Anda di halaman 1dari 12

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang
Perkembangan filsafat fenomenologi pada masa awal abad ke dua puluh yang
mengkritisi pendekatan matematis dari modernisme kemudian membawa suatu
pendekatan baru dalam estetika. Dalam fenomenologi, perhatian lebih diarahkan
kepada keberadaan subjek yang mempersepsi objek daripada kepada objek itu sendiri.
Dengan kata lain hal ini dapat dikatakan sebagai: membuka kemungkinan adanya
subjektivitas. Hal ini menimbulkan kesadaran akan adanya konteks ruang dan waktu;
bahwa pengamat dari tempat yang berbeda akan memiliki standar penilaian yang
berbeda, dan begitu pula dengan pengamat dari konteks waktu yang berbeda.
Pemikiran inilah yang kemudian akan berkembang menjadi postmodernisme.dari
terbukanya kemungkinan untuk bersifat subjektif memberi jalan bagi keberagaman
dalam estetika.

1.2. Rumusan Masalah
1.    Apa pengertian postmodernisme?
2.    Apa ciri-ciri postmodernisme?
3.    Siapa tokoh-tokoh yang ada pada periode postmodernisme?
4. Bagaimana kaitannya Postmodernisme dalam sastra?

1.3. Tujuan
1.    Untuk mengetahui pengertian postmodernisme
2.    Untuk mengetahui ciri-ciri dari periode postmodernisme
3.    Untuk mengetahui tokoh-tokoh yang ada pada periode postmodernisme
4. Untuk mengetahui postmodernisme dalam sastra

1
2

BAB II
PEMBAHASAN

Banyak faktor yang berpengaruh terhadap timbulnya postmodernisme. Pada


umumnya yang dianggap sebagai titik tolak lahirnya postmodernisme adalah filsafat
Nietzschean, seperti penolakannya terhadap absolutisme filsafat Barat dan sistem
pemikiran tunggal. Menurut Sarup (2003: 231-232) postmodernisme adalah gerakan
kultural yang semula terjadi di masyarakat Barat tetapi telah menyebar ke seluruh
dunia, khususnya dalam bidang seni. Beberapa masalah pokok yang dikaitkan dengan
postmodernisme dalam bidang seni, antara lain hilangnya batas-batas sekaligus
hierarki antara budaya populer dengan budaya elite, budaya massa dengan budaya
tinggi. Dalam karya sastra, misalnya, hilangnya batas-batas yang tegas antara seniman
sebagai pencipta dengan pembaca sebagai penerima, bahkan pengarang dianggap
sebagai anonimitas.
            Dalam karya seni juga terjadi pergeseran dari keseriusan, dari kedalaman ke
permukaan, ke permainan sehingga terjadi ironi, parodi, interteks, dan pastiche. Secara
umum, postmodernisme merupakan hasil gerakan mahasiswa 1968. Oleh karena
kekuatan negara tidak dapat dihancurkan, maka postmodernisme mencoba
menemukan jalan melalui struktur bahasa, melalui kekuatan wacana. Struktur bahasa
dan dengan demikian struktur teks menjadi model, semua disiplin dianggap sebagai
tulisan, sebagai teks dan wacana, sehingga pemecahannya pun dapat dilakukan secara
tekstual. Sasarannya adalah semua sistem pemikiran total, khususnya organisasi politik
yang didasarkan atas struktur masyarakat secara keseluruhan.
            Pada awalnya estetika merupakan studi tentang keindahan, baik dalam karya seni
maupun keindahan alam pada umumnya. Atas dasar pengaruh Plato, sebagian para
filsuf memandang keindahan sebagai kualitas intrinsik yang terkandung dalam objek.
Berbeda dengan pendapat tersebut, pendekatan semiotika, khususnya periode
postmodern lebih banyak memberikan perhatian pada tanda-tanda, sebagai estetika
semiotis, dengan pertimbangan bahwa kualitas estetis bersumber dari dan dihasilkan
melalui pemahaman terhadap sistem tanda. Menurut Noth (1990: 421-428), dengan
mempertimbangkan keterlibatan filsuf Jerman, Baumgarten dan Lambert, mereka
menggunakan istilah estetika dan semiotika pada abad ke-18, secara historis semiotika
dan estetika memiliki asal-usul yang hampir sama. Apabila teori-teori tradisional
3

