Disusun untuk memenuhi tugas presentasi Mata Kuliah Ilmu Sastra Umum yang diampu oleh
Prof.Dr.Darni
OLEH
WINARTO RAHARJO
NIM. 157835025
teori objektif (new criticism, formalisme, strukturalisme) tetapi tetap memakai konsepkonsep strukturalisme sebagai kerangka acuannya. Teori-teori yang termasuk dalam
kelompok ini adalah dekonstruksi dan teori psikoanalisis Lacan. Kedua, yang
berkecenderungan politis/sosiologis yakni teori-teori mutakhir yang menerapkan kajiannya
dalam wilayah yang lebih luas, yakni melihat sastra dalam kaitannya dengan berbagai
dinamika sosial, budaya, politik, dan ekonomi. Yang termasuk dalam teori-teori ini antara lain
neomarxis, teori postkolonial, new historiscism, dan kajian budaya. Teori-teori feminis yang
berkembang setelah strukturalisme berkembang melalui dua arah, ada yang mengikuti
kecenderungan pertama, seperti yang dikembangkan di Prancis oleh Julia Kristeva, Helene
Xicous dan lain-lainnya dengan merevisi teori-teori Lacan. Yang mengikuti kecenderungan
kedua, yakni menggabungkan permasalahan feminis dengan masalah ras, etnis dan kelas,
berkembang lebih subur di Amerika, Inggris, dan Australia. Demikian pula teori-teori wacana
seperti yang dikembangkan Foucault kemudian Edward Said, berada di antara dua kutub
tersebut. Teori wacana Foucault lebih condong ke yang pertama, sedangkan Edward Said ke
yang kedua.
Dalam skema Abrams, pergeseran dari orientasi mimetik ke objektif merupakan
periodisasi teori sastra yang berlangsung secara silih berganti dan berlangsung selama
beberapa abad. Di pihak lain, teori-teori sastra yang berkembang setelah strukturalisme dalam
paruh abad ke-20 merupakan perkembangan yang cepat dan tidak meniadakan satu dengan
lainnya. Artinya, hingga awal abad ke-21 berbagai macam teori yang telah disebutkan di atas
saling bersaing, mempengaruhi dan meminjam satu sama lain. Yang menjadi trend pada
waktu tertentu yaitu yang paling akhir muncul. Dalam konteks saat ini, trend yang mutakhir
yaitu cultural studies.
Dari kecenderungan yang ada, orientasi kritik yang dominan adalah teori yang melihat
kaitan sastra dengan konteks (sosial/politik/ekonomi) yang melingkupinya. Dalam
putarannya kembali dari mengkaji teks secara otonom dan mengaitkannya ke konteks yang
melingkupinya, teori-teori sastra setelah strukturalisme secara umum memberikan
pemaknaan baru tentang apa yang disebut karya sastra, pengarang, pembaca, dan kenyataan
atau realitas semesta yang menjadi acuannya. Konsep-konsep tersebut berbeda dengan apa
yang dikemukakan Abrams (Budianta, 2002:41-44).
3 | Page
4 | Page
Tyson 1999:295)
menunjukkan beberapa permasalahan yang muncul dalam kajian budaya dan juga New
Historicism. Pertama, prilaku atau budaya yang dikukuhkan dalam teks. Kedua, kenapa
pembaca menganggap karya tersebut bermakna. Ketiga, perbedaan nilai kritikus dengan nilai
teks. Keempat, pemahaman sosial yang melatari teks. Kelima, kebebasan pikiran yang
dibayangkan dalam teks secara eksplisit maupun implisit. Keenam, pandangan atau ideologi
yang didukung atau ditentang oleh teks.
Maka perbedaan antara Traditional Historicism dengan New Historicism adalah pada
cara pandang terhadap sebuah karya sastra yang tidak hanya sebagai produk personal namun
juga sebagai produk impersonal yang bahkan mungkin mampu mempengaruhi budaya pada
saat karya tersebut ditulis atau diterbitkan.
New Historicism dalam bidang sastra merupakan sumbangan besar dari penelitianpenelitian tokoh Amerika bernama Stephen Greenblatt. Menurut Newton (2004:152),
Greenblatt merupakan tokoh penganut antiesensialisme. Kodrat manusia ditentukan oleh
budayanya. Sistem budaya menciptakan individu-individu yang khas. Sistem budaya tersebut
secara abstrak menentukan arah untuk membentuk suatu wujud sejarah.
