Anda di halaman 1dari 3

Nama/nim : Alvi Nikmatin/A02217008

Kelas : Kesusastraan – 6D

Dosen pengampu : Ezith Perdana Estafeta M.Hum

Tugas : resume tulisan Teori New Historisisme dan Teori Post Kolonialisme

1. Teori Historisisme

Teori atau pendekatan new historicism menempatkan sastrawan pada posisi atau
kedudukan yang terhormat. Karena, sastrawan terlibat langsung dalam proses perkembangan
kebudayaan suatu bangsa. Sastrawan ikut mengkonstruksi budaya suatu masyarakat melalui
karya sastranya. Ide atau gagasan sastrawan yang dituangkan dalam karya sastra bisa
mempengaruhi opini publik. Dengan demikian, disadari atau tidak, sastrawan ikut
bertanggung jawab atas karya-karyanya yang menjadi konsumsi masyarakat pembaca.
Setiap sastrawan—dengan segala latar belakangnya—memotret dan memaknai kehidupan di
sekitarnya untuk kemudian diekspresikan melalui karya sastra. Karena itu, setiap karya sastra
yang dihasilkan oleh siapa pun sangatlah penting, terlepas dari apakah karya sastra itu
termasuk karya sastra yang serius ataupun karya sastra populer. Sebab, bagaimanapun, setiap
sastrawan memiliki cara pandang dan cara bertutur yang unik, yang berbeda-beda. Ada yang
serius, ada yang santai, ada yang main-main.

Namun, kita melihatnya karya itu merupakan potret masyarakat pada zamannya.
Pendekatan new historicism tidak memisahkan karya sastra dengan pengarangnya, juga tidak
memisahkan karya sastra itu dengan konteks zamannya. Bagi sejarawan yang beraliran new
cultural historian, yang tidak lagi memisahkan fakta dan fiksi, sangat menganggap penting
setiap karya sastra yang lahir pada suatu zaman. Karena, dengan pendekatan itu mereka juga
bisa melihat perilaku dan perubahan budaya suatu masyarakat melalui karya sastra. Para
sejarawan juga bisa menilai nilai-nilai yang berkembang di suatu masyarakat pada zaman
tertentu dari karya-karya sastra yang lahir pada zaman itu.

Dalam kajiannya, new historicism menyandingkan teks sastra kanon dengan teks yang
marginal, atau dengan berbagai praksis budaya yang mempunyai keterkaitan dengan suatu
titik tertentu dalam sejarah secara kebetulan. Berbeda dengan pendekatan sejarah yang
memakai teks dan produk budaya yang menonjol atau penting pada zamannya, new
historicism cenderung memilih, nyaris secara random, hal-hal yang tampak remeh-temeh dan
tersisihkan dari sejarah, dan menyandingkannya dengan teks sastra yang dimaknai untuk
menunjukkan bagaimana ideologi beroperasi.

2. Teori Post Kolonialisme

Poskolonial sebagai sebuah kajian muncul pada 1970-an. Studi poskolonial di Barat
salah satunya ditandai dengan kemunculan buku Orientalisme (1978) karya Edward Said
yang kemudian disusul dengan sejumlah buku lainnya yang masih terkait dengan perspektif
Barat dalam memandang Timur. Buku-buku Said seperti Covering Islam: How the Media and
the Experts Determine How We See the Rest of the World (1981) dan Culture and
Imperialism (1993) merupakan sekuel dari buku Orientalisme tersebut. Buku semacam The
Empire Writes Back (1989) suntingan Bill Ashcroft, Gareth Griffiths, dan Helen Tiffin
merupakan buku lain yang sering dijadikan rujukan dalam pembahasan teori poskolonial.

Teori poskolonial itu sendiri merupakan sebuah seperangkat teori dalam bidang
filsafat, film, sastra, dan bidang-bidang lain yang mengkaji legalitas budaya yang terkait
dengan peran kolonial. Bidang ini bukanlah menjadi monopoli kajian sastra. Poskolonial
mirip dengan kajian feminisme yang meliputi bidang kajian humaniora yang lebih luas;
sejajar dengan kajian posmodern atau postrukturalisme.

Dalam bidang sastra, teori poskolonial merupakan salah satu dari serangkaian
munculnya kajian atau teori setelah kemapanan teori strukturalisme mulai dipertanyakan.
Seperti telah diketahui oleh umum bahwa dalam sejarahnya teori sastra yang mula-mula yaitu
teori mimesis pada zaman Plato di Yunani Kuno. Perkembangan berikutnya yaitu teori
pragmatis pada zaman Horace dari Romawi abad ke-4 yang disusul dengan teori yang
berorientasi pada ekspresionisme pada abad ke-19. Pada abad ke-20 teori-teori yang
berorientasi pada strukturalisme mendominasi kajian sastra. Pada paruh abad ke-20, teori-
teori strukturalisme yang mendasarkan kajiannya hanya sebatas objek sastra itu telah
mencapai puncaknya. Perkembangan teori sastra selanjutnya, berputar haluan dan dalam
kecepatan yang luar biasa memunculkan sejumlah teori-teori yang seringkali satu sama lain
saling berseberangan dan saling mengisi.

Postkolonial umumnya didefinisikan sebagai teori yang lahir sesudah kebanyakan


negara-negara terjajah memperoleh kemerdekaannya. Sedangkan kajian dalam bidang
kolonialisme mencakup seluruh khazanah tekstual nasional, khususnya karya sastra yang
pernah mengalami kekuasaan imperial sejak awal kolonisasi hingga sekarang. Teori
postkolonial sangat relevan dalam kaitannya dengan kritik lintas budaya sekaligus wacana
yang ditimbulkan.

Tema-tema yang dikaji sangat luas dan beragam, meliputi hampir seluruh aspek
kebudayaan, di antaranya politik, ideologi, agama, pendidikan, sejarah, antropologi, kesenian
etnisitas, bahasa, dan sastra, sekaligus bentuk praktik di lapangan, seperti perbudakan,
pendudukan, pemindahan penduduk, pemaksaan bahasa, dan berbagai bentuk invasi kultural
yang lain.

Anda mungkin juga menyukai