mengenai seni cenderung didasarkan atas dua prinsip yang berbeda, bahkan
bertentangan, yaitu karya seni sebagai tiruan (mimesis) dan karya seni sebagai karya
seni (I’art pour I’art), semiotika estetis didasarkan atas prinsip semantis dan pragmatis.
Estetika semantik dicirikan oleh karya seni sebagai memiliki tipe-tipe tanda tertentu
dengan mode referensi tertentu juga, sedangkan estetika pragmatis dicirikan melalui
hakikat dan kemampuan karya seni sebagai komunikasi.
            Kualitas estetis dapat dipahami semata-mata melalui tanda, sebagai sistem
komunikasi. Dalam sastralah, sebagai bahasa model kedua, sebagai teks, sistem tanda
tersebut dieksploitasi secara maksimal. Dengan kalimat lain, teks sastra secara
keseluruhan merupakan sistem tanda dan demikian juga sebagai sistem komunikasi.
Kualitas estetis jelas paling banyak ditunjukkan dalam stilistika dan gaya bahasa pada
umumnya.dalam hal ini genre puisilah yang paling banyak berperan.

2.1 Pengertian Postmodern


Menurut Pauline Rosenau (1992) postmodernisme merupakan kritik atas
masyarakat modern dan kegagalannya memenuhi janji-janjinya. Juga postmodern
cenderung mengkritik segala sesuatu yang diasosiasikan dengan modernitas, yaitu pada
akumulasi pengalaman peradaban Barat adalah industrialisasi, urbanisasi, kemajuan
teknologi, negara bangsa, kehidupan dalam jalur cepat. Namun mereka meragukan
prioritas-prioritas modern seperti karier, jabatan, tanggung jawab personal, birokrasi,
demokrasi liberal, toleransi, humanisme, egalitarianisme, penelitian objektif, kriteria
evaluasi, prosedur netral, peraturan impersonal dan rasionalitas. teoritisi postmodern
cenderung menolak apa yang biasanya dikenal dengan pandangan dunia (world view),
metanarasi, totalitas, dan sebagainya.
Dalam bukunya Mengenal Posmodernisme : for begginers, Appignanesi, Garrat,
Sardar, dan Curry (1998) mengatakan bahwa postmodernisme menyiratkan
pengingkaran, bahwa ia bukan modern lagi. Postmodernisme, pada hakikatnya,
merupakan campuran dari beberapa atau seluruh pemaknaan hasil, akibat,
perkembangan, penyangkalan, dan penolakan dari modernisme Postmodernisme
adalah kebingungan yang berasal dari dua teka-teki besar, yaitu:
Ia melawan dan mengaburkan pengertian postmodernisme Ia menyiratkan
pengetahuan yang lengkap tentang modernisme yang telah dilampaui oleh zaman baru.
Sebuah zaman, zaman apapun, dicirikan lewat bukti perubahan sejarah dalam cara kita
4

melihat, berpikir, dan berbuat. Kita dapat mengenali perubahan ini pada lingkup seni,
teori, dan sejarah ekonomi.

