Anda di halaman 1dari 5

Nama : Nany Angelica

Prodi : PBSI 3-A

NIM : 200621100029

PERKEMBANGAN KRITIK SASTRA (1970- SEKARANG)

 Tahun 70an
Terdapat teori Kritik Sastra Periode 1956-1975 dari kelompok sastrawan, kritik sastra
periode ini diwakili oleh Rustandi Kartakusuma, Harijadi S. Hartowardojo dan Ajib
Rosidi. Rustandi mengatakan bahwa kunci cita rasa sastra adalah pendidikan.
Pengajaran dalam konferensi sastra mempengaruhi penciptaan sastra dan pada
akhirnya mempengaruhi selera sastra di Indonesia. Jenis kritik sastra adalah kritik
atau evaluasi. Berbeda dengan Rustandi Kartakusuma, kata Harijadi, membaca
memperdalam kearifan sebuah bacaan atau menemukan penyair itu sendiri dalam
karangannya. Seorang kritikus sastra harus dapat mempertimbangkan seberapa baik
seorang penyair dapat mengungkapkan perasaannya. Sedangkan kritik Ajib Rosidi
bertentangan dengan hukum publik. Ia percaya bahwa untuk memahami karya
sastranya perlu berbicara dan mempelajari situasi sosial budaya pengarangnya.
Teori resepsi sastra merupakan teori yang mayoritas di tahun 1970-an. Teori tersebut
ialah sebuah jalan keluar untuk menuntaskan strukturalisme yang menyampaikan
perhatian terhadap unsur-unsur menjadi awal dari timbulnya kesandaran untuk
membangkitkan pulang nilai-nilai humanisme dalam rangka kesadaran kemanusiaan
universal. sebagai suatu kesadaran bahwa keabadian nilai karya seni ditimbulkan oleh
pembaca dan kesadaran bahwa nilai yang terkandung dalam korelasi ambiguitas
antara karya sastra dengan pembaca. Pada arti luas resepsi diatikan sebagai
pengolahan teks, cara-cara pemberian makna terhadap suatu karya sebagai akibatnya
bisa menyampaikan respon terhadapnya. Respon yang dimaksud tak dilakukan antar
karya dengan seorang pembaca, melainkan pembaca sebagai proses sejarah yang
terdapat dalam periode tertentu.
 Tahun 80an
Pada tanggal 28-29 Oktober 1984 saat Seserahan Kesenian di Solo tercetus gagasan
sastra kontekstual. Gagasan tersebut dipelopori oleh Arief Budiman, tetapi diciptakan
oleh Heryanto. Sastra kontekstual menjadi kata kunci setelah Arief Budiman memilih
istilah itu untuk esai-esainya yang kemudian. Sejak itu terjadi perdebatan antar para
sastrawan dan ahli sastra akademik yang ikut perdebatan tersebut. Perdebatan itu terus
terjadi hingga akhir tahun 1985. Percebatan itu terjadi antara yang setuju pada "sastra
konstektual" dan yang tidak setuju dengan Arif Budiman maupun Heryanto dalam
media massa sebagai polemic atau tanggapan-tanggapan. Menurut Heryanto
(1985:16-17) pengertian sastra konstektual itu tidak hanya satu. Bahkan yang
dimaksud oleh Arief Budiman sendiri berbeda dengan yang dimaksud oleh Ariel
Heryanto. Pengertian sastra konstelual Arif Budiman lebih cenderung pada proses
penciptaan sastra yang konstektual untuk orang yang ada di dalam sejarah Teori sastra
yang lahir dan berkembang dari suatu kondisi sosial budaya, berdasarkan pengamatan
kesusasteraan mereka itulah teori-teori sastra yang dikembangan dan dirumuskannya.
Timbulnya masalah kritik sastra disamping adanya teori-teori baru yang masuk dari
luar, juga disebabkan oleh perkembangan kesusasteraan sendiri. Seperti halnya
dirumuskan bahwa masalah kritik sastra karena adanya teori-teori baru yang masuk
dari luar, selain itu juga disebabkan oleh perkembangan kesusasteraan sendiri. Seperti
halnya kesusasteraan Indonesia modern, dengan makin menonjolnya latar sosial
budaya Indonesia dalam karya sastra Indonesia modern sejak tahun tujuh puluhan,
maka keadaan itu menimbulkan pertanyaan bagaimana seharusnya wujud teori sastra
dan kritik sastra yang tepat untuk mengkritik. Dapat dikatakan bahwa pada periode
1976-1988 para kritikus sastra tidak mengembangkan teori kritik sastra baru, kecuali
timbulnya gagasan sastra secara konstektual baik bagi penciptaan sastra maupun bagi
teori kritik sastra yang kontekstual. Dapat dikatakan bahwa timbulnya perdebatan
kritik" sastra kontekstual" merupakan ulangan perdebatan sastra bertendens
alisjahbana dengan sastra" seni untuk seni" Sanusi pane dan perdebatan "seni unruk
