Anda di halaman 1dari 13

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Menurut Wikipedia Indonesia, karya sastra merupakan ciptan yang
disampaikan dengan komunikatif untuk tujuan estetika dan dikenal dalam
dua bentuk, yakni fiksi dan nonfiksi. Karya sastra memiliki beberapa
fungsi yakni mengkomunikasikan ide dan menyalurkan pikiran serta
perasaan manusia. Karya sastra menggambarkan berbagai peristiwa,
gambaran psikologis, dan berbagai dinamika penyelesaian masalah yang
dapat menjadi sumber pemikiran dan inspiratif para pembacanya sehingga
memberikan kesadaran pembaca bahwa konflik dan tragedi yang
digambarkan dalam karya sastra dapat terjadi dalam kehidupan nyata dan
dialami langsung oleh pembaca.
Munculnya karya sastra di Indonesia dibagi kedalam beberapa
periode mulai dari periode Balai Pustaka hingga periode angkatan 2000an. Berbagai karya sastra yang lahir pada masa penjajahan sebelum
kemerdekaan selalu identik menyuarakan kebebasan walaupun penulis
sangat dibatasi oleh pemerintah saat itu. Bahkan jauh setelah Indonesia
memproklamasikan kemerdekaan, tidak sedikit karya sastra yang masih
mencari kemerdekaan secara utuh. Karya sastra setelah masa kemerdekaan
banyak menggambarkan ironi kehidupan yang terjadi pada masa
penjajahan.
Masa penjajahan atau masa kolonial memang memiliki pengaruh
yang sangat besar terhadap wilayah yang terjajah. Keadaan sosial budaya,
agama, adat istiadat, ekonomi, sumber daya, pendidikan, norma, perilaku,
dan hukum pasti mengalami pergeseran setelah terjadi penjajahan.
Sepertisalah satu novel karya Pramoedya Ananta Toer yang berjudul
Larasati. Novel ini merefleksikan kehidupan masyarakat Indonesia ketika
terjadi pergolakan revolusi pada masa kolonial. Dalam novel ini Pram
mengungkapkan relasi-relasi yang terjadi antara kaum penjajah dan kaum

terjajah. Oleh sebab itu, dengan menggunakan teori Postkolonialisme


makalah ini akan mengkaji bagaimana praktik kolonialisme di dalam novel
Larasati pada masa penjajahan.
1.2 Rumusan Masalah
Untuk menghindari kesimpangsiuran dalam pembahasan makalah
ini maka berdasarkan latar belakang diatas dapat dirumuskan masalah
sebagai berikut,
1. Bagaimana

praktik

kolonialisme

kekuasaan

terhadap kaum terjajah dalam novel Larasti?


2. Bagaimana praktik postkolonialisme sebagai

penjajah
bentuk

perlawanan kaum terjajah menentang penjajahan dalam


novel Larasati?

BAB II
LANDASAN TEORI

2.1 Teori Postkolonial


Poskolonialisme adalah istilah yang menggambarkan sikap
penduduk terjajah baik terhadap penjajah asing maupun terhadap penguasa
patriarkal pribumi yang menindas. Sikap penentangan dilakukan terhadap
budaya dan tradisi asing dan juga berusaha untuk mencari perpaduan yang
seimbang antara budaya yang dimiliki mereka yang terjajah dengan
budaya dominan yang selama ini mendominasi sebuah masyarakat.
Poskolonial merupakan turunan dari kata kolonial. Istilah colony
dalam bahasa Romawi berarti tanah pertanian atau pemukiman. Istilah ini
mengacu pada orang-orang Romaawi yang tinggal di negeri-negeri lain,
akan tetapi masih sebagai warga negara Romawi. Oxford English
Dictionary menjelaskan pengertian coloni sebagai sebuah pemukiman
dalam sebuah negeri baru, sekelompok orang yang bermukim dalam
sebuah lokasi baru dengan membentuk sebuah komunitas yang tunduk
atau terhubung dengan negara asal mereka.
Anthony Appiah mengemukakan tentang adanya persamaan dan
perbedaan penggunaan istilah pasca/pos pada kedua istilah tersebut,
persamaannya adalah pasca/pos sama-sama menaruh perhatian pada
persoalan historiografi dan refleksivitas dalam politik representasi cultural,
walaupun artikulasi, interpretasi serta penyeb aran keduanya memiliki
perbedaan.
Teori postcolonial lahir sesudah kebanyakan negara-negara terjajah
memperoleh kemerdekaannya. Teori poskolonial mencakup seluruh
khazanah sastra nasional yang pernah mengalami kekuasaan imperial sejak
awal kolonisasi hingga sekarang.
Analisis wacana poskolonialis bisa digunakan di satu pihak untuk
menelusuri aspek-aspek yang tersembunyi atau sengaja disembunyikan
sehingga dapat diketahui bagaimana kekuasaan itu bekerja, di pihak lain
membongkar disiplin, lembaga dan ideologi yang mendasarinya. Menurut
Said, dekonstruksi terhadap wacana-wacana kolonialis penting untuk

