Anda di halaman 1dari 4

Teori Poskolonial

Poskolonial “posklonial” merupakan turunan dari kata “kolonial”. Istilah colony dalam
bahasa Romawi berarti tanah pertanian atau pemukiman. Istilah ini mengacu pada orang-
orang Romaawi yang tinggal di negeri-negeri lain, akan tetapi masih sebagai warga Negara
Romawi. Oxford English Dictionary menjelaskan pengertian coloni sebagai sebuah
pemukiman dalam sebuah negeri baru.., sekelompok orang yang bermukim dalam sebuah
lokasi baru dengan membentuk sebuah komunitas yang tunduk atau terhubung dengan
Negara asal mereka.

Anthony Appiah mengemukakan tentang adanya persamaan dan perbedaan penggunaan


istilah “pasca/pos” pada kedua istilah tersebut, persamaannya adalah pasca/pos sama-sama
menaruh perhatian pada persoalan historiografi dan refleksivitas dalam politik representasi
cultural, walaupun artikulasi, interpretasi serta penyebaran keduanya memiliki perbedaan.
Keduanya juga dianggap memiliki keterkaitan dengan poststrukturalisme dan
postmodernisme.

Secara definitive teori postcolonial lahir sesudah kebanyakan Negara-negara terjajah


memperoleh kemerdekaannya. Teori poskolonial mencakup seluruh khazanah sastra nasional
yang pernah mengalami kekuasaan imperial sejak awal kolonisasi hingga sekarang. Seperti
sastra Afrika, Australia, Bangladesh , Canada, Karibia, India, Selandia Baru, Pakistan,
Singapura, Sri langka, Malaysia dan Indonesia. Sementara sastra Amerika dinggap sebagai
prototype Poskolonial karena sejak abad ke 18 telah mengembangkan konsep sastra Amerika
yang dibedakan dengan Sastra Inggris.

Analisis wacana poskolonialis bisa digunakan di satu pihak untuk menelusuri aspek-aspek
yang tersembunyi atau sengaja disembunyikan sehingga dapat diketahui bagaimana
kekuasaan itu bekerja, di pihak lain membongkar disiplin, lembaga dan ideology yang
mendasarinya. Menurut Said, dekonstruksi terhadap wacana-wacana kolonialis penting untuk
menyadarkan bangsa Eropah, bahwa teks-teks Orientalis penuh dengan bias-bias cultural.

Pada tahun 1978, Edward Said menerbitkan bukunya yang berjudul erientalism. Buku ini
meahirkan kegerahan dan sekaligus pencerahan dalam berbagai disiplin ilmiah seperti
kurtural studies, kajian wilayah dan secara khusus melahirkan kajian ilmiah yang
dilingkungan akademis dikenal dengan analisis diskursus colonial. Gagasan Edwar Said
sangat luas, ia membahas tentang berbagai contest local budaya, sehingga disebut juga
dengan “travelling teory’. Bukunya yang berjudul power and culture : interviews with
Edward Said merupakan perluasan buku orientalism ditambah dengan wawancaranya.
Pemikiran Edwar Said diakui oleh kelompok yang mendukung kajian / discourses colonial
dan yang menantangnya, talah meninbulkan pengaruh yangluar biasa bagi analisis
kolonialisme dan pemikiran colonial. Lapangan penelitian baru yang dirintis oleh Edward
Said dilingkungan dunia akademis, kemudian dikenal dengan teory pascacolonial
(postcolonial theory).

Said merasa mendapat manfaat yang besar dari pengalaman hidupnya di Palestina,
pendidikannya serta berbagai perbincangannya mengenai budaya dan politik yang akhirnya
dapat ia jdikan sebagai inventory yang memperluas gagasannya dan menumbuhkan kesadaran
kritis dan humanis. Theory poscolonial muncul sebagai oposisi dari teori kolonoal, yang
sering diidentikkan dengan oposisi biner dari colonial atau oksidental.
Oksidentalisme (barat) sebagai ikon Negara colonial (penjajah), sedangkan oriental atau
timur sebagai Negara-negara yang dijajah (discolonisasi). Istilah orientalisme menurut
Edward Said dapat didefinisikan dengan tiga cara yang berbeda.

1. Memandan orientalisme sebagai mode atau paradigma berpikir epistemology


dihasilkan (dikonstruksi) oleh bentuk tertentu kekuasaan dan pengetahuan colonial.
2. Orientalisme dapat juga dipahami sebagai gelar akademis untuk menggambarkan
serangkaian lembaga, vdisiplin dan kegiatan ilmiah terdapat pada universitas barat
yang peduli pada kajian masyarakat dan kebudayaan masyarakat timur.
3. Melihat orientalisme sebagai lembaa resmi yang pada hakikaya peduli pada timur.