2.2 Ciri-Ciri Postmodernisme


Terdapat delapan karakter sosiologis postmodernisme yang menonjol, yaitu :
1 Timbulnya pemberontakan secara kritis terhadap proyek modernitas; memudarnya
kepercayaan pada agama yang bersifat transenden (meta-narasi); dan diterimanya
pandangan pluralisme relativisme kebenaran.
2 Meledaknya industri media massa, sehingga ia bagaikan perpanjangan dari sistem
indera, organ dan saraf kita, yang pada urutannya menjadikan dunia menjadi terasa
kecil. Lebih dari itu, kekuatan media massa telah menjelma bagaikan “agama” atau
“tuhan” sekuler, dalam artian perilaku orang tidak lagi ditentukan oleh agama-
agama tradisional, tetapi tanpa disadari telah diatur oleh media massa, semisal
program televisi.
3 Munculnya radikalisme etnis dan keagamaan. Fenomena ini muncul diduga sebagai
reaksi atau alternatif ketika orang semakin meragukan terhadap kebenaran sains,
teknologi dan filsafat yang dinilai gagal memenuhi janjinya untuk membebaskan
manusia, tetapi sebaliknya, yang terjadi adalah penindasan.
4 Munculnya kecenderungan baru untuk menemukan identitas dan apresiasi serta
keterikatan rasionalisme dengan masa lalu.
5 Semakin menguatnya wilayah perkotaan (urban) sebagai pusat kebudayaan, dan
wilayah pedesaan sebagai daerah pinggiran. Pola ini juga berlaku bagi menguatnya
dominasi negara maju atas negara berkembang. Ibarat negara maju sebagai “titik
pusat” yang menentukan gerak pada “lingkaran pinggir”.
6 Semakin terbukanya peluang bagi klas-klas sosial atau kelompok untuk
mengemukakan pendapat secara lebih bebas. Dengan kata lain, era postmodernisme
telah ikut mendorong bagi proses demokratisasi.
7 Era postmodernisme juga ditandai dengan munculnya kecenderungan bagi
tumbuhnya eklektisisme dan pencampuradukan dari berbagai wacana, potret
serpihan-serpihan realitas, sehingga seseorang sulit untuk ditempatkan secara ketat
pada kelompok budaya secara eksklusif.
5

8 Bahasa yang digunakan dalam waacana postmodernisme seringkali mengesankan


ketidakjelasan makna dan inkonsistensi sehingga apa yang disebut “era
postmodernisme” banyak mengandung paradoks

2.3 Tokoh-Tokoh Postmodernisme


Tokoh-tokoh memegang peran penting sebab tokohlah, sebagai subyek, yang
bertugas untuk mengakumulasikan konsep-konsep sehingga menjadi teori. Setiap tokoh
adalah mata rantai terakhir dalam rangka mengembangkan ilmu pengetahuam demi
kemajuan umat manusia secara keseluruhan. Tokoh – tokoh periode postmodernisme
antara lain:
1.    Charles Sanders Peirce

Peirce lahir di USA ( 1839-1914). Sebagai ahli semiotika, logika, dan matematika,
Pairce lahir sezaman dengan saussure tetapi Peirce melangkah  lebih jauh daripada
Saussure dengan latar belakang sebagai ahli filsafat, ia dapat melihat dunia di luar
struktur sebagai struktur bermakna. Berbeda dengan Saussure dengan konsep diadik,
Peirce menawarkan konsep triadik sehingga terjadi jeda antara oposisi biner. Pierce
jugalah yang mengembangkan teori umum tanda-tanda, sebaliknya Saussure lebih
banyak terlibat dalam teori linguistik umum.
Pada dasarnya Peirce tidak banyak mempermasalahkan estetika dalam tulisan-
tulisannya. Akan tetapi teori-teorinya mengenai tanda menjadi dasar pembicaran
estetika generasi berikutnya. Menurutnya makana tanda yang sesungguhnya adalah
mengemukakan sesuatu. Tanda harus diinterpretasikan agar dari tanda yang orisinil
berkembang tanda-tanda yang baru. Tanda selalu terikat dengan sistem budaya, tanda-
tanda tidak bersifat konvensional, dipahami menurut perjanjian, tidak ada tanda yang
bebas konteks. Tanda selalu bersifat plural, tanda-tanda hanya berfungsi kaitannya
denga tanda lain.
2.    Roman Osipocich Jakobson
Jakobson adalah seorang linguist, ahli sastra, dan semiotikus yang lahir di Rusia
(1896-1982). Pusat perhatiannya adalah integrasi bahasa dan sastra sesuai dengan
tulisannya yang berjudul “Linguistics and Poetics”. Jakobson melukisakan antar
hubungan tersebut dengan mensejajarkan enam faktor bahasa dan enam fungsi bahasa
yang disebut poetic function of lenguage.
Enam faktor bahasa, yaitu:
6