menyadarkan bangsa Eropa, bahwa teks-teks orientalis penuh dengan biasbias kultural.
Pada tahun 1978, Edward Said menerbitkan bukunya yang berjudul
Orientalism. Buku ini melahirkan kegerahan dan sekaligus pencerahan
dalam berbagai disiplin ilmiah seperti kurtural studies, kajian wilayah dan
secara khusus melahirkan kajian ilmiah yang dilingkungan akademis
dikenal dengan analisis diskursus kolonial. Gagasan Edwar Said sangat
luas, ia membahas tentang berbagai contest local budaya, sehingga disebut
juga dengan travelling teory. Bukunya yang berjudul Power and Culture
: Interviews With Edward Said merupakan perluasan buku Orientalism
ditambah dengan wawancaranya. Pemikiran Edwar Said diakui oleh
kelompok yang mendukung kajian/discourses colonial dan yang
menantangnya, talah meninbulkan pengaruh yang luar biasa bagi analisis
kolonialisme dan pemikiran colonial. Lapangan penelitian baru yang
dirintis oleh Edward Said dilingkungan dunia akademis, kemudian dikenal
dengan teory pascacolonial (postcolonial theory).
Theory poscolonial muncul sebagai oposisi dari teori kolonoal,
yang sering diidentikkan dengan oposisi biner dari colonial atau
oksidental. Oksidentalisme (barat) sebagai ikon negara kolonial (penjajah),
sedangkan oriental atau timur sebagai negara-negara yang dijajah
(discolonisasi).

Istilah

orientalisme

menurut

Edward

Said

dapat

didefinisikan dengan tiga cara yang berbeda.


1. Memandan orientalisme sebagai mode atau paradigma berpikir
epistemology dihasilkan (dikonstruksi) oleh bentuk tertentu kekuasaan
dan pengetahuan colonial.
2. Orientalisme dapat juga dipahami sebagai gelar akademis untuk
menggambarkan serangkaian lembaga, vdisiplin dan kegiatan ilmiah
terdapat pada universitas barat yang peduli pada kajian masyarakat
dan kebudayaan masyarakat timur.
3. Melihat orientalisme sebagai lembaga resmi yang pada hakikaya
peduli pada timur.
Orientalisme adalah kultur timur sebagai hal yang kontras dengan
kultur barat. Apa yang disebut sebagai esensi timur adalah objek
4