Teori New Historicism merupakan salah satu teori sastra yang berkembang setelah era
strukturalisme, teori yang muncul dalam dua dekade terakhir abad ke-20 bersama teori-teori
lain seperti postruktural, poskolonial, ataupun kajian budaya. Menurut Budianta (2006:2),
Greenblatt mendobrak kecenderungan kajian tekstual formalis dalam tradisi New Criticism
yang bersifat ahistoris, yang melihat sastra sebagai wilayah estetik yang otonom, dipisahkan
dari aspek-aspek yang dianggap berada diluar karya tersebut. Sebaliknya Greenblatt
5 | Page
menekankan kaitan antara teks dan sejarah. New Historicism menawarkan perspektif kajian
sastra yang tidak bisa dilepaskan dari praktis-praktis sosial, ekonomi dan politik karena ia
ikut mengambil bagian di dalamnya. Semua teks, baik sastra maupun non sastra, merupakan
produk dari zaman yang sama dengan berbagai pertarungan kuasa dan ideologi, sehingga
New Historicism mengaitkan antara teks sastra dengan nonsastra.
New Historicism tidak lepas dari perkembangan pemikiran poststrukturalis.
Strukturalisme yang memiliki pandangan adanya makna yang objektif dalam sebuah karya
sastra mulai diragukan. Mereka, kaum poststrukturalis, mulai melihat pluralitas dan menolak
sistem yang dikukuhkan oleh kaum strukturalisme. Menurut sarup (2008:141), landasan
filosofis tersebut diilhami oleh pemikiran Nietzsche. Menurut tokoh filsafat tersebut, tidak
ada sistem yang dapat mengungkapkan seluruh kebenaran. Suatu sistem hanya dapat
mengadopsi satu sudut pandang.
Sedangkan menurut Myers (1989) New Historicism merupakan reaksi terhadap
formalism dan kritik baru yang memandang puisi sebagai sebuah objek yang berdiri sendiri.
New Historicism menolak keluarnya
Ditambahkan oleh Feluga (2002) bahwa konteks sejarah merupakan faktor penting untuk
memahami karya sastra. Ada kepaduan antara teks dengan konteks. Kembali dijelaskan oleh
Myers bahwa menemukan makna asli sebuah teks merupakan suatu hal yang tidak mungkin.
Sebaliknya New Historicism berfikir untuk menemukan kembali ideologi asli yang
melahirkan teks, dan pada gilirannya teks membantu menyebarkannya. Karya sastra ikut
mereproduksi dan membangun konvensi, norma, dan nilai budaya melalui tindak verbal dan
imajinasi kreatif.
Terlepas dari maksud, kesadaran, dan tujuan pengarangnya, relasi kuasa
menghadirkan ideologi melalui apa yang oleh Foucault dinamakan dengan istilah discourse
atau yang sering diindonesiakan menjadi wacana. Cipta bahasa dalam teks sastra dan teks
nonsastra di warnai oleh rezim kebenaran yang mensosialisasikan atau membakukan
aturan-aturan (tentang apa yang boleh dan tidak boleh dikatakan, siapa yang boleh
mengatakan, bagaimana cara mengatakannya) dalam mengatur relasi kuasa tertentu (misalnya
dalam hal seksualitas, gender, moralitas, identitas asli atau tidak asli, hubungan antar kelas
dll).
Asumsi dasar New Historicism seperti yang diungkapkan Greenblatt (2005:5) adalah
adanya pengaruh timbal balik antara manusia dan kebudayaannya. Manusia dibentuk dan ikut
membentuk kebudayaan tempat mereka hidup. Didukung pula oleh Tyson (1999:286) bahwa
6 | Page
hubungan antara individu dan masyarakat saling konstitutif. Tidak ada semangat zaman
monolitik. Wacana selalu dalam keadaan perubahan terus menerus dan tumpang tindih. Oleh
karena itu New Historicism memandang laporang sejarah sebagai naratif, sebagai cerita,
karena biasanya tidak bisa dihindari. Ditambahkan oleh Con (1989:374) bahwa sejarah dan
sastra merupakan produk bahasa yang memiliki kesamaan sebagai sebuah wacana narasi.