                                                Contecxt
            Addresser                    Message                      Addressee
                                                Contact                                               
                                                Code
            Enam fungsi bahasa, yaitu:
                                                Referential
            Emotive                       Poetic                          Conative
                                                Phatic
                                                Metalingual
3.    Jan Mukarovsky
Mukarovsky lahir di Bohemia(1891-1975). Sebagai pengikut strukturalisme
Praha, ia kemudian mengalami pergeseran perhatian dari struktur ke arah tanggapan
pembaca. Aliran inilah yang disebut strukturalisme dinamik. Sebagai pengikut
kelompok formalis, ia memandang bahwa aspek estetis dihasilkan melalui fungsi
puitika bahasa, seperti deotomatisasi, membuat aneh, penyimpangan, dan
pembongkaran norma-norma lainnya. Meskipun demikian, ia melangkah lebih jauh,
aspek estetika melalui karya seni sebagai tanda, karya sastra sebagai fakta
transindividual. Singkatnya, karya sastra harus dipahami dalam kerangka konteks
sosial, aspek estetis terikat dengan entitas sosial tertentu.
            Peran penting Mukarovsky adalah kemampuannya untuk menunjukkan dinamika
antara totalitas karya dengan totalitas pembaca sebagai penanggap. Ia membawa karya
sastra sebagai dunia yang otonom tetapi selalu dalam kaitannya dengan tanggapan
pembaca yang berubah-ubah. Menurutnya, sebagai struktur dinamik, karya sastra selalu
baerada dalam tegangan antara penulis, pembaca, kenyataan, dan karya itu sendiri
4.    Hans Robert Jauss
Jauss lahir di Jerman. ahli sastra dan kebudayaan abad pertengahan, Jauss ingin
memperbaharui cara-cara lama yang semata-mata mendiskripsikan aspek-aspek
kesejarahan sehingga menjadi lebih bersifat hermeneuitas. Tetapi di pihak lain, ia juga
ingin memperbaharui kelemahan kelompok formalis yang semata-mata bersifat estetis
dan kelompok Marxis yang semata-mata bersifat kenyataan.
Tujuan pokok Jauss adalah memebongkar kecenderungan sejarah sastra
tradisional yang dianggap bersifat universal teleologis, sejarah sastra yang lebih banyak
berkaitan dengan sejarah nasional, sejarah umum, dan rangkaian periode. Konsekuensi
7

