Anda di halaman 1dari 8

Bab VI

Teori sastra Postmodernisme


A. Pengertian Postmodernisme
Istilah postmodern secara harfiah berarti “setelah modern”. Istilah “modern”,
yang berarti zaman baru, berasal dari bahasa Latin modernus, yang telah digunakan
sejak abad ke-5 M untuk menunjuk batas antara era kekuasaan agama Kristen dan
era Paganisme Romawi (Smart, 1990). Istilah ini kemudian berkembang menjadi
beberapa istilah turunan yang kesemuanya menunjuk pada suatu kurun sejarah
setelah era Abad Pertengahan. Beberapa istilah tersebut adalah modernitas,
modernisasi dan modernisme. Dalam penggunaannya, seringkali terjadi tumpang
tindih dan simplifikasi pengertian di antara berbagai istilah ini. Meskipun demikian,
diterima suatu kenyataan bahwa yang diacu oleh istilah-istilah ini adalah suatu era
kebudayaan baru yang ditegakkan oleh rasio, subjek dan wacana antropomorfisme.
Modernisasi (modernization) berarti proses berlangsungnya proyek mencapai
kondisi modernitas. Modernisasi mencakup proses pengucilan karya-karya klasik,
warisan masa lampau dan sejarah purbakala, karena modernitas pada hakekatnya
mengambil posisi yang berlawanan dengan hal-hal lama demi terciptanya hal-hal
baru. Dengan demikian, modernisasi adalah pandangan dan sikap hidup yang dianut
untuk menghadapi masa kini, yakni pandangan dan sikap hidup dalam menghadapi
kenyataan hidup masa kini. Modernisasi ditandai oleh pemutusan hubungan secara
tegas terhadap nilai-nilai tradisional; berkembangnya sistem ekonomi kapitalisme
progresif; rasionalisasi administratif; serta diferensiasi sosial dan budaya
(Featherstone, 1988). Kembali merujuk Berman, realitas modern yang dicapai
melalui proses modernisasi ini memiliki beberapa komponen utama, yakni
industrialisasi, urbanisasi, konsep negara-bangsa (nation-state), struktur birokrasi,
pertumbuhan penduduk yang tinggi, sistem komunikasi dan kekuasaan baru, serta
pasar kapitalisme dunia (Turner,1990).
Jika merujuk makna kamus, Oxford English Dictionary mendefinisikan terma
postmodernisme sebagai "suatu gaya dan konsep dalam seni yang dicirikan oleh
sikap ketidakpercayaan terhadap teori dan ideologi." Dalam kamus Merriam-
Webster Dictionary, postmodern didefinisikan sebagai "yang berhubungan dengan
atau sebuah era setelah era modern " atau " yang berhubungan dengan salah satu
dari berbagai gerakan sebagai reaksi terhadap modernisme yang dicirikan oleh sikap
kembali ke bentuk dan bahan tradisional (dalam arsitektur) atau oleh sikap referensi-
diri yang ironis dan absurd (dalam sastra)", atau juga "yang berhubungan dengan
atau suatu teori yang melibatkan penolakan radikal atas asumsi-asumsi modern
mengenai kebudayaan, identitas, sejarah dan bahasa". Sementara itu, American
Heritage Dictionary menjelaskan istilah yang sama sebagai "sesuatu yang
berhubungan dengan seni, arsitektur, atau sastra yang bereaksi menolak prinsip-
prinsip modernisme, dengan cara memperkenalkan kembali unsur-unsur gaya
tradisional atau klasik atau dengan cara membawakan gaya atau praktik modernisme
secara ekstrim”.
Postmodernisme awalnya memang merupakan reaksi terhadap modernisme.
Postmodernisme merujuk pada bentuk-bentuk kebudayaan, intelektual, dan seni
yang telah kehilangan hirarki atau prinsip kesatuan serta disarati kompleksitas
ekstrim, kontradiksi, ambiguitas, perbedaan, dan kesalingtautan sehingga sulit
dibedakan dengan parodi. Sementara itu, terma postmodernitas adalah istilah
turunan postmodernisme yang merujuk pada aspek-aspek non-seni sejarah yang
dipengaruhi oleh berbagai gerakan baru, terutama perkembangan dalam dunia
sosial, ekonomi dan kebudayaan sejak tahun 1960-an. Ketika pemikiran tentang
penolakan terhadap modernisme diadopsi oleh ranah teori yang lain, dalam beberapa
hal ia menjadi sama dengan postmodernitas. Istilah postmodernitas sendiri juga
sering dikaitkan dengan poststrukturalisme (ala Michel Foucault) dan dengan
modernisme, dalam pengertian penolakan terhadap budaya borjuis elit.
Istilah postmodern pertama kali dipergunakan sekitar tahun 1870-an dalam
berbagai bidang. Sebagai contoh, John Watkins Chapman menyuarakan "lukisan
gaya postmodern" yang berbeda dengan Impressionisme Perancis. Selanjutnya J.M.
Thompson, dalam sebuah artikelnya di tahun 1914 di jurnal The Hibbert Journal,
menggunakannya untuk menggambarkan perubahan sikap dan kepercayaan dalam
wilayah kritik agama (Smart, 1990). Pada tahun 1917 Rudolf Pannwitz
menggunakan istilah postmodern untuk menjelaskan sebuah kebudayaan yang
berorientasi filsafat. Gagasan Pannwitz tentang postmodernisme datang dari analisis
Nietzsche tentang modernitas dan sejarahnya yang berakhir pada dekadensi dan
nihilisme (Turner, 1990). Istilah potmodernisme selanjutnya digunakan pada tahun
1926 oleh B.I. Bell dalam artikelnya "Postmodernism and Other Essays." Pada
tahun 1925 dan 1921 istilah itu digunakan untuk menjelaskan bentuk baru seni dan
musik. Tahun 1942 H. R. Hays menggunakannya untuk merujuk sebentuk karya
sastra baru. Tahun 1939, Arnold J. Toynbee, seorang sejarawan terkemuka pada
zamannya menggunakan istilah postmodernisme untuk menjelaskan sebuah sejarah
pemikiran (Turner, 1990).
Istilah postmodern selanjutnya digunakan untuk menggambarkan seluruh
gerakan, terutama dalam seni, musik dan sastra yang menentang modernisme dan
secara tipikal ditandai dengan dilahirkannya kembali unsur-unsur dan teknik-teknik
tradisional. Pemikiran teoritis postmodern dalam filsafat dan analisis kebudayaan