Begitu juga yang disampaikan oleh Budianta (2006:3) bahwa kenyataan sejarah tidak tunggal
dan absolut. Melainkan terdiri dari bermacam-macam versi yang penuh kontradiksi,
keterputusan dan pluralitas.
Lebih lanjut Greenblatt (budianta, 2006:8) menyatakan bahwa meskipun sastrawan
menginternalisasi nilai-nilai budaya yang ada, bukan tidak mungkin karyanya mempunyai
potensi untuk menggugat dan mempertanyakan batas yang ditentukan oleh budaya tersebut.
Seringkali pengarang ditempatkan sebagai subjek dalam suatu tegangan antara menjadi
agen yang mempunyai kesadaran akan pilihan, tindakan dan kemauan atau sebagai pihak
yang ditaklukkan atau mengalami subjektivikasi oleh ideology atau nilai-nilai yang dominan.
Dalam hal ini new historisisme seringkali menempatkan teks dalam pilihan yang dikotomis
antara menentang atau mengikuti dengan ideologi yang dominan. Akan tetapi, umumnya
kajian new historicism menunjukkan bahwa ideologi bekerja dalam teks dengan cara yang
lebih kompleks, heterogen, tidak stabil, suatu kekuatan yang terus-menerus berproses.
Pandangan pluralitas terhadap sejarah oleh Braningan (1999:147) dijelaskan lebih
lanjut bahwa dalam penelaahan sejarah dalam karya sasta, tugas utamanya tidak untuk
menemukan apa yang teks cerminkan atau tidak. Ahli tersebut memandang sastra merupakan
kendaraan bagi representasi sejarah. Dengan demikian teks sastra menunjukkan proses-proses
dan ketegangan-ketegangan yang terjadi karena adanya perubahan sejarah. Ditambahkan oleh
Myers (1989), dalam kritik New Historicism fokusnya pada bagaimana teks sastra berfungsi
dengan sendirinya sebagai wacana sejarah yang berinteraksi dengan wacana sejarah lainnya.
Wacana berhubungan dengan waktu dan tempat teks diatur, waktu teks diterbitkan, atau
dalam sejarah penerimaan teks. Namun ideologilah yang dipentingkan, bukan sejarah. Jika
ideologi bukan hal yang penting dalam sejarah, maka tidak akan ada hubungan suatu sejarah.
Karya sastra adalah agen idiologi.
New Historicism memilliki fokus pada naratif sejarah kelompok-kelompok yang
termarjinalkan, seperti perempuan, warna kulit, kaum miskin, kelas pekerja, pria gay, lesbian,
dan narapidana. Ditambahkan oleh Budianta (2006:3) bahwa New Historicism tidak
menerima begitu saja perbedaan antara budaya tinggi dan rendah. New Historicism justru
7 | Page
ingin menunjukkan keterkaitan antara ragam budaya tinggi dan rendah, sastra dan non sastra
saling terkait dengan persoalan-persoalan pada zamannya. Dengan pandangan tersebut, New
Historicism telah meruntuhkan aksioma yang mendasari New Criticism, bahwa sastra popular
biasanya bersifat konformis, mendukung nilai-nilai dominan yang ada, sedangkan sastra
tinggi menentang dan bersikap kritis terhadap tatanan social, politik dan ekonomi.
Disamping memberi perhatian terhadap kelompok orang yang termarjinalkan,
menurut Greenblatt (2000:21) New Historicism juga melibatkan apa yang disebut thick
description deskripsi mendalam. Istilah tersebut dilahirkan oleh seorang ahli antropologi,
Clifford Girtz. Diskripsi mendalam tidak sekedar mencari fakta-fakta, melainkan mencari
makna yang kompleks dalam kode budaya yang melandasinya. Dalam bidang sastra, Myers
(1989) mencatat 4 asumsi New Historicism. Pertama, karya sastra bernilai sejarah, bukan
sekedar catatan tentang pikiran seseorang. Karya sastra merupakan bentuk sosial budaya dan
untuk memahaminya harus dikaitkan dengan sosial budaya yang menghasilkannya. Kedua,
karya sastra merupakan pandangan tertentu terhadap sejarah. Ketiga, seperti halnya karya
sastra, manusia, termasuk ahli sejarah dan kritikus juga mengalami bentuk tekanan social
politik. Keempat, akibatnya ahli sejarah atau kritikus terjebak pada kesejarahannya sendiri.