loguisnya adalah keterlibatan pembaca. Untuk mempertegas peranan pembaca ini, Jauss
mengintroduksi konsep horison harapan (Erwatungshorizont). Horison harapan
mengandaikan harapan pembaca, cakrawala pembaca, citra yang timbul sebagai akibat
proses pembacaan terdahulu. Jadi, nilai sebuah karya, aspek-aspek estetis yang
ditimbulkannya bergantung dari hubungan antara unsur-unsur karya dengan horison
harapan pembaca.
5.    Jurij Mikhailovich Lotman
Lotman lahir di rusia (1922). Lotman (Fokkema-Kunne Ibsch, 1977: 2) adalah
seorang ahli semiotika struktural,  ahli Rusia abad XVII dan XIX. Konsep dasar yang
dikemukakan adalah peranan bahasa sebagai sistem model pertama (einprimares
modellbildendens system) (PMS) sekaligus sebagai sistem model kedua (ein sekundares
modellbildendes system) (SMS), seperti sastra, film, seni, musik, agama, dan mitos. Dalam
sejarah sastra barat, Lotman (1977: 24-25) juga membedakan antara estetika
persamaan atau identitas (the aesthetic of identy) dengan estetika pertentangan atau
oposisi (the aesthetic of opposition). Estetika pertama merupakan ciri khas foklor atau
karya-karya sastra lama. Sedangkan estetika yang kedua merupakan ciri karya-karya
romantisme, realisme, garda depan, dan karya-karya sastra modern.menurut Lotman
(Fokkema dan Kunne-Ibsch, 1977: 41-43), karya sastra yang bermutu tinggi justru
karya-karya yang menawarkan banyak entropy, kaya dengan ketidakterdugaan yang
tinggi. Aspek estetis dicapai dengan adanya kaitan erat antara aspek semantis dengan
aspek formal teks, sehingga dalam bahasa sehari-hari yang tidak memiliki makna
menjadi bermakna.
6.    Roland Barthes
Barthes adalah seorang ahli semiotika, kritikus sastra, khususnya naratologi.
Barthes lahir di Cherbourg, Perancis (1915-1980). Barhes dan dengan pengikutnya
menolak keras pandangan tradisional yang menganggap pengarang sebagai asal-usul
tunggal karya seni. Jenis paradigma ini telah dikemukakan oleh kelompok strukturalis,
makna karya sastra terletak dalam struktur dengan kualitas regulasinya. Melalui
Bartheskarya sastra mempunyai kekuatan baru, memperoleh kebebasan khususnya
penafsiran pembaca. Meskipun demikian kenikmatan dan kebahagiaan dalam membaca
teks mempunyai arti yang lebih luas, dan dengan sendirinya lebih etis dan estetis.
Konsep lain yang dikemukakan adalah teks sebagai readerly (lisible)
dan writterly (rewritten/scriptible). Teks tidak semata-mata untuk dibaca, tetapi juga
8

untuk ditulis (kembali). Dalam entensitas readerly penulislah yang aktif, sedangkan


pembaca bersifat pasif. Sebaliknya dalam writterly, dengan anggapan bahwa penulis
berada dalam kontruksi anonimitas, maka pembacalah yang bersifat aktif, melalui
aktivitas menulis.
7.    Umberto Eco
Eco adalah seorang semiotikus, kritikus, novelis, dan jurnalis, lahir di Piedmot,
Italia (1932). Menurut Eco (1979: 7), semiotika dikaitkan dengan segala sesuatu yang
berhubungan dengan tanda. Menurut Eco (1979: 182-183) semua bidang dapat dikenal
sebagai kode sejauh mengungkapkan fungsi estetik setiap unsurnya. Sama dengan
Peirce, esensi tanda adalah kesanggupannya dalam mewakili suatu tanda. Setiap kode
memiliki konteks, sebagai konteks sosiokultural. Oleh karena itulah, teori tanda harus
mampu menjelaskan mengapa sebuah tanda memiliki banyak makna dan akhirnya
bagaimana makna-makna baru bisa terbentuk. Dalam hubungan inilah dibedakan
menjadi dua unsur, pertama, unsur yang dapat disesuaikan atau diramalkan oleh kode,
seperti simbol dalam pengertian Peirce. Kedua, adalah unsur yang tidak bisa
disesuaikan dengan mudah, misalnya ikon dalam pengertian Peirce.

