Seperti yang telah kita ketahui, definisi karya sastra adalah suatu karya yang
mengandung nilai seni dan mengarah kepada pedoman-pedoman serta pemikiranpemikiran hidup.
Sedangkan Sastra Indonesia sendiri dapat merujuk pada sastra yang dibuat di
wilayah Kepulauan Indonesia. Sering juga secara luas dirujuk kepada sastra
berbahasa akarnya, yakni bahasa melayu.
Sastra di Indonesia sudah ada sejak dulu sekali bahkan mungkin sudah ada
sejak zaman purbakala dimana manusia-manusia purba memulai untuk
menggambar dan menulis sesuatu di dalam gua-gua, sehingga menghasilkan karyakarya sastra. Tetapi karya-karya tersebut kemudian menghilang karena
perkembangan zaman yang mungkin kurang maju. Lebih pastinya karya sastra di
Indonesia dimulai sejak zaman Angkatan Pujangga Lama sebelum abad ke-20.
Pada masa ini karya sastra Indonesia didominasi oleh karya-karya sastra berbahasa
akar (bahasa melayu), seperti syair, pantun, gurindam, dan hikayat. Budaya melayu
klasik dan pengaruh Islam yang kuat mempengaruhi sebagian besar wilayah pesisir
pantai Sumatera dan Semenanjung Malaya. Setelah adanya Angkatan Pujangga
Lama, muncul lah Angkatan Sastra Melayu Lama yang muncul antara sekitar
tahun 1870-1942. Setelah Angkatan Sastra Melayu Lama, muncul lah Angkatan
Balai Pustaka yang akan saya bahas dalam tulisan saya ini.
Sebenarnya angkatan ini dipelopori oleh sebuah penerbit Balai Pustaka
pada tahun 1920-1950. Karya ini terdiri dari prosa (roman, cerita pendek, novel,
dan drama) dan puisi yang menggantikan syair, pantun, gurindam, dan hikayat yang
mungkin pada masa itu terlalu memberi pengaruh buruk, banyak menyoroti
kehidupan cabul, dan dianggap memiliki misi politis. Balai Pustaka menerbitkan
karya dalam tiga bahasa yaitu bahasa Melayu-Tinggi, bahasa jawa dan bahasa
sunda, dan dalam jumlah terbatas dalam bahasa bali, bahasa batak, dan bahasa
Madura.
Pada masa ini, novel Siti Nurbaya dan Salah Asuhan menjadi karya yang
cukup penting. Keduanya menampilkan kritik tajam terhadap adat-istiadat dan
tradisi kolot yang membelenggu. Dalam perkembangannya, tema-tema inilah yang
banyak diikuti oleh penulis-penulis lainnya pada masa itu. Tidak hanya itu juga,
banyak karya-karya sastra menarik dan cukup mengilhami pada Angkatan Balai
Pustaka, seperti Azab dan Sengsara (Merari Siregar, 1920), Ken Arok dan Ken
Dedes (Muhammad Yamin, 1934), Sengsara Membawa Nikmat (Tulis Sutan Sati,
1928), dll.
Pada masa Angkatan Balai Pustaka, Nur Sutan Iskandar dapat disebut
sebagai "Raja Angkatan Balai Pustaka" oleh sebab banyak karya tulisnya pada
masa tersebut. Apabila dilihat daerah asal kelahiran para pengarang, dapatlah
dikatakan bahwa novel-novel Indonesia yang terbit pada angkatan ini adalah "novel
Sumatera", dengan Minangkabau sebagai titik pusatnya.
Angkatan Balai Pustaka bisa disebut masa dimana proses modernisasi karyakarya sastra terjadi. Dimana tidak lagi terpaut oleh budaya-budaya melayu yang
kental.
Berikut ini adalah Penulis dan Karya Sastra Angkatan Balai Pustaka:
Merari Siregar
Azab dan Sengsara (1920)
Binasa kerna Gadis Priangan (1931)
Cinta dan Hawa Nafsu
Marah Roesli
Siti Nurbaya (1922)
La Hami (1924)
Anak dan Kemenakan (1956)
Muhammad Yamin
Tanah Air (1922)
Indonesia, Tumpah Darahku (1928)
Kalau Dewi Tara Sudah Berkata
Ken Arok dan Ken Dedes (1934)
Nur Sutan Iskandar
Apa Dayaku karena Aku Seorang Perempuan (1923)
Cinta yang Membawa Maut (1926)
Salah Pilih (1928)
Karena Mentua (1932)
Tuba Dibalas dengan Susu (1933)
Hulubalang Raja (1934)
Katak Hendak Menjadi Lembu (1935)
Tulis Sutan Sati
Tak Disangka (1923)
Sengsara Membawa Nikmat (1928)
Tak Membalas Guna (1932)
Memutuskan Pertalian (1932)
Djamaluddin Adinegoro
Darah Muda (1927)
Asmara Jaya (1928)
Abas Soetan Pamoentjak
Pertemuan (1927)
Abdul Muis
c.Konsepsi Pujangga
Kebudayaan
Baru
sebagai
Aliran
Para pengarang Pujangga Baru merupakan suatu angkatan yang diikat oleh
kesamaan konsepsi, yaitu cita-cita hendak mewujudkan kebudayaan baru yang
dinamis dan kebudayaan persatuan Indonesia. Dengan kesamaan konsepsi ini,
memungkinkan mereka bekerja sama dalam mewujudkan cita-cita, tetapi antara para
pengarang Pujangga Baru mempunyai perbedaan dalam hal menentukan wujud dan
cara mewujudkannya kebudayaan baru itu.