serta masyarakat telah memperluas arti penting teori ini dan menjadi titik berangkat
berbagai gerakan untuk mengevaluasi sistem nilai Barat yang berlangsung sejak
tahun 1960-an.
B. Teori Postmodern di Indonesia
Masa reformasi yang dimulai pada 1998, sejak runtuhnya Rezim Soeharto telah
memberikan kebebasan kepada semua masyarakat Indonesia untuk menyammpaikan
kritik kepada pemerintah. Sangat dipengaruhi oleh nuansa kebebasan yang ad ajika
dibandingkan dengan nuansa kebebasan pada orde baru. Allen (2004: 176). Akibat
politik orde baru yang mencekoki masyarakat Indonesia selama 32 tahun telah
menanamkan rasa ketidakpercayaan masyarakat kepada pemerintah yang sedang
berkuasa.
Posmodernisme menyiratkan diseminasi budaya serta paradigma tentang
keterpusatan, termasuk bagaimana sastra mendefinisikan serta mengklasifikasi diri.
Posmodern juga secara tidak langsung mendekonstruksi kestabilan klasifikasi antara
sastra adiluhung dan sastra populer. Proses dinamika pemisah antara adiluhung dan
populer menjadi semakin berantakan ketika kritik dekonstruktif yang khas dengan
eksklusivitas sastra adiluhung justru mendestruksikan diri dan menjadi hal yang
populer, seperti karya fiksi bertema LGBT, (a)moralitas, anti-hero, dan lain
sebagainya yang justru diterima publik dan menjadi populer. Ada peran
perkembangan teknologi yang menjadikan fenomena nilai kesusastraan menyebar,
bukan terpusat pada institusi representatif, melainkan berada pada kedekatan
pembaca-penulis yang termediasi oleh media elektronik. Dari sini, siber sastra hadir.
Artinya, siber sastra menciptakan interaktivitas pembaca-penulis nteraktivitas
pembaca-penulis adalah mode baru dalam apresiasi sastra. Masyarakat siber
berperan penting dalam menghadirkan fenomena interaktivitas karena mereka
adalah pengguna aktif di jejaring maya atau media sosial. Media sosial memberikan
ruang interaksi antara penulis dan pembaca, seperti halnya di twitter, facebook,
wattpad, dan berbagai media sosial. Tiap aplikasi tersebut memiliki kelebihan,
misalnya ada kolom komentar, fitur follow, thread, dan lain sebagainya. Misalnya
saja, kolom komentar. Ia mampu memberikan ruang reaktif—baik itu ujaran
kebencian maupun kekaguman, mulai kritik sampai apresiasi—pada pembaca
sehingga interaksi terjadi. Interaktivitas penulis dan pembaca menghasilkan
pertukaran pendapat. Tentu saja, penyebaran karya sastra berkembang dari mode
konvensional menuju mode kekinian, mulai dari koran, majalah, buku, sampai pada
media internet. Jika sastra terlahir secara prematur dalam lingkup sastra lisan
kemudian bergerak menuju media cetak atau tulisan, yang akhirnya terjebak pada
kendala finansial sampai kritik politis ekokritik yang menghambat penyebaran sastra
melalui media cetak, nampaknya kehadiran sastra di dunia maya menjadi jalan
perkembangan yang melampaui aktivitas konvensional sebelumnya. Jika dalam
mode luar jaringan, penulis awam tidak memiliki peluang, dunia siber memberi
peluang menulis di jejaring media sosial dengan akomodasi internet. Mulai dari
koputer, laptop, tablet, sampai telepon genggam, internet adalah pemicu dari
perangkat elektronik tersebut dan internet menjadikan informasi sebagai kebutuhan.
Tentu saja, karya sastra dapat menyusup ke dalam perkembangan budaya dan
teknologi tersebut. Menurut Ryan (2013), komputer tidak hanya menyediakan
saluran transmisi untuk teks-teks fiksi penggemar, tetapi juga dapat menjadi alat
produksi. Dari sini, dunia maya atau siber, telah menjadi fenomena lahirnya
siberteks.
Kelahiran karya sastra sangat dipengaruhi oleh peristiwa-peristiwa disekitar
kehidupan pengarang dan pengalaman-pengalaman yang diperoleh dari kehidupan
masyarakat. Junus (1985: X) menyampaikan bahwa karya sastra tidak terlepas dari
tradisi sastra yang menjadi latar belakang penciptaannya dan realitas sosial yang
terhubung pada sastrawan.
Teknik penceritaan karya sastra menyamakan dengan perkembangan aliran
kesastraan yang mewarnai kehidupan sastra Indonesia. Perkembangan kelahiran
karya sastra memiliki berbagai aloran-alirann kesastraan yang muncul sesuai dengan
zamannya, seperti aliran romantisme yang didominasikan oleh karya-karya
Rawamangun (di Indonesia), aliran struktualisme hingga aliran postmedernisme.
Postmodernisme merupakan suatu aliran besar yang merupakan negasi dari
pemikiran besar sebelumya.
Teori postmodernisme mempercayai bahwa konstruksi yang berorientasi pada
pusat selalu memojokkan kaum menengah bawah sebagai kaum yang memiliki
tempat atau hak untuk menyampaikan suara. Teori postmodernasi mempercayai
bahwa sejarah yang ditulis oleh seorang sejarah senantiasa memposisikan kelas atas
sebagai pihak yang mendominasi sedangkan kelas rendah selalu ditekan.
Postmodernisme pada dasarnya membangun serta mendukung dan sekaligus
menghancurkan serta meruntuhkan konvensi dan pengandaian yang ditentangnya
(Hutcheon, 1992:2) allen (2004:171) menyatakann bahwa postmodernisme
dipandang sebagai suatu bagian dari tradisi modernasi tinggi yang beraksi terhaddap
modernism.
1. Antinarasi Besar
Antinarasi besar adalah salah saru dari karya sastra yang mempunyai
salah satu ciri yang mempunyai aliran postmodernisme. Karya sastra yang
antinarasi besar biasanya mengangkat masyarakat keci sebagai bagian
dalam cerita-cerita kehidupan masyarakat bawah yang tidak pernah
dibicarakan dan diangkat dalam karya sastra sebagai fokus cerita.