Menurut Said, orientalisme pada awalnya muncul dalam kristianitas sebagai konsep pentin
misionaris dan control mereka pada yang lain melalui pengetahuan. Suatu discoursus dimana
konsep kepentingan, kekuasaan dengan pengetahun melebur, pandangan ini akhirnya
meruntuhkan konsep epistimologi pondasional (positipis) terutama tentang ilmu bebas nilai.
Orientalisme adalah kultur timur sebagai hal yang kontras dengan kultur barat. Apa yang
disebut sebagai esensi timur adalah objek discoursus colonial yang berlawanan dengan barat
yang tidak terlepas dari pengaruh kuasa dan pengetahuan. Jadi orientalisme dilihat sebagai
teori kekuasaan despotis, yang tidak memahami adanya diferensiasi budaya dalam
masyarakat timur (generalisasi). Timur melibatkn teori seksualitas dan sensualitas dalam
kedaok teori asketisme yang dikontraskan dengan penolakan kemewahan dan tuntutan
asketisme spiritualitas. Orientalisme Prancis, menusut Edward Said, menekankan pada
masalah seksualitas, sensualitas dan irasionalitas dalam discoursus orientalisme.

Edward Said merasakan bagaimana rakyat Palestina yang terjajah dan kesetiaannya pada
Palestina. Ketajaman analisisnya berhasil menyingkap teori pasca colonial yang semula
terpokus pada masalah colonialism, kemudian melebar memasuki dunia ilmiah. Said
memngemukakan arti orientalisme dalam tiga wilayah yang saling tumpang tindih.

1. Orientalisme menciptakan sejarah pahit yang panjang hubungan antara Eropa dan
Asia Afrika.
2. Hal ini juga menciptakan bidang-bidang ilmu yang sejak awal abad ke 19 sebagai
spesialis dalam bahasa dan kebudayaan oriental.
3. Colonialisme menciptakan stereotype – stereotype dan dan ideology tentang “the
orient” yang diidentikkan dengan “The Other” atau yang lain “ The Occident” (the
self).

Pandangan ini telah dikonstruksi oleh beberapa generasi sarjana-sarjana barat secara turun
temurun. Misalnya tentan kemalasan, kecurangan, ketidakmampuan berpikir rasional, orang-
orang timur, termasuk didalamnya sikap perlawanan mereka dengan dunia islam. Dalam
konteks orientalisme dan kekuasaan barat untuk memasuki dan meneliti Negara dan budaya
timur, dibuka kesempatan bagi mereka untuk memiliki serangkaian pengetahuan tantang
kebudayaan-kebudayan tersebut.
Kemudian pengetahuan itu menjamin dan melanggenkan kekuasaan barat di Negara-negara
tersebut. Minat para orientalis akan bentuk – bentuk pengetahuan ilmiah, seperti Sejarah,
Linguistik, Seni, Geograpi, Antropologi, dll yang muncul dalam zaman pencerahan
melahirkan ilmu pengetahuan yang memenuhi semangat dan selera ara orientalis, dan
kemudian ini menjdi contoh bagi pengetahuan yang negative, membeda-bedakan dan
mendominasi. Melalui kritik terhadap ilmu pengetahuan dengan menggunakan persfektif “the
other”, maka tokoh pascacolonial juga mengonstruksi bentuk-bentuk pengetahuan baru yang
lebih baik dengan menghormati dan menghargai pihak-pihak lain.

Kritik tajam Edward Said juga memunculkan kritik pedas lagi dengan alasan kurang
didukung teori. Akan tetapi, ketika dekonstruksi banyak dibicarakan, pemikiran said
menjulang dan semakin dikenal. Studi feminis dan kritik pascakolonial adalah contoh yang
sangat menarik dan sangat relevan untuk konstruktivisme. Walaupun dalam pembahasan ini
tidak begitu dibicarakan permasalahan metodologinya, akan tetapi berbagai metode seperti
pos/pascastruktural, etnometodologi, semiotic dan dekonstruksi dapat dilakukan untuk studi
ini. Bagaimana ilmu pengetahuan yang berkembang terkait dengan konteks, terkait dengan
konsep atau teori yang kita gunakan, dan juga terkait dengan sejarah serta dengan minat dan
kekuasaan, semua itu ditunjukkan dalam paradigm konstruktivisme. Konstruktivisme
memberikan pemahaman yang mendasar akan berbagai bidang ilmu, khususnya social-
budaya yang berbeda dengan pendekatan positivism.