Mengenai konsepsi pembaharuannya dapat dibagi menjadi dua aliran, yakni aliran
yang berhaluan ke Barat dengan tokohnya Sutan Takdir Alisyahbana dan aliran yang
berorientasi ke Timur dengan tokohnya Sanusi Pane.
dengan
unsur-unsur
kebudayaan
yang
terdiri
atas
individualisme,
perhitungan,
membawa
sehingga
disebut
kebudayaan
masyarakat
bangsa
menjadi
progresif.
kaya
akan
Kebudayaan
nilai-nilai
progresif
materi,
tetapi
Barat
(materialisme,
intelektualisme,
dan
individualisme)
dan
Mulai tahun 1937 melanjutkan studi di Sekolah Hakim Tinggi hingga memperoleh
gelar Mister van de Recht (Sarjana Hukum) pada tahun 1942. Hasil karyanya, antara
lain: (1) Tak Putus Dirundung Malang, roman tahun 1929; (2) Dian Yang Tak Kunjung
Padam, roman tahun 1932, (3) Anak Perawan di Sarang Penyamun, roman tahun
1941; (4) Layar Terkembang, roman tahun 1936; (5) Tebaran Mega, puisi; (6) Dari
Perjuangan ke Pertumbuhan Bahasa Indonesia, tahun 1957; (7) Perjuangan Tanggung
Jawab dalam Kesusastraan.
2)Sanusi Pane
Sanusi Pane lahir di Muara Sipongi, Tapanuli. Tingkat pendidikannya adalah Mulo,
Kweek-school Gunung Sari, dan HIK di Bandung. Pada tahun 1923 belajar ke India
untuk menambah pengetahuan tentang kebudayaan India. Kembali dari India
menjabat redaksi majalah Timbul. Pada tahun 1934 menjadi kepala Perguruan
Rakyat di Bandung, dan menceburkan diri di dalam dunia jurnalistik. Lapangan
perguruan kemudian ditinggalkan dan menjadi redaktur harian Kebangunan,
selanjutnya menjabat Ketua Kantor Pusat Kebudayaan di Jakarta. Karya sastranya
adalah: (1) Pancaran Cinta tahun 1926, (2) Puspa Mega tahun 1927, (3) Madah Kelana
tahun 1937, (4) Manusia Baru tahun 1940, (5) Arjuna Wiwaha tahun 1940.
3)Armyn Pane
Armyn Pane lahir pada tahun 1908 di Muara Sipongi, Tapanuli. Tingkat pendidikan
adalah masuk SMA bagian A/1 (bagian sastra Timur) di Sala dan pernah mengenyam
pendidikan dokter di Stovia Jakarta, dan pindah sekolah dokter di NIAS Surabaya
(tidak tamat).
Semula bekerja sebagai wartawan, di samping sebagai guru bahasa dan sejarah pada
sekolah Kebangsaan di Jakarta. Sejak tahun 1936 bekerja sebagai anggota sidang
pengarang di Balai Pustaka. Pada masa pendudukan Jepang menjabat sebagai kepala
bagian Kesusastraan di Kantor Pusat Kebudayaan di Jakarta. Pernah duduk sebagai
anggota redaksi Majalah Indonesia dan Majalah Wanita.
Hasil karyanya antara lain: (1) Belenggu, tahun 1938, (2) Jiwa Berjiwa, tahun 1939, (3)
Ratna, tahun 1943, (4) Kisah Antara Manusia, tahun 1949.
4)Amir Hamzah
Amir Hamzah lahir di Binjai, Langkat 1911. Pendidikannya adalah: HIS, Mulo di
medan, AMS di Solo, dan Sekolah Kehakiman baru sampai kandidat. Hasil karyanya
antara lain: (1) Nyanyi Sunyi, (2) Buah Rindu, (3) Setanggi Timur.
5)Y.E Tatengkeng
Hasil karyanya adalah Rindu Dendam tahun 1934.
6)Hamidah
Hasil karyanya Kehilangan Mustika tahun 1935.
7)Suman Hasibuan
Hasil karya Suman Hasibuan meliputi: (1) Kasih Tak Terlerai tahun 1929, (2)
Percobaan Setia tahun 1931, (3) Mencari Pencuri Anak Perawan tahun 1932, (4) Kasih
Tersesat, tahun 1932, (5) Tebusan Darah, tahun 1939.
Zaman ini melahirkan karya sastra berupa mantra, syair, pantun, hikayat, dongeng, dan
bentuk yang lain.
2.
Zaman Peralihan
Zaman ini dikenal tokoh Abdullah bin Abdulkadir Munsyi. Karyanya dianggap bercorak baru
karena tidak lagi berisi tentang istana danraja-raja, tetapi tentang kehidupan manusia dan
masyarakat yang nyata, misalnya Hikayat Abdullah (otobiografi), Syair Perihal Singapura
Dimakan Api, Kisah Pelayaran Abdullah ke Negeri Jedah. Pembaharuan yang ia lakukan tidak
hanya dalam segi isi, tetapi juga bahasa. Ia tidak lagi menggunakan bahasa Melayu yang
kearab-araban.