2. Parodi
Parodi merupakan salah satu bahasa visual yang sering digunakan
untuk menghasilkan efek-efek visual tersebut. Di dalam bukunya berjuluk
A Theory of Parodi, Linda Hutcheon (l985:114) mendefinisikan parodi
sebagai suatu bentuk tiruan atau imitasi (visual) yang di dalamnya
mengandung unsur-unsur ironi. Parodi merupakan sebuah relasi bentuk
atau struktural antara dua teks. Sebuah teks baru dihasilkan dalam kaitan
politisnya dengan teks rujukan yang bersifat serius. Parodi dalam
posmodernisme merupakan sebuah wacana yang berupaya
mempertanyakan kembali subjek pencipta sebagai sumber makna. Ia
menyiratkan satu upaya berdialog dengan masa lalu dan dengan sejarah.
Ia membangun masa kini dengan merujuk pada seperangkat kodekode
sebagai satu upaya ideologis. Di dalam parodi terdapat sebuah ruang
kritik, untuk mengungkapkan satu ketidakpuasan atau bisa juga sekadar
ungkapan rasa humor belaka. Untuk itu, kritik, sindiran, kecaman,
plesetan, olok-olok, main-main, seringkali dijadikan sebagai titik awal
dari sebuah parodi. Karena itulah, sebagai salah satu strategi visual,
parodi merupakan relasi visual dan makna di antara dua atau lebih teks
atau gambar yang menghasilkan sebuah komposisi dan makna baru.
3. Metafisika Histiografi
Hutcheon (1991:108) berpendapat postmodernasi adalah metafisika
historigrapi. Metafisika historigrapi menentang metafisika radikal kaum
modernasi. Hutcheon juga bependapat bahwa metafisika historiografi
menentang metafisika radikal kaum modernis, berusaha mengangkat
sastra pinggiran dengan menentang sejarah, dan itu dilakukan secara
tematik dan bentuk.

