PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Perkembangan filsafat fenomenologi pada masa awal abad ke dua puluh yang
mengkritisi pendekatan matematis dari modernisme kemudian membawa suatu
pendekatan baru dalam estetika. Dalam fenomenologi, perhatian lebih diarahkan
kepada keberadaan subjek yang mempersepsi objek daripada kepada objek itu sendiri.
Dengan kata lain hal ini dapat dikatakan sebagai: membuka kemungkinan adanya
subjektivitas. Hal ini menimbulkan kesadaran akan adanya konteks ruang dan waktu;
bahwa pengamat dari tempat yang berbeda akan memiliki standar penilaian yang
berbeda, dan begitu pula dengan pengamat dari konteks waktu yang berbeda.
Pemikiran inilah yang kemudian akan berkembang menjadi postmodernisme.dari
terbukanya kemungkinan untuk bersifat subjektif memberi jalan bagi keberagaman
dalam estetika.
1.2. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian postmodernisme?
2. Apa ciri-ciri postmodernisme?
3. Siapa tokoh-tokoh yang ada pada periode postmodernisme?
4. Bagaimana kaitannya Postmodernisme dalam sastra?
1.3. Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian postmodernisme
2. Untuk mengetahui ciri-ciri dari periode postmodernisme
3. Untuk mengetahui tokoh-tokoh yang ada pada periode postmodernisme
4. Untuk mengetahui postmodernisme dalam sastra
1
2
BAB II
PEMBAHASAN
mengenai seni cenderung didasarkan atas dua prinsip yang berbeda, bahkan
bertentangan, yaitu karya seni sebagai tiruan (mimesis) dan karya seni sebagai karya
seni (I’art pour I’art), semiotika estetis didasarkan atas prinsip semantis dan pragmatis.
Estetika semantik dicirikan oleh karya seni sebagai memiliki tipe-tipe tanda tertentu
dengan mode referensi tertentu juga, sedangkan estetika pragmatis dicirikan melalui
hakikat dan kemampuan karya seni sebagai komunikasi.
Kualitas estetis dapat dipahami semata-mata melalui tanda, sebagai sistem
komunikasi. Dalam sastralah, sebagai bahasa model kedua, sebagai teks, sistem tanda
tersebut dieksploitasi secara maksimal. Dengan kalimat lain, teks sastra secara
keseluruhan merupakan sistem tanda dan demikian juga sebagai sistem komunikasi.
Kualitas estetis jelas paling banyak ditunjukkan dalam stilistika dan gaya bahasa pada
umumnya.dalam hal ini genre puisilah yang paling banyak berperan.
melihat, berpikir, dan berbuat. Kita dapat mengenali perubahan ini pada lingkup seni,
teori, dan sejarah ekonomi.
Peirce lahir di USA ( 1839-1914). Sebagai ahli semiotika, logika, dan matematika,
Pairce lahir sezaman dengan saussure tetapi Peirce melangkah lebih jauh daripada
Saussure dengan latar belakang sebagai ahli filsafat, ia dapat melihat dunia di luar
struktur sebagai struktur bermakna. Berbeda dengan Saussure dengan konsep diadik,
Peirce menawarkan konsep triadik sehingga terjadi jeda antara oposisi biner. Pierce
jugalah yang mengembangkan teori umum tanda-tanda, sebaliknya Saussure lebih
banyak terlibat dalam teori linguistik umum.
Pada dasarnya Peirce tidak banyak mempermasalahkan estetika dalam tulisan-
tulisannya. Akan tetapi teori-teorinya mengenai tanda menjadi dasar pembicaran
estetika generasi berikutnya. Menurutnya makana tanda yang sesungguhnya adalah
mengemukakan sesuatu. Tanda harus diinterpretasikan agar dari tanda yang orisinil
berkembang tanda-tanda yang baru. Tanda selalu terikat dengan sistem budaya, tanda-
tanda tidak bersifat konvensional, dipahami menurut perjanjian, tidak ada tanda yang
bebas konteks. Tanda selalu bersifat plural, tanda-tanda hanya berfungsi kaitannya
denga tanda lain.
2. Roman Osipocich Jakobson
Jakobson adalah seorang linguist, ahli sastra, dan semiotikus yang lahir di Rusia
(1896-1982). Pusat perhatiannya adalah integrasi bahasa dan sastra sesuai dengan
tulisannya yang berjudul “Linguistics and Poetics”. Jakobson melukisakan antar
hubungan tersebut dengan mensejajarkan enam faktor bahasa dan enam fungsi bahasa
yang disebut poetic function of lenguage.