2.4 Postmodernisme dalam sastra


Karya sastra lahir karena adanya dorongan-dorongan asasi yang sesuai dengan
dorongan kodrat insaniah seseorang sebagai manusia. Kodrat manusia sebagai insaniah
itu adalah keinginan manusia untuk mengungkapkan diri, untuk menaruh minat pada
realitas kehidupan, dan pada dunia khayal yang diangankan sebagai dunia nyata.
Sejalan dengan kodrat insaniah seseorang itulah, maka dunia sastra sebagai dunia
pengarang penuh dengan realitas kehidupan, sebab pengarang dalam menciptakan
karyanya berpijak pada dua dunia yang berbeda. Pada satu sisi berpijak pada dunia
seni, sedang di sisi lain berpijak pada dunia ilmu. Sastra sebagai seni bisa dinikmati
sedangkan sebagai dunia ilmu, sastra bisa diteliti dan di deskripsikan. Ilmu tentang
sastra meneliti sifat-sifat yang terdapat di dalam teks-teks sastra, dan bagaimana teks-
teks tersebut berfungsi di dalam masyarakat
Sastra sebagai karya imajinatif selain unsur-unsur yang ada di dalam teks, juga
mempunyai keterkaitan dengan sesuatu di luar teks. Hal yang tidak terwakilkan itu
berkaitan dengan penciptaannya, zaman atau lingkungannya bahkan masalah
kehidupan yang luas seakan-akan cerita itu adalah suatu kenyataan. Sastra menyajikan
9

nilai-nilai keindahan serta memaparkan peristiwa yang mampu memberikan kepuasan


batin pembacanya, mengandung pandangan yang berhubungan dengan masalah
keagamaan, filsafat, politik, maupun berbagai problema kehidupan
Dalam kaitannya dengan perkembangan zaman, beberapa dekade ini dunia
sastra mengalami pergolakan. Pergolakan tersebut tidak bisa dipisahkan dari konteks
modernisasi, khususnya dalam bidang filsafat, ilmu, seni dan kebudayaan. Manusia
merasa tidak puas dan tidak dapat bertahan dengan perkembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi, kapitalisme, serta cara berpikir modern. Modernisme dianggap sudah
usang dan harus diganti dengan paradigma baru yang disebut postmodernisme.
Postmodernisme adalah meleburnya batas wilayah dan pembedaan antar
budaya tinggi dengan budaya rendah, antara penampilan dan kenyataan, dan segala
oposisi biner lainnya yang selama ini dijunjung tinggi oleh teori sosial dan filsafat
konvensional. Dengan demikian, posmodern secara umum adalah proses dediferensiasi
dan munculnya peleburan di segala bidang (Jean Baudrillard dalam Munir Fuady, 2005:
98);

Postmodernisme erat kaitannya dengan sosiologi sastra, pendekatan sosiologis


sangat dipertimbangkan pada era postmodernisme. Dasar filosofis pendekatan
sosiologis adalah adanya hubungan hakiki antara karya sastra dengan masyarakat.
Hubungan-hubungan yang dimaksudkan disebabkan oleh: a) karya sastra dihasilkan
oleh pengarang, b) pengarang adalah anggota masyarakat itu sendiri, c) pengarang
memanfaatkan kekayaan yang ada dalam masyarakat, dan d) hasil karya sastra itu
dimanfatkan kembali oleh masyarakat. Sehingga semangat yang dibagun
postmodernisme dan sosiologi dalam dunia sastra saling berkaitan karena memiliki
objek penelitian yang sama yaitu masyarakat dan segala sesuatu yang dihasilkan
masyarakat itu sendiri
Ada beberapa asumsi yang memunculkan postmodernisme sebagai sesuatu yang
sangat penting bagi kehidupan masyarakat sosial, antara lain: 1) postmodernisme
adalah pergerakan ide yang menggantikan ide-ide zaman modern (yang mengutamakan
rasio, objektivitas, dan kemajuan); 2) postmodernisme memiliki cita-cita, ingin
meningkatkan kondisi ekonomi dan sosial, kesadaran akan peristiwa sejarah dan
perkembangan dalam agama, penyiaran seni dan budaya
10