C. Drama absurb sebagai salah satu bentuk karya sastra postmodern


Drama, merupakan salah satu gendre sastra yang juga diajarkan baik pada
sekolah lanjutan maupun perguruan tinggi. Pengajaran drama di sekolah dan
perguruan tinggi di Indonesia, selama ini disinyalir masih kurang memuaskan.
Berbagai persoalan yang mempengaruhi kondisi tersebut masih berkaitan dengan
masalah lemahnya strategi pembelajaran. Padahal diketahui bersama bahwa,
pembelajaran drama, sebagaimana juga gendre sastra lainnya tidak semata-mata
bertujuan agar anak didik menjadi sastrawan atau dramawan yang handal,
melainkan lebih untuk memberi kemampuan mengapresiasi darma. Kemampuan
mengapresiasi tersebut akan mengantar anak didik untuk lebih meminati dan
bersikap positif terhadap drama. Dalam konteks pembelajaran bahasa asing,
kemampuan memahami teks, menganalisis makna yang terkandung dan
keterampilan mengungkapkan ide dan pendapat mereka akan sangat membantu
pengembangan kemampuan berbahasa mereka. Persoalannya adalah banyak
pengajar yang masih belum memahami secara baik, bagaimana mengajarkan drama.
Drama hanya dimaknai sebagai sandiwara yang akan sulit diajarkan di kelas karena
berbagai kendala. Padahal dalam konteks belajar bahasa asing, teks drama
seharusnya dapat dijadikan sarana yang sangat membantu upaya peningkatan
kemampuan berbahasa anak didik. Terkait dengan itu guru memerlukan pemahaman
yang baik tentang segala sesuatu yang berkaitan dengan hakikat drama termasuk
didaktik dan metodik pembelajarannya.
Istilah teater atau drama absurd digunakan antara lain oleh Maartin Esslin untuk
jjenis teater yang mengungkapkan kegagalan Bahasa sebagai alat komunikasi,
seperti yang juga disampaikan oleh Eugene Lonesco, salah seorang penulis teater
absurd yang drama-dramanya pernah juga diterjemahkan dan dipentaskan di
Indonesia. Drama absurd dapat dikatakan drama yang tidak jelas temanya, drama
absurd berbeda berbeda dengan drama propaganda yang memiliki tema jelas.
Absurditas sebuah lakon teater dicirikan oleh adanya tokoh yang tidak jelas, dialog
yang tidak memiliki kaitan antara satu dengan yang lain,dan alur yang memutar.
Di Tanah air Indonesia, Rendra pada tahun 1960-an menerjemahkan dan,
terutama, mementaskan beberapa drama absurd karya Ionesco dan disusul pada awal
tahun 1970-an dengan pementasan mahakarya Samuel Beckett, Menuggu Godot.
Semenjak itu, gagasan mengenai teater absurd baru benar-benar menjadi bagian
dalam proses perkembangan penulisan dan pementasan perkembangan drama di
Indonesia. Damono ( 2002: iv) menyampaikan bahwa kesadaran akan adanya jenis
teater baru (absurd) itu sudah beredar di dunia pemikiran kebudayaan kita. Dalam
tahun 1950-an, dasawarsa yang sangat penting dalam perkembangan pemikiran
kebudayaan kita, di berbagai media telah muncul karangan, asli maupun terjemahan,
mengenai kecenderungan ke arah pemikiran absurd dan eksistensialis. Drama-drama
Iwan Simatupang seperti Petang di Taman memberi kesan suasana dan masalah
yang tidak berakar di masyarakat kita. Sementara itu, drama-drama terbaik Arifin C.
Noer, Kapai-kapai, dan Putu Wijaya, Aduh, tidak akan pernah ditulis jika kedua
dramawan itu tidak menghayati masalah sosial dan budaya disekitarnya. Absurditas
dalam kedua drama itu mempunyai akar dalam kondisi sosial dan budaya di negeri
ini.