Enam faktor bahasa, yaitu:
6
Contecxt
Addresser Message Addressee
Contact
Code
Enam fungsi bahasa, yaitu:
Referential
Emotive Poetic Conative
Phatic
Metalingual
3. Jan Mukarovsky
Mukarovsky lahir di Bohemia(1891-1975). Sebagai pengikut strukturalisme
Praha, ia kemudian mengalami pergeseran perhatian dari struktur ke arah tanggapan
pembaca. Aliran inilah yang disebut strukturalisme dinamik. Sebagai pengikut
kelompok formalis, ia memandang bahwa aspek estetis dihasilkan melalui fungsi
puitika bahasa, seperti deotomatisasi, membuat aneh, penyimpangan, dan
pembongkaran norma-norma lainnya. Meskipun demikian, ia melangkah lebih jauh,
aspek estetika melalui karya seni sebagai tanda, karya sastra sebagai fakta
transindividual. Singkatnya, karya sastra harus dipahami dalam kerangka konteks
sosial, aspek estetis terikat dengan entitas sosial tertentu.
Peran penting Mukarovsky adalah kemampuannya untuk menunjukkan dinamika
antara totalitas karya dengan totalitas pembaca sebagai penanggap. Ia membawa karya
sastra sebagai dunia yang otonom tetapi selalu dalam kaitannya dengan tanggapan
pembaca yang berubah-ubah. Menurutnya, sebagai struktur dinamik, karya sastra selalu
baerada dalam tegangan antara penulis, pembaca, kenyataan, dan karya itu sendiri
4. Hans Robert Jauss
Jauss lahir di Jerman. ahli sastra dan kebudayaan abad pertengahan, Jauss ingin
memperbaharui cara-cara lama yang semata-mata mendiskripsikan aspek-aspek
kesejarahan sehingga menjadi lebih bersifat hermeneuitas. Tetapi di pihak lain, ia juga
ingin memperbaharui kelemahan kelompok formalis yang semata-mata bersifat estetis
dan kelompok Marxis yang semata-mata bersifat kenyataan.
Tujuan pokok Jauss adalah memebongkar kecenderungan sejarah sastra
tradisional yang dianggap bersifat universal teleologis, sejarah sastra yang lebih banyak
berkaitan dengan sejarah nasional, sejarah umum, dan rangkaian periode. Konsekuensi
7
loguisnya adalah keterlibatan pembaca. Untuk mempertegas peranan pembaca ini, Jauss
mengintroduksi konsep horison harapan (Erwatungshorizont). Horison harapan
mengandaikan harapan pembaca, cakrawala pembaca, citra yang timbul sebagai akibat
proses pembacaan terdahulu. Jadi, nilai sebuah karya, aspek-aspek estetis yang
ditimbulkannya bergantung dari hubungan antara unsur-unsur karya dengan horison
harapan pembaca.
5. Jurij Mikhailovich Lotman
Lotman lahir di rusia (1922). Lotman (Fokkema-Kunne Ibsch, 1977: 2) adalah
seorang ahli semiotika struktural, ahli Rusia abad XVII dan XIX. Konsep dasar yang
dikemukakan adalah peranan bahasa sebagai sistem model pertama (einprimares
modellbildendens system) (PMS) sekaligus sebagai sistem model kedua (ein sekundares
modellbildendes system) (SMS), seperti sastra, film, seni, musik, agama, dan mitos. Dalam
sejarah sastra barat, Lotman (1977: 24-25) juga membedakan antara estetika
persamaan atau identitas (the aesthetic of identy) dengan estetika pertentangan atau
oposisi (the aesthetic of opposition). Estetika pertama merupakan ciri khas foklor atau
karya-karya sastra lama. Sedangkan estetika yang kedua merupakan ciri karya-karya
romantisme, realisme, garda depan, dan karya-karya sastra modern.menurut Lotman
(Fokkema dan Kunne-Ibsch, 1977: 41-43), karya sastra yang bermutu tinggi justru
karya-karya yang menawarkan banyak entropy, kaya dengan ketidakterdugaan yang
tinggi. Aspek estetis dicapai dengan adanya kaitan erat antara aspek semantis dengan
aspek formal teks, sehingga dalam bahasa sehari-hari yang tidak memiliki makna
menjadi bermakna.