discoursus colonial yang berlawanan dengan barat yang tidak terlepas dari
pengaruh kuasa dan pengetahuan. Jadi orientalisme dilihat sebagai teori
kekuasaan despotis, yang tidak memahami adanya diferensiasi budaya
dalam masyarakat timur (generalisasi). Timur melibatkan teori seksualitas
dan sensualitas dalam kedok teori asketisme yang dikontraskan dengan
penolakan kemewahan dan tuntutan asketisme spiritualitas. Orientalisme
Prancis, menurut Edward Said, menekankan pada masalah seksualitas,
sensualitas dan irasionalitas dalam discoursus orientalisme.
Orientalisme menciptakan sejarah pahit yang panjang hubungan
antara Eropa dan Asia Afrika. Hal ini juga menciptakan bidang-bidang
ilmu yang sejak awal abad ke 19 sebagai spesialis dalam bahasa dan
kebudayaan oriental. Colonialisme menciptakan stereotypestereotype dan
dan ideology tentang the orient yang diidentikkan dengan The Other
atau yang lain The Occident (the self).
Pandangan ini telah dikonstruksi oleh beberapa generasi sarjanasarjana barat secara turun temurun. Misalnya tentan kemalasan,
kecurangan, ketidakmampuan berpikir rasional, orang-orang timur,
termasuk didalamnya sikap perlawanan mereka dengan dunia Islam.
Kritik tajam Edward Said juga memunculkan kritik pedas lagi
dengan alasan kurang didukung teori. Akan tetapi, ketika dekonstruksi
banyak dibicarakan, pemikiran Said menjulang dan semakin dikenal. Studi
feminis dan kritik pascakolonial adalah contoh yang sangat menarik dan
sangat relevan untuk konstruktivisme. Walaupun dalam pembahasan ini
tidak begitu dibicarakan permasalahan metodologinya, akan tetapi
berbagai metode seperti pos/pascastruktural, etnometodologi, semiontic
dan dekonstruksi dapat dilakukan untuk studi ini. Bagaimana ilmu
pengetahuan yang berkembang terkait dengan konteks, terkait dengan
konsep atau teori yang kita gunakan, dan juga terkait dengan sejarah serta
dengan minat dan kekuasaan, semua itu ditunjukkan dalam paradigma
konstruktivisme.

Konstruktivisme

memberikan

pemahaman

yang

mendasar akan berbagai bidang ilmu, khususnya sosial-budaya yang


berbeda dengan pendekatan positivism.
Pada bagian penutup buku orientalisme yang diterbitkan ulang
tahun 1995 ini pula, Edward Said mengemukakan bahwa hadirnya revolusi
kesadaran yang luar biasa dalam kesadaran kaum perempuan, kaum
minoritas, serta golongan marjinal berpengaruh secara langsung pada
pemikiran mainstream di seluruh dunia. Tampilanya kajian orientalisme
ternyata begitu dramatis, sehingga menyedot perhatian semua orang yang
secara serius peduli dengan kajian budaya yang teoritis dan ilmiah. Seperti
Said Edward Sapir membongkar epistemology orientalisme sambil
membuka pintu poskolonial (isme) ; konsep wacana Foucault, serta sastra
sebagai medium pembaruan moral dari Gramsci digunakan untuk
mengungkapkan ideologi-ideologi kelompok sosial.
Said menunjukkan bagaimana politik dan kebudayaan saling
bekerja sama, baik secara sengaja maupun tidak, yang pada akhirnya
melahirkan suatu sistem dominasi yang bukan hanya melibatkan kekuatan
militer dan serdadu yang melampaui bentuk kiasan dan imajinasi sang
penguasa dan yang dikuasai. Hasilnya adalah visi yang menegaskan bahwa
bangsa Eropa (barat) berhak, bahkan wajib untuk berkuasa. Argumen Said
adalah kekuasaan imperialism barat selalu menghadapi perlawanan. Ia
meneliti adanya saling ketergantungan antara wilayah-wilayah kultural
dimana kaum penjajah dan kaum terjajah hidup bersama dan saling
berperang.
Salah satu situs kunci yang dapat digunakan dalam analisis kajian
sastra pascakolonial adalah hibriditas. Hibriditas adalah istilah yang
dipakai untuk mengacu pada interaksi antara bentuk-bentuk budaya yang
berbeda yang dapat menghasilkan pembentukan budaya dan identitas baru
dengan sejarah dan perwujudan tekstual sendiri (Day, 2008: 12). Akan
tetapi, dalam kajian pascakolonial hibriditas mengacu pada pertukaran
silang budaya. Hibriditas tidak hanya mengarahkan perhatian pada
produk-produk paduan budaya itu sendiri, tetapi lebih kepada cara

bagaimana produk-produk budaya ini dan penempatannya dalam ruang


sosial dan historis di bawah kolonialisme menjadi bagian dari pemaksaan
penolakan hubungan kekuasaan kolonial (Day: 22008:13).
Hibriditas

memicu

timbulnya

mimikri.