rakyat" Lekra melawan sastra humanisme universal". Sastra kontekstual merupakan
sastra untuk rakyat dan menentang sastra universal yang mengikuti selera kritikus
sastra estetisme. Akan tetapi, karena satu kontekstual dalam teori penciptaan maupun
teori kritik sastranya tidak dilaksanakan dan dirumuskan lebih lanjut, maka baik teori
maupun metodenya itu hanya berupa perdebatan yang tidak ada kelanjutannya. Dalam
penulisan teori sastra dan kritik sastra maupun penerapannya, patut dicatat bahwa
kritikus sastra Indonesia modern yang tampak pada konsisten kegiatannnya sejak
kemunculan adalah Subagio Sastrowardojo dan Umar Junus. Kesimpulan dari
perkembangan kritik sastra terdapat beberapa masalah diantaranya adalah pada sekitar
pertengahan tahun 1980-an terjadilah polemik sekitar masalah "sastra kontekstual".
Polemik ini dibukukan oleh Ariel Heryanto. Yang kedua timbul masalah kritik sastra
di Indonesia, terutama dengan timbulnya karya-karya sastra yang menunjukkan latar
belakang sosial budaya Indonesia. Dan yang terakhir pada tahun 1984. Subagio
Sastrowardojo telah menyatakan penolakan terhadap teori sastra barat untuk
diterapkan begitu saja dalam mengkritik karya sastra Indonesia.
 Tahun 90an (Reformasi) dan Pasca Reformasi 2000an
Karya sastra populer dibahas dalam isi yang didefinisikan sebagai kumpulan karya
oleh penulis untuk menilai baik pro dan kontra dari karya sastra untuk menemukan
karakteristik umum yang definitif. Berkaitannya dengan sastra serius, oleh karena itu
kita tidak dapat memahami sastra populer tanpa sastra serius. Karena sastra serius
lebih penting dari pada sastra populer, dalam arti sastra lebih berat dan memiliki nilai
pencapaian yang jauh lebih baik dari sastra populer. Ada getaran baru di penghujung
1990-an dan awal 2000-an untuk sebuah karya sastra populer yang tergolong sastra
yang penampilannya seperti chicklit, teenlit, atau pada waktu itu disebut dengan
istilah sastra wangi. waktu itu untuk menggambarkan sebuah karya yang dihasilkan
oleh forum pena lingkaran dikutip serta beberapa penulis yang memiliki elemen yang
sama.Dalam sastra wangi, ada satu pengecualian dimana kurangnya kritik yang
muncul saat ini karena sedikit minat pada kritik bagi penulis juga terkait dengan karya
sastra wangi karena diyakini bahwa sastra wangi tidak terlalu menyimpang dari aturan
atau norma yang ada saat itu di masyarakat setempat. krisis kritis saat ini sangat
rendah, sehingga sebagian besar karya kritis hanya berfokus pada sastra serius, bukan
sastra wangi.Saat itu, setidaknya yang muncul dalam kritik wacana di surat kabar,
bukan dalam karya sastra paling terkenal seperti novel dan puisi lama. Kritik menjadi
sesuatu yang menarik jika dilihat dari awal kemunculannya, kritik sastra dimuat di
media massa pada tahun 2000-an dengan memunculkan panji poestaka yang pada saat
itu sudah mulai terbit di majalah. Pada tahun 1953 berdiri majalah kisah yaitu majalah
bulanan yang pertama kali muncul sebagai kasus konten dengan muatan sastra,
sedemikian rupa sehingga majalah tersebut terus berkembang hingga tahun 1957
karena posisinya digantikan oleh majalah sastra pada tahun 1961. Tokoh-tokoh yang
ada pada waktu itu adalah HB Jassin dan Mr. Balfas dan tokoh lainnya. Pembuatan
karya saat itu menampilkan karya sastra berupa kritik dan esai. Selain karya sastra di
atas, ada juga Zenith, siasat, dan mimbar Indonesia. Pada tahun 1966, majalah
Horizon diterbitkan dan menjadi prioritas sastra di Indonesia hingga awal tahun 2000-
an. Ada juga jurnal dasar dan prisma yang berkaitan dengan karya sastra untuk
mendukung masalah akademik. Memasuki era baru majalah yang perlahan memudar
dan akhirnya punah, ada cakrawala yang masih muncul namun hanya sedikit sampai-
sampai lama kelamaan kehilangan posisinya. Kritik sastra telah bergeser ke surat
kabar Kompas yang menempati posisi tertinggi di antara para kritikus, pada saat itu
muncul majalah khusus sastra yang mencoba menggantikannya yaitu pada tahun 70-