3. Zaman Sastra Indonesia
a. Angkatan Balai Pustaka (Angkatan 20-an)
b. Angkatan Pujangga Baru (Angkatan 30-an)
c. Angkatan 45
d. Angkatan 66
Pengertian
Periodisasi sastra adalah pembabakan waktu terhadap perkembangan sastra yang ditandai
dengan ciri-ciri tertentu. Maksudnya tiap babak waktu (periode) memiliki ciri tertentu yang
berbeda dengan periode
lain.
Periodisasi sastra, selain berdasarkan tahun kemunculan, juga berdasarkan ciri-ciri sastra
yang dikaitkan dengan situasi sosial, serta pandangan dan pemikiran pengarang terhadap
masalah yang dijadikan objek karya kreatifnya.
Ada banyak periodisasi sastra yang disusun oleh para kritikus, antara lain oleh:
1.
HB. Jassin
2.
Ajip Rosidi
3.
A. Teeuw
4.
Rahmat Djoko Pradopo
Yang saya tulis disiini adalah Periodisasi Sastra menurut HB. Jassin. (HB. Jassin , kritikus
Indonesia) pada angkatan 1945.
Angkatan
45
merupakan
angkatan
yang
lahir
pada
masa
sebelum
dan
awal
2.
3.
4.
5.
6.
Tokohnya :
1.
2.
kumpulan puisi bersama Rivai Apin dan Asrul Sani Tiga Menguak Takdir),
3.
4.
5.
6.
7.
Chairil Anwar
Kerikil Tadjam (1949)
Deru Tjampur Debu (1949)
Asrul Sani, Rivai Apin Chairil Anwar
Tiga Menguak Takdir (1950)
Idrus
Aki (1949)
Gadis Pantai
Perburuan (1950)
Mochtar Lubis
Si Djamal (1964)
Harimau-Harimau! (1977)
Achdiat K. Mihardja
Atheis 1958
Trisno Sumardjo
M.Balfas
Suling (1948)
Tambera (1952)
Simpulan
1.
Angkatan 45 merupakan angkatan yang lahir pada masa sebelum dan awal
kemerdekaan, Pengalaman hidup dan gejolak sosial-politik-budaya telah mewarnai
karya sastrawan Angkatan 45.
2.
Karya sastra angkatan ini banyak bercerita tentang perjuangan merebut
kemerdekaan. Angkatan ini memiliki konsep seni yang diberi judul Surat
Kepercayaan Gelanggang. Konsep ini menyatakan bahwa mereka ingin bebas
berkarya sesuai alam kemerdekaan dan hati nurani.
3.
Penulis yang termasuk angkatan 45 adalah Chairil Anwar, Asrul Sani, Idrus,
Achdiat K. Mihardja, dan masih banyak penulis lainnya. Karya sastra yang dihasilkan
oleh angkatan ini diantaranya yang terkenal adalah Kerikil Tajam, Dari Ave Maria ke
Jalan Lain ke Roma, Atheis, dan banyak lainnya
4.
Angkatan 45 lahir dalam suasana lingkungan yang sangat prihatin dan serba
keras, yaitu lingkungan fasisme Jepang dan dilanjutkan peperangan mempertahankan
kemerdekaan Indonesia.
Ajip Rosidi
Cari muatan
Di tengah keluarga (1956)
Pertemuan kembali (1960)
Tahun-tahun kematian (1955)
Surat Cinta
Abdul Hadi WM
KESIMPULAN
Angkatan sastra adalah sekumpulan sastrawan yang hidup dalam satu kurun waktu masa
tertentu dan menempati suatu periode tertentu. Dari pembahasan ini kita dapat
mengetahui ciri-ciri, struktur estetik, gaya bahasa, dan siapa sastrawan serta karyanya
yang ada pada angkatan 50 dan 66-an. Setiap angkatan sastra mempunyai ciri khas
tersendiri, ini dikarenakan dalam setiap karya sastra menunjukkan sebuah keadaan yang
sedang terjadi saat itu.
Semoga pembahasan ini dapat menambah pengetahuan kita, khususnya pada bidang sastra
indonesia. dan juga bisa menjadi sumbangan pemikiran bagi pihak yang membutuhkan,
terutama bagi penulis agar tujuan dan maksud bisa tercapai.
Angkatan 70 dalam sastra Indonesia adalah angkatan pembawa sastra baru dengan corak yang
berbeda dari angkatan sebelumnya. Angkatan 70-an diberi nama oleh Abdul Hadi W.M, dan
Dami N. Toda. Dalam angkatan ini ada beberapa sastrawan yang membawa corak baru terhadap
sastra Indonesia seperti Sutardji Calzoum Bachri yang mengenalkan puisi bercorak baru terhadap
sastra Indonesia yaitu puisi mantra.
Lahirnya angkatan ini di karenakan oleh anggapan sastrawan angkatan 70 terhadap karyakarya angkatan 66 yang tidak maju atau hanya berbasis untuk melawan pemerintahan. Pada
angkatan 66, ciri khas sastra adalah protes sosial yang sejalan dengan marak-maraknya
perlawanan publik terhadap kekuasaan yang mengalami krisis kepercayaan setelah terjadi
September 1965, pada masa ini pula disebut sebagai masa pemapanan menurut versi Yudiono KS
(Pengantar Sejarah Sastra Indonesia).