Pada dasarnya, postmodern muncul sebagai reaksi terhadap fakta tidak pernah
tercapainya impian yang dicita-citakan dalam era modern. Era modern yang
mengedepankan reason, nature, happiness, progress, dan liberty sepintas telah
menghasilkan kemajuan yang pesat dalam bidang seni dan budaya bahkan sastra.
Namun kenyataan yang terjadi modernisme memberikan dampak negatif bagi
kehidupan sosial masyarakat. Rasionalitas modern gagal menjawab kebutuhan manusia
secara utuh. Ilmu pengetahuan terbukti tidak dapat menyelesaikan semua masalah
manusia. Teknologi juga tidak memberikan waktu senggang bagi manusia untuk
beristirahat dan menikmati hidup.
Sastra modernisme mengatakan bahwa semua masyarakat dan kebudayaan
mempunyai struktur yang sama sehingga teks (hasil sastra) dapat dibaca dan dipahami
secara universal. Dalam hal ini terdapat perbedaan dengan postmodernisme yang
menganggap bahwa makna tidaklah terdapat dalam teks, melainkan muncul dari
masing-masing pribadi yang membaca teks. Secara tidak langsung, hal ini menyatakan
bahwa seorang penulis tidak dapat menuntut haknya atas pemaknaan teks yang
ditulisnya karena semua orang boleh membaca teks tersebut dan memaknainya sesuai
dengan penafsiran masing-masing.
Dari teori sastra dekonstruksi, filsafat postmodern menerapkannya pada
realitas. Pemaknaan sebuah realitas sah-sah saja dinilai berbeda oleh masing-masing
individu. Tidak ada standar tertentu untuk memaknai atau memahami suatu hal. Makna
tidak lagi bernilai objektif, dalam pengertian dapat diterima secara universal.
Pemaknaan menjadi subjektif, dan pemaknaan subjektif menjadi kebenaran bagi
pribadi yang bersangkutan. Cukup banyak pengaruh yang dimunculkan oleh
postmodernisme dalam berbagai aspek kehidupan yaitu memberikan penghargaan
besar terhadap alam dan mendorong kebangkitan golongan tertindas atau kelas sosial
yang termarjinalkan.
11

BAB III
PENUTUP

3.1.  Simpulan
Postmodernisme pada dasarnya mempelajari tanda pada bahasa, periode
postmodern lebih banyak memberikan perhatian pada tanda-tanda, sebagai estetika
semiotis, dengan pertimbangan bahwa kualitas estetis bersumber dari dan dihasilkan
melalui pemahaman terhadap sistem tanda. Postmodernisme, pada hakikatnya,
merupakan campuran dari beberapa atau seluruh pemaknaan hasil, akibat,
perkembangan, penyangkalan, dan penolakan dari modernisme Postmodernisme
adalah kebingungan yang berasal dari dua teka-teki besar.
3.2.  Saran
Dalam penyusunan makalah ini,  kami menyadari bahwa masih banyak kekurangan
yang harus dilengkapi, sehingga kami mengharapkan saran dari pembaca untuk
memperbaiki makalah ini.
12

DAFTAR PUSTAKA

Ratna, Nyoman Kutha.2011.estetika sastra dan budaya.Yogyakarta: Pustaka Belajar


DAFTAR PUSTAKA

Agger, Ben. 2003. Teori Sosial kritis: Kritik, Penerapan dan Implikasinya. Kreasi
Wacana: Yogyakarta

Ahmed, Akbar S. 1992. Postmodernisme: Bahaya dan Harapan Bagi Islam. Mizan:


Bandung

Jones, Pip. 2009. Pengantar Teori-Teori Sosial: Dari Teori Fungsionalisme Hingga Post-
Modernisme. Yayasan Obor Indonesia: Jakarta

Ritzer, George. 2004. Teori Sosial Postmodern. Juxtapose bekerjasama dengan Kreasi


Wacana: Yogyakarta

Santoso, Listiyono. 2009. Postmodernisme: Kritik atas Epistemologi Modern (dalam


“Epistemologi Kiri”). Ar Ruzz Media Cetakan Ke-VI

Anda mungkin juga menyukai