90an sebagai jurnal cerpen atau majalah kritikus, namun posisi keduanya belum luas
sehingga tidak laku di masyarakat. Selain sastra cetak di tahun 1990-an, muncul juga
sastra cyber, yaitu menghadirkan Internet sebagai sarana baru dalam menyebarluaskan
karya sastra maupun kritik yang kembali aktif. Namun, sekarang posisi web
diteruskan oleh media sastra yang sayangnya mereka juga tidak terlalu aktif dalam
proses penerbitan sebuah karya sastra yang mendapat kritik. Banyak penulis juga
yang mengapresiasi dan mengkritik di blog pribadi karena pada saat itu juga ada
kelompok-kelompok di jejaring sosial yang mengkhususkan permasalahan sastra
koran seperti di Facebook dan kelompok sastra koran Minggu yang menyatukan
karya-karya sastra seperti cerpen, puisi dan esai yang diterbitkan disurat kabar
mingguan. Media internet memang menawarkan kemajuan dalam kritik sastra agar
lebih mudah diakses sehingga tidak terbatas pada panjang tulisan dan memungkinkan
lebih banyak kritik muncul serta memungkinkan diskusi lebih instan. Tetapi pada
kenyataannya penulisan di internet tidak dilakukan dengan benar. Banyak kritikus di
klub mereka memiliki masalah seperti hal-hal dalam penulisan dan pengeditan
sehingga susunan kalimatnya berantakan serta kurangnya pengetahuan tentang
referensi topik yang kurang kohesif dan kurang perspektif kritis atau bahkan tidak
memiliki ide yang akan diutarakan pada kritik. Hambatan yang muncul saat itu
adalah pada level produksi yaitu sebagian besar aktivis adalah relawan yang harus
bekerja sama dalam “pekerjaan pro Bono dan kerja yang profesional” karena
ketidakpastian media membuat laju yang ada dikualitas penerbitan kritik sastra
populer juga terhambat. Hal itu disebabkan oleh tulisan-tulisan yang ada tentang
sastra populer yang secara umum terbagi menjadi dua wilayah besar, yaitu ancaman
budaya rendahan yang tidak berisi atau putus asa berdasarkan argumentasi selera.
Tentu saja ada kritikus yang melihat bahwa sastra populer bisa disebut sebagai sastra
objektif, misalnya tokoh yang mengatakan ini adalah Katrin yang keras kepala, ini
membuktikan bahwa bagian sastra ini berbicara tentang Perjuangan Feminisme. Ia
juga mengulas novel Claral Ng yang berkaitan dengan identitas etnis dalam
masyarakat metropolitan.
 Tahun 2020 (Pandemi)
Pada tahun 2020 hingga tahun 2021 terjadi sebuah masalah. Dimana isu yang
ditangani bukan lagi isu internal atau seputar negara, namun isu yang diangkat adalah
maraknya Covid-19 yang merebak secara global. Semuanya mengalami perubahan
dan penyesuaian, begitu pula sastra Indonesia. Webinar bertajuk Lingkungan, Prosa,
dan Puisi yang diselenggarakan oleh Program Studi Sastra Inggris Universitas 17
Agustus 1945 (Untag). Seorang penyair Indonesia dan Australia melihat
permasalahan yang ada pada situasi saat ini. Ramayda Akmal, juga dosen UGM
Yogyakarta sebagai novelis, bersama penyair F.Aziz Manna sebagai moderator.
Dalam acaranya, F. Aziz Manna menggaris bawahi bahwa dalam menghadapi
perubahan lingkungan, sedimentasi diperlukan untuk menghindari karya sastra
instan.Agenda pandemi masih butuh setoran. Menurut Rayman Akmal, dalam kondisi
sulit seperti ini Covid-19 sebenarnya bisa kita manfaatkan sebagai sumber kreativitas
karena menulis adalah pekerjaan yang sepi, artinya dalam kondisi seperti ini bisa
dijadikan situasi yang tepat, tapi utamakan pelatihan namun karena pelatihan menulis
adalah hal yang paling penting, pada kenyataannya kreativitas manusia dalam
menyuarakan atau menulis dalam bentuk sastra dapat menjadi prediksi bahwa pada
masa depan akan benar-benar terjadi. Misalnya dalam karya sastra yang berjudul
“Sampar” yang ditulis oleh Albert Camus yang berisi tentang wabah yang menyerang
manusia. Kita dapat memaknai bahwa karya sastra mengacu pada terjadinya wabah
Covid-19. Dalam suatu kesempatan, John Charles Ryan menyatakan bahwa karya
sastra seringkali merupakan cerminan pengarang terhadap kondisi lingkungan saat ini
misalnya, dengan hilangnya pemanfaatan lingkungan untuk hewan yang
menginspirasi pengarang.
DAFTAR PUSTAKA