Angkatan 66 terlahir bermula dengan artikel HB Jassin yang dimuat di majalah Horison
yang memperjelas bahwa kehadirannya adalah suatu peristiwa politik anti-tirani, menggerakkan
keadilan dan kebenaran. Kelahiran Angkatan 66 adalah klimaks perlawanan tirani, berbeda dalam
dunia kesusastraan yang mewujudkannya melalui karya-karya yang bernuansa politik. Hal ini
dilihat dari beberapa karya sastra yang berupa puisi, prosa, drama, cerpen, dan novel.
Karya-karya perlawanan yang ada pada angkatan 66 ditandai oleh pengakuan Taufik
Ismail dalam buku Tirani dan Benteng terbitan Yayasan Ananda Jakarta (1933). Taufik Ismail
adalah sastrawan yang mempelopori puisi-puisi demonstrasi pada angkatan 66, hal ini
menandakan suatu kebangkitan angkatan 66 dalam dunia perpuisian.
Dengan banyaknya karya-karya sastra yang bertujuan untuk menjatuhkan pemerintahan
atau pergolakan, sastrawan membuat angkatan 70 dengan membawa pergeseran sikap berpikir
yang baru. Pada tahun 1970-an berkembang anggapan bahwa kemunculan pengarang di
Majalah Horisonmerupakan tolak ukur prestasi kepengarangan sehingga hal ini wajar jika
angkatan 70 menandakan adanya pergeseran sikap berfikir dan bertindak dalam menghasilkan
wawasan estetik dalam menghasilkan karya sastra bercorak baru baik di bidang puisi, prosa
maupun drama. Majalah Horisondapat dijadikan inspirasi bagi peneliti dan kritikus yang
berminat membongkar khazanah sastra Horison sebagai majalah sastra yang dipandang
berwibawa pada tahun 1970-an yang merupakan prestasi tersendiri, lebihlebih Horison diterbitkan di tengah suasana sosial dan politik yang masih penuh gejolak tragedi
politik 30 September 1965 dengan tiga kategori aspek sosial, yaitu (1) masalah G.30.S yang
didalamnya tercatat drama Taufiq Ismail Langit Hitam cerpen Satyagraha Hoerip Pada Titik
Kulminasi, cerpen Gerson Poyk Perempuan dan anak-anaknya dan cerpen B. Soelarto Subul
Khotimah., (2) masalah Orde Lama didalamnya tercatat cerpen Mochtar Lubis Kuburan
Keramat dan Sebuah Sketsa dari Penjara, cerpen B.Soelarto Tragedi Kecil dan Sahabat
John , dan (3) masalah angkatan 66 tercatat sajak-sajak Wahid Situmeang, Slamet Sukirnanto,
Trisno Sumardjo, Horo Rambadeta, Surachman R.M, Arifin C. Noer, dan cerpen Bur Rusuanto
Malam Berkabung. Ternyata di balik kewibawaan itu Horison harus berjuang keras
menghidupi dirinya sendiri dengan akibat perkembanganya terbilang lamban.
Dalam periode 70-an pengarang berusaha melakukan eksperimen untuk mencoba batasbatas beberapa kemungkinan bentuk, baik prosa, puisi yatu mulai ada puisi kontemporer atau
puisi selindro, maupun drama yaitu dengan menulis dan mempertunjukkan drama yang absurd
atau tidak masuk akal. Misalnya prosa dalam bentuk cerpen, pengarang sudah mulai berani
mebuat cerpen dengan panjang 1-2 kalimat saja sehingga terlihat seperti bentuk sajak. Semuanya
semakin tidak jelas.
Terlepas dari hal tersebut perkembangan sastra Indonesia priode 70-an maju pesat, karena
banyak penerbitan yang muncul dan bebas menampilkan hasil karyanya dalam berbagai bentuk.
Misalnya dalam bidang puisi, Sutarji dianggap salah satu tokoh periode 70-an dalam sastra
Indonesia. Tahun 1979 menerima hadiah sastra dari ASEAN karena Sutarji telah menampikan
corak baru dalam kesusasteraan Indonesia dengan cenderung membebaskan kata dalam
membangkitkan kembali wawasan estetik mantra yang sangat menekankan pada magic kata-kata
yang kemudian melahirkannya dalam wujud impovisasi.
B. Peristiwa-Peristiwa Besar
Pada periode ini tercatat beberapa peristiwa penting, antara lain:
1.
Pada tahun 1970, H. B. Jassin diadili. Majalah yang dipimpinnya dituduh memuat
cerita pendek yang menghina agama Islam.
Sejak terbitnya majalah Sastra yang diterbitkan pada 1 Mei 1961, majalah Horison sudah tidak
mengalami kemujuran meskipun semangat redaksinya tidak terlepas dari nama HB Jassin.
Penerbitannya pun harus berhenti pada Oktober 1969 karena kasus pemuatan Cerpen Langit
Makin Mendung karangan Kipandjikusmi dalam edisi Agustus 1968. Cerpen tersebut
mengisahkan perjalanan Nabi Muhammad yang ingin melihat dari dekat kehidupan mutakhir di
dunia yang semakin sibuk dengan kemaksiatan dan intrik-intrik politik. Dengan seizin Tuhan
terbanglah Nabi Muhammad ke bumi dengan kuda sembrani yang di kawal Malaikat Jibril.
Adapun kisah selanjutnya adalah perkembangan politik di Indonesia yang semrawut dengan
tokoh Pemimpin Besar Revolusi (PBR) yang sibuk menghadapi intrik-intrik politik.