E. Teori Kelas dan Perlawanan Antar-Kelas Karl Marx


Teori kelas dan perlawanan dari Karl Marx juga anggap penting untuk
dikemukakan dalam buku teks. Penulisan ini berkaitan dengan fungsi yang
diberikan teori kelas dan perlawanan antar-kelas Karl Marx, yang digunakan,
misalnya, intuk melihat perlawanan kelas dalam karya sastra, seperti dalam drama
Dag-Dig-Dug karya Puti Wijaya.
Objek material dalam penulisan ini adalah naskah drama Dag-Dig-Dug karya Putu
Wijaya yang diterbitkan pada tahun 1986 oleh Penerbit Balai Pustaka. Naskah
drama yang dijadikan bahan studi ini adalah naskah cetakan pertama.Objek formal
tulisan ini mengenai absurditas dan dominasi- perlawanan kelas yang ada pada
naskah drama Dag-Dig-Dug karya Putu Wijaya. Oleh karena itu, tulisan ini akan
banyak mengulas sifat absurd Dag-DigDug dan dominasi serta perlawanan antara
majikan dan pembantu sebagai mana diangkat dalam karya sastra ini.
Ada tiga hal mendasar yang menjadi poin penting pemikiran Karl Marx yang
berkaitan dengan kelas dan revolusi kelas bawah teori kelas atas.
1. Pertentangan antara kaum buruh dan majikan bersifat objektif karena
berdasarkan kepentingan objektif yang ditentukan oleh kedudukan mereka masing-
masing dalam proses prodeksi.
2. Karena kepentingan kelas pemilik dan kelas buruh secara objektif bertentangan,
mereka juga akan mengambill sikap dasar yang berbeda terhadap perubahan sosial.
3. setiap kemajuan dalam susunan masyarakat hanya tercapai melalui revolusi.

Daftar Pustaka
Yasa, Nyoman, teori sastra dan penerapannya, Bandung, CV. Karya Putra
Daswati, 2012
Nurhidayah, sri, jurnal ilmu sastra, Surabaya, Desember 2019
Hidayat, Medhy Aginta, Menimbang Teori-Teori Sosial Postmodern: Sejarah,
Pemikiran, Kritik dan Masa Depan Postmodern, Universitas Trunojoyo, Madura,
2019
Tinarbuko, Sumbo, Eksekusi Iklan Televisi dengan Pendekatan Parodi, Juni, 2017
Yasa, Nyoman, Dunia Absurd dan Perlawanan Kelas Pada Drama Dag-Dig-Dug
Karya Putu Wijaya, Universitas Pendidikan Ganesha, Bali, 2010

Anda mungkin juga menyukai