6. Roland Barthes
Barthes adalah seorang ahli semiotika, kritikus sastra, khususnya naratologi.
Barthes lahir di Cherbourg, Perancis (1915-1980). Barhes dan dengan pengikutnya
menolak keras pandangan tradisional yang menganggap pengarang sebagai asal-usul
tunggal karya seni. Jenis paradigma ini telah dikemukakan oleh kelompok strukturalis,
makna karya sastra terletak dalam struktur dengan kualitas regulasinya. Melalui
Bartheskarya sastra mempunyai kekuatan baru, memperoleh kebebasan khususnya
penafsiran pembaca. Meskipun demikian kenikmatan dan kebahagiaan dalam membaca
teks mempunyai arti yang lebih luas, dan dengan sendirinya lebih etis dan estetis.
Konsep lain yang dikemukakan adalah teks sebagai readerly (lisible)
dan writterly (rewritten/scriptible). Teks tidak semata-mata untuk dibaca, tetapi juga
8
Pada dasarnya, postmodern muncul sebagai reaksi terhadap fakta tidak pernah
tercapainya impian yang dicita-citakan dalam era modern. Era modern yang
mengedepankan reason, nature, happiness, progress, dan liberty sepintas telah
menghasilkan kemajuan yang pesat dalam bidang seni dan budaya bahkan sastra.
Namun kenyataan yang terjadi modernisme memberikan dampak negatif bagi
kehidupan sosial masyarakat. Rasionalitas modern gagal menjawab kebutuhan manusia
secara utuh. Ilmu pengetahuan terbukti tidak dapat menyelesaikan semua masalah
manusia. Teknologi juga tidak memberikan waktu senggang bagi manusia untuk
beristirahat dan menikmati hidup.
Sastra modernisme mengatakan bahwa semua masyarakat dan kebudayaan
mempunyai struktur yang sama sehingga teks (hasil sastra) dapat dibaca dan dipahami
secara universal. Dalam hal ini terdapat perbedaan dengan postmodernisme yang
menganggap bahwa makna tidaklah terdapat dalam teks, melainkan muncul dari
masing-masing pribadi yang membaca teks. Secara tidak langsung, hal ini menyatakan
bahwa seorang penulis tidak dapat menuntut haknya atas pemaknaan teks yang
ditulisnya karena semua orang boleh membaca teks tersebut dan memaknainya sesuai
dengan penafsiran masing-masing.
Dari teori sastra dekonstruksi, filsafat postmodern menerapkannya pada
realitas. Pemaknaan sebuah realitas sah-sah saja dinilai berbeda oleh masing-masing
individu. Tidak ada standar tertentu untuk memaknai atau memahami suatu hal. Makna
tidak lagi bernilai objektif, dalam pengertian dapat diterima secara universal.
Pemaknaan menjadi subjektif, dan pemaknaan subjektif menjadi kebenaran bagi
pribadi yang bersangkutan. Cukup banyak pengaruh yang dimunculkan oleh
postmodernisme dalam berbagai aspek kehidupan yaitu memberikan penghargaan
besar terhadap alam dan mendorong kebangkitan golongan tertindas atau kelas sosial
yang termarjinalkan.
11
BAB III
PENUTUP
3.1. Simpulan
Postmodernisme pada dasarnya mempelajari tanda pada bahasa, periode
postmodern lebih banyak memberikan perhatian pada tanda-tanda, sebagai estetika
semiotis, dengan pertimbangan bahwa kualitas estetis bersumber dari dan dihasilkan
melalui pemahaman terhadap sistem tanda. Postmodernisme, pada hakikatnya,
merupakan campuran dari beberapa atau seluruh pemaknaan hasil, akibat,
perkembangan, penyangkalan, dan penolakan dari modernisme Postmodernisme
adalah kebingungan yang berasal dari dua teka-teki besar.
3.2. Saran
Dalam penyusunan makalah ini, kami menyadari bahwa masih banyak kekurangan
yang harus dilengkapi, sehingga kami mengharapkan saran dari pembaca untuk
memperbaiki makalah ini.
12
DAFTAR PUSTAKA
Agger, Ben. 2003. Teori Sosial kritis: Kritik, Penerapan dan Implikasinya. Kreasi
Wacana: Yogyakarta
Jones, Pip. 2009. Pengantar Teori-Teori Sosial: Dari Teori Fungsionalisme Hingga Post-
Modernisme. Yayasan Obor Indonesia: Jakarta