Tidak lama setelah cerpen tersebut terbit, timbullah protes sekelompok masyarakat yang
beranggapan bahwa cerpen tersebut menghina Tuhan dan merusak akidah umat Islam. Akibat
lebih lanjut adalah terbitnya keputusan kejaksaan Tinggi Sumatera Utara yang melarang
beredarnyaSastra edisi Agustus 1968. Dengan peristiwa tersebut, HB Jassin mengajukan banding
tapi tidak diterima lalu diberi hukuman satu tahun penjara dengan masa percobaan dua tahun.
Sedangkan majalah Sastra yang menerbitkan cerpen tersebut dituntut oleh kejaksaan.
2.
Tahun 1973, Sutardji Calzoum Bachri mengumumkan kredo puisinya
Sutardji Calzoum Bachri adalah serang penyair yang membawa pembaharuan dalam dunia Sastra
Indonesia angkatan 70., yaitu dengan memperkenalkan kredo puisi. Dimuat pertama kali dalam
majalahHorison (Desember 1974). Isi selengkapnya adalah sebagai berikut:
Kata-kata bukanlah alat pengantar pengertian. Dia bukanlah seperti pipa yang menyalurkan air.
Kata-kata adalah pengertian itu sendiri. Dia bebas.
Kalau diumpamakan dengan kursi, kata adalah kursi itu sendiri dan bukan alat untuk duduk.
Kalau diumpamakan dengan pisau, dia adalah pisau itu sendiri dan bukan alat untuk memotong
atau menikam.
Dalam kesehari-harian kata cenderung dipergunakan sebagai alat untuk menyampaikan
pengertian. Dianggap sebagai pesuruh untuk menyampaikan pengertian. Dan dilupakan
kedudukannya yang merdeka sebagai pengertian.
Dalam puisi saya, saya bebaskan kata-kata dari tradisi lapuk yang membelenggu mereka seperti
Kamus dan penjajahan-penjajahan seperti moral kita yang dibebankan masyarakat pada kata-kata
tertentu dengan dianggap kotor (obscene) serta penjajahan gramatika.
Bila kata-kata telah dibebaskan, kreativitas pun dimungkinkan. Karena kata-kata bisa
menciptakan dirinya. Pendadakan kreatif bisa timbul, karena kata biasanya dianggap berfungsi
1.
2.
3.
4.
5.
6.
Itulah tuntutan jaksa terhadap terdakwa. Selanjutnya dihadapan saksi-saksi, antara lain:
Sutarji Calzoum Bachri, Saini K. M., Rustandi Karyakusumah. Saksi Saini K. M., menyatakan
antara lain bahwa pengadilan ini tidak sah, karena puisi Indonesia masih dibawah umur.
Setelah saksi mengemukakan kesaksiannya, maka tampillah pembela, Taufik
Ismail. Ia menyatakan pembelaan sebagai berikut:
1. Menolak tuntutan pertama (mempensiunkan kritikus) denganalasan karena mereka
ini tidak diangkat oleh suatu lembagapemerintah.
Tuntutan ini lemah karena itu tak dapat diterima.
2. Tututan yang menyatakan bahwa editor harus diberhentikan juga ditolak karena kurang beralasan
dan lemah.
3. Tuntutan agar penyair mapan dilarang menulis, tidak masuk akal dan mengekang hak-hak asasi
manusia. Tuntutan itupun lemah.
4. Tentang epigon-epigon yang dilarang menulis,
juga tidak dapatdibenarkan sebab mereka ini pada suatu masa menemukan dirisendiri.
Tuntutan ini kurang kuat.
5. Tuntutan mengenai penyair reinkarnasi agar diasingkan atau dilarang menulis, juga melawan
biologi manusia. Padahal mereka adalah pelangi-pelangi puisi Indonesia. Tuntutan itu tidak bisa
diterima.
6. Agar Majalah Horizon dan Budaya Jaya dicabut surat izin terbitnya, juga tidak dapat diterima.
7. Melarang masyarakat untuk membaca Majalah Horizon juga tidak dapat dibenarkan.
8. Demikian isi singkat pembelaan Taufik Ismail terhadap terdakwa Puisi Indonesia Mutakhir.
9. Akhirnya hakim Sanento Yuliman dan Darmanto Yt. Memutuskan ketujuh butir tuntutan
dinyatakan ditolak, dan;
10. Para kritikus boleh kembali mengkritik kembali sebab sebentar lagi akan diadakan sekolah
pendidikan kritikus;
11. Para editor majalahsastraterusmelanjutkanpekerjaannya;
12. Para penyair epigon dan mapan terus menulis;
13. Majalah sastra Horizon tetap terbit, tetapi berubah nama menjadiHorizon Baru.
Atas keputusan hakim di atas, jaksa penuntut merasa tidak puas dan menyatakan naik
banding pada pengadilan puisi yang akan datang.
Begitulah pengadilan puisi itu berlangsung. Setelah peristiwa ini, di Jakarta diadakan
acara jawaban atas pengadilan puisi, yaitu tanggal 21 September 1974, di Fakultas Sastra UI.
Pembicara di dalam acara ini antara lain H. B, Jassin, M.S. Hutagalung, Goenawan Mohamad,
dan Sapardi Djoko Darmo.
5.
Pada tahun 1975 diselenggarakan Diskusi Besar Cerita Pendek Indonesia yang
diadakan di Bandung.