Tak seorangpun mampu bangkit dari struktur sosialnya sendiri.
berjudul Fenomena Perdagangan Perempuan dalam Fiksi Jawa Modern yang menggunakan
teori New Historisicm secara keseluruhan dalam proses menganalisa penelitian ini. Melalui
cara pandang New Historisism dilakukan penafsiran terhadap kekerasan yang menimpa
perempuan, yakni perdagangan perempuan. Ada kaitan yang erat antara kekerasan terhadap
perempuan, khususnya perdagangan perempuan dengan sejarah yang ikut membentuk
terciptanya karya sastra. Ada timbal balik antara keduanya. Dalam rangka melihat kaitan
antara sejarah dan sastra dalam cara pandang New Historicisms ini digunakan konsep-konsep
dan praktik sosial, yang merupakan konteks sejarah, yang berkaitan erat dengan fokus
penelitian, yakni kekerasan, patriarkhi, dan feminisme. Nilai yang dipegang oleh peneliti
dalam New Historicism sangat menentukan hasil penafsiran. Nilai yang dipegang peneliti
adalah nilai feminisme yang sesuai dengan budaya Jawa.
9 | Page
Daftar Pustaka
Budianta, Melani. 2000. Teori Sastra Sesudah Strukturalisme: dari Studi
Teks ke Studi Wacana Budaya, Teori dan Kritik Sastra. Jakarta:
Lembaga Penelitian Universitas Indonesia.
Budianta, Melani. 2006. Budaya, Sejarah, dan Pasar: New Historisisme
dalam Perkembangan Kritik Sastra, dalam Susastra 3 (Jurnal Ilmu
Sastra dan Budaya Universitas Indonesia). Volume 2 Nomor
Budianta, Melani. Budaya, Sejarah, dan pasar : New Historicism dalam
Perkembangan Kritik Sastra dalam jurnal Susastra Vol 2 No 3, Hal
1-19. Jakarta HISKI.
Budianta, Melani. 2002. Teori Sastra Sesudah Strukturalisme, Bahan Pelatihan Teori dan
Kritik Sastra. Jakarta: Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Budaya Universitas
Indonesia
Abrams, M.H. 1981. A Glossary of Literary Terms. New York: Holt, Rinehart and Winston
dalam http://staff.uny.ac.id/sites/default/files/PERAN%20DISKURSIF%20KARYA
%20SASTRA%20DAN%20MEDIA.pdf. Diakses tanggal 08-12-2015
Guerin, Wilfred L. dkk. 2005. A Handbook Of Critical Approach to
Literature. New York : Oxford University Press
Myers,G.D.The New Historicism in Literaturedalam
http://journal.uny.ac.id/index.php/litera/article/viewFile/1322/1098. Diakses tanggal
07-12-2015
Tyson, Lois. 1999. Critical Theory Today: A User-Friendly Guide. New York: Garland
Publishing Inc. dalam
http://journal.uny.ac.id/index.php/litera/article/viewFile/1322/1098. Diakses tanggal
07-12-2015
Darni, Fenomena Perdagangan Perempuan dalam Fiksi Jawa Modern
dalam Jurnal
Penelitian Bahasa, Sastra, dan Pengajarannya Volume 12, Nomor 1, April 2013
dalam http://journal.uny.ac.id/index.php/litera/article/viewFile/1322/1098. Diakses
tanggal 07-12-2015
10 | P a g e
Greenblatt, Stephen and Catherine Gallagher. 2000. Practicing New Historicism. Chicago:
The University of Chicago Press. dalam
http://journal.uny.ac.id/index.php/litera/article/viewFile/1322/1098. Diakses tanggal
07-12-2015
Greenblatt, Stephen. 2005. Renaissance SelfFashioning. Chicago: The University of Chicago
Press. dalam http://journal.uny.ac.id/index.php/litera/article/viewFile/1322/1098.
Diakses tanggal 07-12-2015
11 | P a g e