https://badanbahasa.kemdikbud.go.id/lamanbahasa/kritiksastra/KRITIK%20SASTRA
%20DAN%20GERAKAN%20ESTETIKA%20SASTRA , (online), Di akses pada 13
september 2021.

https://badanbahasa.kemdikbud.go.id/lamanbahasa/berita/3238/merekam-dan-menggali-
berbagai-fenomena-sosial-dan-budaya-aktual-dengan-kritik-sastra-mut , (online), Di akses
pada 12 september 2021.

Pradopo, Djoko Pradopo.2017. Teori kritik dan Penerapannya dalam Sastra Indonesia
Modern. Yokyakarta: Gadjah Mada University Press. (offline). Hlm 218-270.

Saidi, Asep Iwan. 2000. Kritik Sastra Indonesia Pokok-Soal Yang Tak Kunjung Tercerahkan,
(online) Vol 2(1), 1-2. https://media.neliti.com/media/publications/181180-ID-kritik-sastra-
indonesia-pokok-soal-yang.pdf , Di akses pada 14 september 2021.

Supriatin, Yeni Mulyani. 2012. Kritik Sastra Cyber, Jurnal Sosioteknologi,47 54,(online),
https://www.neliti.com/id/publications/41672/kritik-sastra-cyber , Di akses pada 13
September 2021.

Anda mungkin juga menyukai