6.
Tahun 1977 muncul istilah angkatan 70, dilontarkan oleh Dami N. Toda.
Istilah ini pertama kali diperkenalkan oleh Dami N. Toda dalam kertas kerjanya PetaPeta Perpuisian Indonesia 1970-an dalam Sketsa yang diajukan dalam diskusi sastra
memperingati ulang tahun ke-5 Majalah Tifa Sastra di Fakultas Sastra UI (25 Mei 1977). Kertas
kerja ini kemudian dimuat dalam Majalah Budaya Jaya (September 1977) dan dalam Satyagraha
Hoerip (ed) Semua Masalah Sastra(1982).
Angkatan 70 yang dikenal pembawa pembaharuan ditandai dengan dengan novel-novel
Iwan Simatupang, yang jelas punya wawasan estetika novel tersendiri; lalu teaternya Rendra serta
puisinya Khotbah dan Nyayian Angsa, juga perpuisian Sutarji Calzoum Bachri, dan cerpencerpen dari Danarto, seperti Godlob, Rintik, dan sebagainya.
Pengarang yang disebut sebagai Angkatan 70 ada yang sudah tergolongkan juga pada
masa-masa sebelumnya. Hal inilah yang menandakan bahwa karya mereka terus berkembang.
7.
Tahun 1980 novel Bumi Manusia dan Anak Semua Bangsa karya Pramoedya
Ananta Toer dilarang oleh pemerintah. Demikian pula untuk novel-novel lainnya (1985,
1987, 1988).
Novel Bumi Manusia dilarang oleh pemerintah karena dianggap memaksakan
pandangannya sebagai ikon perlawanan terhadap orde baru yang mengakibatkan dirinya
diasingkan di pulau buru. Pandangannya terhadap kebangkitan nasional sampai saat ini masih
harus dikaji oleh para pakar dan sejarahwan. Namun, novel yang dianggap sebagai terlarang
baru bebas dibaca seteah revolusi Mei 1998 karena dianggap mewakili pembebasan publik.
8.
Pada bulan Agustus tahun 1982 diadakan seminar
Peranan Sastra dalamPerubahan Masyarakat yang diselenggarakan di Jakarta.
9.
Pada tahun 1984 muncul masalah sastra kontekstual, serta jadi topic diskusi.
Istilah ini pertama kali diperkenalkan oleh Ariel Heryanto pada Saresehan Kesenian di
Solo, 28-29 Oktober 1984. Menurut Ariel, sastra kontekstual adalah sejenis pemahaman atas
seluk-beluk kesusastraan dengan meninjau kaitannya dengan konteks sosial-historis kesusastraan
yang bersangkutan. Bukan sejenis karya sastra.
C. Media yang Digunakan Pada Angkatan 70
Majalah Horison adalah tempat dimana para sastrawan menuangkan tulisannya kepada media.
Pada tahun-tahun tersebut, majalah Horison mendapatkan banyak karya. Tetapi, karena
pembaharuan dalam sastra pada angkatan 70, banyak penyair atau penulis-penulis baru yang
mengirimkan karyanya, majalah Horison membatasi penerimaan karya dari berbagai kalangan.
Dengan pembatasan penerimaan karya dalam majalah Horison, timbullah media-media baru yang
menerima karya-karya yang tidak dapat ditampung oleh majalah Horison seperti koran-koran
yang diandalkan kewibawaannya adalah Kompas, Media Indonesia, dan Republika di Jakarta,
Pikiran Rakyat di Bandung, Kedaulatan Rakyat di Yogyakarta, Suara Merdeka di Semarang, dan
Jawa Pos di Surabaya. Disamping itu, terbit juga mejalah ilmiah sejarah dan sastra dibanyak
perguruan tinggi yang dapat dipandang sebagai jalur tersendiri.
Sebagai contoh, Sutarji mempublikasikan karyanya berupa puisi, dan cerpen di koran harian,
begitu pula YB Mangun Wijaya yang mempublikasikan novel khotbah di atas bukan sebagai
cerita bersambung di koran sebelum mempublikasikannya dalam media buku.
D. Ciri-ciri Karya Sastra Angkatan 70
1. Puisi
Struktur Fisik
a. Puisi begaya bahasa mantera menggunakan sarana kepuitisan berupa ulangan kata, frasa, atau
kalimat. Gaya bahasa paralelisme dikombinasikan dengan gayahiperbola untuk memperoleh efek
yang sebesar-besarnya, serta menonjolkan tipografi.
b. Puisi konkret sebagai eksperimen.
c. Banyak menggunakan kata-kata daerah untuk memberikan kesan ekspresif.
d. Banyak menggunakan permainan bunyi.
e. Gaya penulian yang prosaik.
a.
b.
c.
d.
e.
f.
2.
a.
b.
a.
b.
c.
E.
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
h.
i.
j.
k.
l.
m.
n.
Struktur Tematik
Protes terhadap kepincangan masyarakat pada awal industrialisasi;
Besadaran bahwa aspek manusia merupakan subjek dan bukan objek pembangunan;
Banyak mengungkapkan kehidupan batin religius dan cenderung mistis.
Cerita dan pelukisnya bersifat alegoris atau parable;
Perjuangan hak-hak azasi manusia; kebebasan, persamaan, pemerataan, dan terhindar dari
pencemaran teknologi modern;
Kritik sosial terhadap si kuat yang bertindak sewenang-wenang terhadap mereka yang lemah, dan
kritik tentang penyelewengan.