Dalam

kajian

pascakolonialisme, konsep mimikri diperkenalkan oleh Homi K. Bhaba.


Menurut Bhaba (dalam Foulcer, 2008: 105), yang dimaksud dengan
mimikri

adalah

reproduksi

belang-belang

subjektifitas

Eropa

di

lingkungan kolonial yang sudah tidak murni, yang tergeser dari asalusulnya dan terkonfigurasi ulang dalam cahaya sensibilitas dan
kegelisahan khusus kolonialisme. Sebenarnya, mimikri lebih dekat dengan
olok-olok. Resistensi dapat berupa mimikri yang akan memunculkan olokolok.
Selain itu, mimikri disebabkan adanya hubungan yang ambivalen
antara penjajah dan terjajah. Sikap ambivalensi ini dipicu oleh adanya
kecintaan terhadap suatu hal sekaligus membencinya. Menurut Bhabha
ambivalensi tidak hanya dapat dibaca sebagai petanda trauma subjek
kolonial, melainkan juga sebagai ciri cara kerja otoritas kolonial serta
dinamika perlawanan. Selanjutnya, Bhabha juga mengungkapkan bahwa
kehadiran kolonial itu selalu ambivalen, terpecah antara menampilkan
dirinya sebagai asli dan otoritatif dengan artikulasinya yang menunjukkan
pengulangan dan perbedaan. Dengan kata lain, identitas kolonial itu tidak
stabil, meragukan, dan selalu terpecah (Loomba, 2003: 229230).

BAB III
ANALISIS

3.1 Kolonialisme Penjajah Terhadap Kaum Terjajah dalam Novel Larasti


A. Subaltern dan Ambivalensi
Istilah subaltern diadopsi dari pemikir Italia, Antonio Gramsci, yang
menggunakan istilah itu bagi kelompok sosial subordinat, yakni kelompokkelompok dalam masyarakat yang menjadi subyek hegemoni kelas-kelas yang
berkuasa. Petani, buruh, dan kelompok-kelompok lain yang tidak memiliki
akses kepada kekuasaan hegemonik bisa disebut sebagai kelas subaltern. Pada
novel ini, yang dimaksud kaum subaltern adalah bangsa Indonesia yang saat
itu sedang dijajah oleh Belanda. Bangsa Indonesia sebagai inferior dan
Belanda sebagai superior. Penjajahan yang dilakukan tidak hanya menyangkut
sumber daya alam, melainkan sumber daya manusia bangsa Indonesia diperas
habis-habisan oleh Belanda sebagai bentuk penjajahan. Kaum subaltern pada
saat itu mengalami ambivalensi yakni perasaan benci tetapi tetap tidak bisa
berbuat apa-apa karena besarnya pengaruh kolonial.
Ia tak menjawab.
Mengapa diam saja? Jadi kau ingin lihat
penjara.

Baik.

Kemudian

ia

berteriak,

Djohan, Mardjohan!
Bawa bintang film terkemuka ini menonton
penjara.
Menonton penjara? Untuk berapa lama?
Husy! Pergunakan mobil dan sopirku. Aku
menyusul.
Surat ijinnya, tuan kolonel.
Antarkan dia, aku bilang!
Penjara mana, tuan kolonel?
Husy, kau tahu di mana monyet-monyet itu
dikurung, pergi!
Tapi bagaimana rencana shooting, tuan
kolonel?
8

Besok masih ada hari. Ayoh!


