada tetangga. Selain itu para dermawan juga
sering memberikan bantuan kepada masyarakat miskin, entah itu bantuan berupa uang
maupun barang.
BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Etika Jawa adalah suatu etika yang memiliki banyak nilai-nilai luhur di dalamnya. Etika
Jawa tersusun dengan baik sesuai dengan kepribadian masyarakat Jawa. Sudah tidak diragukan
lagi bahwa orang Jawa adalah orang yang terkenal akan keramahannya. Oleh karena itu kita
sebagai orang Jawa harus menjunjung tinggi etika Jawa. Jangan sampai kita terpengaruh dengan
kebudayaan barat yang semakin lama semakin menggerus kepribadian masyarakat Jawa.
Berdasarkan penelitian tersebut, hingga saat ini implementasi etika Jawa dalam kehidupan
sehari-hari masih berjalan dengan baik. Dilihat dari perilaku masyarakatnya, Orang Jawa masih
menjunjung tinggi etika Jawa. Keselarasan social dalam masyarakat Jawa juga masih sangat
terjaga. Sebagai contoh kegiatan gotong royong dalam masyarakat masih berjalan dengan rutin.
Tugas kita adalah menjaga agar hal tersebut tetap terjalin dengan baik.
DAFTAR PUSTAKA

Bertens, K, 2013. Etika, Yogyakarta: Kanisius


Wibawa, Sutrisna. 2013. Filsafat Moral Jawa Seh Amongraga dalam Serat Centhini, Yogyakarta:
UNY Press.
Magnis-Suseno, Frans, 1988. Etika Jawa, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Magnis-Suseno, Frans, 1987. Etika Dasar, Yogyakarta: Kanisius.

Anda mungkin juga menyukai