Prosa dan Drama
Struktur Fisik
Melepaskan ciri konvensional, menggunakan pola sastra asurd dalam tema, alur, tokoh,
maupun latar;
Menampakkan ciri latar kedaerahanwarna lokal.
Struktur Tematik
Sosial: politik, kemiskinan, dan lain-lain;
Kejiwaan;
Metafisik.
Sastrawan-Sastrawan Angkatan 70
1.
Putu Wijaya
Putu Wijaya merupakan penulis yang memiliki keterampilan lengkap. Selain ia mampu
menulis dengan baik di bidang prosa, ia juga mampu menulis dengan baik di bidang lainnya. Ia
lahir di Tabanan Bali, tanggal 11 April 1944 dikenal sebagai pengarang yang produktif dan sering
mendapat hadiah sayembara mengarang. Kepengarangannya telah dibahas Th Sri Rahayu
Prihatmi dalam disertasi di UI (1993) dan dalam buku. Novelnya, telegram (1972) dianggap
menampilkan corak baru dalam penulisan novel Indonesia tahun 70-an.
Diantara karya-karya Putu Wijaya, yaitu:
Orang-orang Mandiri (drama);
Lautan Bernyanyi (drama);
Telegram (novel);
Aduh (drama);
Pabrik (novel);
Stasiun (novel);
Hah (novel);
Keok (novel);
Anu (drama);
MS (novel);
Sobat (novel);
Tak Cukup Sedih (novel);
Dadaku adalah perisaiku (kumupulan sajak);
Ratu (novel);
o. Edan (novel);
p. Bom (kumpulan cerpen).
2.
Sutardji Calzoum Bachri
Sutardji Calzoum Bachri lahir pada tanggal 24 Juni 1941 di Rengat, Riau. Pendidikan
akhirnya adalah Jurusan Administrasi Niaga, Fakultas Sosial dan Politik Universitas Padjadjaran
Bandung. Sejak September 1979, ia menjadi redaktur Majalah Horison. Pada tahun 1978 Sutardji
mendapat hadiah puisi dari Dewan Kesenian Jakarta pada tahun 1976-1977, untuk kumpulan
puisinya Amuk (1977; tahun 1979 memperoleh hadiah sastra ASEAN. Buku-buku puisinya
ialah: O (1973), Amuk (1977), Kapak (1979). Kumpulan-kumpulan puisi ini pada tahun 1981
diterbitkan dalam satu buku berjudul O Amuk Kapak.
3.
Arifin C. Noer
Arifin C Noer (kelahiran Cirebon, 10 Maret 1941) dikenal sebagai dramawan dan tokoh Teater
Kecil. Dramanya yang populer Kapai-Kapai (1970), Sumur Tanpa Dasar (1971), dan Kasir
Kita (1977). Karyanya yang lain:
a. Orkes Madun (drama);
b. Selamat Pagi, Jajang (kumpulan sajak);
c. Tengul (drama).
4.
Darmanto Jatman
Darmanto Jatman kelahiran Jakarta, 16 Agustus 1942. Pada tahun 1968, lulus dari Fakultas
Psikologi Universitas Gajah Mada dan menjadi dosen tetap di Universitas Diponegoro serta
bergiat dalam berbagai bidang kesenian, penelitian sosial dan jurnalistik, tahun 1972 pernah studi
di Universitas Hawai Amerika Serikat dan lulus Fakultas Pascasarjana Universitas Gajah Mada.
Buku-buku sastranya yang penting: kumpulan Sajak Bangsa (1975), Sang Darmanto (1975), Ki
Blakasuta Bla Bla (1980), Karya Iya Bilan Boten (1981), Golf Untuk Rakyat (1994),
dan Isteri 1997). Keseluruhan sajaknya itu telah disatukan dalam Sori Gusti (2002).
5.
Danarto
Danarto lahir pada tanggal 27 Juni 1940 di Mojowetan, Sragen Jawa Tengah. Ia adalah
dosen di Institut Kesenian Jakarta sejak 1973. Lulusan ASRI Yogya tahun 1961 ini pernah aktif di
Sanggar Bambu, Jakarta. Ia juga pernah menjadi redaktur Majalah Zaman (1979-1985).
Cerpennya Rintik, memenangkan hadiah Horison tahun 1968. Cerpen-cerpennya,
termasuk Rintik, dihimpun dalam kumpulan cerpen berjudul Godlob (1976). Kumpulan
cerpennya Adam Marifat (1982), meraih hadiah sastra DKJ 1982 dan Kebudayaan (1982).
Kumpulan cerpennya yang lain, Berhala (1987), memenangkan hadiah Yayasan Buku Utama
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan tahun 1987.
6.
Iwan Simatupang
Iwan Simatupang lahir di Sibolga, Sumatra Utara pada tanggal 18 November 1928,
meninggal di Jakarta tanggal 4 gustus 1970. Berpendidikan HBS Medan, Fakultas Kedokteran di
Surabaya (1953: tidak tamat), dan tahun 1954-1958 memperdalam pengetahuan di Eropa
(Antropologi di Universitas Leiden, drama di Amsterdam, dan Filasfat di Universitas Sarbone
Paris). Pernah menjadi komandan Pasukan TRIP di Sumatera Utara tahun 1949, guru SMA Jalan
Wijayakusuma di Surabaya (1950-1953), reaktur Siasat (1954), dan terakhir menjadi redaktur
Warta Harian (1966-1970). Karya lainnya:
a.
b.
c.
d.
a.
b.
c.
a.
b.
c.
d.
e.
f.