Ia ulurkan tangan pada Larasati. Dan Ara
menjabatnyatangan

pembunuh

sahabat-

sahabatnya

pembunuh

sahabat

sendiri,

sepermainan anak-anaknya sendiri. Ia berjalan


dalam iringan Mardjohan. Ia menengok. Ia tak
mau untuk kedua kalinya melihat laras-laras
meriam yang telah membunuh kanak-kanak di
seberang kali sana. Dan mobil lari kencang
melalui jalan sempit yang kini merupakan
jalan militer (Larasati:41-45).
Dalam kutipan tersebut. Larasati atau Ara, seorang perempuan
pribumi yang bersikukuh tetap membela tanah air ditengah gejolak revolusi
pascaproklamasi. Walaupun Ara sebagai kaum subaltern sangat membenci
penjajah dan pribumi yang bengkhianat, ambivalensi yang dialami Ara
sebagai kaum terjajah sangat terlihat jelas karena di dalam hidupnya Ara
tetap menjalin hubungan-hubungan dengan mereka seperti dalam kutipan
diatas.
Sikap kolonel Surjo Sentono, pribumi yang juga bagian kaum superior
atau penjajah dalam menghegemoni bangsa Indonesia terlihat jelas saat
mengatakan monyet-monyet pada kutipan percakapan tersebut. Yang
dimaksud monyet oleh kolonel Surjo Sentono adalah pribumi yang ditahan
karena tidak mematuhi penjajah.
Kolonel Surjo Sentono dan Mardjohan adalah seorang inlander atau
pribumi yang bekerja untuk Belanda. Ambivalensi juga dialami Mardjohan
yang menjadi bagian dari penjajah bangsanya sendiri untuk mendapatkan
kehidupan dan tempat di tengah-tengah penjajahan karena Mardjohan
merasa berhutang budi pada keluarga kolonel Surjo Sentono yang dijelaskan
pada kutipan berikut,
9

IaMardjohanmemulai di jaman Jepang


yang hampir tewas karena kelaparan. Tetapi
anak kolonel ituwaktu itu masih mayor
besar,

Maria

Magdalena

Sentono

membantunya dengan banyak pertolongan.


Sebagai balas budi, ia menjadi penghubung
gelap antara si nona dengan ayahnya, yang
waktu itu tinggal dalam tawanan Jepang. Dan
ini

berjalan

tahun

demi

tahun.

Si

nona

mendapat pekerjaan di Tjuoo Sangi-in.dan


kemudian jadi stenograf di sana (Larasati: 52).

3.2 Postkolonialisme Sebagai Bentuk Perlawanan Kaum Terjajah Terhadap


Penjajah dalam Novel Larasati
A. Mimikri dan Hibriditas
Menurut Bhabha dalam Faruk (2001:75) problem pertama masyarakat
terjajah dalam menghadapi wacana penjajah adalah problem emansipasi,
peningkatan martabat diri agar setara dengan bangsa penjajah yang
ditempuh melalui peniruan atau mimikri. Dalam novel ini terdapat banyak
hal dan sikap yang dilakukan oleh beberapa tokoh yang dapat dikategorikan
sebagai proses mimikri.
Serdadu-serdadu

Nica

berlari-larian

menghampiri kereta. Sebagian besar inlander.


Beberapa orang Belanda berpangkat opsir dan
bintara

meninjau

setiap

gerbong

mengamang-ngamangkan cemeti.
Seorang berteriak-teriak: Turun,

sambil
ayoh,

semua turun! kemudian memukul-mukulkan


cemetinya pada badan gerbong. Dan sampai
di sini, Larasati berpikir, mulai kita menjadi
10

binatang

di

atas

bumi

kelahiran

sendiri

(Larasati: 30-31).
Mimikri dalam kutipan diatas dapat dilihat dari sikap para inlander
atau pribumi yang bergabung dalam kelompok Belanda. Mereka melakukan
cara yang sama seperti kaum penjajah terhadap bangsanya sendiri. Salah
seorang juga menggambarkan sikap arogan, keras, dan menyiksa, sama
seperti yang dilakukan kaum penjajah terhadap bangsa Indonesia.