Edward Said mengemukakan perlunya pemahaman tentang permasalahan filosofis yang


sangat kompleks dalam penafsiran budaya lain. Pendapat said ini jelas dipengaruhi Faucault
dimana konstruksi kaum orientalis lebih merupakan konstruksi wacana daripada sebuah
dialog antar dua budaya yang sederajat, dengan mengasumsikan bahwa dialog lebih
menekankan rasionalitas dan pencapaian kesepakatan yang menempatkan pihak yang
berdialog pada posisi yang sejajar dari pada posisi hegemoni dan represif.

Baik “timur” atau ”Barat” merupakan hasil konstruksi idea tau gagasan berkaitan dengan
sebuah realitas social-budaya. Said menghubungkan teori wacana, hubungan kuasa dan
pengetahuan untuk perjuangan masyarakat dan politik dalam kehidupan sehari-hari. Dalam
buku Orientalisme, said menunjukkan bagaimana imaji barat tentang Timur, dan bagaimana
kuasa dan pengetahuan saling kait-mengait dalam tulisan-tulisan kaum orientalis. Dalam
essainya, the world, the text, and the critic, said melakukan penelitian dan menyingkap
tentang keterkaitan teks dengan konteks atau ‘keduniawian’ teks. Anggapan tentang
objektivisme teks atau penafsiran objektif sebenarnya mengabaikan hubungan antara teks
dengan konteks.

Pada bagian penutup buku orientalisme yang diterbitkan ulang tahun 1995 ini pula, Edward
Said mengemukakan bahwa hadirnya revolusi kesadaran yang luar biasa dalam kesadaran
kaum perempuan, kaum minoritas, serta golongan marjinal berpengaruh secara langsung pada
pemikiran mainstream di seluruh dunia. Tampilanya kajian orientalisme ternyata begitu
dramatis, sehingga menyedot perhatian semua orang yang secara serius peduli dengan kajian
budaya yang teoritis dan ilmiah. Seperti Said Edward Sapir membongkar epistemology
orientalisme sambil membuka pintu poskolonial (isme) ; konsep wacana Foucault, serta sastra
sebagai medium pembaruan moral dari Gramsci digunakan untuk mengungkapkan ideologi-
ideologi kelompok sosial.
Kritik Said jelas memosisikannya sebagai pendukung “Timur” atau “yang lain” dengan
kepasifannya, kurang mengungkapkan dan mendiskusikannya, serta tidak pula
memperhitungkan bagaimana cara-cara indigenous Timur itu menggunakan, memanipulasi
dan mengonstruksi respon-respon positipnya sendiri dalam menantang kolonialisme dengan
menggunakan konsep-konsep orientalis.

Melalui penafsiran karya karya besar seperti heart of darkness Conrad, Edward Said
menunjukkan bagaimana politik dan kebudayaan saling bekerja sama, baik secara sengaja
maupun tidak, yang pada akhirnya melahirkan suatu system dominasi yang bukan hanya
melibatkan kekuatan militer dan serdadu yang melampaui bentuk kiasan dan imajinasi sang
penguasa dan yang dikuasai. Hasilnya adalah visi yang menegaskan bahwa bangsa Eropa
(barat) berhak, bahkan wajib untuk berkuasa. Argument Said adalah kekuasaan imperialism
barat selalu menghadapi perlawanan. Ia meneliti adanya saling ketergantungan antara
wilayah-wilayah cultural dimana kaum penjajah dan kaum terjajah hidup bersama dan saling
berperang.

Teori pascakolonial Edward Said yang dikemukakan melalui bukunya Orientalisme: western
conception of the Orient dan Cultural and Imperialisme telah menggoncangkan pemikiran
dunia. said menggulirkan kritik pedas terhadap pandangan, konsep dan konstruksi ahli barat
tentang Timur. Serta bagaimana wacana-wacana ilmiah (wacana orientalis) telah
melegitimasi agresi kaum kolonialis serta supremasi politik dunia barat.

Edward Said mengemukakan bahwa Orientalisme berkaitan dengan tiga fenomena yang
saling berkaitan. Pertama, seorang orientalis adalah yang mengajarkan, orang yang menulis
tentang, atau meneliti dunia timur. Baik ia seorang Antropolog, Sosiolog, Sejarawan atau
filolog. Orientalis adalah ahli atau ilmuan Barat yang mengklaim memiliki ilmu pengetahuan
dan otoritas ilmiah untuk memahami budaya Timur. Kedua, Orientalisme mengacu pada
perbedaan dua model pemikiran yang didasarkan pada Ontologi dan Epistemologi yang
berbeda. Ketiga. Orientalisme dapat dilihat sebagai institusi yang berbadan hokum untuk
menghadapi Timur, menjustifikasi pandangan tentang Timur, mendeskripsikannya, serta
menguasainya. Orientalisme adalah cara barat untuk mendominasi, merestrukturasi dan
menguasai Timur.

Anda mungkin juga menyukai