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
7.
Budi Darma
Budi Darma lahir tanggal 25 April 1937 di Rembang, Jawa Tengah. Ia adalah dosen IKIP
Surabaya. Novel Olenka (1983), memenangkan hadiah pertama Sayembara Mengarang Roman
DKJ tahun 1983. karyanya yang lain: Orang-Orang
Bloomington (1980),Soliloku (1983), Sejumlah Esai Sastra (1984), dan Rafilus (1988). Tahun
1984 ia memenangkan hadia sastra ASEAN.
8.
Taufik Ismail
Puisi-puisi Sepi (kumpulan sajak);
Kota, Pelabuhan, Ladang, Angin, dan Langit (kumpulan sajak);
Sajak Ladang Jagung (kumpulan sajak).
9.
Arswendo Atmowiloto
Arswendo Atmowiloto, lahir di Solo 26 November 1948. Ia di kenal sebagai pengarang cerpen
dan novel yang produktif, selain itu namanya perneah melejit karena kasus Tabloid Monitor dan
bukunya yang populer dikalangan pengarang pemula adalah Mengarang itu Gampang (1982).
Novel-novelnya antara lain Semesra Merapi Merbabu (1977), Senopati Pamungkas (1986), dan
Canting (1986). Karya-karya lainnya, antara lain:
Lawan Jadi Kawan (cerita anak);
Bayang-bayang Baur (novel);
Teu Cireus (novel);
Surat dengan Sampul Putih (kumpulan cerpen);
Saat Kau Berbaring di dadaku (novel);
2 x cinta.
10.
Y.B Mangunwijaya
Karyanya yang terkenal yaitu Burung-Burung Manyar (1981), Roro Mendut (1983),
Genduk Duku (1985), Lusi Lindri (1987), Burung-Burung Rantau (1992), dan kumpulan esai
sastra dan religeositas.
11.
Abdul Hadi WM
Karyanya yang terkenal, berupa:
Laut Belum Pasang (kumpulan sajak);
Cermin (kumpulan sajak);
Potret Seorang Pengunjung Pantai Sanur (kumpulan sajak);
Meditasi (kumpulan sajak);
Tergantung pada Angin (kumpulan sajak);
Manusia dalam Sastra Indonesia Muttakhir (kumpulan essai);
Zaman Edan dan Sastra Frustasi (kumpulan essai).
12.
Emha Ainun Najib
Lahir pada tanggal 27 Mei 1953 di Jombang, Jawa Timur. Memperoleh pendidikan di Pondok
Pesantren Gontor, SMA Yogya, dan Fakultas Ekonomi UGM (hanya sebentar). Pernah menyadi
redaktur Harian Masa Kini, Yogya (1973-1976), kemudian memimpin Teater Diansti, Yogya.
Karya-karya lainnya, antara lain:
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
h.
i.
j.
k.
a.
b.
c.
d.
e.
f.
a.
b.
c.
13.
Korrie Layun Rampan
Korrie Layun Rampan (kelahiran Samarinda, 17 Agustus 1953) melejit namanya lewat roman
Upacara (1978) yang berasal dari Sayembara Penulisan DKJ 1976, kemudian menjadi penulis
dan editor produktif sebagaimana tampak pada puluhan bukunya, antara lain:
Cerita Pendek Indonesia Mutakhir: Sebuah Pembicaraan (1982);
Suara Pancaran Sastra (1984);
Trisno Sumardjo Pejuang Kesenian Indonesia (1984);
Antologi Puisi Wanita Penyair Indonesia (1985);
Aliran-aliran cerita pendek (1995); dan
Tokoh-tokoh Cerpen Indonesia (2005).
14.
Umar Kayam
Umar Kayam adalah guru besar di Universitas Gajah Mada yang bergiat di mana-mana.
Buku-bukunya yang penting: kumpulan cerpen Seribu Kunang-Kunang di Manhattan (1972),
novel Sri Sumarah dan Bawuk (1975), kumpulan esai Seni Tradisi Masyarakat(1981),
roman Para Priyayi (1992) dan Jalan Menikung (2000).
15.
Kuntowijoyo
Karyanya antara lain Khotbah di Atas Bukit (1976) dan Mantera Penjinak Ular (2000).
Novel Khotbah di atas Bukitbertemakan kegelisahan batin akibat batin kondisi sosial. Ia
mengajak pembaca untuk merenungkan kehidupan ini. Kuntowijoyo banyak mengguanakan katakata mutiara sebagai pengungkap renungan hidup.
16.
Remy Sylado
Gali Lobang Gila Lobang (roman);
Kita Hidup Hanya Sekali (roman);
Belajar Menghargai Hak asasi Kawan (sajak).
DAFTAR PUSTAKA
K.S, Yudiono. 2010. Pengantar Sejarah Sastra Indonesia. Jakarta: PT Grasindo
Website:
http://kadekpunyablog.blogspot.com/2012/05/sastra-indonesia-angkatan-70.html (Diakses: 6
April 2015)
http://alparisi-chiep.blogspot.com/2011/01/perkembangan-sejarah-sastraindonesia.html (Diakses:
6 April 2015)