Di tangannya tergantung-gantung cambuk


karet. Pintu kemah jatuh tertutup. Lampu
senter yang tergantung di atas palang bambu
menyala. Pestol sersan itu mengkilat, lebih
hitam dari semestinya.
Buka

baju!

perintah

sersan

hitam

mengkilat itu.
Buat apa? Larasati memberontak.
Buat apa? Buka semua! Cepat! Anjinganjing Soekarno suka berlagak goblok.
Garang benar kelihatannya, pikir Larasati.
Dia cuma pembunuh bayaran. Melihat aku
sebagai anjing. Mungkin matanya bukan mata
orang, mata anjing, maka semua manusia
kelihatannya sebagai anjing... (Larasati: 33)
Dalam kutipan diatas, tampak sekali sifat-sifat dan sikap kaum terjajah
yang kemudian mmiliki jiwa pemberontak seperti penjajah sebagai bentuk
mempertahankan harga diri dan martabatnya sebagai manusia. Seperti yang
digambarkan oleh tokoh Ara dalam menghadapi penjajah. Sedikitpun ia
tidak pernah ragu untuk tidak mengikuti perintah-perintah penjajah yang
merendahkan harga dirinya dan bangsanya.
11

Pasukan pemuda itu diam-diam mengawasi


kedua orang itu, tak tahu apa yang mesti
diperbuat. Melihat itu Ara segera menyerbu
untuk menguasai suasana: Malam ini kami
ikut bertempur. Mengapa diam semua?
Ara! seru ibunya.
Apa yang ditakuti, bu? Kita semua hidup
terus menerut dalam ketakutan. Apa kalian
biasanya ketakutan? Tidak ada. Kalau Revousi
menang, tidak seorang pun perlu takut lagi.
Mari berangkat!(Larasati: 93)
Dan seperti selamanya dalam perjuanagn,
mereka bersiap-siap terus, selalu bersiap-siap.
Bersiap

untuk

bersiap

untuk

menyerang
merdeka

dan
seratus

diserang,
porsen

(Larasati:93)
Dampak-dampak penjajahan tidak hanya terlihat dari keadaan wilayah
yang terjajah saja, melainkan terhadap kaum terjajah yang kemudian
mengalami pergeseran sifat dan sikap dalam menghadapi kaum superior.
Seperti dalam kutipan diatas, Ara dan beberapa rakyat Indonesia memiliki
sikap tidak gentar menghadapi perang dan melakukan perlawanan terhadap
penjajah. Sikap dan keberanian ini didapat dari kebiasaan penjajah yang
cenderung kasar dan sewenang-wenang melakukan serangan terhadap kaum
terjajah sehingga membuat kaum terjajah memiliki tekad yang kuat untuk
mempertahankan tanah airnya.

12

Sampai
berhenti.

ditengah-tengah
Ia

ragu.

Apakah

perjalanan
layak

ia

seorang

wanita datang ke rumah seorang asing dalam


house-coat? Ia berhenti berpegangan pada
tiang listrik. Menarik nafas dalam. Lantas apa
mesti aku kenakan? Pakaian orang lain? orang
lain siapa? Revolusi ini tidak memberi sesuatu
pun.... (Larasati:123)
Adanya penjajahan juga memengaruhi budaya dan bahasa pada kaum
terjajah. Dalam novel tersebut, berkali-kali Ara menggunakan kata housecoat yang maksudnya adalah baju santai yang biasanya digunakan di dalam
rumah.
BAB IV
KESIMPULAN

Berdasarkan analisis pada bab sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa di


dalam novel Larasati terdapat pergeseran nilai-nilai di dalam masyarakat sebagai
hasil akibat penjajahan. Praktik-praktik koloniat terlihat jelas dari bagaimana
kaum penjajah memperlakukan pihak terjajah di dalam novel. Kemudian sebagai
kaum terjajah, Larasati atas nama bangsa melakukan banyak perlawanan untuk
menghadapi penjajah. Proses-proses mimikri atau sikap meniru kaum penjajah
terlihat pada beberapa tokoh pribumi yang bekerja dibawah perintah kaum
penjajah. Secara sifat dan sikap mereka memiliki kesamaan dengan penjajah
untuk menindas bangsanya sendiri demi mendapatkan tempat dan kehidupan yang
layak ditengah-tengah penjajahan.

13

Anda mungkin juga menyukai